SATU
Tidak seperti hari-hari biasanya, kini sekitar kaki Gunung Lawu tampak ramai, terlebih lagi di Desa Lambak, yang terletak di sebelah Timur kaki gunung itu. Sepertinya, tak ada tempat lagi bagi orang-orang yang datang ke desa itu. Entah dari mana mereka datang. Setiap hari, selalu saja bertambah. Kedatangan orang-orang yang tampaknya dari kalangan persilatan itu, tentu saja membuat Ki Sutar yang merupakan kepala Desa Lambak jadi kebingungan setengah mati.
Laki-laki tua itu tidak tahu,
kenapa desanya tiba-tiba saja didatangi orang-orang dari kalangan persilatan
begitu banyak. Kekhawatiran seketika timbul di hatinya. Kekhawatiran yang
wajar, melihat semua orang yang datang rata-rata memiliki kepandaian ilmu olah
kanuragan tinggi. Belum lagi, hampir semuanya membawa senjata. Ki Sutar
khawatir terjadi keributan di antara mereka. Terlebih lagi jika melibatkan para
penduduk. Hal inilah yang membuat Ki Sutar begitu khawatir, sehingga
memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki maksud kedatangan mereka.
“Bagaimana? Apa kalian sudah
mendapatkan keterangan?” tanya Ki Sutar pada dua orang pembantunya yang datang
menghadap.
“Mereka hendak ke puncak Gunung
Lawu, Ki,” sahut salah seorang yang masih terlihat muda.
“Ke puncak Gunung Lawu...? Mau
apa kesana?” tanya Ki Sutar tidak mengerti.
Kedua anak muda itu tidak
menjawab. Sementara Ki Sutar memandangi kedua pembantunya ini dalam-dalam.
Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi, kedua anak muda itu tetap
diam tidak membuka suara. Mereka malah saling berpandangan satu sama lain.
“Kalian tahu, untuk apa mereka ke
puncak Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar lagi.
“Tidak, Ki,” sahut pemuda satunya
lagi yang mengenakan baju warna kuning muda.
“Tidak...?! Lalu, apa saja yang
kalian ketahui?” Ki Sutar jadi mengerutkan kening.
Belum juga kedua pemuda itu
menjawab, tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang laki-laki berusia sekitar
empat puluh tahun. Dia langsung jatuh terduduk di lantai. Seluruh pakaiannya
kotor berdebu. Keringat mengucur deras, membasahi wajah dan lehernya. Ki Sutar
dan kedua pemuda pembantunya jadi terkejut.
“Ada apa ini...? Apa yang terjadi
padamu, Warjan?” tanya Ki Sutar terkejut melihat keadaan orang yang baru datang
itu.
Orang yang bernama Warjan juga
salah satu pembantunya yang ditugaskan menyelidiki kedatangan orang-orang
persilatan ke desa ini. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tidak
langsung menjawab. Napasnya masih terengah-engah. Disekanya keringat yang
membanjiri leher.
“Celaka, Ki.... Celaka...,” lapor
Warjan masih tersengal.
“Katakan yang benar. Ada apa...?”
agak menyentak suara Ki Sutar.
“Mereka mulai membuat keributan.
Aku berusaha melerai, tapi mereka malah mengeroyokku...,” lapor Warjan masih
agak tergagap.
“Ohhh...,” Ki Sutar mendesah
panjang. Inilah yang dikhawatirkan sejak semula. Kedatangan orang-orang
persilatan memang tidak bisa membuat tenang. Biarpun kecil, pasti terjadi
keributan di antara mereka. Ki Sutar khawatir, keributan itu akan menjalar lebih
luas lagi. Dia tidak ingin desa yang tenteram dan damai ini jadi ajang
pertumpahan darah.
“Di mana keributan itu terjadi?”
tanya Ki Sutar.
“Di sebelah Selatan, Ki,” jawab
Warjan.
“Ada penduduk yang terlibat?”
tanya Ki Sutar lagi. Nada suaranya terdengar penuh kecemasan.
“Tidak, Ki,” sahut Warjan mulai
agak tenang suaranya.
Ki Sutar terdiam lagi. Kakinya
melangkah ke depan, dan berhenti di ambang pintu. Pandangannya lurus ke jalan
ramai yang dipadati orang bersenjata dan berpakaian aneh-aneh, bercampur baur
dengan penduduk Desa Lambak. Sementara Warjan dan dua orang pemuda pembantu
kepala desa itu hanya diam, sambil duduk bersila di lantai. Mereka memandangi
Ki Sutar yang masih berdiri di ambang pintu menghadap keluar.
“Kalian ikut aku,” ujar Ki Sutar
tanpa berpaling sedikit pun.
Laki-laki tua yang masih tampak
gagah itu melangkah keluar, diikuti Warjan dan dua pemuda pembantunya. Tak
berapa lama kemudian, mereka terlihat sudah berkuda meninggalkan rumah
berukuran cukup besar dan berhalaman luas. Mereka langsung menyatu dengan
orang-orang yang memadati jalan tanah dan berdebu ini.
***
Sementara itu, di sebelah Selatan
Desa Lambak tampak dua orang tengah bertarung senjata, disaksikan sekitar dua
puluh orang. Seorang yang mengenakan baju ketat berwarna hitam, tampak memegang
sepasang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing. Sedangkan lawannya yang
mengenakan baju warna merah, menggunakan senjata berupa tameng berbentuk segi
tiga berwarna perak.
Dua puluh orang yang menyaksikan
pertarungan tampaknya juga dari kalangan persilatan. Ini terlihat dari
senjata-senjata yang disandang. Entah sudah berapa lama pertarungan itu
berlangsung. Dan tampaknya, masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus andalan
yang ampuh dan dahsyat. Tapi, belum kelihatan tanda-tanda kalau pertarungan
bakal berhenti. Mereka sama-sama tangguh dan digdaya. Sehingga orang-orang yang
menyaksikan tidak mengerdipkan mata sedikit pun.
“Berhenti...!”
Entah dari mana datangnya,
tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga
membuat mereka yang ada di sekitar pertarungan jadi terkejut. Bahkan dua orang
yang tengah bertarung itu pun langsung berlompatan mundur, menghentikan
pertarungannya. Mereka semua menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.
Tampak di atas sebongkah batu
yang cukup besar dan tinggi bagai sebuah bukit kecil, berdiri seseorang
mengenakan baju hitam pekat. Kepalanya tertutup caping berukuran lebar,
sehingga seluruh wajahnya tertutup caping itu. Pakaian yang dikenakan begitu
ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang
bergagang kepala naga, tampak tersampir di punggungnya.
“Tidak ada gunanya kalian
bertarung di sini. Kenapa tidak segera ke puncak Gunung Lawu...?” lantang
sekali suara orang bercaping lebar itu.
Tak ada seorang pun yang membuka
suara. Mereka hanya saling melemparkan pandang, kemudian kembali menatap orang
berbaju hitam itu. Tanpa ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, tempat itu
mulai ditinggalkan satu persatu. Sementara dua orang yang tadi bertarung, masih
berada di tempatnya. Mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan belum puas
dengan pertarungan yang terhenti barusan.
“Kita akan bertemu lagi di puncak
Gunung Lawu, Pendekar Tombak Kembar,” tantang orang baju merah yang memegang
sebuah perisai segitiga berwarna keperakan.
“Aku tunggu kau di sana, Perisai
Maut,” sambut laki-laki muda yang dipanggil Pendekar Tombak Kembar.
Kembali mereka saling bertatapan,
kemudian sama-sama meninggalkan tempat itu dengan arah berlawanan. Sementara
orang berbaju hitam ketat yang wajahnya tertutup caping besar masih tetap
berdiri di atas batu, meskipun sudah tak ada seorang pun di tempat pertarungan
itu tadi.
Pada saat itu, Ki Sutar dan
ketiga orang pembantunya sampai di tempat ini. Sementara orang berbaju hitam
yang seluruh kepalanya tertutup caping lebar masih berdiri tegak di atas batu
yang cukup tinggi, bagaikan sebuah bukit. Tak ada orang lain lagi selain
mereka. Ki Sutar melompat turun dari atas punggung kuda. Gerakannya indah dan
ringan sekali.
“Di mana mereka, Warjan?” tanya
Ki Sutar.
“Tadi mereka bertarung di sini,
Ki,” jelas Warjan.
“Hm...,” gumam Ki Sutar perlahan.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Sekitarnya memang berantakan, seperti baru saja terjadi pertarungan
sengit. Juga banyak tapak kaki yang membekas di tanah berumput kering ini. Dia
tahu, Warjan tidak berdusta. Tapi apa mungkin pertarungan bisa berlangsung
begitu cepat, dan berakhir begitu saja...? Ki Sutar yang sedikitnya mengetahui
kehidupan orang-orang persilatan, sudah tidak merasa aneh lagi oleh pertarungan
yang berlangsung cepat. Hanya saja, di sini tidak ditemukan adanya bercak
darah. Apalagi sesosok mayat.
Pandangan Ki Sutar tertuju pada
sosok tubuh berbaju hitam dan bercaping lebar. Perlahan Ki Sutar melangkah
menghampiri. Tapi belum juga dekat dengan batu besar itu, orang berbaju serba
hitam dan bercaping lebar sudah melompat turun dari atas batu. Gerakannya
begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar
lima langkah lagi di depan Ki Sutar.
“Hm.... Siapa kau?” tanya Ki
Sutar sambil memandangi orang yang tidak kelihatan wajahnya.
“Aku si Caping Maut,” sahut orang
itu memperkenalkan diri.
“Caping Maut..,” gumam Ki Sutar
perlahan.
Laki-laki tua itu kembali
memandang dalam-dalam orang bercaping lebar. Nama besar si Caping Maut sering
didengarnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah punya nama, dan
sangat disegani di kalangan rimba persilatan. Tapi, baru kali inilah Ki Sutar
bertemu orangnya.
“Maaf, kalau kedatangan mereka
membuatmu repot,” ucap si Caping Maut dengan suara lembut dan bernada sopan.
“Mereka memang sudah membuat
kehidupan kami terusik,” jelas Ki Sutar berterus terang.
“Tidak lama, Ki. Besok juga
mereka sudah meninggalkan desa ini. Mereka hendak berkumpul di puncak Gunung
Lawu,” kata si Caping Maut memberi tahu. Masih dengan nada suaranya yang lembut
dan sopan.
“Boleh aku tahu, untuk apa mereka
ke Gunung Lawu?” tanya Ki Sutar.
“Mereka semua mendapat undangan
dari Ketua Padepokan Gunung Lawu,” jawab si Caping Maut
“Padepokan Gunung Lawu...?!” Ki
Sutar mengerutkan keningnya.
“Apa kau tidak mendapat undangan,
Ki?” si Caping Maut malah bertanya, setelah melihat kepala desa itu seperti
kebingungan mendengar penjelasannya tadi.
“Jangankan undangan. Aku sendiri
tidak tahu kalau di Puncak Gunung Lawu berdiri sebuah padepokan,” agak
mendengus suara Ki Sutar.
“Oh..., benarkah...?” kini si
Caping Maut yang kelihatannya terkejut
Perlahan laki-laki berbaju hitam
itu membuka caping yang menutupi kepalanya. Maka, terlihatlah seraut wajah
tampan di balik sebuah caping lebar dan berwarna hitam itu. Wajah dengan senyum
menawan dan sinar mata berbinar, bagaikan mata seorang bayi yang baru
dilahirkan.
“Seharusnya kau menerima
undangan, Ki. Semua kepala desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini telah menerima
undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Hm..., tidak heran jika kau terkejut
melihat kedatangan mereka yang memenuhi desamu,” kata si Caping Maut lagi.
“Aku memang terkejut. Tidak
pernah desa ini kedatangan orang dari kalangan persilatan begini banyak.
Paling-paling, satu dua orang saja. Dan itu pun hanya singgah satu dua hari.
Mereka kemudian kembali meninggalkan desa ini tanpa menimbulkan masalah apa pun
juga,” jelas Ki Sutar, seperti mengeluh.
“Kalau begitu, maafkan atas
kelalaian Ketua Padepokan Gunung Lawu,” ucap si Caping Maut seraya menjura
memberi hormat
Ki Sutar jadi kikuk juga, tapi
cepat membungkukkan tubuhnya sedikit untuk membalas penghormatan tokoh
persilatan yang sudah kondang namanya itu.
“Aku akan menegur Ketua Padepokan
Gunung Lawu. Kuharap kau menerima undangan sebelum terlambat, Ki,” kata si
Caping Maut lagi, seraya mengenakan caping hitamnya kembali.
Belum juga Ki Sutar mengucapkan
sesuatu, laki-laki bercaping hitam itu sudah melesat pergi. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Ki Sutar dan ketiga
orang pembantunya jadi terlongong.
“Ayo, kita kembali,” ajak Ki
Sutar, langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Empat orang itu kemudian sudah
kembali bergerak meninggalkan tempat itu. Suasana pun menjadi sunyi, seperti
tidak pernah terjadi sesuatu di sini.
“Tidak ada seorang pun yang ada
di desa ini lagi, Ki,” jelas Warjan
Ki Sutar hanya diam saja,
memandang lurus ke depan. Warjan dan dua orang anak muda pembantu kepala desa
itu saling berpandangan. Sejak mereka bertemu si Caping Maut, sikap kepala desa
ini jadi berubah. Sering melamun, dan selalu berdiam diri menyendiri.
Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki tua gagah ini.
“Warjan..,” panggil Ki Sutar,
perlahan suaranya.
“Ya, Ki,” sahut Warjan seraya
mendekat di samping kepala desa itu.
“Aku akan ke puncak Gunung Lawu.
Dan selama kepergianku, kaulah yang bertanggung jawab atas seluruh desa ini,”
ujar Ki Sutar.
“Ketua Padepokan Gunung Lawu
sudah memberi undangan, Ki?” tanya Warjan agak terkejut mendengar keputusan
kepala desa Ini.
“Semalam, aku mendapat undangan
darinya,” sahut Ki Sutar.
“Semalam...?” Warjan mengerutkan
kening.
“Aku tidak tahu, siapa yang
memberikannya. Undangan itu sudah ada di kamarku. Ada di meja kecil dekat
jendela,” Ki Sutar menjelaskan tentang undangan yang diterimanya dari Ketua
Padepokan Gunung Lawu.
Warjan hanya diam dengan kepala
terangguk-angguk. Semalaman dia tidak tidur untuk menjaga sekeliling rumah ini,
namun sama sekali tidak melihat ada orang datang membawa undangan untuk
majikannya. Apalagi undangan itu sampai berada di kamar peristirahatan Ki Sutar
sendiri.
“Aku berangkat sekarang,” kata Ki
Sutar seraya melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.
“Kenapa tidak besok saja, Ki?”
usul Warjan.
Ki Sutar tidak menjawab, dan
terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar ditatapnya Warjan, dan
dua orang anak muda pembantunya. Mereka hanya memandangi kepala desa itu dengan
segudang pertanyaan di kepala. Mereka tidak mengerti, kenapa Ki Sutar tiba-tiba
saja memutuskan hendak pergi ke puncak Gunung Lawu setelah mendapat undangan
dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Bahkan Ki Sutar berat meninggalkan desa ini,
karena seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Tanpa bicara apa pun juga, Ki
Sutar segera meng-gebah kuda meninggalkan rumahnya yang berukuran cukup besar
itu. Sementara Warjan dan dua orang pembantu kepala desa itu hanya bisa
memandangi tanpa dapat mencegah lagi. Apalagi memberi usul agar Ki Sutar
menunda keperakannya. Sementara, Ki Sutar sudah jauh meninggalkan rumahnya.
Kudanya digebah cepat menuju ke Gunung Lawu.
***
DUA
Padepokan Gunung Lawu memang
berdiri di atas puncak Gunung Lawu yang sunyi dan sepi. Sebuah padepokan yang
cukup besar, berdiri di antara pepohonan dan tumpukan-tumpukan bebatuan yang
membukit. Hanya ada dua bangunan yang berukuran besar di sana, dan tanah lapang
luas di depan salah satu bangunan itu. Sebuah panggung berukuran besar tampak
berdiri di tengah-tengah lapangan ini. Umbul-umbul dan berbagai macam bentuk hiasan
terlihat, membuat suasana di puncak gunung yang sunyi itu jadi semarak bagai
hendak diadakan pesta.
Puluhan orang berseragam
merah-merah tampak sibuk menghiasi sekeliling padepokan itu, agar terlihat
lebih semarak. Di tengah-tengah panggung yang sedang dihias, tampak berdiri
seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia didampingi dua orang laki-laki
muda, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh hma tahun.
“Persiapan sudah benar-benar
matang, Ki. Hari ini semuanya selesai. Tinggal menunggu tamu-tamu undangan
datang,” lapor salah seorang pemuda yang mengenakan baju warna biru ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang tergantung
di pinggang pemuda itu. Ujung gagang pedangnya berbentuk kepala ular.
Wajahnya cukup tampan, tapi
sedikit rusak oleh luka codet yang membelah pipi kanannya. Dia berdiri di
samping kanan laki-laki separuh baya yang mengenakan baju warna putih bersih,
yang bagian belakangnya panjang hampir menyentuh papan panggung.
“Apa sudah ada tamu yang datang?”
tanya laki-laki setengah baya berbaju putih itu.
“Baru satu, Ki,” sahut pemuda
satunya lagi yang mengenakan baju wama kuning longgar.
Tubuh pemuda itu kurus,
seakan-akan tidak seimbang dengan gada besar berduri yang tersandang di
pundaknya. Kedua matanya tampak masuk ke dalam, dan memerah seperti kurang
tidur. Rambutnya juga kemerahan tak teratur, hampir menutupi wajahnya yang
kurus dengan tulang-tulang pipi bersembulan keluar.
“Kalian harus melayani semua
undangan dengan baik. Jangan membuat mereka kecewa,” pesan laki-laki separuh
baya itu lagi.
“Semua tempat untuk beristirahat
juga sudah disediakan, Ki. Tak ada yang membuat kecewa undangan nantinya. Entah
kalau di antara mereka nanti ada yang mencari gara-gara,” jelas pemuda yang
mengenakan baju biru ketat
“Bagus,” desah laki-laki separuh
baya itu.
Perlahan laki-laki setengah baya
itu memutar tubuhnya, dan melangkah ringan menuruni panggung. Wanita yang
mendampinginya mengikuti di samping kiri, diikuti dua orang pemuda dari
belakang. Mereka terus melangkah menuju ke rumah besar di dekat panggung ini,
dan baru berhenti setelah berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup
luas.
Mereka semua duduk melingkari
meja bundar dari batu pualam putih yang berkilat. Dua orang gadis cantik muncul
dari dalam sambil membawa baki berisi dua guci arak dan beberapa cawan dari
perak. Dengan sikap penuh rasa hormat, kedua gadis cantik berbaju merah itu
meletakkan baki di atas meja. Mereka mengatur rapi, dan mengisi cawan-cawan
dengan arak. Kemudian, kedua gadis itu kembali melangkah masuk ke dalam, dan
tak keluar-keluar lagi.
“Sudah kau siapkan orang-orang
yang akan melakukan pertunjukan nanti?” tanya laki-laki separuh baya yang
merupakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu lagi, sambil menatap wanita di
sampingnya.
“Sudah,” sahut wanita itu
singkat.
“Aku tidak ingin mengecewakan
tamu. Dan sebaik-nya, kau persiapkan lebih matang lagi. Tunjukkan pada mereka,
kalau Padepokan Gunung Lawu harus diperhitungkan kehadirannya di tengah-tengah
dunia persilatan.”
“Jangan khawatir, Kakang. Mereka
tidak akan mengecewakanmu. Aku berani memastikan itu,” tegas wanita yang
mengenakan baju warna biru muda.
Meskipun usianya sudah berkepala
empat, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya juga ramping, dan
padat berisi. Sebatang gagang pedang terlihat menyembul dari punggungnya. Di
Padepokan Gunung Lawu ini, namanya adalah Winarti. Dia memang adik kandung Aria
Kandaka, Ketua Padepokan Gunung Lawu.
“Kakang! Kelihatannya kau
gelisah. Adakah sesuatu yang mengganjal di harimu?” tegur Winarti sambil
menatap raut wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Aria Kandaka yang dikenal sebagai
Ketua Padepokan Gunung Lawu hanya menghembuskan napas saja. Wajahnya berpaling,
menatap dua pemuda yang duduk di depannya. Sebentar kemudian, dia kembali
berpaling memandang Winarti. Sedangkan yang ditatap malah terus memandangi
tanpa berkedip.
“Tidak ada yang meresahkan
hatiku, Winarti,” elak Aria Kandaka, agak mendesah suaranya.
“Dalam beberapa hari ini, kau
kelihatan seperti gelisah. Apakah ada kerabat yang terlupa diundang, Kakang?
Biar aku yang menyampaikannya. Masih ada waktu dua hari lagi,” tanya Winarti
lagi.
“Tidak. Semua sudah kuundang. Tak
ada yang terlewat satu pun juga,” sahut Aria Kandaka, pelan.
“Kalau begitu, apa yang membuatmu
gelisah?” Winarti masih mendesak.
“Aku hanya memikirkan akibat
semua ini,” sahut Aria Kandaka.
“Bukankah semua akibat yang akan
terjadi sudah diperhitungkan?”
“Memang benar. Dan aku tidak
ingin terjadi sesuatu yang bisa membuat cacat nama Padepokan Gunung Lawu ini.”
“Kalau itu yang dikhawatirkan,
aku rasa tidak ada masalah, Kakang. Aku sudah mempersiapkan segalanya agar
tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Percayalah. Semua pasti bisa
berjalan lancar,” Winarti meyakinkan kakaknya.
“Terima kasih. Pengorbananmu
sudah terlalu banyak untuk padepokan ini,” ucap Aria Kandaka.
“Tidak perlu kau ucapkan itu,
Kakang. Semua yang kulakukan demi Padepokan Gunung Lawu. Juga demi kita semua,”
Winarti merendah.
Aria Kandaka tersenyum saja.
Diambilnya cawan perak yang berisi arak. Sekali tenggak saja, arak manis itu
sudah berpindah ke dalam perutnya. Winarti dan kedua anak muda ikut menenggak
arak itu hingga habis. Seorang anak muda yang mengenakan baju biru, menuangkan
arak manis ke dalam cawan-cawan yang sudah kosong.
Beberapa kali Winarti melirik
Aria Kandaka yang tampaknya masih kelihatan murung, seperti ada sesuatu yang
mengganjal pikirannya. Winarti tidak tahu, kenapa dalam beberapa hari ini
kakaknya jadi murung. Padahal, acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan
Gunung Lawu tinggal dua hari lagi. Suatu acara yang sangat bersejarah bagi
padepokan ini, agar bisa diakui di kalangan rimba persilatan.
Memang tidak heran jika Aria
Kandaka yang menjadi ketua padepokan ini kelihatan gelisah dan tidak tenang.
Peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu merupakan satu tonggak
yang teramat penting. Peringatan itu merupakan neraca ukuran bagi kelangsungan
padepokan ini. Mati dan hidupnya Padepokan Gunung Lawu, sangat ditentukan oleh
hari peringatan itu nanti.
“Aku akan jalan-jalan sebentar,”
pamit Aria Kandaka seraya bangkit berdiri.
“Perlu ditemani, Kakang?” tanya
Winarti ikut berdiri.
“Tidak,” sahut Aria Kandaka.
Winarti hanya memandangi kakaknya
saja yang melangkah perlahan keluar dari ruangan berukuran cukup besar ini. Dia
semakin yakin ada sesuatu yang dipikirkan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Tapi, dia tidak bisa lagi mendesak untuk mengetahuinya. Aria Kandaka sendiri
enggan mengatakan, apa yang menjadi ganjalan hatinya saat ini.
***
Para tamu undangan mulai
berdatangan ke Padepokan Gunung Lawu yang berada di puncak Gunung Lawu ini.
Mereka ditempatkan pada kamar-kamar yang memang sudah disiapkan sebelumnya.
Suasana di puncak gunung itu pun semakin kelihatan ramai. Sampai senja hari,
tamu-tamu undangan terus saja berdatangan dari segala penjuru.
Ketegangan memang terlihat,
karena tidak sedikit di antara para undangan itu yang pernah memiliki
persoalan. Atau bahkan masih menyimpan perselisihan. Mereka bukan saja dari
kaum pendekar yang beraliran putih, tapi tidak sedikit pula tokoh-tokoh
persilatan dari golongan hitam. Namun, tak ada seorang pun yang membuat
persoalan terlebih dahulu. Mereka seakan sama-sama menjaga diri, menghormati
Ketua Padepokan Gunung Lawu yang mengundang ke sini untuk menghadiri peringatan
satu tahun berdirinya padepokan ini.
Sementara itu, Aria Kandaka
tampak semakin jauh meninggalkan padepokannya. Dia berjalan sendiri dengan
ayunan kaki ringan dan perlahan, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah
pancuran air. Udara senja ini begitu sejuk, bahkan bisa dikatakan dingin. Kabut
pun mulai merambat turun menyelimuti sekitar puncak Gunung Lawu ini. Menambah
udara sekitarnya semakin terasa dingin hingga ke tulang.
“Hm...,” tiba-tiba saja Aria
Kandaka menggumam.
Ayunan kakinya terhenti, begitu
hampir sampai di pancuran air. Sebentar keningnya dikerutkan, lalu kaki kirinya
bergerak cepat menyentak sebatang ranting kering yang berada tepat di ujung
jari kakinya. Ranting kering itu mencelat ke atas. Begitu cepatnya tangan kanan
Aria Kandaka bergerak mengibas, ranting kering itu melesat cepat ke samping
kanannya.
Srak! Pada saat ranting kering
itu menembus semak, saat itu juga sebuah bayangan hijau melesat keluar dari
balik semak. Beberapa kali bayangan hijau itu berputaran di udara, lalu manis
sekali mendarat sekitar dua tombak di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini.
“He he he.... Ternyata Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu adalah dirimu, Aria Kandaka. Pantas saja berani
mengundang tokoh-tokoh persilatan dari berbagai macam golongan,” terdengar
suara serak yang begitu kering, terucap dari sosok tubuh berjubah hijau di
depan Aria Kandaka.
“Kakek Naga Hijau...,” desis Aria
Kandaka langsung mengenali orang tua berjubah hijau di depannya.
Aria Kandaka membungkukkan tubuh
sedikit memberi hormat. Kedua telapak tangannya menyatu rapat di depan dada.
Namun kakek berjubah hijau ,yang berada sekitar dua tombak darinya hanya
terkekeh saja tanpa membalas penghormatan itu sedikit pun juga.
“Kenapa kau tidak segera saja
datang ke padepokan. Kami sudah menyiapkan segalanya untukmu,” ujar Aria
Kandaka dengan nada suara sopan.
“He he he.... Aku tidak sebodoh
yang kau kira, Aria Kandaka. Aku bukan mereka yang begitu mudah dikelabui,
dengan segala akal licikmu,” sambut Kakek Naga Hijau, agak sinis nada suaranya.
Aria Kandaka hanya tersenyum saja
mendengar kata-kata bernada sinis itu. Kakinya melangkah beberapa tindak
menghampiri, dan berhenti saat jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.
“Aku mengundang mereka atas nama
seluruh murid Padepokan Gunung Lawu. Dan undangan ini hanya untuk meminta
pengakuan atas berdirinya Padepokan Gunung Lawu,” jelas Aria Kandaka.
“Padepokan.... Hhh! Aku lebih
senang mendengarnya kalau dikatakan gerombolan. Bukannya padepokan, Aria
Kandaka!” dengus Kakek Naga Hijau sinis.
“Maaf. Apa maksudmu berkata
begitu, Kakek Naga Hijau?” tanya Aria Kandaka kurang senang juga selalu
disindir.
“Aku tahu, apa maksudmu yang
sebenarnya dari undangan ini, Aria Kandaka. Aku hanya ingin memperingatkan kau
saja. Sebaiknya hentikan sebelum terlambat, daripada kau menyesal di belakang
hari,” tegas Kakek Naga Hijau, tetap sinis nada suaranya.
“Maaf. Aku tidak ada selera untuk
berdebat denganmu, Kakek Naga Hijau. Sebaiknya segeralah ke padepokan,
bergabung dengan yang lainnya,” pinta Aria Kandaka lagi.
Setelah berkata demikian,
tubuhnya berputar ke kanan, dan mengayunkan kakinya meninggalkan kakek berjubah
hijau itu. Tapi baru beberapa langkah berjalan, terasa adanya desiran angin
dari arah belakang. Tanpa berpaling lagi, Aria Kandaka cepat melenting ke
udara. Saat itu, secercah cahaya kehijauan melesat cepat begaikan kilat di
bawah tubuh Aria Kandaka.
“Hup!”
Manis sekali Aria Kandaka kembali
mendarat Langsung tubuhnya diputar berbalik, menatap tajam pada orang tua
berjubah hijau yang masih berdiri tegap di tempatnya. Sedikit pun orang tua
berjubah hijau itu tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat mereka hanya berdiam
diri saja dengan sinar mata sama-sama tajam, saling bertemu pada satu titik.
“Belum saatnya kita saling
mengumbar kesaktian, Kakek Naga Hijau. Jika memang ingin berhadapan denganku,
sebaiknya kau tunggu saja saatnya nanti,” tegas Aria Kandaka.
“He he he.... Kau gentar kalau
hanya berdua saja, Aria Kandaka...,” ejek Kakek Naga Hijau memanasi.
“Hm.... Apa sebenarnya yang kau
kehendaki, Naga Hijau?” semakin dingin nada suara Aria Kandaka.
Dia benar-benar tidak suka
terhadap tingkah orang tua berjubah hijau ini. Dia tahu, Kakek Naga Hijau
memiliki kepandaian tinggi. Bahkan sukar sekali dicari tandingannya. Sedangkan
tempat ini tidak seberapa jauh dari Padepokan Gunung Lawu. Dan bukan tidak
mungkin kalau terjadi pertarungan di sini, semua orang yang ada di padepokan
bisa mengetahuinya.
Aria Kandaka tidak ingin terjadi
sesuatu. Dia tidak ingin ada pertarungan, sebelum peringatan satu tahun
berdirinya Padepokan Gunung Lawu diadakan. Apalagi dia sendiri sebagai ketua
padepokan itu yang bertarung sebelum waktunya. Ini bisa menimbulkan masalah
besar, yang akan mengakibatkan nama Padepokan Gunung Lawu jadi buruk.
“Silakan datang ke padepokanku.
Naga Hijau,” Aria Kandaka menawarkan.
Setelah berkata begitu, cepat
Aria Kandaka melesat pergi. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Sehingga sebelum Kakek Naga Hijau membuka suara, bayangan Aria
Kandaka sudah lenyap dari pandangan.
“Setan!” dengus Kakek Naga Hijau
merasa tidak puas.
***
Sementara itu, suasana di
Padepokan Gunung Lawu semakin kelihatan ramai. Puncak gunung yang biasanya
sunyi, kini begitu riuh oleh suara-suara orang yang berdatangan dari segala
penjuru. Dan dari pakaian serta senjata yang disandang, sudah dapat diketahui
kalau mereka dari kalangan persilatan. Kedatangan mereka ke puncak gunung ini
karena mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.
“Aku merasa ada sesuatu yang
ganjil di sini,” gumam salah seorang undangan yang mengenakan baju ketat warna
merah muda. Tangannya menggenggam sebatang tombak panjang bermata tiga.
“Keganjilan apa yang kau lihat,
Ki?” tanya seorang anak muda yang berdiri di dekatnya.
“Kau lihat panggung itu...,” kata
orang itu lagi seraya menunjuk panggung berukuran besar dan tampak kokoh,
berdiri di tengah-tengah halaman luas.
“Tidak ada yang aneh di panggung
itu, Ki Gambang,” sahut pemuda berbaju putih yang berdiri di sampingnya.
Laki-laki berusia lanjut yang
bernama Ki Gambang itu melirik pemuda di sampingnya. Sejenak keningnya jadi
berkerut melihat cambuk hitam berduri melilit pinggang pemuda ini. Pada bagian
dada kiri yang terbuka, terlihat sebuah gambar seekor ular naga menyemburkan
api. Laki-laki tua berbaju merah muda itu seakan-akan baru menyadari kalau
lawan bicaranya tadi adalah si Cambuk Naga.
“Rupanya kau juga mendapat
undangan, Cambuk Naga,” agak sinis nada suara Ki Gambang kali ini.
“Kedatanganku sengaja hanya untuk
bertemu denganmu, Ki Gambang,” sahut pemuda yang ternyata memang berjuluk
Cambuk Naga. Suaranya juga jadi terdengar sinis.
“Rupanya kau belum juga bisa
melupakan peristiwa dua tahun lalu.”
“Tidak akan kulupakan. Dan kau
harus bertanggung jawab, Ki Gambang. Mungkin di sini tempatnya nyawa adikku
dapat tertebus,” semakin dingin nada suara Cambuk Naga.
“Aku tidak yakin kau sudah siap
melawanku.”
“Kita lihat saja, siapa yang
lebih dulu terbang ke neraka.”
Ki Gambang tahu, kalau si Cambuk
Naga masih tetap hendak menuntut balas atas kematian adiknya yang berjuluk
Iblis Naga Hitam. Dua tahun yang lalu, ketika Iblis Naga Hitam merajalela di
sebuah desa tidak jauh dari kaki Gunung Lawu ini, Ki Gambang sempat bertarung
dengannya. Dan dalam pertarungan itu, Iblis Naga Hitam tewas di tangannya.
Sejak kejadian itu, Cambuk Naga bersumpah akan menuntut balas pada Ki Gambang
yang telah membunuh adiknya.
Sudah dua kali mereka bentrok,
tapi Ki Gambang berhasil mengalahkan pemuda ini. Namun, laki-laki tua itu
memang tidak membunuhnya. Dia masih memberi kesempatan pada si Cambuk Naga
untuk menyadari, kalau kematian adiknya karena perbuatannya sendiri yang
menyusahkan orang banyak. Tapi rupanya Cambuk Naga tidak peduli kalau kesalahan
berada di tangan adiknya, sehingga tetap hendak menuntut balas. Baginya, hutang
nyawa harus dibayar nyawa.
Sementara di lain tempat,
terlihat dua orang gadis cantik tengah duduk di bawah pohon. Mereka
memperhatikan orang-orang yang berada di sekitar halaman depan Padepokan Gunung
Lawu ini. Masing-masing menyandang sebilah pedang berukuran panjang, tersampir
di punggung. Sukar membedakan di antara mereka, karena wajah satu sama lain
begitu serupa. Hanya warna pakaiannya saja yang berbeda. Yang seorang
mengenakan baju wama merah, dan seorang lagi mengenakan baju wama biru. Kedua
gadis ini dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara.
“Sejak tadi aku tidak melihat
Aria Kandaka. Kau tahu, di mana dia, Randita?” agak bergumam suara gadis
berbaju biru.
“Tidak,” sahut gadis berbaju
merah yang dipanggil Randita. “Untuk apa kau mencari Aria Kandaka, Randini?”
“Untuk apa...? Apa kau sudah lupa
tujuan kita ke sini, Randita...?” agak mendelik mata Randini mendengar
pertanyaan gadis kembarannya.
“Aku tidak lupa. Tapi bukan
sekarang saatnya melaksanakan perintah Kanjeng Ibu, Randini. Kau juga harus
ingat pesan-pesan Kanjeng Ibu,” Randita mengingatkan,
“Kalau tidak lupa, untuk apa kita
duduk-duduk saja di sini...?”
“Masih terlalu terang, Randini.
Lagi pula, ada tanda-tanda seperti yang dikatakan Kanjeng Ibu.”
“Hm...,” Randini menggumam kecil.
Gadis itu menatap lurus pada
seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan jubah panjang warna putih
bersih. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berwarna putih, seperti
terbuat dari perak. Dia tengah duduk di kursi bambu, ditemani dua orang pemuda
yang juga mengenakan baju jubah wama putih bersih. Kedua pemuda itu juga
membawa tongkat putih keperakan.
“Aku tidak yakin kita akan
berhasil, Randita,” kata Randini dengan suara masih terdengar pelan.
“Kenapa kau jadi bimbang
begitu...?”
“Kau lihat sendiri. Bukan hanya
satu dua orang yang akan menjadi saingan kita. Tapi banyak....”
“Apa pun yang terjadi, kita harus
tetap melaksanakannya, Randini. Aku tidak ingin mengecewakan Kanjeng Ibu,”
tekad Randita.
Kedua gadis itu tidak berbicara
lagi, dan sama-sama bangkit berdiri seraya melangkah perlahan. Tanpa disadari,
beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Terutama, laki-laki tua berjubah
putih bersih yang membawa tongkat putih keperakan.
“Kalian harus berhati-hati di
sini. Terutama pada kedua gadis itu,” pelan sekali suara orang tua berjubah
putih ini.
“Dewi Kembar dari Utara,
Eyang...?” ujar salah seorang pemuda yang berada di depannya.
“Aku yakin, kedatangan mereka ke
sini ada maksud tertentu,” sahut orang tua yang dikenal bernama Eyang Japalu.
Dia adalah seorang tokoh tua yang sudah lama tidak pernah muncul lagi dalam
rimba persilatan.
Eyang Japalu datang ke padepokan
ini juga karena undangan yang diberikan Aria Kandaka padanya. Kalau bukan Aria
Kandaka sendiri yang datang mengundangnya, tidak mungkin sekarang dia berada di
puncak gunung ini. Mungkin hanya kedua muridnya itu saja yang diutus datang ke
padepokan ini.
“Kami akan terus mengawasinya,
Eyang,” ujar pemuda satunya lagi.
“Bukan hanya kedua gadis itu,
tapi juga si Elang Perak, Gagak Hitam, dan Cambuk Naga. Mereka yang harus
kalian awasi,” tegas Eyang Japalu.
“Tapi kami tidak melihat ada Ki
Gambang di sini, Eyang.”
“Dia pasti ada. Kemunculannya
memang jarang diketahui, dan selalu tiba-tiba. Itu sebabnya, kenapa kuminta
kalian tetap memasang mata dan telinga. Ki Gambang lebih berbahaya dari yang
lainnya. Kalian harus ingat itu.”
Kedua pemuda ini mengangguk
berbarengan. Sementara itu, satu persatu tamu-tamu undangan meninggalkan
halaman depan ini. Memang, hari sudah mulai senja. Dan matahari juga semakin
condong ke peraduannya. Tak berapa lama kemudian, halaman depan yang luas itu
sudah kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada di
sana. Bahkan Eyang Japalu dan kedua pemuda muridnya juga sudah beranjak
meninggalkan tempat itu.
***
TIGA
Saat matahari baru menampakkan
diri di puncak Gunung Lawu, semua tamu undangan sudah memadati halaman depan
Padepokan Gunung Lawu. Mereka menempati kursi-kursi yang telah disediakan,
mengelilingi panggung besar yang berdiri di tengah-tengah halaman. Sementara
beberapa kursi yang berada pada barisan depan di belakang panggung, masih
terlihat kosong. Kursi itu diperuntukkan bagi ketua Padepokan Gunung Lawu dan
keluarga serta para kerabat dekatnya.
Semua murid padepokan itu sudah
berjajar rapi di sekitar panggung. Mereka mengenakan pakaian warna merah,
dengan bentuk dan potongan sama. Ada sekitar lima puluh orang yang rata-rata
masih berusia muda, dan masing-masing menyandang pedang serta tombak.
Gong...!
Tiba-tiba terdengar gong dipukul.
Suara yang begitu keras dan menggema, membuat suara-suara menggumam dari
orang-orang yang berbicara seketika terhenti. Semua mata tertuju ke pintu depan
bangunan besar yang berada tidak jauh dari panggung ini.
Begitu pintu terbuka, muncul Aria
Kandaka didampingi adik perempuannya, Winarti. Di belakang mereka menyusul
beberapa orang laki-laki. Mereka berjalan menuju ke panggung, disaksikan
puluhan pasang mata dari para tamu undangan. Aria Kandaka langsung naik ke atas
panggung. Sedangkan yang lain duduk di kursi yang sudah disediakan. Suasana pun
menjadi hening, begitu Aria Kandaka sudah berdiri di tengah-tengah panggung.
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengedarkan pandangan ber-keliling. Kemudian,
tubuhnya membungkuk memberi penghormatan pada semua tamu undangannya.
“Atas nama seluruh penghuni
Padepokan Gunung Lawu, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran
saudara-saudara yang telah menyempatkan diri datang memenuhi undangan..,” terdengar
lantang dan berwibawa suara Aria Kandaka.
Tak ada seorang pun yang
mengeluarkan suara. Semua terdiam mendengarkan kata sambutan yang diberikan
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Semua mata tertuju pada Aria Kandaka yang kali
ini mengenakan baju putih bersih, yang bagian belakang-nya panjang. Sebilah
pedang tampak tergantung di pinggangnya. Tampak gagah dan berwibawa
kelihatannya.
“Maksud kami mengundang
saudara-saudara semua adalah untuk memohon pengakuan dan restu atas kehadiran
Padepokan Gunung Lawu, yang hari ini genap berusia satu tahun. Dan kami akan
memperlihatkan hasil tempaan selama satu tahun ini dari murid-murid Padepokan
Gunung Lawu. Kami berharap, saudara-saudara semua bisa menilai, apakah
Padepokan Gunung Lawu pantas berdiri atau tidak,” sambung Aria Kandaka.
Setelah mengucapkan beberapa kata
sambutan lagi, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu pun melangkah turun dari
panggung diiringi suara riuh tepuk tangan para hadirin yang memadati halaman.
Memang bukan hanya undangan saja yang hadir. Tidak sedikit para penduduk desa
di sekitar kaki Gunung Lawu yang datang ingin menyaksikan peringatan satu tahun
berdirinya padepokan ini. Juga, dari padepokan-padepokan lain yang ada di
sekitar Gunung Lawu yang mengirimkan utusan-utusannya untuk menyaksikan kemampuan
murid-murid Padepokan Gunung Lawu.
Setelah Aria Kandaka duduk di
kursi yang telah disediakan untuknya, dua orang berbaju merah melompat naik ke
atas panggung. Gerakan mereka begitu indah dan ringan sekali. Mereka membungkuk
untuk memberi hormat pada ketua padepokan itu, kemudian membungkuk pada para
hadirin. Lalu, mereka sama-sama memberi penghormatan. Tanpa berbicara sedikit
pun, mereka langsung memperagakan keahliannya masing-masing dalam ilmu olah
kanuragan.
Suara-suara riuh dari tepukan
tangan, dan celetukan-celetukan mulut usil mulai terdengar. Acara demi acara
pun berlangsung. Murid-murid Padepokan Gunung Lawu yang sudah dipersiapkan
tampil mempertunjukkan kemahirannya, bergantian berlompatan naik ke atas
panggung. Acara seperti ini memang membosankan. Terlihat dari para undangan yang
mulai tidak betah lagi duduk di kursinya. Tiba-tiba, salah seorang undangan
bangkit berdiri dari kursinya.
“Aria Kandaka...! Apa kau tidak
bisa menampilkan pertunjukan menarik...?” lantang sekali suara orang yang
mengenakan baju merah menyala itu.
Dia adalah seorang laki-laki
setengah baya. Tubuhnya tinggi tegap, dan menyandang golok berukuran besar yang
bagian atasnya bergerigi. Perhatian semua orang, langsung tertuju padanya.
Bahkan empat orang murid Padepokan Gunung Lawu yang sedang berlaga, jadi menghentikan
pertunjukannya. Mereka tahu, siapa orang yang mengeluarkan suara lantang
menggelegar itu. Di kalangan persilatan, julukannya adalah Golok Iblis Peminum
Darah.
“Hup!” Tiba-tiba saja si Golok
Iblis Peminum Darah melompat naik ke atas panggung. Gerakannya begitu ringan
dan indah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di tengah-tengah panggung.
“Dengar kalian semua! Aku akan
mempertunjukkan sesuatu yang menarik!” ujar si Golok Iblis Peminum Darah,
dengan suara keras dan lantang menggelegar.
Setelah berkata demikian,
tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat cepat. Langsung
dilontarkannya beberapa pukulan keras menggeledek ke arah empat orang murid
Padepokan Gunung Lawu yang berada di atas panggung. Begitu cepat gerakannya,
sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadari. Tahu-tahu, empat orang
murid itu sudah berpelantingan jatuh keluar panggung.
Suara-suara riuh dan gumaman
terdengar seketika, begitu empat orang murid Padepokan Gunung Lawu itu terkapar
di tanah. Beberapa orang murid lainnya bergegas menghampiri memberi
pertolongan. Mereka mengangkut keempat pemuda itu, menjauhi panggung. Melihat
acara yang semula berjalan lancar mulai dirusak, Winarti cepat bangkit berdiri.
Tapi, Aria Kandaka lebih cepat lagi mencekal tangan adiknya ini. Terpaksa
Winarti duduk kembali di kursinya sambil mendengus.
“Aria Kandaka...! Tampilkan orang
terbaikmu ke sini. Kalau ada di antara murid-muridmu yang bisa menandingiku
dalam lima jurus, keberadaan padepokanmu akan kuakui!” ujar si Golok Iblis
Peminum Darah lantang menggelegar.
“Biar aku yang membungkam
mulutnya, Ki Kandaka,” kata seorang anak muda yang duduk di sebelah kiri Aria
Kandaka.
Aria Kandaka memandang anak muda
itu sejenak, kemudian menatap ke arah panggung tempat si Golok Iblis Peminum
Darah berdiri tegak di sana. “Baik. Hati-hatilah kau, Raseta,” kata Aria
Kandaka mengizinkan.
“Terima kasih, Ki.”
Pemuda yang dipanggil Raseta itu
cepat melesat naik ke panggung. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga
tahu-tahu sudah berada di atas panggung, hanya beberapa langkah saja di depan
si Golok Iblis Peminum Darah. Pada saat itu, seorang laki-laki tua berjubah
kuning panjang dan berkepala gundul naik juga ke atas panggung.
“Sebentar...,” katanya lembut
Raseta segera menjura memberi
hormat pada orang tua berjubah kuning gading itu. Sedangkan si Golok Iblis
Peminum Darah hanya mendengus saja. Matanya melirik sedikit pada orang tua
berjubah kuning gading itu.
“Aku ingin, acara ini tidak
dikotori oleh darah dan nafsu pribadi. Memang sebaiknya Padepokan Gunung Lawu
ini bisa menunjukkan kemampuannya melawan para undangan yang ada. Tapi,
hendaknya memberi batasan, agar jangan sampai menimbulkan korban. Terlebih lagi,
sampai ada darah menetes,” ujar orang tua berjubah kuning gading itu berwibawa.
“Kami akan menuruti anjuran Paman
Pendeta,” ujar Raseta seraya menjura memberi hormat
“Bagus. Dalam hal ini, aku akan
menjadi penengah. Dan siapa saja yang jatuh keluar panggung, itu yang kalah.
Bagaimana...?”
“Setuju, Paman Pendeta,” sahut
Raseta cepat.
“Silakan kalian mulai.”
Laki-laki tua berkepala gundul
yang mengenakan baju jubah kuning panjang itu melangkah turun dari panggung.
Sementara si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja, seakan tidak
senang oleh peraturan yang diberikan pendeta tua itu.
“Maaf. Sebagai tuan rumah, aku
mempersilakan Paman menyerang lebih dulu,” kata Raseta sopan.
“Phuih!” Sambil menyemburkan
ludahnya dengan sengit, si Golok Iblis Peminum Darah menggeser kaki sedikit ke
kanan. Kemudian goloknya yang berukuran besar dan bergerigi di depan dada
disilangkan. Sementara Raseta hanya memperhatikan saja, dan masih berdiri tegak
tak bergeming sedikit pun juga.
“Hiyaaat..!” Bagaikan kilat, si
Golok Iblis Peminum Darah melompat menerjang pemuda itu. Goloknya yang
berukuran besar berkelebat cepat, membabat ke arah dada Raseta.
Namun manis sekali Raseta menarik
tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Dan
sebelum si Golok Iblis Peminum Darah bisa menarik kembali senjatanya, tiba-tiba
saja Raseta sudah memberi satu serangan balasan yang cepat. Dilepaskannya satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat
serangannya, membuat si Golok Iblis Peminum Darah jadi terkejut setengah mati.
“Hiyaaat..!”
Cepat-cepat si Golok Iblis
Peminum Darah melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Saat itu,
Raseta juga sudah melompat mengejar. Kembali diberikannya satu pukulan keras
bertenaga dalam tinggi ke arah dada si Golok Iblis Peminum Darah. Tapi Raseta
cepat-cepat menarik pukulannya, begitu si Golok Iblis Peminum Darah mengebutkan
senjata untuk menangkis pukulan yang diberikan Raseta.
Bahkan kini si Golok Iblis
Peminum Darah sudah cepat menyerang dahsyat Goloknya yang berukuran besar,
berkelebat mengincar tubuh anak muda itu. Akibatnya, Raseta harus berjumpalitan
menghindarinya. Semua orang yang menyaksikan perarungan itu jadi menahan napas.
Bahkan beberapa tamu undangan mulai kasak-kusuk, berbisik-bisik sambil tidak
lepas memperhatikan jalannya pertarungan yang semakin sengit
Tanpa terasa, lima jurus sudah
berlalu. Beberapa celetukan usil mulai terdengar mengejek si Golok Iblis
Peminum Darah yang tadi sesumbar akan menjatuhkan Raseta kurang dari lima
jurus. Dan sekarang, sudah lebih dari lima jurus. Tapi, Raseta malah tetap
tegar.
“Cukup...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras, disusul melesatnya bayangan kuning naik ke atas panggung. Pendeta tua
yang tadi memberi peraturan, tahu-tahu sudah berdiri di atas panggung. Maka
pertarungan itu pun seketika berhenti. Mereka sama-sama memandang pendeta tua
itu. Raseta segera melompat mundur, lalu menjura memberi hormat
“Kau sudah kalah, Golok Iblis.
Sebaiknya, segeralah turun dari panggung,” ujar pendeta tua itu dengan suara
lembut tanpa ada maksud menyinggung.
“Heh,..?! Apa katamu, Pendeta
Tua...?” bentak si Golok Iblis Peminum Darah tidak menerima.
“Kau tadi mengatakan, hanya
sampai lima jurus saja. Kau harus menepati janji dengan ucapanmu sendiri, Golok
Iblis. Kau harus mengakui keberadaan Padepokan Gunung Lawu ini,” pendeta tua
itu mengingatkan.
“Setan...!” dengus si Golok Iblis
Peminum Darah sengit
Golok Iblis Peminum Darah
mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia merasa seakan-akan semua mata
memandang padanya dengan begitu sinis dan melecehkan. Karena, dia tidak mampu
merobohkan seorang anak muda dalam lima jurus.
“Silakan kau kembali ke tempatmu,
Golok Iblis,” ujar pendeta tua itu masih dengan suara lembut dan sopan.
“Huh!” Golok Iblis Peminum Darah
jadi mendengus kesal.
Bukan hanya kesal. Bahkan juga
malu yang tak bisa dikatakan lagi. Memang ucapannya tadi terasa begitu angkuh
dan meremehkan. Dan itu didengar orang banyak. Mau tak mau, harus diakuinya
keberadaan Padepokan Gunung Lawu meskipun harus menanggung malu yang amat
sangat. Tanpa banyak bicara lagi, si Golok Iblis Peminum Darah langsung melesat
pergi. Dia tidak kembali lagi ke kursinya, tapi terus pergi meninggalkan puncak
Gunung Lawu.
***
Semua orang memang bisa punya
rencana, tapi tidak ada yang bakal menduga kalau rencana yang sudah
dipersiapkan matang bisa berubah tiba-tiba begitu saja. Seperti halnya acara
peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu itu. Acara yang sudah
tersusun rapi, jadi rusak oleh ulah si Golok Ibhs Peminum Darah. Meskipun, dia
dapat dikalahkan murid utama Padepokan Gunung Lawu.
Tapi kerusuhan itu tidak berhenti
sampai di situ saja. Beberapa orang tamu undangan jadi tertarik mengikuti jejak
si Golok Ibhs Peminum Darah. Secara bergantian, satu persatu mereka naik ke
atas panggung untuk menantang murid-murid padepokan itu. Dan ini terpaksa
dilayani Aria Kandaka yang tidak mau mengecewakan tamu-tamu undangannya.
Memang beraneka ragam tingkah
mereka. Ada yang secara jantan mengakui, tapi ada juga yang penasaran dan tidak
mengakui ketangguhan murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Dan semuanya diterima
Aria Kandaka dengan senyum tersungging di bibir. Namun demikian, hatinya begitu
bangga terhadap murid-muridnya yang bisa menunjukkan ketangguhan dalam
menghadapi tokoh persilatan yang sudah punya nama. Meskipun, sebagian besar
dari murid-muridnya dapat dikalahkan tidak lebih dari lima jurus. Bahkan tidak
sedikit yang sudah ambruk hanya dalam beberapa gebrakan saja.
Hingga senja datang, acara adu
laga itu baru berhenti. Dan Aria Kandaka terpaksa mengabulkan permintaan tamu
undangannya untuk melanjutkannya esok hari. Saat matahari sudah begitu condong
ke arah Barat, halaman yang semula ramai kini menjadi sunyi senyap. Hanya ada
beberapa orang dari murid padepokan itu yang masih berada di sana, membereskan
panggung yang hampir ambruk akibat dipakai berlaga sepanjang siang ini.
“Huh! Ada saja orang yang sirik,
merusak acara!” dengus Winarti sambil menghempaskan tubuhnya di kursi panjang.
“Hal seperti ini memang sudah
pasti terjadi, Winarti. Tidak mudah mendirikan sebuah padepokan. Itu baru
tantangan pertama. Aku yakin, masih ada tantangan berikutnya yang lebih berat
dan tidak bisa diduga,” jelas Aria Kandaka diiringi senyuman lembut
“Seharusnya Kakang membiarkan aku
menghajar si Golok Iblis Peminum Darah itu!” nada suara Winarti masih terdengar
kesal oleh tingkah si Golok Iblis Peminum Darah.
“Kalau kau turun tadi, akan lebih
buruk jadinya. Untung saja Pendeta Winaya cepat turun tangan. Sehingga, tidak
terjadi pertumpahan darah.”
“Cepat atau lambat, pasti
pertumpahan darah akan terjadi, Kakang.”
“Mudah-mudahan saja tidak sampai
terjadi.” Aria Kandaka melangkah keluar dari kamar ini. Dia terus berjalan
menuju ke belakang. Sementara Winarti masih tetap berada di dalam kamar itu.
Aria Kandaka terus mengayunkan kakinya sampai ke halaman belakang padepokan.
Beberapa orang muridnya yang ada
di halaman belakang ini, membungkukkan kepala sedikit untuk membalas
penghormatan itu. Sementara dari arah depan, terlihat Raseta melangkah cepat
menghampiri. Pemuda itu membungkuk memberi penghormatan, yang kemudian dibalas
Aria Kandaka dengan anggukan kepala sedikit
“Ada apa, Raseta?” tanya Aria
Kandaka.
“Ada sesuatu terjadi, Ki,” sahut
Raseta, agak terputus suaranya.
“Apa yang terjadi?” tanya Aria
Kandaka, masih terdengar tenang suaranya.
“Gudang penyimpanan senjata
pusaka dibongkar orang,” pelan sekali suara Raseta, seakan-akan takut didengar
orang lain.
“Apa...?!”
Aria Kandaka terkejut bukan main
mendengar laporan murid utamanya ini. Bergegas kakinya melangkah menuju ke
tempat penyimpanan senjata pusaka. Raseta mengikuti dari belakang tanpa
berbicara lagi. Tempat penyimpanan senjata pusaka milik Padepokan Gunung Lawu
ini memang bukan berbentuk bangunan, tapi sebuah gua yang cukup besar. Mulut
gua itu diberi pintu yang terbuat dari kayu jati tebal.
Aria Kandaka jadi terbeliak
melihat pintu gua penyimpanan senjata pusaka sudah hancur berkeping-keping.
Bergegas dia melangkah hendak masuk. Tapi, mendadak saja ayunan kakinya
terhenti begitu melihat dua sosok mayat tergeletak di dekat mulut gua bagian
dalam. Kedua mayat berbaju merah itu adalah muridnya yang ditugaskan menjaga
gua penyimpanan senjata pusaka ini.
“Aku menemukan mereka sudah
meninggal, Ki,” jelas Raseta.
“Kau sudah periksa ke dalam?”
tanya Aria Kandaka.
“Belum,” sahut Raseta. “Aku
langsung melaporkan hal ini”
“Sudah ada orang lain yang tahu?”
“Belum, Ki.”
Aria Kandaka bergegas masuk ke
dalam diikuti Raseta. Gua ini memang tidak memiliki lorong. Dan hanya merupakan
sebuah ruangan berdinding dan beratap batu. Seperti sebuah gua buatan, yang
sengaja dibangun untuk tempat perlindungan. Aria Kandaka memandangi setiap
sudut ruangan gua yang sudah begitu berantakan. Berbagai macam bentuk senjata
berserakan. Kepingan-kepingan lemari penyimpan senjata juga berhamburan di
lantai gua yang dingin dan lembab ini.
“Celaka...!” desis Aria Kandaka
begitu matanya tertumbuk pada sebuah lubang di sudut dinding gua ini.
Bergegas dihampirinya lubang yang
menganga cukup lebar itu. Kedua bola matanya semakin terbeliak, karena peti
kayu di dalam lubang itu sudah terbuka penutupnya. Dan memang hanya ada sehelai
kain merah saja di dalam peti itu. Saat itu juga, Aria Kandaka merasa tubuhnya
jadi lemas. Dia kemudian bersandar di dinding gua dengan pandangan mata lesu
dan kosong, seperti tidak memiliki gairah hidup lagi. Tapi, raut wajahnya
tampak memerah dan menegang kaku.
“Siapa yang melakukan ini...?”
desah Aria Kandaka bertanya pada diri sendiri.
“Ada yang hilang, Ki...?” tanya
Raseta.
“Kau panggil Winarti dan Pendeta
Winaya ke sini,” perintah Aria Kandaka tanpa menjawab pertanyaan murid
utamanya.
“Baik, Ki,” sahut Raseta. Tanpa
diperintah dua kali, Raseta bergegas melangkah meninggalkan gua itu.
“Jangan katakan apa-apa, Raseta,”
pesan Aria Kandaka sebelum Raseta keluar.
“Baik, Ki.”
***
Aria Kandaka hanya melirik
sedikit saja ketika Winarti dan Pendeta Winaya memasuki gua penyimpanan senjata
ini. Mereka terkejut melihat keadaan gua yang berantakan. Senjata berbagai
jenis dan bentuk berserakan di lantai. Tak ada satu lemari penyimpanan pun yang
masih utuh berdiri. Semuanya sudah hancur berkeping-keping. Mereka bergegas
menghampiri Aria Kandaka yang terduduk lemas bersandar di dinding batu gua yang
berlumut ini.
“Kakang...?!” agak mendesis suara
Winarti begitu melihat lubang di dinding yang bolong.
Mata wanita itu langsung
terbeliak begitu melihat kotak kayu di dalam lubang itu terbuka tutupnya.
Sementara, Aria Kandaka sudah berdiri. Dipandangnya Winarti dan Pendeta Winaya
yang tengah merayapi sekitar gua ini. Pendeta tua itu mengelus-elus janggutnya
yang panjang dan putih.
“Siapa yang melakukan ini, Aria
Kandaka?” tanya Pendeta Winaya seraya menatap dalam pada Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu.
“Aku tidak tahu, Paman. Aku
sendiri mendapat laporan dari Raseta,” sahut Aria Kandaka.
“Apa yang hilang?” tanya Pendeta
Winaya lagi.
“Bunga Wijayakusuma Merah,” sahut
Aria Kandaka tetap bersuara pelan.
“Hm...,” Pendeta Winaya menggumam
perlahan. Dia tahu, Bunga Wijayakusuma Merah hanya ada satu-satunya di dunia
ini, dan sangat berarti sekali bagi Aria Kandaka. Bunga itu memang
didapatkannya dengan susah payah. Apalagi, keberadaannya hanya satu kali dalam
seratus tahun. Bunga itu bukan hanya bisa digunakan untuk menyembuhkan segala
macam penyakit, tapi juga bisa untuk menyempurnakan ilmu tenaga dalam dan
ilmu-ilmu kesaktian. Bahkan bunga itu bisa membuat tenaga dan kesaktian
seseorang berlipat ganda.
Orang yang membawa bunga itu
dalam pertarungan, tubuhnya tak akan mempan oleh senjata apa pun juga.
Kekebalannya tak bisa ditembus, oleh senjata yang sakti sekalipun. Tidak heran
jika Aria Kandaka jadi lemas begini. Dengan hilangnya bunga itu, berarti hilang
pula kekuatan abadi yang dimiliki dan dibanggakannya.
“Di antara tamu-tamu undanganmu,
apa ada yang mengetahui tentang bunga itu?” tanya Pendeta Winaya lagi.
“Ya,” sahut Aria Kandaka.
“Siapa saja?”
“Ki Gambang, Cambuk Naga, Dewi
Kembar dari Utara, Elang Perak, Eyang Japalu dan.... Masih banyak lagi yang
tahu, Paman,” sahut Aria Kandaka.
“Apa mereka semua ada di deretan
bangku undangan?”
“Tidak kuperhatikan, Paman.”
“Hm...,” Pendeta Winaya kembali
menggumam perlahan.
Sementara Winarti hanya diam
saja. Dikumpulkannya senjata-senjata pusaka yang berserakan di lantai gua ini
dibantu Raseta. Tak ada orang lain lagi di dalam gua ini, selain mereka
berempat. Untuk beberapa saat, tak ada seorang pun yang berbicara. Sedangkan
Aria Kandaka masih kelihatan lesu, seperti tidak mempunyai gairah hidup lagi.
“Apa ada di antara mereka yang
mengambil kesempatan mencuri bunga itu, Paman?” tanya Aria Kandaka.
“Segala kemungkinan bisa saja
terjadi, Aria Kandaka. Tapi kita tidak bisa menuduh salah seorang dari mereka.
Hal ini harus diselidiki lebih dahulu.”
“Tapi, acara akan berakhir sampai
besok sore, Paman. Apa kita punya kesempatan untuk mengetahui, siapa pencuri
itu...?”
“Aku tidak tahu. Tapi, sebaiknya
hal ini jangan sampai tersebar dulu. Akan kupikirkan, bagaimana caranya
menjebak pencuri itu sebelum acara peringatan satu tahun padepokanmu berakhir.”
“Kalau mereka sudah bubar,
habislah aku...,” desah Aria Kandaka lesu.
“Jangan putus asa dulu, Aria
Kandaka. Masih ada waktu untuk mencari si pencuri itu,” Pendeta Winaya
membesarkan hati Ketua Padepokan Gunung Lawu ini
“Ya, masih ada waktu. Waktu yang
sedikit..,” desah Aria Kandaka.
***
EMPAT
Sampai jauh malam, Aria Mandaka
belum juga bisa mengetahui orang yang telah membongkar gua tempat penyimpanan
pusakanya. Semakin larut malam, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu semakin
gelisah. Sama sekali matanya tidak bisa dipicingkan barang sekejap pun. Hatinya
begitu gelisah, berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Sesekali, dia berdiri
di depan jendela sambil memandang jauh ke dalam kegelapan.
Entah untuk yang keberapa kali,
Aria Kandaka berdiri di depan jendela kamar ini. Pada saat itu, matanya
menangkap sebuah bayangan berkelebat menuju ke gua tempat penyimpanan senjata.
Dari jendela kamar ini ke gua tempat penyimpanan senjata bisa langsung terlihat
“Heh...?! Siapa itu...?”
Tanpa berpikir panjang lagi, Aria
Kandaka langsung melompat keluar dari jendela yang terbuka lebar. Gerakannya
ringan sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga. Begitu kakinya
menjejak tanah, langsung dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Sekilas bayangan hitam itu masih terlihat menyelinap ke bagian belakang
bangunan tempat beristirahat murid-murid Padepokan Gunung Lawu ini.
“Hup...!” Aria Kandaka cepat
melompat ke atas atap bangunan memanjang itu. Bagaikan seekor kucing, dia berlari
ringan di atas atap yang terbuat dari rumbia itu. Kemudian, kembali melesat
turun dengan gerakan ringan sekali. Tepat pada saat itu, bayangan hitam
terlihat berkelebat mendekati mulut gua penyimpanan senjata.
“Berhenti...!” bentak Aria
Kandaka lantang menggelegar.
Bentakan Aria Kandaka yang begitu
keras, membuat sosok tubuh hitam itu terkejut setengah mati. Larinya
dihentikan, dan cepat tubuhnya berbalik. Pada saat yang bersamaan, tangan
kanannya ber-kelebat cepat. Seketika itu juga terlihat dua buah sinar keperakan
melesat cepat ke arah Aria Kandaka.
“Hup! Yeaaah...!”
Aria Kandaka cepat-cepat
melentingkan tubuhnya, menghindari kilatan cahaya keperakan itu. Dua kali dia
berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat sekitar tiga langkah di
depan sosok tubuh hitam itu. Secepat kilat, dilepaskannya satu pukulan keras
menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
“Hiyaaa...!”
Hanya sedikit saja sosok tubuh
hitam itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Aria Kandaka luput dari
sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekail, orang berbaju serba hitam itu
membalas. Tangan kirinya menyodok ke arah lambung Ketua Padepokan Gunung Lawu
itu.
“Hait..!”
Aria Kandaka cepat-cepat menarik
tubuhnya ke kanan, kemudian menggeser kakinya ke kanan. Kembari dilepaskannya
satu tendangan keras ke arah kepala yang terselubung kain hitam. Tapi kali ini
juga serangan Aria Kandaka manis sekali berhasil dielakkan.
Orang berbaju serba hitam itu
cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali sebelum menjejakkan
kakinya sekitar dua batang tombak dari Aria Kandaka. Kembali tangannya mengibas
cepat ke depan, melepaskan senjata keperakan berbentuk bulatan sebesar mata
kucing.
“Hiyaaa...!”
“Hup!”
Aria Kandaka terpaksa
berjumpalitan menghindari benda-benda bulat kecil bersinar keperakan itu. Dan
begitu kembali menjejakkan kakinya di tanah, orang berbaju serba hitam itu
sudah tidak ada lagi. Aria Kandaka langsung mementang matanya tajam-tajam,
mencoba menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi orang berbaju serba
hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Dia pergi di saat Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu sedang sibuk menghindari senjata-senjata rahasianya.
Aria Kandaka membungkukkan
tubuhnya sedikit, memungut senjata bulat sebesar mata kucing yang berwarna perak
dari tanah. Diamatinya benda bulat keperakan itu beberapa saat. Keningnya jadi
berkerut, dan matanya agak menyipit.
“Hm..., siapa dia...? Mau apa ke
gua penyimpanan pusaka...?” Aria Kandaka bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Perlahan kakinya terayun menuju
ke mulut gua yang sudah tidak berpintu lagi. Sebentar dia berhenti di ambang
mulut gua itu. Tangannya kemudian meraih sebatang obor, lalu dinyalakan dengan
pemantik api. Cahaya api obor segera menerangi sekitarnya. Kembali kakinya
terayun memasuki gua batu itu. Keadaan di dalam gua ini tidak berubah, meskipun
sudah kelihatan agak rapi. Kepingan-kepingan kayu bekas lemari penyimpanan
pusaka masih terlihat berserakan di lantai.
Aria Kandaka kembali melangkah
keluar gua batu ini. Obor itu dimatikan dan ditaruhnya kembali pada tempatnya.
Saat itu terlihat seseorang berjalan cepat menghampiri. Aria Kandaka menunggu
sambil memperhatikan. Ternyata dia seorang laki-laki tua berjubah kuning gading
dengan kepala gundul dan janggut putih panjang hampir menutupi leher.
“Paman Pendeta...” Aria Kandaka
menjura memberi hormat begitu mengenali orang tua berjubah kuning yang datang
menghampiri.
“Aku lihat tadi kau bertarung di
sini. Siapa orang itu, Kandaka...?” tanya Pendeta Winaya ingin tahu.
“Entahlah. Wajahnya ditutupi kain
hitam,” sahut Aria Kandaka.
“Kau kenali jurus-jurusnya?”
tanya Pendeta Winaya lagi.
“Tidak,” sahut Aria Kandaka lagi.
“Tapi dia menggunakan senjata ini.”
Aria Kandaka menunjukkan benda
bulat kecil keperakan pada orang tua berjubah kuning itu. Pendeta Winaya
mengambil benda di telapak tangan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kemudian,
diamatinya dengan seksama. Aria Kandaka mengambil benda itu lagi setelah
disodorkan Pendeta Winaya. Disimpannya benda bulat keperakan itu di dalam saku
ikat pinggangnya.
“Kau kenali benda itu, Kandaka?”
tanya Pendeta Winaya lagi.
“Tidak,” sahut Aria Kandaka.
Dia memang tidak tahu benda kecil
bulat keperakan itu, dan baru kali ini melihatnya. Dari tadi, Aria Kandaka
memang sedang berusaha mengenali senjata rahasia itu. Tapi, sama sekali dia
tidak ingat. “Apa Paman mengenalnya...?” Aria Kandaka balik bertanya.
“Tidak ada orang lain yang
menggunakan senjata seperti itu...,” kata Pendeta Winaya, agak bergumam
suaranya, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
“Siapa orangnya, Paman?” desak
Aria Kandaka ingin tahu.
“Hanya Elang Perak yang
menggunakan senjata dari perak. Tapi....”
“Tapi kenapa, Paman?”
“Apa mungkin Elang Perak muncul
seperti itu, dan secara rahasia...?” nada suara Pendeta Winaya seperti bertanya
pada diri sendiri.
“Aku akan melihat ke kamarnya,
Paman,” kata Aria Kandaka.
“Untuk apa? Kalaupun dia
orangnya, pasti sekarang ini ada di dalam kamarnya. Cukup banyak waktu untuknya
kembali ke kamar dan mengganti pakaian. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di
sana, Kandaka,” sergah Pendeta Winaya lagi.
Aria Kandaka jadi termenung.
Memang, kata-kata yang diucapkan Pendeta Winaya tidak bisa dibantah lagi.
Perlahan Aria Kandaka mengayunkan kakinya meninggalkan depan gua penyimpanan
senjata itu. Sementara Pendeta Winaya hanya memperhatikan saja. Laki-laki
gundul itu masih tetap berdiri di depan mulut gua, dengan mata tidak berkedip
memandangi punggung Aria Kandaka yang semakin jauh.
***
Aria Kandaka memandangi benda
bulat kecil, sebesar mata kucing berwarna keperakan di atas meja. Otaknya terus
berputar memikirkan orang yang tadi dipergoki hendak masuk ke gua penyimpanan
senjata. Tidak mudah menemukan orang aneh terselubung teka-teki itu. Terlalu
banyak tamu yang diundangnya. Dan kebanyakan dari mereka, mahir menggunakan
senjata rahasia.
Bisa saja mereka menggunakan
senjata rahasia yang tidak bisa dikenali, dan bukan miliknya sendiri. Ini yang
membuat Aria Kandaka tidak bisa menentu-kan, siapa orang itu di antara para
tamu undangan-nya. Tapi ada satu keganjilan mengganjal di hatinya. Belum lagi
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sempat meneruskan dugaannya, tiba-tiba
terdengar ketukan halus di pintu.
“Masuk...!” seru Aria Kandaka
agak keras.
Pintu kamar ini terbuka perlahan.
Muncul seraut wajah wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang masih
kelihatan cantik. Wanita itu melangkah masuk dan menutup pintunya kembali. Aria
Kandaka berdiri saja membelakangi meja yang menempel pada dinding. Diberikannya
senyuman sedikit pada Winarti yang kini sudah duduk di kursi dekat jendela.
“Kau belum tidur, Winarti?” tegur
Aria Kandaka lebih dahulu.
“Aku tidak bisa tidur,” sahut
Winarti.
“Kenapa...?”
“Pikiranku tidak menentu,
Kakang,” sahut Winarti.
Wanita itu bangkit dari duduknya,
lalu meng-hampiri kakaknya. Matanya langsung tertumbuk pada benda bulat kecil
keperakan di atas meja. Tangannya terulur mengambil benda itu, lalu
mengamatinya beberapa saat. Lalu, benda itu diletakkannya kembali di atas meja.
Aria Kandaka hanya memperhatikan saja, tanpa mengucapkan sesuatu.
“Dari mana kau dapatkan ini,
Kakang?” tanya Winarti tanpa berpaling sedikit pun.
Aria Kandaka menceritakan
peristiwa yang baru saja dialaminya. Winarti kelihatan terkejut mendengar ada
orang yang berusaha masuk ke gua penyimpanan senjata. Dipandanginya wajah Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu dalam-dalam, seakan-akan hendak mencari kebenaran
dari cerita yang didengarnya barusan.
Cukup lama juga mereka terdiam,
meskipun Aria Kandaka telah menyelesaikan ceritanya. Mereka sama-sama
menghembuskan napas panjang, lalu melangkah mendekati jendela yang terbuka
lebar. Mereka berdiri berdampingan di depan jendela, menghadap keluar. Tak
seorang pun membuka suara lebih dahulu. Entah apa yang ada di dalam kepala
masing-masing saat ini. Hilangnya Bunga Wijaya-kusuma Merah dari gua tempat
penyimpanan senjata, telah membuat mereka diliputi kegelisahan.
“Kau tidak merasakan ada sesuatu
yang aneh dari peristiwa ini, Kakang...?” tanya Winarti dengan suara perlahan,
hampir tidak terdengar. Seakan-akan dia bicara untuk diri sendiri.
“Maksudmu...?” Aria Kandaka balik
bertanya.
Dia berpaling sedikit menatap
wajah Winarti yang berdiri di sampingnya. Winarti tidak langsung menjawab.
Tubuhnya diputar, dan berjalan mendekati meja kembali. Aria Kandaka memandangi
saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sedangkan Winarti kembali mengamati
benda bulat kecil keperakan di atas meja itu, kemudian duduk di kursi yang ada
di samping meja.
“Bunga Wijayakusuma Merah telah
hilang. Tapi, masih ada orang yang akan masuk ke sana. Apa kau tidak merasa ada
sesuatu kejanggalan, Kakang...?” masih terdengar pelan suara Winarti.
“Hm...,” Aria Kandaka hanya
menggumam saja perlahan. Sebelum Winarti masuk tadi, dia juga sebenarnya sudah
berpikir ke sana. Memang terlihat adanya satu kejanggalan dari peristiwa ini.
Sesuatu yang belum sempat diketahuinya tadi. Dan sekarang, Winarti sudah
menemukan adanya kejanggalan itu. Memang, mereka sudah tahu kalau Bunga
Wijayakusuma Merah telah hilang dari tempatnya siang tadi. Tapi, kenapa masih
ada orang yang ingin ke sana...? Untuk apa orang aneh itu ke gua penyimpanan
senjata? Pertanyaan inilah yang terus memenuhi kepala Aria Kandaka. Pertanyaan
yang sulit dijawab saat ini.
“Aku merasa, mereka datang ke
sini punya tujuan tertentu, selain memenuhi undanganmu, Kakang,” duga Winarti
lagi.
“Hanya beberapa saja dari mereka
yang mengetahui bunga itu, Winarti,” sergah Aria Kandaka, membantah jalan
pikiran adiknya ini.
“Memang tidak semua. Dan mereka
yang tahu, harus kita perhatikan, Kakang. Aku yakin, salah satu di antara
mereka sekarang memiliki Bunga Wijaya Kusuma Merah. Atau mungkin ada orang lain
yang telah mengetahui, tapi kita sendiri tidak tahu orangnya, Kakang,” kembali
Winarti menduga-duga.
“Sekarang ini memang kita hanya
bisa menduga-duga. Aku...,” tiba-tiba Aria Kandaka menghentikan ucapannya.
Dan... “Awas...!”
Saat itu terlihat secercah cahaya
merah melesat masuk dari luar jendela. Winarti cepat melompat ke samping, dan
menjatuhkan diri ke lantai. Wanita itu bergulingan beberapa kali sebelum cepat
melompat bangkit berdiri. Pada saat itu, cahaya merah yang menerobos masuk
telah menghantam tiang penyangga kamar ini. Suara ledakan keras, terdengar
dahsyat disusul hancurnya tiang itu.
“Hup!”
“Yeaaah...!”
Aria Kandaka dan Winarti cepat
melompat keluar melalui jendela, sebelum atap kamar ini runtuh. Suara
menggemuruh terdengar begitu atap kamar itu ambruk, karena tiang penyangganya
telah hancur terhantam sinar merah yang datang begitu tiba-tiba dari luar tadi.
Beberapa kali Aria Kandaka dan
Winarti berputaran di udara, lalu manis sekali sama-sama menjejakkan kaki di
tanah. Mereka saling berpandangan sejenak, laki memperhatikan kamar yang telah
runtuh atapnya. Di dalam selimut kabut dan kegelapan malam, terlihat debu
mengepul di dalam kamar itu. Balok-balok kayu dan kepingan papan hampir
memenuhi kamar itu. Untung saja hanya atap kamar itu saja yang runtuh, dan
tidak merembet ke bagian-bagian lain bangunan berukuran cukup besar Ini.
“Edan...! Siapa lagi yang ingin
main gila...?!” dengus Aria Kandaka jadi geram setengah mati.
“Awas, Kakang...!” seru Winarti
tiba-tiba.
“Hup!” Aria Kandaka cepat
membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali ketika secercah cahaya
merah tiba-tiba melesat cepat menuju ke arahnya. Pada saat yang bersamaan,
Winarti melihat adanya satu bayangan berkelebat cepat di atas atap. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Winarti langsung melesat mengejar bayangan yang
dilihatnya tadi.
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Aria Kandaka juga cepat melompat
ke atas atap begitu melihat Winarti melesat cepat ke atap bangunan utama
Padepokan Gunung Lawu ini. Begitu cepat dan ringannya gerakan mereka, sehingga
sekejap saja sudah berada di atas atap, dan langsung melunak turun ke bagian
belakang.
***
Winarti terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mengejar bayangan hitam yang berkelebat
masuk ke dalam hutan di bagian belakang Padepokan Gunung Lawu. Sekilas bayangan
hitam itu masih sempat terlihat, sebelum lenyap di balik pepohonan yang begitu
rapat dan menghitam pekat
“Huh! Ke mana dia...?” dengus
Winarti seraya menghentikan larinya. Wanita itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling, tapi bayangan hitam yang dikejarnya tidak juga kelihatan lagi. Pada
saat itu, Aria Kandaka sudah sampai. Dia berdiri dekat di samping adiknya.
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu juga mengedarkan pandangan dengan tajam.
Wusss! Slap!
Tiba-tiba saja sebuah benda hitam
sepanjang lengan melesat cepat ke arah mereka. Aria Kandaka cepat mengibaskan
tangannya untuk menangkap benda hitam pekat itu. Belum sempat benda yang berada
di dalam genggaman tangannya diperhatikan, mendadak saja dari atas pohon di
dekatnya meluncur dua sosok tubuh ramping.
“Hup...!” Aria Kandaka dan
Winarti cepat melompat ke belakang. Tahu-tahu saja di depan mereka kini sudah
berdiri dua orang gadis berpakaian ketat warna merah dan biru. Masing-masing
menyandang sebilah pedang. Wajah kedua gadis ini begitu serupa, hampir tak ada
bedanya sedikit pun.
“Dewi Kembar dari Utara...,”
desis Aria Kandaka langsung mengenali kedua gadis itu.
“Rupanya kalian biang onarnya,”
dengus Winarti langsung sengit
“Kami datang bukan untuk membuat
keonaran, tapi hendak menuntut balas atas perbuatanmu pada ibu kami!” dengus
Randita dingin.
“Ibu kalian...? Apa yang telah
kami lakukan...?” sentak Aria Kandaka tidak mengerti.
“Kau jangan berpura-pura tidak
tahu, Aria Kandaka! Karena ulahmu, maka ibu kami sampai sekarang tidak bisa
bangun dari pembaringannya!” sentak Randini ketus.
Kening Aria Kandaka jadi berkerut
mendengar tuduhan yang begitu ketus. Sungguh! Dia tidak merasa telah berbuat
sesuatu pada ibu kedua gadis ini, yang dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara.
Tapi, otaknya langsung bekerja cepat. Dan kini mulai bisa diduga, apa yang
dimaksud kedua gadis ini.
“Hm... Kalian menginginkan Bunga
Wijayakusuma Merah...?” agak bergumam nada suara Aria Kandaka.
“Kau sudah tahu apa yang kami
inginkan, Aria Kandaka. Lebih baik, serahkan bunga itu pada kami. Bunga itu
sangat bermanfaat bagi kesembuhan ibu kami,” tegas Randita masih bernada sinis.
“Bunga itu tidak ada lagi
padaku,” sergah Aria Kandaka berterus terang.
“Setan...! Kau pikir mudah
membodohi kami, heh...?!” dengus Randita menyentak.
“Aku tidak berdusta. Bunga itu
hilang dari tempat penyimpanannya siang tadi,” Aria Kandaka mencoba meyakinkan
kedua gadis itu.
“Sudah kuduga, kau pasti akan
mempertahankan bunga itu, Aria Kandaka,” kata Randini sinis.
“Percuma menjelaskannya, Kakang.
Sebaiknya tinggalkan saja anak-anak gendeng ini,” selak Winarti mulai muak.
“Jaga mulutmu, Winarti!” bentak
Randita tersinggung.
“Kalau kau tidak suka dikatakan
gendeng, sebaiknya cepat pergi dari sini. Aku tidak sudi lagi melihat muka-muka
kalian yang memuakkan!” balas Winarti berang.
“Keparat..! Jangan katakan kami
kejam kalau mengirim kalian ke neraka!” rungut Randita geram. Setelah berkata
demikian, Randita langsung melompat cepat menerjang Winarti. Satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan gadis kembar itu
ke arah dada Winarti. Tapi hanya sedikit saja Winarti mengegoskan tubuhnya,
pukulan Randita melesat dari sasaran. Bahkan cepat sekali Winarti menyodokkan
tangan kirinya ke arah perut gadis kembar itu.
“Uts!” Randita melompat mundur,
menghindari sodokan tangan kiri adik perempuan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Cepat pedangnya ditarik keluar, dan langsung dikebutkan ke arah dada Winarti
yang sedikit kosong. Tapi, rupanya Winarti memang sengaja membuka dadanya agar
diserang. Dan begitu ujung pedang hampir membabat dadanya, cepat sekali
tubuhnya ditarik ke belakang. Lalu pada saat yang sama, Winarti cepat
mengebutkan tangan kanannya ke depan.
“Hiyaaa...!” Dari telapak tangan
kanannya, melesat sebuah benda berwarna keperakan yang meluncur deras ke arah
Randita. Serangan balasan Winarti yang begitu cepat, membuat Randita jadi
terperangah tidak menyangka. Kelihatannya, tak ada lagi kesempatan baginya
untuk menghindar. Tapi mendadak saja....
Trang!
Secercah kilatan benda keperakan
berkelebat cepat di depan dada Randita, menyampok benda keperakan yang
dilepaskan Winarti. Benda keperakan itu terpental ke samping, dan menghantam
pohon. Ledakan keras seketika terdengar menggelegar, membuat pohon yang cukup
besar itu tumbang seketika. Randita cepat melompat mundur beberapa tindak.
Bibirnya tersenyum pada Randini yang telah menyelamatkan nyawanya pada saat
yang tepat.
Entah apa jadinya jika benda
keperakan itu tadi menghantam tubuhnya. Pohon yang begitu besar dan kokoh saja
bisa tumbang terhantam benda keperakan itu. Apalagi tubuhnya yang lunak...?
Randita menghembuskan napas panjang, karena masih bisa bernapas. Dan itu berkat
kecekatan saudara kembarnya yang bertindak tepat di saat gawat tadi.
“Kalian belum cukup mampu
menandingiku,” dengus Winarti sinis.
Kedua gadis yang berjuluk Dewi
Kembar dari Utara itu saling berpandangan. Dalam beberapa gebrakan saja, memang
sudah dapat dilihat kalau kepandaian mereka masih berada di bawah adik
perempuan Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Tapi mereka datang ke Gunung Lawu
ini bukan untuk menerima kegagalan begitu saja. Kedatangan mereka bukan hanya
karena mendapat undangan. Tapi yang lebih penting lagi untuk mendapatkan Bunga
Wijaya Kusuma Merah. Hanya bunga itu yang bisa menyembuhkan ibu mereka dari
kelumpuhan selama beberapa tahun ini.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Tanpa bicara apa pun juga, si
Dewi Kembar dari Utara melesat cepat menyerang Winarti yang memang sejak tadi
sudah siap menerima serangan. Begitu kedua gadis kembar itu melesat, Winarti
cepat menarik kaki sedikit ke kanan. Dan pada saat pedang Randita berkelebat ke
arah kepala, manis sekali Winarti menarik kepala ke belakang. Sehingga, tebasan
pedang Randita tidak sampai mengenai sasaran.
Tapi belum juga Winarti bisa
menarik pulang kepalanya, Randini sudah menyerang cepat bagaikan kilat Pedang
gadis kembar itu berkelebat cepat membabat ke arah pinggang. Tak ada waktu lagi
bagi Winarti untuk berkelit menghindar. Cepat-cepat kakinya ditarik ke samping,
menghindari tebasan pedang yang mengarah kepinggangnya.
“Gila...!” dengus Winarti dalam
hati. Sungguh tidak disangka kalau kebutan pedang Randini begitu dahsyat,
sehingga terasa adanya aliran hawa panas dari tebasan pedang itu. Bergegas
Winarti melompat mundur beberapa langkah. Sementara, Dewi Kembar dari Utara
sudah bersiap untuk melakukan serangan kembali. Mereka berada di sebelah kanan
dan kiri wanita separuh baya adik Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Perlahan kedua gadis kembar itu
menggeser kakinya memutari Winarti yang terus memperhatikan tanpa berkedip
sedikit pun. Dengan gerakan-gerakan yang sama dan beraturan, kedua gadis kembar
itu memainkan pedang di depan dada. Sesaat kemudian...
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Hampir bersamaan Dewi Kembar dari
Utara melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah kepala dan kaki Winarti.
Begitu cepatnya serangan mereka, sehingga membuat Winarti sempat terperangah
sedikit. Tapi cepat-cepat dia melakukan gerakan indah, mengangkat kaki kanannya
sambil membungkuk menghindari dua serangan yang datang sekaligus bagaikan kilat
itu.
Gagal dengan serangan pertama,
Dewi Kembar dari Utara kembali melakukan serangan-serangan secara cepat dan
bergantian. Pedang mereka berkelebat cepat bagaikan kilat, mengurung semua
ruang gerak Winarti. Akibatnya, wanita hampir separuh baya itu harus
berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang. Sedikit pun tidak ada
kesempatan baginya untuk melakukan serangan balasan. Satu serangan belum lagi
berakhir, datang lagi serangan berikut dari arah lain. Sehingga, Winarti
benar-benar tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk balas menyerang.
“Setan...!” dengus Winarti geram
setengah mati. Sementara tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan itu, Aria
Kandaka hanya diam menyaksikan tanpa berbuat sesuatu. Meskipun adiknya
kelihatan begitu kelabakan menghindari serangan kedua gadis kembar ini, tapi
Aria Kandaka masih bisa melihat kalau Winarti masih bisa meladeni
serangan-serangan kedua gadis kembar ini. Tak ada sedikit pun rasa khawatir di
hatinya. Dia percaya kalau Winarti mampu menundukkan si Dewi Kembar dari Utara.
***
LIMA
Pertarungan antara Winarti
melawan dua gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara terus berlangsung
semakin sengit. Jurus-jurus berlalu cepat. Dan tampaknya, Dewi Kembar dari
Utara sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan. Sementara Winarti masih
melayaninya dengan jurus-jurus ringan, tapi sangat berbahaya dan tidak bisa
dianggap enteng.
Meskipun Winarti belum mengeluarkan
jurus-jurus andalan, tapi beberapa kali sempat melakukan serangan balasan yang
membuat kedua gadis kembar itu terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Bahkan beberapa pukulan yang dilepaskan Winarti sudah mendarat di tubuh kedua
gadis kembar itu. Sementara itu, belum ada satu serangan pun yang berhasil
disarangkan Dewi Kembar dari Utara ke tubuh wanita hampir separuh baya ini.
Padahal, serangan-serangan yang mereka lakukan bagitu dahsyat dan berbahaya.
“Hiyaaat..!”
Tiba-tiba saja Winarti melentingkan
tubuh ke udara, dan cepat sekali melakukan putaran di udara. Lalu, kedua
kakinya menghentak ke samping cepat sekali. Begitu cepat gerakannya, sehingga
membuat kedua gadis kembar lawannya ini jadi terperangah. Parahnya, mereka
tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Dugkh! Begkh!
“Akh!”
“Aduh...!” Kedua gadis kembar itu
mengeluh saat telapak kaki Winarti tepat mendarat di dadanya. Tak pelak lagi,
mereka terpelanting ke belakang, lalu bergulingan beberapa kali. Sementara,
Winarti manis sekali menjejakkan kakinya di tanah kembali. Dia berdiri tegak,
memperhatikan kedua gadis kembar itu yang merintih sambil memegangi dada sambil
berusaha bangkit berdiri.
Tampak dari sudut bibir
masing-masing mengucurkan darah segar agak kental, dan berwarna sedikit
kehitaman. Tendangan yang dilancarkan Winarti tadi rupanya mengandung
pengerahan tenaga dalam, meskipun tidak dikeluarkan secara penuh. Tapi, itu
sudah membuat si Dewi Kembar dari Utara sudah tidak sanggup lagi meneruskan
pertarungan.
“Sudah kuperingatkan, kalian
bukanlah tandinganku...,” ujar Winarti, agak sinis nada suaranya.
Kedua gadis kembar itu hanya diam
saja. Sejak semula, mereka memang sudah menyadari kalau tidak bakal unggul
menghadapi Winarti. Apalagi, untuk menghadapi Aria Kandaka yang tingkat
kepandaiannya di atas Winarti. Tapi tekad yang ada di hati untuk membawa pulang
Bunga Wijayakusuma Merah, membuat mata kedua gadis kembar ini buta. Padahal, mereka
tahu tidak akan mampu menghadapi kepandaian Winarti maupun Aria Kandaka.
“Dengar...! Aku tidak akan
segan-segan mengirim ke neraka, jika kalian masih tetap membandel membuat
keonaran di sini!” ancam Winarti lagi.
Dan ancaman yang dilontarkan
Winarti memang tidak bisa dianggap main-main. Wanita ini memang lebih tegas
dari kakaknya, bila sudah mengambil keputusan. Bahkan terkadang tindakannya
bisa dikatakan kejam. Apalagi kalau dalam keadaan seperti ini. Aria Kandaka
yang berada tidak seberapa jauh, melangkah perlahan menghampiri. Sementara Dewi
Kembar dari Utara sudah bisa bangkit berdiri. Mereka berdiri berdampingan
dengan tubuh nyeri. Seluruh tulang-tulang di dalam tubuh mereka terasa remuk.
“Sebaiknya kalian tinggalkan
tempat ini, sebelum adikku berubah pikiran,” kata Aria Kandaka, lembut
suaranya.
Randita dan Randini saling
berpandangan sejenak. Mereka masih berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit
pun, meski Aria Kandaka sudah meminta pergi dengan suara lembut. Kedua gadis
kembar itu malah menatap Aria Kandaka dan Winarti tajam-tajam. Sinar mata
mereka memancarkan ketidakpuasan. Tapi, mereka harus menyadari kalau tidak akan
mungkin bisa bernapas lagi jika pertarungan ini diteruskan. Terlebih lagi,
Winarti sudah mengeluarkan kata-kata bernada ancaman yang tidak bisa dipandang
ringan.
“Aku tahu, bunga itu sangat
berarti bagi kesembuhan ibu kalian. Tapi, saat ini bunga itu tidak berada lagi
di tanganku. Percayalah. Jika bunga itu bisa kudapatkan lagi, aku akan
membawakannya untuk ibu kalian,” kata Aria Kandaka berjanji.
“Terima kasih. Tapi kami akan
mendapatkannya sendiri,” sahut Randita yang tidak ingin diberi belas kasihan.
Setelah berkata demikian, Randita
mengajak saudara kembarnya meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan cepat, dan
sebentar saja sudah lenyap ditelan lebatnya hutan yang begitu pekat tanpa
mendapat siraman cahaya bulan. Sementara Aria Kandaka dan Winarti masih tetap
berdiri di sana, memandangi kepergian Dewi Kembar dari Utara.
“Kau sungguh-sungguh dengan
ucapanmu tadi, Kakang?” tanya Winarti ingin memastikan kesungguhan janji
kakaknya tadi pada si Dewi Kembar dari Utara.
“Ya,” sahut Aria Kandaka agak
mendesah.
Perlahan kaki Aria Kandaka
terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Winarti masih berdiri beberapa saat
di tempatnya, kemudian bergegas mengayunkan kakinya menyusul Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu. Sebentar saja, dia sudah berjalan sejajar di samping kanan
Aria Kandaka.
“Kenapa kau cepat sekali berubah,
Kakang...?” Winarti masih penasaran atas sikap kakaknya.
Aria Kandaka tidak menjawab. Ada
sesuatu yang mengganjal hatinya. Mengapa tiba-tiba hatinya begitu terbuka,
sehingga berjanji akan menyerahkan Bunga Wijayakusuma Merah kepada Dewi Kembar
dari Utara? Seakan-akan, kedigdayaan tak ada artinya bila dibanding keluhuran
budi. Menolong orang kesusahan dengan bunga itu memang lebih berarti daripada
kedigdayaan yang didapat dari bunga itu. Inilah yang jadi pertimbangan Aria
Kandaka.
Kakinya terus terayun, melangkah
menuju ke padepokannya. Sedangkan Winarti masih menunggu jawaban dari
pertanyaannya tadi. Tapi setelah lama ditunggu tidak juga ada jawaban, akhirnya
dia diam saja. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi menuju Padepokan
Gunung Lawu yang tampak tenang dan damai. Tapi di balik kedamaian itu,
sebenarnya tersimpan bara yang sewaktu-waktu bisa berkobar.
***
Burung-burung berkicauan riang,
menyambut datangnya sang mentari yang menyembul dari balik Gunung Lawu. Kabut
tebal masih menyelimuti sekitar puncak gunung itu. Suasana di Padepokan Gunung
Lawu masih kelihatan tenang dan damai. Baru beberapa orang yang kelihatan
keluar dari kamarnya.
Sementara agak jauh dari
padepokan itu, terlihat dua orang gadis berwajah kembar tengah berjalan
tertatih-tatih menembus lebatnya hutan. Wajah mereka tampak diselimuti mendung.
Kedua gadis ini adalah si Dewi Kembar dari Utara. Sejak kekalahan semalam dari
Winarti, mereka memang tidak langsung meninggalkan puncak Gunung Lawu ini. Dan,
baru pagi ini mereka mulai berjalan hendak meninggalkan Gunung Lawu.
“Apa yang akan kita katakan pada
Kanjeng Ibu nanti, Randita?” tanya Randini, pelan suaranya.
“Aku tidak tahu. Tapi tampaknya
kita bisa memegang janji Aria Kandaka,” sahut Randita.
“Kau percaya pada janjinya,
Randita...?”
“Tampaknya dia bisa dipercaya.
Tapi, entahlah kalau adiknya,” sahut Randita lagi. Kali ini suaranya agak
mendesah.
“Kau juga percaya kalau Bunga
Wijayakusuma Merah tidak ada lagi padanya?” tanya Randini lagi.
“Tampaknya Aria Kandaka tidak
main-main, Randita. Kita sudah melihat kalau gua tempat penyimpanan pusaka
sudah diobrak-abrik orang. Aku yakin, ada orang lain yang menginginkan bunga
itu. Dan tampaknya dia lebih beruntung dari kita,” jelas Randita.
“Kalau memang benar, rasanya
tidak ada harapan bagi kita untuk mendapatkannya,” desah Randini jadi lesu.
“Justru itu harapannya, Randini.”
“Maksudmu...?” Randini jadi tidak
mengerti.
Belum juga Randita menjawab
pertanyaan saudara kembarnya, mendadak saja dikejutkan suara tawa keras
menggelegar yang memekakkan telinga. Begitu kerasnya, sehingga membuat gendang
telinga kedua gadis kembar ini terasa begitu sakit. Mereka menutupi telinga
dengan kedua telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan
menyakitkan.
“Kerahkan tenaga dalam, Randini,”
desis Randita memberi tahu.
“Baik,” sahut Randini.
Mereka segera berpegangan tangan,
dan sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk melawan suara tawa yang begitu
keras menggelegar dan menyakitkan telinga. Tubuh kedua gadis kembar ini mulai
menggeletar. Dan perlahan, darah terlihat merembes dari lubang hidung dan
telinga. Mereka sama-sama sudah mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam,
tapi tampaknya masih begitu sulit membendung arus tenaga dalam yang disalurkan
melalui suara tawa itu.
Tapi di saat kedua gadis ini
hampir saja tak kuat lagi menahan gelombang suara tawa yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, mendadak saja bertiup angin yang begitu kencang
bagai terjadi badai topan. Begitu kuatnya angin topan itu bertiup, membuat
sikap berdiri si Dewi Kembar dari Utara jadi bergeser. Mereka benar-benar
kewalahan mendapat gempuran yang begitu dahsyat. Dan pada saat benar-benar
tidak dapat tertahankan lagi, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan putih ke
arah kedua gadis kembar ini.
“Pegang tanganku...!”
Dewi Kembar dari Utara jadi
terlongong begitu tiba-tiba di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan
berbaju rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung tampak tersampir di
punggung. Belum juga kedua gadis kembar itu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja
pemuda berbaju rompi putih itu sudah mencekal pergelangan tangan mereka. Saat
itu juga, kedua gadis kembar itu merasakan adanya aliran hawa hangat merambat
dari per-gelangan tangan, dan terus menyelusup ke seluruh aliran darah.
Mereka tidak tahu, apa yang
dilakukan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi suara tawa yang begitu
keras dan menggelegar mulai tak terasa lagi menyengat telinga. Bahkan sama
sekali tidak merasakan adanya hembusan angin topan, meskipun pepohonan di
sekitarnya mulai bertumbangan, dan batu-batuan berpentalan. Bahkan banyak yang
pecah berkeping-keping terhempas hembusan angin yang entah dari mana datangnya.
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja pemuda berbaju
rompi putih itu melepaskan cekalan pada tangan kedua gadis kembar ini. Lalu,
cepat sekali tangan kanannya dihentakkan ke depan, sambil menaruh tangan kiri
di samping pinggang. Saat itu juga, sinar merah melesat bagaikan kilat dari
telapak tangan kanan yang terbuka lebar. Sinar merah itu langsung menghantam
sebongkah batu sebesar kerbau hingga hancur berantakan.
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar
terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu. Pada saat yang sama, terlihat
sebuah bayangan berkelebat keluar dari kepulan debu dan pecahan batu yang
berhamburan ke segala arah.
“Phuih...!” Suara semburan
terdengar bersamaan dengan mendaratnya seorang laki-laki berusia sekitar empat
puluh tahun. Wajahnya kelihatan tampan, meskipun rambutnya sudah mulai berwarna
dua. Bajunya berwarna perak dan ketat. Sebilah pedang berukuran pendek, tampak
terselip di pinggangnya yang ramping dan tegap. Dia berdiri sekitar tiga batang
tombak di depan Dewi Kembar dari Utara, dan pemuda berbaju rompi putih. Suara
tawa menggelegar dan angin topan, saat itu menghilang tiba-tiba.
“Bedebah! Untuk apa kau menolong
gadis-gadis liar itu, heh...?!” sentak laki-laki berbaju perak itu sengit
Sorot matanya begitu tajam,
menembus langsung ke bola mata pemuda berbaju rompi putih di depannya.
Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju putih tanpa lengan itu hanya
tersenyum saja. Hanya sedikit matanya melirik ke arah dua gadis kembar yang
berada di samping kanan dan kirinya.
“Elang Perak...,” desis Randita
cepat mengenali laki-laki berbaju serba perak yang baru muncul itu.
“Sayang sekali. Aku paling tidak
suka melihat ada serangan gelap dan pengecut,” terdengar tenang sekali suara
pemuda berbaju rompi putih itu.
“Siapa kau sebenarnya, Bocah? Apa
hubungannya dengan gadis liar itu?” tanya Elang Perak, agak menyentak suaranya.
“Apakah salah jika membantu orang
yang mengalami kesulitan?” pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya.
“Jawab saja pertanyaanku, Bocah
Setan!” bentak si Elang Perak jadi berang.
“Hm.... Kalau kau ingin tahu,
baiklah.... Aku Rangga, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan mereka. Aku
hanya menghentikan serangan gelapmu saja. Tidak pantas menyerang dengan cara
seperti itu,” masih terdengar tenang suara pemuda berbaju rompi putih ini.
Dan memang, pemuda itu adalah
Rangga, yang di kalangan persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga muncul pada saat yang benar-benar tepat bagi si Dewi Kembar dari
Utara. Tapi tindakannya membuat si Elang Perak jadi berang, karena serangannya
dapat dipatahkan begitu mudah. Bahkan hampir saja mati kalau tidak segera
keluar dari balik batu yang dihancurkan Rangga tadi.
“Kau mampu menandingi aji 'Suara
Dewa'. Apa julukanmu, Bocah?” tanya Elang Perak. Kali ini suaranya terdengar
agak lunak.
“Apakah itu perlu...?” Rangga
kembali balik bertanya.
“Jawab saja pertanyaanku, Bocah!”
kembali si Elang Perak membentak kasar.
“Baik kalau itu bisa memuaskanmu.
Aku digelari Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Rangga, tanpa ada maksud
menyombongkan diri.
“Pendekar Rajawali Sakti...?!”
***
Bukan hanya Elang Perak saja yang
terkejut begitu mengetahui kalau pemuda berbaju rompi putih ini adalah Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan si gadis kembar yang berjuluk Dewi Kembar dari Utara
juga terlongong mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda
tampan berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang selalu
menggemparkan setiap kali muncul di rimba persilatan. Mereka sering mendengar
nama Pendekar Rajawali Sakti, tapi baru kali ini bisa bertemu orangnya
langsung.
Dan tentu saja mereka terkejut,
karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti yang begitu ternama dan
terkenal kedigdayaannya masih begitu muda dan tampan. Terlebih lagi, si Elang
Perak. Dia tadi tidak memperhatikan sama sekali kalau Ranggalah yang
menimbulkan angin topan dari aji 'Bayu Bajra', sebelum melepaskan satu pukulan
dahsyat yang dikeluarkan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat
terakhir. Satu jurus pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat luar biasa.
“Aku sering mendengar nama
besarmu, Pendekar Rajawali Sakti. Pantas saja kau mampu membuyarkan aji 'Suara
Dewa',” puji Elang Perak tulus. “Tapi kuharap, kau tidak mencampuri urusanku
dengan kedua gadis liar itu.”
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
saja perlahan. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik dua gadis kembar yang
berada di sebelah kanan dan kirinya.
Sedangkan kedua gadis kembar ini
hanya menatap tajam saja pada si Elang Perak. Disadari, Elang Perak bukanlah
tandingan mereka. Tingkat kepandaian yang dimiliki mereka masih jauh dari
laki-laki berbaju serba perak itu.
“Elang Perak! Ada apa kau
mencegat jalan kami? Bukankah kau seharusnya ada di Padepokan Gunung Lawu...?”
tanya Randita menyelak.
“He he he.... Kau pikir aku
bodoh?! Kau sendiri, mengapa meninggalkan Padepokan Gunung Lawu sebelum
waktunya...?” sinis sekali nada suara Elang Perak.
“Apa maksudmu?” sentak Randita.
“Sebaiknya tidak perlu
berpura-pura, Bocah. Serahkan saja Bunga Wijayakusuma Merah kepadaku. Aku
jamin, kau akan selamat,” kali ini nada suara Elang Perak terdengar mengancam.
“Edan...!” rungut Randita kesal.
Gadis itu sendiri tidak tahu, di mana Bunga Wijayakusuma Merah berada sekarang.
Tapi sekarang malah dituduh telah menguasai bunga itu. Tentu saja Randita jadi
geram, karena tidak merasa telah memiliki Bunga Wijayakusuma Merah yang menjadi
pangkal dari segala persoalan ini. Randita sendiri sebenarnya sudah merasa,
kalau tidak akan mudah mendapatkan bunga itu. Dia dan saudara kembarnya datang
ke Gunung Lawu juga hanya mengandalkan nasib baik saja. Tapi sebelum segala
rencana mereka terlaksana, sudah terbentur sandungan yang begitu berat
Dan sekarang, di depannya berdiri
seorang laki-laki berjuluk Elang Perak. Bukan karena kemunculannya yang tadi
begitu tiba-tiba dan langsung menyerang menggunakan aji kesaktian, tapi
tuduhannya yang membuat Randita jadi berang setengah mati. Tapi sungguh
disadari kalau kemampuannya berada jauh di bawah laki-laki ini. Jadi, Randita
hanya bisa menggerutu dalam hati. Dia harus berpikir seribu kali untuk
melabraknya.
“Aku tidak punya banyak waktu,
Bocah Setan! Serahkan bunga itu padaku, atau terpaksa kulakukan kekerasan!”
ancam Elang Perak mendesis dingin.
“Bunga itu tidak ada pada kami!”
sentak Randita sengit.
“Jangan membuat kesabaranku
habis, Bocah!” desis Elang Perak menggeram.
“Terserah apa keinginanmu. Aku
mengatakan yang sebenarnya. Bunga itu tidak ada pada kami...!” sentak Randini
yang sejak tadi diam saja.
“Keparat..! Jangan harap bisa
mempermainkan aku, Bocah Setan...!” Kemarahan Elang Perak sudah tidak bisa
ditakar lagi. Dia merasa dirinya dipermainkan kedua gadis kembar ini Sambil
mendesis menahan geram, tiba-tiba saja tangannya bergerak cepat mengibas ke
depan. Saat itu, dari telapak tangannya meluncur secercah sinar keperakan yang
meluruk deras ke arah Randita.
“Tahan...!” seru Rangga.
Tapi terlambat Elang Perak sudah
melancarkan serangan cepat sekali. Tak ada kesempatan menghindar bagi Randita.
Apalagi, saat itu dia sama sekali tidak siap menerima serangan. Tapi begitu
ujung sinar keperakan itu hampir menghantam dadanya, mendadak saja Rangga
mengibaskan tangan kirinya dengan kecepatan kilat. Langsung ditangkisnya
serangan cahaya perak itu.
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar
terjadi ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan kiri Rangga
menghantam ujung cahaya keperakan di depan dada Randita. Begitu keras ledakan
itu, sehingga membuat Randita sampai terpental ke belakang. Beberapa kali gadis
itu berputaran di udara, kemudian mendarat dengan tubuh limbung. Buru-buru
tubuhnya disandarkan ke pohon, sebelum jatuh terguling.
Hempasan dari dua kekuatan tenaga
yang begitu dahsyat, membuat dada Randita jadi terasa sesak. Padahal pukulan
jarak jauh yang dilepaskan Elang Perak tadi, tidak sampai mengenai tubuhnya.
Tapi, dari dorongan ledakan tadi sudah membuat dadanya begitu sesak. Bahkan
keseimbangan tubuhnya pun jadi terganggu.
“Setan...!” geram Randita
menggeretak.
“Keparat..! Dua kali kau
menghalangiku, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Elang Perak menggeram marah.
“Aku akan diam jika kau tidak
bertangan besi,” tegas Rangga.
“Itu bukan urusanmu!” bentak
Elang Perak semakin gusar.
“Maaf. Selama aku melihat tindak
kekerasan secara brutal, maka itu selalu menjadi urusanku. Suka atau tidak, aku
tetap akan melindungi kedua gadis ini dari kebrutalanmu,” lagi-lagi Rangga
berkata tegas.
“Setan...!” rungut Elang Perak
tidak dapat lagi menahan kegeramannya.
Tiba-tiba saja Elang Perak
melentingkan tubuh ke udara, dan cepat sekali melepaskan dua pukulan jarak jauh
secara beruntun. Sinar-sinar keperakan berkelebatan cepat ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi hanya dengan menggeser kaki sedikit ke kanan dan ke kiri, Rangga
berhasil mengelakkan serangan-serangan itu.
Pada saat yang hampir bersamaan,
Elang Perak meluruk deras sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Rangga sempat terkejut. Ternyata jurus yang
digunakan Elang Perak, hampir mirip jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Hanya saja Elang Perak memusatkan seluruh serangan pada kekuatan tangan,
sedangkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikuasai Rangga
terpusat pada kedua kaki.
Menghadapi jurus yang hampir
mirip, Rangga cepat-cepat melompat mundur. Dan begitu kaki Elang Perak mendarat
di tanah, cepat dilepaskannya satu sodokan tangan kiri yang mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya serangan balasan yang
dilakukan, sehingga membuat Elang Perak jadi terperangah. Tak ada lagi
kesempatan baginya untuk berkelit menghindar, karena jarak mereka memang
terlalu dekat. Cepat-cepat Elang Perak mengibaskan tangan kanan, menangkis
sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengarah ke perut
Plak!
“Ikh...!” Elang Perak terpekik
agak tertahan. Cepat dia melompat mundur sambil memegangi pergelangan tangan
kanannya. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau tenaga dalam yang dimiliki
pemuda berbaju rompi putih itu luar biasa sekali. Tulang pergelangan tangannya
seperti remuk ketika berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
Elang Perak cepat-cepat mengebutkan tangan kanan beberapa kali. Disalurkannya
hawa murni ke tangan untuk menghilangkan getaran yang merambat di seluruh
tangan kanannya.
“Edan...!” dengus Elang Perak
dalam hati.
***
ENAM
Sudah seringkali Elang Perak
mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, dan kedigdayaannya dalam
mengatasi lawan-lawan. Dan sekarang dia benar-benar berhadapan dengan pendekar
muda digdaya berkepandaian tinggi itu. Rasa penasaran membuatnya tidak peduli.
Padahal dari benturan tangan tadi, sudah bisa diketahui kalau tingkat tenaga
dalam yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau akan menyesal mencampuri
urusanku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!”
Elang Perak kembali melompat
menerjang cepat. Beberapa pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi, cepat dilepaskan. Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah, diimbangi gerakan kaki yang ringan dan
lincah sekali. Sehingga, membuat setiap serangan yang dilancarkan Elang Perak
tidak membawa hasil sama sekali.
Beberapa kali Elang Perak merubah
jurus, tapi tak satu pun serangannya yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat dan ringan.
Bahkan terkadang seperti tidak sedang bertarung. Tapi, tidak mudah bagi Elang
Perak untuk memasukkan serangannya. Setiap kali pukulannya hampir mengena,
manis sekali Rangga selalu berhasil menghindar tanpa diduga sama sekali. Bahkan
beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melancarkan serangan balasan yang membuat
Elang Perak jadi kelabakan menghindarinya. Padahal, serangan-serangan yang
dilakukan Rangga hanya bersifat menguji dan menjajaki tingkat kepandaian lawan
saja.
“Setan...!” geram Elang Perak
semakin sengit dan penasaran.
Tiba-tiba saja Elang Perak
melentingkan tubuh ke belakang, lalu melakukan putaran beberapa kali. Tepat
ketika kakinya menjejak tanah, kedua tangannya bergerak cepat mengibas.
Langsung dilontarkannya puluhan benda-benda kecil berwarna keperakan ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
“Yeaaah...!”
Rangga terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan-serangan gencar yang dilancarkan Elang Perak. Suara
ledakan-ledakan keras menggelegar terdengar di sekitar tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Setiap benda keperakan yang dilepaskan Elang Perak, selalu menimbulkan
ledakan di saat menghantam tanah atau pohon dan bebatuan yang berada di sekitar
pertarungan.
Debu dan kepingan bebatuan serta
serpihan dari pepohonan yang hancur terhantam benda keperakan itu, membuat
pandangan jadi terhalang. Sehingga, tubuh Rangga benar-benar tak terlihat lagi.
Yang terlihat hanyalah bayangan putih saja yang berkelebat cepat menghindari
setiap serangan yang datang.
“Hup! Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja Rangga
merentangkan kedua tangan ke samping, lalu cepat sekali dihentakkan ke depan
dengan kedua telapak tangan terbuka lebar-lebar. Pada saat itu, dua cahaya
merah melesat cepat ke arah Elang Perak.
“Heh...?!” Elang Perak terkejut
setengah mati. “Hup! Yeaaah...!”
Bergegas tubuhnya melenting ke
udara, dan melakukan putaran beberapa kali untuk menghindari sinar-sinar merah
yang dilepaskan Rangga dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap
terakhir. Dan begitu kaki Elang Perak menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali
Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk cepat bagaikan kilat. Langsung
dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat serangannya sehingga Elang Perak
tidak sempat lagi berkelit.
Desss!
“Akh...!” Elang Perak memekik
keras agak tertahan.
Pukulan Rangga yang begitu keras
tepat menghantam dadanya. Akibatnya Elang Perak terpental cukup jauh ke
belakang, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
“Hoek...!”
Elang Perak memuntahkan darah
kental agak kehitaman dari mulutnya yang penuh berlumur darah. Begitu kerasnya
pukulan yang dilepaskan Rangga, membuat Elang Perak terpaksa harus menderita
luka dalam yang cukup parah di dada.
Sementara Rangga berdiri tegak
memandangi Elang Perak yang mencoba bangkit berdiri. Dengan punggung tangan,
disekanya darah yang mengucur dari mulut Meskipun bisa bangkit berdiri, tapi
sepasang kakinya seakan-akan tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya.
Limbung. Elang Perak terpaksa menyangga tubuh dengan berpegangan pada pohon di
sampingnya. Dipandanginya Rangga dengan sinar mata redup.
“Kau benar-benar tangguh,
Pendekar Rajawali Sakti,” puji Elang Perak, tulus.
“Sebaiknya bersemadilah, Kisanak.
Aku yakin, kau menderita luka dalam cukup parah,” jelas Rangga.
“Aku tidak menyesal kau
tundukkan, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bangga bisa dikalahkan pendekar digdaya
dan ternama sepertimu,” kata Elang Perak lagi diiringi senyum kebanggaan
menghias bibirnya. “Hanya satu pesanku, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah
pada kedua gadis liar itu. Jangan sampai kau diperalat mereka....”
Setelah berkata demikian, Elang
Perak membalikkan tubuhnya. Dia kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan
tempat ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri memandangi kepergian Elang
Perak, sampai tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
Perlahan Rangga baru memutar
tubuhnya, dan langsung memandang kedua gadis kembar yang berdiri berdampingan.
Rangga mengayunkan kakinya perlahan mendekati kedua gadis kembar yang dikenal
berjuluk Dewi Kembar dari Utara. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal
sekitar lima langkah lagi di depan mereka.
“Kaliankah yang berjuluk Dewi
Kembar dari Utara?” tanya Rangga seakan-akan ingin memastikan.
“Benar,” sahut Randita seraya
berkerut keningnya.
“Bagaimana kau bisa tahu tentang
diri kami?” Randini balik bertanya.
Rangga hanya tersenyum saja
mendengar pertanyaan salah satu dari gadis kembar itu. Memang diakui dalam
hati, tidak mudah membedakan kedua gadis ini jika mengenakan pakaian yang
potongan dan warnanya sama. Wajah mereka begitu serupa, hampir tak ada bedanya.
Hanya warna baju yang dikenakan saja yang membedakan.
Kedua gadis itu masih keheranan,
karena Rangga bisa mengetahui tentang diri mereka. Padahal mereka tidak pernah
saling berjumpa sebelum ini. Dan memang diakui, kalau nama Pendekar Rajawali
Sakti sering didengar. Tapi baru kali ini mereka bisa berjumpa.
“Rasanya tidak ada lagi di jagat
raya ini ada dua gadis kembar berkepandaian tinggi yang begitu serupa, dan
hampir tak ada bedanya,” kata Rangga diiringi senyuman menghias dibibir. “Kalau
penilaianku tidak salah, benarkah dugaanku itu...?”
“Benar, kami memang dijuluki Dewi
Kembar dari Utara,” sahut Randita membenarkan dugaan Rangga.
“Ah.... Beruntung sekali bisa
bertemu dengan kalian di sini,” desah Rangga.
“Kau sengaja datang ke sini
mencari kami...?” tanya Randita mulai diliputi kecurigaan.
“Ya,” sahut Rangga singkat
“Untuk apa mencari kami?” sambung
Randini bertanya.
“Rasanya tempat ini kurang cocok
untuk berbicara. Sebaiknya, kita cari tempat yang lebih nyaman,” kata Rangga
tanpa menjawab pertanyaan kedua gadis itu.
Rangga langsung saja mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat yang sudah hancur porak-poranda ini. Sementara, si
Dewi Kembar dari Utara saling berpandangan. Sebentar kemudian, mereka menatap
punggung Rangga yang terus saja melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Kedua gadis
kembar itu kemudian mengayunkan kaki mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, setelah
saling melemparkan pandangan sebentar.
“Aku memang sengaja datang ke
Gunung Lawu ini untuk mencari kalian berdua...,” jelas Rangga, memulai.
Pendekar Rajawali Sakti duduk
bersandar di bawah pohon. Sedangkan Randita dan Randini duduk berdampingan
sekitar setengah tombak di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Mereka terdiam
saja, memandangi wajah tampan di depannya.
“Kenapa kau mencari kami?” tanya
Randita.
“Ada pesan yang harus
kusampaikan,” sahut Rangga.
“Pesan...? Dari siapa?”
“Nyai Karti,” sahut Rangga.
Dewi Kembar dari Utara terkejut
mendengar jawaban Rangga barusan. Mereka sampai terlonjak bangkit, seperti
disengat kala beracun. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja dengan bibir
tetap mengulas senyum. Kelihatan tenang sekali, seakan-akan tidak terpengaruh
oleh keterkejutan kedua gadis kembar itu atas jawabannya barusan.
“Di sini bukan tempatnya
bermain-main, Kisanak. Kami berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan
kami dari Elang Perak. Tapi jangan harap semudah itu bisa mempermainkan kami!”
dengus Randita. Begitu dingin sekali nada suaranya.
Tatapan mata Randita juga tajam,
menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Randini sudah
meraba ujung pedang yang menyembul ke pinggang belakang. Tapi, Rangga masih
tetap kelihatan tenang.
“Kenapa kalian begitu terkejut
mendengarnya...? Bukankah kalian juga datang ke sini untuknya?” masih terdengar
tenang nada suara Rangga.
“Bagaimana kau bisa tahu tentang
kami?” tanya Randini, agak dalam nada suaranya.
“Nyai Karti sendiri yang mengatakannya.
Itulah sebabnya, aku cepat datang ke sini, meskipun sebenarnya enggan. Aku juga
masih ada urusan lain yang lebih penting. Tapi mengingat keadaan Nyai Karti
yang semakin kelihatan parah, aku tidak bisa mengenyampingkan begitu saja.
Terserah anggapan kalian padaku. Yang penting, pesan untuk kalian akan
kusampaikan. Hanya itu yang kubawa dari Nyai Karti,” tutur Rangga.
“Apa pesannya?” tanya Randini
lagi.
“Kalian diminta pulang segera,
dan melupakan semuanya. Hanya itu yang bisa kusampaikan,” sahut Rangga.
Randita dan Randini saling
berpandangan, kemudian kembali menatap tajam-tajam ke arah Rangga. Sepertinya
kedua gadis kembar ini belum bisa percaya penuh pada kata-kata yang diucapkan
Pendekar Rajawali Sakti barusan. Padahal mereka tahu dan sering mendengar nama
dan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba
persilatan di setiap kemunculannya.
“Apa lagi yang kau ketahui?”
tanya Randita, seolah-olah menyelidik.
Rangga tidak langsung menjawab,
tapi malah bangkit berdiri dan menyandarkan punggung ke pohon. Matanya
menerawang jauh ke depan, melewati bahu kedua gadis kembar di depannya ini.
“Kalian sudah dapatkan bunga
itu?” Rangga malah balik bertanya.
“Belum,” sahut Randita.
“Kelihatannya penyakit ibu kalian
memang tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan Bunga Wijayakusuma Merah. Tapi,
aku tidak yakin kalian bisa memperolehnya dari puncak gunung ini. Yang kutahu,
bunga itu hanya ada satu kali dalam seratus tahun, dan pohonnya juga tidak ada
di sini,” kata Rangga lagi.
“Memang pohonnya tidak ada di
sini. Tapi, Bunga Wijayakusuma Merah ada di sini. Aria Kandaka-lah yang
memilikinya,” jelas Randita.
“Ketua Padepokan Gunung Lawu...?”
“Benar.”
“Kalau memang dia yang memiliki,
kenapa tidak bicara saja terus terang? Aku yakin, Aria Kandaka bersedia
memberikannya. Aku kenal baik dengannya. Dia orang yang sangat bijaksana.
Bahkan selalu memperhatikan kepentingan orang lain, daripada dirinya sendiri,”
kata Rangga lagi.
“Kau pikir mudah memintanya
begitu saja...?” agak sinis nada suara Randita.
“Kenapa tidak...?”
“Karena bunga itu, ibu kami harus
menderita kelumpuhan bertahun-tahun. Beliau kalah bertarung dalam memperebutkan
Bunga Wijayakusuma Merah. Bukan hanya Aria Kandaka, tapi juga oleh tokoh-tokoh
persilatan lain yang saat ini berkumpul di puncak Gunung Lawu ini,” masih
terdengar ketus nada suara Randita.
“Hm...,” Rangga menggumam
perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Pendekar Rajawali Sakti memang
baru tahu kalau itulah persoalannya. Dan tampaknya memang tidak mudah bagi
kedua gadis ini untuk bisa mendapatkan Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat
diperlukan untuk menyembuhkan penyakit kelumpuhan yang diderita ibu mereka
selama beberapa tahun ini. Sedangkan yang diketahuinya, bunga itu hanya dapat
digunakan satu kali. Namun bunga itu begitu banyak kegunaannya, sehingga tidak
heran jika banyak tokoh persilatan memperebutkannya. Dan tentu saja mereka
menginginkan untuk tujuan masing-masing.
“Kanjeng ibu terkena getah Bunga
Wijayakusuma Merah yang sangat beracun. Masih untung tidak tewas, dan hanya
menderita kelumpuhan saja. Dan hanya bunga itu sendiri yang dapat
menyembuhkannya,” jelas Randita.
“Kalian memang harus mendapatkan
sebelum orang lain memilikinya. Aku akan bicara pada Aria Kandaka,” tegas
Rangga.
“Percuma saja bicara padanya,”
dengus Randini.
“Kenapa...?”
“Bunga itu sudah hilang. Itu
pengakuan dari Aria Kandaka sendiri,” sahut Randini.
“Oh..., benarkah...?”
Rangga terkejut bukan main
mendengar Bunga Wijayakusuma Merah sudah hilang, dan tidak berada lagi di
tangan Aria Kandaka. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Langsung
dirasakan kalau persoalannya berkembang semakin sulit, sebelum dirinya masuk dalam
kemelut ini.
“Sebaiknya kalian pulang saja.
Ada adikku di sana,” ujar Rangga.
“Adikmu...? Siapa?” tanya
Randita.
“Pandan Wangi. Aku menyuruhnya
menunggu ibu kalian. Tidak baik meninggalkan orang tua dalam keadaan tidak
berdaya seorang diri di dalam gua,” kata Rangga lagi.
“Tapi kami tidak bisa pulang
tanpa membawa bunga itu,” tolak Randini tegas.
“Nyai Karti tidak mengharapkan
kalian mendapatkannya. Beliau malah memikirkan keselamatan kalian berdua.
Sebaiknya, segeralah pulang. Aku akan membawa bunga itu untuk kalian.
Percayalah. Aku akan berusaha mendapatkannya untuk kalian,” Rangga mencoba
meyakinkan.
“Bagaimana, Randita...?” tanya
Randini meminta pendapat saudara kembarnya.
Randita hanya mengangkat bahu
saja. “Baiklah. Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Randini.
“Panggil saja aku Rangga.” Kedua
gadis kembar itu hanya tersenyum saja.
Sesaat kemudian mereka berpisah,
melanjutkan perjalanan masing-masing. Dewi Kembar dari Utara menuruni puncak
Gunung Lawu ini, sedangkan Rangga sendiri terus menuju Padepokan Gunung Lawu
yang berada di tengah-tengah puncak gunung yang selalu terselimut kabut ini.
Tapi, benarkah Randita dan
Randini benar-benar kembali ke Bukit Utara seperti yang diminta Pendekar
Rajawali Sakti...? Kedua gadis itu memang tidak terus melanjutkan perjalanan.
Mereka berhenti di lereng Gunung Lawu ini, dan beristirahat di bawah sebatang
pohon yang cukup besar dan rindang untuk menaungi diri dari sengatan sinar
matahari.
“Kita akan kembali ke sana
diam-diam, Randini,” kata Randita perlahan.
“Untuk apa?” tanya Randini.
“Aku ingin membawa bunga itu
untuk Kanjeng Ibu dengan tanganku sendiri,” sahut Randita bertekad.
“Kau tidak percaya pada Pendekar
Rajawali Sakti, Randita...?”
“Aku percaya. Justru
kedatangannya memberi kesempatan pada kita, Randini. Kau pasti bisa mengerti
jalan pikiranku “
Randini terdiam dan
mengangguk-anggukkan kepala. Memang bukan hanya wajah dan bentuk tubuh mereka
saja yang sama persis. Bahkan jalan pikiran mereka juga selalu sama. Meskipun
terkadang ada perselisihan pendapat Tapi, selalu saja mereka mempunyai jalan
kesepakatan bersama, yang tentu saja tidak dimiliki orang lain. Mereka seperti
memiliki satu jiwa dalam tubuh kembar masing-masing.
“Malam nanti, kita mulai
bergerak,” desis Randita memantapkan rencananya.
“Ya...,” sahut Randini mendesah.
***
Sementara itu Rangga sudah sampai
di Padepokan Gunung Lawu. Pendekar Rajawali Sakti jadi agak ragu-ragu, melihat
padepokan itu tampak ramai seperti sedang mengadakan perayaan. Tapi, dia cepat
ingat kalau kemarin adalah peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung
Lawu. Dan mungkin, sampai hari ini perayaan itu belum juga berakhir.
Perlahan Rangga mengayunkan kaki
memasuki gerbang padepokan itu. Dua orang murid berpakaian seragam merah
memperhatikan saja, tanpa menegur sama sekali. Memang sampai hari ini, semua
orang diberi kebebasan untuk memasuki lingkungan padepokan. Rangga menghentikan
ayunan kaki sebelum jauh melewati pintu gerbang. Dari sini panggung berukuran
besar yang berdiri di tengah-tengah halaman sudah bisa terlihat. Di atas
panggung itu tampak sedang berlaga dua orang tokoh persilatan. Rangga berbalik
menghampiri dua orang murid Padepokan Gunung Lawu yang bertugas jaga di gerbang
ini.
“Maaf. Boleh aku bertanya
sedikit...?” ucap Rangga sopan.
“Silakan,” sahut salah seorang
yang masih berusia muda, juga dengan suara dan sikap ramah.
“Boleh bertemu Paman Aria
Kandaka?” ujar Rangga masih dengan sikap sopan.
“Kisanak siapa?” pemuda itu kembali
bertanya.
“Aku Rangga, sahabat Paman Aria
Kandaka. Beliau mungkin sedang menunggu kedatanganku,” sahut Rangga
memperkenalkan diri.
“Kisanak punya undangan?” tanya
murid Padepokan Gunung Lawu itu lagi.
“Ada. Tapi aku ada keperluan yang
lebih penting lagi dengannya.”
Dua orang anak muda murid
Padepokan Gunung Lawu itu berbisik-bisik sebentar. Mereka memandangi Pendekar
Rajawali Sakti dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
“Sebentar,” ujar salah seorang.
Rangga hanya menganggukkan kepala
saja. Pemuda yang mengenakan seragam warna merah itu bergegas melangkah
meninggalkan pos jaganya. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja. Pandangannya
dilayangkan ke arah panggung. Tampak pertarungan sudah berhenti di atas
panggung. Tapi, kemudian disusul berlompatannya satu orang yang langsung
menantang pemenang dari pertarungan tadi.
Kembali sorak sorai terdengar
bergemuruh dari para penonton yang kebanyakan adalah penduduk desa di sekitar
kaki Gunung Lawu ini. Dan di atas panggung, sudah kembali terjadi pertarungan
adu kekuatan dan kesaktian dari tokoh-tokoh persilatan yang diundang Ketua
Padepokan Gunung Lawu.
Rangga mengalihkan perhatiannya,
ketika melihat pemuda yang tadi menjaga gerbang ini datang kembali diikuti seorang
wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Wanita itu mengenakan baju yang cukup
ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat. Meskipun umurnya
sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan cantik.
“Ah! Kenapa tidak langsung masuk
saja. Rangga...?” tegur wanita yang ternyata adalah Winarti, begitu dekat di
depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Maaf, aku datang terlambat,”
ucap Rangga seraya menjura, memberi penghormatan.
“Tidak mengapa. Mari...”
Rangga melangkah mengikuti
Winarti yang berjalan lebih dahulu di depan. Mereka tidak menuju ke panggung,
melainkan terus memasuki bangunan utama Padepokan Gunung Lawu ini. Di dalam
ruangan berukuran cukup besar, tampak Aria Kandaka sudah menanti. Dia bergegas
menyongsong, begitu melihat Rangga dan Winarti masuk ke dalam ruangan ini
“Ah! Syukurlah kau datang,
Rangga...,” ucap Aria Kandaka seraya menyalami Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga membalasnya dengan hangat
dan penuh persahabatan. Di antara mereka memang sudah terjalin suatu
persahabatan. Karena Aria Kandaka sebenarnya abdi yang setia dari Adipati Arya
Permadi, orang tua kandung Pendekar Rajawali Sakti. Aria Kandaka lalu
mengasingkan diri dan pergi ke Gunung Lawu, saat Wira Permadi menguasai
Kadipaten Karang Setra.
Memang bukan hanya Aria Kandaka yang
meninggalkan Kadipaten Karang Setra waktu itu. Tapi, masih banyak para petinggi
yang meninggalkah kadipaten, karena tidak menyetujui sikap dan cara Wira
Permadi menduduki kadipaten. Dan Rangga memang selalu mengunjungi orang-orang
yang pernah mengabdi pada ayahnya, yang tersebar di saat Karang Setra masih
berupa kadipaten di bawah kekuasaan tangan besi adik tirinya.
“Maaf. Aku datang terlambat,
Paman,” ucap Rangga.
“Tidak mengapa, Rangga. Aku
senang kau bisa hadir di sini. Malah kedatanganmu sangat kuharapkan pada
saat-saat seperti ini,” kata Aria Kandaka.
“Ada sedikit halangan yang
membuatku terlambat,” kata Rangga lagi, masih merasa tidak enak karena
kedatangannya tidak tepat pada waktunya.
“Sudahlah, Rangga. Mari
duduk....” Mereka kemudian duduk melingkari meja bundar beralaskan batu pualam
putih yang licin dan berkilat Winarti menuangkan arak ke dalam cawan dari
perak. Mereka sama-sama menenggak habis arak manis di dalam cawan itu, lalu
sama-sama memberi penghormatan melalui minuman.
“Seharusnya kami memanggilmu
dengan sebutan Gusti Prabu, Rangga...,” kata Aria Kandaka.
“Ini bukan istana. Dan sebaiknya,
Paman dan Bibi tetap memanggilku dengan nama saja. Biar orang lain tidak tahu,
siapa aku sebenarnya,” sahut Rangga meminta.
“Apa yang ada dalam dirimu, sama
sekali tidak membuang sifat-sifat ayahmu,” kata Aria Kandaka mengenang.
“Mudah-mudahan nama baik beliau
bisa kupertahankan,” ucap Rangga.
Mereka kembali terdiam, dan
sama-sama menikmati arak manis yang dituangkan Winarti ke dalam cawan
masing-masing. Wanita itu juga ikut minum, untuk menghormati kedatangan tamu
yang memang sudah sangat dinantikan.
“Menjadi raja tentu sangat sibuk.
Banyak persoalan yang harus ditangani,” kata Aria Kandaka lagi.
“Ya.... Tapi, untunglah aku
memiliki orang-orang yang dapat dipercaya, sehingga punya banyak waktu untuk
mengembara. Aku ingin melihat kehidupan yang sebenarnya, dan punya banyak waktu
untuk belajar dari alam,” nada suara Rangga terdengar merendah.
“Aku tadinya malah khawatir,
undanganku tidak sampai ke tanganmu,” kata Aria Kandaka lagi.
“Kebetulan waktu itu aku ada di
istana, Paman. Dan sebenarnya aku datang berdua....”
Sebenarnya Rangga tidak dari
Istana Karang Setra. Bahkan sudah lama tidak ke sana. Dan dia sendiri tidak
tahu kalau ada undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kedatangannya ke
sini juga bukan karena undangan itu. Tapi, Rangga tidak ingin mengecewakan, dan
terpaksa berbohong sebelum sampai pada maksud yang sebenarnya.
“Berdua...? Kenapa tadi kulihat
kau hanya sendiri saja, Rangga?” selak Winarti.
“Aku bersama Pandan Wangi. Tapi
terpaksa dia tidak bisa ikut ke sini, “ Rangga mencoba menjelaskan.
“Kenapa tidak diajak sekalian ke
sini...?” Aria Kandaka seperti menyesalkan.
Bukan hanya Aria Kandaka yang
sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Tapi hampir semua orang juga sudah
tahu, Pendekar Rajawali Sakti ini punya teman dekat yang bergelar si Kipas
Maut. Meskipun kepandaian yang dimiliki berada beberapa tingkat di bawah
Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak mudah menaklukkan gadis itu.
Saat itu Rangga hanya tersenyum
saja, kemudian menceritakan tentang perjalanannya yang terpaksa terhambat Saat
itu hujan turun, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi kebetulan sedang
lewat di Bukit Utara. Mereka lalu menemukan gua yang ternyata di dalamnya ada
seorang perempuan tua dalam keadaan lumpuh, tak mampu bergerak sedikit pun. Dan
saat Rangga menyebutkan nama perempuan tua itu, Aria Kandaka seperti tersengat
ribuan kala berbisa.
“Kau kenal Nyai Karti, Paman...?”
tanya Rangga sempat melihat perubahan wajah Aria Kandaka.
Aria Kandaka tidak langsung
menjawab, dan hanya terdiam saja. Matanya beberapa kali melirik Winarti yang
juga diam membisu. Sedangkan Rangga me-mandangi mereka secara bergantian. Dia
sebenarnya sudah tahu kalau Ketua Padepokan Gunung Lawu ini kenal perempuan tua
yang bernama Nyai Karti. Tapi Rangga tidak ingin menunjukkan kalau sudah tahu.
Bahkan ingin memastikan sendiri dari pengakuan Aria Kandaka. Tentu saja Rangga
menginginkan kejujuran Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
“Kami memang mengenalnya...,”
pelan sekali suara Aria Kandaka, hampir tidak terdengar.
Rangga hanya menggumam saja. Jawaban
seperti inilah yang memang diharapkan. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah
mengatur pembicaraan secara bertahap. Sehingga, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu
tidak merasa kalau kedatangannya bukan karena mendapat undangan, tapi karena
Nyai Karti yang meminta pertolongannya.
***
TUJUH
Pembicaraan mereka terhenti saat
matahari sudah condong ke arah Barat. Aria Kandaka sendiri sengaja
mengulur-ulur waktu, dengan mengumumkan adu ketangkasan bisa dilanjutkan esok
hari. Sehingga, tak ada lagi rasa penasaran dari para undangan yang datang ke
padepokannya ini. Tapi, tidak sedikit para undangan yang sudah meninggalkan
padepokan.
Dan mereka yang pergi, merasa
kalau acara adu ketangkasan itu tidak ada gunanya. Memang ada juga yang sudah
merasakan adanya sesuatu yang tidak beres di padepokan ini, sehingga lebih
memilih meninggalkan padepokan daripada ikut terlibat dalam suatu urusan yang
tidak diketahuinya. Sehingga, yang tinggal hanya beberapa orang saja. Dan pada
malam harinya, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
Kali ini, pembicaraan sudah
berkisar pada Bunga Wijayakusuma Merah yang telah hilang dari tempat
penyimpanannya. Rangga juga sudah mengatakan kalau kelumpuhan yang diderita
Nyai Karti hanya dapat disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah itu.
“Ya.... Kelumpuhan Nyai Karti
memang hanya bisa disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah. Dia bisa lumpuh
begitu, karena terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang beracun dan sukar
dicari obatnya, kecuali oleh bunganya sendiri,” kata Aria Kandaka, perlahan suaranya.
“Tapi sayang sekali. Bunga itu
sekarang tidak ada lagi di sini, Rangga,” selak Winarti.
“Apakah dari tamu-tamu yang
hadir, mengetahui tentang bunga itu?” tanya Rangga menyelidik.
“Ya! Ada beberapa di antara
mereka yang tahu. Bahkan sudah beberapa kali berusaha merebutnya dariku. Tapi
aku tidak punya bukti untuk menuduh salah seorang dari mereka,” sahut Aria
Kandaka menjelaskan.
“Memang sulit..,” gumam Rangga
perlahan.
“Itu sebabnya, aku terpaksa
menahan mereka di sini dengan mengadakan pertandingan. Itu pun karena keinginan
mereka yang ingin menjajaki tingkat kepandaian masing-masing,” sambung Aria
Kandaka.
“Apa ada di antara undangan yang
sudah meninggalkan padepokan ini, Paman?” tanya Rangga lagi.
“Beberapa di antaranya memang
sudah. Bahkan Elang Perak, Dewi Kembar dari Utara, dan Ki Gambang yang
mengetahui tentang bunga itu juga sudah meninggalkan padepokan ini,” sahut Aria
Kandaka.
Rangga mengangguk-anggukkan
kepala. Dia tahu kalau Elang Perak dan Dewi Kembar dari Utara tidak memiliki
bunga itu. Sedangkan beberapa nama yang sempat disebutkan Aria Kandaka, masih
berada di padepokan ini. Kecuali, Ki Gambang yang sudah meninggalkan Padepokan
Gunung Lawu ini kemarin siang.
Tapi, apa mungkin Ki Gambang yang
mengambil bunga itu dari tempat penyimpanan pusaka? Atau mungkin ada orang lain
yang telah menguasai, dan sekarang menunggu waktu yang tepat untuk membawanya
pergi dari padepokan tanpa seorang pun yang mencurigainya? Dan memang benar apa
yang dikatakan Aria Kandaka tadi. Tidak ada bukti untuk menuduh atau mencurigai
salah seorang dari mereka.
“Maaf, aku tinggal dulu,” ucap
Winarti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.
“Oh, ya. Silakan...,” sahut
Rangga juga bangkit berdiri.
Winarti menjura memberi hormat,
kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. Rangga kembali duduk di kursinya
setelah Winarti tenggelam di balik pintu yang kembali tertutup rapat Di dalam
ruangan berukuran cukup besar ini, hanya ada Rangga dan Aria Kandaka saja.
Sementara malam terus merayap semakin larut Dan mereka terus berbicara hingga
jauh malam.
“Maaf, Paman. Boleh bertanya
sedikit..?” pinta Rangga menyelak pembicaraan.
“Tentu saja, Rangga,” sahut Aria
Kandaka mempersilakan.
“Ini menyangkut Bibi Winarti, Paman.”
“Winarti...? Ada apa
dengannya...?” tanya Aria Kandaka agak terkejut
“Kudengar, Bibi Winarti sedang
memperdalam ilmu-ilmunya di Gua Pantai Selatan. Kapan dia datang ke sini,
Paman...?” tanya Rangga hati-hati.
“Sudah dua purnama ini,” sahut
Aria Kandaka.
“Kenapa kau tanyakan itu,
Rangga?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin
tahu saja, apakah Bibi Winarti sudah menguasai ilmu-ilmu kesaktiannya. Aku
senang kalau Bibi Winarti sudah semakin sempurna ilmu-ilmunya,” kata Rangga
kalem.
Aria Kandaka memandangi Pendekar
Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rangga
dari pertanyaannya tadi. Sesuatu yang pasti menyangkut Winarti. Sedangkan
Rangga sendiri kelihatan tenang saja, meskipun dipandangi dengan sinar mata
penuh selidik.
“Maaf, Paman. Mungkin aku salah
menduga,” ujar Rangga merasa tidak enak juga.
“Ada apa sebenarnya, Rangga...?
Katakan saja,” desak Aria Kandaka.
Rangga menghembuskan napas
panjang, dan terasa begitu berat sekali. Hatinya seperti berat mengatakannya,
takut kalau laki-laki separuh baya ini tersinggung.
“Belum lama ini, aku dan Pandan
Wangi sempat mampir ke Gua Pantai Selatan. Di sana, kami sempat pula
berbincang-bincang dengan Bibi Winarti. Katanya, dia masih perlu satu atau dua
tahun lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Dan sekarang, aku bertemu lagi di
sini. Aku hanya heran saja, Paman. Karena, belum ada satu purnama bertemu
dengannya di Gua Pantai Selatan,” kata Rangga hatihati.
“Dia sudah dua purnama tinggal di
sini, dan membantuku menggembleng murid-murid padepokan ini. Bahkan datang
membawa dua orang yang dikatakan muridnya,” jelas Aria Kandaka lagi
“Murid...? Sejak kapan Bibi
Winarti punya murid, Paman?” tanya Rangga agak terkejut
“Katanya, selama berada di Gua
Pantai Selatan,” sahut Aria Kandaka. “Ada apa, Rangga? Kenapa bertanya seperti
itu...?”
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
perlahan
“Kuharap, kau tidak menaruh
prasangka buruk pada Winarti, Rangga,” agak dalam nada suara Aria Kandaka.
Rangga hanya diam saja. Pendekar
Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri, dan berpamitan hendak istirahat. Aria
Kandaka tidak mencegah, dan masih tetap berada di kursinya sampai Rangga tidak
terlihat lagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak termenung. Dipikirkannya
kata-kata Rangga yang terakhir tadi.
“Hm.... Sepertinya Rangga
mencurigai Winarti Tapi, kenapa...?” Aria Kandaka jadi bertanya-tanya sendiri
dalam hati.
Benarkah Pendekar Rajawali Sakti
mencurigai Winarti? Atau itu hanya perasaan Aria Kandaka saja. Tapi
pembicaraannya barusan dengan Rangga, membuat hatinya jadi tidak bisa tenteram.
***
Malam terus merambat semakin
larut. Tapi, Rangga belum juga dapat memicingkan mata dalam kamar
peristirahatan yang disediakan Aria Kandaka untuknya. Entah sudah berapa kali
kamar ini diputari. Dan sudah berapa kali pula dia berada di depan jendela.
Sebentar kepalanya ditengadahkan ke atas, sebentar kemudian ditariknya napas
panjang-panjang, lalu dihembuskan kuat-kuat.
Tok, tok, tok...!
Rangga berpaling ketika terdengar
ketukan di pintu. Sebentar ditatapnya pintu kamar yang tertutup rapat itu.
Kemudian perlahan kakinya terayun mendekati pintu. Tapi belum juga sempat
terbuka, mendadak saja pintu kamar itu sudah jebol, disusul melesatnya sesosok
tubuh hitam yang masuk ke dalam kamarnya.
“Hup!”
Tangkas sekali Pendekar Rajawali
Sakti melentingkan tubuhnya. Dia berputaran beberapa kali ke belakang, sebelum
kakinya menjejak lantai kamar yang terbuat dari belahan papan tebal. Dan pada
saat itu, satu pukulan cepat mengandung tenaga dalam tinggi melunak deras ke
arahnya.
“Hait..!”
Rangga cepat memiringkan tubuh ke
kanan, sehingga pukulan orang berbaju serba hitam itu tidak sampai mengenai
tubuhnya. Dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diduga, tiba-tiba saja Pendekar
Rajawali Sakti mengecutkan tangan kirinya. Langsung disodoknya perut orang
berbaju serba hitam itu.
“Hegkh!”
Orang berbaju serba hitam itu
terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya memegangi perut yang terkena
sodokan tangan kiri Rangga. Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi, tapi sodokan itu membuat perut orang itu terasa mengejang kaku dan
mual.
“Hiyaaat..!”
Belum lagi orang berbaju serba
hitam berbuat sesuatu, Rangga sudah melompat cepat. Langsung dilepaskannya satu
pukulan keras menggeledek, disusul satu totokan jari tangan kirinya ke arah
dada.
“Akh...!”
Orang berbaju serba hitam itu
langsung tergeletak di lantai yang terbuat dari belahan papan. Rangga
cepat-cepat menghampiri, dan menjambret kain hitam yang menutupi muka orang
ini. Betapa terkejut hatinya, begitu kain hitam yang menutup wajah orang itu terbuka.
Rangga cepat-cepat melompat
mundur. Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena tangan kiri
orang itu masih mampu bergerak cepat Rangga tak sempat lagi bertindak, ketika
orang itu menggorok lehernya sendiri dengan pisau yang diambil dari balik
lipatan baju.
“Hey...!” sentak Rangga terkejut.
Terlambat..! Leher orang itu
sudah menganga tergorok pisau. Darah mengucur deras. Kelopak matanya terbuka
lebar, dan sebentar kemudian tertutup rapat Rangga mendesah panjang. Hampir
tidak dipercayai, apa yang dilihatnya ini.
Rangga mengangkat kepala ketika
Aria Kandaka muncul di ambang pintu. Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak
terkejut melihat sesosok tubuh berpakaian serba hitam tergeletak tak bernyawa
lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Lebih terkejut lagi begitu mengenali
orang berbaju serba hitam itu. Seorang pemuda bertubuh tegap, dan berwajah
cukup tampan. Tapi, agak terusik oleh luka codet yang membelah pipinya.
“Kenapa dia...?” tanya Aria
Kandaka seraya melangkah menghampiri Rangga.
“Dia bunuh diri setelah aku
menjatuhkannya,” sahut Rangga.
“Dia menyerangmu...?” nada suara
Aria Kandaka seperti tidak percaya oleh pertanyaannya sendiri
Rangga hanya menganggukkan kepala
saja. Memang sukar untuk dipercaya. Ternyata pemuda dengan luka codet di pipi
itu sudah sangat dikenal di Padepokan Gunung Lawu ini. Dia adalah salah satu
pengikut Winarti, yang dikatakan sebagai muridnya. Tapi, kenapa menyerang
Pendekar Rajawali Sakti...? Pertanyaan inilah yang mengganggu benak Aria
Kandaka.
Aria Kandaka bergegas melangkah
keluar tanpa berkata-kata lagi. Rangga bergegas pula mengikuti Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu. Mereka terus berjalan cepat, setengah berlari menyusuri lorong
yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu tertutup, tempat para tamu beristirahat.
Tak ada satu pintu pun yang terbuka.
Mereka kini tiba di sebuah
ruangan berukuran cukup hias dan terang benderang. Setelah melintasi ruangan
itu, mereka sampai di depan pintu sebuah kamar yang juga tertutup rapat. Aria
Kandaka mengetuk pintu itu kuat-kuat. Tapi, tak terdengar jawaban sedikit pun
dari dalam. Sebentar matanya melirik Rangga yang berada tidak jauh di
belakangnya. Kemudian, tiba-tiba saja kakinya bergerak menghentak.
Brak!
Pintu yang terbuat dari kayu jati
tebal itu seketika hancur berantakan terkena tendangan Aria Kandaka. Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu cepat menerobos masuk ke dalam. Kedua matanya kontan
terbeliak melihat keadaan kamar dalam keadaan kosong. Rangga hanya berdiri saja
di ambang pintu yang sudah hancur berantakan. Dia tahu, kamar ini dihuni
Winarti, adik perempuan satu-satunya Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
“Keparat..!” geram Aria Kandaka
gusar.
Perlahan tubuhnya berputar
memandang Rangga yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Rona merah tampak
membias di wajahnya. Terdengar suara bergemeretak dari geraham yang berderak
menahan geram.
“Siapa sebenarnya dia, Rangga?”
tanya Aria Kandaka.
“Aku tidak tahu. Tapi yang jelas,
wanita itu bukanlah Bibi Winarti,” sahut Rangga.
Aria Kandaka bergegas berlari
keluar. Kemarahannya begitu memuncak, merasa telah tertipu mentah-mentah.
Sungguh tidak disangka, kalau wanita yang selama ini dianggap adiknya ternyata
telah menipu. Bahkan sekarang wanita itu telah pergi entah ke mana.
Rupanya kedatangan Rangga ke
Padepokan Gunung Lawu ini, membuat Winarti merasa terancam. Maka anak buahnya
diperintahkan membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu gagal, dia malah
melarikan diri. Aria Kandaka yang langsung bisa mengetahui keadaan, tidak dapat
lagi menahan kemarahannya. Terlebih lagi, sebelumnya Rangga memang sudah
mencurigai wanita itu. Karena, sebelum sampai di Padepokan Gunung Lawu ini,
terlebih dahulu Pendekar Rajawali Sakti bertemu Winarti yang asli di Gua Pantai
Selatan.
Sementara itu Aria Kandaka sudah
berada di luar ruang utama padepokannya ini. Rangga masih tetap mengikuti dari
belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju gua tempat penyimpanan senjata pusaka
Padepokan Gunung Lawu. Tapi baru saja sampai di mulut gua, mendadak saja....
“Paman, awas...!” seru Rangga
tiba-tiba.
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, Rangga melesat
cepat begitu melihat secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arah Aria
Kandaka. Pada saat yang bersamaan, Aria Kandaka menjatuhkan diri ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali. Sementara, Rangga mengebutkan tangan kanan untuk
menyampok sinar keperakan yang meluncur cepat bagaikan kilat itu.
“Akh...!” Rangga terpekik agak
tertahan.
Cepat-cepat tubuhnya diputar dan
mendarat di tanah. Pendekar Rajawali Sakti agak limbung sedikit begitu kakinya
menjejak tanah. Tangan kanannya yang memerah bagai sepotong besi di dalam
tungku pembakaran dipeganginya. Sementara itu Aria Kandaka yang sudah bangkit
berdiri, segera menghampiri Rangga.
“Kenapa tanganmu?” tanya Aria
Kandaka.
“Tidak apa-apa,” sahut Rangga.
Aria Kandaka memperhatikan tangan
Rangga yang masih kelihatan memerah. Kalau saja Rangga tidak mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir, mungkin sekarang ini
tangannya sudah buntung saat menyampok sinar keperakan tadi. Namun begitu, rasa
panas tetap menjalar di tangannya. Begitu panasnya, sehingga dari pergelangan
tangan hingga ke ujung jarinya memerah bagai terbakar.
“Hati-hati, Paman. Rupanya dia
sudah mengetahui kalau kedoknya sudah terbongkar,” Rangga memperingatkan.
Pada saat itu, dari balik
pepohonan bermunculan sekitar sepuluh orang berpakaian serba hitam. Mereka
berlompatan ringan, dan langsung mengurung sambil menghunus golok melintang di
depan dada. Sulit untuk melihat wajah mereka, karena kesepuluh orang ini menutupi
wajah dengan kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat
“Hm..., siapa mereka...?” gumam
Aria Kandaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Seraaang...!”
Begitu terdengar teriakan memberi
perintah, seketika itu juga sepuluh orang berbaju serba hitam yang menggenggam
senjata golok langsung berlompatan menyerang. Rangga dan Aria Kandaka terpaksa
berlompatan. Mereka memisahkan diri, sehingga sepuluh orang ini terpaksa
memecah menjadi dua bagian. Lima orang mengeroyok Aria Kandaka, dan lima orang
lagi menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Cring!
Bet!
Aria Kandaka yang memang hatinya
sudah terbakar amarah, tidak ingin tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkan
pedangnya, dan dikebutkan dengan cepat. Lima orang berpakaian hitam yang
mengeroyoknya langsung terbabat. Begitu cepatnya gerakan permainan pedang Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu, sehingga lima orang berpakaian serba hitam itu tidak
bisa lagi membendungnya.
Jeritan-jeritan panjang
melengking terdengar saling susul. Dalam beberapa gebrakan saja, lima orang itu
sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi. Aria Kandaka langsung
saja melompat cepat hendak membantu Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaat..!”
Seperti seekor banteng jantan
yang terluka, Aria Kandaka cepat mengebutkan pedang. Langsung dibabatnya lima
orang berbaju serba hitam yang menyerang Rangga. Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi kembali terdengar. Rangga terkejut melihat Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu mengamuk, membantai orang-orang berbaju hitam tanpa ampun lagi.
“Mampus kalian, Keparat..!” geram
Aria Kandaka memaki.
Dalam waktu yang tidak begitu
lama saja, sepuluh orang berbaju serba hitam itu sudah bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Udara malam yang semula dingin dan bersih, kini tercemar bau
anyir darah yang mengucur dari tubuh sepuluh orang berbaju serba hitam ini.
“Tidak seharusnya kau membantai
mereka, Paman,” ujar Rangga tidak menyetujui tindakan Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu.
“Mereka pantas mampus!” dengus
Aria Kandaka kesal.
Rangga menggeleng-gelengkan
kepala. Dihampirinya salah seorang penyerang itu. Lalu dilepaskannya kain hitam
yang menyelubungi wajahnya.
“Heh...?!” sentak Aria Kandaka
terkejut begitu kain hitam yang menutupi wajah orang itu terbuka.
***
DELAPAN
Aria Kandaka membuka kain hitam
penutup muka orang-orang itu satu persatu. Kedua matanya semakin lebar
terbeliak. Sepuluh orang berpakaian serba hitam ini ternyata adalah
murid-muridnya sendiri. Memang, dia tadi cepat bertindak membunuh sehingga
tidak sempat lagi mengenali jurus-jurus yang mereka gunakan. Tidak heran kalau
dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang itu mampu dituntaskan.
“Setan...! Kenapa mereka
memusuhiku...?!” dengus Aria Kandaka geram.
“Mereka lebih patuh pada
perintahku, Arya Kandaka.”
“Heh...?!”
Aria Kandaka cepat memutar
tubuhnya. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di depannya.
Dan tahu-tahu, di depan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah berdiri seorang
wanita bertubuh ramping mengenakan baju hitam pekat. Meskipun sudah berumur
lebih dari empat puluh tahun, tapi wajahnya masih kelihatan cantik. Sementara
Rangga yang berada di samping Aria Kandaka hanya diam saja memperhatikan.
Plok, plok, plok...!
Wanita itu menepuk tangan
beberapa kali. Maka dari kegelapan malam, bermunculan orang-orang berbaju serba
hitam bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung bergerak mengepung tempat
ini. Ada sekitar dua puluh orang dengan kepala terselubung kain hitam. Dan
hanya pada bagian matanya saja yang terlihat
“Siapa kau sebenarnya? Kenapa
mengacau padepokanku?” tanya Aria Kandaka, terdengar lantang suaranya.
“Lima tahun memang bukan waktu
yang pendek. Tapi itu juga tidak cukup untuk menghapus ingatan, Aria Kandaka.
Kau pasti tidak akan lupa dengan benda ini!”
Wanita berbaju serba hitam yang
selama ini dikenal sebagai Winarti melemparkan sebuah benda berwarna keemasan.
Benda itu jatuh tepat di ujung kaki Aria Kandaka yang terbeliak begitu
mengenali benda berbentuk tusuk rambut berwarna kuning keemasan. Perlahan
tubuhnya membungkuk, memungut tusuk rambut emas itu. Sebentar diperhatikannya
benda itu, kemudian ditatapnya wanita berbaju serba hitam sekitar dua batang
tombak di depannya.
“Mustahil...!” desis Aria
Kandaka, seakan-akan tidak percaya dengan dirinya sendiri. “Kau sudah mati,
Lasti....”
“Itu anggapanmu, Aria Kandaka.
Tapi, kenyataannya aku masih tetap hidup. Dan sekarang, aku hendak menuntut
balas!” dingin sekali nada suara wanita yang kini dikenal Aria Kandaka bernama
Lasti. Bukan Winarti yang selama ini dikenalnya.
“Bagaimana mungkin kau bisa
hidup? Dan wajahmu itu...?” Aria Kandaka benar-benar jadi kebingungan.
Lasti tersenyum tipis. Tangan
kanannya kemudian terangkat ke wajah. Perlahan-lahan sekali tangannya bergerak
seperti mengupas sesuatu di wajahnya. Dan Aria Kandaka jadi terbeliak begitu
mengetahui kalau wanita itu memakai topeng yang begitu tipis, dan menyerupai
wajah adiknya.
Kini, di depannya bukan lagi
Winarti yang ada. Melainkan, seorang wanita berwajah cacat, penuh luka. Seperti
luka akibat tergores ujung pedang. Kulit mukanya juga kelihatan hitam, seperti
bekas terbakar. Aria Kandaka benar-benar terkejut, dan mengenalinya. Wajah itu
memang pernah dilihatnya lima tahun yang lalu. Bahkan luka-luka di wajah yang
menghitam itu akibat dari goresan ujung pedangnya.
Lima tahun yang lalu, di antara
mereka memang terjadi suatu perselisihan. Tepatnya, perselisihan asmara. Dulu,
selagi mereka muda, antara Aria Kandaka dengan Lasti telah terjalin cinta
kasih. Namun karena Aria Kandaka mengasingkan diri ke Gunung Lawu, Lasti
terpaksa ditinggalkan. Mereka memang tidak bisa bersatu, karena orang tua Lasti
melarang hubungan mereka. Sebabnya, orang tua Lasti adalah antek Wira Permadi,
yang memerintah Kadipaten Karang Setra waktu itu. Maka bibit cinta kemudian
berkembang jadi bibit permusuhan.
Mereka kemudian bertarung di tepi
sebuah jurang setelah lama tak bertemu. Aria Kandaka yang saat itu masih
malang-melintang di dalam rimba persilatan, berhasil melemparkan wanita itu ke
dalam jurang yang cukup dalam. Ujung pedang membabat habis wajah wanita itu.
Bahkan satu tusukan pedangnya
berhasil menembus bagian dada. Memang mustahil kalau wanita yang bernama Lasti
ini masih bisa bertahan hidup. Tapi kenyataannya, sekarang masih bernapas dan
berada di depan orang yang dulu dicintainya.
“Kau terkejut kenapa aku masih
hidup, Aria Kandaka...? Maut memang belum mau menjemputku. Seorang tua yang
baik hati telah menyelamatkanku di dasar jurang. Dialah yang merawatku sehingga
aku punya kesempatan membalas sakit hatiku padamu,” dingin sekali suara Lasti.
Geraham Aria Kandaka menggeretak
hebat Hatinya benar-benar geram, karena selama dua purnama ini tinggal
bersama-sama orang yang masih berpihak pada Wira Permadi. Bahkan semua rahasia
padepokan yang dibangunnya ini sudah diketahui Lasti. Sampai tempat penyimpanan
Bunga Wijaya-kusuma Merah pun diberi tahu.
Aria Kandaka baru menyadari,
kalau saat seperti ini memang sudah direncanakan Lasti. Acara peringatan satu
tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu, dimanfaatkan wanita ini untuk
menghancurkannya dan padepokan yang didirikannya selama satu tahun ini. Bahkan
dia berhasil memalingkan kesetiaan murid-murid Aria Kandaka padanya.
Benar-benar suatu kerja yang rapi dan terencana baik. Dan ini membuat Aria
Kandaka benar-benar geram. Dia merasa telah tertipu, tanpa dapat menyadari
sedikit pun juga. Hasil kerjanya selama setahun ini begitu mudah dihancurkan
oleh seorang wanita yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.
“Terimalah kematianmu, Aria
Kandaka! Hiyaa...!”
“Uts!”
Aria Kandaka cepat-cepat menarik
tubuhnya ke belakang, begitu pedang tipis berkelebat cepat di depan dadanya.
Tapi sebelum sempat melakukan sesuatu, Lasti sudah kembali melakukan serangan
cepat. Pedangnya berkelebatan dahsyat mengurung ruang gerak Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu.
Sementara Rangga yang sudah
mengetahui pertentangan cinta antara kedua orang itu segera menyingkir menjauh.
Tapi, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang berbaju serba hitam yang
mengelilingi sekitar tempat pertarungan ini. Pada saat itu, terlihat tamu-tamu
undangan yang masih berada di padepokan menghampiri. Mereka tak ada yang
berbuat sesuatu, dan hanya berdiri saja menyaksikan pertarungan Aria Kandaka
melawan wanita berbaju serba hitam dari luar lingkungan kepungan orang ber-baju
hitam yang menggenggam senjata golok terhunus di depan dada.
Pertarungan terus berjalan
semakin sengit. Jurus demi jurus berjalan cepat. Dan masing-masing sudah
mengeluarkan jurus-jurus andalan yang dahsyat. Begitu cepatnya pertarungan
berlangsung, sehingga tubuh mereka lenyap. Yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan
berkelebatan disertai kilatan-kilatan cahaya pedang.
“Hiyaaat..!”
Bet!
Tiba-tiba saja Aria Kandaka
mengecutkan cepat pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu. Sungguh
sulit dipercaya. Lasti tidak berusaha berkelit sedikit pun. Bahkan pertahanannya
di bagian dada dibuka lebar-lebar. Maka tak pelak lagi, pedang Aria Kandaka
yang terkenal dahsyat itu menghantam dada Lasti dengan keras.
“Ha ha ha...!” Lasti malah
tertawa terbahak-bahak.
“Heh...?! Edan...!” dengus Aria
Kandaka terbeliak tidak percaya.
Bukan hanya Aria Kandaka saja
yang terkejut setengah mati. Tapi, Rangga dan juga semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu jadi terkejut Betapa tidak...? Jelas sekali kalau pedang Aria
Kandaka membabat dada Lasti. Tapi, wanita itu tetap berdiri tegar. Bahkan tak
ada sedikit pun luka di dadanya.
Aria Kandaka cepat-cepat melompat
mundur. Pandangannya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengecutkan pedang di depan dada, lalu cepat
melompat Pedangnya langsung dibabatkan ke leher wanita berbaju serba hitam itu.
“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Bet!
“Heh...?!”
Untuk kedua katinya mata Aria
Kandaka terbeliak. Sukar dipercaya! Pedang kebanggaannya selama ini ternyata
patah jadi dua bagian begitu menghantam leher wanita berbaju serba hitam itu.
Pada saat yang bersamaan, Lasti menghentakkan tangan kanannya. Langsung
dilepaskannya satu pukulan keras meng-geledek yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!”
Aria Kandaka terpekik keras.
Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang dilepaskan Lasti mendarat
telak di dada. Keras sekali tubuhnya jatuh terguling di tanah. Darah seketika
muncrat dari mulutnya. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Aria Kandaka bangkit
berdiri
“Ugkh!”
Kembali dimuntahkannya darah
segar dari mulut Tarikan napasnya juga jadi terhambat, akibat pukulan bertenaga
dalam tinggi yang mendarat di dada.
“Saatmu sudah tiba, Aria Kandaka!
Hiyaaat..!”
Lasti melompat cepat bagaikan
kilat Pedangnya berkelebat mengarah ke leher Aria Kandaka. Tak ada lagi
kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Lawu itu untuk menghindar. Terlebih
lagi, saat ini tengah menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada.
Aria Kandaka hanya dapat mendesis dan terbeliak melihat Lasti sudah melancarkan
serangan cepat, dengan pedang mengarah ke leher. Tapi pada saat mata pedang itu
hampir membabat leher Aria Kandaka, mendadak saja....
Trang!
“Ikh...?!”
Lasti tersentak kaget setengah
mati. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan. Cepat-cepat serangannya
ditarik, lalu melompat mundur sejauh dua batang tombak. Manis sekali kedua
kakinya menjejak tanah.
“Setan...!” geram Lasti begitu
melihat Rangga sudah berdiri di samping Aria Kandaka.
“Sudah cukup kau
menghancurkannya, Nisanak. Tidak perlu sampai membunuhnya,” tegas Rangga.
“Minggir! Ini bukan urusanmu!”
bentak Lasti geram.
“Aku memang tidak ada urusan
dalam hal ini. Tapi tindakanmu sudah kelewat batas, Nisanak. Kau hancurkan nama
baik seseorang, hanya untuk mengumbar nafsu dan dendammu,” kata Rangga, tetap
tegas suaranya.
“Hanya satu kali kuperingatkan,
Pendekar Rajawali Sakti! Minggirlah, atau kau juga ingin mampus!” ancam Lasti
tidak main-main.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam
sedikit
Mata Pendekar Rajawali Sakti
melirik Aria Kandaka yang berada di sampingnya. Keadaan Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Luka dalam akibat
pukulan Lasti tadi, seakan-akan telah meremukkan seluruh rongga dadanya. Bahkan
tarikan napasnya saja sudah demikian terhambat.
“Menyingkirlah, Paman. Biar
kutangani dia,” ujar Rangga.
“Hati-hatilah, Rangga. Aku yakin
dia membawa Bunga Wijayakusuma Merah. Tubuhnya jadi kebal, dan kepandaiannya
berlipat ganda,” Aria Kandaka memperingatkan.
Setelah memperingatkan Pendekar
Rajawali Sakti, Aria Kandaka bergerak ke belakang menjauhi. Sementara Lasti
sudah bersiap melakukan serangan. Pedangnya sudah melintang di depan dada.
Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Matanya menatap tajam, menusuk langsung
ke bola mata wanita berbaju serba hitam di depannya.
“Aku sering mendengar julukanmu,
Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal kalau mati di tanganku,” ancam Lasti
dingin.
“Aku hanya ingin mencoba
keampuhan Bunga Wijayakusuma Merah yang kau bawa,” sambut Rangga kalem.
“Rupanya kau sudah tahu kalau aku
yang memiliki bunga itu, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Lasti dingin.
“Ya. Karena tak ada orang lain
lagi yang tahu tempat penyimpanannya selain kau. Mustahil bunga itu hilang
begitu saja dari tempatnya.”
“Kau baru datang siang tadi, tapi
sudah tahu segalanya. Aku mengagumi kepintaranmu dalam menilai, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi sayang, kau akan mati malam ini,” semakin dingin suara
Lasti.
“Terima kasih.”
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali
Sakti. Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”
Hampir bersamaan, mereka melompat
saring menerjang. Lasti melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi
dengan tangan kirinya. Serangan itu langsung disambut Rangga dengan hentakan
tangan kanannya. Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu di udara, hingga
menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Tampak mereka sama-sama terpental
berputaran ke belakang. Hampir bersamaan pula, mereka mendarat kembali di
tanah. Lasti langsung melesat lagi begitu kakinya menjejak tanah. Bagaikan
kilat, pedangnya dikebutkan ke arah dada Rangga. Namun dengan gerakan manis
sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari tebasan pedang wanita
berbaju serba hitam ini.
Pertarungan memang tak dapat
dihindari lagi. Lasti yang sudah banyak mendengar kedigdayaan Pendekar Rajawali
Sakti, tidak lagi bermain tanggung-tanggung, meskipun sekarang ini sudah
menguasai Bunga Wijayakusuma Merah yang membuat kepandaiannya jadi berlipat
ganda. Bahkan tubuhnya juga jadi kebal terhadap senjata. Itu terbukti ketika
pedang Aria Kandaka patah begitu membabat lehernya.
Jurus demi jurus berlalu cepat.
Sampai sepuluh jurus berlalu, Rangga masih menghadapi dengan tangan kosong.
Beberapa kali pukulannya berhasil mendarat, tapi tak sedikit pun membuat Lasti
goyah. Bahkan wanita itu kelihatan semakin garang. Dan setiap pukulan Rangga
yang mendarat di tubuhnya, membuat kekuatan wanita itu terus bertambah. Hingga,
tak sedikit pun merasa sakit setiap kali mendapat pukulan Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hm... Kekuatannya semakin
bertambah besar saja. Sungguh dahsyat pengaruh bunga itu pada dirinya,” gumam
Rangga langsung menyadari.
Sementara Lasti semakin dahsyat
saja melancarkan serangan-serangannya. Dan Rangga tidak lagi membalas
menyerang. Dia hanya berkelit, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang
datang. Pendekar Rajawali Sakti terus mencari kelemahan wanita berbaju serba
hitam itu. Hingga akhirnya....
“Hiyaaat..!”
Tiba-tiba saja Rangga
melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat tubuhnya meluruk deras membuka
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali serangan yang dilakukan
Rangga kali ini, sehingga Lasti tak sempat lagi menyadari. Dan sebelum wanita
berwajah penuh luka itu melakukan sesuatu, kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah
mendepak kepalanya.
“Akh...!” Lasti terpekik keras
agak tertahan. Wanita bermuka buruk penuh luka itu kontan terhuyung-huyung
terkena dupakan kaki Rangga pada kepalanya. Dan sebelum dapat berbuat sesuatu,
Rangga sudah mencabut pedang pusakanya. Sinar biru langsung menerangi
sekitarnya. Kemudian pedangnya dikebutkan ke arah dada. Tapi Pendekar Rajawali
Sakti menahan arus tebasan sedikit, sehingga ujung pedangnya hanya menebas baju
bagian dada wanita itu.
Bet!
“Ikh...?!”
Lasti jadi kelabakan, karena bagian
dadanya jadi terbuka. Pada saat itu, tangan kiri Rangga bergerak cepat
menyambar bagian perut wanita itu.
Bret!
“Hup!”
Rangga cepat-cepat melompat ke
belakang. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan
kakinya sejauh dua batang tombak dari wanita berbaju serba hitam ini. Di tangan
kirinya kini telah tergenggam sobekan baju Lasti. Di antara sobekan kain itu,
terdapat sekuntum bunga berwarna merah bagai berlumur darah.
“Keparat..!” geram Lasti.
Rangga tersenyum melihat hasil
serangannya begitu memuaskan. Kini tak ada lagi kekuatan yang dimiliki Lasti
tanpa Bunga Wijayakusuma Merah. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali
Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang
langsung lenyap seketika begitu pedang itu tenggelam ke dalam warangka.
“Kubunuh kau, Rangga! Hiyaaat..!”
Lasti jadi nekat. Bagaikan kilat
dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dikibaskan disertai
pengerahan seluruh kemampuan tenaganya. Tapi hanya sedikit saja Rangga menarik
tubuh ke belakang, tebasan pedang itu berhasil dihindari. Bahkan Pendekar
Rajawali Sakti berhasil memasukkan satu sodokan tangan kanan ke dada wanita
ini.
“Akh...!”
Lasti terpental ke belakang, dan
tidak dapat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh
telentang di tanah. Dan pada saat itu, Aria Kandaka melompat cepat sambil
mengayunkan sebilah golok yang dipungutnya dari tanah.
"Hiyaat..!"
"Paman, jangan...!"
seru Rangga mencoba mencegah. Tetapi terlambat...
Bres! "Aaa...!"
Golok di tangan Aria Kandaka
langsung menghunjam dalam ke dada wanita berwajah buruk penuh luka itu. Darah
seketika menyembur deras sekali. Lasti berkelojotan, sementara golok masih
memanggang dadanya dengan dalam hingga sampai ke pangkal gagangnya.
Tak berapa lama dia mengejang,
kemudian tak bergerak-gerak lagi. Aria Kandaka cepat melompat mundur begitu
melihat bekas kekasih yang telah menjadi musuh bebuyutannya sudah tak bernyawa
lagi. Saat itu Rangga sudah berada di sampingnya. Perlahan Aria Kandaka memutar
tubuhnya menghadap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya pendekar muda
itu, lalu pandangannya beredar ke sekeliling.
“Pergilah. Bawa bunga itu untuk
Nyai Karti. Dia lebih membutuhkan daripada aku,” kata Aria Kandaka.
“Bagaimana dengan di sini?” tanya
Rangga.
“Biar aku yang mengurus. Tidak
semua muridku berkhianat,” sahut Aria Kandaka.
Memang di tempat ini, terlihat
beberapa orang pemuda berbaju serba merah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang
berbaju hitam sudah menjatuhkan diri, berlutut begitu melihat Lasti tewas. Dan
orang-orang persilatan yang masih berada di padepokan ini, satu persatu
menyingkir meninggalkan bagian belakang padepokan ini. Mereka seperti tidak mau
tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Rangga menatap dua orang gadis
kembar yang tadi menyatu bersama orang-orang persilatan tamu undangan Padepokan
Gunung Lawu ini. Rangga tidak lagi terkejut melihat mereka. Memang sudah diduga
kalau kedua gadis kembar itu pasti datang kembali ke padepokan ini untuk
mencari Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat dibutuhkan bagi penyembuhan ibu
mereka dari kelumpuhan. Rangga tak peduli kalau kedua gadis itu merasa malu,
karena tak mempercayainya.
“Aku akan kembali lagi ke sini,
Paman,” kata Rangga.
“Kedatanganmu selalu kuharapkan.
Pergilah, sebelum ada di antara mereka yang menginginkan bunga itu,” sahut Aria
Kandaka.
Rangga menjura memberi hormat,
kemudian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati dua orang gadis kembar itu.
Sementara Aria Kandaka masih berdiri memperhatikan. Sebentar Rangga berbicara
pada Dewi Kembar dari Utara, kemudian mereka sama-sama beranjak pergi
meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
TUNTUTAN GAGAK IRENG
Emoticon