Ebook Wiro Sabbleng : Dosa-dosa Tak Brampun


WIRO SABLENG 212
Karya : Bastian Tito
Episode 030
Dosa-dosa Tak Berampun –
MESKIPUN tanah Jawa dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu silat
dan kesaktian, namun beberapa daerah di tanah air telah pula
mendapat nama harum berkat kehebatan para tokoh silat serta
kesaktian yang mereka miliki. Salah satu di antaranya adalah daratan
Aceh di Ujung Utara Pulau Andalas.
Dalam serial Wira Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara”
telah dikisahkan munculnya seorang tokoh silat sakti mandraguna,
bernama Hang Kumbara, bergelar Raja Rencong Dari Utara. Di situ
dikisahkan bagaimana Raja Rencong berusaha mendirikan apa yang
disebut Partai Topan Utara. Dia mengundang berbagai tokoh silat yang
ada di pulau Andalas bahkan dari outau Jawa untuk datang ke Bukit
Toba guna mengadakan pertemuan dan membicarakan rencana besar
itu. Padahal di balik semua itu Raja Rencong mempunyai maksud keji
yakni hendak membunuh semua para tokoh silat yang hadir. Bilamana
para tokoh itu berhasil disingkirkan maka dia akan menjadi raja diraja
rimba persilatan.
https://drive.google.com/file/d/1fuKmWlHeCULWxcvid0S7BWcO14uokTFh/view?usp=sharing

Raja Rencong mulai dengan menghancurkan Pesantren
Suhudilah. Para pengurus pesantren yakni Kiyai Hurajang, Kiyai
Selawan dan Kiyai Tanjung Laboh mati di tangan Raja Rencong. Padahal
tiga Kiyai itu merupakan orang-orang berkepandaian tinggi bahkan telah
dianggap sebagai Datuk rimba persilatan.
Kiyai Suhudilah sendiri, pucuk pimpinan Pesantren Suhudilah
akhirnya tewas pula di tangan Raja Rencong. Tak ada satu kekuatanpun
yang dapat membendung kehebatan Ilmu Kuku Api dan pukulan Topan
Pemutus Urat yang dimiliki Raja Rencong. Dengan dua ilmu luar biasa
itu dia malang melintang dalam rimba persilatan pulau Andalas.
Setelah Pesantren Suhudilah disapu bersih maka Raja Rencong
menggasak satu komplotan manusia-manusia jahat yang dikenal
dengan sebutan Gerombolan Setan Merah. Semula Raja Rencong
bermaksud mengambil lima tokoh Setan Merah untuk menjadi para
pembantunya. Tetapi ketika mereka menolak dan menghina. Raja
Rencong membunuh kelimanya yakni Setan Cambuk (Pemimpin
Gerombolan Setan Merah), Setan Pedang, Setan Pisau, Setan Darah dan
Setan Rencong.
Dalam kehidupannya yang penuh darah dan maut itu Raja
Rencong mempunyai seorang anak gadis bernama Pandansuri yang
memiliki kecantikan luar biasa, tetapi kekejaman dan keganasannya
tidak kalah dari Raja Rencong sendiri.
Apa yang terjadi di rimba persilatan pulau Andalas itu sangat
menggelisahkan hati seorang tua berusia hampir tujuh puluh lima
tahun. Orang ini dikenal dengan nama Datuk Mata Putih, tokoh silat
yang sangat disegani di pulau Andalas pada masa itu. Kedua matanya
berwarna putih. Hampir tak terlihat lensa mata yang hitam. Tapi dia
tidak buta. Dia merasa menyesal karena Rencong Emas yang kini
dimiliki oleh Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara adalah
pemberiannya kepada Hang Kumbara sebagai anak muridnya. Dan kini
dengan Rencong Emas sakti mandraguna itulah sang murid malang
melintang menimbulkan keonaran, menurunkan tangan jahat,
melakukan pembunuhan serta perbuatan keji lainnya di mana-mana.
Karena tak dapat berpangku tangan lebih lama maka Datuk Mata
Putih meninggalkan goa pertapaannya mencari sang murid. Dalam
pertemuan di Bukit Toba, Datuk Mata Putih menasihatkan Hang
Kumbara agar bertobat dan tidak lagi melakukan kejahatan karena itu
tidak sesuai dengan perilaku seorang tokoh silat, apalagi mengingat dia
adalah muridnya sedang sang datuk sendiri begitu disegani dan
dihormati sesama tokoh persilatan.
Dengan dalih bahwa dia hanya membalaskan sakit hati kematian
ayahnya yang dibunuh secara kejam semena-mena Hang Kumbara
menganggap dia punya hak melakukan balas dendam. Namun
kemudian dendam terbalaskan itu menjadi dendam berangkai. Para
tokoh silat memburunya. Mau tak mau dia terpaksa mempertahankan
diri dan menghancurkan semua orang yang berusaha menuntut balas.
Apapun alasan yang dikemukakan Hang Kumbara, semua itu tak
dapat diterima oleh Datuk Mata Putih, dan mengharap agar muridnya
yang tersesat kembali ke jalan yang benar. Namun Hang Kumbara
menjawab: “Salahkah murid, sesatkah murid kalau murid murid
membunuh belasan manusia yang bertanggung jawab atas kematian
ayah, bahkan ibu, adik-adik, calon istriku dan seluruh anggota
keluarganya...?!”
Datuk Mata Putih menyahuti: “Orang-orang yang bertanggungjawab
atas semua itu jumlahnya hanya sepersepuluh saja dari jumlah
manusia yang telah kau bunuh secara keji! Apa pertanggungan
jawabmu atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya? Yang
kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apa pun
juga?!”
Karena putus asa melihat kekerasan kepala muridnya itu maka
Datuk Mata Putih memerintahkan Raja Rencong untuk mengembalikan
Rencong Emas yang dulu diserahkannya dan ikut bersamanya ke
pertapaan. Tentu saja Raja Rencong menolak perintah tersebut. Maka
perkelahian antara guru dan muridpun tak dapat dihindarkan lagi.
Ternyata Datuk Mata Putih tidak dapat menghadapi kehebatan sang
murid. Guru yang malang ini akhirnya tewas oleh tusukan Rencong
Emas, senjata sakti yang diciptakannya sendiri yang kemudian
diberikannya pada Hang Kumbara!
Kematian Datuk Mata Putih menggemparkan dunia persilatan
terutama di belahan utara pulau Andalas.
Suatu hari berkumpullah empat orang tokoh silat terkenal di
puncak gunung Sinabung. Mereka adalah Panglima Sampono selaku
tuan rumah. Dia dikenal sebagai tokoh silat yang pernah membaktikan
diri pada Sultan Deli hingga akhirnya walaupun dia tidak bertugas lagi
di Kesultanan, gelar Panglima tetap melekat pada dirinya. Orang kedua
ialah Datuk Nan Sebatang lalu Lembu Ampel dan yang terakhir Sebrang
Lor. Lembu Ampel adalah tokoh silat berasal dari pulau Jawa tapi
selama beberapa tahun terakhir telah menetap di pulau Andalas.
Keempat orang ini bertemu untuk membicarakan masalah besar
yang tengah dihadapi dunia persilatan saat itu yakni merajalelanya Raja
Rencong dengan segala keganasannya.
Sebrang Lor sendiri adalah seorang tokoh silat dari daratan
Malaka yang menyeberang ke Andalas untuk membalas dendam
kesumat. Menurut keterangannya Raja Rencong telah gentayangan ke
Malaka, membunuh tokoh-tokoh persilatan di sana yang tidak mau
tunduk dan bergabung padanya. Bahkan ketika kembali ke Andalas,
Raja Rencong telah pula menculik dua orang gadis.
Keempat orang itu menyadari bahwa Raja Rencong memiliki
kepandaian tinggi luar biasa. Sekalipun mereka berempat belum tentu
dapat mengalahkannya. Karenanya harus dicari akal yang sebaikbaiknya.
Atas saran Panglima Sampono diputuskan untuk menculik
Pandansuri yakni anak Raja Rencong. Bila anak gadisnya dikuasai maka
sang ayah besar kemungkinan bisa ditundukkan.
Di sebuah kaki bukit empat tokoh silat tadi menghadang
Pandansuri. Terjadi perkelahian hebat. Meskipun memiliki kepandaian
sangat tinggi yang didapatnya dari Raja Rencong namun akhirnya
Pandansuri terdesak. Tetapi sewaktu si gadis siap untuk diringkus,
muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng memberikan pertolongan. Murid
Eyang Sinto Gendang ini sama sekali tidak mengetahui siapa adanya
Pandansuri dan apa urusan empat orang itu mengeroyok sang dara. Dia
memberikan pertolongan hanya karena tidak suka melihat ketidak
adilan. Empat lelaki berkepandaian tinggi mengeroyok seorang gadis
berkerudung. Kalau tidak ditolong niscaya si gadis akan celaka.
Begitu dirinya terhindar dari tangkapan lawan, Pandansuri segera
melarikan diri setelah terlebih dulu mengancam akan memberitahukan
kejadian pengeroyokan itu pada Raja Rencong.
Setelah Pandansuri meninggalkan kaki bukit, maka kemarahan
kini tertumpah pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perkelahian pecah
kembali. Kini Wiro yang menjadi sasaran keroyokan. Pendekar ini
mempertahankan diri dengan mengandalkan Rencong Perak milik
Pandansuri yang terlepas mental dan berhasil disambarnya sewaktu
gadis itu berkelahi menghadapi Panglima Sampono dan tiga tokoh
lainnya itu.
Dalam perkelahian yang berlangsung cukup lama itu akhirnya
Wiro berhasil menotok ke empat lawannya. Namun dia kemudian jadi
terkejut setelah mengetahui kalau gadis yang barusan ditolongnya
adalah anak Raja Rencong. Padahal Raja Rencong adalah manusia
durjana yang sedang dicari-carinya. Dia sengaja menyeberangi lautan,
datang dari tanah Jawa ke pulau Andalas untuk menumpas Raja
Rencong yang jahat itu! Setelah meminta maaf Wiro tinggalkan ke empat
tokoh silat tadi masih dalam keadaan tertotok.
Perbuatan-perbuatan biadab Raja Rencong yang menggegerkan
dunia persilatan akhirnya sampai pula ke telinga Sultan Deli. Maka
dikirimkannyalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi untuk
menangkap Raja Rencong hidup atau mati. Namun ternyata sang
perwira bukan saja tidak berhasil menemukan Raja Rencong Dari Utara
malah dia akhirnya menemui ajal di tangan Pandansuri, tewas dihantam
pukulan ilmu kuku api yang ganas. Di tempat yang sama terbunuhnya
perwira tinggi Kesultanan Deli itu Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu
pula dengan Pandansuri. Melihat keganasan yang dilakukan sang dara
tentu saja Wiro merasa tidak senang. Apalagi sikap Pandansuri setelah
dulu ditolongnya dari keroyokan Panglima Sampono sama sekali tidak
menunjukkan itikad baik atau mengucapkan terima kasih. Maka tak
dapat ladi dihalangi terjadinya perkelahian antara kedua orang ini.
Setelah terdesak hebat akhirnya Pandansuri melarikan diri.
PADA hari dan tanggal yang telah ditentukan diresmikanlah
berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan tamu yang diundang tampak
menaiki perahu menuju bukit Toba. Mereka umumnya terdiri dari
orang-orang dunia persilatan. Bahkan banyak diantara mereka
merupakan tokoh-tokoh silat ternama. Semua mereka tidak menduga
bahwa kedatangan mereka menghadiri peresmian berdirinya partai
darah itu hanyalah untuk mengantarkan nyawa belaka. Karena
sebenarnya Raja Rencong Dari Utara sudah menanam niat untuk
membunuh mereka semua! Para tamu duduk di sebuah tempat yang
dinamakan Arena Topan Utara. Arena itu terletak di bawah sebuah
bangunan tua. Sesuai dengan rencana yang diatur, Raja Rencong akan
pergi ke mimbar dan Pandansuri akan menqgerakkan satu alat rahasia.
Alat rahasia ini akan menghancurkan bagian atas Arena Topan Utara
dan semua orang yang ada dalam Arena dengan sendirinya akan
tertimbun hidup-hidup.
Apa yang dirundingkan ayah dan anak dalam kamar rahasia itu
sempat terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang berhasil masuk
menyusup ke tempat kediaman Raja Rencong. Tetapi celakanya
kehadiran Wiro sempat dirasakan oleh Raja Rencong. Maka diapun
melakukan penyelidikan sebelum menuju Arena Topan Utara. Satusatunya
tempat bersembunyi adalah sebuah kamar. Wiro segera masuk
ke dalam kamar ini. Dinding, lantai dan langit-langit kamar terbuat dari
batu kasar dan seluruh ruangan penuh berselimut debu.
Di tengah ruangan duduk seorang lelaki tua bermuka biru dan
berpipi sangat cekung. Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah
biru yang luar biasa besarnya hingga bagian bawah jubah ini menutupi
hampir separuh lantai ruangan batu. Kedua tangan orang tua aneh ini
buntung sebatas siku dan salah satu telinganya sumplung. Di lehernya
terikat sehelai rantai baja yang ujungnya dipantek dan ditanam pada
dinding batu di belakangnya. Kedua matanya tertutup. Sikapnya tak
ubah seperti seseorang yang sedang bersemedi.
“Hai... Orang tua, kau siapa?” bisik Wiro. Dia kawatir kalau Raja
Rencong muncul dengan tiba-tiba.
Orang tua yang dibisiki membuka kedua matanya.
Astaga1. Wiro merasakan tengkuknya dingin. Kedua mata itu
hanya merupakan sepasang rongga yang dalam dan mengerikan.
“Anak tolol!. Lekas sembunyi dalam jubah di belakang
punggungku!” berkata orang tua.
Wiro sadar kalau dirinya terancam bahaya yakni jika Raja
Rencong menemukannya di ruangan batu itu. Maka tanpa pikir panjang
dia segera melakukan apa yang dikatakan orang tua itu. Menyusup
masuk ke dalam jubah biru yang sangat besar. Meskipun orang nyata
menolongnya namun Wiro masih belum dapat memastikan apakah
orang tua itu musuh atau kawan. Karenanya diam-diam dia
mengerahkan aji pukulan sinar matahari di tangan kiri sedang tangan
kanan menggenggam hulu Kapak Maut Naga Geni 212.
“Anak, aku bukan musuhmu! Mengapa musti meraba senjata
segala?” tiba-tiba orang tua bermata buta itu mengiangkan pertanyaan
ke telinga Wiro.
Suara mengiang itu! Luar biasa sekali. Tentunya orang tua ini
seorang sakti mandraguna. Mengapa kedua matanya bolong begitu
rupa, lalu dua tangan buntung dan ditambah rantai baja yang mengikat
lehernya?
Tiba-tiba pintu terpentang dan terdengar bentakan Raja Rencong.
“Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!”
Orang tua itu terdengar menghela nafas dalam. Lalu terdengar
suaranya halus sekali seperti suara anak perempuan.
“Jika aku sampai tidak melihat orang masuk kemari itu bukan
karena ketololanku. Tapi karena memang kedua mataku buta.
Sebaliknya jika kau yang punya mata dan telinga sampai tidak
mengetahui, malah bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak
ada taranya! Apakah kau memang melihat ada orang lain di tempat
ini?!”
Ucapan itu membuat Raja Rencong melontarkan kata-kata kotor.
“Eh, sudahkah kau periksa Hang Kumbara?” tanya orang tua itu.
’Tutup mulutmu setan tua!” sentak Hang Kumbara alias Raja
Rencong Dari Utara.
Disentak begitu si orang tua ganda tertawa dan menyahut:
“Bukankah hari ini hari peresmian Partai Topan Utara?”
“Kunyuk peot!” kembali Raja Rencong menyentak. “Kau tahu apa
tentang segala macam partai!”
“Aku memang tidak tahu apa-apa! Tapi aku mempunyai firasat
bahwa partaimu itu akan runtuh sebelum saat peresmiannya. Dan kau
sendiri akan mampus!”
“Ya! Aku akan mampus! Tapi sebelum mampus untuk ke seratus
kalinya terima dulu tamparanku!” Plaak!
Tamparan yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa.
Tubuh orang tua itu terasa oleh Wiro menghuyung tapi dia tidak roboh.
Bibirnya yang pecah mengucurkan darah. Darah Pendekar 212 Wiro
Sableng menggelegak mengetahui orang tua yang telah menolongnya
diperlakukan seperti itu. Segera saja dia hendak melompat keluar dari
dalam jubah. Tapi di telinganya terdengar suara ngiangan seperti
nyamuk.
“Jangan tolol anak!”
Mau tak mau terpaksa Wiro mendekam terus di dalam jubah lebar
itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutupkan. Raja Rencong telah
keluar.
“Sekarang kau boleh keluar!” terdengar si orang tua berkata.
Wiro cepat keluar lalu menjura hormat seraya berkata: “Terima
kasih atas budi pertolonganmu. Siapakah kau ini sebenarnya...?”
Orang tua itu tertawa. Tampak gusinya yang tanpa gigi lagi.
“Sewaktu kudengar orang berkelebat menuju belakang bangunan
tua, sewaktu kudengar kau mengangkat rerumpunan semak belukar
lalu menyusup turun dalam lorong rahasia, hatiku gembira. Kukira kau
adalah Tua Gila. Tapi dari langkahmu kemudian segera kuketahui
bahwa kau bukan Tua Gila. Tapi, aku yakin kau pasti ada sangkut paut
dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul...?”
Wiro Sableng melengak. Kehebatan orang tua cacat ini sungguh
luar biasa. “Kau betul. Secara kebetulan aku bernasib baik dan
mendapat beberapa jurus pelajaran ilmu silat dari Tua Gila. Kalau aku
boleh bertanya, bagaimana kau tahu setiap gerak gerikku?”
“Ilmu yang tinggi adalah seribu mata seribu telinga. Tapi semua
itu berakhir dalam kesia-siaan. Buktinya diriku ini!”
“Kenapa kau sampai seperti ini?” tanya Wiro.
“Muridku sendiri yang melakukannya!” jawab orang tua itu.
“Muridmu?” kejut Wiro.
“Tak perlu terkejut atau heran anakmuda. Dunia ini penuh
dengan orang-orang sesat den murid murtad!”
“Kalau aku boleh bertanya siapakah muridmu itu?”
“Masakan kau tak bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Hang
Kumbara!”
“Maksudmu Raja Rencong Dari Utara?” “Itu gelarnya!”
“Benar-benar manusia terkutuk!” desis Wiro geram. Sekali dia
menggerakkan tangan kanannya, rantai baja yang tertanam di dinding
batu tanggal. Wiro lalu melepaskan bagian rantai yang mengikat
leher orang tua itu.
“Terima kasih anak muda. Aku bisa bernafas lebih lega sekarang.
Tenagamu luar biasa sekali...”
“Orang tua, aku tak punya waktu banyak. Tugasku adalah untuk
menghancurkan Partai Topan Utara. Berarti juga memusnahkan Raja
Rencong. Kalau tugas itu selesai aku akan kembali kemari membawamu
keluar dari tempat terkutuk ini! Maukah kau menerangkan siapa
namamu?”
“Ah, aku berterima kasih akan maksud baikmu itu. Tapi diriku
yang cacat dan pikun ini tak perlu kau pikirkan. Yang penting
selamatkan orang-orang itu. Dengar anak muda, namaku Nyanyuk
Ambar. Dulu aku diam di Gunung Singgalang. Sampai munculnya Hang
Kumbara manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku. Diluar
tampaknya dia seorang pemuda baik-baik. Lagi pula kuketahui
kemudian sebelumnya dia berguru pada Datuk Mata Putih, seorang
sahabatku. Maka kuambil dia jadi murid dan kuajarkan berbagai ilmu
silat serta kesaktian. Tapi siapa nyana kalau manusia itu sebenarnya
sejak lama mendekam satu maksud jahat. Yaitu ingin menguasai dunia
persilatan di pulau Andalas ini dengan menghimpun sekian banyak
tokoh lalu membunuh mereka secara keji! Aku ketahui kemudian bahwa
sahabatku Datuk Mata Putih telah menemui ajal dibunuh oleh manusia
keparat itu. Aku sendiri tidak terlepas dari kekejamannya. Hanya saja
aku masih dibiarkan hidup dengan dalam cacat seperti ini!”
“Jadi Hang Kumbara juga yang memutus kedua tanganmu?”
tanya Wiro.
“Bukan hanya lenganku, anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau
singkap jubah biru ini di bagian kaki.”
Wiro menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga!
Ternyata kedua kaki orang tua itu juga buntung sebatas lutut!
“Hang Kumbara yang melakukannya...” desis orang tua itu. “Dia
juga yang mencongkel kedua mataku!”
“Manusia jahanam!” Kedua tangan Wiro terkepal. “Orang tua, aku
bersumpah untuk membunuh manusia itu! Tapi mengapa dia
melakukan hal itu padamu?”
“Seperti Datuk Mata Putih, aku datang padanya dan memberi
nasihat agar meninggalkan jalan sesat. Menghentikan pembunuhan
terhadap tokoh-tokoh silat tak berdosa. Alasan itu sudah cukup baginya
untuk melakukan kekejian ini padaku. Dia membokongku dengan
totokan. Dalam keadaan tak berdaya tangan serta kakiku dipotongnya.
Kedua mataku dikoreknya. Lalu aku dimasukkan ke dalam ruangan ini
dan dirantai!”
“Belum pernah aku melihat dan mendengar manusia seganas
Hang Kumbara. Tempatnya jelas di neraka!”
Si orang tua tertawa mengekeh. “Kau pergilah cepat! Jangan
terlambat! Kalau orang-orang itu sampai menemui ajal, celakalah dunia
persilatan!”
Mendengar kata-kata itu Wiro segera tinggalkan ruangan batu
dengan cepat.
DI TENGAH-TENGAH Arena Topan Utara terletak sebuah mimbar. Di
belakang mimbar itu berdiri Raja Rencong Dari Utara. Matanya
menyorot memandang ke arah tamu-tamu yang hadir. Semua orang
yang hadir di situ terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama ialah
golongan hitam yang secara nyata-nyata bergabung dengan Raja
Rencong. Golongan kedua adalah golongan putih yang telah ditaklukkan
dan dipaksa untuk masuk serta menghadiri berdirinya Partai. opan
Utara. Baik golongan hitam maupun golongan putih di atas semuanya
telah masuk perangkap Raja Rencong.
Golongan ketiga yang ialah golongan putih yang sengaja datang ke
tempat itu untuk membalaskan dendam kesumat kematian kawankawan
mereka yang telah dibunuh oleh Raja Rencong, puterinya atau
para kaki tangannya.
Raja Rencong melirik pada sebuah tombol merah yang terletak di
kayu mimbar dekat tangan kanannya. Sekali dia menekan tombol ini
maka tubuhnya akan melesat ke atas, keluar dari ruangan itu lewat
sebuah celah yang terbuka pada bagian atap ruangan. Lalu pada saat
yang sama lantai Arena Topan Utara-akan longsor ke bawah, menyusul
runtuhnya atap. Semua orang yang ada dalam Arena akan tertimbun
hidup-hidup. Tak bakal ada satu orang pun yang bisa menyelamatkan
diri karena berbarengan dengan runtuhnya atap serta amblasnya lantai,
satu ledakan besar akan menghancur luluhkan tempat itu!
Setelah memandang berkeliling maka Raja Rencong membuka
mulut memberi kata sambutan.
“Para hadirin sekalian. Pertama sekali aku Raja Rencong Dari
Utara mengucapkan terima kasih atas kedatangan saudara-saudara di
tempat ini. Dalam mendirikan Partai Topan Utara ini, aku sama sekali
tidak akan melihat asal-usul, atau menilai saudara-saudara ini dari
golongan mana. Bagiku, jika saudara-saudara telah bersedia datang dan
hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah bersedia
masuk menjadi anggota Partai Topan Utara!”
Pernyataan Raja Rencong itu membuat para tokoh silat golongan
putih yang datang untuk membalaskan dendam kesumat menjadi
gempar. Dalam keadaan suasana berisik tiba-tiba melesatlah ke atas
Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah Panglima Sampono, Datuk
Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Seorang Lor. Tiga kawan
tegak berjejer sementara Panglima
Sampono melangkah tegap ke hadapan mimbar. Suasana yang tadi
berisik kini menjadi sehening di pekuburan. Ketegangan menggantung
di udara!
“Manusia-manusia tidak tahu peradatan!” teriak Raja Rencong
marah sekali. “Perbuatan kalian naik ke atas mimbar tanpa izinku
merupakan penghinaan besar bagi semua anggota Partai yang hadir di
sini!”
Panglima Sampono sambil bertolak pinggang menjawab dengan
suara garang.
“Ketahuilah, kami berempat datang kemari bukan untuk
menghadiri peresmian segala macam partai kentut busuk! Tapi untuk
meminta pertanggungan jawabmu atas kematian sobat-sobat kami para
tokoh silat golongan pucih!”
“Kalau itu maksud kalian, rupanya kalian berkenan untuk
menyusul mereka ke akhirat!” tukas Raja Rencong. Dia berpaling ke
arah Arena sebelah timur dan berseru: “Empat Tombak Sakti!
Lenyapkan pengacau-pengacau ini!”
Empat orang berpakaian seragam hitam melompat ke atas Arena.
Tampang mereka galak buas dan angker. Begitu naik ke arena begitu
mereka hantamkan tombak ke arah kepala Panglima Sampono dan tiga
kawannya! Pertempuran pecah! Tampaknya kedua pihak saling
berimbang. Serangan datang silih berganti.
Lima belas jurus berlalu. Korban pertama roboh. Dia adalah orang
ketiga dari Empat Tombak Sakti. Meregang nyawa di ujung pedang
Sebrang Lor.
Menyusul kemudian Panglima Sampono berhasil membantai
orang kedua dari Empat Tombak Sakti. Kini pertempuran berlangsung
antara Datuk Nan Sabatang melawan orang ke satu sedang Lembu
Ampel melawan orang ke empat. Ternyata dua orang terakhir dari Empat
Tombak Sakti ini tidak mampu menahan serangan-serangan gencar dua
tokoh silat golongan putih itu. Setelah lima jurus berlalu keduanya
tergelimpang menemui ajal!
Rahang Raja Rencong tampak menggembung. Gerahamnya
terdengar bergemeletukkan.
“Tongkat Baja Hijau!” teriak Raja Rencong. “Bunuh empat keparat
itu!”
Sekelebat sosok tubuh berpakaian hijau melesat ke atas Arena.
Orang ini berbadan tinggi langsing. Usianya agak lanjut dan tubuhnya
bungkuk. Di tangan kanannya dia memegang sebuah tongkat sebesar
betis terbuat dari baja asli. Warna hijau yang membungkus tongkat baja
itu adalah lapisan racun ganas yang dahsyat!
“Tunggu apa lagi! Habisi mereka!” teriak Raja Rencong.
Tongkat Baja Hijau mendongak dan perdengarkan tawa
mengekeh. Tongkat di tangan kanannya di ketuk-ketuk ke lantai Arena.
Hebat sekali. Semua orang merasakan bagaimana lantai yang mereka
injak terasa bergetar. Panglima Sampono dan kawan-kawan segera
maklum kalau manusia berjubah hijau itu memiliki kepandaian tinggi
sedang senjata di tangannya mengandung bahaya maut!
Tongkat Baja Hijau memandang pada keempat orang di
hadapannya dengan mimik mengejek dan menganggap rendah.
“Kalian akan maju satu-satu atau berempat sekaligus? Lebih baik
berempat agar aku tidak banyak membuang waktu dan tenaga!”
Mengelam paras ke empat tokoh silat itu. Panglima Sampono
bergerak melangkah. Tapi Sebrang Lor mendahului ke hadapan Tongkat
Baja Hijau.
’Tampangmu tak banyak berubah! Tapi pendirianmu kini
berlainan!” berkata Sebrang Lor. “Setahuku dulu kau adalah tokoh
golongan putih. Sungguh disayangkan kalau kini kau menjadi bergundal
Raja Rencong, murid murtad pembunuh guru! Majulah, biar aku
rasakan hajaranmu!”
Tongkat Baja Hijau tertawa bergelak.
“Sebrang Lor! Tempatmu jauh di Malaka! Sulit nyawamu akan
kembali ke sana!” Habis berkata begitu Tongkat Baja Hijau menyerbu ke
muka. Sinar hijau menggebu dari tongkat bajanya. Sebrang Lor Cepar
cabut pedang berkeluknya. Maka pecahlah perkelahian hebat. Tapi
kehebatan itu membawa malapetaka bagi diri Sebrang Lor. Serbuan
tongkat baja hijau laksana air bah, menderu-deru mengurung dirinya,
menutup jalan serangan dan lambat laun membobol pertahanan tokoh
silat dari Malaka itu. Dia hanya sempat bertahan sampai empat jurus.
Di jurus ke lima tongkat lawan menggebuk bahu tanpa dia bisa dikelit
atau ditangkis. Sebrang Lor menjerit. Tubuhnya tercampak ke luar
Arena. Nyawanya lepas!
“Manusia iblis! Aku lawanmu!” teriak Datuk Nan Sabatang
menggeledek. Tubuhnya berkelebat dan keris biru di tangannya
meluncur sebat ke arah teng-gorokan Tongkat Baja Hijau!
“Jangan omong besar Datuk!” ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali
tongkatnya disapukan Datuk Nan Sabatang tersusut ke belakang.
Wajahnya pucat.
“Ha... ha! Aku muak berkelahi satu lawan satu! Ayo Sampono dan
Lembu Ampel! Kalian berdua ikut majulah!” Sambil menyerang Datuk
Nan Sabatang,
Tongkat Baja Hijau membagi serangan pula pada Panglima
Sampono dan Lembu Ampel. Mula-mula kedua orang itu tak mau
membalas apalagi terjun ke kalangan pertempuran. Tapi karena
diserang terus menerus mau tak mau akhirnya mereka terpaksa juga
turun ke gelanggang!
Bagi orang-orang yang hadir di tempat itu nama Panglima
Sampono dan kawan-kawannya adalah nama-nama besar. Namun
sewaktu menyaksikan berhasil mendesak ke tiga lawannya itu maka kini
dapat diukur betapa tingginya kepandaian kaki tangan Raja Rencong
ini.
Dalam jurus ke sepuluh terdengar pekik Datuk Nan Sabatang.
Tubuhnya melesat. Kepalanya pecah dihantam tongkat lawan.
“Sekarang giliran kalian berdua untuk mampus!” seringai Tongkat
Baja Hijau pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel. Didahului oleh
teriakan menggeledek Tongkat Baja Hijau keluarkan jurus serangan
yang luar biasa hebatnya. Ujung tongkatnya seperti bercabang dua.
Satu menggebuk ke arah kepala Panglima Sampono, satunya lagi ke
batok kepala Lembu Ampel! Dan dua orang ini seperti kena tenung,
hampir tak punya kesempatan untuk selamatkan nyawa masing-masing!
Para tamu yang hadir menahan nafas.
Dalam detik yang tegang itu di mana maut sudah siap
mencengkam dua korban, tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih
disertai suara siulan nyaring. Satu gelombang angin yang bukan olaholah
dahsyatnya menderu laksana topan membadai. Beberapa tokoh
silat yang ada’d i pinggiran Arena merasa tubuh mereka bergetar. Di
saat itu tahu-tahu terdengar pekik Tongkat Baja Hijau. Orang bersama
tongkatnya mental keluar Arena menghantam dinding ruangan dengan
keras. Ketika jatuh ke lantai tubuh Tongkat Baja Hijau tidak bergerak
lagi. Mukanya hancur! Di tengah Arena semua mata menyaksikan
seorang pemuda berambut gondrong sebahu, berpakaian dan berikat
kepala serba putih tegak menyeringai. Bajunya yang tidak berkancing
menyingkapkan dadanya yang penuh otot. Pada dada sebelah kanan ada
rajah tiga buah angka, berwarna hitam kebiruan.
SEPASANG mata Raja Rencong Dari Utara membeliak seperti hendak
melompat dari sarangnya. Kumis tebalnya berjingkrak dan rahangnya
menggembung. Suara menggembor terdengar di tenggorokannya.
“Pemuda keparat! Siapa kau!” bentak Raja Rencong sementara
semua orang yang hadir di tempat itu ada yang berdecak kagum tapi
banyak yang melengak heran karena tidak mengetahui apa sebenarnya
yang terjadi saking cepatnya gerakan-gerakan di atas Arena.
“Siapa aku tidak penting! Aku mau bicara!” jawab pemuda rambut
gondrong seenaknya dan membuat semua orang kini jadi tambah kaget
melihat keberanian pemuda yang tak dikenal itu.
“Keparat! Kau minta mampus!” teriak Raja Rencong menggeledek.
Lalu dia berseru garang.
“Sepasang Pengemis Gila! Bunuh budak ini!”
Dari Arena sebelah kanan melesat dua orang berpakaian kotor
compang camping penuh tambalan dan berambut acak-acakan. Tubuh
mereka menghambur bau tidak sedap. Inilah dua tokoh silat jembel
sinting yang berjuluk Sepasang Pengemis Gila. Keduanya berteriakteriak
seperti monyet terbakar ekor. Dalam gerakan yang tidak karuan
tiba-tiba mereka menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng, pemuda yang
tegak di tengah Arena. Di saat yang sama mendadak dari samping kiri
melompat pula seorang berpakaian merah. Dari mulutnya menyembur
arak merah yang menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh Panglima
Sampono dan Lembu Ampel!
Dua tokoh silat lanjut usia ini tentu saja terkejut dan serentak
sama pukulkan tangan ke depan. Namun sebelum dua pukulam sempat
mencari sasaran, sebelum semburan arak menimbulkan celaka,
mendadak sontak terjadilah satu peristiwa yang membuat semua orang
bangkit tertegak dari kursi masing-masing.
Tiga jeritan terdengar susul menyusul. Tiga sosok tubuh mencelat
mental seperti dilabrak topan prahara lalu terbanting ke dinding, mental
lagi dan jatuh di-antara orang banyak!
Apa yang telah terjadi?
Ketiga Sepasang Pengemis Gila dengan berteriak-teriak menyerang
dirinya dan selagi Datuk Arak Sakti menyembur ke arah Panglima
Sampono dan Lembu Ampel, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede itu hantamkan kedua telapak tangannya sekaligus ke arah
orang-orang yang menyerbu. Arena Topan Utara seperti diguncang
gempa, laksana dilanda badai. Pendekar 212 telah melepaskan pukulan
sakti bernama “dewa topan menggusur gunung”.
Nama angker pukulan sakti itu tidak nama percuma belaka.
Itulah pukulan sakti mengandung tanga dalam tinggi yang dipelajarinya
dari Tua Gila. Dan betapapun hebatnya Sepasang Pengemis Gila serta
Datuk Arak Sakti namun mereka tak sanggup bertahan. Ketiganya
mencelat mental, terlempar ke dinding batu dan menemui kematian
dalam cara mengerikan!
Di antara para hadirin tak satu pun yang bergerak. Semua mata
terpentang lebar ke arah Pendekar 212. Hal yang sama terjadi juga
dengan Raja Rencong. Dia tegak hampir tak bergeming. Dia tahu betul,
dua pukulan tangan kosong yang tadi dilepaskan si pemuda tadi adalah
pukulan “dewa topan menggusur gunung.” Dan setahunya hanya satu
orang yang memiliki pukulan dahsyat itu yakni seorang kakek sakti
yang dipanggil dengan sebutan Tua Gila. Ternyata kini pemuda tak
dikenal itu memiliki ilmu yang sama. Ada sangkut paut apakah antara
pemuda ini dengan orang tua itu?
Diam-diam Raja Rencong merasakan dadanya berdebar dan
lututnya bergetar. Aneh! Benar-benar aneh! Setahunya Tua Gila sudah
lama meninggal dunia dan selama hidupnya orang tua itu tak pernah
mempunyai seorang muridpun. Bagaimana kini ada pemuda memiliki
ilmu pukulan sakti itu? Sepasang mata Raja Rencong bergerak berputar
ke arah hadirin. Dia sangat kawatir kalau-kalau Tua Gila tahu-tahu
sudah ada pula di sana di antara para tamu. Namun dia tak melihat
orang tua itu. Hatinya lega sedikit.
Sebagai tuan rumah yang telah menyandang nama besar, tentu
saja Raja Rencong tidak mau perlihatkan rasa jerih. Dia merasa sudah
saatnya untuk menekan tombol merah di atas mimbar sebelum
kekacauan baru muncul. Tak apa kehilangan dua tiga kaki tangan dan
pembantunya. Asal sesaat lagi semua orang yang ada di situ akan
menerima kematian termasuk pemuda gila di tengah Arena.
Sambil tertawa mengekeh Raja Rencong menggerakkan tangannya
lalu berteriak keras: “Manusia-manusia tolol! Selamat jalan ke neraka!”
Lalu jari telunjuk tangan kanan Rana Rencong menekan tombol merah
sekuat-kuatnya.
Tapi tak satu pun terjadi.
Raja Rencong menekan lagi. Lagi dan lagi. Bahkan kini
menghantamkan telapak tangannya keras-keras ke tombol merah itu.
Namun atap di atas Arena tidak membuka dan papan Arena yang
dipijaknya tidak melesatkan tubuhnya ke atas. Juga lantai Arena di
mana para tamu duduk tidak roboh sedang langit-langit bangunan tidak
runtuh!
Di hadapannya dilihatnya Wiro Sableng menyeringai. Lalu suara
gelak membabak keluar dari mulut pemuda itu.
“Raja Rencong! Ada yang tidak beres rupanya?!”
Pertanyaan itu membuat Raja Rencong membesi wajahnya. “Apa
maksudmu?!” sentaknya.
“Ah! Kau tahu apa maksudku! Kau panik! Lantai ruangan ini tidak
amblas! Atap tidak runtuh! Ha... ha... ha! Kau sudah menekan tombol
rahasia tapi pesawat celaka yang hendak membunuh semua orang yang
hadir di sini tidak bekerja!”
Bukan main marahnya Raja Rencong Dari Utara. Didahului
menggereng seperti harimau lapar terluka dia jentikkan sepuluh jari
tangannya.
Sepuluh larik sinar merah menyambar Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sebelumnya Wiro telah menyaksikan keganasan ilmu kesaktian
ini yaitu ketika dikeluarkan oleh Pandansuri. Kini kalau Raja Rencong
sendiri yang memainkannya tentu jauh lebih dahsyat. Karenanya murid
Sinto Gendeng segera melompat ke atap ruangan dan dari atas lepaskan
pukulan “sinar matahari”.
Arena Topan Utara laksana disambar petir dan geledek ketika
pukulan sinar matahari saling bentrokan dengan sinar merah ilmu kuku
api. Dua ilmu kesaktian yang dilancarkan dengan kekuatan tenaga
dalam sangat tinggi begitu saling beradu melesat ke kiri lalu memecah
ke arah empat penjuru. Jerit kematian terdengar di bagian itu. Sembilan
tokoh silat golongan hitam hangus mengerikan. Delapan tokoh golongan
putih meregang nyawa mengenaskan! Bau hangusnya tubuh-tubuh
yang terpanggang memenuhi tempat itu. Kekacauan meledak!
“Para tamu semua!” tiba-tiba Wiro berteriak lantang. “Kalian
sekarang tahu kalau Raja Rencong punya maksud tersembunyi. Secara
keji sebenarnya dia hendak membunuh kita semua yang hadir hadir di
sini! Kenapa tidak berebut pahala mencincangnya beramai-ramai?!”
Mendengar teriakan Wiro Sableng itu semua tamu menjadi
terbakar hati masing-masing, apalagi yang sejak semula memang tidak
suka terhadap Raja Rencong dan hadir di situ untuk menghukumnya.
Laksana air bah, tokoh silat golongan hitam dan putih bergabung
menjadi satu dan menyerbu Raja Rencong yang masih tertegun di atas
mimbar dengan dada berdenyut akibat bentrokan tenaga dalam dengan
Wiro lewat pukulan sakti tadi.
Raja Rencong adalah tokoh silat sakti luar biasa. Keberaniannya
dan kebengisannya tidak beda dengan setan. Namun melihat sekian
banyak para jago silat menyerbunya dia jadi gugup. Nyalinya meleleh.
Tanpa pikir panjang lagi dia berkelebat larikan diri. Tapi arah larinya
telah dihadang Wiro Sableng yang saat itu sudah menggenggam Kapak
Maut Naga Gen i 212.
“Keparat! Mampuslah!” teriak Raja Rencong.
Sreett!
Raja Rencong cabut Rencong Emasnya. Sinar kuning bertabur. Di
waktu yang sama puluhan senjata datang menderu Ketua Partai Topan
Utara itu. Kapak Naga Geni 212 di depan sekali dengan sinarnya yang
menyilaukan disertai deru laksana ribuan tawon mengamuk!
Trang!
Rencong Emas dan Kapak Naga Geni 212 beradu. Bunga api
memercik. Raja Rencong mengeluh tertahan. Tangan kanannya terasa
panas dan getaran menjalar sampai ke pangkal bahunya. Sebelum dia
sempat memasang kuda-kuda baru laksana kilat Kapak Naga Geni 212
sudah berkiblat kembali di depan hidungnya sementara di sekelilingnya
puluhan macam senjata datang menggempur.
“Huaaah!” Raja Rencong membentak garang. Kedua tangannya kiri
kanan membuat gerakan yang dinamakan “sepasang kincir sakti
menghadang bumi”. Ini bukan saja merupakan satu jurus pertahanan
yang ampuh tapi sekaligus merupakan jurus serangan mematikan.
Rencong Emas di tangan kanan mengeluarkan sinar kuning berbuntalbuntal
sedang lima jari tangan kiri tiada hentinya menjentikan ilmu
kuku api. Tiga orang tokoh silat tergelimpang roboh dihantam pukulan
kuku api. Tapi hanya sampai disitulah Raja Rencong sanggup
menunjukkan keganasannya.
Sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyilaukan
mendesaknya. Angin senjata itu bukan saja menutup pemandangannya
tapi kedua matanya juga terasa perih.
Sesaat kemudian terdengar jerit Raja Rencong! Telinga kanannya
putus dibabat Kapak Naga Geni. Racun yang ganas langsung merasuk
ke peredaran darahnya. Sadar bahaya yang dialaminya Raja Rencong
cepat menotok beberapa urat penting di tubuhnya agar racun tidak
menjalar menuju jantung. Lalu dengan segala kehebatan yang
dimilikinya Raja Rencong mengamuk membabi buta. Dua tokoh lagi
roboh di tangannya, satu si antaranya adalah Lembu Ampel. Tokoh ini
menjauhkan diri ke sudut ruangan. Dadanya luka parah akibat tikaman
Rencong Emas. Dia sadar racun jahat senjata itu sebentar lagi akan
meranjam tubuhnya. Didahului oleh satu teriakan keras menyebut
nama Tuhannya, Lembu Ampel akhirnya jatuh ke lantai tak bergerak
lagi.
Amukan orang takut dan putus asa seperti yang dilakukan Raja
Rencong tidak berjalan lama. Ketika Kapak Naga Geni 212 menyusup di
antara serangan-serangan yang dilepaskannya. Raja Rencong terdengar
menjerit. Dia merasakan tangan kirinya panas sekali. Ketika dilihat
ternyata tangannya itu telah buntung disambar Kapak Naga Geni 212.
Raja Rencong menjerit lagi. Belasan senjata datang menusuk, menikam
dan membacok sekujur tubuhnya. Tubuh itu seperti dimandikan dengan
darah. Tapi hebatnya Raja Rencong masih tegak, bukan saja bertahan
malah masih sanggup membuat gerakan-gerakan pembalasan. Wiro
yang sudah kehilangan kesabarannya segera putar Kapak Maut Naga
Geni 212. Suara seperti ribuan tawon mengaung laki disusul kembali
jeritan Raja Rencong.
Darah muncrat dari mukanya yang hampir terbelah. Tubuh dan
wajah yang hampir tidak berbentuk lagi itu menggeletak di lantai Arena
Topan Utara. Darah bergelimang di mana-mana. Masih banyak para
tokoh yang melampiaskan dendam kesumatnya menghujani tubuh tak
bernyata Raja Rencong itu dengan berbagai senjata, tendangan ataupun
pukulan. Wiro maklum segala sesuatunya kini telah berakhir. Pemuda
ini cepat tinggalkan tempat itu, lari menuju sebuah kamar di mana
pesawat rahasia untuk membunuh para tokoh persilatan berada. Di situ
menggeletak Pandansuri, puteri Raja Rencong dalam keadaan tertotok.
Apakah yang terjadi dengan dara berkerudung ungu ini?
Seperti diceritakan sebelumnya Wiro Sableng telah bertemu
dengan Nyanyuk Amber, orang tua sakti guru Raja Rencong yang berada
dalam keadaan dirantai tak berdaya. Setelah melepaskan orang tua itu
dari rantai yang mengikatnya Wiro memergoki Pandansuri di kamar
pesawat rahasia. Terjadi perkelahian. Dalam waktu tiga jurus Wiro
berhasil membuat gadis itu tak berdaya dan menotoknya hingga ketika
ayahnya menekan tombol sebagai tanda agar dia menggerakkan pesawat
rahasia, sang dara tak mampu melakukannya.
“Pemuda keparat! Apa yang terjadi di luar sana! Aku dengar suara
gaduh!” Pandansuri mendamprat begitu Wiro masuk ke dalam ruangan.
Pendekar 212 menyeringai.
“Kabar buruk bagimu. Ayahmu menemui kematian di Arena Topan
Utara. Riwayat keganasannya berakhir hari ini!”
Pandansuri merasakan tubuhnya seperti hendak meledak.
Sepasang matanya dibalik kerudung membeliak dan wajahnya tampak
mengelam merah.
“Kurang ajar! Pasti kau yang membunuh ayah!”
“Aku dan puluhan tokoh silat yang hendak dicelakakannya!”
sahut Wiro.
“Kau membunuh ayah! Berarti kau harus mati di tanganku!”
Wiro tertawa.
“Kenapa kau masih keras kepala dan tidak mau sadar? Apa kau
ingin menemui nasib sama seperti ayahmu? Mati mengerikan di tangan
puluhan tokoh silat yang masih ada di luar sana?”
“Aku tidak takut mati! Lepaskan totokan di tubuhku! Mari kita
berkelahi sampai seratus jurus!”
“Aku tak punya waktu melayani orang kalap sepertimu. Sebelum
pergi aku hanya ingin melihat wajahmu yang selalu tersembunyi dibalik
kerudung ungu itu!”
“Kurang ajar! Kalau kau berani melakukan itu...!”
Tapi tangan Wiro sudah bergerak menarik kain kerudung tipis
yang menutupi wajah Pandansuri. Begitu kerudung terlepas terkejutlah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aih... Kiranya parasmu cantik sekali...!” Wiro basahi bibirnya
dengan ujung lidah dan garuk-garuk kepalanya yang gondrong. “Hanya
sayang aku tak bisa menikmati kecantikan parasmu berlama-lama. Aku
harus pergi dari sini bersama Nyanyuk Amber. Selamat tinggal dara
jelita...”
“Tunggu!” teriak Pandansuri. “Lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
Wiro putar langkahnya, menatap paras Pandansuri sesaat lalu
berkata: “Kalau totokan di tubuhmu kulepaskan apa kau akan
menyerangku dan mencari perkara baru?”
“Demi setan aku tidak akan melakukan apa-apa selain membaca
sepucuk surat!”
“Hemm... Ini adalah aneh!” ujar Wiro. “Kau hendak membaca
sepucuk surat. Dari siapakah? Tidak sangka kalau dara segalakmu ini
bisa punya pacar...!”
“Aku memang tidak punya pacar dan surat itu bukan dari siapa-siapa.
Tapi dari ayahku sendiri! Ayahku yang kalian bunuh itu!” jerit
Pandansuri.
“Baiklah... Tapi kalau kau bersumpah aku tak mau kau
melakukannya atas nama setan. Kau pasti punya Tuhan. Bersumpahlah
atas NamaNya!”
“Aku bersumpah demi Tuhan!” teriak Pandansuri.
Wiro melangkah mendekati. Tangan kanannya bergerak
melepaskan totokan di tubuh sang dara. Tapi tangan kirinya diam-diam
menyiapkan pukulan sinar matahari. Untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba
Pandansuri membokongnya setelah lepas dari totokan. Ternyata gadis
itu memang tidak menyerangnya. Begitu tubuhnya bebas dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan sepucuk surat Tanpa memandang pada
Wiro dia berkata: “Ayah berpesan. Surat ini hanya boleh kubuka jika
sesuatu terjadi dengannya. Yakni kalau dia menemui ajal...”
Sang dara membuka, lipatan surat lalu membaca apa yang
dituliskan Raja Rencong di situ.
Pandansuri,
Kalau aku sudah mati maka itulah saatnya kau harus mengetahui
rahasia besar tentang dirimu. Sebenarnya kau bukanlah anak
kandungku. Kau kuculik ketika masih kecil. Ayahmu adalah Kepala
Kampung Pasirputih. Kembalilah padanya dan tempuhlah jalan hidup
yang baik.
Orang yang pernah menjadi ayahmu
Raja Rencong.

Surat itu terlepas dari pegangan Pandansuri. Air mata
menggelinding membasahi pipinya.
“Hai... ada apakah saudari? Mengapa kau menangis?” tanya Wiro.
Pertanyaan itu justru membuat Pandansuri menjadi mengeras
isakannya Wiro mengambil surat yang tercampak di lantai lalu
membacanya. Pendekar ini kemudian menarik nafas dalam.
“Sekarang jelas bagimu. Kau berasal dari orang baik-baik.
Karenanya musti kembali ke jalan yang baik. Mari kita tinggalkan Bukit
Toba ini...” Wiro memegang bahu Pandansuri, bantu gadis itu berdiri
lalu mengembalikan surat yang tadi dibacanya.
Keduanya melangkah menuju kamar Nyanyuk Amber untuk
membawa orang tua itu sama-sama meninggalkan Bukit Toba,
mengikuti puluhan tokoh silat yang lebih dahulu pergi meninggalkan
tempat angkara murka tersebut.
HANYA beberapa ketika setelah para tokoh silat, Wiro Sableng,
Pandansuri dan Nyanyuk Amber meninggalkan Bukit Toba, langit di
atas bukit itu tampak menghitam ditutup gumpalan awan mendung.
Dikejauhan terlihat petir menyambar hampir tiada henti. Lalu dentuman
geledek seperti hendak melumat bumi dan air danau. Tak lama
kemudian hujan lebatpun turun. Demikian derasnya hingga menutup
batas pemandangan manusia. Di-bawah hujan lebat begitu rupa, dari
arah tenggara danau tampak melesat sebuah perahu kecil ditumpangi
satu orang. Hujan yang lebat menutupi pemandangan hingga tak jelas
siapa adanya orang diatas perahu itu. Namun begitu hujan mulai
mereda dan pemandangan menjadi terang sedikit, kelihatanlah sosok
tubuh di atas perahu kecil tadi. Ternyata dia adalah seorang nenek
berpakaian rombeng, bertubuh kurus kering. Rambutnya yang putih
diikat di atas kepala membentuk secuil konde. Berlawanan dengan
pakaiannya yang buruk rombeng, dibahunya tersandang sebuah
selendang hitam besar berhiaskan bunga-bunga dari benang emas.
Di tangan kanannya nenek aneh ini memegang sebuah tongkat
bambu kuning kecil. Bambu inilah yang dijadikannya sebagai kayu
pendayung. Walaupun cuma sebuah bambu kecil namun hebatnya
benda ini menjadi pendayung yang ampuh luar biasa. Perahu yang
dikayuh tampak melesat membelah air danau yang bergelombang akibat
hujan yang baru saja turun deras.
Di tangan kirinya si nenek memegang sebuah tabung kaca
berbentuk bulat dan sangat ramping bagian tengahnya. Tabung kaca ini
diisi dengan pasir. Pasir di bagian atas tabung mengucur jatuh sedikit
demi sedikit ke bagian tabung sebelah bawah. Saat itu jumlah pasir
yang jatuh ke bagian bawah tabung kaca telah mencapai setengah
ketinggiannya. Sepasang mata si nenek tiada hentinya memperhatikan
tabung itu sementara tangan kanannya terus mendayung dengan
tongkat bambu kecil.
“Cepatlah perahu. Cepatlah! Kalau sampai terlambat celakalah!.
Aku harus menunggu sampat ada korban lainnya. Mungkin setahun!
Mungkin lima tahun! Mungkin sepuluh tahun! Atau mungkin tidak
untuk selama-lamanya! Cepat perahu! Cepatlah! Antarkan aku ke pulau
di depan sana! Cepat!”
Tak selang berapa lama perahu kecil itu berhasil mencapai pulau
di tengah danau. Pasir di tabung kaca sebelah bawah hampir mencapai
dua pertiga ketinggian tabung. Tanpa menunggu sampai ujung perahu
menyentuh daratan pulau si nenek langsung melompat dan laksana
terbang laru menuju puncak Bukit Toba. Jalan yang ditempuh sulit dan
licin akibat hujan namun si nenek sigap sekali gerakannya. Jangankan
terpeleset, malah enak saja dia melompat dan berlari, makin lama makin
kencang hingga akhirnya dia sampai di puncak Bukit Toba, langsung
menyelinap masuk ke dalam bangunan bertingkat dua.
Begitu sampai di ruangan besar yang disebut Arena Topan Utara,
si nenek lelerkan lidah gelengkan kepala. Kedua matanya terbeliak.
Mayat dilihatnya bergelimpangan di mana-mana. Darah bergenang di
pelbagai penjuru. Dia melirik ke tabung kanan di tangan kirinya. Lalu
tersentak bila ingat waktunya hanya tinggal sedikit.
Seperti seekor burung pemakan mayat nenek ini melompat ke
pertengahan Arena Topan Utara. Dia memandang berkeliling. Kaki dan
tongkatnya mengungkit setiap sosok tubuh di dekatnya. Tapi orang atau
mayat yang dicarinya belum juga bertemu. Dia memandang lagi
berkeliling. Pasir di dalam tabung hampir mencapai titik tertingginya. Si
nenek menjerit saking kawatirnya. Kemudian kedua matanya yang besar
itu melihat sosok tubuh yang dicarinya. Tergeletak tak jauh dari
mimbar.
“Itu dia!” pekik si nenek gembira.
Sekali lompat saja dia sampai disamping mimbar. Sosok tubuh itu
amat mengerikan. Penuh bacokan puluhan senjata. Keadaannya seperti
dicincang. Lebih mengerikan lagi bagian kepalanya. Telinga kanan
buntung. Bagian wajah sulit dikenali karena hampir terbelah oleh luka
besar yang menguak.
“Kasihan kau... kasihan kau anak manusia! Tapi tunggulah!
Sebentar lagi kau akan kutolong! Kau belum saatnya mati! Belum
saatnya!” Si nenek mendongak ke atas, tertawa seperti kuda meringkik
lalu bantingkan tabung kaca di tangan kirinya ke lantai.
Tabung kaca itu pecah dengan mengeluarkan ledakan nyaring.
Pasir di dalamnya muncrat ke udara disertai kepulan asap berwarna
kelabu, berbau busuk luar biasa. Sambil melangkah terserok-serok
nenek aneh itu acungkan tongkatnya tinggi-tinggi ke atas. Mulutnya
komat-kamit melafatkan mantera. Tiba-tiba dia memekik keras. Aneh!
Ujung buntalan asap kelabu menyambar ke ujung tongkat bambu. Lalu
laksana sehelai selendang panjang bergerak mengikuti kemana bambu
itu bergerak.
Si nenek turunkan bambu di tangan kanannya mendekati kepala
mayat yang terbelah. Begitu sampai di bagian kepala, ujung tongkat
disapukannya sepanjang belahan yang mengerikan itu. Aneh! Luar
biasa. Perlahan-lahan, setelah disapukan beberapa kali kepala yang
terbelah oleh hantaman Kapak Naga Geni 212 itu bertaut kembali
meskipun tetap meninggalkan bekas yang mengerikan yaitu mulai dari
kening, memanjang ke bawah melewati mata kiri dan pipi kiri. Si nenek
tertawa tinggi.
Ujung tongkat berputar-putar sesaat lalu mengusap-usap
keseluruh bagian tubuh yang seperti dicincang itu. Kembali keanehan
terjadi. Tubuh yang penuh luka itu juga bertaut kembali. Darah berhenti
mengucur. Namun bekas-bekas luka yang ditinggalkan sangat
mengerikan. Si nenek sekali lagi terdengar tertawa. Tongkatnya diangkat
tinggi-tinggi ke udara. Mulutnya lagi-lagi komat-kamit. Tiba-tiba ujung
tongkat menukik dan menusuk bagian tenggorokan mayat.
Inilah puncak dari segala keanehan dan keluar biasaan.
Tenggorokan yang tadi kaku tegang itu kini tampak bergerak, mulamula
perlahan sekali, namun makin lama makin kencang. Nenek aneh
itu menjerit keras dan panjang. Perlahan-lahan tubuhnya merunduk
hingga dia tampak berlutut di atas kedua tempurung lututnya yang
kurus kering.
“Anak manusia! Kau memang belum saatnya mati! Belum
saatnya!” terdengar si nenek berseru. Dari kedua matanya yang besar
tampak meleleh air mata. Kedua tangannya diacungkan ke atas dan dari
mulutnya terdengar ucapan: “Sepuluh tahun menempa ilmu kehidupan!
Hari ini akhirnya aku berhasil! Guru! Hari ini murid berhasil
meneruskan pekerjanmu! Hanya sayang kau keburu menutup mata
hingga tidak sempat menyangsikan awal dari semua kehebatan ini!
Hik... hik... hik...” Lalu si nenek menangis seperti anak kecil.
Mendadak si nenek hentikan tangisnya. Di kedua telinganya
seperti ada suara yang mengisang.
“Muridku... Meski aku sudah mati tapi rohku masih tetap
mengikuti semua tindak tandukmu! Guli Rampai! Dari alamku aku
turut bergembira melihat keberhasilanmu. Teruskan pekerjaanmu
muridku...”
Suara mengiang lenyap.
“Guru!” Si nenek berteriak memanggil. Lalu dia jatuhkan diri
menelungkup di lantai. Sesaat kemudian perlahan-lahan dia bangkit
kembali, beringsut mendekati tubuh yang tadi kaku mati dan kini
tampak mulai bergerak tanda adanya tanda-tanda kehidupan yang sulit
diterima akal manusia. Si nenek angkat tubuh itu lalu memanggulnya
diatas bahu kiri. Dia memandang sekali lagi berkeliling, lalu lari keluar
bangunan, menuruni Bukit Toba menuju ke danau di mana perahu
kecilnya berada.
***
TUBUH cacat penuh bekas luka mengerikan itu terbujur tanpa
penutup di atas tumpukan batu berwarna merah. Di bagian bawah
tumpukan batu itu terdapat celah memanjang dan di situ ada nyala api
yang terus menerus berkobar
Si nenek bermata besar duduk di atas sebuah dingklik, menunggu
dengan sabar. Tongkat bambu kuning kecil di tangan kanannya diketukketukkan
ke lantai batu, sesuai dengan gerak mendenyut pada dada
orang yang terbujur di atas batu merah.
Perlahan-lahan tetapi pasti tak selang berapa lama kemudian dua
mata yang tadi tertutup dari orang di atas batu tampak membuka. Si
nenek makin memperkencang ketukan tongkatnya ke atas lantai.
“Buka yang besar. Buka yang besar matamu anak manusia! Dan
pandang wajahku... Pandang wajahku... ”
Mata yang terbuka semakin besar. Lalu sesuai dengan kata-kata
perempuan tua itu, kedua mata tadi bergerak berputar memandang ke
arah si nenek.
“Bagus anak manusia! Bagus! Ternyata awal kehidupanmu
membawa pertanda yang baik. Kau mau mendengar perintahku. Kau
sudah melihat aku. Katakan apa yang kau lihat! Katakan apa kau kenal
aku! Buka mulutmu! Buka! Kau bisa bicara! Kau tidak bisu! Kau pasti
bisa menjawab!”
“Si... siapa kau orang tua. Aku tidak kenal padamu...” Tiba-tiba
meluncur ucapan itu dari orang lelaki berwajah mengerikan di atas
batu.
Si nenek tertawa mengikik.
“Aih...! Suaramu jelek tapi tidak apa! Yang penting kau bisa
bicara! Hik... hikkk... hik... “
“Siapa kau... siapa kau...?”
“Hik... hik... hik. Tentu saja kau tidak kenal aku. Aku adalah
nenek tua bernama Guli Rampai bergelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku
orang yang telah menghidupkanmu dari kematian!”
“Menghidupkan aku dari kematian? Apakah aku pernah mati...?”
Orang di atas batu bertanya.
“Hik... hik! Kau memang pernah mati. Malah kalau aku sampai
terlambat menemui mayatmu, tak mungkin aku bisa menolong
menghidupkanmu kembali. Setelah mati dan dihidupkan kembali
apakah kau masih bisa mengingat siapa dirimu...?”
Sepasang mata itu yang sebelah kiri ada guratan angker bekas
bacokan menatap langit-langit ruangan. Lalu dari mulut orang ini
meluncur ucapan: “Namaku Kumbara. Gelarku Raja Rencong Dari
Utara. Aku Ketua Partai Topan Utara...”
“Hebat! Kau hebat! Sungguh luar biasa. Ternyata kau masih ingat
siapa dirimu. Otakmu masih berjalan baik! Tidak percuma aku
memilihmu dan membawamu ke puncak Gunung Sorik Marapi ini... Kau
telah hidup kembali! Tetapi untuk mencapai kesempurnaan kau harus
menunggu satu tahun. Sebelum kau kusemayamkan selama satu
tahun, apakah ada pertanyaan...?”
Sosok tubuh di atas batu merah yang ternyata adalah Raja
Rencong Dari Utara alias Hang Kumbara kembali menatap langit-langit
ruangan di atasnya.
“Aku memang ada satu pertanyaan. Mengapa... mengapa kau
menghidupkan aku yang katamu sudah mati ini...?”
“Pertanyaan bagus anak manusia... Kujawab dengan balas
bertanya. Apakah kau tidak akan membalaskan sakit hati kematianmu
pada orang-orang yang telah mencelakaimu? Terhadap manusiamanusia
bernama Panglima Sampono misalnya. Lalu bekas gurumu
yang merat si Nyanyuk Amber itu. Lalu anak angkat yang kau asuh
selama bertahun-tahun tapi kemudian juga kabur meninggalkanmu si
Pandansuri itu. Dan yang penting adalah menuntut balas terhadap
seorang anak manusia yang kini menjadi musuh besarmu. Pendekar
212 Wiro Sableng... Darah dibalas darah. Nyawa dibayar nyawa. Dosa
dibayar dengan dosa...”
“Mereka jumlahnya banyak. Mereka memiliki ilmu kesaktian yang
hebat. Apakah... apakah aku mampu membayar dosa dengan dosa...?”
“Kau akan mampu. Aku Iblis Sesat Jalan Hidup akan memberi
kekuatan baru padamu. Bila tiba saatnya kelak ----setelah satu tahun
berlalu---- kau akan bangkit kembali. Cari orang-orang itu. Bunuh
mereka semua. Setelah musuh-musuhmu kau hancur Iudaskan, kau
harus melanjutkan dengan membunuh tokoh-tokoh silat lainnya.
Bukankah kau ingin menjadi raja diraja dunia persilatan?”
“Itu memang cita-citaku...”
“Bagus! Kau ternyata tidak melupakan niat besarmu. Sekarang
sudah saatnya bagimu tidur. Kau akan kusemayamkan di atas batu
panas ini selama satu tahun. Tutup kedua matamu kembali...”
SATU tahun telah berlalu. Puncak Gunung Sorik Merapi seperti tidak
tersentuh oleh waktu. Tak tampak perubahan. Di dalam bangunan berbentuk
aneh, di atas tumpukan batu merah terbaring sosok tubuh Hang
Kumbara hampir merupakan jerangkong. Lebih mengerikan lagi karena
tubuh telanjang itu penuh dengan cacat bekas-bekas luka. Wajah
seperti setan, cekung dengan guratan luka besar melintang di kening,
melewati mata kiri terus ke pipi.
Di ambang pintu bangunan tegak sosok tubuh Guli Rampai alias
Iblis Sesat Jalan Hidup. Kepalanya mendongak ke langit, kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Sepasang matanya terpejam,
mulutnya komat kamit. Sesaat kemudian terdengar pekik aneh dari
mulutnya. Lalu menyusul ucapan-ucapan.
“Guru... Tiga ratus enam puluh hari sudah berlalu. Hari ini hari
penyelesaian segala pekerjaan. Hari ini berakhirnya segala cara dan
rasa. Apakah kau mendengarkan kata-kataku ini guru...?”
Wajah angker nenek berambut putih itu nampak tersenyum.
Senyum yang lebih merupakan seringai menggidikkan. Di kedua
telinganya terdengar suara mengiang.
“Guli Rampai muridku, aku tak pernah jauh darimu. Aku gembira
kau telah menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik. Rampungkanlah
segera. Tapi tahukah kau kalau hari penyelesaian adalah juga hari
pembebasan dari segala rasa dan jiwa...?”
“Murid mengerti guru. Murid mengerti. Dan murid tidak kecewa...”
berkata Guli Rampai lalu dia mulai sesenggukan.
Suara mengiang membentak seperti marah. “Jangan cengeng Guli!
Aku tak suka melihat orang menangis. Rampungkan pekerjaanmu.
Kalau selesai aku siap menunggumu...”
“Baik guru, murid akan merampungkan pekerjaan. Harap maaf
kalau murid berlaku lemah. Murid akan segera menemuimu...”
Si nenek turunkan kedua tangannya dan buka sepasang matanya.
Dia membalikkan tubuh dan masuk ke dalam bangunan, mendekati
tumpukan batu merah dengan api menyala di bagian bawahnya di mana
terbujur tubuh Hang Kumbara alias Raja Rencong.
Dari sudut ruangan Guli Rampai mengambil sebuah kendi berisi
cairan berwarna biru. Dia mengelilingi tumpukan batu merah sambil
tiada hentinya merapalkan jampi-jampi. Kemudian dia berhenti
disamping tubuh Hang Kumbara. Cairan dalam kendi dituangkannya ke
ujung kaki Hang Kumbara, terus ke atas sampai ke perut, terus ke
dada, melewati leher dan berakhir di kepala. Di situ cairan biru dalam
kendi tertuang habis. Saat itu pula Guli Rampai bantingkan kendi tanah
itu ke lantai. Terdengar letupan kecil lalu kepulan asap biru yang
membuntal membungkus tubuh Hang Kumbara. Ketika kepulan asap
lenyap terjadi keajaiban. Tubuh yang terbujur selama satu tahun itu
tiba-tiba melompat tegak. Kumis lebat yang tadinya layu seperti benang
basah kini berjingkrak garang. Hang Kumbara putar sepasang matanya
yang merah. Pandangannya membentur si nenek. Langsung saja lakilaki
ini jatuhkan diri berlutut.
Guli Rampai tertawa panjang.
“Hang Kumbara! Hari ini awal kehidupan bagimu tapi awal
kematian bagiku! Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Kini kau yang
hidup yang akan meneruskan segala-galanya. Kau ingat darah dibayar
darah, nyawa dibayar nyawa dan dosa dibayar dengan dosa..”
“Saya ingat nenek Guli... “sahut Hang Kumbara.
“Bagus! Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Dunia persilatan
ada di tanganmu. Aku tidak mengajarkan ilmu silat padamu. Juga tidak
ilmu kesaktian. Karena sesungguhnya kau telah memiliki kedua hal itu.
Tapi kini dalam dirimu ada satu kekuatan dahsyat. Kau tak akan
pernah mati lagi. Kecuali satu hal yang tabu menimpa dirimu...”
Hang Kumbara terkejut dan juga heran.
“Aku, aku tak akan pernah mati lagi nenek Guli? Ah, mana
mungkin. Mana ada manusia yang tidak pernah mati....”
“Kau harus percaya padaku budak tolol! Tak ada satu kekuatan
pun yang dapat mengakibatkan kematian bagimu. Kecuali satu...”
Meskipun belum bisa percaya namun Hang Kumbara bertanya
juga. “Apakah yang satu itu nenek Guli?”
“Satu hal yang tabu. Satu pantangan. Yakni kau tidak boleh
bersinggungan dengan benda apa saja yang berwarna biru. Apakah itu
batu, kayu atau kain atau air, pokoknya yang berwarna biru! Sekali
tubuhmu tersentuh maka kekebalanmu akan punah! Sebatang
rumputpun sanggup menjadi penyebab kematianmu. Kau dihidupkan
dan diberi kekuatan dengan air biru dalam kendi tadi. Warna biru itu
pula yang akan menjadi penyebab kematianmu kelak. Kecuali jika kau
memperhatikan apa yang jadi pantangan. Nah sekarang berdirilah!”
Hang Kumbara berdiri.
Si nenek berkata sambil menatap tajam wajah angker lelaki itu.
“Mulai hari ini nama Hang Kumbara harus kau kubur! Gelar Raja
Rencong Dari Utara harus kau singkirkan. Mulai detik ini namamu
adalah Iblis Sesat Jalan Hidup...”
“Bukankah itu gelarmu nenek Guli?”
“Betul. Tapi aku tidak memerlukannya lagi. Kau yang akan
meneruskan nama itu. Nah sekarang katakan selamat jalan padaku!”
“Saya tidak mengerti maksudmu nenek Guli...” ujar Hang
Kumbara heran.
“Anak manusia tolol! Aku bilang katakan selamat jalan padaku!”
bentak si nenek marah.
“Selamat... selamat jalan nenek Guli...”
Sang nenek tertawa panjang. Tiba-tiba dia pukulkan tangannya ke
kepala.
Praakk!
Batok kepala berambut putih itu remuk. Tubuh kurus terkapar di
lantai tanpa nyawa lagi. Hang Kum bara sesaat merasa bergeming.
Kemudian dia membungkuk mengambil selendang hitam berbungabunga
kuning emas milik si nenek dan mengenakannya di bahu kanan.
Dia melangkah ke pintu bangunan. Di hadapannya, dari puncak
Gunung Sorik Marapi di mana dia berada, tampak menghampar dunia
luas. Lelaki ini menyeringai lalu terdengar teriakannya.
“Dunia persilatan. Tunggulah! Hari ini Iblis Sesat Jalan Hidup
akan muncul! Darah dibayar dengan darah. Nyawa dibayar dengan
nyawa. Dosa dibalas dengan dosa!”
PUNCAK Gunung Sinabung. Di ruangan depan rumah kayu berlantai
tinggi dan luas terbuka itu duduk sembilan pemuda. Semuanya asyik
mengaji. Alunan suara mereka mengaji terdengar enak dalam
keheningan malam menjelang pagi. Udara dingin di puncak gunung
seolah-olah tidak terasa. Mereka terus mengaji untuk menghabiskan
waktu sebelum melaksanakan sembahyang Subuh.
Bersandar ke daun pintu yang tertutup, duduklah Panglima
Sampono, berpakaian putih lengan panjang dan sehelai sarung halus
buatan Bugis. Kedua matanya dipicingkan. Tangan kiri terletak di atas
pangkuan sedang tangan kanan memegang tasbih. Meskipun dia
berzikir k busuk namun telinganya yang tajam dapat mendengar dan
mengetahui bacaan-bacaan muridnya yang salah. Dia langsung
menegur dan meminta sang murid mengulangi bacaannya dengan betul.
Lapat-lapat dalam dinginnya udara dan kegelapan masih
mencekam terdengar suara burung berkuik.
Binatang ini agaknya sengaja terbang berputar-putar di atas
bangunan kayu. Suara kuikan binatang ini membuat sebagian dari
pemuda yang duduk mengaji menghentikan bacaanhya, saling pandang
sejenak, melirik pada Panglima Sampono yang tetap duduk tak bergerak
di tempatnya. Sebagiannya lagi memandang ke luar ke arah ke
kegelapan.
“Suara burung gagak...” berbisik seorang pemuda pada taman di
sebelahnya.
“Seperti ada pertanda yang tidak baik,” menjawab sang teman.
Sampai di situ suara burung di atas atap semakin kencang.
Binatang ini berputar-putar terus beberapa kali, lalu terbang ke jurusan
barat, menghilang dalam kegelapan.
“Siapa diantara kalian yang percaya takhyul...” Tiba-tiba terdengar
suara Panglima Sampono.
Tentu saja tak ada dari sembilan pemuda itu berani menjawab
meskipun jelas di antara mereka merasa tidak enak mendengar suara
gagak tadi.
“Pertanda dari Allah jangan sekali-sekali diabaikan, tetapi sesuatu
yang bersifat takhayul harus dijauhkan...” Berkata lagi Panglima
Sampono. “Aku tahu ada di antara kalian yang merasa takut mendengar
suara kuik burung malam tadi...” Sang Panglima sampai saat itu masih
terus bicara dengan kedua mata terpejam dan tangan kanan memegang
tasbih. “Tenangkan hati kalian, teruskan mengaji...”
Belum selesai Panglima Sampono berkata mendadak satu suara
lantang membelah kegelapan malam.
“Bagaimana murid-muridmu bisa tenang. Kalau mereka
menyadari maut datang menggerayang?!”
Panglima Sampono tersentak. Kedua matanya segera dibuka.
Sembilan muridnya telah lebih dulu berpaling ke arah datangnya suara
keras tadi. Sesosok tubuh tampak tegak di bawah pohon besar di
halaman kiri rumah kayu. Kegelapan malam membuat wajahnya tak
dapat dilihat, apalagi mengenali siapa adanya orang itu.
“Panglima, kita kedatangan tamu...” berbisik seorang murid yang
duduk paling dekat dengan sang guru.
Panglima Sampono mengangguk. Kedua matanya berusaha
menembus kegelapan malam. Namun tak dapat menerka siapa adanya
orang yang tegak di halaman itu.
“Subuh-subuh begini, tamu dari mana yang datang ke tempat
kami?” Menegur Panglima Sampono.
Sebagai jawaban orang dalam gelap melangkah mendekat. Tujuh
langkah dari tangga rumah dia berhenti. Sinar lampu minyak di
ruangan depan jatuh menimpa dan menerangi tubuhnya sebatas
pinggang ke bawah. Dada dan kepalanya masih tidak kelihatan.
Panglima Sampono dan sembilan muridnya melihat keanehan yang
mengerikan. Orang yang datang itu hanya mengenakan sehelai cawat
hingga perut, paha dan kedua kakinya terlihat jelas. Dan bagian tubuh
itu penuh cacat bekas luka hingga samar-samar orang itu kelihatan
seperti diselimuti sisik-sisik lebar. Anehnya ada sehelai selendang hitam
berbunga kuning emas tergantung menutupi sebagian badannya.
Lengan kirinya buntung.
“ Orang yang datang, jika kau membawa maksud baik kenapa
ragu-ragu. Silahkan naik ke atas rumah” berkata Panglima Sampono.
Diuncang begitu rupa, sosok tubuh di depan rumah tiba-tiba
melesat. Di lain detik dia sudah tegak di ruangan yang terbuka leber itu.
Sembilan murid sang Panglima terkesiap kaget dan bersurat mundur
dalam duduk masing-masing. Panglima Sampono sendiri sempat
kerenyitkan wajah dan si-pitkan mata.
Manusia atau setankah mahluk yang tegak di hadapan mereka
saat itu?! Sosok tubuh penuh cacat bekas luka itu ternyata memang
menyandang sehelai selendang. Badannya sudah sangat mengerikan
untuk dipandang, tetapi wajahnya seribu kali lebih mengerikan. Muka
yang cekung itu juga penuh dengan bekas-bekas luka. Satu diantaranya
seperti bekas bacokan, memanjang dari kening, melewati mata kiri terus
ke pipi dan samping dagu kiri. Akibat cacat ini, mata kiri itu tampak
seperti menyembul, merah menakutkan. Dia tidak mengenakan pakaian
lain, kecuali sebuah topi tinggi berwarna hitam, bergaris kuning.
Panglima Sampono segera membaui adanya bahaya. Sekilas dia
teringat pada burung gagak yang tadi datang dan berputar-putar di atas
atap rumah sambil tiada hentinya berkuik. Haruskah kini dia
mempercayai bahwa pertanda yang diberikan oleh burung itu tadi kini
menjadi kenyataan? Meskipun hatinya agak terguncang melihat sosok
tubuh yang sangat mengerikan itu, namun dengan sikap tenang sang
Panglima tegak dari duduknya.
“Mahluk aneh entah manusia entah apa, katakan siapa kau
adanya. Mengapa subuh-subuh muncul di tempat kami?” bertanya
Panglima Sampono.
Orang yang ditanya tersenyum. Tapi senyum itu justru membuat
tampangnya jadi seburuk iblis.
“Aku manusia yang pernah mati, tapi kini hidup kembali...!” Si
mahluk menjawab dengan suara keras seperti penuh kebanggaan.
“Berarti kau setan! Setan gentayangan?!” ujar
Panglima Sampono.
“Ha... ha... ha! Kau boleh bilang begitu. Aku mungkin setan,
mungkin juga hantu atau iblis! Tetapi apa pun nama yang kau berikan
padaku aku tetap adalah Iblis Sesat Jalan Hidup!”
“Iblis Sesat Jalan Hidup...?” desis Panglima Sampono.
“Jangan meracau! Aku memang belum pernah bertemu dengan
manusia bergelar seperti itu. Tapi aku tahu pasti dia adalah seorang
nenek tua. Bukan lelaki bermuka iblis sepertimu!”
“Nenek yang kau maksudkan itu sudah mati setahun lalu. Aku
adalah pewaris kehidupannya. Karena itu layak memakai gelar Iblis
Sesat Jalan Hidup. Lihat... lihat baik-baik! Selendang yang kusandang
ini adalah miliknya. Pemberiannya. Juga kehidupanku dia pula yang
memberikan-Hanya sayang dia sudah mati! Hingga tidak dapat
menyaksikan bagaimana sebentar lagi aku akan membalas nyawa
dengan nyawa, membalas darah dengan darah, membalas dosa di atas
dosa
“Apa maksudmu? Siapa kau sesungguhnya?!” sentak Panglima
Sampono sementara sembilan muridnya berdiri tegak dalam dua
kelompok. Lima di sebelah kanan, ampat di samping kiri.
Mahluk bertubuh dan berwajah angker itu tertawa panjang.
“Matamu melihat tetapi buta. Otakmu jalan tetapi lupa. Apa kau
tidak mengenali lagi siapa aku. Apa kau lupa pada peristiwa setahun
silam di Bukit Toba?!’
Berubahlah paras Panglima Sampono. Jika orang yang datang ini
menyebut-nyebut Bukit Toba dan masa setahun yang lalu, jelas yang
dimaksudkannya adalah peristiwa besar menggemparkan ketika orangorang
rimba persilatan muncul di sana untuk membasmi Raja Rencong
Dari Utara berikut partainya yang hendak didirikan yaitu Partai Topan
Utara.
“Katakan apa sangkut pautmu dengan peristiwa setahun lalu itu?”
Orang di tengah mangan kembali tertawa. “Kau masih saja buta
dan lupa. Buka matamu besar-besar, pasang telingamu lebar-lebar.
Lihat dan dengar! Aku adalah Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari
Utara!”
“Hah?!” Panglima Sampono tentu saja tidak percaya.
Salah seorang muridnya berkata: “Mana mungkin! Raja Rencong
sudah mati di tangan para tokoh silat!”
“Budak lancang! Kau tahu apa tentang Raja Rencong!” menyentak
orang di tengah ruangan yang bukan lain memang adalah Raja Rencong
Dari Utara yang kini menyandang nama Iblis Sesat Jalan H,idup. “Raja
Rencong sudah lama mati! Tapi kini Hidup lagi dengan nama Iblis Sesat
Jalan Hidup! Hidup untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat
setahun silam. Kau!” Iblis Sesat Jalan Hidup menunjuk dengan tangan
ke kanannya tepat-tepat ke arah Panglima Sampono. “Kau korban
pembalasanku yang pertama! Kau harus mampus di tanganku saat ini
juga! Dan sembilan pemuda muridmu ini! Karena mereka juga ada di
sini dan ada sangkut paut dengan dirimu, mereka juga harus mati!”
Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba jentikkan lima jari tangan
kanannya. Lima larik sinar merah yang memancarkan panas luar biasa
berkiblat mengerikan.
“Ilmu kuku api!” seru Panglima Sampono. Sulit baginya untuk
percaya bahwa manusia iblis yang tegak dan menyerang itu adalah
benar-benar Raja Rencong yang telah mati setahun lalu. Tetapi ilmu
pukulan sakti tadi memang hanya Raja Renconglah yang memilikinya!
“Anak-anak, lekas menyingkir!” teriak Panglima Sampono lalu
jatuhkan diri ke lantai dan dari sini menghantam dengan tangan
kanannya, lepaskan serangan balasan yang disertai tenaga dalam
penuh!
Tapi yang diserang sudah berpindah tempat. Pukulan tangan
kosong yang dilepaskan Panglima Sampono menghantam atap
bangunan kayu hingga sebagian atap itu hancur berantakan. Belum
sempat sang Panglima bergerak bangkit lima larik sinar merah panas
kembali menderu dari samping. Panglima Sampono gulingkan diri
selamatkan diri. Tapi di belakangnya tiga orang muridnya terdengar
menjerit dan roboh dengan tubuh hangus tanpa nyawa. Pemudapemuda
lainnya cepat berlompatan ke halaman depan rumah kayu,
namun ketika sinar hitam kembali menyambar tak ampun lagi empat
orang roboh tergelimpang, putus nyawa! Hanya dua orang sempat
melarikan diri dan lenyap dalam kegelapan malam.
“Durjana biadab!” terdengar teriakan Panglima Sampono.
Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu kaki kanannya sudah meluncur
deras ke muka Iblis Sesat Jalan Hidup alias Raja Rencong. Yang
diserang mendengus, mundur selangkah sambil miringkan kepala.
Begitu tendangan lawan lewat dia susupkan satu jotosan ke lambung
sang Panglima. Sadar bahaya mengancam Panglima Sampono
selamatkan diri dengan berjungkir balik di udara sambil tahu-tahu
tangan kanannya mengemplang ke arah batok kepala Iblis Sesat Jalan
Hidup.
Buk!
Gebukan tangan kanan itu menghantam deras di kepala Iblis
Sesat Jalan Hidup, membuat tubuhnya terkapar ke lantai tapi cepat
bangkit kembali sambil tertawa mengekeh. Berdebarlah dada Panglima
Sampono. Kepala kerbau saja kalau terkena pukulannya tadi akan
hancur, tetapi bukan saja tidak terjadi apa-apa terhadap Kepala lawan,
malah manusia iblis itu tertawa mengekeh seperti mengejek.
“Mampuslah!” teriak Panglima.Sampono. Kembali serangannya
berkelebat. Kini berupa tendangan ke arah bawah perut lawan. Yang
diserang masih mengekeh. malah busungkan dada dan kangkangkan
kaki, menunggu datangnya tendangan.
Buk!
Tendangan kaki kanan Panglima Sampono benar-benar
menghantam selangkangan Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak dapat tidak
anggota rahasianya pasti hancur. Tubuhnya sendiri mencelat sampai
lima langkah. Tapi seperti tadi dia cepat bangkit berdiri dan lagi-lagi
sambil tertawa mengekeh.
“Yang kuhadapi ini bukan manusia. Benar-benar iblis agaknya!”
membatin Panglima Sampono. Rasa kawatir kini menyamaki dirinya.
Tapi untuk melarikan diri sangat berpantang baginya. Selagi dia masih
terkesiap melihat kehebatan lawan yang mengerikan itu, tiba-tiba Iblis
Sesat Jalan Hidup berteriak seperti srigala melolong. Serentak dengan
itu dia jentikkan lima jari tangan kanan. Sekali ini Panglima Sampono
terlambat bergerak untuk selamatkan diri. Dua larik sinar hitam
mengandung racun jahat sempat menyambar bahu dan pelipisnya. Jago
tua yang pernah menyandang nama harum di Pulau Andalas ini
terpuntir beberapa kali sebelum jatuh di lantai. Sesaat dia megapmegap,
meregang nyawa. Iblis Sesat Jalan Hidup melangkah mendekati
dan praak! Kaki kanannya menendang kepala Panglima Sampono!
PASIR PUTIH sebuah kampung makmur terletak di pinggiran danau
berair hijau kebiruan. Penduduknya rata-rata berpenghasilan dari
bercocok tanam di tanahnya yang subur atau mencari ikan di danau
yang sepanjang tahun seperti tak pernah habis-habis ikannya.
Pemandangan di sekeliling danau indah sekali, apalagi tepian danau ini
ditebari dengan pasir putih hingga kampung yang ada di situ akhirnya
diberi nama Pasir Putih.
Rindang-Maruhun, Kepala Kampung Pasir Putih, pagi hari Mu
tampak duduk di atas sebuah kursi goyang terbuat dari rotan di serambi
depan rumah besarnya. Sebatang rokok daun jagung yang menebarkan
asap harum tak lepas-lepas dari sela bibirnya. Memang orang tua
berusia lebih setengah abad ini pecandu rokok jagung nomor satu.
Seharian dia bisa menghabiskan sampai tiga puluh batang. Meskipun
tua. Rindang Maruhun memiliki badan kekar dan rambutnya belum ada
yang putih, kumisnya hitam melebat di bawah hidung. Sambil
bergoyang-goyang dengan mata setengah terpejam dia menyahuti salam
orang yang melintas di depan rumahnya. Dia memang Kepala Kampung
yang disenangi dan dihormati penduduk di situ.
Pagi tadi dia telah berkeliling kampung. Memang begitu
kebiasaannya. Memperhatikan orang-orang yang bekerja di ladang
mereka, bercakap-cakap dengan mereka lalu pergi ke ladangnya sendiri.
Setelah bekerja cukup lama di ladang itu dia pergi ke danau melihatlihat
penduduk yang mencari ikan. Tak jarang penduduk memberinya
ikan hasil tangkapan dalam jumlah cukup banyak. Tapi Rindang hanya
mengambil beberapa ekor. Itupun kalau dia memang kepingin makan
ikan. Kalau tidak maka pemberian itu selalu ditolaknya dengan halus.
Selagi duduk bergoyang-goyang seperti itu sambil tiada hentinya
menyedot dan menghembuskan asap rokok jagungnya yang harum,
tiba-tiba ada tiga orang penduduk lari memasuki halaman, langsung
menemuinya di serambi.
Rindang Maruhun buka kedua matanya yang setengah terpejam.
Tanpa mencabut rokok dari mulutnya dia bertanya: “Kalian muncul
seperti dikejar setan. Apa yang hendak kalian sampaikan padaku? Minta
rokok atau ingin kopi hangat?”
“Kepala Kampung, kami tidak minta rokok atau inginkan kopi
panas. Ada sesuatu yang hendak kami laporkan pada Bapak Kepala...”
menjawab penduduk yang bertopi hitam.
Kawan di sebelahnya langsung saja menyambung.
“Kami menemui dua orang pemuda tak dikenal. Tergeletak
pingsan di tepi kampung sebelah selatan. Keduanya agak
mencurigakan...”
“Hemm...Rindang Maruhun hentikan goyangan kursinya dengan
menekankan tumit kaki kanannya ke lantai. “Waspada adalah penting.
Tapi buru-buru curiga itu tidak baik. Kalian melihat dan menemui orang
pingsan. Mengapa tidak menolong dan membawa keduanya kemari...?”
“Jadi, kami boleh menolong dan membawanya kemari Bapak
Kepala?”
“Tentu saja. Cari seorang teman lagi agar kalian berempat bisa
lebih mudah menggotongnya kemari...” kata Rindang Maruhun pula.
Tiga orang penduduk kampung Pasir Putih itu segera
meninggalkan rumah Kepala Kampung. Sebelum pergi ke tempat
dimana mereka menemui dua pemuda tergeletak pingsan, lebih dulu
ketiganya mencari seorang kawan lagi untuk membantu. Ternyata yang
ingin ikut lebih dari enam orang.
Tak selang beerapa lama mereka kembali ke rumah Kepala
Kampung dengan menggotong dua orang pemuda. Keduanya ternyata
memang dalam keadaan pingsan dan dibaringkan di lantai serambi.
Rindang Maruhun segera memeriksa keadaan kedua pemuda tak
dikenal itu. Tak ada tanda-tanda bekas penganiayaan. Baju dua pemuda
itu basah. Mungkin basah oleh embun, mungkin juga telah berpadu
dengan keringat. Sepasang kaki mereka tampak pecah-pecah, penuh
debu dan bekas-bekas tanah becek. Di beberapa bagian pakaian
keduanya kelihatan robek seperti terkait.
Rindang Maruhun mengangguk-angguk. “Tak ada satupun di
antara kalian yang mengenali mereka?”
Penduduk Kampung yang berkerubung di tempat itu sama
menidakkan.
“Berarti dia memang bukan penduduk sekitar sini. Dua pemuda
ini datang dari jauh. Wajah mereka pucat. Mungkin karena tergeletak
lama dalam udara dingin malam tadi. Mungkin juga disebabkan oleh
sesuatu yang menakutkan. Mungkin mereka dikejar Begu Ganjang...?”
(Begu Ganjang = Hantu Panjang, yang dipercayai oleh orang-orang
Tapanuli sebagai penimbul malapetaka yang mengerikan).
Mendengar disebutnya Begu Ganjang penduduk yang ada di situ
tampak gelisah. Beberapa di antaranya segera meninggalkan rumah
Kepala Kampung karena takut kalau-kalau Begu Ganjang itu benarbenar
muncul!
“Apa yang harus kita lakukan Bapak Kepala?” tanya seorang
penduduk yaitu yang tadi ikut menggotong dua pemuda itu.
“Melihat denyutan urat nadi di leher keduanya, tak lama lagi
mereka akan segera siuman. Kalau mereka sudah sadar, kita bisa
menanyai,” jawab Rindang Maruhun.
Betul saja, tak selang berapa lama kedua pemuda itu siuman dari
pingsan masing-masing. Begitu sadar tentu saja mereka terheran-heran
mendapatkan diri berada di tempat itu, dikelilingi banyak orang.
“Anak muda. Kami penduduk Kampung Pasir Putih menemui
kalian di pinggiran kampung sebelah selatan. Dalam keadaan pingsan.
Siapa kalian dan apa yang terjadi dengan kalian...?” bertanya Rindang
Maruhun.
“Ah, kalian rupanya telah menolong kami. Terima kasih. Terima
kasih... dua pemuda itu membungkuk berulang kali.
“Eh, orang-orang di sini tidak butuh ucapan terima kasih itu.
Kami ingin tahu kalian berdua ini siapa dan mengapa kami temui dalam
keadaan pingsan?!” menegur sang Kepala Kampung.
Salah seorang pemuda itu lalu menjawab.
“Kami murid pengajian Panglima Sampono di Gunung Sinabung.
Menjelang subuh ketika kami asyik mengaji menunggu saat
sembahyang tiba-tiba mendadak muncul seorang manusia dalam sosok
tubuh dan wajah yang mengerikan. Dia mengaku bernama Iblis Sesat
Jalan Hidup. Dia datang untuk membunuh Panglima Sampono dan
kami murid-murid yang berjumlah sembilan orang. Tujuh murid
sepengajian kami saksikan menemui kematian. Panglima sendiri kami
yakin pasti telah pula dibunuh oleh mahluk itu...”
Mendengar keterangan itu maka gemparlah semua orang yang ada
di rumah Kepala Kampung Pasir Putih, termasuk Rindang Maruhun
sendiri. Bedanya orang tua ini bisa bersikap lebih tenang. Dia berusaha
mendapatkan keterangan lebih jelas, lalu merenung sambil pejamkan
mata. Sesaat kemudian Kepala Kampung ini buka kedua matanya dan
berkata:
“Aku pernah mendengar nama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Namun
apakah mahluk itu benar-benar ada sulit dipercaya. Dia gentayangan
melakukan segala kejahatan seperti dalam dongeng-dongeng yang
menakutkan. Sulit dipercaya...”
Baru saja Rindang Maruhun mengucapkan kata-kata itu tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengekeh disusul oleh bentakan: “Dua anak
murid Panglima Sampono! Kalian berhasil melarikan diri! Tapi nyawa
kalian batasnya cuma sampai di sini!”
Sesosok tubuh menebar bau busuk berkelebat di udara. Dua
pemuda murid pengajian Panglima Sampono yang duduk di lantai
serambi rumah Kepala Kampung Pasir Putih itu mencelat ke dinding
rumah, terhempas di lantai. Mengerang sesaat lalu tak berkutik lagi.
Darah mengucur dari mulut mereka.
Di tengah serambi tegak sesosok tubuh berbau busuk,
mengerikan dan wajah seseram iblis. Tangan kiri buntung, tangan
kanan berkacak pinggang. Orang banyak berlarian lintang-pukang
sedang Rindang Maruhun tertegun sambil melangkah mundur dan
akhirnya terduduk di kursi goyangnya. Setan atau hantukah yang tegak
di hadapannya saat itu? Mahluk seram itu tiba-tiba menunjuk tepattepat
ke arah sang Kepala Kampung.
“Kau yang tadi berkata Iblis Sesat Jalan Hidup sulit dipercaya
keberadaannya, apakah kau yang bernama Rindang Maruhun, Kepala
Kampung Pasir Putih?!”
“Aku... aku...!”
Braak!
Mahluk seram bertopi tinggi hitam dan menyandang selendang
berbunga emas itu menendang kursi goyang yang diduduki Rindang
Maruhun hingga hancur berarit akan. Kepala Kampung itu sendiri
terguling beberapa kali, tapi selamat dan cepat berdiri.
“Kau yang bernama Rindang Maruhun?! Lekas jawab! Umurmu
tak lama lagi...!”
“Kau... kau hendak membunuhku?! Apa salahku ...”
Sekali lompat mahluk itu sudah menjambak rambut sang Kepala
Kampung. “Dengar... Akulah Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku datang kemari
untuk mencari seseorang. Mana anak gadismu yang bernama
Pandansuri itu!”
Rindang Maruhun terbelalak mendengar orang menyebut nama
anak gadisnya. Dia berusaha berontak. Tapi sulit melepaskan jambakan
di kepalanya. Takut dan sekaligus sakit membuat Rindang Karuhun
nekad. Sebagai Kepala Kampung dia memang memiliki ilmu pukulan.
Namun hanya dari tingkatan rendah yang mengandalkan tenaga luar
dan kecepatan gerakan. Dengan tangan kanannya dia menghantam ke
arah hulu hati mahluk seram itu. Iblis Sesat JalanHidup mengekeh.
Tangan kanannya yang menjambak ditebaskan ke bawah. Kraak!
Rindang Maruhun menjerit. Lengan kanannya patah. Tubuhnya
kemudian dibantingkan ke lantai. Kepala Kampung itu terpuruk
kesakitan di sudut serambi. Kemudian dia merasakan injakan kaki di
keningnya.
“Mana anak gadismu? Lekas jawab!”
“Di... dia tak ada di sini. Pergi dua... dua hari lalu...”
“Bangsat! Kau berani dusta?!”
“Aku tidak dusta! Dia benar-benar tak ada di sini. Siapa kau?
Mengapa mencari anakku?”
“Siapa aku sudah kukatakan. Mengapa aku mencari gadis itu
karena ada sesuatu yang harus diselesaikan. Nyawa dibayar nyawa.
Darah dibayar dengan nyawa. Dosa di atas dosa! Dia mengkhianatiku
dan melarikan diri dari Bukit Toba setahun lalu. Lekas katakan ke mana
gadis itu pergi...!” “Aku tidak tahu...” “Kau pasti tahu! Dia anakmu!”
“Aku benar-benar tidak tahu...”
“Kalau begitu biarlah kau mampus dalam tidak tahu!”
Iblis Sesat Jalan Hidup tutup kata-katanya dengan menekankan
tumitnya ke kening Rindang Maruhun. Kepala Kampung yang malang
ini menggeliat-geliat dan melejang-lejangkan kaki. Ketika nyawanya
putus, tubuhnya pun tak bergerak lagi.
PANDANSURI duduk termenung di depan telaga. Kedua kakinya sampai
sebatas betis dimasukkan ke dalam air telaga yang jernih dan sejuk.
Saat itu hari masih pagi. Kicau burung masih terdengar di sana-sini. Di
atas langkan sebuah rumah bambu yang menjorok ke telaga, duduk
sosok tubuh berjubah biru dari seorang tua bermuka aneh dan seram.
Wajahnya berwarna biru, hampir segelap biru jubah yang dikenakan.
Kedua matanya hanya merupakan rongga berlobang sedang salah satu
telinganya sumplung.
Sesaat orang tua ini tengadahkan wajahnya ke atap langkan
seperti hendak menembus atap bambu itu dengan pandangan dua
matanya yang bolong kosong. Kemudian dia berpaling ke arah kiri
telaga, dimana Pandansuri duduk. Dulu gadis ini selalu mengenakan
kerudung muka dan pakaian serba ungu. Namun sejak peristiwa di
Bukit Toba dulu, sejak Pendekar 212 Wiro Sableng menyibakkan
kerudung yang selalu melindungi wajahnya, sejak itu pula dia tak
pernah lagi mengenakan kerudung muka ataupun pakaian berwarna
ungu. Kini dia selalu berpakaian serba putih, termasuk ikat kepala
untuk mengikat rambutnya yang panjang hitam.
“Masih sepagi ini kau sudah duduk melamun? Bukankah lebih
baik melatih jurus-jurus baru yang kuajarkan padamu? Atau melatih
ilmu pukulan sakti Surya Biru yang kurasa masih belum mantap kau
miliki? Berapa lama kau bersamaku Pandan? Satu tahun! Ah, itu jauh
dari cukup untuk mendalami ilmu pukulan sakti itu... “
Suara halus seperti suara perempuan itu datang dari langkan
rumah bambu dan ternyata adalah suara orang tua bermata bolong.
Pandansuri mengeluarkan kedua kakinya dari dalam air telaga.
Memang sudah setahun dia pulang balik meninggalkan kampungnya
Pasir Putih untuk menuntut ilmu kepandaian dari orang tua bernama
Nyanyuk Amber itu. Seperti dituturkan sebelumnya baik sang dara
maupun si kakek sama-sama diselamatkan oleh murid Eyang Sinto
Gandeng sewaktu terjadi malapetaka di Bukit Toba, yakni ketika
didirikannya Partai Topan Utara oleh Raja Rencong alias Hang Kumbara.
Atas petunjuk Wiro, Nyanyuk Amber kemudian memilih tinggal di telaga
yang sunyi tenang itu sedang Pandansuri kemudian diambil oleh si
kakek menjadi muridnya. Sebenarnya Nyanyuk Amber ingin pula
mewariskan pukulan satu “Surya Biru” pada pendekar 212 Wiro
Sableng, namun pendekar itu yang tidak mau dianggap mencari pamrih
menolak secara halus.
Seperti diketahui kedua tangan dan kaki Nyanyuk Amber telah
dibuat buntung oleh Raja Rencong karena pendekar sesat ini kawatir
sang guru akan menjatuhkan tangan keras dan hukuman kepadanya.
Karena itulah, selama Pandansuri berguru pada orang tua ini, sang dara
telah berusaha membuat sepasang kaki-kakian dari kayu dan rotan.
Dengan bantuan kaki palsu ini akhirnya Nyanyuk Amber mampu
berdiri, bahkan berjalan. Kini Pandansuri tengah merencanakan
membuat sepasang tangan palsu hingga kelak sang guru bisa hidup
secara lebih baik. Apa yang telah diperbuat gadis itu membuat Nyanyuk
Amber sangat sayang padanya hingga dia bertekad mewariskan seluruh
ilmu kepandaiannya pada Pandansuri. Karena sebelumnya sang dara
sudah memiliki ilmu silat dan ilmu sakti yang ampuh, maka dalam
waktu satu tahun pandansuri telah menguasai banyak ilmu kepandaian
yang diberikan gurunya. Terkadang Nyanyuk Amber menggoda.
Bahwa kelak jika sang dara sudah berhasil penuh menguasai ilmu
pukulan sakti “Surya Biru” maka perlahan-lahan wajahnya akan
berubah menjadi biru seperti wajah sang guru!
Tentu saja hal ini tidak sesungguhnya karena wajah biru si kakek
memang sudah begitu sejak dia dilahirkan!
Sebenarnya ada tiga hal yang membuat sepagi itu Pandansuri
duduk termenung di tepian telaga. Pertama kenangannya yang tak bisa
pupus terhadap pemuda gagah tapi suka menggoda dan berkepandaian
tinggi itu yakni bukan lain Wiro Sableng si gondrong yang selalu
dicapnya sebagai “pemuda konyol”! Tapi justru sejak pertama kali
bertemu dia tak bisa menipu perasaannya bahwa dia menyukai pemuda
itu dan tak dapat melupakannya. Setahun telah berlalu, sejak itu pula
dia tak pernah bertemu dengan pemuda itu. Padahal Wiro didengarnya
pernah berjanji pada Nyanyuk Amber akan datang menyambangi orang
tua itu. Tapi sampai hari itu dia tak pernah muncul.
Hal kedua yang menyamaki pikiran sang dara ialah apa yang
didengarnya terjadi di luaran sejak dua bulan terakhir ini. Beberapa
tokoh silat di pantai utara dan timur menemui kematian di tangan
seorang pembunuh yang dikatakan sebagai hantu mengerikan.
Beberapa perkumpulan persilatan dihancurkannya pula. Padahal semua
yang jadi korbannya adalah mereka yang tidak ada sangkut paut atau
silang sengketa. Apakah rupanya dunia persilatan ini tak pernah lepas
dari kehadiran manusia-manusia biadab dan terkutuk seperti itu?
Iblis Sesat Jalan Hidup! Begitu nama si pembunuh yang sampai
ke telinga Pandansuri. Ada dua hal yang membuat dia tidak enak dan
merasa heran. Yaitu si pembunuh kabarnya memiliki ilmu kebal hingga
tak mempan senjata, tak mempan pukulan sakti apapun. Kemudian —
ini yang membuat Pandansur risau— kabarnya pembunuh itu memiliki
ilmu kesaktian berupa jentikan jari-jari tangan yang mengeluarkan sinar
hitam panas menghanguskan. Setahu dia ilmu pukulan seperti itu
adalah “ilmu kuku api” yaitu seperti yang dipelajarinya dari Raja
Rencong, ayah angkatnya yang mati sesat itu. Di dunia persilatan hanya
ada dua orang yang memiliki ilmu kuku api itu yakni Raja Rencong dan
dirinya sendiri. Kini Raja Rencong sudah tiada, berarti hanya dia sendiri
yang menguasai ilmu itu. Tapi mengapa tahu-tahu kini muncul seorang
lain dengan nama mengerikan dan memiliki ilmu yang sama?
Hal ketiga yang menjadi pemikiran Pandansuri sepagi itu ialah
mimpinya tadi malam. Dia melihat ayah dan ibunya mengenakan
pakaian serba putih. Sang ayah yakni Rindang Maruhun Kepala
Kampung Pasir Putih mengenakan sorban putih lalu sang ibu memakai
selendang putih. Dalam mimpi kedua orang tuanya itu menaiki sebuah
kendaraan berbentuk aneh yang dapat meluncur di atas air danau di
pinggir kampung, lalu sambil melambai-lambaikan tangan mereka
terbang di atas danau, makin lama makin tinggi, makin jauh dan
akhirnya lenyap di balik awan.
Pandansuri tak dapat menerka apa arti atau mimpinya itu. Sebab
itulah sejak pagi dia sudah duduk di tepi telaga, merenung berpikirpikir.
Ketika Nyanyuk Amber menegurnya gadis itu segera berdiri dan
pergi mendapatkan sang guru. Setelah diam sesaat maka diapun
mengutarakan dua dari tiga hal yang menjadi pikirannya itu. Hanya soal
pada mengenang Wiro Sableng yang tidak dikatakannya pada sang guru.
Nyanyuk Amber menghela napas dalam, mendongak ke atas lalu
memalingkan wajahnya ke arah telaga sementara burung-burung masih
terdengar berkicauan di pepohonan sekitar situ.
“Iblis Sesat Jalan Hidup...” desis si orang tua bermuka biru. “Satu
nama bejat yang pernah kudengar sejak enam puluh tahun lalu. Nama
itu seperti sebuah legenda. Dikatakan orangnya ada, tak pernah aku
menemuinya. Dikatakan tidak ada tapi malapetaka yang ditimbulkannya
terjadi di mana-mana. Bertahun-tahun nama itu lenyap seperti ditelan
bumi. Tahu-tahu kini muncul kembali. Sebelum kau mengatakannya
padaku Pandan, ada seorang sahabat menyambangiku seminggu lalu.
Diapun menceritakan hal yang sama. Juga mengutarakan kekawatiran
yang sama.
“Siapa sebenarnya manusia itu guru? Jika dia memang seorang
manusia, bukan setan atau iblis?” bertanya Pandansuri.
“Sulit diduga. Dia muncul seperti ibiis. Lalu lenyap seperti setan.
Kematian dan darah ditinggalkannya di mana-mana. Seperti tak ada
yang sanggup menandinginya. Hanya yang mengherankan, jika nama
itu sudah muncul enam puluh tahun lalu, bagaimana masih terus ada
sampai saat ini? Seperti orangnya tak pernah mati-mati...” Orang tua ini
termenung sejurus. “Aku mendapat firasat, kemunculan manusia itu
kali ini seperti mencari sesuatu ...”
“Apakah dia demikian hebatnya hingga tak ada yang bisa
mengalahkannya?” bertanya lagi Pandansuri,
“Di dunia ini sesungguhnya tak ada manusia yang hebat atau luar
biasa muridku. Apalagi jika berhadapan dengan kekuatan dan
kekuasaan Tuhan. Segala sesuatunya hanya menunggu waktu saja.
Kalau aku tak salah ingat pernah seorang kawan mengatakan bahwa
manusia berjuluk Iblis Sesat Jalan Hidup itu konon mempunyai satu
pantangan. Pantangan inilah yang dapat mengalahkannya. Bahkan
menamatkan riwayatnya. Hanya sayang, sebelum sang kawan sempat
menerangkan rahasia kelemahan Iblis itu, dia mati terbunuh. Kurasa,
besar sekali kemungkinan Iblis Sesat Jalan Hiduplah yang telah
membunuhnya!”
“Tidakkah kita bisa melakukan sesuatu untuk mencegah manusia
terkutuk itu berbuat malapetaka lebih jauh...?”
“Aku senang mendengar pertanyaanmu itu Pandansuri. Hanya
saja apakah yang bisa kita lakukan? Mencarinya? Dicari ke mana?”
“Bagaimanapun kita harus berbuat sesuatu, guru ...”
“Betul muridku. Aku akan memikirkan hal itu mulai sekarang.”
“Lalu bagaimana dengan mimpi saya yang tadi saya ceritakan itu,
guru?”
“Mimpi adalah bunga tidur, Pandan. Mengingat Pasir Putih hanya
setengah hari perjalanan dari sini, ada baiknya kau pulang dulu.
Mungkin ayah atau ibumu kangen padamu... “
“Tak mungkin mereka kangen. Bukankah saya baru dua hari di
sini? Dulu-dulu sampai berminggu-minggu...”
Nyanyuk Amber tersenyum mendengar kata-kata muridnya itu
lalu menjawab. “Rindunya orang tua yang menandakan rasa sayang
sukar diukur. Kelak kalau kau nanti sudah berumah tangga dan punya
anak, kau akan merasakan seperti itu...”
Mendengar ucapan gurunya kembali terbayang wajah Pendekar
212 Wiro Sableng di pelupuk mata Pandansuri.
“Kau boleh memakai kudaku, biar cepat sampai di rumah...”
Terdengar ucapan Nyanyuk Amber.
“Terima kasih guru. Bolehkah saya pergi sekarang juga?”
’Tentu saja, pergilah. Tapi lekas kembali kemari. Aku punya firasat
ada orang jauh yang akan berkunjung ke tempat kita ini... “
“Siapakah guru?”
“Tak dapat kupastikan. Tapi mungkin dia seorang yang selama ini
selalu kau ingat-ingat... “
Wajah Pandansuri menjadi kemerahan. Hampir terlompat
mulutnya hendak menyebut nama Wiro Sableng. Tapi cepat-cepat dia
menutup mulut dengan jari-jari tangan.
Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. “Pergilah Pandan. Hati-hati di
jalan.”
MENJELANG sampai ke Pasir Putih, di kejauhan Pandansuri mendengar
suara beduk dan tong tong dipukul tiada henti. Sesaat gadis ini tercekat.
Suara beduk dan tongtong seperti itu hanya terdengar jika terjadi
bahaya atau ada penduduk yang meninggal. Bahaya apa yang menimpa
kampungnya? Atau siapa yang meninggal dunia? Pandansuri
menyentakkan tali kekang kuda dan memacu binatang itu secepat yang
bisa dilakukannya. Ketika dia sampai di halaman rumah, belum lagi
kuda berhenti, gadis ini sudah melompat turun. Halaman rumah yang
luas dipenuhi oleh penduduk. Rumah besar dipadati orang. Dari sebelah
dalam terdengar suara isak tangis. Pandansuri lari masuk ke dalam, tak
perduii lagi ada yang tersepak. Sampai di ruangan tengah gerakannya
tertahan. Kedua lututnya seperti goyah. Dua jenazah yang telah tertutup
kain kafan terbaring di atas kasur tinggi yang penuh dengan taburan
bunga.
“Ayah...! Ibu!” raung Pandansuri. Gadis ini seolah-olah sudah tahu
betul siapa-siapa jenazah yang terbujur di ruangan itu. Beberapa orang
tua segera memeganginya ketika Pandansuri menjatuhkan diri dan
merangkuli kedua jenazah.
“Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi dengan ayah dan ibu?!” Jerit
Pandansuri.
“Tenang Pandan... Tenang anakku. Ini cobaan besar bagi kita
semua. Tabahkan hatimu. Iman anakku, imanlah...” yang berkata
adalah seorang lelaki tua berkumis putih, kakak tertua ayah
Pandansuri.
Kalau tidak dicegah orang banyak Pandansuri seperti gila hendak
merobek kain kafan untuk melihat wajah ayah dan ibunya. Dengan
susah payah gadis ini dibawa ke sebuah kamar. Di situ diceritakan
padanya apa yang terjadi pagi kemarin.
“Beberapa pembantu ayahmu ikut terbunuh. Mereka sudah
dikuburkan kemarin...” menjelaskan orang tua berkumis putih. “Kami
tidak tahu harus mencarimu ke mana. Untung kau datang saat ini
Pandan. Kalau tidak terpaksa jenazah keduanya kami makamkan
karena tak mungkin menunggu lebih lama...”
Pandansuri duduk terhenyak di sudut kamar, bersimbah air mata
dan keringat. Inilah rupanya makna mimpinya malam tadi. Dan tidak
terduga manusia jahat yang selama imi gentayangan menyebar darah
dan nyawa, yang bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu yang menghabisi
kedua orang tuanya. Setahunya ayahnya tak pernah mempunyai
musuh. Kenapa dia dibunuh mengenaskan begitu rupa? Juga ibunya
yang tak berdosa. Lalu beberapa pembantu ayahnya?!
Gadis itu bangkit berdiri. Sikapnya agak tenang sekarang.
Matanya yang tadi basah oleh air mata kini tampak bersinar kemerahan.
Dia melangkah ke pintu.
“Kau mau ke mana anakku?” tanya kakak ayah si gadis.
“Aku akan mencari bangsat bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu.
Dia harus matai di tanganku!”
“Jangan bertindak kesusu. Tidakkah kau ingin menyaksikan
pemakaman ayah ibumu lebih dulu.?”
Mendengar kata-kata itu Pandansuri segera sadar. Dia tak bisa
pergi begitu saja bagaimana pun hebatnya dendam kesumat membakar
dadanya.
***
LAMA setelah muridnya pergi, Nyanyuk Amber masih duduk di
langkan rumah bambunya yang menjorok ke telaga. Lapat-lapat
diantara siuran angin dan gemericik air telaga yang terkena kibasan
ikan-ikan kecil, orang tua ini mendengar suara seseorang datang.
Bersamaan dengan itu hidungnya yang tajam mencium bau busuk tidak
enak. Nyanyuk Amber memutar kepalanya. Hatinya tiba-tiba saja
menjadi gelisah. Orang yang datang ini agaknya bukan tamu yang
ditunggu-tunggunya. Dia duduk tak bergerak, menanti dengan waspada.
Sesiur angin berhembus. Sesosok tubuh berkelebat naik ke atas
langkan bambu itu. Tak ada sedikit gerakan pun terasa pada lantai
bambu yang tak seberapa kokoh itu. Ini satu pertanda bagi si orang tua
bahwa orang yang datang memiliki gerakan sebat dan keringanan tubuh
yang luar biasa. Bau busuk bertambah santar.
’Tamu dari mana yang datang kemari... T’ menyapa Nyanyuk
Amber.
Sesaat tak ada jawaban. Lalu terdengar suara sember tapi garang.
“Jadi di sini kau bercokol tua bangka buruk! Jangan harap kau
bisa lari lebih jauh! Sekalipun kini kulihat kau memiliki sepasang
tangan dan kaki palsu yang membuatmu jauh jadi lebih jelek! Ha... ha...
ha...!”
Nyanyuk Amber kerenyitkan kening. Sikapnya tetap tenang. Dia
coba mengingat-ingat suara itu. Tapi tetap saja dia tidak mengenali
siapa adanya yang bicara.
“Tamu yang datang. Terangkan siapa kau adanya dan ada
keperluan apa kau muncul di gubukku?!”
Sang tamu kembali tertawa. “Aku akan jawab pertanyaanmu yang
kedua lebih dulu. Aku datang kemari untuk mencabut nyawamu! Kau
dengar itu!”
“Hemmm... Tubuhmu memancarkan bau busuk. Pasti kau bukan
Malaikat Jibril si pencabut nyawa. Tapi mengapa merasa punya hak
hendak membunuhku?!”
“Hak? Tua bangka buta! Aku adalah raja diraja di dunia ini. Setiap
hak apa pun yang kau sebutkan aku mempunyainya. Termasuk hak
untuk menghabisi riwayatmu! Hutang nyawa dibayar nyawa. Darah
dibayar darah. Dosa di atas dosa
“Jelas kau ngacok. Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama
tadi. Siapa dirimu!”
“Aku adalah bekas muridmu! Dulu aku bernama Hang Kumbara.
Bergelar Raja Rencong Dari Utara, Pemimpin Partai Topan Utara yang
hancur pada hari peresmiannya. Kau ikut ambil bagian dalam
menggagalkan berdirinya Partai itu. Kini dunia persilatan mengenalku
dengan nama baru. Iblis Sesat Jalan Hidup! Yang tak akan pernah mati
oleh kekuatan apa pun di dunia ini! Kau dengar itu tua bangka
keparat?!”
Tentu saja Nyanyuk Amber terkejut mendengar kata-kata orang
yang ada di hadapannya itu. Hang Kumbara! Raja Rencong Dari Utara!
Bukankah manusia durjana itu sudah menemui kematiannya lebih dari
satu tahun silam? Bagaimana kini dia bisa hidup lagi? Dan benarkah
dia yang kini tegak di hadapannya? Sungguh satu kenyataan yang sulit
dapat dipercaya.
Selagi Nyanyuk Amber terkesiap begitu rupa, Iblis Sesat Jalan
Hidup tiba-tiba merasakan tengkuknya dingin dan lutunya bergetar.
Kedua matanya menatap tajam pada pakaian dan wajah si orang tua.
Jubah dan muka orang tua itu berwarna biru. Warna pantangan yang
harus dijauhinya. Sekati salah satu bagian tubuhnya tersentuh pakaian
atau muka itu tamatlah riwayatnya. Berarti dia harus menjaga jarak dan
membunuh cepat-cepat orang tua ini!
“Nyanyuk Amber! Waktumu sudah sampai! Bersiaplah untuk
mampus!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Lalu dia jentikkan lima jari
tangan kanannya. Lima larik sinar hitam mengandung hawa luar biasa
panasnya berkiblat.
Nyanyuk Amber terkejut.
“Ilmu Kuku Api!” serunya ketika mengenali deru dan hawa ilju
pukulan maut itu. Tubuhnya yang duduk serta-merta melayang ke
samping. Meskipun kini hanya memiliki sepasang kaki kayu, namun
gerakannya tampak sebat. Begitu berdiri dia segera hantamkan tangan
kanannya. Angin deras menerpa ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup tapi
dengan mudah dielakkan.
“Murid murtad! Siapapun kau adanya! Jika kau benar Iblis Sesat
Jalan Hidup maka aku akan membasmimu hari ini!” teriak Nyanyuk
Amber.
Iblis Sesat Jalan Hidup tertawa mengejek.
Kraak! Dia patahkan salah satu tiang bambu penyanggah atap
langkan. Lalu dengan bersenjatakan potongan bambu yang cukup
panjang ini dia menyerang Nyanyuk Amber dengan ganas. Sejak Guli
Rampai — si Iblis Sesat Jalan Hidup perempuan tua itu— mengisi
tubuhnya dengan kekuatan aneh, kehebatan yang dimiliki Raja Rencong
alias Hang Kumbara memang luar biasa. Dalam waktu singkat, Nyanyuk
Amber yang penuh pengalaman dalam dunia persilatan itu terdesak
hebat. Salah satu dari kaki kayunya hancur dihantam potongan bambu.
Menyusul tangan kayu sebelah kanan. Orang tua ini menjadi kerepotan
dan bertahan mati-matian sambil bersiap-siap menyalurkan tenaga
dalam untuk melepaskan pukulan “Surya Biru”. Namup meskipun dia
sanggup mewariskan ilmu sakti itu pada Pandansuri, untuk
mempergunakannya sendiri dia mengalami kesulitan karena keadaan
kedua tangannya yang cacat.
Kraak!
Kaki kayu kedua hancur dihantam ujung bambu. Nyanyuk Amber
terbanting ke lantai langkan. Menyadari bahaya, orang tua ini cepat
gulingkan diri, tepat ketika Iblis Sesat Jalan Hidup lepaskan lagi
pukulan sakti ilmu kuku api! Lantai langkan hancur berentakan,
terbakar di beberapa bagian. Dalam waktu singkat api berkobar ganas.
Nyanyuk Amber bergulingan di tanah di tepi telaga. Ketika dia
kemudian terduduk di tanah jubah birunya kelihatan menggembung. Ini
satu pertanda dia tengah menghimpun seluruh tenaga dalam yang ada
dan siap melakukan sesuatu yang hebat. Sebagai bekas muridnya, Iblis
Sesat Jalan Hidup alias Hang Kumbara tahu ilmu apa yang hendak
dilancarkan oleh sang guru. Yakni hawa panas yang menebar asap
beracun berwarna kuning.
Tanpa rasa takut karena percaya akan kekebalan dirinya, Iblis
Sesat Jalan Hidup malah melangkah mendekati, tapi sejarak yang
cukup aman agar jubah biru si kakek tidak menyentuhnya.
“Kau hendak mengeluarkan ilmu racun kayangan? Ha... ha... ha.
Keluarkanlah! Ilmu butut itu stepa yang takut!”
Meskipun hatinya jadi panas namun diam-diam Nyanyuk Amber
merasa terkejut. Bagaimana musuh keparat itu berani menantang
seperti itu. Padahal selama ini tak satu orang pun sanggup
menyelamatkan diri dari kepungan asap mautnya.
Nyanyuk Amber menggembos. Jubah birunya yang tadi
menggembung tiba-tiba menjadi kempes. Bersamaan dengan itu dari
bagian bawah jubah melesat keluar asap kuning pekat, membuntal
dahsyat dan langsung menerpa deras ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang diserang tetap tegak tak bergerak dan masih terus
mengumbar tawa mengejek. Ternyata asap beracun ganas itu sama
sekali tidak mempan merusak kulit apa lagi membunuhnya!
Selagi Nyanyuk Amber terkesiap akan ini, didahului bentakan
garang Iblis Sesat Jalan Hidup melompat ke depan dan tusukkan ujung
bambu di tangan kanannya. Dia tak berani menusuk ke tubuh atau
muka Nyanyuk Amber. Karenanya yang menjadi sasarannya adalah
leher orang tua itu!
Dalam keadaan tercekat melihat ilmu racun kayangan tak
sanggup menghabisi lawannya, Nyanyuk Amber bertindak agak
terlambat ketika tusukan bambu menderu ke arah tenggorokannya.
Meskipun dia semapat mengelak, tetap saja ujung bambu menyerempet
lehernya, menimbulkan luka cukup parah. Darah mengucur. Dalam
keadaan seperti itu Iblis Sesat Jalan Hidup kemudian susul dengan
serangan ilmu kuku api. Tak adaa kesempatan lagi bagi orang tua yang
malang itu untuk selamatkan diri!
SAHABATKU tua bangka ompong! Siapa yang berani mencelakaimu?!”
Mendadak satu seruan keras terdengar. Bersamaan dengan itu berkiblat
sinar putih menyilaukan mata. Hawa panas luar biasa menebar, iblis
Sesat Jalan Hidup terpental enam langkah. Sesaat tubuhnya tergontaigontai,
tapi dia tidak mengalami cidera apa-apa. Sebaliknya bangunan
bambu di belakangnya, yang sepertiganya telah dimakan api, hancur
lebur berantakan kena sambaran sinar putih perak tadi.
Tiga orang sama-sama terheran-heran. Pertama tentu saja si Iblis
Sesat Jalan Hidup. Selain heran juga terkejut mendapat serangan yang
tiba-tiba. Meskipun tubuhnya cidera tetapi sinar putih panas
menyilaukan tadi sanggup membuatnya terpental. Yang kedua adalah
Nyanyuk Amber. Orang tua ini heran tak menyangka kalau ketika ajal
sudah di depan mata ternyata masih ada uluran tangan Tuhan yang
menyelamatkannya. Dan orang yang ketiga adalah dia yang barusan
berkelebat muncul di tempat itu, yakni bukan lain Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Selama malang
melintang dalam dunia persilatan, jika tidak menghadapi lawan
tangguh, tak akan dia melepaskan pukulan “sinar matahari!” Dan jika
sekali pukulan itu dilepaskan, maka korban akan jatuh tergelimpang.
Tapi adalah luar biasa bahwa sosok tubuh penuh cacat dengan wajah
seangker iblis itu tidak cidera seujung rambut pun. Padahal jelas
pukulan sinar matahari tadi tepat menghantam tubuhnya hingga
terpental. Bahkan selendang hitam berbunga kuning emas di bahunya
tidak bergeming sedikit pun!
“Keparat! Kau rupanya!” bentak Iblis Sesat Jalan Hidup.
“Heh, setan alas ini mengenaliku. Siapa dia sebenarnya,”
membatin Wiro. “Kau muncul sendiri di sini hingga tak susah-susah aku
mencarimu! Hutang nyawa bayar nyawa. Darah dibayar darah! Dosa di
atas dosa!” tentu saja dia tidak mengenali siapa sebenarnya manusia di
hadapannya itu.
“Bagus! Kau sudah muncul tanpa dicari! Berarti tak perlu
membuang-buang waktu! Kalian berdus memang layak mampus
berbarengan di tempat ini!”
“Kalau bukannya setan kau tentu iblis jejadian!” ujar Wiro
menyahut ucapan Iblis Sesat Jalan Hidup.
Nyanyuk Amber diam-diam merasa bersyukur atas munculnya
Wiro yang memang sudah lama ditunggu-tunggunya. Namun dia merasa
perlu memberi tahu. Maka dengan mempergunakan ilmu mengiangkan
suara, dia berkata pada Pendekar 212. “Wiro, hati-hati! Mahluk yang
dihadapanmu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup. Ilmunya tinggi dan dia
kebal terhadap segala macam pukulan maupun senjata! Dia tidak bisa
dibikin mati!”
Karena sebelumnya tidak pernah mendengar tentang mahluk
bernama Iblis Sesat Jalan Hidup ini maka Wiro tentu saja tidak dapat
mempercayai kata-kata orang tua itu. Mana ada mahluk hidup yang
tidak dapat mati?
Mengetahui bagaimana jalan pikiran wiro maka Nyanyuk Amber
kembali kirimkan suaranya ke si pendekar: “Iblis itu adalah penjelmaan
Raja Rencong yang mati setahun silam!”
Makin tak mengerti pendekar kita jadinya. Dulu dia sendiri
bersama-sama puluhan tokoh silat mencincang Raja Rencong di Arena
Topan Utara. Kini diakah mahluk hidup bertubuh dan berwajah seram
ini?
Sebelum dia sempat berpikir lebih lama, di hadapannya Iblis Sesat
Jalan Hidup jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima sinar hitam
pekat dan panas menggebubu!
“Ah! Ilmu kuku api!” seru Wiro dalam hati. “Memang keparat itu
rupanya!”
Untuk kedua kalinya Wiro lepaskan pukulan sinar matahari guna
menangkis ilmu kuku api. Sinar putih dan sinar hitam saling baku
hantam di udara, mengei-luarkan susara berdentum yang disertai
kilapan sinar api amat mengerikan. Ranting dan cabang serta daundaun
pepohonan yang ada di sekitar situ hangus kehitaman. Nyanyuk
Amber leletkan lidah. Hawa panas terasa menjalar sampai ke tubuhnya.
Jengkel melihat pukulan saktinya tidak mempan maka Pendekar
212 Wiro Sableng cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Suaara seperti
ribuan tawon mengamuk memenuhi udara ketika senjata mustika sakti
itu berkelebat ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang diserang tegak tak bergerak, bersikap menantang dan
sunggingkan senyum mengejek. Malah berkata: “Pilih bagian tubuhku
yang empuk anak muda!”
Buuk!
Mata Kapak Naga Geni 212 menghantam dada
Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak ampun lagi tubuhnya terpental lalu
jatuh duduk. Tapi di lain kejap dia sudah bangkit berdiri kembali tanpa
cidera sedikit pun! Kejut Wiro Sableng bukan alang kepalang! Ilmu
apakah yang kini dimiliki Raja Rencong hingga senjata saktinya tidak
mempan sama sekali. Hampir tak percaya, dia pandangi kapak di
tangannya. Di depannya terdengar suara tawa parau Iblis Sesat Jalan
Hidup.
“Aku pernah kau bunuh! Sekarang kau ganti menemui kematian!
Arwahmu sudah lama ditunggu arwahku!” Iblis Sesat Jalan Hidup
melangkah mendekati Wiro. Tangan kanan terpentang seperti hendak
mencengkeram. Wiro tabaskan kapak saktinya.
Bukk!
Kembali kapak itu menghantam dan tidak berdaya!
“Gila!” maki Wiro. Sebelum lawan datang lebih dekat pendekar ini
cepat menghantam dengan pukulan benteng topan melanda samudera.
Seperti tadi Iblis Sesat Jalan Hidup hanya terpental jatuh, bangkit
berdiri dan mendatangi Wiro kembali! Penasaran murid Sinto Gendeng
hantamkan kapak saktinya sekali lagi. Kali ini batok kepala Iblis Sesat
Jalan Hidup yang diarahnya. Kalau dulu senjata itu sempat membelah
kepala Raja Rencong maka sekali ini hanya mengeluarkan suara
bergedebuk dan ternyata kepala itupun tak mempan dikapak!
“Wiro, kita harus cepat menyingkir dari sini! Walaupun kita
sanggup menghajarnya sampai seribu jurus tapi dia tak akan dapat
dimatikan. Sebaliknya kita akan kehabisan tenaga dan menjadi
korbannya!” Terdengar suara mengiang di telinga Wiro. Itulah suara
Nyanyuk Amber.
“Aku tidak akan berlaku sepengecut itu! Aku yakin bangsat ini
bisa dikalahkan!” menjawab Wiro.
“Jangan tolol! Sebelum kita dapat memecahkan teka-teki
kekebalannya, kita berdua bisa mati percuma di tempat ini! Lekas
dukung aku dan menyingkir dari sini! Cepat!”
Karena menyadari memang tak mungkin melanjutkan
penyerangan terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup mau tak mau Wiro
Sableng terpaksa mengikuti apa yang dikatakan Nyanyuk Amber.
Dengan kapak tetap di tangan kanan guna melindungi diri, Wiro sambar
tubuh si orang tua dan berkelebat ke jurusan timur.
Iblis Sesat Jalan Hidup mengejar sambil lepaskan pukulan ilmu
kuku api. Wiro putar Kapak Maut Naga Geni 212. Serangan lawan
musnah setengah jalan tapi manusia iblis itu terus mengejar. Hanya
saja dalam ilmu lari tingkat kepandaiannya tidak dapat menandingi
murid Sinto Gendeng itu. Dalam waktu singkat dia sudah tertinggal
jauh. Akhirnya dua orang yang dikejar itu lenyap di kejauhan di antara
kelebatan pepohonan.
“Kalian tak akan bisa lolos sekalipun lari ke ujung dunia! Tunggu
saja waktunya. Sekarang lebih baik aku mencari gadis keparat itu lebih
dulu! Jika dia tidak ada di di sini, pasti dia sudah kembali ke Pasir
Putih!”
SANG SURYA tampak merah membara tanda sebentar lagi akan masuk
ke titik tenggelamnya. Di tanah pekuburan yang terletak di sebelah
selatan Pasir Putih keadaannya sudah sepi. Dua jenazah telah
dimakamkan. Para pengantar telah lama pergi. Hanya ada satu orang
kelihatan masih duduk bersimpuh di hadapan dua tumpukan tanah
merah. Pakaiannya yang putih kotor oleh merahnya tanah liat. Orang ini
adalah Pandansuri yang tengah menghadapi makam ayah dan ibunya.
Perasaan dara ini saat itu bercampur aduk. Pertama tentu saja rasa
sedih dan duka cita yang mendalam karena kematian kedua orang
tuanya. Namun sekaligus dalam hatinya juga membara dendam
kesumat terhadap pelaku pembunuh yang tidak pernah dilihatnya,
hanya didengarnya bernama Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam hatinya
sudah bulat tekad untuk mencari manusia iblis itu guna menuntut
balas.
Perlahan-lahan Pandansuri berdiri. Di saat dirasakannya harus
pergi meninggalkan tempat itu, kembali air mata memercik dan
meluncur di kedua pipinya.
“Ayah, ibu... Saya harus pergi sekarang. Saya bersumpah di
hadapan kubur ayah ibu untuk mencari pembunuh terkutuk itu. Saya
tak akan berhenti sebelum menemui dan membunuhnya!”
Ketika Pandansuri hendak mencium bagian tanah di kepala kubur
ibunya tiba-tiba di belakangnya terdengar suara orang menegur. Satu
suara yang keras tapi parau.
“Pandansuri! Kau tak perlu jauh-jauh mencari pembunuh kedua
orang tuamu! Orangnya sudah ada di sini. Aku orangnya...!”
Kejut gadis itu bukan kepalang. Sejak menerima tambahan ilmu
dari Nyanyuk Amber, perasaan dan pendengarannya jauh lebih tajam.
Mengapa kini ada orang datang dari belakang dia tidak dapat
mengetahuinya? Hanya ada satu jawaban. Mungkin pikiran dan
perasaannya terlalu tertumpah pada nasib malang yang dihadapinya.
Atau mungkin pula orang yang datang memiliki kepandaian tinggi luar
biasa.
Secepat kilat Pandansuri balikkan tubuh.
Serta merta gadis ini terperangah, hampir keluarkan saruan kaget
karena ngeri. Di hadapannya berdiri sosok tubuh dan wajah yang sangat
menyeramkan. Sosok tubuh ini hanya mengenakan sehelai celana
pendek, bertelanjang dada. Ada sehelai selendang hitam berbungabunga
kuning emas melintang di bahunya. Seluruh tubuh, mulai dari
kaki sampai ke dada, terus ke wajah penuh luka bekas cacat yang
mengerikan, terutama luka melintang di atas mata dan pipi kiri.
“Ha... ha...! Kau takut?! Kau tak mengenaliku?!”
Sosok tubuh mengerikan itu yang bukan lain adalah Iblis Sesat
Jalan Hidup menyeringai.
“Siapa kau?!” sentak Pandansuri setelah rasa kagetnya pulih.
“Aku Iblis Sesat Jalan Hidup! Aku yang membunuh kedua orang
tuamu...!”
“Iblis durjana!” teriak Pandansuri. Gadis ini langsung jentikkan
sepuluh jari tangannya. Sepuluh larik sinar merah yang luar biasa
panasnya berkiblat menghantam ke sepuluh bagian tubuh termasuk
kepala Iblis Sesat Jalan Hidup!
Yang diserang tak bergerak, malah bersikap menunggu dan
menantang. Lima larik sinar merah menghantam. Terdengar suara
berletupan. Sepuluh sinar merah musnah. Pukulan sakti tadi,
jangankan mencelakai atau membunuhnya, meninggalkan bekas pun
tidak! Dinginlah tengkuk Pandansuri. Wajahnya pucat lesu.
Iblis Sesat Jalan Hidup tertawa bergelak. “Ilmu Kuku Api! Ilmu itu
aku yang mengajarkannya padamu Pandansuri!”
“Apa katamu?!”
“Ilmu Kuku Api itu! Aku yang mengajarkannya padamu! Hari ini
kau harus mengembalikannya padaku berikut nyawa dan
kehormatanmu!”
“Manusia iblis! Apa maksudmu! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku bernama Hang Kumbara. Dulu bergelar
Raja Rencong Dari Utara. Dulu pernah menjadi ayah angkatmu!
Tapi kau mengkhianatiku! Kau bekerja-sama dengan musuh-musuhku.
Lalu kau melarikan diri...!”
“Gila! Kau iblis gila! Ayah angkatku menemui kematian setahun
lalu di Bukit Toba! Jangan mengaku-aku yang bukan-bukan. Dan ayah
angkatku tidak seburuk tubuh dan mukamu yang busuk!”
Iblis Sesat Jalan Hidup kembali tertawa. Tiba-tiba dia melompat
ke depan. Sekali tangannya bergerak, satu totokan melanda dada
Pandansuri, membuat gadis ini terjatuh rubuh dan kaku tegang tak bisa
bergerak lagi!
Iblis Sesat Jalan Hidup berlutut di sampingnya.
“Dulu kau selalu mengenakan kerudung ungu. Kini kulihat kau
tidak memakainya lagi. Ternyata baru kini kusadari kau memiliki wajah
cantik. Juga tubuh yang bagus! Ha... ha... ha...! Hutang nyawa bayar
nyawa. Darah dibayar dengan darah. Dosa di atas dosa!”
Iblis Sesat Jalan Hidup lalu ulurkan tangannya.
Breet... bret... brettt!
Pakaian di tubuh Pandansuri habis dirobeknya hingga gadis yang
malang itu kini terbaring dalam keadaan hampir tidak tertutup lagi
auratnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah memaki dan menyumpah.
“Terkutuk! Iblis terkutuk! Jika kau benar-benar Raja Rencong,
jika kau benar-benar ayah angkatku lebih baik bunuh aku dari pada
kau perlakukan keji begini!” teriak Pandansuri.
“Dulu aku Raja Rencong! Dulu aku ayah angkatmu! Sekarang aku
adalah Iblis Sesat Jalan Hidup! Kau minta mampus?! Aku akan
membunuhmu, jangan kawatir! Tapi kau rasakan dulu dosa di atas
dosa!”
Lalu Iblis Sesat Jalan Hidup jatuhkan dirinya di atas tubuh
Pandansuri. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit. Di langit sinar
merah telah meredup. Sang surya telah tenggelam dan keadaan di
pekuburan itu mulai gelap.
Tak jauh dari pekuburan...
Pendekar 212 Wiro Sableng berlari kencang sambil mendukung
kakek buntung Nyanyuk Amber.
“Hai... aku mendengar suara orang menjerit,” berkata orang tua
itu.
Saat itu Wiro masih belum mendengar apa-apa.
“Suara itu datang dari arah sana...” si kakek goyangkan kepalanya
ke kanan.
“Mungkin hanya suara anak-anak gembala yang pulang ke
kampung sambil bermain berteriak-teriak...” ujar Wiro. Memang dalam
jarak sejauh itu dengan sumber suara, daya pendengaran Wiro masih
kalah jauh dari si kakek, karena itu dia masih juga belum mendengar
apa-apa.
“Bocah torek! Telingamu perlu dibersihkan! Lekas bawa aku ke
jurusan sana...” Mengomel Nyanyuk Amber.
“Hari sudah hampir malam, kek! Sebaiknya kita terus saja ke
kampung. Bukankah ke situ tujuan kita guna mencari muridmu?” Baru
saja Wiro berkata demikian, dia merasakan kedua lutut orang tua yang
didukungnya menekan tubuhnya dan secara aneh gerakan larinya
terseret ke kanan. Dia kerahkan tenaga. Dia tahu kalau Nyanyuk Amber
pergunakan kepandaian untuk menguasainya agar menurut apa
maunya. Sadar kalau si kakek memang lebih lihay tenaga dalamnya,
Wiro terpaksa berbelok ke kanan. Sesaat kemudian pendekar ini berkata
seperti mengomel: “Apa kataku kek! Kau menyuruhku membawamu ke
jurusan ini. Tahukah kau apa yang ada di depan kita?”
“Katakanlah!”
“Pekuburan!” jawab Wiro.
“Pekuburan! Lalu apa salahnya? Jeritan itu semakin keras kini.
Dan aku membaui sesuatu yang busuk!”
Wiro kini sudah pula mendengar suara jeritan itu. Juga bau
busuk seperti yang dikatakan si kakek.
“Hai! Bau busuk itu! Bukankah ini bau busuk tubuh Iblis Sesat
Jalan Darah?! Dia pasti ada di sekitar sini!” kata Wiro.
“Tepat! Teruslah lari ke jurusan jeritan itu. Aku hampir pasti itu
adalah suara muridku!”
Ketika sampai di bagian pekuburan yang membukit, Wiro melihat
sosok tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup di kejauhan, seperti tengah
menghimpit seseorang di bawahnya.
“Durjana terkutuk!” teriak Pendekar 212. Seperti terbang
tubuhnya melesat ke arah dua kubur yang masih merah, disamping
mana Pandansuri siap dirusak kehormatannya.
Iblis Sesat Jaian Hidup bukan tidak tahu kalau ada orang yang
datang. Masih dalam keadaan terbaring di atas tubuh Pandansuri dia
lepaskan pukulan Kuku Api. Secepat kilat Wiro balas menghantam
dengan pukulan matahari. Nyanyuk Amber yang ada dalam
dukungannya tiba-tiba melesat ke udara, lalu jatuh di tanah, bergulingguling
sampai akhirnya berhenti karena tertahan oleh sebuah batu
nisan. Dari jeritan muridnya dia tahu persis di mana Pandansuri
berada. Maka tubuhnya pun digulingkan ke tempat gadis itu terbaring.
Iblis Sesat Jalan Hidup kembali lepaskan pukulan Ilmu Kuku Api. Kali
ini ke arah Nyanyuk Amber. Tapi lagi-lagi Wiro menghantam dengan
pukulan sinar matahari, malah tangan kirinya sekaligus lancarkan
pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila, yakni pukulan “Dewa topan
menggusur gunung”.
Tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup terpental. Tapi setelah bergulingan
beberapa kali dia cepat berdiri dan kini menyerbu Pendekar 212 dengan
pukulan sakti bernama “topan pemutus urat”. Hebatnya bukan alang
kepalang. Selain mengeluarkan suara menggemuruh, sekali tubuh
tersambar angin pukulan sakti ini maka kontan urat-urat yang ada di
bagian tubuh itu hancur berputusan!
“Pukulan Topan Pemutus Urat!” seru Nyanyuk Amber ketika dia
mengenali suara angin pukulan yang dilepaskan Iblis Sesat Jalan
Hidup. “Ah! Keparat itu rupanya memang benar-benar si Hang Kumbara
laknat! Aneh luar biasa! Bagaimana sudah mampus dia bisa hidup
lagi?!”
Nyanyuk Amber terus menggulingkan tubuhnya hingga akhirnya
berhenti ketika menumbuk tubuh Pandansuri.
Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya
seperti dicengkeram oleh belasan tangan yang tak kelihatan. Sadar akan
bahaya kehebatan kesaktian lawan, murid Sinto Gendeng ini keluarkan
bentakan keras hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke depan sedang
tangan kiri lepaskan pukulan “dinding angin berhembus tindih-menindih”.
Tapi sungguh di luar dugaan sang pendekar. Angin sakti
pukulan lawan masih terus melabraknya. Untuk selamatkan diri mau
tak mau Wiro terpaksa melompat ke udara. Tapi saat itu terdengar
teriakan Nyanyuk Amber.
“Jatuhkan dirimu ke tanah”.
Rupanya orang tua itu tahu cara bagaimnana menghadapi
serangan “topan pemutus urat’ maka secepat kilat Wiro Sableng
jatuhkan diri, menelungkup sama rata ke tanah! Angin maut lewat di
atas punggungnya, bersiur sejuk seperti hembusan angin gunung!
“Gila...!” rutuk Wiro dan melompat berdiri. Begitu berdiri dia
segera lindungi.diri dengan hantamkan pukulan “sinar matahari” ke
arah lawan. Sadar kalau sebelumnya pukulan itu tidak mampu
menciderai manusia iblis itu maka Wiro susul dengan membabatkan
Kapak Naga Geni 212. Tabasannya sengaja diarahkan ke batang leher
Iblis Sesat Jalan Hidup.
Buk!
Mata kapak telak-telak menghajar batang leher Iblis Sesat Jalan
Hidup, membuat tubuhnya terbanting jungkir balik. Tapi di lain saat dia
kembali berdiri sambil keluarkan suara tertawa mengekeh. Murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini jadi keluarkan keringat dingin. “Kalau
iblis ini memang tidak bisa dibunuh, berarti nyawaku kali ini tak akan
ketolongan. Pasti juga orang tua dan gadis itu akan dibunuhnya!”
Akan Nyanyuk Amber, begitu tubuhnya membalik.
“Muridku... Kau tak apa-apa?”
“Kau mana bisa melihat guru!” sahut Pandansuri yang masih
terbungkus hawa amarah terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup. “Mahluk
iblis itu hendak memperkosaku. Seluruh pakaianku habis dirobeknya...“
“Ah, untung mataku buta. Kalau tidak tentu aku menyaksikan
pemandangan yang...”
“Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau! Guru! Kau
keterlaluan!” potong Pandansuri dengan suara keras tapi seperti hendak
menangis.
“Sudah... sudah! Jangan marah padaku. Bahaya belum lewat.
Lekas kau tutupi tubuhmu dengan jubah biruku ini!” kata Nyanyuk
Amber pula. Lalu jubahnya tampak menggembung. Secara aneh pakaian
yang sangat besar dan berwarna biru itu bergerak naik ke atas melewati
perut, dada dan akhirnya lolos dari kepalanya. Jubah itu kemudian
jatuh menutupi tubuh Pandansuri yang nyaris telanjang. Si orang tua
sendiri kini hanya mengenakan celana kolor dekil!
“Guru! Aku harus menuntut balas kematian ayah dan ibuku!
Mereka dibunuh oleh Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku sudah bersumpah
untuk membunuhnya. Bisakah kau tolong melepaskan totokan di
tubuhku?!”
“Ain. rupanya kau kena ditotok oleh iblis itu. Pantas tadi kudengar
hanya suaramu saja yang menjerit-jerit! Lekas katakan bagian mana
tubuhmu yang ditotok?”
“Dada...” menerangkan Pandansuri.
Buk!
Nyanyuk Amber hantamkan kepalanya ke dada gadis itu hingga
Pandansuri terpekik kesakitan. Tapi justru tumbukan kepala pada
bagian dadanya itu membuat totokannya punah. Begitu terlepas dari
totokan gadis ini melompat tegak dengan tubuh berselimutkan jubah
biru Nyanyuk Amber yang menjela-jela sampai ke tanah pekuburan.
“Iblis laknat! Kau harus mampus di tanganku!” teriak Pandansuri
seraya bergerak mendekati Iblis Sesat Jalan Hidup yang saat itu siap
menerjang Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada dalam keadaan
terdesak.
Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling dan terkejut. Bukan ancaman
maut yang diteriakkan Pandansuri yang membuatnya terkejut, tetapi
jubah biru milik Nyanyuk Amber yang menyelubungi tubuh si gadis
membuatnya jadi kecut.
“Gadis pengkhianat ayah angkat! Pergi kau! Menjauh dari sini
kalau tidak ingin kubahabisi detik ini juga!”
Sebagai jawaban Pandansuri jentikkan lima jari tnagan kanannya.
Lima larik sinar merah ilmu kuku api menyambar ganas ke arah Iblis
Sesat Jalan Hidup. Terdengar suara berletupan ketika lima larik sinar
merah itu menghantam tubuhnya dengan tepat. Tapi tak sedikit cidera
pun yang kelihatan. Bahkan selendang hitam yang sampai saat itu
masih tersandang di bahu kanannya tidak rusak sedikit pun!
“Pergi!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup ketika Pandansuri semakin
mendekat.
Satu-satunya daun telinga yang dimiliki Nyanyuk Amber tampak
bergerak-gerak. Orang tua ini memutar otak. “Aneh...” katanya dalam
hati. “Suara iblis itu seperti menunjukkan rasa takut. Apa yang
ditakutinya terhadap muridku? Bukankah mudah saja dia membunuh
sementara aku tak berdaya menolong...?”
“Pergi!” Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak lagi. Pandansuri semakin
dekat. Takut jubah biru itu mengenai tubuhnya. Iblis Sesat Jalan Hidup
segera lepaskan pukulan “topan pemutus urat”. Namun gebukan Kapak
Maut Naga Geni 212 yang menghantam perutnya, meskipun tidak dapat
melukai kulitnya, membuat tubuhnya terpental dan jatuh duduk di atas
sebuah kuburan tua.
Sementara itu Pandansuri yang penuh dengan dendam membara
serta penasaran melihat ilmu kuku apinya tidak mempan terhadap Iblis
Sesat Jalan Hidup tiba-tiba ingat pada ilmu pukulan sakti bernama
“Surya Biru” yang selama satu tahun belakangan ini dipelajarinya dari
Nyanyuk Amber. Memikir bahwa inilah kesempatan untuk
mempergunakan dan menjajal kehebatan ilmu tersebut, dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, dari jarak enam langkah
Pandansuri bersiap untuk menghantam. Tapi baru saja dia hendak
mengangkat tangan kanan, di depannya Iblis Sesat Jalan Hidup telah
melompat tegak seraya kirimkan pukulan topan pemutus urat! Debu
pasir dan tanah kuburan beterbangan ke udara!
Sebagai bekas anak angkat dan murid Raja Rencong alias Iblis
Sesat Jalan Hidup, Pandansuri tentu saja mengetahui bagaimana
kehebatan dan keganasan ilmu pukulan sakti itu. Namun dia pun
mengetahui pula bagaimana cara menyelamatkan diri. Maka cepat-cepat
gadis ini jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Angin pukulan maut
lewat di atas tubuhnya.
“Keparat!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Ingin dia melompat dan
mencekik batang leher gadis itu. Menghancurkan tulang belulang di
sekujur tubuhnya.
Tapi jubah warna biru membuatnya takut tak berani mendekat,
apalagi sampai menyentuh jubah tersebut. Warna biru adalah pantang
yang berarti maut baginya!
Saat itu matahari sudah tenggelam. Keadaan di pekuburan itu
mulai gelap. Iblis Sesat Jalan Hidup keluarkan suara menggembor.
“Kalau kuserang terus-menerus masakan dua bangsat ini tak akan
mampu kubereskan!” begitu dia membatin. Yang dimaksudkannya
dengan dua bangsat adalah Pandansuri dan Wiro Sableng. Nyanyuk
Amber —orang tua yang tak berdaya karena cacat tubuhnya itu— tidak
dipandang sebelah mata oleh sang iblis. Maka kembali dia lepaskan
pukulan topan pemutus urat ke arah Wiro sedang ilmu kuku api ke
jurusan Pandansuri. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan
Wiro mampu menangkis sambil jatuhkan diri ke tanah sedang
Pandansuri melihat gerakan lawan, lebih cepat melompat jauh berkelit.
Selagi Iblis Sesat Jalan Hidup geram dan gemas, dari samping Wiro
lepaskan pukulan sakti dengan tangan kirinya yakni pukulan topan
melanda samudera. Ketika Iblis Sesat Jalan Hidup jatuh dan terguling
kena hantaman pukulan itu, dia susul dengan pukulan sakti lainnya
yang selama ini jarang dikeluarkannya yakni pukulan angin es. Kapak
diselipkan di pinggang. Kedua tangan diangkat ke atas dengan telapak
terkembang ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam waktu singkat
mendadak saja udara di tempat itu menjadi dingin sekali seperti dibungkus
es. Nyanyuk Amber merasakan tubuhnya bergetar kedinginan.
Apalagi saat itu dia hanya mengenakan celana kolor karena jubah
birunya dipakai Pandansuri untuk menutupi tubuhnya. Si gadis sendiri
merasakan tubuhnya menggigil dan gigi-giginya bergemeletukan. Makin
lama udara makin dingin.
“Hai! Apa yang terjadi di sini?! Mengapa tubuhku seperti beku?!”
seru Nyanyuk Amber. Orang ini kerahkan tenaga dalamnya untuk
melawan hawa dingin luar biasa itu, tapi sia-sia.
Pandansuri tersungkur ke tanah setelah kedua lututnya tertekuk
tak sanggup lagi berdiri menahan dingin. Akan halnya Iblis Sesat Jalan
Hidup, mahluk yang sebenarnya sudah mati ini sama sekali tidak
terpengaruh oleh ilmu kesaktian yang dikeluarkar Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Pemuda keparat! Kau boleh keluarkan segudang ilmumu! Tak
satu pun yang bisa mencelakai apalagi membunuh Iblis Sesat Jalan
Hidup!” habis berkata begitu Iblis Sesat Jalan Hidup menghantam
dengan ilmu kuku api. Karena kali ini dia kerahkan seluruh tenaga
dalamnya yang ada maka lima larik sinar merah yang berkiblat
panasnya bukan alang kepalang. Udara dingin serta merta punah dan
murid Sinto Gendeng terpaksa jungkir balik selamatkan diri dari
serangan lawan sambil memaki tegang!
Segitu merasa hawa dingin lenyap dengan tiba-tiba, Pandansuri
cepat berdiri. Tepat pada saat Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling ke
arahnya dan kembali menghantam dengan pukulan topan pemutus
urat. Namun sekali ini sang dara bergerak lebih cepat. Pukulan sakti
“Surya Biru” yang dipelajarinya dari Nyanyuk Amber, yang sejak tadi
ingin dikeluarkannya, kini begitu melihat kesempatan serta merta
dipukulkan ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Di ujung jari-jari Pandansuri menderu sebentuk sinar biru,
bergulung-gulung seperti mata kikir membuntal cepat ke arah sasaran,
iblis Sesat Jalan Hidup berseru tegang melihat sinar biru yang datang
menyambar. Sesaat dia tertegun bingung dan kecut, tak tahu apa yang
harus dilakukan. Untuk menangkis pukulan sakti lawan dia kawatir
cipratan atau taburan sinar biru masih sempat menyambar tubuhnya.
Mau tak mau dia terpaksa melompat ke samping untuk selamatkan diri.
Celakanya dari samping Pendekar 212 Wiro Sableng kembati
menghantam dengan pukulan sinar matahari. Akibatnya tubuh Iblis
Sesat Jalan Hidup yang barusan lepas dari hantaman gulungan sinar
biru, kini kembali terdorong dan langsung menabrak sinar biru pukulan
sakti Pandansuri.
Terjadilah satu hal yang menggidikkan.
Iblis Sesat Jalan Hidup terdengar menjerit seperti tolongan anjing.
Tubuhnya mengeluarkan suara seperti besi panas membara yang
dicelupkan ke dalam air. Sekujur kulit dan daging tubuhnya meleleh
seperti dikelupas. Bau busuk sengit memenuhi udara. Tubuh yang kini
hanya tinggal tulang-belulang itu —tak beda seperti jerangkong—
terkulai lalu jatuh roboh ke tanah pekuburan. Lapat-lapat di kejauhan
kembali terdengar suara seperti anjing melolong. Wiro rasakan bulu
kuduknya berdiri sedang Pandansuri gemetar ngeri.
“Hai! Apa yang terjadi?!” terdengar Nyanyuk Amber bertanya.
Pandansuri tak kuasa menjawab. Dirinya masih dicengkam rasa
ngeri. Wiro akhirnya membuka mulut.
“Muridmu berhasil membunuh mahluk terkutuk itu...”
“Eh... Betul begitu? Ah, sungguh luar biasa!” kata Nyanyuk
Amber. “Bagaimana kau bisa melakukannya Pandan?”
Sang dara masih belum bisa membuka mulut. Kembali /Viro yang
menjawab. “Tubuh manusia iblis itu seperti lilin meleleh ketika
muridmu menghantamnya dengan pukulan sakti yang memancarkan
gulungan sinar biru
“Pukulan Surya Biru!” seru si orang tua. “Jadi itulah yang
membunuhnya! Tuhan Maha Kuasa! Kini aku ingat! Iblis Sesat Jalan
Hidup berpantang dengan segala sesuatu berwarna biru!”
Wiro kerenyitkan kening sedang Pandansuri berpaling memperhatikan
wajah orang tua itu dalam gelap.
“Kini aku tahu mengapa dia tadi seperti ketakutan ketika muridku
mendekatinya. Bukankah kau mengenakan jubahku yang berwarna
biru... “
“Sulit kupercaya!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Jika kalian tidak percaya, coba tempelkan ujung jubahku pada
sisa-sisa bangkai iblis itu!” berkata Nyanyuk Amber.
Pandansuri melangkah mendekati sosok jerangkong yang
terhampar di tanah. Salah satu bagian ujung jubah yang menjela-jela
diangkatnya lalu dilepaskannya tepat di atas batok kepala atau
tengkorak jerangkong.
Cess!
Sang dara terloncat kaget dan cepat mundur. Nyanyuk Amber
tertawa.
Seperti tadi pertama kali ketika sinar biru pukulan sakti yang
dilepaskan Pandansuri, terdengar suara laksana besi panas dicelup ke
dalam air sewaktu jubah biru menempel dengan tulang tengkorak.
Tengkorak itu sendiri kini tampak remuk seperti tertimpa batu besar
dan berat!
“Kita patut bersyukur pada Tuhan! Satu lagi kejahatan punah dari
muka bumi ini!” berkata Nyanyuk Amber. Lalu seperti menggerutu orang
tua ini berseru: “Hai! Apakah kalian akan membiarkan aku setengah
telanjang seperti ini?!”
“Kami akan membawamu ke Pasir Putih, guru,” menjawab
Pandansuri. Lalu dia berpaling pada Wiro. Sesaat dara ini menatap
wajah pemuda yang selama ini selalu dikenangnya. Ketika sang
pendekar balas menatap, wajah Pandansuri langsung berubah merah.
Cepat-cepat dia berkata: “Sahabat, tugasmu mendukung guruku sampai
ke rumah!”
“Ah, aku selalu kebagian pekerjaan yang tidak enak. Tapi tak apa.
Aku lebih suka mendukung tubuh gurumu daripada disuruh memakai
jubah birunya yang butut dan sedap baunya itu!”
“Hai! Jangan menghina jubahku! Ingat, kau pernah kususupkan
dalam jubah itu ketika Raja Rencong mencarimu!” berseru Nyanyuk
Amber.
Wiro menyeringai. Tapi dia terus saja menggoda Pandansuri. “Kau
tahu...” katanya pada gadis itu. “Kalau aku tidak salah hitung, paling
tidak jubah itu tak pernah dicuci selama sepuluh tahun! Dan itu yang
kau pakai sekarang! Hah... ha... ha! Apakah tubuhmu tidak merasa
gatal?!”
“Kau keterlaluan! Menghina guru dan menggoda orang!” kata
Pandansuri. Lalu gadis ini balikkan diri dan tinggalkan tempat itu. Wiro
tak bisa berbuat lain daripada mendukung Nyanyuk Amber di
punggungnya dan mengejar Pandansuri yang berlari menuju kampung
Pasir Putih.
TAMAT