SATU
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat, memecah kesunyian pagi buta ini. Jeritan itu datang dari balik sebuah batu yang begitu besar di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lama suara jeritan itu menghilang, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat melesat keluar dari balik batu itu.
Tapi, mendadak saja puluhan anak
panah berhamburan keluar dari balik pepohonan ke arah bayangan putih itu. Sosok
berbaju serba putih itu berjumpalitan di udara, menghindari panah-panah yang
berhamburan di sekitar tubuhnya.
Cring!
Panah-panah langsung berguguran
saat orang berpakaian serba putih itu mengibaskan pedangnya yang telah tercabut
dari warangkanya. Pedang itu seakan-akan melindungi tubuhnya dari hujan anak
panah. Tak ada satu batang anak panah pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
Kakinya kemudian mendarat lunak sekali di tanah, begitu puluhan anak panah
berhenti berhamburan mengancamnya. Dia berdiri tegak dengan sinar mata tajam
memandangi sekitarnya.
“Keluar kalian, Tikus-tikus
Busuk...!” Lantang sekali suaranya. Begitu keras dan menggelegar, membuat
pepohonan di sekitarnya bergetar, sehingga daun-daunnya berguguran.
Pada saat itu, dari atas sebatang
pohon yang cukup besar dan tinggi meluruk turun seorang laki-laki berperawakan
tinggi besar. Bajunya berwarna hijau, dipadu manik-manik dari batu merah.
Sebilah golok bergagang gading terselip dipinggangnya. Dia berdiri tegak sambil
berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot lurus ke bola mata
pemuda berbaju serba putih di depannya. Beberapa saat mereka terdiam tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun. Keadaan begitu sunyi, hanya desir angin saja
yang terdengar.
Sementara di ufuk timur, semburat
merah sang surya terlihat sudah membias. Di pagi yang seharusnya cerah dan
ramai oleh kicauan burung ini jadi terasa begitu sunyi. Seakan-akan,
burung-burung pun ikut merasakan ketegangan yang saat ini terjadi. Begitu
sunyinya, hingga detak jantung dua orang yang saling berhadapan itu terdengar
jelas.
Perlahan mereka sama-sama
menggeser kaki lebih mendekat, dan baru berhenti setelah di antara mereka
berjarak beberapa langkah lagi. Saat itu dari balik pohon dan bebatuan
bermunculan orang-orang bersenjata. Sebentar saja, hutan yang semula sunyi
sepi, sudah banyak dipenuhi orang yang menghunus senjata berbagai bentuk. Dan
mereka semua mengepung pemuda berbaju putih itu. Tak ada celah sedikit pun bagi
pemuda itu untuk meloloskan diri. Jumlah mereka begitu banyak. Herannya, pemuda
berbaju putih itu kelihatan tenang, walaupun tatapan matanya semakin menyorot
tajam.
“Kau sudah terlalu banyak membuat
kekacauan, Birawa. Sudah saatnya pertumpahan darah ini kau hentikan,” dingin
sekali nada suara orang berbaju hijau itu.
“Aku juga sudah muak oleh tingkah
kalian yang memaksaku mengotori tangan dengan darah!” balas pemuda berbaju
putih yang dipanggil Birawa, tidak kalah dinginnya.
“Apa pun alasannya, kau harus
ikut mempertanggungjawabkan perbuatanmu!”
“Apa yang harus
kupertanggungjawabkan...? Justru kau yang harus bertanggung jawab atas
nyawa-nyawa mereka, Gagak Ireng!” keras sekali suara Birawa. Ujung jari pemuda
itu agak bergetar menuding laki-laki tegap berbaju hijau di depannya.
Mendapat tudingan begitu, wajah
laki-laki berbaju hijau yang bernama Gagak Ireng jadi memerah. Gerahamnya
bergemeretak, menahan kemarahan yang amat sangat dada. “Kau memang keras
kepala, Birawa. Jangan menyesal kalau aku terpaksa harus menggunakan
kekerasan!”
Gagak Ireng segera menjentikkan
jari tangannya. Saat itu juga, orang-orang yang sudah mengepung tempat itu
segera bergerak semakin rapat. Golok dan pedang mereka berkilatan tertimpa
cahaya matahari yang baru saja muncul di ufuk timur.
“Tunggu! Kalian tidak perlu
mengorbankan nyawa untuk orang gila ini!” sentak Birawa, lantang menggelegar.
“Jangan takut! Serang saja bocah
edan itu...!” seru Gagak Ireng tampak berang.
Orang-orang yang sudah mengepung
rapat tempat itu segera berlarian, meluruk ke arah pemuda berbaju putih ini
Pekik dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur, terdengar dahsyat
bagai hendak meruntuhkan hutan yang tidak begitu lebat ini. Mereka bergerak
cepat bagai serombongan semut yang melihat gula.
“Edan...! Kalian semua sudah
buta!” geram Birawa melihat lebih dari lima puluh orang meluruk hendak
mengeroyoknya.
Memang tak ada pilihan lain lagi
bagi Birawa. Melihat begitu banyak orang berlarian dari segala penjuru dengan
senjata terhunus di tangan, maka dia harus bertindak. Birawa langsung
merapatkan kedua tangannya di depan dada. Lalu cepat sekali tangannya dihentakkan
hingga merentang lebar ke samping.
“Yeaaah...!”
Begitu tubuhnya memutar dan
kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, seketika itu juga
bertiup angin kencang. Badai topan yang sangat dahsyat seketika itu juga
terjadi. Akibatnya, orang-orang yang tadi berlarian hendak mengeroyok pemuda
itu jadi berpelantingan bagai daun-daun kering terhempas angin.
Jeritan-jeritan panjang dan
keluhan kesakitan terdengar saling susul di antara deru angin topan yang
semakin dahsyat. Tubuh-tubuh berpentalan dan beterbangan bersama batu-batu
serta pepohonan yang tercabut dari akarnya. Tidak sedikit pula yang sudah menggeletak
tertindih batu atau pepohonan. Saat itu juga, hutan yang semula tenang berubah
bagai neraka.
“Hep!”
Birawa kembali merentangkan kedua
tangan ke samping. Kemudian dia melakukan beberapa gerakan di depan dada. Dan
begitu kedua telapak tangannya kembali merapat di depan dada, badai dahsyat itu
seketika berhenti. Perlahan Birawa melepaskan kedua telapak tangannya yang
menyatu rapat di depan dada tadi.
“Kalian memaksaku bertindak
demikian,” desah Birawa seakan menyesal. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
Hutan yang semula kelihatan
tenang dan damai, kini jadi hancur berantakan dalam beberapa saat saja.
Pepohonan bertumbangan saling tum-pang tindih. Tak sedikit tubuh bergelimpangan
terhimpit pohon dan bebatuan. Pandangan Birawa kemudian terpaku pada Gagak
Ireng yang masih tetap tegak, meskipun berdirinya sudah bergeser sekitar
sepuluh langkah dari tempat semula.
“Sungguh dahsyat aji ‘Badai
Membelah Bumi’ yang kau miliki, Birawa. Tapi belum cukup untuk mengurungkan
niatku,” desis Gagak Ireng dingin menggeletar.
“Hm...,” Birawa hanya menggumam
saja. Kembali pandangan pemuda itu beredar ke sekeliling.
Tak ada seorang pun yang bangkit
berdiri lagi. Lebih dari lima puluh orang sudah bergeletakan tak bernyawa lagi.
Mereka tewas karena tidak kuat menahan gempuran angin topan yang diciptakan
Birawa tadi. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Birawa
menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada Gagak
Ireng yang kini sudah melangkah mendekatinya. Dan jarak mereka sekarang tinggal
beberapa langkah lagi.
“Sudah cukup banyak korban yang
kau timbulkan, Birawa. Dan akulah yang akan menghentikanmu,” desis Gagak Ireng
lagi. Masih tetap dingin nada suaranya.
“Kau yang harus bertanggung jawab
atas kematian mereka,” desah Birawa.
“Kita tentukan sekarang, Birawa.
Kau, atau aku yang akan menyusul mereka.” Setelah berkata demikian, Gagak Ireng
segera membuka jurus kembangan penyerangan.
Sedangkan Birawa masih tetap
berdiri tegak. Sedikit pun matanya tidak berkedip memperhatikan laki-laki
separuh baya bertubuh tegap itu.
“Tahan seranganku, Birawa!
Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!” Begitu Gagak
Ireng melompat menerjang, Birawa langsung melesat cepat sekali ke depan. Kedua
tangannya menjulur lurus, mengancam ke arah lawan. Mereka sama-sama melayang di
udara dengan kedua telapak tangan terbuka menjulur lurus ke depan. Dan pada
satu titik tengah.... “Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!” Glarrr!
Satu ledakan keras menggelegar
dahsyat terjadi begitu dua pasang telapak tangan beradu keras di udara.
Bunga-bunga api memercik ke segala arah akibat benturan itu. Tampak keduanya
terpental balik ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Hampir bersamaan,
mereka mendarat kembali.
Kemudian, dua orang yang
bertarung itu kembali berlompatan berputar saling mendekat. Hampir bersamaan
pula mereka berhenti berlompatan memutar, lalu sama-sama menghentakkan kedua
tangan ke depan. Kembali terdengar ledakan keras menggelegar saat dua pasang
telapak tangan bertemu pada titik tengah.
“Hih!” Gagak Ireng cepat menarik
pulang tangannya, lalu cepat melontarkan satu pukulan keras menggeledek ke arah
dada Birawa.
Tapi manis sekali pemuda itu
mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan yang dilepaskan Gagak Ireng tidak
menemui sasaran. Dua langkah Birawa mundur ke belakang. Dan pada saat itu,
langsung dilepaskannya serangan balasan berupa tendangan keras menggeledek
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Uts!” Gagak Ireng segera
memiringkan tubuh ke kanan, menghindari tendangan kaki kiri Birawa. Bergegas
kakinya digeser ke kanan sebelum Birawa sempat menarik kembali tendangannya.
Dan dengan kecepatan bagai kilat, tangannya dihentakkan ke arah kaki yang
berada di samping tubuhnya.
“Hih!” Bet!
Birawa yang menyangka bakal
menerima serangan, cepat-cepat menarik kakinya sedikit. Lalu tanpa diduga sama
sekali, kakinya berputar ke depan. Langsung kakinya dihentakkan kembali ke arah
dada tanpa menyentuh tanah lebih dulu. Tentu saja gerakan yang begitu cepat dan
sulit itu membuat Gagak Ireng jadi terperangah tidak percaya.
Desss! “Akh...!” Gagak Ireng
terpekik keras agak tertahan.
Deras sekali tubuh Gagak Ireng
terpental ke belakang, dan menghantam sebatang pohon yang sudah doyong hampir
roboh. Pohon itu seketika ambruk menimbulkan gemuruh menggetarkan. Gagak Ireng
kembali bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang mendadak jadi terasa
sesak.
“Setan...! Huh!” dengus Gagak
Ireng. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan dihembuskan kuat-kuat. Lalu
dilakukannya beberapa gerakan tangan di depan dada, untuk mengusir rasa sesak
yang memenuhi seluruh rongga dadanya.
Sementara Birawa berdiri tegak,
seperti memberi kesempatan pada lawan untuk kembali siap melakukan pertarungan
kembali.
Sret! Gagak Ireng mencabut
senjatanya yang sejak tadi terselip di pinggang. Senjatanya berupa pedang
berwarna hitam, tapi ujungnya bercabang dua seperti lidah ular. Mata pedang itu
juga berkeluk seperti keris, dan pada satu sisinya tampak bergerigi. Segumpal
asap tipis kehitaman tampak mengepul dari seluruh mata pedang itu.
“Hm...,” Birawa menggumam
perlahan. Pemuda itu menggeser kakinya beberapa langkah ke samping. Matanya
tidak berkedip memandangi pedang hitam yang ujungnya bercabang dua itu. Dia
tahu, pedang berkeluk seperti keris itu sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap
enteng. Terlebih lagi, asap yang mengepul dari mata pedang itu. Jelas,
mengandung racun yang bisa membuat pernapasannya jadi tersumbat.
Dengan pedang anehnya yang
mengepulkan asap beracun, Gagak Ireng jadi dikenal berjuluk Raja Pedang Racun.
Dan tidak sedikit lawannya yang tewas di ujung pedangnya ini. Kebanyakan dari
lawannya tidak sanggup menghadapi lebih dari sepuluh jurus. Bila asap hitam itu
sudah sampai merasuk ke dalam paru-paru, tak ada yang sanggup lagi bertahan.
Pertahanannya jadi goyah, karena napas terganggu. Maka dengan mudah Gagak Ireng
akan menghentikan perlawanan lawan-lawannya.
Dan semua itu sangat disadari
Birawa. Pemuda itu tidak sudi mati konyol di ujung pedang Gagak Ireng yang
sudah terkenal kedahsyatannya. Tapi, dia juga tidak ingin Gagak Ireng terus
mengejarnya seperti hewan buruan. Birawa sudah jemu menjadi buronan, dan
senantiasa selalu menghadapi orang-orang yang ingin membunuhnya. Padahal, dia
tidak ingin lagi tangannya berlumuran darah.
Sret! Cring!
Birawa juga segera mencabut
pedangnya. Sebatang pedang yang memancarkan sinar putih keperakan. Pedangnya
langsung disilangkan di depan dada. Sementara itu, Gagak Ireng sudah melangkah
mendekati. Sesaat mereka saling menatap dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Kemudian....
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Secara bersamaan mereka saling
berlompatan menerjang. Masing-masing mengebutkan pedang ke depan, sehingga dua
senjata yang memiliki pamor dahsyat saling beradu keras di udara. Denting
senjata terdengar memekakkan telinga, disertai ledakan keras menggelegar. Bunga
api memercik dari benturan kedua pedang itu, dan menyebar ke segala arah.
Kembali mereka bertarung dalam
jarak rapat. Pedang mereka berkelebat cepat, saling sambar dan menangkis.
Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan untuk menjatuhkan secepatnya.
Jurus-jurus dahsyat dan andalan dikeluarkan. Begitu cepatnya gerakan-gerakan
yang dilakukan, sehingga tubuh mereka seperti lenyap. Yang ada kini tinggal dua
bayangan berkelebat saling sambar.
Jurus demi jurus berlalu cepat.
Tanpa terasa, mereka sama-sama telah menghabiskan sepuluh jurus. Dan tampaknya,
Birawa mulai terpengaruh asap kehitaman yang keluar semakin banyak dari pedang
Gagak Ireng. Birawa juga merasakan pernapasannya mulai terganggu. Sehingga
pemuda itu jadi tidak bisa lagi mengendalikan jurus-jurusnya.
“Mampus kau! Yeaaah...!” Sambil
berteriak nyaring, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke dada Birawa. Dengan
cepat sekali pedang pemuda berbaju putih itu ditarik dan dilintangkan di depan
dada.
Trang! “Akh...!” Birawa tak dapat
lagi menguasai pedangnya. Seketika itu juga pedangnya terpental jauh ke udara.
Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah mengebutkan pedangnya
kembali ke arah perut. Begitu cepat serangannya, sehingga Birawa tak sempat
lagi menghindar.
Cras! “Akh...!” untuk kedua
kalinya Birawa terpekik. Darah langsung mengucur keluar dari perutnya yang
sobek terbabat pedang Gagak Ireng. Birawa terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap perutnya yang sobek berlumuran darah. Kepalanya digeleng-gelengkan
karena rasa pening mulai menghinggapi. Entah sudah berapa banyak asap hitam
beracun itu dihirupnya. Dan pandangannya juga jadi nanar.
“Hiyaaat...!” Pada saat itu Gagak
Ireng sudah melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya. Sementara tak ada lagi
waktu bagi Birawa untuk menghindar. Dan....
Crak!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang
melengking tinggi terdengar memecah kesunyian hutan ini, begitu ujung pedang
Gagak Ireng kembali membelah dada Birawa. Maka darah pun kembali muncrat deras
sekali. Tubuh pemuda itu semakin terhuyung limbung tak terkendali lagi.
Sementara asap hitam beracun semakin banyak masuk ke dalam dada, sehingga
membuatnya semakin sulit bernapas.
“Hih!” Meskipun lawannya sudah
tidak berdaya lagi, tapi Gagak Ireng tidak puas sampai di situ saja. Pedangnya
langsung dihunjamkan ke dada pemuda berbaju putih itu.
Tak ada lagi suara yang keluar
dari mulut Birawa. Pedang berwarna hitam yang berkeluk bagai keris itu
menghunjam dalam di dadanya, hingga tembus ke punggung. Birawa masih bisa
berdiri beberapa saat. Dan begitu satu tendangan mendarat di dada, seketika tubuhnya
jatuh tersungkur. Darah semakin banyak membanjiri tubuhnya. Sebentar tubuhnya
menggelepar di tanah, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Gagak Ireng berdiri tegak
memandangi lawan yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Pedangnya kemudian
disarungkan kembali. Asap hitam pun langsung menghilang begitu pedang itu
kembali tersimpan di dalam warangkanya.
“Hup!” Bagaikan kilat, Gagak
Ireng melompat ke atas batu yang menjulang bagaikan bukit. Sebentar kakinya
hinggap di atas batu itu, lalu cepat meluruk turun. Gerahamnya bergemeletuk
melihat dua sosok tubuh tergeletak di tanah, di balik batu besar bagai bukit
ini.
“Tenanglah kalian di sana. Si
keparat itu sudah kubereskan,” ujar Gagak Ireng perlahan.
Sebentar Gagak Ireng berdiri
tegak di samping kedua tubuh tak bernyawa lagi itu, kemudian melangkah pergi
dengan ayunan kaki cepat. Gagak Ireng terus berjalan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat
pertarungan itu.
***
DUA
Waktu terus bergulir seiring peredaran
matahari mengelilingi bumi. Satu purnama sudah berlalu. Tak seorang pun yang
membicarakan Birawa yang telah tewas di tangan Gagak Ireng. Keberhasilan Gagak
Ireng menghentikan kehidupan Birawa, disambut gembira seluruh rakyat Kadipaten
Wadas Lintang yang terletak tidak seberapa jauh dari hutan tempat Birawa tewas
di tangan Gagak Ireng.
Selama ini, Birawa memang
dianggap sebagai biang keonaran oleh semua orang di seluruh wilayah Kadipaten
Wadas Lintang. Bukan hanya menggasak harta, tapi juga nyawa orang yang dirampok
ikut melayang. Dan sudah tentu hal itu membuat keresahan. Sehingga, Adipati
Bayaga terpaksa meminta bantuan Gagak Ireng untuk melenyapkan Birawa. Tapi, apa
kematian Birawa sudah menghentikan semua keresahan itu...?
Memang, selama satu purnama ini
tidak ada lagi peristiwa perampokan atau pembunuhan di kota kadipaten ini.
Hingga, Adipati Bayaga mengangkat Gagak Ireng menjadi kepala pasukan khusus
kadipaten. Maka, sudah tentu semua anggotanya adalah pengikut Gagak Ireng.
Semua orang di Kadipaten Wadas Lintang ini memang sudah menganggap tak ada lagi
persoalan yang akan timbul. Tapi, tidak demikian halnya dengan Gagak Ireng.
“Beberapa hari ini kuperhatikan
kau selalu murung dan menyendiri. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu,
Kakang...?”
Gagak Ireng menghembuskan napas
panjang. Wajahnya berpaling menatap seorang pemuda bertubuh tegap, dan berkulit
kuning langsat Pakaiannya terbuat dari bahan sutra halus yang indah, berwarna
merah muda. Wajahnya juga cukup tampan. Senyumnya cukup menawan menyungging di
bibirnya yang agak kemerahan. Dia adalah Rapasak, adik angkat Gagak Ireng.
“Tidak,” sahut Gagak Ireng seraya
menggeser duduknya. Rapasak menempatkan diri di samping kakak angkatnya ini.
Saat itu, senja sudah merayap
turun. Burung-burung sudah kembali ke sarang masing-masing. Tak ada lagi orang
lain di taman belakang ini. Sebuah taman indah, terletak di belakang bangunan
besar dan megah yang dikelilingi pagar tinggi dari batu yang tebal dan kokoh
seperti benteng. Tempat ini memang hadiah dari Adipati Bayaga atas keberhasilan
Gagak Ireng menumpas Birawa, yang selama satu bulan lalu dianggap perusuh di
Kadipaten Wadas Lintang ini.
“Kakang sudah berhasil meraih
keinginan pertama, menjadi orang nomor dua di Kadipaten Wadas Lintang ini di
samping Gusti Adipati Bayaga. Apa masih ada hambatan untuk kelanjutannya,
Kakang...?” terasa begitu lembut suara Rapasak, seperti suara seorang wanita
saja.
“Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, Rapasak. Semua akibat yang bakal terjadi nanti sudah kupikirkan.
Dan sampai saat ini tak ada yang mengganggu pikiranku,” kata Gagak Ireng
diiringi senyuman di bibir.
Tapi, senyuman Gagak Ireng terasa
hambar sekali. Dan ini dapat dirasakan Rapasak. Hanya saja, dia tidak mau
mendesak lagi. Pemuda itu tahu, jika Gagak Ireng sudah mengatakan tidak,
selamanya akan tetap tidak. Dan biasanya, Gagak Ireng baru bersedia
mengatakannya kalau sudah merasa tidak bisa lagi menghadapinya sendiri. Selama
dirinya masih merasa mampu, tak akan ada yang mengetahui persoalan terpendam di
dalam hatinya.
“Aku akan ke rumah Nyi Walang,
Kakang,” pinta Rapasak seraya bangkit berdiri.
“Ada apa kau ke sana?” tanya
Gagak Ireng.
“Bosan terkurung terus di sini,
Kakang. Aku akan mencari hiburan sedikit,” sahut Rapasak.
“Pergilah. Tapi jangan terlalu
lama di sana.”
“Mungkin besok aku baru pulang,
Kakang. Katanya di sana ada yang baru. Nyi Walang tidak akan memberikannya pada
orang lain, kecuali aku.”
“Ya, sudah.... Asal jangan
seperti dulu lagi,” pesan Gagak Ireng.
“Aku pergi, Kakang,” pamit
Rapasak.
Gagak Ireng hanya mengangguk
saja. Dia masih duduk di bangku taman ini, memandangi adik angkatnya yang
berjalan agak cepat meninggalkannya. Kepalanya menggeleng perlahan, tapi
sebentar kemudian raut wajahnya kembali berubah terselimut kabut. Tak lama
kemudian, Gagak Ireng bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
“Aku harus mempersiapkan diri.
Aku yakin, cepat atau lambat pasti ada yang datang menuntut balas atas kematian
Birawa. Hhh...!” desah Gagak Ireng seraya mengayunkan kakinya melangkah
meninggalkan taman belakang ini. “Hhh..., siapa pun orangnya, aku tidak bisa
dianggap remeh.”
Sementara itu Rapasak sudah
menunggang kudanya, membelah jalan utama Kadipaten Wadas Lintang. Meskipun
sudah hampir tengah malam, tapi suasana di kadipaten ini masih terlihat ramai.
Kedai-kedai, rumah-rumah penginapan, rumah-rumah perjudian, dan tempat-tempat
hiburan lainnya seperti tak pernah menghentikan kegiatannya. Siang malam selalu
saja ramai dikunjungi orang.
Rapasak terus memacu kudanya
menuju ke bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang ini. Pemuda itu tidak bisa
memacu cepat kudanya, karena sepanjang jalan yang dilalui masih cukup ramai
orang. Kadipaten Wadas Lintang memang tidak pernah sepi. Seakan-akan, kadipaten
ini tidak pernah tidur meskipun di malam hari. Suasananya selalu meriah.
Padahal, baru-baru ini mereka
semua habis dicekam rasa takut oleh sepak tenang Birawa yang menggasak harta
dan membunuh pemiliknya yang mencoba melawan. Mereka benar-benar sudah
melupakan peristiwa itu, dan kembali hidup seperti hari-hari yang lalu.
Rapasak baru menghentikan lari
kudanya setelah tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu
bertingkat dua sehingga tampak tinggi. Beberapa orang keluar masuk rumah itu.
Dan mereka yang datang atau pergi, semuanya laki-laki. Seorang anak berumur sekitar
dua belas tahun menghampiri Rapasak. Pemuda itu kemudian tersenyum, dan
menyerahkan kudanya pada anak laki-laki itu.
“Rawat kudaku dengan baik,
ya...?” pinta Rapasak seraya memberi sekeping uang perak.
“Baik, Den,” sahut anak itu
seraya membungkuk hormat.
Rapasak mengayunkan kakinya,
memasuki rumah itu. Suara tawa terkikik dan canda beberapa orang langsung
menyergap telinganya, begitu melewati pintu. Rapasak langsung menghampiri
seorang perempuan separuh baya yang bertubuh gemuk, sehingga lehernya terlipat
bagai menyatu dengan dagu.
Wanita itu tersenyum ramah begitu
melihat Rapasak datang. “Kukira kau tidak datang, Rapasak,” sambut wanita
bertubuh tambun itu dengan keramahan dibuat-buat.
“Aku tidak pernah ingkar janji,
Nyi Walang,” ujar Rapasak
“Aku percaya. Mari....”
Rapasak lalu mengikuti langkah
wanita gemuk itu. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang tidak kalah
besarnya dari ruangan depan tadi. Beberapa wanita yang berkumpul di sana segera
melemparkan senyuman dan kerdipan mata genit pada Rapasak. Tapi pemuda itu
hanya membalasnya dengan senyuman tipis saja.
Mereka terus berjalan menyusuri
lorong, setelah melewati ruangan yang terang-benderang itu. Di samping kiri dan
kanan lorong ini terdapat beberapa pintu yang tertutup. Tak ada satu pintu pun
yang terbuka. Sampai di ujung lorong, mereka berhenti. Nyi Walang membuka
sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini, lalu melangkah melewati pintu
diikuti Rapasak dari belakang.
Ternyata pintu ini merupakan
sebuah penghubung ke bagian belakang bangunan besar dan bertingkat ini. Mereka
terus berjalan melintasi taman, menuju beberapa bangunan kecil bagai pendopo
yang berjajar rapi mengelilingi taman kecil ini. Nyi Walang membawa Rapasak ke
sebuah bangunan yang berada paling tengah. Tanpa mengetuk pintunya lagi, wanita
bertubuh gemuk bagai tong air ini langsung saja membuka pintu itu. Kemudian,
Rapasak dipersilakan masuk terlebih dahulu.
“Silakan...,” ucap perempuan
tambun itu, ramah.
Rapasak melangkah masuk, baru Nyi
Walang mengikuti dari belakang. Ternyata, bangunan ini hanya terdiri dari dua
ruangan yang hanya dibatasi selembar dinding dari bilik bambu. Sebuah pelita
tergantung di tengah-tengah ruangan ini. Hanya ada sebuah kursi panjang dan
sebuah lemari berukuran kecil dan panjang di sini. Rapasak meng-hempaskan
tubuhnya di kursi panjang dari rotan itu.
Sementara, Nyi Walang terus
melangkah masuk ke dalam ruangan satunya lagi. “Kau tunggu sebentar, Rapasak,”
ujar Nyi Walang sebelum menghilang di balik pintu bilik bambu pemisah ruangan ini.
Rapasak hanya mengangguk saja.
Tak lama, Nyi Walang telah kembali lagi diikuti seorang wanita berusia muda
yang mengenakan baju warna hijau muda. Rapasak cepat bangkit berdiri. Mulutnya
sampai ternganga melihat wanita cantik di samping Nyi Walang yang begitu cantik
bagai bidadari baru turun dari kahyangan. Kulitnya putih bersih, sangat pas
dengan warna dan potongan baju yang dikenakannya.
“Baru dua hari Minati datang, dan
belum ada seorang pun yang mengunjunginya. Dia khusus untukmu, Rapasak,” jelas
Nyi Walang ramah, disertai senyumnya yang dibuat-buat.
“Minati.... Nama yang cantik,
secantik orangnya,” desah Rapasak memuji.
“Layanilah dia dengan baik,
Minati,” pesan Nyi Walang.
“Baik, Nyi,” sahut Minati lembut.
“Silakan. Kalian pasti ingin
mengenal lebih dekat lagi,” kata Nyi Walang lagi. Tanpa menunggu jawaban apa
pun juga, wanita bertubuh gemuk itu segera melangkah pergi meninggalkan mereka
berdua.
Masih belum ada yang membuka
suara, meskipun Nyi Walang sudah tidak ada lagi di ruangan ini.
“Silakan duduk,” ucap Minati
lembut dan sopan.
“Terima kasih.” Rapasak kembali
duduk di kursi yang tadi didudukinya.
Sedangkan Minati hanya berdiri
saja. Jari-jari tangannya mempermainkan sehelai sapu-tangan hijau muda dari
bahan sutera halus. Sedangkan Rapasak tidak lepas-lepasnya memperhatikan wajah
dan tubuh wanita di depannya ini. Begitu cantiknya, seakan-akan Rapasak tidak
ingin mengalihkan perhatiannya barang sedikit pun.
“Duduklah di sini,” pinta Rapasak
seraya menepuk tempat disampingnya.
Sambil tersenyum dikulum, wanita
cantik berbaju hijau itu melangkah mendekat. Kemudian dia duduk di samping
Rapasak. Bau harum yang semerbak langsung menyeruak, menusuk cuping hidung
Rapasak. Sehingga membuatnya tak dapat lagi menahan gejolak hati untuk
merasakan halusnya kulit tubuh wanita ini.
Rapasak mengambil tangan wanita
itu, dan menggenggamnya hangat-hangat. Sedikit pun Minati tak menolak. Dibiarkannya
saja jari-jari tangannya diremas penuh kehangatan dan gairah yang menggelora
dalam dada Rapasak.
“Nyi Walang selalu cerita tentang
Raden...,” kata Minati perlahan.
“Jangan panggil raden. Panggil
saja Kakang Rapasak,” potong Rapasak cepat.
“Nanti Nyi Walang marah.”
“Dia tidak akan berani
memarahimu.”
Minati hanya tersenyum saja
seraya menundukkan kepala. Rapasak cepat menggamit dagu wanita itu, lalu
membawanya ke atas. Sehingga, wajah mereka begitu dekat. Mau tak mau desah
napas mereka terasa hangat menerpa kulit wajah satu sama lain.
“Kau pasti putra bangsawan yang
berpengaruh di Kadipaten Wadas Lintang ini, Kakang,” tebak Minati lagi.
“Bukan,” sahut Rapasak.
“Ah, mana mungkin? Buktinya, Nyi
Walang melayani Kakang begitu istimewa. Kalau bukan seorang pembesar, atau
putra pembesar di kadipaten ini, mana mungkin Nyi Walang memberi pelayanan yang
begitu istimewa...?” Minati tidak percaya.
“Aku adik kandung Gagak Ireng,
Kepala Pasukan Khusus Kadipaten Wadas Lintang ini,” jelas Rapasak terus terang.
“Kepala Pasukan Khusus? Bukankah
itu berarti orang kedua di kadipaten?”
“Benar. Tapi itu baru satu bulan
ini. Setelah...,” Rapasak tidak melanjutkan.
“Setelah apa, Kakang?” desah
Minati ingin tahu.
“Ah, sudahlah...,” Rapasak
mengelak tidak ingin membicarakan lagi.
“Ayolah, Kakang.... Aku ingin
tahu tentang dirimu. Bukankah tadi Nyi Walang mengatakan kalau kita harus
saling mengenal lebih dekat...? Aku juga nanti akan mengatakan tentang diriku
padamu, Kakang,” rengek Minati memaksa.
“Kau pintar sekali merayuku,
Minati.”
“Ah, Kakang....” Minati jadi
tersipu.
Rapasak begitu gemas melihat
wajah yang bersemu merah dadu. Dicubitnya hidung yang berbentuk indah dan
bangir ini. Minati semakin tersipu seperti seorang gadis yang baru saja
disentuh pemuda yang dicintainya. Gadis itu hanya diam saja saat tangan Rapasak
melingkar di pinggangnya. Dan dia juga diam ketika Rapasak memberinya satu
kecupan lembut di pipi.
“Ke dalam, yuk...?” ajak Rapasak.
“Nanti saja, Kakang. Kau belum
mengatakan apa-apa tentang dirimu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi
sebelum...,” Minati tidak meneruskan ucapannya.
“Nanti juga kau tahu.”
“Ah, tidak.... Aku ingin
sekarang.”
Rapasak mengangkat bahunya
sedikit. “Baiklah. Tapi, kau harus janji. Setelah kukatakan, kau harus bersedia
ke dalam. Bagaimana...?”
Minati mengangguk dan tersenyum
manis. “Kakang Gagak Ireng diangkat menjadi Kepala Pasukan Khusus karena
jasanya. Dia berhasil menewaskan seorang pengacau yang telah merugikan banyak
orang di kadipaten ini. Orang itu berkepandaian tinggi, sehingga jago-jago
kadipaten tak ada yang sanggup menandinginya,” Rapasak mulai bercerita.
“Sebelum ini, apa kakakmu juga
seorang pembesar kadipaten?” tanya Minati.
“Bukan..."
“Lalu?”
“Aku dan Kakang Gagak Ireng
semula hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ada lima puluh orang
anak buah Kakang Gagak Ireng. Sekarang, mereka semua menjadi anggota pasukan
khusus itu. Dan kami harus tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk menjaga
keamanan seluruh wilayah kadipaten.”
“Tugas yang berat...,” desah
Minati.
“Memang. Tapi Kakang Gagak Ireng
menyukainya. Dan ini memang sudah menjadi keinginannya sejak dulu, untuk
menjadi orang kedua di sebuah kadipaten. Yaaah..., ternyata Kadipaten Wadas
Lintang ini menjadi pilihannya. Dan semua keinginannya selama ini sudah
terwujud. Bahkan Gusti Adipati Bayaga sendiri selalu meminta nasihat Kakang
Gagak Ireng. Segala keputusan yang akan diambil, selalu dibicarakan pada Kakang
Gagak Ireng.”
“Hm..., tentu kakakmu sangat
tangguh,” kembali Minati menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
“Memang. Tak ada seorang pun yang
dapat menandingi kepandaiannya,” sambut Rapasak bangga.
“Apa kau juga setangguh dia,
Kakang?” tanya Minati lagi.
“Masih satu tingkat di bawahnya.”
Minati bangkit berdiri, lalu
melangkah mendekati jendela. Perlahan tangannya yang halus dan lembut membuka
daun jendela itu, sehingga angin malam yang dingin menerobos masuk menerpa
tubuhnya. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk di kursi panjang dari rotan itu.
Perlahan Minati memutar tubuhnya, berbalik membelakangi jendela.
“Boleh kutahu, siapa perusuh yang
mengacau kadipaten ini, Kakang?” tanya Minati lagi.
“Namanya Birawa. Tapi, semua
orang di kadipaten ini selalu menyebutnya si Setan Jagal,” sahut Rapasak.
“Birawa...,” gumam Minati, agak
mendesah suaranya.
“Ada apa, Minati? Kau kenal?”
tanya Rapasak.
“Kedatanganku ke sini sebenarnya
juga ada satu urusan yang berhubungan dengan orang yang kau sebutkan namanya
tadi, Kakang,” kata Minati. Kali ini suaranya terdengar lain.
“Kau ada persoalan dengan
Birawa...?”
Minati tidak menjawab. Bibirnya
mengulas senyum yang begitu manis. Kakinya melangkah perlahan mendekati Rapasak
yang masih duduk di kursi rotan panjang ini. Tangannya terulur, dan langsung
disambut pemuda ini dengan hangat disertai senyum terkembang di bibir.
Perlahan Rapasak bangkit berdiri,
langsung melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping dan padat berisi.
Tubuh mereka begitu rapat, sehingga tak ada lagi jarak yang tersisa.
“Kau tidak menanyakan tentang
diriku, Kakang?” suara Minati kembali terdengar lembut.
“Aku tidak peduli siapa dirimu,
Minati. Yang penting, malam ini kau bersamaku,” sahut Rapasak.
“Ahhh....” Minati menggeliat
begitu Rapasak melumat bibirnya. Wajahnya langsung disembunyikan begitu Rapasak
melepaskan pagutannya. Dengan halus sekali, Minati melepaskan rangkulan pemuda
ini. Kemudian kakinya melangkah mundur beberapa tindak.
Tapi Rapasak menahan dengan
menggenggam tangannya. Tiba-tiba saja, Rapasak menyentaknya kuat-kuat, sehingga
Minati terjatuh ke dalam pelukan pemuda ini.
“Auw...!”
Rapasak tidak lagi menyia-nyiakan
kesempatan ini. Cepat-cepat dipondongnya tubuh ramping itu, dan dibawanya masuk
ke dalam ruangan lain yang berukuran sama dengan yang tadi. Di ruangan ini
hanya ada sebuah pembaringan, sebuah meja, dan kursi di depannya. Rapasak
langsung membawa ke pembaringan, dan merebahkan wanita itu dengan hati-hati
sekali. Sepertinya wanita itu sebuah porselen yang tak boleh tergores
kemulusannya.
“Ah, Kakang...,” desah Minati
begitu Rapasak menghujani wajah dan lehernya dengan ciuman-ciuman hangat penuh
gairah menggejolak. Minati hanya dapat menggeliat dan mendesah lirih di bawah
himpitan tubuh kekar dan tegap berotot ini.
Sedangkan jari-jari tangan
Rapasak sudah begitu liar, menjelajahi seluruh tubuh di bawah himpitannya.
Minati kembali menggelinjang saat merasakan tangan Rapasak menggusur
pakaiannya. Rapasak mengulurkan tangannya, lalu mematikan pelita yang berada di
meja, di samping pembaringan ini.
Seketika itu juga ruangan jadi
meremang. Hanya cahaya bulan saja yang coba-coba mengintip dari celah-celah
atas jendela. Tak ada lagi yang bicara. Tak terdengar suara apa pun juga,
selain desah napas dan erangan lirih diiringi derit pembaringan yang tak kuat
menahan berat beban di atasnya.
“Ohhh....”
***
TIGA
“Hendak ke mana lagi, Rapasak...?”
tegur Gagak Ireng melihat adik angkatnya sudah rapi hen-dak pergi.
“Aku ada janji,” sahut Rapasak
seraya berbalik memutar tubuhnya.
“Sudah satu pekan ini kau selalu
saja keluar rumah malam-malam, dan selalu saja pulang pagi. Ke mana saja selama
ini, Rapasak?”
“Kakang pernah jatuh cinta...?”
Rapasak malah balik bertanya.
“Ha ha ha...!” Gagak Ireng malah
tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan adik angkatnya.
Dihampirinya Rapasak dan
dicengkeramnya kedua bahu pemuda itu dengan kuat, sehingga, pemuda itu jadi
meringis. Tapi hatinya sudah cukup senang karena Gagak Ireng tidak lagi
memasang wajah tegang seperti tadi. Malah sekarang senyumnya terkembang
menghiasi bibirnya yang hampir tertutup kumis.
“Gadis mana yang kau pilih,
Rapasak?” tanya Gagak Ireng.
“Bukan gadis, tapi janda,” jelas
Rapasak.
“Gadis atau janda itu bukan
masalah. Asal bukan istri orang saja yang kau sambar,” gurau Gagak Ireng.
Rapasak hanya tersenyum saja. “Kau ingin cepat-cepat, Rapasak?” tanya Gagak
Ireng lagi.
“Nanti saja, Kakang. Aku lebih
senang kalau kau dulu yang mendapat pendamping.”
“Aku sudah terlalu tua untuk
punya istri, Rapasak. Jangan terlalu memikirkan diriku. Aku sudah cukup senang
kalau kau punya istri dan hidup bahagia.”
“Terima kasih, Kakang,” ucap
Rapasak perlahan. Pemuda itu menundukkan kepala.
Gagak Ireng jadi berkerut
keningnya melihat raut wajah adik angkatnya tiba-tiba saja jadi berubah
mendung. Diangkatnya wajah pemuda ini, sehingga mereka saling bertatapan.
“Ada persoalan, Rapasak...?”
tanya Gagak Ireng lembut.
“Kakang pasti tidak setuju kalau
tahu tentang dia,” duga Rapasak perlahan.
“Kenapa kau punya pikiran seperti
itu?”
“Karena dia....”
“Katakan, Rapasak. Aku tidak akan
menghalangi kalau itu membuatmu bahagia."
“Namanya Minati, Kakang.
Tinggalnya dirumah Nyi Walang,” pelan sekali suara Rapasak, hampir tak
terdengar di telinga Gagak Ireng.
Agak terkejut juga Gagak Ireng
mendengar pengakuan adik angkatnya ini. Sungguh tidak disangka kalau wanita
pilihan adik angkatnya ini berasal dari rumah pelacuran terkenal di kota
Kadipaten Wadas Lintang ini. Gagak Ireng menghembuskan napas panjang sambil
berbalik memutar tubuhnya. Kakinya melangkah perlahan mendekati jendela.
Sementara Rapasak hanya
memandangi saja. Beberapa saat kesunyian menyelimuti mereka berdua. Cukup lama
juga Gagak Ireng berdiri di depan jendela, memandang bulan yang menggantung
penuh di langit hitam kelam, bertaburkan cahaya bintang. Perlahan tubuhnya
diputar, langsung menatap Rapasak yang masih berdiri saja memandang dengan
sinar mata sukar diartikan.
“Kau tahu dimana keluarganya?”
tanya Gagak Ireng, agak mendesah suaranya.
“Dia tidak punya keluarga lagi.
Dia berasal dari daerah selatan,” sahut Rapasak memberitahu.
“Tepatnya?”
“Bukit Gantang.”
Gagak Ireng menatap Rapasak
tajam-tajam begitu mendengar tempat wanita yang menjadi pilihan adik angkatnya
ini berasal. Sedangkan Rapasak hanya tertunduk saja, tak sanggup membalas
tatapan mata yang tajam itu. Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya. Perlahan
Gagak Ireng melangkah mendekati, lalu berhenti sekitar tiga langkah lagi di
depan Rapasak yang masih terduduk diam.
“Tatap aku, Rapasak,” pinta Gagak
Ireng, begitu dalam suaranya.
Perlahan Rapasak mengangkat
kepalanya. Mereka langsung bertatapan tanpa berbicara sedikit pun juga. Entah
apa yang ada di dalam dada Rapasak saat ini. Dia tahu, Gagak Ireng tidak
menyetujui hubungannya dengan wanita yang berasal dari Bukit Gantang.
“Rapasak! Kau tahu, dari mana
Birawa berasal, bukan...?” dalam sekali suara Gagak Ireng.
“Ya! Aku tahu, Kakang,” sahut
Rapasak perlahan seraya menganggukkan kepala.
“Dari mana?”
Cukup lama juga Rapasak tidak
menjawab pertanyaan Gagak Ireng. Kepalanya kembali tertunduk dengan bibir masih
terkunci rapat. Sedangkan Gagak Ireng memandanginya begitu tajam menusuk.
Terdengar hembusan napas berat, bagai hendak melepaskan ganjalan yang ada di
rongga dada.
“Kau harus hati-hati dengan
setiap orang yang datang dari Bukit Gantang, Rapasak. Kau kan tahu, Birawa
berasal dari sana. Dan bukannya tidak mustahil kalau kematiannya sudah tersebar
sampai ke sana. Sadarilah hal itu, Rapasak,” Gagak Ireng menasihati penuh
perhatian.
“Tapi, dia sendiri punya
persoalan dengan Birawa, Kakang. Dia juga baru tahu, kalau Birawa sudah tewas.
Bahkan merasa bersyukur mendengar kematian si perusuh itu. Dan kudengar, dia
ingin mengucapkan terima kasih padamu yang telah melenyapkan Birawa, Kakang,”
kata Rapasak memberitahu.
“Rapasak..., Rapasak...” Gagak
Ireng menggeleng-gelengkan kepala.
Rapasak jadi tidak mengerti atas
sikap kakak angkatnya ini. Dipandanginya Gagak Ireng dengan sinar mata minta
penjelasan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Gagak Ireng jadi begitu
berhati-hati dan selalu mencurigai setiap orang Bukit Gantang yang datang ke
kadipaten ini.
“Segala macam alasan bisa saja
dikemukakan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Kau harus bisa membedakan
antara bunga dan ular berbisa. Perhatikanlah hal itu, Rapasak. Aku tidak ingin
kita semua patah sebelum waktunya. Ingatlah tujuan utama kita ke kadipaten
ini,” kata Gagak Ireng lagi.
“Kenapa Kakang selalu menaruh
curiga pada setiap orang yang datang dari Bukit Gantang? Apakah karena Birawa
berasal dari sana?” tanya Rapasak jadi ingin tahu.
“Kau adikku satu-satunya,
Rapasak. Orang satu-satunya yang kupercaya dan kucintai. Aku tidak ingin kau
terjebak. Meskipun Birawa sudah terkubur, tapi persoalannya belum tuntas begitu
saja...,” Gagak Ireng mencoba memberi pengertian.
“Maksud Kakang...?” Rapasak masih
belum mengerti juga.
“Kau tahu di mana Birawa selama
ini hidup? Juga, dari mana dia mendapat ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian
begitu tinggi...?” Gagak Ireng malah memberikan pertanyaan.
Rapasak terdiam tidak menyahut.
Sebelum mengejar Birawa sampai ke hutan, mereka memang sudah menyelidiki
asal-usul Birawa. Hingga, mereka tahu betul kelemahan ilmu yang dimiliki
Birawa. Inikah yang selama beberapa hari ini membuat Gagak Ireng sering
merenung dan menyendiri? Rapasak jadi bertanya-tanya dalam hati. Sungguh tidak
pernah terlihat kalau Gagak Ireng tengah memikirkan lawan-lawan yang berhasil
dilenyapkan. Tapi...
Rapasak cepat membantah semua
yang ada di kepalanya. Dia tidak percaya kalau Gagak Ireng memiliki rasa gentar
terhadap asal-usul Birawa. Pemuda itu tidak yakin kalau asal-usul Birawa
membuat Gagak Ireng menjadi gentar. Terutama setelah mengalahkan, dan
mengirimnya ke lubang kubur.
“Aku akan menyelidikinya, Kakang.
Kalau memang dia punya maksud tertentu, aku akan melenyapkannya,” tegas Rapasak.
“Sekarang aku akan ke sana. Sudah
ada janji dengannya.”
“Aku tidak memaksamu, Rapasak.
Hanya kuminta, kau berhati-hati pada semua orang yang berasal dari Bukit
Gantang,” ujar Gagak Ireng.
Rapasak hanya tersenyum saja.
Ditepuknya bahu kakak angkatnya ini. Kemudian tubuhnya berputar dan berjalan
meninggalkan Gagak Ireng sendirian di dalam ruangan ini.
Gagak Ireng masih berada di dalam
ruangan itu meskipun Rapasak sudah tidak terlihat lagi. Kakinya lalu melangkah
mendekati jendela dan berdiri di sana. Sekilas Rapasak masih terlihat tengah
memacu kudanya meninggalkan rumah besar dan megah yang dikelilingi pagar batu
setinggi dua batang tombak. Beberapa orang tampak berada di sudut-sudut yang
rawan untuk berjaga-jaga.
“Hm... Aku harus menyelidikinya
sendiri. Pengalamannya belum banyak dalam hal seperti ini,” gumam Gagak Ireng
setelah berpikir beberapa saat.
Bergegas Gagak Ireng melangkah
meninggalkan ruangan itu. Tak berapa lama kemudian, kudanya sudah terlihat
dipacu cepat meninggalkan rumahnya yang besar, hadiah dari Adipati Bayaga.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan seperti malam-malam
sebelumnya, suasana di Kadipaten Wadas Lintang ini selalu saja ramai.
“Hiya! Hiya...!” Gagak Ireng
memacu cepat kudanya menuju bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang. Tapi dia
tidak memilih jalan utama yang setiap saat dilalui orang. Yang dipilihnya
adalah jalan memutar, melalui rumah-rumah penduduk dan perkebunan. Tidak
dipedulikan lagi kalau malam telah begitu pekat, meskipun bulan bersinar penuh
saat itu. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan penuh.
“Hieeek...!”
“Heh...?! Hup...!”
Gagak Ireng terkejut setengah
mati begitu tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Cepat-cepat tubuhnya melenting,
melompat dari punggung kuda hitam itu. Dan bersamaan kakinya menjejak tanah, kuda
hitam itu langsung ambruk menggelepar. Gagak Ireng jadi terbeliak melihat
kudanya seketika tewas. Tampak di leher binatang itu tertancap sebuah benda
berbentuk mata tombak berwarna hitam pekat.
“Kurang ajar...!” desis Gagak
Ireng menggeram.
Suasana sekitarnya begitu sepi.
Hanya desir angin saja yang terdengar, menebarkan udara dingin menusuk tulang.
Gagak Ireng mengedarkan pandangan tajam-tajam. Telinganya juga dipasang begitu
tajam, mendengarkan setiap suara sekecil apa pun yang ada di sekitarnya. Tapi
setelah begitu lama, tak juga terdengar sesuatu yang mencurigakan. Sekitarnya
begitu sunyi. Hanya pepohonan saja yang terlihat menghitam pekat di sekitarnya.
“Hm.... Siapa yang mau main-main
denganku...?” gumam Gagak Ireng bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Perlahan Gagak Ireng mengayunkan
kakinya sambil tetap memasang mata dan telinganya tajam-tajam. Sikapnya begitu
hati-hati dan waspada. Gagak Ireng baru berhenti melangkah setelah dekat
disamping bangkai kudanya. Tubuhnya membungkuk sedikit, lalu mencabut mata
tombak hitam yang menancap di leher kudanya.
“Hm..., beracun,” desis Gagak
Ireng menggumam perlahan. Sebentar diamatinya benda berbentuk mata tombak hitam
itu. Sebuah benda terbuat dari bahan hitam yang keras, dan mengandung racun
jahat mematikan. Tidak heran kalau kuda itu mati seketika.
“Hih...!” Tiba-tiba saja Gagak
Ireng mengebutkan tangan kanannya ke samping begitu sekilas terdengar suara
mencurigakan dari arah samping kanannya. Benda berbentuk mata tombak hitam yang
berada di tangannya, seketika itu juga melesat cepat bagaikan kilat.
Srak!
“Hiyaaa...!” Gagak Ireng cepat
melesat begitu dari semak yang tertembus mata tombak hitam melesat sebuah
bayangan hitam keatas pohon.
Hampir bersamaan, mereka
menjejakkan kakinya di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Dan secara bersamaan
pula, masing-masing menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Glarrr...! Satu ledakan keras
terdengar menggelegar ketika dua pasang telapak tangan beradu. Tampak dua orang
itu saling melentingkan tubuh ke belakang. Mereka sama-sama mendarat ringan
sekali. Kini satu sama lain berdiri saling berhadapan berjarak sekitar dua
batang tombak.
“Hm...,” Gagak Ireng menggumam
perlahan. Kelopak matanya sedikit menyipit memperhatikan sosok tubuh hitam yang
berdiri sejauh dua batang tombak di depannya.
Sosok tubuh ramping, terbungkus
baju hitam pekat yang sangat ketat. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan
kalau sosok itu adalah wanita. Juga dari rambutnya yang panjang teriap hingga
hampir menutupi wajahnya.
“Siapa kau...?!” tanya Gagak
Ireng, agak membentak suaranya.
“Aku Pendekar Bukit Gantang yang
hendak menuntut balas padamu!” sahut orang berbaju serba hitam itu, tegas dan
dingin suaranya.
Hampir tak ada tekanan dalam nada
suaranya. Tapi Gagak Ireng sudah bisa memastikan kalau orang berbaju serba
hitam itu adalah wanita. Dan dari segebrakan tadi, juga sudah bisa diukur
tingkat kepandaian wanita itu. Yang jelas, dia tidak bisa dipandang sebelah
mata. Dan Gagak Ireng tahu, apa yang diinginkan wanita berjuluk Pendekar Bukit
Gantang itu.
“Apa yang hendak kau tuntut
dariku, Nisanak? Di antara kita tidak ada persoalan apa pun,” tanya Gagak
Ireng.
Sungguh dia baru kali ini bertemu
orang yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang. Tapi Gagak Ireng sudah bisa
menebak maksud kemunculan wanita berbaju serba hitam ini. Terlebih lagi,
setelah mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang yang pasti berasal dari Bukit
Gantang, tempat tanah kelahiran Birawa.
“Kau sudah berhutang nyawa, Gagak
Ireng. Dan ini harus dibayar dengan nyawamu juga! Malam ini, aku menagih hutang
padamu!” tegas Pendekar Bukit Gantang.
“Hutang nyawa...? Ha ha ha...!
Mengenalmu saja aku belum. Lalu, bagaimana bisa berhutang nyawa padamu?” Gagak
Ireng jadi tergelitik tenggorokannya mendengar tuntutan wanita serba hitam itu.
“Kau pasti tidak lupa peristiwa
di Hutan Cagar Mayit, Gagak Ireng...”
“Hm...?!” gumam Gagak Ireng tidak
kaget lagi mendengarnya, karena memang sudah menduga demikian. Mana mungkin
Gagak Ireng bisa melupakan peristiwa yang baru saja terjadi sebulan lalu itu?
Maka, matanya semakin tajam memperhatikan wanita berbaju serba hitam di
depannya. Berbagai pertanyaan langsung memenuhi kepalanya. Siapa wanita ini
sebenarnya...?
“Apa hubunganmu dengan Birawa,
Nisanak?” tanya Gagak Ireng, agak ditekan suaranya.
“Dia saudaraku. Dan kematiannya
harus kau balas dengan nyawamu!” sahut Pendekar Bukit Gantang tegas.
“Hm...,” Gagak Ireng jadi
menggumam perlahan.
“Bersiaplah, Gagak Ireng...!”
desis Pendekar Bukit Gantang dingin. “Hiyaaat...!”
Bagaikan kilat, wanita berbaju
hitam yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu melompat cepat
menerjang. Satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi
dilepaskan lurus mengarah ke dada.
“Hup!” Gagak Ireng cepat-cepat
mengegoskan tubuhnya menghindari serangan itu. Tapi sebelum sempat menarik
tubuhnya tegak kembali, Pendekar Bukit Gantang sudah kembali melepaskan pukulan
tangan kirinya. Begitu cepat serangan susulannya, membuat Gagak Ireng jadi
terperangah.
“Hih!” Tak ada lagi kesempatan
bagi Gagak Ireng untuk mengelak. Cepat-cepat tangan kanannya menghentak untuk
menangkis pukulan itu.
Satu benturan kekuatan tenaga
dalam terjadi, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Gagak Ireng
cepat-cepat melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Pendekar
Bukit Gantang juga segera melentingkan tubuh beberapa kali ke belakang. Dan
kini kembali mereka berdiri saling berhadapan.
“Edan...!” dengus Gagak Ireng
merasakan nyeri pada pergelangan tangannya, akibat benturan keras dengan wanita
berbaju serba hitam tadi. Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam
wanita ini begitu dahsyat. Bahkan hampir saja Gagak Ireng tidak kuat
menahannya. Tapi dari benturan itu sudah membuatnya merasa yakin kalau kekuatan
tenaga dalam yang dimilikinya masih lebih tinggi.
Lain halnya yang dirasakan
Pendekar Bukit Gantang. Dari benturan tadi, seluruh tangan kirinya jadi
bergetar hebat. Bahkan terasa begitu panas! Terlebih lagi, detak jantungnya
seakan-akan berhenti seketika.
Sret!
“Hm...!”
Gagak Ireng menggeser kakinya
sedikit ke kanan begitu lawan mencabut pedangnya. Agak terkejut juga hatinya
melihat pedang yang berwarna kehijauan. Pedang itu sama persis dengan milik
Birawa. Bahkan bentuk dan ukurannya begitu sama. Gagangnya pun tak ada
perbedaan sama sekali. Seakan-akan wanita itu memegang pedang milik Birawa.
Padahal, Gagak Ireng begitu yakin kalau pedang Birawa sudah terkubur bersama
jasadnya di Hutan Cagar Mayit.
“Hiyaaat...!” Bet! Cring!
Gagak Ireng langsung mencabut
pedang kebanggaannya begitu wanita yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang
melakukan serangan cepat menggunakan pedang berwarna kehijauan. Secepat kilat
Gagak Ireng mengebutkan pedangnya, menangkis serangan yang mengarah ke dada.
Tring!
Bunga api memercik begitu dua
senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada Gagak Ireng. Tapi Pendekar
Bukit Gantang tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya
serangan-serangan gencar yang cepat dan dahsyat. Setiap kebutan pedangnya
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Pendekar Bukit Gantang sama
sekali tidak peduli kalau setiap kali pedangnya beradu dengan pedang Gagak
Ireng, tangannya selalu bergetar hebat. Sampai sejauh ini, pedangnya masih bisa
dipertahankan hingga tidak terlepas dari genggaman. Bahkan serangan-serangan
yang dilakukan semakin bertambah dahsyat saja. Jurus demi jurus berlalu cepat.
“Ugkh!” Pendekar Bukit Gantang
mulai mengeluh. Napasnya kini terasa jadi sesak bagai tersumbat sebongkah batu
yang begitu besar dalam dadanya. Sama sekali tidak disadari kalau asap
kehitaman yang keluar dari pedang Gagak Ireng mengandung racun yang membuat
dadanya terasa begitu sesak.
“Lepas...!” seru Gagak Ireng
tiba-tiba. Saat itu juga, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke arah pedang di
tangan Pendekar Bukit Gantang. Begitu cepat serangannya, sehingga wanita
berbaju serba hitam itu tak sempat lagi menarik pedangnya yang sudah terulur ke
depan.
Trang! “Akh...!”
Pendekar Bukit Gantang tidak
dapat lagi menahan pedangnya yang mencelat ke udara, begitu terbabat pedang
Gagak Ireng yang begitu keras.
“Hup! Hiyaaa...!” Pendekar Bukit
Gantang cepat-cepat melenting ke udara mengejar pedangnya yang mencelat tinggi
ke angkasa.
“Yeaaah...!”
Pada saat yang hampir bersamaan,
Gagak Ireng juga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat, pedangnya
dibabatkan ke tangan kanan Pendekar Bukit Gantang yang terulur hendak menangkap
pedangnya.
Bet! Cras!
“Akh...!” satu pekikan keras
keluar dari bibir wanita berbaju serba hitam itu.
Tebasan pedang Gagak Ireng tak
dapat lagi terbendung. Tangan kanan wanita itu seketika buntung terbabat pedang
berwarna hitam pekat berbentuk aneh itu. Darah kontan mengucur dari tangan yang
buntung sebatas pergelangan. Dan sebelum wanita berbaju serba hitam itu bisa
melakukan sesuatu, Gagak Ireng sudah melepaskan satu tendangan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!” Des! “Aaakh...!”
Tak pelak lagi, Pendekar Bukit
Gantang terbanting keras ke tanah akibat terhajar tendangan keras di dada.
Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah. Dan begitu bisa bangkit berdiri,
Gagak Ireng sudah mendarat di depannya. Tanpa dapat dicegah lagi, Gagak Ireng
cepat mengebutkan pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu.
Bet! Crab!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang
melengking tinggi mengakhiri pertarungan ini.
Hanya sebentar saja Pendekar
Bukit Gantang mampu bertahan berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah.
Dari dadanya mengucur darah akibat sabetan pedang yang ujungnya bercabang
seperti lidah ular itu. Pendekar Bukit Gantang mengejang beberapa saat, lalu
diam tak bergerak-gerak lagi.
Gagak Ireng memasukkan pedangnya
ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lawannya.
Sedikit tubuhnya membungkuk, menyibakkan rambut yang menutupi wajah wanita ini.
Tampak seraut wajah cantik yang telah memucat, terlihat di balik rambut panjang
hitam yang meriap.
“Hm...?” gumam Gagak Ireng jadi
berkerut keningnya begitu melihat wajah cantik hampir tertutup rambut panjang.
Sebentar dipandangi, kemudian diseretnya tubuh kaku itu ke dalam semak. Gagak
Ireng masih berdiri beberapa saat setelah keluar dari dalam semak untuk
menyembunyikan tubuh wanita itu. Keningnya masih berkerut dalam, seolah-olah
tengah berpikir keras tentang wanita berbaju serba hitam yang mengaku berjuluk
Pendekar Bukit Gantang.
“Apakah dia Minati...? Hm... Aku
harus segera menemui Rapasak.”
Gagak Ireng bergegas berlari
cepat meninggalkan tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar
saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
***
EMPAT
Sementara itu Rapasak sudah tiba
di rumah bordil milik Nyi Walang. Yang dituju langsung pondok tempat tinggal
Minati yang berada di bagian belakang rumah utama. Tapi Rapasak tidak menemukan
wanita itu di dalam pondoknya. Lalu dia kembali ke rumah utama yang berukuran
besar dan megah. Pemuda itu menyeret Nyi Walang ke dalam sebuah ruangan. Wanita
gemuk itu tampak ketakutan melihat ketegangan di wajah Rapasak.
“Katakan, di mana Minati...?”
desak Rapasak.
“Tadi dia ada di kamarnya! Dia
tidak pernah menerima tamu lain. Sungguh...!” sahut Nyi Walang, bergetar
suaranya.
“Tapi kenyataannya tidak ada.”
“Mungkin sedang keluar.”
“Kau jangan coba-coba
mempermainkan aku, Nyi Walang” gertak Rapasak mengancam.
“Tidak! Aku tidak pernah
mempermainkan orang. Dia memang sering keluar.”
“Ke mana?”
“Aku tidak tahu. Dia tidak pernah
mengatakannya. Aku selalu membebaskan gadis-gadis di sini untuk keluar
jalan-jalan.”
“Hhh!” Rapasak mendengus berat.
Pemuda itu melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Jendela ini memang
menghadap langsung ke bagian belakang, sehingga keadaan di belakang rumah
bordil ini tampak terlihat jelas. Dari jendela ini dia dapat melihat pondok
yang ditempati Minati.
Pondok itu masih tampak sepi, dan
pintunya terbuka lebar. Seorang laki-laki berperut gendut tampak keluar dari
sebuah pondok lain, diantar seorang wanita cantik yang tubuhnya hanya dililit
kain. Wanita itu hanya mengantarkan sampai di ambang pintu.
Rapasak memutar tubuhnya
berbalik. Ditatapnya Nyi Walang dalam-dalam. Sedangkan wanita gemuk itu hanya
diam dengan tubuh masih gemetar ketakutan. Belum pernah Rapasak dilihatnya
marah seperti ini. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Rapasak tiba-tiba saja jadi
marah. Padahal sebelumnya kalau wanita yang diinginkan tidak ada, Rapasak
selalu mencari gantinya. Tapi kali ini Rapasak begitu marah mendapati Minati
tak ada lagi di pondoknya.
“Mungkin sebentar lagi dia
datang, Rapasak,” hibur Nyi Walang mencoba menenangkan langganannya ini.
“Sebaiknya kau cari saja yang lain. Masih banyak gadis yang lebih cantik
darinya.”
Rapasak tidak berkata sedikit
pun. Kakinya kemudian terayun meninggalkan kamar ini. Sedangkan Nyi Walang
masih tetap duduk dengan tubuh gemetar.
Brak!
Keras sekali Rapasak membanting
pintu, hingga Nyi Walang terlonjak terkejut. Rapasak terus mengayunkan kakinya
keluar dari rumah pelacuran itu. Seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun
menghampiri sambil menuntun kuda, begitu melihat Rapasak keluar dari rumah itu.
“Hup!” Rapasak langsung melompat
naik ke punggung kuda putihnya dan cepat menggebahnya. Bagaikan anak panah
lepas dari busur, kuda putih itu berpacu cepat meninggalkan anak laki-laki yang
terbengong tidak mengerti. Dia hanya mengangkat bahunya saja, dan kembali
bertugas menjaga kuda-kuda tamu yang datang ke rumah ini.
Sementara Rapasak terus memacu
cepat ku-danya. Tidak dipedulikan lagi keadaan jalan yang masih dipadati orang.
Kudanya terus digebah semakin cepat, membuat orang-orang yang memadati jalan
itu menyumpah serapah karena merasa terganggu. Rapasak sama sekali tak
mempedulikan. Kudanya malah semakin cepat dipacu melintasi jalan tanah berdebu
yang membelah Kota Kadipaten Wadas Lintang ini.
“Rapasak...!”
“Hooop...!”
Rapasak langsung menarik tali
kekang kudanya begitu mendengar panggilan keras. Kuda putih itu meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya. Rapasak cepat berpaling ke arah
panggilan tadi. Bergegas dia melompat turun begitu melihat Gagak Ireng setengah
berlari menghampiri.
“Kakang Gagak Ireng, kenapa ada
di sini...?” tanya Rapasak begitu kakak angkatnya sudah dekat.
“Aku sengaja mencarimu,” sahut
Gagak Ireng.
“Ada apa?” tanya Rapasak lagi.
“Ayo, ikuti aku.” Gagak Ireng
segera berbalik dan melangkah cepat.
Rapasak jadi berkerut keningnya,
lalu bergegas mengikuti sambil menuntun kudanya. Mereka berjalan cepat di
antara kerumunan orang yang memadati jalan ini. Mereka berbelok ke jalan kecil,
dan masuk ke dalam sebuah perkebunan yang lebat oleh pepohonan.
“Ada apa, Kakang? Kenapa
membawaku kesini...?” tanya Rapasak jadi penasaran ingin tahu.
Gagak Ireng tidak menjawab, tapi
malah terus saja melangkah cepat menerobos kebun yang gelap ini. Rapasak terus
mengikuti di sampingnya sambil menuntun kuda yang mengikuti dari belakang.
“Kau tidak menemui gadismu di
sana, bukan...?” Gagak Ireng malah balik bertanya.
“Dari mana Kakang tahu...?”
Rapasak terkejut mendengar pertanyaan kakak angkatnya.
“Aku dari sana tadi. Nyi Walang
mengatakan, kau marah-marah padanya.” Rapasak hanya diam saja. “Kau tidak akan
bertemu dengannya lagi. Dia tidak akan bisa datang lagi ke sana,” lanjut Gagak
Ireng.
“Kakang...”
Gagak Ireng menghentikan
langkahnya. Ditatapnya Rapasak agak dalam, dengan sinar mata sulit diartikan.
Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sulit diterjemahkan maksud kata-kata Gagak
Ireng barusan. Rapasak hanya dapat menduga-duga dalam hati.
“Aku hanya ingin kau memastikan
saja. Mungkin dugaanku meleset,” kilah Gagak Ireng seraya melanjutkan ayunan
langkahnya lagi.
Rapasak hanya diam saja, lalu
ikut melangkah di samping kakak angkatnya. Berbagai macam dugaan kembali timbul
di kepalanya. Tapi semua dugaan itu tak satu pun yang terlontar menjadi
pertanyaan, dan tetap tersimpan di kepalanya sampai mereka tiba di suatu tempat
yang rapat oleh pepohonan.
Rapasak semakin tidak mengerti,
kenapa kakak angkatnya ini membawanya ke tempat seperti ini. Rapasak hanya
memperhatikan saja kakak angkatnya menyibakkan semak belukar. Dan dari dalam
semak itu, diseretnya sesosok tubuh berbaju hitam yang berlumuran darah.
Keadaan begitu gelap, sehingga Rapasak tidak bisa melihat jelas wajah sosok
tubuh berbaju hitam itu. Terlebih lagi, rambut hitam yang meriap panjang hampir
menutupi seluruh wajahnya.
“Siapa dia, Kakang?” tanya
Rapasak.
“Lihat saja baik-baik.”
“Oh...?!” Rapasak mendesah
terkejut begitu Gagak Ireng menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajah
sosok tubuh berbaju hitam itu. Hampir tidak dipercayai penglihatannya kali ini.
Bergantian, dipandangi wajah mayat itu, lalu berpindah pada Gagak Ireng
beberapa kali. Seakan-akan masih belum dipercayai, apa yang disaksikannya kali
ini.
“Kau mengenalnya, Rapasak?” tanya
Gagak Ireng dengan suara agak ditekan.
“Bagaimana dia bisa berada di
sini?” Rapasak malah balik bertanya. Tentu saja Rapasak kenal. Memang, wanita
berbaju serba hitam yang sudah menjadi mayat itu adalah Minati! Wanita yang
selama beberapa hari ini selalu menjadi teman penghangat tidurnya di atas
ranjang.
“Sudah kuduga, dia adalah teman
wanitamu, setelah nama Birawa disebutnya,” kata Gagak Ireng.
“Kau yang membunuhnya,
Kakang...?” nada suara Rapasak terdengar seperti tidak percaya.
“Hanya ada satu pilihan. Dia atau
aku yang terbunuh,” sahut Gagak Ireng, agak dalam suaranya.
Rapasak hanya diam saja.
“Hhh.... Sudah kuperingatkan agar
kau berhati-hati, Rapasak. Kedatangannya ke sini sengaja untuk membalas
kematian Birawa,” kata Gagak Ireng lagi.
Rapasak masih tetap diam.
“Maaf. Bukan maksudku untuk....”
“Tidak, Kakang. Aku yang minta
maaf padamu,” selak Rapasak cepat.
“Aku kurang hati-hati dan terlalu
cepat mempercayai kata-katanya.”
Gagak Ireng tersenyum dan menepuk
pundak adik angkatnya ini. Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sungguh tidak
disangka kalau Minati punya maksud untuk membalas kematian Birawa pada kakak
angkatnya. Gagak Ireng memang sudah memperingatkan, tapi tidak disangkanya
kalau akan begitu cepat bisa terbongkar.
“Ayo, kita pulang,” ajak Gagak
Ireng.
“Bagaimana dengan mayat ini?”
tanya Rapasak.
“Biarkan saja. Besok pagi juga
ditemukan orang.”
Rapasak tidak berkata-kata lagi
ketika melangkah pergi mengikuti kakak angkatnya. Sementara malam terus merayap
semakin larut. Tapi suasana di Kadipaten Wadas Lintang masih kelihatan ramai,
meskipun sudah agak berkurang. Gagak Ireng dan Rapasak terus berjalan semakin
jauh meninggalkan tempat itu.
Tanpa disadari, ada sepasang mata
yang sejak tadi mengawasi. Dan begitu kedua orang itu sudah tidak terlihat
lagi, muncul seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dari balik
sebatang pohon yang cukup besar. Dia lalu melangkah cepat menghampiri jasad
Minati yang tergeletak bersimbah darah. Laki-laki yang mengenakan baju putih
keperakan itu berdiri mematung di samping mayat wanita berbaju serba hitam itu.
“Sudah kuperingatkan..., dia
bukan lawanmu. Hhh.... Malang sekali nasibmu, Minati,” ujarnya pelan. Begitu
pelannya, sehingga hampir tidak terdengar.
Perlahan dia berlutut dan
mengambil pedang yang tergeletak tidak jauh dari mayat ini. Kemudian
dilepaskannya warangka pedang yang ada di pinggang Minati. Laki-laki berwajah
cukup tampan itu memasukkan pedang berwarna kehijauan ke dalam warangkanya. Dia
masih berlutut memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah yang
melumuri mayat itu sudah terlihat agak mengering.
“Maaf. Aku harus meninggalkanmu
di sini. Aku harus segera memberi tahu Kakang Gandapara mengenai keadaanmu,”
katanya lagi masih dengan suara perlahan.
Laki-laki itu bangkit berdiri.
Sebentar dipandanginya tubuh yang terbaring tak bernyawa lagi itu. Kemudian,
dia cepat melesat pergi tanpa berpaling lagi. Begitu cepat lesatannya, sehingga
dalam sekejapan saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Tak ada lagi orang
yang terlihat di tempat yang lebat oleh pepohonan ini, kecuali mayat wanita
berbaju serba hitam itu saja. Dia hanya ditemani hembusan angin dingin yang
membekukan darah di tubuhnya.
***
Jauh di sebelah utara Kadipaten
Wadas Lintang, tepatnya di sebuah bukit yang berbatu, berdiri sebuah bangunan
besar dikelilingi pagar dari balok-balok kayu yang besar dan tinggi. Di dalam
sebuah ruangan berukuran cukup besar, tampak tiga orang laki-laki tengah duduk
bersila bera-laskan permadani tebal berwarna biru langit. Di ruangan ini hanya
ada seorang gadis. Gadis cantik itu mengenakan baju warna biru ketat. Tampak
sebilah pedang bertengger di punggungnya. Di balik sabuk yang melilit
pinggangnya, juga terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Di sampingnya duduk seorang
pemuda tampan mengenakan baju putih tanpa lengan. Dadanya yang bidang dibiarkan
terbuka lebar. Di depan mereka adalah dua orang laki-laki berusia antara tiga
puluh dan enam puluh tahun. Salah seorang dari mereka mengenakan baju warna
putih keperakan.
Dialah yang malam itu melihat
Gagak Ireng dan Rapasak di dekat mayat Minati. Sedangkan yang seorang lagi,
meskipun umurnya sudah berkepala enam, tapi masih kelihatan gagah dan tampan.
Bajunya belang-belang seperti dari kulit binatang. Ikat kepalanya juga berwarna
sama dengan baju yang dikenakannya.
“Bagaimana menurutmu, Pendekar
Rajawali Sakti? Sudah dua orang saudara kami yang tewas tanpa kesalahan yang
pasti,” terdengar pelan suara laki-laki berbaju kulit binatang itu.
Pandangannya begitu lurus ke bola
mata pemuda berbaju rompi putih yang duduk di depannya. Pemuda tampan berbaju
rompi putih itu memang Pendekar Rajawali Sakti. Nama sebenarnya Rangga. Dia
tidak segera menjawab, tapi malah melirik gadis berbaju biru di sampingnya.
Gadis itu tak lain adalah Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
“Apa benar Birawa merampok dan
membunuh penduduk Kadipaten Wadas Lintang...?” tanya Rangga, seakan-akan ingin
memastikan. Pendekar Rajawali Sakti sudah mendengar semua cerita yang terjadi
di Kadipaten Wadas Lintang. Dan semua itu diketahui dari cerita laki-laki
berbaju kulit binatang yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Ki
Gandapara.
“Tuduhan itu tidak benar,
Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada bukti kalau Birawa melakukan perbuatan
sekeji itu,” bantah Ki Gandapara tegas.
“Aku yakin, semua ini sudah
diatur Gagak Ireng. Dia sengaja membuat kekacauan, lalu menuduhkan semuanya
pada Birawa,” sambung pemuda yang duduk di samping Ki Gandapara. Pemuda itu
sudah dikenal Rangga. Namanya Balung Samodra.
“Yang jelas, bukan hanya Birawa
sasarannya. Tapi semua pendekar di Bukit Gantang ini.”
“Di antara kami dan Gagak Ireng
memang tidak ada kecocokan, dan sudah lama berselisih. Dan sebenarnya, kami
tidak ingin meneruskan perselisihan yang tidak ada gunanya ini. Tapi Gagak
Ireng selalu saja mencari gara-gara,” sambung Ki Gandapara.
“Hm.... Dia sudah mengenalmu?”
tanya Rangga
“Sudah. Walaupun aku baru saja
berada di sini setelah mendengar kematian Birawa di tangannya. Dia juga tidak
tahu kalau akulah saudara tertua di antara pendekar-pendekar Bukit Gantang
ini,” sambung Ki Gandapara.
“Aku selalu pergi mengembara, dan
kembali ke Bukit Gantang hanya sesekali saja. Semua tanggung jawab di sini
dipegang Balung Samodra.”
Rangga tersenyum kecut. Kata-kata
Ki Gandapara seakan-akan menyentuh hatinya. Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau
selalu pergi mengembara, meskipun punya tanggung jawab lain selain raja di
Karang Setra. Dan hanya sesekali saja pulang ke tanah kelahirannya. Semua
tanggung jawab di Karang Setra juga dipercayakan pada adik-adik tirinya.
“Kalau boleh aku tahu, berapa
jumlah kekuatan di sini?” selak Pandan Wangi bertanya.
“Hanya enam. Dan dua sudah tewas
di tangan Gagak Ireng. Jadi, tinggal empat orang lagi yang tersisa. Dan
kepandaian yang mereka miliki, tak ada yang setingkat dengan Gagak Ireng. Itu
sebabnya mereka kuminta untuk tidak terpancing. Kami ingin tahu, apa tujuan
Gagak Ireng sebenarnya di Kadipaten Wadas Lintang ini,” kembali Ki Gandapara
menjelaskan dengan gamblang.
“Aku sendiri masih ragu, apakah
bisa menandinginya atau tidak. Itu sebabnya aku cepat-cepat menghubungi kalian,
karena wilayah Kadipaten Wadas Lintang ini masih wilayah Kerajaan Karang Setra
juga. Dan tentunya, kau juga tidak ingin wilayahmu terusik, Pendekar Rajawali
Sakti,” sambung Ki Gandapara.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum
saja. Meskipun Ki Gandapara sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah
Raja Karang Setra, tapi tidak pernah memanggil dengan sebutan gusti seperti
pada umumnya. Ki Gandapara selalu menganggap Rangga adalah seorang pendekar,
sama seperti dirinya. Karena itu, dia tidak lagi merasa sungkan hanya menyebut
nama saja.
“Siapa sebenarnya Gagak Ireng
itu, Balung Samodra?” tanya Pandan Wangi.
Jelas sekali kalau nada
pertanyaan si Kipas Maut itu mengandung rasa penasaran. Dan ini cepat diketahui
Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Matanya hanya melirik
sedikit pada Pandan Wangi yang kelihatan tidak peduli. Pandan Wangi malah
menatap Balung Samodra dalam-dalam.
“Tadinya dia hanya kepala
rombongan perampok kecil di Kadipaten Wadas Lintang ini. Kemudian mendiang
Eyang Guru kami berhasil mengusirnya keluar dari Kadipaten Wadas Lintang. Namun
dia masih juga meneruskan pekerjaan terkutuknya. Bahkan sampai malang-melintang
dari satu daerah ke daerah lain karena memang tidak punya tempat tinggal tetap.
Dia dikenal berjuluk Penyamun Bukit Tengkorak. Sarangnya memang di sekitar
Bukit Tengkorak, tidak jauh letaknya dari Bukit Gantang ini, dia menjadi orang
kedua di Kadipaten Wadas Lintang. Itu juga berkat akal liciknya yang mengelabui
pembesar kadipaten. Gagak Ireng menimbulkan kekacauan di seluruh Wilayah
Kadipaten Wadas Lintang, lalu menuduh Birawa sebagai pelakunya. Gusti Adipati
Bayaga sendirilah yang mengangkatnya menjadi Kepala Pasukan Khusus Kadipaten.
Dan itu merupakan jabatan penting yang membuatnya menjadi orang kuat kedua di kadipaten
ini,” jelas Balung Samodra, gamblang.
“Licik...!” desis Pandan Wangi.
“Itu memang sudah wataknya,
Pandan Wangi. Dia selalu menggunakan segala cara untuk mewujudkan
keinginannya,” kata Balung Samodra lagi. “Aku yakin, bukan jabatan itu yang
menjadi tujuan utamanya. Pasti ada suatu tujuan tertentu yang belum
terlaksana.”
“Dan dia terus saja akan mencari
persoalan dengan mengkambinghitamkan kami untuk tujuan busuknya,” sambung Ki
Gandapara.
“Apakah Adipati Bayaga sendiri
tidak tahu siapa sebenarnya Gagak Ireng?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku tidak tahu tentang itu,
Pandan Wangi,” sahut Ki Gandapara seraya melirik Balung Samodra. “Masalahnya,
selama ini Gagak Ireng tidak pernah menjarah ke Kadipaten Wadas Lintang. Aku
sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja dia datang ke sini. Bahkan sekarang
bisa menjadi orang kedua di Kadipaten Wadas Lintang ini”
“Yang jelas, Adipati Bayaga sudah
bersumpah untuk memberi jabatan Kepala Pasukan Khusus Kadipaten pada siapa saja
yang berhasil menghentikan kerusuhan di Kadipaten Wadas Lintang,” sambung
Balung Samodra.
“Apa kerusuhan itu langsung
berhenti setelah Birawa tewas?” Rangga jadi ikut bertanya.
“Ya,” sahut Balung Samodra.
“Hm...,” Rangga menggumam
perlahan.
“Ini mencurigakan sekali,
Kakang,” ujar Pandan Wangi seraya menatap Rangga yang duduk di sampingnya.
Sedangkan Rangga hanya diam saja.
“Kadipaten Wadas Lintang sangat
luas. Rasanya memang tidak mungkin kalau hanya Birawa sendiri yang menjarah
seluruh kadipaten itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Lagi pula, kalau
memang Birawa yang melakukan, di mana harta hasil rampokannya disimpan...?”
Pandan Wangi seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Itulah yang menjadi beban
pikiran kami, Pandan Wangi,” sambut Balung Samodra.
***
Sementara itu pada waktu yang
sama, Gagak Ireng juga tengah berbincang-bincang dengan Rapasak di kediamannya.
Kemunculan Minati yang hendak menuntut balas dengan cara mendekati Rapasak
membuat Gagak Ireng menjadi gundah, meskipun sebelumnya sudah diduga.
“Aku benar-benar tidak mengerti,
kenapa dia memakai nama Pendekar Bukit Gantang, Kakang...?” ujar Rapasak seperti
bertanya pada diri sendiri.
Gagak Ireng memang sudah
menceritakan semua tentang kejadian malam itu kepada Rapasak, sehingga
mengakibatkan tewasnya Minati. Juga tentang maksud kedatangan Minati ke Kota
Kadipaten Wadas Lintang ini. Bahkan untuk menyembunyikan diri yang sebenarnya,
Minati sengaja menggunakan nama Pendekar Bukit Gantang. Tapi, rupanya
kepandaian yang dimiliki wanita itu memang jauh di bawah Gagak Ireng. Sehingga
gadis itu dapat dikalahkan dengan mudah.
“Nama apa pun yang dipakai, semua
akibat ini sudah kupikirkan. Dan kita harus berhati-hati mulai sekarang ini.
Aku yakin, bukan hanya Minati saja yang hendak membalas kematian Birawa. Tapi
masih banyak yang lainnya,” tegas Gagak Ireng.
“Terutama sekali kau, Rapasak.
Aku tidak ingin kejadian ini terulang lagi. Kau hampir saja mencelakakan kita
semua.”
“Maafkan aku, Kakang,” ucap
Rapasak menyesal.
“Sudahlah. Semua yang sudah
terjadi tidak perlu disesali lagi. Yang penting sekarang lebih berhati-hatilah.
Jangan mudah percaya begitu saja pada orang-orang yang datang dari Bukit
Gantang. Kau mengerti, Rapasak...?” Rapasak menganggukkan kepala.
Memang ada penyesalan di hatinya
atas kematian Minati. Padahal dia sudah menaruh suatu harapan besar. Tapi
kenyataannya sungguh pahit. Dan Rapasak harus menerima kenyataan ini meskipun
sakit hati rasanya. Baru kali ini pemuda itu menaruh harapan besar pada seorang
wanita. Tapi sebelum harapannya berkembang, wanita yang mulai dicintainya sudah
keburu tewas. Bahkan tewas di tangan kakak angkatnya sendiri.
“Kakang tahu siapa sebenarnya
yang dijuluki Pendekar Bukit Gantang?” tanya Rapasak.
“Aku pernah mendengar namanya,
tapi belum pernah bertemu langsung. Dia dianggap pelindung jago-jago Bukit
Gantang,” jelas Gagak Ireng.
“Apakah kepandaiannya tinggi,
Kakang?”
“Aku tidak tahu pasti. Tapi dia
punya sahabat kental yang sangat tangguh dan digdaya.”
“Siapa?” “Pendekar Rajawali
Sakti.”
“Pendekar Rajawali Sakti...?!”
Rapasak terkejut setengah mati mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut.
Sebuah nama yang tidak asing lagi dan sangat disegani di kalangan persilatan.
Sampai saat ini, tak ada seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti.
Tapi bukan itu yang membuat
Rapasak jadi gundah. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang raja di
Karang Setra. Sedangkan Kadipaten Wadas Lintang ini masih termasuk wilayah
Kerajaan Karang Setra. Rapasak jadi terdiam. Disadari kalau kedudukan kakak
angkatnya jadi terancam. Dan itu bisa membahayakan bila para pendekar Bukit
Gantang meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti. Rapasak memandang Gagak Ireng
dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadanya.
“Kakang, apa tidak sebaiknya kita
mulai sekarang?” ujar Rapasak bernada memberi saran.
“Tidak sekarang, Rapasak.
Waktunya belum tepat. Tunggulah barang satu atau dua hari lagi,” sahut Gagak
Ireng.
“Aku hanya khawatir, Adipati
Bayaga sudah mengetahui rencana kita, Kakang.”
“Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Kau tenang saja, Rapasak. Sudah kukirim beberapa orang untuk
menyelidiki keadaan di Bukit Gantang. Kita pasti akan mengetahuinya besok.”
“Aku percaya pada rencanamu,
Kakang.”
“Sudah malam. Sebaiknya tidur
saja.”
“Baik, Kakang.” Rapasak bergegas
meninggalkan kakak angkatnya ini, setelah menjura memberi hormat. Sedangkan
Gagak Ireng masih tetap berada di sana, walaupun Rapasak sudah tenggelam di
balik pintu. Laki-laki itu masih berdiri mematung di depan jendela, memandangi
rembulan yang malam itu bersinar penuh. Cahayanya tampak redup terselimut awan
tebal dan menghitam.
“Hm.... Sebaiknya aku memang
harus bertindak cepat sebelum para pendekar Bukit Gantang mendahului. Aku
yakin, Adipati Bayaga lebih percaya pada pendekar-pendekar Bukit Gantang
daripada aku. Terlebih lagi, kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai turun tangan.
Hm.... Ini tidak boleh terjadi...!” gumam Gagak Ireng berbicara sendiri.
“Akan kubuat kadipaten ini jadi
neraka. Hhh...!”
***
LIMA
Tak ada seorang pun yang
menyangka, kalau peristiwa sebulan lalu bakal terulang kembali. Keresahan
kembali melanda Kadipaten Wadas Litang. Sudah tiga hari ini seseorang yang
mengaku berjuluk Jago Bukit Gantang telah muncul, dan membuat keresahan. Bukan
hanya harta yang digasak, tapi juga nyawa pemilik harta itu ikut melayang.
Sudah lebih dari sepuluh rumah yang dimasuki, dan sudah dua belas orang yang
tewas.
Keramaian yang biasanya terjadi
diKadipaten Wadas Lintang, mendadak saja tenggelam oleh munculnya Jago Bukit
Gantang yang menjarah rumah-rumah penduduk kadipaten itu. Bukan hanya malam.
Bahkan di tengah hari bolong pun orang itu berani muncul. Kemunculan orang yang
menjuluki dirinya sebagai Jago Bukit Gantang itu sampai juga ke telinga Adipati
Bayaga. Sudah tentu Adipati Wadas Lintang itu memanggil Gagak Ireng yang
menjadi tangan kanannya di kadipaten ini.
“Kau harus bisa menghentikan
kerusuhan ini secepatnya, Gagak Ireng,” tegas Adipati Bayaga.
“Maaf, Gusti Adipati. Rasanya
sulit menghentikan kalau tidak langsung ke akarnya,” sahut Gagak Ireng seraya
memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
“Maksudmu...?” tanya Adipati
Bayaga.
“Kejadian ini sudah jelas ada
hubungannya dengan Birawa. Mereka sama-sama dari Bukit Gantang. Aku rasa ini
bukan hanya sekadar perampokan dan pembunuhan penduduk saja. Tapi ada maksud
tersembunyi di balik semua kejadian ini, Gusti Adipati,” Gagak Ireng
menjabarkan pemikirannya.
“Maksudmu, mereka merencanakan
pemberontakan?”
“Bisa dikatakan begitu, Gusti
Adipati,” sahut Gagak Ireng tegas.
“Hm...,” gumam Adipati Bayaga
perlahan. Sedikit pun tidak ada pikiran sampai ke sana di kepala adipati itu.
Dan sama sekali tidak disangka kalau orang-orang dari Bukit Gantang punya
maksud memberontak.
Padahal selama ini, orang-orang
Bukit Gantang memiliki hubungan baik dengan Kadipaten Wadas Lintang. Bahkan
tidak sedikit mereka mencurahkan sumbangan tenaga dan pikiran untuk kemajuan
kadipaten ini. Belum lagi, mereka dikenal banyak melahirkan jago tangguh. Dan
tidak sedikit yang menjadi punggawa kerajaan.
Rasanya sulit diterima kalau
mereka punya rencana memberontak. Tapi kelihatannya, kenyataan yang ada tak
dapat dipungkiri lagi. Pertama Birawa melakukan kerusuhan. Dia merampok dan
membunuh siapa saja yang mencoba menentangnya. Tidak sedikit nyawa terbuang
hanya untuk meringkus pemuda itu. Dan semua itu baru bisa dihentikan berkat
tindakan Gagak Ireng. Namun sekarang muncul lagi orang yang seperti Birawa.
Bahkan sama-sama berasal dari Bukit Gantang. Baru tiga hari saja, sudah dua
belas orang yang tewas.
“Aku akan mengirim utusan ke
sana. Kalau perlu, Ki Gandapara akan kupanggil. Kalau memang orang-orang Bukit
Gantang yang melakukan semua ini, dia harus bertanggung jawab,” tegas Adipati
Bayaga.
“Aku tidak yakin Ki Gandapara ada
di Bukit Gantang, Gusti Adipati. Kabar terakhir yang kudengar, dia sedang
mengembara,” sergah Gagak Ireng.
“Mengembara...? Untuk apa
mengembara?” tanya Adipati Bayaga seperti untuk diri sendiri.
“Tidak ada yang tahu pasti, Gusti
Adipati. Dan kabarnya pula, dia mengembara sudah beberapa tahun ini. Bahkan
sudah menjalin hubungan persahabatan dengan para pembesar Karang Setra,”
lagi-lagi Gagak Ireng memberitahu.
“Heh...?! Kenapa sampai meluas ke
sana...?” Adipati Bayaga terkejut bukan main mendengar laporan yang tidak
pernah disangka-sangka itu.
“Kalau sampai para pembesar
Kerajaan Karang Setra turun tangan, aku yakin kedudukan Gusti Adipati akan
terancam. Mereka pasti lebih percaya orang-orang Bukit Gantang. Memang tidak
sedikit orang kelahiran sana yang menjadi punggawa. Bahkan ada pula yang sudah
berpangkat panglima atau pembesar tinggi istana,” lanjut Gagak Ireng.
“Kenapa bisa jadi begini...? Apa
ada suatu kesalahan yang kuperbuat...?” Adipati Bayaga jadi kelabakan sendiri.
Benar-benar tidak disangka kalau peristiwa yang semula dianggap kerusuhan biasa
saja, ternyata sudah meluas sampai ke kerajaan. Adipati Bayaga benar-benar
tidak mengerti dengan semua ini. Sungguh tidak disangka kalau orang-orang Bukit
Gantang punya maksud buruk padanya. “Apa yang harus kuperbuat, Gagak Ireng?”
tanya Adipati Bayaga.
“Sebaiknya Gusti Adipati sudah
mulai memperkuat diri. Cepat atau lambat, mereka pasti akan menggulingkan Gusti
Adipati. Kelihatannya mereka sudah mulai bergerak dengan mengacau keadaan dan
membuat kerusuhan di mana-mana. Jelas maksudnya adalah untuk melemahkan
pertahanan kadipaten ini,” jelas Gagak Ireng.
“Apakah itu nanti tidak dianggap
sebagai persiapan pemberontakan pada Karang Setra?”
“Aku yakin tidak, Gusti. Asalkan
Gusti Adipati sendiri bisa mengambil hati para pembesar kerajaan. Terutama pada
Raja Karang Setra sendiri. Gusti Adipati pasti bisa memberi penjelasan,
sehingga mereka tidak akan menyangka demikian. Bahkan mungkin akan membantu
menumpas orang-orang Bukit Gantang yang sudah jelas-jelas hendak memberontak.”
Adipati Bayaga terdiam. Rasanya
memang tidak mudah melaksanakan semua yang dikatakan Gagak Ireng barusan.
Terlebih lagi dia tahu kalau Raja Karang Setra adalah seorang pendekar digdaya
yang gemar mengembara. Sekarang ini pun tak ada yang tahu, di mana Raja Karang
Setra itu berada. Hanya kedua adik tirinya saja yang mungkin mengetahuinya.
Tapi, apakah dia bisa mendekati adik tiri Raja Karang Setra itu...?
Kebimbangan jelas sekali
terpancar di wajah Adipati Bayaga. Sudah bisa dibayangkan kalau kejadian ini bisa
berakibat buruk bagi dirinya. Bahkan bagi semua orang di Kadipaten Wadas
Lintang ini. Kehancuran Kadipaten Wadas Lintang sudah membayang di matanya. Dan
adipati itu tidak ingin kadipaten yang dibangunnya dengan susah payah, bakal
hancur-lebur digempur para prajurit Karang Setra dan jago-jago Bukit Gantang.
***
Malam itu Adipati Bayaga
benar-benar tidak bisa memicingkan matanya sekejap pun. Semua yang dikatakan
Gagak Ireng beberapa hari lalu terus terngiang di telinganya. Adipati itu
benar-benar tidak ingin semuanya berakhir seperti yang dikatakan Gagak Ireng.
Sedangkan kerusuhan yang terjadi di wilayah Kadipaten Wadas Lintang semakin
menjadi-jadi saja. Bahkan sudah empat orang pembesar kadipaten beserta
keluarganya telah terbunuh di rumah masing-masing.
Berbagai macam desakan datang
padanya. Sedangkan Gagak Ireng yang diharapkan bisa menumpas perusuh-perusuh
itu dengan cepat, sampai sekarang ini belum juga menampakkan hasilnya. Dan
Adipati Bayaga masih belum bisa memutuskan untuk menyerang Bukit Gantang yang
dikatakan sebagai biang pembuat keonaran ini. Entah kenapa, dia masih belum
yakin kalau para perusuh itu dari Bukit Gantang.
Di saat Adipati Bayaga tengah
mondar-mandir dalam kamarnya, tiba-tiba saja terasa ada hembusan angin dingin
yang begitu kencang menerpa tubuhnya. Laki-laki setengah baya itu cepat
melompat ke pintu. Tapi sebelum sampai pintu, tahu-tahu sudah berdiri seorang
pemuda berbaju putih tanpa lengan membelakangi pintu kamar itu.
“Heh...?!” Adipati Bayaga
terkejut setengah mati. Kedua matanya terbeliak lebar. Bahkan mulutnya
ternganga, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya saat ini.
“Gus..., Gusti Prabu...,” desis Adipati Bayaga tergagap, seakan-akan tercekik
tenggorokannya.
Cepat adipati itu menjatuhkan
diri berlutut dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Kini baru
disadari kalau pemuda berbaju rompi putih yang tahu-tahu muncul di depannya
adalah Rangga, Raja Karang Setra. Dia juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Seluruh tubuh Adipati Bayaga bergetar. Keringat sebesar-besar butir jagung
mengucur keluar dari seluruh tubuhnya. Kepalanya tak sanggup lagi diangkat,
begitu Rangga melangkah mendekati. Seluruh tubuh Adipati Bayaga semakin
bergetar saat pundaknya terasa disentuh dengan lembut.
“Bangunlah, Paman Adipati,” ujar
Rangga lembut dan berwibawa.
“Ampunkan hamba, Gusti Prabu,”
ucap Adipati Bayaga masih tetap berlutut di lantai.
Rangga sedikit menekuk lututnya,
lalu membangunkan Adipati Bayaga. Perlahan Adipati Bayaga bangkit berdiri, tapi
kepalanya tetap tertunduk. Seakan-akan, dia tidak sanggup membalas pandangan
mata Rangga.
“Maaf. Mungkin kedatanganku
membuatmu terkejut,” kata Rangga lagi. Suaranya masih tetap terdengar lembut
dan berwibawa.
Adipati Bayaga hanya diam saja.
Entah kenapa lidahnya terasa begitu kelu, sukar diajak berkata-kata lagi.
Sedangkan Rangga sudah duduk di kursi dekat jendela. Dan Adipati Bayaga masih
tetap berdiri dengan kepala tertunduk menekuri lantai di ujung jari kakinya.
“Kedatanganku sengaja seperti
ini. Aku hanya ingin meminta keterangan darimu, Paman Adipati,” kata Rangga
lagi.
“Keterangan apa yang Gusti Prabu
perlukan?” tanya Adipati Bayaga penuh hormat.
“Keadaan di kadipaten ini.
Kudengar di sini sedang terjadi kerusuhan. Benar begitu...?” tegas sekali
pertanyaan Rangga.
“Benar, Gusti,” sahut Adipati
Bayaga.
“Kau bisa menanggulanginya?”
“Sudah, Gusti. Hamba sudah
berusaha. Tapi beberapa hari ini, muncul lagi kerusuhan yang sama. Hamba sudah
kerahkan para prajurit kadipaten, tapi para perusuh itu lebih kuat daripada
para prajurit.”
“Bukankah kau memiliki pasukan
khusus?”
“Oh...?!” Adipati Bayaga terkejut
mendengar pertanyaan itu. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti
ini sudah mengetahui tentang pasukan khususnya yang baru dibentuk kurang dari
dua bulan ini.
“Sebuah kadipaten mempunyai
pasukan khusus. Suatu kemajuan yang sangat besar, Paman. Dan tentunya, pasukan
khusus itu terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Hm.... Bagaimana kau
bisa membentuknya, Paman? Dan untuk apa memiliki pasukan khusus segala?
Bukankah kau tahu, kalau membentuk suatu pasukan khusus harus ada izin panglima
tertinggi kerajaan...?”
Adipati Bayaga benar-benar tidak
bisa lagi menjawab. Dia tahu, tindakannya membentuk pasukan khusus tanpa
meminta izin terlebih dahulu merupakan suatu pelanggaran besar. Dan bukannya
tidak mungkin pihak kerajaan akan menuduhnya mempunyai maksud memberontak.
“Paman Adipati....”
“Ham.... Hamba, Gusti Prabu,”
sahut Adipati Bayaga seraya memberi hormat.
“Kau sadari, apa yang telah kau
lakukan selama ini, Paman?” tanya Rangga, tetap lembut suaranya. Tapi begitu
terasa kalau nada suara Pendekar Rajawali Sakti agak ditekan.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut
Adipati Bayaga pelan.
“Berapa orang kekuatan pasukan
khususmu?” tanya Rangga lagi.
“Lima puluh orang, Gusti Prabu.”
“Cukup besar...,” gumam Rangga.
Adipati Bayaga diam saja.
“Lalu, siapa yang menjadi
panglimanya?”
“Gagak Ireng.”
“Salah seorang punggawa kadipaten
ini?”
“Bukan.”
“Lalu...?”
“Dia seorang pengembara yang
berhasil menumpas perusuh pertama sebulan yang lalu. Lalu, hamba mengangkatnya
menjadi panglima pasukan khusus. Dan semua anggotanya adalah orang pilihannya
sendiri. Tidak ada seorang prajurit atau punggawa yang masuk ke dalam pasukan
itu. Gagak Ireng menginginkan pasukannya terpisah dari prajurit kadipaten,”
jelas Adipati Bayaga gamblang.
“Jadi, dia seorang yang
berjasa...?”
“Benar, Gusti Prabu.”
“Lalu, kenapa sekarang tidak bisa
menumpas perusuh yang muncul?”
“Gagak Ireng sudah berusaha,
Gusti Prabu. Tapi perusuh itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Sehingga sulit
untuk diringkus. Sudah sepuluh prajurit yang tewas,” jawab Adipati Bayaga.
“Kau tidak meminta bantuan
panglima kerajaan?"
“Gagak Ireng sudah menyanggupi
untuk menumpas perusuh itu, Gusti Prabu. Dan katanya lagi, belum waktunya
melibatkan pihak kerajaan dalam persoalan ini,” sahut Adipati Bayaga lagi.
“Hebat... Pasti dia seorang yang
berkepandaian tinggi,” puji Rangga.
Adipati Bayaga kembali terdiam
membisu. Sementara Rangga sudah bangkit dari duduknya. Kemudian dia melangkah
menghampiri laki-laki yang masih berdiri dengan kepala tertunduk itu. Rangga
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Beberapa saat
mereka masih terdiam.
“Paman...”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut
Adipati Bayaga seraya memberi hormat.
“Kau tahu siapa Gagak Ireng? Dan
dari mana asalnya?” tanya Rangga. Kali ini suaranya terdengar begitu dalam.
“Hamba tidak tahu pasti, Gusti.
Yang hamba tahu, dia hanya seorang pengembara yang datang ke sini bersama
adiknya,” sahut Adipati Bayaga.
“Hebat sekali.... Mengangkat
orang yang tidak dikenal untuk menduduki jabatan penting,” terasa agak sinis
nada suara Rangga kali ini. Adipati Bayaga semakin dalam tertunduk.
“Hamba mengaku salah, Gusti
Prabu. Hamba siap menerima hukuman,” kata Adipati Bayaga perlahan.
“Masalah hukuman itu mudah,
Paman. Yang penting sekarang, harus kau sadari kalau tindakanmu selama ini
sudah keliru. Aku ingin kau bisa mengetahui tentang Gagak Ireng itu sebenarnya.
Dari mana dia berasal. Dan apa tujuannya datang ke kadipaten ini. Hal kecil
seperti itu sudah kau abaikan, Paman. Dan kalau kau tetap mengabaikannya, hal
kecil seperti itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi dirimu sendiri,” ujar
Rangga.
“Hamba, Gusti Prabu.”
“Sekarang, aku pergi dulu. Dan
besok malam, kau harus sudah bisa mengetahui tentang panglima khususmu itu. Aku
akan datang lagi besok.”
Setelah berkata demikian, Rangga
cepat melesat keluar dari kamar ini melalui jendela yang terbuka. Sehingga
Adipati Bayaga hanya bisa terlongong bengong seperti mimpi. Begitu sempurnanya
lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap
tertelan gelapnya malam.
***
“Dari mana malam-malam begini,
Kakang?”
“Oh...?!” Rangga agak terkejut
juga ketika mendengar teguran, begitu kakinya baru saja melangkah masuk ke
dalam kamar penginapannya. Sungguh tidak disangka kalau di kamar penginapan ini
Pandan Wangi sudah menunggu.
Gadis itu berdiri bersandar di
samping jendela yang setengah terbuka. Rangga melangkah masuk dan menutup pintu
kamar itu kembali. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah dan berdiri di depan
jendela. Tangannya bergerak membuka jendela itu lebih lebar, sehingga angin
malam yang dingin langsung menerpa kulit dadanya yang bidang terbuka. Sementara
itu, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja, tidak bergerak sedikit pun dari
tempatnya.
“Aku menemui Adipati Bayaga,”
jelas Rangga.
“Malam-malam begini...?”
“Aku tidak ingin ada orang lain
tahu tentang keberadaanku di Kadipaten Wadas Lintang ini,” Rangga beralasan.
“Lalu, apa yang kau peroleh?”
“Dia tidak tahu asal-usul Gagak
Ireng.”
“Aneh.... Tidak tahu
asal-usulnya, tapi bisa diangkat menduduki jabatan penting,” gumam Pandan Wangi
seperti bicara pada diri sendiri.
“Adipati Bayaga menganggap Gagak
Ireng telah berjasa menumpas perusuh.”
“Goblok! Apa dia tidak tahu kalau
itu hanya siasat licik Gagak Ireng...!” Pandan Wangi jadi sengit.
“Kurasa tidak sepenuhnya dia
bersalah, Pandan. Gagak Ireng memang tidak dikenal di Kadipaten Wadas Lintang
ini, meskipun di kalangan persilatan dikenal dengan sebutan Penyamun Bukit
Tengkorak.”
“Tapi paling tidak, diselidiki
dulu asal-usulnya. Aku rasa dia juga tidak meminta izin dulu untuk membentuk
pasukan khusus.”
“Memang.”
“Nah! Bukankah itu suatu
kesalahan besar? Bisa diancam hukuman gantung kalau pihak kerajaan sampai
tahu.”
“Itu yang tidak kuinginkan,
Pandan.”
“Heh...?! Aku tidak mengerti maksudmu,
Kakang? Kenapa sepertinya kau malah membela adipati itu?”
“Aku tidak membelanya. Aku hanya
ingat jasa-jasanya yang begitu besar pada kadipaten ini. Juga pada Karang
Setra. Aku akan menentukan nanti, kalau memang kekeliruannya selama ini
disadari.”
Saat itu terlihat serombongan
orang berkuda melintasi jalan di depan rumah penginapan ini. Ada sekitar
sepuluh orang memacu cepat kuda masing-masing. Rangga dan Pandan Wangi
memperhatikan penunggang-penunggang kuda itu. Mereka jadi terdiam tidak bicara
lagi.
“Kakang! Perhatikanlah orang yang
berkuda paling depan,” ujar Pandan Wangi.
“Hm...,” Rangga menggumam
perlahan.
“Ciri-cirinya sama persis seperti
yang dikatakan Balung Samodra. Dia pasti Rapasak, adik angkat Gagak Ireng,”
tunjuk Pandan Wangi lagi.
Sementara para penunggang kuda
itu sudah jauh. Mereka bergerak cepat menuju ke arah utara. Rangga dan Pandan
Wangi terus memperhatikan tanpa berkedip. Kening mereka jadi berkerut begitu
melihat para penunggang kuda itu berbelok ke kanan.
“Mereka menuju Bukit Gantang,
Kakang,” ujar Pandan Wangi agak mendesis.
“Hup...!” Tanpa berkata apa pun
lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan bagaikan
kilat.
Pandan Wangi tidak mau
ketinggalan. Secepat pedangnya yang berada di atas meja disambar, secepat itu
pula dia melompat keluar mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja
mereka sudah begitu jauh meninggalkan rumah penginapan itu, dan menghilang
ditelan kegelapan malam.
***
ENAM
Sementara itu sepuluh orang yang
telah dilihat Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi terus memacu cepat
kudanya. Mereka memang anak buah Gagak Ireng yang dikenal berjuluk Penyamun
Bukit Tengkorak. Seperti yang diduga Pandan Wangi, di antara mereka memang
terdapat Rapasak, adik angkat Gagak Ireng. Dan dari arah yang dituju, jelas
kalau mereka hendak ke Bukit Gantang.
Tapi tiba-tiba saja Rapasak
menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda putih yang ditungganginya berhenti
seketika seraya meringkik keras. Sembilan orang yang berkuda di belakangnya,
kontan menghentikan lari kudanya. Tampak tidak jauh di depan mereka berdiri
seorang pemuda berbaju rompi putih, didampingi seorang gadis cantik mengenakan
baju warna biru ketat.
“Pendekar Rajawali Sakti...,”
desis Rapasak langsung mengenali penghadangnya.
Meskipun Rapasak belum pernah
bertemu, tapi dari ciri-cirinya, dia sudah bisa mengetahui kalau penghadangnya
adalah Pendekar Rajawali Sakti. Rapasak segera memerintahkan orang-orangnya
turun dari punggung kuda. Tanpa diperintah dua kali, sembilan orang yang berada
di belakang pemuda itu segera berlompatan turun, dan langsung berdiri berjajar
di depan Rapasak yang masih duduk di punggung kudanya. Sembilan orang itu
menyandang golok yang terselip di pinggang.
“Kuharap kau tidak membuat
kesulitan, Kisanak,” kata Rapasak, agak dingin nada suaranya.
“Aku rasa kalian sendiri yang
sudah membuat kesulitan,” balas Rangga tidak kalah dingin.
“Hm...,” Rapasak berkerut
keningnya.
“Apakah kalian akan ke Bukit
Gantang?” tebak Rangga, langsung.
“Itu bukan urusanmu, Pendekar
Rajawali Sakti!” bentak Rapasak lantang.
“Adanya kalian di Kadipaten Wadas
Lintang ini, sudah merupakan urusanku,” tetap dingin suara Rangga.
“Setan...!” desis Rapasak
langsung geram.
Tapi pemuda itu belum juga
memerintahkan anak buahnya bergerak. Dia jadi teringat kata-kata Gagak Ireng.
Ternyata kekhawatiran Gagak Ireng beralasan sekali, dan sekarang menjadi
kenyataan. Pendekar Rajawali Sakti sudah muncul begitu cepat. Dan tampaknya,
pemuda berbaju rompi putih itu sudah mengetahui semua yang terjadi di Kadipaten
Wadas Lintang ini.
“Kuperingatkan pada kalian semua,
tinggalkan kadipaten ini! Dan jangan coba-coba bermimpi untuk menguasainya,”
tegas Rangga, bernada mengancam.
“Keparat...! Kau tidak bisa
menggertak kami begitu saja!” geram Rapasak jadi gusar.
“Aku hanya memperingatkan kalian
saja. Tapi jika tetap membandel, kalian harus berhadapan dengan jago-jago dari
Karang Setra!” gertak Rangga lagi. “Terutama untuk si Penyamun Bukit
Tengkorak...! Katakan padanya! Kalau tetap berada di kadipaten ini sampai
besok, dia akan berhadapan denganku!”
“Setan...! Serang dia...!” seru
Rapasak menggeram marah mendengar gertakan Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Sembilan orang itu langsung berlompatan sambil mencabut golok. Mereka meluruk
menyerang Rangga dan Pandan Wangi.
Tak ada lagi kesempatan bagi
Rangga untuk mencegah. Sembilan orang itu sudah cepat menyerangnya. Lima orang
menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan empat orang mengeroyok Pandan Wangi.
Begitu gencarnya serangan-serangan yang dilancarkan, sehingga membuat kedua
pendekar muda dari Karang Setra itu harus berjumpalitan menghindari golok-golok
yang berkelebatan di sekitar tubuh.
“Hiyaaat...!” Bet! Tring!
Cepat sekali Pandan Wangi
mencabut kipasnya, dan langsung dikebutkan untuk menangkis golok yang hampir
saja membelah dadanya. Golok itu seketika jadi patah menjadi dua bagian
tersabet kipas baja putih yang terkenal maut itu. Dan sebelum pemilik golok itu
sempat menyadari, Pandan Wangi sudah mengirimkan satu tendangan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai kesempurnaan.
“Yeaaah...!”
Des!
“Aaakh...!” Jeritan keras
melengking tinggi terdengar, disusul terpentalnya satu orang yang mengeroyok si
Kipas Maut itu.
Sementara itu Rangga juga sudah
menjatuhkan dua orang lawannya. Sedangkan, Pandan Wangi kembali melancarkan
serangan dengan kipas baja putihnya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi
terdengar saling sambut. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pandan Wangi dan Rangga
begitu cepat sekali. Sehingga, orang yang mengeroyoknya tidak bisa lagi
membendung. Mereka berpentalan terkena pukulan dan tendangan keras dua pendekar
muda itu.
Mereka memang bukanlah tandingan
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Sehingga dalam waktu tidak berapa
lama saja, sudah tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Sembilan orang itu
bergelimpangan di tanah sambil merintih dan menggeliat kesakitan.
Sementara Pandan Wangi sudah
menghampiri Rangga yang berdiri tegak dengan tenangnya. Pandan Wangi membuka
kipas mautnya di depan dada. Mereka sama-sama memandang tajam pada Rapasak yang
masih berada di atas punggung kudanya. Adik angkat Penyamun Bukit Tengkorak itu
tampak terlongong melihat sembilan pengikutnya roboh dalam waktu singkat saja.
“Pergilah, sebelum pikiranku
berubah!” dengus Rangga dingin menggetarkan.
Rapasak hanya menatap geram.
Sementara sembilan orang anak buahnya sudah bisa berdiri. Tapi mereka tidak
memiliki senjata lagi. Semua golok mereka berpatahan, berserakan di tanah. Sembilan
orang itu bergegas naik ke punggung kuda, begitu Rapasak memutar kudanya
berbalik.
“Katakan pada Gagak Ireng, jika
tidak segera angkat kaki dari sini, harus berhadapan denganku!” ujar Rangga
lantang.
“Setan...! Hiyaaa...!” Rapasak
hanya bisa merutuk saja, lalu cepat menggebah kudanya. Sembilan orang
pengikutnya juga memacu kudanya dengan cepat, kembali ke Kota Kadipaten Wadas
Lintang.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi
hanya memandang sampai mereka jauh, dan hilang di tikungan jalan.
“Apa maksud mereka ke Bukit
Gantang, Kakang?” tanya Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.
“Mudah-mudahan saja mereka tidak
berniat membumihanguskan Desa Gantang,” desah Rangga perlahan.
“Apa tidak sebaiknya kita
mendahului mereka, Kakang?” usul Pandan Wangi.
“Tunggu saja dulu
perkembangannya, Pandan. Aku ingin tahu sikap Gagak Ireng dulu,” sahut Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangkat
bahunya saja. Mereka kemudian melangkah ringan meninggalkan tempat itu.
Sementara, malam terus merayap semakin larut. Kedua pendekar muda itu terus
melangkah ringan tanpa berbicara lagi.
***
Gagak Ireng terdiam begitu
menerima laporan Rapasak, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah ada di Kadipaten
Wadas Lintang ini bersama si Kipas Maut. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti
sudah tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Apa yang selama ini dikhawatirkan,
menjadi kenyataan juga.
“Apa tindakan kita selanjutnya,
Kakang?” tanya Rapasak memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.
Gagak Ireng tidak langsung
menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan melangkah perlahan-lahan keluar
beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk
di kursinya. Dipandanginya kakak angkatnya itu dengan berbagai macam perasaan.
Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti memang bisa menimbulkan kesulitan besar bagi
mereka.
“Laksanakan saja tugasmu,
Rapasak. Biar Pendekar Rajawali Sakti aku yang tangani,” tegas Gagak Ireng.
“Baik, Kakang,” sahut Rapasak.
“Ada utusan Adipati Bayaga
datang. Temuilah dulu, Rapasak,” kata Gagak Ireng lagi.
“Utusan...? Mau apa...?” Rapasak
seperti bertanya pada diri sendiri.
“Sebaiknya temui saja, dan
tanyakan keperluannya,” perintah Gagak Ireng.
“Baik, Kakang.” Rapasak bergegas
bangkit dan melangkah menghampiri utusan kadipaten yang mengenakan seragam berpangkat
punggawa. Ada dua orang utusan.
Sedangkan Gagak Ireng hanya
memperhatikan saja. Rapasak berbicara sebentar dengan kedua utusan berpangkat
punggawa itu, kemudian bergegas kembali menemui Gagak Ireng setelah kedua
utusan itu pergi.
“Berita apa yang dibawa kedua
punggawa itu?” tanya Gagak Ireng langsung, begitu Rapasak ada di depannya.
“Adipati Bayaga meminta Kakang
segera menghadap,” jawab Rapasak.
“Hm.... Ada apa dia
memanggilku...?” gumam Gagak Ireng bertanya sendiri.
“Mereka tidak mengatakannya.
Kakang hanya diminta segera menghadap,” jelas Rapasak lagi.
“Aku sendiri?”
“Iya.”
“Baiklah. Siapkan kudaku,
Rapasak.”
“Baik, Kakang.” Rapasak bergegas
meninggalkan kakak angkatnya.
Sementara Gagak Ireng masih tetap
berdiri di beranda depan rumahnya. Keningnya jadi berkerut. Dia menduga-duga,
apa yang akan dibicarakan Adipati Bayaga, sehingga memanggilnya secara mendadak
begini.
Sementara itu Rapasak sudah
datang lagi sambil menuntun seekor kuda yang tinggi dan tegap berwarna coklat
tua. Gagak Ireng segera menghampiri, lalu melompat naik ke punggung kuda.
Gerakannya indah dan ringan sekali. Sebentar dia tercenung, kemudian menatap
Rapasak yang masih berdiri di sampingnya.
“Sebaiknya kau jangan ke
mana-mana dulu. Tunggu sampai aku kembali,” pesan Gagak Ireng.
“Baik, Kakang,” sahut Rapasak
seraya mengangguk.
“Hiya...!” Gagak Ireng menggebah
kudanya meninggalkan rumah kediamannya ini.
Sementara Rapasak hanya
memperhatikan saja sampai kakak angkatnya lenyap dari pandangan. Gagak Ireng
berbelok ke kanan begitu melewati pintu gerbang rumahnya. Tapi mendadak saja
laju kudanya dihentikan begitu dilihatnya dua orang punggawa utusan Adipati
Bayaga berada di tengah jalan seperti menghadang. Perlahan Gagak Ireng mendepak
kudanya hingga berjalan perlahan menghampiri kedua punggawa itu.
“Kenapa kalian masih di sini?”
tegur Gagak Ireng.
“Kami diperintahkan untuk
bersama-sama denganmu, Gusti Gagak Ireng,” sahut salah seorang punggawa itu
dengan sikap hormat.
“Kalian berangkatlah lebih
dahulu!” perintah Gagak Ireng.
“Maaf, Gusti. Kami hanya
menjalankan perintah Gusti Adipati.”
Gagak Ireng memandangi dua orang
punggawa itu, sehingga kelopak matanya agak menyipit. Dia merasa ada suatu
keanehan dari sikap kedua punggawa itu. Lagi pula, tidak biasanya Adipati
Bayaga memanggil dengan mengutus dua orang punggawa. Biasanya bila Adipati
Bayaga memerlukannya, paling hanya mengutus prajurit rendahan. Bahkan tidak
pernah ditunggui seperti ini.
“Mari, Gusti Gagak Ireng. Gusti
Adipati Bayaga sudah menunggu di kadipaten,” ajak punggawa itu lagi, masih
bersikap hormat.
“Kalian tahu, kenapa Adipati
Bayaga memintaku segera menghadap?” tanya Gagak Ireng.
“Kami tidak tahu, Gusti. Kami
hanya diperintahkan menjemputmu. Hanya itu saja perintah dari Gusti Adipati.
Dan kami harus datang bersama-sama,” jelas punggawa itu.
“Kalau begitu, kuperintahkan
kalian untuk kembali lebih dahulu. Katakan pada Adipati Bayaga. Aku ada urusan
dulu, dan segera menemuinya,” perintah Gagak Ireng tegas.
“Maafkan kami, Gusti. Kami...”
“Laksanakan perintahku!” bentak
Gagak Ireng memutus cepat.
“Tapi, Gusti...."
“Kalian ingin membangkang
perintahku, ya...?!”
Kedua punggawa itu saling
berpandangan, dan tampak serba salah. Sulit menentukan, perintah siapa yang
harus dituruti. Sedangkan Gagak Ireng memandangi dengan mata memerah menyorot
tajam.
“Tunggu apa lagi...? Cepat
pergi!” bentak Gagak Ireng.
“Gusti, kami...”
“Setan...! Kalian ingin mampus,
ya...?!” Gagak Ireng jadi geram melihat kebandelan kedua punggawa yang tidak
sudi menuruti perintahnya. Kedua punggawa itu kembali saling melemparkan
pandang.
“Pembangkang...! Mampus kau!
Yeaaah...!”
Gagak Ireng tidak bisa lagi
menahan kemarahannya. Bagaikan kilat dia melompat cepat. Langsung diberikannya
pukulan keras bertenaga dalam tinggi kepada dua orang punggawa itu. Begitu
cepat serangannya, sehingga kedua punggawa itu tidak sempat lagi menghindar.
Kedua punggawa itu menjerit keras
melengking, begitu kepala mereka terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan Gagak Ireng. Seketika itu juga mereka terpental jatuh dari
punggung kudanya. Sedangkan Gagak Ireng kembali melenting, lalu duduk lagi di
punggung kudanya. Dia mendengus melihat kedua punggawa itu sudah tergeletak,
tewas seketika. Kepala mereka pecah berlumuran darah.
Jeritan kedua punggawa itu
rupanya terdengar sampai ke dalam rumah kediaman Gagak Ireng. Tampak Rapasak
dan enam orang pengikutnya berlari-lari menghampiri. Rapasak terkejut melihat
dua orang punggawa utusan adipati sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan
kepala hancur berlumuran darah. Sedangkan Gagak Ireng duduk angkuh di punggung
kudanya.
“Kenapa mereka, Kakang?” tanya
Rapasak.
“Singkirkan mayat mereka!”
perintah Gagak Ireng tanpa menjawab pertanyaan adik angkatnya.
Enam orang yang berada di
belakang Rapasak bergegas menggotong kedua punggawa itu, dan membawa masuk ke
dalam lingkungan rumah kediaman Gagak Ireng. Sedangkan Rapasak masih berdiri di
depan Gagak Ireng yang tetap duduk di punggung kudanya.
“Kenapa Kakang membunuh mereka?”
tanya Rapasak.
“Dengar.... Aku paling tidak suka
ada orang yang membangkang perintahku. Sekarang, kau minggirlah. Dan jangan ke
mana-mana sampai aku kembali!” tegas Gagak Ireng.
Rapasak tahu kalau darah Gagak
Ireng sedang mendidih. Maka, pemuda itu tidak sudi bernasib seperti punggawa
itu. Bergegas tubuhnya menyingkir ke tepi. Gagak Ireng menatap adik angkatnya
sebentar, kemudian cepat menggebah kudanya.
“Kejadian ini pasti akan
berbuntut panjang. Hhh... sebaiknya harus kusiagakan semua orang,” gumam
Rapasak langsung bisa membaca keadaan yang akan dihadapi atas kejadian ini.
Bergegas pemuda itu kembali ke
rumah besar dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Dua orang yang menjaga
pintu gerbang segera menutup pintu begitu diperintahkan Rapasak.
***
Sementara itu di Balai Pendopo
Agung Istana Kadipaten, Adipati Bayaga tampak gelisah. Laki-laki setengah baya
itu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang berukuran sangat luas ini.
Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar Pendopo Agung Istana
Kadipaten.
Sedangkan tidak jauh dari Adipati
Bayaga, terlihat seorang gadis berbaju biru muda yang tengah berdiri
memperhatikan. Gadis berwajah cantik yang menyandang pedang bergagang kepala
naga di punggung itu adalah Pandan Wangi.
“Sebaiknya Gusti jangan kelihatan
gelisah begitu. Dia akan curiga kalau Gusti Adipati tidak bisa tenang,” Pandan
Wangi memperingatkan.
“Bagaimana mungkin aku bisa
tenang, Nini Pandan Wangi. Ini menyangkut mati hidupku. Masa depanku...,”
sergah Adipati Bayaga.
Pandan Wangi jadi terdiam.
“Aku sudah melakukan kesalahan
besar dengan memberi jabatan tinggi pada seorang penjahat besar seperti si
Penyamun Bukit Tengkorak itu,” lanjut Adipati Bayaga.
Pandan Wangi masih terdiam.
Memang benar apa yang baru saja dikatakan Adipati Bayaga. Laki-laki setengah
baya itu telah melakukan kesalahan besar, sehingga bisa mengancam kelangsungan
hidupnya. Bahkan bisa membuat kehancuran bagi Kadipaten Wadas Lintang ini.
Pandan Wangi memang sudah memberi tahu, siapa sebenarnya Gagak Ireng itu. Dalam
kalangan kaum persilatan, dia dikenal berjuluk Penyamun Bukit Tengkorak!
“Nini Pandan.... Apa rencana ini
akan berhasil baik?” tanya Adipati Bayaga.
“Mudah-mudahan saja, Gusti
Adipati. Kita berharap agar Gusti Prabu bisa membungkam pengikut-pengikut si
Penyamun Bukit Tengkorak,” sahut Pandan Wangi.
“Aku benar-benar tidak ada
gunanya. Tidak pantas menjadi adipati,” keluh Adipati Bayaga.
“Jangan berkata seperti itu,
Gusti. Tidak selamanya kita selalu benar. Adakalanya kita juga melakukan
kesalahan. Apakah itu besar, atau kecil. Tidak ada manusia yang sempurna,
Gusti,” Pandan Wangi menasihati, membesarkan hati Adipati Wadas Lintang ini.
“Sulit rasanya menjadi orang yang
baik dan sempurna,” desah Adipati Bayaga mengeluh lagi.
“Kau sudah melakukan yang
terbaik. Gusti Prabu pasti bisa memakluminya. Aku yakin...,” lagi-lagi Pandan
Wangi membesarkan hati Adipati Bayaga.
“Kau beruntung, Nini Pandan. Kau
bisa berada terus di sampingnya, dan pasti sudah mengenal betul
watak-wataknya,” kata Adipati Bayaga lagi.
Pandan Wangi hanya tersenyum
saja. Memang tidak mudah bisa selalu bersama-sama seorang pendekar digdaya yang
sangat disegani di kalangan persilatan. Pandan Wangi memang merasa bersyukur
bisa selalu bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan selama berada di
samping pendekar muda itu, sudah banyak pelajaran yang dipetiknya.
Dan gadis itu tidak malu-malu
lagi mengungkapkan perasaan hatinya yang mengagumi Rangga. Apa saja yang
dilakukan Rangga, seperti tak terlihat ada kesalahan sedikit pun. Baginya,
Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang pendekar muda yang sangat sempurna. Tak
ada lagi yang bisa menandinginya dalam segala hal.
“Hm.... Kenapa dia belum muncul
juga, Nini Pandan...?” gumam Adipati Bayaga seperti bertanya pada diri sendiri.
“Kita tunggu saja. Barangkali
sebentar lagi,” sahut Pandan Wangi.
Mereka kembali terdiam. Adipati
Bayaga melangkah mendekati jendela. Tapi belum juga sampai ke jendela, mendadak
saja sebuah benda melesat cepat ke arahnya, masuk dari jendela yang terbuka lebar
itu.
“Awas...!” seru Pandan Wangi
memperingatkan.
“Yeaaah...!” Bagaikan kilat,
Pandan Wangi melompat cepat ke arah Adipati Bayaga yang terlongong terkejut.
Dan sebelum benda hitam itu bisa menghantam tubuh Adipati Bayaga, Pandan Wangi
sudah mendorong tubuhnya. Sehingga, adipati itu jatuh terguling ke lantai.
Pandan Wangi sendiri segera melentingkan tubuhnya, menghindari terjangan benda
hitam itu.
“Hup!” Manis sekali si Kipat Maut
menjejakkan kakinya di lantai yang licin dan berkilat ini. Sekilas benda hitam
itu masih sempat terlihat menghantam dinding, tepat di bawah sebuah lukisan
besar yang menempel di dinding ruangan Balai Pendopo Agung ini. Dengan dua kali
lompatan saja, Pandan Wangi bisa mencapai dinding itu.
Sementara, Adipati Bayaga
bergegas bangkit dan menghampiri. Pandan Wangi mencabut benda hitam yang
ternyata adalah sebatang anak panah berukuran kecil.
“Gagak Ireng...,” desis Pandan
Wangi.
“Jadi.... Dia ada di sini, Nini
Pandan...?” tanya Adipati Bayaga, langsung memucat wajahnya.
“Benar. Ini adalah senjata
rahasia Gagak Ireng,” sahut Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah banyak
diberi tahu tentang si Penyamun Bukit Tengkorak oleh para pendekar Bukit
Gantang. Meskipun belum pernah bertemu orangnya, tapi dari cerita mengenai
Gagak Ireng yang didengar, sudah bisa diketahui kalau senjata rahasia ini milik
si penyamun itu.
“Kau di sini saja, Gusti Adipati.
Hup...!”
Pandan Wangi cepat melesat keluar
dari ruangan ini melalui jendela, sebelum Adipati Bayaga bisa membuka suara.
Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan saja sudah lenyap di luar
jendela. Adipati Bayaga bergegas berlari mendekati jendela itu. Dia masih
sempat melihat Pandan Wangi melenting tinggi ke atas atap.
Tap!
Tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, Pandan Wangi hinggap di atas atap. Gadis itu langsung mengedarkan
pandangan berkeliling. Tak ada yang dapat dilihat dan dicurigai. Keadaan di
sekitar istana kadipaten ini begitu tenang. Bahkan para prajurit yang berjaga-jaga
di sekitar tempat itu masih tetap di tempatnya. Tak ada yang berubah sama
sekali. Tapi begitu dia berpaling ke arah kiri, mendadak saja...
“Heh...?!”
Slap!
***
TUJUH
Pandan Wangi cepat-cepat
melenting keudara begitu melihat sebuah benda hitam berbentuk anak panah kecil
meluruk deras ke arahnya. Anak panah hitam kecil itu lewat sedikit di bawah
kaki Pandan Wangi. Dengan gerakan indah sekali, si Kipas Maut kembali mendarat
di atap. Dan pada saat itu, sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambarnya.
“Hiyaaa...!”
Pandan Wangi kembali melenting ke
udara, menghindari sambaran bayangan yang berkelebat cepat. Beberapa kali dia
berputar di udara, dan terus meluruk turun ke bawah. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, gadis itu menjejakkan kaki di atas tanah berumput tebal. Dan
sebelum bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah bayangan putih meluruk
deras ke arahnya dari atas atap.
“Hup! Yeaaah...!” Pandan Wangi
cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan menyambut terjangan lawan. Tapi
bayangan putih itu cepat bisa menghindar. Tubuhnya diputar beberapa kali dan
mendarat ringan di belakang Pandan Wangi. Tanpa diduga sama sekali, satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi cepat dilepaskan.
“Yeaaah...!”
“Uts!”
Pandan Wangi masih bisa
menghindari pukulan dari belakang dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan. Cepat
tubuhnya diputar dan langsung diberikannya satu tendangan secara berputar ke
belakang. Orang berbaju serba putih itu melompat berputar ke belakang,
menghindari tendangan Pandan Wangi. Dua kali tubuhnya berputar ke belakang,
lalu manis kakinya mendarat di tanah berumput.
“Hm...,” gumam Pandan Wangi
perlahan.
Kini di depan si Kipas Maut itu
telah berdiri seorang laki-laki setengah baya. Bajunya ketat berwarna putih dan
bersih. Sebilah pedang berbentuk aneh tampak tergantung di pinggangnya. Pandan
Wangi memperhatikan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Sementara itu, Adipati Bayaga
yang berada di dekat jendela segera melompat ke luar. Langsung dihampirinya
Pandan Wangi. Dia berdiri di samping kanan si Kipas Maut itu.
“Gagak Ireng! Kenapa kau datang
dengan cara seperti ini...?” tegur Adipati Bayaga tidak senang.
“Kau yang menginginkannya
demikian, Adipati Bayaga,” sahut laki-laki separuh baya yang ternyata memang
Gagak Ireng. Nada suaranya terdengar begitu sinis.
“Apa maksudmu...?”
“Seharusnya kau bisa menjawab
sendiri, Adipati Bayaga,” tetap sinis nada suara Gagak Ireng.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya
Adipati Bayaga tegas.
“Aku rasa, kau sudah tahu tentang
diriku, Adipati Bayaga,” sahut Gagak Ireng semakin sinis. Sedikit matanya
melirik Pandan Wangi yang berada di samping Adipati Bayaga. Bibirnya kemudian
menyunggingkan senyuman sinis.
Sedangkan Pandan Wangi hanya
menatap saja dengan sinar mata tajam, menusuk langsung ke bola mata si Penyamun
Bukit Tengkorak itu.
“Kau pasti si Kipas Maut,” desis
Gagak Ireng pada Pandan Wangi.
“Tidak salah,” sahut Pandan Wangi
disertai senyum tipis tersungging di bibirnya.
Gagak Ireng mendengus kecil.
Sikapnya begitu meremehkan si Kipas Maut itu. Sama sekali dia tidak memandang
gadis cantik berbaju biru yang bergelar si Kipas Maut ini. Gagak Ireng sudah
banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Sudah bisa diukur, sampai di mana
tingkat kepandaian gadis itu, walaupun baru kali ini bertemu muka. Dan dari
pertarungan sekejap tadi, Gagak Ireng sudah bisa membaca tingkat kepandaian
Pandan Wangi.
“Gagak Ireng! Apa tujuanmu
sebenarnya di Kadipaten Wadas Lintang ini?!” tanya Adipati Bayaga, memecah
kebisuan yang terjadi di antara mereka.
“Aku hanya ingin menuntut sedikit
hakku di sini,” sahut Gagak Ireng dingin dan datar suaranya. “Jasaku di
kadipaten ini telah banyak, Adipati Bayaga.”
“Hak apa...?” tanya Adipati
Bayaga lagi.
“Sebagian wilayah kadipaten ini
seharusnya menjadi daerah kekuasaanku. Terutama wilayah Gantang!”
“Tidak ada hakmu di sini, atau di
mana saja, Gagak Ireng.” Tiba-tiba saja terdengar suara berat menggema.
Semua yang ada di tempat itu
langsung berpaling ke arah suara yang datang tiba-tiba itu. Pada saat itu,
berkelebat sebuah bayangan kuning agak kehitaman dari atas atap. Tahu-tahu di
antara mereka sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh
tahun. Dia mengenakan baju dari kulit binatang. Mereka tentu saja sudah
mengenalnya. Tapi Gagak Ireng sempat terkejut juga. Sehingga, mulutnya mendesis
tatkala menyebut nama orang yang tiba-tiba muncul itu.
“Ki Gandapara...,” desis Gagak
Ireng terkejut.
“Seharusnya kau tidak perlu lagi
datang ke sini, Gagak Ireng. Tidak ada lagi tempat untukmu di Kadipaten Wadas
Lintang ini!” terasa begitu dingin nada suara laki-laki berusia enam puluh
tahun lebih yang mengenakan baju dari kulit binatang itu. Dia memang Ki
Gandapara, tokoh tertua dari Bukit Gantang. Orang inilah yang dianggap menjadi
pelindung para pendekar muda di Bukit Gantang.
“Mampukah kau mengusirku,
Gandapara...?! Bertahun-tahun aku merencanakan semua ini. Aku berhak untuk
tinggal di sini, karena Kadipaten Wadas Lintang ini tempat kelahiranku. Kau
tahu itu, Gandapara...?!” lantang sekali suara Gagak Ireng.
“Semua orang memang berhak
tinggal di sini. Tapi, tentu saja orang yang baik-baik. Tidak seperti kau,
Gagak Ireng...! Di mana kau berada, selalu saja menimbulkan kekacauan. Kau
pikir, aku tak tahu apa rencanamu?! Semua perbuatanmu kau tuduhkan pada
pendekar-pendekar Bukit Gantang. Sementara, kau enak-enakan dengan kedudukan
tinggi di samping Adipati!” lantang sekali suara Ki Gandapara.
“Tutup mulutmu, Gandapara! Tidak
semudah itu kau memutarbalikkan kenyataan...!” bentak Gagak Ireng. Seketika,
wajahnya jadi memerah mendengar kata-kata Ki Gandapara.
“Tidak ada yang memutarbalikkan
kenyataan, Gagak Ireng. Semua ini kau rencanakan hanya untuk memenuhi nafsu
angkara murkamu saja!”
“Keparat...! Kubunuh kau,
Gandapara!” Gagak Ireng jadi geram setengah mati. Gagak Ireng sudah memegang
gagang pedang yang masih tergantung di pinggangnya.
Sedangkan Ki Gandapara sudah bisa
membaca gelagat tidak baik ini. Wajahnya lalu berpaling pada Pandan Wangi dan
Adipati Bayaga. “Menjauhlah kalian,” pinta Ki Gandapara.
Pandan Wangi segera melangkah
mundur diikuti Adipati Bayaga. Sementara Ki Gandapara menggeser kakinya
beberapa tindak. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata
Gagak Ireng.
“Kau memang selalu menjadi
penghalangku, Gandapara. Tidak ubahnya seperti gurumu. Maka sudah saatnya kau
masuk ke liang kubur!” desis Gagak Ireng, dingin menggeletar.
“Hm...,” Ki Gandapara hanya
menggumam pelan.
“Bersiaplah, Gandapara!
Hiyaaat...!”
Bagaikan kilat, Gagak Ireng
melompat menerjang sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hait...!” Ki Gandapara
cepat-cepat mengegoskan tubuh, menghindari pukulan yang mengarah lurus ke
dadanya. Dan begitu pukulan Gagak Ireng lewat di samping tubuhnya, cepat sekali
Ki Gandapara mengebutkan tangan kiri, menyodok ke arah lambung.
Tapi Gagak Ireng lebih cepat lagi
berkelit. Tubuhnya segera ditarik ke belakang, lalu melenting berputar ke
belakang sambil menghentakkan satu tendangan keras dengan kedua kakinya.
“Uts!” Hampir saja telapak kaki
Gagak Ireng mampir di muka Ki Gandapara. Untung saja laki-laki itu segera
menarik kepalanya ke belakang. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng
sudah melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
“Yeaaah...!” Begitu cepat
pukulannya sehingga Ki Gandapara tidak sempat lagi menghindar. Pukulan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di dada Ki
Gandapara yang terbuka lebar.
Desss! “Akh...!” Ki Gandapara
terpekik agak tertahan.
Tubuh laki-laki tua itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang seketika itu juga
jadi terasa amat sesak. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
cepat-cepat dilakukannya beberapa gerakan. Dengan gerakan ini, rasa sesak yang
timbul di dadanya akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi tadi
dapat terusir.
“He he he.... Itu baru permulaan,
Gandapara,” ujar Gagak Ireng seraya terkekeh mengejek.
Sementara itu Pandan Wangi yang
melihat Ki Gandapara terkena pukulan dalam beberapa jurus saja, sudah akan
melompat membantu. Tapi sebelum bertindak, Adipati Bayaga sudah lebih dahulu
mencegah. Sementara, Ki Gandapara tampaknya sudah bisa menguasai diri kembali,
dan sudah siap melakukan pertarungan. Kedua tangannya berada agak melintang di
depan dada. Perlahan kakinya bergerak menggeser, menyusur tanah ke arah kanan.
Sedangkan tatapan matanya begitu tajam tak berkedip sedikit pun.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Secara bersamaan, kedua laki-laki
itu melompat sambil mengebutkan kedua tangannya ke depan. Dan pada satu titik
tengah di udara, dua pasang telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi
itu beradu keras di udara. Begitu kerasnya, sehingga menimbulkan ledakan
dahsyat menggelegar. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang tapi juga
mereka menguasai keseimbangan tubuhnya, kemudian kembali saling menerjang.
Masing-masing menggunakan jurus
yang cepat dan dahsyat luar biasa. Pertarungan langsung terjadi begitu cepat,
membuat tubuh-tubuh mereka seperti lenyap. Suara ledakan keras dan pekik
pertarungan berbaur menjadi satu. Suara pertarungan itu membuat prajurit-prajurit
kadipaten jadi memadati sekitar pertarungan. Dan kehadiran para prajurit itu
rupanya tidak mempengaruhi jalannya pertarungan yang semakin kelihatan dahsyat.
Entah sudah berapa jurus
berlangsung. Tapi tampaknya pertarungan itu masih akan terus berlangsung.
Mereka memang tokoh tua yang berkepandaian tinggi. Sehingga, gerakan-gerakannya
sulit diikuti pandangan mata biasa. Sementara itu, para prajurit kadipaten
semakin banyak yang datang memenuhi tempat itu. Mereka semua sudah menghunus
senjata masing-masing, meskipun belum ada perintah dari Adipati Bayaga yang
masih terpana menyaksikan indahnya perta-rungan dua tokoh tua digdaya itu.
“Awas kepala...!” seru Gagak
Ireng tiba-tiba. Teriakan Gagak Ireng yang begitu keras meng-gelegar membuat Ki
Gandapara jadi terkejut setengah mati. Terlebih lagi, teriakan itu disusul satu
kebutan tangan ke arah kepala yang begitu cepat.
“Uts!” Untung saja Ki Gandapara
cepat-cepat menarik kepala sehingga kebutan tangan Gagak Ireng tidak sampai
mendarat. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja Gagak Ireng
menghentakkan kakinya dengan tubuh sedikit berputar ke kiri.
“Heh...?!” Ki Gandapara terkejut
setengah mati. Tapi belum sempat dia berbuat sesuatu, tendangan Gagak Ireng
sudah mampir di dadanya.
“Hegkh!” Ki Gandapara
terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Tendangan Gagak Ireng
begitu telak, sehingga membuat Ki Gandapara jadi sulit bernapas. Seakan-akan
ada sebongkah batu yang begitu besar menghimpit dadanya.
“Mampus kau sekarang, Gandapara!
Hiyaaat...!”
Sret! Bet!
Ki Gandapara cepat-cepat
melenting berputar ke belakang, begitu Gagak Ireng mencabut pedang yang
langsung dikebutkan ke arah perut. Gagal dengan serangan pertama, Gagak Ireng
tidak berhenti sampai di situ saja. Kebutan pedangnya terus mencecar cepat dan
beruntun. Akibatnya Ki Gandapara terpaksa harus berjumpalitan menghindari
tebasan-tebasan pedang hitam berbentuk aneh yang mengeluarkan asap kehitaman
mengandung racun.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Gagak Ireng
melompat ke udara hingga melewati kepala Ki Gandapara. Dan tahu-tahu, dia sudah
berada di belakang pendekar dari Bukit Gantang itu. Bagaikan kilat, pedangnya
dikebutkan sambil memutar tubuhnya ke arah punggung Ki Gandapara.
“Yeaaah...!”
Wuk! Cras!
“Akh....!” Satu pekikan keras
agak tertahan terdengar begitu ujung pedang Gagak Ireng merobek kulit punggung
Ki Gandapara. Seketika itu juga darah segar muncrat dari punggung yang sobek
terbabat pedang. Ki Gandapara terhuyung-huyung ke depan. Dia berusaha cepat
berbalik. Tapi pada saat tubuhnya berputar, mendadak saja Gagak Ireng sudah
cepat sekali membabatkan pedangnya kembali .
“Yeaaah...!” Bret!
“Aaa...!” Ki Gandapara semakin
terhuyung-huyung begitu ujung pedang Gagak Ireng membabat dadanya. Kembali
darah muncrat dari dadanya yang terbelah cukup lebar. Sementara itu, Gagak
Ireng mengedarkan pandangan berkeliling. Dia tahu, sekitarnya sudah terkepung
rapat. Rasanya tak mungkin bisa menghadapi begitu banyak orang, meskipun mereka
hanya para prajurit yang kepandaiannya tidak seberapa.
“Setan!” dengus Gagak Ireng.
“Hup! Yeaaah...!” Bagaikan kilat, Gagak Ireng melesat cepat ke atas atap
sebelum ada seorang pun yang menyadari. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam
sekejapan mata saja sudah berada di atas atap bangunan istana kadipaten itu.
Dan dia langsung me-ompat pergi melalui bagian belakang.
“Keparat...! Hiyaaat...!” Pandan
Wangi yang cepat menyadari lebih dahulu, segera saja melompat ke atas atap
hendak mengejar. Tapi begitu menjejakkan kakinya di atap, bayangan tubuh Gagak
Ireng sudah tidak terlihat lagi.
“Sial...!” rutuk Pandan Wangi.
Kembali si Kipas Maut meluruk turun dan menghampiri Adipati Bayaga yang sudah
berada di samping tubuh Ki Gandapara. Pendekar utama Bukit Gantang itu
tergeletak di tanah dengan darah mengucur dari luka di punggung dan dadanya.
Walaupun terluka cukup parah, dia masih bisa memberi senyum pada Adipati Bayaga
dan Pandan Wangi.
“Maaf. Aku akan menghentikan
darahmu,” ujar Pandan Wangi. Cepat gadis itu memberi beberapa totokan di
sekitar luka di punggung dan dada Ki Gandapara. Sebentar saja darah berhenti
mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu. Adipati Bayaga segera memerintahkan
beberapa prajurit untuk memindahkan Ki Gandapara ke dalam.
“Aku akan menyusul si Penyamun
Bukit Tengkorak itu, Gusti Adipati,” kata Pandan Wangi.
“Tidak menunggu Gusti Prabu dulu,
Nini Pandan?”
“Tidak ada waktu lagi, Gusti.”
Adipati Bayaga tidak bisa lagi
mencegah. Pandan Wangi sudah melesat cepat meninggalkan halaman samping istana
kadipaten itu. Gerakannya cepat luar biasa. Begitu ringannya dia melompati
benteng batu yang mengelilingi bangunan ini, lalu langsung lenyap di balik
dinding benteng dari batu itu. Sementara Adipati Bayaga bergegas melangkah
masuk ke dalam istananya, begitu Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi.
***
DELAPAN
Sementara itu Gagak Ireng sudah
tiba di rumahnya yang dikelilingi pagar batu yang tinggi dan tebal bagai benteng.
Keningnya jadi berkerut begitu melihat pintu gerbang rumahnya terbuka lebar.
Namun, tidak ada seorang pun yang terlihat menjaga di sana. Si Penyamun Bukit
Tengkorak itu melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan indah dan
ringan bagai kapas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di
depan pintu gerbang tempat kediamannya.
Perlahan Gagak Ireng melangkah
melewati pintu gerbang yang terbuka lebar. Kelopak matanya jadi terbeliak lebar
begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan. Bergegas kakinya
diayun menuju ke beranda, begitu melihat Rapasak duduk lesu di tepian beranda
depan. Pedang yang tergenggam di tangannya penuh berlumuran darah. Rapasak
mengangkat kepalanya sedikit begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri.
“Rapasak, apa yang terjadi di
sini...?” Gagak Ireng langsung bertanya begitu dekat di depan adik angkatnya
ini.
“Tidak ada lagi yang tersisa,
Kakang...,” pelan sekali suara Rapasak seraya mengedarkan pandangan ke
sekitarnya.
Gagak Ireng juga mengedarkan
pandangannya berkeliling. Entah berapa jumlah tubuh yang bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Di antara mayat-mayat itu terdapat mayat-mayat berseragam
prajurit kadipaten. Bahkan ada juga yang berpangkat punggawa. Mereka bercampur
saling tumpang-tindih dengan orang-orang berpakaian seperti layaknya kaum
persilatan. Bau anyir darah begitu keras menusuk hidung, terbawa angin yang
ber-hembus perlahan.
“Sebaiknya kita segera tinggalkan
tempat ini, Kakang,” usul Rapasak, masih pelan suaranya.
Gagak Ireng masih terdiam
membisu.
“Kita tidak punya kekuatan lagi.
Semua sudah habis. Tak ada lagi yang tersisa,” sambung Rapasak seraya bangkit
berdiri. “Mereka sudah mengetahui siapa kita sebenarnya. Bahkan sudah tahu
tujuan kita yang sesungguhnya di sini.”
Gagak Ireng masih tetap diam
membisu. Sung-guh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti ini. Suatu
kehancuran siasat yang tidak pernah dibayangkan. Kini tak ada lagi pengikutnya
yang tersisa. Dulu ketika gerombolannya digulung para pendekar Bukit Gantang,
dia masih memiliki anak buah sedikitnya dua puluh orang. Tapi sekarang.... Tak
satu pun yang tersisa lagi. Mereka semua tewas. Hanya Rapasak saja yang masih
tetap bertahan hidup.
“Apa yang terjadi di sini,
Rapasak? Bagaimana mereka bisa terbunuh semua?” tanya Gagak Ireng meminta
penjelasan.
“Pendekar Rajawali Sakti dan
pendekar-pendekar Bukit Gantang menyerbu ke sini, tidak lama setelah Kakang
pergi. Panggilan itu hanya jebakan saja, Kakang. Tempat ini sudah terkepung
prajurit. Kami mencoba bertahan, tapi mereka memang lebih kuat. Terlebih lagi,
Pendekar Rajawali Sakti. Aku sendiri tidak sanggup membendung gempurannya,”
jelas Rapasak.
“Kenapa kau sendiri masih bisa
hidup...?”
“Aku menyerah setelah tak ada
lagi yang tersi-sa. Mereka akan menjemputku setelah Kakang tertangkap di
istana,” sahut Rapasak.
“Menjemput...? Apa maksudmu,
Rapasak?"
“Kakang...,” agak tersekat suara
Rapasak. “Di belakang....”
Gagak Ireng memalingkan kepala
begitu melihat pandangan Rapasak tertuju lurus ke belakang punggung melalui
bahunya. Gagak Ireng jadi terbeliak begitu di belakangnya tahu-tahu sudah
berkumpul puluhan prajurit. Tampak berdiri paling depan, Adipati Bayaga,
Pendekar Rajawali Sakti, si Kipas Maut, Balung Samodra, dan beberapa orang
pendekar Bukit Gantang.
Perlahan Gagak Ireng memutar
tubuhnya. Saat itu, Adipati Bayaga sudah melangkah maju didampingi Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka berhenti saat berjarak beberapa
langkah lagi di depan Gagak Ireng dan Rapasak. Sedangkan para prajurit
kadipaten dan jago-jago Bukit Gantang sudah menyebar, mengepung halaman depan
yang cukup luas ini.
“Hanya ada satu pilihan, Gagak
Ireng. Tak ada gunanya lagi melawan,” tegas Adipati Bayaga.
“Phuih! Penyamun Bukit Tengkorak
pantang menyerah!” dengus Gagak Ireng seraya menyemburkan ludahnya.
“Aku paling tidak suka melihat
perusuh keras kepala berkeliaran di wilayahku,” desis Rangga seperti bicara
pada diri sendiri.
“Hhh! Orang lain boleh
terkencing-kencing mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap
aku gentar mendengar gertakanmu!” dengus Gagak Ireng dingin.
“Gagak Ireng! Kuharap kau tidak
membuat kesulitan pada dirimu sendiri. Kau tidak punya pilihan lain lagi.
Menyerahlah, dan terima hukuman yang akan dijatuhkan pengadilan nanti,” ujar
Rangga, dingin dan tegas sekali.
“Jangan banyak omong! Majulah
kalau ingin menangkapku!” bentak Gagak Ireng nekat. Sret! Gagak Ireng langsung
mencabut pedang kebanggaannya. Sebilah pedang berbentuk aneh yang bagian
ujungnya bercabang dua, dan memiliki tujuh kelukan. Dari mata pedang itu
mengepulkan asap tipis agak kehitaman. Rangga sedikit berkerut keningnya
melihat pamor pedang si Penyamun Bukit Tengkorak yang begitu dahsyat.
“Mundurlah kalian. Pedang itu
mengeluarkan asap beracun,” ujar Rangga pelan seraya melirik Pandan Wangi dan
Adipati Bayaga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan
Wangi menarik kakinya ke belakang diikuti Adipati Bayaga. Mereka memang sudah
melihat kedahsyatan pedang itu ketika Gagak Ireng bertarung melawan Ki
Gandapara. Dan memang, asap hitam yang keluar dari pedang itu membuat
pernapasan jadi agak ter-ganggu. Adipati Bayaga memberi isyarat pada
prajuritnya untuk menyingkir menjauh. Prajurit-prajurit yang tadinya mengepung
rapat, perlahan bergerak menjauhi tempat itu.
Sementara, Rangga masih berdiri
di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Gagak Ireng sudah
melintangkan pedang di depan dada. Tampak bibirnya bergerak-gerak mendengungkan
suara perlahan seperti lebah.
“Sudah lama aku ingin mencoba
kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar batang lehermu cepat bisa
kupenggal,” desis Gagak Ireng dingin.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti tahu
kalau tidak ada gunanya lagi membujuk Gagak Ireng agar menyerah. Si Penyamun
Bukit Tengkorak itu sudah benar-benar nekat, dan tak ada lagi pilihan baginya.
Bagi Gagak Ireng, lebih baik mati di dalam pertarungan daripada menyerah
menjadi pesakitan yang tak berdaya apa-apa. Dan itu suatu tekad wajar di
kalangan rimba persilatan.
Rangga juga bisa menyadari,
sehingga tidak lagi mencoba membujuk. Di kalangan persilatan, mati dalam
pertarungan lebih terhormat daripada mati di tangan algojo tanpa dapat berbuat
sesuatu. Dan rupanya, Gagak Ireng memang memilih bertarung. Sehingga Rangga
terpaksa harus melayaninya agar Gagak Ireng lebih terhormat sebagai seorang
pesilat sejati.
“Tahan seranganku, Pendekar
Rajawali Sakti! Hiyaaat...!”
“Hup!”
Bagaikan kilat Gagak Ireng
melompat menyerang. Pedangnya dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi hanya sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan pedang berujung cabang
dua itu berhasil dielakkan Rangga. Ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di
depan dadanya. Tapi rupanya Gagak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja.
Kembali dilakukannya serangan-serangan cepat dan dahsyat.
Pedangnya berkelebatan cepat dan
kuat, sehingga seperti lenyap dari pandangan. Hanya kelebatan bayangan hitam
saja yang terlihat mengurung hampir seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun Gagak Ireng sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya, tapi tak satu
pun yang berhasil mengenai sasaran.
Pendekar Rajawali Sakti terlalu
gesit untuk didekati. Gerakan-gerakannya begitu lincah dan ringan, seakan-akan kedua
ka-kinya tidak menyentuh tanah sama sekali. Belum lagi gerakan tubuhnya yang
meliuk-liuk indah bagaikan belut. Begitu sulit dan licin, membuat Gagak Ireng
jadi kelabakan sendiri. Apalagi setelah menyadari kalau setiap serangan yang
dilakukan tidak membawa hasil sedikit pun.
“Gila...! Dia tidak terpengaruh
pada asap racun pedangku!” dengus Gagak Ireng dalam hati.
Entah sudah berapa puluh jurus
berlalu. Tapi pertarungan masih juga berlangsung sengit. Sementara Rangga
seperti sengaja hendak menguras habis seluruh tenaga dan kemampuan lawannya.
Hanya sekali-sekali saja Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan balasan.
Itupun sudah membuat Gagak Ireng jadi kelabakan menghindarinya. Bahkan entah
sudah berapa kali harus menerima pukulan maupun tendangan yang begitu keras,
meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sehingga Gagak Ireng
masih dapat melanjutkan pertarungannya.
“Hup...!” Tiba-tiba saja Gagak
Ireng melentingkan tubuh berputar ke belakang. Lalu, manis sekali kakinya
mendarat sekitar dua batang tombak dari Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti
sama sekali tidak mengejar, dan hanya berdiri saja memperhatikan. Kini, Gagak
Ireng sudah kembali bersiap dengan suatu ajian andalannya. Beberapa kali
pedangnya dikebutkan di depan dada. Maka asap hitam yang keluar dari pedang
Gagak Ireng semakin banyak menggumpal. Kemudian pedangnya dihentakkan lurus ke
depan. Se-hingga asap hitam yang keluar dari pedang berbentuk aneh itu
menggumpal membentuk bulatan di ujungnya. Perlahan pedangnya diangkat
tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
“Hiyaaa...!” Wukkk! Cepat sekali
Gagak Ireng mengebutkan pedangnya kembali ke depan sambil berteriak keras
menggelegar. Dan seketika itu juga, bulatan asap hitam di ujung pedangnya
terlontar cepat bagaikan kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun sedikit
pun pemuda berbaju rompi putih itu tidak bergeming. Bahkan tetap berdiri tegak
menerima serangan itu. Tak pelak lagi, asap hitam itu menghantam tubuh Rangga.
Bahkan kini menyelubunginya, sehingga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu
terselimut asap hitam yang pekat dan menggumpal. Tapi beberapa saat
kemudian....
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’. Yeaaah....!”
Begitu kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping, seketika itu juga
membersit kilatan cahaya biru terang menyilaukan. Bersamaan den-gan itu,
terdengar ledakan keras menggelegar. Asap hitam yang menggumpal menyelimuti
tubuh Rangga, langsung berpendar habis bagai tertiup angin. Dan kini seluruh
tubuh Rangga berselimut sinar biru menyilaukan.
“Edan....!” desis Gagak Ireng
terkejut melihat hasil serangannya dapat mudah dimusnahkan begitu saja. Belum
lagi Gagak Ireng bisa menghilangkan keterkejutannya, cepat sekali Rangga
menghentakkan kedua tangan ke depan. Maka sinar biru yang menyelubungi tubuhnya
langsung berpindah ke telapak tangan. Dan kini malah melesat cepat menghantam
tubuh Gagak Ireng yang masih berdiri terpaku, bagai tak percaya dengan
pengliha-tannya sendiri.
Aaakh...!” Gagak Ireng menjerit
keras begitu cahaya biru menyelubunginya. Tubuhnya menggeliat, berteriak-teriak
berusaha keluar dari selubung sinar biru itu. Tapi Rangga terus mengeluarkan
aji Cakra Buana Sukma nya. Sinar biru yang terus keluar dari kedua telapak
tangannya semakin banyak menyelimuti seluruh tubuh Gagak Ireng.
Perlahan-lahan tubuh Gagak Ireng
tertarik mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan namun pasti, Gagak Ireng
terus bergerak mendekat sambil menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Tapi
semakin keras berusaha, semakin kuat pula tenaganya tersedot. Dan Gagak Ireng
sama sekali tidak menyadari akibat pengaruh aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang
dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga, tubuhnya semakin dekat dengan
pemuda berbaju rompi putih itu, masih juga belum disadarinya.
“Aaakh...!” lagi-lagi Gagak Ireng
menjerit kencang melengking tinggi. Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti kini sudah menempel di dada Gagak Ireng. Dan sinar biru yang keluar dari
tangan Pendekar Rajawali Sakti semakin banyak saja menyelimuti tubuh Gagak
Ireng.
“Yeaaah...!” Tiba-tiba saja
Rangga menghentakkan tangannya dengan keras. Akibatnya, tubuh Gagak Ireng
terlontar jauh ke belakang, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Laki-laki
separuh baya itu berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya sudah
terkuras habis. Dan dia sama sekali tidak bisa bangkit berdiri. Bahkan untuk
menggerakkan tangannya saja begitu sulit.
Sementara, sinar biru kini sudah
lenyap begitu Rangga menarik aji ‘Cakra Buana Sukma’. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti melangkah menghampiri dan berdiri tegak di samping tubuh Gagak
Ireng yang tergeletak tak berdaya lagi.
“Bunuhlah aku, Keparat...!” geram
Gagak Ireng.
“Kau harus mempertanggungjawabkan
semua perbuatanmu dulu, Gagak Ireng. Pengadilan nanti yang akan menentukan
hukumanmu,” kata Rangga kalem.
Sementara itu, Adipati Bayaga dan
Pandan Wangi sudah menghampiri diikuti beberapa orang berseragam prajurit. Kini
Rangga menatap Rapasak yang masih saja berdiri tidak mampu berbuat sesuatu
lagi. Hatinya begitu gentar melihat kedahsyatan ilmu kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti. Akibatnya, Gagak Ireng jadi lumpuh. Dia tak mampu lagi
menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
“Ringkus dia. Masukkan ke dalam
penjara!” perintah Adipati Bayaga.
“Baik, Gusti Adipati.” Dua orang
prajurit mengangkat tubuh Gagak Ireng yang sudah lumpuh tak berdaya lagi.
Sementara, dua orang prajurit
lagi segera menggiring Rapasak yang memang sudah menyerah. Mereka melucuti
semua senjata yang dibawa Rapasak dan Gagak Ireng.
“Ah! Kalau saja tidak ada Gusti
Prabu disini...,” desah Adipati Bayaga merasa lega.
“Sudahlah, Paman Adipati. Dan
sebaiknya jangan menyebutku Gusti,” selak Rangga cepat.
“Maafkan Hamba, Gusti.”
Rangga hanya tersenyum saja.
Digamitnya lengan Pandan Wangi, dan diajaknya pergi dari tempat ini. Tapi
sebelum kakinya terayun melangkah, Adipati Bayaga dan Balung Samodra sudah
mencegah. Terpaksa Rangga mengurungkan ayunan kakinya.
Rangga jadi tertegun saat Adipati
Bayaga meminta untuk tinggal beberapa hari di Kadipaten Wadas Lintang ini.
Matanya melirik Pandan Wangi untuk meminta pendapat gadis itu. Tapi Pandan
Wangi hanya mengangkat bahu saja.
“Baiklah. Tapi dengan satu
syarat,” Rangga menyerah.
“Apa itu, Gusti Prabu?” tanya
Adipati Bayaga sudah gembira mendengar kesediaan Pendekar Rajawali Sakti
menerima permintaannya untuk tinggal beberapa hari di kadipaten ini.
“Jangan sekali-sekali memanggilku
Gusti Prabu. Aku sekarang ini bukan raja, tapi seorang pendekar kelana yang
mengembara dari satu tempat ke tempat lain,” kata Rangga mengajukan syarat.
“Hanya itu, Gusti...?”
“Iya! Hanya itu saja. Dan aku
juga tidak bisa berlama-lama di sini. Hanya beberapa hari saja. Bagaimana...?”
“Tentu, Gusti. Tapi..., hamba
harus memanggil apa?”
“Panggil saja Rangga.”
“Ah! Bagaimana mungkin, Gusti.
Tidak patut hamba memanggil dengan nama saja.”
“Kalau tidak mau, ya sudah. Aku
akan melanjutkan perjalanan sekarang juga,” Rangga tidak memberi pilihan.
“Oh! Jangan..., jangan, Gusti.
Baik! Hamba akan memanggil seperti yang Gusti Prabu inginkan,” buru-buru
Adipati Bayaga mencegah.
Rangga mengangkat bahunya
sedikit. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti memang bermaksud tinggal di
Kadipaten Wadas Lintang ini untuk beberapa hari sambil melihat-lihat
perkembangan kadipaten di wilayah Kerajaan Karang Setra ini. Tapi, tentu saja
kehadirannya tidak sebagai raja, yang akan membuatnya repot. Melainkan sebagai
orang biasa dan sebagai pendekar kelana yang hanya singgah saja untuk beberapa
hari.
“Mari, Rangga. Sebaiknya kita
segera kembali ke istana,” ajak Adipati Bayaga sudah mulai membiasakan diri
memanggil nama saja.
Mereka kemudian melangkah
meninggalkan halaman depan rumah kediaman Gagak Ireng. Sementara, para prajurit
yang tadi memadati tempat itu sudah lebih dahulu pergi membawa Gagak Ireng dan
Rapasak yang berhasil ditawan hidup-hidup.
“Hukuman apa yang pantas untuk
Gagak Ireng, Rangga?” tanya Adipati Bayaga sambil terus mengayunkan kakinya
keluar dari gerbang rumah ini.
“Mau tidak mau, dia akan menerima
hukuman yang dijatuhkan pengadilan nanti. Toh dia sudah tidak lagi memiliki
daya. Semua ilmu kepandaian dan kesaktiannya sudah musnah. Bahkan akan tetap
lumpuh begitu,” Pandan Wangi yang menyahuti.
“Oh! Benarkah begitu...?” tanya
Adipati Bayaga.
“Benar. Itu akibat dari aji
‘Cakra Buana Sukma’. Untung saja Kakang Rangga tidak mengerahkannya dalam
tingkatan terakhir, sehingga dia masih bisa hidup. Walaupun harus menderita
kelumpuhan seumur hidup,” jelas Pandan Wangi lagi.
“Kalau memang begitu, dia sudah
mendapatkan hukuman setimpal. Tidak mungkin lagi perbuatan buruknya bisa
diulangi lagi,” kata Adipati Bayaga.
“Tapi tidak demikian halnya
Rapasak, Gusti Adipati,” selak Balung Samodra yang berjalan di samping Pandan
Wangi.
“Hm.... Rapasak akan menerima
hukuman yang setimpal juga. Entah apa hukuman yang pantas untuknya nanti.
Bagaimana menurutmu, Rangga...?” Adipati Bayaga berpaling menatap Rangga yang
berjalan di sebelah kanannya.
“Sebaiknya, ikuti saja keputusan
pengadilan nanti. Dan kita tidak usah membicarakannya sekarang. Biar pengadilan
tinggi kadipaten yang menentukan hukuman untuk mereka,” kata Rangga penuh
bijaksana.
Mereka tak ada lagi yang bicara.
Sementara matahari sudah hampir condong ke arah barat. Sebentar lagi senja akan
turun. Kini, tak ada lagi kerusuhan yang terjadi di Kadipaten Wadas Lintang
ini.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
PRAHARA DARAH BIRU
Emoticon