Roro Centil 15 - Langkah-langkah Manusia Beracun(2)





DELAPAN

Tiga-hari tiga malam telah dilewati Adhinata
yang mendekam di dasar sumur... Selama itu tak ada
lain pekerjaan Adhinata selain menghitung-hitung jari-
jari tangan dan kakinya. Atau mencabuti bulu-bulu
yang tumbuh di badannya. Kalau sudah bosan dengan
"pekerjaan" itu tak ada lagi keisengan lain selain ma-
kan lumut. Dan kalau perutnya sudah kenyang terisi,
hawa mengantuk pun datang. Tidurlah dia dengan
menggeros. Demikianlah nasib Adhinata selama terku-
rung di dasar sumur. Tak terasa haripun kembali men-
jadi gelap lagi. Datangnya malam ternyata begitu cepat,
karena bila hawa dingin menyelimuti sekitar lubang
Adhinata cuma bisa menggigil kedinginan. Untunglah
ingatannya mulai agak pulih, dan dia dapat segera sa-
lurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya untuk men-
gusir hawa dingin yang menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak perduli lagi akan
nasibnya. Bahkan sudah tak ingat lagi berapa hari su-
dah dia bersemayam di dasar sumur itu. Pada hari ke-
sembilan pemuda ini kerutkan  keningnya, karena
mendengar suara jeritan kaget dari atas lubang. Dan
bersamaan itu batu-batu kecil berjatuhan meluruk
atas kepala. Alangkah terkejutnya Adhinata ketika
menengadah ke atas, melihat sesosok tubuh melayang
ke bawah.
"Haaii...! ada orang terperosok ke lubang sialan
ini...!" Sentaknya kaget. Tak ayal dia sudah bangkit
berdiri. Dan.... tentu saja lengannya dengan cepat se-
gera terentang untuk selanjutnya sudah menangkap
tubuh orang yang jatuh terperosok itu.
KREP...! Sekejap kemudian sosok tubuh itu su-
dah berada dalam rengkuhan sepasang tangannya

yang kuat. Orang itu perdengarkan suara keluhan li-
rih. Segera saja Adhinata sudah dapat menduga kalau
sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Karena terasa
ada dua buah benda lunak yang menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini aku punya seorang
teman...!" Berdesis mulut Adhinata dengan sepasang
matanya membeliak lebar memperhatikan wajah
orang. Akan tetapi tiba-tiba wajah Adhinata berubah
pucat. "Celaka...! aku tak boleh menyentuhnya!" desis-
nya kaget. Dan serta-merta Adhinata melepaskan pon-
dongannya. Tubuh wanita itu jatuh berdebam ke tanah
lembab. Dan Adhinata melompat ke sisi lubang.
Jantungnya berdetak keras. Sepasang matanya
memperhatikan tubuh wanita itu dengan cemas.
Segera terbayang akan apa yang bakal terjadi.
Tak lama lagi di tempat itu akan ada sesosok mayat
yang daging tubuhnya mencair, menimbulkan bau bu-
suk. Ooh, alangkah tidak menyenangkan...! Akan teta-
pi ditunggu sekian lama tak ada terjadi apa-apa den-
gan wanita itu. Bahkan si wanita itu sendiri sudah
membuka sepasang matanya. Dan menggeliat untuk
bangkit berduduk. Sepasang matanya menatap pada
Adhinata dengan tatapan heran. Bibirnya tampak ter-
getar berucap.
"Ah... siapakah.. anda...?"
"Heh? kau tak apa-apa...? Aneh...! Tubuhku
mengandung racun! aku... aku telah menyentuh mu...!
Sukurlah kau tak apa-apa...! Namaku Adhinata!" Tu-
kas Adhinata dengan wajah gerang melihat wanita itu
tak terkena racun. Hal itu amat mengherankan Adhi-
nata. Hingga terlongong Adhinata menatap wanita itu
yang tak lain dari Giri Mayang adanya. Entah apa yang
terjadi hingga wanita telegas itu bisa jatuh terperosok
ke dalam lubang. Giri Mayang sendiri pun terlongong
keheranan, karena tak menyangka dirinya masih hi-

dup. Dia memang dalam keadaan tanpa daksa. Bebe-
rapa luka ditubuhnya akibat serangan Roro Centil
dengan batu kerikil, telah mematikan beberapa urat ja-
lan darah di tubuhnya.
Dia memang berhasil meloloskan diri dari maut
karena Roro tak mengejar. Bahkan tak memperdulikan
lagi pada Wanita itu. Padahal Giri Mayang masih be-
lum beberapa jauh, karena tak dapat berlari cepat.
Bergelindingan tubuh Giri Mayang dengan luka-luka
pada tubuhnya. Namun dia masih bisa bangkit untuk
berlari dan berlari... Kembali kakinya tersaruk, dan dia
jatuh terguling. Kali ini dia tak dapat bangkit lagi. Se-
luruh urat darahnya terasa ngilu. Dan mengeluhlah
dia panjang pendek.
Untunglah Roro Centil tak menampakkan diri.
Namun begitu takutnya Giri Mayang, hingga dia sem-
bunyi dibalik sebongkah batu. Demikianlah. Berhari-
hari dia harus menahan lapar karena tubuhnya tak
dapat digerakkan sama sekali. Luka-luka kecil pada
sekujur tubuhnya mulai membengkak. Merintih dia
menahan sakit. Akhirnya dengan kuatkan diri dia me-
rangkak untuk mencari makanan yang bisa dimakan.
Sekitar tempat itu amat gersang. Cuma batu-batu me-
lulu yang terlihat. Susah payah dia mendaki lereng-
lereng berbatu terjal itu dengan setengah menangis.
Siang hari yang panas terik itu dia telah hampir
tiba di ujung bukit batu. Beberapa tombak lagi sudah
terlihat hutan dengan pepohonan yang menghijau. Dia
mengharapkan akan menjumpai sebuah desa. Atau
seorang penduduk desa yang lewat. Dan akan selamat-
lah dia dari penderitaan. Akan tetapi sungguh tragis.
Di saat dia sudah berjuang setengah mati, justru bera-
kibat fatal. Akar pohon beringin yang di raihnya telah
terlepas karena kakinya tergelincir. Dan... menggelin-
dinglah tubuhnya ke bawah tebing. Sungguh sukar
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

disangka kalau ternyata Giri Mayang telah terjerumus
masuk ke sumur dimana Adhinata berada di dasarnya.
Itulah peristiwa yang telah dialami wanita itu.....
"Ah ... terima kasih atas pertolonganmu...!"
Berkata Giri Mayang dengan wajah menampilkan kegi-
rangan luar biasa mendapati dirinya masih dapat se-
lamat dari maut untuk yang kesekian kalinya.
"Tampaknya kau terluka, kulihat banyak bekas
darah sekujur tubuhmu...!"Berkata Adhinata dengan
menjalari sekujur tubuh wanita itu dengan pandangan
matanya.
"Benar...!" sahut Giri Mayang." Akan tetapi lu-
ka-luka ini bukan bekas aku jatuh menggelinding, me-
lainkan aku diserang musuh besarku!" sambungnya li-
rih. Adhinata kerutkan lagi alisnya.
"Siapa musuh besarmu...?" Tanya Adhinata.
Pertanyaan itu membuat wajah Giri Mayang jadi beru-
bah seketika. Sepasang matanya memancarkan cahaya
dendam yang berapi-api. Bibirnya tergetar mengucap-
kan kata-kata... "Dialah yang bernama Roro Centil.
Wanita iblis itu telah menyiksaku setengah mati. Heh!
kelak aku akan membalasnya perlakuan kejinya!" Se-
mentara Adhinata diam-diam mulai memperhatikan
wajah wanita itu yang menurut pandangannya cukup
cantik. Dan hatinya ternyata telah tertarik padanya.
"Musuh besarmu itu kalau aku bisa keluar dari
dalam sumur celaka ini pasti aku lumatkan tubuhnya!
siapakah namamu, nona...?" Bertanya Adhinata. "Na-
maku Giri Mayang. Dan kau... mengapa bisa berada
didalam sumur ini?" Tanya pula Giri Mayang setelah
menjawab pertanyaan Adhinata. Hahaha... nasibku
sama seperti nasibmu. Aku pun Jatuh terperosok ke
dalam sumur celaka ini karena dikejar orang!" jawab
Adhinata.
"Dikejar orang? Apakah kesalahanmu?"

"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat.
Apapun benda bernyawa yang ku sentuh pasti menga-
lami keracunan hebat, dan... mati! Itulah sebabnya
aku terperosok ke dalam lubang celaka ini, karena
menghindari buruan dari manusia-manusia yang
membunuhku! Dan yang mengejarku waktu itu adalah
si perempuan bernama Roro  Centil, yang khabarnya
adalah seorang Pendekar Wanita yang berilmu tinggi!".
Tutur Adhinata. Tercenung Giri Mayang dengan mena-
tap heran. Mengapa nasib mereka bisa hampir bersa-
maan? Pikir Giri Mayang. Mendengar penuturan bah-
wa tubuh pemuda itu mengandung racun yang amat
hebat, justru membuat dia bertanya.
"Kau katakan tubuhmu mengandung racun,
mengapa kau telah menyentuh ku aku mengalami ke-
racunan apa-apa?"
"Itulah anehnya...!I aku sendiri juga heran. Pa-
dahal aku sudah menduga kau pasti tewas! Bahkan si
RIRIWA BODAS musuh guruku si Raja Racun telah
tewas karena beradu pukulan dengan denganku!" Ber-
kata Adhinata. Sekonyong-konyong ingat akan hal itu.
Padahal Adhinata sebelumnya ingat sama sekali.
"Ha...? Jadi kaukah yang telah membuat kema-
tian Ririwa Bodas?" Tanya Giri Mayang dengan tersen-
tak kaget.
"Hahaha... benar! bahkan si Raja Racun sendiri
yang telah ku angkat sebagai guru baruku juga tewas
karena terkena racun tubuhku...!" Melengak Giri
Mayang. Tahulah kini dia kalau sebenarnya Adhinata
Adalah orang yang  pernah disebut gurunya, yaitu si
Ririwa Bodas untuk bertarung mengadu kesaktian
dengannya. Dan sang guru sendiri juga akan menga-
dakan pertarungan mengadu kesaktian dengan si Raja
Racun itu. Tak dinyana Giri Mayang tak mengetahui
lagi nasib sang guru. Karena belum waktunya tiba saat

perjanjian pertarungan mengadu kesaktian, Giri
Mayang telah kena dipecundangi Roro Centil.
Giri Mayang memang segera kembali untuk
menjumpai gurunya. Namun goa tempat tinggal sang
guru telah runtuh teruruk, entah akibat gempa entah
dihancurkan orang. Tak diketahuinya lagi kemana le-
nyapnya sang guru. Namun akhirnya dijumpainya juga
mayat si Ririwa Bodas yang segera dikenali olehnya.
Akan tetapi sudah dalam keadaan hampir tinggal tu-
lang belulang. Cuma dari ruas tulang dan sepasang tu-
lang kaki yang amat besar itulah menguatkan dugaan-
nya kalau kerangka dengan daging membusuk itu ada-
lah kerangka mayat si Ririwa Bodas.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya Giri
Mayang selalu berhasil mencari pengganti guru. Si Ri-
riwa Bodas itu entah gurunya yang ke berapa. Akan te-
tapi kesemuanya itu dibunuh mati olehnya setelah
mendapatkan ilmu, tentu sang guru tewas dibunuh
orang. Karena hampir rata-rata guru yang menjadi pi-
lihannya adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Sukar diduga kalau ternyata kedua orang mu-
rid dari dua tokoh golongan hitam itu bisa bertemu.
Dan kejadian ini terjadi kelak akan membuat gempar-
nya dunia persilatan. Dan gegernya wilayah Kota Raja.
Karena beberapa bulan kemudian....
"Suamiku Adhinata...! kita akan Jadi sepasang
manusia yang ditakuti dan berkuasa di Rimba Hijau!
Bagaimana kalau kita merebut sebuah Kerajaan kecil
dipantai pesisir Pulau Jawa. Setelah puas kita berse-
nang-senang, segera kita rebut kerajaan lainnya satu
persatu. Wilayah kerajaan kita akan menjadi semakin
besar dan luas! Hihihi... dengan kehebatan racun yang
berada di tubuhmu, dengan mudah kita akan menum-
pas siapa saja yang tak kita ingini, termasuk si Roro
Centil itu! Bahkan masih banyak lagi kaum pendekar

golongan putih musuh-musuh kita yang harus kita
tumpas sampai tuntas! Dan... selama itu aku akan te-
tap setia di sampingmu...!" Berkata Giri Mayang. Wani-
ta ini duduk di atas punggung kuda yang tetap, kekar
berkulit coklat kehitaman. Pakaiannya dari kain sutera
yang mahal dengan bermacam perhiasan tergerai di
leher, lengan dan kaki. Tiga buah tusuk konde emas
terselip digelung rambutnya. Tak ubahnya Giri Mayang
bagaikan istri seorang bangsawan kaya raya. Atau bisa
pula mirip seorang permaisuri sebuah Kerajaan. Se-
mentara Adhinata berpakaian warna abu-abu dengan
ikat pinggang emas. Sebuah keris terselip di belakang
punggungnya. Ikat kepalanya bersulamkan benang
emas yang gemerlapan. Pada Ikat pinggangnya tergan-
tung sebuah buntalan kecil yang sudah dapat diduga
berisi uang emas dan perhiasan.

—~oOo~—~

SEMBILAN

ADHINATA berjalan pelahan menuntun kuda
yang dinaiki Giri Mayang. Tak ubahnya bagaikan seo-
rang anak bangsawan yang menuntun kuda seorang
putri Raja. Sedangkan di  belakangnya adalah sebuah
rumah gedung milik seorang pembesar kerajaan yang
sudah dalam keadaan porak poranda. Puluhan mayat
bergelimpangan dengan keadaan mengerikan. Karena
hampir setiap mayat tak ada yang bertubuh utuh.
Masing-masing sudah mirip tengkorak, dengan daging
membusuk yang menimbulkan bau tak sedap.
"Apapun yang kau ingini pasti akan aku kabul-
kan, isteriku...! Apakah kau tak berhasrat menempati
gedung Pembesar Kerajaan ini...?"

"Heh! aku sudah bosan berdiam di wilayah ini.
Bukankah kita ini Pengantin baru? Aku ingin berbulan
madu di tempat yang tenang. Kejadian ini pasti akan
menggemparkan wilayah Kota Raja. Dengan demikian
apakah kita bisa mendapat ketenangan?" Tukas Giri
Mayang.
"Hahaha... kau benar istriku! marilah kita cepat
tinggalkan tempat ini. Kulihat cuaca sudah
hampir gelap!" Berkata Adhinata. Lalu melompat ke
atas punggung kuda di belakang Giri Mayang. Sebelum
keprak kudanya, pemuda ini peluk dulu tubuh "is-
tri"nya dengan mesra. Bahkan menciumnya dengan
gairah.
"Hihihi... sudahlah, suamiku...! mari kita be-
rangkat!" Berkata Giri Mayang dengan suara lirih Ad-
hinata mengangguk. Dan.....sesaat kemudian seekor
kuda dengan dua orang penunggangnya telah men-
congklang lari dengan pesat meninggalkan tempat itu.
Sementara dilangit cuaca mulai semakin gelap. Awan
hitam menyebar ke arah barat dengan hembusan an-
gin cukup kencang. Kuda dengan dua penunggang itu
semakin menjauh. Dan akhirnya lenyap dibalik tikun-
gan jalan menuju kesatu rumput sisi hutan......

-oOo-

Tiga orang prajurit tampak berlari-lari mema-
suki pintu gerbang Istana. Empat orang Kepala Pen-
gawal segera menyongsongnya. Mereka baru saja mau
berangkat menjalankan tugas, dengan beberapa belas
prajurit yang telah disiapkan. "Hai ....!? apa yang telah
terjadi? cepat katakan!" Salah seorang prajurit  segera
bicara dengan tanggap keterangan tergagap.
"Celaka...! gedung gusti telah kemasukan sepa-
sang perampok! Mereka telah membunuhi prajurit. En-

tah bagaimana nasib gusti Patih sendiri hamba tak
mengetahui...!" Ujarnya, lalu lanjutkan laporannya.
"Pembunuhan itu seram sekali! pu... puluhan prajurit
dan rakyat sekitar yang turut menempur kedua pe-
rampok itu telah mati keracunan...!" Ketiganya adalah
prajurit-prajurit dari gedung kepatihan yang masih
tinggal hidup dan sempat meloloskan diri dari maut.
Terbelalak empat pasang mata ke empat kepala
pengawal itu. Segera hampir berbareng mereka berkata
tertahan.
"Manusia Beracun...!" sentak mereka kaget. Ce-
laka...! manusia itu telah muncul lagi! kita terlambat
mengetahui!" Berkata salah seorang dengan wajah pu-
cat.
"Cepat beri laporan pada gusti Senapati...!" pe-
rintah seorang kepala pengawal pada anak buahnya.
Segera salah seorang prajurit berlari memasuki ruang
pendopo. Akan tetapi justru Senapati Kerta Bum! telah
muncul di pintu pendopo Istana.
"MANUSIA BERACUN itu telah muncul, gusti
Senapati...!" lapor prajurit itu. Lalu laporkan apa yang
di dengar tadi. Laporan  singkat itu membuat wajah
Senapati Kerta Bumi berubah pucat.
"Bagaimana nasib Ki  patih!?" tanya Senapati
Kerta Bumi.
"Entahlah, menurut yang kami dengar belum
diketahui nasibnya...! sahut prajurit itu. Ke empat ke-
pala pengawal segera datang menyusul untuk  meng-
hadap.
"Benarkah laporan yang kudengar bahwa si
Manusia Beracun membantai prajurit di Kepatihan?"
Tanya Senapati Kerta Bumi.
"Benar sekali gusti Senapati, cuma tiga orang
prajurit itu yang berhasil meloloskan diri. Si manusia
beracun itu bersama seorang wanita. Mereka meram-

pok dan membunuhi para pengawal...!" tutur salah
seorang kepala pengawal. Senapati Kerta Bumi segera
perintahkan ketiga prajurit kepatihan itu untuk meng-
hadap dan melapor sekalian pada Baginda Raja. Dari
keterangan ketiga prajurit itu segera diketahui siapa
adanya wanita pendamping si manusia beracun. Yaitu
Giri Mayang. Karena mereka telah mengenali wanita
itu, yang pernah membuat heboh dengan ular-ular si-
luman ciptaan gurunya membunuh habis keluarga
Adhipati Banjaran.
Tercenung Senapati Kerta Bumi. Ada perasaan
ngeri juga di hatinya. Akan tetapi dia segera perintah-
kan empat kepala pengawal yang baru diangkat belum
lama itu untuk segera membagi tugas menyelidiki,
menguntit kemana kepergiannya si Manusia Beracun.
Empat kepala Pengawal segera membagi tugas
pada kelompok prajuritnya. Lalu bergegas menuju ke
wilayah gedung Kepatihan yang terletak di sebelah ti-
mur Kota Raja. Pengejaran untuk menyelidiki kemana
perginya si Manusia Beracun ternyata mengalami ke-
gagalan. Karena si manusia beracun sudah lenyap me-
ninggalkan wilayah itu. Tak seorangpun menemukan
jejaknya. Kejadian mengerikan itu telah membuat
Senapati Kerajaan Sunda Kelapa itu merobah
keputusan untuk menumpas si Manusia Beracun,
yang sudah jelas diperalat oleh Giri Mayang, si wanita
yang masih menjadi buronan Kerajaan. Ratusan laskar
telah disebar ke segenap penjuru wilayah Kerajaan
Sunda Kelapa. Demikianlah kekalutan yang melanda
di wilayah kerajaan itu. Ternyata ki Patih Lengser She-
ta telah tewas berikut seluruh keluarganya, yang dida-
pati para prajurit penyelidik di dalam kamarnya...
Kejadian ini hampir mirip dengan kematian Ad-
hipati Banjaran yang tewas oleh ular-ular siluman. Be-
danya kini si Manusia Beracun itulah yang membuat

mayat-mayat bergelimpangan, dan membunuh habis
keluarga  Patih Kerajaan Sunda Kalapa. Hujan turun
yang turun rintik-rintik membuat suasana di halaman
gedung Kepatihan tampak semakin seram juga meng-
harukan..........
Tak seorang pun dari para petugas Kerajaan
yang berani menyentuh mayat yang berkaparan itu.
Dan akhirnya mereka menyingkir dari gedung Kepati-
han karena datangnya malam yang gelap gulita mem-
buat mereka ngeri untuk berjaga di sekitar gedung itu.

--000--

DUA HARI KEMUDIAN.

Menjelang Pagi, di sebuah jalan desa...
Matahari baru saja merayap naik ke ujung bu-
kit ketika seekor kuda dengan dua penunggangnya se-
pasang sejoli yang mirip orang-orang bangsawan itu
melintasi jalan desa.
"Kita akan terus kemana, istriku...?" Bertanya
Adhinata. Sepasang lengannya memeluk pinggang Giri
Mayang. Duduk berdua di punggung kuda dengan se-
panjang jalan bermesraan begitu saja tentu saja men-
gundang perhatian orang. Bahkan tiga anak kecil yang
tengah bermain segera hentikan permainannya untuk
menatap pada mereka.
"Kita sudah berada di  wilayah tenggara. Desa
ini tampaknya tenang dan damai. Bagaimana kalau ki-
ta berbulan madu di desa ini saja...?"
"Aha, boleh juga! Tapi kita harus bersikap baik
pada mereka...!"
"Bagus! saat ini kita memang kita membutuh-
kan ketentraman. Usulmu baik sekali. Hihihi... siapa
tahu kau jadi kepala  desa di sini!" Ucap Giri Mayang

dengan suara berbisik. Sementara sepasang matanya
menatap pada ketiga bocah yang tengah menatap me-
reka. Giri Mayang gerakkan lengannya menggapai.
"Hei, anak-anak manis kemarilah!" panggilnya. Takut-
takut salah seorang anak menghampiri. "Bagus! siapa
namamu...?" tanya Giri Mayang.
"Namaku...ng... Masiro..." sahut bocah itu den-
gan lugu.
"Kau tahu apakah nama desa ini...?"
"Desa Tembiling...!" Sahut anak itu.
"Aha...! bagus! coba tunjukkan yang manakah
rumah kepala desa..?" Tanya pula Giri Mayang.
"Kepala desa belum lama meninggal, itulah ru-
mahnya!" Sahut anak itu seraya menunjuk pada se-
buah rumah panggung yang cukup besar berhalaman
bersih. Tentu saja membuat Giri Mayang Jadi melen-
gak. "Kebetulan sekali...!" Desisnya perlahan pada Ad-
hinata. Adhinata mengangguk-angguk dengan terse-
nyum lebar. Girang sekali Giri Mayang, segera lengan-
nya merogoh saku bajunya. Dan..
"Hihihi... terimalah ini, persenan untukmu!"
ujarnya seraya berikan sekeping uang perak. Akan te-
tapi anak ini tampaknya takut untuk menerima.
"Hai, terimalah...! Ujar Giri Mayang lagi. Baru-
lah bocah itu mau menerimanya. Lalu Giri Mayang ga-
paikan lengannya pada dua bocah lainya yang masih
berdiri terlongong. Bergegas kedua anak kecil itu men-
datangi. Dan Giri Mayang pun berikan pula pada ke-
dua bocah itu masing-masing sekeping uang perak.
Tentu saja ketiga bocah itu girang nya bukan main,
hingga tak sempat mengucapkan terima kasih segera
menghambur lari dengan teriakan girang. Tersenyum
Giri Mayang dan Adhinata dengan berpandangan. Tak
lama Giri Mayang sudah menjalankan kudanya untuk
mendatangi rumah Kepala Desa itu.

Setelah bercakap-cakap dengan seorang wanita
yang ternyata adalah janda Kepala Desa Tembilang,
tampak kedua sejoli itu beranjak masuk ke rumah
panggung. Tentu saja mereka mendapat penyambutan
luar biasa sebagai "tetamu terhormat" istri mendiang
Kepala Desa Tembilang itu. Tak memakan waktu lama
penduduk bermunculan mengerumuni ketiga bocah
tadi.
"Baik sekali nona Cantik itu, kami diberinya
masing-masing sekeping uang...!" Berkata Masiro den-
gan bangga, dan menujukkan kepingan uang perak di-
telapak tangannya. Tentu saja membuat mereka terke-
jut, karena sekeping uang perak itu nilainya bukan se-
dikit. "Ah, bangsawan dari manakah yang singgah ke
desa kita? berkata salah seorang. "Entahlah tapi desa
kita tampaknya bakal mengalami keberuntungan den-
gan  kedatangan suami istri bangsawan itu. Mereka
seorang yang dermawan...!" Ujar seorang kakek yang
memegangi lengan salah seorang bocah tadi. Ternyata
bocah itu cucunya.

—~oOo~—~

SEPULUH

Dengan menunjukkan sikap kedermawanan-
nya, Giri Mayang berhasil menaruh simpati penduduk.
Bahkan rumah kepala desa itu telah dibelinya. Di
bayarnya dengan harga mahal untuk ditempati sejoli
itu. Tentu saja istri mendiang si Kepala Desa itu tak
dapat menolak, bahkan merasa suka-cita. Karena dia
memang amat memerlukan biaya untuk menghidupi
anak dan keluarganya. Dengan uang itu dia bisa mem-
bangun rumah lagi sisanya bisa dibelikan kebun. De-

mikianlah, Giri Mayang dan Adhinata menempati ru-
mah bekas Kepala Desa itu yang telah dibelinya. Bebe-
rapa pembantu ditempatkan pada rumah itu untuk
melayani keperluannya.
Rasa simpati penduduk akhirnya telah menim-
bulkan kesepakatan para tetua desa Tembilang untuk
mengangkat Adhinata sebagai Kepala Desa pengganti
Kepala Desa lama yang telah meninggal. Mereka be-
ranggapan apa salahnya jabatan itu diberikan pada
bangsawan muda itu, karena toh mereka telah mene-
tap di desa mereka.
Tanpa banyak liku-liku Adhinata ditetapkan
sebagai pengganti Kepala Desa Tembilang. Tentu saja
Adhinata  tak menolak, dan dengan basa-basi yang
menarik hati seolah terpaksa menerima pengangkatan
itu secara terpaksa, Adhinata berujar, "Sebenarnya tak
ada niatku untuk menjabat Kepala Desa disini, tapi
karena kalian berkehendak agar desa ini ada pemim-
pinnya, terpaksa aku tak dapat menolak keinginan ka-
lian...!" Ucap Adhinata, yang segera diiringi dengan te-
pukan riuh. Dan tetua-tetua desa memberikan ucapan
selamat dengan menyalami sang Kepala Desa baru me-
reka. Begitu juga Giri Mayang yang mendapat jabatan
tangan dari semua penduduk desa Tembilang sebagai
istri dari Kepala Desa muda itu.
Kegembiraan rakyat desa Tembilang ternyata di
iringi bermacam upacara adat yang disaksikan sang
Kepala Desa baru itu bersama istrinya. Menjelang sen-
ja upacara itu usailah sudah. Para penduduk tampak
puas dapat menyuguhkan upacara pengangkatan Ke-
pala Desa mereka dengan amat meriah. Selesai dengan
semua itu, Giri Mayang meraih tangan Adhinata untuk
segera dituntun masuk ke dalam kamar yang telah di-
atur rapi oleh pembantu rumah. Lega sekali perasaan
Giri Mayang, karena begitu pintu kamar ditutup rapat

segera dia sudah memeluk Adhinata erat-erat.
"Selamat...! selamat, tuan ku Kepala Desa...
ucap Giri Mayang dengan gembira. "Ahaai... akhirnya
kita bisa tinggal di desa ini dengan tentram dan bulan
madu kita akan terasa bahagia sekali..."
"Benar istriku...! kini kau telah jadi istri seo-
rang Kepala Desa Tembilang! hahaha...!" Berkata Ad-
hinata seraya pondong tubuh Giri Mayang ke tempat
tidur...
Ketika sang malam merayap, lengan Giri
Mayangpun merayap pula menyingkirkan sesuatu
yang menghalangi tubuh Adhinata. Sementara dia
sendiri sudah tanggalkan pula pakaian mahalnya un-
tuk berganti dengan selimut. Ketika "selimut" hangat
itu meneduhi tubuhnya, wanita "bangsawan" itu pun
perdengarkan keluhan nikmat. Terasa sekali baha-
gianya jadi istri seorang Kepala Desa. Terasa sekali ba-
hagianya berbulan madu di desa Tembilang yang ten-
tram itu. Terkadang terpikir juga dibenak Giri Mayang,
alangkah bahagianya jadi orang baik-baik. Dihormati
orang, dihargai sesama manusia ... Sayang semua itu
cuma selintas karena nafsu telah lebih unggul dari ji-
wanya.
Jiwanya yang tadinya murni telah dirusak, se-
telah dikotori dan dirasuki nafsu-nafsu sesat. Hingga
kotorlah dan rusaklah jiwa murninya...! Dan ketika de-
sah-desah napas  Adhinata menghembusi telinganya,
Giri Mayang telah lupakan pikiran baik dibenaknya.
Direngkuhnya laki-laki hebat itu dengan nafsu yang
menggelora. Sementara Adhinata yang masih "hijau"
itu mendesah puas dengan tenaga mulai mengendur.
Tak lama dia sudah terlena dengan tak memikirkan
apa-apa lagi. Bahkan tak lama lagi sudah terdengar
suara dengkurnya membaur dengan suara jengkerik
malam di sisi rumah panggung... 

Berlainan dengan Giri Mayang. Dia masih be-
lum bisa pejamkan mata.
Khayalnya jauh melambung setinggi langit. Pu-
askah dia dengan "bersuamikan" Adhinata si Manusia
Beracun itu menurut ukuran nafsunya? Tidak.....! Giri
Mayang cuma mau memperalat si Manusia Beracun
demi cita-citanya. Dan untuk jadi seorang "istri" setia
yang "menikah" tanpa saksi dan penghulu di dasar
sumur berbau pengap itu, nanti dulu...! Giri Mayang
bukan type wanita macam begitu. Istri teladan... NO!
Kalau istri serong... YES! Baginya 100 jejaka tulen
yang disuguhkan kepadanya masih belum cukup un-
tuk waktu singkat sekalipun. Demikianlah watak dan
pribadi Giri Mayang, si wanita pendendam yang punya
1001 akal licik di benaknya.
Diam-diam Giri Mayang memaparkan aji panyi-
rep untuk tak membuat bangun Adhinata sampai pagi.
Bermacam-macam ilmu memang ada dipunyainya.
Akan tetapi semua itu dipelajarinya tidak sampai tun-
tas, karena sering berganti guru. Dan ilmu Aji Panyirep
yang dapat membuat orang tidur pulas itu untuk per-
tama kalinya dicobakan pada Adhinata. Tak lama dia
sudah bangkit dari tempat tidur. Bergegas mengena-
kan pakaiannya. Dan... di malam yang larut itu, seso-
sok tubuh melompat dari jendela rumah Kepala Desa
baru itu dengan tak menimbulkan suara. Selanjutnya
setelah menutupkan kembali daun jendela, sosok tu-
buh itu berkelebat, dan lenyap di kegelapan malam...
Apakah yang dilakukan Giri Mayang? Ternyata
mencari sesuatu yang baru untuk pelengkap hasrat-
nya. Tentu saja dia harus mencari penyalur hasratnya
itu di luar desa Tembilang.
Senyapnya malam itu tidaklah mengganggu
langkahnya. Tak berapa lama kakinya sudah mengin-
jak sebuah desa di wilayah barat dari desa Tembilang.

Gerakannya memang telah kembali gesit, sejak Giri
Mayang sembuh dari luka-lukanya. Peristiwa di dasar
sumur yang secara kebetulan bertemu dengan Adhina-
ta telah membuat Giri Mayang bagaikan "bersayap" la-
gi. Sungguh sangat sukar diduga kalau secara tak sen-
gaja Adhinata telah memakan lumut aneh di dasar
sumur yang memulihkan kenormalan tubuhnya. Ra-
cun yang mengendap di tubuhnya secara berangsur
setelah berpadu dengan lumut aneh berkhasiat yang
dimakannya, justru hal itu membuat lenyapnya penga-
ruh racun ditubuhnya. Hingga Giri Mayang tak terkena
pengaruh racun luar biasa ketika menyentuh tubuh-
nya.
Satu keanehan lagi adalah lumut di dasar su-
mur itu menyembuhkan pula luka-luka Giri Mayang
dan membuat normal kembali jalan darahnya yang
tersumbat akibat serangan Roro Centil oleh batu keri-
kil. Demikianlah, keduanya akhirnya bersatu hati un-
tuk mencari jalan keluar dari dasar sumur itu. Bahkan
untuk memperkuat kesepakatan mereka yang senasib
dan sehidup semati, akhirnya mereka menyatakan diri
mereka sebagai suami istri. Tentu saja di dasar sumur
itu Adhinata untuk pertama kalinya mengecap nik-
matnya menjadi pengantin baru. Apalagi sang "istri"
adalah seorang yang sudah berpengalaman.
Hingga membuat Adhinata semakin mencintai wanita
itu.
Demikianlah. Dengan menggali lubang di dind-
ing sumur untuk injakan kaki, mereka bersatu padu
dan saling membantu untuk merayap naik ke atas. Je-
rih payah yang mereka lakukan beberapa hari itu ak-
hirnya membuat mereka berhasil keluar dari dasar
sumur itu. Dan tiba di atas dengan selamat. Tentu saja
membuat kedua sejoli girangnya tak dapat diutarakan.
Girl Mayang ternyata berotak cerdik, walau ji-

wanya sesat. Mengetahui keanehan yang terjadi pada
tubuh Adhinata yang telah lenyap pengaruh racun di-
tubuhnya setelah makan lumut ajaib itu membuat dia
berpikir keras. Giri Mayang tak merasa yakin kalau ra-
cun di tubuh Adhinata bisa lenyap selamanya, karena
pada pergelangan lengan dan kaki Adhinata masih ter-
belit gelang-gelang racun ciptaan si Raja Racun. Oleh
sebab itu dia segera usulkan agar Adhinata mengetes
gelang besi itu, apakah masih mengandung racun atau
tidak. Pendapatnya racun di tubuh Adhinata tak bisa
lenyap dengan begitu saja dengan cuma memakan lu-
mut. Dan bila khasiat lumut ajaib itu sudah sirna ke-
kuatannya, tidak mustahil kalau tubuh Adhinata kem-
bali dialiri racun maut itu. Dan akan sangat berbahaya
bagi keselamatan jiwanya sendiri, karena mau tak mau
dia adalah orang yang paling dekat dengan Adhinata.
Siapa sangka kalau dalam keadaan "bergaul" tahu-
tahu racun  itu menjalar lagi. Dan  dia bisa Jadi kor-
ban..."Demikian pikir Giri Mayang.
Usul Giri Mayang disetujui Adhinata karena dia
sendiripun memerlukan mengetahui. Agaknya kata-
kata si Raja Racun kembali teringat oleh Adhinata Yai-
tu kesempurnaan dalam memiliki dan menguasai ge-
lang-gelang racun itu adalah dengan membuka jalan
darah tertentu pada pergelangan tangan dan kaki den-
gan melalui pengerahan tenaga dalam. Hal itupun se-
gera dilakukan. Di tempat yang landai di sisi danau
kecil berair jernih itu adalah tempat yang cukup baik
untuk mencoba. Karena jauh dari perkampungan dan
dirasakan cukup aman bagi mereka. Karena walau ba-
gaimana hati Giri Mayang masih kebat-kebit khawatir
berjumpa dengan Roro Centil. Begitu juga dengan Ad-
hinata. Disamping khawatir berjumpa dengan gurunya
yang mengancam akan membunuhnya, Juga khawatir
orang-orang Kerajaan akan mengejarnya. Sedangkan

dia dalam keadaan tak siap untuk bertarung.
Pemuda itu duduk bersila di atas batu, dengan
sepasang lengan terentang menyilang di depan dada.
Sebelumnya pakaian atas Adhinata telah dibuka. Sege-
ra Adhinata salurkan tenaga dalamnya bolak-balik ke
sekujur tubuhnya. Hal yang dilakukan berulang-ulang
itu ternyata membuat keringatnya deras mengucur
disekujur tubuh. Dan, Adhinata mulai membuka jalan
darah tertentu pada empat jalan darah di pergelangan
kaki tangan.
Apa yang terjadi kemudian...? Sepasang mata
Giri Mayang membelalak lebar tak berkedip, karena
seketika tubuh Adhinata sebentar berubah merah dan
sebentar berubah hijau. Keadaan itu berlangsung cu-
kup lama, yaitu selama Adhinata belum berhenti
membolak-balik salurkan tenaga dalam ke sekujur tu-
buh dan menyimpannya kembali pada keempat perge-
langan tangan dan kaki. Dan pada saat tubuhnya be-
rubah hijau itu Adhinata hentikan latihannya. Sepa-
sang matanya membuka menatap pada Giri Mayang.
Melihat wajah Giri Mayang berubah pucat tentu
saja membuat Adhinata jadi terkejut dan terheran. Se-
kejap dia sudah melompat ke arah wanita itu. Akan te-
tapi justru Giri Mayang melompat dengan menjauhi.
"Jangan dekat...! Berbahaya...! teriak Giri
Mayang.
"Hai..? kenapakah kau?" tanya Adhinata tak
mengerti.
"Tubuhmu telah dialiri lagi racun luar biasa
itu...!" teriak Giri Mayang dengan tubuh bergidik ngeri
melihat tubuh Adhinata yang berubah hijau menye-
ramkan itu.
"Ah...! tersentak kaget Adhinata. Justru dia
sendiri tak mengetahui keadaan dirinya. Barulah dia
sadar setelah melihat tubuhnya demikian hijaunya.

"Jadi.... jadi racun itu memang benar masih
mengendap di tubuhku?" Berkata Adhinata dengan ke-
rutkan keningnya naikkan sepasang alisnya yang teb-
al. "Benar! bukankah dugaanku tepat sekali...? Hihi-
hi... tapi aku telah tahu rahasianya. Segeralah kau sa-
lurkan lagi racun yang telah menyebar itu ke pergelan-
gan tanganmu. Tepatnya ke tempat gelang-gelang besi
itu!" perintah Giri Mayang. Tak usah sampai dua kali
menyuruh, Adhinata telah menuruti perintah itu.
"Nah, tubuhmu telah berubah merah. Berarti
tubuhmu sudah tak mengandung racun! Akan tetapi
kini gelang-gelang besi itu bisa berbahaya bila tersen-
tuh orang, karena kini racun luar biasa itu telah men-
gumpul di keempat gelang besi itu! Nah, kini carilah
akal bagaimana agar gelang besi itu tak membahaya-
kan orang...!" Ujar Giri Mayang.
Termenung sejenak Adhinata, tiba-tiba berseru
kegirangan.
"He...!? aku sudah tahu caranya!"
Sekonyong-konyong  Adhinata melompat kem-
bali ke atas batu. Akan tetapi tidak duduk bersila se-
perti tadi, melainkan gerakan tubuhnya tegak lurus
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kepalanya
bertumpu di atas batu. Barulah sepasang lengannya
disilangkan ke  depan dada. Ternyata dia melakukan
pernapasan terbalik dengan pergunakan tenaga da-
lamnya menembus jalan darah tersumbat di beberapa
bagian tubuh yang masih tersumbat. Ternyata pe-
nyumbatan jalan darah itu adalah dilakukan oleh si
Raja Racun. Justru sebelum proses terakhir dilakukan
pada Adhinata, si Raja Racun keburu tewas. Hal ini
memang pernah di bicarakan pada Adhinata mengenal
cara-cara menguasai ke empat pasang benda "mustika"
gelang besi itu.
Pengerahan tenaga dalam dengan cara demi-

kian untuk membuka jalan darah yang tersumbat itu
ternyata memakan waktu hampir setengah hari. Giri
Mayang menunggu dengan sabar. Dan dalam pada itu
secara berangsur kulit tubuh Adhinata mulai mende-
kati kenormalan. Hingga selang tak lama setelah lewat
waktu setengah hari pulihlah tubuh Adhinata,
dan kembali normal seperti biasa lagi.
"Cukup...!" teriak Giri Mayang dengan wajah gi-
rang.
"Kau sudah berhasil Adhinata...! ah, menak-
jupkan sekali suamiku...!"
Adhinata melompat kembali untuk berdiri.
Akan tetapi terjungkal dengan punggung terlebih dulu
menyentuh tanah. Mengeluh pemuda itu. Ternyata
akibat terlalu lama jungkir-balik membuat urat-
uratnya kaku. Akan tetapi sesaat antaranya dia sudah
bangkit berdiri lagi.
"Hm, benarkah aku telah berhasil menjinakkan
ke empat gelang besi beracun ini?" tanya Adhinata.
"Tidak meragukan lagi! akan tetapi untuk
menghilangkan was-was sebaiknya dicoba dulu!" tukas
Giri Mayang.
"Tunggulah sebentar...!" Berkata wanita itu se-
raya berkelebat ke arah hutan. Tak berapa lama telah
kembali lagi dengan menjinjing telinga seekor kelinci
ditangannya. Giri Mayang lemparkan kelinci itu, yang
segera disambut Adhinata. Demikianlah, setelah dites,
ternyata ke empat gelang itu memang sudah jinak, ka-
rena kelinci itu tak terkena pengaruh racun. Ternyata
kemudian Adhinata memang bisa menguasai keempat
gelang besi itu, yang dapat dipergunakan untuk men-
jadikan tubuhnya kembali beracun, serta berubah bi-
asa lagi sekehendak hati.
Sukses besar itu amat menggirangkan hati ke-
dua sejoli. Segera Giri Mayang panggang daging kelinci

itu untuk makan bersama... Demikianlah awal kisah
munculnya kembali si Manusia Beracun yang didam-
pingi pasangannya yaitu Giri Mayang.

—~oOo~—~

SEBELAS

Malam itu juga Giri Mayang telah mendapatkan
seorang korban untuk pelampiasan nafsu bejatnya.
Seorang laki-laki kekar telah berada di atas pundaknya
dalam keadaan tidur menggores dan... tertotok. Pada
pagi hari desa Limus yang malamnya disinggahi Giri
Mayang segera terjadi kegaduhan, karena seorang lela-
ki ditemukan dalam keadaan telanjang bulat sudah
tak bernyawa lagi dengan tulang leher remuk.
Kejadian itu ternyata telah mengundang perha-
tian banyak orang, hingga sampai siang hari penduduk
masih membicarakan kejadian aneh itu. Bahkan ter-
nyata dua orang remaja berlainan jenis yang dapat di-
katakan sepasang sejoli telah melihat kejadian itu. Me-
reka tak lain dari Sambu Ruci dan seorang gadis can-
tik yang menemaninya, yaitu Parmi. Seperti telah dice-
ritakan Parmi dan Sambu Runci mencari jejak Giri
Mayang yang telah menawan Roro Centil. Ternyata da-
lam waktu sekian lama masih belum menemukan jejak
Giri Mayang. Hingga secara tak sadar sepasang sejoli
ini jadi semakin akrab. Bahkan pula dihati keduanya
telah bersemi cinta yang tersembunyi.
Walaupun demikian, Sambu Runci belumlah
bisa bertenang hati karena selalu mengkhawatirkan
nasib Roro Centil. Dan secara kebetulan dia singgah di
desa tempat kejadian itu.... Wajah Parmi tampak me-
negang. Kejadian itu telah menguatkan dugaannya ka-

lau Giri Mayang pasti tak berada jauh dari desa Limus,
karena sudah dipastikan laki-laki yang tewas itu ada-
lah korban pelampiasan nafsu bejat wanita iblis itu.
"Sssst...! kakak Sambu, mari kita ke sudut sana aku
akan bicarakan sesuatu padamu...!" Ujar Parmi seraya
tarik lengan pemuda itu. Ternyata Parmi sudah tak
canggung-canggung lagi pada Sambu Ruci. Pemuda itu
mengangguk seraya menyeruak dari kerumunan
orang. Disudut jalan desa itu segera Parmi tuturkan
pendapatnya.
"Aku juga berpendapat demikian, Parmi...! Se-
baiknya kita mulai menyelidiki dimana adanya wanita
itu....!" tukas Sambu Runci. Parmi mengangguk, lalu
segera menyusun rencana penyelidikan di sekitar desa.

--oOo--

Pelacakan mencari jejak Giri Mayang di desa itu
ternyata hasilnya nihil. Hingga mereka segera berpisah
untuk kembali bertemu. Sambu Ruci memutar ke arah
barat, dan Parmi ke arah timur dengan patokan mere-
ka akan bertemu di bawah lereng satu bukit yang ber-
nama bukit Ayam. Demikianlah. Mereka pun mulai
bergerak sesuai dengan diaturnya rencana itu.
Akan tetapi sungguh sukar sekali diterka kalau
ternyata Giri Mayang sejak tadi justru menguntit me-
reka. Dan pembicaraan itu sudah tertangkap telinga
Giri Mayang sembunyi di atas pohon. Sambu Ruci ter-
nyata beranjak langkahkan kaki terlebih dulu. Parmi
menatap sejenak punggung pemuda itu, lalu diapun
balikan tubuh untuk berkelebat dari situ. Akan tetapi
kira-kira dua-tiga tombak hentikan langkahnya untuk
lagi-lagi berpaling. Terasa perpisahan sementara itu
memberatkan langkahnya. Hati gadis ini memang su-
dah bersemikan cinta begitu bersahabat dengan pe-

muda tampan itu yang pernah menyelamatkan jiwanya
dari serangan maut Giri Mayang. Akan tetapi justru
Sambu Ruci pun menolehkan... Keduanya jadi sama-
sama tersenyum ketika bertatapan muka. Namun
Sambu Ruci segera berkelebat cepat setelah lambaikan
tangan pada dara cantik itu seraya berkata. "Sampai
ketemu, adik Parmi...!" Parmi cepat menyahut... "Sam-
pai jumpa nanti senja, kakak Sambu...!" Dan gadis
itupun lambaikan tangannya, lalu berkelebat cepat un-
tuk tidak menoleh lagi. Diam-diam wajah gadis itu di-
jalari rona merah. Terasa sesuatu yang indah meresap
di hati sanubarinya. Itulah perasaan cinta...!
Akan tetapi baru beberapa tombak Parmi ber-
lompatan cepat dari tempat itu tiba-tiba terdengar sua-
ra tertawa mengikik. Dan... tahu-tahu di hadapannya
telah muncul sesosok tubuh yang melesat turun dari
cabang pohon.
"Hihihi..... hihihi.... selamat jumpa lagi nona
cantik yang tak lama lagi bakal mampus...!" Membeliak
sepasang mata Parmi, bagaikan mimpi melihat orang
yang sedang dicarinya justru muncul di depan mata.
Tak terasa kakinya mundur dua langkah.
"Bagus! akhirnya kau muncul Juga perempuan
Iblis!" Bentak Parmi dengan wajah menegang. Walau
hatinya terasa tergetar tapi dia berusaha menutupinya
dengan bentakan. Dan sekejap sepasang senjatanya te-
lah dicabut keluar dari belakang punggung. Itulah se-
pasang gaetan yang tajam runcing berkilatan.
"Heh! sayang sekali kalian tak bisa menemukan
cinta laki-laki itu, Parmi...! Pemuda tampan itu agak-
nya memang tak berjodoh denganmu. Karena sebentar
lagi kau akan mampus! Dan... hihihi... dia adalah ca-
lon kekasihku yang paling istimewa!" Berkata Girl
Mayang dengan tertawa menyeringai. Rasanya hati
Parmi bagaikan ditikam belati saja mendengar ucapan

Giri Mayang. Kembali membayang wajah kakak laki-
laki saudara seperguruannya yang juga telah direbut
wanita itu yang berakhir dengan kematian. Dan kini
lagi-lagi si wanita itu siap merebut kembali pemuda
yang baru dikenalnya dan sudah bersemi cinta diha-
tinya. Hal tersebut membuat Parmi rasanya mau
membunuh diri saja saat itu.
Akan tetapi kelemahan jiwanya saat itu segera
di tindihnya. Perbuatan tercela dan pengecut itu tak
layak dipunyai seorang pendekar! Kini orang yang di-
carinya telah muncul untuk membunuhnya. Mana
Parmi mau berikan nyawanya begitu saja? Justru dia
harus membalaskan dendam kematian tiga orang sau-
dara seperguruannya yang tewas oleh wanita itu. Me-
mikir demikian dia segera lakukan serangan mener-
jang Giri Mayang dengan luapan dendam berapi-api.
"Iblis keji! aku akan adu jiwa denganmu....!"
bentak. Parmi Sepasang senjata gaetannya menerjang
laksana gelombang berpuluh-puluh yang menerjang
ganas si wanita terlengas itu. Akan tetapi dengan men-
gumbar tertawa Giri Mayang melayani serangan itu.
Tubuhnya berkelebatan dan melompat dengan gesit.
Bahkan luncurkan kata-kata ejekan pada Parmi.
Terasa panas wajah gadis ini membuat dia me-
nerjang dengan berteriak-teriak histeris. Betapapun
Parmi bukanlah tandingan Giri Mayang, yang kalau
mau sudah sejak tadi robohkan si gadis dengan puku-
lan apinya. Tapi agaknya Giri Mayang punya rencana
lain.
"Hihihi... sebelum kubunuh kau mampus ada
baiknya kau menyaksikan bagaimana aku "bercinta"
dengan laki-laki tampan bernama Sambu Ruci itu!"
Ejek Giri Mayang dengan melompat ke atas dahan po-
hon menghindari sambaran ganas sepasang gaetan
Parmi.

"Bedebah keparat...! perempuan bejat! ku kelu-
arkan isi perutmu!" bentak Parmi dengan bentakan
nyaring seperti menjerit. Dan... kali ini Parmi merobah
gerakan silatnya. Aneh! beberapa serangan dengan ju-
rus ini tampaknya membuat Giri Mayang  melengak
dan sejengkal rambutnya telah kena tertabas putus
sepasang gaetan dan buyar berterbangan. Kiranya se-
cara tak sadar Parmi telah menggunakan jurus-jurus
dari Pedang Aksara yang dipunyai Sambi Ruci. Kiranya
dalam waktu beberapa hari atau selama hampir dua
pekan itu Parmi telah diajari beberapa jurus ilmu Pe-
dang Aksara oleh Sambu Ruci.
Melihat serangan Jurus barunya membawa ha-
sil mengagumkan membuat Parmi semakin berseman-
gat untuk menjatuhkan lawan. Bahkan kini dia berla-
ku hati-hati. Giri Mayang memang mulai balas menye-
rang dengan beberapa pukulan dan tendangan ka-
kinya. Untunglah Parmi yang telah berlaku hati-hati
mampu mengimbangi serangan ciptaan gurunya kare-
na Parmi memang cuma mempunyai paling banyak li-
ma jurus dari ilmu pemberian Sambu Ruci.
Ternyata hal itu cukup merepotkan Giri Mayang
yang mulai terdesak. Karena serangannya tak dapat
lagi dibaca kemana arahnya. Hal mana membuat wani-
ta itu jadi berang. Tiba-tiba tubuhnya melompat men-
jauh sejauh enam tujuh tombak. Dan... mulailah dia
gunakan mantera dari ilmu hitamnya! Tersentak Parmi
ketika melihat perubahan tubuh Giri Mayang yang
menjadi seekor ular berkepala tujuh, yang besarnya
hampir sebesar tubuh manusia. Masing-masing kepala
ular itu menyeburkan api dari mulutnya.
"Ilmu sihir...!" teriak Parmi seraya melompat
menjauh. Sambaran-sambaran api ternyata telah me-
nerjang tubuhnya. Bergulingan Parmi menghindari
sambaran api itu dengan jantung berdetak keras. Ha-

rapannya untuk merobohkan wanita itu seketika pu-
nah. Tiga kilatan api sekaligus meluncur untuk me-
nambus tubuh Parmi yang sudah mengurungnya un-
tuk tak dapat lolos lagi dari "pembalasan" Giri Mayang.
ilmu siluman tertinggi yang telah dipelajarinya dari si
Ririwa Bodas itu untuk pertama kalinya dipergunakan.
Ternyata memang ilmu hitam itu bisa dipergunakan
manakala dirinya sedang marah luar biasa.
Terperangah gadis cantik ini, dua serangan li-
dah api dari mulut ular berhasil dihindarkan. Akan te-
tapi serangan selanjutnya yang juga beruntun dengan
cepat telah menembus tubuh Parmi bersama dengan
terbakarnya dahan-dahan pohon. Lenyaplah sudah tu-
buh Parmi terbungkus kobaran api.... diiringi jeritan
terakhirnya. Mengetahui korbannya sudah musnah,
ular besar berkepala tujuh itu kembali lenyap. Dan....
menjelma lagi menjadi Giri Mayang yang tertawa ceki-
kikan dengan bertolak pinggang.
WHUUUUK....! lengannya bergerak memadam-
kan api seketika lenyap. Akan tetapi terkejut Giri
Mayang karena tak menjumpai tubuh Parmi terkapar
disitu. Api-api ciptaan itu sebenarnya tak membakar
dahan pohon atau menambus tubuh Parmi, karena
semua itu cuma ciptaan saja. Akan tetapi serangan li-
dah api itu telah melumpuhkan tubuh gadis murid si
nenek Pendekar Taring Naga.
Tentu saja Giri Mayang tak mengetahui kalau
pada saat lidah api menyambar tubuh Parmi, sebuah
bayangan putih telah berkelebat menyelamatkan gadis
itu.
Ternyata berdiri tempat ketinggian tampak seo-
rang kakek memondong tubuh Parmi di  kedua belah
tangannya. Dialah si kakek penghuni puncak Tangku-
ban Perahu. Yaitu Ki Panunjang Jagat. Tampaknya hal
itu membuat Giri Mayang tak berniat menyelidiki, ka-

rena dia sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Walau
dihatinya  membatin. "Aneh, kemana lenyapnya sosok
tubuh si Parmi itu? hm, jangan-jangan sudah banyak
bermunculan para tokoh sakti kaum putih. Aku perlu
segera bergabung dengan Adhinata...!"
Dengan gerakan cepat Giri Mayang segera ber-
kelebat menuju ke arah desa Tembilang. Sementara itu
sosok tubuh Ki Panunjang Jagatpun melesat lenyap.
Suasana tempat itu kembali hening pada siang hari
yang terik itu... Akan tetapi baru saja kakinya mengin-
jak mulut desa Tembilang, tiba-tiba terdengar benta-
kan keras.
Wanita iblis...! kau kemanakan sahabatku Roro
Centil, katakan apa yang telah terjadi dengannya...?"
Dan... sesosok tubuh berkelebat menghadang di hada-
pannya. Melengak Giri Mayang. Akan tetapi bibirnya
segera tampilkan secercah senyuman dan lirikan mata
genit.
"Ahaah...! kiranya anda yang tampan! Hihi-
hih...!. sobat Sambu Ruci mengapa kau mengkhawa-
tirkan sekali nasib dia?" Tanya Giri Mayang.
"Setan apa perdulinya dengan semua itu? dia
sahabatku, dan kau telah berhasil merobohkannya,
tak nantinya kalau kau tak berbuat licik! Hm, Jangan
kira kau dapat berbuat seenaknya dengan segala ma-
cam perbuatanmu!" Bentak Sambu Ruci dengan hati
mengkal. Terpaksa dia menahan amarahnya karena
harus mengetahui dulu nasib Roro yang amat dikha-
watirkannya.
"Hai, rupanya kau mau mempacari dua orang
perempuan...? Apakah kau tak sayangkan kematian
murid si nenek Pendekar Taring Naga? Berkata Giri
Mayang tanpa memperdulikan pertanyaan orang.
"Ha...? kau telah membunuhnya...?" Tertawa
dingin Giri Mayang, seraya Jawabnya "Benar! kupikir

dia "saingan" ku karena aku... aku... hihihi... akupun
jatuh cinta padamu, Sambu Ruci!" Tanpa malu-malu
Giri Mayang keluarkan isi hatinya. Walaupun sebenar-
nya cinta yang dimilikinya adalah cuma cinta imitasi
belaka. Karena cuma kehangatan laki-laki yang belum
pernah dicicipinya saja yang membuat wanita ini
menggandrungi orang.
"Perempuan edan...!" tiba-tiba terdengar suara
melengking merdu. Terperangah Giri Mayang. Sekele-
batan saja dia sudah mengetahui suara siapa yang
berkumandang barusan.
"Nona Roro Centil...!" Teriak Sambu  Ruci den-
gan wajah girang. Sesosok tubuh telah berkelebat
muncul dan berdiri di hadapan mereka yang tak lain
memang si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Giri Mayang apakah kau sudah siap untuk
menghadapiku ...?" Tantang Roro dengan wajah dingin
membeku. Sepasang matanya menatap wanita itu den-
gan sorot mata seolah mau menembus jantung lawan.
"Heh...! aku memang sudah siap untuk memba-
las penganiayaan mu padaku. Tentu saja dengan tebu-
san nyawamu, Roro Centil!" Ucap Giri Mayang dengan
angkuh menutupi gelaran hatinya. Walau bagaimana
Giri Mayang memang masih merasa ngeri akan sepak
terjang Roro. Walaupun sebenarnya dia memiliki, ber-
macam ilmu, juga bermacam kelicikan.
"Akan tetapi tidak sekarang bila kau mengin-
ginkan pertarungan secara jujur. Dan ingat...! kau bu-
kan seorang Pendekar Siluman, bukan?"
"Hm, kau kira aku sebangsa manusia setan se-
pertimu yang tak menepati janji, untuk membunuhmu
siang-siang telah ku siapkan cara terbaik mengirim
nyawamu ke neraka!" Berkata Roro dengan bertolak
pinggang. Ternyata Roro mampu menahan kesabaran
hatinya.


—~oOo~—~

DUA BELAS

"Baik...! ini adalah saat terakhir aku menahan
sabar! kini katakanlah dimana kau mau adakan perta-
rungan itu. Dan kapan waktunya...!" sambung Roro
dengan suara tandas.
"Sayang... aku belum bisa memberi keputusan
sekarang. Kau tunggulah bulan depan. Aku akan beri-
kan kabar untukmu dan menyebar berita tantangan
melalui orang-orang Rimba Persilatan!" Jawab Giri
Mayang.
"Hai, sobat Roro Centil, manusia licik macam
begini kalau dibiarkan hidup lebih lama akan menye-
bar kejahatan seenaknya!" tukas Sambu Ruci. Akan te-
tapi Giri Mayang cuma mendengus, lalu berkata pada
Roro.
"Nah, kini berilah aku jalan! kuharap kau mau
menunggu kesabaran mu untuk menghadapiku, Roro
Centil! Tanpa kau cari, justru aku yang akan menca-
rimu!" Seraya berkata Giri Mayang gerakkan kakinya
untuk melangkah. Akan tetapi Sambu Ruci telah per-
dengarkan bentakannya, seraya cabut pedangnya un-
tuk segera digerakkan menghadang di depan dada wa-
nita itu.
"Tunggu...! kini kau jawab dulu pertanyaanku,
apakah yang kau lakukan terhadap Parmi? apakah
benar kau telah membunuhnya...?" kata-kata Sambu
Ruci terdengar agak tergetar. Ternyata kini keselama-
tan gadis itulah yang dikhawatirkan.
"Hm, baik! Kali ini aku tak berdusta, dia mung-
kin masih hidup. Gadis itu telah kena serangan puku-

lanku. Akan tetapi tak ku jumpai sosok tubuhnya.
Pasti ada orang yang telah menolongnya!" berkata Giri
Mayang. Seraya menatap pada Roro menduga-duga
apakah wanita Pendekar ini yang telah membawa ka-
bur sosok tubuh Parmi...? Pada saat itu terdengar sua-
ra derap kaki kuda mendatangi. Giri Mayang perli-
hatkan wajah girang, ketika melihat siapa yang datang.
Sekali kakinya mengenjot tubuh. Dia sudah melesat ke
udara seraya berteriak.
"Suamiku...! bagus, kau menyusul ku! urusan
sudah selesai...!" Dan... tepat sekali ketika kuda itu
hentikan berlari, tubuh Giri Mayang sudah meluncur
turun. Detik selanjutnya wanita itu sudah hinggap di
atas punggung kuda di sebelah depan tubuh seorang
pemuda gagah yang tak lain dari Adhinata, yang men-
gendarai kuda.
"Manusia Beracun...!" tersentak Roro. Sementa-
ra Sambu Ruci cuma bisa terpaku menatap si laki-laki
penunggang kuda.
"Hihihi... tidak salah, Roro Centil, sampai jum-
pa lagi pada pertarungan nanti!" Dan sambungnya lagi.
"Agar kau ketahui, si Manusia Beracun ini adalah su-
amiku...!" Selesai berkata demikian Giri Mayang putar
kudanya lalu memacu cepat meninggalkan tempat
itu...

-oOo-

Saat Giri Mayang dan manusia beracun berlalu,
sesosok tubuh berkelebat muncul. Ternyata Ki Panun-
jang Jagat. Di kedua lengannya masih memondong tu-
buh Parmi yang terkulai. Tentu saja terkejut dan gi-
rangnya bukan kepalang Sambu Ruci.
"Kakek, andakah yang telah menolongnya...?"
tanya Sambu Ruci seraya menjura. Sementara Roro

Centil kerutkan keningnya menatap Ki Panunjang Ja-
gat dan gadis yang dipondongnya. Apakah yang terjadi
dengannya?" tanya Roro.
"Dia sudah tewas...!" berkata Ki Panunjang Ja-
gat dengan suara datar. Tersentak seketika Sambu
Ruci. Serta-merta melompat ke hadapan kakek itu.
"Parmi...!" teriak Sambu Ruci tersendat. Ki Pa-
nunjang Jagat letakkan tubuh yang dipondongnya di
atas rumput. Dan Sambu Ruci duduk menekuk lutut
menatap padanya dengan air mata berlinang.
"Wanita iblis itu telah pergunakan ilmu sihir hi-
tam  untuk merobohkan gadis ini. Seandainya hidup-
pun dia akan Jadi orang tak berguna tanpa daksa, en-
tah murid siapakah gadis ini, apakah sobat Sambu
Ruci mengenalnya?" tanya Ki Panunjang Jagat. Sambu
Ruci anggukkan kepala. Seraya ucapnya dengan nada
sedih. Dia murid si nenek Pendekar Taring Naga. Keti-
ka saudara seperguruannya telah tewas oleh si wanita
itu...!"
"Hm, agaknya kita telah mengalami satu keka-
lahan total, kakek Panunjang Jagat! Muridmu si Ma-
nusia Beracun kini telah bergabung dengan Giri
Mayang. Akan sulitlah kiranya untuk merobah watak-
nya. Bahkan kini Senapati Kerta Bumi telah merobah
keputusan untuk menumpasnya. Peristiwa beberapa
hari ini yang lalu telah menggemparkan Kota Raja. Si
Manusia Beracun telah menumpas prajurit-prajurit
pengawal di Kepatihan. Dan membunuh Ki Patih Leng-
ser Sheta berikut seluruh keluarganya...!" Penjelasan
Roro itu tentu saja membuat sepasang mata Ki Panun-
jang Jagat membeliak. Giginya yang masih utuh itu
berkerut menahan geram.
"Pasti si perempuan bejat itu yang telah mem-
pengaruhi jiwanya! kalau demikian tak ada jalan lain,
selain kita harus menumpas kedua manusia itu...!"

"Benar, kakek Panunjang Jagat! akan tetapi sa-
tu kesulitan yang tidak ringan untuk menumpas si
manusia beracun! Tapi walau pun begitu aku si Roro
Centil merasa orangnyalah yang paling tepat untuk
membunuh mereka!" Ujar Roro dengan bersemangat.
"Apakah kau akan melupakan perjanjian untuk
bertarung dengan wanita itu, sobat Roro Centil...?
tanya Ki Panunjang Jagat.
"Hihihi... hihi... segala macam urusan dengan
manusia licik pengecut begitu apakah akan aku pedu-
likan? Persetan dengan sebutan Pendekar Siluman!
Aku toh merasa tak mempunyai ilmu Siluman. Macan
Tutu! Siluman yang selalu mengikut padaku itu ter-
nyata tak mau pergi meninggalkan  ku, apakah yang
harus kuperbuat?" ujar Roro. Seraya dengan perguna-
kan kata-kata batinnya Roro Centil perintahkan sang
Macan Tutul untuk segera tampakkan diri.
Dan...."GRRRR...! Sekejap saja disamping Roro telah
muncul sesosok tubuh harimau tutul yang hampir se-
besar kerbau. Luar biasa besarnya harimau tutul itu
hingga membuat Sambu Ruci menindak mundur. Ki
Panunjang Jagat sendiri juga melangkah mundur dan
tampak terkejut.
"Hihihi... Tutul! mereka adalah kawan-kawan
kita!" ujar Roro seraya mengelus-elus leher sang ma-
can, yang segera tempelkan tubuhnya untuk mengge-
lendot manja ke tubuh Roro. Roro peluk leher sang
macan dengan terharu. Tak lama Roro segera berkata.
"Nah, baiknya sekarang sobat Sambu Ruci, kau
semayamkanlah dulu Jenazah gadis itu...! ah, sayang
dia telah tewas. Seandainya masih hidup kukira dia
amat cocok untuk jadi pasangan mu, Sambu Ruci....!"
Sambu Ruci cuma bisa tersenyum pahit. Hatinya tak
keruan rasa hingga dalam keadaan kaku demikian dia
cuma bisa menelan ludah tanpa mampu bicara apa-

apa. Kecuali menatap Roro dan mengalihkannya pada
jenazah Parmi yang terbaring seperti tengah tidur le-
lap.
"Baiklah! kukira saatnya sudah tiba untuk me-
numpas manusia yang bakal membawa kericuhan di
jagat raya Ini...!" Setelah menjura pada Ki Panunjang
Jagat dan menatap sejenak pada Sambu Ruci serta be-
rikan seulas senyuman manis padanya, Roro Centil ge-
rakkan tubuh melompat ke punggung si Tutul. Dan se-
lanjutnya, sang macan sudah melesat cepat ke arah
barat bagaikan lewatnya hembusan angin. Sekejap sa-
ja sudah tak nampak bayangannya lagi.....
Tertegun kedua laki-laki itu. Terdengar seruan
kagum Ki Panunjang Jagat. Sementara Sambu Ruci
cuma bisa menatap ke arah barat. Seolah hatinya ikut
terbawa oleh kepergian Roro. Tak lama kedengaran Ki
Panunjang Jagat menghela nafas, lalu berpaling mena-
tap Sambu Ruci "Marilah ku bantu kau membuat lu-
bang untuk mengubur jenazah!" ujar kakek puncak
Tangkuban Perahu itu. Sambu Ruci segera tersadar
dari tercenungnya. Segera mengangguk dan cepat-
cepat beranjak untuk mencari tanah baik yang akan
digali.....

-oOo-

Sementara itu.....
Satu jeritan panjang terdengar parau dia rah
belakang bukit. Apakah yang terjadi? Ternyata sesosok
tubuh berkelojotan meregang nyawa, namun sekejap
sudah terkulai tewas. Tubuhnya berubah membiru.
Dan sesaat antaranya membengkak, lalu mencair den-
gan menimbulkan bau busuk menyengat hidung.
"Hihihi... bagus, nenek peot ini memang sudah
terlalu tua untuk jadi seorang Pendekar. Dia lebih ba-

gus jadi Pendekar di Akhirat...!" Terdengar satu suara
Wanita yang ternyata tak lain dari Giri Mayang. Wanita
itu duduk ongkang-ongkang kaki di atas kuda, semen-
tara Adhinata tegak berdiri di atas batu. Kiranya dalam
perjalanan meninggalkan tempat itu si Manusia Bera-
cun dan Giri Mayang telah dicegat si nenek Pendekar
Taring Naga. Nenek Pendekar Taring Naga itu tentu sa-
ja tak lain adalah mencegat Giri Mayang yang telah
menipu serta membawa kabur murid laki-lakinya.
Yang kemudian didapati telah tewas. Kemurkaannya
membuat dia perintahkan ketiga murid wanitanya
mencari jejak wanita itu. Hingga nyaris menyangka
perbuatan Roro Centil, seperti diceriterakan di bagian
depan.
Untunglah  si  nenek Pendekar wanita itu ber-
jumpa dengan si Belut Putih yaitu Gembul Sona yang
telah mengetahui bahwa adanya seorang wanita pe-
nyamar Roro Centil yang melakukan kejahatan mem-
fitnah Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Hingga ben-
trokan dapat dihindari. Belakangan si nenek ini men-
dengar berita kematian kedua murid wanitanya oleh
wanita itu. Tentu saja di Rimba Persilatan cepat tersiar
berita pertarungan yang membawa kematian dua
orang murid wanitanya, dan mengetahui selamatnya
seorang murid wanitanya bernama Parmi karena dis-
elamatkan seorang pemuda bergelar si Pendekar Selat
Karimata alias Sambu Ruci.
Dengan dendam berkobar, si nenek pendekar
itu mencari jejak Giri Mayang. Hingga akhirnya berha-
sil menjumpai setelah mendengar berita adanya seo-
rang Kepala Desa di desa Tembilang yang baru diada-
kan pengangkatan oleh penduduk desa itu. Wanita
bangsawan istri si bangsawan muda itu amat dicuri-
gainya. Dan benarlah, apa yang menjadi dugaannya.
Pertarungan seru segera terjadi, akan tetapi Giri

Mayang tidak turun tangan. Adhinata-lah yang dipe-
rintahkan melayani wanita Pendekar Tua itu oleh Giri
Mayang, yang kemudian berakhir dengan kematian si
nenek Pendekar Taring Naga dengan kematian yang
mengerikan.
Kiranya saat itu Ki Gembul Sona telah melihat
kejadian itu. Dia memang berniat membantu wanita
Pendekar itu untuk mencari Giri Mayang. Melihat ke-
matian si nenek Pendekar Taring Naga oleh si Manusia
Beracun, membuat keringat dingin ki Gembul Sona
bercucuran ditempat persembunyiannya. Kejadian itu
memang di luar dugaan, karena di saat dia mau mun-
cul mencegah sahabat tuanya itu telah keburu tewas
terkena pukulan Adhinata yang mengandung racun
luar biasa.
"Hihihi... keluarlah dari tempat persembunyian
mu, orang tua...!" Teriak Giri Mayang mengumbar tawa
yang sejak tadi pentang mata dan pasang telinga den-
gan duduk santai di atas kuda. Mengetahui dirinya
sudah diketahui kedatangannya, terpaksa Gembul So-
na munculkan diri. Berkelebatlah dia keluar dari tem-
pat sembunyinya. Dan berdiri tegak dengan gagah me-
natapkan pandangan pada kedua  sejoli itu berganti-
ganti.
"Bagus, ternyata anda seorang Pendekar Tua
yang gagah dan bernyali macan. Sayang kaupun akan
segera tewas menyusul sahabatmu itu, Gembul Sona!"
Berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Dan ujarnya
pada Adhinata.
"Hihihi... suamiku, satu lagi keledai tua ini kau
kirimkan nyawanya ke Alam Baka, tampaknya dia su-
dah tak sabaran lagi untuk mampusss...!" Membeliak
mata Gembul Sona karena gusarnya. Dendamnya pada
wanita itu tak alang kepalang, karena wanita itulah
yang telah membakar Pesanggrahan dan menewaskan

beberapa orang anak buahnya. Belakangan  diketa-
huinya pula kalau si Ririwa Bodas adalah gurunya,
yang telah membantai habis anak buah dan para mu-
ridnya menggunakan ilmu hitam. Bahkan dia sendiri
nyaris tewas. Dan wanita itu pula yang telah menyebar
maut dengan ular-ular siluman ciptaan si Ririwa Bo-
das. Menumpas wanita telengas berhati iblis ini adalah
tugas kewajiban kaum Pendekar. Dan.... memikir de-
mikian Ki Gembul Sona sudah menghunus kerisnya
seraya membentak dengan suara menggeledek.
"Giri Mayang...! turunlah kau, mari bertarung
nyawa denganku, mengapa kau memperalat murid ka-
kak seperguruanku ini untuk melawanku? Sungguh
tak tahu malu!" Akan tetapi Giri Mayang cuma tertawa
terpingkal-pingkal seraya menjawab.
"Hihiihi.... dia ini suamiku, masakan tak layak
kalau seorang suami membela dan mewakilkan is-
trinya membunuh keledai tua macam kau?"
"Setan...!" maki Gembul Sona. Dadanya tampak
berombak-ombak karena menahan geram. Sementara
Adhinata berdiri mematung menatap paman gurunya
itu,  agak ragu hatinya untuk menempur Ki Gembul
Sona.
"Adhinata, ingatlah! apakah gurumu Ki Panun-
jang Jagat tak kau hargai jerih payahnya mendidikmu
untuk menjadi seorang Pendekar penegak kebenaran,
mengapa kau terbius oleh bujukan wanita iblis itu un-
tuk melakukan perbuatan tercela...?" berkata Gembul
Sona. Sebisa mungkin kakek ini mencoba menyadar-
kan si Manusia Beracun.
"Kau memang perlu dikasihani, Adhinata, kau
telah jadi korban ambisi si Raja Racun yang mau me-
rajai dunia! Ingatlah, kejahatan tak akan abadi di atas
jagat raya ini! kembalilah ke jalan benar! aku akan
membantumu melenyapkan racun jahat yang menge-

ram di tubuhmu...!" lanjut Gembul Sona yang cepat
mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum
mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum
pentang suara.
"Tutup bacotmu, keledai tua!" Tiba-tiba mem-
bentak Giri Mayang seraya lancarkan pukulannya dari
jarak jauh. Angin panas membersit menerpa tubuh
Gembul Sona. Namun dengan ajian Belut Putih puku-
lan itu kalis, dan lewat tanpa menyentuh kulitnya.
Menggeram marah Giri Mayang. Tubuhnya sekejap su-
dah melompat dari punggung kuda. Dan menerjang
kakek tua itu dengan hantaman bertubi-tubi.
Sementara itu puluhan ekor kuda telah mende-
kat dengan perdengarkan derapnya. Dan ratusan lang-
kah laki-laki manusia mulai mengepung sekitar tempat
itu. Ternyata lasykar Kerajaan Sunda Kelapa yang di-
pimpin Senapati Kerta Bumi telah mulai bergerak un-
tuk kedua buronan Kerajaan yang telah membuat ke-
resahan hati sang Baginda Raja. Dan menghawatirkan
merebut kekuasaan. Sekejapan saja ratusan regu pe-
manah telah disiapkan ke segenap penjuru. Tentu saja
semua itu tak luput dari mata Adhinata. Timbulah se-
ketika kebimbangan di hati pemuda Manusia Beracun
itu. Saat mana pertarungan hebat tengah berlangsung
di  hadapanya. Giri Mayang ternyata  tak tahan emosi
untuk membunuh kakek tua bernama Gembul Sona
itu dengan tangannya sendiri. Ternyata setelah berta-
rung beberapa jurus, Giri Mayang merasa kesulitan
kalau tak mempergunakan ilmu sihir hitamnya. Segera
dia merobah dirinya menjadi berujud seekor ular besar
berkepala tujuh. Terperangah Ki Gembul Sona. Namun
berbarengan dengan saat itu Ki Panunjang Jagat dan
Sambu Ruci telah berkelebat muncul.
"Mari kita hadapi wanita iblis ini bersama-
sama...!" Teriak Sambu Ruci. Sementara Ki Panunjang

Jagat justru menatap pada Adhinata. Dan.... kedua
pasang mata guru dan murid itupun saling bertatapan.
Diam-diam Ki Gembul segera membisiki di telinga ka-
kak seperguruannya ini.
"Hm, aku sudah mengambil keputusan untuk
menumpasnya, amat berbahaya! kau lihatlah sendiri
muridku ini telah menjadi musuh Kerajaan! apakah
kau tak mengetahui kalau  Adhinata telah membantai
habis para prajurit di Kepatihan. Dan telah membunuh
pula Ki Patih Kerajaan Sunda Kalapa! Rasanya sulit
aku melindungi!" Tukas Ki Panunjang Jagat. Terkejut
Gembul Sona ketika menatap berkeliling ternyata telah
berdiri berjajar ratusan prajurit pemanah yang telah
slap melepaskan anak-anak panahnya. Pada saat itu
tujuh kilatan lidah api dari mulut ular penjelmaan Giri
Mayang telah meluncur untuk menambus tubuh me-
reka. Terperangah ketiga pendekar ini, segera berlom-
patan menghindarkan diri. Dan sekejap saja terjadilah
pertarungan tiga orang pendekar itu menempur mak-
hluk ular aneh berkepala tujuh yang menyeramkan.
Suara-suara mendesis dan kilatan-kilatan lidah api
menyumbrat disana-sini. 
Dan ketiga pendekar ini pun bertarung dengan
gigih untuk membunuh mahkluk ular itu. Tampaknya
keadaan ular itu mulai terdesak, karena kilatan-
kilatan cahaya pedang Sambu Ruci dan keris pusaka
Ki Gembul Sona dapat melumpuhkan sambaran lidah
api. Bahkan pedang Sambu Ruci berhasil menabas pu-
tus leher salah satu ular. Makhluk itu perdengarkan
desisannya. Menggelinjang dengan menerjang semakin
hebat. Akan tetapi... Cras...! kembali satu kepala ular
terbatas oleh keris Gembul
Sona. Terdengar jeritan suara wanita. Dan se-
konyong konyong tubuh sang ular itu lenyap jadi gum-
palan asap. Apakah yang terlihat?.

Giri Mayang berdiri dengan tubuh sempoyon-
gan. Tampak kedua buah lengannya terbabat putus...!
Darah berhamburan memercik ke tanah. Wajah wanita
ini perlihatkan seringai yang menyeramkan. Pasukan
pemanah yang melihat kejadian itu mulai maju lagi se-
tindak. Saat itu tiba-tiba terdengar suara berkata den-
gan nada parau.
"Tunggu...! kalian tak dapat membunuhnya be-
gitu saja! Dan..... berkelebat sebuah bayangan me-
nyambar tubuh wanita itu. Sekejap saja karena den-
gan gerakan cepat sekali sosok tubuh yang me nyam-
bar tubuh Giri Mayang telah berkelebat lenyap keluar
dari kepungan ratusan prajurit pemanah tanpa terlihat
siapa yang menyambarnya. Terperangah semua mata.
Bahkan betapa amat masygulnya hati Senapati Kerta
Bumi. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat pula mun-
cul sesosok tubuh. Dialah Roro Centil, yang duduk di
atas punggung harimau Tutul yang besarnya hampir
sebesar kerbau. Segera semua mata memandang ke
arahnya.
Tenang sobat-sobat! biarlah aku yang menge-
jarnya! Hm, urusan si wanita itu adalah urusanku...!"
Selesai berkata, Roro Centil berikan isyarat menepuk
punggung si Harimau Tutul yang perdengarkan ge-
ramnya. Dan.... melesatlah tubuh si harimau Tutul itu
bagaikan lewatnya angin mengejar Giri Mayang yang
dilarikan seseorang.
Sementara itu semua mata kini tertuju pada si
Manusia Beracun. Urusan Giri Mayang masih belum
tuntas, akan tetapi mereka cukup mengandalkan ke-
mampuan Roro Centil untuk menumpasnya. Kini uru-
san si Manusia Beracunlah yang harus dituntaskan.
"Adhinata! apakah kau masih menganggapku
sebagai gurumu?" tiba-tiba Ki Panunjang Jagat ajukan
pertanyaan pada bekas muridnya. Tampak wajah Ad-

hinata menegang, sebentar pucat sebentar merah. Su-
kar sekali dia menjawab pertanyaan gurunya. Semen-
tara suasana menjadi hening. Dari ratusan manusia di
sekitar tempat itu seolah tak terdengar sedikitpun sua-
ra. Selain semua mata menatap pada si Manusia Bera-
cun, dan menunggu jawaban kata-kata yang keluar
dari mulut pemuda itu.
"Aku... aku telah jadi seorang murid yang mur-
tad, guru...!" Akhirnya menjawab si Manusia Beracun.
"Semua itu dapat aku ampuni, asalkan kau
kembali sadar! Apakah kau tetap akan menuruti ambi-
si mu merajai kolong jagat ini dengan kekuatan racun
dahsyat di tubuhmu...?" Tanya Ki Panunjang Jagat.
"Tadinya aku berniat, guru...!"
"Lalu apakah kini kau sudah merobah niat
itu?" bertanya lagi Ki Panunjang Jagat.
"Ya... aku... aku telah merobah niat itu!" sahut
Adhinata dengan menunduk. Ki Panunjang Jagat dan
Gembul Sona sailing  berpandangan. Dan lambat-
lambat Senapati Kerta Bumi menghampiri, lalu bisikan
kata-kata di telinga kakek puncak Tangkuban Perahu.
Kini terlihat Ki Panunjang Jagat manggut-manggut.
Wajahnya tak menampilkan perobahan sedikitpun. La-
lu ujarnya pada Adhinata.
"Baiklah, muridku...! sukurlah kalau kau telah
kembali pada kesadaranmu ...! Kini gusti Adipati Kerta
Bumi dari kerajaan Sunda Kalapa  akan bicara pada
mu...!Selesai berkata Ki Panunjang Jagat berpaling pa-
da Senapati itu seraya berkata. "Silahkan bicara pa-
danya, Gusti Senapati...!" Senapati ini mengganguk.
Dan Ki Panunjang jagat segera menjura padanya, lalu
kedipkan mata pada Gembul Sona dan Sambu Ruci.
Dan mendahului berkelebat keluar dari lingkaran ke-
pungan prajurit. Hal mana segera diikuti Gembul Sona
dan Sambu Ruci, yang segera melompat keluar me-

nyusul Ki Panunjang Jagat.
Setiba di luar...
"Aneh, apakah yang akan dibicarakan Senapati
Kerta Bumi itu? mengapa kita tak diberi izin menden-
garnya...?" Tanya Gembul Sona pada kakak sepergu-
ruannya. Sambu Ruci sendiri tak mengerti. Dia hanya
menatap pada kedua tokoh tua Rimba Persilatan itu si-
lih berganti. Tiba-tiba terdengar suara aba-aba yang
sangat nyaring dari suara Senapati Kerta Bumi. Ketika
mereka menoleh ke belakang, segera terdengar suara
bising dari terlepasnya ratusan anak panah yang se-
perti tiada habisnya. Dan selang sesaat terdengar te-
riakan sorak sorai dari para prajurit lasykar Kerajaan
Sunda Kelapa menggegap gempita. Apakah yang terja-
di? Kiranya ratusan anak panah segera meluruk ke tu-
buh Adhinata si Manusia Beracun itu, begitu Senapati
Kerta Bumi memberi aba-aba, dan secepat kilat me-
lompat keluar dari lingkaran pasukan pemanah yang
telah mengurung si Manusia Beracun.
Tak ampun lagi tubuh si Manusia Beracun ro-
boh ke tanah dengan terpanggang berpuluh-puluh
anak panah. Dan tewas.... tanpa berkelojotan lagi. Ter-
nyata bisikan Senapati itu adalah menyatakan bahwa
tak ada jalan lain bagi murid si kakek puncak Tangku-
ban Perahu itu selain kematian. Karena secara tidak
langsung Adhinata telah menjadi musuh Kerajaan.
Dan titah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kalapa tak
dapat lagi dibantah, yaitu menumpas si Manusia Bera-
cun karena membahayakan bagi Kerajaan juga umat
manusia!
Kalau Sambu Ruci dan Gembul Sona menoleh
ke belakang, adalah Ki Panunjang Jagat tetap melang-
kah tanpa menoleh sedikitpun. Bahkan berjalan den-
gan menundukkan wajahnya. Ternyata dari celah ke-
dua kelopak mata kakek tua itu telah membersit turun

dua titik air mata. Air mata haru, tapi juga penuh ke-
relaan "Apakah yang terjadi, kakang Panunjang Ja-
gat...?" tanya Gembul Sona, seraya mengejar kakak se-
perguruannya dan terkejut melihat wajah sedih serta
air mata kakek itu mengalir turun membasahi pipi.
Sementara Sambu Ruci pun segera balikan tubuhnya
menyusul kedua kakek itu.
Terdengar Ki Panunjang Jagat menghela napas,
seraya ujarnya.
"Tak ada lain jalan selain kematian yang harus
di  jatuhkan pada Adhinata! karena dia telah menjadi
musuh Kerajaan yang membahayakan...! itu sudah
menjadi perintah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kala-
pa!"  Terhenyak Ki Gembul Sona dan Sambu Runci,
yang seketika jadi tercenung tanpa bisa bicara apa-
apa.
"Tapi aku bahagia, karena Adhinata telah sadar
sesaat sebelum kematian menjemputnya...!" sambung
Ki Panunjang Jagat.
"Benar! walaupun demikian tragis kematiannya,
akan tetapi dia masih bisa digolongkan sebagai pahla-
wan. Walaupun cuma sebagai pahlawan tanpa jasa...!
Yah, kini tuntaslah sudah urusan kita! sementara kita
bisa bernapas lega. Tinggal menunggu kabar saja nanti
apakah Roro Centil dapat menumpas wanita iblis itu?"
Tukas Ki Gembul Sona. Dan Ki Panunjang Jagat cuma
manggut-manggut seraya menghela nafas. Demikian
juga Sambu Ruci.
Sorot Matahari senja itu mulai memudar. Di
ufuk barat sana terlihat cahaya merah dari belakang
perbukitan. Ketika itu ketiga orang pendekar pembela
kebenaran yang masing-masing berbeda usia segera
berpisah. Gembul Sona pergi ke arah barat. Sedangkan
Ki Panunjang Jagat menuju ke utara. Dan Sambu Ruci
ke arah selatan...

Perjuangan kamu pendekar dalam menumpas
segala macam bentuk kejahatan agaknya memang tak
pernah tuntas. Karena 1001 macam kejahatan selalu
bermunculan di  atas jagat raya ini. Demikian pula
dengan Roro Centil sang Pendekar wanita pantai Sela-
tan.
Sebulan kemudian memang ada berita kema-
tian beberapa tokoh golongan hitam,  akan tetapi bu-
kanlah manusia yang diburu Roro, karena Giri Mayang
seolah lenyap bagai ditelan bumi. Adapun baiknya me-
nurut Pengarang diberitahukan saja pada pembaca,
bahwa sosok tubuh yang menyambar tubuh Giri
Mayang dan menyelamatkan jiwanya tak lain dari si
nenek mata juling yang punya anak buah tujuh mah-
luk kerdil. Kelak Giri Mayang memang masih muncul
untuk menyebar kejahatan dengan ilmu barunya yang
lebih hebat.
Dan adalah tugas kaum Pendekar termasuk
Roro Centil  si Pendekar wanita Pantai Selatan untuk
menumpasnya. Dengan demikian berakhir kisah Lang-
kah-langkah Manusia Beracun....


TAMAT