1. DEWI CANDIKA
SAAT itu malam. Saat itu kelam. Dan lampu-lampu
di taman Istana Timur Kuripan membuat bayang-
bayang terang dan gelap seolah bertarung berebut pen-
garuh. Lebih merupakan gambaran bagi kesatria muda
Ra Sindura selalu terpaksa menelan kebanggaan di-
rinya setiap ia menghadap Dewi Malini, selir utama
Sang Raja junjungannya.
Dewi Malini sebagai selir Sang Raja, bahkan didesas-
desuskan akan menggeser kedudukan Sang Permaisuri,
yang adalah juga junjungannya. Dewi Malini sebagai da-
ra cantik dari istana Rakryan Demung, Ra Sindura
punya ribuan kenangan manis bersamanya. Dewi Malini
sebagai Sang Selir Utama serta kekasih di masa lam-
pau, adalah siksaan tak terperi bagi seorang ksatria
muda seperti Ra Sindura yang mencoba memelihara ke-
teguhan hati sebagai orang berhati bersih di negara itu.
Dewi Malini tak pernah memberinya kesempatan un-
tuk putih bersih. Gelora dada dara muda itu tak pernah
bisa ditahan oleh kungkungan baja tata cara istana.
Bagaikan dendam kesumat pada nasib yang membuat-
nya terdampar di tangan Sang Raja, maka dengan be-
rani Dewi Malini selalu menggunakan tiap kesempatan
untuk bertemu dengan Ra Sindura. Dengan bantuan
prajurit dara yang menjadi kepercayaan Sang Mahara-
ja—Madri.
Seperti malam itu. Malam yang sangat tidak meng-
untungkan bagi Ra Sindura. Beberapa saat yang lalu
ayahnya diketemukan tewas. Dan saat ia akan berang-
kat menyelidiki kematian ayahnya, Madri muncul mem-
bawa berita bahwa ia dipanggil Sang Raja. Yang mem-
bawa berita itu adalah Madri. Dan ini hanya berarti sa-
tu. Dewi Malini menunggu.
“Kakang Sindura...,” kata Dewi Malini, di bawah po-
hon nagasari yang indah semampai. “Ini memang bukan
saat yang tepat. Tapi aku sangat merindukanmu. Aku
ingin... kau mau berbagi kesedihan denganku....” Dewi
Malini maju dan mengulurkan tangan untuk mencegah
Sindura duduk menyembah. Sentuhan tangan yang be-
gitu halus dan lembut itu jelas membuat dada Ra Sin-
dura bagai akan meledak. Tapi dengan tegas Ra Sindura
menepis tangan itu serta mundur beberapa langkah,
menghindar dari kejaran Sang Dewi.
“Dewi...” Terpaksa Ra Sindura memegang tangan pu-
tih lembut itu. “Ingatlah kedudukanmu... kau adalah
milik Sang Raja... kau adalah junjunganku... aku ham-
ba sahayamu. Kalaupun kau tak peduli... ingatlah bah-
wa tindakanmu ini bisa menyebabkan aku kehilangan
kepala....”
Dewi Malini tersenyum sedih. Ia menghela napas
panjang dan menarik pulang tangannya.
“Ra Sindura yang gagah perkasa takut dipenggal ke-
palanya? Sejak kapan?”
Saat itulah terdengar suara tawa mengejek. Tawa
seorang wanita. Dari salah satu sudut gelap taman itu.
Sesaat tersirap darah Ra Sindura. Serasa lenyap se-
luruh tulang di dalam tubuhnya. Tapi ia cepat berdiri.
Jika pun ia ketahuan, ia akan bersedia untuk bunuh
diri.
Tapi kesempatan saat Ra Sindura berdiri itu digu-
nakan oleh Dewi Malini untuk mendekap pemuda itu.
Merangkul dadanya yang terbuka itu rapat-rapat. Me-
nempelkan pipinya yang halus hangat ke dada yang
bersimbah keringat walaupun malam sangatlah dingin.
Dan keharuman alami yang begitu merangsang mem-
buat Ra Sindura sesak napas.
Kuping Dewi Malini yang mungil serta berhias sum-
ping bertatah berlian itu bisa mendengarkan betapa ka-
caunya debar jantung sang perjaka.
“Tak usah takut, Singa Kuripan,” bisik Sang Dewi.
“Itu adalah tawa Madri!”
Madri! Benar juga. Dan suara tawa itu terdengar lagi,
disusul kata-kata, “Jika kau ingin memasuki Istana Ti-
mur, kau mestinya punya ilmu lebih serta punya nyawa
rangkap! Keluarlah!”
He. Mungkin Madri memergoki seseorang yang akan
atau sudah memasuki taman istana ini?
“Sebentar,” bisik Ra Sindura mencoba melepaskan
diri dari dekapan Dewi Malini.
“Ah, mau ke mana?” bisik Dewi Malini, malah mem-
pererat dekapannya. Diusap-usapkannya wajahnya ke
dada Ra Sindura. Hawa mulutnya begitu hangat ketika
ia berbisik, “Tak usah pergi. Madri akan dapat mengata-
sinya. Dekaplah aku. Biarlah kita begini terus sampai
tua....”
“Dewi... jangan kaubuat keadaanku sedemikian sulit,
biarkan aku pergi dulu,” bisik Ra Sindura. Merah mu-
kanya. Begitu malu ia harus memohon pada wanita
yang dahulu hanyalah sebaya. Kini dipujanya. Dan di-
junjungnya. Namun begitu menyulitkan dirinya.
“Sudahlah, duduklah dahulu, pangkulah aku, de-
kaplah...,” bisik Dewi Malini berdesah, semakin erat
mendekap, menarik Ra Sindura ke dalam gelap bayang-
bayang. Luluh hati Ra Sindura.
Otaknya mengatakan ia harus segera meninggalkan
tempat itu. Kalau perlu ia harus mengibaskan wanita
cantik di dadanya itu. Tapi deras darah mudanya me-
ngatakan lain. Ia mengikut saja saat dirinya dituntun ke
dalam suatu rumah-rumahan kecil berdindingkan rang-
kaian bunga merambat. Di dalam terdapat sebuah
bangku kayu cendana dengan keharuman yang mende-
sak merangsang.
“Dekaplah aku, Kakang... lupakan sejenak dunia-
mu...,” desah Dewi Malini.
Dan bagaikan patung berjiwa, Ra Sindura mengikuti
permintaan itu. Mendekap sang dewi dengan tangannya
yang berotot kuat. Merangkum kelembutan halus dan
harum tubuh mulus indah itu. Tak terasa darahnya
pun semakin deras melancar. Kupingnya serasa penuh
dengan desah kepuasan Sang Dewi. Sementara tubuh-
nya yang kokoh disentak-sentakkan oleh guncangan ge-
jolak kerinduan yang bobol lepas membanjir menderas.
Tak urung, walaupun kini sayup-sayup, Ra Sindura
masih mendengarkan apa yang terjadi di sana. Entah di
mana.
“Tuan tahu, walaupun aku kenal Tuan, dan kedudu-
kan ramanda Tuan begitu tinggi... aku wajib menang-
kap Tuan. Hidup atau mati!” Di antara desah dengus
harum napas Dewi Malini, sayup-sayup Ra Sindura
mendengar suara itu. Suara Madri. Tegas dan dingin.
“Dewi...,” bisik Ra Sindura, menangkap tangan lem-
but sang dewi yang tampaknya semakin tak terkendali.
“Tolong lepaskan aku dulu.”
Sayup-sayup terdengar suara tawa lelaki. Beberapa
lelaki, bukan hanya satu. Dan seseorang menjawab
atau menyahut kata-kata Madri tadi.
Ia ingin sekali memusatkan perhatian agar dapat
mendengar jawaban tadi. Tapi saat itu Dewi Malini telah
merangkul lehernya dan semakin menjadi-jadi me-
ngecupi leher dan muka sang raden.
Saat sekali lagi Dewi Malini merobohkan Ra Sindura
ke bangku cendana, sayup-sayup terdengar bentakan
Madri. “Baik! Jika Tuan tak bisa kuajak bicara secara
baik-baik, terpaksa kugunakan kekerasan... yaiiiiiiiii....”
Dan terdengarlah suara pertempuran. Kini agak pak-
sa Ra Sindura menahan tangan Dewi Malini dan meng-
angkat kepala. Madri adalah putri seorang pendekar da-
ri Galijao. Tata kewiraannya mengandalkan kecepatan
bergerak. Begitu ia mulai bergerak, maka siapa pun
hampir tak bisa melihat dirinya lagi. Yang tampak
hanya segulung bayang-bayang yang menimbulkan wi-
bawa kengerian. Senjatanya semacam tombak yang
ujungnya adalah semacam golok melengkung. Madri tak
pernah menunjukkan rasa ampunnya jika sudah meng-
gunakan senjata itu. Ra Sindura pernah melihat praju-
rit wanita itu beraksi. Dalam perjalanan ke pantai sela-
tan, mereka yang sengaja mendahului rombongan Sang
Raja kepergok dengan segerombolan perampok. Mung-
kin jika mereka hanya menyatakan keinginan untuk
merampok, Madri takkan turun tangan. Tapi kepala pe-
rampok begitu usil mencoba menggoda Madri yang wa-
laupun berkulit hitam namun begitu manis dengan se-
ragam prajuritnya. Sekali Madri bergerak, ia tak bisa
dihentikan lagi. Enam belas orang perampok roboh da-
lam beberapa gebrakan saja. Semua dengan salah satu
bagian badan terpenggal.
Kini saat Ra Sindura berhasil melepaskan kepalanya
dari dekapan Dewi Malini, ia mendengar tidak saja lon-
catan lepas dan cepat gerak kaki Madri. Tetapi juga des-
ing maut tombak bermata golok melengkung itu.
“Maaf, Dewi....” Ra Sindura mengeraskan hati, menu-
tup mata nafsunya dan mendorong pergi tubuh wanita
muda itu. Terpaksa dengan tenaga karena Dewi Malini
sama sekali tak mau melepaskan dekapannya. “Maaf-
kan hamba....” Sedikit terhuyung Ra Sindura mundur,
membungkuk menyembab sambil membetulkan ikatan
kainnya. “Maaf....” Masih dengan pikiran kacau Sindura
berlari ke arah dari mana ia mendengar suara pertem-
puran tadi.
“Kakang!” Dewi Malini gugup berdiri. Tangannya ser-
ta-merta meraup beberapa pakaiannya yang terlepas
tadi. “Kakang!” katanya lagi gemas, membanting kaki. Ia
bukanlah wanita yang dibesarkan dalam kemanjaan.
Tapi ia paling tidak selalu memperoleh kepuasan dalam
keinginannya. Dan tadi ia tak memperoleh kepuasan
itu.
“Kakang... aku harus memilikimu...,” desah Dewi
Malini.
“Kenapa kau begitu serakah?” terdengar suatu sua-
ra. Sesaat Dewi Malini mengira itu adalah suara hatinya
sendiri. Sebab sering memang ia menanyakan hal itu
pada dirinya sendiri. Hampir ia menjawab. Namun ada
sesuatu hal yang sangat asing.
Tiba-tiba tempat itu berbau begitu harum.
Harum yang aneh. Tak pernah dirasakannya sebe-
lumnya.
Terkejut Dewi Malini berpaling. Dan ia makin terke-
jut.
Di sudut rumah taman itu berdiri sesosok tubuh. Ti-
dak terlihat terlalu jelas. Berperawakan sedang. Dengan
beberapa perhiasan gemerlap memancarkan sinar—
walaupun keadaan di tempat itu cukup gelap. Remang-
remang terlihat wajah berkulit bersih. Bermata tajam,
cemerlang indah.
“Siapa kkkau?” Dewi Malini berdesis bertanya. Mun-
dur hingga punggungnya terbentur palang-palang kayu
tempat bunga-bunga merambat.
“Perlukah kau tahu?” suara orang itu sungguh mer-
du. Dan seakan tertawa.
“Jangan kurang ajar. Aku bisa menyuruhmu dihu-
kum picis,” ancam Dewi Malini. Tetapi sesungguhnya ia
tak yakin untuk itu. Sebab... siapakah sebenarnya yang
dihadapinya? Sang Permaisuri sendirikah, hingga be-
rani begitu kurang ajar padanya? Tidak. Sang Bhre Ku-
ripan tidak seperti itu bangun tubuhnya. Tidak seperti
itu langgam suaranya. Tidak seperti itu harumnya. Dan
tidak mungkin berada di Istana Timur, yang memang
diperuntukkan bagi Sang Selir Utama. Lebih-lebih lagi
tak mungkin ia berjalan di kegelapan seperti ini. Sen-
diri.
“Kaupikir kau cukup tinggi untuk itu?” orang itu me-
mendam tawa lagi. “Ketahuilah, aku bahkan lebih ber-
hak dari Sang Maharaja di Wilwatikta. Apalagi hanya
Sang Raja Kuripan. Apalagi hanya seorang selir utama.
Apalagi... seorang selir utama yang menyeleweng!” orang
itu berbicara lebih keras. “Jika aku mendendam pada
seluruh keturunan Kertarajasa, maka dendamku adalah
dendam keluargaku. Jika aku ingin membunuh eng-
kau... maka itu karena sebagai seorang wanita, aku ma-
lu ada seorang wanita yang bersifat seperti engkau!”
“Membunuh... aku?” Dewi Malini makin mundur.
Makin terdesak ke palang kayu. Di mana Madri? Di ma-
na Sindura? Ia memang mendengar suara pertempuran
di kejauhan. Di mana para pengawal? Ah, ya. Demi ter-
laksananya pertemuannya dengan Ra Sindura, seperti
biasa pastilah Madri telah memindahkan pasukan pen-
gawal taman untuk bertugas di tempat lain. Mereka
pastilah tak bisa dipanggil.
“Ya... aku akan membunuhmu. Sesungguhnya ini
bukan tujuan utamaku. Tujuanku adalah Bhre Kuripan
dan keluarga dekatnya... tapi kau begitu memuakkan
aku!” Tiba-tiba orang itu merunduk merendahkan bahu
kirinya. Dewi Malini terkejut. Ia tahu sedikit ulah tata
kewiraan. Dan ia sering menonton Sindura berlatih. Ia
seakan mengenal gerak ini. Salah satu gerak yang
mengawali tendangan yang mempunyai kekuatan pe-
nuh dan sanggup merobohkan sebatang pohon beringin
besar!
Dewi Malini cepat memutar tubuh. Tergesa-gesa ia
membuang diri ke samping. Tak mempedulikan betapa
kain dan selendangnya terlepas dari genggamannya.
Orang itu agaknya hanya menggertak. Bukan ten-
dangannya yang terlepas, tangan kanannya meluncur
cepat, mencoba menyambar kain kemben penutup dada
Dewi Malini. Dewi Malini gugup menyambar tusuk
sanggul yang berbentuk seperti keris berukuran sangat
kecil dan sambil menjerit keras menampar tangan yang
terulur tadi.
Saat itulah tendangan maut yang dikhawatirkannya
tiba. Sekilas gerakan. Badan orang itu miring. Kakinya
terulur panjang. Ibu jari dan jari telunjuk kaki menga-
rah ke iga Sang Dewi.
Kembali Dewi Malini menjerit keras. Dan roboh.
Ketika Sindura sampai di sumber suara pertempuran, ia
sangat terkejut. Tempat itu adalah halaman samping Is-
tana Timur. Dekat pintu kecil yang menuju bagian bela-
kang Istana. Dekat tembok tinggi yang memagari taman
itu.
Sindura terkejut, karena terlihat Madri sedang sibuk
melayani Ra Wirada dan kedua bayangannya, si Lingga
dan Yoni!
Madri mengerahkan segenap kepandaiannya. Tubuh-
nya meloncat ke sana-kemari, berguling dan meloncat
meninggi, kemudian kembali berguling dekat tanah.
Senjata tombaknya terus menderu, mata golok leng-
kungnya mendengung mengancam.
Ra Wirada cukup membuktikan dirinya sebagai pe-
muda yang bisa diharapkan sebagai benteng negara.
Gerakannya ringkas. Trengginas. Matang perhitungan.
Gerakan ini jadi begitu indah karena Madri dibuat sibuk
oleh Lingga dan Yoni. Terlibat dalam pertempuran sese-
rius ini, kedua orang itu lupa bercanda. Mereka me-
mang terpaksa menggunakan pedang untuk berani
menghadang serangan Madri. Dalam menyerang mau-
pun bertahan, ternyata si jangkung dan si bundar itu
dapat saling mengisi dengan sangat baik. Mereka pun
seolah pernah berutang jiwa pada Ra Wirada hingga se-
ring mereka melakukan serangan nekat dan kilat untuk
melindungi pemuda itu.
Pertempuran itu jadinya seimbang. Dan itu mem-
buktikan bahwa sesungguhnya Madri berada di atas sa-
lah satu dari ketiga pria itu jika mereka melakukan per-
tempuran seorang lawan seorang.
Bahkan hanya Madri yang sepenuhnya tahu keha-
diran Ra Sindura yang tiba-tiba muncul dari antara se-
mak bunga.
Madri bahkan dapat melihat raut muka yang melam-
bangkan pikiran kacau di wajah Ra Sindura.
Ini tidak benar, pikir Madri. Setiap kali habis ber-
temu dengan Dewi Malini memang tampak Ra Sindura
berwajah kacau, tetapi kacau yang menyembunyikan
rasa kepuasan diri. Ini tidak. Ini kacau takut. Kacau
bingung. Dan tentu saja kacau sedih. Takut? Bingung?
Karena pikirannya terpecah, dua pedang Lingga dan
Yoni berhasil menerobos pertahanan tombak Madri,
sementara tinju Ra Wirada menyerbu dari samping. Gu-
gup Madri menghantam kedua pedang itu dengan ga-
gang tombak sementara sambil menggulingkan diri ia
membebaskan sasaran tinju Ra Wirada. Sesaat kemu-
dian ia telah meloncat dan jatuh dengan kaki tertekuk
hampir melekat ke tanah sementara tombaknya mem-
buat lingkaran perlindungan maut.
“Lut Seta,” pikir Ra Sindura. Ia pernah mendengar
tentang gerakan khas dari tata kewiraan Galijao ini, dan
baru kali ini ia dapat menyaksikan sepenuhnya. Tetapi
ia masih termangu.
Madri menebak tepat. Ra Sindura memang saat itu
gugup, bingung, dan takut. Tewasnya ayahnya. Perte-
muannya yang penuh gelora nafsu dengan Dewi Malini.
Dan kini Ra Wirada muncul. Apakah mereka hanya ke-
betulan saja datang?
Menggunakan saat Madri sesaat berhenti menyerang,
tangkas sekali Ra Wirada melompat mundur. Lingga
dan Yoni serentak juga mundur dan mengambil tempat
melindungi majikan mereka.
“Kakang Sindura, hentikan wanita gila ini... dia...
dia... eh...” Ra Wirada berhenti berbicara, memperhati-
kan pakaian Ra Sindura yang sudah acak-acakan itu.
“Mmm, haruuum... kau dari mana, Kakang? Betul juga
kabar angin yang kudengar.”
“Raden, orang ini memburuk-burukkan Gusti Dewi.
Aku berkewajiban untuk membekuknya. Hidup atau
mati.” Madri berdiri gagah, memutarkan tombaknya di
samping tubuhnya dengan tangan kanan sementara
tangan kirinya menunjuk lurus ke depan. Wajahnya
yang gelap menjadi latar belakang matanya yang me-
mancar murka penuh dendam. “Lebih baik lagi kalau
mati, dan aku tak keberatan kata-kataku ini diadukan
pada Sang Maharaja.”
“Ah, Kakang Sindura... aku cuma berkata aku ingin
mengunjungi Rayi Dewi Malini... kan itu biasa toh.” Ra
Wirada bertolak pinggang dan bersikap santai. “Kan Ka-
kang tahu, Rayi Dewi teman bermain kita sejak dulu...
Bahkan, ehm, ehm, aku sekarang baru mengerti men-
gapa kau tak pernah tertarik pada gadis mana pun, Ka-
kang... dan kenapa kedudukanmu begitu cepat me-
nanjak. Yang kuherankan, pada saat ayahandamu, Uwa
Rangga, menemui petaka... kau masih sempat...”
“Diam, Wirada!” Ra Sindura tidak membentak. Bah-
kan kata-katanya itu dikeluarkannya perlahan-lahan.
Hampir sepatah demi sepatah. Tapi semua suku kata-
nya seakan menghantam dada Ra Wirada. Yang lang-
sung terdiam. “Jangan kausebut Gusti Dewi seperti itu.
Berpikir pun jangan kauanggap sarika pernah jadi te-
man bermainmu. Gusti Dewi adalah junjunganmu.
Camkan itu. Kau telah memasuki daerah terlarang. Kau
harus dihukum!”
“Jika Gusti Dewi-mu itu boleh menerima kamu, Ka-
kang, secara sembunyi-sembunyi pula... kenapa aku
tak boleh berbuat serupa? O, sudahlah, jangan kau
mencoba menutupi Gusti Dewi-mu itu, Kakang. Bagiku
ia tak lebih dari salah satu anak buah Bibi Emban
Layarmega... bedanya kaulah langganannya satu-satu-
nya!”
“Wirada! Bersihkan mulutmu!” Kini Ra Sindura
membentak. Dan meledak. Dan langsung menerjang.
Dengan kemarahan yang tak terbendung.
Ra Wirada menjerit terkejut. Punggungnya tersambar
hantaman keras Ra Sindura dan ia terhempas keras ja-
tuh tersungkur. Pedang Lingga yang terulur mengha-
dang pun ditabas hingga terlepas, sementara peme-
gangnya ditendang terjengkang.
“Kakang Sindura! Jangan kaukira kau sendiri jantan
sejati!” geram Ra Wirada memekik dan menghunus ke-
ris pusakanya, Ki Jaka Belek. Begitu terkibas di udara,
keris yang tadinya hitam legam langsung merah mem-
bara menyebarkan perbawa panas. Tapi Ra Sindura
agaknya tak terpengaruh. Bagaikan gila ia terus mener-
jang.
Gugup juga Madri melihat pertempuran keras itu.
Belum pernah ia melihat Ra Sindura begitu bernafsu
dalam bertarung. Seakan-akan Ra Sindura tak akan
puas sebelum Ra Wirada dan kedua hambanya itu di-
cincang jadi abu.
Padahal, bahkan tadi pada puncak kemarahannya,
Madri tak akan bermaksud untuk membunuh putra
Rakiyan Tumenggung itu. Betapapun kurang ajarnya
Ra Wirada.
Entah bagaimana agaknya Ra Wirada mengetahui
hubungan gelap antara Ra Sindura dan Dewi Malini.
Entah bagaimana Ra Wirada memberanikan diri memu-
tuskan untuk juga ikut menemui Dewi Malini. Mungkin
memang ia tak bisa mengendalikan kehidung-belang-
annya. Mungkin karena ia ingin menjatuhkan Ra Sin-
dura. Entahlah. Kata-kata yang tadi diucapkannya pada
Madri sungguh kurang ajar, memang. Kemudian... en-
tah bagaimana ia bisa memasuki daerah terlarang ista-
na ini. Mungkin ia memakai pengaruh Rakryan Tu-
menggung yang memang sedang berada di balai peng-
hadapan. Mungkin... ah! Tugasnya adalah menjaga
Sang Dewi. Kini... di mana beliau? Mengapa Ra Sindura
meninggalkan Sang Dewi? Madri kenal betul Sang Dewi.
Pasti ia tak akan melepaskan Ra Sindura sedemikian
cepat. Apa pun yang terjadi, biasanya bisa ditanggulangi
oleh Madri hingga Ra Sindura tak usah pergi mening-
galkan Sang Dewi.
Tiba-tiba Madri merasa gelisah. Apa pun yang terjadi,
Madri harus menjaga kepuasan Sang Dewi.
Gelisah Madri memuncak. Dilihatnya Ra Sindura
masih beringas merangsek kedua lawannya, dan sera-
ngan-serangan putra Rakiyan Rangga itu betul-betul
pantas membuatnya dijuluki Singa Kuripan. Kenapa
pemuda itu seperti begitu bernafsu membunuh Ra Wi-
rada?
Tiba-tiba Madri memutuskan untuk menjenguk jun-
jungannya. Keadaan di sini pastilah bisa dikuasai oleh
Ra Sindura.
Madri membungkuk memberi hormat dari kejauhan
dan berkata, “Raden, demi pasukan pengawal keagung-
an Sang Maharaja, mohon ketiga perusuh itu ditangkap
hidup-hidup....” Madri terpaksa menambahkan kata-
kata itu karena ia ngeri akan akibat kemurkaan Ra Sin-
dura. Dan ia melompat pergi.
Bergegas ia berlari ke rumah bunga di tengah taman
itu. Beberapa langkah dari rumah itu ia sudah tertegun
berhenti. Sebuah sudut rumah tersebut roboh. Dan...
sesosok tubuh terkulai ke luar.
“Gusti Dewi!” Madri berbisik dengan suara tertekan.
Dan napasnya serasa lenyap. Jantungnya berhenti ber-
detak. “Gusti Dewi...,” bisiknya lagi, melangkah selang-
kah maju. Begitu berat terasa. Tapi ia menabahkan hati
untuk melangkah lagi. Dan melangkah lagi. “Gusti De-
wi...,” hampir ia menjerit. Dan menubruk tubuh itu.
Dan menangis. Serta merenggut-renggutkan rambut di
kepala. Atau menampar-nampar dada. Tapi itu semua
hanya dilakukan oleh seorang wanita biasa. Madri bu-
kanlah wanita biasa. Ia adalah wanita prajurit. Ia ada-
lah prajurit. Ia tak boleh melakukan apa yang mula-
mula dipikirkannya tadi.
Ia menghela napas dalam-dalam. Ia memejamkan
mata. Ia memusatkan segenap pikirannya. Ia adalah ke-
utuhan dari suatu senjata pamungkas. Ia tak kenal pe-
rasaan.
Ia maju. Diperiksanya tubuh itu. Dipetiknya batu
api. Disulutnya sebuah obor kecil yang ada di rumah
bunga tersebut.
Sang Dewi sedang tersengal-sengal mempertahankan
napas terakhirnya. Sekilas melihat remuknya sisi dada
serta warna kulit wajah yang cantik itu Madri tahu
bahwa obat Dewata pun tak akan bisa menyelamatkan
junjungannya. “Gusti Dewi...,” bisik Madri perih. Diang-
katnya wajah cantik itu. Tak ada yang tahu, bahwa pa-
da puncak-puncak kesepiannya, Dewi Malini sering
mendekapkan mukanya ke dada Madri, dan memper-
oleh suatu kepuasan yang aneh. Demikian pula si pra-
jurit wanita. Kesetiaannya pada junjungannya lebih dari
sekadar kesetiaan. Tetapi juga kecintaan. Dan kini wa-
jah itu begitu padam sinarnya. “Gusti Dewi...,” bisiknya
lagi.
Dan entah ada kekuatan dari mana, Sang Dewi se-
saat membuka kelopak matanya. Mata yang mati itu
memandang Madri dengan sinar obor kecil yang ter-
sangkut di dinding. “Madri?” suaranya lemah, jauh dari
balik dunia.
“Gusti Dewi!” Madri terkejut. “Dewi... siapakah yang
berbuat ini?” Naluri keprajuritan lebih menguasai rasa
cinta ataupun kasih sayang Madri.
Dewi Malini tersengal-sengal makin keras. “Dewi!”
rintih Madri. Dan mulut yang begitu indah tampak
membentuk kata: Madriiii. Kemudian... bibir itu seakan
ingin mengucapkan: Kakang Sin... du... ra...
Dan... mata indah itu pun padam.
2. TENDANGAN BANTALA LIWUNG
SETELAH Madri pergi, dalam kemurkaannya pun Ra
Sindura merasakan bahwa ada orang ketiga yang ikut
memperhatikan ia merangsek Ra Wirada dan kedua pu-
nakawannya. Kemudian sesuatu membuatnya makin
terganggu. Bau yang begitu harum! Sesaat ia melengak,
dan hampir saja lambungnya terobek oleh si Jaka Be-
lek. Tapi dengan menggunakan langkah Sura-caya bu-
kan saja ia berhasil menggagalkan serangan lawan,
bahkan serangkaian tendangan membuat Lingga dan
Yoni terpental membentur pagar tembok, sementara Ra
Wirada harus membuang badan dua kali.
Ra Sindura berpaling, dan terpaku.
Bersandar pada sebatang pohon sawo kecik, adalah
seorang... dewi? Bidadari? Gandarwa? Peri? Belum per-
nah Ra Sindura melihat wanita secantik itu. Pakaiannya
pun mungkin mengalahkan putri Wilwatikta. Hanya ka-
innya dilipat untuk lebih memberi gerakan bebas pada
kakinya. Dan sekilas Ra Sindura tahu bahwa gerak be-
bas yang dimaksud adalah gerak bebas keprajuritan.
Lebih dari itu, wanita itu memancarkan keharuman
yang khas. Keharuman aneh yang pernah diciumnya di
tempat ayahnya gugur.
“Kau!” Hanya itu yang keluar dari mulut Ra Sindura,
jarinya kaku menuding wanita itu. Bukan ia saja yang
terpukau. Ra Wirada pun bangkit terheran-heran. Begi-
tu juga Lingga dan Yoni.
“Kenapa aku?” wanita itu bertanya dengan suara
merdu.
“Kkau... yang... menewaskan...” Ra Sindura tak be-
rani melanjutkan pertanyaannya.
“Bukankah itu kesalahanmu sendiri?” Wanita itu
berjalan gemulai ke tengah tempat terbuka yang tadi
mereka pakai untuk bertempur itu. “Pertama, kepada
ayahmu sendiri, mengapa tak kautunjukkan cara meng-
atasi tendangan Bantala Liwung? Kedua, kenapa kau
sendiri tak bisa menguasai Bantala Liwung dengan
baik?”
“Kkau... tak mungkin kau murid perguruan kami!”
Ra Sindura memperhatikan wanita itu.
“Untuk menguasai ilmu kalian yang hanya bagus
guna menangkap katak di sawah... mestikah aku men-
jadi murid?” Wanita itu tertawa mengejek. “Lagi pula,
melihat kau sebagai contoh... kurasa Ki Megatruh patut
berduka dalam penyesalan.”
“Ap... apa yang kaumaksudkan?” Ra Sindura terga-
gap.
“Contohnya... membunuh cacing macam mereka ber-
tiga saja kau tak becus.” Wanita itu tertawa. Ibu jari ka-
kinya dijentikkan. Sebutir batu kerikil melayang cepat
dan pesat, tepat mengenai mulut Yoni yang sedari tadi
ternganga. Yoni menjerit menekap mulutnya. Dari sela
jarinya darah mengalir. Batu tadi ternyata mematahkan
sebutir giginya.
“Eh, tunggu, tunggu, Kakang Sindura... ini siapa?”
sela Ra Wirada yang agaknya telah sadar dari terpeso-
nanya. “Kalau dia menganggapku cacing, memang pan-
taslah. Dibanding kecantikannya... he he he... Kakang
bolehlah ambil Dewi Malini... biar aku dapat yang ini sa-
ja... mati pun lega rasanya....”
“Jangan khawatir, Wirada, keinginanmu itu pasti ter-
laksana,” kata si wanita cantik tersenyum. Senyum itu
sendiri sudah sanggup menghilangkan napas Yoni dan
Lingga.
“O, o... kau sudah kenal namaku... cuma belum
lengkap... aku putra Rakryan Tumenggung, kalau kau
putri seorang bupati pun rasanya masih cukup lu-
mayan.” Ra Wirada tertawa.
“Wirada, lebih baik kau diam... kau belum tahu siapa
dia....” Ra Sindura sudah “mendingin” dan merasa bah-
wa Wirada pun wajib dilindunginya.
“Aha, tapi tak pernah terlambat untuk berkenalan,
bukan?”
“Memang belum terlambat.” Sambil tersenyum si wa-
nita menggeser kedudukan kakinya. Dan kini Ra Sindu-
ra terkejut. Gerak perpindahan kakinya. Dan kedu-
dukan akhir kaki itu. Benar-benar hanya bisa dilaku-
kan oleh orang yang ahli dalam ilmu itu! “Wirada, kau
akan kuserang dengan Bantala Liwung langkah ke-19
ke arah ulu hatimu. Awas!”
Gugup Ra Wirada melompat mundur dan pasang
kuda-kuda pertahanan. Sebat Ra Sindura menerkam
menyergap menghadang tendangan itu. Tapi gerakan
wanita tersebut begitu indah. Ia menarik mundur kaki-
nya untuk menghindari benturan dengan Ra Sindura.
Kemudian ia menggeser sekali ke kanan, dua kali ke ki-
ri, dan ia telah berada kembali di hadapan Ra Wirada.
Tendangan yang sama dilaksanakan. Ra Wirada menje-
rit panjang. Terpental roboh tak bergerak lagi.
“Hei!” seru Ra Sindura terkejut.
“Raden!” teriak Lingga dan Yoni bersama-sama.
“Dan ini langkah ke-20....” Wanita itu menekuk kaki,
melengkungkan tubuh dengan kedua tangan teracung,
dan tiba-tiba kaki kirinya melecut ke depan. Yoni bagai-
kan terbabat pedang raksasa. Tertekuk patah di ping-
gang, terjungkal roboh. Lingga melihat gelagat, melom-
pat mundur ke tembok. Tapi seakan tak berusaha si
wanita menggeser diri ke sana kemudian bertumpu pa-
da kedua belah tangan ia meloncat serta menendang
beruntun. Lingga pun roboh.
“Kau kejam!” Gugup Ra Sindura bersimpuh meme-
riksa Ra Wirada.
“Mungkin kekejamanlah yang kurang pada ilmu yang
kaumiliki.” Si wanita tertawa. “Untuk apa ilmu yang
tampaknya saja indah?”
Bekas tendangan pada rusuk Ra Wirada jelas mem-
perlihatkan betapa tepatnya gerakan si penendang, be-
tapa tepat takaran tenaga yang digunakan, dan betapa
tepatnya sasaran.
“Kau gila...,” desis Ra Sindura, berdiri dan berpaling.
Kembali ia terkejut. Di depannya berdiri Madri. Dengan
tombak melintang di dada serta pandangan menuduh.
“Madri... mereka...” Ra Sindura tak melanjutkan ka-
ta-katanya. Pandang mata Madri begitu penuh dendam.
“Sedikit saja kau bergerak mencurigakan, Raden,
dengan senang hati aku membunuhmu,” kata Madri
dengan bahasa kasar dan tombak dalam posisi menye-
rang. “Aku bisa mengerti kau tega membunuh mereka,
tapi mengapa Sang Dewi juga?”
“Ap... apa maksudmu? Kke... kenapa Sang Dewi?” Ra
Sindura terperangah.
“Jangan pura-pura!” tiba-tiba saja tombak dengan
ujung melengkung itu bergerak sangat cepat, beringas
dan ganas!
“Madri! Tunggu!” teriak Ra Sindura. Tapi tak ada gu-
nanya. Tombak Madri terus menyerbu dengan sengit.
Ra Sindura sampai sesak napas. Hanya keajaiban yang
membuatnya lolos dari serbuan maut yang bergelom-
bang itu. Pikirannya sudah terpecah tak keruan. Pada
kata-kata Madri. Pada tubuh Ra Wirada yang tak ber-
nyawa lagi. Kemudian kelebatan ujung tombak Madri
juga sangatlah mengerikan.
Dan tahu-tahu tempat itu terang-benderang. Pulu-
han obor mendatangi. Dengan puluhan prajurit. Dan
beberapa panglima. Dan kedua rakryan yang ada. Ra-
kryan Kanuruhan, Mpu Gatra. Rakryan Tumenggung,
Mpu Gagarang.
Mpu Gatra yang tua suaranya berwibawa. “Sindura,
Madri, hentikan!”
Sindura melompat mundur dan berhenti. Madri
menggunakan kesempatan ini untuk menghantam mu-
ka Sindura dua kali kemudian ia melompat mundur
dan menangis tersedu-sedu. Mpu Gagarang sementara
itu telah bersimpuh di samping tubuh putranya, me-
manggil-manggil namanya, “Wirada! Wirada! Berbicara-
lah padaku, Nak. Wirada... aku ayahmu, Nggeeeer... Wi-
rada...” Dan orang tua itu pun menangis tersedu-sedu.
Beberapa lama hanya suara itu yang terdengar. Se-
mua mematung. Ra Sindura tampak kebingungan. Para
prajurit dan para panglimanya seakan tak tahu harus
berbuat apa. Madri berdiri geram dengan pandang
mengancam. Ia telah mengamankan Sang Dewi jun-
jungannya. Kemudian ia mengerahkan pasukan kemari,
karena betapapun ia merasa tak akan tega menangkap
Ra Sindura. Satu hal ia tahu. Sebagai seseorang yang
menekuni ulah kewiraan, maka ia beberapa kali meneli-
ti korban tendangan maut Ra Sindura. Ia yakin apa
yang dilihatnya pada Sang Dewi sama. Dengan lemas ia
kemudian mendekati mayat Lingga dan Yoni. Benar. Di
sini pun terlihat tempat-tempat maut yang sangat dige-
mari sebagai sasaran Bantala Liwung. Dengan tenaga
yang diperlukan untuk membuat tendangan itu benar-
benar maut.
“Kubunuh kau!” Tiba-tiba keheningan itu dipecah-
kan oleh jerit Mpu Gagarang yang menyambar Ki Jaka
Belek di samping tubuh anaknya dan menghambur me-
nerjang Ra Sindura.
Beberapa kepala pasukan segera pula menghambur
menghadang di depan Ra Sindura. Mereka hanya me-
nempatkan diri di sana. Dan mereka sama sekali tak
melawan saat dengan geram Mpu Gagarang menghajar
mereka dengan hantaman, tendangan, bahkan sabetan
keris pusakanya.
Tahu-tahu Mpu Gatra telah berada di depan Ra Sin-
dura saat Mpu Gagarang mengayunkan keris ke dada
pemuda itu. Keris itu terhunjam keras ke dada Mpu Ga-
tra. Tak berbekas.
“Dimas Tumenggung, sabar dulu... baiklah kita bica-
rakan hal ini baik-baik.” Mpu Gatra sabar memegang
tangan Mpu Gagarang yang memegang keris dan menu-
runkannya. Dengan tangan yang sebelah lagi ia me-
rangkul tumenggung itu. Menuntunnya pergi. “Mari kita
sidangkan hal ini malam ini juga.”
“Aku bunuh diaaaaa!” jerit Rakryan Tumenggung.
Dan ia pingsan di pelukan Rakryan Kanuruhan, Mpu
Gatra.
Sidang yang dijanjikan Rakryan Kanuruhan itu ber-
langsung sunyi. Tidak terdengar kata-kata meledakkan
tuduhan. Berlangsung di balai penghadapan belakang.
Hari telah menjelang fajar. Hawa dingin berembus
masuk. Kegelapan masih menyelimuti alam di luar.
Rakryan Mapatih Kuripan paling gelisah. Ia baru saja
sampai dari perjalanan jauh meninjau pantai selatan.
Berita yang akan dilaporkan pada rajanya bukanlah be-
rita yang menggembirakan. Dan di Kuripan sendiri ter-
jadi berbagai petaka.
Kematian Rakryan Rangga saja sudah membuatnya
patah semangat. Di saat agaknya cahaya Wilwatikta
menyuram, Rakryan Rangga adalah salah satu orang
yang dapat diandalkannya. Bukan ia memandang ren-
dah yang lain... dari balik jari-jari tangan yang dipa-
kainya menyangga muka, Rakryan Mapatih melirik Ra-
kryan Demung, Rakryan Kanuruhan, dan Rakryan Tu-
menggung yang hadir di hadapannya. Mereka adalah
orang peperangan yang kini menjadi “gemuk”. Luntur
semangat perjuangan dan kini mengutamakan kese-
nangan semata.
Seperti Rakryan Demung itu. Dahulu adalah singa
yang ditakuti di palagan. Ikut Sang Mahapatih Mada
semasa mudanya menumpas pemberontakan di Sa-
deng. Ikut menyerbu ke Ujung Timur melabrak Bhre
Wirabhumi. Kini dengan kedudukan tinggi singa itu ma-
tanya tak lagi beringas. Dan ia agaknya lebih mengan-
dalkan hubungannya dengan Istana untuk mengukuh-
kan kedudukannya. Bukan dengan menegakkan jasa
yang lebih besar. Betapa kematian putrinya menghan-
curkan orang ini, pikir Sang Mapatih. Bukan karena
cintanya pada putrinya. Mungkin itu juga, tapi lebih
banyak lagi karena dengan tewasnya selir utama ini le-
nyaplah sudah tumpuan utama pengaruhnya di Istana.
Rakryan Demung setiap kali pingsan, membuat repot
para dayang yang ada, serta Juru Wira Prakara, putra
sulung sang Rakryan Demung yang menjabat juru di
Gerati. Bahkan Wira Prakara ini pun tak bisa diha-
rapkan, pikir Rakryan Mapatih, masih menundukkan
kepala. Putra Rakryan Demung itu bahkan secara wu-
jud betul-betul gemuk bundar.
Rakryan Kanuruhan sedikit bisa diharapkan, pikir
Rakryan Mapatih. Hanya Mpu Gatra ini sudah demikian
tua, dan tak punya keturunan. Ia bahkan sudah ikut
berjuang semasa Sang Jayanegara menyerbu Pajarakan.
Waktu itu Mpu Gatra tentulah masih anak-anak, dan
menurut cerita hanya menjadi pembawa tombak Sang
Raja. Namun keberaniannya kiranya cukup mengesan-
kan. Dan ia tak bisa memperoleh keturunan pun akibat
pertempuran di kubu Pajarakan itu. Ia jatuh dan terin-
jak kuda perang hingga terjadi kerusakan parah pada
anggota badannya yang dapat menjanjikan keturunan.
Rakiyan Mapatih sendiri tak tahu benar-tidaknya cerita
itu, tetapi ia sering melihat kegagahan Rakryan Kanu-
ruhan di masa mudanya. Sayang.
Rakiyan Rangga, jika masih ada, akan memperoleh
nilai terbanyak di mata Rakryan Mapatih. Jujur. Gagah
berani. Bertanggung jawab. Tak pernah mengejar keka-
yaan. Juga putranya, Ra Sindura. Tapi kenapa justru
mereka yang baik ini yang kemudian terkena petaka?
Dan Ra Sindura itu... kembali Rakryan Mapatih meng-
intip dari balik jari-jarinya. Sedikit mengecewakan juga.
Sang Mapatih pernah juga mendengar desas-desus ten-
tang hubungan Ra Sindura dengan Selir Utama. Me-
ngapa ia tak bisa menahan diri? Tapi... tidak. Beberapa
bulan yang lalu dalam percakapan dengan Sang Mapa-
tih, Sindura pernah menyatakan keinginan untuk
membaktikan dirinya di kerajaan lain. Mungkin di Da-
ha. Atau Wengker. Mungkin itu juga salah satu usaha
untuk menjauhi Dewi Malini. Tapi tuduhan yang ditu-
jukan pada Ra Sindura sangat berat.
Sang Rakryan Mapatih tak pernah menyukai Ra-
kryan Tumenggung. Sewaktu muda, memang Mpu Ga-
garang gagah berani. Tetapi juga sudah terlihat sifat bu-
ruknya, suka mencari kesenangan. Dan sifat ini juga
menurun pada putranya, Ra Wirada. Bahkan Ra Wirada
telah mendirikan kumpulan anak muda pengejar kese-
nangan. Ah, mau dibawa ke mana Wilwatikta ini, keluh
Rakryan Mapatih dalam hati.
Ada juga anak muda macam Madri, prajurit yang
seolah tanpa pamrih membaktikan dirinya. Jika Madri
mulus baktinya, sampai di manakah ia kelak?
Ah, Rakryan Mapatih malu sendiri. Ia seenaknya me-
nilai orang. Sudah sempurnakah dirinya? Tapi, apakah
yang mungkin bisa dicela darinya? Apa? Kegemarannya
pergi ke rumah Emban Layarmega? Rasanya itu bukan
suatu cela, sejauh tak pernah mengganggu tugasnya
sebagai mapatih. Ah. Ia hanya membela diri, bukan?
Mungkin juga. Ia, yang punya istri yang sangat me-
ngasihinya, dan punya beberapa selir yang cantik-
cantik, toh masih memerlukan berkunjung ke rumah
Emban Layarmega.
“Maafkan kami, Dinda Mapatih, kiranya kami me-
nunggu keputusan Adinda,” sayup-sayup terdengar su-
ara Rakryan Kanuruhan.
“Oh, harap dimaafkan aku, Kakang Rakryan Kanu-
ruhan,” gugup Rakryan Mapatih menyahut. “Pikiranku
memang agak kalut! Masih terbayang, betapa Sang Ma-
haraja tak sadarkan diri beberapa kali setiap teringat
kepergian Gusti Dewi.... Aku yakin Kakang Rakryan De-
mung akan tetap dihormati oleh Sang Maharaja walau-
pun Gusti Dewi tiada.... Dinda Rakiyan Tumenggung
tentunya sanggup mengambil contoh dari Mahabharata,
saat Sang Arjuna menemui putranya, Raden Abimanyu,
gugur. Sang Arjuna tetap tabah dan makin mantap
menghadapi musuh. Ini yang kuharap dari Adinda Ra-
kryan Tumenggung.”
“Kakang Rakryan Mapatih, itu bukan keputusan!”
sela Rakryan Tumenggung. “Aku ingin pembunuh pu-
traku dihukum picis secepatnya!” Mata merah Sang
Tumenggung menatap Ra Sindura.
“Sangat sulit bagiku untuk menjatuhkan keadilan,
karena aku bukanlah ahli Kutaramanawa, undang-
undang tertinggi yang mengatur kita semua. Dari jejak
yang ada pada diri anakku Ra Wirada, aku pun menarik
kesimpulan bahwa itu memang hasil tendangan khas
anakku Ra Sindura. Yang jadi persoalan kini, mengapa
Ra Wirada berada di daerah terlarang itu? Sementara
kudengar bahwa Ra Sindura memang dipanggil meng-
hadap Sang Maharaja?”
Tergagap Rakiyan Tumenggung mendapat perta-
nyaan itu.
“Ahhhh! Itu kan tak perlu! Yang perlu Sindura telah
membunuh. Dan pembunuh harus dihukum!” katanya
kemudian.
“Akan lain persoalannya bila Ra Sindura dalam ke-
dudukan punya hak untuk membunuh. Misalnya ka-
rena Ra Wirada masuk ke daerah terlarang dan tak
menghiraukan peringatan Ra Sindura.”
“Ah! Kakang Mapatih memang memihak Sindura!”
dengus Rakryan Tumenggung gemas.
“Aku ingin memihak kebenaran, Dinda Tumenggung,
bantulah aku karenanya,” Rakryan Mapatih masih ber-
suara lembut. “Aku merasa pasti, betapapun Sindura
akan mati di tengah alun-alun dengan setiap orang yang
lewat berhak mengiris dagingnya... mungkin bukan atas
hukuman dari kematian anakku Ra Wirada yang ba-
nyak memiliki kelemahan dalam perkara ini, tapi dari
tewasnya Gusti Dewi. Nah, rasanya Ra Sindura takkan
mengelak dalam hal ini.” Rakryan Mapatih berpaling
dan merenungi Ra Sindura. “Apa pun alasannya, Ra
Sindura tak ada alasan untuk membunuh Gusti Dewi.
Kecuali kalau pengakuannya benar, bukan dia yang
berbuat.” Rakryan Mapatih berhenti sejenak. “Jika kita
mencari kebenaran, maka kita akan sering meminum
obat pahit. Jika kita ingin perkara ini tuntas, maka kita
harus berpikir hati-hati... dan, akan banyak orang yang
tersinggung. Nah, Kakang Rakryan Demung, relakah
Paduka jika kita membicarakan juga Gusti Dewi dalam
pemeriksaan ini?”
“Sesungguhnya kami keberatan. Untuk apa pemerik-
saan itu, kecuali hanya membuka luka?” sang juru di
Garati, Wira Prakara, yang menyahut, sambil terus me-
mijit-mijit punggung dan leher ayahnya. “Kami menda-
pat bisikan dari Sang Maharaja, bahwa pembunuh A-
dinda Dewi harus segera dihukum mati. Mohon petun-
juk dari Paman Rakryan Mapatih, mengapa pemerik-
saan itu harus dilakukan? Apalagi jika mengingat, su-
dah ada saksi yang cukup berbobot.”
Licik, pikir Rakryan Mapatih. Berpura-pura mem-
bantu sepenuhnya, sementara sesungguhnya mencari
jalan yang paling aman. Mungkin nasib Sindura me-
mang buruk. Atau ia memang bersalah. Di zaman se-
perti ini, nasib buruk berarti harus rela menerima hu-
kuman.
“Kalau begitu, semuanya tergantung pada Madri.
Dan Sindura sendiri. Dan keputusannya tergantung pa-
da Sang Hyang Maha Agung. Madri?” tanya Rakryan
Mapatih.
“Hamba mendapat perintah menghadapkan Raden
Sindura ke hadapan Sang Maharaja,” kata Madri de-
ngan tegas. Bahkan suaranya paling jantan di antara
semua yang telah berbicara di sini. “Di taman Istana
Timur, hamba meninggalkan sarika untuk menyelidiki
sesuatu yang mencurigakan di batas taman. Hamba
menemukan Raden Wirada beserta kedua punakawan
beliau. Mereka melawan ketika akan hamba tangkap,
hingga terpaksa hamba bertempur. Sebelum ada kesu-
dahannya, Raden Sindura muncul. Dengan tingkah
yang sangat gelisah. Hamba merasa tak enak. Hamba
meninggalkan gelanggang dan mencari Gusti Dewi.
Hamba temui... Gusti Dewi... dalam keadaan hampir
melepas nyawa. Ketika hamba tanya... Gusti Dewi me-
nyebutkan... nama Raden Sindura,” Madri berhenti se-
jenak dan melirik pada Raden Sindura. Rakryan Mapa-
tih pun melirik pada pemuda itu. Apakah yang sedang
dipikirkan nya?
“Luka Gusti Dewi juga, hamba yakin, adalah bekas
tendangan Bantala Liwung. Ketika hamba kembali ke
tempat Raden Sindura, hamba dapati Raden Wirada
dan kedua punakawannya tewas. Juga akibat Bantala
Liwung. Demikianlah!” Madri menghaturkan sembah.
Sunyi.
“Mati untuk Sindura!” tiba-tiba Rakryan Tumeng-
gung berkata serak.
“Mati untuk Sindura!” Rakryan Demung sesaat ter-
bangun dan ikut berseru, kemudian roboh di pelukan
putranya dan menangis tersedu-sedu.
“Kelihatannya kesaksian Madri cukup kuat,” kata
Rakryan Kanuruhan perlahan. “Aku setuju Sindura di-
hukum seberat-beratnya. Namun... harap dipertimbang-
kan jasa ayahandanya. Harap pula dipertimbangkan ja-
sa-jasanya sendiri. Dan dipertimbangkan kemungkinan
terguncangnya jiwanya karena kepergian ayahandanya.”
“Ahhhh!” Rakryan Tumenggung memukul gemas pa-
hanya sendiri.
“Apa pun yang kuucapkan, mungkin tak berarti. Ke-
cuali jika Sindura bisa memberi bukti sendiri,” kata Ra-
kryan Mapatih. “Ada beberapa hal yang memang tak pa-
tut dikemukakan, kecuali hanya untuk memperperih
luka. Ada beberapa hal yang bisa mengundang tanya.
Misalnya, aku sudah memberanikan diri bertanya pada
Sang Maharaja. Maharaja berkata tak pernah memang-
gil Ra Sindura menghadap.” Rakryan Mapatih sesaat
memandang Madri. Madri sedang menunduk. Entah se-
dang memikirkan apa. “Tentang tendangan yang diri-
butkan itu... apakah tidak mungkin ada orang lain yang
memiliki ilmu yang sama dengan Sindura? Atau, apa-
kah tidak mungkin ada orang yang begitu cerdas se-
hingga dapat menirukan gerakan ilmu itu?”
“Beserta tenaga dalamnya, Kakang? Itu tak mung-
kin!” sela Rakryan Tumenggung dengan nada tinggi.
“Sindura, coba peragakan gerakan Bantala Liwung
yang dianggap telah menewaskan Ra Wirada,” perintah
Rakryan Mapatih.
Ra Sindura menyembah, mundur dengan jongkok ke
bagian belakang balai penghadapan itu. Ia menyembah
lagi. Kemudian diperagakannya gerakan ke-19, 20, dan
21 Bantala Liwung.
Tanpa bersuara dilakukannya semua gerakannya
dengan tekun dan mantap. Wajahnya pasrah karena ia
memang pasrah. Ia tak ingin membela diri. Untuk apa?
Ia pasrah pada kehendak Dewata.
Sindura selesai dengan gerakannya. Menyembah dan
kembali ke tempatnya.
Rakryan Mapatih berdiri. Menunduk. Dan berjalan
lambat ke tepi balai penghadapan itu. Balai itu sesung-
guhnya hanya berupa sepetak lantai dari batu hitam
yang mempunyai beberapa tiang penyangga untuk atap.
Tak berdinding. Bagaikan rumah kecil tak berdinding
berada di dalam taman. Dekat dinding pagar tembok
yang tinggi. Sekeliling tempat itu sunyi. Bahkan tak ada
para prajurit yang bertugas.
“Kalian lihat itu semua,” kata Rakryan Mapatih per-
lahan. “Dan kalian tahu, aku belum pernah mempelaja-
ri ilmu itu.” Sang Mapatih telah berada di tepi lantai hi-
tam balai pertemuan itu. Dan tiba-tiba ia menuding.
“Kau! Turun!”
Semua terkejut. Menoleh. Dan di kegelapan malam
menjelang pagi itu terdengar suara berdebam. Sesosok
tubuh jatuh dari pohon yang tumbuh dekat tembok. Se-
seorang yang begitu ketakutan tak bisa berdiri lagi.
“Maju!” perintah Sang Mapatih lagi. Orang itu tam-
pak gemetar ketakutan maju, hingga wajahnya diterangi
oleh obor yang ada di balai penghadapan. “Siapa kau?”
Agak lama orang itu tak menjawab. Kemudian gugup
ia berkata, “Hhhamba... nama hamba Landak... ddari
pasukan Tumenggungan.... ”
“Dinda Tumenggung, Dinda mengutusnya untuk
mendengarkan pertemuan ini?” tanya Sang Mapatih ta-
jam.
“Tidak!” kata Rakryan Tumenggung Mpu Gagarang
kali ini tegas. “Aku tak pernah melihat dia!”
“Baik. Semuanya perhatikan baik-baik!” tiba-tiba
Sang Mapatih menekuk kaki. Kuda-kuda Bantala Li-
wung! Gerakannya lamban, hingga setiap gerak jelas
terlihat. Begitu mirip dengan gerak Ra Sindura! Orang
bernama Landak itu kebingungan. Mau lari saja atau-
kah... Terlambat! Tendangan Sang Mapatih telah terlon-
tar. Dan Landak menjeritkan maut.
Landak terkapar tak bergerak. Rakryan Mapatih me-
noleh pun tidak. Berjalan tenang ke tempat duduknya
di balai penghadapan. Kepada Madri ia berkata, “Bawa
orang itu kemari!”
Dengan mudah Madri mengangkat Landak. Dan me-
nyeretnya naik ke lantai penghadapan.
“Itu tadi gerakan Bantala Liwung, dilakukan oleh
orang yang bukan satu ilmu dengan Sindura, dan tak
memakai tenaga dalamnya. Bekal orang itu hanyalah
ketajaman mata, kecerdasan, daya ingat. Dan hasilnya
bisa dianggap sebagai akibat Bantala Liwung. Silakan
periksa,” kata Rakryan Mapatih, sambil mengambil
kendi serta meminum air darinya.
Semua terdiam lagi.
“Hamba hanya ingin menambahkan sesuatu,” tiba-
tiba Madri bersuara.
“Apa, Madri?” tanya Mapatih.
“Tendangan itu dilakukan dari jarak dekat. Dan ha-
nya Raden Sindura yang bisa mendekati Gusti Dewi
tanpa Sang Dewi berteriak memanggil hamba.”
“Kita sudah tidak mencari kebenaran lagi di sini,” ka-
ta Rakryan Mapatih perlahan. “Kebenaran akan tampil
kelak, dalam bentuk hukuman dari Sang Hyang Agung
pada siapa pun dari kita di sini yang saat ini tidak men-
gemukakan kebenaran. Termasuk aku, yang tak beru-
saha mengungkapkan kebenaran itu.” Sang Mapatih
berdiri lagi. Berjalan perlahan ke depan Sindura. “Apa
bicaramu, Sindura?”
“Hamba hanyalah seorang prajurit,” kata Sindura te-
gas. “Jika junjungan hamba menghendaki hamba tewas
dihukum picis, maka hamba akan tewas dihukum picis.
Jika pun ada yang berkenan mendengarkan, maka
pembunuh Gusti Dewi maupun Dinda Wirada, bukan-
lah hamba. Seperti juga jelas, bahwa pembunuh aya-
handa hamba bukanlah hamba, walaupun sama-sama
tewas oleh tendangan Bantala Liwung. Kewajiban ham-
ba untuk menghaturkan adanya bahaya yang
mengancam semua junjungan hamba. Kabar bahwa ada
wanita cantik. Yang bertekad membunuh dan membu-
nuh. Ternyata ada. Dan dialah yang mengakibatkan
semua pembunuhan ini. Kalaupun hamba dihukum
mati, hamba pasrah. Hanya hendaknya berita ini diper-
hatikan.”
“Dewi Candika, maksudmu?” tanya Sang Mapatih.
“Dewi Candika, Sang Mapatih...,” sahut Sindura.
3. RARA SINDU
RUMAH Karanggan itu sepi. Besar. Megah dalam kese-
derhanaannya. Dan sepi.
Di halaman belakang kesepian itu dipecahkan oleh
beberapa kicauan burung peliharaan. Tapi tak ada sen-
da-gurau para pelayan. Atau pembicaraan para prajurit
penjaga.
Semua melakukan pekerjaan masing-masing. De-
ngan diam-diam.
Seorang gadis cantik duduk di telundakan serambi
belakang. Sinar matahari dipantulkan berkilau oleh
rambutnya yang basah sehabis keramas. Dan seakan
tak sadar tangannya memainkan ujung-ujung rambut-
nya yang basah itu.
Terdengar suara seekor kuda memasuki halaman
depan. Sesaat si gadis terkejut dan mengangkat muka.
Tetapi wajahnya cepat muram kembali. Bahkan saat
terdengar langkah kaki mendekat.
“Sembah hamba dihaturkan pada Paduka, Gusti
Mapatih...,” si gadis berkata tanpa gairah.
“Ah, tajam pendengaranmu, Sindu.” Rakryan Mapa-
tih tertawa. “Tanpa menoleh pun kau tahu.”
“Lidah hamba juga tajam,” Rara Sindu, adik Ra Sin-
dura, menyahut ketus. “Jika tidak ada keperluan sangat
penting, lebih baik kita tidak bertemu, Tuanku!”
“Lho, kok kau galak sih?” Rakryan Mapatih tertawa,
duduk di pagar serambi. “Di mana ibumu?”
“Untuk apa Mapatih yang agung menanyakan sari-
ka? Sarika bukannya sang ayu Gusti Dewi yang mudah
menerima sembarang lelaki untuk menghiburnya.” Rara
Sindu mencibirkan bibir.
“Sindu! Kau bukan saja galak. Tetapi juga lancang
dan kurang ajar!” Rakryan Mapatih masih juga tertawa.
“Lalu kenapa? Mungkin itu cara yang tepat bagiku
untuk menyusul Kakang Sindura ke tiang gantungan,”
kata Rara Sindu ketus.
Kini wajah Rakryan Mapatih serius. “Dengar, Sindu,
mungkin kau menyalahkan aku karena kauanggap aku
tak membela kakakmu?”
“Paduka berkuasa untuk menggugurkan semua tu-
duhan. Dan jika Paduka jujur, maka Paduka mestinya
tahu Kakang Sindura tidak bersalah!”
“Aku memang bisa berbuat begitu. Tetapi akibatnya
akan berkepanjangan. Rakryan Demung dan Rakryan
Tumenggung akan terus merongrong kewibawaan Sang
Aji, hingga kemungkinan Wilwatikta yang tak tahu apa-
apa akan menjatuhkan hukuman dengan serta-merta.
Dengan tidak membantah mereka, sementara meragu-
kan kebenaran tuduhan, Sindura bisa tidak langsung
dihukum. Dan bila keadaan mendingin, dan orang da-
pat berpikir lebih jernih, persidangan kembali perka-
ranya akan memberikan keputusan lain!”
“Itu jelas alasan orang yang tak punya pendirian dan
tak punya kekuatan!” tukas Rara Sindu.
“Jika kau bersikap begini terus, mungkin akan kuta-
rik tanggunganku atas diri Sindura, hingga ia bisa sege-
ra dihukum, mungkin... yah, nantilah menjelang mata-
hari bergeser ke barat. Hei. Kau dulu kan sering ber-
tanya tentang apa yang terjadi di luar daerah. Kau tahu
ada agama baru di daerah pesisir dan mereka punya li-
ma waktu dalam sehari untuk menyembah pujaan me-
reka. Dan waktu yang kusebutkan tadi namanya...
mmm... asar! Kurasa waktu yang cukup baik untuk
menggantung kakakmu. Waktu itu kan banyak orang
main-main di alun-alun toh?”
Rara Sindu tahu bahwa Rakryan Mapatih hanya
menggodanya. Tetapi ia tak mau mengalah. “Jika Mapa-
tih yang agung berpikir begitu, aku akan menyuruh
orang menutup pintu gerbang dan menyuruh semua
orangku untuk menghajar Tuan. Rasanya biar sesakti
apa pun paling tidak Tuan akan babak-belur.” Rara
Sindu betul-betul bertepuk tangan. Dan entah dari ma-
na beberapa belas orang bermunculan. Semua ber-
senjata lengkap. Di halaman depan terdengar makian
kedua orang pengawal Rakryan Mapatih yang ditinggal
di sana untuk menjaga kuda. Juga terdengar pintu ger-
bang ditutup keras-keras.
“Rara, apa yang kaulakukan?” terdengar suara lem-
but dari dalam rumah. Rara Sindu berubah sikap. Ce-
pat ia melompat turun dari lantai tempatnya berjuntai,
kemudian bersimpuh serta menyembah ke arah dalam
rumah. Rakryan Mapatih juga turun dari pagar se-
rambi. Ia tidak menghormat, tetapi juga tidak berlaku
tidak hormat.
“Kakangmbok Rangga, kiranya Dewata merestuimu,”
kata Rakryan Mapatih. “Kau sudah direstui dengan seo-
rang anak lelaki yang gagah berani. Sayang anakku
yang satu ini sedikit kurang ajar.”
“Jika aku mengikuti perasaan hatiku, Dinda Patih,
maka aku juga akan berkurang ajar padamu,” suara
lembut itu terdengar dingin dari dalam. “Selama belum
kami dapatkan keadilan untuk Ra Sindura, anggap saja
semua yang ikut serta dalam rapat yang menjatuhkan
hukuman padanya adalah musuh kami. Aku jadi berpi-
kir... mungkin juga orang-orang Dharmaputra benar.”
Agak lama Sang Mapatih terdiam, mengelus-elus
jenggotnya, sementara Rara Sindu memperhatikan dari
sudut matanya.
“Itu adalah suatu pikiran yang berbahaya, Kakang-
mbok Rangga,” kata Rakryan Mapatih, kini menunduk-
kan muka. “Mungkin memang berdasarkan rasa sakit
hati... tetapi cobalah berpikir lebih panjang... apakah
kesetiaan kita pada negara goyah hanya karena peris-
tiwa seperti ini?”
“Tuanku Mapatih,” Rara Sindu berkata dengan nada
tinggi. “Yang Tuanku sebutkan sebagai ‘hanya karena
peristiwa seperti ini’ adalah peristiwa yang menyangkut
kematian saudaraku, kematian ayahku.”
“Itulah kelirunya pemikiranmu, Rara Sindu.” Sang
Mapatih menghela napas panjang. “Engkau mengang-
gap kakakmu sudah mati. Padahal ia masih segar-
bugar. Kalian sudah putus asa dan menyalahkan kera-
jaan. Padahal ia masih setia pada kerajaan dan bahkan
bersedia mati untuk itu. Dan... kita harus berupaya
agar ia tidak mati, dan kematian Rakryan Rangga tidak-
lah sia-sia.”
“Jika memang ia segar-bugar, kenapa sampai seka-
rang kami tidak pernah diperkenankan menjenguknya?”
tukas Rara Sindu.
Pertanyaan ini lama tak dijawab Rakryan Mapatih.
“Sindura diangkut ke Wilwatikta malam itu juga. Atas
perintah Sang Raja sendiri. Sang Raja, mungkin dengan
pengaruh beberapa orang, merasa bahwa Sindura pu-
nya pengaruh terlalu besar di sini. Aku tak sempat lagi
berbicara dengannya, hingga jika aku melakukan pe-
nyelidikan saat ini, maka aku memulainya bagaikan
seorang buta tanpa tongkat.”
“Kakang Sindura ditahan di Wilwatikta?” tanya Rara
Sindu heran. “Dan selama ini kami tak diberi tahu?”
“Toh tak ada gunanya... bahkan aku pun tak bisa
mengunjunginya,” kata Rakryan Mapatih.
“Dinda Mapatih, maafkan kami, kurasa kami tak
usah menemui Tuan lagi,” suara dari dalam rumah itu
makin dingin. “Tuan tidak membawa apa pun yang bisa
membuat kami berutang budi. Maka lebih baik segera-
lah pergi. Dan jangan kembali lagi.”
“Sayang. Aku butuh bantuan, dan kalian tak mau
memberikannya padaku.” Rakryan Mapatih mengorak
sila dan berdiri.
“Tunggu, apakah yang Tuan inginkan dari kami? Di
samping kehancuran hati kami, tentunya,” kata Rara
Sindu.
“Pertama, aku ingin kau memanggilku ‘Paman’ se-
perti dulu lagi, Sindu,” kata Mapatih. “Dan bukannya
Tuan’ atau Tuanku’ atau ‘Mapatih Agung’ atau sebang-
sanya.”
“Ditolak,” kata Rara Sindu tegas, merengut.
“Kedua... apakah akhir-akhir ini Sindura pernah ke-
tamuan saudara seperguruan atau orang-orang yang
satu ilmu dengannya?”
‘Tidak,” sahut Rara Sindu.
“Kau lupa pada Tantri,” kata suara dari dalam ru-
mah.
“Oh, Tantri. Dia tidak pernah kuanggap sebagai
orang,” kata Rara Sindu.
“Siapakah Tantri ini?” tanya Rakryan Mapatih.
“Putra Bibi Guru Kakang Sindura,” sahut Rara Sin-
du. Sesaat mukanya sedikit cerah. “Kalau Tantri ada di
sini, pasti dihajarnya seluruh pejabat Kuripan. Tanpa
kecuali. Kecuali... Sang Maharaja, tentunya, bukan ka-
rena apa-apa... cuma karena ia tak tahu yang mana
Maharaja, yang mana Raja Hama.”
“Kakangmbok Rangga, lebih baik kurung saja anak
ini sebelum petaka dan murka Sang Raja jatuh pada-
nya,” kata Rakryan Mapatih dengan nada sedih. “Jika ia
tak dapat mengendalikan diri, mana dia memiliki ke-
mantapan untuk mencapai cita-citanya.”
“Tuanku Mapatih yang agung... untunglah Tuanku
ada di sini.” Muram di wajah Rara Sindu kembali tam-
pak tajam. Perlahan ia menyembah kepada ibu yang
masih berada di dalam rumah. Dan ia bangkit serta me-
langkah mundur hingga turun ke halaman. Ia terus me-
langkah mundur. Badannya yang kecil hanya terbung-
kus kain hingga di dada. Kulitnya kuning halus terlihat
nyata di bawah rambutnya yang hitam kelam, tebal dan
indah. Wajahnya segar karena baru terkena air, ma-
tanya tajam cemerlang di bawah alis mata yang tebal hi-
tam pula. Cantik, dengan garis-garis wajah yang mem-
bayangkan kekerasan hati.
Ia mundur sampai berada di antara orang-orang ber-
senjata yang masih mengepung tempat itu.
Tiba-tiba tangannya menyambar sebilah pedang yang
dipegang oleh salah seorang prajurit Karanggan itu. Se-
saat ia berdiri mematung dengan kuda-kuda siap yang
biasa diperagakan oleh para prajurit wanita.
“Di hadapan Tuan Mapatih, Ibunda junjunganku,
dan semua yang ada di sini... aku bersumpah, tak akan
memakai pakaian wanita lagi, sebelum kubalas kema-
tian Ayahanda, dan kuhapus cemar di nama Kakanda
Sindura!” teriaknya lantang.
“Rara!” teriak sang ibu dari dalam rumah.
“Sindu!” cegah Rakryan Mapatih.
Tapi gerakan Rara Sindu cepat, dan mantap. Ta-
ngannya berayun. Sekilas pedangnya mengkilap berke-
lebat.
Dan Rara Sindu berdiri dengan tangan kiri meng-
genggam setumpuk rambut tebal indah. Tangan kanan
memegang pedang. Kepala tunduk dengan rambut ter-
papas hampir habis.
“Sindu!” desah Sang Mapatih.
“Anakku!” keluh sang ibu dari dalam.
Dan orang-orang lain terpukau terpaku. Seseorang
menangis terisak. Selebihnya sunyi senyap.
****
Perlahan tangan kanan Rara Sindu terkulai. Pedang-
nya jatuh berdentang di kerikil. Masih dengan kepala
tunduk ia menimang rambut indah yang kini tidak lagi
di kepalanya itu. Dengan langkah perlahan kemudian ia
maju. Matanya masih menunduk hormat. Tapi kepala-
nya terangkat gagah. Maju naik ke lantai, berjalan ber-
jongkok sampai ke ambang pintu. Membungkuk hingga
mukanya hampir menyentuh lantai. Dan ditaruhnya
onggokan rambut itu di ambang pintu.
“Ibu... putrimu mohon ampun, tak akan bisa mem-
berimu segera kebahagiaan menimang cucu... tak akan
segera memberimu kebahagiaan memiliki seorang anak
perempuan... menyakiti hatimu dengan merenggut lagi
seorang anak darimu.... Karena kau adalah ibu... yang
selalu siap berkorban apa saja demi kebahagiaan pu-
trimu, maka aku tahu bahwa Ibu akan rela... sebab tia-
da yang lebih membuatku bahagia... dari memenuhi
sumpahku tadi.”
Dari dalam, Nyai Rangga tak kuat untuk memberi
jawaban. Sesaat Rara Sindu seakan menunggu jawaban
itu. Tetapi kemudian ia menghaturkan sembah dalam-
dalam. Dan berjalan jongkok mundur.
Begitu menginjak tanah ia berlari ke arah rumah da-
lam.
“Putrimu sangat keras kepala, Kakangmbok Rangga,”
kata Mapatih setelah sekian lama terdiam, merenungi
rambut yang helai-helainya berkibaran ditiup angin.
“Apa yang akan diperbuatnya?”
“Aku sedih, Dinda Patih,” suara dari kegelapan itu
bergetar. “Tapi aku juga bangga. Kedua anakku me-
mang putra sejati ayah mereka. Aku memang putus
asa... tapi... aku tak mau mengkhianati anakku sendi-
ri... jika mereka mau berusaha dan terus berusaha,
mengapa aku akan memberatkan mereka? Adinda Ma-
patih...”
“Ya, Kakangmbok?”
“Kita bukan sanak, bukan pula keluarga. Tapi ka-
kangmu Rangga dulu begitu kagum dan menghorma-
timu. Dan menganggapmu sebagai saudara kandung
saja. Untuk melestarikan ini, tak banyak yang aku in-
ginkan. Tolong jaga si Rara Sindu....”
Sulit bagi Rakryan Mapatih untuk menelan ludah.
Rasanya tenggorokannya tersekat oleh duri yang berca-
bang banyak. Akhirnya ia berkata, “Kakangmbok, lepas
dari persoalan apa pun, Sindura dan Sindu memang
sudah kuanggap anakku sendiri. Tentang itu Kakang-
mbok tak usah khawatir lagi.”
Dari jauh terdengar suara tepukan. Tepukan tangan
Rara Sindu. Orang-orang bersenjata yang tadi diam me-
matung tanpa suara bergerak menjauh. Menghilang.
Kemudian ada suara langkah kaki mendekat.
Semula Rakryan Mapatih tak bergerak, sebab ia tahu
itu langkah Rara Sindu. Tetapi dari ekor matanya ia me-
lihat orang yang mendekat itu berpakaian aneh. Cepat
ia mengangkat kepala.
Dan ia sedikit ternganga.
Di halaman, berdiri seorang pemuda. Tampan. Sa-
ngat muda. Memakai pakaian tanah seberang—celana
sutera hijau, kain dibelitkan di pinggang, kemeja lengan
panjang dan longgar dari sutera hijau pula, serta kepala
yang dibeliti destar warna hijau.
“Sindu, apa maksudmu?” Rakryan Mapatih terpaksa
hampir tak kuat menahan tawa.
“Paman, hamba kini bukan Sindu lagi, melainkan
Tun Kumala... dari Tumasik,” sahut ‘pemuda’ itu yang
memang Sindu adanya.
“Rupamu tidak mirip, suaramu tidak mirip, dan jika
orang mengajakmu berbahasa Tumasik, apa yang akan
kaulakukan?”
“Hamba akan bilang hamba lahir di Hujung Galuh,
hingga sudah lupa akan adat-istiadat serta kebiasaan
orang seberang. Siapa yang akan membantah?”
“Lalu maksudmu?”
“Hamba akan terus mengikuti Paman selalu. Paman
harus bertanggung jawab akan keselamatan Kakang
Sindura, jadi harus mencari jalan menyelidikinya. Ham-
ba akan terus menempel Paman.”
“Mungkin kau akan tak berani ke tempat yang ku-
kunjungi,” kata Rakryan Mapatih.
“Coba saja,” Rara Sindu bersikeras.
“Baiklah, coba saja.” Rakiyan Mapatih berpaling
kembali ke ambang pintu. “Kakangmbok Rangga.”
“Ya, Dinda Patih.”
“Tingkah Sindu mengubah rencanaku. Sebetulnya
aku memang akan mulai penyelidikan saat ini juga. Ja-
di kebetulan. Relakan si... si Tun Kumala mengikutiku...
kukira dia tak akan tahan.”
“Coba saja,” sahut Sindu, eh, Tun Kumala.
“Yah, aku tak bisa berbuat lain, Anakku,” suara di
dalam itu terdengar gemetar berkata.
“Ibu sungguh bijaksana.” Tun Kumala sesaat me-
nundukkan kepala dan dengan gemulai berdatang sem-
bah. Tapi kemudian mengangkat kepala, tegak, gagah.
Tangan kirinya beristirahat di hulu keris tanah sebe-
rang yang berkepala bertatahkan emas.
Kembali Rakryan Mapatih menyembunyikan se-
nyumnya. “Sebentar, Anakku Tun Kumala... dari mana
kauperoleh pakaian serta semua perangkat seberang
itu?”
“Paman Patih tentunya ingat, dua-tiga tahun yang la-
lu Kakang, eh, Raden Sindura pernah berkunjung ke
Tumasik dan membawa banyak tanda mata dari sana.
Tentang pakaian dan perangkat, Paman tak usah kha-
watir.”
“Duduklah kemari, Tun. Mari kita berunding,” akhir-
nya Rakryan Mapatih berkata. Dan diperhatikannya te-
rus semua gerak-gerik Tun Kumala. Sekali ia mengge-
lengkan kepala. “Lumayanlah... tak banyak kenalanku
orang seberang, tetapi paling tidak gerak-gerikmu ber-
beda dari orang di Nusa Jawa ini. Begini...” Ia terdiam
sesaat. “Terus terang aku sendiri kurang leluasa berge-
rak. Karena persoalan ini menyangkut keluarga dekat
Sang Raja. Lebih dari itu,” ia semakin merendahkan su-
aranya, “kini keluarga istana mulai merasa bahwa an-
caman orang yang dijuluki Dewi Candika benar ada.
Kesadaran yang agak terlambat. Dan gerakan rasa keta-
kutan ini adalah salah satu penyebab pula yang mem-
bantu tertundanya hukuman atas Sindura. Tak ada
yang percaya pada pembelaan diri Sindura, tetapi tak
ada yang tegas-tegas berkata sepenuhnya tidak percaya.
Di samping itu, ada gerakan dalam keluarga istana sen-
diri. Mereka yang iri pada kekuasaan yang berpusat di
Wilwatikta. Juga... munculnya agama baru di daerah
pesisir yang memperlemah kekuatan Wilwatikta.”
Beberapa saat sunyi. Rakryan Mapatih tiba-tiba ter-
lihat begitu tua dengan berbagai beban pikiran. Bebe-
rapa saat seolah-olah ia tidak berada di situ. Tetapi di
mukanya yang penuh kerut itu terbersit senyum saat
dilihatnya Tun Kumala’ mencoba mengunyah sirih dan
pinang dengan gaya orang seberang. Sindu agaknya be-
gitu menghayati peran barunya. Sebetulnya ia belum
terbiasa makan sirih.
“Sulit untuk bertanya. Semua saling curiga. Bahkan
kedudukanku bukannya kedudukan paling berkuasa
kini, malah paling banyak disorot dan dicurigai. Tapi...
yah. Aku bertekad untuk menyelidiki perkara ini. Bu-
kan karena ini menyangkut Sindura, tapi karena aku
percaya ini ada hubungannya dengan Dewi Candika.”
Sang Mapatih terdiam lagi. “Sampai saat ini, satu hal
yang kuketahui dengan pasti. Malam itu, ada seseorang
memata-matai pembicaraan kami. Namanya Landak.
Rakryan Tumenggung menyangkal pernah melihat o-
rang itu, tetapi anak buahku yakin ia sering melihat
Landak bersama Wirada. Dan menurut laporan, Landak
adalah anak buah Emban Layarmega.” Rakryan Mapa-
tih berhenti dan menatap Tun Kumala. “Penyelidikan ki-
ta pertama... kita kunjungi Emban Layarmega. Kau be-
rani ke sana?”
Sang Mapatih menyembunyikan tawanya saat Tun
Kumala begitu tertegun hingga sirihnya tertelan dan ia
terbatuk-batuk berkepanjangan.
4. DI TEMPAT EMBAN LAYARMEGA
DI RUANG khusus Emban Layarmega, pemilik ru-
mah hiburan yang sangat berpengaruh itu, duduk den-
gan kepala tertunduk begitu dalam. Di belakangnya,
Sang Bima yang bertubuh tinggi besar itu bahkan me-
nunduk lebih dalam lagi. Di depan mereka, dua orang
wanita duduk di bangku berlambarkan kulit harimau
kumbang.
Seorang sangat cantik dan memancarkan bau harum
—orang bisa menebak bahwa dialah yang memancarkan
keharuman ini. Ia berpakaian mewah, namun bagian
kainnya yang panjang telah diangkat dan diselipkan ke
pinggang hingga memungkinkan ia bergerak gesit, jika
perlu.
Yang seorang lagi sudah setengah umur, berpakaian
serba biru, dengan tata rias terlalu mencolok dan gaya
kegenitan. Ruang Biru itu tertutup rapat, walaupun jen-
dela yang menghadap ke jalan terbuka mengalirkan ha-
wa sejuk malam.
“Anakmas Wara Hita, kukira siasatmu tidak terlalu
berhasil kali ini,” wanita yang berpakaian serba biru itu
berkata sambil mengunyah sirihnya. Potongan tangkai
daun dilemparkannya pada Sang Bima. Agaknya senti-
lan itu cukup bertenaga hingga Sang Bima terjingkat
sesaat, tetapi tak berani mengangkat muka. Si Serba Bi-
ru tertawa cekikikan melihat Sang Bima menahan rasa
sakit.
“Belum tentu, Bibi Huyeng.” Wanita yang luar biasa
cantiknya itu memalingkan muka agar tak melihat ting-
kah si Serba Biru. “Istana Kuripan agaknya tidak sele-
mah Padepokan Rahtawu. Sesungguhnya siasat yang
kujalankan sama berhasilnya, tetapi ada seseorang di
Istana Kuripan yang berhasil mengendalikan kekuatan
ketakutan itu.”
“Atau siasatmu memang tidak berhasil. Bagaimana
pendapatmu, Bima? Badan besar, diam saja... anumu
kecil barangkali, ya? Maksudku, otakmu?” Yang dipang-
gil Huyeng tertawa lagi.
“Tak ada yang meragukan kemampuan Rakryan Ma-
patih sebagai tulang punggung istana, Gusti Sepuh,”
sembah Bima tanpa mengangkat kepala.
“Hamba pun sependapat, Gusti,” sembah Emban
Layarmega.
“Siapa yang menanyakan pendapatmu, Emban?” tu-
kas Huyeng. “Dan kau, Bima, kenapa kau masih me-
manggilku Gusti Sepuh? Kalau orang tidak tahu dikira
aku ini sudah nenek-nenek, lho!”
Wanita cantik yang bernama Wara Hita itu berdiri.
Berjalan perlahan ke jendela. Agaknya tingkah Huyeng
sesungguhnya sangat membuat hatinya kesal. “Sebe-
tulnya rencanaku, seperti sewaktu aku hancurkan Rah-
tawu, adalah memilih yang paling berbobot di antara
mereka, membuatnya sebagai tertuduh dan menyebar-
kan saling dendam. Di samping menghancurkan murid-
murid Ki Megatruh.” Wanita cantik itu menghela napas
panjang. Bagian atas dadanya yang putih berisi itu se-
saat terangkat dan seakan gumpalan udara yang masuk
bagaikan terlihat. “Sebagian yang kuarah tercapai. Kini
rasanya ilmu Ki Megatruh akan mulai mendapat soro-
tan. Sementara ketakutan mulai mencengkam kalangan
Istana. Mereka agaknya telah menerima pesanku....
Candika tak bisa dicegah, lebih baik menyerah daripada
melepas nyawa.”
“Tetapi, Anakmas, sebegitu jauh korbanmu barulah
tingkat yang... sangat rendah!” kata Huyeng sambil me-
lenggang-lenggokkan tubuh meniru gerak-gerik Wara
Hita yang saat itu membelakanginya. “Dan rencanamu
menghancurkan Padepokan Rahtawu juga tak mencapai
hasil.... Mereka lenyap entah ke mana, hingga rencana
kita untuk membuat mereka jadi kambing hitam gagal.
Sementara itu... agaknya rencanaku lebih berhasil. De-
ngan menawan Tantri dan Anengah, paling tidak bah-
kan kau pun memperoleh manfaatnya. Kalau mereka
berdua tidak kutawan, hayooooo, bagaimana kau bisa
mempelajari ilmu Ki Megatruh begitu menyeluruh? O,
ya, aku masih berpendapat bahwa gadis barumu itu mi-
rip sekali dengan gadis dari Rahtawu dulu, Layarmega.
Tapi... entahlah, aku kan tidak tertarik pada gadis. Ya
toh, Bima....” Huyeng melemparkan senyum genitnya
pada Bima. “Mungkin Juru Meya tahu... dia yang dulu
mengumpulkan gadis-gadis itu. Eh, ya, Layarmega... ia
titip salam padamu. Wah, sesungguhnya ingin sekali ia
kemari untuk memakanmu mentah-mentah... hi hi hi
hi....”
“Kalau saja Juru Meya bisa segera mengumpulkan
pasukan... rasanya kita tak usah bersusah payah main
kucing-kucingan seperti ini,” keluh Wara Hita.
Kali ini Huyeng tidak bercanda. “Kau harus bersabar,
Anakmas... waktu yang kaunantikan akan segera tiba.”
Wara Hita kembali menghela napas dan menunduk-
kan muka. “Bibi Huyeng, kita harus segera meng-
hubungi orang-orang kita di Wengker. Menurut laporan,
Sang Maharaja akan berkunjung ke sana bulan depan
ini.”
“Wah, kau pasti sedih kutinggalkan ya, Bima.... Sa-
yang badan sebesar itu terbuang percuma. Apa kau ikut
aku saja, Bima? Akhir-akhir ini makin sulit juga orang
yang sangat kuat, lho!” Wara Huyeng tertawa terkikik.
“Bagaimana pasukan Juru Meya, Bibi?” tanya Wara
Hita sedikit tergesa, seolah ingin segera menghilangkan
kebinalan Wara Huyeng.
“Mereka sudah membuat beberapa benteng terpen-
dam, di daerah-daerah selatan Bale Latar. Memang ten-
tang mutu itu tak begitu menggembirakan. Para gadis
yang diambil dari Rahtawu tidak terlalu membantu. Pa-
sukan Buih belum bisa membuat pedih mata lawan kita
... kecuali jika Anakmas turun tangan sendiri,” sesaat
Wara Huyeng berbicara bersungguh-sungguh dan me-
mandang penuh perhatian pada si wanita cantik.
“Mereka salah satu tulang punggung gerakan kita,”
kata Wara Hita sedikit berbisik. “Menurut pertimbang-
anku, dan sesuai perhitungan Eyang Nagabisikan, kele-
mahan pasukan Wilwatikta akan muncul saat berhada-
pan dengan barisan wanita. Pertama mereka tak terbia-
sa. Kedua, mereka sudah terlalu lama tidak mengalami
perang besar hingga mereka jadi terlalu... sopan... ter-
buai oleh dongeng-dongeng kekesatriaan yang dijejalkan
oleh para penembang istana. Memang ada dua-tiga pra-
jurit wanita mereka... tetapi mereka hanya dianggap
hiasan belaka. Prajurit dan senapati andalan mereka,
seperti yang dihasilkan oleh tempat penggemblengan
senapati di Madakaribajra lebih parah lagi. Kesaktian
mereka tak memadai, tatasusila mereka begitu ketat di-
awasi. Kurasa dalam pertempuran nanti mereka takkan
tega mengangkat tangan melawan Prajurit Buih kita.”
“Dan kemudian kita akan menghantam mereka de-
ngan Pasukan Badai... sungguh nikmat rasanya keme-
nangan nanti,” kata Wara Huyeng dengan mata bersi-
nar-sinar.
“Aku sangat gembira akan hasil yang kaucapai di si-
ni, Layarmega,” kata Wara Hita. “Gadis-gadismu sung-
guh ampuh untuk menggerogoti keperkasaan para war-
ga Wilwatikta yang setia. Kuperhitungkan sudah tiga
perempat tokoh Kuripan yang terjerat dalam jaringmu.”
“Layarmega sungguh enak tugasnya,” Wara Huyeng
setengah mencibir berkata. “Tak pernah kekurangan le-
laki... dan tambah kaya lagi!”
“Hanya ini yang bisa hamba sumbangkan untuk tu-
juan mulia Gusti Sepuh dan Gusti Anom,” kata Emban
Layarmega.
“Aku tahu, dan itu sungguh sudah besar sekali.” Wa-
ra Hita melirik tajam pada Wara Huyeng. “Dua-tiga bu-
lan lagi mungkin kau akan kuminta untuk mulai me-
ngembangkan usahamu di Wilwatikta sendiri. Dan ku-
kira itu pun akan berhasil.”
“Terima kasih, Gusti Anom,” sembah Emban Layar-
mega.
“Sekarang persiapkan segala keperluanku untuk be-
rangkat ke Wengker. Bibi Huyeng, mohon Bibi berang-
kat lebih dahulu untuk membuka jalan.”
Beberapa saat kemudian, di ruang itu tinggal Emban
Layarmega yang menyisiri rambut Wara Hita. Wara Hu-
yeng telah pergi sementara Bima entah ada di mana.
-
Sambil menyisiri rambut yang indah hitam itu, Em-
ban Layarmega pun bernyanyi perlahan. Sesungguhnya
bukan lagu sekadar lagu, tetapi itu adalah Kidung Pola-
man. Kidung ini sangat berbeda dari kidung dengan
nama yang sama dan diciptakan oleh Prabu Jayakat-
wang —yang ini bercerita tentang sebuah danau kecil di
Blambangan dan suatu kisah cinta yang gagal karena
tidak setianya sang pria.
“Ah, jangan nyanyikan lagi kelanjutannya, Layarme-
ga,” tiba-tiba Wara Hita memutuskan nyanyian Emban
Layarmega. “Aku tak mengerti mengapa Ayahanda dan
Ibunda minta aku mendalami kidung itu... hanya ki-
dung sedih belaka, lain tidak. Namun... agaknya kidung
itu punya arti tertentu. Ibunda selalu minta agar aku
mengucapkan nama kidung itu pada keturunan Kerta-
rajasa. Agaknya pemuda Tara dulu itu lupa me-
ngatakannya pada Resi Raghani. Ah...” Beberapa saat
Wara Hita memperhatikan bayangan dirinya di cermin
tembaga yang disodorkan Emban Layarmega. Emban
Layarmega sendiri kemudian mengubah sanggul wanita
cantik itu menjadi sanggul pria.
“Ah ya, gadis barumu itu... bagaimanakah?” tanya
Wara Hita sambil membuka kainnya dan tak lama telah
memperlihatkan keindahan tubuh yang bagaikan hanya
ada dalam impian yang paling mahal. Bahkan beberapa
saat Emban Layarmega seakan tak bisa bernapas meli-
hatnya.
“Ayo, Layarmega, kau melihat apa?” goda Wara Hita.
“Oh, maafkan hamba, Gusti Anom...,” terkejut
Layarmega mengambil seperangkat pakaian yang sudah
disediakannya.
“Gadismu yang baru itu... kaudapat dari mana?”
tanya Wara Hita lagi.
“Oh, ia ditemukan oleh Raden Wirada, putra Rakryan
Tumenggung yang... mmh, anu... yang tewas oleh Raden
Sindura. Biasa... ia memang sering mencari sendiri ke
desa-desa dan jika menemukan ‘bibit unggul’ dibawa-
nya kemari untuk kudidik. Hanya yang satu ini agak
aneh. Pertama, Ra Sindura seolah sangat heran meli-
hatnya, sementara Gusti Sepuh seakan mengenalnya.
Kedua, sulit untuk mengajarinya melayani tamu. Me-
mang ia sudah bisa membuat tamu bahagia, tetapi bu-
kan dengan cara seperti wanita lainnya. Mungkin saja
pelajaran hamba untuk ‘jual mahal’ begitu berhasil
hingga ia tak pernah sekalipun menyentuh tamu-tamu-
nya. Toh mereka senang dan banyak yang menjadi lang-
ganannya.”
“Ah, mungkin kau telah menciptakan sainganmu,
Layarmega,” kata Wara Hita yang kini telah tampil se-
bagai seorang pemuda bangsawan yang tampan dan ga-
gah. “Didik terus dia, mungkin kita memerlukannya
nanti guna kita tempatkan di Wengker, misalnya. Coba
tunjukkan dia padaku nanti.”
Beberapa lama kemudian, rombongan Wara Hita,
yang sudah berdandan sebagai pria, menuruni tangga
menuju Ruang Utama. Rombongan itu sesungguhnya
hanya terdiri dari Wara Hita yang berpakaian pria, dan
empat orang pengawalnya. Tapi pakaian mereka begitu
mewah dan gemerlap hingga semua orang di dalam
Ruang Utama itu tertegun dan menoleh pada mereka.
Wara Hita selalu datang lewat suatu pintu rahasia.
Dan pergi lewat pintu itu pula. Jadi anak buah Emban
Layarmega, kecuali Bima, tak pernah melihatnya. Atau
rombongannya. Kecuali Wara Huyeng yang senang
muncul di Ruang Utama untuk mencari atau paling ti-
dak melihat-lihat pria yang mungkin berkenan baginya.
Dan kini mereka muncul gemerlapan di ruang itu, di-
iringi sendiri oleh Emban Layarmega!
Bahkan para penabuh gamelan pun beberapa saat
lupa memainkan musik. Dan tak ada yang melihat dua
orang pria yang muncul di pintu depan—seorang pria
setengah umur dengan pakaian yang menggambarkan
seorang bangsawan dari daerah pantai utara, dan seo-
rang pemuda dengan pakaian tanah seberang serba hi-
jau. Mereka adalah Rakryan Mapatih yang telah menya-
mar menyulap diri, dan Rara Sindu yang kini bernama
Tun Kumala.
“Mari duduk dekat tiang agung itu, Tun.”
“Ingat, Paman Mapa...”
Kata-kata Tun Kumala terhenti oleh sodokan siku di
pinggang kirinya.
“Ingat namaku adalah Aria Sampana, dari Hujung
Galuh,” bisik Rakryan Mapatih. Kemudian dengan keras
ia berkata, “Tun, sekarang kau bisa lihat bahwa wanita
Jawa tak kalah sedapnya dari wanita seberang!”
“Itu harus kita buktikan dulu, Pa... eh, Kakang Sam-
pana,” kata Tun Kumala. “Orang yang baru turun dari
tangga itu wanita atau pria, Kakang? He he he he...,”
Tun Kumala berkata keras-keras. Kata-kata Tun Kuma-
la itu seakan membuyarkan keheningan yang disebab-
kan oleh munculnya Wara Hita dan kawan-kawannya.
Mendengar ini, Bima yang ikut mengantar rombong-
an Wara Hita segera mendekati Tun Kumala dan Ra...
eh... Aria Sampana.
“Tuan, adat di negerimu mungkin lain, tetapi di sini
sungguh tidak sopan untuk mengata-ngatai tamu lain,”
katanya pada Tun Kumala dengan nada rendah.
“Maafkan, Bima, sahabat mudaku ini tak bermaksud
apa pun... memang ia suka bercanda. Maafkan!”
“Siapa bercanda! Orang itu memang lebih mirip pe-
rempuan! Dan, he, Kakang Sampana sudah kenal orang
ini? Kalau sudah kenal mengapa minta maaf segala?
Orangnya juga mungkin tidak marah. Tanya saja me-
reka.” Tun Kumala menggelengkan kepala ke arah Wara
Hita dan kawan-kawannya yang kini duduk di sudut te-
rindah ruangan itu. Dan sebelum Aria Sampana dapat
mencegahnya, Tun Kumala telah pergi mendekati tem-
pat Wara Hita duduk.
“Hm, harum sekali... wah, bisa mabuk aku kena we-
wangian ini,” katanya sambil duduk dan menepuk paha
Wara Hita. “Tuan lelaki kok memakai wewangian begini
mencolok sih?”
“Hei, kau!” Bima melihat ini melangkah panjang dan
memegang bahu Tun Kumala. “Mungkin aku terpaksa
membuangmu ke luar!”
“Apa alasannya, sih,” kata Tun Kumala. “Kita kan di
sini mencari hiburan. Kalau berkata sedikit saja tentang
kesenangan, tentang wewangian, tentang... hiburan
nggak boleh... ya, lebih baik ubah tempat ini jadi wiha-
ra. Dan kita semua menyanyikan Bhuwanakosha. Ba-
gaimana, kau ingin aku menyanyikannya? Oukh! Sakit,
he! Lepaskan!”
Tun Kumala terpaksa menjerit begitu karena Bima
telah memperkeras cengkeraman di bahunya.
“Bima, lepaskan,” tiba-tiba Wara Hita menengahi.
Suaranya yang lembut telah berubah berat dan sedikit
serak, pantas untuk tokoh yang dibawakannya. Semen-
tara itu ‘Aria Sampana’ tidak berusaha untuk ikut cam-
pur tangan. Agaknya ia ingin si Tun Kumala’ tahu rasa.
Untung juga Bima segera melaksanakan perintah Wara
Hita. Tun Kumala dilepaskannya dan Bima mundur ke
dinding.
“Tuan, maafkan kekasaran orang itu,” Tun Kumala
malah yang berkata kepada Wara Hita. “Begitulah kalau
orang kurang luas bergaul.... Seperti nyamuk di bawah
tempurung.”
“Seperti katak di bawah tempurung, maksudmu?”
tanya Wara Hita.
“Kok Tuan tahu di situ juga ada katak?” Tun Kumala
tampak begitu heran. “Memang asalnya begitu. Ada
nyamuk di bawah tempurung, terus kataknya masuk
untuk makan nyamuk, dan akhirnya memang tinggal
kataknya yang ada di bawah tempurung. Dan si katak
ini akhirnya lebih terkenal dari si nyamuk. Kasihan,
ya?”
Wara Hita tertawa. “Kau sungguh senang berbicara,
ya?”
“Terpaksa! Memang ini anugerah Dewata, mengapa
tak kita pergunakan sebaik-baiknya. Sayang toh? Se-
perti Tuan ini... Tuan baunya haruuuuuum sekali...
pasti bukan karena habis tercebur ke kolam minyak
wangi, bukan? Mungkin Tuan saudagar minyak wangi...
tapi terus terang... harum Tuan terlalu mirip wanita...
terus terang...” Tun Kumala melihat berkeliling lebih
dahulu. “Terus terang... Tuan jadi lebih menarik daripa-
da semua wanita yang ada di sini! Sungguh. Aku jadi
pikir-pikir... adakah kemungkinan bagi kita berdua un-
tuk kencan?”
“Kau keterlaluan, Anak muda.” Pengawal Wara Hita
bangkit sambil tangannya memegang hulu keris. Tapi
Wara Hita mencegahnya.
“Kalau aku harus berterus terang juga, rasanya kau
pun cukup menarik untuk dijadikan teman berbicara...
mmmh, siapa namamu?”
“Aku tak pernah bertukar nama dan rupa, jika tidak
diperlukan. Namaku Tun Kumala dari Tumasik. Tetapi
aku sudah begitu lama tinggal di Hujung Galuh, jadi
aku menyukai adat-istiadat dan bahasa orang Jawa. Te-
rutama orangnya. Terutama kalau semua harum seperti
Tuan. Terutama, tentu, kalau Tuan seorang wanita... ya
agak sulit juga ya berkencan sesama pria? Eh, kalau
Tuan punya nama, boleh disebutkan kok.... Jangan
membuatku takut seperti itu.”
Wara Hita agak tergagap. Tadi memang ia seakan
terpesona oleh gaya bicara dan gerak bibir Tun Kumala.
Ini tak mengherankan. Rakryan Mapatih adalah orang
yang sangat berpengalaman dalam menyamar. Ia mem-
bantu ‘merias’ wajah Rara Sindu hingga sebagai Tun
Kumala ia betul-betul tampak gagah, jantan, dan tam-
pan. Namun tata rias ini tentunya tidak menutupi gaya
gerak-gerik Rara Sindu yang sebenarnya hingga baik ge-
rak bibir maupun matanya begitu khas serta menye-
nangkan untuk dipandang.
“Namaku... Wisti... aku memang saudagar wewangi-
an dari Tosari. Tuan sendiri... apa kedudukan Tuan?”
“Hei, kita ke sini mencari hiburan. Memang berbicara
dengan Tuan sungguh menyenangkan. Tapi terus te-
rang... bukankah kita kemari mencari kehangatan lem-
but seorang wanita? Hei, kau...” Tiba-tiba Tun Kumala
menunjuk Emban Layarmega yang sedari tadi diam sa-
ja. “Kau cantik, tetapi terlalu... matang untukku. Kukira
kau cocok untuk temanku di sana itu. Dia jago tua, lho,
sukanya tentu dengan... he he he... betina tua!”
Bukan kata-katanya, tetapi gerak-gerik Tun Kumala
yang membuat orang di sekitar tempat itu tertawa.
“Kau keliru, Tuan... beliau ini bukanlah salah satu
wanita penghibur, tetapi adalah pemilik tempat ini!” ka-
ta Wara Hita.
“Wah, kalau pemiliknya saja sedemikian cantik, ya...
sudah, pasti saja anak buahnya lebih cantik-cantik, ya
toh? Agaknya Tuan begitu sering kemari, ya? Tolong pi-
lihkan untuk aku ya... aku ini orangnya agak pemalu,”
kata Tun Kumala.
“Mari duduk di dekatku, biar Bibi Layarmega me-
manggilkan gadisnya yang terpilih.” Wara Hita menger-
dipkan mata pada Layarmega dan menggeser duduknya
sedikit, mempersilakan Tun Kumala ke sampingnya.
Untuk itu seorang pengawalnya terpaksa keluar dari
lingkungan tersebut. Sementara itu Layarmega telah
bertepuk tangan empat kali. Segera suasana di ruang
itu kembali sedikit hening saat beberapa pembantu
Layarmega mempersilakan para tamu sedikit minggir.
Gamelan pun berubah iramanya, lembut dan indah.
Dan tak lama tujuh orang wanita muda muncul dari
pintu samping dan langsung menari di tempat yang te-
lah disediakan tadi.
Salah satunya segera menarik perhatian semua o-
rang. Tari menari di tengah, di antara para penari lain-
nya. Wajahnya mungkin tidak terlalu cantik, tetapi ada
sesuatu yang membuat perhatian orang langsung tertu-
ju padanya. Gerak tarinya pun sedikit kaku. Tapi ke-
kakuan itu ditimpali oleh gerak yang manis dan khas
oleh kepatah-patahannya. Seolah-olah Tari sesungguh-
nya sedang melakukan gerak-gerak tata kewiraan yang
dibungkus oleh kelembutan tarian. Kesan utamanya
adalah: merangsang.
Wara Hita menggamit Emban Layarmega, berbisik,
“Siapa yang di tengah itu?”
“Itulah anak baru itu, Gusti... Kasturi...,” bisik
Layarmega.
“Ah, memang bagus,” gumam Wara Hita.
“Mana yang bagus? Yang di tengah itu? Ummhhh...
bukan seleraku... tidak punya ini....” Tun Kumala me-
ngepalkan kedua tinjunya di depan dada. “Yang kiri itu
lumayan... dadanya bagaikan sepasang kelapa gading,
pinggangnya pinggang tawon, belakangnya... ummmh!”
“Sayang, sesungguhnya aku akan mempersembah-
kan si... Kasturi itu untuk Tuan, sebagai tanda awalnya
persahabatan kita,” kata Wara Hita, melirik tajam pada
Tun Kumala.
“Maksud Tuan... Tuan yang akan... membayarnya
untukku?” tanya Tun Kumala.
“Bukan maksudku menghina Tuan, tapi...”
“Kalau cara Tuan menghina seperti itu, aku suka se-
kali dihina....” Tun Kumala tertawa. “Jadi sehabis tarian
ini kami boleh...” Tun Kumala menunjuk ke atas.
“Tentu....” Wara Hita tersenyum.
“Wuah! Dan aku tak perlu membayar sendiri? Wuah
dua kali! Sebentar, aku akan pamitan pada kawanku
dulu.” Tun Kumala menunduk memberi salam dan ber-
jalan seenaknya menyeberangi tempat menari, berjalan
di antara para penari bahkan menjentik janggut Tari.
“Bagaimana pendapat Gusti?” bisik Emban Layarme-
ga.
“Kukira kau akan mendapat saingan berat, Bibi,” bi-
sik Wara Hita. “Kasturi itu punya daya tarik luar biasa.
Dan... tampaknya dia punya otak cerdas. Tubuhnya
sungguh impian. Tapi, itu di lehernya kalung apa?”
“Oh itu...” Emban Layarmega agak tertegun. “Itu...
katanya jimat dari desanya. Ia tak mau melepaskan-
nya.”
“Tak apa. Malah khas.”
“Gusti tidak ingin dia melayani Gusti?” tanya Layar-
mega.
“Gila apa?” Wara Hita terpaksa menahan tawa. “Lagi
pula kau bilang dia belum.... belum bisa.”
“Memang. Selama ini ia membuat para langganan
senang dengan hanya memijit-mijit, menembang. Tapi,
Gusti mau menawarkannya pada orang seberang itu?”
“Ya... orang seberang itu... begitu menarik.” Wara Hi-
ta melirik ke seberang ruangan. Dilihatnya Tun Kumala
menyeret lepas seorang wanita yang tadinya merangkul
rapat Sampana. Wara Hita tersenyum. “Tingkah la-
kunya khas... belum pernah kutemui pemuda seperti
itu.”
“Ehm! Ehm!” Emban Layarmega berdeham. Dan ia
heran luar biasa saat Wara Hita mengulurkan tangan-
nya dan mencubit lengannya. “Gusti!” bisik Emban
Layarmega terkejut. Selama ini tingkah laku Wara Hita
selalu agung dan tak terlalu ramah. Tapi sekarang?
Dengan heran Emban Layarmega memperhatikan pe-
muda seberang yang sedang asyik berbicara dengan te-
mannya itu. Ada apakah?
“Jangan berpikir yang bukan-bukan, Bibi.” Tak te-
rasa pipi Wara Hita memerah. “Aku akan berangkat se-
gera setelah mereka berdua... masuk. Kasturi belum
terlalu ahli, jadi si Tumasik itu tak akan... ternoda. Lagi
pula, kukira ia hanya besar mulut, sebetulnya ia tak ta-
hu apa-apa... jadi gadismu itu aman, kok!”
Dan Layarmega mengerti mengapa Wara Hita menga-
jukan Kasturi pada si Tumasik. Ini demi keamanan si
Tumasik, bukan sebaliknya. Ah.
“Jika dia bertanya di mana bisa bertemu aku, suruh
Bima mengantarkannya ke Wengker. Jika ia tidak ber-
tanya apa pun lagi tentang aku...” Wara Hita menge-
rutkan kening. “Bunuh dia.”
5. KALUNG MANIK KAYU DEWA
“PAMAN, kau gila!” desis Tun Kumala pada Aria
Sampana.
“Tun, kau edan!” bisik Aria Sampana alias Rakryan
Mapatih.
“Maksudku... Paman bilang mau menyelidik, eh, kok
malah senang-senang!” bisik Tun Kumala.
“Kaukira menyelidiknya langsung menanyai mereka
satu per satu?” bisik Sampana. “Kau sendiri... untuk
apa menempel terus pada pemuda itu. Kaukira kau
nanti bisa... main-main dengannya? Ingat, kau juga le-
laki, tahu!”
“Uhh! Siapa bilang ia menarik hatiku? Dia yang
agaknya tertarik padaku... dan jadi sulit nih.” Tun Ku-
mala betul-betul garuk-garuk kepala.
“Sulit kenapa?” Aria Sampana mengunyah sirihnya.
“Aku... akan disuruhnya... anu... mhhh... itu... lihat
penari yang di tengah itu...” Tun Kumala bingung mau
bicara apa.
“Kenapa penari di tengah itu? Dia... wuahh, sangat
menggairahkan! Pasti dia yang termahal di antara
orang-orang baru Layarmega.”
“Apanya sih yang menggairahkan? Kurus. Tidak can-
tik. Matanya seperti ngantuk terus. Mulutnya seperti
orang tolol... apanya yang menarik? Narinya juga... ma-
sa menari yang banyak bergerak cuma pinggulnya. Ugh.
Tari macam apa?”
“Kalau kamu jadi lelaki, justru yang kausebutkan itu
yang membuat gairah!” desis Aria Sampana seolah pu-
tus asa.
“Selera lelaki memang rendah! Begitu kok dikatakan
cantik,” gumam Tun Kumala.
“Sudah, apa kesulitanmu?”
“Ya, itu... perempuan itu nanti disuruh melayani
aku, nanti dia yang bayar,” Tun kebingungan.
“Lha terus kenapa? Kan enak? Aku mau!”
“Dia paling yang nggak mau! Susahnya... nanti aku
harus bagaimana?”
“Bagaimana bagaimana?”
“Aku kan nggak tahu apa-apa!”
“Lho!” Aria Sampana agaknya baru teringat. Dire-
guknya arak yang dipegangnya dan ia tertawa terbahak-
bahak hingga orang-orang di kanan-kirinya, walaupun
sudah mabuk jadi kaget juga. Dan Aria Sampana terta-
wa tergelak-gelak, meningkahi suara gamelan.
Di seberang ruangan, Wara Hita memperhatikan me-
reka.
“Siapa orang tua itu?” bisik Wara Hita pada Emban
Layarmega. “Langgananmu?”
“Entahlah, Gusti,” bisik Emban Layarmega. “Kulihat
dia sudah kenal banyak orang di sini. Tetapi bahkan
Bima pun tidak kenal padanya. Akan kuselidiki nanti.”
“Juga selidiki si Tun itu. Lihatlah, betapa akrabnya
mereka berdua... si Tua gagah dan seakan tak peduli, si
Tun manja dan seakan sangat tergantung. Pasti hubu-
ngan mereka sangat erat. Mereka juga tampak saling
menghormat namun bebas untuk, misalnya saja, saling
mencerca.”
“Hubungan seperti itu yang Gusti cari selama ini?”
tanya Emban Layarmega hati-hati.
Wara Hita menunduk, dan tiba-tiba menggelengkan
kepala. “Tidak, Bibi, aku tak boleh berpikir sejauh itu
dulu.” Dan matanya kembali menerawang memandang
para penari.
Di seberang sana, Tun Kumala kembali mendesak
Aria Sampana. “Paman ikut, ya? Paman ikut, ya?”
“Kau gila! Kau mengerti nggak sih apa yang terjadi
nanti?”
“Justru! Mana aku tahu? Apa aku mesti pulang dan
tanya pada Bibi Rakryan Mapatih?” Tun Kumala lang-
sung menekap mulutnya terkejut.
“Sudahlah. Pokoknya kauulur-ulur waktu saja. Su-
ruh dia memijit kakimu atau... he he he, kakimu terlalu
halus, ya? Atau suruh dia menembang semalaman. Bia-
sanya juga begitu kok, kalau aku sedang tidak... sedang
capek.” Aria Sampana menahan geli.
“Tapi kalau dia menembang, aku bisa ketiduran, dan
dia bisa membuka bajuku dan...” Tun begitu khawatir.
“Terus terang, sebagai lelaki kau tak begitu menarik
perempuan, Tun, jadi jangan khawatir wanita panas itu
akan membuka pakaianmu saat kau tidur. Paling-
paling dia pergi begitu kau lelap.”
“Ya, bisa juga aku tidur secara menjijikkan... seperti
mendengkur, atau keluar liur... idih! Aku sendiri jadi ji-
jik!”
“Sudah, tuh lihat, tarian sudah selesai... dan gadis
itu dipanggil mereka,” bisik Aria Sampana.
“Yah... gimana, ya...?!”
Tak urung Tun Kumala segera mendekati Wara Hita
dan rombongannya. Saat itu Tari, yang diberi nama
Kasturi oleh Emban Layarmega, sedang menghidangkan
arak pada Wara Hita. Wara Hita menangkap tangan ga-
dis itu dan meremas-remasnya.
“Ah, tidak sehalus dan selembut tangan putri ista-
na,” goda Wara Hita.
“Tetapi putri istana belum tentu dapat memuaskan
Tuan seperti kami di sini,” kata Tari tersenyum genit
sambil matanya mengerling seperti yang diajarkan oleh
Emban Layarmega. Ia tak menarik tangannya yang ma-
sih dipegang oleh Wara Hita.
“Ah, ini orang Tumasik,” kata Wara Hita saat Tun
Kumala telah tiba di dekatnya. “Coba pegang tangan ini,
Saudaraku, dan katakan apa yang kaurasakan.”
“Hmmmh, biar kucoba....” Tun Kumala pun meng-
ambil tangan Tari dari tangan Wara Hita. Terlihat Tari
agak segan. Dan senyumnya pun hampir menghilang.
Tapi Tun Kumala tak peduli. Mula-mula dibelainya ta-
ngan itu. “Mmmhh, agaknya tangan ini dicoba untuk di-
lembutkan dengan ampas kelapa,” katanya pada Wara
Hita. “Memang bisa, tetapi lebih bagus kalau direndam
susu kerbau setiap malam sebelum tidur....” Kemudian
tangan itu diciumnya. Terlihat jelas Tari hampir me-
narik kembali tangannya itu. Terlihat ia melirik cepat
pada Emban Layarmega dan Emban Layarmega me-
mandang tajam padanya. “Ah, dia memakai mangir
daun melati, Saudaraku... pilihan yang kurang cocok...
mestinya digunakan daun bunga kenanga.”
“Tuan begitu tampan dan gagah, tak sangka penge-
tahuan Tuan tentang perawatan kecantikan begitu men-
dalam.” Perlahan Tari menarik tangannya dan menua-
ngkan arak untuk Tun Kumala. “Hamba rasa ilmu as-
mara Tuan pun sangatlah luar biasa....”
“Kau akan membuktikannya, Turi... sebab kau akan
meladeni tuan ini. Dia sahabatku, jadi layani dia baik-
baik. Sebaik-baiknya!” kata Wara Hita.
“Oh, tapi...” Tari tampak terkejut dan kecewa. “Ham-
ba sangat mengharapkan dapat melayani Tuan,” kata-
nya setengah meminta.
“Turi, dengan melayani tuan ini sebaik-baiknya, ma-
ka aku pun sudah merasa sangat puas. Tuan Tun Ku-
mala... mari kita minum!” Wara Hita mengangkat
mangkuk araknya.
Tun Kumala gugup. Tetapi terpaksa juga arak itu di-
angkatnya dan direguknya. Ia terbatuk-batuk hebat dan
tersembur-sembur.
“Oh, kenapa, Tuan?” Emban Layarmega cepat bang-
kit untuk membersihkan pakaian Tun Kumala.
“Oh, tidak usah, tidak usah....” Cepat-cepat Tun
Kumala menolak dan bahkan menangkis tangan Emban
Layarmega yang terulur ke dadanya.
“Tapi pakaian Tuan basah,” kata Emban Layarmega.
“Alaaaaa, gampang, kan nanti juga harus dibuka, ya
bukan?” Dan Tun Kumala ikut tertawa dengan Wara Hi-
ta yang sedari tadi telah menertawakannya.
“Itu berarti Saudara Tun ini ingin segera masuk, Bi-
bi. Ya, siapa tahan kalau yang akan melayani adalah si
Turi ini.... Silakan lho, Saudara Tun.”
“Aku... aku... maksudku...” Tun Kumala makin ke-
bingungan. Tetapi dengan tertawa cekikikan empat
orang wanita telah memegang lengan dan punggungnya.
Dan karena Tun Kumala tak ingin rahasianya terbong-
kar, jika ia meronta pastilah ketiga wanita itu akan me-
megangnya lebih keras, maka terpaksa ia berdiri.
“Maksudku... sesungguhnya aku ingin minum lagi,”
kata Tun Kumala gugup.
“Ayolah, itu bisa Tuan lakukan nanti di kamar,” kata
Wara Hita.
“Antar Tuan Tun ini ke Kamar Jingga, Anak-anak,”
Emban Layarmega berkata pada ‘gadis-gadisnya’.
“Siapkan segalanya... sebentar lagi Turi akan menyusul.
Ayo, Turi, biar kudandani lagi kau... keringatmu terlalu
banyak mengucur waktu menari tadi. Hamba mundur
dulu, Junjungan.” Emban Layarmega menuntun Turi
yang agaknya tak mau pergi dari hadapan Wara Hita
itu.
Di ruang samping, tiba-tiba Turi cemberut.
“Bibi, kau selalu menyuruhku memuaskan lelaki
yang datang. Kau tahu selama ini itu kulakukan hanya
karena aku merasa berutang budi padamu. Itu pun ku-
lakukan dengan separuh hati. Sekarang... aku temukan
seseorang yang sangat kusukai, dan mungkin akan...
akan kulayani sepenuh hati... mengapa tak kauberikan
aku padanya?” Dengan gemas Turi mencopot pakaian
yang tadi dipakainya untuk menari.
“Kau senang dengan... ya, ampun!” Tak tertahankan
Bibi Emban Layarmega tertawa sambil mengusap keri-
ngat di tubuh Turi. “Jangan kau mimpi memperoleh dia,
Turi... dia...”
“Dia kenapa? Yang jelas dia datang kemari!”
‘Ya ampun, Turi, kau baru bertemu dengannya bebe-
rapa saat yang lalu, baru pula sekali ini... dan kau su-
dah tergila-gila! Mungkin kau terlalu banyak minum
obat pembangkit asmara!”
“Aku tak pernah minum obat itu, Bi. Apa yang kula-
kukan selama ini hanyalah bermain sandiwara.... Ka-
laupun dia memakai ajian pemikat, aku pun tak menye-
salinya... aku senang terpikat olehnya!”
“Hari ini aku bertemu banyak sekali orang gila,” gu-
mam Emban Layarmega sambil memakaikan kain baru
pada Turi. “Tapi kau yang tergila. Sudahlah. Ingat pela-
jaran pertama yang kusampaikan dahulu. Dalam dunia
kita ini, jatuh cinta adalah suatu kemewahan yang tak
pernah bisa kita jangkau. Begitu berat biaya yang harus
kita bayar. Berangkatlah ke Ruang Jingga. Dan hibur-
lah orang Tumasik itu. Dia toh tidak terlalu menyebal-
kan!”
“Dia terlalu ceriwis, seperti orang perempuan saja!”
dengus Turi. “Mudah-mudahan ia langsung tertidur
hingga aku bisa kembali ke Tuan Wisti itu.”
Emban Layarmega menatap kepergian Tari dengan
tersenyum lega. Dahulu ia begitu khawatir akan kelan-
jutan perkara gadis itu. Tetapi beberapa peristiwa mem-
buat jalan begitu lebar kini. Mula-mula Ra Wirada dan
kedua punakawannya tewas. Ini sudah membuat Tari—
atau yang dikenalnya sebagai Turi—sepenuhnya milik-
nya. Disusul oleh menghilangnya Ra Sindura. Dan ter-
nyata ramuan yang diberikannya cukup berhasil. Tari
tampaknya tak pernah ingat akan dirinya—kecuali ka-
lung kayu yang entah bagaimana dipertahankannya
mati-matian—dan sangat penurut dalam menerima pe-
lajaran tentang melayani tamu.
Satu hal yang meragukan Emban Layarmega. Apa-
kah usaha junjungannya akan berhasil?
Emban Layarmega merasakan kehadiran Bima, dan
ia berpaling.
“Ada apa, Bima?” tanya Layarmega.
“Gusti Anom sudah berangkat. Sarika mengingatkan
kembali pesan sarika tentang orang Tumasik itu.”
“Hm. Seperti kukatakan pada Turi, hari ini banyak
sekali orang gila,” gumam Layarmega.
“Orang yang menemani orang Tumasik itu adalah
Aria Sampana... hamba tak mengenalnya. Menurut
pembicaraan ia dari pesisir utara dan di Kuripan meng-
inap di penginapan Ki Rodeh. Bersama si orang Tuma-
sik.”
“Bagus.”
“Hamba lihat ada seseorang yang gerak-geriknya
mencurigakan. Tapi ia belum masuk halaman kita. Se-
mentara aku suruh awasi saja.”
“Bagus, Bima. Ada hal lainnya?”
“Tidak ada, Junjungan.”
“Mari kita temui tamu-tamu lainnya.”
Di Ruang Jingga, Tun Kumala bingung setengah ma-
ti.
Ketiga wanita yang mengantarkannya segera diusir-
nya. Ia menjenguk ke luar kamar. Rasanya tak bagus ji-
ka ia keluar begitu saja. Di gang di depannya tampak
beberapa pasang orang sedang cekikikan dan berceng-
kerama. Ditutupnya pintu dan dibukanya jendela. Ka-
mar itu ada di lantai dua. Menghadap ke halaman bela-
kang yang penuh pepohonan. Gelap. Kalau meloncat
mungkin kakinya patah. Ah, mestinya tadi ia minta saja
si Aria Sampana itu ikut.
Pintu berderit terbuka.
Terkejut Tun Kumala berpaling.
Tari berdiri di ambang pintu, membawa nampan be-
risi minuman. Ia berhenti sejenak dan tersenyum.
“Tuan Tun kepanasan, ya?” Tari masuk dan berjalan
berlenggok menaruh nampan di meja kecil di sudut.
Tun Kumala tak terasa merapat ke dinding.
“Apakah Tuan memang ingin jendelanya dibuka sa-
ja?” Sambil tersenyum manis Tari duduk di bingkai jen-
dela. “Tidak takut kalau... ada yang mengintip?”
“Me... mengintip apa?” tanya Tun Kumala bingung.
“Mengintip kita.... Mari kubantu membuka baju itu...
basah begitu kok.”
“Jangan, jangan....” Tun Kumala cepat bergeser men-
jauh. “Tak apa-apa kok.”
“Basah begitu?”
“Aku... aku biasa basah... di Tumasik anu... sering
hujan... jadi sering basah... basah kuyup malah... nggak
apa-apa kok... nggak masuk angin. Situ...mmm... siapa
namanya tadi... ah, ya, Turi... Kasturi, ya? Takut basah,
ya?”
“Tapi bagaimana aku bisa melayani Tuan, jika aku
tak boleh membuka pakaian Tuan?” Tari tampak agak
bingung juga memperhatikan tingkah pemuda seberang
itu.
“Sesungguhnya... aku sedang... sedang berpantang
kok.” Tun Kumala makin bingung, mundur kini ke jen-
dela, sementara Tari menuangkan arak.
“Berpantang apa?” tanya Tari membawa semangkuk
arak mendekati Tun Kumala.
“Aku berpantang... mmm, anu...”
“Berpantang menjamah perempuan?” tanya Tari me-
nawarkan mangkuk araknya.
“Ya, benar begitu... ya, benar....”
“Lalu mengapa Tuan kemari?”
“Aku... hanya mengantarkan temanku.”
“Tapi Tuan tidak berpantang minum arak toh?” Tari
mengangsurkan mangkuk araknya hingga hampir me-
ngenai bibir Tun Kumala. Bau arak yang harum dan ta-
jam itu begitu menusuk hidung Tun Kumala hingga ia
hampir berbangkis. “Aku... aku juga berpantang mi-
num,” katanya.
“Tapi tadi di bawah Tuan minum?” tanya Tari.
“Aku tadi lupa, karenanya aku muntah tadi... aku
sesungguhnya berpantang, he he he.... Kalau kau mau
menghiburku... ya, nyanyikan lagu sajalah... atau do-
ngengkan sesuatu...”
“Tuan tidak mau kulayani, tidak mau minum, jadi
Tuan kemari hanya untuk mempermainkan kami, ya!”
kata Tari dengan penuh rasa kesal. “Tuan kira karena
Tuan punya uang maka segala-galanya boleh Tuan la-
kukan? Kami juga punya harga diri, tahu? Sekarang ju-
ga, Tuan buka pakaian atau aku akan menjerit-jerit ke-
ras-keras agar semua orang datang kemari dan meng-
olok-olokkan Tuan!” Dengan gemas Tari mengangkat
mangkuk untuk dibantingnya ke lantai. Tetapi tidak ja-
di. Ia bisa memperoleh hukuman berat dari Emban
Layarmega jika itu dilakukannya. Maka dengan gemas
diminumnya arak dalam mangkuk itu. Hanya dalam ti-
ga reguk!
Ia sudah diberi ilmu minum arak oleh Emban
Layarmega. Hingga arak nantinya tak punya pengaruh
pada dirinya. Tetapi dalam waktu yang singkat tentu sa-
ja ia belum bisa menguasai sepenuhnya ilmu itu. Pi-
pinya langsung merah padam, dan ia bertolak pinggang
di hadapan Tun Kumala.
“Cepat katakan, mau buka baju atau tidak?”
“Aku... aku...”
“Mau atau tidak?” Tak sabar Tari merenggut leher
baju Tun Kumala.
“Tunggu... tunggu... eh, tunggu!” Tiba-tiba wajah ke-
bingungan Tun Kumala menjadi penuh rasa ingin tahu.
“Tunggu! Kalung ini... kaudapat dari siapa?”
Tepat di depan mata Tun Kumala terlihat kalung
yang melingkari leher jenjang Tari. Tun Kumala ingat
betul kalung itu. Kalung itu adalah manik kayu dewa,
kalung yang merupakan tanda jabatan Ra Sindura di
bidang ketentaraan.
Tun Kumala, alias Rara Sindu, sangat kenal kalung
itu. Sebab dialah yang dahulu merangkainya untuk ka-
kaknya. Sebab di dalam keluarga mereka, Ra Sindura
sering bercanda dan memamerkan kalung itu sewaktu
dulu ia pertama berhak memakainya.
Mengapa dipakai wanita penghibur ini? Memang, ia
pernah mendengar bahwa kakaknya sering berkunjung
ke rumah Emban Layarmega. Tetapi tak mungkin hing-
ga memberikan tanda mata suatu tanda kepangkatan
yang begitu penting.
“Dari mana kaudapat kalung ini?” tanya Tun Kumala
lagi.
“Lepaskan! Ini kalungku!” bantah Tari, khawatir jika
kalungnya putus.
“Aku hanya ingin tahu, dari mana kaudapat kalung
ini!”
“Lepaskan dulu!” Tari begitu khawatir.
“Sudah! Cepat katakan dari mana kaudapat!” Tun
Kumala melepaskan pegangannya atas kalung itu. Tari
mundur. Ia melihat tangan Tun Kumala gemetar seolah
tak bisa menahan keinginan guna mengambil kalung
tersebut.
“Tuan mundur dulu ke dinding sana,” kata Tari lagi
menunjuk dinding yang terjauh.
“Sudah!” kata Tun Kumala makin kesal.
“Kenapa kau ingin tahu?” tanya Tari sambil berjalan
menyusur dinding menuju pintu.
“Sssa... sangat mirip milik sahabatku,” kata Tun
Kumala.
“Siapa sahabatmu?” Tiba-tiba sikap Tari berubah. Di
luar kelupaan yang menyelimuti pikirannya, yang me-
nutupi semua ilmu yang dimilikinya, ada dua hal yang
masih melekat. Nama Tantri dan kalung manik kayu
ini. Ia tak tahu apa hubungannya dengan dirinya. Tapi
dua hal itu selalu lamat-lamat seakan membayang-
bayangi batas ingatannya. Di dalam kekesalannya kare-
na ia tak pernah ingat siapa dirinya, bahkan namanya
sendiri pun ia tak tahu—ia tahu bahwa Kasturi na-
manya, tetapi nama itu seolah bukan miliknya—apalagi
asal-muasalnya, kedua hal itu selalu menyiksanya. Se-
kaligus menghiburnya.
Tantri. Nama itu menyiksa. Namun memberi kesan
manis.
Dan kalung manik-manik kayu dewa itu. Ia tak tahu
mengapa ia memakainya. Ia tak mau mencopotnya ka-
rena merasa bahwa ini adalah salah satu hubungannya
dengan masa lalu yang begitu gelap. Ia tak mau mele-
paskannya. Ia tak mau berpisah dari kalung kayu itu
walaupun sesaat. Dan pada saat yang sama, ia juga
seolah sadar bahwa kalung kayu itu berhubungan den-
gan sesuatu yang sangat menyakitkan. Mungkin saat
menerima itu ia sakit. Mungkin saat menerima itu ia
disakiti.
Sesungguhnya ia tak pernah berpikiran untuk me-
ngetahui masa lalunya. Untuk apa... ia sudah bahagia
dan dibahagiakan di tempat Emban Layarmega.
Biasanya, orang tertarik pada kalung kayu itu hanya
karena tempatnya terlalu mencolok di samping kalung
emas pemberian Emban Layarmega. Emban Layarmega
sendiri tak pernah bisa menerangkan asal kalung kayu
tersebut. Dan ia juga tidak pernah memaksa Tari mele-
paskannya.
Kini ada orang yang secara pasti mengenali kalung
ini! Suatu semburan harapan, atau siksaan, mencuat di
dada Tari. Mungkin ini hubungannya dengan masa lalu-
nya. Mungkin ini hubungannya dengan penyiksanya.
Sesuatu tiba-tiba menguasai perasaan Tari.
Sesuatu meledak di dada Tari.
Mendadak saja ia beringas. Tangannya terulur cepat
menyambar leher Tun Kumala. Dan mencekiknya.
“Cepat katakan! Siapa sahabatmu yang punya ka-
lung mirip ini! Cepat!” bentaknya dengan mata menyala
seram.
“Ekhh... llleppa...skan ddullu...” Tun Kumala terke-
jut. Napasnya langsung tersumbat. Ia megap-megap dan
meronta-ronta. Tapi cengkeraman Tari tak mudah le-
pas.
Tari memang telah lupa semua ulah kewiraan yang
pernah dimilikinya. Semua ilmu yang dikuasainya. Tapi
otot-otot tubuhnya tak semudah itu lupa. Walaupun ge-
rakannya sama sekali tanpa dasar ilmu apa pun, ceki-
kan itu cukup menyakitkan. Dan pada dasarnya, Tun
Kumala adalah Rara Sindu. Seorang gadis yang tak
pernah belajar ilmu kewiraan apa pun.
Bersambung ke jilid 5.
Emoticon