TAK MAU MENERIMA SEDIKITPUN

Pesan Rassulullah kepada para sahabat, sabdanya : “Hendaklah bagian masing-masinmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengembara.”
Salman al-Farisi telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya. Namun perasaannya masih khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang telah ditetapkan.
Di dalam rumahnya, tak satu pun barang berharga yang dimilikinya, kecuali sebuah piring tempat ia makan dan baskom tempat ia minum dan wudhu. Meskipun demikian, Salman menganggap dirinya telah berlaku boros.
Etika hendak mendirikan bangunan, yang berlebihan jika disebut rumah, Salman bertanya kepada tukangnya : “Bagaimana corak rumah yang akan anda dirikan ?”
Kebetulan tukang bangunan itu seorang bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman dan sifatnya yang tidak suka bermewah-mewahan.
“Jangan anda khawatir. Rumah itu merupakan bangunan yang dapat  digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Seandainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya. Dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya.” Jawab tukang bangunan itu.
“Bagus!”ujar Salman,”Seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun.”
Ketika Salman al-Farisi dipaksa harus menerima jabatan sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, ia menolak untuk menerima gajinya, meski satu dirham sekalipun.
Meskipun seorang Amir, ia tak malu-malu menganyam daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang, kemudian dijual. Dari perkerjaan itulah Salman mendapatkan nafkahnya.
Dengan memakai pakaian yang sangat sederhana, tidak lebih dari sehelai baju luar yang agak kusam, hari-harinya disibukkan oleh kegiatannya itu.
Untuk bahan membuat keranjang dibelinya satu dirham, lalu dibuat keranjang dan dijual tiga dirham. Yang satu dirham diambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluarganya, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah.
“Seandainya Umaar bin Khathab melarangku berbuat demikian, sekali-kali aku tidak akan menghentikannya,”katanya.
Pada suatu hari, ketika Salman sedang berjalan di jalanan ramai, ia didatangi seorang laki-laki Syiria yang membawa sepikul buah tin dan kurma.
Rupanya barang itu terlalu berat dan melelahkan. Demi dilihatnya ada seorang laki-laki yang tampak seperti orang biasa, dari golongan orang tidak mampu, maka orang Syiria itu memyuruhnya mengangkat buah-buahan itu dengan diberi imbalan atas jerih payahnya itu bila telah sampai ke tempat tujuan. Orang Syiria itu memberi isyarat agar Salman mendatanginya.
“Tolong bawakan barangku ini,”kata orang Syiria itu ketika Salman telah mendatanginya. Tanpa bicara Salman langsung mengangkat barang itu, kemudian mereka berjalan bersama.
Ditengah perjalanan mereka berpapasan dengan sekelompok orang. Salman memberi salam kepada mereka, yang juga dijawabnya sambil berhenti.
“Juga kepada Amir, kami ucapkan salam.”
:Juga kepada Amir ?”ulang orang Syiria dalam hati, tak mengerti. “Amir yang mana yang mereka maksudkan ?”
Keheranannya semakin bertambah ketika dilihatnya beberapa orang dari mereka bermaksud membantumembawakan barang itu.
“Berikan kepada kami, wahai Amir,”kata salah seorang dari mereka.
Sekarang barulah orang Syiria itu mengerti bahwa orang yang disuruh mengangkat barangnya adalah Salman al-Farisi, Amir kota Madain. Orang itu menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf meluncur dari bibirnya yang sedikit gemetaran.
Orang Syiria itu dengan cepat hendak mengambil alih barang itu dari Salman, tetapi Salman menolak.
“Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke tempatn tujuannya,”ucap Salman sambil menggelengkan kepalanya.
Itulah Salman al-Farisi, salah seorang sahaat Rasulullah yang kehidupannya sangat bersahaja. Tak lebih dari satu dirham setiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.
:Sandainya kamu masih mampu makan tanah, asal tak membawahi dua orang manusia, maka lakukanlah!”katanya ketika menolak jabatan Amir beberapa waktu yang lalu.
Kenapa ia menolak jabatan itu ? Lebih baik ia mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang, daripada menerimanya. Kecuali jika dalam situasi tidak ada seorang pun yng mampu memikul tanggung jawab itukecuali dirinya, hingga terpaksa ia harus melaksanakannya, meskipun dengan hati murung dan jiwa merintih.
Kemudian ketika ia terpaksa harus menerima jabatan Amir itu, ia tak mau memetima tunjangan yang diberikan kepadanya secara halal. Untuk nafkahnya diperoleh dari hasil kedua tangannya.