Pendekar Rajawali Sakti 80 - Istana Maut(2)



Kening Rangga berkerut ketika Ki Sara Denta membawanya ke bangunan besar yang tampak tidak terurus lagi. Dipandanginya bangunan itu dalam-dalam. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya sesuatu yang menyelimuti bangunan itu. Sesuatu yang dirasakan seperti menyimpan misteri.

Sementara Ki Sara Denta hanya terdiam saja sampingnya. Wajah laki-laki tua itu kelihatan menegang, sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi istana tua yang berdiri kokoh di depannya. sejenak mereka hanya saling pandang saja, tidak berbicara sedikit pun.

"Untuk apa kita ke sini, Ki?" tanya Rangga.

"Di sinilah nerakanya, Rangga," sahut Ki Sara Denta.

Rangga mengerutkan keningnya memandangi Tua Gila itu dalam-dalam. Benar-benar sulit dimengerti apa yang dimaksud Ki Sara Denta barusan. Pendekar Rajawali Sakti mengalihkan pandangannya pada bangunan di depannya.

"Sudah banyak yang mencoba, tapi mereka tidak pernah kelihatan keluar lagi. Entah bagaimana nasib mereka di dalam sana," kata Ki Sara Denta, agak mengeluh nada suaranya.

"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" tanya Rangga.

"Para pendekar yang diundang oleh Prabu Yudanegara," sahut Ki Sara Denta.

Rangga terdiam. Perasaannya yang tajam, langsung menduga kalau di dalam istana ini terjadi sesuatu. Suatu misteri yang menantang Rangga untuk segera menyingkapnya. Misteri yang sudah terasakan olehnya ketika pertama kali melihat istana itu. Apakah ini yang dinamakan istana maut itu?

Rangga bertanya-tanya dalam hati. Hal itu memang sudah didengarnya dari orang-orang di lembah sana, kalau istana itu merupakan istana maut yang sudah banyak meminta korban nyawa. Tapi sampai saat ini Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, bagaimana caranya istana ini bisa meminta korban manusia. Keadaannya memang sungguh mengerikan, dan terkesan angker. Tapi tidak terlihat seorang pun yang tinggal di dalam istana ini. Suasananya begitu sunyi, tak ada tanda-tanda kehidupan, baik di luar maupun di dalam.

"Aku akan melihat ke dalam, Ki," kata Rangga ingin tahun.

"Kau akan mati begitu berada di dalam, Rangga," sergah Ki Sara Denta.

"Bagaimana kau bisa memastikannya, Ki? Sedangkan tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui datangnya kematian. Kau tidak ingin ikut masuk?" Rangga tersenyum.

"Tidak," sahut Ki Sara Denta tegas.

"Kenapa?"

"Kalau aku masuk ke sana, dan kemudian mati, maka tidak ada lagi yang bisa disuruh untuk mencari pendekar-pendekar oleh Prabu Yudanegara," sahut Sara Denta lagi.

"Hm.... Jadi selama ini kau selalu berkelana untuk mencari para pendekar, dan kemudian menyuruh mereka masuk ke dalam istana ini. Begitu?" tebak Rangga langsung bisa menangkap. Ki Sara Denta tidak menjawab.

"Sudah berapa pendekar yang kau undang dan masuk ke sana?" tanya Rangga, agak tajam nada suaranya.

"Entahlah. Aku tidak pernah menghitung," sahut Ki Sara Denta setengah mendesah.

"Semua, kau yang mengundangnya?" Tanya Rangga lagi. Kembali Ki Sara Denta terdiam, dan hanya menganggukkan kepala saja.

"Hhh...!"Rangga menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir keras. Sungguh tidak diduga kalau Ki Sara Denta sudah begitu banyak mengundang pendekar. Dan mereka disuruh masuk ke dalam istana ini tanpa diketahui maksudnya. Dan sekarang giliran Pendekar Rajawali Sakti mengalami hal yang serupa. Dia diminta masuk ke dalam istana itu, tanpa diketahui maknanya.

"Jelaskanlah padaku, Ki. Kenapa kau mengundang para pendekar dan menyuruhnya masuk ke istana itu?" desak Rangga meminta penjelasan.

"Bukan aku yang mengundang, Rangga. Tapi, Gusti Prabu. Beliau jugalah yang meminta mereka masuk ke istana itu. Aku hanya menjalankan tugas saja, diperintah untuk mencari para pendekar. Dan yaaah..., hanya itu yang kuketahui, Rangga," keluh Ki Sara Denta menjelaskan kedudukannya.

"Hm..., lalu apakah kau sudah pernah mencoba masuk ke sana?" tanya Rangga.

"Belum," sahut Ki Sara Denta terdengar ragu-ragu.

"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Aku belum ingin mati, Rangga," sahut Ki Sara Denta.

"Kau belum pernah masuk ke sana, bagaimana kau tahu akan mati?" desak Rangga jadi curiga.

"Mereka yang masuk ke sana tidak pernah keluar lagi. Dan setiap kali mereka masuk, aku selalu mendengar jerit kesakitan, lalu tidak terdengar suara apa-apa lagi. Aku selalu menunggu di sini sampai beberapa hari. Kemudian utusan Gusti Prabu Yudanegara datang, dan memerintahkan aku untuk mencari pendekar lagi," jelas Ki Sara Denta.

"Kemudian kau pergi, lalu datang lagi ke sini bersama pendekar-pendekar yang selanjutnya disuruh masuk ke istana itu. Begitu?" selak Rangga cepat.

Ki Sara Denta hanya menunduk tidak menjawab. Dari raut wajahnya jelas terlihat penyesalan atas apa yang telah dilakukannya selama ini. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seakan-akan meminta pengertiannya atas apa yang telah dikerjakannya selama ini. Sementara Rangga hanya menggelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.

"Sebenarnya aku tidak suka melakukan pekerjaan mi, Rangga. Tapi itu tidak bisa kutolak, dan itu harus kulakukan. Karena..., ah...!" Ki Sara Denta tidak melanjutkan kata-katanya lagi.

"Teruskan, Ki," pinta Rangga. "Kenapa perintah. itu tidak bisa kau tolak, padahal kau sendiri tidak ingin melakukannya?"

"Aku.... Aku tidak bisa menolak perintah Gusti Prabu, Rangga."

Rangga kembali menarik napas dalam-dalam memandangi laki-laki tua di depannya ini. Sungguh tidak diduga kalau ada orang yang begitu setia, sehingga tidak bisa menolak suatu perintah, meskipun hatinya menolak. Dan, Pendekar Rajawali Sakti memang belum bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini. Semuanya masih terselimut misteri dan belum bisa diungkapkan secara dini. Sedangkan laki-laki tua ini tidak mau mengatakannya secara gamblang dan terus terang, karena dirinya sendiri juga tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya saat ini.

Sementara senja sudah merayap turun ke pelukan bumi, tapi Pendekar Rajawali Sakti sampai saat ini belum bisa memecahkan misteri yang mengganjal hatinya. Sedangkan Ki Sara Denta sudah tidak bisa lagi didesak untuk mengatakan yang sebenarnya. Memang, laki-laki tua yang selalu dipanggil si Tua Gila itu sudah bersumpah kalau dirinya tidak tahu apa-apa. Dia hanya menjalankan perintah saja dari Prabu Yudanegara.

Matahari sudah condong di belahan Barat Dan sinarnya yang semula terik, kini tidak terasa lagi menyengat kulit. Suasana di sekitar pelataran istana tua itu jadi remang-remang, karena sinar matahari semakin meredup. Keindahan rona jingga matahari yang hampir tenggelam di balik peraduannya, tidak ternikmati oleh dua orang yang masih terpaku di depan bangunan istana itu.

"Aku akan masuk ke sana, Ki," kata Rangga setelah berpikir beberapa saat lamanya.

"Rangga...?!" Ki Sara Denta tampak terkejut mendengar keputusan Pendekar Rajawali Sakti itu.

Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, lalu menepuk lembut pundak si Tua Gila itu. Sebentar kemudian kakinya melangkah mendekati istana tua yang tidak terurus itu. Sementara Ki Sara Denta hanya bisa menyaksikan dengan wajah diliputi kecemasan yang amat sangat. Sungguh, laki-laki tua itu tidak menginginkan adanya korban lagi di dalam bangunan istana itu.

"Rangga...!" panggil Ki Sara Denta keras.

Rangga berpaling tanpa membalikkan tubuhnya. Pada saat itu berkelebat secercah cahaya kemerahan ke arah si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main.

"Awas...!" teriak Rangga keras. "Hup! Yeaaah...!" Seketika itu juga Rangga melesat ke arah datangnya cahaya kemerahan yang mengancam tubuh Ki Sara Denta.

Secepat kilat laki-laki tua itu menjatuhkan dirinya bergulingan di tanah beberapa kali. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang mencoba menghentikan arus benda berwarna merah itu, terlambat sedikit. Akibatnya, benda itu terus meluncur ke arah si Tua Gila yang sedang bergulingan di tanah. Meskipun sudah berusaha sekuat daya, namun benda berwarna merah itu masih juga menyambar bagian paha kiri si Tua Gila.

"Akh...!" Ki Sara Denta menjerit keras agak tertahan.

"Ki...!" seru Rangga terkejut. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti meluruk memburu Ki Sara Denta yang sedang bergulingan di tanah. Tampak sebuah benda merah menancap pada bagian paha kirinya. Ki Sara Denta berusaha bangkit, namun kembali jatuh bergulingan sambil memekik keras agak tertahan.

"Ki...,"Rangga langsung menghampiri dan menyanggah tubuh laki-laki tua itu.

"Ugkh! Kakiku...," keluh Ki Sara Denta seraya memegangi paha kirinya yang tertancap sebuah senjata berwarna merah sepanjang satu jengkal.

Rangga merasakan tubuh si Tua Gila ini mendadak jadi panas, dan keringat menitik deras di keningnya. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti begitu melihat wajah Ki Sara Denta mendadak membiru dan seluruh bola matanya memutih.

"Oh...!" desis Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengetahui kalau Ki Sara Denta terkena senjata beracun yang kerjanya sangat cepat. Cepat-cepat tubuh laki-laki tua itu direbahkan, lalu dicabutnya senjata sepanjang jengkal berwarna merah yang menancap di paha kiri si Tua Gila. Darah berwarna merah kehijauan langsung menyembur keluar dari luka di pahanya.

"Akh!" Ki Sara Denta memekik tertahan.

Rangga membuang senjata beracun itu, kemudian menekan luka di paha Ki Sara Denta. Tekanan yang begitu kuat, membuat laki-laki tua itu menjerit keras sambil menggeliat-geliat kesakitan. Sedangkan Rangga terus menekan kuat-kuat luka di paha itu dengan telapak tangan kanannya. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara si Tua Gila terus menjerit-jerit kesakitan sambil menggeliat-geliat, seperti ayam yang disembelih lehernya. Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah kental kehitaman yang bercampur cairan hijau kekuning-kuningan. Dari luka yang ditekan Rangga juga mengucurkan darah bercampur cairan hijau kekuning-kuningan.

"Hih!" Rangga menekan keras luka di paha si Tua Gila itu, kemudian menepak-nepaknya, lalu melepaskan tangannya dari luka itu. Seketika darah merah segar muncrat keluar. Cepat-cepat diberikannya dua totokan pada sekitar luka, maka darah berhenti mengalir seketika itu juga.

Sementara Ki Sara Denta sudah terkulai tidak sadarkan diri. Terlalu berat penderitaan yang dideri-tanya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti menghembus kan napas panjang sambil menjatuhkan diri, duduk di samping si Tua Gila itu. Sebentar dipandanginya laki-laki tua yang menggeletak tidak sadarkan diri. Kemudian pandangannya beralih pada istana di depan.

"Hhh...!" 

***

Malam telah menyelimuti sekitar istana tua yang kelihatannya tidak berpenghuni itu. Sementara Rangga menunggu Ki Sara Denta yang belum sadarkan diri. Serangan gelap yang terjadi sore tadi, membuat Pendekar Rajawali Sakti berpikir seribu kali untuk meninggalkan si Tua Gila. Sudah beberapa kali laki-laki tua itu mendapat serangan dari orang-orang yang menamakan dirinya Partai Naga. Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa justru Ki Sara Denta yang selalu menjadi sasaran, dan bukan dirinya atau orang lain.

Pendekar Rajawali Sakti seketika teringat kata-kata si Tua Gila, meskipun belum begitu jelas. Namun setelah dihubung-hubungkan dengan semua peristiwa yang terjadi, Rangga bisa mengambil kesimpulan kalau sebenarnya orang yang menamakan diri Partai Naga tidak menghendaki di-rinya ada di tempat ini. Dan mereka seperti menyalahkan Ki Sara Denta, sehingga mencoba membunuhnya dengan berbagai cara.

"Hm.... Siapa sebenarnya mereka...?" tanya Rangga dalam hati. Pertanyaan seperti itu terus mengganggu pikiran Rangga selama ini. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti sekarang tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selama si Tua Gila belum siuman. Rangga merasa dirinya seperti seorang buruan yang tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu pemburu datang untuk mencincang tubuhnya. Posisi seperti ini yang tidak pernah disukainya.

Srek! Rangga terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara berkeresek dari balik semak yang. berasal dari arah belakangnya. Kepalanya cepat berpaling ke arah sumber suara. Dan secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam semak yang berada di belakangnya.

"Jangan..!"

Betapa terkejut Rangga begitu melihat yang disergap ternyata seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun, dan nyaris melayangkan pukulan. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit sambil menjambret tangan gadis itu hingga ikut berdiri juga.

"Siapa kau?" tanya Rangga seraya mengamati gadis yang cukup cantik ini.

"Aku.... Aku...," gadis itu meringis kesakitan.

Rangga melepaskan cekalannya pada pergelangan tan-gan gadis itu, lalu mundur dua tindak. Sedangkan gadis itu masih meringis menahan sakit pada pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram kuat oleh Pendekar Rajawali Sakti. Segera tangannya yang terasa sakit diurut-urut. Pendekar Rajawali Sakti teringat akan Ki Sara Denta yang ditinggalkannya. Bergegas dia keluar dari semak sambil membawa gadis yang hampir saja menjadi sasaran kejengkelannya tadi. Tapi begitu sampai di sana, alangkah terkejutnya Rangga karena orang tua yang biasa dipanggil si Tua Gila itu sudah tidak ada lagi di tempat

"He...?! Di mana dia...?!" Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada tanda-tanda sama sekali kalau Ki Sara Denta pergi dari tempat ini. Dan seingatnya, si Tua Gila belum sadarkan diri. Rangga langsung menatap tajam gadis muda di sampingnya.

"Gara-gara kau...!" dengus Rangga melampiaskan kegusarannya pada gadis itu.

"He...! Kenapa kau marah padaku...?" gadis itu mendelik, tidak menerima dirinya dijadikan sasaran kemarahan.

"Siapakah kau ini?" tanya Rangga, agak dingin nada suaranya.

"Talia," sahut gadis itu menyebutkan namanya.

"Kenapa kau berada di sini?" tanya Rangga lagi.

"Aku..., aku mencari ayahku. Kau tahu di mana ayahku berada? Kulihat, dia ke sini bersamamu siang tadi." Rangga mengamati gadis itu lekat-lekat.

"Siapa ayahmu?" tanya Rangga lagi

"Ki Sara Denta."

Pendekar Rajawali Sakti terhenyak mendengar nama Ki Sara Denta disebut Yang lebih mengejutkan lagi, gadis ini mengaku kalau Ki Sara Denta adalah ayahnya. Sedangkan selama ini Pendekar Rajawali Sakti tidak mengetahui secara pasti tentang diri si Tua Gila itu. Melihat tingkahnya yang selalu konyol dan tidak mengenal santun itu, Rangga menduga kalau si Tua Gila hidup sebatang kara. Siapa nyana, sekarang ada seorang gadis berparas cukup cantik mengaku sebagai anak Ki Sara Denta.

***
LIMA
Rangga menghenyakkan tubuhnya, dan langsung terduduk lemas setelah gadis itu meyakinkan kalau dirinya benar-benar putri si Tua Gila yang kini lenyap entah ke mana. Hilangnya Ki Sara Denta yang begitu cepat dan tidak terduga, menimbulkan suatu kesimpulan kalau ada seseorang yang menculiknya. Dan tentu orang itu memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mustahil kalau orang biasa bisa lenyap begitu saja sambil membawa seseorang yang sedang terluka dalam waktu yang begitu singkat.

"Jadi kau benar anak Ki Sara Denta...?" Rangga seakan-akan ingin menegaskan dirinya pada gadis itu.

"Benar," sahut gadis itu yang mengaku bernama Talia.

"Aku bersamanya di lembah sana selama beberapa hari. Lalu, kenapa aku tidak bertemu denganmu?" tanya Rangga menyelidik

"Aku memang tidak ikut ke lembah. Ayah selalu melarangku ikut ke sana," sahut Talia.

"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Katanya di sana hanya tinggal orang-orang gila."

Rangga terkejut juga mendengar keterangan gadis ini. Timbul rasa ingin tahu di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti juga berharap agar gadis yang mengaku putri si Tua Gila ini bisa memberi banyak petunjuk untuk mengungkapkan misteri yang sedang dihadapinya ini.

"Talia, memang benar aku tadi bersama ayahmu di sini Tapi sekarang, tidak lagi. Ayahmu lenyap begitu kau muncul tadi," kata Rangga mencoba menjelaskan dengan hati-hati.

"Hilang...!?" Talia seperti tidak percaya.

"Ayahmu terluka...."

"Oh, tidak...!" sentak Talia agak histeris. Gadis itu menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sedangkan Rangga tidak bisa meneruskan penjelasan tentang hilangnya si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menarik napas panjang melihat gadis itu menangis sesenggukan mendengar ayahnya lenyap di tempat ini.

Rangga hanya mendiamkan dan membiarkan Talia menumpahkan air mata sepuas-puasnya. Bahkan ketika gadis itu merangkul dan memeluknya, Pendekar Rajawali Sakti membiarkan tanpa berusaha untuk meredakan tangis gadis ini. Lama juga Talia menangis di dada Pendekar Rajawali Sakti, hingga baju pemuda itu basah. Gadis itu mulai tenang setelah dengan lembut Rangga memegang pundaknya. Perlahan-lahan kepalanya diangkat dan air matanya dihapus dengan ujung baju. Gadis itu menarik napas panjang, mencoba mengurangi kesedihannya.

"Aku akan mencari ayahmu sampai dapat. Aku janji," kata Rangga mencoba menenangkan gadis itu.

"Aku yang salah. Seharusnya, aku memang tidak datang ke sini tadi," rintih Talia lirih, masih terdengar terisak.

"Aku mengerti, kau pasti mencemaskan ayahmu,! ujar Rangga lembut.

"Ya.... Setiap kali ayah mendapat tugas, aku selalu cemas. Apalagi sekarang ini. Ayah selalu mendapat tugas yang begitu berat. Bahkan ayah sering mengeluh kalau sebenarnya tidak ingin menjalankan tugas itu, tapi tidak berani menentang kehendak Gusti Prabu." Talia memandang wajah pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya. Sedangkan yang dipandang hanya tersenyum saja.

"Kenapa kau mau diajak ayah ke sini?" tanya Talia seperti menyesalkan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di daerah ini.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja seraya berdiri. Talia ikut berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Mereka tidak bicara lagi, dan masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun pandangan mereka tidak lepas dari bangunan istana tua yang tampak angker itu. Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

Pendekar Rajawali Sakti berpaling, memandang gadis cantik berbaju biru di sampingnya. Pada saat yang sama, Talia juga memalingkan mukanya. Maka, mau tak mau pandangan mereka bertemu pada satu titik. Perlahan-lahan Talia menundukkan kepalanya. Tampak dalam keremangan cahaya rembulan, wajah gadis itu bersemu merah dadu.

"Sebaiknya kau pulang saja, Talia. Aku janji akan membawa pulang ayahmu dalam keadaan sehat," bujuk Rangga.

Talia mengangkat kepalanya, dan kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedangkan Rangga sendiri membalasnya dengan lembut.

"Kau berjanji akan membawa ayah pulang padaku?" tanya Talia seakan tidak percaya pada ucapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku janji," sahut Rangga setengah berbisik.

"Terima kasih." Tiba-tiba saja gadis itu memeluk, dengan tangan melingkar di leher pemuda berbaju rompi putih itu. Akibatnya Rangga sedikit kelabakan. Namun hanya sebentar Talia melakukan hal itu, kemudian melepaskan kembali dan berbalik. Gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat ini, menuju hutan yang cukup lebat.

Pendekar Rajawali Sakti memandangi kepergian Talia yang sebentar saja sudah lenyap ditelan kelebatan hutan dan kegelapan malam. Tapi, mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersadar kalau dirinya tidak tahu, di mana gadis itu tinggal. Jadi bagaimana mungkin dia akan membawa ayahnya nanti?

Namun Rangga jadi tersenyum sendiri. Tentu saja hal itu mudah dilakukan jika bisa menemukan kembali si Tua Gila. Dan persoalannya sekarang, di mana sebenarnya si Tua Gila itu berada...? 

***

Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu masuk bangunan istana tua itu. Pintu yang terbuka lebar itu seakan-akan memang sengaja diperuntukkan bagi dirinya. Rangga berhenti setelah sampai di ambang pintu. Sebentar diamatinya keadaan dalam yang begitu gelap, tanpa penerangan sedikit pun. Padahal malam ini langit cerah, dan bulan bersinar penuh tanpa terhalang awan sedikit pun, Namun cahaya rembulan rupanya tidak sanggup menerobos sampai ke dalam bangunan istana tua ini.

Rangga melangkah satu tindak memasuki bangunan ini. Tapi sebelum kakinya menyentuh lantai, mendadak dia tersentak. Langsung saja kakinya ditarik kembali ke belakang, mundur dua tindak. Keningnya berkerut memandangi lantai bangunan istana yang gelap dan menghitam. Tidak ada kilatan cahaya sedikit pun seperti lantai-lantai bangunan istana lain yang biasanya terbuat dari batu pualam putih berkilat.

"Hm.... Lantai ini mengandung hawa racun yang sangat kuat, namun kerjanya tidak begitu cepat. Bahkan bisa di kata kan lambat," gumam Rangga dalam hati.

Meskipun Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, namun dia tidak mau sembarangan terhadap satu jenis racun. Bagaimanapun juga, dirinya sadar kalau hanya manusia biasa, yang tidak akan mungkin terhindar dari kenaasan. Rangga teringat akan pengalamannya yang pernah keracunan sehingga tidak bisa mengingat dirinya sendiri.

Rangga memandangi pintu bangunan istana yang besar sekali, dan tidak ada penutupnya. Kembali kakinya melangkah mundur beberapa tindak, lalu dengan cepat melompat, melesat masuk sambil berteriak keras.

"Hiyaaa...!" Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Terlebih lagi ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna, sehingga lesatannya begitu cepat bagai kilat. Dalam sekejap mata saja, Rangga sudah masuk ke dalam. Tubuhnya melayang deras dengan kedua tangan merentang lebar ke samping. Pendekar Rajawali Sakti rupanya tengah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' pada tahapan yang terakhir, diimbangi ilmu meringankan tubuh.

Maka tak heran kalau dia bisa melayang bagai kapas tertiup angin. Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa melayang selamanya seperti seekor burung. Paling tidak harus ada pijakan untuk memantapkan tubuhnya.

"Hap!" Rangga menjejakkan kakinya di tengah-tengah ruangan sambil mengerahkan tenaga dalam yang digabung pengerahan hawa murni yang berpusat pada sumber kekuatan dalam tubuh. Kini seluruh tubuhnya terasa jadi dingin. Namun....

"Akh...!" Entah kenapa, mendadak saja Rangga memekik keras tertahan. Saat itu bagian telapak kakinya terasa jadi panas membara, seolah-olah berada di atas bara api. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya, dan langsung melesat keluar. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti sampai di pintu luar, mendadak dari bagian atas pintu itu meluncur jeruji yang begitu cepat menutup jalan. Rangga terkejut bukan main, dan seketika berusaha untuk menarik tubuhnya. Namun terlambat. Karena dia melesat dengan kekuatan penuh, akibatnya Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menghindari benturan dengan pintu jeruji itu.

Brak! "Akh...!" Rangga menjerit keras. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti keras sekali terpental balik ke belakang, dan tidak bisa dicegah lagi. Tubuhnya jatuh bergulingan di lantai yang hitam pekat dan dingin itu. Seketika Rangga merasa kan seluruh tubuhnya jadi panas bagai terbakar. Dia sadar betul kalau racun yang tersebar di seluruh lantai istana ini sudah merambat ke tubuhnya. Namun berkat kesempurnaan hawa murni yang dimiliki, racun itu tidak sampai masuk dalam jaringan darahnya. Atau mungkin memang belum sampai. Dan Rangga tidak yakin kalau dirinya mampu bertahan lama, meskipun memiliki kekebalan tubuh terhadap segala jenis racun. Tapi di dalam istana ini racunnya sungguh dahsyat dan kuat.

"Hup! Yeaaah...!"
Sret! Cring!

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas sambil mencabut Pedang Rajawali Sakti yang tersimpan dalam warangkanya di punggung. Seketika itu cahaya biru yang memancar dari pedang itu menerangi seluruh ruangan ini.

"Hiyaaa...!" Rangga meluruk cepat ke bawah sambil mengayunkan pedangnya disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus yang dahsyat dan menjadi andalan dalam setiap pertarungan.

Glarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi ketika Pedang Rajawali Sakti menghantam lantai istana. Dan seketika, seluruh bangunan istana ini bergetar hebat bagai diguncang gempa dahsyat.

"Hiyaaat..!" Kembali Rangga menghantamkan pedangnya dl sertai pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna. Untuk kedua kalinya terdengar ledakan menggelegar seperti gunung meletus, sehingga bangunan istana ini semakin dahsyat berguncang. Akibatnya beberapa dindingnya ambruk, menimbulkan suara bergemuruh disertai getaran keras. Rangga menjejakkan kakinya sedikit ke lantai, lalu cepat melentingkan tubuhnya. Kini Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengayunkan pedangnya dua kali ke arah pintu berjeruji besi itu.

"Hiaaat..!"
Crang...!

Pintu jeruji baja itu hancur berantakan terbabat pedang bercahaya biru yang menyilaukan mata itu. Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Cepat-cepat dia melompat bangkit dan memasukkan pedangnya ke dalam warangka di punggung, lalu secepat itu pula duduk bersila sambil merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan ditahannya agak lama. Tampak asap kehitaman mengepul dari ujung kepala. Dan kini seluruh tubuhnya bersinar merah membara, seperti besi terbakar.

"Yeaaah...!" Sambil berteriak keras melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke samping. Lalu dengan cepat tangannya ditarik ke depan, dan bergerak perlahan sebelum ditarik panjang, Perlahan matanya terbuka. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti bangkit dengan keadaan tubuh segar. Matanya memandangi bangunan istana di depannya. istana maut itu tidak lagi berguncang, tetap kokoh berdiri tegar, seperti menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk menaklukkannya.

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

***

Semalaman Pendekar Rajawali Sakti memutari seluruh bagian luar istana ini. Sama sekali tidak diketemukan celah yang bisa digunakan untuk masuk tanpa melalui pintu depan. Seluruh dinding bangunan ini terbuat dari batu keras. Sementara pagi sudah menjelang, sedangkan Rangga belum bisa melakukan sesuatu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di depan pintu depan bangunan istana dari batu itu.

"Hm, tidak heran kalau tidak ada seorang pun yang sanggup memasukinya...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti seketika teringat akan si Tua Gila yang juga tidak berani masuk ke dalam istana ini. Memang alasan yang dikemukakannya cukup kuat. Tapi, Rangga mendapatkan sesuatu dari kata-kata Si Tua Gila itu. Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan kalau laki-laki tua itu menyimpan sesuatu, dan sepertinya sudah mengetahui kalau seluruh lantai istana itu mengandung racun yang dahsyat dan sangat mematikan.

Saat Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir keras, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang semakin jelas dan dekat. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, lalu tubuhnya cepat melesat ke sebatang pohon yang cukup tinggi dan lebat daunnya. Pendekar Rajawali Sakti langsung lenyap ditelan kerimbunan daun pohon itu. Kakinya hinggap di sebuah dahan yang cukup terhalang. Tapi dari tempat ini, bisa melihat jelas ke sekitar bangunan istana maut itu.

Tidak lama kemudian, dari arah lembah tempat Kerajaan Mandalika berdiri, muncul beberapa orang berkuda. Rangga menghitung dalam hati. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang, ditambah seorang yang berkuda paling depan. Pendekar Rajawali Sakti mengenali betul pemuda yang berkuda paling depan. Dialah Raden Sambung Wulung, menantu Prabu Yudanegara.

Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan bangunan istana maut ini. Sedangkan Rangga yang berada di atas pohon, berada tidak seberapa jauh dari mereka. Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat dan mendengar jelas apa yang dibicarakan, tanpa harus mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suatu ilmu yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh, dan bisa membedakan jenis-jenis suara sekecil apa pun.

"Hm, apa yang mereka lakukan di sini...?" tanya Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Raden Sambung Wulung yang turun dari punggung kudanya, diikuti seorang laki-laki tua berjubah putih. Mereka berdiri berdampingan memandangi bangunan Istana itu. Sedangkan orang-orang yang berpakaian prajurit, masih berada di punggung kuda masing-masing. Begitu tangan Raden Sambung Wulung memberi aba-aba, para prajurit langsung turun dari punggung kuda.

"Istana ini semakin parah keadaannya, Eyang Wiratma," kata Raden Sambung Wulung setengah bergumam.

"Benar, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Eyang Wiratma tadi.

"Mari, Eyang. Kita lihat ke dalam. Aku ingin lihat mayat si manusia sombong itu," ajak Raden Sambung Wulung seraya mengayunkan kakinya menghampiri Istana maut itu.

"Hati-hati, Raden. Aku melihat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak seperti pendekar-pendekar lainnya," ujar Eyang Wiratma memperingatkan. Raden Sambung Wulung hanya tersenyum saja, dan terus melangkah semakin mendekati pintu masuk istana maut itu.

Sementara Rangga yang berada di atas pohon, terus memperhatikan dengan hati bertanya-tanya. Pendekar Rajawali Sakti terkejut juga melihat Raden Sambung Wulung dan Eyang Wiratma memasuki bangunan tua itu, tanpa khawatir kalau lantainya sudah tersebar racun yang sangat ganas.

Namun tidak lama mereka berada di dalam, dan kini sudah keluar kembali dengan langkah cepat dan wajah merah padam. Raden Sambung Wulung langsung melompat ke punggung kuda, dan secepat itu menggebahnya, meninggalkan pelataran istana maut ini. Eyang Wiratma dan para prajurit yang menyertainya bergegas mengejar.

Sementara Rangga yang memper-hatikan dari tempat persembunyian, jadi heran juga. Berbagai macam pertanyaan dan dugaan muncul di benaknya seketika setelah melihat kejadian yang berlangsung barusan. 

***
ENAM
Rangga baru saja melompat turun dari pohon, hendak membuntuti rombongan Raden Sambung Wulung. Tapi, tiba-tiba dari dalam semaksemak muncul seorang gadis cantik berbaju biru. Rangga terkejut melihat kemunculan gadis ini. Seketika niatnya untuk membuntuti Raden Sambung Wulung diurungkan. Pendekar Rajawali Sakti menghampiri gadis yang ternyata adalah Talia.

"Talia...," desis Rangga seraya memandangi gadis itu dalam-dalam. "Kenapa kau berada di sini?"

"Aku ingin membantumu, Kakang," sahut Talia.

"Membantuku...? Apa yang bisa kau lakukan di tempat ini?"

"Aku memang tidak bisa apa-apa, tapi pasti bisa membantumu menghancurkan mereka," tenang sekali jawaban Talia.

Rangga semakin dalam memandangi gadis ini, dan jadi mendengus dalam hati. Gadis ini tidak berbeda jauh dengan ayahnya, yang selalu bermain teka-teki membingungkan. Tapi jawaban Talia barusan sudah mengisyaratkan kalau dirinya tahu banyak tentang semua yang terjadi di sekitar daerah ini.

"Apa yang kau ketahui tentang mereka, Talia?" tanya Rangga setelah berpikir sejenak.

"Tentang Partai Naga itu...?" Talia seperti ingin menegaskan.

"Jadi kau juga mengetahui tentang Partai Naga itu?" Rangga agak terkejut juga kala Talia menyebut nama Partai Naga. Sedangkan selama ini, si Tua Gila juga selalu menyebut-nyebut partai itu, khususnya sejak mereka bertemu dan saling mengenal diri. Dan sekarang, gadis ini juga menyebut nama partai itu.

Talia mengangguk membenarkan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga semakin ingin tahu, karena diyakini kalau Partai Naga erat kaitannya dengan persoalan ini. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum tahu, siapa dan di mana tempat persembunyian Partai Naga itu. Mereka selalu muncul tiba-tiba, tanpa diketahui pasti. Bahkan perginya juga tiba-tiba seperti hantu saja.

"Apa saja yang kau ketahui tentang Partai Naga?"' tanya Rangga lebih lanjut.

"Mereka adalah musuh besar ayah. Padahal ayah sendiri tidak pernah menganggap mereka musuh," jelas Talia.

"Kenapa mereka memusuhi ayahmu?" tanya Rangga lagi.

"Kekuasaan," sahut Talia kalem.

"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.

"Dulu ayah seorang panglima perang yang paling disayangi Prabu Yudanegara. Sudah banyak ayah melakukan peperangan dan berhasil gemilang. Tapi setelah semuanya berakhir, ayah tersingkir dari jabatannya. Bahkan beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan, tapi selalu gagal. Tapi ayah tidak ingin memperpanjang urusan, dan memilih diam dengan berpura-pura gila. Memang, ayah tersingkir selamanya dari istana. Tapi tersingkirnya ayah, malah membuat bencana besar bagi seluruh kerajaan ini," Talia mengisahkan perjalanan hidup ayahnya.

Sementara Rangga terus mendengarkan penuh perhatian. Walaupun perebutan kedudukan dan kekuasaan adalah hal yang tidak terlalu aneh, tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti adalah suatu hal yang menarik. Baik itu kerajaan besar maupun kerajaan kecil.

"Orang Partai Naga-lah yang menginginkan ayah tersingkir untuk selamanya. Dan sekarang, mereka menguasai seluruh Kerajaan Mandalika ini," sambung Talia.

"Oh...!" kali ini Rangga benar-benar terkejut.

"Ada apa, Kakang?"

"Tidak, teruskan saja," sahut Rangga.

"Mereka bahkan menjadikan Prabu Yudanegara sebagai raja boneka yang bisa dikendalikan. Prabu Yudanegara memang tidak mungkin digulingkan, karena akan membuat seluruh rakyat marah. Maka, kemudian dibuat suatu malapetaka bagi seluruh rakyat dengan merubah istana ini menjadi istana maut yang selalu merenggut nyawa siapa saja yang berani memasukinya. Bahkan juga disebarkan kabar bohong, bahwa di dalam istana ini sekarang dihuni makhluk buas yang tidak bisa mati dan selalu makan daging manusia. Mereka memang bisa mengelabui Prabu Yudanegara maupun seluruh rakyat, tapi tidak bisa mengelabui ayah. Itulah sebabnya mereka selalu mencari perkara dan berusaha menyingkirkan ayah secara halus agar tidak terlihat jelas di mata Prabu Yudanegara."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Disimaknya semua cerita yang dikisahkan gadis berbibir mungil ini. Pendekar Rajawali Sakti seperti tak puas-puasnya memandangi bibir yang indah itu, seolah-olah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Ada suatu daya tarik tersendiri kala bibir itu bergerak-gerak meluncurkan kata-kata. Sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau Rangga memandangi bibirnya.

"Kenapa memandangiku terus, Kakang?" gadis itu tersadar juga.

"Oh, tidak...," Rangga jadi tergagap. Pendekar Rajawali Sakti buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Malu juga rasanya karena dipergoki sedang memandangi seraut wajah cantik dengan bibir indah mengagumkan. Kecantikan yang dimiliki Talia memang terletak pada bibirnya yang indah dan selalu basah memerah.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas kuat-kuat. Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghilangkan pikiran buruk yang tiba-tiba saja memenuhi benaknya. Semalam, daya tarik yang dimiliki Talia memang tidak begitu diperhatikan. Tapi siang ini, Rangga sungguh tidak bisa menghindar lagi. Begitu terpesonanya, sehingga tanpa disadari Pendekar Rajawali Sakti telah menikmati kecantikan gadis itu lewat pandangan matanya. 

***

Rangga mengayunkan kaki mendekati bangunan istana maut itu. Begitu sampai di ambang pintu, masih terasa adanya hawa racun di lantai istana ini. Sementara Talia menunggu, berjarak agak jauh. Gadis itu hanya memperhatikan saja. Rangga memutar tubuhnya, kembali menghampiri Talia yang masih tetap menunggu.

"Apakah ayah ada di dalam sana, Kakang?" tanya Talia langsung begitu Rangga sampai di depannya. "Tidak," sahut Rangga seraya mengangkat bahunya.

"Tidak...?" Talia seperti tidak percaya.

"Semalam aku sudah mencoba masuk. Tapi..., yaaah. Istana itu memang maut. Tidak heran jika ayahmu sendiri tidak berani memasukinya," jelas Rangga.

"Kalau tidak ada di sana, lalu di mana?" tanya Talia seperti untuk dirinya sendiri.

"Entahlah, Talia. Aku sendiri tidak tahu, di mana ayahmu sekarang berada," sahut Rangga.

"Kasihan ayah...," keluh Talia lirih. Gadis itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah mendung dan sinar mata seakan-akan berharap.

Rangga hanya bisa menarik napas panjang tanpa dapat berbuat sesuatu. Masalahnya, dirinya sendiri tidak tahu, di mana sekarang Ki Sara Denta berada. Tak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Dia sudah mencari ke sekeliling bangunan istana ini, tapi si Tua Gila tetap tidak ditemukan. Rangga menjadi iba melihat Talia yang begitu berharap. Padahal, dia sudah berjanji untuk membawa ayahnya kembali padanya. Tapi sampai saat ini, belum ditemukan tanda-tanda di mana si Tua Gila itu berada.

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti hanya merenung, memikirkan segala kemungkinan. Tiba-tiba Rangga tersentak. Pendekar Rajawali Sakti baru ingat kalau Raden Sambung Wulung atau yang juga menantu Prabu Yudanegara itu datang dan masuk ke istana bersama seorang laki-laki tua yang diketahuinya bernama Eyang Wiratma. Tapi, kedua orang itu tetap segar bugar saat keluar dari istana itu. Sedangkan seluruh lantai istana itu sudah tercemar racun yang dahsyat dan sangat mematikan. Keadaan ini membuat Rangga jadi bertanya-tanya sendiri.

"Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.

"He...! Mau ke mana...?" sentak Talia yang tertarik, dan hampir tersungkur. Untung dia cepat-cepat berlari mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

Mereka terus berjalan cepat setengah berlari menuju lembah di seberang sungai. Talia menahan langkahnya ketika mereka sampai di tepi sungai. Rangga pun terpaksa ikut menghentikan langkahnya. Ditatapnya dalam-dalam gadis di sebelahnya yang seakan-akan enggan menyeberangi sungai di depan sana. Sementara Talia melepaskan cekalan tangan Rangga, lalu melangkah mundur dua tindak. Pendekar Rajawali Sakti jadi heran melihat sikap Talia yang jelas-jelas tidak ingin menyeberangi sungai ini.

"Ada apa, Talia?" tanya Rangga.

"Aku tidak mau ke sana!" sahut Talia

"Kenapa...?" tanya Rangga tidak mengerti atas sikap gadis ini.

"Pokoknya aku tidak mau ke sana!" bentak Talia keras.

Rangga jadi tertegun dan terus memandangi gadis ini. Sungguh tidak dimengerti, mengapa sikap Talia mendadak berubah? Rangga menghampiri, lalu dengan lembut tangannya diletakkan di bahu gadis itu. Sedangkan Talia hanya memandangi dengan sinar mata tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda berompi putih itu.

"Kau tidak mau ke sana, tentu punya alasan, bukan?" desak Rangga membujuk lembut.

"Apakah kau ingin aku mati di sana...?!" sentak Talia sengit. Ketus sekali nada suaranya.

Kening Rangga berkerut mendengar jawaban yang bernada ketus itu. Sungguh tidak diduga kalau Talia akan berkata seketus itu. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tertegun bukan keketusannya, tapi pernyataannya yang lugas dan tegas.

"Aku menunggu saja di sini. Kau saja yang ke sana, Kakang. Kau lebih bebas di sana, daripada aku" ujar Talia kembali lembut suaranya.

Rangga mengangkat bahunya. Meskipun gadis ini tidak bersedia menjelaskan, namun Rangga tidak ingin mendesak lagi. Sudah bisa ditebak kalau ketidakinginan Talia ke lembah itu disebabkan ceritanya sendiri. Gadis itu telah mengatakan kalau orang-orang di lembah sana gila dan haus kekuasaan serta nafsu duniawi. Mengingat cerita Talia, Pendekar Rajawali Sakti agak bingung untuk menentukan siapa lawan dan siapa kawan. Namun ada satu cara untuk mengatasi semua persoalan ini. Dan itu pun sudah ditentukan dari mana harus memulainya.

"Baiklah. Kau tunggu saja di sini," kata Rangga menyerah.

Talia hanya mengangguk. Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti memandangi Talia, kemudian membalikkan tubuhnya. Namun belum juga melangkah pergi, mendadak dari dalam sungai bersembulan kepala-kepala manusia, yang kemudian langsung berlompatan keluar. Rangga cepat menarik tangan Talia ke belakang. Mereka yang baru muncul dari dalam sungai itu mengenakan baju hitam, dan ada gambar naga di dadanya. Semuanya juga memakai gelang yang tidak sama jumlahnya pada pergelangan tangan kanan. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenali mereka, kecuali satu orang. Dialah Parang Kati, orang yang memakai gelang berjumlah lima buah.

"Hm.... Rupanya kau belum mampus juga, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Parang Kati dingin.

"Jika hanya racun yang kalian taburkan di istana itu, belumlah cukup untuk membunuhku," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.

"Bagus! Aku senang ada orang yang bisa lolos dari dalam istana maut. Tapi kali ini kau tidak mungkin bisa lolos. Ha ha ha...!" Parang Kati tertawa terbahak-bahak.

Rangga hanya mendengus saja. Memang kali ini orang-orang yang dibawa Parang Kati berjumlah tiga kali lipat, dan sudah siap dengan sepasang tongkat merah di tangan. Rangga mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ternyata dirinya sudah terkepung oleh orang-orang berbaju hitam dengan gambar naga pada dadanya. Hanya Parang Kati yang mengenakan gelang berjumlah lima. Sedangkan yang lainnya hanya mengenakan gelang berjumlah di bawah lima. Ini berarti hanya Parang Kati-lah yang memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding yang lainnya.

Rangga dan Talia benar-benar sudah terkepung, dan sudah tidak ada celah untuk meloloskan diri. Jumlah mereka begitu banyak, tidak kurang dari seratus orang. Ini merupakan jumlah kesatuan prajurit kerajaan. Rangga menghembuskan napasnya kuat-kuat beberapa kali. Diliriknya Talia yang kelihatannya begitu tenang, seakan-akan tidak mempedulikan kepungan orang-orang berbaju hitam ini.

"Kau bisa menghadapi mereka, Talia?" tanya Rangga ragu-ragu terhadap kemampuan gadis ini.

"Lihat saja nanti," sahut Talia kalem.

"Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan menggempur mereka lebih dahulu. Hm.... Kita harus melewati yang depan dan terus menyeberangi sungai. Bagaimana, Talia?" bisik Rangga meminta pendapat gadis itu.

"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain lagi," Talia mengangkat bahunya sedikit.

Hanya ada satu jalan untuk bisa lolos dari kepungan, yaitu dengan menyeberangi sungai. Dengan demikian mereka dituntut untuk menggunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Memang, sungai ini tidak mungkin diseberangi oleh orang yang hanya memiliki tingkat kepandaian tanggung. Inilah yang membuat Rangga berpikir, karena tidak tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki Talia. Kalau untuk dirinya sendiri, melompati jurang yang lebar pun tidak ada persoalan. Apalagi sungai seperti ini. Tapi bagaimana dengan Talia...?

"Ayo, Kakang. Kita mulai," desis Talia berbisik.

Tiba-tiba saja Talia melompat secepat kilat sambil berteriak nyaring melengking tinggi. Tubuhnya yang ramping, meliuk dan berputaran di udara dengan gerakan indah. Tindakan Talia ini membuat Parang Kati dan yang lainnya jadi terkejut. Mereka segera berlompatan hendak memapak gadis itu. Namun sebelum bisa menyambar tubuh Talia, Rangga sudah lebih dahulu melompat sambil melontarkan beberapa pukulan kilat bertenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
Desss!
Bugkh!"

Pukulan-pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti mengenai beberapa orang hingga berjumpalitan jatuh sebelum mencapai tubuh Talia.

Sedangkan gadis itu terus berjumpalitan di udara, melewati beberapa kepala. Sekali Talia menukik turun, kemudian dengan ujung jari kakinya menotok tanah di tepi sungai. Kini tubuhnya kembali melenting menyeberangi sungai. Indah sekali gerakannya. Gadis itu berputaran di udara, kemudian menotok permukaan air sungai sekali, lalu kembali melesat. Talia selamat sampai di seberang sungai.

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti harus menghadapi beberapa orang yang menyerangnya, sebelum melesat menyeberangi sungai. Dan kini hanya sekali lompat saja, Rangga sudah berhasil sampai di seberang sungai.

"Kejar...! Jangan biarkan mereka lolos...!" teriak Parang Kati memberi perintah.

Rangga dan Talia tertegun melihat orang-orang Partai Naga itu serentak melemparkan tongkat merahnya ke dalam sungai. Lalu, mereka berlompatan ke atas tongkat yang mengambang di permukaan air. Sungguh menakjubkan. Mereka bisa meluncur cepat di atas permukaan sungai hanya dengan bertumpu pada sebatang tongkat yang biasa dijadikan senjata dalam pertarungan.

"Ayo, Kakang...!" ajak Talia.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk sedikit dan menjumput beberapa batu kerikil. Dan dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan batu-batu kerikil tadi. Batu-batu itu meluncur deras ke arah orang-orang Partai Naga yang sedang meluncur di atas permukaan sungai.

"Aaa...!" Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar, disusul berjatuhannya orang-orang itu ke dalam sungai. Batu-batu kerikil yang dilemparkan Rangga tepat menghantam mereka. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti rupanya dapat menghambat pengejaran.

Tentu saja hal ini membuat Talia senang. Gadis itu menjumput beberapa kerikil, lalu melemparnya ke arah mereka diselingi pengerahan tenaga dalam tinggi. Jeritan-jeritan tinggi menyayat, kembali terdengar. Dan kini orang-orang berbaju hitam yang di dadanya terdapat gambar seekor naga itu berjatuhan ke dalam sungai. Air sungai yang semula jernih, seketika berubah warnanya menjadi merah karena tercemar darah.

Talia terus melemparkan batu-batu kerikil sambil tertawa-tawa kesenangan. Sedangkan Rangga yang menyaksikan tingkah gadis itu tersenyum-senyum geli, dan tidak lagi melemparkan batu kerikil.

"Mundur...!" teriak Parang Kati yang masih berada di seberang sungai.

Orang-orang dari Partai Naga itu berbalik kembali ke seberang sungai. Sebentar saja hampir separuh jumlah mereka sudah mengambang di sungai.

"Ha ha ha...! Ayo, maju kalian kalau berani...!" tantang Talia dengan suara lantang. Tampak di seberang sungai sana, Parang Kati memaki-maki sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Wajahnya memerah menahan kemarahan yang amat sangat. Dua kali dia berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti, dan dua kali pula menderita kekalahan yang menyakitkan.

"Kubunuh kalian! Dengar...! Kubunuh kalian...!" teriak Parang Kati sambil mengacungkan kepalan tangannya. Amarahnya memuncak luar biasa karena kekalahan yang menyakitkan ini.

Sedangkan Rangga hanya tersenyum-senyum saja. Sementara Talia terus tertawa terbahak-bahak sambil mengejek menantang agar mereka menyeberangi sungai. Pada saat itu, Parang Kati melompat ke sungai. Tindakan orang bergelang lima buah itu diikuti yang lainnya. Mereka semua berlompatan masuk ke sungai yang sudah berwarna merah oleh darah itu.

Seketika Talia menghentikan tawanya. Sedangkan Rangga mengamati ke sungai dengan sinar mata tajam tanpa mengerjap sedikit pun. Orang-orang dari Partai Naga itu tidak muncul-muncul lagi. Mereka seperti tenggelam ke dalam sungai!

"Mereka tidak timbul lagi, Kakang...," desis Talia setengah berbisik. Gadis itu juga mengamati permukaan sungai yang berwarna merah oleh darah. Sepasang bola mata yang bulat bening itu tidak berkedip memperhatikan permukaan sungai. Sedangkan Rangga hanya diam saja, namun benaknya terus berputar.

"Kau tunggu di sini, Talia," kata Rangga.

"He! Kau mau ke mana...?" tanya Talia tersentak. Tapi Rangga tidak menjawab. "Kakang...!" sentak Talia terkejut.

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat ke dalam sungai. Talia kebingungan ditinggal sendirian. Gadis itu mencari-cari Rangga yang sudah tidak kelihatan lagi setelah menceburkan diri ke dalam sungai yang bernoda darah itu.

"Kakang...!" teriak Talia memanggil. Tapi Rangga sudah tidak timbul lagi. Gadis itu jadi cemas juga, di samping takut berada seorang diri di tempat ini. Talia teringat akan kata-kata ayahnya jangan sekali-kali menginjakkan kaki ke seberang sungai ini. Apalagi sampai ke lembah sana.

"Aku menyusul, Kakang...!" seru Talia. "Hiyaaa...!" Byurrr...!

Tanpa berpikir panjang lagi, Talia langsung menceburkan diri ke dalam sungai, mengikuti Rangga. Sebentar kepala Talia menyembul ke permukaan, kemudian tidak timbul-timbul lagi. Sementara permukaan air sungai terus mengalir, membawa serta tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa. 

***
TUJUH
Sama sekali Rangga tidak menyangka kalau sungai ini begitu dalam, bagai tak berdasar. Pendekar Rajawali Sakti terus menyelam semakin dalam. Tidak ada kesulitan baginya berada di dalam air seperti ini. Dengan ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas, Pendekar Rajawali Sakti bisa bernapas seperti layaknya di darat. Bahkan gerakannya begitu cepat dan lincah bagaikan ikan lumba-lumba.

"Hm...," Rangga bergumam dalam hati. Penden-garannya yang tajam dapat menangkap suara lain dari arah belakang. Rangga terkejut ketika berpaling. Tampak tidak jauh di belakangnya, Talia sedang berenang cepat mengejar.

"Talia...," desis Rangga dalam hati. Wajah gadis itu sudah memerah, karena terlalu lama berada dalam air. Cepat Rangga memburu, dan menangkap tangannya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi sekitarnya. Matanya langsung tertumbuk pada sebuah mulut gua yang berada di dasar sungai ini. Cepat dia berenang ke arah gua itu. Tanpa pikir panjang lagi, Rangga terus menerobos ke dalam gua. Ternyata gua ini tidak terlalu panjang, dan sepertinya mengarah ke atas. Sambil mencekal tangan Talia, Pendekar Rajawali Sakti terus menembus air dalam gua ini.

"Ah...!" Talia langsung menarik napas dalam-dalam begitu kepalanya menyembul ke permukaan air. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena terlalu lama menahan napas.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tidak sedikit pun terpengaruh. Dia terus menyeret gadis itu ke tepi, dan membantunya naik.

"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam saat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ternyata mereka kini berada dalam sebuah ruangan batu, atau lebih tepat dikatakan gua yang cukup besar ukurannya. Seluruh dindingnya terdiri dari batu cadas keras berwarna hitam, di seluruh permukaannya ditumbuhi lumut tebal. Pendekar Rajawali Sakti menyipitkan matanya ketika melihat ada undakan batu di sebelah kanan.

Namun belum sempat melangkah, telinganya tiba-tiba mendengar suara orang berbicara. Suara itu jelas dari dalam mulut gua yang terdapat undakan batu menuju ke atas. Rangga cepat menarik tangan Talia, lalu dibawanya ke balik sebongkah batu besar yang tidak jauh dari air yang membentuk danau kecil di dalam gua ini.

Sementara Talia yang sedang berusaha mengatur jalan napasnya, jadi tersentak kaget. Tapi belum juga mengungkapkan kekesalannya, tubuhnya sudah tertarik ke balik batu besar. Pada saat itu, dari lorong yang berundak, muncul dua orang laki-laki. Yang seorang masih terlihat muda, sedangkan seorang lagi sudah tua. Tidak jauh di belakang mereka menyusul dua orang lagi yang rata-rata berusia sekitar tiga puluh lima tahun.

"Raden Sambung Wulung...," desis Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti mengenali pemuda yang berjalan di sisi laki-laki tua berjubah putih. Dan Rangga juga mengenali mereka semua. Yang tua adalah Eyang Wiratma, sedangkan dua orang di belakang mereka adalah para patih Kerajaan Mandalika. Rangga tidak perlu lagi berpikir tentang keberadaan mereka di tempat ini. Jelas, mereka adalah orang-orang Partai Naga. Hanya saja, untuk apa mereka memusuhi rajanya sendiri...?

Pertanyaan inilah yang menjadi beban dalam benak Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan menyeberangi danau kecil di tengah-tengah ruangan batu ini dengan menggunakan seutas tambang yang merentang di atasnya. Rata-rata semua memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, sehingga tidak ada kesulitan berjalan di atas seutas tambang. Buktinya, sebentar saja sudah sampai di seberang.

Baik Rangga maupun Talia, jadi tertegun begitu melihat dinding gua di seberang danau terbelah, bergeser ke samping. Ketika keempat orang itu melewatinya, dinding itu kembali bergerak menutup. Rangga bergegas melompat keluar diikuti Talia yang sudah bisa menguasai napasnya kembali. Dan wajahnya pun tidak lagi terlihat merah.

"Sudah kuduga, pasti" mereka biang keladinya!" dengus Talia.

"Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menggamit lengan gadis itu.

"He! Mau ke mana lagi...?" tanya Talia.

Rangga tidak menjawab, dan terus berjalan cepat menuju lorong batu yang berundak itu. Perlahan-lahan mereka berjalan meniti undakan batu yang melingkar-lingkar menuju ke atas. Keadaan di situ cukup terang, karena dalam jarak tertentu terdapat obor yang terpancang di dinding. Cukup panjang juga lorong berundak ini, sehingga membuat Talia kelelahan. Dan kini napasnya kembali tersengal.

"Istirahat dulu, Kakang," desah Talia agak tersengal.

Rangga menatap gadis itu dalam-dalam. Meskipun diakui kalau gadis ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tapi sikap manjanya masih melekat. Buktinya baru berjalan segitu saja sudah mengeluh minta istirahat. Sedangkan undakan ini sepertinya masih terlalu jauh. Pendekar Rajawali Sakti memandangi lorong yang terus berundak menuju ke atas ini.

"Sebentar lagi, ayo...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.

"Istirahat sebentar saja, Kakang...," rengek Talia.

Rangga mengeluh di dalam hati. Segera punggungnya disandarkan ke dinding lorong batu ini. Tangan kirinya menekan sebongkah batu yang menonjol keluar. Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut... "Heh...!

Dinding batu yang disandari Pendekar Rajawali Sakti bergerak menggeser, memperdengarkan suara gemuruh. Cepat Rangga melompat berbalik. Bukan hanya dirinya saja yang terkejut. Bahkan Talia sampai ternganga melihat dinding lorong ini bergerak ke samping. Tampak di depan mereka terdapat sebuah lorong lain yang tampaknya cukup panjang. Pada setiap jarak tertentu, pada dinding terpancang obor yang kelihatannya tidak pernah padam. Rangga dan Talia saling berpandangan sejenak, kemudian memasuki lorong itu. Dinding batu kembali bergerak menggeser menutup. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong itu.

"Ke mana ini...?" tanya Talia seperti untuk dirinya sendiri.

"Entahlah," desah Rangga setengah berbisik.

Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang diterangi cahaya obor. Hingga akhirnya mereka sampai pada ujung lorong. Rangga jadi tertegun. Ternyata ujung lorong ini buntu. Tak ada jalan lain, karena di depannya menghadang dinding batu yang cukup tebal.

"Kita terjebak, Kakang," kata Talia agak mengeluh.

"Tempat ini penuh rahasia, Talia. Aku yakin ada jalan keluar dari sini," hibur Rangga.

Rangga mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, mencari-cari kemungkinan adanya suatu rahasia untuk mencapai jalan keluar dari lorong buntu ini. Semua dinding, lantai, dan atap lorong ini terbuat dari batu berlumut. Pendekar Rajawali Sakti meraba-raba setiap jengkal dinding. Keningnya berkerut ketika merasakan adanya hembusan angin saat tangannya meraba bagian bawah dinding. Cepat Rangga mengorek batu-batuan di bawah dinding batu ini. Memang cukup keras. Tapi jika mempergunakan tenaga dalam yang dipadu jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti berhasil membuat lubang sebesar kepalan tangan pada bagian bawah dinding batu itu. Tampak seberkas cahaya menyemburat masuk.

"Mundur, Talia...," perintah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti juga bergerak mundur beberapa langkah. Sedangkan Talia berada di belakangnya. Rangga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sebentar matanya terpejam. Kemudian tepat saat kelopak matanya terbuka, kedua tangannya dihentakkan ke depan sambil berteriak lantang.

"Hiyaaa...!"
Glarrr...!

Ledakan keras terdengar ketika dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur seberkas sinar yang langsung menghantam dinding batu didepannya. Seketika dinding batu itu hancur berkeping-keping menimbulkan gumpalan debu yang menyebar sehingga napas jadi sesak.

Talia terbatuk-batuk kecil. Tangannya dikibas-kibaskan di depan hidung, mencoba mengusir debu dari reruntuhan dinding batu itu.

Setelah debu menghilang, tampak di depan terdapat sebuah ruangan besar berlantai hitam pekat. Bergegas Rangga melompat ke ambang pintu yang tadi berupa dinding batu. Talia yang hendak menerobos cepat-cepat ditahannya. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya hawa racun yang tersebar di ruangan itu. Dan memang, ruangan ini merupakan salah satu ruangan di dalam istana maut!

"Ada apa?" tanya Talia.

"Ruangan ini beracun," sahut Rangga.

"Oh..!" Talia terkejut "Jadi...?"

"Ya! Lorong ini tembus ke istana," jelas Rangga.

"Terus, bagaimana ini...?" tanya Talia cemas.

Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara mendesing dari arah belakang. Cepat tubuhnya berbalik sambil mendorong Talia ke samping. Gadis itu terkejut, dan tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Akibatnya dia terjajar hingga merapat ke dinding. Pada saat itu terlihat dua buah benda berwarna merah melesat bagai Kilat.

"Hap!" Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya, menangkap dua senjata berbentuk batangan pendek berukuran sejengkal berwarna merah itu. Lalu dengan cepat pula dilontarkannya kembali ke arah semula. Dua senjata yang kedua ujungnya runcing itu melesat lebih cepat dari semula, membuat gerakan berputar. Dan...

"Aaakh...!" "Aaa...!" Dua jeritan melengking tinggi terdengar menyayat, menggema terpantul dinding lorong batu ini. Sebentar kemudian terlihat dua sosok tubuh berbaju hitam terjungkal bergelimpangan. Rupanya tubuh mereka tertembus senjatanya sendiri yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kedua orang berbaju hitam yang bagian dadanya bergambar naga itu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.

Belum juga Rangga bisa bernapas lega, tiba-tiba atap lorong batu ini terbuka. Seketika dari atap itu berhamburan manusia-manusia berbaju hitam. Mereka semua memegang sepasang tongkat pendek berwarna merah yang pada kedua ujungnya runcing. Panjangnya tidak lebih dari sehasta. Mereka langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti dan Talia. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, kecuali menghadapi sekitar dua puluh orang berbaju hitam ini.

"Yeaaah...!" Menyadari kalau harus juga melindungi Talia, Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat pedang pusakanya dicabut dari dalam warangka di punggung. Cahaya biru berkilau, seketika menyemburat menyilaukan mata. Dengan Pedang Rajawali Sakti, Rangga bagai malaikat maut pencabut nyawa. Setiap kali pedangnya dikibaskan, terdengar jeritan melengking tinggi dan menyayat. Kemudian, disusul ambruknya tubuh berlumuran darah.

Dalam keadaan terdesak begini, Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi. Tebasan pedangnya tak bisa terbendung lagi. Bahkan yang coba-coba menangkis, langsung terpental dengan tongkat terpotong jadi dua bagian. Bukan itu saja. Arus pedang Pendekar Rajawali Sakti juga tidak bisa terbendung, dan terus membabat pemilik tongkat itu. Akibatnya mereka terjungkal ambruk ke lantai lorong gua ini.

Sementara Talia yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti jadi menganggur, karena orang-orang berbaju hitam tidak ada yang bisa menembus pertahanan pemuda berbaju rompi putih itu. Satu persatu mereka bergelimpangan berlumuran darah. Jumlah yang banyak, dalam waktu sebentar sudah berkurang lebih dari separuhnya. Mereka jadi gentar juga, sehingga agak ragu-ragu menyerang.

Pada saat itu, dari atas langit-langit lorong yang kini terbuka, meluncur seorang berbaju putih longgar, Jatuhnya tepat di belakang Talia, dan dengan cepat pula menotok punggung gadis itu. Talia yang belum menyadari, hanya bisa terpekik tertahan, dan langsung jatuh lunglai. Namun sebelum tubuhnya menyentuh dasar lorong gua, orang berjubah putih itu sudah menyangganya. Dia langsung melesat naik sambil memondong tubuh Talia yang lemas tertotok jalan darahnya.

"Talia...!" sentak Rangga terkejut. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meluncur mengejar orang berjubah putih yang membawa Talia, Namun beberapa batang tongkat pendek berwarna merah meluncur mengancamnya. Rangga cepat mengibaskan pedangnya sambil terus melentingkan tubuh ke atas. Tepat ketika atap lorong itu bergerak menutup, Rangga sudah melewatinya.

"Talia...!"

Rangga jadi celingukan karena kini sudah berada di sebuah hutan, tepat di samping bangunan istana maut. Orang berjubah putih yang membawa Talia, sudah lenyap tidak ketahuan ke mana perginya. Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan, mendadak matanya menangkap sebuah bayangan putih berkelebat di dalam hutan. Secepat kilat, tubuhnya melesat mengejar.

Namun kembali Pendekar Rajawali Sakti kehilangan jejak. Ternyata bayangan putih itu cepat sekali menghilang. Tubuh Rangga melenting ke atas, dan hinggap di cabang pohon yang paling tinggi. Dari ketinggian ini, pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi bayangan putih yang membawa Talia tidak juga bisa terlihat.

"Setan...!" geram Rangga gusar bukan main. Pendekar Rajawali Sakti kembali meluruk turun ke bawah. Namun begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja dari dalam tanah bermunculan manusia-manusia berbaju hitam bergambar naga pada dadanya. Mereka langsung berlompatan menyerang.

Sejenak Rangga tersentak kaget. Namun cepat sekali tubuhnya berputar, langsung melontarkan beberapa pukulan bertenaga dalam sangat sempurna. Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga pukulannya tidak terbendung lagi. Terdengar jeritan melengking tinggi saling susul. Kemudian tampak beberapa tubuh bergelimpangan di tanah dengan mulut menyemburkan darah segar. Rangga yang sedang dihinggapi kemarahan, langsung meluapkannya pada orang-orang berbaju hitam itu.

"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Desss!
Bugkh!
"Aaa...!"

Dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Rangga mengamuk bagai banteng liar. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Bahkan setiap pukulan yang dilepaskan, selalu meminta korban nyawa. Sebentar saja orang berbaju hitam yang berjumlah dua puluh orang itu, tewas tak tersisa lagi. Bau anyir darah langsung meresap ke hidung.

Mata Pendekar Rajawali Sakti memandangi mereka yang tergeletak tak bernyawa lagi. Mereka semua mengenakan gelang berjumlah satu buah, sehingga jelas hanya memiliki kepandaian tidak begitu tinggi. Tidak heran kalau Rangga mudah sekali menghancurkannya.

Perlahan Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Matanya tajam memandang ke sekitarnya. Bahkan tanah berumput yang dilalui tidak luput dari perhatian. Namun sampai jauh berjalan, tidak juga ditemukan adanya tanda-tanda bekas orang berjalan. Rangga mendengus kesal, sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin kesal. Ternyata kini baru disadari kalau dirinya hanya berputar-putar saja di sekitar bangunan istana maut yang masih berdiri tegak dengan angkuhnya. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak memandangi bangunan istana maut yang tampak angker itu.

"Hiyaaa...!" Tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tangannya sambil berteriak keras menggelegar. Maka seketika dari kedua telapak tangannya meluncur dua berkas sinar merah membentuk bola api yang langsung menghantam dinding istana maut. Ledakan dahsyat terdengar, bersama hancurnya istana itu. Beberapa kali Rangga melontarkan bola-bola api. Memang, kemarahannya dilampiaskan pada bangunan istana maut itu.

"Ha ha ha...!"

Rangga menghentikan lontaran bola apinya ketika terdengar suara tawa terbahak-bahak yang begitu keras menggema. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, mencoba mencari sumbernya. Namun suara tawa itu seperti datang dari segala penjuru mata angin. Dan Rangga langsung bisa menebak kalau pemilik suara tawa itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi

"Siapa kau? Keluar...!" bentak Rangga keras.

"Ha ha ha...!" 

***
DELAPAN
"Eyang Wiratma...," desis Rangga ketika melihat seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari balik sebatang pohon di depannya.

Laki-laki tua yang dikenal bernama Eyang Wiratma itu berjalan menghampiri Rangga, dan berhenti setelah jaraknya sekitar dua langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Jadi kau dalang dari semua ini...?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Kau salah jika menyangka demikian, Pendekar Rajawali Sakti," bantah Eyang Wiratma, terdengar kalem nada suaranya. "Bukan aku yang merencanakan semua ini, karena ada yang lebih tinggi lagi dariku. Sedangkan aku hanya sekadar membantu saja, menyediakan pasukan khusus yang tangguh dan dapat diandalkan serta dipercaya penuh."

"Apa pun alasanmu, untuk apa kau lakukan semua itu?" tanya Rangga ingin tahu.

"Kekuasaan!" sahut Eyang Wiratma tegas. "Kau tahu apa itu kekuasaan? He he he...! Semua orang di dunia ini pasti menghendaki kekuasaan. Dan kau juga tidak mungkin menghindari keinginan itu, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Kekuasaan apa yang kau inginkan?" tanya Rangga mulai tidak senang.

"Seluruh wilayah kerajaan ini. Bahkan seluruh dunia!" sahut Eyang Wiratma pongah.

"Hm.... Karena itu kau membantai para pendekar?" tebak Rangga langsung.

"Ha ha ha...! Kau memang terlalu cerdik, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau tidak bisa mengalahkan aku!"

Rangga menggumam kecil. Sedangkan Eyang Wiratma menggeser kakinya ke belakang beberapa tindak. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur kekuatan satu sama lain.

Laki-laki tua berjubah putih itu menggeser kakinya ke samping beberapa tindak, dan berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku tahu, saat ini kau adalah pendekar, digdaya yang tidak tertandingi. Tapi itu bukanlah penghalang besar bagiku, Pendekar Rajawali Sakti. Kau boleh saja berbangga karena dapat lolos dari istana maut, tapi tidak akan luput dari kematian!" terdengar dingin nada suara Eyang Wiratma.

Rangga hanya diam saja memperhatikan laki-laki tua itu yang sudah mencabut senjatanya berupa tongkat pendek berwarna merah menyala. Ujung-ujung tongkat itu dipegang dengan kedua tangannya, lalu perlahan ditarik hingga sepanjang rentangan tangannya.

Wuk! Wuk...! Tangkas sekali tongkatnya dikebutkan, kemudian diputar-putar cepat bagai baling-baling. Kini bentuk tongkat itu jadi hilang, dan yang terlihat hanya bulatan lingkaran merah membentuk perisai. Memang sepertinya permainan tongkat itu tidak berarti. Tapi mendadak saja, Rangga merasakan adanya aliran hawa panas yang semakin lama semakin menyengat kulit.

"Hawa racun..." desis Rangga perlahan.

Memang dari tongkat merah itu memancar hawa racun yang mengandung udara panas menyengat kulit, yang semakin lama semakin terasa. Meskipun disadari kalau dirinya memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi Pendekar Rajawali Sakti mencoba menandinginya dengan mengerahkan hawa murni yang dipusatkan pada aliran jalan darah. Rangga tetap berdiri tenang, dan tak sedikit pun terpengaruh oleh serangan hawa racun yang dibuat oleh Eyang Wiratma melalui senjata tongkat merahnya.

Sikap Pendekar Rajawali Sakti itu membuat kening Eyang Wiratma jadi berkerut juga. Serangannya semakin diperhebat, disertai pengerahan seluruh kekuatan untuk melumpuhkan pemuda berbaju rompi putih itu. Wajah laki-laki tua itu sampai memerah, karena seluruh kekuatannya dikerahkan dalam menyalurkan hawa racun dari tongkat merah kebanggaannya.

"Hm...!" Rangga tersenyum melihat laki-laki tua itu semakin memperhebat serangannya.

"Bocah setan...!" geram Eyang Wiratma merasa kewalahan juga. Tiba-tiba saja laki-laki tua berjubah putih itu berteriak nyaring melengking tinggi. Maka seketika tubuhnya melesat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh luar biasa serangannya kali ini. Tongkat merah yang dikebutkan tiga kali itu menimbulkan suara angin menderu bagai topan.

"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"

Tepat ketika ujung tongkat Eyang Wiratma meluruk ke arah dada, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua tangannya di depan dada. Dan,...

"Hih!"
Tap!

Ujung tongkat yang runcing berwarna merah menyala itu terjepit erat di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat Eyang Wiratma terkejut setengah mati. Dicobanya untuk menarik pulang tongkatnya, namun jepitan tangan Rangga begitu kuat. Akibatnya, sukar baginya untuk melepaskan tongkat itu. Eyang Wiratma mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, tapi tetap saja jepitan itu tidak bergeming sedikit pun.

"Hih! Hiyaaa...!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Eyang Wiratma menghentakkan tongkatnya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, kakinya menendang ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, sehingga tendangan itu hanya lewat di samping pinggang. Pada saat yang sama, Rangga menghentakkan tangannya ke atas tanpa melepaskan jepitan pada ujung tongkat merah itu.

"Hiyaaa...!"
Wut!

"Whaaa...!" Eyang Wiratma terpekik kaget ketika tiba-tiba tubuhnya melayang terangkat ke udara. Dan tanpa dapat dicegah lagi, laki-laki tua itu terpental jauh melambung tinggi ke angkasa.

Namun begitu tubuhnya berada di udara, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mengejar sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Hiyaaat...!" Rangga berteriak keras melengking. Dua kali tangan Rangga mengibas ke tubuh laki-laki tua berjubah putih itu.

Sementara Eyang Wiratma sendiri tidak bisa lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan demikian tidak mungkin lagi serangan Pendekar Rajawali Sakti dihindarinya. Maka, tepat sekali kedua tangan Rangga yang mengembang lebar berkelebat membabat tubuh Eyang Wiratma.

"Aaa...!" Eyang Wiratma menjerit melengking tinggi. Tubuh laki-laki tua itu meluncur turun ke bawah.

Dan sebelum sempat menyentuh tanah, Rangga sudah cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras disertai pengerahan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Sepasang kakinya bergerak cepat, langsung menghantam kepala Eyang Wiratma.

Tak ada lagi jeritan yang terdengar. Laki-laki tua itu sudah tewas sebelum tubuhnya menghantam tanah. Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah. Ditariknya napas panjang, seraya memandangi mayat laki-laki tua berjubah putih itu.

Rangga memutar tubuhnya, langsung memandang pohon tempat Eyang Wiratma muncul tadi. Dengan sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai pohon itu. Perlahan pohon itu diputari. Seketika matanya terbeliak melihat Talia tergeletak di tanah dengan tubuh hampir tertutup dedaunan kering.

"Talia...!" Bergegas Rangga mengangkat tubuh gadis itu, dan membawanya ke tempat yang lebih baik. Dibaringkannya kembali gadis itu. Sebentar Rangga memeriksa tubuh Talia, kemudian menggerakkan jari-jari tangannya ke beberapa bagian tubuh gadis itu.

"Ohhh...!" Talia merintih seraya menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu langsung menggerinjang bangkit duduk begitu tersadar dari pengaruh totokan. Dipandanginya Rangga dalam-dalam, kemudian beralih pada seorang laki-laki tua berjubah putih yang tergeletak berlumuran darah tidak jauh dari tempat ini. Kembali Talia mengalihkan pandangannya ke arah Rangga yang juga tengah memandang padanya. Kelihatan sekali kalau gadis itu hendak meminta penjelasan.

"Apa yang terjadi padaku, Kakang?" tanya Talia. Talia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan langsung terpaku pada bangunan istana yang hancur berantakan. Bangunan itu tidak berbentuk lagi, dan telah hancur berkeping-keping menjadi puing-puing yang tak bisa ditempati lagi.

"Kau terkena totokan pada jalan darahmu," jelas Rangga.

"Oh! Kita harus membebaskan ayah secepatnya, Kakang. Ayah ada di lembah," kata Talia.

"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga.

"Eyang Wiratma yang mengatakannya padaku. Dia sempat membebaskan totokan pada bagian kepalaku. Katanya, sebentar lagi ayah akan mati. Mereka kemudian akan menguasai seluruh wilayah Kerajaan Mandalika, setelah menggulingkan Prabu Yudanegara. Tapi yang jelas, mereka ingin membunuhmu lebih dulu agar tidak menjadi penghalang," tutur Talia.

"Kau sudah tahu, lalu kenapa pakai tanya segala?" dengus Rangga.

"Maksudku hanya ingin meyakinkan saja, Kakang. Soalnya tadi aku antara sadar dan tidak," sahut Talia beralasan.

Rangga bangkit berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada gadis itu. Talia langsung menerimanya dengan bibir mengulas senyuman manis. Gadis itu bangkit berdiri dibantu Pendekar Rajawali Sakti.

"Talia. Kau tahu, siapa biang keladi semua ini?" tanya Rangga seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.

"Sambung Wulung," sahut Talia yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau yakin?"

"Sejak semula aku sudah yakin kalau dialah biang keladinya. Hanya saja aku belum punya bukti kuat. Dan ayah sendiri juga sudah tahu kalau Sambung Wulung selalu membuat keonaran di Kerajaan Mandalika ini."

"Kenapa ayahmu pura-pura tidak tahu?" tanya Rangga ingin tahu.

"Sengaja, karena tidak ingin menyakitkan hati Gusti Prabu. Ayah terlalu menghormati dan mencintainya. Apalagi Sambung Wulung menantu satu-satunya Gusti Prabu yang sangat disayang. Ayah sudah berkorban banyak. Tapi, rupanya Sambung Wulung selalu saja mengusik kehidupan ayah. Padahal ayah sendiri juga, sudah berjanji tidak akan mencampuri urusannya dalam menggulingkan tahta Gusti Prabu Yudanegara."

"Aku bisa menghargai kesetiaan ayahmu, Talia," ujar Rangga agak bergumam.

"Ya.... Ayah memang terlalu setia pada Gusti Prabu, tapi kadang-kadang membuatku jengkel. Kalau saja ayah mau, sudah dari dulu si keparat itu mampus!' agak jengkel terdengar nada suara Talia.

Rangga terdiam. Memang sukar dicari nilai kesetiaan seseorang. Ki Sara Denta rela mengorbankan segalanya demi kesetiaannya pada Prabu Yudanegara. Bahkan rela dihina dengan berpura-pura menjadi gila. Semua itu dilakukan agar Prabu Yudanegara tetap menduduki tahta.

Raden Sambung Wulung memang tidak akan mungkin menduduki tahta selama Prabu Yudanegara belum mangkat. Apalagi untuk merebut tahta secara kekerasan. Karena, itu akan membangkitkan kemarahan seluruh rakyat Kerajaan Mandalika. Tidak ada gunanya menjadi raja jika rakyat tidak menyukai, bahkan malah membencinya. Bisa-bisa setiap hari yang diurusi hanya pemberontakan saja.

Tapi rupanya pemuda itu tidak sabar lagi. Terlebih lagi setelah merasa gagal menyingkirkan Pendekar Rajawali Sakti. Memang matang rencana Raden Sambung Wulung. Dia tahu kalau Ki Sara Denta memiliki banyak teman dari kalangan pendekar. Bahkan Prabu Yudanegara sendiri menganggap seluruh pendekar di dunia ini adalah sahabatnya. Raden Sambung Wulung sengaja melenyapkan para pendekar untuk mengurangi kekuatan yang akan dihadapi.

Ya! Caranya adalah mencemarkan seluruh lantai istana dengan racun. Hal itu bisa dilakukan berkat bantuan Eyang Wiratma yang memang terkenal pembuat racun ganas. Dan sekarang Pendekar Rajawali Sakti tinggal menangkap biang keladinya. 

***

Raden Sambung Wulung terkejut ketika tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti muncul di depannya. Saat itu dia tengah bercengkerama bersama istrinya, putri tunggal Prabu Yudanegara. Keterkejutan Raden Sambung Wulung semakin bertambah ketika Talia muncul juga.

"Kau terkejut, Sambung Wulung...?" terdengar sinis nada suara Talia.

"Talia..., seharusnya kau sudah mati!" desis Raden Sambung Wulung.

"Itu perkiraanmu, Sambung Wulung. Racun yang kau berikan pada minumanku tidak berarti sama sekali bagi diriku. Kau lupa, Sambung Wulung. Eyang Guru telah memberiku ilmu untuk memunahkan segala jenis racun yang kau pelajari," ketus kata-kata Talia.

"Setan...! Seharusnya kupenggal kepalamu, Talia!" geram Raden Sambung Wulung. Raden Sambung Wulung melirik Rara Ayu Arsih yang berada di sampingnya. Terlintas satu pikiran licik di benaknya. Dengan cepat tangannya hendak menjambret pergelangan tangan wanita itu.

Namun belum juga tangannya sampai, mendadak saja Rangga menghentakkan kakinya, menendang kerikil yang ada tepat di ujung jari kakinya. Batu kerikil itu melesat bagai kilat menghantam pergelangan tangan Raden Sambung Wulung.

"Akh...!" Raden Sambung Wulung terpekik. Dia langsung menarik tangannya kembali.

Sementara itu, cepat sekali Talia melompat menyambar tubuh Rara Ayu Arsih hingga mereka jatuh bergulingan menjauhi Raden Sambung Wulung.

"Ada apa ini...?!" sentak Rara Ayu Arsih tidak mengerti. Wanita cantik itu buru-buru bangkit berdiri. Tapi belum juga berlari ke arah suaminya. Talia sudah mencekal tangannya. Wanita itu mencoba memberontak, tapi cekalan tangan Talia begitu kuat.

"Nanti akan ku jelaskan, Gusti Ayu," kata Talia.

"Talia...! Kau putri Panglima Sara Denta, bukan...?" "Benar, Gusti Ayu. Nanti kujelaskan persoalannya," sahut Talia lembut.

Sementara Talia menjelaskan persoalannya, Raden Sambung Wulung berteriak memanggil pengawal. Tapi yang datang bukan prajurit pengawal kerajaan, melainkan orang-orang berpakaian serba hitam yang pada bagian dadanya terdapat gambar naga. Bukan hanya Rangga dan Talia yang terkejut, tapi juga Rara Ayu Arsih juga terkejut melihat kemunculan orang-orang berbaju hitam itu.

"Serang mereka! Semuanya...!" seru Raden Sambung Wulung lantang.

"Kakang...!" sentak Rara Ayu Arsih terkejut mendengar perintah suaminya barusan.

"Kau juga harus mati, Arsih! Ha ha ha...!"

Tidak kurang dari seratus orang berpakaian serba hitam itu berlompatan menyerang Rangga, Talia, dan Rara Ayu Arsih. Tentu saja wanita yang tidak mengetahui tentang ilmu olah kanuragan itu jadi terbeliak tidak percaya. Tapi tangkas sekali, Talia selalu menyelamatkannya dari ancaman senjata orang-orang berbaju hitam yang menyerang ganas. Sementara Rangga juga sudah harus menghadapi keroyokan dari orang yang jumlahnya begitu besar.

"Hiyaaat..!"
Sret!

Pendekar Rajawali Sakti langsung, mencabut Pedang Rajawali Sakti. Seketika sinar biru menyemburat menyilaukan mata. Rangga kini tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang belum ada tandingannya sampai saat ini. Dengan pedang di tangan dan disertai jurus dahsyat itu, Rangga bagaikan malaikat maut pencabut nyawa.

Pedang bersinar biru itu berkelebat cepat tak terbendung lagi, ditambah gerakan tubuh yang lincah dan cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, tiga atau empat nyawa melayang. Belum lagi pukulan-pukulan dahsyatnya yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Tentu saja hal ini membuat para penyerangnya tak mampu lagi mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat orang-orangnya jadi kacau berantakan, Raden Sambung Wulung mencoba melarikan diri. Namun tindakannya cepat diketahui Rangga yang memang sejak tadi terus memperhatikannya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat melewati beberapa kepala sambil membabatkan pedangnya. Jeritan-jeritan menyayat masih terdengar saling sahut. Sementara Talia juga tidak mau kalah. Gadis itu mengamuk sambil melindungi Rara Ayu Arsih yang semakin pucat wajahnya.

"Mau lari ke mana kau...?!" bentak Rangga begitu menjejakkan kakinya di depan Raden Sambung Wulung.

Pemuda itu jadi pucat wajahnya. Disadari kalau kemampuannya tidak akan sanggup menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum menantu Prabu Yudanegara itu melakukan sesuatu, Rangga sudah bergerak cepat mengibaskan pedangnya ke arah leher pemuda itu. Sesaat Raden Sambung Wulung terbeliak, dan tidak mampu berkelit lagi. Akibatnya....

Cras!

"Aaa...!" Raden Sambung Wulung menjerit keras menyayat. Sebentar menantu Prabu Yudanegara itu masih mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan leher terbabat hampir buntung. Darah langsung muncrat keluar dari leher yang menganga lebar. Raden Sambung Wulung menggeliat beberapa saat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan keras yang datang dari arah istana kecil di lembah ini. Tampak para prajurit Kerajaan Mandalika berlarian sambil mengacung-acungkan pedang di atas kepala. Melihat kedatangan para prajurit itu, orang-orang berbaju hitam bergambar naga di dada, langsung berlompatan kabur. Tapi para prajurit yang sebagian menunggang kuda itu langsung mengejar. Sementara itu terlihat Prabu Yudanegara memacu cepat kudanya. Dia langsung melompat turun menghampiri putrinya.

"Ayah...!" seru Rara Ayu Arsih. Wanita itu langsung memeluk dan menangis dalam pelukan Prabu Yudanegara.

Sementara Talia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di punggung.

"Ayah sudah tahu semuanya. Tabahlah, Anakku...," ucap Prabu Yudanegara lembut.

Rara Ayu Arsih masih menangis terisak dalam pelukan ayahnya. Sementara Prabu Yudanegara memandang Pendekar Rajawali Sakti dan Talia. Kedua mata laki-laki tua itu merembang berkaca-kaca.

"Terima kasih...," ucap Prabu Yudanegara agak tersendat. "Seharusnya aku sudah bertindak dari dulu. Sudah lama aku menaruh kecurigaan padanya, tapi belum punya bukti kuat. Yaaah, semuanya memang sudah digariskan sang Hyang Widi". Rangga dan Talia hanya diam saja. "Talia, kau bisa menemui ayahmu di istana," sambung Prabu Yudanegara lagi.

Talia memandang Rangga sejenak. Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Talia membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada Prabu Yudanegara, kemudian berlari kecil menuju istana kecil di lembah ini. Sedangkan Prabu Yudanegara semakin erat memeluk putrinya.

Diam-diam Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Bibirnya tersenyum melihat tangis kebahagiaan dari semua penghuni lembah ini, meskipun ada seseorang yang berduka karena kehilangan suaminya. Suami yang mengkhianati kepercayaan, demi mencapai kekuasaan.

Ya! Kekuasaan, harta, dan kedudukan memang membuat orang silau.

TAMAT

Ikuti Petualangan Pendekar Rajawali Sakti Berikutnya dalam Episode RATU BUKIT BRAMBANG