QEIS BIN SA’AD BIN ‘UBADAH
KALAU TIDAKLAH KARENA ISLAM,MAKA IA LAH AHLI TIPU MUSLIHAT ARAB YANG PALING LIHAI … !
KALAU TIDAKLAH KARENA ISLAM,MAKA IA LAH AHLI TIPU MUSLIHAT ARAB YANG PALING LIHAI … !
Walaupun usianya masih muda, orang-orang
Anshar memandangnya seperti seorang pemimpin …. Mereka mengatakan:
“Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami,
niscaya akan kami lakukan”. Sebabnya is berwajah licin, tak ads suatu
pun kekurangan dari sifat-sifat kepemimpinannya yang lazim terdapat
pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal janggut yang oleh para pria
dijadikan sebagai tanda kejantanan pada wajah-wajah mereka.
Nah, siapakah kiranya pemuda yang sangat
dicintai kaumnya ini, sampai-sampai mereka siap mengurbankan harta untuk
membelikan janggut yang akan menghiasi mukanya, sebagai penyempurnaan
bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki dan kepemimpinan yang tinggi
yang sudah dimilikinya … ?
Itulah dia Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah!
Berasal dari keluarga Arab yang paling
dermawan dari turunannya yang mulia . . . . suatu keluarga yang
Rasulullah saw. pernah berkata terhadapnya:
“Kedermawanan menjadi tabi’at anggota keluarga ini!”
Ia adalah seorang lihai yang banyak tipu
muslihat, seorang Yang mahir, licin dan cerdik, dan orang yang terus
terang mengatakan secara jujur tentang dirinya:
“Kalau bukan karena Islam, saya sanggup
membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana
pun!” Sebabnya, karena ia adalah seorang yang tinggi kecerdasannya,
banyak akal dan encer otaknya.
Pada peristiwa Shiffin ia berdiri di
fihak Ali menentang Mu’awiyah . . . . Maka duduklah ia merencanakan
sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para
pengikutnya di suatu hari atau pada suatu ketika kelak. Namun ketika ia
menyaring macam-macam muslihat yang telah memeras kecerdasannya. Namun,
ketika ia menyaring itu disadarinya bahwa itu adalah suatu muslihat
jahat yang membahayakan. Maka teringatlah ia akan firman Allah swt.:
“Dan tipu days jahat itu akan hembali menimpa orangnya sendiri!” (Q.S. 35 al-Fathir:43)
Maka ia pun segera bangkit, lalu
membatalkan cara-cara tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, serta
mulutnya seakan-akan hendak mengatakan: “Demi Allah, seandainya
Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah
karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena keshalehan dan ketaqwaan
kita . . . . “.
Sesungguhnya pemuda Anshar suku Khazraj
ini, adalah dari suatu keluarga pemimpin besar, yang mewariskan
sifat-sifat mulia dari seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula
. . . . Ia anak dari Sa’ad bin ‘Ubadah, seorang pemimpin Khazraj, yang
akan kita temui riwayatnya di belakang kelak.
Sewaktu Sa’ad masuk Islam, ia membawa
anaknya Qeis dan menyerahkannya kepada Rasul sambil berkata: “Inilah
khadam anda ya Rasulallah!” Rasul dapat melihat pada diri Qeis segala
tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan . . . Maka dirangkul dan
didekatkannya ke dirinya dan senantiasalah Qeis menempati kedudukan di
sisi Nabi ….
Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan: “Kedudukan Qeis bin Sa’ad di sisi Nabi, tak ubah seperti ajudan”.
Selagi Qeis memperlakukan orang-orang
lain sebelum ia masuk Islam dengan segala kecerdikannya, mereka tak
tahan akan kelihaiannya. Dan tak ada seorang pun di kota Madinah dan
sekitarnya yang tidak memperhitungkan kelihaiannya ini secara hati-hati.
Maka setelah ia memeluk Islam, Islam mengajarkan kepadanya untuk
memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Ia
adalah seorang anak muda yang banyak – amalnya untuk Islam, karena itu
di kesampingkannya kelihaiannya, dan tidak hendak mengulangi lagi
tindakan-tindakan liciknya masa silam. Setiap ia menghadapi suatu
kejadian yang sukar, ia ingat kepada prakteknya yang lama, segera
sadarkan diri lalu diucapkannyalah kata-katanya yang bersayap:
“Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab . . .!”
Tak ada perangai lain pada dirinya yang
lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya . . . .
Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan perangai baru bagi Qeis, karena
ia adalah dari keluarga yang turun-temurun terkenal dermawan dan
pemurah.
Bagi Qeis sebagai telah menjadi kebiasaan
bagi orang-orang yang paling dermawan dan suka membantu di antara
suku-suku Arab, ada petugas yang Bering berdiri di tempat ketinggian
memanggil para tamu untuk makan Siang bersama mereka …. atau sengaja
menyalakan api di malam hari untuk menjadi petunjuk bagi para musafir
yang lewat. Orang-orang di zaman itu mengatakan: “Siapa yang ingin
memakan lemak dan daging, silahkan mampir ke benteng perkampungan Dulaim
bin Haritsah . . . !” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua dari
Qeis. Di rumah bangsawan inilah Qeis mendapat didikan kedermawanan dan
kepemurahan ….
Di suatu hari Umar dan Abu Bakar
bercakap-cakap sekitar kedermawanan dan kepemurahan Qeis sambil.
berkata: “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kepemurahannya,
niscaya akan habis licin harta orang tuanya … !” Pembicaraan tentang
anaknya itu, sampai kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, maka serunya: “Siapa dapat
membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar …?
Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku … !”
Pada suatu hari pernah ia memberi
pinjaman pada salah seorang kawannya yang kesukaran dengan jumlah besar .
. . . Pada hari yang telah ditentukan guna melunasi utang, pergilah
orang itu untuk membayarnya kepada Qeis. Ternyata Qeis tidak bersedia
menerimanya, ia hanya berkata: “Kami tak hendak menerima kembali apa-apa
yang telah kami berikan!”
Fithrah manusia mempunyai kebiasaan yang
tak pernah berubah, dan sunnah (hukum) yang jarang berganti-ganti
yaitu.: di mana terdapat kepemurahan, terdapat pula keberanian ….
Benarlah . . – , sesungguhnya dermawan sejati dan keberanian sejati
adalah dua saudara kembar yang tak pernah berpisah satu dari lainnya
untuk selama-lamanya. Dan bila anda menemukan kedermawanan tanpa
keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temukan itu bukanlah sebenarnya
kepemurahan …. tetapi suatu gejala kosong dan bohong dari gejala-gejala
melagakkan diri dan membusungkan dada. Demikian pula bila bertemu
keberanian yang tidak disertai kepemurahan, ketahuilah pula bahwa itu
bukanlah keberanian sejati, ia tak lain serpihan dari berani membabi
buta dan kecerobohan!
Maka tatkala Qeis bin Sa’ad memegang
teguh kendali kepemurahan dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat
tali keberanian dan kepeloporan dengan tangan kirinya. Seolah-olah
ialah yang dimaksud dengan ungkapan sya’ir:
“Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan. Maka segala kekejian berubah menjadi kebaikan”.
Keberaniannya telah termashur pada semua
medan tempur yang dialaminya beserta Rasulullah saw. selagi beliau masih
hidup …. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuranpertempuran
yang diterjuninya sesudah Rasul meninggal dunia. Keberanian yang selalu
berlandaskan kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kelihaian dan
kelicikan … dengan mempergunakan cara terbuka dan terus terang secara
berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isyu dari belakang dan tidak
pula dengan tipu muslihat busuk, tentu saja membebani dirinya dengan
kesukaran dan kesulitan yang menekan. Semenjak Qeis membuang jauh
kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi licik dan bersilat lidah
curang, dan ia membawakan diri dengan perangai berani secara terbuka
dan terus terang, maka ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini,
dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan
hati yang rela ….
sesungguhnya keberanian sejati memancar
dari kepuasan pribadi orang itu sendiri . . . . Kepuasan ini bukan
karena dorongan hawa nafsu dan keuntungan tertentu, tetapi disebabkan
oleh ketulusan diri pribadi dan kejujuran terhadap kebenaran – – – .
Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian di
antara Ali dan Mu’awiyah, kits lihat Qeis bersunyi-sunyi memencilkan
dirinya. Dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah
kepuasannya itu. Hingga akhirnya demi dilihatnya kebenaran itu berada
pada pihak Ali, bangkitlah ia dan tampil ke sampingnya dengan gagah
berani, teguh hati dan berjuang secara mati-matian. Di medan perang
Shiffin, Jamal dan Nahrawan, Qeis merupakan salah seorang pahlawannya
yang berperang tanpa takut mati …. Dialah yang membawa bendera Anshar
dengan meneriakkan:
“Bendera inilah bendera persatuan ….
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.
Dan sesungguhnya Qeis telah diangkat oleh
Imam Ali sebagai gubernur Mesir . . . . Tapi sudah semenjak lama
Mu’awiyah selalu mengincerkan matanya ke wilayah ini. la memandangnya
sebagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang
amat didambakannya . . . . Oleh karena itu tidak lama setelah Qeis
memangku jabatan sebagai Kepala Daerah itu, hampir terbit gilanya karena
takut Qeis akan menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir
sepanjang masa, bahkan sekalipun ia beroleh kemenangan nanti atas Imam
Ali dengan kemenangan yang menentukan ….
Begitulah Mu’awiyah berusaha dengan tipu
daya dan muslihat yang tidak terbatas pada suatu corak saja,
membangkitkan kemarahan yang tidak terbatas dari Imam Ali terhadap Qeis,
sampai akhirnya Imam Ali memanggilnya dari Mesir ….
Di sini Qeis memperoleh kesempatan yang
menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya dengan berencana. la
telah mengetahui berkat kecerdasannya bahwa Mu’awiyahlah yang memegang
peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qeis ke pihaknya
untuk memusuhi Imam Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk
membantunya.
Maka untuk mematahkan tipu daya tersebut,
Qeis memperkuat sokongannya terhadap Ali dan terhadap kebenaran yang
diwakili Ali. seorang pemimpin yang saat itu tempat tersangkutnya
kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qeis bin Sa’ad bin Tbadah . . . .
Demikianlah, tidak sedikit pun
dirasakannya bahwa Imam Ali telah memecatnya dari Mesir …. Bagi Qeis,
tak ada artinya wilayah kekuasaan, tak ada artinya pangkat kepemimpinan
dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sekedar sarana guna
mengabdikan diri bagi aqidah dan Agamanya . . . . Sekalipun jabatan
Kepala Daerah di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri
kepada yang haq, namun kedudukan di dekat Imam Ali di medan laga adalah
suatu jalan lain yang tak kurang penting dan menggairahkan ….
Keberanian Qeis mencapai puncak
kejujurannya dan kematangannya sesudah syahidnya Ali dan dibai’atnya
Hassan . . . Sesungguhnya Qeis memandang Hassan r.a. sebagai tokoh yang
cocok menurut syari’at untuk jadi Imam (Kepala Negara), maka berjanji
setialah ia kepadanya, dan berdiri di sampingnya sebagai pembela, tanpa
memperdulikan bahaya yang akan menimpa.
Dan di kala Mu’awiyah memaksa mereka
untuk menghunus pedang, bangkitlah Qeis memimpin lima ribu prajurit dari
orang-orang yang telah mencukur kepala mereka sebagai tanda berkabung
atas wafatnya Ali. Hassan mengalah dan lebih suka membalut luka-luka
Muslimin yang telah sedemikian parah, maka disuruhnya menghentikan
perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding
dengan Mu’awiyah dan kemudian bai’at kepadanya.
Di sinilah Qeis mulai merenungkan lagi
masalah tersebut, maka menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Hassan
adalah benar, maka pasukan Qeis tetap menjadi tanggung jawabnya dan
pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan musyawarah. Maka semua
mereka dikumpulkannya, lalu ia berpidato di hadapan mereka sambil
berkata:
“Jika kalian menginginkan perang, aku
akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita
diambil maut lebih dulu! Tapi jika kalian memilih perdamaian maka aku
akan mengambil langkah-langkah untuk itu . . . “.
Pasukan tentaranya memilih yang kedua
maka dimintanya keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh
sukacita, karena dilihatnya taqdir telah membebaskannya dari musuhnya
yang terkuat, paling gigih serta berbahaya … !
Pada tahun 59 H. di kota Madinah
al-Munawwarah, telah pulang ke Rahmatullah seorang pahlawan, yang dengan
keislamannya dapat mengendalikan kecerdikan dan keahlian tipu
muslihatnya serta menjadikannya obat penawar bisa.
Telah berpulang tokoh yang pernah berkata:
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …
Ia telah tiada dalam kedamaian, dengan
meninggalkan nama harum sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus
terang, dermawan dan berani ….
Benar . .. , ia telah berpulang dengan
mewariskan pusaka nama baik seorang laki-laki yang terpercaya, baik
tentang watak keislamannya maupun tentang tanggung jawab dan menepati
janji…
Emoticon