Pendekar Rajawali Sakti 78 - Perawan Dalam Pasungan(2)


LIMA
Rangga menghentikan langkah kudanya tepat di depan sebuah kedai kecil yang berada di ujung jalan Desa Tampuk. Sunyi sekali keadaan kedai itu. Dan tak ada seorang pun terlihat di dalam sana. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Setelah menambatkan kuda hitam itu di bawah pohon kenanga, Rangga melangkah memasuki kedai itu.

Kedatangan Pendekar Rajawali Sakti langsung disambut pemilik kedai yang rupanya seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk, berusaha bersikap ramah. Kemudian pengunjung tunggalnya ini dibawa ke tempat yang paling nyaman. Rangga hanya tersenyum saja melihat sikap pemilik kedai, yang seperti sudah berhari-hari tidak kedatangan pengunjung.

"Sepi sekali kedaimu ini, Ki," ujar Rangga setelah menempatkan tubuhnya di kursi kayu, tidak jauh dari jendela yang terbuka lebar, langsung menghadap ke jalan.

"Yaaah.... Beginilah keadaannya, Den. Sudah beberapa hari ini selalu sepi. Paling-paling, hanya satu dua orang saja yang mampir ke sini. Itu juga tidak lama," sahut pemilik kedai itu lesu.

"Tapi kelihatannya desa ini cukup ramai, Ki," kata Rangga lagi.

"Kelihatannya saja, Den," sahut pemilik kedai itu.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sebentar pandangannya dilayangkan keluar, melalui jendela yang terbuka lebar, Kemudian dipesannya beberapa macam makanan, serta seguci arak manis. Laki-laki tua pemilik kedai itu bergegas melayani pesanan tamunya ini dengan sikap ramah.

Saat Pendekar Rajawali Sakti menikmati makanannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat, menyelinap ke bagian belakang kedai ini. Matanya sempat melirik pada pemilik kedai yang duduk di sudut. Laki-laki tua pemilik kedai itu bangkit berdiri, dan melangkah ke belakang tanpa berkata-kata sedikit pun juga. Rangga terus mengawasi dari sudut ekor matanya.

"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah aji kesaktian yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh dan sekecil apa pun juga, Bahkan bisa memilih-milih suara menurut keinginannya. Dengan ajian itu, segala macam pembicaraan yang diinginkan bisa didengarkannya. Rangga mengarahkan suara dari belakang kedai ini, dari tempatnya melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke belakang kedai. Sedangkan pemilik kedai ini juga langsung ke belakang, walaupun sikapnya seperti tidak mengetahui adanya bayangan tadi.

"Hm..." Rangga menggumam kecil begitu mendengar percakapan dari belakang kedai. Dan satu suara sudah dikenalnya. Tampaknya suara pemilik kedai ini. Sedangkan satu suara lain, diyakini kalau itu suara seorang perempuan. Dan tampaknya, seorang wanita yang masih muda usianya. Dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara’, Pendekar Rajawali Sakti bisa mendengar jelas sekali. Sepertinya, kedua orang itu berbicara dekat di depannya.

"Siapa dia, Ki?" terdengar jelas di telinga Rangga, suara seorang wanita bertanya pada pemilik kedai ini.

"Kelihatannya dia pendatang, Nini," sahut pemilik kedai.

"Sudah kau tanyakan, apa tujuannya datang ke sini?" Tanya wanita itu lagi.

"Belum."

"Kenapa belum..,?"

"Aku belum sempat bertanya, Nini."

"Kau tahu, Ki. Saat-saat seperti ini, aku tidak suka ada orang asing datang ke Desa Tampuk ini. Aku tidak mau ada orang luar ikut campur dalam persoalan ini. Semuanya masih bisa ku atasi dengan tanganku sendiri. Kau percaya padaku, Ki...?" tegas sekali nada suara wanita itu.

"Aku percaya, Nini," sahut si pemilik kedai.

"Desa ini harus kembali seperti semula, Ki. Seperti waktu ayahku dulu masih menjadi kepala desa. Aku bertekad mengembalikan desa ini seperti semula. Tidak di bawah cengkeraman manusia-manusia iblis seperti Ki Rampak!"

"Pelan-pelan, Nini. Nanti pemuda itu dengar,” kata laki-laki tua pemilik kedai memperingatkan.

Beberapa saat tidak terdengar suara apa pun juga.

"Aku pergi dulu, Ki," pamit wanita itu setelah cukup lama terdiam.

"Baik. Tapi, bagaimana keadaan Nyai Suti?"

"Dia baik-baik saja. Hanya, masih mengkhawatirkan suaminya. Sayang, aku belum bisa menemukan...," kata wanita itu dengan suara terputus.

"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada Ki Sampar. Kasihan dia...."

"Aku harap begitu, Ki. Aku juga tidak ingin ada korban seorang pun dari penduduk. Aku pergi dulu, Ki. Tanyai orang asing itu, untuk apa datang ke desa ini."

"Iya, Nini. Aku pasti akan tanyakan padanya."

"Aku pergi, Ki.”

Tidak lagi terdengar suara percakapan itu. Sementara, Rangga langsung mencabut kembali aji 'Pembeda Gerak dan Suara’. Saat itu sempat terlihat bayangan hitam berkelebat begitu cepat, dan langsung menghilang dalam sekejapan mata saja. Tak berapa lama kemudian, laki-laki tua pemilik kedai ini sudah muncul kembali dalam kedainya. Kepalanya terangguk ramah pada Rangga, sambil mengembangkan senyum. Rangga ramah membalasnya, walaupun kini sudah tahu kalau keramahan pemilik kedai itu dibuat-buat.

"Ingin tambah lagi minumannya, Den?" pemilik kedai itu menawarkan ramah.

"Boleh," sahut Rangga. Sebenarnya, minumannya saja belum habis. Tapi, Rangga memang sengaja. Dia ingin memberi kesempatan pada pemilik kedai yang sempat memperkenalkan diri bernama Ki Taluk. Dan Rangga juga malah menawarkan untuk minum bersama. Dengan sikap yang ramah sekali, Ki Taluk menerima tawaran itu.

"Sepertinya, kau bukan penduduk desa ini, Anak Muda," kata Ki Taluk setelah meneguk habis arak dalam gelasnya yang terbuat dari bambu.

"Benar, Ki. Aku hanya seorang pengembara," sahut Rangga kalem.

"Boleh aku tahu ke mana tujuanmu, Anak Muda...?" pancing Ki Taluk mulai menyelidik.

"Sebenarnya tidak ada, Ki. Tapi dalam perjalanan, aku bertemu orang tua yang menceritakan keadaan di desa ini. Semula, aku tidak begitu tertarik. Tapi setelah dia mengatakan kalau di desa ini muncul seorang pembunuh gelap yang sudah mengambil banyak korban, aku jadi tertarik juga untuk mengetahuinya. Makanya, aku datang ke sini," kata Rangga sengaja bicara demikian.

"Oh! Siapa orang tua itu, Anak Muda?" Tanya Ki Taluk tidak bisa menahan keterkejutannya.

"Ki Sampar. Dia dalam keadaan terluka, tapi sekarang berada dalam perawatan teman ku," sahut Rangga.

Ki Taluk mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi. Dia tahu, Ki Taluk ingin menyelidikinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja membuka, karena ingin sekali bertemu orang aneh yang telah mencabut banyak nyawa di Desa Tampuk ini. Meskipun dari keterangan yang diberikan Ki Sampar, orang-orang yang dibunuh hanyalah orang-orang Ki Rampak, Kepala Desa Tampuk yang selalu bertindak dingin dan tangan besi.

"Malang sekali nasib Ki Sampar. Entah kenapa, dia dan istrinya dituduh mata-mata dari si pembunuh gelap itu," kata Ki Taluk dengan suara menggumam perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

"Ku dengar, katanya pembunuh gelap itu namanya Nini Angki, gadis yang selama ini di pasung. Benar begitu, Ki?" Tanya Rangga juga menyelidik.

"Hanya orang-orang Ki Rampak saja yang mengetahui begitu, Den. Padahal, gubuk tempat pasungan Nini Angki sudah habis terbakar. Yaaah..., kasihan nasibnya. Sudah orang tuanya dikurung dalam tanah, dia malah dituduh gila dan dipasung. Bahkan kami semua disuruh membencinya. Pada hal, kami begitu kasihan melihat penderitaannya," terdengar pelan sekali suara Ki Taluk.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah, apa yang ada dalam kepalanya sekarang ini. Sedangkan Ki Taluk terdiam, mempermain-mainkan pinggiran gelas bambu dengan ujung jemari tangannya yang sudah keriput. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan raut wajah tua yang duduk di depannya. Kemendungan di wajah itu, sama sekali tidak dibuat-buat. Dan Rangga tahu, penderitaan yang dialami Ki Taluk merupakan penderitaan seluruh penduduk Desa Tampuk ini. Penderitaan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.

"Seharusnya kami semua bisa senang, karena Ki Rampak sudah tewas. Tapi itu tidak mungkin, Anak Muda," kata Ki Taluk lagi.

"Kenapa, Ki?"

"Ki Gagak Bulang..., adik kandung Ki Rampak ternyata lebih kejam lagi. Malah, sekarang dia yang menguasai seluruh desa ini. Dia belum puas kalau belum membalas kematian kakaknya pada si pembunuh gelap itu," kata Ki Taluk lagi.

"Maksudmu, pada Nini Angki..?"

Ki Taluk tampak terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu langsung dari Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat keterkejutannya dihilangkan. Hanya saja, Rangga sudah sempat melihat jelas. Dan Pendekar Rajawali Sakti jadi yakin, kalau orang aneh itu adalah Nini Angki. Hanya saja dia masih berpikir, bagaimana mungkin seorang gadis yang terpasung bertahun-tahun bisa melepaskan diri. Bahkan sekarang muncul dengan satu kepandaian yang begitu tinggi tingkatannya. Bahkan, penguasa desa ini juga kerepotan dibuatnya.

"Aku pergi dulu, Ki. Mungkin aku kembali lagi ke sini nanti," pamit Rangga.

Setelah membayar semua makanan dan minumannya, Pendekar Rajawali Sakti melangkah keluar. Ki Taluk mengantarkan sampai di depan pintu kedainya itu. Dia masih tetap berdiri disana memandangi kepergian pemuda tampan berbaju rompi putih itu, dengan kuda hitamnya. Saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, tepat ketika Rangga berbelok ke kanan di ujung jalan.

Ki Taluk terperanjat dan cepat-cepat masuk ke dalam kedainya. Di dalam kedai, sudah ada seorang gadis berwajah cantik berbaju hitam pekat yang cukup ketat. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Dia duduk di kursi tempat Rangga duduk disana tadi. Bergegas Ki Taluk menghampiri, dan duduk di depannya.

"Bagaimana, Ki?" Tanya gadis cantik itu langsung.

"Dia ingin bertemu denganmu, Nini. Dan tampaknya, dia sudah tahu kalau orang aneh itu adalah kau," sahut Ki Taluk.

"Dia juga tahu namaku, Ki?"

Ki Taluk mengangguk.

"Ahhh.... Siapa dia, ya...?" desah gadis itu bernada seperti bertanya pada diri sendiri.

Sedangkan Ki Taluk hanya diam saja memandangi wajah yang cantik ini. Dan gadis itu memang Nini Angki, yang selama ini selalu disebut sebagai Perawan Pasungan oleh seluruh penduduk Desa Tampuk. Tapi, keadaannya sekarang tidak kotor dan lusuh, seperti ketika masih berada dalam pasungan. Kini kecantikannya begitu jelas memancar di wajahnya. Namun, di balik kecantikan wajahnya terpancar suatu tekad yang kukuh.

"Sejauh mana dia sudah tahu, Ki?" Tanya Nini Angki.

Ki Taluk langsung saja menceritakan semua pembicaraannya dengan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Dan begitu Ki Taluk mengatakan tentang keadaan Ki Sampar, tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam yang selama ini dikenal sebagai Perawan Pasungan melesat begitu cepat bagai kilat. Hingga membuat Ki Taluk jadi terlongong bengong. Sekejap mata saja bayangannya sudah lenyap tak berbekas lagi.

"Ck ck ck...!" Ki Taluk berdecak kagum. 

***

Saat itu, Rangga memacu kudanya dengan kecepatan sedang. Pendekar Rajawali Sakti tidak kelihatan terburu-buru. Sesekali kepalanya terlihat menoleh ke belakang, seperti ada sesuatu yang tengah ditunggu. Tapi, tak ada seorang pun yang terlihat mengikuti. Rangga segera memperlambat lari kudanya.

"Hieeegkh...!" Tiba-tiba saja kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tali kendali kudanya dikuasai. Dan begitu kuda hitam itu bisa tenang, cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dengan gerakan yang begitu indah dan ringan.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya sedikit, dan memasang pendengarannya tajam-tajam. Angin yang bertiup agak keras, membuat rambutnya yang gondrong melambai-lambai. Dua langkah Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke depan. Begitu ringan sekali ayunan kakinya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara. Kembali mulutnya menggumam perlahan. Kemudian, matanya melirik sedikit pada Dewa Bayu yang mendengus-dengus kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Rupanya sudah ada yang menunggu, Dewa Bayu. Kau menyingkirlah," kata Rangga perlahan.

Kuda Hitam Dewa Bayu meringkik kecil, kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dia baru berhenti setelah jaraknya cukup jauh. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak, seperti menanti sesuatu. Pendengarannya masih tetap terpasang tajam.

Wus! Slap!
"Hait..!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu tiba-tiba terlihat sebatang tombak panjang meluncur deras ke arahnya dari depan. Tombak itu lewat sedikit di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih ini dan menancap di samping kakinya.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Pada saat itu, terlihat berlompatan sekitar sepuluh orang bersenjata golok dari balik semak belukar dan dari atas pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar tempat ini.

"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, sejauh beberapa langkah. Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri sepuluh orang pemuda yang semuanya menggenggam senjata golok.

"Hm...," Rangga mengumam kecil. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam merayapi sepuluh pemuda yang berdiri menghadang, bersikap siap menyerang. Golok-golok mereka tampak melintang di depan dada. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam.

"Mau apa kalian menghadang jalanku?" Tanya Rangga agak dingin suaranya.

"He he he...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh. Rangga cepat berpaling ke arah datangnya suara tawa itu. Tampak di atas sebongkah batu yang Cukup besar berdiri Seorang laki-laki setengah baya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut menyipit. Dia pernah melihat laki-laki setengah baya yang telah menganiaya Ki Sampar. Dan memang, dia adalah Ki Gagak Bulang yang sekarang menggantikan kakaknya menguasai Desa Tampuk.

"Hup!" Ringan sekali gerakan Ki Gagak Bulang saat melompat turun dari atas batu. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya mendarat, tepat sekitar satu batang tombak lagi di depan Rangga. Suara tawanya yang terkekeh kembali terdengar. Kemudian di ujung jari tangan kanannya dijentikkan, Saat itu juga, terlihat puluhan kepala menyembul dari balik semak belukar, dan kelebatan daun, pepohonan di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti.

Sekitar dua puluh orang sudah siap dengan panah terpasang di busur dan mengarah langsung ke Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu menggumam kecil, dengan mata beredar berkeliling. Langsung disadari kalau keadaannya sangat tidak menguntungkan. Meskipun memiliki kepandaian yang begitu tinggi, tapi memang tidak mudah untuk bisa keluar dari kepungan yang rapat begini.

"Sebaiknya kau menyerahkan Ki Sampar, dari pada tubuhmu tercincang, Anak Muda," ancam Ki Gagak Bulang.

"Kenapa kau menginginkan orang tua itu, Kisanak?" Tanya Rangga.

"Dia harus bertanggung jawab atas kematian kakakku!" sahut Ki Gagak Bulang membentak.

"Hm, Ki Sampar terluka cukup parah. Jadi, tidak mungkin bisa membunuh orang," kata Rangga setengah menggumam.

"Memang bukan dia. Tapi, orang suruhannya!" Dengus Ki Gagak Bulang.

"Tidak ada seorang pun yang menjadi suruhannya, Kisanak. Aku tahu Ki Sampar tidak terlibat dalam persoalanmu. Dia hanya orang tua biasa yang tidak punya pikiran macam-macam. Kau salah besar kalau menuduhkan kesalahan padanya," sergah Rangga meluruskan nama Ki Sampar.

"Keparat! Aku tidak butuh ocehanmu, Anak Muda! Aku minta kau jangan banyak bicara. Serahkan saja si tua bangka keparat itu padaku!" Bentak Ki Gagak Bulang kasar.

"Dia tidak ada lagi. Dia sudah pergi bersama istrinya," kata Rangga kalem.

"Setan...! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah!" Bentak Ki Gagak Bulang tidak percaya.

"Siapa bilang aku mempermainkan mu...? Ki Sampar memang sudah pergi bersama istrinya. Dan tidak akan kembali lagi ke desa ini," kata Rangga kalem.

"Phuih!" Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya, sengit. Ki Gagak Bulang mengayunkan kakinya ke depan tiga langkah. Sorot matanya begitu tajam dan berapi-api, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Terdengar gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap-luap.

Sementara, Rangga masih kelihatan tenang, walaupun sesekali matanya beredar berkeliling. Dia memperhitungkan segala kemungkinan dalam menghadapi kepungan rapat begini.

"Kau akan mampus di sini, Bocah!" Desis Ki Gagak Bulang. Begitu Ki Gagak Bulang menjentikkan ujung jemari tangannya, seketika itu juga...

Sing! Wusss!
"Hup!"

***
ENAM
Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, begitu tiba-tiba saja puluhan batang anak panah berhamburan menghujaninya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'! Kedua tangannya terkembang lebar, dan bergerak begitu cepat mengibas anak-anak panah yang menghujaninya.

"Hiyaaa...!"

Beberapa batang panah yang berhasil dirampas langsung cepat dilemparkan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Anak-anak panah itu meluruk deras, kembali pada pemiliknya. Tindakan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat orang-orang yang melepaskan panah jadi terhenyak kaget setengah mati.

"Hiya!" Yeaaah...!"

Mereka yang masih sempat menghindar, segera berlompatan. Tapi yang terlambat, harus menerima nasib terpanggang panahnya sendiri. Jeritan-jeritan melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat dan saling sambut. Tampak beberapa orang terjungkal roboh tertembus panah.

Sementara itu, Rangga meluruk turun manis sekali, setelah tidak ada lagi panah yang menghujaninya. Beberapa batang panah berada di dalam genggaman kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil menghembuskan napas berat, dilemparkannya panah-panah itu ke tanah.

Sementara Ki Gagak Bulang jadi terbeliak, melihat serangan orang-orangnya dapat dipatahkan begitu mudah, hanya lewat satu jurus saja.

"Seraaang...!" teriak Ki Gagak Bulang lantang, memberi perintah.

"Hiyaaa. !"
"Yeaaah...!"
"Yaaa...!"

Seketika itu juga, sekitar dua puluh orang bersenjata golok berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung menyerang dari berbagai jurus, dengan cepat sekali. Sehingga, membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari serangan-serangan yang datang secara cepat beruntun dari segala arah.

Tapi belum juga lama pertarungan itu berjalan, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul. Kemudian, terlihat orang-orang yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti berpentalan. Mereka langsung jatuh menggelepar dengan dada tertembus benda keperakan berbentuk bintang.

"Hup!" Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang. Hanya dalam waktu sebentaran saja, sudah lima belas orang yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dan mereka langsung berlumuran darah, tertembus senjata berbentuk bintang keperakan. Bukan hanya Ki Gagak Bulang saja yang terkejut. Bahkan Rangga juga jadi kebingungan sendiri, karena tidak pernah menggunakan senjata rahasia dalam menghadapi lawan-lawannya. Dan ia juga tidak tahu, dari mana senjata-senjata rahasia itu datang. Karena, tadi begitu sibuk menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dari segala arah.

"Keparat..!" geram Ki Gagak Bulang. Wajah Ki Gagak Bulang semakin kelihatan memerah. Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, merayapi orang-orangnya yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Sudah begitu banyak dia kehilangan pengikut. Bahkan kakak kandungnya juga sudah tewas di tangan orang aneh yang belum diketahui orangnya. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Gerahamnya bergemeletuk, menahan kemarahan yang begitu menggelegak dalam dada.

"Ayo, tinggalkan tempat ini!" seru Ki Gagak Bulang.

Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melompat cepat meninggalkan tempat itu. Semua pengikutnya bergegas berlompatan pergi. Sementara, Rangga sama sekali tidak bermaksud mencegah. Hanya dipandanginya saja kepergian mereka semua. Kemudian perlahan tubuhnya diputar dan melangkah menghampiri kudanya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depannya. Dan tahu-tahu, sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju serba hitam. Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Rangga langsung bisa menebak kalau gadis inilah yang menolongnya tadi dari keroyokan orang-orang Ki Gagak Bulang.

"Hm...," gadis itu hanya menggumam sedikit saja.

Rangga mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari gadis cantik berbaju serba hitam ini, Beberapa saat Rangga memandangi, kemudian bibirnya tersenyum.

"Kau yang bernama Nini Angki?" Tanya Rangga memastikan.

"Dari mana kau tahu namaku?" Dengus gadis cantik berbaju hitam yang memang Nini Angki si Perawan Pasungan.

"Aku hanya menduga saja," sahut Rangga kalem.

"Kau siapa, Kisanak?" Balas Nini Angki bertanya. Suara wanita itu masih terdengar bernada dingin dan datar. Tatapan matanya juga begitu tajam, seakan-akan tengah menyelidik tingkat kepandaian pemuda tampan di depannya.

Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.

"Namaku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri.

"Kenapa kau mencariku?" Tanya Nini Angki masih dengan nada suara terdengar dingin dan agak ketus.

“Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepala.

"Lalu, untuk apa kau datang ke Desa Tampuk?" kejar Nini Angki lagi.

Rangga tidak menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja sedikit Kemudian, kakinya melangkah ringan menghampiri kudanya. Diambil tali kekang kudanya, dan kembali melangkah menghampiri gadis cantik yang selama ini selalu disebut sebagai Perempuan Pasungan, karena memang sudah beberapa tahun hidup dalam pasungan.

Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri di depan Nini Angki dengan jarak sekitar lima langkah. Sedangkan Nini Angki terus memandanginya dengan sorot mata begitu tajam, tertuju lurus ke bola mata pemuda tampan di depannya. Untuk beberapa saat lamanya, tidak ada seorang pun yang berbicara.

"Kuharap kau tidak perlu lagi berpura-pura, Kisanak. Aku sudah tahu tujuanmu datang ke Desa Tampuk ini. Dan kuminta Segera tinggalkan desa ini. Jangan coba-coba mencampuri urusanku dengan iblis-iblis keparat itu!" terasa begitu dingin suara Nini Angki.

Dan Rangga hanya tersenyum saja, meskipun dari nada suara wanita itu sudah bisa tertangkap adanya ancaman yang tidak bisa dipandang main-main. Dan Nini Angki memang bersungguh-sungguh, tidak ingin urusannya dicampuri orang lain. Semua penghinaan pada diri dan keluarganya harus dibalas dengan tangannya sendiri. Walaupun dia tahu, terlalu berat untuk menghadapi Ki Gagak Bulang seorang diri.

Terlebih lagi, Ki Gagak Bulang sudah begitu berpengalaman dalam rimba persilatan yang terkenal ganas dan keras. Namun, sudah menjadi tekadnya untuk menyelesaikan dendamnya seorang diri saja. Dan selama bertahun-tahun berada di dalam pasungan, sudah berlatih tekun untuk memperdalam jurus-jurus yang pernah dipelajari dari ayahnya.

Cerdiknya, dengan modal tenaga dalam yang pernah didapat, Nini Angki mampu membuka dan mengunci gembok pasungannya. Dan bila sudah terbebas, dia berlatih penuh ketekunan. Hingga akhirnya semua ilmu yang didapat dulu berhasil disempurnakannya. Dan selama ini, Nini Angki harus berpura-pura jadi orang gila, untuk keselamatan diri sendiri.

Begitu sempurnanya peranan yang dimainkan, sehingga semua orang di Desa Tampuk benar-benar sudah menganggapnya gila. Hanya Nyai Suti dan beberapa orang desa yang masih memandangnya sebagai anak kepala desa, dan tidak menganggapnya gila.

"Sayang sekali, aku sudah berjanji pada Ki Sampar untuk membebaskan Desa Tampuk dari penindasan Ki Rampak dan orang-orangnya," kata Rangga kalem.

"Hhh! Di mana kau sembunyikan Ki Sampar?" Desis Nini Angki sambil mendengus berat Belum juga Rangga sempat menjawab, tiba-tiba saja....

"Aku di sini, Nini Angki."

"Hah...?!"

Bukan hanya Nini Angki yang terkejut, tapi juga Pendekar Rajawali Sakti, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tua yang sudah bergetar. Bersamaan mereka, berpaling ke arah datangnya suara. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari mereka sudah ada Ki Sampar yang didampingi Pandan Wangi.

Mungkin karena seluruh perhatian mereka begitu tertumpah, sehingga tidak mendengar suara langkah Ki Sampar dan Pandan Wangi. Hingga, tahu-tahu mereka ada di tempat ini. Ki Sampar melangkah tertatih-tatih, dibimbing Pandan Wangi menghampiri Nini Angki yang berdiri sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dia berhenti tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Nini Angki.

Sedangkan Rangga menggeser kakinya mendekati Pandan Wangi yang memapah laki-laki tua itu. Mereka semua jadi terdiam, tak ada seorang pun yang membuka suara lebih dahulu. Sementara, Rangga menarik tangan Pandan Wangi menjauhi Ki Sampar dan Nini Angki. Dia memberi kesempatan pada mereka untuk berbicara berdua saja. Rangga mengajak Pandan Wangi menghampiri kuda Dewa Bayu, yang kini sudah ditemani si Putih, kuda tunggangan Pandan Wangi.

"Aku senang melihatmu lagi, Nini," Kata Ki Sampar dengan mata berkaca-kaca.

"Aku begitu mengkhawatirkan mu, Ki," Kata Nini Angki.

"Bagaimana keadaan Nyai Suti?" Tanya Ki Sampar.

"Baik," sahut Nini Angki.

"Kau sendiri, Ki...?"

"Hampir saja aku mati. Untung segera ditolong mereka," sahut Ki Sampar sambil melirik Rangga dan Pandan Wangi.

Nini Angki juga melirik sedikit pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Kembali mereka terdiam, dan hanya saling berpandangan saja. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah duduk di bawah pohon, tidak jauh dari kuda-kuda mereka. Sepasang pendekar muda itu juga, tengah berbicara. Entah, apa yang dibicarakan.

"Aku tahu, kau sudah berhasil membunuh Ki Rampak. Tapi itu bukan berarti kemenangan ada di tanganmu sekarang ini, Nini. Masih lebih berat lagi rintangan yang harus kau hadapi untuk membebaskan Desa Tampuk. Terutama sekali, membebaskan ayahmu dari tahanan mereka," kata Ki Sampar dengan suara bergetar karena sudah termakan usia.

"Ya! Memang, tidak mudah mengusir Ki Gagak Bulang dari desa ini, Ki," desah Nini Angki mengakui.

"Kau harus mencari teman Nini. Paling tidak, yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ki Gagak Bulang," kata Ki Sampar lagi.

"Maksudmu, Ki...?" Tanya Nini Angki tidak mengerti.

Ki Sampar tidak langsung menjawab. Kemudian kepalanya berpaling, dan langsung memandang Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Nini Angki langsung bisa mengerti, meskipun Ki Sampar belum menjelaskan maksudnya. Dan memang diakui, kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berbaju rompi putih itu sangat tinggi. Jurus-jurus Pendekar Rajawali Sakti sudah dilihatnya.

Memang, tadi dia membantunya. Tapi, sebenarnya juga tidak diperlukan Rangga dalam menghadapi keroyokan dua puluh orang anak buah Ki Rampak, yang kini diambil alih adik kandungnya. Nini Angki juga sudah merasa kalau bantuan Pendekar Rajawali Sakti sangat diperlukan untuk menghadapi Ki Gagak Bulang. Tapi entah kenapa, dia jadi merasa angkuh. Bahkan tidak ingin mengutarakannya.

"Aku dan semua penduduk Desa Tampuk ada di belakangmu, Nini!” Kata Ki Sampar lagi.

“Tapi, Ki...."

"Aku tahu tekadmu, Nini Nyai Suti sudah banyak cerita padaku. Dia memang wanita yang kuat dan berani. Aku benar-benar mengaguminya. Meskipun berulang kali diancam, tapi tetap saja tidak peduli. Dan sebenarnya pula, aku dan istriku sudah tahu kalau di dalam pasungan kau selalu melatih ilmu-ilmu kedigdayaan. Itu sebabnya, kenapa istriku tidak mempedulikan keselamatan dirinya, dan terus datang membawakan makanan untukmu," selak Ki Sampar cepat membuat Nini Angki tidak bisa lagi berkata-kata.

Memang selama bertahun-tahun ini, jasa Ki Sampar begitu besar padanya. Terutama sekali istrinya. Nyai Suti selalu berani menantang bahaya, walaupun sudah berulang kali diancam agar tidak lagi mengirim makanan, selama Nini Angki berada dalam pasungan. Dan ini tidak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Bahkan kitab-kitab yang dibacanya selama bertahun-tahun ini juga berkat jasa Ki Sampar. Laki-laki tua itu begitu berani menyelinap masuk ke dalam rumah Ki Rampak, hanya untuk mengambil kitab ayah gadis ini, kemudian di serahkan padanya. Dengan kitab itu, Nini Angki bisa bertahan dalam pasungan. Bahkan kini menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi. Nini Angki terdiam cukup lama.

Sementara, Ki Sampar tidak berbicara lagi, seakan-akan memberi kesempatan pada gadis itu untuk berpikir. Paling tidak, untuk mempertimbangkan sarannya, agar meminta bantuan pada kedua pendekar muda yang digdaya itu. Beberapa kali Nini Angki melirik Rangga. Dan setiap kali lirikannya bertemu sorot mata pendekar muda yang tampan itu, cepat-cepat dialihkan ke arah lain. Entah kenapa, dadanya selalu bergetar bila mendapat sorot mata pemuda tampan itu.

"Mereka tentu bersedia membantu kita, Nini," kata Ki Sampar mendesak, setelah cukup lama Nini Angki hanya diam saja membisu.

"Bagaimana kau bisa begitu yakin, Ki?" Tanya Nini Angki.

"Mereka adalah para pendekar, Nini. Mereka bersedia membantu. Apalagi, tujuanmu begitu mulia. Aku tahu itu, karena mereka sudah mengatakannya padaku untuk membantu membebaskan penduduk Desa Tampuk dari cengkeraman mereka," jelas Ki Sampar.

"Tapi jumlah mereka begini banyak, Ki. Dan aku masih terus mencoba mengurangi kekuatan mereka,” kata Nini Angki.

"Bagi pendekar, tidak menjadi persoalan dengan jumlah yang banyak, Nini," selak Ki Sampar.

Nini Angki kembali terdiam. Memang, dia sudah melihat sedikit sepak terjang pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Meskipun dikeroyok dua puluh orang bersenjata golok, tapi sedikit pun tidak merasa kewalahan. Bahkan tak ada seorang pun dari pengeroyoknya yang berhasil menyentuh tubuhnya. Juga, ketika diserang puluhan anak panah. Pendekar Rajawali Sakti bahkan bisa membalas dan merobohkan sebagian dari pemanah-pemanah itu. Dari situ saja, sebenarnya Nini Angki sudah merasa yakin kalau tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu memang sangat tinggi.

Rangga hanya mengangkat pundaknya saja, ketika Nini Angki mengutarakan keinginannya untuk meminta bantuan menghadapi Ki Gagak Bulang. Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi. Sedangkan si Kipas Maut itu hanya mengangkat pundaknya sedikit. Seakan-akan, mereka tengah mempermainkan si Perawan Pasungan ini, karena tadi sikapnya begitu angkuh. Dan Nini Angki sendiri menyadari hal itu. Tapi wanita itu hanya diam saja, karena memang memerlukan bantuan kedua pendekar digdaya ini. Terlebih lagi setelah tahu, siapa pemuda tampan berbaju rompi ini dari Ki Sampar.

"Apa yang harus kami lakukan?" Tanya Pandan Wangi, karena Rangga hanya diam saja.

“Terus terang, aku sendiri tidak sanggup menghadapi Ki Gagak Bulang. Dan aku percaya, kalian mampu menghadapinya," kata Nini Angki. “Terutama kau, Kisanak."

"Rangga," selak Rangga meminta gadis itu memanggil namanya saja.

"Tidak pantas aku memanggil namamu saja, Kisanak," tolak Nini Angki.

"Panggil saja seperti Pandan Wangi bila memanggil ku," kata Rangga seraya melirik Pandan Wangi.

"Dia lebih senang kalau dianggap tua, Angki," selak Pandan Wangi berseloroh. "Panggil saja kakang. Dia sudah suka kalau dipanggil begitu."

Nini Angki tersenyum mendengar gurauan Pandan Wangi. Dan memang, Rangga lebih tua beberapa tahun darinya. Jadi, sudah sepantasnya kalau memanggilnya dengan sebutan Kakang Rangga. Sedangkan Ki Sampar hanya tersenyum-senyum saja melihat keakraban yang langsung terjadi di antara ketiga anak muda ini. Terlebih lagi, Pandan Wangi memang pintar mengakrabkan suasana.

"Kau sudah pernah bertarung dengannya, Angki?" Tanya Pandan Wangi

"Dengan Ki Gagak Bulang...?" Nini Angki balik bertanya.

Pandan Wangi mengangguk.

"Belum," sahut Nini Angki. "Tapi dialah yang mengalahkan ayahku, dan menjebloskannya ke penjara bawah tanah yang dibuatnya sendiri."

"Jadi, ayahmu masih hidup?" Selak Rangga, bertanya.

"Aku tidak tahu. Sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan selama itu, aku berada dalam pasungan. Kalian pasti sudah tahu dari Ki Sampar," kata Nini Angki seraya melirik Ki Sampar yang duduk bersila di sampingnya.

"Ya! Ki Sampar sudah bercerita banyak. Bahkan tentang hubungan kalian yang masih ada darah keturunan," kata Rangga.

"Memang, Ki Sampar saudara sepupu ayahku," kata Nini Angki membenarkan.

"Angki, kenapa kau begitu yakin tidak bisa menghadapi Ki Gagak Bulang?" Tanya Pandan Wangi lagi menyelak.

"Semua ilmu yang kumiliki berasal dari ayahku. Sedangkan ayahku kalah olehnya. Jadi, tidak mungkin aku bisa menandinginya, Kak Pandan."

"Tapi kau berhasil menewaskan kakaknya," kata Pandan Wangi lagi.

"Kepandaian yang dimiliki ki Rampak memang tidak terlalu tinggi. Dan kekuatannya hanya mengandalkan jumlah pengikutnya saja. Tidak sulit sebenarnya mengalahkannya. Tapi yang menjadi pikiranku adalah menghadapi Ki Gagak Bulang ini. Tingkat kepandaiannya masih jauh berada di atasku," kata Nini Angki berterus terang lagi.

Pandan Wangi melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk dekat di sebelah kanannya. Sedangkan yang dilirik hanya diam saja, lalu menghembuskan napas kuat-kuat

"Baiklah. Aku akan menghadapinya. Sedangkan kau dan Pandan Wangi membereskan pengikut-pengikutnya," kata Rangga.

“Tapi yang terpenting, kita pertemukan dulu Ki Sampar dengan istrinya, Kakang," selak Pandan Wangi.

"He he he...," Ki Sampar jadi terkekeh.

“Ayo, kita berangkat sekarang,” Ajak Rangga seraya bangkit berdiri. Mereka semua berdiri.

“Jauh tempatnya, Angki?” Tanya Pandan Wangi.

“Tidak,” Sahut Nini Angki. 

***
TUJUH
Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh Desa Tampuk. Kesunyian terasa begitu mencekam. Langit tampak menghitam kelam, terselimut awan yang menggumpal tebal. Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun bulan. Dan tak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumahnya. Begitu sunyinya malam ini, hingga detak langkah kaki Nini Angki yang begitu perlahan sampai terdengar di telinganya sendiri.

Gadis itu berjalan perlahan-lahan di dalam kegelapan malam. Pandangannya tertuju lurus ke arah sebuah rumah yang paling besar di Desa Tampuk ini. Rumah yang dulu di tempati bersama ayahnya, tapi sekarang di kuasai Ki Gagak Bulang, setelah kakaknya tewas di tangan si Perawan Pasungan ini. Ayunan langkah kakinya baru berhenti setelah sampai di depan pintu gerbang rumah yang paling besar di Desa Tampuk ini.

Sorot matanya begitu tajam mengamati keadaan sekitar rumah besar itu. Tak ada seorang pun terlihat, walaupun keadaannya cukup terang oleh nyala api pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut. Begitu sunyinya, hingga desir angin terasa jelas mengusik telinga.

"Hup!" Ringan sekali Nini Angki melompat naik ke atas tembok batu yang mengelilingi bekas rumahnya ini. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak bagian atas tembok itu. Tubuhnya langsung merunduk, berlindung dari bayang-bayang pohon. Sebentar matanya yang tajam mengawasi keadaan di dalam tembok pagar dari batu ini. Tak terlihat seorang pun. Begitu sepi, seakan-akan rumah ini sudah ditinggalkan begitu saja.

"Hm...," Nini Angki menggumam perlahan.

"Hup!" Kembali Nini Angki melompat turun dari atas tembok itu. Begitu ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara. Manis sekali gadis itu menjejakkan kakinya di tanah, kemudian kembali melesat ringan sambil memutar tubuhnya beberapa kali di udara. Hanya tiga kali lompatan saja, dia sudah mencapai bagian samping rumah yang berukuran sangat besar ini. Segera tubuhnya dirapatkan di dinding batu yang dingin dan sedikit berlumut ini.

Seperti seekor kucing, Nini Angki kembali melompat dan hinggap di atas atap. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup tinggi, gadis yang selama ini selalu disebut si Perawan Pasungan itu berlari-lari di atas atap. Tujuannya langsung ke bagian belakang. Dan begitu sampai di bagian belakang, cepat dia melompat turun. Gerakannya begitu ringan dan indah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja....

Wusss!
"Utfs!

Cepat-cepat Nini Angki memiringkan tubuhnya, begitu matanya menangkap sebatang anak panah meluruk deras ke arahnya. Panah itu lewat sedikit di samping tubuhnya dan langsung menancap di tiang yang terbuat dari kayu.

"He he he...!"
"Oh...?!"

Nini Angki jadi terbeliak, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh. Dan lebih terkejut lagi, saat bermunculan orang-orang yang menghunus senjata golok, kemudian disusul munculnya Ki Gagak Bulang. Sebentar saja Nini Angki sudah terkepung tidak kurang dari empat puluh orang, yang semuanya menggenggam golok terhunus.

"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti datang untuk membebaskan ayahmu, Angki," terasa dingin suara Ki Gagak Bulang, disertai tawanya yang terkekeh kering.

"Hm...," Nini Angki hanya menggumam kecil.

“Tapi tidak kukira kau akan datang sendiri, Angki Ke mana teman-temanmu..,? Atau mereka sudah meninggalkan mu?" sinis sekali nada suara Ki Gagak Bulang.

"Jangan banyak mulut." bentak Nini Angki lantang. "Bebaskan ayahku. Dan kau..., enyah dari sini!"

"Ha ha ha...!" Ki Gagak Bulang tertawa tergelak.

Sedangkan Nini Angki hanya mendengus geram. Begitu Ki Gagak Bulang menjejakkan ujung jarinya, seketika itu juga enam orang pemuda bersenjata golok langsung berlompatan menyerang Nini Angki. Golok-golok mereka berkelebat cepat, mengincar tubuh gadis cantik berbaju serba hitam ini.

"Hup! Hiyaaa...!"
Sret. Wuk!

Sambil melentingkan tubuhnya, Nini Angki langsung mencabut senjatanya berupa tongkat kayu pendek yang ujungnya runcing tajam. Secepat kilat tongkatnya dikebutkan menyampok sebilah golok yang melayang deras mengarah dadanya.

Trak!

Begitu golok bisa terhalau, cepat sekali Nini Angki memutar tongkatnya. Langsung tongkatnya dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat di leher pemuda itu. Begitu cepatnya serangannya, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi berkelit. Dan....

Cras! "Aaa...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar. Ujung tongkat kayu berukuran pendek telah merobek leher pemuda itu hingga hampir buntung. Darah langsung muncrat berhamburan, bersamaan dengan ambruknya tubuh pemuda itu.

"Hyyaaat..!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Nini Angki cepat melentingkan tubuhnya. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi kearah salah seorang pengeroyoknya. Begitu cepat tendangannya, sehingga lawannya tidak sempat lagi menghindar.

Begkh!
"Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Wuk!
Bret! Bret!

Kembali ujung tongkat Nini Angki yang berbentuk runcing, merobek tenggorokan lawannya. Kembali darah menyembur keluar deras sekali dari leher yang terkoyak lebar. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, sudah dua orang tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher terkoyak hampir buntung. Dan ini membuat Ki Gagak Bulang jadi geram setengah mati.

"Minggir...!" seru Ki Gagak Bulang lantang menggelegar. "Hiyaaa...!"

Begitu empat orang yang tersisa berlompatan mundur, bagaikan kilat laki-laki setengah baya berwajah kasar itu melompat langsung menyerang Nini Angki. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Ki Gagak Bulang, sehingga membuat Nini Angki jadi kelabakan menghindarinya.

"Heaaat..!" Nini Angki terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan kilat yang dilancarkan laki-laki setengah baya ini.

Memang sungguh dahsyat serangan-serangan yang dilancarkan Ki Gagak Bulang. Setiap kali pukulannya terlontar, menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat, disertai pancaran hawa panas yang sangat menyengat. Nini Angki cepat menyadari kalau pukulan-pukulan itu mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi. Dan wanita itu tidak ingin bertindak ayal-ayalan untuk memapak serangan itu, Tapi, tampaknya Ki Gagak Bulang tidak memberi kesempatan sedikit pun pada gadis ini untuk bisa membalas menyerang. Saat itu, jurus-jurusnya yang begitu dahsyat dan berbahaya langsung dikerahkan.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan pertarungan itu berlangsung semakin dahsyat saja. Begitu tinggi tingkatan ilmu yang dimiliki Ki Gagak Bulang, sehingga gerakan-gerakannya begitu sukar diikuti mata biasa. Dan kini, Nini Angki sudah kelihatan kewalahan menghadapinya. Dia hanya mampu berkelit dan menghindar, tanpa dapat lagi membalas serangan-serangan laki-laki setengah baya ini.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang begitu cepat ke arah dada gadis cantik berbaju serba hitam ini.

"Haiit..!"

Cepat-cepat Nini Angki berkelit menghindar dengan mengegoskan tubuhnya. Tapi belum juga bisa menyempurnakan kedudukan tubuhnya, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang sudah melepaskan satu tendangannya keras menggeledek, sambil memutar tubuhnya.

"Yeaaah...!"

Begitu cepatnya, tendangan itu, membuat Nini Angki jadi terbeliak. Dan wanita itu tidak mampu lagi menghindar, dalam keadaan tubuh yang tidak sempurna. Apalagi, dia baru saja menghindari satu pukulan keras menggeledek yang dilepaskan laki-laki setengah baya berwajah kasar ini. Hingga...

Des!
“Akh...!"
Bruk!

Keras sekali tendangan itu mendarat di dada, membuat Nini Angki terbanting keras ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri lagi. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, mendadak...

"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Aaakh...!"

Kembali Nini Angki terpental dan terbanting keras begitu satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi mendarat telak di dadanya. Tampaknya gadis itu seperti tidak mampu bangkit lagi dengan cepat Dia menggeliat sambil mengerang lirih. Tampak darah mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Memang keras sekali pukulan yang dilepaskan Ki Gagak Bulang yang mendarat telak di dada. Sehingga Nini Angki merasakan nafasnya jadi sesak.

“Tangkap dia!" seru Ki Gagak Bulang memberi perintah.

Nini Angki yang kelihatannya sudah tidak lagi berdaya, tiba-tiba saja melesat bangkit ketika dua orang pemuda hendak meringkusnya dengan kasar. Dan tanpa diduga sama sekali, dilepaskannya dua pukulan beruntun yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Akh!"
"Ugkh!"

Kedua pemuda itu hanya mampu memekik dan melenguh begitu pukulan Nini Angki mendarat telak di tubuhnya. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Nini Angki sudah cepat sekali mengebutkan tongkat kayunya yang sepanjang tiga jengkal. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut. Kemudian disusul oleh ambruknya dua orang pemuda yang tadi hendak meringkusnya dengan kasar. Darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal hampir buntung.

"Setan...!" desis Ki Gagak Bulang menggeram berang.

"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melesat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun ke arah gadis yang selama ini dikenal sebagai Perawan Pasungan. Tapi tanpa diduga sama sekali, Nini Angki ternyata masih memiliki sisa-sisa kekuatan yang tidak bisa dipandang enteng. Dengan gerakan-gerakan tubuh begitu manis dan lincah, serangan-serangan Ki Gagak Bulang berhasil dihindari.

"Hup! Hiyaaa...!”

Hingga pada satu kesempatan, Nini Angki melenting ke udara. Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang sudah melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Begitu cepatnya pukulan itu terlontar, sehingga Nini Angki tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, dia sedang berada di udara saat ini. Hingga....

Des! "Aaakh...!"

Kembali Nini Angki memekik keras, begitu pukulan Ki Gagak Bulang mendarat di tubuhnya. Dan begitu Nini Angki jatuh terguling, cepat sekali Ki Gagak Bulang memberi satu tendangan keras menggeledek. Dan akibatnya gadis itu terpental jauh. Keras sekali tubuhnya menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. Nini Angki hanya mampu merintih lirih sambil menggeliat. Saat itu juga, Ki Gagak Bulang melompat menghampiri. Dan....

Tukk!
"Ukh...!"

Nini Angki hanya bisa melenguh kecil, begitu satu totokan mendarat di lehernya. Dan seketika, tubuhnya jadi lemas tak berdaya lagi. Dia hanya mampu meringis menahan sakit dan sesak pada dadanya, saat merasakan satu tendangan keras kembali menghantam tubuhnya.

"Ringkus dia!" perintah Ki Gagak Bulang.

Dua orang pemuda bergegas menghampiri, dan langsung meringkus Nini Angki. Dengan kasar sekali Nini Angki dipaksa berdiri. Sementara itu, Ki Gagak Bulang melangkah menghampiri. Dan tiba-tiba saja....

Plak! "Akh!"

Nini Angki kembali terpekik, begitu satu tamparan keras mendarat di pipinya. Gadis itu langsung terkulai lemas. Begitu kerasnya tamparan itu, membuat Nini Angki merasa pening dan berkunang-kunang. Perlahan kemudian, pandangannya mulai mengabur, dan pendengarannya pun semakin berkurang. Lalu begitu satu pukulan bersarang di tengkuknya, gadis cantik itu langsung ambruk kembali ke tanah. Hanya sedikit saja dia mengerang dan menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

"Masukkan dia ke penjara bersama ayahnya," perintah Ki Gagak Bulang.

Dua orang pemuda langsung menyeret kasar gadis itu. Sementara Nini Angki benar-benar sudah tidak lagi bertenaga. Bahkan kesadarannya pun sudah lenyap. Dunia baginya saat ini begitu gelap. Nini Angki merasakan dirinya kini sudah mati dan sedang menuju ke Swargaloka. Dan tidak tahu lagi, apa yang terjadi pada dirinya. Dia juga tidak tahu, kalau dua orang pemuda telah membawanya masuk ke dalam penjara bawah tanah.

***

Sementara itu, di tengah hutan yang letaknya agak jauh dari Desa Tampuk, Rangga dan Pandan Wangi tengah kelabakan mencari Nini Angki yang menghilang begitu saja. Ki Sampar dan istrinya juga ikut mencari. Tapi, Nini Angki benar-benar tidak ada lagi. Entah pergi ke mana, tak ada seorang pun yang tahu.

"Apa dia tidak bilang apa-apa, Ki?" tanya Rangga.

“Tidak," sahut Ki Sampar.

“Tadi, katanya hanya ingin mencari angin sebentar. Tapi sampai sekarang belum juga kembali," ujar Nyai Suti.

"Kakang, apa mungkin dia pergi ke Desa Tampuk...?" selak Pandan Wangi, seperti bertanya pada diri sendiri.

"Edan...! Untuk apa dia ke sana sendiri...?" dengus Rangga.

"Anak itu memang keras wataknya, Den," ujar Nyai Suti. "Dia pasti memang pergi ke sana untuk membebaskan ayahnya."

"Iya. Tapi kenapa harus sendiri...? Bukankah dia sudah setuju untuk mengadakan serangan besok siang...?" desis Rangga jadi kesal.

"Mungkin dia sudah tidak sabar lagi, Den," kata Nyai masih membela Nini Angki.

"Hhh!" Rangga mendengus berat. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bergegas melangkah menghampiri kudanya. Pandan Wangi, Ki Sampar, dan istrinya bergegas mengikuti.

Sementara, Rangga sudah melompat naik ke punggung kudanya. Gerakannya begitu cepat dan ringan. Sedangkan Pandan Wangi baru saja sampai di samping kudanya. Gadis itu memegang tali kekang kuda putih ini. Sementara, Ki Sampar dan istrinya hanya berdiri saja di depan Rangga yang berada di punggung kuda hitam Dewa Bayu.

"Mau ke mana, Den?" Tanya Nyai Suti.

"Cari Nini Angki," sahut Rangga singkat.

"Ke mana?" Tanya Nyai Suti lagi.

"Mungkin ke Desa Tampuk," sahut Rangga lagi.

Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah duduk di punggung kudanya yang berbulu putih dan tegak. Sedangkan Ki Sampar dan istrinya hanya memandangi saja kedua pendekar muda itu bergantian.

"Pandan, kau pakai kudaku. Biar Ki Sampar dan Nyai Suti pakai kudamu," kata Rangga langsung melompat turun dari punggung kuda. Pandan Wangi juga segera melompat turun dari punggung kuda putihnya.

"Kau bisa naik kuda, Ki?" Tanya Rangga.

"Dulu waktu masih muda, aku sering naik kuda," sahut Ki Sampar.

"Pakailah kuda Pandan Wangi. Pelan-pelan saja." Kata Rangga.

"Kau sendiri.?"

Rangga hanya tersenyum saja. Sebentar Pendekar Rajawali sakti berbicara pada Pandan Wangi, kemudian menepuk pundak gadis yang berjuluk si Kipas Maut. Setelah mengatakan beberapa pesan pada Ki Sampar dan Nyai Suti, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melesat cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Sementara Pandan Wangi membantu Ki Sampar dan istrinya naik ke kuda putih miliknya. Sedangkan dia sendiri kemudian melompat naik ke punggung Dewa Bayu.

"Hrs...! Cek, cek...!"

Pandan Wangi sengaja menjalankan kuda pelan-pelan, mendampingi kuda yang ditunggangi Ki Sampar dan istrinya. Mereka jelas menuju Desa Tampuk, karena begitu yakin kalau Nini Angki pergi kesana untuk membebaskan ayahnya. Juga, untuk membalas dendam pada Ki Gagak Bulang. Dan ini yang dikhawatirkan.

***
DELAPAN
Malam masih menyelimuti permukaan bumi Desa Tampuk. Kesunyian masih terasa begitu mencekam. Tidak ada seorang pun terlihat berkeliaran di luar. Tapi di sekitar rumah besar yang hanya satu-satunya di desa itu, tampak dijaga ketat puluhan pemuda yang semuanya bersenjata golok terselip di pinggang. Saat itu, Rangga yang datang ke desa ini mempergunakan ilmu lari cepat yang dipadu ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, sudah sampai di depan rumah besar yang kini ditempati Ki Gagak Bulang.

Hanya sebentar saja Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dengan gerakan ringan sekali melesat langsung ke atas rumah. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat mendaratkan kakinya di alas atap rumah ini. Seperti seekor kucing, Rangga berlari-lari ringan menuju langsung ke bagian belakang. Dia tahu, penjara bawah tanah yang mengurung ayah Nini Angki adanya di bagian belakang. Dan hal itu diketahuinya dari Ki Sampar.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan saat melihat sekitar enam orang menjaga bangunan kecil dari batu. Pendekar Rajawali Sakti tahu, bangunan kecil dari batu itu merupakan pintu masuk ke dalam penjara. Beberapa saat diamatinya keadaan sekelilingnya. Begitu ketat penjagaannya. Kalau dia melakukan gerakan, pasti cepat bisa diketahui. Rangga terpaksa harus memutar otaknya, mencari jalan terbaik untuk membebaskan ayah Nini Angki dari dalam penjara bawah tanah.

Tapi Rangga juga jadi heran, karena sejak tadi tidak melihat Nini Angki di sini. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri. Entah kenapa, terselip rasa kecemasan yang tiba-tiba terhadap diri gadis itu. Dia khawatir, terjadi sesuatu pada Nini Angki. Karena dia tahu, gadis itu tidak akan mungkin bisa menandingi kepandaian Ki Gagak Bulang. Walaupun kepandaian yang dimiliki Nini Angki sudah cukup tinggi, tapi masih kalah beberapa tingkat bila dibanding Ki Gagak Bulang.

"Turunlah kau. Tidak baik menyelinap begitu di tengah malam....”

"Heh...?!" Rangga terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar suara menggema di telinganya. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di atas atap ini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya. Dialah Ki Gagak Bulang, adik kandung Ki Rampak. Saat itu, Rangga cepat berdiri.

"Sudah kuduga, kau pasti datang ke desa ini bukan hanya sekadar singgah, Anak Muda," ujar Ki Gagak Bulang dingin. "Mau apa kau menyelinap di rumahku?"

"Aku mencari seseorang," sahut Rangga kalem.

“Tidak ada yang bisa kau temukan di sini, Anak Muda."

“Tapi, aku yakin dia ada sini," tegas Rangga.

"Phuih!" Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya.

Sementara Rangga mengedarkan pandangannya ke bawah. Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga, begitu melihat sekeliling rumah ini sudah terkepung puluhan orang bersenjata golok. Dan rata-rata mereka masih berusia muda. Langsung disadari kalau kedatangannya memang sudah ditunggu. Dan dia juga yakin, Nini Angki pasti ada di sini. Diduga, gadis itu pasti sudah tertangkap. Rangga hanya bisa berharap tidak terjadi sesuatu pada Nini Angki.

"Anak muda! Kalau kau mencari Nini Angki, dia sudah mampus. Dan sebaiknya, jangan ikut campur dalam persoalan ini." Dingin sekali nada suara Ki Gagak Bulang.

"Boleh aku melihat jasadnya...?" Pinta Rangga tidak percaya.

"Kalau kau ingin lihat, pergi saja ke hutan sana. Dia sudah habis dimakan binatang liar!" dengus Ki Gagak Bulang.

Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumnya. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak percaya kalau Nini Angki sudah tewas. Dia tahu, kepandaian yang dimiliki gadis itu cukup tinggi, dan tidak mungkin bisa dikalahkan begitu saja.

"Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda. Aku tidak sudi lagi melihat mukamu di sini!" bentak Ki Gagak Bulang.

"Aku akan pergi bersama Nini Angki," sahut Rangga kalem. Namun terdengar tegas nada suaranya. "Di mana dia...?"

"Keparat...! Kau mencari penyakit, Bocah!" geram Ki Gagak Bulang mulai gusar.

"Di mana Nini Angki, Kisanak?" Desak Rangga.

"Dia sudah mampus!"

"Aku ingin jasadnya," Rangga terus mendesak.

"Setan....! Kau ingin mampus juga, heh...?"

Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumannya. Dan ini membuat Ki Gagak Bulang tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Sikap Rangga yang begitu tenang, dianggap meremehkan dirinya.

"Pisah kepalamu, Bocah! Hiyaaa,..!"

Tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang berseru nyaring. Lalu, bagaikan kilat dia melompat cepat sambil mencabut goloknya yang berwarna hitam pekat. Begitu cepat serangan yang dilakukannya, membuat Rangga jadi terhenyak sesaat.

"Haiiit..!"

Namun dengan gerakan manis sekali Pendekar Rajawali sakti berhasil mengelakkan tebasan golok hitam itu di lehernya. Dan cepat-cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, lalu secepat kilat pula tangan kanannya bergerak menyodok ke arah lambung.

"Utfs...!" Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget. Cepat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat mundur beberapa langkah, menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu menjejak atap rumah ini, secepat kilat Ki Gagak Bulang melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Goloknya yang berwarna hitam pekat langsung dikibaskan beberapa kali dan cepat sekali. Akibatnya, Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan begitu satu tendangan keras menggeledek di lepaskan laki-laki setengah baya itu, Rangga tidak dapat lagi berkelit menghindar. Cepat tangannya dihentakkan, menangkis tendangan sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu beradu keras.

Plak.
"Ikh! Hiyaaa...."
"Hup!"

Mereka sama-sama terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Rangga yang berada di tepi tidak dapat lagi menguasai keseimbangan. Tubuhnya langsung meluncur turun dengan deras sekali. Tapi sebelum mencapai tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...."

Saat itu juga, dua orang pemuda bersenjata golok sudah berlompatan cepat sambil membabatkan goloknya ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap! Yeaaah...."

Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat sekali gerakan kedua tangannya mengibas, sehingga dua orang pemuda yang menyerangnya tidak dapat lagi menghindari. Dan mereka jadi terpekik begitu kibasan tangan Rangga menghantam kepalanya, hingga pecah berantakan. Kedua pemuda itu langsung ambruk menggelepar tak bernyawa lagi. Darah berhamburan dari kepala yang pecah terkena kibasan tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Hup! Hiyaaa...!"

Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya, begitu melihat Ki Gagak Bulang sudah meluruk deras dari atas atap. Golok yang berwarna hitam itu langsung dibabatkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Utfs!" Hanya sedikit saja golok hitam itu lewat di atas kepala Rangga. Lalu, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, dari arah belakang sudah melompat dua orang sambil membabatkan goloknya cepat sekali.

"Haittt..!" Rangga cepat-cepat merunduk ke depan, dan secepat kilat menghentakkan kakinya ke belakang. Langsung ditendangnya dada salah seorang pembokongnya. Kemudian tubuhnya langsung diputar sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke arah seorang lagi. Jeritan-jeritan panjang terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang pemuda yang membokong Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Keparat..! Hiyaaat..!"

Sambil mendesis geram, Ki Gagak Bulang kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, beberapa orang pemuda ikut berlompatan mengeroyok pemuda berbaju rompi putih ini

"Hap! Hiyaaat..!"

Begitu cepat sekali gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga serangan-serangan yang datang dari segala penjuru itu tidak ada yang berhasil menyentuh tubuhnya. Bahkan pukulan-pukulan yang dilepaskan membuat para penyerangnya menjerit keras, dan berpentalan dengan nyawa melayang dari tubuh.

"Phuih...!" Rangga benar-benar geram setengah mati, menghadapi keroyokan yang begitu banyak. Bahkan ruang geraknya semakin menyempit saja. Dan dia juga sudah mulai sulit menghindari serangan-serangan yang datang cepat dan beruntun dari segala arah itu.

"Hup! Hiyaaa...!"

Dan begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi beberapa orang pengeroyoknya sudah berlompatan cepat mengejar. Tak ada lagi pilihan buat Rangga. Cepat-cepat pedang pusakanya yang tersimpan dalam warangka di punggung dicabut.

Cring!

Seketika itu juga, cahaya biru yang berkilau menyilaukan mata menyemburat terang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Beberapa orang yang mencoba mengejar Rangga di udara, langsung menutupi matanya dengan tangan. Mereka tidak sanggup menentang cahaya biru yang memancar dari pedang itu.

"Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat membabatkan pedangnya beberapa kali. Seketika itu juga jeritan-jeritan melengking dan menyayat terdengar saling sambut Tampak tubuh-tubuh yang terpenggal buntung berjatuhan ke tanah.

"Hap!" Manis sekali Rangga kembali mendarat, dan menjejakkan kakinya di tanah. Kali ini, tak ada seorang pun yang berani mendekat. Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedangnya di depan dada. Dengan pedang pusaka yang memancarkan cahaya biru berkilauan, membuat Pendekar Rajawali Sakti bagaikan dewa maut yang siap mencabut nyawa.

"Seraaang...!" seru Ki Gagak Bulang keras menggelegar.

"Hiyaaa...!"
“Yeaaah...!"

Kembali Rangga diserang dari segala jurusan. Namun dengan pedang pusaka berada di tangan, Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi mengalami kesulitan. Cahaya biru terang yang memancar dari pedang pusaka Rajawali Sakti berkelebatan begitu cepat, hingga bentuknya lenyap tak terlihat. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebatan menyambar orang-orang yang menyerangnya. Jeritan-jeritan menyayat terdengar saling susul. Setiap kali pedang itu bergerak berkelebat, satu dua orang langsung ambruk menggelepar tak bernyawa lagi. Dan pada saat itu, terdengar suara ringkikan kuda yang begitu keras.

"Hiyaaat..!"

“Pandan Wangi...," desis Rangga begitu melihat seorang gadis berbaju biru melompat cepat dari punggung kuda hitam.

Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung mengamuk dengan kipas bajanya di tangan kanan. Hanya beberapa gebrakan saja, Pandan Wangi sudah menewaskan beberapa orang. Jeritan-jeritan yang melengking dan menyayat semakin se-ring terdengar dengan datangnya Pandan Wangi. Dan gempuran anak buah Ki Gagak Bulang jadi tidak terarah lagi.

Saat itu juga, terdengar teriakan-teriakan keras dari bagian depan rumah besar ini. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat orang-orang berlarian sambil mengacungkan senjata dari berbagai macam bentuk. Rangga jadi terhenyak kaget, tidak menyangka kalau para penduduk Desa Tampuk begitu cepat berdatangan. Bahkan mereka langsung terjun ke dalam kancah pertarungan ini. Keadaan pun semakin tidak karuan saja. Jeritan-jeritan melengking dan menyayat mengantar kematian semakin sering terdengar, bercampur baur suara denting senjata beradu.

"Hup!" Rangga cepat melompat begitu melihat ki Gagak Bulang melesat hendak meninggalkan kancah pertarungan. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah berhasil menyusul Ki Gagak Bulang. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat menghadang di depan laki-laki setengah baya ini

"Kau tidak bisa pergi dariku, Ki Gagak Bulang," desis Rangga dingin.

"Keparat..! Phuih!" dengus Ki Gagak Bulang sambil menyemburkan ludahnya dengan geram.

Cepat laka-laki setengah baya itu melintangkan goloknya yang berwarna hitam ke depan dada. Sementara, Rangga menjulurkan pedangnya lurus ke depan. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat pandangan Ki Gagak Bulang jadi terganggu.

"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melompat sambil, membabatkan goloknya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Namun, Rangga tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Dan begitu golok hitam itu sudah dekat cepat sekali pedangnya dikebutkan untuk menyampok golok hitam itu.

"Yeaaah...!"
Tring! Trak!
"Heh...?!"

Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget setengah mati. Dia tidak dapat lagi menarik pulang senjatanya, hingga beradu keras dengan pedang pusaka Rajawali Sakti. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat goloknya ternyata terpotong menjadi dua bagian.

"Yeaaah...!" Belum Juga hilang rasa terkejutnya, Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Gagak Bulang tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Begkh! "Akh...!"

Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Rangga, membuat tubuh Ki Gagak Bulang terbanting keras ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan. Darah langsung menyembur keluar dari mulutnya, begitu mencoba bangkit berdiri. Sementara, Rangga sudah kembali bergerak mendekati.

Tiba-tiba saja ki Gagak Bulang mengibaskan cepat tangan kanannya. Seketika itu juga, terlihat beberapa benda berwarna keperakan melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu cepat pula Rangga memutar pedangnya. Hingga, senjata-senjata rahasia itu rontok sebelum mencapai tubuhnya.

"Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat begitu melihat Ki Gagak Bulang mencoba melarikan diri. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher laki-laki setengah baya ini. Hingga...

Cras!
"Aaa...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat. Tampak Ki Gagak Bulang berdiri tegak mematung, tapi tak berapa lama kemudian tubuhnya jadi limbung. Dan tepat pada saat Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka, terlihat Ki Gagak Bulang ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung menyemburat keluar deras sekali dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.

"Hhh!" Rangga menghempaskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya perlahan, begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri. Tampak Pandan Wangi melangkah cepat menghampiri.

Sementara, pertarungan antara orang-orang Ki Gagak Bulang melawan penduduk desa Tampuk pun sudah berakhir. Di bawah pimpinan Ki Sampar, mereka beramai-ramai mencoba menghancurkan pintu penjara bawah tanah untuk membebaskan Nini Angki dan ayahnya, yang dikurung di sana.

"Mereka tahu, Nini Angki berada di sana bersama ayahnya, Kakang,” kata Pandan Wangi memberi tahu, sebelum Rangga bertanya.

Tampak Ki Sampar dan beberapa orang menerobos masuk begitu pintu berhasil dibongkar paksa. Tak berapa lama kemudian, mereka keluar lagi bersama Nini Angki dan seorang laki-laki tua bertubuh kurus yang keadaannya begitu lemah.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga.

"Tidak tunggu mereka dulu, Kakang?" Tanya Pandan Wangi.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja, kemudian melangkah menghampiri kudanya. Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Tak berapa lama kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah melesat pergi, sebelum ada seorang pun yang tahu.

TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
PENYAMARAN RADEN SANJAYA