Ebook Wiro Sableng : Srigala Iblis


Wiro Sableng
Pendekar Kapak maut naga geni 212
Episode : Srigala Iblis
Karya : BASTIAN TITO
                       **********
https://drive.google.com/file/d/1D7XTu0qJSW0UfCzKeQ-mKUoJ8J8-64pO/view?usp=sharing SATU
KAPILATU DUDUK MENCANGKUNG di depan Kiai Talang Bungsu sambil mengipas kayu api penjarang air. Sang Kiai sendiri duduk bersila
di atas selembar tikar butut yang terletak di langkan sebuah gubuk terbuat dari bambu.
Kedua matanya terpejam, mulutnya berkemik menggumam sementara jari-jari tangannya meluncur satu persatu di atas seuntai tasbih
berwarna putih kehijauan.
Saat itu hampir menjelang tengah hari. Di puncak bukit yang tinggi itu teriknya sinar matahari dikalahkan oleh sejuknya udara segar. Justru saat itulah Kapilatu si pembantu melihat sesuatu yang tidak
dimengertinya. Sambil terus mengipasi kayu api dan matanya memandang ke arah kanan,
mulutnya berucap, "Aneh, siang-siang begini ada kabut di bukit..."
Sepasang mata Kiai Tawang Bungsu bergerak, tapi tidak membuka. Jari-jarinya yang
menyelusuri untaian tasbih berhenti bergerak.
"Kau melihat kabut katamu, Latu...?" bertanya Kiai Talang Bungsu.
"Benar sekali Kiai," jawab si pembantu.
"Di jurusan mana?" bertanya lagi sang Kiai.
"Kira-kira dua puluh langkah di sebelah kanan gubuk kita, Kiai. Searah matahari terbit.
 Paras Kiai Talang Bungsu berubah.
"Yang kau lihat bukan kabut Latu. Ada seorang besar datang berkunjung..." kata Kiai
Talang Bungsu. Kedua matanya perlahan-lahan dibuka. Tasbih dimasukkannya ke dalam saku jubah putihnya, lalu orang tua ini
bangkit berdiri dan melangkah turun dari langkan ke tanah. Dia berjalan tujuh langkah ke arah timur diikuti pandangan mata Kapilatu yang terheran-heran. Dalam hatinya
pembantu ini berkata: "Makin lanjut usia orang tua ini, semakin banyak keanehan yang diperlihatkannya. Aku menampak kabut di seberang sana. Eh, dia bilang ada orang besar
datang! Orang besar siapa...?"
Tepat pada langkah ke tujuh Kiai Talang Bungsu hentikan langkahnya. Dia memandang
tak berkesip ke arah kabut putih yang menyelubung semakin banyak sejarak lebih
sepuluh langkah di hadapannya.
Makin lama selubung kabut itu semakin tebal dan mendadak saja udara di bukit itu menjadi
lebih dingin dari biasanya. Selebung kabut bergerak dan berubah aneh pada bagian
tengah sampai ke atas. Lalu membentuk
seperti bayang-bayang manusia. Dari bayangbayang berubah lebih jelas membentuk
satu sosok tubuh yang hanya terdiri dari bagian pinggang ke atas. Bagian bawah
tenggelam dalam selubung kabut aneh. Orang itu laksana melayang di awan.
Kapilatu terkesiap dan ternganga saking tidak
percaya akan apa yang disaksikannya. Di-
antara selubung kabut itu dia melihat satu sosok tubuh seorang tua berwajah gagah dan
kelimis meskipun rambutnya yang disanggul kecil dan juga alis matanya berwarna putih
keseluruhannya. Pada tangan kanannya dia memegang sebuah tombak emas bermata tiga
yang memancarkan sinar kuning berkilauan.
"Manusia atau mahluk jejadiankah ini...?" ujar Kapilatu dan tengkuknya terasa bergeming
dingin. Perlahan-lahan dia beringsut ke belakang.
Ketika sosok tubuh yang muncul dari dalam kabut itu semakin jelas terlihat hingga hampir
tidak beda dengan keadaan manusia biasa, Kiai Talang Bungsu menjura dalamdalam lalu
berucap: "Sang Prabu, salam sejahtera untukmu.
Ada gerangan apakah Sang Prabu berkenan berkunjung ke tempat saya yang buruk ini...?"
Orang tua berselempang kain putih
menggerakkan tangan kanannya yang memegang tombak emas bermata tiga. Sinar kuning menyambar ke arah wajah Kapilatu.
Langsung saja pembantu ini rebah ke tanah dan terbujur seperti orang tidur!
"Kiai Talang Bungsu, aku datang tidak lama.
Di alam arwah aku merasa tidak tenang karena ada orang-orang titisan darahku dalam menjalani masa kutukan telah
menambah dosa mereka dengan melakukan kejahatan keji. Membunuh dan menyiksa
orang-orang tidak berdaya dan tidak berdosa.
Semua terjadi karena keserakahan menuruti
kata hati, hendak menguasai manusia lainnya
demi kepentingan sendiri, diatas kepentingan
saudara bahkan di atas kepentingan orang
tua! Mereka telah mencorengkan arang busuk ke mukaku, yang tak mungkin dipupus oleh
tabib manapun, tak mungkin hilang sampai aku masuk liang kubur sekalipun! Mereka
telah terlanjur hidup dalam kutukan, menjadi insan-insan separuhmanusia separuh iblis.
Keputusasaan membuat mereka melakukan perbuatan-perbuatan lebih jahat dari setan,
lebih ganas dari iblis, lebih mengerikan dari
pada hantu! Aku merasa tidak tenteram
sebelum mereka dihancurkan sampai keakar-akarnya!"
"Sang Prabu, apa yang jadi perintahmu akan
saya laksanakan. Hanya saja, kalau saya boleh bertanya apakah insan separuh manusia separuh iblis yang sang Prabu maksudkan itu
adalah manusia-manusia srigala yang banyak
gentayangan di rimba belantara Rekso Pratolo?" bertanya Kiai Talang Bungsu.
"Betul Kiai. Hancurkan mereka. Cuma, jangan sama ratakan mereka. Ada beberapa gelintir yang menjadi mahluk iblis karena kemurkaan dan kutukanku. Tapi mereka tidak melakukan
kejahatan. Untuk mereka hari-hari mendatang menjadi saat-saat pengampunan..."
"Saya mohon petunjuk lebih lanjut, Sang Prabu..." kata Kiai Talang Bungsu pula.
"Dengar baik-baik Kiai. Saat ini juga kau harus pergi ke hutan Rekso Pratolo. Pergi ke bekas gubuk peristirahatanku. Gubuk itu berusia lebih dari dua ratus tahun. Masih
untung kalau kau dapat menemukan bekas-bekasnya saja! Kau tunggu di gubuk itu.
Menjelang matahari menggelincir ke barat besok, akan muncul seorang pemuda. Dia akan datang dalam keadaan kehausan.
Berikan buah kelapa ini padanya. Setelah kau lihat dia meminumnya kau baru boleh meninggalkannya. Hanya itu saja yang jadi tugasmu!"
Orang tua yang dipanggil sebutan Sang Prabu itu gerakkan tangan kirinya. Tahu-tahu di
tangan itu ada sebutir kelapa hijau. Buah kelapa ini diserahkannya pada Kiai Talang Bungsu.
Sambil menerima buah kelapa itu sang Kiai bertanya: "Sang Prabu, pemuda yang kau sebutkan itu bagaimanakah ciri-cirinya?"
"Kau bertanya begitu karena takut kesalahan, bukan? Kau tak usah khawatir Kiai. Hanya dia
satu-satunya pemuda yang berani masuk ke
dalam rimba Rekso Pratolo. Akan ciri-cirinya
dia berambut gondrong, berbaju dan
bercelana putih. Begitu yang aku lihat dalam
petunjuk para Dewa. Tapi siapa namanya
itulah yang tak sempat aku tanyakan atau
diberitahukan para Dewa. Semua sudah jelas,
aku pergi sekarang, Kiai..."
Kiai Talang Bungsu mengangguk dan men-
jura dalam. Ketika dia mengangkat kepalanya
kembali Sang Prabu sudah lenyap. Kabut
yang tadi menyungkupi tempat itu perlahan-
lahan lenyap. Ketika keadaan terang kembali,
disam-pingnya Kiai Talang Bungsu
mendengar suara pembantunya Kapilatu yang
tiba-tiba saja terbangun. Entah bangun dari
tidur entah bangun dari pingsan.
Pembantu ini mengucak-ucak kedua matanya
dan memandang berkeliling. "Eh, tertidurkah
aku barusan...?" tanyanya ketika matanya
membentur Kiai Talang Bungsu yang tegak
memegang buah kelapa.
"Ya, kau memang barusan tertidur Kapilatu,"
jawab sang Kiai.
Sang pembantu garuk-garuk kepalanya.
"Aneh, tak habis pikir jadinya. Bagaimana aku
bisa tertidur. Padahal..." Dia berpaling ketika
mendengar suara air mendidih. "Ah! Padahal
jelas tadi aku tengah menjerang air. Kini air
itu sudah masak mendidih!" Kapilatu berpikir
keras. Lalu dia ingat. "Kiai, tadi aku melihat
sosok tubuh seorang lelaki tua di antara
kabut. Dia mengenakan selempang kain putih.
Memegang sebatang tombak emas bermata
tiga. Kau menyebutnya sebagai seorang
besar. Sekarang kemanakah dia?"
"Orang besar itu sudah pergi, Kapilatu..."
sahut Kiai Talang Bungsu.
"Pergi... Benar-benar aneh. Siapakah dia Kiai,
kalau aku boleh bertanya?" Pembantu itu
bertanya lagi.
"Dia adalah sosok Sang Prabu Raja
Blambangan yang muncul menjelma dari alam
arwahnya."
Sulit bagi Kapilatu mencerna penjelasan Kiai
Talang Bungsu itu. Bagaimana mungkin orang
yang sudah lama mati hampir dua ratus
tahun lalu tiba-tiba saja bisa muncul begitu
rupa. Kapilatu geleng-geleng kepala.
Kemudian dilihatnya buah kelapa yang ada di
tangan kanan sang Kiai...
"Ribuan tombak di seantero bukit ini, tak ada
pohon kelapa. Dari mana kau mendapatkan
buah itu Kiai?" tanya si pembantu yang
kembali jadi heran.
"Sang Prabu yang memberikannya padaku,"
jawab Kiai Talang Bungsu polos.
"Sang Prabu! Benar-benar luar biasa... Dia
membawanya dari alam arwah! Pasti itu buah
kelapa ajaib! Buah kelapa jejadian...Bolehkah
aku melihat dan memegangnya Kiai?"
Kiai Talang Bungsu gelengkan kepala.
"Kita harus pergi sekarang juga Kapilatu..."
"Kita harus pergi katamu Kiai? Pergi
kemana...?"
"Antarkan aku ke hutan Rekso Pratolo."
"Hutan Rekso Pratolo!" mengulang Kapilatu
dengan wajah berubah dan suara terkejut.
"Itu hutan tempat sarang segala mahluk halus
jejadian yang menakutkan! Mulai dari dedemit
bermuka raksasa setinggi pohon sampai tuyul
sebesar jempol. Mulai dari mahluk jejadian
bertaring besar bermata merah dan berlidah
yang selalu mengucurkan darah sampai jin
perempuan bermuka sepucat mayat. Mahluk-
mahluk itu akan mencekik kita sampai mati!
Jangankan manusia, setan sungguhanpun tak
akan berani memasuki hutan seribu
keangkeran itu!"
Kiai Talang Bungsu tersenyum. Walau dalam
hati dia membenarkan ucapan pembantunya,
namun tetap saja dia berkata, "Itu hanya
omongan orang saja Kapilatu. Hutan itu tak
ada apa-apanya. Nah, kita berangkat
sekarang supaya menjelang siang besok bisa
sampai kesana..."
"Lalu bagaimana dengan air panas ini. Aku
masih belum membuatkan kopi untukmu Kiai."
"Lupakan saja kopi itu. Urusan kita lebih
penting!" sahut Kiai Talang Bungsu.
"Ini bukan urusan penting Kiai. Tapi urusan mencari penyakit!' kata Kapilatu pula.
Tapi dia terus saja bangkit sambil tepuk-tepuk pantat celananya. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah topi
beludru hitam. Lalu topi ini dikenakannya ke
kepalanya. Karena kebesaran maka topi itu jadi kupluk sampai ke batas alisnya.
Kiai dan pembantunya itu menuruni bukit ke arah timur. Satu hari perjalanan baru mereka
akan sampai di hutan Rekso Pratolo. Kiai Talang Bungsu tak mau datang terlambat di
tempat tujuan. Dia sadar tugas besar yang harus dijalankannya demi menyelamatkan manusia dari kehidupan alam sesat yang penuh kengerian.



DUA
"KIAI, SUDAH LAMA SEKALI kita berada di
tempat ini. Tengkukku sudah sejak tadi terasa
beku dan dingin. Perutku keroncongan. Siapa
sebenarnya yang kita tunggu disini...?" begitu
Kapilatu bertanya.
Saat itu mereka berada dalam hutan Rekso
Pratolo yang redup karena sinar matahari tak
sanggup menembus lebat dan rimbunnya
pohon-pohon besar. Keduanya duduk di
tanah, di depan sebuah bangunan kayu yang
hanya tinggal tiang-tiang lapuk serta dinding
yang sudah hancur dimakan usia bahkan
nyaris jadi bubuk. Konon itulah dulu
bangunan tempat istirahat Prabu Blambangan
pada saat dia melakukan perburuan dalam
rimba belantara.
Saat itu menjelang tengah hari. Kiai Talang
Bungsu diam-diam merasa cemas. Apakah
pemuda yang dikatakan Sang Prabu dalam
penjelmaannya siang kemarin akan benar-
benar muncul di tempat itu? Pertanyaan
pembantunya membuat dia menjadi tidak
enak. Karena sang Kiai tidak menjawab
pertanyaannya Kapilatu tidak mau
mengulang. Dalam hatinya dia tetap tak habis
pikir, apa sebenarnya tujuan Kiai Talang
Bungsu datang ke tempat itu, untuk apa pula
dia membawa buah kelapa hijau yang
katanya didapat dari Sang Prabu
Blambangan. Lalu siapa sebenarnya yang
tengah ditunggu sang Kiai?
"Kiai..." Karena tak tahan membisu Kapilatu
kembali membuka mulut. Tapi Kiai Talang
Bungsu cepat menukas.
"Diam Kapilatu! Aku mendengar suara orang
bersiul di hutan ini. Bukan suara siulan biasa.
Gendang-gendang telingaku terasa bergetar.
Jangan-jangan inilah orang yang dikatakan
Sang Prabu..."
Kalau sang Kiai berkata begitu maka Kapilatu
saat itu sama sekali tidak mendengar suara
siulan. Ini cukup memberi pertanda bahwa
Kiai Talang Bungsu memiliki ketajaman
pendengaran dan ilmu yang tinggi. Beberapa
saat kemudian ketika pembantu itu akhirnya
bisa mendengar suara siulan tersebut,
telinganya terasa laksana ditusuk dan
mendenyut sakit. Cepat-cepat Kapilatu tekap
kedua telinganya dengan telapak tangan.
Kiai Talang Bungsu bangkit berdiri. Matanya
memandang ke arah kanan, dari jurusan mana
datangnya suara siulan itu. Tak selang berapa
lama dia melihat kepala orang yang bersiul
itu, lalu dadanya. Ternyata dia seorang
pemuda berikat kepala kain putih. Dibawah
ikat kepala, tampak rambutnya yang gondrong
menjulai bahu. Bajunya berwarna putih.
Ketika pemuda ini melihat Kiai Talang Bungsu
dan Kapilatu serta merta dia hentikan
siulannya, memandang sesaat lalu melangkah
mendekati kedua orang itu.
"Salam untuk kalian berdua..." Si pemuda
menegur. "Setengah harian tersesat dalam
rimba belantara tidak sangka bertemu orang."
Pemuda ini tersenyum lebar pada Kiai Talang
Bungsu dan Kapilatu. "Orang tua, sedang
apakah kau di tempat ini? Tampaknya seperti
sedang menunggu seseorang..."
Kiai Talang Bungsu perhatikan pemuda di-
hadapannya dengan seksama beberapa saat
lalu menjawab, "Aku memang tengah
menunggu seseorang. Aku Kiai Talang
Bungsu. Siapakah engkau adanya, anak
muda?"
"Namaku Wiro Sableng." jawab si pemuda
yang ternyata adalah Pendekar 212 dari
Gunung Gede.
Dalam hati Kiai Talang Bungsu berkata:
"Tampangnya tidak meyakinkan. Namanya
malah lebih tidak meyakinkan. Janganjangan
bukan manusia satu ini yang dimaksudkan
oleh Sang Prabu. Tapi melihat keadaan hari,
saat ini sang surya telah condong ke barat.
Kemunculannya tepat waktunya seperti yang
dikatakan Prabu. Bagaimana ini? Lebih baik
aku langsung bertanya saja..."
"Anak muda, katamu tadi kau tersesat masuk
ke dalam hutan ini. Bagaimana bisa terjadi
begitu?" bertanya Kiai Talang Bungsu.
"Pagi tadi ada dua ekor anak rusa lucu-lucu
di tepi hutan ini. Keduanya jinak sekali.
Mereka mengikuti ke mana aku pergi. Menjilati
betisku. Melompat-lompat di hadapanku lalu
berlari-lari masuk ke hutan. Ketika ku-ikuti,
dalam hutan keduanya lenyap begitu saja.
Aku kembali ke tempat semula tapi ada hal
yang aneh. Aku tak mampu keluar dari hutan
ini! Makin kucoba mencari jalan keluar, makin
jauh aku tersesat masuk ke dalam rimba
belantara ini. Gila betul!"
"Tersesat berarti berada dalam kesulitan. Tapi
mengapa tadi kudengar kau bersiul-siul
seperti orang gembira saja?" tanya Kiai
Talang Bungsu.
Wiro garuk kepala. "Pikiranku sedang kalut.
Dengan bersiul mungkin aku bisa tenang dan
mampu mencari jalan keluar. Tahu-tahu aku
bertemu kau dan kawanmu ini disini..."
"Tahukah engkau kalau hutan ini merupakan
hutan paling angker, penuh dengan segala
mahluk halus dan jejadian yang setiap saat
bisa muncul mencekikmu sampai mati?" Yang
berkata adalah Kapilatu.
"Eh... Apa betul begitu orang tua?" tanya
Wiro.
Kiai Talang Bungsu mengangguk. Wiro kini
perhatikan kedua orang di hadapannya itu.
"Kalau begitu... Jangan-jangan kalian berdua
ini adalah mahluk jejadian itu..."
Sang Kiai tersenyum tapi Kapilatu
mendamprat. "Enak dan lancang amat
mulutmu! Apa kau lihat muka kami seperti
dedemit dan kedua kaki kami tidak menginjak
tanah?!"
"Aku hanya bergurau," berkata Wiro. "Perutku
lapar. Tapi rasa haus membuat
tenggorokanku seperti terbakar. Aneh,
padahal hutan ini redup dan tidak panas..."
Kedua mata Wiro mengerling pada buah
kelapa yang ada di tangan kanan Kiai Talang
Bungsu.
"Jika kuberikan buah kelapa ini padamu,
apakah kau mau meminumnya?" tanya Kiai
Talang Bungsu sambil mengangkat buah
kelapa itu dekat-dekat ke hadapan Wiro.
"Ah, kau baik sekali orang tua. Aku memang
haus. Tapi aku tak akan menghabiskannya
seorang diri. Kita bagi tiga air kelapa itu..."
"Tak usah berbasa-basi. Kami sudah minum
sebelumnya. Kelapa satu ini silahkan kau
habiskan sendirian." kata Kiai Talang Bungsu
pula. Lalu dia berpaling pada pembantunya
dan berkata: "Buatlah lobang untuk minum
sahabat kita ini..."
"Kiai, bagaimana kau ini..." Kapilatu berkata
terheran-heran. "Kau hendak memberikan
kelapa ini padanya. Padahal kita berdua saat
ini juga tengah keha..."
"Lakukan saja apa yang aku perintahkan
Kapilatu!" Kiai Talang Bungsu memotong
ucapan pembantunya dengan keras. Meski
dalam hati Kapilatu menggerendeng tapi
pembantu ini mengerjakan juga apa yang
dikatakan sang Kiai. Dari balik pakaiannya
Kapilatu keluarkan sebuah golok kecil. Dengan
golok ini dipapasnya ujung kelapa pada
bagian tangkainya lalu dibuatnya lobang. Air
kelapa tampak bening dan segar. Kiai Talang
Bungsu lalu menyerahkan kelapa itu pada
Wiro.
"Terima kasih, kau benar-benar baik Kiai,"
kata Wiro menerima kelapa. Lalu tanpa
menunggu lebih lama air kelapa segar itu
langsung diminumnya sampai setengahnya.
"Manis sekali!" kata Wiro sambil menyeka
mulut dengan belakang tangannya.
"Kenapa tidak kau habiskan sekaligus?" ujar
Kiai Talang Bungsu pula.
"Jangan kawatir. Air kelapa seenak ini pasti
akan kuhabiskan!" sahut Wiro. Lalu kembali
dia meneguk air kelapa itu. Saking asyiknya
minum, Wiro tak sempat lagi melihat gerakkan
yang dibuat Kiai Talang Bungsu bersama
pembantunya. Ketika air kelapa yang
diminumnya habis dan buah kelapa itu
diturunkannya dari mulutnya, terkejutlah
pendekar ini. Baik sang Kiai maupun
pembantunya yang berpeci kupluk itu, tak ada
lagi di situ. Dia memandang berkeliling
bahkan melangkah menyibak semak belukar.
Kedua orang tadi lenyap seperti ditelan hutan!
Wiro Sableng bantingkan kepala di tangan
kanannya ke tanah. "Heran...kemana
lenyapnya kedua orang itu. Kalaupun pergi
mengapa pergi begitu saja! Jangan-jangan
keduanya betul-betul mahluk jejadian seperti
yang kubilang tadi. Dan air kelapa yang
kuminum itu, jangan-jangan air kencing
setan!" Memikir disitu Wiro pungut kembali
kelapa yang tadi dicampakkanya lalu
dihantamnya dengan tangan kanan hingga
terbelah dua. Tampak bagian daging kelapa
yang putih. Ketika daging kelapa itu dikorek
dan digigitnya, terasa manis dan legit.
"Ini kelapa betulan..." ujar Wiro. Tambah
bingung murid Eyang Sinto Gendeng ini. Dia
menyeruak lagi beberapa kelompok semak
belukar bahkan mencoba naik ke atas
sebatang pohon dan meninjau berkeliling.
Tapi Kiai Talang Bungsu dan Kapilatu tetap
tidak kelihatan.
Wiro melompat turun ke tanah. Pada saat ke
dua kakinya baru menginjak tanah itulah
murid Sinto Gendeng ini melengak kaget.
Karena di depan bangunan gubuk yang hanya
tinggal reruntuhan itu tiba-tiba saja
dilihatnya ada seorang lelaki duduk bersila di
tanah membelakanginya. Orang ini hanya
mengenakan sehelai celana berwarna biru
gelap, punggungnya telanjang. Rambutnya
digulung dan diikat di atas kepala. Karena
membelakangi Wiro tak dapat melihat
wajahnya. Apa yang membuat Wiro jadi lebih
tercekat ialah adanya seekor ular hitam
berbelang hijau yang melingkar dan meliuk-
liuk membelit lehernya!
"Orang itu..." kata Wiro dalam hati. "Tadi dia
tak ada di situ. Mengapa tahu-tahu
muncul...?!" Sambil menjaga jarak agar
jangan terlalu dekat Wiro melangkah ke
sebelah kanan, terus maju ke bagian depan
orang yang bersila agar dia dapat melihat
wajahnya.


TIGA
WIRO SAMPAI DI HADAPAN orang yang duduk
bersila itu. Ternyata dia seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Kumis dan
janggutnya meranggas kasar dan lebat. Kedua
matanya terbuka tetapi memandang kosong
seperti buta. Kedua tangannya terletak di
paha. Sikapnya seperti orang bersamadi.
Tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Kedua
matanya tak pernah berkesip.
"Ki sanak... Siapakah kau? Apakah tengah
bersamadi?" Wiro berseru.
Ssssssssssssh!!!
Yang ditanya tidak menjawab. Yang terdengar
adalah desisan ular hitam belang hijau.
Binatang ini menegakkan kepala, mulutnya
membuka, sikapnya siap hendak menerkam
Wiro!
"Ki sanak!" Wiro berseru kembali.
Ular yang melingkar di leher pemuda yang
duduk bersila mendesis keras. Kepalanya
terpentang, gelungannya membuka dan tiba-
tiba sekali binatang ini melesat terbang
laksana sebatang anak panah menderu ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Untung saja
murid Sinto Gendeng ini sudah bersikap hati-
hati sejak tadi. Begitu dilihatnya ular hitam
hijau membuka libatannya di leher orang dan
melesat ke arahnya, Wiro langsung
menghantam dengan pukulan kosong tangan
kanan mengandung tenaga dalam. Pukulan
yang dilepaskannya adalah pukulan "kunyuk
melempar buah"
Begitu pukulan sakti itu menghantam kepala
dan tubuhnya, tak ampun lagi ular hitam
belang hijau itu mental di udara dalam
keadaan cerai berai. Tetapi begitu hancuran
tubuh jatuh menyentuh tanah, satu persatu
hancuran itu lenyap seperti ditelan tanah
belantara! Di saat itu pula di dalam rimba
terdengar suara orok menangis, melengking
keras dan panjang.
Wiro merasakan bulu romanya berdiri, "Ular
itu... Binatang jejadian..." katanya dalam hati.
"Begitu jatuh di tanah terus lenyap. Dan suara
bayi menangis itu...Keanehan apa yang
tengah kuhadapi ini!" Wiro memandang ber
keliling sampai akhirnya pandangannya
kembali membentur pemuda yang duduk
bersila tak bergerak, bermata nyalang tapi tak
pernah berkesip.
Perlahan-lahan Wiro melangkah mendekati
tubuh yang seperti tengah bersamadi itu. Satu
langkah dari orang itu Wiro mendadak
tersentak kaget. Kedua kakinya laksana
ditancap ke dalam tanah. Kedua matanya
terpentang lebar, hampir tak percaya akan
apa yang dilihatnya. Diulurkannya tangan
kanannya-memegang bahu si pemuda.
Dipegangnya dengan keras, lebih keras. Dari
hanya memegang kini Wiro mengetuk-ngetuk
bahu itu, memukulnya. Keras! Dengan tangan
gemetar Wiro meraba naik ke wajah yang
penuh ditumbuhi kumis serta cambang bawuk
yang lebat. Juga terasa keras. Dan dua mata
yang terbuka itu bukan seperti mata semula.
Seluruhnya telah berubah keras. Tubuh,
anggota badan, kepala termasuk rambut dan
mata telah berubah keras!
"Batu...! Manusia ini telah berubah jadi
patung batu! Ya Tuhan! Bagaimana mungkin
ini bisa terjadi...!" ujar Wiro sambil menyurut
satu langkah. Selain rasa aneh dan heran,
Pendekar 212 merasa ada hawa yang
menakutkan merasuki dirinya. "Hai!" Wiro
seperti terlonjak. Dari sepasang mata yang
telah berubah menjadi batu keras itu dia
melihat ada tetesan air mata jatuh berderai,
menggelinding diatas pipi yang juga telah
berubah jadi batu! Wiro ulurkan tangan
kirinya yang gemetaran untuk menyentuh air
mata yang berderai di pipi. Terasa jari-jari
tangannya basah.
"Manusia batu ini benar-benar menangis..."
bisik Wiro. Saat itulah dia mendengar suara
seperti anjing melolong dikejauhan. Panjang
dan menggidikkan. "Lolongan anjing. Bukan!
Bukan lolongan anjing. Itu lolongan srigala..."
Murid Sinto Gendeng memandang berkeliling.
Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada puluhan
pasang mata yang memperhatikannya.
Puluhan pasang mata yang tidak terlihat oleh
mata biasa, oleh matanya sendiri! Rasa ngeri
membuat keringat dingin mengucuri tubuhnya.
Menghadapi musuh yang bagaimanapun
seramnya selagi masih bisa dilihat mata
telanjang, Pendekar 212 tidak pernah merasa
takut. Tetapi menghadapi mahluk-mahluk
yang tidak terlihat, benar-benar membuat
Wiro merasa lebih baik dia segera
meninggalkan tempat itu. Dia menyurut
beberapa langkah lalu balikkan diri dan
tinggalkan tempat itu setengah berlari. Berlari
beberapa jauh Wiro berpaling ke belakang.
Astaga! Larinya terhenti sesaat. Manusia yang
berubah jadi patung itu, tak ada lagi di
tempatnya semula. Bahkan bekas reruntuhan
gubuk itupun tak tampak Segi di tempat itu!
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak tahu berapa
lama dia berlari, dalam lari itu dia merasa
seolah-olah ada yang mengikutinya. Namun
setiap dia menoleh kebelakang sama sekali
tidak kelihatan ada orang yang menguntit!
"Orangnya tak kelihatan. Tapi aku yakin ada
yang mengikutiku. Bukan cuma satu orang..."
kata Wiro dalam hati lalu mempercepat
larinya.
Di hadapan sebuah pohon besar murid Sinto
Gendeng ini akhirnya hentikan larinya.
Nafasnya mengengah dan keringat
membasahi tubuh serta pakaiannya. Di atas
pohon dua mahluk yang tidak kelihatan
perwujudannya di mata manusia biasa
termasuk Wiro saling berbisik satu sama lain.
"Dayang, kita mengikuti dan mengamati
pemuda itu sejak tadi. Aku yakin memang
dialah orang yang kulihat dalam alam luar
pandangku. Dialah orang yang akan
menyelamatkan kita ke dalam perwujudan
semula..."
"Aku memang berpendapat dan berharap
sepertimu Dewi. Menyelamatkan kita tapi juga
menghancurkan mahluk-mahluk iblis itu!
Selama mereka masih ada di muka bumi,
dunia ini tidak akan pernah aman. Orang-
orang sesat akan bertambah berlipat ganda.
Sudah saatnya kita melakukan sesuatu Dewi!"
Mahluk tanpa wujud yang dipanggil Dewi
mengiyakan.
"Saatnya kita memperlihatkan diri pada
pemuda itu dan bicara padanya." Dayang
merasakan tangannya ditarik. Ketika
melayang turun dari atas pohon dimana dia
berada, Dayang memandang ke bawah lalu
berseru terkejut seraya menunjuk.
"Dewi! Lihat apa yang dilakukan pemuda itu!"
Dewi berpaling ke arah yang ditunjuk dan ikut
kaget. "Astaga! Dia...! Ah! Mengapa dia
melakukan hal itu disini! Celaka!"
"Kita harus mencegahnya Dewi!"
"Percuma! Sudah terlambat! Dia telah
melakukannya!" ujar Dewi dengan suara
tercekat.
"Nasib kita tak akan berubah. Kita akan tetap
hidup di alam gelap ini..." Terdengar suara
Dayang sesenggukan, lalu dia memeluk Dewi
kencang-kencang. Dua mahluk ini saling
berangkulan dan teteskan air mata dalam
alam mereka.
Di bawah pohon saat itu Pendekar 212 Wiro
Sableng tampak tengah membuang air kecil.
Minum air kelapa begitu banyak ditambah
berlari cukup jauh membuat tubuhnya sebelah
bawah terasa berat dan tidak dapat lagi
menahan kencing. Lalu pemuda ini membuang
hajatnya di bawah pohon besar itu!
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Dewi?"
bertanya Dayang. "Pemuda itu telah
melanggar pantangan! Mengotori pohon besar
dengan air kencingnya. Sebentar lagi Srigala-
srigala iblis pasti akan muncul disini...!"
"Mereka sudah datang, Dayang. Aku sudah
melihat mereka muncul dari arah kanan sana.
Mari tinggalkan tempat ini..."
"Tapi Dewi, bagaimana dengan pemuda itu.
Bagaimanapun juga dia harapan kita satu-
satunya. Kita harus menolongnya...!"
"Tidak Dayang. Kita tak mungkin
menolongnya. Kau tahu hal itu. Saat ini tak
satu kekuatan pun sanggup melawan srigala-
srigala iblis itu. Kita harus pergi..."
Dayang tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia
mengikuti sang Dewi masih dalam keadaan
menangis sesenggukan. Di bawah pohon
selesai membuang hajat Wiro Sableng rapikan
celananya lalu memutar tubuh. Pada saat
itulah suasan sunyi dalam hutan Rekso
Pratolo dirobek oleh suara lolongan riuh,
panjang dan keras. Wiro merasakan tubuhnya
bergetar keras. Suara lolongan itu bukan
lolongan biasa. Ada satu kekuatan aneh tapi
juga terasa mengerikan menyertai lolongan
itu.
"Lolongan srigala..." ujar Wiro dalam hati.
"Bukan hanya seekor... Mungkin puluhan.
Tapi dimana binatang-binatang itu..."
Wiro memandang berkeliling. Suara lolongan
semakin keras tanda semakin dekat. Tapi
mahluk yang melolong tetap saja tidak
kelihatan. Murid Sinto Gendeng gerakkan
tangan kanan memegang hulu senjata
mustikanya, Kapak Maut Naga Geni 212.
Bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
Suara lolongan riuh srigala yang mengerikan
mendadak lenyap. Dalam kesunyian yang
mencekam tiba-tiba membahana suara tanpa
rupa.
"Anak manusia! Kau telah lancang dan kurang
ajar mengotori istanaku! Bersiaplah
meninggalkan alam kasarmu! Bersiaplah
menerima hukuman berat!"


EMPAT
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG memandang
berkeliling. Suara yang barusan membertak
garang telah lenyap tapi gaungannya masih
terdengar membahana menggetarkan seantero
hutan Rekso Pratolo. Wiro merasakan daun-
daun pepohonan bergemerisik aneh.
"Suara tanpa rupa!" Wiro balas berseru.
"Kepada siapa ucapanmu tadi kau tujukan?!"
Terdengar suara mendengus lalu bentakan
keras, "Manusia tolol! Apa ada manusia lain
di sampingmu saat ini?!"
"Aku memang sendirian di sini!" sahut Wiro.
Kembali terdengar suara mendengus.
"Berarti memang kaulah manusianya yang
kurang ajar itu. Lancang mengotori istanaku!
Hukuman berat bagimu anak manusia!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia
membatin. "Suara itu aneh, menegakkan bulu
roma. Tapi masih mirip-mirip suara
perempuan. Setelah berpikir sejenak, Wiro
kembali membuka mulut. "Aku tidak melihat
istana di tempat ini. Apalagi mengotorinya!
Aku juga tidak mengerti soal hukuman berat
itu!"
Terdengar suara menggereng banyak sekali.
"Kau mengencingi istana kami bangsat!!"
terdengar suara teriakan.
Lalu terdengar suara tadi, "Kepalamu kulihat
cukup keras! Cukup baik untuk jadi ganjalan
tiang istanaku! Hik... hik... hik!" Lalu
menyusul suara lolongan tunggal. Suara
lolongan srigala! Dan lolongan tunggal ini
kemudian ditimpali oleh suara lolongan
srigala banyak menggemuruh.
Wiro usap-usap kepalanya.
"Mahluk yang hendak menjadikan kepalaku
ganjalan tiang istana! Siapa kau ini
sebenarnya! Mengapa tidak mau tampakkan
muka?!" berteriak Pendekar 212.
"Kau akan lihat... Kau akan lihat!" menjawab
suara itu. Lalu terdengar suara keras laksana
guntur menggelegar. Begitu suara gelegar ini
sirna, asap putih mengepul membumbung ke
udara setinggi lutut. Asap itu membentuk
satu lingkaran besar dan Pendekar 212 Wiro
Sableng berada tepat di tengah lingkaran.
"Eh, kemana lenyapnya pohon-pohon besar
itu!" Wiro terkejut ketika dia tidak melihat lagi
pohon-pohon ataupun semak belukar hutan
Rekso Pratolo. Yang dilihatnya kini hanyalah
kepulan asap putih mengurungnya. Tapi tidak!
Bukan hanya kepulan asap putih setinggi
lutut itu yang saja yang kelihatan! Ada lagi
benda lain yang tampak! Dan Pendekar 212
merasa lututnya seperti goyah ketika
menyadari mahluk apa yang mengelilinginya!
Mahluk-mahluk itu memiliki kepala berupa
binatang yaitu kepala srigala, bertelinga
runcing ke atas, bermulut panjang yang selalu
menganga memperlihatkan taring-taring
runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata
merah laksana menyala. Anehnya mahluk
yang berkepala srigala hitam ini memiliki
tubuh sebatas leher kebawah sama dengan
tubuh manusia, kecuali sepasang tangan yang
memiliki jari-jari berkuku runcing mengerikan!
Seperti manusia adanya mereka mengenakan
celana hitam sebatas lutut. Dari keadaan
dada mereka yang telanjang Wiro segera tahu
kalau mahluk-mahluk setengah binatang
setengah manusia itu adaiah mahluk-mahluk
jantan.
Menurut dugaan Pendekar 212 paling tidak
ada sekitar tiga puluh mahluk berkepala
srigala mengurungnya saat itu. Semua
memandang dengan buas ke arahnya.
"Yang tadi mengeluarkan suara jelas suara
perempuan. Tapi aku tidak melihat mahluk
betina di antara mereka..." kata Wiro dalam
hati sambil matanya mencari-cari.
"Berikan jalan pada Ratu!" tiba-tiba terdengar
seruan sementara kepulan asap putih masih
terus mengambang setinggi lutut.
Kelompok mahluk manusia srigala di sebelah
kanan menyibak.Bau harum semerbak
memenuhi tempat itu. Disaat itu pula Wiro
melihat satu sosok manusia srigala bertubuh
tinggi melangkah mendatangi. Pada bagian
atas kepalanya ada sebentuk mahkota kecil
dihiasi batu-batu permata yang-
memancarkan sinar berkilauan:
Mahluk satu ini ternyata adalah manusia
srigala betina. Dia mengenakan pakaian
sebentuk kemben di sebelah atas sedang di
sebelah bawah memakai celana hitam yang
bagian atasnya lebih pendek hingga sebagian
perutnya yang putih tampak tersembul.
Mahluk ini miliki payudara yang luar biasa
besarnya, putih menyembul diatas kemben. Di
belakangnya mengiring tiga manusia srigala
betina yang tampaknya adalah pengiring-
pengiringnya. Semua manusia srigala jantan
menjura dalam begitu srigala betina
bermahkota ini muncul.
"Hem... Yang betina ini agaknya pemimpin
mereka!" ujar Wiro dalam hati. "Dadanya
tampak montok, sayang kepalanya kepala
seekor srigala!" Dalam keadaan seperti itu
Wiro masih saja sempat berpikir yang bukan-
bukan.
"Berlutut di hadapan Ratu kami!" satu suara
membentak memerintah pada Wiro. Tapi sang
pendekar tetap saja berdiri sambil pandangi
dada montok di bawah kepala berbentuk
srigala hitam itu!
Melihat orang tak mau berlutut, sang Ratu
tampak marah. Dia berpaling pada salah
seorang pembantu betinanya dan
memerintahkan. "Hajar dan paksa dia
berlutut!" Yang diperintah melangkah maju
tapi berbalik kembali dan berbisik. "Jika dia
melawan, apakah harus dibunuh?"
Sang Ratu tampak bimbang sesaat. Lalu
menjawab, "Kita sudah tahu bencana apa
yang bisa dilakukannya terhadap kita dengan
kemunculannya. Tapi kau tak usah kawatir
Sari Gali Satu. Kau akan sanggup
menguasainya. Lakukan apa yang
kuperintah!"
Srigala betina yang dipanggil dengan nama
Sari Gaii Satu anggukkan kepala lalu
melompat ke hadapan Wiro. Pendekar 212
melihat bagaimana lompatan yang dibuat
mahluk itu bukan seperti manusia biasa
melompat, tapi lebih menyerupai lompatan
seekor binatang. Lompatan srigala! Dua
tangan yang memiliki jari-jari berkuku
panjang mengerikan berkelebat ke arah kepala
Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat
membuat gerakan mengelak sambil satu
tangannya menangkis sekaligus memukul
lengan Sari Gali Satu. Tapi dia jadi
terperangah karena begitu pukulannya
mengena dia seolah-oleh hanya menghantam
angin atau udara kosong atau seperti
melabrak air saja! Dan justru selagi dia
terkejut begitu rupa dirasakannya kedua
betisnya dihantam keras sehingga lututnya
tertekuk dan tak ampun lagi tubuhnya roboh
ke tanah dalam keadaan berlutut. Ketika
dicobanya untuk berdiri ternyata sekujur
badannya tak bisa lagi digerakkan. Tangan
dan kakinya tegang kaku!
"Celaka! Ilmu apa yang dipergunakan srigala
betina ini membuat aku berlutut kaku seperti
ini?!" keluh Wiro.
Sari Gali Satu berpaling pada sang Ratu dan
berkata, "Tugas sudah dilaksanakan, mohon
petunjukmu lebih lanjut, Ratu!"
Sepasang mata srigala sang Ratu memandang
tak berkesip ke arah Pendekar 212. Lalu
terdengar dia berucap, "Geledah pakaiannya.
Aku yakin dia membawa senjata. Begitu kau
temui ambil senjata itu dan serahkan padaku!"
Sari Gali Satu memeriksa pakaian Pendekar
212. Begitu melihat sebilah senjata berupa
kapak bermata dua segera diambilnya lalu
diserahkannya pada sang Ratu.
"Kembalikan senjataku!" teriak Wiro dengan
keras.
Ratu srigala membuka mulutnya lebar-lebar
seolah menyeringai. "Aku mau lihat kau
mampu berbuat apa kalau ini tidak
kukembalikan!"
Wiro kertakkan rahang, kumpulkan seluruh
tenaga dan kerahkan tenaga dalam. Tapi tidak
ada otot-otot yang bisa digerakkan, tak ada
hawa tenaga dalam yang bisa dialirkan. Ratu
srigala keluarkan suara melolong panjang.
Begitu lolongannya lenyap dia memerintah.
"Bawa dia ke istana! Aku akan menentukan
hukuman apa yang pantas baginya! Dan Sari
Gali Dua, simpan senjata ini di ruang benda-
benda mustika!" Sang Ratu lalu menyerahkan
Kapak Maut Naga Geni 212 pada pengiringnya
yang berdiri di sampingnya.
Setelah itu sang Ratu memandang sekilas
pada Wiro, balikkan tubuh dan tinggalkan
tempat itu diikuti oleh dua pengiringnya. Wiro
merasa ada yang menepuk punggungnya. Lalu
tubuhnya tertarik ke atas hingga dia tertegak
lurus. Kedua kakinya kini bisa digerakkan tapi
sebatas pinggang ke atas termasuk kedua
tangannya tetap saja kaku tak bisa
digerakkan.
"Jalan!" Sari Gali Satu memerintah.
Seperti kerbau dicucuk hidung Pendekar 212
Wiro Sableng melangkah mengikuti sang Ratu
bersama dua pengiringnya. Di sebelah
belakang, sekitar tiga puluh manusia srigala
jantan mengikuti bergerak, berjalan dalam
bentuk setengah lingkaran seperti ladam
kuda. Jelas mereka sengaja membentuk
barisan seperti itu untuk menjaga segala
kemungkinan agar tawanan satu itu tidak bisa
melarikan diri.


LIMA
SETIAP LANGKAH YANG DIBUATNYA
dirasakan seperti tambah menyesakkan dada
bagi murid Sinto Gendeng. Bulu tengkuknya
merinding, keringat dingin membungkus
badannya. Berulang kali dicobanya untuk
membebaskan diri dari rasa kaku yang
menghimpit tubuhnya sebelah atas. Tapi sia-
sia belaka. Dia tetap saja melangkah seperti
orang berjalan dalam mimpi atau seperti
mayat hidup! Gerak kedua kakinya hanya
mampu untuk sekedar berjalan saja, ketika
dicoba berlari kedua kaki itu seperti diganduli
batu besar hingga dia :ak mampu
melakukannya. Kalaupun dia bisa lari, kecil
pula kemungkinan untuk dapat menembus
kepungan manusia-manusia srigala hitam
yang bergerak dalam bentuk ladam kuda itu
Lalu apa yang membuat Wiro Sableng
semakin merinding ialah ketika menyaksikan
bagaimana semua mahluk setengah manusia
setengah srigala itu melangkah dengan kedua
kaki tidak menyentuh tanah sama sekali!
Telapak kaki mereka tampak putih pucat,
seperti kaki mayat!
Wiro melangkah dengan kedua mata jelalatan
kian kemari. Bagaimanapun juga keadaannya
yang tidak berdaya saat itu dia harus terus
berlaku hati-hati, paling tidak melihat apa
yang ada di sekitarnya. Dia yakin sekali saat
itu masih berada dalam hutan Rekso Pratolo.
Tetapi yang terasa aneh ialah dia sama sekali
tidak melihat pohon-pohon ataupun semak
belukar. Dia sama sekali tidak melihat
tanaman apapun. Yang dilihatnya adalah
tanah yang dilangkahinya, berupa tanah
merah kecoklatan. Lalu bagian kiri kanan dan
atas yang seperti sebuah terowongan panjang
berlapis kabut tipis tak tembus pandang.
Sepanjang perjalanan yang penuh ketegangan
itu Wiro tiada hentinya mendengar suara
aneh. Mulai dari lolongan srigala yang
mencekam, suara tangis orok, suara mahluk
aneh tertawa mengerikan, suara erangan
orang-orang yang seperti berada dalam
keadaan tersiksa atau sekarat. Sesekali lapat-
lapat terdengar gema gamelan!
"Gusti Allah dimana aku ini berada. Kemana
aku ini mau dibawa..." ujar Wiro dalam hati
menyebut nama Tuhan. Baru saja dia berkata
begitu mendadak terdengar suara keras
seperti guntur menggelegar. Wiro merasakan
kakinya yang menginjak tanah merah
kecoklatan bergetar keras. Ada hawa aneh
menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Tapi
hanya sesaat. Di sekitarnya manusia-manusia
srigala tampak mendongakkan kepala ke atas,
meraung melolong panjang. Wajah mereka
tampak cemas.
"Ya Tuhan, apa pula ini!" Seru Wiro kembali
dalam hati. Untuk kedua kalinya menggelegar
suara guntur di tempat itu. Lalu kembali ada
hawa aneh yang mengalir masuk dari dalam
tanah ke tubuh Wiro lewat kedua kakinya.
Rasa sesak yang menghimpit dadanya
berkurang sedikit. Begitu juga rasa berat yang
mengganduli kakinya juga berkurang, namun
masih belum cukup untuk membuatnya
mampu berlari.
Tiba-tiba saja Wiro mencium bau harum
semerbak dan tiba-tiba saja Ratu srigala
telah berada di hadapannya. Mahluk aneh ini
memandang dan berkata: "Jangan kau berani
mempunyai pikiran dan mengucap yang bukan
dalam hatimu! Atau kucabut lidahmu saat ini
juga dan kutambah hukuman beratmu!"
Murid Sinto Gendeng hendak balas memaki
tapi sang Ratu telah membalikkan diri dan
tinggalkan tempat itu, hanya bau harum
tubuhnya saja yang masih tertinggal di
tempat itu! Hanya bisa memaki panjang
pendek dalam hati, Wiro lanjutkan
langkahnya. Berjalan kira-kira selama
sepeminuman teh, di sebelah depan terdengar
suara orang berseru. "Rombongan telah
sampai di gerbang Istana!"
Seruan itu disambut oleh suara lolongan
semua manusia srigala yang ada ditempat itu.
Karena jengkel dan juga sekadar untuk
mengurangi rasa takutnya murid Sinto
Gendeng ikut-ikutan keluarkan suara meniru
lolongan itu. Hanya saja suara lolongannya
terdengar berbeda dan agak terlambat. Ketika
semua manusia srigala telah berhenti
melolong, suara lolongan Wiro tertinggal
sendirian.
Plaaakkkk!
Satu tamparan keras menghantam pipi kanan
Pendekar 212. Demikian kerasnya tamparan
itu hingga tubuhnya terbanting ke tanah.
Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak
membiru!
"Keparat! Kupecahkan kepalamu!" teriak Wiro
geram. Dia bangkit berdiri dan gerakkan
tangan kanannya untuk memukul. Tapi bukan
saja dia tidak mampu menggerakkan
tangannya yang kaku, dia juga tidak tahu
siapa yang telah menamparnya tadi.
Wiro memandang berkeliling. Saat itulah dia
mendengar satu suara berucap, 'Anak
manusia! Jangan kau berani lagi meniru
melolong! Itu penghinaan besar bagi kami
orang-orang Kerajaan Srigala!"
"Setan alas! Kalian semua srigala iblis!"
Makian itu hanya bisa diucapkan Wiro dalam
hati karena kawatir kalau diucapkan keras-
keras tamparan atau pukulan akan mendera
dirinya kembali! Dalam keadaan tak berdaya
seperti itu adalah konyol kalau dirinya
akhirnya babak be-lur dihantami mahluk-
mahluk srigala bertubuh manusia itu.
Wiro melangkah terus. Darah dari pecahan
bibirnya jatuh ke dagu lalu menetes ke
pakaian putihnya. Belasan manusia srigala
tampak beringas melihat darah itu. Salah satu
diantaranya tiba-tiba menerkam Wiro.
Pendekar ini berteriak menyangka kepalanya
akan digerogot, ternyata mahluk itu hanya
ingin menjilat darah di dagu dan di bajunya!
"Edan!" maki Wiro dengan tubuh tambah
merinding. "Mahluk-mahluk ini ternyata
pelahap darah!"
Rombongan bergerak maju sampai akhirnya
Wiro melihat apa yang disebut pintu gerbang
istana itu! Pintu gerbang ini ternyata adalah
sebuah ukiran raksasa berbentuk kepala
seekor srigala hitam yang mengangakan
mulutnya lebar-lebar. Gigi dan taring-
taringnya membentuk pagar pintu sedang
lidahnya merupakan tangga pendek jalan
masuk. Wiro melangkah masuk, mengikuti
mahluk-mahluk yang melewati pintu gerbang
itu. Begitu sampai di sebelah dalam, pemuda
ini kembali tercekat. Dia sama sekali tidak
menemukan atau melihat sebuah bangunan
istana menjulang megah, tapi yang
disaksikannya adalah sebuah pedataran luas,
ditumbuhi sekitar seratus pohon pohon besar.
Di sebelah tengah terdapat pohon paling
besar dan paling tinggi. Rata-rata pepohonan
ini bercabang banyak, memiliki dedaunan
yang rimbun hingga pedataran itu tampak
suram menggidikan. Paling tidak pohon-
pohon itu berusia rata-rata seratus tahunan!
Terdengar suara tawa mengekeh. Lalu
menyusul lolongan panjang. Itu adalah tawa
dan lolongan sang Ratu.
"Anak manusia! Kau pasti kecele! Kau pasti
menyangka akan melihat gedung besar megah
sebagai bangunan Istana! Yang kau saksikan
justru hanya pohon-pohon besar! Hik...hik...
hik. Buka matamu lebih lebar! Kau belum
melihat apa yang ada di keseluruhan tempat
ini! Saksikan sendiri kehebatan istanaku!"
Wiro kedip-kedipkan matanya lalu
memandang berkeliling. Begitu matanya
terbiasa dengan keredupan di tempat itu maka
mulutnya pun berseru tegang, matanya
mendelik. Apa yang dilihatnya benar-benar
mengerikan. Berada di nerakakah dia saat
ini?!"
Di bawah pohon, terjepit antara batang dan
akar besar-besar tampak kepala-kepala
manusia dibuat sebagai ganjalan. Setiap
kepala tampak bergelimang darah mata
mendelik dan ada erangan keluar dari mulut
mereka. Bagian leher hanya merupakan
kutungan mengerikan karena urat-uratnya
tampak jelas berserabutan, melentik-lentik
memercikkan darah! Setiap pohon ada dua
sampai tiga kepala yang berada dalam
keadaan seperti itu. Yang paling banyak
adalah kutungan kepala di bawah pohon
paling besar. Di situ terdapat lebih dari lima
kepala! Jika di tempat itu terdapat seratus
pohon berarti paling tidak ada dua ratus lima
puluh kepala yang dibuat jadi ganjalan seperti
itu!
Kengerian itu bukan hanya sampai disitu. Di
atas pepohonan Wiro menyaksikan kengerian
lain lagi. Disitu tampak beberapa sosok tubuh
digantung berbagai cara. Ada yang dengan
kaki ke atas kepala ke bawah. Ada yang
lehernya diikat langsung ke cabang pohon.
Yang paling mengerikan ialah manusia-
manusia yang digantung ke cabang pohon
dengan lidahnya sendiri! Kelihatannya lidah
mereka ditarik keluar lalu lidah itu dikatikan
ke cabang pohon! Banyak diantara mayat
yang tergantung itu berada dalam keadaan
perut terbuai hingga isi perutnya kelihatan
jelas memberojot keluar. Soal darah jangan
disebut lagi. Rata-rata semua tubuh penuh
gelimangan darah!
"Gila! Apakah saat ini aku masih berada di
dunia atau di neraka?!" membatin Wiro.
Dia memandang berkeliling lalu kembali
melengak. Di bawah salah satu pohon dia
melihat satu sosok tubuh lelaki duduk bersila
membelakanginya. Di lehernya melilit seekor
ular hitam belang hijau. Walau tidak melihat
wajah orang itu tapi Wiro yakin itu adalah
pemuda yang ditemuinya di hutan Rekso
Pratolo, di depan reruntuhan gubuk tua.
Pemuda yang kemudian secara aneh berubah
menjadi arca batu!
"Anak manusia! Akhirnya kau lihat juga
pemuda itu! Juga ular itu! Binatang itulah
yang telah kau bunuh lima hari lalu...!"
terdengar suara sang Ra'tu. Sosoknya tidak
kelihatan entah dimana.
"Lima hari...?!" Wiro mengulang terheran. Dia
merasa yakin peristiwa itu baru berlangsung
siang tadi. Mengapa sang Ratu celaka itu
menyebutnya lima hari lalu? Terdengar tawa
mengikik lalu suara lolongan srigala. "Kau
tentu heran anak manusia! Di tempat ini
waktu berjalan lebih cepat dari waktu di alam
kasarmu! Satu hari di sana, lima hari disini.
Dan ketahuilah di sini tidak ada siang
ataupun malam...!
"Tidak ada siang tidak ada malam! Lalu
bagaimana kalian tidur...?!"
Terdengar tawa dan lolongan riuh.
"Kami manusia-manusia Kerajaan Srigala
tidak pernah mengenal apa yang dikatakan
tidur! Dan kaupun seumur-umur di sini tak
akan bisa tidur anak manusia!" terdengar
sahutan sang Ratu.
"Seumur-umur?! Aku tak akan seumur-umur
berada di tempat celaka ini! Aku akan keluar
dari sini dan dengar...Apa yang kalian lakukan
padaku akan kubalas setimpal berikut
bunganya!" teriak Wiro pula.
Suara lolongan srigala yang riuh dan panjang
menyambut ucapan Pendekar 212 itu. Lalu
terdengar suara Ratu srigala. "Mengangkat
tanganmupun kau tidak sanggup, bagaimana
mungkin keluar dari tempat ini dan melakukan
pembalasan?! Anak manusia, apakah kau
masih belum sadar bahwa kau saat ini tidak
lagi berada dalam alam kasarmu? Kau sudah
berada dalam alam mahluk halus! Dan kau
adalah satu orang tawanan kami. Lihat,
saksikan berkeliling. Dua hari di muka
nasibmu akan sama seperti tawanan-tawanan
lainnya, mungkin lebih buruk karena kau lebih
berbahaya dari mereka!"
"Mengapa kau menawanku?! Aku yakin bukan
soal kencing di bawah pohon itu saja yang
jadi alasan!"
Ratu srigala tertawa lalu melolong.
"Tampangmu tolol tapi otakmu cerdik juga!
Memang kencing di pohon lima hari lalu
hanya pangkal sebab kesalahanmu. Justru
memang ada yang lebih penting dan lebih
berbahaya dari itu. Kau hendak
menghancurkan, meruntuhkan Kerajaanku!"
"Mahluk jejadian. Ternyata kau juga tolol...!"
Satu bayangan melompat ke arah Wiro.
Terdengar suara sang Ratu. "Jangan hajar
dia. Biarkan dia terus berbicara! Anak
manusia, lanjutkan ucapanmu!"
Bayangan yang tadi hendak menghantam
mundur dengan cepat.
"Ayo lanjutkan kata-katamu. Mengapa kau
katakan aku tolol?" terdengar suara Ratu
srigala.
"Aku datang dari alam lain, sesuai ucapanmu!
Mana aku tahu menahu tentang Kerajaanmu!
Apalagi berniat menghancurkannya! Apa itu
tidak tolol?!"
"Anak manusia, kau tahu apa tentang alam
halus dimana kau sekarang berada. Kau sama
sekali tidak tahu kalau dijadikan perkakas.
Dijadikan alat orang-orang di alam sana
untuk menghancurkan kami. Sudahlah,
apapun yang aku jelaskan kau tak akan
mengerti. Para prajurit, siapkan hidangan
kelas satu untuk tawanan satu ini! Dia pasti
lapar dan haus!"
Hanya sekejapan mata saja tahu-tahu
dihadapan Wiro sudah terhidang di atas daun
setumpuk nasi putih yang masih mengepul
hangat, setumpuk sayur kangkung yang
ditumis dan menebar bau sedap, lalu sebuah
bumbung bambu berisi tuak yang harum
sekali! Tenggorokan Pendekar 212 turun naik.
Air liurnya terbit membasahi mulutnya yang
masih berdarah. Tapi ada rasa jijik dalam
dirinya melihat hidangan itu.
"Anak manusia, silahkan makan. Anak buahku
akan menolongmu. Sari Gali Dua, suapi dia!'
Sementara itu bersernbunyi di salah satu
pohon yang jauh dari tempat itu, dua mahluk
yang tak kelihatan berbisik satu sama lain.
"Dewi, apa yang bisa kita lakukan. Kalau
makanan dan minuman itu sampai disantap
pemuda itu, makin parah keadaannya dan
makin sulit kita menolongnya!"
"Aku tahu Dayang, aku tahu. Kita memang
berada dalam kesulitan. Kita tak mungkin
menolongnya. Kita harus menunggu sambil
mencari akal. Apakah kau ada membawa
potongan kemenyan itu...?"
"Ada Dewi, tapi bagaimana kita bisa
memberikan padanya, apalagi menyuruhnya
menelannya?"
Dewi berpikir keras. Lalu dia berbisik, "Kau
pergilah ke bagian timur. Timbulkan keributan
di sana pada saat mereka lengah, akan
kucoba melemparkan sepotong kecil
kemenyan ke dalam sayur kangkung itu..."
Dayang mengangguk. Dia menyerahkan
sepotong kemenyan pada sang Dewi lalu
tinggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian...
Puluhan mahluk srigala berbadan manusia
yang berjaga-jaga di bagian timur apa yang
disebutkan Istana itu tiba-tiba berseru dan
melolong kaget ketika salah satu pohon tiba-
tiba bergoyang keras mengeluarkan suara
berkereketan. Enam mayat yang digantung di
cabang pohon itu berpelantingan kian kemari
lalu jatuh bergedebukan ke tanah. Mendengar
ribut-ribut itu sang Ratu melolong keras dan
memerintahkan anak buahnya untuk
menyelidik. Di saat itulah, tanpa ada satu pun
yang tahu, sebuah benda sebesar ujung jari
kelingking melayang di udara dan jatuh tepat
di atas sayur kangkung yang terletak di atas
daun di hadapan Wiro. Seorang manusia
srigala datang menghadap.
"Apa yang terjadi prajurit?!" tanya Ratu
srigala.
"Pohon di sebelah sana tiba-tiba saja
bergoyang keras seperti mau tumbang. Enam
mayat yang digantung jatuh ke tanah. Dua
kepala yang jadi ganjalan mencelat mental!
Tapi keadaan sudah kita kuasai Ratu walau
kami tidak dapat mengetahui apa penyebab
kejadian itu..."
"Perintahkan semua prajurit untuk lebih
berjaga-jaga. Aku yakin itu pekerjaan mahluk
putus asa srigala putih dan pembantunya!"
Sementara itu di bawah sana...
Ada rasa tidak enak membuat Wiro tak mau
memakan hidangan yang disediakan. Tapi
dalam ketidakberdayaannya dia tidak mampu
menolak. Nasi dan sayur disuapkan dengan
paksa kedalam mulutnya. Ketika dia hendak
meludahkan makanan itu tenggorokannya
dicekik hingga akhirnya mau tak mau sayur
dan nasi itu lewat juga dirangkungannya.
Ternyata hidangan yang disantapnya itu
sedap sekali rasanya. Hingga kalau tadi Wiro
merasa tidak suka, kini nasi dan sayur itu
disantapnya dengan lahap sampai habis
termasuk secuil kemenyan yang ada di dalam
sayur. Lalu tuak dalam bumbung bambupun
diteguknya sampai habis.
"Ratu, tawanan selesai bersantap. Menunggu
perintahmu selanjutnya!" Sari Gali Dua
melapor.
"Bawa dia ke ruang penantian. Dua hari di
muka akan aku putuskan hukuman apa yang
bakal dijatuhkan. Jadi ganjalan tiang istana
atau jadi kembang gantung penghias
langitlangit Istana!"
Sari Gali Dua menarik tengkuk pakaian putih
Wiro. Dua orang prajurit manusia srigala
memegang lengannya. Terdengar suara
lolongan panjang. Wiro merasakan tubuhnya
seperti dibawa terbang. Dia melayang ke atas
sebatang pohon. Tubuhnya disandarkan ke
batang pohon sebelah atas, lalu segulung tali
aneh dilibatkan ke tubuhnya mulai dari kaki
sampai ke dada, membuatnya laksana
dipantek jadi satu dengan batang pohon.
Hanya satu jangkauan dari hadapannya, dua
mayat tergantung bergoyang-goyang. Satu
digantung kaki ke atas kepala ke-bawah,
lainnya digantung pada lehernya dan
mukanya dengan mata mendelik dan lidah
mencelet menghadap ke arah Wiro!
Wiro hendak mengucap menyebut nama
Tuhan, tapi aneh lidahnya terasa seperti kelu.
Ini bukan lain disebabkan oleh nasi dan sayur
serta tuak yang disantapnya barusan. Masih
untung ada secuil kemenyan yang ikut
tertelan, kalau tidak keadaannya akan lebih
parah. Bukan saja dia akan lupa pada Yang
Maha Kuasa, tapi dia juga bisa lupa terhadap
dirinya sendiri. Berada dalam keadaan terikat
di atas pohon setinggi itu dalam keadaan
tubuh lemah lunglai, Pendekar 212 Wiro
Sableng berusaha menguatkan diri. Tapi sia-
sia saja. Tak berapa.


ENAM
"DEWI, KULIHAT KEADAAN DI ISTANA srigala
iblis sunyi. Sebagian dari mereka berburu
tawanan baru di rimba Rekso Pratolo sebelah
selatan. Sang Ratu keparat itu tengah
berbincang-bincang dengan tiga
pembantunya. Mungkin tengah menetapkan
hukum an apa yang bakal dijatuhkan terhadap
tawanan baru itu. Kurasa inilah saatnya kita
berusaha menyelinap menolong tawanan
itu..."
Sang Dewi terdiam beberapa ketika, lalu
berkata: "Aku kawatir jangan-jangan ini
adalah satu perangkap yang sengaja dibuat
oleh Ratu celaka itu. Kita harus berhati-hati
Dayang. Ingat luka di punggungmu masih
belum sembuh ketika anak buah srigala iblis
itu memergoki penyelinapan kita tiga minggu
lalu dan sempat mencakar punggungmu?!"
"Apa yang telah kualami tidak membuatku
takut, Dewi. Aku bersedia melakukan dan
mengorbankan apa saja, bahkan nyawa
sekalipun. Asal bisa terlepas dan keluar dari
alam mahluk halus ini!"
"Aku terharu mendengar ucapanmu dan
menyaksikan kesetiaanmu Dayang. Mudah-
mudahan para Dewa akan menolong kita.
Mari kita melakukan pengintaian. Ingat, jika
kita sampai ketahuan, kita harus lari
berpencar agar mereka lebih susah mengejar
kita."
Dayang mengangguk. Lalu kedua mahluk
tanpa wujud itu berkelebat menuju kelompok
pepohonan yang menjadi kawasan Istana
Ratu srigala hitam.
"Kita tak bisa menembus lapisan kabut di kiri
kanan dan atas belakang kawasan Istana.
Kita harus lewat pintu gerbang kepala srigala.
Hati-hatilah Dayang..." bisik Dewi. Saat itu
ada dua penjaga berdiri di mulut pintu
gerbang. Keduanya adalah manusia-manusia
srigala berkepandaian tinggi dalam ilmu
hitam. Ketika Dewi dan Dayang mendekati
pintu gerbang itu, keduanya segera mencium
bau para pendatang ini.
"Aku mencium bau semerbak. Tapi ini bukan
harumnya bau tubuh Ratu kita." Kata salah
seorang dari manusia srigala itu. Dia
mendongak ke atas tapi tak melihat apa-apa.
Lalu dia memberi isyarat pada temannya.
Kedua manusia srigala ini segera melangkah
ke pertengahan pintu gerbang, mengangkat
kedua tangan ke atas menutup jalan masuk.
"Dayang, kita tak bisa melewati kedua
pengawal itu. Kita harus melakukan sesuatu
untuk membuat mereka beranjak dari pintu
gerbang itu!"
Dayang menghela nafas dalam. "Inilah nasib
buruk kita. Kena sumpah jadi mahluk halus,
tak terlihat oleh mata siapapun tapi tetap saja
tubuh kasar kita tak bisa menyelinap seperti
hembusan angin..."
"Kau tak usah putus asa Dayang. Keadaan itu
membedakan kita dengan mahluk-mahluk
halus seperti srigala-srigala iblis itu. Berarti
walau entah kapan sekalipun kita masih bisa
kembali ke alam dunia kita semula," kata
sang Dewi pula.
"Dewi, aku akan menyalakan api di depan
pintu gerbang lalu mengerang seperti orang
sekarat minta tolong. Begitu mereka bergerak
meninggalkan pintu gerbang, kita harus cepat-
cepat menyelinap..."
"Otakmu cerdik. Lekas lakukan hal itu. Aku
menunggu di samping pintu gerbang, menjaga
segala kemungkinan!"
Dayang tinggalkan sang Dewi. Sejarak lima
tombak dari pintu gerbang berbentuk kepala
srigala raksasa itu dia membakar semak
belukar lalu keluarkan suara minta tolong
sambil mengerang.
Apa yang terjadi di depan pintu gerbang itu
serta merta menarik perhatian dua pengawal.
"Ada api di sebelah sana...!"
"Aku mendengar suara perempuan
mengerang..."
"Aku juga! Mari kita menyelidik!"
Dua prajurit penjaga pintu gerbang melompat.
Pada saat itulah Dewi dan Dayang masuk
menyelinap.
"Kurang.ajar! Kita tertipu!" seru salah seorang
manusia srigala ketika api yang tadi terlihat
dari jauh tiba-tiba saja lenyap begitu juga
suara erangan minta tolong! "Lekas kembali
ke pintu gerbang!" Kedua manusia srigala itu
cepat kembali ke pintu gerbang, tapi mereka
menyadari kalau sudah kebobolan. Keduanya
mencium bau harum di sekitar pintu gerbang
itu.
"Lekas lapor pada Ratu!" kata salah seorang
diantara mereka dengan suara bergetar
karena takut. Dia tahu hukuman apa yang
bakal dijatuhkan terhadapnya dan kawannya.
Ketika peristiwa itu disampaikan pada Ratu
srigala, marahlah manusia srigala bertubuh
perempuan ini.
"Ganti penjagaan di pintu gerbang. Seret dua
pengawal ceroboh itu ke tiang gantungan!"
perintah Ratu.
Dua pengawal jatuhkan diri berlutut minta
ampun. Tapi sang Ratu tidak perdulikan. Dia
memberi isyarat. Lima prajurit segera bergerak
jalankan perintah di bawah pimpinan Sari Gali
Tiga. Dua puluh prajurit disebar ke berbagai
penjuru untuk melakukan penyelidikan dan
pengawasan. Sang Ratu sendiri melayang ke
atas pohon besar yang menjadi tempat
ketidurannya. Dari sini dia memandang tajam
dan kerahkan penciumannya. Ada bau harum
masuk ke dalam jalan pernafasannya.
Pertanda Istananya memang telah kemasukan
musuh!
"Lipat gandakan penjagaan di pintu gerbang!
Penyusup sudah masuk ke tempat kita!
Jangan sampai lolos keluar!" teriak Ratu
srigala lalu laksana terbang tubuhnya melesat
ke arah pohon dimana Pendekar 212 berada.
Di pohon itu dilihatnya Wiro Sableng masih
berada dalam keadaan terikat dan pingsan.
Dia memandang berkeliling. Tak tampak
mahluk lain di sekitar situ. Tapi dia yakin ada
yang telah menyusup!
Maka Ratu srigala ini lantas berteriak: "Dewi!
Dayang! Jangan kalian kira aku tidak tahu
kehadiranmu disini! Kalian terlalu pengecut
untuk memperlihatkan diri! Apakah kalian
sangka bias lolos keluar dari sini?! Sampai
kiamat kalian tidak akan mampu kembali ke
ujud semula! Ha… ha...ha...!"
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara
sitiran angin bergemerisik di daun pepohonan.
Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tadi
pingsan mulai sadarkan diri. Dia mampu
melihat sosok tubuh berupa kepala srigala
bertubuh perempuan di hadapannya walau
dalam keadaan samar-samar. Ketika Ratu
srigala memandang ke jurusannya pendekar
ini kembali berpura-pura pingsan.
Ratu srigala mendengus. "Jangan berpura-
pura. Kau kira aku tidak tahu kalau kau sudah
siuman!" bentak sang Ratu lalu jambak
rambut Wiro hingga pemuda ini menyeringai
kesakitan.
"Besok hukuman atas dirimu dijatuhkan!
Tamat sudah riwayatmu, anak manusia! Kau
tak bakal dapat kembali ke duniamu! Seumur-
umur tubuhmu akan tersiksa, mati tidak
hiduppun tidak!"
Wiro buka kedua matanya. Lalu menjawab.
"Bagiku hidup atau mati sama saja. Yang aku
kawatirkan justru keadaan dirimu, Ratu
srigala..."
Mulut Ratu sengaja membuka lebar, lidahnya
menjulur dan sepasang matanya mendelik ke
arah Wiro yang terikat dan terpentang di
batang pohon.
"Anak manusia, apa maksudmu?!" sentak
Ratu srigala.
"Menyiksa atau membunuh diriku tak ada
artinya... Itu tidak akan membuat dirimu bisa
kembali ke bentukmu semula! Seumur-umur
kau tetap akan jadi perempuan srigala!"
"Manusia keparat, jangan kau berani berkata
lancang padaku!"
"Aku tidak lancang! Justru aku ingin
menolongmu!" sahut Wiro.
Ratu srigala mendengus lalu tertawa panjang
dan diakhiri dengan lolongan menggidikkan.
"Apa yang bisa kau tolong anak manusia?
Apa kemampuanmu?! Saat ini membebaskan
dirimu saja kau tidak sanggup!"
"Memang aku tidak sanggup. Tapi kau sendiri
yang akan menolong melepaskan diriku. Lihat
saja nanti!"
"Apa maksudmu?!"
Wiro tertawa lebar walaupun untuk tertawa
begitu bibirnya yang pecah terasa sakit.
"Kau hidup di Istana megah ini sebagai
seorang Ratu. Tapi apa yang kau dapat?
Apakah kau mendapat kebahagiaan dan
kesenangan?!"
"Aku Ratu srigala tidak butuh kesenangan
atau kebahagiaan!"
"Jangan membohongi diri sendiri. Yang
namanya mahluk, biar manusia atau setan
dan jin, ataupun mahluk jejadian tetap
membutuhkan kesenangan dan kebahagiaan!
Dan sebagai seorang perempuan apakah kau
tidak pernah memikirkan seorang lelaki
pendamping? Seorang suami?!"
Ratu srigala tertawa panjang.
"Dalam dunia kami tidak ada yang dinamakan
suami itu. Semua srigala lelaki di sini bisa
jadi suami setiap saat aku ataupun
pembantu-pembantuku maui" ujar Ratu
srigala pula.
"Seorang Ratu secantikmu, bersuamikan lelaki
berkepala srigala, apa itu lucu...?"
"Kurobek mulutmu!"
"Dengar Ratu, jika kau mau membebaskan
aku, aku bersedia menjadi pendampinmu di
Kerajaan ini..."
"Manusia tidak tahu diri!" sentak Ratu
srigala. Tangan kanannya bergerak.
Plaak!
Satu tamparan mendarat di muka Pendekar
212 Wiro Sableng. Pemuda ini mengeluh
pendek lalu jatuh pingsan. Ratu srigala
pandangi Wiro sesaat kemudian tinggalkan
tempat itu.


TUJUH
"RATU KEPARAT ITU SUDAH PERGI,
DAYANG...mari kita dekati pemuda itu..."
Dewi berbisik pada pembantunya. Kedua
mahluk tanpa wujud ini keluar dari balik
pohon besar, melayang ke atas cabang pohon
di mana Pendekar 212 berada dalam keadaan
terikat.
"Dia masih pingsan Dewi. Tamparan Ratu
srigala tadi keras sekali! Biar kutolong agar
dia sadar..." berkata Dayang. Lalu dia
mengurut beberapa bagian di kepala Pendekar
212, juga urat besar pada pangkal lehernya.
Dari balik kembennya Dayang kemudian
keluarkan sehelai sapu tangan yang menebar
bau harum. Sapu tangan ini diusapkannya ke
hidung Wiro. Sesaat kemudian Pendekar 212
terbatuk-batuk. Dayang cepat tekap mulut
pemuda itu agar suara batuknya tidak
terdengar. Merasa ada yang memegang
kepalanya Wiro buka kedua mata. Dia sama
sekali tidak melihat siapapun. Tapi jelas
terasa ada yang menekap mulutnya!
"Hantu atau jin apa pula ini?!" ujar Wiro.
Dibukanya mulutnya lalu digigitnya tangan
yang menekap. Terdengar suara jeritan. Suara
jerit perempuan!
"Pemuda nakal! Orang hendak menolong
mengapa kau gigit tanganku?!" ujar Dayang
lalu lepaskan tekapannya.
"Siapa kau? Aku tidak melihat siapa-siapa!"
ujar Wiro.
"Ssst...Bicara lebih perlahan. Jangan sampai
terdengar srigala-srigala iblis!" yang berbisik
Dewi.
"Hemm... Ada dua perempuan di dekatku!
Tampang dan sosoknya tidak kulihat. Kalian
pasti mahluk-mahluk halus yang kesasar ke
pohon ini...!"
"Dengar, kami berdua bermaksud
menolongmu. Dengan perjanjian bahwa kau
juga bersedia menolong kami!" berkata
Dayang.
"Kami... Kami! Siapa kalian berdua ini?" tanya
Wiro tambah heran. "Aku mencium bau harum
semerbak. Kalian bukan anak buahnya Ratu
srigala itu?"
"Justru mereka adalah musuh-musuh kami!"
jawab Dewi.
"Kalian belum menerangkan siapa diri kalian."
"Aku Dewi…"
"Aku Dayang, pembantu Dewi..."
"Aku Wiro Sableng. Tawanan Ratu srigala.
Soal tolong menolong apa yang kalian
bicarakan ini?"
"Jika kita bergabung, kita pasti bisa keiuar
dari Kerajaan iblis ini..."
"Eh, baiknya kalian perlihatkan dulu tampang-
tampang kalian. Aku tidak sudi bicara dengan
angin!"
"Kami bukan angin," sahut Dayang. "Kami
tidak bisa memperlihatkan diri karena sekali
terlihat oleh Ratu srigala atau anak buahnya
bisa celaka!"
"Penderitaanku saat ini bukan olah-olah.
Jangan tambah dengan segala macam
keanehan edan! Aku tidak bersedia berurusan
dengan segala macam setan!"
"Mulutmu lancang sekali. Pantas Ratu srigala
menamparmu tadi!" kata sang Dewi.
"Dengar, jika kita tidak saling kerja sama,
sampai kiamat kita akan berada dalam alam
gelap hitam dan sesat ini. Dan besok kau
bakal dijatuhi hukaman. Berarti sampai
kiamat kau akan tersiksa. Mati tidak hiduppun
tidak. Mungkin kepalamu akan dijadikan
ganjalan pohon besar kediaman Ratu srigala.
Mungkin juga digantung kaki ke atas kepala
ke bawah! Apa kau suka dibuat seperti itu?!"
"Jangan-jangan kalian kaki tangan Ratu
srigala yang hendak menjebakku!" kata Wiro.
"Akalmu pendek amat. Kau tahu, kalau Dewiku
tidak menolongmu keadaanmu saat ini pasti
jauh lebih parah. Daging tubuhmu akan
mengkerut dan otakmu tak bisa bekerja wajar
lagi…"
"Begitu...? Pertolongan apa yang sudah
dilakukan Dewimu itu?" tanya Wiro.
"Dia telah melemparkan sepotong kemenyan
mujizat ke dalam sayur yang tadi kau santap.
Tanpa kemenyan itu ikut tertelan olehmu
nasibmu seperti yang aku bilang tadi!"
"Bagaiman aku bisa percaya apa yang kau
katakana itu tidak dusta?!" ujar Wiro pula.
"Kau masih saja tidak percaya pada kami."
Kata Dayang hampir putus asa.
"Katakan saja apa sebenarnya yang tadi
disantap dan diminumnya itu!" terdengar
suara sang Dewi.
"Memangnya apa yang sudah kumakan dan
kuminum?!" tanya Wiro.
Maka Dayangpun menjawan, "Apa yang kau
lihat sebagai nasi putih mengepul bukan lain
adalah kotoran mahluk-mahluk srigala."
"Apa?!" Kedua mata Wiro membelalak.
"Sayur yang kau lahap adalah cacing-cacing
tanah!"
"Ah! Tidak mungkin!" seru Wiro. Perutnya jadi
mual.
"Sstttt! Jangan membuka mulut keras-keras!"
memperingatkan Dewi.
Lagi Dayang menyambung, "Dan tuak dalam
bumbung yang kau teguk habis itu adalah air
kencing manusia-manusia srigala itu!"
Wiro ternganga. "Aku tidak percaya..."
katanya. "Aku jelas-jelas melihat nasi putih,
sayur kangkung dan tuak harum!"
Sang Dewi tertawa lalu berkata: "Dalam dunia
halus, mata orang biasa menjadi terbalik. Apa
yang dilihatnya bisa tidak sama dengan yang
sebenarnya. Dan itu yang terjadi dengan
dirimu..."
"Kalau memang begitu, dan kau punya niat
menolongku, mengapa kau tidak mencegah
aku menyantap kotoran, cacing dan air
kencing itu....?"
"Kami berdua tidak punya kemampuan untuk
melakukannya!"
"Kalau begitu berarti kau bohong besar
mengatakan hendak bergabung dan saling
menolong! Kau tidak mampu!"
"Kami berdua memang tidak mungkin. Tapi
bersamamu kami bisa! Kau mempunyai
kesaktian luar biasa untuk bisa
menghancurkan Kerajaan srigala iblis..."
"Dalam keadaan tidak berdaya begini apa
yang bisa kulakukan selain menerima
nasib...!"
"Jangan buru-buru putus asa! Bukankah
sudah kami katakan kami akan
menolongmu?" ujar Dayang.
"Selama aku tidak melihat ujud kalian berdua,
aku tak akan percaya. Apalagi saling tolong
menolong!"
Dayang dan Dewi saling pandang, lalu saling
berbisik. Kemudian terdengar suara Dewi.
"Jika kami perlihatkan wujud kami, apakah
kau tidak akan menyesal dan membatalkan
perjanjian saling menolong?"
"Aku akan memegang janji!" jawab Wiro.
"Kalau begitu lihatlah baik-baik. Kami hanya
bisa memperlihatkan diri dalam sekejapan
mata saja!" kata Dewi.
Wiro buka matanya besar-besar. Ada angin
bersiur di hadapannya. Sesaat kemudian dua
sosok tubuh muncul di depannya. Keduanya
berupa sosok perempuan berkepala srigala.
Bedanya dengan manusia-manusia srigala
sebelumnya dua srigala ini berbulu putih.
Yang satu memiliki tubuh dan kulit serta
pakaian bagus. Seperti Ratu srigala, srigala
putih yang satu ini juga memiliki mahkota
kecil di kepalanya. Tubuhnya memancarkan
bau harum semerbak.
Ketika dua sosok itu lenyap, Pendekar 212
Wiro Sableng masih ternganga bengong.
"Kalian berbulu putih, siapa kalian ini
sebenarnya ...?" ujar Wiro.
"Aku adalah puteri Prabu Blambangan.
Terkena kutukan karena berbuat kesalahan
besar, memberi malu sang Prabu. Dayang
adalah pembantuku yang setia..."
"Sulit kupercaya! Kerajaan Blambangan hadir
dua ratus tahun silam. Bagaimana mungkin
kini kalian masih gentayangan...?"
"Memang sulit dipercaya, tapi itulah
kenyataannya. Selama dua ratus tahun kami
hidup dalam keadaan seperti ini. Menurut
mimpi yang kualami, engkaulah satu-satunya
orang yang bisa mengeluarkan kami dari
malapetaka ini, kembali ke alam yang Jebih
sempurna..."
"Kesalahan apakah maka sang Prabu sampai
mengutuk kalian begini rupa?"
Dayang dan Dewi saling pandang. Akhirnya
sang Dewi menjelaskan dalam alam tanpa
wujudnya. "Sebagai anak dan puteri bungsu,
aku menjalin cinta dengan seorang pemuda
bernama Dharmasala. Celakanya pemuda itu
sudah dijodohkan dengan puteri sulung, yakni
kakak perempuanku sendiri. Karena
Dharmasala tidak mencintai kakakku, maka
kami berdua menempuh jalan sesat untuk
membatalkan perkawinan kakakku dengan
Dharmasala.
Kami sengaja melakukan hubungan badan
sampai aku melahirkan seorang anak
perempuan. Di Kerajaan kami memang ada
semacam adat kebiasaan. Bila lahir seorang
bayi dari hubungan tidak syah, maka kedua
orang tuanya wajib dikawinkan. Ternyata
perkawinan itu tidak terjadi. Sang Prabu
sangat marah. Beliau mengutuk aku dan
Dayang menjadi srigala putih sedang
Dharmasala dikutuk menjadi batu..."
"Tunggu dulu!" ujar Wiro memotong. "Aku
menemui seorang pemuda di hutan Rekso.
Lehernya digelungi ular. Tapi dia kemudian
berubah jadi patung batu. Anehnya patung itu
bisa menangis! Itukah kekasihmu
Dharmasala?!"
"Betul sekali. Saat ini dia berada di bawah
pohon sana, tak jauh dari pohon kediaman
Ratu srigala. Ular yang selalu bergelung
dilehernya adalah ular penjaganya hingga dia
tak mungkin melarikan diri..."
"Aku sudah membunuh binatang itu. Meng-
hancurkannya sampai berkeping-keping..."
"Binatang itu tak bisa dibunuh, kecuali oleh
kami. Tapi kami tidak berdaya. Selama masih
dalam wujud kutukan ini, kami tak bakal
dapat melakukannya."
"Aku seperti mendengar orang bercerita
tentang mimpinya..."
"Ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan yang
sudah terjadi sejak dua ratus tahun lalu!"
sahut Dayang.
"Setelah kalian berdua dimakan kutuk, lalu
apa yang terjadi dengan kakak
perempuanmu?" bertanya Wiro kemudian.
"Diapun terkena kutuk. Termasuk tiga
pembantu dan puluhan pengikutnya. Dialah
yang kau lihat sebagai Ratu penguasa
Kerajaan Iblis ini!"
"Astaga! Dia rupanya!" ujar Wiro sampai le-
letkan lidah.
"Waktu di hutan beberapa hari lalu, adakah
kau mendengar suara bayi menangis...?!"
bertanya Dewi.
"Ya, memang kudengar. Apakah —"
"Itu adalah suara tangis orokku. Bayi malang
itu dibunuh oleh kakak perempuanku.
Tujuannya adalah untuk mencegah agar aku
kawin dengan Dharmasala. Tanpa bayi
sebagai bukti aku tak akan bisa kawin, Tapi
ayah kemudian mengutuknya. Dia bersama
pembantu dan pengikutnya menjadi srigala-
srigala hitam. Hidup dalam alam sesat,
melakukan pembunuhan dan penganiayaan
keji tiada taranya!"
Wiro jadi termangu mendengar semua
penuturan itu.
Lalu dia berkata, "Sekarang, apa yang bisa
kulakukan dalam keadaan tak berdaya ini?!"
"Kami tahu kau hilang kekuatan karena
mantera jahat Ratu srigala. Kau tak mampu
menggerakkan bagian tubuhmu sebelah atas.
Kau tidak mampu mengerahkan tenaga
dalam. Dewi akan menolongmu agar
kekuatanmu pulih kembali... Lekas kau makan
obat dari Dewi ini!" kata Dayang. Wiro melihat
sebuah benda berbentuk hijau sebesar ujung
jari kelingking bergerak ke arah mulutnya.
Karena sudah percaya kalau mahluk-mahluk
itu memang berniat baik untuk menolong,
maka Wiro tidak menolak ketika benda hijau
dimasukkan ke dalam mulutnya. Begitu masuk
langsung ditelan. "Sebentar lagi keadaanmu
akan pulih. Kami..."
"Awas! ada yang datang!" terdengar seruan
Dewi. "Dayang, lekas tinggalkan tempat ini!
Sahabat lekas kau berpura-pura pingsan
kembali!"
Wiro merasa angin berdesir dihadapannya.
Dewi dan Dayang berkelebat lenyap dalam
alam gaibnya. Sesosok, tubuh melayang ke
atas pohon. Ternyata dia adalah Sari Gali
Satu, pembantu utama Ratu srigala.
Manusia srigala betina ini memandang kian
kemari lalu dia bergerak lebih dekat. Setelah
memperhatikan keadaan Wiro yang pingsan
itu, dia ulurkan tangan, memijat kening dan
urat besar di leher si pemuda. Caranya
melakukan jni persis sama seperti yang
dilakukan Dayang. Hanya bedanya waktu
Dayang melakukan itu Wiro benar-benar
pingsan sedangkan saat itu dia hanya
berpura-pura saja.
Manusia srigala itu merasa lega ketika
melihat Wiro buka kedua matanya tanda
mulai siuman. Lalu dia tepuk-tepuk pipi Wiro
dan berkata: "Pendekar muda...
Kedatanganmu memang sudah kutunggu sejak
puluhan tahun lalu. Kau satu-satunya yang
bisa mengeluarkan aku dari alam gelap ini.
Aku bersumpah akan menyerahkan diri dan
mengabdi padamu seumur dunia jika kita
sudah keluar dari alam ini —"
Wiro menghela nafas panjang. "Kau srigala
aku manusia, mana mungkin aku menerima
penyerahan dirimu..."
"Kalau kita sudah bebas dari alam ini, aku
akan kembali ke wujudku semula. Jika kau
mau, sekarang pun aku bisa menunjukkan
rupa asliku. Tapi tidak di sini dan hanya
beberapa kejapan saat saja..."
"Aku tidak percaya padamu. Kau mungkin
menjebakku!" kata Wiro.
"Tidak pendekar. Percaya padaku!"
"Tidak, kecuali jika kau bisa membuktikan
lebih dulu. Kembalikan senjata mustika
milikku yang diambil Ratumu..."
"Saat ini tak mungkin aku lakukan. Dewi
sedang berada di ruang penyimpanan senjata.
Aku berjanji akan mendapatkannya untukmu.
Tanpa senjata itupun kita mampu keluar dari
sini. Yaitu setelah aku memulihkan kekuatan
tubuhmu. Mari kubuka ikatanmu..."
Sari Gali Satu membuka ikatan yang melilit
sekujur tubuh Wiro ke batang pohon. Begitu
terlepas segera dia mendukung pemuda ini di
bahu kirinya. Wiro merasakan tubuhnya
dibawa melayang. Di lain kejap Wiro dapatkan
dirinya berada di puncak pohon sangat tinggi.
Saat itu obat yang diberikan Dayang telah
mulai bekerja. Wiro dapat menggerakkan jari-
jari tangannya, bahkan mengalirkan tenaga
dalam dari pusat tubuhnya yaitu di bagian
perut. Namun dia sengaja berpura-pura tetap
seperti lumpuh.
Sari Gali Satu mendudukkan Wiro di sebuah
cabang besar yang diberi potongan-potongan
kayu, dibentuk demikian rupa merupakan
tempat tidur kayu. Di hadapannya manusia
srigala betina itu tegak dengan kedua kaki
mengangkang dan tangan mendekap ke dada.
Kepala srigalanya mendongak ke atas, kedua
matanya terpejam dan lidahnya menjulur
basah. Dari mulutnya terdengar suara
mendesau seperti gerengan halus. Wiro
kemudian menyaksikan kejadian yang luar
biasa. Sedikit demi sedikit bulu hitam kepala
srigala itu lenyap. Bersamaan dengan itu
bentuk kepala srigala itupun berubah, berubah
terus hingga muncul kepala seorang
perempuan muda berkulit hitam manis dengan
tubuh sekal pada bagian dada dan bagian
pinggul. Dan yang membuat murid Sinto
Gendeng jadi menahan nafas ialah tubuh yang
tadi pakai kemben itu kini tampak tidak
tertutup selembar benangpun!
"Waktuku tidak lama! Lekas berdiri.
Tempelkan tubuhmu ke tubuhku! Kekuatanmu
akan segera kembali!" berseru Sari Gali Satu.
Seperti berada dalam tenungan mantera,
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri dan
melangkah mendekati Sari Gali Satu. Ketika
sesaat lagi tubuhnya akan menempel pada
tubuh telanjang itu tiba-tiba terdengar
bentakan menggeledek: "Bagus! Jadi ini
kerjamu disini pengkhianat busuk!"


DELAPAN
TUBUH TELANJANG SARI GALI SATU
tersentak. Begitu mengenal suara dan melihat
siapa yang ada di hadapannya, manusia
jejadian ini langsung jatuhkan diri berlutut.
"Ratu, harap maafkan diriku! Bukan maksudku
mengkhianatimu..."
"Tutup mulutmu!" hardik Ratu srigala marah
sekali. "Gerak-gerikmu sudah kuperhatikan
sejak kau melepas ikatan pemuda itu. Semua
pembicaraanmu sudah kutangkap! Kau hendak
memakai manusia ini sebagai penyelamat
kehidupanmu! Padahal kita semua sudah
bersumpah untuk tidak akan kembali ke alam
semula! Apapun yang terjadi! Kita sudah
dikutuk sejak dua ratus tahun lalu! Dan kau
berani melanggar sumpah bersama itu!"
"Mohon ampunmu Ratu. Aku..."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar suaramu
lagi! Aku tidak sudi melihat tampangmu lagi!
Hukuman bagimu sudah kutetapkan! Kau
harus mampus dan berpindah ke alam setan
pelayangan!"
"Ratu! Jangan lakukan itu... Aku minta
ampun!" teriak Sari Gali Satu.
Tapi sang Ratu srigala tidak memperdulikan.
Dari mulutnya keluar suara menggembor.
Mulutnya terbuka lebar, lidah terjulur, gigi-
gigi dan taringnya yang besar runcing
bergemeletukan sedang kedua matanya
membara merah. Dari mulut Ratu srigala itu
tiba-tiba terdengar suara lolongan keras.
Kedua tangannya yang memiliki kuku-kuku
panjang dan runcing melesat ke depan.
Terdengar suara seperti kain dirobek
berulang-ulang, dibarengi oleh suara pekik
Sari Gali Satu. Tubuh mahluk ini terhuyung-
huyung lalu jatuh ke tanah dengan suara
berdebum. Wiro memandang ke bawah.
Tengkuknya mengkirik. Sosok tubuh Sari Gali
Satu yang masih dalam keadaan telanjang itu
tampak mandi darah. Muka, dada dan
perutnya sampai ke paha penuh robekan-
robekan mengerikan! Di hadapannya Ratu
srigala tampak tegak dengan tangan basah
oleh darah. Kedua matanya diarahkan sesaat
pada Wiro lalu berpaling kebawah. Tiba-tiba
dia pukulkan tangan kanannya seraya
berteriak. "Mahluk pengkhianat! Pergi kau ke
alam lain!"
Serangkum asap hitam menderu dari tangan
kanan sang Ratu, menghantam sosok tubuh
Sari Gali Satu di bawah pohon. Tubuh itu
lenyap ditelan asap disertai terdengarnya
suara letusan keras. Terdengar suara jerit!
Bukan suara jerit srigala, tapi suara jeritan
manusia. Ketika asap hitam pupus, sosok
tubuh Sari Gali Satu tak tampak lagi di
tempatnya terbujur semula! Lapat-lapat
terdengar suara seperti perempuan menangis.
Ratu srigala bertepuk dua kali. Dua
pembantunya yakni Sari Gali Dua dan Sari Gali
Tiga tiba-tiba saja sudah ada di tempat itu.
"Ikat manusia ini kembali di tempat semula!"
Dua pembantu segera jalankan perintah.
"Ingat baik-baik! Setiap saat kalian bisa
mengalami nasib celaka seperti Sari Gali Satu
jika berani mengkhianatiku!" mengingatkan
Ratu srigala. Sari Gali Dua dan Tiga hanya
diam saja.
Saat itu obat aneh yang diberikan Dewi dan
telah ditelan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng
telah mulai bekerja. Dia merasa tubuhnya
sebelah atas perlahan-lahan menjadi enteng
tanda kaku dan tegang yang menguasainya
telah punah. Kedua tangannya jelas pasti
sudah bias digerakkan. Tetapi dia tetap
berpura-pura seperti orang lumpuh sebelah.
Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalam.
Tangan kanannya segera dialiri dengan aji
kesaktian untuk melepas pukulan sinar
matahari yang paling diandalkannya. Tapi
justru saat itu Wiro mendengar ada suara
mengiang di telinga kirinya.
"Jangan lakukan! Belum saatnya! Kau tak
akan bisa membunuh atau menghancurkan
mereka!" Itu adalah suara Dewi si srigala
putih. Lalu terdengar suara Dayang
pembantunya.
"Terus saja berpura-pura dalam keadaan
lumpuh. Ikuti apa yang mereka lakukan atas
dirimu. Di saat yang baik kami akan
mendatangimu!"
Mau tak mau Wiro mengikuti apa yang
dikatakan manusia srigala putih tanpa wujud
itu. Dia biarkan tubuhnya dikempit, dibawa
terbang ke pohon besar dimana dia
sebelumnya diikat.
Ratu srigala mengikuti di belakang. Begitu
Wiro selesai diikat ke batang pohon, sang
Ratu berkata: "Nafasmu hanya tinggal
setengah hari saja! Kau bisa melihat sendiri
kepalamu terpisah dengan badan. Tubuhmu
akan jadi santapan binatang hutan! Kepalamu
akan kujadikan ganjalan tiang pohon besar
istana kediamanku! Hik... hik...hik!" Lalu sang
Ratu melolong panjang.
Karena merasa dirinya telah tertolong oleh
dua manusia srigala putih itu, timbul
keberanian dan kekonyolan murid Sinto
Gendeng itu untuk membalas ucapan sang
Ratu.
"Aku menawarkan kesenangan hidup suami
istri padamu. Tapi kau menjatuhkan kematian
padaku! Kau akan menyesal seumur-umur!
Aku tahu betul, hanya aku manusia yang bisa
mengembalikanmu ke alam semula!
Menjadikanmu sebagai manusia-manusia
seperti dua ratus tahun lalu!" Habis berkata
begitu lalu Wiro keluarkan suara meniru
lolongan srigafa sambil kedip-kedipkan
matanya pada sang Ratu.
Sang Ratu mendengus. "Itu yang dikatakan
Sari Gali Satu padamu! Dia hanya menipumu
agar kau mau menidurinya! Sumpah dan
kutukan atas diri kami tidak mungkin
dirubah!"
"Lalu kau sendiri apakah tidak ingin
bersenang-senang tidur bersamaku?!" tanya
Wiro pula.
Kalau saat itu tidak ada Gali Dua dan Tiga,
mungkin Ratu srigala tidak akan semarah itu
mendengar kata-kata Wiro. Tangan kanannya
yang berkuku runcing panjang meluncur ke
depan.
Breettt!
Terdengar suara robek disertai pekik keras
Pendekar 212. Dada pakaian putihnya robek
besar dan lima guratan luka yang cukup
dalam membelintang di dadanya. Darah
mengucur!
"Mahluk jahanam!" teriak Wiro. Baru saja dia
hendak kerahkan tenaga untuk lepaskan
dirinya dari ikatan tali dan siap menghantam
manusia srigala itu tiba-tiba kembali
terdengar suara Dayang. "Jangan! Kau masih
belum mampu menghadapinya! Jangan
bertindak bodoh!"
Saking geramnya Wiro kembali keluarkan
teriakan keras, delikkan mata dan pencongkan
mulut serta hidungnya, lalu pluk, kepalanya
terkulai ke samping, berpura-pura pingsan.
Pada hal saat itu sakit di dadanya yang luka
bukan kepalang!
Ratu srigala menggembor, berpaling ke arah
Sari Gali Dua dan berkata, "Siapkan upacara
hukuman bagi manusia paling celaka ini!"


SEMBILAN
"KITA TAK PUNYA WAKTU LAMA, DAYANG
LEKAS!" kata Dewi begitu dilihatnya Ratu
srigala berkelebat pergi sementara dua
pembantunya sesuai perintah menyiapkan
upacara pelaksanan hukuman bagi Pendekar
212 Wiro Sableng.
Kedua mahluk tanpa rupa itu cepat keluar dari
balik pohon besar tempat persembunyian
mereka, melayang ke arah pohon di mana
Wiro berada dalam keadaan terikat dan
terluka di bagian dada.
"Aku tidak mengerti," berbisik Sari Gali Dua
pada kawannya. "Untuk pemuda bertampang
tolol dan banyak cakap itu mengapa sampai
Ratu kita mengadakan segala upacara...?"
"Hati-hati kalau bicara!" sahut Sari Gali Tiga.
"Sempat terdengar Ratu, kau bisa celaka.
Menurutku jika pemuda itu hanya seorang
tolol biasa, tak akan Ratu memerintahkan
melakukan upacara penghukuman. Kau tahu
sendiri, sampai saat ini, sejak dua ratus tahun
berlalu, baru dua kali kita melakukan upacara
dalam menjatuhkan hukuman. Pertama
terhadap Pangeran Ajibarang. Kedua atas diri
Datuk dunia persilatan golongan hitam
bergelar Seribu Racun. Dan pemuda ini adalah
yang ketiga. Berarti dia termasuk korban
cabang atas! Sudahlah, sebaiknya kita tidak
usah banyak bicara. Lakukan saja perintah
Ratu..."
Kita tinggalkan dulu dua pembantu utama
Ratu srigala yang tengah menyiapkan upacara
kematian Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita
kembali pada Dewi dan Dayang.
"Sssttt kami datang kembali. Terus saja
berpura-pura pingsan," berbisik Dayang dari
alam tanpa wujudnya.
"Mereka siap membunuhku. Kalian selalu
mencegah aku untuk turun tangan. Apa aku
jadi setan dulu baru melawan?!" ujar Wiro.
Kepalanya terus terkulai dan dia masih
berpura-pura pingsan. Dibukanya matanya
sedikit. Namun dia tidak melihat apa-apa.
"Dengar, kami tak punya waktu lama. Untuk
berjaga-jaga kami akan menyusupkan sebuah
benda ke balik pakaianmu!" terdengar suara
Dayang kembali. Wiro bukakan kedua
matanya sedikit. Dilihatnya sebuah benda
bergerak seperti melayang ke arah dadanya.
Ketika diperhatikan ternyata sebuah boneka
kayu sebesar ibu jari.
"Eh, apa artinya ini! Untuk apa boneka kayu
itu kalian susupkan ke balik pakaianku?!"
tanya Wiro.
"Sudah kami katakan, untuk berjaga-jaga."
Yang berkata kali ini adalah sang Dewi.
"Kami mungkin tidak punya waktu banyak.
Seandainya Ratu srigala iblis itu atau anak
buahnya datang sebelum kami selesai dengan
pekerjaan kami, maka kau sudah kami pagari
dengan boneka itu. Jika sampai kau
dipancung, maka boneka kayu itu yang akan
mati!"
"Aku tidak mengerti. Boneka kayu itu jelas
benda mati! Bagaimana lantas kau bilang dia
yang akan mati?!"
"Kami tidak punya banyak waktu untuk
menjelaskan. Lekas telan ini!" kata Dayang.
Lalu Wiro melihat sebuah benda sebesar
ujung jari berwarna coklat keputihan bergerak
cepat ke arah mulutnya. Sebelum dia sempat
menolak benda itu sudah menyusup ke dalam
mulutnya. Lalu seperti ada cekikkan di
lehernya, yang membuatnya terpaksa menelan
benda tadi.
"Kemenyan!" desis Wiro.
"Memang kemenyan. Benda itu akan
membuatmu kebal dari segala kelumpuhan
otak dan aurat atau kekakuan akibat racun
jahat atau totokan manusia-manusia srigala
iblis," menjelaskan Dewi.
"Sekarang gulungan kertas ini akan kami
susupkan ke dalam tubuhmu!" Dayang yang
kini bicara.
Wiro melihat secarik kertas sepanjang jari
kelingking yang digulung sangat kecil, hanya
dua kali besarnya lidi bergerak di udara,
melesat ke arah perutnya. Dia hendak
berteriak tapi bless! Secara aneh gulungan
kertas itu amblas masuk ke dalam tubuhnya
di bagian perut tanpa dia merasa sakit
sedikitpun!
"Hai! Kertas apa yang kalian tancapkan
dalam tubuhku ini?!" tanya Wiro.
"Itu tameng terakhir yang bakal menjaga
dirimu. Di dalamnya ada serangkaian ayat-
ayat suci! Dengan ada kertas itu dalam
tubuhmu, pukulan atau senjata apapun yang
dihunjamkan ke tubuhmu tidak akan mempan!
Ingat satu hal baik-baik. Jika upacara
kematianmu mulai dilaksanakan, sering-sering
menyebut nama Tuhanmu. Dengan mengucap
begitu Kerajaan Srigala iblis dan penghuninya
akan sangat terganggu. Satu hal lagi perlu
kami beritahukan, segala ilmu kepandaian
dan kesaktian yang kau miliki baru bisa
bekerja setelah sekujur tubuhmu menyentuh
tanah dan tanganmu mampu memegang
kepala Datuk Seribu Racun yang menjadi
ganjalan pohon besar kediaman Ratu srigala.
Jadi kau harus mengusahakan untuk bisa
bergulingan di tanah!"
"Edan! Bagaimana aku tahu yang mana
kepala Datuk Seribu Racun itu!" berkata Wiro
penuh jengkel. Hati kecilnya saat itu ingin
saja dia melepaskan diri dari ikatannya
kebatang pohon, lalu langsung menyerbu Ratu
srigala. Tapi diam-diam dia menyadari bahwa
dia bukan berada dalam dunianya sendiri.
Melainkan dalam satu alam penuh keanehan
yang dibungkus dengan darah dan maut yang
penuh kengerian.
"Lagi pula perlu apa aku harus memegang
kepala manusia yang sudah jadi bangkai
hidup itu!" sambung Wiro sesaat kemudian.
"Mengapa kau harus memegang kepala sang
Datuk tak dapat kami katakan saat ini karena
tak ada waktu dan kaupun mungkin sulit bisa
mengerti. Kepala Datuk itu ada pada bagian
bawah sebelah kanan pohon. Kepala dengan
kedua bola memberojol keluar dari rongga
mata, memiliki kumis dan cambang bawuk,
telinga kanan sumplung dan pipi kiri hancur
robek sampai ke telinga!"
"Dayang, kita harus pergi sekarang..."
"Tunggu dulu!" ujar Wiro cepat. "Senjata
mustikaku, Kapak Naga Geni 212 telah mereka
rampas. Aku minta bantuan kalian untuk
mendapatkannya kembali!"
"Jangan kawatir. Pada saat upacara
penjatuhan hukuman atas dirimu, manusia-
manusia srigala iblis itu pasti akan
memusatkan perhatian pada jalannya
upacara. Kami akan punya kesempatan untuk
menyelinap ke dalam kamar penyimpanan
senjata Ratu srigala..."
"Kamar penyimpanan, katamu...?" tanya Wiro
heran.
"Kamar itu bukan kamar sungguhan. Tapi
sebuah pohon besar penuh dengan senjata-
senjata rampasan milik para korban
perburuan Ratu srigala!"
"Perburuan, siapa yang diburu?!" tanya Wiro
tambah tidak mengerti.
"Kami tidak punya waktu untuk menerangkan.
Tapi kau saksikan sendiri kepala-kepala yang
dijadikan ganjalan pohon! Tubuh-tubuh yang
digantung secara mengerikan! Itulah korban
pemburuan Ratu iblis itu dan kami..."
"Dewi" Dayang memutus ucapan sang Dewi.
"Mereka datang, kita harus menyingkir!"
Dua sosok tubuh manusia srigala perempuan
melayang ke atas pohon. Tidak lain adalah
Sari Gali Dua dan Tiga. Sari Gali Dua yang
memiliki penciuman sangat tajam,
mendongakkan kepala srigalanya ke atas dan
menyerap udara di sekitarnya, lalu
menggereng,
"Aku mencium bau harum di tempat ini. Pasti
mahluk putus asa itu ada disini! Aku yakin
sesuatu telah terjadi ditempat ini! Sari Tiga,
mari kita menghantam membersihkan
tempat!"
"Apa yang perlu dikawatirkan Sari Gali Dua?!"
jawab Sari Gali Tiga. "Mereka tidak mampu
melakukan apa-apa terhadap kita. Lalu sekali
mereka masuk ke dalam kawasan Istana,
mereka tak akan sanggup keluar lagi!"
"Aku tetap merasa kawatir. Jika kita tidak
melakukan sesuatu kemudian terjadi apa-apa
dan Ratu mengetahui, nasib kita bisa sama
dengan Sari Gali Satu! Ikuti perintahku. Mari
kita menghantam membersihkan tempat! Kau
empat jurus mata angin sebelah kiri, aku
empat jurus mata angin sebelah kanan!"
Kedua perempuan berkepala srigala hitam itu
lalu mengapung diudara saling beradu
punggung. Keduanya kemudian
menghantamkan tangan kiri kanan empat kali
berturut-turut ke arah empat jurusan. Delapan
suara gelegar menggoncang udara dan tanah.
Pohon-pohon besar bergoyang. Ketika gelegar
dan riuh gemerisik daun-daun pepohonan
lenyap di udara yang mendadak menjadi
pengap terdengar dua jeritan. Lalu sunyi
kembali. Sari Gali Dua dan Tiga saling
berpandangan.
"Apa kataku!" ujar Sari Gali Satu. "Mereka
ternyata memang ada di tempat ini. Keduanya
telah terkena hantaman kita!"
"Gali Dua, jangan biarkan Ratu kita menunggu
di tempat upacara. Saatnya kita menyeret
tawanan ke tempat upacara pembantaian!"
berkata Sari Gali Tiga.
Sari Gali Tiga menggereng. Lidahnya menjulur,
matanya yang merah seperti membara. Lalu
terdengar dia berucap, "Kuharap Ratu
mengizinkan aku pertama kali menghirup
darahnya begitu lehernya putus!" Lalu
manusia srigala perempuan ini keluarkan
suara lolongan panjang!


SEPULUH
SUARA GENDERANG ANEH terdengar riuh
ketika tubuh Wiro Sableng yang dicekal oleh
Sari Gali Dua dan Tiga dibawa melayang turun
ke tanah. Tempat upacara pelaksanaan
hukuman itu adalah sepetak tanah yang
terletak di hadapan pohon besar tempat
bersemayam Ratu srigala.
Memandang berkeliling murid Sinto Gen-deng
itu merasakan nyawanya seolah-olah lepas.
Dia sudah hampir terbiasa dengan kepala-
kepala srigala yang menyeramkan itu, namun
apa yang disaksikannya di sekelilingnya saat
itu sungguh luar biasa mengerikan. Diantara
deru genderang menyeling suara tangis bayi
dari lolongan panjang. Lalu disekitarnya
puluhan muka dan tubuh setan melayang-
layang, seolah menari-nari mengikuti tabuhan
genderang.
Lima buah kepala botak bertanduk dengan
mata merah sebesar tinju dan memberodol
keluar disertai mulut terbuka penuh cairan
darah melayang mengelilinginya. Sesekali
kepala-kepala itu membuka mulutnya lebih
lebar lalu meneriakkan suara lengking
mengerikan.
Darah membersit dari mulut yang berteriak.
Wiro berusaha menjauh ketika dua kepala
melesat ke arahnya tapi tak bisa melepaskan
diri dari cekalan dua pembantu Ratu srigala.
Satu jengkal dari mukanya, dua kepala itu
tersentak berhenti lalu tertawa bergerak.
Darah menyembur menyiprati muka dan
pakaian putih Pendekar 212.
Belum habis rasa takut dan kagetnya, dari
samping terdengar suara pekik keras sekali.
Ketika berpaling Wiro melihat dua mahluk
setinggi pohon yang memiliki lidah sangat
panjang, menjulai ke bawah seperti belalai
gajah. Lidah yang penuh duri dan bergelimang
darah itu bergerak-gerak kian kemari, tiba-
tiba melesat seperti hendak membelit tubun
dan lehernya.
Wiro berseru tegang. Lidah panjang melesat
menjauhinya. Bersamaan dengan itu terdengar
suara tawa bekakakan. Baru saja dua lidah
menjulai lenyap mendadak muncul sosok
tubuh bayi raksasa dengan wajah aneh
menyeramkan. Bayi ini menggapai-gapaikan
kedua tangannya ke arah Wiro. Tiba-tiba dari
kedua matanya, dari lubang-lubang hidung
serta telinga dan dari mulut, melesat keluar
kepala dan tubuh ular hitam belang hijau.
Tujuh ekor ular jejadian ini langsung mematuk
ke arah kepala dan tubuh Pendekar 212.
"Ya Tuhan! Tolong diriku!" seru Wiro ketika
dia tak sanggup berontak dari pegangan Sari
Gali Dua dan Tiga.
Saat itu juga terdengar suara seperti guntur
menggelegar. Tanah bergoyang, pohon-pohon
berderik-derik seperti mau tumbang. Murid
Eyang Sinto Gendeng lantas ingat akan
ucapan Dayang. Yaitu agar dia banyak-
banyak mengucap menyebut nama Tuhan.
Maka dia segera mengulang-ulang menyeru
nama Tuhan. Kawasan yang jadi Istana
kediaman Ratu srigala itu laksana dilanda
gempa. Semua manusia srigala melolong
panjang. Di atas pohon dimana dia berada
Ratu srigala berteriak keras.
"Gali Dua. Gali Tiga! Kalian tunggu apa lagi,
lekas laksanakan hukuman! Bantai pemuda
celaka itu sebelum dia menyebut lebih banyak
nama Tuhannya!"
Mendengar teriakan sang Ratu, Gali Dua
langsung angkat tangannya kirinya ke atas
Ketika tangan :tu dibantingkan kebawah, di
hadapannya Wiro melihat sebuah tiang batu
setinggi dua tombak tiba-tiba saja muncul di
tempat itu. Di bagian atas tiang bergelung
seekor ular hitam belang hijau dengan mulut
terbuka menunjukkan gigi-gigi serta taring
dan lidahnya yang menyeramkan. Binatang ini
hampir sama dengan ular yang menggelungi
leher serta tubuh pemuda batu Dharmasala,
kekasih Dewi, hanya saja yang ada di atas
tonggak batu dua kali lebih panjang dan dua
kali lebih besar!
Pendekar 212 merasakan keringat dingin
membasahi sekujur tubuh dan wajahnya. Dia
jelas merasa takut melihat ular besar dan
panjang itu. Tapi yang membuatnya lebih
merasa ngeri ialah ketika melihat Sari Gali
Tiga tahu-tahu sudah memegang sebilah
senjata untuk memancung lehernya. Dan
celakanya senjata itu bukan lain adalah
Kapak Maut Naga Geni 212 miliknya sendiri!
Berarti dengan senjata mustika pemberian
gurunya itulah nyawanya bakal dihabisi. Lalu
apakah benar gulungan kertas bertuliskan
ayat-ayat suci entah ayat-ayat suci apa yang
disusupkan oleh Dayang sampai amblas ke
dalam perutnya yang katanya akan membuat
dirinya kebal terhadap segala macam senjata,
benar-benar akan membuat lehernya tidak
mempan dibacok? Juga apakah boneka kayu
jelek itu benar-benar akan sanggup
membentengi dirinya, menjadi pengganti
dirinya yang hendak dibantai? Murid Eyang
Sinto Gendeng banyak mengetahui berbagai
ilmu kesaktian, baik yang sudah dikuasainya
maupun yang dilihatnya dimiliki oleh orang-
orang lain. Tapi ilmu yang mengandalkan
kekuatan boneka kayu butut, ilmu yang
mengandalkan kemenyan serta ilmu yang
mengandalkan gulungan kertas, benar-benar
sangat diragukannya. Di saat itu dia memilih
untuk lebih baik bertindak mengandalkan
kekuatan dan kemampuan sendiri, dari pada
mengandalkan kekuatan lain yang sulit
dipercaya dan belum pernah disaksikannya.
Maka ketika dua srigala perempuan di
sampingnya berlaku agak lengah, Wiro
kerahkan seluruh kekuatan dan tenaga dalam
lalu menghantam ke kiri dan ke kanan!
Gali Dua dan Gali Tiga merasakan tubuhnya
seperti di dorong tembok keras. Wiro terkesiap
ketika melihat dua manusia srigala itu hanya
terjajar satu langkah, padahal diperkirakannya
keduanya akan terpental roboh ke tanah
dalam keadaan terluka dalam. Dewi dan
Dayang yang menyaksikan kejadian itu dari
tempat persembunyian mereka tampak
terkesiap kaget.
"Celaka! Pemuda itu tidak melakukan apa
yang kita katakan Dia bertindak
mengandalkan kekuatannya sendiri! Padahal
percuma! Semua rencana bisa berantakan!
Celaka kita Dewi!"
Sang Dewi tak bisa berkata apa-apa. Diam-
diam dia meresa tegang. Di atas pohon besar
Ratu srigala tampak terkejut.
"Bagaimana mungkin pemuda celaka itu bisa
bergerak dan memiliki kekuatan mendorong
begitu besar?!" serunya. "Padahal tubuh
bagian atasnya lumpuh! Pasti ada yang tidak
beres!"
Sambil melolong keras Ratu srigala melayang
turun dan menghantamkan tangan kirinya ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu
melihat sang Ratu dan ada angin yang
menyambar ke arahnya, Wiro balas
menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan
pukulan.sinar matahari. Tapi yang terdengar
hanya suara des... des... des! Pukulan sakti
itu tak sanggup dikeluarkannya. Tubuhnya
sendiri saat itu langsung kaku, tak bisa
digerakkan lagi. Namun sesaat kemudian,
daya kekuatan aneh dari kemenyan yang
sebelumnya ditelan oleh Pendekar ini
perlahan-lahan memusnah-kan kekuatan aneh
yang membuat tubuhnya jadi tegang seperti
batu itu. Dalam keadaan tubuhnya mulai
pulih seperti itu, terdengar suara teriakan
Ratu srigala.
"Datuk Ular! Lekas laksanakan tugasmu!"
Ular hitam hijau yang bergelung di atas
tonggak batu langsung melepas gelungannya.
Sekali binatang ini bergerak, mulutnya telah
menjambak rambut gondrong pendekar 212
sedang tubuhnya yang panjang melilit badan
Wiro. Ular ini membuat dua kali liukan. Dan
tahu-tahu sekujur tubuh Pendekar 212 sudah
terikat oleh gelungan ke tiang batu. Kepalanya
terpentang tegak oleh gelungan ke tiang batu.
Kepalanya terpentang tegak oleh jambakan
mulut ular sedang lehernya yang bakal jadi
sasaran perlindungan ikut terpentang.
Wiro kini sadar kalau kekuatannya sendiri
tidak bakal mampu menyelamatkan dirinya
dari bahaya maut yang megancam.
Harapannya kini benar-benar tinggal pada
segala ilmu kesaktian aneh Dewi dan Dayang.
Tapi yang lebih besar harapannya serta
kepercayaannya ialah pada pertolongan dan
kekuasaan Tuhan! Kini tergelung ke tiang batu
tanpa daya, Pendekar 212 menunggu dengan
pasrah apa yang terjadi.
Di seberang sana, dibawah pohon paling
besar dilihatnya potongan, kepala Datuk
Seribu Racun yang dua matanya keluar
bergelantungan, muka robek mengerikan.
Kepala itulah kelak yang harus dipegangnya
tanpa dia mengerti mengapa harus begitu.
Dan saat itu dia tak bisa berpikir lebih jauh
karena di hadapannya Ratu srigala mengambil
Kapak Naga Geni 212 dari tangan Sari Gali
Tiga. Dengan mulut menganga, lidah terjulur
dan mata mendelik merah, manusia srigala
perempuan ini melangkah ke hadapan Wiro.
Satu langkah di depan si pemuda, sang Ratu
angkat tangan kanannya yang memegang
Kapak Naga Geni 212. Tangan itu kemudian
diayunkan keras-keras. Sinar putih
menyilaukan berkelebat disertai hawa panas
dan suara seperti seribu tawon mengamuk!
Mata kapak yang sangat tajam menghantam
batang leher Pendekar 212. Crass! Kapak
menembus masuk ke leher, tertahan oleh tiang
batu di belakang leher. Darah muncrat!


SEBELAS
PENDEKAR 212 MELIHAT darah yang muncrat
dari lehernya! Darah itu memercik mengenai
kepala Ratu srigala yang berdiri di
hadapannya. Bahkan hampir tak percaya, Wiro
melihat sendiri kepalanya yang ditebas putus
menggelinding di tanah!
Saat itu sang Pendekar tidak lagi sempat
berpikir apakah yang terjadi dan dilihatnya itu
bisa diterima oleh akal sehat. Melihat
kepalanya sendiri menggelinding begitu rupa,
murid Sinto Gendeng ini langsung berteriak
menyebut nama Tuhan. Saat itu juga tanah
bergetar dan pohon-pohon bergoncang keras.
Puluhan manusia srigala melolong panjang.
Ratu srigala dan dua pembantunya berdiri
tegang, Ular yang tadi menjambak rambut
Wiro keluarkan suara mendesis keras.
Mulutnya lepaskan cengkeraman di rambut
sang pendekar tapi tubuhnya tetap
menggelung badan Wiro.
Takut, ngeri luar biasa Wiro kembali menatap
kepalanya yang tergeletak di tanah. Tiba-tiba
terdengar suara berdentrang keras. Kepala
yang ada di tanah mendadak sontak berubah
menjadi sepotong kepala boneka kayu kecil
terbuat dari kayu. Bagian badan boneka
tergeletak tak jauh dari potongan kepala!
"Ini pasti perbuatan si keparat Dewi dan
pembantunya!" teriak Ratu srigala marah.
Kedua matanya laksana menyala menatap
boneka kayu yang buntung itu. Teriakan itu
menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng apa
yang barusan terjadi. Lebih dari itu kini dia
baru bisa percaya keampuhan gulungan
kertas bertuliskan ayat-ayat suci yang
ditancapkan ke dalam perutnya. Dan juga
akan kekuatan aneh yang ada pada boneka
kecil terbuat dari kayu itu! Meskipun demikian
tetap saja Wiro pegangi lehernya yang tadi
dirasakannya putus. Ternyata leher itu masih
utuh.
"Sungguh gila! Sekarang saatnya aku harus
bertindak sesuai yang dikatakan dua srigala
putih itu," ujur Wiro dalam hati. Dia kerahkan
seluruh tenaga dalam yang ada, memukul ke
atas sedang kaki kirinya menginjak ekor ular
keras-keras. Binatang ini menggeliat hebat.
Meski pukulan dan tendangan yang dilakukan
oleh Wiro bukan sembarangan, sanggup
menghancurkan tembok dan meremuk batu,
tapi ternyata semua itu tidak berbekas pada
ular hitam belang hijau. Binatang ini malah
langsung buka mulutnya lebar-lebar lalu
keluarkan suara mendesis. Serangkum asap
hijau menderu menyelubungi kepala Pendekar
212. Itulah racun yang luar biasa ganasnya.
Tak ada satu mahluk bernafaspun yang
sanggup bertahan sekejapan mata terhadap
racun itu. Ratu srigala sendiri sempat berseru,
"Mati kau sekarang!"
Tetapi sang Ratu melengak kaget ketika
melihat bagaimana racun ular itu tidak
mematikan si pemuda. Ini tidak lain adalah
akibat kekuatan kemenyan serta gulungan
kertas yang ada dalam tubuh sang pendekar.
Malah kini dilihatnya Wiro telah meloloskan
diri dari gelungan ular besar. Ratu srigala
segera menyerbu dengan. Kapak Naga Geni
212 di tangan kanan dan satu pukulan sakti
di tangan kiri.
"Lekas jatuhkan dirimu ke tanah dan
berguling ke pohon besar!" terdengar suara
mengiang di telinga Wiro. Itulah suaranya
sang Dewi.
"Betul! Lakukan lekas! Begitu sampai di
pohon cepat kau pegang kepala Datuk Seribu
Racun!" Yang terdengar kali ini adalah suara
si Dayang.
Mendengar semua ucapan itu Pendekar 212
iangsung jatuhkan diri ke tanah, berguling ke
arah pohon secepat yang dilakukannya.
Pukulan tangan kosong sang ratu lewat. Tapi
srigala betina ini memburu dengan Kapak
212. Berkali-kali terdengar suara
bergedebukan ketika mata kapak menghantam
perut, punggung atau dada Wirol Ternyata
senjata itu tidak sanggup melukai pemiliknya
sendiri! Wiro kebal akibat kemenyan dan
gulungan kertas yang ada dalam tubuhnya!
Wiro berhenti bergulingan tepat di bawah
pohon besar kediaman Ratu srigala dimana
terdapat lebih dari lima kepala yang dijadikan
sebagai ganjalan! Karena sudah diberi tahu
lebih dulu, tidak sulit bagi Wiro untuk
mengenali kepala Datuk Seribu Racun. Dengan
cepat dia ulurkan tangan memegang kepala
itu.
Tiba-tiba dua buah tangan berwarna sangat
hitam dan penuh bulu mencuat dari dalam
tanah, langsung memegang bahu Pendekar
212! Sementara potongan kepala yang
mengerikan dan tadinya terjepit dibawah
besar pohon diantara akar-akar melayang ke
atas!


DUABELAS
TAHU-TAHU SATU SOSOK tubuh setinggi
hampir dua tombak mengangkat Pendekar
212, menegakkannya di tanah. Sambil pegang
bahu Wiro dengan tangan kirinya mahluk
jangkung ini pergunakan tangan kanannya
untuk memasukkan kedua matanya yang
memberojol ke luar, ke dalam dua rongga
mata yang tadinya oblong mengerikan. Sambil
melakukan itu dari mulutnya tiada nenti
terdengar suara tawa parau sementara darah
becucuran dari hampir seluruh bagian
kepalanya, termasuk dua buah mata yang
baru saja "diperbaikinya"!
Wiro yang sudah tak sanggup menahan rasa
takut berusaha mundur lepaskan diri. Tapi
astaga! Dia sama sekali tidak sanggup
membebaskan diri dari pegangan tangan kiri
mahluk jangkung menyeramkan itu! Si mahluk
tertawa panjang.
"Anak muda! Jangan takut! Aku bukan setan
jejadian yang akan mengunyah batok
kepalamu! Ha... ha... ha...! Aku Datuk Seribu
Racun! Aku sangat berterima kasih kau telah
selamatkan aku dari siksa alam durjana
dengan jalan memegang kepalaku tadi!
Sahabat-sahabatku sang Dewi dan si Dayang
pasti yang memintamu melakukan hal itu!
Kalau tidak karena kalian sampai ratusan
tahun aku akan tetap jadi ganjalan pohon
celaka itu! Ha... ha...ha...!"
Tiba-tiba ada suara menggereng di
belakangnya. Wiro cepat berpaiing. Ratu
srigala dengan Kapak Maui Naga Geni 212 di
tangan kanan bersama Sari Gali Dua dan Tiga
melangkah mendatangi. Mata mereka tampak
berapi-api dan rahang yang penuh taring
runcing terdengar bergemeletakan.
"Bagus! Jadi kalian ternyata telah
berkomplot. Komplotan kalian tak akan
berjalan lama! Datuk Seribu Racun, kau akan
kembali ke tempatmu semula! Jadi ganjalan
tiang Istanaku! Dan kau pemuda celaka! Kau
akan menjadi pendamping abadi si Datuk!
Malah kau akan mendapat kehormatan
tambahan! Seratus kala jengking akan
menggerogoti batok kepalamu! Sisa potongan
tubuhmu akan kugantung di atas pohon
dengan sepuluh ular terus menerus me-
matukimu! Kau akan menderita siksa lebih
hebat dari neraka seumur-umurmu! Hik...
hik... hik!"
Habis tertawa cekikikan sang Ratu lalu
melolong. Kemudian dari mulutnya terdengar
suara suitan panjang. Puluhan manusia
srigala balas melolong. Lalu laksana air bah
mereka menyerbu Pendekar 212 dan Datuk
Seribu Racun.
"Celaka!" seru Wiro. Bagaimana mungkin
mereka berdua sanggup menghadapi serbuan
mahluk-mahluk jejadian seperti itu!
"Jangan putus nyali pendekar muda!" berkata
Datuk Seribu Racun dengan suara paraunya.
"Aku akan rampas kembali senjata
mustikamu! Lihat!"
Datuk Seribu Racun keluarkan pekik aneh.
Tangan kirinya mendadak berubah panjang
dan keluarkan cahaya hitam menggidikkan.
"Ratu! Awas racun hitam perenggut sukma!"
teriak Sari Gali Dua ketika melihat cahaya
hitam legam memancar dari tangan kiri Datuk
Seribu Racun. Ratu srigala mendengus keras
dan kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke
arah sang Datuk, Manusia jangkung ini
tertawa keras ketika melihat ada sinar perak
menyilaukan menerpa disertai suara seperti
tawon mengamuk. Tangan kirinya berkelebat
ke depan.
Terdengar raungan Ratu srigala ketika
menyadari Kapak Naga Geni 212 tak ada lagi
di tangannya.
"Pendekar, terima senjatamu kembali!" berseru
Datuk Seribu Racun.
Kapak Naga Geni 212 tampak melayang di
udara. Wiro cepat melompat untuk
mengambil. Tapi saat itu dari samping Sari
Gali Tiga ikut melompat untuk merebut
senjata mustika itu. Wiro yang sejak sudah
siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri
segera menghantam. Terdengar suara
menggelegar disertai hawa panas dan
berkibtatnya sinar putih perak menyilaukan.
Tapi bukan kepalang terkejutnya murid Sinto
Gendeng ini ketika melihat bagaimana
pukulan saktinya itu seolah-olah
menghantam udara kosong saja. Sosok tubuh
Sari Gali Tiga hanya tsrgoyang tergontai-
gontai laksana asap, sama sekali tidak
mempan oleh hantaman pukulan sinar
matahari!
Meskipun perempuan srigala itu tidak hancur
lebur atau mati, namun Wiro mempunyai
kesempatan untuk menyambar Kapak Maut
Naga Geni 212 yang melayang di udara.
Begitu senjata mustika tergenggam di
tangannya dia langsung membabatkan ke
arah Sari Gali Tiga yang masih agak
sempoyongan. Wuuttt!
Kapak Maut Naga Geni 212 menyambar
batang leher manusia srigala betina itu. Tapi
senjata itu lewat begitu saja seolah-olah
membabat udara kosong atau membacok air!
Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. Di
hadapannya Sari Gali Tiga menyeringai
memperlihatkan lidah merah dan taring
runcing. Dari mulutnya menggelegar suara
lolongan panjang. Dengan kedua tangan
terpentang dia menyerbu ke arah Wiro.
Saat itulah terdengar Datuk Seribu Racun
berkata, "Pendekar, arahkan serangan
kapakmu pada pinggul kiri lawan! Hanya di
situ bagian tubuh mereka yang tidak kebal!
Dan hanya senjata di tanganmu itu saja yang
mampu membantai mereka!"
"Datuk keparat! Kau membuka rahasia
kelemahan kami!" terdengar Ratu srigala
berteriak marah! Dua tangannya di hantamkan
ke depan. Mulutnya membuka lebar lalu dia
menyembur!
Lidah api keluar menderu dari mulut sang
Ratu sedang kedua tangannya yang berkuku
panjang hitam menyambar ganas ke arah
leher dan dada sang Datuk! Sebelumnya dua
mahluk ini satu manusia satunya lagi mahluk
jejadian telah pernah bertempur. Itu terjadi
sekitar sembilan tahun silam. Sang Datuk
ternyata tidak mampu menghadapi manusia
srigala betina itu. Mukanya dicabik salah satu
kupingnya dibuat buntung, kedua matanya
dikorek secara ganas. Lehernya kemudian
ditebas. Tapi entah dengan ilmu apa, sang
Datuk tidak dibuat mati, tetap hidup walau
kepala dan badan terpisah, tersiksa hebat
selama bertahun-tahun, mati tidak hiduppun
tidak!
Kini saling berhadapan kembali, walau
membekal dendam hebat namun ada rasa
kawatir dalam hati manusia bergelar Seribu
Racun itu. Satu-satunya harapannya untuk
dapat membalaskan sakit hati bahkan
menghancur musnahkan Kerajaan Ratu srigala
itu bersama seluruh isinya terletak di tangan
Pendekar 212 Wiro Sableng yang memiliki
senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212,
Itulah sebabnya dia harus cepat memberi tahu
kelemahan mahluk-mahluk manusia berkepala
srigala itu. Dan kekebalan mereka hanya akan
musnah oleh Kapak warisan Eyang Sinto
Gendeng itu. Selain dari itu tak satu
senjatapun sanggup menghancurkan mereka.
Karenanya dapat dibayangkan bagaimana
marahnya Ratu srigala ketika sang Datuk
berteriak membuka rahasia kelemahannya dan
anak buahnya.
Datuk Seribu Racun cepat melompat
menghindari sambaran lidah api dan dua
cakaran lawan sambil membalas dengan
pukulan sakti mengandung racun jahat
berwarna hitam. Ratu srigala melolong tinggi.
Sekali dia gerakkan tangannya, musnahlah
cahaya hitam yang keluar dari pukulan Datuk
Seribu Racun. Malah kini lidah api terus
menggebu menjilat dadanya. Terdengar raung
Datuk Seribu Racun. Sebelum kepalanya ikut
terbakar, Datuk ini cepat membuang diri ke
kiri, jatuhkan tubuh ke tanah lalu bergulingan
menjauhi lawan. Di saat yang sama, begitu
rahasia kelemahannya diketahui lawan, Sari
Gali Tiga jadi lumer nyalinya. Dia mundur
terus-terusan menghindari sambaran,
bacokan maupun babatan senjata mustika di
tangan Wiro. Namun dia tak bisa bertahan
lama. Satu kali Kapak Naga Geni 212 tepat
menghantam pinggul kirinya.
Srigala betina itu melolong setinggi langit!
Terjadilah hal yang aneh. Tubuh Sari Gali
Tiga tampak bergoyang hebat dan perlahan-
lahan berubah jadi kepulan asap hitam pekat.
Warna hitam ini kemudian berubah jadi
kelabu. Lalu terdengar suara berdentum. Asap
kelabu lenyap dan tampak terhampar sosok
jerangkong putih!
Ratu srigala berteriak keras melihat kejadian
itu. Dia sampai membatalkan serangan
susulan yang tadinya hendak dilakukannya
terhadap Datuk Seribu Racun yang saat itu
berada dalam keadaan luka parah yakni
terbakar di bagian dada. Teriakan sang Ratu
diikuti oleh lolongan Sari Gali Dua dan
puluhan srigala jantan lainnya. Di lain kejap
semua mahluk berkepala srigala itu menyerbu
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng mengamuk dengan
senjata mustikanya. Setiap menyerang yang
dihantamnya adalah pinggul kiri lawan. Satu
demi satu mahluk srigala itu jatuh
bergelimpangan, jadi asap lalu berubah jadi
tengkorak! Namun jumlah mereka banyak
sekali. Wiro tiba-tiba saja ingat pesan Dewi
dan Dayang yakni agar terus menerus
menyebut nama Tuhan. Maka sambil
berteriak, "Gusti Allah, tolong aku! Tuhan
Maha Kuasa tolong aku menghancurkan
mahluk-mahluk terkutuk ini!" Begitu dia terus
menerus menyebut dan menyeru Tuhannya.
Dan setiap teriakan membuat tempat itu
laksana dilanda gempa. Tanah bergetar keras,
pohon-pohon bergoncangan dan mahluk-
mahluk srigala seperti dipanggang berteriak-
teriak hingar bingar. Dalam keadaan kacau
balau begitulah Wiro terus menghantam
dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Beberapa
kali manusia srigala itu sempat memukul,
menendang bahkan mencakarnya. Namun
berkat kekuatan kemenyan dan gulungan
kertas yang ada dalam tubuhnya semua
serangan lawan tidak mempan. Ratu srigala
melolong tiada henti ketika dapatkan
semburan api, cakaran kuku dan pukulan-
pukulan mautnya sama sekali tidak berbekas!
Memandang berkeliling dia dapatkan sudah
lebih dari lima belas anak buahnya menjadi
korban amukan Wiro. Korban terakhir saat itu
adalah pembantunya Sari Gali Dua!
"Hentikan pertempuran!" teriak Ratu srigala
tiba-tiba. Semua anak buahnya melompat
menjauhi Wiro. Sang Ratu melangkah
mendekati Pendekar 212 lalu menjura dalam-
dalam.
"Eh, apa maumu...?" bertanya Wiro keheranan.
"Aku bersedia memenuhi permintaanmu tempo
hari. Asalkan kau berhenti membunuhi anak
buahku!" berkata sang Ratu.
"Eh, permintaanku yang mana...?" tanya Wiro
lagi tambah heran.
"Kita hidup berdampingan di Kerajaan ini. Aku
Ratu dan kau Raja...Bagaimanana?!"
"Ah!" tentu saja Pendekar 212 terkejut
mendengar kata-kata sang Ratu. Namun di
lain saat dia tertawa gelak-gelak. Pada saat
dia tertawa itulah terdengar suara Datuk
Seribu Racun berseru, "Pendekarl Hati-hati!
Jangan tertipu omongannya!"
"Ratu... Dulu aku memang memintamu begitu.
Tapi sekarang semuanya sudah terlambat... !"
ujar Wiro.
"Jadi kau bukan seorang manusia yang
mampu memegang janji. Pendekar apa kau
ini! Kau menolak karena aku mahluk bertubuh
perempuan tapi berkepala srigala...? Apa kau
kira aku ini memang sejelek yang kau lihat?
Buka matamu lebar-lebar. Lihat siapa aku
sebenarnya!"
Habis berkata begitu Ratu srigala angkat
kedua tangannya. Kelihat ketiaknya yang
putih ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat.
Sepasang payu daranya yang besar bergerak
turun naik.
Sesaat kemudian kepala srigalanya lenyap,
berubah dengan kepala seorang dara berparas
cantik sekali, bermata bening, berhidung
mancung dan berdagu terbelah! Mau tak mau
Wiro jadi berdecah juga melihat kecantikan
mahluk ini. "Aku berjanji, setiap kita
bermesraan aku akan memperlihatkan diri
seperti ini... Bagaimana, apa kau masih
menolak? Atau masih tidak cantikkah diriku
ini di matamu...?!" ujar Ratu srigala.
Wiro garuk-garuk kepala. "Hem... Kau
memang cantik. Tapi kau sebenarnya adalah
bangkai hidup! Siapa sudi bermesraan dan
tidur dengan bangkai!"
Mendengar kata-kata yang sangat
merendahkan itu, marahlah Ratu srigala. Dari
mulutnya menderu lidah api, menyambar ke
arah Wiro. Pendekar 212 cepat-cepat
babatkan Kapak Naga Geni 212. Sinar perak
putih menyambar. Lidah api menderu berbalik
ke arah yang melepaskannya. Ratu srigala
berteriak keras. Melompat ke atas. Justru saat
itu pula Wiro sudah menyerbu ke depan
sambil menghantamkan Kapak Naga Geni 212
ke arah pinggul sang Ratu.
Crasss!
Bagian tajam dari senjata mustika itu
menancap tepat di pinggulnya. Darah
memuncrat. Bukan berwarna merah, tapi
darah berwarna hitam pekat menggidikkan!
Dari mulut srigalanya terdengar lolongan
setinggi langit. Tempat itu laksana mau
runtuh ketika puluhan manusia srigala lainnya
ikut melolong menggidikkan. Sosok tubuh
Ratu srigala bergoyang keras lalu berubah
menjadi asap hitam. Dari hitam berubah jadi
kelabu.
Terdengar dentuman dahsyat. Pohon-pohon
bergoncang, tanah bergetar. Lapat-lapat
terdengar suara orok menangis. Lalu ada jerit
pekik manusia, banyak sekali!
Pada saat sosok tubuh Ratu srigala berubah
menjadi asap kelabu, dua sosok tubuh tampak
melayang turun dari sebuah pohon besar.
Ternyata keduanya adalah dua perempuan
berkepala srigala berbulu putih. Dewi dan
Dayang. Dewi, yaitu srigala yang bermahkota
cepat memburu ke arah kepulan asap kelabu
seraya berteriak, "Kakak Suli! Kau tak boleh
mati! Kau tak boleh jadi tengkorak!" Dewi
merangkul asap kelabu dan menyemburkan
sejenis cairan harum dari mulutnya ke arah
asap kelabu. Sosok tubuh Ratu srigala yang
tadi telah berubah menjadi asap kelabu tiba-
tiba kembali berbentuk sosok srigala bertubuh
perempuan.
"Dewi adikku... Aku tahu maksud luhurmu!
Tapi dosaku sudah seluas lautan setinggi
langit. Tak mungkin bagiku hidup di alam
manapun! Biarkan aku pergi adikku. Aku
doakan kau berbahagia. Aku..." Sosok Ratu
srigala lenyap jadi asap kelabu kembali. Lalu
terdengar suara berdentum laksana gunung
meletus. Ketika dentuman lenyap dan daun-
daun pepohonan melayang jatuh, di tanah
tampak lagi sebuah tengkorak putih. Itulah
jerangkong Ratu srigala. Tetapi saat itu bukan
hanya sang Ratu yang berubah menjadi
jerangkong.
Puluhan pengikutnya yang tadi masih hidup
juga telah berubah jadi tengkorak. Bertebaran
di perbagai penjuru hingga tempat itu seperti
lautan tengkorak! Mereka yang berubah
menjadi tengkorak bersamaan dengan sang
Ratu, tampak tengkorak mereka terbujur
dengan kedua tangan mencekik leher. Apa
yang terjadi? Para pengikut sang Ratu, begitu
melihat pimpinan mereka telah berubah jadi
asap kelabu, serta merta mencekik laher
masing-masing, melakukan bunuh diri!
Srigala putih bermahkota emas bertahtakan
batu-batu permata duduk di tanah menangisi
jerangkong sang Ratu. Bagaimanapun
jahatnya sang kakak di masa hidup, ternyata
melihat kematiannya yang mengenaskan
begitu rupa membuat tetap saja sang adik
tidak sanggup menahan tangis dan
kesedihannya.
Wiro tegak tertegun memandangi srigala putih
itu sesaat lalu memandang berkeliling. Tiba-
tiba dia melihat ada yang bergerak di dekat
pohon besar bekas kediaman sang Ratu.
Pendekar 212 siapkan Kapak Naga Geni 212
seraya memberi isyarat pada Datuk Seribu
Racun. Mahluk dekat pohon itu ternyata
melangkah ke jurusan mereka!


TIGA BELAS
MAHLUK ITU MELANGKAH dengan pandangan
mata tertuju pada srigala putih bermahkota
tanpa berkesip. "Eh, bukankah dia pemuda
yang jadi batu itu...?" ujar Wiro. Mendengar
ucapan Wiro, srigala putih bermahkota
palingkan kepala lalu melolong tinggi ketika
melihat pemuda itu.
"Kakak Dharmasala!" pekik srigala putih alias
Dewi lalu dia lari menubruk si pemuda.
Dharmasala merangkul srigala putih itu
dengan air mata berlinang-linang.
"Syukur kau bisa kembali ke alam ini, kakak
Dharma. Syukur kau bisa hidup kembali!"
Wiro melangkah mendekati. "Saudara, betul
kau yang sebelumnya jadi batu..."
Pemuda bernama Dharmasala, kekasih Dewi
itu mengangguk. "Sahabat, terima kasih kau
telah menolong kami semua" Dia berpaling
pada Datuk Seribu Racun. "Juga terima
kasihku untukmu..." Datuk Seribu Racun
hanya bisa manggut-manggut karena saat itu
luka bakar di dadanya terasa sangat sakit.
"Mana ular hitam hijau yang menggelung
lehermu?" tanya Wiro pula.
Dharmasala menunjuk ke arah pohon besar
sebelah kanan. Disitu tampak teronggok
rangka seekor ular besar.
"Begitu Ratu srigala mati... binatang itu
langsung ikut berubah jadi kerangka..."
"Aneh, sungguh serba aneh dan mengerikan!"
ujar Pendekar 212.
"Semua keanehan ini belum berakhir. Kita
harus segera tinggalkan tempat ini.
Ketahuilah kita semua masih terkungkung
dalam Kerajaan Iblis Ratu srigala. Sebelum
pergi aku akan mengobati dulu kalian
berdua..." kata Dewi. Lalu srigala putih ini
mendekati Datuk Seribu Racun. Dia mengusap
wajah dan dada Patuk Seribu Racun beberapa
kali. Begitu selesai diusap, luka bakar di dada
segera sembuh tanpa bekas sedang wajah
yang robek penuh darah kini tampak licin
bersih, hanya telinga yang buntung tak bisa
dikembalikan ke asalnya.
"Dewi, perkenankan saya yang mengobati luka
di dada pendekar itu," berkata srigala
bernama Dayang ketika sang Dewi hendak
mengobati luka bekas cakaran Ratu srigala di
dada murid Sinto Gendeng itu.
Wiro hanya tegak berdiam diri ketika tangan
berbulu putih dengan kuku-kuko panjang
runcing itu mengusapi bekas cakaran
menggurat dadanya. Tiga kali diusap luka-
luka itupun lenyap.
Wiro pandangi mata bening Dayang lalu
berkata, "Terima kasih. Kesaktianmu sungguh
luar biasa..."
Dayang balas menatap mata si pemuda lalu
tundukkan kepala dan melangkah
menghampiri sang Dewi.
"Kita pergi sekarang..." kata Dewi.
"Tunggu, aku harus menyelamatkan senjata-
senjata sakti milik orang-orang yang jadi
korban Ratu srigala!" terdengar kata-kata
Datuk Seribu Racun.
"Ah, senjata itu. Aku baru ingat," ujar Dewi
pula. "Senjata-senjata itu disembunyikan di
atas pohon besar sana. Bagaimana kau mau
naik ke atasnya, Datuk?"
"Dengan jalan memanjatnya tentunya..."
jawab Datuk Seribu Racun.
Dewi tertawa dan berkata, "Akan memakan
waktu lama Datuk. Biar Dayang melakukannya
lalu menyerahkan senjata-senjata itu
padamu." Sang Dewi berpaling pada Dayang.
Sang pembantu tanpa tunggu lebih lama
segera melayang ke atas pohon besar. Hanya
beberapa kejapan saja dia telah kembali
mengepit sebuah keranjang terbuat dari daun.
Di dalam keranjang ini terdapat beberapa
bilah senjata milik orang-orang yang lelah
dibunuh oleh Ratu srigala. Salah satu senjata
itu adalah sebentuk keris berluk tujuh milik
Pangeran Ajibarang. Dayang lalu memberikan
keranjang senjata itu pada Datuk Seribu
Racun.
"Kita pergi sekarang!" ujar Dewi.
"Eh, sebentar!" Wiro membuka mulut.
"Ada apa lagi pendekar?" tanya Dewi dan
Datuk Seribu Racun hampir berbarengan.
"Harap maafkan, aku tak punya maksud apa-
apa. Tapi apakah kita akan pergi dalam
keadaan rupa kalian masih seperti itu?"
Dewi terdengar batuk-batuk. "Saat ini kami
berdua tidak punya kekuatan untuk mengubah
diri. Kita masih berada dalam kawasan bekas
Kerajaan Ratu srigala. Meski dia sudah mati
bersama seluruh pengikutnya, namun kekuatan
gaib masih tetap menguasai tempat ini..."
"Jadi kalian berdua akan tetap seperti itu
seumur-umur?" Sambil berkata Wiro
memandang pada Dharmasala. Pemuda
kekasih Dewi tampak bingung.
"Kau akan lihat sendiri nanti, pendekar. Jika
sudah tiba saatnya, kami berdua akan
kembali kebentuk asli kami!" jawab Dewi, lalu
dia menarik tangan Dayang dan member
isyarat pada Wiro, Dharmasala dan Datuk
Seribu Racun agar berjalan lebih dulu di
sebelah depan.
Berjalan beberapa lama, rombongan itu
akhirnya sampai di pintu gerbang Istana
srigala iblis. Wiro melangkah melewati pintu
gerbang sambil memperhatikan pintu gerbang
yang ber-bentuk kepala srigala raksasa yang
tengah membuka mulutnya. Menyusul
Dharmasala lalu Datuk Seribu Racun. Setelah
itu dua srigala putih yaitu Dewi diikuti oleh
pembantunya yang setia Dayang.
Begitu kedua kaki Dayang meninggalkan lidah
srigala yang berbentuk tangga, tiba-tiba di
atas rimba belantara Rekso Pratolo berkilat
halilintar disusul suara menggemuruh yang
meng-goncangkan tanah. Sekejapan hutan
yang selalu gelap redup itu tampak terang
benderang. Ketika suara menggemuruh hilang
dan. hutan kembali diselimuti keredupan,
entah dari mana datangnya, hutan itu kini
dilanda tiupan angin yang luar biasa
kerasnya.
Semua yang ada di-situ jatuhkan diri ke tanah
agar tidak dihempaskan angin. Ada yang
coba berpegangan pada akar-akar pohon.
Dedaunan rontok mengeluarkan suara aneh
mengerikan. Dua jeritan terdengar.
"Dewi! Dayang! Di mana kalian?!" berseru
Dharmasala. Pemuda ini bersama-saima Wiro
dan Datuk Seribu Racun melihat bagaimana
dua sosok srigala putih itu terpental tinggi ke
udara menembus kerapatan daun-daun
pepohonan dan lenyap!
"Dewi!" teriak Dharmasala kembali.
"Dayang!" Wiro ikut berseru.
Sementara itu tiupan angin mulai mereda dan
daun-daun tak ada lagi yang jatuh luruh.
"Lihat!" tiba-tiba Datuk Seribu Racun berteriak
seraya menunjuk ke atas.
Wiro dan Dharmasala sama mendongak.
Di antara kerapatan daun-daun pepohonan
tampak dua cahaya, satu berwarna biru, satu
lagi berwarna hijau. Cahaya itu melayang
turun perlahan-lahan dan sementara turun
tampak bertambah besar. Ketika dua cahaya
ini jatuh ke tanah, maka berubahlah dia
menjadi dua sosok tubuh gadis yang luar
biasa cantiknya! Wiro sampai berdecak kedip-
kedipkan mata sementara Datuk Seribu Racun
usap-usap dagu sambil geleng-geleng
kepala.
Gadis pertama mengenakan pakaian biru
gelap indah sekait bersulam benang emas.
Rambutnya yang panjang hitam tergerai di
punggung. Di atas kepalanya ada sebuah
mahkota emas bertaburkan batu-batu
permata yang berkilau-kilau. Wiro ingat betul
mahkota itu sama bentuknya dengan mahkota
yang ada di kepala srigala putih bernama
Dewi. Apakah ini berarti sang dara yang jelita
ini adalah sang Dewi itu? Baru saja Wiro
berpikir begitu tiba-tiba terdengar seruan
Dharmasala.
"Dewi!" Pemuda itu berlari menghampiri dara
berpakaian biru lalu memeluknya erat-erat.
Sang dara menangis terisak-isak dalam
pelukan si pemuda.
"Dewi dan Dharmasala... Satunya pernah jadi
patung batu satunya hidup dalam alam aneh
bertubuh manusia berkepala srigala. Aneh!
Bagaimana mungkin...!" Wiro garuk-garuk
kepala lalu pandangannya bertemu dengan
dara kedua yang mengenakan pakaian serba
hijau. Dia tidak mengenakan mahkota,
rambutnya disanggul, kulitnya putih dan
kecantikannya, menurut Wiro lebih dari sang
Dewi. Gadis satu ini berdiri tundukkan kepala
dan terdengar menangis sesenggukan.
Wiro melangkah mendekati si baju hijau ini
dan menegur. "Kau pasti Dayang yang berilmu
tinggi itu..."
Sang dara turunkan kedua tangannya, angkat
kepala dan pandangannya beradu dengan
sepasang mata Pendekar 212. Lalu perlahan-
lahan gadis ini mengangguk.
"Ah... ah...ah! Ketika kulihat rupamu dalam
sosok srigala putih itu, aku tak pernah
menduga parasmu cantik luar biasa seperti
ini..." Memuji Wiro dengan polos membuat
hati Dayang berbunga-bunga tapi tetap tak
kuasa hentikan sesenggukannya.
"Kami kembali ke bentuk asal seperti ini
setelah kita keluar dari kawasan Istana Ratu
srigala. Yaitu pada saat kita keluar dari pintu
gerbang tadi..." Menerangkan Dewi.
"Aku tak habis pikir. Benar-benar tak habis
pikir..." kata Wiro sambil memandang pada
Dewi dan Dayang.
"Mohon dimaafkan. Para sahabat, kami
bertiga tak punya waktu lama. Mari kita
tinggalkan tempat ini. Kita harus segera
keluar dari hutan sebelum sang surya
tenggelam..." berkata Dewi lalu mendahului
melangkah, didampingi oleh kekasihnya yaitu
Dharmasala, diikuti oleh Datuk Seribu Racun
lalu Dayang. Disamping Dayang melangkah
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tidak henti-
hentinya mengerling memandangi, dara jelita
itu.
"Kita sudah sampai ditepi hutan. Di barat
matahari segera akan tenggelam. Kami
terpaksa meninggalkan kalian sahabat-
sahabat yang berjasa besar. Kami harus
kembali..."
"Kembali kemana...?" tanya Wiro heran.
Sebelum pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba
ada sinar kuning menerangi tempat itu.
Semua orang memandang ke arah kanan.
Disitu diatas gelombang asap yang
menyerupai awan tampak seorang tua
berselempang kain putih, bertampang gagah
kelimis. Di tangan kanannya ada sebatang
tombak emas bermata tiga. Tombak emas
inilah yang memancarkan sinar kuning itu.
"Sang Prabu menjemput kita!" seru Dayang
latu jatuhkan diri berlutut. Dewi dan
Dharmasala melakukan hal yang sama
sementara Wiro dan Datuk Seribu Racun tegak
terbengong-bengong.
Pendekar 212 yang tak tahan melihat semua
keanehan ini melangkah mendekati Dayang,
lalu berlutut disamping sang dara seraya
berbisik. "Apa-apaan ini semua...? Kau bisa
menerangkan padaku?"
Dayang tersenyum dan pegang lengan Wiro.
"Orang tua itu adalah Sang Prabu, ayah
junjunganku. Dia memperlihatkan diri tanda
menjemput kedatangan puterinya. Jika dia
memperlihatkan diri berarti dia telah
memaafkan dan melupakan apa yang terjadi
dua ratus tahun lalu."
"Dua ratus tahun lalu...?!" Wiro ternganga.
"Dayang, kita pergi sekarang. Selamat tinggal
sahabat-sahabatku! Budi baik dan
pertolongan besar yang telah kalian berikan
tak akan kami lupakan. Kalian bukan saja
berjasa pada kami, tapi juga berjasa untuk
Kerajaan Blambangan."
Dayang bangkit berdiri. Wiro juga berdiri
dengan perasaan sesak. "Eh, tunggu dulu!"
ujar Wiro sambiil memegang jari-jari tangan
Dayang. "Kalau kalian pergi bagaimana
dengan aku! Ingat... Aku sudah menelan
kemenyan dan dalam perutku masih ada
gulungan kertas ajaib itu. Apa kalian tidak
akan mengeluarkan kemenyan dan gulungan
kertas itu dulu...?"
Dewi tertawa lebar. "Begitu kita keluar dari
pintu gerbang Istana srigala, kemenyan dan
gulungan kertas itu ikut lenyap. Kalau kau tak
percaya teliti saja perutmu...!"
Wiro singkapkan pakaiannya yang robek-
robek. "Memang... memang aku tak melihat
apa-apa, kecuali pusarku sendiri yang
bolong...!
Dewi dan Dayang tertawa cekikikan.
"Wiro, sahabatku... Aku pergi sekarang," bisik
Dayang. Suaranya agak tersendat.
"Kalau... kalau aku ikut bersama kalian,
apakah kalian mengizinkan?" tiba-tiba
meluncur saja pertanyaan itu dari mulut Sinto
Gendeng.
Dayang tak bisa menjawab. Dia berpaling
pada Dewi dengan penuh harapan. Sang Dewi
merenung sejenak lalu menjawab, "Kami tidak
keberatan kau ikut bersama kami, sahabat
Wiro. Tapi dunia kita saling berbeda. Kami
hidup di alam dua ratus tahun lalu.
Apakah kau sanggup memasuki alam yang
serba asing bagimu itu?"
"Alam dua ratus tahun lalu...?" Wiro
terbelalak. "Tak dapat kubayangkan!"
"Itulah, bukan kami tak ingin bergaul lebih
lama denganmu dan juga Datuk Seribu Racun.
Namun kita tak mungkin berkumpul dalam
alam yang berbeda..."
Dayang memandang sendu pada Wiro. Murid
Sinto Gendeng pegangi jari-jari tangan gadis
itu malah kini menciuminya tiada henti. Jari-
jari itu terasa harum sekali. Ketika Wiro
memandangi wajah Dayang, dilihatnya mata
sang dara berkaca-kaca. Kemudian terdengar
suara Dayang setengah berbisik, mungkin dara
ini tak mau ucapannya didengar yang lainlain.
"Wiro, jari-jari tanganmu telah bersentuhan
dengan jari-jari tanganku. Bau harum
semerbak tubuhku akan ikut berpindah ke
dalam tanganmu sebelah kanan itu. Pada
saat-saat tertentu, terutama jika kau berada
dalam kesulitan, ciumlah jari-jarimu. Jika
mencium bau harum berarti aku berada
didekatmu... Sekarang izinkan aku pergi..."
Wiro mencium lagi jari-jari tangan sang dara
untuk terakhir kali. Kemudian pegangannya
terlepas. Dia merasakan ada hembusan angin.
Lalu ada kecupan hangat menyentuh pipi
kirinya. Memandang ke samping Dayang tak
ada lagi disebelahnya. Juga Dewi dan
Dharmasala. Ketika Wiro dan Datuk Seribu
Racun berpaling ke arah depan tampak ketiga
orang itu sudah berkumpul bersama lelaki tua
berselempang kain putih.
Keempatnya laksana terbang mengapung di
atas asap sambil melambai-lambaikan
tangan. Pada saat sinar kuning sang surya
menyirami tubuh mereka, keempatnya-pun
lenyap tak berbekas.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang
Datuk?" tanya Wiro.
"Tugas pertamaku adalah mengembalikan
semua senjata yang ada dalam keranjang
daun ini pada pewarisnya. Setelah itu aku
akan menempuh hidup baru…"
"Hidup baru maksudmu kawin Datuk?"
Sang Datuk tertawa gelak-gelak. "Bukan kawin pendekar muda sahabatku. Dulu aku adalah manusia paling buas dan paling bejat.
Sekarang setelah aku bisa kembali ke asal.seperti ini, terlepas dari dunia hitam celaka itu, aku bertobat dan berjanji akan jadi orang baik-baik. Nah itulah hidup baru yang aku maksudkan...! Jadi bukannya kawin seperti katamu tadi! Ha...ha......ha...!
Sang Datuk hentikan tawanya ketika dilihatnya Pendekar 212 menciumi jari-jari tangan kanannya.
"Bagaimana baunya...?" bertanya sang Datuk ingin tahu.
"Masih harum Datuk. Masih harum!" sahut Wiro. Lalu dengan nada datar seolah-olah menyesali dia berkata: "Sayang aku dan dia terpisah oleh jarak dua ratus tahun. Ah, kenapa aku tidak dilahirkan dua ratus tahun lalu...?"
                           Tamat