Pendekar Mabuk 3 - Darah Asmara Gila(2)



geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka,
serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih besar lagi.


Wuungh...!

Weuung...!

Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari

tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh

membentur bongkahan batu karang.

"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa saat untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya

terhempas lepas.

Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin,

"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku

jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya aku harus menggunakan salah satu jurus intiku!"

Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri

Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya

dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke

samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian, membalikkan tangannya dengan telapak tangan

menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak

keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola

sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah Dirgo Mukti. Tapi pemuda, itu tetap diam dan

tersenyum-senyum.





"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir balik di udara, karena pada saat itu bola kuning berpijar-pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.

Wuuuooss...!

Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam

yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.

Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi

putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-

serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda

bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.

"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga intiku. Tapi bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya

itu?"

Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas

sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan membalas kesombonganmu, Peri Malam!"

"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"

Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba

terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan bumi. Blaarrr...!

Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling

di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo

Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu





menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.

"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak

kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi

menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu

memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.

"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah?!"

sentaknya lagi.

Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu.

Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti

berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada

cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak, namun sempat membuat Peri Malam tersenyum

kegirangan.

"Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar, sebab saat itu Dirgo berseru,

"Siapa yang berani menyerangku, hah?! Keluar kau, Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"

Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat

malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya.

Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri

Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik

dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada

orang yang mengganggunya.

"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia

Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja





salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan ke telinganya.

Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di

belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh

berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong

bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam

terpekik kaget.

"Oh...?! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"

*

* *



5

DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke

arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari

punggung dan halangkan bumbung ke depannya.

Craap...!

Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu

kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil itu dan membuangnya dengan seenaknya ke samping.

"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu? He he he...!" Suto melompat turun dari atas batu, melangkah dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup banyak minum tuak dan sedikit mabuk. Tapi matanya

belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.

Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada.

Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau





itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan mengenai sebongkah batu. Batu itu pecah dengan

menimbulkan bunyi yang pelan.

"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah

termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan tenaga dalamnya hingga bikin batu itu pecah tanpa suara, jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam hatinya yang terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak ketika tertancap pisauku, tapi mengapa kali ini tidak?

Hmmm... siapa sebenarnya orang ini?! Aku belum

pernah jumpa dengannya."

Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan itu.

"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya inilah kesempatan yang baik untuk menghajar Dirgo

Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila

Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku

lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo, sesuai pesan Guru."

Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam.

Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing

kemarahan Dirgo.

"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik urusanku dengan Peri Malam, hah?!" Dirgo Mukti menyentak dengan melangkah setindak ke samping

kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri berjajar menghadap Dirgo Mukti.

Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab

pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau





pasti tahu!"

Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan

suara jelas.

"Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang punya julukan Pendekar Mabuk."

"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti dengan mengejek sinis.

Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata, "Murid Si Gila Tuak...?! Oh, ya... aku kenal nama si Gila Tuak, tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang namanya ada di papan atas dunia persilatan. Lalu, apa urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam? Apakah dia kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah musuh utamaku dalam merebut hati Peri Malam!"

Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu

mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena ia menganggap Suto adalah kekasih Peri Malam,

keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan

beraninya dia berucap kata kepada Suto.

"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi murid sinting si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta, mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup

berdampingan dengan Peri Malam!"

"Kau menantangku, Dirgo?!"

"Ya!"

Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua

mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,





"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu

apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-

ku ini!"

"Jangan...."

Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang sebaiknya jangan di pantai ini."

Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri

Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.

"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di mana pun tempatnya aku siap mengadakan pertarungan

berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri

Malam!"

Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas

kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi selalu disahut Peri Malam.

"Maksudku begini, Dirgo...."

"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang

menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya, silakan pilih sendiri. Karena kau yang menantang

pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."

"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata Dirgo Mukti. "Kita tentukan pertarungan kita di Bukit Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid si Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama

mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah

menunggumu!"

Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan melesat pergi secepat kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti





yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu lainnya.

Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo

Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan

kuntilanak pulang pagi.

"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu rasa dia. Berulang kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan

anak tikus. Hik hik hik...!"

Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun

tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya dia bisa bicara apa yang ingin dia bicarakan sejak tadi.

"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan

yang tidak benar begitu?"

"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan

tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.

"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"

"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"

"Memang salah!"

"Maaf kalau begitu!' ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon mahoni

yang rindang itu.

Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto

yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah.

Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya menerima rasa indah

yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.

"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam





dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak kehadiran bayangannya!" gerutu resah hati Peri Malam.

Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,

"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Suto duduk di batu sebelahnya

itu.

"Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo."

"Apakah kau takut?"

Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah

mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam

bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga

dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat

senyuman itu.

"Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci

kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung

melawan orang yang tidak punya salah padaku."

"Tapi kau tadi menyerangnya."

"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka melihat perempuan dibuat mainan, seperti kau tadi."

"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan paksa aku melayani nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan

menderita begitu?"

"Tidak."

"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak tadi."





"Apa maksudmu? Jelaskan!"

"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar cintaku karena merasa berilmu tinggi."

"Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"

"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."

"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?"

"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan dengan Dirgo."

"Kenapa?"

"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.

"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk

menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"

"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa menumbuhkan cinta di hatiku."

"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."

Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah

lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari depan Suto. Pandangan matanya lebih dalam menatap,

dan ucapannya lirih berkata,

"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo itu!"

"Mana bisa...?!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai idaman hati sendiri."

"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku.

Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih, Suto."

"Mana bisa?! Aku tak pernah tahu hangatnya

pelukanmu."





Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian,

dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak

hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah ciuman hangat melekat di pipi murid sinting si Gila Tuak itu.

Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat

Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan wajah maka ciuman itu tidak melekat di pipi, melainkan menyentuh di bibir Suto. Crupp...!

"Oh...?!" Peri Malam cepat undurkan wajah.

"Kenapa?"

"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan

tundukkan wajahnya. Terdengar suara tawa Suto mirip gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan itu

diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai

melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah

dan mendebarkan.

Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu

berucap lirih.

"Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"

"Mana bisa?"

"Kenapa tidak bisa?"

"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan

kita."

Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan

muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri seorang perempuan berpakaian merah dadu dengan

rambut digulung naik ke atas.





Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto

Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia

layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan

yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.

"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau belum jera juga mengusik pribadiku, Selendang

Kubur?!"

"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri Malam!" kata Selendang Kubur dengan suara dingin memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan

dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan

Peri Malam.

*

* *






6


MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua

perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.

Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar

mata memancarkan permusuhan.

Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas

gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu

menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi pihak penonton saja.

Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya. Suto tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab





perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto hanya membatin,

"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku

tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak

Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus

menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia kabur lagi!"

Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki

tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama

membusung ke depan, karena memang keduanya sama-

sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena

mereka sama-sama menahan rasa cemburu.

"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi riwayat hidupmu?"

"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak kalah ketus dan tegas.

"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur!

Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan

Suto Sinting!"

Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya

Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan





keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka

Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan

ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri

Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di

mana Pusaka Tuak Setan itu berada.

"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan

kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina.

Kau durjana dan kotor!"

"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan

perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan

lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu

kepada Trenggono!"

"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan

kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum

dia kita hancurkan!"

Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata

begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.

Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia

pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia berharap agar Suto pun mendengar dan

mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati Peri Malam atau meninggalkannya.

Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil





memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya sudah sama-sama blong. He he he...!"

Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto.

Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas dan geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang

dianggap sudah tak perawan lagi itu.

Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke

arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati Peri Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur,

karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.

Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara

dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam

gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!

Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap

berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan

dada tetap membusung.

Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi

tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya

tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak

darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam.

Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga

dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja





Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan

kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi melihat matahari pantai.

Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya

kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.

Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku harus membalasnya. Malu kalau

harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga

diriku!"

Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang

Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga.

Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang terkena pukulan tadi.

"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan

paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.

Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun

untuk menyamai ilmuku!"

"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri

Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup

kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan pukulan 'Merpati Puber' dariku, hiaaat....!"

Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di

udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak

menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai

mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan

Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya

dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat

kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah





lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan

satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup

besar. Buugh...!

"Ahhg...!"

Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan

tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga wajahnya tak jadi terbentur batu.

Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap

direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan dan itu pasti akan membuat tubuh Peri Malam hancur

lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah

pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari

ketiga jurus sakti simpanannya itu.

"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.

Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah

Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi langkahnya sedikit limbung.

"Apa maksudmu menahan pukulanku, hah?!" bentak Selendang Kubur.

Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya,

"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni

lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."

"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"

Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya





semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan

'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia

teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup

menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus

maut yang belum sempat dikeluarkan.

Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan

Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu

Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.

Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga

demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu

sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan

melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia telah mencapai dahan di atas sebuah pohon. Dari sana ia serukan kata,

"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang

Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting

dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita

bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup lebih lama lagi di antara kita berdua!"

Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting

lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.

"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak





Selendang Kubur.

Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur

pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri

Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya

seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu besar. Brukkk...!

Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur tertunda.

Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat berdiri dan menatap Suto dengan mata melotot garang.

"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya?!

Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"

"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang aku ada di pihaknya?"

"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku mengejarnya?"

"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi bumbung tuak.

Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan

pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.

Hatinya membatin.

"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah

perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya

tidak menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat mereka berciuman, iih... jijik aku mengenangnya!"

Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur





singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah.

Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar itu terpasang jelas menantang sorot pandangan mata

Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas

permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati dirinya sampai jarak tiga langkah.

"Urusan pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan pribadi dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas

bermesraan dengan peri bobrok tadi?! Masih kurang

puaskan kau memperoleh kemesraan darinya?!"

Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu, Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara dirinya dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah dari hati ke hati, padahal yang dimaksud Suto adalah urusan Pusaka Tuak Setan.

Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga

kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya

diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan Selendang Kubur dalam jarak hanya satu langkah.

Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke

arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia berkata,

"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan

perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi





bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"

"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.

Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi

perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka kalau akan mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"



"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.

Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan

suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi suatu percakapan kecil.

"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit?

Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk

mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia

mencariku? Oh, tak kusangka jika hal itu benar

dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat

padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak mau tunjukkan hasratnya secara terang-terangan padaku, sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti.

Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih

dulu. Aku malu."

Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua

kali tuak dari bumbungnya.

"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu

dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku

sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman

yang indah itu."





"Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke taman itu?!"

"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."

"Kagum pada guruku?"

"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan Selendang Kubur itu.

Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya.

Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian

istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai

rasa suka pada Suto?"

"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam,"

tambah Suto.

Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau

bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan

siapa kau tidur di sana?'

"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda,

membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.

"Siapa orang itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"

"Bukan."

"Murbawati?"

"Bukan."

"Lalu... lalu siapa? Siapa orang yang tidur denganmu, Suto?"

"Pembayun!" jawab Suto.

"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan

napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang

paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat





kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat setia merawat kuda milik Betari Ayu.

"Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"

"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi perintah larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan

dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri setelah menyadari larangannya itu.

"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu

perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi

kecemasannya.

"Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana, Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat itu.

Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku

muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."

Hati Selendang Kubur masih berdebar indah

mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang karena

rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya

kepada Suto.

"Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan

begitu?"

"Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan

darimu."

"Apa...?!" Selendang Kubur terkejut dan segera kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.





Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti

orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok.

He he he...!"

"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan

Pusaka Tuak Setan?"

"Ya. Benar."

"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'

"Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.

Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan Paman Sugiri."

Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah

yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini

menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata dengan dahi masih berkerut tegang.

"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan, kejarlah Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada

saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua

kalinya."

"Jangan bergurau. Selendang Kubur!"

"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri Malam itulah orang yang mempunyai senjata jarum

beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka





beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang

Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ,

karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku ada di atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak

Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya.

Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang

berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak, sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak

bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan

gurunya."

Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri

Malam?!"

"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk

dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak percaya, mari kita buktikan!"

Suto tertegun. Matanya semburat merah karena

mabuk.

*

* *





7


MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri

Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah

bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun

tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan

Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri

Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau

Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu

tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.

Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain

lagi.

"Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu

menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi

bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"

"Apa maksudmu?"

"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut.

Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya

sendiri?"

"Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk

isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.

"Apa dia berani menjadi murid murtad?"

"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."

"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh cinta?"





"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.

Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan

minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat memiliki

dirimu."

"He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."

"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya, dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar mau melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan

itu."

Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata

Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara

semakin sumbang.

"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan itu?"

"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.

Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan

mendampingimu dan menjagamu!"

Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang Kubur!

He he he he...!"





"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak akan bisa menahan gejolak birahiku."

Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur

melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari perahu yang disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan

tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar kuning, dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar kuning. Blaarrr...! Praakkk...!

"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.

"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab Selendang Kubur.

"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk

menyeberangi lautan ini!"

"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu artinya dia tak bisa menyeberangi lautan dengan

mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."

"Yah, bisa juga dia buat lagi!"

"Kita berangkat sekarang, Suto!"

"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.

Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang

Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari belakang mereka.

"Tunggu!"

Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang

Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang dan menahan langkahnya.

"Dewi...?!" desis Selendang Kubur dengan perasaan tak suka.





"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"

kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.

"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa

kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang Kubur bernada ketus,

"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga punya urusan sendiri!"

"Apa hakmu melarangku?"

"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru.

Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil

oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"

Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin,

"Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi

diangkat menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan-

jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku

meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan kedudukanku di samping Suto!"

Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas,

"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"

"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari Guru!"

Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke

tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin

menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"





"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang

Kubur!"

"Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang!

Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"

"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!"

sentak Dewi Murka.

"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu, Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata,

"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat sekarang juga!"

"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak.

"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu,

Larasati!"

Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan

membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia melesat lompat ke tempat yang datar dan bersuara

lantang.

"Dewi, apa maumu sebenarnya, hah?!"

"Menyuruhmu pulang!"

"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu?!"

"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"

"Apa kau kira mampu, hah?!" tantang Selendang Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto

diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.

Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan

hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak dan tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang

Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri





dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.

Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan

suaranya yang tegas.

"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!"

"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu!

Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar

peraturan perguruan!"

"Siapa bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi murid bersalah dan dianggap telah murtad!"

"Hei, apa salahku?!" Selendang Kubur kian keras kerutkan keningnya karena heran.

"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!"

"Gila kau!"

"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya.

Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"

"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan memilihku sebagai

penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil

menuduh balik kepada Dewi Murka.

"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang, Larasati!"

"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan





yang amat penting!"

"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!'

"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak Selendang Kubur dengan berani.

"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari pinggang.

Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama

dengan kata hati Selendang Kubur tadi.

"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru

untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar

tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri tanpa

pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya

maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di

perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku

mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap

menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan

juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat Selendang Kubur dekat denganku."

Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala.

Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang

Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya

berkata,

"Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat





tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum

dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua perempuan itu."

Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi

Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru.

Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu

melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.

Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk

membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,

sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto sempat ucapkan kata,

"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku.

Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai cara."

Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan.

"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri Malam?" kata hati Suto. "Keduanya sama-sama penting.

Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa

saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam.

Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri

Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa

korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan

Pusaka Tuak Setan itu!"





Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon

yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati Suto berucap kata,

"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"

Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam

bumbungnya.

Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang

makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu

sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka.

Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam

dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar-sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang

menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu

memercik ke mana-mana.

Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel

di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu

tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada di depan lelaki berkumis tebal itu.

Tang...! Prakkk...!

Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar





genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan

tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia mencari di sekelilingnya orang yang melemparkan batu dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun ada yang dicurigainya.

"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!"

bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku samping.

Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah

keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.

"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan

minuman."

"Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya mahal!"

Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi penuh!"

"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu!

Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan paling mahal!"

"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak Kebalen satu kendi."

"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"

"Untuk apa, Kang?"

"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan

tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki





berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu

melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.

"Ini tuaknya, Kang? Apa masih kurang?" tanya pemilik kedai.

"Sudah. Cukup."

Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya

kepada lelaki berkumis tebat itu.

"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu banyak dipakai untuk cuci tangan?'

"Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"

Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil

berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras, kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.

"Bangsat! Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak meja. Pemilik kedai semakin gemetar.

"Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."

"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan

tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan

tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik kedai menurutinya karena takut.

Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil

berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,

bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam

kendi!.





"Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang panas?"

Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan

perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.

"Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam kendil.

"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat tangannya keluar dari kendil. Tangan itu mengepul.

Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-

merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan

rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan hal itu.

Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto.

Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu segera menampar wajah pemilik kedai sambil berkata,

"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"

Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi

pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis

menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan

Suto bulat-bulat.

"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah? Kau belum tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil lelaki berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.





"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo Bodong, tukang beset kulit manusia!"

Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi

semakin geram.

"Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak Ingusan!"

Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan

pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto

merundukkan kepala dan tangannya berkelebat

menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung

telapak tangan. Plook...!

Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah

jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya

pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.

Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang

ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda

tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah

tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa pijak dengan rasa takut.

"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.

"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.

Maafkan aku, Satria gagah...!"

"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!"

Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang

mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki tersebut segera mendekati Suto dengan sopan.





"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak?"

"Betul. Dari mana kau tahu?"

"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting, yang bergelar Pendekar Mabuk?"

"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana kamu?"

Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan

masih gemetar.

"Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang kesohor di rimba persilatan itu."

"Siapa yang menceritakan diriku?"

"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia numpang bermalam di sana."

"Siapa yang menceritakan diriku? Itu

pertanyaannya!"

"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang

kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan

perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud

saya... dadanya... anu...!"

"Jagoan perempuan? Cantik dan montok?"

"Bet... betot, eh... betul!"

"Memakai pakaian kuning?"

"Iya!"

"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir Suto, lalu ia berkata kepada orang itu, "Antarkan aku





menemuinya!"

"Ba... ba... baik!"

*

* *






8


ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat

kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan dan

bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.

"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto dengan suara sumbang karena pengaruh mabuknya

masih ada.

Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak

merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam berkata riang.

"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan bersama Selendang Kubur."

"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."

Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera

muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam

memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk

yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.

"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si orang sakti yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor

bergelar si Gila Tuak itu!"





Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum

melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis

Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas tahun, sangat terpesona melihat ketampanan Suto walau bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi

dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang

kehebatan ilmu-ilmunya.

Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum

sekali padaku?"

"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita

kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku.

Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan

mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk

bermalam di rumah ini!"

"Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini?

Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit mengacau.

Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah.

Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling rumah Kriyo Suntuk.

Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang

mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.

Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para

tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita tersebut.





Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat

tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama

Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak

terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti yang pernah dilihat oleh Suto.

Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas.

Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan

emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang berusia antara delapan belas tahun itu, masih betah memandangi wajah ganteng Suto Sinting.

Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun, hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis

senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.

"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"

"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih tidur?"

"Peri Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu toh,

Kang?"

"Iya. Mana dia?"

"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto.

Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan, rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami tidak ada





yang berani membangunkan Kang Suto!"

"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak sempat bicara padanya tentang Tuak Setan itu. Hmmm...

pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak punya kesempatan bicara padanya."

Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam,

yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto,

perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia masih punya luka bekas pukulan Selendang Kubur. Tak mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu

keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah

selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi

melesatnya anak panah.

Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang

kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang berada di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang itu adalah Peri Malam.

Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya

berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia

melompat di atas daun demi daun yang digunakan

sebagai pijakan kakinya.

Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman

kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa

tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-bisul tersumbul dari dada seorang perawan.

Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia

tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak





bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa nelayan, setelah itu akan mencapai pantai. Dari pantai itu pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk menemui gurunya si Mawar Hitam.

Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga

perempuan cantik berotak licik itu.

"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali saat mata Peri Malam itu beradu pandang dengannya.

Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera

disembunyikan perasaan itu.

"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup keresahan.

"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak Setan kau serahkan padaku."

Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia

berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas

terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak

bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.

"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"

"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun

milikmu itu!"

"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."

"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya tak berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam, membuat perempuan itu makin gelisah.





"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga? Telaganya yang mana, aku juga tidak tahu."

"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri Malam. Jangan kau berdusta lagi!"

"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha

mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan denganku dan dia bebas mencintaimu."

"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"

"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"

"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka tersebut.

Sambungnya lagi.

"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku

menyakitimu...."

Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah kau mencintaiku sungguh, Suto?"

"Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku, karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu

berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal,

kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu yang amat berharga dalam hidupmu!"

Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat

berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari





pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri,

sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun

mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang

disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun

diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti bahwa aku sungguh mencintaimu...."

Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam

sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang secara bersamaan. Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.

Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan

Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu.

Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan

dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka

memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan Suto, seseorang telah berdiri di atas batu dengan tawa yang terkekeh-kekeh.

Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya

agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru

lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya

yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang





punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot

dengan gigi berjarak renggang karena ompong.

Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain

gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam.

Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang Pusaka Tuak Setan itu berada dalam genggamannya, ia tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.

"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang seketika.

Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam,

dan ia mengumpat.

"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak kebo!"

"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu

pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan milik Suto Sinting ini!"

"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama

ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah

lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua yang tidak bisa menyebutkan huruf R.

"Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku memang masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan

membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan padaku!"

"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa.

"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak,





kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku akan minum

Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"

"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"

"Hih, anak ingus mau coba tantang aku? Hih,

kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak

Lial ini...!"

Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang

bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan

senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan, atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam segera mendekati Suto dan berbisik,

"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu, sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang

menjinakkan kemarahannya, Suto!"

"Aku tak peduli, Peri Malam!"

"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia pengeltian, jangan coba-coba menantang kemarahanku, supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan

saja kalian siap!"

"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.

Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan beraninya.

"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah?!





Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan

yang bodoh itu! Hiaaah...!"

Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah

memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan

cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak kambing. Suto segera silangkan bumbung tuaknya

dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam

berteriak cemas.

"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"

Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak

menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju

menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto sambil berteriak,

"Jangan, Guru...!"

Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh

Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat

melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima oleh bumbung tuaknya Suto.

Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu

mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke

arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu

kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan.

Wuuugh...!

Kibasan angin itu membentur sinar perak dan

terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!

Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri

Malam terlambat menghindari gelombang ledakan

tersebut.

"Uhhg...!"





Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah

ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar,

membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat

seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak

mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya

mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi

bagian dada.

"Sundari...?!" desis Suto dalam cemas.

"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam

lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak kambingnya.

Suto merasakan datangnya gelombang panas yang

menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke

tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai

daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat

kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di batu atasnya Mawar Hitam.

"Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.

Plakkk...!

Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya.

Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar

Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki,

tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.

Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal





paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan

bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam

memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.

Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam

terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang

keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.

"Uuhhg...!"

Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah

Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam

berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!

Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa

memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut dan

menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.

Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk, lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto

mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan

dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu

besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu terlempar dan menggelinding jatuh melintasi lereng

bukit.

"Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri walau satu kakinya telah remuk.

Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan

kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.

Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak





jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi bumbung tuak itu tampak bergetar.

Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak

jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan kiri.

Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci

Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', warisan ilmunya si Gila Tuak.

Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa

dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu

sentakkan tangan kanannya yang masih memegang

tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di udara itu pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk

melompat meraih guci itu.

"Aaahhg...!"

Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang karena terkena pukulan punggungnya. Kepala Suto

terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan suara pekik tertahan. Pada saat itulah guci di atasnya





pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut Suto.

Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam berteriak keras karena kecewanya.

"Jahanaaam...! Hiaaah...!"

Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan

dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.

Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.

"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh

terpelanting dan menyemburkan darah kental dari

mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk

memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah Peri Malam.

Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada

Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat

jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu mengenai batu, dan batu itu hancur lebur dalam sentakan keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.

Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi

Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,

termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan bukit.





Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin

jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu

bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya

berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang

tersentak-sentak.

Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap

berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang

saat ia menyebut nama, "Suto...?!"



SELESAI
PENDEKAR MABUK
Ikuti kisah selanjutnya
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode: