Roro Centil 14 - Manusia Beracun(1)





Hak Cipta Pada Pengarang 
Di bawah Lindungan Undang-undang


SATU

Puncak TANGKUBAN PERAHU terlihat agak
samar tertutup mega putih. Mentari baru saja lepas
dari peraduannya untuk jalankan tugas luhur dari
Yang Maha Kuasa memberikan sinarnya pada alam
semesta. Sesosok tubuh tampak menuruni lereng den-
gan gerakan cepat. Bila dilihat sepintas bagi mata
orang biasa tentu akan menyangka bayangan hantu
putih, yang berkelebatan diantara pepohonan menu-
runi lereng-lereng terjal itu dengan cepat sekali, Akan
tetapi bagi mata orang yang telah terlatih, segera dapat
melihat siapa adanya bayangan itu.
Ternyata adalah seorang laki-laki yang berpa-
kaian serba putih. Menyandang pedang yang tersem-
bul dipundaknya. Ketika telah melalui hampir seperti-
ga dari ketinggian puncak Gunung itu, tampak dia
hentikan larinya dengan berdiri di  atas batu besar,
Pandangan matanya menyapu alam sekitarnya. Dia
seorang laki-laki yang masih muda berusia kira-kira
delapan belas tahun. Berwajah tampan. Beralis tebal
agak menjungkit ke atas. Rambutnya panjang sebatas
bahu dengan ikat kepala warna putih. Sikap penampi-
lannya memang gagah. Sepintas orang yang melihat
akan memuji kagum akan kegagahannya, Walaupun
cuma berpakaian sederhana dan terbuat dari bahan
kasar.
"Hm, menurut petunjuk guru, aku harus mela-
kukan perjalanan ke arah selatan untuk bisa menjum-
pai seorang yang bernama GEMBUL SONA! Dengan

menunjukkan tato di  lenganku ini, aku bisa diterima
menjadi murid orang tua gagah yang masih terhitung
paman guruku. Dan kelak bila aku telah menuntut il-
mu dan menguasai ajian "Belut Putih", ha ha ha ....
ADHINATA bukan lagi seorang pemuda yang gampang
dibodohi...!" Terdengar dia berkata sendiri.
Tak lama pemuda itu sudah berkelebat lagi
menuruni lereng dengan gerakan cepat. Tidaklah mu-
dah untuk menuruni lereng gunung Tangkuban Pera-
hu yang masih berkabut serta penuh bahaya di depan
mata. Binatang buas seperti harimau atau ular berbisa
serta lereng terjal bisa membawa kematian setiap saat.
Akan tetapi Adhinata adalah penghuni dari tempat
yang penuh bahaya itu. Lebih dari lima tahun dia ber-
diam di puncak Tangkuban Perahu untuk berguru pa-
da seorang tua gagah bernama Ki PANUNJANG JAGAT.
Kakek kosen itu telah menurunkan bermacam
ilmu kedigjayaan padanya. Dan pada hari itu adalah
masanya dia turun gunung, karena telah menamatkan
pelajarannya. Namun sang guru menugaskan Adhinata
untuk memperdalam ilmunya pada sang adik sepergu-
ruannya yang bernama GEMBUL SONA di wilayah se-
latan.

---ooOoo---

Rakyat wilayah desa Padukuhan yang terletak
tak jauh dari Gunung BUKIT TUNGGUL baru saja
mengalami sebuah musibah, yaitu munculnya ratu-
san, bahkan ribuan ular-ular berbisa besar dan kecil
dari perbagai jenis yang menyebar ke  rumah-rumah
penduduk. Tentu saja keadaan menjadi kacau. Jerit
ketakutan terdengar disana-sini. Kemunculan ular-
ular berbisa Itu pada tengah malam. Menjelang pagi
segera diketahui banyak korban berjatuhan. Belasan

penduduk terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak
kedapatan mati dengan tubuh keracunan. Dan aneh-
nya pada dinihari ular-ular itu lenyap.
Ratap tangis terdengar dari beberapa rumah
yang keluarganya menjadi korban. Tentu saja pendu-
duk jadi resah ketakutan. Beberapa keluarga sudah
melakukan pengungsian ke beberapa desa lain, karena
khawatir ular-ular itu kembali lagi. Menjelang malam
tiba diadakan penjagaan ketat. Tampak wajah-wajah
dari setiap peronda dalam keadaan tegang. Pada len-
gan masing-masing memegang senjata. Apa saja yang
bakal dipergunakan. Ada yang membawa golok, pe-
dang, arit atau tombak serta bermacam senjata yang
dapat dipergunakan untuk membunuh ular-ular. Me-
reka berkumpul menjadi beberapa kelompok. Masing-
masing kelompok dipimpin oleh seorang laki-laki yang
berani. Obor-obor dipasang di setiap halaman rumah.
Juga mereka masing-masing mencekal sebuah obor.
Desa Padukuhan jadi tampak terang-benderang seperti
tengah mengadakan pesta.
Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar
suara desis dari segala penjuru. Benar saja, ular-ular
itu kembali bermunculan. Akan tetapi para pemuda
desa dan kaum laki-laki tua segera pergunakan obor
dan senjata-senjatanya untuk membunuh, merencah
ular-ular itu. Kegaduhan kembali menyibak di sekitar
desa Padukuhan. Suara teriakan, jeritan dan suara
tombak atau kayu serta alat pemukul lainnya yang di-
pergunakan membunuh ular-ular Itu terdengar di sa-
na-sini. Obor-obor pun dipergunakan untuk mengusir
makhluk melata yang tak ketahuan dari mana datang-
nya itu.
Akan tetapi mereka pun akhirnya kewalahan.
Ratusan ular itu bermunculan silih berganti seperti
tiada habisnya. Bahkan mulai menyerang mereka yang

mencoba mengusir dan membunuhnya. Beberapa pe-
ronda sudah perdengarkan jeritannya, karena puluhan
ular yang menerobos semakin banyak dan berhasil
mematuk mereka. Akhirnya keadaan kembali kacau
balau. Bahkan  api dari obor yang terlempar telah
membuat salah sebuah rumah segera terbakar.
Jeritan wanita dan   anak-anak menambah ke-
gaduhan dimana-mana. Ternyata ratusan ular itu te-
lah menerobos masuk ke dalam rumah. Mematuk atau
membelit setiap sesuatu yang bergerak. Korbanpun
kembali berjatuhan.....Sementara kebakaran tak dapat
diatasi. Tiga buah pondok terbakar musnah jadi abu
dan puing.
Menjelang pagi hari ribuan ular itu kembali le-
nyap. Dan tampaklah sebuah pemandangan tragis.
Mayat bergelimpangan dimana-mana. Kali ini korban
bukan saja oleh ular berbisa melainkan juga oleh api,
yang membakar tak kurang dari lima belas manusia
besar dan kecil. Sementara puluhan penduduk berge-
limpangan tak bernyawa dengan bekas-bekas patukan
di sekujur tubuhnya.
Suara derap kaki-kaki kuda telah mendatangi
desa Padukuhan di pagi yang masih agak temaram itu.
Ternyata Tumenggung TIRTALAGA yang datang bersa-
ma sebelas pengawalnya. Mereka adalah para pengaw-
al utama yang mempunyai kepandaian tinggi.
"Ah...?" Sang Tumenggung keluarkan suara ter-
sentak, memandang mayat-mayat yang bergelimpan-
gan itu dengan mata membeliak.
"Ular-ular keparat dari manakah yang meng-
ganggu ketentraman penduduk desa ini?" Terdengar
suara desisnya bercampur haru. Beberapa orang desa
yang masih bisa menyelamatkan nyawanya tergesa-
gesa menyambut kedatangan Tumenggung ini, dengan
duduk bersimpuh dan wajah-wajah trenyuh.

"Aku sungguh tak menduga kalau kejadian
akan berulang...!" Berkata Tumenggung Tirtalaga den-
gan suara haru. Dan Seperti menyesal akan tindakan
yang diambilnya, hingga ketika laporan datang dia tak
cepat menanggapi. Ya...! cuma karena seorang perem-
puan.....Agak lama Tumenggung ini tercenung.
Namun segera sadar dan perintahkan sebelas
pengawalnya untuk membantu mengangkati jenazah
dari para korban ular-ular berbisa. Segera kesebelas
pengawal itu melompat turun dari kudanya untuk ber-
gegas menjalankan tugas itu. Sedangkan Tumenggung
itu sendiri segera memeriksa keadaan sekitar desa.
Kening laki-laki berusia 40 tahun ini berkerut, karena
anehnya dia tak melihat sepotong pun bangkai ular.
Menurut laporan yang baru saja diterimanya,
malam tadi semua laki-laki berjaga-jaga dan memben-
tuk beberapa kelompok di setiap tempat dengan siap-
siaga untuk menjaga kalau-kalau ular-ular itu datang
lagi. Jelas dari bekas-bekas kejadian pertarungan me-
lawan makhluk itu terlihat disana-sini, yang keadaan-
nya porak-poranda.

-ooOoo-

Terduduk sang Tumenggung diakar pohon. Se-
pasang matanya menatap jauh ke  depan. Jauh seka-
li.... ke masa yang telah silam. Dan terbayanglah pada
kelopak matanya seorang tokoh hitam yang menama-
kan dirinya si RAJA RACUN. Manusia itu memang se-
lalu membawa ular-ular kemanapun dia
pergi. Akan tetapi itu ular sungguhan, tidak se-
perti yang terjadi pada saat ini. Jelas ular yang datang
ribuan banyaknya dan menyerang desa adalah ular-
ular siluman. Demikian memikir dibenak Tumenggung
Tirtalaga.

Ular-ular siluman itu bisa datang sedemikian
banyaknya pasti suruhan orang!" Desis suara sang
Tumenggung yang terdengar perlahan. Entah siapakah
manusianya yang telah melakukan perbuatan keji ini?
Dan apakah kesalahan penduduk desa padukuhan
ini.. ? Gumamnya dalam hati.
Pada saat itu seorang pengawal telah meng-
hampirinya. Ternyata memberi laporan pada atasan-
nya itu. "Gusti Tumenggung seorang pemuda mengaku
bernama ADHINATA telah kami tahan. Karena dia
membawa seekor ular..! Hamba mempunyai prasang-
ka,  jangan-jangan dialah si pawang ular yang telah
mendalangi kejadian di desa ini!" Tutur sang pengawal
dalam laporannya. Tampak Tumenggung Tirtalaga ke-
rutkan keningnya.
"Seorang pemuda bernama ADHINATA...?" Gu-
mamnya perlahan.
"Ya! Hamba kira ada baiknya gusti memeriksa
anak muda itu. Siapa tahu kalau gurunya adalah seo-
rang tokoh keji yang justru melakukan kejahatan
ini...!" Sambung sang pengawal.
"Hm, benar juga...! ya, siapa tahu! mungkin ju-
ga aku dapat mengorek beberapa keterangan dari mu-
lutnya!" Berkata Tumenggung dengan bangkit berdiri.
Lalu beranjak menghampiri kudanya untuk segera me-
lompat ke atas kelana. Tak lama sang Tumenggung
sudah berada di atas punggung tunggangannya.

***
DUA

Ternyata Adhinata telah dikurung oleh pengaw-
al-pengawal utama sang Tumenggung, karena dia
membawa seekor ular yang telah ditangkapnya diperja-

lanan ketika menuruni lereng Gunung Tangkuban Pe-
rahu. Tentu saja Adhinata jadi mendongkol karena di-
hadang oleh sepuluh pengawal Kerajaan itu, disamping
merasa heran karena dia merasa tak mempunyai kesa-
lahan apa-apa.
"Tunggulah sampai Gusti Tumenggung datang,
Beliau yang akan memeriksa mu dan mengizinkan kau
lewat bila ternyata kau tak mempunyai kesalahan!"
Berkata salah seorang dari pengawal itu. Tak lama ter-
dengar suara derap kaki kuda mendatangi. Dan mun-
cul sang Tumenggung bersama pengawal yang membe-
ri laporan tadi.
"Heh!?" Andakah tumenggung Tirtalaga itu...?"
Tanya Adhinata tanpa menjura. Sepasang lengannya
masih mempermainkan seekor ular hijau yang pan-
jangnya hampir satu kaki.
"Benar!" menyahut Tirtalaga dengan anggukkan
kepala, dan melompat turun dari kudanya.
"Boleh aku tahu siapa namamu, dan siapa gu-
rumu, anak muda...?" Tanyanya walaupun dia sudah
tahu nama pemuda itu. Dengan wajah sinis Adhinata
menatap tajam pada laki-laki abdi Kerajaan di  hada-
pannya. Semua itu dilakukan karena rasa mendong-
kolnya pada orang yang telah menahan langkahnya.
"Namaku Adhinata .... Guruku bernama Ki Pa-
nunjang Jagat yang bersemayam di  puncak Gunung
Tangkuban Perahu!" Sahut Adhinata dengan suara ke-
tus.
"Oh...? Kiranya anda murid kakek gagah itu?
Maafkanlah kami, sobat Adhinata! Kami terpaksa me-
nahanmu, karena setidak-tidaknya para pengawalku
mencurigai anda, sebabnya adalah binatang yang kau
pegang itu." Berkata sang Tumenggung dengan suara
rendah dan senyum menghias bibir.
"Maksud anda ular yang aku tangkap diperja-

lanan tadi ini...?"
Tanya Adhinata dengan terperangah. Tumeng-
gung mengangguk dengan menarik napas panjang. "Di
desa ini seperti kau lihat banyak mayat berserakan.
Mereka adalah para korban gigitan  ular berbisa." Tu-
kas Tirtalaga. Segera diceritakannya kejadian itu seca-
ra singkat pada Adhinata yang mendengarkannya den-
gan penuh perhatian. Sementara kesebelas pengawal
jadi tersipu. Setelah menjura pada Adhinata, segera te-
ruskan pekerjaannya membantu mengurus  para kor-
ban.
"Hendak kemanakah sebenarnya tujuanmu,
adik Adhinata?" Tanya Tumenggung.
"Aku dalam perjalanan ke selatan untuk men-
jumpai paman guruku yang bernama Gembul Sona!"
Jawab Adhinata, seraya meloloskan belitan tubuh ular
hijau itu dari tubuhnya. Jari-jarinya menjepit kuat
leher ular itu, sehingga makhluk itu tak bisa berkutik.
Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan
berkelebat, dan .... PLASH ....! Ular di tangan Adhinata
lenyap. Dan tahu-tahu di situ telah berdiri sesosok tu-
buh laki-laki berambut beriapan. Dengan pakaian
kumal penuh tambalan. Bau tak sedap segera teren-
dus hidung. Ternyata seorang laki-laki tua berwajah
menyeramkan. Sepasang matanya menonjol keluar.
Gigi besar-besar menyembul dari bibirnya yang tebal.
Mempunyai rahang yang lebar. Dengan kumis dan
jenggot tidak terurus. Dia membawa kantong kulit
yang tergantung di pinggang. Pada pergelangan lengan
dan kaki serta di lehernya tampak membelit ular-ular
belang. Itulah ular berbisa yang biasanya amat mema-
tikan. Sedang pada lengannya tampak ular hijau yang
baru saja sambarnya dari tangan Adhinata. Melihat
tampang orang ini, Tumenggung Tirtalaga kerutkan
keningnya. Sementara laki-laki itu sudah tertawa me-

nyeringai seraya mengelus-elus kepala ular hijau itu.
"Heheheheheh .... ular bagus! ular bagus...! Da-
ri mana kau dapatkan ular ini bocah?" Ujarnya seraya
menatap pada Adhinata. Sementara Adhinata sendiri
terkejut karena tadi merasa serangkum angin
menyambar pergelangan tangannya. Terpaksa dia le-
paskan ularnya kalau tak ingin lengannya tertotok.
Benar saja, ternyata gerakan cepat yang dilakukan
orang itu memang menotok pergelangan tangan Adhi-
nata, disertai menyambarnya lengan orang itu untuk
merampas ular yang dicekalnya.
Saat itu Tumenggung Tirtalaga telah berseru
dengan tersentak.
"Raja Racun...! kaukah adanya...?" Laki-laki tua
kumal itu palingkan wajahnya pada sang Tumenggung
seraya ucapnya dengan menyeringai.
“Heheheheh... benar! Aku si Raja Racun! Sudah
lebih dari empat tahun kita tak pernah berjumpa Tu-
menggung!"
"Heh! benar... akan tetapi kau masih punya
persoalan yang belum diselesaikan terhadap Adipati
KAMBANGAN. Dan tugas untuk menangkapmu masih
berlaku!" Berkata  Tumenggung Tirtalaga   seraya beri-
kan isyarat pada para pengawal anak buahnya untuk
mengurung si Raja Racun ini. Enam orang pengawal
yang melihat isyarat itu segera hunus senjatanya un-
tuk mengepung si Raja Racun dari enam penjuru. Me-
lihat gelagat demikian tampaknya si Raja Racun tak
menampakkan reaksi apa-apa. Bahkan dengan lengan
masih mengelus kepala ular hijau itu, kembali dia aju-
kan pertanyaan pada Adhinata.
"Eh, bocah... kau belum jawab pertanyaanku,
dari mana kau dapatkan ular yang bagus ini?" Adhina-
ta gerakkan alisnya menyatu, dengan menatap heran.
"Aku menemukan di lereng gunung Tangkuban

Perahu!" Jawabnya.
"Kesalahan apakah kau pada Adipati Kamban-
gan, hingga kau harus di tangkap! Bolehkah aku men-
getahui?" Tanya Adhinata. Sementara pandangannya
dialihkan menatap pada Tumenggung Tirtalaga.
"Hm, si Raja Racun ini pada empat tahun yang
lewat pernah merampok di gedung Kadipaten, dan me-
newaskan lebih dari selusin pengawal. Selain itu juga
menodai istri Kanjeng Adipati! Hal itu sudah bukan hal
biasa lagi. Akan tetapi menyangkut nama baik Kanjeng
Adipati  dan kami sebagai orang-orang bawasannya!
Aku telah ditugaskan untuk  mencarinya! Hidup atau
mati! Sayang dia melenyapkan diri tak ketahuan ke-
mana rimbanya!" Tentu saja penjelasan itu membuat
Adhinata melengak. Sementara sang Tumenggung te-
lah mencabut kerisnya. Dan membentak keras.
"Raja Racun...! kau serakanlah dirimu untuk
kami belenggu. Dan terserah Adipati. Beliaulah yang
akan menentukan hukuman buatmu...!"
"Heheheh... kejadian itu sudah terlalu lama.
Dan selama ini aku tak pernah melakukan perbuatan
apa-apa selain mengeram diri di sarangku. Kukira se-
baiknya lupakan saja hal itu! toh kau selamanya tidak
akan naik pangkat menjadi Adipati! heheheh..., he-
heh...!" Berkata Si raja Racun yang nama aslinya ada-
lah Langir Sheto.
"Kau telah salah beranggapan, Raja Racun! Wa-
lau seumur hidup aku tak naik pangkat, namun bagi-
ku tugas adalah tetap tugas yang harus dipatuhi! Dan
setiap kejahatan harus mendapat ganjaran hukuman!"
Ujar Tumenggung itu.
"Bagus! kau memang seorang abdi Kerajaan te-
ladan, Tumenggung Tirtalaga! kau suruhlah pengawal-
pengawalmu ini untuk meringkusku! Apakah punya
kemampuan hebat setelah sekian lama kau latih men-

jadi pengawal utama!" Tentu saja hinaan itu membuat
kesebelas pengawal yang sudah berkumpul menyebar
mengurung si Raja Racun itu jadi panas hatinya. Dan
tanpa menunggu perintah tiga orang telah menyerbu
dengan berbareng, diiringi bentakan keras menggele-
dek.
"Gembel bau...! bacotmu itu baiknya diremuk-
kan...!"
"Modar saja sekalian...!" Teriak seorang lagi
hampir berbareng. Dan tiga buah senjata terdiri dari
sebilah golok panjang dan dua buah tombak meluncur
deras untuk merencah dan memanggang tubuhnya.
Akan tetapi dengan mendengus si Raja Racun gerak-
kan tubuhnya melesat. Entah bagaimana tahu-tahu
sepasang kakinya telah menginjak dua mata tombak si
kedua pengawal. Serangan pengawal bergolok panjang
itupun lolos disela kakinya yang terpentang. Dan tahu-
tahu di  luar dugaan ular hijau yang dipegangnya itu
telah meluncur ke leher si pengawal bergolok panjang
yang seketika jadi terperanjat. Namun dia tak
sempat untuk mengelak lagi. Terdengar jeritan
menyayat hati karena  segera sang  ular telah mema-
gut. Ekornya masih tercekal di lengan si Raja Racun.
Pengawal itu lepaskan golok panjangnya, dan
roboh terjungkal untuk selanjutnya berkelojotan. Se-
mentara kedua pengawal telah tarik kedua tombaknya.
Mereka Jadi terheran, karena tubuh si Raja Racun itu
seperti seringan kapas menempel di kedua ujung tom-
bak. Namun justru mereka menariknya, tubuh si Raja
Racun bergerak cepat memutar. Sepasang kakinya te-
lah bergerak cepat sekali menghantam kedua pengawal
itu.
PRAK...! PRAK...!
Kedua pengawal itu perdengarkan teriakan se-
kejap, dan ketika kedua tubuh mereka menggabruk ke

tanah. Nyawanya pun lepas seketika. Ternyata kedua
batok kepalanya telah pecah dengan otak berhambu-
ran. Terperangah para pengawal lainnya dengan mata
membeliak kaget. Sementara si pengawal bergolok pan-
jang Itu ternyata sudah tewas dengan sekujur kulit tu-
buhnya berubah menghitam.
Betapa gusarnya para pengawal lainnya. Seren-
tak sudah berlompatan mengurung si Raja Racun. Kali
ini mereka telah mengambil pelajaran dengan kejadian
tiga pengawal yang bertindak ceroboh itu, untuk ber-
tindak hati-hati.
Dua orang maju membuka serangan. Seorang
mempergunakan sepasang kapak. Seorang lagi bersen-
jatakan sepasang tombak pendek bermata tiga. Den-
gan membentak keras kedua pengawal itu putarkan
senjata untuk selanjutnya menerjang dengan  jurus
pancingan. Si Raja Racun sambarkan ularnya ke arah
leher salah seorang sementara sebelah lengannya
menghibas. Melesatlah seekor ular belang kecil yang
menempel dipergelangan tangannya. Akan tetapi den-
gan sebat sepasang kapak dan sepasang tombak mere-
ka segera menghantam saling susul.
WHUT! WHUT! WHUKK! WHUKK...!
Di luar dugaan si Raja Racun menarik kembali
serangannya. Kecuali ular belang kecil. Namun gera-
kan selanjutnya teramat cepat, tahu-tahu  ular hijau
itu telah berubah arah menahan serangan dan justru
melesat untuk menyambar ke  bawah lengan hingga
sekejap telah menggubat di lengan si pemegang kapak.
Terkejut pengawal itu. Seketika sudah perdengarkan
pekikannya, karena sang ular telah memagutnya den-
gan ganas. Sepasang kapaknya secara tak sadar terle-
pas jatuh. Sementara ular belang itu sudah lolos dari
serangan.
Teriakan berikutnya adalah si pemegang tom-

bak pendek. Karena saat si Raja Racun menarik kem-
bali ular hijau, keadaan tubuhnya dalam posisi menye-
rang. Sebab sekali lengan si Raja Racun menghibas.
Menyambarlah seekor lagi ular belang dari pergelangan
lengan kirinya. Tahu-tahu sudah memagut leher pen-
gawal itu. Dan tubuh itu sekejapan sudah terjungkal
roboh dengan berkelojotan meregang nyawa. Di  lain
kejap nyawanya pun melayang.
"Jaga kerisku...!" Tiba-tiba terdengar bentakan
keras. Sinar berwarna kuning membersit cepat sekali
mengarah leher si Raja Racun. Itulah sambaran
keris pusaka Sang Tumenggung. Sejenak laki-laki
kumal berwajah buruk itu terpukau. Nyaris lehernya
kena terserempet kalau dia tak jatuhkan diri bergulin-
gan. Akan tetapi keris bersinar kuning itu seperti men-
gejar nyawanya. Kembali meluncur bersiulan mener-
jang tubuhnya. Beberapa serangan beruntun dari sang
Tumenggung itu dapat dihindarkan dengan perguna-
kan lompatan-lompatan mirip kodok. Ketika dengan
cepat tiba-tiba si Raja Racun menekan sebelah telapak
tangannya ke tanah. Tubuhnya bergerak memutar dan
pergunakan kakinya menghantam lawan. Gesit sekali
sang Tumenggung melompat menghindar. Justru si
Raja Racun luncurkan ular mautnya.
KREP! Ular hijau itu sudah menggubat leher
sang Tumenggung. Terperangah laki-laki abdi kerajaan
ini. Namun segera kerisnya bergerak menabas.
CRAS...! Putuslah leher ular hijau itu.
Tiga batang tombak yang dilemparkan tiga pen-
gawal itu nyaris memanggang tubuhnya kalau tak
sempat si Raja Racun menghindar dengan melompat
gesit. Di detik itu lengannya sudah bergerak mengibas.
Tiga ekor ular belang meluncur cepat sekali...
Dan terdengarlah jeritan parau para pengawal
Itu. Ternyata pada leher masing-masing telah menggu-

bat dan memagut ular-ular belang kecil itu untuk me-
renggut nyawa. Kembali roboh tiga pengawal yang te-
was seketika dengan tubuh berubah menghitam. "Aku
akan adu jiwa denganmu, iblis Raja Racun!"
Bentak sang Tumenggung yang segera pergu-
nakan kerisnya menerjang ganas. Segelombang angin
membersit mengeluarkan hawa dingin. Tampak tubuh
Tumenggung Tirtalaga berkelebat bagaikan bayangan
menerjang si Raja Racun dari perbagai penjuru.
Sekitar tempat itu tiba-tiba dipenuhi hawa din-
gin. Tiga orang lagi sisa pengawal sang Tumenggung
yang masih hidup itu segera melompat mundur dan
pasang mata untuk memperhatikan jalannya perta-
rungan. Sambil berjaga ketat untuk memberi bantuan
bila pemimpin mereka terdesak, disamping agak jeri
pada ular-ular belang yang ganas itu.

***

TIGA

Sementara Adhinata cuma berdiri terpaku tan-
pa mengambil tindakan untuk membantu salah satu
pihak. Nyatanya dia lebih senang menonton pertarun-
gan adu jiwa itu dengan tersenyum-senyum. Kadang-
kadang memuji sang Tumenggung yang mempunyai
gerakan lincah dengan keris di tangannya menyambar-
nyambar mengancam jiwa lawan. Namun sekejap su-
dah memuji si Raja Racun yang dapat melompat-
lompat mirip seekor kodok untuk menghindari seran-
gan ganas sang Tumenggung, dan melakukan seran-
gan balasan dengan ular-ularnya.
Sebelas jurus telah berlalu. Tampaknya si Raja
Racun sudah bosan untuk bertindak setengah-

setengah menguji kelincahan lawan. Tiba-tiba tubuh-
nya berkelabatan lebih cepat, hingga yang menampak
cuma bayangan tubuhnya saja menerjang sang Tu-
menggung dengan serangan-serangan ular mautnya.
Tumenggung Tirtalaga pun bukan orang yang berke-
pandaian rendah. Disamping berilmu tinggi, juga  ba-
nyak pengalaman di Rimba Hijau. Bahkan dia sudah
mengenal akan setiap gerakan si Raja Racun itu. Apa-
lagi dengan kemunculan manusia ini, justru dia sema-
kin bersemangat untuk menjatuhkan atau membunuh
lawan. Karena disinilah letaknya kesempatan menyele-
saikan tugasnya yang selama empat tahun dipikulkan
dipundaknya.
Titah sang Adipati Kambangan harus segera
tuntas. Itulah tekad yang telah bulat dihatinya. Keris
pusakanya segera digerakkan cepat untuk memben-
tengi tubuhnya, dari serangan-serangan ganas lawan.
Sementara lengan kirinya lakukan hantaman-
hantaman dahsyat!
CRASS! CRAS! Dua ekor ular belang terbabat
putus, ketika sang Tumenggung dengan perhitungan
mantap berhasil gunakan gerak tipu memindahkan
perhatian lawan pada serangan lengan kirinya. Puku-
lan lengan kiri Tumenggung ini justru lebih berbahaya
dari kerisnya, karena telah diisi dengan ajian-ajian
yang luar biasa. Terkadang angin pukulannya mem-
bersitkan hawa panas. Terkadang menerjang dengan
luncurkan hawa dingin yang dapat membekukan da-
rah lawan.
Merahlah wajah si Raja Racun, karena dia telah
menganggap enteng lawannya. Diam-diam dengan ber-
kelebatan menghindar dari serangan ganas sang Tu-
menggung, lengannya telah merogoh ke kantong kulit-
nya. Segenggam serbuk racun ganas segera meluruk
bagai hujan ke arah Tumenggung itu....

Tampaknya sukarlah sang Tumenggung itu
menghindarkan diri, karena serbuk racun itu amat ha-
lus yang menyebar dengan cepat di luar dugaan laki-
laki abdi kerajaan itu.
Terperangah sang Tumenggung seketika. Ju-
stru serangan mendadak itu dilakukan di saat dia len-
gah, karena terpancing oleh tipu daya lawan, yang
hentikan serangan untuk biarkan dirinya menyerang.
Hingga sang Tumenggung tak lagi membentengi tu-
buhnya. Dan di saat yang baik, si Raja Racun gunakan
kesempatan itu untuk menyerang dengan menaburkan
serbuk racun.
"Celaka...!" Sentak sang Tumenggung. Saat itu
tubuhnya dalam keadaan doyong ke  depan setelah
gagal menyerang lambung lawan dengan keris pusa-
kanya. Justru tubuh si Raja Racun menyelinap ke ba-
wah dengan lompatan kodoknya, dan serangan bubuk
halus dari racun ganas itu meluruk dengan cepat su-
kar untuk dihindarkan lagi.....
PRASSS....! Terdengar teriakan parau Tumeng-
gung Tirtalaga. Dan terjungkal roboh dengan seketika,
untuk seterusnya berkelonjotan meregang nyawa. Se-
kejap kemudian tubuh laki-laki gagah perkasa itu su-
dah mengejang kaku dengan perut membusuk menge-
luarkan cairan berwarna hitam. Terperangah ketiga
pengawal dengan mata membeliak melihat kejadian
yang berlangsung cepat itu. Tak sempat lagi mereka
bertindak. Karena pertarungan itu berada ditingkatan
mereka. Dan serangan mendadak itu terlalu cepat un-
tuk diikuti penglihatan mereka.
Serentak ketiga pengawal itu melarikan diri lin-
tang pukang.... Ternyata si Raja Racun tak mengejar-
nya, melainkan tertawa terbahak-bahak, membuat tiga
pengawal itu ketakutan setengah mati, dan lari jatuh
bangun. Sementara Adhinata masih berdiri terkesima

melihat semua kejadian itu.
"Serangan ganas...! Racun yang hebat dan
mengerikan...!" Gumamnya dengan suara berdesis. Se-
pasang matanya sudah dialihkan lagi menatap pada
mayat sang Tumenggung Tirtalaga, setelah melihat ke-
tiga pengawal itu lenyap dikerimbunan pepohonan.
"Hahahahah... benar! inilah racun ular yang
amat langka, yang kutemukan di sebuah pulau terpen-
cil. Ular hijau yang kau temukan itupun mempunyai
bisa yang hebat!" Berkata si Raja Racun. Sepasang ma-
tanya sudah bergerak mencari-cari kepala ular yang
terbabat putus keris Tumenggung Tirtalaga tadi, dian-
tara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sesaat sudah ditemukan dan dengan sekali tu-
buhnya membungkuk, potongan kepala ular itu sudah
berada dalam cekalan tangannya. Sementara orang-
orang desa Padukuhan yang melihat pertarungan maut
itu sejak tadi sudah menyingkirkan diri.
"Hm, siapakah namamu, bocah? Tampaknya
kau tak ambil perduli pada pertarungan barusan. Ti-
dakkah kau berhasrat menolong si Tumenggung ini?"
Tiba-tiba si Raja Racun ajukan pertanyaan pada Adhi-
nata.
"Heh, apa urusannya denganku? Aku tak
mampu mencampuri urusan yang bukan urusanku!"
Ujar Adhinata dengan wajah angkuh. "Namaku Adhi-
nata." Melengak si Raja Racun Langir Sheto ini. Akan
tetapi segera perdengarkan suara tertawa terbahak, se-
raya ujarnya.
"Hahahah... hahahah... bagus! bagus! baru se-
kali ini aku menjumpai orang yang berpendirian sema-
cammu!"
"Kemanakah tujuanmu anak muda...? Tam-
paknya kau baru saja turun gunung. Siapakah nama-
mu, dan siapa pula gurumu?" Tanya si Raja Racun

dengan sepasang mata agak disipitkan memperhatikan
wajah dan perawatan tubuh Adhinata. Seperti tengah
menaksir atau menimbang-nimbang tulang belulang
pemuda di hadapannya yang tampak bertulang besar-
besar berbungkus kulit dan daging serta otot yang ke-
kar.
"Namaku Adhinata. Benarlah seperti dugaan-
mu, Raja Racun....! Aku baru saja turun gunung. Gu-
ruku bernama Ki Panunjang Jagat. Dan tujuanku ada-
lah menuju ke wilayah selatan untuk menemui paman
guruku...!" Sahut Adhinata. Kakek bermuka seram itu
krenyitkan alisnya.
"Siapakah nama paman gurumu itu...?" Tanya
lagi si Raja Racun.
"Beliau bernama Gembul Sona!" Sahut Adhina-
ta tanpa menyebutkan nama julukannya. Akan tetapi
Langir Setho sudah tertawa menyeringai, seraya berka-
ta.
"Hehehe... apakah tujuanmu mau memperda-
lam Ilmu pada si Belut Putih itu?" Tentu saja membuat
Adhinata melengak heran.
"Hm, ya...! Guruku menitahkan demikian!" Sa-
hut Adhinata  pendek. Sementara Adhinata melengak
heran karena si kakek muka seram itu telah mengeta-
hui  julukan yang dirahasiakan itu, juga maksudnya
menemui sang paman guru.
"Bukan aku menghina, anak muda... tapi kalau
cuma memiliki ajian "Belut Putih" si Gembul Sona itu
tidaklah berarti apa-apa. Aku juga tak melarangmu ka-
lau kau mau menuntut ilmu "Belut Putih" itu. Cuma
sayang.... kau bertulang baik, juga telah memiliki da-
sar tenaga dalam yang kuat. Aku kenal baik dengan
gurumu Ki Panunjang Jagat itu. Tentunya kau telah
mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaannya. Sebenarnya aku
sudah enggan berkecimpung di Rimba Persilatan. Akan

tetapi peristiwa lama itu dan ketololan si Tumenggung
ini telah membuat aku mengotori lagi tanganku yang
sudah ku cuci bersih!" Berkata si Raja Racun bernama
Langir Setho itu dengan perdengarkan suara helaan
napas.
Tentu saja sedikit kata-kata si Raja Racun itu
telah membuat goyahnya niat Adhinata, yang memang
bertujuan menuntut Ilmu Ajian Belut Putih yang ter-
sohor kehebatannya itu pada paman gurunya.
"Apakah ada ilmu lain yang lebih hebat dari
Ajian Belut Putih?" Tanya Adhinata. Sengaja dia laku-
kan pertanyaan untuk mengorek keterangan dari si
Raja Racun itu yang tampaknya menyembunyikan se-
suatu yang dirahasiakan.
"Hahahahah... haha... ilmu apapun tanpa
adanya benda mustika di dunia ini takkan berarti apa-
apa, anak muda... Justru aku sedang bingung. Aku
sudah niat cuci tangan dari Dunia Rimba Hijau, se-
dangkan aku mempunyai dua pasang benda mustika.
Akan kuwariskan pada siapakah benda mustika itu?
Karena amat disayangkan kalau benda itu tak bergu-
na... Padahal dengan memiliki kedua pasang benda
mustika itu, siapapun akan dapat merajai Dunia Persi-
latan tanpa ada yang mengalahkan!" Berkata si Raja
Racun yang memperlihatkan wajah kecewa.
Seraya berkata kakinya sudah beranjak untuk
melangkah pergi. Tentu saja membuat Adhinata ter-
sentak.  Sebagai orang yang masih berusia muda dan
belum mengenal akan seluk-beluk dunia Rimba Hijau
akan mudah saja percaya pada setiap kata-kata manis.
Apalagi ambisinya masih menggebu. Mendengarkan
adanya dua pasang benda mustika berada di tangan si
Raja Racun itu, sudah lantas menarik perhatiannya.
"Eh, kakek Raja Racun... tunggu...!" Tubuhnya
sudah berkelebat untuk menyusul. "Benda mustika

macam apakah yang kau miliki...?" Bertanya Adhinata.
Si Raja Racun palingkan wajahnya menatap Adhinata.
"Ah, sudahlah... sebaiknya kau pergi menemui
si Gembul Sona, bukankah kau mau mempelajari ilmu
Belut Putih?" Tukas Langir  Setho. Sekejap dia sudah
balikan tubuhnya, dan melesat pergi dengan perguna-
kan ilmu lari cepat tanpa menoleh lagi. Melengak Ad-
hinata. Hatinya sudah tertarik mendengar adanya se-
pasang benda mustika yang dapat membuat si pemi-
liknya akan dapat merajai Dunia Persilatan, tanpa ada
yang mampu mengalahkan. Mana mungkin Adhinata
membiarkan si kakek Raja Racun itu pergi begitu saja?
Tubuhnya tiba-tiba telah berkelebat menyusul. Dan
dengan diam- diam terus membuntuti. Ternyata si Ra-
ja Racun ini telah berhasil menggunakan akalnya un-
tuk memancing Adhinata menguntitnya. Tentu saja dia
bersikap seolah-olah tak mengetahui kalau dirinya di-
buntuti.....
"Heheheh... kali ini percobaan  ku tak boleh
gagal!"  Terdengar desis suara Langir Sheto menggu-
mam. Sementara si Raja Racun itu semakin memper-
cepat larinya meninggalkan wilayah itu menuju ke
arah barat.......

***

EMPAT

Adipati Kambangan tertunduk pedih menatap
mayat-mayat yang bergelimpangan dihadapannya. Bu-
kan saja terkejut mendengar tewasnya Tumenggung
Tirtalaga dan sembilan pengawal utama, akan tetapi
juga terkejut mendengar munculnya si Raja Racun
yang sudah lebih dari empat tahun tak ada beritanya.

Juga satu masalah lain, yaitu berita yang sudah men-
jadi kenyataan di  depan mata. Yaitu puluhan pendu-
duk desa Pandukuhan yang tewas, akibat kejadian dua
malam berturut-turut dengan bermunculannya ular-
ular siluman yang ribuan banyaknya.....
Tercenung sang Adipati hingga sekian lama.
Sementara para prajurit pengawalnya tengah bekerja
mengangkut mayat-mayat ke  atas kereta kuda. Juga
sebagian dari para pengawal telah turut membantu
penguburan jenazah para penduduk dengan diiringi
ratap tangis anak kerabat yang masih hidup. Suasana
desa padukuhan diliputi mendung kesedihan. Mataha-
ri pun seperti enggan menampakkan sinarnya, karena
segumpal awan hitam menghalangi...
Menjelang siang hari selesailah penguburan pa-
ra jenazah, dan beberapa kereta kuda tampak beriring-
iringan meninggalkan desa sunyi itu. Bahkan telah
mengikut pula belasan penduduk untuk hijrah ke
tempat yang aman. Adipati duduk di  atas kudanya
dengan kepala tertunduk layu. Wajahnya dilanda ke-
murungan, juga kegelisahan. Akan tetapi dadanya
tampak bergelombang, karena disana tersimpan ke-
murkaan yang mendalam luar biasa. Dan satu tekad
yang bulat adalah menumpas dalang dari pembunu-
han keji para penduduk desa itu. Dugaan kuat me-
mang berada pada si Raja Racun bernama Langir She-
to, manusia yang memang tengah diancam untuk di-
cincangnya oleh tangannya sendiri. Akan tetapi Adipati
takkan menduga kalau ular-ular siluman itu adalah
ciptaan dari seorang tokoh hitam yang tengah sengaja
mencari penyebab untuk memancing kemunculan
kaum golongan putih, yang pasti akan menjadi gempar
dengan adanya peristiwa itu.
Ketika iring-iringan kereta kuda pembawa
mayat para pengawal Kerajaan itu berlalu, sesosok tu-

buh berdiri di atas puncak bukit memperhatikan. Di-
alah seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahun
lebih. Berpakaian sutera kuning. Rambutnya ikal ber-
gelombang terurai ke  dada dengan ikat kepala warna
kuning emas. Sinar matanya memancar tajam mena-
tap iring-iringan di bawah bukit.
Ketika angin keras membersit dari bawah bukit,
rambut yang tergerai itupun menyibak, menyembuh-
kan segumpal daging yang berputik kecoklatan. Ter-
nyatalah wanita ini seorang yang berwatak genit. Ter-
bukti dengan pakaian yang dikenakannya. Selain ber-
pakaian sutera tipis yang mempertontonkan lekuk-liku
tubuhnya, juga baju bagian atasnya dibiarkan mem-
buka sebagian. hingga satu dari sepasang buah da-
danya menyembul keluar.
Dan pada pinggangnya yang ramping itu terbe-
lit dua utas rental yang mempunyai bandulan mirip
dengan buah dada. Itulah senjata si Rantai Genit.
Aneh sekali nampaknya, karena wanita ini bukanlah
Roro Centil. Akan tetapi dari sikap yang genit dan sen-
jata Rantai Genit yang ada padanya itu akan membuat
orang pasti menduga wanita itu si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Siapakah adanya wanita yang menyaru
mirip Roro Centil ini? Marilah kita ikuti kemana lang-
kahnya.
"Hihihi .... kelak ular-ular siluman  itu akan
menyerang ke gedung mu, Adipati Kambangan...!" Ter-
dengar suaranya berdesis, dan sepasang bibirnya me-
nampakkan senyuman. Tak lama dia sudah berkelebat
lenyap, memasuki hutan lebat di atas bukit itu.......

-oOo-

Bongkah batu besar yang menempel di dinding
tebing batu di dasar lembah itu tiba-tiba samar-samar

lenyap, berubah menjadi asap kabut. Dan tampaklah
sebuah mulut goa yang lebar. Dari dalam goa itu ter-
sembul sesosok tubuh berambut putih beriapan. Ter-
nyata Seorang kakek tua bertubuh kate berkaki besar.
Rambutnya terjuntai sampai ke tanah. Memakai jubah
warna putih. Dan yang paling mengherankan adalah,
kakek pendek ini mempunyai ekor yang menjulur pan-
jang mirip ular. Telinga dan mulutnya lebar, dengan
wajah penuh keriput. Alisnya tebal agak mencuat ke
atas, berwarna putih. Hidungnya melengkung dan
bermata sipit serta raut muka yang lebar. Pada len-
gannya tercekal sebuah tongkat berkepala tengkorak
yang melebihi tubuhnya. Bila tingginya diukur dengan
manusia normal, mungkin hanya separuh saja.
Entah manusia ataukah siluman, manusia
aneh ini. Tapi yang jelas kakinya menginjak tanah.
Tampak dia perlihatkan senyum menyeringai, hingga
menampak giginya yang runcing dan berwarna hitam.
Sementara itu kira-kira dua puluh tombak dari
tebing batu di dasar lembah itu.....
Heheheheh .... sudah kuduga kau pasti lebih
tertarik pada benda mustikaku, anak muda!" Tampak
sesosok tubuh berpakaian kumal yang tak lain dari si
Raja Racun, yang menantikan kedatangan Adhinata
yang menguntit dibelakangnya. Tersipu malu pemuda
dari puncak Tangkuban Perahu itu, yang segera mele-
sat ke hadapan si Raja Racun alias Langir Sheto. "Aku
hanya akan mewariskan benda mustika itu pada orang
yang mau menjadi murid ku!" Berkata Langir Sheto
dengan suara dingin. "Aku... aku bersedia menjadi mu-
ridmu, kakek Raja Racun!" Ujar Adhinata tanpa pikir
panjang lagi, dan sudah jatuhkan diri berlutut seraya
menyebut guru berturut-turut tiga kali dan mencium
kaki si Raja Racun.
"Hahahahah... sudah! sudah! aku menerimamu

sebagai murid terakhir ku! Ternyata kau memang ber-
pandangan luas, anak muda! Dengan memilih untuk
mempelajari ilmu "Belut Putih" si Gembul Sona itu tak
akan berarti banyak untuk menjagoi Dunia Persilatan.
Kau lihatlah nanti. Di  hadapan kita tinggal seorang
manusia setengah siluman yang memiliki kepandaian
luar biasa tingginya! Aku tengah mengadu ilmu den-
gannya... Ternyata manusia itu telah mulai unjuk gigi
mencari kejutan dengan membunuh habis manusia
sekampung dengan ular-ular silumannya!" Tutur si Ra-
ja Racun dengan tatapan mata seperti mau menembus
hutan di hadapannya.
Terperangah Adhinata, Dan dia sudah lantas
ajukan pertanyaan.
"Siapakah tokoh yang berilmu tinggi itu, guru...
? "Dialah yang bergelar si RIRIWA BODAS! Manusia itu
menuntut ilmu Siluman, hingga dari pantatnya tum-
buh ekor yang panjang mirip ular! Kabarnya dia mem-
punyai seorang murid perempuan...." Berkata si Raja
Racun. Akan tetapi baru saja dia selesai bicara, tiba-
tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang
membuat dedaunan bergetaran. Suara itu datangnya
dari arah hutan di  hadapannya. Adhinata krenyitan
alisnya seraya berpaling. Tampak tersembul  sesosok
tubuh kate berambut putih beriapan dengan sepasang
kakinya yang besar. Jalannya meluncur tanpa kakinya
menginjak tanah. Ternyata ekornya yang telah diper-
gunakan untuk berjalan cepat, meliuk-liuk bagaikan
ular. Sepintas seolah tubuh kakek kate itu seperti di-
angkat oleh seekor ular yang menyangga tubuhnya.
Sesaat kemudian kakek kate berekor mirip ular itu su-
dah tiba di hadapan mereka.
"Kehkehkeh... keh.. kiranya si Raja Racun! Pan-
tas... bau tubuhmu membuat nafas ku sesak di dalam
goa!" Berkata si kakek kate dengan membeliakkan ma-

tanya yang sipit itu untuk dibuka lebih lebar, menatap
si Raja Racun dan Adhinata.
"Hm, rupanya kau sudah punya murid...!"
"Tak salah, sobat Ririwa Bodas! aku baru saja
menemukan seorang murid yang cocok untuk mewa-
riskan ilmuku! Sahut si Raja Racun.
"Hm, waktu kita saling mempertunjukkan ilmu
sudah diambang mata. Tiga kali Purnama lagi...! kau
sudah terlambat untuk memungut murid, Raja
Racun!" Berkata si kakek kate dengan suara serak ba-
gai tempayan rengat. Akan tetapi si Raja Racun men-
dengus, dan tukasnya dengan suara terdengar tajam.
"Jangan sesumbar dulu, sobat Ririwa Bodas!
Dalam waktu singkat aku akan buktikan, bahwa mu-
rid ku akan mampu menaklukkan muridmu! Bahkan
akan menaklukkan tokoh-tokoh Rimba Hijau termasuk
kau! Hahahah... hahah...!" Tertawa Langir Sheto men-
dadak terhenti, karena si kakek kate berekor mirip ular
itu sudah membentak.
"Tutup bacotmu yang rusak itu. Raja Racun!
Kalau tak ingat perjanjian dan ingin tahu bukti kenya-
taan yang kau sumbarkan dari mulut bau  mu itu,
siang-siang aku sudah antarkan nyawa kalian ke Akhi-
rat! Pergilah, sebelum aku batalkan janji! Ketahuilah,
aku sudah siap sejak hari kemarin! Dan peristiwa yang
mungkin sudah kau dengar itu adalah untuk memanc-
ing keluarnya tokoh-tokoh golongan Rimba Hijau un-
tuk keluar dari sarangnya. Kemudian, satu persatu
akan kulenyapkan! Terkecuali yang mau tunduk di
bawah kekuasaanku dan muridku...!" Selesai habis ka-
ta-katanya, tiba-tiba ekor ular si kakek kate itu terke-
lebat menghantam ke arah sebatang pohon besar di
sebelah sisinya.
BRRRAAKKK...!
Batang pohon itu hancur berkepingan. Dan

dengan suara bergemuruh, pohon besar itu tumbang
membuat batang-batang pohon lain patah berderak
tertimpah. Dan jatuh menyentuh tanah dengan suara
berdebum keras. Terbelalak sepasang mata Adhinata
melihat kehebatan ekor ular si kakek kate. Akan tetapi
si Raja Racun sudah menarik lengannya untuk dibawa
melesat cepat meninggalkan tempat itu, seraya berte-
riak.
"Baik...! kau tunggulah tiga purnama menda-
tang, Ririwa Bodas! Cuma satu yang aku takutkan,
adalah kau dan muridmu itu sudah mampus terlebih
dulu oleh ulah mu yang terlalu dini itu, sebelum tiba
masanya pertemuan yang kita janjikan!" Berkata de-
mikian, Raja Racun dan Adhinata telah berkelebat se-
jauh lebih dari sepuluh tombak dari hadapan si kakek
kate Ririwa Bodas.
"Bacot rusakmu itu kelak aku yang akan mero-
beknya, Langir Sheto!" Berbareng dengan bentakannya
sebelah lengan si kakek kate bergerak menghantam ke
depan. Dan segelombang angin panas bergulung-
gulung   menerjang kedua orang   itu. BHUMM...! Ter-
dengar suara ledakan di bawah kaki si Raja Racun dan
Adhinata. Kalau saja Langir Sheto tak menarik lengan
pemuda itu untuk dibawa melompat tinggi sejauh tu-
juh-delapan tombak, niscaya kedua tubuh mereka
akan terbakar hangus. Karena sekejap sudah terlihat
sebuah lubang besar yang menyemburatkan tanah pa-
nas bercampur api.
"Edan...!" Memaki si Raja Racun. Sepasang ka-
kinya sudah menjejak tanah lima tombak dari lubang
besar itu, disusul dengan tubuh Adhinata.
Setelah sejenak menatap ke arah lubang, kedu-
anyapun berkelebat pergi tinggalkan wilayah si Ririwa
Bodas.

LIMA

Dua bulan sudah sejenak terjadinya bermacam
peristiwa. Di sekitar wilayah kadipaten SUKA WENING,
yang masih terhitung wilayah kekuasaan Adipati Kam-
bangan, kita menengok ke sebuah rumah tinggal yang
berukuran luas. Beratap genting yang mempunyai dua
wuwungan. Rumah besar itu boleh dibilang sebuah
Pesanggrahan. Memang benar! Itulah Pesanggrahan
tempat berdiamnya seorang tua kosen yang bernama
GEMBUL SONA.
Suasana pesanggrahan tampak sepi. Para mu-
rid si kakek bertubuh jangkung berambut kecoklatan
itu tengah mengadakan latihan di puncak bukit Untuk
latihan yang diadakan setiap sepekan sekali itu dis-
erahkan pada dua orang murid utama yang bernama
BARASUKMA dan SURA WULUNG. Akan tetapi turut
pula seorang murid wanitanya yang amat paling di
sayang, yaitu PANDAN SARI.
Tampak Ki Gembul Sona mondar-mandir di
ruang kosong, yang biasa dia melatih para muridnya di
tempat itu. Sebentar-sebentar terdengar suara helaan
nafasnya. Terkadang menggendong tangan ke bela-
kang, terkadang sebelah lengannya mengelus jenggot-
nya yang cuma sejemput itu. Tampaknya seperti geli-
sah memikirkan sesuatu.
"Adipati Kambangan terbunuh...! Dan seluruh
laskar Kadipaten tewas. Bahkan anak isteri sang Adi-
pati itupun tewas semua...! Kejadian yang amat aneh,
dan hampir tak masuk di  akal. Tewasnya keluarga
Adipati Kambangan dan para lasykar Kadipaten adalah
oleh serbuan ribuan ekor ular!  Anehnya ular-ular itu
adalah ular siluman!" Terdengar suaranya menggu-
mam lirih. Dan lengannya semakin keras mencengke-

ram jenggotnya. Wajahnya menampakkan keresahan
yang luar biasa.
"Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pasti
ini perbuatan manusia sesat dari golongan hitam! Aku
harus berembuk dengan para Pendekar golongan putih
untuk menumpasnya demi ketentraman rakyat...!" De-
sahnya dengan kecemasan kian memuncak. Akan te-
tapi tiba-tiba hatinya tersentak, karena benaknya
menduga sesuatu. Sebagai seorang tokoh kawakan
Rimba Persilatan yang banyak pengalaman, Gembul
Sona berpandangan luas.
Hm, jangan-jangan hal ini sengaja digunakan
untuk memancing keluar kaum golongan putih! Kalau
demikian berarti manusia sesat yang mempunyai ilmu
siluman itu telah siap dengan segala macam tipu daya
kejinya...! Demikian pikirnya dalam benak.
Dalam keadaan gelisah itu, tiba-tiba di luar ter-
dengar suara orang mengucapkan salam. Diiringi
munculnya sesosok tubuh bertubuh jangkung, berwa-
jah putih bersih. Mengenakan jubah warna abu-abu.
Rambutnya digelung kecil di atas  kepala. Kumis dan
jenggotnya sudah sama memutih seperti rambutnya.
Cepat-cepat Gembul Sona menyambut setelah memba-
las salam. Disamping terkejut, juga bergirang hati, ka-
kek rambut coklat Gembul Sona ini, karena yang da-
tang adalah kakak seperguruannya dari puncak Gu-
nung Tangkuban Perahu.
"Ah, ah.... selamat datang kakang Panunjang
Jagat Oh, girang sekali aku melihat kedatanganmu!"
Berkata Ki Gembul Sona. Akan tetapi dia terheran ka-
rena tak melihat sang kakak seperguruannya memba-
wa serta muridnya.
"Eh, kakang...! bukankah kau telah mengang-
kat seorang murid laki-laki, mengapa tak kau bawa
serta?" Tanya Ki Gembul Sona. Ditanya demikian, ju-

stru Ki Panunjang Jagat jadi tercengang.
"Aneh...! Apakah bocah itu tak datang kemari?
Dua bulan yang lalu dia telah turun gunung dan kupe-
rintahkan kemari menemuimu, rayi .... Bukankah aku
telah berjanji bila  telah tamat pelajarannya aku akan
mengirimnya kemari untuk mempelajari ilmu "Belut
Putih" darimu!" Tutur Ki Panunjang Jagat dengan hati
menyentak kaget.
"Akan tetapi tak ada seorangpun bocah laki-laki
yang datang kemari, kakang! Apakah memang belum
sampai kemari?" Tukas Gembul Sona.
"Rasanya tak mungkin, kalau dia tersesat. Aku
telah berikan petunjuk jelas padanya mengenai tempat
kediamanmu ini. Dan dia mempunyai tatto di lengan-
nya, sebagai tanda bahwa dia muridku agar kau mu-
dah mengenali!" Ujar Ki Panunjang Jagat, dengan ge-
leng-gelengkan kepala. Tampak benar kemasgulan ha-
tinya. Ki Gembul Sona pun tercenung seketika. Me-
mang mengenai murid kakak seperguruannya itu telah
diperbincangkan sejak lima tahun yang lalu.
"Marilah kita bicara di dalam, kakang... Kukira
muridmu itu mendapat halangan di jalan, hingga ter-
tahan langkahnya untuk tiba di sini!" Ki Panunjang
Jagat tak menjawab. Segera bergerak mengikuti sang
adik seperguruan memasuki ruangan Pesanggrahan.
Kedua tokoh Rimba Hijau itu tampak berbicara
dengan serius setelah membicarakan murid Ki Panun-
jang Jagat, yang tak diketahui kemana rimbanya. Ke-
dua kakek kosen itu membicarakan masalah muncul-
nya sebuah peristiwa yang menggetarkan.. Ternyata Ki
Panunjang Jagat pun telah mendengar akan kabar itu.
Bahkan dia lebih mengetahui dari Ki Gembul Sona.
Ki Panunjang Jagat segera tuturkan tentang
adanya seorang Adipati baru, pengganti Adipati Kam-
bangan yang tewas.

"Adipati baru itu bernama Raden ANTABOGA...
Tampaknya seorang keturunan Bangsawan, dan beril-
mu tinggi. Sepekan sejak kudengar dia mengangkat di-
ri menjadi Adipati, rakyat mulai hilang kegelisahannya.
Karena dia telah memerintahkan pada semua pendu-
duk di  wilayah Kadipaten untuk memasangi tumbal
pada tiap-tiap pintu rumah, hingga ular-ular siluman
itu tak berani datang lagi!" Tutur Panunjang Jagat.
"Ah, sukurlah kalau demikian...!" Ujar Ki Gem-
bul Sona. Moga-moga saja tak terjadi lagi kejadian
yang mengerikan itu.! Akan tetapi kita kaum putih dari
golongan Rimba Hijau harus tetap waspada! Karena
aku menduga ada udang dibalik batu dengan kejadian
itu...!" Sambungnya lagi. Ki Panunjang Jagat manggut-
manggut mengerti.
Akan tetapi pada saat itu tiga orang murid Ki
Gembul Sona tampak berlarian memasuki Pesanggra-
han. Kakek tua berambut coklat ini sudah melompat
keluar dari ruangan diikuti oleh Ki Panunjang Jagat.
Sebentar saja ketiga murid itu sudah tiba di hadapan
gurunya.
"Ada kejadian apakah kalian datang berlarian
Bukankah latihan baru akan selesai setelah tengah
hari..?" Tanya Ki Gembul Sona.
"Celaka, Guru...! seekor ular besar mengamuk
di atas bukit! Tampaknya korban akan bertambah. Be-
berapa kawan telah tewas terkena amukannya! Ketiga
kakak seperguruan kami tampaknya  sukar untuk
membunuh mahluk itu!" Salah seorang murid tutur-
kan kejadian itu dengan napas terengah-engah. Terke-
siap Ki Gembul Sona. Sepasang matanya membeliak,
dan dari mulutnya keluar makian.
"Bedebah!  lagi-lagi ular...!" Sesaat dia sudah
berpaling menatap Ki Panunjang Jagat. "Aku harus ke-
sana, kakang...!"

"Marilah kita melihatnya! barangkali perlu ku
bantu untuk menumpasnya! Entah apa lagi yang mun-
cul ini? Apakah Juga ular siluman...?" Ki Gembul Sona
tak menjawab. Tubuhnya sudah berkelebat keluar dari
halaman Pesanggrahan. Ki Panunjang Jagat berkelebat
menyusul. Akan tetapi di pintu halaman, Ki Gembul
Sona hentikan langkahnya, seraya berteriak yang ditu-
jukan pada ketiga orang muridnya.
"Kalian tak ku perkenankan meninggalkan Pe-
sanggrahan...!"
"Baik, guru...!" Teriak mereka hampir berbareng
menyahuti. Sedangkan pandangannya masih menatap
pada Ki Panunjang Jagat, karena baru melihat adanya
seorang kakek di Pesanggrahan itu bersama gurunya.
Sementara kedua orang tua itu sudah berkelebatan
meninggalkan halaman Pesanggrahan. Sebentar ke-
mudian kedua tubuh itu telah lenyap di kejauhan.
"Siapakah, kakek berambut putih itu...?" Tanya
salah seorang murid Ki Gembul Sona. "Entahlah! tadi
kedengarannya guru memanggilnya "kakang"...!I Apa-
kah bukannya Ki Panunjang Jagat dari puncak Tang-
kuban Perahu?"
"He...! benar katamu! dialah Uwak guru kita...!"
Tukas kawannya. Akhirnya mereka semua menghela
napas lega, karena dengan kedatangan guru dan uwak
guru mereka, bahaya bisa tersingkirkan.
BUKIT DATAR adalah tempat murid -murid Ki
Gembul Sona mengadakan latihan setiap sepekan se-
kali. Akan tetapi satu kejadian aneh telah membuat
terjadinya musibah itu. Seekor ular besar yang. pan-
jang dan besar tubuhnya hampir sebesar batang kela-
pa, telah muncul dari bawah bukit. Tentu saja mem-
buat para murid Ki Gembul Sona menjadi lari lintang
pukang ketakutan. Di luar dugaan ular raksasa itu te-
lah menyerang dengan ganas. Terjadilah pertarungan

seru antara seekor ular dengan puluhan manusia. Dan
sang ular mengamuk dengan hebat hingga membawa
korban beberapa murid Ki Gembul Sona tewas dan ter-
luka parah.
Melihat demikian Barasukma dan Sura Wulung
mencabut senjatanya untuk membunuh sang ular.
Akan tetapi bukanlah suatu pekerjaan gampang, kare-
na disamping sukar mendekati makhluk itu, juga sen-
jata mereka seperti tak mempunyai arti apa-apa untuk
menembus kulit tubuh ular. Sementara Pandan Sari
seorang gadis murid Ki Gembul Sona yang paling dis-
ayang sang kakek, juga terjun dalam kancah pertarun-
gan melawan ular raksasa itu. Sura Wulung yang ber-
senjatakan sepasang kapak bermata dua itu tampak-
nya bernafsu sekali membunuh ular raksasa itu. Den-
gan dibantu oleh Barasukma yang mempergunakan
pedang, menerjang dari arah depan. Sementara Pan-
dan Sari dengan sepasang Trisulanya menerjang dari
belakang.
Akan tetapi makhluk itu bergerak gesit me-
nyambarkan ekornya. Kepalanya membalik untuk me-
luncur ke arah Pandan Sari.
"Awaas...! menghindar!" Teriak Barasukma
memperingati adik seperguruannya. Akan tetapi dia
sendiri sudah terlempar terkena kibasan ekor ular rak-
sasa itu, dan nyaris jatuh ke jurang. Sementara Pan-
dan Sari dengan geram melompat mundur. Trisulanya
juga tak berfungsi. Cuma menggores sedikit kulit ular
yang tak berarti. Karena ular itu kebal senjata. Bara-
sukma tampaknya jadi nekat. Tubuhnya sudah berke-
lebat melompat menebas leher ular. Pedangnya diper-
gunakan dengan cepat menabas beberapa kali.
TRAK! TRAK! TRRAK...!
Terperangah pemuda itu karena pedangnya
mental balik ketika beberapa kali menambas untuk

memutuskan leher ular. Kulit dan sisik ular itu keras-
nya luar biasa. Sementara kejadian itu berlangsung,
sesosok tubuh kate berambut putih yang beriapan
sampai ke tanah memperhatikan jalannya pertarungan
dari tempat persembunyiannya. Kira-kira delapan
tombak dad tempat pertarungan, dengan berdiri di
atas  batu di  tempat ketinggian Wajahnya perlihatkan
senyum menyeringai. Dialah si RIRIWA BODAS, alias si
kakek kate berekor ular. Saat itu sudah terdengar se-
buah bentakan keras, yang diiringi dengan berkelebat-
nya dua sosok tubuh.
"Munduuurrr....!" Ternyata yang muncul adalah
Ki Gembul Sona dan Ki Panunjang Jagat. Pandan Sari
berteriak girang, dan sudah melompat untuk meng-
hampiri gurunya. "Guru...! Celaka...! kami tak mampu
berbuat apa-apa! Ular raksasa itu tak mempan senjata
tajam!"

***

ENAM

"Oh, siapakah kakek...?" Tanya Pandan Sari se-
raya menatap pada Ki Panunjang  Jagat. "Aku uwak
gurumu...!" Menyahut kakek penghuni puncak Tang-
kuban Perahu itu. Dan seraya menyahut tubuhnya
sudah berkelebat ke arah ular raksasa. Ki Gembul So-
na segera berkelebat menyusu!.... Terjadilah pertarun-
gan hebat. Sang ular raksasa melihat kemunculan ke-
dua orang kakek ini segera langsung menerjang den-
gan moncongnya. Sementara ekornya bergulung-
gulung untuk menghempaskan dua tubuh di  hada-
pannya. Debu mengepul, dan dua tubuh kakek itu su-
dah melesat untuk menghindar seraya hantamkan pu-

kulan lengannya. "BHUKK...!
BHUKK...!
Sang ular terlempar bergulingan. Akan tetapi
kembali menjulur untuk menyerang mereka. Kakek
Gembul Sona melesat ke arah sisi untuk menarik per-
hatian. Benar saja ular raksasa itu menyerangnya.
Saat itu Ki Panunjang Jagat sudah melesat setinggi
enam tombak. Lengannya kembali menghantam. Kali
ini telak pada balok kepalanya. Sebelum serangan sang
ular mengenai tubuh Ki Gembul Sona, sang ular sudah
menggeliat berbareng dengan suara berderak tulang
kepala yang remuk. PRRRAKK...! Terdengar suara ben-
takan keras. Dan segelombang angin panas menerjang
Ki Panunjang Jagat.
WHUUUKKK...!
BHUMMM...!
Nyaris tubuh kakek puncak Tangkuban Perahu
itu hancur lebur tubuhnya kalau tak segera melompat
sejauh delapan tombak. Akan tetapi terperangah kakek
itu, ternyata tubuhnya justru melayang ke dasar ju-
rang....
Dua orang murid Ki Gembul Sona, yaitu Bara-
sukma dan Sura Wulung segera melompat ke sisi bu-
kit. Namun bayangan tubuh kakek itu sudah lenyap
tak terlihat lagi terhalang kabut tipis di mulut jurang
terjal itu. Sementara kejadian di  atas bukit itu ada-
lah... telah muncul seorang kakek tua berekor ular, be-
rambut putih beriapan yang menjulai sampai ke tanah.
Ular raksasa itu tergeletak mati. Akan tetapi terjadilah
keanehan.  Tubuh  sang  ular sekonyong-konyong le-
nyap, berubah jadi sebuah tongkat yang segera di
sambar oleh kakek kate berekor ular itu. Kepala teng-
korak di  ujung tongkat si kakek kate itu dalam kea-
daan remuk.
"Kehkehkeh... keh keh... ternyata cuma mela-

wan tongkatku saja, kalian sudah dibuat kacau balau!
Keh...kehkeh... keh keh..." Tertawa mengkekeh si ka-
kek berekor ular itu.
"Manusia apakah ini...?" Tersentak kaget Ki
Gembul Sona. Tubuhnya sudah berkelebat ke hadapan
kakek kate berekor ular itu. Ki Gembul Sona sudah tak
tahu lagi nasib kakak seperguruannya, yang meluncur
ke  dalam jurang karena menghindarkan diri dari se-
rangan kakek kate yang ganas ini. Terkesiap Ki Gem-
bul Sona tadi, ketika melihat sesosok bayangan putih
berkelebat ke  tempat pertarungan. Ketika tubuh ular
raksasa itu roboh mati dengan kepala remuk, si kakek
kate ini telah membentak keras dan kirimkan pukulan
lengannya ke arah Ki Panunjang Jagat. Dia sudah mau
berteriak untuk memperingati, tapi ternyata sang ka-
kak seperguruan telah waspada. Sayang, lompatannya
justru mempercepat jalan kematiannya. Dan entah ba-
gaimana nasib Ki Panunjang Jagat, tiada diketahuinya
lagi.....
Terperangah Ki Gembul Sona melihat ular rak-
sasa itu ternyata hanyalah ular ciptaan si kakek kate.
Di samping geram mendongkolnya, Gembul Sona ter-
peranjat melihat kakek kate di hadapannya itu berlai-
nan dengan umumnya manusia. Karena mempunyai
ekor yang panjang mirip ular. Disamping memiliki tu-
buh kate, juga sepasang kakinya besar dan bertelapak
lebar, bagai telapak kaki gajah.
"Hm,  siapakah kau kakek kate...? Seumur hi-
dup ku baru kali ini aku menjumpai manusia aneh se-
perti kau! Apa maksudmu membuat keonaran!" Bentak
Ki Gembul Sona dengan wajah penuh amarah.
"Keh keh keh... aku memang mau mencari keo-
naran! Tak perlu kau herankan kemunculanku, karena
aku memang mau menumpas semua golongan Putih
dari Kaum Rimba Hijau! Catatlah gelarku dibenak mu

sebelum kau mampus menyusul kakek tua renta itu di
dasar jurang! Keh keh keh... gelarku adalah si RIRIWA
BODAS...! Selesai si kakek kate itu berucap, tiba-tiba
ekornya bergerak menyambar dahsyat ke  arah Ki
Gembul Sona. Tentu saja membuat kakek rambut cok-
lat itu terkejut, akan tetapi segera melompat untuk
menghindar, seraya kirimkan serangan pukulannya.
WHHUUK...! Kakek kate ini mendengus. Sece-
pat kilat lengannya sudah dipakai untuk memapaki se-
rangan itu.
DHESSS...! Tubuh kakek kate itu terdorong
mundur tiga tindak, akan tetapi Ki Gembul Sona ter-
lempar dua tombak. Ternyata tenaga dalam kakek kate
ini berada dua tingkat di atas Ki Gembul Sona. Saat itu
tiga orang murid Ki Gembul Sona sudah mengurung si
Ririwa Bodas. Barasukma dan Sura Wulung dengan
berbareng telah maju menerjang... Sementara Pandan
Sari terperanjat melihat terlemparnya tubuh sang
guru.
"Kakek iblis berbuntut ular! jaga senjataku...!"
Bentaknya. Dan gadis inipun sudah melompat untuk
menerjang dengan senjata Trisulanya. Hebat si kakek
kate ini, tubuhnya mendadak roboh ke depan. Tak
ubahnya bagaikan seekor kadal raksasa sebesar ma-
nusia. Tiga terjangan murid-murid Ki Gembul Sona
itu dihadapinya dengan gunakan ekornya
menghantam ketiga tubuh penyerangnya. Sementara
lengannya dengan sebat pergunakan tongkatnya untuk
mengirim tusukan-tusukan maut ke arah dada lawan.
Ternyata yang di incarnya adalah Barasukma dan Sura
Wulung. TRAK! TRAK! CRAS...!
Terdengar satu jeritan parau. Tampak tubuh
Barasukma terlempar dengan sebelah lengan putus
bercucuran darah, sedangkan pedangnya terlempar
entah kemana. Adapun Sura Wulung telah gunakan

kesempatan balk untuk membalas ekor ular si kakek
kate. Akan tetapi terkejut pemuda itu, karena senja-
tanya juga tak mampu melukai kulit ekor si Ririwa Bo-
das.
Tahu-tahu ujung tongkat si kakek kate itu telah
menembus dadanya.... Menjerit pemuda murid Ki
Gembul Sona itu, dan Jatuh berdebuk untuk mengge-
liat menahan sakit. Namun sekejap kemudian dia sege-
ra tewas. Terbelalak mata Ki Gembul Sona menyaksi-
kan cuma dalam segebrakan saja, si kakek berekor itu
telah menewaskan seorang muridnya, dan melukai
lengan murid satunya lagi.
Dengan membentak keras menggeledek, tubuh
kakek jangkung rambut coklat itu melesat di atas ke-
pala si kakek kate. Sepasang lengannya terulur dengan
kesepuluh jari-jari terentang. Slap untuk mencengke-
ram batok kepala lawan.
BRRET...! Jubah si kakek kate itulah yang kena
dicengkeram, karena orangnya sudah menggelinding
pergi, dan melompat gesit. Sekejap sudah berada di be-
lakang  Ki Gembul Sona. Sekali lengannya bergerak,
meluncurlah segelombang angin panas menerjang
punggung kakek rambut coklat itu. Terperangah Ki
Gembul Sona. Namun segera dia per gunakan ilmu
ajian Belut Putih untuk melindungi tubuhnya.....
Kita beralih dulu pada Pesanggrahan Ki Gem-
bul Sona. Saat itu tiga orang murid berada di pintu
penjagaan. Tak seperti biasanya, dalam situasi yang
aman itu, telah muncul seorang wanita yang berkele-
bat memasuki halaman. Gerakannya cepat sekali,
hingga murid yang menjaga di pintu utama tak meli-
hatnya. Wanita berpakaian serba kuning itu melompati
tembok sebelah barat. Bahkan kelebatan tubuhnya tak
membuat penjaga di pintu barat ini melihatnya. Den-
gan gerakan ringan si wanita itu sudah jejakan kaki ke

ruangan dalam.
"Hihi... Pesanggrahan kosong ini adalah ba-
gianku! Tampak wanita ini bentangkan lengannya. Tu-
buhnya terlihat bergetar. Hebat! sepasang lengannya
sekejap saja telah menjadi merah bagaikan bara api.
WHUS! WHUSS...! Dua kali lengannya bergerak,
api segera berkobar di dalam ruangan. Tubuhnya lalu
berkelebatan ke setiap ruangan. Dan lengannya selalu
bergerak untuk keluarkan api membakar di  setiap
tempat. Hingga sekejap kemudian api telah berkobar
membakar pesanggrahan di segala penjuru. Tentu saja
hal  itu  membuat  beberapa murid penjaga Pe-
sanggrahan tersentak kaget. Segera sudah berteriak-
teriak dan lari dengan panik. "Celaka...! Ah, tolooong...!
toloong...! kebakaraaan!  kebakaraan!" Teriakan-
teriakan-teriakan para penjaga pesanggrahan itu tiba-
tiba terhenti, ketika sesosok tubuh melompat dari da-
lam ruangan, seraya perdengarkan suara tertawa men-
gikik.
"Hihihi... hihihi... akulah yang membakar pe-
sanggrahan mu! Percuma! Guru dan kawan-kawan mu
berada di atas bukit, tengah menempur ular raksasa!
Mana mendengar teriakan kalian...?"
"Kurang ajar...! kau... kau masuk dari mana,
wanita iblis?" Bentak seorang murid yang sudah
menghadang wanita itu di hadapannya.
"Habisi saja nyawanya perempuan gila ini! apa
maksudmu membakar tempat tinggal kami...?" Teriak
kawannya dengan suara menggeledek. Serentak enam
orang penjaga telah mengurungnya. Akan tetapi wanita
itu perdengarkan suara dengusan di hidung.
"Huh! kalian laporkan pada gurumu, kejadian
ini! Dan menyingkirlah kalau tak mau mampus!" Ben-
tak si wanita itu dengan suara dingin.
"Keparat...! sebutkan siapa kau! kau tak mung-

kin lolos dari tangan kami!" Membentak murid Ki
Gembul Sona. Dia adalah kepala penjaga di Pe-
sanggrahan itu, bernama Tanggor.
"Hm, buka telinga baik-baik! Akulah yang ber-
gelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan RORO CEN-
TIL...!" Terperanjat seketika enam orang murid Ki
Gembul Sona, Akan tetapi pada saat itu sepasang len-
gan si wanita itu telah membentang. Dan terpekiklah
empat orang penjaga Pesanggrahan. Tubuhnya  ter-
huyung jatuh, dan berkelojotan berteriak-teriak. Ter-
nyata pakaiannya sobek-sobek dan hangus. Tak lama
mereka sudah terkapar pingsan. Kedua kawannya ter-
perangah seketika. Dan dengan wajah pucat salah seo-
rang menerjang bringas.
"Kau telah merusak binasakan tempat tinggal
kami, dan kau bunuh pula empat kawanku! Aku akan
adu jiwa denganmu, iblis perempuan!" Pedang dan se-
rangkanya sudah dilepas untuk sekaligus menerjang
wanita itu dengan tabasan-tabasan maut. Ternyata la-
ki-laki bernama Tanggor ini bernyali hebat. Dia tak ta-
kut mati. Pedangnya berkelebatan bagaikan bayan-
gan... Akan tetapi dengan melompat-lompat wanita
menghindar, ini mampu membuat serangan berantai
yang menggebu-gebu itu lolos. Kalau dia mau, sekali
hantamkan lengannya laki-laki bernama Tanggor itu
akan tewas dengan tubuh hangus. Akan tetapi wanita
ini berseru kagum.
"Aiiih, kau seorang lelaki yang brangasan, dan
gagah! Kau tak takut mati...?" Berkata si wanita itu,
seraya melompat mundur.
"Si Tanggor tak peduli kalau harus mampus se-
kalipun, dari pada aku lihat tampang manusia iblis pe-
rempuan macam kau!" Teriak laki-laki bertubuh kekar
itu. Pedangnya mengaum untuk membelah kepala si
wanita yang mengaku bernama RORO CENTIL itu.

Akan tetapi wanita itu tak mengelak. Lengannya cepat
menjulur ke atas.
TAPI Hebat! Cuma dengan gerakan ringan, ke-
dua jari lengannya telah menjepit mata pedang Tang-
gor.
"Hah...?" Tersentak laki-laki ini. Dengan sekuat
tenaga dia mencoba menarik pedangnya dari jepitan
jari si wanita, namun tak membawa hasil. Keparrat...!
Memaki Tanggor dalam hati, dan sebelah lengannya
yang memegang sarung pedang digunakan menyodok
dada wanita itu yang sebagian buah dadanya me-
nyembul. Kalau saja wanita itu muncul dengan muka
manis dan tak membawa malapetaka, niscaya Tanggor
akan terkesima, atau terangsang birahi melihat cara
berpakaian wanita di hadapannya. Akan tetapi justru
kebencian, dan dendam kesumatlah yang mendekam
di hatinya, untuk membunuh wanita yang telah men-
gacau di Pesanggrahan itu.
Sodokan sarung pedang itu ternyata tak mem-
punyai  arti sama sekali. Karena dengan gerak cepat
sebelah lengan si wanita mengibas, yang dibarengi ke-
lebatan tubuhnya. Sekejap kemudian, terdengar suara
keluhan. Tubuh laki-laki itu terkulai roboh terkena to-
tokan lengan si  wanita. Dan sarung pedangnya telah
terlempar entah kemana.....
Belum lagi tubuh kaku Tanggor menyentuh ta-
nah, si wanita itu telah menyambarnya. Selanjutnya
sekejap sudah berada di atas pundaknya, dengan jari-
jari lengannya masih menjepit pedang laki-laki murid
Ki Gembul Sona.
"Hihihi... hatiku  agak kepincut denganmu, pe-
muda berangasan!" Terdengar suara desis wanita itu.
Dan tubuhnya sudah berkelebat melompat ke atas
tembok. Seorang kawan Tanggor cuma terperangah
melihatnya, ketika tahu-tahu pedang di lengan si wani-

ta itu meluncur ke arahnya. Kalau tak meleset sebutir
kerikil menghantam pedang yang menyambar cepat
saat Itu, mungkin lehernya sudah terpanggang pedang.
Akan tetapi justru saat laki-laki itu terkesima, pedang
Tanggor sudah tinggal dua inci lagi dari kulit lehernya.
Terdengar suara berdenting. Sambaran pedang
maut itu terhenti dan mental balik ke lain arah, yang
langsung menancap di tiang pesanggrahan. Tersentak
si penjaga Pesanggrahan yang tersisa ini. Tampak se-
sosok tubuh berkelebat mengejar wanita tadi yang su-
dah melompati tembok untuk lenyap terhalang pengli-
hatannya.
"Berhenti...!" Bayangan itu berkelebat cepat se-
kali mengejar si wanita yang mengaku sebagai Roro
Centil. Akan tetapi begitu sepasang kakinya menempel
ditembok pagar Pesanggrahan, tiba-tiba... DHERRR...!
Tembok itu seketika runtuh dengan keadaan hangus.
Sedangkan si pengejar  telah melompat  setinggi dua
tembok menghindari serangan ganas wanita itu.

***

TUJUH

"Keparat...! Terdengar suara orang itu memaki,
karena ketika kakinya menjejak tanah, bayangan tu-
buh si wanita yang mengaku bernama Roro Centil itu
sudah berkelebat lenyap tak ketahuan kemana arah
larinya. Dengan wajah masgul dia melompat kembali
ke dalam Pesanggrahan. Sementara api telah berkobar
semakin besar melalap habis wuwungan rumah Pe-
sanggrahan itu tanpa dapat dicegah lagi.
Sejenak sosok tubuh itu menatap pada api
yang membumbung ke langit, membuat udara sekitar

menjadi panas. Lalu alihkan untuk menatap pada pe-
muda di  hadapannya, yang masih berdiri terpaku
memperhatikan.
"Terima kasih atas pertolongan anda, sobat