SATU
Trang!
Dua bilah pedang beradu keras di
udara, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.
Tampak dua orang laki-laki yang sama-sama memegang pedang, sama-sama melompat
mundur. Mereka yang kelihatan sama-sama masih berusia muda, tampak berdiri
saling berhadapan. Tatapan mata mereka begitu tajam, menusuk ke bola mata
masing-masing. Pedang di tangan kanan, sama-sama menyilang di depan dada.
"Kakang, awas...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring seorang wanita. Pemuda yang mengenakan baju warna putih cepat berpaling
ke arah teriakan tadi. Tapi mendadak saja, terlihat seutas cambuk hitam berduri
halus meluncur deras ke arahnya.
Ctar!
"Akh...!" pemuda
berbaju putih itu terpekik.
Tubuh pemuda berbaju putih itu
langsung terhuyung-huyung begitu ujung cambuk yang berduri halus mendarat tepat
di dada sebelah kiri. Kulit dadanya seketika sobek, sehingga darah merembes
keluar. Pemuda itu meringis merasakan pedih pada dadanya yang sobek cukup
panjang akibat tersengat cambuk hitam berduri halus.
"Curang…!" geram pemuda
berbaju putih sambil menatap seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun
yang berdiri tegak memegang cambuk hitam tergulung di tangan kanannya.
"Bunuh dia...!"
perintah laki-laki berbaju hitam yang memegang cambuk itu, lantang.
"Hiyaaat..!"
Sebelum perintah itu menghilang
dari pendengaran, seketika itu juga pemuda berbaju kuning yang tadi ber-tarung
melawan pemuda berbaju putih itu langsung me-lompat cepat sambil mengebutkan
pedang yang berkilatan ke arah leher.
Wuk!
"Hih...!" Pemuda
berbaju putih itu cepat mengangkat pedangnya, menangkis tebasan pedang pemuda
berbaju kuning, Dan tepat di saat dua pedang beradu, laki-laki setengah baya
berbaju hitam itu cepat bagai kilat mengebutkan cambuknya kembali.
Ctar!
"Akh...!" Pemuda
berbaju putih itu langsung jatuh terguling ketika cambuk hitam berbulu halus
menghantam kaki kanannya. Sementara, pemuda berbaju kuning sudah gencar sekali
menusukkan pedangnya beberapa kali. Akibatnya, pemuda berbaju putih itu harus
bergulingan menghindarinya.
"Hup! Yeaaah…!"
Begitu memiliki kesempatan, cepat
pemuda berbaju putih itu melompat bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya
menjejak tanah, kembali cambuk hitam itu meliuk cepat ke arahnya. Tapi, kali
ini dia bisa berkelit dengan memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat yang
bersamaan, pemuda berbaju kuning sudah melompat sambil menusukkan pedang ke
arah perut.
"Hiyaaat..!"
Begitu cepat serangan yang
dilakukan, sehingga pemuda berbaju putih itu tidak sempat lagi menghindar.
Bresss?
Kedua bola mata pemuda berbaju
putih itu jadi ter-belalak. Tubuhnya kontan agak terbungkuk. Sinar matanya
seakan-akan menyiratkan ketidakpercayaan kalau perutnya sudah tertancap sebilah
pedang. Dan begitu pedang yang menembus perutnya ditarik ke luar, seketika itu
juga tubuhnya jatuh terguling ke tanah. Darah mengucur deras dari perutnya yang
robek tertembus pedang tadi.
"Kakang...!" Seorang
wanita berwajah cukup cantik berlari cepat memburu pemuda berbaju putih yang
sudah tergeletak tak bergerak lagi di tanah berumput basah oleh embun.
Sedangkan laki-laki separuh baya
berbaju hitam dan pemuda berbaju kuning malah tertawa terbahak-bahak. Suara
tawa mereka disambut tawa sekitar tiga puluh orang laki-laki bertampang kasar
yang mengelilingi tempat pertarungan tadi.
Sementara wanita muda yang mengenakan
baju warna hijau muda hanya menangis sambil memeluk tubuh pemuda berbaju putih
yang sudah tak bergerak lagi. Tiba-tiba saja, laki-laki separuh baya yang
bersenjatakan cambuk di tangan kiri itu merenggut tangan gadis itu. Lalu,
ditariknya hingga berdiri.
"Auwh...!" wanita itu
terpekik kaget
"Ha ha ha...!"
"Lepaskan,
Bajingan...!" bentak wanita itu berang.
"Kau semakin cantik kalau
marah, Dewani. Ha ha ha...!"
"Lepaskan..!" Wanita
muda itu terus memberontak, mencoba melepaskan cekalan tangan laki-laki
setengah baya itu pada pergelangan tangannya. Tapi, usahanya hanya sia-sia
saja. Tenaganya tidak mampu melepaskan cekalan tangan berotot kuat itu.
Sedangkan laki-laki separuh baya ini semakin keras tawanya.
"Hup!"
"Auwh...!" Tiba-tiba
saja gadis itu dipeluk pinggangnya, lalu cepat sekali laki-laki setengah baya
itu melompat ke arah kuda hitam yang tidak jauh darinya. Wanita muda yang tadi
dipanggil Dewani hanya menjerit-jerit, dan berusaha melepaskan diri.
Tapi laki-laki separuh baya itu
sudah cepat menggebah kudanya. Sedangkan pemuda berbaju kuning hanya tertawa
saja, lalu melompat naik ke punggung kudanya. Kemudian, tiga puluh orang yang
juga berada di sana bergegas mengikutinya. Dan kini mereka sudah memacu cepat
kudanya meninggalkan padang rumput yang tidak seberapa luas itu. Sesekali masih
juga terdengar jeritan Dewani, dibarengi tawa terbahak-bahak.
Setelah tak terdengar lagi derap
kaki kuda, dan tak terlihat lagi orang-orang itu, pemuda berbaju putih yang tergeletak
dengan perut sobek tampak bergerak perlahan. Dia merintih lirih dan mencoba
bangkit. Tapi belum juga tubuhnya terangkat sempurna, sudah ambruk lagi
menggelimpang di tanah.
"Ohhh.... Aku tidak boleh
mati di sini," desah pemuda itu lirih. Pemuda itu mendekap perutnya yang
masih mengucurkan darah. Pandangannya begitu nanar, ke arah debu yang mengepul
di kejauhan sana. Perlahan-lahan dia merayap, berusaha mendekati seekor kuda
yang tertinggal di tempat itu.
"Putih..., kemarilah,"
ujar pemuda itu perlahan.
Kuda putih itu meringkik, dan
mendengus-dengus. Kepalanya mendongak sedikit ke atas, lalu melangkah perlahan
menghampiri pemuda itu. Seakan-akan binatang itu bisa mengerti panggilan tadi.
Kepalanya ditundukkan, menyentuh kepala pemuda itu.
Perlahan-lahan pemuda berbaju
putih ini mencoba bangkit. Bibirnya masih meringis menahan rasa sakit pada
perutnya yang masih terus mengucurkan darah. Dengan sisa-sisa kekuatan yang
ada, dia merayap naik ke punggung kudanya. Kakinya menghentak sedikit, maka
kuda putih itu melangkah perlahan. Tak ada lagi tenaga yang tersisa. Dan pemuda
itu tertelungkup di punggung kudanya yang terus melangkah semakin cepat saja.
***
Dewani menangis tertelungkup di
atas sebuah balai-balai bambu, di dalam sebuah kamar berukuran kecil. Hanya ada
sebuah jendela kecil berjeruji besi. Seluruh dindingnya terbuat dari batu yang
cukup tebal. Sedangkan pintu kamar itu terbuat dari besi baja yang kuat dan
sangat kokoh. Entah sudah berapa lama gadis itu menangis menguras air matanya.
Beberapa kali bibirnya merintih lirih, menyebut nama seseorang yang tidak
begitu jelas.
Tangisannya berhenti ketika
tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka. Suara derit pintu yang terkuak, membuat
Dewani bergegas bangkit. Wanita yang masih berusia cukup muda itu beringsut ke
sudut balai-balai bambu ini. Tampak seorang gadis mengenakan baju yang begitu
ketat berwarna merah menyala tengah melangkah masuk ke dalam kamar ini. Gadis
itu cukup cantik wajahnya.
Seorang laki-laki bertubuh kekar
dan berkulit agak hitam, tampak menutup lagi pintu itu. Dia berjaga-jaga di
luar pintu yang sudah tertutup rapat kembali. Sedangkan gadis cantik berbaju
merah tadi sudah melangkah menghampiri Dewani. Dengan senyum manis terulas di
bibir, dia duduk di tepi balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar
lusuh. Sedangkan Dewani hanya diam saja sambil menyusut air matanya.
"Seharusnya hal ini tidak
perlu terjadi, Dewani. Aku benar-benar menyesalkan kejadian yang tidak
menyenangkan ini," keluh gadis cantik itu, lembut suaranya.
"Jangan bermanis-manis di
depanku, Lanjani! Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan padaku!" dengus
Dewani, ketus.
Gadis cantik berbaju merah yang
dipanggil Lanjani itu hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya. Sama sekali
hatinya tidak terlihat tersinggung mendapat ucapan yang begitu ketus tadi.
Namun, Dewani malah memberengut. Bahkan menatapnya dengan tajam dan penuh
kebencian.
"Tentunya tidak enak berada
dalam penjara seperti ini. Terkurung, dan tidak punya kebebasan sama
sekali...," kata Lanjani seraya bangkit berdiri. Nada suaranya terdengar
begitu ringan. Dia melangkah anggun mendekati jendela kecil yang berjeruji
besi.
Sedangkan Dewani hanya diam saja.
Sorot matanya masih tetap tajam, bersinar penuh kebencian pada wanita cantik
berbaju merah menyala itu.
"Aku memang bisa berbuat apa
saja padamu, Dewani. Bahkan bisa mudah membunuhmu. Tapi aku tidak ingin
melakukan hal itu," kata Lanjani lagi.
Dewani hanya mendengus sinis.
"Seharusnya aku marah,
karena kau telah mengecewakan harapanku. Kau yang kupercaya penuh melebihi
kepercayaanku pada yang lain, ternyata begitu tega mengkhianatiku. Tapi aku
tidak seburuk yang kau sangka, Dewani. Aku masih bisa memberi pengampunan
padamu," lanjut Lanjani. Masih tetap terdengar lembut nada suaranya.
Dewani masih tetap diam membisu.
Bibirnya menyunggingkan senyum yang terasa begitu getir. Air matanya kini
benar-benar kering, seakan-akan tak ada lagi yang tersisa. Sorot matanya masih
memancarkan kebencian yang amat sangat pada wanita cantik berbaju merah itu.
Perlahan Lanjani melangkah lagi,
dan kembali duduk di tepi balai-balai bambu. Sinar matanya terlihat begitu
lembut, bagai bola mata bayi tanpa dosa sedikit pun. Tapi di mata Dewani,
justru bagaikan sepasang mata iblis. Dan senyuman yang manis itu, bagaikan
seringai serigala kelaparan melihat seekor ayam betina gemuk.
"Aku masih memberi
kesempatan padamu, Dewani. Dan kuharap kau tidak menyia-nyiakan kesempatan yang
kuberikan kali ini." ujar Lanjani lagi, masih tetap lembut suaranya. Tapi
kali ini nadanya mengandung tekanan yang begitu penuh arti.
"Terima kasih," ucap
Dewani sinis.
Lanjani kembali bangkit berdiri,
kemudian melangkah mendekati pintu. Sebentar ditatapnya Dewani yang masih tetap
duduk di sudut balai-balai bambu.
"Pengawal...!" seru
Lanjani tidak begitu keras.
Krieeet…! Pintu kamar tahanan itu
terbuka perlahan. Tak lama, muncul seorang laki-laki bertubuh tegap. Kulitnya
agak gelap dan otot-ototnya bersembulan menampakkan kejantanannya. Tubuhnya
terbungkuk sedikit, sambil meletakkan tangan kanan di depan dada.
"Pindahkan Dewani ke
kamarnya, dan berikan emban yang baik. Dia bukan lagi tawanan di sini,"
Lanjani memberi perintah.
"Hamba. Kanjeng Ratu,"
sahut pengawal itu sambil memberi hormat kembali.
Setelah berkata demikian, Lanjani
melangkah keluar dari ruangan tahanan ini. Kemudian, pengawal bertubuh tegap
dan agak hitam itu melangkah masuk. Seorang pengawal lagi ikut melangkah masuk.
Mereka kemudian membungkuk memberi hormat pada Dewani.
"Kami diperintahkan membawa
Kanjeng Nini ke kamar yang sudah disiapkan," kata pengawal itu penuh rasa
hormat.
Dewani beranjak bangkit dari
balai-balai bambu itu. Bibirnya tersenyum sinis, memandangi dua orang laki-laki
yang mengenakan baju bercorak sama itu. Kemudian kakinya melangkah perlahan
keluar dari kamar tahanan ini. Dua orang laki-laki pengawal itu mengikuti dari
belakang.
"Kenapa kalian masih saja
patuh pada ratu iblis itu...?" dengus Dewani ketus, sambil terus melangkah
menyusuri lorong yang cukup panjang dan lembab ini.
"Kanjeng Nini... Sebaiknya
Kanjeng Nini Dewani tidak berkata seperti itu. Kanjeng Ratu Lanjani sudah cukup
baik, tidak memberi hukuman," sergah pengawal berkulit agak gelap itu,
dengan sikap penuh rasa hormat.
"Aku lebih senang kalau ratu
iblis itu memberi hukuman padaku. Biar semua rakyat Batu Ampar tahu, siapa dia
sebenarnya!" dengus Dewani masih bernada ketus.
Sedangkan kedua pengawal itu
tidak berkata-kata lagi. Mereka terus berjalan mengikuti Dewani yang menuju
keluar lorong ini. Mereka kemudian berbelok ke kanan, setelah melewati pintu
yang dijaga dua orang pengawal bersenjata tombak panjang.
***
Dewani mengayunkan kakinya
perlahan-lahan mengelilingi bangunan istana yang sangat besar dan megah ini.
Dalam hati, dia menggerutu melihat penjagaan di sekeliling istana ini begitu
ketat. Sudah dua hari berada di dalam istana Batu Ampar ini, dan selama itu
dicobanya mencari celah untuk bisa keluar tanpa diketahui. Tapi kesempatan yang
diinginkan, sama sekali tidak nampak. Dan hatinya semakin kesal meskipun semua
kebutuhannya bisa terpenuhi di sini.
Dua orang pengawal dan seorang
emban, selalu siap melayani keperluannya. Tapi semua itu sama sekali tidak
membuat hati Dewani terhibur. Gadis itu masih memikirkan nasib pemuda berbaju
putih yang entah sudah mati, atau masih hidup sekarang ini. Dan selama dua hari
ini, Dewani tidak pernah lagi bertemu Lanjani yang menjadi ratu dan penguasa
penuh di Kerajaan Batu Ampar.
"Cambuk Setan...,"
desis Dewani tiba-tiba.
Ayunan kaki Dewani terhenti ketika
melihat seorang laki-laki separuh baya berbaju hitam pekat tengah berjalan dari
arah depan, ke arahnya. Di tangan kirinya tergenggam seutas cambuk hitam
berbulu halus. Laki-laki separuh baya itu tersenyum-senyum begitu dekat dengan
Dewani. Dan dia berhenti setelah berjarak sekitar tiga langkah lagi di depan
gadis itu.
"Kenapa berhenti di sini?
Teruskan saja jalanmu, Cambuk Setan," dengus Dewani ketus.
Sorot mata gadis itu begitu tajam
penuh kebencian. Terbayang di matanya peristiwa di padang rumput beberapa hari
lalu. Bayangan itu membuat Dewani semakin muak melihat tampang laki-laki
separuh baya yang berjuluk si Cambuk Setan ini.
"He he he.... Kau tampak
cantik sekali pagi ini, Dewani," puji si Cambuk Setan terkekeh, tidak
mempedulikan keketusan Dewani padanya.
"Terima kasih. Aku tidak
memerlukan pujianmu!" dengus Dewani tetap ketus.
"He he he.... Hm, aku tahu.
Kau masih memikirkan Rapanca, kekasihmu itu, bukan...? Sudahlah, Dewani. Tidak
perlu memikirkan anak muda gembel tidak tahu diri itu. Dia sekarang sudah jadi
santapan cacing-cacing tanah." bujuk si Cambuk Setan diiringi tawanya yang
terkekeh.
"Huh!" Dewani hanya
mendengus ketus. Gadis itu cepat-cepat melangkah meninggalkan, tapi si Cambuk
Setan malah mengikuti. Bahkan mensejajarkan ayunan langkahnya di samping
Dewani. Sehingga membuat gadis itu semakin bertambah muak saja. Kembali dia
teringat pada Rapanca, pemuda yang dicintainya. Tapi, Rapanca kini tidak
ketahuan lagi nasibnya sekarang setelah dikeroyok si Cambuk Setan dan Iblis
Pedang Perak di padang rumput dekat hutan beberapa hari lalu.
"Setiap hari, kulihat kau
selalu berjalan-jalan mengelilingi istana ini. Aku tahu, apa yang ada dalam
pikiranmu, Dewani." kata si Cambuk Setan.
Dewani hanya diam saja. Kakinya
terus terayun melangkah cepat-cepat. Tapi, si Cambuk Setan terus di sampingnya.
"Kalau mau, aku bisa
membantumu keluar dari istana ini." kata si Cambuk Setan lagi.
Dewani langsung menghentikan
langkah kakinya. Dia begitu terkejut mendengar kata-kata si Cambuk Setan
barusan. Sungguh tidak disangka kalau yang dilakukannya selama dua hari ini
bisa diketahui begitu cepat. Dan ini benar-benar mengejutkan.
"Kau benar-benar ingin
keluar dari istana ini, Dewani...?" tanya si Cambuk Setan seperti ingin
meyakinkan dirinya.
"Hm...," Dewani hanya
menggumam saja perlahan.
"Aku bisa secara mudah
membantumu. Asal kau bersedia menemaniku ma... "
Plak!
"Binatang...!" Dewani
langsung berlari cepat meninggalkan si Cambuk Setan yang jadi terlongong seraya
meraba pipinya.
Sama sekali tidak disangka kalau
Dewani akan bertindak begitu. Padahal, tadi kata-katanya belum selesai.
Tamparan Dewani begitu pedas terasa di pipinya. Tapi si Cambuk Setan merasakan
hatinya lebih pedas dari tamparan gadis itu.
"Perempuan setan...! Awas
kau...!" dengus si Cambuk Setan menggeram marah.
Sementara Dewani sudah jauh
berlari, dan mengilang begitu masuk ke dalam bangunan istana dari pintu
samping. Sedangkan si Cambuk Setan masih berdiri mematung sambil meraba-raba
pipinya yang ditampar Dewani tadi. Begitu kerasnya, sehingga di pipi kiri si Cambuk
Setan jadi memerah, bergambar telapak tangan.
***
DUA
Hidup di dalam sebuah istana yang
megah dan serba ada, memang tidak selamanya membuat orang bisa bahagia. Hal ini
dirasakan betul oleh Dewani. Meskipun segala kebutuhannya bisa tercukupi, tapi
rasanya seperti hidup dalam penjara. Dan kehidupan yang dijalaninya di dalam
Istana Batu Ampar, lebih menyakitkan daripada hidup di dalam penjara. Baginya,
penjara lebih baik daripada berada dalam sangkar emas.
Sudah lebih dari dua purnama
Dewani terpaksa menjalani kehidupan seperti itu. Dan selama itu pula, segala
godaan sangat berat harus dihadapinya. Godaan itu bukan hanya datang dari si
Cambuk Setan saja, tapi juga dari si Iblis Pedang Perak dan beberapa jago
Istana Batu Ampar yang menjadi kaki tangan Lanjani, ratu di Kerajaan Batu
Ampar.
"Aku akan berbuat nekat jika
orang-orangmu masih juga menggangguku, Lanjani," desis Dewani mengancam,
saat punya kesempatan bertemu wanita cantik penguasa Kerajaan Batu Ampar.
"Mereka hanya tertarik pada
kecantikanmu saja, Dewani," Lanjani menanggapi begitu ringan, seakan-akan
tidak mempedulikan pengaduan gadis ini.
"Kau seperti tidak peduli
terhadap diriku, Lanjani...," desis Dewani menatap penuh curiga.
"Kalau aku tidak peduli,
tentu kau tidak bisa bebas sekarang ini, Dewani," masih terdengar ringan
nada suara Lanjani.
"Siapa bilang aku bebas...?
Kau sudah merampas kebebasanku! Kau sudah membatasi ruang gerakku. Hhh...! Aku
merasa lebih baik kalau aku ditempatkan dalam penjara, Lanjani," dengus
Dewani begitu ketus suaranya.
"Tidak ada yang merampas
kebebasanmu, Dewani. Dan aku juga tidak membatasi ruang gerakmu. Kau boleh
berbuat apa saja di istana ini. Tapi, kau memang tidak diberi izin untuk keluar
istana. Aku tidak mau kau mencuri kesempatan untuk lari lagi, seperti yang kau
lakukan bersama si gembel Rapanca!" kali ini nada suara Lanjani terdengar
tajam sekali.
"Kau pikir, aku akan terus
menerima dan berdiam diri begitu saja, Lanjani..? Hhh...!" sinis sekali
suara Dewani.
"Dengar, Dewani. Ini yang
terakhir kali kau kuberi pengampunan. Jika kau ulangi lagi kebodohan yang sama,
aku akan lepas tangan. Dan jangan harap aku bisa melindungimu lagi," desis
Lanjani setengah mengancam.
"Gertakanmu tidak akan
menggoyahkan hatiku, Lanjani," desis Dewani dingin.
"Kali ini kau tidak akan
punya kesempatan, Dewani. Dan kuminta kau tidak lagi-lagi mencoba lari dari
kerajaan ini. Tidak ada gunanya berbuat bodoh seperti itu."
Dewani hanya tersenyum sinis
saja. Sementara, Lanjani bangkit berdiri dari duduknya di bangku taman kaputren
yang letaknya di bagian belakang Istana Batu Ampar ini. Sebentar matanya
menatap tajam pada Dewani yang masih tetap duduk diam sambil membalas tatapan
penguasa Kerajaan Batu Ampar. Sesaat mereka saling menatap tajam sekali.
Kemudian, Lanjani memutar tubuhnya berbalik. Lalu, dia melangkah cepat
meninggalkan gadis itu.
Sementara Dewani masih tetap
duduk di bangku taman kaputren itu. Matanya masih tetap menatap tajam pada
Lanjani yang semakin jauh meninggalkannya. Kemudian, penguasa Kerajaan Batu
Ampar itu menghilang di balik pintu taman kaputren ini. Dewani menarik napas
dalam-dalam. Pandangannya kini beredar ke sekeliling, merayapi sekitar taman
kaputren yang begitu indah dihiasi bunga-bunga bermekaran menyebarkan aroma
harum menusuk hidung.
"Edan...! Sampai-sampai
kaputren dijaga ketat begini. Hhh..., Lanjani benar-benar sudah keterlaluan.
Istana ini dijadikan seperti benteng yang akan diserang musuh saja," desis
Dewani dalam hati.
Memang, di sekitar taman kaputren
ini terlihat beberapa orang berseragam prajurit pengawal yang berjaga-jaga
bersenjata lengkap.
"Hhh.... Kalau saja aku bisa
keluar dari sini...," desah Dewani lagi dalam hati.
Wajah gadis itu jadi berubah
mendung. Sinar matanya begitu kosong, merayapi tanaman bunga yang bermekaran
begitu indah. Tapi di mata Dewani, keindahan itu tidak bisa lagi dinikmati. Semua
bunga yang ada dalam taman kaputren ini seakan hanya bunga bangkai yang berbau
busuk. Tak ada lagi keindahan. Tak ada lagi keharuman dan semerbak wangi
bunga-bunga. Yang ada hanya kemesuman bagai berada dalam neraka.
"Apa pun akibatnya, aku
harus bisa keluar dari sini..," desis Dewani bertekad.
***
Malam sudah begitu larut, tapi
Dewani belum juga bisa memejamkan matanya. Entah, sudah berapa kali dia
ber-jalan memutari kamarnya. Dan sudah beberapa kali pula matanya merayapi
keluar, dari jendela kamar yang dibuka lebar. Keningnya terlihat berkerut
begitu dalam, mencari cara untuk bisa keluar dari istana ini. Tapi sampai saat
ini, belum juga bisa ditemukan cara yang terbaik.
"Huh! Siang malam istana ini
selalu dijaga ketat. Bagaimana aku bisa keluar...?" dengus Dewani kesal
dalam hati.
Tatapan matanya begitu tajam,
merayapi para prajurit yang tidak berapa jauh dari jendela kamarnya. Ada
sekitar enam orang prajurit yang menyandang senjata lengkap, bagai hendak
menghadapi peperangan. Belum lagi sekelompok prajurit yang selalu meronda
mengelilingi sekitar istana ini secara bergantian. Dewani benar-benar tidak
lagi memiliki kesempatan. Tapi begitu menatap ke arah tembok benteng sebelah
Timur, mendadak saja matanya jadi terbeliak lebar.
"Heh...?!" Hampir Dewani
tidak percaya dengan penglihatannya. Di atas tembok yang cukup gelap dan agak
terlindung oleh pohon beringin, terlihat seseorang bertubuh ramping. Bajunya
berwarna kuning gading yang begitu ketat. Belum juga Dewani bisa melihat jelas,
tiba-tiba saja sosok tubuh berbaju kuning itu sudah melesat cepat.
Begitu cepatnya gerakan sosok
tubuh berbaju kuning itu, sehingga Dewani tidak bisa lagi melihat jelas.
Tahu-tahu, terdengar suara-suara mengeluh pendek yang saling susul. Kembali
bola mata gadis itu terbeliak, begitu melihat enam orang prajurit yang berjaga
tidak jauh dari jendela kamarnya sudah tergeletak di tanah. Dan sebelum Dewani
bisa menyadari apa yang baru saja dilihatnya, tiba-tiba saja sosok tubuh
berbaju kuning itu sudah melesat ke arahnya. Kecepatannya begitu cepat luar
biasa.
"Heh...?!" Dewani jadi
tersentak kaget begitu tiba-tiba merasakan hembusan angin yang begitu keras.
Gadis itu semakin terbeliak lebar begitu menyadari kalau di dalam kamarnya,
tahu-tahu sudah ada seseorang berbaju kuning gading. Bajunya juga begitu ketat
sehingga membentuk tubuhnya yang ramping. Sukar bagi Dewani untuk bisa
mengenali, karena orang ini mengenakan sebuah caping lebar. Sehingga, seluruh
wajahnya hampir tertutupi. Hanya bagian dagu dan sedikit bibirnya saja yang
terlihat samar-samar.
"Siapa kau...?" tanya
Dewani, agak bergetar suaranya.
"Tidak ada waktu untuk
menjelaskan. Sebaiknya bersiap-siaplah keluar dari sini. Sementara aku akan
menarik perhatian para penjaga, kau keluar melewati benteng sebelah
Timur," ujar sosok tubuh berbaju kuning gading itu datar. Dari nada
suaranya, jelas kalau dia seorang wanita. "Kau bisa melompati tembok itu,
bukan...?"
Dewani berpaling sebentar,
menatap tembok benteng yang tingginya lebih dari dua batang tombak. Sedikitnya,
dia memang pernah mempelajari ilmu olah kanuragan, dan ilmu meringankan tubuh.
Tapi, gadis itu tidak yakin bisa melompati tembok benteng yang begitu tinggi.
Jangankan mencoba, memikirkannya pun tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Dewani kembali menatap wanita aneh berbaju kuning gading itu.
"Aku tidak yakin bisa
melakukannya. Aku belum pernah melompat setinggi itu," keluh Dewani, agak
lirih nada suaranya.
"Kalau begitu, aku akan
melemparkanmu ke sana," ujar wanita berbaju kuning gading itu.
"Heh...?!" Dewani jadi
terkejut setengah mati.
"Kau tidak perlu khawatir,
Dewani. Ada temanku yang akan menyambutmu di luar sana," jelas wanita aneh
itu lagi.
Dan sebelum Dewani bisa berkata
apa-apa lagi, tiba-tiba saja wanita aneh berbaju kuning gading itu sudah
melompat cepat sambil menyambar tubuh Dewani. Gadis itu sampai terpekik kaget,
tapi tidak bisa lagi melakukan sesuatu. Bahkan juga belum sempat disadarinya,
begitu wanita berbaju kuning gading yang tidak ketahuan siapa sebenarnya,
tiba-tiba sudah berada di dekat tembok benteng sebelah Timur. Pada saat itu,
serombongan prajurit yang sedang meronda lewat di sana.
"Hei..!" bentak salah
seorang prajurit itu ketika melihat mereka.
"Hup...!" Tanpa bicara
sedikit pun, wanita aneh berbaju serba kuning yang begitu ketat itu melemparkan
Dewani ke atas. Tubuh gadis itu melayang deras ke udara, seperti segumpal kapas
yang tertiup angin. Gadis itu sampai menjerit ngeri begitu tubuhnya melayang ke
udara, hingga melewati tembok benteng yang cukup tinggi.
Tepat di saat tubuh Dewani
meluruk deras keluar benteng. sekitar dua puluh prajurit yang memergoki sudah
berlarian ke arah wanita berbaju kuning gading itu. Tapi sebelum para prajurit
penjaga mendekat, tiba-tiba saja wanita aneh berbaju kuning itu melepaskan
selembar selendang berwarna kuning keemasan yang membelit pinggangnya.
"Hiyaaa...!"
Wukkk!
Cepat sekali wanita berbaju
kuning gading itu mengebutkan senjatanya ke depan. Selendang kuning keemasan
yang panjangnya lebih dari tiga batang tombak itu meluncur deras, menghajar
tiga orang prajurit sekaligus yang berada paling depan. Ketiga prajurit itu menjerit
melengking tinggi. Tubuh mereka langsung terpental ke belakang, menabrak
beberapa prajurit yang berlari-lari cepat di belakang.
Dan sebelum prajurit-prajurit
yang lain bisa bertindak, wanita aneh berbaju kuning gading itu sudah melompat
ke depan sambil mengebutkan cepat selendangnya. Selendang kuning keemasan itu
meluncur deras. Bahkan meliuk-liuk bagai seekor ular naga mengamuk, menghajar
para prajurit itu.
Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi terdengar seketika saling susul. Tampak beberapa prajurit
kembali berpentalan, dan langsung ambruk tak mampu bangun lagi. Darah langsung
mengucur dari tubuh-tubuh yang tersambar ujung selendang kuning keemasan itu.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
Wanita berbaju kuning itu terus
berlompatan sambil mengebutkan cepat selendangnya. Hingga, tak ada seorang
prajurit pun yang mampu bertahan lagi. Beberapa orang prajurit yang memiliki
kepandaian cukup, masih sempat berlompatan menghindar. Tapi mereka juga tidak
bisa bertahan lebih lama lagi, karena serangan-serangan yang dilancarkan wanita
aneh berbaju kuning gading itu demikian gencar dan cepat luar biasa. Hingga
dalam waktu yang tidak berapa lama saja, dua puluh orang prajurit sudah
bergelimpangan bersimbah darah tak bernyawa lagi.
"Phuih...!" Wanita aneh
yang memakai caping besar hingga menutupi hampir seluruh wajahnya itu mendengus
berat, saat melihat puluhan prajurit berlarian menuju ke arahnya.
Jeritan-jeritan dua puluh
prajurit itu rupanya terdengar ke seluruh bagian istana ini. Sehingga, para
prajurit yang bertugas jaga malam langsung berdatangan ke bagian Timur Istana
Batu Ampar ini.
"Mustahil aku bisa
menghadapi mereka semua...," desis wanita aneh itu menggumam perlahan.
Menyadari kalau tidak akan
mungkin bisa menghadapi puluhan prajurit bersenjata lengkap, maka cepat sekali
wanita aneh itu melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, manis sekali dia hinggap
di atas tembok benteng yang tingginya lebih dari dua batang tombak. Dan
tiba-tiba saja, tangan kanannya berkelebat cepat ke depan.
"Yeaaah...!" Saat itu
juga, dari telapak tangannya meluncur beberapa buah benda bulat sebesar mata
kucing berwarna kuning keemasan. Benda-benda bulat itu meluncur deras dan
langsung menghantam tanah, tepat di depan para prajurit yang sedang berlarian
ke arahnya.
Glarrr...! Ledakan-ledakan keras
menggelegar seketika itu juga terdengar dahsyat begitu benda-benda bulat
berwarna kuning keemasan menghantam tanah.
Beberapa prajurit yang berada di
depan menjerit melengking tinggi, bahkan berpentalan ke belakang. Sedangkan
prajurit-prajurit lain jadi terlongong melihat sekitar sepuluh prajurit
seketika tewas. Tubuh mereka melepuh seperti terbakar, terkena ledakan dahsyat
dari benda-benda kecil berwarna kuning keemasan yang dilepaskan wanita aneh
bercaping dan berbaju kuning gading.
"Hup...!" Tanpa
membuang-buang waktu lagi, wanita berbaju kuning gading itu cepat melompat
turun dari atas tembok benteng ini. Gerakannya begitu ringan, sehingga tak ada
suara sedikit pun yang terdengar saat kedua kakinya mendarat di luar tembok
benteng. Kakinya mendarat tepat di depan Dewani yang kini sudah ditemani
seorang laki-laki berjubah putih bersih. Sebatang tongkat tak beraturan
bentuknya tampak tergenggam di tangan kanan. Dia juga mengenakan caping bambu
berukuran lebar, seperti yang dikenakan wanita aneh berbaju kuning gading.
"Ayo cepat kita tinggalkan
tempat ini," ajak wanita aneh berbaju kuning gading.
Tanpa membuang-buang waktu lagi
mereka bergegas berlompatan naik ke atas punggung kuda. Memang ada tiga ekor
kuda yang sudah menunggu di luar benteng sebelah Timur ini. Tak berapa lama
kemudian, tiga ekor kuda sudah berpacu cepat meninggalkan benteng Istana Batu
Ampar sebelah Timur.
***
Lanjani begitu berang menerima
laporan kalau Dewani berhasil meloloskan diri, dibantu seseorang yang tidak
diketahui siapa adanya. Bahkan lebih dari tiga puluh orang prajuritnya tewas.
Begitu berangnya, sehingga jago-jago Istana Batu Ampar ini diperintahkan untuk
mengejar malam itu juga. Bahkan hampir seluruh prajurit dikerahkan untuk
mengejar Dewani.
"Sudah kuperingatkan, tidak
ada gunanya mempertahankan gadis itu tetap hidup, Lanjani. Bahkan bisa-bisa
membahayakan kedudukanmu sebagai ratu yang berkuasa di Kerajaan Batu Ampar
ini," kata si Cambuk Setan.
Lanjani hanya diam saja. Wajahnya
tampak memerah, menahan kemarahan yang amat sangat dalam dadanya. Dia berdiri
mematung di depan jendela, memandang lurus ke dalam kegelapan yang begitu pekat
malam ini. Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat penguasa
Kerajaan Batu Ampar itu memutar tubuhnya berbalik. Pandangannya langsung
tertuju pada Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak yang berdiri berdampingan
tidak berapa jauh darinya. Di dalam ruangan yang berukuran sangat luas dan
megah ini, hanya ada mereka bertiga.
"Ini sudah ketiga kalinya
Dewani membuat kesulitan buat kita." tegas Cambuk Setan, namun agak
mendesah nada suaranya.
"Tapi aku tidak mungkin
melenyapkannya begitu saja, Paman Cambuk Setan," tukas Lanjani pelan.
Begitu pelannya, hampir tak
terdengar. Tapi dari nada suaranya, begitu jelas terasa kalau hatinya memendam
kemarahan yang tak bisa lagi ditutupi. Tapi, kemarahannya itu juga mengandung
suatu kecemasan.
"Kenapa tidak, Lanjani..?
Kejadian yang sudah berulangkali ini sudah memberi satu alasan kuat bagimu
untuk menyingkirkan Dewani selama-lamanya. Dan kedudukanmu akan semakin kokoh,
tanpa harus dihantui bayang-bayang gadis itu lagi," selak Iblis Pedang
Perak yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Lanjani. Dengan
lenyapnya Dewani, itu berarti tidak ada lagi yang bisa mengungkit dan memaksamu
turun takhta. Kau akan semakin kuat bahkan bisa mengambil kerajaan-kerajaan
kecil yang bertetangga dengan kita," sambung Cambuk Setan, begitu
bersemangat. "Dengan adanya aku dan Iblis Pedang Perak tak ada satu
kerajaan pun yang akan sanggup menandingi kekuatan Batu Ampar, Lanjani. Bahkan
kau bisa menarik jago-jago rimba persilatan dengan kekayaanmu yang belimpah.
Terlebih lagi, jika sudah bisa menguasai kerajaan-kerajaan lain. Akan semakin
banyak upeti yang mengalir kepadamu."
Lanjani hanya diam saja seperti
berpikir menyimak kata-kata yang diucapkan si Cambuk Setan barusan.
"Kau harus ingat cita-cita
dan tujuanmu semula, Lanjani. Hanya kau satu-satunya yang bisa diharapkan untuk
menjadi penerus cita-cita besar kami semua," bujuk Cambuk Setan lagi.
"Bukan begitu, Pedang Perak..?"
"Benar," sahut Iblis
Pedang Perak seraya menganggukkan kepala.
"Dan ini merupakan satu
kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan begitu saja," kata Cambuk
Setan lagi.
Sementara Lanjani masih tetap
diam membisu. Sedangkan Cambuk Setan sudah membuka mulutnya, hendak bicara lagi
Tapi belum juga suaranya keluar, tiba-tiba saja….
"Awas...!" seru Iblis
Pedang Perak. "Hup...!"
"Uts...!" Lanjani cepat
memiringkan tubuh ke kanan, begitu tiba-tiba si Iblis Pedang Perak melompat ke
depannya. Dan cepat sekali, tangan Iblis Pedang Perak bergerak di samping wajah
Lanjani. Wanita berwajah cantik, bertubuh sintal dan padat berisi itu jadi
terbeliak begitu dalam genggaman tangan Iblis Pedang Perak tardapat sebatang
anak panah berwarna kuning keemasan.
"Ada suratnya.
Lanjani...." jelas Iblis Pedang Perak seraya menyerahkan anak panah yang
tadi meluncur deras dari jendela, dan berhasil ditangkapnya.
Lanjani cepat mengambil anak
panah itu. Memang, pada bagian tengah batang anak panah berwarna kuning
keemasan itu terdapat selembar daun lontar yang terikat pita berwarna merah
darah. Lanjani cepat-cepat melepaskan ikatan pita merah itu, dan membuka daun lontar
yang tergulung pada batang anak panah.
"Setan…!" desis
Lanjani, begitu membaca sebaris tulisan yang tertera di atas daun lontar itu.
"Ada apa, Lanjani?"
tanya Cambuk Setan.
"Kau baca ini, Paman,"
ujar Lanjani seraya menyerahkan daun lontar itu.
Cambuk Setan segera mengambil
lembaran daun lontar itu. Keningnya jadi berkerut begitu membaca sebaris
tulisan yang begitu rapi, dan seperti ditulis menggunakan darah. Sementara,
Iblis Pedang Perak yang juga melihat tulisan di dalam lembaran daun lontar itu
menggumam membaca sebaris kalimat yang tertera di sana.
"Jangan bermimpi terlalu
muluk. Kau tak berhak atas takhta Batu Ampar!" kata Iblis Pedang Perak
mengulangi tulisan surat itu.
"Keparat…! Siapa yang berani
berbuat edan seperti ini, heh...?!" Geram Cambuk Setan sambil meremas
lembaran daun lontar itu.
"Siapa pun orangnya, sudah
jelas surat itu ditujukan padaku, Paman," kata Lanjani, agak ditekan nada
suaranya.
Cambuk Setan bergegas melangkah
mendekati jendela. Pandangannya langsung diedarkan merayapi keadaan di luar
jendela itu. Tapi yang ada di depan matanya hanya kegelapan saja. Hanya
pohon-pohon yang menghitam, tanpa sedikit pun mendapat cahaya rembulan yang
bersembunyi di balik awan hitam nan tebal.
"Kau lihat, siapa yang
mengirim surat edan itu, Pedang Perak?" tanya Cambuk Setan seraya memutar
tubuh, dan langsung menatap si Iblis Pedang Perak.
"Aku tidak sempat
memperhatikan," sahut Iblis Pedang Perak.
"Hm... Aku merasa persoalan
ini akan berbuntut panjang," gumam Cambuk Setan perlahan sambil memandangi
anak panah berwarna kuning keemasan yang kini sudah berada dalam genggaman
tangannya.
Laki-laki berusia setengah baya
mengenakan baju warna hitam pekat itu, menatap cukup dalam pada Lanjani.
Kemudian pandangannya beralih pada Iblis Pedang Perak yang juga tengah
memandang ke arahnya.
"Kau kenali anak panah
itu...?" tanya Cambuk Setan seraya menatap Iblis Pedang Perak dan Lanjani
bergantian.
Mereka hanya menggeleng kepala
saja.
"Pemilik panah ini pasti
orang yang sama dengan yang membantu Dewani keluar dari istana ini," duga
Cambuk Setan setengah menggumam.
"Bagaimana kau bisa
memastikan, Paman Cambuk Setan?" tanya Iblis Pedang Perak.
"Kau ingat, apa yang
dilaporkan para prajurit? Orang yang membantu Dewani menggunakan senjata
selendang warna kuning emas. Bahkan saat meloloskan diri pun melepaskan
beberapa buah senjata peledak yang berwarna kuning emas juga. Dan sekarang anak
panah ini, juga berwarna kuning emas," Jelas Cambuk Setan.
"Hm..., benar juga,"
gumam Iblis Pedang Perak.
"Tapi, siapa dia sebenarnya,
Paman?" tanya Lanjani ingin tahu.
"Aku pernah mendengar ada
seorang tokoh kosen yang selalu menggunakan senjata berwarna kuning emas.
Tapi..." jawaban Cambuk Setan terputus.
"Tapi kenapa, Paman?"
desak Lanjani.
"Aku tidak percaya kalau dia
sampai ikut campur dalam persoalan ini," desah Cambuk Setan perlahan.
"Kau tahu, siapa dia,
Paman?" desak Lanjani lagi semakin ingin tahu.
"Di kalangan rimba
persilatan, memang tidak ada lagi yang selalu menggunakan senjata berwarna
kuning emas. Dan orang itu berjuluk Dewi Selendang Maut," jelas Cambuk
Setan, hampir tak terdengar suaranya.
"Siapa...?!" sentak
Iblis Pedang Perak hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Dewi Selendang Maut,"
ulang Cambuk Setan.
***
TIGA
Memang sukar di percaya. Mereka
semua tahu, Dewi Selendang Maut sudah lebih dari sepuluh tahun tidak lagi
terdengar namanya. Bahkan semua orang di kalangan rimba persilatan sudah
menduga kalau tokoh wanita tua yang memiliki kepandaian tinggi dan sukar dicari
tandingannya itu sudah meninggal dunia. Atau paling tidak, sudah meninggalkan
keganasan rimba persilatan.
Hal inilah yang membuat si Cambuk
Setan dan Ibis Pedang Perak jadi terdiam membisu, tak berkata-kata lagi.
Sedangkan Lanjani yang belum pernah mendengar tokoh wanita kosen itu hanya bisa
memandangi dua orang jago andalannya. Dan untuk beberapa waktu tamanya, mereka
tak ada yang berbicara sedikit pun. Semua terdiam seperti tersirep, hingga tak
mampu lagi membuka suara sedikit pun.
"Bisa kalian jelaskan, siapa
Dewi Selendang Maut itu…?" Lanjani tidak bisa juga menahan rasa
keingintahuannya.
Baik si Cambuk Setan maupun Iblis
Pedang Perak tidak ada yang menjawab. Mereka saling berpandangan beberapa saat,
lalu sama-sama melepaskan napas panjang yang terasa begitu berat. Kemudian,
mereka sama-sama memandang Lanjani yang juga tengah memandangi kedua laki-laki
jago andalannya ini.
"Paman Cambuk Setan....
siapa Dewi Selendang Maut itu?" tanya Lanjani lagi, meminta penjelasan
setelah melihat kedua jago andalannya kelihatan begitu cemas.
"Aku sendiri belum yakin
kalau dia muncul lagi, dan mencampuri urusan ini...," ungkap si Cambuk
Setan, agak mendesah nada suaranya.
"Kenapa kau berkata seperti
itu, Paman?" desak Lanjani semakin penasaran.
"Karena sudah lebih dari
sepuluh tahun dia tidak pernah kelihatan lagi. Bahkan kabar beritanya pun tidak
pernah terdengar lagi. Semua orang memastikan kalau Dewi Selendang Maut sudah
meninggal. Paling tidak, sudah meninggalkan dunia persilatan." kata si
Cambuk Setan mencoba menjelaskan.
"Kalau memang sudah tidak
ada lagi, kenapa kalian jadi kelihatan begitu cemas?"
"Lanjani…. Jika Dewi
Selendang Maut benar-benar muncul lagi, tak ada seorang pun yang mampu
menghadapinya. Bahkan aku sendiri sudah pasti tidak mampu menandinginya.
Kepandaiannya begitu tinggi, dan sukar dicari tandingannya." jelas si
Cambuk Setan, bernada mengeluh.
"Dewi Selendang Maut
menghilang sepuluh tahun lalu, karena tidak ada lagi yang bisa
menandinginya." sambung Iblis Pedang Perak.
Meskipun Iblis Pedang Perak masih
berusia sekitar tiga puluh lima tahun, tapi pengetahuannya tentang tokoh-tokoh
tua berkepandaian tinggi cukup luas juga. Malah bukan hanya tokoh-tokoh kosen
yang menghilang baru sepuluh tahun. Yang hidup di atas seratus tahun lalu pun,
diketahuinya juga. Bahkan dipelajarinya dengan seksama. Bukan hanya tingkatan
kepandaiannya saja, tapi segala kepribadian golongannya pun dipelajari.
"Dewi Selendang Maut
menghilang dari rimba persilatan setelah bertarung melawan Pendekar Bayangan
Dewa. Hanya pendekar itu saja yang mampu menandingi kesaktiannya. Dalam
pertarungan itu, tak ada yang tahu hasilnya. Dan mereka sama-sama tidak
terdengar lagi namanya setelah pertarungan itu," jelas Ibis Pedang Perak
lagi.
"Hm... Dari golongan apa
dia?" tanya Lanjani.
"Sama seperti kami,"
sahut Iblis Pedang Perak.
"Kau tahu, di mana
pertarungan itu terjadi?" tanya Lanjani begitu ingin tahu.
"Di Puncak Gunung
Haling." sahut Iblis Pedang Perak lagi.
"Dan di sana pula mereka
menghilang?" tanya Lanjani lagi.
"Kabarnya memang
begitu," sahut Iblis Pedang Perak.
Lanjani tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Tubuhnya berputar berbalik, lalu melangkah
perlahan menuju pintu yang sejak tadi tertutup rapat.
Sementara itu, rona merah mulai
membias di ufuk Timur. Memang, sudah sejak tadi telah terdengar suara kokok ayam
jantan di kejauhan. Kicauan burung pun sudah begitu ramai terdengar. Pagi
memang sudah datang. Dan itu berarti mereka semalaman penuh tidak memejamkan
mata sedikit pun.
"Siapkan kuda kalian. Kita
berangkat ke Gunung Haling," ujar Lanjani seraya membuka pintu.
"Eh...?!"
Cambuk Setan dan Iblis Pedang
Perak jadi terperangah. Tapi sebelum mereka bisa berkata sesuatu, Lanjani sudah
menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kedua orang jago dari
Kerajaan Batu Ampar itu hanya bisa saling berpandangan. Mereka benar-benar
tidak mengerti terhadap keputusan yang begitu tiba-tiba dari junjungan mereka.
"Apa maksudnya dia ingin ke
sana...?" tanya Iblis Pedang Perak seperti bertanya pada diri sendrri.
"Entahlah," sahut si
Cambuk Setan mendesah. "Sebaik-nya ikuti saja keinginannya."
"Hhh...! Sukar sekali untuk
bisa mengerti kepribadiannya," desah Iblis Pedang Perak.
Mereka tidak berkata-kata lagi,
lalu melangkah meninggalkan ruangan itu dengan hati terus bertanya-tanya.
Keputusan yang begitu mendadak dan tiba-tiba tadi, membuat mereka benar-benar
tidak bisa memahami maksud dan kepribadian Ratu Lanjani yang menguasai Kerajaan
Batu Ampar ini.
***
Siang itu udara terasa begitu
panas. Matahari bersinar teramat terik, seakan-akan ingin membakar semua yang
ada di atas permukaan bumi ini. Panasnya udara yang begitu menyengat, sangat
terasa di Puncak Gunung Haling yang tampak gersang, penuh bebatuan. Hanya
sedikit saja pepohonan yang tumbuh di sana.
Di puncak gunung yang gersang itu
terlihat dua orang yang tengah menjalankan kudanya perlahan-lahan. Yang
menunggang kuda berwarna hitam pekat dan berkilat, seorang pemuda berwajah
tampan dengan tubuh tegap berotot. Bajunya rompi putih dengan sebuah gagang
pedang berbentuk kepala burung menyembul di balik punggungnya.
Sedangkan seorang lagi yang
menunggang kuda putih, adalah seorang gadis cantik berbaju biru. Sebuah gagang
pedang berbentuk kepala naga berwarna hitam, menyembul dari balik punggungnya.
Tampak di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan, terselip sebuah
kipas berwarna putih keperakan. Bagian ujungnya berbentuk runcing, seperti mata
anak panah berukuran kecil.
Melihat dari pakaian dan senjata
yang disandang, sudah dapat dipastikan kalau mereka adalah Rangga dan Pandan
Wangi. Di kalangan orang-orang persilatan, mereka lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Kedua pendekar muda itu menghentikan
langkah kaki kudanya, tepat di tengah-tengah Puncak Gunung Haling yang gersang
ini.
"Ternyata tidak terlalu
sulit mencapai puncak gunung ini, Kakang." ujar Pandan Wangi seraya turun
dari punggung kudanya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum
saja. Dengan gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat
turun dari punggung kudanya. Mereka kemudian melangkah mendekati sebatang pohon
beringin yang cukup rindang. Hanya pohon ini satu-satunya yang ada di
tengah-tengah Puncak Gunung Haling yang gersang ini. Sedangkan pohon-pohon
lainnya jauh dari sini. Memang sepanjang mata memandang, puncak gunung ini
seperti sebuah gunung batu. Begitu banyaknya batu yang ber-serakan di sini,
sehingga membuat udara jadi begitu panas menyengat.
"Kau yakin di sini
tempatnya, Pandan?" tanya Rangga setelah berada di bawah naungan
rindangnya pohon beringin, sehingga melindungi kedua pendekar muda itu dari
sengatan sinar matahari yang begitu terik.
"Begitulah keterangan yang
kuperoleh." sahut Pandan Wangi.
"Aku tidak melihat ada
tanda-tanda orang pernah datang ke sini, Pandan," kata Rangga lagi seraya
mengedarkan pandangan berkeliling.
"Tempat ini memang hanya
dijadikan ajang adu kesaktian." jelas Pandan Wangi, seperti tahu betul
akan tempat gersang ini. "Dan terakhir kali orang datang ke sini pada
waktu sepuluh tahun yang lalu, ketika terjadi pertarungan antara Bibi Dewi
Selendang Maut melawan Paman Pendekar Bayangan Dewa. Dan setelah itu, tidak ada
lagi orang yang datang ke sini sampai sekarang."
"Jadi baru kita berdua saja
yang datang ke sini selama sepuluh tahun ini, Pandan?" nada suara Rangga
seperti bertanya.
"Sudah lebih dari sepuluh
tahun, Kakang. Tapi, aku tidak tahu pasti tepatnya. Soalnya, ada juga orang
yang mengatakan sudah lima belas tahun. Juga ada yang mengatakan sudah dua
belas tahun."
Rangga hanya mengangguk-anggukkan
kepala saja. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Bola matanya jadi
pedih, karena matahari yang memancar siang ini memang begitu terik. Sehingga,
sekitar mereka seperti terdapat rintik-rintik air bagai berada di lautan lepas
yang begitu luas tak bertepi. Angin yang berhembus kencang pun seakan-akan
tidak mampu mengurangi sengatan matahari yang terus membakar apa saja.
"Lalu, apa sebenarnya
tujuanmu ke sini, Pandan?" tanya Rangga yang memang belum diberi tahu
tujuan gadis itu membawanya ke Puncak Gunung Haling.
"Aku hanya ingin mendapatkan
kepastian saja," sahut Pandan Wangi.
"Maksudmu?"
"Kau tahu, Kakang, Antara
Bibi Dewi Selendang Maut dan Paman Pendekar Bayangan Dewa masih ada hubungan
darah persaudaraan. Dan dari keterangan yang kuperoleh, tinggal aku sendiri
salah satu keponakannya yang masih hidup. Sedangkan kau tahu sendiri, tidak ada
lagi sanak keluargaku yang masih ada," jelas Pandan Wangi tentang
maksudnya datang ke Puncak Gunung Haling ini.
Rangga mengangguk-anggukkan
kepala. Bisa dimengerti kalau Pandan Wangi memang selalu ingin mencari tahu
tentang dirinya yang sebenarnya. Dan gadis itu memang sudah terpisah dari sanak
keluarganya sejak masih bayi. Jadi, tidak mustahil jika keraguan akan dirinya
masih begitu membayanginya. Bahkan sampai sekarang, gadis itu masih terus
mencari di mana saja orang-orang yang masih terikat tali persaudaraan
dengannya. Tapi, kebanyakan dari mereka memang sudah tidak ada lagi di dunla
ini.
Itulah sebabnya, mengapa Pandan
Wangi selalu memburu siapa saja jika memperoleh keterangan tentang keluarganya.
Si Kipas Maut ini baru merasa puas jika sudah mendapatkan keterangan yang pasti
dan jelas, meskipun setiap kali apa yang diperolehnya selalu mengecewakan.
"Mereka bersaudara, tapi
kenapa sampai bertarung, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam
diri.
"Waktu itu tidak ada lagi
lawan yang bisa diperoleh, Kakang. Dan lagi, jalan yang ditempuh satu sama lain
memang sangat berlawanan. Dari yang kudengar, Paman Pendekar Bayangan Dewa
memang sudah lama mencari Bibi Dewi Selendang Maut. Dan Paman Pendekar Bayangan
Dewa sudah bertekad hendak menghentikan sepak terjang Bibi Dewi Selendang Maut
yang selalu merugikan dan menyengsarakan orang banyak. Aku rasa, memang tidak
aneh jika mereka terus bertentangan. Hingga mereka akhirnya terpaksa bertarung
di Puncak Gunung Haling ini. Dalam kehidupan rimba persilatan memang jarang
sekali ditemui tali persaudaraan, Kakang. Dan itu seringkali kudengar dari
kakek yang mengurusku sejak kecil. Meskipun, kenyataannya dia bukanlah kakekku
yang sebenarnya," Jelas Pandan Wangi lagi.
"Kalau begitu, sebaiknya
kita tidak terlalu lama berteduh di sini, Pandan. Lebih cepat mengetahui tempat
pertarungan itu, aku rasa akan lebih baik lagi," kata Rangga seraya
bangkit berdiri.
"Ya! Aku Juga sudah tidak
sabar lagi. Kakang." sambut Pandan Wangi.
Rangga mengulurkan tangannya yang
langsung disambut Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti membantu gadis ini
bangkit. Mereka kemudian melangkah sambil menuntun tali kekang kuda
masing-masing. Kedua pendekar muda itu berjalan perlahan-lahan sambil meneliti
setiap jengkal bebatuan yang dilewati dengan penuh seksama.
"Kakang...." Pandan
Wangi mencolek lengan Rangga, lalu menunjuk ke arah lereng gunung sebelah
Selatan.
Rangga segera mengarahkan
pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tampak di lereng gunung yang
jarang ditumbuhi pepohonan, terlihat tiga orang penunggang kuda tengah mendaki
lereng Gunung Haling ini. Lereng yang penuh bebatuan itu memang tidak mudah
didaki. Terlebih lagi dengan menunggang kuda. Mereka harus hati-hati agar tidak
tergelincir.
"Apa maksudnya mereka datang
ke sini...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendtri.
"Kau kenali mereka,
Pandan?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan
Wangi. "Tapi dari pakaiannya..., mereka seperti orang-orang dari Kerajaan
Batu Ampar, Kakang"
Rangga sedikit menyipitkan matanya.
Diam-diam, dikerahkannya aji 'Tatar Netra' untuk melihat lebih jelas lagi
ketiga penunggang kuda itu. Dua orang laki-laki dan seorang wanita yang
mengenakan pakaian seperti layaknya rakyat Kerajaan Baru Ampar. Persis seperti
yang dikatakan Pandan Wangi. Setiap kerajaan memang mempunyai ciri tersendiri
dalam berpakaian. Dan mereka tahu, pakaian yang seperti itu biasanya dkenakan
orang-orang Kerajaan Batu Ampar. Karena sebelum berada di sini, Rangga dan
Pandan Wangi sempat singgah di sana.
"Sebaiknya kita menyingkir
dulu dari sini, Kakang. Sebelum mereka melihat" usul Pandan Wangi.
"Kita ke gua itu," ajak
Rangga sambil menunjuk sebuah mulut gua yang tidak begitu besar ukurarrnya.
"Mereka pasti akan ke sana
jika melihatnya, Kakang."
"Tidak, kalau ditutupi
batu"
Tanpa bicara lagi, mereka segera
melangkah menuju gua batu yang berlumut dan tidak begitu besar itu Dan sudah
barang tentu, kuda-kuda mereka tidak bisa masuk ke dalam sana. Sehingga, Rangga
memerintahkan kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu untuk membawa pergi kuda
putih milik Pandan Wangi.
Kedua kuda itu berpacu cepat
meninggalkan Puncak Gunung Haling ini, melalui jalan Utara. Sehingga, alur
jalan yang dilalui kedua kuda itu berlawanan dengan jalan yang dilalui ketiga
orang yang dilihat Rangga dan Pandan Wangi.
Setelah berada di dalam gua batu,
Rangga segera menutupinya dengan bebatuan yang banyak berserakan di sekitarnya.
Sehingga, mulut gua itu benar-benar tertutup, dan hanya ada sedikit celah untuk
mengintip ke luar. Sementara tiga orang penunggang kuda itu semakin mendekati
Puncak Gunung Haling ini.
Ketiga penunggang kuda itu
ternyata tak lain dari Ratu Lanjani, Iblis Pedang Perak dan si Cambuk Setan.
Mereka langsung berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing begitu sampai
di bawah pohon beringin, di tengah-tengah Puncak Gunung Haling ini. Di bawah
pohon itu, Rangga dan Pandan Wangi tadi sempat melepas lelah. Dan sekarang
ketiga orang itu juga melepas lelah di sana, setelah melakukan perjalanan yang
cukup berat mendaki Gunung Haling yang gersang dan penuh bebatuan ini.
"Di mana pertarungan itu
berlangsung, Pedang Perak?" tanya Lanjani, seakan-akan tidak sabar lagi
ingin tahu.
"Di sini. Pohon beringin ini
satu-satunya yang dijadikan tanda untuk pertemuan itu," sahut Iblis Pedang
Perak begitu yakin.
"Lebih dari sepuluh tahun.
Tapi, pohon ini masih tetap saja hidup di tempat yang sangat gersang
begini," desah Lanjani setengah menggumam.
"Jangan heran, Lanjani.
Pohon beringin bisa hidup lebih dari seratus tahun," selak si Cambuk
Setan.
"Aku tahu... Tapi, sama
sekali di tempat ini tidak terlihat adanya tanda-tanda pernah dijadikan ajang
pertarungan." sergah Lanjani.
"Pertarungan itu sudah
terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sudah barang tentu, bekas-bekasnya
juga hilang ditelan zaman," sahut si Cambuk Setan lagi.
"Sebenarnya, apa tujuanmu,
Lanjani?" tanya si Cambuk Setan masih belum juga mengetahui tujuan yang
sebenarnya dari keinglnan Lanjani yang terasa aneh itu.
"Dewi Selendang Maut,"
sahut Lanjani kalem, diiringi senyuman manis.
"Maksudmu...?"
"Pertarungan itu berakhir
tanpa ada seorang pun yang mengetahul hasilnya. Dan di dalam pertarungan, hanya
ada dua kemungkinan. Salah satu tewas, atau keduanya yang tewas. Sedangkan
setelah pertarungan itu, mereka sama-sama menghilang tak jelas lagi kabar
beritanya. Hal itu membuatku jadi berpikir, kalau keduanya lelah tewas. Atau
paling tidak, sama-sama terluka parah yang tak mungkin bisa terobati
lagi," Lanjani mengemukakan pendapatnya.
"Lalu..?" si Cambuk
Setan masih belum juga mengerti.
"Kau kan tahu, aku cukup
mahir menggunakan selendang sebagai senjata, Paman..." kata Lanjani, masih
terdengar kalem nada suaranya.
"Oh... Jadi, maksudmu
sebenarnya ingin mendapatkan Selendang Maut..?" si Cambuk Setan mulai bisa
mengerti.
"Tepat, Paman. Dengan
Selendang Maut, aku bisa memperdalam jurus-jurus permainan selendangku. Dan
bukannya tidak mustahil kalau tingkat kepandaianku semakin bertambah berkat
Selendang Maut itu"
"Sungguh, aku tidak pernah
berpikir sampai ke situ," aku si Cambuk Setan tidak menyangka kalau
Lanjani punya pikiran seperti itu.
"Itulah sebabnya, kenapa
kuminta kalian menemaniku ke sini. Terutama kau, Pedang Perak. Kau yang lebih
tahu tentang kejadian itu. Aku ingin kau membantuku mendapatkan Selendang Maut
untukku," pinta Lanjani seraya menatap tajam pada Iblis Pedang Perak.
"Aku tidak bisa janji.
Apalagi memastikan bisa memperolehnya, Lanjani. Tapi aku akan berusaha mencari
Selendang Maut itu," tegas Iblis Pedang Perak mantap.
"Bagus. Memang itu yang
kuharapkan, Pedang Perak"
Setelah berkata demikian, Lanjani
kembali melompat naik ke punggung kudanya. Kemudian kudanya digebah sehingga
berjalan perlahan-lahan menuju kembali ke arah kedatangannya semula tadi. Si
Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak bergegas mengikuti wanita cantik itu.
"Kita kembali dulu. Besok,
baru kita mulai pencarian ini," ujar Lanjani setelah kedua jago andalannya
berada di samping kanan dan kirinya.
Sementara tanpa diketahui. Rangga
dan Pandan Wangi yang berada di tempat persembunyiannya. Dan jelas mendengar
percakapan itu. Bahkan mereka terus memperhatikan sampai ketiga orang itu
kembali menuruni Lereng Gunung Haling.
Kedua pendekar muda itu baru
keluar dari tempat persembunyiannya setelah ketiga orang itu sudah cukup jauh
menuruni Lereng Gunung Haling ini. Mereka berdiri tegak di depan mulut gua,
memandangi Lanjani dan dua orang jago andalannya yang selalu setia mendampingi.
"Aku tahu, siapa wanita
itu...," ungkap Rangga, agak menggumam nada suaranya.
"Siapa, Kakang?" tanya
Pandan Wangi seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Lanjani... Dia Ratu Batu
Ampar." sahut Rangga, masih terdengar menggumam suaranya.
"Eh...?! Sejak kapan Batu
Ampar dipimpin seorang ratu, Kakang?" tanya Pandan Wanoj terkejut.
"Sejak Prabu Jaya Permana
meninggal karena sakit yang berkepanjangan. Tapi seharusnya bukan Lanjani yang
menjadi ratu di sana. Masih ada orang lain yang lebih berhak. Tapi entah
kenapa, justru Lanjani yang menduduki takhta. Dan kedua orang pengawalnya itu,
hm.... Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan dari golongan hitam. Mereka akan
menjilat siapa saja untuk kepentingan dan kekayaan diri sendiri," jelas Rangga,
masih terdengar perlahan nada suaranya.
"Sebenarnya, siapa yang
berhak menduduki takhta Batu Ampar, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Raden Kumala. Tapi, namanya
menghilang begitu saja pada saat Prabu Jaya Permana wafat. Sedangkan yang
tinggal hanya adiknya saja. Tapi, adiknya itu tidak punya hak untuk menduduki
takhta selama Raden Kumala belum jelas nasib dan rimbanya. Kalau keadaan Raden
Kumala sudah jelas, maka yang berhak menduduki takhta adalah adik
perempuannya," kata Rangga menjelaskan.
"Rumit...," desah
Pandan Wangi.
"Memang sulit dipahami cara
dan tata kepemerintahan, Pandan."
"Tapi, kenapa justru Lanjani
yang sekarang menduduki takhta? Apakah dia putri tertua Prabu Jaya Permana,
Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi ingin tahu.
"Bukan," sahut Rangga.
"Bukan...? Lalu, siapa
dia?"
***
EMPAT
Inilah sulitnya tata
kepemerintahan. Tidak semua orang bisa mudah memahaminya. Itulah sebabnya, para
putra mahkota yang dipersiapkan menggantikan ayahnya, sudah dibekali ilmu-ilmu
tata kepemerintahan sejak masih berusia muda. Di samping juga, dibekali ilmu-ilmu
keprajuritan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dan tentu saja harus lebih tinggi
daripada para panglimanya. Tapi memang, tidak semua putra mahkota memiliki
keinginan mempelajari ilmu keprajuritan dan kesaktian. Bahkan tidak banyak yang
justru menggemari pola kepemimpinan atau ilmu-ilmu sastra.
Hal itu dijelaskan Rangga secara
gamblang, sehingga membuat kepala Pandan Wangi terasa begitu pening. Gadis itu
memang sulit memahami ilmu-ilmu keprajuritan. Apalagi ilmu tata kepemerintahan.
Dia sudah terbiasa mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan itu sudah
didapatkan sejak masih kecil .Tanpa terasa, mereka terus berbicara sambil
berjalan menuruni Lereng Gunung Haling ini. Dengan demikian mereka semakin jauh
meninggalkan puncak gunung itu.
"Kakang..." desis
Pandan Wangi tiba-tiba. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu mendadak
menghentikan ayunan kakinya. Dan Rangga yang berjalan di sampingnya jadi ikut
berhenti. Langsung ditatapnya Pandan Wangi dalam-dalam.
"Ada apa, Pandan?"
tanya Rangga melihat Pandan Wangi hanya diam saja memandanginya.
"Kita sudah menjelajahi
seluruh Gunung Haling dari bawah sampai ke puncaknya. Dan di puncak gunung ini,
tidak ada yang bisa ditemukan selain...," Pandan Wangi menghentikan
ucapannya.
"Selain apa, Pandan?"
tanya Rangga ingin tahu.
"Hanya ada satu gua di
puncak gunung itu. Dan letaknya tidak terlalu jauh dari tempat pertempuran Bibi
Dewi Selendang Maut dan Paman Pendekar Bayangan Dewa," jelas Pandan Wangi,
begitu sungguh-sungguh suaranya.
"Maksudmu...?"
"Apa tidak mungkin mereka,
atau salah satu dari mereka, ada di dalam gua itu. Kakang," kata Pandan
Wangi mengemukakan jalan pikirannya yang tiba-tiba saja muncul.
"Kau benar, Pandan...,"
desis Rangga agak tersentak. seperti baru diingatkan.
"Kita kembali lagi ke sana, Kakang,"
ujar Pandan Wangi.
"Ayolah," ajak Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
kedua pendekar muda itu berlari cepat ke Puncak Gunung Haling. Mereka
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya
mereka berlari, sehingga yang terlihat hanyalah dua bayangan berkelebatan di
antara pohon pohon dan bebatuan.
Begitu tingginya tingkat ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki kedua pendekar muda itu, sehingga dalam waktu
sebentar saja sudah tiba di Puncak Gunung Haling. Terlebih lagi Pendekar
Rajawali Sakti, Ilmu meringankan tubuhnya memang sudah mencapai ringkat
sempurna. Jadi tak heran kalau Rangga lebih dahulu sampai di depan mulut gua
itu daripada si Kipas Maut.
Rangga berdiri tegak memandangi
bagian dalam gua yang begitu pekat, sehingga cukup sulit menembus dengan
pandangan mata biasa. Sementara Pandan Wangi sudah sampai di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Matanya juga memandangi ke dalam gua yang gelap gulita.
"Kita masuk, Kakang..."
ajak Pandan Wangi.
"Kau jangan jauh-jauh di
belakangku," kata Rangga. berpesan.
Pandan Wangi hanya mengangguk
saja. Sedangkan Rangga sudah mulai melangkah memasuki goa yang tidak begitu
besar itu. Atap gua ini memang cukup rendah, sehingga Rangga dan Pandan Wangi
harus merunduk. Mereka terus melangkah perlahan-lahan menyusuri lorong gua yang
gelap dan pekat ini.
"Hm.... Sulit juga menembus
kegelapan di sini. Aku harus menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam Rangga
dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memang
menggunakan aji 'Tatar Netra', sehingga bisa melihat jelas dan terang di dalam
kegelapan yang begitu pekat ini. Rangga tertenyum saat berpaling ke belakang.
Rupanya, Pandan Wangi tetap tidak jauh berada di belakangnya. Lorong gua ini
semakin sempit dan kecil saja. Sehingga, mereka terpaksa harus merayap
menyusurinya.
Rangga baru berhenti merayap
ketika melihat ada titik cahaya tidak jauh di depannya. Kemudian bergegas dia
merayap maju lagi, dan kembali berhenti begitu tiba di sebuah relung gua yang
sangat besar dan terang benderang. Kedua pendekar muda itu baru bisa berdiri
setelah berada di relung gua yang seperti sebuah ruangan.
"Kakang...," desis
Pandan Wangi seraya mencolek lengan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berpaling menatap Pandan
Wangi yang menunjuk ke kanan. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi
menyipit ketika melihat sebuah pintu yang terbuat dari besi hitam yang tampak
begitu kokoh. Bergegas kakinya melangkah menghampiri, lalu berdiri tegak
merayapi pintu besi itu. Sedangkan Pandan Wangi terus mendampingi di
sampingnya.
***
Krieeet...!
Perlahan-lahan Rangga membuka
pintu besi itu. Suara berderit terdengar begitu tajam, menggelitik gendang
telinga. Kelopak mata pemuda berbaju rompi putih ini kembali menyipit begitu
mendapati di balik pintu ini ter-nyata terdapat sebuah taman yang begitu indah.
Perlahan Rangga melangkah melewati pintu besi itu, diikuti Pandan Wangi yang
juga jadi terlongong memandangi taman yang begitu indah.
Perlahan-lahan kaki mereka
terayun memasuki taman itu. Segar sekali udara di dalam taman ini, membuat hati
terasa begitu damai. Tapi kedamaian ini tidak berlangsung lama, karena
tiba-tiba saja langkah Rangga berhenti. Kepalanya bergerak perlahan, menoleh ke
kanan dan ke kiri. Lalu, kelopak matanya jadi menyipit. Terdengar suara menggumam
kecil yang agak mendengus dari hidung.
"Ada apa, Kakang...?"
tanya Pandan Wangi. Belum juga Rangga menjawab pertanyaan si Kipas Maut,
tiba-tiba saja di sekitar mereka berkelebat beberapa tubuh yang langsung
mengepung. Sebentar saja di sekeliling mereka sudah mengepung tidak kurang dari
tiga puluh orang laki-laki berpakaian seragam kuning gading. Mereka semua
menggenggam tombak panjang dan sebuah perisai berbentuk bulat seperti tudung.
Tampaknya mereka seperti para prajurit sebuah kerajaan.
"Jangan...." cegah
Rangga cepat ketika Pandan Wangi hendak mencabut senjata kipasnya.
Dua orang yang berada paling
depan, bergerak menyingkir seperti membuka jalan. Dan dari belakang mereka
tadi, terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih. Kepalanya memakai caping
berukuran besar, sehingga hampir menutupi seluruh wajahnya. Hanya bagian dagu
dan sedikit bibir bawahnya saja yang terlihat. Orang itu melangkah mendekati
Rangga dan Pandan Wangi, kemudian berhenti setelah berjarak sekitar lima
langkah lagi. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang tongkat yang tidak
beraturan bentuknya.
"Kenapa kalian berada di
sini? Dan apa maksud kalian masuk ke sini dari lorong rahasia?" tanya
laki-laki berjubah putih itu, dingin nada suaranya.
"Aku Rangga, dan ini Pandan
Wangi. Kami tersesat, dan tidak tahu kalau gua itu merupakan lorong rahasia.
Maafkan, jika kehadiran kami dianggap mengganggu," ucap Rangga seraya
membungkukkan tubuh sedikit, memberi penghormatan.
"Sikapmu cukup sopan, Anak
Muda. Tapi aku sudah cukup berpengalaman dalam menghadapi segala macam sikap
dan tingkah seperti ini," terasa begitu sinis ucapan laki-laki berjubah
putih itu.
Rangga dan Pandan Wangi saling
berpandangan dengan kening berkerut. Mereka kemudian kembali memandangi
laki-laki berjubah putih yang wajahnya tidak jelas terlihat, karena tertutup
caping bambu lebar. Dari tubuh dan nada suaranya, serta rambut yang sudah
memutih, memang sudah bisa dipastikan kalau laki-laki ini sudah berumur lanjut.
"Kuminta kalian menjawab
jujur, dan jangan membuat persoalan denganku di sini," ujar laki-laki
berjubah putih itu dingin dan tegas. "Siapa yang mengirim kalian ke sini
untuk memata-matai?"
"Sudah kukatakan dengan
jujur. Kami hanya tersesat dan tidak tahu kalau gua itu merupakan...."
"Cukup!" bentak
laki-laki tua berjubah putih itu memutuskan kata-kata Rangga.
Rangga jadi terdiam mendengar
bentakan bernada ketus begitu. Kembali ditatapnya Pandan Wangi. Sedangkan gadis
itu sudah menggenggam senjata kipas maut, meskipun belum tercabut dari balik
sabuk berwarna kuning emas yang melilit pinggangnya.
"Jawab pertanyaanku dengan
jujur, Anak Muda! Apakah kau dikirim ratu iblis itu...?" semakin dingin
nada suara laki-laki tua berjubah putih ini.
"Ratu iblis...? Aku tidak
mengenalnya," kening Rangga semakin dalam berkerut.
"Jangan berpura-pura. Anak
Muda! Kedatanganmu ke sini sudah membuatku curiga. Dan sekarang kau
berbelit-belit menjawab semua pertanyaanku. Aku tidak ingin menjatuhkan tangan
kasar pada kalian berdua. Pergilah, sebelum pikiranku berubah," desis
laki-laki tua berjubah putih itu, semakin dingin nada suaranya.
"Baiklah. Kami akan pergi
dari sini." kata Rangga seraya mengangkat bahunya sedikit.
"Bagus! Kalian akan diantar
keluar sampai gerbang."
Laki-laki tua berjubah putih itu
menggerakkan tangan kirinya sedikit. Maka empat orang berseragam bagai prajurit
itu bergerak mendekati Rangga dan Pandan Wangi. Mereka kemudian menggiring
kedua pendekar muda itu. Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja mengalah, dan
tidak ingin membuat sesuatu yang tidak dinginkan. Sementara laki-laki tua itu
memandangi sampai kedua pendekar muda itu jauh meninggalkan taman ini.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi
yang diringi empat orang berseragam bagai prajurit tidak terlihat lagi,
laki-laki tua berjubah putih itu baru memutar tubuhnya dan melangkah. Sedangkan
semua orang berpakaian bagai prajurit yang tadi mengepung Rangga dan Pandan
Wangi, sudah meninggalkan taman itu sejak tadi. Ayunan langkah laki-laki tua
berjubah pulih itu terhenti, ketika melihat seorang gadis cantik berlari-lari
kecil menghampirinya. Dia diikuti seorang wanita berbaju kuning gading yang
mengenakan caping bambu berukuran besar. Sama persis dengan yang dikenakan
laki-laki tua berjubah putih ini.
"Siapa mereka itu tadi,
Paman?" tanya gadis cantik itu, begitu manja sikapnya.
"Hanya dua tikus yang
coba-coba menyusup ke sini," sahut laki-laki tua berjubah putih seraya
membuka caping yang menutupi kepalanya.
Di balik caping besar itu
ternyata tersembunyi seraut wajah tua yang begitu bersih dan bercahaya. Sinar
matanya sangat tajam, tapi memancarkan satu keteduhan yang begitu damai.
Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan alis, kumis, dan jenggotnya juga sudah
putih semua.
Wanita berbaju kuning gading di
belakang gadis itu juga membuka capingnya. Dia ternyata sudah cukup berusia
lanjut. Mungkin usianya sudah mencapai lima puluh tahun, atau bahkan sudah
lebih. Namun garis-garis kecantikan, masih terlihat jelas pada wajahnya yang
sudah mulai keriput. Meskipun bentuk tubuhnya masih cukup padat berisi, bagai
gadis berusia dua puluh tahun.
"Bagaimana? Apakah kau sudah
siap menerima pelajaran, Dewani?" tanya laki-laki tua berjubah putih itu
sambil menepuk pundak gadis cantik yang ternyata memang Dewani.
"Aku siap, Paman,"
sahut Dewani mantap.
"Bagus. Aku dan Bibi Dewi
akan menjadikanmu seorang pendekar wanita yang tangguh, dan tak ada
tandingannya."
"Terima kasih, Paman."
"Ayo, kita ke tempat
latihan"
***
Sementara itu Rangga dan Pandan
Wangi sudah cukup jauh meninggalkan gerbang yang berbentuk sebuah candi kecil
dari batu. Mereka memandangi gerbang berbentuk candi itu. Empat orang laki-laki
berseragam seperti prajurit yang tadi mengantarkan mereka, masih terlihat di
situ. Sedangkan Rangga terus mengajak Pandan Wangi pergi. Dan mereka baru
berhenti setelah gerbang candi tidak terlihat lagi.
"Kau tahu di mana ini,
Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Di bagian Barat Gunung
Haling." sahut Rangga. Juga mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Tidak kusangka, ternyata
Gunung Haling tidak seluruhnya gersang," desah Pandan Wangi setengah
menggumam.
Rangga hanya diam membisu saja.
Pandangannya terarah lurus ke kaki gunung ini. Terlihat jelas, kalau di kaki
gunung sebelah Barat ini terdapat sebuah perkampungan yang tampaknya tidak
besar. Meskipun, kelihatannya rumah-rumah yang berdri di sana cukup padat juga.
"Apakah itu yang dinamakan
Desa Haling, Kakang?" tanya Pandan Wangi. Rupanya dia juga melihat ke arah
perkampungan itu.
"Benar itu memang Desa
Haling," sahut Rangga. "Kita ke sana, Kakang. Siapa tahu bisa
diperoleh keterangan lebih banyak lagi tentang Paman Pendekar Bayangan Dewa dan
Bibi Dewi Selendang Maut," ajak Pandan Wangi.
Rangga hanya mengangkat bahunya
saja. Tapi belum juga mereka melangkah, tiba-tiba saja terdengar ringkik kuda,
yang disusul terdengarnya derap langkah kaki kuda dari arah sebelah kanan. Tak
berapa lama kemudian, muncul seekor kuda hitam yang disusul seekor kuda putih
bersih berpelana sangat indah. Rangga dan Pandan Wangi tersenyum melihat
kuda-kuda mereka datang, tepat di saat tengah diperlukan
"Hup!"
"Hap!"
Rangga dan Pandan Wangi langsung
melompat ke punggung kuda, begitu dekat. Sebentar mereka saling berpandangan
dan melempar senyum, kemudian sama-sama menggebah kuda menuju Desa Haling yang
berada di kaki Gunung Haling ini. Mereka bisa cepat berpacu, karena lereng gunung
ini begitu landai. Sedangkan pepohonan yang tumbuh pun tidak terlalu lebat.
***
Waktu terus berjalan sesuai
peredaran sang mentari yang mengelilingi mayapada ini. Waktu terus mengiringi
langkah polah kehidupan yang ada di atas permukaan bumi ini. Waktu memang
berjalan seakan-akan begitu cepat. Sementara Pandan Wangi yang harus mencari
keterangan tentang paman dan bibinya, masih belum juga mendapat hasil yang
diinginkan.
Sementara itu di lain tempat yang
sangat rahasia letaknya. Dewani terus digembleng dengan berbagai macam ilmu
olah kanuragan dan kesaktian dari dua orang tua aneh yang belum jelas jati diri
mereka.
Di pihak lain, Lanjani juga belum
putus asa untuk mendapatkan Selendang Maut dari Puncak Gunung Haling. Kini
malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh Kerajaan Batu Ampar. Lanjani masih
belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih terus dibebani suatu peristiwa
yang terjadi semalam di Istana Baru Ampar.
Istana yang megah itu kedatangan
seorang tamu yang tak diundang. Kedatangannya bukan untuk suatu persahabatan.
Tapi, justru meminta Lanjani untuk turun dari takhta, dan meninggalkan Kerajaan
Batu Ampar ini. Bahkan semalam saja orang aneh itu sudah membunuh tidak kurang
dari sepuluh prajurit ditambah dua orang jago istana, pengikut setia penguasa
Kerajaan Batu Ampar. Bukan hanya kedatangan orang aneh itu yang membuat Lanjani
jadi tidak bisa tenang malam ini.
Tapi, karena orang itu menyebut
dirinya Dewi Selendang Maut. Dan memang, dia menggunakan senjata berupa
selendang berwarna kuning keemasan. Inilah yang membuat Lanjani jadi bertanya
tanya sendiri. Apa mungkin Dewi Selendang Maut masih hidup? Kalau pun memang
masih hidup, untuk apa mencampuri urusan kerajaan ini? Bahkan meminta Lanjani
turun takhta, dan menyerahkannya pada Dewani. Sedangkan sampai sekarang ini,
Lanjani tidak tahu lagi di mana Dewani berada.
"Jangan-jangan, dia Dewani.
Tapi.., ah! Tidak mungkin. Dewani tidak memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Jangankan mengalahkan dua orang jagoku. Menghadapi prajurit rendahan saja,
tidak akan mampu," desah Lanjani bicara sendiri.
Lanjani melangkah mendekati
jendela. Perlahan-lahan dibukanya jendela kamar itu lebar-lebar. Tapi baru saja
melepaskan tangannya dari jendela, mendadak saja....
Wuk!
"Eh...?! Uts!"
Lanjani jadi terkejut setengah
mati. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke kiri, dan melompat menjauhi jendela itu.
Memang, tiba-tiba saja sebuah benda tipis panjang berwarna kuning keemasan,
melesat masuk dari jendela dan hampir saja menyambarnya. Dua kali Lanjani
melakukan putaran, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di lantai kamar ini.
Pada saat itu, melesat sebuah bayangan masuk ke dalam kamar ini melalui jendela
yang kini sudah terbuka lebar.
"Dewi Selendang
Maut..." desis Lanjani dengan bola mata terbeliak lebar.
Memang, di depan Lanjani kini
sudah berdiri seorang wanita berbaju kuning gading. Tampak selembar selendang
berwarna kuning keemasan tergulung di tangan kanannya. Sukar mengenalinya,
karena seluruh kepalanya tertutup caping bambu berukuran cukup besar. Dari
bentuk tubuh ramping dan rambutnya yang panjang, bisa dipastikan kalau orang
bercaping bambu itu adalah wanita.
"Keparat…! Berani benar kau
menyelinap masuk ke kamar pribadiku...!" desis Lanjani berang.
"Begitu mudahnya kau
mengatakan ini kamar pribadimu, Lanjani. Padahal, kau sama sekali tidak berhak
tinggal di istana ini. Apalagi menguasainya, dan menduduki takhta." kata
orang berbaju kuning gading yang semalam muncul mengenalkan diri bernama Dewi
Selendang Maut.
"Lancang sekali bicaramu!
Siapa kau sebenarnya..?!" dengus Lanjani dengan sinar mata yang begitu
dingin dan tajam.
"Aku Dewi Selendang Maut.
Kedatanganku untuk menggulingkanmu dari takhta yang memang bukan hakmu!"
sahut wanita bercaping itu tidak kalah dinginnya.
"Setan keparat..!"
desis Lanjani semakin berang.
"Kau kuberi waktu sampai
besok. Jika tidak segera angkat kaki dari sini, semua begundal-begundal busukmu
akan menghuni lubang kubur. Bahkan kau juga, Lanjani," desis Dewi
Selendang Maut mengancam.
"Edan...!" desis Lanjani
geram "Mampus kau! Hiyaaat...!"
Lanjani tidak bisa lagi menahan
amarahnya yang menggelegak dalam dada. Tiba-tiba saja Ratu Batu Ampar itu
melompat menerjang dengan kecepatan luar biasa. Secepat itu pula,
dilontarkannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hup!"
Tapi Dewi Selendang Maut sudah
lebih cepat lagi bertindak. Begitu Lanjani menyerang cepat, Dewi Selendang Maut
melesat keluar melompati jendela yang terbuka lebar. Sehingga, pukulan yang
dilepaskan Lanjani hanya menghantam dinding kamar ini hingga jebol berantakan.
"Jangan lari kau,
Setan...!" geram Lanjani menjerit. "Hiyaaat..!"
Cepat sekali Lanjani melompat ke
luar, mengejar wanita bercaping bambu itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah di
luar kamar, secepat kilat dilepaskannya satu pukulan ke arah Dewi Selendang
Maut yang juga baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
"Uts!"
Cepat-cepat Dewi Selendang Maut
menarik tubuhnya ke kiri, menghindari pukulan yang dilepaskan Ratu Batu Ampar.
Lalu cepat sekali tubuhnya berputar, sambil melepaskan satu tendangan balasan
menggeledek.
"Hait…!"
Lanjani bergegas melompat ke
belakang sejauh dua langkah, sehingga tendangan berputar yang dilakukan Dewi
Selendang Maut tidak sampai menghantam tubuhnya. Lanjani yang benar-benar sudah
meluap amarahnya, tidak mau lagi memberi kesempatan Dewi Selendang Maut untuk
meloloskan diri. Maka begitu terlepas dari serangan wanita bercaping bambu itu,
cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan salto beberapa kali.
Lalu, dia meluruk deras ke arah kepala yang tertutup caping bambu itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalam, Lanjani cepat memberi satu pukulan lurus ke arah kepala
yang tertutup caping bambu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Selendang Maut
bertindak di luar perhitungan Lanjani. Wanita berbaju kuning gading itu cepat
melepaskan capingnya. Lalu, secepat kilat dilemparkannya ke udara, menyambut
Lanjani yang meluruk deras di atas kepalanya.
Wuk!
"Heh...?!"
Lanjani jadi terbeliak setengah
mati. Bahkan tidak punya kesempatan lagi untuk menarik serangannya. Dan
seketika itu juga, pukulannya langsung menghantam caping bambu itu. Begitu
keras dan dahsyat luar biasa!
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar
terdengar begitu dahsyat, saat pukulan Lanjani yang mengandung tenaga dalam
tinggi menghantam caping bambu itu. Lanjani terpaksa harus melentingkan
tubuhnya, dan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya
mendarat di tanah.
"Setan...!"
Lanjani jadi geram setengah mati
begitu menyadari wanita yang mengaku Dewi Selendang Maut sudah tidak ada lagi
di tempat ini. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tapi yang didapati
hanya kegelapan malam saja. Tak ada seorang pun yang terlihat. Pada saat itu,
terlihat beberapa orang prajurit berdatangan. Bahkan si Cambuk Setan dan Iblis
Pedang Perak juga berlari-lari cepat menghampiri Ratu Batu Ampar itu.
"Ada apa...? Kudengar ada
suara ledakan di sini," tanya si Cambuk Setan begitu dekat di depan Lanjani.
"Dewi Selendang Maut. Dia
datang lagi ke sini," sahut Lanjani, masih agak mendengus suaranya.
"Oh...! Lalu...?" selak
Iblis Pedang Perak.
"Kabur," jawab Lanjani
pendek.
"Akan kukejar dia."
ujar Iblis Pedang Perak
Lanjani tidak sempat lagi mencegah.
Iblis Pedang Perak sudah melompat cepat ke atas atap bangunan istana ini. Lalu,
bayangan tubuhnya menghilang begitu melesat untuk yang kedua kalinya.
"Dia pasti belum jauh dari
sini, Lanjani. Akan kukerahkan orang-orangku untuk mengejarnya," tegas si
Cambuk Setan.
"Terserah kau, Paman. Aku
ingin si keparat itu mampus!" dengus Lanjani seraya berbalik dan melangkah
pergi.
***
LIMA
Sementara itu, tidak jauh dari
Kota Kerajaan Batu Ampar, tampak seorang wanita berbaju kuning gading tengah
berlari-lari cepat menuju Gunung Haling. Gerakannya begitu lincah dan ringan,
pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Dia terus berlari
cepat sambil sesekali membetulkan kerudung yang menutupi wajahnya. Seakan-akan,
wajahnya tidak ingin diketahui orang lain.
"Berhenti..!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan
keras menggelegar dan mengejutkan. Wanita berbaju kuning gading itu seketika
menghentikan larinya. Kedua bola matanya yang indah dan bening bercahaya, jadi
terbeliak begitu tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia
muda. Pedangnya tampak tersampir di punggung. Ujung gagang pedang itu berbentuk
kepala tengkorak berwarna putih keperakan.
"Iblis Pedang
Perak...," wanita berbaju kuning gading itu mendesis, mengenali laki-laki
muda yang menyandang pedang perak di punggungnya.
"Kau tidak bisa lari dariku,
Nisanak," dengus Iblis Pedang Perak dingin menggetarkan.
Wanita berbaju kuning gading itu
menggumam kecil. Bola matanya terlihat begitu tajam, merayapi wajah Iblis
Pedang Perak. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Gerakan tangannya juga begitu
perlahan saat melepaskan sehelai kain berwarna kuning keemasan yang melilit
pinggangnya. Dipegangnya kedua ujung selendang kuning keemasan itu. Sorot
matanya masih tetap tajam, seakan sedang mengukur tingkat kepandaian laki-laki
muda di depannya ini.
"Aku tahu, kau bukan Dewi
Selendang Maut. Siapa kau sebenarnya?! Dan, mengapa berani mengacau ketenangan
Kanjeng Ratu Lanjani?!" dengus Iblis Pedang Perak lagi.
"Bagus, kalau kau menyangka
begitu. Tapi, akan kau rasakan selendang mautku ini terlebih dahulu,"
desis Dewi Selendang Maut dingin.
Setelah berkata demikian. Dewi
Selendang Maut langsung memutar-mutar selendang emasnya di atas kepala. Kakinya
bergerak perlahan menyusur tanah ke kanan dan ke kiri. Iblis Pedang Perak jadi
ternganga melihat gerakan-gerakan jurus 'Selendang Ekor Naga' yang
diperlihatkan wanita berbaju kuning gading itu. Dia tahu, jurus itu sangat
dahsyat. Bahkan merupakan salah satu jurus andalan Dewi Selendang Maut. Dan,
tak ada seorang pun yang memiliki jurus itu, selain Dewi Selendang Maut
sendiri.
"Oh. Dia benar-benar Dewi
Selendang Maut ..." desah Iblis Pedang Perak dalam hati.
"Bersiaplah, Iblis Pedang
Perak. Tunjukkan kebolehan pedang rongsokanmu," desis Dewi Selendang Maut
dingin.
"Hiyaaat…!"
Cepat sekali Dewi Selendang Maut
mengebutkan senjata andalannya yang begitu terkenal akan kedah-syatannya.
Selendang berwarna kuning keemasan itu meluruk deras ke arah Iblis Pedang Perak
yang masih terlongong, begitu melihat jurus 'Selendang Ekor Naga'.
"Uts! Hait…!"
Tapi begitu tersadar, Iblis
Pedang Perak cepat-cepat melompat ke kanan. Sehingga, ujung selendang kuning
keemasan itu. Tidak sampai mengenai tubuhnya. Namun selendang itu sudah meliuk
seperti seekor ular naga, mangejar Iblis Pedang Perak. Terpaksa laki-laki muda
itu harus berjumpalitan, dan bergulingan di tanah menghindarinya.
Selendang kuning keemasan itu
meliuk-liuk indah, namun mengandung ancaman maut yang tak bisa dianggap
main-main. Selendang itu bagai memiliki mata saja. Bergerak cepat mengejar ke
mana saja Iblis Pedang Perak bergerak menghindar. Sedangkan Dewi Selendang Maut
ikut berlompatan, berusaha memperpendek jarak. Sambil berlompatan, diputarinya
Iblis Pedang Perak disertai kebutan selendangnya yang cepat dan lincah.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Iblis Pedang Perak
melentingkan tubuhnya ke udara, begitu ujung selendang kuning keemasan meluruk
deras mengincar kakinya. Dan sambi berputaran di udara, pedangnya cepat-cepat
dicabut. Pedang berwarna keperakan yang berkilat tertimpa cahaya bulan itu kini
sudah tergenggam di tangan Iblis Pedang Perak.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Iblis Pedang Perak meluruk deras ke arah selendang kuning keemasan
yang merentang lebar dan kaku. Lalu, cepat sekali pedangnya dikebutkan, tepat
di bagian tengah selendang kuning keemasan itu.
Bret!
"Heh...?!"
Dewi Selendang Maut jadi terkejut
setengah mati begitu selendangnya terpotong jadi dua bagian. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan matanya terbeliak, seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang baru saja disaksikan. Sementara Iblis Pedang Perak
sudah menjejakkan kakinya di potongan selendang yang tergeletak di tanah
"Hup! Yeaaah...!"
"Hei! Jangan lari
kau..!"
Iblis Pedang Perak langsung
melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, begitu tiba-tiba saja Dewi
Selendang Maut melesat begitu cepat hendak meninggalkan pertarungan. Tapi belum
juga Dewi Selendang Maut berlari jauh, tiba-tiba saja sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat memotong arah larinya. Untung saja wanita berbaju kuning
gading itu cepat-cepat melentingkan tubuh, berputar ke belakang. Sehingga dia
tidak sampai bertabrakan dengan bayangan hitam yang berkelebat begitu cepat
memotong arah laritnya tadi.
"Satan...!" dengus Dewi
Selendang Maut begitu kakinya menjejak tanah
Ctar!
Suara lecutan cambuk terdengar
keras memecah kesunyian malam. Dewi Selendang Maut jadi semakin terbeliak
begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang laki-laki separuh baya,
mengenakan baju hitam pekat. Seutas cambuk hitam berbulu halus tampak
tergenggam di tangan kanannya. Pada saat itu, Iblis Pedang Perak sudah sampai.
Langsung didekatinya laki-laki separuh baya yang memegang cambuk hitam itu.
"Rupanya hanya tikus kecil
yang ingin coba-coba menggerogoti lumbung Kanjeng Ratu Lanjani," desis
laki-laki berbaju hitam yang ternyata adalah si Cambuk Setan, dingin menggetarkan.
"Kita serang saja, Paman.
Tidak perlu banyak bicara menghadapi tikus betina ini." dengus Iblis
Pedang Perak yang masih penasaran dengan pertarungannya tadi.
Tanpa menunggu jawaban lagi,
Iblis Pedang Perak langsung melompat cepat menyerang Dewi Selendang Maut.
Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke arah leher wanita berbaju kuning
gading itu.
Wuk!
"Uts!"
Dewi Selendang Maut cepat-cepat
menarik kepalanya ke belakang, sehingga hanya sedikit saja ujung pedang pemuda
itu lewat di depan tenggorokannya. Belum lagi wanita berbaju kuning gading itu
bisa menarik kepalanya kembali ke depan, tiba-tiba saja si Cambuk Setan sudah
cepat mengebutkan cambuknya ke arah dada.
Ctar!
"Hup!"
Dewi Selendang Maut segera
melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang menghindari sengatan cambuk hitam
berbulu halus itu. Beberapa kali dia berputaran di udara sebelum kakinya menjejak
tanah. Namun baru saja wanita itu menjejak tanah, Iblis Pedang Perak sudah
kembali menyerang cepat luar biasa. Pedangnya berkelebatan cepat, sehingga yang
terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang mengurung di sekitar tubuh Dewi
Selendang Maut.
Wanita yang tidak kelihatan
wajahnya itu, semakin kewalahan saja menghadapi serangan si Cambuk Setan yang
membantu Iblis Pedang Perak. Menghadapi dua serangan yang begitu dahsyat, tentu
saja Dewi Selendang Maut semakin kelihatan kewalahan. Dia terus terdesak semakin
hebat. Bahkan tak mampu lagi memberi serangan balasan. Wanita berbaju kuning
gading itu hanya bisa berlompatan, berjumpalitan menghindari setiap serangan
yang datang secara beruntun itu.
"Hiyaaa..!"
Tiba-tiba saja, si Cambuk Setan
melepaskan satu pukulan tangan kiri yang begitu keras, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi itu dilakukan tepat di saat Iblis Pedang Perak melakukan
serangan ke arah kaki Dewi Selendang Maut. Menghadapi serangan yang begitu
bersamaan, Dewi Selendang Maut tak mampu lagi berkelit dari pukulan si Cambuk
Setan. Sehingga...
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Dewi Selendang Maut
terpental deras ke belakang, begitu pukulan yang dilepaskan si Cambuk Satan
telak menghantam tengah-tengah dadanya. Keras sekali pukulan itu, sehingga Dewi
Selendang Maut terbanting ke tanah begitu keras disertai pekik kaget tertahan.
"Mampus kau!
Hiyaaat..!"
Pada saat tubuh Dewi Selendang
Maut telentang di tanah. Ibis Pedang Perak sudah melompat cepat disertai
ancaman ujung pedangnya yang tertuju lurus ke arah dada. Sedangkan Dewi
Selendang Maut hanya bisa terbeliak. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk
menghlndar. Pukulan yang mendarat di dadanya tadi, membuat jalan napasnya jadi
tersumbat. Sedangkan dadanya terasa begitu nyeri.
"Oh, mati aku..." desah
Dewi Selendang Maut. Dewi Selendang Maut memejamkan matanya, saat ujung pedang
berwarna keperakan semakin dekat ke arah dadanya. Dan begitu ujung pedang itu
hampir saja menembus dadanya, mendadak saja....
Trang!
"Ikh...?!"
Iblis Pedang Perak jadi terkejut
setengah mati, begitu tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat menyentil
pedangnya yang hampir saja menembus dada Dewi Selendang Maut. Lebih terkejut
lagi, karena tangannya yang menggenggam pedang terasa jadi bergetar kesemutan.
Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, sambil memindahkan pedangnya ke
tangan kiti.
Sementara Dewi Selendang Maut
sudah membuka matanya. Dia jadi tertegun melihat Iblis Pedang Perak berada
sekitar satu setengah tombak darinya. Bahkan kedua bola matanya jadi terbeliak
begitu di samping tubuhnya yang terbaring menelentang, berdiri seorang pemuda
tampan. Bajunya rompi putih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung
tersampir di punggungnya.
Pada saat itu muncul seorang
gadis cantik berbaju biru muda dari balik sebatang pohon yang cukup besar.
Gadis itu langsung menghampiri Dewi Selendang Maut. Dibantunya wanita berbaju
kuning gading ini berdiri. Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih
melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan si Cambuk Setan sudah berdiri di
samping Iblis Pedang Perak.
"Siapa kalian?" tanya
Dewi Selendang Maut, setelah bisa berdiri, dia masih dipapah gadis cantik yang
baru muncul tadi.
"Sebaiknya jangan banyak
bicara dulu. Kita harus segera menyingkir dari sini." sahut gadis cantik
berbaju biru itu.
"Cepat bawa dia pergi,
Pandan." selak pemuda berbaju rompi putih tanpa berpaling sedekitpun.
"Baik, Kakang." sahut
gadis cantik itu yang ternyata memang Pandan Wangi. "Ayo…"
Pandan Wangi memapah Dewi
Selendang Maut menyingkir dari tempat pertarungan itu. Sementara, pemuda
berbaju rompi putih yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti, masih berdiri
tegak menghadapi si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak. Dari sudut ekor
matanya. Rangga melihat Pandan Wangi sudah cukup jauh mem-bawa Dewi Selendang
Maut menyingkir.
"Berani benar kau mencampuri
urusanku, Anak Muda. Siapa kau sebenarnya…?!" desis si Cambuk Setan dingin
menggetarkan.
Rangga tidak menjawab pertanyaan
itu. Pada saat itu, terdengar ringkik kuda yang disusul derap kaki kuda yang
dipacu cepat. Dan kini, suara-suara itu terdengar semakin menjauh. Dan
tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai kilat.
"Hey….!"
Tak ada kesempatan lagi bagi si
Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak untuk mengejar, karena lesatan Rangga
begitu cepat Sehingga dalam waktu sekejap mata saja, Pendekar Rajawali Sakti
tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Keparat…! Siapa
mereka...?!" geram Iblis Pedang Perak seperti bicara pada diri sendiri.
"Ayo kita kejar mereka,
Paman," ajak Iblis Pedang Perak.
"Untuk apa?! Percuma saja
kita mengejar. Mereka pasti sudah terlalu jauh dari sini." dengus si
Cambuk Setan.
Iblis Pedang Perak jadi terdiam.
Memang tidak ada gunanya lagi mengejar. Mereka pasti sudah jauh, dan lagi tidak
tahu ke mana arah kepergiannya.
"Aku yakin, dia tidak akan
bisa bertahan lama dengan pukulanku tadi," duga Cambuk Setan setengah
menggumam nada suaranya.
"Kalau kedua orang itu
menolongnya?"
"Hanya mereka yang memiliki
tenaga dalam sempuma saja yang bisa melenyapkan hasil pukulanku, Pedang Perak.
Karena, pukulanku tadi mengandung aji 'Guntur Geni'. Luka itu hanya bisa
disembuhkan dengan hawa murni yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan."
"Kalau begitu, sebaiknya
kita kembali saja ke istana, Paman," ajak Ibis Pedang Perak.
"Ayolah. Tidak ada gunanya
lama-lama di sini. Toh dia pasti mampus oleh aji 'Guntur Geni'."
***
Sementara itu di dalam hutan
Lereng Gunung Haling, Pandan Wangi menghentikan lari kudanya. Gadis itu cepat
melompat turun dari punggung kuda putihnya. Lalu, dibantunya Dewi Selendang
Maut turun dari kuda putih itu juga. Pandan Wangi memapah wanita berbaju kuning
gading itu, mendekati sebatang pohon yang cukup besar.
Kemudian dibaringkannya wanita
ini di bawah pohon. Sebentar diperiksanya keadaan Dewi Selendang Maut yang
tampak payah. Baru juga dia selesai memeriksa. Rangga muncul dari kegelapan dan
kepekatan malam di dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Pandan Wangi cepat
berpaling begitu Rangga sudah berada di sampingnya.
"Bagaimana keadaannya?"
tanya Rangga.
"Lukanya cukup parah,"
sahut Pandan Wangi.
Rangga memeriksa luka menghitam
di dada Dewi Selendang Maut. Keningnya jadi berkerut, lalu menggumam perlahan.
Kemudian, Pendekar Rajawal Sakti melepaskan kain selubung yang menutupi wajah
wanita ini. Tampak di balik kain selubung berwarna kuning gading itu
tersembunyi seraut wajah cantik yang tampak memucat. Kelopak matanya terpejam,
dan tarikan napasnya begitu lemah, agak tersendat.
"Dia benar-benar Dewi
Selendang Maut, Pandan?" tanya Rangga seraya menatap Pandan Wangi yang
tengah merayapi wajah cantik yang tergolek di depannya.
"Aku..., aku tidak tahu. Aku
belum pernah bertemu dengannya," sahut Pandan Wangi, jadi ragu-ragu nada
suaranya.
"Hm...," gumam Rangga
perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi wajah cantik yang memucat itu,
kemudian beralih menatap Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu jadi kelihatan
ragu-ragu begitu mendapati wanita berbaju kuning gading yang mengaku berjuluk Dewi
Selendang Maut ternyata masih muda. Bahkan mungkin usianya tidak terpaut jauh
dengannya.
"Tidak mungkin Bibi Dewi
Selendang Maut masih muda, Kakang. Paling tidak, usianya sudah lima puluh
tahun," tegas Pandan Wangi seperti pada diri sendiri.
"Tapi, tadi kau dengar
sendiri, Pandan. Dia menyebut dirinya sebagai Dewi Selendang Maut pada Iblis
Pedang Perak," sanggah Rangga, Juga perlahan suaranya.
"Benar. Tapi..." masih
terdengar ragu-ragu nada suara Pandan Wangi.
"Barangkali ini muridnya.
Pandan..." tebak Rangga.
'"Tidak.... Bibi Dewi
Selendang Maut tidak pernah mempunyai murid sampai pertarungannya dengan Paman
Pendekar Bayangan Dewa. Setelah itu dia langsung menghilang begitu saja,"
bantah Pandan Wangi.
"Pertarungan itu telah
berlangsung sepuluh tahun yang lalu, Pandan. Dan tak ada seorang pun yang
menyaksikannya. Apalagi mengetahui hasil pertarungan itu. Mereka langsung
menghilang, setelah kabar pertarungan mereka terdengar orang lain. Hm…. Apa
betul mereka bertarung, Pandan?" kata Rangga jadi punya pikiran lain.
"Aku tidak tahu pasti,
Kakang. Tapi memang itulah keterangan yang kuperoleh. Bahkan hampir semua orang
mengetahui hal itu." sahut Pandan Wangi. "Kakang, sebaiknya kita
selamatkan dia dulu. Nanti kita tanyakan dari mana jurus-jurus Dewi Selendang
Maut didapatkan."
"Ya..., memang itu yang akan
kulakukan. Rasanya tidak terlalu sulit. Dia hanya mendapat luka akibat pukulan
tenaga dalam, meskipun cukup parah juga." desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian
mengangkat tubuh Dewi Selendang Maut, hingga dalam keadaan duduk bersila Pandan
Wangi memegangi dari belakang agar wanita berbaju kuning gading ini tidak
jatuh. Sedangkan Rangga sudah duduk berada di depan Dewi Selendang Maut.
Kelopak mata wanita itu masih juga terpejam. Dan tarikan napasnya terdengar
semakin begitu lemah dan perlahan sekali.
Rangga membuka baju bagian dada
wanita ini, kemudian memejamkan matanya. Lalu, dilakukannya gerakan-gerakan
dengan kedua tangannya. Setelah menarik napas dalam-dalam, kedua telapak
tangannya ditempelkan ke dada yang sudah terbuka i.tu Sementara, Pandan Wangi
tetap duduk memegangi pundak wanita yang tidak sadarkan diri ini.
"Lepaskan, Pandan,"
ujar Rangga agak mendesis.
Pandan Wangi melepaskan
pegangannya pada pundak Dewi Selendang Maut, kemudian menggeser duduknya ke
samping. Sementara Rangga terus menyalurkan hawa murni ke dalam dada wanita
ini. Pandan Wangi memalingkan muka, karena tak sanggup melihat kedua tangan Rangga
menempel rapat di dada yang putih itu.
Rangga terus berusaha
menyembuhkan luka di dada Dewi Selendang Maut lewat pengerahan hawa murni dari
pusat tubuhnya. Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti terlihat bergetar.
Sedangkan keringat terus semakin deras mengucur membasahi tubuhnya. Sementara
itu, Pandan Wangi diam-diam menyingkir agak menjauh. Gadis itu kemudian membuat
api unggun dari ranting yang banyak berserakan, untuk menghangatkan tubuhnya.
Memang, udara malam ini terasa begitu dingin.
Cukup lama juga Rangga berusaha
menyembuhkan wanita itu. Dan ketika tangannya dilepaskan dari dada yang terbuka
lebar, seketika itu juga wanita yang mengaku bernama Dewi Selendang Maut jatuh
tergulir ke tanah. Rangga cepat-cepat membetulkan keadaannya, dan menutup kembali
dada yang terbuka lebar. Noda hitam di dada itu kini sudah tidak terlihat lagi.
Dengan sehelai kain bekas penutup kepala Dewi Selendang Maut, disekanya darah
di mulut wanita ini. Saat itu, Pandan Wangi sudah kembali duduk di samping
Rangga yang telah menyelesai-kan pekerjaannya.
"Bagaimana, Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
"Ktta tunggu saja sampai
besok pagi, Pandan. Parah sekali luka yang dideritanya. Aku tidak tahu, ajian
apa yang digunakan lawannya di dalam pukulan itu," sahut Rangga, agak
mendesah suaranya.
"Apa dia punya kesempatan
untuk hidup, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Dia seperti mempunyai
kekuatan aneh pada dirinya. Seperti satu kekuatan yang tercipta di luar
kewajaran. Kalau kekuatan yang dimilikinya bisa bertahan, mungkin ada kesempatan
untuk bisa hidup, Pandan"
"Aku tidak mengerti,
kekuatan apa yang dimilikinya, Kakang?"
"Seperti ramuan yang berguna
untuk mempercepat mengeluarkan hawa murni dan kekuatan tenaga dalam. Aku tidak
tahu, ramuan apa itu. Tapi yang jelas, sebelumnya dia tidak memiliki apa-apa.
Bahkan hawa murni dan kekuatan tenaga dalam alami yang dimilikinya begitu kecil
sekali," Rangga mencoba menjelaskan, meskipun masih belum begitu yakin
akan pendapatnya.
Pandan Wangi terdiam tidak bicara
lagi. Dan mereka memang tidak ada yang membuka suara lagi, sambil duduk diam
menunggui wanita yang masih belum juga sadarkan diri. Sementara malam terus
merayap semakin larut. Dan udara di dalam hutan Lereng Gunung Haling ini
semakin terasa dingin. Sehingga Rangga harus menambahkan ranting ke dalam api
unggun untuk mengusir udara yang semakin dingin.
***
ENAM
Lanjani memandangi potongan
selendang kuning keemasan yang sempat dibawa Iblis Pedang Perak. Selendang itu
memang terpotong oleh tebasan pedangnya. Ratu Kerajaan Batu Ampar itu kemudian
memberikan polongan selendang kuning itu pada Iblis Pedang Perak lagi, lalu
melangkah mendekati jendela. Dia kini berdiri di sana memandang matahari yang
baru saja menyembul dari peraduannya.
"Kau yakin kalau itu bukan
milik Dewi Selendang Maut, Pedang Perak?" tanya Lanjani seraya memutar
tubuhnya membelakangi jendela.
"Kabarnya Selendang Maut
sukar ditandingi senjata apa pun juga. Rasanya tidak mungkin kalau pedangku ini
mampu memotongnya. Apalagi, tanpa pengerahan tenaga dalam penuh," jelas
Iblis Pedang Perak. "Jelas kalau ini hanya selendang biasa yang bentuknya
dibuat mirip dengan Selendang Maut"
"Jadi...?" Lanjani
meminta penjelasan lagi.
"Aku berani bersumpah kalau
dia bukan Dewi Selendang Maut yang asli." tegas Iblis Pedang Perak.
"Tapi, sewaktu bertarung dia
memakai jurus-jurus Dewi Selendang Maut Pedang Perak, " selak si Cambuk
Setan yang juga sempat bertarung dengan wanita yang mengaku berjuluk Dewi
Selendang Maut itu.
"Itulah yang membuatku
sampai sekarang jadi bertanya-tanya, Paman," desah Iblis Pedang Perak
lagi.
"Apa tidak mungkin dia
muridnya...?" gumam Lanjani seperti bertanya pada diri sendiri.
"Kemungkinan itu jelas ada.
Sepuluh tahun Dewi Selendang Maut menghilang. Dan selama sepuluh tahun itu,
bisa saja diisinya dengan menggembleng seorang murid. Meskipun, kepandaiannya
tidak mungkin bisa menyamai dalam waktu sepuluh tahun," Iblis Pedang Perak
menyambuti lagi.
Lanjani terdiam dengan kening
sedikit berkerut. Dia teringat kata-kata Dewi Selendang Maut semalam. Bahkan menghubungkan
dengan larinya Dewani yang sampai saat ini belum juga bisa diketahui rimbanya.
Dewani lari berkat ditolong seorang wanita yang sama dengan yang muncul
semalam.
Hal ini bukan hanya menambah
beban pikirannya, tapi juga menimbulkan kecemasan. Karena, kedudukannya sebagai
ratu di Kerajaan Batu Ampar ini benar-benar terancam. Di samping itu, dia juga
jadi penasaran. Yang jelas, rahasia di balik Selendang Maut ingin segera
diungkapnya. Karena, sudah dua kali orang yang mengaku Dewi Selendang Maut muncul
di Istana Batu Ampar ini.
***
Sementara itu di dalam hutan
Lereng Gunung Haling, wanita berbaju kuning gading yang ditolong Rangga dan
Pandan Wangi semalam sudah mulai siuman. Dia merintih lirih sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan kelopak matanya terbuka. Dia tampak
terkejut begitu malihat Rangga dan Pandan Wangi duduk bersama di dekatnya.
Wanita berbaju kuning gading itu bergegas bangkit, dan duduk di depan kedua
pendekar muda itu.
"Bagaimana keadaanmu?"
tanya Rangga lembut disertai senyuman di bibir.
Wanita itu tidak segera menjawab.
Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Dia langsung ingat peristiwa
yang terjadi semalam, saat maut sudah begitu dekat menghampirinya. Untunglah,
pemuda tampan ber-baju rompi putih ini telah menyelamatkannya dari ujung pedang
si Iblis Pedang Perak. Dan gadis cantik berbaju biru ini yang membawanya pergi
dari tempat pertarungan semalam.
"Terima kasih atas
pertolongan kalian yang telah menyelamatkan nyawaku," ucap wanita itu
perlahan.
"Sudah selayaknya sesama
makhluk hidup saling tolong menolong. Tidak perlu kau ucapkan itu,
Nisanak," sahut Rangga, tetap lembut nada suaranya.
Wanita itu kembali memandangi
Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Keningnya jadi berkerut, karena merasa
belum pernah mengenal kedua pendekar muda yang telah menyelamatkan nyawanya
dari maut semalam.
"Oh, ya Aku Rangga, dan ini
Pandan Wangi... ," Rangga terlebih dulu memperkenalkan diri, seakan-akan
bisa membaca jalan pikiran wanita itu.
"Kenapa kalian
menolongku?" wanita itu malah ber-tanya, tanpa memperkenalkan dirinya.
"Karena kau mengaku sebagai
Dewi Selendang Maut pada mereka," kali ini Pandan Wangi yang cepat
menyahuti. "Tapi, aku yakin. Kau bukanlah Dewi Selendang Maut."
"Aku..., aku memang bukan
Dewi Selendang Maut," pelan sekali suara wanita itu.
"Sudah kuduga..." desis
Pandan Wangi pelan sekali, seperti untuk dirinya sendiri
"Lalu, siapa kau
sebenarnya?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dewani," sahut wanita
itu menyebutkan namanya.
"Dewani..?!"
Kening Rangga jadi berkerut
mendengar nama wanita ini. Dipandanginya wanita itu tajam-tajam, seakan-akan
Pendekar Rajawali Sakti ingin meyakinkan kalau wanita yang ditolongnya semalam
ini benar-benar Dewani seperti pengakuannya tadi.
"Kau kenal, Kakang?"
tanya Pandan Wangi agak berbisik, melihat Rangga seperti terkejut, dan tidak
percaya kalau wanita itu bernama Dewani.
"Pernah kudengar kalau
mendiang Prabu Jaya Permana hanya mempunyai seorang putri yang bernama
Dewani," ujar Rangga perlahan, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
"Apakah kau putri Prabu Jaya Permana...?"
"Benar. Aku putri tunggal
Ayahanda Prabu Jaya Permana." sahut Dewani membenarkan dugaan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Oh...," Rangga
mendesah panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi Pendekar Rajawali
Sakti dengan sinar mata tidak mangerti. Sementara, Dewani hanya diam saja
merayapi Rangga dan Pandan Wangi secara bergantian. Untuk beberapa saat, mereka
hanya terdiam. Mereka jadi sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergelut
dalam kepala. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini.
"Kau putri seorang raja yang
sudah mangkat, dan seharusnya sekarang menggantikan ayahmu menduduki takhta
Kerajaan Batu Ampar ini. Tapi, kenapa malah berkeliaran menggunakan nama Dewi
Selendang Maut?" Rangga kembali membuka suara seperti berbicara untuk
dirinya sendiri.
"Sulit diceritakan. Dan aku
tidak mungkin bisa menduduki takhta selama...," Dewani tidak melanjutkan
ucapannya.
"Kau punya masalah?"
desak Rangga. Dewani hanya tersenyum saja.
"Kami memang orang-orang
luar, dan bukan rakyat Batu Ampar. Tapi jika kau mau menceritakan persoalan
yang ada, mungkin aku dan Pandan Wangi bisa membantu menyelesaikannya,"
kata Rangga lagi.
"Tidak ada yang bisa
membantu menyelesaikan persoalanku. Bahkan kedua guruku juga tak mungkin bisa
membantu. Terlalu sulit, karena seluruh rakyat Batu Ampar seperti tidak peduli
dengan keadaan dalam Istana. Mereka kini seakan-akan tidak lagi mengenalku. Hal
ini sudah terjadi sejak aku masih kecil. Sedangkan aku sendiri tidak kuasa
menolaknya. Sudah beberapa kali kucoba, tapi selalu kegagalan yang kualami
semalam pun, aku sudah mencoba. Kenyataannya, hampir saja aku tewas jika kalian
tidak cepat menolongku." jelas Dewani seakan-akan mengeluh
"Boleh kutahu, siapa kedua
gurumu?" tanya Pandan Wangi menyelak.
Dewani tidak segera menjawab
pertanyaan itu, dan malah memandangi si Kipas Maut dengan sinar mata yang sukar
diartikan. Sedangkan Pandan Wangi membalas pandangan itu sambil menunggu
jawaban atas pertanyaannya. Tapi tampaknya Dewani enggan menjawab pertanyaan si
Kipas Maut barusan.
"Terus terang, sebenarnya
aku dan Kakang Rangga sudah mengamati saat kau masuk ke dalam Istana Batu Ampar
secara diam-diam. Dan kami tahu semua apa yang terjadi pada dirimu, termasuk
pertarunganmu dengan Iblis Pedang Perak. Itu sebabnya, aku dan Kakang Rangga
tidak ingin kau tewas di tangan mereka, karena julukan Dewi Selendang Maut kau
gunakan. Dan aku sendiri sebenarnya tengah mencari orang yang julukannya kau
gunakan." kata Pandan Wangi menjelaskan maksud pertanyaannya yang belum
terjawab tadi.
"Dan yang terpenting, kau
menggunakan jurus-jurus yang dimiliki Dewi Selendang Maut, meskipun belum
menggunakan secara sempurna," sambung Rangga, bisa mengerti maksud Pandan
Wangi yang ingin mengorek keterangan untuk mengetahui paman dan bibinya itu.
Sedangkan Dewani masih tetap
diam, memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Namun, sinar matanya
mengandung kecurigaan. Dia jadi ingat, kalau kedua pendekar muda ini yang
menyusup masuk ke dalam taman tempat tinggal kedua gurunya. Gadis itu bangkit
berdiri tanpa bicara sedikit pun.
"Maaf, aku harus
kembali," ucap Dewani langsung saja melangkah pergi.
Pandan Wangi bergegas bangkit berdiri.
Dan baru saja hendak mengejar gadis itu, Rangga sudah keburu mencekal tangan si
Klpas Maut ini. Mereka membiarkan Dewani melangkah cepat meninggalkannya. Gadis
itu terus berjalan tanpa berpaling lagi, semakin masuk ke dalam hutan Lereng
Gunung Haling ini. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memandanginya saja
sampai lenyap tak terlihat lagi.
"Kenapa kau membiarkannya
pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi bernada tidak puas.
"Kau tidak mungkin bisa
memaksanya, Pandan. Sebaik-nya kita ikuti saja secara diam-diam. Dia pasti
kembali pada kedua orang gurunya yang dirahasiakan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" tanya
Pandan Wangi, ingin lebih jelas lagi.
Rangga tidak menjawab. Kepalanya
didongakkan ke atas, lalu menarik napas dalam-dalam. Sebentar kemudian terdengar
suara siulan yang panjang dan bernada aneh. Pandan Wangi tahu, Rangga tengah
memanggil Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa tunggangannya, selain
kuda hitam Dewa Bayu.
***
Dari ketinggian di atas awan,
Rangga dan Pandan Wangi bisa leluasa memperhatikan Dewani yang berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi
berkerut, saat mengetahui Dewani memasuki sebuah bangunan batu berbentuk candi
yang merupakan gerbang pembatas. Bangunan batu itu pernah dilewatinya bersama
Pandan Wangi, ketika mereka secara tidak sengaja memasuki sebuah taman.
Dewani memang tidak terlihat lagi
setelah masuk ke dalam gerbang berbentuk candi kecil itu. Sementara Rangga
meminta Rajawali Putih menyusuri bagian Lereng Gunung Haling ini. Pendekar
Rajawali Sakti jadi ingat ketika keluar dari taman itu diantar empat orang
berpakaian seragam seperti prajurit. Mereka melalui sebuah lorong yang cukup
panjang dan berliku-liku, seperti sebuah lorong di dalam tanah. Pendekar
Rajawali Sakti yakin kalau tidak akan bisa memasuki taman itu lagi, kecuali
lewat gua di Puncak Gunung Haling atau dari gerbang candi itu.
"Kakang, ada lembah di depan
sana...!" seru Pandan Wangi seraya menunjuk
Rangga langsung mengarahkan
pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Matanya jadi menyipit, begitu
melihat sebuah lembah yang dikelilingi tumpukan batu-batu melingkar, seperti
membentuk sebuah cincin raksasa. Dan mereka jadi terkejut, karena di dalam
lembah itu terdapat sebuah taman yang sangat indah. Keindahannya seperti taman
Swargaloka tempat bersemayam para Dewata di Kahyangan. Dan taman itulah yang
mereka masuki secara tidak sengaja beberapa waktu yang lalu.
"Rajawali Putih, kita turun di
luar taman itu," perintah Rangga.
"Khraaaghk..!"
Rajawali Putih segera meluruk
turun ke arah yang diinginkan Rangga. Kedua pendekar muda itu segera
berlompatan turun, begitu Rajawali Putih mendarat tepat di dekat tumpukan batu
yang melingkar membentuk cincin raksasa.
"Kau tunggu saja di sini,
Rajawali Putih," kata Rangga berpesan.
"Khrrr...!" Rajawali
Putih menganggukkan kepalanya, seraya mengkirik kecil.
Setelah berkata demikian, Rangga
cepat melompat menaiki tumpukan batu-batu itu. Gerakannya sungguh ringan dan
lincah. Pandan Wangi juga bergegas mengikuti, berlompatan mendaki tumpukan
batu-batu yang begitu tinggi seperti sebuah bukit. Sementara Rajawali Putih
mendekam diam, memperhatikan kedua pendekar muda yang terus berlompatan semakin
tinggi.
"Hup!"
Manis sekali Rangga menjejakkan
kakinya di puncak tumpukan batu itu. Kemudian tubuhnya dirundukkan, begitu
melihat ke bagian dalam lembah yang dikelilingi tumpukan batu. Pada saat itu,
Pandan Wangi sudah sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Juga langsung
diperhatikannya tanah di lembah itu.
"Itu Dewani, Kakang,"
desis Pandan Wangi seraya menunjuk.
"Hm...," Rangga hanya
menggumam kecil.
Mereka melihat Dewani duduk
bersila di depan dua orang tua yang juga duduk bersila berdampingan, di atas
batu yang cukup besar dan pipih permukaannya. Tampak jelas sekali kalau mereka
sedang membicarakan sesuatu.
"Kau bisa mendengar
pembicaraan mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi
"Hm...," Rangga hanya
menggumam saja.
Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti
menggunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Maka, tentu saja semua percakapan
Dewani dengan dua orang tua yang duduk bersila di atas batu itu bisa terdengar.
Sementara Pandan Wangi hanya bisa memperhatikan saja, karena tidak memiliki
ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' seperti Rangga. Dalam jarak yang jauh begitu,
memang tidak mungkin bagi Pandan Wangi untuk bisa mendengar percakapan itu.
"Seharusnya kebodohan itu
tidak perlu kau lakukan, Dewani. Ramuan itu belum cukup kuat untuk menghadapi
mereka. Paling tidak masih perlu satu tahun lagi, jika kau rajin
menggunakannya. Bahkan bukannya tidak mungkin, kepandaian yang kau miliki
melebihi dari yang kami miliki berdua saat ini," jelas wanita berbaju
kuning gading yang duduk di atas batu pipih itu. "Aku tidak mau lagi
terulang peristiwa yang dialami Rapanca.... "
"Maafkan aku, Bibi,"
ucap Dewani lirih dengan kepala tertunduk menekuri rerumputan di depannya.
Dewani jadi ingat dengan pemuda
berbaju putih yang hampir membawanya lari dari Istana Batu Ampar. Tapi nasib
memang menentukan lain. Rapanca tewas kehabisan darah setelah sampai di tempat
ini. Dewani benar-benar menyesali peristiwa itu. Terlebih lagi, sebenarnya dia
sudah mulai menyukainya. Dan baru beberapa hari yang lalu Dewani baru tahu,
kalau Rapanca ternyata salah seorang murid kedua tokoh kosen itu.
"Sudahlah. Yang penting,
sekarang kau masih tetap hidup," ujar wanita separuh baya itu, tetap
lembut suaranya.
"Dewani, siapa yang
menolongmu semalam?" selak laki-laki tua berjubah putih. Dia duduk di
samping wanita separuh baya berbaju kuning gading yang sama persis dengan yang
dipakai Dewani.
"Aku tidak kenal, Paman.
Tapi mereka pernah datang ke sini waktu itu. Kalau tidak salah, namanya Rangga
dan Pandan Wangi," sahut Dewani seraya mengangkat kepala.
"Siapa tadi...?" selak
wanita separuh baya, tampak agak terkejut.
"Rangga...," sahut
Dewani
"Lalu yang seorang
lagi?"
"Pandan Wangi"
Wanita separuh baya berbaju
kuning gading itu tertegun mendengar jawaban Dewani yang begitu polos dan
tegas. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Terlebih lagi, Dewani
sudah menceritakan kalau Rangga dan Pandan Wangi sengaja mencari mereka. Bahkan
menganggap mereka masih ada hubungan persaudaraan. Pandan Wangi menganggap
mereka adalah paman dan bibinya yang sudah lama tidak bertemu, karena terlalu
sibuk mengembara menjelajahi rimba persilatan
"Ada apa, Rayi Selendang
Maut?" tanya laki-laki tua berjubah putih itu seraya berpaling menatapnya.
"Tldak... tidak ada
apa-apa," sahut wanita separuh baya itu seraya menggelengkan kepala
beberapa kali.
Mereka jadi terdiam. Laki-laki
tua berjubah putih panjang menatap Dewani yang masih tetap duduk bersila di
depannya. Sedangkan wanita separuh baya yang mengenakan baju kuning gading itu
beberapa kali menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Kau pergi dulu,
Dewani," ujar laki-laki berjubah putih.
"Baik, Paman," sahut
Dewani.
Gadis itu bangkit berdiri.
Setelah menjura memberi hormat, kakinya melangkah meninggalkan kedua orang tua
ini. Mereka masih tetap diam sampai Dewani tidak terlihat lagi di taman itu.
Dewani menghilang, setelah masuk ke dalam sebuah rumah yang berukuran cukup
besar, dan terletak merapat dengan tumpukan batu di sebelah kanan taman ini.
"Aku tahu, apa yang kau
pikirkan saat ini, Rayi Dewi. Mereka juga sudah memperkenalkan namanya padaku
waktu itu," ungkap laki-laki tua berjubah putih itu, agak perlahan
suaranya.
"Kenapa kau tidak
mengatakannya padaku, Kakang Bayangan Dewa," sentak wanita separuh baya
itu tampak terkejut.
Wanita itu ternyata memang Dewi
Selendang Maut. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tak lain dari Pendekar
Bayangan Dewa. Dua tokoh kosen rimba persilatan yang selama sepuluh tahun lebih
telah menghilang, hingga tak ada seorang pun yang tahu rimbanya. Sementara itu
Rangga yang mendengarkan semua percakapan jadi tertegun, setelah mengetahui
kedua orang tua di dalam taman itu. Sungguh tidak dikira kalau mereka adalah
Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi Selendang Maut yang selama ini dicari Pandan
Wangi.
"Aku tidak ingin
mengatakannya padamu, karena belum yakin kalau dia keponakan kita. Rayi
Selendang Maut. Aku ingin menyelidikinya lebih dulu, tapi setelah urusan kita
di sini sudah selesai," jelas Pendekar Bayangan Dewa.
"Tinggal dia satu-satunya
keluarga kita yang ada, Kakang. Kau tahu, aku sendiri sebenarnya sudah lama
mencari. Aku ingin mewariskan seluruh ilmuku padanya. Hanya keponakan kita yang
berhak menerima warisan ilmuku, Kakang," tegas Dewi Selendang Maut
"Aku juga berkeinginan sama
denganmu, Rayi Dewi. Itu sebabnya, kenapa aku mengajakmu berdamai, dan
membangun tempat ini untuk menggembleng keponakan kita itu. Mudah-mudahan kita
berhasil menemukannya nanti," kata Pendekar Bayangan Dewa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan
Dewani?" tanya Dewi Selendang Maut
"Kita hanya menjalankan
kewajiban dan janji saja. Dan itu harus dilaksanakan sampai selesai."
sahut Pendekar Bayangan Dewa.
"Ya, aku tahu. Kita memang
terikat janji. Dan lagi, Dewani memang bukan orang lain buat kita, Kakang.
Baiklah, kita selesaikan dulu persoalan di sini, baru mencari Pandan Wangi
bersama-sama." Dewi Selendang Maut mengambil keputusan.
"Itu lebih bagus, Rayi."
"Tapi kita harus ingat
Kakang, Dewani hanya kita bekali saja dengan ilmu-ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Sedikit pun kita tidak boleh mencampuri urusannya dengan Lanjani.
Biar mereka berdua saja yang menyelesaikannya. Itu urusan pribadi, dan kita tidak
berhak mencampurinya." tandas Dewi Selendang Maut.
"Tentu saja. Aku juga tidak
ingin mengotori tanganku dengan segala macam urusan kerajaan. Pengabdianku pada
Prabu Jaya Permana sudah cukup. Dan sekarang, tinggal menuntaskan janjiku
padanya untuk membekali putri tunggalnya dengan ilmu kedigdayaan," sambut
Pendekar Bayangan Dewa.
"Hhh...! Kalau saja Prabu
Jaya Permana tidak menikah dengan adik misanku, sudah pasti aku tidak akan
melakukan ini, Kakang. Sayangnya, aku sudah berjanji pada adikku." desah Dewi
Selendang Maut.
"Bagaimanapun juga, dia
tetap keponakanmu, Rayi"
"Keponakanmu juga,
Kakang."
"Tapi keponakan kita yang
sebenarnya justru tidak ada."
"Itulah yang membuatku terus
berpikir, Kakang. Sementara aku semakin tua, aku khawatir tidak punya kesempatan
lagi."
"Aku rasa, sebaiknya kita
curahkan saja seluruh perhatian pada Dewani. Dia cukup berbakat. Sehingga nanti
tidak perlu lagi menggunakan ramuan. Biarkan masalahnya dengan Lanjani
diselesaikan dulu. Lalu, dia kita gembleng secara alami, tanpa harus
menggunakan ramuan yang bisa membuatnya menguasai segala ilmu dalam waktu
singkat."
"Kau khawatir ramuanku akan
membuatnya kecanduan, Kakang?"
"Semua ramuan obat selalu
mengandung sampingan, Rayi. Kau lihat saja sendiri. Belum lama di sini, dia sudah
berani menantang Lanjani yang kepandaiannya jauh lebih tinggi."
"Kau menginginkan aku
menghentikan ramuan itu sekarang, Kakang?"
"Kalau kau setuju."
"Baiklah. Aku tidak akan
menggunakannya lagi."
Pendekar Bayangan Dewa tersenyum.
Memang sejak semula dia tidak setuju terhadap cara Dewi Selendang Maut yang
menggunakan ramuan obat agar kekuatan orang bisa berlipat ganda. Bahkan bisa
menyerap ilmu-ilmu kedigdayaan dalam waktu singkat, tanpa harus mempelajarinya
bertahun-tahun. Tapi, tentu saja tidak bisa ber-tahan lama. Apa pun jenisnya,
ramuan obat tidak bisa abadi.
Hal itu terbukti pada Dewani.
Kekuatannya langsung sirna begitu pengaruh ramuan obat yang diberikan Dewi
Selendang Maut hilang dalam dirinya. Dan ini yang sebenarnya tidak diinginkan
Pendekar Bayangan Dewa. Tapi, hal itu tidak ingin dikatakannya terus terang
pada Dewi Selendang Maut. Karena, baru sepuluh tahun ini mereka bisa hidup
berdampingan secara damai. Dan itu semua berkat Prabu Jaya Permana yang bisa
mendamaikan mereka, sehingga tidak terjadi pertarungan maut di Puncak Gunung
Haling sepuluh tahun yang lalu. Tentu saja hal itu dilakukan secara rahasia.
Hanya Prabu Jaya Permana yang tahu, selain mereka berdua. Jadi, sebenarnya
pertarungan itu tidak ada.
***
TUJUH
"Kau tunggu di sini,"
ujar Rangga sambil mcnepuk pundak Pandan Wangi.
"Kakang mau ke mana?"
tanya Pandan Wangi. Rangga tidak menjawab. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
melompat turun dari atas tumpukan batu-batu ini. Gerakannya begitu ringan dan
cepat, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat sempuma.
Sementara Pandan Wangi tetap diam memperhatikan, meskipun jadi penasaran dan
bertanya-tanya dalam hati.
Hanya beberapa kali lompatan
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mencapai tanah. Kemunculan Rangga yang
begitu tiba-tiba itu, tentu saja membuat Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi
Selendang Maut jadi terkejut. Mereka cepat berlompatan menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Hanya dua kali melompat, maka mereka mendarat tepat sekitar
lima langkah di depan Rangga yang baru saja menjejakkan kaki di tanah berumput
taman ini.
"Tunggu...!" sentak
Rangga berseru cepat begitu melihat dua tokoh tua itu hendak menyerangnya.
"Apa maksudmu datang lagi ke
sini?" tanya Pendekar Bayangan Dewa langsung.
"Mari kita bicarakan ini
secara baik-baik," jelas Rangga mencoba bersikap bersahabat.
"Apa yang ingin kau
bicarakan? Aku tidak kenal siapa dirimu, Anak Muda." desis Dewi Selendang
Maut, agak dingin nada suaranya.
"Memang di antara kita belum
ada yang saling mengenal. Tapi aku yakin, Paman dan Bibi mengenali
temanku," duga Rangga, masih tetap kalem dan sopan nada suaranya.
Dewi Selendang Maut dan Pendekar
Bayangan Dewa jadi saling berpandangan. Mereka baru saja membicarakan hal ini,
dan sekarang pemuda yang dibicarakan muncul begitu tiba-tiba. Tentu saja hal
ini membuat mereka tadi sempat terkejut.
"Siapa temanmu itu?"
tanya Dewi Selendang Maut agak tertahan nada suaranya.
"Pandan Wangi." sahut
Rangga.
"Lalu...?"
Pertanyaan Dewi Selendang Maut
terhenti ketika melihat Dewani datang menghampiri. Gadis itu sudah mangganti
pakaiannya. Dan kini bajunya agak ketat dan berwarna merah muda. Begitu cocok
dengan warna kulitnya yang putih dan halus. Dia tampak terkejut juga melihat
Rangga. Tapi kakinya terus terayun, dan berhenti di samping Dewi Selendang
Maut.
"Anak muda, sebaiknya tunda
dulu pembicaraan ini. Malam nanti aku akan menemuimu," ujar Pendekar
Bayangan Dewa.
"Di manapun kau berada di
Gunung Haling ini aku pasti bisa menemukanmu, Anak Muda," sahut Pendekar
Bayangan Dewa.
Rangga menatap Dewani sebentar,
kemudian mengangguk. Setelah menjura memberi hormat, Pendekar Rajawali Sakti
langsung melesat cepat menaiki tumpukan batu yang mengelilingi taman ini.
Gerakannya sungguh ringan dan cepat. Sehingga dalam beberapa lompatan saja,
Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di puncak tumpukan batu. Sebentar
kepalanya berpaling ke bawah, melihat Pendekar Bayangan Dewa, Dewi Selendang
Maut, dan Dewani yang masih memandanginya di bawah.
Rangga bergegas menghampiri
Pandan Wangi yang masih menunggunya. Kemudian diajaknya gadis itu pergi, tanpa
menghiraukan pertanyaan Pandan Wangi yang begitu beruntun ingin mengetahui
pembicaraan Rangga dengan dua orang tua di dalam taman itu. Pandan Wangi
terpaksa mengikuti setelah Rangga berjanji akan menceritakannya nanti. Mereka
kemudian meninggalkan tempat itu, menunggang Rajawali Putih.
"Benarkah mereka itu paman
dan bibiku, Kakang?" tanya Pandan Wangi tidak sabaran lagi, begitu mereka
sudah mengangkasa bersama Rajawali Putih Seekor burung Rajawali raksasa,
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu pasti,
Pandan. Tapi mereka memang benar berjuluk Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi
Selendang Maut," sahut Rangga.
"Oh! Syukurlah kalau mereka
masih hidup. Tadinya aku tidak yakin kalau mereka masih hidup," desah
Pandan Wangi gembira.
"Jangan terlulu gembira
dulu, Pandan. Mereka memang mengharapkan kehadiran keponakannya yang hilang.
Tapi, itu bukan berarti hanya kau saja keponakannya, Pandan," sergah
Rangga.
"Apa.... apa maksudmu
berkata begitu. Kakang?" tanya Pandan Wangi jadi berkerut keningnya.
"Tidak ada maksud apa-apa.
Aku hanya ingin agar kau nanti bisa menghadapi kenyataan bila ternyata kau
bukan keponakan mereka, Pandan," kata Rangga tanpa bermaksud menyinggung
dan mematahkan semangat gadis ini. "Kau harus ingat yang sudah-sudah,
Pandan."
"Aku tahu, Kakang.
Seandainya mereka memang bukan paman dan bibiku, aku tidak akan merasa apa-apa.
Percayalah. Segala macam kenyataan bisa kuhadapi. Sudah seringkali hal-hal
seperti ini kuhadapi," tegas Pandan Wangi sambil memberi senyuman, seraya
berpaling menatap Rangga yang berada di belakangnya.
Rangga juga tersenyum di dalam
hati, Rangga semakin bangga terhadap gadis ini, yang selalu tabah dalam
menghadapi segala macam cobaan hidup. Dan ini memang bukan yang pertama kali
Pandan Wangi mencoba mencari keterangan tentang asal-usulnya yang belum jelas.
Gadis itu begitu gigih ingin mengetahui tentang dirinya. Hal ini sangat
diperlukan agar kehadirannya di Karang Setra bisa diterima, meskipun selama ini
semua orang di Karang Setra tidak lagi mempertanyakan asal-usul dirinya. Tapi,
Pandan Wangi tetap ingin asal-usulnya diketahui. Dan Rangga bisa memaklumi hal
itu, sehingga selalu setia menemani.
"Oh ya, Pandan. Malam nanti
Pendekar Bayangan Dewa akan menemui kita," kata Rangga memberi tahu.
"Oh, ya...? Di
mana...?" tanya Pandan Wangi, begitu gembira nada suaranya.
"Di mana saja kita berada,
asal masih tetap di Gunung Haling ini," sahut Rangga.
"Ah.. , senang sekali bila
bisa cepat menyelesaikan semua ini," desah Pandan Wangi berharap.
Rangga bangkit berdiri begitu
telinganya mendengar suara langkah kaki di kegelapan menuju ke arahnya. Pandan
Wangi yang duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti tadi, juga ikut berdiri.
Malam ini memang begitu pekat. Dan udara pun terasa begitu dingin. Sehingga api
unggun yang mereka buat, seperti tidak mampu mengusir kepekatan dan dinginnya
udara malam ini.
Suara langkah kaki itu semakin
jelas terdengar. Tak berapa lama kemudian, terlihat seorang laki-laki dan
seorang perempuan berjalan agak cepat menghampiri kedua pendekar muda itu.
Rangga segera menjura memberi penghormatan setelah dua orang tua itu berada
dekat di depannya. Pandan Wangi mengikuti, membungkukkan tubuhnya sedikit
memberi penghormatan.
"Ini temanmu yang bernama
Pandan Wangi itu?" laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah
Pendekar Bayangan Dewa, langsung bertanya. Memang agak tajam nada suaranya. Dan
kini matanya menatap lurus pada Pandan Wangi.
"Benar." sahut Rangga.
"Kenapa kau mencari
kami?" selak Dewi Selendang Maut bertanya langsung pada Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak langsung
menjawab, tapi malah menatap Rangga yang saat itu berpaling memandangnya.
Memang pertanyaan Dewi Selendang Maut begitu langsung, dan seperti tidak suka
kalau Pandan Wangi sedang mencarinya.
"Temanku ini mencari paman
dan bibinya yang sudah lama menghilang tidak ketahuan kabar beritanya. Dan kami
mendapat keterangan, mereka selalu malang melintang dalam rimba persilatan
dengan nama Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi Selendang Maut," jelas Rangga,
mewakili Pandan Wangi yang tampaknya jadi sulit berbicara.
Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi
Selendang Maut saling berpandangan, mendengar penjelasan Rangga barusan. Memang
mereka berdualah yang dijuluki Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi Selendang Maut.
Dan mereka memang sedang mencari keponakannya yang hilang. Tapi mereka belum
mau mengakui Pandan Wangi sebagai keponakan mereka begitu saja.
"Siapa namamu?" tanya
Dewi Selendang Maut kembali menatap Pandan Wangi.
"Pandan Wangi," sahut
Pandan Wangi memperkenalkan diri.
"Lalu, siapa nama ayah dan
ibumu?" tanya Dewi Selendang Maut lagi.
"Aku tidak tahu," sahut
Pandan Wangi.
"Nama orang tuamu saja tidak
tahu, bagaimana mungkin kau bisa mengakui kami sebagai sanak keluargamu...?
Dari mana kau dapatkan semua keterangan itu?"
"Banyak orang yang
mengatakannya begitu padaku." sahut Pandan Wangi, tetap tegas suaranya.
"Dan kau percaya begitu
saja?"
Kali ini Pandan Wangi tidak
menyahut. Matanya melirik Rangga yang hanya memandanginya saja, dengan sinar
mata sukar diartikan. Kemudian kembali ditatapnya Dewi Selendang Maut dan
Pendekar Bayangan Dewa bergantian.
"Aku memang tidak tahu,
siapa kedua orang tuaku. Aku terpisah sejak lahir. Sedangkan orang yang merawat
dan membesarkanku tidak pernah menceritakannya, sampai meninggal dunia. Tapi,
dia sempat mengatakan kalau aku masih memiliki sanak keluarga yang saling
berpencar. Dan katanya lagi, keluargaku keturunan kaum pendekar yang hidup
mengembara tanpa jelas tempat tinggalnya," tutur Pandan Wangi mencoba
menceritakan tentang kehidupannya.
"Kisah hidupmu memang sangat
mirip keponakan kami yang hilang.'" kata Pendekar Bayangan Dewa. "Tapi,
kami memerlukan bukti yang banyak sebelum mengakuimu sebagai keponakan kami.
Kalau benar-benar yakin dan tidak punya maksud tertentu, kau harus bisa mencari
bukti-bukti itu terlebih dahulu."
"Memang terus terang, kami
juga tidak tahu banyak tentang keponakan kami yang hilang..." sambung Dewi
Selendang Maut. "Dan kami tidak mau gegabah. Karena, sudah tiga orang
gadis yang mengaku keponakanku. Seperti juga kau ini. Nisanak."
"Aku mengerti," desah
Pandan Wangi perlahan.
"Maaf, kami tidak bisa lama
lama berada di sini," ujar Pendekar Bayangan Dewa.
"Tunggu dulu..." cegah
Pandan Wangi cepat.
"Ada yang ingin kau ketahui
lagi?" tanya Dewi Selendang Maut.
"Boleh kutahu, siapa nama
keponakan kalian yang hilang...?"
"Seperti kisahmu sendiri,
Nisanak. Kami juga tidak tahu siapa namanya. Karena, sudah terpisah sejak
dilahirkan. Kami hanya tahu kalau dia masih hidup, tapi entah berada di mana
sekarang ini," sahut Pendekar Bayangan Dewa.
Pandan Wangi terdiam Rangga juga
tidak membuka suara lagi.
"Semoga kau mendapatkan
bukti-bukti kuat. Kami berdua akan senang bila kau memang keponakan kami yang
hilang," ujar Pendekar Bayangan Dewa
Mereka kemudian berpamitan. Kali
ini Pandan Wangi maupun Rangga tidak mencegah lagi. Pandan Wangi lang-sung
menghempaskan tubuhnya di dekat api unggun sambil menghembuskan napas panjang.
Sementara, Rangga masih berdiri mematung memandangi dua orang tua yang semakin
jauh pergi, dan menghilang di kegelapan malam. Rangga baru duduk di samping
Pandan Wangi setelah kedua orang tua itu tidak terlihat lagi.
"Kenapa mereka tidak mau
mengakui, Kakang? Padahal mereka mengatakan kalau kejadiannya sama persis
dengan yang kualami," keluh Pandan Wangi.
"Kau kecewa,
Pandan...?" lembut sekali suara Rangga.
"Entahlah...," desah
Pandan Wangi.
Rangga melingkarkan tangannya ke
pundak gadis ini, dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Pandan Wangi
menenggelamkan kepalanya di dalam dada Pendekar Rajawali Sakti yang bidang dan
hangat. Untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, tidak bicara lagi
"Aku bisa mengerti
perasaanmu, Pandan. Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau tidak perlu lagi
bersusah-susah mencari keterangan tentang asal-usulmu. Aku sama sekali tidak
peduli pada semua itu. Aku hanya mempedulikan dirimu," hibur Rangga,
lembut suaranya.
"Kau memang tidak peduli
dengan asal-usulku. Kakang, Aku senang mendengarnya. Tapi, apa seperti itu yang
diinginkan orang lain...? Terutama yang ada di Istana Karang Setra, dan seluruh
rakyat Karang Setra. Mereka pasti ingin tahu, siapa aku sebenarnya. Dan dari
mana aku berasal, serta keluarga dan sanak keluargaku. Mereka tidak akan
menerimaku begitu saja, tanpa mengetahui asal-usulku, Kakang," tandas
Pandan Wangi seraya melepaskan diri dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti.
"Peduli setan dengan mereka
semua, Pandan. Yang kuinginkan hanya dirimu, dan cintamu. Aku tidak peduli
dengan omongan orang lain. Mereka tidak berhak mengatur hidupku. Aku bebas
menentukan langkah hidupku sendiri, Pandan," tegas Rangga.
"Percayalah padaku, Pandan. Siapa pun kau, dan dari mana kau berasal,
cintaku padamu tidak akan pernah luntur. Hanya kaulah gadis satu-satunya yang
ada di hatiku "
"Oh, Kakang..." desah
Pandan Wangi terharu.
Pandan Wangi tak mampu lagi
menahan keharuannya mendengar kata-kata Rangga yang begitu tegas dan sangat
menyentuh relung hatinya. Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya ke dalam
pelukan Rangga. Kembali mereka tidak berbicara, dan saling berpelukan,
merasakan cinta yang begitu besar berkobar dalam dada.
Lama juga mereka terdiam tanpa
bicara lagi. Perlahan Pandan Wangi melepaskan pelukannya. Mereka kini saling
berpandangan dengan cinta terpancar lewat sinar mata. Begitu besarnya pancaran
yang ada, sehingga tak ada satu pun penghalang yang bisa memisahkan mereka
berdua.
"Kau dengar, Pandan ?"
desis Rangga tiba-tiba. Suaranya begitu pelan sekali.
Belum juga Pandan Wangi bisa
membuka mulutnya, tiba-tiba saja Rangga sudah melompat cepat bagaikan kilat
Pendekar Rajawali Sakti langsung menembus ke dalam semak berukar. Tapi mendadak
saja…..
"Jangan..!"
"Heh...?!"
***
DELAPAN
"Dewani…!" desis Rangga
terkejut.
Hampir saja Pendekar Rajawali
Sakti menghantamkan pukulannya. Untung saja, gadis yang diam-diam menyelinap
itu langsung menjerit. Rangga cepat melompat keluar dari dalam semak belukar
sambil menarik tangan Dewani. Sehingga. gadis itu juga ikut keluar dari dalam
semak. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah menghampiri dan berdiri di samping
Rangga. Sedangkan Dewani kini sudah berada di depan kedua pendekar muda ini.
"Apa yang kau lakukan di
sini, Dewani?" tanya Rangga.
"Maaf, aku telah mengejutkan
kalian. Tapi aku tidak bermaksud jahat. Aku justru ingin minta tolong pada
kalian berdua." kata Dewani.
"Minta tolong….? Rangga jadi
bcrkerut keningnya.
"Ya! Aku tidak tahu harus
minta bantuan pada siapa lagi. Sedangkan persoalan ini harus diselesaikan
secepatnya. Aku tidak ingin terus berlarut-larut, sementara seluruh rakyat Batu
Ampar sudah mulai mempertanyakan tentang diriku." jelas Dewani
Rangga dan Pandan Wangi jadi
saling berpandangan.
"Kalian pasti sudah tahu,
siapa aku sebenarnya," kata Dewani lagi.
Rangga memang sudah tahu, siapa
Dewani sebenarnya. Apalagi setelah mendengar semua pembicaraan Pendekar
Bayangan Dewa dan Dewi Selendang Maut. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga tahu,
persoalan apa yang sedang dihadapi gadis ini. Haknya sebagai pewaris tunggal
Kerajaan Batu Ampar telah terampas Lanjani, salah seorang anak dari selir
ayahnya. Tentu saja Lanjani tidak berhak menduduki takhta Kerajaan Batu Ampar.
Rangga jadi sukar menentukan
pilihannya. Sementara, pemuda itu juga harus menjaga perasaan Pandan Wangi yang
saat ini sedang menghadapi suatu kekecewaan terhadap kenyataan pahit yang
dihadapinya saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin mengecewakan harapan Dewani
yang terang-terangan meminta bantuannya untuk merebut kembali takhta yang kini
dikuasai Lanjani secara tidak sah. Maka tidak mudah bagi Rangga untuk
menentukan salah satu dari dua pilihan yang begitu sulit.
"Sebentar...." ujar
Rangga pada Dewani.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti
menarik tangan Pandan Wangi, dan membawanya menjauhi Dewani. Pandan Wangi
mengikuti saja tanpa bertanya sedikit pun. Sedangkan Dewani tetap menunggu
sambil memperhatikan Rangga yang sudah langsung berbicara pada Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti mengatakan persoalan yang sedang dihadapi Dewani saat
ini, dan meminta pendapat Pandan Wangi dalam hal ini. Karena, memang sulit
menentukan pilihan, mengingat keadaan Pandan Wangi yang tidak sedikit
membutuhkan perhatiannya.
"Terima kasih atas
perhatianmu yang begitu besar, Kakang," ucap Pandan Wangi setelah Rangga
selesai menceritakan keadaan Dewani saat ini, hingga meminta bantuan pada
mereka untuk mengembalikan takhta padanya. "Tapi, kau seorang pendekar,
Kakang. Dan kau harus bisa menentukan pilihan yang tepat"
"Tapi..."
"Jangan lupakan kewajiban
seorang pendekar, Kakang. Dan aku sendiri tidak peduli terhadap pribadiku
sendiri. Bagiku, masalah pribadi bukan hambatan yang berarti untuk menjalankan
tugas sebagai pendekar," tandas Pandan Wangi, cepat memutuskan ucapan
Rangga.
Rangga jadi terdiam.
"Katakan pada Dewani, kau
juga bersedia mambantunya. Tapi harus kau yakinkan dulu. Dan dia juga harus
minta izin gurunya untuk meminta bantuan padamu, Kakang," usul Pandan
Wangi.
"Mereka tidak akan
mencampuri urusan ini, Pandan. Dewani memang mereka gembleng. Tapi untuk
persoalan yang menyangkut kerajaan, mereka tidak mau ukut campur," jelas
Rangga.
"Bagaimana kau bisa begitu
yakin?"
"Aku dengar sendiri yang
mereka katakan siang tadi."
"Kalau begitu, apa salahnya
jika kita membantunya, Kakang...?"
"Kau benar-benar memiliki
hati emas, Pandan," puji Rangga tulus.
"Simpan dulu pujianmu,
Kakang. Sekarang katakan pada Dewani, kita bersedia membantunya," kata
Pandan Wangi tidak ingin mendapat pujian.
Rangga tersenyum, lalu bergegas
menghampiri Dewani yang menunggu di dekat api unggun. Sementara Pandan Wangi
melangkah ringan menghampiri Rangga yang langsung berbicara pada Dewani. Betapa
gembiranya gadis itu mendengar kesediaan Rangga membantu menyelesaikan
persoalannya, untuk merebut kembali takhta yang sekarang diduduki Lanjani
secara tidak sah. Mereka kemudian duduk menghadapi api unggun.
"Sejak semula aku memang
sudah yakin, kalian bersedia membantuku," kata Dewani dengan sinar mata yang
berbinar.
"Oh, ya...? Bagaimana kau
bisa seyakin itu?" tanya Pandan Wangi.
"Dari cara kalian menolongku
dari tangan Iblis Pedang Perak dan si Cambuk Setan," sahut Dewani.
"Aku rasa, itu hanya
kebetulan saja," ujar Rangga merendah.
"Tidak. Dari caranya saja
sudah menunjukkan kalau kalian adalah pendekar-pendekar tangguh dan digdaya.
Aku yakin, kalian pasti memiliki kepandaian tinggi, dan mampu menghadapi
Lanjani dan kedua orang kepercayaannya itu. Juga, dari cara kau masuk dan
keluar dari tempat tinggal Paman Pendekar Bayangan Dewa."
Rangga hanya tersenyum saja.
Hatinya benar-benar kagum pada pengamatan Dewani yang begitu tajam dan jeli.
Sehingga gadis itu bisa begitu yakin, walau hanya dengan pengamatan yang tidak
begitu jauh. Tidak heran jika dua orang tokoh kosen yang sudah menghilang dari
rimba persilatan menyukai gadis ini. Bahkan menurunkan ilmu-ilmunya, meskipun
belum seberapa. Tapi, itu sudah menjadikan suatu perubahan besar pada diri
Dewani. Meskipun, sebagian besar karena pengaruh ramuan obat yang dibuat Dewi
Selendang Maut.
"Sebaiknya, kalian tidur
malam ini. Besok pagi akan kucoba dengan cara musyawarah. Mudah-mudahan tidak
terjadi pertumpahan darah," ujar Rangga.
"Kalaupun terjadi, aku yakin
kalian mampu menghadapi mereka," kata Dewani.
***
Pagi-pagi sekali, di saat
matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk Timur, Dewani, Rangga dan
Pandan Wangi sudah sampai di depan bangunan Istana Batu Ampar yang besar dan
megah. Semua prajurit penjaga terkejut melihat kedatangan Dewani. Tapi, tak
seorang pun yang berani menghampiri. Apa lagi menegurnya.
"Pengawal...!" panggil
Dewani pada salah seorang prajurit penjaga.
Prajurit itu bergegas
menghampiri, dan membungkukkan tubuhnya memberi hormat begitu sampai di depan
Dewani.
"Beri tahu Kanda Lanjani.
Aku menunggunya di sini," perintah Dewani dengan suara lantang dan anggun.
"Hamba Kanjeng
Nini...." sahut prajurit itu hormat.
Seselah menjura memberi hormat
pengawal itu bergegas berlari-lari menaiki tangga istana. Tapi baru saja sampai
di tengah-tengah tangga, dari dalam istana itu sudah muncul dua orang
laki-laki. Prajurit itu jadi berhenti, dan segera membungkuk memberi hormat.
Kedua laki-laki yang ternyata si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak melangkah
menuruni anak-anak tangga.
"Minggir...! Hih"
sentak Iblis Pedang Perak pada prajurit yang masih berdiri di tengah tangga.
Cepat sekali tangan Iblis Pedang
Perak mengibas. Dan tahu-tahu, prajurit itu sudah terpental jatuh dari tangga.
Tubuhnya bergulingan di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Mati. Begitu
kerasnya kibasan tangan Iblis Pedang Perak, sehingga kepala prajurit itu remuk.
"Biadab...!" desis
Pandan Wangi jadi geram melihat tindakan kejam Iblis Pedang Perak barusan.
Sementara itu Cambuk Setan dan
Iblis Pedang Perak sudah sampai di ujung bawah tangga. Mereka terus melangkah
menghampiri Dewani yang didampingi Rangga dan Pandan Wangi. Mereka baru
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi di depan
gadis itu.
"Seharusnya kau tidak pertu
datang lagi ke sini, Dewani. Kau hanya mengantarkan nyawa saja..." desis
si Cambuk Setan dingin.
"Aku sudah ada di sini. Dan
kuminta kalian tinggalkan negeri ini!" tegas Dewani lantang.
"Ha ha ha...! Kau tidak bisa
mengusir mereka begitu saja, Dewani…!"
Dewani, Rangga, dan Pandan Wangi
langsung mengarahkan pandangan ke pintu istana, begitu mendengar suara lantang
dan menggelegar. Tampak di ambang pintu. berdiri Lanjani dengan sikap angkuh.
Di belakangnya tampak berdiri berjajar enam orang laki-laki berperawakan kasar.
"Hup...!"
Ringan sekali gerakan Lanjani
saat melompat. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara dengan manis sekali.
Lalu tanpa menumbulkan suara sedikut pun, Lanjani mendarat tepat di depan si
Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak. Sementara enam orang laki-laki yang
men-dampinginya, bergegas menuruni anak tangga istana. Mereka kemudian berdiri
berjajar di belakang si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak.
"Aku sudah terlalu banyak
bermurah hati padamu, Dewani. Tapi, kau selalu saja membuat kesulitan bagi
dirimu sendiri. Sekarang, aku tidak akan bermurah hati lagi padamu," ancam
Lanjani dingin.
"Aku hargai kemurahan
harimu, Lanjani. Tapi, aku tetap menginginkan agar kau angkat kaki dari sini.
Bawalah semua begundal-begundal tengikmu itu!" dengus Dewani tidak kalah
dinginnya.
"Kau semakin kurang ajar
saja, Dewani!" geram Lanjani, langsung memerah mukanya. "Tangkap dia!
Gantung di tengah alun-alun…!"
Belum lagi perintah Lanjani
menghilang dari pendengaran, enam orang yang semuanya bersenjata golok
berukuran besar langsung berlompatan ke depan. Salah seorang seketika
mengibaskan goloknya ke arah dada Dewani. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga
sudah menarik tangan Dewani sambil mengebutkan tangan kirinya untuk menyambut
golok berukuran besar itu.
Tap!
"Hih!"
Hanya sekali sentakan saja, golok
yang berhasil ditangkap itu terpental ke udara. Dan sebelum pemilik golok itu
bisa menyadari, Rangga sudah mengirimkan satu tendangan keras yang langsung
mendarat telak di dada orang itu.
Desss!
"Akh...!"
Laki-laki bertubuh besar dan
kekar itu langsung terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti yang menginginkan bicara baik-baik, langsung menyadari
kalau hal itu tidak mungkin dilakukan. Dan sebelum lima orang lainnya bisa
berbuat lebih jauh, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti sudah ber-lompatan
cepat mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya
berkelebat cepat menyambar lima orang laki-laki bersenjata golok itu.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
Pekikan-pekikan keras tertahan
terdengar saling susul, diikuti berpentalannya lima tubuh kekar. Rupanya,
sambaran tangan Rangga begitu cepat, dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
Hanya menggunakan satu jurus saja, enam orang itu sudah bergelimpangan tak
bergerak-gerak lagi.
"Hup! Yeaaah...!"
Baru saja Rangga bisa menarik
napas panjang, Iblis Pedang Perak sudah melompat cepat menyerangnya. Tapi
sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja Pandan
Wangi sudah melentingkan tubuhnya begitu cepat untuk menyambut Iblis Pedang
Perak. Si Kipas Maut segera mencabut senjata kipas maut andalannya, dan
langsung dikebutkan ke arah dada Iblis Pedang Perak.
"Uts...!"
Buru-buru Iblis Pedang Perak
mengegoskan tubuhnya, menghmdari serangan mendadak yang dilancarkan Pandan
Wangi. Dan begitu kakinya menjejak tanah, pedangnya cepat dicabut. Saat itu,
Pandan Wangi juga sudah mendarat di tanah beberapa langkah di depan Iblis
Pedang Perak.
Sret!
"Yeaaah...!"
Bet!
Cepat sekali Iblis Pedang Perak
mengebutkan pedangnya ke arah dada Pandan Wangi, Tapi dengan gerakan cepat dan
indah, si Kipas Maut mengebutkan kipas baja putihnya. Langsung ditangkisnya
tebasan padang berwarna keperakan yang berkelebat di depan dadanya.
Trang!
"Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Pandan
Wangi cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu sambil meluruk deras,
dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke tubuh Iblis Pedang
Perak. Begitu cepat serangannya, sehingga Iblis Pedang Perak jadi terpaku tak
dapat lagi menghindar.
Desss!
"Akh...!"
Iblis Pedang Perak terpental
beberapa langkah ke belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Sementara
itu, Pandan Wangi tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat sekali diburunya
Iblis Pedang Perak yang bergulingan di tanah. Tapi begitu kipas Pandan Wangi
mengebut ke arah dada Iblis Pedang Perak, tiba-tiba....
Ctar...!
"Ikh...!"
Pandan Wangi jadi terkejut. Maka
cepat-cepat tangannya ditarik begitu terlihat seutas cambuk hitam menggeletar
hendak menyambar tangannya yang memegang kipas. Pada saat Pandan Wangi melompat
ke belakang, Iblis Pedang Perak cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Langsung
pedangnya dikebutkan ke arah kaki si Kipas Maut itu.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Manis sekali gerakan Pandan Wangi
saat melenting menghindari tebasan pedang keperakan itu. Beberapa kali si Kipas
Maut berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di
tanah. Namun baru saja kakinya menyentuh tanah, kembali si Cambuk Setan
mengebutkan cambuk hitamnya ke arah gadis itu.
Ctar!
Tap!
"Heh...!"
Bukan main terkejutnya si Cambuk
Setan. Karena tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba Rangga melesat cepat.
Langsung ditangkapnya ujung cambuk yang hampir saja merobek kulit tubuh Pandan
Wangi.
"Cukup sudah kecuranganmu,
Orang Tua...!" desis Rangga. "Hih...!"
Cambuk Setan jadi tersentak
setengah mati, begitu tiba-tiba saja Rangga menghentakkan tangannya yang
meng-genggam ujung cambuk itu ke atas. Seketika itu juga, tubuh si Cambuk Setan
terlempar ke udara, tak sanggup menahan sentakan berkekuatan tenaga dalam sempurn
itu.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Rangga melesat ke
udara mengejar si Cambuk Setan yang terlempar tanpa dapat mengendalikan
keseimbangan tubuh. Sehingga ketika Rangga melepaskan satu pukulan begitu keras
dan menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', si Cambuk Setan tidak
mampu lagi menghindar.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak si Cambuk Setan terpental deras.
Tubuhnya keras sekali terbanting di tanah. Dari mulutnya kontan menyemburkan
darah kental. Si Cambuk Setan mencoba bangkit berdiri, tapi langsung
menggelimpang dan menggelepar mengejang. Kemudian, dia diam tak bergerak lagi.
Tampak dadanya melesak masuk ke dalam akibat terkena pukulan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah
kembali bertarung melawan Iblis Pedang Perak. Kali ini Pandan Wangi benar-benar
menguasai jalannya pertarungan tanpa campur tangan si Cambuk Setan yang sudah
dibereskan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendiri sudah melangkah
menghampiri Lanjani. Ratu Kerajaan Batu Ampar itu wajahnya kini jadi memucat
melihat orang-orang andalannya bisa dibereskan begitu mudah oleh
pendekar-pendekar muda itu. Lain halnya dengan Dewani. Gadis itu tersenyum-senyum
penuh kemenangan melihat ketang-guhan Rangga dan Pandan Wangi.
Tiba-tiba saja terdengar jeritan
panjang melengking tinggi. Rupanya Iblis Pedang Perak tengah terhuyung-huyung
sambil mendekap dadanya yang bercucuran darah. Pada saat itu, Pandan Wangi
sudah melompat cepat sambil mengebutkan kipas mautnya yang terbuat dari baja
putih tipis berkilatan ke arah dada.
"Hiyaaat…!"
Bet!
"Hup...!"
Pandan Wangi cepat melompat ke
belakang sejauh dua batang tombak. Sementara, Iblis Pedang Perak tampak berdiri
kaku dengan kedua mata terbeliak lebar. Sebentar kemudian, tubuh laki-laki itu
jatuh menggelimpang di tanah dengan tangan masih mendekap dada yang masih
berlumuran darah.
Saat itu, tiba-tiba saja
terdengar sorak-sorai begitu riuh dan gegap gempita. Tampak para prajurit yang
sejak tadi memperhatikan pertarungan, berjingkrakan sambil mengangkat senjata
tinggi-tinggi ke udara. Mereka bersorak sorai, menyambut kemenangan kedua
pendekar itu menandingi orang-orangnya Lanjani yang sudah terkenal
kekejamannya.
Melihat hal itu semua, Lanjani
semakin pucat wajahnya. Ratu Kerajaan Batu Ampar itu mencoba melarikan diri.
Tapi, Rangga sudah lebih dulu melompat, dan menghadang di depannya. Lanjani
mencoba berlari, tapi Pandan Wangi juga sudah menghadangnya dari arah lain.
Pada saat itu, para prajurit yang selama ini merasa tertekan dan dikungkung
ketakutan, sudah bergerak maju mengepung. Demikian pula Dewani yang melangkah
anggun menghampiri Lanjani. Ratu itu memang sudah tidak memiliki kekuatan dan
daya lagi setelah orang-orangnya dihabisi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut.
Halaman depan istana yang luas
itu kini jadi padat oleh para prajurit yang semakin banyak berdatangan. Bahkan
terlihat di beranda depan istana, para pembesar kerajaan yang memang tidak
menyukai Lanjani berdiri berjajar memperhatikan. Mereka selama ini memang tidak
bisa bertindak apa-apa, karena orang orang di sekeliling Lanjani begitu kuat.
Sehingga, tak seorang pun yang bisa memberontak. Sudah tidak terhitung pembesar
yang mencoba memberontak, langsung dihukum mati di tempat itu juga.
"Dewani.. Biarkan aku pergi.
Aku janji tidak akan kembali lagi ke sini...." rintih Lanjani memohon.
"Sejarahmu sudah tamat,
Lanjani. Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu di depan pengadilan
kerajaan nanti." tegas Dewani, namun tetap anggun.
"Oh..."
"Tangkap dia!" perintah
Dewani
Dua orang prajurit segera
melangkah maju, dan meringkus Lanjani yang sudah tidak punya daya lagi.
Sementara itu, diam-diam Rangga dan Pandan Wangi menyingkir menjauhi kerumunan
para prajurit yang menggiring Lanjani ke dalam tahanan.
"Sebaiknya kita pergi dari
sini, Kakang," ajak Pandan Wangi.
"Kau tidak ingin mencari
bukti lagi, Pandan?" tanya Rangga.
"Untuk apa?
Ketidakpedulianmu pada asal-usulku sudah membuatku bahagia. Aku tidak ingin
lagi mencari keterangan tentang diriku. Bagiku yang terpenting adalah
mendapatkan cintamu," sahut Pandan Wangi tegas.
Kalau saja tidak banyak orang di
sini, pasti Rangga sudah memeluk gadis ini. Dan dia hanya menggenggam hangat
tangan Pandan Wangi, penuh rasa cinta. Sepasang pendekar itu kemudian
meninggalkan halaman istana. Sementara Dewani jadi celingukan mencari-cari
kedua pendekar muda yang telah membantunya mengembalikan kerajaan ini padanya,
tanpa harus menumpahkan darah dan nyawa, kecuali nyawa begundal-begundal
Lanjani.
"Kakang Rangga...! Kak
Pandan..!" seru Dewani begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi sudah sampai
di pintu gerbang.
Dewani bergegas berlari
menghampiri kedua pendekar muda itu. Sementara Rangga dan Pandan Wangi terpaksa
menghentikan langkahnya. Mereka berbalik menanti Dewani yang terus berlari
menghampiri. Gadis itu terengah-engah begitu sampai di depan kedua pendekar
muda yang telah menolongnya.
"Kalian mau ke mana?"
tanya Dewani dengan napas masih tersengal.
"Kami harus melanjutkan
perjalanan." sahut Rangga.
"Aku mohon kalian sudi
tinggal di sini beberapa hari. Kalian menjadi tamu kehormatanku yang pertama,"
pinta Dewani berharap.
"Terima kasih. Tapi, kami
harus segera pergi. Masih banyak yang harus dikerjakan," tolak Rangga
halus.
Dewani tampak kecewa mendapat
penolakan dari tawarannya, meskipun secara halus. Dan kekecewaan ini cepat
diketahui Pandan Wangi.
"Baiklah, Dewani. Tapi hanya
dua hari saja." kata Pandan Wangi tidak ingin mengecewakan gadis ini.
"Oh, terima kasih...,"
ucap Dewani, langsung cerah wajahnya.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DENDAM NAGA MERAH
Emoticon