THALHAH BIN UBAIDILLAH
PAHLAWAN PERANG UHUD
“Di antara orang-orang Mu’min itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun juga … ! “
Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat
yang mulia ini, beliau menatap wajah para shahabatnya sambil menunjuk
kepadaThalhah sabdanya:
“Siapa yang suka melihat seorang
laki-laki yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan
nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah …
Tak ada satu kegembiraan yang paling
didambakan oleh shahabat Rasul, di mana hati mereka terbang
merindukannya, melebihi kedudukan seperti yang disandangkan Rasul kepada
Thalhah bin Ubaiaillah ini! Karena itu, tidak heran bila Thalhah
hatinya tenteram mendengar akhir hayatnya serta kesudahan nasibnya dalam
hidup ini . . . . Ia akan hidup dan mati dan termasuk salah seorang dari mereka yang menepati benar apa, yang
telah mereka janjikan kepada Allah, dan ia tak terkena fitnah dan tidak
mendapat kesukaran …. la telah digembirakan Rasul akan beroleh surga.
Nah, bagaimanakah riwayat kehidupannya, orang yang telah diramalkan akan
berbahagia itu …. ?
Dalam perjalanannya berniaga ke kota
Bashra, Thalhah sempat berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik.
Di waktu itu sang pendeta memberi tahu padanya, bahwa Nabi yang akan
muncul di tanah Haram, sebagaimana telah diramalkan oleh para Nabi yang
shaleh, masanya telah datang menampakkan diri . . . . Diperingatkannya
Thalhah agar tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan itu, yaitu
kafilah pembawa petunjuk rahmat dan pembebasaan ….
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di
negerinya Mekah sesudah berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra dan dalam
perjalanan, ia menangkap bisik-bisik penduduk . .. dan mendengar
percakapan tentang “Muhammad al-Amin” . . . dan tentang wahyu yang
datang kepadanya . . . begitu pun tentang kerasulan yang dibawanya
kepada seluruh ummat manusia . . . .
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar.
Maka diketahuinyalah bahwa ia baru saja
pulang dengan kafilah beserta barang perniagaannya, dan bahwa ia berdiri
di samping Muhammad saw. selaku Mu’min, sebagai pembela yang
menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri:
‘Muhammad saw. dan Abu Bakar? Demi Allah, tak mungkin kedua orang ini
akan bersekongkol dalam kesesatan kapan pun!”
Muhammad saw. telah mencapai usia 40
tahun. Kita belum pernah mengenal kebohongannya sekalipun dalam jangka
usianya yang sekian lama itu …. Apakah mungkin ia berdusta hari ini
terhadap Allah, . . .. lalu mengatakan bahwa Tuhan telah mengutusnya dan
mengirimkan wahyu kepadanya . . . ? Suatu hal yang tidak masuk akal … !
Thalhah mempercepat langkahnya menuju
rumah Abu Bakar. Tak berlangsung lama pembicaraan di antara keduanya,
maka rindunya hendak menemui Rasulullah saw. dan hasratnya hendak
berjanji setia kepadanya serasa semakin cepat dari debar jantungnya
sendiri . . . . Ia ditemani Abu Bakar pergi kepada Rasulullah saw. di
mana ia menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah yang
diberkati ini … dari angkatan pertama. Begitulah Thalhah termasuk orang
yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu
Sekalipun ia orang yang terpandang dalam
kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaannya yang selalu
meningkat, namun ia tidak luput menderitakan penganiayaan dari
orang-orang Quraisy karena Islam. Untunglah ia dan Abu Bakar mendapat
perlindungan dari Naufal bin Khuwailia, si Singa Quraisy paman Khadijah
istri Rasul …. Sehingga penganiayaan terhadap keduanya tidak berlangsung
lama, karena orang-orang musyrik Quraisy merasa Segan kepadanya serta
takut pula akan akibat perbuatan mereka . . . .
Thalhah hijrah ke Madinah sewaktu
orang-orang Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan
semua peperangan bersama Rasulullah saw. kecuali perang Badar, karena
waktu itu, Rasul mengutusnya bersama Sa’ia bin Zaia untuk suatu
keperluan penting keluar kota Madinah ….
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan
tugas mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah, kebetulan Nabi dengan
para shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari perang Badar.
Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena
tidak menyertai Rasulullah saw. berjihad dalam peperangan yang pertama
itu.
Tetapi Rasul telah menenteramkan hati
mereka hingga tenang dan mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap
memperoleh pahala dan ganjaran yang sama seperti orang-orang yang
berperang. Bahkan Rasul membagikan rampasan perang kepada keduanya tidak
kurang dari yang didapat oleh mereka yang menyertainya ….
Sekarang datanglah masa perang Uhud yang
akan memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang
tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di perang Badar dan
untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpakan kekalahan yang
menentukan atas Muslimin yang menurut. perkiraan mereka suatu soal mudah
dan pasti dapat terlaksana … !
Peperangan dahsyat pun berlangsunglah dan
korban-korban yang berjatuhan segera menutupi muka bumi … serta
kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin …. Kemudian sewaktu Kaum
Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan
senjata, dan para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi
memperebutkan harta rampasan ….
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah pasukan
Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa
dan menguasai kendali pertempuran ….
Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi
dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang
tiba-tiba itu, rupanya telah mengkucar-kacirkan barisan Kaum Muslimin . .
. . Thalhah memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah saw.
berdiri.
Dilihatnya Rasulullah menjadi sasaran
empuk serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan
cepat segera ke arah Rasul …. Thalhah r.a. terus maju menebas jalan yang
walaupun pendek tetapi terasa panjang . setiap jengkal jalan dihadang
puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari
mangsanya….
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw.
bercucuran darah dari pipinya, sedang beliau menahan kesakitan yang amat
sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya jalan pintas, dengan
satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya, dan benarlah .. . di
hadapan Rasul sekarang ia menemukan apa yang ditakutinya . . .
pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar ke arah Rasul, mengepung dan
hendak membinasakannya ….
Bagaikan satu peleton tentara jua,
Thalhah berdiri kukuh, dan mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan
ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasul yang mulia menetes dan mendengar
rintihan kesakitannya. Maka diraihnya Nabi dengan tangan kiri dari
lobang tempat kakinya terperosok. Sambil memapah Rasul yang mulia dengan
dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mengundurkan diri ke tempat yang
aman, sementara tangan kanannya , Allah memberkati tangan kanannya
mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet
orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul bagaikan belalang
memenuhi medan pertempuran ….
Marilah kita dengarkan Abu Bakar Shiadiq r.a. menggambarkan keadaan medan tempur kala itu: Kata Aisyah:
Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu
Bakar selalu berkata: “Itu semuanya adalah hari Thalhah . . . ! Aku
adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi saw., maka berkatalah Rasul
kepadaku dan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah: “Tolonglah saudaramu itu
. . . . (Thalhah)!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur
tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka berupa tusukan tombak,
sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata pula anak jarinya putus
. . . maka kami segera merawatnya dengan baik”.
Di semua medan tempur dan peperangan
Thalhah selalu berada di barisan terdepan mencari keridaan Allah dan
membela bendera Rasulnya. Thalhah hidup di tengah-tengah jama’ah
Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang beribadat, dan
berjihad pada jalan-Nye bersama mujahidin yang lain. Dengan tangannya
dikukuhkanlah bersama kawan-kawan yang lain tiang-tiang Agama yang baru
ini, Agama yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang terang benderang ….
Dan Bila ia telah melaksanakan haq
Tuhannya, ia pergi berusaha di muka bumi, mencari keridaan Allah, dengan
mengembangkan perniagaannya yang memberi laba, dan usaha-usaha lain
yang membawa hasil. Thalhah r.a. adalah seorang Muslim yang terbanyak
hartanya dan paling berkembang kekayaannya …. Semua harta bendanya
dipergunakannya untuk berkhidmat kepada Agama Islam, yang benderanya
dipanggulnya, bersama Rasulullah saw . . . . Dinafqahkannya hartanya
tanpa batas . . . dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya
secara tak berhingga pula.
Rasulullah saw. memberinya gelar “Thalhah
si Baik Hati atau “Thalhah si Pemurah” dan “Thalhah si Dermawan”,
sebagai pujian atas kedermawanannya yang melimpah-limpah. Dan setiap
kali ia mengeluarkan hartanya sebegitu banyak, maka ternyata Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceriterakan
kepada kita, katanya: “Suatu hari saya menemukan Thalhah berdukacita,
saya bertanya kepadanya: “Ada apa dengan kanda … ?”
Maka jawabnya: “Soal harta yang ada
padaku ini semakin banyak juga, hingga menyusahkanku dan menyempitkanku
. . !” Kataku: “Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja … !” Ia lalu berdiri
memanggil orang banyak, kemudian membagi-bagikannya kepada mereka,
hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham pun. . . .
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, maka dilihatnya tumpukan harta, lalu mengalirlah
air matanya, kemudian katanya: “Sungguh, Bila seseorang dibebani harta
yang begini banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pasti akan
mengganggu ketenteraman ibadah kepada Allah . . . !” Kemudian
dipanggilnya sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa
hartanya itu berkeliling melalui jalan-jalan kota Madinah dan
rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai Siang sehingga tak ada
pula yang tinggal lagi walau satu dirham pun ….
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula
kepemurahan Thalhah dengan berkata: “Tak pernah aku melihat seseorang
yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta
lebih dulu, daripada Thalhah bin Ubaidillah …!” Ia adalah seorang yang
paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kaum kerabatnya;
ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun demikian banyaknya . . . .
Mengenai itu dikatakan orang tentang dirinya: “Tak seorang pun dari
Bani Taira yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya perbelanjaan
keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya pekerjaan
keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka …. !.
As-Sa’ib bin Zaia, lain pula ceriteranya
tentang Thalhah: “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun
waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata
kepemurahannya, baik mengenai uang atau makanan daripada Thalhah . . .!”
Timbul fitnah yang terkanal dalam masa
Khilafat Utsman r.a. Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang
Utsman dan membenarkan sebagian besar tuntutan mereka mengenai perubahan
dan perbaikan …. Tetapi dengan pendirian itu, apakah ia mengajak orang
membunuh Utsman atau ia merestuinya . . . ? Oh, seandainya ia tahu
bahwa fitnah itu akan berlarut-larut dan membawa kepada permusuhan dan
saling menuduh serta menimbulkan dendam kebencian yang menyala-nyala
hingga akhirnya jatuh qurban menemui ajalnya “Dzun Nurain” Utsman bin
‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam itu ….
Kita katakan: “Seandainya ia mengetahui
bahwa fitnah itu akan berakhir dengan pembunuhan seperti itu, pastilah
ia akan menentangnya bersama shahabat-shahabat yang mula-mula menyokong,
karena anggapan dan dugaan bahwa gerakan itu hanyalah sebagai gerakan
perbaikan dan peringatan semata tidak lebih … !”
Maka pendirian Thalhah ini berubah
menjadi kemelut hidupnya, yakni sesudah terjadinya cara kekerasan dan
kekejaman di mana Utsman dikepung lalu dibunuh orang ….
Tak lama setelah Imam Ali menerima bai’at
dari Kaum Muslimin di Madinah di antaranya Thalhah dan Zubair,
keduanya telah meminta izin pergi melaksanakan ‘umrah ke Mekah. Dari
Mekah mereka menuju Bashrah dan di sana telah berhimpun banyak kekuatan
yang hendak menuntutkan bela kematian Utsman ….
“Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang
Berunta adalah perang, di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut
bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan pemerintah di bawah
Khalifah Ali ….
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi
sulit yang sedang melanda Agama Islam dan Kaum Muslimin, timbullah
murung hatinya, melelehlah air matanya, dan terdengar isak tangianya . .
.!!
Ia telah dipaksa untuk bertindak keras.
Dalam kedudukannya selaku Khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan
tidak sepantasnya ia bersikap lunak terhadap pembangkangan atas
pemerintahan, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata melawan
Khalifah yang telah dikukuhkah syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan
pemberontakan semacam ini, maka ia selalu mencari jalan untuk
menghindarkan tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para shahabat dan
teman-temannya, para pengikut Rasul yang seagama, yaitu mereka yang
semenjak lama telah berperang bersamanya melawan tentara syirik,
menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang
mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka
sebagai saudara kandung yang saling membela.
Bencana apakah ini . . . ? Dan ujian
sulit apa lagi yang lebih dari itu . . . ? Dalam mencari jalan ke luar
dari bencana ini, dan untuk menjaga jangan sampai tertumpah darahnya
Muslimin, Imam Ali selalu mempergunakan setiap cara yang dapat dipakai
dan harapan yang dapat diandalkan. Tetapi orang-orang yang dahulu pernah
menjadi intrik-intrik Romawi dan kekaisaran Persi yang dahulu telah
menemui kehancurannya di saat kejayaan Islam di bawah Khalifah Utsman
nan bijaksana, dengan sikap munafik telah menyebar luaskan fitnah dan
hasutan, maka kekalutan tambah menjadi-jadi.
Ali menangis mengucurkan air mata sewaktu
ia melihat Ummul Mu’minin Aisyiah dalam sekedup untanya, bertindak
mengepalai balatentara yang hendak memeranginya . . . . Dan ketika
dilihatnya pula Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah itu
berada di tengah-tengah pasukan, Ali lalu memanggil Thalhah dan Zubair
agar keduanya muncul menghadapnya; keduanya pun tampillah hingga leher
kuda-kuda mereka bersentuhan, Ali berkata kepada Thalhah: “Hai Thalhah,
pantaslah engkau membawa-membawa istri Rasulullah untuk berperang,
sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah . . . !’ Kemudian
katanya kepada Zubair: “Hai Zubair, aku minta kau jawab karena Allah!
Tidakkah engkau ingat, di suatu hari Rasulullah lewat di hadapanmu
sedang ketika itu kita sedang berada di tempat Anu. Beliau berkata
kepadamu: “Wahai Zubair, tidakkah engkau cinta kepada Ali. . . !’ Maka
jawabmu: “Masa kan aku tidak akan cinta kepada saudara sepupuku, anak
bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu Agama denganku . . . !’
Waktu itu beliau berkata lagi: “Hai Zubair demi Allah, bila engkau
memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya . . . !” Waktu itu
berkatalah Zubair r.a.: –“Yah, sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan memerangimu … !”
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini
. Mereka menghentikan perlawanan, segera
setelah mengetahui duduk persoalan, dan demi melihat Ammar bin Yasir
berperang di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw.
kepada Ammar: “Yang akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka . .. !”Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk golongan orang yang durhaka … !
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari
peperangan, dan mereka terpaksa membayar harga pengunduran itu dengan
nyawa mereka. Tetapi mereka beruntung dapat menemui Allah mereka dengan
hati yang senang dan tenteram, disebabkan karunia yang telah
dilimpahkan-Nya kepada mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang benar ….
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang
laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang membunuhnya di kala ia sedang
lengah, yakni sewaktu ia sedang bershalat … ! Dan mengenai Thalhah, ia
dipanah oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayatnya….
Peristiwa terbunuhnya Utsman telah
mendatangkan keresahan pada jiwa Thalhah, hingga sebagaimana telah kami
katakan dahulu menyebabkan kemelut hidupnya. Padahal, ia tidaklah ikut
dalam pembunuhan, tidak ‘pula menghasut orang untuk
membunuhnya, ia hanya membela orang yang menentang Utsman, di waktu
belum ada tanda-tanda bahwa penentangan itu akan berlanjut dan
berlarut-larut hingga berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana yang
kejam …
Dan sewaktu ia ikut mengambil bagian
dalam perang Jamal bersama pasukan yang menentang Ali bin Abi Thalib
menuntut bela kematian Utsman, maka tujuannya dengan tindakan itu, ialah
untuk menebus dosa yang akan membebaskannya dari tekanan bathinnya.
Sebelum memulai pertempuran, dengan suara
yang tersekat oleh air mata, ia berdu’a dan merendahkan diri, katanya:
“Ya Allah ambillah sekarang balasan kesalahanku terhadap Utsman hingga
Engkau ridha kepadaku . . . . “. Maka tatkala ia ditemui Ali seperti
yang telah kita ceriterakan, kata-kata Ali telah menerangi hatinya,
sehingga bersama Zubair mereka melihat kebenaran lalu meninggalkan
medan perang.
Tetapi mati sebagai syahid telah
disediakan untuk mereka ber dua! Benar . . . ! Mati syahid adalah hak
Thalhah yang dikejarnya dan mengejar dirinya, di mana pun ia berada …
karena bukanlah Rasulullah telah bersabda tentang hal ini: “Inilah dia
orang yang akan mengurbankan nyawanya! Siapa yang ingin menyaksikan
seorang syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah Thalhah … !”
Karena itulah ia menemukan syahid, tempat
kembalinya yang agung dan yang telah ditentukan, dan dengan demikian
berakhir pula perang Jamal . . . . Ummul Mu’minin Aisyiah menyadari
bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapi persoalan itu, karena itu
ditinggalkannya Bashrah menuju Baitul Haram dan terns ke Madinah, tak
hendak campur tangan lagi dalam pertarungan itu. la dibekali oleh Imam
Ali dalam perjalanannya dengan segala perbekalan dan diiringi
penghormatan ….
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang
gugur sebagai syuhada di medan tempur, semua mereka dishalatkannya,
baik yang bertempur di fihaknya maupun yang menentangnya. Dan tatkala
selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya
dengan kata-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan
kalimat-kalimat berikut ini:
“Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar
aku bersama Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk di antara
orangorang yang difirmankan Allah:
“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya orang bersaudara, dan di atas pelaminan mereka bercengkerama berhadap- hadapan…. “. (Q.S. 15 al-Hijr: 47)
Kemudian disapunya makam mereka dengan
pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas
kasih, seraya katanya:
“Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda Rasulullah saw. Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga…. “.
Emoticon