Pendekar Mabuk 82 - Kuil Perawan Ganas

  Serial          : Pendekar Mabuk
Judul          : Kuil Perawan Ganas

 1
SUDAH tiga purnama Suto Sinting tidak jumpa
dengan calon istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa rindu
ingin memeluk sang kekasih idaman hati memaksa
Pendekar Mabuk untuk menyewa sebuah perahu

berlayar tunggal. Perahu itu milik seorang nelayan yang
sedang menderita berbagai macam penyakit, antara lain:
sakit panas-dingin, sakit gigi, sakit encok, sakit perut,
sakit kepala... dan juga sakit hati.
Nelayan tua itu sakit hati kepada anaknya yang
perempuan. Karena si anak perempuan setelah menikah
selalu ikut suami dan tidak pernah mau menengok
ayahnya. Kebetulan waktu itu Suto Sinting si Pendekar
Mabuk membutuhkan tumpangan untuk bermalam.
Maka bertemulah ia dengan si nelayan tua itu. Suto
diberi tumpangan bermalam, tapi Suto juga sembuhkan
nelayan tua itu dengan cara meminumkan tuak dari
bumbung bambu yang ke mana-mana selalu dibawa oleh
sang Pendekar Mabuk.
"Sakit kok borongan sih, Pak Tua?!" ujar Suto setelah
mengobati.
"Entahlah, Nak. Badanku ini kalau sedang gemar
sakit, penyakit apa saja diterimanya. Tidak ada yang
ditolak," jawab Pak Tua. "Biasanya para nelayan
menderita sakit macam-macam begini kalau pada jala
yang dipakai menangkap ikan terdapat seekor ikan mas
dewa."
"Ikan mas dewa itu seperti apa?"
"Ya seperti ikan mas tapi memancarkan cahaya biru
bening. Empat hari yang lalu ikan mas dewa itu
tersangkut dalam jalaku. Tapi ikan itu sudah kubuang
kembali ke laut, kok ya masih saja aku panen penyakit.
Heran aku, Nak."
Percakapan menjadi akrab, sampai akhirnya tiba pada
pembicaraan sewa-menyewa perahu.
"Aku butuh perahu untuk menyeberang ke Pulau
Serindu, Pak Tua. Bolehkah aku menyewa perahumu?"
ujar pemuda tampan, gagah dan berbadan kekar itu.
"Mengapa harus menyewa? Kalau kau mau pakai,
pakailah saja. Aku punya empat perahu."
"Hebat...!"
"Tapi bocor semua!"
"Huuuuh...  perahu bocor kok ditawarkan," pemuda
berbaju coklat tanpa lengan itu dan bercelana putih lusuh
itu bersungut-sungut.
"Tempo hari aku mencari ikan dengan meminjam
perahu temanku."


"Kalau begitu, carikanlah aku perahu sewaan untuk
kupakai selama empat atau lima hari, Pak Tua."
"Tak usah mencari ke mana-mana. Pakai saja
perahuku itu. Kau mau pakai satu atau dua atau bahkan
tiga perahu mau kau pakai menyeberang semua, silakan!
Aku tidak memungut biaya sewa."
"Iya, tapi kalau bocor semua buat apa?!"
"Lho, kan bisa ditambal dulu? Dalam waktu tak
sampai setengah hari aku bisa menambal perahu-perahu
itu sehingga dapat digunakan."
Pak Tua itu rupanya ingin balas budi kepada si
Pendekar Mabuk atas jasa sang pendekar yang berhasil
melenyapkan semua penyakitnya dalam waktu yang
bersamaan. Sebelum siang hari, keempat perahunya
sudah tertambal dengan rapi dan diberi tulisan: Anti
Bocor. Tetapi biar bagaimanapun Suto tak ingin
merepotkan nelayan tua itu. Agar hatinya tidak cemas
karena takut, perahunya tak kembali, Suto meninggalkan
sejumlah uang yang dikatakan sebagai uang sewa, tapi
sebenarnya uang garansi, bahwa perahu pasti akan
kembali.
Menempuh pelayaran seorang diri memang
merupakan pekerjaan yang menjenuhkan. Kanan-kiri,
depan-belakang, yang ada hanya pemandangan biru
dengan warna putih di atas kepala. Sesekali gugusan
pulau dilewati, tak bisa dilihat kedalaman hutannya
karena terlalu jauh dari pandangan mata.
Tetapi demi cinta  dan rindu kepada Dyah
Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam nyata, Suto Sinting tetap jalankan pelayaran
tunggal itu dengan hati resah menahan kangen. Sesekali
ia berdiri di buritan untuk mengatur kemudi perahu.
Badannya tampak tegap dan gagah dengan rambut
panjang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap
tertiup angin samudera. Dalam benaknya tersimpan
banyak khayalan indah yang membuatnya  selalu
tersenyum tipis menandakan walau resah tapi ia punya
kegembiraan tersendiri.
Namun matanya yang bening dan berbulu lentik
untuk ukuran seorang lelaki itu tiba-tiba agak menyipit
karena harus menangkap sesuatu yang dipandang terlalu
jauh. Bumbung tuak yang berisi tuak penuh itu
ditunggingkan hingga isinya mengucur di mulut. Setelah
itu ia memandang ke arah yang dianggap ganjil itu.
"Sepertinya di sana ada kapal yang terbakar? Ada
asap, tapi tak kelihatan api. Atau mungkin hanya
gundukan tanah dan rumput yang terbakar?!" hati si
murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu
berkecamuk sendiri. Rasa penasaran mulai timbul dan
semakin menggelitik hati, sehingga perahu pun
diarahkan pada kepulan asap dan gugusan benda hitam
jauh di sebelah sana.
Semakin lama perahu semakin dekat dengan gugusan
hitam itu. Pandangan mata Suto dipersempit lagi. 
"Oh, benar! Sebuah perahu terbakar! Oh, bukan
sebuah tapi dua buah...? Ya, dua buah perahu! Keduanya
sama-sama terbakar dan... dan oh, ada yang bertarung di
atas salah satu perahu yang terbakar itu?!"
Pendekar Mabuk kerahkan tenaga untuk gerakkan
dayung panjang. Perahunya semakin dekat,
penglihatannya semakin jelas. Ternyata di atas salah satu
perahu berlayar putih yang sedang terbakar layarnya itu
tampak seorang pemuda sedang    mempertahankan
nyawanya dari dua perempuan berjubah hitam dan abu-
abu.
Pemuda itu mengenakan celana dan baju tanpa lengan
warna ungu. Ia berwajah tampan, berkulit  bersih,
rambutnya lurus dikuncir satu, ia menggunakan  senjata
pedang bersarung perak. Di ujung gagangnya ada ronce-
ronce benang ungu sebagai penghias. Pemuda itu juga
mengenakan sepasang gelang kulit warna loreng hitam-
putih di kedua pergelangan tangannya. Punggung
telapak tangannya ada tato bergambar seekor elang biru
mengepakkan  sayapnya.  Pendekar Mabuk kenal betul
ciri-ciri tersebut, yang tak lain adalah ciri-ciri dari
sahabatnya sendiri, yaitu Elang Samudera.
Pemuda itu adalah murid Pendeta Darah Api yang
menjadi pamannya Ratu Remaslega dari Pulau Sangon.
Sedangkan Pulau Sangon sendiri mempunyai perwira
muda yang cantik bernama Dewi Cintani. Dan Elang
Samudera adalah adik dari Dewi Cintani. Suto pernah
membantu  mereka dalam sebuah peristiwa pencurian
Tongkat Guntur Bisu, (Baca serial  Pendekar Mabuk
dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Tetapi dua perempuan yang berusia tua, sekitar enam
puluh tahun ke atas itu, sama sekali belum pernah
dikenali oleh Suto.  Kedua  perempuan yang rambutnya
abu-abu karena bercampur uban itu tampak ganas dalam
menyerang Elang Samudera. Mereka berilmu tinggi,
sehingga mampu berdiri di atas permukaan air laut
dengan hanya berpijak pada sepotong papan sebesar
telapak tangan. Gerakan kedua  nenek itu cukup lincah
dan mereka berkelebat loncat sana-sini sambil
menyambarkan tongkatnya untuk menghancurkan kepala
Elang Samudera. Lompatan-lompatan mereka seperti
sepasang burung camar yang getol menyambar
mangsanya.
Wes, wes... wuuuut...!
Claaap...! Blegaaar... blegaar...!
Ledakan terjadi berkali-kali karena Elang Samudera
selalu mengadu kekuatan tenaga dalamnya jika
mendapat serangan dari kedua lawan, ia jarang mengelak
sinar yang datang padanya. Bahkan ketika kedua nenek
itu datang menerjang dari arah samping kanan-kiri
dengan hantaman tongkatnya, Elang Samudera
menangkis hantaman kedua tongkat dengan
memukulkan tinjunya ke samping kanan-kiri. Proook...!
Blegaaarrr...! Ledakan pun kembali timbul karena tangan
Elang Samudera dialiri tenaga dalam tinggi dan tongkat
itu pun demikian juga. Namun keduanya segera berputar
cepat dan menyabetkan tongkatnya ke punggung Elang
Samudera.
Breeeukh...! Tongkat itu menghantam bersamaan
dengan menggunakan sepasang jurus yang sama pula.
Elang Samudera terpekik dengan tubuh tersentak ke
depan, nyaris terjun ke laut. Sebelum tubuh itu terjun ke
 laut, tendangan nenek berjubah hitam melayang cepat
dan kenai pinggang Elang Samudera.
Bet, buuukh...!
"Aaakh...!" Elang Samudera terlempar melayang ke
perahu yang sudah dipenuhi api itu. Pada saat  kritis
seperti itulah, Pendekar Mabuk segera bertindak dari
atas perahunya. Dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan
cahaya, Pendekar Mabuk menyambar tubuh Elang
Samudera yang nyaris terjun ke kobaran api tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Pendekar Mabuk berdiri di atas selembar kulit kayu
kering yang mengapung di permukaan air. Ia sudah
memanggul Elang Samudera di pundak kiri, sementara
pundak kanannya dipakai untuk menggantungkan
bumbung tuak saktinya.
Kedua nenek terkesiap melihat kemunculan anak
muda yang mempunyai ilmu peringan tubuh cukup
tinggi, terbukti dapat berdiri di atas selembar kulit kayu
yang mengapung di permukaan air. Lebih kagum lagi,
ternyata anak muda bersabuk merah itu mempunyai
gerakan yang mencengangkan mata kedua nenek
tersebut. Mereka tak melihat gerakan Suto, tahu-tahu
mereka sudah melihat kemunculan Suto yang telah
memanggul Elang Samudera. Sementara itu, Adhiyaksa
atau si Elang Samudera merintih pelan dan mulutnya
mengucurkan darah kental, ia terluka parah bagian
dalamnya.
"Siapa kau, Begundal monyet?!" bentak nenek
berjubah abu-abu. "Apa maksudmu ikut campur dalam
urusan kami ini, nah?!"
"Aku hanya menyelamatkan seorang teman," kata
Suto dengan nada tegas.
"O, jadi kau mau cari mampus?!" sahut nenek
berjubah abu-abu.
"Budek!" sentak si jubah hitam pada jubah abu-abu.
"Dia hanya mau menyelamatkan seorang teman! Bukan
mau cari mampus!"
"Lha. iya...! Itu berarti dia mau cari mampus, Tolol!"
si jubah abu-abu mendorong kepala jubah hitam hingga
jubah hitam tersentak ke samping.
"Jangan main julek-julekan begitu! Aku tidak suka!"
bentak si jubah hitam. Jubah abu-abu hanya diam dan
tetap menampakkan kemarahannya kepada Pendekar
Mabuk.
"Hei, Tikus cilik...!" katanya sambil menuding Suto.
"Biarkan murid si Pendeta Darah Api itu mati di tangan
kami, karena dulu murid kami pun mati dibunuh oleh
gurunya!"
"Kurasa Eyang Pendeta Darah Api tidak akan
segegabah itu, membunuh orang seenaknya kalau tidak
ada alasan yang kuat. Jika Eyang Pendeta Darah Api
membunuh muridmu, berarti muridmu adalah manusia
sesat yang memang layak untuk dilenyapkan!"
"Eeeeh, eh, eh, eh...! Kurobek mulutmu sampai ke
tengkuk kalau berani mengatakan Juwanara adalah
murid sesat kami!" tuding si jubah abu-abu.
Jubah hitam menyahut, "Kurasa sekarang sudah
waktunya merobek mulutnya, Cakar Peri!"
"Kalau begitu, robeklah sendiri mulut anak itu,
Taring Peri!"
"Kita maju berdua saja! Hsaaaah...!"
Kedua nenek itu segera lakukan lompatan bagaikan
terbang dengan tongkat terarah ke depan.
Wuuut...! Suto Sinting tak mau menangkis,
melainkan menghindari serangan itu dengan berkelebat
cepat melebihi kecepatan anak panah yang lepas dari
busurnya. Zlaaap...! Zlaaaap...!
Tahu-tahu ia sudah berpindah tempat di perahunya
sendiri. Elang Samudera diletakkan di perahunya itu.
Sementara kedua nenek tak bisa hentikan gerakan.
Ketika sodokan tongkatnya mengenai tempat kosong,
keduanya sama-sama terjerumus dan terjun ke laut.
Byuuurr...! Byuuur...! 
"Anak jahanaaammm...!" geram si jubah hitam.
"Heeaaat...!"
Bruuuusss...!
Cakar Peri yang berjubah abu-abu tersentak meluncur
ke atas, keluar dari permukaan air laut. Ia bagaikan ikan
terbang yang segera lepaskan pukulan bersinar merah
dari telapak tangan kirinya. Wuuuut...!
Sementara itu, Taring Peri yang berjubah hitam hanya
melompat keluar dari kedalaman air dan berdiri di atas
sepotong kayu papan. Tapi ia juga segera melepaskan
pukulan sinar merah berbentuk bola api dari tangan
kirinya. Claaap...!
Sinar merah panjang dari tangan Cakar Peri lebih
dulu menghantam tubuh Suto Sinting. Namun dengan
cepat. Suto Sinting menangkis sinar merah panjang itu
dengan bambu bumbung tuaknya. Trrak, slaaaps...!
Sinar merah panjang itu menjadi berbalik arah dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat. Sinar itu tidak tepat
membalik ke arah Cakar Peri, namun justru menghantam
sinar merah bola apinya si Taring Peri. Wuuub...!
Blegaaarrrr...!
Ledakan dahsyat terjadi sangat mengguncangkan
alam. Air laut menyibak ke atas bagai ingin merangkup
perahu-perahu mereka untuk ditenggelamkan ke dasar
laut. Pendekar Mabuk sendiri sempat terpental ke
belakang dan jatuh masih di dalam perahunya, menindih
tangan Elang Samudera yang masih merintih menderita
sakit itu. Sedangkan kedua nenek tadi terlempar ke atas
tanpa keseimbangan tubuh. Mereka melayang-layang
dan akhirnya jatuh di perahu yang penuh api.
Brrruus...!
"Waaaaa...!" teriak mereka, kemudian sama-sama
melompat keluar dari kobaran api itu. Wuuurs...! Byur...!
Jooorrss...!
Keduanya sama-sama seperti besi membara yang
dimasukkan dalam air. Tapi karena air laut mengandung
garam, maka luka bakar mereka terasa sangat perih dan
membuat mereka berteriak-teriak kesakitan dan
menghamburkan makian yang tak karuan.
"Aaaahhh...! Kunyuk bantaaaat...!"
"Jahanam laknat biadab, keparaaaatt...! Periiiihh...!"
teriak Cakar Peri.
Rupanya ledakan tadi bukan saja menghadirkan
gelombang sentakan sangat kuat, melainkan juga
mengandung hawa panas yang membuat kulit tubuh tua
para 'peri' itu menjadi terkelupas. Bahkan dada Suto
Sinting pun menjadi merah karena hawa panas tadi.
Untung ia buru-buru meneguk tuaknya, sehingga rasa
panas pun segera sirna dan badannya menjadi segar
kembali.
"Kita lari saja dari sini!"
"Lari ke mana?! Perahu kita sudah terbakar habis
gara-gara serangannya si murid pendeta bego itu!"
"Aku tak kuat menahan rasa perih di sekujur tubuhku.
Bukitku terbakar!"
"Bukitku juga. Tapi biarlah, sudah peot ini, ngapain
susah-susah dipikirkan! Cuma, oouh... sekujur tulangku
bagaikan ikut terbakar dan sebentar lagi .. akan menjadi
lumer!"
"Ini gara-gara kecerohohanmu, melepaskan pukulan
'Sangkar Api' bersama-sama terlepasnya jurus 'Inti
Lahar'-ku, akibatnya yang seperti ini jika berbenturan!"
"Jangan salahkan aku, salahkanlah si kunyuk muda
itu! Dia menangkis dengan bumbung tuaknya. Coba
kalau tidak ditangkis, pasti tidak membalik ke arah kita!"
"Oouh...! Aku tak kuat menahan rasa panas yang
makin lama semakin mengeringkan darahku ini!"
"Makanya kita cabut saja dari sini!" 
"Iyalah... kita cabut saja dari... hei, itu ada dua potong
papan mengambang! Kita gunakan papan papan itu saja
untuk lari!"
"Pergunakan jurus 'Angin Pengecut' kita! Huuup...!"
Zrrub...! Plek...! Taring Peri lebih dulu melompat dari
kedalaman air, kakinya jatuh di atas sepotong papan.
Cakar Peri menyusul melakukan hal yang sama.
Wuuuut...! Mereka pun sama-sama pergi melesat dengan
kecepatan tinggi. Seakan mereka sepasang layar tua
yang dihembus oleh angin badai. Itulah jurus kabur
mereka yang dinamakan jurus 'Angin Pengecut'.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan kedua nenek itu
kabur, ia segera menolong Elang Samudera yang terluka
parah bagian dalamnya itu. Beberapa teguk tuak
diminumkan ke mulut Elang Samudera. Dengan
meminum tuak sakti tersebut, maka luka parah baik yang
ada di dalam maupun yang di luar tubuh menjadi
sembuh tanpa bekas sedikit pun.  Itulah kehebatan tuak
sakti dari bumbung bambu yang menjadi ciri khas si
Pendekar Mabuk.
"Siapa kedua nenek liar tadi?" tanya Suto kepada
Elang Samudera, setelah Elang Samudera menyatakan
rasa bersyukur dan berterima kasih atas kemunculan
Suto di tempat itu.
"Mereka orang-orang dari aliran hitam yang sakit hati
kepada guruku karena kematian murid kesayangan
mereka. Lalu, mereka ingin balas membunuh murid dari
guruku, yaitu aku sendiri!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Lalu,
kau sendiri mau ke mana sebenarnya, Elang
Samudera?!"
"Aku mau ke Pulau Swaladipa. Aku diutus oleh Ratu
Remaslega menggantikan tugas kakakku; Cintani, untuk
menyelamatkan seorang bocah yang ada di Pulau
Swaladipa."
"Bocah...?! Hei, kenapa kau sekarang jadi tukang
momong?!"
Pendekar Mabuk menertawakan. Tapi Elang
Samudera hanya tersenyum-senyum sambil matanya
memandang jauh ke cakrawala dan suaranya terdengar
kembali.
"Bocah itu adalah bocah emas yang kini sedang jadi
incaran para penguasa di berbagai tempat." 
"Bocah emas?!" gumam Suto penuh keheranan.
"Seluruh kulitnya berwarna kuning emas. Bahkan
keringat atau air matanya jika membeku menjadi butiran
emas. Menurut kepercayaan para sesepuh, bocah emas
adalah bocah keberuntungan yang akan membuat sebuah
negeri atau sebuah wilayah akan menjadi makmur dan
kedudukan penguasanya tak akan bisa ditumbangkan
jika bocah emas itu berada dalam perawatannya!"
"Hebat! Baru sekarang kudengar ada bocah sekeramat
itu?!"
*
*  *

2
TIDAK ada perahu yang utuh dan bisa dipakai lagi,
baik perahu bawaan Elang Samudera maupun perahu
bawaan kedua nenek itu. Hanya perahu Suto yang masih
utuh dan tidak mengalami kerusakan apa pun. Maka mau
tak mau Suto mengantar Elang Samudera sampai ke
Pulau Swaladipa.
"Pulau Swaladipa adalah pulau kekuasaan Ratu
Lembah Girang," tutur Elang Samudera menjelaskan
selama dalam perjalanan di laut.
"Apakah bocah emas itu adalah anak Ratu Lembah
Girang?!"      
"Bukan. Bocah emas itu keturunan dari pasangan
suami-istri yang menjadi sepasang pertapa di Gunung
Sambara. Sepasang pertapa itu adalah Eyang Winudaya
dan Eyang Sutimuning." 
"Keduanya masih hidup?" 
"Sudah tiada," jawab Elang Samudera. "Pasangan
pertapa sakti itu mati tanpa raga. Artinya tidak ada jasad
yang ditinggalkan kecuali hanya pakaian mereka berdua.
Dan menurut keterangan guruku, Eyang Winudaya dan
Eyang Sutimuning meninggal sekitar tujuh puluh tahun
yang lalu."
"Oh...?!" Suto agak kaget. "Kalau begitu sekarang
yang dinamakan Bocah Emas itu sudah besar, bahkan
mungkin sudah tua?!"
"Seharusnya begitu. Tapi kenyataannya bocah itu
tetap awet kecil, seperti bocah berusia lima tahun
kurang, ia tinggal di dalam gua pertapaan ayah-ibunya di
Gunung Sambara. Ia hidup bersama pelayan tua
pasangan pertapa sakti itu. Pelayan itu bernama Ki
Jurumomong. Tapi beberapa waktu yang lalu, Ratu
Remaslega dan beberapa tokoh tua dalam persilatan
mendengar kabar bahwa Ki Jurumomong telah tewas
juga. Maka si Bocah Emas itu hidup sendirian dan
sekarang sedang dijadikan bahan rebutan para tokoh baik
dari aliran hitam maupun dari aliran putih."
"Apa ada hubungannya dengan Ratu Lembah
Girang?!"
"Hubungannya adalah... Ratu Lembah Girang
menjaga ketat wilayah Gunung Sambara, karena ia
sendiri  ingin merawat Bocah Emas itu untuk
memperkokoh kedudukannya dan mencari kejayaan dari
kekuasaannya."
"Ikut aliran mana ratu itu?"
"Aliran hitam!" jawab Elang Samudera dengan tegas
dan jelas. Lalu, ia menyambung penjelasannya tanpa
diminta oleh Pendekar Mabuk.
"Pada mulanya, Pulau Swaladipa diperintah oleh Nyi
Ageng Sangir, bibinya Ratu Remaslega. Tapi perempuan
sesat berjuluk Lembah Girang segera menggulingkan
kekuasaan Nyi Ageng Sangir. Maka pulau tersebut dan
wilayah jajahannya berada  dalam genggaman Lembah
Girang, yang kemudian menobatkan diri sebagai ratu di
pulau itu."
Suto Sinting manggut-manggut. Ia tampak antusias
sekali mendengarkan cerita tersebut. Bahkan ia menjadi
penasaran, ingin tahu seperti apa wujud si Bocah Emas
dan Ratu Lembah Girang itu. Rasa penasarannya itu
sempat menyisihkan rasa rindunya kepada Dyah
Sariningrum, sehingga secara tak langsung Pendekar
Mabuk akan membantu usaha Elang Samudera untuk
dapatkan si Bocah Emas itu.
Rasa ingin tahunya membuat Suto kembali ajukan
tanya kepada Elang Samudera dengan lebih teliti lagi.
"Jadi siapa sebenarnya yang berhak memiliki Bocah
Emas itu?"
"Secara silsilah, Ratu Remaslega yang berhak
memiliki bocah tersebut karena Nyi Ageng Sangir,
bibinya Ratu Remaslega itu masih punya darah
keturunan dari Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning.
Bahkan kalau diurut-urutkan, Ratu Remaslega adalah
cucu canggah dari Eyang Sutimuning."
"Cucu canggah...?!" gumam Suto agak bingung.
"Cucu canggah adalah anak dari cucu buyut.
Misalnya kau menjadi buyutnya Gila tuak, maka kau
memanggil ayahnya Gila Tuak dengan sebutan Eyang
canggah."
"Oooo.,.," Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
gumamnya yang lirih.
"Jika Bocah Emas itu berada dalam perawatan tokoh
sesat, maka tokoh itu akan menjadi semakin  sesat dan
sukar ditumbangkan. Benar atau tidak, tapi guruku
sendiri pernah berkata, bahwa siapa pun yang merawat
Bocah Emas maka usianya akan panjang, seluruh angan-
angan dan gagasannya akan menjadi kenyataan. Sebab
bocah itu dibayang-bayangi hawa keramat dari roh
kedua orangtuanya."
"Pantas kalau bocah itu dijadikan rebutan," ujar Suto
mirip orang menggumam, seakan bicara pada diri
sendiri.
"Sebelum aku berangkat dari Pulau Sangari sebagai
utusan Ratu Remaslega, terlebih dulu aku pamit dan
mohon doa restu dari Guru. Lalu, guruku berpesan agar
aku harus mampu mempertahankan bocah itu agar
jangan sampai jatuh di tangan tokoh sesat seperti Ratu
Lembah Girang itu."
"Barangkali kalau aku pamit kepada guruku juga
akan diwanti-wanti begitu."
Tanpa terasa perahu pun akhirnya merapat di sebuah
pantai. Dan menurut Adhiyaksa alias Elang Samudera,
pantai tersebut adalah ujung kulon dari Pulau Swaladipa
lebarnya hampir sama dengan tanah Jawa. Elang
Samudera melompat dari perahu lebih dulu, memandang
keadaan sekeliling yang tampak sepi-sepi saja. Pendekar
Mabuk menyusulnya dengan menarik tambang perahu.
Perahu tersebut ditambatkan pada dua gugusan karang
yang membentuk celah persembunyian untuk sebuah
perahu, sehingga keadaan perahu tidak semata-mata
tampak dari berbagai arah.
"Kita harus mencari Gunung Sambara."  Ujar  Elang
Samudera yang usianya sekitar dua puluh tahun itu.
"Tahukah kau arah menuju Gunung Sambara?!"
Elang Samudera angkat bahu, "Kita tanyakan saja
pada penduduk sekitar pantai ini!"
"Hmmmm...," Suto menggumam pendek, matanya
memandang sekeliling. "Kulihat ada kepulan asap di
sebelah sana. Aku yakin di sana ada sebuah desa dan kita
bisa tanyakan pada penduduk di desa itu!"
Mereka pun segera melesat ke arah kepulan asap tipis
itu. Elang Samudera bergerak dengan lincah dan cepat,
namun jika Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
maka Elang Samudera akan tertinggal jauh oleh gerakan
Suto. Dalam keadaan seperti itu, Suto hanya
menyesuaikan gerakannya agar bisa tetap bersama-sama
Elang Samudera.
Ketika mereka mencapai sebuah kaki bukit yang
berpohon renggang, langkah  mereka dihentikan oleh
kemunculan seorang perempuan cantik berkulit putih.
Perempuan itu mengenakan rompi panjang warna
merah dengan tepian berumbal-rumbai. Rompi itu tidak
mempunyai kancing pada  bagian depannya. Ujung
kanan-kiri rompi itu saling terikat di atas pusar.
Sementara celananya yang juga merah berumbai-rumbai
itu sangat ketat dan pendek, kurang dari separuh paha.
Perempuan berambut keriting halus tapi panjang
sepunggung  itu seakan memamerkan tubuhnya yang
putih mulus dalam dandanan yang merangsang. Belahan
dadanya tampak sebagian membusung kencang tanpa
kutang. Perutnya terlihat putih mulus tanpa cacat seperti
kedua pahanya, ia menenteng pedang bergagang kepala
burung garuda. Melihat sabuk hitam kecil yang melilit di
pinggangnya, tak salah lagi jika pedang itu sesekali
ditenteng sesekali diselipkan di pinggangnya. Sabuk
hitam itu terbuat dari kulit emas yang kepalanya berhias
kepala singa berambut panjang.
Pendekar Mabuk dan  Elang Samudera saling lirik
sebentar. Keduanya tetap tenang dan bersikap waspada.
Perempuan cantik yang usianya sekitar dua puluh empat
tahun itu dipandangi mereka berdua tanpa sapaan
sepatah kata pun. Suto sempat menikmati gumpalan
belahan dada perempuan itu yang putih namun
mempunyai tato gambar setangkai mawar. Tato itu ada
pada gumpalan dada sebelah kanan.
"Sudah janda atau masih gadis perempuan ini?" bisik
Elang Samudera kepada Suto. Pendekar Mabuk
tersenyum geli mendengar bisikan itu.
"Melihat ketegasannya dalam berhadapan dengan
kita, aku yakin dia sudah bukan gadis lagi. Tapi kurasa
dia juga belum bersuami. Tahu maksudku, bukan?"
"Hmmm, ya, ya...," Elang Samudera manggut-
manggut sambil tersenyum.
"Kira-kira apa maksudnya menghadang kita?" bisik
Elang Samudera lagi.
"Mungkin kita dianggap pamannya," jawab Suto
seenaknya. Lalu mereka sama-sama tertawa cekikikan
sambil buang pandangan ke arah lain biar tak terlalu
menyinggung gadis itu. 
Tapi tiba-tiba gadis itu menyentakkan tangannya ke
depan dalam keadaan dua jarinya lurus dan mengeras.
Dari ujung dua jari itu keluar dua larik sinar kuning yang
menghantam ke arah Elang Samudera dan Suto Sinting.
Clap, claap...! 
Sinar itu bergerak cepat dam nyaris tak terlihat. Tahu-
tahu Elang Samudera seperti tertusuk jarum pada bagian
bawah pundaknya dan Suto Sinting merasa seperti
disengat lebah di tulang iganya.
"Aakh...!"
"Ouh...!"
Kedua pemuda itu sama-sama terpekik pendek dan
saling tersentak mundur satu langkah dengan tubuh
melengkung ke depan. Sinar kuning itu lenyap dari
kedua jari gadis berhidung mancung dan berbibir sensual
itu. Tangannya diturunkan, sikap berdirinya masih tetap
tegap dam menantang. Rambut keriting  halus yang
terurai sepunggung itu meriap-riap dipermainkan oleh
angin.
"Apa yang ia lakukan terhadap kita tadi?" tanya
Elang Samudera kepada Suto.
"Menyerang!" jawab Suto.      
"Tapi kok kita tidak mati!"
"Mungkin sebentar lagi. Cepat minum tuakku!"
ujarnya, lalu Suto sendiri meminum tuaknya dan Elang
Samudera ikut meminumnya juga.
Tiba-tiba perempuan beralis tebal dan bermata indah
walau bukan berarti bundar bening, segera perdengarkan
suaranya sambil gerakkan bola mata yang tajam itu
berpindah-pindah antara Suto dan Elang Samudera.
"Kalian memasuki wilayah kami tanpa izin! Maka
sudah selayaknya kalian kuberi peringatan dengan 
melumpuhkan seluruh urat dalam tubuh kalian!"
Elang Samudera dan Suto Sinting sama-sama
gerakkan tangan dan kaki.
"Kok tidak lumpuh, Nona?!" ujar Suto Sinting.
Gadis itu kerutkan dahi sebentar. Merasa heran
melihat kedua pemuda tampan itu masih berdiri di
depannya dengan tegar. Bahkan Suto Sinting bergerak
meliuk-liuk bagai mengejek dengan tarian.
"Apakah kau mau jadi orang lumpuh, Elang
Samudera?"
"O, tentu mau asal digendong oleh gadis secantik dia,
Suto!" jawab Elang Samudera mengimbangi sindiran
Pendekar Mabuk.
Gadis itu masih diam, bertampang tak ramah, namun
justru tampak semakin cantik.
Tiba-tiba Elang Samudera dan Suto Sinting tersentak
kaget karena mendapat tendangan dari arah belakang.
Tendangan itu membuat mereka terlempar ke depan dan
tersungkur bagai mau mencium kaki gadis bertato bunga
mawar itu.
Rupanya tendangan tersebut bukan hanya sekadar
tendangan biasa, ia mempunyai jurus tertentu yang dapat
kenai saraf tulang punggung melumpuhkan sekaligus
membuat korbannya tak sadar. Terbukti setelah Elang
Samudera dan Suto jatuh tersungkur mereka tak
bergerak-gerak lagi dan tak mengerti apa yang terjadi
pada diri mereka selanjutnya.
"Bawa mereka dan buang bambu tuak itu!"
Hanya kata-kata itu yang masih tersisa di telinga
Pendekar Mabuk sebelum ia benar-benar tak sadarkan
diri. Suara yang keluar, jelas dari suara si tato bunga
mawar. Tapi entah siapa yang diperintahkan begitu dan
apa yang dilakukan orang yang menerima perintah
tersebut, Suto Sinting benar-benar tak bisa mengingat
apa-apa lagi.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di sebuah ruangan
berlantai marmer putih. Dindingnya juga berlapis
marmer putih dengan serat-serat kecoklatan. Ruangan itu
kosong, tanpa perabot apa pun. Lebarnya juga tak
sampai  lima langkah. Ruangan itu menyerupai penjara
tapi sangat bersih dan tertutup rapat. Pintunya terbuat
dari besi dengan lubang pengintai sebesar biji salak.
Lubang itu mempunyai tutup sendiri di bagian luar,
sehingga bisa dibuka dan ditutup oleh orang yang ada di
luar kamar.
"Ruangan apa ini?! Mengapa aku sendiri di sini?
Ooh... mana Elang Samudera?!" ujar Suto membatin
sambil berusaha bangkit berdiri, namun tak jadi karena
tiba-tiba ia roboh kembali. Bruuuk...!
"Aduuuh... tulang-tulangku terasa remuk semua.
Urat-uratku bagaikan putus. Uuufh...! Gila! Serangan
apa yang kuterima sehingga melumpuhkan sekujur
tubuhku begini. Oouh... aku seperti manusia tanpa tulang
dan tanpa otot lagi. Celaka kalau begini? Hmmm... mana
bumbung tuakku? Oh, benarkah sudah dibuang oleh si
cantik bertato mawar itu?"
Sekalipun Suto ingat bahwa bumbung tuaknya
dibuang oleh lawannya sebelum ia benar-benar tak
sadarkan diri, tapi hati Suto tidak merasa cemas sedikit
pun. Bumbung tuak itu bumbung bernyawa. Dibuang ke
manapun akan datang sendiri mengikuti Suto Sinting,
sebab bambu bumbung tuak itu adalah bambu jelmaan
tokoh sakti zaman dulu yang bernama Wijayasura, kakek
gurunya si Gila Tuak.
Suto yakin bumbung bambu tempat tuak itu datang
sendiri menghampirinya. Keyakinan itu ternyata terbukti
juga setelah beberapa saat Suto terkulai lemas di lantai
dingin itu. Bumbung tuak tersebut tiba-tiba muncul
dalam bayang-bayang di samping kanannya. Bayang-
bayang tersebut makin lama semakin jelas, dan akhirnya
mewujud dalam bentuk nyata.
"Nah, datang juga akhirnya!" ucap Suto dengan hati
girang. Lalu, tangan kirinya meraih bumbung itu dan
dengan gemetar tuak pun ditenggaknya beberapa teguk.
Glek, glek, glek...!
Pandangan mata yang semula buram, kini menjadi
terang. Urat-urat yang tadinya lemas, kini menjadi
kencang kembali. Tulang-tulang yang terasa remuk, kini
mampu dipakai untuk duduk tegak. Bahkan Suto Sinting
berhasil bangkit berdiri dengan tegar dan kekar.
Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. 
"O, rupanya dinding sebelah kiri itu dilapisi kaca
tembus?!" ucapnya rada kaget, ia segera dekati dinding
kiri yang memang dilapisi kaca tembus pandang ke
ruangan sebelahnya. Ternyata ruangan sebelah itu adalah
tempat memenjarakan Elang Samudera.
Ruangan sebelah juga dalam keadaan bersih dan
tanpa perabot. Dinding dan lantainya mempunyai warna
yang sama, bahkan ukuran luas ruangan juga sama
dengan yang ditempati Suto Sinting.
Hal yang membuat berbeda adalah keadaan kaca
tersebut. Suto melihat Elang Samudera sedang
menggeliat bangkit pelan-pelan dan mengerang
kesakitan. Pemuda berbaju ungu itu akhirnya berhasil
berdiri dengan berpegangan pada dinding kaca. Namun
matanya yang memandang ke arah kaca itu bagai tak
melihat Suto di balik kaca.
"Elang...! Elang, kau bisa bertahan?!" seru Suto
Sinting sambil melambai-lambaikan tangan. Tapi tak ada
reaksi apa-apa dari Elang Samudera. Pemuda berbaju
ungu itu justru memperhatikan wajahnya bagai orang
sedang bercermin.
"Ooo... sekarang aku tahu keadaan kaca ini. Dari
tempatku bisa dipakai untuk melihat ruang sebelah, tapi
dari tempat Elang Samudera tak bisa dipakai melihat
keadaanku di sini. Kurasa dari ruangan itu kaca ini
menjadi cermin untuk merias diri atau entah untuk apa.
Yang jelas, orang yang berdiri di depan cermin itu hanya
akan melihat bayangannya sendiri di dalam cermin, tak
bisa melihat keadaanku di sini."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan memandangi
sekelilingnya. Hati pun membatin kembali dalam nada
gumam.
"Sebenarnya bisa saja kujebol kaca ini! Mudah sekali
menghancurkan dinding ini. Tapi aku ingin tahu dulu,
apa maksud gadis itu menangkapku dan Elang serta
menempatkan kami berbeda ruangan? Siapa sebenarnya
gadis cantik yang bibirnya menggemaskan itu? Apakah
mereka anak buah Ratu Lembah Girang?! Apakah
mereka mengetahui maksud dan rencana kedatanganku
dengan Elang yang ingin mengambil si Bocah Emas
itu?"
Suto manggut-manggut kembali sambil bertolak
pinggang menggantungkan bumbung tuak di pundak
kanannya. Matanya memandang ke arah Elang
Samudera yang tampaknya tak bisa berbuat apa-apa lagi
itu.
"Akan kuikuti dulu permainan gadis itu sampai
kutahu maksudnya menangkap kami. Dan...."
Ucapan batin Pendekar Mabuk terhenti, karena tiba-
tiba ia melihat lubang pintu terbuka. Ada mata yang
mengintai dari sana. Suto Sinting tetap berdiri di dekat
kaca dengan tangan kiri menopang di dinding dan tangan
kanan bertolak pinggang, mencantilkan jempolnya pada
tali bumbung tuak. Bola mata yang mengintai itu jelas
bola mata wanita, dan Suto ingat mata itu adalah milik
gadis bertato mawar. 
Klak, klak, Klaaaaaang...!
Suara kunci pintu dibuka. Pendekar Mabuk tetap
tenang dalam posisi semula, ia membiarkan pintu itu
terbuka dan seraut wajah cantik bergigi indah
menggemaskan itu muncul dari balik pintu. Dugaannya
tak salah, gadis bertato mawar yang mengintai dari
lubang tersebut. Kini gadis itu mengunci pintu kembali
dan anak kuncinya diselipkan di sabuk hitam, ia berdiri
dengan tegar, pedangnya terselip di pinggang. Kakinya
sedikit merenggang, dan kedua jempol tangannya
menggantung di sabuk depan perut. Rambut keriting
 halus yang terurai sepunggung meriap sebagian
menutupi pipi kirinya, ia tampak lebih cantik dan
menggairahkan dengan busana serba mini itu.
Mata tajam yang mempunyai kebeningan
mengagumkan itu menatap ke arah bumbung tuak. Hati
gadis itu sempat membatin penuh keheranan melihat
bumbung tuak ada di pundak Suto lagi.
"Dari mana dia bisa memperoleh bumbung tuak itu?
Bukankah sudah dibuang jauh-jauh sebelum ia dibawa
kemari?!"
Pendekar Mabuk mencoba memberikan senyum
keramahan. Senyum itu bukan saja senyum keramahan,
namun mempunyai daya tarik yang dapat menggetarkan
hati perempuan mana saja. Walau kenyataannya, wajah
gadis itu tetap kaku dan dingin, seakan tak tertarik
dengan senyuman Suto Sinting. Namun sebenarnya hati
gadis itu berdesir-desir ketika senyuman itu terpampang
jelas di depan matanya dalam jarak empat langkah.
"Kaukah yang terkenal dengan nama Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu?!" si gadis perdengarkan suaranya
yang serak-serak basah.
"Benar. Dari mana kau bisa mengenaliku?"
"Kalian sempat saling sebutkan nama ketika
menertawakan diriku!" jawabnya bernada ketus.
"O, rupanya kau punya otak cukup  cerdas," sambil
Suto sunggingkan senyum berkesan meremehkan.        1
"Saat kudengar kau memanggil temanmu itu dengan
nama Elang Samudera, dan Elang Samudera
memanggilmu: Suto. Maka kucocokkan, nama itu
dengan ciri-ciri yang pernah kudengar dari beberapa
sahabatku yang ada di tanah Jawa. Ternyata ciri-ciri itu
sama dengan nama Suto Sinting. Maka kutahu, kaulah
Pendekar Mabuk yang kondang dengan kesaktian
gilanya itu!"    
"Secara tak langsung kau mengakui keunggulanku,
bukan?"
"Hmmm...!" gadis itu mencibir, melangkah ke
samping dua tindak, kemudian berhenti dan memandang
Suto kembali.
"Kau boleh bangga punya kesaktian gila-gilaan di
tanah Jawa. Tapi di sini, di dalam Kuil Perawan Ganas
ini, kesaktianmu seperti daun kering yang menjadi
penghuni tempat sampah!"
"O, kalau begitu ruangan ini adalah tempat sampah?!" 
"Hmmm...!" gadis itu mendengus kesal.
"Aku belum mengenalmu, Nona. Kalau aku sudah
mengenalmu, barangkali aku berani menyerangmu untuk
memperkenalkan kesaktianku di depan gadis seangkuh
dirimu, Nona."
"Aku yang bernama Dewi Kun!" jawab si gadis
dengan tegas dan ketus. "Aku yang tertua dari para
penghuni kuil ini!"'
"Dewi Kun...," gumam Suto bagai menghafalkan
nama itu. 
"Sekarang kau sudah tahu namaku. Kau ingin adu
kesaktian denganku?!"
Pendekar Mabuk sengaja nyengir konyol. "Ah, tadi
cuma pancingan saja. Biar aku tahu siapa nama gadis
cantik yang sejak tadi menggetarkan hatiku ini."
"Hmmm...!" Dewi Kun mencibir, seakan
meremehkan rayuan Suto.
"Lalu, mengapa kau menangkap kami, Dewi Kun?"
"Semula karena kesalahan langkahmu yang
memasuki wilayah Kuil Perawan Ganas tanpa izin lebih
dulu. Tapi setelah kutahu kau adalah Suto Sinting si
Pendekar Mabuk, maka segalanya menjadi berubah."
"Berubah bagaimana?"
"Kau harus tunduk padaku!" jawabnya pelan tapi
tegas dan pandangan mata tajam dan penuh wibawa.
Dewi Kun berkata lagi, "Jika kau tidak tunduk pada
perintahku, maka temanmu itu akan kehilangan
kepalanya!" 
"Oh, jangan begitu, Dewi Kun!" sergah Suto, "Kalau
Elang Samudera kehilangan kepala, lantas dia mau pakai
kepala apa? Kepala bebek?!" 
"Terserah mau pakai kepala apa bukan urusanku lagi
jika sudah begitu. Yang perlu kau ingat, kata-kataku ini
bukan sekadar ancaman! Tapi akan terbukti dengan
nyata jika kau tak mau tunduk dan patuh pada pihakku!
Sekarang pun akan kupotong jari tangan si Elang
Samudera sebagai bukti kesungguhan ancamanku!"
Dewi Kun bergegas ke pintu, Suto Sinting melompat
dan menghadang langkah gadis itu. Jleeg...!
"Jangan lakukan itu padanya! Lakukan saja padaku
jika kau ingin pamer kekejaman!" sambil Suto
mengulurkan tangan kirinya seakan mempersilakan
Dewi Kun untuk memotongnya.
Dewi Kun diam memandang tak berkedip, tanpa
senyum dan keramahan sedikit pun. Mereka saling
beradu pandang selama dua helaan napas. Kemudian
gadis itu berkata dengan nada kian tegas lagi.
"Tunduk dan patuhlah kepadaku, maka temanmu itu
akan selamat dan tidak cedera sedikit pun!"
Pendekar Mabuk menarik napas panjang dan
menghembuskannya.
"Baiklah! Tapi bagaimana dengan keadaan Elang
Samudera sekarang itu? Dapatkah kau memulihkan
kekuatannya kembali?!"
"Kita lihat saja...," sambil mata Dewi Kun
memandang ke arah kaca. Pendekar Mabuk ikut-ikutan
memandang ke sana. Tiba-tiba Dewi Kun meletakkan
jari telunjuknya di pelipis sambil pejamkan mata dan
kerutkan dahi. Suto menyangka gadis itu sedang berpikir
sesuatu. Tetapi kejap berikutnya Suto menjadi
terperangah penuh keheranan.
Dewi Kun tampak memasuki ruangan yang dipakai
menawan Elang Samudera. Dewi Kun juga tampak
sedang hampiri Elang Samudera dan menuding pemuda
itu dengan telunjuk tengah. Dari telunjuk tengah itu
keluar seberkas sinar merah. Claap...! Menghantam
tengah kening Elang Samudera.
Pemuda murid Pendeta Darah Api itu menggeragap
dan terengah-engah. Lalu, ia bergegas bangkit berdiri
dengan mata membelalak memandangi  gadis di
depannya. Gadis itu segera keluar dan mengunci pintu
kembali. Tapi keadaan Elang Samudera sudah bisa
berdiri tegak dan kekuatannya tampak telah pulih
kembali seperti sediakala. Hanya saja ia masih tertegun
seperti baru menyadari keadaan sekelilingnya.
"Aneh! Rupanya kau punya ilmu cukup tinggi? Kau
ada di sini, tapi juga bisa ada di ruang sebelah sana?!
Hebat sekali ilmumu, Dewi Kun!" puji Suto Sinting
dengan wajah masih tampak terheran-heran, karena ia
tak menyangka gadis semuda Dewi Kun sudah
menguasai ilmu pindah raga seperti itu.
"Aku hanya bicara melalui batin."
"Maksudmu bagaimana?!"
"Carilah sendiri jawabannya dalam otakmu. Yang
jelas, begitulah keputusanku tadi! Sekali kau menentang
perintah maka akan kucederai sahabatmu itu!" 
"Bagaimana kalau kita  bertarung adu kesaktian?!"
tantang Suto.        
"Tak masalah bagiku. Tapi pada saat kau bergerak
menghantamku maka sahabatmu akan kehilangan satu
anggota badannya; mungkin jari tangan, mungkin
pergelangan, mungkin matanya atau mungkin juga
kepalanya!"
"Kau ini cantik-cantik kok menyeramkan sekali,
Dewi?!"
"Karena aku tak ingin disepelekan oleh kaum pria,
terutama pemuda mata keranjang sepertimu!" tegas
Dewi Kun dengan pandangan mata sedikit menyipit
menandakan kebenciannya sebagai perempuan yang tak
mau diremehkan oleh kaum lelaki. 
"Baiklah. Lalu, apa yang harus kulakukan
sekarang?!" pancing Suto semakin ingin tahu maksud
gadis itu.       
"Berbaringlah...!"
"Apa...?!"
"Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu!"
"Gila! Yang benar saja kalau memberi perintah,
Dewi!"
Suara Dewi Kun makin keras dan tegas.
"Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu!
Lekas!"
"Gawat...?!" gumam Suto Sinting, kemudian melirik
ke arah kaca. Ia mencemaskan keadaan Elang Samudera
yang bisa celaka sewaktu-waktu  jika ia tak mau turuti
perintah itu.
Pendekar Mabuk melepaskan baju dan ikat pinggang
dari kain merah. Ketika mau melepaskan celananya,
tiba-tiba pintu digedor seseorang dari luar. Dewi Kun
terperanjat sekejap, kemudian bergegas ke arah pintu.
Lubang pintu ada yang membuka dari luar. Tampak bola
mata memandang ke dalam. Dewi Kun kerutkan kening,
pejamkan mata, tundukkan kepala, jari telunjuknya
menekan pelipis. Kejap berikutnya ia tegak kembali dan
berkata kepada Suto Sinting.
"Berbaringlah saja dulu! Aku akan datang
secepatnya!" 
Dewi Kun keluar dari ruangan tersebut dengan
mengunci pintu besi itu. Pendekar Mabuk berbaring di
lantai dalam keadaan sudah tidak berbaju namun masih
bercelana.
"Kenapa aku jadi seperti bayi yang menurut perintah
ibunya, ya?!" pikir Pendekar Mabuk dalam baringannya.
"Wah, jangan-jangan dia ingin memperkosaku?!
Bahaya! Bahaya jika aku tak mau berhenti diperkosa!"
*
* *


3
KEPERGIAN Dewi Kun dari kamar membuat Suto
menjadi ingin menjebol kaca tembus pandang itu. Ia
segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak
tiga langkah. Beet, wuuut...! Brruuuk...!
Pendekar Mabuk terpental sendiri hingga membentur
dinding belakangnya.
"O, rupanya dinding ini dilapisi udara padat yang
dapat memantulkan pukulan tenaga dalam, dalam bentuk
apa pun?!" Suto Sinting diam termenung sambil garuk-
garuk kepala. "Agaknya lapisan udara padat ini
mempunyai ketebalan yang berbahaya jika dihantam
dengan tenaga bersinar. Bisa-bisa memantul balik
mengenai diriku sendiri. Hmmm... cukup hebat juga.
Andai kuhantam pakai bumbung tuak bagaimana?!'
Pendekar Mabuk akhirnya mencoba menghantamkan
bumbung tuaknya ke kaca tembus pandang. Wuuut,
weees...! Bruuuuk...!
Ternyata bumbung tuak tak berhasil menyentuh kaca
tembus pandang. Bumbung itu bagai menghantam karet
tebal  yang membuat tubuh Suto terlempar sendiri ke
belakang dan jatuh membentur dinding lagi.
Suto penasaran, ia mencoba menghantamkan bambu
tuaknya ke dinding tak berkaca. Ternyata hasilnya sama
saja. Bahkan sekarang kepala Suto menjadi sakit karena
membentur  dinding kaca dengan keras. Kaca itu tidak
pecah, bahkan bergetar pun tidak.
"Luar biasa! Lapisan tenaga dalam apa ini, sehingga
sangat sukar ditembus dengan kekuatan sebesar tadi?!"
Baju masih belum dipakai. Pendekar Mabuk
terengah-engah. Dadanya yang kekar dan berotot itu
tampak bergerak naik turun.
Rupanya di kamar sebelah, Elang Samudera juga
melakukan percobaan seperti yang dilakukan Suto.
Pemuda itu terpental keras saat ingin menendang pintu
dan kepalanya membentur dinding hingga nyaris bocor.
Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap
kepalanya.
Pendekar Mabuk tertawa melihat Elang Samudera
kesakitan.
"Percuma saja! Lebih baik simpan saja tenagamu
untuk keperluan nanti setelah di luar kamar ini, Elang!"
serunya keras-keras, tapi Elang Samudera tampaknya tak
mendengar seruan itu sedikit pun.
Elang Samudera juga penasaran. Kini ia berdiri lagi
menghadap ke pintu dan ingin menjebol pintu itu dengan
kekuatan tenaga dalam. Dua jarinya mengeras dan
tangan pun berkelebat bagai melemparkan pisau.
Suuuut...!
Elang Samudera kaget. Dari raut wajahnya terlihat
jelas ia tersentak kaget melihat ujung jarinya tidak
mengeluarkan sinar apa pun. Hai itu dicobanya sekali
lagi dengan otot lengan mengeras sebagai tanda
mengerahkan tenaga cukup besar. Tetapi ternyata ujung
kedua-jarinya itu tidak mengeluarkan sinar apa pun.
Bahkan ketika ia mencoba dengan menggunakan telapak
tangannya, telapak tangan itu juga tidak mengeluarkan
sinar apa pun.
Elang Samudera menjadi sangat tegang sambil
memperhatikan tangannya sendiri.
"Oh,  dia kehilangan tenaga dalamnya?!" Pendekar
Mabuk segera tanggap akan hal itu dan ikut tegang juga.
"Jangan-jangan aku juga begitu?!" pikir Suto dengan
cemas. Maka ia segera mencoba mengeluarkan tenaga
dalamnya walau bukan dalam bentuk tenaga bersinar.
Sentilan jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'
segera dilepaskan ke arah dinding. Teees...! Wuuut,
brrruk...!
"Oooukh...!" Suto Sinting mengerang kesakitan
memegangi perutnya. Ternyata tenaga dalamnya masih
ada dan sentilan yang mengeluarkan tenaga dalam itu
membalik arah mengenai perut sendiri. Suto terengah-
engah sambil merasa mual. Ia buru-buru meminum
tuaknya untuk hilangkan rasa mual dan sakitnya.
"Tenaga dalamku masih ada. Tapi mengapa Elang
Samudera kehilangan tenaga dalamnya? Bukankah aku
dan dia diserang secara bersamaan? Mungkin juga
dengan jurus yang sama. Tapi mengapa tenaga dalamku
masih ada, sedangkan tenaga dalamnya Elang Samudera
menjadi hilang? Apakah karena sinar merah yang tadi
dipakai mengembalikan kekuatan Elang oleh Dewi Kun
itu telah menyerap atau melumpuhkan tenaga dalam
Elang Samudera? Hmmm... ya, kurasa begitu! Elang
menjadi sehat dan bisa berdiri lagi karena sinar merah
dari jari Dewi Kun, sedangkan aku menjadi sehat karena
minum tuak. Seandainya aku menjadi sehat karena sinar
merah tadi, mungkin kekuatan tenaga dalamku juga akan
lumpuh seperti Elang Samudera, dan yang tersisa hanya
kekuatan tenaga luar saja."
Kejap berikut, Dewi Kun muncul  lagi. Suto segera
menyergah dengan nada protes.
"Kau telah lumpuhkan tenaga dalamnya Elang
Samudera, ya?!"
"Terpaksa kami lakukan supaya kau mau tunduk
dengan perintahku!" ketus Dewi Kun. "Dia hanya
mempunyai tenaga kasar, dan hal itu memudahkan kami
untuk memenggal kepalanya jika kau membangkang
perintah kami!"    
"Kau curang!" geram Suto. "Aku ingin kau
kembalikan tenaga dalamnya Elang Samudera!"
"Semuanya akan kembali seperti semula, termasuk
kebebasannya juga, apabila kau sudah memenuhi syarat
yang harus kau lakukan."
Pendekar Mabuk mendengus kesal. Tapi tatapan mata
Dewi Kun membuat rasa kesal itu berangsur-angsur
luluh. Suto merasakan tatapan mata perempuan itu
bukan sekadar tatapan mata biasa.
Sorot pandangan mata perempuan itu mengandung
obat penjinak secara gaib yang dapat menenteramkan
hati yang gundah ataupun gusar. 
"Syarat apa yang harus kulakukan?" tanya Suto. 
"Kau harus bisa menyerahkan kepada kami seorang
bocah dari Gunung Sambara!" 
"Bocah Emas, maksudmu?!" 
"Benar!" jawab Dewi Kun tegas, tapi membuat Suto
tersengat oleh ketegangan dalam hati. 
"Rupanya pihak Kuil Perawan Ganas ini juga
menghendaki Bocah Emas itu," gumam Suto dalam
hatinya.
"Elang Samudera ditukar dengan Bocah Emas, maka
kalian akan bebas!"
Suto masih diam, tapi membatin dalam gerutu. :
"Elang Samudera sendiri ditugaskan membawa pulang si
Bocah Emas, kok sekarang justru nyawanya harus
ditukar dengan Bocah Emas?! Wah, kelewat berani
perempuan ini! Mungkin dia belum tahu kalau aku sudah
mengamuk, habis sudah bibir perawan secantik dia!" 
Setelah sama-sama diam beberapa saat, setelah sama-
sama beradu  pandang dengan hati saling berdebar,
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya sebagai ungkapan
rasa ingin tahunya,
"Mengapa bukan kalian sendiri yang mengambil
Bocah Emas dari Gunung Sambara?! Bukankah kalian
lebih tahu di mana letak gunung itu daripada aku?"
"Kami tak sanggup hadapi  kekuatan Ratu Lembah
Girang!" jawabnya secara jujur. "Kekuatan kami  tidak
seimbang."
"Apalagi aku!" Suto bersungut-sungut. "Aku hanya
sendirian, mana mungkin bisa melawan kekuatan Ratu
Lembah Girang?"
"Bisa!" sahut Dewi Kun. "Semua bisa dilakukan
dengan siasat!"
"Siasat bagaimana?!"
"Aku akan berlagak menjual dirimu kepada Ratu
Lembah Girang. Setelah kau berada di dekatnya, kau
dapat membujuknya untuk meminta Bocah Emas
sebagai upah kerjamu melayani gairahnya. Lalu, Bocah
Emas kau bawa kemari dan Elang Samudera pun bebas
dari cengkeraman kami!"
"Gila! Jadi kau ingin menjualku kepada Ratu Lembah
Girang?!"   
"Tepat sekali!"
"Hmmm...! Belum tentu usaha ini berhasil! Kau pikir
Ratu Lembah Girang tak mengerti siasatmu?"
Dewi Kun gelengkan kepala pelan. "Ratu Lembah
Girang menyukai pemuda kekar dan tampan sepertimu!"
Pendekar Mabuk diam termenung dalam keadaan
tetap berdiri bersandar dinding. Dewi Kun
memandanginya terus tanpa berkedip. Lama-lama gadis
itu mendekat hingga dalam jarak kurang dari satu
langkah. Mau  tak mau Suto menatapnya karena ingin
tahu apa maksud pendekatan Dewi Kun itu.
Mata beradu pandang, mulut saling membungkam.
Bahasa mata mengisyaratkan bahwa Dewi Kun tergetar
batinya oleh ketampanan dan keperkasaan  Pendekar
Mabuk. Sang pendekar sunggingkan senyum. Senyum
itu semakin menggetarkan hati Dewi Kun. Terpaksa
gadis itu berucap kata dalam nada membisik.
"Kau memang menawan, tapi belum tentu mampu
layani Ratu Lembah Girang."
"Bagaimana kau bisa berkesimpulan begitu?"
"Karena kau tidak tanggap terhadap pandangan
seorang perempuan. Bahasa matamu masih kurang peka,
Suto."
"Jadi mestinya bagaimana?"
"Ciumlah Ratu Lembah Girang jika ia memandangmu
seperti aku memandangmu begini."
"Apakah pandanganmu ini punya arti minta di cium"
"Kau tak perlu tanyakan hal itu. Kau sebagai lelaki
harus lebih tanggap terhadap bahasa isyarat kaum
wanita."
Senyum Suto ditebarkan. "Aku sebenarnya sudah
memahami maksud hatimu, tapi aku takut
melakukannya. Salah-salah habis menciummu aku akan
kena tampar tujuh kali. Memangnya enak, cium sekali
tampar tujuh kali?"
Dewi Kun tidak membalas senyum geli Pendekar
Mabuk, ia bahkan mendekatkan wajahnya dengan bibir
merekah seakan menantang untuk dikecup. Tapi Suto
Sinting tetap diam dengan senyuman lembutnya. Suto
tidak segera menerkam bibir itu, melainkan justru
memandanginya dengan pandangan menggoda.
Dewi Kun tidak sabar menunggu reaksi Suto,  maka
bibir yang merekah itu kini ditempelkan pelan-pelan di
bibir Suto. Cuuup...!      
Bibir Suto yang merah jambu itu dikecup oleh Dewi
Kun.  Kecupan itu sangat pelan dan lembut, sehingga
kehangatan yang hadir terasa menjalar dari kepala
sampai ke ujung kaki. Suto tak tahan untuk berdiam diri,
akhirnya lidahnya menyapu bibir Dewi Kun, selanjutnya
lumatan lembut diberikan oleh Suto yang membuat
Dewi Kun menjadi ganas.
Dewi Kun seperti perawan kehausan cinta.
Ciumannya bersifat mencecar membuat Suto Sinting
gelagapan. Remasan tangannya pun menandakan luapan
gairah yang melonjak-lonjak dalam dada dan ingin
mendapatkan keindahan sepenuhnya.
Rompi panjang yang bagian depannya terikat itu kini
dilepaskan oleh pemakainya sendiri. Dengan lepasnya
ikatan tersebut, maka rompi pun terbuka lebar dan
sepasang bukit indah yang kencang tampak menonjol
penuh tantangan. Tangan Pendekar Mabuk merayap
sampai ke dada dan meremas lembut pada sepasang
bukit mulus itu.
"Ooh, Suto... tunjukkan kehebatanmu agar aku tak
sangsi akan kepiawaianmu dalam melayani Ratu
Lembah Girang nanti," bisik Dewi Kun yang segera
terputus oleh suara pekikan, karena sebelum ia selesai
bicara,  Pendekar Mabuk sudah merayapkan ciumannya
ke leher. Kepala gadis berambut keriting lembut
sepanjang punggung itu terdongak memberikan
kesempatan pada ciuman Suto agar lebih leluasa. Tapi
ciuman Suto justru merayap ke bawah leher. Memagut-
magut sebentar, lalu turun lagi hingga ke dada. Maka
disapunya ujung-ujung dada itu dengan kehangatan lidah
Suto yang membuat Dewi pun memekik dengan suara
tertahan dan kedua tangan meremas pundak Suto.
Dewi Kun membiarkan sabuknya dilepas oleh Suto.
Ia hanya mendesah-desah sambil berdiri bersandar pada
dinding. Kepalanya menggeliat-geliat bersama erangan
dan desah yang menghambur tiada henti. Sesekali ia
memandang kepala Suto, matanya menjadi sangat sayu
kala pandangi mulut Suto yang memagut-magut tato
bunga mawar, lalu melahap pucuk-pucuk bukit daranya.
Kadang mata itu terbeliak sambil kepala mendongak lagi
bersama erangan yang melambangkan kenikmatan.
"Oouh... teruskan, Suto! Oouh, aku suka sekali. Aku
suka sekali, Suto... terus ke bawah, Sayang...."
Untuk sebuah kemesraan, Suto  Sinting tak pernah
memperhitungkan gelar kependekarannya. Untuk sebuah
kenikmatan, Suto Sinting tak pernah keberatan
mengecup-ngecup paha dan lutut pasangannya. Akibat
pagutan pada lutut yang sesekali disapu oleh lidah itu,
Dewi Kun sempat memekik keras sambil melorotkan
kain penutup 'mahkotanya'-nya itu. Suto Sinting
memberi kebebasan pada wanita itu agar melepaskan
segalanya. Ketika segalanya telah terlepas, Dewi Kun
pun melebarkan diri dan menarik kepala Suto agar
merapat ke tepian 'mahkota'. Namun yang dilakukan
Suto justru merapat di pertengahan 'mahkota' dengan
lidah seperti seekor ular lapar. Tentu saja hal itu
membuat Dewi Kun menjerit kecil dan panjang sambil
kedua tangannya meremas rambut Suto karena menahan
rasa syur yang luar biasa.
"Ooouh... gila kau, Suto! Kau gila...! Oouh, aku suka
sekali gayamu, Suto! Teruskan... teruskan... ooooh,
indah sekali ini, Suto. Uuuh... uuhh... Sutooo...!" Dewi
Kun menjerit keras-keras ketika Suto mencecarkan
serangannya tanpa henti. Rupanya Dewi Kun berhasil
mencapai puncak keindahan pada saat itu, sehingga
jeritan keras dan remasan tangannya di luar kontrol
kesadaran.
Daaar, daar, daar...!
Gedoran pintu terdengar mengagetkan mereka.
Asmara yang sudah mulai melambung tinggi kontan
jatuh hingga ke dasarnya lagi. Dewi Kun sempat berang
karena merasa kemesraannya terganggu oleh orang yang
menggedor pintu itu. Ia buru-buru mengenakan
celananya dan bergegas membukakan pintu dengan
langkah penuh emosi. Suto Sinting hanya nyengir sambil
duduk di lantai bersandar dinding, membersihkan
mulutnya yang basah dengan kain bajunya. 
"Ada apa...?!" sentak Dewi Kun, kemudian tak
terdengar lagi karena-ia sudah berada di luar kamar dan
mengunci pintu itu kembali.
"Mampus kau kalau sudah kena jurus kemesraanku,"
ucap Suto pelan, seperti bicara sendiri. "Itu belum pakai
gigitan. Kalau sudah pakai gigitan, hmmm... biar
bangunan ini runtuh pun kau tetap tidak akan peduli
lagi." 
Pendekar Mabuk menenggak tuak tiga tegukan.
Selesai menenggak tuak, bumbung pun ditutupnya
kembali. Dan pada saat itulah Suto merasakan lantai
bergetar dengan suara gemuruh terdengar sayup-sayup.
Kotoran debu dari atap turun menghambur ke lantai.
Sepertinya tempat itu mulai dilanda gempa. Tapi Suto
yakin, getaran itu bukan karena gempa, melainkan
karena ada pertarungan dahsyat di sekitar Kuil Perawan
Ganas itu.
"Setan! Aku tidak bisa keluar kalau begini. Padahal
aku yakin di sekitar sini ada pertarungan cukup seru!
Aduh, rugi sekali kalau aku tak melihat pertarungan itu!"
Pendekar Mabuk menjadi tegang dan jengkel sendiri
karena kegemarannya menyaksikan sebuah pertarungan
kali ini terpaksa tak tersampaikan, ia segera menendang
pintu besi tersebut. Namun sebelum kakinya menyentuh
pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang dan
membentur dinding seperti tadi. Bruuuk...!
Bertepatan dengan itu, suara ledakan menggelegar
samar-samar dan lantai pun bergetar kembali. Keadaan
tersebut membuat Suto bertambah beringas dan
penasaran.
"Monyet kudis! Buka pintunya, aku mau melihat
pertarungan itu!" teriaknya sendirian seperti orang gila.
*
* *

4
PENJARA Kuil  Perawan Ganas itu dilengkapi
dengan obor-obor dari logam putih anti karat. Obor-obor
itu menempel pada dinding marmer. Dalam satu ruangan
terdapat delapan obor, hingga ruangan tersebut menjadi
terang benderang.
Salah satu obor tersebut hampir saja jatuh karena
guncangan bumi yang tadi dirasakan oleh Suto dan
diduga karena adanya pertarungan di luar kuil. Tapi
nyala obor sekarang sudah kembali normal, berarti sudah
tidak ada guncangan atau getaran pada bumi lagi. Suto
hanya bertanya-tanya dalam hati, "Apakah pertarungan
itu sudah selesai? Lalu pihak mana yang unggul dalam
pertarungan tersebut?"
Rasa ingin mendapat jawaban menggelisahkan hati
Pendekar Mabuk, ia terpaksa menunggu kemunculan
Dewi Kun lagi untuk dapatkan jawaban tersebut. Tapi
yang ditunggu ternyata tak muncul-muncul hingga
beberapa saat lamanya. Pendekar Mabuk akhirnya
terkantuk-kantuk dalam duduknya yang melonjor  dan
bersandar dinding sambil memeluk bumbung tuaknya.
Belum sampai kantuk itu menguasai Suto, tiba-tiba ia
terkejut kecil ketika mendengar suara pintu dibuka.
Dewi Kun muncul lagi dengan membawa nampan berisi
makanan dan buah-buahan. Tak lupa pintu pun ditutup
dan dikunci lagi, tapi kuncinya dibiarkan tergantung
pada lubang kunci di pintu.
"Makanlah, seharian ini kau tidak makan apa-apa!"
kata Dewi Kun sambil  meletakkan nampan berisi
makanan dan buah-buahan itu di lantai depan Suto.
Mata Suto sempat melirik ke arah kunci. Sebenarnya
ia bisa saja menyambar kunci itu dengan gerakan
cepatnya, lalu keluar dari ruangan tersebut. Tapi
pertimbangan otaknya mengatakan, bahwa hal itu  akan
membuat Elang Samudera celaka jika ia melarikan diri.
Setidaknya Dewi Kun dan orang-orang Kuil Perawan
Ganas akan menyiksa Elang Samudera sebagai
pelampiasan atas murka mereka terhadap pelarian Suto
nanti. Maka, rencana dan niat itu pun dibuang jauh-jauh
oleh Pendekar Mabuk.
"Biarlah kuikuti dulu apa maunya orang-orang kuil
ini, yang penting Elang Samudera jangan teraniaya.
Kasihan. Dia sudah kehilangan tenaga dalamnya dan tak
bisa lakukan perlawanan apa-apa terhadap Dewi Kun
dan anak buahnya."   
Begitu kata batin Suto saat memandangi makanan
tersebut. Dewi Kun menegur dengan tepukan pelan di
paha Suto.   
"Hei, jangan melamun saja! Makanlah, supaya kau
nantinya dapat melayani Ratu Lembah Girang dalam
keadaan kuat! Ratu akan sangat senang dan selalu
menuruti apa saja permintaan seorang pria yang mampu
membuat gairahnya terpuaskan. Kami mengandalkan
dirimu, karenanya... minum pula adonan jamu ini."
Pendekar Mabuk memandang ke arah cangkir perak
bertutup runcing. Cangkir itu yang tadi dituding oleh
Dewi Kun saat bicara tentang jamu. Suto penasaran dan
membuka tutup cangkir tersebut. 
"Hmmmhh...! Baunya tak enak! Jamu apa ini?!"
"Jamu kuat!" jawab Dewi Kun tegas tanpa senyum.
"Ramuan ini bisa membuatmu selalu bergairah dan
mampu memuaskan asmara Ratu Lembah Girang."            
Pendekar Mabuk tertawa geli bernada menyepelekan
khasiat jamu tersebut. Dewi Kun menambahkan
penjelasannya tentang jamu tersebut.
"Hanya tabib  kami yang bisa membuat ramuan
pembakar gairah lelaki semujarab ini! Di tempat lain tak
ada ramuan setangguh ini,"
"Ah, bualanmu terlalu berlebihan!" 
"Cobalah sendiri kalau tak percaya!" 
Ketika Pendekar Mabuk mau meminum jamu itu,
tangannya segera ditahan oleh tangan Dewi Kun,
"Makan dulu, baru minum jamu itu! Jika perutmu
kosong tanpa makanan, dan kau meminum ramuan jamu
tersebut, maka kau akan mengalami kekecewaan besar
dalam bercumbu."
"Kekecewaan apa maksudmu?!" 
"Siapa pun meminum jamu ini dalam keadaan perut
kosong, maka ia akan mengalami kesukaran dalam
mencapai puncak kemesraannya. Bisa empat hari empat
malam kau tak akan mencapai puncak kemesraan walau
semangat masih terus  berkobar-kobar. Kau hanya akan
menemukan kejengkelan yang akhirnya akan
menyakitkan hati karena tak mencapai titik tertinggi dari
kencanmu nanti. Sementara itu, orang yang meminum
jamu ini tidak akan mau berhenti melakukan cumbuan
sebelum puncak kemesraannya tercapai."
Sambil tertawa pendek Suto berkomentar, "Wah,
hebat sekali!"
"Memang hanya tabib kami yang punya kehebatan
seperti itu."
"Maksudku, hebat sekali ngibulnya! Mana ada jamu
yang punya khasiat seperti itu?!" Suto bersungut-sungut
tak percaya. Bahkan ia tahu-tahu telah nekat meminum
jamu tersebut.
"Heiii...?!" sentak Dewi Kun kaget. Ia menarik tangan
Suto yang memegangi cangkir, tapi terlambat. Isi
cangkir sudah ditelan habis oleh Suto, padahal Suto
belum makan apa-apa sejak di lautan sampai mendarat di
pantai Pulau Swaladipa tadi.
"Kau gila!" sentak Dewi Kun. "Kau sama saja akan
menyiksa dirimu sendiri dengan meminum jamu ini
tanpa makan lebih dulu!"
"Aku tak percaya dengan bualanmu tadi! Tanpa jamu
seperti ini, aku sudah mempunyai semangat yang tinggi
dan mampu bertahan diri untuk tidak mencapai puncak
kemesraan. Jadi, kuanggap jamu ini hanya celoteh tanpa
makna!"
"Ak... aku tak mau bertanggung jawab jika kau
menjadi liar dan ganas. Kau sendiri yang melanggar
aturan minum jamu ini, Suto!"
Kecemasan itu justru ditertawakan oleh Pendekar
Mabuk. Dengan santainya ia menenggak tuak, setelah itu
baru melahap buah anggur berwarna hijau bening.
"Aku tak selera makan makanan seperti ini," ujar
Suto sambil mengunyah buah anggur. "Aku bosan
makan panggang ayam, burung bakar atau sejenisnya.
Aku malah kepingin makan peyek udang atau tempe
bacem."
"Dasar pendekar norak!" umpat Dewi Kun dengan
cemberut.
"O, ya... tadi kurasakan ada getaran dan kudengar ada
suara ledakan samar-samar. Apakah di luar telah terjadi
pertarungan?"
"Ya Biasa, orang-orang Bukit Sulang bikin onar di
wilayah kami! Mereka menyerang kami dan ingin
menguasai kuil ini." 
"Lalu...?"
"Kami berhasil mengusir mereka!" 
"Ada yang korban?"    
"Delapan orang Bukit Sulang mati di tangan kami."
"Dari pihakmu ada yang tewas?"
"Tidak. Hanya dua orang yang tewas."  
"Itu namanya ada yang tewas! Kok bilang tidak!"
Suto bersungut-sungut.
"Kurasa dalam waktu dekat orang Bukit Sulang akan
datang lagi dengan mengajukan Gembongsuro  sebagai
orang terdepan yang diunggulkan."
"Gembongsuro itu sakti?" tanya Suto seperti
pertanyaan anak kecil yang diikuti lahapan buah
anggurnya.
"Kudengar, Gembongsuro adalah orang terkuat di
Bukit Sulang, ia tidak akan turun tangan dalam suatu
penyerangan jika tidak dalam keadaan benar-benar
penting. Sekarang sudah dua kali orang Bukit Sulang
ingin merebut kuil ini. Tapi dua kali pula kami berhasil
menyingkirkan mereka dan menewaskan lebih dari lima
belas orang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
menggumam kecil dan mengunyah buah anggurnya.
"Jika Gembongsuro muncul, kami pasti akan
terdesak, karena kesaktian Gembongsuro di atas
kesaktian kami."
"Apakah jarak Bukit Sulang dengan kuil ini termasuk
dekat?"
"Ya, memang termasuk dekat. Kurang dari
seperempat hari untuk lakukan perjalanan dari sini ke
Bukit Sulang."
Pendekar Mabuk ingat tentang Elang Samudera. Ia
bergegas bangkit dan memandang Elang Samudera dari
kaca tembus, itu. Ternyata Elang Samudera juga
mendapat jatah makan seperti yang dikirimkan
kepadanya. Elang Samudera tampak makan sendirian
dengan lahap dan tidak merasa canggung lagi.
Tapi Pendekar Mabuk segera berkerut dahi ketika
melihat di nampan itu juga ada cangkir putih bertutup
runcing seperti cangkir tempat ramuan jamu yang
diminumnya tadi. Kecurigaan Suto mendesak hati untuk
ajukan tanya kepada Dewi Kun.
"Mengapa Elang Samudera juga mendapat cangkir
itu? Apakah cangkir itu juga berisi ramuan jamu seperti
yang kuminum tadi?"
Perempuan itu bangkit berdiri dan ikut memandang
melalui cermin tembus pandang.
"Ya, dia juga perlu meminum ramuan yang sama
dengan yang kau minum."
"Dengan maksud apa kau memberikan minuman itu
kepada Elang Samudera?"
"Supaya badannya merasa segar dan tidak loyo." 
Tapi hati Suto mengatakan, bukan itu alasan yang
sebenarnya. Naluri Suto segera, mengatakan bahwa
Elang Samudera sengaja diberi ramuan jamu supaya
dapat dimanfaatkan oleh Dewi Kun atau perempuan-
perempuan Kuil Perawan Ganas sebagai pasangan
bercumbu. Dalam keadaan tanpa ilmu tenaga dalam dan
kesaktian apa pun, tentu saja Elang Samudera akan
mudah terbujuk dan dirayu hingga hanyut dalam
permainan cinta.
"Kau mulai menampakkan kecurigaanmu lagi!"
sambil Suto menuding perempuan berhidung mancung
itu. "Kau pasti akan memanfaatkan kehangatan Elang
Samudera sebagai pemuas gairahmu, atau pemuas gairah
para anak buahmu! Sementara aku kau jual kepada Ratu
Lembah Girang, kalian bisa memanfaatkan Elang
Samudera sebagai hiburan tak senonoh!"
"Bagaimana kalau dugaanmu itu ternyata meleset?!"
"Tidak mungkin! Aku yakin kau... kau...." Pendekar
Mabuk terhenti dari ucapannya yang menggebu-gebu. Ia
merasakan debar-debar indah hatinya. Ketika matanya
menatap raut wajah cantik perempuan di depannya, hati
Suto merasa bagai dibuai oleh keindahan yang
menggembirakan, sehingga timbul rasa ingin memeluk
dan mencium perempuan itu.
"Celaka! Kenapa aku jadi begini bergairah
kepadanya?" ujar Suto dalam batinnya, ia mencoba
menahan hasrat ingin memeluk Dewi Kun, tapi usahanya
itu sepertinya akan menemui kegagalan. Napas Suto
sudah mulai terengah-engah dan batinnya mulai dibakar
oleh keinginan untuk bercinta.
"Kenapa aku ini?!" tanyanya kepada perempuan itu.
"Aku... aku suka sekali kepadamu. Aku... ingin
menciummu. Ooh... kenapa aku jadi ingin memeluk dan
menciummu?!"
"Jamu itu mulai bekerja dalam darahmu dan
membakar saraf kejantananmu!"'
"Tapi... tapi.... Oh, tidak! Aku tidak ingin lakukan!"
Suto Sinting menjauhi perempuan tersebut, ia berdiri di
sudut ruangan. Kedua tangan memeluk dirinya sendiri,
sementara bumbung tuaknya dibiarkan tergeletak di
dekat nampan berisi makanan itu. Ia terengah-engah
hingga keluarkan keringat dingin. Kedua kakinya
gemetar begitu merasakan hasrat untuk bercumbu
menyentak-nyentak makin kuat.
Perempuan itu mendekatinya dengan sorot pandangan
mata lain dari yang tadi. Kali ini sorot pandangan mata
itu mengandung ajakan untuk bercumbu. Seakan ia tidak
keberatan jika Suto ingin memeluk dan menciuminya.
"Pergi kau! Pergiii...!" bentak Suto. "Jangan
memancing gairahku semakin tinggi! Tinggalkan aku
sendirian. Aku tak mau lakukan hal itu. Pergi kau...!"
"Kau yakin tak ingin memperolehnya dariku?" 
Suto tak menjawab, ia menggeram dengan gigi
menggeletuk.   
Tapi perempuan itu belum mau pergi dari hadapan
Pendekar Mabuk. Perempuan itu justru melepas pengikat
rompi merahnya, sehingga belahan depan rompi itu pun
tersingkap lebar. Gumpalan dadanya tampak jelas di
mata Pendekar Mabuk.
"Setan kau! Minggat dari hadapanku, lekas!" sentak
Suto walau tak mampu dengan suara keras, karena
napasnya sibuk meredam hasrat ingin bercumbu.
 Sentakan itu tidak dihiraukan oleh si perempuan.
Justru perempuan itu meliuk-liukkan tubuhnya sambil
tangannya mengusap lembut bukit-bukit di dadanya.
Lidahnya sesekali menjilati bibirnya sendiri dengan
keadaan bibir telah merekah dan mata menjadi sayu
penuh tantangan bercumbu. Pendekar Mabuk semakin
dibakar oleh gairahnya. Dadanya terasa sesak karena
jantungnya berdetak kian keras. Perempuan itu juga
melepaskan sabuk dan kancing celana pendeknya. Pelan-
pelan sekali celana itu diturunkan, sementara rompinya
telah dilepas sejak tadi hingga kemulusan tubuhnya
tampak jelas menantang Suto. 
"Iblis kau! Kau meracuniku dengan minuman itu!
Kau... kau.... Aaah!" sentak Suto Sinting sambil
menghentakkan kakinya bagai orang dihinggapi
kejengkelan.
Tapi perempuan itu justru memperhebat godaannya.
Kini ia sudah menjadi seperti bayi baru lahir, ia meliuk-
liukkan tubuhnya dengan kepala sesekali  mendongak
bersama terlontarnya erangan dan desahan penuh gairah.
Perempuan itu bersandar pada dinding, tangannya
mengusap apa saja yang dapat menghadirkan
kenikmatan  bagi dirinya. Napasnya menjadi terengah-
engah, sampai akhirnya ia merosot ke bawah dan duduk
di lantai dengan posisi menantang.
"Oouh... aaah... oooohh...."
Desah-desah yang berhamburan masuk ke telinga
Suto dan membuat hasratnya kian terbakar lagi.
Akhirnya Suto Sinting tak mampu menahan diri ketika
dilihatnya mata perempuan itu memandangnya dengan
sangat sayu dan bibirnya merekah menunggu kecupan.
"Booo... bolehkah aku... aku mengusap betismu?"
ucap Suto dengan terbata-bata karena napas yang
menderu-deru. 
"Usaplah dengan  bibirmu, Suto. Aku ingin rasakan
sentuhan kemesraanmu. Usaplah, Sayang...."
Pendekar Mabuk akhirnya merangkak, menempelkan
kecupan bibirnya di betis indah yang mulus itu. Kecupan
itu menjalar sampai ke betis. Si perempuan kian
melebarkan  diri, bahkan tangan Suto dituntun untuk
menjamah 'mahkota' yang telah siap menerima
kedatangan sang tamu itu. Tangan Suto akhirnya menari-
nari di sana. Tapi pagutan dan sapuan lidahnya masih
bermain di sekitar lutut serta paha, membuat perempuan
itu makin mengerang panjang dan terengah-engah.
Pendekar Mabuk tak mau buru-buru menyambar
'mahkota' itu. Kecupannya melewati sang 'mahkota',
merayap ke perut dan mencapai dada. Dua bukit di dada
itu tampak merentang penuh keberanian. Pendekar
Mabuk menyusuri dengan  mulutnya di tepian bukit, ia
memagut tato yang ada di sana. Namun dalam hatinya
sempat terkejut melihat tato itu bukan bergambar bunga
mawar merah, melainkan bergambar kelabang merah.
"Secepat inikah ia mengubah tatonya? Atau... tato itu
akan berubah dengan sendirinya jika gairahnya mulai
terbakar? Oh, sayang aku tadi tidak memperhatikan
tatonya ketika ia mencapai puncak kemesraan, sebelum
keluar dari ruangan ini. Mungkin tato itu tato ajaib, yang
dapat berubah dari gambar bunga mawar menjadi
gambar kelabang merah. Letaknya pun berpindah di
dada kiri."
Sambil berkecamuk begitu, mulut Suto tiada hentinya
memagut-magut kedua bukit itu secara bergantian.
Tangan perempuan tersebut juga tak mau tinggal diam.
ia berhasil meraih apa yang disembunyikan Suto di balik
kain  putihnya. Perempuan itu memekik ketika berhasil
menggenggamnya.
"Ooow..?! Besar sekali, Suto...." 
"Apanya?"
"Semangatmu besar sekali. Ooh... aku suka yang
begini! Aku suka sekali, Suto...! Aaaahh...!"
Perempuan itu mengamuk dalam gerakan liar. Suto
terpelanting dan jatuh telentang. Kini perempuan itu
menerkamnya dengan suara erangan mirip singa
kelaparan. 
Ia melepaskan kain penutup tubuh Suto secara kasar,
ia juga memagut-magut dada Suto dengan liar. Bahkan
ia menyambar 'jimat antik' itu dengan rakus sekali. Tapi
semua kekasaran, kerakusan, keliaran dan kebuasan itu
justru menghadirkan sejuta kenikmatan bagi Suto
Sinting. Bahkan Suto tak segan-segan untuk berteriak
ketika kenikmatan itu melonjak-lonjak dalam dadanya.
"Ganas sekali dia? Tadi tak seganas ini. Rupanya tadi
dia masih malu-malu padaku, sehingga keganasannya ini
masih disembunyikan," pikir Suto Sinting sambil
meremas lengan perempuan itu.
"Oh, Suto... bangun! Berdirilah... lekas berdiri!"
perintahnya dengan mendesak. Suto pun menuruti
perintah itu,  ia berdiri di samping cermin tembus
pandang itu. Perempuan tersebut berlutut di hadapan
Suto, kemudian ia menyapu habis sekitar tempat
tersebut, sehingga Suto terpaksa meremas rambut
perempuan tersebut untuk menahan gejolak rasa
bahagianya.
Tetapi tiba-tiba Suto terkejut manakala matanya
memandang ke ruang sebelah, ternyata di sana Elang
Samudera juga sedang dicumbu oleh seorang
perempuan. Elang Samudera sudah tidak mengenakan
selembar benang pun, demikian pula si perempuan. Hal
yang membuat Suto lebih kaget lagi, ternyata perempuan
yang mengganas di sana adalah perempuan bertato
bunga mawar merah pada dada kanannya.
"Tunggu dulu!" sergah Suto. Ia menarik perempuan
itu hingga berdiri. Si perempuan memandang dengan
peluh bercucuran dan napas berhamburan.
"Siapa kau sebenarnya? Kau... kau Dewi Kun?! Oh,
lihat... lihat temanku sedang bercumbu denganmu atau
dengan siapa itu?!"
"Dia bercumbu dengan kakakku."
"Kakakmu siapa?"
"Dewi Kun..."
"Jaa... jadi kau...?"
"Aku Dewi Sun, saudara kembar Dewi Kun!"
"Oooh... pantas kau lebih ganas dari dia."
"Penjelasannya nanti saja. Aku masih ingin
membuaimu!" ucapnya seraya menciumi leher Suto
Sinting dengan tubuh dirapatkan ke badan Suto. Suto
Sinting tak bisa menolak karena gairahnya terasa
semakin lebih besar dari yang pertama tadi.
*
* *


5
SEBELUM pelayaran cintai dimulai. Pendekar
Mabuk sempatkan untuk meminum tuaknya, ia biarkan
Dewi Sun terbaring di lantai menunggu lawan cintanya
menyerbu.
Namun ketika tuak diminum, saat Pendekar Mabuk
ingin mengawali pelayaran cintanya dengan
menunggang perahu asmara yang telah disiapkan Dewi
Sun, tiba-tiba saja gairahnya lenyap dan bayangan Dyah
Sariningium muncul dalam benaknya. Rasa setia dan
cinta terhadap Dyah Sariningrum membakar di sekujur
tubuhnya. Perasaan tak ingin menodai kisah kasihnya
terhadap Ratu Puri Gersang Surgawi itu membalut jiwa
dan hatinya, sehingga hasrat untuk berlayar bersama
Dewi Sun itu pun lenyap seketika.
Ciuman Suto terhenti sebelum tubuhnya menyatu
dengan tubuh Dewi Sun. Ia menarik diri dan
memandangi Dewi Sun dengan perasaan heran.
"Mengapa aku hampir saja menodai cinta suciku
Kepada Dyah?" pikirnya kala itu. "Dewi Sun ataupun
Dewi Kun memang cantik, tapi hatiku tak bisa menerima
kecantikan itu. Hatiku hanya bisa merasakan deburan
gairah tanpa jiwa yang tulus menyayanginya? Untuk apa
kulakukan jika semua itu hanya tipuan rasa saja?" 
"Suto, ayolah... tunggu apa lagi, Suto? Aku sudah
siap. Aku sudah siap, Sayang...," rengek Dewi Sun
sambil mengulurkan tangannya ingin memeluk Suto.
Tapi pemuda tampan yang berbadan macho itu justru
tarik diri dan menyambar celananya.
"Hei, kenapa kau begitu, Suto?! Mengapa tak kau
lanjutkan perjalanan cinta kita?!"
"Aku tidak bisa!" tegas Suto.      
"Bukankah... bukankah kau telah meminum ramuan
itu?" 
"Aku tidak punya kesanggupan untuk melanjutkan
permainan cinta kita! Kau lihat sendiri, aku tidak punya
kemampuan seperti tadi, bukan?"
Mata Dewi Sun tertuju pada sesuatu yang dimaksud
Suto. Sesuatu itu sekarang tidur dengan pulasnya, seakan
tak akan terusik oleh godaan apa pun. Dewi Sun sendiri
merasa heran dan berucap lirih bagai bicara pada dirinya
sendiri.
"Mengapa jadi begitu? Biasanya ramuan itu akan
membangkitkan gairah lelaki hingga menyala-nyala dan
menjadi buas tiada hentinya. Tapi sekarang mengapa
justru membuatnya loyo begitu?!"
"Kurasa tabibmu salah ramu!" ujar Suto Sinting
sambil mengenakan baju coklatnya yang tanpa lengan
itu.
Tentu saja Dewi Sun tak tahu bahwa khasiat jamu
kuat buatan tabibnya itu tak akan mampu mengalahkan
khasiat sakti dari tuak dalam bumbung  bernyawa itu.
Seandainya Pendekar Mabuk tidak meminum tuaknya
lebih dulu, maka pelayaran ke laut cinta pun akan terjadi
entah hingga berapa kali. Tetapi karena sebelum
mendayung perahunya Suto merasa kehausan dan perlu
meneguk tuaknya, maka tuak itu langsung memadamkan
api cinta dan gairah yang berkobar-kobar tadi. Tuak itu
mengembankan kesadaran Suto yang nyaris tersirap oleh
pengaruh jamu kuat yang mengandung mantra gaib juga
itu.
Sementara di ruang sebelah, Elang Samudera masih
giat melakukan perjalanan cintanya dengan Dewi Kun.
Bahkan meskipun Dewi Kun telah mencapai puncak-
puncak kebahagiaannya beberapa kali, tapi Elang
Samudera masih tangguh dan dengan  penuh semangat
mendayung perahu cintanya sesuai dengan selera yang
diinginkan Dewi Kun. 
"Kau mengecewakan aku, Suto!" geram Dewi Sun
yang ingin memeluk Suto namun dijauhi oleh pemuda
tampan itu.
"Maafkan aku. Aku tak mampu seperti Elang
Samudera!" 
"Banci!" sentak Dewi Sun dengan berang. "Percuma
kau menjadi pendekar gagah perkasa begitu, ternyata
kau tidak berguna bagi seorang perempuan! Kau tidak
punya kemampuan apa-apa, Suto! Potong saja 'jimatmu'
itu dan jadilah perempuan sepertiku!"
Senyum Suto mengembang tipis, ia tahu kata- kata itu
sengaja dilontarkan untuk membangkitkan emosi
cintanya. Tapi  Suto tetap tak berselera melakukan
percumbuan, ia  hanya bisa memaklumi ejekan tersebut
dilontarkan Dewi Sun yang tentu saja sangat kecewa
terhadap kegagalan itu.
"Percuma kau jadi pendekar kondang kesaktiannya
kalau tak mampu membahagiakan perempuan!" omel
Dewi Sun seraya mengenakan pakaiannya kembali. 
"Lebih baik kau berikan tugas lain daripada harus
berlayar di lautan cinta denganmu," kata Suto tegas-
tegas.
Dewi Sun menyeka keringatnya yang masih mengalir
di sela-sela belahan dadanya. Wajahnya kusut sekali,
sekusut rambutnya yang tadi diacak-acak Suto saat ia
membuainya dengan ciuman maut.
"Kau harus dihukum, Suto! Karena kau tak mau
melayaniku, tak mau memuaskan keinginanku, maka
kau harus dihukum!"
"Akan kuterima selama aku tak mampu menghindari
hukuman itu! Tapi jika aku bisa menghindari hukuman
 itu, barangkali kaulah yang akan berbalik menjalankan
hukumannya!" ujar Suto setengah menantang.
Dewi Sun semakin berang, maka kaki kanannya
segera berkelebat menendang ke arah wajah Suto.
Wuuuut...!
Weess...!  Suto Sinting hanya menggeloyor ke
samping seperti orang mabuk mau tumbang. Tendangan
itu tak mengenai sasaran sedikit pun.
Wwwu, weess...! Wuuut, wess...! Wuuut, wweess...!
Tiga tendangan beruntun dengan kecepatan tinggi
berhasil dihindari Suto Sinting. Dewi Sun semakin
dongkol, maka ia pun segera menghantamkan telapak
tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam
tanpa sinar itu. Beeet...!
Suto Sinting sengaja mengadu telapak tangannya
dengan telapak tangan Dewi Sun. Tapi tak lupa ia juga
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tangan
tersebut. Plaaak...! Buuub...!
Asap mengepul dari perpaduan telapak tangan itu.
Dewi Sun terpental ke belakang dan membentur pintu,
sementara Suto Sinting masih tegar berdiri dengan wajah
sunggingkan senyum tipis agak dingin. 
"Laknat kau, Suto!" geram Dewi Sun sambil bangkit
kembali.
"Di kamar sesempit ini, kalau kau melawanku, maka
kau akan mati tanpa diketahui oleh siapa pun!" Suto
sengaja menakut-nakuti mental Dewi Sun. Agaknya
ucapan itu membuat Dewi Sun berpikir juga, sehingga ia
terpaksa menahan gejolak kemarahannya dan bergegas
keluar dari kamar tersebut.
"Kuanggap kau telah menghinaku! Ada saatnya
sendiri kau harus menerima ganjaran atas penghinaan
ini, Suto!"
"Kutunggu  ganjaran darimu, Dewi Sun!" kata Suto
dengan tegas dan membuat Dewi Sun semakin dongkol
lagi. Brrak...! Pintu ditutup dan dikunci kembali. Dewi
Sun pergi entah ke mana, yang jelas Suto Sinting tertawa
cekikikan sendiri.
"Ramuan jamu kuat?! He, he, he, heh...! Ternyata
sama tuakku masih kalah kuat! Untung aku tadi segera
meminum tuak, kalau tidak, habislah kesucianku
direnggutnya. Ciah... kesucian nih ye...?!" ia tertawa geli
lagi.
Pendekar Mabuk akhirnya hanya bisa menyaksikan
tontonan gratis di kamar sebelah melalui cermin tembus
pandang. Elang Samudera terengah-engah kecapekan.
Tetapi agaknya pemuda itu belum mencapai puncak
keindahannya. Sementara itu, Dewi Kun sudah terkulai
tanpa daya. Seandainya tidak, pasti dia masih menyuruh
Elang Samudera untuk mendayung perahunya lagi.
Lantai menjadi basah  oleh keringat mereka. Elang
Samudera tak bisa bilang apa-apa karena sibuk bernapas.
Tapi tangannya masih berusaha untuk berbuat nakal,
yang segera dihindari oleh Dewi Kun.
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala melihat
kenakalan itu.
"Kalau bukan karena meminum ramuan jamu tadi, tak
mungkin Elang Samudera sampai setangguh itu,"
ujarnya dalam hati.
Secara jujur hati Suto mengakui kehebatan ramuan
tersebut seandainya tanpa dilawan dengan tuak saktinya.
Terbukti Elang Samudera masih tetap bersemangat
memburu kemesraan walaupun Dewi Kun sudah keluar
kamar dan beberapa saat masuk kembali. Ternyata yang
masuk kembali itu bukan Dewi Kun melainkan Dewi
Sun.
Elang Samudera juga melayani perempuan itu dengan
semangatnya yang masih menyala-nyala. Tetapi
kehadiran perempuan itu membuat Suto menjadi sangsi
dan berkerut dahi.
Ketika perempuan itu melepaskan rompinya, maka
tampaklah sebuah tato bergambar kupu-kupu yang
merentangkan sayapnya di pertengahan dada. Suto
Sinting sempat bertanya-tanya dalam hati,
"Benarkah dia Dewi Sun?! Tapi melihat keganasan
dalam menyerang lawan bercintanya, keganasan itu
seperti milik Dewi Sun. Hanya saja, kenapa tatonya
berubah menjadi gambar kupu-kupu dan letaknya di
pertengahan dada? Bukankah Dewi Sun tatonya
bergambar seekor kelabang merah dan letaknya di dada
kiri?!"
Klak, klak, klaaang...!
Pintu kamar Suto dibuka. Perempuan berwajah cantik
seperti yang sedang bercumbu dengan Elang Samudera
itu muncul dengan keangkuhannya. Perempuan itu
tampak berlumuran keringat, sehingga rambutnya
menjadi basah dan rompinya pun lengket dengan tubuh.
Napas perempuan itu masih sedikit terengah-engah
menandakan habis melakukan pekerjaan berat.
Begitu melirik ke arah dada, Suto melihat tato
bergambar bunga mawar. Tak salah lagi dugaan hatinya,
bahwa perempuan itu adalah Dewi Kun yang habis
mendapat kepuasan dari Elang Samudera.
Dewi Kun ikut memandang ke arah cermin tembus
pandang. Suto Sinting memperhatikan dengan lirikan
mata dan senyum yang mengembang penuh ketenangan.
"Mengapa kau tidak mau melayani adikku; Dewi
Sun?!"
"Aku tak mampu!" jawab Suto tanpa malu-malu.
"Kau kalah hebat dengan temanmu itu. Lihatlah, dia
masih bersemangat melayani gairah adikku." 
"Apakah dia Dewi Sun?"
"Bukan. Dewi Sun sedang murung di serambi dan
kecewa berat karena tingkahmu!"
"Lalu siapa yang sedang bercumbu dengan Elang
Samudera itu?"
"Adik kembarku; Dewi Mul namanya."
"Oooh...?!" Suto manggut-manggut dan
memperhatikan tato bergambar kupu-kupu yang sesekali
sedang dikecupi oleh Elang Samudera itu.
"Jadi kau kembar tiga orang?" 
"Ya, dan masing-masing punya ciri pada tato kami.
Dengan melihat tato kami, kau bisa mengerti siapa yang
kau hadapi; aku, Dewi Sun atau Dewi Mul?" 
"Ketiganya... ketiganya punya gairah yang besar
rupanya."
"Kurasa begitu!" jawabnya datar. "Dan kami selalu
membunuh pria yang tidak mampu memuaskan gairah
kami, karena pria semacam itu kami anggap tidak akan
berguna bagi kehidupan di dunia!"
Suto Sinting agak kaget. "Jadi kau ingin
membunuhku?!"
"Perlu kupertimbangkan dulu bersama kedua adik
kembarku itu. Karena di satu sisi, aku membutuhkan
tenagamu untuk mengambil Bocah Emas itu!"
"Aku tak akan pergi mengambil Bocah Emas jika
tidak bersama Elang Samudera!"
"Itu tak bisa! Kau harus pergi sendirian dan
mendapatkan Bocah Emas itu!"
"Aku tak tahu jalan menuju  ke Gunung Sambara!
Tapi Elang Samudera mengetahui jalan ke sana!"
"Salah satu dari kami akan mendampingimu dan
mengantarmu sampai bertemu dengan Ratu Lembah
Girang."
"Apakah kau masih ingin menjualku kepada Ratu
Lembah Girang? Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak
punya kemampuan untuk melayani seorang perempuan?
Kurasa Ratu Lembah Girang akan kecewa padaku dan
tidak mau memberikan Bocah Emas itu."
Dewi Kun segera memandang Suto Sinting.
Sepertinya ada sesuatu yang baru diingatnya dan perlu
dipertimbangkan lebih masak lagi.
"Kau benar-benar tidak mampu melayani
perempuan?" 
"Kau tanyakan saja kepada adikmu; Dewi Sun itu!"
Mulut berbibir ranum itu diam terbungkam. Tapi
kejap berikutnya Dewi Kun memandang Suto lagi seraya
berkata pelan.
"Tapi kau pandai membuai kami dengan bibir dan
lidahmu, bukan?"
"Oh, itu hanya kebetulan saja dan... dan...."
 "Aku telah merasakannya sendiri. Kau berhasil
menerbangkan jiwaku sampai ke puncak-puncak
keindahan dengan hanya menggunakan mulut dan
jemarimu. Kurasa Ratu Lembah Girang pun akan
menyukainya."
"Tak mungkin," bantah Suto. "Ratu pasti
menghendaki kemesraan yang lebih sempurna dan tidak
sekadar kemesraan seperti yang pernah kau rasakan
dariku itu. Dan untuk memberikan yang sempurna itu
aku tak sanggup!"
"Tabib Sumpah Mada akan kuperintahkan membuat
ramuan yang paling dahsyat dari yang kau minum tadi!
Ramuan itu dapat membangkitkan seleramu, sehingga
kau akan mampu melayani Ratu Lembah Girang sebaik
mungkin."
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Percuma saja kau
menyuruh tabibmu membuat ramuan apa saja. Seleraku
tak akan sanggup berkobar jika pada saat ingin
mengarungi lautan cinta bersama perahu cinta sang Ratu.
Tapi jika hanya membuai keindahan, mungkin aku
masih mampu!"
"Kata-katamu itu harus dibuktikan dulu. Aku akan
menghubungi Tabib Sumpah Mada dulu! Yang jelas,
esok pagi kau harus berangkat temui Ratu Lembah
Girang."
Dewi Kun ingin keluar dari kamar, namun segera
ditahan oleh tangan Suto yang mencekal pundaknya.  
"Tunggu...! Kenapa kau tak perintahkan aku langsung
ke Gunung Sambara saja?!"
"Gunung Sambara dijaga oleh makhluk-makhluk
aneh ciptaan Ratu Lembah Girang. Tanpa membawa
Sambang atau tanda sebagai utusan Ratu Lembah
Girang, kau tak akan mampu mencapai puncak gunung
tersebut. Kau akan mati sia-sia melawan makhluk-
makhluk  aneh itu jika tidak membawa benda atau
lambang dari Ratu Lembah Girang!"   
"Kurasa aku mampu menyingkirkan makhluk-
makhluk aneh itu, asal  bekerja sama dengan Elang
Samudera!" desak Suto.
Dewi Kun gelengkan kepala. "Percuma kau bekerja
sama dengan temanmu itu. Dia sudah kehilangan seluruh
ilmu dan tenaga dalamnya. Makhluk aneh itu tak akan
mampu dikalahkan dengan hanya menggunakan tenaga
luar saja!"
"Kalau begitu... izinkan aku menemui Elang
Samudera lebih dulu sebelum harus berangkat
bersamamu!"
Dewi Kun diam sejenak, mempertimbangkan sesuatu
dalam benaknya. Sebentar kemudian ia memandang
Suto dan perdengarkan suaranya yang serak-serak basah
itu.
"Esok pagi kau kutemukan dengan Elang Samudera.
Malam ini tidurlah, dan simpan tenagamu untuk esok.
Tapi lebih dulu, kau harus mencoba ramuan terdahsyat
buatan Tabib Sumpah Mada!"
Setelah berkata demikian, Dewi Kun segera keluar
dari pintu. Suto Sinting bermaksud ingin menerobos
keluar, tapi ia ingat keadaan Elang Samudera yang
mudah dijadikan sasaran kemarahan tiga  perempuan
kembar itu. Apalagi Elang Samudera dalam  keadaan
kehilangan tenaga dalamnya, maka ia akan mudah
dilumpuhkan oleh ketiga dewi kembar itu. Suto pun
akhirnya membatalkan niatnya untuk menerobos keluar,
ia masih harus bersabar sampai saatnya nanti tiba.
*
*   *


6
MENURUT dugaan Suto, ia sudah setengah hari satu
malam berada di Kuil Perawan Ganas itu. Baru kali ini
ia keluar dari kamar penyekapannya ketika Dewi Kun
muncul dan membawanya untuk bertemu dengan Elang
Samudera.
Sebelum Dewi Kun membawa Suto keluar kamar,
Dewi Kun sempat berkata kepada Suto, terutama setelah
mengetahui keadaan Suto biasa-biasa saja.
"Apakah jamu ramuan dari Tabib Sumpah Mada
belum kau minum?"
"Sudah. Aku meminumnya sampai habis. Tabib
Sumpah Mada sendiri yang semalam mengantarkannya
dan menungguiku meminum ramuan tersebut."
Dewi Kun diam sebentar, sepertinya bingung mau
berkata apa kepada Suto, Tapi dari sorot matanya
perempuan itu tampak sedang memendam  perasaan
heran melihat Suto biasa-biasa saja.  
"Kenapa kau bertanya begitu? Apakah kau tak
percaya dengan pengawan tabibmu sendiri?!"
"Wajahmu biasa-biasa saja," ujar Dewi Kun datar
sekali.
"Maksudmu, setelah meminum ramuan itu wajahku
harus berubah seperti monyet?!"
Dewi Kun tersenyum dingin. Baru sekarang
perempuan itu tampak tersenyum.
"Cantik juga kalau kau tersenyum," ujar Suto pelan,
tapi Dewi Kun berlagak tidak mendengar pujian itu.
"Seharusnya wajahmu berubah kemerah-merahan dan
matamu menjadi nanar, jalang, tanganmu juga nakal,
tapi... sepertinya kau tak mengalami hal itu."
"Pecat saja tabibmu itu! Dia tidak bisa membuat
ramuan berkhasiat dahsyat, seperti katamu itu!"
Dewi Kun bingung sendiri, akhirnya hanya menarik
napas dan segera membawa Suto bertemu dengan Elang
Samudera.
Dalam hati Suto tertawa geli, karena tanpa setahu
Tabib Sumpah Mada, tuak sakti itu segera diminumnya
setelah Suto selesai meminum ramuan jamu kuat yang
katanya paling dahsyat itu. Dengan meminum tuak
saktinya, maka pengaruh jamu kuat itu sirna tanpa bekas.
Tentu saja Tabib Sumpah Mada nanti akan  bingung
sendiri jika mendengar kecaman Dewi Kun.
"Suto...?!" sambut Elang Samudera dengan riang.
"Kusangka mereka mendustaiku dengan mengatakan kau
masih selamat. Ternyata omongan mereka itu benar. Oh,
aku senang sekali melihatmu masih tetap segar begini,
Suto."
"Aku ada di kamar sebelahmu. Aku melihat apa yang
kau lakukan bersama Dewi Mul dan dia," sambil  Suto
melirik Dewi Kun.
"Kurasa itu tak perlu dibicarakan, Suto!" tegur Dewi
Kun dengan sedikit malu.
"Tinggalkan kami. Biarkan kami bicara berdua. Jika
kau tak izinkan kami bicara, aku tak akan berangkat
memenuhi perintahmu!" kata Suto dengan pelan tapi
tegas. Dewi Kun akhirnya tinggalkan kamar itu dengan
tak lupa mengunci pintunya.
Setelah Dewi Kun pergi, Suto buru-buru
menyerahkan bumbung tuaknya.
"Minum tuak ini, lekas!"
Elang Samudera bingung. "Aku... aku tidak apa-apa,
Suto! Aku sehat-sehat saja!"
"Lekas minum tuak ini sebelum mereka melihat dari
cermin tembus pandang itu!"
Karena desakan Suto menegangkan, maka Elang
Samudera pun buru-buru menenggak tuak tersebut.
Bumbung tuak buru-buru direbut Suto, sehingga
seandainya ada yang mengintai dari cermin tembus
pandang tidak akan melihat Elang Samudera meminum
tuak.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Elang Samudera
dengan lirih.
Suto bersikap tenang, supaya jika Dewi Kun
melihatnya dari kamar sebelah tidak timbul kecurigaan
apa-apa.
"Tetaplah tenang," kata Suto mengawali percakapan
seriusnya. 
"Kau yang kelihatan tidak tenang, Suto!"
"Elang, dengar kataku.... Aku tahu kau kehilangan
tenaga dalammu." 
"lyy... iya, benar! Aku jadi tidak punya kekuatan
dahsyat yang biasanya  bisa kukeluarkan lewat tangan,
jari, kaki, atau yang lainnya." Elang Samudera tampak
mulai tegang.
"Aku juga tahu gairahmu telah dibakar oleh jamu
yang kau minum kemarin saat habis mendapat suguhan
makan itu. Jamu itu membuatmu kuat melayani mereka."
"Hmmm... hmmm... iya, sepertinya memang begitu,"
jawab Elang Samudera dengan malu-malu.
"Tuakku tadi akan mengembalikan kekuatan tenaga
dalammu dan melumpuhkan pengaruh jamu yang kau
minum."
"O, ya...?! Elang Samudera tampak girang, ia segera
ingin mencobanya dengan menggunakan tangan yang
akan dihantamkan kearah pintu. Tapi Suto Sinting segera
mencegah perbuatan itu.
"Jangan lakukan di sini! Kau harus berpura-pura tetap
tidak mempunyai  kekuatan tenaga dalam. Kau juga
harus berpura-pura masih bergairah dengan mereka."
"Mengapa begitu?!"
"Mereka  ingin menjualku kepada Ratu Lembah
Girang."
"Hahh...?!"
"Tenang dan bersikaplah wajar-wajar saja!" Suto
mengingatkan dengan berlagak kalem.
"Tugasku membujuk Ratu Lembah Girang untuk
mengambil Bocah Emas  itu.  Bocah Emas harus
kuserahkan  kepada  orang-orang disini. Kau dijadikan
sandera oleh mereka. Jika aku menolak, kau akan
dibunuhnya." 
"Biadab...!" 
"Tenang, tenang...!  Semua  sudah  kuatur dalam
otakku," ujar Suto mengingatkan emosi Elang Samudera.
"Jadi... kau menerima tawaran itu?!" 
"Aku jadi  banyak  mengetahui tentang keadaan di
Gunung Sambara. Agaknya kunci untuk  mendapatkan
Bocah Emas itu ada di tangan Ratu Lembah Girang. Aku
memang harus menemui ratu itu. Kau tetap saja di sini
dengan berpura-pura  tanpa tenaga dalam dan masih
bersemangat dalam bercinta. Tapi kalau bisa tolak saja
ajakan kencan mereka dengan cara yang tidak kentara."
"Baik, aku akan mengikuti saranmu." 
"Tugasmu di sini adalah menahan mereka agar jangan
menyusulku. Aku hanya akan  didampingi oleh Dewi
Kun, atau mungkin salah satu dari tiga perempuan
kembar itu."
"Oh, jadi mereka itu kembar tiga? Kusangka hanya
satu orang? Pantas gairah mereka seperti tak kunjung
padam!"
"Jika Bocah  Emas itu sudah  kudapatkan,  siapa pun
yang  mendampingiku akan kulumpuhkan.  Kemudian
Bocah Emas itu akan kusimpan dalam perahu kita. Aku
akan datang menjemputmu kemari dengan tidak
menimbulkan keonaran. Jika sampai terjadi keributan,
pergunakan tenaga  dalammu. Lalu  kita akan pergi
tinggalkan tempat ini bersama Bocah Emas itu."
"Bagaimana jika mereka mengejar kita?"
"Lumpuhkan ketiga perempuan kembar itu, maka
yang lain tidak akan bertindak apa-apa! Tugasmu adalah
mempelajari kelemahan-kelemahan yang ada di sini.
Usahakan kau  mengetahui kelemahan mereka sebelum
aku datang menjemputmu."
"Baik. Akan kuusahakan hal itu secepatnya!" kata
Eiang Samudera penuh semangat.
"Jika dalam empat hari aku tidak datang kembali,
berarti aku tewas di perjalanan."
"Kuharap kau kembali dalam keadaan sehat!"
"Atau jika aku tidak kembali dalam empat hari,
mungkin aku tertawan di tangan Ratu Lembah Girang.
Kau harus berusaha pulang dan cari bantuan untuk
membebaskanmu. Terutama hubungi Sumbaruni,
Merpati Liar, Angin Betina, dan si Rupa Setan alias
Anjardini."
"Ya, aku ingat nama-nama itu. Aku akan minta
bantuan kakak perempuanku untuk menghubungi
mereka jika sampai terjadi sesuatu pada dirimu," kata
Elang Samudera dengan mantap.
"Jika mereka memberimu minuman jamu lagi,
usahakan jangan kau minum, buanglah di tempat lain
entah dengan cara bagaimana saja!"
"Baik," Elang Samudera mengangguk bagai orang
yang patuh kepada perintah atasannya.
"Ada satu hal  yang perlu kau ingat, Suto," tambah
Elang Samudera. "Bawalah Bocah Emas itu  dalam
keadaan dibungkus kain atau dedaunan. Maksudnya
jangan sampai kulitnya memantulkan cahaya saat
terkena sinar matahari. Jika sampai memantulkan
cahaya, maka ke mana pun kau pergi akan diketahui oleh
musuh. Dan lagi, Bocah Emas itu menyebarkan aroma
wangi cendana. Jadi jika dibungkus kain atau apa saja,
maka aroma itu tidak menyebar ke mana-mana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Ya, akan
kuperhatikan pesanmu itu."
"Satu lagi, jangan sampai bocah itu menangis. Jika ia
menangis, air matanya akan berubah menjadi emas, dan
pihak musuh dapat memunguti emas itu yang akhirnya
akan menemukan arah pelarianmu."
"Akan kuusahakan agar bocah itu tertawa terus," kata
Suto dengan senyum mantap. Pundak sahabatnya
ditepuk satu kali. Pluuuk...!
"Percayalah, semua akan berjalan lancar! Kau tak
perlu cemas dan tetap bertindak sebagaimana yang kita
rencanakan tadi."
"Baik. Hanya saja...," ucapan itu terhenti karena
mereka mendengar suara kunci pintu dibuka. Wajah
cantik berhidung mancung muncul. Suto segera melirik
pada belahan dada perempuan itu. Ternyata dada itu
mempunyai tato bergambar kelabang merah. Berarti
bukan Dewi Kun yang datang, melainkan Dewi Sun. 
"Sudah tak ada waktu lagi untuk bersantai ria,
Pendekar Banci!" ucap Dewi Sun, rupanya masih
dongkol dengan kegagalannya bercumbu dengan Suto. 
"Aku butuh waktu sebentar lagi.  Ada yang ingin
kubicarakan dengan Elang Samudera!"
"Tidak ada waktu lagi!" gertaknya. "Kakakku
memanggilmu. Kalian akan segera berangkat!"
"Maksudmu, aku dan Elang Samudera?" 
"Kau dan kakakku!" sentak Dewi Sun tampak
bermusuhan sekali dengan Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas dalam-dalam.
Matanya memandang Elang Samudera yang tampak
menggeram ingin lepaskan pukulan kepada Dewi Sun.
Tapi satu kedipan mata Suto sudah cukup sebagai isyarat
agar Elang Samudera menahan emosinya.
Dewi Sun segera membawa Pendekar Mabuk ke
serambi depan. Ternyata serambi yang dimaksud adalah
ruangan besar tanpa dinding samping kanan-kiri, seperti
pendopo. Di sana telah berkumpul beberapa wanita
muda yang mempunyai paras cantik-cantik. Jumlahnya
sekitar dua puluh lima orang. Tetapi dua wajah kembar
berada di sisi lain. Dua wajah kembar itu adalah Dewi
Kun dan Dewi Mul. Mereka segera pandangi Suto
Sinting yang melangkah bersama Dewi Sun dengan
senyum tipis membias bak menyebarkan daya tarik
kepada setiap mata yang ada di situ.
Dewi Sun hentikan langkah di samping Dewi Kun,
sedangkan Suto berada di sebelah kiri Dewi Sun. Tapi
kejap kemudian tangannya ditarik oleh Dewi Kun,
hingga ia berdiri berdampingan dengan Dewi Kun
menghadap para wanita cantik yang berpakaian seronok
itu. 
Dewi Kun bicara kepada mereka dengan berwibawa.
"Hari ini aku akan berangkat mencari Bocah Emas
didampingi oleh Pendekar Mabuk ini!"
"Oooo...?!" mereka menggumam kagum, sepertinya
baru tahu bahwa pemuda tampan itu adalah orang yang
sering didengar kabarnya melalui percakapan dari mulut
ke mulut. Agaknya mereka belum tahu bahwa ketua
mereka telah berhasil menawan Pendekar Mabuk,
sehingga gumam kekaguman mereka terdengar secara
serempak.
"Kalian dan kedua adikku; Dewi Mul serta Dewi Sun,
bertugas mempertahankan kuil ini dari gangguan siapa
pun, terutama orang-orang Bukit Sulang. Dalam waktu
empat hari, aku akan kembali baik tanpa Pendekar
Mabuk maupun bersama Pendekar Mabuk. Jika dalam
waktu empat hari aku tidak kembali, berarti aku tewas di
perjalanan atau di tangan Ratu Lembah Girang. Jika
dalam empat hari Pendekar Mabuk tidak kembali ke sini
membawa Bocah Emas, maka temannya yang bernama
Elang Samudera harus kalian bunuh sebagai imbalan
kegagalannya mendapatkan Bocah Emas itu!"
Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut sambil
tersenyum-senyum. Seakan ia tak merasa kaget dan
khawatir dengan ancaman yang baru saja dilontarkan
Dewi Kun itu.
Setelah meninggalkan berbagai pesan, Dewi Kun
segera berangkat bersama Pendekar Mabuk menuju ke
istana Lembah Girang. Mereka pergi  dengan
menunggang seekor kuda secara berboncengan. Dewi
Kun yang duduk di belakang, sedangkan Suto Sinting
sebagai pengemudinya. Tetapi arah gerakan kuda
tergantung petunjuk dari Dewi Kun.
Dewi Kun sengaja duduk di belakang sambil
memeluk Suto Sinting, agar jika terjadi sesuatu ia
terlindung oleh tubuh Suto, dan jika Suto ingin berbuat
sesuatu ia leluasa mencegahnya. Karena Dewi Kun
memeluknya dari belakang, maka bumbung tuak
terpaksa disilangkan ke depan dada. Dengan begitu
pelukan Dewi Kun tidak terganjal oleh bumbung tuak.
Sebelum berangkat tadi, Suto sempat meminta agar
bumbungnya dipenuhi oleh tuak. Dewi Sun
mengambilkan tuak terjelek dan rasanya tak sedap.
Tetapi ia tidak tahu, bahwa tuak apa pun yang masuk ke
bumbung sakti itu akan menjadi tuak yang sedap dan
berkhasiat tinggi.
Perjalanan menuju ke istana Lembah Girang
ditempuh dengan berkuda memakan waktu setengah
hari. Hanya saja, baru mencapai seperempat hari tiba-
tiba kuda itu harus memperlambat larinya.
"Ada mayat di sebelah sana!" ujar Dewi Kun sambil
menunjuk ke suatu arah. Suto Sinting diperintahkan
mendekati mayat itu. Ternyata ada tiga mayat yang
tergeletak dalam keadaan luka parah. Dewi Kun
memeriksanya dari atas punggung kuda.
"Sepertinya mayat orang-orang Lereng Hitam!" kata
Dewi Kun.
"Apakah kau kenal dengan orang-orang Lereng
Hitam?"
"Kukenali dari ikat kepala mereka yang selalu
berbentuk runcing ke atas!"
"Hmmm...!" Suto-menggumam sambil ikut
memandangi tiga mayat itu dengan menggerakkan
kudanya memutari mayat tersebut.
"Sepertinya mereka luka tercabik-cabik oleh binatang
buas," tambah Suto setelah Dewi Kun lama tidak
memberi komentar apa-apa.
"Ya, sepertinya memang mereka dimangsa oleh
binatang buas. Tapi perhatikan, tidak ada bagian tubuh
mereka yang hilang dimakan binatang buas. Seandainya
seekor singa atau harimau hutan, pasti salah satu anggota
tubuh mereka ada yang hilang. Tapi nyatanya mereka
hanya tercabik-cabik dan keadaan dadanya jebol."
"Mungkin bagian dalam tubuh mereka yang diambil,
seperti jantung, paru-paru atau yang lainnya!"
"Entahlah. Yang jelas, mereka tampak baru saja
mengalami  kematiannya. Darah mereka belum sempat
kering betul. Dan menurut dugaanku, bukan binatang
buas yang melakukannya. Pasti dari pihak musuh
mereka."  
"Siapa musuh orang-orang Lereng Hitam itu?!"
"Siapa lagi kalau bukan orang-orang Bukit Sutang
yang rakus akan wilayah kekuasaan."
Suto memandang ke arah sekeliling. Tiba-tiba ia
temukan bayangan mayat tergeletak di bawah pohon
seberang sana.
"Sepertinya di sana juga ada korban lagi!" Lalu tanpa
menunggu perintah Dewi Kun, ia memacu kudanya ke
arah yang dimaksud.
"Hmmm... dugaanku pasti benar. Mereka orang-orang
Lereng Hitam yang dibunuh oleh orang-orang Bukit
Sulang," ujar Dewi Kun setelah memperhatikan
sekeping logam yang menancap di pohon tersebut.
Logam itu berbentuk seperti kelopak bunga.
"Ini senjata milik orang-orang Bukit Sulang!"
"Tapi apakah karena senjata itu maka mayat-mayat
ini mati dalam keadaan tercabik-cabik begitu?!"
"Seharusnya kematian mereka tidak separah ini!"
sambil Dewi Kun membuang senjata rahasia berbentuk
kelopak bunga yang tadi dicabutnya dari pohon.
Kemudian ia naik kembali ke punggung kuda, karena
saat mau mencabut senjata rahasia itu ia sempatkan diri
untuk turun dari punggung kuda.
Namun baru saja Dewi Kun duduk di belakang Suto,
tiba-tiba sekeping logam menyambar mereka dari arah
kanan. Ziiing...!
"Awas!" seru Pendekar Mabuk sambil tangan
kanannya berkelebat ke samping. Teeb...! Tahu-tahu dua
jarinya telah menjepit sekeping logam bundar berbentuk
kelopak bunga yang bagian tepinya mempunyai
keruncingan dan ketajaman melebihi mata pisau.
Dewi Kun sempat terkejut dan menjadi tegang setelah
mengetahui jari Suto menjepit senjata rahasia seperti
yang tadi dicabut dari pohon. Dewi Kun segera berbisik
pelan dari belakang Pendekar Mabuk.
"Turun! Orang-orang Bukit Sulang ada di sekitar
sini!"
"Apakah menurutmu kita telah terkepung?!" 
"Kita lihat saja nanti!" sambil Dewi Kun mendahului
lompat dari punggung kuda. Wees...! Jleeg...!
*
*  *


7
PENDEKAR MABUK justru turun dari kuda dengan
pelan-pelan. Ia bersikap tenang sekali, walau sebenarnya
memasang kewaspadaan tinggi. Bahkan ia sempat
mengikat tali kekang kuda ke ranting-ranting semak.
Setelah itu baru melangkah dekati Dewi Kun sambil
memandang ke sekelilingnya. Sedangkan Dewi Kun
tampak tegang dan sudah menghunus pedangnya yang
menyilang di punggung.
"Jangan santai-santai saja, Tolol!  Kita diancam
bahaya tak diketahui dari mana datangnya!" omel Dewi
Kun dengan nada gerutu dari suara pelan seperti orang
menggeram.
Suto Sinting memindahkan bumbung tuaknya yang
menyilang di dada ke pundak. Kini bumbung tuak itu
tergantung di pundak dan sewaktu-waktu siap
digunakan.
"Kita tunggu saja serangan berikutnya," ujar Suto.
"Perhatikan arah datangnya serangan berikutnya nanti.
Maka kita akan mengetahui di mana bahaya itu berada!"
Dewi Kun yang sedikit membungkuk dengan
memasang kuda-kuda dan menggenggam pedang, kini
menjadi tegak dan tidak setegang tadi. Karena setelah
ditunggu beberapa saat lamanya, ternyata serangan
berikutnya tidak kunjung tiba. Sedangkah senjata rahasia
yang tadi ditangkap Suto Sinting itu tidak diketahui dari
mana datangnya. Memang berasal dari sebelah kanan
mereka alias sebelah barat,  tapi di sebelah barat banyak
pohon rimbun dan semak belukar. Tak bisa dipastikan
apakah penyerangnya ada di atas pohon atau di bawah
pohon.
Jurus 'Lacak Jantung' segera digunakan oleh
Pendekar Mabuk. Dengan menggunakan jurus 'Lacak
Jantung' maka ia dapat mendengarkan detak jantung
seseorang selain dari mereka berdua.
"Oh, gawat!" gumam SutoSinting baru mulai sedikit
menegang. 
"Ada apa?!" tanya Dewi Kun yang tak mengerti
bahwa Suto mempunyai jurus 'Lacak Jantung' itu.
"Ternyata kita telah terkepung."
"Dari mana kau tahu?!" 
Suto mulai melilitkan tali bumbung tuaknya di tangan
kanan sebagai persiapan hadapi serangan lawan.
"Aku menangkap detak jantung yang lebih dari tujuh
orang, selain kita berdua. Detak jantung itu kudengarkan
berasal  dari depan kita, kiri, kanan dan belakang kita.
Suaranya riuh gaduh, pertanda jumlah mereka lebih dari
tujuh orang."   
"Kalau begitu bersiaplah! Jangan santai-santai saja!"
"Apakah kau melihat aku masih santai-santai saja?!
Lihat gayaku ini, hmmm... ini gaya orang yang siap
tempur!" ujar Suto agak konyol dengan memamerkan
gayanya yang sedikit merundukkan badan dan
menggenggam tali bumbung tuak kuat-kuat.
"Lihat lirikan mataku ini," ujarnya lagi bernada
konyol. "Hmmm... ini lirikan mata menangkap mangsa.
Terutama wanita...," sambil Suto memperagakan lirikan-
lirikan matanya yang diterima Dewi Kun sebagai
kekonyolan tak lucu.
Sebelum Dewi Kun katakan sesuatu, tiba-tiba mereka
diserang dengan beberapa senjata rahasia yang meluncur
dari berbagal arah. Ziing, ziing, ziing, ziiing...!
"Awas!" seru Suto Sinting sambil lakukan satu
lompatan melambung ke atas melebihi ketinggian benda-
benda terbang itu. Wuuut...! Sementara Dewi Kun tetap
di tempat dan mengibaskan pedangnya dengan cepat ke
berbagai arah, bahkan sempat berputar dengan gerakan
seperti gangsing.
Wees...! Trang, tring, tring, trang, triiing...!
Jleeg...! Suto Sinting daratkan kaki ke tanah. Tepat
ketika itu senjata-senjata rahasia sudah tersingkirkan
oleh tebasan pedang Dewi Kun.
Suasana menjadi sepi kembali. Tak ada gerakan tak
ada suara. Mata Dewi Kun memandang liar dengan sikap
berjaga-jaga. Suto Sinting agak tenang sedikit walau
tetap melirik dengan jeli ke keadaan sekitarnya.
Sesaat kemudian, Dewi Kun berbisik kepada Suto.
"Pancing dengan pukulan jarak jauhmu!" 
"Pukulanku tidak boleh jauh-jauh," kata Suto. "Kalau
jauh-jauh nanti nyasar!"
"Kau tidak bersungguh-sungguh menghadapi bahaya
ini!" geram Dewi Kun yang merasa mendapat jawaban
konyol. Akhirnya ia sendiri yang melakukan pukulan
jarak jauh.
Tangan kirinya menyentak ke depan, dan dari telapak
tangan melesat sinar merah sebesar jari kelingking.
Claaap...! Blaaarr...!
Krraaaak... brruuk...!
Sebatang pohon tumbang dalam keadaan
mengepulkan asap karena dihantam oleh sinar merah itu.
Clap, clap, clap...! 
Blarr, blaar, blaar...!
Beberapa pohon menjadi rusak. Hancur dan tumbang
tak tentu arah. Tetapi satu pun tak ada suara pekikan
yang didengar mereka. Berarti pukulan-pukulan jarak
jauhnya Dewi Kun tidak kenai lawan yang bersembunyi.
Suasana menjadi hening kembali. Hanya suara
dedaunan yang gemerisik karena hembusan angin. Satu
suara batuk pun tak  didengar oleh mereka. Pendekar
Mabuk kembali pergunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya
yang tadi.
"Lho...? Lho, kok begini?!" gumamnya pelan, namun
terdengar di telinga Dewi Kun.
"Ada apa lagi?!"
"Tak ada suara detak jantung satu pun, kecuali
jantungku dan jantungmu! Aneh...?!" Pendekar Mabuk
kerutkan dahi sambil bergeser memutar pelan-pelan.
"Mengapa jadi sepi sekali begini?! Tadi kudengar
banyak suara detak jantung dari berbagai arah. Sekarang
tak satu pun ada suara detak jantung selain detak jantung
kita. Apakah Jurus 'Lacak Jantung'-ku sudah rusak?!" 
Setelah ditunggu sampai beberapa saat lamanya tak
muncul serangan lagi, Dewi Kun memutuskan untuk
lanjutkan langkah dan tidak perlu hiraukan serangan
mereka. Suto Sinting akhirnya sepakat untuk lanjutkan
perjalanan.
Tapi baru saja mereka mendekati kuda hitam yang
tadi mereka tunggangi, tiba-tiba tiga benda mengkilap
melesat dari tiga arah. Zing, zing, zing...! Suto Sinting
yang lebih dulu dekat dengan kuda segera bersalto ke
belakang sambil berteriak cepat.
"Mundur!"
Dewi Kun yang belum memasukkan pedangnya ke
sarung pedang juga segera lakukan lompatan bersalto ke
belakang dengan lincahnya.
Wuk, wuk...! 
Jleeg...! Kini keduanya sama-sama berdiri tiga
langkah dari kuda hitam. Benda-benda yang melayang
cepat itu memang tidak mengenai kulit tubuh mereka.
Tetapi malang bagi sang kuda, benda-benda itu akhirnya
menancap di tubuh kuda hitam. Jrub, jrub, jruub...!
"Hieeeekhhh...!" 
Kuda itu meringkik panjang bagai menjerit kesakitan.
Kaki depannya naik ke atas dan mengais-ngais.
Kemudian kuda itu segera roboh sambil kelojotan
membuat Dewi Kun dan Pendekar Mabuk sama-sama
tegang. Mereka saling beradu punggung dan bergerak
memutar sambil memandang penuh waspada.
Suasana jadi tenang kembali. Suara kuda pun sudah
tak ada karena kuda ttu sudah tak mau bernapas lagi
alias mati. Badan kuda tampak berasap tipis, luka akibat
ditembus senjata rahasia itu mengepulkan asap agak
tebal. Darah yang keluar dari luka berwarna hitam,
menandakan racun yang ada pada senjata rahasia itu
sangat ganas dan mematikan. 
"Jahanam! Mereka membunuh si Keling!" ujar Dewi
Kun dengan geram kemarahan melihat kudanya yang
bernama si Keling mati secara mengenaskan. 
"Agaknya mereka ingin mempermainkan kita!
Berjaga-jagalah di sini, aku akan mengelilingi tempat
ini!"
Sebelum mendapat izin atau keputusan dari Dewi
Kun, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu melesat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaaap, zlaap, zlaap...!
Dewi Kun bengong melihat gerakan Suto yang
kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu,  ia tak
menyangka kalau Pendekar Mabuk mampu bergerak
secepat itu. Bahkah menurutnya kecepatan gerak
tersebut melebihi kecepatan setan lari terbirit-birit.
Suto mengelilingi tempat tersebut. Matanya
memandang dengan tajam dan teliti sekali. Namun
ternyata tak satu pun manusia yang ditemukan di sekitar
tempat itu. ia segera kembali temui Dewi Kun. Zlaaap...!
Namun alangkah kagetnya ketika ia menemukan
tempat itu telah kosong. Dewi Kun tidak ada di
tempatnya semula. Mata Suto memandang sekeliling
kembali, mencari gerakan Dewi Kun, tapi ia tetap tidak
menemukan gerakan apa-apa.
"Dewi Kun...! Dewi Kun...!" panggilnya sambil
bergerak memutar pelan-pelan.
"Kuuun...! Kuntilanak...!" teriaknya sengaja meledek
supaya Dewi Kun berang dan keluar dari suatu tempat.
Namun pancingan itu ternyata tidak membuat Dewi Kun
menampakkan diri dari suatu tempat. Hal itu membuat
Suto menjadi bingung dan curiga.
"Ke mana dia?! Apakah ditelan bumi? Hmmm...
sepertinya tak mungkin," sambil Suto memandangi tanah
tempatnya berpijak.
"Tak ada tanda-tanda tanah habis retak. Berarti Dewi
Kun tidak ditelan bumi. Lalu... ditelan siapa kalau
begitu?!"
Pendekar Mabuk berjalan mengelilingi tempat itu.
Tak terlalu jauh dari tempat bangkai kuda tergeletak dan
sekarang dalam keadaan menjadi lunak hampir
membusuk. Tapi yang tercium oleh Suto kala itu bukan
bau bangkai yang membusuk, melainkan bau wangi
cendana yang samar-samar. Pendekar Mabuk sempat
merinding dicekam ketegangan yang misterius sekali.
Untuk menghilangkan ketegangan itu, Pendekar Mabuk
terpaksa berteriak-teriak memanggil Dewi Kun kembali
"Dewi Kuuun...! Kuuun...! Kuntilanaaak...!"
Lalu hati pun membatin, "Wah, kalau yang keluar
benar-benar kuntilanak, repot aku!"
Setelah memeriksa sekeliling ternyata tidak ada Dewi
Kun, dan pedangnya pun tak ada, tetesan darah juga tak
ada, akhirnya Suto memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu, kembali ke Kuil Perawan Ganas. Karena jika
ia teruskan langkah, ia tidak tahu arah Gunung Sambara
atau arah istana Lembah Girang.
Namun baru saja ia ingin bergerak pulang, tiba-tiba
melesatlah dua logam dari arah kanan-kirinya yang
menerjang ke tubuhnya. Ziiing, ziiing...!
Dengan merendahkan satu kaki ke belakang dan
mengibaskan bumbung tuaknya, dua benda melayang itu
berhasil ditangkis menggunakan bumbung tuak tersebut.
Trang, trang...! Suara benda membentur bambu tuak
seperti logam membentur bumbung besi. Bagi Suto itu
bukan hal aneh. Yang paling aneh adalah munculnya
senjata rahasia tadi. Gerakan mata Suto sempat
menangkap keluarnya benda berbahaya itu yang ternyata
dari dalam batang pohon.
"Benda itu tadi keluarnya bukan dari atas pohon,
melainkan dari dalam batang pohon?! Aneh sekali?!
Apakah aku salah lihat?!" gumamnya sambil berkerut
dahi dan pandangi salah satu pohon yang dilihatnya
mengeluarkan senjata rahasia beracun ganas itu. Lalu,
pohon tersebut dihampirinya dan diperiksa. Ternyata
pada salah satu sisinya tampak  ada bekas lubang pipih
yang seukuran dengan lebarnya senjata rahasia tadi.      
"Hmmm...! Dari lubang ini benda itu tadi muncul dan
menyerangku. Aneh sekali dan baru kali ini kutemukan
ada pohon bisa keluarkan senjata rahasia. Apakah di
dalamnya ada orang yang melemparkan senjata itu?!"
Rasa penasaran membuat Suto Sinting akhirnya
menghantam pohon itu dengan jurus 'Mabuk Lebur
Gunung', yaitu gerakan menggeloyor seperti mau jatuh
namun ternyata menyodokkan bumbung tuaknya ke
pohon tersebut. Wuuk, duuukh...!
Beewwrr...! Krraaak...!
Daun pohon itu rontok semua. Pohon itu sendiri
segera terbelah menjadi dua memanjang dari bawah ke
atas. Tapi di dalamnya ternyata tidak ada manusia siapa
pun. Akibat sodokan bambu tuak tadi, tubuh Suto
menjadi dihujani daun-daun yang berguguran. Akhirnya
ia menggerutu sendiri sambil menebah-nebah tubuhnya,
menyingkirkan daun-daun yang menghujaninya.
"Sialan! Tubuhku malah jadi seperti sarang burung
begini!" gurutunya dalam hati, tapi mata tetap waspada
memandang keadaan sekeliling.
"Ternyata tak ada orang di dalam batang pohon itu!
Tapi mengapa bisa keluarkan senjata rahasia?! Anehnya,
senjata itu bisa diarahkan tepat ke tubuhku. Kalau aku
tak segera lakukan tangkisan, nasibku bisa seperti kuda
si Keling itu!"
Pendekar Mabuk merasa menghadapi tantangan yang
aneh dan baru kali ini dialaminya, ia terpaksa memeriksa
pohon yang satunya lagi. Di pohon itu juga ada bekas
keluarnya senjata rahasia,  ia memeriksa bagian
belakangnya, ternyata tak ada lubang tempat masuknya
senjata tersebut.
"Bagian sini rapat! Berarti senjata itu tidak
dilemparkan dari sisi sini dan menembus batang pohon!
Tapi memang keluar dari dalam batang pohon. Hmmm...
apakah pohon itu adalah pohon setan?! Bisa menyerang
orang yang tidak disukai dengan senjata rahasia seganas
itu?! Tapi jenis pohon ini dengan jenis pohon yang
kupecahkan tadi berbeda. Kenapa bisa sama-sama
keluarkan senjata rahasia? Ah, kurasa ada sesuatu yang
tak beres di tempat ini!" ucapnya membatin sambil
bergidik merinding.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara jeritan
yang melengking panjang dan berasal dari kejauhan. 
"Aaaaa...!"
"Apa lagi itu?!" gumamnya dalam hati sambil mata
memandang arah datangnya jeritan. "Jangan-jangan
Dewi Kun?!"
Pendekar Mabuk pun bergegas melesat ke arah
datangnya jeritan tadi. Dengan menerabas semak ia
berkelebat cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Dalam waktu singkat ia tiba di suatu tempat yang
berpohon renggang. Di sana ia temukan seseorang
sedang kelojotan dalam keadaan tubuhnya berlubang
pipih. Ada tiga tempat yang mengalami luka seperti
ditancap oleh senjata rahasia, yaitu ba gian ulu hati, leher
dan tengah dahi.
Ketika Suto mendekati orang itu, nyawa orang itu
terburu-buru pergi sehingga orang tersebut tak bisa
diajak bicara. Orang itu adalah seorang lelaki gemuk,
brewokan, berkulit gelap, dan berwajah sangar. Ketika
menghembuskan napas terakhir, matanya terbuka lebar
dan tak mau terpejam lagi selamanya. Suto merasa ngeri
memandang wajah mayat yang mulutnya terbuka dan
lidahnya terjulur itu.
"Gila! Senjata rahasia itu terbenam habis ke dalam
tubuhnya!'' ujarnya membatin sambil tinggalkan mayat
berpakaian serba hitam yang mengenakan ikat kepala
merah itu. Kemudian ia memandangi semak-semak dan
pohon di sekitar tempat itu. Ternyata tak ada satu pun
manusia yang terlihat bersembunyi di semak ataupun
pohon tersebut.
Suasana menjadi lengang kembali. Sepi tanpa suara
dan gerakan mencurigakan. Hanya gemerisik dedaunan
yang terdengar karena hembusan angin. Namun
hembusan angin itu juga menyebarkan aroma cendana
yang lebih jelas lagi dari saat berada di dekat bangkai
kuda. Wangi cendana itu membuat Suto Sinting
merinding, bulu kuduknya jadi berdiri, ia seperti
terancam bahaya yang mengelilinginya. Bahkan ia
merasa nyawanya tinggal seujung jarum lagi.
*
*  *
 

8
SEKELEBAT bayangan kali ini terlihat melintasi
pepohonan bambu hijau yang tumbuh lurus-lurus.
Bayangan orang berlari menjauhi tempat itu tampak
mengenakan pakaian merah. Pendekar Mabuk langsung
teringat rompi dan celana mini Dewi Kun yang juga
berwarna merah.
"Tak salah lagi, pasti dialah orangnya!" pikir Suto. Ia
pun berseru memanggil, "Dewi Kun...! Hei, tunggu...!"
Zlaaaap...! Zlaaap...!
Pengejaran dilakukan dengan gunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Tapi pengejaran pun segera dihentikan ketika
di sisi lain tampak sekelebat bayangan berlari searah
dengan gerakan Suto. Bayangan itu berada di sebelah
kirinya, sehingga Suto menjadi bingung. Mana yang
harus diburunya; bayangan merah atau bayangan hitam
yang di sebelah kirinya?
"Orang berbaju merah tadi yang harus kukejar lebih
dulu, karena aku yakin dia adalah Dewi Kun!"
Zlaaap...! Zlaaap...!
Dari sela-sela rumpun bambu yang tumbuh secara
renggang itu, Pendekar Mabuk nyaris kehilangan jejak
bayangan merah yang dikejarnya. Setitik warna merah
yang bergerak menjauhinya masih tertangkap oleh
pandangan mata. Tetapi mendadak muncul bayangan
lain di sebelah kanannya yang bergerak cepat bagaikan
angin. Bayangan berwarna biru itu melesat cepat searah
dengan pelarian bayangan merah juga. Ia menelusup di
antara sela-sela batang bambu yang tumbuh lurus dan
berjarak renggang. Wes, wes, wes...!
"Ada tiga bayangan yang bergerak searah?! Jarak
mereka memang saling berjauhan, tapi mengapa
gerakannya searah? Siapa yang dikejar dan yang
mengejar sebenarnya?!" gumam Suto dalam
kebingungan.
Tetapi kejap berikutnya Pendekar Mabuk dikejutkan
oleh munculnya cahaya kuning yang melompat dari
pohon bambu ke pohon bambu lainnya. Cahaya kuning
itu meluncur cepat dalam ketinggian yang sukar
dijangkau. Laaap, laaap, laaap...!
Di samping gerakannya sangat cepat, perpindahan
tempatnya tidak beraturan. Kadang lurus, kadang ke kiri,
kadang nyelonong ke kanan. Bayangan memancarkan
cahaya kuning itu berbentuk seperti gumpalan asap,
namun tidak mengepul dan tidak buyar. Bahkan
cenderung seperti benda padat yang dilapisi cahaya
kuning seluruhnya. Dari tempat Suto berdiri, cahaya
kuning itu berukuran sebesar buah nangka.
"Sial! Makin bingung saja aku dibuatnya. Mana yang
harus kukejar atau kuikuti gerakannya?! Tapi cahaya
kuning itu juga menarik perhatian dan membuatku
penasaran. Apa sebenarnya cahaya kuning itu?"
Akhirnya Suto  memutuskan untuk mengejar cahaya
kuning itu. Tapi gerakan cahaya kuning lebih cepat dari
gerakan bayangan lainnya. Pendekar Mabuk terpaksa
kerahkan tenaga untuk menyusul cahaya kuning dan jika
memungkinkan ingin menangkap atau melumpuhkan
cahaya kuning tersebut. Sambil berlari cepat Suto selalu
mendongak ke atas mengikuti gerakan cahaya kuning
yang berpindah tempat dengan arah membingungkan.
Tak disadari ternyata dirinya sampai di sebuah
gundukan tanah cadas yang menyerupai bukit rendah.
Gundukan tanah cadas itu mempunyai permukaan tak
rata karena banyak bebatuan yang bertonjolan dan
membentuk sekat-sekat sempit. Pendekar Mabuk
akhirnya berhenti di balik bebatuan pipih yang mirip
lempengan dinding itu.
Dari atas gundukan tanah cadas itu, mata Suto dapat
melihat sesosok tubuh berpakaian hitam yang berdiri di
tengah tanah datar dikelilingi pohon bambu yang
tumbuh lurus dan renggang itu. Orang berpakaian hitam
yang tadi terlihat bergerak cepat di samping kiri Suto
ternyata seorang lelaki berkumis lebat dengan ikat
kepala dari kain batik berbentuk runcing ke atas.
Menurut penjelasan Dewi Kun, bentuk ikat kepala yang
runcing ke atas itu adalah ciri orang-orang Lereng
Hitam. 
"Kurasa dia memang orang Lereng Hitam yang
sedang dikejar orang Bukit Sulang. Mungkinkah
bayangan biru tadi adalah orang Bukit Sulang?!"
Pendekar Mabuk masih memperhatikan dari satu
celah di antara dua batu pipih. Orang berpakaian hitam
itu tampak kebingungan dan berwajah tegang.
Senjatanya yang berupa kampak digenggam dengan
tangan kanan, sementara tangan kirinya merentang bagai
menghadang gerakan lawan.
Tiba-tiba mata Suto menangkap gerakan halus yang
ada di atas salah satu pohon bambu hijau itu. Gerakan
halus tersebut ternyata adalah cahaya kuning yang
berkilauan bagaikan emas menggantung di batang pohon
bambu. Karena pancaran sinarnya menyilaukan, maka
Suto Sinting terpaksa mengecilkan pupil matanya untuk
menangkap bentuk di balik cahaya kuning menyilaukan
itu.
Tetapi sebelum matanya berhasil menangkap bentuk
asli cahaya kuning menyilaukan itu, tiba-tiba
pandangannya harus berpindah ke arah lain. Di sana
muncul seorang berpakaian serba biru yang berambut
panjang dan berkumis serta brewokan. Orang itu
menggenggam sebilah pedang besar dan bersikap
menghadang orang berpakaian hitam.
"Oh, itu tadi orang yang berlari di sebelah kananku?!
Hmmm... dilihat dari sikapnya dalam berhadapan
dengan orang berpakaian hitam, tampaknya mereka
bermusuhan. Tapi sebaiknya kutunggu saja di sini apa
yang terjadi di antara mereka berdua."
Jarak Suto dengan kedua orang itu tak seberapa jauh,
sehingga percakapan mereka dapat didengar dari celah
dua batu pipih itu. Yang berpakaian biru berseru lebih
dulu dengan nada berang.
"Ke mana pun kau bersembunyi dan melarikan diri,
tetap saja akan bertemu denganku, Sargulo!"
"Jangan salah duga, Bawoka! Aku bukan lari dari
tantanganmu! Ada sesuatu yang lebih ganas dari orang-
orang Bukit Sulang sepertimu, Bawoka!"
"Kau hanya beralasan untuk hindari hutang
nyawamu, Sargulo! Kau harus menebus kematian
kakakku; si Gembongsuro yang pasti  telah kau bunuh
secara licik! Tiga lubang kutemukan di tubuh kakakku;
Gembongsuro. Satu di ulu hati, satu di leher dan satu
lagi di Jengah kening. Kau pasti melepaskan senjata
rahasia secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak, tak
mungkin Gembongsuro tewas di tanganmu!"
"Aku tidak membunuh Gembongsuro!" bentak si baju
hitam yang bernama Sargulo itu. "Kalau aku bisa
membunuh Gembongsuro, mengapa aku harus lari.
Justru itu merupakan kebanggaanku! Jika aku bisa
membunuhnya, mengapa aku harus takut padamu!
Bukankah  aku akan lebih mudah membunuh adiknya
daripada si Gembongsuro sendiri?!"
"Jangan banyak bacot! Hadapi saja pembalasanku
ini...!"
Bawoka baru mau bergerak mengangkat pedang
besarnya, tiba-tiba Suto melihat dari dalam sebatang
pohon bambu keluar cahaya putih yang ternyata adalah
sekeping logam berbentuk kelopak bunga yang
merupakan senjata rahasia beracun mematikan itu.
Ziiiing...!
Gerakan itu dapat dilihat Suto dengan jelas, karena
pada waktu itu kebetulan Suto sedang menatap gerakan
bayangan merah yang bersembunyi di balik tiga pohon
bambu yang tumbuh merapat. Di depan tiga pohon
bambu itu ada sebatang pohon bambu pula yang tumbuh
lurus sendirian, dan dari pohon bambu itulah senjata
rahasia itu melesat menghantam tengkuk kepala
Bawoka.
Jraaab...!
"Aaaakh...!" Bawoka mendelik dengan tubuh kejang.
Ia masih memaksakan diri untuk melangkah dekati
Sargulo, tetapi baru dua langkah sudah roboh dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Dari luka di tengkuknya
mengalir darah hitam seperti yang dialami nasib kuda si
Keling itu.
Sargulo justru terbengong di tempat melihat kematian
lawannya yang tak diduga-duga itu. Wajah tegang lelaki
bertubuh besar itu membuat Suto Sinting memperhatikan
dengan tegang pula. Sekejap kemudian mata Suto
berpindah ke bayangan merah yang bersembunyi di
balik tiga bambu yang tumbuh merapat itu.
Namun pandangan itu segera terhenti pada sebatang
bambu yang tumbuh lurus sendirian dalam jarak tak jauh
dari persembunyian si bayangan merah.
Pandangan Suto tertuju di bagian atas bambu
tersebut. Ternyata di sana telah bertengger cahaya
kuning yang sekarang tidak menyilaukan lagi. Cahaya
itu meredup dan sosok wujud di balik cahaya itu
menampakkan diri. Pendekar Mabuk terkejut sekali
melihat bocah kecil berkepala gundul tapi berkulit
kuning keemasan sedang berdiri di salah satu ranting
kecil dari pohon bambu itu. Tanpa ilmu peringan tubuh,
ranting itu pasti akan patah ditumpangi tubuh bocah
tersebut. Suto sempat terbengong melompong melihat
bocah kecil telanjang dada hanya mengenakan celana
model cawat berwarna kuning keemasan pula.
"Bocah Emas...?!" pekik hati Suto begitu menyadari
apa yang dipandangnya sejak tadi.
Bocah yang tingginya hanya seukuran tinggi pinggul
Suto sedang bertolak pinggang memandangi Sargulo.
Dan tiba-tiba pandangan matanya beralih pada sebatang
pohon bambu yang tumbuh di samping kiri Sargulo.
Tangan bocah itu menuding ke arah pohon bambu, lalu
bergerak cepat menuding Sargulo. Pada saat itu juga
Suto Sinting melihat sekeping senjata rahasia keluar dari
dalam pohon bambu dan menyerang Sargulo. Ziiiing...!
"O, rupanya dia yang mengeluarkan senjata rahasia
dari batang-batang pohon melalui kekuatan gaibnya.
Mungkin dengan cara memandangi pohon itu, sudah
dapat keluarkan pisau dari pohon tersebut!" gumam Suto
Sinting dengan nada kaget. "Dan rupanya dia pula yang
sejak tadi menyebarkan bau wangi cendana. Terbukti
bau cendana sekarang semakin tajam dan semerbak
kuat."
Tapi pada saat itu Sargulo cepat tanggap akan
datangnya bahaya dari sisi kirinya. Kampaknya segera
berkelebat ke kiri dengan tubuh bergerak setengah
putaran. Wuuuut, trrriing...!
Senjata rahasia itu berhasil dihalau oleh kampak
Sargulo dan mental entah ke mana. Namun bocah di atas
pohon bambu itu menuding pohon lainnya, dam dari
pohon itu melesat kembali sekeping logam berkilat yang
mengarah ke punggung Sargulo. Ziiiing...!
Sargulo merasakan ada angin cepat mengarah ke
punggungnya. Dengan gerakan mengibaskan kapak
setengah lingkaran, senjata rahasia itu berhasil terhadang
oleh mata kapak tersebut. Wuuuuuut, trriiing...! Pluk...!
Senjata rahasia itu jatuh di depan kaki Sargulo.
Dua kali Sargulo berhasil lolos dari serangan maut
yang sungguh aneh itu. Tetapi kali ini Bocah Emas itu
melayang cepat dari atas pohon bambu dan menerjang
Sargulo dari depan. Wees...! Bocah itu berkelebat dalam
bentuk  cahaya merah dan dalam sekejap terdengarlah
suara pekikan suara Sargulo yang kesakitan.
"Uaaaakhh...!"
Jleeeg...!
Bocah itu berdiri di atas batu setinggi betis.
Tubuhnya sudah tidak bercahaya lagi. Matanya yang
bundar kecil itu memandang ke arah Sargulo yang
mengerang kesakitan. Suto Sinting membelalakkan mata
juga melihat tangan Sargulo yang tadi memeganggi
kapak telah robek bagai tercabik-cabik dari batas siku
sampai telapak tangan. Kapak pun jatuh depan kaki
Sargulo. Tapi yang membuat Suto heran, tangan Sargulo
seperti habis dicakar-cakar oleh kuku binatang buas
sejenis beruang atau singa. Padahal Suto melihat sendiri
bahwa tangan itu tadi hanya disambar oleh cahaya
kuning dari Bocah Emas itu. 
"Berarti mayat-mayat yang kutemukan mati dalam
keadaan tercabik-cabik itu adalah orang yang dibunuh
oleh Bocah Emas itu sendiri?! Oooh... alangkah
ganasnya si Bocah Emas itu?!" pikir Suto Sinting.
Sargulo terkejut mengetahui penyerangnya si Bocah
Emas. Ia ragu-ragu untuk membalas serangan bocah itu,
karena tentunya Sargulo tahu keistimewaan Bocah Emas
tersebut. Tetapi begitu tangannya yang terluka parah
dirasakan sangat sakit, Sargulo menggeram dan
bermaksud menerkam bocah itu dengan satu lompatan
bagai seekor singa memburu mangsanya.
"Haaaahhrr...!"
Bocah Emas itu tiba-tiba juga melesat maju dengan
kecepatan tinggi. Weess...! Ia sengaja menabrakkan diri
ke dada Sargulo. Bruuuss...! Plooss...!
Pendekar Mabuk terbelalak kaget, ia menyaksikan
dengan jelas tubuh bocah itu menembus dada Sargulo
hingga dada itu jebol dan Sargulo pun tumbang tanpa
nyawa setelah berkelejot sesaat. Bocah itu berdiri
memunggungi Sargulo tanpa bekas darah. Namun di
tangannya telah menggenggam sesuatu yang merah, dan
sesuatu yang merah itu ternyata adalah jantung Sargulo.
"Gila...?!" Pendekar Mabuk menggumam lirih dengan
tegang, bulu kuduknya pun merinding dan jantungnya
berdebar-debar.
Bocah Emas itu berpaling memandang mayat Sargulo
dengan sorot pandangan mata dingin. Jantung itu segera
dimakannya, dikunyah seenaknya seakan menikmati
hidangan yang lezat. Pendekar Mabuk semakin
merinding menyaksikan adegan itu.
"Ternyata bocah itu iblis yang ganas! Mengapa Ratu
Remaslega ingin memiliki bocah itu? Oh, kasihan Elang
Samudera jika tidak tertahan di Kuil Perawan Ganas.
Nasibnya pasti akan serupa dengan Sargulo dan yang
lainnya," ujar Suto membatin.
Saat memakan jantung Sargulo, mulut bocah itu
berlumuran darah. Tetapi darah tersebut cepat hilang
bagai terserap ke dalam kulit kuningnya itu atau
menguap diserap angin. Dalam sekejap bocah itu bersih
kembali tanpa noda darah setetes pun.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?!" pikir Suto
Sinting.
Selagi ia berpikir dalam kebingungannya, tiba-tiba ia
melihat sekelebat bayangan merah yang sejak tadi
bersembunyi di balik tiga pohon bambu yang tumbuh
merapat  itu keluar dari persembunyiannya. Ternyata
orang tersebut memang Dewi Kun. Perempuan itu
mendekati Bocah Emas dari arah belakang.
Pendekar Mabuk menjadi tegang sekali. "Wah, mati
kau, Dewi!" gumamnya tanpa suara.
Pendekar Mabuk cepat-cepat keluar dari
persembunyiannya. Namun Bocah Emas ternyata telah
berbalik lebih dulu menghadapi Dewi Kun. Dari gerakan
tangannya yang sedikit merenggang, Suto dapat
menduga apa yang akan dilakukan Bocah Emas itu. Pasti
akan menerjang tubuh Dewi Kun seperti yang dilakukan
terhadap Sargulo tadi.
Pendekar Mabuk mendahului bergerak dengan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Zlaaapp...!
Tepat saat itu si Bocah Emas juga lakukan lompatan
menerjang Dewi Kun. Weess...!
Tapi Pendekar Mabuk lebih cepat sampai di tempat
dan menyambar tubuh Dewi Kun dengan cepat.
Wuuut...! Craaas...!
"Aaaakh...!" Dewi Kun memekik. Bocah Emas
memang tertambat menerjang Dewi Kun, tapi angin
terjangannya bagai menyebarkan serbuk beling yang
tajam dan merobek lengan Dewi Kun yang tak terhalang
tubuh Suto. 
Zlaaap, zlaaap...! Suto Sinting membawanya
menjauhi tempat itu, yakni ke atas gundukan tanah cadas
tempatnya bersembunyi tadi.
"Lepaskan aku! Aku harus menangkap Bocah Emas
itu!" Dewi Kun meronta dengan suara keras.
"Kau akan mati jika mendekati bocah itu! Apa  kau
tak tahu keganasan bocah itu?!" bentak Suto Sinting.
"Dia bisa dibujuk! Dia tidak akan ganas terhadap
orang yang bersikap baik kepadanya!"
"Lihat lukamu! Ini menandakan dia tak bisa diajak
ramah oleh siapa pun!"
"Ini karena kau datang mengejutkan dirinya dan
membuatnya liar!" sentak Dewi Kun sambil meronta dan
berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan Suto. Ia
segera keluar dari balik bebatuan pipih itu. Pendekar
Mabuk mengejarnya sambil berseru mengingatkan sekali
lagi.
"Dewi Kun, lukamu beracun ganas! Tinggalkan
bocah itu!"
Dewi Kun baru saja mau menuruni gundukan cadas
yang membukit, tapi langkahnya ternyata sudah
dihadang oleh si Bocah Emas yang memandang dengan
sorot mata sedingin salju.
"Hai, Bocah Emas...," Dewi Kun mencoba bersikap
ramah dan tersenyum kaku. Pendekar Mabuk terpaksa
hentikan gerakannya dan ingin melihat sejauh mana
Dewi Kun bisa membujuk bocah itu.
"Jangan marah kepadaku, Bocah Emas. Aku bukan
orang Lereng Hitam atau orang Bukit Sulang. Aku
adalah orang Kuil Perawan Ganas. Aku tidak
bermusuhan denganmu, Bocah Emas," seraya Dewi Kun
melangkah setapak demi setapak.
"Kau ingin menangkapku juga, Iblis Betina!" seru
Bocah Emas dengan suara kecilnya yang lengking. 
"Oh, tidak begitu, Bocah Emas. Aku hanya akan
merawatmu. Aku ingin mengangkatmu sebagai anak
asuh. Mari, dekatlah padaku dan jangan memusuhiku,
Bocah Emas," bujuk Dewi Kun sambil terus mendekati
si Bocah Emas.
"Kau Dewi Kun, salah satu dari tiga gadis kembar
penghuni Kuil Perawan Ganas!" seru Bocah Emas.
"Ya, benar. Aku Dewi Kun! Kita pulang ke kuil,
yuk?!"
"Kau perempuan busuk! Kerjamu hanya mencari
kepuasan dari seorang lelaki!"
Dewi Kun kaget, melirik Suto yang ada di
belakangnya.  Ia tampak malu ketika Suto sunggingkan
senyum tipis.
"Jangan berkata begitu, Bocah Emas. Sebaiknya
lupakan saja tentang itu dan mari kita hidup bersama di
dalam kuil yang akan membuatmu aman dari gangguan
siapa pun!"
"Kau penentang kekuasaan Ratu Lembah Girang!
Kau ingin memelihara diriku untuk menyerang Ratu
Lembah Girang dan merebut kekuasaan di sana!  Kau
pun harus mati, Dewi Kun!"
"Bocah Emas, kau salah duga. Aku...."
Weeess...! Bocah Emas itu bagai tak sabar menunggu
ucapan Dewi Kun. Ia langsung melompat dan menerjang
bagian dada Dewi Kun.
Tetapi Suto Sinting sangat waspada. Ketika kedua
tangan bocah  itu sedikit merenggang pertanda ingin
lakukan lompatan, Suto segera berkelebat menyambar
tubuh Dewi Kun.
Zlaaap...! Wuuut...!
"Aaaakh...!" Suto Sinting dan Dewi Kun sama-sama
terpekik keras. Angin terjangan itu bagaikan serat-serat
mata pisau yang merobek kulit tubuh mereka. 
"Gila! Kekuatan iblis macam apa ini?!"
Punggung Suto robek bagai disabet kuku-kuku
setajam pisau, sedangkan pundak Dewi Kun semakin
koyak dan menyemburkan darah ke atas pertanda
robekan itu sangat dalam.
Suto meletakkan Dewi Kun yang kehilangan tenaga
karena rasa sakit begitu tinggi.
"Sutooo... selamatkan ak... aku...."
"Bertahanlah! Ini kesalahanmu sendiri!" ujar Suto
dengan suara berat karena sambil menahan sakit.
"Seandainya kau tidak pergi meninggalkan aku, kita
dapat selalu berunding dalam menentukan langkah
selanjutnya!"
"Maa... maafkan aku. Aku pergi saat... saat kau
memeriksa keadaan tempat si Keling mati tadi, kar...
karena... karena aku melihat Gembongsuro melarikan
diri. Tap... tapi ternyata Gembongsuro mati tanpa
kuketahui siapa pembunuhnya dan... dan aku segera
melarikan diri lagi begitu melihat cahaya emas di atas
pohon... ooouh, sakit sekali sekujur tubuhku, Suto. Ak...
aku tak kuat...!"
"Bertahanlah! Minumlah tuak ini,  dan...," Suto
Sinting hentikan ucapannya, ia tak jadi  meminumkan
tuak ke mulut Dewi Kun. Karena pada saat itu, Bocah
Emas terbang dengan cepat ke arah Pendekar Mabuk.
Dengan menahan rasa sakit di punggung, Suto segera
menghantamkan bumbung tuaknya ke arah Bocah Emas
itu. Wuuuut...! Blaaarrr...!
Ledakan keras  terjadi ketika tubuh Bocah Emas itu
dihantam dengan bumbung tuak. Pendekar Mabuk
terpental ke belakang dan terguling-guling. Dadanya
terasa sakit bagaikan dihantam palu godam, ia
memuntahkan darah kental dari mulutnya. Sedangkan
Bocah Emas itu juga terpental jauh dan terjepit di sela-
sela dua dari tiga pohon bambu yang tumbuh merapat
itu.
"Eaaaakh...!"
Bocah Emas berseru menyeramkan, ia sedang
merentangkan dua pohon bambu itu untuk bisa loloskan
diri. Pendekar Mabuk tak mau ambil risiko terlalu
berbahaya,  ia segera menyambar tubuh Dewi Kun dan
membawanya lari pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Zlaaap, zlaap, zlaaap...!
Luka Dewi Kun telah menjadi hitam, terutama luka di
lengannya. Dewi Kun dalam keadaan tak sadar.
Wajahnya pucat bagaikan mayat. Sementara itu, tenaga
Suto sendiri makin lama semakin berkurang.
Gerakannya mulai lemah dan lamban. Padahal di
belakangnya, si Bocah Emas tampak sedang lakukan
pengejaran dalam bentuk cahaya emas.
Berhasilkah Suto meloloskan diri dari pengejaran si
Bocah Emas itu? Haruskah ia dan Elang Samudera tetap
berusaha menangkap Bocah Emas dan diserahkan
kepada Ratu Remaslega?
Bocah Emas akan semakin mengganas dalam episode
mendatang: "Bocah Titisan Iblis". Tentu saja lebih seru,
lebih menegangkan dan... so pasti lebih panas lagi dong!

SELESAI


Segera terbit!!!
BOCAH TITISAN IBLIS
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com