Candika Dewi Penyebar Maut 05


1. PASUKAN BADAI 

KETIKA matahari telah sekitar satu jengkal di atas Gu- 
nung Kawi di sebelah timur, Wara Hita mengorak sema- 
dinya. 

Seluruh jasmaninya terasa segar-bugar. Seluruh urat 
di tubuhnya serasa penuh memancar dengan tenaga 
gaib yang begitu besar. 

Ia menghaturkan sembah. 

Di sekelilingnya telah sepi. Hanya tempat kecil ter- 
buka di puncak salah satu bukit. Dikelilingi semak- 
belukar dan tersembunyi. Dan di depannya hanyalah 
sebuah rumah batu yang ia yakin tak ada penghuninya. 

Ia pun tak pernah masuk ke sana. 

Mungkin di dalam sana ada ruangan di bawah ta- 
nah. Atau suatu terowongan entah ke mana. Setiap gu- 
runya masuk, pasti tak pernah tampak keluar. Dan ta- 
hu-tahu sudah datang dari luar. 

Wara Hita tidak meragukan kesaktian gurunya. Na- 
mun ia juga tidak mudah ditipu oleh suatu muslihat 
seperti itu. Pasti di dalam sana ada suatu terowongan. 

Itu pun bukan urusannya. 

Wara Hita sekali lagi menyembah dan berdiri. 

Badannya begitu indah di sinar matahari pagi. Putih- 
kuning mengkilap oleh sedikit keringat. Bagaikan pa- 
tung pualam dengan busana yang hampir tiada. 

Perlahan Wara Hita mulai memakai kembali pakai- 
annya. 

Dan ia pun memandangi dirinya sendiri. 

Ia cantik. Itu ia tahu. Dan tubuhnya sangat indah. 

Itu pun ia tahu. 

Sekali ia tertegun. Termangu. Saat-saat seperti itu, 
kala ia menyendiri dan separuh mengagumi keindahan 
dirinya, sering muncul rasa ragu. Patutkah ia mene- 
ruskan perjuangannya? Dan menyia-nyiakan anugerah 
Dewata pada dirinya ini? Untuk apa ia cantik, dan ber- 
tubuh indah, jika tidak ada yang menikmatinya? Jika ia 
tidak bisa menikmatinya? 

Ah. Mengapa pikiran seperti ini sekarang sering ke- 
luar? Adakah ini memang tuntutan naluriahnya? 

Wara Hita sudah berpakaian rapi kini, masih dalam 
pakaian prianya. Ia termenung dan duduk bersandar 
rumah batu itu, memperhatikan betapa matahari sedi- 
kit demi sedikit mulai membuatnya silau. 

Dulu ia selalu memandang jijik pada Wara Huyeng 
yang seolah selalu haus akan pria. Tapi kini ia merin- 
dukan kehangatan seorang pria! 

Benarkah? Lalu, siapa? 

Tak banyak pemuda yang masuk lingkaran perhati- 
annya. Pemuda dari Rahtawu itu? Memang tampan. Ta- 
pi hatinya tak tergerak sedikit pun. Atau... Sindura? 
Huh. Ia malah benci. Dan... pemuda seberang itu? 

Tak terasa Wara Hita tersenyum. 

Memang ada sesuatu yang aneh pada diri Tun Ku- 
mala. 

Sesuatu yang aneh. Wara Hita sendiri tak tahu apa- 
kah itu. Gagah, tidak. Tampan... yah! Tapi terlalu lem- 
but. Tapi begitu menawan. Begitu aneh senyumnya. 
Suaranya. Gerak-geriknya... Gila! Mengapa ia jadi me- 
mikirkan hal itu? Sebagai wanita prajurit, Wara Hita te- 
lah terbiasa menekan perasaan seperti ini. Toh secara 
alamiah dan naluriah muncul juga. 

Adakah pemuda lain? 

Wara Hita menghela napas panjang dan berdiri. Ti- 
dak. Ia tak boleh memanjakan diri dengan pikiran se- 
perti ini. 

Ia melihat berkeliling. Hasil latihannya tadi pagi. Di 
pahoman, tempat korban, terlihat sesosok tubuh ha- 
ngus. Jadi abu arang. Entah siapa. Ia pun tak usah 
mengurusnya. 

Tiba-tiba ia menjerit. Menyalurkan tenaga. Dan tu- 
buhnya melesat. Secepat kilat. Bagai meluncur di udara 
meninggalkan puncak bukit itu. 

Berloncatan dari puncak ke puncak. Melesat dari 
dinding jurang ke dinding jurang lainnya. Tak berapa 
lama Wara Hita telah berada di tebing bibir jurang 
Trang Galih. 

Di bawah sana kesibukan luar biasa telah terjadi. Di 
lembah sempit di sana itu beberapa kelompok prajurit 
tampak sedang berlatih dalam gerakan gelar-gelar pe- 
rang. Sayup-sayup juga terdengar teriakan lantang Wa- 
ra Huyeng dengan perintah-perintah tegas dan jelas... 
dan kadang-kadang sangat kotor. 

“Itukah Pasukan Badai?” tiba-tiba terdengar suara di 
sampingnya. Tak urung Wara Hita terkejut juga. Tiba- 
tiba saja di sampingnya telah berdiri seorang pria ber- 
tubuh sangat gendut dengan wajah sangat jelek. Ki Ju- 
ru Meya. 

Ki Juru Meya. Dia adalah salah satu warisan hidup 
dari Sang Bhre Wirabhumi. Dia juga yang sesungguh- 
nya menjadi otak gerakannya selama ini. Dia telah ber- 
susah payah mencari dan akhirnya menemukan Naga- 
bisikan, si orang sakti yang selama ini telah dikabarkan 
lenyap dari muka bumi. Dia juga yang bersusah payah 
mengumpulkan dana, baik dengan jalan merampas, 
memeras, atau membongkar kembali beberapa timbu- 
nan harta Sang Wirabhumi di beberapa tempat. Dia pu- 
la yang membuat siasat mengambil pusat gerakan dari 
sebelah barat, menjauhi pusat gerakan semula di ujung 
timur. 

Ki Juru Meya. Dia pun sakti. Menurut kabar, dia 
sama-sama berguru dengan Sang Bhre Wirabhumi 
hingga juga memiliki aji Rawa Rontek, ajian yang konon 
pernah dimiliki oleh Sang Maharaja Rahwana. Kelebi- 
hannya pula adalah aji Wayang, yang membuatnya de- 
ngan mudah dapat menyadap ilmu-ilmu lawan. Aji Wa- 
yang ini merupakan salah satu siasat yang kemudian 
dikembangkan Nagabisikan untuk membentuk Wara 
Hita. Nagabisikan memang pernah bermusuhan dengan 
Ki Megatruh. Dan kini kesempatan ini digunakannya 
untuk menjatuhkan musuh bebuyutannya itu. Mungkin 
tujuan Sang Guru bukan sepenuhnya membantu aku, 
pikir Wara Hita. Adalah karena murid-murid Ki Mega- 
truh itu yang dikabarkan telah berkembang yang mem- 
buat Sang Guru memilih ilmu Ki Megatruh untuk dis- 
adap—dan difitnah. 

“Kau harus bisa memusatkan pikiranmu, Nakmas!” 
kata Ki Juru Meya. Ki Juru Meya juga digelari si Seribu 
Muka. Mukanya selalu berubah-ubah. Memang bentuk 
tubuhnya takkan bisa ditutupinya. Tetapi orang terde- 
kat pun sukar mengetahui yang mana sebenarnya wa- 
jah Juru Meya yang asli. Wajah buruk inikah? Menurut 
cerita, bahkan Sang Wirabhumi pun pernah dirugikan 
oleh hal ini. Salah seorang panglima perang Raden Ga- 
jah berhasil menyusup ke dalam keraton Sang Wirabhu- 
mi dan bahkan hampir berhasil membunuhnya, dengan 
menyamar menjadi Ki Juru Meya—suatu hal sangat 
mudah dilakukan karena orang tak tahu yang mana 
wajah aslinya dan ia akan muncul dengan wajah yang 
mana. 

Satu hal yang diketahui Wara Hita. Jika berdua ber- 
samanya, seperti saat ini, maka sikap Juru Meya ber- 
ubah. Jadi begitu sopan dan lembut. Bahkan suaranya 
pun jadi lembut. Mudah-mudahan lawan—siapa pun 
mereka—tak mengetahui keunikan ini. 

“Kadang-kadang, aku bimbang, Kiai,” kata Wara Hita 
lembut pula. “Kita begitu kecil.” 

“Jauhkan pikiran seperti itu,” kata Juru Meya. Li- 
dahnya yang merah panjang tiba-tiba terjulur ke luar. 
Kemudian masuk lagi di sela-sela giginya yang beran- 
takan. Salah satu kelainan lagi adalah, Ki Juru Meya 
selalu memakai bahasa kasar jika hanya berdua dengan 
Wara Hita. Dan kebiasaan ini adalah karena sejak kecil 
Wara Hita dibesarkan oleh Juru Meya. “Sebatang anak 
panah yang kecil, sangat kecil, mampu merobohkan 
Sang Raja Raksasa Niwatakawaca yang begitu perkasa, 
bukan? Bukan kecilnya yang penting. Keampuhannya. 
Ketepatannya. ” 

“Menurut Kiai, apakah mereka sudah ampuh?” tanya 
Wara Hita. 

“Itu yang aku tidak senang. Kemajuan mereka agak 
lambat. Tapi mungkin karena... Wara Huyeng tidak me- 
miliki bahan-bahan yang tepat. Kedua anak Rahtawu 
itu belum bisa ditaklukkan?” 

Wara Hita menghela napas panjang. “Mereka bibit- 
bibit unggul. Dan dirawat oleh tangan-tangan mumpu- 
ni. Berbagai obat, racun, dan ajian telah kami gunakan. 
Kepercayaan mereka tak pernah luntur.” 

“Dan anak kecil itu?” 

“Huhhh! Anak itu begitu menggemaskan! Kami tak 
pernah bisa merasa yakin dia berpura-pura atau tidak. 
Terkadang dengan sukarela ikut berlatih. Terkadang... 
tiba-tiba saja berontak menghancurkan apa saja. Dan 
untuk menyadap ilmunya juga... begitu sulit! Guru per- 
nah sekali mencoba. Dan tiba-tiba Guru tertawa terba- 
hak-bahak tak keruan. Sesuatu yang tak pernah dila- 
kukan Guru sebelumnya.” 

“Apa yang terjadi?” 

“Menurut Guru, anak itu menyelimuti ilmunya de- 
ngan pikiran dalam bahasa... Tartar! Tentu saja bahasa 
Tartar karangannya sendiri. Karena itulah Guru jadi ge- 
li!” 

“Mmm. Kudengar memang anak itu luar biasa. Kalau 
memang ia tidak bisa diajak kerja sama... kenapa tidak 
dilenyapkan saja?” 

“Sudah beberapa kali aku usulkan. Bibi Huyeng sela- 
lu punya alasan untuk menolaknya.” 

“Nakmas, kau adalah raja. Walaupun itu belum ter- 
jadi, kau adalah raja. Bertindaklah selaku raja. Dengar- 
kan semua nasihat, semua sumbangan pikiran. Pertim- 
bangkan. Dan saat kau mengambil keputusan, maka 
keputusanmu mengikat semuanya. Dan harus dipatuhi. 
Sebagai raja, jika pun keputusanmu keliru, kau tak bo- 
leh dan tak dapat melimpahkan kesalahan pada siapa 
pun. Bahkan pada orang yang memberimu petunjuk 
untuk melahirkan keputusan itu. Itulah raja, Nakmas.” 

Wara Hita menundukkan kepala. Dan mengangguk. 
Agak lama kemudian ia terdiam memperhatikan keri- 
butan di bawah sana itu. 

Beberapa kelompok pasukan tampak menyerbu me- 
lalui rintangan-rintangan tumpukan batu dan terlibat 
dalam pertempuran seorang lawan seorang dengan 
menggunakan pedang-pedang kayu. Kemudian dari ba- 
gian belakang pasukan yang menyerbu muncul sebuah 
pasukan lain yang menerjang bagai bah dan menghan- 
curkan rintangan-rintangan batu itu dengan tangan ko- 
song! 

“Ah, gelar Roda Kereta!” Ki Juru Meya menyeletuk. 
“Itu akan sangat ampuh jika panglima di depannya sa- 
ngat tangguh dan bersenjatakan gada. Gada membuat 
lawan yang dihadapinya tidak langsung tewas. Dan ini 
punya dua akibat. Akibat kejiwaaan, pasukan lawan di 
belakang barisan depan akan tergoda untuk melirik ka- 
wan-kawan mereka yang roboh dan merintih minta to- 
long, dan akibat nyata, pasukan depan lawan akan ber- 
tumpuk hingga lebih memungkinkan diremuk oleh 
amukan Roda Kereta. Kelemahannya... jika pihak lawan 
tidak menyambutnya dengan jumlah yang banyak, te- 
tapi mengajukan beberapa ujung pasukan yang terdiri 
dari orang-orang tangguh. Sekali Roda Kereta itu terbe- 
lah oleh tusukan pasukan kecil itu, kekuatannya akan 
hancur.” 

“Mari kita coba pasukan itu! Yaiiiiiiiiiiiieeee!” jeritan 
Wara Hita melengking bergema saat tubuhnya terbang 
dari ujung tepi tebing meluncur ke lembah di bawah itu. 
Juru Meya langsung menyusul. Tubuhnya bagaikan 
bongkahan batu menggelinding di lereng tebing. 

Sesaat Wara Huyeng yang sedang berada di puncak 
sebuah bukit kecil terkesiap mendengar jeritan itu. Te- 
tapi kemudian dengan tenang ia melompat ke panca- 
ngan umbul-umbul. Sekali diangkatnya umbul-umbul 
warna jingga, sementara peniup terompet di sebelahnya 
meniupkan suatu nada melengking. Warna jingga di- 
goyangkannya di udara, disusul warna biru dan hijau. 
Dan tiba-tiba ketiga umbul-umbul itu dirobohkannya. 
Ganti warna merah dan putih naik. Bergoyang ke kiri 
dan ke kanan kemudian terpancang tegak. 

Terjadi perubahan di dasar lembah. Tiba-tiba saja, 
pasukan yang menyerbu tadi mundur dalam suatu ge- 
rakan surutnya arus ombak. Bergulung bergantian 
mundur dan berhenti. Dan tiba-tiba dari balik batu- 
batu berlompatan sebuah pasukan lain, menjerit hebat 
berteriak menghadang datangnya Juru Meya dan Wara 
Hita. 

“Gajah Mengamuk!” kata Juru Meya, berjumpalitan 
di udara dan berdiri tegak memasang kuda-kuda. Ia tak 
sempat berbicara lagi, serangan dari kiri-kanan mela- 
braknya. Juga Wara Hita. Entah dari mana beberapa 
belas pria berpakaian serba merah, dengan membawa 
perisai berlapis getah karet tebal dan membawa gada 
rantai tiba-tiba saja mengepungnya, mendesaknya, me- 
labraknya dengan ayunan gada yang makin lama makin 
berbahaya. Beberapa saat Wara Hita hanya bergerak 
tanpa berlandaskan ilmunya. Gesit sekali ia berloncatan 
menendang kiri-kanan. Namun perisai-perisai kenyal 
itu makin rapat menghadang dan begitu sulit diroboh- 
kan. Akhirnya tak ada jalan lain, ia melompat tinggi dan 
menyalurkan ajiannya. “Haiiiiiiiiittthhhhh!” 

Bentrokan beberapa tenaga perkasa memberikan wi- 
bawa suatu ledakan dahsyat. 

Orang-orang berpakaian serba merah itu sudah sem- 
burat. Yang ada di antara puing-puing batu adalah Ju- 
ru Meya, Wara Huyeng, dan Wara Hita. Ketiganya saling 
mengacungkan tangan menahan tenaga. 

“Nakmas... adalah suatu kehormatan bagiku bahwa 
Nakmas mencoba menghancurkan gelar ini dengan te- 
naga sakti Nakmas, tetapi apakah itu bukan berarti 
menyia-nyiakan jerih payahku selama ini?” tanya Wara 
Huyeng. 

“Bibinda benar, Ratu, harap Paduka menahan diri 
dengan tenaga sakti itu saat berlatih, he he he...” Juru 
Meya memakai bahasa menghormat, tetapi sikapnya ki- 
ni khas seperti biasa, kurang ajar. 

“Maaf, Bibi... Paman... hatiku memang sedang kes- 
al....” Wara Hita membuka gelar tenaganya. “Pasukan 
Bibi memang hebat. Bubarkan mereka. Beri anugerah.” 

Wara Huyeng memasukkan dua batang jarinya ke 
mulut. Dan bersuit keras sekali. Sekali pendek. Tiga kali 
panjang. Dan tanpa bersuara pasukan yang sedang ber- 
latih itu mundur ke ujung-ujung lembah, atau ke gua- 
gua batu di dinding jurang. 

Juru Meya mengamat-amati sebuah batu yang han- 
cur oleh tenaga Wara Hita tadi. Ia menggelengkan ke- 
pala. “Ratu... baru sampai tahap inikah aji Wajra Pra- 
yaga yang Paduka pelajari dari si tua Nagaberbisa itu? 
He he he... jangan-jangan si tua itu hanya kesengsem 
melihat Paduka dan lupa mengajarkan ilmu sebenar- 
nya, he he he he....” 

“Juru Meya, jika kau tak jaga lidahmu itu... kutarik 
hingga putus baru tahu kau!” hardik Wara Huyeng. 

“He he he, kalau lidahku putus, hilang sudah sumb- 
er kenikmatanmu selama ini, he he he....” Juru Meya 
tertawa, mencoba mencolek Wara Huyeng. 

“Bibi Wara Huyeng, pasukan Bibi cukup tangguh... 
hanya... hanya... kurang ujung-ujung tombak yang per- 
kasa,” kata Wara Hita. 

“Saat ini hanya Kusya yang memimpin Pasukan Me- 
rah tadi, senjata rantainya sungguh tepat untuk men- 
desak dan melibas tokoh musuh. Itu pun... hamba kira 
belum cukup. Para satria piningit dengan mudah bisa 
mengepung balik. Apalagi jika senapati mereka turun 
tangan sendiri.” Wara Huyeng termenung. “Kedua orang 
Rahtawu itu masih belum bisa diputar jiwanya.” 

“Tantri? Dia mau mengajarkan kewiraan pada me- 
reka ini?” tanya Wara Hita. 

“Anak gila itu! Ia begitu sering membuatku gemas. 
Sekali ia setuju untuk bekerja sama. Asal ia diperboleh- 
kan pergi ke Kapanjian. Ke Desa Pakisaji. Eh. Di sana ia 
hanya duduk-duduk di bawah sebatang pohon beringin 
putih. Seharian penuh. Hanya bermain-main tanah. Ke- 
tika kutagih janjinya, ia pun setuju. Dan seharian pe- 
nuh ia mengajarkan suatu ilmu. Katanya sih ilmu bari- 
san Rahula Wayu.” Beberapa saat Wara Huyeng ter- 
diam. 

“Lalu?” tanya Juru Meya tidak sabar. 

“Sorenya... seluruh pasukanku... mencret!” Wara Hu- 
yeng kemalu-maluan menutup muka dengan jubah bi- 
runya. 

Juru Meya tertawa terpingkal-pingkal. “Oh, pastilah 
saat itu waktu seluruh pasukanku tak berani mandi ka- 
rena sungainya he he he... he he he... he he he...” 

“Diam!” hardik Wara Huyeng. 

Wara Hita tersenyum pun tidak. 

“Beberapa kali Sang Guru juga dipermainkannya,” 
kata Wara Huyeng. 

“Aku tahu.” Wara Hita menunduk. “Bagaimana ke- 
dua murid Rahtawu itu?” 

“Yang bernama Anengah... agaknya mulai terbuka, 
hanya ia sangat dipengaruhi oleh Butir Hitam Tartar 
itu. Sedang Tara... ia malah beberapa kali mencoba bu- 
nuh diri, karenanya ia hamba taruh di ruang khusus.” 

“Yah. Lelaki yang tidak bunuh diri setelah bertemu 
denganmu sungguh lelaki gila, he he he...,” kata Juru 
Meya. 

“Mereka bertiga belum pernah bertemu, bukan?” 
tanya Wara Hita. 

“Belum, Nakmas,” sahut Wara Huyeng. 

“Baik. Aku akan menemui si Anengah itu. Tentang 
Tara... ia memang terlalu kuat pribadinya. Mungkin bi- 
sa dihadapkan pada Guru. Tantri... hm, lenyapkan saja 
anak itu sebelum menimbulkan penyakit.” 

“Tapi, Nakmas... Tantri akan sangat berguna bagi ki- 
ta... dia...” 

“Selama ini ia hanya mengacau, Bibi,” Wara Hita 
mengernyitkan kening. 

“Tapi kukira kita belum menggunakan semua cara 
untuk menaklukkannya.” 

“Mungkinkah ada cara lain?” tanya Wara Hita dingin. 

“Jangan-jangan sesungguhnya anak itu anakmu, he 
he he he...,” tawa Juru Meya. 

Wara Huyeng yang sedang berpikir keras melirik ta- 
jam pada orang buruk rupa itu. Tapi kemudian ia men- 
dapat ilham. 

“He. Ada. Bagaimana kalau Juru Meya yang mena- 
ngani Tantri? Atau... Tantri sangat lemah pada kaum 
wanita. Kita taruh saja ia di Pasukan Buih!” katanya 
gembira menatap Juru Meya. 

“Gila kau!” maki Juru Meya. 

“Tapi, Bibi Huyeng benar. Tantri memang punya sua- 
tu kelebihan... dan kita harus mencoba membukanya 
dengan cara apa pun. Ya.” Wara Hita mengangguk- 
angguk. “Coba taruh dia di Pasukan Buih-mu, Paman!” 


2. ANENGAH 

GUA ini khusus. Dipahat dari batu karang gunung. 
Kuat dan kukuh. Dengan balok-balok kayu besi sebagai 
terali rapatnya. Seperti kandang macan saja. 

Isinya memang sesungguhnya lebih kuat dari macan. 
Lebih galak dari macan. Dulu. 

Kini isi itu tak lagi segalak macan. Tak lagi sekuat 
macan. 

Anengah bahkan sudah tak mirip manusia utuh. 
Utuh dalam raga, utuh dalam pikiran. 

Siksaan. Rayuan. Paksaan. Dan Butir Hitam Tartar 
yang memberinya berbagai impian indah jika diisap a- 
sapnya. Ia mulai meragukan dirinya. Ia meragukan ke- 
tangguhannya. 

Ketika orang kasar bernama Ula Bandotan itu mem- 
bukakan pintu, yang terpikir olehnya pertama kali ada- 
lah jatah Butir Hitam itu. Ia gelagapan ketika ternyata 
Ula Bandotan menyiramnya dengan satu gentong air 
dingin. 

“Ugh... mana... mana...” Anengah bertanya sambil 
mencoba menghilangkan air dari wajahnya. 

“Mana gundulmu!” dengus Ula Bandotan. Dengan 
kasar orang itu mengangkat Anengah berdiri. “Bersih- 
kan badanmu! Ratu Gusti-ku akan menemuimu!” 

“Aku ingin... butiran hitam itu...,” desis Anengah ter- 
huyung. Dua orang anak buah Ula Bandotan memban- 
tunya mengeringkan muka dan badannya, mengganti 
kainnya serta merapikan rambutnya. 

“Kau akan dapat, pasti... asal kau baik-baik saja 
nanti di hadapan Ratu Gusti-ku, ya? Hayo!” 

“Tidak... aku harus membalas dendam. Gusti-mu... 
Ratu-mu... telah menghancurkan Rahtawu. Aku harus 
membalas dendam!” Sekuat tenaga Anengah menghan- 
tam dinding batu. Dan ia menjerit kesakitan. 

Ula Bandotan tertawa. 

“Ketika kau baru datang, kau bisa membuat dinding 
batu itu pecah... tapi sekarang jangan harap. Ayo!” 

Anengah diseret di antara lorong-lorong batu sempit 
yang sesak oleh bau asap obor di dinding. Pikirannya 
hanya satu, dan itu pun diucapkannya, “Mana... mana 
Butir Hitam itu... mana... aku... haus....” 

Ia baru saja diguyur air. Tapi kini mukanya telah ba- 
sah oleh keringat. Mulutnya terasa kering. Ia bahkan ti- 
dak membalas saat sepanjang perjalanan itu Ula Ban- 
dotan dan anak buahnya begitu royal memberikan ten- 
dangan dan pukulan. 

Tiba-tiba ia berada di tempat yang luas. Masih ber- 
ada di bawah tanah. Atau di dalam bukit batu. Api be- 
sar menerangi ruangan itu. Dan di salah satu tepinya 
air gemericik mengalir membasahi dinding di tempat ta- 
di dan ditampung oleh sebuah sungai bawah tanah ke- 
cil yang entah mengalir ke mana. Angin pun berembus. 
Entah dari mana. Membuat api bergoyang-goyang. Dan 
memberi suasana dingin. 

Ini tempat berlatih. Beberapa waktu yang lalu, entah 
kapan, setelah kakinya sembuh hampir tiap hari ia di- 
bawa ke sini. Dan diadu melawan seseorang berpakaian 
serba kuning, dan bahkan mukanya tertutup kerudung 
kuning. Atau wanita genit yang berpakaian serba biru 
itu. 

Mula-mula ia memang bersemangat untuk bertem- 
pur. Untuk melampiaskan kemarahannya. Kekesalan- 
nya. Tapi kemudian ia pun sadar bahwa ia diperguna- 
kan hanya untuk disadap ilmunya. Mungkin sudah ter- 
lambat ia sadar. Kedua orang itu makin mahir menggu- 
nakan beberapa ilmunya. Baik Sura-caya, Bantala Li- 
wung, atau bahkan Birawadana. Ketika ia mulai men- 
coba-coba mengacaukan gerakannya, sudah terlambat. 

Dan saat itulah ia mulai diberi Butir Hitam Tartar 
itu. Suatu butiran hitam. Yang dipasang di ujung suatu 
pipa. Dan dipanasi. Dan asapnya diisap dalam-dalam. 
Kemudian... ahhhh, berbagai mimpi indah akan diala- 
minya. Begitu nyata. Begitu ada. 

Tetapi jika kemudian ia sadarkan diri, seluruh tu- 
buhnya terasa lemah lunglai. Dan ia sangat meng- 
inginkan mengisap benda itu kembali. Sangat meng- 
inginkannya. Hingga akhirnya benda itu jadi senjata ba- 
gi mereka. Jika ia menginginkan benda itu, maka ia ha- 
rus membukakan lagi satu jurus ilmunya pada mereka. 

Mula-mula Anengah ingin berontak. Tetapi kemudian 
timbul pikirannya... untuk apa? Dan rasa keinginan itu 
pun lenyap. Bersama makin nyatanya rasa ingin akan 
Butir Hitam Tartar itu. 

Seperti saat ini. 

Mulutnya terasa sangat kering. Lidahnya serasa 
membengkak menggembung. Kepalanya serasa ditusuk- 
tusuk ribuan jarum. Dan ia sangat menginginkan asap 
dari Butiran Hitam Tartar itu. 

Ia dilepaskan oleh Ula Bandotan. Ia terhuyung ke 
depan. Lantai ruang ini datar. Kasar. Dari lempengan 
batu-batu kali. Dan ia terhuyung maju. Terantuk-an- 
tuk. Hampir roboh. 

“Duduklah, Kakang Anengah!” 

Suara itu merdu. Tapi serasa mendengung. Menya- 
kitkan telinga. Dan Anengah sadar akan bau harum itu. 
Kemudian ia sadar akan panggilan ‘Kakang’ yang lem- 
but. Ia mencoba berdiri tegak. Mencoba memusatkan 
pandangan. Ada warna-warna mencolok di depannya. 

Warna merah api menyala. Warna biru berkilau. 
Warna putih. Dan warna kuning. 

“Siapa kau... sss... siapa?” Anengah hampir tak kuat 
mengatakan itu. 

“Duduklah... istirahatlah...,” suara merdu itu berka- 
ta. Dan Anengah merasakan betapa beberapa tangan 
kuat memapahnya. Tidak menyeretnya. Maju. Dan du- 
duk di lantai batu yang dingin. 

Saat matanya sudah dapat diandalkan, dilihatnya si 
wanita baju biru. Seperti biasa, tersenyum genit. Dan di 
sampingnya seorang pria, berpakaian serba kuning. 
Dan manusia bertubuh bundar itu dengan lidah yang 
selalu terjulur. 

“Kakang Anengah, kami ingin berbicara baik-baik 
denganmu... kami harap kau bersedia...,” pria berbaju 
kuning itu berkata. Dan mungkin telinga Anengah yang 
kacau. Suara merdu itu datang dari seorang pria? Ane- 
ngah mengangkat muka. Wajah orang itu tampan. Baru 
kali ini ia melihatnya. Biasanya orang itu memakai ca- 
dar. Tapi... ah, ya, biarlah. Apa pedulinya. Yang penting 
ia bisa memperoleh... ah, mungkinkah ia akan diberi 
Butir Hitam itu? “Kakang Ula Bandotan...” Setengah 
merintih ia berpaling mencari pengawalnya. Dan tiba- 
tiba sebuah tendangan keras menghantam kepalanya. 

“Aughhh!” Anengah sampai terpental dan terbanting. 
Di depannya orang berpakaian serba kuning itu berdiri 
gagah dengan tangan bertolak pinggang. 

“Kakang Anengah, ingatlah bahwa kau seorang pen- 
dekar unggulan padepokan yang kenamaan,” orang itu 
berkata. Perlahan, tetapi tajam menusuk. “Bersikaplah 
gagah dan jantan!” 

Beberapa saat memang keutuhan pribadi Anengah 
seakan hendak kembali. Tetapi lemah lagi. “Aku... sa- 
kit... aku... lemah.... Beri aku obat....” 

“Nakmas, agaknya ia sudah tak tahan lagi, biarlah ia 
istirahat....” Wanita baju biru itu maju dan membantu- 
nya tegak, serta berbicara lembut. “Ayo, Bocah bagus, 
duduklah tegak.” 

“Kurasa tak ada perlunya lagi, Bibi, manusia ini su- 
dah tak berguna lagi,” si baju kuning berkata ketus. 

“Ah, kurasa dia hanya perlu istirahat, pengobatan, 
dan makanan yang cukup... bukankah begitu, Anak ba- 
gus?” kata si baju biru, mengelus kepala Anengah. 

Sesungguhnya Anengah jijik pada wanita baju biru 
ini. Tetapi saat ini, saat ia dalam keadaan terlemah, 
hanya si biru ini yang membelanya, yang merawatnya. 
“Aku perlu Butir Hitam itu...,” bisik Anengah. 

“Tentu, jangan khawatir,” bisik Wara Huyeng, men- 
dekap kepala Anengah ke dadanya yang lumayan itu. 
Dan dengan suara keras, hingga terdengar jelas oleh 
Anengah, Wara Huyeng berkata (sambil mengerdipkan 
mata yang tak terlihat oleh Anengah), “Nakmas, biar 
aku saja yang berbicara dengan Saudara Anengah ini. 
Sayang kan jika orang segagah ini terbuang begitu sa- 
ja....” 

“Tadinya aku juga berpikiran begitu. Tapi melihat 
keadaannya, mungkin lebih baik dijadikan mangsa bi- 
natang buas di hutan saja. Pengawal! Bunuh orang itu!” 

Dengan tegas Wara Hita berpaling. 

“Nakmas, kumohon... batalkan keputusan itu. Beri 
hamba waktu satu bulan saja,” pinta Wara Huyeng. 

“Baik. Sebulan. Tidak lebih!” Dan tiba-tiba saja Wara 
Hita melangkah mantap meninggalkan tempat itu. O- 
rang buruk rupa itu pun mengikutinya. 

Tinggal Anengah, Wara Huyeng, dan beberapa praju- 
rit penjaga. 

“Aduuuuh, hampir saja dunia kehilangan seorang 
pemuda tampan!” Tak malu-malu Wara Huyeng menci- 
umi Anengah. “Ugh... hampir saja lho. Sudahlah. Te- 
nangkan dirimu. Jika ada apa-apa aku akan membela- 
mu. Jangan takut. Oh, ya, Bocah bagus, kau sudah ta- 
hu namaku, bukan? Namaku Wara Huyeng... orang- 
orang memanggilku Gusti Sepuh. Aku tak suka itu. Ma- 
sakan aku sudah tua? Kau panggil aku Kakangmbok 
saja, ya, Anak tampan. Biar kita jadi saudara.” 

Bagi Anengah sesungguhnya tak penting. Apakah 
mereka jadi saudara, sahabat, ataukah suami-istri, atau 
hanya kumpul kebo. Pokoknya ia memperoleh Butir Hi- 
tam itu. Entah apa yang diberikan mereka pada butiran 
tersebut sehingga ia begitu ketagihan. 

“Butir Hitam itu...,” keluh Anengah. 

“Asal kau mau dengan sukarela, dengan hati terbu- 
ka, dengan tulus membantu kami?” rayu Wara Huyeng. 

“Ya... ya... pokoknya beri aku Butir Hitam itu...,” ke- 
luh Anengah. 

“Tentu, segera diambilkan. Oh, kasihan sekali kau, 
Anak tampan.” Wara Huyeng mendekap Anengah ke 
dadanya. “Kau akan betul-betul membantu kami, bu- 
kan?” 

“Ya, ya... cepat berikan...,” bisik Anengah. Hampir 
menangis. 


3. TARA DAN TANTRI 

TARA berada di sebuah bilik kecil. Keempat dindingnya 
adalah dinding batu. Salah satu dinding itu bisa dibuka. 
Entah bagaimana. Jika orang-orang yang menahannya 
memberinya makanan. 

Tak ada yang lebih membuat Tara menyesal, daripa- 
da kelahirannya di dunia ini. Dari awal, sungguh men- 
gecewakan. Siapa ayah-ibunya, ia tak tahu. Di mana ia 
sebenarnya lahir, ia tak tahu. Dan akhirnya... betulkah 
ia yang menyebabkan hancurnya Padepokan Rahtawu? 

Ia tak tahu banyak apa yang terjadi. 

Dan kejadian itu rasanya sudah lama sekali. 

Seakan terngiang di telinganya, lagu-lagu sejuk, la- 
gu-lagu keagamaan yang biasanya didengarnya di Pa- 
depokan Rahtawu. Kesejukan yang kemudian hancur 
oleh suara jerit-tangis para warga Rahtawu. Peman- 
dangan hijau indah di sekeliling padepokan itu selalu 
terhapus oleh pertarungannya dengan si... si bidadari. 
Itu pun kemudian lenyap oleh hajaran Suranggana pa- 
danya. Suranggana yang menuduhnya tak punya hati 
untuk melawan musuh. Suranggana yang akhirnya te- 
was di tangan sang bidadari. Dan itu memang disebab- 
kan oleh keragu-raguannya. 

Tara menyesali kehadirannya di dunia ini. 

Peristiwa selanjutnya, entah apa yang terjadi. Mung- 
kinkah ini mimpi buruk yang tak pernah berakhir? 

Terakhir ia ingat bahwa ia dijatuhi hukuman mati. 
Dan rasanya itu memang wajar. Tapi malam itu... 

Ia teringat, tiba-tiba saja Resi Rhagani muncul di ha- 
dapannya. 

Ia tak tahu, lewat mana. Dan bagaimana. Ruang itu 
hampir tidak cukup untuk bersila seorang diri. Dan gu- 
runya berdiri di sudut. Memandang murung padanya. 

“Guru!” Saat itu Tara merasa bagaikan mimpi, dan 
hanya bisa berseru terkejut. 

“Sayang kau harus lenyap, Tara,” kata gurunya lem- 
but. Atau... mungkin sesungguhnya gurunya tak berka- 
ta apa-apa dan sesungguhnya suara itu hanya khaya- 
lannya belaka? 

“Guru... putu maharsi begitu berdosa....” Mungkin ia 
berkata begitu. Mungkin juga, sekali lagi, ini hanya kha- 
yalannya. 

“Mungkin bukan kau yang dimaksud oleh Sang Bhre 
Daha... Mungkin bukan kau....” 

“Guru... apakah yang Mpungku maksudkan?” 

“Apa yang aku maksudkan, kini tak berarti lagi. Ke- 
putusan telah diambil. Dan kau harus mati.” 

“Putu maharsi rela, Mpungku!” 

“Aku yang tidak rela, Tara, tetapi inilah kehendak 
Mahesywara. Padahal... aku sangat mengharapkan da- 
rimu terpancar sinar kemegahan Wilwatikta. Aku sangat 
ingin, suatu waktu kau bertemu dengan kakek gurumu, 
yang menjadi sumber semua ilmu kita.” 

“Guru... putu maharsi begitu mengecewakan Guru....” 
Tara menunduk dalam-dalam. Dan, lama ia tak men- 
dengar kata-kata Sang Guru lagi. Lama. Sampai akhir- 
nya ia tersentak oleh munculnya sesuatu yang aneh. 
Bau harum yang begitu menusuk hidung. 

Ia terkejut dan sedikit membuka matanya. Dari su- 
dut matanya dilihatnya tempat itu terang. Pintu terbu- 
ka. Dan seseorang ada di sana. 

Gugup Tara mengangkat muka kini. Dan ia makin 
terkejut. 

Di depannya berdiri bidadari itu. Cantik. Berpakaian 
serba hitam. Selendang hitam menutupi seluruh tangan 
dan punggungnya yang berkulit kuning-putih. Dan juga 
menutupi sebagian wajahnya. Namun saat itu ia menu- 
runkan selendang yang menutupi wajahnya itu. Wajah 
yang mempesona. Wajah yang penuh daya sihir. Wajah 
yang cantik. Tersenyum. Matanya cemerlang. 

“Kkk... kkkau...” Tara tak bisa berbicara. 

“Ya... aku...” Bidadari itu tersenyum lebih lebar. Me- 
matikan obor di tangannya dengan sekali gerakan. Dan 
sebuah kekuatan menghantam dada Tara. Hingga ia 
pingsan. 

Tahu-tahu ia sudah berada di ruang ini. 

Entah kapan. 

Entah di mana. 

Beberapa kali si bidadari itu mengunjunginya. Mem- 
bujuknya. Memintanya untuk bergabung. Kemudian 
mereka bertempur. 

Di ruang ini. Atau di ruang luas tempat ia digiring. 

Namun Tara segera tahu bahwa bidadari itu hanya 
mempermainkannya. Hanya mengajaknya bertarung 
untuk mitra tanding saja. Bahkan untuk menyadap il- 
munya. Sesungguhnya si bidadari itu pastilah dengan 
mudah bisa membunuhnya. Jika mau. 

Maka penyesalan Tara pun makin memuncak. Kini ia 
akan terpaksa membocorkan rahasia perguruannya! Ia 
tak mau itu. Dan ia tahu ia tak bisa menghindar dari 
ilmu orang yang menawannya. 

Ia mencoba bunuh diri. 

Mula-mula dengan mencoba mematahkan pergela- 
ngannya sendiri. Atau menghantam kepalanya. Atau 
membenturkan kepalanya pada dinding batu. 

Maka kini dirantai. Pendek sekali. Berdiri bersandar 
pada dinding batu. Dengan tangan terbuka lebar mera- 
pat ke dinding. Dirantai pendek di pergelangannya. Di- 
rantai pula lehernya. Dan pinggangnya. Dan kakinya. 

Ia sama sekali tak bisa menggerakkan tubuhnya. 
Makanan dipaksakan masuk ke dalam mulutnya. Dije- 
jalkan. Atau perutnya dipukul hingga mau tak mau mu- 
lutnya ternganga dan makanan dilemparkan masuk. 

Ia sama sekali tak bisa bergerak. Hanya bisa menye- 
sali nasibnya. Beberapa kali ia dibujuk. Oleh si bida- 
dari. Atau seorang wanita lain yang sangat genit. Tapi 
penyesalan membuatnya membatu. Ia disiksa. Ia dira- 
cuni. Ia diobati. 

Dalam hati ia telah bertekad untuk tidak membuat 
kekeliruan lagi. Dan ia tetap bungkam. 

Ia hanya bisa mengetuk-ngetukkan gelang besi di 
tangannya ke dinding dalam usahanya untuk bunuh di- 
ri. Gelang besi membuat suara berketuk-ketuk di din- 
ding. 

Dan entah kenapa, ia merasa bahwa ada suara ketu- 
kan lain. 

Tadinya itu tak diperhatikan. Entah sudah berapa 
hari. Mungkin ini hanya impian juga. Tapi hari ini... Ia 
serasa baru sadar. 

Ketukan itu seirama dengan mantra-mantra upacara 
Sakalikarana. Upacara untuk menghadirkan dewa. 

Tempat apa ini sesungguhnya? Kemungkinan besar 
semacam penjara. Dan orang-orang ini agaknya gerom- 
bolan penjabat. Tak mungkin mereka begitu iseng rajin 
sekali mengetuk-ngetuk dinding dengan irama itu. 
Mungkin... ada orang lain yang ditawan? Ada orang se- 
nasib dengannya? 

Tak terasa Tara pun ikut mengetuk. Dengan gelang 
besi yang mencekam pergelangan tangannya ke dinding. 
Dan dalam hati ia ikut menyanyikan mantra tersebut. 
Dengan sepenuh hati, karena ia ingin melupakan kea- 
daan sekelilingnya. Dengan sedih hati, karena ia ter- 
ingat pula masa-masa ia menyanyikan mantra yang 
sama di Rahtawu. 

Kemudian, tiba-tiba saja, seolah dirasakannya ia me- 
nyanyikan mantra itu berdua bersama-sama orang lain. 
Ya. Berdua. Jelas suaranya berbeda! Dan jelas sekali. 
Seolah orang itu di dekatnya. 

Ia terkejut, membuka mata. Suara itu lenyap, walau- 
pun ketukannya masih ada. Ia menutup mata kembali. 
Mengetuk kembali. Menyanyikan mantra itu kembali. 
Makin bersungguh-sungguh. Makin khusyuk. Dan... ya. 
Suara itu terdengar lagi. 

Ia sadar. Seseorang mencoba menghubunginya de- 
ngan perasaan hati. Dengan hubungan batin. Sambil te- 
rus menyanyikan mantra itu, ia mencoba bertanya, da- 
lam hati, “Siapa kau?” 

“Kau sungguh cerdas,” suara itu terdengar. “Pu- 
satkan pikiranmu. Gunakan ilmu Coban Saleksa- mu.” 

“Tunggu, aku tak tahu ilmu itu!” dalam hati Tara 
berteriak. Tapi suara tadi telah lenyap. Dan ia menya- 
nyikan mantra sendiri. “Jangan pergi!” ia berseru dalam 
hati. Tangannya kembali giat mengetuk. 

Beberapa lama ia mulai memusatkan pikiran lagi. 
Dan suara itu muncul kembali, “He, ke mana kau?” 

“Aku tak tahu ilmu Coban Saleksa!” teriak Tara. 

“Oh,” suara itu seolah berseru heran. “Gunakan ilmu 
pemusatan pikiran!” ia seolah berkata tergesa-gesa. 

Dan Tara cepat menerapkan ilmu itu, yang memang 
diciptakan untuk memusatkan pikiran pada sesuatu, 
dan biasa digunakan saat Resi Rhagani sedang menga- 
jarkan suatu ilmu baru. 

“Ah, aku hampir tak kuat,” suara di dalam benaknya 
seolah terdengar. “Kau bukan murid Rahtawu?” 

“Siapa kau?” Tara bertanya curiga. 

“Berarti kau murid Rahtawu. Kau ditahan?” 

“Ya!” kata Tara dalam hati. “Siapa kau?” 

“Aku tak bisa bicara banyak, terlalu berat menembus 
pikiranmu. Terapkan ilmu ini dalam mantra Sakali- 
karana. Ketuk lagi jika kau sudah siap.” 

Dan suara itu hilang. 

Tara hampir menjerit putus asa. Kemudian timbul 
berbagai pikiran di benaknya. Pertama, benarkah per- 
cakapan dalam hati tadi terjadi? Kedua, siapa lawan bi- 
caranya? Ketiga, apakah ini bukan sesuatu yang me- 
nyesatkan? 

Sebab, permintaan terakhir tadi, jika dalam keadaan 
biasa, adalah sangat menggelikan dan tak mungkin bisa 
dilaksanakan. 

Jelas tadi ada kata Coban-Saleksa. Ini memberi pe- 
tunjuk bahwa percakapan itu benar terjadi. Tara belum 
pernah mendengar nama itu, jadi tak mungkin nama itu 
muncul begitu saja. Kemudian pertanyaan bahwa apa- 
kah dia benar murid Rahtawu. 

Tara memang pernah mendengar tentang percaka- 
pan dengan bisikan batin. Beberapa kali sewaktu ia se- 
dang berlatih sesuatu ilmu, gurunya sering membisik- 
kan suatu tuntunan, tanpa ia harus menunda apa yang 
sedang dilakukannya. Tetapi biasanya itu hanya berja- 
lan sepihak. Bisakah sekarang ia melakukannya dari 
dua belah pihak? 

Mantra tadi. Itu adalah salah satu mantra dalam 
upacara memohon doa restu para dewa. Memohon ke- 
hadiran para dewa. Dan itu berarti pelakunya harus 
mengosongkan pikiran. Dan benar-benar yakin. Benar- 
benar percaya akan kehadiran dewa yang dipanggilnya. 

Ah. Itukah yang diinginkan oleh siapa pun orang 
yang menghubunginya? 

Rasanya tak ada salahnya jika dilakukannya. 

Tara mulai bersemadi, memusatkan pikiran. Melu- 
pakan rasa sakit di tubuhnya. Melupakan rasa sedih di 
hatinya. Memusatkan pikiran untuk mengosongkan pi- 
kirannya. 

Entah berapa lama. 

Kemudian, mula-mula sangat kabur, sebuah suara 
mulai memasuki pikirannya. Makin lama makin jelas. 
Makin jelas. 

“Ah, kau sungguh cerdas. Dan kau ternyata murid 
Rahtawu,” suara itu berkata. 

“Bagaimana kau tahu?” 

“Aku begitu mudah memasuki pikiranmu.” 

“Kau... kkkau... duh... apakah...” 

“Tolol. Aku bukan gurumu.” Suara itu seakan terta- 
wa. 

“Apakah...” 

“Kita tak punya hubungan dalam tingkatan. Kau bo- 
leh berbicara bebas denganku....” Kembali suara itu me- 
nebak tepat apa yang dipikirkan Tara. 

“Tapi...” 

“Dalam usia pun tidak. Ini yang membuatku bi- 
ngung. Aku masih kecil, tetapi jauh lebih jago dari ka- 
lian. Mungkin guru kalian tak becus mengajar.” 

“Jika kau berkata tidak menghormat tentang guru- 
ku, lebih baik kita hentikan saja....” 

“Ah, dasar anak muda. Tak bisa mengendalikan pe- 
rasaan! Baiklah. Tapi jelas-jelas kukatakan, jika aku 
melawan gurumu pun belum tentu ada yang menang.” 

“Kau bilang tadi ‘kalian’. Siapa yang kaumaksud?” 

“Kakakmu Anengah. Dan adikmu Tari. Oh, Tari...” 
Dan suara itu menggumamkan suatu nyanyian. Tidak 
merdu. 

“Kakang Anengah! Dan Tari! Hei. Mereka ada di si- 
ni?” Sampai sesak napas Tara dan hubungannya sea- 
kan kacau. Ia cepat-cepat memusatkan perhatian lagi. 

“Jangan itu terjadi lagi!” Suara itu seakan berang. 
“Sakit kepalaku kaubuat, tahu?” 

“Maaf...” 

“Baik, kumaaikan.” 

“Siapa kau?” 

“Aku berteman dengan Tari. Oh, Tari... Entah dia se- 
karang di mana. Aku tunggu dia di Kapanjian. Dia tak 
muncul.” 

“Apa yang terjadi? Mengapa kau bisa yakin Tari akan 
ke Kapanjian? Apakah ia memang meninggalkan Rah- 
tawu?” 

“Banyak hal yang kau tak tahu, tapi tak bisa diceri- 
takan sekarang. Aku capek! Kau ingin melarikan diri 
dari sini?” 

“Ya!” 

“Ikutilah permintaan mereka.” 

“Ah. Jadi kau di pihak mereka?” 

“Bukan. Beberapa hari ini kurasakan kau ingin bu- 
nuh diri, bukan?” 

“Bbb... benar....” 

“Itu suatu keputusan yang baik. Nah, ikuti permin- 
taan mereka. Minta mereka membawamu ke puncak 
Jurang Grawah. Berusahalah untuk berada di tepi tubir 
jurang itu. Kemudian dengan langkah Sura-caya, lem- 
parkan dirimu ke dalam jurang itu. Jurang itu dalam- 
nya lebih dari seribu depa. Tubuhmu pasti hancur di 
dasarnya. Dan mereka tak mungkin berani mencoba 
menyelamatkanmu. Kalau kau betul-betul ingin bunuh 
diri lho! Sura-caya dilakukan dalam keadaan kau dis- 
edot bumi akan sangat luar biasa kecepatannya. Nah. 
Aku capek!” 

Dan hubungan itu putus. 

Tara terengah-engah. Nasihat macam apa itu? Per- 
tama, ia ditanya apakah ingin melarikan diri dari sini. 
Kedua, apakah ia ingin bunuh diri. 

Tapi memang. Bunuh diri agaknya jalan satu-satu- 
nya untuk lari dari sini. 

Hati Tara sedikit lega. 


4. PETUALANG WANITA 
GAGAH PERKASA 

KI MAHENDRA dan Sinom. Pasangan ini memang unik. 
Yang seorang jelas tua. Dengan kepala gundul. Jenggot 
dan kumis putih panjang terjurai. Berpakaian kain pu- 
tih kasar. Yang seorang lagi, wajahnya sulit ditentukan 
tua atau mudanya. Tapi cantik, ya. Rambutnya hitam, 
tebal, indah berkilau. Pakaiannya kain putih sutera 
yang mengkilap. Dengan sepasang tanduk rusa yang 
terselip di kain ikat pinggangnya. Entah itu senjata atau 
bukan, orang boleh menduga-duga sendiri. Sesungguh- 
nya sering juga Sinom menggunakan tanduk rusa itu 
sebagai penyangga periuk untuk memasak nasi atau 
sayur atau air. Ia pun tak peduli. 

Tingkah keduanya pun unik. Ki Mahendra menggu- 
nakan apa saja untuk bermain-main sepanjang perjala- 
nan. Sementara Sinom, seakan selalu ada saja yang 
membuatnya heran. 

Seperti saat mereka berdua memasuki desa Paruan. 
Sejak keluar dari hutan batas tadi Ki Mahendra sudah 
asyik bermain batu. Dengan sebatang tongkat kayu ia 
memukul sebutir batu, dan ke mana pun batu itu lari 
selalu dikejarnya. Sinom sendiri berlari-lari kecil, ber- 
nyanyi-nyanyi dan sebentar-sebentar berhenti untuk 
mengamati bunga, atau pohon, atau batu, atau sekali 
bahkan mengejar seekor burung dan berhasil menang- 
kapnya. 

Di mulut desa, Sinom berhenti sejenak. Di halaman 
rumah yang paling ujung di desa itu beberapa orang 
anak sedang bermain tanah. 

“Kakang Mahendra, sesungguhnya kita harus meng- 
akui, Bahni Tamoli kita bisa dengan mudah dikacaukan 
oleh kekuatan Kakang Megatruh. Ya nggak?” tanya Si- 
nom sambil memperhatikan anak-anak itu ramai, ma- 
sing-masing membuat gundukan dengan tangan me- 
reka, membentuk kerucut-kerucut tanah berpasir kecil. 

“Enak saja! Kau berkata begitu karena dia kakak- 
mu!” Ki Mahendra memukul batunya yang melayang 
melewati pagar di kiri jalan dan masuk ke halaman 
orang. 

“Kalau kita tidak merasa kalah, mengapa kita tergesa 
meninggalkannya?” tanya Sinom. Dilihatnya anak-anak 
itu masing-masing meludah hati-hati pada pucuk ke- 
rucut masing-masing. 

Mereka memang tergesa-gesa meninggalkan Tasik 
Arga, padepokan Ki Megatruh. Pertama karena mereka 
merasa bersalah (walaupun tak mungkin mengakui) 
atas perginya Nyai Rahula. Kedua, karena mereka se- 
sungguhnya malu (walaupun takkan mungkin mengaku 
juga) bahwa mereka kalah ilmu. Dan yang ketiga, me- 
reka memang tergesa-gesa mencari anak mereka, Tan- 
tri. 

Tapi begitu di perjalanan, seperti biasa mereka lupa 
akan ketergesa-gesaan itu. 

“He, Kakang Mahendra. Coba lihat itu. Bagus sekali!” 
Sinom bertepuk-tepuk tangan dan berlompat-lompatan 
kecil. Dilihatnya anak-anak tadi, setelah menunggu be- 
berapa saat, mencukil bagian puncak kerucut yang tadi 
mereka basahi dengan ludah. Kini puncak-puncak ter- 
sebut telah berbentuk kue! 

Tetapi Ki Mahendra tak menjawab. Ia sedang berlari 
ke belakang sebuah rumah mengejar batunya. Karena 
tak ada jawaban, maka Sinom pun melompati pagar 
dan mendekati anak-anak yang sedang bermain itu. 

“Hayo buat lagi, hayo buat lagi... bagus ya kuenya? Ba- 
ru bulan begini kok sudah membuat kue apam? Mana 
soma-nya., hayo! Masa makan kue tidak pakai minum? 
Apa ya enaknya....” 

Sinom berdiri di halaman itu, dengan kedua tangan 
di punggungnya, menelengkan kepala seolah-olah ber- 
pikir. Anak-anak tadi saat Sinom melompati pagar telah 
melompat mundur ketakutan. Dan mendengar suara 
asing yang lantang itu beberapa orang tua memuncul- 
kan kepala dari pintu-pintu rumah mereka. 

Seorang anak agaknya paling berani. Ia gundul. Te- 
lanjang. Hitam. Kotor. Ia maju dan berkata, “Biasanya 
kami main dengan kelapa muda... tapi sekarang kelapa 
mudanya sering diambil orang!” 

“Ah, kalau diambil orang kan tidak apa-apa... asal ti- 
dak diambil monyet... monyet seperti kau! Hi hi hi... kau 
seperti monyet tidak?” Sinom tertawa, bertanya. 

“Memang seperti... tapi kan monyet hitam, hayo! Hi 
hi hi...,” anak itu juga tertawa. 

“Hi hi hi... monyet hitam bisa manjat nggak? Itu kan 
ada pohon kelapa? Tunggu apa lagi?” tanya Sinom. 

“Tunggu sampai nanti bisa manjat, hi hi hi hi...,” 
anak itu tertawa lagi. 

“Lalu... kapan bisa manjat, hi hi hi...,” tanya Sinom. 

“Lha ya nanti kalau sudah lima tahun lagi, hi hi hi 
hi...jawab anak itu. 

“Waaaa, terlalu lama. Sekarang saja kau terbang....” 
Tiba-tiba saja Sinom menyambar anak itu dan melem- 
parkannya ke atas. 

Terdengar beberapa jeritan terkejut dan suara orang- 
orang berlari mendekat. Anak itu sendiri tidak terkejut. 
Lemparan Sinom begitu lembut dan tepat. Ia seakan 
melayang pelan meninggi, tepat sampai ke batas buah 
pohon kelapa itu. Sesaat ia bergelantungan di beberapa 
buah kelapa, dan memuntir sebutir. 

Ia pun kemudian meluncur ke bawah dengan mem- 
bawa sebutir kelapa muda. 

Tapi ketika Sinom akan menyambut kejatuhan anak 
itu, tiba-tiba saja dirinya telah dikurung oleh belasan 
mata tombak. 

“He, jangan halangi aku!” Serta-merta Sinom melon- 
cat tinggi, melesat menyambar anak yang hampir sam- 
pai ke tanah itu. Terlambat sedikit saja, pastilah anak 
hitam itu terhunjam ke tanah. 

Sekali lagi di sini pun Sinom langsung terkepung 
oleh beberapa senjata. 

“Wah, terima kasih, kok untuk kelapa satu saja be- 
gini banyak yang mau meminjamkan alat.” Dengan mu- 
dah Sinom merampas sebilah pedang dan memba- 
batkannya pada kelapa yang dipegangnya. 

Tapi kembali ujung-ujung senjata itu tersodor meng- 
halangi pedangnya. 

“He, sudah, aku sudah dapat, lainnya tak usah!” te- 
riak Sinom. 

Orang yang mengelilinginya bertampang seram- 
seram. Dan mereka tampaknya bukan orang desa sini. 
Lain dengan orang-orang lain yang berada di kejauhan. 
Mereka lugu. Heran. Dan ketakutan. Pakaian mereka 
pun sederhana. Dan banyak ibu-ibu di antara mereka. 
Ribut memanggili nama-nama... pastilah nama anak- 
anak mereka. 

“Gandarwa perempuan, ingatlah, ini terakhir kali 
kau boleh muncul di sini,” orang yang paling berwajah 
seram dari semua pengepung Sinom berkata. “Namaku 
Ki Ridu, dan ini semua benggol Gunung Lawu. Orang 
desa sini telah menyewa kami. Jadi... jangan berani da- 
tang lagi. Mestinya kau tahu Ki Ridu, bukan?” 

“Ya. Aku tahu. Ki Ridu adalah kau. Dan jika kau tak 
menghendaki aku muncul lagi di sini, ya baiklah. Nih, 
Monyet hitam....” Sinom mengulurkan kelapanya pada 
anak yang masih berada dekat kakinya. “Aku mesti per- 
gi nih... takut, he... tapi aku mesti mencari temanku du- 
lu.” 

“Temannya sudah kami tangkap, Kiai!” terdengar 
orang berteriak. Dan dari balik rumah tampak Ki Ma- 
hendra yang basah kuyup diikat kedua belah tangannya 
dan diseret oleh tiga orang seram yang agaknya juga 
anak buah Ki Ridu. 

“He, kenapa kau, Kakang?” Sinom tertawa. “Kau lupa 
kalau sesungguhnya kau tidak suka mandi?” 

“Lha aku tahu-tahu jatuh ke sumur, he!” kata Ki Ma- 
hendra memeras jenggotnya. “Dasar, yang punya sumur 
kurang ajar! Masa... sumur tidak diberi pagar! Heran! 
Eh, kenapa mereka ini?” 

“Mereka mau jual senjata barangkali. Entahlah. 
Kau... kenapa diikat? Nyuri ayam lagi, ya?” 

“Enak saja! Mereka tidak punya timba. Jadi untuk 
mengambil air mereka memakai aku... diikat... diulur 
sampai ke air... terus aku disuruh menghirup air seba- 
nyak-banyaknya baru kemudian aku ditarik ke atas.” 

“Diam!” bentak Ki Ridu. “Kalian berdua tak boleh ke 
sini lagi dan minta apa pun pada penduduk desa, me- 
ngerti?” 

“Baik. Baik... aku mewakili dia menjawab, lho!” kata 
Sinom. 

Ki Ridu jadi bingung kini. Ia sudah mengharapkan 
adanya perlawanan. Tapi ternyata orang ini begitu pe- 
nurut! Bingung ia menoleh pada seorang lelaki tua yang 
perlahan mendekat. 

“Buyut,” katanya. Jadi orang tua itu buyut, atau lu- 
rah Desa Paruan itu. “Bagaimana nih... mereka menye- 
rah. Lihat, kan, betapa gampangnya jika Ki Ridu dan 
kawan-kawannya turun tangan? Nah, kita bunuh saja 
keduanya?” 

“Begini saja... satu kita lepaskan, satu kita tahan,” 
kata Buyut Paruan. “Induk pasukan mereka harus tahu 
bahwa mencari bahan makanan di sini sia-sia! Desa Pa- 
ruan takkan mudah bertekuk lutut!” 

“Berkat Ki Ridu! Ha ha ha! Bayarnya tambah lho, 
Buyut!” salah satu anak buah Ki Ridu tertawa. Yang 
lain ikut tertawa terbahak-bahak. Tapi mereka langsung 
menutup mulut rapat-rapat saat Ki Ridu melotot pada 
mereka. 

“Diam semua!” bentak Ki Ridu. “Kita memang begal, 
rampok, maling, berandal... tapi kita sudah punya janji 
pada Buyut Paruan ini! Kita harus membuktikan bahwa 
walaupun kita perampok paling jahat di daerah ini... ki- 
ta juga bisa dipercaya, tahu! Kita sudah berjanji untuk 
menolong desa ini dari para perampok perempuan itu. 
Kita laksanakan itu. Baru setelah janji itu selesai... nah, 
kita boleh jahat lagi! Sekarang belum boleh, mengerti?” 

“MENGERTI, KI RIDU!” serentak semua anak buah 
Ki Ridu menjawab. 

“Eh, tunggu, aku kan bukan perempuan!” tukas Ki 
Mahendra. “Jelas aku bukan kelompok perampok pe- 
rempuan, kan? Nah, aku saja lepaskan. Bunuh saja 
yang itu.” Ia menunjuk pada Sinom. 

“He-eh,” kata Sinom. “Bunuh saja aku. Dia kan su- 
dah tua. Tidak dibunuh juga mati sendiri!” Ia berbicara 
begitu bersungguh-sungguh hingga semua orang ter- 
tegun bingung. 

“Enaknya bagaimana yah, Buyut?” bisik Ki Ridu. 

“Kamu jadi perampok kok bodo begitu sih... apa-apa 
tanya. Bagaimana kalau nanti aku jadi pemimpin pe- 
rampokmu saja?” bisik Buyut Paruan. 

“Memangnya... Buyut bisa bertempur?” bisik Ki Ridu. 

“Kamu kan bisa mengajari aku?” bisik Buyut Paman. 

“Eh, kalian main bisik-bisikan apa sih?” Sinom ikut 
berbisik. Mereka bertiga memang berada di tengah ling- 
karan para anak buah Ki Ridu yang bertampang seram 
serta bersenjata lengkap berkelebihan itu. Suasana sepi 
sejak Ki Ridu membentak anak buahnya tadi. Hanya 
terdengar gemeletuk gigi Ki Mahendra yang basah 
kuyup dan masih dipegang oleh tiga orang anak buah Ki 
Ridu di pinggir lingkaran. 

“Ini, masa orang setua ini ingin diajar bertempur!” 
kata Ki Ridu. 

“Untuk apa?” tanya Sinom berbisik. 

“Biar bisa jadi perampok! Sepertinya... jadi perampok 
kok enak,” sahut Buyut Paman masih berbisik. “Me- 
rampok boleh. Melindungi desa juga boleh. Dapat upah, 
lagi!” 

“Berapa kaubayar dia, Buyut?” tanya Sinom. 

“Tiap hari makan enak, kemudian padi tiga pikul tiap 
pekan, boleh tidur di mana pun mereka suka, dan 
uang,” kata Buyut Paman. 

“Sebetulnya tidak banyak, dibanding tugas yang ha- 
rus kami hadapi!” tukas Ki Ridu. “Bayangkan! Kami ha- 
rus menghadapi perampok-perampok perempuan yang 
sakti-sakti coba! Apa itu tidak berarti menyabung nya- 
wa?” 

“Kau sudah pernah menghadapi perampok perem- 
puan itu, Ki Ridu?” tanya Sinom. 

“Belum. Tapi mereka sakti-sakti kok. Pokoknya kau 
bisa mati ketakutan kalau ketemu mereka!” kata Ki Ri- 
du. 

“Bagaimana bisa? Bukankah dia juga anggota pe- 
rampok perempuan itu?” tanya Buyut Paman. 

“Ya ampun! Benar juga!” Ki Ridu memperhatikan Si- 
nom. “Eh, tapi kau kok tidak menakutkan?” 

“Ugh. Ini paling juga cuma pembantunya!” kata 
Buyut Paruan. “Kalau kaulihat yang berjubah biru itu... 
wah. Bisa mati kutu kau!” 

“Kalau lihat ini sih... yah, si jubah biru yang Buyut 
takutkan itu pasti... keciiiiil!” Ki Ridu menunjukkan jari 
kelingkingnya. 

“Tantang saja dia supaya datang kemari. Jadi beres, 
kan?” Buyut Paruan berseri-seri. Mungkin kalau peram- 
pok perempuan itu sudah dibereskan, ia tak usah lagi 
menyewa Ki Ridu. “Seperti Gusti Kartanegara dahulu. 
Potong kupingnya dan kirimkan ia kembali!” 

“Pikiran bagus, Buyut. Mana, kupingmu kupotong 
sini!” bentak Ki Ridu pada Sinom. 

“Nih...” Sinom menjulurkan kepalanya. Dengan ter- 
tawa Ki Ridu mencabut kerisnya dan memegang kuping 
Sinom. Tetapi kemudian ia terkejut. Beberapa kali ia 
iriskan keris itu, selalu saja kuping yang sudah dipe- 
gangnya luput. 

“Hei, kamu diam dulu... kan tidak bisa kupotong 
nih!” kata Ki Ridu kesal. 

“BUYUT PARUAN! MANA UPETIMU!” tiba-tiba terde- 
ngar suara keras dari luar halaman. Semua terkejut— 
kecuali Sinom dan Ki Mahendra. Dari tadi mereka su- 
dah tahu kehadiran beberapa belas wanita berpakaian 
bagaikan prajurit yang diam-diam mengepung tempat 
itu. 

Buyut Paruan hampir pingsan. “Ki Ridu... itu... itu 
mereka datang!” 

“Oh, jadi kau hanya buat pancingan, ya!” Ki Ridu 
mendorong Sinom ke pinggir, kemudian berjalan de- 
ngan gaya gagah ke tempat orang yang tadi berseru, 
sambil memutar-mutarkan tombak di tangan kirinya. 
“Siapa kau?” tanyanya pada wanita itu, sambil menun- 
juk dengan tombaknya. 

“Namaku Ni Dukut. Kudengar Buyut Paruan menye- 
wa gerombolan perampok untuk melindungi desanya. 
Kau yang bernama Ki Ridu?” wanita itu bertanya. 

“Ooo, jadi sudah kenal namaku, ya! Bagus! Jadi, ta- 
kutlah! Dan menyingkirlah. Atau tetaplah di sini untuk 
memuaskan kami, ha ha ha... happpph!” Tawa Ki Ridu 
terputus karena dengan keras sekali Ni Dukut menam- 
par mulutnya. “Kurang ajar kaupppph!” Sekali lagi tam- 
paran keras itu melecut bibir Ki Ridu. “Kau... ppph!” 
Dan sekali lagi. Tampaknya begitu mudah. Tapi begitu 
cepat. Tangkisan Ki Ridu selalu datang terlambat. 

“Kau cepat pergi, kalau tidak tinggalkan kepalamu di 
sini!” Tangan Ni Dukut sangat cepat. Beberapa tampa- 
ran keras dilecutkannya berturut-turut. 

Ki Ridu terpaksa meloncat ke belakang, menjauh. 

“Perempuan tak tahu diuntung!” Ki Ridu membentak 
keras, meloncat memasang kuda-kuda. 

“Aduuuh, sungguh menakutkan!” kata Sinom de- 
ngan suara bening yang terdengar jelas di kesunyian 
itu. “Apa dia mau menirukan... apa ya... kodok atau- 
kah... kadal, ya?” 

Andalan Ki Ridu adalah suatu ulah silat yang diberi 
julukan “Harimau Kumbang Hutan Selatan”. Sosok ku- 
da-kudanya galak, diikuti oleh raut muka yang memang 
diatur untuk meruntuhkan iman lawan. Bagi orang 
awam kelihatan jelas persamaan kedudukan tubuhnya 
dengan seekor harimau kumbang yang akan menerkam. 
Tentu saja, dikatakan ‘kodok’ atau ‘kadal’ membuat Ki 
Ridu sangat murka. 

Ia langsung menerjang Ni Dukut. Ni Dukut bagaikan 
menari memutar tubuh, bertumpu pada satu kaki, me- 
rendahkan tubuh dan menghantam dengan kedua tinju 
kecilnya. 

Serangan pertama Ki Ridu punah! 

Terjangan Ki Ridu makin gencar. Bumi sampai berge- 
tar oleh injakan kakinya yang besar-besar itu. Tetapi Ni 
Dukut seolah tak acuh. Bergerak lembut ke sana- 
kemari. Dan sekali-sekali tendangan dan tebasannya 
membuat Ki Ridu terguling-guling mundur. 

Suatu saat sebuah tendangan telak mengenai jang- 
gut pemimpin perampok yang langsung terpental mem- 
bentur batang pohon kelapa. Beberapa saat ia nanar 
berkunang-kunang matanya. 

“Buyut Paruan, upetimu kali ini dua kali lipat!” kata 
Ni Dukut dingin. 

“Tawur!” teriak Ki Ridu melompat berdiri dan menca- 
but pedangnya. Serentak pula anak buahnya langsung 
menyerbu. 

“PASUKAN BUIH!” teriak Ni Dukut. Dan tiba-tiba saja 
pasukan wanitanya bergerak. Serentak. Seakan tak be- 
rencana, namun langsung membuat anak buah Ki Ridu 
terdesak. Kilatan pedang mereka putih, seakan bergetar 
menyilaukan pandang sebelum menebas atau menu- 
suk. Semua anak buah Ki Ridu memang tak menduga 
mendapat perlawanan sedemikian hebat. Mereka lang- 
sung kedodoran bingung menyusun barisan. Memang 
sesaat mereka mampu bertahan, dengan mencoba ne- 
kat menembus barisan wanita itu. Juga karena jumlah 
mereka lebih banyak. Tetapi tak lama. Dengan keji pa- 
sukan Ni Dukut menebas siapa pun yang lengah hingga 
tak lama tempat itu sepi kembali. Yang terdengar hanya 
beberapa erangan orang melepas nyawa. 

Ki Ridu sendiri terdesak ke sebatang pohon kelapa, 
dikurung oleh tiga bilah pedang putih perak. 

“Ki Ridu, kau patut mati!” kata Ni Dukut. Dan tiga 
bilah pedang terayun. Rampok tergarang dari hutan 
Lawu itu roboh. 

“Buyut Paruan, upetimu harus kaubayar empat kali 
lipat. Dan, sekarang juga!” 

“Ampun, Dewi, ampun, Dewi... mohon diampuuuun 
...,” Buyut Paman sampai bersujud dan menyembah 
dengan kepala melekat ke tanah. “Mohon diampun... 
membayar satu kali saja kami tak akan sanggup jika 
sekarang kok... apalagi empat kali!” 

“Tapi kau mampu membayar rampok-rampok ini, 
huh?” ketus Ni Dukut, melambaikan ujung pedangnya 
di dekat leher Buyut Paman. 

“Malah aku juga disewanya lho!” Sinom yang sejak 
munculnya Ni Dukut tadi tak bersuara kini ikut berbi- 
cara. “Bayangkan! Padahal hargaku mahal. Lagi pula, 
dia bilang... apa takutnya sih dengan si Dukut... ugh, 
ugh, ugh....” Sinom menimkan gaya dan suara bicara 
Buyut Paruan dengan sangat tepat. “Anak kecil saja bi- 
sa mengalahkan. Daripada bayar upeti pada perampok 
perempuan sialan itu... lebih baik kuberikan uangku 
padamu. Kau cantik, manis, menarik... Apa itu Dukut... 
seperti gandarwa kentut!” Sekali lagi Sinom menimkan 
gaya bicara Buyut Paruan. 

“Tidak... tidak... aku tidak bicara begitu., aku... aku 
bahkan tidak kenal pada orang ini!” Buyut Paruan gu- 
gup mencoba membantah. 

“Diam!” bentak Ni Dukut. Matanya tajam mengawasi 
Sinom. Dan Sinom yang merasa diawasi membalas 
mengawasi sambil menggoyang-goyangkan kepala serta 
tersenyum dipermanis-manis. 

“Siapa kau?” tanya Ni Dukut pada Sinom, ujung pe- 
dangnya hampir menyentuh dada Sinom. 

“Tidak kaget kau nanti jika mendengar namaku? Aku 
... mmmh... siapa yah enaknya.... Eh, Kakang, siapa 
namaku?” Sinom bersem pada Ki Mahendra yang se- 
dang sibuk membanding-bandingkan beberapa butir 
batu untuk permainannya berikutnya. Ia bahkan duduk 
di punggung salah seorang anak buah Ki Ridu yang su- 
dah jadi mayat. 

“Eh, namamu... anu... Wanita Petualang Gagah Per- 
kasa! Ya. Hebat, ya?” Ki Mahendra tertawa-tawa. “Tak 
ada yang ditakuti, tak ada yang mengalahkan, si pem- 
buat Ni Dukut bertekuk lutut sambil manggut-manggut! 
He he he... namamu panjang sekali!” 

“Bagus sekali, bagus sekali!” Sinom bertepuk-tepuk 
tangan sambil berloncat-loncatan kecil. “Ya itu namaku. 
Mm... pokoknya panjang sekali, sampai aku sendiri lu- 
pa. Pokoknya ada bagian yang bunyinya penakluk Ni 
Dukut, begitu!” 

“Kau memang minta modar!” Gemas Ni Dukut meng- 
ayun pedangnya. Tapi walaupun tampaknya tak me- 
langkahkan kaki, tubuh Sinom dapat bergeser maju 
mundur, ke kiri dan ke kanan, hingga tebasan berun- 
tun Ni Dukut hanya menerpa angin. Dan mereka ber- 
dua kembali ke kedudukan semula. Sinom tertawa ge- 
nit. “Benar kan kataku? Mengayunkan pedang saja ti- 
dak becus kok.... Nih, anak kecil saja pasti bisa me- 
ngalahkan. Hei, adik kecil yang seperti monyet!” Sinom 
memanggil anak yang tadi bermain dengannya. Anak itu 
sesungguhnya sudah berada di luar pagar, tetapi di- 
panggil Sinom ia berlari mendekat. 

“Biar seperti monyet, tapi monyet hitam, heee!” anak 
itu membantah. 

“Baik, baik. Monyet hitam punya nama tidak?” Si- 
nom tertawa. 

“Dikira tidak punya, ya? Uuuuh, punya kok, heeee!” 
Anak itu mencibir pada Sinom. 

“Kalau punya siapa hayo namanya?” tanya Sinom. 

“Idiih, sudah besar belum tahu namaku. Di sini se- 
mua anak sudah tahu kok namaku!” Anak itu mele- 
letkan lidahnya. 

“Kecuali kau sendiri, pasti!” goda Sinom. 

“Siapa bilang! Namaku Ragil, hayo!” 

“Ragil Ireng?” tanya Sinom. 

“Kok tahu?” si Ragil memang dijuluki Ragil Ireng. 

“Aku juga tahu Ragil dapat mengusir dia.” Sinom 
menuding Ni Dukut yang sedang sedikit kebingungan 
menghadapi kenyataan gagalnya tebasan pedangnya. 

“Dia jahat!” Ragil Ireng cemberut. 

“Labrak dia. Tapi dengar baik-baik kataku, ya? Dan 
bawa ini.” Sinom memberikan dua buah tanduk ru- 
sanya. “Nih. Dan ingat, yang mana kiri, yang mana ka- 
nan... yang mana depan, mana belakang... mana atas 
mana bawah. Ingat?” 

“Ingat.” Ragil Ireng yang memang nakal itu gembira 
melompat ke depan dan meniru kedudukan kaki Ki Ri- 
du tadi. 

“Bagus. Ni Dukut, hari ini kau runtuh di tangan bo- 
cah desa Paruan ini sendiri lho! Ragil, maju! Mundur! 
Kiri! Kiri! Putar! Eh!” Sinom terkejut sendiri. Ragil de- 
ngan tepat melakukan apa yang diteriakkannya. Tapi ti- 
ba-tiba badan anak itu terputar dan roboh. 

“Kamu goblok!” Ragil dengan marah menuding Si- 
nom. 

“Lhoh! Jangan kurang ajar lho!” Merah juga kuping 
Sinom dimaki anak kecil itu. 

“Tadi tidak bilang putar!” kata Ragil. 

“Oh, ya! Nanti ada putar kiri, putar kanan, loncat, 
tendang, pukul kiri, pukul kanan, loncat mundur, tu- 
suk!” 

“Begitu seharusnya, lengkap! Guru ngawur!” Ragil 
Ireng pasang aksi lagi. “Ayo mulai lagi!” 

“Buyut Paruan...” Ni Dukut akan mulai bicara. Tapi 
ia disela oleh teriakan Sinom, “Serang, Ragil!” yang di- 
ikuti oleh serangkaian perintah yang keras, tegas, dan 
jelas. Dan Ragil Ireng cukup cerdas. Ia bergerak tepat 
sekali sesuai perintah dari Sinom. Memang tidak seperti 
gerakan silat sama sekali. Lebih mirip gerakan anak 
bermain-main. Tetapi pengaruhnya hebat pada Ni Du- 
kut. Beberapa kali ia terpaksa melompat menghindar 
dari sambaran atau tusukan tanduk rusa tadi. Ia ingin 
berteriak minta anak itu berhenti, tetapi pada akhirnya 
tak sempat. Gerakan Ragil di bawah komando Sinom 
makin membingungkan. Dan ketika kemudian Ni Dukut 
mencoba balas menyerang dengan tebasan ganas pe- 
dangnya, ia bagaikan membentur batu. Setiap gerakan 
pedangnya dengan tepat diramalkan oleh Sinom. Selalu 
Ragil sudah menghindar atau kalaupun tidak ujung 
tanduk rusa itu sudah menghadang mengancam. 

Akhirnya sebuah tendangan kecil di tempurung lutut 
Ni Dukut membuat wanita itu terhuyung. Disusul oleh 
sambaran kaki serta sabetan tanduk rusa, maka ter- 
paksa Ni Dukut menjerit keras dan roboh! 

“Hore! Hore! Aku menang! Aku menang!” Ragil Ireng 
meloncat-loncat di sekeliling Ni Dukut. 

Anak-anak yang lain ikut bersorak-sorak. Dan ke- 
mudian orang-orang tua juga ikut bersorak. 

“Nah, Buyut. Perampok macam ini saja kau harus 
takuti! Kalau mau bersatu, penduduk desa pasti bisa 
menaklukkannya!” kata Sinom. 

“Tangkap perempuan itu!” Ni Dukut melompat berdi- 
ri dan langsung memberi perintah pada pasukannya. 

Dan pasukan itu pun serentak bergerak. Dengan 
tangkas mereka menendangi mayat-mayat anak buah 
Ki Ridu yang mungkin jadi penghalang, serta mengan- 
cam mundur para penonton yang terlalu dekat. Terma- 
suk Ki Mahendra yang dengan sukarela mundur men- 
jauh. 

Segera saja Sinom sudah terkepung. 

“Wah, ini bukan tandinganmu, Ragil, biar kuhajar 
mereka,” bisik Sinom dan mengambil kedua tanduk ru- 
sanya. 

“Ya, aku juga tidak bernafsu melawan cecunguk- 
cecunguk ini,” kata Ragil penuh gaya. “Pemimpinnya sa- 
ja seperti itu... sudahlah, anak buahnya untukmu, ya. 
Capek!” 

“Anak-anak,” kata Sinom pada para pengepungnya 
saat Ragil sudah berlalu, dan para pengepung itu se- 
langkah lebih maju. “Kalau kalian tidak ingin kugebuki, 
jangan nakal, ya! Angkat semua mayat itu, dan pergi 
dari sini... serta jangan kembali!” 

“Serang!” seru Ni Dukut. 

Mereka menyerang. Dengan langkah-langkah dan ge- 
rak teratur rapi. Ada yang maju. Ada yang mundur. Ada 
yang menebas. Ada yang menusuk. Ada yang berputar. 

Kilatan pedang mereka berpancar-pancar membi- 
ngungkan. Serangan mereka bertubi-tubi berdatangan. 

Sepasukan orang biasa, pasti langsung roboh dan 
bubar. Bahkan para penonton dari kejauhan pun jadi 
pusing. 

Tetapi Sinom bukan orang biasa. Ia hanya tertawa. 
Badannya bergerak gesit. Menerobos serbuan pedang. 
Melompati tusukan bersama. Menggeser tubuh meng- 
hindar dari serangan bergelombang. 

Kemudian kedua tanduk rusanya bekerja. Satu per 
satu pantat pasukan Ni Dukut digebuknya. Keras- 
keras. Dan setiap kali kena gebuk, pasti yang bersang- 
kutan roboh. Termasuk Ni Dukut. 

“Nah, Anak-anak... apa kata Bibi... tak boleh nakal, 
ya! Hayo... masing-masing ambil mayat itu dan cepat 
angkat kaki! Sekarang!” 

Semua memandang Ni Dukut. 

“Siapa sebenarnya kau ini?” tanyanya tajam pada Si- 
nom. 

“Aku tak mau tahu siapa yang mengajarimu gera- 
kan-gerakan silat tadi,” kata Sinom, kini bersungguh- 
sungguh. “Siapa pun dia, sungguh hasilnya memalu- 
kan! Pulang, dan katakan aku akan mengunjunginya. 
Segera. Dan, jangan berani mendekati desa ini lagi. 
Mengerti?” 

Beberapa saat Ni Dukut berpikir. Dalam keadaan se- 
perti ini, mestinya ia bunuh diri. Tetapi itu takkan men- 
guntungkan junjungannya. Beliau harus tahu dengan 
tepat tentang adanya orang asing ini. Masih belum ter- 
lambat untuk bunuh diri, jika kelak ia sudah me- 
nyampaikan apa yang terjadi. Ia mengangguk. Berkata 
pendek, “Mundur!” 

Dan dengan cepat pasukannya mundur, membawa 
mayat-mayat anak buah Ki Ridu. 

Hening beberapa saat sewaktu pasukan perempuan 
itu pergi. Kemudian seluruh isi desa seolah meledak da- 
lam kegembiraan. Semua bersorak-sorai, berjingkrak- 
jingkrak. 

Gugup Buyut Paruan mendekati Sinom. “Oh, Dewi, 
Gusti, Hyang... oh, Pahlawan... oh, Penolong... oh...” 

“DIAM!” Sinom menukas kegugupan Buyut Paruan 
dengan bentakan keras. Ia masih bersungguh-sungguh, 
sesuatu yang sangat jarang terjadi. “Kau sungguh me- 
malukan, Buyut. Lebih baik kau jangan jadi buyut. Kau 
tak punya keberanian. Kau tak punya kecerdikan untuk 
memimpin rakyatmu. Jika kalian bersatu, mana mung- 
kin kalian bisa dikalahkan oleh segerombolan rampok... 
apalagi hanya rampok perempuan?” 

“Tapi... tapi...” 

“Sudah. Aku tak mau berurusan denganmu. Kakang 
Mahendra!” Sinom berteriak. 

Kemudian ia lenyap dari pandangan Buyut Paruan. 
Disusul oleh lenyapnya Ki Mahendra. 

Dengan gerakan Sura-caya kelas tinggi, Sinom mele- 
sat meninggalkan desa itu. Ia melewati rombongan anak 
buah Ni Dukut yang berjalan gontai masing-masing me- 
manggul atau menyeret mayat. Mereka tentu saja tak 
melihat ia dalam kecepatan yang begitu tinggi. Ia terus 
berlari, sampai akhirnya berhenti di dalam hutan, me- 
rapat pada sebatang pohon besar di mana air gemericik 
dari sebuah sumber di lereng tebing di belakang pohon 
itu. 

“Kakang Mahendra, kaulihat mereka tadi?” bisik Si- 
nom. 

“Ya, kasihan ya yang kecil tadi. Paling cantik, eh, 
bawaannya paling berat lho!” sahut Ki Mahendra yang 
sudah bertengger di salah satu dahan di atas Sinom. 

“Bukan itu maksudku!” kata Sinom kesal. 

“Yang mana? Pemimpinnya? Kau keterlaluan, Adik 
Sinom. Dia pasti malu lho, kalah dengan anak-anak. 
Padahal... kalau dibanding kau... kok seperti masih le- 
bih cantik dia!” 

“Sial!” Gemas Sinom melontarkan sebuah tanduk ru- 
sanya ke atas. Dahan yang ditongkrongi Ki Mahendra 
terdengar berderak keras dan patah. Runtuh. Ki Ma- 
hendra cepat melompat. “Gerakan mereka tadi lho! Sa- 
ngat mirip barisan Rahula Wayu, bukan?” 

“Rahula Wayu ajaran orang gila mungkin.” Ki Ma- 
hendra turun ke tempat air dan mencari-cari sesuatu di 
antara rerumputan basah itu. 

“Mungkin. Juga gerakan si pemimpin tadi...” 

“Terlalu genit!” sahut Ki Mahendra. 

“Mirip Bantala Liwung yang disesuaikan untuk pe- 
dang,” kata Sinom. “Lalu ketika kucoba mengadu me- 
reka dengan anak kecil itu...” 

“Namanya Ragil Ireng....” 

“Terlihat banyak penyimpangan. Sudah tidak murni 
lagi.” 

“Memang kulitnya hitam!” Dengan gerakan kilat Ki 
Mahendra menyambar seekor kadal yang hendak lari. 
Diliriknya istrinya. Sinom agaknya sedang tenggelam 
dalam pemikirannya. Diam-diam didekapnya kadal itu. 
Dan terlihat tangannya bagaikan membara. Asap pun 
mengepul. 

“Buang kadal itu, Kakang!” tukas Sinom. 

“Aaaa, Dinda Sinom...” Ki Mahendra tampak me- 
nyesal, memperhatikan kadal yang telah matang di tan- 
gannya. 

“Dulu sewaktu kau kawin denganku, kau janji apa... 
hayo, janji apa!” bentak Sinom. 

“Yaaaah, kenapa dulu aku pakai janji-janji segala 
ya....” Dengan menggerutu Ki Mahendra membuang 
kadal tadi dan membasuh tangannya di air. 

“Jadi kupikir mereka tidak memperolehnya langsung 
dari murid-murid kita,” kata Sinom sambil terus mere- 
nung. 

“Murid kita kan tidak banyak ya, Adik Sinom, ya?” Ki 
Mahendra duduk di samping Sinom. “Si Rhagani. Si 
Madraka. Terus si bocah itu... Sindura! Huh. Aku cem- 
buru lho pada Rhagani! Kau begitu mesra kalau menga- 
jarinya!” 

“Cemburu kok pada orang seperti itu... mestinya kau 
cemburu pada Tantri. Biasanya dia juga tidur dengan- 
ku!” 

“Tapi Tantri kan anak kita?” 

“O, iya, ya. Di mana dia sekarang, ya?” 

“Rasanya kita turun gunung untuk mencarinya?” 

“Tadinya kupikir... anak kita itu yang bikin gara- 
gara, sudah punya murid segala.” 

“Tapi...” 

“Tak mungkin seburuk itu ajarannya. Juga, tak 
mungkin sekejam itu muridnya. Karena itulah kule- 
paskan Dukut. Biar kita bisa ikuti. Dan kita lihat. Siapa 
guru gila itu. Huh. Bikin malu saja!” 


5. SEKITAR TRANG GALIH 

DI TEPI sebuah jurang Ni Dukut dan pasukan kecilnya 
berkumpul. Dan Ni Dukut memberi isyarat agar mereka 
makin mendekat. 

Tempat itu agak terbuka. Di belakang mereka hutan 
rimba terpisah lebih dari tiga puluh langkah. Di depan 
mereka sebuah jurang sempit menghunjam ke dalam 
bumi. Tak terlihat dasarnya. Dan di seberang jurang, 
dinding tebing menjulang tinggi seolah menuju langit. 

Mereka baru saja membuang mayat-mayat anak 
buah Ki Ridu ke jurang itu. Dan Ni Dukut memberi 
isyarat agar mereka mendekat. Merapat. Mereka ber- 
jumlah delapan belas orang, namun agaknya sudah be- 
gitu sering bekerja sama hingga di tempat sesempit itu 
pun mereka bisa duduk atau berdiri dengan teratur. 

“Jangan menoleh, jangan menggerakkan bibir jika 
berbicara. Dan berbisiklah,” bisik Ni Dukut. “Kita se- 
dang diikuti. Oleh kedua orang itu. Aku tak tahu me- 
reka di mana, tetapi kurasakan kehadiran mereka.” 

Ni Dukut diam sejenak. Kemudian berbisik lagi. “Aku 
makin yakin, mereka orang luar biasa. Kehadiran me- 
reka begitu dekat dengan pusat gerakan kita, sangat 
berbahaya. Dan aku bisa menduga siasat mereka. Me- 
reka melepaskan kita untuk kemudian membuntuti ki- 
ta. Kita harus bersiasat.” Sekali lagi ia diam. “Kita harus 
menyesatkan mereka. Kita harus mengingatkan junjun- 
gan kita.” Ia melihat berkeliling pada anak buahnya. 
“Kita akan berpencar. Empat kelompok berjalan keem- 
pat penjuru. Semua menjauhi sarang kita. Dua kelom- 
pok bergerak menuju pusat dengan arah berbeda. Salah 
satu harus berhasil mencapai pusat. Semua enam ke- 
lompok. Yang lima kelompok kalau perlu boleh hancur- 
lebur. Yang satu berhasil.” Kembali ia berdiam diri se- 
saat. “Jika dari yang empat kelompok sampai hari 
keempat masih selamat, kembalilah di hari yang kelima. 
Dan berkumpul di Guha Ijo. Nah, pemimpin masing- 
masing kelompok adalah: aku, Karti, Esti, Dedes, Uma, 
dan Agi. Masing-masing mengambil dua anggota....” 

“Kurang ajar,” desis Sinom. 

“Sudah dari dulu,” jawab Ki Mahendra yang tidur- 
tiduran di semak-semak. 

“Apa?” tanya Sinom heran. 

“Aku, kan? Yang kaukatakan kurang ajar?” 

“Bukan. Mereka.” 

“Itu baru kurang ajar namanya. Masa aku yang ku- 
rang ajar tidak dibilang kurang ajar? Di mana keadi- 
lan?” 

Sinom menendang Ki Mahendra. “Diam! Lihat. Itu 
mereka berpencar.” 

“Barangkali mereka bertengkar? Biasa itu. Kalau pe- 
rempuan bertemu perempuan, biasa kalau mereka ber- 
tengkar. Bukan kurang ajar! Contohnya kau dan Ka- 
kangmbok Rahula... selalu bertengkar!” 

“Kakang Mahendra, kita kan sedang mengikuti me- 
reka toh? Nah, jika mereka berpencar, siapa yang kita 
ikuti?” 

“Ya salah mereka sendiri, kenapa berpencar! Bikin 
bingung saja!” Ki Mahendra menggaruk-garuk kepala- 
nya yang gundul. 

“Hus. Kita yang perlu mengikuti mereka!” 

“Eh? Oh, iya. Untuk mencari guru gila itu, ya?” 

“Guru gila yang mana? Apakah ada guru gila lain ke- 
cuali kita?” Sinom menggoda. 

“Nah, itulah tujuan kita. Mungkin kita bisa berguru 
padanya agar lebih gila!” 

“Lalu... siapa yang kita ikuti?” 

“Ya guru itu... biar gila kan dia guru kita?” 

“Bukan... mereka itu lho!” 

“Untuk apa kita... ya, ya, ya...” Ki Mahendra tak jadi 
bercanda. Sinom memelototkan matanya. “Anu... ikuti 
saja yang terlemah di antara mereka....” 

“Mengapa?” Sinom tercengang. 

“Jika mereka berpencar, pasti untuk mengelabui ki- 
ta. Jika begitu, maka mereka pasti menduga bahwa kita 
akan mengikuti si pemimpin. Maka, si pemimpin pasti- 
lah yang paling menyesatkan!” 

“Bagus juga kepala gundulmu itu.” Sinom mengang- 
guk. 

“Tiap hari dilap!” kata Ki Mahendra bangga. 

“Jadi?” 

“Kita ikuti si kecil berselendang biru itu.” 

Si kecil berselendang biru adalah Agi. 

*** 

Mereka berada di gua khusus yang oleh suatu alasan 
khusus diberi nama Gua Polaman oleh Wara Hita. Sega- 
la hal di gua ini begitu mewah—semua diatur bagaikan 
balai penghadapan seorang raja. 

Seperti biasa jika ia hadir, Nagabisikan duduk di 
tempat terhormat. Wara Hita di sebuah dampar yang 
mirip tahta (dan sesungguhnya memang tahta Wirabhu- 
mi yang dibawa dari ujung timur). Wara Huyeng dan 
Juru Meya duduk di depan mereka. 

Pada pertemuan khusus, hanya mereka yang hadir. 

“Pasti kau kaget mengapa aku datang tiba-tiba, ya?” 
tanya Nagabisikan. 

“Apakah mungkin Eyang akan menjatuhkan huku- 
man pada hamba?” tanya Wara Hita. 

“Bukan.” Nagabisikan memejamkan matanya, tangan 
kanan mencengkeram jenggotnya. “Aku baru saja mem- 
peroleh bisikan dari Dewata.... Bisikan baik... bisikan 
buruk... Misalnya, aku merasakan kehadiran salah seo- 
rang dari musuh besarku. Dekat sekali!” 

Wara Hita dan yang lainnya saling pandang. Siapa 
yang dimaksud? 

“Aku tidak tahu siapa,” keluh Nagabisikan. “Musuh 
besarku rasanya hanya Megatruh. Tapi... tak mungkin 
ia keluyuran mencari aku. Dan entah, sudah berapa 
usianya.... Bahkan mungkin aku takkan mengenalinya 
lagi. Terakhir kami berhadapan... ia baru belasan ta- 
hun.” 

Hening. 

“Kemudian, kurasakan, akan ada sesuatu yang akan 
membuatmu gembira, Muridku.... Tapi bhujangga mpu 
tak tahu apakah itu.” 

Hening. 

“Tentang musuh Mpungkulun, putu maharsi tidak be- 
rani mengusulkan apa pun,” sembah Wara Hita. “Ke- 
cuali... memohon pada Paman Juru Meya dan Bibi Wara 
Huyeng untuk lebih memperkokoh kewaspadaan di se- 
kitar lembah Trang Galih ini. Mungkin dengan menge- 
rahkan Pasukan Badai dan Pasukan Buih untuk berja- 
ga-jaga agak jauh dari pusat. Jelas mereka bukan tan- 
dingan Ki Megatruh. Tapi paling tidak kita bisa me- 
ngetahui kedatangannya lebih awal.” 

Nagabisikan hanya menganggukkan kepala dengan 
mata terpejam. 

“Tentang sesuatu yang menggembirakan hati putu 
maharsi... itu hanya karena restu Mpungkulun juga...!” 
Wara Hita berdatang sembah lagi. 

“Menurut pendapat hamba... kemungkinan Ratu jun- 
junganku akan memperoleh tambahan kesaktian. Anak 
Rahtawu itu, si Tara, telah berbicara dengan hamba ta- 
di. Ia akhirnya berani menerima tantangan Gusti Ratu. 
Mengingat beberapa saat yang lalu ia ingin bunuh diri, 
kemungkinan juga ini suatu siasat agar ia bisa bunuh 
diri. Tetapi, hamba rasa, ada juga faedahnya nanti un- 
tuk bisa melihat beberapa langkah asli dari Birawadana 
yang selama ini kita cari.” 

“Memang Nakmas Hita hari ini sangat diberkati,” ka- 
ta Wara Huyeng seakan tak mau kalah. “Anengah juga 
sudah begitu kecanduan oleh Butir Hitam Tartar hingga 
ia mau mengorbankan ilmunya dan bergabung dengan 
kita.” 

“Keempat murid wanita dari Rahtawu itu sudah sa- 
ma sekali tercuci otaknya, dan mereka telah bisa kita 
bebaskan bergerak tanpa bisa punya niatan untuk ber- 
khianat,” kata Juru Meya. 

“Hamba memperoleh kabar bahwa Sang Maharaja 
sendiri akan hadir dalam upacara Sradha di Wengker. 
Hamba kira ini bisa kita jadikan ajang untuk mengukur 
kesiapan pasukan kita,” kata Wara Huyeng. 

Hening lagi. 

Nagabisikan bahkan terlihat seperti tertidur. Kedua 
pembantu murid utamanya ini hampir tak berguna. Me- 
reka memang bukan muridnya penuh. Tetapi mereka 
cukup menguasai apa saja yang diajarkannya pada Wa- 
ra Hita. Tak pelak, mereka memang cukup sakti. Na- 
mun tingkahnya masih begitu mirip anak kecil. 

Wara Hita sendiri yang tampak matang, pikir Naga- 
bisikan. Matang. Tenang. Berwibawa. Mungkin kali ini 
cita-citanya membonceng orang yang memperoleh wah- 
yu kerajaan betul-betul berbuah. 

“Jika betul ada Ki Megatruh di daerah sini, biar aku 
saja yang menghadapinya,” kata Nagabisikan akhirnya. 
“Tetapi aku tidak berpikir untuk bertanding dengannya. 
Aku yakin, dia makin maju. Dan aku yakin, apa yang 
kumiliki lebih dari cukup untuk menandinginya. Na- 
mun tugas kita lebih besar dari rasa dendam siapa pun. 
Dari keuntungan pribadi mana pun!” Suara Nagabisi- 
kan begitu tajam serasa di telinga Wara Huyeng dan Ju- 
ru Meya. “Aku tak ingin Megatruh mencium sesuatu di 
sekitar sini. Ia harus dipancing menjauhi tempat ini. 
Yang lainnya... Penekunan ilmu Wajra Prayaga Wara 
Hita tinggal memerlukan pemantapan untuk pemata- 
ngannya. Akan segera tiba masanya baginya untuk be- 
lajar ilmu pemerintahan sebagai salah satu bekal diri- 
nya kelak. Ilmu kadigdayan yang dimilikinya hanyalah 
selapis baju untuk penjaga diri saja. Tak ada gunanya 
jika diri itu sendiri tidak diisi. Dalam rangka itulah, se- 
sungguhnya kita hampir tak perlu lagi menyadap ilmu 
murid-murid Megatruh. Yang kita ketahui sudah cukup. 
Aku yakin, pasukan inti kita sudah cukup terbentuk. 
Tinggal memolesnya saja. Untuk itu aku setuju kalian 
mencobanya ke Wengker. Tapi ini mungkin yang ter- 
akhir. Dan kuharap Wara Hita tidak lagi memunculkan 
diri. Wilwatikta telah terguncang. Biar mereka lengah 
lagi. Sehabis Wengker, semua bergerak di bawah tanah. 
Mengumpulkan dana. Mengumpulkan pengikut. Dan 
Wara Hita akan aku ajak mengadakan perjalanan ke ti- 
mur. Masih banyak perlengkapan yang belum dimili- 
kinya. Ia perlu sekutu. Ia perlu pusaka. Ia perlu ilmu. 
Dan ia tak boleh diganggu lagi.” 

Hening lagi. 

Kemudian Nagabisikan berdiri. 

“Muridku... setelah perjalananmu ke Wengker, ku- 
tunggu kau di Kembang Putih, di Guwa Sela.” Pada saat 
kata-kata terakhirnya terdengar, Nagabisikan telah le- 
nyap dari tempat itu. 

Kembali hening. 

“Nakmas, apakah Paduka ada perintah untuk kami?” 
Wara Huyeng memecahkan keheningan itu. Dan Wara 
Hita tampak agak terkejut. 

“Oh, ya!” Wara Hita mencoba memusatkan pikiran 
pada apa yang dihadapinya. “Kelompok-kelompok uta- 
ma Buih dan Badai boleh sudah berangkat ke Wengker. 
Sebarkan dulu mata-mata dan hubungi semua titik-titik 
bantuan. Tinggalkan panglima tingkat satu untuk men- 
jaga pusat kita. Dipimpin oleh Paman Juru Meya.” 

“Tapi, Ratu Junjunganku...” Juru Meya agaknya tak 
mau ditinggal. 

“Tugasmu lebih berat, Paman. Aku tak bisa memper- 
cayakan pusat kita ini pada siapa pun, kecuali pada 
Paman,” kata Wara Hita tegas. “Dua-tiga hari lagi, Hu- 
yeng dan aku berangkat. Dan setelah Wengker kami 
berdua akan ke Kembang Putih. Begitu bertemu dengan 
Guru, Bibi Huyeng akan kembali ke sini,” lancar sekali 
kata-kata Wara Hita. 

“Tentang pemuda Rahtawu itu, Nakmas?” tanya Wa- 
ra Huyeng. 

“Tolong Paman Juru Meya hadapi mereka, dan per- 
hatikan dengan teliti, bisakah mereka kita gunakan 
atau tidak. Aku dan Bibi Huyeng akan bepergian seben- 
tar,” kata Wara Hita dengan senyum tipis terbayang di 
bibirnya yang indah itu. “Tolong jika kami pulang nanti, 
Paman Juru Meya sudah dapat melaporkan kegunaan 
mereka. Mari, Bibi Huyeng!” 

-k-k-k 

Jauh di perbatasan lembah, Wara Huyeng dan Wara Hi- 
ta menunggu seorang anak buah mereka menyiapkan 
kuda. 

“Mmmmh... Anakmas akan memakai Kiai Tatit Se- 
ta?” Wara Huyeng memperhatikan kuda putih mulus 
yang sedang disiapkan anak buahnya. Kuda itu adalah 
kuda unggulan yang belum pernah terkejar oleh kuda 
lain. “Ah, pastilah ini perjalanan sangat penting, dan... 
sangat menggembirakan hati Anakmas.” 

“Mata Bibi Huyeng sungguh tajam,” kata Wara Hita. 
“Aku baru saja menerima kabar lewat burung dari Bibi 
Layarmega. Tun Kumala telah berangkat.” 

“Ah, kalau begitu benar dugaanku.” Tapi Wara Hu- 
yeng tidak terlalu cerah mukanya. “Anakmas... dia pe- 
muda yang kauceritakan itu?” 

“Ya,” Wara Hita berkata dengan setengah melamun. 
“Dan kuharap Bibi tidak menyentuhnya sedikit pun.” 

“Tapi... menurut cerita Anakmas... dia tidak tahu ka- 
lau Anakmas... wanita?” tanya Wara Huyeng makin ra- 
gu dan memperhatikan pakaian pria Wara Hita. 

“Aku suka padanya, dan ia suka padaku.... Buk- 
tinya, ia datang. Tak peduli aku wanita atau pria! Jadi... 
jika ternyata aku bukan pria... pasti ia tertarik juga pa- 
daku!” Wara Hita menaiki kudanya. Memang gagah, pi- 
kir Wara Huyeng. Dan sangat tampan. 

“Cepat, naik, aku tak sabar menunggunya. Kita su- 
sul dia!” kata Wara Hita. 

“Anakmas, Junjunganku... sadarlah... hal seperti ini 
... belumlah waktunya.... Aku...” 

Wara Huyeng biasanya sangat tak keruan tingkah 
lakunya. Baginya tatasusila apa pun bentuknya tak 
ada. Tapi saat Wara Hita melakukan sesuatu yang bisa 
dianggap di luar garis... ia ingin menasihati. Tapi tak 
mampu. 

Akhirnya sambil mengangkat pundak ia pun naik ke 
kudanya. 

k-k-k 

Hari menjelang senja saat tawanan dari Rahtawu itu di- 
bawa ke hadapan Juru Meya di ujung tebing yang ber- 
ada di atas jurang dalam dengan julukan Jurang Gra- 
wah itu. Mengapa anak ini memilih jurang ini, ia tak ta- 
hu. Dan sesungguhnya ia tak mau segala persyaratan 
ditentukan oleh tawanannya. Banyak yang mencuriga- 
kan. Misalnya saja, mengapa justru anak itu memilih 
tempat ini? Tidak sembarang orang tahu seluk-beluk 
tempat ini. 

Tetapi akhirnya Juru Meya tak peduli. Apa pun yang 
terjadi, ia yakin bisa menghadapinya. Lagi pula anak 
Rahtawu itu masih begitu lemah. Bagaimana bisa men- 
celakakan dirinya? Mau melarikan diri? Dalam hati Ju- 
ru Meya tertawa. Tempat di ujung tubir jurang ini ber- 
bentuk segitiga. Hanya ada satu jalan lari: ke bawah. 
Dua sisi lainnya adalah jalan mati: jurang menganga 
sedalam lebih dari seribu depa! Hanya burunglah yang 
bisa selamat jika jatuh ke sana. Dan jika anak Rahtawu 
itu menghendaki kematian... Rasanya tak mungkin. 
Orang yang berusaha bunuh diri, biasanya sesungguh- 
nya takut pada kematian. Dan kalaupun memang te- 
was... ya... biarlah. Daripada harus bersaing dengan ba- 
nyak orang guna berebut rasa sayang sang junjungan. 

Ia tak mengharapkan jabatan atau harta. Ia hanya 
menghendaki junjungannya akan tetap menyayanginya. 
Itu saja. 

Diperhatikannya Tara dikawal oleh beberapa pimpi- 
nan Pasukan Badai. Ula Bandotan. Kebo Taluktak. Ja- 
lak Katenggeng. Ketiganya tampak gagah dan menye- 
ramkan, mengapit pemuda yang lemah-lunglai itu. 

Tara kurus kering. Pucat. Langkahnya bagaikan se- 
tiap saat ia akan roboh. 

Tapi Juru Meya cukup terkesiap melihat sinar mata 
anak muda itu. Tajam. Menusuk. Tegar. Kukuh. Begitu 
berbeda dengan sinar mata Anengah yang kuyu dan le- 
mah. 

“Tara, kau sudah dibawa kemari. Lalu?” tanya Juru 
Meya dengan suara serak yang kadang-kadang terde- 
ngar, kadang-kadang tidak oleh embusan angin keras 
yang begitu dingin. 

“Seperti yang kauinginkan... binatang!” kata Tara 
dengan rasa benci yang tak disembunyikannya. “Kau 
mengajakku bertarung... baik, kuladeni. Aku yakin kau 
takkan bisa menyadap ilmuku... bahkan sebagian besar 
dari kalian akan hilang nyawa!” Tara langsung mema- 
sang kuda-kuda dengan gerak yang lemah, menggam- 
barkan betapa sesungguhnya tubuhnya sangat berku- 
rang kekuatannya. 

“Itu yang kaumaksud... baiklah, hio hi hi.” Juru Me- 
ya tak mau kecolongan. Ia pun menyiapkan kuda-kuda- 
nya. 

Perlahan Tara terus bergerak. Langkah-langkahnya 
tetap. Matanya tajam terarah. 

Anak ini tak boleh dibuat main-main, pikir Juru 
Meya. Ia belum mengubah kedudukan kakinya, tidak 
memasang kuda-kuda. Justru di situlah letak kelicikan 
Juru Meya. Dan juga keunggulannya. Diam-diam ia me- 
nyalurkan aji Rawa Rontek. Ajian ini lebih bersifat me- 
lindungi diri. Mungkin saja dirinya hampir hancur oleh 
terjangan lawan. Mungkin saja ia nyaris melepas nyawa. 
Namun ia akan secepatnya pulih. Dan sementara lawan 
lengah ia mampu melontarkan serangan balik yang am- 
puh dan maut. 

Dengan ilmu tunggal itu saja ia sudah sanggup ma- 
lang-melintang di permukaan bumi ini. Dan ilmu itu 
pula yang membuat ia menjadi pengawal terkasih Sang 
Wirabhumi. Kalau ia kemudian memiliki ilmu lain, bisa 
dibayangkan betapa dahsyat sesungguhnya kekuatan 
yang ada pada Juru Meya. 

Tak urung ia mengerutkan kening. 

Tentu saja ia kenal betul akan segala ilmu yang ber- 
sumber pada ilmu Ki Megatruh. Namun gerak-gerik 
Tara sungguh lain. 

Dalam hal ini, mata Juru Meya yang sangat berpe- 
ngalaman itu tertipu oleh ketelitian cara berpikirnya. 
Atau, kekurangtelitiannya. 

Ia tahu Tara lemah. Lemah secara fisik. Ia tahu lang- 
kah-langkah Tara semestinya limbung. Yang ia tidak 
sadari adalah: gerak-gerik ilmu langkah Sura-caya se- 
sungguhnya harus dilakukan dengan limbung bagaikan 
orang mabuk. Ilmu ini memang diciptakan bersama 
oleh Sinom dan Ki Megatruh. Dengan banyak imbuhan 
dari Ki Mahendra. Dan jelas, Ki Mahendra dan Sinom 
adalah pasangan yang boleh dibilang tidak waras. Bebe- 
rapa langkah inti mereka ciptakan dengan bercanda. 
Dan ini memang tepat, karena langkah Sura-caya meng- 
andalkan gerakan yang di luar dugaan. Di tangan Ki 
Megatruh, saat diajarkan pada muridnya, sebaliknya 
gerakannya menjadi serba serius. Tetap tangguh, me- 
mang, tetapi inti kekuatannya banyak berkurang. 

Kini Tara melakukannya dengan langkah begitu le- 
mah hingga limbung. Dan ternyata setiap gerakannya 
jadi begitu mantap dan berat. 

“He...” Juru Meya sesaat ragu-ragu. Matanya serasa 
berkunang-kunang oleh gerakan Tara. Dan... tiba-tiba 
Tara menyerang. 

Dasar Sura-caya. Digabung dengan Bantala Liwung 
yang merupakan tendangan serta pukulan sakti, maka 
gerakan Tara memberi perbawa angin prahara. 

Yang tak bisa diduga-duga. 

Beberapa hajaran beruntun diarahkan pada Juru 
Meya. Gerakannya begitu indah hingga terpaksa Juru 
Meya meladeni. Namun ia kecele. Begitu ia bergerak, ti- 
ba-tiba saja, sama sekali tak terduga, Tara berputar se- 
cepat kilat dan langsung melabrak Ula Bandotan dan 
kawan-kawan! 

Sesaat Juru Meya tercengang. Tapi saat ia tertegun 
itu, terdengar jeritan melengking Jalak Katenggeng. Pe- 
rutnya termakan tendangan geledek Tara. Ula Bandotan 
dan Kebo Taluktak cepat membuang diri ke belakang. 
Dan sebelum mereka sadar, Tara telah mengitari tubuh 
mereka dan langsung menerjang Juru Meya dari sudut 
yang sekilas tadi sama sekali tak terlihat! 

Kelabakan juga Juru Meya. Sesaat ia yakin Tara tak 
mungkin bisa membuatnya cedera. Ia toh melambari di- 
ri dengan aji Rawa Rontek. Dan Tara toh sudah lemah. 
Tapi sesaat pula terlihat betapa meyakinkannya gera- 
kan Tara. Dan pandang mata yang tajam itu. Seolah 
gunung batu pun akan hancur terkena tendangan Tara. 

Secara serta-merta Juru Meya menjatuhkan diri. 
Dan terpaksa ia menghantam Tara dengan pukulan se- 
rentak Birawadana hasil sadapannya. 

Kembali ia terkejut. Sangat terkejut. Pukulannya se- 
rasa menghantam kapas. 

Tara tidak memberi perlawanan. Ia mengikuti kekua- 
tan pukulan dahsyat Juru Meya. Tubuhnya terlontar. 
Melambung tinggi. Lepas. 

Dan ia masih sempat berkata dalam hati, “Guru... 
muridmu sungguh tak berguna!” 


6. TUN KUMALA 

PERTARUNGAN antara wanita muda yang bernama Ni 
Gori melawan ketiga anak buah Kusya: Ugra, Kena, dan 
Santen sekilas tampak membingungkan. Ia yang wanita, 
seorang diri dan hanya bersenjata parang, bukan hanya 
bertahan tapi malah menyerang gencar ketiga lelaki 
yang mengeroyoknya dengan beberapa macam senjata 
panjang! 

Wanita tua yang diaku ibu oleh Ni Gori serta diaku 
bernama Nyai Gadung seolah tak acuh memperhatikan 
itu semua. Matanya bahkan hampir terpejam, seolah 
mengantuk karena hangatnya api unggun serta dingin- 
nya hawa sejuk menjelang pagi. 

Kusya sendiri terperangah. Di tangannya tergenggam 
senjata rantai andalannya, tapi ia begitu terpesona oleh 
apa yang dilihatnya. Ni Gori memakai parang biasa. Se- 
perti yang biasa digunakan oleh keluarga petani miskin. 
Tapi gerakannya bukanlah gerakan orang yang ber- 
senjata parang. Tangan Ni Gori begitu lentur, ditunjang 
oleh kedudukan kaki yang bertugas sebagai jangkar... 
itu adalah gerakan orang yang menggunakan senjata 
rantai! 

Jika Kusya dan Nyai Gadung mengawasi dengan pe- 
nuh kewaspadaan, adalah Tun Kumala yang bingung 
sendiri. Nalurinya ingin agar ia menjerit-jerit dan berla- 
rian ke sana-kemari. Tetapi ia segera sadar bahwa ia 
adalah pria. Dan pria yang tangguh, malah. Maka ia 
pun bersikap tenang walaupun hatinya kacau-balau tak 
keruan. 

“Bibi... putri Tuan begitu pintar berkelahi.... Wah, 
pasti repot bagi Bibi untuk mencari menantu,” kata Tun 
Kumala, duduk dekat api dan menghangatkan tangan- 
nya. Tapi cepat tangannya itu ditariknya dan dimasuk- 
kan ke dalam bajunya. Tangannya begitu gemetar! “Sia- 
pa yang mengajarinya berkelahi?” 

Nyai Gadung tidak menjawab. 

“Ah, lebih baik kalian berhenti saja, he! He!” Tun 
Kumala berteriak lantang pada yang sedang bertempur. 
“He, kau... yang berkelahi! Berhenti sajalah! Apa sih un- 
tungnya memaksaku sampai kalian bela dengan me- 
nyabung nyawa! Sudahlah!” 

“Tuan bisa menghentikan pertempuran itu jika Tuan 
turun ke sana,” Nyai Gadung tiba-tiba berkata. 

“Aku? Ke sana? Wah... bisa hancur badanku!” Tun 
Kumala betul-betul terkejut atas usulan itu. 

“Apakah Tuan tidak bisa berkelahi?” tanya Nyai Ga- 
dung. 

“Mmmm... anu... mmm, maksudku... Toh berkelahi 
itu tak ada gunanya. Kan... lebih baik dirundingkan sa- 
ja....” Tun Kumala betul-betul kebingungan. 

“Tuan lihat itu... anakku berkelahi... dan ada saja 
kemungkinan bahwa ia kena senjata lawan... dan tewas. 
Mati. Dan itu hanya karena Tuan!” Suara Nyai Gadung 
begitu dingin. 

“Tapi... tapi aku tidak...” 

“Ingat. Jika ia mati, maka ia mati karena Tuan!” 

“Oh... mmm.... ah... ya...” Tun Kumala sungguh ke- 
bingungan. 

“Ingat... Tuan yang bertanggung jawab!” 

“Oh...” Beberapa kali Tun Kumala melirik Nyai Ga- 
dung. Tapi wanita tua itu telah memejamkan matanya. 
Ia jadi ragu-ragu. Kata Nyai Gadung benar. Apa yang 
terjadi pada Ni Gori semata-mata adalah karena dirinya. 

Tun Kumala menghela napas panjang. 

Di mana Rakryan Mapatih saat seperti ini? Mengapa 
ia belum juga muncul? Berkelahi dengan orang-orang 
kasar seperti ini pastilah kerja sambilan saja bagi Ra- 
kryan Mapatih. Tapi bagi dia? 

Sekali lagi ia melirik Nyai Gadung. Tepat pada saat 
mata wanita tua itu terbuka. Hitam. Tajam. Meman- 
dangnya sekilas. Seakan menuduh. Kemudian terpejam 
lagi. 

Ah. Tak ada jalan lain. Daripada orang lain jadi kor- 
ban... Tun Kumala berdiri. “Hei, hentikan!” Ia berjalan 
ke tepi permukaan batu, dan turun. “Hentikan, kataku! 
Jangan ganggu wanita ini!” 

Suara Tun memang gemetar. Takut. Tetapi langkah- 
nya tetap. Dan seakan tak kenal takut ia maju, ke anta- 
ra sambaran berbagai senjata dan loncatan yang sedang 
bertarung. 

Sikap yang tampaknya begitu tenang ini membuat 
Kusya sangat curiga. Mungkinkah orang ini menyembu- 
nyikan isinya sebenarnya? 

“Mundur, Kawan!” geram Kusya. 

Ugra, Kena, dan Santen mencoba mundur. Tetapi Ni 
Gori tidak membiarkan hal itu. Dengan tangannya 
membuat berbagai gerakan melengkung, parangnya be- 
rulang kali menerobos pertahanan ketiga orang itu. 
Hanya dengan pengalaman saja Ugra, Kena, dan Santen 
sanggup mundur beruntun dan lolos dari sabetan dan 
tusukan Ni Gori. Kemudian Kusya melompat masuk, 
sabetan senjata gada rantainya langsung melibat parang 
Ni Gori serta merontokkannya dalam satu gebrakan! 

“Mundur!” Gugup dan sembarangan Tun Kumala 
memegang bahu Ni Gori serta menariknya mundur. 
“Awas!” Ni Gori menjerit, karena akibat perbutan Tun 
Kumala tadi kepalanya tepat berada di daerah sasaran 
gada rantai Kusya. Dengan tangkas Ni Gori menyapu 
kaki Tun Kumala hingga mereka berdua jatuh roboh ke 
belakang. 

“Hei!” Tun Kumala meringis kesakitan, terlentang di 
tanah, sementara Ni Gori telah melompat berdiri dan 
dalam kuda-kuda untuk menyerang Kusya. 

“Tunggu!” Kusya menarik kembali gada rantainya. 
“Tuan ingin berbicara apa?” 

“Jangan teruskan perkelahian ini.” Tun Kumala ber- 
diri sambil mengusap-usap kedudukannya yang sakit. 

“Tuan akan ikut kami?” tanya Kusya. 

“Tidak,” kata Tun Kumala. “Adalah tidak adil jika se- 
karang aku mau ikut kalian. Padahal... mmm... Adik 
Gori ini tadi terpaksa mempertaruhkan nyawa membe- 
laku karena berkata tidak.” 

“Kalau begitu, kami tak punya pilihan lain...” Kusya 
memberi isyarat. Sudah terlalu lama mereka bermain- 
main di tempat ini. Dan sudah terlalu lama ia diperma- 
inkan. Ia harus tegas. 

“Badai!” tiba-tiba Kusya membentak. Dan serentak 
mereka berempat menyerang Tun Kumala! 

Tun Kumala tidak terkejut. Ia memang tidak tahu 
bahayanya. Yang sangat terkejut adalah Nyai Gadung. 

Dari pengamatannya, dari setiap geraknya, Nyai Ga- 
dung melihat bahwa sesungguhnya Tun Kumala tidak 
berpura-pura. Ia yakin orang itu tak mengerti apa-apa. 
Nyai Gadung hanya merisaukan suatu hal. Seolah-olah 
Tun Kumala menyembunyikan sesuatu yang lain. Bu- 
kan kesaktian atau kadigdayan. Tetapi yang lain. Dan 
mungkin lebih besar. 

Dan Nyai Gadung terkejut karena Tun Kumala nekat 
menerima serangan itu! Bahkan Ni Gori rasanya tak 
akan lolos dari gebrakan yang dipimpin oleh Kusya itu. 

“Awas!” seru Nyai Gadung. Tangannya bergerak cepat 
sekali. Beberapa batang kayu yang dijadikan api un- 
ggun meloncat melesat ke arah Tun Kumala. Dan ba- 
tang-batang kayu itu tepat menghantam setiap senjata 
yang hampir menyentuhnya. Dengan kekuatan begitu 
hebat hingga bahkan Kusya merasakan tangannya se- 
saat kesemutan. 

Sesaat kemudian, Nyai Gadung telah berada di te- 
ngah mereka. Kakinya menendang, dan Tun Kumala 
terbang ke arah Ni Gori. “Gori! Bawa dia pergi!” seru 
Nyai Gadung, dan ia terus menghajar Kusya. 

Kusya juga mengerahkan segenap kepandaiannya. 

Gada rantainya berputar bagaikan payung, sementara 
Ugra dan Kena serta Santen bergelombang menerjang 
dari kiri dan kanan. 

Tetapi Nyai Gadung begitu tenang. Tubuhnya meliuk 
seakan mengikuti irama lecutan senjata maut Kusya. 
Kemudian, tubuh tua itu seakan berubah menjadi sua- 
tu senjata. Tangan dan kakinya melecut cepat. Dan te- 
pat. 

Sekejap. Dan Kusya serta kawan-kawannya sudah 
bergelimpangan terguling-guling di tanah. 

“Bagus, bagus, Bibi! Ternyata Tuan juga begitu pan- 
dai berkelahi!” Tun Kumala bertepuk tangan gembira. 

“Memang bagus, dan memang pandai,” terdengar su- 
ara merdu dari dalam kegelapan di antara pepohonan. 

Hanya Tun Kumala yang tak memperhatikan suara 
itu. Ia sibuk mengambili senjata-senjata kawanan Ku- 
sya yang terlempar lepas jatuh jauh dari pemilik ma- 
sing-masing. 

“Sudahlah, lebih baik kalian pergi saja,” kata Tun 
Kumala, memungut gada rantai Kusya. “Ooops!” Ia ter- 
kejut. Gada rantai itu begitu berat. “He, kau memakai 
senjata seberat ini apa tidak kasihan pada lawanmu, 
he? Kan sekali kena paling tidak hancur kakinya. Sung- 
guh... eh!” Baru kali ini Tun Kumala mengangkat muka. 

Dan terlihat olehnya dua penunggang kuda muncul dari 
hutan. Tak salah lagi. Yang berkuda putih itu Wisti. Di- 
iringi seorang wanita berpakaian serba biru. 

“Ah, Tuan sudah datang?” Tun Kumala bingung juga. 
“Mmm, Bibi... ini adalah... Tuan Wisti, pedagang we- 
wangian dari Tosari... yang menyuruh... mmm, orang- 
orang ini membawa aku....” Tun Kumala gugup men- 
dekati Nyai Gadung. Nyai Gadung sendiri terus mem- 
perhatikan Wisti’ dengan kening berkerut. 

Wara Hita (yang menyamar sebagai pria itu) meng- 
hentikan kudanya. Kusya dan kawan-kawannya gugup 
mendekat, menghaturkan sembah. 

“Hamba sungguh tak berguna, Gusti!” sembah Ku- 
sya. 

“Kau memang patut mati!” geram Wara Hita meng- 
angkat cambuk kudanya. 

“Hei, jangan dihukum dia!” tiba-tiba Tun Kumala 
menyela. “Dia sudah berusaha keras melakukan perin- 
tahmu sebaik mungkin. Sebal juga aku padanya. Tetapi 
kalau menurut ukuranmu sih, mestinya ia malah patut 
diberi hadiah.” 

“Hm, dia sendiri yang menyatakan dirinya gagal. Aku 
sih sesungguhnya tak tahu apa pun.” Wara Hita turun 
dari kudanya. “Aku hanya mendengar kabar kau mau 
memenuhi undanganku, jadi aku menyusul kemari un- 
tuk menjemputmu. Kami melakukan perjalanan sema- 
laman. Dan kami dapati anak buahku itu di sini, se- 
dang bertarung dengan seorang nenek-nenek. Sung- 
guhnya cukup alasan bagiku untuk marah, bukan?” 

Tun Kumala memperhatikan bahwa si Wisti ini agak- 
nya mencoba mengakrabkan hubungan mereka dengan 
berbahasa agak kasar. 

“Tidak juga. Sebab mereka berkelahi atas dasar rasa 
sayang. Paman Kusya dan kawan-kawannya menya- 
yangimu, menjunjung perintahmu. Bibi Gadung berke- 
lahi, karena beliau sayang padaku. Bukankah begitu, 
Bibi?” tanya Tun Kumala dengan gaya manja yang rasa- 
nya tak akan ada pada seorang pria. Dan hati Wara Hita 
pun berdesir. Memang gerak-gerik itu bukanlah gerak- 
gerik gagah dan jantan, tetapi begitu manis di matanya. 

“Baiklah, tetapi sesungguhnya kenapa mereka berke- 
lahi?” tanya Wara Hita. Wara Huyeng sendiri juga sudah 
turun dari kudanya, dan menyerahkan kuda tersebut 
beserta Tatit Seta milik Wara Hita pada Ugra. Wara 
Huyeng tak begitu memperhatikan pembicaraan antara 
Tun Kumala dan Wara Hita. Dengan mata agak dis- 
ipitkan ia memperhatikan Nyai Gadung. Wanita tua itu 
agaknya begitu memperhatikan Wara Hita hingga tak 
peduli dengan kejadian apa pun lainnya. 

“Sederhana. Paman Kusya ingin segera mengajakku 
berangkat. Tetapi aku tak mau karena aku masih ingin 
berbicara lebih lama dengan Bibi Gadung. Mereka ke- 
mudian menyerang aku. Dan Bibi Gadung memperta- 
hankan aku. Nah, sederhana, bukan? Sekalian kuharap 
kaumaafkan aku, aku ingin agak lama bersama bibiku 
ini, jadi baiklah kutunda kunjunganku padamu.” 

“Aku punya usul lebih baik,” kata Wara Hita. “Ajak 
saja bibimu datang ke tempat kami. Jadi dua keinginan 
kita terpenuhi, bukan?” Wara Hita tertawa. Wara Hu- 
yeng heran melirik padanya. 

“Memang lebih bagus, tetapi juga lebih sulit. Bibi 
Gadung mungkin terikat rencana perjalanannya sen- 
diri,” kata Tun Kumala. 

“Itu pun bisa kuminta langsung pada beliau.” Wara 
Hita kini berpaling pada Nyai Gadung. Ia terkejut saat 
matanya bentrok dengan sinar mata begitu tajam yang 
tertuju padanya. 

“Anak muda, siapa namamu, dari mana asalmu?” 
tanya Nyai Gadung tajam, dingin. 

“Engkau sendiri siapa?” Wara Huyeng melangkah ke 
depan Wara Hita, seolah ingin melindunginya. 

“Aku bertanya lebih dahulu, dan aku bertanya pada- 
nya,” Nyai Gadung menyahut dengan nada sama sekali 
tidak ramah. 

“Engkau lupa hukum orang di perjalanan. Jika dita- 
nya, balas bertanya, maka itu sudah umum,” sahut Wa- 
ra Huyeng ketus. 

“Dalam hal ini... aku tak lagi punya keinginan mem- 
peroleh jawaban, jadi silakan berlalu,” Nyai Gadung le- 
bih ketus lagi. 

“Itu yang agak sulit,” kata Wara Huyeng, meloloskan 
ikat pinggangnya yang terbuat dari selendang sutera bi- 
ru berhiaskan berbagai permata di ujungnya hingga da- 
pat digunakan sebagai senjata. “Kau telah membuat 
anak buahku malu. Dan itu berarti juga mencoreng mu- 
kaku. Nah, bersiaplah!” , 

“Hei, tunggu! Tunggu! Kalian tak usah berkelahi lagi! 
Wisti, leraikan mereka!” seru Tun Kumala gugup. 

“Aku tak bisa melakukannya,” kata Wara Hita. 

“Siapa sih orang itu? Nenekmu?” tanya Tun Kumala. 

“Kurang ajar! Kujadikan nenek kau!” Selendang Wara 
Huyeng tiba-tiba meluncur ke arah Tun Kumala. 

Tun Kumala terperangah. Dan terdiam. Tidak demi- 
kian dengan Nyai Gadung. Ia melihat bahwa ini hanya 
suatu siasat Wara Huyeng. Ia melompat ke atas batu 
datar, menyambar kayu yang masih membara dari api 
unggun dan menghantam ke depan dengan dua tangan 
lurus. 

Dugaan Nyai Gadung sungguh tepat. Untung juga 
bagi Tun Kumala yang sama sekali tak bisa bergerak. 
Selendang biru Wara Huyeng tiba-tiba membelok mele- 
wati dirinya dan langsung menyerang Nyai Gadung! 

“Tun! Minggir!” Tak terasa Ni Gori memekik dan me- 
lompat maju. Ini karena kayu membara di tangan Nyai 
Gadung memaksa Wara Huyeng menarik kembali se- 
lendangnya. Dan ujung selendang itu kini benar-benar 
mengancam kepala Tun Kumala! 

Pada saat yang sama Wara Hita juga melihat bahaya 
yang mengancam Tun Kumala. Dan mengingat sifat Wa- 
ra Huyeng yang ‘tegaan’, ia yakin Huyeng tak akan ragu 
memecahkan kepala pemuda itu. Maka ia pun me- 
lompat untuk menyelamatkan sang ‘pemuda’. 

“Hei!” Ni Gori terkejut. Ia melihat gerakan sekelebat 
ke arah dirinya dan Tun Kumala. Cepat ia mengubah 
gerakan. Tangannya yang telah kembali memegang pa- 
rang menusuk lurus ke arah langit. Kaki kirinya me- 
nyapu kaki Tun Kumala untuk merobohkannya agar 
terlindung dua kali dari serangan ujung selendang 
Huyeng. Dan begitu kaki itu menginjak tanah lagi maka 
tubuhnya yang sejajar bumi seakan berputar melecut 
keras ke arah kedatangan Wara Hita. 

Terdengar berbagai jeritan kaget. Ni Gori menjerit ke- 
ras karena parangnya hancur tersambar selendang 
Huyeng. Ia juga menjerit kaget karena kaki yang me- 
nendang Wara Hita terhantam hawa panas yang begitu 
menusuk, ditambah empasan tenaga yang menyesak- 
kan dada. Dalam keadaan refleks, menganggap dirinya 
terancam, Wara Hita serta-merta melontarkan pukulan 
andalannya, dan ketika Gori roboh maka pukulan ke- 
dua akan terlontar ke punggung gadis itu. Dan, untuk 
pertama kali, mungkin, dalam hidupnya, refleks Tun 
Kumala juga sangat cepat. Sekilas ia melihat ancaman 
hantaman Wara Hita. Dan sekilas ia bisa berpikir bah- 
wa hantaman itu akan maut. Dan bahwa ia paling dekat 
dengan Gori yang saat itu tertelungkup. 

Tak berpikir panjang, Tun Kumala menjerit dan 
membalikkan tubuhnya yang telah terkapar di tanah ke 
kiri, tepat menutupi punggung Gori! Jelas ia hanya me- 
mikirkan bahwa hantaman Wara Hita akan teredam 
oleh punggungnya sendiri dan gadis desa itu bisa sela- 
mat. 

Sementara itu semua itu tak luput dari amatan Nyai 
Gadung. Ia menjerit karena bisa merasakan hawa puku- 
lan Hita yang sanggup menghancurkan Tun Kumala 
dan Gori sekaligus. Sedikit gugup ia melontarkan kayu 
membara di tangannya ke arah Hita. 

Di luar semua itu, Wara Huyeng pun memekik gem- 
bira. Perhatian Nyai Gadung terpecah. Dan ujung selen- 
dangnya meluncur mantap ke arah ulu hati Nyai Ga- 
dung yang sesaat tanpa pelindung! 

Bersambung ke jilid 7.