Pendekar Mabuk 5 - Murka Sang Nyai(2)



"Ya. Lantas siapa yang bisa memenuhi kebutuhan



pribadi kita? Nyai...?! Apakah beliau sanggup memenuhi kebutuhan pribadi kita, jika pribadi kita menghendaki seorang kekasih seperti pemuda itu?!"




"Rukmi...!" sentak Maharani. "Jelasnya kau akan melakukan pembangkangan terhadap perintah nyai kita!"



"Aku hanya menuntut hakku dan perasaanku! Aku



suka pada Suto Sinting itu!"











"Sudah lama kita berteman, Rukmi," ucap Putri Alam Baka dengan nada rendah dan lebih berkesan tenang dari Maharani. Lalu ia berkata lagi,



"Jangan sampai aku mengambil tindakan tegas



untukmu. Jangan sampai aku menjatuhkan hukuman



berat untuk teman sendiri, Rukmi. Kuingatkan, jaga



nafsumu. Serahkan Suto kepada Nyai Lembah Asmara



sesuai tugasmu. Kurasa Nyai Ratu punya kebijaksanaan



tersendiri untuk dirimu, Perawan Sesat!"



"Aku tetap tidak akan menyerahkan Pendekar Mabuk kepada Nyai!"



"Kalau begitu kau menghendaki kami menghajarmu,



Rukmi!" sentak Maharani lagi sambil hentikan gerakan tangan yang sejak tadi mengipas-ngipas di depan



dadanya yang sekal itu.







Mendengar gertakan itu, Perawan Sesat



menyunggingkan senyum sinis meremehkan, ia berkata,



"Apa pun tindakan yang akan kau ambil, aku sudah siap menghadapinya, Maharani! Kalian boleh paksa aku



dengan cara apa pun. Tapi aku tetap tidak akan



menyerahkan Suto ke tangan Nyai!"



Terdengar ucapan pelan bernada sinis dari Maharani



kepada Putri Alam Baka.



"Ternyata apa yang dikhawatirkan Nyai Lembah



Asmara memang benar-benar terjadi, Sumbi! Perawan



Sesat melakukan pembangkangan!"



"Cuih...!" Perawan Sesat meludah dengan benci.



"Kau memang layak mendapat julukan penjilat kotor, Maharani! Sejak dulu kau selalu menjadi penjilat agar











mendapat perhatian dari Nyai Lembah Asmara!"



"Itu urusanku, Rukmi!" jawab Maharani menirukan jawaban Perawan Sesat tadi. Kini ia maju dua langkah, berada lebih depan dari Putri Alam Baka. Rupanya ia



ambil alih sendiri perkara itu, sehingga Putri Alam Baka mundur satu tindak.



"Perawan Sesat!" geramnya dengan mata menyipit tajam. "Jika kau bersikeras untuk tidak menyerahkan pemuda itu kepada Nyai Lembah Asmara, kau harus



melangkahi mayatku dulu!"



"Aku tak keberatan!" jawab Perawan Sesat. "Seribu mayat dirimu akan kulangkahi dalam sekejap,



Maharani!"



"Cabut pedangmu!" sentak Maharani sambil ia mulai pasang kuda-kuda untuk menyerang.







Perawan Sesat melangkah pelan ke kiri, kembali lagi



ke kanan sambil matanya melirik ke arah Maharani



dengan senyum meremehkan.



"Pedangku tak akan kucabut! Karena untuk



membuatmu menjadi mayat cukup menggunakan



kelingkingku, Maharani!"



"Mulut sombong busuk!" geram Maharani, kemudian ia kibaskan kipasnya dari kiri ke kanan dalam keadaan terbuka dan miring. Wuuus...!



Tenaga dalam bagaikan ditebarkan dalam gerakan



cepat, melesat ke arah Perawan Sesat. Dengan lincah



perempuan berambut acak-acakan itu sentakkan ujung



jempol kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat naik ke



atas sambil ia sentakkan pula tangan kirinya ke depan.











Wuugh...!



Tenaga dalam dari kipas mengenai tempat kosong.



Sementara itu tenaga dalam dari tangan Perawan Sesat



menghempas ke wajah perempuan berkelabang dua.



Dengan gerakan cepat Maharani menutup wajah dengan



cara bentangkan kipasnya di depan mata. Brett...!



Begggh...!



Pukulan tenaga dalam Perawan Sesat bagai



menghantam lereng sebuah gunung. Hempasannya



membalik ke arah Perawan Sesat, tapi ketika itu Perawan Sesat sudah pijakkan kakinya ke tanah, sehingga yang



menjadi sasaran adalah dahan pohon yang segera retak



dan jatuh berdebum dalam jarak dua langkah dari tempat duduk Pendekar Mabuk.



Brruk...! Suto tersentak kaget, namun tak ada kata







yang keluar dari mulut Suto selain suara cegukan. Di



dalam hatinya Suto berkata,



"Kurasa Perawan Sesat akan tumbang di tangan salah satu dari kedua perempuan lawannya itu. Bila Perawan



Sesat tak mampu menghadapi dua lawannya, bisa-bisa



aku tak jadi ditemukan dengan Dyah Sariningrum. Tapi, haruskah aku ikut campur tangan dalam urusan mereka?



Atau sebaliknya kutinggal pergi saja?"



Dugaan Pendekar Mabuk itu ternyata benar. Dalam



satu kesempatan Putri Alam Baka tahu-tahu menyerang



Perawan Sesat yang sedang menghadapi Maharani.



Sungguh di luar dugaan Perawan Sesat, bahwa Putri



Alam Baka sampai hati melawan teman dengan



menggunakan seruling pusakanya. Seruling itu











disentakkan dari jarak jauh. Lubang di bagian ujung



bawah seruling mengeluarkan cahaya biru berkilap bagai lidah-lidah petir.



Dalam sekejap, tubuh Perawan Sesat bagaikan



dikurung oleh kilauan-kilauan cahaya biru yang



berbentuk mirip ranting-ranting pohon. Perawan Sesat



terjerat. Tubuhnya mengeras dan akhirnya jatuh



berdebum ke tanah. Ketika kilatan-kilatan cahaya biru itu berhenti mengelilingi tubuhnya, Perawan Sesat



berusaha bangkit dalam keadaan mulut berdarah dan



kulit mengelupas kecil-kecil.



"Habiskan saja dia, Maharani!" perintah Putri Alam Baka.



Maka, perempuan berbaju merah itu menutupkan



kipasnya dan menebaskan kipas itu ke depan. Cahaya







merah menyembur bagai semburan dari dasar gunung



berapi. Woos...! Bukan tak mungkin tubuh Perawan



Sesat akan terbakar habis oleh jurus maut itu.



Tetapi, pada saat itu jari telunjuk Pendekar Mabuk



melakukan gerakan menyentil dari depan lututnya.



Tuus...! Tak ada yang melihat gerakan jari menyentil itu.



Tetapi ternyata jurus 'Jari Guntur' itu telah membuat tubuh Maharani terpental keras bagai ditendang kuda.



Mulutnya sampai memperdengarkan suara, "Heeegh...!"



Dan tubuhnya segera melayang ke belakang, jatuh dalam jarak tiga langkah di samping Perawan Sesat.



Tentu saja jatuhnya Maharani membuat Putri Alam



Baka menjadi tercengang kaget, ia menyangka kekuatan



tenaga dalam itu datang dari tubuh Perawan Sesat.











Maka, dengan semangat membunuh lebih menyala-nyala



lagi, Putri Alam Baka segera sentakkan tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka, ia bagai mendorong



sesuatu dari samping ke depan dengan keras. Pukulan



jarak jauh itu akan menghancurkan kepala Perawan



Sesat yang sudah tak berdaya itu.



Tetapi, Suto segera melakukan gerakan kecil. Jempol



tangannya dirapatkan dengan jari telunjuk. Lalu, ia



sentakkan kedua jari itu seperti memanggil ayam atau



burung, triik...!



Gerakan tangan Putri Alam Baka hampir mencapai



ujungnya, tahu-tahu kedua kakinya bagai ada yang



menyepak dari belakang. Wuus...! Kedua kaki itu



terangkat kuat-kuat, tubuh Putri Alam Baka terpelanting jatuh. Bruuk...!







Pukulan pamungkasnya tidak jadi dilancarkan. Tetapi



pada saat itu, Suto menangkap kelebatan sosok tubuh



yang menyambar Perawan Sesat. Wesss...! Cepat sekali



gerakannya. Tahu-tahu orang tersebut telah



menggendong tubuh Perawan Sesat di pundak kirinya,



berdiri agak jauh dari kedua lawan, juga agak jauh dari Suto sendiri. Melihat keadaan tubuh orang yang baru



datang berbadan kurus kering, tak salah lagi penglihatan Suto, bahwa orang itu adalah Peramal Pikun.



"Suto, uruslah kedua perempuan itu! Aku akan



membawa Perawan Sesat ke pondokku. Dia terluka



parah!"



"Hei...!" Suto hanya bisa memanggil tak bisa berkata apa pun karena Peramal Pikun segera melesat pergi











meninggalkan tempat itu.



"Kejar...!" perintah Putri Alam Baka kepada Maharani.



Tapi sebelum Maharani bergerak mengejar, Suto



melentingkan tubuh ke udara dengan menggunakan



tumitnya untuk menjejak tanah. Dalam satu gerakan



jungkir balik, Pendekar Mabuk sudah berada di depan



Maharani. Ia terkekeh-kekeh dengan suara sumbang.



"Tak perlu dikejar. Ada baiknya kalau kalian segera bawa aku menghadap nyaimu itu. Aku sendiri ingin



segera bertemu!" kata Pendekar Mabuk kemudian karena ia menyangka nyai mereka adalah Dyah Sariningrum.



*



* *



















6





SEBUAH bangunan mirip istana kecil bertengger



megah di lereng sebuah bukit. Bukit itu adalah Bukit



Garinda. Dulu wilayah itu dikuasai oleh Nyai Guru



Betari Ayu. Kala itu, Betari Ayu punya persahabatan



baik dengan seorang teman yang bernama Wulandari.



Dan pada waktu Wulandari mendirikan Partai



Perempuan Sakti, Betari Ayu tidak mau bergabung,



tetapi sebagai tanda persahabatan ia pinjamkan tanah di lereng Bukit Garinda itu kepada Wulandari. Waktu demi waktu berlalu akhirnya tanah di lereng Bukit Garinda



dikuasai sepenuhnya oleh Wulandari, yang kemudian



dikenal dengan julukan Nyai Lembah Asmara.











Bangunan yang mirip istana kecil itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang menyerupai benteng. Batas salah



satu sisi tembok ada yang mencapai tepian pantai laut utara. Bangunan itu berkesan megah, mempunyai pintu



gerbang yang jaraknya lebih dari seratus langkah dari pusat bangunannya sendiri.



Di tanah yang jaraknya lebih dari seratus langkah itu, dibangun pula rumah-rumah kecil yang merupakan



pemukiman para anak buah Nyai Lembah Asmara. Juga



dibangun tempat-tempat khusus untuk berlatih ilmu. Di sana dipersiapkan sepasukan-prajurit wanita yang kelak akan menjadi benteng utama dari negeri yang ingin



didirikan oleh Nyai Lembah Asmara. Mereka adalah



kaum wanita yang tangguh dan terpilih. Cantik dan



menggiurkan, adalah syarat utama untuk menjadi anak







buah Nyai Lembah Asmara. Di sana, cinta bebas



berkeliaran. Pria hanya merupakan barang yang bisa



dibeli dan dijadikan satu kebutuhan hidup bila sewaktu-waktu diperlukan.



Nyai Lembah Asmara dan anak buahnya dikenal



sebagai perempuan-perempuan pemburu cinta yang tak



segan-segan membantai lelaki yang habis dikencaninya.



Mereka ditempa oleh Nyai Lembah Asmara untuk



menjadi perempuan yang berjaya di atas kaum lelaki



mana pun juga. Karena menurut ramalan seorang ahli



nujum dari Mongol yang pernah bertemu dengan Nyai.



Sang Nyai akan bisa berdiri sebagai ratu di atas segala ratu di bumi ini, jika ia bisa mempunyai negara yang



seluruh punggawa dan prajuritnya adalah perempuan.











Sang Nyai rupanya benar-benar ingin menjadi ratu di



atas segala ratu di bumi.



Kaum lelaki jarang hadir di lingkungan kekuasaan



sang Nyai. Kalaupun ada lelaki di sana, mereka hanyalah alat pemuas dahaga para wanita Bukit Garinda. Tak ada lelaki yang masuk ke benteng tinggi itu keluar dalam



keadaan segar. Paling tidak mereka meninggalkan Bukit Garinda dalam keadaan layu dan pucat bagai mayat.



Bahkan sering sekali mereka keluar dalam keadaan luka parah dan tewas sebelum mencapai kaki bukit.



Nyai Lembah Asmara selalu menempa jiwa anak



buahnya untuk tidak terlalu banyak memberi kemanisan



kepada kaum lelaki. Bahkan mereka selalu dianjurkan



untuk tidak mudah memberi maaf atau ampun kepada



kaum lelaki. Sekali cabut pedang, pantang dimasukkan







kembali sebelum memenggal kepala seorang lelaki.



Tetapi terhadap lawan wanita, Nyai tidak menyalahkan



anak buahnya jika ada yang punya kebijakan ataupun



tenggang rasa.



Satu-satunya mantan murid Nyai yang melarikan diri



dari Bukit Garinda karena tak tahan terhadap kekangan peraturan di sana adalah Peri Malam, yang kemudian



bertemu dengan penguasa Pulau Hantu berjuluk Si



Mawar Hitam, lalu diangkat sebagai muridnya. Pada



waktu itu, Peri Malam belum mempunyai ilmu tinggi



dan masih berada di jajaran para murid tingkat dasar.



Sayang pada waktu Peri Malam melihat Perawan



Sesat bersama Dirgo, si Manusia Sontoloyo itu, ia tidak mengenali siapa Perawan Sesat. Karena pada waktu Peri











Malam meninggalkan Bukit Garinda, Perawan Sesat



belum menjadi anak buah Nyai Lembah Asmara. Peri



Malam hanya bisa simpulkan, bahwa Perawan Sesat



adalah perempuan yang membahayakan, karena dapat



merebut hati Pendekar Mabuk dengan kecantikan dan



daya tariknya yang aneh itu (Baca serial Pendekar



Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat').



Pengejaran Peri Malam saat melihat Suto melarikan



Perawan Sesat ternyata menemui jalan buntu, ia



kehilangan jejak Pendekar Mabuk. Tapi rasa cinta yang makin berkembang di hatinya, membuat Peri Malam



pantang menyerah untuk tetap mencari Suto Sinting, ia selalu mengandalkan indera penciumannya untuk



melacak ke mana arah perginya Suto.



Sampai tiba pada langkah berikutnya, Peri Malam







mulai mencium bau keringat Suto yang punya aroma



tuak bumbung. Mata tajam Peri Malam segera melirik



sekeliling. Bahkan ia sentakkan kaki dan melenting di udara untuk hinggap di salah satu dahan pohon. Dari



sana ia memandang segala penjuru, terutama ke arah



datangnya aroma keringat tuak itu.



"Pasti dia ada di sekitar sini," pikir Peri Malam. "Bau keringatnya hanya samar-samar, itu berarti jaraknya



cukup jauh dari sini. Hmmm... agaknya aroma keringat



Pendekar Mabuk lebih tajam ke arah utara. Itu berarti dia berada di sebelah utara sana! Aku harus melacaknya



terus!"



Kelebat bayangan kuning adalah kelebat gerakan Peri



Malam yang berpakaian kuning kunyit. Rambutnya yang











lurus melewati pundak masih diikat dengan rantai emas berbatu merah delima di keningnya.



Bayangan kuning kunyit itu hinggap kembali ke



dahan pohon lain. Peri Malam lemparkan pandangan



mata ke arah jauh. Ia terkesiap sekejap dan hatinya



berkata,



"Oh, rupanya aku mendekati Bukit Garinda?!



Dinding bentengnya terlihat jelas dari sini. Dan anehnya aroma keringat Suto semakin jelas pula. Apakah Suto



berada di dalam benteng sana? Celaka! Celaka kalau dia ada di sana! Bukan hal mudah membebaskan Pendekar



Mabuk dari dalam benteng Bukit Garinda itu. Pasti aku harus berhadapan dengan anak buah Nyai Lembah



Asmara. Ilmuku tak seimbang. Dia bukan lawanku.



Tapi, aku harus bisa menyelamatkan Suto dari







cengkeraman Nyai. Suto hanya akan dijadikan sapi



perahan saja di sana. Aku sendiri sangsi, apakah Suto bisa melawan ilmunya Nyai jika ia melakukan



pembangkangan?! Dan yang paling berbahaya adalah



ilmu 'Racun Darah Asmara' milik Nyai! Suto tak akan



bisa melawan racun yang amat ganas itu!"



Peri Malam hentikan kecamuk hatinya. Bahkan ia



pun alihkan perhatian ke bawah pohon. Ternyata di sana ada dua manusia yang terhenti langkahnya karena



memandang bangunan di lereng Bukit Garinda. Mereka



adalah seorang lelaki agak pendek dan sedikit gemuk,



bersama seorang perempuan berlilit selendang putih di bagian pinggangnya, menyandang pedang di



punggungnya. Mereka adalah Pujangga Keramat dan











Selendang Kubur. Rupanya mereka sibuk mengamat-



amati bagian pintu gerbang benteng itu, sampai tak



menyadari ada sesosok tubuh bertahi lalat di sudut



dagunya diam mengawasi di atas kepala mereka.



"Aku yakin Suto ada di dalam benteng itu, Paman



Pujangga Keramat," kata Selendang Kubur menirukan panggilan Suto terhadap Pujangga Keramat.



"Harus kita masuk bisa ke sana!" kata Pujangga Keramat dengan susunan kata yang selalu harus disusun kembali oleh lawan bicaranya.



"Tapi sebelum kita mendobrak masuk, ada baiknya



kalau kita selidiki dulu apakah Suto benar-benar ada di sana, dan di sebelah mana. Jadi kita tidak buang-buang waktu dan tenaga jika harus membantai habis orang-orangnya Nyai Lembah Asmara."







"Setuju aku gagasanmu dengan!"



Kemudian, Pujangga Keramat memasukkan jari



telunjuknya ke mulut. Sebentar kemudian dikeluarkan



lagi. Jari telunjuk yang basah oleh ludahnya itu diangkat ke atas dengan tangan teracung naik. Ia pejamkan mata sebentar. Selendang Kubur memandangi dengan dahi



kerut. Heran melihat apa yang dilakukan Pujangga



Keramat.



Kejap berikut, Pujangga Keramat turunkan tangan



dan berkata,



"Suto memang ada benteng di dalam."



"Maksudmu, Suto ada di dalam benteng itu?"



"Ya!" jawabnya tegas.



Selendang Kubur manggut-manggut sambil menatap











bangunan itu. Hatinya membatin geli melihat cara



Pujangga Keramat melacak Suto.



"Cara yang dipakai seperti cara orang yang mencari tahu arah angin berhembus. Tapi hebat juga dia, bisa



lacak Suto pakai jari telunjuk yang dibasahi."



Peri Malam yang bertengger di atas mereka juga



ingin tertawa geli melihat cara Pujangga Keramat



melacak Suto. Hampir saja ia hamburkan tawa kalau



tidak segera tutup mulutnya pakai tangan.



Pujangga Keramat berkata kepada Selendang Kubur,



"Aku tangkap Pendekar Mabuk dan seorang



perempuan."



"Pasti dia si Perawan Sesat itu!"



"Sesat bukan! Perempuan itu ada lalat bertahi di dagunya, ada kuning kunyit di pakaiannya...."







"Peri Malam!" sahut Selendang Kubur cepat dan terkejap. Ia segera palingkan wajah pandang Pujangga



Keramat. "Itu ciri-ciri Peri Malam!" katanya menegaskan.



"Mungkin, ya!"



"Apakah dia berada bersama Suto?" tegang wajah Selendang Kubur tak bisa disembunyikan.



"Bersama Suto tidak! Itu perempuan tidak ada Suto di sampingnya."



"Lantas, ada di mana perempuan itu jika tidak ada di samping Pendekar Mabuk?"



"Bertengger dia kepala kita di atas," jawab Pujangga Keramat membingungkan Selendang Kubur.



Di atas pohon, Peri Malam menggerutu dalam hati,











"Sial! Rupanya orang itu tadi bukan hanya melacak Suto, namun juga melacak diriku yang ada di atasnya.



Hm... tak ada guna aku tetap diam di sini!"



Saat Selendang Kubur kerutkan dahi untuk susun



kembali kata-kata Pujangga Keramat tadi, tahu-tahu



angin berhembus cepat dari atas kepalanya. Selendang



Kubur cepat lompatkan tubuh ke kanan, hindari



hembusan angin yang mencurigakan itu.



Jleeg...!



Hembusan angin hilang, Peri Malam menampakkan



diri. Ia tampakkan kedua kaki di tanah dengan mantap, jarak empat langkah dari Selendang Kubur yang



bersebelahan dengan Pujangga Keramat. Peri Malam



segera sunggingkan senyum sinis pada Selendang



Kubur.







"Kita bertemu lagi, Selendang Kubur!" ucap Peri Malam dengan sorot mata tajam.



Selendang Kubur tak mau kalah, ia ucapkan kata



pedas,



"Mungkin kau ingin serahkan nyawa padaku, Peri



Malam! Aku pun siap menebas lehermu dengan



pedangku!"



Tangan Selendang Kubur bergerak ke belakang, mau



pegang gagang pedang Jalaganda. Tapi itu hanya



gertakan belaka. Buktinya ia segera turunkan tangan



setelah Peri Malam sunggingkan senyum lebar dan



ucapkan kata,



"Tak mungkin kau mau tebas leherku pakai



pedangmu. Kau akan merasa sayang jika darahku











melumuri pedangmu. Aku tahu, kau bawa pedang itu



hanya untuk melawan Nyai Lembah Asmara! Pedang itu



adalah senjata pamungkasmu untuk merebut Suto dari



tangan Nyai!"



"Tapi jika kau ingin merampas Pendekar Mabuk, aku pun siap tebaskan pedang ini ke lehermu, kapan saja aku mau!"



"Kau tak akan mampu, Selendang Kubur," Peri Malam cibirkan bibir dan berpaling membelakangi



Selendang Kubur, menatap ke arah bangunan ber-



benteng hitam keabu-abuan itu.



Selendang Kubur menghempaskan napas jengkel, ia



perdengarkan geram dari mulutnya. Saat ia ingin



bergerak maju, tangan Pujangga Keramat menghalangi



langkahnya. Selendang Kubur cepat menatap.







"Biar kubuktikan bahwa aku mampu menebas batang



lehernya!"



"Tak perlunya ada!" kata Pujangga Keramat.



Peri Malam balikkan badan, lalu berkata pada



Selendang Kubur, "Tepat apa kata dia, tak perlu kau tebas batang leherku untuk saat ini. Kau hanya akan



buang-buang waktu dan tenaga. Aku tahu, saat ini waktu dan tenagamu amat berguna buat loloskan Suto keluar



dari benteng itu! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur... tak semudah menimba air jika kau ingin loloskan Pendekar



Mabuk keluar dari benteng itu. Kau harus berhadapan



dengan Nyai Lembah Asmara yang punya ilmu cukup



tinggi, dan lebih tinggi dari kita bertiga! Kau akan mati sia-sia jika nekat masuk ke sana dan mencari Suto."











"Mati itu nomor sepuluh. Nomor satu adalah loloskan Suto dari cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara!"



Selendang Kubur ucapkan kata itu dengan mata



menyipit dendam.



"Itu pun tak mudah kau lakukan," kata Peri Malam sambil lepaskan tawa mengikik. "Kau akan mati sebelum sampai berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara. Dia



punya anak buah berilmu tinggi semua. Tak ada yang



bisa masuk ke sana untuk menarik keluar Suto kecuali



aku!"



"Cuih...!" Selendang Kubur meludah ke samping.



"Ilmu kanuraganmu belum ada seujung kuku hitamku, beraninya berlagak mau selamatkan Pendekar Mabuk



dari dalam sana?! Bercerminlah dulu, Peri Malam!"



"Jangan remehkan aku, Setan!" geram Peri Malam.







"Nyatanya beberapa kali kau bertemu denganku, kau tak sanggup mengalahkan aku! Kalau aku tak punya rasa



kasihan padamu, sudah sejak kemarin nyawamu kukirim



ke neraka!"



"Mulut besar! Mari kita buktikan sekarang, siapa yang harus pergi ke neraka. Kau atau aku! Hiaaat...!"



Selendang Kubur sentakkan kaki kirinya ke tanah dan



tubuhnya melayang terbang ke arah Peri Malam. Kaki



kanannya lurus ke samping dan berusaha menendang



kepala Peri Malam dengan tendangan miring.



"Hup...!"



Plak...!



Peri Malam sedikit lompatkan badan sambil kibaskan



tangannya untuk menangkis kaki Selendang Kubur.











Tangkisan itu cukup pelan, tapi membuat Selendang



Kubur terjengkang jatuh. Sementara itu, Peri Malam



sigap kembali berdiri, menunggu serangan berikutnya.



Selendang Kubur bisikkan kata di hatinya, "Lumayan juga tangkisan tangannya. Dia salurkan tenaga dalamnya tadi hingga bikin kakiku sedikit kesemutan!"



Di sisi lain, Peri Malam juga bisikkan kata dalam



hatinya, "Setan! Linu juga tulangku menangkis



tendangannya. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya ke



kaki. Agaknya dia tidak main-main! Aku harus lebih



waspada lagi."



Melihat Selendang Kubur bangkit kembali, Peri



Malam segera sentakkan kaki ke tanah dan melesat naik tubuhnya, berjungkir balik satu kali di udara.



Wuuus...!







Tepat pada saat itu, Selendang Kubur pun melesat



naik ke udara dan bersalto satu kali di udara. Wusss...!



Kedua tangan mereka siap di udara dengan tenaga



dalam yang tidak main-main. Wajah mereka sama-sama



tampakkan kegeraman dan nafsu untuk saling



membunuh.



Tiba-tiba Pujangga Keramat hentakkan kakinya ke



tanah dan lompatlah tubuhnya melayang maju ke



pertengahan antara dua perempuan itu. Dengan cepat



kedua kaki Pujangga Keramat sentakkan kaki ke kiri dan ke kanan secara bersamaan.



Beegh... begh...!



Dua tendangan samping yang dilakukan secara



serentak itu mengenai perut dua perempuan itu.











Tendangan tersebut juga bukan tendangan main-main.



Buktinya dua-duanya sama-sama tersentak ke belakang,



bahkan sama-sama membentur pohon.



Jleeg...! Pujangga Keramat kembali berdiri sigap di



tanah setelah melakukan tendangan serentak, ia pandangi kedua perempuan yang saling menahan rasa mual di



perut mereka, dan berusaha sama-sama berdiri lagi.



"Kebo dekil!" sentak Peri Malam. "Mengapa kau ikut campur urusan kami, hah? Ini urusan perempuan!"



"Tak maksud punya aku ikut campur. Hanya aku



sekadar unjukkan rasa tak suka aku perselisihan kalian dengan!"



"Ngomong apa kau ini, hah?!" Peri Malam makin menyentak.



"Singkir dulu permusuhan!" kata Pujangga Keramat



kepada Selendang Kubur, lalu palingkan wajah pada Peri Malam dan ucapkan kata,



"Sama-sama kalian punya ingin, sama-sama



selamatkan Suto, jadi sama-sama kalian satukan untuk



kekuatan menyerang!"



"O, kau berharap kita bersatu menyerang benteng itu untuk selamatkan Pendekar Mabuk?!"



"Ya. Itulah maksud yang aku!"



"Selendang Kubur!" ketus Peri Malam setelah merasa tetap bingung mengartikan kata-kata Pujangga Keramat.



"Coba jelaskan apa maksudnya?"



"Dia ingin kita bersatu menembus benteng itu,



membawa lari Suto!"



"Hmm...! Lalu, kau sendiri bagaimana?"











"Gagasannya cukup bagus. Kita satukan kekuatan



kita untuk mengalahkan Nyai Lembah Asmara. Kita



keluarkan Suto dari sana. Setelah itu kita adu nyawa



kita, siapa hidup dapatkan Suto!"



"Baik! Aku setuju!" jawab Peri Malam dengan tegas, tanpa ada sedikit pun keraguan dan kegentaran.







*



* *











7





ORANG-ORANG Bukit Garinda seperti hanyut





dalam mimpi semua saat melihat kedatangan Suto



Sinting. Tak ada mata yang berkedip ketika Pendekar



Mabuk melintas di depan mereka di bawah pengawalan







Maharani dan Putri Alam Baka.



Suto dibawa masuk ke sebuah ruangan lebar beratap



tinggi, mempunyai pilar-pilar kokoh dan lantai yang



mengkilap. Agaknya ruangan itu merupakan bangsal



pertemuan bagi mereka. Di sana hanya ada satu tempat



duduk yang menyerupai singgasana raja berwarna



kuning keemasan. Letaknya pada lantai yang bertangga



empat baris. Lebih tinggi dari lantai lainnya.



Tepat di belakang singgasana itu ada lorong bertirai



kain ungu. Dari lorong itu segera muncul seorang



perempuan bertubuh tinggi dan sekal. Wajahnya cantik



namun berkesan keras. Pakaiannya hijau pupus, atau



hijau muda dengan mengenakan pakaian model jubah



warna merah dadu. Rambutnya panjang diriap,











mengenakan mahkota kecil berhias batu-batuan permata



putih, ia juga mengenakan kalung permata bersusun dua, gelang gemerincing di tangan kanan-kiri dan anting



panjang berkilap sebagai pelengkap perhiasannya.



Ia mempunyai bentuk wajah lonjong; berhidung



mancung, bibirnya agak tebal dan lebar, ia mempunyai



mata lebar berbulu lentik. Tepian matanya berwarna



hitam, menampakkan kesan buas dan galak.



Orang itulah yang dihormati oleh mereka sebagai



Nyai Lembah Asmara. Ketika ia muncul dari lorong



bertirai ungu, semua yang ada di situ merendahkan



badan dengan satu kaki berlutut di lantai dan kepala



menunduk sekejap. Hanya Suto yang masih berdiri



sambil pandang kanan-kiri dengan heran dan kagum



melihat bangunan mewah itu. Ia bahkan tidak begitu







tertarik untuk memperhatikan Nyai Lembah Asmara



yang segera duduk di singgasananya.



"Putri Alam Baka!" Nyai Lembah Asmara mengawali suaranya yang lantang. "Di mana Perawan Sesat yang kau kawal itu?"



"Dia melakukan pembangkangan, Nyai!"



Wajah sang Nyai tampak makin mengeras menahan



amarah mendengar kabar tersebut, ia menggeram,



"Sudah kuduga sebelumnya!" Kemudian ia serukan kata kepada Putri Alam Baka,



"Apa tindakanmu terhadap dia?!"



"Membunuhnya."



"Bagus! Ha ha ha...!" Nyai Lembah Asmara tertawa lepas, berkesan kasar dan liar. Maharani dan Putri Alam











Baka saling pandang dalam senyum kebanggaan. Hanya



Suto yang tidak tertawa karena merasa heran saat



memandangi Nyai Lembah Asmara itu.



"Di mana orang yang bernama Dyah Sariningrum?"



pikir Pendekar Mabuk, "Sejak tadi tak kulihat wajah Dyah Sariningrum. Apakah Perawan Sesat telah



menipuku?"



Terdengar suara Nyai Lembah Asmara serukan tanya



kepada Putri Alam Baka,



"Siapa pemuda yang kau bawa ini, Sumbi?!"



"Orang bawaan Perawan Sesat. Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk, lelaki tanpa pusar yang Nyai



cari-cari itu."



"Ha ha ha ha...! Bagus, bagus, bagus...!" makin meledak tawa Nyai Lembah Asmara, makin tampak







kegirangannya, makin terpana pula ia memandangi



Pendekar Mabuk. Kejap berikutnya ia melambaikan



jemarinya yang berkuku panjang dan runcing, ia



memanggil Suto agar mendekatinya.



"Datanglah kemari, Suto. Dekatlah padaku."



Suto diam dengan mata merah bagai orang



mengantuk karena mabuk. Mulutnya sedikit terbuka



berkesan bengong, seakan tidak mengerti apa maksud



kata-kata Nyai Lembah Asmara.



"Dekatlah padaku, Suto!" suara Nyai agak meninggi, ini menandakan ia mulai tak sabar lagi.



Putri Alam Baka segera bangkit dan mendekati Suto,



lalu ia bisikkan kata ke telinga Suto.



"Kau dipanggil. Dekatlah sana!"











"Siapa?"



"Kau...!"



"Ah, aku tak pernah butuhkan dia," kata Pendekar Mabuk bersuara sumbang. "Kalau dia butuh aku, biarlah dia yang mendekatiku."



"Jangan bikin dia marah, Suto! Cepatlah



mendekatinya."



"Tak mau! Aku tak butuh dia!" Suto Sinting



bersungut-sungut dan buang muka. Sikap Suto



mencemaskan hati Maharani, Putri Alam Baka, dan



orang-orang yang ada di situ. Selama ini tak ada orang yang berani menolak panggilan Nyai Lembah Asmara.



Penolakan itu bisa membuat Nyai menjadi murka.



Tapi agaknya Nyai Lembah Asmara tidak bersikap



seperti biasanya, ia justru tertawa semakin kegirangan



melihat Suto menolak panggilannya, ia berseru kepada



anak buahnya,



"Lihat! Lihatlah dia! Penolakannya itu menandakan bahwa ia tidak mudah tertarik dengan seorang



perempuan. Itu pertanda dia punya harga diri yang cukup tinggi dan sudah sepantasnya aku mendapatkan pria



yang punya harga diri tinggi. Penolakannya itu



menandakan pula bahwa dia... masih perjaka! Ha ha



ha...!"



Yang lain ikut tertawa bagai mendukung



kegembiraan Nyai Lembah Asmara. Tapi Suto tetap



tidak mau ikut tertawa, ia bahkan menatap tiap wajah



yang ada di situ, mencari seraut wajah yang pernah ia temui di alam semadinya, juga yang sering hadir di alam











mimpinya. Wajah itu adalah wajah Dyah Sariningrum.



Nyai Lembah Asmara bangkit dan langkahkan kaki



menuruni tangga dengan pelan-pelan. Sisa tawanya



masih sesekali terdengar bagaikan gumam, ia mendekati Suto dengan tatapan mata yang tajam berseri-seri. Orang yang ada di dekat Suto segera menyingkir jauh, memberi jalan untuk sang Nyai Lembah Asmara.



"Perkasa sekali...," ucap sang Nyai Lembah Asmara dengan suara mirip orang mendesah kagum. "Tampan, gagah, dan sungguh menggairahkan...!"



Nyai Lembah Asmara mengelilingi Suto Sinting



dengan sorot pandangan mata tak berkedip. Suto hanya diam dengan sedikit mulut terbuka melongo, sambil



matanya ikut memandangi Nyai Lembah Asmara dengan



perasaan heran.







"Lihat ototnya," kata Nyai kepada Maharani,



"Ototnya tampak keras, besar, tapi halus lembut. Laki-laki gagah perkasa seperti inilah yang akan memberiku keturunan seorang penerus kesaktianku. Dia yang akan



merajai seluruh kekuatan di rimba persilatan. Dia tak akan ada tandingnya! Dan anakku nanti jika perempuan



tentu akan secantik ibunya, jika lelaki tentu akan



setampan ayahnya."



Wajah mereka berseri-seri, seakan ikut menyambut



rencana kehadiran sang bayi dengan gembira. Nyai



Lembah Asmara semakin bangga melihat wajah-wajah



anak buahnya berseri gembira, dia semakin yakin bahwa sebentar lagi dia akan mempunyai keturunan dari



seorang pendekar tampan yang bertubuh kekar perkasa











itu.



"Kalian tahu!" serunya lagi, "Pendekar Mabuk inilah satu-satunya lelaki yang bisa memberiku keturunan,



sebab ia lelaki tanpa pusar. Kalian tahu kehebatan lelaki tanpa pusar? Oh, dia adalah orang yang punya napas



panjang, tidak cepat lelah, punya ketangguhan dalam



bercinta dan punya kesanggupan memberikan



kehangatan."



"Woww...!" mereka menyahut serempak penuh



ungkapan rasa kagum.



"Tapi sayang, hanya aku yang bisa menikmati dia!



Karena dia laki-laki istimewa yang tak bisa kubagikan kepada Putri Alam Baka, atau kepada Maharani, atau



kepada kalian semua!"



Suto tak peduli celoteh itu. Dengan tenangnya ia buka



tutup bumbung tuak, dan ia tenggak beberapa teguk



dengan rasa lega. Mata mereka memandang tanpa kedip.



Sebagian perempuan yang ada di situ saling berdebar-



debar gemas ketika melihat Pendekar Mabuk dongakkan



kepala untuk menenggak tuak dalam bumbung.



Pendekar Mabuk yang tampak bidang dadanya,



kelihatan lebih perkasa dan menggairahkan.



Nyai Lembah Asmara tersenyum-senyum dan berkata



kepada Maharani,



"Aku sudah tak tahan lagi. Bawa dia ke kamarku,



Maharani! Tapi awas, jangan sampai kau menyentuhnya



lagi. Dia sudah menjadi kekuasaanku, dari ujung rambut sampai ujung kakinya!"



"Baik, Nyai!" Maharani berikan hormat pertanda











patuh dan taat. Lalu ia bicara kepada Suto,



"Mari kuantar ke kamar, Suto!"



"Ke mana...?!" mata Suto makin sayu.



"Ke kamar peraduan," jawab Maharani. "Nyai sudah tak bisa bersabar lagi. Kau harus segera masuk ke kamar peraduan bersama beliau!"



"Aku kemari bukan mencari kamar," kata Suto Sinting. "Aku mencari kekasihku yang selalu hadir dalam mimpiku!"



Nyai Lembah Asmara menyahut, "Akulah



kekasihmu, Suto!"



"Bukan! Kau bukan kekasihku. Wajahnya tidak



seperti kamu! Dia lebih cantik dan lebih anggun



dibandingkan dirimu, Nyai!"



Maharani mundur dari Suto ketika dilihatnya wajah







Nyai Lembah Asmara menegang. Mata Nyai Lembah



Asmara mulai memancarkan murka yang tertahan. Nyai



Lembah Asmara mendekati Suto, sementara Suto masih



berdiri dengan tubuh goyang karena mabuk. Agaknya



Nyai berusaha menahan murkanya dengan napas ditarik



dalam-dalam dan diendapkan di dalam dada. Saat itu,



Suto Sinting berkata sumbang,



"Aku kecewa datang ke sini! Perawan Sesat



mendustaiku. Aku kecewa ketemu kamu, Nyai!"



"Kekecewaanmu akan sirna setelah kita berada di



dalam kamar!" kata Nyai Lembah Asmara geram.



Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil bersungut-



sungut. "Kurasa sama saja. Di dalam kamar dan di luar kamar, sama saja kau bikin aku kecewa, karena kau











bukan orang yang ada dalam mimpiku!"



"Aku bisa hadir kapan saja kau ingin kehadiranku, Suto!"



Suto kembali gelengkan kepala. "Aku mau pulang



saja," katanya seenaknya, ia melangkah dengan limbung.



Nyai Lembah Asmara segera mencekal lengan Suto.



Ditariknya tubuh itu, didekatkan wajahnya, ditatapnya lekat-lekat, lalu dengan nada geram ia berkata,



"Kekasihmu ada di dalam kamar, Suto!"



"Benarkah begitu?" Pendekar Mabuk tampak tertarik.



Nyai Lembah Asmara memanfaatkan itu dengan berkata,



"Dia sudah menunggumu lama di sana."



"Kalau begitu, antarkan aku ke kamar!"



Nyai Lembah Asmara tersenyum lebar. Maka ia pun



segera menggandeng Suto dan melangkahkan kaki







menuju lantai yang tinggi, melewati singgasana,



menerobos tirai ungu, dan hilang ke dalam lorong



tersebut.



Orang-orang yang ada di luar, di sekeliling Maharani



dan Putri Alam Baka, mulai bergaung seperti lebah.



Mereka saling memuji ketampanan Pendekar Mabuk,



mereka saling menyanjung daya pikat Suto yang



membakar gairah mereka. Bahkan di salah satu sudut



ada perempuan yang berusaha memuaskan khayalan



indahnya bersama Suto.



Kamar peraduan Nyai Lembah Asmara sangat indah,



luas, dan bersih. Baunya wangi cendana. Di sana ada



pembaringan yang berlapis sutera merah jambu, empuk,



dan lebar. Lantainya berlapiskan permadani tebal warna











hijau muda. Ruangan itu diterangi oleh cahaya api dari tungku berbatu bara yang ada di sisi kanan-kiri ruangan.



Sungguh romantis sebenarnya suasana di peraduan itu,



sayangnya Suto tidak tergugah kemesraannya, ia bahkan masih bingung mencari kekasihnya di dalam kamar



tersebut.



"Mana kekasihku? Tak kulihat ada di kamar ini!"



katanya seperti bicara sendiri, tapi didengar oleh Nyai Lembah Asmara.



"Akulah kekasihmu, Suto," kata Nyai Lembah



Asmara sambil melepas mahkota dan melepas pula



jubah merah jambunya.



Suto bersungut-sungut memandangnya, lalu berkata,



"Bukan kamu! Sudah kubilang wajahnya lebih cantik dan lebih menggairahkan dari dirimu, Nyai!"







"Jangan bicara begitu, Suto. Itu sama saja kau



membangkitkan amarahku!"



"Aku tidak peduli! Memang menurut penilaianku dia lebih cantik dari dirimu, Nyai! Aku tak mau bohongi



diriku sendiri."



"Jangan banyak bicara, Suto! Sebaiknya lekas lepasi pakaianmu. Aku sudah tak sanggup menahan gejolak



hasratku untuk mencumbumu!" sambil Nyai Lembah



Asmara mendekat, ia meraih pundak Pendekar Mabuk,



menatap dengan mata berbinar-binar penuh gairah.



Suto Sinting mengelak dan melangkah ke perapian.



"Kau bohong padaku, Nyai. Kau sama dustanya dengan Perawan Sesat.



Napas panjang ditarik oleh Nyai Lembah Asmara











untuk meredam kemarahannya. Selama ini belum pernah



ada lelaki yang menolak ajakan mesra Nyai. Belum



pernah ada lelaki yang menjauhi saat Nyai Lembah



Asmara mendekatinya. Tapi kali ini Suto ternyata berani melakukan hal itu. Nyai merasa terhina, tapi ia tetap meredam amarahnya, karena ia berpikir,



"Mungkin ciri-ciri lelaki tanpa pusar memang begini.



Harus ditundukkan dulu sebelum ia memberiku



keindahan yang kudamba!"



Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi. Sisa air tuak



di bibir disapu dengan tangan kirinya. Bumbung itu



dipegang dengan tangan kiri. Kemudian



dilangkahkannya kaki mendekati pintu.



"Aku mau pulang!" ucapnya kemudian.



Nyai Lembah Asmara segera melompat ke depan







Suto. Melihat Nyai menghadang langkahnya, Suto



berkata dengan tubuh limbung.



"Minggirlah, Nyai. Aku mau keluar dari kamar ini."



"Berbaringlah di ranjangku, Suto. Kau akan



kuterbangkan tinggi-tinggi mencapai awan-awan indah.



Kita akan berlayar mengarungi lautan cinta yang penuh dengan kenikmatan dan kemesraan, Suto!"



"Aku tidak bersedia, Nyai!"



"Jangan bantah perintahku, Suto!" Nyai Lembah Asmara menyentak agak pelan.



"Aku tak mau tunduk dengan perintah siapa pun,



kecuali perintah dari guruku dan kekasihku!"



"Kau memancing kemarahanku, Suto. Kau akan



menerima akibatnya!"











"Aku tak menghendaki keributan di antara kita. Tapi kalau kau mau lampiaskan marah padaku, silakan saja,



Nyai! Aku juga bisa lampiaskan kekecewaanku atas



kebohonganmu itu!"



Mata Nyai Lembah Asmara mulai menyipit tanda



menahan kemarahan yang dalam. Tangannya



menggenggam kuat, napasnya mulai tak teratur. Suto



masih memandang dengan mata sayu tanpa senyum.



Sesekali tubuhnya tersentak karena cegukan.



Tiba-tiba kaki kanan Nyai Lembah Asmara bergerak



menyentak ke depan, menendang dada Suto. Beegh...!



Dada Suto terkena tendangan itu dengan telak. Pendekar Mabuk tersentak ke belakang, mundur tiga tindak. Tapi ia justru tersenyum dalam keadaan masih tetap berdiri walau tubuhnya limbung.







"Tak seberapa berat tendanganmu, Nyai. Adakah



yang lebih berat lagi dari yang tadi?" kata Suto Sinting sambil menyunggingkan senyum.



"Aku tak ingin mencelakai dirimu, Suto!"



"Kenapa? Bukankah kau marah padaku?"



"Memang kau adalah lelaki yang menjengkelkan.



Seharusnya kau menerima hukuman dariku. Tapi kau



adalah pembenihku. Aku tak akan hancurkan



pembenihku sendiri."



"Pembenih? Apa itu pembenih?" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.



"Aku harus dapatkan benih kesuburan darimu, supaya aku bisa mengandung dan melahirkan keturunanku."



"Mengapa aku yang kau pilih?"











"Jika bukan kamu, tak akan bisa aku mengandung



bayi. Kau adalah lelaki tanpa pusar. Menurut guruku,



aku hanya bisa mengandung dari benih lelaki tanpa



pusar. Kaulah orangnya, Suto."



"Jadi aku dibawa ke sini hanya untuk menjadi



pembenih? Hanya untuk memberimu keturunan?"



"Ya!" jawab Nyai Lembah Asmara tegas. "Di samping itu... hatiku sesungguhnya telah terpikat



padamu begitu kutatap dirimu dari singgasana tadi."



Pendekar Mabuk tertawa terkekeh dengan suara



sumbang karena mabuknya itu.



"He he he... cepat sekali kau terpikat pada seorang pria, Nyai. Alangkah murahannya hatimu itu!"



"Baru sekarang kualami perasaan itu, Suto! Kepada lelaki lain aku hanya terpikat karena birahi semata.







Kepadamu, bukan hanya karena birahi yang ingin



dipenuhi, tapi karena hati yang selama ini kosong dan ingin dipenuhi cinta seorang lelaki sepertimu!"



"He he he he...! Rayuanmu merontokkan gunung



batu, Nyai. Tapi tak akan bisa melelehkan hatiku.



Sebaiknya, lupakan saja tentang pembenih. Carilah



lelaki lain yang tanpa pusar! Aku tidak mau



melayanimu, Nyai. Aku harus segera pergi dari sini!"



"Suto...!" sentak Nyai Lembah Asmara mulai



tampakkan ketidaksabarannya. "Kau tak punya pilihan lain. Kau harus mau memberiku benih dan melayani



asmaraku, Suto! Kalau sekali lagi kau menolaknya, kau akan menyesal!"



"Aku pilih menyesal," kata Pendekar Mabuk semakin











nekat bicara. Kata-kata itu membuat Nyai Lembah



Asmara semakin geram, penuh dengan kejengkelan hati.



Crrap...! Tiba-tiba dari mata lebar Nyai Lembah



Asmara memancarkan sinar ungu dalam sekejap. Sinar



itu menembus masuk ke bola mata Suto yang mengantuk



itu. Suto merasa silau sejenak dan kibaskan tangannya, tapi sinar ungu itu sudah telanjur masuk ke dalam kedua bola matanya. Sinar ungu itulah yang dikhawatirkan



Betari Ayu sebagai sinar 'Racun Darah Asmara'.



Tubuh Pendekar Mabuk tiba-tiba merasa panas.



Keringat pun mulai bermunculan dari tiap pori-pori



tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat, hatinya berdesirdesir. Dalam hati Suto Sinting bertanya pada diri sendiri,



"Kenapa aku ini? Mengapa aku jadi berdebar-debar dan darahku seperti sedang mengalir dengan cepatnya.







Oh, begitu indahnya wajah di depanku itu. Alangkah



menggairahkannya perempuan ini. Aku-aku terpikat



olehnya. Oh, aku jadi ingin memeluknya. Aneh sekali.



Ini pasti gairah yang hadir di luar kemauan hati kecilku.



Oh, aku telah terkena kekuatan hitam yang membuat



gairahku meledak-ledak. Aku harus melawan! Harus



melawan."



Tapi ketika Pendekar Mabuk didekati Nyai Lembah



Asmara, ia tidak mengelak dan diam saja menerima



sentuhan jemari Nyai Lembah Asmara di bagian



dadanya. Bahkan ketika Nyai Lembah Asmara sedikit



tengadah kepala dengan bibir merekah, Suto



memandangnya makin penuh gairah.



"Ciumlah aku...," perintah Nyai Lembah Asmara











bernada bisik.



Suto pun mencium bibir itu. Mengecup dan



melumatnya yang segera mendapat perlawanan tak kalah



panas dari Nyai Lembah Asmara sendiri. Hanya saja di dalam hati Suto, terlintas pertanyaan-pertanyaan yang menggundahkan hatinya.



"Mengapa aku mau? Mengapa aku menurut?



Mengapa bibir ini kupagut? Apakah aku harus pasrah



dan membiarkan hasratku dipenuhi oleh kehangatan



tubuhnya? Ah..., mengapa jiwaku jadi bimbang begini?!"



Pendekar Mabuk menurut ketika tubuhnya di dorong



ke belakang dan jatuh terbaring di ranjang empuk itu.



Blukkk...! Nyai Lembah Asmara menerkamnya.



*



* *















8





CINTA mengamuk di hati dan jiwa Nyai Lembah



Asmara. Amukan cinta itu begitu gemuruhnya, hingga



menutup kedua gendang telinga Nyai Lembah Asmara



dari seruan dan pekikan di luar kamar. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk pun tampak ingin meronta dan



melawan kekuatan racun Darah Asmara dengan



kekuatan batinnya.



Suara-suara pekik, jerit, dan seruan keras itu datang dari orang-orang yang sedang menghadapi tiga sosok



manusia nekat, yaitu Pujangga Keramat, Selendang



Kubur, dan Peri Malam. Mereka mengamuk di pintu



gerbang, lalu menerobos masuk membantai orang-orang











yang menghalangi langkah mereka.



Jarum beracun milik Peri Malam mulai beraksi



kembali. Bambu kecil berukuran yang sejengkal yang



selalu diselipkan di belahan dadanya itu meluncurkan



jarum beracun saat bambu itu ditiup oleh Peri Malam.



Banyak leher yang jadi sasaran jarum beracun itu dan



membuat korbannya membusuk lalu mati.



Selendang putih milik murid Nyai Betari Ayu itu pun



melecut ke sana-sini. Selendang Kubur mengamuk



bersama selendang pusakanya yang mampu



mengeluarkan percikan api petir dan menyambar kepala-



kepala anak buah Nyai Lembah Asmara, ia sengaja



belum mau menggunakan pedang Jalaganda-nya, karena



pedang itu dipersiapkan untuk melawan Nyai Lembah



Asmara yang kesohor keji dengan tingginya ilmu yang







dimiliki.



Pujangga Keramat pun tak mau hanya sebagai



penonton, ia sebagai pelayan dari si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting, merasa lebih bertanggung jawab terhadap keselamatan Suto. Karena itu, ia menerobos masuk ke



bangsal pertemuan mencari Suto di sana.



"Cari Suto di dalam, biar aku dan Peri Malam yang menghadapi tikus-tikus ini, Paman!" seru Selendang Kubur sebelum Pujangga Keramat menerobos masuk ke



bangsal pertemuan.



Sampai di sana ia berseru, "Sutooo...! Di mana ada kau, Suto!"



Tiba-tiba dari arah samping melesatlah gelombang



panas yang menuju ke arah Pujangga Keramat. Wuuss...!











Pukulan jarak jauh disentakkan dari kipas Maharani.



Merasakan adanya gelombang hawa panas yang ingin



menghantamnya, Pujangga Keramat segera sentakkan



kaki dan lompat tinggi dengan bersalto di udara satu kali. Tapi tangannya pun bergerak menyentak ke arah



samping memberi pukulan jarak jauh sebagai balasan



Wuugh...! Pukulan ini lebih besar dari milik



Maharani. Tapi Maharani sangat waspada dan sudah



menduga hal itu akan terjadi. Maka sebelum pukulan itu itu melesat lebih jauh, Maharani sentakkan kakinya ke lantai dan tubuhnya melenting di udara.



Hiaaat...!"



Dueerrr...! Brusss..!



Tenaga dalam Maharani menghantam pilar, tenaga



dalam Pujangga Keramat menghantam dinding. Pilar







menjadi gompal, dinding menjadi retak. Tapi keduanya tak pernah peduli. Keduanya sudah saling berhadapan



dan siap menyerang sewaktu-waktu.



"Suto mana?!" sentak Pujangga Keramat.



"Kau langkahi bangkaiku baru kau bisa melihat di mana Suto!' kata Maharani sambil tetap membuka



kipasnya di dada. Kedua kakinya merenggang rendah,



satu tangannya naik di atas kepala.



Pujangga Keramat menggeram. "Mati kau jangan aku salahkan."



Setelah



berkata demikian, Pujangga Keramat



melejitkan tubuh ke depan dengan tangan siap



dihantamkan. Maharani pun segera sentakkan kaki dan



tubuhnya melayang naik, melesat cepat dengan kipas











terbuka di depan. Saat Pujangga Keramat hantamkan



kedua tangannya Maharani menahan pukulan itu dengan



kipasnya.



Braagh.. !



Wuusssh...!



Tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang,



sama-sama jatuh ke lantai, hampir membentur pilar. Tapi keduanya sama-sama jatuh dalam posisi berdiri



merendah.



"Haaaghh...! Pujangga Keramat hembuskan napas



berat untuk mengumpulkan tenaganya kembali.



Sama juga yang dilakukan oleh Maharani, hanya saja



hembusan napas berat Maharani tak menimbulkan



bunyi.



"Besar juga tenaga dalamnya," pikir Maharani. "Siapa



orang ini? Aku tak pernah melihatnya! Tapi agaknya ia punya urusan penting dengan Pendekar Mabuk.



Mungkin juga ada hubungan lain dengan Suto. Aku tak



boleh gegabah melawannya."



Pujangga Keramat menggerak-gerakkan tangan di



depan wajah sampai kesepuluh jarinya menjadi keras



sekali. Ketika tangan kanannya ditarik sampai di telinga, tangan kirinya tetap sedikit terlipat di depan dada, ia berhenti dari segala gerakannya. Matanya memancarkan



penglihatan yang tajam dan bernafsu untuk membunuh.



"Suto katakan di mana?!" bentaknya.



"Sudah kubilang, Suto ada di balik bangkaiku!"



"Hiaaat...!" Pujangga Keramat bagaikan terbang menuju lawannya. Maharani pun cepat jejakkan kaki lagi











dan melesat terbang menyambut kehadiran jurus



lawannya.



Tapi tiba-tiba sebelum mereka saling bertemu,



seberkas sinar putih keperakan melesat cepat



menghantam tubuh Pujangga Keramat.



Craas...!



"Haagh...!" Pujangga Keramat lebarkan mata. Sinar putih itu bagai mata pedang yang amat tajam. Merobek



perutnya dari pinggang kanan sampai ke pinggang kiri.



Tak disangkal lagi, tubuh itu pun jatuh tanpa daya.



Darah memercik ke mana-mana. Pujangga Keramat



masih sempat erangkan suara dan berusaha bangkit.



Namun baru satu kaki yang bisa menapak, ia sudah



rubuh lagi tak berkutik selamanya.



Maharani cepat gerakkan kepalanya berpaling ke







samping. Di sana ada wajah Putri Alam Baka yang



sedang berdiri dingin dan tajam tatap matanya. Putri



Alam Baka serukan kata,



"Terlalu lamban kau, Maharani! Dalam satu jurus



orang itu sebenarnya harus sudah bisa kau robohkan!"



"Dia terlalu kuat untukku!"



"Omong kosong! Kau hanya coba-coba tadi. Terlalu lama untuk membunuh orang macam dia!"



"Baiklah! Aku memang terlalu lamban untuk kali



ini!"



Putri Alam Baka bergegas langkahkan kaki menuju



luar sambil ia berkata,



"Hancurkan dua kunyuk tak tahu sopan itu! Salah



satunya kukenal dia sebagai Sundari! Bekas orang kita











yang lari menjadi murid si Mawar Hitam!"



"Tapi kita tidak punya urusan dengan penguasa Pulau Hantu itu!" kata Maharani sambil ikuti langkah Putri Alam Baka dan lompati mayat Pujangga Keramat.



"Tak peduli apa urusan mereka mengamuk di sini,



tugas kita adalah hancurkan mereka jika perlu tanpa sisa sedikit pun!"



Selendang Kubur sedang terpojok di salah satu



bangunan seperti barak, ia menghadapi tiga lawannya



yang bersenjata tombak semua. Selendangnya berkelebat cepat bagaikan kilat, menyambar ke sana-sini, dan



akhirnya tiga lawannya itu pun tumbang tak berkutik



lagi.



Baru saja ia hendak lentingkan tubuh menuju ke arah



Peri Malam yang dikeroyok oleh lima lawan itu, tiba-



tiba sesosok tubuh meluncur turun dari atap barak.



Jleeg...! Orang itu berdiri di depan Selendang Kubur



dengan mata memandang tajam.



"Nyai...?!" sentak Selendang Kubur. Ia terkejut sekali memandang orang yang muncul di depan itu. Sekejap ia



tak bisa bicara. Orang yang ada di depannya itu cepat ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan pedang itu!"



"Tidak bisa, Nyai. Saya sudah siap mati demi



Pendekar Mabuk!"



"Jangan bodoh, Selendang Kubur! Serahkan pedang itu padaku!"



Selendang Kubur sempat sangsi dan ragu-ragu. Kalau



saja yang meminta orang lain, sudah pasti ia tak ragu-ragu untuk mempertahankan. Tapi kali ini yang











memintanya adalah gurunya sendiri, Nyai Betari Ayu.



Selendang Kubur punya rasa takut untuk



mempertahankan pedang Jalaganda itu, ia memang tidak



pernah menduga Nyai Betari Ayu mau turun tangan



untuk urusan di Bukit Garinda itu.



' Nyai, saya...."



"Serahkan pedang itu, dan aku yang akan menghadapi Nyai Lembah Asmara!" kata Betari Ayu tanpa senyum dan keramahan seperti biasanya. Selendang Kubur



melihat kemarahan mulai merona di wajah Nyai Guru



Betari Ayu. Selendang Kubur melihat kesungguhan



sikap gurunya yang ingin melawan Nyai Lembah



Asmara itu. Karenanya, Selendang Kubur pun segera



menyerahkan pedang Jalaganda itu kepada Nyai Guru



Betari Ayu.







"Kalau Nyai gunakan pedang itu, berarti Nyai akan mati di ujung kemenangan," Selendang Kubur



memberanikan diri ingatkan gurunya tentang pusaka



keramat pedang Jalaganda.



Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Tidak akan



kugunakan pedang ini!"



"Tapi... tapi Nyai Guru akan kalah menghadap Nyai Lembah Asmara jika tanpa menggunakan pedang pusaka



itu, Nyai!"



Seorang penyerang bersenjata kapak melesat terbang,



sasarannya adalah punggung Betari Ayu, Selendang



Kubur tersentak kaget melihat serangan mendadak yang



mengancam gurunya itu. Tapi, belum sampai Selendang



Kubur lepaskan pukulan jarak jauhnya, tubuh Nyai Guru











Betari Ayu sudah lebih dulu berkelebat memutar, tangan kanannya terangkat tegak di depan mata dengan kelima jari tangan merapat. Lalu, melesatlah sinar putih



menyilaukan sebesar lidi.



Zuiitt...!



Crrasss...!



Cras, craasss...!



Sinar putih menyilaukan itu menembus tubuh lawan



yang memegang kapak. Orang tersebut jatuh ke tanah,



bagian ulu hatinya berlubang sebesar bumbung tuak



milik Pendekar Mabuk. Orang itu tak bergerak ataupun



bersuara sedikit pun. Matanya tetap mendelik namun



nyawanya telah melesat pergi tinggalkan raga.



Selendang Kubur masih terkesima melihat kekuatan



dahsyat yang dimiliki gurunya. Lebih terbengong lagi







ketika Selendang Kubur mengetahui, dua orang yang ada di belakang korban pertama itu juga terkena tembusan



sinar putih menyilaukan. Kedua orang yang sedang



melawan Peri Malam itu tumbang tak berkutik dengan



luka bolong seperti luka orang bersenjata kapak tadi.



Rupanya sinar menyilaukan itu bisa menembus dua-tiga



tubuh lawan sekaligus. Dan hal itu belum pernah



disaksikan oleh Selendang Kubur selama ia menjadi



murid Nyai Betari Ayu.



"Tak kusangka Guru mempunyai simpanan ilmu



sedahsyat itu!" katanya di dalam hati.



Sinar putih menyilaukan itu keluar cepat bagaikan



kilat dari sebuah cincin di jari tengah tangan kanan



Betari Ayu. Cincin itulah yang dinamakan Pusaka Manik











Intan. Melihat keindahan cincin berwarna putih berlian itu, Selendang Kubur ajukan tanya,



"Mengapa baru sekarang Guru gunakan cincin itu?"



"Karena baru kudapatkan dari Telaga Manik Intan."



"Hah....?!" Selendang Kubur terperanjat. "Jadi...



itukah yang dinamakan Cincin Manik Intan?"



"Betul, Selendang Kubur. Nah, sekarang hadapilah mereka, aku akan menerobos masuk ke kamar Nyai



Lembah Asmara!"



"Baik, Guru...!"



Seperti kilat tubuh Betari Ayu melesat. Selendang



Kubur masih terkesima dengan cincin pusaka yang



ternyata ada di tangan gurunya.



"Pantas Nyai Guru tidak mau menggunakan pedang



itu tapi berani menghadapi Nyai Lembah Asmara,







rupanya dia sudah punya pusaka lain yang bisa



diandalkan untuk mengalahkan lawannya! Heran sekali



aku, mengapa cincin itu bisa ada di tangan Guru?



Padahal tokoh persilatan sedang memperebutkan cincin



yang seharusnya menjadi milik Suto Sinting itu?!"



Selendang Kubur tak tahu, gurunya telah menyelam



ke dalam Telaga Manik Intan saat Datuk Marah Gadai



mengejar Dirgo Mukti. Sampai cincin itu ditemukan



oleh Betari Ayu, kedua orang itu masih sibuk saling



kejar dan saling adu kekuatan. Betari Ayu cepat



tinggalkan Telaga Manik Intan tanpa diketahui oleh



Datuk Marah Gadai maupun Manusia Sontoloyo, Dirgo



Mukti itu.



Nyai Betari Ayu merasa memperoleh kekuatan yang











tak lagi menyangsikan hatinya. Cincin Manik Intan



disematkan di jari tengah kanan. Dengan bersenjatakan cincin dahsyat itu, ia yakin bisa kalahkan Nyai Lembah Asmara tanpa harus menggunakan pedang Jalaganda.



Tetapi di ujung tangga menuju bangsal pertemuan,



dua sosok perempuan berwajah garang menghadangnya.



Mereka adalah Maharani dan Putri Alam Baka. Langkah



Betari Ayu pun terhenti karenanya.



"O, rupanya kau yang menjadi biang keributan ini, Betari Ayu?!"



"Maharani dan Putri Alam Baka!" sahut Betari Ayu yang sudah mengenal mereka sejak dulu. "Barangkali dugaan kalian benar, akulah biang keributan ini. Tapi jika Perawan Sesat, orangmu itu, tidak lebih dulu



melakukan pembantaian perguruanku, aku tidak akan







datang kemari menuntut balas!"



"Kau menuntut balas atau menuntut kembalinya



Suto?' Maharani sunggingkan senyum sinis menyindir.



"Mana yang terbaik, itu yang kuambil!" jawab Betari Ayu dengan sikap kalem, ia harus bisa menahan luapan amarahnya agar Cincin Manik Intan tidak



menyemburkan kekuatannya ke sembarang arah. Ia pun



menahan tenaga dalamnya agar tidak mudah terlepas



sebelum cincin itu diarahkan pada sasarannya.



Nyai Betari Ayu tenangkan diri dan tetap bisu



sebelum kedua lawannya bergerak. Mata Betari Ayu tak



pernah lepas dari gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika Maharani tebarkan kipasnya dalam gerakan kecil, Betari Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk mena











han pukulan jarak jauh yang dilepas kan secara diam-



diam itu.



Deeb...!



Pukulan itu bisa tertahan. Maharani mundur setindak



karena tersentak. Tapi dari cincin di tangan kirinya



melesat sinar menyilaukan ke arah samping secara tak



sengaja. Sinar itu mengenai seorang lawan yang sedang berhadapan dengan Selendang Kubur.



Melihatan kilatan sinar menyilaukan dari cincin itu,



maka Maharani dan Putri Alam Baka terbelalak seketika.



Karena mereka melihat ada satu orang lagi yang rubuh



dalam keadaan tubuh bolong karena terkena tembusan



sinar putih menyilaukan itu. Orang yang rubuh dan



menjadi korban kedua adalah orang yang sedang



berhadapan dengan Peri Malam.







Cepat-cepat Putri Alam Baka menutupi



kekagumannya dengan sunggingkan senyum sinis di



bibir, ia berkata kepada Betari Ayu,



"Kau pamer ilmu, Betari Ayu? Kau pikir kami takut dan menjadi gentar melihat pusaka pada cincinmu itu?



Hmm...! Itu satu permainan anak kecil saja!"



"Alangkah memalukan sekali jika murid Nyai



Lembah Asmara akan mati karena permainan anak



kecil!" kata Betari Ayu.



"Mulut congkak! Kau pikir kau mampu menghadapi



kami berdua?!" sentak Maharani.



"Barangkali perlu ditambah gurumu sekalian suruh menghadapiku! Tak akan mundur setindak pun aku



menghadapi kalian bertiga, yang sepatutnya telah kuusir











dari tanahku ini!"



"Jahanam...!" geram Maharani. Lalu ia sentakkan kipasnya dalam keadaan tertutup. Dari ujung kipas itu keluar sinar merah berkilap melesat ke arah tubuh Nyai Betari Ayu.



Betari Ayu cepat sentakkan telapak tangan kirinya ke



depan. Cahaya pendar keluar dari telapak tangan itu.



Bersifat menahan cahaya merah dari kipas Maharani.



Tapi ternyata justru cahaya merah itu berbalik arah



setelah membentur cahaya pendar di telapak tangan



Betari Ayu. Wuuugh...!



"Heegh...!" Maharani buka mulut dengan napas tersentak tertahan. Pukulan dari kipasnya membalik dan mengenai dirinya, ia jatuh terjengkang ke belakang



dengan sukar bernapas.







Melihat temannya jatuh oleh pukulan tangan kiri



Betari Ayu, Putri Alam Baka segera cabut serulingnya



dari pinggang sambil menggeram.



"Rupanya kau memang cari mampus, Betari Ayu!



Hiaaat...!"



Putri Alam Baka lompatkan diri sambil tebaskan



serulingnya dari atas ke bawah, berhenti ke arah dada Betari Ayu. Tapi dengan lincah tubuh Betari Ayu



melesat lompat ke samping, dan kakinya menendang



kepala Putri Alam Baka. Plakkk...!



Tendangan itu berhasil ditangkis Putri Alam Baka



yang berkekuatan tenaga dalam. Nyai Betari Ayu



tersentak limbung dan jatuh ke tangga. Putri Alam Baka cepat lancarkan serangannya yang kedua, setelah











serangan pertama terhindar dan justru mengenai tubuh



orangnya sendiri yang sedang berlari ke pintu gerbang.



Wuusss...! Seruling itu diacungkan ke depan, keluar



cahaya kuning dari dalam lubang seruling. Cahaya



kuning itu melesat ke punggung Betari Ayu. Tapi



dengan cepat Betari Ayu palingkan badan dan sentakkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. Cahaya



pendar kembali berkilap dari telapak tangan itu. Tenaga dalam yang dilepaskan Putri Alam Baka itu membentur



cahaya pendar, dan membalik mengenai dada Putri Alam



Baka. Beeegh...!



"Nggkk...!" Putri Alam Baka tersentak mendelik ketika ulu hatinya terkena pukulannya sendiri, ia



terhuyung ke belakang dan jatuh.



Nyai Betari Ayu cepat lari tinggalkan mereka, ia







masuk ke bangunan megah itu. Semua pintu ditendang,



didobrak paksa, sambil sesekali menghantam rubuh



orang yang menghalanginya. Dan ketika semua pintu



kamar telah didobrak habis, ternyata Suto tidak



ditemukan di dalamnya, maka Betari Ayu pun masuk ke



lorong bertirai ungu. Satu pintu di kamar lorong itu



didobraknya.



"Hiaaat...!"



Dengan satu tendangan lompat, Betari Ayu



menendang pintu tersebut. Namun sebelum ia



menyentuh pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang dengan sendirinya. Bruukkk...!



"Sial! Rupanya pintu itu dilapisi tenaga dalam



berperisai. Pasti di kamar itulah Suto disekap oleh Nyai











Lembah Asmara!" pikir Betari Ayu, kemudian ia bangkit dan segera menyentakkan tenaga dalamnya yang



disalurkan melalui Cincin Manik Intan.



Duaarrr...!



Pintu itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang



menebar ke mana-mana. Asap mengepul menghalangi



penglihatan Betari Ayu. Untuk sejenak ia diamkan asap sampai menipis. Kemudian, kejap berikutnya ia



lompatkan diri masuk ke dalam kamar itu.



Ternyata kamar itu kosong. Tak ada Suto, tak ada



Nyai Lembah Asmara. Tapi keadaan ranjang porak-



poranda. Barang-barang di situ pun berantakan semua.



Entah karena ledakan pintu tadi atau karena sesuatu hal?



Yang jelas, di sana masih tergeletak jubah merah jambu milik Nyai Lembah Asmara. Juga sebuah mahkota masih







ada di atas meja dekat ranjang, dan salah satu dinding kamar itu ternyata jebol membentuk lubang besar.



Apakah dinding itu juga jebol karena sinar dari Cincin Manik Intan, atau karena hal lain. Nyai Betari Ayu tak bisa pastikan diri.



"Tapi aku yakin, mereka berdua tadi ada di sini!"



pikir Betari Ayu. "Wulandari pasti membawa Suto



kemari dan bercumbu di sini. Lantas, ke mana ia



membawa Pendekar Mabuk pergi? Apakah mereka



bersembunyi? Lalu di mana letak persembunyian



mereka?!"



*



* *











9





BUKIT Garinda menjadi porak-poranda. Di mana-



mana mayat bertebaran bagai sisi lain dari neraka



jahanam. Sebagian dari mereka ada yang sengaja



meloloskan diri, lari tunggang-langgang entah ke mana tujuannya. Ada yang berusaha menyusuri pantai, ada



pula yang berusaha mendaki ke atas bukit.



Mereka yang belum mati sempat menyerukan erang



kesakitan. Ada yang berusaha bangkit untuk



menyembunyikan diri atau lari, ada pula yang hanya



diam saja menahan sakit sambil menunggu pertolongan.



Sementara yang pingsan tetap saja pingsan, entah kapan akan siuman.



Yang jelas, sosok tubuh Maharani dan Putri Alam



Baka sudah tak terlihat di anak tangga menuju ruang







pertemuan itu. Entah mereka bersembunyi atau



melarikan diri, yang jelas suasana di situ kembali sepi.



Hanya langkah-langkah kaki Selendang Kubur dan Peri



Malam saja yang tampak melesat ke sana-sini mencari



lawan yang perlu ditumbangkan.



Peri Malam terluka di lengan sisi kirinya. Darah



mengucur dari luka senjata tajam. Tapi ia tidak



menghiraukan. Justru semangatnya kian bertambah.



Selendang Kubur terluka di dada kiri. Biru lebam



dada itu. Tapi agaknya ia juga tidak menghiraukan



lukanya, ia masih tetap memburu mangsa yang perlu



ditumbangkan dengan selendang pusakanya.



Suasana lenggang menimbulkan suara langkah jelas



dari bangsal pertemuan sebuah pedang disambarnya dan











berdenting memecah sepi. Kedua wajah cepat berpaling



ke arah suara itu. Peri Malam dan Selendang Kubur



sama siapnya menghadapi serangan dari arah itu.



Tapi ternyata yang muncul adalah Nyai Betari Ayu



dengan mata bergerak liar mencari lawannya. Ketika



mata itu bertatap pandang dengan mata Peri Malam dan



Selendang Kubur, keliaran mata Betari Ayu pun surut.



Tak menjadi segarang tadi, melainkan kembali tampak



bijak dan berwibawa.



"Bagaimana dengan Suto, Nyai?" tanya Selendang Kubur.



"Hilang entah ke mana!"



"Hilang...?!" Peri Malam tersentak kaget. Wajahnya kian menegang.



"Nyai Lembah Asmara sendiri bagaimana?"







"Juga hilang!" jawab Betari Ayu. Nadanya seperti hampir putus asa.



Peri Malam gusar. "Tak mungkin mereka hilang



begitu saja! Pasti Suto telah dilarikan oleh perempuan liar itu!"



"Ke mana arah larinya mereka?" tanya Selendang Kubur kepada Peri Malam.



Jawab Peri Malam, "Ada dua arah yang bisa untuk



melarikan diri. Melalui lantai di dalam kamar itu, atau menjebol dinding kamar!"



"Lantai...?!" Selendang Kubur kerutkan dahi.



"Ada pintu rahasia di lantai kamar Nyai Lembah



Asmara. Gunanya untuk meloloskan diri sampai ke



pantai. Ada jalan tembus ke sana. Atau mereka lari











dengan menjebol dinding menuju puncak bukit!"



"Kau bisa tahu hal itu dari mana?" tanya Betari Ayu.



"Dulu aku bekas murid Nyai Lembah Asmara dan



pernah tinggal di sini sebagai pelayan Nyai. Tugasku



membersihkan kamarnya!"



Selendang Kubur dan Nyai Betari Ayu angguk-



anggukkan kepala sambil pandangi Peri Malam. Yang



dipandang tampak masih gusar dan cemas. Kemudian



setelah sama-sama bungkam sesaat, Peri Malam ucapkan



kata,



"Aku akan mengejarnya ke pantai! Akan kuhadang di jalan tembus sana!"



"Aku ikut kamu!" kata Selendang Kubur dengan rasa waswas, takut kalau ganti Peri Malam yang bawa kabur



Pendekar Mabuk.







Betari Ayu berkata, "Baiklah. Aku akan periksa



puncak bukit!"



Agaknya memang Betari Ayu yang mujur. Karena,



pada waktu terjadi keributan yang menimbulkan suara



gaduh bersama ledakan-ledakan menggelegar itu. Nyai



Lembah Asmara mulai curiga dengan suasana di luar



kamar, ia segera bergegas memeriksa keadaan di luar



kamar, ia melihat kemunculan Betari Ayu saat



menyerang orang bersenjata kapak dengan Cincin Manik



Intan.



"Celaka! Dia memiliki pusaka yang dahsyat!" pikir Nyai Lembah Asmara kala itu. "Mudah saja untuk



mengalahkannya, tapi aku tak punya waktu. Bisa-bisa



Pendekar Mabuk sadar dari pengaruh racunku, lalu ia











melarikan diri. Hmmm...! Sebaiknya, selagi Suto masih dalam pengaruh racunku itu, aku harus mencari tempat



yang aman supaya ia cepat-cepat membuahiku!"



Pendekar Mabuk bukan hanya mabuk oleh tuak,



namun juga mabuk oleh racun Darah Asmara yang tak



mampu dilawannya itu. Tubuhnya berkeringat dan



wajahnya memerah menahan gairahnya.



Nyai Lembah Asmara segera berkata kepada Suto,



"Kita harus cepat menyingkir untuk sementara, Suto!"



"Tak perlu, Nyai! Dekatlah padaku sekarang juga, peluklah aku!"



"Mereka akan menemukan kita di sini, Suto! Kita



harus pergi supaya kemesraan kita tidak diganggu. Aku punya tempat yang aman untuk memadu kasih kita!"



"Ah, Nyai... mengapa kamu takut dengan suara







gaduh? Aku tidak merasa takut sedikit pun, Nyai!



Lupakan tentang urusan mereka. Sebaiknya kita kerjakan urusan kita sendiri, Nyai!"



"Tidak, Suto! Aku tidak suka dengan suasana ini!



Jelas akan mengganggu kemesraan dan kenikmatan



bercumbu kita, Suto!"



"Oh, ho ho ho...! Benar juga, Nyai. Benar!" Pendekar Mabuk tertawa dan bicara dalam pengaruh tuak dan



racun birahinya itu. "Kalau begitu, lekas bawa aku pergi ke tempat yang lebih mesra lagi, Nyai!"



Nyai Lembah Asmara berpikir, "Aku tadi melihat ada Sundari, bekas murid dan pelayan di kamarku ini! Kalau aku lewat pintu lantai, pasti Sundari tahu ke mana arah lariku. Hmmm... sebaiknya aku ke puncak saja. Kubawa











Pendekar Mabuk ke dalam gua yang cukup aman untuk



memadu kemesraan dengannya!"



Nyai Lembah Asmara sentakkan tangan kirinya ke



depan. Wuuut...!



Blarrr...! Dinding kamar jebol dengan satu sentakan



tenaga dalam tanpa sinar itu, ia segera membawa lari Pendekar Mabuk. Tapi keadaan Suto sangat lemah dan



lamban untuk bergerak lari. Tanpa ragu-ragu, Nyai



Lembah Asmara menggendong tubuh Suto,



memanggulnya di pundak. Pendekar Mabuk hanya diam



saja sambil tetap memegang tabung bumbung bambu.



Sesekali ia tersentak karena cegukan, mulutnya



berceloteh apa saja karena pengaruh mabuknya, sampai



Nyai Lembah Asmara sempat membentak agar Pendekar



Mabuk diam dan tidak bersuara.







Keadaan mereka yang belum sampai lepas pakaian



itu segera melesat keluar dari kamar melalui jebolan



tembok. Nyai Lembah Asmara membawa lari Suto ke



arah puncak bukit. Gerakannya tetap seperti anak panah yang melesat dari busurnya, walau saat itu ada beban di pundaknya.



Sebuah gua yang pintunya tertutup oleh ilalang lebar



menjadi sasaran arah Nyai Lembah Asmara. Gua itu



tidak mudah ditemukan orang, tidak pula mudah dilihat karena kerimbunan semak ilalang yang menutup mulut



gua. Tapi buat Nyai Lembah Asmara, gua itu sudah



bukan tempat asing lagi, karena ia sering membawa



seorang pria untuk bercinta di dalam gua tersebut. Gua itu terletak pada satu lereng, hampir mencapai puncak











bukit.



Ketika Nyai Lembah Asmara tiba di depan gua itu, ia



turunkan tubuh Pendekar Mabuk dari pundaknya.



Pendekar Mabuk pun berdiri dengan sempoyongan.



Matanya semakin sayu karena mabuk, juga karena racun



birahi yang menyerangnya.



"Di sini saja, Nyai!" kata Suto dengan suara sumbang sambil meraih baju Nyai Lembah Asmara dan ingin



melepaskannya. Tapi Nyai Lembah Asmara menolak



sambil berkata,



"Jangan di sini! Kita masuk ke dalam gua itu!"



"Mana ada gua, Nyai?"



"Itu, di depan kita. Kau tidak melihatnya karena kerimbunan semak ilalang di mulut gua!"



Pendekar Mabuk dituntun mendekati gua. Tiba-tiba







kakinya yang lemas terkulai dan jatuhlah Suto, merosot ke bawah tebing sambil tetap berpegangan bumbung



tuaknya.



"Sutooo...?!" sentak Nyai Lembah Asmara dengan cemas. Cepat-cepat ia lompatkan tubuh dan bersalto dua kali. Tubuh Nyai Lembah Asmara mendahului gerakan



Pendekar Mabuk yang meluncur ke bawah tebing.



Sebatang ranting kering dipakai berpijak kaki Nyai



Lembah Asmara. Ranting itu seharusnya patah, tapi



karena ilmu peringan tubuh yang digunakan Nyai



Lembah Asmara cukup tinggi, sehingga ia bisa berdiri



dengan tenang di atas ranting kering yang besarnya dua kali ukuran lidi.



Tubuh Pendekar Mabuk yang meluncur ke bawah itu











ditangkap oleh kedua tangan Nyai Lembah Asmara.



Andai tidak, tubuh Pendekar Mabuk akan jatuh ke



jurang yang cukup dalam. Mungkin juga Suto akan mati



dihujam bambu-bambu runcing yang sengaja dipasang



oleh Nyai Lembah Asmara sebagai jebakan para musuh



yang hendak menyerangnya dari atas bukit.



Sentakan halus kaki Nyai Lembah Asmara segera



membuat tubuhnya melesat ke atas sambil menopang



tubuh Suto. Kini, ia berhasil membawa Pendekar Mabuk



ke tanah sedikit datar dan aman dari bahaya kemiringan tebing.



"Enak sekali terbang denganmu, Nyai!" Suto



menceracau. "Aku juga bisa terbang seperti kamu.



Huup...!"



Pendekar Mabuk menyentakkan kakinya dan dalam







sekejap tubuhnya melayang ke atas dan berjungkir balik dua kali. Tubuh itu segera hinggap di salah satu batu yang ada di puncak bukit. Pendekar Mabuk berdiri



dengan keadaan limbung, mencemaskan hati Nyai



Lembah Asmara.



Ia berseru dari sana, "Nyai...! Aku bisa sampai di sini! He he he... he he...!"



Bruukkk...! Suto jatuh dari batu besar itu. Tubuhnya



terhempas di tanah. Nyai Lembah Asmara menggeram



jengkel dan menggerutu,



"Bocah sinting! Katanya ingin kemesraan malah



mengajak bercanda gila-gilaan begitu. Huuup...!"



Nyai Lembah Asmara menyusul Pendekar Mabuk di



atas puncak bukit dengan melesatkan diri dan bersalto











dua kali juga. Suto sedang menggeliat bangkit ketika



kedua kaki Nyai Lembah Asmara mendarat di tanah



sampingnya. Jleeg...!



"Aku jatuh, Nyai. He he he.... Enak sekali jatuhnya!"



kata Suto yang semakin parah dipengaruhi tuaknya.



"Suto, kita tak punya waktu untuk bercanda. Lekaslah ke dalam gua, Suto. Aku tak sabar menunggu kemesraan



dan kehangatan tubuhmu!"



"Di sini sajalah, Nyai! Di alam bebas ini lebih mesra!



He he he...!" Pendekar Mabuk makin mengacau, ia berdiri dengan sempoyongan, ia merenggut tubuh Nyai



Lembah Asmara, sehingga wajah mereka saling tatap



dalam jarak dekat. Nyai berpikir saat itu,



"Kalau memang dia maunya di sini, biarlah di sini!



Aku pun sudah tak tahan lagi!"







Pendekar Mabuk tersenyum-senyum ketika wajah



Nyai Lembah Asmara mendekat ingin mencium



bibirnya. Jemari Suto sedikit menaikkan dagu Nyai



Lembah Asmara, dan mata Nyai jadi terpejam. Tapi tiba-tiba tangan Suto menyentak, mendorong dagu itu ke



belakang membuat tubuh Nyai pun tersentak limbung



dalam keadaan mundur tiga tindak.



"Oh, maaf Nyai... aku hampir jatuh!" kata Suto sambil sempoyongan. Nyai Lembah Asmara ingin marah



namun segera memaklumi keadaan Pendekar Mabuk



yang dalam pengaruh mabuk tuak itu.



"Suto, lekaslah berbaring saja! Biar aku yang menjadi pelayan cintamu, Suto," kata Nyai Lembah Asmara



sambil berkemas untuk melepasi pakaiannya.











"Baik. Baik. Aku akan berbaring, tapi... tapi di atas batu itu! Aku ingin berbaring ke sana! Huupp...!"



Tiba-tiba Pendekar Mabuk melompat ke atas batu



besar yang tingginya dua kali tinggi tubuhnya, Suto



bagaikan terbang dan hinggap di atas batu datar dalam keadaan sudah berbaring.



Tetapi pada waktu ia melompat tadi, ada satu batu



kecil sebesar genggaman tangan anak-anak melesat pula dari sentakan kakinya. Batu itu melesat ke arah Nyai



Lembah Asmara dengan cepat. Plokkk!



Nyai Lembah Asmara tak sempat menghindari batu



yang di luar dugaan kedatangannya. Maka, tersentaklah ia ketika batu itu mengenai tulang pipinya dan



membekas biru. Ia menyeringai kesakitan sambil



tundukkan wajahnya, memengangi luka memar dari







hantaman batu tersebut.



"Gila, tingkahnya aneh-aneh saja, sampai wajahku terkena batu yang begini sakitnya. Uuh... kurasakan



sentakan batu itu sangat kuat dan berat. Mungkin hanya karena keadaan tubuhku sedang dilanda gairah, sehingga terkena batu begitu kecil saja terasa sakit."



Terdengar Suto berseru, "Nyaiii... aku berbaring di sini...!" nada suaranya meliuk-liuk tak jelas iramanya.



"Kalau kau tak segera datang aku akan turun, Nyai...!"



Segera Nyai Lembah Asmara yang jantungnya sudah



berdetak-detak karena dorongan nafsu yang makin



menggelora itu, melesat dengan satu lompatan kecil,



menghampiri Pendekar Mabuk yang berbaring di atas



batu. Pikir sang Nyai, "Biarlah di atas batu itu aku











bercumbu, yang penting gairahku segera terpenuhi



dulu!"



Ketika Nyai Lembah Asmara sampai di atas batu,



berdiri di dekat Pendekar Mabuk, tiba-tiba Suto bangkit dengan satu gerakan memutar, hingga kakinya menyapu



kaki Nyai Lembah Asmara. Plakkk...!



Brukkk...!



Nyai terpelanting jatuh dan terjungkal turun dari atas batu. Pundaknya menghantam tanah lebih dulu.



Sebongkah batu terpendam menjadi benturan telinga



kirinya. Prukkk....!



"Aauh...!" ia memekik kesakitan.



"Waduh, maaf...! Maaf, Nyai...! Kupikir kau belum datang, karenanya aku bangkit dengan cepat ingin



menyusulmu turun dari batu ini! Maaf, aku tak sengaja



menendang kakimu, Nyai!"



Nyai Lembah Asmara berpikir juga, "Sapuan kakinya tak mungkin bisa merobohkan kuda-kudaku jika tidak



diiringi kekuatan tenaga dalam! Oh, daun telingaku luka berdarah. Sial! Dalam keadaan mabuk dia masih dialiri tenaga dalam di sekujur tubuhnya. Oh, alangkah



indahnya jika cumbuannya nanti juga dialiri tenaga



dalam. Jelas ia akan mampu mempertahankan gairahnya



yang menurutku sudah meluap-luap seperti yang



kurasakan saat ini...."



"Nyai, naiklah! Lekas! Aku sekarang berdiri biar bisa melihat kedatanganmu! Naiklah, Nyai!" seru Suto



sambil berdiri di tepian batu dengan tubuh meliuk ke



sana-sini, bagaikan diombang-ambingkan oleh angin.











Tangannya pun menggapai-gapai seperti ingin jatuh.



Nyai berteriak, "Suto, awas! Nanti kau jatuh! Jangan ke tepian!"



"Lekaslah naik sebelum aku sempat jatuh, Nyai!"



Takut Pendekar Mabuk jatuh, Nyai Lembah Asmara



pun segera melompat menyongsong gerakan tubuh



Pendekar Mabuk yang mulai limbung ke depan. Tangan



Pendekar Mabuk bergerak-gerak mencari keseimbangan



sambil berseru, "Eee, eh eh eh...!"



"Awas, Suto...!" Nyai Lembah Asmara makin berseru cemas.



Ketika tubuhnya mendekati Pendekar Mabuk, tiba-



tiba Suto jatuh ke depan. Tangannya bergerak-gerak



bagai ingin mencari pegangan.



"Waaaoow...!" Suto berteriak dalam nada kegirangan.







Tubuhnya beradu dengan tubuh Nyai Lembah



Asmara di udara. Tangan Suto cepat bergerak dan



mengenai dada Nyai Lembah Asmara. Plak plak plak...!



Lalu, Nyai Lembah Asmara tersentak ke belakang dalam



keadaan terbang, Suto jatuh ke bawah dalam keadaan



terguling dua kali. Ia jatuh terduduk sambil mengerang kesakitan memegangi pinggangnya. Bumbung tuak



masih menyilang di punggungnya.



"Aduh. sakitnya punggungku...!" rintihnya pelan.



Tetapi Nyai Lembah Asmara tidak hiraukan rintihan



itu. Ia melihat dadanya hangus tiga tempat akibat



gerakan tangan Pendekar Mabuk tadi. Napasnya pun



mulai terasa sesak. Dada itu terasa panas sekali bagian dalamnya. Nyai Lembah Asmara mulai membatin,











"Kurang ajar! Rupanya sejak tadi dia menyerangku dengan jurus mabuknya! Uuh... sakit sekali dadaku.



Gerakan tangannya tak seberapa keras, tapi mempunyai



kekuatan tenaga dalam yang menghanguskan kulit



dadaku! Aduh, sesak sekali napasku, jangan-jangan



racun Darah Asmara telah membalik meracuni tubuhku



sendiri! Tak biasanya aku mempunyai gairah sebegini



besarnya!"



Terdengar Pendekar Mabuk berseru, "Nyai, tolong



aku berdiri!" ia mengulurkan tangan, minta ditarik. Tapi Nyai Lembah Asmara hanya diam saja. Nyai Lembah



Asmara hanya memandang dengan mata kian nanar,



antara sayu dicekam birahi dengan sayu menahan sakit.



Tak disadari dari mulut Nyai Lembah Asmara mulai



melelehkan darah segar ketika ia terbatuk satu kali.







Bahkan batuk yang kedua membuat darah kental



menyembur ke luar dari mulut. Nyai Lembah Asmara



sangat kaget melihat mulutnya mengeluarkan darah



kental sedikit kehitaman.



"Jahanam!" geramnya dalam hati. "Rupanya dia telah berhasil melukaiku secara diam-diam! Ini sudah bukan luka ringan saja. Ini sudah bukan satu hal yang bersifat kebetulan tapi pasti direncanakan olehnya! Aku harus menyerangnya! Aku harus membalasnya! Tapi




bagaimana jika ia terluka? Aku tak bisa menikmati



kemesraannya. Padahal aku sudah tak bisa menahan



gairahku lagi. Oh, aku ingin dicumbunya sekarang juga!



Ya, sekarang juga!"



Masih saja Suto menyerukan kata, "Nyai, tolonglah











aku! Tarik tanganku agar aku bisa berdiri...!"



Nyai Lembah Asmara segera melompat bagai singa



menerkam mangsanya. Wuuttt...! Ia menerkam tubuh



Pendekar Mabuk dan mengajaknya berguling untuk



bercumbu. Tetapi saat tubuh itu melayang, Pendekar



Mabuk segera menyentakkan tangannya yang sejak tadi



teracung ke atas. Gerakan tangan itu seperti orang ingin bangkit dan menggunakan tangan itu untuk bertolak dari sebuah batu di sampingnya. Tapi gerakan lembut itu



ternyata memancarkan satu kekuatan tenaga dalam yang



membuat kepala Nyai Lembah Asmara tersentak naik ke



atas dengan pekik tertahan.



Beegh..! Leher Nyai Lembah Asmara jadi sasaran



tenaga dalam Suto. Akibatnya, mulut Nyai Lembah



Asmara kembali menyemburkan darah kental dan







berwarna kehitam hitaman. Pendekar Mabuk berlagak



kaget dan berseru,



"Nyai.. ? Kenapa kau, Nyai?! Kenapa...?!"



Nyai Lembah Asmara yang terkenal keji dan buas itu



tergeletak dalam keadaan tersengal-sengal. Matanya



terbeliak sambil sesekali menyemburkan darah dari



mulutnya.



Pendekar Mabuk berjalan mundur seperti orang



ketakutan melihat Nyai Lembah Asmara tersentak-



sentak tubuhnya. Padahal itu hanya kepura-puraan



Pendekar Mabuk.



Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat di atas kepala



Suto. Cepat sekali Pendekar Mabuk sentakkan



tangannya ke atas sambil menundukkan kepalanya.











"Wah, burung apa itu yang datang?!"



Sentakkan tangan itu rupanya mengeluarkan kekuatan



tenaga dalam. Dan kelebat bayangan itu juga



menyentakkan tenaga dalam ke ubun-ubun Suto.



Akibatnya, dua tenaga dalam itu beradu dan



menimbulkan gelegar yang teredam.



Beeggh...!



Wuuut...! Suto tersentak ke samping dan hampir



jatuh, ia hanya sempoyongan saja dan segera



berpegangan dinding batu. Sedangkan bayangan itu



segera jatuh dengan kaki sigap ke tanah. Bayangan itu milik seorang nenek berkulit keriput, yang bersenjatakan tengkorak seekor kambing.



"Oh, kau rupanya, si Mawar Hitam!" kata Pendekar Mabuk.







"Syukul kau ingat padaku, Suto! Kau masih punya hutang pusaka Tuak Setan padaku! Sekalang aku belum



ingin menagihnya, tapi suatu saat nanti, aku ingin



menagihnya dalimu," kata Mawar Hitam yang tak bisa menyembulkan hufur 'r' itu. Ia adalah penguasa Pulau



Hantu, bekas gurunya Peri Malam.



"Lalu, sekarang kau mau apa, Mawar Hitam?!"



"Aku tahu sejak tadi kau selang pelempuan ini



dengan lagak mabukmu! Dia tidak melasa, dan akhil-nya dia jatuh begini. Kasihan!"



"Mata tuamu memang jeli, Mawar Hitam! Tak sejeli mata perempuan yang sedang dimabuk birahi karena



racunnya yang berhasil kukembalikan tadi. Kalau kau



tahu begitu, sekarang mau apa kau?"











"Aku belum mau ulusan sama kamu, mulid sinting!



Tapi tunggu kalau aku sudah ambil semua ilmu yang ada dalam dili pelempuan ini! Aku akan balas kekalahanku



tempo hali!"



Sebelum Pendekar Mabuk lontarkan kata, tiba-tiba



nenek kempot keriput itu bergerak cepat. Tubuh Nyai



Lembah Asmara diangkatnya bagai mengangkat batang



pisang, lalu ia segera jejakkan kaki dan melesat pergi dengan cepat menuruni lereng bukit. Pendekar Mabuk



hanya mengejar sampai tiga langkah ke depan, lalu



membiarkan nenek kempot itu pergi membawa Nyai



Lembah Asmara.



Tiba-tiba dari arah belakang Pendekar Mabuk ada



suara memanggil, "Suto...?!"



Oh, rupanya Nyai Betari Ayu datang agak terlambat,







ia tidak menyaksikan pertarungan Pendekar Mabuk yang



mirip pertarungan sinting itu. Ia tidak melihat bagaimana Pendekar Mabuk merubuhkan Nyai Lembah Asmara, ia



hanya melihat Pendekar Mabuk melangkah dengan



sempoyongan mendekatinya.



"Kau tidak apa-apa, Suto?"



"Tidak, Nyai. Racun kiriman Nyai Lembah Asmara



berhasil kubalikkan saat dia mencium bibirku... he he he...."



"Dia mencium bibirmu, Suto?!" Betari Ayu sempat kaget dan punya perasaan tak suka mendengarnya. Ia



palingkan wajah dan cemberut. Pendekar Mabuk tertawa



terkekeh-kekeh. Tapi tawanya menjadi hilang ketika ia melihat jari tengah tangan kanan Betari Ayu











mengenakan cincin bermata putih berlian. Pendekar



Mabuk terbayang penuturan dari gurunya tentang ciri-



ciri Cincin Manik Intan. Dan, saat itulah mata Pendekar Mabuk terbelalak melihat Cincin Manik Intan ada di



tangan Nyai Betari Ayu.



"Haruskah aku bertarung dengannya merebut cincin itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan hati gundah gulana.











SELESAI



PENDEKAR MABUK



Ikuti kisah selanjutnya



Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
















Pembuat E-book:



DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel