SATU
SEORANG pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas bukit.
Sebatang pedang bergagang kepala burung rajawali tampak tersampir di balik
badannya yang kekar. Pandangannya tertuju lurus, tanpa berkedip ke arah
Kotaraja Karang Setra. Beberapa kali dihirupnya udara dalam-dalam, seakan-akan
ingin merasakan nikmatnya harum tanah kelahirannya ini.
Sementara tidak jauh, terlihat seorang gadis cantik berpakaian biru tengah
duduk mencangkung di atas batu. Tangannya yang halus mungil melempar-lemparkan
batu kerikil ke bawah bukit. Sesekali diliriknya pemuda yang tengah memandangi
kota kelahirannya dari atas bukit ini.
"Setiap kali memandang Karang Setra, aku merasa seperti baru dilahirkan
kembali, Pandan," desah pemuda itu menggumam perlahan, seakan-akan bicara pada
diri sendiri.
"Kau beruntung, Kakang. Masih punya tanah kelahiran," kata gadis yang
dipanggil Pandan. Dan memang, dia adalah Pandan Wangi. Sementara pemuda tampan
itu tak lain dari Rangga. "Sedangkan aku..., tidak ada lagi yang tersisa di
dalam hidupku."
Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya sedikit.
Dipandanginya gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan
Pandan Wangi tetap duduk mencangkung di atas batu. Batu-batu kerikil di
tangannya sudah habis dilemparkan. Sedikit matanya melirik pemuda tampan yang
selalu mengenakan baju rompi putih itu.
"Kau memiliki kekayaan yang tidak ternilai, Pandan," hibur Rangga.
"Hhh! Tidak ada yang berharga pada diriku, Kakang. Aku hanya anak kolong, yang
tidak jelas asal-usulnya. Bahkan aku sendiri tidak tahu, ke mana arah hidupku
nanti," terdengar agak sinis nada suara Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, kakinya
melangkah menghampiri gadis ini. Kini, dia berdiri dekat di depan Pendekar
Rajawali Sakti. Lembut sekali Pendekar Rajawali Sakti mengangkat dagu gadis
itu dengan ujung jari tangannya. Sehingga membuat wajah Pandan Wangi terpaksa
menengadah ke atas. Mau tak mau, mata mereka langsung bertemu.
"Semua orang memiliki masa lalu dan arah tujuan hidup yang berbeda. Aku pun
demikian, Pandan. Aku juga tidak tahu, ke mana hidupku ini akan kubawa. Hanya
Sang Hyang Widi yang tahu," tegas Rangga, namun lembut.
Pandan Wangi hanya diam saja memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan dia bangkit berdiri, dan melangkah menjauh beberapa tindak.
Sementara, Rangga tetap diam sambil memandangi gadis cantik berjuluk si Kipas
Maut itu.
"Berapa lama lagi kita akan berada di Karang Setra, Kakang?" tanya Pandan
Wangi setelah cukup lama berdiam diri.
Gadis itu masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kota yang kelihatan
tenang dan damai, di bawah kaki bukit ini. Sedikit pun wajahnya tidak
berpaling pada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah
menghampiri, dan berdiri di samping kanannya. Pandangannya juga diarahkan ke
arah yang sama dengan si Kipat Maut.
"Aku tidak bisa menentukannya sekarang," sahut Rangga. "Kenapa kau tanyakan
itu, Pandan?"
"Aku hanya ingin tahu saja," sahut Pandan Wangi, seenaknya.
"Sudah lama sekali kita tidak pulang. Tentu sudah banyak perubahan yang
terjadi," gumam Rangga, seperti bicara pada diri sendiri. Dan tentu saja untuk
mengalihkan pembicaraan yang dirasakan kurang enak ini.
Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja. Bibirnya mengukir sebuah senyum kecil
yang terasa begitu hambar. Rangga segera melingkarkan tangannya ke pundak
gadis ini. Seketika, kemanjaan Pandan Wangi timbul. Segera kepalanya
direbahkan di dada yang bidang dan tegap itu. Kembali mereka terdiam,
memandang ke arah Kotaraja Karang Setra dari ketinggian di atas bukit ini.
"Bagaimana, Pandan...? Kita ke Karang Setra, atau ke tempat lain?" Rangga
meminta pendapat.
"Kau pasti sudah rindu pada kedua adikmu, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Ya! Aku memang sudah rindu sekali," desah Rangga perlahan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin ke sana dulu, Kakang. Tapi, aku juga rindu pada
Cempaka, dan Danupaksi. Serta semua orang yang ada di istana," kata Pandan
Wangi berterus terang.
Rangga tersenyum, dan semakin mengetatkan rangkulannya pada pundak si Kipas
Maut ini. Tapi, Pandan Wangi malah melepaskan rangkulan Pendekar Rajawali
Sakti. Bahkan berdirinya bergeser ke samping beberapa langkah, menjauhi
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita turun, Kakang," ajak Pandan Wangi.
Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis cantik itu segera melangkah menuruni bukit
ini. Rangga bergegas mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping
Pandan Wangi. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi, menuruni bukit
yang tidak begitu terjal ini. Sepasang pendekar muda itu terus melangkah
hingga sampai di jalan setapak, dan menuju gerbang perbatasan Kotaraja Karang
Setra.
***
Kedatangan Rangga di istana, disambut begitu hangat dan penuh kegembiraan.
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau kegembiraan orang-orang ini
terasa lain, tidak seperti saat-saat sebelumnya. Mereka semua seperti
menyembunyikan sesuatu. Pendekar Rajawali Sakti melihat adanya kemuraman pada
sinar mata mereka.
Walaupun semua orang berusaha menunjukkan kegembiraan atas kepulangannya, tapi
Rangga tidak memiliki banyak kesempatan untuk bertarjya atau berbicara pada
Cempaka atau Danupaksi. Bahkan berbicara secara pribadi dengan para pembesar
istana pun, Pendekar Rajawali Sakti tidak memiliki kesempatan sama sekali.
Kesempatan untuk berbicara secara pribadi pada kedua adik tirinya, baru bisa
diperoleh setelah lewat tengah malam. Rangga sengaja memanggil Cempaka dan
Danupaksi untuk datang ke kamar peristirahatan-nya. Sementara, Pandan Wangi
dibiarkan beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Memang, si Kipas Maut itu
kelihatan lelah sekali. Dan sudah sejak sore tadi, mengurung diri di dalam
kamar.
"Kalau kalian tahu, kenapa kupanggil malam-malam begini ke kamarku?" tanya
Rangga, membuka pembicaraan lebih dahulu.
Danupaksi dan Cempaka hanya menggelengkan kepala saja, setelah saling
berpandangan beberapa saat. Mereka memang tidak tahu, kenapa Pendekar Rajawali
Sakti yang juga Raja Karang Setra ini memanggilnya di tengah malam buta
seperti ini. Tidak biasanya Rangga memanggil mereka di saat semua orang tengah
tertidur lelap. Dan dugaan mereka, pasti ada sesuatu yang sangat penting, yang
akan disampaikan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, semua dugaan itu hanya ada di
dalam hati.
"Sejak memasuki gerbang kota siang tadi, aku merasa adanya keanehan di sini.
Terlebih lagi, setelah masuk ke dalam istana ini. Keanehan itu semakin terasa
sekali. Dan sikap kalian semua, juga tidak seperti biasa. Sambutan kalian
terlalu berlebihan, seakan-akan aku baru saja kembali dari medan laga," kata
Rangga setelah berdiam diri beberapa saat.
"Maaf, Kakang. Aku tidak mengerti maksud pembicaraan ini," selak Cempaka
kebingungan.
"Kalian berdua tidak berasa kalau sikap kalian ini aneh...?" Rangga malah
bertanya, bernada menyelidik.
Kembali Cempaka dan Danupaksi saling berpandangan. Kemudian kepala mereka
bergerak menunduk, menekuri lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal,
warna biru muda. Sementara Rangga memandangi kedua adik tirinya dalam-dalam.
Dia semakin yakin kalau ada sesuatu yang telah disembunyikan, dan tampaknya
tidak boleh diketahuinya.
"Danupaksi, katakan padaku. Apa yang telah terjadi disini?" desak Rangga
tegas.
"Tidak terjadi apa-apa selama Kakang pergi mengembara," sahut Danupaksi, tetap
tertunduk kepalanya.
"Cempaka...?" Rangga menatap gadis cantik yang duduk di samping Danupaksi.
"Benar, Kakang. Tidak terjadi sesuatu di sini. Semua dalam keadaan wajar dan
biasa," sahut Cempaka, mendukung pernyataan kakak tirinya.
"Benar tidak terjadi sesuatu...?" desak Rangga tidak percaya.
Berbarengan mereka mengangguk. Rangga menarik napas dalam-dalam, dan
menghembuskan kuat-kuat. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan
melangkah ke pintu. Sedikit dibukanya pintu kamar ini. Tampak dua orang
prajurit berjaga-jaga di samping kiri dan kanan pintu kamar ini. Kedua
prajurit itu segera menjura memberi hormat. Rangga hanya menganggukkan kepala
saja sedikit, kemudian melangkah ke luar. Sementara pintu kamarnya dibiarkan
tetap terbuka.
Sementara Danupaksi dan Cempaka hanya saling berpandangan saja. Kemudian,
mereka bergegas bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Tapi, Rangga sudah
cukup jauh berjalan, menyusuri lorong yang cukup panjang ini. Kedua adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri saja di depan pintu kamar yang masih
terbuka. Danupaksi menutup pintu itu, dan melangkah perlahan diikuti Cempaka.
Mereka masih tetap diam, tidak berbicara sedikit pun juga.
"Kenapa kita harus merahasiakannya, Kakang Danupaksi...? Seharusnya ceritakan
saja semuanya," kata Cempaka, pelan suaranya.
"Ini sudah kesepakatan bersama, Pandan. Kakang Rangga tidak boleh tahu. Biar
Panglima Rakatala yang menyelesaikannya," sahut Danupaksi, juga pelan
suaranya.
"Tapi, Kakang... Aku merasa tidak enak. Aku tidak sanggup menentang sorot
matanya," keluh Cempaka.
"Bagaimanapun juga, kita harus tetap bisa merahasiakannya, Cempaka," tegas
Danupaksi.
Cempaka terdiam. Ayunan kakinya terhenti setelah sampai di depan pintu
kamarnya yang dijaga dua orang prajurit bersenjata tombak. Kedua prajurit itu
membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat, tapi Cempaka dan Danupaksi diam
saja.
"Tidurlah. Biar aku yang bicara pada Kakang Rangga," kata Danupaksi lembut.
Cempaka hanya menganggukkah kepalanya saja. Kemudian pintu kamarnya dibuka,
lalu melangkah masuk. Gadis itu baru menutup kembali pintu itu setelah
Danupaksi melangkah meninggalkannya. Perlahan tubuhnya diputar berbalik, lalu
saat itu juga....
"Ohhh...?!"
"Kau terkejut, Cempaka...?"
"Kakang...." desah Cempaka.
Seluruh wajah gadis itu jadi memucat, begitu melihat Rangga sudah ada di dalam
kamarnya ini. Tapi, Cempaka cepat-cepat menguasai diri, dan mencoba untuk bisa
bersikap biasa. Kakinya terayun mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang duduk
bersila di lantai beralaskan permadani tebal. Kemudian, gadis itu duduk di
depannya.
"Kenapa Kakang ada di kamarku?" tanya Cempaka setelah membasahi tenggorokannya
dengan secawan arak.
"Jendela kamarmu tidak terkunci. Dan lagi, aku memang ingin berbicara berdua
saja denganmu," sahut Rangga kalem.
"Bicara apa?" tanya Cempaka, agak bergetar suaranya. Malah, seketika
jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Belum juga Rangga berbicara, tiba-tiba saja terasa adanya desiran angin yang
begitu halus, datang dari arah jendela. Dan...
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya, dan berputar ke
udara. Saat itu juga, terlihat secercah cahaya hijau agak kemerahan meluncur
cepat bagai kilat, lewat di bawah tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Sementara Cempaka yang belum sempat menyadari, jadi terbeliak kaget. Namun
cahaya hijau kemerahan itu tidak sempat lagi dihindarinya.
"Akh...!"
Cempaka jadi terpekik, begitu cahaya hijau yang meluncur cepat itu menghantam
dadanya sebelah kiri. Gadis itu langsung terjungkal menggeletak di lantai.
"Cempaka...!" sentak Rangga terkejut.
Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di lantai, saat itu
juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat sekali di luar jendela.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar melalui jendela yang
terbuka lebar sejak tadi. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Lalu tanpa
menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak tanah. Sayang, dia tidak
lagi melihat satu bayangan pun yang berkelebat. Keadaan di luar kamar Cempaka
terlihat begitu sunyi. Tak ada seorang prajurit pun terlihat berjaga-jaga.
"Hap!"
Bergegas Rangga melompat kembali masuk ke dalam kamar adik tirinya ini.
Langsung dihampirinya Cempaka yang tergeletak di lantai, dengan napas
tersengal satu-satu. Di bagian dada kirinya terlihat bulatan hijau agak
kemerahan, seperti terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dan di bagian tengah bulatan hijau kemerahan itu, terlihat sebuah
benda kecil. Bentuknya bulat sebesar biji saga, berwarna hijau daun.
"Cempaka, kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga cemas.
Perlahan bibir Cempaka bergerak tersenyum, namun sebentar kemudian kelopak
matanya terpejam. Gadis itu langsung jatuh pingsan. Rangga jadi kelabakan
sendiri. Pendekar Rajawali Sakti segera berteriak memanggil prajurit penjaga
yang berada di luar. Dan begitu kedua prajurit penjaga masuk, Rangga segera
memerintahkan untuk memanggil tabib istana. Tanpa menunggu perintah dua kali,
kedua prajurit itu cepat bergegas pergi. Sementara, Rangga memindahkan Cempaka
ke pembaringan.
Baru juga Rangga meletakkan tubuh adik tirinya ini ke pembaringan, Danupaksi
tergesa-gesa menerobos masuk. Dia tampak terhenyak begitu melihat Cempaka
terbaring pingsan di ranjangnya. Dan di samping gadis itu, tampak Pendekar
Rajawali Sakti tengah memandanginya. Rangga berpaling sedikit, menatap
Danupaksi yang baru datang itu.
"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Danupaksi seraya menghampiri.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Danupaksi," desis Rangga, agak dingin
nada suaranya.
Danupaksi jadi terhenyak. Ludahnya seketika ditelan. Nada suara Rangga
terdengar begitu dingin. Jelas, Pendekar Rajawali Sakti marah padanya.
Danupaksi tidak bisa lagi berbuat sesuatu, kecuali berdiri diam sambil
memandangi Cempaka yang terbaring dengan tarikan napas begitu lemah. Di dada
kiri gadis itu terlihat noda bulatan hijau agak kemerahan.
"Kumpulkan semua pembesar di Balai Sema Agung," perintah Rangga tegas.
"Sekarang, Kakang...?" tanya Danupaksi seperti orang bodoh.
"Iya, sekarang. Cepat..!" sentak Rangga.
"Ba..., baik, Kakang...."
Danupaksi bergegas berlari meninggalkan kamar itu. Sementara, Rangga
mengeluarkan benda bulat kecil berwarna hijau dari dada kiri Cempaka.
Kemudian, diberikannya beberapa totokan di sekitar bulatan merah kehitaman
itu. Sedangkan Cempaka masih tetap terbaring diam seperti tidur. Pendekar
Rajawali Sakti melangkah mundur, dan berpaling saat mendengar langkah kaki
memasuki kamar ini. Tampak seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan
berkepala gundul, bergegas menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan sambil
meletakkan telapak tangannya di depan dada.
"Cepat tolong Cempaka, Eyang," kata Rangga tidak sabar lagi.
"Segera, Gusti Prabu," sahut orang tua yang ternyata tabib istana.
Sementara di depan pintu, terlihat dua orang prajurit berjaga-jaga. Tak berapa
lama kemudian, muncul lagi sepuluh orang prajurit dan seorang punggawa. Mereka
segera mengambil tempat, berjaga-jaga di sekitar kamar ini.
Rangga kembali bergerak mundur beberapa langkah. Sementara, tabib istana sudah
mulai memeriksa sekitar luka di dada kiri Cempaka. Rangga berpaling sedikit ke
arah pintu saat mendengar suara langkah kaki. Pandan Wangi menerobos masuk,
diikuti Danupaksi. Pemuda yang selalu mengenakan baju biru itu membungkukkan
tubuhnya sedikit pada Rangga.
"Semua sudah berkumpul di Balai Sema Agung, Kakang Prabu,'"' lapor Danupaksi
bersikap hormat
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah menghampiri Pandan Wangi yang sudah
berdiri di ujung kaki pembaringan. Gadis itu berpaling sedikit, menatap
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tetap disini, Pandan," pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga segera bergegas keluar
dari kamar, diikuti Danupaksi. Lalu Pandan Wangi menutup pintu, menurut
permintaan tabib istana.
Sementara Rangga terus berjalan dengan langkah kaki lebar-lebar. Yang dituju
adalah Balai Sema Agung, diikuti Danupaksi yang berjalan di belakangnya. Tak
ada yang berbicara sedikit pun. Sedangkan Danupaksi beberapa kali memandangi
punggung Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat
ini. Tapi yang jelas, saat itu Danupaksi kelihatan gelisah sekali.
***
DUA
Rangga memandangi wajah-wajah yang tertunduk dalam di depannya. Memang tidak
banyak jumlah pembesar yang ada di Kerajaan Karang Setra ini. Mereka adalah,
Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Paman Wirapati, dan beberapa orang lagi yang
dulu sama-sama berjuang mendirikan Kerajaan Karang Setra. Sekitar tiga puluh
orang panglima dan patih tampak hadir pula di situ. Tak ada seorang pun dari
mereka yang berbicara, sehingga keadaan di dalam ruangan besar yang disebut
Balai Sema Agung ini jadi terasa begitu sunyi. Perlahan Rangga duduk di kursi
yang indah dan berwarna kuning keemasan.
Meskipun masih mengenakan pakaian pendekarnya, tapi Rangga kelihatan begitu
berwibawa jika sudah berada di atas kursi singgasana Kerajaan Karang Setra
ini. Dan hal itu membuat tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya,
walau hanya sedikit. Mereka semakin tertunduk dalam, menekuri lantai yang
licin dan berkilat. Kembali Rangga memandangi orang-orang yang dipercayakan
mengatur tata kepemerintahan kerajaan ini.
"Kalian tahu, kenapa aku meminta semua berkumpul di sini pada tengah malam
begini...?" terdengar begitu dalam suara Rangga.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua tetap diam dengan
kepala tertunduk begitu dalam. Sementara, Rangga kembali mengedarkan
pandangannya, merayapi kepala-kepala yang tertunduk menekuri lantai. Sedikit
napasnya dihembuskan begitu kuat dan keras. Sementara, Danupaksi yang duduk
agak jauh di sebelah kanan, juga hanya bisa diam membisu. Sesekali matanya
sempat melirik wajah Rangga.
"Kalian tahu, apa yang telah terjadi malam ini?" tanya Rangga lagi, masih
dengan suara begitu dalam.
Tetap tak ada seorang pun yang bersuara.
"Seseorang telah menyelinap masuk, dan menciderai Cempaka," sambung Rangga.
Mereka semua yang ada di Balai Sema Agung ini jadi terkejut, begitu mendengar
kalau Cempaka mendapat celaka. Dan lebih terkejut lagi, karena ada seseorang
yang menyelinap masuk ke dalam istana ini. Akibatnya adik tiri Raja Karang
Setra ini mendapatkan celaka.
"Kalian tidak perlu berpura-pura terkejut. Aku tahu, kalian sebenarnya sudah
tahu akan hal ini. Dan kalian menyembunyikan sesuatu dariku," kata Rangga
lagi.
"Ampun, Gusti Prabu. Apa sebenarnya yang telah terjadi?" tanya Paman Wirapati
seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Paman Wirapati," agak mendesis
suara Rangga.
Paman Wirapati langsung terdiam.
"Katakan, Panglima Rakatala. Apa yang terjadi sebenarnya?" desak Rangga sambil
menatap Panglima Rakatala yang duduk bersila di samping Ki Lintuk.
Tapi, Panglima Rakatala hanya diam saja. Dia tidak tahu, apa yang harus
dikatakan pada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan saat ini, kabut hitam
benar-benar tengah menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra. Terlebih
lagi, di dalam lingkungan istana ini. Peristiwa yang terjadi malam ini,
merupakan awal datangnya kabut hitam itu.
"Ki Lintuk...?" Rangga beralih menatap Ki Lintuk.
Sedangkan laki-laki tua yang menjadi penasihat kerajaan itu hanya diam saja.
Sedikit pun kepalanya tidak terangkat. Pandangan Rangga beralih ke arah Paman
Wirapati, lalu kembali kepada Panglima Rakatala dan semua pembesar kerajaan
lainnya yang ada di dalam ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada seorang pun
yang berani mengangkat kepala. Demikian pula Danupaksi yang duduk di kursi
sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya diam saja, tidak berani
memandang wajah yang kelihatan memerah tegang itu.
"Edan...! Apa-apaan kalian ini, heh...? Apa kalian sudah jadi bisu semua?!"
bentak Rangga tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
Namun, tetap tak ada seorang pun yang membuka suara. Sambil menghentakkan
kakinya dengan kesal, Rangga bangkit berdiri dari singgasananya. Hatinya
benar-benar kesal, karena tak ada seorang pun yang membuka mulut. Apalagi
menceritakan apa yang tengah terjadi di dalam Istana Karang Setra ini.
"Baik! Jika kalian tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya, aku tidak akan
segan-segan memenjarakan kalian semua. Sikap ini sudah menandakan kalau kalian
ingin memberontak!" terdengar tinggi nada suara Rangga.
Para pembesar itu jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Raja
Karang Setra ini akan mengeluarkan ancaman seperti itu.
"Aku tunggu salah seorang dari kalian besok pagi. Kalau tidak ada yang
menghadap, terpaksa kalian dipenjarakan sampai ada yang mau mengatakan rahasia
ini," sambung Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Rangga segera meninggalkan Balai Sema Agung. Dan
kepala-kepala yang tadi terangkat kaget, kembali bergerak tertunduk lesu. Tak
ada seorang pun yang membuka suara, sampai Pendekar Rajawali Sakti tidak
terlihat lagi di dalam ruangan yang besar dan megah ini.
***
Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan matanya barang sedikit pun. Sejak dari
Balai Sema Agung semalam, tubuhnya tidak beranjak dari kursi di samping tempat
tidur Cempaka. Gadis itu masih tetap terbaring diam seperti tidur pulas.
Wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam, walau di dada kirinya masih
terlihat noda hijau kemerahan. Tapi, noda bulat itu sudah mulai berangsur
hilang.
"Kakang..."
Rangga berpaling sedikit saat mendengar panggilan lembut dari arah belakang.
Pundaknya terasa disentuh lembut oleh jari-jari tangan yang lentik dan halus.
Entah kapan masuknya, tahu-tahu Pandan Wangi sudah berada di belakang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Semalaman kau tidak tidur. Biar kugantikan menjaga Cempaka," kata Pandan
Wangi lembut
"Biarkan aku di sini, Pandan," tolak Rangga halus.
"Tapi, kau juga perlu istirahat, Kakang. Sejak kemarin kau belum
beristirahat," desak Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Begitu getir senyumannya dirasakan Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti kembali berpaling memandangi wajah adik tirinya yang
masih belum sadarkan diri sejak semalam. Sedangkan saat ini, matahari sudah
muncul di ufuk Timur. Pandan Wangi melangkah mendekati jendela, dan membuka
pintunya lebar-lebar. Sehingga, sinar matahari langsung menerobos masuk
menyegarkan kamar ini. Rangga menggeliat sedikit, mengurangi rasa pegal
tubuhnya.
"Cempaka tidak apa-apa, Kakang. Dia hanya keracunan sedikit. Sebentar lagi
pasti siuman," jelas Pandan Wangi.
Rangga bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Tanpa diberitahu
pun, dia sudah tahu kalau benda yang mengenai Cempaka semalam memang
mengandung racun, walaupun sangat lemah dan lambat kerjanya. Namun begitu,
bila tidak segera ditolong bisa merenggut nyawa Cempaka. Untungnya, Rangga
cepat memberi totokan. Sehingga, racun itu tidak sampai menyebar. Dengan
demikian, nyawa Cempaka masih bisa diselamatkan oleh tabib istana. Rangga
melangkah perlahan menghampiri Pandan Wangi yang berdiri di samping jendela.
Sebentar matanya memandang ke luar, memperhatikan matahari yang terus bergerak
naik dari balik puncak gunung yang berkabut.
"Hm... Mereka menganggap ancamanku hanya main-main," gumam Rangga seperti
bicara pada diri sendiri.
"Seharusnya kau tidak perlu bersikap begitu, Kakang. Mungkin mereka mempunyai
pertimbangan lain, hingga kau tidak diberitahu," keluh Pandan Wangi,
menyesalkan tindakan Rangga yang akan memenjarakan semua pembesar kalau tidak
mau mengatakan apa yang tengah terjadi di istana ini.
Pandan Wangi memang sudah tahu semua yang terjadi semalam di Balai Sema Agung.
Bukan hanya Rangga yang mengatakannya sendiri, tapi juga Danupaksi, Ki Lintuk,
dan Panglima Rakatala. Dan tampaknya, gadis itu sama sekali tidak menyetujui
tindakan Rangga, kalau memang benar sampai akan memenjarakan mereka semua. Itu
bisa berakibat kosongnya istana ini, tanpa ada seorang pun yang menjalankan
roda pemerintahan lagi. Dan itu berarti juga, awal kehancuran yang mungkin
saja bisa terjadi. Jelas ini pasti tidak akan diinginkan semua orang.
Bahkan semalam, saat Pandan Wangi baru keluar dari kamar ini, Danupaksi sudah
memintanya untuk membujuk Rangga agar mencabut ancamannya. Tapi, Pandan Wangi
juga jadi heran. Masalahnya, Danupaksi tetap tidak mau mengatakan hal
sebenarnya yang tengah terjadi di lingkungan Istana Kerajaan Karang Setra ini.
Demikian pula Ki Lintuk, Panglima Rakatala, dan Paman Wirapati. Semuanya
bungkam setiap kali Pandan Wangi menanyakannya. Dan dalam persoalan ini,
justru Pandan Wangi dituntut harus bisa bertindak bijaksana. Dia tidak mungkin
bisa berpihak pada siapa pun juga, sebelum semuanya menjadi jelas.
"Aku terpaksa harus menggertak mereka, Pandan. Sikap mereka bisa membahayakan
kelangsungan hidup Karang Setra. Hhh.... Seharusnya mereka tidak perlu
bersikap seperti itu. Katakan saja apa adanya. Dan aku juga bisa mengambil
sikap bijaksana," kata Rangga menjelaskan sikapnya semalam. "Bagaimanapun
juga, aku adalah raja di sini, Pandan. Walaupun, hati kecilku tidak pernah mau
mengakui kalau aku ini seorang raja. Namun, sudah sepatutnya mereka
membicarakan semua persoalan yang sedang dihadapi padaku."
"Tidak semua, Kakang," bantah Pandan Wangi tegas.
Rangga langsung menatap gadis itu dalam-dalam.
"Menurutku, seharusnya kita membiarkan saja dulu, Kakang. Kita lihat saja, dan
jangan terlalu memaksa mereka untuk mengatakannya. Kalau mereka tidak bisa
lagi mengatasi persoalan, aku yakin mereka pasti akan mengatakannya juga
padamu," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga hanya diam saja.
"Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja, Kakang. Terlebih lagi, kalau
persoalannya menyangkut kelangsungan hidup Karang Setra. Aku sudah merasa
nenjadi bagian dari kerajaanmu ini," sambung Pandan Wangi.
Rangga masih tetap diam.
"Kuminta, cabutlah kembali kata-katamu, Kakang. Tidak ada gunanya memenjarakan
mereka semua. Justru aku merasa akan semakin menambah buruk suasana."
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Kita harus mencari cara lain yang lebih halus, Kakang. Jangan dengan tindak
kekerasan dan ancaman," sambung Pandan Wangi terus membujuk Pendekar Rajawali
Sakti.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.
"Mungkin aku akan mencari keterangan di luar istana," sahut Pandan Wangi.
"Sampai sejauh itu...?"
"Kalau kau menduga persoalan ini menyangkut kelangsungan hidup Karang Setra,
kurasa tidak berlebihan jika sampai melibatkan orang-orang di luar lingkungan
istana, Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
"Apakah itu tidak terlalu jauh, Pandan?"
"Lebih baik, daripada memenjarakan semua pembesar."
Rangga kembali diam. Dipandanginya wajah Pandan Wangi beberapa saat, kemudian
kakinya melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat. Sebentar wajahnya
berpaling, menatap si Kipas Maut itu. Kemudian dibukanya pintu lebar-lebar.
Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri di samping jendela.
"Kau tetap di sini, Pandan. Jangan tinggalkan Cempaka, selama belum sadar,"
pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja, sambil tersenyum. Memang tidak sulit bagi
si Kipas Maut melunakkan kekerasan hati Pendekar Rajawali Sakti. Senyumnya
terus terkembang, walaupun Rangga sudah menghilang di balik pintu yang
tertutup kembali. Pandan Wangi baru menghampiri pembaringan Cempaka, dan duduk
di kursi yang tadi diduduki Rangga.
***
Tidak semua orang di Kerajaan Karang Setra ini bisa mengenali Rangga sebagai
raja di sini, kalau sedang mengenakan baju rompi putih dan membawa Pedang
Rajawali Sakti. Dan itu memang bisa membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi
leluasa berada di antara rakyatnya sendiri. Karena, mereka semua pasti akan
menganggap kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya seorang pendekar
kelana.
Siang ini, Rangga memang sengaja keluar dari istananya setelah mencabut
kembali ancamannya semalam pada para pembesar istana. Pendekar Rajawali Sakti
keluar melalui pintu rahasia yang terletak di bagian belakang, dan dekat
kandang kuda. Dengan menunggang kuda hitam Dewa Bayu, Pendekar Rajawali Sakti
berkeliling kota sambil mencari keterangan tentang rahasia yang tersembunyi di
dalam Istana Karang Setra. Tapi sampai matahari naik tinggi, belum juga
diperoleh keterangan apa pun juga. Bahkan yang diperoleh hanya rasa lapar dan
dahaga, karena setengah harian terus berada di punggung Dewa Bayu.
"Ramai sekali kedai itu," gumam Rangga begitu melihat sebuah kedai berada di
ujung jalan tanah ini.
Dengan gerakan begitu ringan dan indah, Rangga melompat turun dari punggung
kuda. Sebentar diamatinya kedai yang tampak begitu rampai di depannya.
Padahal, kedai itu terletak cukup jauh dari lingkungan penduduk. Dan letaknya
pun dekat perbatasan kota. Tapi, keramaian kedai itu membuat Rangga tertarik.
"Kau pasti sudah lapar dan lelah, Dewa Bayu. Bagaimana kalau singgah dulu di
sana...?" Rangga berbicara pada kudanya.
Kuda hitam Dewa Bayu hanya mendengus saja sambil mengangguk-anggukkan kepala,
seakan-akan mengerti ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil menuntun tali
kekang kudanya, Rangga melangkah menghampiri kedai di ujung jalan itu. Memang
ramai keadaannya. Tapi kening Rangga jadi berkerut setelah berada di depan
pintu kedai ini.
"Hm.., mereka semua seperti bukan rakyatku," gumam Rangga dalam hati.
Saat itu, seorang laki-laki tua bertubuh gemuk tergopoh-gopoh datang
menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan di depan Rangga. Dan dengan ramah sekali,
Pendekar Rajawali Sakti dipersilakan masuk. Rangga melangkah masuk mengikuti
laki-laki tua bertubuh gemuk ini, yang membawanya. ke sebuah meja di sudut
agak menyendiri.
"Ramai sekali kedaimu, Paman," kata Rangga setelah duduk di kursi yang
dipilihkan laki-laki tua gemuk pemilik kedai itu.
"Sudah beberapa hari ini kedaiku selalu ramai, Den. Mereka setiap hari datang
untuk makan dan minum di sini," sahut laki-laki tua itu ramah.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sebentar pandangannya beredar berkeliling.
Dan hampir semua orang yang memadati kedai ini juga tengah memperhatikannya.
Bahkan terlihat beberapa orang tengah berbisik-bisik sambil memandang ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Rangga seperti tidak peduli. Kemudian Pendekar
Rajawali Sakti meminta pemilik kedai itu menyediakan arak manis.
Hanya sebentar saja laki-laki tua pemilik kedai itu pergi, dan kini sudah
kembali lagi sambil membawa seguci arak manis. Rangga cepat menahan ketika
pemilik kedai itu hendak meninggalkannya lagi, setelah meletakkan guci arak
dan gelas bambu ke meja yang ditempatinya.
"Sebentar, Paman."
"Ada apa, Den?"
"Boleh aku tahu namamu, Paman?" pinta Rangga sopan.
"Orang-orang biasa memanggilku Tampik," sahut pemilik kedai memperkenalkan
namanya.
"Aku datang hanya seorang diri, Paman. Maukah kau menemaniku duduk di
sini...?" pinta Rangga lagi.
"Sebenarnya mau saja, Den. Tapi mereka pasti juga membutuhkan aku. Maklum,
Den.... Aku tidak punya pembantu di sini. Semuanya harus kukerjakan sendiri,"
dengan halus sekali Paman Tampik menolak ajakan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja, dan membiarkan pemilik kedai itu
meninggalkannya. Lalu, dituangnya arak dari guci ke dalam gelas bambu. Seteguk
arak langsung masuk ke dalam tenggorokannya. Namun baru saja gelasnya
diletakkan, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap, berpakaian hijau tua. Rangga mengangkat wajahnya perlahan,
memperhatikan laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tahu-tahu
sudah ada di depannya.
Tampak pinggangnya terlilit sabuk dari kulit yang penuh pisau-pisau kecil. Di
punggungnya, tersampir sebilah pedang. Meskipun sudah berusia hampir separuh
baya, tapi wajahnya masih kelihatan gagah. Hanya saja ketampanannya nyaris
hilang oleh sorot matanya yang tajam memancarkan keangkuhan. Sedikit pun tak
terukir senyuman di bibirnya yang terkatup rapat
"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali Sakti...?" terdengar begitu
berat dan besar suara laki-laki berbaju hijau tua itu.
"Benar," sahut Rangga agak terkejut juga, karena ada orang yang langsung bisa
mengenalinya. Bahkan orang yang sama sekali tidak dikenalnya ini, sudah tahu
nama asli dan julukannya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan
sinar mata penuh selidik. Dicobanya untuk mengingat-ingat, kalau-kalau pernah
bertemu. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah mengenalnya, dan
baru kali ini bertemu.
"Sepertinya, di antara kita belum pernah bertemu," kata Rangga, tetap
memandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Benar," sahutnya dingin.
"Kau sudah tahu namaku, Kisanak. Boleh kutahu namamu...?" tetap ramah nada
suara Rangga.
"Aku tidak punya nama. Tapi, biasanya aku dipanggil si Setan Hijau Pisau
Terbang," sahut laki-laki berbaju hijau tua itu. Suaranya tetap terdengar
berat dan dingin. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan adanya persahabatan.
"Ada perlu denganku?" tanya Rangga lagi, tetap bersikap ramah.
"Ya, ini...!"
"Heh!? Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika tiba-tiba saja si Setan
Hijau Pisau Terbang itu mengebutkan tangan kanannya dengan cepat sekali. Dan
bertepatan dengan luncuran sebilah pisau yang berkilat tajam dari tangan kanan
laki-laki berbaju hijau itu, Rangga bergegas menarik tubuhnya ke samping.
Maka, pisau itu hanya lewat sedikit saja di samping bahunya.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melompat dari kursinya. Sungguh manis dan ringan gerakan
Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya
menjejak lantai kedai ini. Dan pada saat itu, semua pengunjung kedai beranjak
bangkit dari duduknya. Di luar dugaan, mereka langsung saja mengepung pemuda
berbaju rompi putih ini.
Memang tidak disangka kalau semua orang yang ada di dalam kedai ini langsung
rapat mengepungnya. Bahkan mereka langsung mencabut senjata masing-masing. Ada
sekitar tiga puluh orang di dalam kedai ini. Dan rasanya, tidak mungkin bagi
Rangga untuk bisa keluar dengan mudah. Saat itu, si Setan Hijau Pisau Terbang
sudah melangkah menghampiri. Sorot matanya yang merah, semakin terlihat tajam,
seakan-akan ingin menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah lama sekali kami menunggumu, Rangga. Dan sebaiknya, kau tidak
mempersulit dirimu sendiri," kata Setan Hijau Pisau Terbang.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Rangga, langsung menyadari kalau
keadaannya saat ini sungguh tidak menguntungkan.
"Kami hanya diperintahkan untuk membawamu kepada pimpinan kami," sahut Setan
Hijau Pisau Terbang.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu banyak tanya, Pendekar Rajawali Sakti. Nanti juga akan tahu,"
sahut Setan Hijau Pisau Terbang, tetap dingin nada suaranya.
"Kau memaksaku, Kisanak," desis Rangga tidak senang.
"Kalau kau tidak banyak tingkah, tentu aku juga tidak akan memaksamu, Pendekar
Rajawali Sakti."
"Hm.... Ke mana kau akan membawaku?"
"Sudah kukatakan, jangan banyak tanya!" sentak Setan Hijau Pisau Terbang.
"Kau terlalu memaksaku, Kisanak. Maaf, aku tidak bisa mengikutimu," tegas
Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga melangkah hendak meninggalkan kedai ini. Tapi
baru saja kakinya terayun tiga langkah, semua orang yang ada di dalam kedai
ini langsung bergerak menghunus senjata ke arahnya. Terpaksa Rangga
menghentikan langkahnya.
"Jangan coba-coba keluar dari sini tanpaku, Pendekar Rajawali Sakti," desis
Setan Hijau Pisau Terbang dingin mengancam. "Mereka sudah diperintahkan untuk
mencincangmu, kalau kau tetap banyak tingkah."
"Oh, begitukah...?" terdengar sinis nada suara Rangga.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling,
sambil memutar tubuhnya perlahan-lahan. Kemudian ditatapnya Setan Hijau Pisau
Terbang dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja....
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas. Tahu-tahu saja Rangga
sudah menjebol atap kedai ini, dan langsung meluncur ke luar. Begitu cepat
gerakannya, sehingga membuat semua orang yang ada di dalam kedai itu jadi
terlongong-longong.
"Kejar! Jangan biarkan lolos...!" seru Setan Hijau Pisau Terbang lantang
menggelegar.
Seketika itu juga, mereka langsung beriompatan keluar dari kedai ini. Setan
Hijau Pisau Terbang pun melesat cepat ke atas, mengikuti Rangga yang menjebol
atap. Sebentar saja, tak ada seorang pun yang ada di dalam kedai ini lagi.
Hanya pemilik kedai saja yang masih tinggal dengan mulut ternganga.
***
TIGA
"Hap!"
Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tepat di tengah-tengah
halaman depan kedai. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti menghampiri
kudanya yang tertambat di pohon, sudah cepat sekali terkepung rapat. Dan saat
itu, Setan Hijau Pisau Terbang mendarat tepat sekitar satu batang tombak di
depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Rupanya kau senang mencari kesulitan sendiri, Pendekar Rajawali Sakti," desis
Setan Hijau Pisau Terbang, dingin.
"Aku tidak punya persoalan dengan kalian. Dan sebaiknya, kalian juga tidak
perlu mencari persoalan denganku," balas Rangga tidak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar angkuh, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal atas
kesombonganmu," dengus Setan Hijau Pisau Terbang mendesis dingin.
"Biarkan aku pergi, dan jangan membuka persoalan denganku," tetap dingin suara
Rangga.
"Kau benar-benar memaksaku bertindak kasar, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hhh!" Rangga hanya mendengus saja.
Trek!
Setan Hijau Pisau Terbang menjentikkan ujung jarinya. Maka saat itu juga,
sekitar sepuluh orang yang semuanya menggenggam golok berlompatan ke depan,
tepat di saat si Setan Hijau Pisau Terbang melompat mundur.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah lagi, mereka langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. Malah dua orang begitu cepat melompat dari arah depan, sambil
membabatkan golok secara menyilang dan mengarah ke leher.
"Hap!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya hingga doyong ke
belakang, menghindari tebasan dua bilah golok yang datang bersamaan itu. Tapi
belum juga Rangga sempat menarik tegak tubuhnya kembali, dari arah kanan sudah
datang serangan cepat
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke kiri, menghindari tebasan golok dari arah
kanan. Dan pada saat yang bersamaan, seorang penyerangnya sudah melepaskan
satu pukulan keras ke arahnya. Tentu saja orang itu terkejut, karena tidak
menyangka kalau justru Pendekar Rajawali Sakti melenting ke arahnya. Maka,
orang itu tidak bisa lagi menarik serangannya yang sudah terlontar.
"Yeaaah...!"
Saat itu juga, Rangga melepaskan satu pukulan keras, namun hanya disertai
pengerahan tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Hanya saja kecepatan
pukulannya tidak dapat lagi dihindari.
Begkh!
"Akh...!"
Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh, namun pukulan Pendekar
Rajawali Sakti demikian keras. Akibatnya, seorang lawan seketika terpental ke
belakang, setelah dadanya terkena pukulan keras tadi. Dan kini, keras sekali
tubuhnya terbanting ke tanah.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Rangga langsung melenting ke udara, tepat di
saat dua orang juga melesat ke udara mengejarnya sambil mengibaskan goloknya.
Tapi, kedua tangan Rangga yang mengembang lebih cepat lagi bergerak
mengelebat. Maka, kedua orang itu hanya bisa terpekik begitu kibasan-kibasan
tangan Rangga yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' menghajar
tubuhnya. Tak pelak lagi, mereka terbanting keras ke tanah, dan bergulingan
beberapa kali sambil mengeluarkan pekikan nyaring sekali.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga meluruk turun. Saat itu juga, jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa' dikerahkan. Kini kedua kakinya yang bergerak begitu cepat,
terarah langsung kepada Setan Hijau Pisau Terbang.
"Keparat...!" maki Setan Hijau Pisau Terbang terhenyak kaget. "Hup!
Hiyaaa...!"
Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali menghindari
serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, saat itu
juga Rangga sudah mendarat seraya melepaskan satu pukulan lurus, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan yang dilepaskannya,
sehingga Setan Hijau Pisau Terbang tidak dapat lagi berkelit menghindar.
Dan...
"Hiyaaa...!"
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Setan Hijau Pisau Terbang, selain menyambut
pukulan Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan yang bertenaga dalam tinggi
pula. Hingga tak pelak lagi, dua pukulan mengandung pengerahan tenaga dalam
itu bertemu di tengah-tengah.
Plak!
"Akh...!"
Setan Hijau Pisau Terbang jadi terpekik, begitu pukulannya beradu dengan
pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, tubuhnya terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali dia jatuh terguling di tanah
berdebu.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun. Lalu
perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri si Setan Hijau Pisau Terbang yang
masih terkapar di tanah.
Memang sulit menandingi Pendekar Rajawali Sakti yang ilmu tenaga dalamnya
sudah mencapai tingkat sempurna. Terlebih lagi, saat itu telah mengerahkan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' meskipun, dalam tingkat pertama. Sehingga,
tangan si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sampai hancur ketika berbenturan
tadi.
"Hih!"
Tiba-tiba saja, si Setan Hijau Pisau Terbang mengebutkan tangan kirinya cepat
sekali, meski tubuhnya masih tergeletak di tanah. Dan saat itu juga, terlihat
sebilah pisau berukuran kecil melesat bagai kilat ke arah Rangga. Tapi,
Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha menghindar sedikit pun. Malah, cepat
sekali tangannya bergerak menangkap pisau itu.
Tap!
Tahu-tahu pisau berukuran kecil dan tipis itu sudah berada di dalam jepitan
dua jari Pendekar Rajawali Sakti, tepat di depan dadanya yang terbuka. Kedua
kakinya terayun perlahan-lahan mendekati laki-laki berbaju hijau tua itu.
Sementara itu tak ada seorang penyerang pun yang berani mendekat lagi.
Sedangkan si Setan Hijau Pisau Terbang menggeser tubuhnya, lalu melompat
bangkit berdiri dengan gerakan indah sekali.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Setan Hijau Pisau Terbang langsung
menyerang dengan lontaran pisau-pisaunya yang memenuhi pinggangnya. "Hup!
Hiyaaa...!"
Manis sekali Rangga melentingkan tubuhnya. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti
berjumpalitan di udara, menghindari terjangan pisau-pisau itu. Sesekali
tangannya dikebutkan, untuk menangkap pisau-pisau yang meluruk deras mengancam
tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat tinggi ke atas. Dan dengan cepat sekali tubuhnya
meluruk turun setelah melewati kepala si Setan Hijau Pisau Terbang. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, tepat di belakang laki-laki berbaju hijau tua itu,
secepat kilat kakinya menghentak ke belakang. Langsung diberikannya tendangan
menggeledek yang begitu dahsyat!
Diegkh!
"Akh...!"
Lagi-lagi si Setan Hijau Pisau Terbang memekik, tanpa dapat menghindari
tendangan di punggungnya. Tak pelak lagi, dia jatuh tersungkur mencium tanah,
namun cepat bisa bangkit kembali setelah bergulingan beberapa kali.
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Setan Hijau Pisau Terbang, begitu mengetahui tidak
ada lagi pisaunya yang tersisa. Semuanya sudah habis, tapi tak satu pun yang
bisa melukai tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!"
Sret! Cring!
Sambil menyemburkan ludahnya, si Setan Hijau Pisau Terbang langsung mencabut
pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Langsung pedangnya
disilangkan di depan dada. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang
merembes dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan tangan
terlipat di depan dada. Saat itu, Setan Hijau Pisau Terbang sudah bergerak
menggeser kakinya ke samping, sambil memainkan pedangnya. Gerakan-gerakannya
begitu indah, tapi mengandung ancaman yang mematikan.
"Sebaiknya kau kembali saja, Kisanak. Katakan pada pemimpinmu. Kalau ingin
bertemu denganku, biar dia sendiri yang harus datang menemuiku," tegas Rangga,
terdengar lantang suaranya.
"Cukup kepalamu saja yang bertemu dengannya, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus
Setan Hijau Pisau Terbang.
"Hm..." Rangga menggumam kecil.
Sementara itu, Setan Hijau Pisau Terbang sudah semakin dekat saja jaraknya.
Pedang yang tergenggam di tangan kanannya terlihat berkilatan, tertimpa cahaya
matahari yang bersinar sangat terik siang ini. Sedangkan Rangga masih tetap
berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun.
"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti...! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Setan Hijau Pisau Terbang melompat sambil mengebutkan pedang
ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang
pada lehernya. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti cepat melangkah mundur dua
tindak.
Namun, Setan Hijau Pisau Terbang tidak mau meninggalkan begitu saja. Gagal
dengan serangan pertama, kembali dilakukannya serangan cepat luar biasa.
Pedangnya berkelebatan di sekitar tubuh Rangga yang bergerak meliuk-liuk
menghindarinya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Tampaknya, Setan Hijau Pisau Terbang tidak sudi lagi memberi kesempatan pada
Rangga untuk bisa balas menyerang. Jurus-jurus permainan pedangnya begitu
cepat dan dahsyat luar biasa. Tapi, yang dihadapinya kali ini adalah Pendekar
Rajawali Sakti. Hingga sudah beberapa jurus berlalu, belum juga bisa
menghunjamkan pedangnya ke tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Bahkan untuk
bisa mendesak pun, rasanya masih terlalu sulit. Padahal, Rangga saat itu hanya
mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
'Sembilan Langkah Ajaib' memang sebuah jurus aneh. Gerakan-gerakannya tidak
seperti orang sedang bertarung. Bahkan kelihatan seperti orang kebanyakan
minum arak. Seringkali tubuhnya doyong seperti hendak jatuh. Tapi, begitu
cepat sekali berubah mengikuti arah kelebatan pedang si Setan Hijau Pisau
Terbang. Sehingga, sangat sulit bagi si Setan Hijau Pisau Terbang untuk
mengembangkan jurus-jurusnya.
"Keparat..!-Hiyaaa...!"
Sambil berteriak berang, Setan Hijau. Pisau Terbang semakin memperhebat
jurus-jurusnya. Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah cepat sekali merubah
jurusnya. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti meiepaskan
satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat
sempurna.
"Hih!" Wuk!
Cepat-cepat Setan Hijau Pisau Terbang mengebutkan pedangnya, mencoba
menggagalkan serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, rupanya Rangga
lebih cepat lagi menarik tangannya. Dan begitu pedang lewat di depan dada si
Setan Hijau Pisau Terbang, cepat sekali Rangga menghentakkan kakinya ke depan.
Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek sambil memutar tubuhnya
sedikit. Begitu cepat tendangannya, sehingga si Setan Hijau Pisau Terbang
tidak sempat lagi menghindar.
Desss!
"Akh...!"
Kembali si Setan Hijau Pisau Terbang deras terpental ke belakang. Dan sebelum
tubuhnya menghantam tanah, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat.
Kembali dilepaskannya satu tendangan di udara yang begitu sulit dan
mencengangkan.
Bruk!
Lagi-lagi Setan Hijau Pisau Terbang tersuruk mencium tanah. Beberapa kali
tubuhnya bergulingan di tanah, sebelum bisa bangkit berdiri lagi. Kini semakin
banyak saja darah yang keluar dari mulutnya.
"Ugkh...!" Setan Hijau Pisau Terbang terbatuk beberapa kali.
Dan setiap kali terbatuk, Setan Hijau Pisau Terbang selalu menyemburkan darah
dari mulut dan hidungnya. Memang sungguh dahsyat pukulan maupun tendangan yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi untungnya, tidak disertai pengerahan
kekuatan tenaga dalam yang penuh. Sehingga, tidak sampai menciderai si Setan
Hijau Pisau Terbang lebih parah lagi.
"Jangan paksakan dirimu, Kisanak. Akan semakin parah bagi dirimu sendiri,
kalau memaksa mengerahkan tenaga dalam," kata Rangga memperingatkan.
"Phuih!"
Tapi, rupanya bagi si Setan Hijau Pisau Terbang sudah kepalang basah.
Peringatan Pendekar Rajawali Sakti tidak dipedulikan lagi. Dan dia malah
melompat, melakukan serangan kembali. Pedangnya disilangkan begitu cepat
sekali ke arah leher, disertai pengerahan tenaga dalam.
"Hap!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil menangkap mata pedang itu
hanya dengan dua jari tangannya saja, tepat di samping lehemya. Dan pada saat
itu juga, Rangga melepaskan satu tendangan keras ke arah perut.
Desss!
"Hegkh!"
Begitu tubuh Setan Hijau Pisau Terbang terbungkuk, cepat sekali Rangga memberi
satu pukulan keras di wajahnya. Seketika itu juga, kepala Setan Hijau Pisau
Terbang terdongak ke atas.
"Hiyaaa...!"
Dan Rangga rupanya tidak ingin meninggalkannya begitu saja. Kembali
dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, tepat menghantam dada si Setan
Hijau Pisau Terbang. Akibatnya, si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sadarkan
diri seketika itu juga. Dan Rangga cepat menghampiri, lalu memeriksa urat nadi
di lehemya sebelah kanan. Rangga kembali bangkit berdiri, setelah yakin kalau
si Setan Hijau Pisau Terbang tidak tewas. Kemudian, Rangga melompat naik ke
punggung kudanya yang tertambat tidak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon
randu.
"Hiyaaa...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam Dewa Bayu itu sudah melesat cepat bagai kilat.
Begitu cepatnya kuda itu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah
tidak terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja yang terlihat mengepul di
udara. Sementara itu, Setan Hijau Pisau Terbang masih tergeletak tak sadarkan
diri. Kemudian, anak buahnya segera membawanya pergi lari tempat itu.
***
Saat matahari hampir tenggelam, Rangga baru kembali pulang ke istana melalui
pintu rahasia di bagian belakang bangunan megah itu. Namun belum juga dia
sempat turun dari punggung kuda, tampak Pandan Wangi melangkah lebar-lebar
menghampiri.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun
dari punggung kudanya. Saat itu, Pandan Wangi sudah berada dekat di depannya.
Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berhenti setelah jaraknya
tinggal sekitar tjga langkah lagi di depan Rangga.
"Ada apa? Kau seperti dikejar setan saja, Pandan...," tegur Rangga, langsung.
"Aku sudah tahu rahasia yang tersimpan di istana ini, Kakang," kata Pandan
Wangi langsung.
"Oh...?! Rahasia apa?" tanya Rangga terkejut "Cepat katakan, Pandan. Rahasia
apa yang mereka sembunyikan."
"Kau ingat benda yang melukai Cempaka, Kakang?" Pandan Wangi malah bertanya.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Aku telah membawa benda itu pada seorang ahli senjata di Desa Katung. Dia
mengenali benda itu sebagai senjata rahasia, Kakang. Bahkan dia juga tahu,
siapa pemilikinya," lapor Pandan Wangi.
"Siapa?" desak Rangga tidak sabar.
"Dewi Mata Hijau," sahut Pandan Wangi memberitahu.
"Dewi Mata Hijau...," Rangga menggumam perlahan.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Rasanya baru kali ini dia
mendengar nama itu. Dan yang pasti, nama itu bukan nama sebenarnya. Pasti
hanya nama julukan saja.
"Lalu, kenapa dia hendak mengacau ketenteraman istana, Pandan?" tanya Rangga
lagi.
"Itulah yang belum kuketahui, Kakang," desah Pandan Wangi bemada mengeluh.
"Tidak ada yang bicara tentang persoalan ini padamu, Pandan?" desak Rangga
lagi.
Pandan Wangi menggelengkan kepala. Matanya tak berkedip memandangi wajah
tampan Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di depannya ini. Bisa iirasakan
adanya kekecewaan di dalam sinar mata pemuda tampan ini. Karena, rahasia
sebenarnya yang disimpan semua orang di Istana Karang Setra ini justru maksud
kemunculan orang yang mencelakai Cempaka. Sedangkan sampai saat ini, belum ada
seorang pun yang bisa diajak bicara. Mereka semua masih tetap menyimpan
rahasia itu rapat-rapat.
Rangga menuntun kudanya ke dalam istal, diikuti Pandan Wangi dari belakang.
Setelah menyerahkan kuda itu pada seorang pengurus kuda istana, mereka keluar
lagi dari dalam istal Sepasang pendekar muda itu melewati jendela kamar
Cempaka yang terbuka lebar, dan sempat melihat Cempaka masih terbaring di
pembaringan. Gadis itu sudah siuman dari pingsannya, tapi masih belum bisa
meninggalkan pembaringannya.
Rangga terus mengayunkan kakinya menuju ke bagian belakang istana. Pandan
Wangi terus mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka terus melangkah menuju ke taman belakang istana, tanpa
bicara lagi. Dua orang prajurit yang menjaga pintu Taman Kaputren segera
membungkuk memberi hormat. Sementara Rangga terus masuk ke dalam taman ini,
diikuti Pandan Wangi. Mereka kemudian duduk di bangku taman belakang istana.
"Kau tahu, siapa Dewi Mata Hijau itu, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama
berdiam diri.
"Katanya, dia datang dari Utara," sahut Pandan Wangi.
"Lalu, apa maksudnya datang ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu, Kakang."
Rangga kembali diam. Keningnya terlihat berkerut, pertanda tengah berpikir
keras. Sulit untuk bisa diduga, apa yang akan terjadi di Kerajaan Karang Setra
ini. Rangga jadi teringat kata-kata Panglima Rakatala. Kabut hitam memang
tengah menyelimuti Kerajaan Karang Setra ini. Tapi, Rangga belum bisa melihat
kabut hitam itu. Bahkan untuk melihat bayangan pun masih terlalu sulit.
Beberapa peristiwa setelah Pendekar Rajawali Sakti tiba di Karang Setra ini,
belum bisa diambil kaitannya. Tapi yang jelas, ada satu kelompok yang
menginginkannya. Entah untuk apa mereka ingin bertemu Pendekar Rajawali Sakti.
Kemunculan orang aneh yang berjuluk Dewi Mata Hijau, dan kemunculan Setan
Hijau Pisau Terbang, belum bisa dirangkaikan satu sama lain. Rangga masih
terus mencari dan berpikir keras menyingkap teka-teki ini.
"Aku minta, kau terus mencari keterangan lebih banyak lagi, Pandan. Aku merasa
ada suatu rencana tertentu di balik semua peristiwa ini," kata Rangga, agak
menggumam suaranya.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Saat itu, terlihat Danupaksi datang
menghampiri bersama dua orang punggawa. Rangga dan Pandan Wangi langsung
berdiri, begitu Danupaksi dekat. Pemuda itu segera membungkukkan tubuhnya
memberi hormat Sementara, kedua punggawa itu merapatkan kedua telapak tangan
di depan hidung.
"Ada apa, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Ada orang hendak bertemu, Kakang Prabu," sahut Danupaksi dengan sikap hormat.
"Siapa?" tanya Rangga lagi.
"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Kakang Prabu. Katanya, ini persoalan
penting dan menyangkut keselamatan nyawa Kakang Prabu sendiri," sahut
Danupaksi.
"Hm...," Rangga menggumam terkejut. Sekilas Pendekar Rajawali Sakti melirik
Pandan Wangi yang juga menatapnya, setelah mendengar penuturan Danupaksi. "Di
mana dia menunggu?" tanya Rangga setelah terdiam beberapa saat.
"Di alun-alun depan," jelas Danupaksi.
"Baiklah. Antarkan aku ke sana," pinta Rangga.
"Hamba, Kakang Prabu."
***
EMPAT
Kelopak mata Rangga jadi agak menyipit, begitu melihat seorang gadis cantik
sedang menunggunya di tengah alun-alun depan istana yang luas ini. Seorang
gadis yang begitu cantik, mengenakan baju ketat wama merah muda. Sehingga,
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang tertihat tersampir
di punggungnya.
Tampak kakinya melangkah begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti muncul
didampingi Pandan Wangi, Danupaksi, dan dua orang punggawa. Di belakang mereka
juga terlihat Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Paman Wirapati, dan empat orang
panglima, serta patih. Gadis itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal
sekitar enam langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada perlu denganku, Nisanak...?" tanya Rangga ramah.
"Kalau kau memang Pendekar Rajawali Sakti, aku ada perlu denganmu," tegas
sekali jawaban gadis cantik itu.
"Hm. Siapa namamu, Nisanak?"
"Nini Ratih."
"Lalu, apa keperluanmu?"
"Aku hanya mengemban tugas untuk menjemputmu."
"Menjemputku? Untuk apa...?" tanya Rangga, terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Setan Pisau Terbang yang juga
menunggunya, untuk membawanya menghadap pada pemimpinnya. Rangga jadi
bertanyatanya sendiri dalam hati. Kenapa begitu banyak orang yang ingin
bertemu dengannya?
Inikah rahasia yang selama ini disembunyikan para pembesar istana padanya?
Rangga jadi tidak mengerti. Dia tidak tahu, siapa orang-orang yang ingin
bertemu dengannya kali ini. Juga, apa maksud mereka hendak bertemu dengan cara
sangat membingungkan ini.
"Kau akan tahu nanti setelah sampai di sana, Pendekar Rajawali Sakti. Dan
kuharap, kau tidak menimbulkan kesulitan yang akan membuat semua orang
sengsara," kata Nini Ratih bernada mengancam.
"Kurang ajar...!" desis Ki Lintuk jadi geram, melihat tingkah gadis itu.
"Nisanak! Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?" bentak Paman
Wirapati.
Hampir saja Paman Wirapati yang berangasan itu melompat menerjang. Untung
saja, Rangga segera mencegahnya. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima
tahun itu hanya mendengus saja, memandang penuh kebencian pada gadis cantik
yang berdiri angkuh di halaman alun-alun Istana Karang Setra itu.
Para panglima dan patih yang ada di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah
bersiap hendak mencabut senjatanya. Diam-diam, mereka sudah menggeser dan
saling merenggang menjauh. Sementara, beberapa orang prajurit juga sudah
siaga, tinggal menunggu perintah saja. Kesigapan para panglima dan prajurit
Karang Setra itu membuat gadis cantik yang mengaku bemama Nini Ratih jadi
tersenyum. Sementara, Rangga melangkah ke depan beberapa tindak. Sehingga
jarak di antara mereka jadi semakin bertambah dekat.
"Nisanak! Kuharap, kau bisa menyadari kalau sedang berada di mana saat ini.
Aku tidak ingin terjadi sesuatu tanpa ada sebab yang pasti," kata Rangga.
"Aku tahu kau memang berkuasa di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
kedatanganku hanya mengemban tugas. Aku harus membawamu sekarang juga dengan
cara apa pun. Kuharap kau juga bisa memakluminya, Pendekar Rajawali Sakti. Dan
aku juga tidak ingin mereka semua jadi susah," terdengar sinis nada suara Nini
Ratih.
"Sombong...!" dengus Pandan Wangi mendesis.
Sikap Nini Ratih yang angkuh dan tidak memandang sedikit pun pada Pendekar
Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra ini, membuat pembesar yang ada jadi
berang. Bahkan para prajurit yang semakin banyak jumlahnya juga sudah tidak
sabar lagi menunggu perintah. Tapi, memang tak ada seorang pun yang memberi
perintah untuk mengenyahkan gadis itu. Karena, Rangga sendiri kelihatannya
masih belum terpancing, walaupun sikap Nini Ratih jelas-jelas tidak memandang
sebelah mata pun padanya. Bahkan senyuman yang begitu manis terukir di
bibirnya.
"Kalau boleh kutahu, siapa nama pemimpinmu itu, Nisanak?" tanya Rangga, masih
tetap bersikap ramah.
"Sudah kukatakan, kau tidak perluh tahu! Kau akan tahu sendiri kalau sudah
bertemu dengannya, Pendekar Rajawali Sakti!" ketus sekali jawaban Nini Ratih.
"Hm...," Rangga menggumam kecil. Keningnya terlihat berkerut. Sedangkan
kelopak matanya agak menyipit, memandangi gadis cantik di depannya. Sikap yang
meremehkan dan dengan kata-kata begitu ketus, membuat kesabaran Pendekar
Rajawali Sakti jadi teruji. Tapi, Rangga juga tidak ingin diremehkan begitu
terus-menerus. Terlebih lagi, saat ini hampir semua pembesar kerajaan dan para
prajurit Karang Setra sudah berkumpul memenuhi alun-alun depan Istana Karang
Setra. Rangga juga menyadari kalau mereka semua tentu tidak sudi rajanya
dipandang rendah seperti itu.
"Baiklah, Nisanak. Katakan pada pemimpinmu itu. Bila ingin bertemu denganku,
biar dia datang sendiri ke sini," tegas Rangga.
"Sudah kuduga., kau pasti akan menolak, Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...!"
dengus Nini Ratih sinis.
"Maaf! Masih banyak yang harus kuselesaikan. Kalau pemimpinmu ingin bertemu,
sebaiknya buat dulu perjanjian dengan Ki Lintuk," kata Rangga seraya memutar
tubuhnya berbalik.
"Tunggu...!" sentak Nini Ratih cepat Rangga mengurungkan ayunan kakinya. Dan
belum juga tubuhnya bergerak memutar kembali, tiba-tiba saja terasa adanya
desir angin dari arah belakang.
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas. Saat itu, terlihat
sebuah benda berwama keperakan meluncur deras di bawah telapak kakinya. Benda
bercahaya keperakan itu langsung menghantam dada seorang prajurit yang berada
tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
Crab!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking dan menyayat seketika terdengar, bersamaan dengan
ambruknya prajurit yang malang itu ke tanah. Hanya sebentar saja prajurit itu
menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, manis sekali Rangga kembali menejakkan kakinya, sekitar lima
langkah lagi di depan Nini Ratih. Sorot matanya terlihat begitu tajam. Dan
wajahnya jadi memerah menahan geram.
"Kau harus ikut denganku, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Ratih dingin.
"Hih...!"
Cepat sekali gadis itu menghentakkan tangan kanannya ke depan, memberi satu
pukulan yang begitu cepat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan
kecepatan luar biasa sekali, Rangga mengegoskan tubuhnya. Sehingga, pukulan
gadis cantik itu hanya menemui tempat kosong.
"Yeaaah...!"
Dengan tubuh sedikit miring ke kiri, Rangga cepat mengebutkan tangan kanannya.
Langsung memberikannya satu sodokan yang begitu cepat, disertai pengerahan
tenaga dalam tidak penuh. Sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu
tetap mengarah ke lambung kiri gadis cantik ini.
"Ikh...!"
Namun, cepat sekali Nini Ratih menarik mundur kakinya. Hingga, sodokan tangan
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengenai angin kosong saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja dari arah belakang
melesat bayangan biru muda. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya,
tahu-tahu Pandan Wangi sudah terlihat menyerang Nini Ratih begitu gencar.
Akibatnya, gadis cantik itu harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan
yang begitu cepat dan beruntun dari si Kipas Maut.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Dengan jurus-jurus pendek yang begitu cepat, Pandan Wangi terus merangsek
gadis cantik yang mengenakan baju warna merah muda agak ketat ini. Namun
tampaknya, Pandan Wangi tidak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan untuk
balas menyerang. Dia terus berusaha mendesak dengan jurus-jurusnya yang cepat
dan dahsyat. Sementara, Rangga tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Pendekar
Rajawali Sakti hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dari jarak yang tidak
begitu jauh.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja, Nini Ratih melenting tinggi-tinggi ke atas. Beberapa kali dia
berputaran di udara, lalu cepat sekali meluruk turun menjauhi Pandan Wangi.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis cantik berbaju merah muda itu
menjejakkan kakinya di tanah.
Sret!
Pedang yang tersampir di punggung, langsung tercabut keluar. Nini Ratih
cepat-cepat menyilangkan pedangnya di depan dada, begitu melihat Pandan Wangi
mengeluarkan senjata mautnya berupa sebuah kipas baja putih berkilat
keperakan. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membuat beberapa
gerakan yang begitu indah. Kipasnya berkelebatan begitu cepat dan manis,
sehingga sedap dipandang mata. Tapi, keindahan gerakannya itu justru
mengandung maut yang menggetarkan.
"Kipas Maut...," desis Nini Ratih langsung mengenali.
"Hup! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat menerjang Kipasnya dikibaskan beberapa
kali, mengarah kebagian-bagian tubuh Nini Ratih yang mematikan. Begitu cepat
serangan yang dilancarkannya, sehingga membuat Nini Ratih jadi terkesiap
sejenak. Namun dengan cepat pula wanita berbaju merah muda itu berkelit
menghindari serangan-serangan cepat si Kipas Maut ini.
"Uts! Yeaaah...!"
Bet!
Begitu ada kesempatan, Nini Ratih cepat mengebutkan pedangnya ke arah dada.
Tapi, Pandan Wangi sudah menempatkan kipasnya di depan dada. Hingga, benturan
dua senjata tak dapat dihindari lagi.
Tring!
"Ikh...?!"
Nini Ratih jadi terpekik kaget setengah mati, begitu pedangnya beradu dengan
kipas Pandan Wangi. Maka cepat-cepat wanita berbaju merah muda itu melompat
mundur beberapa langkah. Saat itu juga tangan kanannya terasa bergetar. Hampir
saja pedangnya terlepas dari genggaman, kalau tidak cepat-cepat dipindahkan ke
tangan kiri. Nini Ratih langsung menyadari kalau tingkat ilmu tenaga dalam
yang dimilikinya masih di bawah si Kipas Maut itu.
"Hiyaaa...!"
Belum juga Nini. Ratih bisa berbuat lebih banyak lagi, cepat sekali Pandan
Wangi sudah melakukan serangan kilat
Wuk!
"Uts...!"
Nini Ratih cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu Kipas Maut milik
Pandan Wangi mengibas mengancam tenggorokannya. Ujung kipas yang runcing itu
lewat sedikit di depan tenggorokan gadis cantik berbaju merah muda ini. Dan
belum juga Nini Ratih bisa menegakkan tubuhnya kembali, bagaikan kilat Pandan
Wangi sudah menghentakkan kakinya. Langsung diberikannya tendangan dahsyat
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!"
Desss!
"Akh...!"
Tidak ada kesempatan lagi bagi Nini Ratih untuk berkelit menghindar. Tendangan
keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu tepat
mendarat di dadanya. Maka tak pelak lagi, gadis berbaju merah muda itu
terpental beberapa batang tombak jauhnya ke belakang. Lalu, keras sekali
tubuhnya menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Pandan
Wangi sudah melompat cepat mengejarnya. Secepat itu pula kipas mautnya
dikebutkan ke arah leher gadis itu.
"Hiyaaat..!"
Wuk!
Trak!
"Heh...?! Hup!"
Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, begitu ujung kipas mautnya yang hampir
saja merobek leher Nini Ratih tiba-tiba saja terasa membentur sesuatu yang
begitu keras dan kuat Akibatnya, kipas itu hampir saja terpental lepas dari
tangannya. Maka cepat-cepat tubuhnya melenting, berputar dua kali ke belakang.
Pada saat itu terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat melewati
tubuhnya. Dan tahu-tahu, di samping tubuh Nini Ratih yang tergeletak di tanah,
sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Satu kaki pemuda tampan berjubah putih
itu menginjak pedang gadis cantik berbaju merah muda ini.
"Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan," kata Rangga.
"Huh...!" Pandan Wangi hanya mendengus saja. Pandan Wangi menyimpan kembali
Kipas Mautnya ke balik ikat pinggang. Sementara, Rangga mengambil pedang Nini
Ratih yang diinjaknya. Kemudian dibangunkannya gadis itu hingga berdiri.
Tampak darah kental mengalir keluar dari sudut bibirnya yang merah. Sorot
matanya terlihat begitu tajam, tertuju lurus ke arah Pandan Wangi. Dari sorot
matanya yang tajam, jelas kalau kekalahan ini tidak bisa diterimanya.
"Panglima Rakatala... Masukkan dia ke penjara," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala.
Bergegas laki-laki hampir separuh baya yang masih keiihatan gagah itu
menghampiri. Lalu dicengkeramnya lengan Nini Ratih yang sudah tak berdaya itu
dekat ketiaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Panglima Rakatala membawa gadis
itu ke dalam penjara. Sementara, Nini Ratih sempat melirik tajam pada Pandan
Wangi.
"Kenapa tidak kau biarkan saja aku membunuhnya, Kakang?" desis Pandan Wangi
kurang puas.
"Ini bukan rimba persilatan, Pandan. Ini kerajaan yang memiliki hukum dan
peraruran-peraturan. Kau tidak bisa bertindak seenaknya di sini," kata Rangga
mengingatkan.
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus saja.
Rangga hanya tersenyum dan mengajak gadis itu kembali masuk ke dalam istana.
Sementara, para panglima dan patih langsung mengatur penjagaan lebih dekat
lagi di sekitar bangunan istana ini. Kemudian Rangga meminta Ki Lintuk, Paman
Wirapati, Danupaksi, serta beberapa pembesar istana untuk berkumpul di Balai
Sema Agung. Tak ada seorang pun yang membantah, dan semuanya langsung me-nuju
ke Balai Sema Agung. Sementara, Rangga sendiri membawa Pandan Wangi ke ruangan
lain.
"Kau meminta mereka ke Balai Sema Agung, tapi mengapa malah membawaku ke sini,
Kakang...?" rungut Pandan Wangi.
"Ada yang ingin kubicarakan secara pribadi denganmu, Pandan," sahut Rangga
kalem.
"Tentang apa?" tanya Pandan Wangi sambil memandangi wajah tampan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau," sahut Rangga tegas.
"Aku...?!" Pandan Wangi jadi tidak mengerti.
"Ya, kau!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang. Ada apa denganku...?" Pandan Wangi jadi
kebingungan, tidak mengerti maksud perkataan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tadi hampir saja kau membunuh Nini Ratih di depan para patih, panglima, dan
prajurit. Tindakanmu tadi bisa menjatuhkan citra baikmu selama ini di Karang
Setra," tegur Rangga.
"Maafkan aku, Kakang. Aku paling benci jika kau direndahkan orang di depan
umum," ucap Pandan Wangi.
"Ah..., sudahlah. Apa kau ingin ikut ke Balai Sema Agung?" Rangga mengalihkan
pembicaraan.
"Aku akan melihat Cempaka," tolak Pandan Wangi.
Rangga segera melangkah menuju Balai Sema Agung. Sementara, Pandan Wangi terus
saja berjalan menyusuri lorong yang menuju kamar Cempaka.
***
Emoticon