1
SEMILIR angin pegunungan di siang hari memang mirip
racun pengantar tidur. Pemuda tampan bercelana putih lusuh dengan baju coklat
tak berlengan semula hanya beristirahat dari perjalanannya, ia duduk di
rerumputan, bersandar pada pohon berbatang besar yang mempunyai akar pipih.
Dedaunan yang menaunginya membuat suasana teduh menyegarkan. Pemuda tampan
berambut lurus sepanjang pundak itu sengaja duduk melonjor sambil menyanding
bumbung bambu tempat tuak. Pemuda itu tak lain adalah Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk, murid dari tokoh sakti tertinggi: Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Keteduhan yang nyaman bersama hembusan angin semilir
itulah yang membuat Suto Sinting tertidur tanpa disengaja. Mungkin karena ia
mimpi bertemu bidadari mandi, maka ia tidur dengan nyenyak sekali. Suara
dengkurnya terdengar tipis samar-samar bagai gemerisik suara ilalang.
Kalau saja tak ada suara mengikik geli, mungkin Suto
Sinting masih tertidur dengan nyenyak. Tapi karena ia mendengar suara mengikik
geli, maka kesadarannya pun pulih kembali, ia terbangun dengan sedikit
menggeragap.
Betapa terkejutnya Pandekar Mabuk begitu membuka
mata, ternyata di depannya sudah berdiri seorang gadis memegang pedang yang
diacungkan ke dadanya. Jika pedang itu ditekan sedikit saja, maka akan menembus
dada tepat di bagian jantung. Tentu saja Suto Sinting tak ingin jantungnya
menjadi bocor gara-gara ditembus pedang runcing. Karenanya ia tak mau banyak
bergerak dan tak mau lakukan perlawanan apa pun. Tapi ia sadar bahwa dirinya
telah terancam maut di ujung pedang si gadis berjubah biru tua tanpa lengan.
"Hik, hik, hik, hik...!" Gadis itu tertawa
lagi dengan wajah melengos dan mata melirik ke arah Suto Sinting! Yang dilirik
hanya bengong saja, merasa heran namun juga merasa kagum melihat kecantikan si
gadis berjubah biru. Rambut gadis itu meriap sepundak lewat sedikit, ia
mengenakan ikat kepala kain merah yang simpulnya membentuk bunga mawar. Pakaian
dalamnya hanya kutang kuning dan celana kuning dililit kain merah. Dadanya
kelihatan sekal walau tak begitu montok, namun cukup menggetarkan hati seorang
lelaki.
"Mmm... mengapa... mengapa kau tertawa,
Nona?" tanya Suto Sinting sedikit menggeragap karena kebingungan, ia tidak
memperhatikan ujung pedang yang mengarah ke jantungnya, tapi memperhatikan
wajah gadis yang berdiri di depannya. Kepalanya sedikit mendongak, sehingga
mulutnya tampak melongo mirip lubang belut.
"Apakah kau tak menyadari keadaan dirimu saat ini?!"
Mendengar ucapan gadis itu, Suto Sinting menjadi tambah bingung. Dahinya
berkerut dengan pandangan mata semakin tajam.
"Apa maksudmu?" tanya Suto Sinting tetap mendongak.
Gadis itu menahan tawa, kemudian berkata dengan nada dipaksakan untuk tegas dan
dibuat agar berkesan galak.
"Kau yang bernama Suto Sinting, bukan?!"
"Benar. Kau sendiri bernama siapa?"
"Hmmm... namaku Payung Serambi. Kau tak perlu banyak
tahu tentang siapa diriku. Kau hanya perlu menjawab; Ingin berumur panjang atau
pendek?"
"Apakah kau dewa pemberi umur?"
"Jangan banyak tanya!" bentak Payung
Serambi sambil menekan ujung pedang, membuat Suto Sinting berdesir hatinya,
karena keruncingan ujung pedang itu terasa menekan kulit dadanya. Mau tak mau
ia segera menjawab dengan kikuk.
"Hmmm... anu... ya, tentu saja aku ingin umur panjang,
Nona Cantik!"
"Hari ini aku menjadi dewa bagi kelestarian
hidupmu, Pendekar Mabuk. Mati dan hidupmu ada di ujung pedangku."
"Apakah aku sedang bermimpi?" gumam Suto Sinting.
"Anggap saja ini sebuah mimpi! Tetapi jika kau
tak mau menjawab pertanyaanku dengan benar, kau tidak akan bisa lepas dari
mimpi lagi. Kau akan tidur selama-lamanya alias mati!"
"Apa yang ingin kau tanyakan?" ujar Suto
Sinting setelah hatinya berkata, "Gadis ini tidak main-main, ia
benar-benar mengancamku."
"Pendekar Mabuk, kau kenal dengan Nini
Kalong?"
"Tentu saja aku kenal. Hubunganku dengan Nini
Kalong cukup baik."
"Jika begitu, kau tahu di mana tempat tinggal
Nini Kalong?"
"O, tentu saja aku tahu. Nini Kalong tinggal di
Hutan Rawa Kotek."
"Aku tahu soal itu!" bentak Payung Serambi
dengan mata mendelik. "Tapi di mana letak Hutan Rawa Kotek itu?!"
"Di sebelah selatan, di balik Bukit
Kembar," jawab Suto Sinting polos-polos saja. "Apakah kau sedang
menguji pengetahuanku tentang Hutan Rawa Kotek?"
Gadis itu tak menghiraukan pertanyaan Pendekar Mabuk,
ia hanya menggumam lirih dan manggut-manggut tipis. Matanya memandang angkuh
pada Suto Sinting. Sebentar-sebentar mata itu melirik ke bagian bawah Suto,
membuat murid si Gila Tuak itu semakin terheran heran.
"Kurasa kau telah menjawab pertanyaanku dengan
benar, ilmu 'Tembus Batin'-ku mengenali kejujuranmu. Sayang kita harus berpisah
sekarang, Pendekar Mabuk."
"Tunggu dulu, apakah maksudmu bertanya tentang
Nini Kalong?"
"Sampai jumpa di lain kesempatan, Pendekar
Cabul!"
Weees...! Gadis itu memutar tubuhnya dengan pedang
terangkat ke atas. Kecepatan putarannya membuat pedangnya menjadi seperti
payung. Dalam sekejap saja gadis itu telah menghilang bagaikan terbang menembus
langit siang. Suto Sinting semakin terperangah kaget dan heran melihat jurus
yang digunakan Payung Serambi.
Tetapi lebih kaget lagi setelah Suto Sinting menyadari
keadaan dirinya, ia sempat terpekik dan menjadi sangat tegang setelah
memperhatikan ke bawah, ternyata saat itu ia dalam keadaan tanpa busana
selembar benang pun. Telanjang polos bagai bayi baru lahir.
"Celaka...?!!" wajah tampan itu menjadi
sangat tegang, matanya membelalak lebar, kulit wajahnya menjadi pucat pasi.
"Pantas gadis itu dari tadi menertawakan
diriku. Pantas dia sering melirik ke bawah. Pantas pula kurasakan dingin ujung
pedangnya di kulitku. Rupanya sejak tadi aku seperti bayi baru lahir. Ooh..?! Perbuatan siapa ini?
Si Payung Serambi itukah yang melakukannya? Lalu... lalu di mana pakaianku?
Aduh, celaka tujuh belas turunan kalau begini!"
Suto Sinting menggerutu tiada berkesudahan sambil mencari-cari
pakaiannya. Namun di sekitar tempat itu tak ada selembar pakaian pun. Suto
Sinting penasaran, segera memeriksa setiap semak-semak, siapa tahu pakaiannya
disembunyikan di semak-semak.
Gusrak, grusuk, zrrak, zrraak, gusrak...!
"Mati aku! Pakaianku tak ada di mana-mana. Aduh,
tubuhku jadi gatal semua terkena daun ilalang. Ya, ampun... kalau sudah begini
aku harus bagaimana?!"
Gerutuannya sering bernada sedih. Rasa dongkolnya bercampur
dengan rasa duka. Ia berjalan ke sana-sini sambil menutupi 'jimat lelaki'-nya
menggunakan bumbung tuak. Akibatnya ia seperti berjalan menunggang bambu tempat
tuak, mirip anak kecil main kuda-kudaan.
Jantung Suto Sinting berdebar-debar, karena ia takut
dilihat orang, terutama seorang perempuan, ia akan malu sekali jika ada yang
melihatnya dalam keadaan polos begitu. Seandainya tadi ia sadar akan keadaan
dirinya, tentu ia sangat malu berhadapan dengan gadis cantik itu. Bahkan
mungkin ia tak akan bisa bicara karena sibuk menyembunyikan 'jimatnya.
Tiba-tiba pandangan mata Suto Sinting melihat sekelebat
bayangan berlari di sela-sela pepohonan seberang. Kecepatan pandang mengikuti
gerak bayangan itu membuat Suto Sinting tahu siapa orang yang sedang berlari
cepat itu.
"Gawat! itu si Pakis Ratu...?! Oh, dia berlari
membelok ke arah sini?! Celaka! Aku harus segera bersembunyi jika begini!"
Wuuut...! Guzraaak...!
Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya terlempar masuk
ke semak-semak. Dalam keadaan polos dan bersembunyi di semak-semak, mata Suto
Sinting mengintip pelarian Pakis Ratu, murid Nyai Kidung Laras yang pernah
diselamatkan dari kekejaman Dewa Tengkorak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Setan Rawa Bangkai"). Tapi ternyata semak-semak itu tidak
aman bagi tubuh yang polos tanpa selembar benang pun.
"Wah, kacau sekali! Sial betul nasibku hari
ini! Aduh, aduh... banyak semutnya! Maling kurap betul keadaan ini!" maki
Pendekar Mabuk dengan sibuk menyingkirkan semut-semut yang merayap di kakinya.
Dalam keadaan jongkok sambil pegangi bumbung tuak,
Suto Sinting sangat kebingungan mengatasi semut-semut yang merayap dari telapak
tangan naik ke betis dan terus naik ke mana-mana. Hati sang Pendekar Mabuk
merasa sedih-sedih jengkel.
Sementara itu, di seberang sana ia sempat melihat Pakis
Ratu terhenti pelariannya, karena berhasil disusul oleh seorang lelaki berkumis
lebat. Lelaki berwajah menyeramkan itu tiba-tiba menghadang langkah Pakis Ratu
dengan memotong jalan.
"Kau tak mungkin lolos lagi, Tikus Cantik!
Heeeah...!"
Orang berwajah seram yang badannya besar itu melayangkan
pukulannya ke wajah Pakis Ratu. Wuuut...! Pakis Ratu menghindar ke samping
dengan tangan berkelebat menangkis pukulan lawan. Tetapi tanpa diduga-duga kaki
lawan segera melayang cepat dan tepat mengenai pinggang gadis yang memakai
rompi serta celana hijau muda. Beehg...!
"Uuhg...!" Pakis Ratu terjungkal ke
samping. Tendangan itu bertenaga dalam cukup besar sehingga Pakis Ratu bagai
terlempar lima langkah jauhnya dari tempat semula. Brruuk...!
Lelaki berpakaian hitam dengan rambut sepanjang pundak
diikat kain biru itu menerjang Pakis Ratu lagi pada saat gadis itu berusaha
untuk bangkit. Wuuut...!
Brruss...!
"Aauh...!" Pakis Ratu memekik sambil
tubuhnya terpental empat langkah ke belakang. Mulutnya sempat terlihat
semburkan darah segar karena rupanya dada Pakis Ratu terkena tendangan kuat
dari si baju hitam itu.
Pendekar Mabuk salah tingkah sendiri di dalam semak-semak
itu. Bahkan ia hampir saja terpekik kaget sebelum Pakis Ratu terkena terjangan
lawannya.
"Aduh! Sialan!" tangannya segera menyambar
'jimat lelaki' dan memencet seekor semut yang menggigit tempat terlarang itu.
Pendekar Mabuk tak sadar telah menginjak sarang semut, sehingga semut-semut itu
marah.
"Rupanya di sini banyak semut perempuan!" gerutunya
dengan dongkol sekali. "Kurang ajar betul! Hih, huh, matilah kau!
Aduuh...! Ada lagi yang menggigit bagian belakangku. Brengsek!"
Akibat sibuk dengan semut-semut, akhirnya Suto Sinting
tak bisa memusatkan perhatiannya kepada Pakis Ratu. Ketika ia memandang kembali
ke arah pertarungan itu, Pakis Ratu telah terkapar bersandar ke batang pohon
dalam keadaan berlumur darah. Gadis itu tampak sedang sekarat karena dihajar
habis oleh orang berkumis lebat.
"Kau telah mengecewakan hatiku, Pakis Ratu! Kecewa
berat aku padamu, sehingga terpaksa aku harus membunuhmu demi menebus
kekecewaanku ini!"
Srrang...! Sebilah golok tajam berkilauan dicabut
dari tempatnya. Golok itu segera diangkat dan hendak diayunkan untuk memenggal
leher Pakis Ratu.
Suto Sinting menahan diri dari serangan semut-semut
tersebut, ia lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' melalui dua jari tangannya yang
disentakkan ke depan. Wuuut...!
Dari kedua jari yang merapat itu melesatlah sinar
patah-patah warna kuning. Clap, clap, clap...!
Dess...! Sinar kuning patah-patah itu tepat kenai
dada orang berkumis tebal. Golok yang sudah terangkat terlempar bersama tubuh
orang tersebut. Kejap berikutnya, orang itu terkapar tak berdaya. Tubuhnya
kepulkan asap samar-samar, dan menjadi kering karena terbakar kekuatan tenaga
dalam dari jurus 'Pukulan Gegana' tadi. Pakaiannya pun menjadi abu, rambutnya
juga menjadi abu, tapi nyawanya tidak menjadi abu, melainkan pergi meninggalkan
raga tanpa pamit.
"Oh, kelewatan! Seharusnya aku tak perlu menggunakan
'Pukulan Gegana', sehingga tak sampai menewaskan orang itu. Ah, tapi apa boleh
buat, semuanya sudah telanjur. Habis semut-semut ini bikin aku panik dan tak
bisa berpikir tenang."
Zlaaap...! Suto Sinting segera keluar dari
semak-semak celaka itu. Kedua kakinya menghentak-hentak di tanah untuk
merontokkan semut-semut yang bergelayutan di tempat terlarang. Tangannya
mengibas-ngibas membersihkan badan dari sarang semut. Mulutnya keluarkan
gerutuan yang mirip orang menggumam.
"Dasar semut-semut perempuan! Melihat makanan empuk
sedikit main sergap saja! Aduh, bentol semua badanku kalau begini dan, oooh...?
Kok iniku jadi besar sekali? Hiii... mengerikan sekali. Digigit semut bisa jadi
sebesar ini?" Suto Sinting segera menggaruk-garuk jempol kakinya yang
menjadi besar karena gigitan semut itu. Ia buru-buru meneguk tuaknya, dan dalam
sekejap saja rasa gatal serta nyeri karena gigitan semut itu hilang.
Bentol-bentol di badannya pun mengempis. Kini tubuh Suto Sinting menjadi mulus
kembali.
Tapi karena perhatiannya tertuju pada Pakis Ratu yang
sedang sekarat dengan napas tersendat-sendat, ia jadi lupa pada keadaan dirinya
yang polos tanpa pakaian.
"Celaka! Kalau tak segera kuberi tuak dia bisa
mati menyedihkan!" pikir Suto Sinting, kemudian ia segera dekati Pakis
Ratu yang mulutnya ternganga karena susah menarik napas.
Cuuur...! Tuak dituangkan ke mulut itu. Sebagian ada
yang tertelan, sebagian lagi ada yang tumpah ke kanan-kiri. Pakis Ratu
tersedak, lalu terbatuk-batuk sambil menggeliat miring, ia gelagapan seperti
orang tenggelam karena menelan tuak tanpa disadari.
Tapi akibatnya, luka-luka di tubuh
Pakis Ratu segera mengering. Dalam kejap berikutnya, seluruh luka dan rasa
sakitnya hilang akibat menelan tuak saktinya Pendekar Mabuk. Bahkan darah yang
semula tampak berlumuran di tubuhnya cepat mengering, lalu hilang bagaikan
menguap karena angin. Gadis itu menjadi segar dan sehat tanpa noda darah dan
luka sedikit pun.
"Ah, syukurlah aku belum terlambat. Dia
tertolong," pikir Suto Sinting dengan girang. Tapi tiba-tiba ia terkejut
karena sadar keadaan tubuhnya yang polos. "Wah, bisa kacau kalau aku diam
saja di sini? Dia akah melihat keadaanku tanpa pakaian dan... dan... cari
selamat dulu, ah!"
Weess...! Suto Sinting melompat ke balik semak yang
lainnya sebelum Pakis Ratu melihatnya.
Brruss...! Suto Sinting menghilang di balik semak. Tapi
hatinya segera menggerutu sambil menutup hidung. "Konyol! Siapa yang buang
hajat di sini?! Uuh...baunya!"
Pakis Ratu sudah berdiri dan memandang ke sana-sini.
Terdengar suaranya yang bicara sendiri dalam kebingungan. "Sepertinya aku
tadi melihat wajah Suto Sinting?! Tapi di mana dia sekarang?! Oh... itu si Kebo
Wirang sudah tak bernyawa? Pasti ada orang yang membantuku. Seingatku, tadi aku
dihajar oleh Kebo Wirang dan... dan entah bagaimana lagi. Hanya saja...."
Pakis Ratu memeriksa keadaan tubuhnya.
"Oh, sekarang aku dalam keadaan tanpa luka? Hmmm...
mulutku terasa agak getir, seperti ada aroma tuak yang... yang.... Ah, kurasa
aku memang menelan tuak saktinya Suto Sinting. Tapi di mana pemuda tampan
itu?!"
Lalu Pakis Ratu mencoba berseru memanggilnya, "Sutoo...!
Suto Sinting! Sutooo...?!" Suto Sinting diam saja menutup mulut dan
hidungnya sambil bergeser sedikit demi sedikit menjauhi setumpuk kotoran
manusia yang tepat ada di depannya.
*
* *
2
SEORANG perempuan berusia sekitar lima puluh tahun
muncul setelah Pakis Ratu kebingungan mencari Suto Sinting. Perempuan yang baru
saja muncul itu masih tampak cantik dan badannya cukup sekal, ia mengenakan
jubah ungu, rambut disanggul, dan tampak berkharisma. Penampilannya cukup
kalem, tapi berwibawa, ia adalah Nyai Kidung Laras, guru si Pakis Ratu.
"Guru...!" sapa Pakis Ratu begitu melihat
kedatangan gurunya. Nyai Pakis Ratu memandang sekeliling sebentar, kemudian
pandangannya tertuju pada mayat Kebo Wirang yang telah hangus dan mengering
itu. "Apakah itu mayat Kebo Wirang?"
"Benar, Guru! Senjata golok yang tak jauh
darinya adalah senjata milik Kebo Wirang. Tak salah lagi, itu pasti mayat si
Kebo Wirang."
"Hmmm... siapa yang lakukan ini? Kau
sendiri?"
"Bukan, Guru! Kurasa... kurasa Pendekar Mabuk
yang lakukan pada saat aku tak sadar karena terluka parah oleh serangan Kebo
Wirang."
"Pendekar Mabuk...?! Hmmm... di mana dia sekarang?!"
"Itu dia, Guru... aku sendiri dari tadi sedang
mencari-carinya. Mulutku beraroma tuak, pasti ia menuang tuak ke dalam mulutku
pada saat itu terluka parah. Hanya saja, dari tadi aku tidak menemukan batang
hidungnya."
Diam-diam Suto Sinting berkata dalam hatinya dengan
cemas, "Wah, gurunya Pakis Ratu datang. Gawat! Lebih malu lagi kalau
sampai Nyai Kidung Laras mengetahui keadaanku seperti ini. Tapi... tapi
sebenarnya aku butuh bantuan mereka. Hanya saja, bagaimana caraku bisa menemui
mereka dan meminta bantuan tentang pakaian?!"
Nyai Kidung Laras terdengar bicara kepada muridnya,
"Pakis Ratu, apakah kau tetap mampu mempertahankan kesucianmu dari
kebuasan si Kebo Wirang?!"
"Masih, Guru! Aku masih suci, belum ternoda
sedikit pun olehnya!
"Syukurlah kalau begitu. Sebaiknya kita lekas
pulang ke Lembah Hijau."
"Tapi bagaimana dengan kakak si Kebo Wirang
yang ingin perkosa Guru itu?"
"Kebo Jamak sudah kuhabisi riwayatnya.
Karenanya aku segera mengejarmu kemari, karena kulihat kau berlari dikejar Kebo
Wirang. Ah, sudahlah! Kita lupakan saja sepak terjang kakak-beradik yang memang
doyan memperkosa perempuan itu! Kita punya urusan yang lebih penting dari
masalah ini. Kita bicarakan di Lembah Hijau saja!"
"Baik, Guru!" jawab Pakis Ratu dengan
patuh. Kedua perempuan itu segera pergi meninggalkan mayat Kebo Wirang. Kini
tinggal Suto Sinting sendirian di balik semak memikirkan jalan keluar bagi
kesulitannya sendiri.
"Kurasa aku harus minta bantuan kepada Nyai Kidung
Laras atau Pakis Ratu! Seharusnya aku tadi bicara tanpa menampakkan diri dan
menceritakan keadaanku yang terpaksa bersembunyi ini. Ah, bodohnya aku ini!
Tadi ada kesempatan kenapa tidak dimanfaatkan? Kalau begitu, aku harus
menghadang langkah mereka dan bicara di balik persembunyian!"
Weess...! Suto Sinting pun melesat mengejar Nyai Kidung
Laras dan Pakis Ratu. Ia sengaja menerabas tempat-tempat rimbun agar tidak
semata-mata tampak polos. Akibatnya, beberapa duri menggores kulit tubuhnya dan
membuatnya menggerutu tiada habisnya. Tapi dengan sebentar-sebentar meneguk
tuak, rasa sakit dan luka goresan itu lenyap sendiri.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' Pendekar
Mabuk mampu bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan anak panah yang terlepas
dari busurnya. Hal itu dilakukan agar ia bisa mendahului langkah Nyai Kidung
Laras dan Pakis Ratu. Tetapi di luar dugaan, kedua perempuan itu membelok ke
arah kiri saat hendak mencapai tanggul sungai, sedangkan Suto Sinting bergerak
lurus dan segera mencapai tepian sungai.
Melihat dua batu setinggi kuda berjajar merapat,
Suto Sinting segera bersembunyi di sana. Celah dua batu itu dapat digunakan
untuk mengintai kedatangan Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu, juga bisa dipakai
sebagai lubang suaranya nanti, ia tidak tahu kalau kedua perempuan tersebut
tidak akan melewati sungai itu.
Setelah menunggu beberapa saat lamanya, Pendekar Mabuk
baru menyadari bahwa ia salah hadang. Dalam hatinya segera menggerutu dengan
wajah bersungut-sungut. "Sial! Rupanya mereka tidak lewat daerah ini!
Kalau begitu aku harus segera mengejar mereka lewat jalan yang ke kiri
tadi."
Baru saja Suto Sinting ingin tinggalkan tempat itu,
tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengambang hanyut di perairan sungai. Matanya
menatap tajam ke arah benda yang hanyut itu.
"Oh, sesosok mayat...?! Mayat seorang
perempuan?!"
Rasa ingin tahu membuat Pendekar Mabuk akhirnya nekat
keluar dari persembunyian dan segera menyambar sesosok mayat perempuan
berkebaya dan berkain batik coklat itu. Weess...! Mayat agak gemuk itu
dibawanya ke daratan, di balik gugusan batu setinggi pundaknya, ia
memperhatikan mayat tersebut beberapa saai lamanya.
"Aku tidak mengenali perempuan ini,"
katanya dalam hati. "Tapi sepertinya ia korban pembunuhan. Lehernya
terluka, tampak bekas sabetan senjata tajam. Hmmm... kasihan perempuan ini.
Siapa yang membunuhnya? Padahal menurutku ia masih tergolong muda. Usianya sekitar
tiga puluh tahun, wajahnya manis, berkesan lugu. Sepertinya ia seorang gadis
desa yang polos. Tapi mengapa ia mati dengan cara menyedihkan begini?" Kebaya
merah jambu yang dikenakan mayat itu masih utuh. Juga kain batik yang membalut
tubuh sekal mayat perempuan itu pun masih utuh. Timbul gagasan di benak Suto
Sinting untuk memanfaatkan pakaian si mayat untuk menutupi tubuhnya sendiri.
"Bukan aku merampok barang milik orang lain,
tapi ini semua kulakukan agar aku bebas bergerak dan tidak dipandang jorok di
mata orang. Yah... sayang dia pakai kebaya. Tapi tak apalah. Biar kebaya yang
penting aku tidak polos. Toh pakaian ini sudah tidak dibutuhkan oleh raga
pemiliknya."
Dengan sangat terpaksa sekali, Pendekar Mabuk melepasi
pakaian mayat perempuan itu. Kain batik coklat muda dililitkan menutup bagian
bawahnya, sedangkan kebayanya dipakai tanpa dikancingkan.
Untung ukuran tubuh mayat itu pas dengan badan Suto Sinting,
sehingga kebaya itu tak terlalu sesak dipakainya.
"Wah... tak berani terlalu lama memandang mayat
itu tanpa busana. Bisa merinding sendiri bulu kudukku," ujarnya pelan
sambil melengos, tak mau pandangi mayat perempuan yang polos itu.
Sebagai imbalan atas 'diberikannya' pakaian si
mayat, Suto Sinting memakamkan mayat itu di bawah tanggul sungai. Selesai
memakamkan ia mencuci tangan dan kakinya di tepian sungai. Air sungai yang
bening ini memantulkan bayangan dirinya ba gai sedang berdiri di bawah sebuah
cermin.
"Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa geli
melihat bayangannya di permukaan air sungai. "Ini benar-benar konyol!
Pendekar Mabuk menjadi banci, pakaian kebaya dan kain. Ha, ha, ha...!
Mudah-mudahan aku tidak bertemu Guru, supaya Guru tidak marah melihat aku berpakaian
perempuan begini. Tapi, aih... cantik juga aku kalau begini, ya? Apalagi kalau
ditambah sepasang giwang, hmmm... pasti aku akan jadi rebutan para lelaki, dan
iih... amit-amit!"
Baru sekarang Suto Sinting tertawa geli hingga terpingkal-pingkal.
Apalagi ia mencoba berlenggak-lenggok seperti seorang perempuan, ia semakin terpingkal-pingkal
sendiri hingga perutnya terasa sakit.
"Ya, ampun... mimpi apa aku semalam kok
sekarang berubah menjadi Banci Mabuk?! Rasa-rasanya dengan pakaian seperti ini
aku tak pantas bergelar Pendekar Mabuk. Sangat lucu dan bisa bikin orang tak
percaya bahwa aku adalah Pendekar Mabuk."
Sambil menghabiskan tawa ia geleng-geleng kepala memandangi
bayangannya di permukaan air sungai. Bahkan ketika ia membasuh tangan dan
kakinya, tawa itu masih sesekali mengguncang badannya mirip perempuan genit.
Rupanya di atas tanggul ada sepasang mata yang memperhatikan
keadaan Suto Sinting. Sepasang mata yang bersembunyi itu memergoki Suto dalam
keadaan sedang bercermin di permukaan air sungai, ia tidak tahu bahwa pakaian
basah itu milik mayat yang sudah dimakamkan oleh Suto Sinting.
"Ya, ampuuun ..?! Mengapa dia sekarang menjadi
begitu? Terkena racun apa dia, hingga menjadi gila begitu? Oh, kasihan sekali!
Agaknya seorang lawan telah berhasil melukainya dengan racun dan membuatnya
ingin tampil menjadi wanita!"
Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia
sekitar dua puluh tiga tahun, mengenakan jubah kuning gading, pinjung, dan
celananya yang warna hijau tua. Rambut panjangnya disanggul sebagian, sisanya
dilepas meriap sepanjang punggung, ia menyelipkan pedang di pinggangnya yang
berhias rumbai-rumbai benang merah pada gagangnya.
Gadis itu tak lain adalah Kinanti, orang kepercayaan
Ratu Jiwandani, Penguasa Lembah Birawa. Ia mengenal Suto Sinting dalam perkara
menghadapi ancaman maut dari Demit Lanang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Manusia Pelebur Raga").
Hati Kinanti menjadi iba melihat Suto Sinting berpakaian
kebaya merah jambu, ia menyangka Suto Sinting tidak waras lagi, sehingga ia
bermaksud menemui pemuda tampan yang kini mirip seorang banci itu. "Sebaiknya
ia kubawa ke Lembah Birawa biar disembuhkan oleh Gusti Ratu Jiwandani, sebab
jika benar ia terkena racun yang mempengaruhi otak dan jalan pikirannya, kurasa
Gusti Ratu Jiwandani sanggup mengobatinya, karena beliau mahir dalam pengobatan
racun yang berpengaruh pada jalan pikiran manusia," ujar Kinanti dalam
hatinya.
Tetapi baru saja ia ingin bergerak keluar dari persembunyian,
tiba-tiba seberkas sinar merah berbentuk bintang melesat menghantam punggungnya
dengan telak. Claap...! Deess...!
"Aaahg...!" Kinanti sempat memekik keras
sambil tubuhnya terjungkal dan menggelinding menuruni tebing tanggul.
Kejadian itu membuat Pendekar Mabuk terperanjat dan
cepat lemparkan pandangan mata ke arah Kinanti, ia pun melebarkan mata dan
terkejut sekali melihat Kinanti terkulai di bawah tanggul dalam keadaan
tengkurap. Punggungnya berlubang hitam sebesar tutup botol. Lubang itu
mengepulkan asap samar-samar yang membuat Suto Sinting menjadi cemas.
Zlaaap...! Dalam sekejap saja Suto Sinting sudah berada
di samping Kinanti, ia mencoba membalikkan tubuh Kinanti yang wajahnya telah
memucat bagaikan mayat, matanya terbeliak memutih dengan mulut menganga
kesulitan bernapas.
"Kinanti...?! Kinanti, apa yang terjadi pada
dirimu?! Katakan, Kinanti! Siapa yang melukaimu?!" Tentu saja Kinanti tak
bisa ucapkan sepatah kata pun. Nyawanya sudah di ubun-ubun. Sebentar lagi ia
akan hembuskan napas yang terakhir.
Melihat keadaan Kinanti separah itu, Pendekar Mabuk
tidak mau banyak tanya lagi. Ia cepat-cepat menuangkan tuaknya ke mulut
Kinanti. Sebagian tuak tertelan gadis itu, sebagian lagi tumpah meluber ke
mana-mana. Pendekar Mabuk tidak pedulikan tuak yang tumpah, yang penting ia
cukup lega melihat Kinanti tersedak dan menjadi terbatuk-batuk karena tuak itu
tertelan bersama tarikan napas pendeknya.
Claap...! Seberkas sinar merah berbentuk bintang datang
lagi. Kali ini yang menjadi sasaran adalah punggung Suto Sinting. Namun pada
waktu itu Suto Sinting kebetulan sedang berpaling memandang ke atas tanggul,
ingin mengetahui siapa orang yang menyerang Kinanti. Tepat ia menengok ke
belakang, sinar merah itu datang ke arahnya.
Dengan cepat bumbung tuaknya berkelebat menghadang
sinar merah itu. Kakinya berlutut satu, dan salah satu tangannya mengembang ke
samping atas. Deeeb...! Sinar merah itu menghantam bumbung tuak, bukan meledak
atau menghancurkan bamboo bumbung, tapi memantul balik ke arah pemiliknya yang
bersembunyi dari balik pohon kapuk randu liar. Sinar itu menjadi lebih besar
dari aslinya dan gerakannya lebih cepat lagi. Pemiliknya terperanjat melihat
sinar merahnya kembali arah, lalu menghilang dari persembunyiannya.
Blegaaarr...!
Pohon kapuk randu liar itu menjadi sasaran sinar merah
tersebut. Pohon itu hancur seketika pada bagian tengahnya. Sisa bagian atasnya
tumbang ke arah berlawanan dengan Suto Sinting, sedangkan sisa bagian bawahnya
tetap berdiri dalam keadaan berserat-serat dan mengepulkan asap.
Pendekar Mabuk tidak pedulikan lagi keadaan Kinanti,
karena gadis itu sudah menelan tuak saktinya, ia segera mengejar orang yang
berkelebat dari balik pohon kapuk randu tadi. Zlaaap...!Jleeg...! Wreeek...!
Suto Sinting berdiri di atas gundukan tanah setinggi
lutut. Orang yang melarikan diri itu tercekat seketika dan hentikan langkahnya
melihat Suto Sinting ada di depannya.
Tapi hati Suto Sinting menjadi gelisah, karena kain
yang membalut tubuhnya sebatas lutut lewat sedikit itu telah robek akibat
gerakan cepatnya tadi. Kain itu robek sampai sebatas paha, membuat paha itu
sering terbuka apabila robekan kain menyingkap karena angin.
Orang yang terhadang langkahnya itu cepat-cepat lemparkan
senjata rahasia berbentuk piringan bergerigi mirip bunga mawar dari logam putih
mengkilat. Zing, zing...!
Dua senjata rahasia itu segera ditangkis oleh Suto Sinting
menggunakan kibasan bumbung tuaknya, sambil ia lakukan lompatan ke samping
dengan gesit. Wuut...!
Trang,
traang...!
Kedua senjata rahasia itu terpental ke arah lain
bagai ditangkis dengan besi baja. Pendekar Mabuk cepat lakukan serangan dengan
menjejakkan kakinya pada sebuah batu sebesar anak sapi. Deess...! Wuuut...! Tubuhnya
melayang cepat menerjang lawannya. Tapi sang lawan pun tak kalah lincah, mampu
menghindar dengan gerakan bersalto plik-plak ke belakang dua kali.
Wut, wut...!
Punggung Suto Sinting menjadi ada di depannya. Maka
orang itu pun menghantamkan telapak tangannya dengan kuat ke punggung Suto
Sinting. Wuuut...! Beehg...!
"Uuuhg...!" Suto Sinting terjungkal ke depan
berguling dua kali sambil masih tetap pegangi bumbung tuaknya. Begitu gerakan
tergulingnya berhenti, secepat kilat tubuhnya melenting di udara dan melepaskan
sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu.
Des, des. .!
Sentilan bertenaga dalam cukup besar mirip tendangan
kuda jantan itu tepat kenai dada lawan. Beehg, beehg! Bruus...!
Orang itu terpental dan jatuh di semak-semak pinggir
tanggul. Hampir saja ia tercebur ke sungai kalau tidak ada semak-semak berakar
alot itu. Dengan menahan rasa sakit, orang itu segera bangkit dan melompat ke
depan sedikit terbungkuk. Sesaat kemudian ia tegakkan badan sambil tarik napas
dalam-dalam.
Pendekar Mabuk sengaja tidak lakukan serangan lagi,
karena ia sibuk menenggak tuak untuk obati luka dalam akibat pukulan berbahaya
pada punggungnya tadi.
Ketika ia selesai menenggak tuaknya, sang lawan
selesai menarik napas dan mereka saling beradu pandang mata.
"Siapa dia sebenarnya?" pikir Suto Sinting
karena lawannya kali ini terbungkus kain hitam. Alas kakinya dari kulit hitam,
dililit tali hitam sampai ke betis, sehingga celana hitamnya ikut terikat rapi.
Ia mengenakan sabuk seperti angkin warna hitam. Bajunya lengan panjang warna
hitam tanpa belahan dada.Tangannya mengenakan sarung tangan dari kain tebal warna
hitam. Kepalanya juga dibungkus kain hitam dan hanya terlihat bagian matanya
saja. Itu pun hanya sedikit, sehingga wajah orang berselubung kain hitam itu
tidak bisa dikenali.
Sebuah pedang samurai ada di punggungnya, melintang
panjang dan mempunyai gagang serta sarung pedang warna hitam pula. Dari jarak
tujuh langkah, Suto Sinting tak bisa mengenali apakah lawannya itu seorang
lelaki atau seorang perempuan. Tapi melihat kecepatan geraknya dan pukulannya
yang berat sekali tadi, Suto Sinting punya dugaan sementara bahwa lawannya
adalah seorang lelaki bertubuh kekar.
"Siapa
kau sebenarnya, Sobat!" tanya Suto Sinting dengan mencoba sedikit ramah. Orang
berpakaian hitam itu tidak menjawab. Tapi kakinya tiba-tiba menyentak hingga
tubuhnya melambung ke atas. Sebatang pohon dijejaknya, lalu tubuh pun melesat
ke arah lain. Pohon berikutnya dijejak kembali, dees...! Wuuut...! Ia melayang
bagaikan terbang dan mendaratkan kakinya di gundukan tanah tempat Suto Sinting
menghadangnya tadi.
Jleeg...!
Tangannya berkelebat secara tiba-tiba seperti membanting
sesuatu. Buuusss...! Segumpal asap tebal muncul membungkus tubuhnya. Suto
Sinting segera bergerak ingin menerjang orang itu. Tetapi ketika asap menipis,
ternyata tak ada bayangan apa-apa di dalam asap tersebut. Suto Sinting hentikan
langkah, tak jadi menerjang gumpalan asap tadi.
"Hilang...?!." gumamnya lirih dengan
bingung. Matanya pun segera memandang nanar ke sana-sini. Tapi sang lawan tidak
kelihatan bayangannya. Orang itu lenyap bagai ditelan bumi bersama kepulan asap
tebal tadi.
"Kurang ajar! Lari ke mana dia?!" geram
Suto Sinting sambil masih mencoba mencari ke sana-sini.
*
* *
3
LUKA di punggung Kinanti telah merapat, bahkan kain
pakaiannya yang berlubang pun menjadi rapat kembali seperti sediakala. Keadaan
Kinanti sangat segar, sehat, seperti tak pernah mengalami luka apa pun. Ia
bertemu Suto Sinting pada saat Suto Sinting mencari lawannya sampai ke tepian
sungai.
Hal pertama yang dilakukan Kinanti adalah memandangi
Suto Sinting dengan kesan ragu-ragu. Pendekar Mabuk paham arti pandangan mata
itu, maka ia pun segera jelaskan tentang pakaian kebaya dan kain yang
dikenakannya itu.
"Terus terang, ini pakaian sesosok mayat yang kutemukan
hanyut di sungai. Entah mayat siapa, aku tak kenal dan memang kami tidak punya
kesempatan untuk berkenalan."
Kinanti sunggingkan senyum kecil sekali. Lalu ia ajukan
tanya dengan mata masih memperhatikan Suto Sinting dari atas ke bawah
berulang-ulang.
"Jadi, siapa orang yang mencuri pakaianmu pada
saat kau tidur?" Pendekar Mabuk angkat bahu. "Mana aku tahu? Kalau
aku tahu sudah kukejar orang itu dan kupaksa mengembalikan pakaianku."
"Tunggu dulu...," sergah Kinanti ketika
Pendekar Mabuk Ingin bicara lagi. "Kau bilang pakaian itu adalah pakaian
mayat wanita?"
"Benar. Ada apa?" Suto berkerut dahi.
"Apakah mayat itu agak gemuk dan wajahnya berkesan
wanita yang polos?"
"Benar. Apakah kau kenal dengan perempuan
itu?"
"Hmmm...," Kinanti manggut-manggut.
"Kurasa ia pelayannya Ki Lurah Gontang dari Desa Rejamukki. Kebetulan tadi
pagi aku melewati desa itu, dan desa itu sedang mengalami musibah pada malam
harinya. Seluruh keluarga Ki Lurah Gontang dibantai habis oleh seorang pemuda
yang tak diketahui siapa pelakunya. Tapi ada seorang penduduk desa yang melihat
sekelebat orang berpakaian serba hitam keluar dari dapur rumah Ki Lurah Gontang
sambil memanggul sesosok tubuh. Dan ternyata dari seluruh penghuni rumah itu
hanya mayat si pelayan yang tidak diketemukan penduduk desa. Mungkin mayat itu
dibuang ke sungai karena alasan tertentu bagi si pelaku."
"Orang berpakaian hitam?! Berarti orang yang bertarung
denganku tadi?"
"Apakah kau tadi bertarung dengan...."
"Orang itu mengenakan pakaian serba hitam. Kepalanya
terbungkus kain hitam. Hanya bagian mata saja yang kelihatan. Kurasa orang
itulah yang menyerangmu hingga kau jatuh dari atas tanggul."
Kinanti diam sejenak, dahinya berkerut dengan pandangan
mata tertuju ke rerumputan. Suto Sinting sempatkan diri menenggak tuaknya dua
tegukan. Kejap berikut terdengar suara Kinanti bagai bicara dengan diri
sendiri,
"Kalau begitu, si Malaikat Malam itu juga yang
membantai keluarga Ki Lurah Gontang dan yang menyerangku...?" ,
"Malaikat Malam...?! Siapa Malaikat Malam
itu?!"
Suto Sinting mulai diusik oleh rasa ingin tahunya,
ia mendekat selangkah lagi. Wajah mereka saling berhadapan sama tingginya,
pandangan mata saling beradu sama tajamnya. Jarak mereka hanya satu langkah
kurang, dan Kinanti maupun Suto Sinting dapat rasakan hembusan napas lawan
jenisnya. Tapi tak ada kemesraan dalam benak mereka. Yang terbayang di benak
mereka hanya sosok manusia terbungkus kain serba hitam.
"Malaikat Malam adalah orang yang membunuh Eyang
Poci Dewa...."
"Apa...?!" Suto Sinting terpekik kaget
sebelum Kinanti selesaikan kata-katanya. "Eyang Poci Dewa terbunuh?!
Maksudmu.... Poci Dewa yang punya murid bernama Rangga Pura itu?!"
"Benar! Justru aku baru saja pulang dari
pemakaman jenazah Eyang Poci Dewa, sebagai wakil dari Lembah Birawa!"
Pendekar Mabuk terbungkam tegang bagaikan patung bernyawa,
ia tak mendengar kabar tentang kematian Eyang Poci Dewa yang dikenalnya dalam
peristiwa fitnah Ayunda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pertarungan Tanpa Ajal"). Karenanya ia sangat kaget ketika mendengar
Eyang Poci Dewa telah dibunuh oleh seseorang.
"Sebelum Eyang Poci Dewa hembuskan napas terakhir,"
kata Kinanti,"... ia sempat bertemu dengan saudara seperguruannya, yaitu
Ki Buyut Gerang. Sayangnya, Ki Buyut Gerang tak sempat menolongnya. Tapi beliau
sempat mendengar pesan terakhir dari Eyang Poci Dewa, agar Ki Buyut Gerang
lindungi dirinya sendiri dari ancaman maut Malaikat Malam. Berarti yang
membunuh Eyang Poci Dewa adalah Malaikat Malam."
"Apakah... apakah Ki Buyut Gerang mengetahui siapa
si Malaikat Malam itu?!"
"Aku tak banyak tanya, sebab beliau sedang berkabung.
Tapi Ki Buyut Gerang sempat berkata kepada muridnya sendiri: Cumbu Bayangan,
bahwa Malaikat Malam pasti orang berilmu tinggi."
"Kalau begitu aku harus menemui Ki Buyut Gerang
untuk menanyakan siapa Maiaikat Malam itu sebenarnya."
"Aku sempat bicara dengan sahabat tuamu yang mengaku
mengenalmu sangat akrab."
"Siapa orang itu?"
"Si Tua Bangka alias Ki Sanupati."
"O, ya...! Beliau memang sahabat tuaku yang
cukup akrab. Lalu, apa kata beliau?"
"Malaikat Malam dulu memang pernah muncul dan menggegerkan
rimba persilatan, ia ksatria dari Pegunungan Sojiyama, pembela kebenaran dan
pembela rakyat yang lemah, ia selalu tampil dengan pakaian hitam yang
membungkus dirinya sampai hanya tinggal bagian mata saja. Tapi itu cerita masa
lalu, beberapa puluh tahun yang silam. Sekarang ksatria yang berjuluk Malaikat
Malam sudah tiada. Gugur dalam pertempuran di tengah samudera. Jika sekarang
muncul lagi orang yang mengaku Malaikat Malam, berarti orang itu adalah
Malaikat Malam yang palsu."
"Pegunungan Sojiyama...?!" Suto Sinting menggumam
bagai teringat sesuatu. "Rasa-rasanya ada tokoh yang lebih tahu tentang
Pegunungan Sojiyama. Dia memang berguru di Pegunungan Sojiyama. Kurasa dia tahu
banyak tentang ksatria Malaikat Malam itu."
Dalam benak Suto Sinting terbayang seraut wajah tua
yang sering terbatuk-batuk. Tokoh tua ini mempunyai kesaktian tersendiri. Suara
batuknya bisa beraneka ragam, dan tiap ragam suara batuknya dapat menghadirkan
kekuatan tenaga dalam yang mampu melumpuhkan lawan. Tokoh tua yang pernah
berguru di Pegunungan Sojiyama itu tak lain adalah Batuk Maragam, termasuk
tokoh aliran putih yang menjadi sahabat si Gila Tuak, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Kinanti segera berkata, "Kusarankan sebelum
temui Ki Buyut Gerang, sebaiknya carilah dulu pakaian yang layak untukmu!
Jangan mengenakan pakaian perempuan begini, nanti orang sangka kau sudah tak
waras lagi, seperti dugaanku semula!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sedikit masam.
Lalu ia terbayang wajah cantik si Payung Serambi.
"Gadis itu harus kutemukan! Pasti gadis itu
yang telah menelanjangiku seenaknya dan menyimpan pakaianku entah di
mana."
"Gadis mana?! Kau habis bercinta dengan seorang
pelacur?"
"Husy! Sembarangan saja kau bicara. Payung Serambi
bukan seorang pelacur dan aku tidak bercinta
dengannya...," lalu Suto Sinting menceritakan
tentang Payung Serambi yang menodongkan pedangnya ketika Suto bangun tidur.
"Kalau begitu, ia pasti ada di Hutan Rawa
Kotek!"
"Kurasa memang begitu," sambil Suto
Sinting anggukkan kepala.
"Kejarlah dia ke sana sebelum pergi dan sulit
kau temukan kembali!"
"Ya, aku memang harus ke Hutan Rawa Kotek untuk
temui si Payung Serambi. Tetapi... apakah kau tak ingin ikut denganku?"
Kinanti sunggingkan senyum tipis. "Aku malu berjalan
dengan seorang banci."
"Ah, kau...!" Pendekar Mabuk cemberut dan
tampak kecewa dengan ucapan itu. Wajahnya sedikit merah karena menahan rasa
malu. Tapi akhirnya ia tertawa juga setelah Kinanti melengos sambil sembunyikan
tawa candanya.
"Sayang sekali aku hanya diutus oleh sang Ratu
untuk mewakili orang-orang Lembah Birawa dalam menghadiri pemakaman Eyang Poci
Dewa, sahabat baik sang Ratu itu. Kalau aku terlalu lama meninggalkan Lembah
Birawa, pasti akan membuat sang Ratu cemas."
Pendekar Mabuk hembuskan napas panjang-panjang. "Baiklah
jika kau tak ingin ikut. Sampaikan salamku kepada Ratu Jiwandani. Tapi jangan
ceritakan keadaanku yang memakai pakaian perempuan ini!"
Kinanti hanya tertawa kecil, nyaris tak terdengar. Tapi
dari sorot matanya yang memandang ke arah Suto itu tampak sekali hatinya riang
dan merasa iba juga terhadap nasib si tampan Suto yang kehilangan pakaian itu.
Suto Sinting pun akhirnya pergi lebih dulu, sementara Kinanti masih memandangi
dengan segumpal kekaguman tetap tersimpan dalam lubuk hatinya.
Jurus 'Gerak Siluman' digunakan lagi dalam perjalanan
menuju Hutan Rawa Kotek. Sepanjang perjalanan benak Suto Sinting berkecamuk
terus memikirkan siapa lawannya yang terbungkus kain hitam itu. Benarkah dia si
Malaikat Malam? Apa alasannya menyerang Poci Dewa hingga menewaskan tokoh tua itu?
Setidaknya orang yang mengaku si Malaikat Malam itu mempunyai ilmu lebih tinggi
dari Poci Dewa. Kinanti adalah lawan yang bukan tandingannya. Pantas Kinanti
tadi hampir mati karena jurus yang digunakan si Malaikat Malam itu adalah jurus
berbahaya yang sukar dihindari dan ditangkis oleh orang seperti Kinanti.
"Sialnya, mengapa dalam menghadapi masalah ini
aku harus kehilangan pakaian, sehingga aku bias terlambat mengetahui siapa si
Malaikat Malam itu," katanya dengan suara pelan. "Sebenarnya siapa
yang mencuri pakaianku? Apakah si Payung Serambi yang melakukannya? Dengan cara
bagaimana ia melucuti pakaianku sampai aku tak terbangun sedikit pun dari
tidurku? Jika benar si Payung Serambi yang lakukan, berarti ia termasuk orang
berilmu tinggi juga! O, ya... ada masalah apa ia mencari Nini Kalong sampai mengancam
nyawaku segala? Apakah ia bermusuhan dengan Nini Kalong? Seandainya...."
Tiba-tiba ucapan Suto Sinting terhenti, demikian
pula langkahnya yang cepat itu terpaksa dihentikan secara mendadak. Karena tak
jauh di depannya ia melihat sebuah pertarungan yang menggunakan senjata pedang.
Hal yang mengejutkan Suto Sinting adalah sosok manusia
berpakaian serba hitam, sedang menebas pedang samurainya ke arah seorang gadis
berusia dua puluh tiga tahun berjubah tanpa lengan warna hijau, pakaian dalam
berwarna kuning tipis, rambut depan diponi sedangkan rambut belakang meriap
sebatas punggung. Pendekar Mabuk kenal betul dengan gadis yang menjadi Perwira
Pulau Sangon itu. Dia tak lain adalah Dewi Cintani, murid Pendeta Kembang Ayu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Dewi Cintani yang dulu berbentuk manusia setengah hewan
karena kutukan Selir Dewani itu tampak beringas sekali menyerang lawannya.
Pedangnya menyala biru membara dan ditebaskan dengan bertubi-tubi ke arah orang
berpakaian serba hitam itu. Tebasan itu menghadirkan sinar biru yang mengikuti
gerak pedang, dan sinar biru tersebut ternyata memancarkan hawa panas hingga
beberapa daun yang berada di dekatnya menjadi layu dan keriput.
Wung, wuung, wuung, wuung...!
Lawannya tampak tenang sekali, menghindar dengan lincah
tanpa kesan terdesak oleh serangan Dewi Cintani. Samurai panjang tetap
digenggam dengan dua tangan, dan matanya yang tampak bagaikan sebaris itu mengikuti
tiap gerakan pedang lawan.
Trang, trang... tring...!
Pedang beradu dengan kuat, memercikkan cahaya merah
yang berasap putih kusam. Tiba-tiba si Malaikat Malam bergerak cepat memutar tubuhnya
dan weess...! Lenyap sekejap, tahu-tahu muncul di belakang Dewi Cintani.
Samurai itu disabetkan dari kiri ke kanan. Beet...! Crass...!
"Aaahh...!" Dewi Cintani terpekik sambil
tubuhnya mengejang. Pinggangnya robek besar karena tebasan samurai yang agaknya
sukar dipatahkan itu.
Clap, clap, clap, clap...!
Suto Sinting lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' seperti
saat ia menyelamatkan Pakis Ratu dari ancaman maut Kebo Wirang. Sinar kuning
patah-patah itu menghantam pinggang si Malaikat Malam. Tetapi agaknya Malaikat
Malam bukan lawan yang mudah dilukai. Hawa panas yang mendekatinya segera
disadari, dan tanpa banyak perhitungan ia sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya
melambung tinggi. Samurainya diacungkan ke bawah, dan dari ujung samurai itu
keluar selarik sinar merah mirip baja membara.
Claaap...! Duar, duar, duaaar...!
Ledakan beruntun terjadi akibat benturan sinar kuning
patah-patah dengan sinar merah dari ujung samurai. Tetapi ledakan itu membuat
si Malaikat Malam jatuh terpelanting hingga samurainya hampir terlepas dari
tangannya.
Zlaaap...! Suto Sinting tiba di tempat pertarungan dengan
mata memandang penuh kegeraman, karena teringat cerita Kinanti tentang kematlan
si Poci Dewa.
Orang berpakaian serba hitam itu mundur dua tindak,
tapi masih menggenggam samurai dan pasang kuda-kuda untuk lakukan penyerangan.
Perhatian Suto Sinting sempat lengah karena terpancing
suara rintihan kecil dari Dewi Cintani yang terluka pinggang cukup dalam. Pada
saat Pendekar Mabuk perhatikan Dewi Cintani itulah, sebuah benda melayang ke
arahnya. Ziing...!
Senjata rahasia berbentuk bunga mawar dilemparkan oleh
Malaikat Malam. Suto Sinting terkejut dan berusaha menangkisnya dengan bumbung
tuak. Tetapi tangkisannya meleset, sehingga lempengan logam bergerigi itu
menancap di pangkal lengan kirinya. Jrrub...!
"Aaahg...!" Suto Sinting terpekik dan
mundur selangkah dengan sedikit membungkuk. Seketika itu si Malaikat Malam
membanting sesuatu ke tanah. Buuusss...! Asap tebal membungkus dirinya dan
kejap berikutnya sosok manusia berpakaian serba hitam itu lenyap dari pandangan
mata. Asap putih itu membubung tinggi dan hilang terhembus angin bersama
hilangnya si Malaikat Malam.
Suto Sinting gemetar karena senjata rahasia lawan yang
mengenai pangkal lengannya itu ternyata beracun ganas. Sekujur tubuh Suto menjadi
panas dan lemas. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang sehingga ia tak dapat
melihat keadaan Dewi Cintani dengan jelas.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia mencabut senjata rahasia
itu dari lengannya. Seet...! Cuuur...! Darah mengucur dari luka. Darah itu
bukan berwarna merah segar, melainkan merah kehitam-hitaman penuh racun.
*
* *
4
SEBUAH gua tak seberapa besar menjadi tempat mereka
beristirahat. Justru Dewi Cintani yang memapah Suto Sinting mencari tempat aman
dan menemukan gua tersebut.
Luka beracun yang diderita Suto Sinting sudah dilawan
dengan menenggak tuak beberapa teguk. Tapi luka itu belum juga sembuh, hanya
rasa sakitnya sedikit berkurang, pandangan mata sedikit jelas, tenaganya agak
lumayan walau masih tergolong lemah. Dalam keadaan yang serba sedikit itu,
Pendekar Mabuk paksakan diri dekati Dewi Cintani. Ia berhasil menuang tuaknya
ke mulut Dewi Cintani walau dengan berceceran ke mana-mana.
Luka di pinggang Dewi Cintani menjadi kering dan merapat,
akhirnya hilang bersama lenyapnya ceceran darah di sekitar luka. Dewi Cintani
menjadi sehat, tetapi Suto Sinting masih menderita sakit dan lemah. Karena
itulah Dewi Cintani bisa memapah Suto Sinting mencari tempat aman sampai
akhirnya mereka temukan gua tersebut ketika matahari hampir tenggelam.
Dewi Cintani pula yang membuat api unggun kecil untuk
penerangan di dalam gua tersebut. Sedangkan Suto Sinting berbaring empat
langkah dari gugusan api unggun itu. Lukanya memang sudah tidak mengucurkan darah,
namun belum mengering dan masih tampak terkuak mengerikan.
"Mulanya kupikir kau bukan Pendekar Mabuk, karena
kau mengenakan kebaya dan kain," ujar Dewi Cintani yang bersimpuh di
samping Suto Sinting. "Tapi setelah kesadaranku pulih betul, aku baru
yakin bahwa kau adalah Pendekar Mabuk yang pernah selamatkan aku dari kutukan
Selir Malam."
Gadis cantik berlesung pipit manis sekali itu sunggingkan
senyum kecil yang tak bisa ditahan lagi. Suto Sinting menahan rasa malu dan
membiarkan kancing kebayanya terlepas hingga dada bidangnya terlihat jelas.
Gadis itu mengusap dada bidang tersebut dengan lembut, membersihkan tanah yang
mengotori kulit dada kekar bercampur keringat.
"Lukaku bisa hilang dalam waktu yang tergolong
cepat, aku pun menjadi sehat, bahkan kurasakan badanku lebih segar dari
sebelumnya. Tetapi mengapa lukamu sendiri tak bisa sembuh, Suto? Padahal kau
minum tuak lebih banyak ketimbang diriku."
Pendekar Mabuk mengeluh pelan, tangannya meraih senjata
rahasia lawan yang tadi menancap di pangkal lengan kirinya. Senjata itu masih
dibawanya, dan kini sedang diperhatikan sambil perdengarkan suaranya dengan
lirih.
"Racun pada senjata rahasia ini adalah racun
ganas yang sukar ditangkal. Tuak saktiku bisa saja melawan racun yang mengenai
tubuhku, tetapi tak secepat mengobati lukamu. Kurasakan makin lama rasa
perihnya makin berkurang, itu pertanda tuak saktiku mampu melawan kekuatan
racun ini."
"Syukurlah jika begitu, yang penting kau pun
harus sembuh dan sehat kembali seperti diriku, Suto. Aku takut kau akan
menderita terlalu lama. Itu berarti kau akan tersiksa dan aku tak bisa melihat
kau tersiksa begini terus-terusan."
Wajah cantik itu dipandanginya dengan lembut. Tangan
yang terluka bisa dipakai untuk bergerak. Tangan itu terangkat pelan-pelan, kemudian
mengusap pipi berkulit halus milik sang Perwira Pulau Sangon itu.
"Cintani, percayalah... aku pasti akan sembuh.
Hanya saja, butuh waktu beberapa saat untuk menunggu kesembuhanku. Kumohon,
jangan cemaskan hatimu, Cintani." Usapan lembut dan kata-kata merdu itu
bagai mengusik hati Dewi Cintani. Berdebar pula hati gadis itu bagai menyebar
bunga-bunga indah yang sukar dilukiskan lewat kata. Rasa kagum dan terpikatnya semakin
membara di dalam hati Dewi Cintani. Padahal rasa kagum dan terpikat itu dulu
telah disembunyikan rapat-rapat di dasar hati ketika ia pulang ke Pulau Sangon
bersama adik lelakinya; Elang Samudera.
Dewi Cintani tahu, bahwa Suto Sinting sudah mempunyai
kekasih sendiri, seorang calon istri yang menjadi penguasa negeri Puri Gerbang
Surgawi berjuluk Gusti Mahkota Sejati alias Dyah Sariningrum. Karenanya, Dewi
Cintani bertekad untuk melupakan kesan indah yang amat pribadi kepada Pendekar
Mabuk.
Namun kesan indah yang amat pribadi itu kali ini bagaikan
tumbuh kembali dan kian merimbun, menimbulkan kecemasan dan kegelisahan lain
bagi si Perwira Pulau Sangon itu.
"Cintani, apakah kau kenal dengan si Malaikat Malam
yang bertarung denganmu tadi?"
"Aku sengaja mengejarnya sampai ke pulaumu
ini," jawab Dewi Cintani. Kesan sendunya berubah menjadi bias-bias dendam, sehingga sorot pandangan
matanya tak selembut tadi.
"Apakah kau memang punya persoalan dengan orang
berpakaian serba hitam itu?"
"Ya. Persoalannya sangat besar!" jawab
Dewi Cintani bernada geram. "Dia telah membunuh guruku; Pendeta Kembang
Ayu, penasihat Ratu Remaslega."
"Ya, ampun...?!" Suto Sinting terkesiap
dengan mata memandang tegang.
"Aku berjanji tak akan kembali menjadi Perwira
Pulau Sangon sebelum dapat membalas kematian Guru!" geram Dewi Cintani
dengan pandangan mata lurus dan berkesan dingin sekali.
"Sebelum mendiang guruku menghembuskan napas terakhir,
beliau sempat berpesan padaku agar jangan coba-coba mendekati Malaikat Malam.
Tetapi pesan itu tak kuhiraukan, karena hatiku sangat terluka melihat kematian
Guru yang diawali dengan kematian beberapa pengawal Ratu Remaslega,
teman-temanku sendiri itu. Bahkan sang Ratu pun terluka oleh pukulannya yang sampai
sekarang membuatnya lumpuh tak mampu berjalan lagi."
Kelopak mata gadis cantik itu mulai mengecil penuh pancaran
dendam, ia menyambung kata-katanya dengan gigi menggeletuk.
"Apa pun yang terjadi, aku sudah siap mati
dalam pertarunganku dengan si Malaikat Malam itu!"
Dalam hati Suto Sinting membatin, "Jika Pendeta
Kembang Ayu pun tumbang di tangan Malaikat Malam, dan ia bisa menembus
pertahanan istana Pulau Sangon, berarti Malaikat Malam memang bukan orang sembarangan.
Ilmunya cukup tinggi dan sukar ditandingi. Ah, tapi apakah benar aku tak bisa menandinginya?
Aku jadi penasaran ingin berhadapan secara ksatria dengannya!"
Dewi Cintani hembuskan napas sebagai peredam dendam
kesumatnya kepada Malaikat Malam. Pandangan matanya tertuju kembali kepada Suto
Sinting walau masih terlihat samar-samar bias-bias kemarahannya. Pendekar Mabuk
menenangkan kegusaran hati gadis itu dengan ucapan-ucapan lembut yang
meneduhkan jiwa.
"Kematian adalah bagian dari kehidupan kita.
Jangan terlalu mengumbar murka jika ingin membalas dendam kepada lawan. Pada
saatnya nanti kita pun akan menyaksikan kematian lawan secara langsung maupun tak
langsung. Dalam hal ini, aku tidak akan tinggal diam, Cintani. Aku tidak ingin
kau terbunuh oleh Malaikat Malam. Kudampingi kau sampai kita lihat sendiri kematian
si Malaikat Malam yang agaknya telah menjadi biang bencana bagi beberapa tokoh
aliran putih di rimba persilatan ini. Sebab Eyang Poci Dewa, sahabat guruku
sendiri itu, juga mati di tangan Malaikat Malam."
Mata indah itu kini berkaca-kaca karena menahan air
mata duka. Ucapan itu mengharu biru di hati Dewi Cintani. Tetapi agaknya gadis
yang menjadi Perwira Puiau Sangon itu tidak mau menangis di depan seorang
lelaki. Jiwa keperwiraannya mengalahkan naluri kewanitaannya, sehingga ia
bersikeras menahan air mata untuk tangis sebuah kematian.
"Jadi, kau tidak tahu siapa orang di balik
pakaian hitamnya itu?"
Dewi Cintani gelengkan kepala. "Yang kutahu dia
berjuluk Malaikat Malam, itu pun aku tak tahu dari mana asalnya dan ada
persoalan apa dengan guruku, sehingga ia menyerang Pulau Sangon dan sasaran utama
adalah Eyang Pendeta Kembang Ayu. Guru tak sempat jelaskan perkara itu,
napasnya telah terhembus untuk terakhir kalinya."
"Misterius sekali Malaikat Malam itu. Siapa dia
dan mengapa melakukan tindakan seperti itu, sukar diduga-duga."
"Satu-satunya jalan dengan merobek dadanya kita
bisa membuka kedoknya dan mengetahui siapa dia sebenarnya," geram Dewi
Cintani diiringi pancaran dendam yang tak setajam tadi. Ia memandangi Suto
Sinting, mengusap keringat di kening sang pemuda tampan itu. Lalu sebaris kata
lirih diucapkan dalam kelembutan tersendiri.
"Lekaslah sembuh, agar kita bisa bersama-sama memburu
biang bencana itu, Suto." Pendekar Mabuk hanya anggukkan kepala dengan sunggingkan
senyum tipis. Dua helaan napas lamanya ia tak bicara kecuali memandang Dewi
Cintani dengan penuh keindahan yang mendebarkan hati gadis itu. Kejap
berikutnya barulah suaranya terdengar dengan lembut pula.
"Aku pasti akan lekas sembuh jika kau
menemaniku di sini."
"Akan kutemani sampai kapan pun, Suto,"
ucap Dewi Cintani bernada bisik. Gadis itu menunduk, mendekatkan wajah ke wajah
Suto Sinting. Tangan Suto yang kanan meraih kepala gadis Iiu dengan lembut, kemudian
wajah cantik itu diciumnya. Bibirnya dikecup dengan sangat lembut sekali, dan
dilepaskan pelan-pelan bagai penuh penghayatan batin.
Hanya itu keindahan yang berani mereka lakukan. Walau
semalam suntuk mereka berdua di dalam gua, walau sang gadis berbaring di
samping Pendekar Mabuk, namun tak ada yang berani mereka lakukan lebih dari
itu, karena keduanya saling menjaga harga diri dan kehormatan.
Mereka tidur dengan tangan saling menggenggam. Seakan
kemesraan itu lebih agung ketimbang cumbuan penuh nafsu birahi. Toh kehangatan
tangan yang saling menggenggam membuat tidur mereka nyenyak dan mimpi mereka
menjadi indah.
Ketika mereka sama-sama terbangun pada esok paginya,
luka-luka yang diderita Pendekar Mabuk telah lenyap tanpa bekas sedikit pun.
Murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu telah sehat, seluruh tenaganya
telah pulih, badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Gadis yang
mendampinginya tampak ceria dan lega melihat luka Suto Sinting telah lenyap
tanpa bekas.
"Boleh aku menciummu sebagai hadiah kesembuhanmu?"
tanya Dewi Cintani, kali ini diiringi sikap genitnya sebagai seorang gadis yang
masih menyukai kemanjaan. Suto Sinting hanya anggukkan kepala sambil
sunggingkan senyum yang amat menawan. Maka, Dewi Cintani pun menempelkan bibirnya
di pipi Suto Sinting dengan cepat. Cup...!
Kemudian keduanya sama-sama mengikik geli. Pendekar
Mabuk mencubit pipi si gadis sambil berkata, "Kau perwira yang
nakal!"
"Begitukah menurutmu?"
"Ya. Tapi aku suka kenakalanmu. Jangan buang kenakalan
itu dan simpanlah hanya untukku."
"Tapi tak mungkin untukmu selamanya,
bukan?" Suto Sinting tak bisa menjawab karena menyadari keberadaan hatinya
yang telah terisi oleh kenakalan wanita lain yang anggun dan bijaksana. Wanita
itu tak lain adalah Dyah Sariningrum, calon istri yang amat dicintainya itu.
Karenanya, Suto Sinting pun segera alihkan pembicaraan ke masalah pakaiannya
yang hilang itu.
"Aku harus ke Hutan Rawa Kotek untuk temui Nini
Kalong. Sebab gadis yang mencuri pakaianku itu ada di sana."
"Gadis...? Gadis cantikkah dia?" nada
cemburu bagai mulai tersirat dari nada pertanyaan Dewi Cintani.
"Memang cantik, tapi tak secantik dirimu,"
ujar Suto Sinting mengeluarkan jurus kunonya yang bernama 'rayuan gombal', dan
jurus itu hanya mendapat cibiran dari Dewi Cintani.
"Siapa gadis itu sebenarnya?" tanya Dewi
Cintani sambil melangkah meninggalkan gua tersebut menuju Hutan Rawa Kotek.
Pendekar Mabuk pun segera menceritakan peristiwa hilangnya
pakaian secara lengkap. Di akhir ceritanya, ia berkata, "Dan gadis yang
mengancam nyawaku itu mengaku bernama Payung Serambi. Dia memang...."
"Siapa...?!" potong Dewi Cintani dengan
wajah tegang karena terperanjat. Langkah kakinya pun terhenti sambil tangannya
mencekal lengan Pendekar Mabuk.
"Siapa nama gadis itu?! Payung Serambi?!"
"Ya, Payung Serambi. Kenapa...?!" Suto
Sinting memandang penuh keheranan. "Apakah kau mengenalnya?"
"Payung Serambi atau Ratih Kumala itu orang
Istana Laut Kidul."
Kini wajah Pendekar Mabuk tampak semakin terheran-heran.
"Istana Laut Kidul...?! Aku baru mendengar nama
itu sekarang. Apa yang kau ketahui tentang Istana Laut Kidul?"
Sambil melangkah kembali Dewi Cintani menjelaskan
apa yang diketahuinya tentang orang-orang Istana Laut Kidul. Suto Sinting
menyimak baik-baik dengan dahi sebentar-sebentar berkerut.
"Orang-orang Istana Laut Kidul adalah
orang-orang berilmu tinggi. Nenek moyang mereka adalah keturunan siluman.
Jurus-jurus silatnya sukar ditandingi."
"Siapa Penguasa Istana Laut Kidul itu?"
"Nyai Kandita adalah Ratu Laut Kidul. Beliau memang
asli siluman yang bisa hidup di darat maupun di dasar laut."
Buat Suto Sinting sebenarnya kehidupan di dasar laut
bukan hal aneh lagi, karena calon mertuanya: Ratu Kartika Wangi, juga penguasa
negeri Putri Gerbang Surgawi di alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Manusia Seribu Wajah"). Juga, Ratu Asmaradani, penguasa
negeri Ringgit Kencana yang ada di dasar laut utara, mempunyai hubungan akrab
dengan Suto Sinting. Negeri di dasar laut itu pernah didatangi Suto Sinting dua
kali, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bandar Hantu
Malam" dan "Tabib Darah Tuak").
Tetapi sesuatu yang membuat Suto Sinting penasaran adalah
jati diri gadis cantik yang mengaku bernama Payung Serambi itu. Untuk
mengetahui siapa Payung Serambi sebenarnya, Suto Sinting sengaja tidak mau
banyak tanya agar Dewi Cintani menceritakan segala apa yang diketahuinya
tentang Istana Laut Kidul.
"Ratu Remaslega masih ada keturunan dari Istana
Laut Kidul. Kakeknya dulu bekas 'abdi dalem' di Istana Laut Kidul. Karenanya
pihakku menjalin hubungan baik dengan orang-orang Istana Laut Kidul. Payung
Serambi alias Ratih Kumala itu adalah salah satu dari tiga duta Istana Laut
Kidul. Kesaktiannya sangat tinggi, karena sebagai duta ia dibekali berbagai
ilmu gaib dari Nyai Kandita, sang Ratu Laut Kidul."
"Ooo... dia seorang duta?!" gumam Pendekar
Mabuk sambil manggut-manggut.
"Biasanya orang-orang Istana Laut Kidul tak mau
campuri urusan orang lain. Mereka hanya bertindak jika ada pihak luar yang
ingin membuat onar suasana Istana Laut Kidul."
"Lalu, untuk apa dia menemui Nini Kalong?"
"Tentunya Nini Kalong punya urusan dengan
orang-orang Istana Laut Kidul. Dan... perlu kuingatkan padamu, agar
berhati-hatilah menghadapi perempuan dari Laut Kidul."
"Kenapa begitu?"
"Perempuan dari Istana Laut Kidul, jika jatuh
cinta pada seorang pria, tak mungkin gagal mendapatkan pria itu. Ia akan
menundukkan pria itu sampai sang pria menjadi budak cintanya. Kurasa jika
Payung Serambi terpikat padamu, maka kau akan dibuat berlutut di hadapannya.
Para wanita Istana Laut Kidul rata-rata mempunyai kekuatan gaib pemikat sangat
tinggi."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tawar. Kesan
tidak percaya terlihat jelas di wajah pemuda tampan yang memakai kain dan
kebaya mirip banci konyol.
"Prajurit Istana Laut Kidul yang setingkat
dengan tamtama saja ilmunya cukup tinggi, sukar ditandingi. Apalagi ia seorang
utusan terhormat bagi sang Ratu, tentu saja kau tak mampu melawannya. Mendiang guruku
sendiri selalu memberi hormat jika bertemu dengan tiga utusan Nyai Kandita.
Mungkin demikian juga halnya dengan gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang."
Suto hanya membatin, "Benarkah ilmuku di bawah
mereka?!"
*
* *
5
PADA pertengahan siang mereka baru sampai di Bukit
Kembar. Untuk menuruni Bukit Kembar dan mencapai wilayah Hutan Rawa Kotek
dibutuhkan waktu tak sampai setengah hari, bahkan kurang dari seperempat hari.
Jika ditempuh dengan kecepatan 'Gerak Siluman' mungkin hanya beberapa saat
saja. Tetapi ternyata perjalanan itu tak bisa semulus dugaan Dewi Cintani. Di
puncak Bukit Kembar mereka melihat kepulan asap membubung tinggi. Kepulan asap itu
ada di puncak sebelah barat. Pendekar Mabuk ingin tahu apa yang terjadi di
puncak bukit sebelah barat itu.
"Sudahlah, tak perlu hiraukan kepulan asap itu.
Kita langsung saja menuju kediaman Nini Kalong," kata Dewi Cintani.
"Aku tak bisa tenang jika sudah diburu rasa
penasaran begini. Aku harus melihat apa yang terjadi di sebelah barat itu,
Cintani. Kalau kau merasa lelah, beristirahatlah di sini dan biarlah aku datang
ke sana sebentar. Sekadar ingin mengetahui apa yang terjadi saja, setelah itu
aku akan cepat-cepat kembali menemuimu di sini."
Tentu saja Dewi Cintani tak mau menjadi seorang penunggu,
ia lebih baik mengalah dan ikut menuju ke puncak bukit sebelah barat. Kali ini
mereka bergerak cepat, jurus 'Gerak Siluman' digunakan tidak sepenuhnya agar
Dewi Cintani tidak tertinggal jauh di belakang Suto Sinting. Karena gadis
cantik itu tidak mempunyaikecepatan gerak yang menyamai jurus 'Gerak Siluman',
dan memang jarang ada yang bisa menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman',
kecuali hanya beberapa orang tokoh tua sahabat si Gila Tuak.
Sampai di puncak sebelah barat, Pendekar Mabuk dan Dewi
Cintani sama-sama terperanjat. Ternyata kepulan asap yang membubung tinggi itu
adalah upacara pembakaran mayat yang dihadiri oleh beberapa tokoh tua yang
sudah dikenal Suto Sinting. Di antara mereka yang hadir adalah Galak Gantung,
Batuk Maragam, Resi Pakar Pantun, Ki Madang Wengi, Nyai Mas Gandrung Arum, dan
yang lainnya. Tampak pula hadir di sekitar tumpukan kayu pembakar jenazah Nyai
Kidung Laras dan muridnya; Pakis Ratu, juga tokoh gemuk berpakaian putih; si
Jubah Kapur dan muridnya; Inupaksi.
Pendekar Mabuk hentikan langkah dan berlindung di balik
sebatang pohon besar. Wajahnya sempat tegang saat ia tahu di sana ada beberapa
gadis yang dikenalnya, antara lain Puspa Jingga; murid Nini Kalong, Gadis Dungu
dan gurunya; Nyai Serat Biru, tampak pula Rara Santika yang pernah disangka
sebagai si Gundik Sakti itu, dan beberapa gadis lainnya yang tentu akan memandang
aneh kepada Suto.
Keadaan Suto Sinting yang mengenakan pakaian dan kebaya
itulah yang membuatnya tak berani muncul begitu saja. Tentu saja ia akan malu
jika mereka menertawakan dirinya yang mirip banci konyol itu. Akibatnya, Suto
Sinting menjadi salah tingkah dan bingung sendiri.
"Jika begitu, lepaskan saja kain dan kebayamu
itu, lalu datanglah menemui mereka ke sana," ujar Dewi Cintani.
"Itu lebih gila lagi!" sergah Suto
Sinting. "Kalau aku datang ke sana dalam keadaan tanpa pakaian bisa-bisa
semua orang yang sedang menghadiri jenazah itu bubar semua, lari
pontang-panting karena menganggapku telah glia."
Dewi Cintani tertawa tertahan. "Kurasa hanya
yang lelaki yang lari pontang-panting. Tapi para gadis yang kau kenal itu akan
lari berebut menubrukmu."
"Ah, kau...!" Pendekar Mabuk mendesah agak
jengkel mendengar canda tersebut, ia benar-benar bingung mengatasi keadaannya.
Jika mereka yang ada di sana mengetahui dirinya berkebaya, tentu saja wibawanya
sebagai seorang pendekar akan turun dan diperolok-olok. Suto Sinting tak mau
hal itu terjadi.
"Sebaiknya kau saja yang datang ke sana, dan
cari tahu jenazah siapa yang dibakar itu?" katanya kepada Dewi Cintani.
Sang gadis hanya angkat bahu, pertanda menerima begitu saja gagasan tersebut.
Kemudian ia segera pergi mendekati upacara pembakaran jenazah.
Suto Sinting mengawasi dari balik pohon besar. "Mengapa
mereka datang semua ke pembakaran jenazah itu?" ujarnya membatin.
"Pasti orang yang meninggal adalah orang yang dikenal di rimba persilatan.
Setidaknya tokoh tua yang pernah bersahabat dengan mereka-mereka itu. Dan...
oh, kelihatannya Resi Pakar Pantun mencucurkan air mata dan berwajah duka. Hmm...
tampaknya si Puspa Jingga pun menangis, dan beberapa orang berwajah murung
menahan duka. Siapa sebenarnya yang meninggal itu? Ah, Cintani lama sekali. Padahal
maksudku ia tak perlu mengikuti upacara pembakaran jenazah, ia hanya menanyakan
siapa yang mati, setelah itu kembali kemari. Tapi... tapi agaknya ia justru
ikut hadir dalam upacara itu sampai selesai nanti.
Uuh..! Bodoh sekali gadis itu!" Beberapa saat
lamanya Suto Sinting terpaksa bersembunyi di balik pohon besar Itu. Tiba-tiba
ia melihat sesosok bayangan biru yang berlari menuruni kaki bukit. Kecepatan
gerak bayangan itu cukup tinggi, tapi penglihatan Suto Sinting masih mampu
mengikuti kecepatan gerak tersebut, sehingga ia dapat mengetahui siapa orang
yang berlari menuju kaki bukit Itu.
"Payung Serambi...?! Ya, itu dia si Payung Serambi!
Mengapa ia lari meninggalkan bukit ini? Apakah ia tak jadi menemui Nini Kalong
atau... atau karena apa? Ah, sebaiknya kukejar dia dan kudesak untuk mengembalikan
pakaianku!"
Sayang sekali ketika Suto Sinting ingin bergerak mengejar
Payung Serambi, dari arah pembakaran jenazah tampak Dewi Cintani berlari
menghampirinya. Mau tak mau Suto Sinting menahan diri sebentar untuk menunggu
kedatangan Dewi Cintani, lalu akan diajak mengejar Payung Serambi bersama-sama.
"Bagaimana, Cintani? Siapa yang meninggal dan jenazahnya
dibakar itu?" Dewi Cintani menarik napas lalu menghembuskannya panjang-panjang,
ia menenangkan diri sebentar, memandang ke arah pembakaran jenazah, di mana orang-orang
yang hadir di situ mulai bergegas meninggalkan tempat.
"Cintani, lekas jawab siapa yang meninggal
itu?" desak Suto Sinting dengan tak sabar lagi, karena ia ingin buru-buru
mengejar Payung Serambi.
Dewi Cintani memandangnya dan menjawab pelan, "Nini
Kalong...."
"Siapa...?! Nini Kalong?! Dia yang
meninggal?!"
Suto Sinting nyaris terpekik karena kagetnya. Gadis
bermata bening itu anggukkan kepala, lalu berkata,
"Aku sempat bicara dengan si Jubah Kapur.
Menurut keterangannya, Nini Kalong tewas karena serangan dari belakang yang
dilakukan oleh orang berpakaian serba hitam; Malaikat Malam. Kejadian itu
dilihat sendiri oleh muridnya; Puspa Jingga. Tapi sang murid waktu itu tak
berdaya karena terkena totokan si Malaikat Malam."
"Ka... ka... kapan peristiwa itu terjadi?"
"Kemarin siang!"
"Kemarin siang...?! Oh, kurasa... kurasa bukan
si Malaikat Malam yang menyerang Nini Kalong. Gadis itulah yang menyerangnya;
si Payung Serambi! Sebab setahuku Payung Serambi kemarin siang bernafsu sekali
ingin bertemu Nini Kalong sampai ia mengancam nyawaku dengan pedangnya."
"Atau...," Dewi Cintani perdengarkan
suaranya setelah bungkam selama dua helaan napas.
"Atau... mungkin Malaikat Malam adalah orang
suruhan Payung Serambi untuk lakukan pembunuhan terhadap...."
"Bukan begitu!" sergah Suto Sinting.
"Payung Serambi itulah si Malaikat Malam!"
Dewi Cintani termenung sesaat. Dahinya berkerut memikirkan
kemungkinan tersebut. Suto Sinting tampak murung karena membayangkan masa-masa pertemuannya
dengan Nini Kalong, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Titisan
Dewa Pelebur Teluh" dan "Kipas Dewi Murka").
Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewi Cintani lebih dulu
perdengarkan suaranya.
"Tapi menurut ceritamu tadi, Payung Serambi mengenakan
jubah tanpa lengan warna biru dan...."
"Apa sulitnya ia berganti pakaian atau mengubah
diri menjadi Malaikat Malam? Bukankah katamu tadi, orang Istana Laut Kidul
mempunyai kesaktian tinggi, termasuk kekuatan ilmu gaib pemberian sang Ratu
Laut Kidul?!"
Perwira Pulau Sangon itu diam kembali dalam kebimbangan
hati. Pendekar Mabuk teringat bayangan Payung Serambi yang berlari menuju kaki
bukit. Maka ia pun segera mengajak Dewi Cintani untuk mengejarnya.
"Kulihat utusan sang Nyai berlari menuju ke
kaki bukit, belum lama ini! Sebaiknya kita kejar dia!"
"Tapi... hei, tunggu...! Dia belum tentu
bersalah, Suto!"
"Setidaknya dia harus kembalikan
pakaianku!" seru Suto Sinting yang sudah lebih dulu berkelebat menuruni
bukit itu. Dewi Cintani akhirnya menyusul juga karena tak ingin biarkan Suto
Sinting berhadapan dengan orang istana Laut Kidul itu. Ia tahu jika Payung
Serambi tersinggung perasaannya, maka ia akan mengamuk dan Suto Sinting bisa
kehilangan nyawa bila berhadapan dengan murka orang-orang Istana Laut Kidul.
"Setidaknya kehadiranku dapat meredakan kemarahan
Payung Serambi, karena ia tahu pihakku bersahabat dengan pihaknya," pikir
Dewi Cintani sambil berusaha menyusul Suto Sinting walau terasa semakin
tertinggal jauh, karena Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang
punya kecepatan melebihi anak panah terlepas dari busurnya. Zlaap, zlaap,
zlaap, zlaap...! Rupanya Payung Serambi sendiri punya kecepatan gerak yang
menyamai jurus 'Gerak Siluman', sehingga Suto Sinting sempat kehilangan jejak
dan bingung engambil arah. Suto Sinting tak tahu bahwa Payung Serambi mempunyai
jurus yang dinamakan 'Halimun Gaib', dapat menyatu dengan udara hingga tak
mudah terlihat mata manusia biasa. Gerakannya pun seperti hembusan angin yang
mampu menerabas pepohonan atau benda apa pun.
Kecepatan Suto Sinting membuat Dewi Cintani pun kehilangan
jejak, akhirnya menempuh arah yang salah.
Akhirnya ia hentikan pengejarannya dengan sebaris gerutu
dan makian untuk Pendekar Mabuk. Hati gadis itu sangat dongkol karena tak dapat
menyusul Pendekar Mabuk dan tak bisa mempunyai perkiraan ke mana arah yang
ditempuh si tampan berkebaya merah jambu itu.
"Setan belang! Memang sinting ilmu si Pendekar
Mabuk itu! Aku jadi repot sendiri mencari jejaknya," gerutu Dewi Cintani.
"Biar bagaimanapun harus tetap kucari, ia dalam bahaya besar jika
berhadapan dengan Payung Serambi. Aku tak ingin ia terluka seperti kemarin
sore. Kasihan sekali. Aku sayang kepadanya dan tak rela ia menderita sakit apa
pun!"
Pendekar Mabuk tak pedulikan lagi tentang Dewi Cintani
yang ketinggalan di belakangnya itu. Pikirannya hanya satu; mengejar Payung
Serambi untuk dapatkan kembali pakaiannya. Setelah itu baru berhitung tentang pembunuhan
atas diri Nini Kalong.
Langkah Suto Sinting pun akhirnya dihentikan secara
mendadak, ia terkejut ketika menyadari dirinya sudah berada di perbatasan
sebuah desa.
"Wah, kacau...! Aku bisa ditertawakan orang
kalau sampai masuk ke desa ini! Pasti dianggap orang gila atau banci konyol!
Sebaiknya kuhindari saja desa ini, dan... oh, ya, aku butuh mengisi bumbung
tuakku. Bagaimana caranya menuju ke kedelai tanpa ditertawakan orang?"
Otak pun berputar sesaat, lalu hati berkecamuk menyusun
rencana.
"Ah, sebaiknya aku benar-benar berlagak menjadi
perempuan saja. Biar disangka benar-benar perempuan, jadi tidak ditertawakan
sebagai banci gila! Hmmm...daun jati muda bisa kupakai untuk gincu!"
Suto Sinting segera memetik sehelai daun jati muda. Daun
itu dikunyahnya, walau terasa sepet dan kasar, tapi tetap dipaksakan agar
menimbulkan warna merah untuk mengolesi bibirnya.
"Hooek..! Puih, puih...!" Suto Sinting
hampir muntah karena menelan getah daun jati muda yang berwarna merah. Tapi
dengan begitu bibirnya menjadi merah bagai mengenakan gincu dan mirip wanita.
Suto Sinting memetik setangkai bunga kuning mirip bunga kamboja.
Bunga itu disematkan di telinga kirinya. Kebaya dikancingkan
rapat-rapat. Kain pun dibenahi agar tampak sedikit rapi dan menyembunyikan
bagian yang robek untuk bagian dalam. Rambut pun disisir dengan lima jari, yang
penting sedikit rapi tidak kelihatan seperti lelaki.
"Demi tuak yang sudah sangat menipis, aku
terpaksa berpenampilan seperti ini. Ya, Dewa... semoga saja kejadian seperti
ini jangan terulang untuk yang kedua kalinya! Samber geledek betul orang yang
mencuri pakaianku itu!" keluhnya dalam hati sambil memasukkan dua gumpalan
jerami untuk mengisi dada kanan dan kiri. Dada itu menjadi tampak montok, walau
jika diremas bisa bikin orang pingsan tertawa atau terkencing-kencing menahan
geli.
Dengan langkah melenggak-lenggok mirip perempuan
genit, Pendekar Mabuk memasuki desa tersebut. Beberapa penduduk desa yang
berpapasan dengannya ada yang memperhatikan, ada pula yang acuh tak acuh dan
tidak merasa tertarik. Yang merasa tidak tertarik adalah kaum wanitanya, yang
memperhatikan dan merasa tertarik adalah kaum lelakinya.
Karena dalam keadaan bergincu merah, pemuda tampan
itu tampak seperti gadis yang cantik dan menggairahkan di mata pria. Badannya
kelihatan sekal dan matanya mengundang selera untuk bercumbu. Bibirnya yang memang
berbentuk indah itu membuat jantung setiap lelaki berdebar-debar, seakan ingin
segera mencaploknya dan tak akan dilepaskan selama sehari semalam.
"Sial! Justru menjadi bahan perhatian kaum
lelakinya. Apakah memang kelihatan cantik aku ini?" pikirnya sambil
melangkah gemulai mendekati sebuah kedai.
Kebetulan di kedai itu tidak banyak pengunjung,
hanya ada empat orang yang sedang makan dan minum di kedai tersebut. Suto
Sinting langsung memesan tuak, menyuruh pemilik kedai memenuhi bumbung bamboo dengan
air tuak. Tentu saja dalam memesan tuak Suto Sinting menggunakan suara kecil
yang dibuat mirip suara perempuan genit.
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang
sedang menikmati santapannya terpaksa diam tertegun memandangi kehadiran
Pendekar Mabuk. Lelaki berkumis tipis itu sempat iseng dengan teguran nakalnya.
"Hai, Manis... sendirian saja, ya?" Suto
Sinting diam tak mau layani teguran iseng itu. Tetapi pria berbaju hitam yang
badannya agak gemuk dengan kumis lebat dan wajah beringas, segera meninggalkan
seorang teman yang duduk bersamanya. Orang
itu mendekati Suto Sinting yang masih berdiri menghadap meja dagangan.
Tiba-tiba
orang berbaju hitam itu menepuk pantat Suto Sinting sambil menyapa nakal. Plak...!
"Eh, kambing...!" Suto Sinting berlagak
latah, tapi hatinya dongkol sekali.
"Ha, ha, ha, ha...! Badanmu bagus sekali,
Sayang! Kau pasti seorang tamu yang menyempatkan diri singgah ke desaku ini.
Hmmm... manisnya! Siapa namamu, Sayang?"
Suto Sinting diam saja, berusaha sembunyikan wajah dengan
melengos ke arah berlawanan dengan datangnya orang berkumis tebai itu. Ia
sengaja tidak menjawab supaya tidak terjadi percakapan yang panjang. Tapi si
baju hitam justru mengusap-usap Suto Sinting sambil tertawa nakai.
Plak...! Suto Sinting menepiskan tangan lelaki itu dengan
kasar. Wajahnya benar-benar cemberut dongkol, tapi dianggap oleh si lelaki
sebagai cemberut gadis yang malu-malu kucing.
"Kakang punya rumah tak jauh dari sini. Kau
bisa bermalam di rumahku saja. Kebetulan aku seorang duda tanpa anak. Sudah
tiga bulan yang lalu aku bercerai dengan istriku. Temani aku ya, Sayang?"
Orang itu justru meremas-remas pinggul Suto Sinting
dengan senyum dan mata memancarkan kemesuman.
Pendekar Mabuk menghindari remasan tangan lelaki itu, dan teman si
lelaki menertawakan dari tempat duduknya.
"Lembut sedikit, Soglo! Jangan kasar-kasar
begitu nanti dia jijik padamu! Ha, ha, ha, ha...!" teman orang berbaju
hitam itu berseru dari tempatnya. Rupanya orang berbaju hitam itu bernama Soglo
dan memang tabiatnya genit-genit memuakkan, selayaknya seorang mata keranjang
yang kampungan.
"Kau membeli tuak banyak sekali, Sayang? Untuk
siapa, hmm...?! Untuk kakekmu atau untuk nenekmu?"
"Untukku sendiri!" ketus Suto Sinting
dengan suara dan lagak wanita judes. Soglo justru tertawa kegirangan.
"Kalau cemberut begitu kau tampak manis sekati, Iiih... gemas sekali
aku!" Soglo mencubit pipi Suto.
Tanpa disadari, gerak naluri Suto Sinting keluar. Tangan
itu segera ditepiskan dengan sentakan cepat, dan kepalan tangan Suto segera
menyodok ke mulut Soglo.
Wuut.... Plak, plook...!
"Uuuhf...!" Soglo tersentak mundur tiga
langkah, terhuyung-huyung sambil sedikit membungkuk dan pegangi mulutnya yang
kena jotos itu. Ternyata mulut tersebut berdarah karena bibirnya pecah. Soglo mengerang
kesakitan, yang lain pun menjadi tegang.
Pada waktu itu, si pemilik kedai segera menyerahkan
bumbung yang sudah penuh tuak dengan rasa takut dan waswas.
"Perempuan liar!" geram teman si Soglo
sambil segera bangkit berdiri dan melompat ke arah Suto Sinting.
Jleeg...! Ia berdiri di depan Suto Sinting ketika
murid si Gila Tuak itu membalikkan badan sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Marung, hajar setan betina itu!" seru
Soglo sambil kebingungan menghentikan kucuran darah dari mulutnya, karena
ternyata bukan bibir saja yang pecah akibat hantaman tangan Suto, melainkan gigi
depan pun menjadi rompal dua biji. Marung, teman si Soglo itu, segera maju dan menghantamkan
pukulannya ke arah wajah Pendekar Mabuk.
"Dasar perempuan keparat! Kau belum tahu siapa
kami berdua ini, hah?! Heeah...!"
Wuuut...! Plak...!
Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan kirinya.
Lalu genggaman tangan Marung dirematnya kuat-kuat. Krrrak...!
"Aaauuh...!" Marung menjerit kesakitan,
tapi genggamannya belum dilepaskan oleh Suto Sinting.
Suara tulang jari patah serempak terdengar
mengerikan bagi pengunjung yang lain. Mereka cepat-cepat keluar dari kedai
dengan wajah ketakutan.
"Aaauh...! Ampuun... ampuun...!" seru
Marung sambil menyeringai menahan rasa sakit yang luar biasa itu.
"Bangsat kau! Hiaah...!" Soglo menyerang
dengan tendangan. Tapi kaki Suto Sinting segera berkelebat lebih cepat sehingga
tulang kering kaki Soglo berhasil ditendangnya lebih dulu. Buuk, prak...!
"Aaauuh...!" Soglo menjerit panjang karena
tulang keringnya bagaikan remuk, ia langsung jatuh terduduk dan memegangi
kakinya seperti anak kecil yang kakinya membentur meja makan.
"Aam... ampun... ampuni aku. Lepaskan tanganku,
Nona. Aduuh... sakit sekali. Aku tak tahan sakitnya, Nona. Aaaadduuh... ampun,
Dik. Ampun...!" Marung memohon-mohon dengan wajah tetap menyeringai karena
rematan tangan Suto Sinting semakin lama semakin kencang, dan tulang jari yang
patah terasa semakin sakit.
"Kulepaskan tanganmu tapi tebus kelancangan temanmu
itu yang berani-beraninya menggerayangi tubuhku!" kata Suto Sinting dengan
suara perempuan.
"Iiya... iya... iya akan kutebus. Bagaimana
caranya?"
"Bayar harga tuak yang telah kubeli ini!"
"Iiya... iya akan kubayar. Lepaskanlah aku,
Nona."
"Bayar dulu!"
"Bbba... baik... baik akan kubayar
sekarang!" Marung keluarkan uang dari sabuk hitamnya, uang itu dilemparkan
kepada pemilik kedai dan ditangkap dengan gesit oleh si pemilik kedai.
"Cukup uang itu, Pak Tua?" tanya Suto
Sinting.
"Cu... cukup, Nona! Malahan sisa banyak."
"Baik!" Suto Sinting melepaskan rematan
tangannya.
"Ingat, kalau kalian menggangguku lagi, atau mengganggu
kaum sejenisku, kepala kalian yang akan kuremat hingga tulang-tulangnya
remuk!"
Setelah meninggalkan ancaman yang ditakuti oleh Marung
dan Soglo, Pendekar Mabuk segera langkahkan kaki keluar dari kedai. Di depan
kedai ia sempat menenggak tuak dua teguk, tapi buru-buru dihentikan, karena
ingat dirinya tampil sebagai wanita. Tak layak seorang wanita menenggak tuak di
depan kedai seperti itu.
Dengan langkah dipercepat dan melupakan
lenggak-lenggoknya, Suto Sinting segera meninggalkan desa itu. Bumbung tuaknya
digantungkan di pundak, sebagai kesiapsiagaan jika datang bahaya sewaktu-waktu kepadanya.
Bertepatan dengan keluarnya Suto Sinting dari desa itu,
terdengar pula suara dentuman menggema dari balik bukit kecil yang ada di depan
langkah Suto. Dentuman itu sempat menggetarkan bumi, getarannya terasa sampai
di tanah yang dipijak Suto Sinting.
"Sebuah pertarungan...?!" sentak hati
Pendekar Mabuk. "Pasti ada pertarungan di balik -bukit kecil itu. Kulihat
pendar cahaya merah berkerilap di sebelah sana! Aku harus segera ke sana, siapa
tahu si Malaikat Malam sedang berusaha membunuh seseorang yang kukenal!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk melesat ke arah bukit kecil
yang tak seberapa tinggi itu. Ia sengaja memanjat bukit itu dengan gerakan yang
lincah, walau untuk itu kain penutup bagian bawahnya robek lagi. Wreeek...!
"Sial! Robek lagi, jadi seperti gelandangan
saja kalau begini!" gerutu Suto Sinting sambil tetap menuju ke puncak
bukit kecil itu.
Pendekar Mabuk segera tercengang begitu melihat siapa
yang mengadu ilmu di bawah bukit kecil itu. Ternyata mereka adalah seorang
lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba merah,
rambut panjang lurus sepundak dengan ikat kepala kuning.
Lelaki muda yang bersenjata kapak dua mata itu
bertubuh tinggi, tegap dan ganteng. Suto Sinting mengenalnya sebagai Ranggu Pura, murid
mendiang si Poci Dewa. Sedangkan lawannya adalah seorang gadis berambut
acak-acakan.
Gadis itu mengenakan pakaian ketat seperti dari
karet berwarna hitam dengan pedang di punggung bergagang hitam. Wajahnya cantik
tapi berkesan liar dan ganas.
Gadis berpakaian ketat warna hitam yang montok dadanya
itu tak lain adalah Angin Betina, gadis yang sangat mencintai Suto Sinting dan
bertekad menjadi perisai bagi sang Pendekar Mabuk. Sedangkan Ranggu Pura adalah
sahabat Suto yang pernah ditolong dari kelicikan Ayunda, sampai Ranggu Pura
berhasil mengawini Cumbu Bayangan, murid paman gurunya itu.
"Ranggu Pura pasti salah paham," pikir
Suto Sinting.
"Tapi bagaimana aku harus bertindak melerai pertarungan
itu? Aku malu muncul di depan Angin Betina dalam keadaan seperti banci gila
begini! Tapi...haruskah kubiarkan mereka mengadu nyawa?"
Suto Sinting hanya bisa memendam kedongkolan. Gara-gara
ia kehilangan pakaian, maka ruang geraknya menjadi tak bebas. Lebih-lebih
dengan mengenakan kebaya dan kain perempuan, ia benar-benar tersiksa menghadapi
kenyataan itu. Gerutunya pun terucap kembali sambil sembunyikan diri di balik
batu besar.
"Huuh...! Dapat mayat saja mayat perempuan, akibatnya
aku jadi serba salah kalau begini. Lebih baik tanpa pakaian sama sekali, tidak
disiksa perasaan bimbang dan salah tingkah begini! Uuh... nasib, nasib...!"
Pendekar Mabuk akhirnya garuk-garuk kepala dengan
jengkelnya, tapi pandangan mata tetap tertuju pada pertarungan antara Ranggu
Pura dengan Angin Betina.
*
* *
6
SEJAK tadi Angin Betina tidak bergeser dari tempatnya
berdiri. Tak ada lompatan yang dilakukan olehnya saat menerima serangan dari
Ranggu Pura. Tebasan kapak yang diarahkan ke lehernya hanya dihindari dengan
meliukkan badan ke belakang dan mengayun ke kiri, kemudian tangan pemegang
kapak yang telah lewat di depannya itu ditendang kuat dengan gerak tendangan
yang sulit dilihat lawannya.
Bet, Plaak...! Weees...!
Kapak dua mata itu terpental ke samping. Ranggu Pura
rasakan tangannya bagaikan hilang. Tendangan
bertenaga dalam itu telah mematikan rasa pada urat tangan tersebut.
Akibatnya tangan itu tak bisa dipakai untuk memegang sesuatu dan tak bisa
digunakan untuk merasakan rabaan apa pun.
"Setan alas! Tanganku seperti semutan rasanya.
Lebih dari semutan! Kalau tak segera kusalurkan hawa murni ke tangan, bisa-bisa
aku mati separo," pikir Ranggu Pura sambil berjongkok di samping kapaknya
yang masih tergeletak di tanah. Angin Betina hanya pandangi dengan mata tajam
seakan ingin menembus ulu hati Ranggu Pura.
"Sebetulnya kalau Angin Betina mau lakukan serangan
balasan, Ranggu Pura akan mengalami luka parah. Tapi Angin Betina yang
kecepatan geraknya seperti angin itu tak mau lakukan serangan balasan.
Sebab ia tahu bahwa lelaki tampan itu bukan lawan tandingnya.
Ilmunya masih jauh di bawahnya. Tapi ia bermaksud memberi pelajaran kepada
lawannya agar lain kali tidak bertindak ceroboh lagi.
Sesaat kemudian, Ranggu Pura mulai peroleh kekuatan
kembali. Tangan kanannya sudah bias digunakan sebagaimana mestinya. Hanya saja,
kali ini Ranggu Pura tidak langsung lakukan serangan, ia mencari celah dan
kelengahan sang lawan.
"Hentikan tindakan bodohmu! Kau hanya akan mencari
penyakit jika melawanku!" hardik Angin Betina dengan sorot pandangan mata
dan raut muka tampak angker-angker cantik.
"Tak akan kuhentikan tindakanku sebelum menebus
kematian guruku dengan nyawamu!"
"Aku tidak kenal siapa gurumu!" "Omong
kosong! Eyang Poci Dewa telah kau bunuh secara licik. Luka di punggungnya akibat
tebasan pedangmu menandakan bahwa kau melawan guruku secara licik!"
"Sekali lagi kutegaskan; aku tidak membunuh
Poci Dewa. Tanyakanlah pada arwah gurumu sendiri!"
"Kau tak perlu mengelak, Iblis Jalang! Semua
orang tahu, kaulah si Malaikat Malam yang berpakaian serba hitam itu!"
"Aku bukan Malaikat Malam! Orang memanggilku Angin
Betina!" kata wanita berambut acak-acakan berkesan angker itu. Suaranya
datar dan dingin membuat tiap kata yang dilontarkan bagai mempunyai kekuatan
gaib yang menggetarkan nyali lawannya. Tetapi agaknya Ranggu Pura tidak peduli
dengan getaran tersebut. Api dendam kesumat makin berkobar dari pancaran sinar matanya.
"Aku tak peduli! Kau mau mengaku Angin Betina atau
Setan Betina, tetapi hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Kematian guruku
tak bisa ditebus dengan tipuan nama dan pengakuan palsu! Sekaranglah kau harus
menghadap guruku di alam baka sana!
Heeeeaat...!"
Ranggu Pura memutar kapaknya satu kali dari belakang
ke depan. Wuuut...! Lalu kapak itu memercikkan sinar yang menyerupai mata
tombak panjang. Claaap...! Sinar biru melesat cepat ke arah dada Angin Betina.
Gadis berwajah liar namun mengagumkan itu tetap berdiri
di tempatnya. Kedatangan sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan kirinya.
Teeeb...! Sinar itu bagaikan tak bisa menembus telapak tangan yang sudah
menyala kuning itu. Dalam satu gerakan telapak tangan memutar balik, sinar biru
panjang itu pun berkelebat kembali ke arah pemiliknya. Weess...!
Ranggu Pura terkejut, lalu sentakkan kaki dan tubuhnya
melambung ke atas cukup tinggi. Sinar itu menghantam sebatang pohon di belakang
Ranggu Pura. Blegaaarr...! Ranggu Pura tak pedulikan pohon itu hancur menjadi serpihan
yang berhamburan ke mana-mana.
Dari tempatnya melayang ia lepaskan kembali sinar
serupa dari kapaknya. Claap...! Namun kali ini di belakang sinar itu tampak
selarik sinar merah patah-patah mengikuti gerakan sinar biru. Sinar patah-patah
itu keluar dari telapak tangan kiri Ranggu Pura.
Weeess...!
Angin Betina tidak bergeser dari tempat, namun ia sedikit
rendahkan badan dari dengan kedua tangannya yang masing-masing mengeraskan
kedua jari itu ia menolak datangnya kedua sinar tersebut.
Masing-masing ujung kedua jari saling bertemu di depan
mata, dan dari ujung jari itu mengeluarkan sinar putih perak membias lebar
bagai membentengi dirinya.
Slaaap...!
Blagaaarr...!
Benturan sinar biru-merah pada sinar putih perak menghasilkan
ledakan yang amat dahsyat. Gelombang ledakan itu sangat kuat, sehingga Angin
Betina sendiri tersentak mundur tiga langkah dan hampir saja jatuh
terpelanting. Tetapi Ranggu Pura terpental delapan tombak jauhnya. Weees...!
Ranggu Pura bagai dilemparkan oleh tenaga yang amat
besar, ia melayang-layang di udara kehilangan keseimbangan badan. Kemudian
jatuh terbanting dalam posisi miring. Brrruk...!
"Aaauh...!" pekiknya menahan sakit. Kapak
di tangannya sempat terlepas dan jatuh dua langkah dari kepalanya. Tulang
pundaknya terasa seperti patah dan tulang lehernya pun terkilir nyeri, sehingga
Ranggu Pura terpaksa mengerang panjang saat membetulkan letak sendi tulang
lehernya dengan paksa. Klaak...!
"Aoww...!" pekiknya sendiri.
Kemudian ia paksakan untuk berguling ke samping. Satu
gulingan ia sudah berhasil menyambar senjatanya kembali, ia mencoba untuk
bangkit walau sempoyongan.
Saat itulah ia baru sadar bahwa hidungnya telah mengucurkan
darah segar dan tangan kirinya bagaikan lumpuh, tak bisa digerakkan lagi akibat
kejatuhannya tadi.
"Keparat kau, Iblis Betina!" geramnya
penuh pancaran nafsu untuk membunuh. Sedangkan Angin Betina justru kelihatan tenang-tenang
saja, namun pandangan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia tetap waspada.
Dari atas bukit kecil itu Pendekar Mabuk berkata pada
diri sendiri, "Matilah si Ranggu Pura kalau masih nekat melawan Angin
Betina! Aku harus bisa menghentikannya agar kesalahpahaman ini tidak menimbulkan
korban jiwa. Hmmm... bagaimana caranya? Kusambar saja si Ranggu Pura sambil melepaskan
totokan dari jarak jauh, atau kutotok keduanya dari sini agar Angin Betina tak
melihat kehadiranku dalam pakaian perempuan begini?!"
Ranggu Pura melangkah dengan sempoyongan. Napasnya
terengah-engah diburu dendam. Sambil menggeram-geram ia mulai memutar-mutar
kapaknya di samping. Putaran kapak itu keluarkan bunyi mendengung yang makin
lama semakin menyakitkan gendang telinga. Jelaslah bahwa Ranggu Pura ingin pergunakan
jurus lain berupa bunyi gaung dari senjatanya untuk memecahkan gendang teiinga
lawan.
"Hentikan...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras yang mampu mengungguli
bunyi gaung itu. Suara bentakan keras itu datang dari arah timur mereka.
Seorang gadis cantik muncul begitu saja, tak diketahui dari mana asal kedatangannya.
Seperti jatuh dari langit.
Mata murid si Gila Tuak itu terbeialak kaget.
"Payung Serambi...?!" ucapnya dengan nada
menggeram. Kedongkolannya mulai mengusik hati teringat pakaiannya yang lenyap
itu. Kemudian hatinya pun berkata,
"Kalau kutemui sekarang, ah... masih ada Angin
Betina. Aku malu kalau Angin Betina melihatku pakai kebaya begini. Amit-amit
betul kalau sampai dilihat dia! Jangan sampailah yauw...!"
Angin Betina melirik tajam kepada Payung Serambi.
Hatinya bertanya, "Siapa perempuan itu dan apa
hubungannya dengan murid si Poci Dewa itu?!"
Sementara di pihak Ranggu Pura pun melirik sinis dengan
gerakan tangan memutar kapak terhenti dengan sendirinya. Hatinya membatin,
"Siapa perempuan cantik itu? Mengapa tiba-tiba
tanganku tak bisa kupakai untuk memutar kapak lagi? Uh... kaku sekali tangan
kananku ini? Kekuatan apa yang digunakan oleh perempuan cantik itu, sehingga tanganku
jadi tak bisa digerakkan memutar. Tapi anehnya... anehnya rasa sakit di tulang
pundak kiriku menjadi hilang?! Gila! Apakah semua ini pengaruh dari pandangan
matanya yang lebih sering tertuju padaku itu?!"
Payung Serambi melangkah lebih mendekati pertengahan
jarak antara Ranggu Pura dan Angin Betina. Tetapi pandangan matanya lebih
sering tertuju kepada Ranggu Pura. Penampilannya yang punya kesan wibawa aneh
itu membuat Angin Betina diam saja, seakan membiarkan apa pun yang akan
dilakukan gadis cantik itiu.
Terdengar suara bernada tegas dari Payung Serambi yang
ditujukan kepada Ranggu Pura.
"Kau bisa mati konyol kalau harus melawan perempuan
itu! Kematianmu tidak akan menebus kematian gurumu, karena kau telah salah
tuduh dan bertindak dengan gegabah!"
"Apa urusanmu terhadap persoalanku dengan perempuan
itu?!" sentak Ranggu Pura.
"Aku hanya meluruskan anggapanmu dan merasa sayang
kalau di balik ketampananmu itu tersimpan otak yang dungu serta segunung
kebodohan! Malaikat Malam bukan perempuan itu!"
"Hmmm...!" Ranggu Pura mencibir.
"Berapa besar kau diupah olehnya, sehingga kau mau mendukung kebohongannya?!
Kurasa kau, bersekongkol dengan perempuan jahanam itu! Jika benar begitu,
berarti kau pun termasuk orang yang harus kukirim ke neraka untuk menebus
kematian guruku!"
Payung Serambi sunggingkan senyum tipis bernada sinis.
"Apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku? Apakah kau bisa menjamahku,
sehingga kau berani bicara selancang itu?!"
"Keparat! Kurobek perutmu dengan kapakku ini!
Hiaah...!"
Payung Serambi cepat acungkan jarinya ke depan.
Teeb...! Seperti ada tenaga yang keluar dari ujung
jari dan menghantam ulu hati Ranggu Pura dengan sangat cepat. Kurang dari satu
kedipan mata.
"Uuhg...!" Ranggu Pura terpekik dengan
suara tertahan. Tubuhnya melengkung ke depan dan menyeringai kesakitan, ia tak dapat
bergerak lagi selain menghela napas dengan berat sekali. Kepalanya sedikit
miring memandang Payung Serambi, tapi oleh Payung Serambi segera ditinggalkan.
Payung Serambi segera temui Angin Betina, sedangkan Ranggu Pura tetap seperti
patung bongkok.
"Dia bukan tandinganmu. Kurasa tak pantas kau melawannya!"
kata Payung Serambi kepada Angin Betina.
"Aku tidak melawan, hanya mempertahankan diri. Apakah
kau ingin memihak kepadanya? Silakan buka jurusmu dan aku akan membeli dengan
jurusku!" ucap Angin Betina dengan tegas, berdiri dengan kaki merenggang,
kedua jempol tangannya digantungkan pada ikat pinggang di depan perut, ia
tampak gagah dan penuh keberanian. Pandangan mata tak berkedip sedikit pun saat
beradu dengan sorot mata Payung Serambi.
"Kuhargai, kau cukup berani dalam bicara di depanku.
Kau belum tahu siapa diriku, Sobat!"
"Kau utusan dari Istana Laut Kidul! Kau
prajurit pilihan Nyai Kandita! Itu yang kutahu tentangmu!"
Payung Serambi terperanjat mendengar ucapan tegas Angin
Betina.
"Aku tidak mengenalimu. Dari mana kau tahu
tentang diriku? Biasanya setiap orang yang tahu tentang diriku, aku selalu tahu
tentang dirinya. Tapi... tapi aku tidak bisa menembus batinmu. Siapa kau
sebenarnya?!"
"Aku harus segera pergi mencari kakakku, ada
urusan penting yang akan kami bicarakan! Sampai jumpa di lain kesempatan,
Payung Serambi!"
Blaaass...! Angin Betina melesat begitu saja
bagaikan hembusan sang bayu. Payung Serambi dibuat terbengong-bengong
memandanginya, ia tak tahu bahwa Angin Betina sudah mempelajari Kitab Lorong
Zaman, sehingga ia bisa masuk ke alam mana saja, bahkan bisa berada di zaman
akan datang atau zaman yang telah lalu.
Dari kitab tersebut pun ia peroleh pelajaran
menembus batin orang lain dan menutup batinnya sendiri agar tidak dibaca oleh
indera ketujuh orang lain, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kita Lorong Zaman").
Pendekar Mabuk menggunakan ilmu 'Sadap Suara' dari
tempat persembunyiannya, sehingga ia bias mendengar percakapan mereka, ia juga
terkejut mendengar Angin Betina bisa menyebutkan siapa diri Payung Serambi
sebenarnya.
"Rupanya apa yang dikatakan oleh Dewi Cintani tentang
perempuan berjubah biru itu memang benar. Keterangan Cintani sama dengan apa
yang diucapkan oleh Angin Betina tadi. Kelihatannya Payung Serambi cukup terkejut,
karena tak menyangka kalau Angin Betina mengetahui siapa dirinya. Tapi... dari
mana Angin Betina mengetahui tentang Payung Serambi? Apakah ia pernah datang ke
Istana Laut Kidul?"
Suto Sinting pun ternyata tak tahu bahwa ilmu Angin
Betina sudah bertambah sejak berpisah lama dengannya.
Angin Betina memang pernah bertemu Suto beberapa waktu
belakangan ini, tapi ia tidak banyak bicara tentang penambahan ilmunya.
Pertemuannya dengan Angin Betina tidak terlalu lama, sehingga Suto Sinting
belum sempat bicara panjang-lebar tentang diri mereka.
Kini perhatian Pendekar Mabuk ditujukan kembali kepada
Payung Serambi yang mendekati Ranggu Pura.
Dengan satu kali sentakan tangan menunjuk, totokan pada
diri Ranggu Pura telah terlepas. Ranggu Pura dapat bergerak seperti biasa. Tapi
pandangan matanya masih memancarkan permusuhan, terlebih setelah ia tahu bahwa
Angin Betina sudah tidak ada di tempat itu.
"Keparat kau! Ke mana perginya si Malaikat
Malam itu?! Dia belum menebus nyawa guruku!"
"Sudah kukatakan, dia bukan Malaikat
Malam!" sentak Payung Serambi. "Kalau dia Malaikat Malam, kau sudah
tidak bernapas sejak tadi!"
"Jangan menutupi kebusukannya!"
"Aku bisa lumpuhkan kau sekarang juga kalau kau
masih membandel!" gertak Payung Serambi dengan mata sedikit melotot. Ranggu
Pura pun menjadi tak berani membantah lagi, lidahnya bagai kelu.
"Pulanglah dan jangan coba-coba melawan perempuan
itu tadi. Kalau dia bertindak dengan sesungguhnya, saat ini kau sudah tidak
punya nyawa lagi! Yang jelas, dia bukan Malaikat Malam. Dia adalah Angin
Betina, seperti pengakuannya yang kudengar dari tempat tersembunyi tadi. Ilmu
'Tembus Batin'-ku menangkap getar kejujuran pada saat ia menyebutkan namanya."
"Lalu... lalu siapa Malaikat Malam itu
sebenarnya?!"
"Malaikat Malam sudah tidak ada. Yang muncul sekarang
ini adalah Malaikat Palsu! Tanyakan kepada arwah gurumu, maka ia akan menjawab
bahwa Malaikat Malam dari Pegunungan Sojiyama sudah lama meninggal karena
ketuaannya. Jika sekarang muncul orang yang berpenampilan seperti Malaikat
Malam, itu adalah Malaikat Palsu. Orang itu sedang diburu oleh beberapa pihak.
Kau tak perlu ikut memburunya, karena ilmu yang kau miliki belum ada sekuku
hitam dengan ilmu yang dimiliki si Malaikat Palsu."
Ranggu Pura terbungkam bagai tak bisa berkata lagi. "Sekarang
pulanglah dan biarkan musuhmu itu diburu orang lain. Kau tinggal menunggu kabar
kematiannya saja!"
"Baik, aku akan pulang!" ucap Ranggu Pura
menjadi patuh. Mungkin sorot mata Payung Serambi mempunyai kekuatan gaib yang
dapat membuat seseorang menjadi patuh terhadap perintahnya.
Ranggu Pura pergi tinggalkan tempat itu. Payung Serambi
pun bergegas tinggalkan tempat itu. Namun sebelum ia bergerak, sebuah suara
menyapanya dengan keras,
"Payung Serambi...! Tunggu!"
Gadis itu menoleh ke belakang, tampak Pendekar Mabuk sedang berkelebat secepat kilat dari
atas bukit kecil ke tempatnya. Zlaaap...! Jleeg...!
Tahu-tahu pemuda tampan berkebaya merah jambu dengan
bibir bergincu merah itu sudah berdiri di depan Payung Serambi. Gadis itu hanya
sunggingkan senyum tipis dengan tubuh bergerak-gerak karena geli melihat
penampilan Suto Sinting.
"Aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk, tapi aku
tak tahu dari mana kau peroleh pakaian itu dan sejak kapan kau berubah menjadi
banci.".
"Sejak pakaianku kau curi!" jawab Pendekar
Mabuk dengan ketus, karena hatinya menyimpan kedongkolan, ia berkata lagi
dengan tegas.
"Kembalikan pakaianku yang kau curi saat aku tertidur
itu. Jika tidak, aku akan bertindak kasar yang mungkin akan mengecewakan
hatimu, Payung Serambi."
"Aku tidak mencuri pakaianmu, Pendekar
Tampan!" jawab Payung Serambi dengan senyum dikulum.
"Agaknya kau perlu dipaksa dengan kekerasan, Payung
Serambi."
"Silakan kalau kau ingin mencoba memaksa orang
tak bersalah!" jawab Payung Serambi dengan tenang, membentangkan kedua tangannya
sambil melangkah ke samping mencari tempat lega untuk mengadu kesaktian.
Pendekar Mabuk pun segera melangkah ke samping, bumbung
tuaknya mulai digenggam dengan tangan kanan. Matanya tak berkedip pandangi si
Payung Serambi yang punya bibir legit menggiurkan itu. Payung Serambi justru
sunggingkan senyum dan hati Pendekar Mabuk mulai gelisah diguncang oleh getaran
lembut yang mengusik ketenangan batinnya.
"Seranglah aku!" tantang Payung Serambi
dengan iringan senyum tipis. "Ayo, seranglah aku dan kau akan kutangkap
dalam pelukan, tak akan kulepas selamanya!"
Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menggerutu dalam
batinnya, "Sial! Kenapa tantangannya jadi seperti itu? Wah, bahaya kalau
kulayani. Bisa-bisa aku jatuh dalam pelukan dan tak mau dilepaskan lagi olehnya.
Celaka tujuh puluh kalau begitu jadinya nanti!"
Pendekar Mabuk masih diam dihinggapi keragu-raguan,
ia seperti banci yang sedang bingung menentukan arah langkahnya.
*
* *
7
KEDUA orang
yang ingin bertarung mengadu kesaktian itu akhirnya sama-sama diam bagai patung
bisu. Tetapi pandangan mata mereka saling beradu dalam kelembutan tersendiri.
Hati mereka saling memancarkan sinar terang, seakan ditaburi bunga-bunga indah
yang tiada pernah layu.
"Agaknya dia ingin menjeratku dengan kekuatan
gaib pemikatnya," pikir Pendekar Mabuk. "Akan kulawan dengan jurus
'Senyuman Iblis' yang tak pernah ada tandingnya itu. Jika ia bermaksud
menundukkan hatiku, maka ia akan menjadi bertekuk lutut sendiri di hadapanku!"
Jurus 'Senyuman Iblis' adalah jurus berbahaya bagi lawan
jenis Suto Sinting. Perempuan mana pun, segalak apa pun, seangkuh apa pun jika
terkena pengaruh gaib jurus 'Senyuman Iblis', maka ia akan kasmaran kepada
Pendekar Mabuk dan hasrat ingin bercumbunya membakar gairah mendesak jiwa.
Jurus 'Senyuman Iblis' ibarat racun cinta yang sukar ditangkal dan dihindari
oleh setiap perempuan yang berhadapan dengan Suto Sinting.
"Hmmm... dia ingin main-main padaku dengan
jurus kacangan itu?! Celaka sendiri dia jadinya jika ingin mengadu kekuatan
pemikat denganku. Rasa-rasanya memang perlu diberi pelajaran biar tidak terlalu
angkuh dengan jurus kacangan itu!" gumam Payung Serambi dalam batinnya.
Maka adu pandangan mata pun makin berlangsung lama.
Bibir Suto Sinting sunggingkan senyum berkekuatan gaib, penunduk hati seorang
wanita. Sedangkan sorot pandangan mata Payung Serambi mengandung kekuatan gaib,
penakluk hati setiap pria.
"Oh, hatiku berdesir indah. Ada apa ini?
Jangan-jangan aku terkena panah asmara buatan? Oh, tidak. Aku tidak boleh
terpikat olehnya!" ujar Pendekar Mabuk dalam hatinya.
Payung Serambi pun membatin, "Aduh, mengapa aku
jadi deg-degan? Hatiku berdebar-debar aneh. Mungkinkah aku terpikat oleh
kekuatan gaibnya? Ah, jangan sampai begitu. Aku tidak boleh terpikat oleh
pemuda ini walaupun... walaupun sebenarnya dia memang tampan, gagah,
menggairahkan, dan.... Oooh, celaka! Aku semakin gemetar?!"
Dua kekuatan gaib pemikat saling beradu sama kuat. Hati
mereka akhirnya saling terjerat bayangan asmara. Darah mereka saling berdesir
diburu harapan untuk saling bercumbu.
Pendekar Mabuk maju selangkah bersamaan dengan langkah
pertama Payung Serambi. Langkah itu terhenti sesaat, bagai sedang diperjuangkan
untuk ditahan mati-matian. Namun kian lama kaki mereka bagai mempunyai kemauan
sendiri untuk melangkah maju.
Selangkah, selangkah, selangkah...! Akhirnya mereka
berhenti saling berhadapan kurang dari satu langkah.
Pandangan mata mereka tetap saling beradu. Senyum mereka
saling bermekaran tipis, namun berkesan mesra. Pendekar Mabuk meraih anak
rambut gadis itu yang meriap di pundak, tepat pada saat tangan Payung Serambi
menggeraikan rambut Suto Sinting yang melintang di lehernya.
"Kau cantik sekali, Payung Serambi," bisik
Suto Sinting.
"Kau pun menawan sekali, Pendekar Mabuk,"
balas Payung Serambi dalam bisikan yang amat lembut.
"Boleh aku menyentuh pipimu?"
"Sentuhlah mana yang kau suka, Suto.... Suto Sayang."
Debar-debar di dalam dada semakin keras. Mereka rasakan
debar-debar itu begitu indahnya, hingga akhirnya mereka saling bersentuhan
wajah. Makin lama semakin indah, sehingga mereka saling bersentuhan bibir.
Mereka bagai terbuai oleh keindahan yang luar biasa besarnya, sampai tak ingat
siapa diri mereka dan di mana mereka berada.
Pendekar Mabuk biarkan gadis itu melumat bibirnya
penuh kelembutan. Payung Serambi biarkan
pemuda tampan itu memeluknya penuh kemesraan.
Di pojok sana ada dua orang yang memergoki kejadian
tersebut. Yang seorang berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Manusia sesat! Sama-sama perempuan kok saling
berciuman!"
Tapi yang satunya lagi, lebih tua dari yang bicara tadi,
segera mengernyitkan dahi dan mengecilkan matanya untuk memandang lebih jelas
lagi raut wajah kedua orang yang berciuman sambil berdiri itu.
"Celaka! Itu si Pendekar Mabuk dengan...
dengan... oh, gawat kalau begitu!"
Orang tua itu menjadi tegang, ia berpakaian seperti
biksu, kain abu-abu dililitkan di tubuhnya yang agak gemuk itu. Rambut si orang
tua beruban rata tapi tidak begitu lebat, bahkan berkesan botak. Jenggotnya
panjang dan berwarna putih. Orang itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun dan
pelayannya; si Kadal Ginting.
Mereka dari menghadiri pembakaran jenazah Nini Kalong,
mantan kekasih Resi Pakar Pantun. Untuk membuang kesedihannya, Resi Pakar
Pantun segera tinggalkan Hutan Rawa Kotek sambil mencari orang berpakaian serba
hitam yang dikenal sebagai Malaikat Malam itu.
Sang Resi menyimpan dendam sendiri di hatinya,
karena bagaimanapun juga ia masih mempunyai cinta masa mudanya kepada Nini
kalong, ia merasa perlu menuntut balas kepada si Malaikat Malam, sehingga sejak
melangkah meninggalkan tempat pembakaran jenazah itu ia sudah bertekad
pertaruhkan nyawanya daiam melawan Malaikat Malam.
Tetapi ketika ia jumpai dua sosok manusia lain jenis
berpelukan, tiba-tiba saja dendam dan kemarahannya itu buyar seketika.
Perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang tampak sedang kasmaran. Padahal
Resi Pakar Pantun tahu, bahwa Pendekar Mabuk adalah kekasih Dyah Sariningrum.
Sang rasi pun tahu, siapa perempuan yang sedang dipeluk oleh Pendekar Mabuk itu.
"Wah, wah, wah... kalau sedang begitu, ia
memang pantas berjuluk Pendekar Mabuk.... Mabuk Cinta! Sampai-sampai ia lupa
daratan begitu."
Kadal Ginting menyahut, "Lupa daratan
bagaimana, Eyang? Bukankah mereka sama-sama berdiri di daratan?"
"Maksudnya lupa daratan adalah lupa segala-galanya.
Dirinya bagai terbawa terbang bersama khayalan indahnya. Tapi... oh, Suto tidak
boleh terlibat asmara sebegitu jauh dengan perempuan cantik itu. Ia dalam
bahaya jika sampai 'mabuk cinta' dengan perempuan tersebut!"
Resi Pakar Pantun kembangkan kedua tangannya. Kakinya
yang kiri ditarik mundur sedikit, lalu ia merendah. Satu tangannya menyilang di
depan dada, tangan yang satunya mengembang di atas kepala, ia sempat lepaskan
pantun yang didengar oleh Kadal Ginting, pelayannya.
"Kerupuk bantat pusaka sebuah biara,
kecoa nungging memang cari perkara.
Biar asmara sama-sama membara,
tapi jangan pamerkan di depan orang tua."
Lalu tangan yang di atas kepala itu menyentak ke depan
dan seberkas sinar hijau berekor kecil melesat dari tengah telapak tangan Resi
Pakar Pantun. Weeesss...!
Sinar hijau berekor kecil itu melesat menghantam pertengahan
kedua insan yang sedang mengadu mulut dan saling pagut itu. Sinar itu seakan
ingin memisahkan sepasang asmara yang sedang saling terbuai.
Tetapi kedua orang tersebut tiba-tiba melesat naik,
tubuh mereka melambung dalam keadaan masih tetap berpelukan dan berpagut bibir.
Wuuut...! Mereka melambung cukup tinggi dalam keadaan tubuh tetap tegak lurus
seperti orang berdiri. Sinar hijau itu melintas di bawah telapak kaki mereka.
Weess...!
Duaarrr...!
Sebatang pohon rompal dihantam sinar hijau itu. Daunnya
berguguran, terbang mengikuti arah angin. Ledakan itu cukup keras, walau tak
sampai mengguncangkan bumi. Tapi setidaknya akan mengejutkan seseorang yang
berada tak jauh dari tempat itu.
Anehnya, Pendekar Mabuk dan Payung Serambi tak merasa
kaget sedikit pun. Dalam keadaan tubuh mereka saling peluk di udara, mereka
masih saling pagut bibir dengan mesra sekali. Bahkan ketika gema ledakan itu
telah menghilang, tubuh mereka bergerak turun pelan dan pelaaan... sekali.
Sedangkan keadaan tubuh mereka tetap lurus bagai orang berdiri di udara.
Akhirnya telapak kaki mereka sama-sama mendarat ke
tanah tanpa suara apa pun kecuali suara kecupan mereka. Rupanya mereka
sama-sama menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu melayang
di udara dengan cepat dan turun dengan pelan-pelan.
Keduanya sama-sama mempunyai ilmu peringan tubuh
yang setara dan setingkat, sehingga tak satu pun ada yang merasa kewalahan
menghadapi keadaan seperti itu.
Resi Pakar Pantun geleng-geleng kepala melihat tingkah
mereka yang mampu menghindari sinar hijaunya. Niat memisahkan mereka berdua
semakin membuatnya penasaran. Maka sang Resi pun segera bertindak dengan
lakukan lompatan beberapa kali. Wut, wut, wut...! Kemudian ia pun menerjang
kedua insane yang sedang berkasih-kasihan itu dengan kedua kaki menendang ke
samping kanan-kiri.
Wuuut;..! Brrruss...!
"Oouh...!" Pendekar Mabuk dan Payung
Serambi terpental dalam keadaan terpisah. Mereka sama-sama terpekik seakan baru
menyadari adanya bahaya yang ingin merusak kebahagiaan kasih mereka. Pendekar Mabuk
dan Payung Serambi sama-sama jatuh terpelanting, namun sama-sama cepat bangkit
dan berdiri sigap memandang tajam pada Resi Pakar Pantun.
"Lancang betul kau, Tua Keropos!" gertak
Payung Serambi dengan wajah memancarkan kemarahan.
"Resi Pakar Pantun! Apa maksudmu menyerang kami?!"
bentak Suto Sinting dengan dada bergemuruh karena menahan marah. Napasnya mulai
menyemburkan kekuatan 'Napas Tuak Setan' yang sempat membuat tanah di depannya
menyebar ke sana-sini bagai dihembus oleh cerobong angin.
"Suto, kau dalam bahaya!" ujar Resi Pakar
Pantun sambil melangkah dekati Suto Sinting. "Sadarlah, Suto...! Kau tak
boleh bercinta dengan dia, karena ketahuilah bahwa dia adalah orang Istana Laut
Kidul. Kau bisa celaka jika menjalin hubungan cinta dengannya!"
Kadal Ginting ikut dekati Suto dan berkata, "Turutilah
saran Eyang Resi, Suto!"
Napas ditarik panjang-panjang sebagai penahan gejolak
kemarahan. Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya, sementara Payung Serambi yang
sudah mengenal siapa Resi Pakar Pantun itu segera berkata dengan nada menggeram
jengkel.
"Kau tak berhak memisahkan kemesraan kami,
Pakar Pantun! Kuhajar kau kalau sekali lagi lakukan hal itu!"
"Payung Serambi... kalau kau bercinta dengan Pendekar
Mabuk, alangkah nistanya? Kau orang terhormat di Istana Laut Kidul, sedangkan
Pendekar Mabuk hanya seorang bocah ingusan. Nyai Kandita pun dapat murka
kepadamu jika kau terlibat cinta dengan Suto Sinting. Dia bukan keturunan darah
biru," ujar Resi Pakar Pantun dengan suara pelan, seakan sedang mempengaruhi
pikiran Payung Serambi.
Gadis itu menjadi diam, memandang lurus ke arah Pendekar
Mabuk, namun tampak sedang lakukan pertimbangan dalam pikirannya. Pendekar
Mabuk pun
tampak mulai sadar dengan apa yang ia lakukan tadi.
Ia melangkah mendekati Payung Serambi sambil berucap dalam batinnya.
"Sepertinya aku telah terkena jurus pemikatnya.
Oh, bahaya sekali kalau sampai aku tak bisa lepaskan diri dari pemikat
itu."
Sedangkan dalam batin Payung Serambi pun berkata, "Aneh.
Mengapa aku jadi mau berciuman dengannya? Apakah aku telah terperangkap oleh
gaib kasmarannya? Oh, aku tidak boleh sampai terperangkap begitu. Aku harus
segera lepaskan diri dari pengaruh kekuatan pemikatnya. Tapi... tapi bagaimana
mungkin hal itu bisa kulakukan jika ternyata sangat indah dan sangat berkesan
di hatiku. Oh, kacau sekali kalau begini jadinya!"
Keduanya sama-sama ingin membatasi diri, namun jiwa
mereka bicara, batin mereka tetap mengharap kemesraan yang indah. Akibatnya
mereka hanya bisa berusaha menutupi gejolak tuntutan batin mereka dengan
mengalihkan pembicaraan pada masalah kematian Nini Kalong.
"Resi Pakar Pantun, apakah benar kematian Nini
Kalong akibat ulah si Malaikat Malam?"
"Malaikat Malam sudah tiada," jawab Resi
Pakar Pantun. "Kalau sekarang ada yang menyamar sebagai Malaikat Malam,
berarti ada pihak lain yang ingin gunakan nama besar itu untuk kepentingan
pribadi. Aku tak dapat mengira-ngira siapa sebenarnya orang berpakaian serba hitam
itu. Tetapi jika aku bertemu dengannya, barangkali hanya ada dua pilihan;
nyawaku atau nyawanya yang melayang."
Pendekar Mabuk melirik Payung Serambi, lalu berkata
kepada gadis itu,
"Kuingat kau pernah mengancamku dengan pedang hanya
untuk mengetahui di mana letak Hutan Rawa Kotek. Kau ingin menemui Nini Kalong
dan tampak bernafsu sekali."
"Memang. Apakah itu berarti kau menuduhku
sebagai Malaikat Malam?!"
"Bukan salahku jika aku menaruh curiga padamu,
karena kau memaksaku menunjukkan tempat kediaman Nini Kalong."
"Jadi, kaulah orangnya yang mampu tumbangkan Poci
Dewa dan Nini Kalong?!" Hardik Resi Pakar Pantun dengan mengepalkan
tangannya, ia tampak ingin lakukan serangan kepada Payung Serambi.
"Tunggu!" sergah Payung Serambi.
"Jangan dengarkan fitnah si tampan sinting itu!"
Suto pun segera berkata, "Untuk apa kau
bernafsu sekali ingin menemui Nini Kalong kalau bukan untuk membunuhnya?!"
"Otak bodohmu keterlaluan, Suto! Aku datang
justru ingin memberitahukan bahwa Nini Kalong terancam bahaya! Aku ingin
mencegat bahaya itu, namun ternyata aku terlambat. Demikian juga halnya dengan
Poci Dewa dan Pendeta Kembang Ayu. Aku terlambat mencegat bahaya itu sehingga
akhirnya mereka menjadi korban. Keterlambatanku itu karena aku tak tahu persis
di mana letak kediaman mereka."
"Kau pandai memutar lidah rupanya!" kata
Suto Sinting.
"Kau sendiri menyukainya, bukan?"
"Maksudku, pandai bermain kata-kata. Bukan memutar
lidah dalam arti sebenarnya!" sentak Suto Sinting menutupi rasa malunya,
sambil berusaha membuang bayangan saat mereka berciuman tadi.
"Payung Serambi," ujar Resi Pakar Pantun.
"Apakah maksud kedatanganmu ke tanah Jawa ini sebenarnya?"
"Nyai Kandita mengutusku untuk lakukan penyelamatan
terhadap beberapa tokoh yang terancam bahaya."
"Apakah bisa kupercaya kata-katamu itu?"
"Aku tak memaksamu untuk percaya, tapi aku akan
berkata apa adanya," ujar Payung Serambi, ia menatap Suto Sinting
sebentar, kemudian kembali memandang Resi Pakar Pantun dan berkata dengan
tegas.
"Delapan tokoh aliran putih yang tinggal di tanah
Jawa ini terancam bahaya. Wajah-wajah mereka tampak menguning dalam penglihatan
Nyai Kandita."
"Siapa saja?!" sergah sang Resi.
"Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong, Sumbaruni...."
"Siapa?! Sumbaruni?!" potong Resi Pakar
Pantun sebelum Pendekar Mabuk terpekik kaget juga.
"Celaka! Sumbaruni terancam kematian pula rupanya?!"
gumam Suto Sinting dengan tegang, sebab ia tahu Sumbaruni adalah wanita yang
amat mencintainya dan bersikap baik padanya selama ini.
"Sumbaruni...?! Gawat!" kata sang Resi. "Baru
saja Sumbaruni menuju ke Lembah Hijau bersama Kidung Laras dan muridnya; Pakis
Ratu. Aku harus mengabarkan hal ini kepada Sumbaruni!"
"Sebaiknya begini saja, Eyang Resi...,"
kata Suto, namun terpotong oleh ucapan sang Resi sendiri.
"Pikirkan saja keadaanmu, Suto. Jangan seperti
pendekar konyol, pakai kebaya segala! Gantilah pakaianmu sebelum Sumbaruni pun
tahu kau menjadi banci kesiangan! Aku akan berangkat temui Sumbaruni sekarang
juga!"
Weeess...!
"Tunggu dulu, Pakar Pantun...!" sergah
Payung Serambi. Tetapi sang Resi sudah lebih dulu berkelebat pergi dengan
kecepatan tinggi.
Pelayannya yang sejak tadi memendam perasaan heran
melihat Suto Sinting mengenakan kain dan kebaya, sempat tertinggal walau tetap
berlari-lari sambil berseru, "Eyang...! Eyang, Resi...! Tunggu saya,
Eyang...!"
Pendekar Mabuk masih terpaku di tempat dengan mulut
terbengong melompong karena kaget mendengar kabar itu. Payung Serambi pun
tertegun di tempat karena tak berhasil cegah kepergian Resi Pakar Pantun. Kejap
berikutnya mereka bagaikan baru sadar dari lamunan.
Payung Serambi berkata, "Bodoh amat si tua
Pakar Pantun itu!"
"Dia kenal baik dengan Sumbaruni dan...."
"Memang. Tapi sebetulnya aku ingin katakan
bahwa delapan orang yang akan terancam maut itu termasuk dirinya sendiri."
"Hahh.. ?! Maksudmu... maksudmu, Resi Pakar Pantun
juga termasuk delapan orang yang terancam kematian menurut penglihatan Nyai
Kandita?"
"Benar!"
"Celaka!" Pendekar Mabuk ingin bergerak,
tetapi tangannya ditahan oleh Payung Serambi.
"Dengarkan dulu penjelasanku! Jangan menjadi bodoh
seperti si tua Pakar Pantun itu!"
Payung Serambi anggukkan kepala. "Kuulangi
lagi; Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong, Sumbaruni, Pakar Pantun,
Pendeta Darah Api, Resi Wulung Gading, dan.... Gila Tuak!"
Bagai petir menyambar wajah, Pendekar Mabuk tersentak
kaget, matanya mendelik dan kulit wajahnya menjadi merah. Nama gurunya masuk
dalam urutan orang-orang yang terancam maut, hal itu sama saja sebatang tombak
menghujam di jantungnya. Tak heran jika tubuh Sutto Sinting pun akhirnya
gemetar membayangkan kematian gurunya.
Darah bagaikan mendidih karena bangkitnya sang murka
dan duka yang bergumul menjadi satu, sampai akhirnya membentuk suatu
kegelisahan yang tak pasti.
"Delapan nama itu adalah orang-orang yang
pernah datang ke Istana Laut Kidul dan bertemu dengan Nyai Ratu."
Pendekar Mabuk sempat terbungkam beberapa waktu lamanya,
ia sendiri tak tahu kalau Gila Tuak, sang Guru, pernah datang ke Istana Laut
Kidul, karena hal itu tak pernah diceritakan oleh sang Guru. Detak jantung yang
menjadi cepat membuatnya menenggak tuaknya kembali untuk mengurangi perasaan
gelisah yang mendebarkan itu.
"Bagaimana dengan Ki Lurah Gontang, yang keluarganya
dibantai oleh Malaikat Malam dan...."
"Itu bukan pekerjaan si Malaikat Malam," sahut
Payung Serambi. "Kudengar kabar itu dan kuselidiki sendiri, ternyata yang
melakukan adalah perampok tunggal yang punya kegemaran memperkosa perawan. Jika
ada yang melihat si pelaku berpakaian hitam, itu hanyalah suatu hal yang
kebetulan saja."
Suto Sinting hembuskan napas panjang-panjang agar kian
peroleh ketenangan batinnya.
"Lalu... siapa sebenarnya orang yang meniru penampilan
Malaikat Malam itu?"
Payung Serambi gel engkan kepala.
"Mengapa orang itu yang menjadi El Maut bagi nyawa
para korban?"
"Itu tugas keduaku," jawab Payung Serambi.
"Tugas pertama adalah menahan datangnya sang maut pada diri delapan orang
itu. Tugas kedua menyelidiki, siapa sebenarnya yang biang petaka dalam perkara
ini? Tugas ketiga, menghancurkan si biang petaka itu!"
"Kalau begitu," kata Suto Sinting setelah
menenggak tuaknya kembali. "Kita harus segera temui mereka dan
memberitahukan hal ini. Aku akan membantumu menemui mereka, karena aku tahu
tempat tinggal mereka, kecuali Pendeta Darah Api. Aku belum pernah ke Teluk
Merah. Tapi aku tahu orang yang bisa antar kita ke Teluk Merah."
"Kurasa memang tak ada waktu lagi, sekarang
juga kita harus bergerak, karena aku sudah gagal selamatkan tiga nyawa."
"Baik. Tapi bagaimana aku bisa bergerak bebas
jika pakaianku tak kau kembalikan."
"Kau gila! Sudah kubilang, aku tidak mencuri pakaianmu!"
"Lalu, siapa jika bukan kau?!" sentak Suto
Sinting dengan jengkel dan cemas.
"Sudahlah, pakai pakaian begitu saja. Kau
tampak semakin menggoda hatiku jika begitu," ujar Payung Serambi sambil
sunggingkan senyum. "Untuk apa kau butuh pakaian, toh aku sudah melihat
seluruhnya saat kau tertidur di bawah pohon."
"Sial!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut.
*
* *
8
LANGKAH pertama yang dilakukan Suto Sinting adalah
mengejar Resi Pakar Pantun yang menuju ke Lembah Hijau. Tokoh tua jago
berpantun itu perlu mengetahui, bahwa dirinya sendiri terancam oleh kematian,
seperti halnya Sumbaruni dan yang lainnya.
Alangkah bodohnya jika ia bersusah payah mengabarkan
bencana itu kepada Sumbaruni, sementara dirinya sendiri menghadapi bencana yang
sama dan mungkin malahan lebih dulu merenggut jiwanya.
Sungguh suatu peristiwa yang amat menyedihkan bagi orang
yang mengetahui siapa sasaran si Malaikat Palsu itu. Payung Serambi tak mau
biarkan Suto Sinting menempuh bahaya sendirian, ia mendampingi Suto Sinting
sambil memasang kewaspadaan demi keselamatan si pendekar tampan itu. Sementara
di pihak Suto Sinting sendiri merasa bangga dan hatinya berbunga kala menyadari
Payung Serambi tetap mendampinginya. Barangkali pengaruh kekuatan gaib pemikat
yang mereka lepaskan masih saling menjerat hati, sehingga keduanya sama-sama
merasa berat jika harus berpisah.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sempat mengguncangkan
bumi dan pepohonan sekitarnya.
Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk cepat-cepat hentikan langkahnya. Payung
Serambi ikut-ikutan hentikan langkah, ia mendengar suara batin Suto Sinting
yang berkata pada diri sendiri, "Ada pertarungan seru di sebelah utara
sana! Hmmm... jangan-jangan di sana Guru sedang bertarung dengan Malaikat Palsu
itu!"
Kata hati yang mampu didengar oleh Payung Serambi itu
segera mendapat jawaban lewat suara tegas perempuan itu.
"Sebaiknya kita tengok saja, daripada kau
menerka-nerka penuh kecemasan!"
"Saran yang sangat bagus bagiku!" ujar
Suto Sinting, kemudian mereka berkelebat ke arah utara.
Di sebuah lembah berhutan renggang, memang terjadi
pertarungan seru. Mula-mula dilakukan oleh dua orang yang saling kerahkan
tenaga untuk tumbangkan lawan. Mereka adalah Dewi Cintani yang memergoki si
Malaikat Palsu sedang menguntit perjalanan Sumbaruni bersama Nyai Kidung Laras
dan Pakis Ratu.
Manusia berselubung kain hitam dari kepala sampai kaki
kecuali bagian mata saja itu tidak menduga kalau akan datang serangan dari arah
belakangnya. Seberkas sinar kuning lurus telah melesat menghantam punggungnya.
Claap...!
Tetapi sebelum sinar kuning itu kenai punggung, Malaikat
Palsu telah balikkan badan karena gerak naluri adanya bahaya datang. Sambil
berbalik badan tangannya berkelebat. Kedatangan sinar kuning lurus itu segera
ditahan dengan telapak tangannya. Zrruub...! Tangan itu cepat-cepat
menggenggam, membuat sinar kuning itu bagai ditampung dalam telapak tangan itu.
Buuusss...! Asap kuning samar-samar keluar dari genggaman
tangan si Malaikat Palsu, pertanda kekuatan sinar kuning itu telah dijinakkan,
tak ada ledakan, tak ada luka, lenyap begitu saja.
Dewi Cintani sempat terperanjat melihat kejadian
itu. Saat ia terperanjat itulah si Malaikat Palsu menyerangnya dengan senjata
rahasia yang bentuk dan ukurannya sama dengan senjata rahasia yang pernah lukai
Suto Sinting itu.
Ziiing ..! "
"Hiaaat...!" Dewi Cintani sentakkan kaki
ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas sambil cabut pedangnya.
Pedang itu berkelebat cepat menangkis sanjata
rahasia tersebut. Triiing...!
Senjata rahasia itu melesat ke arah lain, tak
diketahui apakah menancap pada batang pohon atau jatuh di semak yang ada di
kejauhan sana. Yang jelas, Malaikat Palsu segera lakukan serangan dengan
sentakkan tangan kirinya dalam keadaan seperti melemparkan pisau.
Wuuuurrrsss...!
Dari tangan itu menyembur serbuk putih bagai serpihan
besi mengkilat. Kelembutan serbuk itu menyerupai kelembutan pasir pantai putih.
Serbuk putih itu menyebar ke arah wajah Dewi Cintani. Zrraaak...!
"Aaauh...!" Dewi Cintani terpekik,
wajahnya menjadi merah berbintik-bintik hitam. Rasa panas dan perih menjadi
satu, hingga ia hanya bisa mengerang sambil berusaha meraup wajahnya. Tetapi
serbuk beracun itu kian menyerang kulit dan daging hingga wajah itu menjadi
memborok dalam beberapa kejap saja.
Wajah cantik
itu menjadi hancur dan mengerikan. Sraang...! Samurai di punggung si Malaikat
Palsu dicabutnya. Kemudian samurai itu segera dibabatkan untuk membuntungi
kedua lengan Dewi Cintani.
Wuuusss...! Traaang...!
Tiba-tiba gerakan samurai itu tertahan oleh sebatang
ranting yang tahu-tahu menghadang di depannya.
Ranting itu telah dialiri tenaga dalam, sehingga menyerupai besi baja
yang tak bisa mudah patah walau ditebas samurai setajam mata silet. Justru
benturan samurai dengan ranting sempat memercikkan bunga api yang mengejutkan
si Malaikat Palsu.
Ternyata pada saat yang sangat rawan bagi Dewi Cintani
itulah, Resi Pakar Pantun lewat lembah tersebut dan memergoki pertarungan tak
seimbang, ia mengenali Dewi Cintani sebagai perwira Pulau Sangon, karenanya ia segera
bertindak menyambar ranting kering yang tergeletak di tanah, lalu menghadang
gerakan samurai tersebut.
Begitu
samurai tertahan, Resi Pakar Pantun segera kelebatkan ranting bertenaga dalam
itu ke arah dagu si Malaikat Palsu.
Wuuut...!
Orang berselubung kain hitam itu dongakkan kepala sambil
melengkung ke belakang, sehingga dagunya lolos dari sabetan ranting sang Resi.
Tapi sebelum ia tegak kembali, sang Resi sudah lebih dulu menyabetkan rantingnya
ke arah dada orang tersebut. Wuuut..!
Trrang...! Ranting itu ditahan dengan samurai.
Begitu berhasil menahan sabetan ranting, samurai itu berkelebat dari atas ke
bawah, sasarannya membelah kepala Resi Pakar Pantun.
Wuuut...!
Weeess...! Sang Resi tahu-tahu sudah tidak ada di tempat.
Ternyata ia sudah berada di belakang lawannya dan segera lepaskan pukulan
telapak tangan bercahaya biru membara.
Wuuut...!
Malaikat Palsu balikkan badan dan hantamkan telapak
tangan kirinya, sehingga kedua telapak tangan itu beradu. Plak...!
Blegaaarrr...!
Dua tenaga dalam tinggi beradu melalui pertemuan dua
telapak tangan. Akibatnya ledakan dahsyat terjadi saat itu pula, dan tanah
serta pepohonan pun berguncang bagai dilanda gempa. Sedangkan dua tubuh
tersebut saling terpental ke belakang, masing-masing berjarak lima langkah dari
tempat mereka semula.
Sedangkan gadis perwira Pulau Sangon itu masih
merintih kesakitan sambil berlutut di bawah sebatang pohon rindang. Wajahnya
semakin membusuk dan amat buruk.
Gelegar ledakan itulah yang ditangkap pendengaran Suto
Sinting, sehingga Pendekar Mabuk dan Payung Serambi bergegas hampiri tempat
tersebut. Mereka sedikit terperanjat melihat Resi Pakar Pantun sedang lakukan
pertarungan dengan Malaikat Palsu.
"Cintani...?!" gumam Suto Sinting dengan
mata terbelalak tegang. "Payung Serambi, kau bantu Resi Pakar Pantun, aku
akan tolong si murid Pendeta Kembang Ayu itu!" ujar Suto Sinting yang
segera bergegas temui Dewi Cintani.
Payung Serambi tak bisa tolak perintah itu karena keadaan
tidak memungkinkan untuk berdebat. Maka gadis itu segera lepaskan pukulan tanpa
sinar.
Deeeb...!
Bruuuss...! Malaikat Palsu terjungkal ke depan bagai
mendapat tendangan cukup kuat. Namun ia cepat bersalto dengan menancapkan
samurai di tanah dan gagang samurai dipakai sebagai tumpuan tangannya.
Wuut...! Gerakan saltonya itu begitu lincah dan
cepat, membuat Resi Pakar Pantun yang hendak lepaskan pukulan tenaga dalam itu
terperanjat. Karena tiba-tiba kedua kaki si Malaikat Palsu itu lakukan
tendangan beruntun yang tepat kenai dada sang Resi.
Duhg, duhg, duhg...!
"Aaahg...!" Resi Pakar Pantun terlempar ke
belakang sambil semburkan darah segar dari mulutnya. Dadanya terasa seperti
jebol akibat tendangan beruntun yang tak diduga-duga itu.
Wuuut, jleeeg...! Si Malaikat Palsu telah berdiri
tegak kembali dengan samurai tercabut dari tanah dan kini berada di tangan
kanannya, ia memasang kuda-kuda rendah, samurainya diangkat sebatas telinga,
tangan kirinya melintang ke depan dagu.
"Akulah lawanmu, Keparat!" geram Payung
Serambi sambil melangkah dekati lawannya. Dalam jarak lima langkah ia berhenti
dan mencabut pedangnya. Sraaang...!
Pada waktu itu, Suto Sinting telah berhasil meminumkan
tuak kepada Dewi Cintani. Tetapi ia segera berkelebat menolong Resi Pakar
Pantun yang tampaknya nyaris tak bisa bernapas lagi itu. Sang Resi pun dipaksakan
untuk meneguk tuaknya.
Terdengar suara Payung Serambi menghardik si Malaikat
Palsu, "Buka penutup kepalamu, atau kupaksa dengan pedangku?!"
Malaikat Palsu diam saja, matanya tampak memandang
dengan tajam. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi saat memperhatikan sepasang
mata di balik penutup wajah dari kain hitam itu. Ada kecurigaan yang
disembunyikan Suto Sinting pada saat itu.
Namun ia sengaja diam dulu, memberi kesempatan pada
Payung Serambi untuk selesaikan tugasnya, menghancurkan si biang bencana bagi
kedelapan tokoh yang pernah datang ke Istana Ratu Kidul itu.
"Sebutkan siapa dirimu, atau pedangku akan
merobek mulutmu agar bicara keras-keras?" ancam Payung Serambi. Tetapi
lawannya tak bergeming sedikit pun.
Agaknya sang lawan tidak merasa
gentar mendengar ancaman tersebut. Payung Serambi geram dan merasa ditantang.
Maka dengan gerakan secepat kilat ia menerjang lawannya bersama pedang runcing
ditebaskan ke sana-sini.
Weees...!
Wut, wut, wut, trang...!
Malaikat Palsu pun lakukan lompatan menyambut gerakan
melayang Payung Serambi. Akibatnya mereka beradu kecepatan memainkan pedang di
udara. Hanya sekejap mereka mengadu kecepatan memainkan pedang itu, kemudian
keduanya sudah sama-sama daratkan kaki ke bumi dan saling memunggungi dalam
keadaan bertukar tempat.
Trang, tring, wuus, breeet, breet, crass...!
Keduanya sama-sama diam sesaat. Malaikat Palsu sedikit
menekuk kedua kakinya yang berdiri merapat dengan samurai di samping kanan,
digenggam dengan dua tangan. Sedangkan Payung Serambi juga diam sesaat. Tapi
pinggangnya tampak melelehkan darah.
Pendekar Mabuk terperanjat dan berkata dalam hatinya
dengan cemas,
"Oh, dia terluka?!"
Baru saja Suto Sinting akan bergerak mengobati Payung Serambi, tiba-tiba tangan gadis itu
menangkap lukanya sendiri. Plaaak...! Tangannya diusapkan pada luka, dan
ternyata luka itu lenyap dengan sangat ajaib. Hilang tak berbekas sedikit pun.
Kain yang robek pun kembali rapat seperti sediakala.
Pendekar Mabuk yang melebarkan matanya itu segera memandang
ke arah Malaikat Palsu. Ternyata kain hitam penutup kepala dan wajah itu telah
terbelah menjadi empat bagian. Kain itu terkelupas dengan sendirinya, sehingga
kepala dan wajah si Malaikat Palsu itu terlihat dengan jelas. Kepala itu tetap
utuh, tak satu pun rambut yang ikut terpotong. Ini menandakan jurus pedang yang
digunakan Payung Serambi benar-benar hebat.
Payung Serambi dan Malaikat Palsu sama-sama membalik
badan hingga mereka saling berhadapan bertatap
muka kembali. Tapi mata indah Payung Serambi tampak terbelalak kaget begitu
mengetahui siapa orang yang seiama ini berkerudung kain hitam itu.
"Galih Rembulan...?!" gumam Payung
Serambi, ia terkejut karena mengenal betul wajah di balik pakaian hitam itu,
sedangkan Pendekar Mabuk terkejut karena ternyata si Malaikat Palsu itu seorang
wanita cantik yang mempunyai kemiripan wajah dengan Payung Serambi.
Pendekar Mabuk sempatkan berbisik kepada Payung Serambi,
"Siapa dia?!"
"Galih Rembulan, kakak tiriku yang pernah
menjadi panglima Istana Laut Kidul. Tapi karena ia melakukan suatu kesalahan
yang membuat Nyai Kandita murka, maka ia diusir dari Istana Laut Kidul. Ah,
Suto... minggirlah dulu, ini sudah menyangkut urusan pribadi antara aku dan
dia."
"Agaknya memang harus begitu," ujar Suto
Sinting sambil menyingkir ke arah Resi Pakar Pantu yang mulai sehat kembali,
seperti halnya Dewi Cintani.
"Galih Rembulan, mengapa hal ini kau
lakukan?" ujar Payung Serambi dengan wajah duka. Ia melangkah dekati kakak
tirinya.
"Aku telah terbuang dari wilayah Laut Kidul.
Aku ingin kuasai tanah Jawa. Untuk itu aku harus bunuh orang-orang yang pernah
melihatku sebagai panglima Istana Laut Kidul. Kelak jika aku sudah berkuasa di
tanah Jawa dan menghimpun kekuatan besar, maka akan kubalas sakit hatiku
terhadap Nyai Kandita."
"Galih Rembulan, langkahmu salah. Sadarlah
bahwa kau tak akan mampu tumbangkan Nyai Ratu, siapa pun tak akan mampu!
Hentikan tindakanmu ini, Galih Rembulan. Hentikanlah, kakakku!"
Galih Rembulan yang berparas cantik jelita itu diam
terbungkam. Sepertinya ia sedang dihinggapi kebimbangan yang menghadirkan
berbagai pertimbangan. Sementara itu, Pendekar Mabuk sempat berbisik kepada
Resi Pakar Pantun.
"Cantik sekali dia. Bagaimana menurutmu, Eyang
Resi?"
"Setahuku, dia memang cantik tapi ganas
terhadap lelaki. Dulu dia dikenal sebagai panglima yang binal dan jalang."
"Kalau begitu, kurasa dia itulah orangnya yang
menelanjangiku sewaktu aku tidur."
"Bisa jadi memang dia, karena dia memang gemar
melihat lelaki tanpa busana."
"Tentunya hanya lelaki tampan sepertiku, bukan?"
"Ya, kalau lelaki sepertiku, dia akan suka
melihatnya dalam keadaan tidak berkulit lagi."
Pendekar Mabuk ingin tertawa, tapi tawanya segera hilang
karena melihat Galih Rembulan membuang samurainya dengan wajah lesu. Perempuan
cantik seperti berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah dekati Payung
Serambi dengan tangan terbentang tanda menyerah.
"Tangkaplah aku daripada aku harus melawan adik
tiriku sendiri, Payung Serambi."
Payung Serambi menjadi semakin iba dan ragu. Ia diam
saja saat kakak tirinya mendekati dengan tangan terbuka. Tetapi di luar dugaan,
ketika mereka berhadapan dalam jarak kurang dari satu langkah, tiba-tiba dari
sarung tangan yang dikenakan Galih Rembulan keluar beberapa jarum beracun.
Craak, craak
..! Jarum-jarum itu muncul di masing-masing telapak tangan, jumlahnya sekitar
dua puluh jarum untuk tiap telapak tangan. Payung Serambi terperanjat tegang.
Belum habis rasa kagetnya Payung Serambi, tiba-tiba
Galih Rembulan sentakkan kedua tangannya ke depan, jarum-jarum di telapak
tangannya menancap di dada montok Payung Serambi. Kedua tangan itu pun menyentak
ke samping kanan-kiri. Breeet...!
"Aaahg...!" Payung Serambi memekik keras.
Dadanya robek seketika. Pedangnya sempat terpental dan
jatuh di depan Suto Sinting. Galih Rembulan membabi-buta mengoyak habis tubuh
dan wajah Payung Serambi dengan jarum-jarum beracun itu.
Bret, bret, bret, bret...!
Payung Serambi memekik panjang sambil melangkah mundur
dengan limbung, ia masih dicecar serangan Galih Rembulan yang merobek tiap
kulit dan daging adik tirinya itu.
Pendekar Mabuk, Resi Pakar Pantun, Dewi Cintani sama-sama
terkesima tegang melihat tindakan ganas yang di luar dugaan itu. Kadal Ginting
yang dari tadi sudah ada di balik pohon juga tercengang tegang dengan lutut
gemetar. Galih Rembulan bagai tak pedulikan lagi jeritan Payung Serambi yang
telah bermandi darah dan terpojok pada sebatang pohon.
"Aaaa...!!"
Pendekar Mabuk cepat bertindak di luar kesadarannya.
Kakinya menendang gagang pedang yang tergeletak di tanah depannya. Duus...!
Pedang pun melayang cepat karena tendangan itu bertenaga dalam.
Weeet...!
Jrrrub...!
"Aaahg...!" Galih Rembulan mengejang
dengan keluarkan suara pekik tertahan. Pedang runcing itu menancap tembus di
leher Galih Rembulan dari arah samping kiri tembus ke kanan.
Zlaaap...! Brrrus...!
Pendekar Mabuk menerjang Galih Rembulan hingga tubuh
yang telah tertusuk pedang lehernya itu terpental sejauh lima langkah, kemudian
roboh tak berkutik selamanya.
"Oouh...!" Payung Serambi merintih dan
dalam keadaan tubuhnya hancur tercabik-cabik.
Dewi Cintani berseru sambil dekati Payung Serambi,
"Suto... lekas selamatkan dia dengan
tuakmu!"
Dewi Cintani yang wajahnya sudah ayu kembali sejak
meneguk tuaknya Suto itu tampak lega begitu tuak tersebut dituang ke mulut
Payung Serambi. Beberapa saat kemudian luka cabikan yang beracun itu menjadi
lenyap, Payung Serambi lolos dari maut.
Resi Pakar Pantun hembuskan napas lega lalu berkata
kepada mereka, "Jadi aku pun sebenarnya telah lolos dari dendam si
panglima binal itu?"
"Benar, Turangga," jawab Payung Serambi
dengan menyebutkan nama asli Resi Pakar Pantun. "Galih Rembulan tak ingin
kau dan yang lainnya tahu bahwa ia bekas panglima Istana Laut Kidul yang jalang
dan binal. Tapi... sekarang segaianya sudah berakhir. Kakak tiriku itu telah
menerima hukuman yang setimpal dari Pendekar Mabuk. Dengan begitu, lima nyawa
yang seharusnya melayang menjadi terselamatkan."
Payung Serambi menatap Suto Sinting dengan senyum
memikat hati.
"Dan kaulah penyelamat kelima nyawa itu,
Suto."
Pendekar Mabuk berlagak acuh tak acuh, namun segera
berkata penuh sindiran.
"Ya, nyawa mereka memang selamat, tapi
bagaimana dengan pakaianku? Apakah masih selamat juga? Lihat, kain ini menjadi
robek semakin panjang gara-gara kupakai untuk menendang pedangmu tadi."
Dewi Cintani dan Payung Serambi cekikikan sambil buang
muka, karena mereka segera menyadari bahwa kain yang dikenakan Suto Sinting itu
telah robek panjang, dari bawah sampai ke perut, membuat sesuatu yang
tersembuyi itu dapat terlihat sewaktu-waktu, terutama jika belahan kain yang
robek tersingkap oleh hembusan angin.
"Suto," ujar Payung Serambi, "ikutlah
aku, kita cari pakaianmu di tempatmu tertidur waktu itu. Kurasa Galih Rembulan
yang menelanjangimu dan menyembunyikan pakaianmu di lapisan alam gaib; antara
alam nyata dan alam tak nyata. Aku bisa menemukannya!"
Pendekar Mabuk pun akhirnya pergi bersama Payung Serambi,
dan ternyata apa yang dikatakan gadis utusan Istana Laut Kidul itu memang
benar; pakaian itu disembunyikan di lapisan gaib, antara alam nyata dan alam
tak nyata.
"Kurasa Galih Rembulan sengaja membuatmu tanpa
busana dengan cara gaib untuk menghambat gerakanmu agar tak bisa ikut campur
dalam urusannya itu," kata Payung Serambi sambil menunggu Suto Sinting
ganti pakaian di balik semak. Sesekali matanya melirik mencoba mengintip dengan
hati berdebar-debar karena masih ada pengaruh gaib pemikat dari jurus 'Senyuman
iblis' itu.
SELESAI
Segera menyusul:
PEMBURU DARAH SATRIA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon