1. DI TUMENGGUNGAN
PASAR ANGKUSA. Di hari pasaran. Seperti juga pasar-
pasar di kota kecil lainnya. Di hari pasaran. Ramai. Hi-
ruk-pikuk. Beraneka macam manusia ada di sana. Para
petani membanjiri pasar itu. Menjual hasil bumi me-
reka. Menjual hasil ternak mereka. Dan membeli ba-
rang-barang yang mereka butuhkan. Atau tak mereka
Orang kota juga berdatangan. Mencoba membeli ba-
rang-barang dengan harga serendah mungkin. Atau...
sekadar tampil saja di pasar itu. Untuk melihat-lihat.
Dan untuk dilihat-lihat.
Tari ada di pasar itu. Sekadar untuk melihat-lihat.
Terutama untuk melenyapkan rasa gundah di hatinya.
Hati gadis itu memang tak keruan. Prahara telah meng-
hancurkan perguruannya. Padepokan Rahtawu entah
kapan akan bangkit lagi.
Apa yang sudah dialaminya sungguh dahsyat.
Mula-mula saudara seperguruannya hilang lenyap.
Kemudian gurunya sendiri telah diserang orang tak di-
kenal hingga akhirnya lengan kanannya harus dipotong.
Lebih mengerikan lagi, seseorang telah mengamuk di
Padepokan Rahtawu. Puluhan warga Rahtawu tewas.
Tara, salah seorang saudara seperguruan yang cukup
menarik perhatian Tari, telah dituduh berhati terlalu
lemah menghadapi orang yang membunuh begitu ba-
nyak warga Rahtawu. Tara diputuskan untuk dihukum
mati. Tapi malam itu juga terjadi perubahan. Resi Rha-
gani memerintahkan warga yang masih hidup untuk
“melenyapkan” diri. Perintah rahasia ini sudah disusun
sejak belasan tahun berselang. Para angkatan tua tahu
dengan jelas ke mana mereka harus pergi untuk me-
nyembunyikan diri. Angkatan muda seperti Tari yang
tertinggal sendiri tentu saja tak tahu ke mana mereka.
Tari memang akhirnya ditemani oleh saudara seper-
guruannya, Anengah. Dan kemudian oleh seorang pe-
ngembara kecil bernama Tantri. Mereka mendapatkan
bahwa seseorang benar-benar mendendam pada warga
Rahtawu khususnya. Dan keluarga sanak keturunan
Raden Gajah pada umumnya. Seseorang yang dijuluki
Dewi Candika mulai meminta korban. Banyak-banyak.
Di kaki Gunung Rahtawu saja mereka harus bentrok
dengan kaki-tangan Dewi Pencabut Nyawa itu. Dan di
desa Mirejo mereka bentrok lagi.
Tari mencurigai kemampuan Tantri. Dan ternyata
Tantri memang mempunyai kemampuan sangat luar bi-
asa. Namun ternyata bahkan Tantri takut pada seorang
wanita separuh baya yang memakai jubah biru. Tantri
memang akhirnya terpaksa mengorbankan diri untuk
ditangkap si Jubah Biru agar Tari bisa lolos.
Tari memang lolos. Tetapi hatinya jadi sangat terte-
kan.
Ia lolos. Dengan membawa berbagai perasaan berdo-
sa. Pertama, ia tak berusaha berbuat apa pun untuk
mencari keterangan tentang siapa yang sebenarnya me-
runtuhkan Rahtawu. Kedua, ia mau saja mengikuti pe-
tunjuk seseorang yang baru saja dikenalnya. Ketiga, ia
meninggalkan Anengah dalam keadaan luka di tangan
pihak yang tampaknya sangat bermusuhan.
Kini ia berada di pasar Angkusa. Untuk menonton
keramaian pasar agar hatinya sedikit tenang. Dan, toh
tidak tertutup kemungkinan bahwa di hari pasaran
yang ramai ini muncul salah seorang warga Rahtawu...
atau, mungkinkah mereka betul-betul telah mele-
nyapkan diri dengan masuk ke dalam bumi?
Di pasar itu ia menonton. Dan juga ditonton.
Ada seorang pemuda. Bertampang sangat kaya. Ber-
wajah cukup tampan. Dengan kumis tipis yang nakal.
Dan pemuda itu diiringi oleh dua orang yang memiliki
nama julukan yang berbau “kotor”. Masakan seseorang
benar-benar punya nama Lingga dan Yoni? Mungkin ju-
ga julukan, karena bentuk tubuh kedua orang itu me-
mang sangat aneh. Lingga kurus kering dan tinggi. Yoni
bulat bundar dan gendut.
Mereka menggoda Tari. Dan Tari berpendapat, tak
ada gunanya meladeni mereka. Maka ia bangkit dari
duduknya, mengambil buntalan bekalnya, dan bersiap
untuk pergi. Tapi Lingga, Yoni, dan pemuda itu meng-
halanginya.
“E, e, e, mau ke mana, anak manis? Kita kan belum
selesai berbicara?” si pemuda dengan genit mengha-
dang, melemparkan ujung selendangnya yang terbuat
dari kain sutera Cina. “Kau tampak lapar. Ayo makan-
makan dulu di warung... atau, bagaimana kalau ikut ke
rumahku?”
“Benar, jadi kau bisa makan mewah sebelum kau
dimakan oleh kemewahan Sang Raden, he he he he...,”
si Yoni tertawa terkekeh-kekeh sambil menutupi mulut-
nya dengan tangannya.
“Tapi apa bisa dia makan mewah, Yoni,” kata Lingga.
“Perutnya pastilah tak terbiasa dengan makanan halus
seperti kita.”
Tari tak menjawab. Ia menggigit bibir bawah dan ber-
paling. Kembali si pemuda menghadang di depannya.
“Eh, kau benar-benar mau pergi tanpa bicara de-
nganku?” kata si pemuda kini dengan nada dingin. Dan
dari sudut matanya Tari melihat bahwa beberapa orang
telah berkumpul untuk menonton. Mereka agaknya tak
akan menolongnya. Mereka bahkan bersikap menikmati
tontonan yang menyenangkan.
“Maaf, aku harus pergi,” kata Tari akhirnya. Si Galih
tertinggal di desa Mirejo. Ia terpaksa memanggul bunta-
lannya. Matanya waspada memperhatikan pemuda itu.
“Ck, ck, ck... bukan begitu mestinya berhadapan
denganku, Manis. Kau pasti dari pucuk gunung ya, kok
belum kenal Wirada, putra Rakryan Tumenggung Kuri-
pan?” Lingga tertawa sekali lagi sambil melihat berkeli-
ling. Dan memang nama itu cukup berpengaruh pada
beberapa orang yang berdiri menonton. Si pemuda pun
bertolak pinggang dan memandang berkeliling dengan
bangga. Tentu saja nama itu tak ada artinya bagi Tari.
“Aku sangat berterima kasih bisa berjumpa sarika,”
kata Tari kepada Lingga, dengan sikap semanis mung-
kin. “Tapi aku ada keperluan lain. Maafkan.”
“Mengapa kau tak bicara langsung denganku, Ma-
nis?” goda si pemuda yang ternyata bernama Wirada
itu.
“Hamba hanya seorang petani tak punya,” kata Tari
lagi. “Dan hamba tak tahu tatakrama. Mana hamba be-
rani berbicara dengan Paduka. Maka, biarkan hamba
lewat, Rakryan.”
Tari sendiri merasa kaku. Ia tahu kalimat yang baru
diucapkannya terasa luar biasa jeleknya. Tapi hanya itu
yang terpikir olehnya. Walaupun kini ada orang yang
menghadang, ia memang tak merasa takut. Tetapi ia
harus memikirkan apa dampaknya jika ia, misalnya,
melawan. Agaknya pemuda itu putra seorang tumeng-
gung. Dan kita harus berhati-hati menghadapi keluarga
atau handai-tolan seorang pejabat tinggi. Itulah yang se-
lalu diajarkan oleh Bibi Madraka jika mereka sedang da-
lam perjalanan keagamaan.
“Maaf, Raden, hamba ada keperluan lain. Betul-betul
tak bisa hamba memenuhi panggilan Raden. Sungguh
hamba tak terlalu beruntung,” kata Tari dengan sikap
betul-betul merendah. Kalau ia bisa memaki, mau rasa-
nya ia memaki dirinya seberat-beratnya.
Orang yang dipanggil Lingga tertawa hingga perutnya
yang buncit cacingan terkiyal-kiyal. “Eh, Raden, kau-
dengar itu? Aku yakin dia memang anak desa Ara Plasa!
Wah, gadis-gadis daerah itu terkenal panas lho, Raden.
Panas dan pedas. Sungguh rugi kalau Raden tak me-
makannya... eh, maksudku, mengundangnya makan,
he he he....”
“Namamu siapa sih, anak perempuan?” tanya si
Gendut yang dipanggil Yoni.
Tari memandang pemuda itu. Dengan demikian ia
ingin memberi kesan bahwa ia sangat menghormati pu-
tra tumenggung itu. Ia bisa menebak bahwa baik Lingga
maupun Yoni hanyalah pelayan saja, kalau perlu tak
usah diperhatikannya. Mudah-mudahan dengan demi-
kian putra tumenggung itu akan sedikit lunak padanya.
Memang. Si pemuda tampak tersenyum bangga.
“Jawablah pertanyaannya,” katanya angkuh.
“Tapi... hamba belum tahu nama harum rahadyan
sanghulun,” kata Tari sambil mencari-cari akal.
“Ah, kau kan sudah dengar... atau tanyakan pada
siapa saja di pasar ini,” Yoni tertawa.
“Kami berdua pun terkenal, lho! He he he...,” si Ling-
ga juga tertawa. “Tanyakan juga pada semua orang di
pasar ini. Terutama si Yoni ini, dia tidak pernah bayar
jika beli apa pun!”
“Enggak kok, itu kan karena orang-orang merasa be-
rutang budi padaku. Lha pasar ini milik... anu, milik
rahadyan ini kok.”
“Hamba betul-betul harus pergi, Raden,” Tari pura-
pura tak menghiraukan kedua orang ini.
“He, jangan pergi! Lingga, Yoni, jangan bercanda. Ka-
takan padanya siapa aku ini, he,” kata si pemuda.
“Dasar anak desa tuli kok, Raden,” gerutu Lingga.
“Dengar, Anak perempuan, kau ini tidak cantik, tahu!
Kalau majikanku mau, sehari sarika sanggup memper-
oleh tujuh orang gadis seperti kau, tahu! Itu pun hanya
dalam sehari!”
“Ho-oh!” kata Yoni. “Ho-oh, ya, Lingga?”
“Aku tak punya waktu...,” Tari berlagak hendak per-
gi, seolah tak sabar mendengarkan kedua orang hamba
itu.
“Jangan. Lingga, jangan banyak ngomong,” bahkan
si pemuda pun tak sabar.
“Baik, baik, Raden,” Lingga bergegas berkata. “Cuma
... tampaknya gadis ini hanya akan membawa mala-
petaka saja. Lihat saja, masakan ada anak perempuan
desa secerewet ini... pasti di desanya tidak laku.”
“Benar, pastilah ia dibawa ke sini oleh orang tuanya
untuk dijual. Gadis secerewet ini mana ada yang mau.
Sudahlah, Raden, berikan saja padaku!” kata Yoni.
Sungguh menyebalkan, pikir Tari. Mereka semua, ia
dan ketiga orang itu, seperti tontonan saja. Makin lama
makin banyak orang yang datang menonton. Hanya ka-
rena mungkin mereka tak punya kerjaan saja. Beberapa
prajurit yang menjaga keamanan pasar bahkan tampak
tersenyum-senyum pada Lingga dan Yoni, membuat ke-
dua orang ini semakin berani. Melihat gerak-gerik si
pemuda kaya itu, Tari yakin dengan tiga kali gerak saja
si pemuda dapat dirobohkannya. Tapi jika ini memang
daerah si anak tumenggung itu, bisa ramai kejadiannya
nanti. Bisa-bisa ia dikeroyok orang satu pasar yang pas-
ti akan berebut jasa membantu si pemuda. Dan walau-
pun ia tak menggebrak si pemuda, pasti akan sulit un-
tuk meloloskan diri dari mereka.
“Kura-kura juga kalian berdua!” maki si pemuda.
“Kalian mau kucincang?” si pemuda betul-betul meng-
hunus pedangnya. Tapi agaknya lebih untuk memamer-
kan betapa hulu pedang itu berhiaskan butir-butir ber-
lian gemerlap. Sempat juga Tari berpikir apa gunanya
permata gemerlapan itu seandainya pedang tadi digu-
nakan dalam pertempuran.
“Ampun, Raden....” Si Yoni memegang kepalanya.
“Aku juga minta ampun. Raden...” Lingga mundur
cepat-cepat. “Anu... gadis cerewet, tuanku ini bernama
Raden Wirada. Kauingat-ingat itu. Sarika putra Rakryan
Tumenggung Kuripan. Nah, kalau mau pingsan cepat-
cepat pingsan situ... tak tiap hari lho kau bisa bertemu
dengan orang tampan... apalagi seorang anak tumeng-
gung. Tumenggung, lho! Mimpi apa kau semalam!”
“Kalau begitu maafkan semua kekurang-ajaran ham-
ba, rahadyan sanghulun,” Tari langsung menjatuhkan
diri ke tanah dan menghaturkan sembah. Ah, sesung-
guhnya tak sudi ia berbuat seperti itu. Tetapi memang
begitulah jika mau lolos tanpa banyak berkorban. Kor-
ban perasaan sih boleh. Tetapi ternyata Raden Wirada
itu tidak puas hanya dengan korban perasaan. Ia terta-
wa keras sambil mengelus kumisnya yang tipis. Dan ia
mendekat hingga tinggal berjarak satu langkah dekat
Tari yang bersimpuh di tanah itu.
“Kau anak perempuan desa yang tolol, agaknya cu-
kup punya bakat untuk diajar sopan santun, ya,” Raden
Wirada tersenyum-senyum. “Dan mukamu... ya, kalau
sudah diberikan pada Emban Ulan, pastilah kau tak ka-
lah dengan putri pingitan, he he he.... O ya, siapa na-
mamu?”
“Nama hamba... Turi, Raden,” Tari sedikit gugup ber-
dusta. “Hamba memang dari... Ara Plasa. Sungguh ber-
kah Dewata hamba dapat berbicara dengan rahadyan
sanghulun. Tapi hamba harus segera pergi....”
“Oho, itu tidak boleh... itu tidak boleh,” kata Raden
Wirada dengan tangan kiri di pinggang dan tangan ka-
nan mengacungkan sebatang jari. “Aku akan sangat
tersinggung bila kau tak ikut aku. Dan kalau aku ter-
singgung, wah, sangat menyeramkan, ya!” Ia mengang-
gukkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, setuju dengan
pernyataannya sendiri.
“Tapi hamba harus segera pergi... saudara hamba
menunggu hamba di Bulak Amba. Mereka... sedang
mengantarkan kerbau yang baru kami jual,” kata Tari.
Mungkin dengan memberi kesan bahwa ia punya sau-
dara lelaki dan bahwa ia baru menjual kerbau akan di-
peroleh kesan bahwa ia bukannya tanpa pelindung dan
ia bukannya tak berharta. Tapi ternyata harapannya
gagal. Raden Wirada malah besar tertawanya. “Ha, ba-
gus, kalau kau punya saudara lelaki... ya baguslah. Biar
ia jadi prajurit, jadi selalu dekat denganmu... dan kau
ikut ke Tumenggungan.”
Bingung Tari. Rasanya tak ada jalan lain untuk me-
loloskan diri dari pemuda hidung belang ini.
“Be... begini...” Tari berpikir cepat. Ia harus mengha-
jar pemuda ini. Tetapi tidak di sini. “Bagaimana kalau
kita pergi ke Bulak Amba dulu... baru kemudian pergi
ke istana rahadyan sanghulun? Pasti ayah hamba juga
sangat gembira hamba mendapat panggilan dari raha-
dyan sanghulun. ”
“Kau pasti akan berkata bahwa ayahmu galak, ya?
He he he... jangan khawatir, aku sudah sering makan
bapaknya gadis-gadis kok.... Ayo jalan. Biar kami antar
ke sana. Lingga, Yoni, kudaku. Lalu kalian berdua naik
kuda Yoni. Biar anak manis ini naik kuda Lingga.”
“Walah, sudahlah, Raden, untuk apa Raden ber-
main-main dengan anak ini. Lebih baik kita main ke
rumah Bibi Layar, sudah jelas dapat makanan, gadis-
nya cantik-cantik... wangi lagi,” gerutu Lingga.
“Benar, Raden.”
“Pokoknya kalian tutup mulut!” gemas Raden Wirada
memukul Yoni dengan sarung pedangnya. “Cepat jalan!”
Terpaksa Lingga dan Yoni bergegas pergi. Raden Wi-
rada tersenyum pada orang-orang yang menonton di se-
keliling mereka.
Kemudian ia berpaling memperhatikan Tari. “Coba
berdiri,” katanya.
“Biarlah hamba duduk, Raden,” kata Tari.
“Kalau aku berkata berdiri... maka kau harus berdiri.
Kau ingat itu, ya. Ayo berdiri,” Raden Wirada menjen-
tikkan jarinya. Ragu-ragu Tari berdiri.
“Ah... orang-orang itu buta,” Raden Wirada mengge-
lengkan kepala. “Sedikit dirawat saja kau akan jadi se-
cantik bidadari. Jangan khawatir. Kau akan memper-
oleh baju bagus, kain bagus... pokoknya lengkap!”
Mereka berkuda santai. Angkusa memang kota kecil.
Hanya sebuah tempat perhentian besar antara Kuripan
dan kotaraja Singasari. Namun agaknya sejauh itu dari
Kuripan, Raden Wirada cukup dikenal. Mungkin karena
itulah Wirada mengendarai kudanya dengan santai saja.
Ia menikmati penghormatan yang diberikan oleh orang-
orang di pinggir jalan. Ia menikmati keadaan di mana
orang-orang menyingkir memberinya jalan.
Tetapi ternyata ada seseorang yang tak mau me-
nyingkir.
Hampir di ujung jalan kota, jalanan tiba-tiba sangat
menurun. Kiri-kanan jalan sudah mulai sepi. Rumah-
rumah sudah sangat jarang.
Di tepi jalan itu ada sebatang pohon besar. Dan seo-
rang lelaki berdiri di bawah pohon tersebut. Mengelus-
elus kudanya.
Lelaki itu tidak terlalu luar biasa. Muda. Gagah. De-
ngan wajah keras. Kulitnya berwarna agak gelap. Kain-
nya sederhana walaupun tampak berharga sangat mah-
al. Dan memiliki disain yang menunjukkan bahwa pe-
makainya keturunan bangsawan.
Kudanya yang tampak luar biasa. Tinggi besar mele-
bihi rata-rata kuda yang ada. Berwarna hitam gelap se-
luruhnya. Sama sekali hitam. Surinya panjang berjurai
di kiri-kanan leher, dikepang kecil-kecil hingga tampak
rapi dan indah. Ekornya dipotong pendek, hingga ting-
gal sekitar satu jengkal dari pangkal ekor. Kakinya tam-
pak kuat dan tangkas. Kepalanya terangkat tinggi me-
mandang ke sekeliling dengan gagah dan tak acuh.
Dan orang itu tidak minggir saat melihat Raden Wi-
rada dan pengiringnya. Ia tidak juga langsung berjong-
kok seperti rakyat biasa. Lingga agaknya masih kesal
karena harus berboncengan dengan Yoni, dan mungkin
karena duduk di belakang Yoni tak bisa melihat jelas,
maka ia langsung menghardik, “He, kunyuk tak punya
mata!” katanya. “Tahukah kau siapa yang lewat?”
“Orang yang akan modar jika tidak segera meng-
gelinding turun dari kuda itu,” si pemuda menjawab.
Suaranya tenang dan berat.
“Yoni, Lingga, kalian yang tidak bermata. Ini Kakang
Sindura!” kata Raden Wirada. Sambil mencoba terse-
nyum tak acuh. Tapi tidak turun dari kuda. Sebaliknya
Lingga dan Yoni betul-betul gugup berebut melompat
turun hingga kuda mereka sesaat mendepak-depak tak
keruan.
“Kau sih punya punggung sebesar gentong!” hardik
Lingga ketus.
“E, e, e, kok nyalahin aku. Kepalamu kan ada di atas
kepalaku! Sembah bekti, Raden,” Yoni tergesa-gesa me-
nyembah. Lingga harus menghindari kaki kuda dulu
sebelum punya tempat yang baik untuk menyembah.
Orang yang dipanggil Sindura itu sesungguhnya ti-
dak memperhatikan kedua orang itu. Keningnya ber-
kerut dan matanya tajam memandang Tari.
Melihat pandang mata itu, Yoni langsung menghar-
dik Tari, “Anak dusun, cepat turun kau!”
“Tak usah, kami sedang tergesa-gesa,” kata Raden
Wirada dengan mata nakal dan suara sedikit gemetar.
Mungkin ia memberanikan diri untuk mengatakan itu.
“Turi, sarika ini adalah kakakku, Ra Sindura, putra Ra-
kryan Rangga dari Kuripan juga. Kakang Sindura ini
suka mengembara, Turi, untung juga aku menemukan
kau lebih dulu dari sarika, he he he. Dia lumayan juga
bukan, Kakang Sindura? Namanya Turi. Anak dari desa
Ara Plasa. Ia akan memperkenalkan aku dengan orang
tuanya. Yah... Kakang tahu toh desas-desus tentang di-
riku? Cuma sesungguhnya banyak desas-desus itu tak
bisa dipercaya. Pasti yang menyebar desas-desus terse-
but orangnya tolol sekali. Eh, Kakang Sindura selalu
berkata ingin menjaga keamanan negara... mungkin bi-
sa mencari sumber desas-desus itu?”
“Sudah kutemukan dan itu sama sekali tidak lucu,”
kata Ra Sindura sambil terus memperhatikan Tari. “Aku
mendapat keterangan bahwa penyebar desas-desus ten-
tang dirimu adalah kau sendiri. Terutama lewat kedua
kaki-tanganmu itu.”
“Lho, kami jangan dilibatkan, Raden,” sembah Yoni
“Lagi pula, apa tidak lucu jika kami betul-betul jadi
kaki-tangan. Lha kakinya selangsing aku kok... tangan-
nya seperti kura-kura ini... apa tidak terguling-guling,
Raden?”
“Suatu hari kau akan menyesal punya pelayan seto-
lol kedua orang itu,” Ra Sindura masih terus memper-
hatikan Tari. Tari terpaksa menunduk. Pandang mata
pemuda itu begitu tajam dan berwibawa. “Kalian mau
ke mana?”
“Oh, sekadar jalan-jalan.... Kakang Sindura tak usah
ikut. Hanya jalan-jalan saja kok,” jawab Wirada.
“Hh,” dengus Ra Sindura. Kemudian dengan sekali
lompat ia telah duduk lunak di punggung kudanya. Me-
mutar kuda tersebut hingga menghadap ke arah yang
berlawanan dengan kuda-kuda Wirada. “Aku sama se-
kali tidak akan menyesal jika kau tertimpa malapetaka,
Wirada,” katanya dengan nada dingin. “Hanya kuin-
gatkan... tentang desas-desus lainnya. Tentang seorang
wanita yang haus darah dan telah membunuh banyak
orang di kalangan keluarga Wilwatikta. Menurut desas-
desus orang itu muda. Cantik. Dan aku sudah menyeli-
diki bahwa desas-desus itu bukan sekadar desas-desus
murah seperti yang kaubikin. Semoga kita masih bisa
bertemu lagi.”
Tanpa ancang-ancang, kuda itu langsung melesat
bagai terbang.
2. ASAP KUNJANA
MEREKA sampai ke sebuah tanah lapang. Tari tahu ta-
nah lapang itu sebab tadi pagi ia memang lewat situ da-
lam perjalanan masuk ke dalam kota. Sebuah tanah la-
pang yang sangat luas. Bahkan sesungguhnya adalah
padang rumput liar yang masih penuh semak belukar di
sana-sini. Dan tempat itu sepi. Hanya sebuah jalan se-
tapak membelah padang rumput itu. Jauh ke tepi pa-
dang rumput di kaki gunung sana. Jalan besar sendiri,
jalan besar menuju Singasari, membatasi tepi kiri pa-
dang rumput yang juga berbatasan dengan hutan.
“Mana ayahmu, mana kakakmu?” tanya Yoni yang
kesal dua kali lipat karena harus berbagi punggung ku-
da dengan Lingga.
“Mungkin ada di kali sana,” kata Tari. “Biar kucari
mereka.” Tari akan membelokkan kudanya.
“E, e. Mau ke mana kau, enak saja pergi....” Lingga
melompat turun dari kuda dan bergegas memegang tali
kendali kuda yang ditunggangi Tari. “Ini kudaku, tahu.
Jangan coba-coba jadi maling kuda di hadapanku, ya...
aku dulu sudah tujuh tahun lho berpengalaman sebagai
maling kuda....”
“Aku hanya mau ke sungai, lain tidak,” kata Tari seo-
lah tersinggung. “Kalau tidak boleh pergi ya sudah. Kita
tunggu saja di sini. Siapa kesudian pada kuda butut
ini....” Tari betul-betul turun dari kudanya. Tempat ini
sangat sepi. Mungkin di sini ia bisa melampiaskan ke-
dongkolan hatinya yang sudah tertumpuk dari tadi. Ka-
lau manusia-manusia kurang ajar ini mau diusir secara
baik-baik, maka ia akan melepaskan mereka. Tetapi jika
tidak, yah, hitung-hitung latihan. Tampaknya sih mere-
ka takkan terlalu tangguh. Tapi... bagaimana kalau du-
gaannya itu keliru dan ternyata ketiga orang itu bisa
menguasainya? Yah. Memang bisa kacau. Tak ada sa-
lahnya untuk mencoba.
“Raden, bagaimana kalau Raden kembali saja?” Tari
mencoba bermanis budi pada Wirada. “Mungkin ayah
atau kakakku masih agak lama. Biar kutunggu di sini.
Raden pulang saja... kasihan kalau terkena panas di si-
ni.”
“E, dasar anak kurang ajar, Raden. Coba... ternyata
ia hanya ingin diantarkan saja ke sini, dasar kurang
ajar! Bagaimana kalau hamba hajar saja, Raden?” Yoni
sungguh gemas. Ia melompat turun dari kuda hingga
terasa bumi seakan terguncang.
“Tunggu, Yoni,” kata Raden Wirada yang masih bera-
da di punggung kuda. “Turi... betulkah kau berdusta
kepada kami?”
“Tidak, Raden, aku memang menunggu kakakku di
sini,” kata Tari.
“Kenapa di tempat yang sesepi ini? Apakah kau tak
takut pada orang jahat?”
“Raden, selama hamba tidak bermaksud jahat pada
orang lain, maka hamba yakin hamba tidak dijahati
orang lain,” sahut Tari.
Lingga dan Yoni tertawa terbahak-bahak. “Bagaima-
na kalau justru kami yang akan menjahatimu?” tanya
Lingga.
“Rasanya tak mungkin,” kata Tari tersenyum lembut.
“Terutama karena di sini ada Raden Wirada. Sarika pas-
ti takkan membiarkan kau berbuat jahat.”
Lingga akan berbicara, tapi dicegah oleh isyarat Wi-
rada.
“Aku memang tak mau kau diganggu orang jahat,
Turi, aku begitu sayang padamu,” kata Raden Wirada
dengan senyum yang justru menyebalkan hati Tari itu.
“Karenanya, jika sesungguhnya kau menipu kami, dan
di sini tak akan ada ayah atau kakakmu, tak apalah.
Hanya, terlalu kasihan bila kau sendirian di tempat sepi
ini. Jadi, ya, ayo ikut aku saja. Di istanaku kau pasti
senang... semua kehendakmu pasti terlaksana!”
Sebagai seorang gadis yang tahu sopan santun maka
Tari sama sekali tak berani mengangkat muka melihat
wajah Wirada. Tapi ia bisa membayangkan pemuda itu
tertawa mengejek.
“Terima kasih, Raden... hamba kira tak usah. Hamba
datang dari pucuk gunung, tak tahu sopan santun,
nanti malah memalukan jika ikut ke istana....”
“Tentang itu kau tak usah khawatir... siapa yang be-
rani mengganggumu biar kulumat kepalanya,” kata Ra-
den Wirada tersenyum.
“Terima kasih, Raden... tapi lebih baik hamba tidak
menghadap ke istana. Kalau ayah atau kakakku datang
bagaimana?”
“Aku yakin mereka tak akan datang, Turi, sebab me-
reka hanya ada dalam khayalanmu...” Dan meledak ta-
wa Wirada. “Jangan mungkir, Turi, sesungguhnya su-
dah dari tadi aku tahu kau menipu aku.”
“Iyak apa benar, itu, Raden?” tanya Lingga.
“Kalau benar sih keterlaluan berat,” kata Yoni. “Ma-
sakan kami terpaksa berkuda bersama... sungguh ke-
terlaluan! Raden mungkin belum pernah tahu rasanya
mendekap Lingga. Suatu pengalaman yang sama sekali
tidak menyenangkan, Raden. Berkeringat, bau, tulang
melulu... dan ternyata sesungguhnya itu tak perlu! Ka-
lau tahu dari tadi kan lebih baik hamba tinggal saja di
pasar. Tidak usah capek, bisa cepat kenyang... po-
koknya yah...”
“Pokoknya kau mau dihukum kisas, bukan?” tanya
Wirada kesal.
“O, lha ya jangan begitu, Raden.... Ini... Raden kok
jadi pemarah sekarang, ya Lingga. Mulai hari ini lho si-
kapnya kok maraaaah terus!” kata Yoni.
“Diam kalian!” bentak Raden Wirada, betul-betul
tampak gusar. Lingga dan Yoni mengkeret seketika.
Kemudian Wirada berpaling pada Tari. Wajahnya yang
tampan tersenyum. “Nah, kau, Turi. Sekarang... kau
mau ikut aku kembali ke Tumenggungan, bukan? Ku-
kira tak ada halangan untuk itu. Ayahmu tidak. Kakak-
mu pun tidak.”
“Ya, kau harus ikut, tidak boleh tidak,” kata Yoni ta-
kut-takut, melirik pada Wirada.
“Benar, boleh tidak boleh, kau harus ikut,” kata
Lingga melihat Yoni tidak dibentak oleh majikannya.
“Kenapa?” Tari heran.
“Kok tanya kenapa. Kan sudah jelas. Sudah jelas
kan, Yoni?”
“Jelas sudah jelas. Mmmh, kau harus ikut karena...
yang memintamu adalah Raden Wirada!” Yoni gembira
sekali bisa memperoleh alasan itu.
“Benar. Dan Raden Wirada tak pernah tidak terpe-
nuhi permintaannya,” kata Lingga. “Jangan coba-coba
menolaknya. Jangan!”
“Kenapa? Justru aku mau menolaknya,” kata Tari.
“Kan tidak lucu... tak mau bertamu, dipaksa-paksa ber-
tamu....”
“Aku tidak memaksamu, Turi... hanya, kau harus
ikut. Bisa menyesal kalau tidak.”
“Bukan hamba ingin menentang Paduka, Raden, tapi
hamba memang ada keperluan lain,” kata Tari sambil
menekan perasaan malunya.
“Jika ada aku, Turi, maka keperluanmu hanyalah sa-
tu... memuaskan hatiku. Nah, kau ingin ikut aku atau
tidak? Terus terang saja, Turi. Biar aku juga tak ragu-
ragu melayanimu.”
“Sudah kukatakan, Raden... hamba tidak bisa,” kata
Tari.
“Jika kau memang ingin mengatakan kau tidak bisa
sewaktu kau berada di pasar, mungkin kau bisa sela-
mat. Tetapi di padang rumput seluas ini... sesepi ini...
siapa yang akan menolongmu?” tanya Wirada.
Diam-diam Tari mempersiapkan diri, merapikan
kainnya dan berdiri dalam kuda-kuda. “Memang tak
ada, Raden, kecuali aku sendiri. Ayahku mengajariku
mandiri. Jika Raden berkenan, biarlah aku pergi dari
sini.”
“Wah ini makanan empuk, biar aku yang menangani-
nya, Raden!” kata Lingga melihat ada kesempatan un-
tuk merebut hati majikannya.
“Lebih baik aku saja, ayo beri aku hadiah, majikan,
he he,” kata Yoni. “Terlambat juga tak menguntungkan.
Biar uangnya buat beli wanita lagi.”
“Wala, wala, Yoni, mengapa omonganmu tak keruan
begitu. Minum tuaknya besok, mabuknya sekarang!”
Lingga tertawa. “Jangan berikan ke dia tugas ini, Raden.
Raden lihat, belum apa-apa kainnya sudah basah!!”
Memang, sesungguhnya tiba-tiba saja ada rasa keta-
kutan yang mencekam hati Yoni saat pandang matanya
bertemu dengan pandang mata Tari. Tak terasa omong-
annya jadi tak keruan dan tak punya arti. Ia segera me-
nenangkan diri dan menekan perasaannya itu dengan
tertawa. “He he he, aku hanya khawatir tak bisa mena-
han diri, Raden... perempuan desa ini apakah cukup
berharga untuk selera Paduka, Raden... apa tidak lebih
baik dikasari saja?”
“Dia memang tidak seindah Ndari, Yoni, tapi aku
menginginkannya utuh,” kata Wirada masih duduk
enak di punggung kudanya. Ia juga merasa sesuatu
yang aneh. Seolah-olah menghadapi lawan yang sangat
tangguh. Hatinya gelisah. Diperhatikannya setiap gerak
Tari. Dan diam-diam tangannya masuk ke sela-sela kain
ikat pinggangnya. Mengambil sebutir peluru asap andal-
annya—untuk menghadapi wanita yang sangat diingin-
kannya, bukan menghadapi lawan tangguh di per-
tempuran!
Tari sendiri merasa bahwa waktu untuk bermain-
main telah habis. Ia mundur tiga langkah dan seolah
wajar memiringkan tubuhnya ke kiri. Pada mata awam,
tampak ia hanya ingin berbicara dengan Wirada. Se-
sungguhnya ia telah ada pada kedudukan kuda-kuda
yang kuat untuk menghajar Yoni dengan tendangan
Bantala Liwung yang dahsyat. “Terima kasih atas perha-
tian Raden untuk mengantarkan hamba ke tempat ini.”
Tari menunduk dengan gerakan menyembah. “Kini
hamba mohon diri.”
“Jangan terlalu cepat, Genduk,” ejek Yoni, dan ia ma-
ju dengan tangan terentang seolah akan menangkap
ayam. “Jika Raden Wirada menghendaki kau pulang
dengan sarika, maka kau harus pulang dengan sarika.”
“Jangan mendekat lagi, Paman,” ancam Tari dengan
nada dingin. Sikapnya namun masih tetap ramah.
“Alaaa, jangan jual mahal-lah,” Yoni tertawa, meng-
ulurkan tangannya.
Kemudian, andaikan saat itu ada petir menyambar
pun, Yoni tak akan sekaget itu. Mendadak saja Tari
mengangkat tangan kiri. Sesaat pandangan Yoni ter-
pancing gerakan ini. Ia sama sekali tak melihat Tari
memutar tubuh dan sebuah tendangan meliuk lang-
sung menghajar dadanya yang tambun.
Yoni menjerit terkejut dan sakit. Sapuan kaki kanan
Tari menyusul. Tubuh bundar bulat Yoni seakan te-
rangkat ke udara dan jatuh berdebum keras sekali. Tari
mundur satu langkah dan bersikap seolah tak ada apa-
apa.
“Kurasa Raden dan kedua Paman tak usah mengan-
tar terlalu jauh.” Tari membungkuk dan berpaling.
Beberapa saat Raden Wirada dan Lingga memang
terpukau. Gerakan Tari begitu cepat hampir tak terlihat.
Tapi Wirada segera sadar dan berseru pada Lingga, “Ayo
Lingga, tangkap dia!”
Tanpa disuruh pun Lingga mungkin telah melabrak
maju. Yoni mungkin selalu bersaing dengannya dalam
banyak hal, tetapi mereka berdua telah bersahabat se-
lama puluhan tahun. Ia tentu tak tega melihat teman-
nya terbanting begitu saja. Dan Lingga sudah langsung
tahu bahwa Tari memang cukup “berisi”.
Gerakan Lingga cukup aneh. Dengan kaki-kakinya
melangkah panjang, ia seolah bergerak tak menentu di
kiri-kanan Tari. Tiba-tiba saja tangannya terulur cepat
bergantian. Hampir rambut Tari kena diraihnya. Tapi
kini Tari sudah bersiap, dan segenap indrianya matang
menghadapi serangan. Wajar saja ia merunduk, memu-
tar tubuh dan melompat ke kiri. Dua buah tendangan
beruntun dilancarkannya. Tidak sepenuh tenaga. Ling-
ga terkejut. Tapi dengan kaki-kakinya yang panjang ia
masih sanggup menghindar. Bahkan serangan balasan
pun dilancarkannya.
Betapa pun “genitnya” Wirada, ia adalah seorang
ksatria dan prajurit. Hatinya gembira melihat pertaru-
ngan sengit itu. Sambil terus menggenggam sebutir pe-
luru asap andalannya, ia melompat turun dari kuda,
menerjang Tari sambil berseru pada Lingga, “Minggir
dulu, Lingga!”
Dengan sukacita Lingga membanting diri ke kiri dan
menggelinding menjauh. Wirada sendiri tak segan-segan
melancarkan serangan sengit beruntun, mengurung Ta-
ri dari segenap penjuru dengan ancaman pukulan
maut.
Makin lama Wirada makin heran. Memang ia bukan-
nya jago Kuripan, tapi paling tidak di antara para ang-
katan muda ksatria Kuripan dia salah satu yang sangat
diandalkan. Tapi ini... melawan seorang gadis desa saja
napasnya sedemikian sesak? Tari tidak hanya meng-
hindar dan meloloskan diri dari kurungan ancaman se-
rangan Wirada, tetapi dengan dahsyat ia membalas.
Dan ia melakukannya dengan sepenuh hati. Segala ke-
marahannya yang tadi terpendam kini terlampiaskan
sepuas-puasnya.
Lingga yang sedang membantu Yoni berdiri sangat
terkejut melihat pertempuran itu.
“Hei, Yoni... kaulihat sesuatu yang aneh?” bisiknya
pada Yoni.
“Ya, bintang-bintang mengelilingi kepalaku,” kata
Yoni sambil memijit-mijit perutnya. “Dan... kau pakai
minyak apa, Lingga? Aku jadi ingin muntah....”
“Tolol, lihat sang Raden itu,” Lingga mengguncang
sahabatnya.
“Kenapa dia? Rupanya tetap sama, hanya sekarang
dikelilingi bintang-bintang dan aku kepingin muntah....”
“Jangan ngaco! Lihat, junjungan kita tak bisa menga-
lahkan gadis itu!”
“Salahnya sendiri, tenaganya sering dihamburkan-
nya di tempat Bibi Layarmega sih.”
Dengan gemas Lingga meremas kepala Yoni dan me-
mutarnya menghadap ke arah pertempuran yang se-
dang terjadi. “Lihat itu dan dengarkan baik-baik, Tolol.
Jangan bicara dulu. Lihat. Junjungan kita terdesak oleh
gadis itu. Sarika kini hanya bisa bertahan. Dan perta-
hanannya pun kedodoran. Kaulihat itu?”
“Lihat saja. Kaukira aku buta?”
“Bagus. Apa lagi yang kaulihat?”
“Sialan. Bagaimana sih cara gadis itu mengikat kain-
nya? Bahkan saat menendang tinggi pun kakinya masih
tertutup rapat!”
“Goblok. Lihat gerakan si gadis!”
“Mmmmm, sangat menggiurkan.... Heran, padahal ia
tak begitu cantik kan, Lingga?”
“Sekali lagi kau ngomong tak keruan, kusembelih
kau!” kata Lingga geram. “Kau lihat gerakan kaki dan
kepalan gadis itu. Aku seperti pernah melihatnya. Siapa
ya?”
“Hei, kau benar!” tiba-tiba Yoni betul-betul sadar. Ia
duduk tegak, matanya separuh dipicingkan memperha-
tikan setiap gerakan Tari. Lama ia merenung, sambil
memukul-mukul kepalanya. Lingga yang ikut terpesona
tak terasa ikut pula memukul-mukul kepala Yoni. Dan
Yoni tak merasakannya.
“Aku tahu!” tiba-tiba Yoni dan Lingga berseru bersa-
ma.
“APA?” tanya Yoni dan Lingga. Bersamaan.
“Kau dulu,” kata Lingga.
“Pada pesta bulan Cayitra...,” kata Yoni.
“Ada pertandingan kewiraan antara para ksatria Ku-
ripan—,” sahut Lingga.
“Dan hampir saja junjungan kita jadi juara,” kata
Yoni.
“Tapi Raden Sindura membikin kacau dengan maju
ke panggung...”
“Dan mengalahkan Raden Wirada...”
“Dengan gerakan yang mirip gerakan gadis itu!”
Kedua orang itu saling pandang. Kemudian mereka
mengamati lagi pertarungan antara Tari dan Wirada.
Kini jelas-jelas Wirada telah terdesak. Dan kini terlihat
gerakan Tari semakin mirip gerakan Ra Sindura. Ini bi-
sa berarti besar. Mungkinkah gadis itu satu perguruan
dengan Sindura? Bahkan, mungkinkah Sindura me-
mang menjebak mereka?
“Gunakan, Raden!” teriak Lingga tiba-tiba. Ia sudah
melihat dari tadi bahwa Wirada menggenggam sesuatu.
Ia memikirkan suatu peluru rahasia. Entah apa. Tapi
saat keadaan genting seperti itu mungkin sesuatu yang
sangat tidak terduga bisa menolong.
Wirada memikirkan hal yang sama. Tadi ia mencoba
terus bertahan diri hanya karena terdorong oleh rasa
ingin tahu yang amat sangat, di samping ia juga bisa
menikmati suatu pertarungan yang begitu menantang-
nya untuk mengerahkan segenap kebisaannya.
Teriakan Lingga membuat ia sadar. Pertarungan ini
bukan untuk dinikmati, tetapi untuk dimenangkan. Ji-
ka ia sampai jatuh, maka akibatnya akan sangat besar!
Diam-diam ia meremas peluru rahasianya, memutar
tubuh sambil menghindari serangan Tari, dan seraya
melecutkan tangan kanan sebagai suatu serangan, ta-
ngan kirinya menjentrikkan peluru yang telah diremas-
nya itu.
Sesungguhnya Tari sudah menduga bahwa lawannya
akan melontarkan serangan dengan senjata rahasia. Ia
pun sudah bersiap dan berwaspada. Jika peluru itu ber-
bentuk benda padat, mungkin bisa ditangkap atau di-
tangkisnya. Tetapi peluru itu menghambur langsung
mengepul menjadi asap biru yang langsung menyelimuti
dirinya. Tak sempat lagi Tari menutup pernapasannya.
Kakinya pun langsung terasa lemas. Kepalanya terasa
diliputi oleh rasa kantuk yang amat sangat. Jadi sebegi-
tu berat! Tiada rasa sakit. Malah terasa nyaman sekali.
Dan semua ototnya pun jadi kendur. Lemas. Dan ia ro-
boh.
Sesaat tempat itu sepi. Wirada berdiri terengah-
engah mengembalikan pernapasannya. Lingga berdiri di
belakang Yoni yang sedang akan bangkit berdiri. Semua
terpukau. Tubuh Tari tergeletak di depan mereka. Tidur
nyenyak.
“Wuala, walaaa hebat sekali peluru Raden ini.... Begi-
tu cespleng\ Lebih hebat dari yang dulu. Apakah ini cip-
taan Bibi Emban Layarmega yang terbaru?” tanya Ling-
ga, perlahan menghampiri Tari.
“Benar, Lingga, Bibi Emban menamakannya Butir
Asap Kunjana. Kau tahu... Bibi Emban membuatnya
karena sarika tahu kegemaranku. Peluru ini sesung-
guhnya untuk menidurkan gadis-gadis yang aku sukai
tetapi tak mau diajak kerja sama dengan baik. Sama
sekali tak kuduga bahwa peluru ini akan kugunakan
dalam pertempuran. Tetapi hasilnya cukup lumayan,
bukan? Kukira untuk kelak pun aku bisa mengguna-
kannya sebagai senjata rahasia. Bagaimana pendapat-
mu, Lingga?”
“Mungkin juga benar, Raden... agaknya Dewata me-
nuntun tangan Raden... tapi, maafkan hamba, ini me-
mang suatu kebetulan. Memang Bibi Emban Layarmega
menciptakannya untuk menaklukkan gadis. Bagaimana
kalau lawan Paduka seorang pria? Apakah masih tetap
ampuh?”
“Kau benar. Kita harus mencobanya,” kata Wirada
berpikir-pikir.
“Setuju, Raden... dan untuk mencobanya, jangan
tanggung-tanggung... cobakan saja pada pria yang tu-
buhnya besar luar biasa, jadi kita tahu kekuatan Butir
Asap Kunjana itu bagaimana. Nah, paling tepat, cobalah
pada Yoni ini, Raden!”
“E, e, e, Tunggu dulu!” susah payah Yoni berdiri.
“Tunggu dulu! Kita pikirkan hal lain yang lebih penting,
Raden. Soal mencoba sih gampang. Ini... mari kita urus
gadis ini dulu. Apakah kita biarkan tergeletak saja di si-
ni? Hamba usulkan, bawa saja ke rumah hamba. Biar
hamba urus. Kebetulan istri hamba yang cerewet itu se-
dang pergi ke Gaundang. Dengan anak-anaknya. Jadi
rumah hamba sepi, Raden.”
“Enak saja. Itu memang penting. Tapi tidak harus di
rumah Yoni. Hamba bisa jadi iri, lho. Disimpan di istana
Paduka juga tidak aman. Jika ramanda Paduka tahu,
wah, bisa-bisa Raden gigit jari. Dan ada hal yang lebih
penting... tidakkah Raden merasakan keanehan gera-
kan gadis ini?”
“Ya. Benar. Tapi aku masih belum menemukan kea-
nehan apa itu sebenarnya,” Raden Wirada berpikir-
pikir.
“Raden, kami berdua melihat jelas semua gerakan-
nya, dan kami berdua sependapat... gerakannya mirip
gerakan Raden Sindura!” kata Lingga.
“Apa?” Raden Wirada betul-betul terkejut. Diperhati-
kannya Tari. Kemudian ia saling pandang dengan kedua
pembantunya.
“Ya ampun. Benar juga!” bisiknya perlahan. “Lalu...
wah, ada hubungan apa antara gadis ini dengan Kakang
Sindura?”
3. EMBAN LAYARMEGA
LAMA juga ketiga orang itu saling pandang. Padang
rumput itu sunyi. Memang bukan waktunya orang be-
pergian. Lingga memecahkan kesunyian itu dengan ber-
tanya, “Berapa lama ia akan tidur?” sambil menoleh ke
arah Tari yang masih tergeletak.
Kini yang lain seakan baru teringat pada Tari. Tari
tergeletak. Setengah telentang. Dadanya membusung
menantang. Dan kainnya sedikit tersingkap memperli-
hatkan betis yang mulus dan halus. Namun entah ba-
gaimana Raden Wirada yang terkenal hidung belang itu
kini tak bernafsu lagi.
“Ada hubungan apa dia dengan Kakang Sindura?” ia
mengulangi pertanyaan tadi. Perlahan.
“Tadi sewaktu Raden Sindura melihatnya, ia tak me-
nunjukkan perasaan apa pun,” kata Yoni.
“Tapi Raden Sindura terkenal dengan pasukan pen-
damnya,” kata Lingga. “Mata-matanya tersebar di mana-
mana.”
“Sayang juga jika ia dibuang begitu saja,” sifat buruk
Raden Wirada agaknya kembali.
“Kembali ke pertanyaan tadi... berapa lama ia akan
tidur?” tanya Yoni.
“Maksudmu, mungkin Raden Wirada bisa mema-
kainya saat ia belum sadarkan diri?” tanya Lingga.
“Kalau sarika tidak mau, aku kan tidak menolak,”
kata Yoni tertawa terkikik.
“Dia akan tidur sampai sepemakanan sirih,” kata Wi-
rada sambil berpikir-pikir. “Setelah itu ia tak akan ber-
tenaga sampai sekitar semalaman. Kemudian seluruh
tenaganya akan pulih. Kalau kita akan menikmatinya,
mungkin sewaktu tenaganya belum pulih semua. Yang
jadi persoalan kini, siapa dia! Kalau dia, misalnya, sau-
dara seperguruan Kakang Sindura, maka kita akan
mendapat kesulitan. Walaupun dia kita lenyapkan,” Wi-
rada mengangguk ke arah Tari, “Toh tadi Kakang Sin-
dura melihatnya bersama kita.”
“Bingung, ya, Lingga?” tanya Yoni.
“Kau mungkin tidak. Aku jelas bingung,” kata Ling-
ga-
“Tapi Raden kita pasti tidak bingung,” kata Yoni me-
mandang pada Wirada.
“Jelas. Dia kan majikan. Majikan tidak boleh bingung
lho. Kalau tidak orang bisa jadi bingung. Yang mana
yang majikan yang mana yang pembantu,” kata Lingga.
“Kalau soal itu sih, jelas, aku tidak bingung,” kata
Yoni.
“Lalu yang kaubingungkan apa?” tanya Lingga.
“Kamu ini bingung apa? Tentang itu aku masih bi-
ngung!”
“Sudah. Jangan omong tak keruan. Bikin bingung
orang saja,” sungut Wirada. “Kita tak bisa membawanya
ke Tumenggungan. Pertama, Ramanda akan ribut. Ke-
dua, kemungkinan Kakang Sindura akan datang dan
mungkin akan curiga melihat gadis ini.”
“Jadiii...” Lingga dan Yoni berkata bersamaan.
“Kita bawa saja dia ke tempat Bibi Emban Layarme-
ga,” kata Wirada dengan gembira. “Pertama, Bibi Emban
selalu mencari orang baru bagi wisma-nya. Kedua, Bibi
Emban punya cukup ilmu untuk menjinakkan anak ini.
Ketiga, karena aku yang titip, maka aku akan mempero-
leh kesempatan utama dengan gadis ini. Keempat, siapa
pun dia, dengan garapan Bibi Emban maka Kakang
Sindura akan tak tertarik lagi pada gadis ini. Jadi kita
bebas!”
“Dengan kemungkinan kita mendapat imbalan dapat
menginap di sana tanpa bayar!” kata Lingga dengan ma-
ta bersinar-sinar.
“Ingat waktu dulu kita boleh menginap tanpa bayar?”
Yoni menggelengkan kepala. “Bibi Emban memberi kita
si Truni... wuah! Seminggu aku muntah-muntah terus!”
“Muntahmu kan memang karena rakus makan kela-
pa busuk!” tukas Lingga.
“Susahnya, hidangan yang ada hanya itu,” kata Yoni.
“Di situlah letak kerakusanmu, Kawan,” kata Lingga.
“Waktu itu aku juga dihidangi kelapa busuk... hhh...”
“Kautolak?” tanya Yoni.
“Tentu tidak. Aku minta lagi,” Lingga tertawa. “Lha
enak kok. Perkara muntah sih gampang... semua orang
juga pernah muntah, kan? Untuk apa dirisaukan amat
sih?”
“Ingin kubuat kalian berdua muntah-muntah semua.
Sekarang!” sungut Wirada. “Yoni!”
“Saya, Raden?”
“Iya. Kau harus muntah sekarang!” kata Lingga.
“Bukan, Tolol! Kau pergi ke arah utara. Sampai ti-
kungan itu. Cari pedati. Rampas! Ngerti?” kata Wirada.
“Jangan berbelas kasihan lagi. Kalau tidak boleh diram-
pas... ya beli saja. Nih uangnya!” Wirada melemparkan
sekantung uang pada Yoni. “Ayo cepat!”
“Ba... baik, Raden!” gugup Yoni melompat ke atas
kudanya dan berpacu pergi.
“Kau, Lingga. Kau naik ke atas bukit itu dan lihat ka-
lau ada yang datang. Jika kami siap berangkat, kau ce-
pat bergabung dengan kami, ya!”
Beberapa saat kemudian, sebuah pedati tua telah
berderak-derak ditarik seekor sapi menuju Kuripan. Yo-
ni duduk di tempat mengemudi. Di dalam pedati itu ter-
bujur Tari yang masih tertidur pulas. Yoni terus-
menerus mengeluh. Sapi itu malas berjalan. Sulit dike-
mudikan. Lingga sekali-sekali menggoda Yoni. Tetapi
sesungguhnya matanya terus mengawasi kiri-kanan.
Mereka memasuki kota menjelang sore. Dan Wirada
langsung membawa pedati itu ke tempat Emban Layar-
mega. Lewat belakang.
Kebanyakan orang-orang lewat pintu belakang jika
datang ke tempat Emban Layarmega. Tempat Emban
Layarmega adalah rumah hiburan bagi para lelaki iseng.
Rumah hiburan ini begitu terkenal hingga sering juga
para pejabat atau saudagar Wilwatikta datang kemari.
Dan tempat ini langganan Wirada.
Beberapa orang wanita menyambut kedatangan Wi-
rada dan kawan-kawannya di halaman depan.
“Aduuuh, sudah lama tidak kemari, Raden... hamba
semua jadi sangat rindu. Aduh, nanti biar hamba yang
meladeni Raden, ya.”
“Aku ingin bertemu dengan Bibi Layarmega sendiri,”
kata Wirada.
“Bibi Emban sedang istirahat, Raden... aku saja ya
yang melayani? Kan Bibi Emban sudah tua, apa enak-
nya?!” Seorang wanita bertubuh kecil mungil mera-
patkan tubuhnya pada kaki Wirada yang belum turun
dari kudanya.
“Ha, kau agaknya orang baru ya di sini,” kata Lingga.
“Belum tahu gaya permainan Bibi Layarmega? Biar
tua... tarikannya! Kalian orang baru tak ada seujung
kukunya!”
“Idiiiih, coba dulu baru ngoceh, Kang!” si wanita ber-
kata genit.
“Kalau coba sih boleh-boleh saja... asal cuma-cuma
lho. Sekarang?” tanya Yoni dari atas pedatinya.
“Idiiiiih, enak saja. Ayahku bilang, aku tak boleh
main-main dengan tukang pedati... bau sapi, lho, bau
sapiiiii!” wanita itu makin genit melenggak-lenggokkan
tubuhnya. Wanita-wanita lainnya tertawa-tawa bermain
dengan kaki Wirada dan Lingga.
“Siapa namamu?” tanya Wirada.
“Menir Dadu.” Si wanita menggoyang-goyangkan ke-
palanya seperti menari. “Hamba yang melayani Paduka,
ya?”
“Dengar baik-baik. Kaupanggil Bibi Emban Layarme-
ga sekarang juga. Dengar? Sekarang! Minta temui aku
di halaman dalam.”
“Idiiih, Raden. Bibi Emban sedang beristirahat... bi-
sa-bisa dipenggal kepalaku membangunkan sarika.”
“Bilang yang memanggilnya adalah Raden Wirada.
Bisa tamat riwayatmu di sini jika kau tidak melakukan
perintahku ini, tahu? Ayo, sudah. Yang lain bubar!”
Suara Wirada memang cukup berwibawa. Wanita-
wanita penghibur itu segera berhamburan masuk kem-
bali.
Wirada memberi isyarat untuk membawa pedatinya
masuk ke halaman dalam. “Rumah” Emban Layarmega
bertingkat dua, dan membentuk bangunan seperti em-
pat persegi panjang mengelilingi sebuah halaman da-
lam. Di halaman dalam yang luas ini terdapat semacam
taman yang penuh dengan bunga dan pepohonan. Se-
buah kolam dengan air mancur membuat taman tadi
semakin asri. Semerbak harum bunga dan gemericik
desir air mancur sungguh menyejukkan hati.
Wirada turun dari kudanya, dan membasuh muka di
air mancur tadi. Menghela napas panjang ia duduk di
salah satu batu hias. Yoni dan Lingga tahu gelagat. Jika
majikan mereka termenung-menung seperti itu lebih
baik tidak bersuara.
Bau wangi yang menusuk hidung mengawali mun-
culnya seorang wanita setengah umur yang melangkah
agung masuk ke dalam taman itu lewat tangga dari lan-
tai dua. Bau harum ini agaknya tidak cukup untuk
membangunkan Wirada dari lamunannya. Si wanita
tersenyum dan berdiri di samping Wirada, bermain-
main dengan sekuntum bunga.
“Apakah taman ini begitu jauh lebih indah dari ta-
man di Tumenggungan hingga Raden begitu keseng-
sem?” tanya si wanita.
Wirada tergagap dan langsung berdiri. Kini Emban
Layarmega mundur selangkah dan menghaturkan sem-
bah.
“Bibi, aku mohon pertolonganmu,” kata Wirada.
“Kapan Paduka tidak minta pertolongan pada ham-
ba, Raden?” Emban Layarmega tersenyum. Walaupun
sudah setengah umur wanita ini masih tampak cantik.
“Kali ini sangat penting,” Wirada berjalan beberapa
langkah dan duduk di cabang rendah sebatang pohon
bunga. “Dan ada pula sangkut-pautnya denganmu.”
“Wah. Ada apa itu gerangan?”
“Bibi tahu, Bibi telah memberiku beberapa butir
Asap Kunjana.”
“Ah, memang Paduka saja yang hamba sayangi dari
semua langganan hamba, Raden. Sungguh. Hanya sa-
tu,” Emban Layarmega tersenyum.
“Aku berterima kasih, Bibi. Persoalannya kini... aku
tertarik pada seorang gadis, dan ternyata gadis itu
sungguh tangguh dalam ulah kewiraan. Aku berhasil
menjatuhkannya dengan Asap Kunjana.”
“Lalu?”
“Lalu... banyak persoalan. Pertama, bagaimana kalau
si gadis nanti sadar... dia pasti mengamuk. Dia begitu
tangguh.”
“Mudah,” kata Bibi Layarmega.
“Kemudian, kalau aku sudah bosan padanya, ku-
buang ke mana....”
“Jika dia sangat cantik, berikan padaku.” Emban
Layarmega mengangguk.
“Ketiga, gadis itu ada sangkut pautnya dengan Ka-
kang Sindura.”
Beberapa saat keduanya terdiam.
“Tapi Raden tidak yakin Raden Sindura mengenal-
nya?” Emban Layarmega menebak.
“Memang. Tapi bisa juga ia berpura-pura. Mereka
bertemu. Dan Kakang Sindura lama memandangnya.”
“Jadi maksud Raden... aku harus menyembunyikan-
nya sampai nanti Raden bosan padanya... lalu mungkin
melenyapkannya atau menawarkannya pada siapa pun
dengan syarat Raden Sindura tak bisa mengenalinya,
atau...” mata Layarmega bersinar, "... dia tidak menge-
nal Raden Sindura.”
“Tepat sekali, Bibi. Hanya, kalau bisa jangan dile-
nyapkan, atau jangan dijajakan di tempat lain. Aku
akan lama sekali menyukainya.”
“Ah, kalau begitu pastilah orang ini istimewa sekali.
Dan itu berarti usahaku tak akan merugi karena menja-
jakannya bukan, Raden?”
“Aku akan cemburu setengah mati, tapi aku rasa itu
imbalan yang pantas untuk usaha Bibi.”
“Terima kasih, Raden. Rencana Bibi adalah... Bibi
punya ramuan untuk menghilangkan ilmu seseorang.
Sayangnya ilmu itu tak bisa dilenyapkan sama sekali
dan seterusnya, hanya sementara. Tapi itu kurasa cu-
kup untuk mengikat dewi pujaan Raden itu. Kemudian,
kuberi ia ramuan pelupa, hingga ia akan lupa akan se-
gala kisah hidupnya selama ini. Ia bahkan takkan me-
ngenal Raden lagi.”
“Itu lebih baik, Bibi, tapi jangan hilangkan apinya,
ya,” kini mata Wirada yang bersinar-sinar.
“Tentu, tentu, Bibi kan tahu selera Raden.... Nah, bo-
leh aku melihat permata hati Raden ini?”
“Silakan, Bibi,” Wirada mendahului Emban Layarme-
ga, menuju ke pedati. Lingga dan Yoni nyengir-nyengir
ketika Emban Layarmega lewat di dekat mereka. Emban
Layarmega menghadiahi mereka dengan belaian di
janggut mereka, yang membuat kedua orang itu sema-
kin salah tingkah.
Wirada membuka kain tutup belakang pedati. Em-
ban Layarmega menjenguk ke dalam, dan terlihat rasa
terpesonanya.
“Wah, Raden, di mana Raden peroleh gadis ini?” ta-
nyanya dengan suara sedikit gemetar.
“Ia mengaku bernama Turi, dari Ara Plasa. Kenapa?”
“Raden, hamba tahu benar ciri-ciri wanita... dan ga-
dis ini... dia memiliki ciri-ciri yang sangat khas! Ciri-
cirinya hampir mendekati ciri-ciri seorang Stri Arda-
nareswari.” Dengan agak gemetar Emban Layarmega
mengambil tangan Tari yang lemas itu dan memperha-
tikan garis-garis di telapak tangannya. Lama ia mere-
nungi telapak tangan itu, memberi isyarat agar Wirada
diam. Kemudian ia menggelengkan kepala. “Sayang se-
kali. Garis kehidupannya menunjukkan banyak halan-
gan baginya untuk memenuhi persyaratan hingga ia
menjadi wanita utama sepenuhnya.”
“Berarti... campur tanganku pada perjalanan hidup-
nya kemungkinan sudah dikehendaki Dewata?” tanya
Wirada.
“Memang mungkin.”
Wirada ingin bicara lagi. Tetapi Emban Layarmega
agaknya sedang berpikir dalam. Jadi ia ikut diam.
“Begini saja, Raden. Paduka istirahat dulu... di Tu-
menggungan atau di sini, silakan. Sementara itu hamba
akan menyiapkan gadis ini untuk Paduka,” akhirnya
Emban Layarmega berkata.
“Itu pun baik, Bibi. Aku sungguh lelah bertarung de-
ngannya tadi. Kalau begitu, aku akan pulang saja. Nanti
malam aku akan kemari untuk menjenguknya. Ingat,
jangan berikan dia pada orang lain sebelum aku bosan,
lho! Ayo, Lingga... Yoni...”
Wirada segera melangkah pergi. Emban Layarmega
minggir dan membungkuk menyembah.
“Wah, cuma begitu saja?” keluh Yoni.
“Kalau mau tambah gebukan sih, tinggal saja terus
di sini,” Lingga bergegas mengejar Wirada.
Tempat itu sepi kini. Jika Emban Layarmega berada
di luar, maka anak buahnya tak ada yang berani me-
nampakkan diri atau bersuara, jika belum ada perintah
untuk itu. Kemudian Emban Layarmega bertepuk em-
pat kali.
Seorang lelaki tinggi besar dengan dada bidang lebat
dengan rambut muncul, menundukkan kepala rendah-
rendah memberi sembah.
“Bima, bawa orang yang ada di dalam pedati itu ke
Ruang Hening,” perintah Emban Layarmega. “Kemudian
kaukirim kabar ke Selampang bahwa aku minta perte-
muan dengan junjunganmu Putri Sepuh.”
“Baik, Junjungan,” sembah Bima, sekali lagi mem-
bungkuk dan mengambil Tari.
Ruang Hening adalah sebuah ruang khusus. Di su-
dut rumah Emban Layarmega itu terdapat semacam
menara. Di sinilah Emban Layarmega biasa bersemadi.
Atau menerima tetamu khusus. Dan... yang tak pernah
diperhatikan orang biasa: dari Ruang Hening ini terda-
pat lorong pandangan yang bebas ke arah istana Kuri-
pan. Di menara kecil ini terdapat beberapa mangan.
Yang sesungguhnya bernama Ruang Hening berukuran
luas. Lantainya ditutupi permadani tebal. Dindingnya
dari kayu berukir dan berhias tirai-tirai kain tenun.
Tari dibaringkan di tengah mangan. Masih tertidur
nyenyak. Emban Layarmega duduk di sampingnya. Me-
renunginya.
Seakan tak berpikir, tangannya membelai anak ram-
but di dahi Tari. Dan ia menghela napas lagi.
“Nasibmu sungguh tak beruntung,” Emban Layar-
mega berkata pada dirinya sendiri. “Kau juga harus me-
ngalah pada junjunganku. Tidak boleh ada Stri Arda-
nareswari lain kecuali sarika. Mungkin benar kata Wi-
rada. Kau digariskan Dewata untuk jatuh ke tangannya.
Dan batallah kau jadi wanita utama. Lagi pula... jika
kau benar satu ilmu dengan Sindura, jelas kau hams
jadi musuh kami. Jadi, aku takkan menyesal.”
Emban Layarmega berdiri. Masuk ke mang sebelah.
Di situ terdapat rak-rak dan laci-laci. Penuh ramuan
dan racikan obat-obatan. Diambilnya beberapa bungkus
dan ia pergi ke mangan lain lagi.
Semua dikerjakannya sendiri. Menyulut api. Mengge-
rus. Meracik. Mengaduk. Di luar sudah gelap saat ak-
hirnya Emban Layarmega kembali ke ruangan tempat
Tari menggeletak. Ditamhnya dua mangkuk ramuan
dekat kepala Tari.
“Nah, minumlah ini,” Emban Layarmega mengangkat
kepala Tari dan memaksanya minum dari mangkuk per-
tama. Bagai orang mimpi Tari minum cairan tersebut.
Sampai habis.
“Ah, kau memang anak baik. Bagus, bagus. Jika kau
bangun nanti mungkin kepalamu sedikit pusing. Yang
jelas kau takkan bisa lagi sembarangan memukul
orang, ya!” diusapnya sebagian cairan yang tertumpah
di bibir Tari. “Dan kini, minum yang ini...”
Kembali ia mengangkat kepala Tari dan meminum-
kan cairan yang kedua. “Ini akan membuatmu lupa...
juga pada namamu sendiri. Nah, ayo, minumlah....” Se-
perti tadi, dengan mudah Layarmega menuangkan cai-
ran tadi ke mulut Tari. Tari meminumnya.
“Nah, sekarang tidurlah, anak manis. Malam nanti
kau harus bertugas.” Emban Layarmega berdiri, meng-
usap keringat dan keluar.
Di tangga menuju ruang bawah ia tertegun. Terde-
ngar suara seseorang yang sangat dikenalnya. Sindura.
Sindura seorang pemuda yang sangat disegani di Ku-
ripan. Sebagai putra Rakryan Rangga, maka ia sangat
berpengaruh—lagi pula namanya tak pernah tercemar,
tidak seperti Wirada yang sudah dikenal sebagai hidung
belang kelas berat. Jika orang melihat Sindura masuk
ke tempat Emban Layarmega, tak ada yang menduga
buruk. Ke mana pun Sindura pergi selalu untuk kepen-
tingan negara. Dan ini sungguh membuat Emban La-
yarmega benci pada pemuda itu.
Ia menggamit seorang pelayan yang kebetulan lewat.
“Ada apa di luar sana? Kok ada suaranya Raden Sin-
dura?” tanya Emban layarmega.
“Benar, Junjungan,” kata pelayan itu. “Tuanku Ra-
den Sindura ingin bertemu dengan Paduka. Tapi dita-
han oleh Sang Bima.”
“Hm. Bilang pada Sang Bima aku akan menemui Ra-
den Sindura sendiri di Ruang Biru. Sementara itu, min-
ta agar Sang Raden menunggu sebab aku akan mem-
bersihkan diri lebih dahulu. Mengerti?”
“Baik, Junjungan.”
Pelayan itu pergi.
Perlahan Emban Layarmega berjalan ke kamar pri-
badinya. Mengapa Sindura mengunjunginya?
4. RA SINDURA
KEHADIRAN Ra Sindura membuat suasana ruang teri-
ma tamu tempat itu agak sepi. Beberapa orang pria
memilih lebih baik langsung saja membawa pasangan
pilihannya ke ruang-ruang dalam. Beberapa orang ka-
sar mencoba sok aksi, ribut-ribut seolah tak meman-
dang sebelah mata pun pada Ra Sindura. Namun saat
Ra Sindura memandang dengan kedua belah matanya
pada mereka, maka mereka langsung mengkeret. Ada
seorang pedagang dari luar daerah yang mungkin belum
kenal Ra Sindura. Ketika dirasakannya kawan wanita-
nya agak kurang bebas melayaninya dan ia tahu ini ka-
rena kehadiran Ra Sindura, ia langsung mendekati pe-
muda itu.
“Hei, kau suami perempuan di sana itu? Kalau iya,
jangan ganggu dia, huh? Dia kan sedang cari duit. Dan
dia cari duit karena kau terlalu nggak punya otak untuk
cari duit sendiri? Atau kau memang tak punya daya un-
tuk bekerja, huh? Hei, jangan diam saja... kau ingin ku-
lempar ke luar? Kau mengganggu seleraku saja!”
Ra Sindura diam saja. Matanya yang cemerlang saja
yang menatap tajam pada orang itu. Beberapa lama
orang itu salah tingkah. Mau bicara kasar, pandang ma-
ta itu begitu menusuk. Mau bertindak kasar, ia tidak
yakin dapat mengalahkan si pemuda. Akhirnya dengan
tertawa tak punya arti ia meninggalkan Ra Sindura.
Bima memperhatikan itu semua dari balik ambang
pintu dalam. Tak terbayang perasaan hatinya. Tapi se-
saat matanya bersinar. Dan ia bergerak sedikit untuk
memelintir kumisnya yang sebesar tinju. Ia mengagumi
pemuda pendiam itu.
Beberapa wanita mencoba menarik perhatian si pe-
muda. Ada yang mungkin belum tahu dan dijebak oleh
kawan-kawannya untuk mendekati Sindura. Ada yang
sudah tahu dan ingin menggoda saja. Golongan ini tahu
bahwa Ra Sindura bertabiat aneh—ia tak pernah berla-
ku kasar pada wanita mana pun. Pernah seorang pen-
curi yang berhasil masuk ke istana tersudut ketika di-
kejar oleh Sindura. Dengan putus asa istri si pencuri
kemudian memohon agar Sindura memberi kelonggaran
pada suaminya. Sindura melepaskan si pencuri—paling
tidak memberinya waktu sehari semalam untuk melari-
kan diri darinya. Sang pencuri tahu diri. Ia memilih me-
nyerah saja. Ia tahu, jika Sindura berniat untuk me-
nangkap seseorang, maka tak ada yang bisa menghen-
tikannya. Lari ke Tumasik pun dikejarnya.
Dari balik pintu itu Bima melihat seorang pelayan
menaruh guci arak baru di depan Sindura. Ini kelema-
han Sindura. Ia sangat suka arak. Tapi ini juga kelebi-
hannya. Belum pernah terdengar cerita Sindura mabuk.
Tingkahnya selalu mantap dan tepat. Bicaranya selalu
teratur. Tak peduli betapa banyak arak direguknya.
Bima juga mengagumi sifat itu. Suatu angin harum
membuat Bima berhenti memperhatikan Sindura. Tan-
pa menoleh pun Bima tahu. Emban Layarmega. Bima
menoleh. Emban Layarmega sedang menuruni tangga
kiri. Diiringi dua orang pelayan. Menyapa tetamunya ki-
ri-kanan. Bima dari kejauhan membungkuk memberi
hormat. Emban Layarmega memberinya isyarat agar
mendekat.
“Apa yang ditanyakannya?” bisik Emban Layarmega.
“Dia tidak bertanya apa-apa, Junjungan,” bisik Bima
pula. “Sarika hanya ingin bertemu dengan Junjungan.
Tapi mata sarika begitu tajam. Dan bisa bertanya tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, serta memperoleh ja-
waban sebanyak-banyaknya.”
“Berita untuk Putri Sepuh sudah disampaikan?”
“Sudah. Berita dari sana... Putri Sepuh mungkin a-
kan berkunjung kemari.”
“Hm.” Ini berita baru. Kunjungan Putri Sepuh selalu
menuntut sesuatu. Darinya. Atau dari orang lain. Ia ha-
rus mempersiapkan diri.
“Kau sudah bersiap-siap untuk itu?”
“Sudah, Junjungan, seperti biasanya?”
“Seperti biasanya,” Emban Layarmega berpikir seje-
nak. “Mungkin kau harus menjauh jika Putri Sepuh
ada. Kau dan Putri Sepuh tak pernah sepakat dalam hal
apa pun.”
“Maafkan seleraku. Tak pernah sesuai dengan selera
Putri Sepuh.” Bima yang tinggi besar itu menunduk
kemalu-maluan.
“Kuharap sekali waktu kau akan mengalah padanya.
Kau tahu, akulah yang harus repot jika kau bersiteguh
menolak kemauannya.” Emban Layarmega tersenyum
pahit. “Iringi aku menemui Ra Sindura. Pelayan, kau-
siapkan Ruang Biru.”
Seperti layaknya, Emban Layarmega bersimpuh di
hadapan Ra Sindura, menghaturkan sembah. Di bela-
kangnya Bima telah duduk bersila.
“Tak usah terlalu banyak peradatan, Bibi,” kata Ra
Sindura. “Tak banyak yang bisa kauperoleh dengan ber-
sikap terlalu hormat padaku.”
“Hamba mengerti, Raden, karena itulah sembah
hormat hamba tulus dari hati. Terus terang, tak banyak
pejabat kerajaan yang benar-benar hamba hormati,” ka-
ta Emban Layarmega.
“Mudah-mudahan dalam hal lain pun kau berterus
terang, Bibi.” Sindura berdiri. “Di mana kau akan meng-
ajakku berbicara?”
“Mari hamba antarkan, Raden.”
Ruang Biru adalah ruang yang sangat khusus. Me-
nurut desas-desus bahkan sang Mahapatih Gajahmada
pernah dihibur di ruang ini. Tentunya oleh Nenek Em-
ban Layarmega. Emban Layarmega sendiri pastilah be-
lum lahir saat itu.
Ruang Biru. Indahnya menyamai keindahan ruang
istana. Namun Bima melihat bahwa keindahan ini ma-
lah membuat Ra Sindura seakan muak. Ia duduk see-
naknya, di kepala ukiran naga yang menghias empat
tiang utama ruang itu. Emban Layarmega duduk di de-
pannya.
“Bibi, kedatanganku kemari untuk memberi peringa-
tan,” kata Ra Sindura tanpa basa-basi lagi. “Keamanan
anggota keluarga kerajaan sedang terancam. Ada seke-
lompok manusia yang tak tahu budi telah bergerak un-
tuk membunuh anggota keluarga kerajaan itu. Kami
bukannya takut. Dan kami yakin mereka akan segera
ditumpas. Kemudian... ada desas-desus bahwa kelom-
pok Dharmaputra bergerak lagi menggunakan keadaan
ini.” Tampak sekali Ra Sindura sangat membenci ke-
lompok ini. Ia bahkan harus meneguk araknya, seolah
untuk mencuci bekas kata itu di mulutnya. “Manusia-
manusia kotor itu sekali waktu akan kami tumpas. Dan
waktunya sudah sangat dekat. Percayalah.”
Mungkin Ra Sindura tak begitu yakin akan apa yang
dikatakannya. Ia berdiri dan pergi ke jendela. Di luar
malam hitam. Kotaraja Kuripan tidak begitu gemerlap
seperti Wilwatikta. Tapi anginnya sangat segar. Kembali
Ra Sindura mereguk araknya.
Memang sesungguhnya ia tak begitu yakin bisa me-
numpas kelompok Dharmaputra secara cepat. Ini ada-
lah kelompok orang-orang yang merasa sakit hati terha-
dap keluarga istana. Dan karena sakit hatinya sakit hati
pribadi, maka intinya adalah bahkan orang-orang yang
sangat dekat dengan kalangan yang berkuasa. Sulit un-
tuk diselidiki. Mereka begitu pandai menutup diri. Sulit
untuk ditindak. Banyak di antara mereka punya kedu-
dukan sangat tinggi. Hampir semua keluarga dekat sen-
diri.
Lebih mudah menghadapi gerakan yang benar-benar
datang dari luar. Seperti yang didesas-desuskan orang
tentang Dewi Candika ini.
Tiba-tiba Ra Sindura berpaling. Begitu cepat hingga
masih sempat menangkap mata Emban Layarmega
yang tertuju padanya. Masih sempat menangkap baya-
ngan senyum di wajah wanita itu.
“Apa yang kau pikirkan, Bibi, aku tidak tahu. Tapi
terimalah peringatanku ini. Dengarlah baik-baik. Ja-
ngan sampai aku melihat tanda-tanda bahwa kau, atau
orang-orangmu, siapa saja, tidak setia pada Wilwatikta.
Aku tak perlu bukti. Yang kuperlukan adalah perasaan
hatiku. Aku akan berusaha menimbang seadil mungkin.
Timbangan itu sangat peka. Sedikit saja terguncang,
penilaianku padamu bisa berubah. Dan aku tak segan-
segan menyuruh tutup usahamu yang turun-temurun
ini. Kaucamkan itu?”
“Hamba mengerti, Raden,” sembah Layarmega, me-
nunduk dan berharap pemuda bermata tajam itu tak
bisa menangkap apa yang dipikirkannya tadi. Seperti
kata Bima, Sindura tak usah bertanya. Dengan ma-
tanya ia bisa memperoleh jawaban sebanyak-banyak-
nya.
“Kuharap begitu,” kata Sindura. “Anggap saja ini per-
ingatan terakhir. Jika kau ingin berada di pihak lawan
Wilwatikta, lakukan. Tapi lakukan sebaik-baiknya, agar
kau tidak hancur secara konyol. Yang kedua, tempatmu
ini sering dikunjungi orang. Terutama orang luar dae-
rah. Terutama orang asing. Tunjukkan kesetiaanmu de-
ngan melaporkan hal-hal yang kauanggap perlu kaula-
porkan. Tanpa harus kukatakan, kau pasti tahu, beta-
papun ketatnya kau memilih pengikutmu, salah satu di
antara mereka adalah orangku. Jadi, hati-hatilah.”
“Baik, Raden,” Emban Layarmega berdatang sembah
lagi.
“Ada lagi. Adik Wirada tadi datang kemari membawa
seorang wanita. Siapa dia? Dan di mana dia sekarang?”
Pertanyaan ini sudah diharapkan Emban Layarmega
dari tadi. Tak urung terkejut juga ia oleh pertanyaan
yang begitu menusuk itu. Namun ia tak menyembunyi-
kan rasa terkejutnya.
“Raden, sulit hamba menyawab pertanyaan ini tanpa
menyalahi janji hamba pada Raden Wirada,” kata Em-
ban Layarmega.
“Katakan saja. Aku yang bertanggung jawab pada
Adinda Wirada.”
“Baik, Raden. Sesungguhnya hamba tak mau mem-
buka rahasia langganan hamba... tapi Raden begitu me-
maksa,” Emban Layarmega menunduk. “Gadis itu tadi
ditemukan oleh Raden Wirada di pasar. Raden tahu
sendiri sifat Raden Wirada. Sarika senang pada si gadis
dan akan diminta langsung ke orang tua si gadis di Ara
Plasa. Tetapi di Bulak Amba si gadis kambuh penyakit-
nya. Penyakit ayan,” Emban Layarmega menghela napas
panjang. “Mungkin karena tahu dirinya berpenyakit
yang begitu berbahaya itulah maka tadinya si gadis be-
gitu mudah menerima penawaran Raden Wirada. Raden
Wirada begitu ketakutan, ia kemudian membawa si ga-
dis kemari. Memang hamba bisa mengobati untuk se-
mentara, Raden. Dan memang... sesungguhnya ada
maksud hamba untuk mengambil gadis itu sebagai
anak buah hamba... rupanya memang lumayan. Tapi
melihat penyakitnya yang kambuhan, dan juga berke-
naan dengan peringatan Raden tadi... entahlah. Nanti
akan hamba tanyakan pada si gadis jika ia telah sadar-
kan diri.”
“Sekarang ia tak sadarkan diri?” Sindura mereguk
araknya banyak-banyak.
“Benar. Raden sudi memeriksanya?” Emban Layar-
mega berjudi dengan nasib. Mungkin karena ditantang
begitu maka Raden Sindura tak mau memeriksanya.
Mungkin juga mau. Keuntungannya hanyalah, ia mung-
kin bisa memberi kesan bahwa ia benar-benar terbuka.
“Baik. Mana dia. Mari kulihat,” di luar dugaan Raden
Sindura langsung berdiri dan pergi ke pintu. Sesaat Bi-
ma berpandangan dengan Emban Layarmega. Tapi Em-
ban Layarmega mengangguk. Ia yakin akan kekuatan
ramuannya.
Keyakinan Emban Layarmega beralasan. Tari telah
bangun. Tapi ia tampak begitu lemah. Dengan kekua-
tannya yang masih ada ia telah berhasil menarik dirinya
hingga berhasil bersandar ke dinding. Ketika Ra Sindu-
ra dan Emban Layarmega masuk, ia mengawasi dengan
pandang mata curiga.
“Tantri?” bisik Tari lemah.
Kini Emban Layarmega terkejut. Gadis itu mengu-
capkan sebuah nama. Entah nama siapa. Tapi itu be-
rarti ia ingat sesuatu. Sedang menurut aturan, seha-
rusnya ia lupa segala-galanya.
Yang terjadi sesungguhnya di luar dugaan Emban
Layarmega yang paling berani. Ia tentunya tidak tahu
bahwa pada diri Tari telah tertanamkan ilmu Coban Sa-
leksa. Dalam keadaan tak sadar, ternyata ilmu itu ma-
sih bekerja. Seperti juga ilmu tersebut sanggup men-
dengar suara selembut apa pun di antara bahana keri-
butan, ilmu itu walaupun melemah menganggap rasa
kantuk akibat Asap Kunjana sebagai tabir yang harus
ditembus. Sementara tubuhnya melemas, indria pen-
dengaran Tari tetap berontak melawan pengaruh rasa
kantuk. Dan sebagian percakapan pun direkam oleh
otaknya. Dalam keadaan tubuhnya tak sadar, otaknya
masih bisa dikuasainya. Dan dengan ilmu Coban Sa-
leksa itu pula ia mencoba melindungi otaknya dari se-
rangan ramuan obat yang kemudian diminumkan Em-
ban Layarmega. Namun karena ilmu itu baru saja di-
perolehnya, dan juga karena penggunaannya kurang te-
pat, maka hasilnya tidak terlalu tepat. Beberapa saat
tubuhnya berhasil melawan kerja ramuan Emban La-
yarmega. Ia bahkan masih berhasil menyuruh tangan-
nya untuk mengambil sebutir obat pemunah racun dari
kantung rahasianya. Tapi seterusnya susunan perta-
hanan dirinya runtuh.
Tari masih sangat beruntung. Dengan pertahanan
awal yang dibangun oleh Coban Saleksa maka tidak se-
lamanya otaknya dipengaruhi oleh kelupaan seperti
yang dimaksud oleh Emban Layarmega. Ingatannya
memang terhapus. Tapi untuk sementara. Dan kata te-
rakhir yang teringat olehnya adalah nama anak yang
begitu berkesan itu: Tantri.
“Oh, kau sudah sadar,” Emban Layarmega menente-
ramkan dirinya. Mungkin anak ini anak istimewa yang
tak mempan ramuannya. Mungkinkah ini karena dia
betul-betul satu ilmu dengan Sindura? Dan apakah Sin-
dura akan mengenalnya? Atau inikah salah seorang ma-
ta-matanya? Sungguh berbahaya!
“Siapa namamu?” tanya Sindura mengernyitkan ke-
ning. Di mata Emban Layarmega pemuda itu sungguh
kebingungan. Apakah karena ia heran akan keadaan
anak buahnya itu, ataukah ia memang sama sekali ti-
dak kenal?
“Tan... tan...” Tari megap-megap. Itu yang terakhir
diingatnya. Ia tadi berkata apa?
“Kau bilang Tantri’. Itu namamu?” Sindura semakin
mengernyitkan kening. Dan kini Emban Layarmega ya-
kin bahwa Sindura memang tidak kenal pada gadis itu.
Dan agaknya gadis itu pun mulai kehilangan ingatan-
nya!
“Aku... aku tak tahu,” kata Tari lemah. “Aku... aku
sakit sekali....”
Sindura tiba-tiba memegang tangan Tari. Menggeng-
gam telapak tangan gadis itu seolah akan menghan-
gatkannya. Kemudian ia memeriksa detak nadi di tan-
gan Tari. Kembali terlihat rasa bingung yang sangat di
wajahnya.
“Betulkah Adik Wirada menemukannya di pasar? Be-
tulkah ia anak Ara Plasa?” tiba-tiba Sindura berpaling
pada Emban Layarmega.
“Maafkan hamba, Raden, itulah yang hamba dapat
dari Raden Wirada,” Emban Layarmega memperlihatkan
wajah ketakutan.
Tiba-tiba saja tangan kiri Sindura bergerak meleng-
kung menghantam muka Tari. Emban Layarmega terke-
jut menjerit. Tetapi ternyata gerakan tadi hanyalah ge-
rakan tipuan yang sudah sangat diperhitungkan Sindu-
ra. Gerakannya adalah gerakan pukulan maut. Jika se-
seorang belum tahu kedalaman ilmu Sindura, pastilah
mengira gerakan itu betul-betul untuk membunuh, se-
bab jika pun dilakukan orang lain untuk memancing
maka dengan kepandaian rendah pukulan tak bisa di-
hentikan seketika hingga sasarannya pasti terkena.
Itu tadi adalah salah satu pukulan Bantala Liwung
yang paling keji. Jika Tari seorang yang berilmu, pasti-
lah akan membuat gerakan menangkis atau membela
diri. Dan gerakan itu akan timbul murni hingga akan
terlihat asal ilmu si gadis. Dengan lega Emban Layar-
mega melihat sedikit pun gadis itu tak bergerak. Me-
ngedipkan mata pun tidak saat Sindura menghentikan
tinjunya begitu rapat di dahi si gadis. Ilmuku telah be-
kerja padanya, pikir Emban Layarmega lega.
“Waduh, Raden, jangan paksa dia mengaku dengan
kekerasan,” kata Emban Layarmega dengan nada lega
yang murni. “Bisa makin rusak jiwanya.”
Ra Sindura berdiri. Memperhatikan Tari dari jarak
beberapa langkah.
“Aku titipkan dia padamu, Bibi,” kata Sindura ke-
mudian tegas. “Ada hal sangat penting yang ingin kuta-
nyakan padanya jika ia sudah bisa menjawab dengan
baik. Jika terjadi apa-apa padanya, kucatat kau sebagai
yang bertanggung jawab. Bahkan Adik Wirada pun sa-
ma sekali tak boleh menyentuhnya. Mengerti?” Sindura
melepaskan salah satu kalung jabatan yang tergantung
di lehernya dan melemparkannya pada Tari. Kalung
yang terbuat dari untaian manik-manik kayu Dewa itu
dengan tepat jatuh melingkari leher Tari. “Siapa pun
yang membuka kalung itu, akan harus berurusan den-
ganku.”
Tanpa berkata apa pun lagi Sindura bergegas turun
tangga.
“Radeeen,” panggil Emban Layarmega. Tetapi Sindu-
ra tak memperhatikannya. Ia telah berada di tangga
yang menuju ke lantai terbawah. Bima yang berdiri di
kaki tangga di lantai kedua menengadah memandang
pada Emban Layarmega, menunggu perintah.
Beberapa saat Emban Layarmega berpikir. Kemudian
ia menggelengkan kepala, menuruni tangga.
“Ada sesuatu yang keliru... tapi aku tak tahu apa. Ti-
ba-tiba saja dia pergi dan merasa pasti bahwa gadis itu
harus dilindungi. Tidak, dia tidak kenal gadis itu, dan
sebaliknya. Tapi ada sesuatu yang keliru...,” bisik Em-
ban Layarmega pada Bima, namun seolah pada dirinya
sendiri.
“Apakah hamba harus mengikutinya?” tanya Bima,
memiringkan kepala untuk mendengarkan sudah sam-
pai di mana Ra Sindura. Ia mendengar suara ringkik
kuda sayup-sayup.
“Tidak. Suruh saja si Landak untuk secepatnya
memberi tahu Ra Wirada tentang apa yang terjadi di si-
ni. Kau benar. Mata Ra Sindura begitu tajam. Kemung-
kinan ia menemukan sesuatu yang kita tidak tahu. Dan
dapat menjerat kita. Kau cepat kirim kabar pada Putri
Sepuh tentang perkembangan ini. Rasanya Ra Sindura
akan memperketat keamanan kota. Sementara itu kau
jangan pergi-pergi. Untuk pertama kali dalam hidupku
aku tak merasa aman.”
Sementara itu Ra Sindura telah berjalan perlahan
meninggalkan rumah Emban Layarmega. Kudanya di-
biarkannya berjalan seenaknya. Dan ia pun seakan tak
tahu harus pergi ke mana. Kepalanya menunduk da-
lam-dalam. Tak memperhatikan jalan kelam yang di-
tempuhnya.
Gadis itu sungguh aneh. Butir obatnya. Detak nadi-
nya. Menyatakan bahwa ilmunya sama. Bahkan cukup
tinggi. Tapi siapa dia? Belum pernah ia diberi tahu ten-
tang adanya saudara seperguruan seorang gadis. Mung-
kinkah gadis tadi salah satu murid Rahtawu? Kemudian
nama itu tadi. Tantri. Mengapa justru nama anak ban-
del itu yang diucapkan? Jangan-jangan si bandel itu
mengobral ilmu mengajarkannya pada siapa saja.
Lalu, bagaimana bisa dikuasai oleh Ra Wirada? Wak-
tu mereka bertemu tadi siang, si gadis masih sehat wa-
lafiat. Justru sinar mata si gadis yang waktu itu mem-
buat Ra Sindura curiga. Mungkinkah diracun? Ya. San-
gat mungkin. Justru saat ia tadi mencoba memberi ti-
puan pukulan maut dan si gadis berkedip pun tidak
maka timbullah kecurigaannya. Mungkin seseorang in-
gin memberi kesan bahwa si gadis tak berilmu. Tapi ka-
rena si gadis berkedip pun tidak, Sindura jadi yakin
bahwa otak si gadis dipengaruhi oleh sesuatu obat. Jadi
si gadis tak tahu akan dirinya bukan karena sakit. Tapi
karena memang dibuat begitu!
Emban Layarmega boleh menunggu. Yang penting
sekarang mengurus Ra Wirada.
Tiba-tiba Ra Sindura tertegun. Ia baru sadar bahwa
jalan di depannya tertutup oleh pasukan kuda yang
lengkap membawa senjata dan obor. Bahkan ia menge-
nal pemimpinnya. Kebo Kapetengan, pemimpin Pasukan
Hitam dari istana.
“Wah, kebetulan kami menemukan Paduka, Ra-
den...,” kata Kebo Kapetengan memajukan kudanya.
“Ada apa, Paman?” Sindura heran.
“Paduka diperintahkan segera menghadap ke istana,”
kata Kebo Kapetengan. Suaranya terdengar gemetar ge-
lisah.
“Hanya untuk menyampaikan itu dikirim satu pasu-
kan?” Sindura mengernyitkan kening. Ia memang benci
pemborosan tenaga.
“Mohon diampun, Raden... harap Raden menguatkan
diri... ayahanda Paduka... ditemukan... tewas!”
5. ANCAMAN DEWI CANDIKA
BEBERAPA saat Ra Sindura terdiam. Keinginan perta-
manya adalah menghantam hancur Kebo Kapetengan.
Dan walaupun gelap, cahaya obor cukup memberi sinar
khusus pada mata Sindura hingga tak terasa Kebo Ka-
petengan pun melangkah mundur dan bersiap-siap.
Kemudian Ra Sindura roboh. Jatuh lemas dari ku-
danya, terbanting ke tanah.
“Raden!” Kebo Kapetengan gugup menyambut dan
mencoba membangunkan Ra Sindura.
“Aku tak apa-apa, Paman.” Sekejap Ra Sindura telah
sadarkan diri dan duduk. Lama ia menunduk mengum-
pulkan kembali semangatnya.
Ayahnya. Sejak kecil ia tak pernah tidak mengagumi
ksatria tua itu. Gagah. Tegas. Berwibawa dan disegani.
Pendiam, memang, hingga Sindura dan adiknya, Rara
Sindu, rasanya tak pernah merasakan belaian kasih-
nya. Ra Sindura masih ingat betapa setahun penuh ia
berusaha untuk menguasai ilmu memanah agar ayah-
nya bangga punya anak seperti dia. Tapi saat Sindura
menjadi juara memanah di Wilwatikta, tersenyum pun
beliau tidak. Tapi Sindura tahu bahwa ayahnya bangga
padanya. Sindura mulai saat itu dipimpin sendiri oleh
ayahnya belajar kewiraan. Sampai umur sebelas tahun
saat Sindura diserahkan pada Mpu Megatruh di Gu-
nung Lawu. Kemudian ketika enam tahun kemudian
Sindura turun gunung, sang ayah memperhambakan-
nya ke bhayangkara istana. Tidak ada kata-kata pujian,
toh Sindura merasa terpuji setinggi langit atas keper-
cayaan ayahnya itu.
Dengan kepribadian dan kemampuannya Sindura
cepat menanjak. Dan ia mulai terlibat dalam membasmi
kelicikan-kelicikan dan kebusukan di kalangan istana.
n
Saat inilah ia mulai mencandu minuman keras. Suatu
hal yang juga dilakukan ayahnya, jadi tahu mengapa
ayahnya jadi pemabuk. Tekanan batin dikarenakan oleh
kebusukan kalangan istana sungguh berat. Dan Sindu-
ra begitu lega mengetahui bahwa ayahnya betul-betul
bersih. Dan karenanya banyak memiliki musuh.
Apakah beliau tewas karena salah seorang musuh
ini?
“Apa yang terjadi, Paman?” Sindura berjalan perla-
han ke arah istana. Tak guna tergesa-gesa. Pasti ayah-
nya sudah tak tertolong lagi. Kalau ini hasil suatu keja-
hatan, pastilah pelakunya telah lama lolos. Kalau tidak
Kebo Kapetengan pasti telah menangkapnya.
“Ayahanda, sang Rakryan Rangga, agaknya sedang
dalam perjalanan ke istana. Di tikungan Kali Bera dekat
Pasar Utara, rupanya beliau diserang oleh seseorang
atau sekelompok orang. Beliau ditemukan tewas oleh
seorang petani yang langsung melapor ke istana. Aku
sendiri yang menyelidiki tempat itu.” Kebo Kapetengan
termenung sejenak. “Agak mengherankan. Tak ada tan-
da-tanda bahwa Sang Rakryan Rangga diserang oleh
sekelompok orang. Hanya seorang. Dan dari bekas yang
ada, terlihat jejak pertempuran. Berarti Sang Rakryan
tidak diserang secara gelap.”
Ra Sindura tidak menyuarakan keheranannya. Tapi
seperti Kebo Kapetengan ia merasakan keganjilan itu.
Rakryan Rangga adalah salah seorang benteng hidup
Kuripan. Tak sembarang orang dapat mengalahkannya
dalam suatu pertempuran. Secara adil ataupun licik.
“Atas perintah Sang Raja, Sang Rakryan Rangga kini
disemayamkan di istana. Kemudian ibunda dan adinda
Paduka juga diboyong ke istana untuk mendapatkan
perlindungan sepenuhnya. Serta, tentunya agar dekat
dengan Sang Rakryan. Keranggan kini dijaga oleh pasu-
kan Kebo Basah,” kata Kebo Kapetengan lagi.
“Sang Raja sungguh memperhatikan kami,” desis Ra
Sindura perlahan. Namun dalam hati ia meragukan ke-
baikan Sang Raja. Ra Sindura, dapat menebak pemi-
kiran siapa yang menasihatkan sang Raja untuk menge-
luarkan perintah itu. Mungkin Rakryan Kanuruhan. Te-
tapi memang tugasnya untuk melindungi Sang Raja.
Kemungkinan beliau berpikiran bahwa bisa saja Ra
Sindura merasa begitu terguncang hatinya karena ke-
matian ayahnya, hingga paling tidak akan terpengaruh
oleh bisik-bisik busuk kelompok Dharmaputra.
Tidak. Ia takkan terguncang oleh peristiwa ini. Ba-
gaimanapun, kesetiaannya pada Wilwatikta akan tetap
utuh. Ia seorang prajurit. Dan ia hanya punya satu ke-
setiaan. Pada rajanya. Dan pada apa saja yang dilam-
bangkan sebagai kepentingan Sang Raja. Ayahandanya
pun pasti akan berbuat serupa. Ia akan menyelidiki
pembunuhan ayahnya itu. Dan ia akan menghukum
pembunuhnya—membalas dendam adalah suatu ke-
mewahan yang tak pantas baginya. Ia akan mencari si
pembunuh, dan menghukumnya, karena dengan mem-
bunuh ayahnya, si pembunuh telah membahayakan ke-
mantapan tata hidup kerajaan, telah membahayakan
Sang Raja.
Sindura menghentikan langkahnya. Ada kemungki-
nan, ya memang ada kemungkinan, kematian ayahnya
dikehendaki Sang Raja. Begitu banyak orang yang bisa
mempengaruhi Sang Raja dengan keputusan tolol se-
perti itu. Jika memang itu yang terjadi, ia akan melacak
terus pembunuhan tersebut. Kemudian akan menghu-
kum pemrakarsanya. Dan jika itu menyalahi kehendak
Sang Raja ia akan langsung bunuh diri.
Ra Sindura naik ke punggung kudanya.
“Paman, tolong antar aku ke tempat Ayahanda gu-
gur,” katanya pada Kebo Kapetengan. “Biar pasukan
Paman kembali ke Istana dan menghaturkan ini pada
Sang Raja. Aku harus mencari jejak apa yang terjadi,
sebelum jejak itu dihilangkan sang waktu.”
Sesaat Kebo Kapetengan tampak ragu-ragu. Di saat
seperti itu membangkang perintah Sang Raja bisa dija-
tuhi hukuman mati. Tapi kemudian Kebo Kapetengan
berpikir bahwa keadaannya khusus. Rakryan Rangga
berkedudukan penting. Ra Sindura berjabatan tinggi.
Dan peristiwanya sungguh besar.
“Baik, Raden, akan Paman iringkan. Mohon jika ke-
lak ada amarah dari Sang Raja, Raden mau menyum-
bangkan suara bagi hamba,” Kebo Kapetengan menoleh
pada wakilnya. “Curing, kaupimpin pasukan kembali ke
istana. Kecuali Tosan dan Sidi. Kalian ikut aku mengi-
ringi Sang Raden. Berangkatlah.”
Ra Sindura dan ketiga pengiringnya berkuda diam-
diam. Derap kaki kuda mereka seakan bergema. Jalan-
jalan sesungguhnya masih agak ramai dengan beberapa
orang dan kendaraan berlalu-lalang. Ikat kepala Tosan
menunjukkan bahwa rombongan kecil itu dari pasukan
khusus istana. Itu saja sudah cukup membuat siapa
pun minggir. Tak peduli pedati, kereta, tandu, berkuda,
apalagi jalan kaki.
Tempat yang ditunjukkan Kebo Kapetengan sangat
sepi. Gelap-pekat. Obor yang dibawa Tosan bahkan tak
sanggup dengan jelas memberi penerangan. Di situ ja-
lan menikung. Di kejauhan tampak bayangan hitam
Bukit Pemandangan. Dengan kelap-kelip beberapa lam-
pu rumah penduduk. Sebelah kanan lereng curam me-
nuju jurang yang dibentuk oleh Kali Bera. Di lereng itu
terdapat banyak semak-semak. Sebelah kanan adalah
beberapa petak ladang dan bukit-bukit kecil. Di bagian
depan jalan berbelok ke kanan mengikuti aliran sungai
dan menuju alun-alun di depan istana. Ada sesuatu
yang aneh. Ra Sindura sesaat berpikir. Ya. Biasanya
ayahnya tak melalui jalan ini jika pergi ke istana. Ba-
gaimana tadi disebutkan bahwa ayahnya dalam perjala-
nan ke istana? Mungkin saja ayahnya berpamitan pada
ibunya. Tapi, pasti ada alasan khusus kenapa beliau
lewat sini.
Pikiran Ra Sindura terputus oleh gerakan Sidi yang
menyulut obor pada obor Tosan.
“Tunggu, matikan obor itu,” kata Ra Sindura tiba-
tiba. Sidi langsung mematikan obornya.
“Ada apa, Raden?” tanya Kebo Kapetengan.
“Tunggu,” kata Ra Sindura. Kemudian setelah sesaat
lamanya mereka berdiam diri, ia menghirup udara da-
lam-dalam. “Apakah kau mencium sesuatu, Paman?”
bisik Ra Sindura.
Kebo Kapetengan akhirnya tahu apa yang dimaksud
Ra Sindura. Ada semacam bau harum. Sangat lembut
dan lamat-lamat. Tadi memang tertutup oleh bau api
obor yang mendadak semakin tajam dengan menyala-
nya obor Sidi. Kini bau itu, walaupun sangat lembut
tercium. Ya. Mungkin waktu pertama kali ke sini bau
itu ada. Tapi tadi ia membawa satu pasukan. Entah be-
rapa obor yang dinyalakan tadi.
“Mungkin bau bunga? Di bawah sana?” tanya Kebo
Kapetengan.
“Ini harum wewangian wanita, Paman... semacam...
ya—semacam yang ada di rumah Emban Layarmega!”
Ra Sindura tertegun. Benarkah? Ya. Harumnya paling
tidak sejenis. Dia turun dari kudanya. Memeriksa tanah
sekitar tempat itu.
“Paman sungguh bodoh,” kata Kebo Kapetengan, ikut
turun dari kuda. “Paman tadi kemari membawa pasu-
kan. Pasti jejak yang ada tertutup oleh jejak kaki kuda.
Menurut petani yang menemukan Rakryan Rangga, tu-
buh beliau berada di tepi jalan itu....” Kebo Kapetengan
berjalan ke tepi jalan dan menunjuk sebuah batu besar
di pinggir jalan itu. “Tubuh itu separuh tengkurap di ba-
tu itu. Kedua pengiringnya tergeletak di ladang sana,
agaknya terlempar menembus pagar hidup itu. Yang sa-
tu lagi di lereng itu, hampir dekat kali.”
“Apakah Ayahanda luka?” tanya Ra Sindura.
“Tak ada bekas senjata tajam. Dada beliau seperti
remuk terkena tendangan,” kata Kebo Kapetengan.
“Terkena tendangan?” Ra Sindura berpikir-pikir. Il-
mu tendangan mana yang begitu hebat? Kalau tadi di-
laporkan bahwa kemungkinan Rakryan Rangga hanya
diserang oleh seseorang, maka orang itu pastilah sangat
tangguh. Dan jika ia sangat tangguh, maka ia tak perlu
sembunyi. Ia pasti menunggu. Sampai Rakryan Rangga
datang. Ia menunggu. Kemungkinan duduk. Yang pa-
ling dekat dengan jalan. Batu ini. Ra Sindura menun-
duk mencium batu tadi. Memang di sini baunya lebih
tajam, walaupun sudah lemah.
Penyerang Ayah memiliki suatu keharuman khas.
Mungkinkah... seorang wanita? Kalau dihubungkan de-
ngan desas-desus selama ini... mungkinkah itu Dewi
Candika?
“Kita ke istana, Paman,” tiba-tiba Ra Sindura me-
lompat tinggi. Langsung ke punggung kudanya.
Dan kini Ra Sindura berkuda bagai kesetanan. Kebo
Kapetengan dan kedua anak buahnya ikut mengejar.
Tapi kuda mereka bukan tandingan kuda Ra Sindura.
Tak berapa lama Sindura telah berada di depan ista-
na Kuripan. Istana itu dijaga begitu ketat.
Serentak sepasukan prajurit langsung menghadang,
membentuk barisan tombak tiga lapis, saat Sindura
mendekati pintu gerbang.
“Oh, Raden!” kepala pasukan itu langsung mengenali
Sindura. Apalagi saat itu Kebo Kapetengan telah tiba.
“Silakan masuk, Raden. Raden sudah ditunggu.”
Di dalam pun penjagaan terasa berlebih-lebihan.
Sindura dan Kebo Kapetengan dikawal oleh pasukan
khusus lewat jalan-jalan di halaman istana yang terang-
benderang oleh begitu banyak obor.
Ketika memasuki ruangan penghadapan di istana
dalam, Ra Sindura disambut oleh dua jeritan wanita.
Nyi Rangga, ibunya, dan Rara Sindu, adiknya, langsung
merangkulnya serta menangis tersedu-sedu.
Ra Sindura termangu-mangu, sementara ibu dan
adiknya menangis di dadanya. Di ruang itu ia melihat
ayahnya terbujur di tengah ruangan. Dikelilingi bebe-
rapa orang pejabat. Rakryan Tumenggung, Mpu Gaga-
rang, yaitu ayah Ra Wirada, duduk di tempat duduk
yang terbuat dari kayu. Di sampingnya duduk Rakryan
Kanuruhan, Mpu Gatra.
“Ibu... adikku Sindu...,” akhirnya Ra Sindura berka-
ta, “biarkan aku menghadap Ayahanda....”
Dengan lembut Ra Sindura membuka rangkulan ta-
ngan ibunya dan menyerahkannya pada seorang dayang
yang datang mendekat. Kemudian ia berjalan jongkok
mendekati tempat ayahnya terbujur. Ia menghaturkan
sembah terlebih dahulu pada Rakryan Kanuruhan dan
Rakryan Tumenggung sebelum ia kemudian menghatur-
kan sembah pada ayahnya.
Dalam keadaan tanpa nyawa, Rakryan Rangga tam-
pak masih gagah. Namun dadanya yang bidang itu ter-
tutup kain. Ra Sindura menyembah sekali kemudian
mengangkat kain tersebut.
Diperhatikannya luka di dada itu. Dan ia sangat ter-
kejut. Sekali lagi diperhatikannya. Tulang rusuk dan tu-
lang dada ayahnya remuk. Dengan teliti Ra Sindura
mengukur patahnya tulang-tulang tadi. Dan diperik-
sanya bekas kulit yang tampak seperti luka bakar itu.
Ra Sindura tak percaya akan apa yang dilihatnya.
“Di manakah orang yang menemukan Ayahanda ta-
di?” tanya Ra Sindura pada Kebo Kapetengan.
Rakryan Tumenggung yang menjawab. “Aku telah
menyuruhnya pulang, Raden. Ia tak bisa lagi memberi-
kan keterangan apa pun.”
“Maafkan hamba, Paman... apakah Paman berkenan
menanyakan siapa nama dan di mana rumahnya?”
“Orang itu tadi diperiksa oleh Demang Wulungrat,”
kata Rakryan Tumenggung. “Katakan apa yang kauke-
tahui, Demang.”
Demang Wulungrat menghaturkan sembah dan ber-
kata, “Namanya Cikur, dari desa Selating. Dia dalam
perjalanan pulang dari mengunjungi saudaranya, si Ri-
ga, pedagang beras di Pasar Utara. Maksudnya untuk
menagih utang. Dan dia memang membawa uang dua
keping, katanya pemberian saudaranya itu. Rumah Ci-
kur di desa Selating itu berjarak lima bubungan dari
rumah buyut desa tersebut. Dia pulang naik pedati.”
“Terima kasih, Paman. Paman Rakryan berdua, ham-
ba mohon izin untuk minta agar Paman Demang Ging-
sir mengirimkan dua pasukan. Pasukan pertama ke Pa-
sar Utara untuk mengambil si Riga guna ditanyai lebih
lanjut. Pasukan kedua harap pergi ke desa Selating gu-
na menahan Cikur di rumahnya. Aku akan segera me-
nyusul ke sana.”
Rakryan Tumenggung memandang Rakryan Kanu-
ruhan. Ragu menjawab. Tapi Rakryan Kanuruhan lang-
sung menganggukkan kepala dan mengelus jenggotnya
yang seputih kapas itu. “Bagus sekali, Raden... pikiran-
mu sungguh tajam. Demang Gingsir, lakukan baik-baik
perintah itu.”
Demang Gingsir menyembah dan berlalu.
“Apa lagi, Raden? Dalam saat seperti ini, sungguh
enak memandang tingkah dan mendengar suaramu.
Kau sangat mirip dengan ayahmu semasa mudanya,”
Rakiyan Kanuruhan yang sudah tua itu terbatuk-batuk
beberapa saat. “Hayo apa lagi yang ingin kaulakukan,
Raden?”
“Hamba ingin bertanya pada ibunda hamba. Paman,”
Ra Sindura berpaling dan berjalan jongkok mendekati
ibunya. “Ibu... tabahlah, Ibu... masih ada aku yang
akan menjagamu... dan menjaga adikku Rara...” Sindu-
ra membelai rambut ibunya, seolah di tempat itu tak
ada orang lain. “Tolong Ibu ingat-ingat... apakah Ra-
manda dipanggil ke istana? Bukankah ini belum hari-
nya menghadap? Lalu... apakah ada yang minta agar
Ramanda pergi lewat jalan Pasar Utara? Ingatlah, Bu....”
“Memang ada seseorang datang membawa suatu pe-
san,” Rara Sindu menyahut saja. “Tetapi bukan dari is-
tana, Kakang. Ramanda tidak mau memberitahukan
pesan itu datang dari siapa. Tapi kemudian tampak pipi
beliau merah... beliau tampak sangat marah. Kemudian
berangkat begitu saja.”
“Terima kasih, Adikku.” Ra Sindura akan bertanya
sesuatu. Tetapi tidak jadi. Rakryan Kanuruhan terse-
nyum dari balik kumisnya. “Kalau aku boleh menebak,
Raden, Raden sesungguhnya ingin bertanya tentang be-
kas luka di dada ayahandamu. Aku juga heran. Ilmu
tendangan orang yang menyerang ayahandamu sangat
mirip dengan ilmu tendangannya sendiri, bukan?”
“Mata Paduka sungguh tajam,” sembah Ra Sindura
betul-betul kagum. “Apakah Paduka punya suatu peng-
arahan?” Ra Sindura tahu, Rakryan Kanuruhan sesung-
guhnya tak punya ilmu kewiraan apa pun. Hanya ma-
tanya begitu tajam dan sanggup cepat mengingat sesua-
-
jlilpiyydurjlUALOU^^lsaJ.DbLjSpDLDDUJ
tu hingga melihat bekas tendangan saja ia ingat siapa
yang menggunakan tendangan itu.
“Mataku sudah terlalu tua, Raden, aku tak tahu...
tampaknya kecuali gurumu turun gunung, rasanya tak
ada yang mampu melepaskan tendangan itu,” kata Ra-
kryan Kanuruhan. “Tapi kukira semua pemikiranmu ta-
ruh dahulu dalam benakmu, Raden, kukira lebih baik
begitu....”
“Baiklah, Paman, dalam hal ini hamba pun tak mau
membuat keruh suasana. Jika Paman berdua tidak me-
merlukan hamba lagi... hamba ingin mencari ketera-
ngan ke Selating,” Ra Sindura merapikan kainnya.
“Apakah itu perlu, Raden, saat ayahandamu meng-
harap kau memberikan penghormatan terakhir bagi-
nya?” tanya Rakryan Tumenggung.
“Kukira keputusan Sindura lebih tepat dalam kedu-
dukannya sekarang ini. Bagi dia, persoalan pribadi tak
boleh menghalangi tugas. Dan kini, ia harus bertin-
dak.... Seharusnyalah baginya ini adalah pembunuhan
salah seorang pejabat tinggi negara, dan bukan ayah-
nya.”
“Kalau begitu, hamba mohon diri, Paman,” Ra Sindu-
ra menyembah sedalam-dalamnya dan berjalan jongkok
mundur. Pandangan ibu dan adiknya pun tak membuat
ia menghentikan langkahnya. Ia teringat sesuatu. Ber-
henti sejenak untuk berkata, “Hamba mohon, Paman
Kebo Kapetengan diperkenankan mengiringi hamba.
Beserta siapa pun yang dikehendakinya.”
Rakryan Kanuruhan tersenyum. “Bagus sekali kau
segera menyadari kelupaanmu, Raden. Sungguh gega-
bah untuk terpengaruh perasaan hati saja. Baik, Raden.
Kebo Kapetengan, kauikuti Ra Sindura.”
“Daulat, Junjungan,” Kebo Kapetengan cepat meng-
haturkan sembah.
Di luar, seorang prajurit wanita bersimpuh di jalan
yang akan dilalui Ra Sindura. Ra Sindura berhenti. Me-
nyapa.
“Ah, Madri... apakah kau menghendaki aku?” tanya
Ra Sindura.
“Sembah hamba untuk Paduka, Raden,” Madri ber-
datang sembah. “Hamba menyampaikan keinginan
Sang Raja. Sang Maharaja menghendaki Raden segera
menghadap di Istana Timur. Sendirian.”
Sesaat Ra Sindura bingung. Ia tahu apa yang ada di
balik permintaan menghadap Sang Raja, jika yang me-
nyampaikan permintaan itu Madri, prajurit wanita pe-
ngawal pribadi Sang Raja. Suatu siksaan batin. Terlebih
pada saat ia ingin segera menyelesaikan penyelidikan-
nya. Tapi tentunya permintaan seperti ini tak bisa dito-
lak.
Dengan hanya diiringi Madri yang membawa obor,
Ra Sindura berjalan menuju Istana Timur. Taman dan
halaman istana yang dilewatinya bagaikan gambaran
tentang kahyangan, dengan permainan cahaya lampu-
lampu yang dipasang di mana-mana. Tetapi tak ada
yang terpikir oleh Sindura kecuali tugas yang dihadapi-
nya.
Melewati taman terakhir di depan Istana Timur, tiba-
tiba Ra Sindura merasakan bahwa ia berjalan sendiri. Ia
pun tidak terkejut. Selalu begitu.
Ia tak perlu obor. Cahaya beberapa lampu memben-
tuk paduan terang dan gelap bagaikan dongeng. Dan di
bawah sebatang pohon Nagasari di depan danau kecil,
seperti biasa telah menunggu Dewi Malini.
“Kakang Sindura... ini memang bukan saat yang sa-
ngat tepat, tetapi aku sangat merindukanmu... aku in-
gin kau berbagi kesedihan ini denganku,” bisik Dewi
Malini tanpa kata-kata pendahuluan lagi, langsung me-
megang lengan Ra Sindura, mencegah pemuda itu ber-
jongkok menghaturkan sembah.
“Dewi...” Ra Sindura ikut berbisik. Gelisah. Dan... ta-
kut. “Ingat kedudukanmu. Kau kini adalah milik Sang
Raja, junjunganku. Apa pun perasaan hatimu padaku,
tak berlaku lagi. Kau pun junjunganku, dan aku hamba
sahayamu. Hubungan kita... sangat berbahaya. Bagimu.
Bagiku. Apalagi di saat seperti ini,” kata Ra Sindura.
Wanita itu muda. Cantik. Putri Rakiyan Demung. Te-
man bermain Ra Sindura sejak kecil. Namun kemudian
diambil selir oleh Sang Raja.
Dewi Malini tak pernah bisa melupakan Sindura. Di
tiap kesempatan ia menghendaki pertemuan dengan
ksatria muda itu. Selalu diatur oleh Madri, salah seo-
rang teman bermain semasa kecil dulu.
Dalam rasa baktinya, Ra Sindura tak pernah bisa
menolak perintah junjungannya. Dalam gejolak jiwa
mudanya Ra Sindura sering lupa bahwa Dewi Malini is-
tri rajanya. Tapi kali ini ia tidak lupa. Ia dengan lembut
mendorong Sang Dewi yang ingin mendekapnya.
Halaman 91 dst hilang — robek.
Bersambung ke jilid 4.
Emoticon