1
SETAN Rawa Bangkai adalah julukan bagi tokoh aliran
hitam yang berusia delapan puluh tahun, ia bertapa di sebuah rawa dengan cara
merendam tubuhnya sampai batas leher,
tinggal kepalanya saja yang tampak di permukaan air rawa. Tapa rendam itu
dilakukan olehnya selama tujuh belas tahun. Kemunculannya kembali ke dunia
persilatan sempat menjadi bahan
percakapan para tokoh tua kalangan atas, baik yang beraliran hitam
maupun putih. Mereka mengatakan, "Setan Rawa Bangkai mulai bergentayangan
kembali."
Tak heran jika beberapa tokoh tua aliran putih
mengadakan pertemuan di puncak Bukit Sekal.
"Delapan belas tahun yang lalu, Marundang atau
si Setan Rawa Bangkai pernah hampir menghancurkan dunia dengan ilmu
'Cakrabumi'-nya. Untung bisa ditumbangkan oleh jurus 'Petak Sembilan'-nya si
Raja Maut," ujar Ki Argapura, tokoh yang kesohor sebagai jago pedang
kawakan, pernah menurunkan Ilmu pedangnya kepada Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Ladang Pertarungan").
"Memang benar! Tapi sekarang si Raja Maut telah
tiada, haruskah kita tangani bersama-sama agar Setan Rawa Bangkai tidak
mengumbar keganasannya kembali?" timpal tokoh gemuk berjenggot putih yang
dikenal dengan nama si Jubah Kapur.
Ketua Partai Gelandangan itu sangat peduli sekali
dengan bahaya yang mengancam kedamaian serta keutuhan dunia persilatan,
karenanya dalam pertemuan di Bukit Sekal itu ia paksakan diri untuk hadir dan
ikut membahasnya.
"Kurasa saat ini Marundang punya ilmu baru yang
lebih berbahaya dan sepertinya kekuatan kita tidak cukup untuk menandingi
kekuatan Marundang," kata tokoh tua berambut belakang panjang depannya
botak, tanpa kumis dan tanpa jenggot.
Tokoh yang mengenakan jubah abu-abu itu dikenal
dengan nama Buyung Gerang, saudara seperguruan dengan Poci Dewa yang kala itu
ada di sampingnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan
Tanpa Ajal").
Galak Gantung, orang yang tempo hari lakukan
pertarungan dengan Suto Sinting karena salah paham itu, segera ikut angkat
bicara dengan sikap wibawanya.
"Sebenarnya ada satu orang yang bisa menandingi
si Setan Rawa Bangkai itu. Tapi entah dia mau turun tangan atau tidak dalam
perkara ini."
"Siapa maksudmu, Galak Gantung?!" tanya Ki
Argapura.
"Kurasa aku belum tentu sanggup. Jangan
berharap padaku," sahut si Tua Bangka, tokoh berilmu tinggi yang memiliki
pusaka Kapak Setan Kubur.
"Jangan gede rasa dulu, TuaBangka! Yang
kumaksud bukan dirimu!" ujar Galak Gantung.
"O, maaf. Kukira akulah orang yang kau anggap
sakti itu, he, he, he...." Tua Bangka cengar-cengir sambil garuk-garuk
kepalanya.
"Orang yang mampu tumbangkan kekuatan si Setan
Rawa Bangkai tak lain adalah Sabawana alias si Gila Tuak!"
"Menurutku, Bidadari Jalang, saudara
seperguruannya si Gila Tuak juga mampu melawan kekuatan Setan Rawa
Bangkai," sela Sumbaruni, tokohperempuan cantik yang sudah berusia banyak
tapi masih tampak muda.
Perempuan mantan istri jin dan punya kesaktian cukup
tinggi. Tapi toh ia masih merasa akan kalah tanding jika melawan Setan Rawa
Bangkai.
Poci Dewa menimpali sambil manggut-manggut,
"Ya, ya... kurasa si Gila Tuak atau Bidadari Jalang yang mampu lumpuhkan
Setan Rawa Bangkai."
"Tapi mereka sudah tidak mau ikut libatkan diri
dalam bentrokan dengan siapa pun. Mereka sudah mengasingkan diri dan enggan
ikut campur di rimba persilatan," ujar Ki Tumbang Laga yang usianya sudah
mencapai tujuh puluh lima tahun tapi masih tampak gagah, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Kutukan Pelacur Tua").
Tapi kudengar mereka berdua akan datang menghadiri
pertemuan ini!" sahut Sumbaruni.
Wuuus...! Buuubb...!
Tiba-tiba segumpal asap mengepul di samping
Sumbaruni. Perempuan sakti yang menyimpan cinta kepada Pendekar Mabuk itu
sempat terkejut sesaat. Asap itu pun lenyap dan muncullah sesosok tubuh gemuk
berkepala gundul mengenakan pakaian model biksu warna kuning, berkalung tasbih
sebesar kelereng sepanjang perut, ia tokoh yang kumis dan brewoknya berwarna putih
rata namun berkesan lembut. Tokoh aliran putih itu tak lain adalah Resi
Badranaya, guru dari si Darah Prabu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Gadis Buronan").
"Maaf aku terlambat datang," ujarnya
sambil mendekapkan kedua telapak tangan di dada dan badan sedikit membungkuk
pertanda memberi hormat kepada sahabat-sahabatnya yang sudah ada di tempat.
"Badranaya, kusangka kau tak akan datang karena
sibuk dengan urusan kakakmu; Nyi Mas Gandrung Arum."
"Urusanku sudah selesai, dan telinga tuaku
mendengar kabar tentang kemunculan si Setan Rawa Bangkai.
Firasatku mengatakan, bahwa Setan Rawa Bangkai pasti
mempunyai kekuatan lebih ampuh lagi, ilmu yang lebih dahsyat lagi, sehingga ia
akan memporakporandakan isi dunia untuk yang kedua kalinya. Kudengar kabar pula
bahwa kalian berkumpul di Bukit Sekal ini, sehingga kusempatkan untuk hadir di
antara kalian."
Tua Bangka yang juga kenaldengan Resi Badranaya itu
segera erkata, "Sebaiknya tugas melumpuhkan Setan Rawa Bangkai kami
percayakan
padamu saja, Badranaya. Apakah kau
punya kesanggupan untuk mengungguli kekuatan barunya
Marundang?"
"Mengungguli atau tidak, itu
persoalan nanti. Yang penting jika
kalian percayakan hal ini kepadaku, aku akan
berjuang sekuat tenaga untuk menumbangkan si Setan Rawa Bangkai
itu! Sekalipun nyawaku menjadi korban, aku telah
siap dengan hati rela. Toh semua ini demi selamatkan bumi yang kita pijak agar
jangan hancur sebelum kiamat tiba."
"Aku tidak setuju!" celetuk Galak Gantung.
"Aku keberatan jika Badranaya yang berhadapan dengan Marundang. Sama
saja kita membuang satu nyawa secara sia-sia. Setan
Rawa Bangkai tidak bisa ditandingi secara coba-coba. Harus ada lawan yang
sekali serang bisa bikin ia binasa!"
"Kalau kau tidak bersedia, aku pun tidak akan
memaksakan diri untuk menghadapi Marundang," kata Resi Badranaya dengan
nada bijaksana.
"Barangkali pertimbanganmu memang benar, Galak
Gantung. Hanya saja, siapa orang yang mampu tumbangkan Marundang dalam sekali
serang?"
"Gila Tuak atau Bidadari Jalang. Tapi
mereka...."
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan di samping Galak
Gantung,
"Mengapa harus aku?!"
Semua mata tertuju pada si pemilik suara tersebut.
Ternyata orang yang bicara itu adalah tokoh beralis tebal putih yang memakai
pakalan hijau di bungkus jubah kuning lengan panjang bukaan depan. Tokoh
berambut putih rata sepanjang pundak dengan ikat kepala hitam dan tongkat hitam
setinggi dada itu tak lain adalah Ki Sabawana, atau si Gila Tuak.
Sedangkan perempuan cantik yang tampak masih muda
namun sudah berusia banyak yang berdiri di samping Gila Tuak adalah perempuan
sakti nomor dua setelah si Gila Tuak. Dia adalah Bidadari Jalang, mantan tokoh
hitam yang sudah berpindah ke aliran putih. Keduanya itu adalah guru dari Suto
Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Keduanya muncul tanpa suara dan tanpa
tanda. Bagi mereka kemunculan itu sudah tidak mengherankan. Mereka tahu, Gila
Tuak dan Bidadari Jalang adalah nama tokoh sakti yang tercantum dalam daftar
paling atas dari deretan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Nama yang ada pada
deretan ketiga setelah dua tokoh itu adalah Siluman Tujuh Nyawa, manusia yang
dikutuk menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun.
Tapi dalam pertemuan di Bukit Sekal itu, Siluman
Tujuh Nyawa tidak hadir, karena memang pertemuan itu bukan dari aliran hitam.
Bidadari Jalang
segera angkat bicara setelah semua tercekam hening beberapa helaan napas,
"Kami dengar apa yang sedang terjadi di rimba
persilatan. Setan Rawa Bangkai bergentayangan kembali. Kami sengaja diam karena
kami punya sahabat cukup banyak yang ilmunya mampu menyamai Setan Rawa Bangkai.
Kalian-kalian inilah yang sebenarnya kurang percaya diri, sehingga tidak mau
bertindak secepatnya."
"Bidadari Jalang," ujar Galak Gantung.
"Kabar terakhir yang kudengar sebelum hadir dalam pertemuan ini ialah
tentang ilmu baru yang dimiliki si Setan Rawa Bangkai. Ada dua ilmu yang sudah
ia coba untuk mengacaukan suatu daerah tanpa belas kasihan sesama manusia.
Kedua ilmu itu adalah 'Sukma Sakti' dan satu lagi 'Cakar Belah Jagat'.
Seseorang yang sudah kuasai ilmu 'Sukma Sakti' berarti ia hampir mencapai
tingkat puncak ilmu tertinggi. Kau dan Gila Tuak sudah ada di tingkat yang
sama, tapi kami masih jauh di bawah kalian. Jadi sia-sia saja jika kami
bertindak melawan Setan Rawa Bangkai. Satu-satunya jalan hanya kalian berdua
yang mampu hentikan kekejian Setan Rawa Bangkai."
Tua Bangka menyahut, "Kami tidak ingin
buang-buang waktu, buang-buang tenaga dan yang terpenting kami tidak ingin
buang-buang nyawa. Perlu diingat, bahwa kami hanya punya satu nyawa. Jadi tak
bisa dipakai untuk coba-coba melawan keganasan Setan Rawa Bangkai."
"Lalu untuk apa kau punya pusaka Kapak Setan
Kubur kalau masih merasa kecil di hadapan Setan Rawa Bangkai?"
"Nawang Tresni," kata Tua Bangka menyebut
nama asli Bidadari Jalang.
"Pusaka yang kumiliki sudah hancur kala aku
melawan Balekubang, Penguasa Pulau Tangkal yang ingin mengawini cucuku itu.
Kukorbankan pusaka Kapak Setan Kubur demi keselamatan cucuku dan kehancuran si
Balekubang. Jadi, sekarang apa yang kupunya hanya kapak tebang pohon yang tak
punya kekuatan apa-apa untuk melawan Setan Rawa Bangkai."
Mereka terdiam sebentar, karena baru sekarang
mendengar Kapak Setan Kubur ternyata telah hancur bersama hancurnya orang-orang
Pulau Tangkal.
Sayang sekali mereka tak menyaksikan pertarungan Tua
Bangka dengan orang-orang Pulau Tangkal, sehingga peristiwa hancurnya Kapak
Setan Kubur itu tidak bisa disaksikan dengan mata kepala mereka masing-masing.
Jika pada waktu itu Tua Bangka tidak harus melawan orang-orang Pulau Tangkal, maka
ia akan membantu Pendekar Mabuk dalam mencari pusaka Panji-panji Mayat milik
keluarga Dewi Hening itu, (Baca serial Pendekar Mar buk dalam episode: "Misteri
Bayangan Ungu").
Perundingan itu berlangsung hampir sehari penuh.
Pada dasarnya mereka menaruh harap kepada Gila Tuak atau Bidadari Jalang untuk menghancurkan
kekejian si Setan Rawa Bangkai. Tapi agaknya kedua tokoh sakti yang namanya
cukup disegani di kalangan sejajarnya itu merasa keberatan untuk lakukan
permintaan mereka. Akhirnya Gila Tuak berkata kepada mereka,
"Jika kalian merasa tak ada yang sanggup
tumbangkan si Marundang, maka aku akan mengutus muridku untuk melawan Setan
Rawa Bangkai."
"Hah...?! Maksudmu si bocah tanpa pusar; Suto
Sinting itu?" cetus Tua Bangka agak kaget.
"Tidak. Aku tidak setuju jika Suto Sinting yang
harus berhadapan dengan Setan Rawa Bangkai. Aku sangat tidak setuju!" ujar
Sumbaruni dengan nada keras, ia tampak gusar mendengar Suto Sinting akan
mendapat perintah dari sang Guru untuk melawan Setan Rawa Bangkai, sebab ia tak
ingin Suto Sinting sebagai pemuda yang dicintai walau bertepuk sebelah tangan
itu celaka dan hancur di tangan Setan Rawa Bangkai.
"Mengapa kau tampak berang sekali setelah mendengar
rencanaku, Sumbaruni?!" tanya Gila Tuak dengan kalem.
"Suto Sinting bocah kemarin sore. Bukan
tandingannya jika harus melawan Setan Rawa Bangkai, itu sama saja kau ingin
mencelakakan muridmu sendiri, Gila Tuak!"
"Kami tidak khawatirkan hal itu," kata
Bidadari Jalang. "Kami tidak cemaskan keselamatan Suto, sebab kami tahu
seberapa tinggi kekuatannya, sehingga menurut kami ia cukup mampu mengatasi
kekejian Setan Rawa Bangkai itu, Sumbaruni!"
"B idadari Jalang dan Gila Tuak," sela Ki
Argapura, "Kumohon perkara ini jangan dianggap remeh dan jangan dipakai
buat main-main. Benar apa kata Sumbaruni, bahwa muridmu; si Pendekar Mabuk,
adalah bukan tandingannya Setan Rawa Bangkai. Bisa-bisa anak itu akan mati dalam
sekali gebrak saja. Kuingatkan sekali lagi, jika Setan Rawa Bangkai berani bergentayangan
lagi, maka itu adalah tanda bahwa ia sudah mempunyai ilmu yang lebih dahsyat
dari delapan belas tahun yang lalu."
'Dan itu sama saja menyuruh murid untuk bunuh
diri!" timpal Poci Dewa.
Dalam pertemuan itu ada pula tokoh yang selama ini
sering dampingi Suto Sinting dengan kekonyolannya maupun dengan kesungguhannya.
Dia adalah Resi Pakar Pantun bersama pelayannya; si Kadal Ginting. Resi Pakar
Pantun segera hentikan bisik-bisiknya kepada Resi Badranaya, dan kini ia bicara
kepada si Gila Tuak dan Bidadari Jalang dengan pantunnya:
"Bunga kecubung memakai selendang, menanak nasi
di dalam kerang. Jangan anggap remeh usia orang, sekali gebrak nyawa pun akan hilang."
Pantunnya itu bersifat membela keputusan Gila Tuak,
sehingga, dengan lancar ia bicara kepada mereka,
"Aku yakin Pendekar Mabuk mampu lumpuhkan si
Setan Rawa Bangkai, asal pada saat ia bertarung melawan si Setan Rawa Bangkai,
ia didampingi perempuan cantik."
"Kekuatan Suto tidak pada perempuan cantik,
Pakar Pantun. Jangan bicara sembarangan!" hardik Gila Tuak.
Hardikan itu membuat Resi Pakar Pantun nyengir malu
karena merasa salah duga. Bidadari Jalang menimpali, "Bocah tanpa pusar
mempunyai kekuatan yang sulit ditandingi atau dikalahkan oleh seseorang. Itulah
kehebatan Suto Sinting, dan karenanya kalian tak perlu khawatir tentang
keselamatannya, ia akan menghancurkan kekejian dan keganasan si Setan Rawa
Bangkai."
Akhirnya mereka melepaskan desah kepasrahan sambil
angkat bahu. Bahkan Buyut Gerang sempat berkata mirip orang menggumam,
"Terserah kalian saja, Gila Tuak! Jika memang
kau dan Bidadari Jalang yakin akan kekuatan seimbang pada diri murid kalian,
lakukan saja sesuai keyakinan kalian!"
"Masalahnya sekarang aku belum tahu, Suto
Sinting ada di mana? Tolong carikan dia dan ceritakan rencanaku ini
kepadanya."
"Tapi... tapi bagaimana jika Suto kalah dan
nyawanya loncat dari raganya?!" ujar Sumbaruni yang tampak gelisah sekali.
*
* *
2
PEMUDA tanpa pusar yang bernama Suto Sinting kala
itu sedang berhadapan dengan Jagal Neraka. Orang brewok berambut ikal yang
mempunyai mata besar, bibir tebal dan perawakan tinggi besar itu sengaja
menghadang langkah Suto Sinting ketika pemuda tampan yang membawa-bawa bumbung
tuak itu melewati pantai.
Jagal Neraka adalah Ketua Perampok Lembah Hantu yang
tempo hari nyaris mati di tangan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Dendam Selir Malam"). Rupanya kekalahannya telah
membuat Jagal Neraka menaruh dendam kepada Suto Sinting, sehingga ia sengaja
mencari pendekar berbaju coklat tanpa lengan baju itu. Jagal Neraka sengaja
tidak sendirian, melainkan bersama dua saudaranya, yaitu seorang adik yang
bernama Kerak Singa dan seorang kakak yang bernama Iblis Bujangan.
"Seperti janjiku semula, kita akan bertemu lagi
dan aku akan menebus kekalahanku tempo hari, Pendekar Mabuk!" ujar Jagal
Neraka dengan mata lebarnya membelalak penuh pancaran dendam. Pendekar Mabuk
hanya diam saja, berdiri tegak dengan tenang. Bahkan sempat membuka bumbung
tuaknya untuk ditenggak. Namun sebelumnya ia berkata kepada Jagal Neraka. "Dendam
tidak akan membawa kedamaian, Jagal Neraka. Dendam justru dapat menyeret orang
ke liang kubur."
"Persetan dengan nasihatmu, Bocah
Sinting!" bentak Jagal Neraka, maksudnya ingin menjatuhkan nyali Pendekar Mabuk
agar merasa takut dan gentar kepadanya, namun bentakan keras itu bagai tidak
didengar oleh si tampan bercelana putih kusam itu.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sejenak, kemudian
menenggak tuaknya dengan kalem. Seakan ia tidak sedang berhadapan dengan musuh.
Sikapnya itu dianggap meremehkan sekali oleh Jagal
Neraka dan memancing kemarahan Jagal Neraka lebih berkobar lagi. Kerak Singa
berkata pelan seperti menggumam,
"Dia menganggap ringan kehadiran kita ini,
Jagal Neraka. Hantam saja sekarang juga biar bocah itu tahu sopan
sedikit!".
"Memang harus kuhancurkan wajah gentengnya itu.
Hheeeaah...!" Jagal Neraka menggeram jengkel sekali. Tubuhnya melompat
maju dengan kaki kanan yang besar mengarah ke wajah Pendekar Mabuk. Weeesss...!
Suto Sinting yang sedang menenggak tuak dengan
tengadah itu bagai tak peduli akan kehadiran serangan dari lawan. Tapi ketika
kaki besar itu hampir menyentuh kepalanya, tiba-tiba tubuh Suto Sinting
bagaikan lenyap. Zlaaap...! ia bergerak sangat cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
hingga mirip menghilang.
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Kerak Singa
dan Iblis Bujangan.
"Bangsat tengik! Lari ke mana dia?!" geram
Iblis Bujangan yang bertubuh besar dengan perut buncit dan mengenakan baju
merah tak dikancingkan bagian depannya. Kumisnya lebat, rambutnya panjang
sepundak mengenakan ikat kepala merah juga.
"Apakah dia keturunan hantu, sehingga bisa
menghilang begitu saja?!" Kerak Singa juga menggeram jengkel dengan mata
kecilnya yang mencari ke arah depan.
Orang kurus berkumis tipis dan berdagu runcing itu
sempat terkejut ketika Suto Sinting perdengarkan suaranya di belakang kedua
orang tersebut.
"Aku tidak lari ke mana-mana!" Weeet...!
Kedua kakak-beradik itu segera palingkan wajah ke belakang.
Suto Sinting tersenyum tenang saat mereka lebarkan
mata pertanda kaget mengetahui lawannya sudah ada di belakang mereka.
"Monyet sungsang! Kau sengaja mempermainkan
kami, hah?!" bentak Iblis Bujangan, ia segera mencabut senjata kapak dua
mata yang tadi terselip di sabuknya. Wuuut...! Kapak itu digenggam kuat-kuat,
siap untuk dihantamkan dalam satu kali lompat saja.
Tetapi Suto Sinting masih tetap tenang, tak ada
kesan takut sedikit pun. Tali bumbung tuaknya dililitkan di tangan kanan hingga
bambu sakti itu bagaikan sedang ditenteng dengan ringan.
"Maaf, aku tidak mempermainkan kalian. Aku hanya
menghindari bentrokan yang dapat membahayakan jiwa kita bersama. Persoalanku
dengan Jagal Neraka adalah bukan persoalan kalian berdua," kata Suto
Sinting sambil matanya memandang lurus ke arah Jagal Neraka yang sedang
melangkah mendekati mereka.
"Tapi Jagal Neraka adalah adikku! Jika ia sakit
aku ikut sakit. Jika ia dendam padamu, maka aku pun dendam padamu!"
"O, begitukah tali persaudaraan kalian?!"
"Iya!" sentak Iblis Bujangan.
Kerak Singa menimpali, "Jangan harap kau bisa
lolos jika kami bertiga sudah bersatu begini! Kesatuan kami merupakan kekuatan
yang tiada tandingnya. Kuharap kau bersujud dan memohon ampun kepada kakakku;
si Jagal Neraka!"
Pendekar Mabuk justru sunggingkan senyum. Pandangan
matanya sudah tidak tertuju kepada Jagal Neraka lagi, melainkan kepada si Kerak
Singa.
Dengan suara kalem, Pendekar Mabuk berkata, "Aku
tak pernah dididik oleh guruku untuk meminta ampun kepada orang sesat seperti
kalian! Jadi aku tidak tahu bagaimana caranya bersujud dan meminta ampun.
Tolong berikan contohnya!"
"Bodoh! Begini caranya...," kata Kerak
Singa, lalu ia berlutut di depan Suto Sinting dan mencium tanah sambil berseru,
"Ampunilah kesalahanku, dan aku berjanji tidak
akan berani melawanmu lagi serta...."
Beeeg...! Tiba-tiba kaki Jagal Neraka menendang
pinggang Kerak Singa.
"Goblok! Kenapa kau yang bersujud di depannya?!
Bangun!"
"Sial! Aku terpedaya oleh omongannya!"
Kerak Singa berdiri dengan menggeram jengkel. Lalu ia berkata kepada Jagal
Neraka,
"Diamlah di sini, akan kuhajar sendiri bocah
sinting itu!"
Iblis Bujangan juga berkata, "Benar, Jagal Neraka!
Diamlah di tempat, biar aku dan adikmu yang membereskan pemuda dungu itu! Kerak
Singa, serang dia...!"
"Keeeeaahhh...!"
Pendekar Mabuk hanya memandang Jagal Neraka dengan
seulas senyum kalem mekar di bibirnya. Ketika serangan dari Kerak Singa datang,
ia berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan badan ke kanan. Tetapi ternyata
tendangan dari Iblis Bujangan datang dari kanan dan akibatnya rahang Suto
Sinting menjadi sasaran telak tendangan kaki besar itu.
Wuuuut...! Ploook...!
Krrrak..! "Aaaaow...!"
Suto Sinting tersentak mundur tiga langkah. Tapi
yang berteriak keras-keras adalah Jagal Neraka. Orang berperawakan besar itu
menjerit sambil memegangi rahangnya.
Suto Sinting tidak
bersuara sedikit pun. Kerak Singa penasaran melihat Suto Sinting bagai kebal
tendangan. Karenanya, Kerak Singa segera melesat dalam satu lompatan dan
tubuhnya berputar tepat di depan Suto Sinting.
Putaran tubuh itu membuat kakinya menyabet wajah
Suto Sinting dengan telak sekali. Ploookk...!
"Aaauhg...!" terdengar suara Jagal Neraka
memekik tertahan bersama tubuhnya terpelanting melintir ke kiri.
"Habisi saja dia!" seru Iblis Bujangan.
"Heeeah...!"
"Hiaaah...!"
Kedua kakak-beradik itu maju bersama menerjang Suto
Sinting. Pukulan telak meluncur beberapa kali mengenai wajah tampan Pendekar
Mabuk. Keduanya menghajar Suto Sinting bagai orang kesurupan. Bed, bed, plok,
plak, buuhg,
plak, cprot...! Crrraasss...!
Kapak dua mata diayunkan dari atas ke bawah dan tepat membelah dada Suto
Sinting.
"Aaaaahg...!"
Jeritan memilukan itu datang dari Jagal Neraka,
sedangkan Suto Sinting hanya tersentak mundur tiga langkah lagi. Kulit tubuhnya
masih utuh tanpa luka sedikit pun. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Iblis
Bujangan dan Kerak Singa. Mereka sama-sama berpaling memandang Jagal Neraka
yang ada di belakang mereka.
"Haaah...?!"
"Lhoo...?!"
Mereka sama-sama terkejut melihat Jagal Neraka
terkapar berlumur darah. Bukan saja wajahnya menjadi babak belur tapi juga
dadanya robek terbelah sampai batas pusar. Keadaan Jagal Neraka sangat
menyedihkan, ia tak bisa berteriak lagi, bahkan bernapas pun tampak sulit
sekali.
Pendekar Mabuk berkata dengan suara
kalem, "Ada rahasia yang belum kalian ketahui, bahwa orang yang tersengal-sengal
begitu namanya orang sekarat! Lekas bawa pergi dan carikan obat penyambung
nyawanya. Jika tidak, maka ia akan mati oleh senjata kakaknya sendiri."
"Bangsat! Yang kubelah si bocah sinting itu,
yang celaka malah Jagal Neraka! Ilmu macam apa yang ia miliki
sebenarnya?!"
"Jangan bicara saja! Cepat bawa pergi Jagal
Neraka dan selamatkan dia!" seru Kerak Singa dengan wajah panik.
Mereka tidak tahu bahwa Suto Sinting telah
menggunakan ilmu 'Alih Raga', yaitu mengalihkan rasa ke raga orang lain. Ilmu
itu dilepaskan pada saat mata Suto Sinting memandangi Jagal Neraka sebelum ia
diserang Iblis Bujangan dan Kerak Singa tadi. Ilmu 'Alih Raga' membuat dirinya
mudah dipukul tapi orang lain yang merasakan sakitnya.
Iblis Bujangan dan Kerak Singa bergegas mengangkat
tubuh besar Jagal Neraka yang dalam keadaan sekarat itu. Tetapi sebelum tubuh
itu sempat terangkat, Jagal Neraka telah menghembuskan napas yang terakhir, karena
jantungnya robek akibat tebasan kapak tajam Iblis Bujangan.
"Bangsaaaat...! Dia sudah tak bernyawa lagi!
Ini gara-gara bocah sinting itu! Kubunuh kau, Sapi Lanang! heeeahh...!"
Kerak Singa berlari dan lakukan lompatan bersalto ke arah Pendekar Mabuk.
Namun tiba-tiba di pertengahan jarak tubuh Kerak
Singa terpental dan melayang bagaikan terbuang jauh dari tempat tersebut.
Sepertinya ada badai besar yang hanya bisa
menghempaskan tubuh kurus si Kerak Singa. Melihat keadaan itu Suto Sinting
menjadi heran dan mulai berkecamuk dalam batinnya,
"Pasti ada pihak lain yang memihakku....
Hmmm... siapa orang itu dan di mana ia berada?!" Sambil mata Suto Sinting
melirik sekeliling dengan teliti.
"Aaaah...!" di sebelah sana Kerak Singa
menjerit keras-keras karena tubuhnya terbanting di atas gugusan batu karang.
Punggungnya terluka babak belur akibat goresan ujung runcing gugusan batu
karang itu.
"Celaka! Kalau kuterus-teruskan bisa berbahaya.
Mampus semua saudaraku!" pikir Iblis Bujangan setelah menyadari tingginya
ilmu pemuda yang dihadapi itu.
"Kerak Singa, tinggalkan tempat ini!
Cepaaat...!" Iblis Bujangan berteriak serukan perintah, ia sudah memanggul
mayat Jagal Neraka. Setelah serukan perintah ia pun segera berkelebat pergi
sambil membawa mayat adiknya. Kerak Singa akhirnya ikuti saran sang kakak,
namun sebelumnya sempat berseru tinggalkan ancaman kepada Suto Sinting.
"Awas! Suatu saat aku akan membeset sekujur
tubuhmu, Bocah Gila!"
Pendekar Mabuk hanya angkat bahu dan kembangkan
kedua tangan pertanda pasrah dengan ancaman itu. Tapi di bibirnya sunggingkan
senyum sebagai imbang bahwa ia tak merasa gentar mendengar ancaman tersebut.
Tuak pun ditenggaknya kembali tiga teguk.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara jerit di
kejauhan. Jerit itu adalah jerit seorang wanita yang tak bisa ditebak muda dan
tuanya.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan berkata dalam hati,
"Suara jeritan perempuan. Hmmm... arahnya dari timur. Siapa dia dan ada
apa dengan dirinya? Aku harus segera ke sana untuk mengetahui rahasia jeritan
itu?"
Zlaaap...! Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang kecepatannya melebihi anak panah terlepas dari busur, Pendekar Mabuk
berkelebat menuju ke arah timur, ia tinggalkan daerah pasir pantai demi
mengikuti rasa penasarannya.
Zlaaaap...! Wuuut, Jleeg.„.!
Ia tiba di atas pohon tinggi dalam sekejap.
Kerimbunan daun pohon membuatnya tak terlihat jelas dari bawah. Tapi dalam
keadaan di atas pohon itu ia dapat memandang suasana di bawah dan sekitarnya.
"Oh, Itu dia...?!" mata Pendekar Mabuk
terarah pada gerakan seorang gadis yang berlari menerabas semak bagai dikejar
setan. Pendekar Mabuk cepat-cepat berkelebat ke arah gadis tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
"Aaaaooff...!"
Gadis itu disambarnya dari belakang, lalu dibawa
melayang ke atas pohon bagaikan terbang. Mulutnya segera disekap dengan tangan
agar tak menimbulkan suara jeritan yang dapat diketahui oleh pengejarnya.
Setelah sampai di atas pohon, di sebuah dahan besar
bercabang tiga, tangan Suto Sinting melepaskan bekapannya sehingga mulut gadis
itu mampu mengeluarkan engahan beruntun.
"Jangan berteriak. Aku bukan lawanmu. Aku
seorang teman, Nona!"
"Ooh, oooh... ooh, siapa... siapa kau?!" Gadis
itu memandang dengan rasa takut. Tapi setelah agak lama, ia mulai sadar bahwa
orang yang menyambarnya itu berwajah tampan dan memikat hati. Gadis yang
memakai rompi hijau muda sama dengan warna celananya itu segera hentikan rasa
takutnya.
Namun pandangan matanya masih menyorot penuh
keheranan karena merasa asing, belum pernah jumpa dengan Suto Sinting.
Sementara itu Suto Sinting sendiri sempat menatap
penuh rasa kagum, karena gadis berambut pendek yang memakai ikat kepala hijau
muda juga itu ternyata berparas cantik. Mungil tapi menarik. Hidungnya bangir
dan matanya membelalak indah.
Ketika pandangan mata Suto Sinting terarah ke dada
si gadis, ia buru-buru buang pandangan karena berdebar-debar melihat dada si
gadis yang montok dan mengenakan penutup dada warna merah jambu sangat tipis.
Sebagian belahan dada bagian atas tampak menantang
dalam kepolosan kulit lembutnya yang berwarna kuning langsat. Pandangan mata
Suto saat itu ke arah pinggang, ternyata gadis itu mempunyai dua pisau di
pinggang kanan kirinya.
Gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan
bertubuh sekal itu segera mengulang pertanyaannya dengan suara masih gemetar
akibat rasa takutnya tadi.
"Kaaau... kau siapa?"
"Aku seorang sahabat. Bukan musuhmu,
Nona."
"Hmmm.,. eeh... tapi namamu siapa?"
"Kau bisa memanggilku: Suto," jawab si
Pendekar Mabuk tanpa mau menjelaskan siapa nama dan gelarnya yang sebenarnya.
"Terus terang, Nona... baru sekarang aku jumpa
denganmu, sehingga aku tak tahu siapa namamu."
"Hmmmm... hmmm... namaku... namaku Pakis
Ratu."
"Pakis Ratu...?! Oh, indah sekali. Seperti nama
tanaman hias."
"Iiih...!" gadis itu mencubit lengan Suto
Sinting. Yang dicubit hanya tertawa kecil tanpa suara. "Apakah kau benar-benar
bukan berpihak pada si Dewa Tengkorak?!"
"Siapa ..?! Dewa Tengkorak?! Oh, aku malah baru
sekarang mendengar nama Dewa Tengkorak. Siapa itu Dewa Tengkorak?!"
Pakis Ratu tampak ragu untuk menjelaskannya. Matanya
melirik ke alam sekitarnya dengan perasaan cemas.
Rupanya gadis itu masih merasa takut menjelaskan
siapa Dewa Tengkorak itu. Kecemasan dan keraguan Pakis Ratu membuat Pendekar
Mabuk menjadi semakin penasaran lagi.
"Katakan saja siapa Dewa Tengkorak itu. Jangan
takut, aku melindungimu dari bahaya apa pun, Pakis Ratu!"
*
* *
3
SETELAH beberapa saat ditunggu tak ada orang
berkelebat di sekitar pohon itu, maka Pendekar Mabuk berani memastikan si
pengejar Pakis Ratu telah kehilangan arah.
Gadis itu segera dibawa turun dan mereka bicara di
bawah pohon. Kebetulan di bawah pohon itu ada sebatang pohon kering yang
tumbang beberapa waktu yang lalu.
Suto Sinting membiarkan Pakis Ratu duduk di atas
batang pohon kering itu sambil menuturkan kisahnya.
"Ayahku seorang lurah di Dewa Balongan. Tapi...
tapi sekarang desa itu sudah tidak memiliki kepala desa lagi. Ayahku telah
dibunuh oleh Dewa Tengkorak, ibuku dan keempat saudaraku juga dibunuh oleh Dewa
Tengkorak. Kami sekeluarga dihabisi, nyaris tak tersisa seorang pun. Bahkan
pelayan-pelayan kami pun dibantai habis oleh Dewa Tengkorak."
Pakis Ratu mulai menitikkan air matanya. Wajahnya
tertunduk dengan napas tersengal-sengal
karena isak tangis kesedihannya. Pendekar Mabuk hanya menarik napas untuk
menutupi rasa harunya, ia bangkit berdiri dan melangkah ke depan, kemudian
berpaling kembali memandangi Pakis Ratu.
"Mengapa Dewa Tengkorak membantai
keluargamu?"
Gadis itu menelan ludahnya satu kali, kemudian
mencoba untuk menenangkan tangis. Sesaat kemudian barulah terdengar suaranya
yang sedikit parau itu.
"Dewa Tengkorak adalah anak tunggal Ki
Gadalumo. Dulu, Ki Gadalumo adalah lurah di Desa Balongan. Tapi karena Ki
Gadalumo lakukan kesalahan, maka Kanjeng Adipati tidak mau memilih Ki Gadalumo
sebagai lurah. Bahkan ia dipecat dari jajaran punggawa kadipaten. Sebagai
gantinya, ayahku diangkat oleh Kanjeng Adipati untuk menjadi lurah di Desa
Balongan."
"Lalu, Ki Gadalumo benci kepada ayahmu dan
memusuhinya?!"
"Ki Gadalumo mati bunuh diri karena malu kepada
masyarakat desa. Dewa Tengkorak yang selama ini pergi berguru mendengar kabar
tersebut dan menyangka penyebab kematian ayahnya adalah ayahku. Maka ia
memusuhi keluargaku. Tetapi pada waktu itu, Dewa Tengkorak tak pernah berhasil melukai
ayahku, karena ayahku mempunyai seorang pengawai yang bernama Paman Wiradipa. Ilmu
si Dewa Tengkorak kalah dengan Ilmu Paman Wiradipa."
"Lalu, mengapa sekarang keluargamu bisa
dibantai oleh Dewa Tengkorak?!"
"Dia dibantu oleh seseorang yang ilmunya lebih
tinggi dari Paman Wiradipa. Dalam sekali gebrak saja Paman Wiradipa tumbang tak
bernyawa. Ayahku tak sanggup menghadapi Dewa Tengkorak. Dengan keganasannya
yang mengerikan, Dewa Tengkorak membantai habis seluruh penghuni rumahku."
"Kau sendiri berhasil lolos dari
pembantaiannya?"
Pakis Ratu mengangguk sambil masih menahan isak
tangisnya, ia bicara dengan nada lebih parau lagi karena bercampur tangis
kesedihan.
"Aku sedang berada di pondok Guru. Ketika tiba
di rumah, Dewa Tengkorak sedang mencari-cariku. Maka aku pun segera melarikan
diri dan mengadu kepada Guru."
"Apa tindakan gurumu?"
"Guru terluka parah oleh serangan Dewa
Tengkorak dan orang yang membantunya.
Guru sempat berseru agar aku melarikan diri dan tidak menghadapi Dewa Tengkorak yang bersekutu
dengan seorang tokoh sakti itu.
Maka, Dewa Tengkorak pun mengejarku tanpa orang yang membantunya. Aku
berlari dan berlari untuk selamatkan diri. Kelak aku harus bikin perhitungan
dengan Dewa Tengkorak jika aku sudah menambah ilmuku."
Pendekar Mabuk diam beberapa saat lamanya, ia
membiarkan gadis itu menangis terisak-isak membayangkan kematian keluarganya.
Dalam benak Suto Sinting terlintas kenangan lama saat keluarganya dibantai
habis oleh si Kombang Hitam pada saat ia masih berusia bocah. Terasa betul luka
kepedihan di hati Suto Sinting bila mengenang peristiwa tersebut, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode perdana: "Bocah Tanpa Pusar").
"Biarkan ia menangisi kengerian itu, supaya
lega hatinya dan kebal terhadap bayangan
duka itu," pikir Suto Sinting. "Setelah puas mencurahkan duka lewat
air mata, ia pun akan berhenti menangis sendiri. Kalau sekarang ia kubujuk,
kubelai atau kupeluk, tangisnya akan kian meraung dan dukanya akan semakin menjadi-jadi.
Tapi agaknya aku perlu lakukan sesuatu untuk lindungi gadis ini. Dewa Tengkorak
pasti tetap mengincar Pakis Ratu, dan belum akan berhenti memburu keturunan
Lurah Desa Balongan itu sebelum Pakis Ratu dilenyapkan juga."
Tuak dalam bumbung sakti diteguk kembali oleh Suto
Sinting. Tiba-tiba teringat dalam benaknya bahwa tuaknya itu bukan saja bisa
dipakai untuk penyembuhan, namun bisa juga digunakan untuk menenangkan hati
yang resah atau sedih. Maka, ia pun segera menyuruh Pakis Ratu meneguk tuaknya.
"Minumlah sebagai penenang jiwamu, Pakis Ratu.
Seteguk saja sudah cukup."
Ternyata apa kata Suto Sinting dalam bujukannya itu
memang benar. Dua teguk tuak diminum oleh Pakis Ratu. Lambat laun rasa dukanya
menjadi sirna, kecemasannya pun pudar. Pakis Ratu menjadi tenang, jiwanya yang guncang
akibat kematian keluarganya kini telah menjadi kokoh kembali.
"Aku harus mencari seorang guru lagi untuk
memperdalam ilmuku dan kelak akan kupakai untuk membalas dendam kepada Dewa
Tengkorak," ujar si gadis dengan nada geram menahan dendam. Matanya sempat
memandang lurus dengan sedikit mengecil, seakan memancarkan cahaya dendam
kesumat yang sangat membara.
"Kalau kau...." Kata-kata Suto Sinting
terhenti seketika karena ia melihat cahaya merah bergerak cepat ke arah
punggung Pakis Ratu. Claaap.. ! Dengan kecepatan tinggi tangan Pendekar Mabuk
menyambar tubuh Pakis Ratu. Weees...!
Gadis itu jatuh dalam dekapan Suto Sinting sambil
terpekik kaget. Cahaya merah itu kenai sebatang pohon dan timbulkan ledakan
cukup keras.
Duaaar...!
Pohon tersebut menjadi koyak, sebagian kulit
batangnya terkelupas. Daun-daunnya pun berguguran walau tak seluruhnya. Tapi
batang pohon itu menjadi seperti habis diseruduk cula badak.
"Ada yang mau membunuhku?!" ujar Pakis
Ratu dengan tegang setelah memandang nasib pohon tersebut.
"Tenanglah. Biar aku yang menghadapi orang
itu," bisik Suto Sinting sambil menarik tubuh Pakis Ratu agar berdiri di
belakangnya.
Gadis itu menurut sambil matanya melirik ke
sana-sini penuh waspada. Suto Sinting bagaikan bicara sendiri sambil memandang
ke arah semak belukar yang berada dalam jaraksepuluh langkah lebih darinya.
"Keluarlah, Sobat! Jangan bersembunyi di balik
semak itu. Aku tahu kau ada di sana dan aku dapat lepaskan pukulan jarak jauhku
jika kau tak mau keluar dari semak-semak!"
Alam menjadi sepi sesaat. Pendekar Mabuk menunggu
orang yang bersembunyi di balik semak-semak itu. Namun yang ditunggu tak
kunjung muncul. Suto Sinting sudah mau lepaskan jurus pukulan jarak jauhnya.
Namun tiba-tiba seberkas sinar merah melesat lagi
dari arah samping dan sasarannya adalah tubuh Pakis Ratu.
Claaap...!Wuuusss...!Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk kaget dan menjadi heran. Sinar merah
itu meledak di pertengahan jarak. Sinar merah itu meledak setelah munculnya
seberkas cahaya putih sebesar lidi. Cahaya putih itu menghantam sinar merah dan
terjadilah ledakan cukup besar, sempat membuat pepohonan bergetar hingga
daun-daun pun berguguran.
"Hmmm... ada yang memihakku secara
sembunyi-sembunyi," pikir Suto Sinting. "Siapa orang yang memihakku
itu? Mengapa ia tak menampakkan diri?"
Rupanya ledakan tadi menyemburkan gelombang hawa
panas ke arah pengirim sinar merah tersebut. Hawa panas itu segera dihindari
dan mau tak mau si pemilik sinar merah segera melompat keluar dari
persembunyiannya, ia melambung bagaikan terbang dan bersalto dua kali. Dalam
sekejap saja sudah mendaratkan kakinya di depan Suto Sinting dan Pakis Ratu.
Jleeeeg...!
"Ooh...?!" Pakis Ratu terpekik dengan
wajah tegang memandang tokoh yang baru datang. Tokoh tersebut seorang lelaki bertubuh
kurus berbaju abu-abu dan celana merah. Bajunya tidak dikancingkan sehingga
tampak tulang iganya saling bertonjolan keluar karena kekurusan badannya.
Tangannya kecil, bagai tulang terbungkus kulit tanpa daging sedikit pun.
Rambutnya kucal, sepanjang tengkuk dengan ikat kepala warna merah tua. Matanya melotot
lebar seakan ingin lepas dari rongganya, ia mempunyai alis tebal yang hampir
beradu di pertengahan kening.
"Dddl... dialah yang bernama Dewa
Tengkorak!" bisik Pakis Ratu dengan agak gugup, namun ia masih dapat lebih
tenang dari sebelum meminum tuaknya Suto Sinting.
Mendengar bisikan itu, Pendekar Mabuk hanya menggumam
lirih dengan mata tetap memandang lelaki kurus bersenjata pedang lebar yang
masih berlumur darah kering.
Wajah menyeramkan bermata melotot itu memandang Suto
Sinting tanpa berkedip. Yang dipandang hanya tenang-tenang saja, namun segala
gerak-gerik lawannya tertangkap oleh indera penglihatannya.
"Menyingkirlah dari gadis itu agar panjang
umurmu, Bocah Tolol!" geram Dewa Tengkorak yang berusia sekitar lima puluh
tahun.
Menyingkir atau tidak nyawaku sudah punya batas usia
sendiri," kata Suto Sinting dengan suara kalem. "Apa pedulimu jika
aku tak mau menyingkir dari gadis ini?"
"Kau akan kujadikan korban terakhir setelah
keluarga Lurah Deksana kuhabisi tanpa sisa sepotong pun!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, bahkan tertawa
kecil tanpa suara bagai orang mendengus. Sikapnya yang kalem membuat hati Dewa
Tengkorak menjadi semakin panas.
"Kuhitung tiga kali kalau kau masih melindungi
gadis itu, aku terpaksa mencabut nyawamu lebih dulu, Bocah Tolol!"
"Gadis ini tidak berdaya dan bukan tandinganmu,
Dewa Tengkorak."
"Aku tidak peduli! Dia harus mati sebagal
keturunan Lurah Deksana yang tercecer dari pembantaianku!"
"Aku hanya melindungi kaum yang lemah dan orang
yang benar! Biasanya aku sulit disuruh menyingkir jika yang kulindungi adalah
orang yang tak berdaya."
"Setan alas! Tak sabar aku berceloteh denganmu.
Heeeah...!"
Dewa Tengkorak berkelebat cepat sekali bagaikan
angin menerjang tubuh Pendekar Mabuk. Pedang besarnya itu ditebaskan dari atas
samping ke bawah.
Wuuung...!
Pendekar Mabuk justru sentakkan kaki hingga tubuhnya
naik ke atas dan berputar cepat. Wuuut...! Dalam putaran itu, bumbung bambu
tuak dipergunakan untuk menahan tebasan pedang besar, sementara tangan kirinya
berkelebat cepat menghantam dagu Dewa Tengkorak. Duuug...! Krrrak...! Traaang...!
"Aaauh...!" Dewa Tengkorak terpental
mundur bagai terbuang begitu saja. Pukulan menggunakan pangkal telapak tangan
kiri itu ternyata bertenaga dalam cukup besar. Dagu si Dewa Tengkorak terdengar
gemeretak patah. Sementara itu pedangnya beradu dengan bumbung tuak. Suaranya
seperti pedang beradu dengan besi baja yang sukar dipatahkan atau digores
sedikit pun.
Brrruk...! Dewa Tengkorak jatuh terjungkal dengan
punggung menyentuh tanah lebih dulu. Ia segera berjungkir balik dan, wuut...!
Jleeeg...! Tahu-tahu sudah berdiri lagi dengan dagu menjadi biru.
"Gggrrrmm...!" ia menggeram sambil
memainkan pedangnya ke sisi kanan-kiri. Wut, wut wut..! Sedangkan Pendekar
Mabuk masih berdiri tegak dan tenang, seperti tidak habis lakukan perlawanan
apa pun.
"Keparat busuk kau! Tak boleh dianggap enteng
rupanya. Terima jurus 'Malaikat Penggal Hantu' ini! Hheeeeaahh...!"
Wung, wung, wung, wung, wung...!
Pedang besar itu bergerak cepat menebas ke sana-sini
sambil bergerak maju. Tebasannya begitu cepat hingga timbulkan suara dengung.
Gerakan Dewa Tengkorak sukar dilihat oleh mata orang awam, namun Pendekar Mabuk
masih bisa mengikuti tiap gerakan dengan pandangan mata yang terlatih melihat
benda berkelebat cepat itu.
Pendekar Mabuk segera memutar bumbung tuaknya. Tali
bumbung digenggam dan bumbung itu melayang berputar mengelilingi kepalanya, menimbulkan
suara menggaung lebih keras dari suara pedang besar itu. Wuuung, wuuung,
wuuung,
wuuung...!
Traaang, duaaar...!
Ledakan cukup keras timbul akibat bumbung tuak
beradu dengan tebasan pedang bertenaga dalam itu. Ledakan tersebut membuat Dewa
Tengkorak terpelanting ke belakang dan jatuh terduduk. Sementara itu Suto
Sinting masih tetap diam di tempat, hanya bergeser ke kiri sedikit setelah terjadi
benturan pedang dengan bumbung, tapi keadaannya masih berada di depan Pakis
Ratu.
"Keparat laknat kau!" geram Dewa
Tengkorak, ia segera bangkit dan mengangkat pedang besarnya lagi. Tapi
tiba-tiba pedang itu hancur menjadi serpihan seperti garam kristal.
Prrruusss...!
"Hahhh...?!" Dewa Tengkorak terbelalak.
Mata yang sudah melotot semakin melotot lagi hingga wajahnya tampak
menyeramkan, ia tak menyangka kalau pedangnya ternyata sudah hancur begitu
membentur bumbung tuak tersebut. Rupanya perpaduan tenaga dalam dari pedang dan
bumbung tuak mengakibatkan kehancuran bagi sang pedang. Kehancuran itu tidak
terjadi secara seketika, namun selang beberapa kejap setelah tenaga dalam yang
semula disalurkan ke pedang itu ditarik kembali oleh pemiliknya.
Dengan wajah terbengong memandangi gagang pedangnya
yang sudah tidak bermata pedang lagi itu, Dewa Tengkorak menggeletukkan giginya
hingga terdengar gemeretuk dari tempat Pakis Ratu berdiri.
Gadis itu menggumam kagum dalam hatinya. "Hebat
sekali ilmunya Suto. Pedang baja sebesar itu diadu dengan bumbung bambu saja bisa
remuk sedemikian rupa. Jangan-jangan Suto punya ilmu lebih tinggi dari ilmunya
Paman Wiradipa?! Hmmm... alangkah hebatnya dia; sudah tampan, berilmu tinggi
lagi. Sungguh luar biasa mengagumkannya."
Pendekar Mabuk bicara kepada Dewa Tengkorak,
"Kusarankan hentikanlah pembantaianmu! Kurasa sudah cukup ayah Pakis Ratu
kau bunuh, bahkan seluruh keluarganya yang kau bantai. Biarkan gadis ini hidup
dengan tenang tanpa gangguan dendammu, Dewa Tengkorak!"
"Tutup bacotmu!" bentak Dewa Tengkorak
semakin murka. "Kurasa kau memang layak dihancurkan seperti kau
menghancurkan senjataku ini!
Hiaaah...!"
Dewa Tengkorak mengangkat kedua tangannya membentuk
cakar. Kedua tangan itu menyala merah membara. Namun sebelum ia bergerak,
tiba-tiba seberkas sinar putih perak sebesar lidi melesat menghantam dadanya. Claaap...!
Duuus...!
"Aaahg...!" Dewa Tengkorak tumbang ke
belakang bagai ditendang kuda. Wajahnya menjadi pucat pasi dengan mulut
memuntahkan darah merah segar. Pendekar Mabuk merasa heran dan segera memandang
sekeliling sambil membatin,
"Siapa orang yang membantuku sejak dari pantai
tadi?! Mengapa ia tidak menampakkan diri terang-terangan?!"
Dewa Tengkorak mengerang dengan merangkak rangkak
mencari tempat untuk rambatan. Tetapi berulang kali ia gagal berdiri karena
tubuhnya terasa lemas, ia terpaksa menahan napas dengan mengeraskan seluruh
urat tubuhnya menggunakan sisa tenaga yang ada. Asap tipis mulai mengepul dari
pori-pori kulitnya, dan tubuh kurus itu mulai bergetar dengan suara mendesah
panjang. Rupanya ia lakukan penyembuhan secara sederhana. Dan hal itu tidak
dipedulikan oleh Suto Sinting.
Pandangan Pendekar Mabuk ke arah belakangnya, karena
ia menjadi penasaran ingin mengetahui siapa orang yang membantu menyerang Dewa
Tengkorak itu. Pakis Ratu sendiri merasa bingung melihat Suto Sinting
celingak-celinguk mirip pemuda dungu.
"Apa yang kau cari, Suto?!"
"Orang yang melepaskan sinar putihnya
tadi."
"Sinar putih apa? Aku tidak melihat ada sinar
putih."
Pendekar Mabuk makin bingung menjelaskannya.
*
* *
4
LANGIT sore memancarkan warna merah tembaga, seakan
mengisyaratkan kepada manusia akan datangnya bencana. Kematian akan terjadi di
mana-mana, jerit tangis anak manusia akan menggema di seluruh pelosok dunia. Bencana
yang akan timbul itu tak lain datang dari keganasan tokoh aliran hitam yang
dikenal dengan nama Setan Rawa Bangkai.
Pendekar Mabuk belum mengetahui kemunculan Setan
Rawa Bangkai, sehingga ia masih menganggap suasana berjalan sebagaimana
mestinya. Yang ada dalam benak Pendekar Mabuk adalah mencari tempat untuk
bermalam sang gadis cantik yang sudah kehilangan seluruh anggota keluarganya
itu. Namun agaknya Pakis Ratu masih meributkan soal pelarian Dewa Tengkorak
yang dibiarkan Suto Sinting.
"Seharusnya manusia terkutuk itu jangan diberi
kesempatan hidup lagi!
Seharusnya kau tidak membiarkan Dewa Tengkorak
melarikan diri walau dalam keadaan terluka, ia bisa saja meminta bantuan
penyembuhan kepada temannya yang ilmunya lebih tinggi itu. Jika lukanya sembuh,
maka ia akan mengumbar kekejian lagi, setidaknya ia akan memburuku
kembali!"
Gadis itu bicara dengan bersungut-sungut Pendekar
Mabuk hanya tersenyum-senyum kecil melihat raut muka si cantik mungil itu.
Dengan sabar Pendekar Mabuk pun jelaskan maksud dirinya membiarkan Dewa Tengkorak
melarikan diri.
"Kalau dia mati sekarang juga, berarti dia
tidak menebus kekejiannya dengan kehidupan yang sengsara. Ingat, Pakis Ratu...
hidup itu lebih sengsara daripada mati. Orang yang mati tidak akan menemukan
kesulitan lagi, tidak akan merasakan penderitaan lagi. Tetapi orang yang hidup
akan merasakan semua itu. Jika ia menanam kejahatan, maka hidup selanjutnya
akan menuai penderitaan. Jika ia menanam kebaikan, maka hidup selanjutnya akan
menuai keindahan. Jadi kalau Dewa Tengkorak kita biarkan hidup, berarti kita biarkan
dia menuai penderitaan, diburu musuhnya, dikejar dendam, dihantui kegelisahan
dan lain sebagainya."
"Bilang saja kalau kau tak bisa membunuh Dewa
Tengkorak, karena ilmumu lebih rendah darinya!" potong Pakis Ratu dengan
nada ketus dan wajah cemberut.
"Ya,
anggap saja begitu," balas Suto Sinting dengan diiringi senyum kesabaran.
"Kelak kalau aku sudah berguru lagi pada orang
yang lebih sakti darinya, akan kubunuh sendiri si tengkorak busuk itu!"
Suto Sinting tertawa geli, namun tawanya tak sampai
keluarkan suara keras. Mirip orang menggumam.
"Kau ingin berguru kepada siapa?"
"Siapa saja!" jawabnya tetap berwajah
cemberut. "Aku pernah dengar cerita tentang kesaktian seorang pendekar
yang bernama Pendekar Mabuk. Aku akan berguru padanya. Aku akan meminta ilmu
dan kesaktian yang dapai untuk hancurkan kepala si Dewa Tengkorak itu."
Semakin geli hati Suto Sinting mendengarnya. Rupanya
gadis itu benar-benar belum mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan
Pendekar Mabuk. Bagi Suto, hal itu semakin membuatnya serba salah. Jika ia
mengaku bahwa dirinyalah Pendekar Mabuk yang diceritakan Pakis Ratu, belum
tentu si gadis akan mempercayainya. Jika Suto diam saja, maka alangkah
kasihannya si gadis yang tidak tahu di mana Pendekar Mabuk berada.
"Yang penting sekarang mencari tempat untuk
bermalam. Kau butuh istirahat, Pakis Ratu."
Ucapan itu disertai belaian lembut di rambut Pakis
Ratu. Si gadis merasakan debaran aneh di hatinya yang membuat ia tak mampu
menepiskan tangan yang membelai rambut pendeknya itu. Ia hanya berlagak acuh
tak acuh, seakan tidak menghiraukan usapan lembut dari tangan pemuda tampan
itu.
"Aku ingin menemui guruku lagi. Mungkin Guru
butuh bantuan karena luka-lukanya. Di pondoknya itu aku bisa bermalam dan
beristirahat."
"Siapa gurumu sebenarnya, Pakis Ratu?"
"Nyai Kidung Laras."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi, merasa asing dengan
nama Nyai Kidung Laras. Baru kali ini ia mendengar nama tersebut, sehingga
hasrat hati pun ingin bisa bertemu dengan tokoh tersebut. Terlebih setelah Suto
Sinting ingat bahwa Nyai Kidung Laras sedang menderita luka seperti yang diceritakan
Pakis Ratu, keinginan untuk bertemu Nyai Kidung Laras semakin besar, sebab ia
ingin mencoba mengobati perempuan itu dengan menggunakan tuak saktinya.
Untuk mempersingkat waktu, Pendekar Mabuk
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' dalam perjalanannya menuju ke tempat tinggal
Nyai Kidung Laras. Kecepatan lari dari jurus 'Gerak Siluman' tak mungkin bisa diikuti
atau diimbangi oleh Pakis Ratu. Mau tak mau Pakis Ratu digendongnya dengan dua tangan. Gadis itu
tidak keberatan, karena hatinya merasa senang jika berada dalam pelukan pemuda
tampan itu.
"Mana arah yang harus kutuju?"
"Ke selatan!" jawab Pakis Ratu, padahal
arah yang sebenarnya adalah ke barat. Pakis Ratu sengaja memperjauh jarak
supaya ia lebih lama berada dalam gendongan Pendekar Mabuk. Dari selatan, ia
segera menuju ke arah barat, dan Suto Sinting tidak menyadari kalau diperdaya
oleh Pakis Ratu.
"Edan! Kecepatan geraknya seperti terbang.
Ternyata arah selatan sangat pendek bagi perjalanan 'terbang' seperti ini,"
pikir Pakis Ratu.
"Seharusnya aku tadi menunjuk ke arah timur
lebih dulu, baru ke selatan, setelah itu ke barat. Jadi aku bisa berada dalam
gendongannya lebih lama lagi."
Semua perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan
jurus Gerak Siluman' memakan waktu pendek. Sepertinya baru sekejap Pakis Ratu berada
dalam gendongan Suto Sinting, tahu-tahu mereka sudah sampai di Lembah Hijau,
tempat kediaman Nyai Kidung Laras.
Ternyata keadaan Nyai Kidung Laras memang
menyedihkan. Sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus akibat luka bakar yang sulit
disembuhkan. Luka bakar itu tidak menyerang pada rambut atau pakaian, namun
hanya mengenai kulit dan daging tubuh sang Nyai.
Perempuan berusia lima puluh tahun itu terkapar di
depan pondoknya tanpa bisa lakukan apa-apa.,ia bagaikan sedang menunggu saatnya
ajal tiba.
Namun ketika Pendekar Mabuk tiba di tempat, sang
Nyai dipaksa untuk meminum tuak sakti beberapa teguk. Dengan menelan tuak
tersebut, luka bakar di tubuh Nyai Kidung Laras menjadi sembuh secara
berangsur-angsur. Bahkan sebelum petang tiba, keadaan Nyai Kidung Laras telah menjadi
sehat melebihi sebelum lakukan pertarungan dengan Dewa Tengkorak.
Perempuan berjubah ungu yang rambutnya disanggul
asal-asalan itu ternyata dulunya bekas perempuan cantik. Terbukti sampai
sekarang rona kecantikannya masih membekas di wajah sang Nyai. Badannya tidak
terlalu kurus, namun juga tidak gemuk. Badan itu masih terawat dengan rapi dan tampak
sekal berisi. Dalam hati Suto Sinting mengakui, perempuan separo baya itu masih
punya daya pikat sendiri bagi seorang lelaki, hanya saja tidak terlalu
ditonjolkan.
Nyai Kidung Latas bukan perempuan jalang yang yang
melirik nakal. Ia justru tampak berkharisma dengan ketenangannya yang kadang
membuat Suto Sinting kikuk bicara.
"Luka yang kuterima ini bukan dari ilmunya Dewa
Tengkorak," kata sang Nyai saat menyalakan pelita.
"Jika bukan Dewa Tengkorak, lantas siapa yang
menyerangmu, Nyai?" tanya Suto Sinting dengan tutur kata yang ramah dan
lembut.
"Dewa Tengkorak sekarang bersekutu dengan Setan
Rawa Bangkai yang baru selesai lakukan semadi rendam di rawa busuk itu. Agaknya
Dewa Tengkorak sekarang sudah menjadi pelayan Setan Rawa Bangkai, karena ia
ingin memanfaatkan kesaktian Setan Rawa Bangkai untuk kepentingan pribadinya. Salah
satu kepentingan pribadi yang sudah dibantu oleh Setan Rawa Bangkai adalah
membantai keluarganya Pakis Ratu."
Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. Petang
dibiarkan lewat, karena ia sudah sepakat dengan Pakis Ratu untuk bermalam di
pondok Nyai Kidung Laras.
"Siapa yang dimaksud Setan Rawa Bangkai itu,
Guru?" tanya Pakis Ratu yang rupanya baru kali itu mendengar nama Setan
Rawa Bangkai. Sang Nyai pun menjelaskan kepada muridnya, tapi Pendekar Mabuk
menyimak betul tiap ucapan sang Nyai sebagi bekal pengetahuannya tentang tokoh
beraliran hitam tersebut.
"Setan Rawa Bangkai mempunyai nama asli
Marundang. Usianya sudah sangat tua tapi kekuatannya masih seperti anak muda.
Dia bekas ketua Perguruan Leak Garang. Semasa jayanya perguruan itu ditakuti oleh
perguruan lain. Jurus-jurusnya sangat mematikan dan tidak kenal belas kasihan
kepada lawan."
Suto Sinting menyempatkan meneguk tuaknya ketika
Nyai Kidung Laras hentikan cerita sebentar karena terbatuk-batuk. Batuk itu
adalah sisa gatal di tenggorokan karena tak pernah meminum air tuak.
Sang Nyai pun lanjutkan ceritanya, "Perguruan
Leak Garang menyediakan tenaga-tenaga pembunuh bayaran, pengawal bayaran dan
orang-orang upahan yang siap menerima perintah dari siapa saja yang berani
memberi upah tinggi kepada mereka.
Tetapi pada suatu hari, Perguruan Leak Garang
diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang yang diketuai Medangsula,"
"Siapa yang unggul, Guru?"
"Perguruan Leak Garang disapu habis oleh
orang-orang Pulau Kelabang. Tinggal si Marundang seorang diri. Ia mengamuk dan
membabat habis orang Pulau Kelabang, sampai ketua mereka pun dibinasakan tanpa
ampun oleh Marundang. Sejak itu ia tinggal seorang diri di dalam hutan, di tepi
rawa busuk yang disebut Rawa Bangkai.
Hatinya menyimpan dendam kepada orang-orang rimba
persilatan, karena saat perguruannya diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang,
tak ada satu pun orang yang mau memihaknya. Maka timbullah dendam di hati
Marundang untuk membantai habis seluruh tokoh rimba persilatan. Dengan
kesaktiannya yang tinggi, ia menyebarkan kematian secara membabi buta. Tapi
akhirnya ia nyaris binasa oleh lawannya yang dikenal dengan nama si Raja
Maut...."
"Raja Maut?! Oh, saya kenal betul dengan
mendiang Raja Maut, Nyai!" ujar Suto Sinting memotong pembicaraan sang
Nyai, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
"Aku pun kenal dengan Raja Maut, tapi... kau
sebut tadi 'mendiang' padanya? Jadi, Raja Maut sekarang sudah meninggal?"
"Sudah, Nyai. Beliau tewas di tangan Rara
Sumina," jawab Suto Sinting dengan nada duka, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Gundik Sakti").
Setelah diam sesaat, Nyai Kidung Laras perdengarkan
suaranya kembali.
"Kekalahannya dalam melawan Raja Maut membuat
Marundang perdalam lagi ilmunya dengan melakukan tapa rendam di rawa busuk itu.
Selama delapan belas tahun ia tidak tampakkan diri di rimba persilatan. Sebulan
yang lalu kudengar kabar bahwa Marundang yang berjuluk Setan Rawa Bangkai itu
sudah bergentayangan kembali. Kabar yang kudengar pula, bahwa Setan Rawa Bangkai
telah kuasai dua ilmu baru yang bernama 'Sukma Sakti' dan Cakar Belah Jagat'.
Kedua ilmu itu sama-sama berbahaya karena hampir mencapai tingkat tertinggi
dari segala ilmu."
Pendekar Mabuk menjadi sangat tertarik mendengar
nama dua ilmu barunya Setan Rawa Bangkai itu. Ia pun segera ajukan tanya kepada
Nyai Kidung Laras,
"Apa kehebatan kedua ilmu itu, Nyai?"
"Yang dinamakan ilmu 'Sukma Sakti' itu adalah
menyerang lawan tanpa gerakan namun dapat membuat lawan terluka parah, bahkan bias
meremukkan kepala lawan. Sedangkan ilmu atau jurus 'Cakar Belah Jagat' itu tak
lain adalah kecepatan gerak tangan yang mempunyai kuku beracun dan bertenaga
dalam tinggi, hingga tanah pun dapat terbelah jika dicakarnya dengan jurus
'Cakar Belah Jagat'. Dan kedua ilmu itu sukar ditandingi, Suto. Barangkali hanya si Gila Tuak saja yang bisa menandingi ilmunya Setan Rawa
Bangkai."
Pendekar Mabuk sempat terperanjat mendengar nama
gurunya disebutkan.
Suto Sinting sendiri masih belum tahu apakah Nyai
Kidung Laras tidak tahu bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk, muridnya Gila
Tuak? Atau, jangan- jangan Nyai Kidung Laras berlagak tidak tahu tentang jati
diri Suto Sinting. Hal itu akhirnya tidak dipedulikan oleh Suto. Yang ada dalam
benak Suto adalah ingin mengetahui seberapa hebat kedua ilmu barunya Setan Rawa
Bangkai itu. Karenanya ia pun segera ajukan tanya kepada Nyai Kidung Laras.
"Di mana aku dapat temui Setan Rawa Bangkai
itu, Nyai?"
"Jangan!" sergah Pakis Ratu secara
tiba-tiba. Nyai Kidung Laras sunggingkan senyum kecil, kemudian bertanya kepada
Pendekar Mabuk,
"Untuk apa kau ingin tahu tempat tinggal Setan
Rawa Bangkai?"
"Saya ingin melihat kehebatan kedua ilmu itu,
Nyai."
"Jangan, Suto! Nanti kau akan mati jika bertemu
muka dengannya. Guruku saja tak bisa tandingi Setan Rawa Bangkai, apalagi
dirimu, Suto!"
Gadis itu menampakkan kecemasannya. Agaknya ia tak
ingin Suto Sinting menderita celaka sekecil apa pun. Entah perasaan apa yang mendasari
rasa tidak rela jika Suto celaka, yang jelas kala itu Pakis Ratu pandangi Suto
Sinting dengan sorot pandangan mata bernada memohon pengertian dari Suto.
Bahkan ia mengulang bujukannya yang bernada larangan itu.
"Kumohon, jangan coba-coba temui dia. Lebih
baik kau tidak perlu tahu kehebatan dua ilmu barunya itu, ketimbang kau sendiri
menjadi korban nantinya!"
Nyai Kidung Laras menimpali,
"Kurasa saran dari muridku itu memang benar,
Suto. Aku tahu arah perasaannya saat ini, tapi sebaiknya biar kau sendiri yang
menarik kesimpulan."
Pendekar Mabuk tersenyum malu-malu.
*
* *
5
KAKI Gunung Babat diselimuti kabut tipis yang
merayap bagai ribuan roh bergentayangan. Kabut tipis itu berada satu mata kaki
dari tanah, membuat akar pepohonan tampak samar-samar. Hutan di kaki gunung itu
banyak ditumbuhi pohon jati liar yang menjulang tinggi bagai ingin mencakar
langit. Hutan itu jarang dilintasi manusia karena keadaannya yang cukup liar.
Binatang buas dan rawa-rawa menyebar bak penghuni tetap hutan tersebut.
Seekor ular sebesar batang kelapa yang panjangnya
lebih dari tujuh tombak sedang merayap pelan menuju semak belukar. Di balik semak itu ada
sebuah gua bermulut lebar. Rupanya sang ular ingin masuk ke dalam gua tersebut
sebagai tempat tinggalnya selama ini.
Tetapi tiba-tiba ular besar itu tersentak kaget dan
mengibaskan ekornya hingga menghantam sebatang pohon ketika terdengar suara
ledakan yang menggelegar dan mengguncangkan tanah sekitarnya.
Rupanya ledakan itu berasal dari arah timur kaki
gunung tersebut. Ledakan dahsyat itu terjadi akibat benturan cahaya berlainan
warna. Dan kedua cahaya itu datang dari tangan dua tokoh sakti yang sedang
melakukan pertarungan bertaruh nyawa.
Dua tokoh sakti yang mengadu ilmu itu sama-sama
berusia di atas tujuh puluh tahun. Salah satu dari kedua tokoh itu mengenakan
jubah kuning tanpa lengan, Rambutnya panjang diikat ke belakang, ubannya masih
tipis namun kentara kalau sudah berusia lanjut.
Sekalipun sudah berusia tujuh puluh tahun lebih
namun tokoh berjubah kuning itu masih kelihatan gagah dan lincah. Wajahnya yang
jenaka kelihatan tak dibebani perasaan gentar sedikit pun.
Tokoh itu pernah muncul dalam suatu peristiwa yang
melibatkan Pendekar Mabuk dalam mengatasi keganasan gadis bernama Seroja Putih
yang terkena kutuk dari tokoh beraliran hitam bernama Nyai Pegat Raga. Gadis
itu adalah murid dari ketua Perguruan Tapak Dewa yang bernama Eyang Darah
Guntur. Dan tokoh yang berjubah kuning itu adalah adik dari Eyang Darah Guntur
yang dikenal dengan nama Ki Tumbang Laga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Kutukan Pelacur Tua").
Sedangkan lawan yang dihadapi Ki Tumbang Laga kali
itu adalah tokoh yang sedang menjadi bahan pembicaraan orang-orang rimba
persilatan, ia tak lain adalah Setan Rawa Bangkai yang mempunyai nama asli
Marundang. Setan Rawa Bangkai bertubuh lebih kurus dari Ki Tumbang Laga. Bahkan
lebih kurus lagi dari si Dewa Tengkorak.
Badannya yang kurus bagai hanya mempunyai tulang itu
tampak berwarna hitam tapi bersisik busik, ia mempunyai sepasang mata cekung
dengan tulang rongga mata tampak menonjol dan tepian matanya berwarna merah.
Rambut panjang sepunggung dibiarkan meriap lepas berwarna abu-abu. Bibirnya tampak
pecah-pecah bagai orang menderita sakit panas dalam atau sariawan.
Tokoh berjubah hitam itu mempunyai kuku
runcing-runcing, panjang dan berwarna hitam kelabu.
Ketajaman kukunya itu sempat merobek sebatang pohon
jati ketika ia menyabet perut Ki Tumbang Laga dengan gerakan mencakar. Untung
Ki Tumbang Laga cepat menghindar dengan lakukan sentakan yang membuat tubuhnya
melambung ke atas dan berjungkir balik satu kali di udara, kemudian kakinya menyentak
pada batang pohon, sehingga tubuh Ki Tumbang Laga bagaikan meluncur terbang
pindah ke tempat lain. Wuuut...!
Craaak...!
Lima kuku panjang dan runcing itu menyebat batang
pohon dan batang pohon besar itu menjadi koyak berserat-serat bagai terbabat
lima mata pedang. Sedangkan pohon di kanan kirinya menjadi hangus pada
tempat-tempat tertentu karena terkena angin sabetan cakar tersebut.
Setan Rawa Bangkai diam di tempat dan pandangi
lawannya dengan mata cekung yang cukup tajam. Rambutnya tertutup angin hingga
sebagian merintangi permukaan wajahnya. Kedua tangan di samping masih berjari
keras seakan siap-siap lakukan cakaran berikutnya. Ki Tumbang Laga sudah berdiri
di depannya dalam jarak tujuh langkah.
Tokoh tua berwajah jenaka itu tersenyum bagai
menyepelekan perlawanan Setan Rawa Bangkai. Dari tempatnya cengar-cengir, Ki
Tumbang Laga lontarkan kata dengan suara lepas.
"Sampai kapan pun kau tak akan bisa mengungguli
ilmuku, Marundang! Sebaiknya kau menyerah saja dan merelakan nyawamu melayang
sebagai penebus kematian murid kakakku, si Seroja Putih itu!"
"Kau datang kemari untuk antarkan nyawamu,
Tumbang Laga!"
"O, tidak. Jangan salah paham. Aku tidak
mengantarkan nyawa, melainkan diutus oleh kakakku; si Darah Guntur untuk
menebus kematian Seroja Putih. Sebab murid kakakku itu telah kau bunuh melalui
tangan pelayanmu si Dewa Tengkorak. Seandainya sekarang pun aku dapat jumpa
dengan Dewa Tengkorak, maka kalian berdua akan kuantarkan ke neraka tanpa
dipungut biaya sedikit pun, Marundang!"
"Kematian Seroja Putih bukan atas perintahku,
tapi tindakan si Dewa Tengkorak sendiri. Mengapa kau menuntut padaku, Tumbang
Laga?!"
"Atas perintahmu atau bukan, yang jelas kau
bertanggung jawab atas segala perbuatan Dewa Tengkorak. Sebab ia berani
bertindak semena-mena karena merasa mendapat perlindungan darimu.
Mustahil sekali Dewa Tengkorak berani bertindak
semena-mena jika tidak atas dukungan darimu, Marundang."
Dengan mata cekung memancarkan kebencian, Setan Rawa
Bangkai berkata bagai tanpa irama dan nada. Datar sekali.
"Tak ada pilihan lain, bersiaplah untuk mati
lebih dulu!"
Tiba-tiba tubuh Ki Tumbang Laga terlempar ke samping
dengan kuat sekali. Wuuut...! Brruuusss...! Tubuh itu menghantam pohon besar
tanpa dapat menjaga keseimbangannya. Kepala Ki Tumbang Laga membentur batang
pohon dengan keras sekali hingga terdengar suara seperti tulang meretak. Prraakk...!
"Aaahg...!" pekik pendek Ki Tumbang Laga
mengawali cucuran darah yang keluar dari kepalanya.
Setan Rawa Bangkai masih diam di tempat dan hanya
memandang dengan sorot mata semakin tajam. Tanpa gerakan sedikit pun, ia telah
dapat membuat tubuh Ki Tumbang Laga yang baru saja terpuruk di bawah pohon tersebut
telah melayang lagi ke arah lain, bagai dilemparkan ke suatu tempat dengan
gerakan layang sangat cepat. Weesss...! Brruusss...!
Praaak...!
"Aaauh...!" pekikan Ki Tumbang Laga
terdengar kembali setelah tubuhnya menabrak sebongkah batu sebesar kerbau
berdiri. Ki Tumbang Laga tidak tahu bahwa Setan Rawa Bangkai telah pergunakan
ilmu 'Sukma Sakti', yang bisa menghantam atau menyerang lawannya dengan
kekuatan batin. Karena itu, Ki Tumbang Laga yang masih mencoba untuk bisa
berdiri lagi, tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kepala mendongak ke atas.
Ia seperti mendapat pukulan dahsyat pada dadanya. Padahal saat itu Setan Rawa
Bangkai hanya diam di tempat tanpa lakukan gerakan sedikit pun.
"Huuugh...!" Ki Tumbang Laga pejamkan mata
kuat-kuat dengan tubuh melengkung ke belakang. Dadanya menjadi berasap dan
membekas hitam berbentuk telapak tangan. Bekas hitam itu mengepulkan asap putih
samar-samar, disusul dengan muntahnya darah kental berwarna merah kehitaman
dari mulutnya.
Dalam keadaan separah itu, tubuh Ki Tumbang Laga
melayang kembali. Kali ini ia melambung tinggi tanpa mendapat pukulan atau
tendangan dari lawannya.
Tubuh yang melambung tinggi itu segera bergerak
turun dalam keadaan kepala di bawah. Darah makin tersontak banyak dari
mulutnya. Kepala Ki Tumbang Laga bergerak ke arah sebongkah batu yang ujungnya
runcing. Kepala itu akan menancap pada keruncingan batu tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar tubuh Ki
Tumbang Laga. Dalam sekejap saja bayangan itu sudah berhasil memanggul tubuh Ki
Tumbang Laga dan menampakkan diri dalam jarak sepuluh langkah dari Setan Rawa Bangkai.
Pandangan mata Marundang sempat terkesiap sejenak dengan mata cekungnya yang
mengecil, ia merasa asing terhadap kemunculan tokoh muda yang berani menyambar
tubuh Ki Tumbang Laga.
Tokoh muda itu tak lain adalah Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk yang kali ini menyilangkan bumbung tuaknya di punggung. Dengan
tangan kiri memegangi tubuh Ki Tumbang Laga yang dipanggulnya, Suto Sinting
sempat beradu pandangan mata dengan Setan Rawa Bangkai.
"Siapa kau...?!" gertak Setan Rawa Bangkai
tanpa bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Suto Sinting tidak member jawaban,
bahkan melepaskan serangan pun tidak, ia hanya berkelebat sambil membatin dalam
hatinya,
"Menyeramkan sekali tokoh itu. Pasti dia itulah
yang dikenal Setan Rawa Bangkai. Rupanya kedatanganku nyaris terlambat. Ki
Tumbang Laga hampir saja mati di tangannya. Hmmm... rupanya arah yang
ditunjukkan oleh Nyai Kidung Laras tak membuatku salah jalan. Kurasa di hutan
inilah terdapat rawa busuk yang baunya menyebar sampai di tempat ini. Sebaiknya
tidak kulayani sekarang, aku harus selamatkan jiwa Ki Tumbang Laga dulu!"
Zlaaap...!
"Hei, jangan pergi! Jawab dulu pertanyaanku,
Monyet!" sentak Setan Rawa Bangkai dengan suara seraknya.
Tetapi Pendekar Mabuk tetap pergi dengan pergunakan
jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak dengan kecepatan sangat tinggi bagai menghilang
dari pandangan mata itu.
Namun agaknya Setan Rawa Bangkai tidak mau
melepaskan lawannya begitu saja. Pandangan matanya masih mampu melihat gerakan
secepat anak panah, sehingga dengan kekuatan batin dari ilmu 'Sukma Sakti', ia
menyerang Suto Sinting dan membuat Pendekar Mabuk tiba-tiba terjungkal bagai
dibanting oleh tenaga gaib yang tak kelihatan.
Wuuuut...! Brrruukk...!
"Aahhg...!"
Suara rintihan itu datang dari mulut Ki Tumbang Laga
yang sudah terluka sangat parah itu, sebab keadaan Ki Tumbang Laga tertindih
tubuh Suto Sinting yang tak bisa kendalikan keseimbangan badannya.
"Celaka! Dia menggunakan kekuatan batinnya
untuk menyerangku!" geram Suto Sinting dalam hati. "Aku tak bisa
melawannya karena serangan itu tak bisa dilihat mata. Uuuh... hidungku... sial
betul! Hidungku jadi berdarah akibat bantingan keras tadi. Uuuh... tulangku pun
terasa remuk semua kalau begini!"
Zaaap...! Setan Rawa Bangkai tiba-tiba sudah berada
di depan Suto Sinting dalam jarak enam langkah.
Namun sebagai seorang pendekar, Suto Sinting tak mau
menyerah begitu saja, ia berusaha bangkit dan membiarkan Ki Tumbang Laga
terkapar di tanah.
Sayangnya, baru saja ia bangkit dengan satu kaki
berlutut, tiba-tiba datang serangan tenaga besar tanpa terlihat bentuknya.
Tahu-tahu saja dagu Suto Sinting bagai ditendang oleh kaki bertenaga dalam
cukup besar.
Serangan pada dagu membuat kepala Pendekar Mabuk
tersentak ke belakang dalam keadaan terdongak dan rasa sakit menyerang dari
ubun-ubun sampai telapak kaki. Wuuuut...! Brrrus...!
Suto Sinting terpental ke belakang lima langkah
jauhnya dari tubuh Ki Tumbang Laga. Mulutnya menyemburkan darah segar karena
tenggorokannya pun terasa seperti terkena tendangan bertenaga besar.Suto
Sinting nyaris tak bisa bicara lagi, bahkan pernapasannya menjadi sesak sekali.
"Tuak... mana tuakku...?!
Tuak...!" pikir Suto Sinting sambil berusaha
meraih bumbung tuaknya yang masih menyilang di punggung.
Wuuut... Beeeegh...!
"Heeegh...!" Suto Sinting tersentak mendelik
karena perutnya terasa mendapat pukulan besar yang makin membuat napasnya sulit
dihela lagi. Serangan itu tetap datang dari si Setan Rawa Bangkai dengan
menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya.
Serangan tersebut membuat Suto Sinting terpuruk
lemas bagai kehilangan seluruh tenaga. Hanya ada sisa tenaga sedikit yang dapat
digunakan untuk meraih bumbung tuaknya.
Pada saat Pendekar Mabuk berhasil meraih bumbung
tuak, tiba-tiba ia sempat melihat tubuh Setan Rawa Bangkai terpelanting ke
samping dan berguling-guling menerabas semak berduri. Guzraak...! ia bagaikan
tersapu badai yang sulit dihindar! lagi. Bahkan semak yang diterabasnya menjadi
rusak, akar-akarnya berhamburan keluar dari tanah.
"Siapa yang menyerangnya?!" pikir Suto
Sinting sambil berusaha memandang keadaan sekeliling. Tapi tak ada bayangan
manusia yang berdiri di sekitar tempat itu.
"Ah, persetan dengan penyerangnya itu! Tuak
harus kuminum lebih dulu supaya mengembalikan tenagaku!"
Glek, glek, glek...!
Tiga teguk tuak sudah cukup menyegarkan tubuh Pendekat
Mabuk. Tenaganya yang pulih secara sedikit demi sedikit itu membuatnya lekas bangkit
berdiri dan memandang ke arah jatuhnya Setan Rawa Bangkai. Tampak kepala Setan
Rawa Bangkai tersumbul dari ketinggian semak ilalang. Agaknya tokoh berilmu
tinggi itu ingin lakukan serangan kembali kepada Suto Sinting.
Zaaap...! ia muncul dalam gerakan secepat kilat, dan
tahu-tahu sudah berada di depan Suto Sinting.
Namun lagi-lagi sebuah serangan yang tak berbentuk
dan tak berwarna itu datang kepadanya membuat tubuhnya tumbang ke belakang dan
berguling-guling bagai dilanda badai. Wut, brruuus...! Wes, wes, wes...! Guzraaak...!
"Siapa orang yang menyerangnya?!" pikir
Suto Sinting dengan rasa heran.
"Sepertinya serangan itu ditujukan untuk
membelaku. Hmmm... kurasa dia adalah orang yang membantuku menghindari bahaya
saat aku ada di pantai dan saat aku bertarung melawan Dewa Tengkorak. Oh, ya...
sebaiknya kuselamatkan dulu Ki Tumbang Laga yang sedang sekarat itu!"
Weeess...! Suto Sinting menyambar tubuh Ki Tumbang
Laga. Zlaaap...! Ia pun segera membawa pergi Ki Tumbang Laga yang sekarat itu
dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Ia tinggalkan Setan Rawa Bangkai demi menyelamatkan
Ki Tumbang Laga dan tidak mempedulikan siapa orang yang membelanya itu.
Jauh dari kaki Gunung Babat, Pendekar Mabuk
meletakkan tubuh Ki Tumbang Laga yang sudah seperti kertas putih itu, ia paksakan
mulut Ki Tumbang Laga untuk menerima kucuran tuaknya. Beberapa teguk tuak masuk
ke tenggorokan Ki Tumbang Laga, hingga akhirnya Ki Tumbang Laga tersedak dan
terbatuk-batuk. Darah kental keluar dari mulut itu bercampur dahak. Tapi
beberapa saat kemudian, napas Ki Tumbang Laga menjadi lega dan wajah pucatnya
berangsur-angsur pudar. Tokoh tua itu pun membuka mata pelan-pelan.
*
* *
6
NODA hitam di dada KI Tumbang Laga yang membentuk
telapak tangan itu, telah lenyap sejak Ki Tumbang Laga meneguk tuak saktinya
Pendekar Mabuk. Bahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya pun telah hilang sama
sekali.
Ki Tumbang Laga merasa lebih segar dan lebih sehat
dari sebelum lakukan pertarungan dengan Setan Rawa Bangkai.
"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Ki
Tumbang Laga dengan pandangi Suto Sinting penuh rasa kagum.
"Aku hanya menuangkan tuak ke mulutmu, Ki. Tak
ada lain yang kulakukan kecuali itu."
"Itulah sebabnya aku berterima kasih padamu,
karena kau tidak menyiramkan tuak ke mukaku," ujar KI Tumbang Laga dalam
nada kelakar.
"Seandainya kau tidak datang dan membawaku
pergi dari sana, mungkin saat ini aku hanya bisa melambaikan tangan padamu dari
pintu neraka."
Pendekar Mabuk hanya tertawa kecil tanpa suara.
"Tadi aku sudah sempat melihat pintu neraka,
tapi masih tertutup. Aku tak berani mengetuk, takut dipaksa masuk ke sana oleh
penjaganya."
Tawa Pendekar Mabuk kian melebar dan kali ini
disertai suara seperti orang menggumam. Ki Tumbang Laga pun tampak tidak
seperti memendam dendam kepada lawannya, ia justru seperti orang yang tidak
pernah lakukan pertarungan maut dengan siapa pun.
"Mengapa sampai terlibat bentrokan dengan Setan
Rawa Bangkai, Ki?"
"Dari mana kau tahu kalau lawanku tadi adalah
Setan Rawa Bangkai?"
"Ciri-cirinya kudengar dari penjelasan Nyai
Kidung Laras."
"O, si cantik dari Lembah Hijau itu?" ujar
Ki Tumbang Laga yang
rupanya kenal dengan Nyai Kidung Laras. Tokoh tua
itu manggut-manggut dalam senyumnya yang membuat wajahnya tampak lucu.
"Dia memang pernah bertemu dan beradu ilmu
dengan Marundang, tapi ia hampir mati kalau tak segera larikan diri. Aku kenal
baik dengannya. Dulu aku pernah naksir dia, tapi karena dia tidak naksir
diriku, akhirnya aku terusir dari
hatinya. Kasihan, ya?"
"Siapa yang kasihan?"
"Diriku ini!" jawabnya sambil tertawa
kecil. "O, ya... boleh aku minta tuakmu sedikit lagi, Suto?"
"Mengapa tidak, Ki? Silakan minum sepuas
hatimu! Tuakku masih tersedia cukup banyak, separuh bumbung lebih."
Pendekar Mabuk serahkan bumbung tuaknya, kemudian Ki
Tumbang Laga menenggaknya beberapa teguk, ia menghembuskan napas kelegaan
melalui mulutnya dan sempat bertahak panjang tanda kekenyangan minum tuak.
"Seroja Putih, adiknya Kenanga Pilu, dibunuhnya
saat Dewa Tengkorak menyerang Perguruan Tapak Dewa," ujarnya membuat Suto
Sinting terkejut.
"Jadi Kenanga Pilu punya adik bernama Seroja
Putih?"
Ki Tumbang Laga anggukkan kepala dengan wajah duka
sebentar. "Kala itu aku dan kakakku; gurunya Seroja Putih, sedang tidak
ada di tempat. Dewa Tengkorak dibantu Setan Rawa Bangkai lakukan pembantaian di
Perguruan Tapak Dewa."
"Mengapa sampai terjadi begitu?"
"Seroja Putih pernah hamper membuat Dewa
Tengkorak mati hangus. Rupanya dendam itu masih membekas di hati Dewa
Tengkorak. Tanpa dukungan Setan Rawa Bangkai, Dewa Tengkorak tak akan berani
menyerang Perguruan Tapak Dewa."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala.
"Agaknya kemunculan Setan Rawa Bangkai benar-benar dimanfaatkan oleh Dewa
Tengkorak untuk membalas dendam terhadap musuh-musuhnya," pikir Suto
Sinting. "Keganasan Dewa Tengkorak timbul secara liar karena merasa mendapat
dukungan kuat dari Setan Rawa Bangkai. Seandainya si Setan Rawa Bangkai dapat
dilenyapkan, maka Dewa Tengkorak akan kehilangan nyali dan tak berani bertindak
seenak bodongnya begitu!"
Ki Tumbang Laga berkata dengan memandang ke arah
lain, "Tentu saja sepak terjang Dewa Tengkorak disambut baik dan didukung
penuh oleh Setan Rawa Bangkai, sebab orang terkutuk berbau busuk itu memang
kehendaki agar tokoh-tokoh aliran putih hancur semua.
Ia ingin tampil sebagai tokoh tertinggi di rimba
persilatan yang kelak akan mempunyai pengikut dalam jumlah banyak."
"Jika boleh kusimpulkan, kunci kekejaman Dewa
Tengkorak itu terletak pada kesaktian Setan Rawa Bangkai, Ki?" .
"Benar. Sedangkan si Setan Rawa Bangkai sendiri
sebenarnya lebih kejam dan lebih ganas dari Dewa Tengkorak. Jika tokoh sesat
itu tidak dilenyapkan dengan segera, maka dunia persilatan kita akan diselimuti
kabut hitam. Setiap perguruan akan mengalami masa berkabung yang tiada
habisnya."
"Jika begitu, kusarankan agar Ki Tumbang Laga
kembali menghadap Eyang Darah Guntur dan jangan pergi ke mana-mana. Serahkan
persoalan ini padaku. Aku akan mengatasi kekejian Setan Rawa Bangkai dan Dewa
Tengkorak."
Ki Tumbang Laga tertawa terkekeh-kekeh, membuat Suto
Sinting memandang dengan berkerut dahi karena merasa heran. Rasa penasaran
terhadap tawa itu membuat Suto Sinting akhirnya ajukan tanya,
"Mengapa kau menertawakan kata-kataku,
Ki?"
"Karena aku tak yakin bahwa kau bisa
mengungguli ilmunya Setan Rawa Bangkai. Orang itu bukan tandinganmu, Nak.
Satu-satunya orang yang bisa ungguli kesaktian Setan Rawa Bangkai adalah gurumu
sendiri: si Gila Tuak."
"Tidak mungkin!" sergah Pendekar Mabuk.
"Guru tidak akan turun tangan lagi di rimba persilatan! Seandainya harus
turun tangan lagi, maka aku adalah orang pertama yang akan mengawali
pertarungan dengan Setan Rawa Bangkai. Aku tak ingin bertumpang tangan
sementara Guru lakukan pertarungan dengan lawannya. Siapa pun yang menjadi
musuh Guru harus berhadapan denganku lebih dulu."
"Dan kau akan mati konyol di tangan Setan Rawa
Bangkai!"
"Itu sudah menjadi bagian dari tanggung
jawabku!" sahut Suto Sinting dengan tegas. "Mati konyol ataupun mati
tidak konyol bagiku sama saja."
"Jiwa kependekaranmu begitu kuat," kata Ki
Tumbang Laga sambil menepuk-nepuk pundak Pendekar Mabuk. "Kuakui nyalimu
sangat besar, tak ubahnya seperti gurumu: si Tua Bangka dan Bidadari Jalang.
Tetapi perlu diingat, Suto... melawan kekejian itu tidak harus dengan modal
keberanian belaka. Otak pun harus ikut bekerja agar kita tidak mati konyol tapi
kekejaman itu bisa tersingkirkan."
"Melawan orang seperti Setan Rawa Bangkai tak
perlu harus menggunakan siasat yang memeras otak, Ki. Keberanian dan kecepatan
gerak merupakan modal utama untuk tumbangkan Setan Rawa Bangkai dan
pengikutnya, seperti si Dewa Tengkorak itu."
Ki Tumbang Laga manggut-manggut sambil tertawa
terkekeh.
"Boleh, boleh... kau boleh saja bilang begitu.
Tapi percayalah, ilmu yang kau miliki belum cukup untuk melawan Setan Rawa
Bangkai, apalagi sekarang ia mempunyai ilmu 'Sukma Sakti' dan 'Cakar Belah
Jagat' yang berbahaya itu. Kau harus punya ilmu tandingannya, Suto. Kau bisa memintanya
dari gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kurasa mereka punya ilmu
tandingan tersebut."
Tiba-tiba sebuah suara terdengar menyahut dari
belakang mereka, "Mereka tidak punya ilmu tandingan!"
Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga sama-sama terkejut,
keduanya sama-sama segera menengok ke belakang. Ternyata seseorang telah
berdiri di sana dalam jarak lima langkah dari tempat mereka berdiri.
Orang yang kini berhadapan dengan mereka itu
mengenakan pakaian serba putih; jubah dan celana putih, sabuk putih, tanpa
baju. Kulit wajahnya pucat dan tampak sekali ketuaannya, ia berusia sekitar
sembilan puluh tahun.
Rambutnya yang panjang acak-acakan itu berwarna
putih rata. Alisnya pun putih rata. Matanya sedikit cekung, tanpa kumis dan
jenggot. Tapi ia mempunyai kuku-kuku yang panjang. Saat melangkah tiga tindak,
ia tampak tertatih-tatih.
Tokoh tua serba putih ini dikenal Suto Sinting
sebagai tokoh sakti dari Gunung Kemuning, ia mempunyai nama asli: Murdawira,
tapi lebih dikenal dengan nama Setan Merakyat, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Tabib Darah Tuak").
"Bapa Guru...?!" sapa Suto Sinting, karena
memang dari dulu Suto Sinting selalu memanggil dengan sebutan 'Bapa Guru'. Hal
itu dilakukan Suto sebagai penghormatan tinggi kepada tokoh sakti yang menjadi sahabat
si Gila Tuak. Tak heran jika Suto Sinting saat itu sedikit bungkukkan badan
sebagai tanda memberi hormat kepada Setan Merakyat.
"Bagaimana kabar Bapa Guru Murdawira?"
"Aku sehat-sehat saja. Kalau aku tak sehat aku
tak bisa mengikutimu sejak dari pantai sampai kemari," jawab Setan
Merakyat dengan suara tuanya.
"Salam hormatku untuk kedatanganmu, Kakang
Setan Merakyat!"
Ki Tumbang Laga pun memberi salam dan hormat kepada
tokoh serba putih yang selalu berpenampilan kalem.
"Tumbang Laga, salam hormatmu kuterima. Tapi
aku ikut berbela sungkawa atas kematian murid dari kakakmu, si Darah
Guntur."
Pendekar Mabuk membatin, "Rupanya Bapa Guru
Setan Merakyat ini yang selalu membelaku dalam pertarungan di pantai, dan dalam
menghadapi Dewa Tengkorak, serta sampai saat aku menghadapi Setan Rawa Bangkai
tadi. Hmmm...! Tak disangka dialah orangnya."
Ki Tumbang Laga tak merasa heran lagi jika Setan
Merakyat mengetahui kematian Seroja Putih, karena tokoh yang satu ini memang
mempunyai ketajaman indera ketujuh cukup luar biasa. Namun Ki Tumbang Laga
segera bicarakan tentang kemunculan Setan Rawa Bangkai.
"Apakah kehadiranmu di sini ada hubungannya
dengan kemunculan Setan Rawa Bangkai?!"
"Bisa dikatakan ya dan tidak," jawab Setan
Merakyat.
"Sekarang baru kuingat," kata Ki Tumbang
Laga, "Bahwa ada orang lain yang dapat ungguli kehebatan ilmunya Setan
Rawa Bangkai, yaitu kau sendiri, Kakang Murdawira. Kau dan Marundang adalah
tokoh berilmu tinggi yang sama-sama punya julukan 'Setan', jadi kurasa...."
"Jadi maksudmu 'setan' bertarung melawan
'setan', begitu?!"
Ki Tumbang Laga tertawa kecil sambil garuk-garuk
kepala. Suto Sinting hanya tersenyum-senyum saja.
Tetapi si Setan Merakyat hanya diam tanpa senyum,
namun wajahnya tidak tampak tersinggung atau memendam kedongkolan. Setan
Merakyat justru tampak kalem bagai tak pedulikan ucapannya sendiri tadi.
"Kehadiranku memang ada hubungannya dengan
kemunculan Setan Rawa Bangkai. Tetapi aku tidak akan melawan dia, Tumbang Laga.
Aku punya jago sendiri yang akan kuandalkan, yaitu Pendekar Mabuk, murid si
Gila Tuak."
Ki Tumbang Laga dan Suto Sinting sama-sama
terperanjat. Keduanya saling beradu pandangan mata. Tetapi Ki Tumbang Laga
segera berkata kepada Setan Merakyat.
"Apakah kau tidak salah pilih jago, Kakang
Murdawira?! Pendekar Mabuk masih muda dan ilmunya...."
"Aku sudah bicarakan dengan si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang," sahut Setan Merakyat.
"Lalu, apa kata mereka?" desak Ki Tumbang
Laga. "Mereka setuju jika kita, para tokoh aliran putih, mengajukan Pendekar
Mabuk sebagai lawan tandingnya si Marundang. Tetapi tentu saja aku berada di
belakang Pendekar Mabuk."
"Apa maksudnya 'berada di belakang' Pendekar
Mabuk?" Setan Merakyat melangkah ke samping, memperhatikan serumpun tanaman
liar yang sedang berbunga. Bunganya berwarna merah segar dan enak dipandang
mata. Setan Merakyat menghampirinya dan memetik sekuntum bunga yang mirip
terompet kecil itu. Sambil memperhatikan bunga tersebut, Setan Merakyat bicara
kepada Pendekar Mabuk,
"Suto, masih ingatkah kau pada pertemuan kita
sebelum ini?"
"Tentu saja masih, Bapa Guru."
"Aku pernah mengatakan bahwa salah satu ilmuku
yang akan kuturunkan padamu, dan ilmu itu tidak bias kuturunkan kepada orang
lain kecuali orang yang tanpa pusar. Dan kebetulan saja orang tanpa pusar itu
adalah kau sendiri. Jadi, ilmu itu akan kuturunkan padamu atas seizin kedua
gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Hati pemuda itu berdebar-debar dalam kegirangan.
Wajahnya tampak berseri dan senyumnya begitu indah menawan menyambut kabar
gembira tersebut. Ki Tumbang Laga masih bingung pandangi Suto yang menurutnya
seperti mendapat durian runtuh.
"Beruntung sekali kau, seperti dapat durian
runtuh. Tahu-tahu akan diberi ilmu dari tokoh sesakti beliau itu, Suto. Kalau
aku masih muda, tentunya aku iri dengan keberuntunganmu."
Suto Sinting hanya tertawa pelan namun memanjang. Ki
Tumbang Laga bicara kepada Setan Merakyat, "Bagaimana mungkin kau
mempunyai ilmu yang hanya bias diturunkan kepada orang tanpa pusar, Kang?
Bukankah kau sendiri manusia yang mempunyai pusar?"
"Coba kulihat dulu...." Setan Merakyat
segera menyingkapkan kain penutup perutnya. "O, iya... aku sendiri punya
pusar. Tapi... Suto Sinting jelas tak punya pusar. Kalau kau tak percaya,
cobalah kau periksa sendiri dia."
"Bukan soal tak percaya tentang punya pusar
atau tidak, tapi yang kuherankan adalah syarat penurunan ilmu itu. Mengapa
hanya bisa diterima oleh orang yang tanpa pusar? Padahal kau sendiri sebagai
pemilik ilmu itu mempunyai pusar?"
"Tumbang Laga," kata Setan Merakyat sambil
jarinya memainkan bunga kecil yang diputar-putar dalam gerak memelintir.
".... Ilmu itu adalah ilmu temuanku sendiri.
Sebenarnya siapa saja bisa memiliki ilmu itu, namun harus melalui cara berlatih
selama tiga puluh tahun lebih. Karena ilmu itu kudapatkan setelah berlatih
selama tiga puluh tahun lebih. Dan sekarang tinggal diwariskan kepada seseorang,
anggaplah orang itu adalah muridku.
Tetapi selama ini kucoba memasukkan ilmu itu ke raga
seseorang yang mempunyai pusar, ternyata tidak sedikit pun bagian dari kekuatan
ilmu itu dapat masuk ke dalam raga orang tersebut. Pilihanku adalah seseorang
yang tanpa pusar. Sebab dengan tanpa pusar maka ketahanan tubuh seseorang dapat
menerima dengan kokoh kehadiran ilmu itu dalam sukma dan raganya."
Ki Tumbang Laga manggut-manggut pertanda memahami
maksud Setan Merakyat. Kejap berikutnya terdengar suara Suto Sinting yang
tampak tak sabar lagi,
"Bapa Guru, kapan saja saya akan siap menerima
warisan ilmu itu darimu."
"Bagus. Aku tahu bahwa kau sejak dulu telah
menunggu penurunan ilmuku ini kepadamu. Tapi pada waktu itu aku belum bertemu
dengan gurumu. Sekarang setelah bertemu dengan gurumu, serta meminta izin
menurunkan ilmu padamu, apakah kau mau menerimanya, Suto?"
"Dengan senang hati saya menerimanya."
*
* *
7
SETAN Rawa Bangkai kebingungan mencari lawan yang
menyerangnya, ia tak tahu bahwa lawannya telah pergi meninggalkan dirinya untuk
menemui Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga. Rasa penasaran yang memancing
murkanya membuat Setan Rawa Bangkai mengamuk di hutan itu, melepaskan pukulan
tenaga dalam ke segala arah. Ledakan yang menggelegar sambung-menyambung itu membuat
Gunung Babat bergetar bagai ingin meletus.
"Marundang sedang mengamuk," ujar Ki
Tumbang Laga kepada Setan Merakyat.
"Biarkan saja," jawab Setan Merakyat
dengan santainya. "Aku butuh tempat yang sunyi untuk menurunkan ilmuku
kepada Suto Sinting. Dapatkah kau membantuku, Tumbang Laga?"
Ki Tumbang Laga diam sebentar, memikirkan sebuah
tempat yang diinginkan Setan Merakyat. Kejap berikutnya Ki Tumbang Laga pun berkata,
"Bagaimana kalau kita pergi ke Lembah
Celaka?"
"Jangan. Aku takut kita bertiga malah celaka
sendiri," kata Setan Merakyat.
"Bapa Guru," ujar Suto Sinting menyela
pembicaraan, "Mengapa kita tidak pergi ke Gunung Kemuning saja? Bukankah
tempat kediaman Bapa Guru adalah tempat yang tenang dan sunyi?"
"O, iya! Hampir saja aku lupa kalau aku punya
tempat yang tenang dan sunyi di puncak Kemuning." Setan Merakyat
garuk-garuk kepala.
Ki Tumbang Laga berkata kepada Suto Sinting,
"Kalau tempat yang lebih sunyi dan tenang lagi ya masuk ke liang kubur
saja."
Setan Merakyat menyahut, "Kalau kau masuk ke sana
lebih dulu, silakan saja. Aku belum ingin ke sana, Tumbang Laga."
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama
tertawa. Kemudian mereka bertiga bergegas pergi tinggalkan tempat itu menuju
puncak Gunung Kemuning yang selalu diselimuti kabut tebal itu. Ki Tumbang Laga sebenarnya
ingin pulang ke Perguruan Tapak Dewa untuk menemui Eyang Darah Guntur,
kakaknya. Tetapi niatnya dicegah Setan Merakyat.
"Aku butuh bantuanmu, Tumbang Laga. Ikutlah
bersamaku ke puncak Kemuning. Soal menghadap kakakmu, biar nanti aku yang
menjelaskan alasannya, mengapa kau ikut aku. Jangan takut kalau kakakmu marah,
nanti aku yang akan meredakan amarahnya."
Tentu saja Setan Merakyat berani bilang begitu,
karena Eyang Darah Guntur sangat hormat kepadanya. Kesaktian Setan Merakyat lebih
tinggi dari kesaktian Eyang Darah Guntur, sehingga Eyang Darah Guntur tak
berani menentang segala keputusan Setan Merakyat.
Pendekar Mabuk merasa hari itu adalah hari
keberuntungannya. Seandainya ia tidak nekat menentang larangan Pakis Ratu,
mungkin ia tidak akan segera pergi ke puncak Gunung Kemuning. Seandainya ia
tidak pergi secara diam-diam dari Lembah Hijau tanpa diketahui Pakis Ratu dan
Nyai Kidung Laras, mungkin Setan Merakyat tidak segera muncul dan menurunkan ilmunya.
"Biarlah Pakis Ratu tinggal di pondok gurunya
sendiri. Nanti jika urusanku sudah selesai akan kuhampiri lagi untuk pererat
persahabatan,"pikir Suto Sinting dalam perjalanan menuju puncak Gunung
Kemuning.
Sesuatu yang sangat tidak diduga- duga ternyata
terjadi di pertengahan jalan. Mereka melihat pertarungan antara Dewa Tengkorak
melawan seorang gadis cantik berusia dua puluh enam tahun, mengenakan jubah
kuning dalaman merah. Rambutnya dikonde dua tempat, sisanya meriap ke bawah
dengan gemulai. Gadis itu berwajah mungil, bermata bundar indah, dan berkulit kuning
langsat, ia menggunakan seruling sebagai senjata yang dapat menyemburkan cahaya
merah api ke tubuh lawannya. Gadis itu tak lain adalah Dinada, mantan orang
Bukit Kasmaran, murid dari Mendiang Nyai Guntur Ayu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Gelang Naga Dewa").
"Bapa Guru, saya kenal dengan gadis itu!"
kata Suto Sinting. Mereka ada di ketinggian bukit cadas yang dapat melihat
bebas ke arah bawah.
"Saya kenal sekali dengannya, Bapa Guru."
"Gadis mana yang tidak kau kenal? Semua gadis
pasti kau kenal. Matamu memang mata keranjang," kata Setan Merakyat yang
membuat Suto Sinting malu. "Ingat, kau adalah calon jodohnya Dyah
Sariningrum. Jangan sembarang melotot kalau melihat perempuan."
"Maksud saya, gadis itu adalah Dinada, sahabat
saya, Bapa Guru. Bolehkah saya membantunya? Sebab menurut saya, Dinada bukan tandingannya
Dewa Tengkorak."
Ki Tumbang Laga menyahut, "Nyawa Dewa Tengkorak
adalah jatahku. Jangan kau serobot seenaknya saja, Suto! Aku yang akan
menghadapi Dewa Tengkorak untuk bikin perhitungan."
"Tidak bisa! Dinada adalah sahabatku, Ki. Aku
wajib membantunya. Sebab...."
"Dinada memang sahabatmu, tapi Dewa Tengkorak
itu jatahku!" sahut Ki Tumbang Laga agak ngotot.
Setan Merakyat akhirnya berkata, "Apa yang
kalian perebutkan? Nyawa si Dewa Tengkorak?! Hmm...!" Claaap...! Tiba-tiba
jari tangan Setan Merakyat menunjuk ke depan. Dari jari itu melesat seberkas
sinar putih perak bagaikan cahaya bintang. Sinar kecil itu menghantam dada Dewa
Tengkorak pada saat si Dewa Tengkorak sedang lakukan lompatan untuk menerjang
Dinada yang sempoyongan terkena pukulannya.
Zeeeb...! Sinar itu menghantam dada Dewa Tengkorak
dengan jelas sekali. Orang kurus itu segera terpental ke belakang bagai dilemparkan
begitu saja dan jatuh terpuruk tak berkutik lagi. Pekikan suaranya pun tak ada.
Dinada terkejut melihat keadaan lawannya tahu-tahu jatuh terpuruk tak berkutik.
Lebih terkejut lagi melihat lawannya berasap, semakin lama semakin tebal, dan
ketika angin berhembus asap pun pudar.
"Ooh...?!" Dinada semakin melebarkan matanya
karena terkejut melihat tubuh Dewa Tengkorak benar- benar menjadi tengkorak
berjubah abu-abu dan bercelana merah.
"Ajaib sekali?! Mengapa dia tiba-tiba tinggal
tulang-belulang tanpa rambut dan tanpa daging sedikit pun? Oh, siapa orang yang
telah membantuku dalam pertarungan ini?!" Dinada segera lemparkan
pandangan matanya ke atas perbukitan, ia terperanjat lagi melihat tiga orang
berdiri di sana, satu di antaranya adalah pemuda tampan yang dikenalnya dengan
nama Suto Sinting.
"Oooh, ternyata si Pendekar Mabuk itu yang
telah menolongku?!" pikir Dinada. Lalu, dalam keadaan masih menahan luka
di pundaknya yang terasa mau patah itu, ia pergi ke puncak perbukitan tersebut.
Sementara itu, di puncak perbukitan yang tak
seberapa tinggi itu, Ki Tumbang Laga melontarkan gerutuan yang cukup
menggelikan bagi Pendekar Mabuk.
"Sial! Pembalasanku belum sempat kulampiaskan,
eeeh... sudah kabur lebih dulu nyawa si Dewa Tengkorak."
Setan Merakyat berkata, "Sekarang apa kalian
mau berebut tulang-belulangnya?! Berebutlah sana, biar sama-sama seperti
serigala!"
Suto Sinting hanya tertawa pendek dan berkata,
"Mengapa waktu Dewa Tengkorak melawanku, Bapa Guru tidak lakukan hal
seperti tadi?"
"Dewa Tengkorak masih punya jatah untuk hidup
setengah hari lagi dari sananya. Jadi aku tak berani mendahului kehendak sang
takdir. Sekarang jatah untuk hidup baginya sudah habis, maka aku berani melepaskan
jurus pencabut nyawa."
"Hmm... mentang-mentang yang bisa mengetahui
takdir manusia!" Ki Tumbang Laga bersungut-sungut dengan dongkol, Suto
Sinting menertawakan sampai datangnya Dinada ke tempat itu.
"Suto, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau
kau tidak segera bertindak, mungkin aku sudah mati di tangan Dewa Tengkorak.
Aku sudah hampir tak berdaya menghadapi serangannya yang serba cepat
tadi."
Suto Sinting jadi tak enak hati. Matanya melirik ke
arah Setan Merakyat. Ternyata tokoh sakti itu sedang bicara kepada Ki Tumbang
Laga dengan suara seperti orang menggumam.
"Jadi anak muda itu enak, ya? Selalu menjadi
bahan pujaan para gadis. Walaupun tidak lakukan apa-apa, tetap saja dianggap
sebagal orang berjasa."
"Kita dulu juga pernah muda dan pernah
mengalami hal seperti itu, Kang."
Mendengar percakapan itu, Pendekar Mabuk makin tak
enak hati, lalu berkata kepada Dinada, "Sebenarnya tadi yang...."
Setan Merakyat segera menyahut, "Nona cantik,
barangkali memang belum waktumu untuk mati pada hari ini. Karena kebetulan saja
kami lewat dan Suto melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memang dahsyat itu.
Kurasa tidak ada sesuatu yang perlu dibanggakan, walaupun sebenarnya jurus maut
Suto tadi memang sangat mengagumkan."
"Iya, Eyang... saya memang sangat kagum dengan
jurus-jurusnya Suto Sinting."
"Ya, ya... silakan mengagumi sepuas hatimu,
karena sebentar lagi aku harus membawanya pergi dan kau tak boleh ikut."
"Lho, kau akan pergi ke mana, Suto?"
Suto Sinting belum menjawab,
Setan Merakyat sudah menyahut lebih dulu, "Mau
membasmi kejahatan lagi, seperti tadi!"
"Ah, Bapa Guru jangan begitu...," bisik
Suto Sinting.
"Biar saja. Biar gadis itu makin terkagum-kagum
padamu," bisik Setan Merakyat membuat Suto Sinting menjadi salah tingkah.
"Dinada, mengapa kau terlibat pertarungan
dengan Dewa Tengkorak?"
"Dulu, semasa mendiang guruku masih hidup,
perguruanku pernah bentrok dengan perguruannya. Tapi pihakku lebih unggul, dan
sekarang agaknya ia masih mengenaliku, lalu ingin membalas dendam atas
kekalahan pihaknya dulu," tutur Dinada dengan pandangan mata tak lepas
dari wajah Pendekar Mabuk yang rupawan itu.
Setelah terdengar suara gumam dari Suto Sinting yang
manggut-manggut itu, Dinada ganti ajukan pertanyaan.
"Kau sendiri mau pergi ke mana
sebenarnya?"
"Aku harus mengikuti Bapa Guru Setan Merakyat
ini ke puncak Gunung Kemuning."
"Apakah aku boleh ikut denganmu, Suto? Kita
sudah lama tidak jumpa, bukan?"
"Hmmm... iya, memang sudah lama kita tidak
jumpa. Tetapi keputusan boleh dan tidaknya ada di tangan Bapa Guru Setan
Merakyat."
Karena Pendekar Mabuk segera melempar pandangan mata
kepada Setan Merakyat, mau tak mau Setan Merakyat segera memberi jawaban bagi
Dinada.
"Nona, perjalanan kami bukan untuk berlibur dan
bersenang-senang. Jadi kurasa kali ini kami tak bisa mengajakmu. Mungkin di
lain waktu kau boleh ikut kami pergi ke pantai, mengail ikan atau belajar
mendayung. Kuharap kau tidak kecewa, Nona Cantik."
Dinada tampak kecewa, namun segera disembunyikan
dengan senyum manisnya, ia segera berkata kepada Suto Sinting,
"Maukah kau datang padaku jika urusanmu sudah
selesai nanti? Aku...aku rindu bercanda denganmu, Suto."
Ki Tumbang Laga menyahut, "Itu soal gampang,
Nona. Kalau Suto tak menemuimu untuk bercanda, biar aku saja yang menemuimu.
Aku pun punya canda yang lebih menarik dari Suto."
Setan Merakyat menyenggol pinggang Ki Tumbang Laga
dengan sikunya,
"Tua-tua masih iri juga kau!"
"He, he, he.„. Aku hanya sekadar bercanda kok,
Kang."
Pendekar Mabuk tersenyum geli, kemudian berkata
kepada Dinada, "Jika sudah selesai urusanku, aku akan menemuimu secepatnya
Dinada. Maaf, sekarang aku tak bisa mengajakmu pergi karena Bapa Guru tidak
izinkan siapa pun ikut kecuali hanya kami bertiga."
Gadis cantik itu mencoba untuk memahami keadaan Suto
Sinting, waiau sebenarnya ia ingin tahu persoalan sebenarnya dan Suto tak mau menceritakan,
tetapi ia tetap mencoba untuk tidak penasaran. Rasa kecewanya dipendam
dalam-dalam bersama lambaian tangan mengiringi kepergian Suto Sinting bersama
dua tokoh tua itu.
Perjalanan menuju puncak Gunung Kemuning terpaksa
dilakukan dengan menggunakan jurus peringan tubuh yang membuat mereka
berkelebat bagaikan badai. Ternyata jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting
mampu menyamai jurus serupa yang dimiliki oleh Setan Merakyat. Sedangkan
gerakan Ki Tumbang Laga tertinggal tak seberapa jauh di belakang mereka. Ki
Tumbang Laga tak sampai kehilangan jejak, sehingga ketika mereka tiba di puncak
Gunung Kemuning, Ki Tumbang Laga menyusul beberapa saat kemudian.
Puncak gunung itu cukup dingin. Jika seseorang tidak
mempunyai jurus pemanas tubuh, maka darah mereka akan membeku tinggal di puncak
gunung itu selama seperempat hari. Dedaunan maupun batang tumbuh-tumbuhan
dilapisi busa salju hingga sampai pada tanah tempat mereka berpijak. Jika
mereka bicara uap dingin keluar bersama hembusan napas mereka. Suto Sinting
sudah terlatih hidup di tempat dingin, sehingga ia tidak kaget lagi menghadapi
cuaca seperti itu.
"Tumbang Laga," ujar Setan Merakyat,
"Aku butuh tempat yang tidak berhubungan dengan tanah. Bisakah kau
mencarikan tempat seperti itu di sini?"
"Kakang Murdawira, wilayah ini adalah
wilayahmu. Tentunya yang tahu seluk-beluk tempat ini adalah kau sendiri,
Kakang. Bagaimana mungkin aku bisa mencarikan tempat yang tidak berhubungan
dengan tanah daerah ini?"
"Betul juga kata-katamu, Tumbang Laga. Tetapi
aku lupa, di mana tempat yang tidak menyentuh tanah di daerah ini? Seingatku
memang ada, tapi di mana tempat itu? Aku benar-benar lupa. Maklum usia sudah
sangat tua membuat ingatanku makin hari semakin rapuh, Tumbang Laga."
Ki Tumbang Laga diam sejenak, berpikir tentang
tempat yang tidak menyentuh tanah. Tiba-tiba Suto Sinting ajukan tanya kepada
Setan Merakyat, "Untuk apa tempat yang tidak menyentuh tanah itu, Bapa
Guru?"
"Akan kau gunakan sebagai alas berpijak. Karena
nanti pada saat kau menerima jurus warisanku itu, tubuhmu tak boleh berhubungan
dengan tanah. Jika kau berhubungan dengan tanah, maka seluruh bumi ini akan
mengalami getaran gelombangnya yang dapat mengeringkan darah mereka."
"Saya mempunyai jurus 'Layang Raga" Bapa
Guru. Dapatkah kita gunakan jurus itu?"
"O, ya... aku ingat si Gila Tuak mempunyai
jurus 'Layang Raga', tapi...tapi benarkah kau sudah mewarisi jurus itu pula?
Coba tunjukkan padaku, Suto."
Maka Pendekar Mabuk pun menarik napasnya pelan-pelan
dengan mata sedikit terpejam. Tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas sedikit,
telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Makin lama makin tinggi, sampai sebatas pinggang
si Setan Merakyat.
"Bagus, bagus...." Setan Merakyat
angguk-anggukkan kepala. "Sekarang turunlah dulu, jangan mengambang di
udara begitu. Kurang sopan kelihatannya, Suto."
Setelah Pendekar Mabuk menapakkan kakinya kembali ke
tanah, Setan Merakyat bicara kepada Ki Tumbang Laga.
"Tumbang Laga, kumohon bantuanmu untuk menjaga
keamanan kami berdua pada saat ilmu itu kuturunkan."
"Maksudmu bagaimana, Kakang?!"
"Selama kusalurkan inti ilmu 'Pranasukma', baik
aku maupun Suto Sinting tak boleh diganggu oleh apa pun, tak boleh disentuh
oleh siapa pun. Bahkan lebih bagus lagi jika kami tak diganggu oleh hembusan
angin maupun suara desah apa pun. Jadi kuharap kau bisa menjaga ketenangan dan
keamanan kami."
Ki Tumbang Laga diam sebentar merenungi kata-kata
Setan Merakyat. Pendekar Mabuk pun ikut bungkam, seakan menurut saja apa
perintah si tokoh sakti yang dipanggilnya Bapa Guru itu.
"Kakang Murdawira," ujar Ki Tumbang Laga,
"Kalau yang kau butuhkan adalah keamanan seperti itu, berarti aku harus
bisa melindungi kalian dari hembusan angin segala. Satu-satunya cara aku harus
menggunakan jurus
"Surya Perisai', yang nantinya akan membuat
kalian berdua terselubungi lapisan seperti kaca. Keadaannya sangat rapat dan
kokoh. Tetapi waktunya tak bisa lama-lama karena tak ada udara di dalam lapisan
kaca nanti."
"Aku tak membutuhkan waktu terlalu lama.
Setelah Inti 'Pranasukma' kusalurkan habis ke dalam galih napas dan pusat roh
dalam diri Suto, selanjutnya kami tak butuh lagi keheningan yang murni. Kau bisa
melepaskan lapisan kaca itu."
"Tunggu dulu," sergah Suto Sinting.
"Bapa Guru, kalau boleh saya ingin tahu, apa kegunaan jurus 'Pranasukma'
itu?"
Setelah menarik napas satu kali, Setan Merakyat pun
segera menjelaskan kegunaan dan kehebatan jurus atau ilmu "Pranasukma' itu
kepada Suto Sinting.
Tetapi Ki Tumbang Laga ikut mendengarkannya. Sebab
dari semula sebenarnya ia ingin menanyakan tentang ilmu apa yang akan
diturunkan Setan Merakyat kepada Pendekar Mabuk itu, tetapi ia tak pernah punya
keberanian untuk ajukan pertanyaan tersebut.
Sebelum mulai bicara, Setan Merakyat berbalik badan
hingga berhadapan dengan Ki Tumbang Laga. Suto Sinting ada di samping Ki
Tumbang Laga menunggu jawaban dari rasa ingin tahunya tadi.
"Suto, kau melihat batu putih sebesar anak kuda
di belakangku itu?"
"Ya, saya melihatnya, Bapa Guru," jawab
Suto Sinting setelah memperhatikan sebongkah batu yang dilapisi salju,
ukurannya sebesar anak kuda yang sedang berdiri.
"Perhatikan terus batu itu, dan jangan heran
jika ia pindah ke bawah pohon berjajar tiga yang ada di belakangmu sana!"
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama menoleh
memandang pohon yang ditunjuk Setan Merakyat. Tetapi dalam benak mereka masih
diliputi kebingungan tentang apa maksud ucapan Setan Merakyat tadi.
Keduanya kembali pandangi batu sebesar anak kuda
yang ada dalam jarak tujuh langkah di belakang Setan Merakyat. Batu itu tiba-tiba
lenyap bagai ditelan bumi. Zaaab...! Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga
sama-sama terperanjat dengan mata melebar. Kini keduanya sama-sama berpaling ke
belakang, memandang ke arah pohon yang tadi ditunjuk Setan Merakyat. Mereka
sama-sama terkejut dalam hati melihat batu tadi ternyata sudah berpindah tempat,
berada di bawah pohon tersebut dalam keadaan tidak pecah atau retak sedikit
pun. Bahkan busa-busa saljunya masih utuh tak bergeser sedikit pun.
"Luar biasa...!" gumam Ki Tumbang Laga
bagai bicara pada diri sendiri.
Setan Merakyat pun segera menyahut,"Itulah ilmu
'Pranasukma' yang akan kau terima. Batinmu bisa memindahkan benda apa pun dari tempatnya
semula. Bahkan menghancurkan benda itu pun bisa kau lakukan tanpa menyentuh
sedikit pun. Tetapi ilmu 'Pranasukma' ini hanya dipakai dalam keadaan terpaksa
sekali. Jika tidak terpaksa, jika masih ada cara lain, pergunakan cara lain
dulu. Sebab ilmu 'Pranasukma' hanya bisa digunakan seratus kali. Sedangkan aku
baru menggunakan empat kali. Jadi masih ada kesempatan sembilan puluh enam kali
untuk menggunakan kekuatan ilmu 'Pranasukma' itu."
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama
manggut-manggut. Dalam hati mereka tetap menyimpan kekaguman, tapi dalam hati
Suto Sinting ditambah rasa girang yang tiada habis-habisnya.
Ilmu kekuatan batin seperti itu jarang dimiliki
orang. Bahkan mungkin Gila Tuak dan Bidadari Jalang tidak memiliki ilmu seperti
'Pranasukma' itu.
"Sebelum matahari tenggelam, kuharap pekerjaan
ini sudah selesai. Jadi kita harus mulai dari sekarang, Suto."
"Baik Bapa Guru. Saya sudah siapkan diri untuk
menerima ilmu tersebut."
"Jangan minum tuak dulu, Suto. Kosongkan raga
dan pikiranmu."
"Baik, Bapa Guru!"
"Duduklah bersila tapi jangan sampai menempel
di tanah."
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan sikap
patuhnya. Namun ketika ia ingin duduk di tanah, Setan Merakyat menahan
lengannya dan berkata,
"Sebelumnya, buka seluruh pakaianmu. Jangan
sampai ada bendalain yang menempel pada tubuhmu."
"Bu... buka...?! Maksudnya, buka semuanya, Bapa
Guru?"
"Tenang saja, di sini tak ada perempuan.
Seorang pun tak ada."
Sebenarnya Pendekar Mabuk agak malu, tapi demi
mendapatkan ilmu dan kesaktian seperti yang dicontohkan tadi, Suto Sinting
akhirnya melepas seluruh pakaiannya. Bahkan bumbung tuaknya dilepaskan pula,
disandarkan di bawah pohon tak jauh dari Ki Tumbang Laga berdiri.
Setelah melepaskan pakaiannya, Suto Sinting segera
duduk bersila. Jurus 'Layang Raga' dipergunakan oleh Suto, membuat tubuhnya terangkat
mengambang di udara dalam keadaan tetap duduk bersila. Ketinggian duduknya itu
tak lebih dari batas perut si Setan Merakyat.
"Pejamkan matamu," perintah Setan
Merakyat, dan pemuda yang tidak mempunyai pusar sedikit pun itu segera turuti
perintah tersebut, ia memejamkan mata dengan tenang.
"Pusatkan perhatian benak pada gerakan
napasmu," perintah si Setan Merakyat. "Selama belum selesai jangan
bicara apa-apa dulu."
"Baik, Bapa Guru!"
"Tumbang Laga, lakukan seperti yang
kuperintahkan tadi."
"Baik, Kakang...!" jawab Ki Tumbang Laga
dengan tegas dan patuh. Kedua jari tengah Ki Tumbang Laga sama-sama berdiri
mengeras. Kemudian ujung-ujung jari tengah itu dipertemukan di depan dada: Lama
kelamaan kedua tangan yang saling bertemu itu bergerak pelan ke atas, hingga
kini keberadaannya melebihi ketinggian kepala si Tumbang Laga.
Claaap...! Wuuurrrsss...!
Pertemuan dua jari tengah itu akhirnya memancarkan
sinar merah bening. Sinar itu meluncur ke atas dan berhenti di atas kepala Suto
Sinting dan Setan Merakyat. Sinar merah itu akhirnya menyebar ke bawah dalam keadaan
melebar, sehingga tubuh Suto Sinting dan Setan Merakyat dilapisi oleh cahaya
merah yang turun dari atas kepala mereka itu. Lama kelamaan cahaya merah itu
menjadi bening,membentuk seperti kurungan besar, dan warna merahnya pun punah
menjadi warna putih yang kian lama menjadi kian bening.
Sinar merah di atas kepala mereka telah lenyap.
Kedua tubuh mereka menjadi seperti berada dalam tabung berkaca putih bening. Pada
saat itulah tubuh Setan Merakyat pun terangkat naik dengan sendirinya dan
mengambang di udara, sama seperti yang dilakukan Suto Sinting, ia segera
keraskan kedua jari pada tiang tangannya.
Classs, claasss...!
Dari masing-masing kedua jari keluar sinar ungu
bening. Satu sinar ungu mengarah pada perut Suto Sinting tempat biasanya
seseorang berpusar. Satu sinar ungu lagi mengarah pada ulu hati Suto Sinting. Kedua
sinar ungu itu membuat tubuh Suto Sinting menjadi menyala ungu bening bagai
terbuat dari beling kristal ungu. Tubuh tersebut diam mengejang kaku bagaikan
patung.
Zuuub, zuuub...!
Kedua sinar ungu itu pun segera padam setelah lebih
dari dua puluh helaan napas memancar ke tubuh Suto Sinting. Tapi sayang mereka
yang ada di dalam tabung kaca itu tidak bernapas, sehingga tidak bias menghitung
berapa helaan lamanya kedua sinar ungu itu terpancar dari kedua tangan Setan
Merakyat.
Tetapi walaupun kedua sinar ungu itu telah padam
dari ujung jari Setan Merakyat, keadaan Suto Sinting masih seperti patung dari
batuan bening warna ungu. Tubuh tersebut tetap mengambang di udara dan tidak
bergerak sedikit pun.
Setan Merakyat memberikan isyarat kepada Ki Tumbang
Laga agar melepaskan jurus 'Surya Perisai' yang menyelubunginya. Ki Tumbang Laga
yang sejak tadi menempelkan kedua jari tengahnya di atas kepala itu segera
bergerak mundur satu langkah, kemudian telapak tangannya dihentakkan ke depan.
Selarik sinar merah menghantam lapisan dinding kaca tersebut.
Claaap...!
Pyaaar...!
Lapisan dinding kaca itu hancur seketika dihantam
sinar merah dari telapak tangan. Tetapi sisa kehancuran itu tidak berserakan di
tanah. Tak satu pun terlihat pecahan beling tergeletak di tanah. Pecahan beling
itu bagaikan lenyap begitu hendak menyentuh tanah.
Setan Merakyat menghirup udara segar
panjang-panjang. Tetapi keadaan Suto Sinting tetap menjadi patung ungu bening
dalam keadaan mengambang di udara. Ki Tumbang Laga memandang dengan heran,
kemudian ketika Setan Merakyat mendekatinya untuk memandang Suto Sinting dari
jarak tujuh langkah, Ki Tumbang Laga pun segera ajukan tanya bernada cemas.
"Mengapa ia masih dalam keadaan seperti patung
batu bening begitu, Kakang?!"
"Peresapan dari cahaya sakti 'Pranasukma'
membutuhkan waktu beberapa saat lamanya. Tapi usaha ini termasuk cepat dan
lancar. Aku yakin jika bukan Suto Sinting yang menerima cahaya sakti itu,
tubuhnya akan pecah menjadi serpihan-serpihan daging yang layak dijadikan
sate."
"Lalu, sampai berapa lama ia akan menjadi
seperti patung bening begitu, Kakang?"
"Tergantung, kekuatan tubuhnya. Bisa tujuh
hari, bisa empat belas hari lamanya. Dan selama itu ia tak boleh disentuh oleh
siapa pun, kecuali oleh angin. Bahkan ia tak boleh terkena percikan air walau
setetes pun, karena hal itu dapat membuat tubuhnya menjadi pecah. Karenanya
kita harus menjaganya terus sampai ia sadar dan wujudnya berubah seperti
sediakala."
Glegaaar...! Tiba-tiba terdengar suara guntur
menggelegar pertanda hujan akan turun di puncak Gunung Kemuning. Ki Tumbang
Laga mulai cemas, matanya memandang ke arah langit yang hanya bisa dilakukan
melalui celah-celah dedaunan. Langit bersih dan putih tiba-tiba mulai
diselimuti mega hitam. Mendung menggantung di langit, pertanda tak lama lagi
hujan pun akan turun dengan deras.
"Celaka! Hujan akan turun, Kakang! Berbahaya
sekali untuk keselamatan Suto Sinting, ia akan pecah jika terkena rintik
gerimis sekalipun."
Setan Merakyat pun tampak gelisah. Matanya memandang
ke langit dengan tegang. Tetapi ia segera berkata kepada Ki Tumbang Laga,
"Bantu aku menolak hujan, Tumbang Laga!"
"Aduh, maaf sekali, Kakang. Sungguh aku tak
bisa lakukan hal itu. Aku belum pernah menjadi pawing hujan."
"Bantulah dengan sebisa-bisamu!"
Setan Merakyat agak membentak.
*
* *
8
EMBUN pagi belum sempat kering sudah harus digenangi
oleh darah korban ilmu 'Sukma Sakti' yang cukup ganas itu. Kali ini korban ilmu
'Sukma Sakti' adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun yang mengenakan
pinjung penutup dada warna merah dengan celana sebetis dibungkus kain putih.
Gadis itu mengenakan rompi panjang berwarna kuning emas, rambutnya dikuncir
tinggi sisanya berjuntai seperti ekor kuda. Gadis itu adalah Syair Kusumi,
murid dari Nini Kalong, si Penjaga Hutan Rawa Kotek.
Kepala gadis itu pecah ketika tiba- tiba tubuhnya
terbanting membentur dinding tebing karena kekuatan ilmu 'Sukma Sakti’nya si
Setan Rawa Bangkai.
Rupanya pertarungan Syair Kusumi dengan Setan Rawa
Bangkai terjadi di ujung pagi, ketika Syair Kusumi dalam perjalanan pulang dari
suatu tempat menuju kediaman gurunya di Hutan Rawa Kotek. Ia kepergok Setan
Rawa Bangkai yang menaruh dendam kepada Nini Kalong karena persoalan masa muda
mereka.
Mengetahui Syair Kusumi adalah murid pertama dari
Nini Kalong, maka Setan Rawa Bangkai pun segera menyerangnya. Syair Kusumi
mencoba lakukan perlawanan dengan jurus 'Pedang Gangsing', yaitu kibasan pedang
beruntun yang timbulkan dengung yang biasanya bisa bikin darah lawan muncrat
dari lubang-lubang di bagian kepalanya. Tetapi kali ini jurus 'Pedang Gangsing'
tidak mempan bagi Setan Rawa Bangkai. Justru Syair Kusumi yang dibanting ke
sana-sini sampai akhirnya dibenturkan dinding tebing dengan keras dan kepala
pun pecah tak berbentuk lagi.
Pertarungan itu dilihat oleh seseorang dari tempat
yang tersembunyi. Orang tersebut mengenal Syair Kusumi sebagai murid Nini Kalong.
Tetapi orang itu tidak berani bertindak lakukan pembelaan, sebab ia hanya
mempunyai ilmu pas-pasan.
Karenanya, ia hanya segera larikan diri ke arah
Hutan Rawa Kotek yang tak jauh dari tempat pertarungan tersebut Lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun, berambut pendek, ikat kepala berwarna putih, ia
mengenakan baju hijau tua yang membungkus badannya yang kurus dan agak pendek,
ia tak lain adalah Kadal Ginting, pelayannya Resi Pakar Pantun.
Sebenarnya Kadal Ginting tidak bermaksud memergoki
pertarungan tersebut, ia diutus oleh Resi Pakar Pantun untuk mencari
Kertapaksi, murid Resi Pakar Pantun, dan mengingatkan agar menghindari
bentrokan dengan tokoh yang berjuluk Setan Rawa Bangkai. Sebab sang Resi
khawatir jika muridnya yang mudah terpancing kemarahan itu akan berhadapan
dengan Setan Rawa Bangkai, dan tentu saja Setan Rawa Bangkai bukan tandingannya
Kertapaksi.
Dalam perjalanan mencari Kertapaksi itulah, Kadal
Ginting melihat pertarungan Syair Kusumi dengan Setan Rawa Bangkai, sehingga ia
sempatkan diri untuk mengabarkan hal itu kepada Nini Kalong.
"Kadal buntung!" geram Nini Kalong.
"Apa maksudmu pagi-pagi begini membangunkan tidurku, hah?! Bocah tak tahu
sopan! Begitukah ajaran dari tuanmu, si Pakar Pantun?!"
"Sabar, Nini... kumohon simpanlah dulu
omelanmu!"
"Tidak bisa! Aku harus ngomel karena kau
mengganggu tidurku. Biasanya aku bangun bila matahari sudah di tengah langit,
tapi sekarang matahari baru menggeliat tapi aku harus sudah terbangun oleh
seruanmu yang urakan itu! Dasar kadal kurang kerjaan!"
"Nini, aku membawa berita penting untukmu.
Berita tentang kematian...."
"Kematian siapa? Si Pakar Pantun tuanmu itu?
Aku tak pedulikan dia lagi, Kadal! dia mau mati atau hidup, atau mau setengah
mati setengah hidup, itu urusannya! Dia sudah cukup tua, sudah pasti bisa
membedakan mana yang lebih enak; hidup atau mati!"
Kadal Ginting menarik napas menahan kejengkelan.
Tapi Nini Kalong segera berkata lagi dengan sisa berangnya.
"Kenapa dia mati? Bunuh diri atau keracunan
pantun?!""
"Bukan Eyang Resi yang meninggal, Nini!"
sergah Kadal Ginting dengan jengkel.
"Lalu, siapa yang meninggal jika bukan dia?
Sebab menurutku sudah waktunya dia meninggal, mengapa masih ngotot hidup
terus?! Siapa yang mati maksudmu?"
"Muridmu sendiri; si Syair Kusumi!"
"Apaa...?!" Nini Kalong terpekik dengan
mata melotot. Kadal Ginting takut hingga mundur dua langkah.
"Jangan bicara seenak mulutmu yang bau comberan
itu, Kadal Ginting!Bisa kurobek mulutmu menjadi delapan lembar kalau kau bicara
seenaknya di depanku!"
"Ak... aku... aku tidak... tidak bohong,
Nini," Kadal Ginting gugup sekali sambil pegangi mulutnya yang takut
dirobek menjadi delapan lembar itu.
"Ak... aku melihat sendiri. Melihat dengan mata
kepala sendiri,
bukan dengan mata kaki! Syair Kusumi kepalanya pecah
dibenturkan dinding tebing oleh... oleh...."
"Oleh siapa?!" bentak Nini Kalong dengan
berangnya.
"Oleh... Setan... Setan Rawa Bangkai!"
"Keparat! Maksudmu si Marundang yang membunuh
muridku itu, hah?!"
Kadal Ginting menganggukkan kepala dengan perasaan
takut sambil melangkah mundur karena Nini Kalong maju mendekatinya. Wajah perempuan
kurus bermata cekung itu menjadi menyeramkan.
Rambutnya
yang putih meriap membuat wajahnya tampak semakin angker. Ketika menggeram
penuh kemarahan, perempuan tua berusia sekitar sembilan puluh tahun itu mengeluarkan
asap dari hidungnya. Asap tipis tersebut adalah lambing kemurkaan darahnya yang
menjadi mendidih mendengar kematian murid pertamanya.
"Di mana dia sekarang?"
"Terakhir kali kulihat dia... dia di... di
sekitar Tanah Tebing Tebas," jawab Kadal Ginting dengan grogi.
Blaaasss...!
Tanpa diduga-duga, Nini Kalong melesat pergi dengan kecepatan
tinggi, nyaris menabrak tubuh Kadal Ginting. Untung lelaki bernyali ciut itu
segera menghindar ke kiri, jika tidak pasti akan terpental diterjang lompatan
Nini Kalong. Sekalipun ia sudah menghindar, tetap saja tubuhnya jatuh
terpelanting ke belakang karena hembusan angin kepergian Nini Kalong.
Dalam
beberapa kejap saja, Nini Kalong sudah sampai di Tanah Tebing Tebas, ia
buktikan dengan mata kepala sendiri salah seorang dari keempat muridnya itu
telah tak bernyawa dalam keadaan kepala hancur nyaris tak berbentuk lagi. Darah
perempuan tua itu makin mendidih, kulit wajahnya kian memerah.
"Keparat!" geramnya penuh murka.
Lalu ia berseru, "Di mana kau, Manusia Bangkaaaiii...!"
Jlegaaar...! Sebuah pukulan tenaga dalam dilepaskan sebagai pelampiasan dari
murkanya.
Pukulan itu menghantam dinding tebing dan
menimbulkan ledakan cukup keras, hingga menggema ke mana-mana bersama
reruntuhan batu dinding yang hancur sebagian ittu.
Blaaas...! Nini Kalong pergi tinggalkan mayat
muridnya demi memburu dendam yang telah dibakar murka, ia menggunakan getaran
batin untuk menemukan di mana Setan Rawa Bangkai berada saat itu.
Ternyata pencarian tersebut sampai mendekati tengah
hari bolong belum juga berhasii. Nini Kalong tak tahu kalau Setan Rawa Bangkai
kala itu sedang berhadapan dengan seorang lawan yang sengaja mencarinya juga.
Orang tersebut adalah seorang perempuan cantik berjubah ungu bintik-bintik emas.
Kutang dan pakaian penutup bawahnya berwarna kuning emas. Perempuan cantik itu
mengenakan perhiasan lengkap, termasuk mahkota kecil di kepalanya. Kesan wibawa
terlihat jelas di wajah yang berkulit putih mulus itu, karena ia adalah penguasa
Bukit Esa yang menobatkan diri sebagai pendeta aliran hitam, dikenal dengan
nama Nyi Mas Gandrung Arum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu").
Nyi Mas Gandrung Arum lakukan lompatan bagai terbang
dengan kedua telapak tangan terbuka dan mengarah ke depan. Dari telapak tangan
itu keluar sepasang sinar hijau yang masing-masing berukuran sebesar tongkat gembala.
Wuuut, wuuuut...!
Tetapi Setan Rawa Bangkai tetap berdiri di
tempatnya. Kedua tangannya juga disentakkan ke depan, dan dari tengah kedua
telapak tangan itu melesat sepasang sinar merah terang sebesar lidi. Sinar
sebesar lidi itu menghantam sinar hijau di pertengahan jarak. Clap, claap...!
Jegaaarrr...!
Ledakan amat dahsyat menggema bagai ingin memecahkan
langit. Ledakan itu membuat tubuh Nyi Mas Gandrung Arum terpental tanpa
keseimbangan tubuh, ia jatuh terbanting di kaki sebatang pohon beringin liar.
Brrrus...!
Sedangkan Setan Rawa Bangkai hanya terdorong mundur
tiga tindak. Hampir saja jatuh kalau tak buru-buru berpegangan pada batang pohon
yang kemudian pohon itu roboh ke arah berlawanan. Brrruk...! Tiga pohon lainnya
tumbang pula akibat getaran gelombang ledak yang sangat kuat tadi.
Bahkan di tempat lain ada empat pohon yang ikut
tumbang tak tentu arah, ada pula yang patah di pertengahan batangnya.
Nyi Mas Gandrung Arum segera bangkit berdiri karena
khawatir diserang lawannya dalam keadaan belum siap kembali. Dengan berdiri
tegak Nyi Mas Gandrung Arum menghirup udara panjang-panjang, menyalurkan hawa murni
pada bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit. Sedangkan Setan Rawa Bangkai
segera berkelebat mendekati Nyi Mas Gandrung Arum. Kini keduanya saling
berhadapan kembali dalam jarak kurang dari tujuh langkah. Mata mereka saling
pandang dengan tajam, penuh pancaran hasrat membunuh.
"Sia-sia saja kau melawanku, Gandrung Arum! Kau
akan kehilangan nyawa jika masih nekat ingin membalas dendam padaku!"
geram Setan Rawa Bangkai.
"Aku tak akan pergi dalam keadaan bernyawa jika
tak bisa membalaskan kematian dua puluh tiga anak buahku yang kau bunuh dengan
keji dua hari yang lalu itu! Lebih baik aku kehilangan nyawa daripada pulang ke
Bukit Esa tanpa menenteng kepalamu, Setan Busuk!" ucap Nyi Mas Gandrung
Arum dengan penuh kebencian.
"Mereka layak mati, karena telah lancang, berani
melarangku melewati batas wilayah kekuasaanmu. Mereka belum tahu siapa si
Marundang ini!Jadi mereka perlu mendapat pelajaran alakadarnya, Gandrung
Arum!"
"Kau memang keparat, Marundang! Seenaknya saja
bicara dan bertindak, maka aku pun akan memperlakukan hal yang sama terhadap
dirimu, Marundang!"
Blluuk ..! Tiba-tiba Nyi Mas Gandrung Arum memukul
dadanya sendiri. Jurus 'Tapak Ungu' dipergunakan, membuat kulit mulusnya
membekas telapak tangan warna kebiru-biruan. Biasanya jurus 'Tapak Ungu' akan membekas
di dada lawan walau Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri.
Dan jurus itu mempunyai racun yang amat berbahaya,
sukar disembuhkan jika bukan dengan air Sendang Ketuban.
Tetapi agaknya kali ini lawan Nyi Mas Gandrung Arum
orang yang cukup paham dengan jurus 'Tapak Ungu' tersebut. Maka ketika Nyi Mas
Gandrung Arum memukul dadanya sendiri, Setan Rawa Bangkai segera menempelkan telapak
tangan ke dadanya sendiri.
Tangan itu menyala biru, lalu berubah menjadi hijau.
Secepatnya tangan itu disentakkan ke depan, dan sinar hijau yang menyala di
telapak tangan Setan Rawa Bangkai melesat bagai terbuang.
Weeess...! Sasaran sinar hijau itu adalah dada Nyi
Mas Gandrung Arum.
Wuuuut, weees...!
Nyi Mas Gandrung Arum tahu bahwa pukulan 'Tapak
Ungu'-nya sedang dikembalikan oleh lawan. Maka ia segera melenting ke atas,
bersalto satu kali dan sinar hijau itu lolos dari tubuhnya, menghantam sebatang
pohon yang segera kering dan menjadi keropos.
Jleeg...! Nyi Mas Gandrung Arum mendaratkan kakinya
ke tanah. Tapi sebelum ia melepaskan pukulan berbahaya lagi, tiba-tiba tubuhnya
terlempar ke samping dan berputar-putar di udara bagaikan baling-baling.Wut,
wut, wut, wut, wut, wut...!
Weeeerr...! Brrrruk, praaak...!
Nyi Mas Gandrung Arum dilemparkan dengan kekuatan
ilmu 'Sukma Sakti' hingga kepalanya membentur batang pohon dengan kuatnya.
Batang pohon itu sempat hancur sebagian bagai ditumbuk oleh gada besi. Jika
batang itu saja sampai hancur sebagian, tentunya kepala Nyi Mas Gandrung Arum
pun menjadi ikut hancur.
Tapi karena pengaruh lapisan tenaga dalam yang
menyelimuti sekujur tubuhnya, maka Nyi Mas Gandrung Arum hanya mengalami luka
kecil pada pelipisnya. Hanya saja, pandangan mata menjadi berkunang-kunang dan
sekujur tulangnya seperti remuk setelah tubuhnya jatuh terkulai di tanah.
Setan Rawa Bangkai masih tetap diam di tempat.
Tiba-tiba kedua tangannya diangkat dan kesepuluh kukunya yang runcing itu
menyala merah bagaikan bara. Kuku yang menyala merah itu memancarkan kilatan
cahaya seperti lidah petir yang berkerliap dari kuku yang satu ke kuku yang
lain. Kemudian lidah petir itu menjadi panjang bagaikan sepuluh cambuk membara.
Setan Rawa Bangkai mengibaskan tangannya dengan gerakan mencakar, maka
lidah-lidah petir itu berkelebat bagaikan mencambuk tubuh Nyi Mas Gandrung
Arum. Cralaaap...!
Blegaarrr...!
Tubuh Nyi Mas Gandrung Arum disambar seseorang,
sehingga lidah- lidah petir itu mengenai tempat kosong. Akibatnya tanah di
tempat itu menjadi retak panjang dan sebagian sisi bongkahan tanah itu longsor
masuk ke dalam bumi. Sedangkan pohon-pohon di sekitar tanah yang terbelah itu menjadi
tumbang tak karuan bagai dilanda kiamat kecil. Itulah kedahsyatan jurus 'Cakar
Belah Jagat' yang menjadi jurus andalan nomor dua bagi Setan Rawa Bangkai.
Sosok bayangan hitam yang menyambar tubuh Nyi Mas
Gandrung Arum itu ternyata adalah sosok tua berambut putih, yang tak lain
adalah Nini Kalong. Melihat kehadiran Nini Kalong yang baru saja letakkan tubuh
Nyi Mas Gandrung Arum di tempat yang aman, Setan Rawa Bangkai menjadi menggeram
diliputi cahaya murka dari sorot sepasang mata cekungnya itu.
"Gggrrrmmm...!" geramnya dengan sangar.
"Kau muncul juga akhirnya, Nini Kalong!"
"Aku datang bukan sekadar untuk selamatkan si
Gandrung Arum, tapi untuk membalas kematian muridku; Syair Kusumi!" seru
Nini Kalong yang bisa sampai di tempat itu karena suara ledakan dahsyat tadi.
"Sebenarnya kau adalah orang terakhir yang
ingin kuhancurkan, Nini Kalong. Tapi karena kau muncul lebih dulu dari yang
lain, maka aku terpaksa mengakhiri hidupmu sekarang juga!"
"Gandrung Arum boleh kau anggap ringan, tapi
Nini Kalong jangan kau samakan dengan Gandrung Arum, Marundang! Jangan anggap
aku tak bisa menandingi kesaktianmu. Terimalah jurus pertamaku ini!
Heeeaaah...!"
Jurus 'Tolak Tujuh' dilepaskan oleh Nini Kalong.
Sinar hijau sebesar jeruk nipis keluar dari tangannya, melesat cepat hendak
menghantam kepala Setan Rawa Bangkai. Claaap...!
Weeess...!
Namun Setan Rawa Bangkai hanya diam saja,
sunggingkan senyum sinis yang benar-benar tak sedap dipandang mata. Sinar hijau
yang melesat ke arahnya itu segera ditangkap dengan tangannya. Sinar itu segera
dilemparkan kembali ke arah Nini Kalong. Wuuuut...! Blegaaarr...!
Nini Kalong loncat ke atas dan melambung di udara
beberapa saat. Sinar hijau yang dikembalikan itu menghantam tanah di
belakangnya. Tanah itu menjadi hancur dan berlubang cukup besar, asap mengepul
bagai keluar dari dalam tanah yang telah menjadi hangus itu.
Ketika tubuh Nini Kalong hendak mendarat ke bumi,
tiba-tiba ia merasa mendapat pukulan di ulu hatinya dengan sangat keras.
Beeehg...! Maka tubuhnya pun terdorong ke belakang dengan suara pekik tertahan
menyertainya,
"Heeegh...?!" mata Nini Kalong mendelik
dengan mulut ternganga.
Mulutnya itu mulai mengepulkan asap tipis bagai ada
sesuatu yang terbakar di dalam tubuhnya. Setan Rawa Bangkai sejak tadi hanya
diam saja, ia menghantam ulu hati lawannya dengan menggunakan kekuatan batin
dari ilmu 'Sukma Sakti'-nya itu. Tentu saja Nini Kalong tak bisa menghindar
atau menangkis karena tak dapat melihat datangnya pukulan tersebut.
Wajah Nini Kalong mulai membiru agak
kemerah-merahan, sepertinya sekujur kepala itu menjadi bisul yang amat
menyakitkan. Sekalipun demikian, Nini Kalong masih memaksakan diri untuk
bangkit dan lakukan penyerangan kembali.
Sedangkan Setan Rawa Bangkai mulai mengangkat
tangannya yang berjari keras membentuk cakar. Kilatan cahaya merah berkerilap
dari kuku-kuku hitamnya. Begitu tangan dikibaskan bagai mencakar udara kosong
di depannya, sinar merah yang menyerupai lidah petir itu berkerilap menyambar
tubuh Nini Kalong. Jurus 'Cakar Belah Jagat' digunakan lagi untuk hancurkan
tubuh Nini Kalong.
Dalam keadaan sempoyongan sambil menahan rasa sakit,
Nini Kalong tak mampu hindari lima sinar merah itu. Tetapi tiba-tiba sekelebat
sinar biru besar memotong jalannya lima sinar merah tersebut. Akibatnya kelima
sinar merah yang mirip cambuk lidah petir itu menghantam sinar biru besar tersebut.
Blegaaarrr...! Gleeerrr...!
Tanah berguncang walau tak sempat retak terbelah
seperti tadi. Pepohonan ikut bergetar dan sebagian dahan ada yang patah akibat
gelombang ledakan yang menghentak kuat itu. Setan Rawa Bangkai sendiri terpental
ke belakang dan jatuh berguling satu kali, lalu cepat sentakkan tangan ke bumi
dan tubuhnya melambung ke atas dengan ringannya. Wuuuus...! Jleeeeg...!
Ketika ia menapakkan kakinya ke tanah, wajahnya
tampak terkejut karena ternyata di tempat itu sudah hadir tokoh lain. Seorang
anak muda berpakalan coklat-putih, menyilangkan bumbung tuak di punggungnya, ia
berdiri membelakangi Nini Kalong yang terpental akibat ledakan tadi dan sekarang
sedang mengerang menahan sakit dalam keadaan terkapar.
"Siapa kau...?!" hardik Setan Rawa
Bangkai.
"Aku adalah orang yang akan menjadi
tandinganmu, Setan Rawa Bangkai!"
"Sebutkan namamu!" bentak Setan Rawa
Bangkai. Bukan pemuda itu yang menjawab, tetapi seseorang yang muncul dari balik
semak di samping kanan Marundang.
"Dia bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk,
murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Dengan gerakan cepat kepala Setan Rawa Bangkai
berpaling memandang orang yang menjawab itu. Ternyata di sana telah berdiri
tokoh berpakaian serba putih yang tak lain adalah Setan Merakyat. Di belakang
Setan Merakyat tampak Ki Tumbang Laga berdiri dengan tenang dan berlagak acuh
tak acuh.
"Murdawira..., ternyata kau pun tak sabar
menunggu kematianmu tiba!" ucap Setan Rawa Bangkai.
Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari samping lain,
"Justru kau yang tak sabar menunggu kematianmu tiba, Marundang!"
Kepala berambut panjang warna abu-abu itu berpaling
cepat ke arah lain. Ternyata di sana sudah berdiri dua tokoh tua lainnya: Resi
Pakar Pantun dan si Tua Bangka.
Rupanya bunyi ledakan menggelegar yang pertama tadi
dijadikan tanda bagi mereka untuk mencari tahu di mana Setan Rawa Bangkai
berada. Bahkan kali ini segumpal asap pun muncul di depan Setan Rawa Bangkai.
Buuusss...! Ketika asap itu hilang, tampaklah sesosok tubuh gemuk berkepala
gundul, mengenakan pakalan biksu warna kuning dan berkalung tasbih putih
sepanjang perut. Kemunculan tokoh itu membuat Setan Rawa Bangkai menggeram
dengan memancarkan pandangan tajam.
"Ggrrmm...! Kau pun hadir juga,
Badranaya?!"
Setelah melirik Nyi Mas Gandrung Arum yang terkapar
menahan luka itu, Resi Badranaya pun berkata kepada Marundang, "Kau telah
melukai kakakku, Marundang! Kau harus menerima pembalasan dariku!"
"Tidak! Bukan kau lawan yang pantas untuknya,
tapi dia... Pendekar Mabuk. Itulah lawan yang imbang baginya, Badranaya!"
sahut Setan Merakyat dengan nada tegas.
Resi Badranaya menjadi ragu, sebab ia menaruh hormat
kepada Setan Merakyat. Tetapi bagi Marundang, keadaan itu justru semakin memancing
murkanya, ia menggeram dengan pandangi mereka satu persatu.
"Siapa pun kalian yang ingin mati lebih dulu
silakan maju!" ujarnya menantang Pendekar Mabuk segera berkelebat menerjang
tanpa banyak bicara lagi.
Zlaaap...! Brrus...! Tubuhnya menabrak Setan Rawa
Bangkai, tapi justru ia sendiri yang terpental mundur dan jatuh terjungkal ke
belakang. Setan Rawa Bangkai tetap berdiri tegak dengan menarik kedua tangan
yang tadi digunakan menghadang terjangan Pendekar Mabuk.
"Cepat bangkit, Suto!" seru Ki Tumbang
Laga memberi semangat. Wuuuut...! Suto Sinting sentakkan badan dan tubuhnya
melambung ke atas, lalu berdiri tegak menapakkan kakinya di tanah. Setan Rawa
Bangkai pergunakan jurus 'Sukma Sakti'-nya untuk melemparkan Suto Sinting ke
arah samping. Wuuut...! Tubuh anak muda itu terlempar dengan ringannya dan pundaknya
membentur batang pohon dengan keras. Ouuuhg...!
"Auh...!" pekiknya pendek.
"Ayo, hajar dia, Suto!" seru Ki Tumbang
Laga dengan gemas. "Percuma lima hari aku dan Kakang Murdawira menjagamu
selama menjadi patung kristal ungu kalau akhirnya kau akan tumbang juga,
Suto!"
Pendekar Mabuk bangkit kembali. Saat itu Setan Rawa
Bangkai menghantam dada Suto Sinting dengan keadaan tetap diam tak bergerak.
Batinnya memukul keras pemuda tampan itu menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya.
Tetapi Suto Sinting cepat-cepat pergunakan jurus
'Pranasukma' untuk menahan gelombang naluri yang menghantamnya. Zeeebb...!
Pukulan keras itu tertahan di pertengahan jarak. Setan Rawa Bangkai terperanjat
karena merasakan pukulan batinnya ditahan oleh suatu kekuatan yang sukar
dikalahkan.
Beehg...! Setan Rawa Bangkai terjengkang ke belakang
sendiri. Pukulan batinnya bagaikan membalik arah mengenai dirinya. Suto Sinting
berdiri tak bergerak memandangi lawannya. Tiba-tiba lawannya terlempar ke atas
dan membentur dahan pohon besar. Brruk...! Krrrak...! Dahan itu patah akibat
benturan keras kepala Setan Rawa Bangkai.
Wuuut...! Brrrak...! Wuuuss...! Prraak...!
Setan Rawa Bangkai dilempar-lemparkan oleh kekuatan
'Pranasukma'-nya Suto Sinting. Tubuh kurus kering itu dibanting-banting lebih
dari sepuluh kali, hingga tulang-tulangnya menjadi patah. Walau memekik
berkali-kali, tapi Suto Sinting tetap membanting-banting tubuh itu dengan jurus
'Pranasukma'-nya.
"Aaahgg...!" Setan Rawa Bangkai memekik
panjang ketika tubuhnya melayang ke arah Suto Sinting. Tangan Suto berkelebat
menyambar bumbung tuak, dan bumbung tuak itu segera dihantamkan ke tubuh yang
melayang itu.
Wuuut, praak! Duaaar...!
Hantaman bumbung tuak itu timbulkan ledakan cukup
keras. Ternyata ledakan itulah yang mengakhiri riwayat hidup Setan Rawa
Bangkai. Tubuh kurus itu terkulai di tanah dalam keadaan seluruh tulangnya
patah, dan tentu saja nyawanya pun melayang bersama kepulan asap pada pinggangnya
yang terhantam bumbung tuak tersebut.
Beberapa tokoh tua menampakkan kelegaannya, sebagian
ada yang bertepuk tangan pelan sebagai tanda pujian bagi sang Pendekar Mabuk.
"Kuhitung sudah tujuh belas kali kau menggunakan
jurus 'Pranasukma' tadi. Ingat-ingatlah sisanya, jangan sampai kau kehabisan
kekuatan 'Pranasukma' itu, Suto," ujar Setan Merakyat sambil menepuk-nepuk
pundak Suto Sinting.
"Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya Bapa Guru
bisa lakukan sendiri perlawanan seperti tadi, karena Bapa Guru memiliki ilmu 'Pranasukma'.
Tapi mengapa justru Bapa Guru turunkan kepada saya ilmu itu, sehingga sayalah
yang melawan kekuatan si Setan Rawa Bangkai itu?"
"Kalau ilmu itu tak segera kuturunkan, maka aku
akan mengalami susah mati. Padahal aku sudah jenuh hidup dan ingin segera
mencapai alam keabadian. Kupilih waktu yang tepat untuk turunkan ilmu itu
padamu, dan saat sekarang inilah saat yang tepat karena ada alasan bagimu untuk
mencoba kedahsyatan ilmu 'Pranasukma' itu."
Resi Pakar Pantun sibuk menolong Nini Kalong, karena perempuan tua itu memang
bekas kekasihnya. Resi Badranaya sibuk menolong Nyi Mas Gandrung Arum yang
sebenarnya adalah kakaknya sendiri. Tapi semua pertolongan mereka sia-sia.
Hanya tuak Suto yang bisa sembuhkan segala luka pada tubuh kedua perempuan itu.
Selesai sembuhkan mereka, Suto Sinting segera dibawa
menghadap Gila Tuak bersama-sama para tokoh tua itu. Kebetulan hari itu adalah
hari yang sudah disepakati oleh para tokoh tua aliran putih untuk mengadakan pertemuan
yang kedua di Bukit Sekal, dalam rangka membahas masalah kemunculan Setan Rawa
Bangkai. Satu-satunya orang yang tak mau ikut ke Bukit Sekal adalah Nyi Mas
Gandrung Arum, karena ia merasa bukan tokoh aliran putih, tapi karena bujukan
Suto Sinting, akhirnya perempuan cantik dan berdada montok itu akhirnya pergi
juga ke Bukit Sekal, untuk selanjutnya ia masuk ke dalam golongan putih.
SELESAI
Segera terbit!!!
MISTERI MALAIKAT PALSU
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel Edit:
Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon