SATU
HUJAN gerimis merinai jatuh dari langit, langsung menghantam bumi. Angin
berhembus kencang, melontarkan daun-daun dan rerumputan kering. Udara terasa
begitu dingin menusuk tulang, sehingga membuat orang lebih memilih di dalam
rumah. Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Sedikit pun tak terlihat
cahaya bintang maupun rembulan yang membias.
Namun keadaan alam yang tampak tidak ramah pada malam ini, tidak membuat
seorang wanita menghentikan ayunan langkahnya. Dengan tertatih-tatih,
disusurinya jalan tanah yang mulai basah oleh rintik air hujan. Cukup sulit
untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya ditutupi sehelai
kain berwarna hitam. Malah, tampaknya sudah begitu lusuh. Bahkan banyak
terdapat tambalan.
Dia berjalan dengan kaki telanjang, menapak perlahan-lahan. Tidak
dipedulikannya lagi tanah becek yang tersiram air hujan yang semakin deras
saja turun menyirami bumi ini. Wanita itu baru berhenti melangkah setelah
tiba di depan sebuah pondok kecil yang terletak agak jauh dari rumah-rumah
lainnya. Sebentar mukanya dipalingkan ke kanan dan ke kiri, seakan-akan
tidak ingin ada orang lain yang melihatnya.
Kemudian dengan tangan agak gemetar, dibukanya pintu pondok itu. Bunyi derit
dari sendi pintu yang sudah berkarat, terdengar mengiris hati. Secercah
cahaya redup dari sebuah pelita kecil yang tergantung di tengah-tengah
ruangan pondok kecil ini langsung menyambut kehadiran wanita itu.
"Kaukah itu, Nek..?" terdengar suara agak nyaring dari dalam pondok.
"Benar..., ini aku!" sahut wanita berkerudung kain lusuh itu.
Suaranya terdengar kering sekali. Bahkan agak serak seperti burung gagak.
Kakinya melangkah masuk ke dalam pondok, lalu membesarkan nyala api pelita.
Maka ruangan berukuran kecil ini jadi lebih terang lagi setelah nyala api
pelita membesar. Tampak di atas sebuah dipan bambu, duduk seorang gadis
berpakaian kumal dan penuh tambalan. Wajah dan tubuhnya tampak kotor.
Rambutnya juga acak-acakan tak teratur, hampir menutupi wajahnya.
"Apa lagi yang kau bawa untukku malam ini, Nek?" tanya gadis itu.
Suaranya terdengar datar sekali, tanpa tekanan sedikit pun. Dan matanya agak
memerah, dengan tatapan begitu kosong bagai tak memiliki lagi cahaya gairah
kehidupan.
Sementara perempuan tua yang kini sudah melepaskan kerudungnya, melangkah
terseret menghampiri. Diletakkannya sebuah guci berukuran cukup besar yang
dibawanya ke atas dipan di depan gadis itu.
Seketika itu juga sinar mata gadis berbaju kumal itu jadi berbinar. Begitu
melihat isi guci yang ada di depannya, dia jadi tidak sabar lagi. Langsung
diambilnya guci itu, lalu....Glek...!
"Habiskan semuanya. Tapi mungkin malam ini untuk yang terakhir aku bisa
memperolehnya," ujar perempuan tua itu, masih dengan suara kering dan serak
seperti burung gagak.
Sementara gadis berbaju kumal dan kotor itu terus meneguk cairan merah dari
dalam guci berukuran cukup besar ini. Guci itu baru diletakkan kembali di
depannya, setelah semua isi guci itu berpindah ke dalam perutnya. Sambil
menyeringai penuh kepuasan, bibirnya yang kini jadi merah disekanya.
"Kau bicara apa tadi, Nek Paring?" tanya gadis itu, masih tetap datar
suaranya.
"Ini malam terakhir aku bisa mendapatkan darah untukmu. Rasanya sulit bagiku
untuk bisa lagi keluyuran malam-malam mencari darah," kata perempuan tua
yang dipanggil Nek Paring itu.
"Kenapa...? Apa semua orang di desa ini sudah habis?"
"Tidak."
"Lalu..., kenapa kau berkata seperti itu?"
"Keadaan semakin sulit. Tadi saja aku hampir mati...."
"Kau kepergok mereka lagi?"
Nek Paring hanya menganggukkan kepala saja.
"Tapi tinggal tiga malam lagi, Nek. Dan setelah itu, semuanya akan berakhir.
Kau tidak perlu lagi keluar malam-malam. Biar aku sendiri yang melakukannya
seperti dulu-dulu lagi. Tinggal tiga hari lagi, Nek. Tiga hari tidak akan
lama...," tandas gadis itu, mencoba membangkitkan semangat Nek Paring yang
tampaknya mulai padam.
Nek Paring hanya diam saja. Sedangkan langkahnya terus bergerak menghampiri
sebuah dipan bambu lain, yang terletak di bawah sebuah jendela kayu yang
tertutup rapat. Dari sela-sela lubang di bawah jendela itu berhembus angin
dari luar yang terasa begitu dingin. Perlahan-lahan Nek Paring merebahkan
dirinya di atas dipan bambu beralaskan sehelai tikar anyaman daun pandan
itu.
Sementara gadis berbaju kumal yang seluruh wajah dan tubuhnya tampak kotor,
masih tetap duduk bersila. Sebentar matanya melirik Nek Paring yang sudah
terbaring dengan mata terpejam rapat. Tak ada lagi yang berbicara.
Sementara hujan di luar pondok ini semakin deras saja, sehingga
memperdengarkan suara menggemuruh, bagai hendak menghancurkan semua yang ada
di atas permukaan bumi ini.
"Nek..., kau belum tidur...?" tanya gadis itu dibuat lembut suaranya. Tapi,
masih saja terdengar agak datar.
"Hm..., ada apa?" Nek Paring hanya menggumam saja.
"Kenapa kau tadi mengatakan kalau ini malam yang terakhir, Nek?" tanya gadis
itu.
"Aku hanya mengatakan ini baru kemungkinan saja. Aku merasa semakin sulit
mendapatkan darah untukmu. Mereka semakin waspada dan selalu berjaga-jaga,"
jelas Nek Paring.
"Hm, seberapa jauh jaraknya desa lain dari sini?"
"Dua hari perjalanan."
Gadis itu tidak bertanya lagi. Kini matanya dipejamkan dengan sikap
bersemadi. Sedangkan Nek Paring masih tetap berbaring. Kelopak matanya juga
tidak terbuka. Tampaknya, perempuan tua itu sangat lelah.
Sementara hujan deras sudah turun di luar, memperdengarkan suara
menggemuruh. Sehingga, membuat bumi terasa bergetar bagai diguncang ribuan
tangan-tangan raksasa. Suasana di dalam pondok kecil itu pun kini terasa
sangat sunyi. Sedikit pun tak terdengar suara dari dalam sana.
***
Udara di Desa Mungkit terasa segar sekali pagi ini, setelah semalam diguyur
hujan sangat lebat. Meskipun jalan-jalan di desa itu jadi basah dan becek,
tapi tidak menghalangi para penduduk yang harus bekerja seperti hari-hari
biasanya. Walaupun pagi ini terasa begitu cerah dan udaranya sangat segar,
tapi wajah semua orang di desa ini tidaklah secerah sang mentari yang
bersinar penuh tanpa terhalangi awan sedikit pun.
Di salah satu rumah, terlihat banyak orang berkumpul. Dan dari sana pula
terdengar suara-suara tangisan yang terisak dan sesenggukan. Orang yang
berkerumun memadati halaman rumah berukuran kecil itu bergerak menyingkir,
ketika seorang laki-laki tua menunggang kuda datang menghampiri.
Laki-laki tua yang mengenakan jubah warna putih bersih itu bergegas melompat
turun dari punggung kudanya. Lalu dengan langkah-langkah kaki lebar,
diterobosnya kerumunan itu untuk masuk ke dalam rumah yang ditujunya.
"Oh...?!" Seketika laki-laki tua itu jadi tertegun begitu baru saja melewati
pintu depan yang sejak tadi terbuka lebar. Kedua bola matanya jadi terbeliak
lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di dalam ruangan
depan yang berukuran tidak begitu besar ini. Dan di situ ada pula beberapa
orang yang memandanginya. Sinar mata mereka terlihat kosong, sulit
diartikan.
"Kapan ini terjadi...?" desah laki-laki tua berjubah putih itu, seakan-akan
bertanya pada diri sendiri.
"Semalam, Ki," sahut seorang pemuda berbaju warna merah, yang berdiri
membelakangi jendela.
"Hm...," gumam laki-laki tua itu perlahan.
Laki-laki tua itu melangkah menghampiri tiga sosok mayat yang tergeletak di
tengah-tengah ruangan depan ini. Sungguh mengerikan sekali keadaannya. Leher
dan dada mereka terkoyak lebar. Setetes pun tak ada darah terlihat, walau
leher ketiga orang itu terkoyak hampir buntung. Demikian pula dada mereka
yang terbuka lebar, sehingga memperlihatkan seluruh isinya sampai jelas
sekali.
Sebentar laki-laki tua berjubah putih itu mengamati keadaan ketiga mayat
itu, kemudian kembali bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
Sebentar diamatinya orang-orang yang berada di dalam ruangan ini.
Pandangannya kemudian tertuju pada pemuda berbaju merah muda yang masih
berdiri membelakangi jendela. Kakinya terayun menghampiri pemuda berwajah
cukup tampan, dengan tubuh tinggi tegap berotot itu. Kulitnya pun putih,
seperti seorang putra raja atau bangsawan kota.
"Kenapa hal ini bisa terjadi, Darkan? Kau sudah kutugaskan untuk mengatur
perondaan tiap malam...," kata laki-laki tua itu menyesalkan peristiwa
mengerikan ini.
"Lebih dari tiga puluh orang yang meronda semalam, Ki Labur. Bahkan aku
sendiri sampai sekarang belum tidur," sahut pemuda berbaju merah muda yang
dipanggil Darkan, seperti tidak ingin disalahkan.
"Lalu, kenapa hal ini sampai terjadi?" tanya Ki Labur yang juga Kepala Desa
Mungkit ini, meminta penjelasan.
"Aku..., aku tidak tahu, Ki. Tidak ada seorang pun yang tahu. Baru tadi ada
yang tahu kalau...," kata Darkan terputus.
"Hm..., entah sampai kapan hal ini akan terjadi. Sudah begitu banyak jatuh
korban. Dan semuanya tewas dalam keadaan yang begitu mengerikan. Hhh...,"
desah Ki Labur agak perlahan, memotong ucapan Darkan.
Suasana kembali sunyi, tanpa seorang pun berbicara lagi. Di sekitar rumah
itu masih dikerumuni orang. Dan beberapa pemuda mulai membereskan
mayat-mayat yang tergeletak di tengah-tengah ruangan depan rumah ini.
Sungguh mengerikan keadaannya. Dari luka-luka yang menganga lebar, setetes
pun tak ada darah yang terlihat. Suatu kematian yang sungguh aneh dan sangat
mengerikan. Bahkan Ki Labur sampai tak tahan untuk menyaksikan lebih lama
lagi.
Laki-laki tua itu bergegas keluar diikuti Darkan. Mereka terus melangkah
menerobos kerumunan orang-orang yang ingin menyaksikan satu keluarga di
dalam rumah berukuran kecil itu. Mereka baru berhenti setelah berada di
luar, agak jauh dari kerumunan orang yang semakin bertambah banyak ini.
"Mulai sekarang, kau harus lebih memperkuat penjagaan di seluruh wilayah
desa ini, Darkan," ujar Ki Labur agak dalam nada suaranya, namun terdengar
tegas sekali.
"Baik, Ki," sahut Darkan seraya menganggukkan kepala.
Ki Labur mengedarkan pandangannya berkeliling. Sesaat kemudian, tatapan
matanya yang agak tajam tertumbuk langsung pada seorang pemuda berwajah
tampan. Tubuhnya tinggi dan tegap berotot. Pemuda itu berdiri di bawah
sebatang pohon yang sangat rindang untuk melindungi dirinya dari sengatan
sinar mentari. Dan perhatian pemuda itu rupanya tertumpah pada kerumunan
orang-orang di sekitar rumah kecil itu.
Ki Labur terus memperhatikan, ketika pemuda tampan itu mencegat seorang
laki-laki tua penduduk desa Mungkit ini. Hanya sebentar mereka berbicara,
kemudian laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu terus melangkah menuju
ke arah Ki Labur yang masih didampingi Darkan. Segera Ki Labur mencegatnya.
Di pundaknya yang kurus, terpanggul sebuah cangkul kotor yang penuh lumpur
sawah.
"Oh...?! Ada apa, Ki Kepala Desa...?" tanya laki-laki tua itu.
"Aku hanya ingin tanya," sahut Ki Labur.
"Tanya apa?"
"Kau kenal pemuda yang berbicara dengan mu tadi, Ki?" tanya Ki Labur
langsung, sambil melirik pemuda tampan yang masih tetap berdiri di bawah
pohon rindang.
Laki-laki tua penduduk Desa Mungkit itu melirik sedikit pemuda yang tadi
memang bicara dengannya, kemudian menatap Ki Labur dengan kelopak mata agak
menyipit. Tampak jelas, raut wajahnya menyiratkan keheranan mendengar
pertanyaan kepala desa itu barusan. Kemudian, kepalanya bergerak menggeleng
perlahan.
"Lalu, apa yang kau bicarakan dengannya tadi?" tanya Ki Labur lagi.
"Dia hanya bertanya tentang kejadian di rumah itu saja," sahut laki-laki tua
yang tidak mengenakan baju itu.
Ki Labur mengangguk-anggukkan kepala, kemudian meminta laki-laki tua itu
untuk melanjutkan perjalanannya, setelah tadi habis mengolah sawahnya. Hari
memang masih pagi, tapi seluruh penduduk Desa Mungkit sudah menghentikan
pekerjaannya begitu mendengar ada peristiwa pembunuhan mengerikan yang
menimpa satu keluarga di desa ini.
Sementara Ki Labur masih tetap diam. Ditatapnya Darkan yang masih tetap
berada di sebelah kanannya. Tapi begitu pandangannya beralih ke pohon di
pinggir jalan itu, mendadak saja dia jadi tersentak kaget. Karena, pemuda
tampan bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan itu sudah tidak berada lagi
di bawah pohon rindang itu. Ki Labur langsung mengedarkan pandangannya
berkeliling, tapi tidak juga melihatnya lagi.
"Hm..., ke mana perginya...?" gumam Ki Labur bertanya-tanya sendiri dalam
hati.
Memang bukan sekali ini peristiwa pembunuhan mengerikan yang penuh teka-teki
itu terjadi di Desa Mungkit. Tapi sudah beberapa kali berlangsung. Dan
selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui, atau memergoki pembunuh
keji itu. Namun yang membuat seluruh penduduk Desa Mungkit dicekam kengerian
adalah semua korbannya mati tanpa ada darah setetes pun yang keluar.
Padahal, semua korbannya tewas dengan luka-luka sangat besar dan parah!
Dan yang membuat Ki Labur terus bertanya-tanya dalam hati, setiap kali
peristiwa itu terjadi, dia selalu melihat seorang pemuda berwajah tampan
muncul di tempat kejadian. Sayangnya, belum sempat didekatinya, pemuda itu
selalu saja sudah menghilang. Perginya tidak pernah ketahuan, kapan dan ke
mana.
"Hhh.... Malam ini aku harus bisa bertemu iblis pembunuh keparat itu. Kalau
terus-menerus begini bisa habis seluruh warga desa ku...," desah Ki Labu
perlahan, bicara sendiri.
Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah panjang berwarna putih itu
mengayunkan kakinya per lahan-lahan, meninggalkan rumahnya yang berukuran
cukup besar. Sebuah rumah yang dikelilingi halaman luas dan ditumbuhi
rerumputan. Dua batang pohon beringin tumbuh berdiri di tengah-tengah
halaman depan. Beberapa orang pemuda terlihat di sekitar halaman rumah
kepala desa itu. Mereka adalah para penjaga keamanan rumah kepala desa.
Namun belum juga Ki Labur keluar dari halaman rumahnya, terdengar panggilan
bernada lembut dai arah belakang. Langkahnya langsung dihentikan. Kepalanya
berpaling sedikit, dan langsung memutar tubuhnya berbalik begitu melihat
seorang wanita tua, tertatih-tatih keluar dari dalam rumah menghampirinya.
Ki Labur tetap berdiri tegak menanti perempuan tua yang tak lain istrinya
sendiri.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Nyai Labur setelah dekat di depan suaminya.
"Keliling kampung," sahut Ki Labur, agak datar nada suaranya.
"Kau sudah tua, Ki. Bukankah kau sudah percayakan pada menantu kita, si
Darkan itu...? Untuk apa bersusah-susah keliling desa sendiri? Mana sudah
larut malam begini...," kata Nyai Labur, terdengar suaranya bernada
khawatir.
Ki Labur hanya tersenyum tipis saja. Ditepuknya pundak istrinya dengan
lembut. Sebentar matanya menatap lurus ke bola mata wanita tua di depannya
ini, kemudian beredar berkeliling. Dipandanginya orang-orangnya yang tetap
berjaga-jaga di sekitar rumahnya. Mereka semua masih muda-muda, dan
rata-rata berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Sejak terjadinya pembunuhan-pembunuhan mengerikan di Desa Mungkit. ini, Ki
Labur memang melipatgandakan penjagaan di sekitar rumahnya. Bahkan Darkan
yang juga menantunya diperintahkan untuk mengatur penjagaan yang ketat di
sekitar desa. Tidak heran bila setiap orang yang datang ke desa ini, Selalu
ditanyai maksud dan tujuan kedatangannya.
Para pendatang itu tetap diawasi sampai pergi meninggalkan desa. Hal ini
terpaksa dilakukan untuk menjaga kalau-kalau salah seorang dari pendatang
itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini.
"Pembunuh itu sudah semakin keterlaluan, Nyai. Aku tidak bisa terus-menerus
mengandalkan Darkan dan mereka semua. Kau tahu, Nyai. Mereka juga bisa
mengalami bahaya. Dan aku tidak mau kehilangan mereka, setelah cukup banyak
penduduk desa ini yang menjadi korban," kata Ki Labur mencoba memberi
pengertian kepada istrinya.
"Aku mengerti, Ki. Tapi kau sudah tua. Kau tidak lagi segagah dulu," sahut
Nyai Labur tetap mengkhawatirkan keadaan suaminya.
Lagi-lagi Ki Labur hanya tersenyum saja. Usianya sekarang memang sudah
sangat tua. Bahkan sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Dan memang,
keadaannya tidak lagi segagah ketika masih berusia tiga puluh tahun. Tapi
bagaimanapun juga, dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh
penduduk Desa Mungkit ini.
Dan dia tidak bisa tinggal diam dengan berpangku tangan saja melihat satu
persatu penduduknya mati terbunuh secara aneh dan mengerikan. Dia harus
bertindak sesuatu untuk menghentikan semua pembunuhan ini. Dan kalau perlu,
membekuk pembunuh keji itu dengan tangannya sendiri. Hal ini memang sudah
menjadi tekadnya, sejak terjadi peristiwa pembunuhan lagi kemarin malam.
"Aku pergi dulu, Nyai. Sebaiknya kau masuk saja dan jangan keluar sebelum
aku kembali," kata K Labur.
Nyai Labur tidak bisa lagi menahan suaminya. Dia hanya mematung saja sambil
memandangi laki-laki tua berjubah putih itu melangkah pergi dengan ayunan
kaki begitu mantap. Nyai Labur baru berbalik setelah bayangan tubuh suaminya
tidak terlihat lagi, tertelan gelapnya malam yang teramat pekat ini.
Sementara itu, Ki Labur terus melangkah perlahan-lahan dengan ayunan kaki
mantap, semantap hatinya untuk membekuk si pembunuh. Dia terus berjalan
sambil mengedarkan matanya yang tajam. Beberapa orang peronda yang
berpapasan dengannya selalu membungkukkan tubuh memberi hormat. Sedangkan Ki
Labur hanya membalas dengan sedikit anggukan kepala saja.
Laki-laki tua berjubah putih itu baru berhenti melangkah setelah sampai di
perbatasan desa sebelah timur. Sunyi sekali keadaan di sekitarnya. Tak ada
seorang pun yang terlihat. Bahkan di dekat perbatasan ini hanya berdiri dua
rumah saja. Dan itu pun keadaannya sangat gelap, karena sudah tidak lagi
dihuni. Seluruh penghuninya memang telah tewas menjadi korban pembunuh itu.
"Hm..., seharusnya ada penjaga di sini. Kemana mereka...?" gumam Ki Labur
bertanya sendiri.
Kembali pandangan mata laki-laki tua itu beredar berkeliling. Keningnya jadi
berkerut begitu melihat dua tonggak batu yang menjadi tanda dari batas Desa
Mungkit ini. Kelopak matanya semakin menyipit saat melihat dua sosok tubuh
tengah bersandar pada batu tanda batas desa ini. Perlahan Ki Labur
menghampiri tonggak batu tanda perbatasan itu. Dan setelah dekat...
"Heh...?!"
***
DUA
Kedua bola mata Ki Labur jadi terbeliak lebar! Ternyata dua orang yang
seharusnya menjaga gerbang perbatasan Desa Mungkit ini sudah tidak bernyawa
lagi, dengan leher berlubang lebar hampir putus. Ki Labur bergegas memeriksa
keadaan mereka yang sudah tidak bernyawa lagi. Keningnya jadi berkerut
begitu dalam, melihat darah mengucur dari leher yang menganga sangat lebar
itu.
"Hm...," Ki Labur menggumam perlahan.
Kematian dua orang penjaga perbatasan ini tidak seperti kematian-kematian
yang lainnya. Mayat kedua orang itu masih mengeluarkan darah. Sedangkan pada
korban-korban terdahulu, sedikit pun tidak ada darah yang keluar. Ki Labur
cepat-cepat melangkah mundur beberapa tindak. Dan pada saat itu....
"Uts...!" Cepat-cepat laki-laki tua itu memiringkan tubuhnya ke kanan,
begitu merasakan adanya hempasan angin yang begitu kuat dari arah belakang.
Seketika itu juga, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat sangat cepat
dari arah belakangnya.
"Hup!" Bergegas Ki Labur melenting ke belakang beberapa tindak. Dua kali dia
berputar sebelum kakinya menjejak manis sekali di tanah berumput agak basah
oleh embun.
Tepat pada saat itu, sekitar enam langkah di depannya berdiri sesosok tubuh
berbaju hitam yang sudah lusuh, dan penuh tambalan. Tidak mudah untuk
mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kerudung kain berwarna
hitam dan lusuh. Ditambah lagi, malam ini memang sangat gelap. Awan hitam
menggumpal, bergulung-gulung menghalangi siraman cahaya bulan. Tubuhnya yang
agak membungkuk, tersangga sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan
bentuknya.
"Siapa kau...?" tanya Ki Labur, agak dalam nada suaranya.
"Hik hik hik...!" perempuan tua itu hanya terkikik saja mendapat pertanyaan
Kepala Desa Mungkit ini.
Suara tawa itu begitu kecil dan serak, tapi terdengar sangat nyaring.
Sehingga membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya pasti bergidik
bangun. Tidak terkecuali Ki Labur. Laki-laki tua berjubah putih itu sampai
bergidik mendengar tawa yang terkikik mengerikan itu. Kakinya melangkah
mundur dua tindak. Namun sorot matanya tetap menyala tajam, mencoba menembus
selubung kain kerudung hitam yang hampir menutupi seluruh wajah perempuan
tua berbaju kumal dan penuh tambalan itu.
"Aku tahu, kau ingin bertemu denganku, Ki Labur. Nah, sekarang kau sudah
berhadapan denganku. Apa yang akan kau lakukan padaku, Labur...?" terasa
dingin dan serak sekali suara perempuan tua itu.
"Hm..., jadi kau yang membantai penduduk ku secara keji..,?" desis Ki Labur,
langsung bisa menebak siapa perempuan tua yang berdiri beberapa langkah di
depannya ini.
"Hik hik hik...!' lagi-lagi perempuan tua itu terkikik mengerikan.
Sementara Ki Labur sudah mempersiapkan diri. Dia yakin, malam ini pasti
harus mengerahkan tenaga untuk menghadapi pembunuh aneh dan kejam ini.
Padahal dalam hatinya sama sekali tidak menyangka kalau yang melakukan semua
pembunuhan keji itu adalah seorang perempuan tua yang memiliki suara
mengerikan sekali.
"Siapa pun kau, Nisanak. Kau harus kutangkap. Kau harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan kejimu!" desis Ki Labur tegas.
"Hik hik hik...! Tidak mudah untuk menangkapku, Ki Labur. Sebaiknya jangan
membuang-buang tenaga untuk mengurusi hal kecil seperti ini. Ingat! Kau
sudah tua dan tidak punya kekuatan lagi untuk bertarung," kata perempuan tua
itu lagi.
"Siapa kau sebenarnya? Apa tujuanmu membunuhi penduduk Desa Mungkit?!" tanya
Ki Labur tegas, tanpa menghiraukan peringatan perempuan tua itu.
"Hik hik hik...! Aku biasa dipanggil Nek Paring. Semua ini kulakukan
hanyalah untuk cucuku. Juga untuk kebahagiaan mu sendiri, Labur," sahut
perempuan tua itu.
"Heh...?! Apa yang kau katakan...?"
Ki Labur jadi tersentak kaget setengah mati mendengar kata-kata perempuan
tua yang mengaku bernama Nek Paring barusan. Begitu terkejutnya, sampai
kakinya terlonjak ke belakang beberapa langkah. Sorot matanya jadi semakin
tajam, ingin melihat wajah yang hampir tertutup kain kerudung hitam itu. Dia
benar-benar terkejut dan tidak mengerti perkataan Nek Paring padanya tadi.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau ini sebenarnya? Apa maksudmu berkata seperti itu?!" tanya Ki
Labur tinggi sekali nada suaranya.
Tapi perempuan tua itu hanya tertawa terkikik saja. Seakan-akan
tenggorokannya tergelitik mendengar pertanyaan Ki Labur yang beruntun dan
bernada penasaran. Hal ini membuat Ki Labur jadi berang. Dia merasa
perempuan tua itu sedang mempermainkannya, dengan kata-kata yang sama sekali
tidak bisa dimengerti.
"Dengar, Nisanak...! Aku bisa berbuat kasar kalau kau tidak mau mengatakan
dan menghentikan perbuatan kejimu itu!" desis Ki Labur tidak main-main.
"Hik hik hik...!"
Aneh! Perempuan tua berbaju hitam kumal penuh tambalan itu menanggapi hanya
dengan tawa saja. Bahkan semakin nyaring melengking, dan terdengar serak
seperti burung gagak. Tapi Ki Labur tidak bergidik lagi mendengarnya.
Kemarahannya yang seketika itu juga meluap di dalam dada, membuatnya jadi
tidak peduli. Dan dia kini hanya memandang kalau perempuan itu adalah pelaku
pembunuhan keji di Desa Mungkit ini. Orang yang harus ditangkap dan dijatuhi
hukuman yang setimpal atas perbuatannya dalam beberapa hari ini.
"Aku tidak peduli tujuanmu membunuhi penduduk desa ini, Nisanak. Yang jelas,
kau harus kutangkap malam ini juga," desis Ki Labur dingin menggetarkan.
"Hik hik hik...!"
Lagi-lagi perempuan tua itu hanya tertawa terkikik saja. Sama sekali tidak
dipedulikannya kata-kata Ki Labur yang begitu tegas dan bernada mengancam.
Sedikit pun tidak ditanggapinya kata-kata maupun sikap laki-laki tua
berjubah putih yang menjabat kepala desa di Desa Mungkit ini. Tentu saja hal
itu membuat Ki Labur semakin bertambah geram!
"Hap! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Labur langsung melompat menerjang,
sambil melontarkan beberapa pukulan keras menggeledek, yang disertai
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Namun tanpa diduga sama sekali,
perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan yang mengaku bernama Nek Paring
itu sangat mudah menghindari setiap serangannya.
Dengan lincah dan manis sekali Nek Paring meliuk-liukkan tubuhnya. Setiap
pukulan yang dilancarkan Ki Labur dihindarinya dengan mudah. Bahkan beberapa
kali pula berhasil menangkis tangan Ki Labur dengan tangannya sendiri.
Sehingga, terjadi beberapa benturan keras yang membuat Ki Labur jadi
terperanjat setengah mati. Setiap kali tangannya membentur tangan lawan,
langsung terasa jadi bergetar bagai tersengat lebah berbisa.
"Hup...!" Cepat-cepat Ki Labur melenting ke belakang, setelah melakukan
serangan sebanyak tiga jurus. Namun, tak satu pun yang membawa hasil. Bahkan
kedua tangannya jadi memerah akibat beberapa kali berbenturan dengan tangan
perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Hap! Hap...!"
Ki Labur segera membuka jurus lain. Setelah melakukan beberapa gerakan di
depan dada, kemudian tangannya mengembang ke samping. Seluruh jari-jarinya
tampak merapat menjadi satu, seperti membentuk kepala seekor burung bangau.
Perlahan-lahan kaki kanannya diangkat dengan lutut tertekuk. Sehingga,
pahanya sejajar dengan permukaan tanah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk
langsung ke wajah yang hampir tertutup kerudung hitam yang sudah memudar
warnanya.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Labur melesat cepat bagai kilat.
Kedua tangannya yang masih terkembang ke samping bergerak cepat, diikuti
gerakan tubuh yang meliuk-liuk indah. Langsung diserangnya perempuan tua
yang mengaku bernama Nek Paring itu. Sungguh cepat dan dahsyat
serangan-serangan yang dilakukan Ki Labur kali ini. Setiap kebutan tangannya
menimbulkan deru angin, bahkan menyebarkan hawa sangat panas menyengat
kulit.
"Hait..!"
Nek Paring mengimbangi serangan-serangan laki-laki tua berjubah putih itu
dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Setiap sambaran kedua tangan Ki Labur yang
terkembang lebar ke samping selalu dapat dihindarinya. Namun, beberapa kali
dia terpaksa harus melentingkan tubuhnya ke udara, dan membanting tubuhnya
ke tanah. Bahkan kadang juga harus bergulingan beberapa kali, untuk
menghindari setiap serangan Ki Labur yang begitu cepat dan dahsyat.
Di malam yang dingin dan gelap tanpa cahaya bulan sedikit pun, Ki Labur dan
Nek Paring terus bertarung sengit. Jurus-jurus yang dikeluarkan cukup
dahsyat, dan bermutu tinggi. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar
bagai hendak memecah kesunyian malam di perbatasan Timur Desa Mungkit ini.
Dan pertarungan masih saja terus berlangsung semakin sengit. Kini bukan
hanya Ki Labur saja yang melakukan serangan, bahkan Nek Paring pun sudah
menyiapkan serangan-serangan dahsyatnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa!"
Tepat ketika Ki Labur melenting ke udara sambil melepaskan satu pukulan
keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, secepat
itu pula Nek Paring menarik kakinya ke belakang sambil mengebutkan
tongkatnya ke atas.
Bet!
"Heh...?! Utsss...!"
Ki Labur jadi terkesiap setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau
perempuan tua itu bisa bertindak di saat yang sangat sulit ini. Maka
cepat-cepat tubuhnya berputar berjumpalitan di udara, menghindari tebasan
ujung tongkat yang berbentuk runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Namun belum juga Ki Labur bisa menguasai keseimbangan tubuhnya di udara,
tiba-tiba saja Nek Paring sudah mencelat cepat bagai kilat ke angkasa. Dan
secepat itu pula, satu pukulan keras menggeledek dilepaskan dengan tangan
kirinya. Begitu cepat pukulan tangan kirinya, sehingga Ki Labur tidak sempat
lagi untuk berkelit menghindar. Hingga akhirnya....
Desss!
"Akh...!"
Bruk!
Begitu keras pukulan yang diberikan Nek Paring, sehingga tubuh Ki Labur
jatuh keras sekali menghantam tanah. Beberapa kali laki-laki tua berjubah
putih itu bergulingan di tanah, lalu cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
Pada saat yang sama, kedua kaki Nek Paring sudah kembali menjejak di atas
permukaan tanah yang berumput dan basah oleh embun ini.
Tampak Ki Labur terhuyung-huyung begitu bisa berdiri. Dari sudut bibirnya
mengalir darah. Kemudian, mulutnya memuntahkan darah kental agak kehitaman.
Saat itu juga, pandangannya jadi mengabur berkunang-kunang. Beberapa kali
kepalanya menggeleng-geleng. Dicobanya untuk mengusir rasa pening yang
menyerangnya begitu tiba-tiba, setelah menerima pukulan keras bertenaga
dalam lumayan dari perempuan tua berbaju hitam kumal penuh tambalan itu.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga kalau aku mau, Labur. Tapi aku tidak akan
melakukannya. Dan kuharap kau tidak keras kepala...," kata Nek Paring dingin
sekali nada suaranya.
"Phuih!" Ki Labur menyemburkan ludahnya yang bercampur darah. Memang, di
dalam rongga mulutnya masih penuh darah yang menggumpal. Napasnya juga jadi
tersengal dan terasa sesak sekali. Namun, sorot matanya masih memancar
sangat tajam.
"Hap...!"
Cepat-cepat Ki Labur membuat beberapa gerakan dengan tangannya di depan
dada. Kemudian, perlahan-lahan kakinya bergerak ke kanan menyusuri tanah
berumput yang basah oleh embun. Sementara, Nek Paring masih tetap berdiri
tegak mengamati setia gerakan yang dilakukan laki-laki berjubah putih itu.
Sret!
Cepat sekali Ki Labur mengeluarkan goloknya. yang sejak tadi tersembunyi di
balik jubahnya yang panjang dan longgar ini. Dan begitu goloknya tersilang
di depan dada, bagaikan kilat laki-laki tua berjubah putih itu melesat
menyerang.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Golok yang tergenggam erat di tangan kanan Ki Labur berkelebat cepat bagai
kilat, mengikuti gerakan tubuhnya. Begitu cepatnya, sehingga mata Nek Paring
jadi terbeliak lebar.
Sungguh tidak disangka kalau kepala desa itu masih bisa bergerak begitu
cepat luar biasa, setelah mendapat satu pukulan keras bertenaga dalam cukup
tinggi. Dan memang, tadi Nek Paring tidak sepenuhnya mengerahkan tenaga
dalam pada pukulannya. Padahal, dia tadi menyangka kalau Ki Labur tidak akan
mungkin bisa melakukan serangan kembali. Namun kenyataannya, laki-laki tua
berjubah putih itu malah mampu melakukan serangan begitu cepat dan dahsyat
luar biasa.
"Hait..! Hih!"
Cepat-cepat Nek Paring melompat mundur sambil mengebutkan tongkatnya untuk
menangkis tebasan golok Kepala Desa Mungkit itu. Tak pelak lagi, tongkat
yang kelihatannya dari kayu biasa itu berbenturan dengan golok Ki Labur yang
berkilatan sangat tajam.
Trang!
"Heh...?!"
Ki Labur jadi tersentak kaget setengah mati, begitu goloknya berbenturan
dengan tongkat kayu yang kelihatannya rapuh. Cepat-cepat tubuhnya melenting
melakukan putaran beberapa kali ke belakang. Dan manis sekali kedua kakinya
kembali menjejak tanah. Tapi mulutnya jadi meringis karena merasakan nyeri
pada persendian tangan kanannya.
Memang sukar dipercaya, kalau tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu ternyata
sangat tangguh luar biasa. Bahkan ketika berbenturan tadi, seakan-akan
goloknya menghantam sebatang besi baja yang sangat berat Dan saat laki-laki
tua itu tengah terpana, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat..!" Bet!
Bagaikan kilat, Nek Paring melompat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah
dada Ki Labur yang masih terpana tidak percaya oleh kejadian barusan. Dan
kini matanya jadi terbeliak lebar, begitu mendapat serangan cepat dan
mendadak dari perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Hait...!" Wuk!
Cepat-cepat Ki Labur mengangkat goloknya, melindungi dadanya dari kebutan
tongkat Nek Paring yang berujung runcing. Kembali dua senjata beradu keras
di depan dada Ki Labur.
Trang! "Yeaaah...!"
Belum juga Ki Labur berbuat sesuatu, bagaikan kilat Nek Paring sudah
melenting ke udara sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang
mengarah ke dada. Waktunya memang bersamaan saat tangan Ki Labur yang
menggenggam golok itu terpental ke samping.
Desss!
"Akh...!" Ki Labur terpekik keras. Kembali dada laki-laki tua itu terpaksa
harus menerima tendangan keras menggeledek dari Nek Paring. Seketika itu
juga, tubuhnya terpental deras ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah
beberapa kali. Sebatang pohon berukuran cukup besar langsung tumbang
seketika, begitu terlanda tubuh laki-laki tua yang sudah berusia lebih dari
tujuh puluh tahun itu.
"Hoeeekh...!" Untuk kedua kalinya Ki Labur memuntahkan darah kental
kehitaman dari mulutnya. Dia berusaha bangkit berdiri, namun kembali jatuh
menggelimpang di antara reruntuhan batang pohon yang terlanda tubuhnya tadi.
Perlahan kepalanya diangkat, mencoba menatap Nek Paring yang berdiri tegak
sambil berkacak pinggang. Namun pandangannya benar-benar mengabur dan
berkunang-kunang. Sedangkan napasnya semakin tersengal. Kembali Ki Labur
terbatuk dan menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya. Pandangannya
semakin kurang dan mengabur.
Sedangkan Nek Paring tetap berdiri tegak memandanginya, sambil berkacak
pinggang sekitar satu batang tombak di depan Kepala Desa Mungkit itu,
"Kau tidak akan mati, Labur. Tapi, kau akan lumpuh untuk beberapa hari,"
kata Nek Paring, begitu dingin nada suaranya.
"Huh!" Ki Labur hanya bisa mendengus saja, dan terus mencoba membuka kelopak
matanya lebar-lebar. Tapi, pandangannya semakin kurang dan terus mengabur.
Hingga akhirnya, dia sama sekali tidak bisa melihat. Sekitarnya terasa
begitu gelap. Bahkan kepalanya jadi berat bagai terbebani bongkahan batu
seberat beberapa kati. Dan akhirnya, laki-laki tua berjubah putih itu roboh
tak sadarkan diri lagi.
"Hik hik hik...!"
Hanya sesaat dan samar-samar saja Ki Labur masih sempat mendengar tawa Nek
Paring yang terkikik panjang mengerikan, kemudian tak mampu lagi mendengar
apa pun. Laki-laki tua berjubah putih itu benar-benar pingsan, setelah
dadanya terkena tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi tadi.
***
TIGA
"Oh...." Ki Labur merintih lirih sambil menggerak-gerakkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian kelopak matanya terbuka, dan perlahan tubuhnya
bergerak hendak bangkit. Tapi sebuah tangan sudah mencegah bahunya. Niatnya
terpaksa diurungkan. Sebentar Ki Labur mengerjapkan matanya, lalu kembali
membukanya lebar-lebar. Tampak seraut wajah wanita tua berada dekat
dengannya. Wajah yang sangat dikenali, dan telah mendampingi hidupnya
bertahun-tahun.
"Jangan bangun dulu, Ki. Kau masih lemah," lembut dan agak bergetar suara
wanita tua yang tak lain Nyai Labur.
Sebentar Ki Labur masih memandangi istrinya, kemudian pandangannya beralih
pada seorang pemuda tampan yang berdiri di depan pintu kamar ini. Sebuah
kamar berukuran tidak begitu besar, namun kelihatan rapi dan bersih.
Sedangkan pintu kamar itu terbuka lebar, sehingga Ki Labur bisa melihat dua
orang pemuda dengan golok terselip di pinggang tengah berjaga-jaga di
depannya. Pemuda tampan yang ternyata Darkan segera melangkah mendekat saat
tangan kanan Ki Labur bergerak memanggilnya.
"Ya, Ki...," ujar Darkan setelah dekat dengan pembaringan kayu itu.
"Dengar, Darkan. Dalam beberapa hari ini, aku terpaksa berada di tempat
tidur. Maka kau harus bisa mengendalikan keadaan desa ini. Kau harus bisa
meringkus perempuan iblis keparat itu," lemah sekali suara Ki Labur.
"Aku usahakan semampu ku, Ki," sahut Darkan mantap.
"Darkan...."
"Iya, Ki."
"Walaupun kau hanyalah menantuku, tapi kuharapkan kau bisa menjadi pemimpin.
Hanya kau satu-satunya harapanku untuk meneruskan cita-citaku ini. Aku tidak
ingin kau terus-menerus larut dalam kesedihan setelah ditinggal pergi
istrimu. Kau harus tabah, Darkan. Dan sekarang, pundakmu harus memikul beban
berat. Beban yang seharusnya aku sandang, kini menjadi tanggung jawabmu. Kau
mengerti maksudku, Darkan...?" masih terdengar lemah suara Ki Labur.
"Aku mengerti, Ki," sahut Darkan juga pelan.
Pemuda itu hanya tertunduk saja. Dia kini jadi teringat istrinya yang sudah
tewas satu bulan sebelum peristiwa pembunuhan yang mengerikan ini. Kaminten
tewas oleh empat orang perampok yang mendatangi rumah mereka. Saat itu,
Darkan sedang berada di rumah mertuanya. Dan hanya Kaminten saja yang
tinggal di rumah, ditemani seorang wanita pembantu yang sudah berusia cukup
lanjut.
Perampok itu bukan hanya menggasak harta, tapi juga mencabut nyawa dua orang
wanita di dalam rumah itu. Dan untungnya, Kaminten masih bisa bertahan
sampai suaminya pulang. Dan dia hanya memberi tahu kalau yang melakukan
semua itu ada empat orang. Tapi, sampai saat ini Darkan tidak bisa menemukan
keempat perampok yang telah mengambil nyawa istrinya. Putri satu-satunya
Kepala Desa Mungkit ini.
Dan baru saja sebulan peristiwa menyedihkan itu terjadi, muncul satu
peristiwa pembunuhan yang sangat mengerikan dan keji. Kemudian disusul
pembunuhan-pembunuhan lain yang sama coraknya. Dan semua korbannya mati
dalam keadaan tubuh tidak memiliki darah lagi. Seakan-akan pembunuh itu
menghisap darah korbannya hingga tak tersisa sedikit pun.
Semua peristiwa itu membuat Ki Labur, Nyai Labur, dan Darkan terpaksa harus
melupakan kematian Kaminten. Dan perhatian mereka kini jadi terpusat pada
peristiwa pembunuhan yang masih terselubung teka-teki itu.
"Apa yang kau lamunkan, Darkan...?" tegur Ki Labur.
"Oh..., eh! Tidak..., tidak, Ki," sahut Darkan jadi tergagap.
Dan lamunan pemuda itu pada peristiwa yang menimpa istrinya langsung buyar
seketika. Perlahan kepalanya terangkat. Pandangannya langsung bertemu dengan
tatapan mata Ki Labur yang masih terbaring di atas pembaringan, ditunggui
istrinya dengan setia. Sedangkan Darkan masih tetap berdiri dengan kedua
tangan menyatu di depan.
"Kau sudah kuburkan dua mayat orang kita, Darkan?" tanya Ki Labur.
"Sudah, Ki," sahut Darkan.
"Bagaimana Keadaannya?"
"Seperti yang lainnya. Mereka tewas tanpa ada darah di tubuhnya," sahut
Darkan, tanpa membeberkan lebih jauh. Karena pemuda itu yakin kalau
mertuanya ini sudah lebih tahu darinya. Darkan mendapati dua orang penjaga
gerbang perbatasan tewas dengan keadaan sama dengan korban-korban yang lain.
Leher terkoyak lebar, dan dada berlubang tanpa ada darah setetes pun.
Sedangkan Ki Labur ditemui sudah tergeletak tak sadarkan diri, tidak jauh
dari kedua mayat itu. Pada saat itu, pagi sudah menjelang. Jadi memang cukup
waktu untuk menguras darah dari kedua mayat itu.
Sementara itu, keadaan Ki Labur sendiri sangat mengkhawatirkan. Darah banyak
tertumpah dari mulutnya. Sedangkan tulang-tulang dadanya remuk, akibat
terkena pukulan serta tendangan keras bertenaga dalam lumayan dari perempuan
tua yang mengaku bernama Nek Paring.
Darkan segera membawa mertuanya itu pulang, setelah memerintahkan
orang-orangnya mengurus mayat dua orang penjaga gerbang desa sebelah
Timur.
***
Peristiwa yang dialami Ki Labur tentu saja menambah beban semakin berat di
pundak Darkan. Sekarang Ini, Ki Labur benar-benar tidak bisa bangkit lagi
dari pembaringannya. Dia hanya bisa menggerakkan kepala dan tangannya.
Sedangkan seluruh tubuhnya jadi lumpuh, akibat pertarungannya melawan
perempuan tua yang membunuhi penduduk Desa Mungkit ini tanpa jelas maksud
dan tujuannya.
Seharian ini, setelah Ki Labur dibawa pulang setelah ditemui menggeletak
pingsan di perbatasan desa sebelah Timur, Darkan terus berdiri mematung di
depan pusara istrinya. Belum ada dua purnama istrinya terbaring di tempat
peristirahatannya yang terakhir. Dan sekarang, Darkan harus memikul beban
yang sangat berat di pundaknya. Rasanya terlalu berat dan sulit baginya
untuk menanggung semua beban ini. Tapi semua itu tidak bisa lagi ditolaknya.
Perlahan Darkan mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertumbuk pada
seorang wanita muda berpakaian kumal dan compang-camping, serta penuh
tambalan. Seluruh tubuh dan wajahnya begitu kotor, seakan-akan baru saja
keluar dari kubangan lumpur.
Wanita itu berdiri mematung sambil memandangi Darkan di bawah pohon yang
cukup rindang. Tubuhnya terlindungi dari sengatan matahari yang saat ini
sudah berada tepat di atas kepala. Perlahan Darkan melangkah menghampiri.
Sedangkan wanita itu masih tetap berdiri dengan pandangan kosong, namun
tertuju lurus ke wajah pemuda tampan ini.
Sejenak Darkan merasakan adanya desiran halus pada aliran darahnya, begitu
dekat di depan wanita yang lebih mirip gembel jalanan ini. Cukup sulit untuk
mengenali wajahnya yang kotor, dan hampir tertutup rambut panjang yang
dibiarkan meriap tak teratur.
"Sedang apa kau disini, Nisanak?" tegur Darkan sambil mencoba mengurangi
suatu perasaan aneh yang tiba-tiba saja membersit dalam hatinya.
"Aku..., aku...," wanita itu tergagap.
Kalimatnya tidak diselesaikan. Lalu, cepat-cepat mukanya dibuang ke samping,
seakan-akan tidak tahan melihat sorot mata Darkan yang terasa cukup tajam
menusuk langsung ke bola matanya. Beberapa saat mereka terdiam membisu.
Jarak mereka berdiri hanya sekitar tiga langkah saja. Perlahan wanita itu
memalingkan mukanya kembali, dan menatap wajah pemuda tampan di depannya
lagi.
"Aku seperti pernah mengenalmu. Tapi...," lagi-lagi wanita itu tidak
meneruskan ucapannya.
"Siapa kau ini, Nisanak?" tanya Darkan dengan nada suara terdengar
menyelidik.
Pemuda itu teringat kata-kata Ki Labur yang mengatakan bahwa lawannya
semalam adalah seorang perempuan tua berpakaian kumal seperti gembel dengan
ilmu kedigdayaannya yang sangat tinggi. Namun melihat wanita yang berada di
depannya ini, hati Darkan jadi ragu-ragu. Meskipun wanita ini mengenakan
pakaian kumal penuh tambalan, tapi usianya tidak tua. Bahkan masih kelihatan
muda, seperti baru berusia sekitar sembilan belas tahun.
Hanya saja, keadaannya yang sangat kotor ini membuatnya jadi tidak sedap
untuk dipandang. Tapi di balik wajahnya yang pucat dan kotor, Darkan melihat
adanya garis-garis kecantikan yang sangat tersembunyi. Kening Darkan juga
jadi berkerut, dan pandangannya semakin bertambah dalam saja merayapi wajah
wanita yang berada sekitar tiga langkah di depannya ini.
Benaknya jadi teringat seraut wajah yang sangat dicintainya, tapi terlalu
cepat pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Wajah itu adalah Kaminten,
istrinya yang tewas di tangan empat orang perampok sekitar dua purnama yang
lalu. Dan wajah wanita didepannya ini begitu mirip. Hanya saja keadaannya
yang sangat kotor dan tidak beraturan membuat Darkan jadi ragu-ragu.
Sedangkan dia tahu istrinya sudah meninggal.
"Inten...!"
"Oh...?!"
"Heh...?!"
Bukan hanya gadis berbaju kumal dan kotor itu saja yang terkejut ketika
tiba-tiba saja terdengar panggilan yang sangat keras dan serak bagai suara
burung gagak. Bahkan Darkan jadi terlonjak beberapa langkah. Rasa kagetnya
memang beralasan, karena suara yang keras itu memanggil sebuah nama yang
sering diucapkan jika dia memanggil istrinya.
Belum lagi rasa keterkejutan mereka lenyap, tahu-tahu seorang perempuan tua
berpakaian kumal dan lusuh penuh tambalan muncul dari balik semak yang cukup
tebal dan tinggi. Perempuan tua itu juga tampak terkejut melihat Darkan yang
ada di situ juga. Bergegas dihampirinya gadis itu, dan langsung tangannya
ditarik hingga menjauh dari Darkan yang jadi terlongong bengong.
"Ayo pulang! Kau belum boleh keluar!" agak menyentak suara perempuan tua
itu.
"Tapi, Nek...," gadis itu ingin membantah.
"Pulang, kataku...!" sentak perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan yang
wajahnya tertutup kerudung hitam yang sudah memudar warnanya.
Mendengar suara bernada membentak, gadis itu langsung terdiam tidak berani
membantah lagi. Sebentar matanya melirik Darkan yang hanya diam saja
mematung seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Bergegas gadis itu berlari
pergi, setelah perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan menghentakkan
ujung tongkatnya ke tanah sambil mendengus seperti kesal.
Sebentar saja gadis yang tadi dipanggil Inten itu menghilang ke dalam semak
belukar yang cukup lebat dan tinggi, tempat perempuan tua itu tadi muncul.
Sedangkan Darkan masih tetap berdiri tegak, seperti tidak mengerti. Dan
perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu masih tetap saja berdiri di
depan Darkan, sambil berkacak pinggang dengan sikap angkuh sekali.
"Kau jangan coba-coba menemuinya lagi, Darkan. Dia bukan milikmu lagi...!"
sentak perempuan tua itu.
"Heh...?!"
Wusss...!
Selagi Darkan terlongong kaget, saat itu juga perempuan tua berbaju kumal
penuh tambalan tadi melesat cepat bagai kilat Dan dalam sekejapan mata saja,
dia sudah lenyap bagai tertelan bumi. Sedangkan Darkan masih tetap berdiri
mematung. Mulutnya terbuka lebar, dan matanya memandang kosong ke depan.
Pemuda itu seperti orang bodoh yang habis dikibuli, hingga hartanya amblas
tak bersisa lagi. Cukup lama juga Darkan berdiri mematung, terlongong
bengong tanpa dapat berbuat sesuatu.
"Oh...," Darkan mendesah panjang begitu kesadarannya kembali pulih. Namun,
disekelilingnya tidak ada seorang pun lagi, selain dirinya sendiri. Sunyi
sekali sekitarnya sehingga hembusan angin di bawah teriknya sinar mentari
siang ini begitu terasa mengalun di telinga. Beberapa saat Darkan masih
tetap berdiri mematung memandangi semak belukar, tempat gadis kotor berbaju
kumal penuh tambalan tadi pergi. Dari sana pula perempuan tua berbaju hitam
kumal penuh tambalan yang sudah memudar warnanya itu tiba-tiba muncul.
"Ahhh...! Apakah aku bermimpi...?" desah Darkan, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang baru saja dialaminya. Darkan mencoba mengingat-ingat lagi
semua peristiwa yang baru saja terjadi pada dirinya. Dan dia jadi tersentak
ketika teringat cerita Ki Labur tentang lawannya semalam. Dan ciri-ciri yang
dikatakan Kepala Desa Mungkit itu sangat mirip perempuan tua yang tadi
muncul dan pergi begitu tiba-tiba.
Namun, pemuda tampan itu kembali tertegun. Jelas sekali wanita tua itu
memanggil gadis berpakaian gembel tadi dengan nama yang sama dengan nama
mendiang istrinya. Bahkan wajah gadis yang dipanggil Inten itu juga mirip
sekali Kaminten. Hanya saja, wajahnya yang kotor seperti baru keluar dari
lumpur. Jadi sulit untuk dikenali.
"Oh! Apa arti semua ini...?" desah Darkan bertanya-tanya sendiri. Tapi
mendadak saja Darkan jadi tersentak. Cepat tubuhnya berbalik. Tatapan
matanya langsung tertuju pada onggokan pusara istrinya. Dan seketika itu
juga, keningnya jadi berkerut. Baru disadari kalau ada perubahan yang sangat
kecil dan hampir tidak terlihat pada makam itu. Bergegas kakinya melangkah
menghampiri pusara itu. Sejenak dipandanginya kuburan yang masih berupa
tanah merah itu.
Sret!
Darkan langsung mencabut goloknya yang terselip di pinggang sebelah kanan.
Sebentar dia berdiri mematung memandangi pusara istrinya itu, kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, pemuda itu langsung menghunjamkan
goloknya ke pusara istrinya. Dan beberapa kali goloknya dihunjamkan, hingga
tanah kuburan itu terbongkar. Seperti orang kerasukan setan, Darkan terus
menggali kuburan dengan goloknya disertai pengerahan tenaga dalam. Maka
sebentar saja, lubang kuburan itu sudah tergali cukup dalam.
Tepat ketika kedalamannya sudah mencapai pinggang tiba-tiba saja muncul dua
orang penunggang kuda dari arah Desa Mungkit. Mereka tampak terkejut melihat
Darkan seperti kerasukan setan membongkar sebuah kuburan sambil
berteriak-teriak keras. Dua orang penunggang kuda itu langsung bergegas
melompat turun.
Mereka adalah seorang pemuda tampan, mengenakan baju warna putih tanpa
lengan. Sebilah pedang bergagang kepala burung, tersampir di punggungnya.
Dan yang seorang lagi adalah gadis cantik berbaju biru muda agak ketat.
Sebuah kipas putih keperakan tampak terselip di pinggang depan. Sedangkan
pedang bergagang kepala naga hitam, berada di punggungnya. Mereka bergegas
menghampiri Darkan begitu turun dari kuda masing-masing.
"Hey...! Apa yang kau lakukan...?!" seru pemuda yang mengenakan baju rompi
putih itu, agak keras suaranya.
Darkan langsung berhenti, begitu mendengar seruan yang sangat keras.
Sehingga, membuat gendang telinganya jadi terasa sakit. Kelopak mata menantu
kepala desa itu jadi menyipit begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih sudah berdiri dekat dengan lubang kuburan yang sudah terbongkar
cukup dalam ini. Dan di belakang pemuda itu tampak berdiri seorang gadis
cantik berbaju biru muda yang agak ketat. Sehingga, memetakan bentuk
lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah sekali.
"Pergi kau! Jangan ikut campur urusanku...!" bentak Darkan, terdengar kasar
nada suaranya.
"Kau membongkar kuburan. Hanya iblis yang bisa melakukan perbuatan itu,
Kisanak," desis pemuda baju rompi putih itu.
"Setan...! Hup!"
Darkan jadi geram mendengar kata-kata pemuda yang tidak dikenalnya ini.
Dengan gerakan yang begitu ringan dan manis, dia melompat naik dari lubang
kuburan Kaminten yang digalinya lagi. Hanya sekali lompatan saja, menantu
Kepala Desa Mungkit it sudah berada di atas. Kakinya mendarat manis sekali
dengan jarak sekitar lima langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih
yang didampingi seorang gadis cantik berbaju biru muda agak ketat.
"Dengar, Kisanak.... Aku tidak suka urusanku dicampuri orang asing yang
tidak kukenal. Dan sebaiknya, kalian segera pergi sebelum aku berlaku tidak
sopan," kata Darkan, agak mengancam nada suaranya.
"Kenapa kau membongkar kuburan istrimu sendiri?" tanya pemuda berbaju rompi
putih itu, tidak menghiraukan ancaman yang dilontarkan Darkan barusan.
"Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!" bentak Darkan agak terkejut juga,
karena pemuda yang belum dikenalnya ini sudah tahu kalau dia membongkar
kuburan istrinya sendiri. Tatapan matanya begitu tajam, merayapi sekujur
tubuh pemuda berwajah tampan dan mengenakan baju rompi putih yang berdiri
sekitar lima langkah di depannya. Mendadak saja Darkan jadi tersentak. Dia
ingat kalau pernah melihat pemuda itu di Desa Mungkit waktu terjadi
pembunuhan mengerikan. Dan terakhir kali melihatnya, saat dia bersama Ki
Labur melihat saat terjadi pembunuhan mengerikan lagi di Desa Mungkit.
"Siapa kalian...?!" tanya Darkan, agak ditekan nada suaranya. Sorot mata
pemuda itu masih tetap tajam mengamati pemuda tampan berbaju rompi putih di
depannya. Sesekali matanya melirik gadis can-tik yang berdiri di samping
pemuda berbaju rompi putih itu.
"Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi," sahut pemuda berbaju rompi putih itu
memperkenalkan diri.
Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi. Di kalangan persilatan, Rangga
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dan Pandan Wangi berjuluk si Kipas Maut.
Mereka juga dikenal sebagai sepasang pendekar Karang Setra. Tapi, tampaknya
Darkan tidak mengenal nama kedua pendekar muda itu.
"Kenapa kau menghentikan pekerjaanku?" tanya Darkan lagi.
"Perbuatanmu sangat keji, Darkan...."
"Eh...?! Kau tahu aku...?" lagi-lagi Darkan tersentak kaget.
Darkan begitu yakin, kalau belum memperkenalkan diri pada pemuda berbaju
rompi putih itu. Tapi orang yang bernama Rangga ini bisa mengetahui namanya.
Sedangkan baru kali ini mereka bisa berdiri dekat dan saling berpandangan,
walaupun diliputi suasana ketegangan yang cukup merasuk dada.
"Selama beberapa hari di Desa Mungkit, aku tahu semua yang terjadi. Juga
termasuk dirimu," sahut Rangga, terdengar kalem sekali nada suaranya.
"Kau sudah tahu diriku. Dan kau juga sudah tahu kalau kuburan ini pusara
istriku. Kenapa masih juga mau ikut campur...?" sinis sekali nada suara
Darkan
"Kau punya beban yang sangat berat dan aku berharap kau jangan mengotorinya
dengan perbuatan keji yang sepele ini. Seorang ksatria sejati tidak akan
pernah membongkar kuburan orang lain. Biarkanlah istrimu beristirahat
tenang. Dan seharusnya, kau tidak perlu mengganggu istirahatnya," kata
Rangga lagi lebih kalem suaranya.
"Jangan coba-coba menggurui ku, Kisanak...!" desis Darkan masih tidak suka,
karena pekerjaannya jadi terhenti.
Rangga hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah perlahan, mendekati kuburan
yang sudah terbongkar lebih dari setengahnya. Sebentar kepalanya melongok ke
dalam lubang kuburan yang menganga lebar, kemudian kembali beralih pada
Darkan yang sejak tadi terus memperhatikan tingkahnya.
"Kau akan menyesal melakukan semua ini, Darkan," kata Rangga.
"Setan...! Pergi kau dari sini!" bentak Darkan jadi berang.
"Mungkin sebaiknya kau saja yang pergi, Darkan. biar aku dan Pandan Wangi
yang akan membereskan pusara istrimu ini."
"Keparat..! Kau membuat kesabaranku hilang, Kisanak!" desis Darkan
menggeram.
Bet!
Darkan langsung mengebutkan goloknya yang kotor berlumur tanah merah.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tenang dengan bibir menyunggingkan
senyum tipis. Sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak peduli, walaupun
Darkan sudah bersiap mengeluarkan jurusnya. Namun begitu, sinar mata Rangga
masih tetap menyorot tajam.
"Kau tidak mau pergi juga, heh...? Jangan salah kan aku kalau terpaksa
mengusirmu secara kasar ancam Darkan lagi.
"Kau tidak akan melakukannya, Darkan. Percayalah. Kau akan menyesal telah
membongkar makam istrimu sendiri. Bahkan semua orang akan marah jika tahu
bahwa kau melakukan perbuatan terkutuk, membongkar kuburan istrinya
sendiri," kata Rangga masih dengan suara tenang dan ber-nada membujuk.
"Phuih...! Kau terlalu keras kepala, Kisanak. Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bet! Wut!
"Hait..!"
***
EMPAT
Dua kali Darkan mengebutkan goloknya. Tapi hanya meliukkan tubuhnya saja,
Rangga berhasil menghindari serangan-serangan cepat pemuda itu. Dan Rangga
cepat-cepat melompat ketika Darkan langsung merubah jurusnya. Bahkan terus
menyerang dengan goloknya yang kotor berlumur tanah merah. Kebutan golok
yang mengarah ke dada itu hanya lewat saja di depan Pendekar Rajawali Sakti
yang cepat-cepat melompat ke belakang, sambil menarik tubuhnya ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Namun Darkan tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya
serangan-serangan cepat yang begitu dahsyat. Setiap kebutan goloknya
mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga menimbulkan suara
angin yang menderu menyakitkan telinga.
"Lepas! Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Pada
saat itu, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat sambil mengebutkan tangan
kanannya begitu cepat. Rangga langsung mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' tingkat pertama. Tapi, ini sudah membuat Darkan jadi
kelabakan juga.
Goloknya yang tadi sudah terulur hendak dihunjamkan ke dada lawan,
cepat-cepat ditarik kembali. Tapi belum juga Darkan menarik penuh tangannya
mendadak saja...
Plak!
"Akh...!" Darkan terpekik keras agak tertahan. Entah bagaimana kejadiannya,
tahu-tahu tepakan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa terbendung lagi.
Tepakan itu tepat menghantam pergelangan tangan yang memegang golok Darkan.
"Setan alas...!" maki Darkan dalam hati.
Golok di dalam genggaman tangan pemuda itu sudah terpental entah ke mana.
Darkan cepat-cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah sambil
memegangi pergelangan tangan kanannya, karena tadi sempat terkena kebutan
Pendekar Rajawali Sakti.
Jelas, tingkat kepandaian yang dimiliki Darkan berselisih sangat jauh di
bawah tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, mudah sekali
pemuda berbaju rompi putih itu menaklukkannya. Walaupun goloknya sudah
terpental jauh entah kemana, tapi Darkan tidak sudi menyerah begitu saja.
Tanpa menghiraukan rasa nyeri pada pergelangan tangan kanannya, dia kembali
bersiap melakukan serangan lagi. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak
menanti.
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Darkan melompat cepat
sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga
da-lam cukup tinggi.
Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berhasil mengelakkan setiap
pukulan yang da tang ke tubuhnya. Gerakan-gerakan tubuhnya sangat indah,
diikuti gerakan kaki yang begitu lincah. Rangga saat ini memang mengerahkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi itu hanya sebentar saja dilakukan,
karena....
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Dan
seketika itu juga, kaki kanannya melayang begitu cepat untuk mendepak ke
arah dada Darkan. Begitu cepat serangannya, sehingga Darkan tidak sempat
lagi menghindar. Dan....
Desss!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Darkan terpekik. Tubuh Darkan langsung
terpental jatuh ke tanah, begitu telapak kaki Rangga keras sekali menghantam
dadanya. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam
sedikit pun juga, tapi sudah membuat Darkan terpental cukup deras. Dan
pemuda itu meringis, menahan sakit dan rasa sesak pada dadanya.
Sementara Rangga melangkah menghampiri. Dan begitu dekat, tangannya
diulurkan sambil menyunggingkan senyuman. Melihat hal ini, Darkan jadi
berkerut keningnya, karena mendapat perlakuan yang begitu bersahabat.
Padahal, dia tadi sangat kasar, bahkan melakukan serangan terlebih dahulu.
Namun, pemuda berbaju rompi putih itu malah mengulurkan tangan hendak
membantunya berdiri. Agak ragu-ragu juga Darkan menerima uluran tangan itu.
Dan dia bisa bangkit berdiri, setelah Rangga menghentakkan tangannya agak
kuat. Kini, mereka kembali berdiri berhadapan dengan jarak sekitar dua
langkah saja.
"Kenapa kau tidak membunuhku? Kau sudah mengalahkanku, Kisanak," kata
Darkan, masih agak tersengal napasnya, akibat menerima tendangan keras dari
Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Kau bukan musuhku, Darkan. Justru aku merasa prihatin oleh keadaan dirimu,"
kata Rangga kalem.
Darkan jadi terdiam. Diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata
begitu dalam, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Sungguh tidak disangka kalau budi pendekar muda ini begitu
luhur. Hanya dengan satu kalimat saja, sudah membuat hati Darkan jadi
tersentuh cukup dalam.
"Aku tahu, apa yang sedang terjadi pada dirimu. Juga pada seluruh penduduk
desamu," kata Rangga lagi. "Untuk itu, aku terpaksa tinggal beberapa hari di
desamu, untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya pada dirimu."
Darkan semakin diam membisu. Dia jadi tidak bisa lagi berkata-kata,
mendengar penuturan Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian. Entah apa
yang ada di dalam dada pemuda itu. Sedangkan Rangga sendiri masih terlalu
sulit menerka. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu.
"Apa saja yang sudah kau ketahui?" tanya Darkan setelah cukup lama berdiam
diri.
"Tidak banyak. Tapi aku tahu, kau dan seluruh penduduk Desa Mungkit sedang
menghadapi persoalan yang tidak kecil. Bahkan sudah banyak memakan korban,"
kata Rangga membuka semua yang diketahuinya selama ini di Desa Mungkit.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah berada lagi di samping kanan Pendekar
Rajawali Sakti. Dan tampaknya, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu juga
tidak mengerti keadaan yang sedang terjadi sekarang ini. Sehingga, dia hanya
bisa diam saja tanpa dapat membuka suara sedikit pun. Pandan Wangi merasa
lebih baik diam mendengarkan, sebelum bisa mengerti benar duduk perkaranya.
Memang baru Pandan Wangi saja yang datang menemui Pendekar Rajawali Sakti di
Desa Mungkil hari ini. Karena, mereka memang sudah berjanji untuk bertemu di
sini, setelah berpisah beberapa hari untuk menyelesaikan persoalan
masing-masing.
Sementara itu, Darkan melangkah mendekati kuburan istrinya yang sudah
dibongkar sampai setengah dalamnya. Pemuda itu berdiri mematung di pinggiran
lubang kuburan itu. Rangga melangkah mendekati diikuti Pandan Wangi. Kedua
pendekar muda itu berdiri mengapit di samping kanan dan kiri Darkan.
Beberapa saat mereka kembali terdiam membisu, memandang ke lubang kubur di
depannya.
"Kalian tahu, kenapa aku lakukan ini pada kuburan istriku sendiri...?" pelan
sekali suara Darkan.
Begitu pelannya, hampir saja tidak terdengar telinga kedua pendekar muda
dari Karang Setra yang mengapitnya dari samping. Sementara, Rangga da Pandan
Wangi hanya diam saja mendengarkan.
"Aku merasa, istriku belum meninggal. Dan jasadnya tidak ada di dalam
kuburan ini," sambung Darkan.
"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?" selak Pandan Wangi.
Sejak tadi, Pandan Wangi memang hanya diam saja dan mendengarkan. Tapi
rasanya memang tidak betah jika hanya diam dan mendengarkan saja, tanpa
berbuat sesuatu yang berarti.
"Waktu aku berada di sini, tahu-tahu muncul seorang gadis muda yang sangat
kotor keadaannya. Tapi tak lama kemudian, muncul lagi perempuan tua yang
juga melumpuhkan Ki Labur semalam. Setelah mereka pergi begitu saja, baru
kusadari kalau ada perubahan pada makam ini. Aku langsung berpikir, Istriku
tidak ada di dalam pusara ini," jelas Darkan, singkat.
"Kenapa...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Gadis kotor berpakaian seperti gembel itu wajahnya mirip sekali istriku,"
sahut Darkan.
"Oh...! Hanya itu...?!" desah Pandan Wangi agak terkejut mendengar alasan
Darkan, sehingga sampai membongkar kuburan ini.
"Kuburan ini hanya untuk beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh...,"
kata Rangga agak menggumam. Seakan-akan dia berbicara pada diri sendiri.
"Jadi mungkin saja dia belum sempat beristirahat, tapi sudah diajak pergi
lagi oleh orang lain."
"Jadi, kau juga menduga kalau Kaminten tidak ada di dalam pusaranya
lagi...?" tanya Darkan, seperti bisa menangkap makna yang terselubung dalam
ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja. "Tapi walaupun begitu..., kau tidak
patut membongkarnya. Kau kan bisa menyelidiki lebih dulu tentang gadis itu,
kalau memang wajahnya mirip istrimu," kata Pandan Wangi menasihati.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang ada dalam pikiranku selain membuktikannya
dengan mata kepala sendiri," sahut Darkan bernada menyesal.
"Ah, sudahlah.... Sebaiknya, kita tutup lagi lubang ini. Lalu dirapikan
seperti semula," selak Rangga tidak ingin memperpanjang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Darkan langsung saja menimbun lagi lubang yang
tadi digalinya. Rangga membantu hingga pekerjaan mereka cepat selesai.
Pekerjaan yang cukup melelahkan itu sudah selesai sebelum matahari condong
ke arah Barat. Sementara Pandan Wangi sudah berada di depan kudanya dan kuda
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga dan Darkan tetap berdiri di
samping pusara itu. Mereka terdiam cukup lama, dan terus memandangi pusara
yang sudah rapi kembali.
"Maaf. Aku harus kembali ke desa. Sudah terlalu lama aku berada di sini,"
kata Darkan tiba-tiba. "Kalau kau bersedia, aku bisa menyediakan tempat yang
layak untukmu dan temanmu menginap di sana."
"Terima kasih," ucap Rangga menolak halus.
"Baiklah. Aku tidak ingin memaksa. Tapi jika kau kembali ke Desa Mungkit,
temuilah aku. Dan katakan kau adalah sahabatku," kata Darkan lagi.
Rangga hanya tersenyum saja. Darkan mengulurkan tangannya yang langsung
disambut hangat oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar mereka saling
berjabatan tangan, kemudian Darkan bergegas meninggalkan tempat itu untuk
menuju kembali ke Desa Mungkit. Karena desa itu memang membutuhkan
tenaganya. Memang sekarang ini, Darkan adalah tulang punggung desa itu.
Sementara, Rangga juga bergegas menghampiri Pandan Wangi yang sudah
mempersiapkan kuda-kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan kembali.
***
Malam itu di sekitar Desa Mungkit sangat dingin. Angin bertiup kencang. Awan
bergulung-gulung menggumpal hitam, menutupi cahaya rembulan. Lolongan anjing
terdengar saling sambut di kejauhan. Malam ini suasana di Desa Mungkit
terasa begitu mencekam. Beberapa orang yang bertugas meronda malam ini tak
ada seorang pun yang berani meninggalkan tempat jaganya. Bahkan tak ada
seorang pun yang membuka suara. Mereka semua dicekam perasaan takut yang
amat sangat, dengan suasana malam yang begitu mencekam.
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan semakin keras terdengar, seakan-akan begitu dekat di
Desa Mungkit ini. Dua orang peronda yang duduk di gubuk kecil, jadi saling
berpandangan satu sama lain. Suara lolongan anjing itu serasa berada tepat
di belakang mereka. Seperti ada yang memberi perintah, perlahan-lahan mereka
sama-sama berpaling ke belakang. Dan seketika itu juga....
"Hahhh...?!"
"Wha...?!"
Bet! Bet!
Tak ada lagi suara yang terdengar. Tampak dua orang peronda itu terpaku
diam, dengan mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Sesaat kemudian,
mereka bersamaan jatuh terguling keluar dari gubuk kecil beratap daun rumbia
itu. Tampak darah mengucur deras dari leher yang hampir putus, robek sangat
lebar dan dalam. Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang gubuk kecil
itu melesat sebuah bayangan agak kehitaman. Dan tahu-tahu, di dekat kedua
peronda itu sudah berdiri seorang wanita dengan rambut acak-acakan, baju
kumal, dan kotor penuh tambalan. Seluruh tubuhnya juga kotor, seperti baru
keluar dari kubangan lumpur.
"Hik hik hik...!"
Suara tawanya terdengar kering dan terkikik mengerikan. Kedua bola matanya
memerah liar, merayapi darah yang terus mengucur dari leher yang menganga
lebar hampir buntung. Tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, wanita kumal
seperti gembel itu langsung menubruk salah seorang peronda yang sudah tak
bernyawa lagi. Mulutnya segera dihunjamkan ke leher yang berlubang cukup
besar itu.
Cruuup...!
Begitu nikmat sekali wanita itu menghirup darah yang mengalir deras dari
leher peronda itu. Sama sekali tidak dipedulikan keadaan sekelilingnya. Dia
terus menghirup darah yang keluar dari leher berlubang besar itu. Dan
setelah tak ada lagi darah yang tersisa, wanita itu berpindah pada peronda
yang satunya lagi. Kembali dihirupnya darah dengan perasaan nikmat sekali.
"Hik hik hik...!"
Kembali wanita itu tertawa terkikik kering, setelah menghisap habis darah
dua orang peronda malang itu. Perlahan tubuhnya bangkit berdiri dan
mengedarkan pandangan berkeliling. Tak terlihat seorang pun berada di luar
rumah. Sekelilingnya begitu sunyi. Dan udara pun semakin bertambah dingin,
hingga menusuk tulang.
"Biadab...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan agak keras. Wanita berbaju kumal dan kotor
penuh tambalan itu tampak terkejut. Dari bibirnya yang memerah akibat darah
dua orang peronda itu, terdengar suara mendesis seperti ular. Perlahan
tubuhnya diputar berbalik.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan wanita sudah berdiri seorang
pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi berwarna putih. Di balik punggung
terlihat sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung yang tersembul keluar.
Pemuda itu tak lain adalah Rangga, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti.
"Rupanya kau yang jadi biang keladinya...," desis Rangga dingin
menggetarkan.
Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti nampak menegang melihat dua orang peronda
sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan leher terkoyak lebar hampir
buntung, tanpa setetes pun darah tersisa. Sinar matanya merah membara, bagai
sepasang bola api yang hendak membakar apa saja yang ada di dekatnya.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah maju beberapa tindak. Sedangkan
perempuan bertubuh kotor dan kumal itu hanya mendesis saja seperti ular
"Hssst..!"
Tiba-tiba saja wanita kumal itu melesat cepat dengan kedua tangan menjulur
lurus ke depan. Seluruh jari-jari tangannya meregang kaku, bagai cakar
seekor burung yang hendak mencengkeram mangsanya. Begitu cepat gerakannya,
sehingga membuat Rangga agak terkesiap tidak menyangka.
"Ufts...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke kanan, menghindari
terjangan wanita kumal dan kotor itu. Lalu bagaikan kilat, kakinya
dihentakkan, tepat ketika tubuh wanita itu berada di sampingnya. Gerakan
Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga, sama sekali tak dapat dihindari
lagi.
"Yeaaah...!"
Dess!
"Hegkh...!" wanita kumal itu mengeluh pendek. Tendangan kaki kiri Pendekar
Rajawali Sakti tepat menghantam perut wanita kumal bertubuh kotor seperti
gembel itu, sampai membuatnya terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Rangga
melepaskan satu pukulan keras ke arah punggung, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam punggung wanita kumal
berbaju kotor penuh tambalan itu.
"Akh...!"
Sungguh keras pukulan Rangga, hingga membuat wanita itu tersuruk jatuh
mencium tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, meng-hindari injakan kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas.
Setelah melakukan dua kali putaran di udara, manis sekali wanita itu
menjejakkan kakinya di tanah, sekitar satu tombak dari Pendekar Rajawali
Sakti.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita itu kembali melompat menerjang
Rangga. Gerakannya begitu cepat luar biasa, padahal baru saja terkena
hajaran Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi tampaknya pukulan maupun
tendangan Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu sama
sekali seperti tidak dirasakannya. Bahkan kini, wanita itu kembali melakukan
serangan yang begitu cepat luar biasa.
"Edan...! Manusia macam apa ini...?" desis Rangga jadi terlongong bengong
keheranan.
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat berpikir lebih panjang lagi.
Apalagi serangan wanita berbaju kumal penuh tambalan itu begitu cepat.
Bahkan sangat beruntun, sehingga membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan
dan meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara,
tepat ketika wanita kumal itu mengarahkan satu pukulan keras menggeledek ke
arah perut. Beberapa kali Rangga berputaran di udara, lalu cepat sekali
meluruk turun dengan mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiyaaa...!"
Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat luar biasa, dan langsung
mengarah ke kepala wanita kumal berbaju kotor penuh tambalan itu. Sungguh
cepat luar biasa serangan yang dilancarkannya dari jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa', sehingga wanita kumal dan kotor itu tidak sempat lagi
berkelit menghindar. Dan...
Plak!
Tepat dan keras sekali kaki kanan Rangga menghantam kepala wanita itu. Tapi
seketika itu juga, Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Karena,
tendangannya sama sekali tidak membuat wanita itu bergeming sedikit pun.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya mengibas cepat luar biasa.
Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi menghindarinya.
Bet..!
Desss!
"Akh...!"
Rangga jadi terpekik keras. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda berbaju
rompi putih itu terpental sekitar dua batang tombak ke belakang. Rangga
langsung bergelimpangan, begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting bangkit berdiri, tepat pada
saat wanita berbaju kumal penuh tambalan itu meluruk deras dengan kedua
tangan menjulur lurus ke depan.
"Hap! Yeaaah...!" Bet!
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali' untuk
mengimbangi serangan wanita kumal seperti gembel jalanan itu. Kedua
tangannya bergerak cepat luar biasa, dengan jari-jari tangan terkembang kaku
seperti cakar seekor burung rajawali raksasa yang siap mencengkeram mangsa.
Plak...!
Beberapa kali tangan-tangan mereka berbenturan keras. Dan pada benturan
entah yang ke berapa, tiba-tiba saja wanita itu memutar tangan-nya.
Gerakannya begitu cepat, diimbangi liukan tubuhnya yang lentur seperti ular.
Rangga jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja tangan kanan wanita itu
sudah menjulur cepat ke arah lambungnya.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangan kirinya, menangkis
tangan kanan yang sudah menjulur begitu cepat ke arah lambung.
Tap!
***
LIMA
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan
tangannya ke atas, begitu berhasil mencengkeram pergelangan tangan wanita
berbaju kumal dan kotor penuh tambalan itu. Keras sekali sentakan tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tak pelak lagi, tubuh wanita kumal dan
kotor itu terpental tinggi ke udara. Pada saat yang bersamaan, Rangga
melesat tinggi sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk
mengejar lawannya ini.
"Hiyaaa...!"
Bet! Desss...!
Beberapa kali kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam tubuh wanita
berbaju kumal penuh tambalan ini. Tapi sedikit pun tak terdengar suara
jeritan. Bahkan wanita itu malah berputar di udara dengan manis sekali. Dan
seperti segumpal kapas, tubuhnya meluncur turun. Gerakannya sangat ringan,
hingga sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkannya saat kedua kakinya
menjejak tanah.
"Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat meluruk turun, dan merubah jurusnya menjadi 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali gerakannya, sehingga bentuk tubuhnya
lenyap. Yang terlihat hanya bayangan putih saja yang berkelebat bagai kilat
ke bawah, tepat di atas kepala wanita berbaju kumal penuh tambalan itu.
Plak!
"Aaakh..!"
Tiba-tiba saja wanita itu menjerit keras melengking tinggi, begitu kaki
Rangga berhasil menghantam kepala dengan keras. Terlebih lagi, Rangga
menyertainya dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Akibatnya wanita itu terpelanting keras ke tanah.
"Hap...!"
Tepat di saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, wanita kumal berbaju
kotor penuh tambalan itu berhasil melompat bangkit berdiri. Gerakannya
sungguh ringan dan indah. Sesaat Rangga jadi terkesiap, karena wanita itu
tidak mengalami luka sedikit pun pada kepalanya. Padahal, tadi Rangga
mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' pada tingkat terakhir.
Dan biasanya, tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan. Setiap lawannya
yang terkena tendangan dari jurus itu, kepalanya langsung pecah berantakan!
Tapi wanita itu..., sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun. Apalagi
sampai pecah kepalanya, seperti yang diduga Rangga sebelumnya.
"Gila...! Siluman apa dia...?" desis Rangga dalam hati.
"Hik hik hik...!" wanita itu malah tertawa terkikik.
Sementara Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan
matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita muda dan kotor
itu. Rangga langsung menyadari kalau kali ini tengah berhadapan dengan
seorang wanita siluman yang tidak mudah ditundukkan. Beberapa jurus dahsyat
dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' sudah dikerahkan. Tapi, tidak
juga mampu menaklukkan wanita yang seperti gembel jalanan itu.
Meskipun menyadari kalau lawannya tangguh luar biasa, tapi Pendekar Rajawali
Sakti masih enggan mengeluarkan senjata pusakanya. Dan dia juga belum mau
mengeluarkan aji kesaktian, selama lawannya juga tidak mengeluarkan
ilmu-ilmu kesaktian maupun senjata. Rangga memang selalu menginginkan suatu
pertarungan jujur dan seimbang. Hingga dia selalu mengikuti semua yang
dilakukan lawannya.
Beberapa saat mereka berdiri tegak saling berhadapan, dengan sorot mata
tajam bagai mata pisau. Seakan-akan mereka sedang mengukur tingkat
kepandaian masing-masing. Perlahan-lahan Rangga kembali menggeser kakinya ke
samping beberapa langkah. Dan setiap gerakan yang dilakukannya selalu
diikuti tatapan mata yang tajam sekali dari perempuan siluman berbaju kumal
dan kotor penuh tambalan itu.
Sret!
Tiba-tiba saja wanita muda bertubuh kotor dari berbaju kumal penuh tambalan
itu mencabut sebuah senjata yang tersembunyi dari balik depan lipatan
bajunya. Sebuah senjata yang berbentuk kujang, dan terbuat dari emas. Namun
mendadak saja....
"Inten...!"
"Oh...?!"
"Heh...?!"
Bukan hanya wanita kumal itu saja yang terkejut. Bahkan Rangga tersentak
kaget ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang begitu
mengejutkan. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja
berkelebat sebuah bayangan hitam begitu cepat luar biasa. Tahu-tahu di
antara mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam kumal yang
sudah lusuh dan pudar warnanya, dengan beberapa tambalan menghiasi.
"Nek Paring...," desis wanita muda berpakaian seperti gembel kotor itu,
masih terkejut atas kemunculan perempuan tua yang berpakaian seperti
dirinya.
"Simpan pusaka itu, Inten. Kau belum boleh menggunakannya," ujar perempuan
tua yang ternyata memang Nek Paring.
"Tapi, Nek...."
"Simpan kataku!" Wanita bertubuh kotor dan berpakaian kumal penuh tambalan
yang dipanggil Inten itu memasukkan kembali senjata Kujang Emasnya ke dalam
lipatan baju. Sedikit matanya melirik Rangga yang masih tetap berdiri
memperhatikan.
Tampak jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti masih terlongong, seperti tidak
mengerti dengan semua yang tengah terjadi di depan matanya. Perlahan Nek
Paring memutar tubuhnya, hingga berhadapan langsung dengan Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, Inten melangkah mendekati perempuan tua itu, lalu berdiri
di samping kanannya.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak, bersikap penuh
waspada. Disadari kalau di depannya sekarang ini berdiri dua orang perempuan
siluman. Dia tidak tahu, seberapa tingginya tingkat kepandaian perempuan tua
yang wajahnya tidak terlihat itu. Karena, hampir seluruh kepalanya tertutup
kain kerudung hitam yang sudah memudar warnanya.
"Aku tidak suka kehadiranmu di desa ini, Anak Muda. Sebaiknya segeralah
pergi, dan jangan kembali lagi ke sini. Aku tidak ingin lagi melihatmu. Kau
mengerti maksudku, Anak Muda...?" terasa begitu dingin nada suara Nek
Paring.
"Hm...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti tahu, kata-kata
perempuan tua itu tidak bisa lagi dipandang main-main. Dan kata-kata itu
mengandung nada ancaman begitu tegas. Tapi, Rangga tidak sudi menuruti
begitu saja keinginan itu. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti sudah
melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana kekejaman yang dilakukan Inten
pada dua orang peronda malam ini. Dan Rangga sudah banyak mendengar cerita
tentang semua pembunuhan keji yang terjadi di Desa Mungkit ini dari Darkan.
Memang, pemuda itu sudah menganggap Pendekar Rajawali Sakti sebagai
sahabatnya. Bahkan Rangga yang datang ke desa ini bersama Pandan Wangi
disambut baik. Juga diberikan tempat tinggal yang cukup bagus. Tapi Pendekar
Rajawali Sakti tahu kalau kebaikan yang diberikan Darkan ada maksud
tertentu. Dan Rangga juga memahaminya, walaupun Darkan tidak pernah
mengucapkan sedikit pun juga.
"Ayo kita pergi, Inten," ajak Nek Paring.
Tanpa mempedulikan pemuda berbaju rompi putih itu, mereka segera melesat
pergi dengan cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata
saja mereka sudah lenyap tak terlihat lagi seperti tertelan malam yang
begitu pekat dan kelam.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi arah kepergian dua
orang wanita aneh itu.
"Hm..., aneh sekali. Mereka membunuh orang hanya untuk diambil darahnya.
Siapa mereka sebenarnya...?" gumam Rangga dalam hati.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri mematung memandang lurus
menembus kegelapan, kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkan
tempat itu.
***
Lewat tengah malam, Rangga baru sampai di rumah yang diberikan Darkan,
selama berada di Desa Mungkit ini. Sebuah rumah yang tidak begitu besar,
namun sangat rapi dan bersih. Pendekar Rajawali Sakti agak tertegun sedikit,
begitu melihat daun pintu rumah masih terbuka lebar. Dan nyala api pelita di
dalam rumah itu pun terlihat besar, membuat keadaannya sangat terang.
Bergegas kakinya melangkah menghampiri. Dan baru saja kakinya menginjak
ambang pintu, seorang pemuda sudah menyambutnya disertai senyum lebar
tersungging di bibir. Tampak Pandan Wangi duduk saja di bawah jendela yang
sedikit terbuka.
"Oh, Darkan...," desah Rangga, lega.
"Dari mana saja? Tengah malam begini baru pulang," tanya Darkan masih dengan
bibir menyunggingkan senyum lebar dan manis sekali.
"Jalan-jalan, melihat keadaan," sahut Rangga seraya melangkah masuk, dan
langsung menghempaskan tubuhnya di kursi samping Pandan Wangi.
"Terlalu berbahaya berjalan-jalan sendiri, Rangga. Tidak semua orang-orangku
yang meronda malam ini sudah mengenalmu. Bisa-bisa, nanti kau mendapat
kesulitan," kata Darkan mengingatkan.
Rangga hanya tersenyum saja. "Sudah lama kau di sini...?" tanya Rangga.
"Sejak kau pergi tadi," sahut Darkan seraya melirik Pandan Wangi.
Sedangkan gadis cantik yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya
diam saja. Bahkan pandangannya dialihkan ke luar melalui jendela yang
dibiarkan sedikit terbuka.
Rangga juga melirik sedikit pada gadis itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja
dirasakannya ada sesuatu atas sikap Pandan Wangi yang tidak seperti
biasanya, jika menghadapi orang yang sudah berbaik hati dan mau
menganggapnya sebagai sahabat. Berbagai pikiran buruk langsung terlintas,
namun cepat-cepat Rangga membuang jauh-jauh. Dan dia kembali menatap Darkan
yang duduk di dekat pintu.
"Aku datang sengaja ingin bertemu denganmu, Rangga," kata Darkan memecah
keheningan yang terjadi beberapa saat lamanya.
"Hm..., ada apa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kau tentu tahu, aku bukanlah anak Ki Labur...," nada suara Darkan terdengar
terputus.
"Ya, aku tahu. Lalu...?" sambut Rangga.
"Tapi kau beruntung, masih memiliki orang tua. Meskipun, orang tua dari
istrimu. Tapi kulihat, mereka sangat mencintaimu. Dan menganggapmu seperti
anak kandung sendiri."
"Ya! Itu setelah istriku meninggal," pelan sekali desahan Darkan.
"Aku ikut sedih atas peristiwa yang menimpa Istrimu," kata Rangga.
Rangga memang sudah mengetahui begitu banyak tentang diri Darkan dan
keluarga mertuanya. Sedangkan Darkan sendiri sejak kecil sudah tidak lagi
mempunyai orang tua. Dia diambil dan dirawat Ki Labur. Segala macam
pendidikan diberikan kepala desa itu. Dan akhirnya, Darkan benar-benar
menjadi anak setelah dinikahkan dengan anak gadisnya yang hanya semata
wayang. Sebuah kebahagiaan yang begitu panjang dinikmati Darkan. Tapi semua
kebahagiaan itu lenyap, sejak peristiwa mengerika. yang meminta korban nyawa
istrinya.
"Belum lagi aku bisa membalas kematian istriku, sudah muncul lagi peristiwa
yang membuat kepala serasa ingin pecah. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kulakukan. Orang itu benar-benar siluman. Sama sekali aku tidak pernah bisa
mendapatkannya. Dia muncul dan menghilang begitu rupa seperti setan.. kata
Darkan lagi.
"Rangga! Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya. Kau adalah Pendekar Rajawali
Sakti yang banyak dibicarakan orang. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kukatakan padamu...."
"Sudahlah, Darkan. Aku bisa mengerti. Aku pun tidak akan mungkin tinggal
diam begitu saja setelah menyaksikan sendiri, apa yang telah mereka lakukan,
kata Rangga.
"Kau..., kau sudah melihat sendiri...?" Darkan tampak terkejut.
"Ya," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti lalu menceritakan peristiwa yang baru saja
dialaminya tadi. Semua diceritakannya dan tak ada sedikit pun yang dikurangi
atau ditambah. Sementara Darkan mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak
disangka kalau ternyata ada dua orang perempuan siluman. Dan malam ini, dua
orang peronda sudah jadi korban mereka lagi.
Tiba-tiba saja Darkan bangkit berdiri dan bergegas melangkah ke luar. Rangga
bergegas mengejar, tapi Darkan sudah cepat melompat naik ke punggung
kudanya. Sedangkan Rangga hanya bisa berdiri saja di ambang pintu.
Dipandanginya kepergian menantu kepala desa yang menggebah kudanya dengan
cepat sekali seperti dikejar setan itu.
Rangga memutar tubuhnya berbalik, dan jadi tertegun begitu melihat Pandan
Wangi tetap duduk di kursinya tanpa sedikit pun peduli pada sikap Darkan
yang tiba-tiba saja pergi. Perlahan Rangga menghampiri gadis yang berjuluk
si Kipas Maut itu. Lalu ditariknya kursi, dan duduk di depannya. Sedangkan
Pandan Wangi masih tetap saja duduk mematung seperti arca porselen. Beberapa
saat, mereka terdiam dan saling berpandangan saja.
"Kenapa kau, Pandan...?" tegur Rangga.
"Hhh...," Pandan Wangi hanya menarik napas saja. Begitu panjang sekali
helaan napasnya. Perlahan gadis itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati
jendela. Dia berdiri tegak di depan jendela, dan membukanya lebar-lebar.
Dibiarkannya angin malam yang dingin menerobos masuk ke dalam ruangan depan
yang tidak begitu besar ini.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja. Dirasakan ada sesuatu yang
tersembunyi dan mengganjal di dalam hati Pandan Wangi. Sesuatu yang belum
bisa diketahui. Bahkan untuk menebaknya pun, Rangga belum mampu.
"Tidak biasanya kau bersikap begitu, Pandan. Ada sesuatu yang merisaukan
hatimu?" tegur Rangga lagi.
Kali ini nada suaranya dibuat begitu lembut. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Pandan Wangi. Berdiri di
belakang gadis itu. Tangannya bergerak melingkar memeluk pinggang yang
berbentuk indah dan ramping ini. Pandan Wangi segera merebahkan kepalanya di
dada Rangga yang bidang dan tegap berotot. Butir-butir keringat masih
terlihat menitik di dada yang bidang itu. Namun, Pandan Wangi tidak peduli.
Bahkan tubuhnya malah dirapatkan, seakan-akan ada yang ingin ditumpahkan.
Hanya saja terasa begitu sulit.
"Aku tahu, kau menyimpan sesuatu. Katakan padaku, Pandan. Mungkin aku bisa
memecahkan persoalan yang kau hadapi sekarang," bujuk Rangga dengan suara
lembut sekali.
Pandan Wangi memutar tubuhnya. Perlahan-lahan dilepaskannya pelukan Pendekar
Rajawali Sakti pada pinggangnya. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri
dipan bambu yang ada di sudut ruangan ini. Sambil menghembuskan napas
panjang, gadis itu merebahkan tubuhnya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri
membelakangi jendela, memandangi Kipas Maut yang sudah terbaring menelentang
dengan kelopak mata terpejam.
"Hhh...!" Rangga hanya bisa menarik napas panjang sambil mengangkat bahunya,
melihat sikap Pandan Wangi yang terasa begitu aneh. Dan memang, tidak
biasanya si Kipas Maut itu menyembunyikan sesuatu pada Pendekar Rajawali
Sakti. Biasanya, mereka selalu terbuka. Semua persoalan yang sedang dihadapi
selalu dibicarakan, lalu dipecahkan bersama-sama. Tapi kali ini, sikap
Pandan Wangi membuat Rangga jadi tidak habis mengerti. Sikap yang tidak
pernah terlihat sebelumnya.
***
Pagi-pagi sekali Pandan Wangi sudah bangun. Dia terkejut mendengar suara
ribut-ribut di luar. Bergegas melompat bangkit dari pembaringan, dan
langsung membuka jendela lebar-lebar. Tampak begitu banyak orang berada di
jalan. Mereka berbondong-bondong seperti hendak menuju ke rumah kepala desa.
Pandan Wangi cepat mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tidak ada
Rangga di rumah ini.
"Ke mana Kakang...?" desis Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri.
Tapi memang Rangga sudah tidak ada lagi. Dan gadis itu tidak tahu, ke mana
perginya Pendekar Rajawali Sakti. Juga tidak tahu, kapan perginya. Pandan
Wangi bergegas menghampiri pintu, dan membukanya lebar-lebar. Tapi....
"Oh...?!" Hampir saja Pandan Wangi terpekik, begitu membuka pintu. Tahu-tahu
di depan pintu sudah ada seorang pemuda berwajah tampan. Tubuhnya yang tegap
dan berotot, terbalut kulit kuning langsat, bagai putra bangsawan.
"Darkan...," desah Pandan Wangi, pelan.
"Aku minta kau jangan keluar rumah sekarang," kata Darkan, agak dalam nada
suaranya.
"Kenapa...?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Ikuti saja kata-kataku, Pandan. Sangat berbahaya bagimu kalau keluar dari
rumah," kata Darkan lagi.
"Tapi.., Kakang Rangga...."
"Di mana dia?" tanya Darkan.
"Dia sudah pergi pagi-pagi sekali tadi," sahut Pandan Wangi. Padahal, Pandan
Wangi sendiri tidak tahu, kapan perginya Pendekar Rajawali Sakti.
"Ke mana?" tanya Darkan tampak khawatir.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja. Dia memang tidak tahu, ke mana
perginya Rangga. Gadis itu sendiri baru bangun, karena mendengar suara
ribut-ribut di luar. Dan tampaknya, semakin banyak saja orang memadati
jalan, berbondong-bondong menuju rumah Kepala Desa Mungkit ini.
"Mau apa mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka menuntut agar siluman pembunuh itu segera ditangkap. Memang, sudah
terlalu banyak korban yang jatuh," sahut Darkan.
"Sebaiknya, kau cepat tenangkan mereka, Darkan. Kau jangan ter...," Pandan
Wangi tidak meneruskan ucapannya.
Darkan hanya diam saja memandangi gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut
itu.
Sedangkan Pandan Wangi sendiri kelihatan kikuk mendapat pandangan mata yang
begitu dalam, penuh arti yang sukar dimengerti.
"Maaf...," ucap Pandan Wangi cepat-cepat menutup pintu kembali.
Sementara Darkan masih tetap berdiri mematung di depan pintu yang sudah
tertutup rapat. Dan di jalan, orang-orang masih terus berbondong-bondong
memadati jalan tanah berdebu. Setelah beberapa saat berdiri mematung di
depan pintu, kemudian Darkan bergegas melangkah pergi menghampiri kudanya
yang tertambat di halaman depan rumah berukuran kecil itu.
"Hyaaa...!" Cepat-cepat Darkan menggebah kudanya keluar dari halaman yang
tidak begitu luas ini.
"Minggir...!Minggir! Yeaaah...!"
Sementara di dalam rumah, Pandan Wangi terus memperhatikan dari balik
jendela yang sedikit terbuka. Matanya terus memperhatikan Darkan yang
menggebah kudanya, menyeruak kerumunan orang yang memadati jalan tanah ini.
Debu semakin banyak mengepul, membumbung tinggi ke udara.
***
ENAM
Sementara itu di halaman depan rumah Ki Labur yang cukup luas, orang-orang
sudah memadatinya. Semua penduduk Desa Mungkit tumpah ruah di halaman depan
rumah kepala desa itu, karena menginginkan agar Ki Labur segera menghentikan
semua pembunuhan keji selama ini.
Sebuah petaka yang membuat semua orang terus-menerus dicekam rasa takut yang
amat sangat. Karena Perempuan Siluman itu sekarang tidak lagi memilih-milih
korbannya. Siapa saja yang ditemui pasti mati menjadi korban hanya untuk
dihirup darahnya. Dan dalam beberapa hari ini, mereka tidak lagi melihat Ki
Labur.
Mereka tidak tahu, apa yang terjadi pada diri kepala desanya. Kedatangan
para penduduk ke rumahnya membuat Ki Labur yang masih terbaring lumpuh di
ranjangnya, berusaha bangkit. Tapi, dia malah jadi terguling di lantai.
Sedangkan di dalam kamar itu tak ada seorang pun yang terlihat. Ki Labur
berusaha mencapai sebatang tongkat yang terletak di sudut ruangan. Dengan
susah payah, Ki Labur terus merangkak menyeret tubuhnya, mencoba mencapai
tongkat itu.
"Hih...!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan yang ada, laki-laki tua itu
akhirnya berhasil meraih tongkat. Dengan tongkat kayu itu dicobanya untuk
berdiri, meskipun kelihatan begitu sulit. Perlahan-lahan Ki Labur akhirnya
mampu juga berdiri, walau tubuhnya jadi limbung.
"Oh...! Uhhh...!"
Pada saat itu pintu kamar terbuka. Dan muncul Darkan dengan keringat
mengucur deras membasahi tubuhnya. Pemuda itu tampak terkejut melihat Ki
Labur sudah bisa berdiri, meskipun limbung dan tersangga tongkat.
"Ki..,." Bergegas Darkan menghampiri dan menopang tubuh Ki Labur yang sudah
hampir saja jatuh terguling lagi. Darkan ingin membawanya kembali ke
pembaringan, tapi Ki Labur tegas-tegas menolaknya.
"Bawa aku keluar, Darkan," pinta Ki Labur.
"Tapi, Ki...."
"Aku harus menemui mereka."
"Kau sakit Ki. Sebaiknya beristirahat saja," kata Darkan.
"Tidak...! Aku harus menemui mereka. Bawa aku keluar, Darkan," tegas Ki
Labur.
Darkan tidak bisa lagi menolak. Dipapahnya laki-laki tua itu keluar kamar
ini. Mereka berjalan perlahan-lahan melintasi ruangan depan, dan terus
menuju ke beranda depan rumah. Seketika keadaan yang ribut, langsung menjadi
sunyi senyap begitu Ki Labur keluar dipapah menantunya. Seluruh rakyat Desa
Mungkit yang tidak percaya kalau kepala desanya sakit, langsung terkesiap
melihat keadaan Ki Labur yang begitu lemah. Bahkan untuk berdiri pun harus
dipapah orang lain.
"Aku sudah menyatakan pada mereka kalau kau sakit akibat bertarung melawan
Perempuan Siluman itu, Ki," jelas Darkan.
Suaranya terdengar berbisik perlahan. Ki Labur melepaskan tangan Darkan yang
memapahnya. Dengan bantuan tongkat kayu, kakinya melangkah gontai sampai
mencapai tepian beranda, Sementara, tak ada seorang pun yang mengeluarkan
suara lagi. Semua orang yang berkumpul di depan, masih terpana melihat
keadaan laki-laki tua yang menjadi tumpuan harapan seluruh kelangsungan
hidup Desa Mungkit ini.
"Apa yang kalian harapkan dariku, hingga sampai ke sini...?" agak lantang
suara Ki Labur.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, Suasana jadi begitu sunyi.
Tampak mereka semua menundukkan kepala, seakan-akan menyesal telah membuat
keributan di rumah kepala desa yang tengah sakit akibat pertarungannya
melawan Perempuan Siluman yang sudah mengambil korban manusia begitu banyak.
Mereka semula tidak percaya waktu Darkan mengatakan kalau Ki Labur sedang
sakit. Tapi setelah melihat kenyataannya, tak ada seorang pun yang mampu
mengeluarkan suara lagi.
"Dengar semua...! Sebaiknya kalian kembali ke rumah masing-masing. Aku
berjanji akan menyelesaikan persoalan ini, dan akan mempertaruhkan nyawa
untuk kalian semua. Perempuan Siluman itu memang sangat tangguh dan sudah
meminta banyak korban. Tapi, aku tetap akan menghadapinya walau dalam
keadaan seperti ini. Pulanglah kalian...!" ujar Ki Labur lagi.
Suara laki-laki tua itu terdengar begitu lantang dan sangat berwibawa,
hingga tak ada seorang pun yang mampu bersuara lagi. Sementara Darkan
melangkah mendekati laki-laki tua berjubah putih itu. Beberapa orang pemuda
bersenjatakan golok terselip di pinggang, terlihat berjaga-jaga di sekitar
beranda rumah ini. Bahkan ada sekitar dua puluh orang yang berdiri berjajar
di depan beranda. Mereka menjaga kalau-kalau penduduk desa itu berbuat
sesuatu yang dapat merugikan. Di saat keheningan menyelimuti sekitar halaman
depan rumah Ki Labur ini, mendadak saja semua orang yang ada dikejutkan
suara tawa keras yang terkikik kering mengerikan. Suara tawa itu menggema,
seakan-akan datang dari langit.
"Hik hik hik...!"
Seketika itu juga, orang-orang yang berkumpul di halaman depan rumah Ki
Labur langsung berhamburan sambil berteriak-teriak ketakutan. Keadaan jadi
kacau. Tidak sedikit yang terjatuh dan terinjak-injak. Masing-masing
berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Sementara suara tawa yang
terkikik itu terus terdengar kering mengerikan.
"Hik hik hik...!"
Suara tawa itu semakin terdengar keras menggema. Dan ini membuat semua orang
jadi semakin bertambah kacau balau. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba saja
terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat dari atas atap rumah,
dan langsung menyambar seorang penduduk yang tengah berlarian kalang kabut.
Seperti seekor kelinci yang disambar burung rajawali, orang itu terangkat
naik ke udara, lalu meluncur turun tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Jeritan-jeritan panjang melengking penuh kengerian langsung terdengar begitu
terlihat tubuh orang itu terpotong-potong hancur tak berbentuk lagi, dan
berhamburan di halaman depan rumah kepala desa ini. Sementara itu, bayangan
hitam yang berkelebat cepat tadi sudah tidak terlihat lagi. Namun suara
tawanya yang serak dan kering masih juga terdengar.
Sebentar saja, orang-orang yang tadi memadati seluruh halaman rumah Ki Labur
kini sudah menghilang tak terlihat lagi, setelah kembali ke rumah
masing-masing. Saat itu juga keheningan kembali mencekam, tanpa terdengar
suara sedikit pun. Dan di tengah-tengah halaman yang kini sudah sepi itu
tampak berserakan potongan-potongan tubuh manusia yang berlumuran darah
seperti potongan bangkai binatang!
Sementara Darkan sudah memerintahkan orang-orangnya untuk berwaspada.
Sedangkan Ki Labur sendiri berdiri tegak dengan tongkat kayu menyangga
tubuhnya. Laki-laki tua itu kelihatan tetap tegar, walaupun masih dalam
keadaan sakit. Suara tawa yang terkikik kering mengerikan itu pun kini tidak
terdengar lagi. Keadaan benar-benar sunyi, seperti berada di tengah-tengah
kuburan. Hanya desis angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan.
Pada saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda dari ujung jalan. Tak
berapa lama kemudian, terlihat dua ekor kuda berpacu cepat menimbulkan
kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa. Sebentar saja, kedua
penunggang kuda itu sudah memasuki halaman depan rumah Kepala Desa Mungkit
ini. Mereka bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing.
Namun mereka jadi terperanjat begitu melihat di tengah halaman itu
berserakan potongan- potongan tubuh manusia bercampur darah yang sudah mulai
mengering.
"Rangga..., Pandan Wangi...," desis Darkan langsung mengenali dua orang
penunggang kuda yang baru datang itu.
Bergegas Darkan melangkah keluar dari beranda menghampiri dua orang pendekar
muda itu. Sementara, Ki Labur yang dikelilingi orang-orangnya yang sudah
menghunus golok masing-masing, masih tetap berada di beranda. Dia hanya
memandangi saja dua orang pendekar muda yang baru datang itu. Sedangkan
Darkan sudah berada dekat di depan Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap
berdiri di depan kuda masing-masing.
"Ada apa ini...?" tanya Rangga langsung.
"Untunglah kau segera datang, Rangga. Tadinya aku sudah begitu cemas," kata
Darkan.
Rangga mengarahkan pandangan pada potongan tubuh yang berserakan di tengah
halaman, kemudian beralih pada Ki Labur yang dikelilingi tidak kurang dari
sepuluh orang pemuda bersenjata golok terhunus. Bergegas kakinya melangkah
menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu, diikuti Pandan Wangi.
Kedua pendekar muda itu segera menjura memberi hormat, namun dibalas oleh Ki
Labur dengan anggukan kepala saja. Dan baru saja Rangga dan Pandan Wangi
menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja pendengaran Pendekar Rajawali
Sakti yang tajam menangkap desiran halus dari arah atas atap. Cepat
kepalanya mendongak. Langsung tangan kanannya dikebutkan ke atas, sambil
melompat ke depan hingga naik ke atas beranda.
Tap!
"Heh...?!
Apa itu...?!" sentak Ki Labur terkejut.
"Hup!"
Namun pertanyaan laki-laki tua itu tidak sempat terjawab, karena Rangga
sudah melesat cepat. Tubuhnya melenting begitu cepat ke atas atap rumah
kepala desa ini, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berdiri tegak di
atas atap. Pada saat itu juga, Pandan Wangi segera melesat naik ke atas
atap. Gerakannya juga sangat cepat dan ringan. Kini kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu sudah berdiri di atas atap rumah Kepala Desa Mungkit.
Sementara Ki Labur dengan dibantu dua orang pemuda yang menjaganya, bergegas
keluar dari beranda. Mereka semua mendongak ke atas, melihat Rangga dan
Pandan Wangi yang kini sudah berdiri tegak di atas atap rumah itu. Dan pada
saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat dari belakang rumah.
Begitu cepatnya bayangan hitam itu melesat, sehingga tahu-tahu di depan
Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri seorang wanita muda berbaju hitam
kumal penuh tambalan yang sudah memudar warnanya.
"Hik hik hik...!"
"Hm...."
Cukup sulit untuk mengenali wajahnya, karena rambutnya yang panjang teriap
dan tidak teratur menutupi hampir seluruh wajahnya yang kotor. Namun mereka
semua tahu, wanita itulah yang selama ini membuat kekacauan di Desa Mungkit.
Dan dialah yang selalu disebut sebagai Perempuan Siluman. Namun tidak hanya
dia sendiri yang menjadi wanita siluman, karena Rangga sudah bertemu dua
orang Perempuan Siluman semalam. Dan yang seorang lagi kini tidak tampak.
"Hik hik hik...! Kita tuntaskan urusan kita yang tertunda semalam sekarang
juga, Pendekar Rajawali Sakti," terasa begitu dingin dan kering suara si
Perempuan Siluman itu.
"Baik! Aku pun sudah muak melihat kelakuanmu yang menjijikkan itu, Inten,"
sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Hik hik hik...!" wanita yang selalu dipanggil Inten itu hanya tertawa
terkikik saja. Suara tawanya begitu kering, membuat siapa saja yang
mendengar langsung berdiri bulu kuduknya.
Sementara Rangga merentangkan tangan kirinya sedikit ke samping. Sedangkan
Pandan Wangi yang berada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah
mundur beberapa tindak. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti ingin
menyelesaikan persoalannya seorang diri saja.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Inten langsung melompat cepat bagai kilat
menerjang Rangga. Beberapa pukulan keras beruntun yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, langsung terlontar ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan gerakan indah dan manis sekali, Rangga berhasil menghalau semua
serangan beruntun yang begitu cepat dan dahsyat ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Lalu begitu kakinya
kembali menjejak atap rumah kepala desa ini, tangan kanannya langsung
bergerak cepat menyambar. Jari-jari tangannya terkembang, dan meregang kaku
bagai cakar seekor burung rajawali yang hendak mengoyak tubuh mangsanya.
"Hiyaaa...!" Bet!
Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali' salah satu jurus
dahsyat dari lima rangkai jurus 'Rajawali Sakti'. Rupanya, Rangga tidak
ingin tanggung-tanggung lagi menghadapi si Perempuan Siluman ini. Dan itu
bisa dirasakan Pandan Wangi yang terus memperhatikan jalannya pertarungan.
Gadis itu tahu, Rangga tidak akan pernah langsung mengeluarkan jurus-jurus
dahsyatnya dalam setiap pertarungan, bila lawan yang dihadapinya memiliki
kepandaian pas-pasan. Tapi kini, lawannya berkepandaian tinggi! Mau tak mau,
jurus-jurus dahsyat harus segera di keluarkan.
"Yeaaah...!" Bet!
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti men-gebutkan tangan kanannya ke arah
perut.
"Uts!"
Hampir saja jari-jari tangan pemuda berba-ju rompi putih itu merobek perut,
kalau saja Inten yang selama ini dijuluki Perempuan Siluman tidak
cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan pada saat tubuh Perempuan
Siluman itu sedikit terbungkuk, Rangga cepat sekali merubah jurusnya.
Bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hiyaaa...! Wuk! Desss!
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
Inten tidak sempat lagi menghindarinya. Maka satu pukulan keras dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir telak mendarat di wajahnya.
"Akh...!" Perempuan Siluman itu menjerit keras. Tak pelak lagi, tubuh wanita
itu langsung terpental deras sekali ke belakang, dan langsung meluncur turun
ke halaman depan rumah kepala desa ini. Pada saat itu juga, Rangga melesat
cepat mengejar wanita berbaju hitam kumal penuh tambalan itu. Gerakannya
sungguh cepat bagai kilat Sehingga belum juga Inten bisa mencapai tanah,
Pendekar Rajawali Sakti sudah lebih dulu menjejakkan kakinya di tanah.
Dan...
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga segera melepaskan
satu tendangan dahsyat menggeledek, menyambut tubuh Perempuan Siluman itu.
Begitu cepat dan keras tendangannya sehingga tubuh wanita berbaju kumal dan
kotor penuh tambalan itu kembali terpental ke udara, memperdengarkan jeritan
panjang melengking tinggi.
"Hiyaaa...!" Kembali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, mengejar
Perempuan Siluman ini. Dan pada saat berada di udara, Rangga mengerahkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya merentang lebar ke
samping, dan bergerak begitu cepat. Sehingga, yang terlihat hanya bayangan
tangannya saja.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Bet!
Diegkh!
"Aaa...!"
Kembali Perempuan Siluman menerima tebasan tangan Rangga yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Maka tubuh yang tengah melayang di
udara itu kembali meluruk turun dengan deras sekali. Pada saat yang
bersamaan pula, Rangga cepat meluruk mengejar sambil mengerahkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kakinya bergerak cepat luar biasa
bagaikan berputar saja, dan tertuju langsung ke kepala wanita berbaju hitam
kumal penuh tambalan itu.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Aaakh...!"
"Hap!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, begitu berhasil
mendaratkan kakinya tepat di kepala wanita yang dijuluki si Perempuan
Siluman itu. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di
tanah. Sementara, si Perempuan Siluman yang bernama Inten itu
terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Erangan kecil agak tertahan
terdengar keluar dari bibirnya yang kering dan memucat biru.
Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan tersilang di depan
dada. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, melihat Perempuan
Siluman hanya sebentar saja merasakan sakit akibat beberapa kali terkena
serangan dahsyat. Dan kini, dia sudah berdiri tegak. Bahkan sorot matanya
makin tajam memerah, tertuju langsung ke bola mata pemuda berbaju rompi
putih di depannya.
"Edan...! Seharusnya dia sudah mati...," desis Rangga dalam hati. Memang
sulit dipercaya, karena Perempuan Siluman itu benar-benar tangguh. Sama
sekali tidak mengalami cidera sedikit pun. Padahal serangan-serangan yang
diberikan Rangga tadi merupakan jurus-jurus dahsyat tingkat terakhir yang
selama ini belum ada seorang pun bisa menahannya. Tapi wanita itu kini masih
tetap berdiri tegar, walaupun secara beruntun tadi terkena pukulan maupun
tendangan yang begitu keras dan dahsyat luar biasa.
"Ghrrr.... Keluarkan semua kesaktianmu, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis
Inten menggereng seperti binatang buas.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas saja.
"Kau sudah ditakdirkan untuk mati di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti.
Bersiaplah menjemput kematianmu. Hih! Yeaaah...!"
"Hap!"
***
TUJUH
Rangga cepat-cepat melompat mundur, ketika Inten meluruk deras sambil
melontarkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam yang sangat tinggi.
Sungguh dahsyat sekali pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Setiap kali
pukulannya terlempar, selalu mengeluarkan hawa panas yang sangat menyengat.
Pukulan itu juga menimbulkan hempasan angin keras disertai suara menggemuruh
yang sanggup menggetarkan jantung.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan dahsyat
yang dilancarkan Perempuan Siluman itu. Beberapa kali pukulan yang
dilepaskan Inten hampir menemui sasaran, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih
mampu berkelit menghindarinya. Diakui, tampaknya Rangga benar-benar
kewalahan menghadapi serangan-serangan yang sangat dahsyat luar biasa ini.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara,
lalu melakukan beberapa kali putaran. Dan dengan manis sekali Pendekar
Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di atas atap rumah Ki Labur, tepat di
samping kanan Pandan Wangi yang masih tetap berada di atas atap sambil
memperhatikan jalannya pertarungan tadi.
"Phuih!" "Turun kau, Pengecut..!" bentak Inten, lantang menggelegar
suaranya. Baru saja Rangga hendak melompat turun, Pandan Wangi sudah lebih
cepat mencekal pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Biar aku yang menghadapinya, Kakang," kata Pandan Wangi, agak dalam
suaranya.
Sebentar Rangga menatap gadis itu. Dia tahu, Pandan Wangi bukan seorang
gadis lemah. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu memiliki tingkat
kepandaian yang tidak bisa dianggap sebelah mata saja. Tapi bagaimanapun
juga, tingkat kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi masih berada di bawah
kepandaian Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan tadi saja, Rangga sempat
dibuat kewalahan menghadapi Perempuan Siluman itu. Hanya saja, Rangga tidak
mau mengecilkan arti gadis ini.
"Hati-hatilah, Pandan. Dia bukan manusia...," kata Rangga memperingatkan.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumnya, sehingga hampir
tidak terlihat. Kemudian.... "Hup! Hiyaaa...!"
Sungguh ringan dan indah gerakan Pandan Wangi saat melompat turun dari atas
atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, si Kipas Maut itu menjejakkan
kedua kakinya, tepat sekitar lima langkah di depan Perempuan Siluman itu.
Hup!"
Pada saat Pandan Wangi sudah mendarat di halaman depan rumah Ki Labur,
Rangga segera meluruk turun dengan indah dan ringan sekali. Pendekar
Rajawali Sakti langsung mendarat di samping Ki Labur yang terus didampingi
Darkan dan orang-orangnya. Mereka semua tampak sudah siap menyerang dengan
golok terhunus di tangan.
Sementara Pandan Wangi sudah menggeser kakinya sedikit ke kanan. Tatapan
matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita bertubuh kotor
seperti baru keluar dari kubangan lumpur sawah di depannya ini. Seakan-akan,
dia sedang mengukur tingkat kepandaian calon lawannya.
"Kau lawanku, Perempuan Iblis...!" desis Pandan Wangi, begitu dingin nada
suaranya.
"Hik hik hik...! Siapa kau, Bocah Ayu?" tanya Inten diiringi tawanya yang
terkikik kering mengerikan.
"Aku Pandan Wangi, yang akan mengirimmu ke neraka!" sahut Pandan Wangi masih
mendesis nada suaranya.
"Hik hik hik...! Apa yang kau andalkan untuk melawanku, Bocah Ayu?"
Pandan Wangi hanya diam saja. Namun tatapan matanya masih tetap menyorot
tajam. Perlahan senjatanya yang berupa sebuah kipas dari baja putih berwarna
keperakan dicabut. Kipas berujung runcing seperti mata panah itu langsung
terbuka di depan dada. Perlahan-lahan si Kipas Maut itu menggeser kakinya ke
kanan.
"Terimalah seranganku, Perempuan Iblis...! Hiyaaat..!"
Wuk!
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat sambil mengebutkan kipasnya ke dada
Perempuan Siluman. Namun hanya sedikit saja tubuhnya ditarik ke belakang,
kebutan kipas keperakan berujung runcing itu dapat mudah dihindari. Namun
tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi menghentakkan kakinya ke depan,
sambil memutar tubuhnya sedikit.
"Hiyaaa...!"
"Ufts!"
Inten cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari tendangan keras
menggeledek yang dilancarkan si Kipas Maut itu. Dan ketika kaki Pandan Wangi
lewat di samping tubuhnya, tiba-tiba saja tangannya dihentakkan ke arah kaki
yang masih menjulur itu.
"Yeaaah...!"
"Hait!"
Namun Pandan Wangi sudah lebih cepat menarik kakinya pulang. Sehingga,
pukulan yang dilepaskan Perempuan Siluman itu cepat dapat dihindari. Pada
saat itu pula, Pandan Wangi sudah mengebutkan kipasnya kembali ke arah
leher. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat si Perempuan Siluman jadi
terbeliak lebar.
"Hap!"
Bergegas Perempuan Siluman menarik kepalanya ke belakang, sambil mengebutkan
tangan kirinya. Maksudnya, hendak menyampok pergelangan tangan yang
menggenggam kipas itu.
"Hap!"
Namun kembali Pandan Wangi bergerak begitu indah. Begitu manisnya tangannya
berputar, sehingga membuat semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi
terpana kagum. Bahkan si Perempuan Siluman yang juga bernama Inten itu jadi
terbeliak kaget tidak menyangka. Ternyata Pandan Wangi bisa melakukan
putaran tangan begitu indah dan manis.
Belum juga Perempuan Siluman itu hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu Pandan
Wangi sudah cepat mengebutkan kipasnya kembali ke arah perut. Begitu cepat
kebutan kipasnya, sehingga Inten tidak sempat lagi menarik dirinya
menghindar. Dan...
Bet!
Bret!
"Ikh...!"
Inten jadi terpekik setengah mati. Maka buru-buru dia melompat ke belakang,
membuat ujung kipas yang runcing berbentuk mata panah itu hanya mampu
merobek sedikit kulit perutnya saja. Namun, hal itu sudah membuat Inten jadi
meringis pedih.
"Hup...!"
Pandan Wangi cepat-cepat melompat ke belakang beberapa tindak, begitu
melihat darah yang keluar dari perut Perempuan Siluman itu ternyata berwarna
hitam dan menyebarkan bau busuk yang sangat memualkan. Walaupun hanya
sedikit saja lukanya, tapi darah yang keluar sangat deras, seperti ketel air
yang bocor.
Step!
Tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat keluar dari
dalam rumah. Dan sebelum ada seorang pun yang menyadari, tahu-tahu di depan
si Perempuan Siluman itu sudah berdiri seorang wanita tua berbaju hitam
kumal dan penuh tambalan. Sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan
bentuknya tergenggam di tangan kanan, untuk menyangga tubuhnya yang agak
terbungkuk.
Tidak mudah untuk mengenali wajahnya, karena selembar kerudung berwarna
hitam yang sudah lusuh dan memudar warnanya menutupi seluruh kepala dan
sebagian wajahnya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekitarnya,
dihampirinya si Perempuan Siluman. Lalu, jari-jari tangannya bergerak cepat
untuk memberi beberapa totokan di sekitar luka pada perut Perempuan Siluman
itu. Seketika, darah hitam yang sudah berbau busuk itu berhenti mengalir
dari luka di bagian perut Perempuan Siluman ini.
"Siapa yang melukaimu, Inten?" tanya perempuan tua berbaju kumal penuh
tambalan yang ternyata Nek Paring.
Inten tidak menjawab, tapi hanya menunjuk Pandan Wangi saja. Nek Paring
langsung mengarahkan tatapan matanya pada si Kipas Maut itu. Terdengar suara
mendesis seperti ular yang keluar dari bibirnya. Sementara Rangga yang tadi
berada di samping Ki Labur, kini sudah berdiri di samping kanan Pandan
Wangi. Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa membaca gelagat yang tidak
menguntungkan untuk Pandan Wangi.
***
"Sudah kukatakan, kau tidak bisa bertarung dengan sesama perempuan, Inten.
Kau hanya dipersiapkan untuk bertarung melawan laki-laki," kata Nek Paring
begitu pelan sekali suaranya. Bahkan hampir tak terdengar oleh orang-orang
yang berada di sekitarnya.
"Tapi dia menantangku, Nek," Inten mencoba membela diri.
"Kau harus menghindar. Kau bisa mati kalau terus melawan perempuan. Ingatlah
itu, Inten...! Kau sudah hampir sempurna. Dan tidak akan ada seorang
laki-laki pun yang bisa menandingi mu lagi. Ingat! Aku membangkitkan mu
kembali untuk satu tujuan. Dan itu harus kau laksanakan. Mengerti...?!"
tegas Nek Paring, berbisik.
"Mengerti, Nek."
"Pergilah sekarang. Biar mereka aku yang tangani," kata Nek Paring lagi.
"Ke mana aku harus pergi, Nek?"
"Kau sudah tahu, apa yang harus kau lakukan, Inten. Pergilah. Dan cari
mereka. Aku akan mati tersenyum kalau kau berhasil. Jangan kecewakan aku,
Inten."
"Baik, Nek." Setelah membungkuk memberi hormat pada perempuan tua itu, Inten
langsung saja melesat pergi. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam
sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Bahkan bayangan tubuhnya
pun sudah tidak lagi bisa terlihat.
Dan kini, di halaman depan rumah Ki Labur berdiri seorang perempuan tua
berbaju hitam kumal dan penuh tambalan. Di depannya, dua pendekar muda dari
Karang Setra berdiri berdampingan, melindungi Ki Labur, Darkan, dan
orang-orangnya.
"Kenapa kau masih saja ada di desa ini, Pendekar Rajawali Sakti?" terasa
begitu dingin nada suara Nek Paring.
"Aku akan pergi kalau kau dan cucumu berhenti membantai orang-orang tidak
bersalah," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Kau tidak mengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Semua itu kulakukan karena
cinta. Kau tidak akan bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Juga kalian
semua...!" agak lantang suara terakhir perempuan tua berbaju kumal penuh
tambalan itu.
"Apa pun alasannya, perbuatanmu tidak bisa dibenarkan, Nek Paring. Kau harus
mempertanggung-jawabkan semua perbuatanmu," tegas Rangga.
Perempuan tua itu tidak berkata apa-apa lagi. Dari balik kain kerudungnya,
pandangannya di edarkan pada semua orang yang berada di depannya. Dan
pandangannya langsung berhenti ketika bertemu wajah Ki Labur yang didampingi
Darkan serta orang-orangnya yang berjumlah tidak kurang dari tiga puluh.
Sementara itu dengan dibantu Darkan, Ki Labur melangkah tertatih-tatih
mendekati. Semua pemuda yang mendampinginya juga bergerak maju mengikuti.
Kepala Desa Mungkit itu baru berhenti melangkah setelah tiba di samping
Rangga. Untuk beberapa saat, suasana di halaman depan rumah kepala desa itu
jadi sunyi. Tak ada seorang pun yang berbicara.
"Siapa kau sebenarnya?! Kenapa kau menyembunyikan wajah di balik kerudung?"
tanya Ki Labur memecah kesunyian yang terjadi sesaat itu.
Tapi wanita tua itu tidak menjawab sedikit pun pertanyaan kepala desa ini.
Malah ditatapnya dalam-dalam wajah Ki Labur dari balik kerudungnya. Tapi
sebentar kemudian, pandangannya beralih pada Rangga yang berada di samping
Ki Labur. Bibirnya yang sedikit terlihat dan mengeriput itu tampak terkatup
rapat.
"Seharusnya kau tidak perlu ada di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Kau
membuat jerih payahku hampir berantakan. Bahkan membuatku tidak bisa
menyempurnakan pekerjaanku. Kau harus bertanggung jawab, Pendekar Rajawali
Sakti," terasa begitu dingin nada suara Nek Paring.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja. Bukan untuk sekali ini
Pendekar Rajawali Sakti menjadi sasaran kemarahan orang-orang yang merasa
terusik atas kehadirannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak
menanggapi. Karena dia tahu, mereka yang merasa terusik selalu melakukan
perbuatan-perbuatan keji, di luar batas peri kemanusiaan. Dan itu memang
menjadi tugas utamanya sebagai seorang pendekar yang berdiri pada keadilan
dan kebenaran.
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Nek Paring mengebutkan tangannya ke depan.
Begitu cepat sekali, sehingga membuat semua orang yang ada di depannya jadi
terbeliak kaget setengah mati. Dan dari telapak tangan perempuan tua itu
melesat beberapa buah benda halus berwarna hitam berkilat.
"Hiyaaa...!"
Sret! Wuk!
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga, karena bukan hanya dirinya
saja yang terancam. Bahkan semua orang yang berada di dekatnya juga terancam
maut dari benda-benda halus berwarna hitam itu. Secepat kilat, Pendekar
Rajawali Sakti mengeluarkan pedang pusaka dari warangkanya. Dan secepat
kilat pula pedangnya dikebutkan berputar, sambil berlompatan merontokkan
benda-benda kecil berwarna hitam berkilat itu.
Sinar biru berkilau yang memancar dari pedang itu bergulung-gulung
menyilaukan mata, baru berhenti setelah seluruh benda kecil berwarna hitam
berkilat itu berguguran ke tanah. Satu pun tak ada yang luput dari sabetan
pedangnya. Manis sekali pemuda berbaju rompi putih itu menjejakkan kakinya,
tepat sekitar lima langkah lagi di depan Nek Paring.
"Hiyaaa...!"
Belum juga Rangga bisa menarik napas lega, Nek Paring sudah kembali
menyerang cepat bagai kilat. Tongkat kayunya yang tidak beraturan bentuknya
mengibas cepat bagai kilat ke arah dada. Namun tangkas sekali, Rangga
mengebutkan pedangnya untuk menangkis serangan tongkat perempuan tua
terselubung teka-teki ini.
"Yeaaah...!"
Bet! Trang!
Bunga api langsung memercik begitu dua senjata beradu keras, tepat di depan
dada Rangga. Dan hampir bersamaan, mereka sama-sama melompat mundur beberapa
langkah. Sementara itu, Pandan Wangi, Ki Labur, Darkan, dan yang lain segera
menyingkir menjauh dari arena pertarungan.
"Hiyaaat..!"
Nek Paring tidak lagi membuang-buang waktu. Begitu kakinya menjejak tanah,
langsung dia melompat kembali, sambil melakukan serangan cepat dan dahsyat
luar biasa. Tongkatnya bergerak sangat cepat berkelebatan mengincar
bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
Bet! Wuk!
Begitu tingginya pengerahan tenaga dalam perempuan tua itu, sehingga setiap
kebutan tongkatnya menimbulkan deru angin yang menggetarkan jantung. Namun
dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga berhasil
menghindari setiap serangan yang datang.
"Hih...!"
Bet! Tring!
Kembali dua senjata beradu keras di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan
pada saat itu juga, Nek Paring melentingkan tubuhnya ke udara sambil cepat
memutar tongkatnya. Dan secepat itu pula, tongkatnya dikebutkan ke arah
kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait..!"
Wuk!
Cepat-cepat Rangga mengebutkan pedangnya, melindungi kepala dari sabetan
tongkat kayu yang tak beraturan bentuknya. Kembali Pedang Rajawali Sakti
yang memancarkan sinar biru terang menyilaukan berbenturan dengan tongkat
kayu di tangan Nek Paring.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga segera melenting ke belakang. Lalu, beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran manis sekali. Dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya kembali menjejak tanah, tepat
ketika Nek Paring juga sudah mendarat kembali di tanah.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu juga, Nek Paring menghentakkan tangan kirinya ke depan, dengan
kedua kaki terpentang lebar ke samping. Dan dari telapak tangan kirinya
meluncur deras secercah sinar merah ke arah Rangga.
"Hup!" Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari
terjangan sinar merah yang keluar dari telapak tangan perempuan tua itu.
Glarrr...!
Sebuah ledakan keras menggelegar terdengar, tepat ketika ujung sinar merah
itu menghantam tanah, tempat Rangga berdiri tadi. Seketika itu juga, tanah
terbongkar hingga menimbulkan debu yang membumbung ke angkasa. Pada saat itu
Rangga beberapa kali melakukan putaran di udara, dan kembali menjejakkan
kakinya di tanah.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
***
DELAPAN
Kembali Rangga terpaksa harus melenting ke udara, menghindari serangan
dahsyat Nek Paring. Dan untuk kedua kalinya, terjadi ledakan dahsyat
menggelegar begitu ujung cahaya merah menghantam tanah. Sedangkan
serangan-serangan Nek Paring tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan
kirinya terus dihentakkan cepat setiap kali Rangga berhasil menjejakkan kaki
di tanah.
Suara ledakan-ledakan keras menggelegar terus terdengar, sampai membuat
tanah bergetar bagai diguncang gempa. Debu semakin banyak bertebaran,
membumbung tinggi ke angkasa. Bahkan beberapa pohon yang tumbuh di sekitar
halaman yang cukup luas ini sudah bertumbangan dan langsung terkena
sinar-sinar merah yang memancar keluar dari telapak tangan kiri perempuan
tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti...! Hiyaaa...!"
"Hap!"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi berusaha menghindari serangan
dahsyat perempuan tua itu. Dan ketika Nek Paring menghentakkan tangan
kirinya, seketika itu juga Rangga mengebutkan pedangnya hingga tersilang di
depan dada. Dan tak pelak lagi, ujung cahaya merah itu langsung menghantam
bagian tengah mata pedang yang memancarkan sinar biru terang dan tersilang
di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.
Glarrr...!
"Ugh!"
"Akh...!"
Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang sambil memekik tertahan. Namun
cepat sekali mereka bisa menguasai keseimbangan tubuh kembali.
"Setan...! Hiyaaat..!"
Nek Paring jadi geram setengah mati, begitu ilmunya yang sangat dahsyat
berhasil ditahan Rangga dengan pedang pusakanya. Sambil memaki dan berteriak
keras menggelegar, perempuan tua itu langsung melompat secepat kilat untuk
menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Wuk!
Deras sekali tongkatnya dikebutkan, dan langsung diarahkan ke kepala Rangga.
Namun, Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeming sedikit pun. Lalu dengan
cepat sekali pedangnya dikebutkan sambil mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma' untuk menangkis tebasan tongkat Nek Paring.
"Hih!"
Trang!
"Ikh...!" lagi-lagi Nek Paring terpekik, begitu tongkatnya membentur pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Cepat-cepat perempuan tua itu melompat ke belakang
sejauh beberapa langkah. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu
melihat tongkatnya gompal akibat berbenturan keras dengan pedang yang
memancarkan cahaya biru berkilau dan menyilaukan mata itu.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan mata pedang tersilang di
depan dada.
"Keparat..! Hih!"
Prak!
Nek Paring membuang tongkatnya yang sudah gompal cukup besar itu. Lalu,
perempuan tua itu segera menciptakan gerakan-gerakan cepat dengan asap
berwarna merah mengepul. Dan begitu telapak tangannya menyatu rapat di depan
dada, tampak gumpalan cahaya merah memancar terang menyelimuti tangannya.
Asap kemerahan semakin banyak keluar bergulung-gulung.
"Hm...,"Rangga menggumam perlahan.
Cring!
Segera Pendekar Rajawali Sakti memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam
warangka di punggung. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua
tangannya di depan dada. Kedua kakinya dipentang lebar ke samping.
Perlahan-lahan, tubuhnya bergerak doyong ke kanan, lalu bergerak lagi hingga
miring ke kiri.
"Hhhhp...!" Sambil menarik napas dalam-dalam, Rangga menegakkan tubuhnya
kembali. Kemudian, dilakukannya beberapa gerakan dengan kedua tangan,
diikuti liukan-liukan tubuh yang begitu lentur dan indah seperti karet. Dan
ketika kedua telapak tangannya disatukan di depan dada kembali, seketika itu
juga kedua tangannya dilapisi sinar biru terang yang bergulung menyilaukan
mata. Sinar biru yang sama persis dengan yang memancar pada pedang
pusakanya.
"Hiyaaa...!"
"Hep!"
Tiba-tiba saja Nek Paring menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil
berteriak keras menggelegar, bagai guntur yang memecah angkasa di siang
bolong ini. Dan pada saat itu juga....
"Aji 'Cakra Buana Yeaaah...!"
Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil menyerukan aji
kesaktian andalannya yang amat dahsyat!
Pada saat yang hampir bersamaan, dua cahaya kesaktian melesat cepat dan
bertemu pada satu titik di tengah-tengah.
Blarrr...!
Sebuah ledakan keras kembali terdengar. Dan kali ini sungguh dahsyat luar
biasa, membuat bumi yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa sangat
dahsyat.
"Aaakh...!"
Terdengar pekikan keras melengking tinggi, bersamaan terdengarnya ledakan
dahsyat menggelegar tadi. Tampak Nek Paring terpental deras ke belakang.
Sedangkan sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga, terus
meluruk deras ke depan, dan langsung menyambar tubuh perempuan tua itu.
"Hih...!" Rangga menghentakkan sedikit tangannya ke belakang. Seketika itu
juga, tubuh Nek Paring yang sudah terselubung sinar biru tertarik ke depan,
hingga mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak perempuan tua itu menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru
yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak,
dengan kedua kaki terbuka lebar agak tertekuk lututnya. Titik-titik keringat
mulai terlihat membanjiri wajah Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tubuhnya
juga terlihat menggeletar.
Sedangkan Nek Paring sendiri terus menggelepar, berusaha keluar dari cahaya
biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Namun semakin keras berusaha,
semakin banyak pula kekuatannya yang tersedot keluar. Hingga akhirnya, dia
tidak mampu lagi mengendalikan arus kekuatannya yang makin banyak tersedot.
"Celaka...!" desis Nek Paring langsung menyadari keadaan dirinya. Meskipun
perempuan tua itu tidak mengerahkan kekuatan tenaga, tapi jelas sekali kalau
kekuatannya terus mengalir tanpa dapat dicegah lagi. Cepat-cepat dia duduk
bersila, dan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Heh...?!" Saat itu juga, Rangga jadi terkejut setengah mati. Ternyata
dirasakannya ada perlawanan arus tenaga pada aji kesaktiannya. Bahkan
perlawanan itu semakin kuat saja. Sehingga....
"Hap!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kembali aji 'Cakra Buana
Sukma' andalannya. Lalu, bergegas dia melompat mundur beberapa langkah.
Seketika itu juga cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' menghilang lenyap
dari pandangan mata.
Tampak Nek Paring masih tetap duduk bersila, dengan kedua telapak tangan
terkatup rapat di depan dada. Namun tiba-tiba saja perempuan tua itu jatuh
terkulai dan menggeletak di tanah. Tarikan napasnya begitu lemah dan
perlahan sekali. Dan dari sudut bibir serta hidungnya mengalir darah agak
kental.
Rupanya seluruh kekuatan yang ada pada dirinya dikerahkan untuk melawan aji
'Cakra Buana Sukma' tadi. Sehingga, kini dia sedikit pun tak memiliki
kekuatan lagi. Bahkan jelas sekali Nek Paring menderita luka dalam yang
sangat parah. Ini bisa terlihat dari darah berwarna agak kehitaman yang
keluar dari mulut dan hidungnya.
Bergegas Rangga menghampiri, lalu membuka kerudung yang menutupi hampir
seluruh wajah perempuan tua itu. Dan pada saat itu juga....
"Nyai..?!"
"Nyai Labur...."
Suara-suara mendesis terkejut terdengar dari arah belakang Pendekar Rajawali
Sakti. Ki Labur yang masih dibantu tongkatnya untuk berdiri, bergegas
menghampiri begitu kain kerudung yang menutupi kepala perempuan tua itu
terbuka. Dia tampak terkejut sekali, dan tidak menyangka kalau Nek Paring
sebenarnya adalah istrinya sendiri. Bahkan Darkan sampai berdiri terpaku,
tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Perlahan kelopak mata wanita tua yang ternyata Nyai Labur itu bergerak
membuka. Jelas sekali kalau sinar matanya begitu redup, seakan-akan gairah
hidupnya sudah hilang. Sementara, Ki Labur sudah berlutut di sampingnya.
Namun, masih belum bisa dipercayai kalau wanita penuh teka-teki yang sudah
mengambil begitu banyak korban nyawa dari penduduk Desa ini ternyata
istrinya sendiri.
"Nyai...," parau sekali suara Ki Labur.
Perlahan bibir Nyai Labur yang selama ini dikenal sebagai Nek Paring,
bergerak menyunggingkan senyuman. Sementara sinar matanya semakin redup
melemah.
Tidak jauh dari situ, Rangga tetap berdiri saja. Sedangkan Pandan Wangi
sudah berada di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Di sisi lain dari
Nyai Labur, tampak Darkan berlutut dengan kepala tertunduk. Sungguh sukar
melukiskan perasaan mereka saat ini. Karena, sungguh tidak disangka kalau
pelaku pembunuhan keji selama ini, dilakukan istri kepala desa itu sendiri.
"Kenapa kau lakukan semua ini, Nyai...?" tanya Ki Labur dengan suara masih
terdengar parau, seakan-akan tidak percaya dengan pertanyaannya sendiri.
"Semua ini kulakukan untuk anak kita, Ki. Untuk keluarga kita semua," sahut
Nyai Labur.
"Apa maksudmu, Nyai?"
"Aku tidak rela anak kita mati secara demikian, Ki. Aku ingin agar anak kita
mencari mereka, dan melakukan pembalasan," sahut Nyai Labur.
"Jadi...."
"Aku melanggar sumpah dan janjiku, Ki... Ilmu warisan leluhurku kugunakan
untuk membangunkan Kaminten dari kematian. Aku berusaha keras untuk
membangkitkan dan menyempurnakan kehidupannya. Dan untuk semua itu,
diperlukan pengorbanan yang tidak kecil, Ki... Aku membutuhkan banyak darah
bagi kehidupannya. Sedangkan dia hanya bisa hidup jika setiap hari meminum
darah manusia. Bahkan seluruh kekuatan yang ada pada dirinya pun berasal
dari darah yang diminumnya. Tapi, aku belum bisa menyempurnakannya. Dia
masih memerlukan banyak nyempurnaan untuk mencari pembunuh-pembunuhnya,"
jelas Nyai Labur.
"Oh.... Mengapa kau lakukan itu, Nyai?" desah Ki Labur, tidak mengerti.
"Aku kecewa padamu, Ki... Juga pada menantu kita yang hanya diam saja, tidak
berusaha mencari pembunuh-pembunuh anak kita...," semakin terdengar lemah
suara Nyai Labur.
"Oh, Nyai...," desah Ki Labur lagi.
"Sekarang aku sudah puas, Ki. Aku sekarang rela mati. Anak kita kini akan
tetap hidup dan mencari pembunuh-pembunuhnya. Dia akan terus hidup selama
masih ada manusia yang bisa diambil darahnya. Semakin banyak mendapatkan
darah, semakin besar dan sempurna kekuatannya," kata Nyai Labur lagi, sambil
tersenyum penuh kepuasan.
"Kau menyiksa anak kita sendiri, Nyai. Apa kau tidak menyadari
perbuatanmu...? Kau sama saja menyengsarakan banyak orang yang tidak
berdosa," kata Ki Labur menyesali perbuatan istrinya.
Tapi Nyai Labur hanya tersenyum saja. Namun, mendadak saja senyuman di
bibirnya menghilang. Tubuhnya langsung mengejang kaku, dan kedua bola
matanya terbeliak lebar. Mulutnya juga ternganga. Lalu tiba-tiba saja dari
mulutnya menyemburkan darah kental berwarna kehitaman. Maka saat itu juga,
tubuh Nyai Labur melemah lunglai.
"Nyai...." Ki Labur mengguncang-guncang tubuh istrinya yang sudah diam tak
bergerak-gerak lagi.
Perempuan tua itu sudah menghembuskan napas terakhir dengan bibir
menyunggingkan senyum. Sementara, Ki Labur hanya tertunduk saja. Dia tidak
tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Perbuatan istrinya sungguh disesali,
karena telah menggunakan ilmu warisan leluhurnya untuk membalas kematian
anak mereka berdua. Bahkan sekarang ini, anak mereka sudah bangkit dari
kuburnya dan entah berada di mana sekarang.
Suasana menjadi sunyi sekali, tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara
lagi. Perlahan Ki Labur bangkit berdiri dengan bantuan tongkatnya, walaupun
agak limbung. Darkan cepat-cepat berdiri dan memapah laki-laki tua itu.
Mereka memandangi Rangga dan Pandan Wangi yang masih berdiri di tempatnya.
Darkan segera memerintahkan orang-orangnya untuk memindahkan jasad Nyai
Labur ke dalam rumah.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi, Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar
menyesali semua peristiwa ini. Sama sekali cara yang dilakukan istriku tidak
ku setujui," kata Ki Labur agak tertahan nada suaranya.
Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi laki-laki tua ini. Dia juga
tidak tahu, apa yang harus dikatakan untuk menghibur hati Kepala Desa
Mungkit ini. Mereka sama-sama masih diselimuti suasana keterkejutan, karena
tidak menyangka kalau di balik semua peristiwa ini ternyata Nyai Labur
dalangnya.
"Aku tahu, apa akibatnya kalau sampai Inten bebas berkeliaran. Dia akan
terus mencari orang untuk dihirup darahnya. Siapa saja yang ditemuinya,
pasti akan menjadi korbannya. Sedangkan dia sendiri tidak tahu, siapa saja
dan di mana keempat orang pembunuhnya," kata Ki Labur lagi.
"Apakah wanita yang pergi tadi itu anakmu, Ki?" tanya Rangga.
Ki Labur hanya mengangguk saja. "Tapi sebenarnya dia sudah mati," tambah Ki
Labur perlahan sekali suaranya, hampir saja tidak terdengar.
Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi. Kedua pendekar muda dari Karang
Setra itu sudah bisa menangkap maksud kata-kata Ki Labur barusan.
"Aku yakin, dia masih ada di sekitar desa ini. Dia tidak akan keluar dari
sini," kata Ki Labur lagi.
"Hm...," Rangga menggumam kecil. Kembali Pendekar Rajawali Sakti melirik
Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja. Dan gadis itu tetap saja diam,
tidak memberi tanggapan sedikit pun juga. Biasanya, Pandan Wangi selalu
memberi keputusan lebih dahulu, Sebelum Rangga bisa memutuskan. Tapi, kali
ini gadis itu kelihatan diam saja. Dan Rangga merasa kan adanya keanehan
pada sikap si Kipas Maut ini.
"Aku mohon pada kalian berdua untuk menghentikan perbuatan Inten. Karena,
dia bukan lagi manusia. Dan rasanya terlalu sulit untuk bisa ditundukkan.
Aku yakin, hanya kalian berdua saja yang bisa menghentikannya," kata Ki
Labur lagi.
Rangga tidak bisa langsung menjawab. Sudah beberapa kali Pendekar Rajawali
Sakti bentrok dengan Perempuan Siluman itu. Dan setiap kali pula, merasa
kewalahan menghadapinya. Terlebih lagi, Nyai Labur memang mempersiapkan
Inten untuk berhadapan dengan laki-laki. Sehingga, sangat sulit bagi
laki-laki manapun juga menghadapinya.
Apakah Pendekar Rajawali Sakti bersedia menerima permintaan Ki Labur?
Mampukah dia menghentikan sepak terjang si Perempuan Siluman yang haus darah
itu? Lalu, apa yang menjadikan Pandan Wangi bersikap aneh dan tidak seperti
biasanya? Jika ingin mengetahui jawabannya, ikuti saja petualangan Pendekar
Rajawali Sakti dalam kisah Siluman Penghisap Darah.
Emoticon