Candika Dewi Penyebar Maut 04

1. DEWI CANDIKA 

SAAT itu malam. Saat itu kelam. Dan lampu-lampu 
di taman Istana Timur Kuripan membuat bayang- 
bayang terang dan gelap seolah bertarung berebut pen- 
garuh. Lebih merupakan gambaran bagi kesatria muda 
yang hatinya bergolak gelisah itu. 

Ra Sindura selalu terpaksa menelan kebanggaan di- 
rinya setiap ia menghadap Dewi Malini, selir utama 
Sang Raja junjungannya. 

Dewi Malini sebagai selir Sang Raja, bahkan didesas- 
desuskan akan menggeser kedudukan Sang Permaisuri, 
yang adalah juga junjungannya. Dewi Malini sebagai da- 
ra cantik dari istana Rakryan Demung, Ra Sindura 
punya ribuan kenangan manis bersamanya. Dewi Malini 
sebagai Sang Selir Utama serta kekasih di masa lam- 
pau, adalah siksaan tak terperi bagi seorang ksatria 
muda seperti Ra Sindura yang mencoba memelihara ke- 
teguhan hati sebagai orang berhati bersih di negara itu. 

Dewi Malini tak pernah memberinya kesempatan un- 
tuk putih bersih. Gelora dada dara muda itu tak pernah 
bisa ditahan oleh kungkungan baja tata cara istana. 
Bagaikan dendam kesumat pada nasib yang membuat- 
nya terdampar di tangan Sang Raja, maka dengan be- 
rani Dewi Malini selalu menggunakan tiap kesempatan 
untuk bertemu dengan Ra Sindura. Dengan bantuan 
prajurit dara yang menjadi kepercayaan Sang Mahara- 
ja—Madri. 

Seperti malam itu. Malam yang sangat tidak meng- 
untungkan bagi Ra Sindura. Beberapa saat yang lalu 
ayahnya diketemukan tewas. Dan saat ia akan berang- 
kat menyelidiki kematian ayahnya, Madri muncul mem- 
bawa berita bahwa ia dipanggil Sang Raja. Yang mem- 
bawa berita itu adalah Madri. Dan ini hanya berarti sa- 
tu. Dewi Malini menunggu. 

“Kakang Sindura...,” kata Dewi Malini, di bawah po- 
hon nagasari yang indah semampai. “Ini memang bukan 
saat yang tepat. Tapi aku sangat merindukanmu. Aku 
ingin... kau mau berbagi kesedihan denganku....” Dewi 
Malini maju dan mengulurkan tangan untuk mencegah 
Sindura duduk menyembah. Sentuhan tangan yang be- 
gitu halus dan lembut itu jelas membuat dada Ra Sin- 
dura bagai akan meledak. Tapi dengan tegas Ra Sindura 
menepis tangan itu serta mundur beberapa langkah, 
menghindar dari kejaran Sang Dewi. 

“Dewi...” Terpaksa Ra Sindura memegang tangan pu- 
tih lembut itu. “Ingatlah kedudukanmu... kau adalah 
milik Sang Raja... kau adalah junjunganku... aku ham- 
ba sahayamu. Kalaupun kau tak peduli... ingatlah bah- 
wa tindakanmu ini bisa menyebabkan aku kehilangan 
kepala....” 

Dewi Malini tersenyum sedih. Ia menghela napas 
panjang dan menarik pulang tangannya. 

“Ra Sindura yang gagah perkasa takut dipenggal ke- 
palanya? Sejak kapan?” 

Saat itulah terdengar suara tawa mengejek. Tawa 
seorang wanita. Dari salah satu sudut gelap taman itu. 

Sesaat tersirap darah Ra Sindura. Serasa lenyap se- 
luruh tulang di dalam tubuhnya. Tapi ia cepat berdiri. 
Jika pun ia ketahuan, ia akan bersedia untuk bunuh 
diri. 

Tapi kesempatan saat Ra Sindura berdiri itu digu- 
nakan oleh Dewi Malini untuk mendekap pemuda itu. 
Merangkul dadanya yang terbuka itu rapat-rapat. Me- 
nempelkan pipinya yang halus hangat ke dada yang 
bersimbah keringat walaupun malam sangatlah dingin. 
Dan keharuman alami yang begitu merangsang mem- 
buat Ra Sindura sesak napas. 

Kuping Dewi Malini yang mungil serta berhias sum- 
ping bertatah berlian itu bisa mendengarkan betapa ka- 
caunya debar jantung sang perjaka. 

“Tak usah takut, Singa Kuripan,” bisik Sang Dewi. 
“Itu adalah tawa Madri!” 

Madri! Benar juga. Dan suara tawa itu terdengar lagi, 
disusul kata-kata, “Jika kau ingin memasuki Istana Ti- 
mur, kau mestinya punya ilmu lebih serta punya nyawa 
rangkap! Keluarlah!” 

He. Mungkin Madri memergoki seseorang yang akan 
atau sudah memasuki taman istana ini? 

“Sebentar,” bisik Ra Sindura mencoba melepaskan 
diri dari dekapan Dewi Malini. 

“Ah, mau ke mana?” bisik Dewi Malini, malah mem- 
pererat dekapannya. Diusap-usapkannya wajahnya ke 
dada Ra Sindura. Hawa mulutnya begitu hangat ketika 
ia berbisik, “Tak usah pergi. Madri akan dapat mengata- 
sinya. Dekaplah aku. Biarlah kita begini terus sampai 
tua....” 

“Dewi... jangan kaubuat keadaanku sedemikian sulit, 
biarkan aku pergi dulu,” bisik Ra Sindura. Merah mu- 
kanya. Begitu malu ia harus memohon pada wanita 
yang dahulu hanyalah sebaya. Kini dipujanya. Dan di- 
junjungnya. Namun begitu menyulitkan dirinya. 

“Sudahlah, duduklah dahulu, pangkulah aku, de- 
kaplah...,” bisik Dewi Malini berdesah, semakin erat 
mendekap, menarik Ra Sindura ke dalam gelap bayang- 
bayang. Luluh hati Ra Sindura. 

Otaknya mengatakan ia harus segera meninggalkan 
tempat itu. Kalau perlu ia harus mengibaskan wanita 
cantik di dadanya itu. Tapi deras darah mudanya me- 
ngatakan lain. Ia mengikut saja saat dirinya dituntun ke 
dalam suatu rumah-rumahan kecil berdindingkan rang- 
kaian bunga merambat. Di dalam terdapat sebuah 
bangku kayu cendana dengan keharuman yang mende- 
sak merangsang. 

“Dekaplah aku, Kakang... lupakan sejenak dunia- 
mu...,” desah Dewi Malini. 

Dan bagaikan patung berjiwa, Ra Sindura mengikuti 
permintaan itu. Mendekap sang dewi dengan tangannya 
yang berotot kuat. Merangkum kelembutan halus dan 
harum tubuh mulus indah itu. Tak terasa darahnya 
pun semakin deras melancar. Kupingnya serasa penuh 
dengan desah kepuasan Sang Dewi. Sementara tubuh- 
nya yang kokoh disentak-sentakkan oleh guncangan ge- 
jolak kerinduan yang bobol lepas membanjir menderas. 

Tak urung, walaupun kini sayup-sayup, Ra Sindura 
masih mendengarkan apa yang terjadi di sana. Entah di 
mana. 

“Tuan tahu, walaupun aku kenal Tuan, dan kedudu- 
kan ramanda Tuan begitu tinggi... aku wajib menang- 
kap Tuan. Hidup atau mati!” Di antara desah dengus 
harum napas Dewi Malini, sayup-sayup Ra Sindura 
mendengar suara itu. Suara Madri. Tegas dan dingin. 

“Dewi...,” bisik Ra Sindura, menangkap tangan lem- 
but sang dewi yang tampaknya semakin tak terkendali. 
“Tolong lepaskan aku dulu.” 

Sayup-sayup terdengar suara tawa lelaki. Beberapa 
lelaki, bukan hanya satu. Dan seseorang menjawab 
atau menyahut kata-kata Madri tadi. 

Ia ingin sekali memusatkan perhatian agar dapat 
mendengar jawaban tadi. Tapi saat itu Dewi Malini telah 
merangkul lehernya dan semakin menjadi-jadi me- 
ngecupi leher dan muka sang raden. 

Saat sekali lagi Dewi Malini merobohkan Ra Sindura 
ke bangku cendana, sayup-sayup terdengar bentakan 
Madri. “Baik! Jika Tuan tak bisa kuajak bicara secara 
baik-baik, terpaksa kugunakan kekerasan... yaiiiiiiiii....” 

Dan terdengarlah suara pertempuran. Kini agak pak- 
sa Ra Sindura menahan tangan Dewi Malini dan meng- 
angkat kepala. Madri adalah putri seorang pendekar da- 
ri Galijao. Tata kewiraannya mengandalkan kecepatan 
bergerak. Begitu ia mulai bergerak, maka siapa pun 
hampir tak bisa melihat dirinya lagi. Yang tampak 
hanya segulung bayang-bayang yang menimbulkan wi- 
bawa kengerian. Senjatanya semacam tombak yang 
ujungnya adalah semacam golok melengkung. Madri tak 
pernah menunjukkan rasa ampunnya jika sudah meng- 
gunakan senjata itu. Ra Sindura pernah melihat praju- 
rit wanita itu beraksi. Dalam perjalanan ke pantai sela- 
tan, mereka yang sengaja mendahului rombongan Sang 
Raja kepergok dengan segerombolan perampok. Mung- 
kin jika mereka hanya menyatakan keinginan untuk 
merampok, Madri takkan turun tangan. Tapi kepala pe- 
rampok begitu usil mencoba menggoda Madri yang wa- 
laupun berkulit hitam namun begitu manis dengan se- 
ragam prajuritnya. Sekali Madri bergerak, ia tak bisa 
dihentikan lagi. Enam belas orang perampok roboh da- 
lam beberapa gebrakan saja. Semua dengan salah satu 
bagian badan terpenggal. 

Kini saat Ra Sindura berhasil melepaskan kepalanya 
dari dekapan Dewi Malini, ia mendengar tidak saja lon- 
catan lepas dan cepat gerak kaki Madri. Tetapi juga des- 
ing maut tombak bermata golok melengkung itu. 

“Maaf, Dewi....” Ra Sindura mengeraskan hati, menu- 
tup mata nafsunya dan mendorong pergi tubuh wanita 
muda itu. Terpaksa dengan tenaga karena Dewi Malini 
sama sekali tak mau melepaskan dekapannya. “Maaf- 
kan hamba....” Sedikit terhuyung Ra Sindura mundur, 
membungkuk menyembab sambil membetulkan ikatan 
kainnya. “Maaf....” Masih dengan pikiran kacau Sindura 
berlari ke arah dari mana ia mendengar suara pertem- 
puran tadi. 

“Kakang!” Dewi Malini gugup berdiri. Tangannya ser- 
ta-merta meraup beberapa pakaiannya yang terlepas 
tadi. “Kakang!” katanya lagi gemas, membanting kaki. Ia 
bukanlah wanita yang dibesarkan dalam kemanjaan. 
Tapi ia paling tidak selalu memperoleh kepuasan dalam 
keinginannya. Dan tadi ia tak memperoleh kepuasan 
itu. 

“Kakang... aku harus memilikimu...,” desah Dewi 
Malini. 

“Kenapa kau begitu serakah?” terdengar suatu sua- 
ra. Sesaat Dewi Malini mengira itu adalah suara hatinya 
sendiri. Sebab sering memang ia menanyakan hal itu 
pada dirinya sendiri. Hampir ia menjawab. Namun ada 
sesuatu hal yang sangat asing. 

Tiba-tiba tempat itu berbau begitu harum. 

Harum yang aneh. Tak pernah dirasakannya sebe- 
lumnya. 

Terkejut Dewi Malini berpaling. Dan ia makin terke- 
jut. 

Di sudut rumah taman itu berdiri sesosok tubuh. Ti- 
dak terlihat terlalu jelas. Berperawakan sedang. Dengan 
beberapa perhiasan gemerlap memancarkan sinar— 
walaupun keadaan di tempat itu cukup gelap. Remang- 
remang terlihat wajah berkulit bersih. Bermata tajam, 
cemerlang indah. 

“Siapa kkkau?” Dewi Malini berdesis bertanya. Mun- 
dur hingga punggungnya terbentur palang-palang kayu 
tempat bunga-bunga merambat. 

“Perlukah kau tahu?” suara orang itu sungguh mer- 
du. Dan seakan tertawa. 

“Jangan kurang ajar. Aku bisa menyuruhmu dihu- 
kum picis,” ancam Dewi Malini. Tetapi sesungguhnya ia 
tak yakin untuk itu. Sebab... siapakah sebenarnya yang 
dihadapinya? Sang Permaisuri sendirikah, hingga be- 
rani begitu kurang ajar padanya? Tidak. Sang Bhre Ku- 
ripan tidak seperti itu bangun tubuhnya. Tidak seperti 
itu langgam suaranya. Tidak seperti itu harumnya. Dan 
tidak mungkin berada di Istana Timur, yang memang 
diperuntukkan bagi Sang Selir Utama. Lebih-lebih lagi 
tak mungkin ia berjalan di kegelapan seperti ini. Sen- 
diri. 

“Kaupikir kau cukup tinggi untuk itu?” orang itu me- 
mendam tawa lagi. “Ketahuilah, aku bahkan lebih ber- 
hak dari Sang Maharaja di Wilwatikta. Apalagi hanya 
Sang Raja Kuripan. Apalagi hanya seorang selir utama. 
Apalagi... seorang selir utama yang menyeleweng!” orang 
itu berbicara lebih keras. “Jika aku mendendam pada 
seluruh keturunan Kertarajasa, maka dendamku adalah 
dendam keluargaku. Jika aku ingin membunuh eng- 
kau... maka itu karena sebagai seorang wanita, aku ma- 
lu ada seorang wanita yang bersifat seperti engkau!” 

“Membunuh... aku?” Dewi Malini makin mundur. 
Makin terdesak ke palang kayu. Di mana Madri? Di ma- 
na Sindura? Ia memang mendengar suara pertempuran 
di kejauhan. Di mana para pengawal? Ah, ya. Demi ter- 
laksananya pertemuannya dengan Ra Sindura, seperti 
biasa pastilah Madri telah memindahkan pasukan pen- 
gawal taman untuk bertugas di tempat lain. Mereka 
pastilah tak bisa dipanggil. 

“Ya... aku akan membunuhmu. Sesungguhnya ini 
bukan tujuan utamaku. Tujuanku adalah Bhre Kuripan 
dan keluarga dekatnya... tapi kau begitu memuakkan 
aku!” Tiba-tiba orang itu merunduk merendahkan bahu 
kirinya. Dewi Malini terkejut. Ia tahu sedikit ulah tata 
kewiraan. Dan ia sering menonton Sindura berlatih. Ia 
seakan mengenal gerak ini. Salah satu gerak yang 
mengawali tendangan yang mempunyai kekuatan pe- 
nuh dan sanggup merobohkan sebatang pohon beringin 
besar! 

Dewi Malini cepat memutar tubuh. Tergesa-gesa ia 
membuang diri ke samping. Tak mempedulikan betapa 
kain dan selendangnya terlepas dari genggamannya. 

Orang itu agaknya hanya menggertak. Bukan ten- 
dangannya yang terlepas, tangan kanannya meluncur 
cepat, mencoba menyambar kain kemben penutup dada 
Dewi Malini. Dewi Malini gugup menyambar tusuk 
sanggul yang berbentuk seperti keris berukuran sangat 
kecil dan sambil menjerit keras menampar tangan yang 
terulur tadi. 

Saat itulah tendangan maut yang dikhawatirkannya 
tiba. Sekilas gerakan. Badan orang itu miring. Kakinya 
terulur panjang. Ibu jari dan jari telunjuk kaki menga- 
rah ke iga Sang Dewi. 

Kembali Dewi Malini menjerit keras. Dan roboh. 

Ketika Sindura sampai di sumber suara pertempuran, ia 
sangat terkejut. Tempat itu adalah halaman samping Is- 
tana Timur. Dekat pintu kecil yang menuju bagian bela- 
kang Istana. Dekat tembok tinggi yang memagari taman 
itu. 

Sindura terkejut, karena terlihat Madri sedang sibuk 
melayani Ra Wirada dan kedua bayangannya, si Lingga 
dan Yoni! 

Madri mengerahkan segenap kepandaiannya. Tubuh- 
nya meloncat ke sana-kemari, berguling dan meloncat 
meninggi, kemudian kembali berguling dekat tanah. 
Senjata tombaknya terus menderu, mata golok leng- 
kungnya mendengung mengancam. 

Ra Wirada cukup membuktikan dirinya sebagai pe- 
muda yang bisa diharapkan sebagai benteng negara. 

Gerakannya ringkas. Trengginas. Matang perhitungan. 
Gerakan ini jadi begitu indah karena Madri dibuat sibuk 
oleh Lingga dan Yoni. Terlibat dalam pertempuran sese- 
rius ini, kedua orang itu lupa bercanda. Mereka me- 
mang terpaksa menggunakan pedang untuk berani 
menghadang serangan Madri. Dalam menyerang mau- 
pun bertahan, ternyata si jangkung dan si bundar itu 
dapat saling mengisi dengan sangat baik. Mereka pun 
seolah pernah berutang jiwa pada Ra Wirada hingga se- 
ring mereka melakukan serangan nekat dan kilat untuk 
melindungi pemuda itu. 

Pertempuran itu jadinya seimbang. Dan itu mem- 
buktikan bahwa sesungguhnya Madri berada di atas sa- 
lah satu dari ketiga pria itu jika mereka melakukan per- 
tempuran seorang lawan seorang. 

Bahkan hanya Madri yang sepenuhnya tahu keha- 
diran Ra Sindura yang tiba-tiba muncul dari antara se- 
mak bunga. 

Madri bahkan dapat melihat raut muka yang melam- 
bangkan pikiran kacau di wajah Ra Sindura. 

Ini tidak benar, pikir Madri. Setiap kali habis ber- 
temu dengan Dewi Malini memang tampak Ra Sindura 
berwajah kacau, tetapi kacau yang menyembunyikan 
rasa kepuasan diri. Ini tidak. Ini kacau takut. Kacau 
bingung. Dan tentu saja kacau sedih. Takut? Bingung? 

Karena pikirannya terpecah, dua pedang Lingga dan 
Yoni berhasil menerobos pertahanan tombak Madri, 
sementara tinju Ra Wirada menyerbu dari samping. Gu- 
gup Madri menghantam kedua pedang itu dengan ga- 
gang tombak sementara sambil menggulingkan diri ia 
membebaskan sasaran tinju Ra Wirada. Sesaat kemu- 
dian ia telah meloncat dan jatuh dengan kaki tertekuk 
hampir melekat ke tanah sementara tombaknya mem- 
buat lingkaran perlindungan maut. 

“Lut Seta,” pikir Ra Sindura. Ia pernah mendengar 
tentang gerakan khas dari tata kewiraan Galijao ini, dan 
baru kali ini ia dapat menyaksikan sepenuhnya. Tetapi 
ia masih termangu. 

Madri menebak tepat. Ra Sindura memang saat itu 
gugup, bingung, dan takut. Tewasnya ayahnya. Perte- 
muannya yang penuh gelora nafsu dengan Dewi Malini. 
Dan kini Ra Wirada muncul. Apakah mereka hanya ke- 
betulan saja datang? 

Menggunakan saat Madri sesaat berhenti menyerang, 
tangkas sekali Ra Wirada melompat mundur. Lingga 
dan Yoni serentak juga mundur dan mengambil tempat 
melindungi majikan mereka. 

“Kakang Sindura, hentikan wanita gila ini... dia... 
dia... eh...” Ra Wirada berhenti berbicara, memperhati- 
kan pakaian Ra Sindura yang sudah acak-acakan itu. 
“Mmm, haruuum... kau dari mana, Kakang? Betul juga 
kabar angin yang kudengar.” 

“Raden, orang ini memburuk-burukkan Gusti Dewi. 
Aku berkewajiban untuk membekuknya. Hidup atau 
mati.” Madri berdiri gagah, memutarkan tombaknya di 
samping tubuhnya dengan tangan kanan sementara 
tangan kirinya menunjuk lurus ke depan. Wajahnya 
yang gelap menjadi latar belakang matanya yang me- 
mancar murka penuh dendam. “Lebih baik lagi kalau 
mati, dan aku tak keberatan kata-kataku ini diadukan 
pada Sang Maharaja.” 

“Ah, Kakang Sindura... aku cuma berkata aku ingin 
mengunjungi Rayi Dewi Malini... kan itu biasa toh.” Ra 
Wirada bertolak pinggang dan bersikap santai. “Kan Ka- 
kang tahu, Rayi Dewi teman bermain kita sejak dulu... 
Bahkan, ehm, ehm, aku sekarang baru mengerti men- 
gapa kau tak pernah tertarik pada gadis mana pun, Ka- 
kang... dan kenapa kedudukanmu begitu cepat me- 
nanjak. Yang kuherankan, pada saat ayahandamu, Uwa 
Rangga, menemui petaka... kau masih sempat...” 

“Diam, Wirada!” Ra Sindura tidak membentak. Bah- 
kan kata-katanya itu dikeluarkannya perlahan-lahan. 
Hampir sepatah demi sepatah. Tapi semua suku kata- 
nya seakan menghantam dada Ra Wirada. Yang lang- 
sung terdiam. “Jangan kausebut Gusti Dewi seperti itu. 
Berpikir pun jangan kauanggap sarika pernah jadi te- 
man bermainmu. Gusti Dewi adalah junjunganmu. 
Camkan itu. Kau telah memasuki daerah terlarang. Kau 
harus dihukum!” 

“Jika Gusti Dewi-mu itu boleh menerima kamu, Ka- 
kang, secara sembunyi-sembunyi pula... kenapa aku 
tak boleh berbuat serupa? O, sudahlah, jangan kau 
mencoba menutupi Gusti Dewi-mu itu, Kakang. Bagiku 
ia tak lebih dari salah satu anak buah Bibi Emban 
Layarmega... bedanya kaulah langganannya satu-satu- 
nya!” 

“Wirada! Bersihkan mulutmu!” Kini Ra Sindura 
membentak. Dan meledak. Dan langsung menerjang. 
Dengan kemarahan yang tak terbendung. 

Ra Wirada menjerit terkejut. Punggungnya tersambar 
hantaman keras Ra Sindura dan ia terhempas keras ja- 
tuh tersungkur. Pedang Lingga yang terulur mengha- 
dang pun ditabas hingga terlepas, sementara peme- 
gangnya ditendang terjengkang. 

“Kakang Sindura! Jangan kaukira kau sendiri jantan 
sejati!” geram Ra Wirada memekik dan menghunus ke- 
ris pusakanya, Ki Jaka Belek. Begitu terkibas di udara, 
keris yang tadinya hitam legam langsung merah mem- 
bara menyebarkan perbawa panas. Tapi Ra Sindura 
agaknya tak terpengaruh. Bagaikan gila ia terus mener- 
jang. 

Gugup juga Madri melihat pertempuran keras itu. 
Belum pernah ia melihat Ra Sindura begitu bernafsu 
dalam bertarung. Seakan-akan Ra Sindura tak akan 
puas sebelum Ra Wirada dan kedua hambanya itu di- 
cincang jadi abu. 

Padahal, bahkan tadi pada puncak kemarahannya, 
Madri tak akan bermaksud untuk membunuh putra 
Rakiyan Tumenggung itu. Betapapun kurang ajarnya 
Ra Wirada. 

Entah bagaimana agaknya Ra Wirada mengetahui 
hubungan gelap antara Ra Sindura dan Dewi Malini. 
Entah bagaimana Ra Wirada memberanikan diri memu- 
tuskan untuk juga ikut menemui Dewi Malini. Mungkin 
memang ia tak bisa mengendalikan kehidung-belang- 
annya. Mungkin karena ia ingin menjatuhkan Ra Sin- 
dura. Entahlah. Kata-kata yang tadi diucapkannya pada 
Madri sungguh kurang ajar, memang. Kemudian... en- 
tah bagaimana ia bisa memasuki daerah terlarang ista- 
na ini. Mungkin ia memakai pengaruh Rakryan Tu- 
menggung yang memang sedang berada di balai peng- 
hadapan. Mungkin... ah! Tugasnya adalah menjaga 
Sang Dewi. Kini... di mana beliau? Mengapa Ra Sindura 
meninggalkan Sang Dewi? Madri kenal betul Sang Dewi. 
Pasti ia tak akan melepaskan Ra Sindura sedemikian 
cepat. Apa pun yang terjadi, biasanya bisa ditanggulangi 
oleh Madri hingga Ra Sindura tak usah pergi mening- 
galkan Sang Dewi. 

Tiba-tiba Madri merasa gelisah. Apa pun yang terjadi, 
Madri harus menjaga kepuasan Sang Dewi. 

Gelisah Madri memuncak. Dilihatnya Ra Sindura 
masih beringas merangsek kedua lawannya, dan sera- 
ngan-serangan putra Rakiyan Rangga itu betul-betul 
pantas membuatnya dijuluki Singa Kuripan. Kenapa 
pemuda itu seperti begitu bernafsu membunuh Ra Wi- 
rada? 

Tiba-tiba Madri memutuskan untuk menjenguk jun- 
jungannya. Keadaan di sini pastilah bisa dikuasai oleh 
Ra Sindura. 

Madri membungkuk memberi hormat dari kejauhan 
dan berkata, “Raden, demi pasukan pengawal keagung- 
an Sang Maharaja, mohon ketiga perusuh itu ditangkap 
hidup-hidup....” Madri terpaksa menambahkan kata- 
kata itu karena ia ngeri akan akibat kemurkaan Ra Sin- 
dura. Dan ia melompat pergi. 

Bergegas ia berlari ke rumah bunga di tengah taman 
itu. Beberapa langkah dari rumah itu ia sudah tertegun 
berhenti. Sebuah sudut rumah tersebut roboh. Dan... 
sesosok tubuh terkulai ke luar. 

“Gusti Dewi!” Madri berbisik dengan suara tertekan. 
Dan napasnya serasa lenyap. Jantungnya berhenti ber- 
detak. “Gusti Dewi...,” bisiknya lagi, melangkah selang- 
kah maju. Begitu berat terasa. Tapi ia menabahkan hati 
untuk melangkah lagi. Dan melangkah lagi. “Gusti De- 
wi...,” hampir ia menjerit. Dan menubruk tubuh itu. 
Dan menangis. Serta merenggut-renggutkan rambut di 
kepala. Atau menampar-nampar dada. Tapi itu semua 
hanya dilakukan oleh seorang wanita biasa. Madri bu- 
kanlah wanita biasa. Ia adalah wanita prajurit. Ia ada- 
lah prajurit. Ia tak boleh melakukan apa yang mula- 
mula dipikirkannya tadi. 

Ia menghela napas dalam-dalam. Ia memejamkan 
mata. Ia memusatkan segenap pikirannya. Ia adalah ke- 
utuhan dari suatu senjata pamungkas. Ia tak kenal pe- 
rasaan. 

Ia maju. Diperiksanya tubuh itu. Dipetiknya batu 
api. Disulutnya sebuah obor kecil yang ada di rumah 
bunga tersebut. 

Sang Dewi sedang tersengal-sengal mempertahankan 
napas terakhirnya. Sekilas melihat remuknya sisi dada 
serta warna kulit wajah yang cantik itu Madri tahu 
bahwa obat Dewata pun tak akan bisa menyelamatkan 
junjungannya. “Gusti Dewi...,” bisik Madri perih. Diang- 
katnya wajah cantik itu. Tak ada yang tahu, bahwa pa- 
da puncak-puncak kesepiannya, Dewi Malini sering 
mendekapkan mukanya ke dada Madri, dan memper- 
oleh suatu kepuasan yang aneh. Demikian pula si pra- 
jurit wanita. Kesetiaannya pada junjungannya lebih dari 
sekadar kesetiaan. Tetapi juga kecintaan. Dan kini wa- 
jah itu begitu padam sinarnya. “Gusti Dewi...,” bisiknya 
lagi. 

Dan entah ada kekuatan dari mana, Sang Dewi se- 
saat membuka kelopak matanya. Mata yang mati itu 
memandang Madri dengan sinar obor kecil yang ter- 
sangkut di dinding. “Madri?” suaranya lemah, jauh dari 
balik dunia. 

“Gusti Dewi!” Madri terkejut. “Dewi... siapakah yang 
berbuat ini?” Naluri keprajuritan lebih menguasai rasa 
cinta ataupun kasih sayang Madri. 

Dewi Malini tersengal-sengal makin keras. “Dewi!” 
rintih Madri. Dan mulut yang begitu indah tampak 
membentuk kata: Madriiii. Kemudian... bibir itu seakan 
ingin mengucapkan: Kakang Sin... du... ra... 

Dan... mata indah itu pun padam. 


2. TENDANGAN BANTALA LIWUNG 

SETELAH Madri pergi, dalam kemurkaannya pun Ra 
Sindura merasakan bahwa ada orang ketiga yang ikut 
memperhatikan ia merangsek Ra Wirada dan kedua pu- 
nakawannya. Kemudian sesuatu membuatnya makin 
terganggu. Bau yang begitu harum! Sesaat ia melengak, 
dan hampir saja lambungnya terobek oleh si Jaka Be- 
lek. Tapi dengan menggunakan langkah Sura-caya bu- 
kan saja ia berhasil menggagalkan serangan lawan, 
bahkan serangkaian tendangan membuat Lingga dan 
Yoni terpental membentur pagar tembok, sementara Ra 
Wirada harus membuang badan dua kali. 

Ra Sindura berpaling, dan terpaku. 

Bersandar pada sebatang pohon sawo kecik, adalah 
seorang... dewi? Bidadari? Gandarwa? Peri? Belum per- 
nah Ra Sindura melihat wanita secantik itu. Pakaiannya 
pun mungkin mengalahkan putri Wilwatikta. Hanya ka- 
innya dilipat untuk lebih memberi gerakan bebas pada 
kakinya. Dan sekilas Ra Sindura tahu bahwa gerak be- 
bas yang dimaksud adalah gerak bebas keprajuritan. 

Lebih dari itu, wanita itu memancarkan keharuman 
yang khas. Keharuman aneh yang pernah diciumnya di 
tempat ayahnya gugur. 

“Kau!” Hanya itu yang keluar dari mulut Ra Sindura, 
jarinya kaku menuding wanita itu. Bukan ia saja yang 
terpukau. Ra Wirada pun bangkit terheran-heran. Begi- 
tu juga Lingga dan Yoni. 

“Kenapa aku?” wanita itu bertanya dengan suara 
merdu. 

“Kkau... yang... menewaskan...” Ra Sindura tak be- 
rani melanjutkan pertanyaannya. 

“Bukankah itu kesalahanmu sendiri?” Wanita itu 
berjalan gemulai ke tengah tempat terbuka yang tadi 
mereka pakai untuk bertempur itu. “Pertama, kepada 
ayahmu sendiri, mengapa tak kautunjukkan cara meng- 
atasi tendangan Bantala Liwung? Kedua, kenapa kau 
sendiri tak bisa menguasai Bantala Liwung dengan 
baik?” 

“Kkau... tak mungkin kau murid perguruan kami!” 
Ra Sindura memperhatikan wanita itu. 

“Untuk menguasai ilmu kalian yang hanya bagus 
guna menangkap katak di sawah... mestikah aku men- 
jadi murid?” Wanita itu tertawa mengejek. “Lagi pula, 
melihat kau sebagai contoh... kurasa Ki Megatruh patut 
berduka dalam penyesalan.” 

“Ap... apa yang kaumaksudkan?” Ra Sindura terga- 
gap. 

“Contohnya... membunuh cacing macam mereka ber- 
tiga saja kau tak becus.” Wanita itu tertawa. Ibu jari ka- 
kinya dijentikkan. Sebutir batu kerikil melayang cepat 
dan pesat, tepat mengenai mulut Yoni yang sedari tadi 
ternganga. Yoni menjerit menekap mulutnya. Dari sela 
jarinya darah mengalir. Batu tadi ternyata mematahkan 
sebutir giginya. 

“Eh, tunggu, tunggu, Kakang Sindura... ini siapa?” 
sela Ra Wirada yang agaknya telah sadar dari terpeso- 
nanya. “Kalau dia menganggapku cacing, memang pan- 
taslah. Dibanding kecantikannya... he he he... Kakang 
bolehlah ambil Dewi Malini... biar aku dapat yang ini sa- 
ja... mati pun lega rasanya....” 

“Jangan khawatir, Wirada, keinginanmu itu pasti ter- 
laksana,” kata si wanita cantik tersenyum. Senyum itu 
sendiri sudah sanggup menghilangkan napas Yoni dan 
Lingga. 

“O, o... kau sudah kenal namaku... cuma belum 
lengkap... aku putra Rakryan Tumenggung, kalau kau 
putri seorang bupati pun rasanya masih cukup lu- 
mayan.” Ra Wirada tertawa. 

“Wirada, lebih baik kau diam... kau belum tahu siapa 
dia....” Ra Sindura sudah “mendingin” dan merasa bah- 
wa Wirada pun wajib dilindunginya. 

“Aha, tapi tak pernah terlambat untuk berkenalan, 
bukan?” 

“Memang belum terlambat.” Sambil tersenyum si wa- 
nita menggeser kedudukan kakinya. Dan kini Ra Sindu- 
ra terkejut. Gerak perpindahan kakinya. Dan kedu- 
dukan akhir kaki itu. Benar-benar hanya bisa dilaku- 
kan oleh orang yang ahli dalam ilmu itu! “Wirada, kau 
akan kuserang dengan Bantala Liwung langkah ke-19 
ke arah ulu hatimu. Awas!” 

Gugup Ra Wirada melompat mundur dan pasang 
kuda-kuda pertahanan. Sebat Ra Sindura menerkam 
menyergap menghadang tendangan itu. Tapi gerakan 
wanita tersebut begitu indah. Ia menarik mundur kaki- 
nya untuk menghindari benturan dengan Ra Sindura. 
Kemudian ia menggeser sekali ke kanan, dua kali ke ki- 
ri, dan ia telah berada kembali di hadapan Ra Wirada. 
Tendangan yang sama dilaksanakan. Ra Wirada menje- 
rit panjang. Terpental roboh tak bergerak lagi. 

“Hei!” seru Ra Sindura terkejut. 

“Raden!” teriak Lingga dan Yoni bersama-sama. 

“Dan ini langkah ke-20....” Wanita itu menekuk kaki, 
melengkungkan tubuh dengan kedua tangan teracung, 
dan tiba-tiba kaki kirinya melecut ke depan. Yoni bagai- 
kan terbabat pedang raksasa. Tertekuk patah di ping- 
gang, terjungkal roboh. Lingga melihat gelagat, melom- 
pat mundur ke tembok. Tapi seakan tak berusaha si 
wanita menggeser diri ke sana kemudian bertumpu pa- 
da kedua belah tangan ia meloncat serta menendang 
beruntun. Lingga pun roboh. 

“Kau kejam!” Gugup Ra Sindura bersimpuh meme- 
riksa Ra Wirada. 

“Mungkin kekejamanlah yang kurang pada ilmu yang 
kaumiliki.” Si wanita tertawa. “Untuk apa ilmu yang 
tampaknya saja indah?” 

Bekas tendangan pada rusuk Ra Wirada jelas mem- 
perlihatkan betapa tepatnya gerakan si penendang, be- 
tapa tepat takaran tenaga yang digunakan, dan betapa 
tepatnya sasaran. 

“Kau gila...,” desis Ra Sindura, berdiri dan berpaling. 
Kembali ia terkejut. Di depannya berdiri Madri. Dengan 
tombak melintang di dada serta pandangan menuduh. 

“Madri... mereka...” Ra Sindura tak melanjutkan ka- 
ta-katanya. Pandang mata Madri begitu penuh dendam. 

“Sedikit saja kau bergerak mencurigakan, Raden, 
dengan senang hati aku membunuhmu,” kata Madri 
dengan bahasa kasar dan tombak dalam posisi menye- 
rang. “Aku bisa mengerti kau tega membunuh mereka, 
tapi mengapa Sang Dewi juga?” 

“Ap... apa maksudmu? Kke... kenapa Sang Dewi?” Ra 
Sindura terperangah. 

“Jangan pura-pura!” tiba-tiba saja tombak dengan 
ujung melengkung itu bergerak sangat cepat, beringas 
dan ganas! 

“Madri! Tunggu!” teriak Ra Sindura. Tapi tak ada gu- 
nanya. Tombak Madri terus menyerbu dengan sengit. 
Ra Sindura sampai sesak napas. Hanya keajaiban yang 
membuatnya lolos dari serbuan maut yang bergelom- 
bang itu. Pikirannya sudah terpecah tak keruan. Pada 
kata-kata Madri. Pada tubuh Ra Wirada yang tak ber- 
nyawa lagi. Kemudian kelebatan ujung tombak Madri 
juga sangatlah mengerikan. 

Dan tahu-tahu tempat itu terang-benderang. Pulu- 
han obor mendatangi. Dengan puluhan prajurit. Dan 
beberapa panglima. Dan kedua rakryan yang ada. Ra- 
kryan Kanuruhan, Mpu Gatra. Rakryan Tumenggung, 
Mpu Gagarang. 

Mpu Gatra yang tua suaranya berwibawa. “Sindura, 
Madri, hentikan!” 

Sindura melompat mundur dan berhenti. Madri 
menggunakan kesempatan ini untuk menghantam mu- 
ka Sindura dua kali kemudian ia melompat mundur 
dan menangis tersedu-sedu. Mpu Gagarang sementara 
itu telah bersimpuh di samping tubuh putranya, me- 
manggil-manggil namanya, “Wirada! Wirada! Berbicara- 
lah padaku, Nak. Wirada... aku ayahmu, Nggeeeer... Wi- 
rada...” Dan orang tua itu pun menangis tersedu-sedu. 

Beberapa lama hanya suara itu yang terdengar. Se- 
mua mematung. Ra Sindura tampak kebingungan. Para 
prajurit dan para panglimanya seakan tak tahu harus 
berbuat apa. Madri berdiri geram dengan pandang 
mengancam. Ia telah mengamankan Sang Dewi jun- 
jungannya. Kemudian ia mengerahkan pasukan kemari, 
karena betapapun ia merasa tak akan tega menangkap 
Ra Sindura. Satu hal ia tahu. Sebagai seseorang yang 
menekuni ulah kewiraan, maka ia beberapa kali meneli- 
ti korban tendangan maut Ra Sindura. Ia yakin apa 
yang dilihatnya pada Sang Dewi sama. Dengan lemas ia 
kemudian mendekati mayat Lingga dan Yoni. Benar. Di 
sini pun terlihat tempat-tempat maut yang sangat dige- 
mari sebagai sasaran Bantala Liwung. Dengan tenaga 
yang diperlukan untuk membuat tendangan itu benar- 
benar maut. 

“Kubunuh kau!” Tiba-tiba keheningan itu dipecah- 
kan oleh jerit Mpu Gagarang yang menyambar Ki Jaka 
Belek di samping tubuh anaknya dan menghambur me- 
nerjang Ra Sindura. 

Beberapa kepala pasukan segera pula menghambur 
menghadang di depan Ra Sindura. Mereka hanya me- 
nempatkan diri di sana. Dan mereka sama sekali tak 
melawan saat dengan geram Mpu Gagarang menghajar 
mereka dengan hantaman, tendangan, bahkan sabetan 
keris pusakanya. 

Tahu-tahu Mpu Gatra telah berada di depan Ra Sin- 
dura saat Mpu Gagarang mengayunkan keris ke dada 
pemuda itu. Keris itu terhunjam keras ke dada Mpu Ga- 
tra. Tak berbekas. 

“Dimas Tumenggung, sabar dulu... baiklah kita bica- 
rakan hal ini baik-baik.” Mpu Gatra sabar memegang 
tangan Mpu Gagarang yang memegang keris dan menu- 
runkannya. Dengan tangan yang sebelah lagi ia me- 
rangkul tumenggung itu. Menuntunnya pergi. “Mari kita 
sidangkan hal ini malam ini juga.” 

“Aku bunuh diaaaaa!” jerit Rakryan Tumenggung. 
Dan ia pingsan di pelukan Rakryan Kanuruhan, Mpu 
Gatra. 

Sidang yang dijanjikan Rakryan Kanuruhan itu ber- 
langsung sunyi. Tidak terdengar kata-kata meledakkan 
tuduhan. Berlangsung di balai penghadapan belakang. 

Hari telah menjelang fajar. Hawa dingin berembus 
masuk. Kegelapan masih menyelimuti alam di luar. 

Rakryan Mapatih Kuripan paling gelisah. Ia baru saja 
sampai dari perjalanan jauh meninjau pantai selatan. 
Berita yang akan dilaporkan pada rajanya bukanlah be- 
rita yang menggembirakan. Dan di Kuripan sendiri ter- 
jadi berbagai petaka. 

Kematian Rakryan Rangga saja sudah membuatnya 
patah semangat. Di saat agaknya cahaya Wilwatikta 
menyuram, Rakryan Rangga adalah salah satu orang 
yang dapat diandalkannya. Bukan ia memandang ren- 
dah yang lain... dari balik jari-jari tangan yang dipa- 
kainya menyangga muka, Rakryan Mapatih melirik Ra- 
kryan Demung, Rakryan Kanuruhan, dan Rakryan Tu- 
menggung yang hadir di hadapannya. Mereka adalah 
orang peperangan yang kini menjadi “gemuk”. Luntur 
semangat perjuangan dan kini mengutamakan kese- 
nangan semata. 

Seperti Rakryan Demung itu. Dahulu adalah singa 
yang ditakuti di palagan. Ikut Sang Mahapatih Mada 
semasa mudanya menumpas pemberontakan di Sa- 
deng. Ikut menyerbu ke Ujung Timur melabrak Bhre 
Wirabhumi. Kini dengan kedudukan tinggi singa itu ma- 
tanya tak lagi beringas. Dan ia agaknya lebih mengan- 
dalkan hubungannya dengan Istana untuk mengukuh- 
kan kedudukannya. Bukan dengan menegakkan jasa 
yang lebih besar. Betapa kematian putrinya menghan- 
curkan orang ini, pikir Sang Mapatih. Bukan karena 
cintanya pada putrinya. Mungkin itu juga, tapi lebih 
banyak lagi karena dengan tewasnya selir utama ini le- 
nyaplah sudah tumpuan utama pengaruhnya di Istana. 
Rakryan Demung setiap kali pingsan, membuat repot 
para dayang yang ada, serta Juru Wira Prakara, putra 
sulung sang Rakryan Demung yang menjabat juru di 
Gerati. Bahkan Wira Prakara ini pun tak bisa diha- 
rapkan, pikir Rakryan Mapatih, masih menundukkan 
kepala. Putra Rakryan Demung itu bahkan secara wu- 
jud betul-betul gemuk bundar. 

Rakryan Kanuruhan sedikit bisa diharapkan, pikir 
Rakryan Mapatih. Hanya Mpu Gatra ini sudah demikian 
tua, dan tak punya keturunan. Ia bahkan sudah ikut 
berjuang semasa Sang Jayanegara menyerbu Pajarakan. 
Waktu itu Mpu Gatra tentulah masih anak-anak, dan 
menurut cerita hanya menjadi pembawa tombak Sang 
Raja. Namun keberaniannya kiranya cukup mengesan- 
kan. Dan ia tak bisa memperoleh keturunan pun akibat 
pertempuran di kubu Pajarakan itu. Ia jatuh dan terin- 
jak kuda perang hingga terjadi kerusakan parah pada 
anggota badannya yang dapat menjanjikan keturunan. 
Rakiyan Mapatih sendiri tak tahu benar-tidaknya cerita 
itu, tetapi ia sering melihat kegagahan Rakryan Kanu- 
ruhan di masa mudanya. Sayang. 

Rakiyan Rangga, jika masih ada, akan memperoleh 
nilai terbanyak di mata Rakryan Mapatih. Jujur. Gagah 
berani. Bertanggung jawab. Tak pernah mengejar keka- 
yaan. Juga putranya, Ra Sindura. Tapi kenapa justru 
mereka yang baik ini yang kemudian terkena petaka? 
Dan Ra Sindura itu... kembali Rakryan Mapatih meng- 
intip dari balik jari-jarinya. Sedikit mengecewakan juga. 
Sang Mapatih pernah juga mendengar desas-desus ten- 
tang hubungan Ra Sindura dengan Selir Utama. Me- 
ngapa ia tak bisa menahan diri? Tapi... tidak. Beberapa 
bulan yang lalu dalam percakapan dengan Sang Mapa- 
tih, Sindura pernah menyatakan keinginan untuk 
membaktikan dirinya di kerajaan lain. Mungkin di Da- 
ha. Atau Wengker. Mungkin itu juga salah satu usaha 
untuk menjauhi Dewi Malini. Tapi tuduhan yang ditu- 
jukan pada Ra Sindura sangat berat. 

Sang Rakryan Mapatih tak pernah menyukai Ra- 
kryan Tumenggung. Sewaktu muda, memang Mpu Ga- 
garang gagah berani. Tetapi juga sudah terlihat sifat bu- 
ruknya, suka mencari kesenangan. Dan sifat ini juga 
menurun pada putranya, Ra Wirada. Bahkan Ra Wirada 
telah mendirikan kumpulan anak muda pengejar kese- 
nangan. Ah, mau dibawa ke mana Wilwatikta ini, keluh 
Rakryan Mapatih dalam hati. 

Ada juga anak muda macam Madri, prajurit yang 
seolah tanpa pamrih membaktikan dirinya. Jika Madri 
mulus baktinya, sampai di manakah ia kelak? 

Ah, Rakryan Mapatih malu sendiri. Ia seenaknya me- 
nilai orang. Sudah sempurnakah dirinya? Tapi, apakah 
yang mungkin bisa dicela darinya? Apa? Kegemarannya 
pergi ke rumah Emban Layarmega? Rasanya itu bukan 
suatu cela, sejauh tak pernah mengganggu tugasnya 
sebagai mapatih. Ah. Ia hanya membela diri, bukan? 
Mungkin juga. Ia, yang punya istri yang sangat me- 
ngasihinya, dan punya beberapa selir yang cantik- 
cantik, toh masih memerlukan berkunjung ke rumah 
Emban Layarmega. 

“Maafkan kami, Dinda Mapatih, kiranya kami me- 
nunggu keputusan Adinda,” sayup-sayup terdengar su- 
ara Rakryan Kanuruhan. 

“Oh, harap dimaafkan aku, Kakang Rakryan Kanu- 
ruhan,” gugup Rakryan Mapatih menyahut. “Pikiranku 
memang agak kalut! Masih terbayang, betapa Sang Ma- 
haraja tak sadarkan diri beberapa kali setiap teringat 
kepergian Gusti Dewi.... Aku yakin Kakang Rakryan De- 
mung akan tetap dihormati oleh Sang Maharaja walau- 
pun Gusti Dewi tiada.... Dinda Rakiyan Tumenggung 
tentunya sanggup mengambil contoh dari Mahabharata, 
saat Sang Arjuna menemui putranya, Raden Abimanyu, 
gugur. Sang Arjuna tetap tabah dan makin mantap 
menghadapi musuh. Ini yang kuharap dari Adinda Ra- 
kryan Tumenggung.” 

“Kakang Rakryan Mapatih, itu bukan keputusan!” 
sela Rakryan Tumenggung. “Aku ingin pembunuh pu- 
traku dihukum picis secepatnya!” Mata merah Sang 
Tumenggung menatap Ra Sindura. 

“Sangat sulit bagiku untuk menjatuhkan keadilan, 
karena aku bukanlah ahli Kutaramanawa, undang- 
undang tertinggi yang mengatur kita semua. Dari jejak 
yang ada pada diri anakku Ra Wirada, aku pun menarik 
kesimpulan bahwa itu memang hasil tendangan khas 
anakku Ra Sindura. Yang jadi persoalan kini, mengapa 
Ra Wirada berada di daerah terlarang itu? Sementara 
kudengar bahwa Ra Sindura memang dipanggil meng- 
hadap Sang Maharaja?” 

Tergagap Rakiyan Tumenggung mendapat perta- 
nyaan itu. 

“Ahhhh! Itu kan tak perlu! Yang perlu Sindura telah 
membunuh. Dan pembunuh harus dihukum!” katanya 
kemudian. 

“Akan lain persoalannya bila Ra Sindura dalam ke- 
dudukan punya hak untuk membunuh. Misalnya ka- 
rena Ra Wirada masuk ke daerah terlarang dan tak 
menghiraukan peringatan Ra Sindura.” 

“Ah! Kakang Mapatih memang memihak Sindura!” 
dengus Rakryan Tumenggung gemas. 

“Aku ingin memihak kebenaran, Dinda Tumenggung, 
bantulah aku karenanya,” Rakryan Mapatih masih ber- 
suara lembut. “Aku merasa pasti, betapapun Sindura 
akan mati di tengah alun-alun dengan setiap orang yang 
lewat berhak mengiris dagingnya... mungkin bukan atas 
hukuman dari kematian anakku Ra Wirada yang ba- 
nyak memiliki kelemahan dalam perkara ini, tapi dari 
tewasnya Gusti Dewi. Nah, rasanya Ra Sindura takkan 
mengelak dalam hal ini.” Rakryan Mapatih berpaling 
dan merenungi Ra Sindura. “Apa pun alasannya, Ra 
Sindura tak ada alasan untuk membunuh Gusti Dewi. 
Kecuali kalau pengakuannya benar, bukan dia yang 
berbuat.” Rakryan Mapatih berhenti sejenak. “Jika kita 
mencari kebenaran, maka kita akan sering meminum 
obat pahit. Jika kita ingin perkara ini tuntas, maka kita 
harus berpikir hati-hati... dan, akan banyak orang yang 
tersinggung. Nah, Kakang Rakryan Demung, relakah 
Paduka jika kita membicarakan juga Gusti Dewi dalam 
pemeriksaan ini?” 

“Sesungguhnya kami keberatan. Untuk apa pemerik- 
saan itu, kecuali hanya membuka luka?” sang juru di 
Garati, Wira Prakara, yang menyahut, sambil terus me- 
mijit-mijit punggung dan leher ayahnya. “Kami menda- 
pat bisikan dari Sang Maharaja, bahwa pembunuh A- 
dinda Dewi harus segera dihukum mati. Mohon petun- 
juk dari Paman Rakryan Mapatih, mengapa pemerik- 
saan itu harus dilakukan? Apalagi jika mengingat, su- 
dah ada saksi yang cukup berbobot.” 

Licik, pikir Rakryan Mapatih. Berpura-pura mem- 
bantu sepenuhnya, sementara sesungguhnya mencari 
jalan yang paling aman. Mungkin nasib Sindura me- 
mang buruk. Atau ia memang bersalah. Di zaman se- 
perti ini, nasib buruk berarti harus rela menerima hu- 
kuman. 

“Kalau begitu, semuanya tergantung pada Madri. 
Dan Sindura sendiri. Dan keputusannya tergantung pa- 
da Sang Hyang Maha Agung. Madri?” tanya Rakryan 
Mapatih. 

“Hamba mendapat perintah menghadapkan Raden 
Sindura ke hadapan Sang Maharaja,” kata Madri de- 
ngan tegas. Bahkan suaranya paling jantan di antara 
semua yang telah berbicara di sini. “Di taman Istana 
Timur, hamba meninggalkan sarika untuk menyelidiki 
sesuatu yang mencurigakan di batas taman. Hamba 
menemukan Raden Wirada beserta kedua punakawan 
beliau. Mereka melawan ketika akan hamba tangkap, 
hingga terpaksa hamba bertempur. Sebelum ada kesu- 
dahannya, Raden Sindura muncul. Dengan tingkah 
yang sangat gelisah. Hamba merasa tak enak. Hamba 
meninggalkan gelanggang dan mencari Gusti Dewi. 
Hamba temui... Gusti Dewi... dalam keadaan hampir 
melepas nyawa. Ketika hamba tanya... Gusti Dewi me- 
nyebutkan... nama Raden Sindura,” Madri berhenti se- 
jenak dan melirik pada Raden Sindura. Rakryan Mapa- 
tih pun melirik pada pemuda itu. Apakah yang sedang 
dipikirkan nya? 

“Luka Gusti Dewi juga, hamba yakin, adalah bekas 
tendangan Bantala Liwung. Ketika hamba kembali ke 
tempat Raden Sindura, hamba dapati Raden Wirada 
dan kedua punakawannya tewas. Juga akibat Bantala 
Liwung. Demikianlah!” Madri menghaturkan sembah. 

Sunyi. 

“Mati untuk Sindura!” tiba-tiba Rakryan Tumeng- 
gung berkata serak. 

“Mati untuk Sindura!” Rakryan Demung sesaat ter- 
bangun dan ikut berseru, kemudian roboh di pelukan 
putranya dan menangis tersedu-sedu. 

“Kelihatannya kesaksian Madri cukup kuat,” kata 
Rakryan Kanuruhan perlahan. “Aku setuju Sindura di- 
hukum seberat-beratnya. Namun... harap dipertimbang- 
kan jasa ayahandanya. Harap pula dipertimbangkan ja- 
sa-jasanya sendiri. Dan dipertimbangkan kemungkinan 
terguncangnya jiwanya karena kepergian ayahandanya.” 

“Ahhhh!” Rakryan Tumenggung memukul gemas pa- 
hanya sendiri. 

“Apa pun yang kuucapkan, mungkin tak berarti. Ke- 
cuali jika Sindura bisa memberi bukti sendiri,” kata Ra- 
kryan Mapatih. “Ada beberapa hal yang memang tak pa- 
tut dikemukakan, kecuali hanya untuk memperperih 
luka. Ada beberapa hal yang bisa mengundang tanya. 
Misalnya, aku sudah memberanikan diri bertanya pada 
Sang Maharaja. Maharaja berkata tak pernah memang- 
gil Ra Sindura menghadap.” Rakryan Mapatih sesaat 
memandang Madri. Madri sedang menunduk. Entah se- 
dang memikirkan apa. “Tentang tendangan yang diri- 
butkan itu... apakah tidak mungkin ada orang lain yang 
memiliki ilmu yang sama dengan Sindura? Atau, apa- 
kah tidak mungkin ada orang yang begitu cerdas se- 
hingga dapat menirukan gerakan ilmu itu?” 

“Beserta tenaga dalamnya, Kakang? Itu tak mung- 
kin!” sela Rakryan Tumenggung dengan nada tinggi. 

“Sindura, coba peragakan gerakan Bantala Liwung 
yang dianggap telah menewaskan Ra Wirada,” perintah 
Rakryan Mapatih. 

Ra Sindura menyembah, mundur dengan jongkok ke 
bagian belakang balai penghadapan itu. Ia menyembah 
lagi. Kemudian diperagakannya gerakan ke-19, 20, dan 
21 Bantala Liwung. 

Tanpa bersuara dilakukannya semua gerakannya 
dengan tekun dan mantap. Wajahnya pasrah karena ia 
memang pasrah. Ia tak ingin membela diri. Untuk apa? 
Ia pasrah pada kehendak Dewata. 

Sindura selesai dengan gerakannya. Menyembah dan 
kembali ke tempatnya. 

Rakryan Mapatih berdiri. Menunduk. Dan berjalan 
lambat ke tepi balai penghadapan itu. Balai itu sesung- 
guhnya hanya berupa sepetak lantai dari batu hitam 
yang mempunyai beberapa tiang penyangga untuk atap. 
Tak berdinding. Bagaikan rumah kecil tak berdinding 
berada di dalam taman. Dekat dinding pagar tembok 
yang tinggi. Sekeliling tempat itu sunyi. Bahkan tak ada 
para prajurit yang bertugas. 

“Kalian lihat itu semua,” kata Rakryan Mapatih per- 
lahan. “Dan kalian tahu, aku belum pernah mempelaja- 
ri ilmu itu.” Sang Mapatih telah berada di tepi lantai hi- 
tam balai pertemuan itu. Dan tiba-tiba ia menuding. 
“Kau! Turun!” 

Semua terkejut. Menoleh. Dan di kegelapan malam 
menjelang pagi itu terdengar suara berdebam. Sesosok 
tubuh jatuh dari pohon yang tumbuh dekat tembok. Se- 
seorang yang begitu ketakutan tak bisa berdiri lagi. 

“Maju!” perintah Sang Mapatih lagi. Orang itu tam- 
pak gemetar ketakutan maju, hingga wajahnya diterangi 
oleh obor yang ada di balai penghadapan. “Siapa kau?” 

Agak lama orang itu tak menjawab. Kemudian gugup 
ia berkata, “Hhhamba... nama hamba Landak... ddari 
pasukan Tumenggungan.... ” 

“Dinda Tumenggung, Dinda mengutusnya untuk 
mendengarkan pertemuan ini?” tanya Sang Mapatih ta- 
jam. 

“Tidak!” kata Rakryan Tumenggung Mpu Gagarang 
kali ini tegas. “Aku tak pernah melihat dia!” 

“Baik. Semuanya perhatikan baik-baik!” tiba-tiba 
Sang Mapatih menekuk kaki. Kuda-kuda Bantala Li- 
wung! Gerakannya lamban, hingga setiap gerak jelas 
terlihat. Begitu mirip dengan gerak Ra Sindura! Orang 
bernama Landak itu kebingungan. Mau lari saja atau- 
kah... Terlambat! Tendangan Sang Mapatih telah terlon- 
tar. Dan Landak menjeritkan maut. 

Landak terkapar tak bergerak. Rakryan Mapatih me- 
noleh pun tidak. Berjalan tenang ke tempat duduknya 
di balai penghadapan. Kepada Madri ia berkata, “Bawa 
orang itu kemari!” 

Dengan mudah Madri mengangkat Landak. Dan me- 
nyeretnya naik ke lantai penghadapan. 

“Itu tadi gerakan Bantala Liwung, dilakukan oleh 
orang yang bukan satu ilmu dengan Sindura, dan tak 
memakai tenaga dalamnya. Bekal orang itu hanyalah 
ketajaman mata, kecerdasan, daya ingat. Dan hasilnya 
bisa dianggap sebagai akibat Bantala Liwung. Silakan 
periksa,” kata Rakryan Mapatih, sambil mengambil 
kendi serta meminum air darinya. 

Semua terdiam lagi. 

“Hamba hanya ingin menambahkan sesuatu,” tiba- 
tiba Madri bersuara. 

“Apa, Madri?” tanya Mapatih. 

“Tendangan itu dilakukan dari jarak dekat. Dan ha- 
nya Raden Sindura yang bisa mendekati Gusti Dewi 
tanpa Sang Dewi berteriak memanggil hamba.” 

“Kita sudah tidak mencari kebenaran lagi di sini,” ka- 
ta Rakryan Mapatih perlahan. “Kebenaran akan tampil 
kelak, dalam bentuk hukuman dari Sang Hyang Agung 
pada siapa pun dari kita di sini yang saat ini tidak men- 
gemukakan kebenaran. Termasuk aku, yang tak beru- 
saha mengungkapkan kebenaran itu.” Sang Mapatih 
berdiri lagi. Berjalan perlahan ke depan Sindura. “Apa 
bicaramu, Sindura?” 

“Hamba hanyalah seorang prajurit,” kata Sindura te- 
gas. “Jika junjungan hamba menghendaki hamba tewas 
dihukum picis, maka hamba akan tewas dihukum picis. 
Jika pun ada yang berkenan mendengarkan, maka 
pembunuh Gusti Dewi maupun Dinda Wirada, bukan- 
lah hamba. Seperti juga jelas, bahwa pembunuh aya- 
handa hamba bukanlah hamba, walaupun sama-sama 
tewas oleh tendangan Bantala Liwung. Kewajiban ham- 
ba untuk menghaturkan adanya bahaya yang 
mengancam semua junjungan hamba. Kabar bahwa ada 
wanita cantik. Yang bertekad membunuh dan membu- 
nuh. Ternyata ada. Dan dialah yang mengakibatkan 
semua pembunuhan ini. Kalaupun hamba dihukum 
mati, hamba pasrah. Hanya hendaknya berita ini diper- 
hatikan.” 

“Dewi Candika, maksudmu?” tanya Sang Mapatih. 

“Dewi Candika, Sang Mapatih...,” sahut Sindura. 


3. RARA SINDU 

RUMAH Karanggan itu sepi. Besar. Megah dalam kese- 
derhanaannya. Dan sepi. 

Di halaman belakang kesepian itu dipecahkan oleh 
beberapa kicauan burung peliharaan. Tapi tak ada sen- 
da-gurau para pelayan. Atau pembicaraan para prajurit 
penjaga. 

Semua melakukan pekerjaan masing-masing. De- 
ngan diam-diam. 

Seorang gadis cantik duduk di telundakan serambi 
belakang. Sinar matahari dipantulkan berkilau oleh 
rambutnya yang basah sehabis keramas. Dan seakan 
tak sadar tangannya memainkan ujung-ujung rambut- 
nya yang basah itu. 

Terdengar suara seekor kuda memasuki halaman 
depan. Sesaat si gadis terkejut dan mengangkat muka. 
Tetapi wajahnya cepat muram kembali. Bahkan saat 
terdengar langkah kaki mendekat. 

“Sembah hamba dihaturkan pada Paduka, Gusti 
Mapatih...,” si gadis berkata tanpa gairah. 

“Ah, tajam pendengaranmu, Sindu.” Rakryan Mapa- 
tih tertawa. “Tanpa menoleh pun kau tahu.” 

“Lidah hamba juga tajam,” Rara Sindu, adik Ra Sin- 
dura, menyahut ketus. “Jika tidak ada keperluan sangat 
penting, lebih baik kita tidak bertemu, Tuanku!” 

“Lho, kok kau galak sih?” Rakryan Mapatih tertawa, 
duduk di pagar serambi. “Di mana ibumu?” 

“Untuk apa Mapatih yang agung menanyakan sari- 
ka? Sarika bukannya sang ayu Gusti Dewi yang mudah 
menerima sembarang lelaki untuk menghiburnya.” Rara 
Sindu mencibirkan bibir. 

“Sindu! Kau bukan saja galak. Tetapi juga lancang 
dan kurang ajar!” Rakryan Mapatih masih juga tertawa. 

“Lalu kenapa? Mungkin itu cara yang tepat bagiku 
untuk menyusul Kakang Sindura ke tiang gantungan,” 
kata Rara Sindu ketus. 

Kini wajah Rakryan Mapatih serius. “Dengar, Sindu, 
mungkin kau menyalahkan aku karena kauanggap aku 
tak membela kakakmu?” 

“Paduka berkuasa untuk menggugurkan semua tu- 
duhan. Dan jika Paduka jujur, maka Paduka mestinya 
tahu Kakang Sindura tidak bersalah!” 

“Aku memang bisa berbuat begitu. Tetapi akibatnya 
akan berkepanjangan. Rakryan Demung dan Rakryan 
Tumenggung akan terus merongrong kewibawaan Sang 
Aji, hingga kemungkinan Wilwatikta yang tak tahu apa- 
apa akan menjatuhkan hukuman dengan serta-merta. 
Dengan tidak membantah mereka, sementara meragu- 
kan kebenaran tuduhan, Sindura bisa tidak langsung 
dihukum. Dan bila keadaan mendingin, dan orang da- 
pat berpikir lebih jernih, persidangan kembali perka- 
ranya akan memberikan keputusan lain!” 

“Itu jelas alasan orang yang tak punya pendirian dan 
tak punya kekuatan!” tukas Rara Sindu. 

“Jika kau bersikap begini terus, mungkin akan kuta- 
rik tanggunganku atas diri Sindura, hingga ia bisa sege- 
ra dihukum, mungkin... yah, nantilah menjelang mata- 
hari bergeser ke barat. Hei. Kau dulu kan sering ber- 
tanya tentang apa yang terjadi di luar daerah. Kau tahu 
ada agama baru di daerah pesisir dan mereka punya li- 
ma waktu dalam sehari untuk menyembah pujaan me- 
reka. Dan waktu yang kusebutkan tadi namanya... 
mmm... asar! Kurasa waktu yang cukup baik untuk 
menggantung kakakmu. Waktu itu kan banyak orang 
main-main di alun-alun toh?” 

Rara Sindu tahu bahwa Rakryan Mapatih hanya 
menggodanya. Tetapi ia tak mau mengalah. “Jika Mapa- 
tih yang agung berpikir begitu, aku akan menyuruh 
orang menutup pintu gerbang dan menyuruh semua 
orangku untuk menghajar Tuan. Rasanya biar sesakti 
apa pun paling tidak Tuan akan babak-belur.” Rara 
Sindu betul-betul bertepuk tangan. Dan entah dari ma- 
na beberapa belas orang bermunculan. Semua ber- 
senjata lengkap. Di halaman depan terdengar makian 
kedua orang pengawal Rakryan Mapatih yang ditinggal 
di sana untuk menjaga kuda. Juga terdengar pintu ger- 
bang ditutup keras-keras. 

“Rara, apa yang kaulakukan?” terdengar suara lem- 
but dari dalam rumah. Rara Sindu berubah sikap. Ce- 
pat ia melompat turun dari lantai tempatnya berjuntai, 
kemudian bersimpuh serta menyembah ke arah dalam 
rumah. Rakryan Mapatih juga turun dari pagar se- 
rambi. Ia tidak menghormat, tetapi juga tidak berlaku 
tidak hormat. 

“Kakangmbok Rangga, kiranya Dewata merestuimu,” 
kata Rakryan Mapatih. “Kau sudah direstui dengan seo- 
rang anak lelaki yang gagah berani. Sayang anakku 
yang satu ini sedikit kurang ajar.” 

“Jika aku mengikuti perasaan hatiku, Dinda Patih, 
maka aku juga akan berkurang ajar padamu,” suara 
lembut itu terdengar dingin dari dalam. “Selama belum 
kami dapatkan keadilan untuk Ra Sindura, anggap saja 
semua yang ikut serta dalam rapat yang menjatuhkan 
hukuman padanya adalah musuh kami. Aku jadi berpi- 
kir... mungkin juga orang-orang Dharmaputra benar.” 

Agak lama Sang Mapatih terdiam, mengelus-elus 
jenggotnya, sementara Rara Sindu memperhatikan dari 
sudut matanya. 

“Itu adalah suatu pikiran yang berbahaya, Kakang- 
mbok Rangga,” kata Rakryan Mapatih, kini menunduk- 
kan muka. “Mungkin memang berdasarkan rasa sakit 
hati... tetapi cobalah berpikir lebih panjang... apakah 
kesetiaan kita pada negara goyah hanya karena peris- 
tiwa seperti ini?” 

“Tuanku Mapatih,” Rara Sindu berkata dengan nada 
tinggi. “Yang Tuanku sebutkan sebagai ‘hanya karena 
peristiwa seperti ini’ adalah peristiwa yang menyangkut 
kematian saudaraku, kematian ayahku.” 

“Itulah kelirunya pemikiranmu, Rara Sindu.” Sang 
Mapatih menghela napas panjang. “Engkau mengang- 
gap kakakmu sudah mati. Padahal ia masih segar- 
bugar. Kalian sudah putus asa dan menyalahkan kera- 
jaan. Padahal ia masih setia pada kerajaan dan bahkan 
bersedia mati untuk itu. Dan... kita harus berupaya 
agar ia tidak mati, dan kematian Rakryan Rangga tidak- 
lah sia-sia.” 

“Jika memang ia segar-bugar, kenapa sampai seka- 
rang kami tidak pernah diperkenankan menjenguknya?” 
tukas Rara Sindu. 

Pertanyaan ini lama tak dijawab Rakryan Mapatih. 
“Sindura diangkut ke Wilwatikta malam itu juga. Atas 
perintah Sang Raja sendiri. Sang Raja, mungkin dengan 
pengaruh beberapa orang, merasa bahwa Sindura pu- 
nya pengaruh terlalu besar di sini. Aku tak sempat lagi 
berbicara dengannya, hingga jika aku melakukan pe- 
nyelidikan saat ini, maka aku memulainya bagaikan 
seorang buta tanpa tongkat.” 

“Kakang Sindura ditahan di Wilwatikta?” tanya Rara 
Sindu heran. “Dan selama ini kami tak diberi tahu?” 

“Toh tak ada gunanya... bahkan aku pun tak bisa 
mengunjunginya,” kata Rakryan Mapatih. 

“Dinda Mapatih, maafkan kami, kurasa kami tak 
usah menemui Tuan lagi,” suara dari dalam rumah itu 
makin dingin. “Tuan tidak membawa apa pun yang bisa 
membuat kami berutang budi. Maka lebih baik segera- 
lah pergi. Dan jangan kembali lagi.” 

“Sayang. Aku butuh bantuan, dan kalian tak mau 
memberikannya padaku.” Rakryan Mapatih mengorak 
sila dan berdiri. 

“Tunggu, apakah yang Tuan inginkan dari kami? Di 
samping kehancuran hati kami, tentunya,” kata Rara 
Sindu. 

“Pertama, aku ingin kau memanggilku ‘Paman’ se- 
perti dulu lagi, Sindu,” kata Mapatih. “Dan bukannya 
Tuan’ atau Tuanku’ atau ‘Mapatih Agung’ atau sebang- 
sanya.” 

“Ditolak,” kata Rara Sindu tegas, merengut. 

“Kedua... apakah akhir-akhir ini Sindura pernah ke- 
tamuan saudara seperguruan atau orang-orang yang 
satu ilmu dengannya?” 

‘Tidak,” sahut Rara Sindu. 

“Kau lupa pada Tantri,” kata suara dari dalam ru- 
mah. 

“Oh, Tantri. Dia tidak pernah kuanggap sebagai 
orang,” kata Rara Sindu. 

“Siapakah Tantri ini?” tanya Rakryan Mapatih. 

“Putra Bibi Guru Kakang Sindura,” sahut Rara Sin- 
du. Sesaat mukanya sedikit cerah. “Kalau Tantri ada di 
sini, pasti dihajarnya seluruh pejabat Kuripan. Tanpa 
kecuali. Kecuali... Sang Maharaja, tentunya, bukan ka- 
rena apa-apa... cuma karena ia tak tahu yang mana 
Maharaja, yang mana Raja Hama.” 

“Kakangmbok Rangga, lebih baik kurung saja anak 
ini sebelum petaka dan murka Sang Raja jatuh pada- 
nya,” kata Rakryan Mapatih dengan nada sedih. “Jika ia 
tak dapat mengendalikan diri, mana dia memiliki ke- 
mantapan untuk mencapai cita-citanya.” 

“Tuanku Mapatih yang agung... untunglah Tuanku 
ada di sini.” Muram di wajah Rara Sindu kembali tam- 
pak tajam. Perlahan ia menyembah kepada ibu yang 
masih berada di dalam rumah. Dan ia bangkit serta me- 
langkah mundur hingga turun ke halaman. Ia terus me- 
langkah mundur. Badannya yang kecil hanya terbung- 
kus kain hingga di dada. Kulitnya kuning halus terlihat 
nyata di bawah rambutnya yang hitam kelam, tebal dan 
indah. Wajahnya segar karena baru terkena air, ma- 
tanya tajam cemerlang di bawah alis mata yang tebal hi- 
tam pula. Cantik, dengan garis-garis wajah yang mem- 
bayangkan kekerasan hati. 

Ia mundur sampai berada di antara orang-orang ber- 
senjata yang masih mengepung tempat itu. 

Tiba-tiba tangannya menyambar sebilah pedang yang 
dipegang oleh salah seorang prajurit Karanggan itu. Se- 
saat ia berdiri mematung dengan kuda-kuda siap yang 
biasa diperagakan oleh para prajurit wanita. 

“Di hadapan Tuan Mapatih, Ibunda junjunganku, 
dan semua yang ada di sini... aku bersumpah, tak akan 
memakai pakaian wanita lagi, sebelum kubalas kema- 
tian Ayahanda, dan kuhapus cemar di nama Kakanda 
Sindura!” teriaknya lantang. 

“Rara!” teriak sang ibu dari dalam rumah. 

“Sindu!” cegah Rakryan Mapatih. 

Tapi gerakan Rara Sindu cepat, dan mantap. Ta- 
ngannya berayun. Sekilas pedangnya mengkilap berke- 
lebat. 

Dan Rara Sindu berdiri dengan tangan kiri meng- 
genggam setumpuk rambut tebal indah. Tangan kanan 
memegang pedang. Kepala tunduk dengan rambut ter- 
papas hampir habis. 

“Sindu!” desah Sang Mapatih. 

“Anakku!” keluh sang ibu dari dalam. 

Dan orang-orang lain terpukau terpaku. Seseorang 
menangis terisak. Selebihnya sunyi senyap. 

****

Perlahan tangan kanan Rara Sindu terkulai. Pedang- 
nya jatuh berdentang di kerikil. Masih dengan kepala 
tunduk ia menimang rambut indah yang kini tidak lagi 
di kepalanya itu. Dengan langkah perlahan kemudian ia 
maju. Matanya masih menunduk hormat. Tapi kepala- 
nya terangkat gagah. Maju naik ke lantai, berjalan ber- 
jongkok sampai ke ambang pintu. Membungkuk hingga 
mukanya hampir menyentuh lantai. Dan ditaruhnya 
onggokan rambut itu di ambang pintu. 

“Ibu... putrimu mohon ampun, tak akan bisa mem- 
berimu segera kebahagiaan menimang cucu... tak akan 
segera memberimu kebahagiaan memiliki seorang anak 
perempuan... menyakiti hatimu dengan merenggut lagi 
seorang anak darimu.... Karena kau adalah ibu... yang 
selalu siap berkorban apa saja demi kebahagiaan pu- 
trimu, maka aku tahu bahwa Ibu akan rela... sebab tia- 
da yang lebih membuatku bahagia... dari memenuhi 
sumpahku tadi.” 

Dari dalam, Nyai Rangga tak kuat untuk memberi 
jawaban. Sesaat Rara Sindu seakan menunggu jawaban 
itu. Tetapi kemudian ia menghaturkan sembah dalam- 
dalam. Dan berjalan jongkok mundur. 

Begitu menginjak tanah ia berlari ke arah rumah da- 
lam. 

“Putrimu sangat keras kepala, Kakangmbok Rangga,” 
kata Mapatih setelah sekian lama terdiam, merenungi 
rambut yang helai-helainya berkibaran ditiup angin. 
“Apa yang akan diperbuatnya?” 

“Aku sedih, Dinda Patih,” suara dari kegelapan itu 
bergetar. “Tapi aku juga bangga. Kedua anakku me- 
mang putra sejati ayah mereka. Aku memang putus 
asa... tapi... aku tak mau mengkhianati anakku sendi- 
ri... jika mereka mau berusaha dan terus berusaha, 
mengapa aku akan memberatkan mereka? Adinda Ma- 
patih...” 

“Ya, Kakangmbok?” 

“Kita bukan sanak, bukan pula keluarga. Tapi ka- 
kangmu Rangga dulu begitu kagum dan menghorma- 
timu. Dan menganggapmu sebagai saudara kandung 
saja. Untuk melestarikan ini, tak banyak yang aku in- 
ginkan. Tolong jaga si Rara Sindu....” 

Sulit bagi Rakryan Mapatih untuk menelan ludah. 
Rasanya tenggorokannya tersekat oleh duri yang berca- 
bang banyak. Akhirnya ia berkata, “Kakangmbok, lepas 
dari persoalan apa pun, Sindura dan Sindu memang 
sudah kuanggap anakku sendiri. Tentang itu Kakang- 
mbok tak usah khawatir lagi.” 

Dari jauh terdengar suara tepukan. Tepukan tangan 
Rara Sindu. Orang-orang bersenjata yang tadi diam me- 
matung tanpa suara bergerak menjauh. Menghilang. 
Kemudian ada suara langkah kaki mendekat. 

Semula Rakryan Mapatih tak bergerak, sebab ia tahu 
itu langkah Rara Sindu. Tetapi dari ekor matanya ia me- 
lihat orang yang mendekat itu berpakaian aneh. Cepat 
ia mengangkat kepala. 

Dan ia sedikit ternganga. 

Di halaman, berdiri seorang pemuda. Tampan. Sa- 
ngat muda. Memakai pakaian tanah seberang—celana 
sutera hijau, kain dibelitkan di pinggang, kemeja lengan 
panjang dan longgar dari sutera hijau pula, serta kepala 
yang dibeliti destar warna hijau. 

“Sindu, apa maksudmu?” Rakryan Mapatih terpaksa 
hampir tak kuat menahan tawa. 

“Paman, hamba kini bukan Sindu lagi, melainkan 
Tun Kumala... dari Tumasik,” sahut ‘pemuda’ itu yang 
memang Sindu adanya. 

“Rupamu tidak mirip, suaramu tidak mirip, dan jika 
orang mengajakmu berbahasa Tumasik, apa yang akan 
kaulakukan?” 

“Hamba akan bilang hamba lahir di Hujung Galuh, 
hingga sudah lupa akan adat-istiadat serta kebiasaan 
orang seberang. Siapa yang akan membantah?” 

“Lalu maksudmu?” 

“Hamba akan terus mengikuti Paman selalu. Paman 
harus bertanggung jawab akan keselamatan Kakang 
Sindura, jadi harus mencari jalan menyelidikinya. Ham- 
ba akan terus menempel Paman.” 

“Mungkin kau akan tak berani ke tempat yang ku- 
kunjungi,” kata Rakryan Mapatih. 

“Coba saja,” Rara Sindu bersikeras. 

“Baiklah, coba saja.” Rakiyan Mapatih berpaling 
kembali ke ambang pintu. “Kakangmbok Rangga.” 

“Ya, Dinda Patih.” 

“Tingkah Sindu mengubah rencanaku. Sebetulnya 
aku memang akan mulai penyelidikan saat ini juga. Ja- 
di kebetulan. Relakan si... si Tun Kumala mengikutiku... 
kukira dia tak akan tahan.” 

“Coba saja,” sahut Sindu, eh, Tun Kumala. 

“Yah, aku tak bisa berbuat lain, Anakku,” suara di 
dalam itu terdengar gemetar berkata. 

“Ibu sungguh bijaksana.” Tun Kumala sesaat me- 
nundukkan kepala dan dengan gemulai berdatang sem- 
bah. Tapi kemudian mengangkat kepala, tegak, gagah. 
Tangan kirinya beristirahat di hulu keris tanah sebe- 
rang yang berkepala bertatahkan emas. 

Kembali Rakryan Mapatih menyembunyikan se- 
nyumnya. “Sebentar, Anakku Tun Kumala... dari mana 
kauperoleh pakaian serta semua perangkat seberang 
itu?” 

“Paman Patih tentunya ingat, dua-tiga tahun yang la- 
lu Kakang, eh, Raden Sindura pernah berkunjung ke 
Tumasik dan membawa banyak tanda mata dari sana. 
Tentang pakaian dan perangkat, Paman tak usah kha- 
watir.” 

“Duduklah kemari, Tun. Mari kita berunding,” akhir- 
nya Rakryan Mapatih berkata. Dan diperhatikannya te- 
rus semua gerak-gerik Tun Kumala. Sekali ia mengge- 
lengkan kepala. “Lumayanlah... tak banyak kenalanku 
orang seberang, tetapi paling tidak gerak-gerikmu ber- 
beda dari orang di Nusa Jawa ini. Begini...” Ia terdiam 
sesaat. “Terus terang aku sendiri kurang leluasa berge- 
rak. Karena persoalan ini menyangkut keluarga dekat 
Sang Raja. Lebih dari itu,” ia semakin merendahkan su- 
aranya, “kini keluarga istana mulai merasa bahwa an- 
caman orang yang dijuluki Dewi Candika benar ada. 
Kesadaran yang agak terlambat. Dan gerakan rasa keta- 
kutan ini adalah salah satu penyebab pula yang mem- 
bantu tertundanya hukuman atas Sindura. Tak ada 
yang percaya pada pembelaan diri Sindura, tetapi tak 
ada yang tegas-tegas berkata sepenuhnya tidak percaya. 
Di samping itu, ada gerakan dalam keluarga istana sen- 
diri. Mereka yang iri pada kekuasaan yang berpusat di 
Wilwatikta. Juga... munculnya agama baru di daerah 
pesisir yang memperlemah kekuatan Wilwatikta.” 

Beberapa saat sunyi. Rakryan Mapatih tiba-tiba ter- 
lihat begitu tua dengan berbagai beban pikiran. Bebe- 
rapa saat seolah-olah ia tidak berada di situ. Tetapi di 
mukanya yang penuh kerut itu terbersit senyum saat 
dilihatnya Tun Kumala’ mencoba mengunyah sirih dan 
pinang dengan gaya orang seberang. Sindu agaknya be- 
gitu menghayati peran barunya. Sebetulnya ia belum 
terbiasa makan sirih. 

“Sulit untuk bertanya. Semua saling curiga. Bahkan 
kedudukanku bukannya kedudukan paling berkuasa 
kini, malah paling banyak disorot dan dicurigai. Tapi... 
yah. Aku bertekad untuk menyelidiki perkara ini. Bu- 
kan karena ini menyangkut Sindura, tapi karena aku 
percaya ini ada hubungannya dengan Dewi Candika.” 
Sang Mapatih terdiam lagi. “Sampai saat ini, satu hal 
yang kuketahui dengan pasti. Malam itu, ada seseorang 
memata-matai pembicaraan kami. Namanya Landak. 
Rakryan Tumenggung menyangkal pernah melihat o- 
rang itu, tetapi anak buahku yakin ia sering melihat 
Landak bersama Wirada. Dan menurut laporan, Landak 
adalah anak buah Emban Layarmega.” Rakryan Mapa- 
tih berhenti dan menatap Tun Kumala. “Penyelidikan ki- 
ta pertama... kita kunjungi Emban Layarmega. Kau be- 
rani ke sana?” 

Sang Mapatih menyembunyikan tawanya saat Tun 
Kumala begitu tertegun hingga sirihnya tertelan dan ia 
terbatuk-batuk berkepanjangan. 

4. DI TEMPAT EMBAN LAYARMEGA 

DI RUANG khusus Emban Layarmega, pemilik ru- 
mah hiburan yang sangat berpengaruh itu, duduk den- 
gan kepala tertunduk begitu dalam. Di belakangnya, 
Sang Bima yang bertubuh tinggi besar itu bahkan me- 
nunduk lebih dalam lagi. Di depan mereka, dua orang 
wanita duduk di bangku berlambarkan kulit harimau 
kumbang. 

Seorang sangat cantik dan memancarkan bau harum 
—orang bisa menebak bahwa dialah yang memancarkan 
keharuman ini. Ia berpakaian mewah, namun bagian 
kainnya yang panjang telah diangkat dan diselipkan ke 
pinggang hingga memungkinkan ia bergerak gesit, jika 
perlu. 

Yang seorang lagi sudah setengah umur, berpakaian 
serba biru, dengan tata rias terlalu mencolok dan gaya 
kegenitan. Ruang Biru itu tertutup rapat, walaupun jen- 










dela yang menghadap ke jalan terbuka mengalirkan ha- 
wa sejuk malam. 

“Anakmas Wara Hita, kukira siasatmu tidak terlalu 
berhasil kali ini,” wanita yang berpakaian serba biru itu 
berkata sambil mengunyah sirihnya. Potongan tangkai 
daun dilemparkannya pada Sang Bima. Agaknya senti- 
lan itu cukup bertenaga hingga Sang Bima terjingkat 
sesaat, tetapi tak berani mengangkat muka. Si Serba Bi- 
ru tertawa cekikikan melihat Sang Bima menahan rasa 
sakit. 

“Belum tentu, Bibi Huyeng.” Wanita yang luar biasa 
cantiknya itu memalingkan muka agar tak melihat ting- 
kah si Serba Biru. “Istana Kuripan agaknya tidak sele- 
mah Padepokan Rahtawu. Sesungguhnya siasat yang 
kujalankan sama berhasilnya, tetapi ada seseorang di 
Istana Kuripan yang berhasil mengendalikan kekuatan 
ketakutan itu.” 

“Atau siasatmu memang tidak berhasil. Bagaimana 
pendapatmu, Bima? Badan besar, diam saja... anumu 
kecil barangkali, ya? Maksudku, otakmu?” Yang dipang- 
gil Huyeng tertawa lagi. 

“Tak ada yang meragukan kemampuan Rakryan Ma- 
patih sebagai tulang punggung istana, Gusti Sepuh,” 
sembah Bima tanpa mengangkat kepala. 

“Hamba pun sependapat, Gusti,” sembah Emban 
Layarmega. 

“Siapa yang menanyakan pendapatmu, Emban?” tu- 
kas Huyeng. “Dan kau, Bima, kenapa kau masih me- 
manggilku Gusti Sepuh? Kalau orang tidak tahu dikira 
aku ini sudah nenek-nenek, lho!” 

Wanita cantik yang bernama Wara Hita itu berdiri. 
Berjalan perlahan ke jendela. Agaknya tingkah Huyeng 
sesungguhnya sangat membuat hatinya kesal. “Sebe- 
tulnya rencanaku, seperti sewaktu aku hancurkan Rah- 







tawu, adalah memilih yang paling berbobot di antara 
mereka, membuatnya sebagai tertuduh dan menyebar- 
kan saling dendam. Di samping menghancurkan murid- 
murid Ki Megatruh.” Wanita cantik itu menghela napas 
panjang. Bagian atas dadanya yang putih berisi itu se- 
saat terangkat dan seakan gumpalan udara yang masuk 
bagaikan terlihat. “Sebagian yang kuarah tercapai. Kini 
rasanya ilmu Ki Megatruh akan mulai mendapat soro- 
tan. Sementara ketakutan mulai mencengkam kalangan 
Istana. Mereka agaknya telah menerima pesanku.... 
Candika tak bisa dicegah, lebih baik menyerah daripada 
melepas nyawa.” 

“Tetapi, Anakmas, sebegitu jauh korbanmu barulah 
tingkat yang... sangat rendah!” kata Huyeng sambil me- 
lenggang-lenggokkan tubuh meniru gerak-gerik Wara 
Hita yang saat itu membelakanginya. “Dan rencanamu 
menghancurkan Padepokan Rahtawu juga tak mencapai 
hasil.... Mereka lenyap entah ke mana, hingga rencana 
kita untuk membuat mereka jadi kambing hitam gagal. 
Sementara itu... agaknya rencanaku lebih berhasil. De- 
ngan menawan Tantri dan Anengah, paling tidak bah- 
kan kau pun memperoleh manfaatnya. Kalau mereka 
berdua tidak kutawan, hayooooo, bagaimana kau bisa 
mempelajari ilmu Ki Megatruh begitu menyeluruh? O, 
ya, aku masih berpendapat bahwa gadis barumu itu mi- 
rip sekali dengan gadis dari Rahtawu dulu, Layarmega. 
Tapi... entahlah, aku kan tidak tertarik pada gadis. Ya 
toh, Bima....” Huyeng melemparkan senyum genitnya 
pada Bima. “Mungkin Juru Meya tahu... dia yang dulu 
mengumpulkan gadis-gadis itu. Eh, ya, Layarmega... ia 
titip salam padamu. Wah, sesungguhnya ingin sekali ia 
kemari untuk memakanmu mentah-mentah... hi hi hi 
hi....” 

“Kalau saja Juru Meya bisa segera mengumpulkan 








pasukan... rasanya kita tak usah bersusah payah main 
kucing-kucingan seperti ini,” keluh Wara Hita. 

Kali ini Huyeng tidak bercanda. “Kau harus bersabar, 
Anakmas... waktu yang kaunantikan akan segera tiba.” 

Wara Hita kembali menghela napas dan menunduk- 
kan muka. “Bibi Huyeng, kita harus segera meng- 
hubungi orang-orang kita di Wengker. Menurut laporan, 
Sang Maharaja akan berkunjung ke sana bulan depan 
ini.” 

“Wah, kau pasti sedih kutinggalkan ya, Bima.... Sa- 
yang badan sebesar itu terbuang percuma. Apa kau ikut 
aku saja, Bima? Akhir-akhir ini makin sulit juga orang 
yang sangat kuat, lho!” Wara Huyeng tertawa terkikik. 

“Bagaimana pasukan Juru Meya, Bibi?” tanya Wara 
Hita sedikit tergesa, seolah ingin segera menghilangkan 
kebinalan Wara Huyeng. 

“Mereka sudah membuat beberapa benteng terpen- 
dam, di daerah-daerah selatan Bale Latar. Memang ten- 
tang mutu itu tak begitu menggembirakan. Para gadis 
yang diambil dari Rahtawu tidak terlalu membantu. Pa- 
sukan Buih belum bisa membuat pedih mata lawan kita 
... kecuali jika Anakmas turun tangan sendiri,” sesaat 
Wara Huyeng berbicara bersungguh-sungguh dan me- 
mandang penuh perhatian pada si wanita cantik. 

“Mereka salah satu tulang punggung gerakan kita,” 
kata Wara Hita sedikit berbisik. “Menurut pertimbang- 
anku, dan sesuai perhitungan Eyang Nagabisikan, kele- 
mahan pasukan Wilwatikta akan muncul saat berhada- 
pan dengan barisan wanita. Pertama mereka tak terbia- 
sa. Kedua, mereka sudah terlalu lama tidak mengalami 
perang besar hingga mereka jadi terlalu... sopan... ter- 
buai oleh dongeng-dongeng kekesatriaan yang dijejalkan 
oleh para penembang istana. Memang ada dua-tiga pra- 
jurit wanita mereka... tetapi mereka hanya dianggap 










hiasan belaka. Prajurit dan senapati andalan mereka, 
seperti yang dihasilkan oleh tempat penggemblengan 
senapati di Madakaribajra lebih parah lagi. Kesaktian 
mereka tak memadai, tatasusila mereka begitu ketat di- 
awasi. Kurasa dalam pertempuran nanti mereka takkan 
tega mengangkat tangan melawan Prajurit Buih kita.” 

“Dan kemudian kita akan menghantam mereka de- 
ngan Pasukan Badai... sungguh nikmat rasanya keme- 
nangan nanti,” kata Wara Huyeng dengan mata bersi- 
nar-sinar. 

“Aku sangat gembira akan hasil yang kaucapai di si- 
ni, Layarmega,” kata Wara Hita. “Gadis-gadismu sung- 
guh ampuh untuk menggerogoti keperkasaan para war- 
ga Wilwatikta yang setia. Kuperhitungkan sudah tiga 
perempat tokoh Kuripan yang terjerat dalam jaringmu.” 

“Layarmega sungguh enak tugasnya,” Wara Huyeng 
setengah mencibir berkata. “Tak pernah kekurangan le- 
laki... dan tambah kaya lagi!” 

“Hanya ini yang bisa hamba sumbangkan untuk tu- 
juan mulia Gusti Sepuh dan Gusti Anom,” kata Emban 
Layarmega. 

“Aku tahu, dan itu sungguh sudah besar sekali.” Wa- 
ra Hita melirik tajam pada Wara Huyeng. “Dua-tiga bu- 
lan lagi mungkin kau akan kuminta untuk mulai me- 
ngembangkan usahamu di Wilwatikta sendiri. Dan ku- 
kira itu pun akan berhasil.” 

“Terima kasih, Gusti Anom,” sembah Emban Layar- 
mega. 

“Sekarang persiapkan segala keperluanku untuk be- 
rangkat ke Wengker. Bibi Huyeng, mohon Bibi berang- 
kat lebih dahulu untuk membuka jalan.” 

Beberapa saat kemudian, di ruang itu tinggal Emban 
Layarmega yang menyisiri rambut Wara Hita. Wara Hu- 
yeng telah pergi sementara Bima entah ada di mana. 










Sambil menyisiri rambut yang indah hitam itu, Em- 
ban Layarmega pun bernyanyi perlahan. Sesungguhnya 
bukan lagu sekadar lagu, tetapi itu adalah Kidung Pola- 
man. Kidung ini sangat berbeda dari kidung dengan 
nama yang sama dan diciptakan oleh Prabu Jayakat- 
wang —yang ini bercerita tentang sebuah danau kecil di 
Blambangan dan suatu kisah cinta yang gagal karena 
tidak setianya sang pria. 

“Ah, jangan nyanyikan lagi kelanjutannya, Layarme- 
ga,” tiba-tiba Wara Hita memutuskan nyanyian Emban 
Layarmega. “Aku tak mengerti mengapa Ayahanda dan 
Ibunda minta aku mendalami kidung itu... hanya ki- 
dung sedih belaka, lain tidak. Namun... agaknya kidung 
itu punya arti tertentu. Ibunda selalu minta agar aku 
mengucapkan nama kidung itu pada keturunan Kerta- 
rajasa. Agaknya pemuda Tara dulu itu lupa me- 
ngatakannya pada Resi Raghani. Ah...” Beberapa saat 
Wara Hita memperhatikan bayangan dirinya di cermin 
tembaga yang disodorkan Emban Layarmega. Emban 
Layarmega sendiri kemudian mengubah sanggul wanita 
cantik itu menjadi sanggul pria. 

“Ah ya, gadis barumu itu... bagaimanakah?” tanya 
Wara Hita sambil membuka kainnya dan tak lama telah 
memperlihatkan keindahan tubuh yang bagaikan hanya 
ada dalam impian yang paling mahal. Bahkan beberapa 
saat Emban Layarmega seakan tak bisa bernapas meli- 
hatnya. 

“Ayo, Layarmega, kau melihat apa?” goda Wara Hita. 

“Oh, maafkan hamba, Gusti Anom...,” terkejut 
Layarmega mengambil seperangkat pakaian yang sudah 
disediakannya. 

“Gadismu yang baru itu... kaudapat dari mana?” 
tanya Wara Hita lagi. 

“Oh, ia ditemukan oleh Raden Wirada, putra Rakryan 









Tumenggung yang... mmh, anu... yang tewas oleh Raden 
Sindura. Biasa... ia memang sering mencari sendiri ke 
desa-desa dan jika menemukan ‘bibit unggul’ dibawa- 
nya kemari untuk kudidik. Hanya yang satu ini agak 
aneh. Pertama, Ra Sindura seolah sangat heran meli- 
hatnya, sementara Gusti Sepuh seakan mengenalnya. 
Kedua, sulit untuk mengajarinya melayani tamu. Me- 
mang ia sudah bisa membuat tamu bahagia, tetapi bu- 
kan dengan cara seperti wanita lainnya. Mungkin saja 
pelajaran hamba untuk ‘jual mahal’ begitu berhasil 
hingga ia tak pernah sekalipun menyentuh tamu-tamu- 
nya. Toh mereka senang dan banyak yang menjadi lang- 
ganannya.” 

“Ah, mungkin kau telah menciptakan sainganmu, 
Layarmega,” kata Wara Hita yang kini telah tampil se- 
bagai seorang pemuda bangsawan yang tampan dan ga- 
gah. “Didik terus dia, mungkin kita memerlukannya 
nanti guna kita tempatkan di Wengker, misalnya. Coba 
tunjukkan dia padaku nanti.” 

Beberapa lama kemudian, rombongan Wara Hita, 
yang sudah berdandan sebagai pria, menuruni tangga 
menuju Ruang Utama. Rombongan itu sesungguhnya 
hanya terdiri dari Wara Hita yang berpakaian pria, dan 
empat orang pengawalnya. Tapi pakaian mereka begitu 
mewah dan gemerlap hingga semua orang di dalam 
Ruang Utama itu tertegun dan menoleh pada mereka. 

Wara Hita selalu datang lewat suatu pintu rahasia. 
Dan pergi lewat pintu itu pula. Jadi anak buah Emban 
Layarmega, kecuali Bima, tak pernah melihatnya. Atau 
rombongannya. Kecuali Wara Huyeng yang senang 
muncul di Ruang Utama untuk mencari atau paling ti- 
dak melihat-lihat pria yang mungkin berkenan baginya. 

Dan kini mereka muncul gemerlapan di ruang itu, di- 
iringi sendiri oleh Emban Layarmega! 

Bahkan para penabuh gamelan pun beberapa saat 
lupa memainkan musik. Dan tak ada yang melihat dua 
orang pria yang muncul di pintu depan—seorang pria 
setengah umur dengan pakaian yang menggambarkan 
seorang bangsawan dari daerah pantai utara, dan seo- 
rang pemuda dengan pakaian tanah seberang serba hi- 
jau. Mereka adalah Rakryan Mapatih yang telah menya- 
mar menyulap diri, dan Rara Sindu yang kini bernama 
Tun Kumala. 

“Mari duduk dekat tiang agung itu, Tun.” 

“Ingat, Paman Mapa...” 

Kata-kata Tun Kumala terhenti oleh sodokan siku di 
pinggang kirinya. 

“Ingat namaku adalah Aria Sampana, dari Hujung 
Galuh,” bisik Rakryan Mapatih. Kemudian dengan keras 
ia berkata, “Tun, sekarang kau bisa lihat bahwa wanita 
Jawa tak kalah sedapnya dari wanita seberang!” 

“Itu harus kita buktikan dulu, Pa... eh, Kakang Sam- 
pana,” kata Tun Kumala. “Orang yang baru turun dari 
tangga itu wanita atau pria, Kakang? He he he he...,” 
Tun Kumala berkata keras-keras. Kata-kata Tun Kuma- 
la itu seakan membuyarkan keheningan yang disebab- 
kan oleh munculnya Wara Hita dan kawan-kawannya. 

Mendengar ini, Bima yang ikut mengantar rombong- 
an Wara Hita segera mendekati Tun Kumala dan Ra... 
eh... Aria Sampana. 

“Tuan, adat di negerimu mungkin lain, tetapi di sini 
sungguh tidak sopan untuk mengata-ngatai tamu lain,” 
katanya pada Tun Kumala dengan nada rendah. 

“Maafkan, Bima, sahabat mudaku ini tak bermaksud 
apa pun... memang ia suka bercanda. Maafkan!” 

“Siapa bercanda! Orang itu memang lebih mirip pe- 
rempuan! Dan, he, Kakang Sampana sudah kenal orang 
ini? Kalau sudah kenal mengapa minta maaf segala? 

Orangnya juga mungkin tidak marah. Tanya saja me- 
reka.” Tun Kumala menggelengkan kepala ke arah Wara 
Hita dan kawan-kawannya yang kini duduk di sudut te- 
rindah ruangan itu. Dan sebelum Aria Sampana dapat 
mencegahnya, Tun Kumala telah pergi mendekati tem- 
pat Wara Hita duduk. 

“Hm, harum sekali... wah, bisa mabuk aku kena we- 
wangian ini,” katanya sambil duduk dan menepuk paha 
Wara Hita. “Tuan lelaki kok memakai wewangian begini 
mencolok sih?” 

“Hei, kau!” Bima melihat ini melangkah panjang dan 
memegang bahu Tun Kumala. “Mungkin aku terpaksa 
membuangmu ke luar!” 

“Apa alasannya, sih,” kata Tun Kumala. “Kita kan di 
sini mencari hiburan. Kalau berkata sedikit saja tentang 
kesenangan, tentang wewangian, tentang... hiburan 
nggak boleh... ya, lebih baik ubah tempat ini jadi wiha- 
ra. Dan kita semua menyanyikan Bhuwanakosha. Ba- 
gaimana, kau ingin aku menyanyikannya? Oukh! Sakit, 
he! Lepaskan!” 

Tun Kumala terpaksa menjerit begitu karena Bima 
telah memperkeras cengkeraman di bahunya. 

“Bima, lepaskan,” tiba-tiba Wara Hita menengahi. 
Suaranya yang lembut telah berubah berat dan sedikit 
serak, pantas untuk tokoh yang dibawakannya. Semen- 
tara itu ‘Aria Sampana’ tidak berusaha untuk ikut cam- 
pur tangan. Agaknya ia ingin si Tun Kumala’ tahu rasa. 
Untung juga Bima segera melaksanakan perintah Wara 
Hita. Tun Kumala dilepaskannya dan Bima mundur ke 
dinding. 

“Tuan, maafkan kekasaran orang itu,” Tun Kumala 
malah yang berkata kepada Wara Hita. “Begitulah kalau 
orang kurang luas bergaul.... Seperti nyamuk di bawah 
tempurung.” 

“Seperti katak di bawah tempurung, maksudmu?” 
tanya Wara Hita. 

“Kok Tuan tahu di situ juga ada katak?” Tun Kumala 
tampak begitu heran. “Memang asalnya begitu. Ada 
nyamuk di bawah tempurung, terus kataknya masuk 
untuk makan nyamuk, dan akhirnya memang tinggal 
kataknya yang ada di bawah tempurung. Dan si katak 
ini akhirnya lebih terkenal dari si nyamuk. Kasihan, 
ya?” 

Wara Hita tertawa. “Kau sungguh senang berbicara, 
ya?” 

“Terpaksa! Memang ini anugerah Dewata, mengapa 
tak kita pergunakan sebaik-baiknya. Sayang toh? Se- 
perti Tuan ini... Tuan baunya haruuuuuum sekali... 
pasti bukan karena habis tercebur ke kolam minyak 
wangi, bukan? Mungkin Tuan saudagar minyak wangi... 
tapi terus terang... harum Tuan terlalu mirip wanita... 
terus terang...” Tun Kumala melihat berkeliling lebih 
dahulu. “Terus terang... Tuan jadi lebih menarik daripa- 
da semua wanita yang ada di sini! Sungguh. Aku jadi 
pikir-pikir... adakah kemungkinan bagi kita berdua un- 
tuk kencan?” 

“Kau keterlaluan, Anak muda.” Pengawal Wara Hita 
bangkit sambil tangannya memegang hulu keris. Tapi 
Wara Hita mencegahnya. 

“Kalau aku harus berterus terang juga, rasanya kau 
pun cukup menarik untuk dijadikan teman berbicara... 
mmmh, siapa namamu?” 

“Aku tak pernah bertukar nama dan rupa, jika tidak 
diperlukan. Namaku Tun Kumala dari Tumasik. Tetapi 
aku sudah begitu lama tinggal di Hujung Galuh, jadi 
aku menyukai adat-istiadat dan bahasa orang Jawa. Te- 
rutama orangnya. Terutama kalau semua harum seperti 
Tuan. Terutama, tentu, kalau Tuan seorang wanita... ya 
agak sulit juga ya berkencan sesama pria? Eh, kalau 
Tuan punya nama, boleh disebutkan kok.... Jangan 
membuatku takut seperti itu.” 

Wara Hita agak tergagap. Tadi memang ia seakan 
terpesona oleh gaya bicara dan gerak bibir Tun Kumala. 
Ini tak mengherankan. Rakryan Mapatih adalah orang 
yang sangat berpengalaman dalam menyamar. Ia mem- 
bantu ‘merias’ wajah Rara Sindu hingga sebagai Tun 
Kumala ia betul-betul tampak gagah, jantan, dan tam- 
pan. Namun tata rias ini tentunya tidak menutupi gaya 
gerak-gerik Rara Sindu yang sebenarnya hingga baik ge- 
rak bibir maupun matanya begitu khas serta menye- 
nangkan untuk dipandang. 

“Namaku... Wisti... aku memang saudagar wewangi- 
an dari Tosari. Tuan sendiri... apa kedudukan Tuan?” 

“Hei, kita ke sini mencari hiburan. Memang berbicara 
dengan Tuan sungguh menyenangkan. Tapi terus te- 
rang... bukankah kita kemari mencari kehangatan lem- 
but seorang wanita? Hei, kau...” Tiba-tiba Tun Kumala 
menunjuk Emban Layarmega yang sedari tadi diam sa- 
ja. “Kau cantik, tetapi terlalu... matang untukku. Kukira 
kau cocok untuk temanku di sana itu. Dia jago tua, lho, 
sukanya tentu dengan... he he he... betina tua!” 

Bukan kata-katanya, tetapi gerak-gerik Tun Kumala 
yang membuat orang di sekitar tempat itu tertawa. 

“Kau keliru, Tuan... beliau ini bukanlah salah satu 
wanita penghibur, tetapi adalah pemilik tempat ini!” ka- 
ta Wara Hita. 

“Wah, kalau pemiliknya saja sedemikian cantik, ya... 
sudah, pasti saja anak buahnya lebih cantik-cantik, ya 
toh? Agaknya Tuan begitu sering kemari, ya? Tolong pi- 
lihkan untuk aku ya... aku ini orangnya agak pemalu,” 
kata Tun Kumala. 

“Mari duduk di dekatku, biar Bibi Layarmega me- 
manggilkan gadisnya yang terpilih.” Wara Hita menger- 
dipkan mata pada Layarmega dan menggeser duduknya 
sedikit, mempersilakan Tun Kumala ke sampingnya. 
Untuk itu seorang pengawalnya terpaksa keluar dari 
lingkungan tersebut. Sementara itu Layarmega telah 
bertepuk tangan empat kali. Segera suasana di ruang 
itu kembali sedikit hening saat beberapa pembantu 
Layarmega mempersilakan para tamu sedikit minggir. 
Gamelan pun berubah iramanya, lembut dan indah. 
Dan tak lama tujuh orang wanita muda muncul dari 
pintu samping dan langsung menari di tempat yang te- 
lah disediakan tadi. 

Salah satunya segera menarik perhatian semua o- 
rang. Tari menari di tengah, di antara para penari lain- 
nya. Wajahnya mungkin tidak terlalu cantik, tetapi ada 
sesuatu yang membuat perhatian orang langsung tertu- 
ju padanya. Gerak tarinya pun sedikit kaku. Tapi ke- 
kakuan itu ditimpali oleh gerak yang manis dan khas 
oleh kepatah-patahannya. Seolah-olah Tari sesungguh- 
nya sedang melakukan gerak-gerak tata kewiraan yang 
dibungkus oleh kelembutan tarian. Kesan utamanya 
adalah: merangsang. 

Wara Hita menggamit Emban Layarmega, berbisik, 
“Siapa yang di tengah itu?” 

“Itulah anak baru itu, Gusti... Kasturi...,” bisik 
Layarmega. 

“Ah, memang bagus,” gumam Wara Hita. 

“Mana yang bagus? Yang di tengah itu? Ummhhh... 
bukan seleraku... tidak punya ini....” Tun Kumala me- 
ngepalkan kedua tinjunya di depan dada. “Yang kiri itu 
lumayan... dadanya bagaikan sepasang kelapa gading, 
pinggangnya pinggang tawon, belakangnya... ummmh!” 

“Sayang, sesungguhnya aku akan mempersembah- 
kan si... Kasturi itu untuk Tuan, sebagai tanda awalnya 
persahabatan kita,” kata Wara Hita, melirik tajam pada 
Tun Kumala. 

“Maksud Tuan... Tuan yang akan... membayarnya 
untukku?” tanya Tun Kumala. 

“Bukan maksudku menghina Tuan, tapi...” 

“Kalau cara Tuan menghina seperti itu, aku suka se- 
kali dihina....” Tun Kumala tertawa. “Jadi sehabis tarian 
ini kami boleh...” Tun Kumala menunjuk ke atas. 

“Tentu....” Wara Hita tersenyum. 

“Wuah! Dan aku tak perlu membayar sendiri? Wuah 
dua kali! Sebentar, aku akan pamitan pada kawanku 
dulu.” Tun Kumala menunduk memberi salam dan ber- 
jalan seenaknya menyeberangi tempat menari, berjalan 
di antara para penari bahkan menjentik janggut Tari. 

“Bagaimana pendapat Gusti?” bisik Emban Layarme- 
ga.

“Kukira kau akan mendapat saingan berat, Bibi,” bi- 
sik Wara Hita. “Kasturi itu punya daya tarik luar biasa. 
Dan... tampaknya dia punya otak cerdas. Tubuhnya 
sungguh impian. Tapi, itu di lehernya kalung apa?” 

“Oh itu...” Emban Layarmega agak tertegun. “Itu... 
katanya jimat dari desanya. Ia tak mau melepaskan- 
nya.” 

“Tak apa. Malah khas.” 

“Gusti tidak ingin dia melayani Gusti?” tanya Layar- 
mega. 

“Gila apa?” Wara Hita terpaksa menahan tawa. “Lagi 
pula kau bilang dia belum.... belum bisa.” 

“Memang. Selama ini ia membuat para langganan 
senang dengan hanya memijit-mijit, menembang. Tapi, 
Gusti mau menawarkannya pada orang seberang itu?” 

“Ya... orang seberang itu... begitu menarik.” Wara Hi- 
ta melirik ke seberang ruangan. Dilihatnya Tun Kumala 
menyeret lepas seorang wanita yang tadinya merangkul 
rapat Sampana. Wara Hita tersenyum. “Tingkah la- 
kunya khas... belum pernah kutemui pemuda seperti 
itu.” 

“Ehm! Ehm!” Emban Layarmega berdeham. Dan ia 
heran luar biasa saat Wara Hita mengulurkan tangan- 
nya dan mencubit lengannya. “Gusti!” bisik Emban 
Layarmega terkejut. Selama ini tingkah laku Wara Hita 
selalu agung dan tak terlalu ramah. Tapi sekarang? 
Dengan heran Emban Layarmega memperhatikan pe- 
muda seberang yang sedang asyik berbicara dengan te- 
mannya itu. Ada apakah? 

“Jangan berpikir yang bukan-bukan, Bibi.” Tak te- 
rasa pipi Wara Hita memerah. “Aku akan berangkat se- 
gera setelah mereka berdua... masuk. Kasturi belum 
terlalu ahli, jadi si Tumasik itu tak akan... ternoda. Lagi 
pula, kukira ia hanya besar mulut, sebetulnya ia tak ta- 
hu apa-apa... jadi gadismu itu aman, kok!” 

Dan Layarmega mengerti mengapa Wara Hita menga- 
jukan Kasturi pada si Tumasik. Ini demi keamanan si 
Tumasik, bukan sebaliknya. Ah. 

“Jika dia bertanya di mana bisa bertemu aku, suruh 
Bima mengantarkannya ke Wengker. Jika ia tidak ber- 
tanya apa pun lagi tentang aku...” Wara Hita menge- 
rutkan kening. “Bunuh dia.” 


5. KALUNG MANIK KAYU DEWA 


“PAMAN, kau gila!” desis Tun Kumala pada Aria 
Sampana. 

“Tun, kau edan!” bisik Aria Sampana alias Rakryan 
Mapatih. 

“Maksudku... Paman bilang mau menyelidik, eh, kok 
malah senang-senang!” bisik Tun Kumala. 

“Kaukira menyelidiknya langsung menanyai mereka 
satu per satu?” bisik Sampana. “Kau sendiri... untuk 
apa menempel terus pada pemuda itu. Kaukira kau 
nanti bisa... main-main dengannya? Ingat, kau juga le- 
laki, tahu!” 

“Uhh! Siapa bilang ia menarik hatiku? Dia yang 
agaknya tertarik padaku... dan jadi sulit nih.” Tun Ku- 
mala betul-betul garuk-garuk kepala. 

“Sulit kenapa?” Aria Sampana mengunyah sirihnya. 

“Aku... akan disuruhnya... anu... mhhh... itu... lihat 
penari yang di tengah itu...” Tun Kumala bingung mau 
bicara apa. 

“Kenapa penari di tengah itu? Dia... wuahh, sangat 
menggairahkan! Pasti dia yang termahal di antara 
orang-orang baru Layarmega.” 

“Apanya sih yang menggairahkan? Kurus. Tidak can- 
tik. Matanya seperti ngantuk terus. Mulutnya seperti 
orang tolol... apanya yang menarik? Narinya juga... ma- 
sa menari yang banyak bergerak cuma pinggulnya. Ugh. 
Tari macam apa?” 

“Kalau kamu jadi lelaki, justru yang kausebutkan itu 
yang membuat gairah!” desis Aria Sampana seolah pu- 
tus asa. 

“Selera lelaki memang rendah! Begitu kok dikatakan 
cantik,” gumam Tun Kumala. 

“Sudah, apa kesulitanmu?” 

“Ya, itu... perempuan itu nanti disuruh melayani 
aku, nanti dia yang bayar,” Tun kebingungan. 

“Lha terus kenapa? Kan enak? Aku mau!” 

“Dia paling yang nggak mau! Susahnya... nanti aku 
harus bagaimana?” 

“Bagaimana bagaimana?” 

“Aku kan nggak tahu apa-apa!” 

“Lho!” Aria Sampana agaknya baru teringat. Dire- 
guknya arak yang dipegangnya dan ia tertawa terbahak- 
bahak hingga orang-orang di kanan-kirinya, walaupun 
sudah mabuk jadi kaget juga. Dan Aria Sampana terta- 
wa tergelak-gelak, meningkahi suara gamelan. 

Di seberang ruangan, Wara Hita memperhatikan me- 
reka. 

“Siapa orang tua itu?” bisik Wara Hita pada Emban 
Layarmega. “Langgananmu?” 

“Entahlah, Gusti,” bisik Emban Layarmega. “Kulihat 
dia sudah kenal banyak orang di sini. Tetapi bahkan 
Bima pun tidak kenal padanya. Akan kuselidiki nanti.” 

“Juga selidiki si Tun itu. Lihatlah, betapa akrabnya 
mereka berdua... si Tua gagah dan seakan tak peduli, si 
Tun manja dan seakan sangat tergantung. Pasti hubu- 
ngan mereka sangat erat. Mereka juga tampak saling 
menghormat namun bebas untuk, misalnya saja, saling 
mencerca.” 

“Hubungan seperti itu yang Gusti cari selama ini?” 
tanya Emban Layarmega hati-hati. 

Wara Hita menunduk, dan tiba-tiba menggelengkan 
kepala. “Tidak, Bibi, aku tak boleh berpikir sejauh itu 
dulu.” Dan matanya kembali menerawang memandang 
para penari. 

Di seberang sana, Tun Kumala kembali mendesak 
Aria Sampana. “Paman ikut, ya? Paman ikut, ya?” 

“Kau gila! Kau mengerti nggak sih apa yang terjadi 
nanti?” 

“Justru! Mana aku tahu? Apa aku mesti pulang dan 
tanya pada Bibi Rakryan Mapatih?” Tun Kumala lang- 
sung menekap mulutnya terkejut. 

“Sudahlah. Pokoknya kauulur-ulur waktu saja. Su- 
ruh dia memijit kakimu atau... he he he, kakimu terlalu 
halus, ya? Atau suruh dia menembang semalaman. Bia- 
sanya juga begitu kok, kalau aku sedang tidak... sedang 
capek.” Aria Sampana menahan geli. 

“Tapi kalau dia menembang, aku bisa ketiduran, dan 
dia bisa membuka bajuku dan...” Tun begitu khawatir. 

“Terus terang, sebagai lelaki kau tak begitu menarik 
perempuan, Tun, jadi jangan khawatir wanita panas itu 
akan membuka pakaianmu saat kau tidur. Paling- 
paling dia pergi begitu kau lelap.” 

“Ya, bisa juga aku tidur secara menjijikkan... seperti 
mendengkur, atau keluar liur... idih! Aku sendiri jadi ji- 
jik!” 

“Sudah, tuh lihat, tarian sudah selesai... dan gadis 
itu dipanggil mereka,” bisik Aria Sampana. 

“Yah... gimana, ya...?!” 

Tak urung Tun Kumala segera mendekati Wara Hita 
dan rombongannya. Saat itu Tari, yang diberi nama 
Kasturi oleh Emban Layarmega, sedang menghidangkan 
arak pada Wara Hita. Wara Hita menangkap tangan ga- 
dis itu dan meremas-remasnya. 

“Ah, tidak sehalus dan selembut tangan putri ista- 
na,” goda Wara Hita. 

“Tetapi putri istana belum tentu dapat memuaskan 
Tuan seperti kami di sini,” kata Tari tersenyum genit 
sambil matanya mengerling seperti yang diajarkan oleh 
Emban Layarmega. Ia tak menarik tangannya yang ma- 
sih dipegang oleh Wara Hita. 

“Ah, ini orang Tumasik,” kata Wara Hita saat Tun 
Kumala telah tiba di dekatnya. “Coba pegang tangan ini, 
Saudaraku, dan katakan apa yang kaurasakan.” 

“Hmmmh, biar kucoba....” Tun Kumala pun meng- 
ambil tangan Tari dari tangan Wara Hita. Terlihat Tari 
agak segan. Dan senyumnya pun hampir menghilang. 
Tapi Tun Kumala tak peduli. Mula-mula dibelainya ta- 
ngan itu. “Mmmhh, agaknya tangan ini dicoba untuk di- 
lembutkan dengan ampas kelapa,” katanya pada Wara 
Hita. “Memang bisa, tetapi lebih bagus kalau direndam 
susu kerbau setiap malam sebelum tidur....” Kemudian 
tangan itu diciumnya. Terlihat jelas Tari hampir me- 
narik kembali tangannya itu. Terlihat ia melirik cepat 
pada Emban Layarmega dan Emban Layarmega me- 
mandang tajam padanya. “Ah, dia memakai mangir 
daun melati, Saudaraku... pilihan yang kurang cocok... 
mestinya digunakan daun bunga kenanga.” 

“Tuan begitu tampan dan gagah, tak sangka penge- 
tahuan Tuan tentang perawatan kecantikan begitu men- 
dalam.” Perlahan Tari menarik tangannya dan menua- 
ngkan arak untuk Tun Kumala. “Hamba rasa ilmu as- 
mara Tuan pun sangatlah luar biasa....” 

“Kau akan membuktikannya, Turi... sebab kau akan 
meladeni tuan ini. Dia sahabatku, jadi layani dia baik- 
baik. Sebaik-baiknya!” kata Wara Hita. 

“Oh, tapi...” Tari tampak terkejut dan kecewa. “Ham- 
ba sangat mengharapkan dapat melayani Tuan,” kata- 
nya setengah meminta. 

“Turi, dengan melayani tuan ini sebaik-baiknya, ma- 
ka aku pun sudah merasa sangat puas. Tuan Tun Ku- 
mala... mari kita minum!” Wara Hita mengangkat 
mangkuk araknya. 

Tun Kumala gugup. Tetapi terpaksa juga arak itu di- 
angkatnya dan direguknya. Ia terbatuk-batuk hebat dan 
tersembur-sembur. 

“Oh, kenapa, Tuan?” Emban Layarmega cepat bang- 
kit untuk membersihkan pakaian Tun Kumala. 

“Oh, tidak usah, tidak usah....” Cepat-cepat Tun 
Kumala menolak dan bahkan menangkis tangan Emban 
Layarmega yang terulur ke dadanya. 

“Tapi pakaian Tuan basah,” kata Emban Layarmega. 

“Alaaaaa, gampang, kan nanti juga harus dibuka, ya 
bukan?” Dan Tun Kumala ikut tertawa dengan Wara Hi- 
ta yang sedari tadi telah menertawakannya. 

“Itu berarti Saudara Tun ini ingin segera masuk, Bi- 
bi. Ya, siapa tahan kalau yang akan melayani adalah si 
Turi ini.... Silakan lho, Saudara Tun.” 

“Aku... aku... maksudku...” Tun Kumala makin ke- 
bingungan. Tetapi dengan tertawa cekikikan empat 
orang wanita telah memegang lengan dan punggungnya. 
Dan karena Tun Kumala tak ingin rahasianya terbong- 
kar, jika ia meronta pastilah ketiga wanita itu akan me- 
megangnya lebih keras, maka terpaksa ia berdiri. 

“Maksudku... sesungguhnya aku ingin minum lagi,” 
kata Tun Kumala gugup. 

“Ayolah, itu bisa Tuan lakukan nanti di kamar,” kata 
Wara Hita. 

“Antar Tuan Tun ini ke Kamar Jingga, Anak-anak,” 
Emban Layarmega berkata pada ‘gadis-gadisnya’. 
“Siapkan segalanya... sebentar lagi Turi akan menyusul. 
Ayo, Turi, biar kudandani lagi kau... keringatmu terlalu 
banyak mengucur waktu menari tadi. Hamba mundur 
dulu, Junjungan.” Emban Layarmega menuntun Turi 
yang agaknya tak mau pergi dari hadapan Wara Hita 
itu. 

Di ruang samping, tiba-tiba Turi cemberut. 

“Bibi, kau selalu menyuruhku memuaskan lelaki 
yang datang. Kau tahu selama ini itu kulakukan hanya 
karena aku merasa berutang budi padamu. Itu pun ku- 
lakukan dengan separuh hati. Sekarang... aku temukan 
seseorang yang sangat kusukai, dan mungkin akan... 
akan kulayani sepenuh hati... mengapa tak kauberikan 
aku padanya?” Dengan gemas Turi mencopot pakaian 
yang tadi dipakainya untuk menari. 

“Kau senang dengan... ya, ampun!” Tak tertahankan 
Bibi Emban Layarmega tertawa sambil mengusap keri- 
ngat di tubuh Turi. “Jangan kau mimpi memperoleh dia, 
Turi... dia...” 

“Dia kenapa? Yang jelas dia datang kemari!” 

‘Ya ampun, Turi, kau baru bertemu dengannya bebe- 
rapa saat yang lalu, baru pula sekali ini... dan kau su- 
dah tergila-gila! Mungkin kau terlalu banyak minum 
obat pembangkit asmara!” 

“Aku tak pernah minum obat itu, Bi. Apa yang kula- 
kukan selama ini hanyalah bermain sandiwara.... Ka- 
laupun dia memakai ajian pemikat, aku pun tak menye- 
salinya... aku senang terpikat olehnya!” 

“Hari ini aku bertemu banyak sekali orang gila,” gu- 
mam Emban Layarmega sambil memakaikan kain baru 
pada Turi. “Tapi kau yang tergila. Sudahlah. Ingat pela- 
jaran pertama yang kusampaikan dahulu. Dalam dunia 
kita ini, jatuh cinta adalah suatu kemewahan yang tak 
pernah bisa kita jangkau. Begitu berat biaya yang harus 
kita bayar. Berangkatlah ke Ruang Jingga. Dan hibur- 
lah orang Tumasik itu. Dia toh tidak terlalu menyebal- 
kan!” 

“Dia terlalu ceriwis, seperti orang perempuan saja!” 
dengus Turi. “Mudah-mudahan ia langsung tertidur 
hingga aku bisa kembali ke Tuan Wisti itu.” 

Emban Layarmega menatap kepergian Tari dengan 
tersenyum lega. Dahulu ia begitu khawatir akan kelan- 
jutan perkara gadis itu. Tetapi beberapa peristiwa mem- 
buat jalan begitu lebar kini. Mula-mula Ra Wirada dan 
kedua punakawannya tewas. Ini sudah membuat Tari— 
atau yang dikenalnya sebagai Turi—sepenuhnya milik- 
nya. Disusul oleh menghilangnya Ra Sindura. Dan ter- 
nyata ramuan yang diberikannya cukup berhasil. Tari 
tampaknya tak pernah ingat akan dirinya—kecuali ka- 
lung kayu yang entah bagaimana dipertahankannya 
mati-matian—dan sangat penurut dalam menerima pe- 
lajaran tentang melayani tamu. 

Satu hal yang meragukan Emban Layarmega. Apa- 
kah usaha junjungannya akan berhasil? 

Emban Layarmega merasakan kehadiran Bima, dan 
ia berpaling. 

“Ada apa, Bima?” tanya Layarmega. 

“Gusti Anom sudah berangkat. Sarika mengingatkan 
kembali pesan sarika tentang orang Tumasik itu.” 

“Hm. Seperti kukatakan pada Turi, hari ini banyak 
sekali orang gila,” gumam Layarmega. 

“Orang yang menemani orang Tumasik itu adalah 
Aria Sampana... hamba tak mengenalnya. Menurut 
pembicaraan ia dari pesisir utara dan di Kuripan meng- 
inap di penginapan Ki Rodeh. Bersama si orang Tuma- 
sik.” 

“Bagus.” 

“Hamba lihat ada seseorang yang gerak-geriknya 
mencurigakan. Tapi ia belum masuk halaman kita. Se- 
mentara aku suruh awasi saja.” 

“Bagus, Bima. Ada hal lainnya?” 

“Tidak ada, Junjungan.” 

“Mari kita temui tamu-tamu lainnya.” 

Di Ruang Jingga, Tun Kumala bingung setengah ma- 
ti. 

Ketiga wanita yang mengantarkannya segera diusir- 
nya. Ia menjenguk ke luar kamar. Rasanya tak bagus ji- 
ka ia keluar begitu saja. Di gang di depannya tampak 
beberapa pasang orang sedang cekikikan dan berceng- 
kerama. Ditutupnya pintu dan dibukanya jendela. Ka- 
mar itu ada di lantai dua. Menghadap ke halaman bela- 
kang yang penuh pepohonan. Gelap. Kalau meloncat 
mungkin kakinya patah. Ah, mestinya tadi ia minta saja 
si Aria Sampana itu ikut. 

Pintu berderit terbuka. 

Terkejut Tun Kumala berpaling. 

Tari berdiri di ambang pintu, membawa nampan be- 
risi minuman. Ia berhenti sejenak dan tersenyum. 

“Tuan Tun kepanasan, ya?” Tari masuk dan berjalan 
berlenggok menaruh nampan di meja kecil di sudut. 
Tun Kumala tak terasa merapat ke dinding. 

“Apakah Tuan memang ingin jendelanya dibuka sa- 
ja?” Sambil tersenyum manis Tari duduk di bingkai jen- 
dela. “Tidak takut kalau... ada yang mengintip?” 

“Me... mengintip apa?” tanya Tun Kumala bingung. 

“Mengintip kita.... Mari kubantu membuka baju itu... 
basah begitu kok.” 

“Jangan, jangan....” Tun Kumala cepat bergeser men- 
jauh. “Tak apa-apa kok.” 

“Basah begitu?” 

“Aku... aku biasa basah... di Tumasik anu... sering 
hujan... jadi sering basah... basah kuyup malah... nggak 
apa-apa kok... nggak masuk angin. Situ...mmm... siapa 
namanya tadi... ah, ya, Turi... Kasturi, ya? Takut basah, 
ya?” 

“Tapi bagaimana aku bisa melayani Tuan, jika aku 
tak boleh membuka pakaian Tuan?” Tari tampak agak 
bingung juga memperhatikan tingkah pemuda seberang 
itu. 

“Sesungguhnya... aku sedang... sedang berpantang 
kok.” Tun Kumala makin bingung, mundur kini ke jen- 
dela, sementara Tari menuangkan arak. 

“Berpantang apa?” tanya Tari membawa semangkuk 
arak mendekati Tun Kumala. 

“Aku berpantang... mmm, anu...” 

“Berpantang menjamah perempuan?” tanya Tari me- 
nawarkan mangkuk araknya. 

“Ya, benar begitu... ya, benar....” 

“Lalu mengapa Tuan kemari?” 

“Aku... hanya mengantarkan temanku.” 

“Tapi Tuan tidak berpantang minum arak toh?” Tari 
mengangsurkan mangkuk araknya hingga hampir me- 
ngenai bibir Tun Kumala. Bau arak yang harum dan ta- 
jam itu begitu menusuk hidung Tun Kumala hingga ia 
hampir berbangkis. “Aku... aku juga berpantang mi- 
num,” katanya. 

“Tapi tadi di bawah Tuan minum?” tanya Tari. 

“Aku tadi lupa, karenanya aku muntah tadi... aku 
sesungguhnya berpantang, he he he.... Kalau kau mau 
menghiburku... ya, nyanyikan lagu sajalah... atau do- 
ngengkan sesuatu...” 

“Tuan tidak mau kulayani, tidak mau minum, jadi 
Tuan kemari hanya untuk mempermainkan kami, ya!” 
kata Tari dengan penuh rasa kesal. “Tuan kira karena 
Tuan punya uang maka segala-galanya boleh Tuan la- 
kukan? Kami juga punya harga diri, tahu? Sekarang ju- 
ga, Tuan buka pakaian atau aku akan menjerit-jerit ke- 
ras-keras agar semua orang datang kemari dan meng- 
olok-olokkan Tuan!” Dengan gemas Tari mengangkat 
mangkuk untuk dibantingnya ke lantai. Tetapi tidak ja- 
di. Ia bisa memperoleh hukuman berat dari Emban 
Layarmega jika itu dilakukannya. Maka dengan gemas 
diminumnya arak dalam mangkuk itu. Hanya dalam ti- 
ga reguk! 

Ia sudah diberi ilmu minum arak oleh Emban 
Layarmega. Hingga arak nantinya tak punya pengaruh 
pada dirinya. Tetapi dalam waktu yang singkat tentu sa- 
ja ia belum bisa menguasai sepenuhnya ilmu itu. Pi- 
pinya langsung merah padam, dan ia bertolak pinggang 
di hadapan Tun Kumala. 

“Cepat katakan, mau buka baju atau tidak?” 

“Aku... aku...” 

“Mau atau tidak?” Tak sabar Tari merenggut leher 
baju Tun Kumala. 

“Tunggu... tunggu... eh, tunggu!” Tiba-tiba wajah ke- 
bingungan Tun Kumala menjadi penuh rasa ingin tahu. 
“Tunggu! Kalung ini... kaudapat dari siapa?” 

Tepat di depan mata Tun Kumala terlihat kalung 
yang melingkari leher jenjang Tari. Tun Kumala ingat 
betul kalung itu. Kalung itu adalah manik kayu dewa, 
kalung yang merupakan tanda jabatan Ra Sindura di 
bidang ketentaraan. 

Tun Kumala, alias Rara Sindu, sangat kenal kalung 
itu. Sebab dialah yang dahulu merangkainya untuk ka- 
kaknya. Sebab di dalam keluarga mereka, Ra Sindura 
sering bercanda dan memamerkan kalung itu sewaktu 
dulu ia pertama berhak memakainya. 

Mengapa dipakai wanita penghibur ini? Memang, ia 
pernah mendengar bahwa kakaknya sering berkunjung 
ke rumah Emban Layarmega. Tetapi tak mungkin hing- 
ga memberikan tanda mata suatu tanda kepangkatan 
yang begitu penting. 

“Dari mana kaudapat kalung ini?” tanya Tun Kumala 
lagi. 

“Lepaskan! Ini kalungku!” bantah Tari, khawatir jika 
kalungnya putus. 

“Aku hanya ingin tahu, dari mana kaudapat kalung 
ini!” 

“Lepaskan dulu!” Tari begitu khawatir. 

“Sudah! Cepat katakan dari mana kaudapat!” Tun 
Kumala melepaskan pegangannya atas kalung itu. Tari 
mundur. Ia melihat tangan Tun Kumala gemetar seolah 
tak bisa menahan keinginan guna mengambil kalung 
tersebut. 

“Tuan mundur dulu ke dinding sana,” kata Tari lagi 
menunjuk dinding yang terjauh. 

“Sudah!” kata Tun Kumala makin kesal. 

“Kenapa kau ingin tahu?” tanya Tari sambil berjalan 
menyusur dinding menuju pintu. 

“Sssa... sangat mirip milik sahabatku,” kata Tun 
Kumala. 

“Siapa sahabatmu?” Tiba-tiba sikap Tari berubah. Di 
luar kelupaan yang menyelimuti pikirannya, yang me- 
nutupi semua ilmu yang dimilikinya, ada dua hal yang 
masih melekat. Nama Tantri dan kalung manik kayu 
ini. Ia tak tahu apa hubungannya dengan dirinya. Tapi 
dua hal itu selalu lamat-lamat seakan membayang- 
bayangi batas ingatannya. Di dalam kekesalannya kare- 
na ia tak pernah ingat siapa dirinya, bahkan namanya 
sendiri pun ia tak tahu—ia tahu bahwa Kasturi na- 
manya, tetapi nama itu seolah bukan miliknya—apalagi 
asal-muasalnya, kedua hal itu selalu menyiksanya. Se- 
kaligus menghiburnya. 

Tantri. Nama itu menyiksa. Namun memberi kesan 
manis. 

Dan kalung manik-manik kayu dewa itu. Ia tak tahu 
mengapa ia memakainya. Ia tak mau mencopotnya ka- 
rena merasa bahwa ini adalah salah satu hubungannya 
dengan masa lalu yang begitu gelap. Ia tak mau mele- 
paskannya. Ia tak mau berpisah dari kalung kayu itu 
walaupun sesaat. Dan pada saat yang sama, ia juga 
seolah sadar bahwa kalung kayu itu berhubungan den- 
gan sesuatu yang sangat menyakitkan. Mungkin saat 
menerima itu ia sakit. Mungkin saat menerima itu ia 
disakiti. 

Sesungguhnya ia tak pernah berpikiran untuk me- 
ngetahui masa lalunya. Untuk apa... ia sudah bahagia 
dan dibahagiakan di tempat Emban Layarmega. 

Biasanya, orang tertarik pada kalung kayu itu hanya 
karena tempatnya terlalu mencolok di samping kalung 
emas pemberian Emban Layarmega. Emban Layarmega 
sendiri tak pernah bisa menerangkan asal kalung kayu 
tersebut. Dan ia juga tidak pernah memaksa Tari mele- 
paskannya. 

Kini ada orang yang secara pasti mengenali kalung 
ini! Suatu semburan harapan, atau siksaan, mencuat di 
dada Tari. Mungkin ini hubungannya dengan masa lalu- 
nya. Mungkin ini hubungannya dengan penyiksanya. 

Sesuatu tiba-tiba menguasai perasaan Tari. 

Sesuatu meledak di dada Tari. 

Mendadak saja ia beringas. Tangannya terulur cepat 
menyambar leher Tun Kumala. Dan mencekiknya. 

“Cepat katakan! Siapa sahabatmu yang punya ka- 
lung mirip ini! Cepat!” bentaknya dengan mata menyala 
seram. 

“Ekhh... llleppa...skan ddullu...” Tun Kumala terke- 
jut. Napasnya langsung tersumbat. Ia megap-megap dan 
meronta-ronta. Tapi cengkeraman Tari tak mudah le- 
pas. 

Tari memang telah lupa semua ulah kewiraan yang 
pernah dimilikinya. Semua ilmu yang dikuasainya. Tapi 
otot-otot tubuhnya tak semudah itu lupa. Walaupun ge- 
rakannya sama sekali tanpa dasar ilmu apa pun, ceki- 
kan itu cukup menyakitkan. Dan pada dasarnya, Tun 
Kumala adalah Rara Sindu. Seorang gadis yang tak 
pernah belajar ilmu kewiraan apa pun. 

Bersambung ke jilid 5.