Ebook Wiro Sableng : Manusia Halilintar


Wiro Sableng
Pendekar kapak maut naga geni 212
Episode : Manusia Halintar
Karya : BASTIAN TITO
                       ********

https://drive.google.com/file/d/1ngkiqal1zfjyg5ZvUTpnQfcHdGkG8OaM/view?usp=sharingSATU
HUJAN TURUN DERAS, halilintar menyambar ganas dan guntur menggelegar menggoncang bumi. Dalam keadaan seperti itu Kebo Hijo terus melakukan pengejaran atas diri orang yang lari di depannya. Tubuhnya dan pakaiannya bukan saja telah basah kuyup oleh air hujan, tapi juga oleh cucuran
keringatnya sendiri. "Raih Jenar keparat!"
memaki Kebo Hijo seraya kepalkan tangan
kanannya. "Kowe boleh lari ke ujung dunia!
Boleh terbang menembus langit! Atau mencebur ke dalam laut! Tapi jangan harap kau bisa lolos!
Sebentar lagi akan kubekuk dan kupatahkan
batang lehermu! Awas kalau kotak hitam itu
tidak kau serahkan padaku!"
Orang yang dikejar larinya sebat sekali tanda
memiliki ilmu yang cukup andal. Namun Kebo
Hijo sendiri juga memiliki kepandaian. Dalam
waktu singkat dia pasti dapat mengejar orang
di depannya itu. Raih Jenar lari seperti setan.
Sesekali dia menoleh kebelakang danorang ini
memaki habis-habisan setiap Kali melihat
pengejarnya tambah dekat. Tangan kirinya menekan ke pinggang di mana
tersembunyi sebuah kotak hitam terbuat dari
batu. Tangan kanannya setiap saat meraba ke
bagian lain dan pinggang tempat dia
menyisipkan sebilah keras.
"Berani kau mendekat, kukoyak tubuhmu!"
mengancam Raih Jenar dalam hati.
Hujan tambah lebat. Kejar mengejar itu
semakin seru. Raih Jenar lari ke daerah
persawahan di kaki bukit. Sepasang kakinya
laksana terbang berlari di atas pematang
sawah yang licin. Tiba-tiba untuk kesekian
kalinya halilintar menyambar. Sekejapan
daerah persawahan itu terang benderang
menggidikkan. Kilauan kilat yang menyambar
dari langit menghunjam ke bumi jatuh tepat di
persawahan menghantam sosok tubuh Raih
Jenar yang sedang lari. Suara jeritan orang
ini tenggelam ditelan suara gelegar geledek.
Tubuhnya terkapar di pematang sawah.
Hangus gosong kehilaman! Kebo Hijo yang
berada lima belas langkah di belakang Raih
Jenar yang malang itu merasakan ada
getaran keras ketika kilat menyambar.
Tubuhnya terpental oleh dorongan satu
kekuatan dahsyat.
Dadanya mendenyut sakit. Dalam keadaan
terduduk di pematang sawah untuk beberapa
lama dia tak mampu berbuat apa-apa.
Wajahnya pucat dan sepasang matanya
melotot memandang ke arah sosok tubuh Raih
Jenar.
"Matikah si keparat itu?" Kebo Hijo bertanya
pada diri sendiri. Lalu dia ingat pada kotak
batu itu. Seolah-olah mendapat satu
kekuatan, Kebo Hijo mampu bangkit dan
melangkah bergegas mendekati tubuh Raih
Jenar yang telah jadi mayat hangus hitam.
Air hujan yang jatuh menimpa tubuh seperti
dipanggang dan melepuh panas itu
menimbulkan kepulan asap menebar bau
daging matang terbakar. Merinding bulu
tengkuk Kebo Hijo.
Dia menunggu sampai kepulan asap lenyap
dari tubuh mayat. Kemudian dengan ujung
kakinya dibalikkannya tubuh Raih Jenar
hingga terlentang.
Muka mayat itu menggidikkan untuk dilihat.
Pada bagian pinggang Raih Jenar tampak
sebilah keris yang kini hanya merupakan
sebuah benda bengkok leleh akibat hantaman
halilintar. Kebo Hijo mencari-cari. Dia tidak
melihat benda yang dicarinya itu.
"Celaka! Jangan-jangan kotak dan isinya ikut
leleh!" Memikir sampai disitu cepat-cepat
Kebo Hijo membungkuk Dan memeriksa tubuh
Raih Jenar.
Benda yang dicarinya ternyata masih terselip
di pinggang kirinya. Cepat Kebo Hijo ulurkan
tangan untuk mengambil oenda itu yakni
sebuah kotak terbuat dari batu berwarna
hitam: Tapi begitu jarinya menyentuh batu
hitam, Kebo Hijo tersentak menjerit dan tarik
tangan kanannya.
Ketika diperhatikan ternyata beberapa jari
tangannya yang tadi sempat menyentuh batu
hitam yang masih sangat panas itu kini
tampak melepuh! Kebo Hijo buka
belangkonnya. Dengan benda itu dia menciduk
air sawah. Air dalam blangkon kemudian
diguyurkannya ke atas batu hitam.
Batu yang panas itu tampak mengepulkan
asap. Setelah melakukan hal itu beberapa kali
dan batu hitam menjadi dingin baru Kebo Hijo
mengambil batu itu.
"Bukan main!" menggumam kagum Kebo Hijo.
"Keris yang terbuat dari besi pilihan saja
leleh! Tapi kotak batu ini rusak sajapun
tidak!" Dia memandang berkeliling. Di sebelah
timur, beberapa belasan tombak tampak
sebuah dangau. Kebo Hijo segera lari menuju
dangau itu. Begitu sampai di dangau kotak
batu ditelitinya. Pada bagian samping kotak
terdapat celah tipis memanjang. Itulah
batasan antara bagian bawah dan bagian
atas yang menjadi penutup kotak batu.
Dengan tangan gemetar Kebo Hijo membuka
penutup kotak. Sulit dan keras hingga Kebo
Hijo harus mengerahkan tenaga. Ketika
akhirnya kotak itu terbuka di dalamnya
tampak sehelai kain putih. Dengan tangan
gemetar mengambil kain putih itu dan
membuka lipatannya. Di atas kain putih itu
ternyata ada sederetan tulisan dalam huruf
kuno yang dapat dimengerti dan dibaca oleh
Kebo Hijo, berbunyi:
Asal manusia dari tanah, air dan api
Api dikodratkan lebih berkuasa dari kekuatan
tanah dan air.
Sumber api paling utama adalah kilat atau
petir atau halilintar.
Siapa saja manusia sakit atau sakarat,
disentuh halilintar setelah padanya dilafatkan
kata-kata hikmah dan mujarab sebanyak
10.000 kali maka kehidupan akan menjadi
miliknya kembali.
Adapun kata-kata berhikmah itu ialah:
Walakalmati - Walakilhidup
Matiwalakal - Hidupwalakil
Setelah 10.000 kata dilafatkan, usapkan kotak
batu hitam ke wajah dan tubuh orang yang
sakit atau baru mati. Maka itulah titik mula
kehidupan. Bawa dia ke tempat yang tinggi.
Letakkan batu hitam di dadanya di arah
jantung. Bila halilintar menyambar tubuhnya,
kesembuhan dan kehidupan menjadi miliknya
kembali.
Kebo Hijo merasa tegang oleh luapan
kegembiraan. Dia mendongak ke langit seraya
berteriak keras. Lalu dengan suara bergetar
dia berkata :
"Akhirnya kudapat juga batu berisi jimat
kehidupan ini! Aku akan menjadi orang sakti!
Bisa menyembuhkan orang sakit,
menghidupkan orang mati!"
Hujan masih turun dengan deras. Kebo Hijo
tak mau menunggu sampai hujan reda. Dia
sudah memutuskan untuk segera
meninggalkan tempat itu.
Kain putih kecil dilipatnya kembali lalu
dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam
kotak batu hitam. Kotak kemudian
ditutupkannya rapat-rapat lalu diselipkannya
di pinggang. Namun baru saja kotak itu
menempel di pinggangnya mendadak ada satu
suara menegur, membuat Kebo Hijo serasa
terbang rohnya saking kagetnya.
"Anak manusia! Serahkan kotak batu itu
padaku!" Kebo Hijo berpaling ke kiri. Astaga!
Disitu, di bawah hujan lebat di samping
dangau tampak berdiri seorang lelaki tua
berambut berjanggut dan berkumis putih. Dia
mengenakan jubah putih yang kuyup.
Wajahnya klimis tapi mendatangkan rasa
angker bagi siapa saja yang memandangnya
karena wajah itu putih pucat, seputih kain
kafan!
"Manusia atau hantukah mahluk ini?!"
membatin Kebo ijo.
Bagaimana mungkin dia yang berilmu sampai
tidak dapat mengetahui kemunculan orang
tua tak dikenalnya itu dan tiba-tiba saja
sudah berada di situ!
"Anak manusia, aku tidak suka mengulang
perintah sampai dua kali.
Kalau itu kulakukan berarti nyawamu ikut
kuminta!" Orang berjubah putih itu kembali
angkat bicara. Dia tidak berusaha mengindari
terpaan hujan dan terus saja tegak berbasah-
basah di tepi dangau.
"Kau, kau meminta apa tadi ..?" bertanya Kebo ijo.
"Kau tidak tuli! Sekali ini aku masih mau
memberi tahu. Setelah itu jangan harap kau
bisa berdalih! Aku minta batu hitam yang kau
ambil dari tubuh Raih Jenar!"
"Eh, bagaimana orang ini bisa tahu kalau aku
memgambil kotak batu dari Raih Jenar.
Padahal dia tak ada di sini tadi," berpikir
Kebo Hijo. Lalu dia bertanya, "Orang tua,
siapa kau ini sebenarnya?"
"Siapa aku tidak penting. Lekas serahkan
benda yang kuminta!" Lalu si jubah putih
ulurkan tangan kanannya, siap menerima
barang yang dimintanya.
"Kau keliru! Aku tidak memiliki benda yang
kau minta itu. Barang yang kau cari mungkin
masih berada pada Raih Jenar. Coba saja kau
periksa tubuhnya!" Kebo ijo menunjuk ke
arah mayat Raih Jenar yang tergeletak di
pematang sawah, lalu memutar tubuh hendak
meninggalkan tempat itu.
Si jubah putih menyeringai. Tangan kirinya di
ulurkan memegang bahu Kebo ijo. Pegangan
itu biasa-biasa saja, tapi Kebo ijo merasa
seperti ada gundukan batu besar yang
menindih tubuhnya hingga dia keberatan dan
tak bisa bergerak.
"Seperti katamu, mungkin aku perlu memeriksa
mayat Raih Jenar. Tapi ketahuilah, hari ini
bakalan ada dua mayat di tempat ini." Orang
tua itu memutar tubuh, bersikap seperti
benar-benar hendak pergi mendekati tubuh
Raih Jenar. Namun sebelum tubuhnya
terputar penuh, tiba-tiba sekali tangan
kananya bergerak ke arah batok kepala Kebo ijo.
Praakkk!
Kepala Kebo ijo rengkah. Darah dan cairan
otak muncrat. Tubuhnya rebah ke lantai
dangau tak berkutik dan tak beryawa lagi!
Di langit kilat menyambar dan geledek
menggemuruh. Si jubah putih menyeringai
sambil usap janggul putihrrya. Dengan tangan
kirinya dia menyibakkan pakaian Kebo Hijo.
Kotak batu hitam yang terselip di pinggang
Kebo Hijo disambamya. Lalu dia tinggalkan
tempat itu sambil keluarkan suara tawa
mengekeh. Dalam waktu singkat sosok
tubuhnya telah lenyap di kejauhan dibawah
hujan yang masih mendera lebat.



DUA
KI DUKUN TAMBAK RESO membuka kedua
mata dan turunkan sepasang tangannya yang
bersidekap di depan dada ketika di pintu
terdengar ketukan.
"Siapa ..?!" tanyanya.
"Saya, Gusdur. Pembantumu..." terdengar
jawaban.
"Jika kau datang membawa apa yang
kuinginkan kau boleh masuk. Jika tidak, harap
pergi saja dan jangan kembali sebelum kau
mendapatkan apa yang kuminta!"
"Saya memang datang membawa apa yang Ki
Dukun perintahkan. Saya memanggul seekor
anak rusa yang sakarat diterkam harimau!"
"Kalau begitu kau boleh masuk!"
Pintu tampak di dorong. Terdengar suara
berkereketan. Lalu masuk sesosok tubuh
lelaki, pendek tetapi tegap berotot. Orang ini
hanya mengenakan sehelai celana pendek
hitam sebatas lutut. Dia memanggul seekor
anak rusa yang robek leher serta dadanya.
Binatang ini tengah sakarat, beberapa saat
lagi pasti mati. Darah mengalir dari luka di
tubuh anak rusa dan membasahi bahu,
punggung serta dada Gusdur.
"Letakkan binatang itu dihadapanku!" Orang
tua berjubah putih bernama Ki Dukun Tambak
Reso memerintah lalu menarik sehelai tikar
kulit dan menariknya kehadapannya.
Gusdur menurunkan anak rusa dari bahunya
lalu meletakkan binatang itu di atas tikar
kulit. Ki Dukun memberi isyarat agar si
pembantu duduk di sudut ruangan.
"Dua pumama aku menunggu dan menyiapkan
diri. Sekarang baru kudapat mahluk yang bisa
dijadikan peroobaan. Mudah-mudahan hujan
dan kilat datang tepat pada waktunya." Habis
berkata begitu Ki Dukun Tambak Reso
keluarkan sebuah benda dad saku jubahnya.
Benda initernyata adalah sebuah kotak yang
terbuat dad batu berwarna hitam. Kotak batu
di buka dan sehelai kain putih terlipat
dikeluarkannya dari dalam kotak lalu
dikembangkannya di atas pangkuan. Pada
kain putih itu tertera tulisan kuno berbunyi:
Walakalmati Walakalhidup—Matiwalakal
Hidupwalakil.
Dengan suara perlahan-lahan Ki dukun mulai
membaca kata-kata itu berulang kali tiada
henti-hentinya. Matanya sedikit demi sedikit
terpejam, kepalanya bergoyang-goyang.
Gusdur si pembantu memperhatikan dari sudut
ruangan. Dia tak berani bergerak, bahkan
berkesippun jarang-jarang.
Ada rasa ngeri didalam hatinya. Dia tidak
mengerti mengapa tiba-tiba saja dia merasa
begitu.
Siang berganti sore dan sore mulai memasuki
malam. Tambak Reso masih terus melafatkan
kata-kata Walakalmati Walakalhidup—
Matiwalakal - Hidupwalakil. Suaranya tidak
berubah sedikitpun tanda hati dan pikirannya
sangat yakin atas apa yang tengah
dikerjakannya saat itu.
Dia seperti tidak menyadari kedatangan
malam bahkan ketika di luar sana angin
kencang bertiup, udara menjadi dingin dan
hujan mulai turun disertai gelegar guntur dan
halilintar dia masih saja terus melafatkan
kata-kata berhikmah itu.
Hujan masih terus turun, guntur masih
menggelegar dan kilat masih menyambar
ketika Ki Dukun Tambak Reso selesai
melafatkan 10.000 kali rangkaian empat kata
bertuah itu. Tubuh dan jubahnya basah oleh
keringat.
Perlahan-lahan orang tua ini bukakan kedua
matanya. Sesaat dia menatap tubuh anak
rusa di atas tikar kulit. Kain putih di atas
pangkuan dilipat, dimasukkan ke dalam kotak
batu lalu kotak di tutup kembali.
Dengan kotak batu itu Ki Dukun Tambak Reso
kemudian mengusap kepala dan sekujur tubuh
anak rusa, termasuk ke empat kakinya. Lalu
cepat-cepat kotak batu dimasukkan ke dalam
jubahnya.
"Gusdur!"
Pembantu yang hampir terlelap di sudut
ruangan tersentak kaget, cepat-cepat
membungkuk seraya menyahuti, "Saya Ki
Dukun..."
"Aku akan meninggalkan tempat ini menuju ke
bukit Jati Arang..."
"Di luar masih hujan lebat Ki Dukun,"
mengingatkan Gusdur.
Maksudnya baik. Tapi si orang tua cepat
menukas.
"Kau tak layak menasihatiku!"
"Maafkan saya Ki Dukun…" ujar Gusdur seraya
membungkuk berulang kali.
"Ingat semua pesanku Gusdur! Jangan
tinggalkan rumah ini selama akupergi. Jangan
menerima tamu siapapun walaupun seorang
malaikat! Dan jangan ceritakan pada siapapun
apa yang telah kau lihat di tempat ini!
Termasuk kepergianku ke bukit Jati Arang.
Kau ingat apa hukumannya jika kau berani
melanggar pesan dan perintahku?!"
"Saya ingat Ki Dukun dan saya tak akan
melanggamya," jawab Gusdur pula. Lalu
dilihatnya Ki Dukun Tambak Reso mencekal
leher anak rusa yang saat itu sudah mati,
melangkah ke pintu lalu lenyap ditelan
kegelapan malam dan hujan lebat di luar
sana. Sesaat udara dingin merambas masuk
ke dalam rumah membuat Gusdur menggigil
kedinginan. Buru-buru dia menutupkan pintu
dan memasang palangnya sekaligus.
Kuduknya merinding ketika matanya
membentur noda-noda darah pada tikar kulit
bekas tempat anak rusa itu digeletakkan.
Beberapa lamanya Gusdur melangkah
mundar-mandir di ruangan itu. Dia selalu
dibayangi oleh pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dalam hatinya. Apa sebenarnya yang
tengah dilakukan oleh Ki Dukun. Mengapa
pula dia malam-malam hujan lebat begitu
pergi ke bukit Jati Arang?
Selama ini dia memang sering melihat
perbuatan-perbuatan aneh dilakukan orang
tua itu. Namun tak ada yang seaneh kali ini.
Karena keletihan Gusdur membaringkan
dirinya di pojok ruangan. Baru saja dia
melunjurkan kaki tiba-tiba ada yang mengetuk
pintu, membuatnya terkejut dan memaki
setengah mati. Dia tegak dan melangkah
mendekati pintu.
"Siapa?!" bertanya Gusdur.
"Aku..." Ada suara menjawab diantara deru
hujan dan angin di luar sana.
"Aku siapa?! membentak Gusdur.
"Aku kesasar dan kemalaman di jalan! Aku
ingin berteduh! Tolong bukakan pintu!
Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan...!"
"Rumah ini bukan tempat berteduh! Apalagi
untuk orang kesasar. Cari saja tempat yang
lain...!" ujar Gusdur pula.
"Sobat, jangan begitu! Aku sudah sudah
basah kuyup dan kedinginan setengah mati!
Aku sudah berkeliling, tapi rumah ini satu-
satunya bangunan di daerah ini!" Orang diluar
sana mendesak.
"Aku tidak kenal padamu! Tak ada kewajiban
bagiku untuk menolong! Lagi pula aku tidak
mau melanggar pesan majikanku pemilik
rumah ini!"
"Eh, apa sih pesan majikanmu itu?!" orang di
luar sana bertanya. Gusdur hendak memaki
tapi lelaki pendek kekar ini menjawab juga.
"Aku tidak diperkenankan bicara dengan
siapapun! Apalagi kalau sampai membawa
masuk seseorang ke dalam rumah ini!"
"Apakah majikanmu ada di rumah saat ini?"
"Tidak. Dia sedang pergi..."
"Nah, kalau dia sedang pergi kenapa takut?
Dia tak akan mengetahui kedatanganku di
rumah ini! Nah, bukalah pintu!"
"Pergi saja! Aku tak bisa menolongmu!"
"Kalau begitu pintu rumah akan kubobol
paksa. Kalau majikanmu melihat pintu ini
rusak, kau pasti akan dihukumnya! Kaupilih
mana? Menolongku atau kena damprat
majikanmu ..?! Ha..ha..ha..!"
"Kurang ajar! Berani kau memaksa dan
mendesak aku! Ingin kulihat bagaimana
tampangmu!" Gusdur menurunkan palang
pintu lalu membuka pintu. Bersamaan dengan
menyeruaknya udara dingin dari luar,
melompat masuk ke dalam rumah seorang
lelaki dalam keadaan basah kuyup.
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian
putih berambut gondrong. Baik rambutnya
yang gondrong maupun pakaiannya basah
kuyup dan tetesan-tetesan air dari tubuh serta
pakaian pemuda ini jatuh ke bawah
mambasahi lantai.
"Kau maling atau rampok atau apa?! Lekas
kau tinggalkan rumah ini! Aku tak mau
menjadi susah karena kehadiranmu disini!"
Melihat pemuda itu tetap saja tegak malah
sambil menyeringai dan garuk-garuk kepala,
Gusdur jadi gusar. Dia segera menyambar
palang pintu dan siap menghantam si pemuda
dengan benda itu.
"Sobat, sabar dulu! Jangan cepat saja
mengemplang orang!" berkata si pemuda
seraya mengangkat tangan kanannya. Tiba-
tiba saja Gusdur merasa palang pintu yang
dipegangnya menjadi berat luar biasa. Karena
tak kuat memegangnya lagi, lelaki pendek ini
terpaksa menurunkan palang pintu itu ke
lantai.
"Sahabat, aku tahu kau orang baik. Siapa sih
nama majikanmu pemilik rumah ini?!"
bertanya si pemuda.
Menyangka bila diberi tahu nama majikannya
si pemuda akan menjadi takut dan buru-buru
tinggalkan tempat itu maka dengan suara
keras Gusdur memberi tahu. "Majikanku
adalah Ki Dukun Tambak Reso!
Dukun sakti yang terkenal di mana-mana!
Siapa saja yang berani berlaku kurang ajar
terhadapnya pasti akan menyesal seumur
hidup. Pemuda macammu ini mudah sekali
dibuatnya menjadi seorang pikun atau lumpuh
seumur-umur!"
"Wah, wah, hebat sekali majikanmu yang
dukun itu. Tapi aku kan tidak berlaku kurang
ajar padanya?!"
"Tidak berlaku kurang ajar katamu?! Buktinya
saat ini kau memasuki rumahnya tanpa
izinnya." tukas Gusdur jengkel dan marah.
Pemuda berambut gondrong itu kucak-kucak
rambutnya yang basah. Sambil tertawa dia
berkata. "Sobat, bukankah tadi kau sendiri
yang membuka pintu rumah..?!"
Mendengar ucapan itu Gusdur hanya bisa
pelototkan mata. Si pemuda memandang geli
padanya dan bertanya, "Benar majikanmu Ki
Dukun Tambak Reso dan ini rumahnya?!"
"Kau kira aku berdusta? Tunggu sajalah
sampai dia muncul! Begitu kau dilihatnya
celakalah nasibmu!"
Mendengar ucapan Gusdur itu dalam hatinya
si pemuda berkata, "Hem… jadi benar rupanya
keterangan yang kudapat..." Dia menatap
tampang Gusdur sesaat lalu bertanya, "Di
mana majikanmu sekarang?!"
"Kau bunuhpun aku tak akan memberi tahu!"
sahut Gusdur.
"Aku tidak akan membunuhmu, pendek! Tapi
mungkin akan menangkapmu. Juga
majikanmu!"
Mendengar kata-kata pemuda itu Gusdur jadi
agak terkejut. "Siapa kau ini sebenarnya?!"
"Namaku Wiro. Aku adalah salah seorang
Kepala Perajurit Keraton!"
"Aku tidak percaya!" ujar Gusdur. "Kalau kau
memang alat Kerajaan mengapa tidak
mengenakan pakaian seragam? Dan
rambutmu yang gondrong! Mana ada perajurit
berambut gondrong sepertimu!"
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212
Wiro Sableng menyeringai. "Dengar,
sebenarnya ini adalah rahasia. Tapi karena
aku menganggapmu sebagai seorang kawan
maka aku akan katakan padamu. Aku sengaja
menyamar. Aku tengah melakukan perjalanan
rahasia untuk menangkap orang-orang jahat
dan kaki tangan pemberontak! Kalau kau tidak
mau bekerjasama, jangan heran kalau malam
ini juga kau bisa kuseret ke Kotaraja!"
"Edan! Aku bukan penjahat, apalagi
pemberontak!" kata Gusdur setengah berteriak.
"Kau kuanggap orang jahat jika tidak mau
mengatakan di mana majikanmu..."
"Benar-benar edan! Ki Dukun akan
menghajarku habis-habisan jika alau berani
menceritakan di mana dia berada!"
"Kenapa dia menghajarmu? Berarti ada
rahasia yang tidak beres di tempat ini!" ujar
Wiro seraya menatap tajam pada Gusdur.
"Kau mau bicara terang-terangan atau
bagaimana?!" Nada suara Wiro keras
mengancam.
Gusdur jadi agak takut. Namun rasa takutnya
terhadap Ki Dukun Tambak Reso jauh lebih
besar. Maka diapun berkata, "Pemuda rambut
gondrong! Paling tidak aku telah memberi
kesempatan padamu untuk berteduh. Sekarang
tinggalkan rumah ini!"
"Aku tidak akan pergi sebelum kau
menceritakan rahasia menyangkut diri
majikanmu!" sahut Wiro lalu rangkapkan
kedua tangan di depan dada dan mulutnya
menyeringai dimonyong-monyongkan.
Gusdur jadi kalap. "Jika begitu katamu, kau
rasakan ini!" Lalu dia menyambar palang
pintu. Seperti tadi dia kembali hendak
mengemplang Wiro dengan kayu itu. Tapi
lagi-lagi dia mendadak merasakan palang
pintu itu menjadi berat hingga dia tidak kuat
mengangkatnya. Terpaksa dia lepaskan dan
palang pintu jatuh ke lantai. Kini barulah
Gusdur sadar kalau dia berhadapan dengan
seorang berkepandaian tinggi. Mungkin sama
tinggi kepandaiannya dengan Ki Dukun. Maka
dengan suara rendah dia berkata, "Orang
muda, jangan pergunakan kesaktianmu untuk
membuat susah orang kecil sepertiku.
Pergilah..."
Wiro pegang bahu Gusdur seraya berkata,
"Aku mana tega membuatmu susah. Justru
aku akan memberikan kesaktian padamu jika
kau mau bicara banyak tentang Ki Dukun.
Juga mengatakan di mana dia berada saat
ini!"
"Kesaktian? Kesaktian apa..?" tanya Gusdur
terheran-heran.
"Lihat ini!" ujar Wiro seraya luruskan jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Lalu ke dua ujung jati itu ditekankan ke
lantai.
Terdengar suara berderak. Perlahan-lahan
ujung dua jari itu masuk menembus lantai
kayu yang berlubang! Tentu saja Gusdur jadi
melengak kagum melihat kejadian itu.
"Kau juga bisa melakukan seperti yang
barusan kulakukan. Cobalah!" ujar Wiro.
Meski tidak percaya tapi si pembantu lakukan
juga apa yang dikatakan Wiro. Kedua jarinya
diluruskan lalu ditusukkan ke lantai kayu.
Gusdur terpekik kesakitan dan kibas-kibaskan
tangan kanannya.
"Dusta besar!" teriaknya marah.
Wiro tertawa. "Untuk dapat menembus lantai
kayu dengan dua jarimu, tubuhmu perlu diisi
dengan kesaktian lebih dahulu. Aku bersedia
memberikannya tapi ada syaratnya, sobatku!
Tidak sulit syaratnya. Ceritakan di mana
majikanmu sekarang. Apa yang dilakukannya
selama ini. Dan ..." Wiro menoleh ke arah
tikar kulit di lantai." Darah apa yang melekat
di tikar kulit itu...?"
Gusdur tampak bingung tapi juga berpiki-
rpikir. Dia sangat takut terhadap Ki Dukun
majikannya itu. Tapi jika dia nanti memiliki
kesaktian, apakah masih perlu takut?
Pembantu ini akhirnya memilih kesaktian.
Maka diapun berpaling pada Wiro dan
berkata, "Baik, asalkan kau tidak menipuku
aku bersedia menjawab semua apa yang kau
minta. Tapi berikan kesaktian itu lebih dulu,
baru kau mendapat keterangan dariku."
Wiro anggukkan kepala, melangkah mendekati
Gusdur dan genggam tangan kanan lelaki
pendek itu dengan tangan kanannya.
Beberapa saat berlalu. Gusdur merasakan ada
aliran hangat memasuki jari-jari tangannya,
terus ke telapak, terus ke lengan dan berhenti
sampai di batas siku.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Wiro
"Ada hawa hangat menjalar ke tanganku..."
"Bagus. Kau sudah jadi orang sakti sekarang!"
Gusdur ternganga, tak percaya.
"Coba tusuk lagi lantai itu! Kau akan melihat
buktinya!" ujar Wiro.
Gusdur merasakan dadanya berdebar. Dia
luruskan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanannya. Lalu... kedua jari itu ditusukkan ke
lantai kayu.
Kraak!
Dua jari tangan Gusdur masuk. Ketika ditarik,
di lantai kayu tampak lubang. Sepasang mata
Gusdur terbelalak. Dia melompat dan hampir
saja berteriak saking girangnya. "Aku jadi
orang sakti! Aku jadi orang sakti...!" desahnya
dan berpaling pada Wiro sambil kepalkan
tangan kanan dan acungkan tinggi-tinggi ke
atas.
"Kau sudah memiliki kesaktian. Sekarang
tepati janjimu..." berkata Wiro.
"Akan kutepati. Aku Gusdur berterima kasih
padamu. Aku akan menganggapmu sebagai
guru! Janji akan kutepati. Aku akan
memanggilmu guru! Guru, dengar. Aku akan
menceritakan semuanya padamu. Bahkan
kalau kau suka, aku akan antarkan kau ke
tempat dimana saat ini Ki Dukun Tambak
Reso berada! Kau tahu guru, orang tua itu
tengah mengamalkan satu ilmu kesaktian
hebat luar biasa. Dengan ilmunya itu dia bisa
menyembuhkan orang sakit, bahkan
menghidupkan mahluk yang sakarat atau
sudah mati..."
"Hem, sungguh luar biasa jika itu betul.
Agaknya semua keterangan yang kudapat
sebelumnya memang cocok dengan apa yang
aku dengar dari orang ini." Wiro membatin.
Lalu pada Gusdur dia anggukkan kepala
seraya berkata. "Antarkan aku ke tempat Ki
Dukun itu berada. Sambil jalan kau bisa
menerangkan segala sesuatu tentang diri dan
ilmu kesaktiannya itu."
Gusdur balas mengangguk. Lalu mendahului
melangkah menuju pintu.


TIGA
UNTUK MENCAPAI puncak bukit Jati Arang
tidak mudah. Apalagi saat itu malam gelap
gulita dan hujan turun dengan deras ditambah
udara dingin bukan kepalang. Dulunya bukit
itu merupakan bukit yang penuh ditumbuhi
pohon-pohon jati yang sudah berusia puluhan
tahun. Suatu ketika terjadi kebakaran hutan,
bukit beserta pohon-pohon jatinya ikut
terbakar musnah, berubah menjadi bukit
tandus penuh bebatuan hitam dan gersang.
Sejak itu bukit ini disebut orang sebagai bukit
Jati Arang.
Gusdur berjalan di sebelah depan. "Kesaktian"
yang didapatnya dari sang "guru" membuat
lelaki pendek bertubuh kekar ini mendaki bukit
penuh semangat walaupun dengan susah
payah. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti
dari belakang.
Hujan agak mereda, tetapi guntur masih
menggelegar dan kilat masih sambung
menyambung ketika mereka akhirnya sampai
di puncak bukit. Gusdur berhenti di balik
sebuah batu besar lalu menunjuk ke arah atas
di mana terdapat sebuah batu besar
berbentuk hampir datar. Di depan batu datar
yang terpisah beberapa belas tombak itu
tampak berdiri seorang tua berjanggut putih,
berpakaian jubah putih dalam keadaan basah
kuyup. Gusdur menunjuk ke arah orang itu
lalu berbisik pada Wiro.
"Itu Ki Dukun Tambak Reso. Lihat apa yang
tengah dilakukannya..."
Wiro memang sudah sejak tadi melihat orang
di puncak bukit itu, jauh sebelum Gusdur
memberi tahu. Orang ini duduk bersila di atas
batu datar.
Di atas batu di hadapannya menggeletak
sosok tubuh anak rusa yang sudah jadi
bangkai. Untuk beberapa lamanya orang
berjubah ini duduk menundukkan kepala
berdiam diri, mungkin tengah membaca
mantera atau hanya sekedar mengkhusus-kan
diri. Kemudian tampak dia mengambil
sesuatu dari saku jubahnya. Benda ini
diletakkannya di atas tubuh anak rusa yang
mati, di bagian dada, tepat di arah jantung.
Sesaat dia menatap bangkai bintang itu
dengan dada berdebar. Dia memandang
berkeliling; lalu turun dari batu datar,
melangkah mundur sejauh dua belas langkah.
Gusdur menyentuh lengan Wiro seraya
berbisik, "Yang diletakkannya tadi di atas
tubuh rusa, itulah batu aneh yang kuceritakan
padamu..."
Wiro mengangguk sambil meletakkan jari
telunjuknya di atas bibir, memberi tanda agar
Gusdur jangan bicara karena saat itu Ki
Dukun berada dekat sekali dengan batu besar
dibalik mana mereka bersembunyi. Di
kejauhan terdengar guntur menggelegar.
Menyusul sambaran kilat di langit. Suara
guntur lagi, kini makin dekat dan keras
menggetarkan puncak bukit Jati Arang. Lalu
halilintar berkiblat dahsyat, menerangi puncak
bukit. Ujungnya menghujam ke bawah,
menghantam batu datar dimana anak rusa
berada. Batu datar dan tubuh anak rusa itu
sedikitpun tidak bergeming, padahal Ki Dukun
Tambak Reso nampak terbanting jatuh duduk
ke tanah. Begitu juga Gusdur dan Wiro
Sableng yang sembunyi di belakang batu
besar, keduanya rubuh terduduk!
Perlahan-lahan Ki Dukun berdiri sambil kedua
matanya memandang tak berkesip ke arah
batu datar. Malah kini dengan debaran
jantung lebih keras dia melangkah mendekati
batu itu. Ada asap tipis menyelubungi tubuh
anak rusa di atas batu. Asap ini membubung
ke atas lalu lenyap. Di atas batu anak rusa
yang jelas-jelas sudah jadi bangkai alias mati
tampak menggerakkan dua kaki belakangnya.
Menyusul dua kaki depannya ikut bergerak. Ki
Dukun kini merasakan bukan saja jantungnya
yang berdebar keras, tapi seluruh tubuhnya
ikut bergetar oleh goncangan luapan
kegembiraan bercampur rasa hampir tidak
percaya melihat kenyataan itu.
Dari tempatnya berdiri dia melihat anak rusa
membukakan kedua matanya Luka di tubuh
binatang ini tampak meninggalkan bekas
hitam. Tiba-tiba terdengar anak rusa ini
menguik! Lalu binatang ini melompat dan
tegak di atas batu datar. Sesaat memandang
kian kemari.
"Sungguh luar biasa! Di mana ada mujizat dan
keajaiban seperti ini! Dan aku Ki Dukun
Tambak Reso yang melakukannya!" begitu si
orang tua jubah putih berucap pada dirinya
sendiri. Dia melangkah lebih dekat ke batu
besar. Anak rusa di atas batu itu memandang
ke arahnya. Sesaat kemudian, sebelum Ki
Dukun melangkah lebih dekat, binatang ini
melompat dari atas batu, menghambur dalam
kegelapan dan lenyap!
Untuk beberapa lamanya Ki Dukun dan juga
Wiro serta Gusdur menatap ke arah gelap di
jurusan menghilangnya anak rusa tadi. Di
depan batu datar, Ki Dukun kemudian tampak
membungkuk untuk mengambil batu kotak
batu hitam yang tadi terlempar jatuh sewaktu
anak rusa melompat bangun dari
kematiannya!
Di balik batu Gusdur berkata, "Aku harus
kembali sekarang juga sebelum Ki Dukun
sampai. Jika dia mendapatkan aku tak ada di
rumah, apalagi sampai mengetahui aku ada di
sini aku bisa celaka. Aku pergi sekarang..."
Wiro mengangguk. Gusdur balikkan tubuh lalu
cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Begitu
Gusdur lenyap, Ki Dukun tampak beranjak dari
tempatnya setelah lebih dulu menyimpan
baik-baik kotak batu hitam ke dalam saku
jubahnya. Saat dia hendak melangkah pergi
dalam luapan kegembiraan dan ketakjuban
yang tiada henti-hentinya, saat itulah
Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari balik
batu dan melangkah ke hadapannya.
Tentu saja Ki Dukun Tambak Reso sangat
terkejut ketika tiba-tiba melihat ada seorang
pemuda tak dikenal muncul di hadapannya di
bawah hujan dan gelapnya malam serta
dinginnya udara di puncak bukit itu. Serta
merta dia hentikan langkah dan memandang
meneliti. Dia tidak kenal pemuda di depannya
ini. Perasaan curiga dan tidak enak menjadi
satu bercampur rasa marah karena menyadari
rupanya ada orang lain di tempat ini.
"Sejak berapa lama keparat ini berada di
tempat ini? Apakah dia mengetahui dan
menyaksikan apa yang telah kulakukan?
Melihat apa yang aku kerjakan?" Ki Dukun
bertanya-tanya dalam hati.
"Orang muda! Siapa kau?!" Ki Dukun Tambak
Reso membentak.
Suaranya terdengar garang dibawah hujan
lebat, tatapan matanya membersitkan
kemarahan. Dibentak keras-keras seperti itu
murid Sinto Gendeng sesaat jadi terkesima.
Ada kekuatan aneh dalam diri orang tua ini,
termasuk dalam suaranya. Meskipun
terkesima, namun dalam hatirya Wiro
bertanya-tanya pula apakah dia akan
menjawab terus terang siapa dirinya,
mengutarakan maksud kemunculannya di
tempat itu atau lebih dulu coba
mempermainkan si jenggot putih Irn.
"Orang tua, kau datang ke puncak bukit Jati
Arang ini tanpa permisi tanpa izin. Sungguh
lancang dan ceroboh tindakanmu!"
Kini Ki Dukun itulah yang terkesima
mendengar ucapan orang. "Tanpa permis?
Tanpa izin...? Minta permisi dan izin pada
siapa...?! Apa maksudmu?!"
"Minta izin dan permisi padaku! Karena
akulah penguasa dan pemilik bukit Jati Arang
ini!" sahut Wiro seraya renggangkan kedua
kaki dan tangkapkan kedua tangan di depan
dada.
Mendengar ucapan itu Ki Dukun Tambak Reso
keluarkan suara tertawa bergelak. "Puluhan
tahun aku tinggal di daerah ini! Baru malam
ini aku mendengar kalau bukit Jati Arang ada
pemiliknya, ada penguasanya! Kau melantur
atau kau sebenarnya memang seorang berotak
tidak waras?!"
"Kau berani menghina dan bermulut kotor
pada penguasa bukit Jati Arang! Berarti kau
sudah pasrah tubuhmu dijadikan arang!
Kecuali..."
"Kecuali apa?!" sentak Ki Dukun Tambak Reso
seraya kepalkan kedua tinjunya.
Wiro tak segera menjawab, melainkan
menyeringai lebih dulu lalu memencongkan
mulutnya baru berkata: "Kecuali jika kau
menyerahkan kotak terbuat dari batu hitam
itu!"
"Hem ...itu rupanya maksud kehadiranmu di
sini!" Karena maklum orang sudah
mengetahui kalau kotak batu itu ada padanya
Ki Dukun tak mau berdalih. Maka diapun
bertanya, "Hak apa kau meminta benda itu?!"
"Karena kau ditakdirkan tidak sebagai
pemiliknya. Benda itu merupakan salah satu
barang pusaka yang paling rahasia dari
Keraton. Jadi harus dikembalikan pada
Kerajaan!"
"Penipu besar! Aku yakin kau seorang rampok
yang memakai dalih Keraton dan kerajaan!
Dengar! Jika kau ingin selamat lekas minggat
dari hadapanku!" Ki Dukun mengancam
dengan kepalkan tinju dan beliakkan kedua
mata.
Dari balik pakaiannya Wiro Sableng
mengeluarkan sebuah benda bulat berwarna
putih berkilat terbuat dari perak murni.
Melihat benda itu Ki Dukun Tambak Reso jadi
terkejut. Itu adalah cap Kerajaan yang
dituangkan di atas lempengan perak bulat.
Dan merupakan suatu pertanda bahwa siapa
saja yang memegangnya berarti benar-benar
tengah menjalankan suatu tugas sangat
penting dan sangat, rahasia dari Kerajaan!
Tapi apapun alasan dan siapapun adanya
Wiro, tentu saja orang tua itu tidak mau
menyerahkan percuma kotak batu yang telah
dimilikinya. Apalagi dia sudah punya rencana
besar dalam otaknya. Dengan memiliki batu
mijijat itu dia bisa menjadi seorang besar
paling berkuasa, malah lebih berkuasa dari
Raja! Dia bisa menjadi seorang Raja Diraja!
"Orang muda, kau boleh menunjukkan seribu
tanda apapun padaku! Tapi tak akan aku
menyerahkan kotak batu hitam itu padamu!
Nah, silahkah pergi!"
Ketika dilihatnya Wiro tidak bergerak dari
tempatnya malah cengar-cengir seenaknya, Ki
Dukun jadi jengkel. Tapi ada semacam kisikan
dalam hatinya agar tidak membuat keributan
atau silang sengketa dengan pemuda ini.
Maka dengan cepat dia memutar tubuh lalu
berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun
baru enam langkah bertindak, tahu-tahu si
pemuda sudah berada dihadapannya,
menghadang, lagi-lagi sambil menyeringai!
Ki Dukun Tambak Reso berkelebat ke jurusan
lain. Tapi sesaat kemudian dia kembali
dapatkan dirinya dihadang oleh si pemuda.
Dia mencoba sekali lagi, tetap saja pemuda
itu berhasil mencegatnya. Kini marahlah Ki
Dukun. Dengan suara bergetar dia membentak
keras. "Orang muda, kau mencari penyakit
sendiri! Rasakan bekas tanganku!"
Orang tua itu hantamkan tangan kanannya ke
depan, melabrak ke arah dada. Wiro cepat
menangkis, malah dia berhasil menangkap
lengan lawan. Tapi ketika dia memperhatikan,
yang ditangkapnya ternyata sepotong ranting
kayu.
"Ilmu sihir gila!" teriak Wiro dalam hati.
Memandang ke depan dilihatnya si orang tua
sudah berada di kejahuan, lari menuruni bukit
dengan cepat. Dengan geram Pendekar 212
segera mengejarnya. Ternyata Ki Dukun tak
bisa lari jauh. Dalam waktu sesaat saja dia
sudah terkejar dan kembali jalannya
terhadang!
"Hem, rupanya peringatanku tadi tidak
membuatmu jera!" kertak Ki Dukun geram.
"Kau minta mampus maka mampuslah!" Habis
berkata begitu Ki Dukun Tambak Reso
jatuhkan tubuhnya hingga tergelimpang di
tanah di hadapan Wiro. Menyangka lawan
hendang menelikungnya,
Pendekar 212 cepat hantamkan tumitnya ke
depan. Tapi dia mendadak sontak jadi
tergagap kaget ketika yang hendak
ditendangnya itu tiba-tiba telah berubah
menjadi seekor ular besar yang siap untuk
melilitnya! Pendekar 212 melompat ke atas
dan dari atas lepaskan satu pukulan
mengandung tenaga dalam panas. Binatang
jejadian itu menggeliat dan mental beberapa
tombak lalu lenyap di bawah hujan lebat.
"Dukun sihir sialan! Kau mau lari kemana!"
rutuk Wiro. Memandang ke depan dilihatnya
Ki Dukun Tambak Reso telah berada jauh di
sebelah kiri; tengah melompat dari atas
sebuah batu. Murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini lepaskan pukulan kunyuk
melempar buah. Angin deras menderu,
menghantam batu besar di mana Ki Dukun
tampak berdiri siap melompat. Batu itu
hancur berantakan. Wiro memburu. Ketika dia
sampai di tempat itu sang dukun sudah
lenyap!
"Setan alas!" maki Wiro sambil satu tangan
mengepal, satu lainnya menggaruk-garuk
kepatanya yang basah kuyup.
***
Hari telah lama siang. Di dalam rumah
Gusdur menunggu kedatangan sang majikan.
Dia tak tahu kalau Ki Dukun Tambak Reso tak
akan pernah kembali ke rumahnya. Setelah
kejadian di puncak bukit Jati Arang orangtua
ini menyadari bahwa kotak batu hitam yang
ada padanya merupakan suatu benda yang
dicari dan dikejar oleh banyak orang.
Termasuk pemuda berambut gondrong yang
mendapat tugas khusus dan rahasia dad
Kerajaan itu. Apa gunanya dia kembali ke
tempat kediamannya kalau akan
menjadiincaran dan kejaran orang? Begitulah
akhirnya malam itu juga Ki Dukun Tambak
Reso memutuskan untuk tidak kembali ke
rumahnya. Ketika perutnya mulai lapar dan
hari bertambah siang sedang sang dukun tak
juga muncul, Gusdur ingat akan kesaktian
yang kini dimilikinya. Timbul niat untuk
mencoba kesaktian itu kembali. Dia berlutut di
lantai, luruskan dua jari tangan kanannya lalu
ditusukkan ke bawah. Begitu jarinya
menghantam lantai, langsung Gusdur menjerit
kesakitan. Lantai itu bukan saja tidak tembus
dan berlubang tapi kedua tulang jarinya
hampir patah dan sakitnya bukan kepalang.
"Hai! Kenapa jadi tidak mempan? Kenapa jari-
jariku jadi sakit begini?!" ujarGusdur kesakitan
dan terheran-heran. Dipijit-pijitnya kedua
jarinya yang sakit itu. Meskipun sakit tapi
karena ingin hendak mencoba lagi maka dia
kembali tusukkan kedua jarinya ke lantai
papan. Untuk kedua kalinya pula si pendek ini
menjerit kesakitan seraya kibas-kibaskan
tangan kanannya.
"Tidak mempan! Kesaktianku lenyap! Si Gondrong itu pasti telah menipuku! Kurang ajar! Sialan!"


EMPAT
EMPAT ORANG TUA ahli pengobatan tegak di
sekeliling tempat tidur. Di kepala tempat tidur
besar berdiri mapatih Kerajaan yang berusia
hampir tujuh puluh tahun yaitu Damar
Waruseto.
Di atas tempat tidur terbaring sosok tubuh Sri
Baginda. Wajahnya putih pucat, tubuhnya
sangat kurus hingga tampak hampir sama
rata dengan tempat tidur. Sepasang matanya
menatap ke langit-langit kamar, memandang
dingin dan kosong. Telah hampir dua purnama
Sri Baginda berada dalam keadaan seperti itu.
Sakit yang dideritanya tak kunjung diketahui,
karenanya sulit mencarikan obat yang tepat.
Jelas sakit Sri Baginda tidak bersangkut paut
dengan sakit yang biasa diderita karena ada
yang tidak beres dengan tubuh kasar. Sakit
Raja kali ini berkaitan erat dengan hal-hal
yang lebih bersifat gaib.
Bibir Sri Baginda tampak bergerak. Tak ada
suara yang keluar. Tapi semua orang yang
ada disitu segera maklum kalau Raja minta
diberi minum. Maka salah seorang dari ahli
pengobatan itu segera mengambil sebuah
gelas besar berisi air putih, dua lainnya
menolong menegakkan kepala Raja. Hanya
seteguk yang bisa lewat di tenggorokan Sri
Baginda.
Memang hanya air putih itu sajalah menjadi
pengisi perutnya sejak tiga minggu lalu ketika
dia mulai tak bisa makan dan sulit minum.
Ketika sepasang mata Sri Baginda mulai kuyu
dan merapat tanda dia mulai memasuki alam
tidur, mapatih Damar Waruseto memberi
isyarat, lalu keluar dari kamar tidur Sri
Baginda. Empat orang tua ahli pengobatan
segera mengikuti. Mereka masuk ke dalam
sebuah ruangan disamping kamar Raja. Pada
seorang pengawal mapatih membisikkan
sesuatu. Tak lama kemudian pengawal ini
muncul kembali bersama seorang lelaki tua
berpakaian biru. Meskipun sudah tua tapi
orang ini memiliki tubuh tegap liat.
Gerakannya lincah penuh wibawa dan mantap.
Dia adalah Gombong Pengestu, salah seorang
yang dulunya merupakan seorang abdi dalem
yang kemudian diangkat menjadi satah
seorang tokoh silat istana yang disegani
karena ketinggian ilmu silatnya luar dan
dalam.
"Dimas Gombong Pangestu," berkata mapatih
Damar Waruseto seraya menutup pintu
ruangan dan memandang pada empat orang
ahli pengobatan. "Kita semua tahu bahwa
sakitnya Sri Baginda bukan merupakan sakit
lahir, tapi adalah sakit batin karena tekanan
jiwa akibat lenyapnya batu mustika pusaka
Keraton bernama Kencono Sukmo. Inilah
sumber penderitaan batin dan sumber sakit
Sri Baginda. Kita semua tahu apa akibatnya
kalau benda mustika itu jatuh ke tangan
orang jahat yang mengetahui keandalannya
lalu menyalah gunakannya. Bukan saja
Keraton yang terancam tapi juga keselamatan
Sri Baginda dan keluarganya, keselamatan
kita semua bahkan keselamatan dan
kelangsungan hidup seluruh Kerajaan. Itulah
sebabnya dua bulan yang lalu, sebelum Sri
Baginda jatuh sakit akibat memikirkan
persoalan ini, beliau telah meminta kita untuk
melakukan segala ikhtiar guna mencari dan
menemukan Kencono Sukmo itu kembali.
Melihat keadaan lahir Sri Baginda saat ini,
yang hanya mampu meneguk air, sama sekali
tidak bisa makan apapun, aku kawatir beliau
hanya bisa bertahan beberapa minggu saja
lagi. Sakit
Sri baginda ini harus menjadi rahasia bagi
kita semua. Kalau sampai musuh dan kaum
pemberontak yang masih bercokol di
perbatasan mengetahui, berarti kita akan
mendapat kesulitan baru. Aku mengerti kalian
semua sudah melakukan berbagai macam
usaha yang tidak henti-hentinya. Hanya
memang petunjuk Gusti Allah masih belum
kita dapatkan."
Sampai disitu patih Damar Waruseto berpaling
pada Gombong Pangestu. "Dimas, apakah ada
perkembangan dengan usahamu meminta
bantuan orang-orang rimba persilatan?"
"Aku sudah melakukannya kangmas. Hanya
saja beberapa tokoh silat yang kuhubungi
pertama kali tidak berhasil mendapatkan
keterangan apapun, apalagi mendapat tahu
dimana benda pusaka itu berada atau siapa
yang menyimpannya sekarang. Kemudian
salah seorang tokoh di timur membawa berita
bahwa Kencono Sukmo terakhir sekali
diketahui berada di tangan Kebo Hijo, seorang
tokoh silat yang namanya tidak begitu bersih.
Ketika dia melakukan penyelidikan lebih jauh
ternyata Kebo Hijo diketahui telah mati
terbunuh. Siapa pembunuh tidak diketahui.
Namun siapapun adanya pembunuh itu pasti
dialah kini yang menguasai batu Kencono
Sukmo..."
"Jadi sampai saat ini kita masih tetap belum
mengetahui dimana barang pusaka itu
berada...?" tanya mapatih Damar Waruseto.
"Memang belum diketahui mapatih. Tetapi
satu minggu lalu orang kita berhasil
mengadakan kontak dengan dedengkot dunia
persilatan yang dikenal dengan nama julukan
Dewa Tuak. Kabarnya, bukan kabarnya,
maksudku secara pasti Dewa Tuak telah
menghubungi salah seorang tokoh silat muda
yang dianggapnya sebagai murid sendiri:
Pendekar muda itulah yang kini tengah
melakukan pengusutan dan pengejaran.."
"Nama Dewa Tuak memang kukenal baik.
Beberapa kali dia di masa silam berbuat jasa
besar pada Kerajaan. Siapa nama pendekar
muda yang ditugasinya melakukan
penyelidikan itu, dimas Gombong?"
"Namanya Wiro Sableng. Julukannya
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kalau
tak salah dia adalah murid si nenek sakti
bernama Sinto Gendeng yang bermukim di
Gunung Gede..."
"Ah, pendekar itu. Akupun pernah bertemu
muka dengannya!" kata patih Damar Waruseto
pula.
Salah seorang ahli pengobatan membuka
mulut. "Maafkan aku, tapi barusan aku
mendengar bahwa urusan ini tengah ditangani
oleh seorang pendekar bernama Wiro Sableng.
Apakah kita bisa mempercayai seorang
sableng seperti itu …?"
Mapatih Damar Waruseto tersenyum. "Kau
dan mungkin juga para tua ahli pengobatan
yang ada disini hanya sibuk dengan urusan
obatmengobat, tidak tahu urusan rimba
persilatan. Nama Pendekar 212 Wiro Sableng
merupakan momok nomor satu bagi para
tokoh silat sesat dan orang-orang jahat.
Sebaliknya menjadi tokoh yang sangat
dikagumi oleh orang-orang silat golongan
putih. Dia masih muda memang, tingkahnya
tidak terlepas dari sifat gila orang-orang
muda. Namun ilmunya segudang dan
kejujurannya dapat dijadikan andalan..."
Juru obat yang tadi bicara hanya bisa
angguk-anggukkan kepala mendengar keterangan sang patih.


LIMA
KI DUKUN TAMBAK RESO menatap pada
tamunya yang berpakaian bagus itu sesaat
lalu mengerling ke arah kereta kuda yang
berhenti di depan pintu pekarangan
rumahnya.
"Katakan siapa dirimu dan ceritakan apa
keperluanmu," ujar Ki Dukun.
"Nama saya Tapak Lodra, pembantu
merangkap pengawal keluarga almarhum
Raden Mas Rono Wicula dari Losari di pantai
utara..."
"Hemmm...pembantu saja pakaiannya begini
mewah. Pasti majikannya orang kaya raya,
"kata Ki Dukun dalam hati. Lalu dia bertanya,
"Maksud kedatanganmu?"
"Saya tidak datang sendirian, tapi bersama
Raden Ayu Tambakdwita, istri almarhum
majikan saya. Kami mendengar Ki Dukun
memiliki kesaktian yang sanggup
menyembuhkan orang sakit bahkan
menghidupkan orang yang sudah mati..."
"Dari mana sampeyan mengetahui hal itu?"
tanya Ki Dukun pula.
"Saya sendiri tidak paham betul. Raden Ayu
Tambakdwita yang mengetahui dan meminta
saya datang kemari. Kami mengadakan
perjalanan jauh selama tiga hari tiga malam.
Syukur dapat menemui Ki Dukun."
"Kau belum mengatakan maksud
kedatanganmu!"
"Mengenai hal itu biar Raden Ayu
Tambakdwita sendiri yang menuturkan..."
"Di mana majikanmu itu sekarang?"
"Ada di dalam kereta. Dengan perkenan Ki
Dukun saya akan memanggiinya dan
membawanya kemari..." jawab Tapak Lodra.
Ki Dukun Tambak Reso mengangguk. Setiap
langkah yang dibuat Tapak Lodra diikuti
dengan pandangan mata hampir tak berkesip
oleh Ki Dukun. Sejak dia menyembunyikan diri
di tempat itu setiap ada orang yang datang
selalu dicurigainya, termasuk yang satu ini.
Bukan mustahil mata-mata atau kaki tangan
Kerajaan yang berusaha mendapatkan batu
hitam itu. Tapi ketika dari dalam kereta
dilihatnya turun seorang perempuan, hatinya
menjadi lega.
Perempuan ini berusia sekitar setengah abad,
namun memiliki wajah yang masih cantik
serta tubuh dan kulit yang bagus mulus tanda
terawatt baik. Ketika sampai di hadapan Ki
Dukun, orang tua ini semakin jelas melihat
kecantikan itu dan membuatnya menelan
ludah beberapa kali.
Sejenak Ki Dukun merenung kali terakhir dia
satu ketiduran dan bersenang-senang dengan
perempuan, yakni sembilan tahun yang lalu
ketika istrinya yang kedua masih hidup
sementara istri pertamanya lari
meninggalkannya akibat ulahnya bermain
cinta dengan istrinya yang kedua itu.
Berada dekat-dekat begitu Ki Dukun dapat
mencium wangi semerbaknya bau tubuh
tamunya itu. Ki Dukun mempersilahkan
tamunya duduk.
"Apakah saya berhadapan dengan Ki Dukun
Tambak Reso yang sakti itu?" tanya sang
tamu.
Ki Dukun tersenyum. "Aku hanya manusia
biasa, tak punya kelebihan apa-apa," sahut Ki
Dukun merendah. Matanya menjelajahi paras
dan lekuk dada tamunya yang putih
membusung. "Apakah aku berhadapan dengan
Raden Ayu Tambakdwita, istri almarhum
Raden Mas Rono Wiculo?"
"Ah, betul sekali. rupanya pembantu saya
Tapak Lodra telah menceritakan tentang diri
saya pada Ki Dukun.."
"Betul, tapi belum menceritakan maksud dan
tujuan kedatangan sejauh ini," ujar Ki Dukun
pula.
"Saya akan ceritakan."
"Baik, aku akan mendengarkan. Tapi aku ingin
kita bicara empat mata saja. Bisa...?"
"Tentu saja bisa," sahut Raden Ayu
Tambakdwita. Lalu dia berpaling pada Tapak
Lodra yang tegak di tangga rumah dan
menganggukkan kepalanya. Melihat isyarat itu
Tapak Lodra segera meninggalkan tempat itu,
pergi ke kereta dan duduk di samping kusir.
Hatinya merasa tidak enak kalau tidak mau
dikatakan tersinggung. Melihat tampang dan
sikap sang dukun sebenarnya dia tidak
merasa suka terhadap orang itu. Kini melihat
majikannya berdua-dua dengan orang tua itu
seperti ada rasa cemburu dalam hatinya.
Sebenarnya sejak lama memang Tapak Lodra
menaruh hati pada Tambakdwita. Sebagai
orang kepercayaan yang telah bertahun-tahun
berbakti apalagi dia tidak punya istri,
sebenarnya Tapak Lodra memang cukup
pantas menjadi pasangan janda cantik itu.
Namun karena menyadari dirinya berasal dari
kalangan rendah saja maka Tapak Lodra tidak
pernah berani mengutarakan maksudnya itu.
"Nah Raden Ayu, ceritakan maksud
kedatanganmu," kata Ki Dukun Tambak Reso
begitu mereka kini hanya tinggal berdua saja
di ruangan depan itu.
"Saya mempunyai seorang putera yang
merupakan anak tertua, kini berusia sekitar
dua puluh satu tahun, Sejak masih berumur
enam belas tahun, selagi ayahnya hidup, anak
itu telah diberi berbagai pelajaran termasuk
itmu silat. Ternyata dia memang banyak lebih
tertarik pada ilmu silat dan kesaktian hingga
meninggalkan begitu saja pelajaran-pelajaran
lain. Dia sering meninggalkan rumah
berbulan-bulan guna mencari dan
mendapatkan ilmu baru. Ilmu silatnya
memang tinggi dan kesaktiannya
mengagumkan. Namun dua bulan lalu dia
jatuh sakit dan tak bisa lagi meninggalkan
tempat tidur. Dua minggu lalu keadaannya
tambah parah.
Matanya setalu tertutup. Keadaannya seperti
orang tidur. Mungkin pingsan. Hari demi hari
tubuhnya semakin kurus. Ki Dukun, inilah
persoalan saya. Bisakah Ki Dukun mengobati
putera saya itu? Berbagai tabib dan ahli
pengobatan telah berusaha menolongnya,
namun dia tetap saja tak bergerak di atas
ranjang."
"Menurut para ahli yang telah coba
mengobati putera Den Ayu, apakah sudah
diketahui apa sakitnya?" bertanya Ki Dukun
seraya usap-usap janggut putihnya sementara
kedua matanya terus menjelajahi wajah dan
dada perempuan cantik di hadapannya.
"Tak satupun mereka bisa memastikan apa
penyakit putera saya. Beberapa diantara
mereka menduga, kemungkinan besar sakitnya
putera sebagai akibat terlalu banyak
menguasai ilmu silat dan kesaktian dari
berbagai sumber, dicampur-campur satu sama
lain yang sebenarnya merupakan pantangan...
Saya tidak tahu dan tidak mengerti tentang
ilmu silat dan ilmu kesaktian. Bagaimana
menurut Ki Dukun sendiri...?"
"Hem...." Ki Dukun menggumam. "Mungkin
pendapat itu ada benarnya. Namun harus
diperiksa dan diselidiki dulu. Siapakah nama
puteramu itu Den Ayu ....?"
"Pati Rono," jawab Tambakdwita. Lalu dia
bertanya, "Apakah Ki Dukun bersedia
melihatnya di Losari...? Perjalanan ke sana
memang jauh.
Tapi percayalah, semua jerih payah Ki Dukun
akan saya beri imbalan yang sesuai. Apalagi
kalau Pati Rono bisa disembuhkan..."
"Jangan kawatir…" kata Ki Dukun pula seraya
memegang tangan Tambakdwita. "Aku akan
datang ke Losari."
"Terima kasih. Saya memang sudah menduga
Ki Dukun mau menolong. Karena itu
sebelumnya saya sudah menyiapkan sebuah
kereta untuk menjemput Ki Dukun. Paling
lambat petang nanti penjemput itu sudah
sampai disini."
"Sebetulnya sama-sama berangkat dengan
Den Ayu saat ini aku tidak keberatan. Tapi tak
jadi apa kalau Den Ayu memang sudah
mengatur begitu," kata Ki Dukun
Dari dalam sebuah tas kain yang dibawanya
Den Ayu Tambakdwita mengeluarkan sebuah
kantong kulit kecil. Ketika kantong itu
diletakkan di atas meja terdengar suara
berdering tanda berisi uang.
"Itu sebagian dari imbalan yang saya
janjikan. Sisanya akan Ki Dukun terima
setelah sampai di Losari, lalu ada tambahan
istimewa jika Pati Rono bisa disembuhkan..."
"Sebetulnya yang ada dalam kantong itu
sudah lebih dari cukup, Den Ayu.
Tambahannya tidak perlu berupa harta atau
uang."
"Maksud Ki Dukun?" tanya Tambakdwita pula.
"Setelah ditinggal Raden Mas Rono Wiculo
dan hidup sendirian bertahun-tahun, apakah
Den Ayu tidak mempunyai keinginan untuk
mencari pengganti suami yang hilang itu?"
Pertanyaan Ki Dukun Tambak Reso itu
membuat wajah Den Ayu Tambakdwita
menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika
didengarnya si orang tua berkata, "Nama kita
sama. Aku Tambak Reso, di situ
Tambakdwita. Mungkin ini satu kecocokan
yang ditakdirkan Tuhan?"
"Ki Dukun," kata Tambakdwita dengan suara
bergetar. Dia tak berani memandang kedua
mata orang di hadapannya itu. Karena setiap
dia bertemu pandang ada sesuatu kekuatan
yang membuatnya bergetar disertai hawa
aneh menjalari tubuhnya. "Kalau Ki Dukun
tidak keberatan, hal-hal lain bisa kita bicara
akan lain kali saja. Saya mohon diri.
Kadatangan Ki Dukun saya nantikan di
Losari," Lalu Tambakdwita berdiri dan
melangkah cepat-cepat menuju kereta. Ki
Dukun Tambak Reso mengantarkannya
sampai di tangga sambil mengulum senyum.
"Perempuan satu ini harus dapat olehku. Tak
pernah ada yang begitu besar daya tariknya,
membuatku sampai-sampai keringatan!"


ENAM
DI DALAM KAMAR yang besar dan mewah
serta harum itu ada empat orang. Pertama Ki
Dukun Tambak Reso, lalu Raden Ayu
Tambakdwita bersama Tapak Lodra.
Orang yang keempat terbujur di atas tempat
tidur berkasur tebal dan berseperai bagus.
Orang ini adalah Pati Rono, putera
Tambakdwita yang berada dalam keadaan
sakit. wajahnya, kedua tangannya yang
tersembul di atas selimut pucat pasi seperti
tiada berdarah. Wajahnya mengerikan untuk
dipandang karena pipi dan rongga matanya
sangat cekung serta berwarna kebiruan.
Ki Dukun meraba tangan pemuda itu. Dingin.
Lalu meraba wajah dan bagian lehernya. Juga
dingin. Ketika ditekan bagian lengannya kiri
kanan, juga ketika ditekan urat besar di
lehernya, sama sekali tak ada denyutan. Si
orang tua lalu membalikkan kelopak mata
kanan Pati Rono. Putih, bagian hitam lensa
matanya hanya tarlihat sedikit di sebelah
bawah. Ki Dukun Tambak Reso berpaling
pada ibu si pemuda.
"Bagaimana...?" tanya Tambakdwita dengan
suara tercekat.
"Puteramu sudah meninggal sejak beberapa
hari lalu," menerangkan sang dukun.
Mendengar itu Tambakdwita langsung
menggerung dan menubruk serta merangkul
tubuh anaknya. Tapak Lodra tertegun tak
percaya dan beberapa kali menarik nafas
dalam.
Ki Dukun pegang bahu Tambakdwita dan
berkata; "Den Ayu, tak baik menangis. Kalau
Gusti Allah sudah menghendaki kau harus rela
melepas anakmu..."
"Ada satu hal yang mengherankan Ki Dukun,"
terdengar Tapak Lodra berucap. "Jika
memang Raden Pati meninggal cejak beberapa
hari lalu, mengapa jenazahnya tidak menebar
bau...?"
Ki Dukun berpaling pada pembantu dan
kepala pengawal rumah tangga almarhum
Raden Mas Rono Wiculo itu. Pertanyaan
Tapak Lodra sebenarnya wajar-wajar saja,
namun sang dukun merasakan seperti hendak
memojokkannya. Sejak semula memang dia
tidak suka pada orang ini. Dan Ki Dukun
sendiri, dari pandangan mata Tapak Lodra dia
memaklumi kalau lelaki itupun tidak
menyukainya. Dengan suara tenang Ki Dukun
menjawab pertanyaan Tapak Lodra tadi.
"Ini justru satu keajaiban yang hanya Gusti
Allah yang mampu menjawabnya," katanya.
Lalu dia menyambung. "Bukan mustahil
segala macam obat yang telah diberikan
sebelumnya membuat tubuh kasarnya mampu
bertahan begini rupa..."
"Tidak...! Tidak! Anakku tidak boleh mati ...!
Pati...Pati anakku! Kau tidak boleh mati…!
terdengar raungan Raden Ayu Tambakdwita
yang saat itu masih merangkuli tubuh
puteranya sambil menangis dan meraung
tiada henti.
"Raden Ayu, sudahlah. Kau dan kita semua
harus pasrah menghadapi kenyataan ini..."
ujar Tapak Lodra.
"Tidakkkk! Pati tidak boleh mati..."
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang gadis
berpakaian serba kuning, berwajah cantik
sekali masuk. Dia cepat menanggapi apa yang
tengah terjadi. Langsung saja dia melompat
ke tepi ranjang, memeluk tubuh Pati Rono dan
ikut menangis keras.
"Kakak...kakak...! Mas Pati...Jangan pergi
mas...."
Ternyata gadis itu adalah puteri Tambakdwita,
adik perempuan Pati Rono. Suasana dalam
ruangan itu jadi tambah mencekam. Tiba-tiba
Raden Ayu Tambakdwita hentikan tangisnya
dan berpaling menghadapi Ki Dukun Tambak
Reso.
"Ki Dukun! Bagaimana sekarang?! Kau bisa
menghidupkan puteraku? Kau harus bisa! Itu
janjimu..." Tambakdwita berteriak seraya
memukuli dada Ki Dukun.
Orang tua ini pegang pergelangan tangan
perempuan itu lalu berkata, "Tenang Den
Ayu... Tenang. Aku tak pernah berjanji tapi
aku akan mencoba. Semua tergantung
kekuasaan Tuhan. Untuk itu aku minta semua
orang meninggalkan kamar ini... Termasuk
Den Ayu. Aku akan memulai pekerjaan ..."
"Tidak! Aku dan ibu harus menemani mas Pati
di sini!" yang berteriak adalah gadis
berpakaian kuning, puteri Tambakdwita yang
bernama Tambaksari.
Ki Dukun menatap wajah sang dara beberapa
ketika. "Ah, gadis ini cantik sekali. Ibunya
tentu secantik ini di masa mudanya..."
membatin Ki Dukun. Lalu dia berpaling pada
Tambakdwita dan anggukkan kepala.
Melihat isyarat ini Tambakdwita menoleh
pada puterinya, memegang lengan gadis itu,
lalu mengajaknya melangkah menuju ke pintu
mengikuti Tapak Lodra. Sebelum
Tambakdwita menghilang di balik pinlu, Ki
Dukun berkata padanya, "Ingat Den Ayu,
selama aku bekerja di dalam sini, tak
seorangpun boleh masuk dengan alasan atau
keperluan apapun. Aku akan akan keluar
memberi tahu bilamana pekerjaan telah se!
esai. Harap kalian menyiapkan sebuah
usungan dan kereta. Dan satu hal, jangan
coba-coba atau ada yang berani mengintip
apa yang aku kerjakan. Akibatnya bisa parah
dan puteramu tak mungkin ditolong!"
Begitu pintu kamar ditutupkan Ki Dukun
langsung menguncinya dari dalam, lalu dia
naik ke atas tempat tidur dan duduk bersila di
samping tubuh Pati Rono. Kedua matanya
perlahan-lahan dipejamkan. Lalu dia mulai
melafatkan kata-kata mujijat Walakalmati -
Walakalhidup - Matlwalakal - Hidupwalakil,
satu kali...dua kali.. sepuluh kali.. seratus kali
dan seterusnya sampai sepuluh ribu kali.
Ketika akhirnya dia selesai merapal sampai
sepuluh ribu kali tubuh dan pakaiannya telah
basah oleh keringat. Di luar hari telah senja.
Raden Ayu Tambakdwita, Tapak Lodra dan
Tambaksari menunggu dengan sangat tidak
sabar dan harapharap cemas. Apakah yang
tengah dilakukan Ki Dukun Tambak Reso
sekian lamanya? Jika menurutkan hatinya
mau Tambakdwita melabrak pintu dan
menjebol masuk.
Di dalam kamar Ki Dukun buka kedua
matanya, menyeka keringat di wajahnya
beberapa kali lalu turun dari tempat tidur,
berdiri untuk meluruskan kedua kakinya.
Kemudian dari saku jubahnya dikeluarkannya
benda keramat, batu hitam Kencono Sukmo.
Dengan hati-hati batu ini disapukannya ke
seluruh wajah dan tubuh Raden Pati Rono.
Selesai melakukan itu batu mustika
disimpannya kembali, memandang seputar
kamar lalu melangkah ke pintu.


TUJUH
KI DUKUN TAMBAK RESO memegang bahu
kusir kereta. Sang kusir yang tahu isyarat ini
segera hentikan kereta. Saat itu lewat tengah
malam. Angin bertiup kencang. Dari tempat
mereka berada terdengar deburan ombak laut
di pantai. Ki Dukun memandang bekeliling.
Kusir kereta menuju ke sebelah barat di mana
tampak menghitam sebuah bukit karang.
Angin bertiup lagi lebih kencang.
"Itu satu-satunya bukit karang yang paling
tinggi di bagian pantai ini," menerangkan
kusir kereta.
Ki Dukun mengangguk "Cukup kau hanya
mengantar aku sampai disini. "Tunggu di
tempat ini sampai aku kembali." Lalu orang
tua itu turun dari kereta, membuka pintu
disebelah belakang, menarik usungan dimana
terbaring sosok tubuh Raden Pati Rono.
Kuda penarik kereta terdengar meringkik
ketika Ki Dukun menaikkaft tubuh pemuda itu
ke atas bahunya dan mulai melangkah cepat
;menuju bukit karang di sebelah barat. Kusir
kereta merasakan bulu kuduknya berdiri. Dia
hampir tak berani bergerak saking merasa
takut. Juga masih tetap disitu ketika hujan
rintik-rintik mulai turun. Memang daerah
pantai Losari di bagian itu merupakan suatu
daerah bebukitan batu karang yang paling
sering turun hujan. Dari melangkah cepat Ki
Dukun kini tampak berlari-lari. Semangatnya
jadi berkobar-kobar ketika melihat hujan
mulai turun. Ini satu pertanda bahwa
kelanjsrtan usahanya untuk menghidupkan
pemuda yang sudah mati di panggulannya itu
akan berjalan cepat. Di timur terdengar guntur
menggelegar. Lalu kilat mulai menyambar.
Meskipun agak susah payah karena harus
mendaki bukit batu karangyang licin berlumut
namun akhirnya Ki Dukun Tambak Reso
sampai juga dipuncaknya. Nafasnya meng-
engah. Perlahan-lahan tubuh Raden Pati Rono
dibaringkannya di bagian batu yang agak
rata. Angin laut bertiup kencang dan tajam.
Hujan turun makin deras. Ki Dukun
menyeringai. Dari dalam saku jubahnya
dikeluarkannya kotak batu ham Kencono
Sukmo lalu diletakkannya didada mayat, tepat
di bagian jantung.
"Ahak manusia, kuberikan kehidupan padamu.
Hiduplah! Hiduplah! Dan berikan ibumu
padaku!" berkata Ki Dukun dengan suara
perlahan bergetar. Lalu dia menuruni bukit
karang itu, memilih tempat yang terlindung
tapi tidak terlalu jauh. Di sini dia menunggu
dengan dada berdebar. Dia pernah
menghidupkan seekor binatang,
menyembuhkan beberapa orang yang sakit
parah. Tetapi baru kali ini dia mencoba
menghidupkan seorang yang telah meninggal.
Diam-diam bulu romanya terasa berdiri.
Guntur menggelegar, kilat sambung
menyambung.
"Halilintar… datanglah! Sambar batu dan
tubuh itu! Halilintar … datanglah!" ujar Ki
Dukun berulang kali. tapi dia harus menunggu
lama sampai menjelang dini hari, yaitu ketika
tubuhnya berada dalam keadaan basah kuyup
dan terasa dingin seperti diselimuti es.
Saat itu rangkaian halilintar tampak sambar
menyambar berkepanjangan dari arah timur.
Sambaran yang terakhir berkiblat tepat di atas
bukit karang, menghantam ke bawah,
menghunjam tepat di atas tubuh Raden Pati
Rono! Tubuh itu tampak terangkat ke atas lalu
jatuh kembali ke atas batu karang dan
mengeluarkan kepulan asap. Setelah itu
terbujur tak bergerak. Tempat itu tiba-tiba
saja sunyi seperti di pekuburan. Guntur tak
terdengar lagi, kilat atau halilintar tak tampak
lagi. Bahkan angin seolah-olah berhenti
bertiup dan ombak seperti berhenti berdebur!
Dengan tubuh bergetar Ki Dukun Tambak Reso
memanjat menuju bagian alas bukit karang.
Dengan mempergunakan sahelai sapu tangan
dia memungut batu Kencono Sukmo yang
tercampak di atas bukit batu lalu
memasukkannya ke dalam saku jubahnya. Di
atas batu karang tubuh Raden Pati Rono
tampak tidak bergerak. Ki Dukun
memperhatikan dengan seksama dan mata
dibesarkan. Darahnya tersirap ketika tiba-tiba
dia melihat ibu jari kaki kanan si pemuda
bergerak. Perlahan sekali tapi dia jelas
melihatnya. Ki Dukun memegang ibu jari yang
bergerak itu. Terasa panas.
"Panas adalah api. Api adalah hawa
kehidupan..." desis Ki Dukun. Lalu
dipegangnya betis pemuda itu. Kemudian
dilihatnya jari-jari kanan Pati Rono juga
mulai bergetar. Ki Dukun cepat memegang
tangan kanan itu. Tiba-tiba jari-jari Pati Rono
menggenggam mencengkeram tangannya. Ki
Dukun terpekik kaget dan cepat sentakkan
lengannya untuk melepaskan cekalan itu.
Walau di hatinya ada terselip rasa ngeri
namun kegembiraan sang dukun juga melupa.
"Dia hidup...Dia hidup! Batu hitam itu betul-
betul batu mujijat. Gusti Allah Maha Besar!"
Untuk memastikan bahwa Pati Rono benar-
benar sudah hidup kembali Ki Dukun
membungkuk dan dekatkan telinga kanannya
ke dada Pati Rono. Lapat-lapat dia
mendengar ada suara yang memukul-mukul di
dasar dada itu. Itulah suara degupan jantung!
"Luar biasa...Aku sendiri hampir tak percaya!"
ujar Ki Dukun dalam hati. Untuk sesaat dia
masih mendekapkan telinga mendengar
degupan jantung itu. Tiba-tiba kedua tangan
Pati Rono bergerak menyilang dan punggung
Ki Dukun tersikap kencang! Orang tua itu
merasakan jiwanya seperti terbang. Dia
menggeliat keras-keras, dengan susah payah
akhirnya berhasil meloloskan diri dari sikapan
tadi. Begitu terlepas, kedua tangan Pati Rono
kembali terkulai di kedua sisi. "Sebelum
kekuatannya pulih, aku harus cepat
membawanya ke Losari...." pikir Ki Dukun.
Lalu tubuh pemuda itu dipanggulnya di bahu
kanan. Dalam perjalanan menuruni bukit
karang menuju di mana kereta menunggu Ki
Dukun selalu bersikap waspada. Bukan
mustahil mayat yang barusan hidup kembali
itu tiba-tiba saja bergerak mencekiknya!

KERETA PEMBAWA Pati Rono itu sampai di
Losari menjelang senja, disambut oleh Tapak
Lodra, Tambakdwita, puterinya dan beberapa
pelayan. Ketika usungan diturunkan dari
kereta oleh kusir dan Tapak Lodra, kuda
penarik kereta tiba-tiba mengangkat kedua
kaki depannya dan meringkik keras, membuat
semua orang tercekal.
Ketika melewati ruangan tengah rumah besar
mendadak terdengar suara mengeong keras.
Seekor kucing putih belanghitam melompat
dari balik tirai, berusaha lari ke arah usungan.
"Belang... Belang, jangan berisik!" Tambaksari
cepat mendukung binatang peliharaannya itu.
Dalam dukungan si gadis kucing ini terus
mengeong. Kedua matanya memandang tak
berkesip ke arah tubuh Pati Rono di atas
usungan. Sikapnya garang sekali. "Heran, tak
biasanya kau seperti ini, Belang..." Untuk
kesekian katinya si belang mengeong,
menggeliat lalu menghambur dari arah
gendongan Tambaksari.
Dengan sangat hati-hati tubuh Pati Rono
dibaringkan di atas tempat tidur bertilam
indah. Sang ibu duduk di kiri tempat tidur.
Yang lain-lain tegak berkeliling. Sambil duduk
Tambakdwita tidak hentinya mengusap wajah
dan memijiti tangan anaknya. Dia ingin agar
anaknya itu segera bangun agar dia melihat
kenyataan bahwa Pati Rono benar-benar
hidup.
Selagi dia memegang-megang tangan
puteranya, tiba-tiba tangan itu bergerak.
Tambakdwita terpekik. Lima jari tangan Pati
Rono mencengkeram lengannya. Kuat dan
sulit dilepaskan.
"Tenang saja Den Ayu. Jangan dipaksakan
untuk menarik tanganmu. Ada kalanya
kehidupan mendatangkan kerinduan.
Puteramu tentu sangat rindu padamu. Itu
sebabnya tanganmu dipegangnya erat- erat..."
Kata-kata itu diucapkan oleh Ki Dukun
Tambak Reso walau diam-diam hati kecilnya
merasa kawatir kalau-kalau cekalan yang
keras itu tidak bisa dilepaskan.
"Lihat! Kedua mata Raden Pati membuka!"
berseru kusir kereta yang sampai saat itu
masih ikut berada dalam kamar.
Semua orang memandang, memperhatikan.
Astaga! Memang betul! Sepasang mata
pemuda itu tampak terbuka perlahan-lahan.
Mula-mula tampak bagian mata yang
berwarna putih. Menyusul bagian bola mata
yang berwarna hitam kecoklatan. Tidak!
Ternyata bola mata yang seharusnya
berwarna hitam kecoklatan itu kini tampak
memiliki warna kelabu!
Tapak Lodra tidak sengaja saling
berpandangan dengan Tambaksari. Jelas
kelihatan bayangan rasa ngeri pada wajah
gadis ini. Memang memperhatikan dua mata
yang terbuka nyalang tidak berkesip dan
berwarna aneh serta membersitkan sinar
dingin itu terasa adanya keangkeran. Dua
bola mata itu bergerak sedikit, memandang ke
arah Tambakdwita. Lalu menyeruak senyum di
wajah yang mulai kemerahan itu. Bagi Tapak
Lodra senyum itu lebih merupakan sebuah
seringai yang mengerikan.
"Pati anakku...!" seru Tambakdwita. "Kau
tersenyum padaku Pati. Jadi kau benar-benar
kembali! Kau benar-benar hidup lagi! Gusti
Allah terima kasih! Terima kasih!" Air mata
tampak berlinangan di kedua mata perempuan
itu. Tangan kanan anaknya didekatkannya
kewajahnya dan diciumnya berulang-ulang.
"Ibu,..Aku haus..." Mulut Pati Rono terbuka
dan suara minta minum terdengar
diucapkannya.
Tambakdwita dan puterinya tersenyum. Sang
ibu usut air mata yang berderai di pipinya.
Lalu terdengar lagi suara sang putera, "Aku
juga lapar, bu..."
Tambakdwita peluk dan ciumi wajah
puteranya. "Kau boleh minta apa saja Pati.
Pasti akan ibu berikan..." Perempuan itu ciumi
lagi wajah anaknya berulang-ulang. Lalu dia
bangkit dari tempat tidur, memegang lengan
puterinya. Ibu dan anak ini meninggalkan
kamar untuk mengambilkan sendiri air serta
makanan yang diminta Pati Rono.
Pati Rono memandang dengan matanya yang
kelabu satu persatu pada kusir kereta, Tapak
Lodra dan Ki Dukun Tambak Reso. Pandangan
mata yang aneh dan terasa angker ini
membuat ketiga yang dipandang jadi merasa
tidak enak. Kusir kereta segera tinggalkan
kamar. Tapak Lodra menyusul hendak
beranjak namun Ki Dukun bergerak lebih dulu.
Terpaksa Tapak Lodra tetap berada dalam
kamar karena meninggalkan putera
majikannya seorang diri di tempat itu kurang
sopan dirasakannya. Untuk menghilangkan
kegelisahan akibat pandangan mata Pati
Rono, Tapak Lodra pergi membuka jendela
kamar. k.etika dia hendak menyingkapkan
tirai jendela, terdengar suara mengeong keras.
Sesuatu melompat ke sanding jendela.
Ternyata si Belang. Binatang ini siap untuk
melompat masuk. Tapi Tapak Lodra cepat
mencegah dan mengusirnya.
"Aneh sekali sikap kucing itu..." kata Tapak
Lodra dalam hati. "Apa sebenarnya yang
dilihat binatang itu...?" Tapak Lodra berpaling
ke arah tempat tidur. Ternyata Pati Rono
masih menyorotinya dengan pandangan
seperti tadi. Dingin angker seperti hendak
menembus jantungnya!


DELAPAN
MALAM JUM'AT KLIWON, hujan turun rintik-
rintik Losari diselimuti kesunyian. Debur
ombak di pantai terdengar di kejauhan.
Sesekali ada suara lolongan anjing merobek
kesunyian.
Dalam ruangan depan di rumah besar itu
Raden Ayu Tambakdwita duduk terdiam
beberapa lamanya sebelum kemudian dia
membuka mulut bertanya, "Mengapa Ki Dukun
tak mau menerima uang dalam kantong itu?
Bukankah itu tambahan pembayaran sesuai
dengan janji saya...?"
Ki Dukun Tambak Reso tersenyum. Matanya
menatap wajah cantik perempuan berusia
setengah abad di hadapannya lalu menjawab,
"Raden Ayu ...! Ah, aku seharusnya
memanggilmu Tambakdwita saja..."
"Saya tak keberatan dipanggil seperti itu.
Bukankah Ki Dukun memang lebih tua dari
saya dan kepada siapa saya menaruh
hormat...? Apalagi mengingat jasa besar Ki
Dukun...."
"Dengar… Tambakdwita, aku memang tidak
mau menerima pemberianmu itu. Bahkan,
uang yang kau berikan sebelumnya mungkin
akan kukembalikan..."
"Mengapa begitu? Apakah Ki Dukun tak mau
menerima karena jumlahnya terlalu kecil?
Saya bersedia menambahkan."
Ki Dukun menggeleng. Malam itu, tidak seperli
biasanya dia tidak lagi mengenakan jubah
putih, melainkan sehelai baju biru dan celana
hitam serta sebuah blangkon di atas
kepalanya. Dengan pakaian itu dia tampak
lebih gagah dan lebih muda. "Terus terang,
bukan uang itu yang aku inginkan
Tambakdwita. Aku menginginkan dirimu. Aku
memintamu menjadi istriku. Sudah beberapa
hari lalu hal itu kusampaikan padamu..."
"Beri saya waktu satu dua minggu lagi untuk
mengambil keputusan, Ki Dukun. Saya harus
bicara dengan tua-tua keluarga. Di samping
itu aku perlu memberi tahu putera saya. Pati
Rono sejak beberapa hari ini selalu mengunci
diri di kamarnya. Dia menekuni buku-buku
silat dan kesaktian, berjilid-jilid banyaknya.
Makanan yang disampaikan pembantu hanya
disentuhnya sedikit saja. Dia lebih banyak
menenguk minuman keras. Ada satu hal saya
lihat pada dirinya. Satu hal yang dulu tidak
ada. Anak itu membawa sikap dan sifat aneh.
Pandangan matanya terasa angker tapi
menyembunyikan kekosongan jiwa. Sikap acuh
diperlihatkannya pada orang-orang di
sekitarnya. Tapi sebagai ibu, di balik
keacuhan itu saya merasa ada sesuatu yang
disimpannya. Sesuatu yang terasa
mengerikan..."
"Tambakdwita, sebaiknya saat ini kita tidak
membicarakan soal puteramu itu. Dia sudah
kembali padamu. Sembuh dan hidup..."
"Betul Ki Dukun, tapi putera saya yang
kembali ini saya rasa bukan putera saya yang
dulu ...."
"Bagaimana kau bisa berkata begitu
Tambakdwita? Pati Rono yang kini hidup
adalah puteramu yang dulu juga. Sama sekali
tidak ada bedanya..."
"Tubuh kasarnya memang tidak ada beda, Ki
Dukun. Tapi jiwa dan perasaannya ada
kelainan. Dan itu terpancar pada sepasang
matanya yang membersitkan hawa aneh. Dia
seolah-olah bukan berada di tengah keluarga
sendiri. Seolah-olah berada di satu alam yang
sama sekali lain. Dan alam ini saya rasakan
sangat mengerikan. Saya takut Ki Dukun..."
"Tak ada yang harus ditakuikan Tambakdwita.
Apalagi selama aku berada di dekatmu seperti
saat ini. Kau belum menjawab, kau belum
memberi putusan tentang permintaanku..:"
"Saya bilang beri saya waktu dua atau tiga
minggu," sahut Raden Ayu Tambakdwita.
"Satu atau dua minggu bisa berarti jadi tiga
minggu. Aku tak bisa menunggu selama itu.
Aku ingin memilikimu lebih cepat dari itu.
Bahkan malam ini...!" Ki Dukun memegang
tangan perempuan itu. Tambakdwita.
berusaha menarik lengannya. Tapi ada hawa
aneh menjalari lengannya, terus ke dada dan
sekujur tubuhnya Dia merasa sesuatu yang
menggairahkan. Ditatapnya wajah Ki Dukun.
Wajah itu tampak begitu gagah, agung dan
tersenyum padanya.
"Aku ingin tidur bersamamu malam ini,
Tambakdwita. Kau mau bukan...?"
Perempuan itu tak menjawab. Dia hanya
menundukkan kepala, tak kuasa memandang
tatapan Ki Dukun. Melihat ini Ki Dukun berdiri
dari kursinya, tegak di samping Tambakdwita
lalu membungkukkan. Kepala hendak mencium
tengkuk perempuan itu. Namun sebelum
ciumannya sampai tiba-tiba terdengar suara
ngeongan kucing keras dan mengejutkan.
Ki Dukun terkesiap. Tambakdwita tersentak
kaget dengan muka pucat. Ada rasa tak enak
dalam diri kedua orang itu. Ki Dukun
memandang ke arah jendela. Samar-samar
lewat kain tirai jendela dia melihat ada
seseorang tegak di luar sana, memperhatikan
ke dalam. Ketika Ki Dukun hendak
mendatangi, orang itu cepat bergerak pergi
dan menghilang.
"Malam sudah larut, sebaiknya Ki Dukun
pulang dulu ke rumah tempat menginap..."
berkata Tambakdwita. Suaranya terhenti
ketika kembali terdengar suara ngeongan
kucing. Suara itu datang dari arah kamar di
tingkat atas. Dan kamar di tingkat atas
adalah kamar tidur Pati Rono. Ki Dukun diam
sesaat. Mantranya tadi sudah hampir
mengena kalau tidak terganggu oleh suara
ngeongan kucing celaka itu.
"Baiklah, aku akan pergi Tambakdwita. Tapi
besok aku akan datang lagi kemari. Dan saat
itu aku ingin kau sudah bisa memberikan
jawaban..."
Janda kaya itu tidak menjawab. Dia
melangkah ke pintu depan dan
membukakannya untuk Ki Dukun.
Seekor kuda tertambat dekat pintu
pekarangan. Itulah kuda tunggangan milik Ki
Dukun. Ketika orang tua ini tengah melangkah
ke arah kudanya, tiba-tiba sebuah benda
melayang dl udara dan jatuh tepat dekat
kakinya. Ki Dukun memandang ke bawah.
Benda yang jatuh itu ternyata adalah seekor
kucing putih berbelang hitam. Si Belang,
kucing kesayangan Tambaksari! Binatang ini
tidak bergerak ataupun mengeluarkan suara.
Kapalanya terkulai tanda lehernya patah!
Ki Dukun mendongak ke atas, ke arah kamar
di tingkat atas bangunan rumah besar. Dia
melihat jendela kamar di tingkat atas itu
terbuka dan ada nyala lampu di atas sana.
Dia merasa yakin kucing yang mati itu
dilemparkan dari kamar itu.
Ki Dukun putar tubuhnya, meneruskan langkah
ke arah tempat kudanya tertambat. Sesaat
ketika dia hendak menaiki binatang itu, satu
tangan yang dingin tiba-tiba memegang
pundak kanannya. Ki Dukun terkejut dan
menoleh. Dia berhadap-hadapan dengan
Tapak Lodra.
"Ada apa?!" tanya Ki Dukun dengan suara
garang. Dia tidak suka dipegang seperti itu
dan dia sejak lama tidak senang terhadap
pengawal rumah kediaman Tambakdwita ini.
"Aku hanya ingin memberikan nasihat
padamu, Ki Dukun. Majikanku seorang janda.
Tidak pantas kalau kau mengunjunginya
sampai larut malam begini!"
Ki Dukun menyeringai. Dia kibaskan tangan
Tapak Lodra dan menjawab, "Soal
hubunganku dengan majikanmu bukan
urusanmu! Sebagai pembantu kau tidak layak
mencampurinya. Dan aku tidak butuh segala
macam nasihat."
"Aku. tahu siapa kau sebenarnya Ki Dukun.
Lebih dari itu aku tahu apa yang ada datam
benak serta hatimu. Aku tidak suka padamu!"
"Kau bukan pemilik rumah ini. Jadi tidak
pada tempatnya mengatakan suka atau tidak.
Dan satu hal harus kau ketahui Tapak Lodra.
Akupun tidak suka padamu!"
"Berlalu dari sini Ki Dukun. Cepat!" desis
Tapak Lodra.
Ki Dukun Tambak Reso kembali menyeringai.
"Ada satu hal yang pantas kau ketahui Tapak
Lodra. Bagiku mudah menyembuhkan dan
menghidupkan seseorang. Tapi lebih mudah
lagi membuat seseorang sakit atau menemui
ajalnya! Ingat hal itu baik-baik Tapak Lodra!"
"Aku akan ingat hal itu baik-baik Ki Dukun.
Jika terjadi sesuatu dengan penghuni rumah
besar ini orang yang pertama-tama kucari
adalah dirimu!" habis berkata begitu Tapak
Lodra lepaskan tali tambatan kuda dan
membantingkannya ke tanah. Ketika Ki Dukun
naik ke punggung binatang itu Tapak Lodra
sudah berlalu dari situ.
Di halaman depan, Tapak Lodra membungkuk
mengangkat bangkai si Belang. "Kasihan
kucing ini. Siapa yang begitu tega
membunuhnya?"
Tatap Lodra mendongak ke atas. Nyala lampu
di kamar putera majikannya telah padam.
Tapi matanya yang tajam melihat ada sosok
tubuh di belakang jendela tegak
memperhatikan ke arahnya.
RADEN AYU TAMBAK DWITA menatap wajah
puteranya lekat-lekat. "Pati Rono, ibu tak
habis pikir mengapa kau ingin
memberhentikan Tapak Lodra..."
Pati Rono melahap jambu klutuk besar lalu
dengan mulut penuh dia menjawab, "Aku
sudah bilang bu, kita tidak membutuhkan
orang itu lagi. Tugasnya sebagai pengawal
kuambil alih. Pekerjaannya sebagai penjaga
sawah ladang serta peternakan dan
perdagangan aku sendiri yang akan
menangani. Nah, apa perlunya dia bekerja lagi
disini. Tanpa dia bukankah kita bisa
menghemat jumlah uang gajinya dan bisa
dipergunakan untuk keperluan lain?"
"Gajinya tidak seberapa, Pati. Lagi pula dia
telah bekerja puluhan tahun. Sejak ayahmu
masih hidup. Bahkan sebelum kau dilahirkan
dia sudah ikut bersama kita, mulai dari
kakekmu masih ada..."
"Persetan berapa lama dia bekerja di sini!
Persetan apapun jasanya. Jika ibu tidak mau
atau segan bicara padanya, aku yang akan
mengatakan padanya!"
"Jangan lakukan hal itu, anakku..." ujar
Tambakdwita.
"Aku tak suka dilarang!" sahut Pati Rono.
"Dan apakah ibu sudah menyampaikan pada
guru mengaji bau apak itu bahwa dia tak
perlu lagi datang ke sini untuk mengajar
mengaji dan segala ilmu agama yang
membosankan serta dusta besar itu!"
Sepasang mata Tambakdwita membesar.
"Pati, jika kau minta aku memberhen-tikan
Tapak Lodra, mungkin masih bisa kucerna.
Tapi kalau kau minta berhenti mengaji, ini
merupakan satu hal yang tidak ingin aku
lakukan. Kau butuh pelajaran agama..."
"Tidak! Aku tidak butuh pelajaran agama!
Jelas! Aku tidak sudi lagi melihat guru
mengaji itu!" Pati Rono berdiri dari kursinya.
Jambu klutuk yang baru setengah dimakannya
dibantingkannya ke meja makan!

"RADEN PATI," ujar Tapak Lodra dengan suara
bergetar. "Ucapanmu bahwa mulai hari ini aku
diberhentikan dari segala macam tugas
sungguh mengejutkan. Apakah Raden Ayu
Tambakdwita mengetahui hal ini dan jika
mengetahui bisakah Raden mengatakan
apakah kesalahanku maka aku
diberhentikan...?"
"Paman Tapak Lodra. Jika aku bicara padamu
maka itu adalah aku bicara atas nama
keluarga! Bahkan juga berarti atas nama
almarhum ayahku. Jadi tidak usah ditanya
atau dibantah!"
"Saya benar-benar tidak mengerti Raden..."
"Jika kau tidak mengerti berarti kau seorang
toiol! Justru di situlah letak persoalannya!
Aku tidak suka manusia tolol semacammu
berkeliaran dalam rumah ini! Kau kuberikan
waktu untuk mengemasi pakaian dan barang-
barangmu. Sebelum tengah hari kau sudah
harus pergi dari sini!"
Habis berkata begitu Raden Pati Rono
tinggalkan pembantu dan pengawal
kepercayaan itu, naik ke tingkat atas dan
mengunci diri dalam kamarnya. Karena
merasa tidak puas, Tapak Lodra menyusul
naik ke tingkat atas dan mengetuk pintu
kamar Pati Rono seraya berseru, "Raden, buka
pintu. Aku perlu bicara lebih jauh denganmu.
Tolong bukakan pintunya, Raden..."
Tak ada jawaban. Pintu juga tidak terbuka.
Tapak Lodra mengetuk dan berseru lagi. Tiba-
tiba pintu terbuka. Dari balik daun pintu yang
terbuka itu mendadak satu jotosan menderu
menghantam dada Tapak Lodra.
Pengawal tua ini menjerit dan terpental.
Untung dia masih sempat bergayut pada
sebuah tiang, kalau tidak tubuhnya pasti akan
jatuh terjungkal ke bawah! Tapak Lodra
merasakan lututnya goyah. Perlahanlahan
tubuhnya jatuh terduduk di lantai dan dari
sela bibirnya tampak darah mengucur.
Nafasnya sesak, dadanya sakit bukan main.
Pukulan yang menghantamnya bukan pukulan
sembarangan.
Di ambang pintu Pati Rono tegak bertolak
pinggang. Sepasang matanya memandang
yang berwarna kelabu memandang buas pada
Tapak Lodra.
"Jika kau masih tidak mau pergi dari sini, aku
tak akan menyesal mematahkan batang
lehermu atau melempar tubuhmu kebawah
sana!"
"Raden, aku perlu bicara. Benar-benar harus
bicara denganmu. Berikan sedikit waktu dan
sedikit pengertian..."
"Aku tak punya waktu dan aku tak punya
pengertian! Pergi dari hadapanku...!" Raden
Pati Rono melangkah ke hadapan Tapak Lodra
lalu menjambak rambut orang tua itu. Sesaat
kemudian tampak tubuh Tapak Lodra
melayang jatuh ke bawah lewat jendela.
Seorang pelayan yang berada di bawah dan
kebetulan melihat kejadian itu menjerit keras.
Sebagai seorang berkepandaian tinggi Tapak
Lodra meskipun dalam keadaan terluka di
dalam masih sanggup bedungkir balik hingga
tubuhnya tidak jatuh tergelimpang atau
kepala lebih dulu. Dia jatuh dengan kedua
kaki menjejak tanah, lalu cepat kerahkan
tenaga dalam ke arah dadanya yang terluka.
Di atas rumah Pati Rono menyeringai. "Tak
ada salahnya tua bangka itu kujadikan barang
percobaan!" katanya dalam hati. Lalu dengan
gerakan enteng, seperti seekor burung besar
dia melompat dari tingkat atas, melayang ke
tanah dan menjejak tanah tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun!
"Tapak Lodra! Aku memberikan kesempatan
padamu! Jika kau mampu mengalahkanku
dalam lima jurus, kau tidak akan kusuruh
pergil"
"Raden...," ujar Tapak Lodra seraya pegangi
dadanya. "Aku tidak mau berlaku kurang ajar,
berkelahi denganmu..."
"Terserah padamu. Jika ingin tetap bekerja
disini turut apa yang kukatakan. Kalau tidak
silahkan angkat kaki saat ini juga"
Mendengar kata-kata itu Tapak Lodra tidak
melihat jalan lain. "Kalau itu permintaanmu
Raden, harap maafkan diriku. Bersiaplah..."
"Kau boleh menyerang lebih dulu Tapak
Lodra!" kata Pati Rono seraya berdiri dengan
kedua kaki terkembang.
Tapak Lodra menarik nafas dalam. Tubuhnya
membungkuk sedikit. Tiba-tiba tubuh itu
melesat ke depan dan tangah kanannya
menghantam ke arah dada lawan. Pati Rono
angkat tangan kirinya, menangkis serangan.
Begitu tangan Tapak Lodra bentrok dengan
lengannya, kelihatan seperti ada bunga api
yang berpijar. Bersamaan dengan itu Tapak
Lodra terdengar menjerit. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Jari-jari tangan kanannya
sampai ke pergelangan tampak berwarna
hitam hangus dan mengepulkan asap.
Sakitnya seperti dipanggang!
"Raden... ilmu apa yang kau miliki hingga
tega mencelakakan diriku sejahat ini..." ujar
Tapak Lodra lalu jatuh terduduk di tanah.
Pati Rono tersenyum. "Itulah kekuatan tenaga
dalam yang mengandung kekuatan halilintar!
Bukan saja mengandung hawa panas yang
menghanguskan, tapi mengandung racun
ganas. Jika kau tidak memotong tanganmu
sebatas lengan, dalam waktu dua hari racun
akan merambat ke jantungmu! Nyawamu
tidak ketolongan!"
"Kau kejam sekali Raden.. Kejam sekali. Lebih
baik kau membunuh diriku saat ini juga!"
Mendengar kata-kata Tapak Lodra itu Pati
Rono tertawa bergelak. "Jika memang mati
yang kau inginkan, aku bersedia
mengabulkannya...!" Lalu Pati Rono angkat
tangan kanannya. Ketika dia hendak
menghantam tiba-tiba terdengar teriakan
keras.
"Pati! Tahan! Hentikan perbuatanmu itu!"
Yang berteriak dan yang kemudian
menghambur memegangi tubuh Pati Rono
adalah ibunya sendiri. Perempuan ini
mendorong anaknya ke dalam rumah lalu
member isyarat pada Tapak Lodra agar cepat-
cepat meninggalkan tempat itu.


SEMBILAN
RADEN AYU TAMBAKDWITA menyeka air mata
yang mengucur di kedua pipinya. Di
hadapannya seorang lelaki tua tampak duduk
dengan wajah muram. Dia adalah Ki Guru
Sendang Bogayana, guru mengaji keluarga
almarhum Rono Wiculo yang telah mengajar
di situ selama lebih darisepuluh tahun yakni
sejak Raden Pati Rono dan adiknya berusia
sekitar sepuluh tahun.
Setelah berdiam diri merenung beberapa
lamanya Ki Guru akhirnya berkata, "Jika betul
semua apa yang Raden Ayu katakan, memang
telah terjadi satu perubahan luar biasa atas
diri putera Den Ayu..."
Tambadwita mengangguk. "Sifatnya berubah
sekali. Jiwanya seperti kosong dan
kekosongan itu diselimuti oleh perasaan aneh.
Lebih tepat kalau dikatakan sesuatu yang
mengerikan. Perasaannya seperti tidak ada
sama sekali. Berganti dengan sikap penuh
tega bahkan kejam. Dia membunuh si Belang,
kucing kesayangan adiknya. Memberhentikan
Tapak Lodra, melukainya bahkan hendak
membunuh orang tua yang setia itu kalau
saya tidak cepat mencegahnya. Saya kawatir
ada hal-hal lain lagi yang akan terjadi. Seisi
rumah ini, termasuk saya merasakan seperti
tinggal di suatu tempat yang mengerikan.
Saya sangat perlu bantuan Ki Guru..."
"Saya mengerti Den Ayu. Saya merasa perlu
untuk menemui Ki Dukun Tambak Reso, orang
sakti yang katanya telah menyembuhkan dan
menghidupkan putera Den Ayu itu. Sebenarnya
bagi kita orang-orang beragama memang ada
kepercayaan pada orang-orang beragama
memang ada kepercayaan pada orang-orang
tertentu akan kemampuannya untuk
menyembuhkan, suatu penyakit. Namun untuk
menghidup-kan seseorang yang telah mati,
itu adalah satu hal yang tidak mungkin..."
"Kenyataan itu terjadi pada anak saya Ki
Guru. Bagaimana saya tidak
mempercayainya..."
Ki Guru Sendang mengusap-usap rambut tipis
di bagian belakang kepalanya. "Mungkin
kehidupan yang dialami Raden Pati hanya
suatu kehidupan semu. Yang sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan
masa lalunya. Itu sebab-nya dia memiliki sifat
yang sangat berbeda kalau tidak mau
dikatakan aneh. Sebelum menemui Ki Dukun
Tambak Reso, saya kira saya harus bicara
dengan putera Den Ayu itu terlebih dulu."
"Itu yang saya inginkan Ki Guru. Makin cepat
makin baik. Saya akan mengatur pertemuan
itu sekarang juga."

"AKU TIDAK INGIN BERTEMU, apalagi bicara
dengan guru agama itu," berkata Pati Rono
pada ibunya sambil naik ke punggung kuda.
Pagi itu seperti biasa dia akan berangkat ke
tepi pantai guna melatih ilmu silat dan
pukulan saktinya di sebuah teluk yang sepi.
"Tapi anakku, ini penting sekali. Untuk masa
depanmu..."
Pati Rono tersenyum mendengar ucapan
ibunya itu lalu berkata :"Masa depanku tidak
ditentukan oieh guru agama itu. Tapi jika ibu
memaksa, suruh dia menemuiku di teluk. Aku
akan bicara dengan dia di sana... "
"Kau menyuruh Ki Guru ke sana menemuimu,
sungguh tidak pantas anakku!"
"Yang dinamakan kesopanan itu adalah
tingkah laku palsu untuk menutupi
kebobrokan seseorang. Guru agama itu tidak
lebih mulia dari diriku. Jika dia memang ingin
bicara silahkan datang ke teluk. Kalau tak
sudi, perduli setan!"
Habis berkata begitu Pati Rono menggebrak
tali kekang kudanya. Binatang itu melompat
dan meninggalkan si ibu sendirian di halaman
samping rumah besar.
Untuk beberapa lamanya Tambakdwita
tertegak di tempat itu. Akhirnya dengan
langkah gontai dia masuk ke dalam rumah.
Meskipun masih pagi namun udara di pantai
terasa terik. Air laut mendebur ombak di atas
pasir teluk. Raden Pati Rono mendengar suara
derap kuda di belakangnya tapi dia tidak
perduli, menolehpun tidak. Derap kuda
berhenti dan pemuda itu tahu kalau si
penunggang tengah memperhatikannya.
Di bawah sebatang pohon kelapa di teluk
yang sunyi itu terdapat beberapa bangkai
perahu yang sudah lama ditinggal dalarn
keadaan rusak dan lapuk. Raden Pati
berpaling ke arah pohon kelapa itu, perlahan-
lahan mengangkat tangan kanannya lalu
tangan itu dipukulkan dibarengi oleh satu
bentakan.
Terjadi satu hal yang hebat. Begitu tangan
bergerak ke depan, satu jengkal diatas tangan
Raden Pati berkiblat cahaya terang disertai
letupan keras seperti sambaran halilintar
kecil. Bersamaan dengan itu pohon kelapa di
seberang sana terdengar berderak, lalu
tumbang dalam keadaan hangus. Perahu-
perahu lapuk yang ada di bawah pohon
kelapa mental hancur lebur seperti bubuk
arang! Ki Guru Sendang Bogayana letetkan
lidah.
Didalam dadanya bukan rasa kagum yang
dirasakannya justru ada perasaan kawatir.
Kalau ilmu kepandaian itu dipergunakan
dalam kesesatan dapat dibayangkan
akibatnya. Perlahan-lahan Ki Guru Sendang
turun dari kudanya. Tengah dia melangkah ke
arah Pati Rono tiba-tiba pemuda ini
membalikkan tubuh seraya mengangkat
tangan seolah-olah hendak menghantam guru
agama itu. Sang guru terkesiap pucat dan
hentikan langkahnya. Raden Pati Rono
tertawa gelak-gelak.
"Ki Guru.... kau datang juga ke teluk ini..."
ujar Pati Rono seraya bertolak pinggang dan
geleng-gelengkan kepalanya. "Pelajaran
agama apa yang hendak kau sampaikan
padaku hari ini?!"
Meskipun ucapan itu jelas-jelas merupakan
ejekan namun Ki Guru Sendang Bogayana
berusaha setenang mungkin dan menjawab.
"Tidak ada pelajaran agama hari ini, Raden
Pati. Aku datang kemari memenuhi
permintaan ibumu."
"Hemm, begitu...?" Raden Pati rangkapkan
kedua tangannya di depan dada. "Lalu apa
yang ibuku ingin-kan melaluimu, Ki Guru?"
"Ibumu memberi tahu ada perubahan besar
dalam dirimu sejak kau dihi...maksudku sejak
kau disembuhkan dari sakit berat tempo hari.
Mungkin ibumu keliru Raden. Namun dia
memberikan beberapa contoh nyata. Misal
tindakanmu membunuh si Belang. Lalu
perbuatanmu terhadap Tapak Lodra..."
"Itu baru dua Ki Guru. Yang ketiga ialah
tindakanku yang tidak ingin melihatmu lagi
datang ke rumah, apalagi memberi pelajaran
agama padaku!" memotong Pati Rono dengan
suara ketus.
"Raden Pati, yang namanya pelajaran itu,
apapun bentuk dan macammu perlu dituntut.
Termasuk pelajaran agama. Kudengar kau
sering datang kemari untuk berlatih ilmu silat
dan kesaktian. Aku saksikan sendiri tadi kau
menjajal pukulan sakti itu. Nah, ilmu
agamapun tidak kalah pentingnya. Matah
menjadi sumber dari segala ilmu yang ada di
atas dunia ini..."
Raden Pati Rono tertawa bergelak mendengar
kata-kata Ki Guru itu.
"Apakah ilmu pelajaranmu bisa membuat aku
memiliki pukulan sakti halilintar tadi?"
"Memang tidak Raden Pati. Ilmu kesaktian
adalah ilmu dunia. Sebaliknya ilmu agama
adalah ilrnu untuk dunia dan juga untuk
akhirat guna mendapatkan keselamatan."
"Dusta besar yang menyesatkan! Ketika aku
sakit apakah ilmu agamamu yang
menyembuhkanku?"
"Memang bukan ilmu agama. Tapi Tuhan
yang menjadikan agama dan kita semua,
Dialah yang menyembuhkan dirimu, Raden!"
"Aku tidak percaya pada Tuhanmu itu Ki
Guru!"
"Astagafirullah! Jangan bicara seperti itu
Raden. Besar dosanya. Jangan jadi orang
murtad! Inilah salah satu kelainan yang kini
terdapat pada dirimu Raden. Dulu kau
seorang pemuda yang taat pada agama. Rajin
sembahyang dan mengaji. Kini mengapa tiba-
tiba kau berubah...?"
"Mengapa hal itu tidak kau tanyakan saja
pada Tuhanmu?!" tukas Raden Pati.
"Ya Tuhan, ampunilah anak manusia ini atas
ucapan-ucapannya..." kata Ki Guru Sendang
Bogayana. "Raden Pati, ibumu dan juga aku
tidak ingin kau tersesat lebih jauh..."
"Sesat? Aku tidak merasa sesat. Kalian orang-
orang bodoh yang sebenarnya berada dalam
kesesatan!"
"Hanya orang-orang sesat yang tega
membunuh kucing! Bahkan hendak membunuh
orang tua yang telah berbakti puluhan tahun
pada keluarga!" sahut Ki Guru pula dengan
suara lantang karena dia tidak dapat lagi
menahan kesabaran dan hawa amarah atas
ucapan-ucapan si pemuda. Rahang Raden
Pati tampak menggembung. Kedua bola
matanya yang berwarna kelabu membersitkan
sinar aneh menggidikkan. Dia maju mendekati
Ki Guru. Yang didekati tetap tegak di
tempatnya.
"Jika kau menganggap aku manusia sesat
tidak jadi apa. Karena itulah saat ini aku
tidak merasa bersalah jika harus
membunuhmu!"
"Raden! Ingat! Aku ini gurumu yang ingin
menolong dan menyelamatkan dirimu!" teriak
Ki Guru Sendang Bogayana ketika dilihatnya
anak muridnya itu mengangkat tangan kanan
sambil tertawa bergelak.
"Jangan bunuh diriku Raden! Ingat Raden!"
teriak Ki Guru pula kini seraya melangkah
mundur.
Gelak Pati Rono semakin keras. Tiba-tiba dia
pukulkan tangan kanannya ke depan.
Terdengar suara letupan keras disertai
kiblatan cahaya terang. Lalu serangkum angin
keras dan luar biasa panasnya menderu. Ki
guru Sendang Bogayana terdengar terpekik.
Tubuhnya mencelat mental. Ketika tubuh itu
tercampak di atas pasir bentuknya tidak
seperti tubuh manusia lagi. Berubah menjadi
seonggok benda hangus gosong dan hitam
serta mengepulkan asap berbau sangit!


SEPULUH
GOMBONG PANGESTU memacu kudanya
dengan kencang, mengikuti Pendekar 212 Wiro
Sableng yang menunggangi seekor kuda
coklat di sebelah depan. Tiba-tiba Wiro
menarik tali kekang kudanya kuat-kuat.
Binatang ini meringkik keras seraya angkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Gombong
Pangestu, orang tua tokoh silat istana terkejut
dan buru-buru hentikan kudanya.
"Ada apa?!" tanya Gombong Pangestu.
Murid Sinto Gendeng menunjuk ke depan
dimana menggeletak sesosok tubuh di tengah
jalan, entah sudah mati entah hanya pingsan.
Sosok tubuh ini hampir saja diterjang kaki
kuda kalau Wiro tidak lekas menghentikan
tunggangannya. Wiro dan Gombong Pangestu
sama-sama berjongkok dan balikkan orang
yang tergeletak di tengah jalan itu. Ternyata
seorang tua yang berada dalam keadaan
meregang nyawa. Tangan kanannya tampak
hitam pekat sebatas pergelangan. Kedua
matanya terpejam. Dari mulutnya terdengar
suara rintihan halus. Ketika Wiro membuka
kelopak mata kiri orang itu kagetlah dia.
Bagian putih matanya ternyata berwarna
hitam!
"Racun jahat!" desis Gombong Pangestu. Lalu
dia cepat menotok empat jalan darah di tubuh
orang itu. Sambil memperhatikan wajah orang
dia berkata, "Aku rasa-rasa pernah melihat
orang ini sebelumnya. Dia pernah muncul di
Keraton beberapa kali. Ah, siapa dia ini..."
"Kurasa jiwanya tak bisa diselamatkan. Yang
bisa kita lakukan menunda kematiannya
beberapa saat, lafu berusaha mendapatkan
keterangan apa yang terjadi alas dirinya,"
berkata Wiro.
"Jika memang tak bisa ditolong mengapa
menyiksa dirinya dan berusaha meminta
keteraragan..." kata Gombong Pangestu pula.
"Aku justru punya firasat, jangan-jangan
orang ini ada sangkut pautnya dengan
masalah yang tengah kita selidiki. Bukankah
tempat ini terletak di antara pantai utara dan
hutan tempat diduga menjadi kediaman Ki
Dukun Tambak Reso itu?"
Gombong Pangestu memandang berkeliling.
"Hem...mungkin betul juga ucapanmu. Jika
kau hendak melakukan sesuatu lekas
laksanakan. Jangan sampai dia keburu mati!"
Wirolantas menambahkan beberapa totokan di
tubuh orang yang tergeletak di tengah jalan
itu yang bukan lain adalah Tapak Lodra. Lalu
dia memijit kedua ibu jari kaki Tapak Lodra
dengan tangan kiri kanan. Perlahan-lahan
pendekar ini kerahkan tenaga dalam panas
melalui kedua tangannya. Mendadak dia
terpental dua langkah dan jatuh duduk
terjengkang. Mukanya tampak merah.
"Ada apa?! tanya Gombong Pangestu
keheranan.
"Aneh, tenaga dalamku seperti didorong dan
menghantam diriku sendiri. Ada rasa panas
membersit...!" Wiro menjawab sambil garuk-
garuk kepala.
Gombong Pangestu merenung sejenak. "Coba
kau alirkan tenaga dalam dingin!" katanya
sesaat kemudian.
Wiro kembali memijit kedua ibu jari Tapak
Lodra. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga
dalam panas maka kini dicobanya
mengalirkan tenaga dalam dingin. Tidak
terjadi apa-apa. Malah sesaat kemudian
terdengar rintihan orang itu menjadi lebih
keras. Wiro kerahkan tenaga dalam penuh!
Lalu dia mulai menepuk-nepuk wajah orang
dan dekatkan mulutnya ke telinga kanan
Tapak Lodra.
"Orang tua lekas katakan apa yang terjadi
pada dirimu!"
Orang yang ditanya mengerang panjang.
"Siapa bertanya siapa?!" terdengar
jawabannya.
"Jiwamu tak bisa ditolong lagi. Jadi jangan
banyak tanya. Beri saja keterangan. Siapa
namamu?!" yang bertanya kini adalah
Gombong Pangestu.
"Aku tidak takutkan kematian! Yang aku
takutkan ialah kalau-kalau memberikan
keterangan pada manusia-manusia laknat
kaki tangan Ki Dukun Tambak Reso atau
bangsat bernama Raden Pati Rono...!"
Gombong Pangestu dan Wiro Sableng saling
perpandangan.
"Hai! Kau belum mengatakan siapa namamu!
Apa yang terjadi?!"
"Aku Tapak Lodrat Puluhan tahun mengabdi
hanya berakhir pada kematian yang
mengenaskan..."
Mendengar orang menyebutkan nama
terkejutlah Gombong Pangestu. Dia berseru
keras
"Sahabatku Tapak Lodra! Aku Gombong
Pangestu! Bagaimana sampai kau mengalami
nasib seperti ini? Bukankah kau bekerja pada
keluarga almarhum hartawan Rono Wiculo di
Losari?"
Tapak Lodra mengerang panjang, baru bisa
menjawab, "Ah Gombong, terima kasih Gusti
Allah. Kalaupun aku mati ada seorang
sahabat yang menyaksikan. Jadi tidak mati
seperti anjing buduk di tengah jalan.
Gombong, nasibku sungguh buruk di akhir
hayat. Aku ..." Tapak Lodra batuk beberapa
kali. Bersamaan dengan batuknya itu dia
muntahkan darah berwarna hitam. Gombong
Pangestu cepat seka darah yang mengotori
bibir sahabatnya.
"Kau benar, memang aku bekerja pada
keluarga almarhum Rono Wiculo. Dia orang
baik. Tapi anaknya yang pernah mati lalu
dihidupkan kembali oleh seorang dukun edan,
telah berubah menjadi iblis! Dialah yang
mencelakaiku. Dia memiliki pukulan sakti
aneh, ganas luar biasa..."
"Apakah dukun edan katamu itu adalah Ki
Dukun Tambak Reso?" bertanya Wiro.
"Betul...betul sekali. Dialah yang jadi pangkal
bahala. Gombong sahabatku. Kau harus
menolong janda almarhum Raden Mas Rono
Wiculo itu. Ki Dukun keparat itu hendak
menguasai dirinya. Dia memaksa
memperistrikan perempuan itu. Tapi hati-hati
terhadap si Pati Rono. Dia manusia yang
dihidupkan kembali sebagai iblis!"
"Kau tahu dimana tempat kediaman dukun
sakti itu?" bertanya Pendekar 212.
Tapak Lodra batuk-batuk beberapa kali. Dari
mulutnya semakin banyak darah yang keluar.
Saat itu dadanya mendenyut menyesak.
Lidahnya mulai kelu tanda ajalnya segera
putus beberapa saat lagi. Kepala Tapak Lodra
tampak menggeleng perlahan. Kalian...kalian
bisa menemukannya di rumah almarhum
Raden Rono Wiculo. Aku...Hek!" Kata-kata
Tapak Lodra hanya sampai disitu. Dari
tenggorbkannya keluar suara seperti tercekik.
Nyawanya putus sudah!


RADEN AYU TAMBAK DWITA terkejut sekali
ketika dia memergoki pelayan perempuan
berusia enam belas tahun itu menuruni tangga
dari tingkat atas dengan tergopoh- gopoh.
Tubuhnya nyaris telanjang karena hanya
tertutup sehelai kain panjang yang robek-
robek di sana sini. Pada muka, leher dan bahu
serta dadanya yang tersingkap tampak luka-
luka bekas gigitan dan pukulan.
"Saminten! Dari mana kau?! Apa yang terjadi
dengan dirimu?!"
Pelayan itu tergagap kaget. Begitu
mengetahui kalau saat itu berhadapan dengan
majikannya pelayan ini langsung jatuhkan
diri, pegangi kaki Tambakdwita dan menangis
keras. Kain di bagian dadanya merosot.
Tambakdwita merasa bulu kuduknya berdiri
ketika melihat luka besar di salah satu
payudara Saminten.
"Mohon ampunanmu Gusti. DO Gusti, saya
mohon ampunmu..,"
"Katakan apa yang terjadi! Siapa yang
menganiayamu seperti ini?!" berianya
Tambakdwita hampir berteriak.
"Saya...saya tak berani mengatakannya Gusti.
Saya...saya dipaksa..."
"Kau tak usah takut! Siapa yang
memaksamu? Ayo bilang!"
"Duh Gusti...Mohon maafmu. Mohon
ampunmu...Puteramu, Raden Pati yang
melakukannya. Saya dipaksa melayaninya.
Setelah puas sekujur tubuh saya digigit dan
dipukulinya..."
Bergetar sekujur tubuh Tambakdwita
mendengar keterangan pelayan itu. "Saminten,
pergi masuk ke kamarmu. Aku segera
menyusut. Jangan ceritakan pada siapapun
kejadian ini. Mengerti...?"
"Saya mengerti Gusti Ayu. Tapi saya sudah
berniat untuk berhenti bekerja disini..." jawab
Saminten.
"Itu bisa kita bicarakan kemudian. Yang
penting sekarang masuk dulu ke kamarmu!"
Begitu pelayan itu berlalu, seperti terbang
Tambakdwita melompati tangga menuju ke
tingkat atas. Di depan pintu kamar anaknya
dia mengetuk dan memanggil keras-keras.
"Pati! Buka pintu! Pati.... !"
Tak ada jawaban dari dalam. Pintu pun tidak
dibukakan. Perempuan itu kembali mengetuk
dan berteriak. Lebih keras dan lebih keras.
Tiba-tiba pintu terbuka. Satu tangan
menyambar keluar, mencekal lengan
Tambakdwita. Di lain kejap perempuan ini
terbetot masuk ke dalam kamar! Tambakdwita
sempat terpekik. Matanya membeliak dan
nafasnya memburu ketika dia melihat
puteranya tegak di depannya.
"Pati! Apa yang telah kau lakukan terhadap
pelayan itu? Katakan apa yang telah kau
perbuat?!"
"Bukankah dia telah mengatakan padamu...?"
menyahuti Pati Rono.
"Jadi betul kau telah mengotori rumah ini
dengan perbuatan mesum terkutuk! Kau
mencemari nama almarhum ayahmu!"
Pati Rono tertawa. "Apa kau tidak mengotori
rumah ini sejak beberapa malam lalu? Ketika
ibu berdua-dua di atas ranjang bersama Ki
Dukun...?!"
Tambakdwita menjerit keras mendengar kata-
kata anak lelakinya itu lalu plaak!
Tamparannya melayang dengan keras di pipi
kiri Pati Rono! Sepasang mata kelabu Pati
Rono tampak bernyala, membersitkan sinar
menggidikkan. Dia melangkah men-dekati
ibunya. Sang ibu yang jadi ketakutan bergerak
mundur tapi punggungnya ter-tahan dinding
kamar. Tiba-tiba kedua tangan Pati Rono
meluncur ke depan, me-nyambar batang leher
Tambakdwita, langsung mencekiknya kuat-
kuat. Perempuan itu masih sempat menjerit
sebelum lidahnya terjulur dan kedua matanya
membeliak.
Dari tingkat bawah rumah terdengar suara
orang berlari menaiki tangga. Lalu
menggeledek satu bentakan, "Pati Rono! Kau
hendak membunuh ibumu sendiri?!" Lalu satu
angin deras mendorong tubuh si pemuda. Dia
terjajar hampir jatuh. Tapi karena cekikannya
tidak terlepas maka Tambakdwita ikut tertarik
bersamnya. Perempuan itu sudah lemas
karena tak bisa bemafas. Jika tidak tertolong
dalam waktu singkat, nyawanya pasti putus!
"Pati Rono! Lepaskan! Yang kau cekik adalah
dirimu sendiri! Lepaskan!" Kembali suara
yang tadi membentak berteriak keras.
Pati Rono terkejut. Yang dilihatnya di
hadapannya dan yang dicekiknya dengan
kedua tangannya yang kukuh memang adalah
dirinya sendiri. Dan dia merasakan lehernya
sakit sekali, sulit bernafas. Serta merta dia
melemparkan tubuh di depannya itu.
Tambakdwita terbanting ke luar pintu, jatuh
dekat tangga. Kalau tidak lekas ditolong oleh
Ki Dukun Tambak Reso, perempuan ini pasti
akan jatuh menggelinding ke tingkat bawah.
"Manusia iblis! Kau hendak membunuh ibumu
sendiri!" hardik Ki Dukun.
"Dukun keparat! Kau akan menerima
giliranmu!" teriak Pati Rono marah. Lalu
membanting pintu kamar.
Ki Dukun cepat menolong Raden Tambakdwita
dan menggendongnya ke dalam kamar tidur di
tingkat bawah. Beberapa orang berlarian
mendatangi, termasuk Tambaksari puterinya.
Seseorang diperintahkan mengambil segelas
air putih. Setelah membacakan mentera pada
air itu dan meminumkannya pada
Tambakdwita, janda almarhum Raden Mas
Rono Wiculo itu mulai sadar walau wajahnya
masih pucat. Sekilas terbayang di pelupuk
malanya saat ketika puteranya hendak
mencekiknya. Langsung dia menjerit. Ki
Dukun cepat mengusap kening perempuan ini.
"Tenang Den Ayu. Kau berada di tempat yang
aman. Tak ada yang perlu ditakutkan..." kata
Ki Dukun perlahan. Sementara Tambaksari
mengelus-elus rambut ibunya tiada henti dan
kedua matanya berkaca-kaca. "Ki Dukun..."
terdengar suara Tambakdwita perlahan antara
terdengar dan tiada. "Aku menyesal
memintamu menghidupkan anak itu. Dia...dia
bukan manusia. Dia adalah penjelmaan
iblis...Aku ingin ...aku ingin kau
mematikannya kembali, Ki Dukun. Bunuh anak
itu dan tanam mayatnya jauh-jauh dari sini...
Ki Dukun Tambak Reso tak bisa menjawab
apa-apa. Tiba-tiba terdengar Tambaksari
menangis keras dan menjatuhkan dirinya di
atas dada ibunya.
"Ada apa kau menanyos Sari...?" bertanya
berbisik sang ibu.
"Mas Pati... Dia memang harus disingkirkan
dari rumah ini, bu. Saya takut..." ujar
Tambaksari di antara tangisnya.
"Dia melakukan sesuatu terhadapmu Sari...?"
Gadis itu tak segera menjawab melainkan
menangis kencang. Setelah tangisnya reda
baru terdengar ucapannya. "Satu hari lalu dia
mengajak saya ke teluk. Katanya untuk
menyaksikan bagaimana dia melatih ilmu
kesaktian baru yang disebut pukulan
halilintar. Tapi di situ tiba-tiba saja dia
hendak memperkosa saya..."
Semua orang yang ada disitu tentu saja
sangat terkejut mendengar keterangan si
gadis.
Air mata tampak mengalir di kedua pipi
Tambakdwita. "Dia benarbenar melakukan
perbuatan terkutuk itu, anakku...?"
Tambaksari menggeleng. "Saat itu kebetulan
ada dua orang gagah lewat. Satu tua, satu
masih muda. Mereka menolong saya. Mereka
kemudian hampir bentrokan dengan Mas Pati.
Tapi saya lihat keduanya sengaja mengalah
dan meninggalkan teluk. Mungkin sekali
mereka berada di Losari saat ini..."
Sepasang mata Ki Dukun Tambak Reso
tampak membuka lebih lebar. Tiba-tiba saja
ada perasaan tak enak dalam hatinya.
"Den Ayu Tambaksari... Dapatkah kau
menerangkan lebih rinci ciri-ciri kedua orang
yang menolongmu itu...?" bertanya Ki Dukun.
"Yang muda berpakaian serba putih. Ikat
kepalanya juga putih. Sikapnya konyol,
terkadang seperti orang kurang waras..."
"Hemm...aku tak kenal padanya," desis Ki
dukun Tambak Reso.
"Bagaimana ciri-ciri orang yang satu lagi?"
"Sudah lanjut usia tapi gerakannya sebat
sekali. Dia mengenakan pakaian biru..."
Ki Dukun merenung sejenak. Ada beberapa
orang tokoh silat yang memiliki ciri-ciri
seperti itu. Sejak beberapa waktu lalu dia
mendengar kabar bahwa dirinya dicari-cari
oleh seorang utusan dan Kotaraja. Hal itu ada
sangkut pautnya dengan kotak batu hitam
yang kini berada padanya.
"Ki Dukun..." terdengar suara Raden Ayu
Tambakdwita. "Kau sudah mendengar
permintaanku. Singkirkan anak itu sebelum
dia membunuhi penghuni rumah ini satu demi
satu..."
"Aku akan mencari jalan sebaik-baiknya Den
Ayu…" ujar Ki Dukun. Lalu dia tinggalkan
kamar itu.


SEBELAS
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG dan Gombong
Pangestu hentikan kuda tak jauh dari pintu
pekarangan rumah besar janda almarhum
Rono Wiculo. Keduanya sengaja berlindung
dibalik dua batang pohon besar di seberang
jalan.
"Aku mendengar ada suara perempuan
menjerit dari dalam rumah. Di tingkat atas..."
ujar Wiro.
Gombong Pangestu anggukkan kepala. Sesaat
dia memandang berkeliling. "Kita langsung
masuk..?" bertanya Wiro.
"Jangan kesusu. Kita tunggu dulu di sini
sambil melihat situasi," jawab Gombong
Pangestu, tokoh silat Keraton yang punya
segudang pengalaman itu.
Suara jeritan yang tadi mereka dengar adalah
jeritan Raden Ayu Tambakdwita ketika dicekik
oleh Pati Rono.
"Aku berharap, sesuai keterangan Tapak
Lodra, manusia bernama Ki Dukun Tambak
Reso itu ada di tempat ini..."
"Aku punya firasat dia memang ada di sini..."
sahut Wiro seraya garuk-garuk kepala.
"Sebelum kita berhadapan dengan dukun sakti
itu, ada beberapa hal yang harus kau ingat
baik-baik pendekar muda. Tambak Reso
adalah dukun yang sebenarnya mengandalkan
pada ilmu sihir. Karena itu jika berhadapan
jangan terlalu memandang ke arah kedua
matanya dan sekalikali jangan mendengar apa
yang dikatakannya. Jika dia mengatakan lihat
ular, maka kau benar-benar akan melihat ular.
Kecuali jika kau tidak memperdulikan maka
mantera sihirnya tidak akan jadi. Kita harus
mengusahakan mendapatkan batu mustika
Kencono Sukmo itu dari tangannya secara
baik-baik. Kalau tidak bisa, dengan jalan
membunuhnyapun tak jadi apa!"
"Menurut dara baju kuning yang kita tolong di
teluk tempo hari, kakak laki-lakinya itu tinggal
serumah di tempat ini. Apakah kita masih
akan mengalah lagi seperti sehari lalu ketika
dia menyerang kita di teluk?"
"Ini memang satu masalah baru bagi kita. Aku
melihat ada keanehan pada diri pemuda itu.
Pandangan matanya seperti iblis dan
wajahnya seperti setan. Dirinya seolah-olah
menyimpan satu rahasia yang dahsyat. Dan
kedahsyatan itu tercium sebagai maut di
hidungku."
"Bagiku dai adalah seorang manusia segala
bejat. Kalau tidak masakan tega hendak
merusak kehormatan adik sendiri!" ujar Wiro
pula.
"Bejat atau bukan yang pasti kita harus
berhati-hati setiap saat dia muncul! Ingat
penjelasan Tapak Lodra? Pemuda itu memiliki
pukulan mengandung racun mematikan. Lagi
pula..."
Pendekar 212 mengangkat tangan kirinya
memberi tanda lalu berbisik, "Ada seseorang
keluar dari pintu depan rumah dan duduk di
langkan...Kau kenal padanya?"
Orang yang keluar dari rumah besar dan
kemudian duduk di sebuah kursi yang terletak
di langkan rumah berpakaian hijau muda,
memiliki janggut, kumis serta rambut putih
dibawah blangkonnya yang terbuat dari kain
bludru berwarna ungu gelap.
"Dia bangsatnya!" kertak Wiro ketika
mengenali orang berbaju hijau muda itu.
"Dialah orang yang kutemui di puncak bukit
Jati Arang! Manusia yang sanggup
menghidupkan rusa yang telah mati dikoyak
harimau. Pak tua Gombong Pangestu, orang
itu adalah Ki Dukun Tambak Reso yang kita
cari-cari!"
"Keterangan Tapak Lodra betul. Ternyata dia
ada disini! Mari..."
Gombong Pangestu keluar dari balik pohon
besar, menyeberangi jalan dan memasuki
halaman depan rumah kediaman almarhum
Rono Wiculo. Pendekar 212 Wiro Sableng
mengikuti dari belakang. Ketika melihat ada
dua penunggang kuda memasuki halaman,
orang berbaju hijau muda yang memang
adalah Ki Dukun Tambak Reso serta merta
berdiri dan melangkah ke ujung langkan,
berhenti di anak tangga rumah paling atas.
"Kalian siapa dan ada keperluan apa?!"
membentak Ki Dukun.
Kemudian disadarinya bahwa dia rasa-rasa
kenal dengan pemuda berambut gondrong
berpakaian serba putih itu. Paling tidak
pernah melihatnya sebelumnya. Lalu tiba-tiba
saja dia ingat. Keparat gondrong ini adalah
orang yang memata-matainya di puncak bukit
Jati Arang tempo hari! Yang mengaku
membawa tugas dari istana untuk mengambil
kotak batu hitam dari tangannya. Otak cerdik
dan licin Ki Dukun segera bekerja.
Dia sunggingkan tawa lebar dan berkata. "Ah,
kalian pastilah dua orang gagah yang
menolong Raden Ayu Tambaksari di teluk satu
hari lalu. Ibunda gadis itu memang tengah
menunggu-nunggu kalian berdua. Ada hadiah
besar hendak diserahkannya pada kalian.
Tunggulah..."
"Kami kemari bukan untuk mencari hadiah.
Tapi..." ujar Gombong Pangestu.
Namun saat itu Ki Dukun Tambak Reso sudah
palingkan tubuh dan melangkah masuk ke
dalam rumah. Begitu masuk ke dalam dia
tidak pergi menemui Raden Ayu Tambakdwita
seperti yang dikatakannya karena itu memang
hanya akal bulusnya saja. Dengan cepat dia
naik ke tingkat alas di mana kamar Raden
Pati Rono berada. Dengan paksa dia
mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar.
Pati Rono yang ada di dalam kamar itu
menggereng marah, langsung melompati Ki
Dukun. Orang tua ini cepat mengangkat
tangan dan berkata, "Raden, jangan marah
dulu. Di luar ada dua orang tamu mencarimu.
Mereka adalah orang-orang yang bentrokan
denganmu di teluk satu hari yang lalu..."
"Bangsat! Ada keperluan apa mereka berani
datang kemari?!" sentak Pati Rono.
"Mereka bilang urusan di teluk belum selesai.
Mereka sengaja datang menantangmu untuk
menjajal ilmu pukulan halilintar yang kau
miliki. Bukankah waktu di teluk kau tak
sempat mempergunakannya?!"
"Mereka mencari mati!" teriak Pati Rono.
Tubuh Ki Dukun didorongnya hingga terjajar.
Dengan dua kali bergerak saja dia sudah
berada di tingkat bawah langsung lari ke
bagian depan rumah. Ki Dukun Tambak Reso
menyeringai. "Manusia-manusia tolol!"
katanya. "Berkelahilah kalian sampai mampus
semua!" Lalu dengan cepat dia menuruni
tangga menuju bagian belakang rumah besar.
Ketika Ki Dukun masuk ke dalam tadi,
Gombong Pangestu berpaling pada Pendekar
212 dan berkata, "Aku kawatir, jangan-jangan
dukun keparat itu melarikan diri lewat pintu
belakang."
"Kalau begitu biar aku menyelidik!" ujar Wiro
pula. "Jangan. Biar aku yang melakukan.
Manusia satu itu banyak tipu muslihatnya.
Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika ada yang
kelihatan hendak melarikan diri cepat memberi
tanda!"
Wiro mengangguk. Gombong Pangestu
memacu kudanya melewati halaman samping,
terus menuju bagian belakang rumah. Dia
sampai dekat sebuah bangunan kecil, tepat
pada saat Ki Dukun Tambak Reso melompat
naik ke atas punggung seekor kuda dan
membedal binatang ini menuju pintu
belakang.
"Ki Dukun! Sampean mau lari kemana?!" seru
Gombong Pangestu. Kudanya dipacu ke
samping kuda Ki Dukun. Sesaat kemudian
tampak tubuhnya melesat di udara, langsung
menubruk dan merangkul tubuh Ki Dukun.
Kedua orang tua itu sama-sama jatuh ke
tanah. Ki Dukun bangkit berdiri lebih dulu.
Begitu berdiri dia langsung kirimkan
tendangan ke kepala Gombong Pangestu.
Sambil gulingkan diri di tanah tokoh silat
istana itu berhasil mengelak dan membalas
dengan pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi. Tapi luput karena yang
diserang sudah berkelit ke kiri.
Sambil berdiri Gombong Pangestu keluarkan
sebuah benda dan mengancungkan-nya ke
arah Ki Dukun Tambak Reso. Benda itu
berbentuk bulat putih, terbuat dari perak
murni, Itulah cap Kerajaan yang dituang
dalam bentuk perak.
"Aku utusan Kerajaan. Ditugaskan untuk
menangkapmu hidup atau mati!" teriak
Gombong Pangestu. "Kecuali jika kau mau
menyerahkan benda pusaka kotak batu hitam
milik Keraton!"
"Kotak batu hitam milik Keraton?" ujar Ki
Dukun terheran-heran.
"Jangankan memilikinya, mendengaryapun
baru sekali ini!" kata orang tua itu pula. Lalu
sambungnya, "Aku orang kebanyakan, mana
berani mencuri harta pusaka Kerajaan! Kau
pasti mendapat keterangan keliru dan
menyesatkan!"
Gombong Pangestu tersenyum. Dia tahu
manusia di hadapannya ini banyak akal dan
tipu muslihatnya. Maka diapun berkata, "Mari
kugeledah dulu tubuh dan pakaianmu!"
Ki Dukun menggeleng. "Aku tidak suka
digeledah. Aku bukan maling bukan pencuri!
Jangan coba-coba mendekatiku!"
"Kalau kau menolak, terpaksa aku melakukan
kekerasan!" mengancam Gombong Pangestu.
"Hemm, begitu?! Silahkan kalau kau
mempunyai kemampuan. Tapi ingin
kutanyakan apa perlunya kau memegang-
megang kalajengking di tangan kananmu?!"
Gombong Pangestu hampir terkena sirapan
mantera sihir yang diucapkan Ki Dukun.
Tanpa sadar dia memandang ke arah tangan
kanannya. Meski sekilas dia sempat melihat
bagaimana cap Kerajaan yang dipegangnya
dilihatnya sebagai seekor kelajengking hitam
yang siap untuk mematuknya. Untung saja dia
segera ingat dan berteriak, "Kalau ini
memang milikmu, ambil dan makanlah!" Lalu
Gombong Pangestu lemparkan cap Kerajaan di
tangan kanannya. Benda ini melesat ke arah
Ki Dukun, membuat dia terkejut dan buru-buru
melompat selamatkan diri karena ucapan
lawan tadi membuat benda itu menjadi seperti
kalajengking benaran dimatanya sendiri!
"Tua bangka satu ini berbahaya! Ilmu sihirku
tampaknya tak bakal dapat diandalkan
menghadapinya!" Ki Dukun memutar otak.
Tiba-tiba dia menjura seraya berkata: "Aku
maklum tak bakal menang menghadapi orang
pandai sepertimu Memang kotak batu hitam
itu ada padaku. Aku tak mau membuat urusan
dengan Kerajaan. Biar benda itu kukembalikan
saat ini juga...."
Seperti diketahui batu hitam itu diselipkan Ki
Dukun di pinggang kirinya. Tapi dia meraba
saku jubah hijaunya sebelah kanan di mana
terdapat sebuah kitab kecil. Dengan
manteranya dia sanggup membuat kitab kecil
itu berubah bentuk menjadi seperti batu hitam
benda pusaka Keratori. Sekali lagi dia
menjura dan mengulurkan kotak batu itu
kepada Gombong Pangestu. "Terimalah. Aku
mohon maafmu. Sesudah benda pusaka ini
kukembalikan harap aku tidak diganggu
lagi..."
Gombong Pangestu merasa lega ketika
melihat benda pusaka yang disodorkan Ki
Dukun itu. Dia menggerakkan tangan hendak
menerimanya. Namun selintas pikiran
mendadak muncul dalam benaknya. Mengapa
manusia itu tiba-tiba berubah pikiran.
Mengapa mendadak semudah itu dia
mengembalikan batu Kencono Sukmo?
"Benda palsu kembali ke bentuk aslimu!"
teriak Gombong Pangestu lalu dia melompat
menyergap Ki Dukun.
Batu hitam di tangan Ki Dukun serta merta
berubah ke bentuk aslinya yakni sebuah kitab
kecil. Di saat yang sama serangan Gombong
Pangestu sampai. Tak ada jalan lain. Ki
Dukun campakkan buku kecil itu lalu
menangkis. Dua lengan saling beradu. Ki
Dukun seperti disengat api sedang Gombong
Pangestu terjajar dua langkah dengan dada
berdenyut. Perkelahian antara dua jago tua
ini memang tak dapat dihindarkan lagi!


DUA BELAS
"BANGSAT GONDRONG! Berani kau datang
kemari! Benar-benar mencari mati!" teriak
Pati Rono. Pendekar 212 Wiro Sableng yang
enak-enakan duduk di atas kudanya tentu
saja terkejut melihat munculnya pemuda ini.
"Eh, si tua bangka edan itu lenyap entah
kemana! Tahu-tahu kini pemuda sedeng ini
yang muncul!" ujar Wiro dalam hati. Hatinya
tercekat juga melihat kegarangan dan
kesangaran orang.
"Kau bilang hendak menjajal pukulan
halilintar! Ini kau makan dan mampuslah!"
teriak Pati Rono. Lalu tangan kanannya
dipukulkan ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Murid Eyang sinto Gendeng ctari Gunusig
Gede melihat ada kiblatan menyilaukan keluar
dari tangan Pati Rono disertai letupan keras
tak bedanya seperti halilintar menyambar dan
guntur menggelegar. Tubuhnya yang duduk di
atas kuda bergoncang keras. Lalu ada hawa
panas luar biasa yang menderu menerpanya.
Sadar kalau orang memang hendak
membunuhnya dengan pukulan sakti yang
ganas, Wiro Sableng berteriak keras dan
jatuhkan diri dari punggung kuda.
Wuuttt!
Kuda coklat itu meringkik keras dan terpental.
Terkapar di tanah tanpa berkutik lagi.
Tubuhnya sampai ke kaki hangus gosong
mengepulkan asap dan menebar bau
sangitnya daging yang terpanggang. Pendekar
212 letetkan lidah dan rasakan tengkuknya
merinding. Sempat tubuhnya yang kena di
hantam pukulan sakti tadi pasti nyawanya
sudah terbang saat itu juga!
"Bagus kau mampu mengelak! Coba ini sekali
lagi!" teriak Pati Rono. Sepasang matanya
yang kelabu menyorotkan hawa pembunuhan.
Mulutnya berkemik seperti hendak menghisap
darah Pendekar 212, geraham-gerahamnya
bergemeletakan seolah-olah ingin mengunyah
kepala murid Sinto Gendeng itu!
Wiro tak mau menunggu sampai lawan
menghantamnya untuk kedua kali. Tangan
kanannya yang telah berubah menjadi putih
berkilau laksana perak karena aji pukulan
matahari di angkat. Begitu lawan dilihatnya
menggerakkan tangan, Pendekar 212
hantamkan tangan kanannya!
Terjadilah hal yang luar biasa. Letupan
dahsyat seperti gunung meletus menggoncang
halaman depan rumah besar. Di dalam rumah
terdengar pekikan orang ketika ada bagian
atap yang ambrol dan runtuh. Dua sosok
tubuh lari berusaha menyelamatkan diri.
Ternyata mereka adalah Raden Ayu
Tambakdwita dan puterinya. Kedua
perempuan ini kembali jadi melengak kaget
ketika melihat bagaimana tanah dan pasir
halaman muncrat berhamburan. Jambangan
dan patung-patung batu, rubuh bergulingan.
Ada asap putih membubung ke udara menebar
bau terbakar yang menyesakkan pernafasan.
Lalu diantara pasir debu dan kepulan asap itu
ibu dan anak ini meeihat sosok dua orang
pemuda terduduk di tanah, saling terpisah
sekitar dua belas langkah satu sama lain.
Yang di sebelah kiri bukan lain adalah Pati
Rono, terduduk dengan muka pucat laksana
mayat. Yang satunya adalah pemuda
gondrong yang dikenal Tambaksari sebagai
salah satu dari dua orang yang menolongnya
di teluk.
"Pati anakku!" seru Tambakdwita.
Bagaimanapun bencinya perempuan ini,
bahkan mengingkan kematian puteranya itu
kembali, tapi hati nurani seorang ibu tidak
bisa disembunyikan. Dia berseru sambil
hendak berlari mendapatkan Pati Rono.
Namun puterinya cepat memegangi
tangannya.
"Jangan ibu. Terlalu berbahaya. Jangan
mendekat...!"
Terpaksa sang ibu hanya tegak berdiri sambil
pandangi anaknya dengan kedua mata
berkaca-kaca. Wiro merasakan dadanya
mendenyut sakit. Mulutnya terasa asin. Dia
menyeka bibirnya dengan belakang telapak
tangan. Ada noda merah di tangan itu. Darah!
Sadarlah pendekar ini kalau bentrokan
pukulan sakti tadi telah membuatnya terluka
di dalam! Dan di hadapannya dilihatnya Pati
Rono tegak sambil menyeringai. Tangan
kanannya diangkat kembali, siap untuk
melepaskan pukulan halilintar. Pendekar 212
sadar dia tak bakal dapat menghadapi
pukulan yang luar biasa hebatnya itu dengan
pukulan sinar matahari yang juga
mengandung hawa panas. Dan pasti akan
sia-sia jika dia berusaha menghadapi dengan
pukulan kunyuk melempar buah atau orang
gila mengebut lalat ataupun bertahan dengan
pukulan benteng topan melanda samudera.
Semua ilmu pukulan sakti yang dimilikinya itu
bertitik tolak pada hawa panas.
Di depannya Pati Rono sudah siap
menghantam. Dalam saat yang sangat kritis
itu tiba-tiba Wiro ingat pengalamannya
sewaktu berusaha menolong Tapak Lodra.
Hawa tenaga dalam panas yang coba
dialirinya ke tubuh orang itu menimbulkan
kekuatan mendorong yang membuatnya
terpental. Karena Tapak Lodra sebelumnya
telah cidera oleh pukulan halilintar, berarti
ada hawa panas pukulan lawan yang masih
mendekam dalam tubuhnya bersama racun
jahat dan tidak bisa dihadapi dengan tenaga
dalam panas pula. Saat itu atas nasihat
Gombong Pangestu dia kemudian
mengerahkan tenaga dalam yang bersumber
pada hawa dingin dan memang berhasil.
Memikir sampai disitu Pendekar 212 segera
siapkan diri dengan ilmu pukulan sakti
bernama pukulan angin es. Kedua tangan
diangkat tinggitinggi ke atas, lalu dua tangan
itu diputar-putar. Udara disekitar situ
mendadak menjadi sejuk lalu tiba-tiba sekali
menjadi dingin luar biasa!
Raden Ayu Tambakdwita dan puterinya
merasakan tubuh mereka seperti dibungkus
es. Ibu dan anak ini langsung jatuh duduk dan
menggigil kedinginan. Tambaksari segera
menyeret ibunya menjauhi tempat itu, masuk
kembali ke dalam rumah dimana hawa dingin
tidak sampai mencekam.
Di halaman, Pati Rono gerakkan tangan
kanannya melepaskan pukulan halilintar. Ada
letupan keras serta kiblatan sinar terang
keluar dari tangan kanannya itu, namun
gerakannya hanya sampai di situ karena
sesaat kemudian tangan itu tak bisa
digerakkan lagi, kaku dingin seperti dipendam
dalam es!
Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Kedua
matanya terpejam. Dia tidak perdulikan
denyutan sakit yang menyesakkan dadanya.
Keadaan kaku di tangan kanan Pati Rono
menjalar ke bagian tubuh yang lain.
Gerahamnya bergemeletakan menahan dingin
yang luar biasa. Dia berteriak namun
mulutnyapun sudah kaku tak bisa digerakkan.
Ketika hawa dingin itu mencucuk-cucuk
otaknya, pemuda ini langsung tergelimpang
rubuh. Kedua matanya terpejam. Bersamaan
dengan itu terdengar pekik Tambakdwita yang
menyangka puteranya telah menemui ajal di
tangan Wiro Sableng. Perempuan ini diikuti
puterinya lari menghambur ke halaman,
langsung memeluk tubuh Pati Rono sambil
meratap.
Tapi tiba-tiba sepasang mata yang terpejam
dari Pati Rono membuka kembali. Kedua
tangannya bergerak dan tahu-tahu telah
mencekik leher ibunya! Wiro terkesiap kaget
sedang Tambaksari menjerit sambil berusaha
menarik kedua tangan kakaknya, agar cekikan
pada leher ibunya terlepas. Tapi sia-sia saja.
Sepasang tangan Pati Rono laksana sebuah
jepitan baja yang dipegang oleh iblis! Wiro
berusaha membantu, tetap saja dua tangan
yang mencekik itu tidak dapat dilepaskan!


TIGA BELAS
PERKELAHIAN ANTARA Gombong Pangestu
dan Tambak Reso berlangsung hebat sekali.
Selama dua puluh jurus lagi perkelahian ini
berlangsung berimbang. Sebagai seorang
dukun yang banyak mengandalkan ilmu-ilmu
sihir maka tingkat ilmu silat yang dimiliki oleh
Ki Dukun sedikitnya masih berada di bawah
kepandaian tokoh silat Istana. Hanya
kelicikan dan akal muslihatnya saja yang
membuat Ki Dukun Tambak Reso tampak
mampu menghadapi lawannya. Namun itu
tidak bertahan lama. Selewatnya jurus kedua
puluh lima, orang tua yang kalah pengalaman
silat ini mulai terjepit oleh hujan gempuran
lawan. Apalagi segala ilmu sihir dan mantera
jahatnya tidak mempan lagi terhadap
Gombong Pangestu.
Maka Ki Oukun mulai memutar otak
bagaimana caranya agar dapat melarikan diri
saja dari tempat itu. Hanya sayang sebelum
maksudnya kesampaian satu jotosan keras
melabrak ulu hatinya. Manusia berjubah hijau
ini tertegak dengan tubuh tergontai-gontai.
Sebelum tubuhnya roboh, Gombong Pangestu
sudah menjambak rambut dan mencekal
dagunya lalu dipuntir keras-keras.
Kraak!
Terdengar patahnya tulang leher Ki Dukun
Tambak Reso. Nyawanya ikut amblas!
Gombong Pangestu mendorong tubuh tak
bernyawa itu hingga bergelimpang di tanah
lalu cepat-cepat menggeledah tubuh dan
pakaian Ki Dukun. Di pinggang kiri Ki Dukun
tokoh silat Istana ini menemukan kotak batu
hitam Kencono Sukmo. Benda pusaka Keraton
itu diambilnya diletakkannya di atas
keningnya seraya berkata, "Terima kasih Gusti
Allah.
Dengan perkenanMu, aku berhasil
mendapatkan barang pusaka ini kembali.
Berarti Sri Baginda segera disembuhkan."
Pada saat itulah Gombong Pangestu
mendengar suara jeritan Tambakdwita yang
disusul oleh jeritan anak perempuannya.
Tanpa pikir panjang lagi sambil masih
memegang kotak batu hitam Kencono Sukmo
di tangan kanannya, orang tua ini lari
menghambur ke halaman depan dan
menyaksikan bagaimana Wiro serta
Tambaksari berusaha melepaskan cekikan
Pati Rono sementara sang ibu semakin lemas.
Lidahnya sudah terjulur. Ludah membusah
dan sepasang matanya hanya tinggal
putihnya saja yang kelihatan.
Tanpa pikir panjang Gombong Pangestu
angkat tangan kirinya. Lalu dengan
mengerahkan tenaga dalam penuh batok
kepala Pati Rono dihantamnya. Jangankan
kepala manusia, kepala seekor kerbaupun
pasti rengkah dan pecah dihantam pukulan
itu. Tapi hebatnya, kepala Pati Rono tidak
pecah, malah tangan kiri Gombong Pangestu
terpental ke atas seperti menghantam karet
dan persendian bahunya serasa copot.
Sakitnya bukan main!
"Ibu...lbu!" jerit Tambaksari. "Mas Pati...
Lepaskan cekikanmu! Jangan membunuh ibu
sendiri! Lepaskan cekikanmu mas...!" Akhirnya
gadis ini jatuh pingsan karena kehabisan
tenaga dan putus asa tidak mampu
menyelamatkan ibunya. Saat itu karena tidak
tahu harus berbuat apa lagi, secara tidak
sadar Gombong Pangestu tusukkan ujung
kotak batu hitam ke leher Pati Rono.
Walaupun kotak batu ini tumpul, namun
karena ditusukkan dengan tenaga luar biasa,
kotak itu ambias menembus leher Pati Rono
sampai setengahnya!
Terjadilah hal yang aneh. Meskipun saat itu
hari terang benderang dan matahari bersinar
terik, namun tiba-tiba berkiblat halilintar tiga
kali berturut-turut disusul oleh gelegar guntur
yang membuat tanah bergetar keras! Mulut Pati Rono terbuka lebar-lebar.
Lalu terdengar jeritannya seperti lolongan srigala.
Bersamaan dengan itu langannya yang mencekik terlepas dan terkulal kebawah.
Dengan tangan gemetaran Gombong Pangestu cabut kotak batu hitam dari leher Pati Rono.
Pada bekas tusukan kotak batu hitam kelihatan luka besar menganga berbentuk lubang mengerikan. Dari lubang ini mengalir keluar darah berwarna hitam yang menebar bau busuk luar biasa!
Tambaksari menarik tubuh ibunya,
mengguncang-guncangnya dengan keras lalu menepuk nepuk wajah perempuan itu sambil berseru memanggil, "Ibu... Ibu..." Namun sang ibu tidak menjawab, bahkan tidak mendengar lagi ratap tangis puterinya itu karena rohnya
telah meninggalkan jazad kasarnya. Mati di tangan puteranya sendiri. Putera yang sebelumnya diinginkan kehidupannya kembali.
Kehidupan yang membawa bencana dan malapetaka bahkan kematian dirinya sendiri!
                            Tamat