1
PENGEJARAN Pendekar Mabuk terhadap lawan utamanya; Siluman Tujuh Nyawa,
terhenti di Pantai Karang Hantu.
Dikatakan 'Karang Hantu' karena pantai itu mempunyai beberapa gugusan batu
karang yang tinggi-tinggi dan berbentuk menyerupai sosok hantu beraneka bentuk.
Ada yang mirip hantu merentangkan tangannya, ada yang mirip hantu hendak
terbang, ada puia yang mirip hantu sedang duduk santai.
Kalau saja tokoh sesat yang paling terkutuk itu tidak melarikan diri,
maka nama Siluman Tujuh Nyawa sudah tidak akan ada lagi di permukaan bumi ini.
Pendekar Mabuk hampir saja berhasil tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa dengan jurus
'Manggala'-nya. Tapi sayang, tokoh terkutuk itu mampu hindari jurus maut itu
dan segera melarikan diri, masuk ke alam gaib. Pengejaran Suto Sinting si
Pendekar Mabuk itu pun dilakukan hingga ke alam gaib, namun dari alam tersebut
ia melihat sesuatu yang terjadi di Pantai Karang Hantu. Maka pengejaran itu pun
akhirnya tertunda entah sampai kapan lagi akan dilanjutkan.
"Sampai kapan pun dia tetap akan menjadi buruanku. Cepat atau
lambat, kepalamu harus kupenggal, Durmala Sanca! Karena kepalamu itulah
maskawin yang harus kuserahkan untuk meminang calon istriku, Dyah Sariningrum,
pujaan hati!" ujar Suto Sinting dalam hati, sebagai janji sang Pendekar
Mabuk yang tetap akan ditepati pada suatu saat nanti.
Pemuda berambut lemas lurus
sepundak tanpa ikat kepala itu sengaja diam di atas gugusan karang berbentuk
seperti hantu sedang merangkak. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan
dengan celana putih kusam dan sabuk merah itu menyempatkan diri untuk menenggak
tuaknya beberapa teguk. Tuak itu ada di dalam bumbung bambu yang menjadi
senjata sakti baginya, karena itu ke mana saja bambu bumbung tuak selalu
dibawa-bawa dan menjadi ciri yang dikenali beberapa tokoh di rimba persilatan.
Mata bening yang sering menawan hati setiap wanita itu memandang lurus
ke arah pertarungan di Pantai Karang Hantu. Pertarungan itu dilakukan oleh
seorang wanita cantik yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berkutang
hijau muda dengan celana sebetis warna hijau muda juga, dilapisi kain pembalut
pinggul warna merah tua. Gadis berdada montok menggoda hati lelaki itu dengan
gesitnya menghajar seorang nenek tua disanggul yang mengenakan jubah abu-abu.
Nenek berambut putih disanggul acak-acakan itu telah dibuat terjungkal
dan berguling-guling oleh pukulan tenaga dalam yang dilepaskan dari tangan si
gadis berambut pendek sepundak dengan bagian depan diponi rata.
Melihat sang nenek yang sudah babak belur hingga keluarkan darah dari
hidung dan mulutnya, Pendekar Mabuk menjadi iba hati dan tak tega
membiarkannya. Maka ketika gadis itu ingin menghantamkan pukulan tenaga
dalamnya yang telah membuat telapak tangannya menjadi merah membara, Pendekar
Mabuk cepat lakukan tindakan penyelamatan terhadap nenek bungkuk yang
diperkirakan sudah berusia delapan puluh tahun lebih itu.
Dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mempunyai kecepatan gerak
melebihi anak panah itu, Pendekar Mabuk menyambar sang nenek bagai elang menyambar
anak ayam. Wuuut...! Weeess...!
Dalam sekejap sang nenek sudah berpindah tempat, tujuh tombak di
belakang gadis, berkutang hijau itu. Pendekar Mabuk berdiri di samping sang
nenek yang terpuruk bersimpuh dengan napas tersengal-sengal menyedihkan. Sang
gadis segera kebingungan mencari si nenek yang disangka menghilang ditelan
bumi. Pukulan tenaga dalam yang membuat tangannya memancarkan warna merah
membara itu diurungkan. Matanya mencari ke sana-sini sampai akhirnya menemukan
di mana musuhnya berada.
Gadis itu tampak terkesiap memandang kemunculan pemuda tampan bertubuh kekar,
tegap, dan gagah.
"Tindakanmu keterlaluan, Nona. Bukan aku ingin mencampuri urusanmu
dengan nenek itu, tapi aku hanya sekadar menyelamatkan pihak yang lemah,"
ujar Pendekar Mabuk mengajukan alasan lebih dulu sebelum menerima tuduhan dari
sang gadis.
Sambungnya lagi, "Kulihat, nenek ini tidak mempunyai ilmu yang
seimbang untuk melawanmu, Nona. Kuharap kau mau hentikan murkamu dan membebaskan
nenek ini!"
Gadis cantik berhidung bangir itu sunggingkan senyum dengan pandangan
mata berkesan nakal. Senyum tipisnya itu sempat membuat hati Pendekar Mabuk
berdesir. Dari bibirnya yang tampak legit dan pulen itu terdengar suara datar
mirip orang menggumam.
"Pancinganku mengenai sasaran!"
"Apa maksudmu berkata demikian, Nona?!"
"Ternyata benar apa kata orang. Dia sangat tampan dan
menggairahkan!"
"Maksudmu, nenek-ini sangat menggairahkan?!" tanya Suto
Sinting dengan bingung.
Tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan meletus, menyemburkan segumpal asap
tebal warna putih bergulung-gulung. Buusss...! Beberapa kejap berikutnya, asap
itu lenyap tersapu angin pantai dan tubuh gadis itu pun sirna tanpa bekas dan
tanpa sisa bayangan sedikit pun. Pendekar Mabuk hanya tersentak kaget tanpa
suara, namun wajahnya kelihatan terperangah tegang memandangi lenyapnya si
gadis cantik bertubuh sekal menggemaskan tadi.
"Setan cantik dari mana dia itu?" gumam hati Pendekar Mabuk.
Si murid sinting Gila Tuak itu akhirnya lepaskan diri dari rasa
kagumnya, ia segera perhatikan si nenek yang makin lama badannya semakin
melengkung ke depan dengan lemas, akhirnya keningnya membentur tanah bagai
orang bersujud. Nenek tua itu keluarkan suara erangan kecil sebagai tanda bahwa
ia sangat menderita sakit pada bagian tubuhnya.
"Nek, minumlah tuakku ini untuk sembuhkan luka-lukamu itu! Ayo,
minumlah walau hanya seteguk saja," bujuk Suto Sinting sambil membangunkan
nenek berjubah abu-abu itu.
Dengan bantuan Suto Sinting, tuak pun tertuang ke mulut sang nenek.
Beberapa teguk tuak ditelannya. Sisanya disemburkan hingga mengenai wajah
tampan si Pendekar Mabuk. Bwweerrs...!
"Sial! Kenapa kau semburkan ke wajahku?!" Suto Sinting agak
menyentak dengan bergerak mundur, ia segera mengusap wajah dengan baju tanpa
lengannya.
Sang nenek terkekeh-kekeh melihat Suto Sinting basah wajahnya.
"Jangan-jangan yang kutolong ini nenek gila?" piker Pendekar
Mabuk sambil mencoba mengamat-amati nenek bungkuk itu.
"Tuakmu bikin tenggorokanku gatal dan hatiku jadi tergeletik
geli," ucap sang nenek dengan suara tuanya.
"Tapi... tapi tuak ini mempunyai khasiat menyembuhkan luka dalam
waktu sangat singkat, Nek."
"Mungkin memang begitu, Anak Muda. Tapi tanpa tuakmu pun aku sudah
bisa sembuhkan lukaku menggunakan hawa saktiku yang tidak kalah hebat dengan
tuakmu, Nak."
Nenek itu telah berdiri walau tetap membungkuk. Suto Sinting merasa
dongkol karena tuak saktinya diremehkan. Tapi kedongkolan itu hanya disimpan dalam
hati dan ia bersikap tenang kembali.
"Siapa kau sebenarnya, Nek? Dan siapa lawanmu tadi?"
"Lawanku tadi adalah Awan Setangkai. Kau tak akan bisa kalahkan
ilmunya Awan Setangkai, bahkan Pendekar Mabuk pun tak akan mampu
melawannya."
"Nek, aku inilah yang bernama Pendekar Mabuk!"
"Ah, bohong! Pendekar Mabuk kok jalannya tidak sempoyongan?!
Hmmm... ngibul!" nenek itu mencibir menjengkelkan. Suto Sinting tarik
napas dalam-dalam.
"Pendekar Mabuk hanya sebuah gelar yang diberikan oleh guruku.
Jurus-jurusku seperti orang mabuk, tapi aku tak pernah mabuk walau meminum
segentong tuak ataupun arak."
"Omong kosong! Pendekar Mabuk itu berjiwa mesra. Sedangkan kau
tidak berjiwa mesra. Buktinya kau tak mau memelukku." Kata-kata itu cukup
menggelikan hati Suto Sinting.
Pendekar tampan itu pun sunggingkan senyum sambil berlagak buang muka.
Hatinya malu dikatakan sebagai orang berjiwa mesra. Tapi akhirnya ia pun
berkata dengan lembut kepada si nenek, seakan menunjukkan kemesraannya.
"Kalau kau masih muda, mungkin kau akan kupeluk dan kucium, Nek.
Tapi karena kau sudah tua, aku takut terkena kutuk jika memeluk dan menciummu.
Tapi sejujurnya kukatakan, akulah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting,
murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Sang nenek memandang dengan sikap kurang percaya. Suto Sinting masih
diam, berdiri di depan nenek itu sambil mengumbar senyum tipis yang memikat
hati setiap perempuan muda. Nenek itu hanya berkerut dahi, kemudian menyuruh
Pendekar Mabuk berlutut di depannya.
"Coba kemari, kuperiksa ketampananmu. Sebab menurut kabar dari
orang-orang yang kudengar, Pendekar Mabuk itu berwajah tampan dan
menawan."
Sambil berlutut di depan sang nenek Suto Sinting berkata, "Apakah
wajahku kurang tampan menurutmu, Nek?"
"Mana kutahu, mataku sudah rabun. Jadi sulit membedakan mana wajah
tampan dan mana wajah buruk. Hmmm...." Nenek itu manggut-manggut saat
memeriksa wajah Pendekar Mabuk. Tangannya yang kurus dan berkulit keriput itu
meraba-raba wajah Suto Sinting. Pendekar tampan itu berkata dalam sebuah gumam.
"Baru sekarang selama jadi pendekar wajahku diobok-obok oleh
perempuan seburuk ini...."
Rupanya si nenek tidak perhatikan ucapan yang menggumam itu. Atau
mungkin juga ia tidak mendengar gumaman lirih tersebut, sehingga kedua
tangannya masih tetap sibuk meraba-raba kepala dan wajah Suto Sinting.
"Apakah kau masih belum percaya kalau wajahku ini tampan?"
tanya Suto Sinting sengaja bernada konyol.
Sang nenek diam saja. Tetapi secara tiba-tiba kesepuluh jari nenek
bungkuk itu keluarkan kuku runcing berwarna hitam. Zrraak...! Kesepuluh kuku
runcing itu dengan cepat ditancapkan di kedua pelipis Suto Sinting. Jrrraab...!
"Aaaah...!" Suto Sinting memekik kesakitan. Bumbung tuak yang
tadi ditentengnya kini dilepas. Kedua tangannya digunakan untuk melepaskan cengkeraman
tangan si nenek bungkuk yang wajahnya berubah menjadi beringas dan liar itu.
Matanya mendelik dengan mulut meringis keluarkan geram memanjang.
"Gggrrmmrn...!!"
"Aaahhg...! Aaahhg...!"
Suto Sinting merasakan kuku-kuku yang menancap di pelipisnya itu makin
bergerak ke dalam seakan tumbuh semakin panjang lagi. Wajah tampan itu mulai
berlumur darah. Urat-urat di lengannya mengeras karena berusaha mencabut kedua
tangan nenek bungkuk itu. Tapi agaknya tenaga Suto Sinting cepat menjadi lemah,
sehingga ia hanya bisa mengerang-erang sambil memegangi kedua tangan si nenek.
Pandangan mata Suto Sinting mulai buram. Sekujur tubuhnya terasa panas.
Tenaganya semakin terasa berkurang, ia mulai menduga ada racun yang telah menyebar
di dalam kepalanya melalui kuku-kuku yang mencengkeramnya itu.
Wuuuut...! Brrruss...!
Sekelebat bayangan melesat dan menerjang nenek berjubah abu-abu.
Terjangan itu bertenaga besar, sehingga sang nenek terpental dan jatuh
bergulingguling di atas pasir pantai.
"Kampret busuk...!!" maki sang nenek dengan geram kemarahan
lebih membesar lagi.
Terjangan kuat itu ternyata datang dari seorang pemuda berwajah tampan
juga, mengenakan celana ungu dan baju tanpa lengan warna ungu pula.
Pemuda tampan itu berusia sekitar dua puluh tahun, tampak lebih muda
dari Pendekar Mabuk. Namun ia juga berbadan tegap dan kekar. Rambutnya lurus
dikuncir satu. Ia mengenakan gelang kulit macan loreng di kedua tangannya.
Pedang sarung perak terselip di pinggang.
Bagian belakang telapak tangannya terdapat tato gambar seekor burung
mengepakkan sayapnya. Pemuda itulah yang bernama Elang Samudera alias
Adhiyaksa, adik dari Dewi Cintani yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari
keganasan Selir Dewani, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Dendam Selir Malam").
Pendekar Mabuk belum menyadari siapa orang yang telah berhasil
melemparkan tubuh nenek keji itu. Ia sibuk kelojotan sambil pegangi luka lubang
di pelipis kanan-klrinya. Agaknya racun yang ada di sebuah kuku runcing si
nenek bungkuk tadi semakin mengganas di dalam tubuh Suto Sinting, menyebar
melalui darah dan menyerang bagian kepala, terutama bagian otak.
Akibatnya ia tak mampu berpikir lagi, bahkan tak mempunyai gagasan untuk mengambil bumbung
tuak dan menenggak tuak saktinya, ia hanya berguling-guling di pasir dengan
mengerang kesakitan.
Sementara itu, Elang Samudera menjadi berang melihat sahabatnya dilukai
sedemikian rupa. Nenek bungkuk itu segera dihantam dengan pukulan tenaga dalam
dari jarak lima langkah. Claaap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak
tangan kiri Elang Samudera.
Sasarannya jelas ke arah dada si nenek bungkuk. Tetapi rupanya nenek
itu tak kalah tangkas, ia segera kibaskan tangannya dan dari kelima jari
menyebarkan sinar merah yang melebar. Sinar merah itu menjadi penangkis datangnya
sinar biru.
Blaaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut.
Gelombang ledakannya mempunyai daya hentak cukup besar, membuat beberapa
gugusan batu karang berguncang, bahkan ada yang patah seketika, ombak pantai
menyembur naik dan cukup tinggi.
Adhiyaksa sendiri terpental bagai dilemparkan oleh sebuah tenaga yang
sangat kuat. Tubuhnya jatuh terbanting nyaris mengenai gugusan batu karang.
Sedangkan nenek berjubah abu-abu itu hanya terlempar sekitar dua
langkah. Tubuhnya segera berdiri tegak, dan tiba-tiba tubuh tua itu bagaikan
meletus keluarkan asap hijau. Buuusss...!
Elang Samudera memandang samar-samar dalam keadaan tengkurap. Asap
hijau itu sirna dan sosok penampilan nenek bungkuk itu berubah menjadi seorang
gadis cantik berkutang hijau, bercelana sebetis warna hijau pula dengan kain
penutup pinggul warna merah.
Gadis itu berdada montok, berkulit kuning, berambut pendek diponi
depan.
"Awan Setangkai...?!" gumam hati Eiang Samudera yang rupanya
sejak tadi memperhatikan pertarungan si nenek dengan Awan Setangkai sampai
datangnya Suto Sinting, ia baru muncul setelah melihat Suto Sinting dalam
keadaan bahaya.
"Kurasa tugasku sudah cukup! Pendekar Mabuk sudah berhasil
kulumpuhkan! Hi, hi, hi...!"
Blaaas...! Gadis cantik itu pun pergi begitu saja.
Elang Samudera tak bisa mengejarnya karena tulang-tulangnya terasa
remuk.
*
* *
2
SEBUAH pondok di lereng bukit menjadi tempat persinggahan Elang
Samudera. Ia membawa Suto Sinting ke pondok itu, karena di situlah tempat
tinggal Ki Palang Renggo dan istrinya; Nyai Sedap Malam.
Ki Palang Renggo adalah sahabat dari gurunya Elang Samudera. Lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun yang gemar mengenakan jubah biru dengan baju dalam
putih itu dulu pernah diselamatkan nyawanya oleh Pendeta Darah Api, sehingga
hubungan suami-istri itu menjadi sangat akrab terhadap Pendeta Darah Api dan
murid tunggalnya.
Ki Palang Renggo meski berwajah jenaka, namun menyimpan kharisma
tersendiri dalam setiap penampilannya, ia berambut abu-abu sepanjang lewat
pundak, mengenakan ikat kepala kain biru tua, berjenggot dan berkumis abu-abu
tipis. Lelaki kurus dengan tinggi tubuh sedang itu mempunyai seorang istri
cantik yang dikenal dengan nama Nyai Sedap Malam.
Jika Pendekar Mabuk tidak dalam keadaan terkena
racun dan terganggu ingatannya, maka ia akan tertawa geli melihat Ki
Palang Renggo yang berusia enam puluh tahun itu mempunyai istri yang usianya
masih sekitar dua puluh tujuh tahun. Nyai Sedap Malam bukan saja berwajah
cantik dengan tahi lalat kecil di sudut dagu kirinya, tapi juga bertubuh sekal
dan berdada montok, ia gemar mengenakan jubah kuning garis-garis merah dengan
pinjung dan celana sebetis warna merah pula.
Sepasang suami-istri itu mempunyai ilmu yang sejajar dan di kalangan
para tokoh rimba persilatan mereka dikenal sebagai ahli racun. Sebenarnya
tujuan Elang Samudera bukan ke pondoknya Ki Palang Renggo, melainkan menemui
seorang sahabatnya yang tinggal tak jauh dari Pantai Hantu. Tetapi demi menyelamatkan
jiwa Pendekar Mabuk, keperluan tersebut ditunda entah untuk beberapa saat.
"Menurutku," ujar Ki Palang Renggo,"... racun yang
mengenai Pendekar Mabuk ini adalah racun 'Bayi Panggang', selain melumpuhkan
semua urat juga melumpuhkan daya kerja otak manusia. Dan racun seperti ini
hanya dimiliki oleh orang-orang dari Selat Bantai."
"Jangan ngomong semba'angan, Renggo!" tukas istrinya yang
bertampang cantik tapi judes. Sambungnya lagi, "Orang-orang Pulau Koyang
dan orang-orang Pegunungan Tibet juga mempunyai racun 'Bayi Panggang', hanya
saja namanya berbeda.
Orang-orang Pegunungan Tibet menamakan racun itu adalah racun 'Pucuk Pusar', karena penyembuhannya hanya bias
diiakukan dengan menyalurkan hawa murni melalui pusar si penderita. Sedangkan
orang-orang Pulau Koyang menamakan racun itu racun 'Sawan Bayi', sebab bisa
mengubah otak manusia menjadi seperti bayi, artinya tidak bisa berbuat
apa-apa."
"Jika begitu, sebaiknya kita lakukan penyembuhan melalui pusar si
Pendekar Mabuk ini. Tapi...," Ki Palang Renggo termenung sebentar. Elang
Samudera mengerutkan dahi dan ajukan tanya dengan nada heran.
"Tapi kenapa, Ki?"
"Seingatku... murid si Gila Tuak ini tidak punya pusar."
"Menurut cerita orang-orang memang begitu," timpal sang
istri. Ki Palang Renggo menengok ke arah istrinya dan berkata,
"Bagaimana jika meminjam pusarmu saja, Sayang?"
"Jaga bicaramu, Renggo!" sentak Nyai Sedap Malam dengan mata
melotot. Sang suami hanya tertawa terkekeh dan Elang Samudera sembunyikan
senyum geli.
Agaknya Nyai Sedap Malam tak pernah punya rasa takut kepada suaminya,
sehingga dalam bersikap pun ia tampak seenaknya saja, seperti bersikap di depan
teman sendiri. Namun walaupun Nyai Sedap Malam lebih galak dari suaminya, ia
toh tetap saja ditaklukkan oleh sang suami. Buktinya si perempuan cantik itu
bisa menjadi istri Ki Palang Renggo dan punya rasa cemburu cukup besar.
"Setahuku," kata Ki Palang Renggo, "... hanya ada satu
cara untuk menawarkan kekuatan racun 'Bayi Panggang' ini, yaitu melalui jalan
pusar. Tapi agaknya kali ini penyembuhan tersebut tidak bisa dilakukan begitu
saja, karena anak muda ini tidak mempunyai pusar. Jadi aku tak tahu bagaimana
harus bertindak menyelamatkan jiwa si murid sintingnya Gila Tuak ini?
Padahal Gila Tuak adalah sahabatku juga...."
"Dan aku kenal baik dengan si Bidadari Jalang, bibi gurunya anak
muda ini!" sahut Nyai Sedap Malam.
"Rasa-rasanya tak enak hati jika kita tidak bisa tolong jiwa anak
muda ini, Sayang."
Setelah merenung beberapa saat, Nyai Sedap Malam segera berkata bagai
menemukan gagasan baru yang dapat diandalkan.
"Mengapa kita tidak coba menuangkan tuak ke mulut si Suto ini?
Bukankah tuak di dalam bumbung sakti itu adalah tuak penyembuh segala macam luka
dan penyakit?"
Elang Samudera memandang ke arah bumbung tuak yang memang dibawa serta
ketika ia memanggul tubuh Pendekar Mabuk dari Pantai Hantu itu. Elang Samudera
pun segera berkata,
"Kurasa itu gagasan yang sangat bagus, Nyai. Sebaiknya kita coba
sekarang saja!"
"Nanti dulu!" cegah Ki Palang Renggo. "Sebaiknya kucoba
dulu, apakah tuak ini masih bisa diminum atau sudah basi."
"Sudah, sudah!" sergah Nyai Sedap Malam, merampas bumbung
tuak yang sudah di tangan suaminya. "Kau sudah berjanji tak akan minum
tuak atau arak lagi jika aku mau menjadi istrimu, Renggo! Mengapa sekarang kau
ingin meminum tuak ini?! Mau ingkar janji, ya? Mau berlagak lupa janjimu,
hmm...?!"
Ki Palang Renggo hanya cengar-cengir dan membiarkan bumbung tuak
direbut istrinya.
"Aku sekadar mau mencicipi saja kok. Tidak ingin ingkar
janji," ujarnya bernada tersipu.
"Tidak! Nanti kau mabuk lagi!" gertak sang istri.
"Ya, sudah kalau tidak kau izinkan, Nyai," kata Ki Palang
Renggo dengan sikap mengalah dan sabar, namun tetap cengar-cengir sambil
melirik Elang Samudera.
Suto Sinting masih dibaringkan di atas balai-balai bambu beralaskan
tikar pandan. Tubuhnya terkulai lemas bagai tanpa daya sedikit pun. Tapi
matanya masih bisa berkedip-kedip pertanda ia masih bernyawa. Hanya saja luka
tusukan kesepuluh kuku runcing yang kenai kepalanya itu masih mengeluarkan
darah walau hanya merembas, seperti gentong retak terisi air.
Suto mendengar semua kata-kata mereka, tapi ia tak bisa menimpali
sedikit pun. Ia benar-benar seperti bayi yang baru delapan hari. Nyai Sedap
Malam segera menuangkan tuak ke mulut Pendekar Mabuk. Tetapi mulut itu tidak
bisa terbuka lebar, akibatnya tuak tumpah ke mana-mana.
Mau tak mau Nyai Sedap Maiam meminumkan tuak itu menggunakan sendok
dari daun pisang. Dengan pelan-pelan Nyai Sedap Malam menyuapi Suto Sinting
hingga tuak pun tertelan sedikit demi sedikit.
Ki Palang Renggo berbisik, "Kalau melihat dia begitu, aku suka
merasa iri. Sebab sampai setua ini aku belum pernah disuapi olehnya seperti
itu. Kadang aku heran, Elang... aku ini suaminya atau mertuanya?"
"Kurasa Ki Palang Renggo pantas menjadi suami merangkap
mertua!" Lalu, mereka berdua cekikikan.
Nyai Sedap Malam memandang kesal, mendengus dengan wajah cemberut. Sementara
mereka cekikikan, di luar rumah ada dua lelaki berbadan gemuk mendekati pondok
tersebut.
Kedua orang berbadan gemuk itu sama-sama berwajah sangar. Salah satu
dari mereka mengenakan pakaian serba merah, dan yang satu lagi mengenakan
pakaian serba hitam. Rupanya ia dua saudara kembar yang mempunyai wajah serupa.
Brewokan, rambut botak depan, mata lebar berkesan ganas, dan sama-sama bersenjata
pedang lebar.
Di tepian pedang itu terdapat gelang-gelang besi sebesar tiga biji.
Gagang pedang tersebut mempunyai hiasan di ujungnya berupa ronce-ronce benang
merah, Kedua pedang itu sama-sama berada dalam genggaman tangan masing-masing.
"Kurasa inilah gubuk si Palang Renggo!" ujar si baju hitam
dengan suara menggeram besar
"Kalau begitu tunggu apa lagi! Robohkan saja gubuk itu!" si
baju merah tampak tak sabar. Pandangan matanya kelihatan semakin nanar dan
pedangnya mulai siap ditebaskan ke segala arah. Ketika ia hendak melangkah
maju, saudara kembarnya yang berpakaian serba hitam itu mencekal pundaknya
hingga langkah pun tertahan di tempat.
"Tunggu dulu, Mayat Bagus! Selidiki dulu keadaan pondok itu.
Jangan-jangan si Palang Renggo memasang jebakan di sekeliling rumahnya
ini!"
"Ah, tak mungkin! Palang Renggo tak secerdas itu! Percayalah,
sekarang adalah saat terbaik untuk merajang habis tubuh si Palang Renggo itu,
Setan Sewu!"
"Kau boleh sepelekan otak si Palang Renggo, tapi ingat... dia
punya istri yang berotak cerdas! Mungkin saja si Sedap Malam, istrinya itu,
memasang jebakan maut di sekeliling rumahnya ini! Sebaiknya kita panggil saja
agar mereka keluar!"
Di dalam pondok kayu jati itu, mereka sedang perhatikan perubahan pada
luka di kepala Pendekar Mabuk. Luka tersebut bergerak-gerak dan keluarkan asap
kebiru-biruan. Semakin lama luka itu tampak merapat dengan sendirinya, karena
beberapa teguk tuak telah ditelan Suto Sinting.
Wajah Ki Palang Renggo dan Elang Samudera tampak ceria. Tapi Nyai Sedap
Malam tetap tanpa senyum dan kelihatan tenang-tenang saja. Matanya memandang
perubahan luka yang menjadi rapat dalam waktu singkat dengan hati menggumam kagum.
"Sakti sekali kekuatan di dalam tuaknya itu. Pantas jika sebagian
orang menjulukinya si Tabib Darah Tuak."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan Mayat Bagus yang lantang dan
bernada murka itu.
"Palang Renggo! Keluar kau! Kami datang untuk bikin perhitungan
denganmu! Keluar kau, Palang Renggo!"
Elang Samudera memandang Ki Palang Renggo dengan wajah tegang. Suaranya
terdengar bergetar saat ia ajukan tanya, "Siapa yang berseru di luar itu,
Ki?"
Nyai Sedap Malam yang menjawab, "Si Kembar dari Teluk Pare!"
"Siapa itu si Kembar dari Teluk Pare? Aku baru kali ini mendengar
namanya, Nyai."
"Dia musuhku!" sahut Ki Palang Renggo setelah menarik napas
panjang-panjang. Wajahnya tampak beku dan pandangan matanya memancarkan
permusuhan yang terpendam.
"Biar kutemui saja mereka!" ujar Nyai Sedap Malam.
"Jangan! Mereka berurusan denganku dan...," kata-kata Ki
Palang Renggo terhenti karena istrinya cepat-cepat melesat keluar rumah.
Weeess..! Ki Palang Renggo justru kelihatan semakin gusar. Maka ia pun segera
bergegas keluar menyusul istrinya dengan perasaan cemas.
Dua wajah brewok undurkan diri selangkah melihat kemunculan Nyai Sedap
Malam. Keduanya sama-sama mulai angkat senjata dengan mata memancarkan dendam
dan kebuasan. Nyai Sedap Malam hanya diam di tempat dalam jarak lima langkah
dari kedua lawannya. Mata perempuan cantik itu pun tak kalah tajam dalam
menatap dua tamunya.
Ki Palang Renggo segera tampil mendampingi istrinya dengan wajah
dingin, seakan tak berperasaan apa pun. Ia tampak tenang sekali menghadapi kegarangan
dua lawannya yang kemunculannya sudah diperkirakan sebelumnya.
"Bagus! Kalian memang lebih baik muncul berdua untuk menyambut
kematian bersama," ucap si Mayat Bagus mengawali permusuhan hari itu. Ki
Palang Renggo hanya sunggingkan senyum sinis, namun sebelum ia perdengarkan
suaranya, sang istri lebih dulu bicara ketus kepada Mayat Bagus dan si Setan
Sewu,
"Apa yang kalian kehendaki dari kami, Iblis Kembar?!"
"Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa!" geram si Setan
Sewu. Sementara itu si Mayat Bagus menimpalinya,
"Kami ingin merenggut nyawa suamimu itu yang telah membuat
perguruan kami hancur dan kehilangan nyawa beberapa anggota kami! Jika kau
ingin ikut ke neraka bersama arwah suamimu, kami siap mengirimkanmu sekarang
juga. Perempuan Ganjen!"
Ki Palang Renggo segera berkata, "Sudah selayaknya perguruan sesat
kalian itu hancur, bahkan bila perlu menjadi lebur bagaikan debu. Jika kalian datang
bermaksud untuk menebus kehancuran perguruan itu, maka yang akan terjadi adalah
kebalikannya. Kalian akan kehilangan nyawa dan aku tak akan menyisakan secuil
pun nyawa kalian!"
"Jahanam kau! Heeeeaah...!"
Setan Sewu lakukan lompatan cepat menerjang Ki Palang Renggo. Pedang
lebarnya ditebaskan ke arah kepala tokoh tua itu, seakan ingin membelah kepala
bagai membelah semangka.
Wuuut...! Kelebatan pedang lebar menimbulkan hembusan angin panas dalam
sekejap. Tetapi hal itu tidak membuat Ki Palang Renggo terpojok, karena sebelum
kelebatan pedang lebar itu datang, orang berambut campur uban itu telah melesat
dari tempatnya, ia lakukan lompatan cepat dengan hanya sentakkan jempol kakinya
ke tanah. Weess...!
Dalam kejap berikut, Ki Palang Renggo sudah berada di belakang Setan
Sewu. Ia berdiri tenang sambil menggenggam tongkatnya yang berkepala burung garuda,
ia masih kelihatan tidak ingin lakukan serangan balik, sehingga sang lawan yang
gagal membelah kepalanya tampak semakin bernafsu untuk membunuhnya.
"Heeaat...!" Setan Sewu bergerak lagi. Tetapi gerakannya
tiba-tiba dipatahkan oleh pukulan tenaga dalam jarak jauh yang dilepaskan dari
tangan kiri Nyai Sedap Malam. Wuuut...! Buuuhk...! Tubuh gemuk itu pun
terlempar ke samping dan jatuh mirip nangka busuk.
Bluuuhk...!
"Bangsat! Kubeset wajah ayumu itu, Perempuan Laknat! Heeah!"
Wuuut...! Mayat Bagus menerjang Nyai Sedap Malam dengan pedang
berkelebat ke sana-sini. Gerakan pedang itu amat cepat, sehingga sukar
ditangkis atau dihindari oleh Nyai Sedap Malam.
Namun ketika itu pula, Ki Palang Renggo segera sentakkan tongkatnya ke
depan dalam keadaan masih tegak lurus. Weet! Claap...! Dari mulut kepala
tongkat yang berbentuk kepala burung garuda itu keluar selarik sinar hijau
bening yang berkerilap menghantam pinggang Mayat Bagus.
Sluuubs...!
"Aaahg...!" Mayat Bagus jatuh terbanting dengan kerasnya.
Pinggangnya menjadi hangus, bajunya terbakar, dan ia mengerang kesakitan tak
bisa bangkit lagi. Wajahnya menjadi pucat bagaikan kehabisan darah.
Matanya yang lebar mendelik menyeramkan, seakan sedang kesulitan merenggangkan nyawanya.
"Bajingan tengik!" geram Setan Sewu melihat saudara kembarnya
terancam kematian. Ia segera lakukan lompatan bersalto yang melintasi kepala
Nyai Sedap Malam. Wuk, wuk...!
Jleeg..! Kedua kakinya mendarat dengan mantap di tanah samping si Setan
Sewu. Ia segera meludahi Setan Sewu secara sembarangan saja.
"Cuih...!"
Plok! Ludah itu mengenai lengan Setan Sewu. Dalam kejap berikut, luka
hangus di pinggang Setan Sewu tampak mengering, mengepulkan asap tipis,
lama-lama luka berlubang itu merapat sendiri. Tubuh si Setan Sewu menjadi
sehat, dan cepat bangkit dengan tenaga siap tanding kembali.
"Heeeeaaat...!!"
Setan Sewu lakukan serangan kembali, demikian juga halnya dengan si
Mayat Bagus. Mereka bagai mempunyai jatah sendiri-sendiri; Setan Sewu menyerang
Ki Palang Renggo, sedangkan Mayat Bagus menyerang Nyai Sedap Malam.
Pertarungan itu terjadi cukup seru, karena si kembar dari Teluk Pare
itu sulit ditumbangkan. Jika salah satu terluka, yang satunya meludahi dan luka
itu dapat lenyap dalam waktu beberapa kejap kemudian tubuhnya sehat kembali.
Mereka menggunakan paduan jurus kembar yang sangat membahayakan
keselamatan jiwa sepasang suami-istri itu. Tebasan pedang mereka beberapa kali
nyaris merobek perut dan punggung pasangan suami-istri tersebut. Tapi karena
suami-istri itu juga mempunyai ilmu yang sama-sama hebatnya, maka serangan si
Kembar dari Teluk Pare itu selalu dapat dihindari.
"Heeaat...! Cuiih...!" Setan Sewu lakukan lompatan bagai
terbang, sasarannya adalah punggung Ki Palang Renggo. Tetapi sambil lakukan
lompatan melayang begitu, ia pun meludahi saudara kembarnya yang terkapar dalam
keadaan dadanya hangus akibat pukulan telapak tangan Nyai Sedap Malam.
Ludah itu kenai kaki si Mayat Bagus, sehingga luka bakar yang
seharusnya telah menamatkan riwayatnya itu menjadi lenyap dalam beberapa kejap.
Mayat Bagus bangkit kembali dan lakukan serangan kepada Nyai Sedap Malam.
Perempuan cantik itu terdesak karena mendapat serangan dari dua arah.
Akibatnya, sebuah tendangan bertenaga dalam cukup tinggi mendarat di perutnya.
Buuhk...! Tubuh Nyai Sedap Malam terlempar tujuh langkah jauhnya dan
membentur sebatang pohon.
Brruks...!
"Oohk...!" Nyai Sedap Malam semburkan darah segar dari
mulutnya dalam keadaan jatuh tersimpuli di bawah pohon itu.
"Heeeaat...!"
"Heeeaah...!"
Dua manusia kembar itu segera lakukan lompatan bersalto mundur.
Tahu-tahu mereka sudah tiba di samping kanan-kiri Ki Palang Renggo yang sedang terhenyak
memandangi istrinya terluka. Sebelum Ki Palang Renggo lakukan gerakan, kedua
tokoh aliran hitam dari Teluk Pare itu sudah lebih dulu lepaskan jurus pedang
yang mempunyai gerakan sama dan seirama.
Wuut, wuut..! Cear, breet...!
"Aahkk...!" Ki Palang Renggo tersentak, tubuhnya mengejang
dengan kedua lutut sedikit terlipat, matanya mendelik dengan mulut ternganga
menahan napas.
Kedua pinggang kanan kirinya robek terkena tebasan pedang kedua
lawannya. Darah pun memercik dari dua luka yang cukup dalam itu.
"Keparat kalian...!" Ki Palang Renggo menggeram dengan
menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Ia masih berusaha berdiri walau sebenarnya
sudah tak mampu lagi.
"Renggooo...!" suara berat itu datang dari mulut Nyai Sedap
Malam, ia melihat suaminya terluka parah dan sangat kecil harapannya untuk
selamat. Maka ia pun mencoba untuk bangkit dan melepaskan pukulan ke arah
lawan, sebab ia mendengar suara Setan Sewu berseru,
"Habisi saja orang ini!"
Namun ternyata Nyai Sedap Malam sudah kehilangan seluruh tenaganya
akibat lukanya tadi. Ia nyaris tak mampu mengangkat tangan dan lakukan pukulan
jarak jauh. Ia hanya bisa melihat suaminya terbungkuk-bungkuk menahan sakit,
sementara Mayat Bagus telah mengangkat pedangnya kertas, demikian juga si Setan
Sewu.
"Heeeaat...!" Mayat Bagus menebaskan pedangnya ke leher Ki
Palang Renggo, sedangkan pedang Setan Sewu pun diayunkan ke arah punggung Ki
Palang Renggo.
Clap, clap...!
Dua sinar merah seperti potongan besi sejengkal telah melesat
menghantam kedua pedang si Kembar dari Teluk Pare. Sinar merah itu datang dari
dalam rumah, yang segera menimbulkan suara ledakan cukup mengejutkan si pemilik pedang.
Duar, duaar...!
Prrak, prrak ..! Dua pedang itu segera hancur menjadi kepingan-kepingan
sebesar kancing baju. Mayat Bagus dan Setan Sewu sama-sama terbelalak lebar
melihat tangan mereka kini hanya menggenggam gagang pedang saja. Kedua mata
lebar itu segera memandang ke arah rumah, dan dari rumah itu melompatlah
sesosok tubuh kekar berpakaian ungu. Wuuut...! Jleeg...!
Elang Samudera tampil dengan gagahnya. Sinar merahnya tadi membuat ia
menjadi lebih percaya diri bahwa kedua orang brewok itu akan mampu ditumbangkan.
Karenanya ia tak segan-segan melangkah lebih dekat lagi sambil bersiap hadapi
serangan balasan.
"Biadab kau! Serang anak babi itu! Heeaat...!" Setan Sewu
menjadi amat murka. Melihat saudara kembarnya sangat murka, si Mayat Bagus pun mengimbangi
amukan tersebut, sehingga keduanya sama-sama lepaskan pukulan bersinar biru
dari tangan kanan sambil lakukan lompatan ke depan.
Wuuut, wuuut...! Kedua sinar biru itu mengarah ke dada Elang Samudera.
Tetapi anak muda itu pun telah siap dengan jurus simpanannya, ia merenggangkan kakinya
dengan sedikit merendah, kedua tangannya menyentak ke depan dan dari telapak,
tangan itu keluar selarik sinar merah besar yang segera beradu dengan kedua
sinar biru dipertengahan jarak mereka. Slap, slaap...!
Blegaar, blaaarr...!
Ledakan dahsyat menggema mengguncangkan bumi. Beberapa pohon menjadi
bergetar dan daunnya berguguran. Atap rumah pun tersingkap karena hembusan
gelombang daya ledak yang begitu kuat itu.
Bahkan dua pintu rumah jati itu sempat tersentak keras hingga
menimbulkan suara gaduh yang semakin menyeramkan. Bumi bagai diguncang gempa,
hanya saja tanah tak sampai terbelah membentuk celah mengerikan.
Setan Sewu dan Mayat Bagus terlempar jauh berpisah arah. Elang Samudera
sendiri terlempar hingga tubuhnya menabrak dinding rumah. Mayat Bagus terkapar
di bawah pohon, dari lubang hidung dan telinga mengeluarkan darah kental,
sedangkan mulutnya memuntahkan darah yang berwarna merah kehitam-hitaman.
Keadaan saudara kembarnya lebih mengenaskan; tersangkut di salah satu dahan
dalam keadaan kepala berlumur darah karena benturan yang amat kuat tadi.
"Mayat Bagus... ooh... tolong aku!" ia mengerang di sela
keheningan. Mayat Bagus tak menjawab selain berkata, "Tinggalkan tempat
ini secepatnya!"
Elang Samudera diam tak bicara, karena tulangnya terasa patah semua
akibat benturan kuat tadi. Tapi pada saat itu, seseorang muncul dari dalam
rumah. Dia adalah Pendekar Mabuk.
*
* *
3
KEDUA orang Teluk Pare itu saling meludahi. Dengan saling meludahi,
maka kekuatan sakti pada ludah itu menjadi saling menyembuhkan luka. Setan Sewu
merasa kali ini menghadapi lawan yang berbahaya, karena mereka telah kehilangan
senjata.
Langkah terbaik baginya adalah melarikan diri. Mundur beberapa waktu
untuk mengatur siasat kembali dalam menghadapi Elang Samudera.
"Yang penting Palang Renggo pasti mati akibat tebasan pedang kita
tadi," ujarnya kepada si Mayat Bagus. "Soal anak muda itu, agaknya
kita perlu menyusun siasat dan mengatur kekuatan lagi. Kelak kita pasti akan
balas kekalahan kita tadi."
"Bagaimana jika ternyata si Palang Renggo tidak mati?"
"Tak mungkin! Dia pasti mati karena kita telah memotong beberapa
ususnya. Apakah kau tak melihat potongan ususnya akibat tebasan pedangku tadi?
Sayang sekali kalau kau tak melihatnya, Mayat Bagus."
Mayat Bagus diam saja, berusaha menghilangkan kesangsiannya. Ia merasa
belum puas jika belum betul-betul melihat Ki Palang Renggo menjadi bangkai di
depan matanya.
Kesangsian Mayat Bagus itu ada benarnya, sebab setelah mereka pergi,
Pendekar Mabuk muncul dari rumah itu. Keadaan Suto Sinting telah sehat bagaikan
tak pernah terkena racun apa pun, ia bergegas menolong Ki Palang Renggo dan
Nyai Sedap Malam. Tuak saktinya itu
berhasil selamatkan nyawa Ki Palang Renggo, walau memakan waktu sampai
menjelang sore.
Nyai Sedap Malam dan Elang Samudera pun terhindar dari luka setelah
meminum tuak saktinya Suto Sinting.
"Aku akan menuntut balas atas perlakuan mereka terhadapmu,"
ujar Nyai Sedap Malam kepada suaminya yang tua itu.
"Tak perlu cari penyakit. Biarlah mereka menganggap aku telah
binasa. Biar hati mereka puas dan tak bikin ulah lagi."
"Aku setuju dengan pendapat Ki Palang Renggo," kata Suto
Sinting. "Dendam tidak akan membuat hidup kita tenang. Dendam hanya akan
hadirkan petaka dalam perjalanan hidup kita."
Nyai Sedap Malam agaknya tak mau ngotot dengan pendapatnya, ia menarik
napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak dendamnya dalam hati.
"Apa kau juga punya dendam dengan orang yang melukaimu?"
"Maksudmu, dendam terhadap Awan Setangkai? Oh, tidak!"
Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Aku tidak perlu
menaruh dendam kepada siapa pun, Ki. Aku hanya perlu tahu, mengapa Awan
Setangkai mencelakaiku sedemikian rupa, sedangkan aku belum pernah kenal
dengannya, bertemu pun baru kali ini."
Bayangan saat mengamati pertarungan seorang nenek dengan seorang gadis
masih melekat dalam ingatan Suto Sinting. Pertarungannya dengan nenek jelmaan
Awan Setangkai juga masih lekat dalam benak Suto. Tak heran jika di hati pemuda
tampan itu pun timbul rasa penasaran, ingin mengetahui apa maksud tindakan si
Awan Setangkai itu.
"Jangan coba-coba mencari tahu tentang Awan Setangkai dan
orang-orang Selat Bantai," ujar Nyai Sedap Malam. Kata-katanya yang datar
itu diiringi dengan sorot pandangan mata yang datar pula. Seakan ia bicara
dalam renungannya dan ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi Elang Samudera pun
tahu bahwa kata-kata itu ditujukan untuk si Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau melarangku begitu, Nyai?" tanya Suto Sinting
setelah ia melirik Ki Palang Renggo, dan pak tua itu pun diam merenung bagai
menyimpan sesuatu yang dirahasiakan dalam hatinya.
Pertanyaan Suto Sinting itu tidak segera mendapat jawaban yang
diharapkan. Nyai Sedap Malam hanya katupkan bibirnya yang pulen dan tak
bergerak bagaikan patung bernyawa.
Elang Samudera ikut penasaran, sehingga ia pun akhirnya ajukan tanya
kepada Nyai Sedap Malam dengan sikap hati-hati.
"Mengapa kau tidak menjawab pertanyaan Suto Sinting, Nyai? Ada apa
di balik himbauanmu tadi? Aku sama sekali tak mengerti tentang si Awan
Setangkai itu, Nyai. Tolong jelaskan pula untukku."
Nyai Sedap Malam angkat wajahnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju
pada Elang Samudera yang berdiri di depannya dalam jarak empat langkah. Pemuda
yang bahu kirinya bersandar pada dinding kayu jati itu mencoba menatapnya
dengan penuh harap, ia ingin sekali mendengar penjelasan yang dimaksud. Tapi
tiba-tiba ada dua orang berlari mendekati rumah tersebut.
Mereka bergegas keluar dan menemukan seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan wajah bermandi peluh. Lelaki itu mengenakan
baju putih celana hitam, tanpa membawa senjata apa pun. Rambutnya pendek dan
penampilannya berkesan polos. Dari peluh dan helaan napasnya yang memburu, ia
tampak habis menempuh perjalanan yang melelahkan.
Ki Palang Renggo dan yang lainnya memandangi lelaki itu dengan perasaan
asing, sebab tak satu pun yang mengenal lelaki itu. Setelah sedikit membungkuk
sebagai tanda menghormat, lelaki kurus itu berkata kepada Ki Palang Renggo,
"Maaf, Kek... bolehkah aku meminta seteguk air untuk menghalau
kehausanku ini?"
Pendekar Mabuk segera menyahut, "Minumlah tuakku ini!" seraya
menyodorkan bumbung tuaknya.
Tanpa sungkan lagi orang tersebut segera meraih bumbung tuak dan
menenggak tuak beberapa teguk, ia bagai tak peduli lagi dengan pandangan mata
mereka yang tertuju lekat-lekat kepadanya.
"Terima kasih, Kisanak," ucapnya sambil mengembalikan bumbung
tuak. Napasnya masih terengah-engah, namun wajahnya muiai tampak berseri, tak
sekering tadi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Palang Renggo setelah orang
itu diajaknya masuk ke rumah.
"Namaku.... Bawana, dari Pulau Dulang," jawab lelaki polos
itu. "Tadi aku berpapasan dengan si Kembar dari Teluk Pare. Aku takut
dibunuh oleh mereka, karena orang Teluk Pare tak suka dengan orang Pulau
Dulang. Mereka mengenaliku sebagai orang Pulau Dulang. Karenanya aku segera
melarikan diri sebelum mereka bernafsu untuk membunuhku."
"Mereka memang dari sini!" sahut Elang Samudera.
"Mereka habis kuhajar dan segera melarikan diri. Jika tidak, si
Kembar dari Teluk Pare itu sudah kehilangan nyawanya."
"O, pantas mereka tak mau mengejarku ketika mereka lihat aku
menuju kemari, Nak."
"Kurasa kau bisa lanjutkan perjalananmu," kata Nyai Sedap
Malam dengan nada angkuh, walau sebenarnya tak angkuh hatinya.
"Biarkan ia beristirahat sebentar, Sayangku," ujar Ki Palang
Renggo. Sang istri hanya menarik napas bagai tak peduli keputusan sang tamu
nantinya.
"Sebentar lagi petang akan datang. Bolehkah aku numpang bermalam
di pondokmu ini, Kek?" kata Bawana, pancaran matanya menampakkan harapan
yang berbinar-binar.
Ki Palang Renggo pandangi istrinya sebentar, setelah melihat sang istri
tidak menampakkan rasa tak suka, Ki Palang Renggo pun menjawab pertanyaan
tamunya.
"Kami tidak mempunyai tempat tidur yang layak untuk seorang tamu,
Tetapi jika kau mau tidur di sembarang tempat, kami tak keberatan menampungmu semalam
dua malam. Asalkan kau tak boleh mengintipku jika aku nanti tidur dengan
istriku."
Bawana tertawa pelan "Itu tak mungkin kulakukan, Kek. Aku pergi
dari Pulau Dulang bukan untuk berbuat tak senonoh seperti itu, melainkan untuk
suatu tujuan yang suci."
"Apa tujuanmu pergi dari Pulau Dulang?" tanya Elang Samudera
yang masih pandangi Bawana dengan sorot pandangan mata bersifat menyelidik.
Bawana menatap Elang Samudera dengan dahi sedikit berkerut.
"Apakah... apakah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, Kisanak?"
Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam segera lemparkan pandangan
matanya ke arah Suto Sinting.
Elang Samudera pun melirik Suto Sinting beberapa saat, sementara Suto
Sinting sendiri menatap Bawana dengan pandangan bernada heran.
"Mengapa kau menyangka diriku Pendekar Ma buk?" tanya Elang
Samudera setelah lebih mendekat lagi.
"Karena... karena kepergianku dari Pulau Dulang memang untuk
mencari Pendekar Mabuk. Aku ingin bertemu dengan beliau."
"Untuk apa?" tukas Suto Sinting.
"Aku ingin meminta bantuan Pendekar Mabuk untuk membunuh raksasa
keji di pulau kami."
"Raksasa...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil melirik Ki Palang
Renggo. Lelaki tua itu pun akhirnya berkata,
"Aku tahu letak Pulau Dulang, walau aku belum pernah singgah ke
sana. Tapi setahuku, di sana tak ada raksasa. Kau jangan mengarang cerita yang
bukan-bukan, Bawana!"
"Aku bicara yang sesungguhnya, Kek. Raksasa itu berbentuk hantu.
Hmmm... maksudku, tak bisa dilihat seperti apa wujudnya. Dalam perjalanan
mencari Pendekar Mabuk ini, semula aku bersama tiga temanku.
Tetapi ketiga temanku hilang satu persatu saat melintasi hutan menuju
pantai. Bahkan yang seorang lagi lenyap tanpa bangkai ketika kami menyeberangi
lautan. Aku bersyukur sekali, karena aku berhasil lolos dari ancaman maut hantu
raksasa itu dengan cara menyelam beberapa saat lamanya di dalam lautan.
Penyeberanganku itu akhirnya kulanjutkan dengan berenang sampai ke pantai
Karang Hantu."
Melihat kesungguhan pada wajah Bawana, Suto Sinting merasa yakin dengan
cerita tersebut. Elang Samudera juga menilai bahwa Bawana bicara jujur sebagai
orang yang selamat dari ancaman maut.
Sedangkan Nyai Sedap Malam bagaikan tak peduli sedikit pun dengan
cerita itu. Ki Palang Renggo tampak merenung dalam keragu-raguan.
"Apakah orang Pulau Dulang tak ada yang mampu menangkap hantu
raksasa itu?" tanya Suto Sinting beberapa saat kemudian.
"Kami sudah mencobanya berulang kali, Kisanak. Tetapi setiap kami
mengirimkan utusan untuk menangkap hantu raksasa itu, selalu saja utusan kami
tak pernah kembali. Kami hanya bisa menemukan mayat utusan kami yang telah
dalam keadaan mengenaskan.
Hantu Raksasa itu kadang juga mendatangi desa kami dan merenggut korban
beberapa penduduk. Akhirnya desa kami hanya tinggal beberapa gelintir manusia
saja yang masih hidup, termasuk aku sendiri. Maka kami bersepakat untuk meminta
bantuan Pendekar Mabuk yang kesaktiannya terbawa angin sampai ke telinga
orang-orang Pulau Dulang."
"Akulah yang berjuluk Pendekar Mabuk," kata Suto Sinting
setelah mereka saling membisu tiga helaan napas. Bawana tampak terkejut,
matanya memandang Suto Sinting dengan tajam, berkesan antara percaya dan tidak.
"Benarkah kau orangnya?!" ucap Bawana dalam nada gumam.
"Apa yang membuatmu sangsi?" tanya Nyai Sedap Malam secara di
luar dugaan. Namun ia tetap berdiri di depan jendela memandang ke arah luar,
seakan menikmati senja yang akan tiba itu. Mau tak mau Bawana pun menatap
perempuan tersebut sambil berkata pelan,
"Semuda inikah tokoh sakti yang kondang itu?"
"Apakah kau kira Pendekar Mabuk itu berusia sebayaku?" ujar
Ki Palang Renggo. Bawana menjadi tersipu sendiri, dan mulai kikuk dalam
bersikap di depan Suto Sinting.
"Kusangka memang berusia di atas lima puluh tahun," katanya.
"Tapi jika kulihat ciri-ciri anak muda ini; baju coklat tanpa lengan,
celana putih, bumbung tuak, rambut panjang dan wajah tampan... sepertinya
memang dialah orang yang kucari-cari selama lima hari ini."
Suto Sinting menarik napas, melangkah dekati Nyai Sedap Malam, ia
berkata dalam nada bisik, tapi Ki Palang Renggo yang berada tak jauh darinya
mendengar bisikan itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Nyai?"
"Aku tak percaya dengan ceritanya. Baru sekarang kudengar ada
hantu raksasa yang bergentayangan."
Ki Palang Renggo menyahut, "Kurasa ia memang dalam kesulitan, tapi
agaknya bukan karena hantu raksasa."
Nyai Sedap Malam berkata lagi ketika Elang Samudera ikut bergabung
dalam bisik-bisik itu.
"Kalau kau percaya dengan ceritanya, terserah langkahmu. Kalau kau
tak percaya, usir saja dia dan lupakan tentang cerita hantu raksasa itu."
"Agaknya aku cenderung percaya dengan kesulitannya," kata
Suto Sinting, lalu ia melirik Elang Samudera dan menyambung kata,
"Pandangan matanya memancarkan harapan yang mengibakan hati. Rasa-rasanya
aku memang harus membantunya."
"Aku akan mendampingimu jika memang itu keputusanmu, Suto."
"Elang Samudera, kurasa kau mempunyai urusan sendiri yang belum
selesai. Entah urusan apa, aku tak tahu. Tapi yang jelas, kau tak perlu ikut ke
Pulau Dulang."
"Semua urusanku bisa kutangguhkan. Aku lebih memilih untuk ikut
terlibat dalam urusanmu. Firasatku mengatakan, kau membutuhkan seorang teman
dalam menghadapi hantu raksasa itu."
Nyai Sedap Malam segera berkata, "Jangan bodoh, Elang Samudera!
Berurusan dengan misteri di Pulau Dulang sama saja bertarung nyawa secara
sia-sia. Kalau kau mati, kau tak akan mendapat penghargaan dari orang Pulau
Dulang. Masyarakat di Pulau Dulang hanya akan menghormati leluhurnya saja.
Mereka tak akan peduli jasa orang lain.
Bahkan untuk berterima kasih pun sulit mereka lakukan untuk orang lain.
Masyarakat Pulau Dulang adalah masyarakat terasing, sehingga beberapa penduduk
di pulau lainnya ada yang mengatakan, penduduk
Pulau Dulang adalah penduduk terbuang yang tak pernah menjadi bahan pembicaraan
baik di kedai-kedai maupun di perjalanan."
"Aku hanya ingin dampingi Pendekar Mabuk, Nyai. Bukan untuk
mencari sanjungan atau penghargaan dari siapa pun."
"Jika begitu maumu, aku tak bisa melarangmu untuk pergi bersama si
murid sinting Gila Tuak itu."
"Aku tetap tak setuju kalau kau ikut denganku Elang
Samudera!" kata Suto Sinting membuat Elang Samudera menyimpan rasa kecewa
dalam hatinya. Suto Sinting berkata lagi dengan lebih tegas, "Perjalananku
ke Pulau Dulang adalah perjalanan biasa. Tak perlu harus didampingi oleh
seorang ksatria gagah sepertimu!"
"Jika kau melarangku ikut, sama artinya kau tak mau bersahabat
lagi denganku, Suto! Aku pun akan berusaha melupakan dirimu, Sobat!"
"Elang Samudera, kumohon jangan tersinggung dulu. Dengarkan
penjelasanku...."
"Aku tak butuh penjelasanmu. Hatiku telah mengambil keputusan;
boleh atau tidak, aku tetap akan ikut ke Pulau Dulang. Karena aku sendiri
penasaran dengan cerita kemunculan hantu raksasa itu."
Percakapan yang makin lama sudah bukan merupakan bisik-bisik lagi itu
didengar oleh Bawana. Maka sang tamu pun segera menyela kata saat mereka
sama-sama terbungkam.
"Jika memang kau keberatan, aku pun tak akan memaksamu, Pendekar
Mabuk. Mungkin memang nasib kami harus berjuang melawan hantu raksasa yang
sukar dilihat itu."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah dekati
Bawana. Pundak lelaki kurus itu ditepuknya pelan. Pluk...! Lalu, ia pun berkata
dengan nada ramah.
"Jangan berkesimpulan seperti itu, Kang. Kesimpulan yang salah
dapat membuat hatimu terluka dan membakar kebencian."
"Jadi... jadi maksudmu kau bersedia untuk datang ke Pulau Dulang
dan melawan hantu raksasa itu?!"
Pendekar Mabuk tidak segera menjawab, namun matanya melirik ke arah Ki
Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam. Suami-istri itu hanya diam, tanpa memberikan
isyarat apa pun. Bawana menjadi berdebar-debar karena merasa khawatir jika
sampai Pendekar Mabuk tak mau ikut ke Pulau Dulang.
*
* *
4
KABUT pagi mulai menipis. Pada saat itulah Pendekar Mabuk bergegas
meninggalkan pondok Ki Palang Renggo menuju Pulau Dulang bersama Bawana dan
Elang Samudera. Arah yang mereka tuju adalah Pantai Karang Hantu sebelah timur.
Sebab menurut Bawana, di sana ada perkampungan nelayan dan ia mempunyai seorang
kenalan yang memiliki perahu.
Mereka bersepakat untuk menyewa perahu tersebut untuk menyeberang
menuju Pulau Dulang. Karena Bawana tidak mempunyai ilmu peringan tubuh, gerakan
larinya tak bisa secepat Elang Samudera dan Suto Sinting, maka langkah mereka
pun menjadi lamban.
Untuk mencapai Pantai Karang Hantu sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu
kurang dari seperempat hari. Namun karena gerakan mereka lamban, maka waktu
yang mereka butuhkan untuk tiba di Pantai Karang Hantu menjadi hampir setengah
hari penuh.
Ketika mereka tiba di sebuah lembah, tak berapa jauh dari Pantai Karang
Hantu, tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh kemunculan seorang perempuan
cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun.
Perempuan yang tampak masih gadis itu mengenakan baju biru tanpa
lengan, sehingga kulitnya yang kuning mulus dapat terlihat dengan jelas.
Rambutnya lurus dengan poni di bagian depan. Matanya bundar, hidungnya mancung,
mempunyai bentuk wajah bulat telur. Gadis bersabuk hitam dari kulit binatang
itu menyelipkan pisau gagang tanduk rusa di pinggangnya. Pendekar Mabuk
mengenal gadis itu sebagai murid Galak Gantung yang bernama Kabut Merana alias
Murdaningsih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka").
Sedangkan Galak Gantung adalah tokoh tua sahabat si Gila Tuak, gurunya
Suto Sinting (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa").
Kabut Merana muncul dalam keadaan terhuyung- huyung dengan dada terluka
dan mengeluarkan darah, ia menghamburkan diri dari pohon ke pohon sebagai upaya
mempertahankan nyawa dan menggunakan sisa kekuatan yang ada. Setiap pohon yang
dipeluknya meninggalkan bekas darah yang berlumuran. Pendekar Mabuk cepat
hampiri gadis itu dan segera menolongnya.
"Kabut Merana...?!" sapa Suto Sinting dengan nada cemas.
Tubuh gadis yang sekal itu segera tertangkap dalam pelukannya. Mata sang gadis
mulai terbeliak-beliak dengan mulut ternganga sulit bicara. Wajah cantiknya
telah pucat pasi seperti mayat.
"Baringkan dia, Suto. Lukanya cukup dalam dan parah sekali,"
kata Elang Samudera. Kemudian ia membantu Suto Sinting membaringkan tubuh Kabut
Merana dan membuka mulut si gadis, sehingga Suto Sinting dapat tuangkan tuaknya
sedikit demi sedikit.
Tuak tertelan dan Kabut Merana pun mulai memperoleh kekuatan kembali.
Lukanya cepat mengering dan merapat, sehingga dalam beberapa kejap saja luka
itu telah menjadi rata dan dada pun menjadi berkulit halus bagai tak pernah
terluka oleh senjata tajam apa pun. Untung luka itu tepat ada di bagian atas
gundukan kedua bukit di dadanya, sehingga mereka tak terlalu sungkan memandangi
luka berlubang yang sepertinya bekas tusukan senjata tajam itu.
Darah yang semula berlumuran di sekitar dada Kabut Merana pun menguap
dan lenyap bagaikan terhembus angin. Kesaktian tuak sakti telah membuat Kabut Merana
segera menyadari bahwa ia berada di dekat Pendekar Mabuk.
"Suto...?! Oh, syukurlah kau menemukan diriku. Jika tidak, mungkin
nyawaku telah melayang karena luka tadi."
"Apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana?" tanya Suto
Sinting setelah ia memperkenalkan Elang Samudera sebagai sahabat barunya, dan
Bawana sebagai utusan dari Pulau Dulang.
Namun gadis cantik itu segera kerutkan dahi saat diperkenalkan kepada
Bawana. Matanya memandang tajam ke arah wajah polos Bawana, sehingga Suto Sinting
menjadi tak enak hati dan segera mengalihkan perhatian dengan pertanyaannya
tadi. Kabut Merana alihkan pandangannya ke arah Suto Sinting.
"Seseorang telah melukaiku dengan pedangnya. Kalau aku tak
melarikan diri, mungkin aku telah mati di tangannya."
"Siapa orang itu?" desak Suto Sinting menjadi penasaran.
Kabut Merana tampak kikuk. Matanya melirik ke arah Elang Samudera dan
Bawana secara bergantian. Kebisuan mulutnya membuat Elang Samudera menjadi curiga
dan segera bicara,dengan nada suara yang lembut.
"Jelaskan selengkapnya kepada Suto tentang apa yang terjadi pada
dirimu, Kabut Merana. Aku yakin kau mendapat kesulitan dan tentunya kami tak
akan tinggal diam, karena kau sahabat Suto Sinting. Kami akan lindungi dirimu
dari serangan siapa pun, Kabut Merana!"
Gadis itu segera memandang Suto dan berkata, "Aku perlu bicara
empat mata denganmu, Suto."
Di dalam hatinya Pendekar Mabuk merasa heran atas permintaan Kabut
Merana itu. Ia pun tak enak hati kepada Elang Samudera dan Bawana jika harus
bicara empat mata bersama Kabut Merana.
Namun agaknya si gadis benar-benar tak mau pembicaraannya didengar oleh
kedua orang itu, sehingga Suto Sinting terpaksa menuruti kehendak si gadis.
Kabut Merana melangkah ke sudut semak-semak, dan Pendekar Mabuk mengikutinya. Jarak mereka dengan Elang
Samudera dan Bawana sekitar dua belas langkah.
"Siapa pemuda tampan itu?" bisik Kabut Merana dengan
pandangan mata tak tertuju pada Elang Samudera. Namun Pendekar Mabuk tahu
persis bahwa yang dimaksud adalah Elang Samudera. Senyum pun tersungging di
bibir Suto Sinting, kemudian disusul sebuah pertanyaan sindiran,
"Apakah kau menyukainya?"
"Bukan soal itu! Aku khawatir dia orang Selat Bantai."
Mendengar kata 'Selat Bantai', Pendekar Mabuk cepat kerutkan dahi.
Dalam hatinya berkata, "Mengapa Kabut Merana menyinggung-nyinggung soal
orang Selat Bantai? Apakah ia pun mengenal Awan Setangkai, yang menurut Ki
Palang Renggo adalah orang Selat Bantai itu?"
"Suto, jawablah pertanyaanku dengan jujur; apakah Elang Samudera
itu adalah orang Selat Bantai?"
"Bukan," jawab Suto Sinting pelan sambil gelengkan kepala
samar-samar. Katanya lagi,
"Elang Samudera adalah muridnya Pendeta Darah Api dari Teluk
Merah. Aku tak tahu apakah Teluk Merah ada hubungannya dengan Selat Bantai.
Yang jelas, kulihat Elang Samudera bukan dari aliran hitam."
Kabut Merana menarik napas, melirik ke arah Elang Samudera yang sedang
bicara pelan dengan Bawana. Agaknya gadis itu menahan kecurigaannya untuk sementara
waktu.
"Lalu, siapa lelaki berbaju putih dan bercelana hitam itu?"
"Bawana. Bukankah tadi sudah kuperkenalkan padamu?"
"Maksudku, apakah dia... ah, kurasa aku pernah melihatnya
berkeliaran di wilayah Selat Bantai."
Suto Sinting kerutkan dahinya, ia memandang dalam keraguan kepada Kabut
Merana. Tetapi gadis itu seakan ingin lebih meyakinkan anggapannya dengan
berkata kepada Suto,
"Aku ingat, dia pernah kulihat menyelinap di belakang puri
pemujaan. Aku semakin yakin, dia orang Selat Bantai, Suto!"
"Jika benar dia orang Selat Bantai, apa pendapat mu selanjutnya,
Kabut Merana?" tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu cukup besar dan
menggelisahkan hatinya.
"Jika benar dia seorang Selat Bantai, sebaiknya jauhilah dia,
Suto! Jauhi semua orang dari Selat Bantai."
"Jelaskan alasanmu, Kabut Merana."
"Kau sedang menjadi bahan buruan orang-orang Selat Bantai.
Penguasa Selat Bantai yang bernama Nyai Ratu Cendana Sutera sedang membutuhkan
darah ksatria muda. Sasaran utamanya adalah dirimu, Suto. Sebab mereka tahu,
kau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi."
"Untuk apa dia mencari seorang ksatria muda?"
"Tepat malam bulan purnama yang kurang tiga hari lagi ini, dia
harus bercumbu dengan seorang ksatria muda, diutamakan yang berilmu tinggi.
Menurut kabar yang kudengar dari seorang sahabat yang menjadi prajurit
di Selat Bantai, bulan ini adalah bulan kesuburan bagi darah keturunan Selat
Bantai. Pada bulan kesuburan inilah Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai kesempatan
untuk menanamkan bibit keturunan dalam dirinya.
Bulan kesuburan hanya terjadi setiap seratus tahun sekali bagi darah
keturunan Selat Bantai. Bibit yang akan berhasil membuahkan keturunan adalah
bibit seorang ksatria muda. Semakin tinggi ilmu ksatria muda itu semakin cepat
pembibitannya. Keturunan yang lahir dari Nyai Ratu Cendana Sutera itulah yang
nantinya akan menggantikan kekuasaan sang Ratu di wilayah Selat Bantai."
Pendekar Mabuk menarik napas, menenangkan jiwanya yang mulai bergolak
karena mendengar penjelasan tersebut.
"Kedengarannya seperti sesuatu yang tidak masuk akal,"
katanya. "Kurasa kepercayaan seperti itu sekarang sudah tidak dianut lagi
oleh mereka."
"Siapa bilang?! Mereka adalah pengikut aliran hitam dari Selat
Bantai. Dan mereka sangat percaya dengan peraturan kuno tinggalan leluhur
mereka."
"Alangkah bodohnya mereka. Mengapa mereka tidak melakukan
pembibitan di luar bulan kesuburan ini? Apakah mereka tak berminat untuk
mencobanya dengan seorang lelaki sebelum bulan kesuburan itu tiba?"
Kabut Merana mendesah jengkel. "Percayalah, Suto!
Sebaiknya jauhilah orang Selat Bantai. Selain mereka berilmu tinggi,
mereka juga dari para wanita cantik yang punya daya pikat cukup kuat.
Orang-orang Selat Bantai adalah para wanita yang dikutuk menjadi mandul sebelum
bulan kesuburan tiba. Jadi tak satu pun dari wanita Selat Bantai yang bisa
hasilkan keturunan."
Suto Sinting menggut-manggut. Kabut Merana berkata lagi, "Tapi
pada bulan kesuburan nanti, semua wanita Selat Bantai terlepas dari kutuk
kemandulannya. Saat itulah kesempatan emas bagi mereka, dari yang muda sampai
yang tua, Untuk dapatkan benih lelaki demi mendapatkan keturunan. Kudengar
kabar dari sabahatku itu, Nyai Ratu Cendana Sutera mengincarmu.
Dia ingin mempunyai keturunan dari darah seorang pendekar sejati.
Tentunya kau akan diperbudak oleh mereka, disuruh membuahi para wanita Selat
Bantai satu persatu. Padahal jumlah mereka lebih dari seratus orang wanita.
Menurut kepercayaan para wanita Selat Bantai, jika mereka dapatkan benih dari
pria yang bekas dipakai ratu mereka, maka mereka akan berumur panjang dan
keturunan mereka pun akan dianggap keluarga Nyai Ratu Cendana Sutera. Keturunan
mereka diperlakukan sama dengan keturunan Nyai Ratu Cendana Sutera."
Suto Sinting tertawa kecil bernada geli,
"Jika begitu, tentunya sang Ratu tidak akan membiarkan pria yang
pernah membuahinya dipakai rebutan oleh para bawahannya?"
"Tidak, Suto! Setiap pria yang pernah menanamkan benih dalam diri
Nyai Ratu, ia harus mati. Jika tidak mati, maka benih itu tidak akan menjadi
janin. Dan biasanya sebelum pria itu dibunuh, maka ia akan digunakan sebagai
pejantan bagi wanita-wanita pendukung Nyai Ratu. Setelah semua wanita mendapat
bibit dari pria tersebut, maka mereka pun akan mengakhiri hidup pria itu."
Semakin geli sang Pendekar Mabuk mendengar penjelasan tersebut, ia menggumam bagai
bicara pada dirinya sendiri.
"Aliran sesat macam apa yang mereka anut sebenarnya? Kurasa semua
itu hanya isapan jempol belaka, Kabut Merana. Semua penjelasan yang kau dengar
dari sahabatmu itu hanya rekayasa dan kepalsuan belaka. Jangan mau percaya
dengan cerita seperti itu, Kabut Merana. Sebab...."
"Ini bukan rekayasa, Suto! Kudengar kabar tentang mereka sudah
cukup lama, sejak aku belum mengenalmu."
"O, ya?!" Suto Sinting kian lebarkan senyum dengan nada tak
mau percayai hal itu.
"Satu lagi yang belum kau dengar, Suto...!" ujar Kabut Merana
dengan berapi-api, menampakkan kesungguhannya dalam membeberkan rahasia perempuan
Selat Bantai itu.
"... jika pada bulan kesuburan yang datangnya hanya seratus tahun
sekali itu sang Ratu tidak mendapatkan bibit
ksatria muda berilmu tinggi, maka selamanya ia tidak akan mendapat keturunan
lagi, kecuali ia mampu bertahan hidup sampai datangnya bulan kesuburan berikutnya.
Karena itu...."
Sebelum kata-kata Kabut Merana selesai, tiba-tiba tubuh gadis itu
tersentak ke depan dengan kepala terdongak dan wajah menyeringai. Suara pekik tertahan
terlontar dari mulutnya.
"Huuuggh...!"
"Kabut Merana?!" seru Suto Sinting dengan terkejut. Seruan
itu membuat Elang Samudera dan Bawana lemparkan pandangan ke arah Kabut Merana.
Kedua orang itu pun terperanjat melihat tubuh gadis itu kepulkan asap putih
buram. Tubuh sekal itu akhirnya mengerut dan menjadi susut, lama-lama mengecil
dan mengecil terus, hingga akhirnya jatuh terkulai menjadi seperti bocah
berusia lima tahun.
"Suto, apa yang terjadi pada dirinya?!" Elang Samudera
bernada tegang sambil bergegas menghampiri Kabut Merana yang telah menyusut dan
menjadi seperti bocah berusia lima tahun.
Pendekar Mabuk tak bisa jelaskan apa yang sempat dilihatnya tadi,
karena kala itu Pendekar Mabuk terkesima dan terkunci mulutnya, kelu lidahnya,
karena ia segera menyadari bahwa Kabut Merana yang berubah seperti bocah
berusia lima tahun itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Tak ada napas
sedikit pun yang keluar dari mulut maupun hidungnya. Tak ada denyut nadi atau
detak jantung yang menjadi tanda kehidupannya. Jika semua itu tak ada, maka
Suto Sinting segera paham bahwa gadis itu telah tewas oleh sebuah serangan dari
tempat tersembunyi tadi.
Serangan tersebut berupa seberkas sinar kecil warna pelangi yang
menghantam punggung Kabut Merana dengan sangat cepat. Pendekar Mabuk tak sempat
menyingkirkan Kabut Merana, juga tak sempat lakukan penangkisan dengan cara apa
pun. Sinar berwarna pelangi itu muncul dan melesat dalam keadaan sangat
tiba-tiba. Kecepatan gerak sinar pelangi itu nyaris tak bisa dilihat oleh mata
kepala Suto Sinting sendiri.
"Dia... dia telah tiada, Suto!" ucap Elang Samudera dengan
nada sedih. Pendekar Mabuk segera tarik napas dan buang pandangan ke arah
datangnya sinar pelangi tadi. Kemudian dalam kejap berikutnya, sosok Pendekar
Mabuk telah lenyap dari depan Elang Samudera, karena si Pendekar Mabuk segera
lakukan pengejaran terhadap pelakunya dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman
yang mampu bergerak melebihi anak panah lepas dari busurnya. Zlaaap...! Weess..
!
"Suto...! Suto, tunggu dulu!" seru Elang Samudera, seperti
anak kecil takut kehilangan kakaknya. Sementara itu, Bawana hanya diam pandangi
mayat kecil si Kabut Merana dengan mulut melongo dan mata tak berkedip.
Orang yang melepaskan pukulan dahsyat tadi ternyata tidak ada di tempat
datangnya sinar pelangi kecil itu. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya keliling
tempat itu dengan masih pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaap, zlaap, zlaap...! Dan Elang Samudera mencari berlawanan arah
dengan Suto Sinting, agar ia bisa melakukan pengepungan terhadap si pembunuh
Kabut Merana itu.
Di suatu sisi tempat, kedua pemuda tampan itu saling bertemu dan
hentikan langkah mereka. Mata mereka masih memandang nanar kepada keadaan
sekeliling, karena keduanya sama-sama penasaran tak menemukan siapa-siapa di
tempat itu kecuali mereka sendiri.
"Aku melihat sinar pelangi sekelebat dan menghantam punggung Kabut
Merana. Datangnya dari arah sini, tapi di sini tidak ada manusia sepotong pun
kecuali kita berdua, Elang Samudera."
"Dugaanku juga begitu, pasti Kabut Merana terkena pukulan jarak
jauh yang tersembunyi dan kau pasti akan mengejarnya. Aku tak mau kehilangan
kau, Suto. Sehingga walaupun aku tahu pengejaran ini akan sia-sia, tapi aku
tetap datang mendukungmu, Suto! Kalau boleh kutahu, sebenarnya apa yang
dibicarakan gadis itu kepadamu?"
Pendekar Mabuk akhirnya ceritakan kecurigaan Kabut Merana terhadap diri
Bawana. Seketika itu pula Elang Samudera tampak terperanjat dan menjadi cemas.
Lalu ia bergerak lebih dulu dari Pendekar Mabuk.
"Celaka! Jangan-jangan Bawana adalah mata-mata dari Selat Bantai?!
Kita harus segera menemuinya dan memaksanya bicara!"
Pendekar Mabuk bergerak ke arah semula. Zlaaap...! Ia tiba di samping
mayat Kabut Merana lebih dulu.
Elang Samudera sempat kaget melihat Suto sudah ada di tempat.
"Cepat sekali gerakan larinya?! Aku tak mungkin bisa mengungguli
kecepatan geraknya itu."
"Hei, mana orang yang mencariku tadi?" ujar Suto Sinting
sambil memandang ke sana-sini. Ternyata Bawana tidak ada di tempat dan tidak diketahui
ke mana kepergian orang tersebut.
"Jangan-jangan dia memang orang Selat Bantai yang... yang ingin
menangkapmu, Suto!" kata Elang Samudera setelah mendengar penjelasan
singkat dari Suto tentang apa yang dituturkan Kabut Merana tadi.
"Jika begitu, cari si Bawana tadi dan paksa dia agar tunjukkan
pada kita di mana letak Selat Bantai itu."
Pendekar Mabuk diam termenung menahan kemarahan dalam hatinya. Elang
Samudera masih tetap berpaling ke sana-sini sambil berseru keras-keras.
"Bawana! Bawanaaa...! Di mana kau, Bawana...?!"
Suasana masih tetap sepi dan mulut mereka pun tetap terkunci walau
sudah lima kali masing-masing dari mereka berteriak memanggil nama Bawana.
"Apa yang harus kita lakukan jika begini, Suto?" tanya Elang
Samudera dengan penuh rasa membela pihak teman.
*
* *
Emoticon