Pendekar Mabuk 80 - Pusaka Jarum Surga

1
 KABUT masih selimuti puncak Gunung Dara. Udara
di puncak itu dingin. Embun jatuh berupa butiran-butiran
batu bening. Embun itu menjadi kristal-kristal es karena
dinginnya udara di puncak tersebut.

Seorang lelaki tua meludah ke bebatuan yang
menghiasi lereng Gunung Dara. Cuih, klotak...!
Ludahnya menjadi batu karena membeku. Gila! Jika
ludah saja menjadi batu karena membeku, lalu
bagaimana jika lelaki tua itu buang air kecil. Jelas tidak
akan mengucur seperti biasanya. Atau jika mengucur,
bunyinya tidak: cuuur..., tapi akan berbunyi: klotak,
 klotak,  klotak,  klotak...! Karena air seni itu langsung
menjadi batu es yang sama sekali tak sedap untuk
dicicipi.
Lelaki tua berjubah abu-abu itu duduk di atas batu
besar. Bukan berarti dia habis buang air besar, tapi
memang batu besar itu sudah ada di tempatnya sebelum
ia sampai di lereng Gunung Dara.
Tanpa mempedulikan tubuhnya dikeroyok udara
dingin yang menghamburkan busa-busa salju, lelaki tua
berambut panjang tak rapi warna abu-abu itu
memantapkan duduknya dalam keadaan bersila.
Tongkat yang tadi dibawa-bawa, kini ditancapkan di
samping batu itu.  Lelaki berkalung tasbih hitam itu
mulai tegakkan badan dan menarik napas. Suuuut...!
Tanaman di depannya ikut tertarik karena sedotan
napasnya tadi. Wuuurrss...! Pluk...! Ada seekor ulat bulu
masuk ke hidung lelaki tua tadi. Ulat bulu itu ikut
tersedot oleh napas si tua bertubuh kurus itu. Tanpa
permisi lagi, napas pun disentakkan melalui hidung.
Fuiih...!
Wees, plok...! Ulat bulu tadi terlempar seketika dan
menabrak pohon, akhirnya mati tanpa ada yang mau
menguburnya. Si tua bergigi ompong depan itu segera
tarik napas lagi, tapi kali ini pelan-pelan, karena takut
batu koral itu tersedot dan menyumbat lubang hidungnya
sendiri.
"Aku tidak ingin lubang hidungku penuh batu koral.
Mending kalau bisa dijual seperti batu intan, digadaikan
saja tak akan laku," pikir lelaki itu.
 Pikiran segera ditetapkan untuk menyatu. Tidak
cabang ke mana-mana seperti pohon. Matanya yang
kecil  itu mulai mengatup pelan-pelan. Kedua telapak
tangannya disatukan di depan dada. Lelaki tua berkumis
dan berjenggot abu-abu itu mulai lakukan semadi.
Busa-busa  salju  yang mirip kapas tipis itu
beterbangan karena hembusan angin dari barat. Sebagian
busa-busa salju itu tersangkut di tubuh kakek bertelinga
tinggi. Daun telinga itu tampak tinggi karena bagian atas
masing-masing daun telinga tumbuh  kuku yang mirip
taji seekor ayam jago. Tidak panjang, tapi membuat
model telinganya lain dari yang lain. Karena itulah, sejak
kecil kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu
bernama si Jalu Kuping.
Karena makin lama semakin banyak busa salju yang
menyelimuti tubuhnya, Ki Jalu Kuping pun akhirnya
menggigil. Kedua tangannya tak kuat hanya saling
bertemu di depan saja.
"Kok lama-lama  dingin sekali, ya?" ujarnya dalam
hati. "Kalau begini caranya, lama-lama aku bisa masuk
angin. Sudah tubuh kurus, umur tua, masih kena angin
sedingin ini, waaah... bisa-bisa hidungku ingusan terus.
Malu, ah. Tua-tua kok ingusan, nanti dikira bocah
kemarin sore. Uuuuhg...! Dingin banget lho!"
Ki Jalu Kuping segera turun dari atas batu,
mengambil tongkatnya dan berlari mencari gua. Begitu
dapatkan sebuah gua, ia segera masuk dan tubuhnya
dikibaskan dalam satu sentakan seperti anjing
kehujanan.
 Buuurrss...! Busa-busa salju yang menempel di
tubuhnya rontok seketika. Rambutnya yang menjadi
tebal karena busa salju segera ditebah-tebah sambil
gelengkan kepala, hingga busa-busa itu pun rontok
berjatuhan.
"Nah, bertapa di sini saja. Hangat! Hmm... gua ini
sepertinya sering dipakai orang untuk bermalam atau
berteduh. Banyak daun bekas makanan dan beberapa
potongan kayu unggun. Tapi... ada  singanya apa tidak,
ya?" 
Setelah Ki  Jalu Kuping memeriksa gua itu dan
ternyata aman-aman saja, maka ia segera memilih
tempat untuk duduk bersila. Diperolehnya sebidang batu
datar yang tingginya sebatas lutut. Di atas batu datar
yang panjang itulah, Ki Jalu Kuping duduk bersila dan
lanjutkan semadinya.
Seekor lebah terbang melayang mengitari kepala Ki
Jalu Kuping. Mau tak mau Ki Jalu Kuping mengibaskan
kepala agar lebah itu tidak menyengat bagian wajahnya.
Lebah pun menjauh, tapi segera mendekat lagi. Ki Jalu
Kuping gelengkan kepala, lebah segera menjauh
kembali. Sebentar kemudian mendekat lagi, Ki Jalu
Kuping gelengkan kepala mengusir sang lebah.
Karena seringnya sang lebah mendekat dan terbang
mengelilingi kepala Ki Jalu Kuping, akibatnya kepala KI
Jalu Kuping bergerak menggeleng ke kanan-kiri berkali-
kali. Bahkan ketika lebah itu sudah terbang keluar gua,
kepala Ki Jalu Kuping masih godek-godek terus mirip
orang triping.
 Gerakan godek-godek itu membuat seraut wajah yang
mengintainya terpaksa berkerut dahi. Si pengintai yang
ada di pinggiran pintu gua itu hanya bisa membatin
dalam hatinya.
"Pak tua itu bertapa atau membaca doa? Dari tadi kok
godek terus? Tapi anehnya gerakan kepala yang godek
terus itu bisa membuat tempat di sekelilingnya menjadi
bersih.  Sampah dan korotan menyingkir bagai disapu
olehnya. Oh, rupanya gerakan kepala yang godek-godek
itu hadirkan angin kecil yang mampu menyapu tempat
sekelilingnya?! Wah, sakti juga si tua godek itu."
"Siapa di luar?!" tiba-tiba Ki Jalu Kuping berseru
dengan  mata tetap terpejam dan kepala tetap godek-
godek.
Orang yang ada di luar  gua itu kaget, karena tak
menyangka kalau kehadirannya diketahui oleh Ki  Jalu
Kuping. Orang itu menjadi bingung antara mau
menjawab atau diam saja.
"Siapa di luar?!" seru Ki  Jalu Kuping  lagi, masih
tetap memejam dan godek-godek. Mau tak mau si
pengintai di luar gua itu menyahut.
"Aku, Kek!"
"Aku siapa?!"
"Orang yang kedinginan!" jawab si pengintai.
"Kalau kedinginan masuklah! Jangan di luar! Silakan
duduk. Pintunya tidak dikunci kok."
Si pengintai tertawa dengan mulut dibekap tangan
sendiri.
"Gua begini mana bisa pakai pintu segala, Pak Tua?!"
 "Bisa saja. Kalau tak percaya cobalah kau masuk,
sekarang pintu gua sudah kukunci!"
Si pengintai penasaran. Lalu ia melangkah masuk ke
dalam gua.
Buuukh...! Brruuukkk...!
Tubuh si pengintai itu terpental bagai ada kekuatan
yang mendorongnya, ia mencobanya lagi melangkah
masuk ke dalam gua. Namun begitu melintasi batas
pintu gua, tubuhnya terlempar ke belakang lagi.
Buuuuk, bruuukkk...!
Gleduk...! Kepalanya malah kepentok batu. Mau tak
mau si pengintai pun cengar-cengir kesakitan sambil
mengusap-usap kepalanya yang agak benjol.
"Sial! Tak ada daun pintu dan tak ada apa-apanya tapi
kenapa gua itu tidak bisa dimasuki?! Coba aku masuk
dengan gunakan lompatan cepatku!"
Wees...! Brruk, beekh...!
"Uuuuhh...!" si pengintai mengerang kesakitan,
karena ia seperti menabrak daun pintu dari kayu jati
tebal. Tubuhnya terbanting dalam keadaan terkapar.
Dadanya terasa sakit, tulang pipinya sempat memar
seperti habis membentur pilar. Pinggangnya seperti mau
patah karena terbanting dengan keras.
"Kurang ajar! Dia benar-benar melapisi pintu gua
dengan tenaga dalamnya yang berbentuk udara padat,
jadi tetap seperti terbuka dan keadaannya bisa dilihat
dari luar gua!" si pengintai menggerutu dalam hati.
"Bagaimana. Orang kedinginan? Bisakah kau masuk
ke dalam gua jika pintunya kututup?!" seru Ki Jalu
 Kuping masih dengan kepala godek-godek.
"Baiklah, kuakui kau berilmu tinggi, Kek!"
"Sebenarnya tidak terlalu tinggi, cuma sedang-sedang
saja. Tapi kalau disuruh memindahkan gunung... mudah
saja, Nak!"
Si pengintai menggumam dalam hati sambil
melangkah memasuki gua yang sudah tidak dilapisi
udara padat itu. 
"Sombong juga kakek ini."
Si pengintai segera meminum tuak yang ada dalam
bambu panjang ukuran setengah depa lebih. Melihat
bambu tempat tuak yang selalu dibawa-bawa si
pengintai, juga menimbang bahwa si pengintai memakai
baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih lusuh,
ditambah lagi mengingat si pengintai berwajah ganteng,
rambutnya panjang lurus tanpa ikat kepala, maka siapa
pun akan sepakat mengatakan bahwa si pengintai
tersebut tak lain  adalah  Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting, murid si Gila Tuak.
Ki Jalu Kuping melihat dengan mata batin, tapi kedua
matanya tetap terpejam agak menunduk sedikit dan
kepalanya masih godek-godek,
"Oh, kau punya tuak rupanya. Wah, enak juga kalau
dingin-dingin begini minum tuak, ya?"
"Apakah kau mau, Kek?"
"Yah, kalau memang diberi, ya mau. Kalau tidak, ya
cukup telan ludah saja."
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Kau ini sedang
semadi atau menunggu ransum datang?!"
 "Apa orang kalau semadi tidak boleh makan dan
minum?"
"Tentunya tidak boleh, Kek!"
"Itu kan dulu," ujarnya masih ngotot, tapi tetap
terpejam dan godek-godek. "Semadi tidak makan dan
tidak minum, itu kuno! Dulu aku kalau  semadi juga
begitu, tidak makan apa-apa. Eeeh... lama-lama kok ya
lapar juga. Lapar dan haus. Maka kutetapkan kalau aku
semadi harus pakai makan-minum segala. Bukankah
tujuan orang semadi itu mencari kekuatan atau
kesaktian. Lha kalau tidak makan tidak minum sampai
berhari-hari itu namanya mencari penyakit, bukan
mencari kekuatan!"
Sambil tersenyum geli, Suto berkata lagi, "Dan juga
biasanya orang semadi itu tidak boleh ngobrol. Harus
diam dan penuh keheningan dalam batinnya."
"Semadi kek tidak boleh ngobrol, ya keju mulutku,
Nak! Dulu memang orang semadi itu harus diam, supaya
pikiran, batin dan rasa memusat dalam satu tujuan. Tapi
sekarang cara seperti itu sudah ketinggalan. Kuno!
Dalam semadi itu kan yang penting tujuannya? Ngobrol
boleh saja jalan terus, tapi tujuan yang disemadikan itu
tidak boleh belok ke mana-mana!"
"Kau ini memang orang aneh, Kek," kata Suto yang
rasa sakitnya telah hilang akibat telah meminum tuak
saktinya itu. Sebab tuak tersebut adalah tuak sakti yang
dapat sembuhkan luka dan penyakit dalam waktu relatif
singkat.
"Kau ini kok cerewet toh, Nak! Siapa namamu dan
 apa perlumu datang ke Gunung Dara ini?!" tanya Ki Jalu
Kuping.
"Namaku Suto Sinting, Kek. Aku datang ke...."
"Siapa, siapa...? Suto Sinting?! Lho, kok seperti
namanya Pendekar Mabuk yang kondang itu, Nak?
Pendekar Mabuk yang kondang itu juga kata orang-
orang, dia bernama Suto Sinting. Kalau begitu namamu
itu tanpa sengaja mirip sekali dengan nama  asli si
Pendekar Mabuk itu. Wah, beruntung sekali kau punya
nama seperti itu, Nak."
Ki Jalu Kuping masih godek-godek sambil pejamkan
mata. Suto Sinting sedikit dongkol dengan kata-kata
yang dianggap meremehkan dirinya. Tapi ia hanya bisa
tarik napas dan berusaha membuang kedongkolannya
itu.
"Ilmumu cukup tinggi juga, ya Nak," ujar Ki Jalu
Kuping tanpa membuka matanya. "Jatuh terpental masih
utuh. Hebat  juga kau. Biasanya orang yang habis
menabrak jurus 'Pintu Gledek'-ku pasti hangus.
Sedangkan kau tetap utuh tanpa hangus sedikit pun.
Kalau tidak punya ilmu tinggi, tidak bisa utuh itu, Nak."
"Yaaah... sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi kalau
disuruh menunggingkan gunung... mudah saja, Kek,"
kata Suto membalas kesombongan si kakek tadi.
"Oalaaa.... Mana ada gunung kok ditunggingkan.
Gunungnya siapa itu?"
"Gunung yang kau pindahkan tadi, Kek!"
"Ooo... ceritanya kau membalas kesombonganku
yang tadi itu, ya? Heh, heh, heh, heh...! Boleh juga kalau
 mau adu ilmu denganku, Nak!"
Wuuut...! Ki Jalu Kuping tiba-tiba menerjang Suto
dalam keadaan masih duduk bersila  dan memejamkan
mata. Tubuhnya melayang cepat menerjang Suto
Sinting. Bruuus...!
Untung yang diterjang sudah biasa jatuh, sehingga
ketika tubuhnya terpental dan membentur  dinding gua,
Pendekar Mabuk bisa cepat gulingkan badan dan tak
mengalami patah tulang.
"Patah tulang memang tidak, tapi gigi gerahamku jadi
goyang begini?! Uuh, sakit juga tulang rahangku terkena
tebasan tangannya tadi. Sialan! Jangan-jangan pak tua
itu gila. Hanya ngomong begitu saja langsung main
terjang?!" gerutu Suto dalam hatinya.
Ki Jalu Kuping masih mengambang di udara dalam
keadaan bersila. Matanya masih terpejam dan kepalanya
masih godek-godek pelan. Tangannya mengembang
dengan jari-jari menguncup, membentuk jurus seperti
patung teko teh panas.
"Kenapa tak bisa menahan seranganku kau, Nak?
Balaslah. Jika bisa membuatku jatuh ke tanah,
kuserahkan segala harta kekayaanku padamu."
"Memangnya kau punya kekayaan apa, Kek?!"
"Tuuuuh...," sambil  mulutnya monyong sebentar ke
arah tongkatnya, lalu  kepala  godek-godek lagi. "Aku
punya tongkat kayu sengon."
"Uuh, tongkat seperti itu kok dipakai taruhan?!
Kekayaan apa itu?!" Suto mencibir.
"Lhooo... biar jelek-jelek begitu bisa buat gebuk
 maling itu, Nak! Buat gebuk punggungmu pun bisa."
Baru saja selesai berkata begitu, tangan Ki Jalu
Kuping menyentak ke samping. Tongkat itu bagai
tersedot saat tangan tersebut ditarik mundur. Suuuut...!
Taaab...! Tongkat tergenggam di tangan, tubuh yang
melayang bersila  itu segera melesat menerjang Suto
Sinting. Wuuuut...!
Buuuhk...!
"Huaahhw...!" teriak Suto karena punggungnya
terkena gebukan tongkat itu.
"Tua-tua edan!" maki Suto dengan jengkel, sementara
sang kakek tertawa terkekeh-kekeh dalam keadaan telah
berdiri di atas batu dan membuka matanya dan hentikan
godek-godeknya.
Pendekar Mabuk bangkit dengan menggeliat karena
tulang punggungnya terasa remuk dan sukar dipakai
untuk berdiri cepat.
"Sekarang kau  percaya kalau tongkat ini termasuk
harta kekayaan yang berharga, Nak?"
"Masa bodoh!" sentak Suto dengan sewot, tapi justru
ditertawakan oleh sang kakek.
"Baru begitu saja sudah tak bisa bangun. Huhh...,
percuma punya badan tegap dan kekar begitu, Nak.
Mendingan aku, biar tua, kurus, ompong, tapi masih
kelihatan gagah!"
"Hanya orang-orang bodoh yang mengatakan kau
gagah, Kek!"
"Jadi kau tidak menganggapku gagah? Kalau begitu,
terimalah jurus 'Tongkat Penggempur Bisul' ini.
 Hiaaaah...!"
"Iya, iya, iya...!" teriak Suto Sinting sambil
menyilangkan tangan takut kena gebuk lagi. Gerakan Ki
Jalu Kuping terhenti. Tampak lega berseri.
"Kau takut, Nak? Heh, heh, heh... padahal aku tadi
hanya menggertakmu. Baru digertak saja sudah takut,
apalagi kalau benar-benar diserang. Wah, ternyata
nyalimu tidak lebih besar  dari sebutir upil,  Nak!
Sebaiknya kau jadi perawan saja, jangan jadi pemuda
berbadan kekar begitu!" ejek Ki Jalu Kuping.
Hati pendekar tampan mulai terasa disundut puntung
rokok. Tapi ia selalu mencoba menahan panas hatinya
agar tidak berkobar dan tetap tenang di hadapan tokoh
tua berilmu konyol itu.
"Aku ke sini bukan cari musuh, Kek!"
"O, ya? Jadi kau ke sini mau cari apa?!"

*
* *

2

DENGAN suara tegas Pendekar Mabuk menjawab
pertanyaan Ki Jalu Kuping. 
"Aku mencari pemuda bernama Badra Sanjaya!"
"Hahh...?!" Ki  Jalu Kuping terperanjat dan lebarkan
matanya yang tanpa bulu itu.
"Kenapa kau terkejut, Kek?"
 Dengan geraham menggegat, pandangan mata
menjadi dingin, Ki Jalu Kuping perdengarkan suaranya
sambil memandang ke arah luar gua.
"Badra Sanjaya itu muridku!"
"Muridmu?! Ooh...? Kebetulan sekali kalau begitu.
Tak kusangka aku akan bertemu dengan gurunya Badra
Sanjaya," sambil Suto Sinting sunggingkan senyum dan
berwajah ceria, ia berkata lagi dengan badan ditegakkan.
"Kalau begitu kau tahu di mana Badra Sanjaya
berada, Kek!"
Ki Jalu Kuping berpaling menatap Suto. "Mau apa
kau?!"
"Menangkapnya!"
"Mengapa kau mau menangkap muridku?!" 
"Karena aku disewa untuk menangkap Badra
Sanjaya!" 
"Siapa yang menyewamu?!"
"Ratu Dekap Rindu, penguasa Bukit Kemesraan!"
jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan jelas.
"Keparat si Dekap Rindu!" geram Ki Jalu Kuping, ia
berjalan dekati pintu masuk gua, dan menatap hamburan
busa salju yang masih beterbangan dihembus angin barat
itu. Setelah diam sesaat di sana, Ki Jalu Kuping menatap
Suto lagi dan berseru dari tempatnya berdiri.
"Atas tuduhan apa Badra Sanjaya mau ditangkap
Ratu Dekap Rindu?!"
"Membawa lari pusaka 'Jarum Surga' yang menjadi
kekuatan utama seluruh ilmu sang Ratu!"
"Hmmm...!" Ki Jalu Kuping mencibir, wajah
 tegangnya mengendur. Mulutnya seperti mengunyah
permen karet, padahal tak ada yang dikunyah. Suto
yakin tak ada yang dimakan oleh kakek jubah abu-abu
itu, sehingga Suto heran melihat mulut itu bergerak-
gerak mengunyah sesuatu.
"Apa yang kau kunyah itu, Kek?"
"Aku mengunyah napasku sendiri!" jawabnya dengan
nada tidak setegang tadi. Ia kelihatan santai kembali,
seakan tak pernah mengalami ketegangan sedikit pun.
"Nak, pulanglah ke Bukit Kemesraan dan katakan
kepada Ratu Dekap Rindu, bahwa Badra Sanjaya bukan
orang buronan dan tidak pantas ditangkapi. Muridku
tidak mencuri atau membawa lari pusaka itu. Bahkan dia
tidak tahu apa-apa tentang pusaka; 'Jarum Surga' itu."
"Tidak bisa, Kek. Aku malu kalau kembali tanpa
membawa Badra Sanjaya!"
"Turutilah saranku ini, Nak."
"Tidak bisa, Kek. Saranmu hanya bikin malu diriku!
Aku ini disewa oleh Ratu Dekap Rindu. Disewa untuk
menangkap Badra Sanjaya. Kok pulang tanpa membawa
Badra Sanjaya? Malu kan?"
"Ooo, ya...," Ki  Jalu Kuping manggut-manggut.
"Kalau begitu, sekarang nyawamu akan kusewa juga!"
"Lho...?!" Suto kaget.
"Berapa kau pasang tarif untuk nyawa sewaanmu
itu?!"
"Mana bisa nyawa disewakan?! Aku tidak
menyewakan nyawaku!" tegasnya.
"Jika kau disewa oleh Ratu Dekap Rindu untuk
 menangkap muridku, berarti yang disewa adalah
nyawamu! Karena menangkap Badra Sanjaya sama saja
berhadapan denganku. Berhadapan denganku sama saja
bertarung denganku. Bertarung denganku sama saja
menjual nyawamu. Menjual  nyawa sama saja mencari
kematian. Kematian sama saja akhir dari segala kegiatan.
Kegiatan sama saja menyewakan nyawa. Lho, kok ke
situ-situ lagi, ya?"
Ki Jalu Kuping bingung sendiri dengan ucapannya
yang bertele-tele dan berbelit-belit itu. Pendekar Mabuk
menanggapinya dengan tenang, santai, sesekali minum
tuak, sesekali hanya mengusap-usap bumbung tuaknya. 
"Singkatnya saja...."
"Nah, sebaiknya singkat saja kalau bicara!" sahut
Suto.
"Aku tak rela kalau muridku kau anggap pencuri!"
"Pencuri atau bukan yang jelas harus ditangkap dulu
dan diadili oleh Sang Ratu!"
"Tidak bisa!" jawab Ki Jalu Kuping sambil mencibir
bangga.
"Harus bisa!"
"Kalau kau mau tangkap Badra Sanjaya, terima dulu
jurus 'Penyambut Tamu' ini! Heaaah...l"
Ki Jalu Kuping tiba-tiba sodokkan tongkatnya ke
depan. Wuuut...! Dari kepala tongkat keluar sinar lurus
warna kuning kecil sebesar lidi. Claaap...!
Suto Sinting segera berlutut dan menghadang sinar
kuning itu dengan bumbung tuaknya. Desss...!
Sinar itu membalik arah dalam keadaan lebih besar
 dan lebih cepat. Ki Jalu Kuping kaget melihat sinarnya
berbalik menyerangnya, ia segera lompat ke atas batu di
sampingnya. Wesss...!
Blaaarrr...!
Sinar kuning itu menghantam batu yang bersandar
pada dinding dekat pintu. Batu itu langsung meledak,
pecah  menjadi bongkahan-bongkahan sebesar
genggaman. Bruuull...! Brrrrruk...!
Pecahan batu itu menumpuk, menutup pintu gua.
"Konyol! Lihat, gara-gara kau menangkis jurusku
jadinya pintu gua itu tertutup. Kita mau lewat mana
kalau begini, hah?!" bentak Ki Jalu Kuping. "Mestinya
sinar kuningku tadi jangan kau tangkis, Tolol!"
"Kau yang tolol!" bantah Suto. "Mestinya sinar
kuningmu diarahkan ke luar gua, jangan diarahkan
kepadaku!"
"Iya, ya...?!" Ki Jalu Kuping menggumam sendiri.
"Sekarang bagaimana caranya keluar dari gua kalau
jalanannya tertutup batu begitu?!"
"Begini caranya...!" Pendekar Mabuk segera lakukan
lompatan secara tiba-tiba. Weess...! Ia menerjang Ki Jalu
Kuping dengan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi.
Ki  Jalu  Kuping tak menyangka akan diterjang Suto.
Maka kakek tua itu pun segera terpental  begitu
lengannya ditabrak kaki Suto.
Bukh, wees...! Brrooolll...!
Ki Jalu Kuping terpental sampai menjebol tumpukan
batu, sehingga pintu gua pun jadi terbuka kembali, ia
jatuh terkapar di tanah berlapis busa salju. Pendekar
 Mabuk menyusulnya dengan lompatan cepatnya yang
dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu.
Zlaaap...!
Tahu-tahu ia sudah berdiri dalam  jarak tujuh langkah
dari Ki Jalu Kuping. Orang tua itu sedang mengerang
sambil, pegangi pinggangnya yang belakang.
"Ooohh... tulang pinggangku rasanya patah jadi
empat potong! Tendanganmu setan juga, Nak! Tak
kusangka kau punya tenaga sebesar itu!" 
"Belum seberapa, Kek. Itu masih tenagaku jika
menggeliat pada saat bangun tidur,"  Suto sengaja
memancing emosi Ki Jalu Kuping, ia ingin tundukkan
tokoh tua itu agar mau memberi tahu di mana muridnya
berada.
"Kalau kau ingin tenaga sehabis nimba air, seginilah
besarnya...."
Suto Sinting sentilkan jarinya beberapa kali. Sentilan
jari yang dinamakan jurus "Jari Guntur' itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam  cukup besar, seperti tendangan
kuda jantan yang ditolak bercumbu oleh pasangannya.
Tes, tes, tes...!
Srrrroooot...! Buueeekh...!
"Heekh...! Ya, ampuuunn...!"
Ki  Jalu  Kuping terdorong mundur dengan keras
dalam  keadaan tetap duduk di tanah, ia merasa seperti
diseruduk seekor banteng yang sedang mengamuk.
Tubuh yang terseret mundur itu berhenti setelah
punggung Ki Jalu Kuping membentur sebongkah batu
besar, ia terpekik dengan suara ngeden dan mata
    mendelik.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, memandang
kalem ke arah Ki Jalu  Kuping, ia semakin dongkol
setelah  menyadari begitu berdiri ternyata celananya
bagian belakang robek seperti habis dicakar-cakar anjing
galak.
"Bocah ngepet!" serunya dari kejauhan.
Weess...!  
Ki Jalu Kuping berkelebat seperti setan lewat.
Pandangan mata Suto Sinting tak bisa menangkap
gerakan itu, karena busa-busa salju bertaburan di depan
matanya. Tahu-tahu ia merasa diterjang seekor kuda nil
terbang. Bruuusss...!
Yang ada  hanya gelap dan gelap. Pendekar Mabuk
merasa bagai sedang dikerumuni puluhan kunang-
kunang. Pertengahan dadanya, di atas ulu hati, terasa
sakit dan berdenyut-denyut.
"Jangan-jangan dadaku bolong?" pikirnya saat
pandangan matanya mulai terang sedikit-sedikit.
Begitu mata dapat memandang dengan jelas, ternyata
wajah Ki Jalu Kuping ada di atasnya. Rupanya ia telah
terkapar dengan bumbung tuak terlepas dari tangannya.
Ki Jalu Kuping berdiri di sampingnya dan dengan sedikit
membungkuk mendekatkan wajah memandanginya.
Bibir keriputnya sunggingkan senyum, gusi depannya
yang tanpa gigi itu bagaikan lubang belut yang bergerak
melebar karena nyengir.
"Tumbang, ya Nak?" sapa Ki Jalu Kuping bernada
ramah. Pendekar Mabuk dongkol sekali, ia segera
sentakkan kaki untuk lakukan loncatan berdiri. Tapi
ternyata sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi.
Tenaganya seakan terpental  entah ke mana akibat
terjangan secepat tadi.
"Maaf, ya Nak... aku sekadar kasih balasan kecil-
kecilan saja," kata Ki Jalu  Kuping. "Terus terang saja,
tapi jangan bilang tetanggamu, ya... bahwa kau telah
terkena jurus nakalku yang kunamakan jurus 'Petir
Jinak'. Cepatnya seperti petir tapi gunanya buat
menjinakkan kekuatan  lawan. Tak ada yang punya
kecuali  aku. Badra Sanjaya juga belum  punya, sebab
kalau  dia punya jurus 'Petir Jinak', maka dia akan
menerjangku seenaknya kapan saja dia mau. Heh, heh,
heh, heh...!"
Suto masih agak beruntung, karena bibirnya masih
bisa bergerak,  lidahnya juga bisa bergerak, walau
semuanya serba lemah. Katup suara di tenggorokannya
masih bisa bergetar, walau terlalu pelan, sehingga Suto
masih bicara keluarkan suara dengan lirih.
"Kau... keparat...."
"Iya, memang kalau sedang begini aku ini keparat
bagimu. Tapi tadi waktu kau buang seenaknya dengan
jurus sentilanmu itu, kaulah yang keparat. Kurasa itu tak
perlu kita permasalahkan, toh kita sama-sama keparat!"
kata Ki Jalu Kuping seenaknya saja kalau bicara.
"Pulihkan... aku...."
"Apa...?!" Ki Jalu Kuping dekatkan telinganya.
"Pulihkan... aku...," ulang Suto pelan sekali.
"Bagaimana? Agak keras sedikit bicaramu. Maklum,
 aku sudah tua, jadi sudah mulai budek. Coba, bilang apa
kau tadi?"
"Puliiiiihkan... akuuu..., Budek."
"Wah, maaf. Aku tidak dengar kau bicara apa, Nak.
Yang kudengar kau mengatakan aku budek, itu saja. Jadi
sebaiknya kau harus kubawa ke pondokku, di Lereng
Kunyuk, tak jauh dari sini! Atau kau kugelindingkan
dari sini. Pasti akan sampai di gubukku sana!"
"Peer... peeer... seee... taaaan...."
"Apa? Plesetan?! Jangan main plesetan nanti kau
jatuh,  lehermu patah, naaah... repot! Disambung pakai
tongkatku ini terlalu panjang, kan?"
Ki Jalu Kuping menggeser tubuh Suto, Kedua kaki
Suto dijadikan satu dan diikat dengan akar kering yang
kenyal. Kedua tangan Pendekar Mabuk juga disatukan
dengan tubuh dan diikat. Suto seperti memeluk dirinya
sendiri.
"Nah, kalau begini... mudah digelindingkan. Tinggal
kuikuti dari belakang kau sudah sampai di pondokku
sendiri."
"Maaatiii... aku...."
"O, tidak! Tidak akan mati. Kujamin nyawamu masih
ada, karena aku ke sini memang sebenarnya ingin
bertapa, mencari jalan keluar bagi kesulitan muridku; si
Badra Sanjaya itu. Tahu-tahu kau datang, jadi kau
kuanggap jalan keluar untuk kesulitan muridku itu.
Makanya aku tidak akan membunuhmu. Nyawamu tetap
ada, tapi akan kusewa sampai urusan ini selesai."
Ki Jalu Kuping menghadapkan tubuh Suto agar bisa
 mudah digelindingkan dengan sentakan kakinya.
"Nak, siap-siaplah menggelinding dan jangan
sungkan-sungkan kalau mau  menjerit. Di gunung ini,
orang menjerit tidak dikenai biaya apa pun."
"Kejam...," ucap Suto lirih.
"Kejam memang kejam, tapi tak sekejam ibu tiri lho,
Nak!" kata Ki Jalu Kuping dengan mulut meruncing
seperti orang mendongeng.
"Ibu tiri itu kalau marah ngrebus anaknya. Aku kalau
marah ngrebus singkong. Kalau  tak ada singkong,
ngrebus handuk pun jadilah."
"Bumbung... bumbung tuakku...."
"O, ya...! Untung kau mengingatkan. Walau tak
seberapa berharga bumbung tuak itu, tapi kalau memang
benda itu mainanmu sejak kecil dan menjadi kenangan
selama hidupmu, memang sebaiknya ikut kubawa ke
pondok, biar rohmu nanti tenang dan betah tinggal di
pondokku."
Ki  Jalu  Kuping mengambil bumbung tuak.
Kesempatan perginya Ki Jalu Kuping dipergunakan Suto
untuk mencoba melawan kelemahannya. Tapi ternyata ia
tetap tak mempunyai tenaga apa-apa. Pertengahan
dadanya masih terasa sakit berdenyut-denyut, ia tak tahu
pertengahan dadanya tadi terkena ujung bawah tongkat
si Jalu Kuping dan saat itulah seluruh kekuatan dan
tenaganya dilumpuhkan oleh Ki Jalu Kuping.
Bumbung tuak ditenteng oleh KI Jalu Kuping. Suto
melihatnya dan berpikir, "Kalau aku bisa minum tuakku
itu, pasti tenagaku bisa pulih kembali."
 Maka ia pun memohon dengan suaranya yang lirih,
"Beri... aku... minum...."
"Ah, nanti saja! Kau ini sebentar-sebentar minum,
sebentar-sebentar, minum... nanti pipis dijalan lho.
Bersiaplah menggelinding, ya Nak!"
Ki  Jalu  Kuping meletakkan satu kakinya di tubuh
Suto. Satu sentakan kaki dapat membuat Suto
menggelinding di tanah miring itu. Tapi tiba-tiba Ki Jalu
Kuping menarik kakinya itu dan tak jadi
menggelindingkan tubuh Suto.
"Begini saja, Nak...," katanya sambil sedikit
membungkuk, memandang ke wajah Suto.
"Kalau kau kugelindingkan dari sini, jatuhnya akan
tepat di atas atap pondokku. Wah, pondokku bisa rusak.
Kacaulah tidurku nanti. Maka kau tak jadi
kugelindingkan. Jangan kecewa, ya? Betul, jangan
kecewa, ya? Kau kuterbangkan saja, jadi aku sendiri
tidak perlu menanggung beban dengan memanggulmu!"
Zeeeng...! Tubuh murid Gila Tuak yang terikat mirip
kayu bongkokan itu terangkat sendiri begitu tangan Ki
Jalu Kuping menghempas naik dengan gerakan pelan
bagai tak bertenaga. Tubuh itu mengambang di udara,
kemudian Ki Jalu Kuping melepaskan tiupan kecil.
"Fuiiih...!"
Maka tubuh Suto pun bergerak terbang menuruni
lereng gunung tersebut. Ki Jalu Kuping tertawa
kegirangan, dan mengikutinya dengan berkelebat zigzag,
kadang mendahului Suto, kadang ada di belakang Suto.
"Kalau ada benang, kuberi benang kau dan kalau ada
 layangan lain kuadu kau dengan layangan orang lain!
Heh, heh, heh...!"
Sementara itu, Pendekar Mabuk melayang cepat
dengan arah sembarangan, sehingga sesekali  kakinya
menyambar batang pohon, atau kepalanya menerabas
semak dan dedaunan, ia terbentur ke sana-sini dan Ki
Jalu Kuping hanya menertawakannya.

*
* *
 
3
 
PONDOK itu terbuat dari belahan kayu gelondong.
Menjadi dinding rapat karena ditambak dengan cairan
seperti getah yang juga merupakan bahan perekat kayu
paling ampuh. Pondok Ki Jalu Kuping termasuk besar,
mirip sebuah tempat perguruan, karena mempunyai
pelataran lebar, dan mempunyai pagar seperti benteng
kayu yang tampak kokoh.
Dalam salah satu ruangan lebar, yang mirip barak
para prajurit, terdapat dua tempat tidur bersebelahan dari
batuan sejenis marmer lebar. Di atas ranjang marmer itu
diletakkan kain pelapis cukup tebal sehingga jika dipakai
tidur akan nyaman. Di atas salah satu tempat tidur itu
terbujur sesosok tubuh muda berparas ganteng.
Badannya tegap, gagah, kekar, berkulit kuning langsat.
Pemuda itu bukan Pendekar Mabuk. Pemuda berikat
 kepala merah dengan hiasan benang emas itu adalah
murid si Jalu Kuping, yaitu Badra Sanjaya.
Badra Sanjaya putra seorang patih di sebuah kerajaan.
Ia mengembara mencari ilmu  dan  berguru kepada Ki
Jalu Kuping. Lama-lama  ia betah tinggal bersama Ki
Jalu Kuping, karena ia termasuk murid kesayangan dan
sering dimanjakan oleh Ki Jalu Kuping. Murid Ki Jalu
Kuping sebenarnya ada tiga. Tapi kali ini yang sedang
jadi bahan sorotan adalah si Badra Sanjaya.
Pemuda itu mengenakan baju dan celana hijau terang.
Ikat pinggangnya dari kain merah, ia sering membawa
pedang dari besi putih antikarat. Pedang itu sesekali
ditenteng, sesekali diselipkan di pinggang.
Wajah tampannya yang sedikit di bawah ketampanan
Suto itu mempunyai kumis tipis. Kumis itulah yang
membuat para wanita sering tergoda dengan senyuman
dan penampilan Badra Sanjaya. Badannya yang kekar
memang lebih besar dari badan Suto, tapi kelihatannya
ototnya lebih kuat Suto.
Ketika Ki Jalu Kuping meletakkan Suto di tempat
tidur sebelahnya, ternyata ukuran tinggi tubuhnya sama
dengan tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Karena itulah, Ki
Jalu  Kuping berkata kepada Suto yang masih seperti
pasien jompo itu.
"Ternyata dugaanku benar. Kau cocok dengannya.
Cocok sekali! Kemunculanmu di gua itu, membuatku
punya gagasan ini."
Walaupun dalam keadaan lemas dan tak bertenaga,
tapi otak Suto masih bisa digunakan untuk berpikir dan
 mengingat sesuatu. Tapi pendekar tampan itu tidak tahu
apa maksud kata-kata Ki Jalu Kuping tadi. Sebenarnya
ia ingin banyak bertanya, tapi suaranya yang pelan dan
tak bisa berkata dengan cepat membuatnya malas banyak
bertanya.
Mata Suto berkedip pelan-pelan saat beradu pandang
dengan Ki Jalu Kuping. Pak tua yang konyol  tapi
berilmu  hebat itu selalu cengar-cengir karena hatinya
girang telah mendapatkan cara untuk menolong
muridnya.
"Badra Sanjaya adalah orang yang terbaring di
sebelahmu ini," ujar Ki Jalu  Kuping sambil menunjuk
tempat tidur sebelahnya. Suto Sinting hanya bisa
melirik, tak bisa menengok agar memandang jelas.
Maka, si Jalu  Kuping membantu menengokkan wajah
Suto dengan memiringkan kepala pendekar muda itu.
Kreeek...!
"Ouuuh...!" Suto mengeluh  lirih, memejamkan mata
kuat-kuat. 
"Ooh, maaf, maaf... terlalu keras puntiran kepalamu
tadi, ya Nak? Maaf, maksudku agar kau bisa melihat
muridku yang satu ini dengan jelas. Sebab dia adalah
orang yang akan kau tangkap, tapi kau sendiri nantinya
yang akan menjadi dia!"
Bingung juga Suto mencerna kata-kata itu, akhirnya
dibiarkan si tua berhidung panjang mirip betet itu bicara
semaunya. Apa yang bisa diingat, dicatat dalam  ingatan,
apa yang mudah dimengerti, dicoba untuk dipahami.
Sisanya dibiarkan berhamburan terbawa sang bayu.
 Angin di Lereng Kunyuk itu tidak sekencang di
daerah puncak tadi. Udaranya memang dingin, tapi lidak
sedingin di atas tadi. Pendekar Mabuk juga mencatat
tentang udara tersebut dalam benaknya.
"Nak, kau tahu siapa si Dekap Rindu itu?"
"Seorang... ratu...," jawab Suto lirih.
"Iya, memang dia seorang ratu. Tapi ratu yang
bagaimana?"
"Ratu... perempuan... cantik...."
"Yang namanya ratu ya perempuan!" sentak Ki Jalu
Kuping rada jengkel. "Tapi kau mungkin tidak tahu
kalau  Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh tua aliran
hitam yang punya ilmu awet muda dan awet cantik."
"Diia... dia... sahabat... dari... temanku... yang
bernama... Yundawuni...."
"Yundawuni...?! Oh, aku belum  sempat kenalan.
Kalau  kau ketemu dia lagi, sampaikan salam kenalku
kepada Yundawuni," ujar Ki Jalu Kuping seenaknya.
"Aku tak tahu apakah Yundawuni itu dari aliran
hitam atau putih atau belang-belang seperti kuda zebra.
Yang  jelas, Ratu Dekap Rindu adalah  murid dari Nyai
Lawang Neraka yang pernah kubunuh, tapi gagal..."
"Pernah dibunuh tapi kok gagal, ya sama saja belum
terbunuh!" gerutu Suto dalam hatinya.
"Beberapa waktu lalu, kudengar Nyai Lawang Neraka
sudah tewas di tangan Tanuyasa."
"Ak... aku kenal... dengan... Eyang... Tanuyasa,
alias... si Omong... Cekak..,.."
Suto memang kenal dengan Tanuyasa, alias si Omong
 Cekak, ia pernah melihat Tanuyasa mengajarkan
ilmunya kepada anak muda lugu dan polos yang
bernama Temon. Peristiwa itu ada kaitannya dengan
Yundawuni alias Dewi Kesepian yang nyaris menjadi
penyebar wabah kaum lelaki, (Baca serial  Pendekar
Mabuk dalam episode: "Dewi Kesepian").
"Aku tahu sepak terjang si Dekap Rindu, karena dia
adalah cucunya Nyai Tudung Pandan," sambung Ki Jalu
Kuping. "Mendiang Tudung Pandan itu adalah kakakku.
Jadi aku agak sungkan terhadap Ratu Dekap Rindu.
Bagaimanapun juga ia juga termasuk cucuku. Tapi aku
tak suka padanya. Sejak kakakku meninggal, tingkah
laku Dekap Rindu berubah jungkir balik, mengikuti jejak
gurunya dan menjadi tokoh aliran sesat. Dia memang
cantik, tapi buat apa cantik-cantik kalau jalannya sesat,
bisa-bisa suaminya dibunuh dijadikan tumbal ilmunya."
"Ilmu... apa...?"
"Ya ilmu apa saja! Dekap Rindu memang tampak
kalem, bijaksana, suka menolong, tapi semua itu hanya
kedok. Tahu kedok?"
Suto mengangguk kecil. "Binatang.... Yang
jalannya... lompat-lompat...."
"Itu kodok!" sentak Ki Jalu Kuping sambil bersungut-
sungut. "Kedok itu topeng. Jadi semua sikap manisnya si
Dekap Rindu hanya sebagai topeng penutup
kebiadabannya. Diam-diam ia banyak mempelajari ilmu
hitam dan menyerang para tokoh tua seangkatan
denganku yang berilmu putih. Paham?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala  pelan dengan
 mata berkedip.
"Beberapa waktu yang lalu, muridku ini pergi ke
Bukit Kemesraan, ia sengaja kusuruh ke sana, eh...
kuutus. Kalau guru menyuruh murid itu pantasnya
dengan kata 'mengutus', ya?"
"Terserah...," jawab Suto datar.
"Badra Sanjaya kuutus ke Bukit Kemesraan untuk
mencari kakak seperguruannya, yaitu muridku juga yang
bernama Jantra Loya.  Sebab, kudengar dari beberapa
orang sahabatku, katanya Jantra Loya ditangkap dan
dijadikan tawanan di Bukit Kemesraan. Maka kuutus si
Badra Sanjaya mencari kebenaran kabar tersebut.
Setelah dua purnama, Badra Sanjaya pulang dalam
keadaan aneh."
"Jadi... monyet?"
"Bukan!" Ki Jalu Kuping semakin serius. "Badra
Sanjaya pulang ke sini dalam keadaan linglung, lupa
siapa diriku dan siapa dirinya, dan sering memanggil-
manggil Dekap Rindu dengan mesra."
Ki Jalu Kuping pandangi muridnya dengan wajah iba.
"Kasihan dia," gumamnya pelan. Lalu memandang
Suto Sinting.
"Ternyata dia terkena jurus racun 'Ranjang Goyang'
dari si Dekap Rindu. Hanya dia yang punya jurus racun
'Ranjang Goyang', dan racun itu membuat Badra Sanjaya
akhirnya pingsan, hampir tujuh hari tak sadarkan diri.
Aku tak bisa melawan racun 'Ranjang Goyang' itu.
Sudah kucoba berkali-kali, malah kepalaku sendiri yang
goyang-goyang karena kewalahan."
 "Suruh... dia... minum... tuakku...." 
Ki  Jalu  Kuping bersungut-sungut, "Orang pingsan
kok disuruh minum tuak! Edan kau ini!"
Suto ingin jelaskan kekuatan sakti dari tuaknya  itu.
Tapi ia ragu-ragu dan mempertimbangkan dalam 
hatinya.
"Kalau kuberi tahu bahwa tuakku adalah  tuak sakti,
bisa untuk melenyapkan racun itu, nanti kalau aku minta
minum tidak diberinya. Kakek ini agaknya tidak mau
melepaskan keadaanku. Hmmm... repot juga kalau
begini?!"
"Nak, jurus beracun yang namanya 'Ranjang Goyang'
itu dapat melumerkan seluruh urat di tubuh orang yang
terkena jurus tersebut. Jurus itu juga dapat meloloskan
sukma seseorang dari raganya. Sukma itu kembali
kepada Ratu Dekap Rindu dan di sana sukma itu
dipenjarakan dalam sebuah tabung bening berbentuk
seperti poci tempat minuman teh. Jadi, kehebatan jurus
beracun itu selain dapat untuk memikat hati korbannya,
juga dapat memenjarakan sukma si korban. Kalau
sampai seluruh urat si korban menjadi lumer, maka
sukma itu tak akan bisa masuk ke raganya kembali. Cara
membebaskannya adalah dengan menghancurkan tabung
bening yang dipakai memenjarakan sukma itu. Jika
tabung itu pecah, maka sukma itu akan kembali ke
raganya. Berarti, muridku dapat pulih kembali, raganya
tak akan menjadi penghuni liang kubur."
"Aneh... sekali... jurus... itu...."
"Tentu saja kau anggap aneh, karena pengetahuanmu
 cekak!" ejek Ki Jalu Kuping. "Oleh sebab itu, aku ingin
menyewa nyawamu, Nak. Kupakai rohmu untuk masuk
ke dalam raga muridku, lalu kau harus kembali ke Bukit
Kemesraan dan mencari penjara sukma muridku itu!" 
Pendekar Mabuk ingin menolak dan memberi
penjelasan tentang kemampuannya mencari penjara
sukma itu tanpa harus menggunakan raga Badra Sanjaya.
Tetapi makin lama ia merasa makin lemah dan sulit
keluarkan kata. Akibatnya ia hanya bisa pasrah kepada
rencana Ki Jalu Kuping itu.
"Sekarang juga, akan kupindahkan rohmu ke dalam
raga Badra Sanjaya. Bersiaplah, Nak... karena hal  ini
tentunya jarang bagimu dan agak aneh rasanya," tutur Ki
Jalu Kuping sambil tersenyum-senyum kegirangan.
"Akan kugunakan ilmuku yang bernama ilmu
'Sewaka Sukma' yang juga jarang dimiliki orang ini!
Tenang saja, tidak akan terasa sakit, Nak. Hanya geli
sedikit, seperti digigit perawan genit! Heh, heh, heh...!"
Ki Jalu Kuping segera duduk di lantai di antara kedua
tempat tidur itu. Ia duduk bersila dengan mata terpejam.
Beberapa kejap kemudian tubuhnya terangkat dan
melayang di udara dalam keadaan tetap bersila,
berpejam mata, dan bersedekap.
Dalam    hatinya, Suto mencoba untuk berontak dan
tak mau menyewakan nyawanya kepada Ki Jalu Kuping.
Tapi ternyata rasa lemas semakin membuatnya tak
mampu bergerak sedikit pun, walau untuk gerakkan satu
jari tangan tetap tak bisa. Bahkan untuk mengedipkan
mata sudah tak mampu lagi. Kedua tangan Ki Jalu
 Kuping segera mengembang. Telapak tangannya
mengarah ke bawah, tubuhnya makin bergerak naik
dalam keadaan tetap bersila dan berpejam mata. Lalu
beberapa saat kemudian, kedua telapak tangan itu
pancarkan sinar. Dua sinar ke tubuh Badra Sanjaya dan
Suto Sinting.
Sinar yang memancar ke tubuh Suto berwarna putih,
kuning lebar, membungkus sekujur tubuh Suto. Sinar
yang memancar ke tubuh Badra Sanjaya berwarna
merah, juga membungkus sekujur tubuh Badra Sanjaya.
Kira-kira selama sepuluh helaan napas kedua sinar itu
masih memancar. Pada hitungan kesebelas, sinar itu
berubah secara perlahan-lahan. Sinar merah yang
memancar ke tubuh Badra Sanjaya berubah menjadi
kuning, dan sinar kuning yang menyelimuti sekujur
tubuh Suto Sinting berubah menjadi merah. Perubahan
sinar itu membuat kedua tubuh berpijar-pijar.
Blaab, blaab, blaab, blaab, blaab...!
Zuuuurrb...! Kedua sinar pun padam secara
bersamaan. Tubuh tua yang mengambang di  udara itu
bergerak turun sampai menyentuh lantai kembali. Kejap
berikutnya Ki Jalu  Kuping membuka matanya dan
tersenyum sambil menghembuskan napas lega.  Ia pun
segera bangkit. Memandang tubuh Suto dan tubuh
muridnya bergantian, kemudian di depan wajah Badra
Sanjaya yang masih terpejam itu, Ki Jalu  Kuping
mengadu telapak tangannya bagai orang bertepuk
tangan.
Plaaak...!
 Badra Sanjaya tersentak  kaget dan bangun dengan
menggeragap setelah  terkena siraman cahaya biru dari
hasil tepukan tangan tadi.
"Nah, sudah berhasil sekarang...," ujar Ki Jalu
Kuping sambil cengar-cengir.
Pendekar Mabuk merasa berdiri turun dari tempat
tidur itu. Tapi ia segera kaget bukan kepalang tanggung
begitu melihat sesosok tubuh terbujur lemas di atas
tempat tidur yang satunya lagi itu. Dan tubuh yang
terbujur lemas itu tak lain adalah tubuhnya sendiri.
Ia bertambah kaget lagi setelah mengetahui bahwa
ternyata raganya telah berubah. Suto menjadi takut dan
tegang sekali melihat raga yang ada padanya adalah raga
si Badra Sanjaya.
"Apa yang kau lakukan padaku. Kakek Edan?!"
sentak Suto Sinting kepada Ki Jalu Kuping yang
tersenyum-senyum itu.
"Eh, kau tak bisa marah padaku, tak boleh
menyerangku atau membangkang perintahku. Semakin
kau memusuhiku dan membangkang perintahku, maka
sukmamu akan semakin sulit kembali  ke ragamu yang
asli itu!"
"Keparat kauuu...!" geram Suto Sinting sambil
hendak lepaskan pukulan yang mematikan. Tapi Ki Jalu
Kuping tetap tenang walau cepat-cepat memberi isyarat
dengan tangannya agar Suto hentikan niatnya itu.
"Kalau aku mati kau sama sekali tak akan
mendapatkan ragamu kembali! Ingat itu!"   
Suto Sinting menjadi ragu dalam  kegusarannya.
 "Kembalikan ragaku! Kembalikan sukmaku ke
ragaku yang asli itu!" sentak Pendekar Mabuk dengan
kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Sukmamu akan kukembalikan ke ragamu kalau kau
sudah jalankan tugasmu, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping
dengan santai sekali.
Bahkan  ia menambahkan kata, "Aku berkata yang
sebenarnya,  kalau  kau melawanku dan membangkang
perintahku sukmamu akan semakin sulit masuk ke
ragamu kembali. Ilmu 'Sewaka Sukma' adalah kekuatan
roh sejati yang mampu menguasai guru sejati orang lain.
Jika roh sejatiku kau lawan, maka guru sejatimu akan
terhukum dan itu berarti kesulitan besar bagimu untuk
kembali ke ragamu yang asli!"
Pendekar Mabuk hanya terengah-engah menahan
kemarahannya, ia segera jauhi si tua berjubah abu-abu
itu. Di sana ia diam termenung sambil sesekali pandangi
raganya yang terasa janggal itu.
"Kakek tua edan!" makinya dalam    hati. "Oh,
mengapa nasibku bisa seburuk ini?! Ragaku ditukar
dengan raga si Badra Sanjaya. Padahal aku tak suka
punya kulit kuning langsat begini. Seperti kulit banci!
Setan kurap!"
Ki Jalu Kuping mendekatinya. "Pergilah ke Bukit
Kemesraan sekarang juga. Cari tabung penjara sukma si
Badra Sanjaya! Hancurkan tabung itu secepatnya, tak
perlu kau bawa kemari dulu. Hancurkan di sana juga,
dan jika Ratu Dekap Rindu merintangimu, hancurkan
pula perempuan sesat itu, Nak!"
 Mau tak mau Suto Sinting harus menjalankan tugas
itu. Namun hatinya menyimpan kemarahan yang
menyesakkan pernapasan. Ki Jalu  Kuping
dipandanginya dengan tajam, seakan punya niat untuk
membalas tindakan yang merugikan hidupnya itu.
Tentu saja Suto merasa dirugikan hidupnya.
Sekalipun ia bisa berdiri tegak dan tenaganya seperti
pulih kembali, tapi ia tak suka dengan perawakan Badra
Sanjaya. Apalagi rambut ikal dan kumis tipis itu,
sungguh memuakkan bagi Suto Sinting.
"Ingat, namamu sekarang adalah Badra Sanjaya,
murid Ki Jalu Kuping!" sambil Ki Jalu Kuping menepuk
dadanya sendiri. "Kau bukan lagi Suto Sinting, dan
tugasmu bukan lagi  menangkap Badra Sanjaya,
melainkan menghancurkan Ratu Dekap Rindu  serta
menghancurkan penjara sukma muridku!"
"Persetan dengan penjelasanmu!" geram Suto Sinting
sambil melangkah hampiri bumbung tuaknya, karena ia
melihat bumbung tuaknya tergeletak di atas sebuah rak,
tempat menaruh barang-barang dapur dan peralatan
lainnya. Sedangkan Ki  Jalu  Kuping hanya terkekeh-
kekeh kegirangan, sampai berputar menari-nari karena
merasa akan berhasil menyelamatkan muridnya itu.
"O, ya.... Hoi, Nak...!" serunya sambil hampiri Suto,
"Jangan lupa, cari orang yang bernama Jantra Loya! Jika
ia terpenjara juga, bebaskan pula dia, Nak!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan perintah itu.  Ia
menenggak tuaknya. Badannya menjadi lebih segar lagi.
Tapi tetap saja ia memakai badannya si Badra Sanjaya
 itu.
"Pribadimu dan ilmumu tetap utuh. Hanya ragamu
saja yang berbeda dari biasanya, Nak!" ujar Ki Jalu
Kuping saat Suto ingin tinggalkan tempat itu.

*
* *

4

RUPANYA memang tidak ada yang berubah pada
diri Suto kecuali raganya. Pendekar Mabuk masih bisa
berlari cepat menyerupai kecepatan cahaya. Zlaaap...!
Berarti jurus 'Gerak Siluman' masih dimilikinya.
Beberapa jurus lain dicoba, dan ternyata tetap ada
padanya.
"Tapi risi sekali pakai raga seperti ini!" gerutu Suto
dalam hati. "Kumis ini lho, ah...! Kalau ada beling
kepingin kukerok saja rasanya. Aku tidak suka pakai
kumis! Bikin gatal saja!"
Sambil menuju ke Bukit Kemesraan, Pendekar
Mabuk dalam sosok Badra Sanjaya itu masih
menenteng-nenteng bumbung tuak. Ia sempat berpikir
tentang kehebatan ilmu si Jalu Kuping itu.
"Kuakui dia berilmu tinggi. Menakjubkan sekali yang
namanya  ilmu 'Sewaka Sukma'-nya itu. Rasa-rasanya
aku  ingin mempelajari ilmu tersebut. Juga jurus 'Petir
Jinak' yang mengenaiku. Dahsyat juga jurus itu. Tapi...
 kurasa Ki Jalu Kuping tak akan mau menurunkan
ilmunya kepadaku."
Beruntung saja si Ki Jalu Kuping adalah tokoh aliran
putih. Hal itu membuat Suto sedikit lega dan merasa
tidak menyimpang dari jalur langkahnya sebagai
pendekar beraliran putih. Makin lama merenungi sifat
dan perilaku Ki Jalu Kuping, akhirnya Suto kehilangan
rasa dendam dan murkanya kepada tokoh berhidung
bengkok itu. Yang ada hanya rasa jengkel dan gemas.
Tapi bukan merupakan sebuah kebencian yang dalam.
"Kuakui, Ki Jalu Kuping itu cukup berani. Mestinya
ia tahu siapa diriku, sebab aku yakin dia bisa melihat
noda merah di keningku yang merupakan tanda bahwa
diriku adalah Manggala Yudha, panglimanya Ibu Ratu
Kartika Wangi. Apakah dia tidak kenal dengan Ibu Ratu
Kartika Wangi? Berarti dia akan semakin tidak tahu
bahwa aku adalah calon menantunya Ibu Ratu Kartika
Wangi dan akan menikah dengan putrinya yang bernama
Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu itu?!"
Langkah demi langkah berlanjut terus. Renungan
demi renungan menyertai langkah tersebut.
"Tapi benarkah keterangan Ki Jalu Kuping tentang
Ratu Dekap Rindu itu? Benarkah sang Ratu adalah tokoh
beraliran hitam? Mengapa Yundawuni memintaku untuk
datang dan berkenalan dengan Ratu Dekap Rindu,
hingga perempuan itu berani menyewaku mahal untuk
menangkap Badra Sanjaya? Dan... dan benarkah Badra
Sanjaya tidak membawa lari pusaka 'Jarum Surga' yang
 selalu dibutuhkan oleh sang Ratu?! Ah, sayang sekali
aku tidak menanyakan kehebatan pusaka 'Jarum Surga'
itu, sehingga aku tidak akan tahu jika ada orang
menggunakan pusaka tersebut. Aku hanya diberi tahu
bahwa pusaka itu mirip sebuah tombak tapi pendek."
Sampai di kaki Gunung Dara, Pendekar Mabuk
hentikan langkah sebentar, ia menenggak tuaknya, dan
mencoba memandang alam sekeliling untuk mencari
sebuah desa. Ia ingin mengisi bumbung tuaknya di
sebuah kedai yang ada di desa terdekat.
"Apakah Yundawuni juga tidak tahu bahwa Ratu
Dekap Rindu itu adalah tokoh aliran hitam? Atau dia
sebenarnya tahu tapi berlagak tidak tahu?! Oh, kalau
benar begitu berarti dia menjebloskan diriku hingga
terlibat urusan yang bersifat memihak golongan hitam?!"
Suto  ingat pertemuannya dengan Yundawuni
beberapa hari yang lalu. Setelah ia berhasil sembuhkan
Yundawuni dari bencana racun 'Asmara Kubur', ia pun
segera berpisah dengan perempuan cantik yang
menamakan dirinya Dewi Kesepian itu. Pendekar
Mabuk segera membantu si Rupa Setan alias Anjardani
dalam  suatu perkara lain.
Beberapa waktu kemudian, ia berpisah dengan
Anjardani karena si Rupa Setan yang ternyata berwajah
cantik itu harus menemui seorang sahabatnya di sebuah
pulau. Pendekar Mabuk bermaksud memberi kabar
kepada gurunya; si Gila Tuak, bahwa ia telah berhasil
menolong Yundawuni. Tetapi ia segera bertemu dengan
Yundawuni sendiri.
 "Kebetulan kita bertemu di sini, Suto," kata
Yundawuni. "Aku ingin meminta bantuanmu sekai ini
demi seorang sahabat."
"Soal racun juga?"   
"Bukan, tapi tentang pusaka yang dibawa lari oleh
seseorang yang bernama Badra Sanjaya. Untuk lebih
jelasnya, sebaiknya kau ikut aku ke Bukit Kemesraan
dan mendapat keterangan lebih lengkap dari sahabatku
itu."
Sebenarnya Suto ingin menolak, tapi Yundawuni
membujuk terus dengan wajah sedih, dengan alasan
ingin membalas jasa baik temannya itu yang pernah
menolongnya beberapa saat yang lalu. Rasa tak tega
membuat Suto Sinting akhirnya berangkat ke Bukit
Kemesraan bersama Yundawuni.
Di sana ia bertemu dengan pengawal kepercayaan
Ratu Dekap Rindu yang bernama Laras Wulung.
"Sayang sekali Nyai Ratu sedang di kuil pamujan,"
kata Laras Wulung. "Biasanya jika beliau sudah masuk
kuil pamujan, bisa dua-tiga hari baru keluar, dan selama
di sana tak bisa diganggu gugat siapa pun."
"Kurasa cukup kau saja yang menjelaskan segalanya
kepada sahabatku, Suto Sinting ini," usul Yundawuni.
Laras Wulung perempuan berwajah cantik yang
usianya sekitar dua puluh lima tahun. Namun ia sudah
cukup banyak mendapatkan ilmu dari Ratu Dekap Rindu
dan menjadi pengawal tertinggi ilmunya di antara para
pengawal istana itu. Ia bukan saja cantik, tapi juga punya
daya tarik pada tubuhnya yang elok, meliuk sekal
 dengan dada tak terlalu montok namun menonjol keras
bagai menantang adu kemesraan setiap saat.
Matanya yang indah berbulu lentik itu menatap Suto
Sinting sejak tadi. Dari tatapan matanya, Yundawuni
tahu bahwa Laras Wulung terpesona terhadap
ketampanan Suto. Yundawuni kurang setuju jika sampai
Laras Wulung berhasil menjerat hati Pendekar Mabuk,
oleh sebab itu ia segera mendesak Laras Wulung untuk
segera memberi keterangan tentang pusaka "Jarum
Surga' yang dibawa lari oleh Badra Sanjaya itu.
"Padahal pihak kami sudah sebegitu baik kepada
Badra Sanjaya, sudah kami anggap orang kami sendiri,
tapi ternyata Badra Sanjaya tega berbuat selicik itu
kepada kami, terutama kepada Nyai Ratu...," ujar Laras
Wulung yang mengenakan pakaian serba biru kehitam-
hitaman, dan kain penutup bagian bawahnya yang
berbelahan panjang itu berwarna merah tua.
Setelah mendapat keterangan dari Laras Wulung,
Yundawuni mendesak Suto agar segera tinggalkan
istana, karena Yundawuni semakin khawatir melihat
senyum Suto selalu mekar ditujukan kepada Laras
Wulung. Ia tak suka melihat Suto cengar-cengir kepada
perempuan lain di depannya. Lebih baik ia tak melihat
jika Suto memang ingin bersikap begitu kepada
perempuan mana pun.
"Sebenarnya yang menjadi sahabatmu Nyai Ratu
atau...."
"Laras Wulung!" sahut Yundawuni kala itu.
"Ooo...," Suto manggut-manggut.
 "Karena aku tak suka kalau  dia ingin menaklukkan
hatimu. Bisa putus persahabatanku dengannya." -
Pendekar Mabuk hanya bisa tertawa pelan, sementara
Yundawuni yang cantik dan bersuara serak-serak mesum
itu tampak cemberut kesal.
"Kau tadi mendengar sendiri ucapan Laras Wulung,
bukan?"
"Yang mana?"
"Walau tanpa Nyai Ratu, tapi kau sudah resmi disewa
oleh pihak Bukit Kemesraan sebagai pemburu bayaran
terhadap Badra Sanjaya yang diperkirakan lari ke
Gunung Dara."
"Yang jelas, jika sebuah pusaka jatuh di tangan sesat
akan berakibat buruk bagi kita semua!"
Ingatan Suto saat pertemuan dengan Yundawuni itu
terputus, dan langkahnya pun terpaksa berhenti
mendadak. Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget
ketika tiba-tiba dari atas pohon di depannya meluncur
turun sesosok bayangan berwarna kuning.
Wuuuut, jleg...!
"Oh, seorang gadis?!" sentak batin Suto. "Wah,
sepertinya ia bermaksud tak beres padaku. Pandangan
matanya yang bundar indah itu memancarkan sinar
permusuhan. Hmmm... tangannya juga sudah memegang
gagang pedang. Gawat juga gadis ini! Apa maunya tahu-
tahu turun dari atas pohon. Apa mau pamer kalau dia
bisa melompat seperti seekor harimau bergincu?"
Gadis itu tak sunggingkan senyum sedikit pun pada
Suto. Pakaiannya yang serba kuning itu dibiarkan sangat
 kontras dengan warna pedangnya yang sepertinya
terbuat dari perunggu, hingga sarung pedangnya pun
terbuat dari perunggu berwarna kehitam-hitaman. Gadis
berusia sekitar dua puluh dua tahun itu mempunyai
rambut pendek, tapi mengenakan ikat kepala dari tali
merah. Sisanya terjulur turun dan jatuh melewati
pundak, di dada kiri.
Seperti biasanya, Suto sunggingkan senyum ramah
yang memancarkan daya pikat tinggi kepada orang yang
bersikap memusuhinya. Tapi kali ini senyum Suto
agaknya tak begitu dipedulikan oleh gadis hidung bangir
dan berwajah mungil itu.
"Saatnya menebus dosa telah tiba! Bersiaplah!"
geram gadis itu, lalu mencabut pedangnya. Sreet...!
"Eh, hmmm... maaf, mengapa kau memusuhiku,
Nona? Siapa kau sebenarnya?"
"Berlagak picak kau, hah?! Tak perlu berpura-pura di
depanku! Aku tak akan punya waktu untuk luluh dalam
rayuanmu lagi, Keparat! Hiaaat...!"
Weeess...! Pedang itu menebas cepat, hampir saja
membelah pundak kanan Suto Sinting jika ia tidak
segera berkelit ke kiri dengan gerakan limbung, seperti
orang mabuk mau jatuh. Kemudian Suto memutar tubuh
hindari serangan yang datang dari tendangan kaki gadis
itu. Wuuuk...!
Weess...! Suto melompat agak jauh dengan gerakan
jungkir balik di udara, kemudian berdiri tegak di bawah
sebuah pohon yang berjarak lima langkah dari gadis
berbibir seperti kuncup mawar itu.
 "Kumohon jelaskan dulu apa persoalannya hingga
kau menyerangku, Nona Cantik!"
"Tak ada waktu lagi bagi seorang pengkhianat
sepertimu, Setan! Hiaaaat...!"
Gadis  itu memutar tubuhnya. Wees...! Ternyata ia
melemparkan senjata rahasia berupa logam putih
berkilauan yang berbentuk bintang segi empat. Zliing...!
Juuurb...!
Kalau saja Pendekar Mabuk tidak bergerak cepat ke
kanan, maka senjata itu pasti akan kenai tengah dahinya.
Untung ia berkelit ke kanan dan senjata itu akhirnya
menancap pada batang pohon di belakangnya.
Tapi gadis itu segera menyerang Suto lagi dengan
pedangnya yang dihujamkan satu kali ke arah dada Suto.
Hujaman pedang itu dilakukan sambil lakukan lompatan
cepat. Wuuus...! Dan murid si Gila Tuak itu segera
menangkisnya dengan bumbung tuak. Traaang...! Bunyi
benturan pedang dengan bumbung seperti bunyi
benturan pedang dengan baja.
Tangan Suto segera menghadang pukulan telapak
tangan si gadis dengan mengadu telapak tangannya juga.
Plaaak, blaaar...!
Gila! Si gadis terpental enam langkah ke belakang
dan jatuh terbanting akibat ledakan yang timbul dari adu
telapak tangan tadi. Rupanya si gadis punya tenaga
dalam cukup besar dan disalurkan melalui telapak
tangannya. Sementara Suto Sinting secara refleks
keluarkan tenaga dalamnya juga ketika telapak
tangannya harus menahan pukulan lawan.
 Gadis itu terengah-engah, wajahnya menjadi pucat
dan ia memegangi dadanya yang terasa sakit akibat
gelombang ledakan tadi. Rupanya gelombang ledakan
itu menghantam dadanya dan membuat pernapasannya
sesak, seluruh permukaan dadanya bagai terbakar api.
"Kasihan dia...," gumam Pendekar Mabuk. "Disuruh
menjelaskan persoalannya malah menyerang, akibatnya
ya begitu itu!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Hentikan tindakanmu yang gegabah ini, Nona. Aku
merasa tidak punya persoalan denganmu, kuharap kita
jangan saling bermusuhan!"
Gadis itu bangkit dengan wajah berangnya.
"Meninggalkan diriku dalam keadaan telah kau nodai,
kau anggap bukan persoalan?!"
"Lho...?!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget
mendengar tuduhan itu. "Ketemu saja baru kali ini kok
langsung menuduh telah menodainya?! Jangan-jangan
gadis ini gila turunan?!"
"Kau memang jahanam busuk, Badra!" geram si
gadis.
Akhirnya Suto Sinting terbengong dengan hati
memendam rasa dongkol-dongkol geli. "Ooo... rupanya
dia melihat sosokku adalah sosok Badra Sanjaya, maka
dia menganggap diriku adalah si Badra Sanjaya! Pantas
dia menyerangku dengan ganas. Wah, tapi bagaimana
harus menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah Suto
Sinting, bukan Badra Sanjaya. Pasti dia tak akan percaya
kalau aku bukan Badra Sanjaya."
Terdengar suara gadis itu berkata, "Kau telah
 menyakiti hatiku, Badra! Tidakkah kau tahu, bahwa Sriti
Kuning tak akan berhenti mengejar orang yang telah
menyakiti  hatinya sebelum orang itu masuk ke liang
kubur?!" seraya ia menuding dirinya sendiri. Suto jadi
tahu bahwa gadis itu bernama Sriti Kuning.
Suto masih bingung menjelaskan siapa dirinya,
sehingga ia tak tahu harus bersikap bagaimana kepada
Sriti Kuning. Membantah telah menodai Sriti Kuning
hanya akan memperuncing permusuhan dan
memperbesar kebencian si gadis.
"Kau ke manakan pedangmu, Badra?! Ambillah dan
kita bertarung untuk tentukan siapa yang mati di antara
kita berdua!"
"Hmmm... hmmm... kuharap tak ada yang mati di
antara kita berdua," ujar Suto dengan kikuk.
"Harus ada!" tegas Sriti Kuning. "Aku lebih baik mati
daripada melihatmu bermesraan dengan perempuan
jahanam itu!"
"Siapa yang kau maksud dengan perempuan
jahanam?"
"Siapa lagi kalau bukan si Sunting Sari keparat itu!"
Pendekar Mabuk terperanjat lagi walau hanya
sekejap. Nama Sunting Sari bukan nama asing baginya,
ia mengenal Sunting Sari sebagai orang Partai Janda
Liar, yang sekarang menjadi ketua partai tersebut, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Asmara Janda
Liar").
"Oh, rupanya Badra Sanjaya punya hubungan asmara
dengan Sunting Sari?! Hmmm... kalau begitu, daripada
 aku mengaku bukan Badra Sanjaya nanti akan jadi
bertambah memperuncing persoalan, lebih baik kuatasi
saja amarah gadis ini!" pikir Suto Sinting.
Gadis itu maju beberapa langkah dengan pedang siap
digunakan untuk membunuh Suto Sinting. Tetapi sang
Pendekar Mabuk bersikap kalem dan tak menunjukkan
niat melawan kemarahan Sriti Kuning itu.
"Seenaknya saja kau pergi dariku setelah kau hisap
habis maduku, lalu kau ingin berpindah ke pelukan
Sunting Sari?! Hmmm...! Jadikan dulu aku sebagai
bangkai baru kau boleh bercinta sepuas hatimu dengan
Sunting Sari!"
"Sriti Kuning!" sapa Suto dengan nada lembut. "Kau
terlalu cemburu dan cemburuanmu itu termasuk
cemburu buta. Sebenarnya aku tak ada hubungan apa-
apa dengan Sunting Sari!"
"Dusta!" bentak Sriti Kuning membuat Suto yang
kalem dan tenang itu jadi terlonjak kaget, lalu segera
buang muka untuk sembunyikan tawa geli atas
kekagetannya tadi.
"Kulihat dengan mataku sendiri, kau berciuman
dengannya di tepi sungai, di balik batu yang kau anggap
dapat untuk sembunyikan kebusukanmu itu, Badra!"
Suto sengaja perlebar senyum dan tertawa pelan, ia
maju dua langkah, akhirnya saling berhadapan dalam 
jarak satu langkah.  
"Sriti Kuning, kau tak tahu siasatku rupanya.
Bukankah kau pun tahu bahwa Sunting Sari itu orang
Partai Janda Liar? Sedangkan aku punya urusan dengan
 ketua partai itu yang bernama Selimut Senja alias si
Janda Liar itu sendiri. Urusanku adalah urusan pusaka,
dan aku menyiasati Sunting Sari agar mau mencuri
pusaka panah emas itu. Tetapi...."
"Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Selimut
Senja telah tewas di tangan Pendekar Mabuk, hah?!"
potong Sriti Kuning dalam  bentakan yang lantang.
"Justru  itulah,  maka aku menyesal sekali telah
berpura-pura jatuh cinta pada Sunting Sari. Setelah dia
kuajak bicara tentang pusakanya Selimut Senja, dia
mengatakan bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan
Pendekar Mabuk, dan pusaka panah emas itu telah
dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, yaitu
Begawan Parang Giri!"
Tentu saja Suto Sinting dapat menjelaskan tentang
hal  itu, karena memang ia pernah terlibat persoalan
panah emas itu dan dibantu oleh Sunting Sari, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode :  "Bencana
Selaput Iblis"). Akibat penjelasan tentang pusaka yang
pernah didengar oleh Sriti Kuning itu, maka gadis
tersebut akhirnya diam tertegun dengan wajah masih
cemberut dan mata memandang tajam, tapi Suto tahu
gadis itu dalam kebimbangan bersikap.
"Maka setelah kutahu Selimut Senja sudah tewas,
untuk apa aku masih mendekati Sunting Sari?  Sudah
sepantasnya kalau sampai saat aku berdiri di depanmu
ini, Sunting Sari sudah kulupakan. Tak ada seujung
rambut pun wajah Sunting Sari yang tertinggal dalam
benakku, Sriti Kuning."
 Gadis itu masih diam membisu dengan mata
pancarkan keraguan.
"Tapi jika kau anggap hal itu menyakiti hatimu, aku
minta maaf padamu, Sriti Kuning. Jika kau belum puas,
silakan penggal kepalaku sebagai  hukumannya dan
sebagai tanda bahwa aku tidak mencintai terhadap
Sunting Sari!"
Pendekar Mabuk segera berlutut di depan Sriti
Kuning, mengulurkan lehernya seakan siap dipenggal.
Tapi kedua tangannya memegangi bumbung tuak, buat
persiapan kalau-kalau Sriti Kuning benar-benar mau
memenggalnya, ia sudah siap lakukan tangkisan dengan
bambu tempat tuak itu.
"Penggallah aku kalau kau masih menyangka aku
meninggalkan dirimu, Sriti Kuning!"
Sang gadis masih diam, sekarang wajahnya bukan
saja cemberut tapi mempunyai  rona duka yang timbul
dari keharuan hatinya. Matanya pandangi Suto yang
dianggap Badra Sanjaya itu.
"Mengapa kau tidak katakan hal itu sebelumnya
padaku?!"
"Aku tak berani mengatakannya, karena aku takut
menyakiti hatimu! Sementara itu, aku sendiri terdesak
tugas dari guruku untuk mengambil panah emas itu,"
kata Suto dengan penuh waspada.
"Sriti, lakukan keinginanmu membunuhku.  Penggal
kepalaku biar kau puas dan percaya betul bahwa aku
masih mencintaimu."
"Seetaaan...!" teriaknya. Suto sudah hampir angkat
 bumbung tuaknya untuk menangkis pedang Sriti
Kuning. Tapi ternyata teriakan Sriti Kuning itu adalah
teriakan membuang penyesalan dalam hatinya, ia berlari
ke pohon samping dan menangis di sana dengan
genggaman pedang melemah.
"Uuhf...! Untung tak benar-benar dipenggal," gumam
Suto dalam hati. Lalu, ia segera hampiri gadis itu.
"Sriti, pandanglah aku! Pandanglah kobaran api
cintaku lewat kedua bola mataku ini. Kau akan
melihatnya dengan lebih jelas lagi, Sriti...."
"Badra...!" Sriti Kuning hamburkan tangis sambil
memeluk Badra Sanjaya palsu itu.
"Maafkan aku, Badra...! Aku tidak mungkin tega
membunuhmu, karena aku tak ingin kehilangan dirimu,
Badra!"
"Aku pun tak ingin kehilangan dirimu, Sriti! Kau
adalah mahkotaku, harapan damai di masa depanku, Sriti
Kuning."
"Oooh... Badra...," pelukan itu semakin erat. Rupanya
gadis  itu benar-benar merindukan Badra Sanjaya,
sehingga sambil masih menitikkan air mata, ia menciumi
Suto yang dianggap Badra Sanjaya itu.
"Lumayan dapat rezeki tiban...," gumam Suto dalam 
hati kegirangan, ia bahkan membalas ciuman Sriti
Kuning dengan sebuah kecupan lembut di bibir gadis itu.
Cuuup...!
Tapi rupanya gadis itu membalas kecupan itu dengan
lumatan bibir yang mendebar-debarkan hati Suto
Sinting. Untuk menjaga jangan sampai membakar
 gairah, Suto bermaksud melepaskan kecupan bibir itu.
Tapi Sriti Kuning makin mempererat pelukan dan
melumat bibir itu dengan lebih ganas lagi. Gadis itu
seperti singa kehausan di padang pasir yang segera
menemukan telaga berair bening.
"Ooh, Badra...," keluhnya di sela napas yang
memburu, ia menciumi leher Suto Sinting dengan
pedang dilepaskan begitu saja dan tangannya merayap ke
mana-mana. Tangan itu mengusap dan meremas apa pun
yang dapat diremas. Dan hal itu telah membuat gairah
Suto terbakar berkobar-kobar.
"Wah, gawat kalau begini...," gumam Suto dalam
hati.
"Badra, aku rindu... aku rindu cumbuanmu, Badra.
Oooh... ambillah, ambillah ini, Badra...."
Sriti Kuning tak malu-malu lagi melebarkan belahan
bajunya. Breeet...! Terlepaslah baju itu, ternyata tak ada
pelapis lain di balik baju tersebut. Maka dua bukit yang
sekal menantang itu tampak jelas di mata Suto.
"Badra, lekas ambillah... sudah lama aku tak
merasakan pagutan bibirmu, Badra...."
Pendekar Mabuk hanya berkata dalam hatinya,
"Yaaaah... daripada kena angin sia-sia, santap sajalah
apa adanya...."
"Aaaauh...!" Sriti Kuning memekik ketika Suto
menyambar salah satu gumpalan dada itu dengan
lahapnya. Ia seperti bayi yang kehausan, dan Sriti
Kuning agaknya sangat menyukai tindakan itu.
"Ooh, Badra... kau lebih hebat dari biasanya. Kau
 lebih pandai membuatku melayang-layang, oouuh... aku
tak tahan, Badra...," rengek Sriti Kuning. Kemudian ia
menarik ikat pinggang Suto. Terlepaslah baju hijau itu,
terlepas pula segalanya. Suto meremas lembut rambut
kepala Sriti  Kuning, dan remasan itu membuat Sriti
Kuning merasakan gairahnya semakin dicambuk oleh
keindahan.
"Badra... lakukan sekarang, lakukanlah sekarang,
Badra...!"
Sriti Kuning telah siap. Cawan anggur kehangatan
menunggu tamu datang meneguknya tuntas. Tapi sang
tamu ragu-ragu untuk meraih cawan anggur itu.
"Haruskah kulakukan?!" pikir Suto Sinting.
"Haruskah kuberikan apa yang diharapkan Sriti Kuning
ini? Aku adalah Suto, tapi ragaku adalah Badra Sanjaya.
Jika kuberikan kehangatanku kepadanya, apakah berarti
aku menodai cinta suciku kepada Dyah Sariningrum?
Jika sampai kuberikan, siapa yang berbuat sebenarnya?
Suto atau Badra Sanjaya?!"
"Badra, kita tak punya banyak waktu. Aku harus
segera kembali ke padepokan, karena Guru ingin
bertemu denganku!"
"Ak... aku juga harus segera menemui seseorang,
karena amengutusku menyelesaikan masalah
secepatnya."
"Oh, Badra... jangan berdiri saja di situ. Peluklah aku,
Badra...."
Suto segera merendah, tapi berdiri lagi dengan
gelisah.
 "Ayolah, Badra... jangan siksa rinduku ini! Lekaslah,
Sayang...," rengek Sriti Kuning tampak tak sabar sekali.
Suto benar-benar bingung tentukan langkah; maju
atau mundur? Atau... maju-mundur-maju-mundur?!

*
* *

5
 SEBELUM menyeberangi sungai yang merupakan
perbatasan wilayah Bukit Kemesraan, langkah Pendekar
Mabuk terhenti karena ulahnya sendiri. Suara ledakan di
sebelah utara membuatnya hentikan langkah. Hati pun
berdebar sekejap sambil berucap, "Ada pertarungan...!"
Pendekar Mabuk paling hobi ngintip pertarungan.
Terlepas apakah nantinya ia terlibat atau tidak, tapi
sebuah pertarungan merupakan ladang pendidikan ilmu
tambahan baginya. Dengan memperhatikan jurus-jurus
yang dipakai oleh pihak yang bertarung, Pendekar
Mabuk akan dapat mengantisipasi seandainya ia bertemu
dengan lawan yang menggunakan jurus seperti yang
dilihatnya itu.
Dari ketinggian sebatang pohon beringin liar,
Pendekar Mabuk mengintai pertarungan yang terjadi di
sebidang tanah datar itu. Pepohonan yang tumbuh di
tempat tersebut berjarak renggang, sehingga memberi
peluang lebih  bebas lagi bagi pihak yang terlibat
 pertarungan.
"Oh, rupanya si wajah dingin itu yang lakukan
pertarungan?!" ujar Suto membatin sambil pandangi
lelaki berwajah dingin yang mengenakan jubah merah.
Suto kenal betul dengan lelaki berusia sekitar enam
puluh  lima tahun yang berambut putih panjang meriap
tanpa ikat kepala itu. Sudah beberapa kali Suto temukan
lelaki berbadan agak gemuk itu dalam sebuah
pertarungan. Suto selalu ikut campur karena demi
selamatkan lawan si lelaki bersenjata cambuk merah itu
karena  tak rela melihat lelaki kejam itu hancurkan
lawannya.
Lelaki itu adalah  Pangkar Soma, murid mendiang
Tengkuk Cadas yang punya jurus berbahaya bernama
jurus 'Hujan Petaka' itu. Pendekar Mabuk pernah melihat
beberapa korban jurus 'Hujan Petaka' yang rata-rata mati
dalam keadaan menjadi bubur busuk. Hujan darah yang
dapat didatangkan oleh kekuatan Pangkar Soma itu
mengandung racun yang membusukkan tulang dalam
waktu singkat. Jika seseorang tersiram hujan merah
kiriman Pangkar. Soma, maka tulang dalam raga orang
tersebut akan cepat menjadi busuk, lalu mati dalam
keadaan menjijikkan, kecuali jika orang itu
menggunakan  ilmu lilin yang antiair, seperti jurus
'Balsam Tengkorak' yang dimiliki oleh si Kapas Mayat
dan pernah digunakan pada saat bertarung melawan
Pangkar Soma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Orang ini memang berbahaya sekali!" pikir Suto.
 "Demi memperoleh apa yang diinginkan ia tak  akan
pernah peduli dengan orang lain yang menjadi  korban
tak bersalah dari jurus-jurus mautnya itu!  Dan lagi,
ooooh...?!"  
Suto Sinting terkejut, seperti baru menyadari ada
sesuatu yang lebih penting mendapat perhatian darinya
tapi hampir saja dilalaikan. Pandangan mata Suto pun
tertuju ke arah lawan si Pangkar Soma yang tadi
terpuruk di bawah  pohon karena terpental  oleh
gelombang ledakan adu kekuatan tenaga dalam.
Ternyata lawan si Pangkar Soma adalah seorang
gadis cantik berambut pendek bagian depan, tapi bagian
belakangnya panjang sepunggung. Gadis itu berjubah
biru tanpa lengan, pakaian dalamnya biru muda tipis
tembus pandang, sehingga dadanya yang montok sekal
itu tampak membayang di mata setiap lelaki yang
berhadapan dengannya.
"Tenda Biru...?!" gumam Suto Sinting menyebut
nama gadis yang pernah diselamatkan dari jurus 'Sabda
Sirna'-nya mendiang Nyai Ronggeng Iblis itu. Tenda
Biru itulah yang dulu disebut juga sebagai Gadis Tanpa
Raga. Jika tanpa bantuan Suto, mungkin ia tetap tanpa
raga dan tak bisa memamerkan keindahan tubuhnya
yang sexy sekali itu.
"Kematian Nyai Ronggeng Iblis harus kau tebus
dengan nyawamu, Tenda Biru! Gara-gara ulahmu itulah,
Nyai Ronggeng Iblis akhirnya tewas dan ilmu yang
kumiliki tak bisa menyatu dengan ilmunya, sehingga aku
batal menjadi orang terkuat di rimba persilatan ini!
 Sebelum tubuhmu hancur lebur, tak puas aku hidup di
dunia ini!" seru Pangkar Soma.
"Rupanya si Pangkar Soma mendendam kepada
Tenda Biru karena gadis itu dianggap sebagai biang
kematian Nyai Ronggeng Iblis!" pikir Suto Sinting yang
telah mengetahui perihal penyatuan ilmu Pangkar Soma
dengan ilmunya Nyai Ronggeng Iblis, yang dapat
menjadikan satu kekuatan maha sakti dan sukar
dikalahkan itu.
"Sekarang terimalah kematianmu yang akan penuh
siksaan ini, Tenda Biru!" seru Pangkar Soma sambil
mencabut cambuk pusakanya dari pinggang.
"Gawat! Dia pasti akan pergunakan jurus 'Cambuk
Iblis'-nya yang berbahaya itu?!" gumam Suto Sinting
dengan tegang.
Maka sebelum cambuk itu dilecutkan, Suto Sinting
segera berkelebat menerjang Pangkar Soma dari
samping kanan. Jurus 'Gerak Siluman'  digunakan,
sehingga kecepatan gerak yang menyamai kecepatan
cahaya itu tidak bisa dihindari oleh Pangkar Soma.
Zlaaaap...!
Bruuuusss...!
"Aaauh...! Bangsaaat...!" teriak Pangkar Soma sambil
terpental tunggang langgang hingga membentur
sebatang pohon dengan kerasnya.
Duuurr...! Pohon itu bergetar hebat, daun-daunnya
berguguran dan menimbuni tubuh Pangkar Soma yang
terpuruk di bawah pohon itu.
Tenda Biru kaget dan kerutkan dahi sambil menahan
 rasa sakit di dalam  dadanya, ia pandangi pemuda yang
datang membantunya dalam keadaan kekuatannya
banyak berkurang akibat adu tenaga dalam tadi.  
Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan keadaan
Tenda Biru yang merasa terheran-heran. Ia lebih
memperhatikan cambuk si Pangkar Soma yang gagal
disambarnya tadi. Cambuk itu masih ada dalam
genggaman Pangkar Soma, dan kini Pangkar Soma telah
bangkit kembali dengan menggeram penuh nafsu untuk
membunuh.
"Jahanam kau...!" Pangkar Soma menuding Suto.
"Rupanya kau sudah berani ikut campur urusanku, Badra
Sanjaya!"
"Aku bukan Badra Sanjaya!" seru Suto Sinting. Tapi
sebelum  ia lanjutkan ucapannya, Pangkar Soma telah
lepaskan murkanya sambil berseru keras-keras.
"Kau pikir aku telah buta! Panggil gurumu: si Jalu
Kuping! Kuhancurkan sekalian dia seperti dirimu saat
ini! Heeeaaah...!"
Ctaarrr...! Cambuk merah itu dilecutkan ke arah
kepala Suto Sinting yang memakai raganya Badra
Sanjaya  itu. Lecutan cambuk mengeluarkan sinar-sinar
merah seperti jarum yang menerjang kepala Suto.
Zuurrp... !
Pendekar Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya
memutar kepala. Wuuut...! Satu kibasan membuat
bumbung tuak itu menghantam sinar-sinar merah seperti
jarum. Craaaps...! Blegaaar...!
Pendekar Mabuk terlempar ke atas cukup tinggi
 akibat gelombang ledakan itu. Ia jatuh terbanting dengan
sangat menyedihkan. Hidungnya langsung berdarah dan
kaki kirinya terkilir. Sedangkan si Pangkar Soma masih
tegar di tempatnya, ia hanya tersentak mundur satu
langkah pada saat terjadi ledakan dahsyat tadi. Kini ia
melepas lecutan cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Modar kau, Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Ctaarrr...!
"Uuuukh...!" Suto Sinting mengejang dengan wajah
menyeringai kesakitan. Cambuk itu memercikkan
cahaya merah lebar dan menghantam pinggangnya. Luka
koyak bagai terkena sabetan samurai tampak memerah
panjang di pinggang Pendekar Mabuk.
"Oouh...! Gila! Luka ini panas sekali. Tubuhku terasa
sedang terpotong pelan-pelan dan, oh... benar! Luka ini
makin memanjang!" keluh Suto dalam hati.
Melihat keadaan si penolongnya dalam bahaya,
Tenda Biru segera memaksakan diri dengan
mengerahkan tenaga yang tersisa. Satu lompatan cepat
dilakukan oleh Tenda Biru sambil  mengarahkan
pedangnya ke punggung Pangkar Soma yang ingin
melecutkan cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Hiaaaat...!" Tenda Biru serukan teriakan panjang
sebagai pelampiasan kemarahannya. Namun justru
teriakan panjang itu telah membuat Pangkar Soma
berbalik arah dan mengetahui bahaya sedang
mengancamnya.
"Perempuan jalang kau! Heaahhh...l"
Cambuk itu dilecutkan dalam gerakan seperti seekor
 ular. Slap, slap, slap, taaar...!
"Aaaakh...!" Tenda Biru terlempar  bagai kapas
diterjang angin. Jurus cambuk yang digunakan Pangkar
Soma kali ini dapat sebarkan kekuatan badai dalam
sekilas. Kekuatan badai itulah yang melemparkan Tenda
Biru dalam keadaan lebih parah lagi.
"Haaaahh...?!" Tenda Biru terbelalak lebar-lebar
setelah  menyadari keadaannya jauh terduduk tanpa
selembar benang pun. Wajah pucat itu menjadi merah
menahan rasa sakit dan malu. Ia bergegas bangkit dan
larikan diri ke balik pohonan sambil mendekap tubuhnya
yang kehilangan seluruh penutupnya, ia mendekap
dirinya, menggapit satu tangannya dan memeluk
dadanya sendiri dengan jantung berdetak-detak
menyakitkan.
"Lihatlah kejalanganmu, Perempuan Mesum!" teriak
Pangkar Soma.
Ia tak tahu bahwa saat itu Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya, sehingga luka mengerikan itu mulai
merapat dengan sendirinya, darah menguap bagai
terserap udara dan menjadi kering tanpa bekas. Pada saat
Pangkar Soma balikkan badan untuk lakukan serangan
lagi terhadap lawannya, ternyata Pendekar Mabuk sudah
berdiri tegak dengan sisa luka yang sedang mengering
dan merapat. Pangkar Soma terperanjat melihat luka
lawannya seajaib itu.
Dalam keadaan sedang terperanjat itulah, Pendekar
Mabuk segera lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
tubuhnya menggeloyor seperti orang mabuk yang mau
 tumbang, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya
ke perut Pangkar Soma. Wuuut...!
"Heaaah...!" Blaaar...!"
Sodokan yang ditahan dengan telapak tangan Pangkar
Soma itu mengakibatkan dentuman cukup keras, karena
telapak tangan Pangkar Soma memberi perlawanan
dengan keluarkan inti tenaga dalamnya. Sedangkan
sodokan bumbung tuak itu juga mempunyai kekuatan
tenaga sakti yang sebenarnya dapat membuat
merontokkan seluruh urat lawannya.
Tetapi karena beradu dengan inti tenaga dalam
Pangkar Soma, maka bumbung tuak itu hanya bisa
lepaskan ledakan kuat yang menerbangkan Pangkar
Soma. Wuuuusss...! Bruuukk...!
"Haaaakhh...!" Pangkar Soma mengerang keras
ketika jatuh dalam    jarak dua belas langkah dari
tempatnya semula. Sekujur tubuhnya terasa bagai
disayat-sayat dengan pedang yang habis terpanggang
api. Dari lengan sampai leher dan mulutnya tampak
membiru memar. Tentu saja luka itu sangat menyiksa
Pangkar Soma.
"Keparat bangkai...!" geramnya penuh luapan emosi.
Ketika ia ingin bangkit, tubuhnya terasa lemas sehingga
terhuyung-huyung ke samping.
"Oh, celaka kalau begini. Jantungku semakin
melemah!" keluh Pangkar Soma dalam hati. "Kalau
diteruskan, pasti berakibat buruk pada diriku sendiri.
Sebaiknya kuatasi dulu luka-luka  keparat  ini!" 
Ctaaaaar...!
 Pangkar Soma melepaskan sabetan cambuknya pada
saat Pendekar Mabuk ingin maju menyerang kembali.
Lecutan itu menyebarkan asap putih kehitam-hitaman.
"Asap beracun!" sentak hati Pendekar Mabuk, maka
ia cepat hindari asap itu dengan menutup hidungnya
memakai tangan kiri. Sambil lakukan lompatan
menghindar, bumbung tuaknya diputar di atas kepala.
Wuuk, wuuuk...! Asap beracun itu pun menyebar dan
hilang tertiup angin.
"Sial! Ke mana si jahanam tadi?!" gerutu Suto Sinting
dalam    hati begitu melihat Pangkar Soma pun lenyap
bersama hilangnya asap beracun. Rupanya pada saat
Suto sibuk hindari asap beracun. Pangkar Soma cepat-
cepat larikan diri dengan bebas tanpa kejaran. Jika tidak
begitu, ia akan dikejar oleh lawannya, setidaknya akan
dihantam dengan pukulan jarak jauh yang dapat
membuatnya semakin lebih parah lagi.
Suto Sinting hanya bisa menghempaskan napas dalam 
satu sentakan, ia membuang kejengkelannya karena
gagal lumpuhkan si Pangkar Soma. Tuak pun
ditenggaknya  lagi  walau tak  sebanyak tadi. Badannya
semakin terasa segar.
"Oh, ya... ke mana tadi si Tenda Biru?!" pikirnya
dengan sedikit terkejut karena baru ingat Tenda Biru.
Pendekar Mabuk mendengar suara orang terbatuk-
batuk kecil di balik pohon, ia segera melesat ke arah
pohon tersebut. Zlaaap...!
"Ooh...?!" pekik Tenda Biru makin merapatkan diri
dengan pohon, karena dalam keadaan polos  tanpa
 selembar benang pun. Suto Sinting baru ingat hal  itu,
tapi ia sudah telanjur ada di depan Tenda Biru yang
cepat memunggunginya.
"Wow...  keren!" ucap Suto dalam hati dengan mata
sulit dikedipkan.
"Jangan pandangi aku, Setan!" bentak Tenda Biru
karena menyangka orang yang ada di dekatnya adalah
Badra Sanjaya.
"Pergi sana! Pergiii...!"
Pendekar Mabuk tersenyum-senyum sambil
memalingkan wajah.
"Pergi ke mana, ya?" gumamnya berlagak bingung
agar tampak beralasan jika masih ada di tempat.
"Pergi kau, Ibliiiis...!" seru Tenda Biru, lalu la
terbatuk-batuk dan keluarkan dahak darah. Pendekar
Mabuk cemas, lalu segera dekati gadis itu dan sodorkan
bumbung tuaknya.
"Lekas minum tuakku, biar lukamu tak menjalar ke
mana-mana!"
"Tidak! Tidaaak...! Pergi sanaaa...!"
Pendekar Mabuk keki, kepala Tenda Biru dijuleknya.
Wuuuut...!
"Orang mau ditolong kok malah bentak-bentak!"
omelnya sambil bersungut-sungut, ia  menjauh dua
langkah, lalu kembali lagi.
"Ini... minum dulu tuakku, Tenda Biru!"
"Ak... aku... aku dalam    keadaan seperti ini!
Pejamkan matamu!"  
"Iya, iya... ini sudah terpejam gitu kok!"
 "Yang kiri masih mengintip!"
"Lha, memang mataku yang kiri kalau terpejam agak
terbuka sedikit. Maklum, kelopak mataku yang kiri ini
pendek sebelah, jadi kalau  dipejamkan tidak bisa rapat
seperti yang kanan!"
"Dasar jalang!" sentak Tenda Biru. Kemudian ia
menyambar bumbung tuak itu, tapi kakinya menendang
dengan cepat. Buuukh...!
Wees, brruuk...!
"Kampret kau! Uuuukh...!" Pendekar Mabuk
menyeringai setelah terpental oleh tendangan itu sejauh
lima langkah dan jatuh terpuruk begitu saja hingga
sikunya terasa sakit akibat membentur akar pohon.
Sementara itu, Tenda Biru cepat-cepat tenggak tuak
tersebut, lalu meletakkannya di tanah dalam keadaan
disandarkan pohon, ia bergerak melingkari pohon dan
bersembunyi di balik pohon sebelahnya.
"Oh, dadaku yang panas dan sakit tadi mulai terasa
lapang dan napasku menjadi longgar?!" pikir Tenda Biru
sambil matanya memandangi sekeliling mencari di mana
pakaiannya berada.
"Kau benar-benar gadis edan, Tenda Biru! Sudah
ditolong malah menyerang!" omel Pendekar Mabuk
sambil hampiri bumbung tuaknya.
"Kenapa si keparat itu membelaku?!" gumam Tenda
Biru membatin. "Kenapa ia mempunyai tuak yang bisa
sembuhkan lukaku seperti tuaknya Suto? Oh, benar...!
Tuak itu seperti tuaknya Suto, dan bumbungnya juga
sama! Tapi mengapa bisa ada di tangan si keparat Badra
 Sanjaya itu?!"
Rupanya gadis itu pernah bentrok dengan Badra
Sanjaya beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat ketika
diserang oleh musuh lamanya, dan musuh lamanya itu
dibela oleh Badra Sanjaya.
Bruuuk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh
menyelubungi kepala Tenda Biru. Gadis itu berang dan
menghempaskan sesuatu yang menyelubungi kepalanya.
Ternyata baju hijau si Badra Sanjaya. Ia menjadi ragu
untuk membuang baju itu.
"Pakailah baju itu. Lumayan bisa untuk penangkal
masuk angin!" ujar Suto Sinting yang berada di balik
pohon tempat persembunyian Tenda Biru itu.
Tenda Biru buru-buru mengenakan setelah hatinya
membatin, "Ini baju si keparat itu! Ah, tapi persetan dulu
dengan siapa pemilik baju ini. Yang penting aku tidak
terlalu polos begini!"
Lalu, terdengar suara Suto Sinting berkata, "Sudah
apa belum?!"
"Celananya mana?!"
"Ah, gila kau! Sudah kuberi baju masih untung kau!
Masih mau minta celana segala?! Kau pikir aku ini
seekor sapi yang tidak perlu celana?!"
"Kalau begitu, jangan dekati aku! Bisa kubunuh kau
kalau mendekatiku!"
"Pakai apa kau mau membunuhku, lihatlah ke pohon
tadi... pedangmu tertinggal di sana!"
"Ambilkan!" sentak Tenda Biru. 
"Ambillah sendiri! Untuk apa kuambilkan pedang itu
 kalau nantinya akan kau pakai untuk membunuhku,"
gerutu Suto Sinting terdengar jelas di telinga Tenda
Biru.
Weees...! Tenda Biru berkelebat menyambar
pedangnya dalam gerakan cepat. Suto Sinting hanya
tersenyum sambil  sesekali tundukkan kepala
memperhatikan perutnya yang mempunyai pusar, ia
merasa geli melihat pusarnya, karena selama ini ia tak
pernah mempunyai pusar seujung jarum pun, sebab dia
memang pemuda tanpa pusar, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam  episode : "Bocah Tanpa Pusar").
Seeet...! Tiba-tiba Tenda Biru mengarahkan ujung
pedangnya ke leher Suto Sinting yang tanpa baju itu.
Suto terperanjat sebentar, lalu sunggingkan senyum.
Tentu saja senyumannya tidak begitu menarik perhatian
Tenda Biru, karena senyuman itu bukan senyuman
Pendekar Mabuk yang dikaguminya.
"Apa maksudmu mengancamku dengan pedang?!"
"Serahkan bumbung tuak itu padaku! Cepat...!"
Pedang didorong sedikit, kepala Suto tersentak ke
belakang hingga rapat dengan pohon, karena ia tak ingin
lehernya terluka oleh pedang Tenda Biru.
"Apa maksudmu, Tenda Biru!"
"Kau tak perlu berlagak suci! Kau tak perlu
memihakku, karena ketika aku bertarung dengan Sriti
Kuning, kau memihaknya dan nyaris membuatku
binasa!"
Suto membatin, "O, Iya... yang dia tahu pasti aku si
Badra Sanjaya. Pantas kalau  sikapnya sekasar ini
 padaku. Aku harus bisa menjelaskan kepadanya tentang
hal ini."
Tetapi sebelum Suto menjelaskan, Tenda Biru sudah
membentak lagi dengan kasar.
"Cepat serahkan bumbung tuak itu! Aku tahu kau
mencuri bumbung tuak itu dari tangan Pendekar
Mabuk!"
"Tenda Biru...."
"Jangan berlagak kalem di depanku, Keparat!
Serahkan bumbung tuak itu atau kutembus lehermu
dengan pedang ini!" Tenda Biru semakin garang.
"Aku bukan Badra Sanjaya, Tenda Biru. Aku adalah
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu!"
"Kau pikir aku anak kecil?! Kau sangka mataku
buta?!" sambil Tenda Biru lebarkan mata, seakan ingin
tunjukkan bahwa matanya tidak buta.
"Suto Sinting tidak seburuk wajahmu! Pendekar
Mabuk tidak berkumis dan sayang kepadaku. Dia tidak
akan membela Sriti Kuning, bahkan tak akan tega
melepaskan pukulan berbahaya kepadaku!"
"Aku memang sayang padamu, Tenda Biru!"
"Diam kau!" bentaknya makin kasar. "Tak perlu kau
menabur rayuan padaku, karena aku tahu siapa kau
sebenarnya! Kau bukan Pendekar Mabuk dan...."
"Aku...."
"Tutup mulutmu!"
"Iyya... iya, aku akan tutup mulut, tapi kau tutup juga
mulutmu yang itu...," sambil mata Suto melirik ke paha
Tenda Biru yang tidak ikut tertutup kain baju. Maka
 seketika itu Tenda Biru merapatkan kedua kakinya dan
menjadi salah tingkah sendiri.
"Kurobek mata jalangmu kalau  masih melirik
kemari!"
"Habis mau melirik ke mana, orang adanya cuma
itu...," kata Suto sambil  menahan rasa geli. Ia ingin
tertawa lepas, tapi takut membuat gadis itu makin panik
dan pedangnya benar-benar merobek mata.
"Kelilipan debu masih bisa ditiup atau dicuci, kalau
kelilipan pedang mau dicuci pakai apa? Ditiup pun akan
semakin perih," gumamnya dalam hati.
"Lepaskan celanamu!" sentak Tenda Biru sambil
mengarahkan pedang ke dada Suto Sinting.
"Ah, yang benar saja kau...." Suto bersungut-sungut.
"Lepaskan celanamu!"
"Apakah kau sudah tak bisa menahan hasratmu
untuk...."
Buukkh...! Tiba-tiba kaki Tenda Biru berkelebat
menendang perut Suto, membuat suara Suto terhenti
seketika. Gerakan menendang itu dilakukan dengan
cepat agar sesuatu yang tak tertutupi tidak dapat dilihat
oleh mata lelaki yang ditendang.
"Sekali lagi kau menanggapku gadis murahan,
pedangku yang akan bicara!"
"Uuukh... mual sekali perutku," keluh Suto Sinting.
Tapi ia segera tarik napas untuk mengatasi rasa sakit dan
mual akibat tendangan tadi.
"Kuhitung tiga kali  kalau  kau tak mau melepaskan
celanamu yang akan kupakai, pedangku tak akan diam di
 depan dadamu, tapi akan menembus sampai ke
punggungmu!"
"Coba tendang aku lagi seperti tadi," kata Suto
Sinting sambil matanya melirik ke arah yang ditutup
dengan telapak tangan kiri dan digapit dengan kedua
kaki itu. Tenda Biru benar-benar  ingin hujamkan
pedangnya, tapi Pendekar Mabuk segera berkata.
"Tunggu...! Kau boleh menghujamkan pedangmu
setelah aku bertemu dengan Panji Klobot!"
Tenda Biru terperanjat. "Dari mana kau tahu nama
muridku, si Panji Klobot itu?!"
"Karena akulah yang bersamanya ketika kau menjadi
gadis tanpa raga. Akulah Suto Sinting yang mencarikan
obat pemunah kutukan Nyai Ronggeng Iblis berupa
Bunga Kecubung Dadar. Akulah yang kau selamatkan
dari tangan Selimut Senja bersama-sama Pematang Hati
dan Mahligai Sukma. Akulah Pendekar Mabuk yang
menolongmu saat kau terluka parah oleh pedangnya
Dewi Kesepian!"
"Ooh...?! Kau tahu segalanya tentang itu?!" Tenda
Biru menjadi gemetar dan berdebar-debar. Matanya
melebar dengan mulut ternganga bengong.
"Kalau kau tega membunuhku, bunuhlah sekarang
juga! Kalau kau tetap menganggapku Badra Sanjaya,
hujamkan pedangmu ke jantungku. Barangkali memang
begitulah caramu membalas ciumanku ketika kita berada
di tepi danau berair kuning, di Bukit Ketapang, tempat di
mana kita temukan Bunga Kecubung Dadar itu!"
"Ooh...? Kkkkau... kau...?!" Tenda Biru makin
 menggeragap dan tegang sekali. Menurutnya tak
mungkin Badra Sanjaya mengetahui letak ditemukannya
Bunga Kecubung Dadar yang telah membuat ia
mempunyai raga lagi itu.
"Hanya Suto yang tahu semua itu! Hanya Suto... tapi,
mengapa Badra Sanjaya mengetahui semuanya?
Benarkah aku berhadapan dengan Badra Sanjaya atau
berhadapan dengan Suto Sinting?!" pikirnya dalam
cekaman rasa gelisah dan kebingungan.
"Mengapa kau tidak menyebutku dengan sebutan
khas darimu?"
"Ap... apa sebutanku kepada Pendekar Mabuk? Coba
katakan, bagaimana jika aku memanggil  Pendekar
Mabuk?"
Wajah Badra Sanjaya tersenyum tenang. Suto-lah
yang  tersenyum sebenarnya, dan ia segera menirukan
sebutan atau panggilan khas dari Tenda Biru terhadap
dirinya.
"Kau selalu memanggilku: 'Bocah Sinting!"
Tenda Biru makin tercengang. "Ooh, kau... kalau
begitu kau memang si Bocah Sinting itu...?!"
"Nyawaku sedang disewa oleh Ki Jalu  Kuping,
gurunya si Badra Sanjaya. Ia memindahkan sukmaku ke
raganya Badra Sanjaya yang terkena jurus 'Ranjang
Goyang'-nya Ratu Dekap Rindu...," dan segalanya
diceritakan oleh Suto, sehingga Tenda Biru sempat
trenyuh,  lalu tak terasa air matanya meleleh perlahan-
lahan.
"Bocah Sinting...!" keluhnya dalam keharuan yang
 bercampur penyesalan atas sikap kasarnya tadi. Ia pun
segera memeluk Suto dan membiarkan  tangis
penyesalannya membasahi dada pemuda tak berbaju itu.
"Tenda Biru, kumohon bantuanmu untuk menemui
guruku. Pergilah ke Jurang Lindu dan temui guruku; si
Gila Tuak. Mintalah keterangan bagaimana cara
memindahkan sukmaku ke ragaku kembali jika sampai
Ki Jalu Kuping tak mau melakukan hal itu. Aku tak
ingin mempunyai raga seperti ini, Tenda Biru."
"Tapi... tapi bagaimana aku bisa menghadap gurumu
jika aku tidak mempunyai penutup apa-apa di bagian
bawahku ini...."
"Iya, iya... aku tahu. Tapi tak perlu kau menuntun
tanganku sampai menyentuhnya. Cukup bilang begitu
aku sudah mengerti bahwa bagian bawahmu butuh
penutup!"
Tenda Biru sempat tertawa dalam duka keharuannya,
ia jengkel sendiri hingga merengek dan memukul dada
Suto dengan pukulan kasih sayang.
"Akan kucari pakaianmu. Siapa tahu ada di sekitar
sini karena terhempas angin gaib yang keluar dari
cambukan si Pangkar Soma tadi," kata Suto sambil
memandang sekeliling tempat itu.
"Bocah Sinting, kalau sampai pakaianku tak bisa
ditemukan bagaimana?"
"Aku tak bisa kuat menahannya...."
"Menahan apa maksudmu?"
"Menahan... menahan... menahan detak jantungku
yang menyentak-nyentak sejak tadi," jawab Suto sambil
 berlagak masih pandangi keadaan sekelilingnya.
"Oh, Bocah Sinting... aku kangen padamu...", bisik
Tenda Biru sambil  tiba-tiba memeluk Suto dari
belakang. Bajunya yang terbuka membuat dadanya
menempel di punggung Suto. Rasanya hangat-hangat
menyentakkan aliran darah. Terlebih setelah Tenda Biru
menggeser-geserkan tubuhnya, punggung Suto
merasakan kehangatan dan lekuk-lekuk kedua bukit
gadis itu secara jelas. Sementara itu, kedua tangan Tenda
Biru yang menelusup di bawah ketiak Suto itu meremas-
remas dada Suto dan sesekali merayap ke sana-sini
hingga turun melewati perbatasan pusar.
Tenda Biru yang dulu bekas murid seorang tokoh
aliran sesat itu, kini mulai  rasakan debaran indah di
hatinya. Tangannya semakin berani bergerak menelusuri
tubuh Suto dari belakang. Bahkan sesekali ia menggigit
kulit punggung itu membuat Suto melepaskan erangan
kecil yang membakar gairahnya sendiri.
"Tenda Biru, jangan lakukan di antara kita. Aku...
aku...."
"Bukankah ragamu adalah Badra Sanjaya? Jika
kunikmati kehangatanmu berarti aku menikmati
kehangatan Badra Sanjaya. Tak apa, Bocah Sinting...
kau sekarang bebas menikmatiku, karena ragamu masih
tetap bersih tanpa noda dariku. Ooh... Bocah Sinting,
kecuplah bibirku...! Pagutlah... pagutlah ini, Bocah
Sinting. Sudah lama  aku tak pernah menikmatinya
dengan pria mana pun. Aku rindu kenikmatan bercinta,
Bocah Sinting.... Ambillah ini...."
 Ia menyodorkan dadanya. Suto Sinting gemetar dan
pejamkan mata, lalu menyambarnya dengan lihai.
Wuuut, cruub...!
"Ooooh...!" Tenda Biru memekik keras, kepalanya
mendongak, kakinya melebarkan jarak. Si bocah sinting
merayapkan ciumannya sampai ke perut Tenda Biru dan
terus nekat ke bawah, sehingga membuat Tenda Biru
makin mengerang panjang-panjang dengan tubuh
meliuk-liuk dalam berdirinya.

*
* *

6

JUBAH biru si gadis berkulit mulus itu ternyata
tersangkut di atas pohon. Juga kutang dan pakaian
bawahnya ada di antara dedaunan dan ranting pohon.
Pada waktu badai sekilas dari cambukan Pangkar Soma,
pakaian itu ikut melayang terbang. Jika hanya sekadar
angin badai biasa, tak mungkin bisa membuat Tenda
Biru sepolos itu. Tentunya badai sekilas tadi adalah
badai gaib yang mampu melepasi kutang seorang
perempuan.
"Badai nakal...," ujar Suto  dalam hatinya sambil
lanjutkan langkah menuju Bukit Kemesraan, sementara
itu Tenda Biru bergegas ke Jurang Lindu untuk temui si
Gila Tuak, sesuai rencana yang dikatakan Suto tadi.
 Namun kata-kata Tenda Biru saat sebelum mereka
berpisah masih terngiang di telinga Suto Sin-ting.
"Hati-hati jika berhadapan dengan Ratu Dekap
Rindu."
"Apa alasanmu menyuruhku hati-hati?"
"Ratu  itu cantik. Dia menghisap kecantikan para
lawannya, ia mirip bidadari. Dan hanya orang berilmu
hitam saja yang bisa menyerap kecantikan lawannya,
sehingga wajahnya tampak secantik bidadari dari
kayangan."
Sebenarnya pesan itu justru membuat Suto Sinting
menjadi lebih penasaran lagi. Ia ingin buktikan kata-kata
Tenda Biru itu, karena ia memang belum pernah bertemu
dengan Ratu Dekap Rindu.
"Ratu Dekap Rindu ilmunya cukup tinggi lho," ujar
Tenda Biru mengingatkan Suto sebelum mereka sama-
sama melangkah ke tujuan masing-masing.
"Lebih tinggi mana dengan Nyai Ronggeng Iblis?"
"Hmmm... mungkin sejajar. Tapi, tak tahulah... aku
tak bisa menilainya  karena kau belum pernah
berhadapan langsung dengan Ratu Dekap Rindu. Aku
hanya mendengar cerita dari bekas guruku saat aku
menjadi orang sesat, yaitu Nyai Garang Sayu. Setahuku,
dulu mendiang Nyai Garang Sayu pernah bentrok
dengan Ratu Dekap Rindu, dan Nyai Garang Sayu
melarikan diri. Tak tahu alasan sebenarnya, apakah kalah
tinggi ilmunya atau hanya mengatur siasat, yang jelas
Nyai Garang Sayu tak pernah mengulang lagi
pertarungan itu."
 "Kau melihat saat mantan gurumu itu bertarung
melawan Ratu Dekap Rindu?"
"Tidak. Waktu itu aku dinas luar. Eh... maksudku,
waktu itu aku pergi ke luar pulau untuk satu keperluan.
Aku hanya mendengar ceritanya dari teman-teman
seperguruanku!"
"Kalau begitu aku harus mempertinggi kewaspadaan
jika berada di istana Bukit Kemesraan nanti."
"Kurasa begitu. Dan kusarankan bersikaplah sebagai
Badra Sanjaya. Seolah-olah kau memang Badra Sanjaya,
sehingga dari kata-kata sang Ratu nanti kau dapat
mengambil kesimpulan di mana letak tabung penjara
sukma itu."
"Kau memang gadis cantik dan  cerdas," ujar Suto
sambil mencubit pipi Tenda Biru.
Kenangan itu ikut terbawa dalam perjalanan Suto
Sinting di awal senja berlangit tembaga itu. Dengan
menyeberangi sungai besar, Pendekar Mabuk sudah tiba
di wilayah Bukit Kemesraan, ia memang baru kali itu
menginjakkan kakinya di wilayah Bukit Kemesraan,
sehingga pantas jika ia tak mengetahui arah istana di
sebelah mana.
Beruntung sekali  ia bertemu dengan Tenda Biru
sebelum  berada di wilayah Bukit Kemesraan, sehingga
ia bisa mendapat keterangan dari Tenda Biru tentang
arah menuju istana. Tenda Biru pernah datang ke istana
itu, namun hanya sampai depan pintu gerbangnya saja.
Karena waktu itu ia hanya menjadi salah satu dari
sepuluh orang pengawal Nyai Garang Sayu yang
 menjaga keamanan sang guru sesat itu. Hanya sang guru
yang masuk ke istana dan bertemu dengan Ratu Dekap
Rindu.
"Apa yang harus kukatakan kepada Ratu nanti jika ia
tanyakan pusaka 'Jarum Surga' nanti? Kalau menurut Ki
Jalu  Kuping, pusaka itu sebenarnya tidak ada. Tapi
bagaimana mungkin tidak ada jika sang Ratu berani
membayarku tinggi untuk dapatkan Badra Sanjaya
bersama pusaka 'Jarum Surga' itu? Kurasa pusaka
tersebut memang ada, tapi tidak diketahui oleh orang
banyak, termasuk Ki Jalu Kuping pun tak tahu tentang
pusaka tersebut."
Belum sampai  Suto menemukan cara menghadapi
pertanyaan tentang pusaka "Jarum Surga', tiba-tiba
langkahnya terhenti karena lompatan tiga orang
berpakaian serba coklat mengkilap yang langsung
menghadang Suto dengan posisi mengepung tiga arah.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat dan segera berkerut
dahi karena merasa asing dengan ketiga gadis berpakaian
coklat mengkilat itu. Pakaian tersebut merupakan baju
tanpa lengan dan celana ketat yang membentuk lekuk-
lekuk tubuh mereka.
"Akhirnya kau kembali juga, Badra Sanjaya!" tegur
gadis yang bersenjata trisula di pinggangnya. Rupanya
gadis itu sudah cukup kenal dengan Badra Sanjaya,
sehingga Suto pun berlagak sudah kenal dengan mereka.
"Sudah kuduga kalian akan menyambutku di sekitar
tempat ini," kata Suto Sinting dengan sikap tenangnya.
"Nyai Ratu memerintahkan kami untuk
 menangkapmu jika kau tampak melintasi perbatasan
Bukit Kemesraan ini!" ujar gadis yang bermata bundar,
bening dan tengahnya hitam berwarna hitam jernih.
"Kurasa kalian tak perlu menangkapku, aku memang
ingin menghadapi Nyai Ratu sendiri!" ujar Pendekar
Mabuk. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya dan
menenggak tuak beberapa teguk.
"Apa yang kau bawa itu, Badra?!" 
"Tuak...! Kalian mau coba?" Suto Sinting sok akrab.
 "Hmmm...! Lagakmu seperti Pendekar Mabuk saja,
Badra! Apakah dengan membawa bumbung tuak begitu
lantas kami tak berani menangkapmu?!" ujar gadis
berambut panjang dengan belahan dada bajunya terbuka
lebar-lebar, sehingga tersumbullah gumpalan putih
mulus di kanan-kiri dada itu. Menggiurkan sekali, tapi
juga membuat Suto menahan diri agar tetap waspada.
"Buang bambu tuak itu, dan serahkan kedua
tanganmu untuk kami ikat, Badra!"
"Lho, mengapa aku mau diikat?"
"Perintah dari Nyai Ratu memang begitu, Badra!"
"Oh, aku tak mau! Aku paling malas kalau pakai
diikat-ikat saja. Memangnya aku ini kayu bakar?!" kata
Suto sambil tunjukkan sikap protesnya.
Katanya lagi, "Sudah kubilang, kalian tak perlu
menangkapku, apalagi mengikatku, tak perlu sama
sekali. Karena kedatanganku kemari untuk menghadap
Nyai Ratu!"
"Tapi kami harus patuhi perintah Nyai Ratu, Badra!" .
 Yang bersebelahan dada lebar itu menimpali,
"Kecuali jika kau bersedia memberi kami perjalanan
indah. Bukankah begitu, Paras Juwita?!"
"Benar," jawab Paras Juwita yang bersenjata trisula
itu. Ia menjawab dengan senyum dan lirikan jalang.
Katanya lagi kepada Suto, "Kurasa inilah
kesempatanmu untuk mengulangi keindahan masa lalu
kita, Badra!"
"Mengulangi...?!" Suto merasa heran, dan segera
membatin, "Berarti si Badra Sanjaya itu buaya gila juga,
ya? Setiap perempuan pernah diajaknya menikmati
perjalanan indah."
"Bagaimana, Badra! Apakah kau ingin menolak
tawaran damai dari kami, atau  ingin kami ikat sebagai
tawanan?!" ujar yang bermata sayu.
"Jadi... jadi aku harus melayani siapa?"
"Kami bertiga; Gayanti, Umbari, dan diriku,"' jawab
Paras Juwita.
"Edan! Tiga-tiganya bersamaan?!" ujar Suto bernada
makin heran. Tiga gadis yang rata-rata berusia sekitar
dua puluh empat tahun itu sama-sama cekikikan.
Gayanti berkata, "Kurasa kau tidak akan kewalahan,
Badra. Bukankah waktu ketika kau berempat bersama
Paras Juwita, Windusari, dan Lelasih, kau mampu
memberi kami keindahan yang sama? Kurasa sekarang
pun kau tetap mampu, Badra. Apalagi sekarang hanya
bertiga."
"Kita ke gua yang dulu saja, Gayanti," ujar Paras
Juwita.
 "Aku setuju. Bagaimana menurutmu, Badra?!"
"Edan betul si Badra Sanjaya itu sebenarnya!
Ternyata dia tukang mengumbar cumbuan di sana-sini!
Kurasa gurunya tidak mengetahui kalau muridnya gemar
bercumbu dengan perempuan mana pun!" gerutu Suto
dalam  hatinya.
"Mumpung masih agak sore, Badra. Sebaiknya kita
segera ke gua yang dulu!" ujar Gayanti.
"Benar, Badra...," Paras Juwita mendekat dan
mengusap-usap dada Suto sambil sunggingkan senyum
jalangnya. "Mumpung yang lain belum melihat
kedatanganmu, sebaiknya kita manfaatkan dulu waktu
untuk mengarungi lautan cinta, Badra...."
Umbari segera ikut mendekat dan mengusap-usap
dada Suto dari samping kirinya.
"Kau belum merasakan kepandaianku menerbangkan
jiwa seorang lelaki, bukan? Nanti kau akan merasakan
keindahan yang paling indah dariku. Ayolah, kita ke gua
saja, Badra...."
Gayanti mendekat dan mengambil tempat di belakang
Suto. Ia memeluk dari belakang melalui pinggang
samping kanan kiri. Tapi bibirnya mengecup tengkuk
kepala Suto dengan nakal.
"Badra..., aku punya jurus baru yang dinamakan
'Lidah Naga Kasmaran'. Pasti membuatmu semakin
melayang-layang menembus langit kehangatan yang
paling tinggi, Badra. Ayolah, kita ke gua yang dulu,
Sayang.... Aku sudah tak tahan lagi...," bisik Gayanti
sambil sesekali menyapu belakang telinga Suto dengan
 ujung lidahnya.
Jantung bukan berdetak lagi tapi bergetar bagai mau
rontok. Dalam kebingungan itu, Suto Sinting tak bisa
mengambil keputusan harus bersikap bagaimana
terhadap ketiga gadis montok-montok itu. Ia hanya bisa
'ah, uh, ah, uh' saat didorong ke bawah pohon bersemak
rimbun. Rupanya ketiga gadis itu sudah tak sabar lagi
ingin mendapatkan kemesraan dari pria yang
dianggapnya sebagai Badra Sanjaya.
"Hmmm..., ehh... hei, hei... tunggu dulu!" kata Suto,
tapi tak dihiraukan oleh ketiga gadis itu. Mereka
semakin mengganas dan membuat Suto terpelanting
jatuh di rerumputan semak. Mereka justru cekikikan dan
saling menggumuli Suto dengan caranya sendiri-sendiri.
"Tidaaaak...!"
Weeerss...! Bruuusss.. !
Suto Sinting berteriak keras sambil lakukan sentakan
pada kedua tangan dan kakinya. Tiga wanita yang sudah
dibakar kobaran gairah bercumbu itu terpental
menyebar, saling terlempar tinggi-tinggi dan jatuh
berdebam di tempat yang berbeda.
"Kalian pikir aku ini kuda pejantan?!" sentak Suto
Sinting dengan berang. Tentu saja ketiga gadis yang
merasa gairahnya terganggu itu menjadi berang juga.
Paras Juwita yang tadi telah membuat Suto
kedodoran segera lakukan lompatan menerjang dengan
suara terlontar keras.
"Rupanya kau minta hajar dulu baru mau, hah?!
Heeeeaah...!"
 Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya yang
mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.
Tees...! Beeekh...!
"Heeekh...!" Lompatan perempuan bersenjata trisula
itu terhenti dan bagai tertahan oleh dinding tak terlihat,
ia  jatuh  terjungkal setelah perutnya merasa seperti
dihantam dengan palu godam, Brruk...!
Tes, tes...! Sentilan jurus 'Jari Guntur' segera
dilepaskan kembali oleh Suto Sinting ke arah Umbari
dan Gayanti. Kedua gadis yang telah mencabut senjata
tajamnya  itu segera terlempar ke belakang dan
mengerang kesakitan. Ulu hatinya dijadikan sasaran
jurus 'Jari Guntur'-nya Suto. Mereka menyeringai
kesakitan dan untuk sesaat tak mampu berdiri.
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk segera melesat pergi
tinggalkan tempat itu dengan pegangi  tali celananya
yang tadi sempat putus dipaksa oleh Paras Juwita. Untuk
sementara Suto terpaksa berlari sambil kerepotan
menyambung tali celananya.
"Brengsek!  Ikat saja pakai kain ikat pinggang ini!"
geramnya sambil mengarah ke bangunan megah yang
tampak berbenteng putih di kejauhan sana. Pendekar
Mabuk yakin betul, bahwa bangunan berbenteng putih
itulah istananya Ratu Dekap Rindu yang harus dituju.
Tiga perempuan yang tadi hampir menjadikan  diri
Suto sebagai budak nafsunya, kini sedang lakukan
pengejaran. Mereka memang tertinggal jauh oleh Suto,
tapi usaha mengejar tetap ada sebagai kewajiban seorang
prajurit istana sang Ratu Dekap Rindu.  
 Di  depan pintu gerbang benteng putih itu, Suto
Sinting dihadang oleh delapan prajurit yang semuanya
perempuan berparas cantik-cantik. Bahkan masing-
masing dada mereka saling bertonjolan dengan sekal dan
menantang sekali. Pakaian mereka berbelahan tengah
agak lebar, sehingga pinggiran sepasang bukit dada itu
tampak menggoda setiap lelaki yang dikepung mereka,
termasuk Pendekar Mabuk yang menurut anggapan
mereka adalah Badra Sanjaya.
"Aku ingin menghadap Ratu! Izinkan aku masuk!"
tegas Suto Sinting dengan menenteng bumbung tuaknya
sebagai langkah persiapan hadapi bahaya apa pun.
Untung saja bumbung tuak itu tadi sempat diisi tuak
hingga penuh dari sebuah kedai di desa yang ia temukan
setelah berpisah dengan Sriti Kuning tadi. Dengan
begitu, kapan saja ia terluka ia dapat meminum tuaknya
sebagai pengering luka secara gaib.
Salah seorang dari prajurit pengepung itu berseru
kepada Suto.
"Nyai Ratu perintahkan kami menangkapmu, Badra!
Kau dianggap mengecewakan Nyai Ratu dan layak
dijadikan tawanan, bukan seseorang yang layak kami
hormati lagi!"
"O, jadi Badra Sanjaya dulu di sini dihormati?!"
gumam Suto Sinting dalam    hatinya. Tapi  mulutnya
segera serukan kata kepada prajurit yang bicara tadi.
"Aku akan kembalikan pusaka 'Jarum Surga' kepada
Nyai Ratu! Kumohon jangan membuatku kecewa dan
membatalkan niatku menyerahkan pusaka 'Jarum Surga'
 ini!"
Pendekar Mabuk bicara dengan lantang dan mantap,
seolah-olah dia benar-benar membawa pusaka 'Jarum
Surga'. Tetapi para prajurit itu menertawakan dengan
cekikikan, bahkan ada yang tertawa dengan berpaling ke
arah lain. Sikap mereka itu membuat Suto Sinting
menjadi curiga.
"Jadi kalian tidak percaya kalau aku membawa
pusaka 'Jarum Surga' itu?! Apakah kalian perlu
melihatnya dulu?!"
Tawa para prajurit itu semakin ditahan karena
semakin terasa lucu bagi mereka, sehingga salah satu ada
yang terkikik-kikik hingga membungkukkan badan.
"Apa-apaan mereka ini?!" geram hati Pendekar
Mabuk. "Mereka boleh saja tidak percaya, tapi tak perlu
sampai terpingkal-pingkal seperti yang berambut
panjang diikat pita biru itu! Sebaiknya aku tak perlu
menantang pembuktian. Bisa bikin diriku terjebak
sendiri oleh omonganku! Kalau mereka benar-benar
ingin melihat pusaka itu ada di tanganku, wah... tentu
saja aku akan kewalahan mencari alasan untuk hindari
pembuktian itu!"
Maka seruan Pendekar Mabuk pun akhirnya berubah
menjadi sebuah ancaman halus.
"Kalau aku tak kalian izinkan masuk, maka aku akan
pulang dan pusaka itu akan kujual kepada pihak lain!"
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka, dan seraut wajah
yang sudah dikenal Suto pun tampak muncul dari balik
pintu gerbang. Wajah itu adalah wajah si Laras Wulung.
 "Biarkan dia masuk! Beri jalan untuknya!"
Maka barisan pengepung yang ada di depan Suto itu
segera menyingkir sambil mulut mereka ditutupi dengan
tangan supaya  tak kelihatan kalau sedang tersenyum.
Pendekar Mabuk merasa semakin aneh melihat sikap
mereka. Tapi hati Suto berkata,
"Ah, persetan dengan keanehan mereka!"
Gerbang dibuka lebar, Laras Wulung menyambut
kehadiran sdsok Badra Sanjaya dengan senyum
memancarkan daya pikat yang menggetarkan jiwa setiap
lelaki.

*
* *

7

PENDEKAR MABUK dibawa oleh Laras Wulung ke
sebuah  ruangan berlorong terang. Lorong terang itu
berlantai mengkilap warna putih kaca.
"Aku ingin bertemu ratu dan langsung bicara soal
pusaka 'Jarum Surga'," kata Suto sambil berjalan
didampingi pengawal kepercayaan sang Ratu.
Senyum tipis mekar di bibir mirip kuncup mawar itu.
Pendekar Mabuk meliriknya sebentar sambil membatin,
"Sepertinya ada yang lucu pada diriku. Apa yang
membuat mereka dan Laras Wulung ini menertawakan
diriku dengan sembunyi-sembunyi?!"
 Kejap berikut terdengar suara Laras Wulung bersama
langkahnya yang tegap, menampakkan keberanian dan
ketangkasannya sebagai pengawal kepercayaan sang
Ratu.
"Kau baru bisa bertemu dengan Nyai Ratu esok sore."
"Mengapa begitu?"
"Nyai Ratu sedang lakukan semadi selama sepuluh
hari. Esok hari yang kesepuluh dan ia akan keluar dari
ruang semadi pada sore menjelang senja." 
Laras Wulung bicaranya selalu tegas, menunjukkan
sikapnya yang tegas pula dalam menggantikan
kedudukan sang Ratu selama sang Ratu berhalangan.
Tubuhnya yang tinggi, sama dengan tinggi tubuh Suto
atau Badra Sanjaya, mempunyai badan sekal, padat
berisi. Seakan sewaktu-waktu dapat keluarkan kekuatan
yang sukar ditumbangkan.
"Mau ke mana kita ini?" tanya Suto Sinting ketika
menuruni tangga menuju ke lantai bawah.
"Apakah kau tak ingat tempat ini?"
Pendekar Mabuk agak menggeragap. Bagaimanapun
juga ia harus tampak seperti Badra Sanjaya supaya
tujuan sebenarnya tak dicurigai siapa pun.
"Ya, aku ingat tempat ini. Tapi yang kutanyakan,
mengapa harus ke sini?"
"Kau pikir ada tempat lain untukmu?"
Pendekar Mabuk menjadi bimbang dan curiga, ia tak
jelas maksud ucapan Laras Wulung itu. Ia menyangka
akan dibawa ke penjara. Hampir saja ia menolak dan
berbalik arah. Untung Laras Wulung yang berbaju biru
 kehitam-hitaman itu segera berkata dengan suara pelan
namun jelas.
"Apakah kau tak ingin istirahat dulu? Sebentar lagi
petang tiba, dan tentunya kau perlu istirahat setelah
lakukan perjalanan jauh dari Gunung Dara."
"O, ya... memang aku lelah. Tapi aku masih ingin
ngobrol denganmu, Laras Wulung!"
"Kau sangka akan kutinggalkan istirahat sendirian?
Ratu bisa marah kalau kau istirahat sendirian?"
"Apakah Nyai Ratu menjadi murka setelah aku
melarikan pusaka 'Jarum Surga'-nya itu?"
Sambil menutup pintu besar di ujung tangga, Laras
Wuiung perdengarkan suaranya.
"Kucoba untuk menenteramkan hati Nyai Ratu agar
beliau tidak menjadi murka padamu!'
"Tapi para prajurit itu ingin menangkapku atas
perintah Nyai Ratu!"
"Supaya kau tidak melarikan diri lagi dan mau diajak
bicara dengan damai!" jawab Laras Wulung sambil
membawa Suto berjalan di antara kamar-kamar
berdinding hitam dan berpintu besi. Pendekar Mabuk
semakin cemas dan kecurigaan dalam hatinya kian besar.
"Jangan-jangan aku dimasukkan ke dalam    kamar
penjara secara baik-baik?! Oh, aku tak boleh terkecoh
oleh sikap tenangnya Laras Wulung ini! Harus ada yang
bisa segera kulakukan seandainya ia tahu-tahu
menjebloskan diriku dalam penjara yang sukar ditembus
tenaga dalam."
Melangkah di lorong yang kanan-kirinya adalah
 kamar-kamar menimbulkan kesan tak enak sekali di hati
Suto.  Sinting. Sekalipun pada akhirnya Laras Wulung
hentikan langkah setelah mereka tiba di kamar paling
ujung, Pendekar Mabuk sudah siapkan bumbung
tuaknya untuk lakukan sesuatu jika dirinya dalam
bahaya.
"Bagaimana kalau Laras Wulung kulumpuhkan dulu?
Setelah  dia lumpuh aku bisa bebas mencari tabung
beling yang menjadi penjara sukmanya Badra Sanjaya!"
pikir Suto Sinting sambil memperkuat genggaman
tangannya yang dililit tali bumbung tuak itu.
Tapi ketika pintu kamar ujung itu dibuka, Suto
Sinting tertegun sesaat dan hatinya segera membatalkan
rencana memukul Laras Wuiung dari belakang. Karena
begitu kamar dibuka, mata Pendekar Mabuk melihat
sebuah ruangan yang lebar sekali. Ruangan itu
mempunyai kolam berair bening, taman batuan karang
berwarna-warni dan dilengkapi dengan perabot ruang
tidur, termasuk sebuah ranjang berlapis kain berbulu
halus warna merah muda. Sedangkan sebagian lantainya
dilapisi permadani lembut berwarna hijau muda
bagaikan bentangan rumput muda. Seluruh dinding
ruangan itu dilapisi cermin, sehingga membuat ruangan
itu tampak luas dan lega. Di mana pun orang berdiri atau
duduk di kamar itu, ia akan dapat melihat bayangannya
dalam cermin sebelah mana saja.
Ruangan  itu menjadi terang oleh cahaya obor dari
bebatuan yang membara dan memancarkan sinar merah
api ke atas. Bebatuan itu berada dalam sebuah tempat
 lebar bertangkai panjang. Lampu penerang seperti itu
ada di setiap sudut kamar, yang membuat suasana kamar
tampak terang benderang tanpa asap obor menghitam di
langit-langitnya.
"Ooh...?! Langit-langit kamar ini juga dilapisi
cermin? Hi, hi, hi... aku bisa melihat bayanganku ada di
atas sana. Ah, buruk amat aku kalau dilihat dari atas
kepala! Seandainya yang kupakai adalah ragaku sendiri,
alangkah bangganya aku memandangi diriku di setiap
sisi dinding bercermin ini!"
Laras Wulung menutup pintu kamar itu, tapi ia
sendiri tetap ada di dalam kamar. Berarti Suto tidak
dimasukkan dalam penjara. Bahkan perempuan itu
berlagak cuek dengan pandangan mata Suto yang
mengikutinya penuh perasaan kagum. Laras Wulung
membuka almari dan mengeluarkan kain putih yang
ternyata adalah sebuah jubah lembut berlengan panjang.
Jubah itu sampai menutup mata kaki.
Lalu sebuah kain merah muda diambilnya pula dari
dalam almari berukir. Rupanya kain itu adalah selembar
handuk berbulu halus.
"Mandilah dulu," ujar Laras Wulung agak datar dan
bernada tegas.
"Mandinya di mana, ya?" pikir Suto. "Apakah nyebur
ke kolam itu seperti mandi di sungai?!"
Laras Wulung sendiri melepaskan bajunya di tepian
kolam berair jernih itu.
"Lho...?!"
Bahkan bukan hanya baju yang dilepas Laras
 Wulung, melainkan juga pakaian lainnya dilepas juga
tanpa rasa malu atau sungkan.
"Lho, lho...?!" mata Suto terbelalak dan sepertinya
sukar berkedip lagi. Karena saat itu ia melihat dengan
jelas sebentuk tubuh yang elok menawan. Tubuh putih
mulus berdada sekal  menantang dan berpinggul
menonjol berisi, sungguh menggemaskan namun juga
membuat jantung Suto terasa berhenti mendadak, lalu
berdetak lagi dengan tersendat-sendat.
"Apakah kau tak ingin mandi, Badra?!" tegur  Laras
Wulung pada saat Suto berlagak memunggungi, tapi
memandang jelas-jelas melalui pantulan cermin yang
menutup dinding di depannya. Laras Wulung pun
menatap Suto melalui bayangan yang ada di cermin itu.
"Ak... aku...," Suto menjadi salah tingkah. Laras
Wulung mendekati dengan pandangan mata yang teduh
namun mengandung daya getar yang cukup membuat
lutut terasa ngilu.
"Kalau kau tak mau mandi, aku tak mau
melayanimu," kata Laras Wulung.
"Ap... ap... apa maksudmu berkata begitu?!" tanya
Suto mulai menggeragap.
"Apakah kau berlagak bodoh?!"
Semakin sulit mulut Suto dipakai untuk bicara.
Semakin kaku pula lidahnya.
"Badra Sanjaya selalu mandi bersamaku," ucap Laras
Wulung sambil menatap dalam jarak sangat dekat.
"Badra Sanjaya selalu patuh padaku, karena ia menyukai
keindahan dan kemesraanku. Jangan mengubah
 kebiasaan, Badra."
"Oh, hemmm... iya, aku hanya... hanya merasa kagum
yang kelewat batas terhadap kecantikanmu, Laras
Wulung," ujar Suto yang tadi sempat tertegun dan
menyimpan kecemasan. Takut tidak diakui sebagai
Badra Sanjaya. Kini ia biarkan Laras Wulung bersikap
seperti seorang ibu ingin memandikan anaknya yang
berusia tiga atau empat tahun.
Tapi Laras Wulung  adalah  seorang ibu yang nakal,
Karena sebelum anaknya menceburkan diri ke dalam
kolam pemandian, Laras Wulung sempat tersenyum-
senyum  sambil mempermainkan gairah sang bocah, ia
berlutut dan sesekali memandang ke atas, menatap wajah
pemilik kehangatan itu. Bibir dan lidahnya nakal
kembali setelah ia puas melihat si pemilik kehangatan
mengerang lirih ditikam rasa nikmat. Jari-jari tangan
Laras Wulung kian lincah mempermainkan sesuatu yang
membuat Suto Sinting terlonjak-lonjak dalam buaian
keindahan. Suto tak berani menolak, karena siapa tahu
memang beginilah kebiasaan Badra Sanjaya jika
berhadapan dengan pengawal kepercayaan sang Ratu ini.
Laras Wulung kian menunduk hingga akhirnya
mencium lutut Suto. Dipagutnya lutut itu, dan hati Suto
Sinting berdesir bagai diiris sembilu namun tak terasa
sakit. Yang dirasakan dari pagutan pada bagian lututnya
itu  adalah siraman kenikmatan begitu indah dan
membuat gairahnya kian berkobar-kobar.
Lutut itu sesekali digigit kecil oleh Laras Wulung,
sesekali disapu dengan lidahnya dan dipagut kembali.
 Hanya saja, makin lama pagutan itu makin merayap ke
atas dan terus ke atas sampai menemukan terminal
keindahan.
Laras Wulung memandang dengan sayu. Sangat
menggoda sekali. Suto Sinting terengah-engah karena
lelah menahan jeritan keindahannya. Tapi ia harus tetap
bersikap seperti Badra Sanjaya. Maka ketika Laras
Wulung  menuntunnya mendekati sebuah batu setinggi
pinggul yang permukaannya datar, Suto Sinting ikut saja
tanpa menolak tanpa bertanya. Batu di dekat kolam
jernih itu kini menjadi tempat duduk Laras Wulung,
"Beri aku keindahan yang dahsyat seperti
biasanya...," ucap  Laras Wulung dengan suara masih
bernada wibawa.
Suto bingung apa yang harus dilakukannya supaya
sama seperti yang dilakukan Badra Sanjaya. Apalagi
sekarang perempuan itu merebah ke belakang tapi satu
kakinya masih menapak di lantai sedangkan kaki yang
satunya ada di tepian batu itu.
"Barangkali dia minta diperlakukan seperti saat dia
memperlakukan diriku tadi," pikir Suto Sinting. Maka
dilakukanlah seperti yang telah dilakukan Laras Wulung
kepada Suto saat Suto berdiri tadi.
"Ooouh...!" Belum-belum Laras Wulung telah
memekik ketika Suto menempelkan bibirnya di lutut
perempuan itu. Selanjutnya, suara Laras Wulung seperti
orang di kamar penyiksaan. Menjerit, mengerang,
merengek, terengah-engah, mendesah, lalu menjerit lagi.
Bahkan kadang terpekik dengan kedua tangan meremas
 rambut kepala Suto kuat-kuat. Perempuan itu ternyata
lebih dahsyat dari yang pernah dihadapi Suto Sinting
sebelumnya.
"Lakukan...!" sentak Laras Wulung bagai orang
marah. "Cepat lakukan sekarang! Cepaaat...! Oooouh...!"
Ia juga seperti orang menangis. Suto Sinting jadi
bingung sendiri.
"Apa maunya perempuan ini? Dibeginikan mengeluh,
digitukan menjerit, digini-gitukan memekik, digitu-
gitukan malah merengek.... Jadi aku harus bagaimana
sebenarnya?!" gerutu Suto Sinting dalam hati, tapi tetap
menjadi seekor kucing yang memandikan anaknya.
Laras Wulung sangat kegirangan. Jerit, pekik, rengekan,
keluh dan semua yang dilontarkan lewat mulut Laras
Wulung hingga berisik itu adalah pernyataan dari rasa
girang, bahagia, nikmat, syahdu, dan sebagainya yang
bercampur menjadi satu.
Jebuuurrr...!
Karena banyak bergerak, Laras Wulung jatuh ke
kolam itu setelah memekik keras-keras dan tangannya
yang meremat pundak Suto Sinting itu terlepas karena
tubuh Suto mengucurkan keringat dengan deras.
"Cepat kemari... cepat...!" panggil Laras Wulung,
kemudian Suto pun akhirnya terjun ke kolam itu.
Jebuuuurr...!
Jebar, jebur, jebar, jebur...!
Air kolam menjadi kacau. Laras Wulung memukul-
mukul air kolam ketika Suto Sinting memeluknya. Suara
Laras Wulung berhamburan tak jelas apa yang
 diucapkannya.
"Kenapa tidak kau lakukan!" sentak Laras Wulung
pada akhirnya. "Lakukanlah! Kau bukan Suto Sinting,
tapi Badra Sanjaya! Lakukanlah...!"
Suto Sinting bingung mendengar ucapan itu. Tapi
karena Laras Wulung mendesak dan membentak, nyaris
mengamuk, maka Suto Sinting pun akhirnya
memberikan apa yang diminta Laras Wulung dari Badra
Sanjaya.
"Kuberikan apa yang kau minta dari Badra Sanjaya!"
ucap batin Suto. "Barangkali inilah yang kau inginkan
dari Badra Sanjaya...!"
"Aaaahhh...!" teriakan panjang Laras Wulung adalah
puncak keindahan yang dicapainya dan diperoleh dari
Badra Sanjaya.
Perempuan itu akhirnya terkulai lemas di tepian
kolam. Suto Sinting masih tegar dan berdiri di
sampingnya dengan tegak, gagah, dan kekar.
"Kau luar biasa dari yang pernah kudapatkan darimu,
Badra Sanjaya!" ujar Laras Wulung  sambil tergolek
pandangi pria yang berdiri di sampingnya.
"Mengapa kau sebut nama Suto Sinting?" pancing
Suto karena kecurigaannya semakin besar.
"Apakah aku tadi menyebut nama Suto Sinting?!"
"Ya, kau menyebutnya!" 
"Oh, mungkin karena aku tahu kau bukan Badra
Sanjaya, melainkan Pendekar Mabuk. Kau adalah Suto
Sinting!"
"Aku Badra Sanjaya!" sentak Suto yang terkejut
 sekali mendengar pernyataan itu. "Aku murid Ki Jalu
Kuping dari Gunung Dara!"
"Bukan. Kau bukan Badra Sanjaya. Ragamu memang
Badra Sanjaya tapi sukmamu, jiwamu, rasamu, semua
adalah milik Pendekar Mabuk!"
Laras  Wulung  pun bangkit dan memandang Suto
tegas-tegas.
"Badra Sanjaya sudah ada di sini sebelum kau
datang."
Mata Suto terbelalak walau tak begitu lebar, ia
menyembunyikan rasa kagetnya.
"Badra Sanjaya sekarang berada dalam tabung kaca.
Tapi raganya masih bisa kunikmati seperti biasanya.
Sukmamu membantuku mendapatkan keindahan dari
Badra Sanjaya. Aku tahu, Jalu Kuping mempunyai ilmu
'Sewaka Sukma'. Jika Badra Sanjaya beberapa waktu
yang lalu lari dari sini dan kembali kepada gurunya,
sudah kuperkirakan bahwa ilmu 'Sewaka Sukma' akan
digunakan oleh Jalu Kuping. Tapi aku tak menyangka
kalau Pendekar Mabuk yang pernah menemuiku
bersama Yundawuni itu adalah orang yang nyawanya
disewa oleh Jalu Kuping!"
Suto Sinting merasa telah tertangkap basah, ia tak
bisa mengelak lagi, akhirnya ia mengakui secara tak
langsung atas kebenaran pendapat Laras Wulung itu.
"Dari mana kau tahu kalau  aku adalah Pendekar
Mabuk?"
"Bumbung tuakmu tak mungkin bisa berada di tangan
Badra Sanjaya! Ilmumu jauh lebih tinggi dari Badra
 Sanjaya! Karena kutahu kau murid si Gila Tuak."
"Dari mana kau tahu aku murid si Gila Tuak?"
"Yundawuni menjelaskan tentang  dirimu, selain itu
juga kabar dari beberapa orang yang pernah melihat
kehebatan ilmumu!" jawab Laras Wulung.
"Tapi mengapa kau masih tetap mengharap
kemesraan dariku, sedangkan kau tahu aku bukan Badra
Sanjaya?!"
"Aku sangat membutuhkan kemesraan itu. Aku... aku
mencintai Badra Sanjaya. Sebab itulah dia kusuruh
melarikan diri dari istana ini. Aku tak ingin Badra
Sanjaya menjadi budak gairah Nyai Ratu setiap malam
atau kapan saja Nyai Ratu membutuhkannya. Aku
merasa lebih baik tidak melihat orang yang kucintai
daripada melihat kekasihku itu terpaksa harus melayani
keinginan Nyai Ratu!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Setelah diam
sesaat dan Laras Wulung  duduk di tepian kolam, Suto
pun segera ajukan tanya lagi  kepada wanita cantik
berselera tinggi itu.
"Benarkah Nyai Ratu menyuruh orang-orangnya
menangkap Badra Sanjaya karena tuduhan mencuri
pusaka 'Jarum Surga'?!"
Laras Wulung tersenyum kecil. Ia memandang Suto
yang berdiri di sampingnya dalam keadaan masih tetap
seperti keluar dari kolam. Perempuan itu segera berkata
sambil memandangi tubuh bagian bawah Suto.
"Itulah pusaka 'Jarum Surga' yang dimaksud!"
"Ooh...?!" Suto Sinting tersentak kaget, merasa
 terkecoh oleh bayangannya tentang pusaka 'Jarum Surga'
itu.
"Sewaktu aku datang bersama Yundawuni, kau bilang
padaku bahwa pusaka 'Jarum Surga' dibawa lari  oleh
Badra Sanjaya, dan pusaka itu seperti tombak yang...."
"Bukankah memang seperti tombak?!" sahut Laras
Wulung sambil tersenyum. "Aku tidak bilang bahwa
pusaka dicuri Badra Sanjaya, tapi pusaka 'Jarum Surga'
dibawa  lari  oleh  Badra Sanjaya. Memang dibawa lari,
sebab pusaka itu adalah milik Badra Sanjaya dan ia
melarikan diri, maka dikatakan pusaka itu dibawa lari.
Apakah aku salah?!"
Pendekar Mabuk hanya tarik napas dalam-dalam. Ia
benar-benar terkecoh oleh  permainan kata Laras
Wulung.
"Siapa yang memberi perintah menangkap Badra
Sanjaya?"
"Nyai Ratu...! Perintah itu memang turun dari Nyai
Ratu sendiri. Sebab Nyai Ratu membutuhkan pusaka
'Jarum Surga' itu. Dia ingin mendapatkannya kembali.
Jika tak berhasil, dia akan membunuh Badra Sanjaya.
Maka kuminta bantuan kepada Yundawuni untuk
menghubungi Pendekar Mabuk. Kuminta kau
menangkap Badra Sanjaya sebab aku takut Badra
Sanjaya diburu oleh pengawal Nyai Ratu yang ilmunya
cukup tinggi. Jika kau  lebih  dulu  menangkap Badra
Sanjaya, maka kau akan melindungi nyawa Badra
Sanjaya dari serangan para pengawal  Nyai Ratu yang
mendapat tugas memburunya itu."
 "Ooh, cerdik sekali kau sebenarnya, Laras Wulung?!"
Suto Sinting manggut-manggut lagi.
"Tapi mengapa menurut cerita Ki Jalu Kuping, yang
disebut-sebut oleh Badra Sanjaya adalah  nama Ratu
Dekap Rindu?! Mengapa bukan namamu? Apakah dia
tidak mencintaimu?"
"Itu karena dia terkena jurus 'Ranjang Goyang' sang
Ratu. Jurus 'Ranjang Goyang' dapat mengenai lawan
bercumbu pada saat sang Ratu merasa dikecewakan
dalam cumbuannya. Dan dengan sendirinya kekuatan
gaib dari Jurus 'Ranjang Goyang' itu terlepas dari sorot
pandangan mata sang Ratu," tutur Laras Wulung.
Sambungnya lagi, "Maka ketika Nyai Ratu mengaku
pernah dikecewakan oleh Badra Sanjaya, aku segera
tanggap bahwa Badra Sanjaya pasti telah terkena jurus
'Ranjang Goyang'. Jika begitu, maka cepat atau lambat
sukmanya akan datang sendiri kepada Nyai Ratu dan
segera dimasukkan dalam    tabung beling untuk
dipenjarakan. Sukma itu tak akan pergi ke mana-mana
jika tabung itu tidak dibuka atau tidak dipecahkan!"
"Sekarang di mana tabung itu berada?" tanya Suto
yang sudah mulai yakin bahwa Laras Wulung ada di
pihak Badra Sanjaya.
"Tabung itu ada di kamar Nyai Ratu. Tak seorang pun
mengetahui letaknya dan cara mengambilnya kecuali
aku! Karena aku pengawal kepercayaan Nyai Ratu!"
"Maukah kau mengambilkannya untukku demi
membebaskan sukma si Badra Sanjaya?"
"Aku tak keberatan asalkan kau mau juga


melindungiku jika Nyai Ratu murka padaku!"
"Kalau aku tak mau, bagaimana?"
Laras Wulung diam sebentar. Kemudian ia me-
mandang Suto sambil berdiri.
"Tolong, bantulah aku. Aku sangat mencintai  Badra
Sanjaya! Aku akan kalah jika melawan Nyai Ratu."  
"Kau mencintai Badra Sanjaya?" 
Laras Wulung mengangguk.
"Apakah kau tak tahu bahwa Badra Sanjaya sering
melayani perempuan lain, termasuk Gayanti, Paras
Juwita dan...."
"Dan aku juga," potong Laras Wulung. Ia melangkah
ke samping, lalu berbalik dan menatap Suto kembali.
"Ketika Badra Sanjaya datang kemari mencari kakak
seperguruannya yang bernama Jantra Loya, kami
berhasil memperdayanya. Sebenarnya kami tidak tahu di
mana Jantra Loya berada, karena kami tak punya urusan
dengan Jantra Loya. Tapi melihat ketampanan Badra
Sanjaya, kami katakan bahwa Jantra Loya dalam
tawanan kami. Dia bisa dilepaskan jika Badra Sanjaya
mau menjadi penghibur perempuan-perempuan di Bukit
Kemesraan ini. Badra Sanjaya tak berkutik ketika
melawan Nyai Ratu, akhirnya ia mau menjadi pelayan
kemesraan kami. Jadi siapa pun yang membutuhkan
kemesraannya, dia harus melayani, jika tidak maka
Jantra Loya tidak akan kami lepas dari penjara. Padahal
itu hanya tipu muslihat kami saja. Sampai akhirnya Nyai
Ratu merasa bahagia jika mendapat pelayanan cinta dari
Badra Sanjaya. Aku sendiri merasa bahagia sekali  jika
 selesai bercumbu dengannya, lalu akhirnya aku jatuh
cinta pada Badra Sanjaya dan ingin memiliki dia
sepenuhnya."
"Hmmm...!" Suto Sinting manggut-manggut. Setelah
diam tiga helaan napas, ia pun berkata dengan suara
pelan tapi jelas dan tegas.
"Baiklah, aku akan membantumu dalam memadu
cinta dengan Badra Sanjaya, asal kau benar-benar mau
menjadi seorang istri yang baik."
"Aku akan menjadi istri terbaik bagi Badra Sanjaya!
Aku bersumpah untuk hal itu."
"Baik. Sekarang bebaskan sukma Badra Sanjaya, dan
jika Nyai Ratu mengamuk, aku yang akan
menghadapinya. Tapi terlebih dulu kau dan aku pergi ke
Gunung Dara untuk meminta kembali ragaku! Tak
mungkin aku bercinta denganmu dalam keadaan diriku
bertubuh Badra Sanjaya, bukan?"
"Memang. Aku memang ingin Badra Sanjaya
seutuhnya!"
"Kau akan menerimanya setelah sukmaku kembali ke
ragaku yang asli dan sukma Badra Sanjaya bebas dari
penjara."
"Akan kucari penjara sukma itu. Tapi... tapi maukah
kau memberiku kemesraan lagi?"
"Bukankah kau tahu aku adalah Pendekar Mabuk?"
"Kau hanya tenaga penggerak saja. Tapi yang
kurasakan  adalah  kehangatan dan kemesraan Badra
Sanjaya. Tolonglah... beri aku sekali lagi  biar
kekuatanku pulih kembali."
 "Kekuatan...?!"
"Kekuatanku akan susut dan bisa menjadi lenyap jika
gairahku sudah telanjur timbul tapi tidak mendapat
pelampiasan. Jika gairahku tidak pernah timbul, walau
tak mendapatkan kemesraan aku tak akan kehilangan
tenaga. Ini disebabkan karena aku  memiliki  ilmu  'Titis
Panewu' warisan dari nenekku. Jika gairah sedang
kambuh, tak dapat obatnya, maka ilmu  'Titis Panewu'
akan menyerap tenaga dan kekuatan batinku."
"Apa itu ilmu 'Titis Panewu'?"
"Setiap anak yang kulahirkan secara dengan
sendirinya akan memiliki seluruh ilmu yang ada
padaku."
"Wah, hebat juga ilmu itu?!" puji Suto.
"Karena itulah, aku butuh obat untuk gairahku."
"Apakah kau bergairah lagi?"
Laras Wulung anggukkan kepala dengan malu-malu.
"Aku rindu sekali kepada Badra Sanjaya, dan kebetulan
kau hadir membawa raganya, maka gairahku meletup-
letup sejak tadi. Tolonglah aku sekali ini saja, setelah itu
kita  lari dari sini sambil membawa tabung penjara
sukmanya Badra Sanjaya!"
Bingung juga menghadapi masalah ini. Tapi akhirnya
Suto Sinting berkata, "Aku tidak bisa melayanimu. Tapi
kalau  kau  mau mengambil miliknya Badra Sanjaya,
ambillah. Aku hanya sekadar membantu kalian!"
"Ooh...!" Laras Wulung segera memeluk raga Badra
Sanjaya dan hanyut dalam ayunan gelombang cinta yang
luar  biasa dahsyatnya, tidak seperti saat-saat
 sebelumnya.
Pencurian  tabung penjara sukma segera dilakukan
Laras Wulung sesuai rencana. Pendekar Mabuk hanya
membayang-bayangi di luar kamar Nyai Ratu, dan Laras
Wulung sendiri yang masuk ke dalam kamar tersebut.
Ketika ia berhasil membawa tabung beling berisi asap
ungu samar-samar, tiba-tiba langkahnya kepergok oleh
seorang pengawal lain yang bernama Kumbarini.
"Apa yang kau bawa itu, Laras Wulung?!" tegur
Kumbarini dengan nada curiga.
"Nyai Ratu menyuruhku mengambil tabung penjara
sukma ini!" kata Laras Wulung dengan tenang.
"Nyai Ratu sedang bersemadi. Tak mungkin ia
menyuruhmu!"
"Mengapa kau tak percaya padaku, Kumbarini?!"
"Karena aku tahu tabung itu adalah  tabung penjara
sukma Badra Sanjaya. Aku tahu kau mencintai dia,
karena aku pernah mendengar percakapanmu di balik
kerimbunan bambu di taman keputrian itu. Kalian
merencanakan untuk kabur dari sini. Kau yang
menyuruh Badra Sanjaya melarikan diri. Kau pula yang
menunjukkan pintu rahasia untuk meloloskan diri. Maka
sekarang kutahu kau mencuri tabung itu untuk
membebaskan sukma si Badra Sanjaya!" ujar perempuan
berambut panjang dengan kenakan jubah biru bola-bola
kuning.
"Kembalikan tabung itu, Laras Wulung!"
"Jika kau tahu tentang rencana itu, mengapa kau tidak
melaporkannya kepada Nyai Ratu?!"
 "Karena aku tak punya bukti yang kuat. Sekarang aku
punya bukti dan ingin menindakmu sendiri!"  
"Kalau begitu, terimalah jurus 'Sekar Dayu' ini!"
Clap, clap...  !  Dua sinar biru keluar  dari kibasan
tangan kiri Laras Wulung. Rupanya Kumbarini telah
menduga akan diserang secara mendadak, ia telah siap
menangkis dengan sentakkan tangan kanannya yang
memancarkan sinar merah lebar. Maka dua sinar biru itu
menghantam sinar merah yang menyerupai perisai itu.
Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan bangunan istana
megah itu. Tentu saja ledakan tersebut membuat para
pengawal  lainnya berdatangan dan suasana menjadi
heboh. Semakin bertambah heboh lagi setelah
Kumbarini melesat naik ke atas serambi lalu berseru
kepada para pengawal yang berdatangan itu.
"Laras Wulung mencuri tabung penjara sukma!
Lihat...! Tabung itu ada di tangannya dan ia akan
membebaskan sukmanya Badra Sanjaya!"
"Keparat! Rupanya dia sekarang menjadi pencuri
jahanam! Serang dia! Seraaaang...!"
Lebih dari dua puluh lima pengawal  berilmu  tinggi
mengepung Laras Wulung dan mereka menghujani
Laras Wulung dengan pukulan bersinar.
"Hati-hati... tabung itu jangan sampai pecah!" seru
Kumbarini mengingatkan teman-temannya, namun
justru menjadikan Laras Wulung  sadar akan hal itu.
Maka sambil hindari sinar putih dari lawannya, Laras
Wulung  melemparkan tabung itu ke arah pohon.
 Weess...! Pyaaar...!
Wuuutt...! Asap ungu tipis itu menyebar dan lenyap
tersapu angin. Semua pengepung, termasuk Kumbarini
terpekik tegang melihat tabung itu telah pecah.
"Bunuh dia! Jangan beri kesempatan hidup lagi!"
teriak Kumbarini sambil menunjuk Laras Wulung.
Clap, clap, clap, clap...!
Laras Wulung dihujani sinar maut yang dapat
hancurkan tubuhnya. Pada saat kritis itu, Pendekar
Mabuk segera melesat menyambar tubuh Laras Wulung
yang sedang melompat hindari pukulan maut lawan-
lawannya
Zlaaap...! Weees...!
Tahu-tahu Laras Wulung sudah berada di atas tembok
benteng  dalam    keadaan dipondong seorang lelaki
berpakaian serba hijau. Kumbarini dan yang lainnya
terbelalak bengong.
"Kejar mereka!" teriak Kumbarini.
"Turunkan aku! Akan kulepaskan jurus penghancur
istana ini!" kata Laras Wulung. Ia segera diturunkan dari
pondongan Suto. Lalu kedua tangannya segera
berkelebat bagai menari cepat, tahu-tahu menyentak ke
depan. Wuuuk...! Mata dari kedua telapak tangannya
keluar sinar ungu yang menyebar ke berbagai penjuru.
Wuuuus...!
Blegaaarrr.... Bhaaaangg...!
Zlaaaap...! Suto Sinting menyambar tubuh Laras
Wulung  ketika nyala sinar ungu berubah menjadi api
besar yang menyambar ke mana-mana.  Dengan
 dipanggul Suto Sinting, Laras  Wulung  akhirnya
meninggalkan istana itu pada saat suasana istana
menjadi gempar, gaduh dan penuh kepanikan. 
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Dalam    waktu singkat, Laras Wulung sudah berada
jauh sekali dari Bukit Kemesraan. Jika tanpa bantuan
jurus 'Gerak Siluman' Suto Sinting, barangkali para
pengawal Ratu Dekap Rindu akan berhasil mengejar
Laras Wulung. Setidaknya berhasil  menghantam Laras
Wulung dari jarak jauh.
Bleeebaang...!
Gelegar ledakan maha dahsyat masih terdengar
sayup-sayup di tempat Suto menurunkan Laras Wulung
dari pundaknya. Mereka hanya memandang ke arah
Bukit Kemesraan yang memancarkan sinar merah terang
yang menyebar ke langit, membuat langit petang
menjadi merah bak terpanggang api neraka.
Kembalinya sukma Badra Sanjaya ditandai dengan
bangkitnya raga Suto Sinting yang terbaring di dalam 
pondok Ki Jalu Kuping. Kakek berjubah abu-abu tampak
kegirangan, karena ia yakin bahwa Suto berhasil
memecahkan tabung penjara sukma itu. Keyakinannya
itu menjadi kenyataan setelah Suto dalam sosok raga
Badra Sanjaya itu tiba di padepokan Lereng Kunyuk, di
Gunung Dara, bersama seorang wanita cantik yang tak
lain adalah Laras Wulung.
Ki Jalu Kuping akhirnya memindahkan kembali
sukma mereka ke tubuh masing-masing. Maka
melompatlah Laras Wulung memeluk Badra Sanjaya
 dalam kegirangan yang luar biasa. 
"Kurasa Ratu Dekap Rindu akan mencarimu, Laras
Wulung!" kata Badra Sanjaya.
"Itu urusanku!" sahut Suto Sinting yang kini sudah
merasa lega karena sudah memakai raganya sendiri.
"Hanya saja, kumohon padamu, Badra Sanjaya... jangan
kau umbar lagi kemesraanmu untuk gadis-gadis lain.
Curahkan seluruh kekuatan kemesraanmu untuk Laras
Wulung dan... segeralah meresmikan pernikahan kalian,
supaya kalian nyata-nyata merasa saling memiliki!"
Badra Sanjaya dan Laras Wulung anggukkan kepala
dengan senyum kedamaian dan kebahagiaan yang di
ambang ancaman dendam Ratu Dekap Rindu.
 
SELESAI


Segera terbit!!!
PEMBALASAN RATU MESUM
    
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
 http://duniaabukeisel.blogspot.com/  
 https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com