Pendekar Hina Kelana 26 - Misteri Sepasang Pedang Setan

 
Dengan ilmu mengentengi tubuh yang 
sangat sempurna, mereka mulai mengepung 
rumah besar itu dari segala penjuru. Di dalam 
terlihat terang benderang, tanda bahwa se-
mua penghuninya belum tidur semua. Seseo-
rang dari pengintai itu, yang bertubuh agak 
besar, mendekati seorang laki-laki berusia ti-
ga puluh tahun. Tubuhnya sedang dan wa-
jahnya selalu berkerut. 
"Ketua, apakah akan kita masuki saat 
ini juga?" tanyanya menunggu perintah. 
Orang itu diam sejenak dan kembali memper-
hatikan rumah itu. Beberapa saat kemudian 
dia mengangguk pasti. Orang bertubuh besar 
itu cepat bergerak memberi komando pada 
beberapa orang kawannya. Tak berapa lama 
terlihat beberapa orang yang memakai baju 
hitam dengan lambing tengkorak di pung-
gungnya, meloncat dari cabang-cabang pohon 
serta dari balik semak-semak. Dengan men-
gendap-endap mereka melompati pagar. Lima 
penjaga tersentak kaget. Seseorang memben-
tak sambil membawa obor menerangi tempat 
yang dicurigainya.  
"Siapa itu?!" 
Tak ada sahutan. Dia coba mene-
gaskan sambil mendekati tepi pagar. Keempat 
kawannya memperhatikan dari gardu mereka 
dengan seksama. 
"Aaaaaakh...!" 
 
Orang yang membawa obor itu tiba-tiba 
keluarkan jerit kematian. Tubuhnya limbung, 
dan kemudian ambruk dengan leher hampir 
putus. Melihat itu, tentu saja keempat ka-
wannya cepat bergerak dan menghunus golok 
masing-masing dan bersiaga menghadapi ke-
mungkinan.  Salah seorang diantara mereka 
yang bertubuh besar dan bercambang bawuk, 
keluarkan suara mengancam.  
"Anjing-anjing geladak! Perlihatkan ce-
congor kalian ke sini biar bisa kuhadiahkan 
kepalamu untuk Kanjeng Raden Nugraha Wi-
sesa, karena kalian begitu lancang memasuki 
rumah kediamannya!" 
"Hi… hi… hi… hi...!" Terdengar ketawa 
mengikik tanpa ujud, dari kegelapan cabang 
pohon yang tak jauh dari rumah ini. "Berani 
betul kau mengatai kami sebagai anjing. Ju-
lukan itu lebih tepat buatmu. Bukankah ka-
lian yang menjaga di sini gunanya seperti anj-
ing-anjing kelaparan yang bisanya cuma me-
nangkap seekor maling kelas teri?! He., he., 
he...! Lebih baik kalian gorok leher sendiri se-
belum aku yang akan menggoroknya!" 
"Buangsaaaat...! Apa kamu pikir si 
Alap-Alap Golok Terbang keder menghadapi-
mu!" bentak orang yang bercambang bawuk 
itu. "Keluarlah kau dan tunjukkan cecongor-
mu!" 
"Ha... ha... ha... ha....! Jadi engkau 
orang yang punya nama Alap-Alap Golok Ter-
bang?" 
"Kalau sudah tahu, kenapa tak cepat-
 
cepat kabur?!" 
"Ha... ha... ha... ha....!" Suara itu per-
dengarkan suara halus yang lebih panjang. 
Selesai ketawanya, tiba melesat beberapa 
bayangan yang langsung menyerang keempat 
penjaga itu. Masih untung keempat orang itu 
telah siap, jadi mereka bisa langsung berkelit 
atau menangkis. Seorang diantara mereka 
malah langsung balas menyerang. 
"Ingin kulihat kemampuan si Alap-alap 
Golok Terbang menghadapi murid-murid Per-
guruan Tengkorak Hitam tingkat ketiga!" lan-
jut suara itu lagi dengan suara yang meman-
dang rendah pada orang bercambang bawuk 
itu. Direndahkan begitu, bukan main marah-
nya si Alap-Alap Golok Terbang yang bernama 
Gondo Suramangun. Dengan cepat dicabut-
nya senjata yang berupa golok se-panjang dua 
depa. Bagian atasnya nampak melebar dan 
tajam mengkilat. Sepasang matanya liar dan 
menatap bengis pada dua orang lawan yang 
mengurungnya. Dengan teriakan keras, dia 
mulai mainkan jurus Membelah Kayu Men-
congkel Akar, yang merupakan jurus terdah-
syat yang dimilikinya. Agaknya orang ini ingin 
membuktikan bahwa dirinya tak bisa dipan-
dang enteng begitu saja, dengan niat menja-
tuhkan dua orang penyerang yang mengaku 
sebagai murid-murid Perguruan Tengkorak 
Hitam. 
"Ciaaaat!" 
"Trang! Trang!" 
"Wuaaaaa....!" 
 
Dengan sebat, golok di tangan Gondo 
Suramangun memapaki ayunan pedang la-
wan. Terlihat bunga api di malam yang kelam 
ini. 
Namun alangkah kagetnya orang ber-
cambang bawuk ini saat dia baru saja jejak-
kan kaki, terdengar jerit kematian. Ketika me-
lihat, ternyata dua orang kawannya tewas 
dengan leher hampir putus. Seorang lagi 
nampak sedang terdesak hebat menghadapi 
tiga orang pengeroyoknya. Dengan geram dan 
gigi bergemeletuk, dia babatkan golok pada 
lawan. Tapi dua orang pengeroyoknya itu bu-
kanlah anak kemarin sore yang baru belajar 
ilmu silat. Meski mereka hanya murid-murid 
tingkat tiga, tapi siapa yang tak kenal dengan 
Perguruan Tengkorak Hitam? Selain ganas 
dan kejam, mereka juga terkenal dengan ilmu 
pedangnya yang lihai dan jarang ketemu ban-
dingnya. Sudah barang tentu hal ini sangat 
menyulitkan Gondo Suramangun. Meski telah 
kerahkan segenap kemampuan untuk cepat-
cepat membereskan lawan, tapi akhirnya ma-
lah dia sendiri yang pelan-pelan terdesak he-
bat. 
"Kurang ajar!" makinya saat ujung pe-
dang salah seorang lawan nyaris memotes le-
hernya. Masih  untung dia cepat memapaki. 
Tapi tangannya kesemutan saat senjata me-
reka beradu. Dari situ saja sebenarnya dia te-
lah mengetahui bahwa tenaga dalam lawan 
setingkat lebih tinggi. Bagaimana mungkin 
dia bisa mengalahkan kedua orang ini? Diam-
 
diam orang bertubuh besar itu mengeluh di 
hati. Serangan lawan dirasa semakin berat. 
Satu serangan yang menusuk ke jantung ber-
hasil dielakkannya. Namun yang seorang lagi 
dengan cepat membabat pinggang. 
"Trang!" 
"Cras! Cras!" 
"Wuaaaa...!!"  
Gondo Suramangun coba memapaki, 
namun alangkah kagetnya orang itu saat la-
wan yang seorang lagi sabetkan pedang ke 
leher. Dengan mati-matian dia berusaha 
mengelak. Namun tak urung, ujung pedang 
lawan berhasil merobek lehernya sedalam tiga 
senti. Kontan saja orang bercambang bawuk 
itu menjerit kesakitan sambil pegangi leher-
nya. Belum lagi sempat menguasai diri, lawan 
telah kembali ayunkan pedang, dan... cras! 
Dalam sekali tebas, kedua pergelangan tan-
gan dan batang lehernya putus seketika. 
Orang itu tak sempat lagi keluarkan suara. 
Tubuhnya limbung sesaat, kemudian am-
bruk tanpa bergerak lagi. Tanpa membuang 
waktu, orang-orang dari Perguruan Tengkorak 
Hitam itu menyerbu ke dalam setelah bersa-
maan dengan itu salah seorang kawannya si 
Alap-Alap Golok Terbang yang tinggal seo-
rang, dibuat mampus dengan leher putus. 
"Berhenti...!" teriak seseorang yang 
berdiri di ambang pintu depan yang terkuak 
pelan-pelan. Nampak seraut wajah berwibawa 
dengan pakaian bagus layaknya seorang 
bangsawan di jaman ini. Usianya sekitar tiga 
 
puluh tahun. Sorot matanya tajam  menatap 
pada beberapa orang yang membawa-bawa 
pedang di hadapannya pada jarak dua tem-
bok. Orang-orang itu tertegun untuk bebera-
pa saat. Bangsawan yang tak lain dari tuan 
rumah yang bernama Nugraha Wisesa, lan-
jutkan ucapannya. 
"Hemm, ternyata kalian orang-orang 
Tengkorak Hitam. Ada keperluan apa malam-
malam begini menyambangi kediamanku dan 
membuat onar?" 
Salah seorang diantara mereka maju 
dua langkah sambil hunuskan pedang. "Eng-
kaukah yang bernama Nugraha Wisesa?!" ta-
nyanya sinis. 
"Betul!"  
"Bagus! Serahkan Sepasang Pedang Se-
tan itu pada kami!" 
"Pedang Setan?" Laki-laki berpakaian 
mewah itu kernyitkan dahi begitu mendengar 
permintaan mereka. "Maaf, kisanak. Mungkin 
kalian salah alamat. Aku sama sekali tak ta-
hu menahu tentang pedang yang kau sebut 
itu." 
"Jangan berpura-pura! Kau tahu betul 
tentang benda itu. Kakekmu, Tumenggung 
Gandasena pernah menyimpan sepasang sen-
jata itu. Masakan kau sebagai keturunannya 
tak tahu menahu... Mustahil!" 
"Kisanak, aku berkata yang sesung-
guhnya. Aku sama sekali tak tahu  menahu 
tentang senjata yang kau sebutkan tadi," sa-
hut Raden Nugraha Wisesa masih menahan 
 
sabar. 
"Ha... ha... ha... ha...! Apa yang kau ka-
takan tak salah!" sahut satu suara diiringi 
tawa yang menyeramkan. Saat itu juga me-
layang seorang bertubuh sedang dari atas se-
buah cabang pohon. Dia berdiri persis di ha-
dapan pemilik rumah itu pada jarak satu 
tombak. Wajahnya menyeramkan dengan so-
rot mata tajam. Meskipun sudah tertawa, tak 
terlihat sedikitpun keramahan di wajahnya 
itu. 
"Mungkin kau tak tahu menahu ten-
tang  sepasang senjata itu," lanjut orang itu, 
"Tapi di sinilah letak muslihat yang dijalan-
kan kakekmu itu. Dia sengaja memilih eng-
kau yang menyembunyikan Pedang Setan 
agar orang-orang persilatan tak mencuri-
gainya.  Siapa yang tak mengenal Raden Nu-
graha Wisesa sebagai orang yang lemah lem-
but dan selalu menggeluti kesusteraan? Ber-
beda betul dengan kakek atau ayahmu si Arya 
Sena itu. Mereka adalah orang-orang kerajaan 
yang kasar dan perkasa. Setelah mereka te-
was dalam peperangan, siapa lagi yang akan 
mewarisi pedang itu kalau bukan engkau!" 
"Kisanak, siapakah engkau ini? Kenapa 
engkau begitu mengenal kakek dan ayahku?" 
tanya Raden Nugraha Wisesa heran. Orang 
itu tergelak sambil bertolak pinggang. 
"Masakan engkau tak mengenal pa-
manmu sendiri? Bisa jadi si Arya Sena malu 
menceritakannya. Tapi baiklah akan kute-
rangkan siapa aku sebenarnya! Namaku Su-
 
ryudana? Dan ibuku adalah selir kakekmu 
yang paling muda. Jadi antara aku dan 
ayahmu ada pertalian saudara meski cuma 
saudara tiri. Dengan begitu engkau masih 
terhitung keponakanku." 
"Ah, maafkanlah atas kelancanganku, 
paman," sahut Raden Nugraha Wisesa sambil 
menjura hormat. "Memang benar. Ayah tak 
pernah menceritakan tentang paman sedikit-
pun." 
"Sudahlah. Aku tahu betul tentang wa-
tak ayahmu. Dia sangat membenciku. Tapi 
aku tak bisa berlama-lama, Nugraha. Kau su-
dah tahu apa yang kuinginkan, bukan?" 
"Apakah tentang Pedang Setan itu, pa-
man?" 
"Betul!" 
"Ah, sayang sekali. Aku sungguh-
sungguh tak mengetahuinya sedikitpun. Men-
gapa tak percaya juga?" sahut. Raden Nugra-
ha Wisesa dengan suara lunak. Tapi Duryu-
dana agaknya brangasan dan mulai hilang 
kesabarannya. Dengan suara yang agak ke-
ras, dia kembali berkata. 
"Nugraha, jangan coba-coba menyem-
bunyikan sesuatu padaku. Katakan di mana 
pedang itu berada dan aku akan segera pergi 
dan tak akan mengganggu di sini lagi!" 
Mendengar ucapan orang itu, tentu sa-
ja Nugraha Wisesa jadi merasa kurang se-
nang. Kalaupun tadi dia mengakui begitu saja 
orang ini sebagai paman tanpa selidik lebih 
dulu, itu karena dia tak mau membuat masa-
 
lah yang lebih panjang. Dengan diakuinya 
orang ini sebagai paman, siapa tahu dia mau 
urungkan niat jahatnya. Namun diperlakukan 
begitu, tentu saja dia tak bisa terima. Masih 
dengan suara lunak, namun mengandung ke-
tegasan, dia menjawab. 
"Paman, sekali lagi kutekankan pula 
padamu, bahwa aku sama sekali tak tahu 
menahu tentang pedang yang kau cari itu! 
Maaf, aku tak bisa membantumu. Kalau kau 
datang untuk bersilaturahmi, tentu aku akan 
senang sekali. Tapi kalau kau datang untuk 
mencari keributan, aku tak punya waktu me-
ladeninya. Lagipula hari telah terlalu malam," 
sahut Raden Nugraha. 
Tentu saja diperlakukan begitu amarah 
Duryudana semakin memuncak. Lebih-lebih 
saat dilihatnya tuan rumah bersiap-siap putar 
tubuh dan akan menutup pintu. Dengan be-
rang dan sekali tendang, daun pintu rumah 
itu hancur ditendangnya. Dengus nafasnya 
semakin kencang. Rahangnya bergemeletukan 
menahan geram. Sepasang matanya menatap 
tajam pada tuan rumah yang tersentak kaget 
karena perbuatannya. Beberapa orang anak 
buahnya telah siap dengan pedang terhunus 
sambil mendekat pelan. 
"Aku masih berlaku sabar padamu, 
Nugraha. Katakan di mana pedang itu berada, 
nyawa keluargamu pasti kuampuni. Tapi ka-
lau kau membandel dan pura-pura tak tahu, 
kau tahu sendiri akibatnya!" kata Suryudana 
sambil menjambak rambut Raden Nugraha 
 
dan menyorongkannya ke salah satu pilar. 
Dengan keras dihantamkannya batok kepala 
itu hingga laki-laki bangsawan itu menjerit 
kesakitan manakala darah mulai mengucur 
dari batok kepalanya. 
Pada saat itu, sekonyong-konyong ke-
luar seorang perempuan berusia sekitar dua 
puluh lima tahun dari salah sebuah kamar. 
Wajahnya cantik jelita, rambutnya ikal 
mayang. Dalam pangkuannya terdapat seo-
rang bayi berusia sekitar enam bulan. Wajah-
nya terlihat pias dan jeritnya tak terbendung 
manakala dilihatnya Raden Nugraha menjerit-
jerit kesakitan. 
"Kangmas....!!" 
Raden Nugraha menatap lesu saat pe-
rempuan itu berlari mendekatinya. Tapi dia 
berusaha memperingati dengan sekuat tenaga 
yang dimilikinya. 
"Ratiiiih, cepat selamatkan dirimu! 
Jangan dekat-dekat ke sini! Ayo, selamatkan 
dirimu! Jangan hiraukan aku!!" 
Belum lagi sempat perempuan itu ber-
pikir lebih lanjut, salah seorang murid Teng-
korak Hitam telah melesat dan menyambar 
tubuhnya sambil terkekeh pelan. Suryudana 
hanya mendengus sambil memberi isyarat 
pada anak buahnya itu. 
"Jaga dia baik-baik dan yang lain, gele-
dah seluruh isi rumah ini!" 
"Baik, ketua!" sahut mereka. Suryuda-
na kembali mendengus sinis pada Raden Nu-
graha. "Nah, kau lihat bukan? Aku bisa ber-
 
buat apa saja kalau kau tak menurut. Kau 
masih punya istri yang cantik dan seorang 
bayi. Kalau kau sayang jiwamu dan jiwa ke-
luargamu, katakan di mana pedang itu bera-
da. Kalau tidak, kau akan melihat mereka 
mati satu persatu di hadapanmu!" 
"Cuih! Bedebah! Meskipun aku tahu di 
mana benda itu berada, tak nanti kau akan 
kuberitahu!" meludah Raden Nugraha dan te-
pat mengenai Suryudana. Bukan main kalap-
nya orang itu. Lutut kanannya segera terayun 
ke perut Raden Nugraha dengan keras. Laki-
laki bangsawan itu menjerit setinggi langit. 
Dari mulutnya muncrat darah segar. 
Perempuan  yang tak lain dari istrinya 
itu kembali menjerit ketakutan dengan wajah 
panik. Namun seorang murid Tengkorak Hi-
tam yang memegangnya, memperkuat cekalan 
ketika perempuan itu berusaha berontak. 
"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!" 
maki Raden Nugraha. Suryudana tersenyum 
sinis sambil melirik perempuan itu. 
"Istrimu cantik juga, Nugraha..." ka-
tanya tersenyum sinis sambil mendekat dan 
melepas jenggutannya di rambut laki-laki itu. 
"Alangkah manisnya kalau dia ikut dengan-
ku..." 
"Keparat! Hentikan niat busukmu itu!" 
maki Raden Nugraha sambil menerjang ketua 
Perguruan Tengkorak Hitam dengan kalap. 
Tapi apalah dayanya. Laki-laki itu sama sekali 
tak mengerti ilmu silat. Sekali Suryudana 
mendengar desir angin serangan, dia berkelit 
 
dengan mudah. Kaki kanannya menggaet kaki 
lawan. Tak ampun lagi, Raden Nugraha ter-
sungkur dengan dagu menghantam lantai 
rumahnya yang terbuat dari marmer keras. 
Darah mengucur deras dari dagunya yang ro-
bek. Dia berusaha bangkit, namun kaki ka-
nan Suryudana lebih cepat lagi menginjak 
punggungnya. 
"Yang aku inginkan hanya sepasang 
pedang itu, Nugraha. Tapi karena kau menu-
tup-nutupinya, terpaksa aku menginginkan 
segalanya. Termasuk istrimu yang cantik ini!" 
kata Suryudana dengan senyum sinis. Sekali 
dia memberi isyarat, anak buahnya itu men-
dorong tubuh perempuan itu setelah terlebih 
dulu merenggut bayi dalam momongannya. 
Karuan saja, bocah yang belum lagi berusia 
setahun itu menjerit keras. Istri Raden Nu-
graha berusaha menyambarnya. Tapi Suryu-
dana lebih cepat lagi bergerak memeluk pe-
rempuan itu dan mencumbuinya di depan 
mata Raden Nugraha. Laki-laki itu memaki 
garang. Teriakan-teriakan bayi serta istrinya 
yang ketakutan, seolah memberi semangat 
untuknya. Dengan menggeram buas, dia be-
rusaha bangkit. 
"Bukk!" 
"Aaaaakh...!" 
Seorang anak buah Tengkorak Hitam 
langsung menghajar dadanya dengan ujung 
kaki. Laki-laki itu terjerembab sejauh satu 
tombak. Ubun-ubun kepalanya membentur 
tembok. Untuk sesaat Raden Nugraha tak bi-
 
sa berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berat 
dan darah menetes dari luka akibat benturan 
yang dilakukan Suryudana tadi sebelumnya. 
Samar-samar dia melihat istrinya diseret den-
gan paksa ke kamar yang pintunya sengaja 
dibuka hingga mampu dilihatnya. Darah laki-
laki itu semakin mendidih menahan amarah. 
Dia berusaha bangkit saat pandangannya me-
lihat  istrinya sedang digeluti oleh ketua Per-
guruan Tengkorak Hitam itu. Namun baru sa-
ja dia mendongakkan kepala, satu tendangan 
kembali menghajar wajahnya. Laki-laki bang-
sawan itu menjerit keras menahan sakit. Tapi 
lebih sakit lagi hatinya mendengar istrinya 
berteriak-teriak ketakutan tanpa daya. 
Tapi bagai tak merasakan sakit yang 
dideritanya, Raden Nugraha terus mencoba 
melawan. Akibatnya sungguh sangat parah. 
Beberapa orang anggota Tengkorak Hitam 
yang telah melaporkan bahwa mereka tak 
menemukan apa-apa di rumah ini, bertindak 
beringas kepadanya akibat kemarahan Su-
ryudana yang merasa niatnya mencari sepa-
sang Pedang Setan itu tak ketemu. Ketua 
Tengkorak Hitam itu memaki-maki habis-
habisan pada anak buahnya. 
"Pergi cari lagi dan biarkan laki-laki itu 
merangkak-rangkak ke sini untuk menolong 
istrinya!" 
"Baik, ketua!" sahut mereka serentak. 
Anak buahnya segera mengerti maksud ketua 
mereka. Dengan sadis mereka membuat Ra-
den Nugraha tak berdaya. Kedua kakinya di-
 
buntungi, punggung ditendang berkali-kali 
hingga beberapa tulangnya hancur. Wajahnya 
dipermak habis-habisan. Setelah puas dan 
merasa bahwa laki-laki bangsawan itu tak 
mempunyai daya lagi, mereka meninggalkan-
nya begitu saja. Raden Nugraha berusaha 
bangkit sambil merangkak-rangkak mendeka-
ti Suryudana yang masih saja menggeluti is-
trinya yang telah dibuatnya tak berdaya sete-
lah ditotok urat geraknya. 
"Sekarang kau bisa merasakan akibat 
kebandelanmu sendiri, Nugraha. Mestinya 
aku tak memperlakukan kau begini rupa asal 
kau sudi menunjukkan padaku, di mana Pe-
dang Setan itu berada. Tapi tak apalah. Hi-
tung-hitung dendamku terhadap keluarga ka-
lian akan terbalas hari ini. Betapa ayahmu 
sangat menghina padaku karena ibuku hanya 
seorang selir dari kakekmu. Ayahmu meman-
dang dan memperlakukanku bagai seekor 
anjing. Kau dapat rasakan hal itu. Saat itu 
aku tak berdaya, persis keadaanmu sekarang 
ini. Kurasa kaupun tahu hal itu sebab usia 
kita tak jauh berbeda. Nah, sekarang rasa-
kanlah bagaimana aku merasakannya tempo 
hari!" kata Suryudana sambil tergelak-gelak 
dan mencumbu perempuan itu dengan serin-
gai buas. Perempuan itu berteriak-teriak ke-
takutan sambil memaki-maki. Tapi mana mau 
Suryudana melepaskan begitu saja. Apalagi 
saat nafsu iblisnya mulai memuncak tatkala 
pakaian perempuan itu mulai tak karuan di-
acak-acaknya. Tersingkaplah daerah-daerah 
 
terlarang di bagian dadanya yang halus dan 
montok. Darah Suryudana seolah mengalir 
kencang dan tak beraturan. Dengan mengge-
ram hebat, dia melucuti seluruh pakaian pe-
rempuan itu tanpa sisa. Setelah itu, dia sen-
diri membuka pakaiannya dengan terburu-
buru. 
Raden Nugraha tak kuat melihat pe-
mandangan yang berada di depan matanya 
itu. Dia berusaha bangkit, tapi untuk berge-
rak pun terasa sakit luar biasa. Kepalanya 
tertunduk lesu manakala telinganya menden-
gar teriakan-teriakan istrinya yang akhirnya 
mulai hilang dan berganti dengan dengus na-
fas Suryudana yang memburu bagai orang 
berlari. Pandangannya pun mulai mengabur. 
Ingatannya melayang entah ke mana. Suara-
suara itu semakin samar di telinga, dan tiba-
tiba terasa rumahnya panas bagai dikelilingi 
api yang berkobar-kobar dengan hebat. 
Apa yang dirasakan oleh laki-laki itu 
ternyata tak salah. Setelah puas melam-
piaskan nafsu iblisnya, rupanya dendam ke-
sumat Suryudana belum tuntas. Setelah pe-
dang yang dicarinya tak diperoleh, dia meme-
rintahkan anak buahnya untuk membakar 
seluruh gedung ini berikut penghuninya. 
Termasuk di dalamnya bayi yang belum beru-
sia setahun itu. Raden Nughraha tak mampu 
berbuat apa-apa. Selain tubuhnya yang terlu-
ka parah, diapun pingsan saat itu. Apalagi is-
trinya yang menderita tekanan batin akibat 
perbuatan Suryudana. Saat itu juga tak sa-
 
darkan diri. Tinggallah bayi itu yang terus 
menjerit ketakutan melihat kobaran api dan 
kepanasan yang amat sangat. 
Suryudana tergelak puas dan tinggal-
kan tempat itu seketika sambil berkelebat ce-
pat. Tanpa sepengetahuannya, seseorang ber-
kelebat ke dalam rumah yang sedang diamuk 
api tadi dan menyambar tubuh bayi yang ter-
geletak di ranjang dan membawanya kabur 
entah ke mana. Tepat saat itu, terdengar de-
rak kayu dan genteng-genteng rumah yang ja-
tuh. Rumah itu roboh beberapa saat kemu-
dian dan mengubur dua orang penghuninya 
saat itu juga. 
 
 
Sesosok tubuh itu terus berlari dan 
berlari dengan lincahnya sambil mengerahkan 
ilmu mengentengi tubuh yang telah mencapai 
tingkat sempurna. Kedua tangannya tampak 
memomong seorang bocah yang berusia ku-
rang dari setahun. Kalau melihat raut wajah-
nya di kegelapan itu, agak kurang jelas. Yang 
pasti dia memiliki tubuh ramping agak tinggi 
dan berambut panjang dengan pengikat kepa-
la. 
Tubuh itu terus berlari hingga mende-
kati kaki Gunung Sumbing. Dia berhenti se-
jenak sambil mengatur nafas. Wajahnya men-
dongak ke atas pada tebing-tebing terjal. Lalu 
dengan sekali genjotkan tubuh, dia telah me-
 
lesat seringan kapas dan berloncat-loncatan 
melalui batu-batu yang menonjol di  tebing-
tebing itu. Kira-kira sepeminuman teh sam-
pailah sesosok tubuh itu pada sebuah data-
ran yang agak luas. Bertepatan dengan fajar 
yang mulai tiba. Dia berlari-lari kecil mende-
kati sebuah pondok yang tak jauh dari situ 
sambil berteriak-teriak memanggil seseorang 
dari dalamnya. 
"Eyang...! Eyang...! Cepatlah keluar dan 
lihat apa yang kubawa ini!" 
"Ulah apa lagi yang kau buat saat ini? 
Apakah kau telah memenggal kepala penjahat 
ternama?" Terdengar sahutan dari dalam 
pondok tanpa orangnya keluar. 
"Ayolah, Eyang...! Apakah kau tak ber-
minat melihatnya?" sahut suara itu manja. 
"Ya, ya! Aku mendengar tangis bayi. 
Tapi dari mana kau dapatkan anak itu?" 
"Bukan mendapatkannya, malah aku 
menyelamatkannya!" Tubuh itu masuk den-
gan cepat ke dalam pondok. Di dalamnya tak 
terlalu luas. Dua buah kamar tidur dan ruan-
gan yang menembus ke dapur. Dindingnya 
terbuat dari tepas dan beratap daun nira. Di 
ruang depan terlihat seorang berusia sekitar 
delapan puluh tahun sedang duduk bersila di 
atas bale-bale. Kepalanya yang botak ditutupi 
oleh sorban putih. Janggutnya panjang seda-
da dan telah memutih. Wajahnya masih keli-
hatan bersih meski kerut merut telah nyata di 
sana sini. Wajahnya membiaskan kekerasan, 
namun ada wibawa yang dipancarkan. 
 
Sesosok tubuh itu yang kini mulai nya-
ta ditimpa cahaya obor di ruangan itu ternya-
ta seorang gadis jelita berusia sekitar duapu-
luh enam tahun. Dia segera memberi hormat 
setelah meletakkan bayi itu di dekat si orang 
tua. 
"Roro Ningrum, dari mana saja kau se-
jak subuh dan kembali subuh pula?!" tanya 
orang tua itu pelan namun mengandung kete-
gasan dan ancaman 
"Ti... tidak dari mana-mana, Eyang," 
sahut gadis itu kecut. "Aku... aku hanya me-
rasa kesepian di sini terus. Apakah salah se-
sekali turun gunung untuk berbaur dengan 
dunia ramai?" 
Mendengar jawaban itu, si orang tua 
terdiam sejenak. Suaranya berubah lunak 
dengan nada membujuk. 
"Roro, sudah berapa kali Eyang kata-
kan. Dunia ramai itu tak cocok untuk mu. Di 
sana banyak kekejaman yang se-waktu-waktu 
dapat merenggut jiwamu..." 
"Eyang, duapuluh enam tahun aku be-
rada di sini, apakah itu bukan suatu bukti 
bahwa aku cukup bersabar diri dalam kese-
pian? Terkadang aku butuh kawan untuk 
bercerita dan bercanda. Tapi hanya dengan 
burung dan angin saja aku bisa bicara dan 
mengadu. Salahkah bila aku bertemu dengan 
orang-orang ramai, lalu bergaul dan berbuat 
sesuatu yang bisa membantu mereka? Aku 
sudah cukup besar untuk menjaga diri. Se-
mua petuah Eyang rasanya tak pernah lupa 
 
di benakku. Lalu apa lagi yang Eyang khawa-
tirkan?" 
Orang tua itu hela nafas. Untuk sesaat 
dia tak tahu apa yang harus dikatakannya. 
Apa yang diucapkan gadis itu tak salah. Se-
lama ini dia terlalu khawatir bila gadis itu tu-
run gunung dan berbaur di dunia ramai. Me-
nurutnya dunia ramai itu penuh dengan tipu 
muslihat dan kecurangan. Dia tak mau cicit 
satu-satunya itu menjadi korban dari kelici-
kan orang-orang. Lebih-lebih saat kedua 
orang tua gadis ini meninggal juga akibat dari 
kelicikan, semakin membuatnya bertambah 
was-was. 
Karena tak mau lagi menyinggung ten-
tang hal itu, si orang tua mengalihkan pembi-
caraan pada persoalan bayi itu. Roro Ningrum 
pun menceritakan persoalan yang diketa-
huinya. Orang tua itu manggut-manggut. 
"Maaf, Eyang. Aku patuh pada nasehat 
Eyang, tapi kadang-kadang juga ada niat un-
tuk berontak. Maka Eyang angkatlah bayi ini 
kelak menjadi murid agar aku memiliki ka-
wan hingga aku tak merasa kesepian lagi," 
kata Roro Ningrum mengajukan alasan. 
"Hemm, aku paham maksudmu, Roro. 
Tapi mengangkat seorang murid, buatku bu-
kanlah persoalan mudah..." 
"Kalau Eyang tak mau, biarlah aku 
pergi saja dari  tempat yang membosankan 
ini!" potong gadis itu cepat sambil merajuk 
dan palingkan wajah. Orang tua itu tak tahu 
harus berkata apa lagi. Dia cuma bisa hela 
 
nafas pendek. 
"Baiklah! Baiklah! Aku akan turuti 
permintaanmu, tapi dengan satu syarat, bah-
wa kau harus yakin bahwa bocah ini berasal 
dari keluarga baik-baik, dan kau bersedia 
menanggung akibat dari perbuatannya kelak 
di kemudian hari!?" 
"Sanggup!" sahut gadis itu cepat tanpa 
pikir panjang lagi. "Bukankah aku telah kata-
kan pada Eyang bahwa bayi ini anak seorang 
bangsawan?"  
"Orang bangsawan tak sama dengan 
orang baik-baik! Siapa nama bangsawan itu?" 
"Mana kutahu!" sahut Roro sambil 
angkat bahu.  
"Kalau kau katakan bahwa orang tua 
anak ini dibantai oleh mereka yang menjuluki 
diri sebagai orang-orang Tengkorak Hitam. 
Kenapa kau tak menolong kedua orang tua-
nya?" 
"Mana aku tahu. Pada saat itu kawa-
nan itu telah pergi jauh dan lagi pula Eyang 
berpesan bahwa aku tak boleh banyak ikut 
campur dalam urusan orang-orang persilatan. 
Aku turuti nasehat Eyang itu. Tapi menyela-
matkan bayi ini, tentu tak melanggar pesan 
Eyang, bukan?" 
"Kau memang pandai sekali bicara!" 
sahut orang tua itu sambil gelengkan kepala. 
Gadis itu ketawa renyah. 
"Jadi bagaimana, Eyang? Apakah 
Eyang mengijinkan bayi ini tinggal di sini dan 
kelak Eyang angkat menjadi murid pula?!" 
 
"Kalau kau telah berjanji begitu, buat 
apa pula aku ragu?" 
"Oh, terima kasih, Eyang!" jawab gadis 
itu girang bukan main. "Kini aku punya te-
man dan tak kesepian lagi. Biarlah kurawat 
dia bagai anakku sendiri," lanjutnya sambil 
mencarikan baju-baju yang tak pantas untuk 
bayi itu. 
Siapakah sebenarnya orang tua yang 
menghuni puncak Gunung Sumbing ini sebe-
narnya? Puluhan tahun yang lalu rimba per-
silatan pernah digemparkan oleh kemunculan 
seorang pemuda perkasa yang ilmu silatnya 
tinggi luar biasa. Tak seorang pun yang mam-
pu mengalahkannya. Banyak sekali tokoh-
tokoh sesat yang dibantainya dengan sepa-
sang senjatanya yang berupa dua bilah pe-
dang. Meski dia sendiri termasuk orang persi-
latan kaum lurus, namun tindakannya kejam 
sekali dalam membantai musuh-musuhnya. 
Semua itu tak lain karena pengaruh senjata 
mustikanya itu. Lama kelamaan pemuda itu 
akhirnya mulai menyadari kekeliruannya dan 
melepaskan senjata itu dengan menitipkan-
nya pada seorang kawannya yang bisa diper-
caya. Dia sendiri akhirnya mengasingkan diri 
di puncak Gunung Sumbing ini dan perlahan-
lahan namanya mulai dilupakan orang yang 
menyangkanya telah tiada. Orang itu mem-
punyai gelar Malaikat Pedang Bertangan Seri-
bu! 
 
 
 
Waktu berjalan tanpa terasa dari hari 
berganti hari dan bulan berganti tahun. Kehi-
dupan terus berlangsung sebagaimana mes-
tinya. Roda jaman seakan menggilas dan 
menggelar berbagai peristiwa. Tak terasa, tu-
juh belas tahun telah berlalu sejak peristiwa 
itu. Di puncak Gunung Sumbing seakan tak 
lewat dari hukum alam itu. Bayi perempuan 
yang diselamatkan Roro Ningrum telah ber-
kembang menjadi dewasa. Seorang gadis ru-
pawan yang cantik jelita. Perempuan itu telah 
menganggapnya sebagai anak sendiri. Kasih 
sayangnya tercurah bagai seorang ibu pada 
anak kandungnya. 
Pagi ini nampak orang tua yang berge-
lar Malaikat Pedang Bertangan Seribu gelisah 
sekali seperti ada yang dipikirkannya. Bela-
kangan ini bukan ulah Roro Ningrum yang 
masih saja kelayapan di dunia ramai yang 
dikhawatirkannya, melainkan ada sesuatu 
yang lebih penting dari cerita yang dibawa ci-
citnya itu. 
Sementara itu sepasang matanya tak 
berkedip melihat dua orang perempuan yang 
sedang berlatih ilmu silat tak jauh dari pon-
dok. Kemajuan gadis itu pesat sekali. Roro 
Ningrum seolah tak jemu melatih dan menun-
jukkan kesalahannya. Lagipula tutur bahasa 
gadis itu lemah lembut dan tak terlihat kesan 
sebagai gadis binal. Hal ini semakin membuat 
 
orang tua itu bertambah suka padanya. 
"Eyang tak memperhatikan kami berla-
tih?" sapa Roro Ningrum yang tiba-tiba telah 
berada di depan orang tua itu. Perempuan 
yang kini berusia lebih empat puluh tahun itu 
duduk di sebelahnya dan memperhatikan 
dengan seksama. Meski usianya telah mende-
kati setengah abad, namun tak terlihat kesan-
kesan tua di wajahnya. Bahkan sepintas 
orang akan melihatnya seperti gadis usia du-
apuluh tahun saja layaknya. 
"Ada sesuatu yang Eyang pikirkan?" 
tanya gadis yang bersama cicitnya itu dengan 
lemah lembut. "Katakanlah, Eyang. Barangka-
li kami bisa membantu." 
Orang tua itu menatapnya sejenak dan 
tersenyum kecil. "Dewi Ambarwati, tahukah 
sudah berapa lama kau bersama kami?" 
"Kalau tak salah tujuh belas  tahun 
Eyang." 
"Betul. Kurasa inilah saatnya aku ha-
rus berterus terang padamu..." 
"Eyang, apakah itu perlu!" potong Roro 
Ningrum dengan wajah terkejut. Dia mulai 
menduga-duga bahwa Eyangnya  ini akan 
membeberkan rahasia gadis itu, sebab selama 
ini Roro Ningrum selalu mengatakan bahwa 
dia adalah ibunya dan orang tua itu adalah 
kakek buyutnya. Kalaupun gadis yang ber-
nama Dewi Ambarwati itu menanyakan ten-
tang ayahnya, Roro Ningrum selalu mengata-
kan bahwa ayahnya telah tewas sejak dia ma-
sih dalam kandungan. Semua itu dilakukan-
 
nya karena saking sayangnya dia pada gadis 
itu dan tak ingin dia mendapat beban pikiran 
jika mengetahui keadaan dirinya yang sebe-
narnya. 
"Tentang apakah gerangan, Eyang?" 
tanya Dewi Ambarwati penasaran melihat 
orang tua itu yang ragu sesaat. 
"Eyang, kurasa hal itu tak perlu. Dewi 
Ambarwati telah senang dan bahagia hidup 
bersama kita. Kalau Eyang bermaksud men-
ceritakan hal itu, sama artinya merusak ke-
bahagiaannya," kata Roro Ningrum lebih lan-
jut. 
"Eyang hanya ingin mengatakan sesua-
tu tentang berita yang kau peroleh tempo hari 
di luaran sana..." 
"Berita apa, Eyang?" 
"Tentang Sepasang Pedang Setan!" 
"Oh, apakah Eyang tertarik juga untuk 
merebutnya?!" 
"Tidak. Ada hal yang perlu kalian keta-
hui. Dahulu sekali saat aku masih muda, 
nama Malaikat Pedang Bertangan Seribu san-
gat ditakuti orang-orang persilatan di delapan 
penjuru mata angin. Dia memiliki sepasang 
pedang pusaka yang sangat ampuh. Kalau te-
naga batin kita tidak  kuat, maka jiwa akan 
rusak dibuatnya. Sepasang pedang itu seakan 
mendorong hati nurani kita untuk berbuat 
kejam. Waktu itu si Malaikat Pedang Bertan-
gan Seribu belum memiliki batin yang kuat 
hingga sepak terjangnya begitu meresahkan 
semua orang. Masih untung karena dia berpi-
 
jak pada jalan lurus hingga dari sekian ba-
nyak tokoh persilatan yang menjadi korban 
selalu tokoh-tokoh sesat. Tapi bukan berarti 
bahwa tokoh-tokoh golongan lurus tak ada 
yang menjadi korban. Semua itu karena do-
rongan dari sepasang pedang yang dimilikinya 
yang sangat haus darah. Untunglah akhirnya 
dia sadar dan melepaskan sepasang pedang 
itu dengan menitipkannya pada seorang ka-
wan yang bisa dipercaya...." 
"Lalu apa hubungannya dengan Sepa-
sang Pedang Setang itu, Eyang?!" 
"Aku ingin kalian mendapatkannya dan 
membawanya kemari!" 
"Eyang, itu sama artinya Eyang menyu-
ruh kami untuk terjun dalam dunia ramai 
dan berhadapan dengan tokoh-tokoh persila-
tan?!" 
Orang tua itu mengangguk lesu. "Dulu 
mungkin orang tak percaya padamu, namun 
setelah sekian lama kau membuktikan bahwa 
dirimu sanggup menjaga diri, aku semakin 
yakin bahwa kau bisa dipercaya. Lagipula 
dengan ilmu silat yang kau miliki saat ini, tak 
sembarangan orang mampu menjatuhkan-
mu." 
"Eyang, apakah sepasang pedang itu 
begitu berarti buat Eyang?" 
"Roro, sekaranglah aku berterus terang 
padamu, dan juga kau Dewi Ambarwati," Sa-
hut orang tua itu pelan setelah menghela na-
fas pendek. "Kalau aku menyuruh kalian un-
tuk mengambil kembali sepasang pedang itu, 
 
bukan berarti aku serakah. Tapi pedang itu 
adalah milikku!" 
"Jadi... jadi Eyangkah yang bergelar 
Malaikat Pedang Bertangan Seribu?!" sahut 
Roro Ningrum seolah tak percaya. Orang tua 
itu mengangguk pelan. 
"Kenapa Eyang merahasiakannya pada 
kami?" tanya Dewi Ambarwati. 
"Karena aku tahu kelakuan ibumu. Dia 
sering pergi ke dunia ramai dan aku tak mau 
dia mendapat celaka karena orang mengeta-
hui bahwa dia murid si Malaikat Pedang Ber-
tangan Seribu!" 
Untuk sesaat ketiganya membisu, na-
mun cepat dipecahkan kembali saat orang tua 
itu berkata, "Roro, sahabat yang kutitipkan 
pedang itu bernama Ki Wicaksana. Tapi 
orang-orang persilatan mengenalnya sebagai 
Pendekar Hati Suci. Sesuai dengan gelarnya 
itu, dia memang memiliki hati yang bersih 
dan selalu berbuat kebenaran dengan jalan 
sebaik-baiknya. Disamping itu, dia memiliki 
tenaga batin yang kuat saat itu. Namun ak-
hirnya aku mendengar bahwa dia dibunuh 
oleh muridnya yang bernama Parinka. Orang 
itu banyak membuat keonaran dengan sepa-
sang pedang yang dimilikinya, dan orang-
orang menjulukinya sebagai si Pedang Setan. 
Mendengar berita itu, aku berniat merampas 
kembali dari tangannya. Namun belum sam-
pai niat itu kulaksanakan, kembali kudengar 
berita bahwa si Pedang Setan berhasil dika-
lahkan dan tewas di tangan prang yang me-
 
namakan diri sebagai Raja Pedang Utara. 
Orang itu adalah seorang pendekar asing dari 
negri seberang. Entah bagaimana caranya, 
saat kerajaan Puring Kencana menyerang ne-
gri itu, salah seorang tumenggung Kerajaan 
bernama Gandasena berhasil membawanya 
pulang. Orang itu berhati lurus dan cepat 
mengetahui bahwa pedang itu selalu menun-
tut si pemegang untuk membunuh orang ser-
ta menghirup darahnya. Karena batinnya be-
lum kuat, akhirnya dia menitipkan pedang itu 
pada kawan dekatnya, seorang pembuat sen-
jata-senjata tajam bernama Empu Pupulaka. 
Namun sayang, orang tua itu akhirnya tewas 
di tangan anaknya sendiri yang ingin mengu-
asai kedua pedang itu. Sampai saat itu, Sepa-
sang Pedang Setan itu raib entah ke mana. 
Dan kini nampaknya mulai hangat kembali 
beritanya. Untuk itulah kalian kutugaskan 
merebutnya kembali!" 
"Baiklah,  Eyang. Aku mengerti seka-
rang kenapa Eyang selalu ingin menyendiri di 
tempat ini. Pedang Setan itu telah membawa 
bencana yang amat besar dan Eyang merasa 
bersalah, bukan?" 
"Itulah sebagian yang membuat hatiku 
merasa tersiksa. Selama pedang itu berada di 
tangan orang sesat, maka selama itu pula ke-
kacauan akan kembali timbul. Pedang itu se-
lalu berpasangan. Bila salah satu dimiliki, 
cukup sudah membuat si pemiliknya menjadi 
kejam dan hatinya penuh dengan niat-niat 
jahat. Kalau batinnya tak kuat, maka dia 
 
akan dikuasai pedang itu. Lalu bayangkan 
pula bagaimana seandainya sepasang pedang 
itu berada di tangan orang yang batinnya tak 
kuat? Tentulah dunia ini akan kacau dibuat-
nya. Lebih-lebih bila orang itu sakti dan be-
rilmu tinggi." 
"Lalu bagaimana kami bisa memba-
wanya jika pedang itu telah kami peroleh? 
Bukankah nantinya pedang itu akan merasu-
ki batin kita yang belum kuat?" tanya Roro 
Ningrum. 
"Roro, kekuatan batinmu untuk saat 
ini rasanya cukup. Tapi aku perlu menggo-
dokmu lebih lanjut. Untuk itulah selama se-
minggu  ini kau dan Dewi Ambarwati akan 
kuberikan pelajaran untuk menguatkan tena-
ga batin yang kalian miliki," sahut orang tua 
itu. 
"Terima kasih, Eyang. Kami akan beru-
saha sekuat tenaga untuk memperoleh pe-
dang itu kembali," sahut Roro Ningrum dan 
Dewi Ambarwati hampir berbarengan. Setelah 
menjura hormat, mereka mulai memper-
siapkan segala sesuatunya yang diperlukan 
untuk latihan yang dimulai nanti malam. 
Orang tua itu kembali menghela nafas agak 
panjang. Di batinnya bergelora keyakinan 
bahwa kedua cicitnya itu pasti mampu men-
gemban tugas yang diberikannya. 
 
 
 
 
 
Seorang pemuda berbaju merah terli-
hat asyik duduk di bawah sebuah pohon be-
sar sambil menyandarkan diri dan menikmati 
dendeng ikan lumba-lumba dengan lahap, 
yang selalu disimpannya dalam periuk besar 
yang  dibawanya ke mana saja. Pakaiannya 
terlihat dekil dan kumal, namun begitu wa-
jahnya sungguh sangat tampan, meski sedikit 
agak lucu sebab dengan rambut yang dikun-
cir dan periuk besar yang selalu menyertainya 
dia nampak aneh. Siapa lagi pemuda itu ka-
lau bukan Buang Sengketa, atau si Pendekar 
Hina Kelana. 
Sambil mengunyah makanannya den-
gan lahap, sesekali pemuda itu termenung 
sambil memandang jauh ke depan pada ham-
paran rumput luas membentang. Pemandan-
gan ini sama sekali tak mirip dengan tempat 
di mana dulu dia dibesarkan oleh orang tua 
super sakti bergelar Bangkotan Koreng Seri-
bu.  Orang tua yang telah membesarkan dan 
mendidiknya, dan telah dianggapnya sebagai 
orang tua sendiri. Ada kenang-kenangan in-
dah yang tiada terlupakan tentang ombak-
ombak dan debur laut  serta burung-burung 
camar di Pantai Karang Tanjung Api. 
Dan manakala dia teringat tentang 
orang tua kandungnya yang tiada pernah di-
jumpai, hatinya seolah terluka. Entah kenapa 
hidup seperti ini harus menimpanya. Sejak 
 
bayi tak mengetahui, siapa ayah ibunya, dan 
setelah dewasa, barulah tahu bahwa ayahnya 
adalah raja di Negri Bunian yang saat ini se-
dang menjalani hukuman karena menikahi 
ibunya yang merupakan manusia biasa. Un-
tuk bertemu pun tak mudah. Ayahnya yang 
sedang bertapa dalam ujud seekor Ular Piton 
raksasa, entah di dasar laut mana bisa dite-
muinya. 
"Ah, sungguh malang benar nasibku 
lahir di dunia ini..." desah pemuda itu tanpa 
sadar. "Sejak kecil tak berayah dan beribu. 
Kini guruku pun entah bagaimana nasib-
nya...." 
Agak lama dia termenung begitu sam-
pai telinganya yang sangat terlatih mendengar 
derap langkah kuda yang sangat cepat men-
dekat ke arahnya. Cepat-cepat pemuda itu 
bersembunyi di atas cabang sebuah pohon 
dan mengintai para pendatang itu. Apa yang 
didengarnya ternyata tak salah. Serombongan 
orang berkuda memacu kudanya dengan ce-
pat. Diantara mereka terdengar jeritan-jeritan 
seorang gadis yang terus mencaci-maki. Pe-
muda itu tak cepat turun tangan. Dia ingin 
mengetahui lebih dulu, apa persoalan yang 
sebenarnya. 
"Keparat! Lepaskan aku! Le-
paskaaaan...!" teriak gadis itu. "Kalau bapak-
ku sampai tahu, kalian bisa berbuat apa pa-
danya. Dia pasti membantai kalian semua!" 
"Siapa yang perduli pada bapakmu 
itu!? Dia boleh datang ke sini kalau punya 
 
keberanian," salah seorang yang berusia seki-
tar dua puluh lima tahun. Paras wajahnya 
gagah dan tampan. 
"Cuih! Orang-orang seperti kalian tiada 
harganya di mata bapakku!" Maki si gadis 
yang sedang dalam keadaan tertotok dan ikut 
di atas kuda pemuda itu. 
"Nona, orang-orang Tengkorak Hitam 
pantang dihina. Tapi karena urusanmu me-
nyangkut perintah ketua, aku masih berbaik 
hati tak turun tangan kasar padamu. Tapi ka-
lau engkau terus memaki-maki, maka terpak-
sa aku harus menyumpal mulutmu itu!" kata 
si pemuda dengan nada mengancam. 
"Kau kira bisa berbuat apa padaku?! 
Ayo, lepaskan totokan ini dan kita bertarung 
sampai seribu jurus!" tantang si gadis. "Kalau 
aku kalah, kau boleh pentang bacot sesuka-
mu!" 
"He... he... he....! Kalau engkau bisa 
mengalahkanku, tak mungkin tadi engkau bi-
sa kena totok." 
"Kalau kau tak main keroyokan, mana 
mungkin kau bisa mengalahkan aku!" 
"Nona, engkau memang pandai bersilat 
lidah. Tapi hari ini aku sedang tak berseman-
gat untuk meladenimu. Biarlah nanti bagai-
mana ketua yang akan menentukan. Apakah 
engkau pantas dihukum, ataukah engkau 
perlu diberi pelajaran karena mulutmu yang 
terus memaki-maki itu!" 
"Puih! Kau pikir aku takut!?" 
"Tentu saja tidak. Tapi kalau engkau 
 
kutelanjangi dan kusekap tiap hari di kamar-
ku, apakah engkau berani?" 
Mendengar itu si gadis langsung ter-
diam dan bergidik ngeri. Dia bisa mem-
bayangkan apa yang akan dilakukan pemuda 
ini nantinya. Apalagi karena dia tahu bahwa 
orang-orang Tengkorak Hitam terkenal kejam-
kejam dan suka bertindak semaunya. 
"Nah, bagaimana, nona? Apakah eng-
kau masih berani juga?" Ledek pemuda itu 
sambil cengengesan. 
"Sebenarnya untuk apa kalian mencu-
likku?" tanya si gadis mengalihkan perhatian 
dengan suara yang lebih lunak. Pemuda itu 
terkekeh pelan dan bukannya tak mengerti 
maksud si gadis yang mulai ketakutan den-
gan ancamannya tadi. Tapi melihat parasnya 
yang  jelita dan kulitnya yang halus mulus, 
serta tubuhnya yang montok, diam-diam pe-
muda ini suka pula padanya. Maka dengan 
nada yang ramah pula dia menyahut. 
"Apakah engkau mau membantu kalau 
kuberitahu?" 
"Kenapa tidak?" 
"Baiklah. Sekarang atau nanti, toh sa-
ma saja. Ketuaku ingin tahu apakah keluar-
gamu masih menyimpan Pedang Setan..." 
"Pedang Setan....?" Suara gadis itu ter-
dengar bingung dan tak mengerti. "Pedang 
apa itu? Rasanya baru sekarang aku menden-
gar namanya!" 
"Ah, sudahlah, nona. Ternyata engkau 
sama sekali tak bisa membantu. Tapi tentu 
 
saja kami tak bisa melepaskan engkau begitu 
saja." 
Mendengar jawaban itu, lunglailah si 
gadis Rasanya tiada harapan lagi dirinya un-
tuk lepas dari cengkraman mereka. Lebih-
lebih saat pemuda itu memerintahkan kawan-
kawannya untuk memacu kuda lebih kencang 
lagi. Namun pada itu tiba-tiba berkelebat satu 
bayangan yang membuat kuda tunggangan 
mereka meringkik panjang sambil berjingkat 
tinggi. Beberapa orang malah terpelanting da-
ri kudanya. Masih untung pemuda itu bisa 
menguasai  kuda dan merangkul gadis itu 
dengan cepat. Dengan mengerahkan sedikit 
tenaga dalamnya, dia mampu menjinakkan 
kudanya yang tiba-tiba menjadi liar. Sepasang 
matanya menyipit dan menyorot tajam mana-
kala melihat seorang pemuda berbaju merah 
kumal di depan mereka pada jarak dua tom-
bak. Pemuda yang rambutnya dikuncir itu 
membawa-bawa periuk besar yang membuat 
penampilannya terasa aneh di mata orang. 
"Kisanak, siapakah engkau? Kenapa ti-
ba-tiba menghalangi perjalanan kami?" Tanya 
pemuda itu dengan nada pelan namun menu-
suk dan mengandung ancaman. Beberapa 
orang kawannya nampak bergemeletukkan 
rahangnya menahan amarah. Tapi karena 
pemuda itu yang saat ini memegang koman-
do, mereka cuma bisa menunggu perintah sa-
ja. Padahal pada pemimpin-pemimpin rom-
bongan lain tak ada yang selemah pemuda ini 
dalam bertindak pada orang yang menghalan-
 
gi niat mereka dalam bentuk apapun. 
"Tentang aku, barangkali tak ada gu-
nanya diketahui," jawab pemuda berpakaian 
kumal yang tak lain dari Buang Sengketa. 
"Aku cuma seorang pengembara hina dina 
dan tak berarti apa-apa. Tapi aku sama sekali 
tak suka melihat orang berlaku seenaknya 
pada kaum yang lemah. Dan apa yang kalian 
lakukan terhadap gadis itu adalah salah satu 
contoh yang kukatakan itu." 
"Sobat, maaf!" sahut pemuda penung-
gang kuda yang bernama Danu Umbara, 
"Meski aku mengerti apa yang engkau kata-
kan, tapi aku tak bisa menuruti kesukaanmu. 
Aku hanya melaksanakan tugas dari ketua-
ku." 
"Kalau engkau punya otak, tentulah bi-
sa engkau pakai dan dapat menilai, tugas 
mana yang baik yang harus dikerjakan dan 
mana yang buruk yang harus kau tinggalkan. 
Dan apakah menurutmu menculik gadis itu 
merupakan tugas yang baik?" 
"Sobat, aku tak perduli apakah tugas 
itu baik atau tidak, yang jelas aku hanya 
menjalankan perintah. Dan engkau sebagai 
orang luar, harap  jangan turut campur uru-
san kami!" 
"Umbara, kenapa engkau malah ba-
nyak omong segala!" teriak seseorang yang 
sudah tak sabaran dan mencabut pedangnya. 
"Sudah tahu bahwa dia menghalangi kita, 
buat apa diperdebatkan segala?! Sudah, ayo 
cincang saja orang gila ini!" 
 
Beberapa orang kawannya segera cabut 
pedang dan turun dari kudanya masing-
masing. Dan Umbara panas bukan main me-
lihat itu. Dengan garang dia membentak, "Bi-
rawa! Apakah engkau pikir engkau yang me-
mimpin rombongan ini!?" 
Orang yang dipanggil Birawa itu tak 
kalah garang menjawab, "Danu Umbara, eng-
kau terlalu lemah dalam bertindak, dan sama 
sekali tak pantas memimpin rombongan!" 
"Kurang ajar! Setelah urusan ini sele-
sai, engkau akan mempertanggung jawabkan 
hal ini di depan ketua!" 
"Apa engkau pikir aku takut?" 
"Diam kau jangan banyak bacot!" ben-
tak Danu Umbara dengan suara menggelegar 
yang aliri tenaga dalam tinggi. Beberapa orang 
anak buahnya yang lain termasuk Birawa, 
tersentak kaget. Sesungguhnya mereka tahu, 
meski Danu Umbara berusia sangat muda di-
banding mereka, namun ilmu silatnya hampir 
menyamai ketua. Dan dia sangat dipercaya 
sebagai tangan kanan ketua mereka yang 
memimpin rombongan untuk menghadapi tu-
gas-tugas sulit dan berbahaya. Tapi melihat 
sikapnya yang agak lemah dan terlalu menga-
sihani lawan, sama sekali bertentangan den-
gan mereka yang biasa kasar dan bertindak 
semaunya. 
Setelah melihat bahwa semua anak 
buahnya tundukkan kepala, Danu Umbara 
palingkan wajah dan pada pemuda di hada-
pannya itu. "Nah, sobat. Maafkan. Engkau 
 
sudah tahu bagaimana jawabanku, maka bi-
arkan kami pergi tanpa menimbulkan perseli-
sihan denganmu," katanya. 
"Mungkin saja engkau tak apa-apakan 
gadis itu, tapi tetap saja jiwanya terancam be-
rada di lingkungan orang-orang seperti ka-
wan-kawanmu itu." 
"Kisanak..." sahut Danu Umbara den-
gan suara tegas, "Jangan paksa aku berlaku 
kasar padamu. Sesungguhnya aku sudah ter-
lalu bersikap lunak. Tapi kalau engkau terus 
memaksakan keinginan dan terlalu ikut cam-
pur dalam urusan kami, aku tak bisa menja-
min anak buahku akan bersabar terus." 
Mendengar itu Buang Sengketa ketawa 
kecil. "Bajingan-bajingan seperti kalian me-
mang pandai sekali bersandiwara," kata pe-
muda itu. "Segala apa yang kalian katakan 
dan perbuat pun penuh dengan tipu musli-
hat. Aku sudah muak sekali melihat orang-
orang seperti kalian. Lepaskan gadis itu atau 
aku musti mengambilnya dengan kekera-
san!?" 
"Huh, agaknya engkau pun berminat 
pada pedang itu, atau barangkali engkau ini 
sebangsa laki-laki hidung belang! Tapi selagi 
aku masih bernafas, jangan coba-coba men-
gambilnya dari tanganku," sahut Danu Umba-
ra mulai marah. Dengan satu isyarat, dia te-
lah perintahkan anak buahnya untuk mengu-
rung pemuda itu. Mereka yang sejak tadi tan-
gannya sudah gatal melihat kelakuan pemuda 
berpakaian seperti gembel itu, dengan cepat 
 
mengurung dan kirim satu  serangan kilat 
yang cepat dan kuat serta mematikan. 
"Cecunguk-cecunguk busuk ingin 
mampus, terimalah ini!" Dengus Buang Seng-
keta sambil berkelit cepat dan mainkan jurus 
Membendung Gelombang Menimba Samudra 
sambil balas menyerang. 
"Ciaaat!" 
Tubuh pemuda berkuncir itu melentik 
ke udara dan menukik sambil kibaskan sebe-
lah tangan ke batok kepala pengeroyoknya 
yang terdekat. Keruan saja, orang itu ayun-
kan pedang. Buang Sengketa tarik mundur 
tangannya dan kirim satu tendangan kilat ke 
dagu lawan. 
"Takk!" 
Orang itu tersungkur setelah ter-
huyung-huyung beberapa tombak. Beberapa 
buah giginya tanggal. Buang Sengketa tak 
membuang-buang kesempatan. Tubuhnya 
berputar cepat dan kibaskan tangan kiri 
menghantam dada lawan yang terdekat den-
gannya. Tapi orang itupun ternyata telah ber-
siap dengan ayunan pedangnya. Seperti tadi, 
kembali pemuda berkuncir itu tarik pulang 
tangannya dan sorongkan kaki kiri ke ulu ha-
ti lawan. 
"Bukk!" 
Orang itu menjerit kesakitan sambil 
mendekap ulu hatinya yang terasa pecah ke-
na tendangan pemuda itu. Dua orang kawan-
nya kalap bukan main dan ayunkan pedang 
menebas pinggang murid si Bangkotan Ko-
 
reng Seribu itu, tapi Buang Sengketa bersalto 
dua putaran ke atas sambil ayunkan kedua 
tangannya ke batok kepala lawan. 
"Plak! Plak!" 
"Wuaaayyaaa....!" 
Meski kelihatannya lemah, namun pu-
kulan itu mengandung tenaga dalam yang 
cukup membuat pandangan kedua lawannya 
berkunang-kunang dan berdiri sempoyongan. 
"Bangsaaat! Gembel keparat! Kau ha-
dapi aku. Ciaaaat!" maki Birawa dengan ama-
rah yang meluap. Pedang di tangannya berke-
lebat ke sana sini menimbulkan suara bercui-
tan. Buang Sengketa merasakan bahwa lawan 
yang seorang ini memiliki ilmu silat yang lebih 
tinggi dari kawan-kawannya yang tadi. Tapi 
dalam tiga jurus berselang, dia mulai dapat 
membaca gerakan lawan dan berbalik mende-
sak dengan hebat. Meskipun Birawa menye-
rang dengan menggunakan jurus andalannya, 
tetap saja dia tak mampu bertahan lebih lama 
menghadapi pemuda yang melawannya den-
gan tangan kosong itu. 
"Hiaaaaat....!"  
"Plak! Plak!"  
"Wuaaaaa....!" 
Dengan satu teriakan nyaring, dia kib-
latkan pedang dengan ayunkan pedang den-
gan cepat ketika pemuda itu melesat ke arah-
nya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba pe-
dang di tangannya terpental dan dua pukulan 
lawan menghantam dada dan pergelangan la-
wan. Tak pelak lagi. Tubuhnya yang tinggi be-
 
sar itu terpental sejauh dua tombak sambil 
muntahkan darah segar. 
"Cukup...!" teriak Danu Umbara meng-
hentikan beberapa anak buahnya yang pena-
saran dan kembali menyerang pemuda itu 
dengan kalap. 
"Kisanak, siapakah engkau ini sebe-
narnya? Ilmu silatmu sangat tinggi dan lihai 
sekali. Pastilah engkau bukan orang semba-
rangan. Sudilah engkau memberitahu diri-
mu," lanjut Danu Umbara dengan sikap seba-
gai seorang sahabat. Mendengar itu Buang 
Sengketa tersenyum kecil sambil berkata. 
"Kisanak, namaku tiada berguna bagi-
mu. Tapi karena engkau terus mendesak, 
baiklah kuberitahu. Aku yang hina ini berna-
ma Buang Sengketa, tapi orang-orang mena-
maiku sebagai si Hina Kelana...." 
"Ah, ternyata engkaulah pendekar mu-
da yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia 
persilatan di delapan penjuru mata angin. 
Sungguh beruntung aku bisa berhadapan 
dengan pendekar terkenal sepertimu," kata 
Danu Umbara kagum. "Ilmu silatmu dikha-
barkan sangat tinggi dan lihai sekali, dan ter-
nyata apa yang kusaksikan hari ini tidaklah 
berlebihan. Engkau memang pantas menyan-
dang gelar itu. Tentulah engkau tak keberatan 
kalau barang sejurus atau dua menunjuk-
kannya padaku." 
Buang Sengketa sungkan sekali dipuji-
puji begitu. Tadinya dia tak mau berlama-
lama dan tak mau meladeni ucapan pemuda 
 
itu yang tak lain ingin menjajalnya. Tapi keti-
ka dilihatnya pemuda itu langsung meloncat 
dari pelana kuda dan kirim satu serangan ki-
lat ke arahnya, mau tak mau Buang Sengketa 
merasa urusan akan lebih panjang. Tanpa 
buang waktu lagi, dia me-lompat memapaki 
sambil keluarkan lengkingan ilmu Pemenggal 
Roh dengan seperempat tenaga dalam yang 
dimilikinya. 
"Heiiiiigggkkk....!" 
Meski dikeluarkan dengan seperempat 
tenaga dalamnya, tak urung Danu Umbara 
tersentak kaget. Terasa lengkingan suara itu 
mempengaruhi jalan darahnya untuk bebera-
pa saat. Tapi itu sudah cukup bagi Buang 
Sengketa untuk kabur setelah menyambar 
tubuh gadis yang masih berada di atas pelana 
kuda. Dengan menggunakan ajian Sepi Angin, 
tubuhnya melesat cepat meninggalkan mere-
ka.  Tinggal Danu Umbara yang geleng-
gelengkan kepala dengan hati mangkel. Bira-
wa malah menyumpah-nyumpah tak karuan 
ketika akhirnya mereka meneruskan perjala-
nan sebab tiada gunanya mengejar pemuda 
itu yang tak kelihatan lagi bayangannya. 
 
 
Perempuan berusia kira-kira enam pu-
luh tahun itu, marah bukan main saat men-
dengar laporan dari beberapa orang murid pe-
rihal hilangnya cucu kesayangannya diculik 
 
oleh segerombolan orang. Tubuhnya yang 
agak gemuk seolah bergetar hebat menahan 
geram. Rambutnya yang hampir memutih di-
gulung ke atas dengan beberapa tusuk konde 
menghiasinya, ikut bergoyang-goyang mana-
kala dia bangkit dari kursi. Sepasang ma-
tanya yang kecil, membelalak lebar. Di tangan 
kanannya terdapat sebuah tongkat yang ter-
buat dari kayu besi. Pada pangkalnya terda-
pat patung seekor ular naga sebesar kepala 
manusia dewasa. Siapakah so benarnya ne-
nek ini? Rimba persilatan mengenalnya seba-
gai Peri Kuning Tongkat Maut. Padahal nama 
sebenarnya adalah Nyai Larasati 
Perempuan tua ini termasuk tokoh ko-
sen yang jarang ketemu tandingan. Sepak ter-
jangnya di dunia persilatan tak pernah men-
genal kompromi dalam membantai lawan-
lawannya. Tak jarang orang memasukkannya 
ke dalam jajaran tokoh-tokoh sesat tingkat 
tinggi. 
Sebenarnya dia tak memiliki perguruan 
yang tersendiri. Perempuan tua ini hanya 
memungut sebelas orang murid yang semua-
nya terdiri dari perempuan, yang saat ini ter-
lihat menundukkan kepala mendengarkan 
amarah orang tua itu. Mereka menyadari, 
bahwa ini kesalahan mereka sendiri yang tak 
waspada hingga cucu kesayangan guru mere-
ka sendiri mampu diculik tanpa mendapat 
perlawanan yang berarti. 
"Goblok! Tolol! Walau aku tak pernah 
menyuruh kalian untuk menjaga Endang 
 
Purwasih secara khusus, tapi setidaknya ka-
lian punya perhatian terhadapnya. Bukankah 
kalian mengetahui bahwa belakangan ini ba-
nyak pihak-pihak tertentu yang mengincar 
Pedang Setan itu?! Dengan adanya berita 
yang menyebar bahwa salah satu pedang itu 
berada di tanganku, tentu mereka berusaha 
mendapatkannya dengan cara apapun! Salah 
satunya adalah Endang Purwasih yang pasti 
akan dijadikan sandera!" 
"Ampun, guru!" sahut salah seorang 
murid tertua bernama Kusumawati. Usianya 
sekitar duapuluh tahun. "Kami akan berusa-
ha mencari Adik Endang Purwasih sampai 
dapat walaupun itu harus dengan tebusan 
nyawa kami sendiri." 
"Huh, apa kalian kira mudah menya-
troni orang-orang dari Perguruan Tengkorak 
Hitam?! Tidakkah kalian mengetahui bahwa 
mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu 
tinggi. Apa yang bisa kalian perbuat?!" dengus 
perempuan tua itu sinis. 
"Ibu, bukankah engkau mengenal ke-
tuanya yang bernama Suryudana itu?" tanya 
seorang perempuan berusia empat puluh ta-
hun yang duduk di sebelahnya. "Kalau ibu 
mendatanginya, siapa tahu dia mau berbaik 
hati dan melepaskan anakku." 
"Jangan berpikiran bodoh, Banonwati! 
Apa kau pikir si Suryudana itu menculik 
anakmu untuk kesenangannya belaka? Dia 
pun termasuk salah seorang diantara mereka 
yang mengincar pedang itu. Sudah pasti dia 
 
menggunakan anakmu untuk dijadikan san-
dera karena tak berani terus terang menda-
tangi tempat kita." 
"Ibu, kalau dia tak berani berarti dia 
takut pada ibu. Kenapa tidak ibu saja yang ke 
sana?" 
"Banonwati, ada hal yang perlu kau ke-
tahui. Bila si Suryudana telah berani mencu-
lik anakmu, berarti dia telah siap menyambut 
kedatangan kita. Baik dengan tipu muslihat-
nya, ataupun dengan cara apapun. Dan bila 
kita tiba-tiba datang, maka pancingannya 
akan mengena. Kita belum lagi mengetahui 
apa yang direncanakan orang itu," sahut Nyai 
Larasati. "Tapi yang jelas sekali, setiap mu-
ridku yang lalai, pasti akan kena hukuman!" 
lanjutnya dengan suara tegas berwibawa. 
"Guru, aku bersedia menerima huku-
man," sahut salah seorang murid yang ber-
nama Parwati. "Aku yang bersalah tak mam-
pu menahan mereka saat menculik Adik En-
dang Purwasih." 
"Bagus! Karena engkau telah mengaku 
dan bersedia dihukum, aku akan meringan-
kan hukumanmu. Engkau akan dicambuk se-
ratus kali!" 
Mendengar itu, jantung Parwati seolah 
berhenti berdenyut. Hukuman cambuk seba-
nyak seratus kali, bukanlah main-main. Dulu 
saja ada seorang murid yang melakukan ke-
salahan kecil dan dihukum cambuk sebanyak 
duapuluh kali, tubuhnya di bagian punggung 
tersayat sayat bagai diiris pisau tajam. Sakit 
 
dan pedihnya bukan main. Sebulan penuh 
murid itu tak bisa bangun. Bagaimana mung-
kin dia mampu bertahan dengan hukuman 
cambuk sebanyak seratus kali? 
"Kau telah siap, Parwati?!" 
"Eh..., ng... siap, guru....!" 
"Bagus!" sahut Nyai Larasati. Dia me-
mandang pada Kusumawati, dan berkata. 
"Siapkan tonggak di depan beserta cambuk!" 
Tanpa berani membantah, perempuan 
itu menjura hormat dan dengan cepat me-
ninggalkan ruangan. 
"Urusan Endang Purwasih, biar nanti 
aku yang menyelesaikan dengan caraku sen-
diri. Pertemuan ini selesai dan kalian harus 
melihat Parwati dihukum agar menjadi pelaja-
ran untuk kalian semua, bahwa barang siapa 
yang lengah, aku tak segan-segan menghu-
kum kalian," kata Nyai Larasati selanjutnya. 
Dengan langkah pelan dia beranjak dari 
ruangan itu diikuti Banonwati dan murid-
murid yang lain. 
Parwati telah siap di halaman depan 
itu. Kedua tangannya diikat dan digantung-
kan pada bambu di atasnya. Kedua kakinya 
dibuka agak lebar, dan masing-masing diikat 
pada tonggak kanan dan kiri. Gadis itu mena-
tap sekilas pada Kusumawati, kemudian per-
lahan-lahan tundukkan kepala dengan wajah 
lesu. 
Nyai Larasati telah siap dengan cam-
buk di tangan. Pandangannya menyapu se-
mua murid yang berada tak jauh  dari situ. 
 
Beberapa orang palingkan wajah dan merasa 
ngeri membayangkan apa yang bakal menim-
pa Parwati. Selain murid termuda, gadis itu-
pun paling rendah ilmunya diantara mereka 
semua. Pastilah dia tak akan sanggup berta-
han sampai sepuluh kali cambukan. Apalagi 
seratus kali. Tapi mereka semua tahu, bahwa 
guru mereka tak pernah menarik kembali ka-
ta-katanya, dan sepertinya tak punya belas 
kasihan barang sedikit pun. Meski nantinya 
Parwati telah pingsan pada cambukan kese-
puluh, pasti orang tua itu tak perduli dan te-
rus melecutkan cambuknya hingga hitungan-
nya genap seratus. Entah apa jadinya tubuh 
gadis itu nantinya. 
Beberapa orang murid yang lain malah 
tenang-tenang saja. Seolah kejadian itu bagi 
mereka hal yang biasa. Lagipula mereka be-
ranggapan bahwa itu salah gadis itu sendiri. 
Kenapa dia sok jago menghadapi keroyokan 
orang banyak sewaktu ingin menyelamatkan 
Endang Purwasih. Padahal kalau dia berteriak 
memanggil, sudah pasti semua murid akan 
keluar dan membantunya.  
"Ctaaaaaar....!" 
Nyai Larasati melecutkan cambuknya 
ke udara, seakan memberi isyarat pada Par-
wati untuk bersiap. Gadis itu tarik nafas da-
lam-dalam dan pejamkan mata. Namun baru 
saja orang tua itu akan lecutkan cambuk ke 
tubuhnya, sekonyong-konyong terdengar satu 
jeritan panjang. 
"Jangaaaaan....!"" 
 
Seorang gadis berusia tujuh belas  ta-
hun tergopoh-gopoh menghampiri tempat itu. 
Di belakangnya terlihat seorang pemuda ber-
baju merah dan dekil. Wajahnya sangat tam-
pan. Dengan rambut dikuncir dan periuk be-
sar yang selalu dibawa-bawanya, pemuda itu 
nampak aneh sekali. Siapa lagi pemuda itu 
kalau bukan Buang Sengketa, atau lebih di-
kenal dengan nama Pendekar Hina Kelana. 
"Endang, engkau tak apa-apa, nak?!" 
teriak Banonwati sambil mengejar anak itu 
dan memeluknya erat-erat. Nyai Larasati ter-
paksa undurkan hukuman itu untuk bebera-
pa saat. 
"Nenek, sedang ada apakah di sini? 
Kenapa kakak Parwati digantung? Apakah 
nenek hendak mencambuknya?" tanya En-
dang Purwasih heran setelah melepaskan pe-
lukan dari ibunya. 
"Parwati pantas mendapat hukuman 
karena lalai menjagamu!" 
"Nenek, kakak Parwati membelaku ma-
ti-matian, kenapa malah nenek hendak 
menghukumnya? Bukankah itu tidak adil? 
Sekarang juga aku mohon nenek, agar mele-
paskannya." 
Perempuan tua itu terpaku sejenak 
sambil menghela nafas panjang. Lebih-lebih 
saat cucunya itu mulai merajuk. Dia memang 
teramat menyayangi cucu satu-satunya ini. 
Bukankah karena kehilangannya tadi yang 
membuatnya marah dan jatuhkan hukuman 
pada Parwati? Dan sekarang cucunya telah 
 
kembali dan meminta agar muridnya itu di-
ampuni. 
"Ayolah, nek. Nenek tentu mau men-
gampuni kakak Parwati, bukan?" 
"Baiklah, baiklah..." sahut orang tua 
itu pelan. Secepat itu pula Endang Purwasih 
jejingkrakan dan mencium pipi orang tua itu. 
Dia segera menyuruh beberapa orang murid 
untuk melepaskan ikatan Parwati. Gadis itu 
menatap cucu gurunya untuk beberapa saat 
dengan pandangan berterima kasih, sebelum 
akhirnya dia masuk untuk melaksanakan tu-
gasnya masing-masing sebagaimana biasa. 
"Siapa pemuda itu? Apakah dia salah 
satu murid Perguruan Tengkorak hitam?" lan-
jut Nyai Larasati dengan pandangan curiga. 
"Oh, iya sampai lupa!" seru gadis itu. 
Dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk 
mendekat. "Nek, perkenalkanlah. Pemuda itu 
yang menyelamatkanku dari orang-orang 
Tengkorak Hitam. Namanya Buang Sengketa. 
Dialah si Pendekar Hina Kelana yang sangat 
terkenal itu" 
Begitu mendengar ucapan cucunya, pe-
rempuan tua itu agak terkejut. "Oh, engkau-
kah yang bergelar Pendekar Hina Kelana itu, 
anak muda? Sungguh beruntung hari ini aku 
dapat berkenalan denganmu. Atas semua ke-
luarga di sini, aku mengucapkan terima kasih 
atas pertolonganmu yang telah menyela-
matkan cucuku," kata Nyai Larasati dengan 
sikap hormat. "Kalau tak keberatan, sudilah 
engkau mampir sejenak di gubuk kami, kare-
 
na kami mengundangmu dengan segala ke-
hormatan." 
Melihat sikap yang berlebih-lebihan itu, 
Buang Sengketa agak sungkan juga. Dia su-
dah menolak dengan halus dan berbagai ma-
cam alasan, namun mereka nampaknya agak 
memaksa. Lebih-lebih Endang Purwasih yang 
dengan sikap kekanak-kanakannya, menarik-
narik tangan pemuda itu ke dalam. Mau tak 
mau Buang Sengketa tak punya alasan lain 
buat menolak. Pemuda itu dijamu sebagai-
mana layaknya tamu terhormat saja. Lebih-
lebih saat keluarga itu memintanya menginap 
barang sehari dua. Pemuda itu lebih sungkan 
lagi.  Selain sejak tadi diperhatikannya peng-
huni keluarga ini perempuan semua, dia juga 
tak betah berlama-lama di satu tempat seperti 
ini.  Namun mereka kembali memaksa. Dia 
pun akhirnya merasa tak enak untuk meno-
lak. Apalagi alasan mereka sangat tepat, se-
bab sebentar lagi malam akan tiba. Dengan 
terpaksa Buang Sengketa menerima permin-
taan mereka untuk menginap di rumah itu. 
 
 
 
Malam telah semakin larut. Rumah be-
sar itu mulai terlihat sepi. Beberapa buah 
kamar terlihat gelap, namun di ruangan uta-
ma Nyai Larasati beserta anaknya, Banonwati 
dan cucunya, Endang Purwasih, masih terli-
 
hat obrolan-obrolan dengan tamu mereka, 
yaitu Buang Sengketa. Lama kelamaan pe-
muda itu makin jengah saja berlama-lama di 
sini. Sikap mereka terlalu berlebih-lebihan 
dan penuh dengan basa basi yang memua-
kkan. Entah beberapa kali dia menguap un-
tuk memberi isyarat pada tuan rumah bahwa 
dia agak jemu mendengar ocehan mereka. 
Agaknya tak dimengerti oleh mereka. Lebih-
lebih Endang Purwasih yang sejak tadi terus 
berada di dekatnya dengan sikap genit dan 
kekanak-kanakkan. 
"Kalau engkau suka, engkau boleh 
tinggal di sini selamanya, Kelana," kata Nyai 
Larasati. "Kami semua akan menerimamu 
dengan lapang dada." 
"Betul, Kelana!" sahut Endang Purwa-
sih bersemangat. "Kami akan suka sekali me-
nerimamu. Bukankah begitu, bu?" 
Banonwati tersenyum kecil sambil ang-
gukan kepala. Buang Sengketa jadi risih. 
"Ah, kalian terlalu baik padaku..." sa-
hut pemuda itu lirih. "Adalah suatu kehorma-
tan buatku menerima tawaran kalian ini. Tapi 
aku hanyalah seorang pengembara biasa. Aku 
telah terbiasa hidup  beratapkan langit dan 
berselimut angin. Rasanya tak pantas men-
dapat penghormatan ini." 
"Engkau terlalu merendah, Kelana. 
Dengan ilmu silat yang engkau miliki seperti 
saat ini, siapa yang mampu menandingimu? 
Engkau bisa hidup lebih layak sebenarnya. 
Punya  rumah, dan.... keluarga..." kata Ba-
 
nonwati sambil mengerling putrinya. "Eh, 
maaf. Barangkali engkau memang telah ber-
keluarga." 
"Tidak! Siapa gadis yang sudi dengan 
orang gembel sepertiku ini." 
"Kenapa musti jauh-jauh? Di sinipun 
pasti banyak yang suka padamu. Bukan begi-
tu, Endang?" 
"Ah, ibu bisa saja..." sahut gadis itu 
tersipu malu. "Siapalah pemuda yang suka 
pada wajah buruk sepertiku?" 
"Siapa bilang engkau punya wajah bu-
ruk?" tanya Buang Sengketa. "Kalau iya, ba-
rangkali murid si Tengkorak Hitam itu tak 
akan tergila-gila padamu," lanjutnya sambil 
tersenyum kecil. 
"Huh, siapa sudi pada orang seperti 
itu!" dengus Endang Purwasih dengan ketus. 
Ibu dan neneknya hanya tersenyum menden-
gar ocehannya. Tiba-tiba mereka dikejutkan 
oleh sikap si orang tua yang berubah serius. 
"Seseorang sedang mengintai dari atas 
genting. Sebaiknya bersikap biasa saja. Ba-
rangkali utusan dari Tengkorak Hitam," kata 
Nyai Larasati berbisik sambil bangkit. 
Tanpa menimbulkan suara, tubuh pe-
rempuan tua itu melayang ke atas rumah 
sambil kirim satu serangan kilat. Buang 
Sengketa mendesah kagum. Ilmu mengenten-
gi tubuh yang dimiliki orang tua itu sudah 
sangat sempurna betul. 
"Biarlah aku membantu nenekmu me-
ringkus pengintai itu," kata Buang Sengketa. 
 
Tanpa perduli jawaban kedua perempuan itu, 
tubuhnya melesat ke atas wuwungan, persis 
di lobang yang dibuat Nyai Larasati. Untuk 
sesaat dia celingukan. Namun manakala se-
pasang matanya yang tajam menangkap dua 
sosok tubuh di kejauhan, dengan cepat dia 
memburu ke arah itu sambil mengerahkan 
ajian Sepi Angin. 
Tapi alangkah kagetnya pemuda itu 
manakala melihat bahwa kedua bayangan itu 
melesat dengan cepat. Padahal dia telah ke-
rahkan separuh ilmu lari cepatnya, tapi ke-
dua bayangan itu tak juga terkejar. Dengan 
geram dia mengerahkan seluruh kekuatan 
untuk mengempos ajian Sepi Angin. Tubuh-
nya melesat cepat bagai sliweran angin yang 
berhembus kencang. Dengan mengambil jalan 
memutar, dia bermaksud menjebak pengintai 
itu. Setelah dirasa bahwa kedua bayangan itu 
tertinggal jauh, Buang Sengketa menunggu 
dari sebuah cabang pohon yang menurut per-
kiraannya pastilah dilalui kedua orang itu. 
Perkiraan pemuda itu tak salah. Meski 
saat itu suasana terasa gelap, namun dia da-
pat melihat seseorang berlari dengan kecepa-
tan penuh ke tempatnya berada. Begitu orang 
tersebut hampir mencapai tempatnya ber-
sembunyi, dengan gerakan ringan Buang 
Sengketa melayang turun. 
"Berhenti, sobat!" katanya dengan sua-
ra yang agak keras. Orang itu terkejut seten-
gah mati dan hentikan langkah. Untuk sesaat 
dia palingkan wajah ke belakang. Tak terlihat 
 
pengejarnya tadi. Buang Sengketa dapat me-
lihat jelas pada jarak tiga tombak ini, bahwa 
orang ini adalah seorang pemuda yang beru-
sia sekitar duapuluh tahun. Wajahnya tak 
terlalu tampan. Tubuhnya pun kelihatan agak 
kurus dan mengesankan seorang yang lemah. 
"Ada urusan apa engkau mengintai di 
rumah Nyai Larasati?" 
"Apakah engkau tamunya itu yang ber-
gelar Pendekar Hina Kelana?" 
"Dari mana engkau mengetahuinya?" 
tanya Buang Sengketa heran. 
"Aku mencuri dengar pembicaraan ka-
lian agak lama. Syukurlah orang tua itu tak 
mampu mengejarku sampai ke sini...." 
"Hei, jangan coba-coba mengalihkan 
perhatianku. Seseorang yang mengintai di 
rumah orang, pastilah bermaksud buruk. Apa 
yang engkau inginkan di rumah itu?!" bentak 
Buang Sengketa kesal. 
"Apakah engkau juga menuduhku 
bermaksud buruk? Sobat ketahuilah, bahwa 
mereka bermaksud memasang jeratnya pa-
damu."  
"Jerat? Jerat apa?!" 
"Bukankah mereka membujukmu un-
tuk menetap di rumahnya?"  
"Ya." 
"Sesungguhnya mereka coba membu-
jukmu untuk berpihak pada mereka. Akhir-
akhir ini rahasia mereka terbongkar. Pedang 
Setan yang sedang dicari-cari oleh orang-
orang persilatan dari berbagai penjuru salah 
 
satunya berada di tangan Nyai Larasati. Ka-
rena mengetahui bahwa engkau berilmu ting-
gi, mereka coba menahanmu untuk tetap 
tinggal di situ. Baru saja tadi aku mencuri 
dengar bahwa seorang murid akan memba-
wakan arak yang telah dicampur obat pem-
bius. Semua itu tak lain dari suruhan orang 
tua itu sendiri." 
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya 
pada kata-katamu?" tanya Buang Sengketa 
curiga. 
"Sebaiknya tidak kita bicarakan di sini 
tapi di tempat lain. Kalau engkau curiga pa-
daku, biarlah aku berjalan lebih dulu, dan 
engkau mengikuti dari belakang," sahut orang 
itu. Mulanya Buang Sengketa enggan juga. 
Tapi karena hatinya mulai tergelitik oleh ceri-
ta orang itu, maka diikutinya juga tanpa 
mengurangi kewaspadaan. Kalaupun ada hal 
lain yang membuatnya mau ikut, paling-
paling karena dia mulai jengah melihat sikap 
keluarga Nyai Larasati yang terlalu berlebih-
lebihan. Dengan adanya urusan ini, bukan-
kah peluang baik baginya untuk menghindar 
dari mereka? 
Berpikir begitu, pemuda dari Negri Bu-
nian itu cepat genjot tubuh menyusul pemuda 
yang baru dikenalnya itu yang telah melesat 
lebih dulu. 
 
 
 
 
 
Buang Sengketa anggukan kepala saat 
orang tua berusia lanjut itu selesai mene-
rangkan segala sesuatunya. Tadinya dia agak 
ragu dan mulai curiga saat pemuda ini men-
gajaknya ke suatu tempat yang sangat ter-
sembunyi di sebuah lereng gunung. Apalagi 
ketika melihat sebuah pondok di dalamnya. 
Namun setelah bertemu dengan guru pemuda 
itu dan orang tua itu menjelaskan segala se-
suatunya, barulah dia sedikit lega. Kelegaan-
nya bisa jadi karena berpendapat, seorang ah-
li ibadah seperti Resi Abirawa ini, mana 
mungkin berkata dusta. Pula wajahnya san-
gat mengesankan bahwa dia seorang yang arif 
bijaksana serta luas pandangannya. Sungguh 
beruntung pemuda yang bernama Tuta Rimba 
ini berguru padanya. Namun manakala pe-
muda itu menceritakan riwayat hidupnya, 
Buang Sengketa seolah merasakan kepedihan 
yang dirasakannya. 
"Masih untung pada saat itu Eyang 
menyelamatkanku. Kalau tidak, aku tak tahu 
apa jadinya...." 
"Jadi kedua orang tuamu  tewas saat 
itu?" 
"Aku tak pasti. Menurut Eyang, bapak-
ku masih hidup dan ditawan oleh mereka di 
ruang bawah tanah. Itulah sebabnya aku te-
rus mengintai tempat kediaman mereka." 
"Engkau bermaksud membebaskan ba-
 
pakmu?" 
"Itu salah satu tugasku selain men-
gambil kembali Pedang Setan di tangan mere-
ka dan menyerahkannya pada yang berhak. 
Karena jejak pemiliknya sampai saat ini tak 
tentu rimbanya, maka Eyang bermaksud me-
nyimpan pedang itu dan mencari si Malaikat 
Pedang Bertangan Seribu sampai ketemu." 
"Ya. Aku merasa bertanggung jawab 
untuk mengembalikannya pada pemiliknya 
yang sah. Setelah kakak seperguruanku, yai-
tu Ki Wicaksana atau lebih dikenal sebagai 
Pendekar Hati Suci, yang dititipi kedua pe-
dang itu tewas di tangan muridnya, mau tak 
mau aku merasa bertanggung jawab," kata 
Resi Abirawa menimpali. "Buang Sengketa, 
namamu sangat terkenal di segala penjuru 
mata angin sebagai pendekar muda yang be-
rilmu tinggi tiada bandingan. Gurumu pun 
sangat terkenal sebagai tokoh pembela kebe-
naran yang tiada tandingan. Maukah engkau 
menolong kami untuk mendapatkan pedang 
itu kembali?" 
"Selama itu untuk kebaikan, aku akan 
selalu bersedia melakukannya sekuat daya 
kemampuanku," sahut murid si Bangkotan 
Koreng Seribu. "Tapi, maaf, Ki. Dengan ilmu 
yang engkau miliki sekarang ini, engkau tentu 
dengan gampang mendapatkan kedua senjata 
itu?" 
Orang tua itu tersenyum kecil. "Siapa 
bilang aku mempunyai ilmu yang tinggi? Yang 
kupunyai hanya ilmu agama. Kalaupun ada, 
 
sangat tak berarti dibanding dengan yang 
engkau miliki." 
"Ah, Ki Birawa terlalu memuji. Aku 
cuma manusia biasa saja. Begitu pula dengan 
guruku." 
"Dan engkau pun ternyata pandai se-
kali merendahkan diri..." timpal Tuta Rimba 
tertawa kecil. "Aku sudah lihat sendiri, Eyang. 
Ilmu larinya hebat luar biasa!" 
"Sudahlah, Tuta! Lama kelamaan aku 
jengah juga mendengar pujian-pujian itu. Se-
baiknya kita kembali pada persoalan semula," 
sahut Buang Sengketa. "Maaf, Ki. Ada sesua-
tu yang barangkali kurang jelas buatku. Dari 
mana engkau mengetahui bahwa salah satu 
Pedang Setan itu berada di tangan Nyai Lara-
sati? Dan kalau benar, kenapa dia tak memi-
liki kedua pedang itu?" 
"Hal inilah barangkali yang tak ku 
mengerti," jawab orang tua itu sambil ke-
rutkan dahi. "Empu Pupulaka tewas di tangan 
anaknya sendiri yaitu Cakrangga, yang meru-
pakan ayah kandung Tuta Rimba. Sebenarnya 
dia orang baik. Punya istri yang cantik dan 
seorang anak yang lucu. Tapi karena Nyai La-
rasati seorang yang tamak, dia menyuruh 
anak gadisnya yaitu Banonwati untuk meng-
goda, guna mendapatkan Sepasang Pedang 
Setan itu. Cakrangga akhirnya mabuk ke-
payang oleh rayuan Banonwati. Hingga bagai 
kerbau dicocok hidungnya, dia menurut saja 
saat perempuan itu menyuruhnya untuk 
mengambil pedang tersebut. Tapi Cakrangga 
 
hanya menemukan sebuah saja. Dia mencari-
cari yang sebuah lagi, namun tak ketemu. 
Empu Pupulaka sendiri mana mau memberi 
tahu. Dengan kalap akhirnya dia membunuh 
orang tua yang tak berdaya itu. Namun ketika 
tiba di rumahnya ternyata mereka telah 
membunuh istrinya. Bukan main kalapnya 
dia. Tapi tak berdaya menghadapi dua orang 
yang berilmu tinggi itu. Aku sebenarnya tak 
pasti, apakah Cakrangga masih hidup atau 
tidak. Cerita ini, hanya kudengar dari para te-
tangganya pada saat aku menyelamatkan Tu-
ta Rimba yang berada dalam puing-puing ru-
mah yang akan menimpanya akibat perbua-
tan Nyai Larasati itu" 
"Jadi Endang Purwasih itu masih ter-
masuk saudara tiri Tuta Rimba?" 
"Bukan! Menurut apa yang kudengar, 
Banonwati telah bersuami saat dia merayu 
Cakrangga. Tapi suaminya kemudian diketa-
hui tewas. Banyak orang yang mengatakan 
bahwa suaminya itu pun bermaksud menda-
patkan Pedang Setan yang saat itu sedang di-
incar Nyai Larasati. Tentu saja perempuan 
tua itu tak suka dan barangkali dialah yang 
membunuhnya," jelas Resi Abirawa. 
"Lalu kira-kira ke mana Pedang Setan 
yang satu lagi, Ki?" 
"Entahlah. Menurut penyelidikan yang 
dilakukan Tuta Rimba, bisa jadi Suryudana 
atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak 
Bermuka Masam, yang menjadi ketua Pergu-
ruan Tengkorak Hitam, menyimpan yang satu 
 
lagi." 
"Ya," sahut pemuda itu. "Kalau tak ada 
api, mana mungkin ada asap. Dari mana Su-
ryudana mengetahui bahwa Nyai Larasati 
memiliki pedang itu. Dan karena keampuhan 
Pedang Setan harus berpasangan, bisa jadi 
dia pun bernafsu untuk mendapatkan pedang 
itu." 
"Ada satu hal lagi yang ingin kuketa-
hui, Ki," kata Buang Sengketa setelah dia 
anggukkan kepala mendengar penjelasan Tu-
ta Rimba. "Apa kehebatan Sepasang Pedang 
Setan itu hingga banyak diperebutkan orang?" 
"Menurut apa yang kudengar, pedang 
itu mampu mempengaruhi pemiliknya untuk 
bertindak kejam dan melipat gandakan tenaga 
dalam si pemegangnya. Kalau seseorang tak 
mempunyai tenaga batin yang kuat, dia pasti 
akan terpengaruh oleh daya sihir pedang itu. 
Dan di samping itu, ada sesuatu yang amat 
didambakan oleh orang-orang persilatan. Pa-
da kedua gagang itu, terdapat pelajaran ilmu 
silat kelas tinggi yang bernama jurus-jurus 
Pedang Setan. Tapi tak sembarangan orang 
bisa menafsirkan karena terdapat banyak 
sandi-sandi yang agak membingungkan." 
Pemuda dari Negri Bunian itu angguk-
anggukkan kepala mendengar penjelasan itu. 
"Pedang itu benar-benar membuat banyak 
malapetaka..." kata pemuda itu bergumam. 
"Ya, akan banyak lagi darah yang tum-
pah kalau tak cepat diselesaikan. Maukah 
engkau membantu kami, Kelana?" 
 
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Ki," 
sahut Buang Sengketa. 
Karena hari telah larut malam dan se-
saat lagi fajar menyingsing, akhirnya mereka 
kembali bercakap-cakap mengenai pengala-
man masing-masing. Tak lupa orang tua itu 
memberi petuah-petuah yang sangat berguna 
bagi murid si Bangkotan Koreng Seribu. Ke-
mudian saat pagi tiba, Buang Sengketa dan 
Tuta Rimba telah meninggalkan tempat itu 
untuk  mencari jejak Sepasang Pedang Setan 
tersebut. 
 
 
Kedua perempuan itu berlari-lari kecil 
meninggalkan Lembah Batu Ampar. Yang seo-
rang berusia sekitar empat puluh tahun, na-
mun wajahnya masih sangat cantik dan ja-
rang terlihat kerut merut. Seorang lagi gadis 
belia berusia sekitar tujuh belas tahun berpa-
ras sangat jelita. Keduanya membawa-bawa 
sebilah pedang di punggung masing-masing. 
Dari situ saja bisa membuktikan bahwa me-
reka bukan perempuan sembarangan. Paling 
tidak mereka memiliki ilmu silat yang cukup 
lumayan meski rimba persilatan belum men-
genal mereka. Tapi yang dilakukan kedua pe-
rempuan itu sangat mencurigakan. Seperti 
banyak diketahui orang, lembah tersebut ada-
lah tempat kediaman seorang pandai besi 
yang sering membuat pesanan senjata-
 
senjata. Baik dari  pihak kerajaan maupun 
dan mereka orang-orang persilatan. Seorang 
tua renta bernama Empu Pupulaka. Siapakah 
kedua perempuan itu sebenarnya? Mereka 
tak lain dari Roro Ningrum dan anak angkat-
nya Dewi Ambarwati. Setelah mereka turun 
gunung guna mencari Sepasang Pedang Se-
tan, jejak pertama yang mereka cari adalah 
tempat kediaman pandai besi tersebut. Na-
mun di situ mereka tak menemukan siapa-
pun. Meski tempat itu merupakan sebuah 
lembah, namun di situ juga terdapat perkam-
pungan penduduk. Dari beberapa orang yang 
mereka tanya, didapatlah keterangan, bahwa 
orang tua itu telah tewas di tangan anaknya 
sendiri yang bernama Cakrangga. Setelah 
mendapat kabar itu, mereka segera mencari 
jejak Cakrangga yang menurut beberapa 
orang itu mungkin berada di kediaman Nyai 
Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut. 
"Ibu, siapakah orang itu sebenarnya?" 
tanya Dewi Ambarwati. "Kenapa si Cakrangga 
itu bisa terlibat dengan anak perempuannya? 
Bukankah orang itu sudah punya istri dan 
anak?" 
"Itulah kehidupan di dunia ramai, De-
wi. Terkadang  godaan terlalu banyak datang 
hingga melemahkan iman mereka yang tak 
kuat. Hanya karena kecantikan dan bujuk 
rayu, seseorang tega meninggalkan istri dan 
anaknya, bahkan membunuh orang tua sen-
diri," sahut Roro Ningrum. 
"Apakah ibu bermaksud mendatangi 
 
tempat mereka?" 
"Tentu saja!"  
"Menurut orang-orang itu, Nyai Larasa-
ti adalah tokoh sesat yang sangat kejam...."  
"Apakah engkau takut?"  
"Tidak. Aku hanya tak ingin kehilangan 
ibu, setelah ayah tewas, aku hanya memiliki 
satu orang tua. Dan aku tak mau ibu tewas 
pula...." 
"Dewi, umur seseorang itu bukan di-
tentukan oleh orang lain, melainkan oleh 
Yang Maha Kuasa. Lagipula kalau kita tewas 
dalam menegakkan keadilan, akan sangat 
mulia di mata siapapun ketimbang kita mati 
secara tak berguna. Semua orang kelak akan 
mati juga. Hanya tinggal menunggu waktu sa-
ja, dan waktu itu sangat singkat. Kita harus 
mempergunakannya sebaik mungkin," jelas 
Roro Ningrum. 
"Tapi kenapa orang-orang yang sering 
berbuat kebaikan harus lebih cepat mati ke-
timbang mereka yang berbuat jahat. Apakah 
ini adil, bu? Bukankah seharusnya orang 
yang berbuat baik diberi ganjaran yang baik 
pula?" 
"Kita tak bisa menentukan ukuran adil, 
Dewi. Adil buat kita, belum tentu adil menu-
rut orang lain. Begitu juga di mata Yang Maha 
Kuasa. Kita tiada mengetahui, apa yang di-
rencanakannya. Tapi yang pasti, bukanlah 
sesuatu yang buruk," jelas Roro Ningrum 
kembali. Sepanjang perjalanan, memang tak 
henti-hentinya perempuan itu memberi penje-
 
lasan-penjelasan tentang kehidupan pada 
anak angkat yang sangat disayanginya itu. 
Bukan hanya saat ini saja, namun sejak gadis 
itu bisa bicara pun dia telah banyak membe-
rikan gambaran-gambaran kehidupan dunia 
ramai padanya. Hal inilah yang membuat ga-
dis itu cepat matang dari usia yang sebenar-
nya. Dia tumbuh menjadi seorang gadis yang 
cerdas, santun, dan luas pandangan hidup-
nya. 
Sementara itu dengan menggunakan 
ilmu lari cepatnya, sebentar saja mereka telah 
tiba di kediaman Nyai Larasati. 
"Maaf, katakan kalian punya tujuan, 
baru bisa kutentukan apakah guru berhak 
menemui kalian atau tidak," sahut seorang 
murid ketika dua orang itu menanyakan ten-
tang Nyai Larasati. 
"Nisanak, apakah engkau punya kuasa 
berkata begitu? Engkau pasti dihukum berat 
karena berlaku begitu pada sahabat gurumu!" 
bentak Roro Ningrum kesal sambil menjalan-
kan muslihatnya. Gadis penjaga gerbang itu 
terpaku sesaat. Dipandanginya kedua orang 
itu dengan seksama. 
"Siapa nama kalian?" 
"Untuk apa engkau tanya-tanya? Ayo, 
lekas katakan pada Nyai Larasati bahwa ka-
wan lamanya akan berkunjung!" 
Dibentak begitu, si gadis agak gugup. 
"Ba... baiklah....!" katanya sambil berlalu ke 
dalam. Saat itu juga Roro Ningrum dan Dewi 
Ambarwati mengikuti dari belakang. Mereka 
 
menunggu di beranda depan. Tak lama ke-
mudian Nyai Larasati atau Peri Kuning Tong-
kat Maut keluar bersama Banonwati dan be-
berapa orang muridnya. Mereka berbasa basi 
sesaat, setelah itu barulah Roro Ningrum 
mengemukakan maksudnya dengan baik-
baik. Sepasang alis perempuan itu berkerut. 
"Maaf, nisanak. Aku sama sekali tak 
pernah mendengar nama pedang yang kalian 
sebutkan itu?" 
"Nyai Larasati, pedang itu adalah wari-
san perguruan kami, jadi kami harus men-
gambilnya kembali. Kalaupun pada akhirnya 
kami ke sini, tiada lain karena petunjuk bebe-
rapa orang yang mengatakan bahwa engkau 
memiliki salah satu Pedang Setan itu. Kalau 
satu atau dua orang yang berkata begitu, 
mungkin aku bisa ragu. Tapi semua orang 
merasa yakin bahwa engkau memiliki salah 
satunya!" sahut Roro Ningrum dengan suara 
pelan namun mengandung nada dakwaan. 
Mendengar jawaban tamunya yang di-
rasanya sedikit memaksa, Nyai Larasati me-
rasa kurang senang. Dengan tegas dia kemba-
li berkata, "Nisanak, aku telah berkata yang 
sebenarnya. Urusan kalian mau percaya atau 
tidak, itu terserah kalian! Dan lagipula den-
gan niat kalian yang berpura-pura itu, mana 
bisa kupercaya bahwa kalian bermaksud 
baik-baik!" 
"Nisanak, bagaimanapun kami telah 
menunjukkan itikad baik. Bagaimana mung-
kin engkau menuduh kami sedemikian rupa?" 
 
"Dengan cara kalian membohongi mu-
ridku untuk bisa bertemu denganku, apakah 
itu maksud yang baik?!" 
"Kalau kami tak membohongi murid-
mu, bagaimana mungkin engkau mau berte-
mu dengan kami secara baik-baik? Belum 
apa-apa muridmu telah menaruh curiga. Se-
seorang yang berbuat salah pasti selalu was-
was dan berjaga-jaga akan segala kemungki-
nan yang terjadi. Kalau memang kalian tiada 
menyimpan pedang yang kini direbutkan 
orang itu, mana mungkin engkau menyuruh 
setiap muridmu untuk waspada!" sahut Roro 
Ningrum dengan kata-kata yang mulai sinis. 
Mendengar itu amarah Nyai Larasati tak ter-
bendung lagi. Perempuan itu segera bangkit 
dari kursinya dengan wajah dingin. 
"Sebaiknya kalian berdua cepat ting-
galkan tempat ini sebelum kemarahanku 
memuncak!" 
"Terbukti bahwa salah satu pedang itu 
berada di tanganmu. Kalau tidak, tak mung-
kin engkau bersikap begini rupa!" 
"Nisanak, rupanya engkau ingin diper-
lakukan kasar. Karena engkau berani menya-
troni tempatku, pastilah engkau punya sedikit 
nyali dan kepintaran. Ingin kulihat, sampai di 
mana kemampuanmu itu!" sahut Nyai Larasa-
ti sambil melompat ke halaman depan. Tu-
buhnya melayang dengan ringan. Roro Nin-
grum sudah menganggap bahwa itu tantan-
gan. Maka tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya 
pun ikut melesat mengikuti perempuan tua 
 
itu dan jejakkan kaki pada jarak tiga tombak 
di hadapannya. Dewi Ambarwati menyusul di-
ikuti oleh semua murid yang dengan cepat 
mengurung tempat itu. 
"Nisanak, aku tak pernah membiarkan 
musuhku keluar hidup-hidup dari tempatku 
ini. Bersiaplah engkau!" kata Nyai Larasati 
dingin sambil gedor ujung tongkatnya ke ta-
nah sekali. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba 
saja tubuhnya yang agak gemuk itu melesat 
sambil kirim satu serangan kilat. Roro Nin-
grum pun tak kalah sigap. Sekali tangan ka-
nannya terayun, sebilah pedang telah berkib-
lat di tangannya memapaki serangan tongkat 
lawan. 
"Trang!" 
"Wuuuk!" 
Nyai Larasati sedikit terkejut. Bukan 
saja tangannya yang agak kesemutan saat 
senjata mereka beradu, namun dia tak me-
nyangka bahwa lawan mampu bergerak cepat. 
Nyaris tenggorokannya terkena ujung pedang 
lawan yang berkelebat bagai kilat. 
Sambil kertakkan rahang menahan ge-
ram, dia keluarkan jurus handalnya yang di-
beri nama Serangga Malam Menipu Pandang. 
Agaknya perempuan tua yang punya gelar Pe-
ri Kuning Tongkat Maut, ingin secepatnya 
menyudahi pertarungan. Dalam gebrakan tadi 
siapa pun dapat melihat bahwa dia agak kete-
ter. Sudah barang tentu hal ini membuatnya 
merasa malu di hadapan murid-muridnya 
sendiri. Untuk itulah dia ingin menunjukkan 
 
pada mereka, juga pada lawannya, bahwa dia 
masih patut diperhitungkan dan tak bisa di-
pandang enteng. 
Roro Ningrum bukannya tak merasa-
kan serangan lawan yang mulai mendesaknya 
dengan hebat, tapi perempuan tua itu juga 
menggunakan serangan-serangan yang keji. 
Tongkat di tangan yang pangkalnya terdapat 
patung ular naga sebesar kepala manusia de-
wasa itu, berputar-putar bagai baling-baling 
dan tiba-tiba mengeluarkan asap yang ber-
warna kekuning-kuningan. Belum lagi ujung-
nya yang runcing me-nyambar-nyambar ba-
gian tenggorokan, jantung, dan di bawah pe-
rut. Roro Ningrum yang pandangannya agak 
samar karena terhalang asap kuning itu, mu-
lai kepayahan. Bukan hanya itu saja, namun 
agaknya asap kuning itu mengandung obat 
pembius yang bisa melumpuhkan urat syaraf. 
Meski dia telah mainkan jurus terhebatnya 
yang diberi nama Kilat Pedang Membelah 
Angkara, namun kelebatan pedangnya yang 
sangat menyilaukan mata siapapun yang me-
lihat, tak mampu menyentuh tubuh lawan. 
"Dewi, cepat engkau lari dari sini! Ayo, 
cepaaaat...!" teriak perempuan itu memberi 
isyarat pada anak angkatnya itu ketika meli-
hat keadaannya yang tak menguntungkan. 
Tubuhnya mulai kelihatan agak limbung dan 
terhuyung-huyung sambil terbatuk-batuk. 
Pandangannya pun mulai samar dan berku-
nang-kunang. 
"Tidaaaak! Manusia-manusia curang 
 
ini harus diberi pelajaran!" sahut gadis itu tak 
perduli dan mulai ayunkan pedang untuk 
membantu Roro Ningrum. Namun bersamaan 
dengan itu, sebelas murid Nyai Larasati telah 
mengurungnya dengan ketat dan kirim seran-
gan secara tiba-tiba. Mau tak mau Dewi Am-
barwati terpaksa membereskan mereka terle-
bih dahulu. Namun itu bukanlah pekerjaan 
mudah. Kesebelas murid-murid Nyai Larasati 
bukanlah orang sembarangan. Masing-masing 
mereka memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi pa-
da saat ini mereka menyerang dengan seren-
tak. Tapi tak percuma Dewi Ambarwati seba-
gai murid Malaikat Pedang Bertangan Seribu 
kalau musti keder menghadapi keroyokan. 
Dengan semangat yang berapi-api dia me-
layani mereka sambil putar pedang dan 
mainkan jurus Kilat Pedang Membelah Ang-
kara. 
Jurus pedang itu sebenarnya sangat 
handal. Selain mengandung serangan yang 
cepat dan kuat, dia juga memiliki jurus-jurus 
tipuan yang mampu mengecoh lawan. Kalau 
saja asap kuning yang disebar Nyai Larasati 
tak mempengaruhi Roro Ningrum, rasanya 
perempuan tua itu tak mungkin sanggup 
menghadapinya. 
Kehebatan jurus itu terlihat saat Dewi 
Ambarwati berhasil mematahkan senjata 
tongkat pada dua orang lawan, dan membuat 
luka yang cukup parah pada keduanya. Tapi 
karena gadis itu kurang pengalaman dalam 
menghadapi pertarungan, dan lagipula lawan 
 
yang dihadapinya bukan orang sembarangan, 
sebentar saja dia kembali didesak oleh lawan-
lawannya. 
"Dewi, cepat lari dari sini! Ayo, cepat...!" 
teriak Roro Ningrum kembali memperingati. 
Tubuhnya melesat mendekati tempat perta-
rungan  gadis itu dan menghajar dua orang 
lawan yang mendesak putri angkatnya itu 
dengan hebat. 
"Trang! Trang!" 
"Craaas!" 
Perempuan separuh baya murid si Ma-
laikat Pedang Bertangan Seribu itu mengeluh 
pendek saat lengan kirinya berhasil disabet 
ujung tongkat Nyai Larasati yang tak mem-
biarkannya kabur begitu saja. Darah mulai 
mengucur dari tempat itu. Kepalanya lebih te-
rasa nyeri, dan pandangannya semakin men-
gabur. Agaknya ujung tongkat lawan itu men-
gandung racun yang hebat. Meski begitu dia 
masih sempat berteriak pada anak angkatnya 
itu untuk menyelamatkan diri. 
Dewi Ambarwati bingung setengah ma-
ti. Batinnya tak tega untuk menuruti perintah 
ibunya itu. Apalagi saat ini dia sedang terlu-
ka. Namun akal sehatnya cepat bekerja. Ka-
lau mereka berdua tertangkap atau tewas, 
siapa yang akan memberitahukan hal ini pa-
da guru? Maka setelah ibu angkatnya itu ber-
teriak sekali lagi sebelum tubuhnya ambruk, 
gadis itu kertakkan rahang menahan geram. 
Pedangnya berkiblat. Dengan suara melengk-
ing nyaring, tubuhnya melesat ke atas sambil 
 
membuat putaran beberapa kali. Tiga orang 
murid Nyai Larasati cepat mengejar sambil 
putar tongkat bagai baling-baling dan siap 
menggebuk tubuh lawan. Tapi tentu saja De-
wi Ambarwati telah memperhitungkan hal itu 
sebelumnya. 
"Trang! Trang! Trang!"  
"Tras! Tras! Crab!" 
Dengan menggunakan jurus Kilat Pe-
dang Membelah Angkara pada tingkatan ter-
tinggi, pedang di tangannya memapas ketiga 
tongkat lawan dan cepat kirim dua sabetan 
dan satu tusukan. Ketiga murid Nyai Larasati 
atau Peri Kuning Tongkat Maut keluarkan je-
rit kesakitan. Dua orang memegang bagian 
pinggang yang robek sepanjang satu jengkal, 
dan seorang lagi mendekap dada kanan yang 
terus mengucurkan darah. Secepat itu pula 
Nyai Larasati menggeram hebat dan kirim sa-
tu pukulan jarak jauh yang mengeluarkan se-
larik sinar kuning. Namun tubuh Dewi Am-
barwati telah melesat bagai seekor walet ter-
bang dan secepatnya meninggalkan tempat 
itu. Pukulan orang tua itu hanya mengenai 
tempat kosong saja. Sambil menyumpah-
nyumpah, dia memerintahkan murid-
muridnya mengejar lawan yang telah kabur 
itu. 
 
 
 
 
 
Tubuh gadis itu terus berkelebat den-
gan cepat. Sesekali dia menoleh ke belakang 
manakala melihat beberapa orang pengejar-
nya masih tertinggal pada jarak duapuluh 
tombak. Dengan mengerahkan seluruh ke-
mampuan ilmu lari cepatnya, tubuhnya mele-
sat meninggalkan para pengejarnya hingga 
tak terjangkau lagi jarak-nya. Gadis yang 
bernama Dewi Ambarwati itu agak bernafas 
lega saat melihat kenyataan itu. Perlahan dia 
hentikan langkah dan mengatur nafasnya 
yang semakin memburu sambil bersandar 
pada sebuah batang pohon. Wajahnya men-
dongak ke atas dengan pandangan sayu. Se-
sekali dia memicingkan mata menahan kepi-
luan, namun kali lain wajahnya terlihat ge-
ram. 
"Ibu, tak kusangka apa yang ku  ce-
maskan  ternyata kini terbukti. Entah bagai-
mana nasibmu kini..." keluhnya lirih. "Mu-
dah-mudahan engkau bisa selamat. Aku pasti 
akan datang kembali dan mengadukan hal ini 
pada Eyang. Bisa berbuat apa mereka terha-
dap beliau...." 
Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh sua-
ra tawa panjang yang mengejeknya. Dengan 
cepat .dia bersiaga dan putar pandang ke se-
keliling tempat. Namun alangkah kagetnya 
dia manakala melihat bahwa tempat itu telah 
dikepung rapat oleh orang-orang yang berwa-
 
jah seram dengan gambar tengkorak di pung-
gung baju mereka. Reflek gadis itu mencabut 
pedang dan bersiap mempertahankan diri. 
"Sungguh kebetulan sekali ada seorang 
gadis cantik berkeliaran di tempat ini. Bisa 
menjadi hiburan buat kita semua!" kata seo-
rang laki-laki berusia sekitar limapuluh ta-
hun. Wajahnya bengis. Meski pun dia ketawa, 
namun tak terlihat keramahan. Sebaliknya 
menyiratkan hawa kesadisan dan kekejaman. 
Perlahan-lahan dia mendekati gadis itu. 
"Siapa kalian?!" bentak gadis itu sambil 
mundur dua langkah. 
"Siapa kami, engkau tak perlu tahu, 
tapi keheradaanmu di tempat ini justru san-
gat membahagiakan kami, dan itu engkau 
perlu tahu!" sahut laki-laki itu sambil menye-
ringai buas. Dewi Ambarwati bergidik ngeri 
melihat senyum bengis laki-laki itu. 
"Jangan coba-coba mendekat kalau tak 
ingin merasakan ujung pedangku!" ancam-
nya. 
"Ha... ha... ha... ha....!" Seumur hidup 
baru kali ini si Suryudana diancam orang, 
bahkan oleh seorang gadis cantik pula!" 
Orang itu bergelak agak keras sambil putar 
pandang pada orang-orang di sekeliling tem-
pat itu yang ikut-ikutan tergelak-gelak seolah 
menimpalinya. 
"Manis..." lanjutnya dengan suara yang 
direndah-rendahkan, "Seharusnya engkau 
berterima kasih padaku bahwa orang-orang 
yang mengejarmu itu kini sedang diringkus 
 
oleh sebagian anak buahku." 
"Siapa sudi menerima kebaikanmu! 
Tanpa campur tanganmu pun aku mampu 
menghajar mereka!" 
"Ha... ha... ha... ha....! Engkau sungguh 
membuatku senang dan bersemangat. Nah, 
lebih baik menurut baik-baik. Setelah uru-
sanku selesai, engkau tentu akan kubawa ke 
tempatku dan kujadikan istriku yang tercin-
ta!" 
"Maaf, kisanak. Agaknya kalau tak 
sinting, pastilah engkau seorang penghayal. 
Aku bukan benda mati yang dengan gampang 
engkau bawa dan perlakukan sesukamu. 
Maafkan, aku tak bisa memenuhi keinginan-
mu itu. Lagipula saat ini aku ada urusan 
yang harus diselesaikan," sahut Dewi Ambar-
wati dan coba berlalu dari tempat itu. Tapi 
baru saja dia berjalan tiga langkah, dua orang 
diantara pengepungnya telah loloskan pedang 
dan membuat gerakan menyilang yang meng-
halangi langkahnya. Terpaksa gadis itu henti-
kan langkah dan berpaling dengan wajah kes-
al pada orang yang bernama Suryudana itu. 
"Kisanak, jangan paksa aku untuk me-
lakukan kekerasan pada kalian dengan cara-
mu ini!" katanya dengan suara mengancam. 
Sebaliknya Suryudana hanya tergelak-gelak 
kecil mendengar kata-kata si gadis. 
"Kalau engkau enggan dengan cara ke-
kerasan sebaiknya aku setuju sekali dengan 
cara baik-baik. Ikutlah denganku, maka eng-
kau akan memperoleh perlakuan yang baik 
 
pula." 
Mendengar jawaban itu, mengertilah si 
gadis bahwa tak ada jalan lain untuk keluar 
dari kepungan ini selain mengadakan perla-
wanan. Sesungguhnya dia tak mengetahui 
bahwa orang-orang ini adalah murid-murid 
Perguruan Tengkorak Hitam. Niat mereka 
yang sesungguhnya adalah memancing bebe-
rapa orang murid-murid Nyai Larasati untuk 
keluar dari tempatnya dan menyerang dengan 
tiba-tiba. Namun baru saja mereka memikir-
kan cara itu, kebetulan sekali beberapa orang 
diantaranya keluar untuk mengejar gadis 
yang kini mereka kepung. Maka  Suryudana 
yang turun langsung dalam penyerbuan ke 
tempat kediaman Nyai Larasati itu, memecah 
rombongan menjadi dua bagian. Sebagian 
yang dipimpin oleh tangan kanannya, yaitu 
pemuda yang bernama Danu Umbara untuk 
menyergap beberapa orang murid Nyai Lara-
sati, dan dia sendiri mengepung gadis yang 
dikejar-kejar itu. Adapun niat Suryudana 
atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak 
Bermuka Masam berbuat begitu adalah untuk 
mematahkan perlawanan Nyai Larasati pada 
saat penyerbuan yang akan mereka lakukan 
nanti. Karena walau bagaimanapun dia tak 
mau anggap remeh kemampuan perempuan 
tua itu beserta murid-muridnya. 
Sementara itu Dewi Ambarwati telah 
keluarkan suara bentakan nyaring sambil pu-
tar pedang dan coba menembus barisan per-
tahanan para pengepungnya itu. Namun 
 
alangkah kecewanya dia manakala menemu-
kan kenyataan bahwa gerakan-gerakan yang 
dilakukan lawan lawannya ternyata sangat 
kompak dan teratur sekali. Berkali-kali mere-
ka berhasil menghindar dari sabetan pedang-
nya dan dengan tiba-tiba balas menyerang 
dengan tiba-tiba. Sudah barang tentu hal ini 
membuat gadis itu gusar bukan main.  
"Ciaaaat....!" 
Dengan berteriak nyaring, tubuhnya 
mencelat ke atas sambil membuat beberapa 
kali putaran, kemudian dengan tiba-tiba me-
nukik tajam dengan pedang di tangan bergu-
lung-gulung hingga tiada terlihat lagi bentuk-
nya. 
"Cras! Cras!" 
Dua orang pengeroyoknya memekik 
nyaring manakala ujung pedang gadis itu me-
robek dadanya. Gadis itu terus mengamuk, 
tiada henti bagai serigala betina yang terluka. 
Beberapa orang lagi terkena sabetan pedang-
nya. Dengan menggunakan jurus andalannya 
yaitu, Kilat Pedang Membelah Angkara, la-
wan-lawan itu bukanlah tandingannya. Meski 
mereka mampu berkelit, namun ujung pe-
dang gadis itu terus mengejar bagai memiliki 
mata. Melihat keadaan itu, tentu saja Suryu-
dana geram bukan main. Dengan satu benta-
kan keras, para pengeroyok itu yang tak lain 
dari anak buahnya sendiri, segera hentikan 
penyerangan. Sepasang matanya menyipit 
dan menyiratkan amarah luar biasa terhadap 
gadis itu. Perlahan-lahan dia melangkah 
 
mendekati si gadis yang telah bersiap-siap ji-
ka orang itu tiba-tiba menyerangnya. 
"Ilmu silatmu boleh juga, anak manis. 
Tapi jangan dulu berbangga diri. Kalau dalam 
lima jurus di muka engkau bisa bertahan dari 
serangan ku, bolehlah berarti engkau menang 
dan kuijinkan pergi sesukamu. Tapi kalau ti-
dak, maka engkau tak akan pergi ke mana-
mana!" kata Suryudana dingin. Sekali tan-
gannya bergerak, tiba-tiba sebatang pedang 
telah tergenggam. Tanpa banyak membuang 
waktu lagi, laki-laki bertampang bengis ini te-
lah kiblatkan pedang. Lalu dengan satu ben-
takan nyaring, tubuhnya yang sedikit ramp-
ing, telah melesat ke arah gadis itu sambil ki-
rim satu serangan yang bertenaga sangat 
kuat. Suryudana atau Raja Tengkorak Ber-
muka Masam mengetahui bahwa gadis itu 
mempunyai ilmu yang cukup lumayan, tak 
mau menganggap enteng. Itulah sebabnya 
pada awal serangan ini dia telah keluarkan 
jurus-jurus dahsyatnya yang diberi nama 
Tengkorak Menakuti Angin Ribut. 
Dewi Ambarwati mulai merasakan 
permainan pedang lawan sungguh hebat se-
kali. Meski dia telah keluarkan seluruh ke-
mampuannya dan balas menyerang dengan 
menggunakan jurus Kilat Pedang Membelah 
Angkara, namun lawan tak sedikit pun terde-
sak, bahkan mampu berkelit dengan sangat 
lincahnya. Sudah barang tentu hal ini mem-
buatnya sangat putus asa. Segala daya upaya 
telah dikerahkannya, namun lawan seolah tak 
 
memberikan ruang gerak padanya untuk ber-
buat sesuatu. Walhasil gadis itu hanya bisa 
pasrah dan bertahan sebisanya. Kalau benar 
apa yang dikatakan lawan bahwa bila dia da-
pat bertahan lima jurus dari serangannya, 
maka dia akan membebaskannya. Semoga sa-
ja janjinya itu bisa dipegang. Namun ternyata 
gadis itu tak banyak berharap. Meski perta-
rungan itu telah memasuki jurus ketujuh dan 
dia hanya menunggu waktu saja untuk dija-
tuhkan, tapi lawan tak bermaksud menyuda-
hi. Malah semakin bernafsu untuk mengalah-
kannya secara terang-terangan. 
Sebenarnya kalau saja diperhatikan se-
cara sungguh-sungguh, ilmu pedang yang 
dimainkan gadis itu tak bisa dianggap ringan, 
dan tidak juga berada di bawah permainan 
lawan. Hanya saja gadis itu memang kalah 
dalam hal tenaga dalam dan pengalaman ber-
tanding. Barangkali hanya kegesitan saja 
yang membuatnya mampu bertahan sampai 
tujuh jurus. 
Sementara itu melihat lawan semakin 
terdesak, Suryudana seolah telah melupakan 
kata-katanya. Dia terus ayunkan pedang dan 
menghantam manakala gadis itu sudah terde-
sak hebat. Mau tak mau Dewi Ambarwati ha-
rus mempertahankan diri dan kiblatkan pe-
dang untuk memapaki serangan lawan. 
"Tang!" 
Pedang di tangan gadis itu mental lima 
tombak. Ujung pedang Suryudana telah ter-
hunus di tenggorokannya. Laki-laki itu terse-
 
nyum sambil perlihatkan seringai yang berke-
san sadis. Dewi Ambarwati bergidik ngeri me-
lihat wajah itu. Masih untung pada saat itu 
tiba-tiba muncul beberapa orang kawan me-
reka yang lain. Seorang pemuda berusia seki-
tar duapuluh tahun bersama beberapa orang 
anak buahnya yang masih terhitung murid-
murid Perguruan Tengkorak Hitam. Bersama 
mereka nampak beberapa orang gadis dalam 
keadaan tertotok dan dibopong oleh beberapa 
orang diantara murid murid Tengkorak Hitam 
itu. 
"Guru, tugas telah kami jalankan den-
gan baik!" kata si pemuda yang agaknya me-
mimpin rombongan itu. Suryudana anggukan 
kepala puas. 
"Engkau lihat hasil tangkapan kami 
ini?" 
Pemuda itu melirik sekilas. Hatinya 
terpana saat melihat wajah Dewi Ambarwati 
yang cantik jelita. Untuk sesaat dia terpaku di 
tempatnya. 
"Danu Umbara, kalau engkau suka, 
engkau akan mendapat giliran setelah aku 
nanti. Tapi sekarang ini lebih baik kita urus 
dulu perempuan tua bangka itu!" kata Suryu-
dana seolah mengerti apa yang sedang dipi-
kirkan pemuda itu. Tiba-tiba tangan kiri ke-
tua Perguruan Tengkorak Hitam itu bergerak 
ke tubuh si gadis. Sebentar saja Dewi Ambar-
wati merasa tubuhnya kaku akibat totokan 
lawan. Dia menyumpah habis-habisan. Su-
ryudana hanya tergelak-gelak saja. Tapi seca-
 
ra tak terduga, saat itu juga terdengar tawa 
panjang yang mengiringi suaranya tanpa me-
nampakkan ujud. 
"Ha... ha.., ha....! Tua bangka keparat! 
Engkau masih suka juga pada daun muda. 
Apakah engkau tak merasa malu?!" 
"Siapa engkau?!" 
"Engkau tiada punya derajat mengeta-
huiku!" 
"Huh, sungguh sombong sekali engkau 
ini!" dengus Suryudana sambil mengamati 
tempat itu dengan tajam. Tiba-tiba dilihatnya 
ada sesuatu yang bergerak pelan dari cabang 
sebuah pohon bagai ditiup angin. Dengan ce-
pat tubuhnya melesat ke arah itu sambil ki-
rim satu serangan. 
"Krosak! Pras! Pras!" 
Pedangnya terayun dengan cepat. Tapi 
alangkah kecewanya laki-laki itu menemukan 
kenyataan bahwa dia terkecoh. Di situ tiada 
siapa-siapa. Jelas tadi bukan akibat angin 
daun-daun itu bergerak. Saat itu angin ber-
tiup dari arah kanan ke kiri, tapi daun-daun 
di cabang itu bergoyang tak beraturan meski-
pun hanya pelan saja. Sudah barang tentu 
dalam pikirannya, orang yang mengeluarkan 
suara tawa tadi bersembunyi di tempat itu. 
Semua murid-muridnya yang melihat keja-
dian itu bertambah heran saja. Bagaimana 
mungkin guru mereka yang berilmu tinggi itu 
dapat terkecoh oleh lawan. Lalu siapakah 
orang tadi sebenarnya? Mungkinkah seorang 
tokoh berilmu tinggi yang hanya ingin meng-
 
goda mereka saja? 
Tapi Suryudana segera mendapat ja-
waban manakala dia kembali turun dan meli-
hat gadis yang dikalahkannya tadi telah le-
nyap entah ke mana. Empat orang muridnya 
yang berada di dekat gadis itu roboh dalam 
keadaan tertotok. Dia menyumpah-nyumpah 
tak karuan melihat keadaan itu sambil berpi-
kir keras, siapa orang yang mampu berbuat 
begitu hebat pastilah ilmunya sangat tinggi. 
Bisa jadi guru si gadis itu, pikirnya. Kalau sa-
ja dia tadi turun tangan, belum tentu mereka 
semua bisa selamat. Masih untung dia tak 
mempersoalkannya. Berpikir begitu, cepat-
cepat Suryudana memerintahkan anak buah-
nya untuk lanjutkan perjalanan menuju tem-
pat kediaman Nyai Larasati. 
 
10 
 
Dewi Ambarwati tersentak kaget meli-
hat seorang pemuda berwajah tampan dengan 
pakaian kumal berwarna merah. Belum lagi 
dia sempat berpikir melihat cara berdandan 
pemuda itu yang rambutnya dikuncir dan 
membawa-bawa periuk besar, tiba-tiba saja 
tubuhnya telah berada dalam bopongannya 
dan bersamaan dengan itu empat orang mu-
rid Tengkorak Hidup ambruk tak berdaya 
tanpa menimbulkan suara. Pemuda itu terus 
berlari dengan sangat cepat sambil membo-
pongnya. Dia sama sekali tak merasa seperti 
 
membawa beban. Dari situ saja si gadis su-
dah dapat menduga bahwa pemuda ini bu-
kanlah orang sembarangan. Setidaknya dari 
cara dia merobohkan empat orang tadi dan 
kini membawanya berlari dengan kecepatan 
tinggi. Tapi bukan berarti dia tak curiga. Dia 
sama sekali tak mengenal siapa pemuda ini 
sebenarnya, dan punya maksud apa meno-
longnva. Lebih-lebih tak lama kemudian seo-
rang pemuda yang sebaya dengannya, berlari 
dengan kecepatan tinggi mendekati. Dan ak-
hirnya mereka berdampingan sambil tertawa-
tawa kecil. Sudah barang tentu hal ini mem-
buatnya bertambah curiga saja. 
"Kisanak, siapakah kalian ini sebenar-
nya? Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya 
gadis itu was-was. 
"Tenanglah, nona. Kami tak bermaksud 
jahat padamu," sahut pemuda berkuncir yang 
tak lain dari Buang Sengketa, atau si Pende-
kar Hina Kelana. 
"Kalau kalian tak bermaksud jahat, to-
long lepaskan totokanku ini dan biarkan aku 
pergi dari sini." 
"Ah, betul! Hampir saja aku lupa!" Pe-
muda itu tepuk jidat dan hentikan larinya. 
Begitu juga dengan pemuda yang berada di 
sampingnya. 
"Nah, nona engkau sekarang bebas!" 
lanjut Buang Sengketa setelah melepas toto-
kan gadis itu. Sebaliknya Dewi Ambarwati 
bingung sendiri. Kedua pemuda ini sama se-
kali tak mengesankan sebagai seorang yang 
 
berwatak jahat. Lagi pula mereka tak menun-
tut imbalan apa-apa setelah menolongnya. 
Sudah barang tentu hal ini membuatnya malu 
hati dan merasa tak enak telah punya pera-
saan curiga sebelumnya. Sebagai seorang ga-
dis yang tahu sopan santun, dia tak malu un-
tuk meminta maaf. 
"Maafkanlah aku, kisanak. Tadi aku te-
lah berperasangka buruk pada kalian berdua. 
Kusangka kalian adalah sebangsa laki-laki 
hidung belang yang punya niat sama seperti 
mereka. Aku mengucapkan banyak terima 
kasih atas pertolongan kalian. Kalau boleh 
kutahu, siapakah kalian ini sebenarnya?" 
"Ah, tak perlu merasa begitu, nona. 
Menolong sesama manusia adalah sudah 
menjadi kewajiban kita bersama. Aku berna-
ma Buang Sengketa dan kawanku ini berna-
ma Tuta Rimba," jawab Buang Sengketa. Ga-
dis itu anggukkan kepala mendengar itu. 
Meskipun Buang Sengketa menerangkan ju-
lukannya, barangkali pun gadis itu tak mera-
sa terkejut, karena sebagai gadis yang baru 
turun gunung, dia sama sekali tak pernah 
mengenalnya. 
"Nona, siapakah engkau sebenarnya, 
dan kenapa bisa berurusan dengan orang-
orang Tengkorak Hitam?" tanya Tuta Rimba. 
Si gadis yang merasa percaya bahwa kedua 
pemuda itu orang baik-baik, segera menceri-
takan pengalaman yang dialaminya tadi. 
Bahkan diapun menceritakan segala sesua-
tunya sejak mereka turun gunung guna men-
 
cari Sepasang Pedang Setan yang dipesan gu-
runya. Gadis itu sedemikian polosnya hingga 
tak sedikitpun dia punya perasaan curiga ter-
hadap kedua pemuda itu. Sebaliknya Tuta 
Rimba terperanjat kaget mengetahui, siapa 
guru gadis itu sebenarnya. 
"Astaga! Ternyata kita adalah orang 
sendiri. Nona, guruku mengutusku untuk 
mencari Pedang Setan itu guna mengembali-
kannya pada orang yang berhak, yaitu guru-
mu. Beliau adalah adik seperguruan Ki Wi-
caksana, sahabat gurumu yang diamanatkan 
untuk menyimpan sepasang pedang itu." 
"Oh, benarkah itu?!" 
Tuta Rimba mengangguk pasti. Buang 
Sengketa pun membenarkan hal itu.       
"Sebaiknya engkau tak perlu kembali 
menemui gurumu. Kalau engkau bersedia 
ikut, kami bermaksud menemui Nyai Larasati 
dan meminta pedang itu secara baik-baik" ka-
ta Buang Sengketa. 
"Perempuan itu sangat licik. Kalian ha-
rus berhati-hati padanya!" kata Dewi Ambar-
wati memperingatkan. 
"Dengan cara apapun kami akan beru-
saha mengambilnya dan sekaligus membe-
baskan gurumu." 
"Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut 
dengan kalian!" 
Tak lama kemudian ketiganya segera 
melesat dari tempat itu menuju kediaman 
Nyai Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut. 
Sebenarnya apa yang mereka lakukan 
 
hingga dengan gampang bisa membawa gadis 
itu dari kepungan orang-orang Tengkorak Hi-
tam? Mulanya mereka melihat keadaan gadis 
itu yang terdesak hebat dan kena dijatuhkan 
oleh Suryudana. Tuta Rimba ingin turun tan-
gan untuk membantu. Tapi Buang Sengketa 
mempunyai rencana yang lebih baik. Menu-
rutnya kalau mereka turun tangan secara 
langsung, tentu akan memakan waktu lama. 
Maka dia menyuruh Tuta Rimba untuk men-
gecoh lawan pada posisi tertentu untuk me-
mancing perhatian mereka. Dengan menggu-
nakan pukulan jarak jauh, pemuda itu meng-
hantam cabang pohon yang berdaun lebat 
dan agak tertutup, lalu secepatnya kabur dari 
tempat itu. Pada waktu yang bersamaan, 
Buang Sengketa bergerak menolong gadis itu 
karena semuanya sedang memusatkan perha-
tian ke arah ketua mereka yang menerjang ke 
arah dedaunan yang bergoyang-goyang akibat 
dihantam pukulan Tuta Rimba tadi. Tanpa 
banyak mengalami kesulitan, dia menotok 
keempat orang murid Tengkorak Hitam dan 
dengan cepat menyambar gadis itu dan mem-
bawanya kabur sambil mengerahkan ajian 
Sepi Angin. 
 
11 
 
Nyai Larasati atau si Peri Kuning Tong-
kat Maut sungguh tak menyangka bahwa ke-
datangan tokoh-tokoh sakti ke tempatnya ka-
 
rena mendapat kabar bahwa dia memiliki sa-
lah satu Pedang Setan, sungguh cepat bere-
dar. Kini mereka telah berkumpul. Ada yang 
meminta secara baik-baik dengan alasan ter-
tentu, namun ada juga yang memaksa hingga 
menimbulkan perkelahian yang tak dapat di-
elakkan lagi. Kedudukan mereka memang 
sangat tidak menguntungkan. Lima orang 
murid-muridnya yang mengejar gadis yang lo-
los dari tempat mereka, belum juga kembali. 
Jumlah tokoh-tokoh yang hadir di situ bah-
kan melebihi jumlah mereka sendiri. Dia sen-
diri tak yakin, apakah mampu mengalahkan 
mereka secara jujur. Maka dengan akal bu-
lusnya dia menantang mereka beramai-ramai 
dan menjanjikan akan memberikan pedang 
itu bagi siapa yang bisa mengalahkannya. 
Tentu saja hal ini menarik perhatian mereka 
yang akalnya pendek. Namun bagi tokoh-
tokoh tertentu yang mengetahui bahwa pe-
rempuan tua itu banyak memiliki akal bulus, 
tak cepat percaya. Mereka berdiam diri dan 
menunggu saat yang tepat. Dugaan itu ter-
nyata tak salah. Dua orang tokoh persilatan 
yang bernama Dandaka Pura dan Permana, 
serta lima orang yang lebih dikenal sebagai 
Lima Iblis Lembah Duka, kena diperdaya oleh 
orang tua itu dan tergeletak pingsan saat Nyai 
Larasati putarkan tongkat yang mengeluarkan 
asap kuning yang merupakan obat pembius. 
"Siapa lagi yang coba-coba mengingin-
kan pedang itu, boleh berhadapan denganku!" 
kata orang tua itu dengan wajah garang. Ma-
 
tanya menyapu pandang pada tiga orang yang 
masih tegak sambil senyum mencibir. Yang 
satu seorang perempuan berusia enam puluh 
tahun. Wajahnya lebar dan rambutnya yang 
panjang telah memutih semua. Dia mengena-
kan pakaian yang sangat ketat di seluruh tu-
buhnya. Pada kesepuluh jari-jarinya terlihat 
kuku-kuku yang sangat tajam dan panjang. 
Rimba persilatan mengenalnya sebagai Betina 
Penyebar Maut. Nama aslinya adalah Nyai 
Tonggeng. Seorang lagi bertubuh pendek dan 
gempal. Kepalanya pada bagian ubun-ubun 
telah botak. Memakai baju kembang-kembang 
merah dan biru dengan dasar putih. Dia di-
kenal sebagai Banteng Liar Peremuk Raga. Di-
juluki demikian karena tenaganya yang besar 
dan kuat luar biasa. Namanya adalah Lembu 
Sura. Dan yang ketiga bernama Puro Sekati. 
Tubuhnya kurus jangkung. Rambutnya yang 
telah memutih, digulung ke atas. Usianya se-
kitar tujuh puluh tahun. Meski wajahnya tak 
menyeramkan, namun dia adalah tokoh yang 
sangat ditakuti karena kekejamannya yang 
tak kepalang tanggung. Jarang orang yang 
mau berurusan dengan kakek, yang punya 
gelar Setan Bertangan Delapan ini. 
Sesungguhnya Nyai Larasati lebih 
mengkhawatirkan mereka bertiga ini daripada 
yang lain. Ilmu mereka tinggi dan sulit dijaja-
ki. Lagipula mereka cerdik dan tak mudah 
terpancing oleh tipu dayanya. 
"Nyai Larasati, sebaiknya engkau jan-
gan banyak pentang bacot. Lebih baik serah-
 
kan saja Pedang Setan itu padaku, dan kuja-
min aku tak akan mengganggumu!" kata Nyai 
Tonggeng atau Betina Penyebar Maut dengan 
suara dingin mengancam. 
"Siapa bilang begitu?" timpal Lembu 
Sura. "Apa engkau pikir hanya  engkau saja 
yang ingin memiliki pedang itu?" 
"Ya. Engkaupun harus ingat bahwa 
aku telah berada di sini," sahut Puro Sekati 
tersenyum sinis. "Aku tak akan kembali sebe-
lum apa yang kuinginkan tercapai." 
"Kalian sama sekali tak berhak akan 
Pedang Setan itu!" sahut satu suara tiba-tiba. 
Semua orang menoleh dan terlihat di tempat 
itu telah terdapat sekitar tiga puluh  orang 
murid-murid Perguruan Tengkorak Hitam 
yang dipimpin langsung oleh ketuannya, yaitu 
Suryudana atau lebih dikenal sebagai Raja 
Tengkorak Bermuka Masam. "Pedang itu ada-
lah kepunyaan pamanku yaitu si Pedang Se-
tan. Oleh sebab itu, akulah yang berhak me-
milikinya," lanjut suara itu yang tak lain dari 
Suryudana. 
"Ha... ha... ha... ha....!" Sungguh lucu. 
Orang-orang memperebutkan benda yang bu-
kan miliknya dan merasa seolah-olah benda 
itu adalah miliknya yang harus didapatkan 
dengan cara apapun," timpal satu suara. Se-
mua orang yang berada di situ kembali dibuat 
terkejut 
Tiga orang berusia muda telah muncul 
di situ. Dua orang pemuda dan seorang lagi 
perempuan jelita berusia sekitar tujuh belas 
 
tahun. Salah seorang pemuda yang mengelu-
arkan ucapan tadi sungguh sangat menarik 
perhatian mereka. Meski wajahnya tampan, 
namun dia berpakaian kumal. Rambutnya di-
kuncir serta membawa-bawa periuk besar. 
Demi melihat kedatangan pemuda itu, En-
dang Purwasih yang berada di situ, dengan ti-
ba-tiba menyerbu ke arahnya dengan wajah 
girang. 
"Kelana...!" panggilnya. Namun lang-
kahnya tiba-tiba berhenti manakala neneknya 
hadangkan tongkat. Gadis itu bingung tak 
mengerti. Tapi perempuan tua itu seolah tahu 
apa yang dipikirkan gadis itu, segera membe-
ritahukan alasannya. 
"Tidakkah engkau lihat dia bersama 
siapa? Dia bersama gadis yang lolos itu, Pasti-
lah gadis itu telah bercerita banyak padanya. 
Engkau jangan berharap bahwa dia berada di 
pihak kita." 
"Tapi, nek...." 
"Diam kataku dan tetap di tempatmu!" 
bentak Nyai Larasati sambil pelototkan mata. 
Gadis itu terpaksa menurut meski sorot ma-
tanya masih bertanya-tanya sambil melirik ke 
arah pemuda berwajah tampan yang memba-
wa-bawa periuk besar itu. 
Sementara itu Suryudana mengenali 
betul siapa gadis yang bersama kedua pemu-
da itu. Hatinya penuh dengan tanda tanya. 
Siapa kedua pemuda itu? Apakah mereka 
yang menyelamatkan gadis itu dari tangan-
nya? 
 
"Kelana, apa maksud perkataanmu 
itu!?" tanya Nyai Larasati dengan wajah sinis. 
Pemuda itu tersenyum kecil dan maju dua 
langkah. 
"Nyai Larasati, Pedang Setan adalah 
milik si Malaikat Pedang Bertangan Seribu. Di 
sini ada muridnya yang mewakili orang tua 
itu untuk mengambil hak miliknya. Kenapa 
malah engkau menyerakahi benda yang bu-
kan milikmu 
"Siapa bilang pedang itu ada di tan-
ganku?!" 
"Nyai Larasati, jangan engkau bersilat 
lidah. Aku tahu betul bahwa engkau memiliki 
salah satu dari Pedang Setan itu. Kalau tidak, 
tak mungkin engkau kasak kusuk untuk 
mencari pedang yang satunya lagi hingga per-
lu menahan si Cakrangga untuk mengorek 
keterangan darinya," sahut Suryudana. "Kea-
daanmu sungguh sangat terjepit. Kalau eng-
kau mau menyerahkan pedang itu padaku, 
sudah barang tentu aku akan bersekutu dan 
membelamu terhadap niat-niat jahat mereka." 
"Cuih! Suryudana, apa engkau pikir 
aku tak mengerti akal bulusmu itu? Untuk 
apa engkau sibuk-sibuk menginginkan pe-
dang yang hanya sebuah itu. Pastilah engkau 
memiliki yang sebuah lagi. Aku ingat betul 
saat engkau mengobrak abrik rumah kedia-
man cucu Tumenggung Gandasena yang ber-
nama Nugraha Wisesa tujuh belas tahun lalu. 
Engkau pasti telah mendapatkan pedang itu, 
dan kini menginginkan sebuah lagi yang eng-
 
kau sangka berada di tanganku!" sahut Nyai 
Larasati sengit. 
"Hei! Hei! Kenapa malah kalian saling 
menyalahkan? Pasti ini akal bulus lagi agar 
kalian tak dicurigai memiliki pedang itu?!" 
sentak Tuta Rimba tak sabaran. Kedua orang 
itu palingkan wajah dan sipitkan mata mena-
han geram. 
"Anak muda, punya kebisaan apa eng-
kau berani berkata lancang begitu terha-
dapku?" tegur Nyai Larasati dengan nada 
mengancam. 
"Nenek peot, tak usah banyak bacot! 
Serahkan pedang itu pada yang berhak dan 
kami tak akan mengganggumu!" 
"Bedebah! Kau pikir engkau ini siapa 
seenaknya memerintahku?" 
Tanpa dikomando lagi, beberapa orang 
muridnya telah menyerang pemuda itu den-
gan ganas. Perkelahian pun tak dapat dihin-
dari lagi. Dewi Ambarwati yang sejak tadi ha-
tinya penuh dendam terhadap perempuan tua 
itu, tiba-tiba saja telah cabut pedang. Tubuh-
nya melesat dengan cepat sambil kirim satu 
serangan. 
"Nyai Larasati, apakah engkau benar-
benar tak mau bersekutu padaku?!" teriak 
Suryudana sambil ketawa mengejek. "Lima 
orang muridmu berada dalam tanganku. Asal 
engkau berjanji akan menyerahkan pedang 
itu padaku, tentu saja aku akan melepaskan 
mereka, bahkan anak muridku pun akan 
membantumu menyingkirkan mereka." 
 
Perempuan tua itu ternyata tak bodoh. 
Melihat posisinya yang sedang tak mengun-
tungkan, dia segera putar otak dan dengan 
cepat menyetujui usul Suryudana. Soal nanti 
barangkali akan dipikirnya belakangan. 
Demi mendengar jawaban itu, dengan 
cepat Suryudana memerintahkan murid-
muridnya untuk meringkus tiga orang muda 
yang baru datang itu. Dia sendiri telah mele-
sat membantu perempuan tua itu untuk men-
jatuhkan gadis yang menjadi lawan Nyai La-
rasati. Tapi saat itu juga tentu saja Buang 
Sengketa tak mau tinggal diam. Tubuhnya se-
gera berkelebat memapaki serangan ketua 
Perguruan Tengkorak Hitam.  
"Ciaaaat....!" 
Suryudana agak terkejut melihat se-
rangan lawan yang cepat itu. Beberapa orang 
murid-muridnya yang pernah berhadapan 
dengan pemuda itu sempat membisikkan ten-
tang siapa sebenarnya pemuda yang selalu 
membawa-bawa periuk besar itu. 
"Hemm, jadi engkaulah yang bernama 
Pendekar Hina Kelana itu? Sungguh menyesal 
bahwa engkau harus mati di tanganku," ejek-
nya sambil memandang rendah. 
"Mati itu bukan urusanmu. Salah-
salah malah engkau sendiri yang akan men-
galaminya nanti," balas Buang Sengketa. Tapi 
pemuda itu tak bisa berlama-lama berhada-
pan dengan lawannya. Puluhan murid-murid 
Tengkorak Hitam telah terbagi dua. Sebagian 
mengeroyok Tuta Rimba, dan sebagian lagi 
 
membantu Nyai Larasati. Sedangkan tangan 
kanan Suryudana yang bernama Danu Umba-
ra, telah melesat membantu gurunya itu. Ten-
tu saja hal itu tak bisa didiamkan saja. Buang 
Sengketa merasa perlu untuk menolong  ke-
dua sahabatnya itu. 
Tapi untuk lolos dari dua lawannya ini 
bukanlah soal mudah. Keduanya berilmu 
tinggi dan memiliki serangan-serangan yang 
mematikan. Karena tak ada jalan lain, terpak-
sa pemuda itu mengeluarkan jurus Si Gila 
Mengamuk. Suatu jurus yang tiada beraturan 
namun sangat ganas sekali menyerang lawan. 
Dalam pada itu dari telapak tangannya mele-
sat selarik sinar ultra violet menghantam para 
murid-murid Tengkorak Hitam. Maka tak ayal 
lagi. Sebentar saja terdengar pekik kematian 
akibat pukulan Empat Anasir Kehidupan 
yang berhawa panas itu. Beberapa orang mu-
rid Tengkorak Hitam langsung tumbang dan 
tewas seketika terkena pukulan itu. Tentu sa-
ja hal ini sangat mengkhawatirkan sekali. Ka-
lau dibiarkan terus, sudah pasti murid-
muridnya akan tewas tiada bersisa. Berpikir 
begitu, Suryudana putar otak. Pemuda yang 
menjadi lawannya ini berilmu tinggi. Meski 
dia telah keluarkan jurus-jurus andalannya 
dan mengeroyoknya berdua, belum kelihatan 
tanda-tanda dia akan terdesak. Bahkan kalau 
dibiarkan terus, salah-salah bisa dia sendiri 
yang celaka. Tiba-tiba dia menemukan akal 
saat matanya melihat tiga orang tokoh sesat 
yang masih mematung tak ambil bagian da-
 
lam pertarungan itu 
"Hei, kalian bertiga?!" teriaknya me-
manggil. "Ketahuilah, bahwa pemuda ini yang 
bergelar Pendekar Hina Kelana. Kalau dia 
berhasil menguasai pedang itu, kalian akan 
rugi sendiri. Sedang bila pedang itu kita da-
patkan, bisa dirundingkan baik-baik cara pe-
nyelesaiannya nanti. Kenapa kalian malah di-
am saja?!" 
Mendengar nama si pemuda itu, tanpa 
pikir panjang lagi, ketiganya segera melesat 
dan langsung menyerang Buang Sengketa. 
Siapa yang tak mengenal Pendekar Hina Ke-
lana? Nama itu belakangan ini menjadi mo-
mok yang membuat gemas tokoh-tokoh sesat 
sehubungan dengan sepak terjangnya yang 
sangat memusuhi golongan mereka. 
"Ah, engkau rupanya yang punya gelar 
Pendekar Hina Kelana itu?" ujar Nyai Tong-
geng sinis. "Ingin sekali kulihat permainan 
Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto-
mu yang sangat menghebohkan itu." 
"Kedua senjata itu bukan untuk dipa-
merkan, tapi kalau kalian memaksa, apa bo-
leh buat. Nantipun kalian akan merasakan-
nya juga," sahut pemuda itu merendah. Tapi 
apa yang dikatakannya sungguh beralasan. 
Dikeroyok lima orang yang berilmu tinggi itu, 
mau tak mau membuat Buang Sengketa agak 
repot. Dia tak bisa lagi hantamkan pukulan 
Empat Anasir Kehidupan untuk membantu 
kedua kawannya karena selalu dihalang-
halangi oleh gerakan-gerakan lawan yang 
 
mengurungnya dengan ketat. Pemuda itu kini 
semakin terdesak saja. Hatinya cemas bukan 
main memikirkan keadaan kedua sahabatnya 
itu. Dikeroyok oleh begitu banyak orang, pas-
tilah mereka tak akan bertahan lama. Sedang 
dia sendiri kalau tak cepat bertindak, juga 
akan dapat dijatuhkan oleh lawan-lawannya. 
"Aaaakh....!" 
Buang Sengketa tersentak kaget men-
dengar teriak kesakitan Dewi Ambarwati. Ba-
hu kirinya kena diserempet ujung tongkat la-
wan, dan bersamaan dengan itu ujung pedang 
lawan yang lain menggores pahanya. Bebera-
pa saat kemudian, Tuta Rimba mendapat ba-
gian. Kepalanya terkena tendangan lawan 
dengan telak, dan pinggangnya dengan cepat 
disabet ujung pedang lawan yang lain. 
"Wuaaaa....!!" 
Pemuda dari negeri Bunian itu tersen-
tak kaget dan menjerit kecil saat kepalan 
Lembu Sura yang bertenaga dalam kuat, 
menghantam dadanya. Tak ampun lagi, tu-
buhnya mental beberapa tombak sambil mun-
tahkan darah segar. Belum lagi memperbaiki 
posisi, satu sambaran kuku-kuku Nyai Tong-
geng, menghajar lehernya. 
"Breet!" 
Kasihan sekali pemuda itu. Hanya ka-
rena kelengahan akibat memperhatikan kese-
lamatan dua kawannya, akhirnya dia menjadi 
bulan-bulanan kelima lawannya itu. Tubuh 
Buang Sengketa ngusruk dengan nafas me-
gap-megap. Bukan saja luka dalam yang dipe-
 
rolehnya akibat pukulan lawan yang  terus 
menghantam berturut-turut, namun juga lu-
ka-luka akibat cakaran Nyai Tonggeng dan 
sabetan pedang Suryudana dan Danu Umba-
ra. Kejadian itu begitu cepat dan singkat se-
kali. Kelimanya memandang pemuda itu sam-
bil tersenyum mengejek. 
"Hi... hi... hi... hi....! Hanya sebeginikah 
kemampuan pendekar yang namanya meng-
getarkan rimba persilatan itu?" ledek Nyai 
Tonggeng. 
"Sebaiknya coba engkau keluarkan saja 
Golok Buntung-mu. Siapa tahu kami bermu-
rah hati menyambungnya kembali!" timpal 
Suryudana. 
"Kalian akan menyesal nantinya kalau 
golok itu telah tercabut dari tempatnya...!" 
sahut Buang Sengketa pelan namun mengan-
dung ancaman. Tiba-tiba saja tanpa mem-
buang waktu lagi, dengan sekali berkelebat, 
tangan kanannya telah memegang suatu ben-
da yang berwarna merah menyala. Apalagi ka-
lau bukan Pusaka Golok Buntung! Hawa han-
gat segera mengalir ke tubuhnya akibat pen-
garuh golok pusaka itu, dan segera melancar-
kan jalan darahnya yang kacau. Meski tak se-
luruhnya bisa disembuhkan namun keadaan-
nya agak lebih baik. 
"Hi... hi... hi....! Meskipun engkau kelu-
arkan Golok Buntung-mu itu, mana mungkin 
engkau bisa bertahan  lama. Racun yang be-
rada dalam kuku ini sangat kejam dan tiada 
bandingannya," kata Nyai Tonggeng menje-
 
laskan sambil terkekeh-kekeh. Namun buat 
Buang Sengketa hal itu sama sekali tiada di-
rasakannya. Seperti diketahui, pemuda dari 
Negri Bunian itu kebal terhadap  segala ma-
cam jenis racun. 
Nyai Tonggeng atau Betina Penyebar 
Maut serta yang lainnya tak sempat lagi pen-
tang bacot manakala tubuh si pemuda pe-
nyandang periuk besar itu telah berkelebat ke 
arah mereka diiringi sebuah benda berwarna 
merah menyala di tangannya dan menimbul-
kan suara bagai puluhan harimau terluka. 
Sementara itu dari mulut pemuda itu sendiri, 
tak henti-hentinya  terdengar suara mendesis 
bagai seekor ular Piton yang terluka. Dengan 
menggunakan jurus Si Jadah Terbuang, gera-
kan pemuda itu cepat sekali dan sulit diikuti 
oleh mata. Golok Buntung di tangannya me-
nyambar-nyambar ke arah lawan. 
"Cras! Cras!" 
Danu Umbara dan Lembu Sura tak 
sempat memekik saat golok di tangan Pende-
kar Hina Kelana menyambar lehernya. Kedua 
batok kepala itu menggelinding, sedang tubuh 
mereka sendiri terhuyung-huyung sejenak 
sambil mengucurkan darah dari pangkal leher 
sebelum akhirnya ambruk tak berkutik lagi. 
Bukan main marahnya Suryudana  melihat 
murid kesayangannya tewas. Dari mulutnya 
terdengar suitan nyaring. Saat itu juga seba-
gian anak buahnya mengalihkan perhatian-
nya dan ikut mengerubuti  Buang Sengketa. 
Namun hal itu percuma saja. Sekali pemuda 
 
itu bergerak, tiga orang memekik nyaring 
sambil roboh terguling-guling dan nyawanya 
lepas saat itu juga terkena sabetan Pusaka 
Golok Buntung. Suryudana semakin ketaku-
tan saat serangan pemuda itu lebih ditujukan 
padanya. 
"Cras! Wuuuuut! Craaas!" 
Suryudana memekik nyaring saat tan-
gannya kutung disabet golok Buang Sengketa. 
Namun ketika itu juga pemuda itu merasakan 
satu serangan menyambarnya. Dengan cepat 
dia berkelit tanpa menoleh dan sabetkan Go-
lok Buntung. Terdengar pekikan nyaring Nyai 
Tonggeng yang seketika roboh dengan ping-
gang hampir putus 
Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu 
ternyata tak kepalang tanggung. Kembali pe-
dang di tangannya berkelebat ke arah Suryu-
dana. Orang itu memekik nyaring saat da-
danya kena disabet golok lawan. Belum lagi 
dia sempat kuasai diri, tiba-tiba saja senjata 
lawan telah menyambar lehernya. 
"Cras!" 
Tak ampun lagi. Kepala Suryudana 
terpisah dan menggelinding ke tanah... Men-
getahui itu, murid-muridnya segera melarikan 
diri karena mengadakan perlawanan pun per-
cuma saja. Lagipula toh untuk siapa lagi me-
reka menempur pemuda itu. Melihat sepak 
terjang Pendekar Hina Kelana yang sangat 
dahsyat, tanpa malu-malu Puro Sekati ikut-
ikutan kabur setelah nyalinya ciut sejak tadi. 
Buang Sengketa hanya mendiamkannya saja 
 
dan tubuhnya melesat dengan cepat ke arah 
Nyai Larasati yang pada saat itu sedang men-
desak Dewi Ambarwati.  
Mengetahui serangan lawan, dengan 
cepat dia berbalik dan memapaki dengan 
tongkatnya. 
"Tes! Crak!" 
"Wuaaaaa....!" 
Perempuan tua itu memekik nyaring. 
Tongkat di tangannya putus menjadi dua, dan 
golok di tangan Buang Sengketa terus melun-
cur ke arah batok kepalanya. Tak ayal lagi, 
batok kepala perempuan tua itu terbelah. Tu-
buhnya terhuyung-huyung untuk beberapa 
saat. Namun pada saat itu secara tak terduga, 
satu sabetan pedang menebas lehernya. Tak 
ayal lagi, batok kepala perempuan itu putus 
dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya me-
regang sesaat sebelum akhirnya nyawanya le-
pas. Beberapa orang muridnya yang melihat 
itu, bergidik ngeri. 
Endang Purwasih pingsan seketika me-
lihat keadaan neneknya. Banonwati tak bisa 
lagi bisa berbuat apa-apa selain menyerah. 
Pada saat itu tiba-tiba Dewi Ambarwati me-
mekik nyaring dengan wajah gembira dan 
menubruk sesosok tubuh yang tadi tiba-tiba 
muncul. "Ibuuuuu....!" 
Orang yang memotes leher Nyai Larasa-
ti tadi tak lain dari Roro Ningrum. Wajahnya 
begitu gembira dapat berkumpul dengan anak 
angkatnya yang telah dianggapnya sebagai 
anak sendiri itu. 
 
"Syukurlah  ibu selamat. Aku telah 
khawatir sejak tadi. Ibu tak apa-apa, bukan?" 
Perempuan separuh baya itu gelengkan 
kepala sambil tersenyum kecil. "Tidak, nak..." 
sahutnya pelan. "Mereka hanya memenjara-
kan ibu saja di ruang-bawah tanah. Di sana 
ibu bertemu dengan Cakrangga, anak Empu 
Pupulaka. Setelah ibu menceritakan siapa se-
benarnya ibu, akhirnya dia minta maaf. Dia 
menyesal telah membunuh ayahnya sendiri. 
Syukurlah pedang yang berada di tangan Nyai 
Larasati berhasil ibu peroleh setelah ibu be-
rusaha membebaskan diri. Dan juga menga-
takan bahwa pedang yang satu lagi memang 
sengaja disembunyikan di Lembah Batu Am-
par." 
Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba 
Tuta Rimba menyela. "Apa? Engkau katakan 
ayahku berada di ruang bawah tanah mere-
ka?!" 
"Apakah engkau putranya Cakrang-
ga?!" tanya Roro Ningrum. Pemuda itu  men-
gangguk cepat. "Sayang sekali, keadaan be-
liau sangat menyedihkan. Dia tewas setelah 
memberitahukan di mana pedang satu lagi 
yang disembunyikannya..." lanjut perempuan 
setengah baya itu dengan wajah lesu. Men-
dengar jawaban itu, Tuta Rimba terkejut se-
kali. Tanpa membuang-buang waktu dia sege-
ra menerobos ke dalam rumah itu guna men-
cari ayahnya. 
Sementara itu, Dewi Ambarwati baru 
saja akan memperkenalkan pemuda tampan 
dengan rambut dikuncir pada ibunya, tapi 
pemuda itu telah pergi entah ke mana. Le-
nyap bagai disapu angin. Dia celingukan ke 
sana sini mencari-cari, namun tak juga dite-
mui. 

Sementara itu Buang Sengketa yang me-
rasa bahwa apa yang sedang dicari anak be-
ranak itu telah ditemui, diapun merasa bah-
wa tugasnya membantu mereka telah selesai. 
Maka tanpa sepengetahuan mereka, dia sege-
ra menghilang dari tempat itu sambil kerah-
kan ilmu lari cepat, yaitu ajian Sepi Angin. 
 
TAMAT