KHUBAIB BIN ‘ADI
PAHLAWAN YANG SYAHID DI KAYU SALIB
PAHLAWAN YANG SYAHID DI KAYU SALIB
Dan kini ….
Lapangkanlah jalan kepada pahlawan ini,
wahai para shahabat …. Mari kemari, dari segenap penjuru dan tempat ….
Datanglah ke sini, secara mudah atau bersusah payah …. Kemarilah
bergegas dengan menundukkan hati . . . . Menghadaplah untuk mendapatkan
pelajaran dalam berkurban yang tak ada tandingannya …. Mungkin anda
sekalian akan berkata: “Apakah semua yang telah anda ceritakan kepada
kami dulu bukan merupakan pelajaran-pelajaran tentang pengurbanan yang
jarang tandingannya?”
Benar . . . , semuanya pelajaran, dan
kehebatannya tak ada tandingan dan imbangannya …. Tapi kini kalian
berada di muka seorang maha guru baru dalam mata pelajaran seni
berqurban Seorang guru, seandainya anda ketinggalan menghadiri
kuliahnya, anda akan kehilangan banyak kebaikan-kebaikan yang tidak
terkira . . . . Mari bersama kami, wahai penganut aqidah dari setiap
ummat dan tempat. Mari bersama kami, wahai pengagum ketinggian dari
segala masa dan zaman . . . . Kamu juga, wahai orang-orang yang telah
sarat oleh beban penipuan diri dan berprasangka buruk terhadap Agama dan
iman . . . .
Marilah datang dengan kebanggaan palsumu
itu . . . . Marilah, dan perhatikanlah bagaimana Agama Allah itu telah
membentuk dan menempa tokoh-tokoh terkemuka …. Marilah perhatikan oleh
kalian! Kemuliaan yang tiada tara … kegagahan sikap,
ketetapan pendirian, keteguhan hati . . .
kepantang munduran … pengurbanan dan kecintaan yang tak ada duanya . . .
Ringkasnya, kebesaran yang luar biasa dan mengagumkan, yang telah
dikalungkan oleh keimanan yang sempurna ke leher pemiliknya yang tulus
ikhlas Tampakkah oleh anda sekalian tubuh yang diaalib itu . ? Nah,
inilah dia judul pelajaran kita hari ini, wahai semua anak manusia!
Benar . . . tubuh yang diaalib di hadapan kalian itulah sekarang yang
jadi judul dan mata pelajaran, dan jadi contoh teladan dan sekaligus
guru. Namanya Khubaib bin ‘Adi. Hafalkan benar dengan baik nama yang
mulia ini!
Hafalkan dan dengungkan serta lagukanlah
namanya, karena ia jadi kebanggaan dari setiap manusia, setiap agama,
dari setiap aliran dan dari setiap bangsa di setiap zaman … !
Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah
dan termasuk shahabat Anshar. Ia Sering bolak-balik kepada Rasulullah
saw. sejak beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul
Alamin. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh
dan berhati mulia. Ia adalah sebagai yang dilukiakan oleh Hassan bin
Tsabit, penyair Ialam sebagai berikut:
“Seorang pahlawan yang kedudukannya
sebagai teras orang-orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas
dan keras tak dapat ditawar-tawar”.
Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan
orang, terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang
pahlawan gagah perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin ‘Adi ini. Salah
seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya
di perang Badar ini dan tewas di ujung pedangnya, ialah seorang pemimpin
Quraiay yang bernama al-Harits bin ‘Amir bin Naufal. Setelah
pertempuran selesai dan siaa-siaa pasukan Quraiay yang kalah kembali ke
Mekah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka.
Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Ialam yang telah menewaskan
ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin ‘Adi … !
Orang-orang Ialam telah kembali ke
Madinah dari perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka
yang baru . . . Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat
beribadah, dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang ‘abid dan
kerinduan seorang ‘asyik …. Demikianlah ia beribadat menghadap Allah
dengan sepenuh hatinya . . . berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa
di waktu siang serta memahasucikan Allah pagi dan petang ….
Pada suatu hari Rasulullah saw. bermaksud
hendak menyelidiki rahasia orang-orang Quraiay, hingga dapat
mengetahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk
suatu peperangan yang baru …. Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari
para shahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin
mereka diangkat oleh Nabi, ‘Ashim bin Tsabit.
Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah
ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekah.
Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail
yang didiami oleh suku Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat
dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang-orang Ialam dan
mengikuti jejak mereka dari belakang ….
Pasukan bani Haiyan hampir Saja
kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma
berjatuhan di atas pasir . . . . Biji-biji itu dipungut oleh sebagian
di antara orang-orang ini, lalu mengamatinya berdasarkan firasat yang
tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab, lalu berseru kepada
teman-teman mereka: “Biji-biji itu berasal dari Yatsrib … nama lain dari
Madinah … Ayuh, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana mereka
berada … !
Dengan petunjuk biji-biji kurma yang
berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka
melihat dari jauh rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari
itu …. ‘Ashim, pemimpin penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar
musuh, lalu diperintahkannya kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak
bukit yang tinggi . . .. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun
dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum Muslimin lalu mengepung mereka
dengan ketat. . . .
Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin
menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya.
Kesepuluh orang ini menoleh kepada pemimpin mereka ‘Achim bin Tsabit
al-Anshan r.a. Rupanya ia menyatakan: “Adapun aku, demi Allah aku tak
akan turun, mengemia perlindungan orang musyrik . . . ! Ya Allah,
sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu . . .!”
Dan segeralah para pemanah yang seratus
orang itu menghujani mereka dengan anak panah …. Pernimpin mereka
‘Achim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun
gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap
akan dijamin keselamatannya sebagai dijanjikan. Maka turunlah ketiga
orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang shahabatnya . . .
Para pemanah mendekati Khubaib dan salah
seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat
keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal
pengkhianatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana
dilakukan ‘Achim dan teman-temannya, maka gugurlah ia pula menemui
syahid seperti yang diinginkannya ….
Dan demikianlah, kedelapan orang yang
terbilang di antara orang-orang Mu’min yang paling tebal keimanannya,
paling teguh menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas
kewajibannya terhadap Allah dan Rasul, telah menunaikan darma bakti
mereka sampai mati ….
Khubaib dan seorang temannya yang seorang
lagi Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tapi tidak berhasil
karena buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah
durhaka itu ke Mekah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga
orang banyak …. Keluarga Harits bin ‘Amin yang tewas di perang Badar,
cepat mengingat nama ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan
dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib
sebagai budak . . . untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka
kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Mekah
lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di perang Badar.
Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada
Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja terhadapnya
tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! Dan sementara itu, golongan
musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib,
Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur
hingga tembus ke bagian atas badannya ….
Khubaib telah menyerahkan dirinya
sepenuhnya, menyerahkan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir
hidupnya kepada Allah Rabbul’alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada
beribadat dengan jiwa yang teguh, keberanian yang tangguh disertai
sakinah atau ketenteraman yang telah dilimpahkan Allah kepada yang
dapat menghancurkan batu karang dan melebur ketakutan. Allah selalu
besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah . . . . Kekuasaan Allah
menyertainya, seakan-akan jari-jemari kekuasaan itu membalut dadanya
hingga terasa sejuk dingin ….
Pada suatu kali salah seorang puteri
Harits datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar
rumahnya, tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak,
memanggil dan mengajak orang Mekah menyaksikan keajaiban, katanya: “Demi
Allah saya melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil
memakannya . . . sedang ia terikat teguh pada besi … padahal di Mekah
tak ada sebiji anggur pun …. Saya kira itu adalah rizqi yang diberikan
Allah kepada Khubaib.
Benarlah Itu adalah rizqi yang diberikan
Allah kepada hambanya yang shaleh, sebagaimana dahulu pernah
diberikanNya seperti itu kepada Maryam anak ‘Imran, yaitu di saat:
“Setiap kali Zakaria masuk ke dalam
mihrabnya, dan ditemukannya rizqi di dekat Maryam …. Katanya: Dari mana
datangnya makanan ini hai Maryam? Jawabnya: Ia datang dari Allah,
sesungguhnya Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dengan tidak terhingga …. (Q.S. 3 Ali Imran: 37)
Orang-orang musyrik menyampaikan berita
kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami shahabat
dan saudaranya Zaid bin Ditsinnah. r.a. Mereka mengira dengan itu dapat
merusakkan urat sarafnya, serta membayangkan dan merasakan derita dan
siksa yang membawa kematian kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui
bahwa Allah telah merangkulnya dengan menurunkan sakinah dan
rahmat-Nya …. Terus mereka menguji keimanannya dan membujuknya dengan
janji pembebasan seandainya ia man mengingkari Muhammad dan sebelum itu
Tuhannya yang telah diimaninya …. Tetapi usaha mereka tak ubahnya
seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya…! Benar, keimanan
Khubaib tak ubah bagai matahari, baik tentang kuatnya, jauhnya maupun
tentang panasnya dan cahayanya . .. ! Ia akan bercahaya bagi
orang-orang yang mencari cahayanya dan ia akan padam menggelap bagi
orang yang menghendakinya gelap. Adapun orang yang menghampirinya dan
menentangnya maka ia akan terbakar dan hangus.
Dan tatkala mereka telah berputus asa
dari apa yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat
kematiannya … mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di
sanalah ia menemui ajalnya ….
Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib
minta idzin kepada mereka untuk shalat dua rakaat. Mereka
mengidzinkannya, dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar
menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya
kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya . . . . Khubaib pun
shalatlah dua rakaat dengan khusu’, tenang, dan hati yang pasrah . . . .
Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya, lemak manianya iman . . . maka
ia menyatakan cintanya kiranya ia terus shalat, terus shalat dan shalat
lagi ….Tetapi kemudian ia berpaling ke arah algojonya,
lalu katanya kepada mereka: “Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada
sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niacaya akan kulanjutkan lagi
shalatku … !”
Kemudian diangkatnya kedua pangkal
lengannya ke arah langit lalu. mohonnya: “Ya Allah, susutkanlah bilangan
mereka … musnahkan mereka sampai binasa … !” Kemudian diamat-amatinya
wajah mereka, disertai suatu keteguhan tekad lalu berpantun:
Mati bagiku tak menjadi masalah ….
Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah
Dengan jalan apapun kematian itu terjadi… . Asalkan kerinduan kepada-Nya
terpenuhi Ku berserah menyerah kepada-Nya . . . Sesuai dengan taqdir
dan kehendak-Nya Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah …. pada setiap
sobekan daging dan tetesan darah.
Dan mungkin inilah peristiwa pertama
dalam sejarah bangsa Arab, di mana mereka menyalib seorang laki-laki,
kemudian membunuhnya di atas salib … !
Mereka telah menyiapkan pelepah-pelepah
tamar untuk membuat sebuah salib besar, lalu. menyandarkan Khubaib di
atasnya, dengan mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnya
Orang-orang musyrik itu jadi buas dengan
melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu. roma. Para pemanah
bergantian melepaskan panah-panah mereka.
Kekejaman yang di luar batas ini sengaja
dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya
karena tersalib …. Tapi ia tak memicingkan matanya, dan tak pernah
kehilangan sakinah yang mena’ajubkan itu yang telah memberi cahaya
kepada wajahnya. Anak-anak panah bertancapan ke tubuhnya dan
pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya. Di kala itu salah seorang
pemimpin Quraiay mendekatinya sambil berkata: “Sukakah
engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal’afiat bersama
keluargamu?” Tenaga Khubaib pulih kembali, dengan suara laksana angin
kencang ia, berseru kepada para pembunuhnya: “Demi Allah tak sudi aku
bersama anak istriku selamat meni’mati kesenangan dunia, sedang
Rasulullah kena musibah walau oleh sepotong duri … ! ” Kalimat dan
kata-kata hebat yang menggugah ini pulalah yang telah diucapkan oleh
teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah sewaktu mereka hendak
membunuhnya . . .. Kata-kata yang mempesona itu yang telah diucapkan
oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang . . . yang
menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Ialam
mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya
itu: “Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai
manusia lain, seperti halnya shahabat-shahabat Muhammad terhadap
Muhammad.. .
Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba
yang memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk
mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan
segala kekejaman dan kebuasan . . . . Dekat ke tempat kejadian ini telah
berterbangan burung-burung bangkai dan burung-burung buas lainnya,
seolah-olah sedang menunggu selesainya para pembantai pulang
meninggalkan tempat itu, hingga dapat mendekat dan mengerubungi tubuh
yang sudah menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa – . . . Tetapi
kemudian burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan lalu
berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya seakan-akan mereka sedang
berbisik dan berbicara perlahan-lahan serta saling bertukar kata dan
buah fikiran. Dan tiba-tiba mereka beterbangan membelah angkasa, dan
pergi menjauh .. . . jauh … jauh sekali . . . . Seolah-olah burung ini
dengan perasaan dan nalurinya tercium akan jasad seorang yang shaleh
yang berdekat diri kepada Allah dan menyebarkan baunya yang harum dari
tubuh yang tersalib itu, maka mereka segan dan malu akan menghampiri dan
menyakitinya . . . !
Demikianlah burung-burung itu berlalu terbang berbondong-bondonm melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya ….
Orang-orang musyrik telah kembali ke
Mekah, ke sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan
permusuhan. Dan tinggallah tubuh yang syahid itu dijaga oleh sekelompok
para algojo bersenjata tombak dan pedang.
Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di
atas pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka
mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arah langit sambil berdoa
kepada Tuhannya Yang Maha Besar, Katanya: “Ya Allah kami telah
menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya
esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami … !”
Doanya itu diperkenankan oleh Allah ….
Sewaktu Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang
kuat, memberitahukan bahwa para shahabatnya dalam bahaya . . . dan
terbayanglah kepadanya tubuh salah seorang mereka sedang tergantung di
awang-awang ….
Dengan segera beliau saw. memerintahkan
shahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam . . . , yang segera
menunggang kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk
Allah sampailah mereka ke tempat yang dimaksud. Maka mereka
turunkanlah mayat shahabat mereka Khubaib, sementara tempat suci di bumi
telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan tanah yang
lembab penuh berkah ….
Tak ada yang mengetahui sampai sekarang
di mana sesungguhnya makam Khubaib. Mungkin itu lebih pantas dan utama
untuknya, sehingga senantiasalah ia menjadi kenangan dalam hati nurani
kehidupan, sebagai seorang pahlawan yang mati syahid di atas kayu salib …
Emoticon