Ebook Wiro Sableng : Bajingan dari Susukan


EPISODE : BAJINGAN DARI SUSUKAN
Karya : BASTIAN TITO
                    
SATU
Lelaki berpakaian merah itu berlari seperti
dikejar setan. Dalam kegelapan malam
tubuhnya beberapa kali membentur pohon,
pakaiannya robek-robek terkait duri, bahkan
kulitnya penuh dengan barut luka yang
menjadi perih akibat teresap keringat.
Namun semua itu tidak diperdulikannya. Dia
lari terus sekencang yang bisa dilakukannya
walau nafasnya mulai menyesak dan lidahnya
terjulur-julur seperti anjing gila. Di tangan
kirinya ada kantung kain.
Sambil berlari dia berulang kali berpaling ke
arah timur. Saat demi saat langit di jurusan
itu tampak menjadi terang. Hal inilah yang
agaknya ditakuti orang berpakaian merah itu.
Sebentar-sebentar dari mulutnya terlontar
kata-kata "Celaka…..! Celaka diriku! Tak
mungkin aku mencapai tempat itu sebelum
matahari terbit! Celaka! Mati….! Aku akan
mati!" Orang ini berlari terus. Berusaha lebih
kecang. Namun tenaganya hampir punah.
Kedua kakinya seperti diberati batu besar.
Beberapa kali dia terserandung jatuh tapi
bangkit kembali dan berlari lagi.
Berpalingkembali ke timur, langit di sana
tampak semakin terang.
https://drive.google.com/file/d/1M6tuVXIfGLOlUkWcGuIOdO_Hr7J46M6g/view?usp=sharing

"Celaka! Celaka diriku…..!" Sekali lagi dia
tersungkur di tanah. Kantung kain yang
dibawanya terlepas. Cepat-cepat benda ini
diambilnya lalu dia bangkit dan lari lagi.
Di pepohonan mulai terdengar kicau burung.
Jalan mendaki yang dilaluinya mulai terang.
Seperti ada semangat dan kekuatan baru
dalam tubuh orang itu, diamampu lari lebih
kencang. Pondok kayu di ujung jalan yang
mendaki itu, yang kelihatan di kejauhan,
itulah yang seolah memberi kekuatan
padanya. Akan tetapi maksudnya untuk
mencapai pondok itu tidak pernah
kesampaian. Ketika di timur matahari
memancarkan cahayanya yang kuning
kemerahan dan berangsur memutih, ketika
rambasan cahaya sang surya ini menimpa
tubuh orang yang berlari itu, kontan dari
mulutnya terdengar suara jeritan. Sekujur
tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum.
Lalu seperti ada api yang memanggang.
Tubuhnya mengepulkan asap. Dia menjerit
lagi. Tapi masih berusaha lari. Sejarak lima
belas langkah dari poneok kayu di ujung jalan
mendaki, orang ini jatuh terguling. Sekali ini
dia tak sanggup lagi untuk bangkit. Matanya
membeliak. Kakinya melejang-lejang. Darah
tampak mengucur dari telinga, hidung dan
sela bibirnya.
"Pangeran…… Pangeran….tol…..tolong aku….."
Orang itu memanggil di antara suara
erangannya. "Pangeran…….!"
Tiba-tiba pintu pondok yang sejak tadi
tertutup terpentang lebar. Sesosok tubuh
berpakaian serba hitam dengan gambar
matahari serta gunung di bagian dada dan
berikat kepala merah keluar dai dalam
pondok. Sesaat dia memandang pada lelaki
yang melingkar di tanah, melejang-lejang
sambil tiada hentinya mengerang. Si baju
hitam bertampang angkuh mendengus dingin.
"Manusia tolol!" teriaknya. "Mengapa kau
kembali dalam keadaan terlambat! Melanggar
pantang!"
"Pangeran….Aduh….tubuhku! Tubuhku seperti
dibakar!"
"Bangsat! Jawab pertanyaanku!" hardik si
baju hitam yang jelas-jelas adalah
Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian
tinggi dan memiliki kesaktian dari puncak
Merapi. Yang sejak beberapa waktu lalu
mengacau dan menimbulkan malapetaka
bukan saja dalam rimba persilatan tetapi juga
dalam kalangan Kerajaan bahkan menembus
sampai ke dalam istana! "Katakan mengapa
kau datang terlambat!"
"Mo….mohon ampunmu Pangeran. Aku
tergoda nafsu….Aku bermain-main dengan
seorang janda muda dan kesiangan!"
"Keparat! Kau memang tidak pantas jadi
Bajingan Dari Susukan!" Pangeran Matahari
ulurkan kaki kanannya. Dengan jari-jari kaki
dibetotnya kantong kain yang masih berada di
tangan kanan lelaki di hadapannya. Kantong
kain ini melayang ke udara dan cepat
ditangkapnya dengan tangan kiri.
"Pangeran……tolong……"
Pangeran Matahari tidak perdulikan erangan
orang. Dia membuka kantong kain dan
memeriksa isinya. Tampak beberapa potong
perhiasan, beberapa bongkah perak lalu
kepingan uang logam.
"Setan! Hasilmu tidak seberapa!"
"Pangeran! Tolong…. Tubuhku seperti
dipanggang…."
Pangeran Matahari menyeringai. "Nafsu sama
dekatnya dengan darah dalam tubuh manusia!
Nafsu menjadi sahabat manusia sejak langit
dan bumi diciptakan! Tetapi dalam hal yang
bersifat pantangan bila manusia sampai lupa
diri, dia akan musnah!"
"Aku mohon ampunmu Pangeran. Tolong…..
Selamatkan selembar nyawaku….."
"Tak ada yang bisa menyelamatkanmu
manusia tolol! Tidak setan tidak juga
malaikat!"
Pangeran Matahari melangkah menuju pintu
pondok. Di balakangnya terdengar lolong
lelaki yang tubuhnya tampak mengepulkan
asap dan mulai berubah kehitaman seperti
kayu gosong. Dia berguling-guling di tanah.
"Pangeran. Tolong…. Hanya kau yang bisa
menolongku! Tolong…..!"
"Tubuhmu telah tersiram sinar matahari! Mati
adalah lebih baik bagimu!" ujar Pangeran
Matahari. Di depan pintu pondok dia berhenti
lalu berseru.
"Gajah Rimbun! Kemari kau!"
Dari dalam pondok melompat keluar seorang
pemuda bermuka bulat, berkulit hitam legam,
berkumis dan berjengot tipis. Sikapnya
tangkas, gerakannya gesit. Dia memberi
hormat pada Pangeran Matahari seraya
berkata. "Saya sudah di hadapanmu
Pangeran!"
"Kau lihat manusia tolol itu?!"
Si muka bulat bernama Gajah Rimbun
berpaling ke arah lelaki yang masih melejang-
lejang di tanah, tapi lejangannya makin lama
makin perlahan. Suara teriakannya minta
tolong semakin sember dan hanya tinggal
erangan parau.
"Saya melihatnya Pangeran…." Kata Gajah
Rimbun.
"Apakah kau mau jadi manusia tolol seperti
dia?"
"Tidak Pangeran. Saya tidak ingin…."
"Kalau begitu ingat semua pesan dan
pantangan. Selalu kembali kemari sebelum
matahari terbit!"
"Saya akan ingat semua pesan dan
pantangan, Pangeran."
"Mulai hari ini kau akan bergelar Bajingan
Dari Susukan! Ingat hal itu baik-baik.
Kemanapun kau pergi perkenalkan dirimu
dengan julukan itu…..!"
"Akan saya lakukan Pangeran."
"Dari semua yang kupesankan untuk
dilakukan, yang paling penting adalah
menyelidiki di mana beradanya dua manusia
bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 dan seorang lagi
entah lelaki entah perempuan, tapi dulu
dikenal dengan nama Ni Luh Tua Dari
Klungkung, muncul dengan sosok tubuh
seorang nenek!"
"Saya akan menyelidiki Pangeran!"
"Jangan lupa mengeduk harta dan uang
sebanyak mungkin!"
"Saya tidak lupa Pangeran."
"Kau tahu di mana harus memusatkan
pekerjaan?"
"Pangeran sudah mengatakan sebelumnya. Di
Kotaraja dan desa-desa kaya…..!"
"Bagus! Sekarang mendekatlah padaku!"
Gajah Rimbun melangkah mendekati Pangeran
Marahari. Pada jarak satu langkah Pangeran
Matahari angkat kedua tangannya dan
letakkan di atas kedua bahu Gajah Rimbun.
Pemuda ini merasakan ada hawa panas dari
telapak tangan Pangeran Matahari, masuk ke
dalam tubuhnya lewat bahu.
"Sekarang kau boleh pergi! Ingat perintah,
ingat larangan, ingat pantangan! Dalam
tubuhmu ada satu kekuatan yang membuat
kau mampu melakukan tugas dan mampu
menghancurkan siapapun yang berani
menghalangimu!"
"Saya pergi Pangeran….."
"Pergilah. Bawa mayat manusia tolol itu!
Lemparkan ke dalam jurang!"
"Akan saya bawa Pangeran." Lalu Gajah
Rimbun memanggul mayat hangus yang sejak
tadi tergeletak di tanah dan tinggalkan tempat
itu melalui jalan tanah menurun.

DUA
Diiringi alunan gamelan pengantin lelaki
keluar dari dari pintu sebelah kanan ruangan
besar, melangkah bersama para pengiring lalu
duduk di atas kasur tertutup permadani. Di
sebelah kanan penghulu berjubah dan
bersorban putih siap memimpin jalannya
upacara akad nikah.
Dari pintu sebelah kiri, diapit oleh para
pengiring, keluarlah pengantin perempuan
yang kemudian mengambil tempat duduk
berhadap-hadapan dengan pengantin lelaki.
Melihat pada keadaan kedua mempelai, maka
ini adalah satu perkawinan yang benar-benar
tidak serasi. Pengantin lelaki, seorang lelaki
tua yang pantas disebut seorang kakek.
Bertubuh kurus, berwajah cekung keriput,
berambut putih dan berkumis jarang yang
juga sudah berwarna putih. Sebaliknya sang
mempelai perempuan belum lagi berusia enam
belas tahun, berparas cantik jelita tapi jelas
masih kekanak-kanakan. Kepalanya selalu
tertunduk, seolah-olah menyembunyikan
sepasang matanya yang balut karena terlalu
banyak menangis. Ketika penghulu mulai
membuka upacara, alunan gamelan terdengar
menjadi perlahan lalu berhenti sama sekali.
Di antara para tamu yang hadir pada sore
menjelang malam itu tampak dan terasa
adanya sesuatu yang tidak enak. Tidak enak
bukan saja karena menyaksikan upacara
pernikahan si kakek dengan si gadis yang
pantas menjadi cucunya, melainkan
disebabkan oleh polah tingkah seorang
tetamu muda bermuka hitam, berjenggot dan
berkumis tipis. Saat itu tuan rumah masih
belum mempersilahkan para tetamu untuk
mencicipi minuman ataupun hidangan. Tapi
tamu yang satu ini justru dengan seenaknya
melahap makanan yang ada di depannya,
meneguk minuman sepuasnya dan duduk
sambil senyum-senyum cengengesan.
Padahal sekian banyak wajah dan pandangan
mata menatapnya dengan asam bahkan ada
yang berang.
Seorang lelaki mendekati pemuda itu. dia
adalah salah seorang anggota keluarga pihak
pengantin lelaki yang punya hajat. Orang ini
menegur dengan berbisik.
"Saudara, harap kau berhenti makan minum.
Jika upacara pernikahan sudah selesai kau
boleh makan sekenyangmu dan minum
sampai mabuk…."
Pemuda yang ditegur kelihatan bersikap acuh.
Tenpa berpaling dia malah menjawab.
"Perutku lapar. Makanan dan minuman
dihidangkan untuk disantap tetamu. Dan aku
adalah tetamu di tempat ini. jika kau tuan
rumah, mengapa tidak menghormati
tetamu…..?"
Lelaki yang tadi menegur tampak tak enak
mendengar kata-kata itu. maka dia berkata
lagi, kini bukan berbisik tapi dengan suara
keras hingga terdengar oleh orang-orang di
sekitarnya. "JIka sebagai undangan di situ
tidak mau menghormati upacara ini, saya
persilahkan saudara meninggalkan tempat ini.
Pesta ini diadakan bukan untuk orang-orang
rakus dan kelaparan!"
"Oooo begitu…..?" Si pemuda kembali
menyahuti dan lagi-lagi tanpa berpaling pada
orang yang menegurnya. "Baiklah, aku akan
meninggalkan tempat ini sebentar. Tapi harap
kau ikut bersamaku!" Lalu pemuda itu berdiri.
Dia menyentuh bahu orang yang menegurnya.
Anehnya orang ini seperti bahu seekor kerbau
yang dicucuk hidung kemudian melangkah
mengikuti si pemuda meninggalkan ruangan.
Para tetamu yang hadir menyangka pihak
tuan rumah itu sengaja mengantarkan si
pemuda keluar ruangan. Mereka merasa lega
karena kini pemuda yang menyebalkan itu
sudah keluar. Namun tak seorangpun tahu
kalau sesuatu telah terjadi dengan anggota
keluarga tuan rumah itu.
Tak selang berapa lama, pemuda tadi nampak
muncul kembali. Seorang diri. Dan dia
kembali duduk di tempatnya semula. Seperti
tadi diapun kembali pula melahap makanan
yang ada di hadapannya.
Sementara itu upacara pernikahan sampai
pada mempersembahkan dan
mempertunjukkan emas kawin lelaki untuk
mempelai perempuan. Emas kawin itu terletak
di atas sebuah nampan perak besar, berupa
tiga buah kotak kayu kecil berisi emas
perhiasan dan beberapa di antaranya
bertahtakan batu-batu permata yang sangat
mahal. Ketika tiga buah kotak itu dibuka,
tiba-tiba pemuda yang asyik menggerogoti
paha ayam bangkit berdiri. Dua kali membuat
lompatan dia telah berada di hadapan
penghulu.
"Perkawinan gila ini tidak perlu diteruskan!
Kalian harus membayar semua kegilaan ini
dengan tiga kotak berisi perhiasan itu!"
Pemuda itu berteriak lantang. Sekali dia
berkelebat maka tiga kotak kayu berisi
perhiasan sudah berada dalam kempitan
tangan kirinya.
Serta merta ruang besar itu menjadi geger.
Semua orang terkejut. Penghulu terbeliak.
Pengantin lelaki dan para pengiringnya tegak
melompat. Beberapa perempuan pengiring
pengantin perempuan terpekik sementara
pengantin perempuan sendiri untuk pertama
kali angkat wajahnya dan menyaksikan
kejadian itu dengan terheran-heran.
Penghulu berjubah putih setelah lenyap
kagetnya kini berganti marah. Namun sebelum
dia membentak, seorang lelaki bertubuh tinggi
besar mengenakan jas tutup coklat gelap
sudah lebih dulu menghardik. Dia adalah
paman pengantin perempuan.
"Orang gila kesasar! Lekas letakkan kembali
tiga kotak kayu itu! Dan cepat minggat dari
sini!"
Si pemuda tertawa lebar. "Aku tahu sampean
adalah Sentono Puro, paman pengantin
perempuan! Aku juga tahu sampeanlah yang
mengatur secara paksa perkawinan ini. karena
sampean mengharapkan imbalan harta dan
uang serta jabatan dari pengantin lelaki,
seekor kambing tua itu!"
Plaak!
Tamparan keras melabrak pipi si pemuda.
Yang menampar adalah Sentono Puro, paman
pengantin perempuan. Yang ditampar usap
pipinya yang tampak merah. Tak kelihatan
bayangan rasa sakit pada air mukanya, malah
pemuda ini menyeringai. Tiba-tiba dia
gerakkan tangan kanannya.
Bukk!
Sentono Puro terpental ketika dada kirinya
ditumbuk jotosan si pemuda. Tubuhnya
terguling di atas permadani. Dia mencoba
bangkit kembali. Tapi matanya tampak
mendelik dan detik itu pula tubuhnya
tersungkur kembali. Kali ini tidak bangkit lagi
untuk selama-lamanya. Darah mengucur di
sela bibirnya!
"Kurang ajar! Kembalikan perhiasan milikku
itu!" Pengantin lelaki tiba-tiba berteriak. Dua
orang perngiringnya tempak mencabut keris.
Si pemuda kembali tertawa lebar. "Masih
untung aku hanya mengambil perhiasan
milikmu, bandot tua. Apakah kau mau aku
juga mengambil jiwamu seperti yang
kulakukan pada Sentono Puro barusan?!
Bandot tua tak bermalu! Memaksa kawin anak
orang yang pantas jadi cucunya!"
Dua orang pengiring pengantin yang sudah
tidak sabar, langsung saja melompati pemuda
itu sambil tusukkan keris.
"Kalian cecunguk-cecunguk pengiring
kambing tua memang layak mampus dahulu!"
Si pemuda membentak. Tangan dan kakinya
bergerak. Dua penyerang terlempar ke
belakang. Yang satu melolong setinggi langit
karena hancur selangkangannya, satunya lagi
remuk dadanya. Keduanya menyusul Sentono
Puro.
Jerit pekik terdengar di sana-sini. Pengantin
perempuan dilarikan ke ruangan lain. Para
tetamu menjauh ketakutan. Namun seseorang
menyeruak ke depan seraya membentak
"Pemuda iblis. Lehermu layak ditabas!"
Pemuda itu berpaling. Di hadapannya tegak
seorang pemuda berpakaian ungu, sikapnya
keren dan di tangan kanannya ada sebilah
golok panjang.
"Hem….. Lagakmu boleh juga sobat. Siapa
kau?" tanya pemuda yang merampas tiga
kotak perhiasan.
"Aku Suto Anget. Perwira Ketiga pada jajaran
Pasukan Kotaraja!" Pemuda yang memegang
golok kenalkan diri. "Kau sendiri siapa?
Mengapa berani mengacau perjamuan orang?
Malah menggarong emas kawin?!"
"Aku bukan menggarong! Tapi menghukum
bandot tua yang pergunakan kekayaan dan
kekuasaan untuk mengawini seorang gadis
cilik!"
"Lagakmu seperti pahlawan saja!" dengus
Suto Anget. "Kau belum menerangkan siapa
dirimu!"
"Dengan senang hati aku perkenalkan. Aku
Bajingan Dari Susukan!"
"Seorang bajingan rupanya! Memang gelar
yang tepat sekali!" ujar Suto
Anget. Goloknya diangkat setinggi bahu, siap
membabat. "Jika kau tidak segera
mengembalikan tiga kotak perhiasan itu,
putus lehermu!"
"Aku mau lihat bagaimana kau memutus
leherku!" dengus Bajingan Dari Susukan.
"Bagus kalau kau memang sudah siap untuk
mati! Ingat, kau berhadapan dengan Perwira
Kerajaan!"
"Suto Anget! Jangan kau bawa-bawa nama
Kerajaan! Ayo bergeraklah!"
Golok di tangan Perwira Ketiga itu berkelebat
mengeluarkan suara angin bersiuran, menabas
ke arah batang leher pemuda bermuka hitam.
Tapi serangan maut ini hanya setengah jalan.
Dalam satu gerakan cepat jotosan tangan
kanan Bajingan
Dari Susukan menghantam dada sang Perwira
lebih dulu. Tubuh Suto Anget mencelat
mental, pedangnya terlepas, dia terjengkang di
lantai semburkan darah segar lalu rebah tak
berkutik lagi. Sebelum tubuh itu mencium
lantai Bajingan Dari Susukan sudah
menyambar kembali tiga kotak kayu yang tadi
diletakkannya di atas nampan perak. Tepat di
saat yang sama pengantin tua bangka itu
hendak mengambilnya.
Penasaran didahului orang, kakek tua itu
serta merta melompati si pemuda. Satu
tangan coba merampas kotak-kotak berisi
perhiasan, satunya lagi mencakar kearah
wajah.
Traak!
Pengantin tua menjerit. Tubuhnya terhuyung-
huyung sambil pegangi tangan kanannya
yang patah akibat dipukul Bajingan Dari
Susukan. Pemuda ini menyeringai.
"Masih untung cuma lenganmu yang
kupatahkan! Bukan lehermu!"
Habis berkata begitu pemuda ini melangkah
ke pintu sebelah kiri. Sesaat kemudian
terdengar pekik jerit orang banyak.
"Pengantin perempuan dilarikan!"
"Pengantin perempuan diculik!"
Kekacauan di tempat perhelatan itu tidak
terkirakan lagi. Pengantin lelaki terduduk di
pelaminan, tidak henti-hentinya berteriak
seperti orang kurang waras.
"Perhiasanku! Tolong! Emas kawin itu…..
Istriku…..Istriku….. Mana istriku……!"

TIGA
Di langit bulan setengah lingkaran tertutup
awan. Malam yang gelap jadi tambah gelap.
Udara tambah dingin karena menjelang dini
hari. Di dalam pondok kayu di ujung jalan
yang mendaki, Gajah Rimbun alias Bajingan
Dari Susukan duduk menghadap Pangeran
Matahari yang duduk bersila tiada hentinya
tersenyum dan memuji.
"Kau memang pantas menyandang julukan
Bajingan Dari Susukan itu Gajah Rimbun.
Hasilmu yang pertama sangat memuaskan.
Bukan saja tiga kotak berisi barang-barang
perhiasan ini, tapi kau malah juga
membawakan seorang gadis cantik untukku…."
"Itu jika Pangeran berkenan padanya. Kalau
tidak, sayapun tak akan menampik…."
Menjawab Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak.
"Ketika saya bawa lari gadis ini tidak
melawan atau menejrit. Katika saya tanyakan,
katanya dia pasrah hendak diapakan asal
bebas kawin paksa dengan bandot tua
bermuka kambing itu…."
"Hemm…. Beegitu? Siapa namanya Gajah
Rimbun?" bertanya Pangeran Matahari.
"Katakan namamu pada Pangeran…." Berkata
Gajah Rimbun pada gadis yang masih
berpakaian pengantin dan duduk di sudut
ruangan. Tak ada bayangan rasa takut
padanya. Hanya dalam hati dia bertanya-
tanya, mengapa pemuda yang menculiknya itu
memanggil pemuda berpakaian hitam dengan
sebutan Pangeran. Apakah dia benar-benar
seorang Pangeran?
"Nama saya Sri Andini…." Menerangkan si
gadis enam belas tahun.
"Namamu bagus. Apakah kau menyukai si
pemuda yang menculikmu ini…..?"
Ditanya begitu Sri Andini tak bisa menjawab.
"Kau bebas memilih aku atau dia. Tak ada
paksaan…." Berkata Pangeran Matahari,
membuat si gadis tambah bingung.
Jika dibandingkan antara dua pemuda itu,
tentu saja yang dipanggil dengan sebutan
Pangeran Matahari jauh lebih gagah dan
tampan.
"Jika saya memilih salah satu di antara
kalian, lantas apakah yang hendak kalian
lakukan….?" Sri Andini yang memang masih
kekanak-kanakan itu bertanya polos,
membuat Pangeran Matahari tertawa lebar
sedang Gajah Rimbun senyum-senyum kecut.
Dia hampir dapat memastikan kalau gadis itu
akan memilih Pangeran Matahari.
"Siapa saja yang kau pilih di antara kami,
maka kau akan mendapatkan malam
pengantinmu di sini…." Berkata Pangeran
Matahari.
"Pengantin….? Pengantin tanpa nikah…..?"
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak.
"Nikah itu hanya dilakukan oleh orang-orang
tolol! Nah katakan pilihanmu!"
"Saya…..saya memilih kakak ini…." kata Sri
Andini sambil berpaling pada Gajah rimbun
membuat pemuda ini terkesiap hampir tak
percaya namun diam-diam merasa takut
kalau-kalau Pangeran Matahari menjadi
marah.
"Gajah rimbun rezekimu besar!" kata sang
Pangeran. Lalu berdiri dan melangkah ke
pintu. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh.
Tangan kanannya digerakkan perlahan. Di
seberangnya terdengar jeritan Sri Andini.
Tubuhnya terpental menghantam dinding.
Wajah yang tadi putih, tubuh yang tadinya
berkulit mulus kini tampak gosong
menghitam.
"Pangeran!" seru Gajah Rimbun tersentak
kaget hingga melompat dari duduknya.
"Mengapa kau membunuh gadis itu….?"
"Manusia tak berbudi layak disingkirkan…..!"
"Tak berbudi bagaimana maksudmu
Pangeran?"
"Kalau tidak aku yang memerintahkanmu
mengadakan perjalanan, tidak nantinya dia
selamat dari kawin paksa itu. Kini setelah
selamat dia melupakan budi orang!"
"Tapi mana dia tahu kalau saya
menyelamatkannya bertalian dengan tugas
yang Pangeran berikan….?"
"Manusia berbudi selalu berusaha mencari
tahu, Gajah Rimbun!" sahut Pangeran
Matahari.
"Tapi, gadis ini masih kanak-kanak….."
Pangeran Matahari menyeringai. "Tubuhnya
matang montok. Payudaranya besar.
Kerlingan matanya menikam. Itukah yang kau
sebut kanak-kanak….. Atau inginkan kau
berdebat dengan aku, Gajah Rimbun?"
"Tidak…. Saya tidak bermaksud begitu
Pangeran. Hanya sayang….."
"Apa yang sayang…..?'
"Sebetulnya dia bisa kita manfaatkan…."
"Sebaiknya kau lupakan dia Gajah Rirmbun.
Kau telah menyelesaikan tugas dengan baik.
Tapi hanya sebahagian. Berita apa yang kau
dapat tentang dua manusia bernama Wiro
Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung….?"
"Mohon maafmu Pangeran. Tak satupun saya
menyirap kabar tentang orang-orang itu. tapi
saya punya berita lain yang tak kalah
pentingnya……"
"Lekas katakan. Jika tidak cukup penting
nyawamu imbalannya!"
Pucatlah paras Gajah Rimbun. Tapi orang ini
sangat yakin berita yang didapatnya sangat
berguna bagi Pangeran Matahari. Maka
diapun menjelaskan.
"Kalangan istana saat ini tengah mengamati
bahkan boleh dikatakan mencurigai istri Sri
baginda yang ketiga….."
"Hemmmm….." Pangeran Matahari keluarkan
suara bergumam. Sepasang alis matanya
yang tebal mencuat ke atas. Setengah acuh ia
bertanya. "Apa yang menjadi dasar
kecurigaan itu. Dan kecurigaan tentang apa?"
"Kecurigaan bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil,
istri Sri Baginda yang ketiga itu, mempunyai
hubungan tertentu dengan Pangeran….."
Diam-diam Pangeran Matahari semakin
tertarik akan cerita Gajah Rimbun. Namun
sikap dan air mukanya di luar tetap seperti
tak acuh.
"Mengapa orang-orang itu bersikap demikian?
Aneh…..!"
"Menurut penuturan, sewaktu Pangeran
menyerbu Istana beberapa bulan yang silam,
mereka mengenali cincin emas bergambar
burung rajawali yang Pangeran pakai itu.
Menurut mereka, cincin itu dikenal sebagai
milik Raden Ayu Puji Lestari. Jika ibu dan
puterinya itu tidak dapat menerangkan apa
hubungan mereka dengan Pangeran, besar
kemungkinan Sri baginda sendiri akan
mengambil tindakan hukum. Memenjarakan
istri dan puterinya itu….."
"Raja tolol!" kertak Pangeran Matahari. "Ibu
dan anak itu juga tolol! Tidak bisa
memberikan jawaban…."
"Mereka tidak bisa membela diri. Karena tidak
bisa memperlihatkan mana cincin milik puteri
pemberian Sri Baginda……"
Pangeran Matahari terdiam. Sesaat kemudian
dia berkata. "Kau berangkatlah ke Kotaraja.
Serahkan cincin itu pada Raden Ayu Puji
Lestari Ambarwati. Dengan demikian dia dan
ibunya akan dapat mementahkan kecurigaan
orang-orang itu….."
"Jadi….jadi benar cincin itu milik Raden Ayu
Pauji Lestari?" bertanya Gajah Rimbun.
"Aku tidak menyuruhmu banyak bertanya
Gajah Rimbun. Tugasmu adalah menyerahkan
cincin ini pada puteri itu!" sentak Pangeran
Matahari dengan mata mendelik, membuat
Gajah Rimbun ketakuran dan buru-buru
meminta maaf atas kelancangannya, lalu
cepat mengambil cincin emas yang
diangsurkan Pangeran Matahari. "Kau tahu
siapa-siapa saja yang bersikap curiga pada
ibu dan puterinya itu?"
"Yang pertama Patih Kerajaan. Lalu Panglima
Kotaraja Raden Kertopati. Kalau saya tidak
salah Panglima Balatentara Kerajaanpun
bersikap sama. Malah dia yang mula-mula
sekali minta Sri Baginda mangusut istri ketiga
dan puterinya itu….."
"Gajah Rimbun, kau pergilah cepat. Ingat
baik-baik satu hal. Siapa saja yang akan
mencelakai kedua perempuan itu aku
perintahkan kau untuk membunuhnya!"
Tentu saja Gajah Rimbun terkejut mendengar
kata-kata itu. "Saya siap menjalankan
perintah Pangeran. Tapi jika harus
berhadapan dengan orang-orang seperti
Raden Kertopati Panglima Kotaraja dan Raden
Mas Jayengrono Panglima Kerajaan, mana
mungkin saya punya kemampuan?"
"Tak perlu kawatir. Kau akan punya
kemampuan. Mendekatlah!"
Gajah Rimbun naju mendekati Pangeran
Matahari. Sang Pangeran angkat kedua
tangannya. Telapak kiri kanan ditempelkannya
ke dada Gajah Rimbun. Mulutnya tampak
berkomat-kamit. "Sekarang kau sudah punya
kemampuan Gajah Rimbun. Pergilah! Dan
ingat, jangan lupa memperkenalkan siapa
namamu!"
"Saya ingat Pangeran. Nama saya adalah
Bajingan Dari Susukan!" jawab Gajah Rimbun.

EMPAT
Ponggawa berkuda hitam itu memasuki
halaman rumah besar kediaman R.A. Siti
Hinggil. Sesaat dia bicara dengan perajurit
yang tengah bertugas di pintu. Perajurit ini
masuk ke dalam. Tak selang berapa lama dia
keluar kembali dan mempersilakan ponggawa
tadi masuk mengikutinya. Kedua orang ini
duduk bersila di depan sebuah kasur tinggi
berselimutkan permadani. Duduk menunggu
tanpa ada satupun yang bicara.
Tak berapa lama kemudian istri Sri Baginda
yang ketiga keluar diiringi seorang anak lelaki
berusia enam tahun, berwajah cakap dan
berpakaian bagus. Inilah Pangeran Sabrang,
putera bungsu R.A.Siti Hinggil, adik Puji
Lestari Ambarwati yang juga merupakan adik
Pangeran Anom alias Pangeran Matahari.
Anak ini duduk seenaknya di samping ibunya
yang duduk di atas kasur tinggi.
"Kau membawa berita atau pesan dari
Keraton…..?" R.A. Siti Hinggil bertanya.
Ponggawa itu memberi hormat sebelum
menjawab. "Betul sekali Raden Ajeng…..
Bisakah saya sampaikan sekarang?"
"Katakanlah….."
"Raden Ajeng dan Raden Ayu Puji Lestari
diminta Patih Haryo Unggul untuk menghadap
siang nanti sehabis Ba'dal Asar."
"Apakah Patih mengatakan mengapa dia
memanggil kami?"
"Tidak Raden Ajeng. Rasa rasa tentunya
Raden Ajeng lebih tahu….."
"Apakah Sri Baginda mengetahui kalau kami
berdua harus menghadap?"
"Sudah tahu Raden Ajeng. Justru dalam
pertemuan nanti Sri Baginda akan ikut hadir,"
menjelaskan ponggawa itu.
"Kalau begitu ini adalah kehendak Sri
Baginda. Patih hanya dipakai sebagai
penyambung lidah. Kau boleh pergi. Katakan
kami berdua akan datang menghadap sehabis
sembahyang Asar."
Ponggawa itu memberi hormat lalu dengan
terbungkuk-bungkuk meninggalkan tempat itu,
diikuti perajurit yang tadi menemaninya.
Ketika dia melangkah ke tempat kuda
hitamnya ditambatkan, ponggawa itu terkejut.
Di atas kuda itu tampak duduk seorang
pemuda tak dikenal berkulit hitam bermuka
bundar. Menyangka orang hendak mencuri
kudanya, ponggawa itu segera menghunus
pedangnya.
"Bangsat pencuri! Besar sekali nyalimu!"
Pedang di tangan ponggawa menderu. Namun
sesaat kemudian terdengar pekiknya.
Bersamaan dengan pekik dan terlepasnya
pedang, terdengar pula suara kraak! Ternyata
tulang siku tangan kanannya remuk dihantam
tendangan pemuda di atas kuda.
Perajurit di sebelahnya mengangkat tangan,
siap untuk menusukkan tombaknya. Tapi
diapun bernasib sama. Tombak yang hendak
dihantamkannya ke perut orang patah dua
dan mental ke udara begitu dilabrak
tendangan pemuda di  atas kuda.
"Ponggawa! Kau kembali ke Keraton! Katakan
pada orang-orang di sana bahwa Raden
Ajeng Siti Hinggil dan puterinya tidak akan
datang menghadap ke sana!
Juga katakan jika mereka masih berani
mengganggu ketentraman ibu dan anak itu,
jika mereka masih menaruh curiga terhadap
keduanya, mereka bakal menemui kesulitan.
Bahkan kematian!"
"Kau…..kau siapa……?!" bertanya si ponggawa.
"Namaku Bajingan Dari Susukan. Berani
malawan kehendakku berarti minta mampus!
Pergi lekas…..!"
"Tapi….. Kudaku….."
"Kudamu tetap di sini! Kau bisa jalan kaki….."
"Tidak bisa. Itu kuda istana. Aku harus
kembali bersamanya….."
"Begitu? Baiklah! Kau boleh menungganginya.
Berarti kedua kakimu tak ada gunanya!"
Pemuda di atas kuda hitam melompat turun.
Begitu menjejakkan tanah dia melompati si
ponggawa. Kaki kanannya menabas.
Terdengar dua kali suara kraak. Ponggawa itu
tersungkur ke tanah, menjerit kesakitan.
Kedua tulang kakinya kiri kanan patah. Dalam
keadaan menjerit-jerit kesakitan, Bajingan
Dari Susukan alias Gajah Rimbun angkat
tubuhnya dan naikkan ke atas punggung kuda
hitam. Kuda ini digebraknya, membuatnya lari
kencang membawa ponggawa yang masih
terus berteriak-teriak.
Suara jerit ribut-ribut di halaman membuat
Siti Hinggil dan Puji Lestari keluar dari dalam
gedung diikuti Pangeran Sabrang. Mereka
masih sempat melihat ponggawa yang tadi
menghadap terbujur melintang di atas
punggung kuda yang berlari meninggalkan
halaman rumah besar.
"Apa yang terjadi dengan ponggawa itu…..?"
bertanya Siti Hinggil. Perajurit yang ada di
tangga rumah tak berani membuka mulut.
Ketika pandangan Siti Hinggil membentur
Gajah Rimbun dia segera menegur "Kau
siapa?"
Gajah Rimbun menjura hormat tapi matanya
sesaat mengerling pada Puji Lestari
Ambarwati. Hatinya berdesir. Tak pernah dia
melihat gadis secantik ini. Rambutnya yang
hitam. Kulitnya yang kuning mulus. Sepasang
mata yang berkilat-kilat dan tubuh yang
begitu besar montok. Apakah sebenarnya
hubungan Pangeran Matahari dengan kedua
perempuan ini? Hatinya benar-benar terpikat
pada Puji Lestari. Jika Pangeran Matahari
mengizinkan, sangat beruntung kalau dia
dapat memiliki gadis ini. Tapi memiliki puteri
raja? Gajah Rimbun mentertawai dirinya
sendiri. Heh, apa salahnya?!
"Orang bertanya kau tak menjawab! Apakah
bisu? Atau tuli?!" Yang membentak adalah
Puji Lestari. Membuat Gajah Rimbun gugup.
"Saya….. Ga…..eh, saya Bajingan Dari
Susukan….."
"Nama apa itu?!" ujar Puji Lestari. "Apa betul
itu namamu?"
"Betul sekali Raden Ayu. Nama saya memang
jelek….."
"Mungkin sifatmu lebih jelek!" kata Puji
Lestari ketus. Sekali melihat pemuda bermuka
hitam itu dia langsung merasa tidak senang.
Siti Hinggil bersikap lebih wajar. "Ada apa
kau di sini. Mengapa ponggawa itu terbujur
dan menjerit-jerit di atas kudanya?"
"Saya di sini menjalankan tugas, Raden Ajeng.
Ponggawa itu mendapat celaka karena
ulahnya sendiri!"
"Kau bukan perajurit istana atau perajurit
Kerajaan. Tugas apa yang kau lakukan di
sini?!"
"Menjaga keselamatan Raden Ajeng dan puteri
sehubungan dengan adanya niat buruk orang-
orang Keraton mencurigai Raden Ajeng
berdua….."
Siti Hinggil terkejut. Puji Lestari mengerenyit.
"Maksudmu apa?" bertanya Siti Hinggil.
"Maksud saya sehubungan dengan tuduhan
bahwa Raden Ajeng dan Raden Ayu berdua
mempunyai hubungan dengan Pangeran
Matahari. Saya diperintahkan membunuh
siapa saja yang berani menyulitkan orang-
orang di rumah ini….."
"Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Puji
Lestari.
"Saya tidak berani mengatakannya, Raden
Ayu," jawab Bajingan Dari Susukan alias
Gajah Rimbun.
"Siapapun kau adanya dan perintah apapun
yang sedang kau jalankan, aku tidak senang
melihatmu di sini. Keselamatan rumah ini
adalah dalam tanggung jawab Raja….."
"Namamu saja Bajingan Dari Susukan! Siapa
percaya padamu!" manyambung Puji Lestari.
"Jangan-jangan kau bangsa maling atau
garong yang hendak berbuat jahat terhadap
kami!"
Gajah Rimbun tersenyum tawar. Dan
menjawab "Jika saya ingin berbuat jahat,
sudah dari tadi dapat saya lakukan. Semudah
saya membalikkan telapak tangan!" berkata
pemuda itu. "Lihat apa yang ada dalam
tangan saya!" katanya demikian.
Tangan kirinya yang tadi terkepal dibukanya.
Siti Hinggil dan Puji Lestar sama-sama
memandang ke arah tangan kiri itu. Dan
keduanya sama-sama terkejut. Di atas telapak
tangan si pemuda bermuka hitam mereka
melihat sebuah tusuk kundai emas.
"Astaga!" Raden Ajeng Siti Hinggil berseru
seraya memegang rambutnya.
Tusuk kundai yang ada di tangan si pemuda
adalah tusuk kundai yang sebelumnya
menancap di gelungan kondenya! Bagaimana
benda itu tahu-tahu berada dalam tangan
pemuda ini tanpa dia melihat kapan orang
mengambilnya bahkan tanpa merasa sama
sekali?
"Kau punya ilmu hitam!" sentak Puji Lestari.
Gajah Rimbun tersenyum.
"Saya tidak punya ilmu apa-apa, Raden Ayu,"
jawab pemuda itu. Lalu mengembalikan tusuk
kundai emas pada Siti Hinggil.
"Lebih cepat kau pergi dari sini, lebih baik!"
kata istri Sri Baginda yang ketiga itu.
"Saya memang akan pergi Raden Ajeng. Tapi
tidak terlalu jauh. Satu hal perlu diketahui.
Justru Sri Baginda sendiri sangat menaruh
curiga pada kalian ibu dan anak.
Kalangan istana menduga keras kalian punya
sangkut paut tertentu dengan Pangeran
Matahari. Berniat menumbangkan tahta Raja.
Ini semua gara-gara cincin milik Raden Ayu
yang diberikan dan dipakai oleh Pangeran
Matahari waktu menyerbu keraton tempo
hari….."
"Jadi! Kalau begitu Pangeran itulah yang
memerintahkanmu!" ujar Sri Puji Lestari.
"Saya tidak berani membenarkan hal itu,"
jawab Gajah Rimbun.
"Katakan di mana Pangeran itu sekarang?"
ujar sang dara.
"Saya tidak tahu dia ada di mana Raden Ayu.
Saya ditugaskan untuk menyerahkan barang
ini….." Lalu Gajah Rimbun mengeluarkan
cincin emas bergambar burung rajawali pada
Puji Lestari.
Dalam terkejut Puji Lestari mengambil cincin
itu, mengamatinya sebentar lalu memandang
pada ibunya.
"Saya yakin, Pangeran Matahari yang
menyuruhnya!"
Siti Hinggil mengangguk dan membuka mulut
hendak menanyakan sesuatu. Tapi Bajingan
Dari Susukan sudah berkelebat pergi.

LIMA
Belum lama Gajah Rimbun berlalu, belum
lama Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya
serta Pangeran Sabrang masuk ke dalam
rumah besar, serombongan orang berkuda
muncul. Mereka berjumlah lima orang. Dari
pakaian dan senjata yang tersisip di pinggang
masing-masing jelas mereka adalah abdi-abdi
atau pasukan Kerajaan.
Bertindak sebagai pemimpin seorang perwira
muda bertubuh tinggi kurus yang memiliki
sepasang mata sangat merah. Di kalangan
pasukan dia dikenal dengan julukan Si Mata
APi. Pandangannya memang angker dan ilmu
silatnya cukup tinggi.
Baru saja kelima orang itu turun dari kuda
masing-masing, bahkan belum sempat bicara
dengan perajurit pengawal yang datang
menyongsong. Gajah Rimbun tahu-tahu sudah
berdiri di tangga rumah besar. Sikapnya jelas
menghalangi siapa saja yang hendak masuk.
Sementara itu sebuah kereta kecil kelihatan
memasuki pintu halaman. Perwira muda
berjuluk si Mata Api memandang tak berkesip
pada Gajah Rimbun, membuat Bajingan Dari
Susukan ini tergetar juga hatinya.
"Tampangmu baru hari ini kulihat! Aku tahu
pasti kau bukan perajurit Kerajaan atau
pengawal gedung kediaman istri Sri Baginda!
Mengapa kau berani menjual lagak kurang
ajar di hadapan kami pasukan Kerajaan?!"
Gajah Rimbun seperti tak acuh. Sambil
memandang ke kiri dia bertanya
"Perwira, apakah kau mencari orang bernama
Bajingan Dari Susukan?"
"Bukan saja mencarinya, tapi akan
mematahkan batang lehernya!" sahut Si Mata
Api. "Dia telah menganiaya seorang anak
buahku!"
"Ah, kalau begitu kau datang tepat pada
waktunya." Habis berkata begitu Gajah
Rimbun ulurkan lehernya. "Akulah orang yang
kalian cari. Silakan mematahkan batang
leherku!"
"Bangsat! Memang minta mampus!" teriak Si
Mata Api marah. Tapi dia tak mau turun
tangan sendiri. Seraya berpaling pada empat
orang anak buahnya dia berikan perintah
"Cincang keparat muka hitam ini!"
Empat buah pedang berkeresekan keluar dari
sarung masing-masing lalu serentak
diayunkan ke arah Gajah Rimbun. Dua
menabas pundak, satu membacok kepala,
satunya lgai membabat leher yang masih
diulurkan!
Apa yang terjadi kemudian membuat Si Mata
Api yang terkenal buas menjadi bergidik.
Ketika empat buah pedang itu dilihatnya
hanya tinggal sejengkal mencapai sasaran,
tiba-tiba pemuda bermuka hitam gerakkan
kedua tangannya. Dua buah pedang mencelat
ke udara bersamaan dengan jeritan dua
perajurit. Tangan masing-masing patah dan
tampak berubah menjadi hitam. Dua perajurit
lagi terhempas ke tanah dan berguling-guling
sambil menggerung. Tubuh mereka tampak
mengeluar-kan asap. Sesaat kemudian
keduanya melingkar tak berkutik lagi dalam
keadaan tubuh gosong seperti dibakar!
Ketika pemuda itu hendak bergerak ke
arahnya, Si Mata Api cepat berseru
"Tahan!"
"Eh, kau takut mampus……?" tanya Gajah
Rimbun sambil menyeringai.
Membuat Si Mata Api merinding.
"Jika kau menyerah hidup-hidup, hukuman
atasmu akan kuperingan!"
"Kalau kau mau pergi dari sini, nyawamu
akan kuampunkan!" balas Bajingan Dari
Susukan.
"Kurang ajar! Kau kira aku takut padamu!"
bentak Si Mata Api. Tinju kanannya menderu
deras ke arah muka Gajah Rimbun. Yang
diserang merunduk tapi buk! Tinju yang tadi
mengarah muka tahu-tahu berubah cepat
menghantam dada dan mengenai dada kiri
Gajah Rimbun dengan keras hingga pemuda
ini terjengkang.
Melihat lawan dapat dipukul rubuh dalam
satu jurus saja, Si Mata Api timbul keberanian
dan rasa percaya diri. "Hanya begitu saja
kehebatan keparat ini!" katanya dalam hati.
Lalu dia melompat seraya kirimkan tendangan
kaki kanan ke muka Gajah Rimbun. "Hancur
kepalamu!" teriak Si Mata Api.
Tapi sekali ini dia kecele. Bukan kepala lawan
yang hancur tapi kaki kanannya yang kena
ditangkap. Sebelum dia sempat menarik kaki
yang tertangkap sambil menghujamkan tumit
kirinya ke dada lawan, tahu-tahu dia
merasakan sekujur tubuhnya panas seperti
dipanggang api. Sesaat kemudian tubuhnya
terlempar ke atas.
Karena sakit, terkejut dan bingung, walaupun
sudah jungkir balik agar dapat jatuh di atas
kedua kakinya, namun tetap saja perwira
muda itu jatuh bergedebuk, jatuh punggung di
tanah. Sekujur tubuhnya tampak merah
seperti terseduh. Dari mulutnya keluar suara
mengerang menahan sakit yang luar biasa.
Ketika dia mencoba bangkit, sebuah kaki yang
kuat dan berat meninjak dadanya.
Memandang ke atas ternyata pemuda
bermuka hitam itu yang menginjaknya!
"Nyawamu kuampunkan! Kembali ke istana
dan sampaikan pesanku pada semua orang di
sana! Jangan sekali-kali mengganggu dan
membuat kesulitan atas diri Raden Ajeng Siti
Hinggil serta puterinya. Ibu dan anak itu tidak
ada hubungan apa-apa dengan Pangeran
Matahari. Siapa berani mengabaikan pesanku
ini akan berhadapan dengan malaikat maut!
Katakan namaku adalah Bajingan Dari
Susukan!"
Gajah Rimbun angkat kakinya dari atas dada
Si Mata Api. Dengan menanggung sakit amat
sangat perwira muda ini bangkit berdiri.
Dalam keadaan seperti itu dia melihat sebilah
pedang tergeletak di tanah tiga jengkal dari
tangan kanannya. Secepat kilat perwira ini
menyambar senjata itu, lalu sambil
membalikkan tubuh dia ayunkan pedang tepat
pada batasan pinggang Bajingan Dari
Susukan.
"Diberi ampun malah minta racun!" rutuk
Gajah Rimbun. Kaki kanannya bergerak leih
cepat melabrak dada Si Mata Api. Tubuh
perwira itu terpental bersama pedang yang
terlepas dari pegangannya. Dia melingkar
dekat roda kereta, mengerang beberapa kali,
muntah darah lalu pingsan.
Di atas kereta, kusir tua berkumis putih
gemetar ketakutan setengah mati ketik
Bajingan Dari Susukan melangkah
mendatangi.
"Angkat tubuh perwira itu. Bawa ke istana!
Jika dia mampus di perjalanan maka kau
yang harus menyampaikan apa yang kau lihat
dan apa yang kau dengar di tempat ini!
mengerti?!"
"Sa….saya mengerti…." Kusir tua cepat turun
lalu mengangkat tubuh Si Mata Api dengan
susah payah. Tanpa menunggu lebih lama dia
segera membedal kuda penarik kereta.
Ketika Gajah Ribun melangkah meninggalkan
tempat itu, di tangga rumah tampak tegak
Raden Ajeng Siti Hinggil dan Puji Lestari
Ambarwati.
"Lagi-lagi kau berani membuat onar di sini!"
terdengar ucapan Puji Lesatri disertai air
muka sangat tidak senang.
Gajah Rimbun membungkuk hormat. "Maafkan
saya Raden Ayu. Bajingan Dari Susukan
hanya menjalankan perintah…."
"Kau tunggulah! Orang-orang dari istana
pasti akan menangkapmu hidup atau mati!"
Gajah Rimbun tersenyum. Dengan ilmu hebat
yang diberikan Pangeran Matahari secara
aneh, tak satu orangpun ditakutinya. Dia
yakin sekali hal ini. Yang dipikirkannya justru
bagaimana kalau nanti setelah Pangeran
Matahari mengambil kembali kepandaiannya
itu. sekali lagi pemuda bermuka bundar itu
melayangkan senyumnya pada Puji Lestari,
menjura dan meninggalkan tempat itu. Ketika
kusir tua menceritakan apa yang terjadi.
Ruang sidang istana menjadi gempar.
"Apakah kejadian ini perlu segera diberitahu
pada Sri Baginda?" tanya Raden Kertopati,
Panglima Pasukan Kotaraja.
"Sebaiknya kita periksa dulu keadaan perwira
itu. Mungkin dia bisa memberi keterangan
lebih banyak!" menjawab Raden Mas
Jayengrono, Kepala Balatentara Kerajaan.
Lalu bersama-sama Patih Haryo Unggul,
diiringi belasan perwira tinggi dan perwira
muda mereka meninggalkan ruangan sidang,
menuju halaman istana. Ketika diperiksa
ternyata perwira muda berjuluk Si Mata Api
itu sudah tak bernyawa lagi.
"Melihat keadaan tubuhnya yang merah
seperti terpanggang, perwira ini menemui ajal
akibat ilmu kesaktian yang bukan
sembarangan….." ujar Patih Haryo Unggul
setelah memeriksa dengan teliti.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
bertanya Kertopati.
"Siapkan selusin perwira. Bawa seratus
perajurit! Kurung rumah kediaman Raden
Ajeng Siti Hinggil dari jarak lima tombak!"
Yang berkata adalah Raden Mas Jayengrono.
"Ada baiknya dimas Kertopati ikut berangkat
ke sana….." berkata patih Kerajaan. "Salah
satu dari kami akan menyusul. Jangan
melakukan apa-apa sebelum kami datang….."
Maka Raden Kertopati segera jalankan
perintah atasannya itu. Setelah rombongan itu
pergi Patih Haryo Unggul berpaling pada
Raden Mas Jayengrono dan bertanya "Apakah
Raden Mas pernah mendengar orang berjuluk
Bajingan Dari Susukan itu sebelumnya?"
Yang ditanya menggeleng.
Patih haryo Unggul usap-usap dagunya.
"Aneh," desisnya. "Seorang dengan julukan
seperti itu, tak dikenal sebelumnya, tapi
memiliki ilmu luar biasa. Bertindak sebagai
pelindung dan pembela Raden Ajeng Siti
Hinggil dan puterinya….. Sungguh aneh!"
"Saya rasa ada baiknya paman patih memberi
tahukan Sri Baginda. Biar saya menyusul
Raden Kertopati untuk melihat sampai di
mana kehebatan orang itu…."
"Saya setuju hal itu," sahut Patih Haryo
Unggul. "Yang penting menyelidiki. Kita harus
tahu apa hubungan Bajingan Dari Susukan ini
dengan istri Sri Baginda.
Ingat keterangan kusir tua itu…..? Dia sempat
mendengar ketika Bajingan Dari Susukan
berkata bahwa dia hanya menjalankan tugas.
Nah, kita harus tahu siapa di belakangnya.
Siapa yang menugaskannya! Jika tidak dapat
dari orangnya langsung, istri Sri Baginda itu
pasti mengetahui….."
"Saya berangkat sekarang Paman patih….."
"Pergilah. Walaupun manusia itu tidak
terkenal, tapi jangan Raden Mas
menganggapnya enteng. Saya lebih suka
kalau dia dapat ditangkap hidup-hidup….."
"Itu memang keinginan saya paman patih,"
jawab Raden Mas Jayengrono. Namun dalam
hatinya diapun punya keinginan untuk
menyaksikan bahkan hendak menjajal sampai
di mana kehebatan manusia yang
memperkenalkan dirinya sebagai Bajingan
Dari Susukan itu.


ENAM
Ketika Kepala Balatentara Kerajaan Raden
Mas Jayengrono sampai di tempat kediaman
istri Raja yang ketiga maka dia menyaksikan
satu pemandangan luar biasa.
Halaman rumah yang cukup luas itu dikurung
rapat oleh puluhan perajurit. Sekitar enam
perajurit, dua perwira muda dan seorang
perwira tinggi tampak tergeletak di tanah.
Kebanyakan dari mereka sudah tak berkutik
lagi alias mati. Yang masih diup terdengar
mengerang megap-megap tanda umurnyapun
tak bakal lama. Rata-rata mereka menderita
patah tulang tangan atau kaki, atau hancur
tulang-tulang iganya. Yang menemui
kematian rata-rata kelihatan kehitaman kulit
tubuhnya, seperti hangus dipanggang api.
Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Lestari
dan Pangeran Sabrang tegak di tangga rumah,
menyaksikan Raden Kertopati yang dibantu
oleh seorang perwira tinggi dan tiga orang
perwira muda mengeroyok seorang pemuda
berkulit hitam, berwajah bundar. Melihat pada
ilmu silat yang dimainkan pemuda tak dikenal
ini, jelas dia tidak memiliki kepandaian yang
dapat diandalkan. Bahkan boleh dikatakan
hampir tak ada sama sekali jurus-jurus ilmu
silat yang dimainkannya. Akan tetapi, setiap
gerakan yang dibuatnya mengeluarkan deru
angin tanda dia memiliki tenaga dalam yang
kuat. Dan setiap dia menggerakkan tangan
dan kakinya, para pengeroyok cepat bertindak
mundur atau menyelamatkan diri. Yang
terlambat kalau tidak menemui ajal pastilah
cidera berat!
Beberapa kali Jayengrono melihat para
pengeroyok berhasil menyarangkan pukulan
atau tendangan ke tubuh pemuda itu. Namun
seperti kebal pukulan, si pemuda seolah-olah
tidak merasakannya. Dia terus merangsak
menyerang para pengeroyoknya.
Ada satu hal yang sempat diperhatikan
Kepala Balatentara Kerajaan itu. betapapun
hebatnya tenaga dalam dan berbahayanya
setiap gerakan tangan atau kaki si pemuda
namun dia tidak memiliki nafas yang panjang.
Dadanya turun naik, tenggorokannya bergerak-
gerak dan hidungnya mengembang-kempis
tanda nafasnya mulai memburu.
"Hentikan pertempuran!" Tiba-tiba Raden Mas
Jayengrono berteriak keras.
Pihak Kerajaan yang mengenali suara Kepala
Balatentara itu segera berhenti menyerang.
Masing-masing melompat dua langkah ke
belakang. Mereka semua memandang dengan
heran pada Raden Mas Jayengrono.
"Ada apakah? Mengapa kangmas
menghendaki perkelahian ini dihentikan…..?"
bertanya Kertopati. Tubuhnya tampak mandi
keringat tanda tenaganya terkuras.
"Biarkan aku bicara dulu dengan pemuda
berkulit hitam itu," jawab Jayengrono. Lalu
dengan suara lebih perlahan hingga hanya
Kertopati yang mendengar, dia menegur.
"Bukankah Patih sudah memberi ingat.
Jangan melakukan apa-apa sebelum salah
satu dari kami datang ke tempat ini?"
"Saya ingat sekali pesan itu kangmas. Tapi
pemuda itu tiba-tiba muncul dan mengusir
kami dari tempat ini….." menjawab Kertopati.
Jayengrono berdehem beberapa kali lalu
palingkan kepalanya ke arah Gajah Rimbun.
"Kau orangnya yang bernama Bajingan Dari
Susukan?" tanya Kepala Balatentara Kerajaan
dari atas punggung kuda.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan
mengangguk. Dia tegak di tengah kalangan
dengan sikap pongah sambil bertolak
pinggang. Dengan tenang meskipun hatinya
mulai jengkel, Jayengrono kembali bertanya
"Mengapa kau membuat keonaran di tempat
kediaman istri Sri Baginda?"
"Bukan aku yang membuat keonaran tapi
kalian yang datang menimbulkan kerusuhan"
sahut Bajingan Dari Susukan.
"Namamu cocok dengan sifatmu! Kau pandai
bersilat lidah! Apa hakmu melarang abdi
Kerajaan yang diperintah Raja untuk
memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil?"
bertanya Jayengrono dengan mata melotot.
"Raja menyuruh menyelidik istrinya sendiri! Ini
adalah aneh!" tukas bajingan Dari Susukan.
"Jika kalian hendak menyelidik orang lain,
mengapa Raden Ajeng dan puterinya yang
kalian curigai?!"
"Karena cincin emas milik Raden Ayu Paji
Lestari dipakai oleh seorang pengacau
mengaku bernama Pangeran Matahari! Kalau
tak ada sangkut paut dengan orang itu mana
mungkin cincin tersebut ada padanya? Raden
Ayu telah memberikannya karena ada
hubungan tertentu! Bukan begitu…..?"
Jayengrono berkata sambil berpaling dan
memandang tajam pada Puji Lestari
Ambarwati, membuat gadis ini sesaat gugup
dan pucat wajahnya.
Saat itu terdengar suara Bajingan Dari
Susukan kembali. "Sungguh kecurigaan keji!
Menuduh tanpa bukti! Raden Ayu perlihatkan
bahwa cincin itu tak pernah kau berikan pada
siapapun!"
Puji Lestari ulurkan tangan kirinya. Pada jari
manis tangan kiri sang puteri kelihatan cinicn
emas bergambar burung rajawali melingkar di
jari manisnya.
Sesaat Raden Jayengrono jadi terpaku. Penuh
heran tak mengerti. Bagaimana cincin yang
beberapa waktu lalu jelas dilihatnya berada di
tangan Pangeran Matahari kini tahu-tahu
sudah ada lagi di jari Raden Ayu Puji Lestari.
Padahal beberapa hari lalu ketika ditanya,
sang puteri tidak dapat memperlihatkan
benda itu.
"Ada sesuatu yang tidak beres di sini!" ujar
Jayengrono. Dia memandang berkeliling lalu
memerintah "Tangkap pemuda ini!"
Teriakan ini membuat beberapa orang yang
ada di sekeliling Bajingan Dari Susukan
segera melompat menyerbu. Mereka adalah
Raden Kertopati Kepala Pasukan Kotaraja,
tiga orang perwira muda dan dua orang
perwira tinggi. Dalam waktu sekejapan saja
pemuda berkulit hitam itu sudah dilanda
hujan serangan. Bukan serangan biasa tapi
serangan mengandung tenaga dalam tinggi.
Jangankan manusia, seekor kerbau besarpun
akan babak belur dihantam pukulan dan
tendangan orang-orang itu.
Terdengar suara gedebak-gedebuk ketika tinju
dan kaki mendarat di tubuh Bajingan Dari
Susukan. Tubuhnya terbanting kian kemari.
Tapi anehnya dia seperti tidak merasakan
apa-apa. Jangankan menjerit, meringispun
tidak. Melihat kejadian ini dengan beringas
Raden Kertopati merangsak ke depan,
lancarkan serangan-serangan dalam jurus-
jurus ganas. Raden Mas Jayengrono tampak
tertegun. Hampir tak pernah dilihatnya
bawahannya itu menggempur lawan seperti
itu. Kenyataannya memang Bajingan Dari
Susukan dibuat terpental dan bergulingan di
tanah sewaktu kaki kanan Raden Kertopati
tepat menghantam lambungnya.
Belum sempat bangun, dua perwira muda dan
dua perwira tinggi berkelebat berebut cepat
mengirimkan serangan. Kalau tidak mati
dalam keadaan mengerikan pastilah pemuda
berkulit hitam itu akan menderita luka parah
dan cacat seumur hidupnya. Demikian orang-
orang yang ada di tempat itu memastikan.
Namun apa yang terjadi kemudian membuat
semua orang terkejut bahkan Jayengrono
keluarkan seruan tertahan.
Didahului bentakan keras tubuh Bajingan Dari
Susukan melesat setinggi satu tombak.
Tangan dan kakinya bergerak. Empat perwira
Kerajaan yang tadi menggempurnya mental
berpelantingan. Masing-masing keluarkan
jeritan mengerikan. Tubuh keempatnya
kemudian jatuh ke tanah tak berkutik kagi
daalm keadaan hangus hitam!
"Manusia ini bukan saja memiliki kekebalan
tapi kesaktian mematikan…."
Desis Raden Mas Jayengrono sementara
Raden Kertopati tegak tak bergerak dengan
muka pucat!
"Pembunuh biadab! Siapa kau sebenarnya?!"
membentak Jayengrono.
"Sudah diberitahu masih saja bertanya!
Bukankah lebih baik kalian pergi semua dari
tempat ini dan jangan ganggu Raden Ajeng
Stiti Hinggil serta puterinya!"
"Kentut busuk!" maki Jayengrono.
Memandang pada keadaan mayat yang
hangus hitam itu, Kepala Balatentara
Kerajaan ini tiba-tiba saja ingat sesuatu dan
curiga besar. Ketika beberapa waktu lalu
Pangeran Matahari menyerbu istana, lawan-
lawan yang mati di tangannyapun mengalami
nasib seperti keempat perwira itu. Mati
dengan tubuh hangus hitam seperti
dipanggang. Ilmu pemuda mengaku Bajingan
Dari Susukan ini serupa dengan yang dimiliki
Pangeran Matahari. Maka Jayengronopun
kembali membentak "Apa hubunganmu
dengan Pangeran Matahari?!"
"MAsih saja mengajukan pertanyaan! Jika
kalian tidak cepat minggat dari sini, jangan
menyesal kalau cuma arwah kalian yang
meninggalkan tempat ini!" Berkata Bajingan
Dari Susukan alias Gajah Rimbun sambil
menyeringai dan berkacak pinggang.
"Sombong dan menghina sekali!" kertak
Jayengrono yang saat itu masih duduk di
atas punggung kudanya. Dia berpaling pada
Raden Kertopati dan berkata memberi perintah
"Dimas, tangkap keparat itu hidup atau mati!"
Menerima perintah seperti itu Kepala Pasukan
Kotaraja itu menjadi agak terkesiap. Melihat
kehebatan pemuda kulit hitam hatinya jadi
meragu apakah kepandaian silat dan
kesaktiannya akan mampu menghadapi orang
itu.
Melihat bawahannya itu tidak bergerak dari
tempatnya Jayengrono cabut keris berhulu
gading gajah di pinggangnya dan
melemparkan senjata ini pada Raden
Kertopati seraya berkata "Pergunakan Kiyai
Gajah Putih ini! Masakan tubuhnya tidak akan
tertembus sekalipun dia punya kesaktian
seperti malaikat!"
Kiyai Gajah Putih adalah sebilah keris berhulu
gading berbadan putih karena terbuat dari
perak yang diramu dengan sejenis racun jahat
berwarna putih. Senjata sakti mandraguna ini
didapat Raden Mas Jayengrono dari gurunya
almarhum. Untuk mendapatkan keris itu
Jayengrono harus menempuh ujian sangat
berat. Yaitu berpuasa selama 100 hari dengan
hanya minum air embun yang ada di
dedaunan serta hanya sekepal nasi putih
setiap malam Jum'at. Setelah itu dia harus
pula bersamadi di tujuh tempat selama 7 hari
untuk setiap tempat. Ketika sang guru
menyerahkan keris itu kepadanya, disebutkan
pula satu larangan yang tidak boleh dilanggar
oleh Jayengrono setelah memiliki senjata itu
yakni larangan menggauli perempuan yang
bukan istrinya alias berzina.
Raden Kertopati menyambut Kiyai Gajah Putih
yang dilemparkan Jayengrono kepadanya.
Jelas dia tak bisa berbuat lain maka Kepala
Pasukan Kotaraja ini segera mencabut senjata
itu. Begitu keris keluar dari sarungnya
memancarlah cahaya putih. Cahaya ini
menjadi lebih terang karena saat itu matahari
hampir tenggelam dan udara mulai gelap.
Sesaat Bajingan Dari Susukan merasa keder
juga melihat cahaya angker keris di tangan
Kertopati. Namuan dia begitu yakin akan
kehebatan ilmu titipan yang diberikan
Pangeran Matahari padanya. Maka dengan
tetap berkacak pinggang, pemuda berkulit
hitam ini sunggingkan seraingai mengejek.
"Kalau kau memang hendak mencoba
kehebatan keris butut itu, mengapa tidak lekas
menyerang?!"
Jayengrono panas sekali hatinya mendengar
keris saktinya diejek dan dilecehkan begitu
saja oleh Bajingan Dari Susukan. Dia berteriak
marah "Dimas! Lekas bunuh bangsat itu!"
Maka Kertopatipun melompat menyergap
lawannya sambil tikamkan Kiyai Gajah Putih.
Sinar putih berkiblat disertai desingan angin.
Bajingan Dari Susukan berkelit sambil menuju
ke depan. Gerakannya menjotos terasa seperti
tertahan oleh angin yang datang menyambar
dari badan keris. Maka dia ganti pergunakan
kaki untuk menendang kaki musuh. Kertopati
melompat sambil tikamkan keris di tangan
kanannya sekali lagi. Kali ini ke arah
tenggorokan lawan.
Buk!
Tendangan Bajingan Dari Susukan meskipun
agak meleset masih sempat menghajar betis
kanan Raden Kertopati hingga orang ini
kehilangan keseimbangan, limbung dan jatuh
tersungkur. Walaupun tusukan keris ke arah
tenggorokan meleset namun dalam jatuhnya
Raden Kertopati masih berkesempatan
membabatkan Kiyai Gajah Putih ke arah
kedua kaki lawan.
Breet!
Kaki celana kiri Bajingan Dari Susukan robek
besar. Salah satu bagian pahanya tergurat
ujung keris. Untuk pertama kalinya terdengar
suara pekik kesakitan keluar dari mulut
Bajingan Dari Susukan. Meskipun pahanya
hanya tergurat sedikit dan sama sekali tidak
mengeluarkan darah namun tubuhnya terasa
menjadi sangat dingin hingga gigi-giginya
bergemeletakan.
"Celaka! Apakah kesaktian yang diberikan
Pangeran Matahari tidak sanggup
menghadapi keris putih itu…..?!" Bajingan Dari
Susukan merasa kawatir sekali. Rasa kecut
membayangi hatinya. Apakah dia akan terus
berkelahi di situ atau sebaiknya pergi saja,
kembali dan melapor pada Pangeran
Matahari?
Sementara itu Raden Kertopati yang tadi
terjatuh berusaha bangun. Alangkah kagetnya
Kepala Pasukan Kotaraja ini ketika
mendapatkan dirinya tak sanggup lagi
bangkit. Disingsingkannya kaki celananya.
Betisnya yang tersingkap kelihatan
menghitam. Pucatlah paras Kertopati. Dia
cepat menotok pangkal paha dan bagian dada
di dekat jantung untuk mencegat aliran rasun
jahat. Lalu masih dengan menggenggam keris
Kiyai Gajah Putih di tangan Kepala Pasukan
Kotaraja ini gulingkan tubuh menajuhi
Bajingan Dari Susukan. Beberapa orang
perwira segera menolongnya dan
menggotongnya ke dekat tangga rumah besar.
Menyaksikan kejadian itu Raden Mas
Jaengrono melompat urun dari kudanya. Dia
akan turun tangan sendiri untuk menghajar
Bajingan Dari Susukan. Namun di saat yang
sama pula pemuda berkulit hitam itu sudah
melompat dari kalangan pertempuran.
Berkelebat ke arah pintu halaman.
"Tangkap! Jangan biarkan dia lari!" teriak
Jayengrono seraya mengangkat tangan kanan
untuk menghantam dengan pukulan jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
serangan ini terpaska di batalkan karena
belasan perajurit dan para perwira saat itu
telah berserabutan mengejar Bajingan Dari
Susukan hingga menutup alur pukulan. Kalau
diteruskan hanya akan mencelakai orang-
orang sendiri.
Jayengrono semakin gemas dalam hati.
Terlebih lagi ketika kemudian dilihatnya di
depan sana perajurit-perajurit dan para
perwira yang berusaha menangkap Bajingan
Dari Susukan terlempar dan rubuh ke tanah.
Empat di antaranya menemui ajal dengan
tubuh menghitam hangus!
"Manusia laknat!" kertak Jayengrono. Karena
tak bisa berbuat lain akhirnya Kepala
Balatentara Kerajaan ini melangkah cepat ke
langkan rumah besar. Saat itu Raden Ajeng
Siti Hinggil, Raden Ayu Puji Lestari dan
Pangeran Sabrang masih berada di sana.
"Raden Ajeng," tegur Jayengrono seraya
membungkuk. "Izinkan saya bicara denganmu
di dalam." Lalu tanpa menunggu jawaban
orang Jayengrono mendahului memasuki
rumah besar, langsung menuju ke sebuah
ruangan berpintu kayu berukir-ukir di mana
biasanya dipakai Sri Baginda beristirahat
bilamana sedang mengunjungi istrinya yang
ketiga ini.
Sewaktu Bajingan Dari Susukan melarikan diri
dikejar oleh para perajurit dan perwira
Kerajaan, di pinggir jalan, di seberang rumah
kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil, terlindung
di balik kerapatan pohon-pohon bambu
tampak dua orang pemuda secara diam-diam
menyaksikan apa yang terjadi di depan
mereka. Pemuda pertama berpakaian serba
putih, berambut gondrong. Sesekali tampak
dia menggaruk-garuk kepala, entah gemas
melihat pertempuran yang tengah berlangsung
entah memang kepalanya gatal. Kawan di
sebelahnya seorang pemuda bertampan
cakap, berbadan langsing berambut pendek
dan mengenakan pakaian warna abu-abu.
"Bagaimana, kita tangkap pemuda bermuka
bundar itu?" bertanya si abu-abu ketika
melihat Bajingan Dari Susukan hendak
melarikan diri.
"Enggg….." si gondrong garuk-garuk
kepalanya sesaat. "Aku punya rencana lain,"
katanya kemudian. "Ingat, tadi kita sudah
sama menduga, pemuda itu memiliki ilmu
aneh. Keanehan itu dapat dihubungkan
dengan ilmu kesaktian Pangeran Matahari.
Setiap lawan yang mereka bunuh, menemui
kematian dengan cara sama.
Tubuh hangus hitam. Kalau kita tangkap dia
sekarang, berarti kita tidak dapat mengetahui
sumber semua keanehan ini. Jika benar dia
ada sangkut paut dengan Pangeran sialan itu,
berarti kita tidak dapat mencari jejaknya.
Justru inilah kesempatan paling baik untuk
mencari tahu di mana biang kerok itu berada
lalu membekuknya!"
"Lalu, apa yang ada di benakmu?" tanya si
abu-abu.
"Aku akan menguntit si hitam muka bundar
itu….."
"Kalau cuma itu serahkan saja padaku…."
"Tidak. Kau harus menolong Raden Ajeng Siti
Hinggil dan bicara dengan Jayengrono…."
Menyahuti pemuda gondrong.
"Aku kawatir kalau-kalau Jayengrono dapat
menerka siapa aku sebenarnya. Maksud
menolong bisa jadi berantakan. Lagi pula
sejak aku memutuskan untuk tidak kembali
mengabdi pada Sri Baginda aku akan merasa
kikuk menghadapi orang-orang itu. Kau saja
yang bicara dengan mereka. Aku biar
menguntit si hitam bernama Bajingan Dari
Susukan itu….. Lagi pula aku masih punya
hutang piutang yang harus aku selesaikan
dengan Pangeran Matahari. Kalau saja si
hitam tadi memang benggolan cecunguknya!"
"Kalau itu sukamu baiklah. Tapi bagaimana
aku nanti mencari dan menyusulmu….?" Tanya
si gondrong sambil memegang bahu pemuda
berpakaian abu-abu.
"Nah, tanganmu lagi-lagi menggerayang
seenaknya. Ingat, aku bukan leleaki
sepertimu…..!" Pemuda berpakaian abu-abu
itu mengomel cemberut sambil menepiskan
tangan yang memegang bahunya.
Si gondrong tertawa geli. "Aku lupa!
Seharusnya kau tidak menyamar seperti ini
sahabat! Bangsat itu sudah lari jauh,
bagaimana aku menyusul dan mencarimu?"
"Gampang saja! Aku akan mematahkan
ranting-ranting pepohonan yang kulalui…."
"Kau cerdik! Pergilah. Tapi hati-hati…..!" Dan
si gondrong ini kembali lupa.
Sambil menyuruh pergi tangannya menepuk
pantat pemuda bertubuh ramping itu.
"Brengsek!" teriak si abu-abu


TUJUH
Raden Mas Jayengrono menunggu sampai
Raden Ajeng Siti Hinggil duduk di kursi besar
lalu menutup pintu ruangan. Hanya mereka
berdua saja ada di tempat itu. Di ruangan itu
masih terdapat beberapa buah kursi namun
Kepala Balatentara Kerajaan itu memilih
berdiri. Sesaat dia tegak sambil menatap
wajah Siti Hinggil hingga akhirnya perempuan
ini menundukkan kepala dengan wajah
bersemu merah.
"Ada apakah saya dibawa ke ruangan ini?"
terdengar kemudian suara Siti Hinggil,
perlahan tapi cukup jelas.
"Saya hanya ingin jawaban jujur," berkata
Jayengrono. "Apa hubungan Raden Ajeng
dengan orang bernama Pangeran Matahari
itu? Lalu mengapa sampai ada seorang
pemuda yang muncul serta bertindak selaku
pelindung Raden Ajeng dan anak-anak….."
"Sebelum saya menjawab, saya ingin
mengajukan satu pertanyaan lebih dahulu…."
Kata Siti Hinggil pula yang membuat Raden
Mas Jayengrono agak terkejut.
"Apa pertanyaan itu?"
"Betul Raden Mas yang telah mengambil
langkah untuk mencurigai kami anak beranak
serta melakukan pengusutan?"
"Saya hanya menjalankan tugas, Raden Ajeng.
Demi keselamatan kita semua. Demi
keselamatan Kerajaan….."
Siti Hinggil tersenyum lalu menggelengkan
kepala. "Saya tahu apa sebab sebenarnya….."
"Hemmm…." Raden Mas Jayengrono
mengusap dagunya.
"Raden Mas mendendam kepada saya….."
"Apa yang perlu kudendamkan Raden Ajeng?"
"Karena sejak Pangeran Anom lahir saya tidak
mau lagi mengikuti kinginan Raden Mas….."
"Kau keliru Siti….." Tiba-tiba saja Jayengrono
menyebut nama istri Sri Baginda itu secara
langsung.
Dan anehnya Siti Hinggilpun melakukan yang
sama. "Tidak Jayeng. Saya tidak keliru. Saya
tahu benar hatimu….."
"Jika kau tahu mengapa kau bersikap
lain…..?"
Air muka Siti Hinggil nampak redup
menggelap. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Apakah tidak cukup kita membuat kesalahan
dengan melahirkan Puji Lestari dan Pangeran
Anom…..? Apakah kita akan menambah
dengan satu jiwa manusia lagi, lagi dan
lagi….? Bukankah saya katakan saya sudah
bertobat dan tak akan mengulanginya lagi
yaitu setelah Anom lahir? Juga bukankah
sebulan setelah Anom lahir kau mendapatkan
keris sakti itu dan harus mematuhi larangan
untuk tidak menggauli perempuan lain selain
istrimu……"
Jayengrono diam sejenak. Kemudian
jawabnya "Kau tahu istri tunggalku selain
sakit-sakitan dan aku tidak punya selir atau
istri peliharaan. Semua itu karena aku masih
mengharapkan kau dan hubungan kita
kembali seperti dulu…… Delapan belas tahun
aku menunggu Siti. Delapan belas tahun aku
tak pernah merasakan kehangatan kasih
sayang dan tubuhmu seperti dulu…."
"Saya sudah bertobat Jayeng dan kau punya
larangan. Cukup hubungan kita yang
berlumuran dosa itu hanya menghasilkan Puji
dan Anom. Jangan ditambah lagi….."
"Persetan dengan larangan itu Siti! Apakah
kau menyuruh aku harus meracun Sri Baginda
agar dapat menikah dan memilikimu secara
syah……?'
"Kau akan terkutuk dunia akhirat jika kau
melakukan itu Jayeng!"
"Kalau begitu…… berarti apa yang kuinginkan
lebih baik dari pada membunuh Sri Baginda
dan mengambilmu jadi istri….."
"Keduanya sama-sama besar dosanya.
Sekalipun kau membunuh Sri baginda, tidak
akan aku mau diperistrikan olehmu!
Pembunuh dari suami anak-anakku…..!"
"Puji dan Anom bukan anakmu dan anak
Raja! Tapi anak kita!" ujar Jayengrono dengan
mata membesar.
"Saya ingin keluar dari ruangan ini Jayeng.
Bukakan pintu itu….." kata Siti Hinggil sambil
bergerak bangkit dari kursi.
Tapi Jayengrono memberi isyarat agar dia
duduk kembali. "Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi!"
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan
Pangeran Matahari. Juga tidak tahu mengapa
ada pemuda yang muncul mengaku hendak
melindungi kami…."
"Siti, jangan dusta! Sangat jelas ceritanya
bagiku! Cincin emas bergambar burung
rajawali milik puterimu, milik anak kita pernah
terlihat dipakai Pangeran Matahari waktu
keparat itu menyerbu Istana! Setelah sekian
lama lenyap tahu-tahu cincin itu dikabarkan
berada di tangan Puji! Kalau tidak ada apa-
apa mana mungkin hal itu bisa terjadi!"
Siti Hinggil duduk terpaku di kursinya.
"Sebaiknya kukatakan saja bagaimana
kejadiannya….?" Hati kecil perempuan ini
bertanya-tanya. Namun sebelum dia sempat
membuka mulut, di hadapannya Raden Mas
Jayengrono melangkah mendekati dan berkata
setengah berbisik seraya merunduk.
"Dengar Siti. Aku sudah mengatur satu
rencana hingga kita bisa berhubungan seperti
dulu tanpa satu orangpun tahu atau curiga,
termasuk Sri baginda…."
Siti Hinggil tercengang mendengar kata-kata
Jayengrono itu.
"Apa maksudmu Jayeng?"
"Kau akan kutangkap dan dimasukkan dalam
kamar penyekapan di salah satu bagian
istana. Di situ aku telah membuat sebuah
pintu rahasia hingga bisa keluar masuk tanpa
ada yang mengetahui. Kita bisa bertemu
setiap saat. Kita bisa melakukan apa yang
dulu pernah kita lakukan delapan bels tahun
lalu. Bukankah ini yang sama-sama kita
tunggu Siti? Delapan belas tahun! Gila! Waktu
yang sangat lama!"
"Tidak!" Siti Hinggil bangkit dari kursi besar.
Wajahnya menyatakan perasaan hatinya yang
sangat marah. "Aku sudah bertobat! Apapun
yang terjadi aku tidak akan mengulang
perbuatan terkutuk itu lagi! Yang sudah ya
sudah! Cukup kita mempunyai dua orang anak
haram. Puji dan Anom….."
"Tapi sekali ini kita tak perlu menjalin
hubungan yang menghasilkan keturunan!"
"Keluarlah dari ruangan ini!" ujar Siti Hinggil
dengan suara mendesis.
"Kalau begitu aku betul-betul akan menyuruh
tangkapmu! Dengan tuduhan mempunyai
hubungan dengan perusuh dan pembunuh
bernama Pangeran Matahari itu!"
"Kau boleh melakukan apa saja. Aku tidak
takut!..... jawab Siti Hinggil.
Ketika dia hendak melangkah ke pintu tiba-
tiba dari luar terdengar pintu diketuk.
"Panglima Jayengrono harap segera keluar
untuk memberikan pertolongan!"
"Keparat!" maki Jayengrono dalam hati.
Seperti hendak ditendangnya pintu itu berikut
orang yang ada di luar karena geramnya.
Namun mau tak mau dia terpaksa membuka
pintu seraya membentak "Ada apa berani
mengganggu kami yang sedang melakukan
pembicaraan penting?!"
Perwira muda yang tegak di depan pintu
dengan muka pucat ketakutan cepat
membungkuk.
"Raden Kertopati gawat. Racun pukulan
Bajingan Dari Susukan agaknya tak
terbendung oleh totokan. Darah mulai keluar
dari hidung, telinga dan mulutnya!"
"Lalu kalau sudah begitu apa kau kira aku
bisa menoong?! Apa kau kira aku dukun patah
ahli pengobatan?!" sentak Jayengrono.
Perwira muda itu semakin ketakutan.
"Maafkan saya Panglima. Saya hanya
melapor karena kawatir….."
"Di mana dia sekarang?"
"Masih terbaring di tangga depan…."
"Pergilah! Aku akan menyusul ke sana!" kata
Jayengrono. Setelah perwira muda itu berlalu
Jayengrono berpaling ada Siti Hinggil. "Kau
tak ingin merubah keputusanmu?"
"Tidak." Jawab Siti Hinggil. "Sekalipun
kepalau kau pancung!"
"Hatimu terlalu keras. Mana cinta kasih yang
dulu selalu kau berikan untuk kehangatan kita
berdua…..?"
"Masa lalu tak perlu diungkit dan tak akan
terulang lagi. Apa masih belum jelas bagimu
Jaeng?"
"Kau akan menyesal Siti….."
"Mudah-mudahan tidak!" habis berkata begitu
Siti Hinggil melangkah keluar pintu.
Marah dan jengkel Raden mas Jayengrono
meninggalkan ruangan itu menuju serambi
rumah. Dalam hati dia merutuk. "Mengapa si
Kertopati itu tidak mampus saja! Kalau tidak
oleh keadaannya mungkin aku masih bisa
membujuk perempuan itu. Ah Siti….. Delapan
belas tahun memang cukup lama. Tapi tidak
terlalu cepat untuk mengikis cinta gelap
kita….."
Sewaktu Jayengrono sampai di tangga depan
rumah besar itu dia terkejut mendapatkan
seorang pemuda berpakaian putih berambut
gondrong tengah duduk bersimpuh di samping
tubuh Kertopati yang tergeletak di lantai
serambi, dekat tangga. Di tangan pemuda itu
tergenggam sebilah kapak bermata dua yang
memancarkan sinar berkilauan tertimpa
cahaya sang surya yang hendak tenggelam.
Salah satu mata kapak ditempelkannya di
betis Kertopati yang berwarna hitam seperti
hangus yakni akibat tendangan Bajingan Dari
Susukan tadi. Kertopati sendiri berada dalam
keadaan pingsan.
"Hai! Siapa kau! Apa yang kau lakukan?!"
hardik Jayengrono. Dalam kemarahan dia
tidak sempat mengingat atau mengenali
pemuda gondrong itu.
Yang ditanya karena sedang berusaha
mengobati Kertopati dengan menghimpun
kekuatan tenaga dalam dan mengosongkan
pikiran dari segala cipta dan rasa tentu saja
tidak menjawab. Hal ini membuat Jayengrono
menjadi tambah marah.
Sambil menggereng dia ulurkan tangan untuk
menjambak rambut pemuda itu. Rambut itu
berhasil disentuhnya. Namun jari-jari
tangannya terasa panas dan dia tak mampu
menggerakkan apalagi menyentak menjambak.
Perlahan-lahan Jayengrono lepaskan
jambakannya.

DELAPAN
Pemuda gondrong berpakaian dan berikat
kepala putih yang duduk bersila dengan
menempelkan kapak berkilat ke betis Raden
Kertopati nampak menggigil sekujur tubuhnya
ketika dia mengerahkan tenaga dalam untuk
mulai menyedot racun jahat mematikan yang
telah menjalari sebagian tubuh Kepala
Pasukan Kotaraja itu. Butir-butir keringat
memercik ke keningnya sebesar-besar jagung.
Perlahan-lahan, mata kapak yang tadi berkilat
tampak meredup oleh cairan darah kehitaman
yang tersedot keluar dari betis Kertopati. Si
gondrong terengahengah napasnya namun dia
terus kerahkan kekuatan tenaga dalam untuk
menyedot hingga semakin banyak darah hitam
yang keluar. Ketika darah hitam berangsur-
angsur berubah menjadi merah, pertanda
racun maut yang mendekam di tubuh
Kertopati telah tersedot keluar semuanya
maka si pemuda memperkendur sedotan
tenaga dalamnya.
Sepasang kaki Kertopati tampak bergerak.
Sedotan yag dilakukan si pemuda sekaligus
telah memusnahkan dua totokan yang dibuat
sendiri oleh Kertopati. Kepala Pasukan
Kerajaan ini terdengar mulai mengerang
pertanda telah sadarkan diri meski kedua
matanya masih tertutup. Ketika si gondrong
mengangkat kapaknya dan meniupnya, secata
aneh noda darah hitam pada mata kapak itu
sirna sementara Kertopati telah pula
membuka sepasang matanya. Sesaat dia
menatap wajah si gondrong, lalu memandang
berkeliling. Mula-mula dia tidak apa yang
terjadi, mengapa dia berada dalam keadaan
terbujur di serambi rumah besar itu. Setelah
memejamkan mata beberapa ketika dan
memusatkan jalan pikiran, Kertopati mulai
dapat menduga apa yang dialaminya.
"Kau……" desisnya ketika kembali matanya
memandang wajah pemuda berambut
gondrong. Yang ditegur menyeringai dan
menyisipkan senjatanya ke pinggang.
Saat itu Raden mas Jayengrono melangkah
berputar hingga dia dapat melihat wajah si
pemuda dengan jelas.
"Bukankah kau yang beberapa hari lalu
bersama kawanmu membantu kami orang-
orang Kerajaan menghadapi Pangeran
Matahari…..?" Jayengrono menegur.
"Ah, kau masih ingat pada kami Raden
Mas….." menyahuti si pemuda. Raden
Kertopati dengan bantuan dua orang perwira
bangkit dan bersila di lantai serambi.
"Pendekar 212…….. Kau muncul lagi
menyelamatkan diriku. Bagaimana aku harus
mengucapkan terima kasih….."
Si gondrong yang memang adalah Pendekar
212 Wiro Sableng kembali menyeringai.
"Jangan berterima kasih pada saya, semua
adalah atas keredohan Yang Maha Kuasa…."
Kertopati hanya bisa geleng-gelengkan
kepala.
"Kau dulu pergi secara diam-diam dalam
kabut asap sewaktu istana terbakar. Kini kau
muncul secara aneh. Jangan-jangan kaupun
sebenarnya ada sangkut pautnya dengan
Pangeran Matahari….."
Yang bicara adalah Raden Mas Jayengrono.
Entah dari mana Kepala Balatentara Kerajaan
ini mempunyai jalan pikiran seperti itu hingga
mengeluarkan ucapan yang mengejutkan
semua orang yang ada di situ. Sebaliknya
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
sendiri dicurigai seperti itu tetap duduk
bersila dan tenang, malah masih sunggingkan
senyum.
"Raden Mas, orang telah menolong kita,
mengapa menuduh yang tidak pada
tempatnya?" menegur Raden Kertopati
"Pertolongan bisa saja menyembunyikan
sesuatu!" jawab Jayengrono.
"Banyak masalah yang harus kuusut. Soal
hubungan Raden Ajeng Siti Hinggil masih
belum tuntas. Kini muncul pemuda ini dengan
masalah baru. Sebaiknya kita berjaga-jaga
dimas Kertopati!" lalu tiba-tiba sekali Kepala
Balatentara Kerajaan itu menusukkan dua jari
tangannya ke arah dada kiri Pendekar 212.
Wiro Sableng cepat menangkis.
Tapi totokan Jayengrono mendarat di
dadanya lebih dulu hingga tak ampun lagi
tubuhnya menjadi kaku kejang. Seharusnya
jalan suaranyapun ikut tertutup. Namun
karena gerakan menangkisnya tadi, totokan
Jayengrono hanya sempat membuat auratnya
saja yang kaku sedang jalan suara masih
membuka.
"Jadi begini balasan kalian orang-orang
Kerajaan…..?!" Wiro Sableng keluarkan
ucapan. "Sungguh kalian manusia-manusia
tidak berbudi!"
"Raden Mas, saya minta pemuda itu
dibebaskan….." Yang bicara adalah Raden
Kertopati sementara semua orang yang ada di
tempat itu sama tidak mengerti mengapa
Jayengrono menotok pemuda gondrong yang
telah menyelamatkan jiwa Raden Kertopati.
"Serahkan saja urusan ini padaku dimas. Kau
harus istirahat agar kesehatanmu pulih
kembali. Jika dia ternyata memang tidak
menyembunyikan niat jahat terhadap kita,
pasti akan kubebaskan. Aku ada satu
pertanyaan untukmu gondrong! Dulu kau
muncul bersama kawanmu pemuda langsing
berpakaian abu-abu itu. Di mana dia
sekarang?"
"Dia justru menguntit pemuda kulit hitam
yang kabur itu!" jawab Wiro polos.
"Nah, apa kataku. Temanmu itu bukan
menguntit mungkin sakali tengah
menolongnya dari luka akibat goresan Kiyai
Gajah Putih!"
"Heran, bagaimana orang sepertimu punya
pikiran buruk dan picik seperi itu!" tukas Wiro
Sableng yang membuat wajah Jayengrono
bersemu merah. Dia lalu cepat-cepat memberi
perintah pada orang-orangnya untuk
menaikkan pendekar itu ke atas punggung
seekor kuda. Dia juga memerintahkan para
bawahannya untuk menangkap Raden Ajeng
Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari
Ambarwati. Di atas punggung kuda, dalam
keadaan tertotok Pendekar 212 Wiro Sableng
terdengar keluarkan ucapan.
"Bawa pemuda itu!" teriak Jayengrono pada
bawahannya.
Sesaat setelah kuda yang membawa Pendekar
212 berlalu, Kepala Balatentara Kerajaan ini
masih tegak termangu. "Apa maksud keparat
itu dengan tembok ruangan punya seribu
telinga…..?" dia membatin dalam hati, namun
tak bisa menjawab ataupun menduga.
Di dalam ruangan batu yang terletak di bawah
tanah pada ujung timur kawansan istana,
Pendekar 212 Wiro Sableng tergeletak di atas
lantai dingin berlumut. Dia merasa bersyukur
karena Jayengrono tidak merampas Kapak
Maut Naga Geni 212 yang ada di
pinggangnya. Berkali-kali dia mencoba
mengerahkan tenaga dalam untuk
memusnahkan totokan yang menguasai
tubuhnya, tapi sia-sia saja. Dalam merutuk
habis-habisan perbuatan panglima
Balatentara Kerajaan itu, Wiro tenggelam
dalam satu kekawatiran yang amat sangat.
Seperti dituturkan di muka, antara dia dan
pemuda berpakaian kelabu sahabatnya itu
telah diatur rencana. Wiro akan menolong
Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji
Lestari dari tuduhan Jayengrono sedang si
kelabu akan menguntit pemuda berkulit hitam
(Bajingan Dari Susukan) untuk menyelidik
siapa pemuda itu sebenarnya dan kemana dia
melarikan diri.
Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yang
berjudul "Pangeran Matahari Dari Puncak
Merapi" telah dijelaskan bahwa pemuda
berbaju kelabu itu bukan lain adalah seorang
gadis jelita berkepandaian tinggi bernama Ni
Luh Tua Klungkung.
Selama beberapa tahun dia menyamar
sebagai seorang nenek yang selalu
mengenakan pakaian biru dan mengabdi pada
Kerajaan. Sampai pada suatu hari dia menjadi
putus asa ketika dirinya dikalahkan oleh
Pangeran Matahari. Tak kuat menanggung
rasa malu dan merasa tak layak kembali
mengabdikan diri pada Kerajaan maka Ni Luh
Tua Klungkung terbujuk oleh hasutan setan,
menjadi mata gelap dan hampir bunuh diri
jika tidak tertolong oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng. Keduanya kemudian jadi bersahabat.
Keadaan sahabatnya inilah yang sangat
dikawatirkan Wiro. Saat itu Ni Luh Tua
Klungkung menguntit dan mengejar Bajingan
Dari Susukan. Kalau benar dugaan bahwa
pemuda berkulit hitam itu ada sangkut
pautnya dengan Pangeran Matahari dan kalau
sampai sahabatnya itu berhadapan degan
Pangeran keparat itu, berarti Ni Luh Tua
Klungkung akan menemui bahaya besar tanpa
dia sendiri dapat menolong.
"Jayengrono keparat! Kau akan menerima
pembalasanku!" begitu Wiro memaki tiada
henti. Lalu pendekar ini menyesali diri sendiri.
Mangapa dia menyetujui usul gadis itu untuk
menguntit Bajingan Dari Susukan, bukan dia
sendiri yang melakukannya? Wiro menarik
nafas dalam. "Kalau sampai terjadi apa-apa
dengan sahabatku itu, sampai ke nerakapun
aku akan mencari Pangeran keparat itu…."
Wiro berjanji pada diri sendiri. "Apa yang bisa
kulakukan saat ini? Sialan betul! Apakah aku
harus berteriak seperti orang gila?! Sialan!
Benar-benar sialan!"

SEMBILAN
Matahari yang mulai tenggelam, malam yang
mulai turun membuat udara mulai gelap.
Meskipun pemandangan dalam jarak jauh
agak tertutup kini namun pendengaran yang
tajam membuat Ni Luh Tua Klungkung tetap
dapat mengetahui ke mana arah lari orang
yang dikuntitnya. Sambil berlari dia tidak lupa
untuk mematahkan setiap ujung ranting dri
pepohonan yang dilaluinya. Ini adalah sesuai
janjinya pada Pendekar 212 Wiro Sableng,
Sebagai petunjuk jika pendekar itu menyusul
dan mencarinya. Dia sama sekali tidak tahu
kalau kini Wiro tengah mendapatkan kesulitan,
ditotok dan disekap di sebuah ruangan bawah
tanah.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan
berusaha mempercepat larinya. Goresan luka
keris sakti Kiyai Gajah Putih terasa sangat
perih dan sekujur tubuhnya saat demi saat
semakin dingin. Demikian dinginnya hingga
walaupun dia berlari sejauh itu namun tak
setetes keringatpun keluar dari pori-pori
tubuhnya. Nafasnya mulai menyesak.
Lidahnya terjulur dan kepalanya terasa
pening. Namun semangatnya menjadi besar
ketika di kajauhan dia mulai melihat jalan
lurus mendaki. Di antara kegelapan turunnya
malam, dia bahkan dapat melihat pondok
kayu di ujung jalan yang mendaki itu.
Begitu dia sampai di depan bangunan
langsung Gajah Rimbun jatuhkan diri ke
tanah, mengengah-engah dan keluarkan
seruan tercekik "Pangeran, saya Gajah
Rimbun telah kembali!"
Tak ada jawaban.
"Agaknya Pangeran tak ada di rumah…."
Membatin Gajah Rimbun.
Kreekek….. Terdengar suara berkereketan.
Pintu pondok terbuka. Sesosok tubuh
berpakaian serba hitam muncul. Ada gambar
gunung dan matahari di dada pakaian hitam
itu.
"Pangeran!" seru Gajah Rimbun.
"Bajingan Dari Susukan! Kau kembali lebih
cepat dari perkiraan! Apakah kau berhasil
menjalankan tugas sesuai perintah?!"
"Saya berusaha melakukan sesuai dengan
petunjuk dan perintah! Namun mohon maafmu
Pangeran. Saya menemui kesulitan….." jawab
Gajah Rimbun. Ada bayangan rasa takut
tersembunyi di antara kata-katanya. Paras
Pangeran Matahari tampak berubah.
"Katakan apa yang terjadi….." katanya
perlahan tapi uaranya bernada angker. Gajah
Rimbun lalu menerangkan pengalamannya di
Kotaraja. Dia juga memperliatkan goresan
luka yang kini tampak seperti membusuk di
pahanya.
Pangeran Matahari sama sekali tidak perduli
dengan luka itu. Menolehpun dia tidak.
Sementara itu karena rasa dingin yang
semakin menggila, Gajah Rimbun kini tak
sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya seperti
beku. Tubuhnya terduduk ke tanah.
"Sayang…..sayang sekali….." kata Pangeran
Matahari sambil melangkah mundar-mandir di
depan pondok. "Kehebatan yang telah kau
perlihatkan sehari sebelumnya menjadi pupus
dengan kegagalan hari ini…..!"
"Saya telah melakukan apa yang saya bisa,
Pangeran….."
"Diam!" hardik Pangerarn Matahari. "Kau
bukan melakukan apa yang kau bisa. Tapi
harus melakukan apa yang ditugaskan! Kau
tahu artinya kegagalan ini?!"
Gajah Rimbun terdiam. Wajahnya yang pucat
semakin pucat.
"Saya mohon pertimbanganmu Pangeran. Beri
kesempatan sekali lagi…." Meminta Gajah
Rimbun.
Pangeran Matahari mendengus lalu tertawa
hambar.
"Bagiku kesalahan dan kegagalan bukanlah
satu hal yang bisa diperbaiki. Karena itu
sudah terjadi! Penyesalanpun tiada arti!
Namun aku masih bermurah hati memberikan
satu kesempaan padamu….."
"Terima kasih Pangeran! Terima kasih! Apa
yang harus saya lakukan Pangeran tinggal
mengatakan. Saya akan mengerjakannya!"
"Begitu…..?" ujar Pangeran Matahari tak acuh.
"Apakah kau sadar waktu kau melarikan diri
kembali ke mari ada orang yang
menguntitmu…..?!"
Terkejutlah Gajah Rimbun mendengar
pertanyaan itu. Dia memandang berkeliling
dengan mata dibesarkan tapi tak melihat
orang lain berada di tempat itu.
"Manusia tolol! Percuma kau menyandang
nama Bajingan Dari Susukan!" memaki
Pangeran Matahari. Dia berpaling ke arah
semak belukar lebat di sebelah kiri jalan yang
menurun lalu berseru.
"Penguntit! Keluarlah dari tempat
persembunyianmu!"
Ni Luh Tua Klungkung yang berada di balik
rerumpunan semak belukar itu, menyadari
kehadirannya di situ sudah diketahui orang
tak bisa berbuat lain kecuali keluar
perlihatkan diri.
Ketika melihat siapa yang muncul itu,
Pangeran Matahari kaget sesaat kemudian
langsung saja dia mengumbar tawa panjang.
"Ha….ha…..ha….! Cicak kurus berpakain
kelabu ini rupanya! Mana kawanmu satu lagi!
Pemuda gendeng itu……!"
Ni Luh Tua Klungkung tak mau kalah. Dia ikut
mengumbar tawa melengking.
"Aku memang sudah menduga! Manusia
bernama bajingan Dari Susukan itu pasti
cecunguk kaki tanganmu! Dan terbukti
memang benar! Meminjam tangan orang lain
untuk berbuat kejahatan! Rupanya sejak kabur
dari Kotaraja tempo hari kau tak punya nyali
lagi untuk turun tangan sendiri!"
"Keparat sombong! Mendekatlah biar aku
dapat melihat tampangmu lebih jelas! Jangan
sembunyi di balik bayangan pohon dan
kegelapan!"
"Jika kau ingin melihat lebih jelas silahkan
datang mendekat ke hadapanku!" sahut Ni
Luh Tua Klungkung.
Rahang Pangeran Matahari yang memang
berbentuk menonjol jadi tambah
menggembung. Dia berpaling pada Gajah
Rimbun.
"Tugasmu Bajingan Dari Susukan! Bunuh
pemuda itu!"
Mendengar perintah Pangeran Matahari,
meskipun berdiri saja sudah sangat susah
bagi Gajah Rimbun, namun demi harapan
pengampunan maka dia kerahkan seluruh sisa
tenaga dan melompat ke hadapan Ni Luh Tua
Klungkung, langsung menghantamkan jotosan
ke muka pemuda berpakian kelabu itu.
Ni Luh Tua Klungkung tak berani menangkis.
Dia berkelit ke samping lalu angkat kaki
kanannya mengirimkan tendangan ke arah
tulang rusuk lawan. Gajah Rimbun yang saat
itu memang tak berdaya lagi karena racun
keris Kiyai Gajah Putih tak sanggup mengelak.
"Kraak…..!"
Tiga baris tulang-ulang iganya patah.
Tubuhnya terpental menghantam dinding
pondok. Matanya mendelik dan nafasnya
minggat. Orang ini sebenarnya bukan mati
karena tendangan Ni Luh Tua Klungkung, tapi
lebih banyak diakibatkan oleh racun keris
sakti yang telah mempengaruhi sekujur
tubuhnya. Pada titik puncak rasa dingin yang
tak tertahankan nyawanya pun lepas,
berbarengan dengan datangnya tendangan
lawan tadi! Hal inipun diketahui oleh
Pangeran Matahari.
Selain memang tak ada rasa takut terhadap
pemuda berpakaian kelabu ini, sejak peristiwa
kekalahannya dalam pertempuran di Kotaraja
beberapa waktu lalu (baca serial Wiro Sableng
: Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi)
maka sang pangeran telah menanam dendam
kesumat terhadap pemuda satu ini dan juga
terhadap Wiro Sableng. Itulah sebabnya
Pangeran Matahari menyuruh Bajingan Dari
Susukan untuk menyelidik. Meskipun Bajingan
Dari Susukan gagal menyelamatkan Raden
Ajeng Siti Hinggil dan puterinya namun
sebenarnya untuk tugas menyelidik dua
musuh besar itu sebagian sudah dijalankan
oleh Bajingan Dari Susukan tanpa sadarnya.
Yaitu membawa Ni Luh Tua Klungnkung ke
tempat Pangeran Matahari. Sampai saat itu
Ni Luh Tua Klungkung tetap tegak di bagian
gelap bayangan pohon. Dia sengaja
mendekam di situ karena kawatir di tempat
terang lawan dapat mengetahui siapa dia
adanya.
"Hem…. Kau membunuh orangku! Berarti
bertambah lagi hutangmu padaku! Berarti tak
bakal ada pengampunan untukmu pemuda
kerempeng!"
Ni Luh Tua Klungkung mendengus. "Aku
datang ke mari bukan untuk minta
pengampunan! Justru untuk menyingkirkan
kejahatan yang disebabkan oleh manusia
sesat macammu!"
"Bagus sekali kalau begitu! Rupanya kau
masih belum tahu dalamnya lautan, tingginya
Merapi! Umurmu hanya tinggal tujuh
hitungan!" Habis berkata begitu Pangeran
Matahari gerakkan tangan kanannya. Perlahan
saja.
Ni Luh Tua Klungkung yang sudah
mengetahui benar kehebatan lawan, cepat
berkelebat lenyap sebelum sang pangeran
lepaskan pukulan tangan kosong. Lompatan
yang dilakukan mendahului serangan lawan
memang menyelamatkannya dari serangan. Di
bawah kakinya sesiur angin panas
menyambar ganas. Gadis yang menyamar
seperti seorang pemuda itu merasakan kedua
kakinya seperti disambar api.
Secepat kilat jungkir balik di udara. Ketika
tubuhnya membentuk garis sama datar
dengan tanah maka dia segera lepaskan
pukulan saktinya. Tangan kiri memegang
perut. Tangan kanan diluruskan ke arah
lawan. Mulut ditiupkan keras-keras.
Serangkum angin berwarna kekuningan yang
menebar bau harum kayu cendana mambuntal
menerpa Pangeran Matahari!
Sebelumnya sang pangeran telah menyaksikan
kehebatan ilmu silat dan kesaktian pemuda
berpakaian kelabu itu ketika terjadi
pertempuran hebat disaat itu dia
berdampingan dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Walau lawan ternyata memiliki
kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng,
namun tentu saja Pangeran Matahari yang
congkak itu tidak merasa kecut sama sekali.
Apalagi si pemuda hanya sendirian. Sebelum
buntalan sinar kuning menyentuh dan
mencelakinya, Pangeran Matahari langsung
menghantam dengan pukulan sakti bernama
Merapi Meletus.
Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke
atas. Lima jari tangan membentuk tinju
Tiba-tiba tangan itu disentakkan ke bawah
lalu dihantamkan ke atas. Bersamaan dengan
itu lima jari yang tadi mengepal dibuka
serentak. Terdengar suara berdentum laksana
gunung meletus. Hawa panas menyambar.
Ranting-ranting dan daun-daun pepohonan
meranggas hangus. Buntalan sinar kuning
yang jadi andalan pemuda baju kelabu buyar
sirna.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya
bergoncang keras. Dia kerahkan tenaga dalam
sambil dorongkan kedua telapak tangan ke
depan, bertahan agar tidak jatuh. Namun
sewaktu Pangeran Matahari balas mendorong,
tak ampun gadis ini terpental jungkir balik.
Kain pembungkus kepalanya tanggal. Rambut
samaran pendek terlepas dan kini tambut
aslinya yang panjang hitam tergerai sampai
ke punggung.
"Hai!" seru Pangeran Matahari kaget. "Kau ini
pemuda banci atau perempuan sungguhan!
Pasti wajah aslimu kau sembunyikan di balik
sehelai topeng! Ha….ha….ha…! Jika wajahmu
nanti kulihat cukup cantik, malam ini berarti
aku akan mendapat kawan tidur dalam
pondok!"
"Manusia dajal! Maut sudah di depan mata
masih saja bicara ngacok!" hardik Ni Luh Tua
Klungkung.
Pangeran Matahari kembali tertawa bergelak.
Tubuhnya berkelebat lenyap. Di lain kejap si
gadis sudah terkurung dalam serangan
dahsyat yang membuatnya bertahan mati-
matian. Beberapa kali dia terpental ketika
berusaha menangkis hantaman lawan.
Biasanya siapa saja yang berani bentrokan
lengan dengan Pangeran Matahari akan
menemui celaka bahkan maut. Tangan akan
hitam hangus oleh racun jahat yang dimiliki
sang pangeran. Tapi anehnya Ni Luh Tua
Klungkung tidak mengalami cidera apa-apa
kecuali sakit di bagian luar saja. Diam-diam
gadis ini jadi merinding. Tak bisa tidak musuh
memang sengaja tidak ingin mencelakainya
karena punya maksud tertentu yaitu
menangkapnya hidup-hidup agar dapat
melakukan niat kejinya!
Breet…..!
Ni Luh Tua Klungkung terpekik. Topeng tipis
yang menutupi wajahnya kena disambar
hingga wajah aslinya kini tersingkap jelas!
"Nah….nah! ternyata kau memang cantik
jelita! Kau pantas jadi teman tidurku. Besar
nian rezekiku malam ini!"
"Keparat! Mampuslah!" teriak Ni Luh Tua
Klungkung. Tiga jari tangannya menusuk ke
tenggorokan lawan. Pangeran Matahari
berkelebat lenyap. Sebelum gadis itu sempat
mengetahui di mana lawannya berada tiba-
tiba pakaiannya terasa ditarik.
Breett…..breet…..breett……
Ni Luh Tua Klungkung kembali terpekik.
Pakaiannya robek besar di beberapa bagian
hingga auratnya tersingkap. Selagi dia sibuk
berusaha menutupi tubuhnya yang hampir
telanjang itu, satu remasan keras
mencengkam payudaranya sebelah kiri.
Gadis itu menjerit. Setelah itu tubuhnya kaku.
Suaranya pun lenyap! Dia tak kuasa
menyelamatkan diri. Tak dapat berteriak minta
tolong. Dengan nafas menyeringai dan nafsu
berkobar Pangeran Matahari memeluk tubuh
gadis itu lalu menggendongnya ke arah pondok kayu.
                      
SEPULUH
Orang itu melangkah sepanjang lorong batu
yang hanya diterangi sebuah pelita yang
hampir padam karena kehabisan minyak.
Langkahnya terhuyung-huyung. Kalau tidak
ditolong oleh sebatang tongkat yang
digenggamnya di tangan kanan, mungkin dia
tak sanggup berjalan. Sesekali dia berhenti
melangkah, bersandar ke dinding batu sambil
mengurut dada, mengaur jalan nafas,
mengumpulkan tenaga, baru melangkah lagi.
Di depan sana lorong yang dilaluinya
membelok ke kiri. Lalu tampaklah sebuah
pintu besar dijaga oleh dua orang perajurit
bertubuh kekar bertampang galak. Masing-
masing membekal sebilah golok dan sebatang
tombak.
"Siapa di sana!" Salah seorang pengawal
pintu membentak begitu melihat ada orang
bertongkat mendatangi.
Yang ditegur tidak menjawab.
"Hai! Mengapa tidak menjawab! Lekas bicara
atau akan kutembus dengan tombak ini!"
Pengawal tadi mengangkat tombak di tangan
kanannya tinggi-tinggi. Kawan di sebelahnya
melakukan hal yang sama.
"Aku Raden Kertopati, Kepala Pasukan
Kotaraja!"
Kedua perajurit pengawal cepat turunkan
tombak, membungkuk member hormat dan
salah seorang dari mereka buru-buru meminta
maaf.
"Kami tidak tahu kalau Raden ang datang….."
"Pemuda tawanan itu masih ada di dalam….?"
"Masih ada di dalam Raden…."
"Buka pintu! Aku ingin bicara dengannya!"
memerintah Kertopati.
"Maaf Raden! Kami menerima perintah agar
tidak memperkenankan siapapun masuk ke
dalam menemui tawanan…..!"
"Siapa yang membei perintah?" tanya Raden
Kertopati.
"Raden Mas Jayengrono. Panglima
Balatentara Kerajaan….."
Raden Kertopati menggeram "Di Kotaraja ini
aku adalah atasan kalian. Berarti kalian ikut
perintahku! Buka pintu besi itu!"
"Kami tak berani melakukannya Raden…."
"Kalian tidak mentaati perintahku?!" hardik
Raden Kertopati marah.
"Kami hanya taat pada perintah Panglima
Raden Mas Jayengrono!"
Raden Kertopati diam sejenak. "Baiklah….."
katanya kemudian. Dia memutar tubuh seperti
hendak berlalu. Namun tiba-tiba tongkat kayu
di tangan kanannya berdesing ke udara.
Praak…..praaak!
Kepala dua perajurit pengawal yang tegak di
kiri kanan pintu rengkah! Keduanya tersungkur
ke lantai batu. Raden Kertopati cepat
mengambil kunci dari pinggang salah seorang
pengawal itu lalu membuka gembok besi yang
membuhul rantai besar pengunci pintu.
Dengan cepat dia menyelinap masuk ke
dalam. Di dalam ternyata gelap sekali. Tak
ada lampu, tak ada cahaya. Kertopati
terpaksa mengambil pelita yang ada di lorong.
"Pendekar 212 kau berada di sebelah
mana…..?" Kertopati berseru seraya
mengangkat lampu minyak tinggi-tinggi.
Wiro Sableng yang terbujur di salah satu
sudut rruangan tak segera menjawab. Dia tak
dapat mengenali suara itu karena gaungan
yang memantul pada empat dinding batu.
Kertopati memanggil sekali lagi. Baru kali ini
Wiro mengenali suara Kepala Pasukan
Kotaraja itu.
"Raden, aku di sudut kiri di belakangmu!"
Kertopati membalik lalu melangkah cepat
ketika dilihatnya pemuda itu di sudut ruangan
dalam keadaan tak berdaya. Lampu minyak
diletakkannya di lantai. Dia sendiri kemudian
berlutut di samping Pendekar 212.
"Aku datang untuk menolongmu. Membayar
budi dengan budi….."
"Terima kasih Raden. Aku sebenarnya tidak
mengawatirkan keselamatan diriku. Yang
kucemaskan adalah sahabatku pemuda
berbaju kelabu itu. Kalau dia sampai
tertangkap Pangeran Matahari…… Tolong
lepaskan totokan di dadaku….."
"Jangan kawatir. Jayengrono memang ahli
ilmu totokan. Sulit dilepas. Tapi aku tahu cara
membebaskanmu!" kata Kertopati. Pakaian
Wiro di bagian dada disingkapkannya lalu dia
mendekatkan mulut dan meniup dada itu.
Dengan ujung tongkat dia membuat tusukan
cukup keras pada dada yang ditotok hingga
Pendekar dari Gunung Gede itu merintih
kesakitan. Sekali lagi Kertopati meniup dada
si pemuda. Setelah itu dia membuat tiga kali
usapan, barulah totokan di tubuh Pendekar
212 Wiro Sableng terlepas musnah. Wiro
cepat duduk bersila mengatur jalan nafas dan
aliran darah.
"Terima kasih Raden. Aku harus meninggalkan
tempat ini sekarang juga. Tapi sebelum pergi
ada satu permintaanku. Maukah kau
menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya……?"
"Kalau bisa mengapa tidak?"
"Dua perempuan itu hanya korban hati busuk
Jayengrono. Kebetulan saja sang puteri
pernah memberikan cincin emas burung
rajawali itu pada Pangeran Matahari……" Lalu
Wiro menceritakan apa yang diketahuinya
tentang riwayat cincin itu. "Nah jelas bagi
Raden kalau mereka tidak ada sangkut paut
apa-apa dengan Pangeran Matahari….."
"Saya akan menghadap raja dan meminta
agar ibu dan anak itu dibebaskan. Tap saya
tetap merasa aneh mengapa Jayengrono
bertindak terlalu jauh seperti itu……"
"Karena ada satu rahasia Raden….."
"Rahasia?? " Kertopati kerenyitkan kening.
"Saya akan ceritakan rahasia itu padamu.
Saya mendengar secara kebetulan ketika
datang ke rumah Raden Ajeng Siti Hinggil
sore tadi….."
Lalu Wiro Sableng menuturkan percakapan
antara Jayengrono dan Siti Hinggil yang
sempat didengarnya meskipun dia berada di
luar ruangan.
Tentu saja Raden Kertopati terbelalak hampir
tak percaya mendengar penuturan Wiro
Sableng itu.
"Nah kau sudah tahu Raden. Saya pergi
sekarang. Sekali lagi terima kasih atas
pertolonganmu….."
Selagi Raden Kertopati masih terkesiap oleh
cerita yang disampaikan Wiro, Pendekar 212
sudah melompat ke pintu dan mencari jalan
sendiri menuju tembok timur istana.
Dalam kegelapan malam ternyata tidak
mudah bagi Wiro untuk mencari jejak
sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Meskipun
tanda-tanda patahan ranting pepohonan yang
dibuat gadis itu dapat ditemuinya namun
gerakannya menjadi lambat karena terhalang
oleh kepekatan malam.
Di dalam kamar yang luas Raden Mas
Jayengrono merasa sangat gelisah. Sebentar
dia berbaring di atas tempat tidur empuk, lalu
berdiri, melangkah mundar mandir atau duduk
di kursi, melangkah lagi, mundar mandir dan
sesekali memandang ke dalam taman lewat
jendela kamar. Demikian terus menerus
keadaannya. Hatinya risau karena tidak dapat
menerka apa sebenarnya yang dimaksud oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng dengan
ucapannya "…….tembok ruangan punya seribu
telinga……"
"Teka-teki apa yang dilontarkan pemuda
keparat itu padaku sebenarnya……" merutuk
Kepala Balatentara Kerajaan itu. Dia kembali
melangkah mudar mandie lalu
membantingkan diri di atas tempat tidur.
Memandang ke langit-langit kemar yang
penuh ruangan. Memejamkan mata. Tiba-tiba
lelaki tinggi besar ini membuka kedua
matanya besar-besar.
"Jangan-jangan……"desisnya. Tubuhnya
melompat dari atas tempat tidur. Dia
menyambar keris Kyai Gajah Putih dari atas
meja batu mar-mar. Tanpa pengiring dia
menuju ke istana lewat pintu sebelah timur.
Setengah berlari dia memasuki lorong menuju
pintu ruangan di mana Pendekar 212 Wiro
Sableng disekap. Tidak dapat tidak, dengan
ilmu kesaktiannya yang tinggi, pemuda itu
telah sempat mencuri dengar pembicaraannya
dengan Siti Hinggil di rumah perempuan itu.
"Kalau tidak kubunuh, ulahnya nanti bisa
berekor panjang!" kertak Jayengrono.
Dia sampai di depan pintu besi itu. Dan
terperangah!
Pintu terbuka lebar. Dua orang perajurit
pengawal telah jadi mayat dengan kepala
pecah. Ketika dia memeriksa ke dalam,
ruangan penyekapan itu ternyata kosong
melompong. Pemuda yang dijebloskan di
tempat itu ternyata telah lenyap!
"Celaka aku!" keluh Jayengrono. "Siapa yang
punya pekerjaan ini! Siapa yang menolong
membebaskan pemuda keparat itu! Pasti
hanya satu orang! Si keparat Kertopati! Ya,
siapa lagi!"
Raden Mas Jayengrono segera mendatangi
rumah kediaman Raden Kertopati. Di sana
didapatinya Kepala Pasukan Kotaraja itu
tengah tidur nyenyak mendengkur. Dari
seorang pengawal dia mendapat keterangan
kalau sejak sore tadi Raden Kertopati tak
pernah meninggalkan kamar tidurnya.
"Aku yakin hanya manusia satu ini yang
mampu dan mau menolong si gondrong itu!
Tapi ternyata dia tidur sejak sore…… Ah,
semua urusan bisa jadi gila! Bagaimana bisa
jadi begini…..!"
Jayengrono sama sekali tidak tahu kalau
Kertopati sudah menduga kira-kira apa yang
bakal terjadi kalau lenyapnya tawanan itu
sampai diketahui. Maka Kertopati siang-siang
sudah menyusun rencana, memberi kisikan
pada seluruh anak buahnya dan berpura-pura
tidur nyenyak di atas tempat tidur. Ketika
Jayengrono meninggalkan halaman rumahnya,
dia memperhatikan lewat jendela dengan
sesungging senyum.
"Riwayatmu akan berakhir tak lama lagi
Jayeng….." katanya masih terus tersenyum
penuh arti.
                                                ***
SEBELAS
Seumur hidupnya Pangeran Matahari belum
pernah melihat aurat terlarang orang
perempuan, apalagi menyentuhnya.
Mendapatkan seorang gadis cantik dalam
keadaan tak berdaya di bawah kekuasaannya
sepenuhnya membuat pemuda ini serta merta
terbakar oleh nafsu terkutuk. Setelah menotok
tubuh Ni Luh Tua Klungkung secara aneh
yakni dengan jalan meremas payudaranya,
Pangeran Matahari mendukung tubuh gadis
itu ke dalam pondok kayu. Sambil mendukung
tangannya bebas tiada hentinya
menggerayang kian kemari.
Meski tubuhnya penuh gelegak marah namun
sang gadis tidak mampu berbuat apa untuk
membebaskan diri, apalagi menolak kehendak
keji Pangeran Matahari. Dalam hatinya sudah
tekad bulat untuk bunuh diri jika kelak dia
masih dibiarkan hidup setelah dirusak
kehormatannya.
Sekarang mari kita ikuti kembali Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
yang saling kejar dengan waktu karena sudah
mendapat firasat kalau sahabatnya gadis
yang sampai saat itu tidak diketahuinya nama
aslinya tengah mengalami bahaya besar.
Malam makin gelap dan bertampah sulit
baginya untuk meneliti secara cepat
rerantingan patah yang ditinggalkan sang
dara sebagai jejak. Di sebuah bukit patahan
ranting berakhir. Tak ada lagi ranting lain
yang patah padahal memandang berkeliling
pendekar ini sama sekali tidak melihat apa-
apa. Tak ada tanda-tanda terjadi perkelahian
di tempat itu. tak ada pula bangunan di
sekitar situ.
"Tak mungkin gadis itu lenyap menembus
tanah bebukitan ini atau terbang ke langit….."
ujar Wiro Sableng seraya menggaruk-garuk
kepalanya yang berambut gondrong. Dia
meneliti ke jurusan kiri, ke sebelah kanan,
tetap saja tidak menemui apa-apa. Ketika dia
coba bergerak lurus ke depan, sebuah jalan
kecil mendaki terbentang di hadapannya.
Setelah meneliti sesaat, Wiro ikuti jalan
mendaki ini. Di depan sana di kegelapan
malam dilihatnya sebuah bangunan kayu.
Sepuluh langkah sebelum dia sampai ke
bangunan itu, sesosok tubuh ditemuinya
tergelimpang di jalan kecil itu. ketika
ditelitinya sosok tubuh itu ternyata pemuda
bermuka bundar berkulit hitam yang dikenal
sebagai Bajingan Dari Susukan. Tubuh itu
hanya merupakan mayat dingin.
Murid Eyang Sinto Gendeng memandang
berkeliling. Sunyi yang aneh terasa
membungkus tempat itu. pintu pondok tampak
tertutup. Tak ada nyala lampu di sebelah
dalam. Tapi bagi sang pendekar yang sudah
berpengalaman tidak ada nyala lampu belum
tentu berarti tidak ada seorangpun di dalam
sana. Jika seorang lelaki hendak berbuat
bejat terhadap seorang gadis maka tentunya
dia akan mencari tempat yang sedap. Wiro
hunus Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tanpa
suara melangkah mendekati pintu pondok
kayu. Sepasang telinganya terpentang untuk
mencari dengar setiap gerakan. Suara nyamuk
yang terbang di kejauhanpun tak bakal lepas
dari pendengarannya.
Braak!
Wiro Sableng tendang pintu pondok hingga
hancur dan terpentang lebar. Keadaan di
dalam pondok yang tak seberapa besar itu
gelap pekat. Wiro memasang telinga. Tak ada
seorangpun di dalam sana. Tapi tak mungkin
pondok ini dibangun kalau hanya ditinggal
kosong melompong. Atau pemiliknya sedang
keluar? Tapi Ni Luh Tua Klungkung lenyap di
sekitar tempat ini! Wiro menggenggam senjata
mustikanya lebih erat. Dengan langkah tetap
dia masuk melalui pintu. Baru saja kakinya
menginjak lantai papan di sebelah dalam
mendadak telinganya mendengar suara
berdesir dari empat jurusan!
"Senjata rahasia!" seru Wiro dalam hati
seraya kertakkan rahang. Kapak Naga Geni
212 diputar membentuk lingkaran. Sinar
terang berkiblat disertai gaungan seperti
ribuan tawon mengamuk.
Tring…..tring….tring…..tring.
Empat buah benda yang berdesing ternyata
adalah empat buah pisau terbang kecil,
hancur mental berantakan.
"Pembokong pengecut! Unjukkan
tampangmu!" teriak Pendekar 212 marah.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Jelas
senjata rahasia itu dipasang untuk menjebak
lawan yang lengah. Bukan mustahil masih
ada senjata-senjata rahasia lainnya
tersembunyi di tempat itu. Dari pada
mendapat serangan konyol begitu rupa Wiro
memutuskan untuk menghancurkan pondok
kayu itu. Maka dia hantamkan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera ke arah
atap. Bersamaan dengan mental hancurnya
atap dan runtuhnya empat dinding kayu, Wiro
melesat keluar bangunan. Dari kejauhan dia
memperhatikan bangunan yang kini hanya
merupakan keeping-keping hampir sama rata
dengan tanah. Lagi-lagi tak ada suara tak
ada gerakan. Tapi ketika dia melangkah
mendekati, satu letusan dahsyat menggelegar
membuat pendekar dari Gunung Gede itu jatuh
duduk ke tanah.
Letusan yang terjadi membuat lantai
bangunan terbongkar. Di situ Wiro melihat
sebuah lobang batu berbentuk tangga
menurun yang sebelumnya tersembunyi di
bawah lantai kayu bangunan. Kuduk pendekar
ini menjadi dingin. Bulu romanya berdiri.
Kalau tadi dia sempat menginjak lantai di
atas lobang itu, ledakan dahsyat tadi pasti
akan menghancur luluhkan seluruh tubuhnya.
Dengan hancurnya pondok kayu tersebut maka
tak ada lagi senjata rahasia yang
tersembunyi. Wiro memutuskan untuk
menyelinap memasuki lobang batu itu. namun
dia cepat melesat ke atas cabang sebuah
pohon ketika lapat-lapat telinganya
mendengar ada orang yang melangkah cepat
menaiki tangga batu.
Sesaat kemudian sebuah kepala gondrong
berikat kain merah muncul dari dalam lobang.
Kepala ini bergerak berputar seperti meneliti
keadaan. Ketika merasa aman, kepala ini
segera bergerak keluar. Kelihatanlah sebuah
sosok tubuh mengenakan pakaian hitam
bergambar matahari dan puncak gunung.
"Pangeran Matahari……" desis Wiro tercekat.
Lalu dia melihat sosok tubuh siapa yang
dipanggul di bahu kiri sang pangeran. Sosok
tubuh itu hampir tidak tertutup karena seluruh
pakaian yan masih melekat hanya tinggal
cabikan-cabikan belaka.
"Keparat haram jadah! Kalau dia sampai
telah memperkosa sahabatku itu akan
kucincang tubuhnya, kuhisap darahnya!"
Geraham Pendekar 212 bergemeletakan.
"Manusia iblis! Kau hendak lari ke mana?!"
teriak Pendekar 212 menggeledek. Ketika
dilihatnya Pangeran Matahari hendak
berkelebat kabur sambil mendukung tubuh Ni
Luh Tua Klungkung.
Kagetnya sang pangeran bukan kepalang.
Sambil meneruskan larinya dia hantamkan
tangan kiri ke atas pohon di mana Pendekar
212 berada.
Wuss!
Cabang, ranting dan dedaunan pohon besar
iru hangus dan luruh sementara Wiro sudah
melayang turun lebih dahulu. Kapak Naga
Geni 212 menderu dalam kegelapan malam.
Melihat sinar menyilaukan berkiblat dan
mendengar suara seperti tawon mengamuk
Pangeran Matahari maklum siapa yang
menyerangnya. Satusatunya senjata yang
mempunyai cirri-ciri serangan seperti itu
adalah Kapak Maut Naga Geni 212.
Pemiliknya siapa lagi kalau bukan Pendekar
212 dari Gunung Gede.
"Dicari-cari ternyata kau datang sendiri
mengantar nyawa! Hutang lamamu rupanya
hendak kau bayar hari ini bersama bunganya!"
Pangeran Matahari menegur keren dengan
kaki terkembang, tangan kiri di pinggang dan
tubuh Ni Luh Tua Klungkung masih di atas
bahu kanannya.
"Manusia congkak takabur! Dosa dan
kejahatanmu sudah lewat takaran! Hari ini
kau tambah lagi dengan satu kekejian!"
bentak Wiro.
Pangeran Matahari tertawa bergelak.
"Rupanya kaupun berhasrat mendapatkan
perawan ini! Ha…ha…ha! Kau memang belum
terlambat Pendekar 212! Tapi jangan harap
kau bisa membebaskan gadis ini dari
tanganku!"
Gembira mendengar pengakuan Pangeran
Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng hampir
bertindak lengah ketika musuh di hadapanny
aitu tiba-tiba menyerbu sambil lepaskan
pukulan maha ganas yang dimilikinya yakni
pukulan Gerhana Matahari!
Sinar kuning, hitam dan merah mencuat panas
melanda ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro
tak berani membalas karena kawatir akan
mencelakai Ni Luh Tua Klungkung. Didahului
bentakan nyaring pendekar ini melesat tiga
tombak ke udara.
Dari atas dia menukik sambil babatkan Kapak
Naga Geni 212. Tapi Pangeran Matahari
berlaku cerdik. Dia tidak menangkis ataupun
balas menyerang melainkan angsurkan tubuh
gadis yang ada di bahunya, memotong
tabasan senjata lawan.
Wiro berseru kaget dan buru-buru tarik pulang
serangannya. Saat itulah kembali Pangeran
Matahari menghantam dengan pukulan
Gerhana Matahari. Kali ini lebih dahsyat lagi
karena mengerahkan hampir seluruh tenaga
dalamnya. Wiro kembali melompat sambil
lindungi diri dengan Kapak Naga Geni 212.
Pohon besar di belakangnya terdengar
berderak lalu roboh dalam keadaan terbakar!
"Iblis keparat!" maki Pendekar 212. Dadanya
terasa sesak. Dia melompat turun ke tanah
langsung sisipkan Kapak Naga Geni 212 di
pinggang lalu angkat kadua tangan dengan
telapak tangan menghadap ke arah lawan.
Perlahan-lahan dua telapak tangan itu
diputar, mulut terkancing dan sepasang mata
memandang tak berkesip ke arah Pangeran
Matahari.
Sikap tegak Wiro yang sama sekali tidak
terlindung itu di mata Pangeran Matahari
merupakan suatu sasaran empuk. Maka dia
segera siapkan pukulan Gerhana Matahari
untuk ketiga kalinya. Tapi mendadak sontak
saat itu dirasakannya udara menjadi sangat
dingin, sepuluh kali lebih dingin dari udara di
puncak Merapi di mana dia pernah tinggal
sebelumnya! Sekujur tubuh sang pangeran
seperti dilapisi es.
Rahangnya menggembung, hembusan
nafasnya seperti mengeluarkan asap. Lututnya
mulai goyah!
"Ilmu apa yang tengah dikeluarkan setan ini
untuk menyerangku!" gumam Pangeran
Matahari dengan gigi-gigi bergemeletakkan.
Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan
pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning,
merah dan hitam memang berkiblat. Namun
sebelum mencapai tubuh Wiro, hawanya yang
panas membakar berubah menjadi dingin
hingga ketika serangan itu melanda Pandekar
212, dia hanya merasakan seperti disapu
angin sejuk!
Kaget Pangeran Matahari bukan kepalang.
Diam-diam nyalinya mulai menciut. Namun
manusia congkak ini tak mau mangalah
begitu saja. Sekali lagi dia hendak mencoba.
Bahu kanannya digerakkan. Tubuh Ni Luh Tua
Klungkung mencelat mental ke arah semak
belukar dan tersangkut di sana. Sang
pangeran kemudian membuat kedudukan yang
hampir sama dengan apa yang dilakukan
Wiro. Kedua kakinya mengangkang. Tangan
diangkat ke atas. Mulut komat kamit. Telapak
tangan digerakkan perlahan. Didorong ke arah
Wiro. Terdengar suara berdesir. Menyusul deru
angin panas keluar dari masing-masing
telapak tangan.
Di seberang Pangeran Matahari, Wiro tetap
tegak di tempatnya dan lipat gandakan
kekuatan tenaga dalamnya. Tubuhnya
bergetar keras dan keringatnya bercucuran
padahal udara di tempat itu dingin bukan
kepalang!
Deru angin panas yang keluar dari dua
telapak tangan Pangeran Matahari, yang
disesrtai kekuatan tenaga dalam penuh mula-
mula tertahan seolah terbendung oleh tembok
baja yang sangat atos. Begitulah kehebatan
ilmu Angin Es yang jarang-jarang dikeluarkan
oleh Pendekar 212. Namun ternyata murid
Sinto Gendeng ini tak bisa bertahan lama.
Karena begitu Pangeran Matahari mendorong
sambil maju selangkah demi selangkah Wiro
meraskan dadanya menjadi panas. Ketika dia
merasa tak sanggup bertahan maka sambil
berteriak keras Wiro menekuk lutut dan
menghantam ke depan dengan Dewa Topan
Menggusur Gunung. Ilmu pukulan sakti ini
didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.
Terdengar suaa menggemuruh yang
mengingatkan Pangeran Matahari pada
meletusnya Gunung Merapi belasan tahun
silam. Pukulan Merapi Meletus yang terus
dilancarkannya dan diharapkan dapat
merobohkan lawan ternyata kini mulai
menjadi kendur.
"Gila!" maki Pangeran Matahari.
Sementara tangan kiri masih terus bertahan
dari serangan pukulan Merapi Meletus, tangan
kanan tiba-tiba diturunkan dan dengan
tangan ini dia kembali lancarkan pukulan
sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu
pertanda bahwa diakini menghadapi lawan
dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
Letusan dahsyat menggelegar di tempat itu.
tanah puncak bukit longsor di beberapa
bagian. Pohon-pohon bertumbangan. Ni Luh
Tua Klungkung yang menyangsrang di semak
belukar jatuh terguling dan secata aneh
totokan yang menguasai tubuhnya mendadak
terlepas buyar!
Pendekar 212 Wiro Sableng terpental sampai
enam langkah. Sebaliknya Pangeran Matahari
jatuh duduk lalu terbanting ke tanah.
Mulutnya terasa panas dan asin pertanda ada
darah yang melesat lewat tenggorokannya,
melesat ke mulut. Dadanya mendenyut sakit.
Sadarlah manusia ini kalau tingkat tenaga
dalamnya walaupun sangat tipis, tapi masih
berada di bawah lawannya.
Ketika dapatkan dirinya terbebas dari totokan,
tanpa sadar akan keadaan dirinya, Ni Luh Tua
Klungkung langsung melompat ke arah
Pangeran Matahari sambil ayunkan kepalan
menghantam batok kepala orang yang tadi
hampir menodainya. Meskipun masih dicekam
rasa kaget, sakit dan kecut namun Pangeran
Matahari masih sempat melihat datangnya
serangan itu. Kalau tadi dia tengah berusaha
bangkit, diserang begitu rupa maka dia
jatuhkan diri kembali ke tanah sambil
hantamkan tangan kanan ke atas melepas
tangkisan dan juga sekaligus totokan karena
sang pangeran masih menginginkan gadis itu
tertawan hidup-hidup.
Namun di saat yang sama dari jurusan kiri
Pendekar 212 Wiro Sableng menyerbu
melompatinya dan lepaskan pukulan tangan
kosong jarak pendek. Hingga mau tak mau
Pangeran Matahari terpaksa batalkan
serangan terhadap Ni Luh Tua Klungkung
sambil mengelak lalu pusatkan perhatian
untuk menangkis serangan Wiro.
Perkelahian jarak pendek iu tidak dapat
menghindarkan terjadinya bentrokan lengan.
Justru inilah yang diharapkan Pangeran
Matahari karena dia percaya denganterjadinya
bentrokan dia dapat mengirimkan racun jahat
hitam panas dan menghanguskan ke ubuh
lawan. Sebaliknya murid Sinto Gendeng yang
yakin akan keampuhan Kapak Naga Geni 212
unuk menolak segala macam racun jahat
tidak ingin menghindari bentrokan itu. Maka
ketika dua lengan saling beradu kedua
pemuda itu sama-sama terlempar.
Pangeran Matahari karena sebelumnya telah
terluka di dalam berada pada keadaan cukup
parah. Tubuhnya terguling sambil mulutnya
muntahkan darah segar. Wiro memang
terlepas dari keganasan racun
manghanguskan sang pangeran tapi tulang
lengan kanannya terasa sakit tanda ada
bagian yang retak.
"Ah, untuk kedua kalinya aku terpaksa
mengalah! Keparat betul!" mengeluh dan
memaki Pangeran Matahari dalam hati.
Bertapapun hatinya ingin memboyong Ni Luh
Tua Klungkung kembali namun keselamatan
diri lebih diutamakannya. Maka tanpa pikir
panjang dan menunggu lebih lama Pangeran
Matahari segera berkelebat larikan diri kea ah
kanan, ke bagian paling gelap di sekitar
tempat itu.
Ni Luh Tua Klungkung nekad hendak mengejar
tapi Wiro cepat mencegahsambil berseru
"Jangan kejar!" Dia kawatir gadis ini justru
bakal mengalami malapetaka baru.
Sang dara hentakkan kakinya ke tanah. "Kau
melarangku mengejar manusia terkutuk yang
hendak merusak kerhormatanku! Apa hakmu!"
Si gadis berbalik dan menghardik marah.
Wiro buka bajunya dan melemparkan pakaian
ini ke arah Ni Luh Tua Klungkung. "Kau
pakailah baju itu. Tubuhmu terbuka tak
karuan!"
Mendengar ucapan Wiro baru sadar sang dara
akan keadaan dirinya. Sambil memungut baju
yang dilemparkan itu dia berkata "Aku
bersumpah untuk membunuhmanusia satu
itu!" Ni Luh mengenakan baju itu di balik
pohon besar yang tumbang.
Karena dia lebih pendek dari Wiro maka baju
putih yang cukup dalam itu dapatmenutupi
tubuhnya sampai sebatas lutut.
"Kau tak kurang suatu apa sahabat?" tanya
Wiro ketika Ni Luh Tua Klungkung keluar dari
balik pohon.
"Untung kau cepat datang. Terlambat sedikit
saja aib besar pasti sudahmenimpa diriku!
Pangeran keparat itu terhalang maksud
kejinya ketika atap pondok bobol dan dinding-
dinding runtuh. Disusul letusan peledak yang
agaknya memangsengaja ditanamnya di
lantai pondok. Dia membawaku lari keluar
sekalian untuk menyelidiki siapa yang jadi
korban bahan peledaknya. Gila! Udara di sini
mengapa dingin sekali seperti di punca
gunung!"
"Itu karena kau memakai baju pinjaman!"
sahut Wiro seraya tersenyum. "Aku yang
bertelanjang dada tidak merasa dingin apa-
apa!"
"Uh! Kalau tidak terpaksa siapa sudi
mengenakan baju busuk dan basah oleh
keringat ini!" jawab sang dara merengut.
Wiro kembali tertawa. "Kurasa kau lebih
bagus muncul dengan wajah aslimu dari pada
memakai segala macam topeng penyamaran!"
Ni Luh Tua Klungkung mengusap wajahnya.
"Sebaiknya kita pergi saja dari tempat celaka
ini! Makin cepat aku mendapatkan pakaian
pengganti akan lebih baikbagiku!" Lalu dara
itu tinggalkan puncak bukit gelap tersebut.
Pendekar 212 WiroSableng mengikuti dari belakang.
                                               TAMAT