1. PASUKAN BADAI
KETIKA matahari telah sekitar satu jengkal di atas Gu-
nung Kawi di sebelah timur, Wara Hita mengorak sema-
Seluruh jasmaninya terasa segar-bugar. Seluruh urat
di tubuhnya serasa penuh memancar dengan tenaga
gaib yang begitu besar.
Ia menghaturkan sembah.
Di sekelilingnya telah sepi. Hanya tempat kecil ter-
buka di puncak salah satu bukit. Dikelilingi semak-
belukar dan tersembunyi. Dan di depannya hanyalah
sebuah rumah batu yang ia yakin tak ada penghuninya.
Ia pun tak pernah masuk ke sana.
Mungkin di dalam sana ada ruangan di bawah ta-
nah. Atau suatu terowongan entah ke mana. Setiap gu-
runya masuk, pasti tak pernah tampak keluar. Dan ta-
hu-tahu sudah datang dari luar.
Wara Hita tidak meragukan kesaktian gurunya. Na-
mun ia juga tidak mudah ditipu oleh suatu muslihat
seperti itu. Pasti di dalam sana ada suatu terowongan.
Itu pun bukan urusannya.
Wara Hita sekali lagi menyembah dan berdiri.
Badannya begitu indah di sinar matahari pagi. Putih-
kuning mengkilap oleh sedikit keringat. Bagaikan pa-
tung pualam dengan busana yang hampir tiada.
Perlahan Wara Hita mulai memakai kembali pakai-
annya.
Dan ia pun memandangi dirinya sendiri.
Ia cantik. Itu ia tahu. Dan tubuhnya sangat indah.
Itu pun ia tahu.
Sekali ia tertegun. Termangu. Saat-saat seperti itu,
kala ia menyendiri dan separuh mengagumi keindahan
dirinya, sering muncul rasa ragu. Patutkah ia mene-
ruskan perjuangannya? Dan menyia-nyiakan anugerah
Dewata pada dirinya ini? Untuk apa ia cantik, dan ber-
tubuh indah, jika tidak ada yang menikmatinya? Jika ia
tidak bisa menikmatinya?
Ah. Mengapa pikiran seperti ini sekarang sering ke-
luar? Adakah ini memang tuntutan naluriahnya?
Wara Hita sudah berpakaian rapi kini, masih dalam
pakaian prianya. Ia termenung dan duduk bersandar
rumah batu itu, memperhatikan betapa matahari sedi-
kit demi sedikit mulai membuatnya silau.
Dulu ia selalu memandang jijik pada Wara Huyeng
yang seolah selalu haus akan pria. Tapi kini ia merin-
dukan kehangatan seorang pria!
Benarkah? Lalu, siapa?
Tak banyak pemuda yang masuk lingkaran perhati-
annya. Pemuda dari Rahtawu itu? Memang tampan. Ta-
pi hatinya tak tergerak sedikit pun. Atau... Sindura?
Huh. Ia malah benci. Dan... pemuda seberang itu?
Tak terasa Wara Hita tersenyum.
Memang ada sesuatu yang aneh pada diri Tun Ku-
mala.
Sesuatu yang aneh. Wara Hita sendiri tak tahu apa-
kah itu. Gagah, tidak. Tampan... yah! Tapi terlalu lem-
but. Tapi begitu menawan. Begitu aneh senyumnya.
Suaranya. Gerak-geriknya... Gila! Mengapa ia jadi me-
mikirkan hal itu? Sebagai wanita prajurit, Wara Hita te-
lah terbiasa menekan perasaan seperti ini. Toh secara
alamiah dan naluriah muncul juga.
Adakah pemuda lain?
Wara Hita menghela napas panjang dan berdiri. Ti-
dak. Ia tak boleh memanjakan diri dengan pikiran se-
perti ini.
Ia melihat berkeliling. Hasil latihannya tadi pagi. Di
pahoman, tempat korban, terlihat sesosok tubuh ha-
ngus. Jadi abu arang. Entah siapa. Ia pun tak usah
mengurusnya.
Tiba-tiba ia menjerit. Menyalurkan tenaga. Dan tu-
buhnya melesat. Secepat kilat. Bagai meluncur di udara
meninggalkan puncak bukit itu.
Berloncatan dari puncak ke puncak. Melesat dari
dinding jurang ke dinding jurang lainnya. Tak berapa
lama Wara Hita telah berada di tebing bibir jurang
Trang Galih.
Di bawah sana kesibukan luar biasa telah terjadi. Di
lembah sempit di sana itu beberapa kelompok prajurit
tampak sedang berlatih dalam gerakan gelar-gelar pe-
rang. Sayup-sayup juga terdengar teriakan lantang Wa-
ra Huyeng dengan perintah-perintah tegas dan jelas...
dan kadang-kadang sangat kotor.
“Itukah Pasukan Badai?” tiba-tiba terdengar suara di
sampingnya. Tak urung Wara Hita terkejut juga. Tiba-
tiba saja di sampingnya telah berdiri seorang pria ber-
tubuh sangat gendut dengan wajah sangat jelek. Ki Ju-
ru Meya.
Ki Juru Meya. Dia adalah salah satu warisan hidup
dari Sang Bhre Wirabhumi. Dia juga yang sesungguh-
nya menjadi otak gerakannya selama ini. Dia telah ber-
susah payah mencari dan akhirnya menemukan Naga-
bisikan, si orang sakti yang selama ini telah dikabarkan
lenyap dari muka bumi. Dia juga yang bersusah payah
mengumpulkan dana, baik dengan jalan merampas,
memeras, atau membongkar kembali beberapa timbu-
nan harta Sang Wirabhumi di beberapa tempat. Dia pu-
la yang membuat siasat mengambil pusat gerakan dari
sebelah barat, menjauhi pusat gerakan semula di ujung
timur.
Ki Juru Meya. Dia pun sakti. Menurut kabar, dia
sama-sama berguru dengan Sang Bhre Wirabhumi
hingga juga memiliki aji Rawa Rontek, ajian yang konon
pernah dimiliki oleh Sang Maharaja Rahwana. Kelebi-
hannya pula adalah aji Wayang, yang membuatnya de-
ngan mudah dapat menyadap ilmu-ilmu lawan. Aji Wa-
yang ini merupakan salah satu siasat yang kemudian
dikembangkan Nagabisikan untuk membentuk Wara
Hita. Nagabisikan memang pernah bermusuhan dengan
Ki Megatruh. Dan kini kesempatan ini digunakannya
untuk menjatuhkan musuh bebuyutannya itu. Mungkin
tujuan Sang Guru bukan sepenuhnya membantu aku,
pikir Wara Hita. Adalah karena murid-murid Ki Mega-
truh itu yang dikabarkan telah berkembang yang mem-
buat Sang Guru memilih ilmu Ki Megatruh untuk dis-
adap—dan difitnah.
“Kau harus bisa memusatkan pikiranmu, Nakmas!”
kata Ki Juru Meya. Ki Juru Meya juga digelari si Seribu
Muka. Mukanya selalu berubah-ubah. Memang bentuk
tubuhnya takkan bisa ditutupinya. Tetapi orang terde-
kat pun sukar mengetahui yang mana sebenarnya wa-
jah Juru Meya yang asli. Wajah buruk inikah? Menurut
cerita, bahkan Sang Wirabhumi pun pernah dirugikan
oleh hal ini. Salah seorang panglima perang Raden Ga-
jah berhasil menyusup ke dalam keraton Sang Wirabhu-
mi dan bahkan hampir berhasil membunuhnya, dengan
menyamar menjadi Ki Juru Meya—suatu hal sangat
mudah dilakukan karena orang tak tahu yang mana
wajah aslinya dan ia akan muncul dengan wajah yang
mana.
Satu hal yang diketahui Wara Hita. Jika berdua ber-
samanya, seperti saat ini, maka sikap Juru Meya ber-
ubah. Jadi begitu sopan dan lembut. Bahkan suaranya
pun jadi lembut. Mudah-mudahan lawan—siapa pun
mereka—tak mengetahui keunikan ini.
“Kadang-kadang, aku bimbang, Kiai,” kata Wara Hita
lembut pula. “Kita begitu kecil.”
“Jauhkan pikiran seperti itu,” kata Juru Meya. Li-
dahnya yang merah panjang tiba-tiba terjulur ke luar.
Kemudian masuk lagi di sela-sela giginya yang beran-
takan. Salah satu kelainan lagi adalah, Ki Juru Meya
selalu memakai bahasa kasar jika hanya berdua dengan
Wara Hita. Dan kebiasaan ini adalah karena sejak kecil
Wara Hita dibesarkan oleh Juru Meya. “Sebatang anak
panah yang kecil, sangat kecil, mampu merobohkan
Sang Raja Raksasa Niwatakawaca yang begitu perkasa,
bukan? Bukan kecilnya yang penting. Keampuhannya.
Ketepatannya. ”
“Menurut Kiai, apakah mereka sudah ampuh?” tanya
Wara Hita.
“Itu yang aku tidak senang. Kemajuan mereka agak
lambat. Tapi mungkin karena... Wara Huyeng tidak me-
miliki bahan-bahan yang tepat. Kedua anak Rahtawu
itu belum bisa ditaklukkan?”
Wara Hita menghela napas panjang. “Mereka bibit-
bibit unggul. Dan dirawat oleh tangan-tangan mumpu-
ni. Berbagai obat, racun, dan ajian telah kami gunakan.
Kepercayaan mereka tak pernah luntur.”
“Dan anak kecil itu?”
“Huhhh! Anak itu begitu menggemaskan! Kami tak
pernah bisa merasa yakin dia berpura-pura atau tidak.
Terkadang dengan sukarela ikut berlatih. Terkadang...
tiba-tiba saja berontak menghancurkan apa saja. Dan
untuk menyadap ilmunya juga... begitu sulit! Guru per-
nah sekali mencoba. Dan tiba-tiba Guru tertawa terba-
hak-bahak tak keruan. Sesuatu yang tak pernah dila-
kukan Guru sebelumnya.”
“Apa yang terjadi?”
“Menurut Guru, anak itu menyelimuti ilmunya de-
ngan pikiran dalam bahasa... Tartar! Tentu saja bahasa
Tartar karangannya sendiri. Karena itulah Guru jadi ge-
li!”
“Mmm. Kudengar memang anak itu luar biasa. Kalau
memang ia tidak bisa diajak kerja sama... kenapa tidak
dilenyapkan saja?”
“Sudah beberapa kali aku usulkan. Bibi Huyeng sela-
lu punya alasan untuk menolaknya.”
“Nakmas, kau adalah raja. Walaupun itu belum ter-
jadi, kau adalah raja. Bertindaklah selaku raja. Dengar-
kan semua nasihat, semua sumbangan pikiran. Pertim-
bangkan. Dan saat kau mengambil keputusan, maka
keputusanmu mengikat semuanya. Dan harus dipatuhi.
Sebagai raja, jika pun keputusanmu keliru, kau tak bo-
leh dan tak dapat melimpahkan kesalahan pada siapa
pun. Bahkan pada orang yang memberimu petunjuk
untuk melahirkan keputusan itu. Itulah raja, Nakmas.”
Wara Hita menundukkan kepala. Dan mengangguk.
Agak lama kemudian ia terdiam memperhatikan keri-
butan di bawah sana itu.
Beberapa kelompok pasukan tampak menyerbu me-
lalui rintangan-rintangan tumpukan batu dan terlibat
dalam pertempuran seorang lawan seorang dengan
menggunakan pedang-pedang kayu. Kemudian dari ba-
gian belakang pasukan yang menyerbu muncul sebuah
pasukan lain yang menerjang bagai bah dan menghan-
curkan rintangan-rintangan batu itu dengan tangan ko-
song!
“Ah, gelar Roda Kereta!” Ki Juru Meya menyeletuk.
“Itu akan sangat ampuh jika panglima di depannya sa-
ngat tangguh dan bersenjatakan gada. Gada membuat
lawan yang dihadapinya tidak langsung tewas. Dan ini
punya dua akibat. Akibat kejiwaaan, pasukan lawan di
belakang barisan depan akan tergoda untuk melirik ka-
wan-kawan mereka yang roboh dan merintih minta to-
long, dan akibat nyata, pasukan depan lawan akan ber-
tumpuk hingga lebih memungkinkan diremuk oleh
amukan Roda Kereta. Kelemahannya... jika pihak lawan
tidak menyambutnya dengan jumlah yang banyak, te-
tapi mengajukan beberapa ujung pasukan yang terdiri
dari orang-orang tangguh. Sekali Roda Kereta itu terbe-
lah oleh tusukan pasukan kecil itu, kekuatannya akan
hancur.”
“Mari kita coba pasukan itu! Yaiiiiiiiiiiiieeee!” jeritan
Wara Hita melengking bergema saat tubuhnya terbang
dari ujung tepi tebing meluncur ke lembah di bawah itu.
Juru Meya langsung menyusul. Tubuhnya bagaikan
bongkahan batu menggelinding di lereng tebing.
Sesaat Wara Huyeng yang sedang berada di puncak
sebuah bukit kecil terkesiap mendengar jeritan itu. Te-
tapi kemudian dengan tenang ia melompat ke panca-
ngan umbul-umbul. Sekali diangkatnya umbul-umbul
warna jingga, sementara peniup terompet di sebelahnya
meniupkan suatu nada melengking. Warna jingga di-
goyangkannya di udara, disusul warna biru dan hijau.
Dan tiba-tiba ketiga umbul-umbul itu dirobohkannya.
Ganti warna merah dan putih naik. Bergoyang ke kiri
dan ke kanan kemudian terpancang tegak.
Terjadi perubahan di dasar lembah. Tiba-tiba saja,
pasukan yang menyerbu tadi mundur dalam suatu ge-
rakan surutnya arus ombak. Bergulung bergantian
mundur dan berhenti. Dan tiba-tiba dari balik batu-
batu berlompatan sebuah pasukan lain, menjerit hebat
berteriak menghadang datangnya Juru Meya dan Wara
Hita.
“Gajah Mengamuk!” kata Juru Meya, berjumpalitan
di udara dan berdiri tegak memasang kuda-kuda. Ia tak
sempat berbicara lagi, serangan dari kiri-kanan mela-
braknya. Juga Wara Hita. Entah dari mana beberapa
belas pria berpakaian serba merah, dengan membawa
perisai berlapis getah karet tebal dan membawa gada
rantai tiba-tiba saja mengepungnya, mendesaknya, me-
labraknya dengan ayunan gada yang makin lama makin
berbahaya. Beberapa saat Wara Hita hanya bergerak
tanpa berlandaskan ilmunya. Gesit sekali ia berloncatan
menendang kiri-kanan. Namun perisai-perisai kenyal
itu makin rapat menghadang dan begitu sulit diroboh-
kan. Akhirnya tak ada jalan lain, ia melompat tinggi dan
menyalurkan ajiannya. “Haiiiiiiiiittthhhhh!”
Bentrokan beberapa tenaga perkasa memberikan wi-
bawa suatu ledakan dahsyat.
Orang-orang berpakaian serba merah itu sudah sem-
burat. Yang ada di antara puing-puing batu adalah Ju-
ru Meya, Wara Huyeng, dan Wara Hita. Ketiganya saling
mengacungkan tangan menahan tenaga.
“Nakmas... adalah suatu kehormatan bagiku bahwa
Nakmas mencoba menghancurkan gelar ini dengan te-
naga sakti Nakmas, tetapi apakah itu bukan berarti
menyia-nyiakan jerih payahku selama ini?” tanya Wara
Huyeng.
“Bibinda benar, Ratu, harap Paduka menahan diri
dengan tenaga sakti itu saat berlatih, he he he...” Juru
Meya memakai bahasa menghormat, tetapi sikapnya ki-
ni khas seperti biasa, kurang ajar.
“Maaf, Bibi... Paman... hatiku memang sedang kes-
al....” Wara Hita membuka gelar tenaganya. “Pasukan
Bibi memang hebat. Bubarkan mereka. Beri anugerah.”
Wara Huyeng memasukkan dua batang jarinya ke
mulut. Dan bersuit keras sekali. Sekali pendek. Tiga kali
panjang. Dan tanpa bersuara pasukan yang sedang ber-
latih itu mundur ke ujung-ujung lembah, atau ke gua-
gua batu di dinding jurang.
Juru Meya mengamat-amati sebuah batu yang han-
cur oleh tenaga Wara Hita tadi. Ia menggelengkan ke-
pala. “Ratu... baru sampai tahap inikah aji Wajra Pra-
yaga yang Paduka pelajari dari si tua Nagaberbisa itu?
He he he... jangan-jangan si tua itu hanya kesengsem
melihat Paduka dan lupa mengajarkan ilmu sebenar-
nya, he he he he....”
“Juru Meya, jika kau tak jaga lidahmu itu... kutarik
hingga putus baru tahu kau!” hardik Wara Huyeng.
“He he he, kalau lidahku putus, hilang sudah sumb-
er kenikmatanmu selama ini, he he he....” Juru Meya
tertawa, mencoba mencolek Wara Huyeng.
“Bibi Wara Huyeng, pasukan Bibi cukup tangguh...
hanya... hanya... kurang ujung-ujung tombak yang per-
kasa,” kata Wara Hita.
“Saat ini hanya Kusya yang memimpin Pasukan Me-
rah tadi, senjata rantainya sungguh tepat untuk men-
desak dan melibas tokoh musuh. Itu pun... hamba kira
belum cukup. Para satria piningit dengan mudah bisa
mengepung balik. Apalagi jika senapati mereka turun
tangan sendiri.” Wara Huyeng termenung. “Kedua orang
Rahtawu itu masih belum bisa diputar jiwanya.”
“Tantri? Dia mau mengajarkan kewiraan pada me-
reka ini?” tanya Wara Hita.
“Anak gila itu! Ia begitu sering membuatku gemas.
Sekali ia setuju untuk bekerja sama. Asal ia diperboleh-
kan pergi ke Kapanjian. Ke Desa Pakisaji. Eh. Di sana ia
hanya duduk-duduk di bawah sebatang pohon beringin
putih. Seharian penuh. Hanya bermain-main tanah. Ke-
tika kutagih janjinya, ia pun setuju. Dan seharian pe-
nuh ia mengajarkan suatu ilmu. Katanya sih ilmu bari-
san Rahula Wayu.” Beberapa saat Wara Huyeng ter-
diam.
“Lalu?” tanya Juru Meya tidak sabar.
“Sorenya... seluruh pasukanku... mencret!” Wara Hu-
yeng kemalu-maluan menutup muka dengan jubah bi-
runya.
Juru Meya tertawa terpingkal-pingkal. “Oh, pastilah
saat itu waktu seluruh pasukanku tak berani mandi ka-
rena sungainya he he he... he he he... he he he...”
“Diam!” hardik Wara Huyeng.
Wara Hita tersenyum pun tidak.
“Beberapa kali Sang Guru juga dipermainkannya,”
kata Wara Huyeng.
“Aku tahu.” Wara Hita menunduk. “Bagaimana ke-
dua murid Rahtawu itu?”
“Yang bernama Anengah... agaknya mulai terbuka,
hanya ia sangat dipengaruhi oleh Butir Hitam Tartar
itu. Sedang Tara... ia malah beberapa kali mencoba bu-
nuh diri, karenanya ia hamba taruh di ruang khusus.”
“Yah. Lelaki yang tidak bunuh diri setelah bertemu
denganmu sungguh lelaki gila, he he he...,” kata Juru
Meya.
“Mereka bertiga belum pernah bertemu, bukan?”
tanya Wara Hita.
“Belum, Nakmas,” sahut Wara Huyeng.
“Baik. Aku akan menemui si Anengah itu. Tentang
Tara... ia memang terlalu kuat pribadinya. Mungkin bi-
sa dihadapkan pada Guru. Tantri... hm, lenyapkan saja
anak itu sebelum menimbulkan penyakit.”
“Tapi, Nakmas... Tantri akan sangat berguna bagi ki-
ta... dia...”
“Selama ini ia hanya mengacau, Bibi,” Wara Hita
mengernyitkan kening.
“Tapi kukira kita belum menggunakan semua cara
untuk menaklukkannya.”
“Mungkinkah ada cara lain?” tanya Wara Hita dingin.
“Jangan-jangan sesungguhnya anak itu anakmu, he
he he he...,” tawa Juru Meya.
Wara Huyeng yang sedang berpikir keras melirik ta-
jam pada orang buruk rupa itu. Tapi kemudian ia men-
dapat ilham.
“He. Ada. Bagaimana kalau Juru Meya yang mena-
ngani Tantri? Atau... Tantri sangat lemah pada kaum
wanita. Kita taruh saja ia di Pasukan Buih!” katanya
gembira menatap Juru Meya.
“Gila kau!” maki Juru Meya.
“Tapi, Bibi Huyeng benar. Tantri memang punya sua-
tu kelebihan... dan kita harus mencoba membukanya
dengan cara apa pun. Ya.” Wara Hita mengangguk-
angguk. “Coba taruh dia di Pasukan Buih-mu, Paman!”
2. ANENGAH
GUA ini khusus. Dipahat dari batu karang gunung.
Kuat dan kukuh. Dengan balok-balok kayu besi sebagai
terali rapatnya. Seperti kandang macan saja.
Isinya memang sesungguhnya lebih kuat dari macan.
Lebih galak dari macan. Dulu.
Kini isi itu tak lagi segalak macan. Tak lagi sekuat
macan.
Anengah bahkan sudah tak mirip manusia utuh.
Utuh dalam raga, utuh dalam pikiran.
Siksaan. Rayuan. Paksaan. Dan Butir Hitam Tartar
yang memberinya berbagai impian indah jika diisap a-
sapnya. Ia mulai meragukan dirinya. Ia meragukan ke-
tangguhannya.
Ketika orang kasar bernama Ula Bandotan itu mem-
bukakan pintu, yang terpikir olehnya pertama kali ada-
lah jatah Butir Hitam itu. Ia gelagapan ketika ternyata
Ula Bandotan menyiramnya dengan satu gentong air
dingin.
“Ugh... mana... mana...” Anengah bertanya sambil
mencoba menghilangkan air dari wajahnya.
“Mana gundulmu!” dengus Ula Bandotan. Dengan
kasar orang itu mengangkat Anengah berdiri. “Bersih-
kan badanmu! Ratu Gusti-ku akan menemuimu!”
“Aku ingin... butiran hitam itu...,” desis Anengah ter-
huyung. Dua orang anak buah Ula Bandotan memban-
tunya mengeringkan muka dan badannya, mengganti
kainnya serta merapikan rambutnya.
“Kau akan dapat, pasti... asal kau baik-baik saja
nanti di hadapan Ratu Gusti-ku, ya? Hayo!”
“Tidak... aku harus membalas dendam. Gusti-mu...
Ratu-mu... telah menghancurkan Rahtawu. Aku harus
membalas dendam!” Sekuat tenaga Anengah menghan-
tam dinding batu. Dan ia menjerit kesakitan.
Ula Bandotan tertawa.
“Ketika kau baru datang, kau bisa membuat dinding
batu itu pecah... tapi sekarang jangan harap. Ayo!”
Anengah diseret di antara lorong-lorong batu sempit
yang sesak oleh bau asap obor di dinding. Pikirannya
hanya satu, dan itu pun diucapkannya, “Mana... mana
Butir Hitam itu... mana... aku... haus....”
Ia baru saja diguyur air. Tapi kini mukanya telah ba-
sah oleh keringat. Mulutnya terasa kering. Ia bahkan ti-
dak membalas saat sepanjang perjalanan itu Ula Ban-
dotan dan anak buahnya begitu royal memberikan ten-
dangan dan pukulan.
Tiba-tiba ia berada di tempat yang luas. Masih ber-
ada di bawah tanah. Atau di dalam bukit batu. Api be-
sar menerangi ruangan itu. Dan di salah satu tepinya
air gemericik mengalir membasahi dinding di tempat ta-
di dan ditampung oleh sebuah sungai bawah tanah ke-
cil yang entah mengalir ke mana. Angin pun berembus.
Entah dari mana. Membuat api bergoyang-goyang. Dan
memberi suasana dingin.
Ini tempat berlatih. Beberapa waktu yang lalu, entah
kapan, setelah kakinya sembuh hampir tiap hari ia di-
bawa ke sini. Dan diadu melawan seseorang berpakaian
serba kuning, dan bahkan mukanya tertutup kerudung
kuning. Atau wanita genit yang berpakaian serba biru
itu.
Mula-mula ia memang bersemangat untuk bertem-
pur. Untuk melampiaskan kemarahannya. Kekesalan-
nya. Tapi kemudian ia pun sadar bahwa ia diperguna-
kan hanya untuk disadap ilmunya. Mungkin sudah ter-
lambat ia sadar. Kedua orang itu makin mahir menggu-
nakan beberapa ilmunya. Baik Sura-caya, Bantala Li-
wung, atau bahkan Birawadana. Ketika ia mulai men-
coba-coba mengacaukan gerakannya, sudah terlambat.
Dan saat itulah ia mulai diberi Butir Hitam Tartar
itu. Suatu butiran hitam. Yang dipasang di ujung suatu
pipa. Dan dipanasi. Dan asapnya diisap dalam-dalam.
Kemudian... ahhhh, berbagai mimpi indah akan diala-
minya. Begitu nyata. Begitu ada.
Tetapi jika kemudian ia sadarkan diri, seluruh tu-
buhnya terasa lemah lunglai. Dan ia sangat meng-
inginkan mengisap benda itu kembali. Sangat meng-
inginkannya. Hingga akhirnya benda itu jadi senjata ba-
gi mereka. Jika ia menginginkan benda itu, maka ia ha-
rus membukakan lagi satu jurus ilmunya pada mereka.
Mula-mula Anengah ingin berontak. Tetapi kemudian
timbul pikirannya... untuk apa? Dan rasa keinginan itu
pun lenyap. Bersama makin nyatanya rasa ingin akan
Butir Hitam Tartar itu.
Seperti saat ini.
Mulutnya terasa sangat kering. Lidahnya serasa
membengkak menggembung. Kepalanya serasa ditusuk-
tusuk ribuan jarum. Dan ia sangat menginginkan asap
dari Butiran Hitam Tartar itu.
Ia dilepaskan oleh Ula Bandotan. Ia terhuyung ke
depan. Lantai ruang ini datar. Kasar. Dari lempengan
batu-batu kali. Dan ia terhuyung maju. Terantuk-an-
tuk. Hampir roboh.
“Duduklah, Kakang Anengah!”
Suara itu merdu. Tapi serasa mendengung. Menya-
kitkan telinga. Dan Anengah sadar akan bau harum itu.
Kemudian ia sadar akan panggilan ‘Kakang’ yang lem-
but. Ia mencoba berdiri tegak. Mencoba memusatkan
pandangan. Ada warna-warna mencolok di depannya.
Warna merah api menyala. Warna biru berkilau.
Warna putih. Dan warna kuning.
“Siapa kau... sss... siapa?” Anengah hampir tak kuat
mengatakan itu.
“Duduklah... istirahatlah...,” suara merdu itu berka-
ta. Dan Anengah merasakan betapa beberapa tangan
kuat memapahnya. Tidak menyeretnya. Maju. Dan du-
duk di lantai batu yang dingin.
Saat matanya sudah dapat diandalkan, dilihatnya si
wanita baju biru. Seperti biasa, tersenyum genit. Dan di
sampingnya seorang pria, berpakaian serba kuning.
Dan manusia bertubuh bundar itu dengan lidah yang
selalu terjulur.
“Kakang Anengah, kami ingin berbicara baik-baik
denganmu... kami harap kau bersedia...,” pria berbaju
kuning itu berkata. Dan mungkin telinga Anengah yang
kacau. Suara merdu itu datang dari seorang pria? Ane-
ngah mengangkat muka. Wajah orang itu tampan. Baru
kali ini ia melihatnya. Biasanya orang itu memakai ca-
dar. Tapi... ah, ya, biarlah. Apa pedulinya. Yang penting
ia bisa memperoleh... ah, mungkinkah ia akan diberi
Butir Hitam itu? “Kakang Ula Bandotan...” Setengah
merintih ia berpaling mencari pengawalnya. Dan tiba-
tiba sebuah tendangan keras menghantam kepalanya.
“Aughhh!” Anengah sampai terpental dan terbanting.
Di depannya orang berpakaian serba kuning itu berdiri
gagah dengan tangan bertolak pinggang.
“Kakang Anengah, ingatlah bahwa kau seorang pen-
dekar unggulan padepokan yang kenamaan,” orang itu
berkata. Perlahan, tetapi tajam menusuk. “Bersikaplah
gagah dan jantan!”
Beberapa saat memang keutuhan pribadi Anengah
seakan hendak kembali. Tetapi lemah lagi. “Aku... sa-
kit... aku... lemah.... Beri aku obat....”
“Nakmas, agaknya ia sudah tak tahan lagi, biarlah ia
istirahat....” Wanita baju biru itu maju dan membantu-
nya tegak, serta berbicara lembut. “Ayo, Bocah bagus,
duduklah tegak.”
“Kurasa tak ada perlunya lagi, Bibi, manusia ini su-
dah tak berguna lagi,” si baju kuning berkata ketus.
“Ah, kurasa dia hanya perlu istirahat, pengobatan,
dan makanan yang cukup... bukankah begitu, Anak ba-
gus?” kata si baju biru, mengelus kepala Anengah.
Sesungguhnya Anengah jijik pada wanita baju biru
ini. Tetapi saat ini, saat ia dalam keadaan terlemah,
hanya si biru ini yang membelanya, yang merawatnya.
“Aku perlu Butir Hitam itu...,” bisik Anengah.
“Tentu, jangan khawatir,” bisik Wara Huyeng, men-
dekap kepala Anengah ke dadanya yang lumayan itu.
Dan dengan suara keras, hingga terdengar jelas oleh
Anengah, Wara Huyeng berkata (sambil mengerdipkan
mata yang tak terlihat oleh Anengah), “Nakmas, biar
aku saja yang berbicara dengan Saudara Anengah ini.
Sayang kan jika orang segagah ini terbuang begitu sa-
ja....”
“Tadinya aku juga berpikiran begitu. Tapi melihat
keadaannya, mungkin lebih baik dijadikan mangsa bi-
natang buas di hutan saja. Pengawal! Bunuh orang itu!”
Dengan tegas Wara Hita berpaling.
“Nakmas, kumohon... batalkan keputusan itu. Beri
hamba waktu satu bulan saja,” pinta Wara Huyeng.
“Baik. Sebulan. Tidak lebih!” Dan tiba-tiba saja Wara
Hita melangkah mantap meninggalkan tempat itu. O-
rang buruk rupa itu pun mengikutinya.
Tinggal Anengah, Wara Huyeng, dan beberapa praju-
rit penjaga.
“Aduuuuh, hampir saja dunia kehilangan seorang
pemuda tampan!” Tak malu-malu Wara Huyeng menci-
umi Anengah. “Ugh... hampir saja lho. Sudahlah. Te-
nangkan dirimu. Jika ada apa-apa aku akan membela-
mu. Jangan takut. Oh, ya, Bocah bagus, kau sudah ta-
hu namaku, bukan? Namaku Wara Huyeng... orang-
orang memanggilku Gusti Sepuh. Aku tak suka itu. Ma-
sakan aku sudah tua? Kau panggil aku Kakangmbok
saja, ya, Anak tampan. Biar kita jadi saudara.”
Bagi Anengah sesungguhnya tak penting. Apakah
mereka jadi saudara, sahabat, ataukah suami-istri, atau
hanya kumpul kebo. Pokoknya ia memperoleh Butir Hi-
tam itu. Entah apa yang diberikan mereka pada butiran
tersebut sehingga ia begitu ketagihan.
“Butir Hitam itu...,” keluh Anengah.
“Asal kau mau dengan sukarela, dengan hati terbu-
ka, dengan tulus membantu kami?” rayu Wara Huyeng.
“Ya... ya... pokoknya beri aku Butir Hitam itu...,” ke-
luh Anengah.
“Tentu, segera diambilkan. Oh, kasihan sekali kau,
Anak tampan.” Wara Huyeng mendekap Anengah ke
dadanya. “Kau akan betul-betul membantu kami, bu-
kan?”
“Ya, ya... cepat berikan...,” bisik Anengah. Hampir
menangis.
3. TARA DAN TANTRI
TARA berada di sebuah bilik kecil. Keempat dindingnya
adalah dinding batu. Salah satu dinding itu bisa dibuka.
Entah bagaimana. Jika orang-orang yang menahannya
memberinya makanan.
Tak ada yang lebih membuat Tara menyesal, daripa-
da kelahirannya di dunia ini. Dari awal, sungguh men-
gecewakan. Siapa ayah-ibunya, ia tak tahu. Di mana ia
sebenarnya lahir, ia tak tahu. Dan akhirnya... betulkah
ia yang menyebabkan hancurnya Padepokan Rahtawu?
Ia tak tahu banyak apa yang terjadi.
Dan kejadian itu rasanya sudah lama sekali.
Seakan terngiang di telinganya, lagu-lagu sejuk, la-
gu-lagu keagamaan yang biasanya didengarnya di Pa-
depokan Rahtawu. Kesejukan yang kemudian hancur
oleh suara jerit-tangis para warga Rahtawu. Peman-
dangan hijau indah di sekeliling padepokan itu selalu
terhapus oleh pertarungannya dengan si... si bidadari.
Itu pun kemudian lenyap oleh hajaran Suranggana pa-
danya. Suranggana yang menuduhnya tak punya hati
untuk melawan musuh. Suranggana yang akhirnya te-
was di tangan sang bidadari. Dan itu memang disebab-
kan oleh keragu-raguannya.
Tara menyesali kehadirannya di dunia ini.
Peristiwa selanjutnya, entah apa yang terjadi. Mung-
kinkah ini mimpi buruk yang tak pernah berakhir?
Terakhir ia ingat bahwa ia dijatuhi hukuman mati.
Dan rasanya itu memang wajar. Tapi malam itu...
Ia teringat, tiba-tiba saja Resi Rhagani muncul di ha-
dapannya.
Ia tak tahu, lewat mana. Dan bagaimana. Ruang itu
hampir tidak cukup untuk bersila seorang diri. Dan gu-
runya berdiri di sudut. Memandang murung padanya.
“Guru!” Saat itu Tara merasa bagaikan mimpi, dan
hanya bisa berseru terkejut.
“Sayang kau harus lenyap, Tara,” kata gurunya lem-
but. Atau... mungkin sesungguhnya gurunya tak berka-
ta apa-apa dan sesungguhnya suara itu hanya khaya-
lannya belaka?
“Guru... putu maharsi begitu berdosa....” Mungkin ia
berkata begitu. Mungkin juga, sekali lagi, ini hanya kha-
yalannya.
“Mungkin bukan kau yang dimaksud oleh Sang Bhre
Daha... Mungkin bukan kau....”
“Guru... apakah yang Mpungku maksudkan?”
“Apa yang aku maksudkan, kini tak berarti lagi. Ke-
putusan telah diambil. Dan kau harus mati.”
“Putu maharsi rela, Mpungku!”
“Aku yang tidak rela, Tara, tetapi inilah kehendak
Mahesywara. Padahal... aku sangat mengharapkan da-
rimu terpancar sinar kemegahan Wilwatikta. Aku sangat
ingin, suatu waktu kau bertemu dengan kakek gurumu,
yang menjadi sumber semua ilmu kita.”
“Guru... putu maharsi begitu mengecewakan Guru....”
Tara menunduk dalam-dalam. Dan, lama ia tak men-
dengar kata-kata Sang Guru lagi. Lama. Sampai akhir-
nya ia tersentak oleh munculnya sesuatu yang aneh.
Bau harum yang begitu menusuk hidung.
Ia terkejut dan sedikit membuka matanya. Dari su-
dut matanya dilihatnya tempat itu terang. Pintu terbu-
ka. Dan seseorang ada di sana.
Gugup Tara mengangkat muka kini. Dan ia makin
terkejut.
Di depannya berdiri bidadari itu. Cantik. Berpakaian
serba hitam. Selendang hitam menutupi seluruh tangan
dan punggungnya yang berkulit kuning-putih. Dan juga
menutupi sebagian wajahnya. Namun saat itu ia menu-
runkan selendang yang menutupi wajahnya itu. Wajah
yang mempesona. Wajah yang penuh daya sihir. Wajah
yang cantik. Tersenyum. Matanya cemerlang.
“Kkk... kkkau...” Tara tak bisa berbicara.
“Ya... aku...” Bidadari itu tersenyum lebih lebar. Me-
matikan obor di tangannya dengan sekali gerakan. Dan
sebuah kekuatan menghantam dada Tara. Hingga ia
pingsan.
Tahu-tahu ia sudah berada di ruang ini.
Entah kapan.
Entah di mana.
Beberapa kali si bidadari itu mengunjunginya. Mem-
bujuknya. Memintanya untuk bergabung. Kemudian
mereka bertempur.
Di ruang ini. Atau di ruang luas tempat ia digiring.
Namun Tara segera tahu bahwa bidadari itu hanya
mempermainkannya. Hanya mengajaknya bertarung
untuk mitra tanding saja. Bahkan untuk menyadap il-
munya. Sesungguhnya si bidadari itu pastilah dengan
mudah bisa membunuhnya. Jika mau.
Maka penyesalan Tara pun makin memuncak. Kini ia
akan terpaksa membocorkan rahasia perguruannya! Ia
tak mau itu. Dan ia tahu ia tak bisa menghindar dari
ilmu orang yang menawannya.
Ia mencoba bunuh diri.
Mula-mula dengan mencoba mematahkan pergela-
ngannya sendiri. Atau menghantam kepalanya. Atau
membenturkan kepalanya pada dinding batu.
Maka kini dirantai. Pendek sekali. Berdiri bersandar
pada dinding batu. Dengan tangan terbuka lebar mera-
pat ke dinding. Dirantai pendek di pergelangannya. Di-
rantai pula lehernya. Dan pinggangnya. Dan kakinya.
Ia sama sekali tak bisa menggerakkan tubuhnya.
Makanan dipaksakan masuk ke dalam mulutnya. Dije-
jalkan. Atau perutnya dipukul hingga mau tak mau mu-
lutnya ternganga dan makanan dilemparkan masuk.
Ia sama sekali tak bisa bergerak. Hanya bisa menye-
sali nasibnya. Beberapa kali ia dibujuk. Oleh si bida-
dari. Atau seorang wanita lain yang sangat genit. Tapi
penyesalan membuatnya membatu. Ia disiksa. Ia dira-
cuni. Ia diobati.
Dalam hati ia telah bertekad untuk tidak membuat
kekeliruan lagi. Dan ia tetap bungkam.
Ia hanya bisa mengetuk-ngetukkan gelang besi di
tangannya ke dinding dalam usahanya untuk bunuh di-
ri. Gelang besi membuat suara berketuk-ketuk di din-
ding.
Dan entah kenapa, ia merasa bahwa ada suara ketu-
kan lain.
Tadinya itu tak diperhatikan. Entah sudah berapa
hari. Mungkin ini hanya impian juga. Tapi hari ini... Ia
serasa baru sadar.
Ketukan itu seirama dengan mantra-mantra upacara
Sakalikarana. Upacara untuk menghadirkan dewa.
Tempat apa ini sesungguhnya? Kemungkinan besar
semacam penjara. Dan orang-orang ini agaknya gerom-
bolan penjabat. Tak mungkin mereka begitu iseng rajin
sekali mengetuk-ngetuk dinding dengan irama itu.
Mungkin... ada orang lain yang ditawan? Ada orang se-
nasib dengannya?
Tak terasa Tara pun ikut mengetuk. Dengan gelang
besi yang mencekam pergelangan tangannya ke dinding.
Dan dalam hati ia ikut menyanyikan mantra tersebut.
Dengan sepenuh hati, karena ia ingin melupakan kea-
daan sekelilingnya. Dengan sedih hati, karena ia ter-
ingat pula masa-masa ia menyanyikan mantra yang
sama di Rahtawu.
Kemudian, tiba-tiba saja, seolah dirasakannya ia me-
nyanyikan mantra itu berdua bersama-sama orang lain.
Ya. Berdua. Jelas suaranya berbeda! Dan jelas sekali.
Seolah orang itu di dekatnya.
Ia terkejut, membuka mata. Suara itu lenyap, walau-
pun ketukannya masih ada. Ia menutup mata kembali.
Mengetuk kembali. Menyanyikan mantra itu kembali.
Makin bersungguh-sungguh. Makin khusyuk. Dan... ya.
Suara itu terdengar lagi.
Ia sadar. Seseorang mencoba menghubunginya de-
ngan perasaan hati. Dengan hubungan batin. Sambil te-
rus menyanyikan mantra itu, ia mencoba bertanya, da-
lam hati, “Siapa kau?”
“Kau sungguh cerdas,” suara itu terdengar. “Pu-
satkan pikiranmu. Gunakan ilmu Coban Saleksa- mu.”
“Tunggu, aku tak tahu ilmu itu!” dalam hati Tara
berteriak. Tapi suara tadi telah lenyap. Dan ia menya-
nyikan mantra sendiri. “Jangan pergi!” ia berseru dalam
hati. Tangannya kembali giat mengetuk.
Beberapa lama ia mulai memusatkan pikiran lagi.
Dan suara itu muncul kembali, “He, ke mana kau?”
“Aku tak tahu ilmu Coban Saleksa!” teriak Tara.
“Oh,” suara itu seolah berseru heran. “Gunakan ilmu
pemusatan pikiran!” ia seolah berkata tergesa-gesa.
Dan Tara cepat menerapkan ilmu itu, yang memang
diciptakan untuk memusatkan pikiran pada sesuatu,
dan biasa digunakan saat Resi Rhagani sedang menga-
jarkan suatu ilmu baru.
“Ah, aku hampir tak kuat,” suara di dalam benaknya
seolah terdengar. “Kau bukan murid Rahtawu?”
“Siapa kau?” Tara bertanya curiga.
“Berarti kau murid Rahtawu. Kau ditahan?”
“Ya!” kata Tara dalam hati. “Siapa kau?”
“Aku tak bisa bicara banyak, terlalu berat menembus
pikiranmu. Terapkan ilmu ini dalam mantra Sakali-
karana. Ketuk lagi jika kau sudah siap.”
Dan suara itu hilang.
Tara hampir menjerit putus asa. Kemudian timbul
berbagai pikiran di benaknya. Pertama, benarkah per-
cakapan dalam hati tadi terjadi? Kedua, siapa lawan bi-
caranya? Ketiga, apakah ini bukan sesuatu yang me-
nyesatkan?
Sebab, permintaan terakhir tadi, jika dalam keadaan
biasa, adalah sangat menggelikan dan tak mungkin bisa
dilaksanakan.
Jelas tadi ada kata Coban-Saleksa. Ini memberi pe-
tunjuk bahwa percakapan itu benar terjadi. Tara belum
pernah mendengar nama itu, jadi tak mungkin nama itu
muncul begitu saja. Kemudian pertanyaan bahwa apa-
kah dia benar murid Rahtawu.
Tara memang pernah mendengar tentang percaka-
pan dengan bisikan batin. Beberapa kali sewaktu ia se-
dang berlatih sesuatu ilmu, gurunya sering membisik-
kan suatu tuntunan, tanpa ia harus menunda apa yang
sedang dilakukannya. Tetapi biasanya itu hanya berja-
lan sepihak. Bisakah sekarang ia melakukannya dari
dua belah pihak?
Mantra tadi. Itu adalah salah satu mantra dalam
upacara memohon doa restu para dewa. Memohon ke-
hadiran para dewa. Dan itu berarti pelakunya harus
mengosongkan pikiran. Dan benar-benar yakin. Benar-
benar percaya akan kehadiran dewa yang dipanggilnya.
Ah. Itukah yang diinginkan oleh siapa pun orang
yang menghubunginya?
Rasanya tak ada salahnya jika dilakukannya.
Tara mulai bersemadi, memusatkan pikiran. Melu-
pakan rasa sakit di tubuhnya. Melupakan rasa sedih di
hatinya. Memusatkan pikiran untuk mengosongkan pi-
kirannya.
Entah berapa lama.
Kemudian, mula-mula sangat kabur, sebuah suara
mulai memasuki pikirannya. Makin lama makin jelas.
Makin jelas.
“Ah, kau sungguh cerdas. Dan kau ternyata murid
Rahtawu,” suara itu berkata.
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku begitu mudah memasuki pikiranmu.”
“Kau... kkkau... duh... apakah...”
“Tolol. Aku bukan gurumu.” Suara itu seakan terta-
wa.
“Apakah...”
“Kita tak punya hubungan dalam tingkatan. Kau bo-
leh berbicara bebas denganku....” Kembali suara itu me-
nebak tepat apa yang dipikirkan Tara.
“Tapi...”
“Dalam usia pun tidak. Ini yang membuatku bi-
ngung. Aku masih kecil, tetapi jauh lebih jago dari ka-
lian. Mungkin guru kalian tak becus mengajar.”
“Jika kau berkata tidak menghormat tentang guru-
ku, lebih baik kita hentikan saja....”
“Ah, dasar anak muda. Tak bisa mengendalikan pe-
rasaan! Baiklah. Tapi jelas-jelas kukatakan, jika aku
melawan gurumu pun belum tentu ada yang menang.”
“Kau bilang tadi ‘kalian’. Siapa yang kaumaksud?”
“Kakakmu Anengah. Dan adikmu Tari. Oh, Tari...”
Dan suara itu menggumamkan suatu nyanyian. Tidak
merdu.
“Kakang Anengah! Dan Tari! Hei. Mereka ada di si-
ni?” Sampai sesak napas Tara dan hubungannya sea-
kan kacau. Ia cepat-cepat memusatkan perhatian lagi.
“Jangan itu terjadi lagi!” Suara itu seakan berang.
“Sakit kepalaku kaubuat, tahu?”
“Maaf...”
“Baik, kumaaikan.”
“Siapa kau?”
“Aku berteman dengan Tari. Oh, Tari... Entah dia se-
karang di mana. Aku tunggu dia di Kapanjian. Dia tak
muncul.”
“Apa yang terjadi? Mengapa kau bisa yakin Tari akan
ke Kapanjian? Apakah ia memang meninggalkan Rah-
tawu?”
“Banyak hal yang kau tak tahu, tapi tak bisa diceri-
takan sekarang. Aku capek! Kau ingin melarikan diri
dari sini?”
“Ya!”
“Ikutilah permintaan mereka.”
“Ah. Jadi kau di pihak mereka?”
“Bukan. Beberapa hari ini kurasakan kau ingin bu-
nuh diri, bukan?”
“Bbb... benar....”
“Itu suatu keputusan yang baik. Nah, ikuti permin-
taan mereka. Minta mereka membawamu ke puncak
Jurang Grawah. Berusahalah untuk berada di tepi tubir
jurang itu. Kemudian dengan langkah Sura-caya, lem-
parkan dirimu ke dalam jurang itu. Jurang itu dalam-
nya lebih dari seribu depa. Tubuhmu pasti hancur di
dasarnya. Dan mereka tak mungkin berani mencoba
menyelamatkanmu. Kalau kau betul-betul ingin bunuh
diri lho! Sura-caya dilakukan dalam keadaan kau dis-
edot bumi akan sangat luar biasa kecepatannya. Nah.
Aku capek!”
Dan hubungan itu putus.
Tara terengah-engah. Nasihat macam apa itu? Per-
tama, ia ditanya apakah ingin melarikan diri dari sini.
Kedua, apakah ia ingin bunuh diri.
Tapi memang. Bunuh diri agaknya jalan satu-satu-
nya untuk lari dari sini.
Hati Tara sedikit lega.
4. PETUALANG WANITA
GAGAH PERKASA
KI MAHENDRA dan Sinom. Pasangan ini memang unik.
Yang seorang jelas tua. Dengan kepala gundul. Jenggot
dan kumis putih panjang terjurai. Berpakaian kain pu-
tih kasar. Yang seorang lagi, wajahnya sulit ditentukan
tua atau mudanya. Tapi cantik, ya. Rambutnya hitam,
tebal, indah berkilau. Pakaiannya kain putih sutera
yang mengkilap. Dengan sepasang tanduk rusa yang
terselip di kain ikat pinggangnya. Entah itu senjata atau
bukan, orang boleh menduga-duga sendiri. Sesungguh-
nya sering juga Sinom menggunakan tanduk rusa itu
sebagai penyangga periuk untuk memasak nasi atau
sayur atau air. Ia pun tak peduli.
Tingkah keduanya pun unik. Ki Mahendra menggu-
nakan apa saja untuk bermain-main sepanjang perjala-
nan. Sementara Sinom, seakan selalu ada saja yang
membuatnya heran.
Seperti saat mereka berdua memasuki desa Paruan.
Sejak keluar dari hutan batas tadi Ki Mahendra sudah
asyik bermain batu. Dengan sebatang tongkat kayu ia
memukul sebutir batu, dan ke mana pun batu itu lari
selalu dikejarnya. Sinom sendiri berlari-lari kecil, ber-
nyanyi-nyanyi dan sebentar-sebentar berhenti untuk
mengamati bunga, atau pohon, atau batu, atau sekali
bahkan mengejar seekor burung dan berhasil menang-
kapnya.
Di mulut desa, Sinom berhenti sejenak. Di halaman
rumah yang paling ujung di desa itu beberapa orang
anak sedang bermain tanah.
“Kakang Mahendra, sesungguhnya kita harus meng-
akui, Bahni Tamoli kita bisa dengan mudah dikacaukan
oleh kekuatan Kakang Megatruh. Ya nggak?” tanya Si-
nom sambil memperhatikan anak-anak itu ramai, ma-
sing-masing membuat gundukan dengan tangan me-
reka, membentuk kerucut-kerucut tanah berpasir kecil.
“Enak saja! Kau berkata begitu karena dia kakak-
mu!” Ki Mahendra memukul batunya yang melayang
melewati pagar di kiri jalan dan masuk ke halaman
orang.
“Kalau kita tidak merasa kalah, mengapa kita tergesa
meninggalkannya?” tanya Sinom. Dilihatnya anak-anak
itu masing-masing meludah hati-hati pada pucuk ke-
rucut masing-masing.
Mereka memang tergesa-gesa meninggalkan Tasik
Arga, padepokan Ki Megatruh. Pertama karena mereka
merasa bersalah (walaupun tak mungkin mengakui)
atas perginya Nyai Rahula. Kedua, karena mereka se-
sungguhnya malu (walaupun takkan mungkin mengaku
juga) bahwa mereka kalah ilmu. Dan yang ketiga, me-
reka memang tergesa-gesa mencari anak mereka, Tan-
tri.
Tapi begitu di perjalanan, seperti biasa mereka lupa
akan ketergesa-gesaan itu.
“He, Kakang Mahendra. Coba lihat itu. Bagus sekali!”
Sinom bertepuk-tepuk tangan dan berlompat-lompatan
kecil. Dilihatnya anak-anak tadi, setelah menunggu be-
berapa saat, mencukil bagian puncak kerucut yang tadi
mereka basahi dengan ludah. Kini puncak-puncak ter-
sebut telah berbentuk kue!
Tetapi Ki Mahendra tak menjawab. Ia sedang berlari
ke belakang sebuah rumah mengejar batunya. Karena
tak ada jawaban, maka Sinom pun melompati pagar
dan mendekati anak-anak yang sedang bermain itu.
“Hayo buat lagi, hayo buat lagi... bagus ya kuenya? Ba-
ru bulan begini kok sudah membuat kue apam? Mana
soma-nya., hayo! Masa makan kue tidak pakai minum?
Apa ya enaknya....”
Sinom berdiri di halaman itu, dengan kedua tangan
di punggungnya, menelengkan kepala seolah-olah ber-
pikir. Anak-anak tadi saat Sinom melompati pagar telah
melompat mundur ketakutan. Dan mendengar suara
asing yang lantang itu beberapa orang tua memuncul-
kan kepala dari pintu-pintu rumah mereka.
Seorang anak agaknya paling berani. Ia gundul. Te-
lanjang. Hitam. Kotor. Ia maju dan berkata, “Biasanya
kami main dengan kelapa muda... tapi sekarang kelapa
mudanya sering diambil orang!”
“Ah, kalau diambil orang kan tidak apa-apa... asal ti-
dak diambil monyet... monyet seperti kau! Hi hi hi... kau
seperti monyet tidak?” Sinom tertawa, bertanya.
“Memang seperti... tapi kan monyet hitam, hayo! Hi
hi hi...,” anak itu juga tertawa.
“Hi hi hi... monyet hitam bisa manjat nggak? Itu kan
ada pohon kelapa? Tunggu apa lagi?” tanya Sinom.
“Tunggu sampai nanti bisa manjat, hi hi hi hi...,”
anak itu tertawa lagi.
“Lalu... kapan bisa manjat, hi hi hi...,” tanya Sinom.
“Lha ya nanti kalau sudah lima tahun lagi, hi hi hi
hi...jawab anak itu.
“Waaaa, terlalu lama. Sekarang saja kau terbang....”
Tiba-tiba saja Sinom menyambar anak itu dan melem-
parkannya ke atas.
Terdengar beberapa jeritan terkejut dan suara orang-
orang berlari mendekat. Anak itu sendiri tidak terkejut.
Lemparan Sinom begitu lembut dan tepat. Ia seakan
melayang pelan meninggi, tepat sampai ke batas buah
pohon kelapa itu. Sesaat ia bergelantungan di beberapa
buah kelapa, dan memuntir sebutir.
Ia pun kemudian meluncur ke bawah dengan mem-
bawa sebutir kelapa muda.
Tapi ketika Sinom akan menyambut kejatuhan anak
itu, tiba-tiba saja dirinya telah dikurung oleh belasan
mata tombak.
“He, jangan halangi aku!” Serta-merta Sinom melon-
cat tinggi, melesat menyambar anak yang hampir sam-
pai ke tanah itu. Terlambat sedikit saja, pastilah anak
hitam itu terhunjam ke tanah.
Sekali lagi di sini pun Sinom langsung terkepung
oleh beberapa senjata.
“Wah, terima kasih, kok untuk kelapa satu saja be-
gini banyak yang mau meminjamkan alat.” Dengan mu-
dah Sinom merampas sebilah pedang dan memba-
batkannya pada kelapa yang dipegangnya.
Tapi kembali ujung-ujung senjata itu tersodor meng-
halangi pedangnya.
“He, sudah, aku sudah dapat, lainnya tak usah!” te-
riak Sinom.
Orang yang mengelilinginya bertampang seram-
seram. Dan mereka tampaknya bukan orang desa sini.
Lain dengan orang-orang lain yang berada di kejauhan.
Mereka lugu. Heran. Dan ketakutan. Pakaian mereka
pun sederhana. Dan banyak ibu-ibu di antara mereka.
Ribut memanggili nama-nama... pastilah nama anak-
anak mereka.
“Gandarwa perempuan, ingatlah, ini terakhir kali
kau boleh muncul di sini,” orang yang paling berwajah
seram dari semua pengepung Sinom berkata. “Namaku
Ki Ridu, dan ini semua benggol Gunung Lawu. Orang
desa sini telah menyewa kami. Jadi... jangan berani da-
tang lagi. Mestinya kau tahu Ki Ridu, bukan?”
“Ya. Aku tahu. Ki Ridu adalah kau. Dan jika kau tak
menghendaki aku muncul lagi di sini, ya baiklah. Nih,
Monyet hitam....” Sinom mengulurkan kelapanya pada
anak yang masih berada dekat kakinya. “Aku mesti per-
gi nih... takut, he... tapi aku mesti mencari temanku du-
lu.”
“Temannya sudah kami tangkap, Kiai!” terdengar
orang berteriak. Dan dari balik rumah tampak Ki Ma-
hendra yang basah kuyup diikat kedua belah tangannya
dan diseret oleh tiga orang seram yang agaknya juga
anak buah Ki Ridu.
“He, kenapa kau, Kakang?” Sinom tertawa. “Kau lupa
kalau sesungguhnya kau tidak suka mandi?”
“Lha aku tahu-tahu jatuh ke sumur, he!” kata Ki Ma-
hendra memeras jenggotnya. “Dasar, yang punya sumur
kurang ajar! Masa... sumur tidak diberi pagar! Heran!
Eh, kenapa mereka ini?”
“Mereka mau jual senjata barangkali. Entahlah.
Kau... kenapa diikat? Nyuri ayam lagi, ya?”
“Enak saja! Mereka tidak punya timba. Jadi untuk
mengambil air mereka memakai aku... diikat... diulur
sampai ke air... terus aku disuruh menghirup air seba-
nyak-banyaknya baru kemudian aku ditarik ke atas.”
“Diam!” bentak Ki Ridu. “Kalian berdua tak boleh ke
sini lagi dan minta apa pun pada penduduk desa, me-
ngerti?”
“Baik. Baik... aku mewakili dia menjawab, lho!” kata
Sinom.
Ki Ridu jadi bingung kini. Ia sudah mengharapkan
adanya perlawanan. Tapi ternyata orang ini begitu pe-
nurut! Bingung ia menoleh pada seorang lelaki tua yang
perlahan mendekat.
“Buyut,” katanya. Jadi orang tua itu buyut, atau lu-
rah Desa Paruan itu. “Bagaimana nih... mereka menye-
rah. Lihat, kan, betapa gampangnya jika Ki Ridu dan
kawan-kawannya turun tangan? Nah, kita bunuh saja
keduanya?”
“Begini saja... satu kita lepaskan, satu kita tahan,”
kata Buyut Paruan. “Induk pasukan mereka harus tahu
bahwa mencari bahan makanan di sini sia-sia! Desa Pa-
ruan takkan mudah bertekuk lutut!”
“Berkat Ki Ridu! Ha ha ha! Bayarnya tambah lho,
Buyut!” salah satu anak buah Ki Ridu tertawa. Yang
lain ikut tertawa terbahak-bahak. Tapi mereka langsung
menutup mulut rapat-rapat saat Ki Ridu melotot pada
mereka.
“Diam semua!” bentak Ki Ridu. “Kita memang begal,
rampok, maling, berandal... tapi kita sudah punya janji
pada Buyut Paruan ini! Kita harus membuktikan bahwa
walaupun kita perampok paling jahat di daerah ini... ki-
ta juga bisa dipercaya, tahu! Kita sudah berjanji untuk
menolong desa ini dari para perampok perempuan itu.
Kita laksanakan itu. Baru setelah janji itu selesai... nah,
kita boleh jahat lagi! Sekarang belum boleh, mengerti?”
“MENGERTI, KI RIDU!” serentak semua anak buah
Ki Ridu menjawab.
“Eh, tunggu, aku kan bukan perempuan!” tukas Ki
Mahendra. “Jelas aku bukan kelompok perampok pe-
rempuan, kan? Nah, aku saja lepaskan. Bunuh saja
yang itu.” Ia menunjuk pada Sinom.
“He-eh,” kata Sinom. “Bunuh saja aku. Dia kan su-
dah tua. Tidak dibunuh juga mati sendiri!” Ia berbicara
begitu bersungguh-sungguh hingga semua orang ter-
tegun bingung.
“Enaknya bagaimana yah, Buyut?” bisik Ki Ridu.
“Kamu jadi perampok kok bodo begitu sih... apa-apa
tanya. Bagaimana kalau nanti aku jadi pemimpin pe-
rampokmu saja?” bisik Buyut Paruan.
“Memangnya... Buyut bisa bertempur?” bisik Ki Ridu.
“Kamu kan bisa mengajari aku?” bisik Buyut Paman.
“Eh, kalian main bisik-bisikan apa sih?” Sinom ikut
berbisik. Mereka bertiga memang berada di tengah ling-
karan para anak buah Ki Ridu yang bertampang seram
serta bersenjata lengkap berkelebihan itu. Suasana sepi
sejak Ki Ridu membentak anak buahnya tadi. Hanya
terdengar gemeletuk gigi Ki Mahendra yang basah
kuyup dan masih dipegang oleh tiga orang anak buah Ki
Ridu di pinggir lingkaran.
“Ini, masa orang setua ini ingin diajar bertempur!”
kata Ki Ridu.
“Untuk apa?” tanya Sinom berbisik.
“Biar bisa jadi perampok! Sepertinya... jadi perampok
kok enak,” sahut Buyut Paman masih berbisik. “Me-
rampok boleh. Melindungi desa juga boleh. Dapat upah,
lagi!”
“Berapa kaubayar dia, Buyut?” tanya Sinom.
“Tiap hari makan enak, kemudian padi tiga pikul tiap
pekan, boleh tidur di mana pun mereka suka, dan
uang,” kata Buyut Paman.
“Sebetulnya tidak banyak, dibanding tugas yang ha-
rus kami hadapi!” tukas Ki Ridu. “Bayangkan! Kami ha-
rus menghadapi perampok-perampok perempuan yang
sakti-sakti coba! Apa itu tidak berarti menyabung nya-
wa?”
“Kau sudah pernah menghadapi perampok perem-
puan itu, Ki Ridu?” tanya Sinom.
“Belum. Tapi mereka sakti-sakti kok. Pokoknya kau
bisa mati ketakutan kalau ketemu mereka!” kata Ki Ri-
du.
“Bagaimana bisa? Bukankah dia juga anggota pe-
rampok perempuan itu?” tanya Buyut Paman.
“Ya ampun! Benar juga!” Ki Ridu memperhatikan Si-
nom. “Eh, tapi kau kok tidak menakutkan?”
“Ugh. Ini paling juga cuma pembantunya!” kata
Buyut Paruan. “Kalau kaulihat yang berjubah biru itu...
wah. Bisa mati kutu kau!”
“Kalau lihat ini sih... yah, si jubah biru yang Buyut
takutkan itu pasti... keciiiiil!” Ki Ridu menunjukkan jari
kelingkingnya.
“Tantang saja dia supaya datang kemari. Jadi beres,
kan?” Buyut Paruan berseri-seri. Mungkin kalau peram-
pok perempuan itu sudah dibereskan, ia tak usah lagi
menyewa Ki Ridu. “Seperti Gusti Kartanegara dahulu.
Potong kupingnya dan kirimkan ia kembali!”
“Pikiran bagus, Buyut. Mana, kupingmu kupotong
sini!” bentak Ki Ridu pada Sinom.
“Nih...” Sinom menjulurkan kepalanya. Dengan ter-
tawa Ki Ridu mencabut kerisnya dan memegang kuping
Sinom. Tetapi kemudian ia terkejut. Beberapa kali ia
iriskan keris itu, selalu saja kuping yang sudah dipe-
gangnya luput.
“Hei, kamu diam dulu... kan tidak bisa kupotong
nih!” kata Ki Ridu kesal.
“BUYUT PARUAN! MANA UPETIMU!” tiba-tiba terde-
ngar suara keras dari luar halaman. Semua terkejut—
kecuali Sinom dan Ki Mahendra. Dari tadi mereka su-
dah tahu kehadiran beberapa belas wanita berpakaian
bagaikan prajurit yang diam-diam mengepung tempat
itu.
Buyut Paruan hampir pingsan. “Ki Ridu... itu... itu
mereka datang!”
“Oh, jadi kau hanya buat pancingan, ya!” Ki Ridu
mendorong Sinom ke pinggir, kemudian berjalan de-
ngan gaya gagah ke tempat orang yang tadi berseru,
sambil memutar-mutarkan tombak di tangan kirinya.
“Siapa kau?” tanyanya pada wanita itu, sambil menun-
juk dengan tombaknya.
“Namaku Ni Dukut. Kudengar Buyut Paruan menye-
wa gerombolan perampok untuk melindungi desanya.
Kau yang bernama Ki Ridu?” wanita itu bertanya.
“Ooo, jadi sudah kenal namaku, ya! Bagus! Jadi, ta-
kutlah! Dan menyingkirlah. Atau tetaplah di sini untuk
memuaskan kami, ha ha ha... happpph!” Tawa Ki Ridu
terputus karena dengan keras sekali Ni Dukut menam-
par mulutnya. “Kurang ajar kaupppph!” Sekali lagi tam-
paran keras itu melecut bibir Ki Ridu. “Kau... ppph!”
Dan sekali lagi. Tampaknya begitu mudah. Tapi begitu
cepat. Tangkisan Ki Ridu selalu datang terlambat.
“Kau cepat pergi, kalau tidak tinggalkan kepalamu di
sini!” Tangan Ni Dukut sangat cepat. Beberapa tampa-
ran keras dilecutkannya berturut-turut.
Ki Ridu terpaksa meloncat ke belakang, menjauh.
“Perempuan tak tahu diuntung!” Ki Ridu membentak
keras, meloncat memasang kuda-kuda.
“Aduuuh, sungguh menakutkan!” kata Sinom de-
ngan suara bening yang terdengar jelas di kesunyian
itu. “Apa dia mau menirukan... apa ya... kodok atau-
kah... kadal, ya?”
Andalan Ki Ridu adalah suatu ulah silat yang diberi
julukan “Harimau Kumbang Hutan Selatan”. Sosok ku-
da-kudanya galak, diikuti oleh raut muka yang memang
diatur untuk meruntuhkan iman lawan. Bagi orang
awam kelihatan jelas persamaan kedudukan tubuhnya
dengan seekor harimau kumbang yang akan menerkam.
Tentu saja, dikatakan ‘kodok’ atau ‘kadal’ membuat Ki
Ridu sangat murka.
Ia langsung menerjang Ni Dukut. Ni Dukut bagaikan
menari memutar tubuh, bertumpu pada satu kaki, me-
rendahkan tubuh dan menghantam dengan kedua tinju
kecilnya.
Serangan pertama Ki Ridu punah!
Terjangan Ki Ridu makin gencar. Bumi sampai berge-
tar oleh injakan kakinya yang besar-besar itu. Tetapi Ni
Dukut seolah tak acuh. Bergerak lembut ke sana-
kemari. Dan sekali-sekali tendangan dan tebasannya
membuat Ki Ridu terguling-guling mundur.
Suatu saat sebuah tendangan telak mengenai jang-
gut pemimpin perampok yang langsung terpental mem-
bentur batang pohon kelapa. Beberapa saat ia nanar
berkunang-kunang matanya.
“Buyut Paruan, upetimu kali ini dua kali lipat!” kata
Ni Dukut dingin.
“Tawur!” teriak Ki Ridu melompat berdiri dan menca-
but pedangnya. Serentak pula anak buahnya langsung
menyerbu.
“PASUKAN BUIH!” teriak Ni Dukut. Dan tiba-tiba saja
pasukan wanitanya bergerak. Serentak. Seakan tak be-
rencana, namun langsung membuat anak buah Ki Ridu
terdesak. Kilatan pedang mereka putih, seakan bergetar
menyilaukan pandang sebelum menebas atau menu-
suk. Semua anak buah Ki Ridu memang tak menduga
mendapat perlawanan sedemikian hebat. Mereka lang-
sung kedodoran bingung menyusun barisan. Memang
sesaat mereka mampu bertahan, dengan mencoba ne-
kat menembus barisan wanita itu. Juga karena jumlah
mereka lebih banyak. Tetapi tak lama. Dengan keji pa-
sukan Ni Dukut menebas siapa pun yang lengah hingga
tak lama tempat itu sepi kembali. Yang terdengar hanya
beberapa erangan orang melepas nyawa.
Ki Ridu sendiri terdesak ke sebatang pohon kelapa,
dikurung oleh tiga bilah pedang putih perak.
“Ki Ridu, kau patut mati!” kata Ni Dukut. Dan tiga
bilah pedang terayun. Rampok tergarang dari hutan
Lawu itu roboh.
“Buyut Paruan, upetimu harus kaubayar empat kali
lipat. Dan, sekarang juga!”
“Ampun, Dewi, ampun, Dewi... mohon diampuuuun
...,” Buyut Paman sampai bersujud dan menyembah
dengan kepala melekat ke tanah. “Mohon diampun...
membayar satu kali saja kami tak akan sanggup jika
sekarang kok... apalagi empat kali!”
“Tapi kau mampu membayar rampok-rampok ini,
huh?” ketus Ni Dukut, melambaikan ujung pedangnya
di dekat leher Buyut Paman.
“Malah aku juga disewanya lho!” Sinom yang sejak
munculnya Ni Dukut tadi tak bersuara kini ikut berbi-
cara. “Bayangkan! Padahal hargaku mahal. Lagi pula,
dia bilang... apa takutnya sih dengan si Dukut... ugh,
ugh, ugh....” Sinom menimkan gaya dan suara bicara
Buyut Paruan dengan sangat tepat. “Anak kecil saja bi-
sa mengalahkan. Daripada bayar upeti pada perampok
perempuan sialan itu... lebih baik kuberikan uangku
padamu. Kau cantik, manis, menarik... Apa itu Dukut...
seperti gandarwa kentut!” Sekali lagi Sinom menimkan
gaya bicara Buyut Paruan.
“Tidak... tidak... aku tidak bicara begitu., aku... aku
bahkan tidak kenal pada orang ini!” Buyut Paruan gu-
gup mencoba membantah.
“Diam!” bentak Ni Dukut. Matanya tajam mengawasi
Sinom. Dan Sinom yang merasa diawasi membalas
mengawasi sambil menggoyang-goyangkan kepala serta
tersenyum dipermanis-manis.
“Siapa kau?” tanya Ni Dukut pada Sinom, ujung pe-
dangnya hampir menyentuh dada Sinom.
“Tidak kaget kau nanti jika mendengar namaku? Aku
... mmmh... siapa yah enaknya.... Eh, Kakang, siapa
namaku?” Sinom bersem pada Ki Mahendra yang se-
dang sibuk membanding-bandingkan beberapa butir
batu untuk permainannya berikutnya. Ia bahkan duduk
di punggung salah seorang anak buah Ki Ridu yang su-
dah jadi mayat.
“Eh, namamu... anu... Wanita Petualang Gagah Per-
kasa! Ya. Hebat, ya?” Ki Mahendra tertawa-tawa. “Tak
ada yang ditakuti, tak ada yang mengalahkan, si pem-
buat Ni Dukut bertekuk lutut sambil manggut-manggut!
He he he... namamu panjang sekali!”
“Bagus sekali, bagus sekali!” Sinom bertepuk-tepuk
tangan sambil berloncat-loncatan kecil. “Ya itu namaku.
Mm... pokoknya panjang sekali, sampai aku sendiri lu-
pa. Pokoknya ada bagian yang bunyinya penakluk Ni
Dukut, begitu!”
“Kau memang minta modar!” Gemas Ni Dukut meng-
ayun pedangnya. Tapi walaupun tampaknya tak me-
langkahkan kaki, tubuh Sinom dapat bergeser maju
mundur, ke kiri dan ke kanan, hingga tebasan berun-
tun Ni Dukut hanya menerpa angin. Dan mereka ber-
dua kembali ke kedudukan semula. Sinom tertawa ge-
nit. “Benar kan kataku? Mengayunkan pedang saja ti-
dak becus kok.... Nih, anak kecil saja pasti bisa me-
ngalahkan. Hei, adik kecil yang seperti monyet!” Sinom
memanggil anak yang tadi bermain dengannya. Anak itu
sesungguhnya sudah berada di luar pagar, tetapi di-
panggil Sinom ia berlari mendekat.
“Biar seperti monyet, tapi monyet hitam, heee!” anak
itu membantah.
“Baik, baik. Monyet hitam punya nama tidak?” Si-
nom tertawa.
“Dikira tidak punya, ya? Uuuuh, punya kok, heeee!”
Anak itu mencibir pada Sinom.
“Kalau punya siapa hayo namanya?” tanya Sinom.
“Idiih, sudah besar belum tahu namaku. Di sini se-
mua anak sudah tahu kok namaku!” Anak itu mele-
letkan lidahnya.
“Kecuali kau sendiri, pasti!” goda Sinom.
“Siapa bilang! Namaku Ragil, hayo!”
“Ragil Ireng?” tanya Sinom.
“Kok tahu?” si Ragil memang dijuluki Ragil Ireng.
“Aku juga tahu Ragil dapat mengusir dia.” Sinom
menuding Ni Dukut yang sedang sedikit kebingungan
menghadapi kenyataan gagalnya tebasan pedangnya.
“Dia jahat!” Ragil Ireng cemberut.
“Labrak dia. Tapi dengar baik-baik kataku, ya? Dan
bawa ini.” Sinom memberikan dua buah tanduk ru-
sanya. “Nih. Dan ingat, yang mana kiri, yang mana ka-
nan... yang mana depan, mana belakang... mana atas
mana bawah. Ingat?”
“Ingat.” Ragil Ireng yang memang nakal itu gembira
melompat ke depan dan meniru kedudukan kaki Ki Ri-
du tadi.
“Bagus. Ni Dukut, hari ini kau runtuh di tangan bo-
cah desa Paruan ini sendiri lho! Ragil, maju! Mundur!
Kiri! Kiri! Putar! Eh!” Sinom terkejut sendiri. Ragil de-
ngan tepat melakukan apa yang diteriakkannya. Tapi ti-
ba-tiba badan anak itu terputar dan roboh.
“Kamu goblok!” Ragil dengan marah menuding Si-
nom.
“Lhoh! Jangan kurang ajar lho!” Merah juga kuping
Sinom dimaki anak kecil itu.
“Tadi tidak bilang putar!” kata Ragil.
“Oh, ya! Nanti ada putar kiri, putar kanan, loncat,
tendang, pukul kiri, pukul kanan, loncat mundur, tu-
suk!”
“Begitu seharusnya, lengkap! Guru ngawur!” Ragil
Ireng pasang aksi lagi. “Ayo mulai lagi!”
“Buyut Paruan...” Ni Dukut akan mulai bicara. Tapi
ia disela oleh teriakan Sinom, “Serang, Ragil!” yang di-
ikuti oleh serangkaian perintah yang keras, tegas, dan
jelas. Dan Ragil Ireng cukup cerdas. Ia bergerak tepat
sekali sesuai perintah dari Sinom. Memang tidak seperti
gerakan silat sama sekali. Lebih mirip gerakan anak
bermain-main. Tetapi pengaruhnya hebat pada Ni Du-
kut. Beberapa kali ia terpaksa melompat menghindar
dari sambaran atau tusukan tanduk rusa tadi. Ia ingin
berteriak minta anak itu berhenti, tetapi pada akhirnya
tak sempat. Gerakan Ragil di bawah komando Sinom
makin membingungkan. Dan ketika kemudian Ni Dukut
mencoba balas menyerang dengan tebasan ganas pe-
dangnya, ia bagaikan membentur batu. Setiap gerakan
pedangnya dengan tepat diramalkan oleh Sinom. Selalu
Ragil sudah menghindar atau kalaupun tidak ujung
tanduk rusa itu sudah menghadang mengancam.
Akhirnya sebuah tendangan kecil di tempurung lutut
Ni Dukut membuat wanita itu terhuyung. Disusul oleh
sambaran kaki serta sabetan tanduk rusa, maka ter-
paksa Ni Dukut menjerit keras dan roboh!
“Hore! Hore! Aku menang! Aku menang!” Ragil Ireng
meloncat-loncat di sekeliling Ni Dukut.
Anak-anak yang lain ikut bersorak-sorak. Dan ke-
mudian orang-orang tua juga ikut bersorak.
“Nah, Buyut. Perampok macam ini saja kau harus
takuti! Kalau mau bersatu, penduduk desa pasti bisa
menaklukkannya!” kata Sinom.
“Tangkap perempuan itu!” Ni Dukut melompat berdi-
ri dan langsung memberi perintah pada pasukannya.
Dan pasukan itu pun serentak bergerak. Dengan
tangkas mereka menendangi mayat-mayat anak buah
Ki Ridu yang mungkin jadi penghalang, serta mengan-
cam mundur para penonton yang terlalu dekat. Terma-
suk Ki Mahendra yang dengan sukarela mundur men-
jauh.
Segera saja Sinom sudah terkepung.
“Wah, ini bukan tandinganmu, Ragil, biar kuhajar
mereka,” bisik Sinom dan mengambil kedua tanduk ru-
sanya.
“Ya, aku juga tidak bernafsu melawan cecunguk-
cecunguk ini,” kata Ragil penuh gaya. “Pemimpinnya sa-
ja seperti itu... sudahlah, anak buahnya untukmu, ya.
Capek!”
“Anak-anak,” kata Sinom pada para pengepungnya
saat Ragil sudah berlalu, dan para pengepung itu se-
langkah lebih maju. “Kalau kalian tidak ingin kugebuki,
jangan nakal, ya! Angkat semua mayat itu, dan pergi
dari sini... serta jangan kembali!”
“Serang!” seru Ni Dukut.
Mereka menyerang. Dengan langkah-langkah dan ge-
rak teratur rapi. Ada yang maju. Ada yang mundur. Ada
yang menebas. Ada yang menusuk. Ada yang berputar.
Kilatan pedang mereka berpancar-pancar membi-
ngungkan. Serangan mereka bertubi-tubi berdatangan.
Sepasukan orang biasa, pasti langsung roboh dan
bubar. Bahkan para penonton dari kejauhan pun jadi
pusing.
Tetapi Sinom bukan orang biasa. Ia hanya tertawa.
Badannya bergerak gesit. Menerobos serbuan pedang.
Melompati tusukan bersama. Menggeser tubuh meng-
hindar dari serangan bergelombang.
Kemudian kedua tanduk rusanya bekerja. Satu per
satu pantat pasukan Ni Dukut digebuknya. Keras-
keras. Dan setiap kali kena gebuk, pasti yang bersang-
kutan roboh. Termasuk Ni Dukut.
“Nah, Anak-anak... apa kata Bibi... tak boleh nakal,
ya! Hayo... masing-masing ambil mayat itu dan cepat
angkat kaki! Sekarang!”
Semua memandang Ni Dukut.
“Siapa sebenarnya kau ini?” tanyanya tajam pada Si-
nom.
“Aku tak mau tahu siapa yang mengajarimu gera-
kan-gerakan silat tadi,” kata Sinom, kini bersungguh-
sungguh. “Siapa pun dia, sungguh hasilnya memalu-
kan! Pulang, dan katakan aku akan mengunjunginya.
Segera. Dan, jangan berani mendekati desa ini lagi.
Mengerti?”
Beberapa saat Ni Dukut berpikir. Dalam keadaan se-
perti ini, mestinya ia bunuh diri. Tetapi itu takkan men-
guntungkan junjungannya. Beliau harus tahu dengan
tepat tentang adanya orang asing ini. Masih belum ter-
lambat untuk bunuh diri, jika kelak ia sudah me-
nyampaikan apa yang terjadi. Ia mengangguk. Berkata
pendek, “Mundur!”
Dan dengan cepat pasukannya mundur, membawa
mayat-mayat anak buah Ki Ridu.
Hening beberapa saat sewaktu pasukan perempuan
itu pergi. Kemudian seluruh isi desa seolah meledak da-
lam kegembiraan. Semua bersorak-sorai, berjingkrak-
jingkrak.
Gugup Buyut Paruan mendekati Sinom. “Oh, Dewi,
Gusti, Hyang... oh, Pahlawan... oh, Penolong... oh...”
“DIAM!” Sinom menukas kegugupan Buyut Paruan
dengan bentakan keras. Ia masih bersungguh-sungguh,
sesuatu yang sangat jarang terjadi. “Kau sungguh me-
malukan, Buyut. Lebih baik kau jangan jadi buyut. Kau
tak punya keberanian. Kau tak punya kecerdikan untuk
memimpin rakyatmu. Jika kalian bersatu, mana mung-
kin kalian bisa dikalahkan oleh segerombolan rampok...
apalagi hanya rampok perempuan?”
“Tapi... tapi...”
“Sudah. Aku tak mau berurusan denganmu. Kakang
Mahendra!” Sinom berteriak.
Kemudian ia lenyap dari pandangan Buyut Paruan.
Disusul oleh lenyapnya Ki Mahendra.
Dengan gerakan Sura-caya kelas tinggi, Sinom mele-
sat meninggalkan desa itu. Ia melewati rombongan anak
buah Ni Dukut yang berjalan gontai masing-masing me-
manggul atau menyeret mayat. Mereka tentu saja tak
melihat ia dalam kecepatan yang begitu tinggi. Ia terus
berlari, sampai akhirnya berhenti di dalam hutan, me-
rapat pada sebatang pohon besar di mana air gemericik
dari sebuah sumber di lereng tebing di belakang pohon
itu.
“Kakang Mahendra, kaulihat mereka tadi?” bisik Si-
nom.
“Ya, kasihan ya yang kecil tadi. Paling cantik, eh,
bawaannya paling berat lho!” sahut Ki Mahendra yang
sudah bertengger di salah satu dahan di atas Sinom.
“Bukan itu maksudku!” kata Sinom kesal.
“Yang mana? Pemimpinnya? Kau keterlaluan, Adik
Sinom. Dia pasti malu lho, kalah dengan anak-anak.
Padahal... kalau dibanding kau... kok seperti masih le-
bih cantik dia!”
“Sial!” Gemas Sinom melontarkan sebuah tanduk ru-
sanya ke atas. Dahan yang ditongkrongi Ki Mahendra
terdengar berderak keras dan patah. Runtuh. Ki Ma-
hendra cepat melompat. “Gerakan mereka tadi lho! Sa-
ngat mirip barisan Rahula Wayu, bukan?”
“Rahula Wayu ajaran orang gila mungkin.” Ki Ma-
hendra turun ke tempat air dan mencari-cari sesuatu di
antara rerumputan basah itu.
“Mungkin. Juga gerakan si pemimpin tadi...”
“Terlalu genit!” sahut Ki Mahendra.
“Mirip Bantala Liwung yang disesuaikan untuk pe-
dang,” kata Sinom. “Lalu ketika kucoba mengadu me-
reka dengan anak kecil itu...”
“Namanya Ragil Ireng....”
“Terlihat banyak penyimpangan. Sudah tidak murni
lagi.”
“Memang kulitnya hitam!” Dengan gerakan kilat Ki
Mahendra menyambar seekor kadal yang hendak lari.
Diliriknya istrinya. Sinom agaknya sedang tenggelam
dalam pemikirannya. Diam-diam didekapnya kadal itu.
Dan terlihat tangannya bagaikan membara. Asap pun
mengepul.
“Buang kadal itu, Kakang!” tukas Sinom.
“Aaaa, Dinda Sinom...” Ki Mahendra tampak me-
nyesal, memperhatikan kadal yang telah matang di tan-
gannya.
“Dulu sewaktu kau kawin denganku, kau janji apa...
hayo, janji apa!” bentak Sinom.
“Yaaaah, kenapa dulu aku pakai janji-janji segala
ya....” Dengan menggerutu Ki Mahendra membuang
kadal tadi dan membasuh tangannya di air.
“Jadi kupikir mereka tidak memperolehnya langsung
dari murid-murid kita,” kata Sinom sambil terus mere-
nung.
“Murid kita kan tidak banyak ya, Adik Sinom, ya?” Ki
Mahendra duduk di samping Sinom. “Si Rhagani. Si
Madraka. Terus si bocah itu... Sindura! Huh. Aku cem-
buru lho pada Rhagani! Kau begitu mesra kalau menga-
jarinya!”
“Cemburu kok pada orang seperti itu... mestinya kau
cemburu pada Tantri. Biasanya dia juga tidur dengan-
ku!”
“Tapi Tantri kan anak kita?”
“O, iya, ya. Di mana dia sekarang, ya?”
“Rasanya kita turun gunung untuk mencarinya?”
“Tadinya kupikir... anak kita itu yang bikin gara-
gara, sudah punya murid segala.”
“Tapi...”
“Tak mungkin seburuk itu ajarannya. Juga, tak
mungkin sekejam itu muridnya. Karena itulah kule-
paskan Dukut. Biar kita bisa ikuti. Dan kita lihat. Siapa
guru gila itu. Huh. Bikin malu saja!”
5. SEKITAR TRANG GALIH
DI TEPI sebuah jurang Ni Dukut dan pasukan kecilnya
berkumpul. Dan Ni Dukut memberi isyarat agar mereka
makin mendekat.
Tempat itu agak terbuka. Di belakang mereka hutan
rimba terpisah lebih dari tiga puluh langkah. Di depan
mereka sebuah jurang sempit menghunjam ke dalam
bumi. Tak terlihat dasarnya. Dan di seberang jurang,
dinding tebing menjulang tinggi seolah menuju langit.
Mereka baru saja membuang mayat-mayat anak
buah Ki Ridu ke jurang itu. Dan Ni Dukut memberi
isyarat agar mereka mendekat. Merapat. Mereka ber-
jumlah delapan belas orang, namun agaknya sudah be-
gitu sering bekerja sama hingga di tempat sesempit itu
pun mereka bisa duduk atau berdiri dengan teratur.
“Jangan menoleh, jangan menggerakkan bibir jika
berbicara. Dan berbisiklah,” bisik Ni Dukut. “Kita se-
dang diikuti. Oleh kedua orang itu. Aku tak tahu me-
reka di mana, tetapi kurasakan kehadiran mereka.”
Ni Dukut diam sejenak. Kemudian berbisik lagi. “Aku
makin yakin, mereka orang luar biasa. Kehadiran me-
reka begitu dekat dengan pusat gerakan kita, sangat
berbahaya. Dan aku bisa menduga siasat mereka. Me-
reka melepaskan kita untuk kemudian membuntuti ki-
ta. Kita harus bersiasat.” Sekali lagi ia diam. “Kita harus
menyesatkan mereka. Kita harus mengingatkan junjun-
gan kita.” Ia melihat berkeliling pada anak buahnya.
“Kita akan berpencar. Empat kelompok berjalan keem-
pat penjuru. Semua menjauhi sarang kita. Dua kelom-
pok bergerak menuju pusat dengan arah berbeda. Salah
satu harus berhasil mencapai pusat. Semua enam ke-
lompok. Yang lima kelompok kalau perlu boleh hancur-
lebur. Yang satu berhasil.” Kembali ia berdiam diri se-
saat. “Jika dari yang empat kelompok sampai hari
keempat masih selamat, kembalilah di hari yang kelima.
Dan berkumpul di Guha Ijo. Nah, pemimpin masing-
masing kelompok adalah: aku, Karti, Esti, Dedes, Uma,
dan Agi. Masing-masing mengambil dua anggota....”
“Kurang ajar,” desis Sinom.
“Sudah dari dulu,” jawab Ki Mahendra yang tidur-
tiduran di semak-semak.
“Apa?” tanya Sinom heran.
“Aku, kan? Yang kaukatakan kurang ajar?”
“Bukan. Mereka.”
“Itu baru kurang ajar namanya. Masa aku yang ku-
rang ajar tidak dibilang kurang ajar? Di mana keadi-
lan?”
Sinom menendang Ki Mahendra. “Diam! Lihat. Itu
mereka berpencar.”
“Barangkali mereka bertengkar? Biasa itu. Kalau pe-
rempuan bertemu perempuan, biasa kalau mereka ber-
tengkar. Bukan kurang ajar! Contohnya kau dan Ka-
kangmbok Rahula... selalu bertengkar!”
“Kakang Mahendra, kita kan sedang mengikuti me-
reka toh? Nah, jika mereka berpencar, siapa yang kita
ikuti?”
“Ya salah mereka sendiri, kenapa berpencar! Bikin
bingung saja!” Ki Mahendra menggaruk-garuk kepala-
nya yang gundul.
“Hus. Kita yang perlu mengikuti mereka!”
“Eh? Oh, iya. Untuk mencari guru gila itu, ya?”
“Guru gila yang mana? Apakah ada guru gila lain ke-
cuali kita?” Sinom menggoda.
“Nah, itulah tujuan kita. Mungkin kita bisa berguru
padanya agar lebih gila!”
“Lalu... siapa yang kita ikuti?”
“Ya guru itu... biar gila kan dia guru kita?”
“Bukan... mereka itu lho!”
“Untuk apa kita... ya, ya, ya...” Ki Mahendra tak jadi
bercanda. Sinom memelototkan matanya. “Anu... ikuti
saja yang terlemah di antara mereka....”
“Mengapa?” Sinom tercengang.
“Jika mereka berpencar, pasti untuk mengelabui ki-
ta. Jika begitu, maka mereka pasti menduga bahwa kita
akan mengikuti si pemimpin. Maka, si pemimpin pasti-
lah yang paling menyesatkan!”
“Bagus juga kepala gundulmu itu.” Sinom mengang-
guk.
“Tiap hari dilap!” kata Ki Mahendra bangga.
“Jadi?”
“Kita ikuti si kecil berselendang biru itu.”
Si kecil berselendang biru adalah Agi.
***
Mereka berada di gua khusus yang oleh suatu alasan
khusus diberi nama Gua Polaman oleh Wara Hita. Sega-
la hal di gua ini begitu mewah—semua diatur bagaikan
balai penghadapan seorang raja.
Seperti biasa jika ia hadir, Nagabisikan duduk di
tempat terhormat. Wara Hita di sebuah dampar yang
mirip tahta (dan sesungguhnya memang tahta Wirabhu-
mi yang dibawa dari ujung timur). Wara Huyeng dan
Juru Meya duduk di depan mereka.
Pada pertemuan khusus, hanya mereka yang hadir.
“Pasti kau kaget mengapa aku datang tiba-tiba, ya?”
tanya Nagabisikan.
“Apakah mungkin Eyang akan menjatuhkan huku-
man pada hamba?” tanya Wara Hita.
“Bukan.” Nagabisikan memejamkan matanya, tangan
kanan mencengkeram jenggotnya. “Aku baru saja mem-
peroleh bisikan dari Dewata.... Bisikan baik... bisikan
buruk... Misalnya, aku merasakan kehadiran salah seo-
rang dari musuh besarku. Dekat sekali!”
Wara Hita dan yang lainnya saling pandang. Siapa
yang dimaksud?
“Aku tidak tahu siapa,” keluh Nagabisikan. “Musuh
besarku rasanya hanya Megatruh. Tapi... tak mungkin
ia keluyuran mencari aku. Dan entah, sudah berapa
usianya.... Bahkan mungkin aku takkan mengenalinya
lagi. Terakhir kami berhadapan... ia baru belasan ta-
hun.”
Hening.
“Kemudian, kurasakan, akan ada sesuatu yang akan
membuatmu gembira, Muridku.... Tapi bhujangga mpu
tak tahu apakah itu.”
Hening.
“Tentang musuh Mpungkulun, putu maharsi tidak be-
rani mengusulkan apa pun,” sembah Wara Hita. “Ke-
cuali... memohon pada Paman Juru Meya dan Bibi Wara
Huyeng untuk lebih memperkokoh kewaspadaan di se-
kitar lembah Trang Galih ini. Mungkin dengan menge-
rahkan Pasukan Badai dan Pasukan Buih untuk berja-
ga-jaga agak jauh dari pusat. Jelas mereka bukan tan-
dingan Ki Megatruh. Tapi paling tidak kita bisa me-
ngetahui kedatangannya lebih awal.”
Nagabisikan hanya menganggukkan kepala dengan
mata terpejam.
“Tentang sesuatu yang menggembirakan hati putu
maharsi... itu hanya karena restu Mpungkulun juga...!”
Wara Hita berdatang sembah lagi.
“Menurut pendapat hamba... kemungkinan Ratu jun-
junganku akan memperoleh tambahan kesaktian. Anak
Rahtawu itu, si Tara, telah berbicara dengan hamba ta-
di. Ia akhirnya berani menerima tantangan Gusti Ratu.
Mengingat beberapa saat yang lalu ia ingin bunuh diri,
kemungkinan juga ini suatu siasat agar ia bisa bunuh
diri. Tetapi, hamba rasa, ada juga faedahnya nanti un-
tuk bisa melihat beberapa langkah asli dari Birawadana
yang selama ini kita cari.”
“Memang Nakmas Hita hari ini sangat diberkati,” ka-
ta Wara Huyeng seakan tak mau kalah. “Anengah juga
sudah begitu kecanduan oleh Butir Hitam Tartar hingga
ia mau mengorbankan ilmunya dan bergabung dengan
kita.”
“Keempat murid wanita dari Rahtawu itu sudah sa-
ma sekali tercuci otaknya, dan mereka telah bisa kita
bebaskan bergerak tanpa bisa punya niatan untuk ber-
khianat,” kata Juru Meya.
“Hamba memperoleh kabar bahwa Sang Maharaja
sendiri akan hadir dalam upacara Sradha di Wengker.
Hamba kira ini bisa kita jadikan ajang untuk mengukur
kesiapan pasukan kita,” kata Wara Huyeng.
Hening lagi.
Nagabisikan bahkan terlihat seperti tertidur. Kedua
pembantu murid utamanya ini hampir tak berguna. Me-
reka memang bukan muridnya penuh. Tetapi mereka
cukup menguasai apa saja yang diajarkannya pada Wa-
ra Hita. Tak pelak, mereka memang cukup sakti. Na-
mun tingkahnya masih begitu mirip anak kecil.
Wara Hita sendiri yang tampak matang, pikir Naga-
bisikan. Matang. Tenang. Berwibawa. Mungkin kali ini
cita-citanya membonceng orang yang memperoleh wah-
yu kerajaan betul-betul berbuah.
“Jika betul ada Ki Megatruh di daerah sini, biar aku
saja yang menghadapinya,” kata Nagabisikan akhirnya.
“Tetapi aku tidak berpikir untuk bertanding dengannya.
Aku yakin, dia makin maju. Dan aku yakin, apa yang
kumiliki lebih dari cukup untuk menandinginya. Na-
mun tugas kita lebih besar dari rasa dendam siapa pun.
Dari keuntungan pribadi mana pun!” Suara Nagabisi-
kan begitu tajam serasa di telinga Wara Huyeng dan Ju-
ru Meya. “Aku tak ingin Megatruh mencium sesuatu di
sekitar sini. Ia harus dipancing menjauhi tempat ini.
Yang lainnya... Penekunan ilmu Wajra Prayaga Wara
Hita tinggal memerlukan pemantapan untuk pemata-
ngannya. Akan segera tiba masanya baginya untuk be-
lajar ilmu pemerintahan sebagai salah satu bekal diri-
nya kelak. Ilmu kadigdayan yang dimilikinya hanyalah
selapis baju untuk penjaga diri saja. Tak ada gunanya
jika diri itu sendiri tidak diisi. Dalam rangka itulah, se-
sungguhnya kita hampir tak perlu lagi menyadap ilmu
murid-murid Megatruh. Yang kita ketahui sudah cukup.
Aku yakin, pasukan inti kita sudah cukup terbentuk.
Tinggal memolesnya saja. Untuk itu aku setuju kalian
mencobanya ke Wengker. Tapi ini mungkin yang ter-
akhir. Dan kuharap Wara Hita tidak lagi memunculkan
diri. Wilwatikta telah terguncang. Biar mereka lengah
lagi. Sehabis Wengker, semua bergerak di bawah tanah.
Mengumpulkan dana. Mengumpulkan pengikut. Dan
Wara Hita akan aku ajak mengadakan perjalanan ke ti-
mur. Masih banyak perlengkapan yang belum dimili-
kinya. Ia perlu sekutu. Ia perlu pusaka. Ia perlu ilmu.
Dan ia tak boleh diganggu lagi.”
Hening lagi.
Kemudian Nagabisikan berdiri.
“Muridku... setelah perjalananmu ke Wengker, ku-
tunggu kau di Kembang Putih, di Guwa Sela.” Pada saat
kata-kata terakhirnya terdengar, Nagabisikan telah le-
nyap dari tempat itu.
Kembali hening.
“Nakmas, apakah Paduka ada perintah untuk kami?”
Wara Huyeng memecahkan keheningan itu. Dan Wara
Hita tampak agak terkejut.
“Oh, ya!” Wara Hita mencoba memusatkan pikiran
pada apa yang dihadapinya. “Kelompok-kelompok uta-
ma Buih dan Badai boleh sudah berangkat ke Wengker.
Sebarkan dulu mata-mata dan hubungi semua titik-titik
bantuan. Tinggalkan panglima tingkat satu untuk men-
jaga pusat kita. Dipimpin oleh Paman Juru Meya.”
“Tapi, Ratu Junjunganku...” Juru Meya agaknya tak
mau ditinggal.
“Tugasmu lebih berat, Paman. Aku tak bisa memper-
cayakan pusat kita ini pada siapa pun, kecuali pada
Paman,” kata Wara Hita tegas. “Dua-tiga hari lagi, Hu-
yeng dan aku berangkat. Dan setelah Wengker kami
berdua akan ke Kembang Putih. Begitu bertemu dengan
Guru, Bibi Huyeng akan kembali ke sini,” lancar sekali
kata-kata Wara Hita.
“Tentang pemuda Rahtawu itu, Nakmas?” tanya Wa-
ra Huyeng.
“Tolong Paman Juru Meya hadapi mereka, dan per-
hatikan dengan teliti, bisakah mereka kita gunakan
atau tidak. Aku dan Bibi Huyeng akan bepergian seben-
tar,” kata Wara Hita dengan senyum tipis terbayang di
bibirnya yang indah itu. “Tolong jika kami pulang nanti,
Paman Juru Meya sudah dapat melaporkan kegunaan
mereka. Mari, Bibi Huyeng!”
-k-k-k
Jauh di perbatasan lembah, Wara Huyeng dan Wara Hi-
ta menunggu seorang anak buah mereka menyiapkan
kuda.
“Mmmmh... Anakmas akan memakai Kiai Tatit Se-
ta?” Wara Huyeng memperhatikan kuda putih mulus
yang sedang disiapkan anak buahnya. Kuda itu adalah
kuda unggulan yang belum pernah terkejar oleh kuda
lain. “Ah, pastilah ini perjalanan sangat penting, dan...
sangat menggembirakan hati Anakmas.”
“Mata Bibi Huyeng sungguh tajam,” kata Wara Hita.
“Aku baru saja menerima kabar lewat burung dari Bibi
Layarmega. Tun Kumala telah berangkat.”
“Ah, kalau begitu benar dugaanku.” Tapi Wara Hu-
yeng tidak terlalu cerah mukanya. “Anakmas... dia pe-
muda yang kauceritakan itu?”
“Ya,” Wara Hita berkata dengan setengah melamun.
“Dan kuharap Bibi tidak menyentuhnya sedikit pun.”
“Tapi... menurut cerita Anakmas... dia tidak tahu ka-
lau Anakmas... wanita?” tanya Wara Huyeng makin ra-
gu dan memperhatikan pakaian pria Wara Hita.
“Aku suka padanya, dan ia suka padaku.... Buk-
tinya, ia datang. Tak peduli aku wanita atau pria! Jadi...
jika ternyata aku bukan pria... pasti ia tertarik juga pa-
daku!” Wara Hita menaiki kudanya. Memang gagah, pi-
kir Wara Huyeng. Dan sangat tampan.
“Cepat, naik, aku tak sabar menunggunya. Kita su-
sul dia!” kata Wara Hita.
“Anakmas, Junjunganku... sadarlah... hal seperti ini
... belumlah waktunya.... Aku...”
Wara Huyeng biasanya sangat tak keruan tingkah
lakunya. Baginya tatasusila apa pun bentuknya tak
ada. Tapi saat Wara Hita melakukan sesuatu yang bisa
dianggap di luar garis... ia ingin menasihati. Tapi tak
mampu.
Akhirnya sambil mengangkat pundak ia pun naik ke
kudanya.
k-k-k
Hari menjelang senja saat tawanan dari Rahtawu itu di-
bawa ke hadapan Juru Meya di ujung tebing yang ber-
ada di atas jurang dalam dengan julukan Jurang Gra-
wah itu. Mengapa anak ini memilih jurang ini, ia tak ta-
hu. Dan sesungguhnya ia tak mau segala persyaratan
ditentukan oleh tawanannya. Banyak yang mencuriga-
kan. Misalnya saja, mengapa justru anak itu memilih
tempat ini? Tidak sembarang orang tahu seluk-beluk
tempat ini.
Tetapi akhirnya Juru Meya tak peduli. Apa pun yang
terjadi, ia yakin bisa menghadapinya. Lagi pula anak
Rahtawu itu masih begitu lemah. Bagaimana bisa men-
celakakan dirinya? Mau melarikan diri? Dalam hati Ju-
ru Meya tertawa. Tempat di ujung tubir jurang ini ber-
bentuk segitiga. Hanya ada satu jalan lari: ke bawah.
Dua sisi lainnya adalah jalan mati: jurang menganga
sedalam lebih dari seribu depa! Hanya burunglah yang
bisa selamat jika jatuh ke sana. Dan jika anak Rahtawu
itu menghendaki kematian... Rasanya tak mungkin.
Orang yang berusaha bunuh diri, biasanya sesungguh-
nya takut pada kematian. Dan kalaupun memang te-
was... ya... biarlah. Daripada harus bersaing dengan ba-
nyak orang guna berebut rasa sayang sang junjungan.
Ia tak mengharapkan jabatan atau harta. Ia hanya
menghendaki junjungannya akan tetap menyayanginya.
Itu saja.
Diperhatikannya Tara dikawal oleh beberapa pimpi-
nan Pasukan Badai. Ula Bandotan. Kebo Taluktak. Ja-
lak Katenggeng. Ketiganya tampak gagah dan menye-
ramkan, mengapit pemuda yang lemah-lunglai itu.
Tara kurus kering. Pucat. Langkahnya bagaikan se-
tiap saat ia akan roboh.
Tapi Juru Meya cukup terkesiap melihat sinar mata
anak muda itu. Tajam. Menusuk. Tegar. Kukuh. Begitu
berbeda dengan sinar mata Anengah yang kuyu dan le-
mah.
“Tara, kau sudah dibawa kemari. Lalu?” tanya Juru
Meya dengan suara serak yang kadang-kadang terde-
ngar, kadang-kadang tidak oleh embusan angin keras
yang begitu dingin.
“Seperti yang kauinginkan... binatang!” kata Tara
dengan rasa benci yang tak disembunyikannya. “Kau
mengajakku bertarung... baik, kuladeni. Aku yakin kau
takkan bisa menyadap ilmuku... bahkan sebagian besar
dari kalian akan hilang nyawa!” Tara langsung mema-
sang kuda-kuda dengan gerak yang lemah, menggam-
barkan betapa sesungguhnya tubuhnya sangat berku-
rang kekuatannya.
“Itu yang kaumaksud... baiklah, hio hi hi.” Juru Me-
ya tak mau kecolongan. Ia pun menyiapkan kuda-kuda-
nya.
Perlahan Tara terus bergerak. Langkah-langkahnya
tetap. Matanya tajam terarah.
Anak ini tak boleh dibuat main-main, pikir Juru
Meya. Ia belum mengubah kedudukan kakinya, tidak
memasang kuda-kuda. Justru di situlah letak kelicikan
Juru Meya. Dan juga keunggulannya. Diam-diam ia me-
nyalurkan aji Rawa Rontek. Ajian ini lebih bersifat me-
lindungi diri. Mungkin saja dirinya hampir hancur oleh
terjangan lawan. Mungkin saja ia nyaris melepas nyawa.
Namun ia akan secepatnya pulih. Dan sementara lawan
lengah ia mampu melontarkan serangan balik yang am-
puh dan maut.
Dengan ilmu tunggal itu saja ia sudah sanggup ma-
lang-melintang di permukaan bumi ini. Dan ilmu itu
pula yang membuat ia menjadi pengawal terkasih Sang
Wirabhumi. Kalau ia kemudian memiliki ilmu lain, bisa
dibayangkan betapa dahsyat sesungguhnya kekuatan
yang ada pada Juru Meya.
Tak urung ia mengerutkan kening.
Tentu saja ia kenal betul akan segala ilmu yang ber-
sumber pada ilmu Ki Megatruh. Namun gerak-gerik
Tara sungguh lain.
Dalam hal ini, mata Juru Meya yang sangat berpe-
ngalaman itu tertipu oleh ketelitian cara berpikirnya.
Atau, kekurangtelitiannya.
Ia tahu Tara lemah. Lemah secara fisik. Ia tahu lang-
kah-langkah Tara semestinya limbung. Yang ia tidak
sadari adalah: gerak-gerik ilmu langkah Sura-caya se-
sungguhnya harus dilakukan dengan limbung bagaikan
orang mabuk. Ilmu ini memang diciptakan bersama
oleh Sinom dan Ki Megatruh. Dengan banyak imbuhan
dari Ki Mahendra. Dan jelas, Ki Mahendra dan Sinom
adalah pasangan yang boleh dibilang tidak waras. Bebe-
rapa langkah inti mereka ciptakan dengan bercanda.
Dan ini memang tepat, karena langkah Sura-caya meng-
andalkan gerakan yang di luar dugaan. Di tangan Ki
Megatruh, saat diajarkan pada muridnya, sebaliknya
gerakannya menjadi serba serius. Tetap tangguh, me-
mang, tetapi inti kekuatannya banyak berkurang.
Kini Tara melakukannya dengan langkah begitu le-
mah hingga limbung. Dan ternyata setiap gerakannya
jadi begitu mantap dan berat.
“He...” Juru Meya sesaat ragu-ragu. Matanya serasa
berkunang-kunang oleh gerakan Tara. Dan... tiba-tiba
Tara menyerang.
Dasar Sura-caya. Digabung dengan Bantala Liwung
yang merupakan tendangan serta pukulan sakti, maka
gerakan Tara memberi perbawa angin prahara.
Yang tak bisa diduga-duga.
Beberapa hajaran beruntun diarahkan pada Juru
Meya. Gerakannya begitu indah hingga terpaksa Juru
Meya meladeni. Namun ia kecele. Begitu ia bergerak, ti-
ba-tiba saja, sama sekali tak terduga, Tara berputar se-
cepat kilat dan langsung melabrak Ula Bandotan dan
kawan-kawan!
Sesaat Juru Meya tercengang. Tapi saat ia tertegun
itu, terdengar jeritan melengking Jalak Katenggeng. Pe-
rutnya termakan tendangan geledek Tara. Ula Bandotan
dan Kebo Taluktak cepat membuang diri ke belakang.
Dan sebelum mereka sadar, Tara telah mengitari tubuh
mereka dan langsung menerjang Juru Meya dari sudut
yang sekilas tadi sama sekali tak terlihat!
Kelabakan juga Juru Meya. Sesaat ia yakin Tara tak
mungkin bisa membuatnya cedera. Ia toh melambari di-
ri dengan aji Rawa Rontek. Dan Tara toh sudah lemah.
Tapi sesaat pula terlihat betapa meyakinkannya gera-
kan Tara. Dan pandang mata yang tajam itu. Seolah
gunung batu pun akan hancur terkena tendangan Tara.
Secara serta-merta Juru Meya menjatuhkan diri.
Dan terpaksa ia menghantam Tara dengan pukulan se-
rentak Birawadana hasil sadapannya.
Kembali ia terkejut. Sangat terkejut. Pukulannya se-
rasa menghantam kapas.
Tara tidak memberi perlawanan. Ia mengikuti kekua-
tan pukulan dahsyat Juru Meya. Tubuhnya terlontar.
Melambung tinggi. Lepas.
Dan ia masih sempat berkata dalam hati, “Guru...
muridmu sungguh tak berguna!”
6. TUN KUMALA
PERTARUNGAN antara wanita muda yang bernama Ni
Gori melawan ketiga anak buah Kusya: Ugra, Kena, dan
Santen sekilas tampak membingungkan. Ia yang wanita,
seorang diri dan hanya bersenjata parang, bukan hanya
bertahan tapi malah menyerang gencar ketiga lelaki
yang mengeroyoknya dengan beberapa macam senjata
panjang!
Wanita tua yang diaku ibu oleh Ni Gori serta diaku
bernama Nyai Gadung seolah tak acuh memperhatikan
itu semua. Matanya bahkan hampir terpejam, seolah
mengantuk karena hangatnya api unggun serta dingin-
nya hawa sejuk menjelang pagi.
Kusya sendiri terperangah. Di tangannya tergenggam
senjata rantai andalannya, tapi ia begitu terpesona oleh
apa yang dilihatnya. Ni Gori memakai parang biasa. Se-
perti yang biasa digunakan oleh keluarga petani miskin.
Tapi gerakannya bukanlah gerakan orang yang ber-
senjata parang. Tangan Ni Gori begitu lentur, ditunjang
oleh kedudukan kaki yang bertugas sebagai jangkar...
itu adalah gerakan orang yang menggunakan senjata
rantai!
Jika Kusya dan Nyai Gadung mengawasi dengan pe-
nuh kewaspadaan, adalah Tun Kumala yang bingung
sendiri. Nalurinya ingin agar ia menjerit-jerit dan berla-
rian ke sana-kemari. Tetapi ia segera sadar bahwa ia
adalah pria. Dan pria yang tangguh, malah. Maka ia
pun bersikap tenang walaupun hatinya kacau-balau tak
keruan.
“Bibi... putri Tuan begitu pintar berkelahi.... Wah,
pasti repot bagi Bibi untuk mencari menantu,” kata Tun
Kumala, duduk dekat api dan menghangatkan tangan-
nya. Tapi cepat tangannya itu ditariknya dan dimasuk-
kan ke dalam bajunya. Tangannya begitu gemetar! “Sia-
pa yang mengajarinya berkelahi?”
Nyai Gadung tidak menjawab.
“Ah, lebih baik kalian berhenti saja, he! He!” Tun
Kumala berteriak lantang pada yang sedang bertempur.
“He, kau... yang berkelahi! Berhenti sajalah! Apa sih un-
tungnya memaksaku sampai kalian bela dengan me-
nyabung nyawa! Sudahlah!”
“Tuan bisa menghentikan pertempuran itu jika Tuan
turun ke sana,” Nyai Gadung tiba-tiba berkata.
“Aku? Ke sana? Wah... bisa hancur badanku!” Tun
Kumala betul-betul terkejut atas usulan itu.
“Apakah Tuan tidak bisa berkelahi?” tanya Nyai Ga-
dung.
“Mmmm... anu... mmm, maksudku... Toh berkelahi
itu tak ada gunanya. Kan... lebih baik dirundingkan sa-
ja....” Tun Kumala betul-betul kebingungan.
“Tuan lihat itu... anakku berkelahi... dan ada saja
kemungkinan bahwa ia kena senjata lawan... dan tewas.
Mati. Dan itu hanya karena Tuan!” Suara Nyai Gadung
begitu dingin.
“Tapi... tapi aku tidak...”
“Ingat. Jika ia mati, maka ia mati karena Tuan!”
“Oh... mmm.... ah... ya...” Tun Kumala sungguh ke-
bingungan.
“Ingat... Tuan yang bertanggung jawab!”
“Oh...” Beberapa kali Tun Kumala melirik Nyai Ga-
dung. Tapi wanita tua itu telah memejamkan matanya.
Ia jadi ragu-ragu. Kata Nyai Gadung benar. Apa yang
terjadi pada Ni Gori semata-mata adalah karena dirinya.
Tun Kumala menghela napas panjang.
Di mana Rakryan Mapatih saat seperti ini? Mengapa
ia belum juga muncul? Berkelahi dengan orang-orang
kasar seperti ini pastilah kerja sambilan saja bagi Ra-
kryan Mapatih. Tapi bagi dia?
Sekali lagi ia melirik Nyai Gadung. Tepat pada saat
mata wanita tua itu terbuka. Hitam. Tajam. Meman-
dangnya sekilas. Seakan menuduh. Kemudian terpejam
lagi.
Ah. Tak ada jalan lain. Daripada orang lain jadi kor-
ban... Tun Kumala berdiri. “Hei, hentikan!” Ia berjalan
ke tepi permukaan batu, dan turun. “Hentikan, kataku!
Jangan ganggu wanita ini!”
Suara Tun memang gemetar. Takut. Tetapi langkah-
nya tetap. Dan seakan tak kenal takut ia maju, ke anta-
ra sambaran berbagai senjata dan loncatan yang sedang
bertarung.
Sikap yang tampaknya begitu tenang ini membuat
Kusya sangat curiga. Mungkinkah orang ini menyembu-
nyikan isinya sebenarnya?
“Mundur, Kawan!” geram Kusya.
Ugra, Kena, dan Santen mencoba mundur. Tetapi Ni
Gori tidak membiarkan hal itu. Dengan tangannya
membuat berbagai gerakan melengkung, parangnya be-
rulang kali menerobos pertahanan ketiga orang itu.
Hanya dengan pengalaman saja Ugra, Kena, dan Santen
sanggup mundur beruntun dan lolos dari sabetan dan
tusukan Ni Gori. Kemudian Kusya melompat masuk,
sabetan senjata gada rantainya langsung melibat parang
Ni Gori serta merontokkannya dalam satu gebrakan!
“Mundur!” Gugup dan sembarangan Tun Kumala
memegang bahu Ni Gori serta menariknya mundur.
“Awas!” Ni Gori menjerit, karena akibat perbutan Tun
Kumala tadi kepalanya tepat berada di daerah sasaran
gada rantai Kusya. Dengan tangkas Ni Gori menyapu
kaki Tun Kumala hingga mereka berdua jatuh roboh ke
belakang.
“Hei!” Tun Kumala meringis kesakitan, terlentang di
tanah, sementara Ni Gori telah melompat berdiri dan
dalam kuda-kuda untuk menyerang Kusya.
“Tunggu!” Kusya menarik kembali gada rantainya.
“Tuan ingin berbicara apa?”
“Jangan teruskan perkelahian ini.” Tun Kumala ber-
diri sambil mengusap-usap kedudukannya yang sakit.
“Tuan akan ikut kami?” tanya Kusya.
“Tidak,” kata Tun Kumala. “Adalah tidak adil jika se-
karang aku mau ikut kalian. Padahal... mmm... Adik
Gori ini tadi terpaksa mempertaruhkan nyawa membe-
laku karena berkata tidak.”
“Kalau begitu, kami tak punya pilihan lain...” Kusya
memberi isyarat. Sudah terlalu lama mereka bermain-
main di tempat ini. Dan sudah terlalu lama ia diperma-
inkan. Ia harus tegas.
“Badai!” tiba-tiba Kusya membentak. Dan serentak
mereka berempat menyerang Tun Kumala!
Tun Kumala tidak terkejut. Ia memang tidak tahu
bahayanya. Yang sangat terkejut adalah Nyai Gadung.
Dari pengamatannya, dari setiap geraknya, Nyai Ga-
dung melihat bahwa sesungguhnya Tun Kumala tidak
berpura-pura. Ia yakin orang itu tak mengerti apa-apa.
Nyai Gadung hanya merisaukan suatu hal. Seolah-olah
Tun Kumala menyembunyikan sesuatu yang lain. Bu-
kan kesaktian atau kadigdayan. Tetapi yang lain. Dan
mungkin lebih besar.
Dan Nyai Gadung terkejut karena Tun Kumala nekat
menerima serangan itu! Bahkan Ni Gori rasanya tak
akan lolos dari gebrakan yang dipimpin oleh Kusya itu.
“Awas!” seru Nyai Gadung. Tangannya bergerak cepat
sekali. Beberapa batang kayu yang dijadikan api un-
ggun meloncat melesat ke arah Tun Kumala. Dan ba-
tang-batang kayu itu tepat menghantam setiap senjata
yang hampir menyentuhnya. Dengan kekuatan begitu
hebat hingga bahkan Kusya merasakan tangannya se-
saat kesemutan.
Sesaat kemudian, Nyai Gadung telah berada di te-
ngah mereka. Kakinya menendang, dan Tun Kumala
terbang ke arah Ni Gori. “Gori! Bawa dia pergi!” seru
Nyai Gadung, dan ia terus menghajar Kusya.
Kusya juga mengerahkan segenap kepandaiannya.
Gada rantainya berputar bagaikan payung, sementara
Ugra dan Kena serta Santen bergelombang menerjang
dari kiri dan kanan.
Tetapi Nyai Gadung begitu tenang. Tubuhnya meliuk
seakan mengikuti irama lecutan senjata maut Kusya.
Kemudian, tubuh tua itu seakan berubah menjadi sua-
tu senjata. Tangan dan kakinya melecut cepat. Dan te-
pat.
Sekejap. Dan Kusya serta kawan-kawannya sudah
bergelimpangan terguling-guling di tanah.
“Bagus, bagus, Bibi! Ternyata Tuan juga begitu pan-
dai berkelahi!” Tun Kumala bertepuk tangan gembira.
“Memang bagus, dan memang pandai,” terdengar su-
ara merdu dari dalam kegelapan di antara pepohonan.
Hanya Tun Kumala yang tak memperhatikan suara
itu. Ia sibuk mengambili senjata-senjata kawanan Ku-
sya yang terlempar lepas jatuh jauh dari pemilik ma-
sing-masing.
“Sudahlah, lebih baik kalian pergi saja,” kata Tun
Kumala, memungut gada rantai Kusya. “Ooops!” Ia ter-
kejut. Gada rantai itu begitu berat. “He, kau memakai
senjata seberat ini apa tidak kasihan pada lawanmu,
he? Kan sekali kena paling tidak hancur kakinya. Sung-
guh... eh!” Baru kali ini Tun Kumala mengangkat muka.
Dan terlihat olehnya dua penunggang kuda muncul dari
hutan. Tak salah lagi. Yang berkuda putih itu Wisti. Di-
iringi seorang wanita berpakaian serba biru.
“Ah, Tuan sudah datang?” Tun Kumala bingung juga.
“Mmm, Bibi... ini adalah... Tuan Wisti, pedagang we-
wangian dari Tosari... yang menyuruh... mmm, orang-
orang ini membawa aku....” Tun Kumala gugup men-
dekati Nyai Gadung. Nyai Gadung sendiri terus mem-
perhatikan Wisti’ dengan kening berkerut.
Wara Hita (yang menyamar sebagai pria itu) meng-
hentikan kudanya. Kusya dan kawan-kawannya gugup
mendekat, menghaturkan sembah.
“Hamba sungguh tak berguna, Gusti!” sembah Ku-
sya.
“Kau memang patut mati!” geram Wara Hita meng-
angkat cambuk kudanya.
“Hei, jangan dihukum dia!” tiba-tiba Tun Kumala
menyela. “Dia sudah berusaha keras melakukan perin-
tahmu sebaik mungkin. Sebal juga aku padanya. Tetapi
kalau menurut ukuranmu sih, mestinya ia malah patut
diberi hadiah.”
“Hm, dia sendiri yang menyatakan dirinya gagal. Aku
sih sesungguhnya tak tahu apa pun.” Wara Hita turun
dari kudanya. “Aku hanya mendengar kabar kau mau
memenuhi undanganku, jadi aku menyusul kemari un-
tuk menjemputmu. Kami melakukan perjalanan sema-
laman. Dan kami dapati anak buahku itu di sini, se-
dang bertarung dengan seorang nenek-nenek. Sung-
guhnya cukup alasan bagiku untuk marah, bukan?”
Tun Kumala memperhatikan bahwa si Wisti ini agak-
nya mencoba mengakrabkan hubungan mereka dengan
berbahasa agak kasar.
“Tidak juga. Sebab mereka berkelahi atas dasar rasa
sayang. Paman Kusya dan kawan-kawannya menya-
yangimu, menjunjung perintahmu. Bibi Gadung berke-
lahi, karena beliau sayang padaku. Bukankah begitu,
Bibi?” tanya Tun Kumala dengan gaya manja yang rasa-
nya tak akan ada pada seorang pria. Dan hati Wara Hita
pun berdesir. Memang gerak-gerik itu bukanlah gerak-
gerik gagah dan jantan, tetapi begitu manis di matanya.
“Baiklah, tetapi sesungguhnya kenapa mereka berke-
lahi?” tanya Wara Hita. Wara Huyeng sendiri juga sudah
turun dari kudanya, dan menyerahkan kuda tersebut
beserta Tatit Seta milik Wara Hita pada Ugra. Wara
Huyeng tak begitu memperhatikan pembicaraan antara
Tun Kumala dan Wara Hita. Dengan mata agak dis-
ipitkan ia memperhatikan Nyai Gadung. Wanita tua itu
agaknya begitu memperhatikan Wara Hita hingga tak
peduli dengan kejadian apa pun lainnya.
“Sederhana. Paman Kusya ingin segera mengajakku
berangkat. Tetapi aku tak mau karena aku masih ingin
berbicara lebih lama dengan Bibi Gadung. Mereka ke-
mudian menyerang aku. Dan Bibi Gadung memperta-
hankan aku. Nah, sederhana, bukan? Sekalian kuharap
kaumaafkan aku, aku ingin agak lama bersama bibiku
ini, jadi baiklah kutunda kunjunganku padamu.”
“Aku punya usul lebih baik,” kata Wara Hita. “Ajak
saja bibimu datang ke tempat kami. Jadi dua keinginan
kita terpenuhi, bukan?” Wara Hita tertawa. Wara Hu-
yeng heran melirik padanya.
“Memang lebih bagus, tetapi juga lebih sulit. Bibi
Gadung mungkin terikat rencana perjalanannya sen-
diri,” kata Tun Kumala.
“Itu pun bisa kuminta langsung pada beliau.” Wara
Hita kini berpaling pada Nyai Gadung. Ia terkejut saat
matanya bentrok dengan sinar mata begitu tajam yang
tertuju padanya.
“Anak muda, siapa namamu, dari mana asalmu?”
tanya Nyai Gadung tajam, dingin.
“Engkau sendiri siapa?” Wara Huyeng melangkah ke
depan Wara Hita, seolah ingin melindunginya.
“Aku bertanya lebih dahulu, dan aku bertanya pada-
nya,” Nyai Gadung menyahut dengan nada sama sekali
tidak ramah.
“Engkau lupa hukum orang di perjalanan. Jika dita-
nya, balas bertanya, maka itu sudah umum,” sahut Wa-
ra Huyeng ketus.
“Dalam hal ini... aku tak lagi punya keinginan mem-
peroleh jawaban, jadi silakan berlalu,” Nyai Gadung le-
bih ketus lagi.
“Itu yang agak sulit,” kata Wara Huyeng, meloloskan
ikat pinggangnya yang terbuat dari selendang sutera bi-
ru berhiaskan berbagai permata di ujungnya hingga da-
pat digunakan sebagai senjata. “Kau telah membuat
anak buahku malu. Dan itu berarti juga mencoreng mu-
kaku. Nah, bersiaplah!” ,
“Hei, tunggu! Tunggu! Kalian tak usah berkelahi lagi!
Wisti, leraikan mereka!” seru Tun Kumala gugup.
“Aku tak bisa melakukannya,” kata Wara Hita.
“Siapa sih orang itu? Nenekmu?” tanya Tun Kumala.
“Kurang ajar! Kujadikan nenek kau!” Selendang Wara
Huyeng tiba-tiba meluncur ke arah Tun Kumala.
Tun Kumala terperangah. Dan terdiam. Tidak demi-
kian dengan Nyai Gadung. Ia melihat bahwa ini hanya
suatu siasat Wara Huyeng. Ia melompat ke atas batu
datar, menyambar kayu yang masih membara dari api
unggun dan menghantam ke depan dengan dua tangan
lurus.
Dugaan Nyai Gadung sungguh tepat. Untung juga
bagi Tun Kumala yang sama sekali tak bisa bergerak.
Selendang biru Wara Huyeng tiba-tiba membelok mele-
wati dirinya dan langsung menyerang Nyai Gadung!
“Tun! Minggir!” Tak terasa Ni Gori memekik dan me-
lompat maju. Ini karena kayu membara di tangan Nyai
Gadung memaksa Wara Huyeng menarik kembali se-
lendangnya. Dan ujung selendang itu kini benar-benar
mengancam kepala Tun Kumala!
Pada saat yang sama Wara Hita juga melihat bahaya
yang mengancam Tun Kumala. Dan mengingat sifat Wa-
ra Huyeng yang ‘tegaan’, ia yakin Huyeng tak akan ragu
memecahkan kepala pemuda itu. Maka ia pun me-
lompat untuk menyelamatkan sang ‘pemuda’.
“Hei!” Ni Gori terkejut. Ia melihat gerakan sekelebat
ke arah dirinya dan Tun Kumala. Cepat ia mengubah
gerakan. Tangannya yang telah kembali memegang pa-
rang menusuk lurus ke arah langit. Kaki kirinya me-
nyapu kaki Tun Kumala untuk merobohkannya agar
terlindung dua kali dari serangan ujung selendang
Huyeng. Dan begitu kaki itu menginjak tanah lagi maka
tubuhnya yang sejajar bumi seakan berputar melecut
keras ke arah kedatangan Wara Hita.
Terdengar berbagai jeritan kaget. Ni Gori menjerit ke-
ras karena parangnya hancur tersambar selendang
Huyeng. Ia juga menjerit kaget karena kaki yang me-
nendang Wara Hita terhantam hawa panas yang begitu
menusuk, ditambah empasan tenaga yang menyesak-
kan dada. Dalam keadaan refleks, menganggap dirinya
terancam, Wara Hita serta-merta melontarkan pukulan
andalannya, dan ketika Gori roboh maka pukulan ke-
dua akan terlontar ke punggung gadis itu. Dan, untuk
pertama kali, mungkin, dalam hidupnya, refleks Tun
Kumala juga sangat cepat. Sekilas ia melihat ancaman
hantaman Wara Hita. Dan sekilas ia bisa berpikir bah-
wa hantaman itu akan maut. Dan bahwa ia paling dekat
dengan Gori yang saat itu tertelungkup.
Tak berpikir panjang, Tun Kumala menjerit dan
membalikkan tubuhnya yang telah terkapar di tanah ke
kiri, tepat menutupi punggung Gori! Jelas ia hanya me-
mikirkan bahwa hantaman Wara Hita akan teredam
oleh punggungnya sendiri dan gadis desa itu bisa sela-
mat.
Sementara itu semua itu tak luput dari amatan Nyai
Gadung. Ia menjerit karena bisa merasakan hawa puku-
lan Hita yang sanggup menghancurkan Tun Kumala
dan Gori sekaligus. Sedikit gugup ia melontarkan kayu
membara di tangannya ke arah Hita.
Di luar semua itu, Wara Huyeng pun memekik gem-
bira. Perhatian Nyai Gadung terpecah. Dan ujung selen-
dangnya meluncur mantap ke arah ulu hati Nyai Ga-
dung yang sesaat tanpa pelindung!
Bersambung ke jilid 7.
Emoticon