SATU
DUA ekor kuda berpacu cepat menyusuri
lereng Gunung Randu. Mereka adalah seorang pemuda berwajah tampan dan seorang
gadis cantik. Baju pemuda itu rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala
burung, tersampir di punggung. Pemuda itu menunggang seekor kuda hitam pekat
berkilat yang gagah dan tegap.
Sedangkan yang gadis berbaju biru
muda ketat. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Di
balik sabuk warna emas yang melilit pinggangnya, terselip sebuah kipas baja
putih. Dan di punggungnya tersampir sebatang pedang bergagang kepala naga
hitam.
Dari pakaian dan senjata yang
tersandang, sudah dapat diketahui kalau mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi.
Mereka lebih dikenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Mereka memacu cepat kudanya menyusuri lereng gunung yang cukup terjal dan
berbatu. Matahari yang siang itu bersinar terik, sama sekali tak dirasakan.
Padahal kuda yang mereka tunggangi tampak kelelahan, tapi tetap saja dipacu
cepat. Tak peduli jalan yang dilalui semakin sulit dan terjal berbatu.
“Berhenti dulu, Kakang...!” seru
Pandan Wangi saat mereka baru saja melewati sebuah tikungan yang cukup tajam.
“Hooop...!” Rangga langsung
menghentikan lari kudanya, lalu berpaling menatap gadis di sebelah kanannya.
Tampak keringat membasahi wajah yang memerah dan leher jenjang gadis itu.
Sementara matahari sudah benar-benar berada di atas kepala. Sinarnya begitu
terik, seakan-akan hendak membakar semua yang ada di permukaan bumi ini.
“Istirahat dulu sebentar, Kakang. Aku
tidak ingin kuda kita mati kelelahan,” pinta Pandan Wangi seraya melompat turun
dari punggung kuda.
Rangga ikut turun dari punggung
kudanya. Mereka kemudian menuntun kuda masing-masing, mendekati sebuah sungai
kecil yang mengalir jernih di antara bebatuan. Mereka juga membersihkan diri
dari debu dan membasahi tenggorokan yang sudah begitu kering mencekik leher.
Sementara kuda-kuda itu mereguk air sungai yang jernih sepuas-puasnya.
“Berapa lama lagi kita sampai,
Kakang?” tanya Pandan Wangi seraya menghempaskan tubuh di bawah pohon yang
hampir habis daunnya.
“Menjelang malam nanti,” sahut
Rangga, tetap berdiri di dekat kuda.
“Apa sebenarnya yang terjadi di sana,
Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku sendiri tidak tahu,” sahut
Rangga.
“Kau sudah baca suratnya...?”
“Sudah.”
“Hanya itu saja yang tertulis. Tak
ada yang lainnya.”
Pandan Wangi bangkit berdiri.
Tubuhnya digerak-gerakkan sedikit.
“Sudah istirahatnya?” tanya Rangga.
“Bukan aku, tapi kuda-kuda itu yang
perlu istirahat,” sahut Pandan Wangi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau
menunggang Rajawali Putih.”
“Tidak ada tempat turun untuk
Rajawali Putih, Pandan Wangi. Satu-satunya tempat yang cukup hanya lembah itu.
Sedangkan disana terlalu banyak orang. Dan aku tidak ingin membuat kegemparan.”
“Aku heran. Biasanya orang-orang
tidak suka tinggal di lembah. Tapi mereka malah mendirikan sebuah desa...,” kata
Pandan Wangi agak menggumam, seolah-olah bicara pada diri sendiri.
“Bukan desa, tapi kota,” sergah
Rangga memberitahu.
“Kota...?!” Pandan Wangi makin
tercengang.
“Kau akan tahu nanti kalau sudah
sampai disana, Pandan.”
“Aneh... Ada sebuah kota di dalam
lembah. Seperti apa kota itu, ya...?”
Rangga hanya tersenyum saja melihat
Pandan Wangi tampak kebingungan mendengar ada sebuah kota berdiri di lembah.
Memang sulit bisa dipercaya. Karena biasanya, sebuah desa, apalagi sudah
berbentuk kota, berada jauh dari lembah. Atau biasanya juga, berada di kaki
lereng gunung atau bukit. Tapi yang akan mereka tuju sekarang ini sebuah kota
yang terletak dilembah.
“Ayo jalan lagi, Pandan,” ajak Rangga
seraya naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi segera melompat naik ke
punggung kuda putihnya. Mereka kembali memacu kudanya, tapi kali ini tidak
secepat tadi. Dan memang, jalan yang dilalui semakin sulit saja. Mendaki dan
penuh batu. Hingga akhirnya, mereka baru bisa memacu cepat kudanya setelah
sampai di sebuah padang rumput yang luas bagai tak bertepi.
***
Tepat seperti yang dikatakan Rangga,
saat matahari tenggelam di ufuk barat, mereka telah sampai di suatu lembah yang
sangat besar dan luas. Pandan Wangi hampir tidak percaya kalau di dalam lembah
itu berdiri sebuah perkampungan yang sangat besar. Bangunan-bangunannya tidak
kalah padat dan indah dari sebuah kota kadipaten. Kedua pendekar muda itu
menjalankan kudanya perlahan-lahan memasuki lembah.
Sementara malam terus merayap turun.
Kegelapan kini menyelimuti sekitarnya. Tapi, lembah itu tampak terang benderang
oleh cahaya lampu pelita yang menyala di setiap rumah. Rangga dan Pandan Wangi
mulai memasuki lembah, lalu melewati sebuah bangunan batu yang merupakan
gerbang masuk ke dalam kota di lembah itu. Tak terlihat seorang pun disana. Dan
mereka terus memacu kudanya perlahan-lahan, tidak ingin menarik perhatian orang
yang menghuni lembah ini.
“Kok sepi, Kakang...?” tanya Pandan
Wangi ketika mereka sudah berada di antara rumah-rumah yang rata-rata berukuran
cukup besar.
Memang, sejak memasuki lembah ini
melalui gerbang, tak seorang pun dijumpai. Keadaan kota di lembah ini begitu
sunyi, bagai tak berpenghuni sama sekali. Rangga juga merasakan hal yang sama.
Kesunyian yang begitu mencekam. Sepertinya, lembah ini menyimpan suatu
teka-teki yang menantang untuk diungkapkan. Bahkan tak ada suara yang
terdengar. Hanya desir angin serta jerit binatang malam yang mengganggu gendang
telinga.
“Di mana orang itu akan menemuimu,
Kakang?” tanya Pandan Wangi memecah kesunyian.
“Seharusnya dia sudah ada sewaktu
kita masuk gerbang tadi,” sahut Rangga.
“Jangan-jangan ini....” Ucapan Pandan
Wangi terputus ketika tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat cepat ke
arah mereka, dan langsung menancap tepat di depan kuda yang ditunggangi Rangga.
Akibatnya, kuda hitam yang bernama
Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat turun dari atas punggung
kuda hitamnya, diikuti Pandan Wangi yang juga terkejut atas datangnya tombak
secara tiba-tiba itu. Rangga menjulurkan tangannya meraih tombak berwarna hitam
pekat berukuran panjang itu.
Sesaat diperhatikannya tombak yang
bermata keperakan itu. Kemudian, matanya menatap lurus ke depan, ke arah tombak
itu datang. Tak terlihat seorang pun disekitarnya. Begitu sunyi, bahkan suara
jengkerik saja tak terdengar lagi. Seakan akan binatang-binatang malam pun ikut
merasakan ketegangan ini. Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Pendekar
Rajawali Sakti, lalu berdiri di samping kanannya. Pandangannya pun ikut beredar
berkeliling.
“Kau dengar sesuatu, Pandan?” tanya
Rangga setengah berbisik, tanpa berpaling sedikit pun pada gadis di sampingnya.
“Tidak,” sahut Pandan Wangi. “Kau
sendiri...?”
“Akan kucoba menggunakan aji Pembeda
Gerak dan Suara” ujar Rangga agak bergumam.
Tapi belum juga Rangga mengerahkan
ajiannya untuk mencari orang yang melemparkan tombak, mendadak saja dari arah
depan berkelebat cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan kedua pendekar
muda itu kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh
tahun.
Laki-laki tua itu mengenakan baju
jubah putih berukuran panjang, dengan ikat kepala berwarna putih juga. Sebatang
tongkat dari kayu hitam dan berlekuk tak beraturan tergenggam di tangan
kanannya. Sinar matanya begitu bening, namun menyorot sangat tajam.
Angin yang bertiup agak kencang di
sekitar lembah ini membuat jubahnya yang putih dan panjang berkibar menyibak,
seakan-akan ingin memperlihatkan sebilah pedang yang tergantung di pinggang
orang tua itu. Ukuran pedang itu panjang, dan gagangnya berbentuk kepala ular.
“Siapa kalian?! Dan untuk apa kalian
datang ke Lembah Tangkar ini?” tanya orang tua itu. Suaranya terdengar tajam
dan berat sekali, namun bernada penuh wibawa.
“Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi,”
sahut Rangga memperkenalkan diri. “Kami datang ke lembah ini karena mendapat
surat dari seseorang untuk datang ke sini.”
“Coba kulihat suratnya,” pinta orang
tua itu sambil menjulurkan tangan kanan setelah memindahkan tongkat ke tangan
kirinya.
Rangga merogoh tangannya ke balik
sabuk ikat pinggang, lalu mengeluarkan sebuah surat yang tersimpan dalam
selongsong dari bambu yang dihaluskan permukaannya. Diserahkannya surat itu
kepada laki-laki tua didepannya. Sebentar orang tua berjubah putih itu menatap
Rangga dan Pandan Wangi, lalu membuka tutup selongsong surat itu. Lalu
dikeluarkannya selembar daun lontar yang tergulung rapi, diikat pita berwarna
merah darah.
Kembali orang tua itu menatap Rangga
dan Pandan Wangi setelah membaca tulisan di dalam surat daun lontar itu,
kemudian menggulungnya kembali dan mengikat dengan pita merah. Setelah
memasukkan kembali surat itu ke dalam selongsongannya, lalu diserahkannya
kepada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menerimanya, dan menyimpan lagi ke dalam
sabuk ikat pinggang.
“Tidak ada gunanya kalian datang ke
lembah ini. Sebaiknya segera pergi, dan jangan datang-datang lagi ke sini,”
terasa begitu dingin nada suara laki-laki tua berjubah putih itu.
“Maaf. Boleh aku bertemu pengirim
surat ini dulu...?” ujar Rangga meminta dengan hormat.
“Tidak ada yang bernama Sudra di
Lembah Tangkar ini. Kalian salah alamat jika datang ke sini. Pergilah segera,
sebelum terjadi sesuatu yang pasti tidak kalian inginkan,” nada suara orang tua
itu terdengar mengancam.
Rangga mengangkat bahunya sedikit.
Matanya melirik Pandan Wangi yang berada di sebelah kanannya. Gadis itu hanya
diam saja, dan juga mengangkat bahunya sedikit.
“Baiklah. Kami segera pergi. Maaf
jika kedatangan kami mengganggu,” ucap Rangga tetap sopan.
“Hm...,” orang tua berjubah putih itu
hanya menggumam kecil.
Rangga dan Pandan Wangi segera
melompat naik ke punggung kudanya, dan segera cepat menggebahnya. Mereka kini
meninggalkan perkampungan dalam Lembah Tangkar ini. Sementara orang tua
berjubah putih itu masih berdiri tegak di tengah-tengah jalan memandangi kedua
pendekar muda itu yang semakin jauh meninggalkannya.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi tidak
terlihat lagi, orang tua berjubah putih panjang itu baru memutar tubuhnya.
Kemudian kakinya melangkah menuju sebuah rumah yang tampak terang benderang
oleh cahaya lampu pelita. Pintu rumah yang semula tertutup rapat, langsung
terbuka begitu kaki orang tua berjubah putih itu menginjak lantai beranda. Dari
balik pintu, bermunculan empat orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka
menghampiri orang tua berjubah putih yang berdiri saja di beranda depan rumah
ini.
“Siapa mereka, Ki?” tanya seorang
yang mengenakan baju warna kuning.
“Rupanya Sudra bisa meloloskan surat
keluar. Hm.... Aku tidak ingin ada orang luar yang mencampuri urusan ini,”
tegas laki-laki tua berjubah putih itu.
“Apa yang harus kami lakukan, Ki?”
“Aku tidak ingin mereka ada di
sekitar lembah ini. Kalian mengerti maksudku...?”
“Kami mengerti, Ki.”
“Lakukanlah sekarang.”m
Empat orang laki-laki berusia separuh
baya itu cepat-cepat membungkuk memberi hormat, kemudian melangkah meninggalkan
rumah berukuran cukup besar dan megah itu. Mereka mengambil kuda-kuda yang
tertambat di samping rumah ini. Dengan berkuda, mereka mengejar kedua pendekar
muda yang sudah tidak terlihat lagi di sekitar perkampungan Lembah Tangkar.
Sementara laki-laki tua berjubah
putih itu masih tetap berdiri, memandangi sampai keempat orang itu lenyap
ditelan kegelapan malam. Bergegas orang tua itu melangkah masuk ke dalam rumah.
Setelah melewati ruangan depan yang berukuran cukup luas, dia masuk ke dalam
ruangan lain. Di dalam ruangan itu ternyata sudah menunggu dua orang wanita
yang duduk menghadap sebuah meja bundar berukuran cukup besar. Mereka menoleh,
menatap laki-laki tua berjubah putih yang baru masuk itu. Kedua wanita itu
kemudian berdiri, dan baru duduk lagi setelah orang tua berjubah putih itu
duduk di depan meja bundar beralas dari batu pualam putih ini.
“Keadaan semakin bertambah buruk. Dan
akan semakin buruk lagi nantinya,” kata orang tua berjubah putih itu, agak
mendesah suaranya.
Kedua wanita yang rata-rata berusia
sekitar empat puluh tahun itu hanya diam saja. Satu sama lain hanya saling
melemparkan pandang saja. Mereka tahu apa yang dimaksud dari gumaman orang tua
berjubah putih ini. Kedatangan dua orang anak muda tadi memang sudah membawa
isyarat akan terjadi sesuatu di lembah ini. Lembah Tangkar yang benar-benar
akan menjadi suatu neraka bila yang dikatakan orang tua berjubah putih ini menjadi
kenyataan.
“Kalian harus lebih waspada lagi. Aku
tak ingin seorang pun yang masuk atau keluar lembah ini,” tegas orang tua itu
lagi. Masih terdengar pelan suaranya.
“Apa tidak sebaiknya kita beri
sedikit ancaman yang berarti agar si keparat itu menyerah, Ki Bargala?” usul
salah seorang wanita yang mengenakan baju warna putih bersih.
Di punggungnya menyembul sebuah
gagang pedang berbentuk bunga anggrek. Meskipun usianya sudah mencapai empat
puluh tahun, tapi raut wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya pun
ramping dan indah. Sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
“Tidak semudah itu, Anggrek Putih.
Meskipun semua penghuni lembah ini dibantai, dia tidak akan menyerah begitu
saja. Dia tetap akan menuntut agar kita meninggalkan lembah ini, dan
menyerahkan padanya,” sanggah orang tua berjubah putih yang ternyata bernama Ki
Bargala.
“Lalu, sampai kapan kita akan terus
bertahan seperti ini, Ki?” tanya wanita satunya lagi, yang mengenakan baju
warna-merah tua menyala.
Di punggung wanita berbaju merah tua
menyala itu juga terlihat sebuah gagang pedang yang ujungnya berbentuk sekuntum
bunga mawar berwarna merah. Julukannya Mawar Merah. Dan memang, kedua wanita
ini lebih dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut. Di kalangan persilatan,
sepak terjang mereka sudah terkenal. Mereka selalu menyebarkan maut dan
malapetaka.
“Sampai Lembah Tangkar ini
benar-benar jadi neraka. Bukankah tujuan kita semua datang ke sini begitu...?
Namun kita jangan dulu menciptakan satu neraka pun,” kata Ki Bargala, agak
mendesis suaranya.
“Aku sudah tidak sabar lagi, Ki,”
dengus Anggrek Putih.
“Kapan isyarat itu datang, Ki? Aku
tidak ingin menunggu lama dan berdiam diri saja di sini. Aku ingin cepat-cepat
selesai dan pergi dari sini,” sambung Mawar Merah.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa
sebelum si keparat itu mampus. Dan lagi, Prabu Cantraka juga menginginkan
lembah ini agar benar-benar bersih dan tak ada satu pun gangguan setelah kita
meninggalkan lembah ini,” jelas Ki Bargala lagi.
“Hadiah yang dijanjikan memang
menggiurkan. Tapi aku paling tidak suka keadaan seperti ini. Menunggu tanpa ada
kepastian sama sekali,” dengus Mawar Merah.
“Sabarlah. Aku yakin, tidak lama lagi
isyarat itu datang.”
“Isyarat itu yang datang, atau si keparat
itu yang lebih dulu muncul, Ki...?” desis Anggrek Putih sinis.
“Itu lebih baik. Bisa selesai dalam
sekali tepuk,” tandas Ki Bargala.
“Aku akan membuat lembah ini
benar-benar menjadi neraka, kalau dalam dua hari ini tidak juga ada isyarat,
Ki,” desis Mawar Merah dingin.
“Kalian tidak bisa berbuat apa-apa
tanpa ada perintah dari Prabu Cantraka. Sebaiknya kalian bersabar saja dulu.
Aku akan menanyakan hal itu pada Prabu Cantraka,” kilah Ki Bargala menyabarkan
kedua wanita yang dijuluki Iblis Bunga Penyebar Maut itu.
Kedua wanita itu terdiam. Ki Bargala
tahu kalau mereka memang tidak pernah bisa bersabar kalau diminta menunggu.
Tangan mereka sudah begitu gatal, dan tak akan ada senyum jika tidak membuat
malapetaka sedikit pun di mana mereka berada. Mereka selalu tersenyum dan
tertawa bila melihat darah dan kesengsaraan terjadi disekitarnya. Mereka
seakan-akan memang diciptakan hanya untuk membuat neraka di bumi ini.
“Ayo kita pergi,” ajak Mawar Merah
seraya bangkit berdiri. Anggrek Putih ikut berdiri.
“Ke mana kalian akan pergi?” tanya Ki
Bargala, masih tetap duduk di kursinya.
“Kami akan mencari si keparat itu,
Ki,” sahut Mawar Merah, agak ketus suaranya.
“Ke mana kalian akan mencarinya?”
tanya Ki Bargala lagi.
“Di sekitar lembah ini. Dia pasti
tidak ada di luar lembah ini. Kami akan terus mencarinya sampai kau mendapatkan
isyarat itu, Ki,” tandas Anggrek Putih.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua
wanita yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut itu segera melangkah
meninggalkan ruangan ini. Sementara Ki Bargala hanya bisa memandangi tanpa
mampu mencegah lagi. Sudah dikenalnya betul akan watak kedua wanita berhati
iblis itu. Dan dia tidak mau mencegahnya. Mereka datang ke sini memang punya
maksud dan tujuan tertentu.
Dan tinggal menunggu isyarat perintah
saja dari seseorang yang dikenal bernama Prabu Cantraka. Tapi, hanya Ki Bargala
saja yang bisa berhubungan dengan orang bernama Prabu Cantraka. Hanya saja, Ki
Bargala sendiri belum pernah bertemu langsung dan melihat orangnya. Dia hanya
bisa mendengar suara orang itu, tanpa dapat melihat orangnya sama sekali. Atau
paling tidak, hanya bisa berhubungan dengan orang suruhan Prabu Cantraka.
“Hm... Tampaknya aku harus menemui
Prabu Cantraka sebelum terjadi sesuatu dilembah ini. Iblis Bunga Penyebar Maut
benar-benar sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi,” gumam Ki Bargala
berbicara sendiri.
***
DUA
Sementara itu, tidak jauh dari Lembah
Tangkar, Rangga dan Pandan Wangi masih berkuda perlahan-lahan meninggalkan
lembah yang tampak terang tersiram cahaya pelita. Mereka berkuda
perlahan-lahan, tanpa berbicara sedikit pun. Sedangkan beberapa kali Pandan
Wangi melirik wajah Pendekar Rajawali Sakti. Jelas sekali kalau kening pemuda
berbaju rompi putih itu berkerut agak dalam, seakan-akan tengah memikirkan
sesuatu.
“Apa yang kau pikirkan, Kakang?”
tanya Pandan Wangi ingin tahu apa yang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku merasa ada sesuatu yang aneh di
Lembah Tangkar itu, Pandan,” sahut Rangga.
“Maksudmu...?” tanya Pandan Wangi
ingin lebih jelas lagi.
Rangga menghentikan laju kudanya.
Pandan Wangi mengikuti, dan terus memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa saat mereka terdiam, lalu melompat turun dari punggung kuda
masing-masing. Mereka berdiri membelakangi kudanya, dan menatap ke arah lembah
yang bermandikan cahaya lampu pelita. Tampak begitu semarak, tapi menyimpan
suatu teka-teki yang sukar diungkapkan.
“Surat yang kudapat jelas mengatakan
kalau aku diminta datang ke Lembah Tangkar ini. Tapi...”
Belum juga Rangga sempat
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda dari
arah depan. Begitu jelas sekali terdengar, dan menuju ke arahnya. Pandan Wangi
segera mengarahkan pandangan ke arah derap langkah kaki kuda yang semakin jelas
terdengar dari arah depan. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat empat orang
penunggang kuda yang berpacu cepat menuju ke arah dua orang pendekar muda itu.
Para penunggang kuda itu langsung berlompatan turun begitu berada sekitar dua
batang tombak lagi di depan Rangga dan Pandan Wangi. Mereka melangkah tegap,
mendekati kedua pendekar muda itu. Mereka baru berhenti, setelah jaraknya
tinggal beberapa langkah lagi.
“Kalian dua orang yang mendapat surat
dari Sudra?” salah seorang yang mengenakan baju kuning langsung bertanya.
Suaranya besar dan terdengar berat.
“Benar,” sahut Rangga mantap.
“Sudra sudah mati. Dan kalian tidak
perlu lagi berada di Lembah Tangkar ini. Tak ada lagi yang bisa kalian lakukan.
Maka sebaiknya tinggalkan lembah ini jika tidak ingin mati sia-sia,” ancam
laki-laki separuh baya berbaju kuning itu lagi.
Rangga jadi berkerut keningnya
mendengar kata-kata yang bernada ancaman seperti itu. Sudah dua kali Pendekar
Rajawali Sakti mendapat ancaman selama berada di Lembah Tangkar ini. Dan dia
tidak tahu, kenapa mereka tidak menginginkan dirinya berada di lembah ini.
Sedangkan surat yang didapat dari seseorang yang bernama Sudra menginginkannya
datang ke Lembah Tangkar ini.
“Kami tidak ingin ada seorang pun
yang datang ke lembah ini. Lembah Tangkar tertutup bagi pendatang sepertimu,”
tegas laki-laki berbaju kuning itu.
“Kalau boleh aku tahu, di mana
kuburan Sudra?” tanya Rangga meminta.
“Dia mati tidak ada kuburannya!”
dengus laki-laki berbaju kuning itu sengit.
“Kalau begitu, aku tidak ingin pergi
sebelum bertemu Sudra, atau mayatnya kalau memang sudah mati,” tegas Rangga.
“Kau tidak boleh tinggal di sini,
Anak Muda!” bentak orang berbaju kuning itu kasar.
“Sayang sekali, aku ingin tetap
tinggal. Dan tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, termasuk kalian,” tegas
Rangga.
“Keparat...! Kau mencari mati, Anak
Muda!” geram orang berbaju kuning itu berang.
Sret!
Laki-laki setengah baya yang
mengenakan baju warna kuning itu segera mencabut senjata yang berbentuk
sebatang tongkat pendek dengan bagian ujungnya berbentuk bulan sabit. Tiga
orang laki-laki lain yang berdiri di belakangnya juga segera mencabut senjata
masing-masing. Dan senjata mereka berbentuk sama persis. Mereka segera
menggeser kaki, berdiri sejajar. Senjata masing-masing tampak sudah tersilang
di depan dada.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi
sudah menarik kakinya beberapa langkah ke belakang. Pandan Wangi segera
mengeluarkan senjatanya yang berupa kipas baja putih. Dibukanya kipas itu, dan
digerak-gerakkan perlahan di depan dada. Seakan-akan udara sekitar lembah ini
jadi panas. Padahal, angin yang bertiup agak kencang begitu terasa dingin
hingga menusuk tulang.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka
tak ada yang membuka suara. Hanya tatapan mata saja saling menyorot tajam bagai
sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
“Kau yang menginginkan kematianmu,
Anak Muda,” desis laki-laki berbaju kuning itu dingin.
“Aku khawatir, yang terjadi malah
sebaliknya,” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
“Keparat...! Serang dia...!” geram
orang berbaju kuning itu.
Seketika itu juga, empat laki-laki
separuh baya yang masing-masing menggenggam senjata tongkat pendek berujung
bulan sabit, berlompatan cepat menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Dua orang
menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan dua orang lagi langsung merangsek si
Kipas Maut. Pertarungan memang tidak bisa dihindari lagi. Dan tampaknya, empat
laki-laki separuh baya itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi juga.
Terbukti, serangan-serangannya begitu dahsyat dan berbahaya sekali.
Sementara Rangga bertarung menggunakan
tangan kosong saja, Pandan Wangi menghadapi dua orang lawannya dengan senjata
maut yang berbentuk kipas baja putih. Beberapa kali senjata si Kipas Maut itu
saling berbenturan dengan senjata tombak lawan yang berujung bulan sabit. Dan
setiap kali senjata mereka beradu, memercik bunga api yang menyebar ke segala
arah, disertai ledakan keras menggelegar.
“Hhh! Tenaga dalam mereka cukup
tinggi juga...,” dengus Pandan Wangi dalam hati.
Beberapa kali terjadi adu senjata
yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Dan ini sudah cukup bagi Pandan Wangi
untuk menilai tingkat kepandaian kedua lawannya ini. Dan disadari, tidak
mungkin bisa memenangkan pertarungan ini hanya menggunakan senjata kipas.
Menyadari hal itu, Pandan Wangi cepat memindahkan kipasnya ke tangan kiri.
Lalu, tangan kanannya segera mencabut pedang yang bertengger di punggung.
Sret!
Cring...!
Bet!
Secepat pedangnya tercabut, secepat
kilat pula Pandan Wangi mengebutkan pedang yang bernama Naga Geni ke arah salah
seorang lawan yang berada di depan. Begitu cepatnya kebutan yang dilakukan
Pandan Wangi, sehingga orang berbaju hijau daun itu jadi terkejut setengah
mati. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindar.
“Hih!”
Cepat-cepat tongkatnya dikebutkan,
menangkis tebasan pedang berwarna hitam itu. Tak pelak lagi, dua senjata
berpamor dahsyat beradu keras, hingga menimbulkan pijaran api disertai ledakan
dahsyat menggelegar.
“Akh...!”
Terdengar pekikan keras agak
tertahan. Tampak tongkat pendek berujung bulan sabit berwarna kuning keemasan
itu mencelat tinggi ke udara. Sementara orang berbaju hijau daun itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Wajahnya
seketika jadi memucat. Sementara Pandan Wangi sudah bersiap hendak melakukan
serangan. Tapi tiba-tiba saja...
“Hiyaaat...!”
Bet!
Bagaikan kilat, si Kipas Maut
melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah leher laki-laki separuh baya
berbaju hijau daun yang sudah tidak bersenjata lagi. Begitu cepat serangannya,
sehingga tak ada lagi kesempatan bagi orang itu untuk bisa menghindar. Dan....
Cras!
“Aaa...!”
Darah seketika muncrat keluar begitu
Pedang Naga Geni membabat dada orang berbaju hijau daun itu. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang sobek cukup lebar
berlumuran darah. Hanya sebentar dia mampu bertahan berdiri pada kedua kakinya,
tak berapa lama kemudian jatuh terguling dan menggelepar ditanah meregang
nyawa. Darah semakin banyak keluar dari dadanya yang terbelah sangat lebar oleh
Pedang Naga Geni andalan si Kipas Maut itu.
“Keparat...!” geram laki-laki
setengah baya satunya lagi yang mengenakan baju warna merah.
Sementara Pandan Wangi sudah memutar
tubuh sambil menyilangkan kedua senjata mautnya di depan dada. Tatapan mata
gadis itu demikian tajam. Dengan dua senjata maut tergenggam di tangan, Pandan
Wangi bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Begitu tegar dan
angker tampaknya, sehingga membuat laki-laki separuh baya berbaju merah itu
jadi bergetar hatinya. Tapi, dia jadi mendesis geram saat melihat temannya
sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan dada terbelah bergenang darah.
“Setan...! Kubunuh kau, Keparat...!”
geram laki-laki setengah baya berbaju merah itu berang. “Hiyaaat...!”
Dengan hati yang diliputi kemarahan,
laki-laki separuh baya itu cepat melompat menyerang Pandan Wangi. Tongkatnya
dikebutkan kuat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun si Kipas Maut
itu masih tetap berdiri tegak, dengan mata menyorot tajam memperhatikan gerakan
tongkat berujung bulat sabit yang berkelebat cepat di depannya.
“Hih!”
Tring!
Begitu ujung tongkat berbentuk bulan
sabit itu tepat berada di depan dada, Pandan Wangi langsung menghentakkan kedua
senjatanya. Maka, tongkat berujung bulan sabit itu jadi terjepit. Dan secepat
itu pula kakinya bergerak menghentak ke depan. Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan Pandan Wangi, sehingga laki-laki separuh baya itu tidak sempat lagi
menghindar.
Diegkh!
“Aaakh...!”
Memang tendangan yang dilakukan
Pandan Wangi begitu keras, sehingga membuat lawan terpental ke belakang sekitar
dua batang tombak jauhnya. Tubuhnya jatuh terguling di tanah. Sementara Pandan
Wangi sudah melompat cepat. Langsung pedangnya dibabatkan di saat laki-laki
separuh baya itu bangkit berdiri. Begitu cepat serangannya, sehingga tak ada
lagi kesempatan bagi lawan untuk menghindar.
“Hiyaaat...!”
Cras!
“Aaa...!”
Satu jeritan panjang melengking
tinggi kembali terdengar membelah kesunyian malam ini. Ujung pedang Pandan
Wangi tepat merobek batang leher laki-laki separuh baya itu. Seketika, darah
muncrat deras sekali. Hanya sebentar dia mampu bertahan di atas kedua kakinya,
kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah terus bercucuran dari
tenggorokannya. Tak berapa lama kemudian, sudah tak terlihat lagi gerakan apa
pun. Sementara Pandan Wangi berdiri tegak menatap tajam lawan yang sudah
tergeletak tak bernyawa lagi.
“Pandan...!”
“Oh...?!”
Pandan Wangi cepat memutar tubuh
ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Bibirnya tersenyum melihat Rangga
sudah berdiri di depannya. Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang tanpa
sedikit pun mengalami kekurangan. Gadis itu cepat mengedarkan pandangan ke
belakang Pendekar Rajawali Sakti. Keningnya jadi berkerut dan matanya menyipit
begitu melihat wajah Rangga lagi.
“Ke mana lawanmu?” tanya Pandan
Wangi.
“Pergi,” sahut Rangga kalem.
“Kau biarkan mereka pergi begitu
saja, Kakang...?”
“Mereka langsung lari melihat kau
berhasil menewaskan dua orang temannya,” kata Rangga memberitahu.
“Kau pasti tidak bersungguh-sungguh
bertarung tadi,” nada suara Pandan Wangi agak mendengus.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar
Rajawali Sakti memang tidak bersungguh-sungguh dalam pertarungannya tadi. Kalau
dia mau, tidak lebih dari dua jurus saja sudah bisa melumpuhkan dua orang
lawan. Tapi hal itu memang disengaja. Rangga memang tidak pernah menewaskan
lawan tanpa diketahui apa sebabnya. Lain halnya dengan Pandan Wangi yang selalu
mengambil tindakan tegas pada lawan-lawannya. Terlebih lagi, kalau sudah yakin
jika lawannya punya maksud buruk dan ingin membunuhnya. Gadis itu tak
segan-segan lagi mengirimkan ke neraka, jika mereka bersungguh-sungguh hendak
membunuhnya.
“Dua orang saja yang tewas, rasanya
sudah cukup membuat mereka berpikir tentang kita, Pandan,” kilah Rangga,
terdengar lembut nada suaranya.
“Aku tidak mengerti, kenapa mereka
tidak menginginkan kita berada di sini? Bahkan begitu ingin membunuh kita,
Kakang?” tanya Pandan Wangi seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Rangga hanya diam saja
sambil mengangkat bahunya sedikit. Kata-kata Pandan Wangi barusan merupakan
satu pertanyaan yang belum bisa dijawabnya sendiri saat ini.
“Aku yakin ada sesuatu yang terjadi
di Lembah Tangkar ini, Kakang,” duga Pandan Wangi.
“Memang itu yang ada di kepalaku saat
ini, Pandan,” Rangga menanggapi dugaan si Kipas maut itu.
“Dan surat itu...?”
“Semula memang kurang jelas
maksudnya. Tapi sekarang aku yakin kalau orang yang bernama Sudra meminta
bantuan pada kita. Hanya saja, kita belum tahu bantuan yang diinginkannya,”
sahut Rangga.
“Aku rasa, kita akan tahu kalau bisa
bertemu orang yang bernama Sudra, Kakang.”
“Memang. Tapi tampaknya tidak mudah
untuk menemuinya,” timpal Rangga.
Pandan Wangi terdiam. Disimpannya
kembali Pedang Naga Geni ke dalam warangka di punggung, dan diselipkan Kipas
Maut ke balik sabuk yang melilit pinggang rampingnya. Untuk beberapa saat
mereka terdiam. Sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Mereka sama-sama
memandang kearah lembah yang bertaburkan cahaya lampu pelita.
“Rasanya tidak mungkin kita memasuki
lembah itu lagi, Kakang,” gumam Pandan Wangi.
Rangga hanya diam saja tanpa
memalingkan mukanya sedikit pun dari Lembah Tangkar. Dari tempat mereka berada
saat ini, memang cukup leluasa memandang ke arah lembah yang berada di bawah
sana. Tempat ini memang cukup tinggi, karena berada di lereng bibir lembah, dan
tidak seberapa jauh dari bangunan batu yang merupakan sebuah gerbang masuk ke dalam
kota di Lembah Tangkar itu.
“Kakang tahu, siapa orang yang
bernama Sudra itu?” tanya Pandan Wangi seraya berpaling menatap pemuda tampan
berbaju rompi putih di sampingnya.
“Tidak,” sahut Rangga, tetap tidak
berpaling sedikit pun.
“Kau tidak kenal, tapi kenapa dia
mengenal dan mengirimkan surat kepadamu, Kakang? Dari mana dia tahu namamu?
Sedangkan kebanyakan orang hanya mengenalmu sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan di dalam surat itu, nama aslimu disebutkan,” kata Pandan Wangi lagi
menduga-duga.
Sedangkan Rangga hanya diam saja.
Terlalu sulit bagi Pandan Wangi menerka jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti
saat ini.
“Dari mana sebenarnya kau dapatkan
surat itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Seorang kurir. Dia datang ke Istana
Karang Setra, dan Danupaksi yang menerima surat itu. Seorang kurir istana
menyampaikannya padaku, ketika menginap di Desa Talang Gati,” jelas Rangga
tentang surat yang diterimanya.
“Tidak banyak orang yang mengenalmu sebagai
Raja Karang Setra, Kakang,” ujar Pandan Wangi, agak bergumam nada suaranya.
Rangga berpaling perlahan menatap
gadis di sebelahnya. Sedangkan Pandan Wangi tetap memandangi Pendekar Rajawali
Sakti, seakan-akan ingin menembus jalan pikiran Rangga dari sorot matanya. Tapi
memang terlalu sulit, karena sinar mata Pendekar Rajawali Sakti demikian datar.
Sepertinya tidak menyiratkan sesuatu di dalamnya.
“Apa pendapatmu tentang orang yang
bernama Sudra, Pandan?” tanya Rangga.
“Sulit menduganya, Kakang,” sahut
Pandan Wangi. “Tapi mungkin juga punya hubungan di istana, atau pernah
melihatmu di Istana Karang Setra. Sehingga dia bisa mengetahui tentang dirimu
yang sebenarnya.”
“Kemungkinan itu memang ada, Pandan.
Tapi siapa orangnya yang bisa bebas keluar masuk di Istana Karang Setra...?”
Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Terlalu banyak, Kakang. Bukan hanya
para pembesar, para adipati, atau petinggi-petinggi kerajaan yang bisa keluar
masuk istana. Bahkan para pekerja rendahan dan rakyat juga bebas keluar masuk
istana. Bukankah itu peraturan yang kau berikan, agar tidak ada jurang pemisah
di antara petinggi dan rakyat...? Jadi, siapa saja bisa dan mungkin melihatmu
sedang duduk di Singgasana. Bahkan mengenalimu sebagai Pendekar Rajawali Sakti,”
jelas Pandan Wangi, menjabarkan keadaan di dalam Istana Karang Setra.
Sedangkan Rangga hanya diam saja
membisu. Tidak dibantah sedikit pun semua uraian yang dikemukakan gadis ini.
Apalagi menyalahi. Semua yang dikatakan Pandan Wangi memang benar pada kenyataannya.
Dia memang tidak ingin ada jurang pemisah di antara pembesar dan petinggi
kerajaan dengan rakyat. Jadi, tidak ada larangan bagi siapa saja, dan dari
golongan mana saja, untuk masuk ke dalam istana. Dan itu berarti bisa siapa
saja mengenali dirinya sebagai Raja Kerang Setra, juga sebagai seorang pendekar
yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
“Sebaiknya kita tetap berada di
sekitar Lembah Tangkar ini, Kakang. Sambil mencari keterangan, apa sebenarnya
yang sedang terjadi di sini,” usul Pandan Wangi lagi.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil
saja.
“Tapi yang lebih penting lagi, kita
harus bisa mengetahui siapa Sudra itu. Dan untuk apa mengirim surat yang tidak
jelas maksudnya padamu, Kakang,” tambah Pandan Wangi lagi.
Rangga tetap diam membisu. Tapi
kepalanya terangguk-angguk perlahan sekali, sehingga hampir tidak terlihat
gerakannya.
***
TIGA
Hari masih begitu gelap, meskipun
rona merah sudah membias di ufuk timur. Sementara burung-burung sudah ramai
berkicau menyambut datangnya sang mentari. Tampak seekor kuda putih dengan
belang coklat tua pada keempat kakinya berlari cepat meninggalkan Lembah
Tangkar menuju ke arah barat. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki tua
berjubah panjang berwarna putih bersih. Kudanya dipacu begitu cepat, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan Lembah Tangkar.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Laki-laki tua berjubah putih itu
terus cepat menggebah kudanya melintasi jalan tanah berdebu dan berbatu
kerikil. Lembah Tangkar semakin jauh ditinggalkan, sehingga tak ada satu rumah
pun yang terlihat. Hanya pepohonan dan bebatuan yang ada di sepanjang jalan
tanah berbatu kerikil itu. Dia meninggalkan jalan itu ketika berbelok ke kanan.
Lalu dimasukinya sebuah hutan yang tidak begitu lebat, sehingga masih bisa
menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Entah sudah berapa lama kudanya
dipacu cepat, menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan dia baru
berhenti saat matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sebentar pandangannya
beredar ke sekeliling, lalu melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya
begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi.
Perlahan kakinya terayun meninggalkan
kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon jati. Dia terus melangkah
perlahan, dan baru berhenti setelah di depannya berdiri sebuah bangunan batu
berbentuk puri. Tidak begitu besar bangunan puri itu. Dan sekelilingnya
terlihat sangat sunyi. Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah pintu masuk ke
dalam puri ini. Sebuah pintu yang tidak memiliki penutup, sehingga terbuka
lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya.
“Aku Ki Bargala datang hendak
menghadap Gusti Prabu Cantraka,” terdengar lantang suara laki-laki berjubah
putih itu.
Tak ada sahutan yang terdengar
sedikit pun. Tapi tiba-tiba saja dari bagian atas puri, melesat sebuah bayangan
merah. Lalu, di depan laki-laki berjubah putih yang mengenalkan dirinya sebagai
Ki Bargala itu sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju ketat berwarna
merah menyala. Wajahnya sulit untuk dikenali, karena kepalanya terselubung kain
merah. Hanya dua lubang bulat sebesar mata kucing pada bagian matanya saja
untuk penglihatannya. Namun sepasang bola mata itu bersinar tajam, dan agak
memerah di balik lubang penutup kepala dan wajahnya itu.
“Terimalah salam sembah dan
hormatku,” ucap Ki Bargala sambil berlutut dengan meletakkan tangan kanan di
depan dada.
“Bangunlah, Ki Bargala,” ujar orang
itu, terdengar berat nada suaranya.
Perlahan Ki Bargala bangkit berdiri.
Badannya dibungkukkan sedikit, dengan tangan kanan tetap berada di depan dada.
Jarak diantara mereka hanya sekitar lima langkah saja. Sementara keadaan di
sekitar puri itu masih tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun disana, kecuali
mereka berdua.
“Ada keperluan apa kau datang ke
sini, Ki Bargala?” tanya orang berbaju serba merah menyala itu. Suaranya masih
tetap terdengar berat sekali.
“Ada yang hendak kulaporkan pada
Gusti Prabu Cantraka,” sahut Ki Bargala dengan sikap begitu hormat.
“Katakan saja padaku. Gusti Prabu
Cantraka sedang tidak berkenan menerima siapa pun,” ujar orang berbaju serba
merah ini lagi.
Ki Bargala jadi terdiam. Sejak
meninggalkan Lembah Tangkar tadi, memang sudah diduga kalau tidak mungkin bisa
bertemu langsung dengan Prabu Cantraka. Dan laki-laki tua itu memang belum
pernah melihat orang yang dikenal bernama Prabu Cantraka. Setiap kali datang ke
puri ini, selalu saja orang berbaju merah menyala itu yang menemuinya. Dan Ki
Bargala tahu, orang berbaju serba merah yang selalu muncul menutupi wajahnya
itu biasa disebut Bayangan Setan Merah.
“Kemarin ada dua orang anak muda
datang ke lembah. Mereka membawa surat dari Sudra. Aku lalu mengirim empat
orang pembantuku yang terbaik. Tapi, mereka sangat tangguh, dan berhasil
menewaskan dua orang pembantuku. Sedangkan si Iblis Bunga Penyebar Maut sudah
tidak sabar lagi menunggu perintah dari Gusti Prabu Cantraka,” jelas Ki Bargala
melaporkan kejadian di Lembah Tangkar.
“Perintah itu sudah ada. Kau dan
orang-orangmu sudah bisa memulainya sekarang. Mengenai dua orang yang datang ke
lembah.... Hm, siapa mereka?” masih terdengar berat nada suara orang berbaju
merah yang berjuluk Bayangan Setan Merah.
“Mereka mengaku bernama Rangga dan
Pandan Wangi. Kedatangan mereka ke sana dengan membawa surat dari Sudra,” sahut
Ki Bargala memberitahu.
“Lalu, kenapa sampai dua orang
pembantu terbaikmu tewas?”
“Aku menyuruh empat orang pembantu
terbaikku mengusir mereka dari lembah. Tapi ternyata mereka tidak mau pergi.
Maka terpaksa terjadi pertarungan, hingga dua orang pembantuku tewas di tangan
mereka.”
“Kau melakukan tindakan bodoh, Ki
Bargala,” dengus Bayangan Setan Merah.
“Tapi surat yang mereka bawa bernada
mencurigakan.... Jadi terpaksa harus kuambil tindakan keras. Tapi tidak
kusangka kalau mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari
pembantu-pembantuku,” Ki Bargala mencoba membela diri.
“Tapi kenyataannya kau malah
kehilangan dua orang pembantumu yang terbaik.
Hhh...! Kau tahu, siapa mereka
sebenarnya, Ki Bargala?”
“Tidak.”
“Merekalah yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.”
“Oh...?!” Ki Bargala tampak terkejut
bukan main. Sungguh tidak disangka kalau dua orang yang datang semalam adalah
dua orang pendekar yang sangat ternama dikalangan persilatan. Terlebih lagi,
pemuda yang bernama Rangga dan dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat
kepandaiannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya saat ini. Ki Bargala
jadi kecut hatinya begitu mengetahui siapa dua orang itu sebenarnya.
“Lalu, apa yang harus kulakukan
sekarang?”
“Kembali ke Lembah Tangkar. Biar
urusan Pendekar Rajawali Sakti aku yang tangani. Yang penting, sekarang kau
harus bisa mengatasi segala sesuatu yang terjadi di Lembah Tangkar. Lembah itu
harus bisa dipertahankan sampai Gusti Prabu Cantraka menentukan, kapan kau dan
orang-orangmu boleh meninggalkan lembah.”
“Baik,” sahut Ki Bargala seraya
membungkuk memberi hormat.
“Berangkatlah sekarang juga.” Ki
Bargala kembali membungkuk memberi hormat. Dan begitu tubuhnya tegak,
didepannya sudah tidak terlihat lagi orang berbaju serba merah menyala itu.
Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Bargala sama sekali tidak mengetahui kapan
perginya. Laki-laki berjubah putih panjang itu bergegas berbalik dan melangkah
cepat meninggalkan puri itu.
Ki Bargala memacu cepat kudanya
keluar dari dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan ketika memasuki jalan
tanah berkerikil, mendadak saja terlihat sebatang anak panah berukuran kecil
dan berwarna hitam melesat cepat ke arahnya.
“Hup!” Ki Bargala cepat melentingkan
tubuh ke udara. Maka, anak panah hitam itu menghantam bagian leher kuda yang
ditunggangi Ki Bargala. Kuda putih belang coklat pada kakinya itu meringkik
keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara, lalu jatuh
menggelepar di tanah. Darah bercucuran dari lehernya yang tertembus sebatang
anak panah kecil berwarna hitam. Dan tepat ketika Ki Bargala mendarat, kuda itu
sudah tidak bergerak-gerak lagi.
“Panah beracun…,” desis Ki Bargala
begitu memeriksa panah hitam berukuran kecil yang menancap di leher kudanya.
Belum juga Ki Bargala bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat
sebuah bayangan hitam dari atas sebatang pohon yang tidak begitu jauh dari
laki-laki tua berjubah putih itu. Ki Bargala cepat melompat ke belakang sejauh
beberapa langkah. Bersamaan menjejaknya kaki Ki Bargala ke jalan tanah
berkerikil, sosok tubuh hitam itu juga mendarat manis di dekat bangkai kuda.
“Hm...,” kening Ki Bargala berkerut
memandangi sosok tubuh berbaju serba hitam didepannya.
Agak lama juga Ki Bargala memandangi
laki-laki yang sukar diterka usianya itu. Karena, wajahnya begitu buruk dan
hitam penuh benjolan. Sebagian pipi kanannya menggerompal, sehingga
memperlihatkan tulang pipinya sampai baris-baris gigi yang putih tak beraturan.
Sorot matanya begitu tajam, dan rambutnya teriap tak beraturan. Dia berdiri
agak terbungkuk, karena di punggungnya terdapat tonjolan seperti unta. Sebatang
tongkat dari kayu hitam tergenggam di tangan kanannya, untuk menyangga tubuhnya
yang bungkuk.
“Siapa kau, Kisanak? Kenapa
menghadang jalanku?” tanya Ki Bargala. Sinar matanya begitu tajam penuh selidik
menatap laki-laki berperawakan buruk di depannya.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku,
Iblis Jubah Putih!” sahut laki-laki bungkuk itu, dingin nada suaranya.
“Heh...?!” Ki Bargala tersentak kaget
mendengar jawaban laki-laki bungkuk itu.
“Kau tahu julukanku...? Siapa kau
sebenarnya?”
“Tidak sulit mengenalimu, Iblis Jubah
Putih. Dan aku juga tahu tujuanmu berada di Lembah Tangkar ini. Kuperingatkan
padamu, Iblis Jubah Putih, sebaiknya segera angkat kaki dari Lembah Tangkar,”
tegas laki-laki bungkuk itu, bernada mengancam.
“Kau tidak bisa mengancamku,
Kisanak,” desis Ki Bargala dingin.
“Aku tidak pernah berkata dua kali,
Iblis Jubah Putih. Jika tetap membandel, kau akan menyesal pada sisa-sisa
umurmu!” kata laki-laki bungkuk itu tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...!” tiba-tiba saja Ki
Bargala tertawa terbahak-bahak. “Aku tahu siapa kau sekarang, Kisanak. Kau
pasti si Bongkok dari Bukit Hantu.”
“Kau sudah tahu siapa aku, Iblis
Jubah Putih. Sebaiknya jangan keras kepala. Aku tidak segan-segan membuatmu
menyesal seumur hidup!” desis laki-laki bungkuk yang dikenal berjuluk si
Bongkok itu.
“Ancamanmu tidak ada artinya bagiku,
Bongkok!” dengus Ki Bargala. “Aku khawatir, justru kau sendiri yang tidak akan
bisa melihat matahari lagi.”
“Kau benar-benar keras kepala, Iblis
Jubah Putih...!” desis si Bongkok dingin menggetarkan.
“Jangan banyak omong! Menyingkirlah,
atau kau rasakan tongkat mautku!” bentak Ki Bargala sengit.
“Hm....”
Bet! Ki Bargala langsung mengebutkan
tongkat ke depan. Ujung tongkat yang runcing, tertuju lurus ke dada si Bongkok.
Perlahan kakinya bergeser ke depan beberapa langkah. Sedangkan si Bongkok sudah
menyilangkan tongkat di depan dada. Kakinya juga ditarik beberapa tindak
kekanan. Mereka tidak lagi berbicara. Hanya tatapan mata saja yang saling
menyorot tajam, seakan-akan hendak mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
“Mampus kau! Hiyaaat...!” Bagaikan
kilat, Ki Bargala yang berjuluk Iblis Jubah Putih melesat cepat menyerang si
Bongkok. Tongkatnya langsung berkelebat mengarah ke kepala laki-laki bungkuk
buruk rupa itu. Tapi manis sekali si Bongkok merundukkan kepala, menghindari
sabetan tongkat Iblis Jubah Putih.
Wuk!
Dan begitu tongkat Iblis Jubah Putih
lewat di atas kepala, cepat sekali tongkat hitamnya dihentakkan ke arah lambung
Ki Bargala. Serangan balasan yang begitu cepat, membuat laki-laki tua itu jadi
tersentak tidak menyangka. Buru-buru dia melompat ke belakang sambil berputar
dua kali. Baru saja Iblis Jubah Putih menjejakkan kakinya ditanah, si Bongkok
sudah kembali menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam pekat dikebutkan cepat
ke arah dada Ki Bargala. Tak ada lagi kesempatan bagi Iblis Jubah Putih
berkelit menghindar. Dan dengan cepat tongkatnya dikebutkan menangkis serangan
tongkat si Bongkok.
Bet! Trak!
“Heh...?!” Ki Bargala jadi terkejut
bukan main. Tongkatnya yang terkenal maut, seketika itu juga patah jadi dua
bagian ketika membentur tongkat hitam laki-laki bungkuk bermuka buruk itu. Maka
cepat-cepat dia melompat ke belakang. Sejenak dipandanginya potongan tongkatnya
yang masih tergenggam di tangan kanan. Sedangkan potongan lainnya entah berada
di mana.
“Setan...!” dengus Ki Bargala geram.
Tongkatnya dilemparkan kepada si Bongkok. Lemparan yang disertai pengerahan
tenaga dalam itu membuat potongan tongkat melesat bagai anak panah terlepas
dari busur.
Si Bongkok mengebutkan tongkatnya,
menangkis lemparan tongkat yang meluncur deras ke arahnya. Beberapa kali
tongkatnya dikebutkan, sehingga potongan tongkat si Iblis Jubah Putih
terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil.
Iblis Jubah Putih semakin terbeliak
melihat tongkatnya benar-benar tidak mempunyai arti.
“Keparat...!” Sret!
Ki Bargala benar-benar geram melihat
tongkatnya kini tak mempunyai arti lagi, setelah menjadi potongan-potongan
kecil yang tak lebih dari seruas jari. Maka pedangnya yang selalu tersembunyi
di balik jubahnya cepat dicabut. Sebilah pedang keperakan yang berkilat
tertimpa cahaya matahari.
Wuk!
Ki Bargala mengebutkan pedang
beberapa kali sambil menarik kakinya hingga terpentang lebar ke samping.
Sedangkan si Bongkok telah melakukan gerakan, membuka jurus baru yang pasti
tidak kalah ampuhnya dari jurus sebelumnya. Ki Bargala sendiri juga sudah siap
dengan jurus barunya. Dan sekarang tampaknya dia begitu berhati-hati menghadapi
manusia bungkuk bermuka buruk itu.
“Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Hampir bersamaan waktunya, mereka
saling berlompatan menyerang. Dan secara bersamaan pula, mereka sama-sama
mengebutkan senjata ke arah yang sama. Sehingga, benturan dua senjata yang
diandalkan tak dapat dihindari lagi. Dua senjata itu beradu keras di udara, di
saat tubuh-tubuh mereka melayang sekitar dua tombak dari tanah.
Trang! Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terdengar
dahsyat membelah udara ketika dua senjata berbentuk pedang dan tongkat itu
beradu. Terlihat bunga api memercik dari kedua senjata yang beradu keras itu.
Dan pada saat yang sama, mereka sama-sama berpentalan ke belakang. Tubuh mereka
berputaran beberapa kali di udara, dan sama-sama mendarat manis sekali. Mereka
kembali berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar dua batang tombak.
“Hiyaaat...!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Ki
Bargala yang dikenal berjuluk Iblis Jubah Putih cepat melesat menyerang sambil
membabatkan pedang beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Menerima serangan
yang begitu cepat dan dahsyat, si Bongkok segera memainkan tongkatnya, sambil
berlompatan lincah menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun.
Beberapa kali senjata mereka beradu, dan saling memercikkan bunga api.
Tapi serangan-serangan Ki Bargala
tidak juga berhenti sampai di situ. Akibatnya, si Bongkok terpaksa harus
berjumpalitan menghindari serangan-serangannya. Hanya sesekali saja si Bongkok
mampu memberikan serangan balasan, dan itu pun cepat sekali dipatahkan Iblis
Jubah Putih. Kini mereka bertarung semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu
cepat.
Entah sudah berapa jurus berlalu,
tapi pertarungan tampaknya tidak juga ada tanda-tanda akan berhenti. Bahkan
pertarungan semakin meningkat dahsyat. Kebutan-kebutan pedang dan tongkat
menimbulkan suara angin menderu, membuat kerikil dan debu jalan itu
beterbangan. Bahkan beberapa pohon sudah terlihat bertumbangan, tersambar
senjata maut mereka.
“Awas kaki...!” seru si Bongkok
tiba-tiba.
Bet!
Begitu cepatnya si Bongkok merunduk
sambil mengebutkan tongkat ke arah kaki Ki Bargala. Tapi dengan gerakan cepat,
Ki Bargala melenting ke atas. Sehingga, tebasan tongkat hitam itu hanya lewat
di bawah telapak kakinya. Namun tanpa diduga sama sekali, si Bongkok bergerak
cepat melewati kaki si Iblis Jubah Putih. Dia langsung melesat ke udara sambil
memberikan satu tendangan menggeledek secara berputar. Begitu cepat
serangannya, sehingga Ki Bargala tidak sempat lagi menyadari kalau serangan ke
kaki tadi hanya satu tipuan. Tidak sempat dihindari lagi tendangan laki-laki
bungkuk bermuka buruk itu.
Diegkh!
“Akh...!” Ki Bargala terpekik agak
tertahan.
Tendangan si Bongkok begitu telak
menghantam punggungnya, membuat Iblis Jubah Putih tersungkur mencium tanah.
Beberapa kali tubuhnya bergulingan ditanah, lalu cepat melompat bangkit
berdiri. Tapi, Ki Bargala jadi agak terhuyung. Pada saat itu, si Bongkok sudah
kembali melakukan serangan cepat dengan tusukan ujung tongkatnya kearah dada
laki-laki tua berjubah putih itu.
“Hiyaaat...!”
“Hih!”
Bet!
Ki Bargala mengebutkan pedang untuk
menangkis tusukan tongkat hitam itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Bongkok
cepat memutar tongkatnya, sehingga tangkisan Iblis Jubah Putih itu jadi
sia-sia. Dan sebelum Iblis Jubah Putih menarik pulang pedangnya, si Bongkok
sudah memberi satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!” untuk kedua kalinya Ki
Bargala memekik keras.
Pukulan yang dilepaskan si Bongkok
tepat dan keras sekali menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua berjubah
putih itu terpental sejauh beberapa batang tombak. kebelakang. Dua batang pohon
seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh tua berjubah putih itu. Dan
pada pohon yang ketiga, tubuh Ki Bargala baru berhenti meluncur. Iblis Jubah
Putih itu bergelimpangan di antara kepingan reruntuhan pohon yang terlanda
tubuhnya. Dia berusaha cepat bangkit berdiri, tapi....
“Hoeeek...!”
Dari mulutnya menyembur darah kental
agak kehitaman. Ki Bargala menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Rasa
pening cepat sekali menyerang kepala, ditambah lagi rasa sesak yang menggumpal
memenuhi dada. Ki Bargala merasakan dadanya bagai terhimpit sebongkah batu
besar, membuatnya jadi tersengal tak terkendali.
“Kau sudah memilih jalan kematianmu
sendiri, Iblis Jubah Putih. Terimalah kematianmu! Hiyaaat...!”
Si Bongkok rupanya tidak sudi lagi
memberi kesempatan pada orang tua berjubah putih itu. Bagaikan kilat, dia melompat
sambil menghunjamkan tongkat ke arah dada Ki Bargala yang masih berusaha
menguasai keseimbangan diri. Serangan kilat yang dilancarkan si Bongkok tak
mungkin lagi dapat dihindari. Dan Iblis Jubah Putih hanya dapat terbeliak, tak
mampu berkelit sedikit pun. Pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang mendarat
di dadanya tadi telah membuatnya seakan akan sulit bergerak.
“Mati aku...,” desah Ki Bargala dalam
hati.
Tapi ketika ujung tongkat si Bongkok
yang berwarna hitam pekat itu hampir saja menghunjam dada Ki Bargala, mendadak
saja sebuah bayangan merah menyambar tubuh laki-laki tua berjubah putih itu.
Bles!
“Setan..!” Si Bongkok jadi geram
setengah mati begitu tongkatnya hanya menembus sebatang pohon. Sedangkan tubuh
Ki Bargala sudah lenyap tak berbekas lagi, bagaikan amblas tertelan bumi. Si
Bongkok cepat mencabut tongkatnya yang menembus cukup dalam kebatang pohon. Dan
begitu tongkatnya tercabut, seketika pohon itu berasap, lalu hangus menghitam
bagai terbakar. Seluruh daunnya cepat sekali rontok berguguran dan warnanya
berubah Jadi kuning.
“Phuih! Ke mana iblis tua keparat
itu...?!” dengus si Bongkok geram.
Pandangannya beredar ke sekeliling,
tapi tidak juga terlihat ada satu bayangan pun berkelebat di sekitarnya. Iblis
Jubah Putih benar-benar lenyap tak terlihat lagi. Si Bongkok menggerutu dan
memaki dalam hati. Hatinya benar-benar kesal, karena lawan yang sudah tinggal
menjelang ajal mendadak saja lenyap tersambar bayangan merah.
“Bayangan merah.... Hm.... Apa
mungkin dia Bayangan Setan Merah...?” gumam si Bongkok bertanya-tanya sendiri.
“Kalau memang Bayangan Setan Merah, berarti bukan hanya Iblis Jubah Putih saja
yang ada di Lembah Tangkar. Hm.... Berapa orang sebenarnya yang ada di balik
semua ini...?”
Beberapa saat lamanya si Bongkok masih
berdiri mematung di tepi jalan tanah berkerikil itu. Beberapa kali dia
menggumam dan bertanya-tanya sendiri. Sambil menghembuskan napas berat,
laki-laki bungkuk bermuka buruk itu melangkah cepat meninggalkan jalan itu.
Gerakan ayunan kakinya begitu cepat, sehingga sebentar saja sudah jauh, dan
lenyap begitu membelok ke kanan yang langsung menuju ke Lembah Tangkar.
***
EMPAT
Ki Bargala cepat melompat bangkit
dari pembaringan begitu matanya terbuka. Tampak seseorang yang mengenakan baju
serba merah dengan seluruh kepala terselubung kain merah, berada di dekat
pembaringan yang tadi ditidurinya. Dia cepat-cepat berlutut, lalu meletakkan
tangan kanannya di depan dada.
“Bangunlah, Ki Bargala,” ujar orang
berbaju serba merah yang dikenal berjuluk Bayangan Setan Merah.
Perlahan Iblis Jubah Putih bangkit
berdiri, sambil mencoba mengingat-ingat kejadian yang dialami ketika jauh meninggalkan
puri di tengah hutan yang bersebelahan dengan Lembah Tangkar. Di tengah jalan,
dia di hadang laki-laki bungkuk bermuka buruk yang dikenal berjuluk si Bongkok.
Masih jelas dalam ingatannya saat bertarung dan hampir saja mati kalau tidak
disambar bayangan merah. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di dalam kamarnya,
ditemani Bayangan Setan Merah. Ki Bargala cepat menyadari kalau nyawanya
diselamatkan orang berbaju serba merah ini.
“Terima kasih, kau telah
menyelamatkan nyawaku,” ucap Ki Bargala seraya menjura memberi hormat.
“Jangan berterima kasih padaku, Ki
Bargala. Pikirkan saja kejadian yang kau alami,” elak Bayangan Setan Merah,
datar nada suaranya.
“Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba
saja Lembah Tangkar ini jadi menarik perhatian orang-orang rimba persilatan.
Belum lama Pendekar Rajawali Sakti muncul, dan sekarang datang lagi si Bongkok
yang langsung menyerangku,” desah Ki Bargala agak menggumam, seperti bicara
pada diri sendiri.
“Itu berarti, kau harus cepat
mendapatkan Sudra, sebelum dia bertindak lebih jauh lagi. Terlebih lagi, mereka
yang diundang Sudra bisa mencium maksud kita berada diLembah Tangkar ini, Ki
Bargala,” tegas Bayangan Setan Merah.
“Aku sudah berusaha, tapi sampai
sekarang belum juga bisa menemukan tempat persembunyiannya,” sahut Ki Bargala.
“Si Sudra keparat itu pasti masih ada
diLembah Tangkar ini. Aku ingin kau dan semua orang-orangmu menggeledah setiap
rumah yang ada di sini. Kalau perlu, gunakan kekerasan!”
“Mereka pasti tidak mau membuka
mulut.”
“Bunuh siapa saja yang membangkang.
Kau harus mendapatkan secepatnya, sebelum orang-orang yang diundangnya
bertambah banyak. Ini perintah langsung Prabu Cantraka, Ki Bargala. Lagi pula,
kau tidak akan mampu menghadapi para pendekar yang berkepandaian tinggi.
Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Bisa kau rasakan sendiri, baru
menghadapi si Bongkok saja sudah hampir mati!” agak menggeram nada suara
Bayangan Setan Merah.
“Aku akan laksanakan perintahmu,
Bayangan Setan Merah,” sahut Ki Bargala seraya menjura memberi hormat.
“Hm....”
Bayangan Setan Merah tidak
berkata-kata lagi. Tubuhnya diputar dan seketika itu juga melesat cepat keluar
dari ruangan ini melompati jendela. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam
sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
“Aku harus segera memberitahu hal ini
pada Iblis Bunga Penyebar Maut. Mereka pasti senang mendengar perintah ini,”
desah Ki Bargala seraya bergegas meninggalkan ruangan itu.
“Ha ha ha...!” Mawar Merah tertawa
terbahak-bahak begitu mendengar perintah Prabu Cantraka yang disampaikan Ki
Bargala. Perintah itu memang sudah lama dinantikan. Terlebih lagi, Prabu
Cantraka membebaskan mereka menggunakan segala cara untuk mendapatkan orang
yang bernama Sudra. Tanpa menunggu waktu lagi, malam itu juga kedua wanita yang
dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut segera mengobrak-abrik perkampungan
di Lembah Tangkar ini.
Sementara itu, tidak berapa jauh dari
Lembah Tangkar, tampak Rangga dan Pandan Wangi berdiri tegak memperhatikan
lembah yang kini semakin terang benderang oleh api yang membakar beberapa
rumah. Lembah yang semula begitu sunyi dan nampak tenang, malam ini benar-benar
berubah menjadi sebuah neraka. Orang-orang yang semula tidak kelihatan, kini
banyak terlihat berlarian serabutan berusaha menyelamatkan diri dari amukan
iblis Bunga Penyebar Maut dan dua orang pembantu Iblis Jubah Putih.
“Neraka benar-benar sudah terjadi
dilembah itu, Kakang,” ujar Pandan Wangi perlahan, tanpa berpaling sedikit pun
dari Lembah Tangkar.
Sedangkan Rangga hanya diam saja
membisu. Api semakin terlihat membesar dari beberapa rumah yang terbakar.
Meskipun jarak dari tempat ini cukup jauh dan tinggi, tapi cukup jelas untuk
melihat ke arah lembah itu. Dan jeritan-jeritan melengking, serta
teriakan-teriakan membentak terdengar jelas terbawa angin malam.
“Kakang, lihat...!” Tiba-tiba Pandan
Wangi menunjuk kesatu arah. Rangga segera mengarahkan pandangan ke arah yang
ditunjuk si Kipas Maut itu.
Tampak di sana dua orang tengah
bertarung melawan seorang laki-laki yang kelihatannya bertubuh bungkuk. Mereka
bertarung di antara orang-orang yang berlarian serabutan, berusaha
menyelamatkan diri dari amukan dua orang wanita berbaju merah dan putih yang
mengamuk tidak jauh dari pertarungan itu.
“Si Bongkok...,” desis Rangga,
langsung mengenali orang bertubuh bungkuk yang sedang bertarung melawan dua
orang pembantu terbaik Iblis Jubah Putih.
“Hup...! Yeaaah...!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar
Rajawali Sakti cepat melesat menuruni lereng tebing Lembah Tangkar. Pandan
Wangi juga tidak ingin ketinggalan. Gadis itu segera melesat mengikuti Pendekar
Rajawali Sakti. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki memang sudah mencapai
tingkatan yang tinggi sekali. Sehingga mereka bisa bergerak cepat bagaikan
angin. Tapak-tapak kaki mereka bagai melayang tak menyentuh tanah.
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga cepat melentingkan tubuh
begitu memasuki perkampungan di Lembah Tangkar itu. Gerakannya begitu ringan
dan cepat luar biasa, sehingga Pandan Wangi agak kesulitan mengimbanginya. Dan
gadis itu tertinggal cukup jauh di belakang. Sementara Rangga berlompatan dari
satu atap rumah ke atap rumah lain. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti langsung
meluruk turun begitu dekat dengan si Bongkok yang tengah bertarung melawan dua
orang pembantu terbaik Iblis Jubah Putih.
“Hiyaaat..!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga
langsung terjun ke dalam pertarungan itu. Segera dikerahkannya jurus ‘Sayap
Rajawali Membelah Mega’. Kedua tangannya bergerak cepat berkelebatan menyambar
dua orang laki-laki separuh baya yang pernah bertarung dengannya beberapa waktu
lalu. Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat dua orang pembantu Iblis
Jubah Putih itu jadi terkejut. Mereka kelabakan setengah mati menghindari
serangan-serangan cepat yang dilakukan Rangga. Begitu dahsyat, dan luar biasa.
Menyadari kalau tidak bakal unggul menghadapi pemuda berbaju rompi putih itu,
dua orang laki-laki separuh baya ini langsung melesat kabur.
“Kau tidak apa-apa, Paman Bongkok?”
tanya Rangga begitu dua orang yang mengeroyok si Bongkok kabur.
“Tanpa campur tanganmu, aku masih
bisa mematahkan leher mereka!” dengus si Bongkok.
“Mereka....”
“Aku tahu...!” selak si Bongkok cepat
memotong ucapan Rangga. “Sebaiknya, kita segera menghentikan kerusuhan ini. Kau
usir mereka, dan aku akan menyelamatkan orang-orang ini.”
Pada saat itu, Pandan Wangi baru
muncul. Rangga meminta gadis itu membantu si Bongkok menyelamatkan penduduk
Lembah Tangkar dari amukan Iblis Bunga Penyebar Maut. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti cepat melompat menghampiri dua orang wanita yang masih saja
mengamuk, membakar rumah-rumah, dan membantai orang-orang yang berada dekat
disekitarnya.
“Hentikan...!” seru Rangga keras
menggelegar.
Anggrek Putih dan Mawar Merah yang
dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut jadi terkejut mendengar teriakan
Rangga yang begitu keras menggelegar. Dan begitu mereka tahu siapa yang
berteriak menghentikannya, seketika itu juga mereka melesat pergi cepat sekali.
Begitu cepatnya lesatan kedua wanita itu, sehingga Rangga tidak sempat lagi
mengejar. Terlebih lagi di sekitarnya begitu banyak orang yang berserabutan
kalut, berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Malam itu Rangga, Pandan Wangi, dan si
Bongkok jadi sibuk menenangkan penduduk Lembah Tangkar ini. Mereka dikumpulkan
di sebuah lapangan yang cukup luas, ditengah-tengah perkampungan lembah itu.
Sementara api terus berkobar melahap beberapa rumah yang tidak sempat lagi
terselamatkan dari kehancuran. Memang sungguh dahsyat tindakan yang dilakukan
Iblis Bunga Penyebar Maut.
Entah berapa rumah yang terbakar, dan
berapa puluh orang yang terbantai tewas di tangan mereka. Untuk menjaga
keselamatan mereka semua, Rangga, Pandan Wangi, dan si Bongkok malam itu
terpaksa tinggal di perkampungan Lembah Tangkar ini. Sampai pagi hari, ketiga
pendekar itu mengamankan perkampungan dari amukan Iblis Bunga Penyebar Maut dan
orang-orangnya Iblis Jubah Putih.
Mereka yang rumahnya terbakar,
terpaksa tinggal disekitar halaman rumah tetua perkampungan ini yang biasanya
dipanggil Ki Kuwu. Dia adalah seorang laki-laki tua yang sekarang tinggal
seorang diri di rumahnya yang cukup besar dan berhalaman luas. Beberapa pondok
yang berdiri di bagian belakang rumahnya, direlakan untuk tempat tinggal
beberapa keluarga yang rumahnya habis terbakar.
“Tidak kusangka mereka akan berbuat
seperti ini...,” desah Pandan Wangi, agak menggumam nada suaranya.
“Mereka memang sudah lama mengancam.
Dan selama ini kami hidup dicekam rasa takut. Sehingga tak ada seorang pun yang
berani keluar dari rumahnya,” jelas Ki Kuwu.
“Siapa sebenarnya mereka itu, Ki?”
tanya Rangga.
“Mereka orang-orang suruhan Prabu
Cantraka,” sahut Ki Kuwu.
“Prabu Cantraka...?”
“Benar. Dialah orang yang berada di
belakang semua kekacauan ini. Sejak kedatangannya ke sini, Lembah Tangkar
benar-benar menjadi sebuah neraka bagi penduduk lembah ini. Bencana selalu
datang tanpa henti. Bahkan dia selalu mengambil anak-anak gadis kami untuk
dijadikan tumbal. Kami sendiri tidak tahu, ke mana anak-anak gadis kami
dibawa,” jelas Ki Kuwu.
“Ki, bukankah Lembah Tangkar ini
masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Jati? Apakah Prabu Cantraka itu Raja
Karang Jati?” tanya Pandan Wangi ingin memastikan.
“Bukan! Gusti Prabu Karang Jati
sendiri tidak tahu kejadian di Lembah Tangkar ini,” sahut Ki Kuwu.
“Hm.... Mengapa tidak diberi tahu,
Ki?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Tidak ada kesempatan bagi orang
untuk keluar dari Lembah Tangkar ini. Jadi, tidak mungkin semua kejadian di
sini dilaporkan. Mereka benar-benar menutup lembah ini,” lagi-lagi Ki Kuwu
memberi penjelasan keadaan di Lembah Tangkar ini.
Sementara itu si Bongkok masuk ke
dalam ruangan ini, dan langsung duduk bersila di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Diambilnya cawan perak yang berisi arak di depan Pendekar Rajawali
Sakti, langsung diteguknya hingga tandas tak tersisa lagi. Rangga hanya
tersenyum saja minumannya ditenggak habis tanpa bilang dulu. Dan Pendekar
Rajawali Sakti memang sudah kenal betul watak si Bongkok ini, meskipun di
antara mereka jarang sekali bertemu.
“Bagaimana keadaan di luar, Paman
Bongkok?” tanya Rangga.
“Mulai tenang,” sahut si Bongkok.
“Penduduk pun sudah ada yang membangun rumahnya kembali.”
“Lalu, bagaimana dengan...?”
“Rumahnya kosong,” si Bongkok cepat
memutuskan pertanyaan Pandan Wangi yang belum selesai.
“Kosong...?!” Pandan Wangi mendelik.
“Hm.... Itu berarti mereka sudah
pergi meninggalkan lembah ini,” gumam Rangga perlahan seperti bicara pada diri
sendiri.
“Tidak. Mereka pasti akan kembali
lagi kesini,” selak Ki Kuwu cepat.
“Bagaimana mungkin kau bisa
memastikan begitu, Ki?” tanya Pandan Wangi.
“Mereka belum mendapatkan yang
diinginkan. Jadi tidak mungkin mereka meninggalkan lembah ini tanpa mendapatkan
yang diinginkan,” jelas Ki Kuwu.
“Apa sebenarnya yang mereka inginkan
disini, Ki?” tanya Rangga ingin tahu.
Ki Kuwu tidak langsung menjawab. Kepalanya
tertunduk, seakan-akan menyimpan sesuatu yang begitu berat dalam hatinya.
Perubahan wajah laki-laki tua itu sangat menarik perhatian Rangga, Pandan
Wangi, dan si Bongkok. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Memang
sulit dimengerti perubahan sikap Ki Kuwu yang begitu tiba-tiba setelah mendapat
pertanyaan dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
“Apakah pertanyaanku tadi salah...?”
desah Rangga seakan-akan bertanya pada diri sendiri.
Perlahan Ki Kuwu mengangkat kepala,
langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi dan
si Bongkok hanya diam saja memperhatikan. Di benak mereka juga bertanya-tanya
atas sikap Ki Kuwu yang begitu tiba-tiba saja jadi berubah. Sinar mata
laki-laki tua itu begitu jelas, bagai menyimpan suatu duka yang amat dalam.
Bola mata yang semula begitu bening, kini terlihat berkaca-kaca.
“Kalian datang ke Lembah Tangkar ini
tentu karena mendapat surat dari orang yang bernama Sudra...,” ujar Ki Kuwu
perlahan, seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti.
“Bagaimana kau bisa tahu tentang
surat itu, Ki?” tanya Rangga meminta penjelasan.
Bukan hanya Rangga yang terkejut
mendengar ucapan Ki Kuwu tadi, tapi juga Pandan Wangi dan si Bongkok. Mereka
sampai terlongong terkejut. Sungguh tidak disangka kalau Ki Kuwu mengetahui
tentang surat yang mereka terima dari orang yang bernama Sudra.
“Ki Kuwu kenal orang yang bernama
Sudra?” tanya Pandan Wangi melihat Ki Kuwu diam saja tidak menjawab pertanyaan
Rangga tadi.
“Ya.... Aku kenal betul. Bahkan aku
sudah mengenalnya sejak dilahirkan oleh ibunya,” sahut Ki Kuwu perlahan.
Begitu pelannya suara laki-laki tua
sesepuh perkampungan Lembah Tangkar itu, sehingga hampir tidak terdengar.
Rangga, Pandan Wangi, dan si Bongkok jadi saling melemparkan pandang. Beberapa
saat lamanya keadaan di ruangan depan rumah Ki Kuwu ini jadi hening. Tak ada
seorang pun yang membuka suara. Ketiga pendekar itu memandang Ki Kuwu dengan
sinar mata meminta penjelasan dari surat yang diterima, hingga mereka sampai ke
Lembah Tangkar ini.
“Sebenarnya bukan hanya kalian saja
yang dikirimi surat. Tapi sekitar dua puluh orang pendekar. Tapi entah kenapa,
surat itu hanya sampai kepada kalian berdua saja. Sedangkan surat-surat yang
lainnya... Ah, entahlah. Sampai di mana sekarang ini,” ujar Ki Kuwu masih
dengan suara pelan.
“Aku mendapatkan surat ini dari
seorang kurir,” sela si Bongkok seraya mengeluarkan selongsong surat yang
tersimpan di balik lipatan bajunya.
“Aku juga,” sambung Rangga juga
mengeluarkan surat yang diterimanya.
“Aku tidak. Aku hanya ikut saja
dengan Kakang Rangga,” jelas Pandan Wangi menyambung berterus terang.
“Hm.... Berarti hanya dua pucuk surat
yang sampai. Sedangkan delapan belas surat lagi tidak sampai,” gumam Ki Kuwu
seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Itu berarti para kurir yang diutus tidak
bisa kembali lagi ke Lembah Tangkar ini. Hhh.... Malang benar nasib mereka.”
“Ki, siapa sebenarnya orang yang
bernama Sudra itu?” tanya Rangga menyelak.
“Dia anakku,” sahut Ki Kuwu perlahan.
“Jadi...?!”
Ketiga pendekar itu semakin bertambah
bingung mendengar pengakuan Ki Kuwu yang begitu jelas dan berterus terang.
Sungguh tidak disangka kalau orang yang bernama Sudra itu adalah putra Ki Kuwu.
Tapi sayang, mereka tidak bisa bertemu orangnya sekarang ini. Sedangkan Ki Kuwu
sendiri tidak tahu, untuk apa Sudra mengirim surat dan meminta mereka ke Lembah
Tangkar ini. Sedangkan mereka sudah mengalami beberapa peristiwa di lembah ini.
Bahkan peristiwa berdarah yang tidak bisa dicegah lagi.
***
Satu pekan sudah berlalu. Dan anak
buah Iblis Jubah Putih tidak pernah lagi kelihatan. Bahkan mendengar nama
mereka saja sudah tidak pernah lagi. Tapi yang membuat Rangga masih belum bisa
tenang, sampai saat ini belum bisa bertemu orang yang bernama Sudra. Tapi ada
satu yang membuat Pendekar Rajawali Sakti semakin tidak mengerti. Semua orang
di Lembah Tangkar ini tidak ada seorang pun yang mau membicarakan tentang orang
yang bernama Sudra. Bahkan sepertinya mereka tidak ingin memberitahukan siapa
itu Sudra.
“Kapan kita akan meninggalkan Lembah
Tangkar ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi ketika sore itu mereka berada di tepi
sungai yang mengalir di pinggir sebelah selatan Lembah Tangkar ini.
“Si Bongkok sudah dua hari yang lalu
meninggalkan Lembah Tangkar ini. Katanya dia mau mencari si Iblis Jubah Putih
yang masih punya urusan dengannya.”
“Tampaknya keadaan di sini memang
sudah tenang dan kembali seperti semula. Bahkan mereka telah mengangkat Ki Kuwu
menjadi tetua perkampungan ini, yang sederajat dengan kepala desa di daerah lain.
Tapi...,” ucapan Rangga terputus.
“Tapi kenapa, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
“Aku merasa persoalan di sini belum
tuntas seluruhnya, Pandan.”
“Maksudmu...?” Pandan Wangi tidak
mengerti jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku belum bertemu orang yang bernama
Sudra. Dan ini membuatku jadi penasaran! Terlebih lagi, aku merasa kalau Iblis
Jubah Putih, dan Iblis Bunga Penyebar Maut tidak jauh dari Lembah Tangkar ini.
Mereka pasti menunggu kesempatan untuk kembali lagi ke sini. Bisa kau
bayangkan, bagaimana jadinya jika kita meninggalkan Lembah Tangkar, sementara
mereka masih mengincar lembah ini tanpa diketahui maksud yang sebenarnya,” kata
Rangga menguraikan jalan pikirannya.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepala. Bisa dimengerti semua yang dikatakan Rangga barusan. Memang
kelihatannya tidak akan terjadi sesuatu lagi di Lembah Tangkar ini. Tapi di
balik ketenangan dan kedamaian, tersembunyi suatu bara api yang setiap waktu
bisa jadi berkobar. Sehingga membuat Lembah Tangkar menjadi sebuah neraka yang
akan menghancurkan seluruh lembah yang indah ini.
“Lantas apa yang akan kita lakukan
disini, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku punya satu rencana...,” sahut
Rangga seraya bangkit berdiri.
“Apa...?” tanya Pandan Wangi ingin
tahu.
Rangga tidak langsung menjawab
keingintahuan Pandan Wangi terhadap rencana yang sudah tersusun di dalam
kepalanya. Dipandangnya matahari yang hampir tenggelam dibalik cakrawala
sebelah barat. Perlahan kakinya terayun, diikuti Pandan Wangi yang cepat
mensejajarkan ayunan langkahnya disamping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun masih merasa penasaran atas
rencana yang ada di kepala Rangga, tapi Pandan Wangi tidak mau bertanya lagi
untuk mendesaknya. Mereka berjalan perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai
tanpa berbicara lagi.
Sementara, senja semakin jauh merayap
turun. Beberapa rumah yang berdiri di Lembah Tangkar ini sudah ada yang
menyalakan pelita. Saat kedua pendekar muda itu baru saja melewati beberapa
rumah, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat menyelinap di
antara rumah-rumah yang berdiri di Lembah Tangkar ini.
“Kau lihat itu tadi, Pandan?” tanya
Rangga.
“Ya,” sahut Pandan Wangi.
“Ayo kita kejar...!”
“Hup!” Pandan Wangi segera melesat
cepat begitu Rangga melompat mengejar bayangan yang berkelebat begitu cepat di
depannya tadi. Mereka melompat ke atas atap, dan terus berlompatan dari satu
atap rumah ke atap rumah lainnya. Begitu ringan dan cepat sekali gerakan yang
dilakukan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan putih dan biru yang
berkelebat melompati atap rumah yang satu, keatap rumah lainnya.
***
LIMA
Rangga berhenti berlari ketika sampai
ditepi hutan agak ke luar dari Lembah Tangkar. Di sini masih sempat terlihat
bayangan merah yang berkelebat cepat tadi menghilang. Saat itu Pandan Wangi
baru sampai, dan langsung berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tapi tidak juga melihat bayangan
merah yang dikejar tadi.
“Siapa orang itu tadi, Kakang?” tanya
Pandan Wangi.
Tapi belum juga Rangga membuka mulut
menjawab pertanyaan Pandan Wangi, mendadak saja matanya menangkap secercah
cahaya merah meluruk cepat bagai kilat kearah mereka.
“Awas...! Hup...!” seru Rangga
memperingatkan.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
melenting sambil mendorong tubuh Pandan Wangi ke samping. Begitu cepat
gerakannya, sehingga Pandan Wangi terkejut, dan jatuh berguling-guling di
tanah. Pada saat itu, cahaya merah yang dilihat Rangga menghantam tidak jauh
dari Pandan Wangi yang bergulingan di tanah. Ledakan keras menggelegar seketika
terdengar dahsyat begitu cahaya merah menghantam tanah.
Seketika itu juga tanah terbongkar
menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa. Pandan Wangi yang
terkejut, cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Matanya langsung terbeliak
melihat tanah didekatnya terbongkar cukup besar bagai kubangan kerbau.
Sementara Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya sekitar beberapa batang
tombak dari si Kipas Maut itu.
“Ha ha ha...!”
“Hup!” Pandan Wangi cepat melompat
mendekati Rangga begitu tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar yang
menggema, seakan-akan tawa itu datang dari segala penjuru. Kedua pendekar muda
dari Karang Setra itu saling berpandangan, kemudian sama-sama mengedarkan
pandangan berkeliling untuk mencari arah sumber suara tawa itu.
“Pindah ke belakangku, Pandan,” ujar
Rangga setengah berbisik.
Tanpa membantah sedikit pun, Pandan
Wangi segera menggeser kakinya ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara
suara tawa itu semakin keras saja terdengar. Pandan Wangi merasakan suara tawa
itu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga telinganya harus
ditutupi disertai penyaluran hawa murni.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti demikian tajam, tertuju lurus ke depan.
Perlahan kedua tangannya diangkat hingga terkepal menyilang di depan dada. Lalu
kedua kakinya dipentang lebar-lebar ke samping sambil merendahkan tubuhnya
dengan lutut tertekuk. Semakin tajam saja sorot mata Pendekar Rajawali Sakti,
dan tiba-tiba saja...
“Yeaaah...!” Sambil berteriak keras,
Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil membuka lebar-lebar
telapak tangannya. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya meluncur
sinar merah. Pemuda berbaju rompi putih itu mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh
Rajawali’ tingkat terakhir yang begitu dahsyat. Sinar merah yang keluar dari
kedua telapak tangannya, langsung meluruk bagaikan kilat menembus semak-semak
yang berada sekitar tiga batang tombak didepannya.
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar
terdengar begitu sinar merah tadi menghantam sebongkah batu yang tersembunyi di
balik semak belukar. Pecahan batu berpentalan ke udara, disertai kepulan asap
tebal menggumpal dan debu akibat hantaman pukulan jarak jauh yang dilepaskan
Rangga dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir.
Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah
bayangan merah melesat di antara kepulan debu dan pecahan batu serta asap yang
menggumpal, membumbung tinggi ke angkasa. Di saat yang sama, Rangga cepat
melentingkan tubuh ke udara mengejar bayangan merah itu. Cepat sekali tangannya
dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.
“Yeaaah...!”
Bet!
“Hap!”
Tampak bayangan merah itu berputaran
diudara menghindari kebutan kedua tangan Rangga. Dan hampir bersamaan, mereka
meluruk turun, lalu mendarat manis sekali ditanah. Kini di depan Pendekar
Rajawali Sakti telah berdiri seseorang yang mengenakan baju merah menyala.
Seluruh kepalanya juga terselubung kain merah. Hanya ada dua lubang kecil pada
bagian matanya saja yang terlihat, memperlihatkan sorot sepasang mata yang
tajam.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.
“He he he...! Tidak percuma kau
dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Rangga,” kata orang berbaju serba merah itu,
dingin dan datar suaranya.
Rangga jadi berkerut keningnya.
Matanya agak menyipit memperhatikan orang berbaju serba merah di depannya ini.
Sungguh hatinya terkejut mendengar orang itu sudah mengetahui tentang dirinya.
Bukan hanya nama julukannya, tapi juga nama aslinya.
“Siapa kau, Kisanak?” tanya Rangga
yang langsung bisa mengetahui kalau orang itu adalah laki-laki dari nada
suaranya.
“Aku sudah tidak ingat lagi siapa
namaku yang sebenarnya, Rangga. Tapi orang-orang selalu menyebutku Bayangan
Setan Merah,” sahut orang berbaju serba merah itu memperkenalkan diri.
“Bayangan Setan Merah...,” desis
Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti merasa belum pernah mendengar julukan
itu. “Apa keperluanmu disini...?”
“Kau sendiri, kenapa berada di
sini...?” Bayangan Setan Merah malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan
Rangga.
“Aku memang sengaja datang ke sini,
karena ada sesuatu yang perlu kuselesaikan,” sahut Rangga.
“Jadi, kau tidak senang aku berada
disini...?”
“Tergantung dari apa yang kau
lakukan, Bayangan Setan Merah.”
“Ha ha ha...! Jawaban yang bagus,
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku tidak percaya pada semua omong kosong tentang
dirimu. Kau boleh bangga dengan julukanmu, tapi bagiku tidak berarti apa-apa!”
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
kecil.
Sudah bisa ditangkap arti dari
kata-kata si Bayangan Setan Merah barusan. Kata-kata itu jelas sekali
mengandung tantangan yang tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Bayangan Setan
Merah sudah memberikan tantangan secara terbuka, meskipun diucapkan dengan
kata-kata halus. Dan Rangga menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa menangkis
tantangan yang sudah terucapkan itu.
Sementara si Bayangan Setan Merah
menatap tajam Pandan Wangi. Rangga juga melirik sedikit ke arah gadis berbaju
biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
“Aku minta kau jangan ikut campur,
Kipas Maut. Kau boleh saksikan kematian kekasihmu ini!” ujar si Bayangan Setan
Merah, dingin dan tegas suaranya.
“Hhh...! Melawanku saja kau belum
tentu mampu. Apalagi menantang Kakang Rangga,” desis Pandan Wangi sinis.
“Kau akan mendapat giliran, Kipas
Maut!” dengus Bayangan Setan Merah dingin.
“Bagianku mengeluarkan jantungmu!”
balas Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
“Phuih!” Bayangan Setan Merah kelihatan
gusar mendengar kata-kata Pandan Wangi yang membakar dadanya, tapi perhatiannya
cepat dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, dalam hal permainan
kata-kata untuk memanasi lawan, Pandan Wangi lebih pandai dari Pendekar
Rajawali Sakti. Tidak heran kalau dalam beberapa kata saja, si Bayangan Setan
Merah sudah terbakar amarahnya. Tapi, tampaknya laki-laki berbaju serba merah
itu tidak ingin melayani si Kipas Maut terus-menerus, sehingga perhatiannya
cepat dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Kita mulai sekarang, Pendekar
Rajawali Sakti...!” desis Bayangan Setan Merah dingin.
“Boleh,” sambut Rangga kalem diiringi
senyuman tersungging di bibir.
“Bersiaplah! Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Bayangan
Setan Merah melompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Tapi bersamaan dengan
itu, Rangga juga melesat ke udara menyambut serangan yang dilancarkan laki-laki
berbaju serba merah itu. Secara bersamaan, mereka sama-sama menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Sehingga, satu benturan keras diudara tidak dapat dihindari
lagi.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar
menggelegar memecah udara di keheningan malam yang sudah merambat turun ini.
Tampak mereka sama-sama terpental kebelakang dan berputaran di udara sebelum
sama-sama menjejakkan kaki ditanah. Sebentar mereka berdiri saling berhadapan
dengan sorot mata yang begitu tajam menusuk, kemudian...
“Hiyaaat...”
“Hih!”
Bayangan Setan Merah berlari cepat
dengan tangan kiri tertuju lurus ke depan. Dan begitu dekat dengan Rangga,
langsung tangan kirinya ditarik diikuti gerakan tangan kanan yang melepas satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Rangga bergegas menarik tubuhnya ke
kanan, menghindari pukulan yang dilepaskan si Bayangan Setan Merah. Sedikit
sekali Rangga memiringkan tubuhnya agak merunduk.
Dan begitu pukulan tangan kanan si
Bayangan Setan Merah lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti memberi satu sodokan tangan kiri ke arah lambung. Tapi serangan balasan
yang diberikan rupanya sudah terbaca lebih dahulu oleh si Bayangan Setan Merah.
Sehingga tubuhnya cepat-cepat ditarik ke belakang. Maka, sodokan tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran.
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, si Bayangan Setan
Merah melesat ke udara hingga melewati kepala Rangga. Dan bersamaan dengan itu,
kakinya bergerak cepat menghentak ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tak
ada waktu lagi bagi Rangga untuk berkelit. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke
kanan, dan bergulingan beberapa kali. Kembali serangan yang dilancarkan
Bayangan Setan Merah luput dari sasaran. Dia mendengus kesal begitu melihat
Rangga kembali berdiri tegak seperti menunggu serangan berikut. Tapi Bayangan
Setan Merah malah diam dengan mata tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti.
“Aku bosan bertarung seperti anak
ingusan. Sebaiknya kita segera tuntaskan permainan ini, Pendekar Rajawali
Sakti,” desis Bayangan Setan Merah dingin menggeletar.
“Akan kuturuti keinginanmu,” sambut
Rangga diiringi senyum tipis tersungging dibibir.
“Bersiaplah menerima aji pamungkasku,
Pendekar Rajawali Sakti.”
“Hm....”
“Hap...!” Bayangan Setan Merah segera
merapatkan kedua telapak tangannya didepan dada. Kemudian kedua kakinya
direntangkan lebar-lebar ke samping.
Sementara Rangga terus memperhatikan
setiap gerak yang dilakukan laki-laki berbaju serba merah itu. Tampak seluruh
tubuh Bayangan Setan Merah bergetar ketika kedua tangannya yang merapat ke atas
kepala diangkat. Dari sela-sela telapak tangannya yang merapat, terlihat asap
tipis kemerahan mengepul dan menggumpal menjadi satu membentuk bulatan seperti
bola.
“Yeaaah...!” tiba-tiba saja Bayangan
Setan Merah berteriak nyaring menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya
cepat ditarik ke depan dada. Lalu, secepat itu pula tangannya dihentakkan ke
depan. Gumpalan asap kemerahan di kedua telapak tangannya seketika itu juga melesat
cepat bagai kilat kearah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Rangga melompat ke udara
menghindari serangan Bayangan Setan Merah. Bulatan asap kemerahan itu seketika
menghantam tanah tempat Pendekar Rajawali Sakti berpijak tadi. Satu ledakan
keras terdengar dahsyat menggelegar ketika bulatan asap kemerahan itu
menghantam tanah. Sementara Rangga berjumpalitan beberapa kali di udara, dan
manis sekali mendarat di atas sebongkah batu yang cukup besar.
“Hiyaaa...!” Saat itu Bayangan Setan
Merah sudah menghentakkan kedua tangannya kembali kedepan. Dan bulatan asap
kemerahan kembali melesat cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti
yang baru saja menjejakkan kakinya di atas batu.
“Yeaaah...!” Kembali Rangga harus
melentingkan tubuhnya ke udara menghindari serangan Bayangan Setan Merah.
Seketika ledakan dahsyat kembali terdengar menggelegar begitu gumpalan asap
kemerahan menghantam batu yang besarnya dua kali lipat dari seekor kerbau
jantan dewasa.
Beberapa kali Rangga harus berjumpalitan
diudara, sebelum mendarat manis di atas tanah berumput lunak yang basah oleh
embun. Saat itu, Bayangan Setan Merah sudah kembali melancarkan serangan lagi.
Dan kembali pula Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan
menghindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan Bayangan Setan Merah.
Sedikit pun Rangga tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.
Bahkan kini sama sekali mengalami
kesulitan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Begitu ujung kakinya menyentuh
tanah, Bayangan Setan Merah langsung menyerang dengan gumpalan-gumpalan asap
merahnya yang dahsyat luar biasa. Sementara itu Pandan Wangi yang menyaksikan
dari tempat cukup jauh, jadi merasa cemas melihat Rangga dipaksa berjumpalitan
menguras tenaga menghadapi serangan-serangan si Bayangan Setan Merah.
“Hiyaaa...!”
“Hap!” Rangga cepat merapatkan kedua
tangannya di depan dada begitu kakinya menjejak tanah. Pada saat itu, Bayangan
Setan Merah sudah melontarkan serangan lagi. Cepat-cepat Rangga menarik
rubuhnya ke kanan, sehingga gumpalan asap kemerahan itu lewat disamping
tubuhnya. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri,
kemudian sedikit membungkuk sambil merentangkan kaki kesamping lebar-lebar.
“Yeaaah...!
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...! Hiyaaa...!”
Tepat ketika Bayangan Setan Merah
melepaskan serangannya, Rangga segera menghentakkan kedua tangannya yang sudah
terselimut cahaya biru berkilau menyilaukan mata. Seketika itu juga, bulatan
asap kemerahan beradu keras dengan cahaya biru dari aji ‘Cakra Buana Sukma’
yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti diudara.
Glarrr!
“Akh!”
“Hup!”
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh
berputaran ke belakang. Sementara Bayangan Setan Merah terpental sekitar dua
batang tombak. Dua batang pohon seketika tumbang terlanda tubuh laki-laki
berbaju serba merah ini. Tampak dari kain merah yang menyelubungi wajahnya,
cairan merah merembes membasahi kain merah itu. Dia berusaha bangkit berdiri,
tapi....
“Uhk...!”
Dari mulut yang tertutup kain merah,
menyembul darah berwarna agak kehitaman. Sementara Rangga yang sudah
menjejakkan kakinya kembali ke tanah, bergegas berlari menghampiri Bayangan
Setan Merah yang berlutut tak berdaya lagi. Pendekar Rajawali Sakti merenggut
bagian kepalanya, lalu melepaskan kain merah yang menyelubungi kepala orang
berbaju serba merah itu.
“Heh...?! Kau...?” Rangga terkejut
setengah mati begitu berhasil melepaskan kain merah yang menyelubungi seluruh
kepala dan wajah orang itu. Di balik kain merah, ternyata tersembunyi seraut
wajah tampan dan berkulit putih bersih, bagai kulit seorang wanita. Pendekar
Rajawali Sakti terkejut, karena mengenali laki-laki muda berusia sebaya dengan
dirinya.
“Raden Suryapati...,” desis Pandan
Wangi yang tahu-tahu sudah berada di samping Rangga. Gadis itu juga terkejut
dan mengenali raut wajah pemuda yang tersembunyi di balik selubung kain merah
itu. Betapa tidak...?
Mereka mengenal betul pemuda yang
tadi mengaku berjuluk Bayangan Setan Merah itu. Pemuda itu memang bernama Raden
Suryapati, salah seorang putra Adipati Pangkara diKadipaten Bararaja. Dan
memang, Lembah Tangkar ini masih termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Bararaja.
“Suryapati...? Apa yang kau lakukan
ini...?” tanya Rangga meminta penjelasan dari semua peristiwa ini.
Pemuda yang kini dikenali bernama
Raden Suryapati itu tidak langsung menjawab. Perlahan wajahnya diangkat, dan
langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kemudian tatapannya
berpindah kepada Pandan Wangi yang berdiri disamping Pendekar Rajawali Sakti,
lalu kembali beralih pada Rangga yang masih menatap meminta penjelasan dari
pertanyaannya.
“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa
dariku, Rangga,” desis Raden Suryapati dingin menggeletar. Dan setelah berkata
begitu, dirogohnya lipatan bajunya. Lalu cepat dimasukkan suatu benda kecil
berbentuk bulat dan berwarna merah kehitaman ke dalam mulutnya. Langsung
ditelannya benda itu.
“Heh...?!” Rangga jadi terkejut bukan
main. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mencegah, tapi gerakannya terlambat.
Benda kecil bulat berwarna merah
kehitaman itu sudah tertelan kedalam tenggorokan Raden Suryapati. Dan akibatnya
sungguh cepat. Pemuda yang semula dikenal berjuluk Bayangan Setan Merah itu
tiba-tiba saja mengejang. Dari mulutnya mengeluarkan busa berwarna kuning
kehijauan. Lalu, dia ambruk menggelepar. Tak lama kemudian seluruh tubuhnya
mengejang kaku, dan diam tak bergerak-gerak lagi.
Rangga cepat cepat memeriksa urat
nadi dibagian leher. “Dia sudah mati,” desah Rangga, hampir tak terdengar
suaranya.
Perlahan Rangga bangkit berdiri.
Sebentar dipandanginya pemuda berbaju merah yang bunuh diri dengan menelan pil
beracun. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak menjauhi tubuh Raden
Suryapati yang sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi.
Sementara Pandan Wangi terus
mendampingi Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam
membisu memandangi jasad Raden Suryapati yang terbujur kaku.
“Hhh...! Kenapa perbuatan bodoh
begitu dilakukannya...? Apa sebenarnya yang terjadi disini?” desah Rangga
bernada mengeluh.
“Kakang...,” lembut sekali Pandan
Wangi menyentuh pundak Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga menatap Pandan Wangi.
Sinar matanya kelihatan begitu redup. Pandan Wangi bisa merasakan apa yang kini
ada di hati Pendekar Rajawali Sakti. Memang sulit menerima kenyataan seperti
ini. Adipati Pangkara adalah sahabat dekat Arya Permadi, ayah kandung Pendekar
Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri sudah menganggap Raden Suryapati sebagai
adiknya. Kini, pemuda itu tewas bunuh diri setelah dilumpuhkannya. Sungguh
suatu kenyataan yang teramat pahit, yang harus ditelan Pendekar Rajawali Sakti
di Lembah Tangkar ini.
“Ayo kita pergi, Kakang,” ajak Pandan
Wangi lembut.
Rangga tidak berkata apa-apa, lalu
mengayunkan kakinya perlahan mengikuti Pandan Wangi meninggalkan tempat ini.
***
ENAM
Brak! Meja dari kayu jati cukup
tebal, seketika hancur berkeping-keping terhantam pukulan Rangga yang begitu
keras. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terkejut, tapi Ki Kuwu yang berdiri
dekat Pendekar Rajawali Sakti juga sampai terlompat kaget. Tampak seluruh tubuh
Rangga bergetaran bersimbah keringat. Kedua bola matanya memerah, dan
gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang meluap-luap dalam dada.
Kematian Raden Suryapati memang
membuat jiwa Pendekar Rajawali Sakti jadi terguncang. Pandan Wangi sendiri
tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Sungguh belum pernah dilihatnya Rangga begitu
marah seperti ini. Gadis itu merasa kecut juga hatinya, sehingga hanya bisa
diam, tak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Katakan sejujurnya! Apa sebenarnya
yang terjadi di sini, Ki Kuwu...?” desis Rangga, agak bergetar suaranya. Jelas
sekali dari nada suaranya, Pendekar Rajawali Sakti menahan amarah yang hampir
tak tertahankan lagi.
Sedangkan Ki Kuwu tampak gemetar
melihat raut wajah Rangga begitu tegang, dengan sinar mata memerah berapi-api.
Sementara, Pandan Wangi yang berdiri agak ke sudut hanya bisa memandangi tanpa
dapat berbuat sesuatu untuk meredakan amarah Pendekar Rajawali Sakti. Dia
sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Kemarahan Rangga langsung memuncak begitu
menyadari orang yang mengaku berjuluk Bayangan Setan Merah ternyata adalah
Raden Suryapati, yang telah diangkatnya sebagai saudara. Mengingat persahabatan
yang cukup dekat antara kedua orang tua mereka dahulu, jelas membuat hati
Rangga terpukul.
“Aku bisa lebih kejam dari mereka, Ki
Kuwu,” desis Rangga lagi. “Katakan, di mana Sudra berada, dan siapa yang ada
dibalik semua ini...?”
“Aku.... Aku...,” suara Ki Kuwu
tersendat dikerongkongan.
Prak! Lagi-lagi Rangga menghantamkan
pukulan ke dinding ruangan ini hingga jebol. Seluruh tubuh Ki Kuwu semakin
basah oleh keringat. Dan wajahnya begitu pucat, bagai mayat. Pandan Wangi
sendiri jadi bergetar melihat kemarahan Rangga. Baru kali ini dilihatnya
Pendekar Rajawali Sakti demikian marah, sehingga bagai tidak mengenal lagi
siapa dirinya.
“Kakang...,” perlahan sekali suara
Pandan Wangi, dan terdengar agak bergetar.
Gadis itu melangkah perlahan
menghampiri Rangga yang berdiri kaku membelakangi jendela. Langkahnya baru
berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi didepan Pendekar
Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Dan beberapa kali pula
terlihat Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Seakan-akan dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak,
bagai terhimpit beban yang teramat berat.
“Kita tidak bisa menyelesaikan
masalah dengan amarah, Kakang. Kendalikan dirimu. Aku bisa mengerti perasaanmu,
Kakang,” bujuk Pandan Wangi berusaha tenang dan lembut.
“Aku tidak mengerti, Pandan. Kenapa
Suryapati memakai julukan Bayangan Setan Merah...? Dari mana ajian yang begitu
dahsyat diperolehnya? Dia seperti lupa padaku. Dia tidak kenal lagi denganku.
Bahkan begitu bersungguh-sungguh ingin membunuhku. Apa sebenarnya yang terjadi,
Pandan? Kenapa semua...?” ucapan Rangga terputus. Pendekar Rajawali Sakti
mendongakkan kepala sambil menghembuskan napas panjang dan terasa begitu berat
sekali.
Pandan Wangi hanya bisa menelan ludah
saja untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak jadi terasa begitu kering,
bagai berada di tengah padang pasir yang luas tak bertepi.
“Semua akan jelas kalau orang yang
bernama Sudra itu ada di sini...,” ujar Rangga lagi. Nada suaranya terdengar
begitu gemas saat menyebut nama Sudra.
Memang, kalau tidak karena surat yang
dikirim dari orang yang bernama Sudra itu, tidak mungkin mereka berada di
Lembah Tangkar ini. Sepucuk surat yang menyimpan suatu teka-teki, dan sudah
meminta begitu banyak korban nyawa.
“Apa yang akan kau lakukan jika Sudra
ada di sini, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Ki Kuwu tiba-tiba.
Rangga dan Pandan Wangi langsung
menatap orang tua itu dalam-dalam. Sedangkan Ki Kuwu malah duduk di tepi dipan
bambu yang ada di sudut ruangan ini. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi.
Dan raut wajahnya juga sudah tidak memucat lagi. Ki Kuwu rupanya sudah bisa
menguasai dirinya.
“Kau tahu di mana dia, Ki?” tanya
Pandan Wangi, dibuat lembut nada suaranya.
“Memang tidak ada seorang pun yang
tahu, siapa itu Sudra,” kata Ki Kuwu, perlahan suaranya.
“Kau bilang dia anakmu. Kenapa
sekarang kau katakan tidak ada seorang pun yang tahu...? Mana yang benar, Ki?”
desak Pandan Wangi tidak mengerti.
“Sudah lama aku hidup sendiri,
setelah istriku meninggal dua puluh lima tahun yang lalu. Istriku sama sekali
tidak meninggalkan anak. Sedangkan aku sangat mendambakan keturunan yang bisa
mewariskan semua yang kumiliki sekarang ini,” masih terdengar pelan suara Ki
Kuwu.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi
menghampiri perlahan. Dan mereka duduk didipan bambu yang hanya beralaskan
selembar tikar yang sudah agak lusuh. Sedangkan Ki Kuwu masih tetap duduk
dipinggir dipan bambu itu. Kepalanya agak tertunduk, tapi sebentar kemudian
terangkat. Tatapan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang masih
terlihat tajam.
“Kenapa kau membohongi kami, Ki?
Kenapa kau tidak berkata terus terang sejak semula...?” tanya Rangga bernada
mendesak.
“Maaf, aku terpaksa melakukan itu
karena....”
“Karena apa, Ki?” desak Rangga cepat
begitu Ki Kuwu memutuskan ucapannya.
Belum juga bisa meneruskan
kata-katanya, mendadak saja melesat sebuah benda berwarna kuning kehijauan.
Rangga yang melihat benda itu, melesat cepat bagai kilat ke arah Ki Kuwu.
Tangan kirinya mendorong dada orang tua itu, dan tangan kanannya mengibas ke
arah benda kuning kehijauan.
“Yeaaah...!”
Bet!
Tap!
Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan Rangga, sehingga Ki Kuwu berhasil selamat dari benda yang meluncur
cepat bagai kilat itu. Dua kali Rangga berputaran, lalu manis sekali mendarat
di lantai ruangan ini. Sekilas matanya melirik Ki Kuwu yang terjajar bersandar
ke dinding.
“Tetap di sini, Pandan...!” seru
Rangga.
“Hup!”
“Baik, Kakang....”
Belum juga habis sahutan Pandan
Wangi, Rangga sudah melesat cepat keluar dari ruangan ini melewati jendela yang
terbuka lebar. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,
sehingga ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat hanya bayangan saja yang
terlihat. Hanya dengan ujung jari kaki Rangga menyentuh tanah, kemudian kembali
melenting tinggi keudara. Pendekar Rajawali Sakti kemudian hinggap di atas atap
rumah Ki Kuwu yang berukuran cukup besar. Pada saat itu matanya menatap dua bayangan
berkelebat cepat menerobos lebatnya pepohonan dibagian belakang rumah ini.
“Hup! Yeaaah..!”
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga
terus melompat cepat mengejar dua bayangan yang tampak berkelebat hilang di
dalam lebatnya pepohonan. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan
begitu kakinya menyentuh tanah. Begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga
seakan-akan sepasang kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
“Heps! Hiyaaa...!”
Begitu matanya kembali melihat dua
bayangan berkelebat, cepat tubuhnya melenting ke udara, dan melakukan beberapa
kali putaran melewati beberapa pepohonan yang tumbuh merapat di dalam hutan
Lembah Tangkar ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dengan
menotok ujung jari kakinya pada pucuk-pucuk pohon. Lalu manis sekali tubuhnya
meluruk turun, dan tepat mendarat menghadang dua orang yang berlari cepat
berkelebatan di antara pepohonan yang cukup rapat dalam hutan ini.
“Mau lari ke mana kalian...?!” desis
Rangga dingin.
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Dua orang laki-laki berusia separuh
baya itu terkejut bukan kepalang begitu tiba-tiba di depan mereka sudah berdiri
seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan pemuda tampan yang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi mendesis dingin begitu mengenali dua laki-laki
ini yang ternyata dua orang pembantu Ki Bargala yang berjuluk Iblis Jubah
Putih. Dua orang yang pernah bertarung dengannya ketika hari pertama diLembah
Tangkar ini.
Sret! Trek!
Dua orang laki-laki setengah baya itu
langsung mencabut senjata yang berupa tongkat pendek berujung bulan sabit,
begitu mengenali pemuda yang tiba-tiba menghadangnya. Sedangkan Rangga sendiri
masih tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam agak memerah. Begitu angker
sosok Pendekar Rajawali Sakti, bagai malaikat maut yang siap mencabut nyawa
kedua laki-laki setengah baya ini. Akibatnya, mereka langsung bergetar, kecut
hatinya. Mereka saling berpandangan sebentar, kemudian....
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Secara bersamaan mereka berlompatan
menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil mengebutkan senjata masing-masing.
Saat itu juga Rangga segera mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.
Kedua tangannya terpentang lebar dan kakinya bergerak cepat menyusur tanah.
Bet! Bet!
Dua kali Rangga mengebutkan kedua
tangannya, sambil meliukkan tubuh dengan indah sekali. Begitu cepatnya gerakan
yang dilakukan, sehingga membuat dua orang laki-laki separuh baya ini jadi
kelabakan setengah mati. Dan belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, kebutan
tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam senjata-senjata mereka yang
sudah terulur maju melakukan serangan tadi.
Trak! Tak! Mereka jadi terkejut
setengah mati melihat senjata-senjata yang diandalkan berpatahan tersabet
tangan-tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga mereka bisa menguasai
keterkejutannya, Rangga sudah kembali bergerak cepat menghentakkan kedua
tangannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Bet! Bet!
Plak! Diegkh!
Dua orang laki-laki setengah baya itu
seketika berpentalan terhantam kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
langsung ambruk bergelimpangan di tanah. Darah langsung menyembur keluar dari
mulut begitu mereka mencoba bangkit berdiri. Pada saat itu, Rangga sudah
melompat cepat mempergunakan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Pemuda
berbaju rompi putih itu meluruk deras ke arah salah seorang yang baru saja
bangkit berdiri. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Rangga, sehingga orang
itu tidak sempat lagi berbuat sesuatu.
“Yeaaah...!”
Prak!
“Aaa...!”
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar nyaring menyayat begitu satu kaki Rangga menghantam kepala
orang itu. Tubuhnya berputaran sambil meraung keras memegangi kepalanya yang
pecah terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa. Sementara yang seorang lagi cepat-cepat melarikan
diri begitu melihat temannya ambruk menggelimpang tewas seketika, sebelum
Rangga sempat menyadari.
“Hm...,” Rangga menggumam kecil
begitu melirik pada satu orang lagi yang berlari mencoba kabur. Perlahan
tubuhnya diputar dan berdiri tegak memandangi laki-laki setengah baya berbaju
biru tua yang terus berlari lintang pukang menerobos lebatnya pepohonan dalam
hutan ini. Sama sekali tidak disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti terus
memperhatikan.
“Hup!” Tiba-tiba saja Rangga melesat
tinggi keudara, dan hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi. Bibirnya
menyunggingkan senyum tipis saat memperhatikan laki-laki separuh baya berbaju
biru tua itu terus berlari jatuh bangun menerobos lebatnya hutan ini. Pendekar
Rajawali Sakti kembali melompat ke pohon lainnya. Sengaja dibiarkannya orang
itu terus berlari. Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti dengan berlompatan
dari satu pohon ke pohon lainnya sambil menjaga jarak.
Sama sekali orang itu tidak menyadari
kalau dirinya diikuti. Kepalanya berpaling kebelakang, dan berhenti
menyandarkan punggungnya ke batang pohon sambil mengatur jalan napas yang
terengah-engah karena berlari kencang tanpa mempedulikan sekelilingnya.
Sebentar laki-laki itu beristirahat, kemudian kembali berlari. Kali ini dia
berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, dan tidak tersaruk-saruk seperti
tadi. Sementara Rangga semakin tersenyum lebar melihat buruannya menyangka
sudah aman tidak diikuti.
“Terus lari, Setan! Tunjukkan tempat
persembunyian teman-temanmu!” desis Rangga dalam hati.
Sementara itu Pandan Wangi yang masih
berada di rumah Ki Kuwu tampak gelisah menunggu Rangga yang tidak juga kunjung
datang. Kini malam terus merayap semakin larut. Beberapa kali Pandan Wangi
melongok ke luar, tapi tidak juga melihat ada tanda-tanda Rangga akan kembali.
Matanya melirik Ki Kuwu yang masih tetap duduk dengan wajah lesu di tepi dipan
bambu.
“Maaf, aku telah menyusahkan
kalian...,” ujar Ki Kuwu perlahan, memecah kesunyian yang terjadi diruangan
depan rumahnya ini.
“Kau tidak perlu meminta maaf begitu,
Ki. Aku rasa, kau bisa membantu mengatasi keadaan ini jika mau berterus terang
sejak semula,” kata Pandan Wangi, tetap berdiri disamping jendela.
“Aku memang salah. Tapi bukan
maksudku untuk mempermainkan kalian. Hal ini kulakukan hanya untuk
menyelamatkan anak-anak kami yang mereka ambil, dan sampai sekarang belum ada
seorang pun yang kembali,” jelas Ki Kuwu, masih tetap perlahan suaranya.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?”
ujar Pandan Wangi ingin lebih jelas lagi.
“Sudah cukup lama Prabu Cantraka
menguasai Lembah Tangkar ini. Bahkan bukan hanya lembah ini saja yang dijarah.
Tapi juga sampai ke kota kadipaten dan desa-desa lain di seluruh Kadipaten
Bararaja. Dia mengambil paksa anak-anak muda dan gadis-gadis berusia di bawah
dua puluh tahun. Bahkan sampai putra adipati sendiri diambil dengan paksa.”
“Hm.... Apakah Adipati Pangkara
sendiri tahu putranya diculik?” tanya Pandan Wangi.
“Ya! Tapi Gusti Adipati Pangkara
tidak bisa berbuat apa-apa, karena orang yang selalu dipanggil Prabu Cantraka
itu sukar dilawan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Tak ada seorang pun
jago kadipaten yang sanggup menandinginya. Sampai Gusti Adipati Pangkara
sendiri hanya bisa diam, setelah mendapat ancaman dari Prabu Cantraka.”
“Ancaman apa?”
“Putranya akan dibunuh, dan seluruh
Kadipaten Bararaja akan dibumihanguskan jika Adipati Pangkara terus
mengusiknya. Ancaman itu dibuktikan dengan menghancurkan satu desa yang berada
di sebelah utara kota kadipaten. Sampai saat itu, tidak ada seorang pun yang
berani lagi menentang kehendak Prabu Cantraka. Dan...,” Ki Kuwu memutuskan
kalimatnya.
“Teruskan, Ki,” pinta Pandan Wangi.
“Aku tidak tahan melihat kekejaman
berlangsung di depan mataku, tanpa ada seorang pun yang mampu menghentikannya. Hingga,
aku punya pikiran yang mungkin kau anggap gila, Pandan. Aku mengirim beberapa
surat pada para pendekar di seluruh pelosok wilayah kulon ini. Semua pembantuku
kusebar membawa surat itu.”
“Jadi...?!”
“Ya! Sudra sebenarnya adalah aku
sendiri. Semua orang di Lembah Tangkar ini hanya mengenalku dengan nama Ki
Kuwu. Padahal, orang tuaku memberi nama Sudra,” akhirnya Ki Kuwu mengaku juga.
“Oh...,” desah Pandan Wangi tidak
menyangka.
“Salah seorang pembantuku yang
membawa surat, rupanya sempat diketahui anak buah Iblis Jubah putih. Dia tewas,
disusul dua orang pembantuku yang lain. Iblis Jubah Putih dan orang-orangnya
yang dibantu Iblis Bunga Penyebar Maut, mengejar dan membantai para pembantuku
yang membawa surat. Tapi, rupanya dewata masih juga melindungi niat baikku.
Meskipun hanya dua pucuk surat saja yang selamat, tapi itu sudah membuka pintu
terang untuk Lembah Tangkar ini,” kali ini nada suara Ki Kuwu terdengar lega
dan bebas. “Maafkan aku, Pandan.
Aku telah menyusahkanmu. Juga
Pendekar Rajawali Sakti....”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Ki.
Aku rasa, yang kau lakukan adalah benar, meskipun harus berkorban begitu
banyak. Bahkan kau mempertaruhkan penduduk Lembah Tangkar ini. Tapi aku kagum
atas keberanianmu, Ki. Sulit mencari orang yang berani sepertimu. Mau
mempertaruhkan segalanya demi kebaikan dan memerangi keangkaramurkaan,” tegas
Pandan Wangi seraya memberi senyuman.
Gadis berbaju biru muda yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut itu melangkah perlahan mendekati Ki Kuwu. Kemudian, dia
duduk di samping orang tua itu. Melihat senyum terkembang di bibir Pandan
Wangi, bola mata laki-laki tua itu jadi berkaca-kaca. Hatinya sungguh tersentuh
mendapati kebesaran hati gadis berkepandaian tinggi ini.
“Akibat perbuatanku, mereka jadi
marah dan terus mencari orang yang bernama Sudra yang sebenarnya adalah aku
sendiri. Mereka mengamuk dan membantai penduduk Lembah Tangkar ini. Mereka akan
membumihanguskan lembah ini jika tidak menyerahkan Sudra,” lanjut Ki Kuwu.
“Tidak perlu menyesali diri, Ki.
Tindakan yang kau ambil tidak salah sama sekali. Bahkan aku kagum atas
keberanianmu. Meskipun kau tahu betapa besar bahayanya, tapi tetap kau lakukan
demi tegaknya keadilan dan kedamaian dimuka bumi ini. Memang sudah sepantasnya
ada satu orang yang bertindak berani menentang keangkaramurkaan. Percayalah,
Ki. Aku dan Kakang Rangga akan membebaskan Lembah Tangkar ini dari cengkeraman
mereka,” ujar Pandan Wangi, membesarkan hati orang tua ini.
“Aku percaya pada kemampuan kalian
berdua, Pandan. Aku yakin, kau dan Pendekar Rajawali Sakti pasti mampu menumpas
mereka. Paling tidak, mengusir mereka jauh-jauh dari sini, hingga tidak bisa
kembali lagi ke Lembah Tangkar,” ujar Ki Kuwu berharap.
Pandan Wangi tersenyum dan menepuk
pundak laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri dan melangkah menghampiri
jendela. Gadis itu berdiri tegak di depan jendela yang masih terbuka lebar.
Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut.
“Kau tahu di mana tempat
persembunyian mereka, Ki?” tanya Pandan Wangi tanpa memutar tubuhnya, dan terus
memandang keluar jendela.
“Tidak,” sahut Ki Kuwu. “Tak ada
seorang pun yang tahu di mana sarang mereka.”
“Hm.... Lalu siapa orang yang
dipanggil Prabu Cantraka itu?” tanya Pandan Wangi lagi sambil memutar tubuhnya,
berbalik.
“Tidak ada yang tahu pasti, siapa dia
sebenarnya, Pandan. Dia pernah muncul sekali di Kadipaten Bararaja, tapi
wajahnya ditutupi topeng kera dari kayu. Hanya satu kali itu saja kemunculannya
ketika memberikan peringatan kepada Gusti Adipati Pangkara. Tapi itu juga hanya
di halaman istana kadipaten. Dan tidak bertemu langsung dengan Gusti Adipati
Pangkara sendiri,” sahut Ki Kuwu menjelaskan lagi.
“Hm.... Dia muncul menutupi wajahnya.
Pasti dia tidak ingin dikenali,” gumam Pandan Wangi berbicara sendiri. Si Kipas
Maut menatap Ki Kuwu dalam-dalam. Sedangkan yang dipandangi hanya tertunduk
saja, seakan-akan tidak sanggup membalas sorot mata gadis cantik berjuluk si
Kipas Maut itu. Beberapa saat tidak ada yang berbicara. Dan keadaan di dalam
ruangan itu jadi hening, seperti berada di tengah-tengah kuburan.
“Ki, sebenarnya ada apa di Lembah
Tangkar ini?” tanya Pandan Wangi, agak dalam nada suaranya.
“Semua penduduk di Lembah Tangkar ini
hidup dari mendulang emas...,” ujar Ki Kuwu memberi tahu.
“Emas...?!”
“Benar. Lembah ini kaya akan emas.
Seakan-akan tidak ada habisnya,
meskipun setiap hari selalu diambil dan diangkut ke kota. Bahkan, tadinya tidak
sedikit para pedagang dan saudagar yang datang ke sini untuk menukar dagangan
dengan emas. Tapi sekarang tempat mencari emas itu sudah dikuasai Prabu
Cantraka. Bahkan sampai sekarang ini, tidak ada seorang pun yang diperbolehkan
mendulang emas.”
“Hm...,” Pandan Wangi menggumam tidak
jelas.
Pantas saja rumah-rumah di sini
besar-besar, dan kehidupan penduduk lembah ini bisa dikatakan lebih tinggi
daripada orang-orang yang hidup di kota kadipaten. Ternyata mereka memang kaya
akan emas. Tidak heran jika ada orang yang tertarik menguasai lembah ini. Tapi
jalan yang digunakan sama sekali tidak benar. Dan Pandan Wangi menduga, orang
itu pasti sudah mengenal betul seluk-beluk di Lembah Tangkar, hingga berani
membekukan semua kegiatan Kadipaten Bararaja yang masih membawahi wilayah
Lembah Tangkar ini.
“Apa tidak mungkin...? Hm.... Aku
harus segera menemui Kakang Rangga,” gumam Pandan Wangi berbicara sendiri dalam
hati. Sebentar gadis itu menatap pada Ki Kuwu.
“Aku pergi dulu, Ki,” ujar Pandan
Wangi.
“Kau mau ke mana?” tanya Ki Kuwu.
“Mencari Kakang Rangga,” sahut Pandan
Wangi.
“Ke mana kau akan mencarinya,
Pandan?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Dia
memang tidak tahu, ke mana harus mencari Rangga yang sampai saat ini belum juga
muncul. Bahunya diangkat sedikit, dan kakinya melangkah menuju ke pintu depan.
Ki Kuwu bergegas bangkit dari dipan bambu yang didudukinya, dan cepat-cepat
melangkah menyusul si Kipas Maut itu.
“Ada sebuah puri di tengah hutan, dan
sudah lama tidak dipakai lagi. Mungkin mereka menjadikan puri itu sebagai
sarangnya,” jelas Ki Kuwu begitu ayunan langkahnya berada di samping Pandan
Wangi.
“Kau bisa tunjukkan, Ki?” pinta
Pandan Wangi.
“Ikuti aku. Kita ambil jalan pintas.”
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
Kini mereka terus berjalan keluar
dari rumah berukuran sangat besar dan cukup megah ini. Mereka terus berjalan
menuju ke bagian belakang rumah Ki Kuwu ini. Dan malam pun semakin terus
merayap larut. Udara semakin terasa dingin terbawa hembusan angin yang agak
kencang. Tapi Pandan Wangi dan Ki Kuwu seperti tidak menghiraukannya. Mereka
terus melangkah menuju ke hutan yang terletak tepat di belakang rumah Ki Kuwu.
***
TUJUH
Sementara itu Rangga yang mengikuti
salah seorang pembantu Iblis Jubah Putih, sudah sampai di tengah-tengah hutan
yang cukup lebat ini. Pendekar Rajawali Sakti berhenti mengikuti, dan tetap
berada di atas pohon ketika melihat sebuah bangunan putih yang terbuat dari
batu di tengah-tengah hutan ini. Dan laki-laki setengah baya yang diikutinya,
jelas melangkah cepat menuju bangunan puri itu.
Dari dalam puri, tampak keluar Ki
Bargala yang lebih dikenal berjuluk Iblis Jubah Putih. Di belakangnya mengikuti
dua wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang masing-masing mengenakan baju
ketat warna merah dan putih. Meskipun sudah berusia sekitar empat puluh tahun,
tapi mereka masih kelihatan cantik dan segar bagai gadis yang baru saja berumur
dua puluh tahun. Kedua wanita ini yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar
Maut.
“Bagaimana, Wirya?” Iblis Jubah Putih
langsung bertanya begitu laki-laki separuh baya itu berada dekat di depannya.
“Gagal, Ki...,” sahut laki-laki
separuh baya berbaju biru tua yang dipanggil Wirya itu. Suaranya pelan sekali,
dan hampir tidak terdengar di telinga.
“Apa...?! Gagal...?!” Iblis Jubah
Putih mendengus berang mendengar jawaban yang tidak diinginkannya itu.
“Mereka menghalangi, Ki. Bahkan
pemuda itu membunuh....”
“Setan...!”
Plak!
“Aduh...!” Wirya terpekik.
Tubuhnya terpelintir begitu tiba-tiba
satu tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Laki-laki separuh baya itu
langsung jatuh berlutut di depan Iblis Jubah Putih. Dengan punggung tangannya,
disekanya darah yang merembes keluar dari sudut bibirnya. Tamparan Iblis Jubah
Putih begitu keras, sehingga pandangannya terasa jadi berkunang-kunang.
“Kenapa kau tidak mampus saja
sekalian, heh...?! Tidak ada gunanya kau kembali kesini!” dengus Iblis Jubah
Putih berang.
“Maaf, Ki...,” ucap Wirya perlahan.
“Bangun!” bentak Iblis Jubah Putih.
Perlahan Wirya bangkit berdiri, tapi
kepalanya tetap tertunduk menekuri tanah di ujung kakinya. Sama sekali dia
tidak berani membalas sorot mata Iblis Jubah Putih yang begitu tajam memerah
menahan marah. Sementara dua wanita yang berada di belakang Iblis Jubah Putih
hanya diam saja tidak bersuara sedikit pun. Salah seorang yang mengenakan baju
warna merah menyala dan biasa dipanggil si Mawar Merah, melangkah maju
mendekati laki-laki tua berjubah putih itu.
“Ada tamu datang kesini, Ki,” bisik
si Mawar Merah perlahan.
“Hm...,” Iblis Jubah Putih menggumam
pelan. Kepalanya terdongak sedikit, dan diputar ke kanan. Lalu, diputar ke kiri
perlahan-lahan. Kembali dia menggumam begitu telinganya yang setajam mata pisau
mendengar tarikan napas ringan dari arah kirinya. Laki-laki tua berjubah putih
itu melirik sedikit pada dua wanita yang mendampinginya. Iblis Bunga Penyebar
Maut bisa mengerti, dan perlahan menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak.
“Kau diikuti, Wirya?” tanya Iblis
Jubah Putih mendesis perlahan.
“Tidak, Ki,” sahut Wirya.
“Kau memang bodoh!” dengus Iblis
Jubah Putih.
Wirya jadi bengong tidak mengerti.
Dan sebelum laki-laki setengah baya berbaju biru tua itu bisa mengerti
maksudnya, mendadak saja si Iblis Jubah Putih berteriak nyaring dan keras
menggelegar. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya dikebutkan ke samping sambil
cepat memutar tubuhnya.
Slap!
Seketika itu juga dari telapak tangan
kirinya meluncur sebuah benda berwarna putih keperakan. Benda itu meluncur
deras ke arah semak belukar yang ada di sebelah kiri bangunan batu berbentuk
puri itu. Satu ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat ketika benda putih
keperakan itu menghantam semak yang seketika itu juga hancur terbongkar bagai
diseruduk banteng liar. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang hancur
melesat sebuah bayangan hitam ke udara.
Tampak bayangan hitam itu
berjumpalitan di udara, lalu manis sekali meluruk turun. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun juga, bayangan hitam itu mendarat ditanah. Dan sekitar tiga
batang tombak di depan Iblis Jubah Putih, kini sudah berdiri seorang laki-laki
berbaju serba hitam dengan punggung terdapat tonjolan cukup besar yang membuat
tubuhnya bungkuk. Kulit wajahnya hitam bagai terbakar, dan terdapat beberapa
benjolan seperti bisul.
“Si Bongkok...,” desis Iblis Jubah
Putih agak bergetar suaranya begitu mengenali laki-laki yang muncul dari dalam
semak belukar tadi.
“He he he... Kau tidak bisa lari
dariku, Iblis Jubah Putih,” ujar si Bongkok diiringi suara tawanya yang
terkekeh.
“Phuih! Kau pikir aku takut menghadapimu...?”
dengus Iblis Jubah Putih gusar atas kemunculan si Bongkok ini.
“Oh, ya...? Kalau kau berani, kenapa
tidak langsung serang saja...?” tantang si Bongkok memanasi.
“Keparat...!” geram Iblis Jubah Putih
semakin bertambah gusar mendengar tantangan terbuka itu. Dia tahu si Bongkok
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dan Iblis Jubah Putih tidak mau gegabah
menghadapinya. Maka, matanya melirik sedikit pada Wirya yang masih berdiri tak
bergeming di tempatnya. Laki-laki setengah baya berbaju biru tua itu tahu apa
yang harus dilakukannya. Cepat dia melompat ke depan, melewati Iblis Jubah
Putih.
“Hadapi aku dulu, Manusia Jelek!”
bentak Wirya kasar.
“Hhh! Aku paling tidak suka
berlama-lama dengan tikus busuk sepertimu!” dengus si Bongkok dingin.
“Jangan banyak omong! Tahan
seranganku. Hiyaaat..!” Wirya langsung saja melompat cepat memberi serangan.
Satu pukulan keras menggeledek dilepaskan disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
“Uts!” Tapi hanya memiringkan sedikit
saja tubuhnya, pukulan Wirya yang begitu keras dapat dihindari si Bongkok.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kiri laki-laki bertubuh bungkuk itu
bergerak cepat menyodok kearah lambung.
Bet! “Akh...!” Wirya tersentak kaget.
Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang menghindari sodokan tangan kiri si
Bongkok. Dan secepat kilat, Wirya melentingkan tubuh sambil melepaskan. satu
tendangan keras menggeledek yang sangat dahsyat luar biasa.
“Yeaaah...!”
Tapi si Bongkok sama sekali tidak
bergerak menghindar. Dan begitu kaki Wirya berada dekat kepalanya, cepat sekali
tangan kanan si Bongkok yang memegang tongkat hitam bergerak membabat kaki yang
menjulur deras ke arah kepala itu.
“Heh...?!” Wirya jadi terkejut
setengah mati. Buru-buru kakinya ditarik pulang sambil memutar tubuhnya ke
belakang dua kali. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja si
Bongkok sudah menusukkan tongkatnya kearah dada dengan kecepatan luar biasa.
“Yeaaah...!”
Bresss!
“Aaa...!”
Memang tidak ada lagi kesempatan
Wirya untuk menghindari tusukan tongkat hitam itu. Hingga, tongkat hitam itu
menembus dadanya begitu dalam, sampai ujungnya menyembul keluar dari punggung.
Dengan sekali sentakan saja, si Bongkok mencabut tongkatnya. Seketika darah
muncrat keluar dari dada dan punggung Wirya.
“Hiyaaa...!”
Si Bongkok tidak berhenti sampai di
situ saja. Cepat diberikannya satu tendangan menggeledek yang begitu keras
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan si Bongkok mendarat telak
di dada Wirya. Akibatnya laki-laki separuh baya itu terpental jauh ke belakang,
dan baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang cukup besar, tepat di
tempat Pendekar Rajawali Sakti bertengger di atasnya.
Untung saja Rangga segera mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tidak sampai terjatuh ke bawah. Cukup keras
juga benturan itu, sehingga membuat pohon yang cukup besar itu jadi berguncang
hebat dan hampir roboh. Wirya langsung menggeletak tidak bangun-bangun lagi.
Laki-laki setengah baya itu tewas dengan darah mengucur deras dari dadanya yang
berlubang.
“Setan keparat...!” geram Iblis Jubah
Putih melihat anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja.
“Giliranmu sudah tiba, Iblis Jubah
Putih...,” desis si Bongkok dingin menggeletar.
“Phuih! Kubunuh kau, Keparat!
Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Secara bersamaan dua tokoh kosen itu
saling berlompatan menyerang. Dan mereka sama-sama pula menghentakkan tangan
kedepan. Tak dapat dihindari lagi, dua telapak tangan beradu keras di udara.
Seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar begitu dua telapak tangan
saling beradu di udara. Tampak mereka sama-sama terpental berjumpalitan di
udara, dan secara bersamaan pula mendarat kembali di tanah.
“Hih!”
“Hup!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Iblis
Jubah Putih segera bersiap melakukan serangan kembali. Begitu pula si Bongkok
yang segera bersiap menerima serangan. Tongkatnya ditancapkan di tanah, ketika
melihat Iblis Jubah Putih tidak menggunakan senjata. Dan bagaikan kilat, Iblis
Jubah Putih melompat cepat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Si Bongkok terpaksa harus
berjumpalitan menghindari pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang
dilepaskan Iblis Jubah Putih secara beruntun. Pertarungan tangan kosong itu
berlangsung cukup sengit. Bukan hanya si Iblis Jubah Putih yang melakukan
serangan, tapi juga si Bongkok. Dia pun mampu memberi serangan-serangan balasan
yang tidak kalah dahsyatnya. Jurus-jurus tangan kosong mereka rupanya cukup
berimbang juga. Sehingga, tidak terasa sudah melewati lima jurus dengan cepat.
“Hup...!”
Tiba-tiba saja Iblis Jubah Putih
melentingkan tubuh berputaran ke belakang, keluar dari arena pertarungan. Manis
sekali kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak didepan si Bongkok.
Sementara laki-laki bertubuh bungkuk dengan wajah hitam penuh benjolan, hanya
berdiri tegak disamping tongkatnya yang masih tertancap di tanah.
“Kita selesaikan dengan senjata,
Bongkok!” desis Iblis Jubah Putih dingin.
“Hm...,” si Bongkok hanya menggumam
perlahan saja.
Sret!
“Yeaaah...!”
Iblis Jubah Putih langsung melompat
menyerang begitu mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Pada
saat yang bersamaan, si Bongkok juga mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan
di tanah. Secepat itu pula tongkatnya dikebutkan untuk menangkis tebasan pedang
Iblis Jubah Putih.
Bet! Tring!
Mereka kembali bertarung sengit.
Teriakan-teriakan keras menggelegar, kini bercampur baur dengan suara denting
senjata beradu. Kebutan-kebutan pedang dan tongkat yang saling sambar,
menimbulkan deru angin yang menggemuruh bagai topan. Dan daun-daun pepohonan di
sekitar pertarungan jadi berguguran tersambar angin tebasan senjata-senjata
dahsyat.
Entah berapa jurus sudah berlalu.
Tapi pertarungan itu masih juga berlangsung. Bahkan semakin sengit saja. Mereka
saling menyerang secara bergantian. Dan pertarungan pun semakin bertambah
cepat, sehingga hanya bayangan-bayangan tubuh mereka saja yang terlihat
berkelebat. Hingga suatu saat, tiba-tiba....
Plak!
“Akh...!”
Entah bagaimana kejadiannya,
tahu-tahu Iblis Jubah Putih terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di
tanah. Laki-laki tua berjubah putih bersih itu bergegas bangkit berdiri. Tapi
dari mulutnya menyemburkan darah kental agak kehitaman. Sementara tangan
kirinya mendekap dada sebelah kiri yang tampak bergambar telapak tangan
berwarna merah kehitaman. Sesaat Iblis Jubah Putih masih terhuyung-huyung
limbung.
“Ajalmu sudah tiba, Iblis Keparat!
Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, si Bongkok melompat
cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah leher laki-laki tua berjubah putih
itu. Sementara, si Iblis Jubah Putih sendiri belum bisa menguasai keseimbangan
tubuh yang goyah akibat terkena pukulan maut dari jurus ‘Pukulan Tangan Besi’
si Bongkok tadi. Tapi begitu ujung tongkat si Bongkok yang runcing hampir membabat
leher Iblis Jubah Putih, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah
menghantam tongkat hitam pekat itu.
Trang!
“Heh...?!” Bukan main terkejutnya si
Bongkok begitu mendapat bokongan yang tidak diduga itu. Sehingga, serangannya
tidak mengenai sasaran yang sudah tidak berdaya lagi. Cepat-cepat tubuhnya
melenting kebelakang, dan melakukan beberapa kali putaran sebelum menjejakkan
kaki di tanah berumput.
“Phuih!” si Bongkok menyemburkan
ludahnya. Sepasang bola matanya jadi memerah melihat di samping kiri dan kanan
Iblis Jubah Putih sudah berdiri dua wanita berusia empat puluh tahun yang masih
kelihatan cantik dan segar. Baju yang dikenakan begitu ketat, sehingga
memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Mereka sama-sama melintangkan
pedang di depan dada, seakan-akan melindungi laki-laki tua berjubah putih itu.
“Pulihkan dulu kesehatanmu, Ki. Biar
kami yang akan menghadapi manusia jelek itu,” desis wanita berbaju merah yang
dikenal bernama Mawar Merah.
“Hati-hatilah. Tingkat kepandaiannya
sangat tinggi,” pesan Iblis Jubah Putih.
Laki-laki tua berjubah putih itu
bergegas menarik dirinya ke belakang, menjauhi tempat pertarungan itu.
Sementara dua wanita yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut sudah
melangkah maju beberapa tindak mendekati si Bongkok. Setelah berjarak sekitar
enam langkah lagi, mereka menyebar kesamping. Mereka baru berhenti setelah
berada di sebelah kanan dan kiri laki-laki bertubuh bungkuk dengan wajah hitam
legam bagai terbakar itu.
“Kau datang ke sini hanya menyerahkan
nyawa saja, Bongkok,” desis Mawar Merah dingin menggetarkan.
“Hhh! Kalian boleh bangga dengan
julukan yang menyeramkan itu. Tapi, kalian tidak ada artinya di depan mataku!”
sambut si Bongkok, tidak kalah dinginnya.
“Apa yang kau banggakan untuk
menghadapi Iblis Bunga Penyebar Maut, Bongkok?” dengus Anggrek Putih yang
paling banyak diam daripada Mawar Merah.
“Ini...!” Begitu cepatnya si Bongkok
mengebutkan tangan kirinya ke arah Anggrek Putih, maka seketika itu juga dari
telapak tangan kirinya melesat sebuah benda hitam berbentuk seperti anak panah
kecil ke arah Anggrek Putih. Bersamaan dengan itu, tubuh si Bongkok melesat
kearah Mawar Merah sambil mengebutkan tongkat hitam yang terkenal dahsyat luar
biasa itu.
“Setan! Hup...!”
“Hait...!”
***
DELAPAN
Anggrek Putih dan Mawar Merah
terpaksa harus berjumpalitan menerima serangan cepat yang dilancarkan si
Bongkok. Mereka mengumpat begitu terlepas dari serangan yang begitu mendadak
dan cepat luar biasa. Sedangkan si Bongkok jadi tertawa terkekeh melihat kedua
wanita ini sempat kelabakan menghindari serangan gandanya yang begitu cepat tak
terduga tadi.
“Setan...!”
“Keparat...!”
“He he he.... Baru segitu saja sudah
kelabakan,” ejek si Bongkok diiringi tawanya yang terkekeh.
“Kurang ajar...!” geram Mawar Merah
berang.
“Kubunuh kau, Bongkok! Hiyaaat...!”
Anggrek Putih langsung melompat
sengit menyerang si Bongkok yang masih terkekeh. Si Bongkok jadi kegirangan
melihat kedua wanita ini memuncak amarahnya menerima tipuan serangan yang
begitu indah dan berhasil baik.
“Uts! He he he...!”
Manis sekali si Bongkok mengelakkan
pukulan yang dilepaskan Anggrek Putih, dengan meliukkan tubuh seperti seekor
belut. Lalu kakinya cepat ditarik ke belakang beberapa langkah sebelum Anggrek
Putih melancarkan serangan berikutnya. Dan pada saat itu, Mawar Merah sudah
melambung ke udara, lalu cepat sekali mengebutkan pedangnya ke arah kepala si
Bongkok.
Bet! “Uts!” Lagi-lagi si Bongkok
dapat menghindari serangan Mawar Merah dengan merundukkan kepala. Ujung pedang
wanita berbaju merah itu berkelebat sedikit diatas kepala si Bongkok. Kembali
laki-laki bermuka hitam dan bertubuh bungkuk itu menarik kakinya kebelakang
beberapa tindak. Kemudian, tongkatnya dikebutkan di saat pedang Anggrek Putih
sudah berkelebat didepan dada.
Tring!
Bunga api memercik begitu pedang
Anggrek Putih membentur batang tongkat hitam si Bongkok. Cepat-cepat wanita
berbaju putih ketat itu menarik pulang pedangnya sambil melentingkan tubuh ke
belakang. Langsung kedua kakinya dihentakkan untuk memberi tendangan keras
disertai pengerahan tenaga dalam ke arah dada. Begitu cepat dan mendadak
serangannya, sehingga si Bongkok tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Cepat-cepat tongkatnya disilangkan di depan dada, sehingga tendangan Anggrek
Putih hanya menghantam tongkat hitam itu.
“Hiyaaa...!”
Anggrek Putih cepat memutar tubuh
begitu kakinya mendapat pijakan di tengah-tengah batang tongkat hitam itu. Dan
di saat kepalanya berada di bawah, seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke
arah perut si Bongkok. Pada waktu yang bersamaan, Mawar Merah juga melakukan serangan
dari arah belakang. Pedangnya berkelebat cepat membabat ke punggung si Bongkok.
Memang sulit menghindari serangan
yang datang secara bersamaan dari dua arah seperti ini. Dan si Bongkok hanya
dapat menangkis tebasan pedang Anggrek Putih, namun tidak mungkin bisa
menghindari serangan Mawar Merah yang datang dari arah belakangnya. Tepat
ketika mata pedang Mawar Merah hampir membabat punggung si Bongkok, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan putih menghajar pergelangan tangan wanita berbaju
merah itu.
Diegkh!
“Akh...!” Mawar Merah terpekik agak
tertahan.
Hampir saja pedang yang tergenggam
ditangan kanannya terlepas. Untung dia segera melompat mundur dan memindahkan
pedangnya ke tangan kiri. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu disamping kiri
si Bongkok sudah berdiri seorang pemuda tampan bertubuh tegap. Bajunya rompi
putih. Sedangkan gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung tampak menyembul
di balik punggungnya.
“Terima kasih,” ucap si Bongkok
sambil melirik sedikit pada pemuda yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
“Lupakan saja.”
“Bagaimana kau bisa tahu tempat ini,
Pendekar Rajawali Sakti?” tanya si Bongkok.
“Justru itu yang ingin kutanyakan
padamu,” sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, atau
bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
“Kita bicarakan saja nanti. Yang
penting sekarang, bereskan dulu iblis-iblis laknat ini,” desis si Bongkok.
Setelah berkata demikian, si Bongkok
cepat melompat menyerang Anggrek Putih. Sedangkan Rangga menunggu Mawar Merah
yang masih mengurut pergelangan tangan yang terkena tamparannya tadi. Wanita
berbaju merah menyala itu mendesis geram melihat Pendekar Rajawali Sakti yang
telah menggagalkan serangannya pada si Bongkok tadi.
“Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat...!”
Sambil memaki geram, Mawar Merah
melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya
berkelebat cepat mengurung pemuda berbaju rompi putih itu. Tapi dengan
mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Rangga berhasil mementahkan
setiap serangan yang dilancarkan wanita yang dijuluki si Iblis Bunga Penyebar
Maut itu.
Sementara Iblis Jubah Putih yang
sudah bisa memulihkan kesehatan tubuhnya, segera melompat terjun ke dalam
pertarungan untuk membantu Anggrek Putih menyerang si Bongkok. Terjunnya Iblis
Jubah Putih memberi kesempatan pada wanita itu untuk berpindah menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Dia memang tidak bisa bertarung dahsyat kalau hanya
seorang diri.
Kedua wanita itu memang sudah dikenal
dengan serangan-serangan ganda yang amat dahsyat luar biasa. Kerjasama mereka
dalam pertarungan sukar dicari tandingannya. Mereka mampu melakukan serangan
secara cepat dan bergantian. Bahkan terkadang melakukan serangan secara
bersamaan dari dua arah, yang bisa membingungkan lawan.
Tapi kali ini mereka harus bertarung
melawan Pendekar Rajawali Sakti. Maka jurus-jurus tingkat tinggi langsung
dikeluarkan. Tapi sampai sejauh ini, mereka belum juga bisa mendesak pemuda
berbaju rompi putih itu. Bahkan beberapa kali mereka terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan-serangan balasan yang dilancarkan Rangga.
Sementara di lain tempat, si Bongkok
kembali bertarung melawan Iblis Jubah Putih. Sudah beberapa kali mereka
bertarung, dan selalu si Bongkok berada diatas angin. Seperti juga halnya kali
ini. Baru beberapa jurus saja pertarungan berlangsung, satu pukulan keras
menggeledek yang dilepaskan si Bongkok sudah membuat Iblis Jubah Putih
terjerembab mencium tanah.
“Kau benar-benar tidak bisa diberi
ampun lagi, Iblis Jubah Putih! Mampuslah kau kali ini..., hiyaaat!”
Sambil menggeram dahsyat, si Bongkok
melesat tinggi ke udara. Lalu tubuhnya menukik deras sambil memutar tongkatnya
dengan kecepatan tinggi. Iblis Jubah Putih jadi kelabakan setengah mati. Cepat-cepat
pedangnya dikebutkan beberapa kali menangkis serangan dari udara itu. Tapi
tanpa diduga sama sekali, si Bongkok melesat ke depan. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, seketika itu juga tongkatnya dikebutkan ke arah dada. Begitu
cepatnya serangan yang dilakukan si Bongkok, sehingga Iblis Jubah Putih tidak
mampu mematahkannya. Dan....
Wuk!
Cras!
“Aaa...!”
Darah seketika muncrat keluar dari
dada yang sobek terkena sabetan ujung tongkat hitam yang runcing itu. Iblis
Jubah Putih terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang
mengucurkan darah segar. Dan sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bagaikan
kilat si Bongkok sudah kembali melompat menyerang sambil membabatkan tongkat ke
leher laki-laki berjubah putih ini.
“Hiyaaa...!”
Bet!
“Aaakh...!”
Satu jeritan panjang melengking
tinggi mengakhiri perlawanan Iblis Jubah Putih. Laki-laki berjubah putih
panjang itu terdiam kaku, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari
leher. Darah langsung mengucur keluar dari leher yang buntung tak berkepala
lagi.
“Huh!” si Bongkok menghembuskan napas
berat, menatap tubuh Iblis Jubah Putih yang terbujur kaku tak bernyawa lagi.
Sebentar matanya melirik Pendekar Rajawali Sakti yang masih bertarung
menghadapi dua orang wanita yang berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut. Tampak
bibirnya menyunggingkan senyuman.
“Senang-senanglah dulu, Pendekar
Rajawali Sakti. Aku akan menghadapi biangnya didalam,” ujar si Bongkok.
Begitu cepatnya melesat, sehingga
dalam sekejap saja tubuh si Bongkok sudah lenyap menembus pintu masuk ke dalam
bangunan puri dari batu itu. Sementara, Rangga masih saja bertarung melawan si
Iblis Bunga Penyebar Maut. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sempat juga melihat si
Bongkok sudah mengakhiri pertarungannya, dan melesat masuk ke dalam puri. Maka
dia hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya itu.
“Hhh! Buang-buang tenaga...!” dengus
Rangga dalam hati. Seketika itu juga, Rangga mencabut pedangnya. Cahaya biru
berkilau seketika menyemburat dari Pedang Rajawali Sakti. Dan Rangga memang
tidak ingin lagi bermain-main dengan kedua wanita bergelar Iblis Bunga Penyebar
Maut ini. Begitu pedangnya tercabut, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
merubah jurusnya menjadi jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. “Hiyaaat...!”
Sungguh dahsyat sekali jurus ‘Pedang
Pemecah Sukma’ ini. Kedua wanita itu jadi kelabakan, berjumpalitan menghindari
tebasan-tebasan pedang yang memancarkan sinar biru terang menyilaukan mata itu.
Anggrek Putih mencoba menangkis pedang itu dengan pedangnya. Tapi....
Trang!
“Heh...?!” Bukan main terkejutnya
wanita itu begitu melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian. Dan belum juga
rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja Rangga sudah memutar tubuhnya sambil
menusukkan pedang dengan kecepatan tinggi. Anggrek Putih jadi terbeliak tak
mampu menghindar. Seketika ujung Pedang Rajawali Sakti menusuk tepat
jantungnya.
“Aaa...!” Anggrek Putih menjerit
keras. Darah seketika muncrat dari dada yang tertembus pedang. Hanya sebentar
wanita berbaju putih ketat itu mampu berdiri, kemudian limbung dan ambruk
menggelepar di tanah. Beberapa saat dia berkelojotan mengejang kaku, kemudian
tak bergerak-gerak lagi
“Setan! Kubunuh kau. Hiyaaat...!” Mawar
Merah jadi geram setengah mati. Maka dia cepat melompat sambil membabatkan
pedang dari belakang Pendekar Rajawali Sakti. Tebasannya tepat mengarah ke
kepala pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi, cepat sekali Rangga merundukkan
tubuhnya, dan memutar pedang menusuk ke belakang. Mawar Merah jadi terkejut.
Dan....
Bres!
“Hegkh...!”
Kedua bola mata Mawar Merah jadi
mendelik lebar. Pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat menghunjam jantungnya.
Dengan sekali sentak saja, Rangga mencabut pedangnya yang terbenam di tubuh
Mawar Merah. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil memutar tubuhnya
berbalik. Bersamaan dengan itu, Mawar Merah ambruk ketanah, dan tidak
bergerak-gerak lagi.
Glarrr...!
“Heh...?!” Rangga terkejut setengah
mati ketika tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat menggelegar dari arah
belakang. Begitu terkejutnya, hingga sampai terlompat dan cepat berbalik. Kedua
matanya jadi terbeliak dan mulutnya ternganga lebar hampir tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya.
“Hah...?!”
Batu-batu berterbangan ke udara
disertai kepulan asap hitam dari puri. Itu pun masih bercampur debu dan
percikan bunga api. Memang, bangunan puri itu tiba-tiba saja meledak bagai
gunung berapi memuntahkan laharnya. Rangga jadi terpaku bengong melihat puri itu
hancur meledak, menimbulkan suara keras menggelegar. Akibatnya, tanah yang
dipijaknya jadi bergetar bagai terjadi gempa.
Beberapa bongkahan batu hampir saja
menimpa Pendekar Rajawali Sakti. Begitu kerasnya ledakan tadi, sehingga
bongkahan batu serta kepulan asap hitam dan debu membumbung tinggi ke angkasa.
Tampak api berkobar sangat besar dari reruntuhan bangunan puri itu.
“Paman Bongkok...,” desis Rangga,
teringat kalau si Bongkok masuk ke dalam puri itu tadi. Tapi Rangga tidak bisa
berbuat apa-apa melihat bangunan puri itu sudah hancur berkeping-keping tak
berbentuk lagi. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa berdiri mematung menunggu
sampai kepulan debu dan asap hitam itu hilang.
Sementara api masih terus berkobar
besar bagai tersiram minyak. Keadaan sekitarnya jadi terang benderang. Dan
udara yang semula dingin, kini berubah hangat oleh kobaran api yang begitu
besar di antara reruntuhan batu-batu puri yang hancur akibat ledakan tadi.
“Kakang...!”
Rangga cepat berpaling ketika
mendengar suara memanggilnya. Tampak Pandan Wangi dan Ki Kuwu berlari-lari
menghampiri. Mereka berhenti berlari, setelah berada disamping Pendekar
Rajawali Sakti.
“Apa yang terjadi di sini, Kakang?”
tanya Pandan Wangi sambil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Pandangannya
kemudian terpaku pada kobaran api yang masih cukup besar, menimbulkan asap
hitam membumbung tinggi ke angkasa.
“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah.
“Tiba-tiba saja puri itu meledak. Dan
Paman Bongkok....”
“Paman Bongkok...? Kenapa dia,
Kakang?” tanya Pandan Wangi terkejut mendengar si Bongkok disebut.
“Dia ada di dalam puri itu,” sahut
Rangga perlahan.
“Oh...,” Pandan Wangi mendesah lirih.
Mereka jadi terdiam membisu
memandangi kobaran api yang masih cukup besar diantara tumpukan bebatuan
reruntuhan bangunan puri itu. Tak ada lagi yang berbicara. Semuanya terdiam
menunggu. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu sampai
kobaran api itu padam.
“Kakang, lihat...!” seru Pandan Wangi
tiba-tiba sambil menunjuk ke depan.
“Paman Bongkok...,” desis Rangga
begitu matanya melihat sesosok tubuh berbaju hitam, berdiri terbungkuk di
seberang kepulan asap yang masih cukup tebal.
Rupanya si Bongkok masih bisa
menyelamatkan diri dari reruntuhan batu-batu puri yang hancur akibat ledakan
tadi. Mereka cepat berlarian menghampiri sosok tubuh bungkuk yang memang tak
lain adalah si Bongkok.
“Apa yang terjadi, Paman Bongkok?”
tanya Pandan Wangi langsung.
“Di dalam puri itu banyak bahan-bahan
yang mudah terbakar, Pandan Wangi. Tadi sewaktu aku bertempur dengannya,
pukulan orang ini nyasar ke bahan-bahan yang mudah terbakar itu!” jelas si
Bongkok sambil menunjuk sosok tubuh gemuk yang tadi diseretnya.
Mereka sungguh terkejut melihat sosok
tubuh gemuk itu. Kepalanya agak botak, dan mengenakan baju cukup mewah yang
kotor berdebu.
“Dia ini biang keladinya,” jelas si
Bongkok. “Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya. Dia bunuh diri menelan pil
beracun. Ketika aku masuk ke puri, dia langsung menyerang. Tapi akhirnya dia
berhasil kukalahkan. Dan seperti yang kalian lihat, aku tak mampu mencegahnya
saat dia bertindak bunuh diri.”
Rangga mendekati sosok tubuh gemuk
yang tergeletak tertelungkup itu. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
setelah tubuh gemuk itu ditelentangkannya. Bahkan Pandan Wangi dan Ki Kuwu
sampai bengong. Betapa tidak...? Mereka kenal betul pada orang ini.
“Adipati Pangkara...,” desis Rangga
hampir tidak percaya.
Laki-laki gemuk yang sudah tidak
bernyawa itu memang Adipati Pangkara. Tentu saja Rangga, Pandan Wangi, dan Ki
Kuwu sudah mengenalnya. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau Adipati
Pangkara sendiri yang menjadi dalang dari semua kerusuhan di Lembah Tangkar
ini.
“Kenapa dia bisa melakukan perbuatan
memalukan ini...?” desah Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
“Emas,” sahut si Bongkok.
“Emas...?!” Rangga menatap tajam si
Bongkok.
“Ya! Emas bisa membuat orang lupa
diri,” kata si Bongkok lagi.
Rangga memandangi si Bongkok, Pandan
Wangi, dan Ki Kuwu secara bergantian. Seolah-olah Pendekar Rajawali Sakti
meminta penjelasan dari semua kejadian ini. Sungguh tidak dimengertinya atas
jawaban yang diberikan si Bongkok tadi. Dan tanpa diminta lagi, Pandan Wangi
menjelaskan semuanya yang diperoleh dari Ki Kuwu. Tapi Pandan Wangi tidak
menyangka kalau Adipati Pangkara sendiri yang ada di balik semua peristiwa yang
berpangkal dari nafsu keserakahan untuk menguasai kekayaan emas Lembah Tangkar.
“Lalu, dimana orang-orang yang
diculik?” tanya Rangga setelah bisa mengerti duduk persoalannya.
“Mereka berkumpul di pendulangan. Aku
melarang mereka keluar sampai keadaannya memungkinkan,” sahut si Bongkok
memberitahu.
“Rupanya kau lebih cepat tahu
daripada kami, Paman,” puji Pandan Wangi.
“Semua persoalan tidak bisa selesai
hanya terpaku pada satu persoalan saja, Pandan Wangi. Aku sengaja mengatakan
pada kalian untuk meninggalkan Lembah Tangkar. Tapi, sebenarnya aku terus
menyelidiki sampai kehutan ini. Aku sendiri tidak mengira kalau Lembah Tangkar
begitu kaya. Pantas saja Adipati sendiri tergiur, dan jadi mata gelap untuk
menguasainya,” jelas si Bongkok, gamblang.
“Jadi, yang dipanggil Prabu Cantraka
itu sebenarnya Adipati Pangkara...?” tanya Ki Kuwu yang sejak tadi diam saja.
“Tidak salah lagi, Ki,” sahut si
Bongkok.
“Dan gadis-gadis yang dikatakan untuk
tumbal...?” tanya Ki Kuwu lagi.
“Tidak ada seorang pun yang dijadikan
tumbal. Mereka semua dipaksa bekerja mendulang emas untuk kepentingan Adipati
Pangkara sendiri. Dan diamnya pihak kadipaten, sebenarnya bukan karena takut
ancaman Prabu Cantraka, tapi karena memang sudah diatur Adipati Pangkara
sendiri. Dialah yang selama ini kita kenal bernama Prabu Cantraka. Bukan hanya
Adipati Pangkara sendiri yang terlibat. Bahkan sebagian besar prajurit
kadipaten dan para pembesar juga terlibat. Tapi prajurit-prajurit yang berada
di sini sudah kuamankan. Dan mereka dijaga ketat oleh orang-orang yang mereka
culik untuk dipekerjakan di pendulangan,” lagi-lagi si Bongkok menjelaskan.
“Kita harus segera membersihkan
Kadipaten Bararaja, Kakang,” bisik Pandan Wangi dekat telinga Rangga.
“Biar kerajaan yang melakukan,” sahut
Rangga.
“Baiknya, sekarang kita bebaskan
mereka dulu,” usul si Bongkok.
“Kau bisa tunjukkan di mana
pendulangan itu, Paman?” pinta Rangga.
“Tentu..., ayo ikut aku,” sahut si
Bongkok.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
MEMPEREBUTKAN BUNGA WIJAYAKUSUMA
Emoticon