SATU
MATAHARI baru saja tergelincir di ufuk Barat, ketika penduduk Desa Kranggan
meninggalkan tanah pekuburan yang terletak cukup jauh dari desa itu. Hanya
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang tertinggal, dan kini
berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru.
Sedikit pun tubuhnya tidak bergeming. Bahkan tanpa mempedulikan orang-orang
yang meninggalkannya semakin jauh, dia masih terpaku di situ.
Pemuda itu terus berdiri tegak memandangi tanah kuburan yang masih baru
didepannya. Tampak kedua bola matanya berkaca-kaca. Sesekali terlihat bahunya
berguncang, disertai dengan suara isak tertahan. Kemudian perlahan dia
berlutut. Tangannya tampak bergetar meraba gundukan tanah merah di depannya.
Tidak ada lagi seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Tanpa disadari,
setitik air bening menggulir dari sudut matanya.
"Sudah sore. Kenapa kau belum pulang, Anak Muda...?"
"Oh..?!" Pemuda itu tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak
dan kering dari arah belakang. Cepat-cepat dia menghapus air matanya, lalu
bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu
didepan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk,
berjubah hitam panjang dan longgar.
"Semua orang sudah pulang. Kenapa kau masih tetap di sini, Anak Muda?" Tanya
laki-laki tua berjubah hitam itu.
"Siapa Kakek ini?" Pemuda berwajah cukup tampan itu malah balik bertanya.
"Orang-orang biasa memanggilku Ki Jungut. Aku pengurus tanah kuburan ini,"
sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri. Walaupun suaranya terdengar
kering dan serak, tapi nadanya terasa begitu hangat dan ramah.
Beberapa saat pemuda yang berbaju biru tua itu mengamati dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki laki-laki tua yang berdiri sekitar tiga langkah di
depannya ini.
"Siapa namamu?" Tanya Ki Jungut.
"Kadik," sahut pemuda itu singkat.
"Yang dikuburkan tadi keluargamu?" Tanya Ki Jungut sambil menunjuk kuburan di
belakang pemuda ini.
"Adikku," sahut Kadik, terdengar datar nada suaranya.
"Perempuan?" Tanya Ki Jungut lagi.
Kadik hanya mengangguk.
"Sudah bersuami?"
"Belum."
"Lalu, kenapa dia sampai meninggal? Sakit...?"
Kadik menggeleng.
"Kenapa...?" desak Ki Jungut lagi.
Tapi Kadik tidak menjawab. Matanya terlihat kembali merembang berkaca-kaca.
Sementara Ki Jungut memandangi dengan sinar mata yang begitu tajam, menusuk
dalam ke bola mata pemuda berwajah cukup tampan di depannya.
Perlahan Kadik menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Kemudian dia
melangkah mundur menjauhi laki-laki tua yang tidak dikenalnya ini. Dari bola
matanya yang berkaca-kaca, dia memandangi laki-laki tua berjubah hitam itu
dalam-dalam.
"Kau tidak perlu takut atau curiga padaku, Anak Muda. Justru kalau kau punya
persoalan, aku bersedia membantumu," jelas Ki Jungut, seakan tahu isi hati
pemuda itu.
"Aku tidak kenal denganmu, Ki. Kenapa kau ingin membantuku?" Tanya Kadik
curiga.
Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekati pemuda itu, dan
menepuk pundaknya dengan lembut.
Sedangkan Kadik hanya diam saja, dan terus memandangi laki-laki tua itu tanpa
berkedip sedikit pun. Saat itu dia merasakan adanya hawa sejuk mengalir dari
tangan keriput yang menempel di pundaknya. Saat itu juga Kadik merasa lebih
tenang. Dan dia tidak ingat lagi dengan kekasihnya yang baru saja dikuburkan.
Kesedihan yang tadi melanda dirinya kini benar-benar lenyap tak berbekas.
"Ayo ikut aku," ajak Ki Jungut.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Kadik mengikuti ayunan langkah laki-laki tua
berjubah hitam yang baru dikenalnya ini. Sedikit pun dia tidak berpaling pada
kuburan adiknya. Dia terus melangkah mengikuti Ki Jungut.
***
Matahari terus tergelincir semakin jauh ke kaki langit sebelah Barat. Sinarnya
yang semula terasa terik, kini begitu lembut dan indah dipandang. Sedikit pun
sang mentari tidak menghiraukan semua yang ada di muka bumi. Dia terus
bergerak menggelincir semakin tenggelam. Hingga akhirnya hanya rona merah saja
yang membias di kaki langit.
Gerit serangga mulai terdengar mengiringi kepergian sang mentari ke
peraduannya. Angin pun mulai terasa menebarkan hawa dingin. Burung-burung
kembali ke sarangnya masing-masing. Begitu riuh sekali senja ini. Namun hanya
sebentar saja kesibukan itu berlangsung. Dan keadaan pun berubah menjadi sunyi
senyap, hingga hanya gerit serangga malam saja yang terdengar menyayat.
Kegelapan langsung menyelimuti seluruh belahan permukaan bumi ini. Dan tugas
sang mentari pun digantikan dewi bulan yang cantik dengan sinarnya yang
keperakan, begitu lembut menyirami bumi. Malam terus merayap semakin larut,
bergerak sejalan dengan sang waktu.
Sementara di tanah pekuburan Desa Kranggan, tak lagi terlihat seorang pun di
sana. Begitu sunyi keadaannya. Bahkan tak terdengar sedikit pun gerit binatang
malam. Satu-satunya cahaya yang menerangi hanya sang dewi malam yang
menggantung di langit hitam.
Namun, tiba-tiba saja terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di
antara lebatnya pepohonan di sekitar tanah pekuburan itu. Hanya sebentar saja
bayangan hitam itu menghilang. Kemudian dari balik sebatang pohon beringin
yang besar, muncul seseorang mengenakan baju hitam panjang dan longgar.
Sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kain
hitam seperti kerudung. Dia melangkah perlahan-lahan melewati beberapa
gundukan tanah berbatu nisan. Ayunan kakinya baru berhenti setelah sampai di
dekat sebuah gundukan tanah yang masih baru.
"Hm...." Terdengar gumaman kecil dari mulutnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri, seakan tidak ingin kehadirannya di tengah kuburan malam-malam begini
diketahui orang lain.
Saat itu terdengar suara lolongan anjing hutan di kejauhan. Begitu memilukan
sekali suara lolongan anjing hutan itu.
Sementara orang berjubah hitam longgar itu mengangkat tangannya ke atas
perlahan-lahan. Dan perlahan pula kepalanya terdongak ke atas, mengikuti
gerakan kedua tangannya. Dari bayang-bayang kerudung hitam, terlihat bibirnya
yang merah bergerak-gerak perlahan. Beberapa saat dia menengadahkan kepalanya
dengan kedua tangan terangkat ke atas. Tampak asap tipis mengepul dari bawah
telapak kakinya. Lalu, mendadak saja....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja cepat sekali dia melompat
tinggi ke udara. Lalu dengan deras pula dia meluruk turun dengan kaki tetap
merapat lurus ke bawah. Tepat di atas kuburan yang tampaknya masih baru dia
menghentakkan tangannya hingga merapat dengan tubuhnya. Dan seketika itu
juga....
Bresss!
Tiba-tiba tubuhnya menembus kuburan yang masih baru! Begitu cepat sekali
gerakannya, hingga sulit untuk diikuti dengan pandangan mata biasa. Tahu-tahu
orang itu sudah lenyap, tenggelam ke dalam kuburan. Namun tak berapa lama
kemudian...
Brulll! "Yeaaah...!"
Kembali terdengar teriakan keras menggelegar dari dalam lubang kuburan yang
sudah menganga cukup lebar. Tampak asap tebal mengepul tinggi ke udara dari
dalam kuburan itu. Bergulung-gulung bagaikan sebuah tiang penyangga langit.
"Ha ha ha...!"
Malam yang begitu sunyi, seketika pecah oleh suara tawa kering menggelegar.
Bersamaan dengan suara tawanya, orang aneh berbaju serba hitam itu muncul dari
dalam lubang kuburan. Cepat sekali dia melompat keluar, sambil memondong
sesosok tubuh yang terbungkus, kain putih bernoda tanah merah.
Perlahan dia menurunkan mayat itu dari pondongannya. Seperti memperlakukan
sebuah barang yang mudah pecah, diletakkannya mayat itu dengan hati-hati
sekali di tanah yang berumput basah tersapu embun. Diamatinya sejenak mayat
itu. Kemudian mulai dibukanya ikatan kain putih yang membungkus.
Hati-hati sekali dia melakukannya. Seakan tidak ingin merusak mayat itu. Hanya
bagian kepalanya saja yang dibuka. Tampak seraut wajah cantik yang pucat
terlihat begitu kain putih bernoda tanah sudah terbuka.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat
diamatinya wajah cantik memucat kaku itu. Jari-jari tangannya yang kurus,
sedikit bergetar saat meraba wajah wanita itu.
"Cantik.... Sungguh cantik sekali," gumamnya perlahan. "Sayang sekali kalau
gadis secantikmu harus terbaring sendiri di dalam sana. Aku percaya, kau pasti
akan berterima kasih padaku. Dan tak ada seorang pun yang akan menyakitimu
lagi. Hhh...!"
Kemudian dibungkusnya kembali kepala mayat wanita itu, dan mengikatnya dengan
rapi. Lalu, dia pun memondong mayat wanita itu. Kepalanya terlihat menoleh ke
kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya. Dan suara
tawanya yang tergelak kembali terdengar memecah kesunyian malam di kuburan
ini.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, orang aneh itu melangkah cepat membawa sosok
mayat yang diambilnya dari dalam kuburan. Begitu cepat dan ringan sekali
ayunan kakinya, hingga dalam sebentar saja sudah jauh meninggalkan tanah
kuburan. Suara tawanya yang lepas, masih terus berderai memecah kesunyian
malam.
"Ha ha ha...!"
Tak ada seorang pun yang menyaksikan. Hanya rembulan di langit yang
menyaksikan kejadian aneh dan mengerikan itu. Sementara suara tawa itu
menghilang, bersamaan dengan tak terlihatnya lagi orang aneh yang masuk ke
dalam kuburan, dan mengeluarkan mayat dari kuburan itu.
***
"Tidaaak...!" jerit Kadik histeris.
"Kadik...!"
"Oh...?!" Kadik terlonjak dengan napas tersengal memburu. Keringat membanjiri
seluruh tubuhnya. Kedua bola matanya terbuka nyalang.
Sementara seorang perempuan setengah baya memperhatikan dengan wajah diliputi
kecemasan.
"Hhhh...!" Kadik menghembuskan napas panjang beberapa kali.
"Kau bermimpi, Kadik?" Tanya perempuan setengah baya itu. Jelas sekali
suaranya mengandung kecemasan melihat pemuda ini seperti baru saja bermimpi
sesuatu yang sangat mengerikan.
Sementara Kadik masih berusaha mencoba menenangkan dirinya. Kembali
dihembuskannya napas panjang beberapa kali. Kemudian tangannya menyambar kendi
yang terletak di atas meja, di samping pembaringannya. Air bening di dalam
kendi dari tanah liat itu langsung berpindah ke tenggorokan pemuda ini.
Sementara, perempuan setengah baya yang duduk di tepi pembaringan itu terus
memperhatikan dengan sinar matanya diliputi kecemasan. "Kau baru saja
bermimpi, Kadik?" Tanya perempuan itu lagi.
"Iya, Mak," sahut Kadik pelan.
"Mimpi apa?" Tanya perempuan setengah baya yang ternyata ibu pemuda ini. Dan
semua orang di Desa Kranggan biasa memanggilnya dengan sebutan Mak Itik. Entah
karena bentuk tubuhnya yang kecil dan gemuk, hingga dia mirip dengan seekor
itik. Terlebih lagi kalau sedang berjalan. Hingga semua orang selalu
memanggilnya Mak Itik.
"Entahlah, Mak," sahut Kadik lesu.
"Tapi kenapa kau berteriak begitu?" Tanya Mak Itik.
Kadik hanya diam saja.
"Apa yang ada dalam mimpimu, Kadik?" Mak Itik terus mendesak ingin tahu.
"Hanya mimpi saja, Mak," sahut Kadik mengelak, tidak ingin membicarakan
mimpinya.
Mak Itik mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu kalau anaknya ini tidak mau
membicarakan mimpinya barusan.
Sedangkan Kadik hanya diam saja dengan pandangan menerawang jauh ke depan.
Mungkin dia sedang mengingat-ingat kembali mimpinya. Mimpi yang begitu
menakutkan, membuatnya berteriak di tengah malam buta begini. Dia tidak tahu,
ada pertanda apa dengan mimpinya barusan. Membuat perasaannya jadi tidak enak.
"Tidurlah lagi, Kadik," kata Mak Itik lembut.
Kadik menurut. Dia kembali merebahkan tubuhnya di pembaringan dari bambu ini.
Sementara ibunya menyelimuti dengan kain yang sudah lusuh dan hampir memudar
warnanya. Sebentar perempuan gemuk dan kecil itu memperhatikan wajah anaknya
ini, kemudian ia melangkah pergi meninggalkannya seorang diri. Kadik hanya
melirik sedikit saja, pada ibunya yang menutup pintu kamar ini perlahan-lahan.
"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Kadik bangkit dari
pembaringannya. Dia duduk di tepi pembaringan itu. Perlahan kemudian dia
bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja kayu yang terletak di sudut kamar
berukuran tidak besar ini. Dia berdiri disana dengan tangan terkepal, bertumpu
pada pinggiran meja. Jelas sekali terbayang di pelupuk matanya. Mimpi yang
sangat menakutkan. Dia bertemu dengan kekasihnya yang baru siang tadi
dikuburkan. Kekasihnya bangkit, dan hendak membunuhnya. Begitu mengerikan
sekali. Sedangkan dia dalam keadaan seluruh tubuh terikat akar-akar pohon.
"Uh...!" Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang
mimpi yang mengerikan itu dari pelupuk matanya. Tapi wajah kekasihnya masih
terus melekat, dengan wajah yang pucat dan kaku. Sorot matanya begitu tajam
memerah, memancarkan api kebencian dan nafsu membunuh.
Kadik sendiri tidak mengerti, mengapa dia mendapatkan mimpi seperti itu.
Padahal dia tahu kalau kekasihnya itu begitu mencintainya. Dan mereka memang
sudah merencanakan untuk ke jenjang yang lebih jauh lagi. Tapi sebelum
rencananya terlaksana, musibah itu sudah datang menimpa. Kekasihnya ditemukan
mati gantung diri di dalam kamar.
Tidak ada yang tahu, kenapa gadis itu sampai mengakhiri hidupnya dengan
menggantung diri. Tidak seorang pun menduga akan demikian. Gadis itu terkenal
ramah pada siapa saja. Dan semua orang di Desa Kranggan ini tahu, kalau tidak
lama lagi Kadik akan mempersunting gadis itu.
"Kadik...!"
"Oh...?!" Kadik tersentak kaget setengah mati, begitu ti-ba-tiba terdengar
suara kering dari belakangnya. Cepat diputar tubuhnya berbalik. Kedua bola
matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua
berjubah hitam, tahu-tahu sudah berada di dalam kamarnya!
"Ki Jungut...," desis Kadik langsung mengenali. "Bagaimana kau bisa masuk ke
sini...?"
Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah beberapa tindak mendekat. Seulas
senyum terukir di bibirnya yang hampir tertutup kumis putih dan panjang,
hingga menyatu dengan jenggotnya yang sudah memutih juga. Dia berhenti
melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi didepan Kadik.
"Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu," kata Ki Jungut.
"Apa?" Tanya Kadik.
"Sebaiknya kau jangan banyak tanya. Ikut saja denganku," sahut Ki Jungut.
鈥淬api...,"
"Kau akan tahu nanti, Kadik," selak Ki Jungut cepat, memutuskan ucapan anak
muda ini.
Kadik ingin menolak, tapi belum juga dia bisa membuka suara, Ki Jungut sudah
memegang pundaknya dengan tangan kanan. Seketika itu juga Kadik merasakan hawa
sejuk menyelimuti seluruh tubuhnya. Kesadarannya pun langsung menghilang. Dia
tidak mendengar suara apa pun juga. Hanya suara Ki Jungut saja yang terdengar
telinganya.
"Ayo, ikut aku," ajak Ki Jungut.
"Baik, Ki."
Seperti ketika berada di kuburan, Kadik mengikuti laki-laki tua itu keluar
dari kamarnya. Dia melangkah perlahan-lahan di belakang. Pintu-pintu yang
mereka lewati terbuka sendiri tanpa disentuh sedikit pun. Tapi kesadaran Kadik
memang sudah hilang, dan dia tidak memperhatikan sama sekali, ke mana
laki-laki tua aneh itu mengajaknya pergi.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin di luar tidak lagi
dirasakan. Kadik terus berjalan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu
tanpa sadar. Dan dia benar-benar tidak mampu menolak.
***
DUA
Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dikatakan begitu melihat kuburan
kekasihnya sudah terbongkar. Bahkan jasad kekasihnya tidak ada lagi di dalam
sana. Dia hanya bisa berdiri mematung, memandangi lubang kuburan itu.
Sementara, angin yang berhembus kencang menyebarkan hawa dingin pun tidak bisa
lagi dirasakan. Dia juga seperti lupa kalau di sampingnya ada seorang
laki-laki tua yang justru membawanya ke kuburan ini.
"Keparat...! Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini...?!" Desis Kadik
geram.
"Si Iblis Penggali Kubur," sahut Ki Jungut datar.
Kadik langsung berpaling menatap laki-laki tua di sebelahnya. Sedangkan yang
ditatap hanya mengarahkan pandangnya ke dalam kuburan yang berlubang. Perlahan
wajahnya dipalingkan dan langsung bertemu sorot mata Kadik yang begitu tajam
menusuk. Seakan-akan sorot mata itu hendak menembus relung hati laki-laki tua
berjubah hitam ini.
"Akan kubunuh iblis keparat itu!" Geram Kadik mendesis bagai ular.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Kadik. Dia bukan manusia
sembarangan," sergah Ki Jungut tetap datar dan tenang nada suaranya.
"Aku tidak peduli. Tunjukkan di mana tempat tinggal iblis keparat itu," dengus
Kadik.
"Untuk apa?"
"Akan kubunuh dia!"
Ki Jungut tersenyum seraya menggelengkan kepala beberapa kali.
Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu dengan lembut sekali. Kemudian tubuhnya
berputar berbalik, dan langsung melangkah perlahan.
Sementara, Kadik hanya memandangi saja beberapa saat. Kemudian kakinya pun
diayunkan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu. Sebentar saja Kadik
sudah mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kanan Ki Jungut.
"Kau sudah tahu, siapa yang melakukan perbuatan biadab itu, Ki. Kenapa tidak
kau cegah...?" Tanya Kadik, menyesalkan.
"Tidak mudah menghentikan Iblis Penggali Kubur, Kadik. Tingkat kepandaiannya
sukar diukur. Bahkan kesaktiannya melebihi iblis-iblis dasar neraka," sahut Ki
Jungut tetap datar dan tenang suaranya.
"Kau orang yang berilmu tinggi, Ki."
"Siapa bilang...? Aku bukan tandingannya."
"Tapi, kenapa kau memberitahu ku sebelumnya? Bahkan setelah kejadian ini pun,
kau malah mengajakku ke sini. Apa sebenarnya tujuanmu, Ki?" Tanya Kadik jadi
curiga.
Tapi Ki Jungut hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan pemuda itu. Sedikit
pun tidak dijawabnya. Seakan-akan, pertanyaan Kadik tadi memang tidak
memerlukan jawaban yang tepat darinya. Dan Kadik juga tidak mendesak agar
pertanyaannya terjawab.
"Kalau kau mau mendengar kata-kataku siang tadi, hal seperti ini tidak akan
mungkin terjadi," kata Ki Jungut, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Kadik jadi terdiam. Laki-laki tua ini, memang sudah memperingatkannya siang
tadi. Tapi Kadik memang tidak mempercayainya. Kadik disarankan oleh Ki Jungut
untuk menyerahkan Batu Mustika Biru kepada Iblis Penggali Kubur. Tapi, Kadik
dengan tegas mengatakan kalau sama sekali tidak tahu batu itu. Padahal kalau
batu itu tidak diserahkan mayat kekasihnya akan hilang dari kuburnya. Dan
sekarang, semuanya sudah terbukti nyata. Mayat kekasihnya hilang dari kuburan
nya sendiri. Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya. Dia juga tidak
kenal siapa orang yang melakukan perbuatan biadab itu, meskipun tadi Ki
Junggut sudah menyebutkannya.
"Ki...," pelan sekali suara Kadik.
"Apa...?" gumam Ki Jungut perlahan.
"Bagaimana aku bisa mendapatkan mayat kekasihku lagi, Ki?" Tanya Kadik.
"Kau tidak akan bisa mendapatkannya kembali, Kadik," sahut Ki Jungut.
"Apa maksudmu, Ki?" agak tinggi nada suara Kadik.
"Nanti juga kau akan tahu," sahut Ki Jungut kalem.
Kadik ingin bertanya lagi, tapi Ki Jungut sudah melangkah cepat
meninggalkannya. Terpaksa Kadik harus berlari kecil mengejar laki-laki tua
ini, tapi tetap saja tidak terkejar. Kadik mempercepat larinya, namun
laki-laki tua berjubah hitam itu tetap tidak terkejar. Dan ini membuat Kadik
jadi keheranan. Larinya semakin dipercepat, bahkan sampai napasnya mendengus
bagai kuda dipacu.
Sementara itu, Ki Jungut tetap berjalan biasa. Namun sulit untuk dikejar.
Begitu ringan ayunan langkah kakinya, sehingga telapak kakinya bagai tidak
menyentuh tanah sama sekali. Kadik baru tersentak menyadari, dan cepat
menghentikan larinya. Keringat mengucur begitu deras, dan nafasnya tersengal
memburu cepat. Matanya tidak berkedip memandangi Ki Jungut yang semakin jauh
berjalan meninggalkannya.
"Ki...!" panggil Kadik, berteriak.
Tapi, Ki Jungut terus mengayunkan kakinya meninggalkan pemuda itu. Sedikit pun
kepalanya tidak berpaling. Ayunan kakinya kelihatan begitu ringan dan
perlahan, tapi cepat sekali sudah jauh meninggalkan pemuda ini.
"Ki, tunggu...!" teriak Kadik sekuat-kuatnya. Namun, suara pemuda itu hilang
ditelan hembusan angin malam yang dingin. Kadik hanya bisa berdiri mematung
memandangi, hingga laki-laki tua berjubah hitam itu menghilang dari pandangan
mata.
Pemuda itu baru melangkah setelah menyadari hanya seorang diri di tempat yang
begitu sunyi, tanpa seorang pun terlihat. Terlebih lagi, tidak jauh di
belakangnya adalah kuburan, dan sekitarnya hanya pepohonan saja.
"Huh...!" Sambil mendengus kesal, Kadik terus berjalan cepat kembali ke Desa
Kranggan. Tidak dipedulikan lagi laki-laki tua aneh berjubah hitam yang
memperkenalkan dirinya sebagai Ki Jungut.
Namun tetap saja benaknya terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya Ki Jungut
itu...? Lalu, apa maksudnya dengan mendatanginya?
Begitu banyak pertanyaan mengalir di benaknya, tapi tak satu pun yang bisa
terjawab. Kadik terus mengayunkan kakinya dengan kepala berputar, dikelilingi
segudang pertanyaan yang tidak terjawab.
***
Matahari sudah mulai menampakkan diri di ufuk Timur. Cahaya yang begitu lembut
menerobos masuk ke dalam kamar Kadik, melalui jendela yang terbuka lebar.
Tampak pemuda desa yang berwajah cukup tampan itu berdiri tegak didepan
jendela kamarnya. Sejak semalam Kadik berdiri di sana, memandang keluar.
Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
"Aneh..," tiba-tiba saja Kadik mendesah perlahan.
Dan terlihat kepalanya bergerak menggeleng pelan beberapa kali. Tarikan
nafasnya begitu panjang dan terasa amat berat. Beberapa kali mulutnya mendesah
sambil menghembuskan napas panjang, tapi tanpa beranjak dari jendela itu. Dan
pandangannya terus tertuju ke satu arah, tempat kuburan kekasihnya semalam
terbongkar. Dan itu semua terjadi setelah mendapat peringatan dari orang tua
yang aneh. Dari laki-laki tua itulah dia tahu kalau kuburan kekasihnya sudah
terbongkar semalam.
"Biadab...! Aku harus mencari Iblis Penggali Kubur keparat itu!" desis Kadik
geram.
Suaranya masih tetap terdengar perlahan, dan hampir tidak terdengar telinganya
sendiri. Kedua tangan Kadik terkepal erat, membuat urat-uratnya bersembulan.
Wajahnya terlihat memerah, menandakan kemarahannya sudah mencapai titik
puncak.
Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat keluar dari dalam kamarnya, melalui
jendela yang terbuka lebar. Dan dia langsung berlari sekuat tenaga menuju ke
arah kuburan yang berada agak jauh dari pinggiran Desa Kranggan ini. Kadik
terus berlari cepat, tidak mempedulikan nafasnya yang sudah tersengal memburu.
Dia juga tidak peduli pada orang-orang yang memandanginya, dan beberapa orang
yang menegurnya. Kadik terus berlari secepat-cepatnya menuju ke kuburan. Kadik
baru menghentikan larinya setelah sampai di dekat kuburan kekasihnya. Saat itu
juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir-hampir pandangan matanya
sendiri tidak dipercayainya.
"Oh...." Kadik hanya mampu mendesah perlahan. Sedangkan tubuhnya terasa jadi
begitu lemas, bagai tak memiliki tenaga dan tulang. Pemuda itu jatuh berlutut,
tepat di samping kuburan kekasihnya. Kedua bola matanya berputaran,
memancarkan sesuatu yang sulit diterka.
Kuburan yang semalam dilihatnya terbongkar, kini seperti saat kekasihnya
dikuburkan di sini. Sedikit pun tidak ada yang berubah. Apalagi terbongkar.
Kuburan ini benar-benar masih utuh, tanpa cacat sedikit pun. Dan inilah yang
membuat Kadik jadi terlenguh, dengan tubuh terasa begitu lemas.
Kadik jadi benar-benar tidak mengerti dengan semua yang telah terjadi.
Seakan-akan, semuanya seperti sebuah mimpi yang teramat buruk dalam hidupnya.
Sulit baginya untuk membedakan, apakah ini hanya sebuah mimpi atau benar-benar
sebuah kenyataan yang sangat aneh dan sulit diterima akal pikiran manusia
biasa.
"Aneh...? Kenapa kuburan ini tidak terbongkar...?" desah Kadik bertanya
sendiri dalam hati.
Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, tapi tak ada satu pun
yang terjawab. Dan rasa aneh pun terus menyelimuti hatinya. Dia benar-benar
tidak mengerti terhadap semua yang telah terjadi. Dan dia begitu yakin kalau
ini bukan hanya sekadar mimpi belaka, dan benar-benar suatu kenyataan. Tapi,
Kenyataan yang begitu aneh dan sulit diterima akal manusia biasa.
"Oh...?!" Tiba-tiba Kadik tersentak, ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh
nisan yang terbuat dari belahan papan. Nisan itu bergoyang, dan langsung roboh
seketika. Dan pada saat itu, gundukan tanah merah langsung melesak masuk ke
dalam. Seketika Kadik langsung terlompat kaget setengah mati.
Wusss...!
"Hah...?!"
Kedua bola mata Kadik jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba dari dalam
kuburan yang kini berlubang mengepul asap putih yang begitu tebal
bergulung-gulung ke atas. Dan pada saat itu juga, bumi terasa bergetar bagai
diguncang gempa. Kembali Kadik terlompat ke belakang beberapa langkah. Kedua
bola matanya masih terbeliak lebar, memandangi asap putih yang semakin lama
semakin banyak menggumpal bagai awan di langit.
Tampak tanah kuburan yang melesak masuk ke dalam itu perlahan-lahan bergerak
merapat kembali, seperti tidak pernah digali. Dan asap putih yang menggumpal
tebal itu pun perlahan-lahan mulai menyebar, tertiup angin. Hingga akhirnya
asap itu sirna sama sekali, menyatu dengan hembusan angin. Saat itu juga,
Kadik jadi terlongong bengong seperti kerbau kehabisan rumput.
"Dewata Yang Agung.... Rengganis...," desis Kadik mendesah tanpa sadar.
Di atas tanah kuburan yang sudah rata kembali, kini terlihat seorang gadis
yang begitu cantik berdiri tegak di sana. Namun, garis-garis wajahnya begitu
kaku dan pucat sekali. Dan sorot matanya sangat datar, tanpa sedikit pun
terlihat cahaya kehidupan. Dan bibirnya yang pucat membiru terkatup rapat.
Sementara Kadik semakin terpaku diam, dengan mulut ternganga dan mata terbuka
lebar memandangi gadis yang begitu dikenal dan dicintainya selama ini. Sungguh
tidak bisa dipercaya penglihatannya sendiri. Kali ini gadis yang begitu
dicintai dan sudah meninggal kemarin, kini berdiri tegak di depannya.
"Rengganis...," desis Kadik hampir tidak terdengar suaranya.
"Hesss...."
Tiba-tiba saja gadis yang dikenali Kadik sebagai Rengganis, mendesis bagai
ular. Dan ini membuat Kadik jadi terkesiap kaget setengah mati. Tanpa sadar,
kakinya melangkah ke belakang beberapa tindak.
Sementara itu, Rengganis sudah bergerak melangkah kaku menghampiri. Sorot
matanya yang kosong, tertuju lurus ke bola mata pemuda itu. Suara mendesis
bagai ular terus terdengar dari bibirnya yang pucat membiru dan terkatup
rapat.
"Hrsss...!"
Saat bibirnya bergerak menyeringai, terlihat baris-baris giginya yang runcing
dan bertaring tajam. Seketika, wajah Kadik jadi memucat, dan tubuhnya
menggeletar bagai terserang demam yang begitu tinggi. Seketika, kakinya terasa
berat dan sulit untuk digerakkan lagi.
Sementara Rengganis terus bergerak melangkah, semakin mendekati pemuda itu.
Perlahan-lahan kedua tangan gadis itu terangkat, dan menjulur lurus ke depan.
Tampak ujung-ujung jari tangannya yang berkuku tajam dan hitam terkembang
lebar, siap mencekik leher Kadik. Suara mendesis terus terdengar dari bibirnya
yang menyeringai mengerikan.
"Akh...!" Kadik hanya mampu terpekik, begitu ujung-ujung kuku yang runcing
terasa mulai menyentuh batang lehernya. Seluruh rubuh pemuda itu semakin keras
menggeletar dan bersimbah keringat. Dan dia tidak mampu lagi berbuat sesuatu.
Kuku-kuku yang runcing hitam itu terus bergerak, menembus kulit leher pemuda
ini. Namun belum juga kuku-kuku yang hitam runcing itu menembus lebih dalam
lagi, ke leher Kadik, mendadak saja...
Slap!
Sebuah bayangan hitam tiba-tiba berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat.
Dan...
Plak! "Argkh...!"
Rengganis terpekik agak tertahan, dan tubuhnya seketika terpental ke belakang.
Akibatnya, cengkeramannya pada leher Kadik terlepas. Saat itu juga, Kadik
terjatuh duduk dengan seluruh tubuh lemas bersimbah keringat. Pandangannya
sudah nanar, namun masih bisa melihat kalau di depannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam.
"Ki Jungut...," desah Kadik langsung mengenali.
"Menyingkirlah, Kadik," datar dan tegas suara Ki Jungut.
Sementara itu Rengganis sudah bisa bangkit berdiri setelah jatuh terguling
beberapa kali, akibat terkena terjangan Ki Jungut yang begitu cepat bagai
kilat tadi. Dia menggereng sedikit seperti seekor harimau yang kelaparan
melihat anak domba.
Kadik berusaha bergerak menggeser tubuhnya menjauhi tempat itu. Sedikit demi
sedikit, pemuda itu mulai menjauh, dan baru berhenti setelah sampai di bawah
pohon yang cukup rindang.
Sementara, Ki Jungut melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati gadis
cantik berwajah pucat dan kaku itu. Bau amis dan suara mendesis terus terasa,
setiap kali Ki Jungut mendekati gadis itu.
***
Bagaikan kilat, Rengganis melompat begitu cepat menerjang Ki Jungut. Namun
dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah hitam itu berhasil
mengelakkan terjangan gadis yang sebenarnya sudah mati ini.
"Yeaaah...!"
Dengan tubuh setengah berputar, Ki Jungut melepaskan satu tendangan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan
yang dilepaskan Ki Jungut, sehingga Rengganis tidak dapat lagi berkelit.
Akibatnya, tendangan itu tepat menghantam dadanya yang membusung indah dengan
keras sekali.
"Aaargkh...!"
Rengganis meraung dahsyat seperti seekor binatang buas terluka. Tubuhnya
terpental jauh ke belakang. Bahkan beberapa batang pohon yang terlanda
tubuhnya langsung hancur berkeping-keping. Setelah menghancurkan beberapa
pohon, gadis itu baru berhenti, meluncur. Beberapa kali tubuhnya bergulingan
di tanah. Namun begitu, cepat sekali dia bisa bangkit berdiri.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung dahsyat, gadis itu melangkah menghampiri Ki Jungut yang
sudah siap bertarung. Tampak kedua bola matanya memerah, bagai sepasang bola
api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh laki-laki tua berjubah hitam
itu.
Sementara, Kadik yang berada jauh dari tempat pertarungan itu terus
memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Sinar matanya masih memancarkan
ketidakpercayaan kalau gadis itu adalah Rengganis. Gadis yang sangat dicintai,
tapi sudah meninggal sejak kemarin. Bahkan kuburannya pun masih ada, walaupun
kini sudah rata tak berbentuk lagi.
"Ghraaagkh...!"
Sambil meraung dahsyat yang menggetarkan jantung, Rengganis kembali melompat
begitu cepat menyerang Ki Jungut. Kedua tangannya cepat dikibaskan, membuat Ki
Jungut terpaksa harus meliuk-liukkan tubuhnya. Kebutan-kebutan tangan yang
begitu cepat bagai sepasang cakar elang yang hendak mengoyak tubuhnya, bisa
dihindarinya.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu memiliki kesempatan, Ki Jungut cepat melenting ke udara. Dan secepat
itu pula, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Namun, tendangan yang mengarah ke kepala itu dapat
dihindari Rengganis dengan hanya mengegos sedikit saja.
"Ghraaagkh...!"
Tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Rengganis melepaskan satu pukulan
cepat menggeledek ke arah lambung Ki Jungut, sambil melompat ke udara
mengejar. Begitu cepat serangannya, hingga Ki Jungut tidak sempat lagi
menghindar. Dan....
Begkh! "Akh...!"
Ki Jungut terpental jauh ke belakang disertai pekikan keras tertahan. Pukulan
yang dilepaskan Rengganis tepat menghantam lambungnya, sehingga membuatnya
terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Saat itu juga, Rengganis
meluruk deras ke arahnya, dengan kedua tangan terentang lurus dan jari-jari
terbuka lebar seperti sepasang cakar elang hendak menerkam mangsa.
"Ikh...!" Ki Jungut cepat-cepat melenting. Tapi belum juga bisa menghindar
jauh, mendadak saja Rengganis sudah mengebutkan tangan kanannya dengan
kecepatan tinggi sekali.
Bret! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya, Ki Jungut terpekik. Tampak darah muncrat keluar dengan
deras dari bahu kirinya yang tercabik kuku-kuku jari tangan kanan Rengganis
yang begitu runcing dan hitam bagai mata pisau. Ki Jungut terhuyung-huyung ke
belakang beberapa langkah sambil mendekap bahunya yang berlumuran darah. Dan
sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rengganis
sudah kembali menyerang cepat bagai kilat. Satu pukulan keras menggeledek yang
begitu dahsyat langsung dilepaskan.
Sementara, Ki Jungut masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Hingga....
"Ghraaagkh...!"
"Oh!"
Prak!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat. Tampak
Ki Jungut terhuyung-huyung limbung sambil memegangi kepala dengan kedua
tangannya. Darah berhamburan deras keluar dari kepala yang retak terkena
pukulan dahsyat menggeledek tadi.
"Ghraaagkh...!"
Saat itu, Rengganis sudah kembali melompat sambil menggerung dahsyat bagai
binatang buas. Dan begitu cepat tangan kanannya menyodok ke depan tepat
mengarah ke bagian tengah dada Ki Jungut. Saat itu, Ki Jungut benar-benar
tidak dapat lagi menghindar.
Bresss!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat.
Tampak tangan kanan Rengganis tenggelam masuk ke dalam dada laki-laki tua
berjubah hitam itu, hingga sampai ke sikunya. Bahkan jari-jari tangannya
menembus hingga ke punggung. Sambil melompat, Rengganis tahu-tahu melepaskan
satu tendangan keras ke tubuh Ki Jungut.
Begkh!
Bersamaan terpentalnya laki-laki tua berjubah hitam itu ke belakang, tangan
Rengganis pun tercabut dari dalam dada. Begitu keras tendangannya, sehingga
sebongkah batu yang terlanda tubuh Ki Jungut hancur berkeping-keping seketika.
Hanya sebentar saja Ki Jungut masih mampu menggeliat, kemudian tubuh tua itu
diam tak bergerak-gerak lagi sedikit pun juga. Mati!
"Hik hik hik...!"
***
TIGA
Kadik yang menyaksikan kekejaman itu kontan terhenyak. Dia hanya mampu berdiri
terpaku seperti patung, memandangi tubuh Ki Jungut yang menggeletak dengan
kepala hancur, serta dada dan punggung berlubang berlumuran darah.
Sementara, Rengganis tertawa terkikik melihat lawannya dapat dikalahkan dengan
mudah. Namun, sebentar kemudian suara tawanya terhenti. Dan kini, sorot
matanya langsung tertuju pada Kadik yang berada agak jauh darinya. Saat itu
juga, seluruh tubuh Kadik jadi bergidik menggigil seperti kedinginan. Rasa
cintanya pada gadis itu kontan pudar, dan berubah menjadi ketakutan begitu
melihat kekejaman kekasihnya.
"Tolooong...!"
Tiba-tiba saja Kadik menjerit keras sambil berlari sekencang-kencangnya.
Sementara, dari arah belakang terdengar suara tawa mengikik yang begitu
mengerikan. Kadik terus berlari kencang sambil berteriak-teriak meminta
tolong. Dan suara tawa itu terus terdengar, seakan-akan mengikutinya dari
belakang.
"Tolooong...!"
Tapi belum juga Kadik berlari jauh dari kuburan itu, mendadak saja berkelebat
sebuah bayangan hitam memotong arah larinya. Dan tahu-tahu, didepan pemuda itu
sudah berdiri seseorang berbaju jubah panjang berwarna hitam yang kotor
berlumur tanah lumpur.
"Okh...?!" Kadik jadi terhenyak, dan cepat menghentikan larinya. Seluruh wajah
dan tubuhnya sudah basah bersimbah keringat. Kedua matanya terbeliak lebar,
memandangi orang yang tahu-tahu sudah ada di depannya. Hanya saja wajahnya,
sulit dilihat, karena tertutup kain kerudung lusuh berwarna hitam, yang bagian
atas kepalanya berbentuk runcing.
"Hik hik hik...!"
"Okh...?!" Kembali Kadik tersedak, begitu mendengar suara tawa terkikik dari
belakangnya. Dan begitu berpaling, jantungnya seakan-akan langsung copot
seketika. Dekat di belakangnya, sudah ada Rengganis yang tertawa mengikik
memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Lemas seluruh tubuh
Kadik. Dan tiba-tiba saja, dia terkulai dan terjatuh menggeletak di tanah.
"Ohhh...." Pandangan pemuda itu pun langsung mengabur berkunang-kunang.
Kepalanya terasa berat. Dan tak lama kemudian, pemuda itu tak sadarkan diri.
Bahkan sudah tidak mendengar suara sedikit pun juga. Entah apa yang terjadi,
Kadik tidak tahu lagi. Tapi telinganya sempat mendengar dua suara tawa
terkikik saling sambut di sekitarnya, sebelum kesadarannya benar-benar
lenyap.
***
"Oh...?!" Kadik tersentak bangun, begitu kesadarannya kembali pulih. Tapi
belum juga bisa mengangkat tubuhnya, terasa sebuah tangan lembut telah menekan
dadanya. Dan hal ini membuatnya harus kembali merebahkan tubuh. Sebentar
matanya dipejamkan, kemudian perlahan-lahan dibuka kembali. Hanya sebentar
saja pandangannya mengabur, dan perlahan-lahan kembali bisa melihat jelas.
Tampak seraut wajah yang cantik berada dekat dengannya.
"Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah," terdengar lembut sekali suara wanita
cantik yang mengenakan baju biru muda itu.
Kadik kembali memejamkan matanya beberapa saat. Kembali terbayang peristiwa
mengerikan yang dialaminya, hingga jatuh pingsan. Entah sudah berapa lama dia
tidak sadarkan diri. tapi yang jelas, sekarang ini hari sudah malam. Dan
tubuhnya terasa hangat oleh jilatan cahaya api yang mengusir udara dingin
angin malam. Kadik kembali membuka matanya. Dan seraut wajah cantik masih
berada dekat di sebelah kanan. Namun, sekarang dia melihat wajah tampan di
samping wajah
cantik itu.
"Di mana ini?" Tanya Kadik dengan suara lemah.
"Di hutan, tidak jauh dari Desa Kranggan," sahut gadis cantik berbaju biru
muda itu lembut.
"Siapa kalian?" Tanya Kadik lagi. Masih dengan suara lemah.
"Aku Pandan Wangi, dan ini Kakang Rangga," sahut Gadis cantik itu
memperkenalkan diri.
"Ahhh...," Kadik mendesah perlahan. Begitu panjang desahannya. Perlahan Kadik
menggerakkan tubuhnya, mencoba duduk. Kali ini tidak ada yang mencegah. Dan
dia bisa duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar.
Sementara, tidak jauh di sebelah kirinya api menyala cukup besar menghangatkan
sekitarnya. Di depannya duduk gadis cantik dan seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih yang tadi mengenalkan diri bernama Pandan Wangi dan Rangga. Dan
memang, mereka adalah Pandan Wangi dan Rangga, dua orang pendekar muda yang di
kalangan rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si
Kipas Maut. Mereka juga dikenal sebagai pendekar muda dari Karang Setra.
"Kami menemukanmu tergeletak di pinggiran hutan. Sepertinya, kau baru saja
mengalami peristiwa yang begitu berat, hingga tidak sadarkan diri," kata
Rangga dengan nada suara lembut.
Kadik terdiam tidak menjawab kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Kembali
ingatannya terbayang peristiwa mengerikan yang telah dialami siang tadi.
Begitu mengerikan, hingga jatuh pingsan. Sulit bagi Kadik untuk bisa
membayangkan peristiwa itu. Tubuhnya jadi bergidik menggigil setiap kali
teringat kekasihnya bangkit kembali dari kubur, lalu membunuh Ki Jungut dengan
sangat keji!
"Boleh tahu, siapa namamu, Kisanak...?" pinta Rangga sopan.
"Kadik," sahut Kadik menyebutkan namanya. Suara pemuda itu terdengar begitu
pelan, hingga hampir saja tidak terdengar telinga Rangga dan Pandan Wangi.
Perlahan Kadik mengangkat kepalanya, dan langsung menatap kedua pendekar muda
di depannya. Tampak wajahnya masih terlihat pucat. Memang berat peristiwa,
yang baru dialaminya. Dan itu merupakan peristiwa pertama di dalam hidupnya.
Ia benar-benar belum pernah melihat pembunuh yang begitu keji dengan mata
kepalanya sendiri. Terlebih lagi, pembunuhan itu dilakukan kekasihnya yang
bangkit dari kuburnya.
"Kau pingsan cukup lama juga tadi," jelas Rangga.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap Kadik.
Rangga Hanya tersenyum saja.
"Kau berasal dari Desa Kranggan?" Tanya Pandan Wangi menyelak.
Kadik mengangguk.
"Kenapa bisa tidak sadarkan diri tadi?" Tanya Pandan Wangi lagi.
Kadik terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan gadis cantik yang berjuluk
si Kipas Maut itu. Dipandanginya Pandan Wangi beberapa saat, kemudian beralih
pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di samping gadis cantik
berbaju biru muda ini. Terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan
terasa berat.
"Mengerikan sekali...," desah Kadik disertai hembusan napas panjang.
"Mengerikan...? Apa yang terjadi, Kisanak?" Tanya Pandan Wangi jadi ingin
tahu.
Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Kembali ditariknya napas
panjang-panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin
melonggarkan rongga dadanya yang tiba-tiba saja jadi terasa begitu sesak,
bagai dihimpit sebongkah batu teramat besar dan berat.
Kemudian, Kadik mulai menceritakan semua peristiwa aneh dan mengerikan yang
dialaminya. Semua diceritakannya dengan jelas dan perlahan-lahan. Suaranya pun
terdengar begitu pelan, hingga Rangga dan Pandan Wangi terpaksa menajamkan
pendengarannya.
Kedua Pendekar muda dari Karang Setra itu jadi terdiam membisu setelah
mendengar cerita yang dialami Kadik, hingga sampai pingsan cukup lama begitu.
Mereka saling berpandangan beberapa saat, kemudian kembali memandang Kadik
yang sudah menyelesaikan cerita pengalaman mengerikannya.
Dan untuk beberapa lama, mereka semua terdiam tak seorang pun yang berbicara.
Begitu sunyi, hingga desir angin yang menyebarkan hawa dingin begitu terasa
mengusik gendang telinga. Suara gerit serangga malam pun terdengar bagai
nyanyian alam yang memberi peringatan akan bahaya yang bisa saja muncul setiap
saat.
"Kau ingin pulang ke desamu?" Rangga menawarkan dengan sikap ramah.
"Entahlah...," sahut Kadik mendesah panjang.
"Kalau begitu, beristirahatlah di sini. Besok pagi kau bisa kembali ke
desamu," kata Rangga lagi.
"Terima kasih," ucap Kadik lagi.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menepuk pundak pemuda desa itu dengan
penuh rasa persahabatan. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan
melangkah mendekati api unggun, dan duduk dekat api yang masih menyala cukup
besar.
Sementara Pandan Wangi masih tetap duduk didepan Kadik yang juga tetap duduk
bersandar pada sebatang pohon. Dan Rangga tampak sudah asyik dengan kelinci
panggangannya. Tidak dipedulikan lagi, apa yang dibicarakan Pandan Wangi dan
Kadik. Pendekar Rajawali Sakti terus menikmati daging kelinci panggangannya.
***
Pagi-pagi sekali, Kadik baru kembali ke Desa Kranggan. Rangga dan Pandan Wangi
yang diminta mengantar, tidak menolak sedikit pun. Mereka ke Desa Kranggan
mengikuti jalan yang ditunjukkan Kadik. Namun, mereka tidak melalui jalan yang
biasa ditempuh orang, melainkan menerobos melewati tepian hutan dan
perkebunan. Hingga akhirnya, mereka tiba di rumah Kadik. Tapi, keadaan di
rumah itu tampak sepi sekali seperti sudah tidak lagi ditempati.
"Kau tinggal sendiri di sini, Kadik?" Tanya Rangga, melihat keadaan rumah ini
begitu sunyi.
"Ada emak ku," sahut Kadik.
Kadik membawa kedua pendekar muda itu melalui jalan samping, dan terus ke
belakang. Dibukanya pintu belakang yang tidak terkunci, lalu dimintanya agar
Rangga dan Pandan Wangi mengikuti. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah ini
dari belakang, dan terus menuju ke depan. Kadik baru membuka pintu depan
setelah mempersilakan Rangga dan Pandan Wangi duduk di ruangan depan yang
tidak begitu besar ukurannya.
"Maaak...!" teriak Kadik memanggil ibunya. Tapi, tak ada seorang pun yang
menyahuti. Kadik terus berteriak-teriak sambil mencari ke setiap kamar yang
ada di rumah ini. Namun, tetap saja dia tidak menjumpai ibunya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang. Mereka bersamaan
bangkit berdiri begitu Kadik muncul dari dalam sebuah kamar yang berhubungan
langsung dengan ruangan depan ini.
"Tidak biasanya Emak ku pergi," kata Kadik, tidak dapat lagi menyembunyikan
kecemasannya.
"Mungkin ke rumah tetangga," kata Pandan Wangi.
"Tidak. Emak tidak pernah pergi, kecuali ke ladang di belakang rumah," bantah
Kadik.
Kembali Pandan Wangi dan Rangga saling berpandangan. Sedangkan Kadik terlihat
begitu cemas, karena tidak menjumpai ibunya. Pemuda itu menghempaskan lemas
tubuhnya ke kursi, sambil menghembuskan napas cukup panjang. Pandan Wangi
mendekati. Diseretnya kursi kayu ke dekat pemuda itu, lalu duduk disana. Di
saat mereka semua tengah kebingungan, tiba-tiba saja...
Wusss!
"Awas...!" seru Rangga. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
mengebutkan tangan kanannya, ketika tiba-tiba melihat secercah cahaya kilat
melesat masuk dari jendela. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di
udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya tepat di samping Pandan Wangi
lagi.
"Apa itu, Kakang?" Tanya Pandan Wangi sambil menunjuk kepalan tangan Rangga.
"Panah," sahut Rangga sambil menunjukkan benda yang berhasil ditangkapnya. Di
dalam genggaman tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terdapat sebatang
anak panah berwarna keperakan.
"Ada suratnya, Kakang," kata Pandan Wangi.
Saat itu, Rangga memang sedang membuka ikatan selembar daun lontar pada bagian
tengah batang anak panah. Hanya selembar daun lontar kering yang terdapat
sebaris kalimat, dan ditulis dengan darah yang sudah mengering. Rangga
langsung menyerahkan lembaran daun lontar itu pada Kadik.
"Oh...." Kadik terkulai lemas setelah membaca sebaris kalimat pada daun lontar
itu. Seluruh tubuhnya seperti tidak lagi memiliki tulang. Begitu lemas dan tak
bertenaga, sehingga langsung terjatuh duduk di kursinya lagi. Sedangkan
lembaran daun lontar itu tergenggam erat di tangannya.
"Apa isinya, Kakang?" Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Ancaman," sahut Rangga singkat.
"Ancaman...?"
"Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru, kalau ibunya
ingin kembali dengan selamat," sahut Rangga menjelaskan dengan singkat.
Pandan Wangi langsung terdiam. Mereka memandang Kadik yang masih terduduk
lemas di kursi kayu. Pandangan pemuda itu terlihat kosong, dan lurus ke depan.
Seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Lembaran daun lontar berisi
ancaman itu kini tergeletak di samping kakinya.
"Aku tidak tahu, apa yang diinginkannya. Kenapa dia menyangka aku menyimpan
benda terkutuk itu...?" Desah Kadik lirih.
"Kelihatannya kau punya persoalan yang tidak kecil, Kadik. Kalau boleh tahu,
persoalan apa yang sedang kau hadapi," ujar Rangga ingin membantu.
"Aku tidak tahu...," sahut Kadik lesu.
"Siapa orang yang mengirim ancaman itu, Kadik?" Tanya Pandan Wangi.
Kadik hanya menggelengkan kepalanya. Memang, di dalam lembaran surat ancaman
daun lontar itu tidak disebutkan pengirimnya. Di situ hanya tertulis kalau
Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru kalau ibunya ingin
kembali dengan selamat. Tidak ada penjelasan lain.
Dan inilah yang membuat Kadik jadi tidak mengerti. Terlebih lagi, Rangga dan
Pandan Wangi yang memang tidak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi
pemuda Desa Kranggan itu.
"Apa ini ada hubungannya dengan si Iblis Penggali Kubur yang membangkitkan
kekasihmu dari kuburnya, Kadik?" Tanya Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Kadik hanya menggelengkan kepala saja, kemudian mendesah perlahan.
Dia sama sekali tidak tahu semua peristiwa yang dialaminya. Apalagi untuk bisa
menghubungkan Iblis Penggali Kubur dengan surat ancaman dan Cupu Batu Mustika
Biru. Sedangkan dia sendiri memang merasa tidak memiliki benda yang
dianggapnya sebagai biang keonaran itu. Entah apa, sehingga benda yang belum
pernah dilihatnya itu selalu menimbulkan bencana bagi semua orang.
"Aku benar-benar tidak tahu. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat Cupu Batu
Mustika Biru," tegas Kadik perlahan, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Tapi kau sudah tahu benda itu, bukan?" desak Pandan Wangi.
"Ya," sahut Kadik pelan, seraya menganggukkan kepala.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Memang aneh kalau Kadik
mengatakan tidak tahu apa-apa tentang Cupu Batu Mustika Biru, padahal juga
mengetahuinya. Bahkan mengatakan kalau itu adalah benda keparat yang selalu
menimbulkan malapetaka. Apa yang dikatakan Kadik membuat kedua pendekar muda
dari Karang Setra itu jadi bingung setengah mati.
"Kadik! Kau mengatakan belum pernah melihatnya. Dan tidak tahu apa-apa tentang
benda itu. Tapi, kau mengatakan kalau benda itu membuat keonaran. Bagaimana
ini, Kadik...?" Rangga meminta penjelasan.
"Aku memang belum pernah melihatnya, tapi pernah mendengar tentang Cupu Batu
Mustika Biru itu," sahut Kadik mencoba menjelaskan.
"Kau hanya mendengar...?" selak Pandan Wangi tidak percaya.
Kadik hanya diam saja. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus memandangi. Mereka merasa yakin kalau
pemuda Desa Kranggan ini menyembunyikan sesuatu yang terasa berat untuk
diungkapkan. Dan mereka jadi terdiam untuk waktu yang cukup lama.
Rangga kemudian melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Matanya
memandang keluar, merayapi keadaan jalan yang kelihatan sunyi. Hanya beberapa
orang saja yang terlihat melintasi jalan itu. Terasa begitu sunyi desa ini.
Padahal, Desa Kranggan termasuk sebuah desa besar. Tapi, keadaannya yang
begitu sunyi membuat Rangga menduga kalau telah terjadi sesuatu di desa ini.
"Coba jelaskan, apa saja yang kau ketahui tentang Cupu Batu Mustika Biru itu,"
ujar Rangga meminta, seraya membalikkan tubuhnya membelakangi jendela.
"Dulu aku pernah mendengar, memang ada ribut-ribut tentang Cupu Batu Mustika
Biru. Tapi, itu sudah lama. Tepatnya ketika aku masih berusia sekitar lima
tahun. Dan yang kudengar, cupu itu ada pada ayahku. Entah benar, atau tidak.
Tapi setelah ayahku terbunuh, cupu itu juga menghilang entah ke mana. Malah,
tidak ada lagi orang yang membicarakan atau memperebutkannya. Semua orang
sudah melupakannya," kata Kadik mencoba menjelaskan dengan singkat.
"Ayahmu seorang pendekar?" selak Pandan Wangi.
"Panglima pertama kerajaan," sahut Kadik dengan suara bernada bangga.
Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja Kadik tidak
seperti pemuda desa lainnya. Ternyata, dia seorang putra bekas panglima
pertama kerajaan. Dan itu, berarti dalam tubuhnya mengalir darah
kebangsawanan. Tapi anehnya, Kadik tidak memiliki kepandaian ilmu olah
kanuragan sedikit pun juga.
"Sayang, ibuku tidak mengizinkan aku mempelajari ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Dan aku sendiri sebenarnya memang tidak pernah tertarik untuk
mempelajarinya. Aku lebih tertarik mempelajari ilmu-ilmu sastra dan sejarah,"
kata Kadik, seperti mengetahui isi kepala kedua pendekar muda itu.
Rangga dan Pandan Wangi masih tetap diam dengan kepala terangguk-angguk.
Memang, mereka melihat kalau pemuda ini tidak memiliki kepandaian sedikit pun
juga. Bahkan bisa dikatakan sebagai pemuda lemah. Dan itu memang sudah menjadi
kebiasaan para pemuda bangsawan, yang biasanya selalu mengandalkan para
pengawal. Tapi, tidak sedikit pun terlihat adanya keangkuhan pada diri Kadik.
Atau mungkin, pemuda ini sudah terbiasa hidup di desa, sehingga tidak lagi
terlihat kalau keturunan bangsawan.
"Aku hanya mempelajari sedikit pengerahan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh. Hanya itu saja. Itu pun hanya sedikit sekali," sambung Kadik.
"Baiklah, Kadik. Kami akan mencoba membantumu. Mudah mudahan ibumu masih bisa
diselamatkan," hibur Rangga sambil menepuk pundak pemuda itu dengan lembut dan
penuh rasa persahabatan.
"Terima kasih," ucap Kadik perlahan.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menghempaskan tubuhnya perlahan di kursi
kayu sambil menghembuskan napas panjang.
"Akan ku siapkan makan untuk kalian," kata Pandan Wangi.
"Semua ada di belakang. Kalau butuh sayuran, ambil saja di kebun belakang,"
jelas Kadik.
"Kau bisa membantuku, Kadik?" pinta Pandan Wangi.
"Tentu saja," sahut Kadik cepat.
"Buatkan masakan yang enak. Aku ingin istirahat sebentar," selak Rangga.
"Huuu...!" Pandan Wangi mencibir.
Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, Kadik sudah menghilang lebih dulu ke
bagian belakang rumahnya yang cukup besar ini. Pandan Wangi bergegas menyusul
pemuda itu. Sedangkan Rangga sudah memejamkan matanya sambil mengatur jalan
pernapasan. Bagi seorang pendekar seperti Rangga, waktu yang sedikit sangat
berguna untuk mengatur pernapasan dan meningkatkan kemampuan pengerahan tenaga
dalam.
***
EMPAT
Malam ini udara di sekitar Desa Kranggan begitu dingin. Angin bertiup kencang,
membuat daun-daun berguguran dan terhempas di tanah. Langit tampak menghitam
kelam, tertutup awan hitam yang menggumpal bergulung-gulung menutupi cahaya
rembulan dan bintang. Sesekali terlihat kilatan cahaya di langit yang disusul
terdengarnya ledakan guntur bagai hendak memecahkan seluruh alam raya ini.
Tak ada seorang pun terlihat di luar. Jalan-jalan di seluruh Desa Kranggan
satu pun tidak terlihat manusia berjalan. Begitu sunyi keadaannya, hingga deru
angin yang begitu kencang terdengar bagai hendak menghancurkan desa ini. Dari
kejauhan terdengar lolongan anjing hutan yang begitu panjang memilukan,
membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya jadi meremang.
Saat itu, terlihat sesosok tubuh berbaju serba hitam yang panjang dan longgar
tengah bergerak cepat menuju ke arah Timur Desa Kranggan. Gerakannya begitu
cepat dan ringan, seakan-akan melayang di atas tanah. Sedikit pun tak
terdengar suara dari ayunan kakinya yang begitu ringan bagai tidak menapak
permukaan tanah. Sosok tubuh hitam itu baru berhenti bergerak setelah sampai
di tanah pekuburan yang letaknya tidak seberapa jauh di sebelah Timur Desa
Kranggan.
"He he he...!"
Terdengar tawanya yang terkekeh kering mengerikan. Dia berdiri tegak didepan
sebuah gundukan tanah kuburan yang tampaknya masih baru dan terawat apik.
Perlahan kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin ada orang
lain yang melihatnya. Kemudian, matanya menatap tajam pada kuburan di depannya
dari balik kain kerudung berbentuk kerucut yang menutupi seluruh kepala dan
sebagian wajahnya.
Memang sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena hampir tertutup kain
kerudung hitam. Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Sedikit pun tak ada
cahaya bulan dan bintang menghias angkasa raya. Sebentar orang itu berdiri
mematung memandangi kuburan yang kelihatan masih baru, kemudian kedua
tangannya perlahan terangkat ke atas. Kepalanya pun bergerak menengadah ke
atas, mengikuti gerakan, kedua tangannya. Tampak bibirnya yang pucat
bergerak-gerak seperti menggeletar. Kemudian...
"Hup!"
Begitu kedua tangannya merapat di samping pinggang, dia melompat tinggi ke
udara. Lalu, tubuhnya menukik deras dengan kaki merapat tertuju lurus ke
tengah kuburan itu. Dan....
Brus!
Cepat sekali orang aneh berbaju hitam pekat itu melesak masuk ke dalam
kuburan. Tanah di sekitar kuburan jadi bergetar, bagai diguncang gempa kecil.
Tampak asap putih mengepul ke udara bergulung-gulung dari kuburan yang
berlubang cukup besar. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat orang aneh itu
menyembul perlahan-lahan sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain
putih bernoda tanah merah.
Orang itu bergerak melayang ke atas, lalu pelan-pelan sekali kakinya menjejak
tanah di pinggir kuburan yang sudah berlubang. Asap putih yang menggumpal dari
dalam kuburan itu pun menyebar tertiup angin. Tampak orang aneh berbaju serba
hitam itu berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain putih
bernoda tanah merah berlumpur. Perlahan diletakkannya mayat itu, kemudian
dipandanginya beberapa saat. Hati-hati sekali ikatan kain putih di kepala
mayat itu dibukanya.
"He he he...!"
Suara tawa terkekeh kembali terdengar saat terlihat seraut wajah wanita yang
cukup cantik di balik kain putih yang membungkusnya. Dengan sikap hati-hati,
kembali diikatnya ujung kain di kepala mayat wanita, dan dibungkusnya lagi
dengan rapi.
"He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh, orang aneh itu memondong lagi mayat perempuan yang
diambilnya dari dalam kuburan itu. Kemudian tubuhnya berbalik da melangkah
ringan meninggalkan kuburan. Ayunan langkah kakinya begitu ringan, seakan-akan
telapak kakinya tidak menyentuh tanah sedikit pun juga. Sebentar saja, dia
sudah tidak terlihat lagi ditelan gelapnya malam. Secercah cahaya kilat
menyambar membelah langit yang kelam.
"He he he...!"
Suara tawa terkekeh masih terdengar, dan semakin menjauh. Kemudian suara itu
menghilang terbawa hembusan angin kencang di malam pekat ini. Tidak ada
seorang pun yang melihat kejadian itu. Dan malam terus merayap semakin
bertambah larut. Titik-titik air hujan mulai merembes jatuh menyirami bumi.
Tak berapa lama kemudian, hujan pun turun dengan deras sekali, bagaikan
ditumpahkan dari langit. Kilat semakin sering menyambar disertai guntur yang
menggelegar memecah angkasa.
***
Emoticon