Pendekar Rajawali Sakti 81 - Ratu Bukit Brambang(2)

Malam terus merayap semakin larut Udara dingin berhembus kencang, mempermainkan pucuk pepohonan. Langit tampak kelam tertutup awan hitam. Desa Gedangan tampak gelap. Hanya beberapa pelita saja terlihat redup dengan api meliuk-liuk dipermainkan angin malam. Sepanjang malam jalan utama desa itu tampak lengang, tak terlihat seorang pun di luar rumah.

Di malam yang hening dan gelap ini, masih juga terlihat dua sosok tubuh manusia bergerak cepat, menyelinap dari rumah-rumah penduduk dan balik pepohonan. Begitu cepat bergeraknya, sehingga yang terlihat hanya bayangan merah saja. Dua sosok tubuh itu berhenti tepat di depan rumah Ki Kusha.

"Sebarkan ilmu Sirep, Karina," bisik salah seorang perlahan. Begitu pelannya hampir tidak terdengar.

"Aku tidak yakin ilmu Sirepku berpengaruh bagi Pendekar Rajawali Sakti," sahut Karina.

Memang, mereka adalah Karina dan Widarti yang mendapat tugas khusus dari Ratu Bukit Brambang.

"Kalau dia tidak terpengaruh, biar aku yang hadapi. Dan kau culik gadis itu," kata Widarti.

Karina tidak menyahut. Pandangannya lurus menatap rumah yang tampak terang bagian dalamnya. Malam ini, mereka hendak melaksanakan tugas menculik Lasmi untuk memancing Pendekar Rajawali Sakti agar datang ke Bukit Brambang.

"Cepatlah, Karina. Aku masih mendengar suara dari dalam rumah itu," desah Widarti tidak sabar.

"Hm...," Karina bergumam perlahan. Kemudian Karina mengangkat tangannya ke atas kepala, lalu perlahan-lahan kedua tangannya turun membentuk silang di depan dada. Kedua matanya terpejam dengan kepala setengah menunduk. Sebentar kemudian, terdengar suara mendesis bagai ular. Lalu, gadis itu mendorong tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar. Kedua matanya terbuka menatap tajam ke depan. Tubuhnya agak bergetar, dan dari bibirnya terdengar suara mendesis halus. Tidak berapa lama kemudian, kedua tangannya bergerak turun. Kini kepalanya menoleh pada Widarti yang sejak tadi memperhatikan rumah di depan itu.

"Bagaimana, Karina?" tanya Widarti.
"Mudah-mudahan berhasil," sahut Karina.
"Ayo, jangan buang-buang waktu."

Kedua gadis berbaju merah itu segera melompat cepat dan ringan mendekati rumah Ki Kusha. Mereka tiba di depan pintu rumah dengan tubuh agak merapat ke dinding. Sebentar mereka terdiam dengan mata saling melempar pandang. Widarti mendorong pintu itu, tapi kepalanya menggeleng. Pintu itu ternyata tidak bergerak sedikit pun. Widarti menganggukkan kepala sedikit. Sementara, Karina menggeserkan kakinya lebih ke depan di pintu dengan jarak sekitar tiga langkah. Sebentar perhatiannya dipusatkan, kemudian dengan cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan.

Brakkk!

Pintu kayu itu jebol begitu tangan Karina mendorong kuat ke depan. Widarti langsung melompat masuk ke dalam, diikuti Karina. Mereka berdiri berdampingan dengan mata merayapi sekitarnya. Tidak ada yang dapat dilihat di dalam ruangan depan yang tidak begitu besar ini. Hanya ada sebuah dipan bambu yang kosong, dua kursi kayu, dan sebuah meja bundar di bawah jendela. Tidak ada seorang pun yang terlihat.

"Kau periksa setiap kamar, Karina. Biar aku menjaga di sini," kata Widarti setengah berbisik.

"Hup!" Karina bergegas melompat menuju ke sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka. Dengan hati-hati sekali didorongnya pintu itu. Cahaya pelita langsung menerobos keluar. Gadis itu menggelengkan kepala, karena di dalam kamar itu tidak terlihat seorang pun. Karina kembali melompat mendekati pintu kamar satunya lagi. Didorongnya pintu itu perlahan-lahan. Kembali kepalanya menggeleng perlahan, karena di dalam kamar ini juga tidak ada seorang pun. Karina memandang Widarti yang berdiri dengan sikap siaga penuh di tengah-tengah ruangan depan yang menjadi satu dengan ruangan tengah.

"Mustahil. Tadi aku mendengar ada suara di sini, desah Widarti jadi keheranan juga"

"Aku lihat ke belakang, Widarti," kata Karina.

"Cepatlah!" Karina bergegas melompat ke bagian belakang rumah ini, namun tidak lama kemudian sudah kembali lagi dengan bahu terangkat dan kepala menggeleng. Widarti mendengus kesal. Dipandangnya setiap sudut ruangan kecil ini. Keningnya sedikit berkerut. Ada keanehan di rumah ini setiap ruangan begitu terang benderang, tidak seperti rumah-rumah lain.

"Hm..., jangan-jangan...," gumam Widarti perlahan seperti untuk dirinya sendiri.

"Jebakan...!" desis Karina.

Kedua gadis itu berpandangan sejenak, lalu cepat melompat ke luar. Tapi alangkah terkejutnya mereka, begitu sampai di luar rumah. Ternyata sekeliling rumah ini sudah terkepung puluhan orang bersenjata aneka macam bentuknya. Mereka semua membawa obor dengan senjata terhunus. Tampak di antara mereka, berdiri paling depan adalah Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat..!" desis Widarti geram begitu menyadari dirinya sudah terkepung rapat.

"Apa akal kita, Widarti?" tanya Karina berbisik.

"Terpaksa. Malam ini harus banjir darah," sahut Widarti datar.

"Hm..." Karina menggumam perlahan.

Sret!

Kedua gadis itu langsung saja mencabut pedangnya. Pedang berwarna merah dengan tangkai berbentuk kepala tengkorak manusia. Dengan gerakan yang hampir serentak, mereka menyilangkan pedang di depan dada. Pandangan mata mereka begitu tajam menatap ke sekeliling.

Rangga merentangkan tangannya ke samping, kemudian melangkah ke depan beberapa tindak. Pendekar Rajawali Sakti berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan kedua gadis cantik berbaju merah itu. Untuk sesaat lamanya, mereka hanya saling pandang saja. Sementara puluhan orang yang sehari-harinya bergelut di ladang, bergerak mundur beberapa langkah. Namun, sikap mereka masih tetap waspada.

Widarti menganggukkan kepalanya pada Karina yang disambut dengan anggukan kepala juga. Pada saat itu, Rangga sudah membuka mulutnya akan bicara. Namun, mendadak saja kedua gadis itu berteriak nyaring sambil melompat menerjang. Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.

"Hait...!" Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sambil menghindari terjangan kedua gadis itu. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, serangan berikut sudah datang lagi secara beruntun. Rangga terpaksa berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk menghindari setiap serangan yang datang. Pendekar Rajawali Sakti mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Jurus yang sangat sulit ditaklukkan, meskipun dengan jurus ampuh sekalipun.

Sementara itu, di antara penduduk Desa Gedangan yang mengepung sekitar pertarungan, terlihat Lasmi berdiri di samping ayahnya. Gadis itu tampak gelisah sekali melihat pertarungan antara Rangga melawan dua gadis pengikut Ratu Bukit Brambang. Meskipun sudah beberapa kali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, namun kekhawatiran masih juga menyelimuti hatinya.

"Ayah, kenapa tidak dikeroyok saja?" bisik Lasmi tidak bisa menutupi kecemasannya.

"Rangga tidak mengizinkan. Nanti kalau sudah diberi tanda, baru semuanya bergerak," sahut Ki Kusha.

"Tapi..."

"Jangan terlalu dicemaskan, Lasmi Rangga seorang pendekar yang sudah ternama. Dia pasti bisa mengatasi kedua perempuan iblis itu," Ki Kusha mencoba menenangkan anak gadisnya.

Lasmi tidak bicara lagi. Namun kecemasan masih menghantui seluruh relung hatinya. Sementara pertarungan itu berjalan semakin sengit. Dan sampai sejauh ini, belum ada tanda-tanda kalau Rangga memberi perlawanan berarti. Tapi, kedua gadis pengikut Ratu Bukit Brambang sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan.

"Karina, cari jalan keluar. Biar ku hadang manusia keparat ini!" desah Widarti di sela nafasnya yang tersengal.

Widarti sudah merasa tidak akan mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia mengambil keputusan agar Karina bisa meloloskan diri dari kepungan ini. Namun, Karina rupanya tidak mempedulikan peringatan itu, dan terus saja merangsek lawannya dengan jurus-jurus andalan yang terakhir.

"Karina, cepat pergi...!" sentak Widarti jadi gusar.

"Kau saja yang pergi, Widarti!" sahut Karina sambil terus melancarkan serangan-serangan dahsyat pada Pendekar Rajawali Sakti. Widarti jadi bimbang, tapi akhirnya mengambil keputusan juga. Selagi Rangga sibuk melayani Karina, gadis itu mengambil kesempatan meloloskan diri. Dan pada saat itu, Rangga berhasil mendaratkan pukulan mautnya ke dada Karina. Akibatnya, gadis itu memekik keras dan tubuhnya terlontar beberapa depa ke belakang.

"Karina...!" jerit Widarti terkejut.

"Jangan hiraukan aku! Cepat pergi!" seru Karina seraya melompat bangkit. Gadis itu kembali menyerang Rangga. Namun sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menyarangkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul tendangan ke perut. Dan belum lagi Karina ambruk, Rangga mengibaskan tangannya mempergunakan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

"Aaa...!" Karina menjerit keras melengking. Dari kepala gadis itu kontan mengucur darah segar. Kibasan tangan Rangga tepat menghantam batok kepala hingga retak. Karina jatuh menggelepar di tanah.

Sementara, Widarti jadi terpaku. Namun seketika itu juga, dia melesat kabur selagi semua orang terpana memandang kematian Karina dengan kepala pecah dan dada melesak ke dalam. Rupanya beberapa orang penduduk yang melihat Widarti lari, segera mencoba mengejar. Cepat-cepat Widarti mengibaskan pedangnya sambil melompat ke atas. Kibasan yang cepat bagai kilat itu kontan memenggal dua kepala sekaligus. Dua penduduk yang mencoba mengejar, langsung ambruk. Dan sisanya, langsung terpaku diam dengan hati kecut.

"Biarkan dia pergi!" seru Rangga melihat beberapa penduduk ingin mengejar kembali.

Mereka langsung menghentikan niatnya, dan membiarkan Widarti melarikan diri. Saat itu Karina sudah terbujur kaki dengan nyawa hilang dari badan. Darah masih mengalir deras membasahi tanah bagian depan halaman rumah Ki Kusha. Sementara, Ki Kusha dan Lasmi serta para penduduk Desa Gedangan bergerak mengerumuni Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping mayat Karina.

Rangga kemudian meminta semua penduduk Desa Gedangan untuk berjaga-jaga sepanjang malam ini. Dan dia juga meminta beberapa orang untuk mengurus mayat Karina. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah manusia yang kematiannya harus disempurnakan selayaknya. Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah ke rumah Ki Kusha. Tubuhnya dihenyakkan di balai-balai bambu reot yang ada di beranda rumah itu. Ki Kusha dan Lasmi menghampiri, lalu duduk mengapit Pendekar Rajawali Sakti.

***

"Untung kau cepat bertindak, Kakang. Tapi aku cemas juga tadi," kata Lasmi seraya menghembuskan napas panjang untuk melonggarkan rongga dadanya.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka akan datang ke sini?" tanya Ki Kusha.

"Aku sempat melihat kedatangan mereka tadi, Ki. Mereka begitu ceroboh, datang secara terang-terangan.

Hhh...! Tadinya aku tidak mengharapkan penduduk desa ini bergerak," ucap Rangga pelan.

"Mereka sudah mendengar kehebatanmu. Makanya, begitu aku memberi tahu kedatangan iblis-iblis itu, mereka langsung saja bersemangat. Tekanan yang mereka derita cukup parah, Rangga. Mereka memang menunggu saat-saat seperti ini. Bahkan tidak takut mati lagi demi membela kebenaran," kata Ki Kusha sedikit bangga bisa mengumpulkan sekian banyak penduduk dalam waktu singkat.

"Mungkin sudah saatnya bangkit...," desah Rangga seperti bicara untuk dirinya sendiri.

"Benar, Rangga," sambut Ki Kusha cepat.

Rangga menarik napas panjang. Tatapannya dilayangkan ke depan. Tampak desa yang semula gelap, kini terang benderang oleh beberapa obor terpancang. Rumah-rumah juga menyalakan pelita besar-besar. Beberapa laki-laki yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, berjaga-jaga di depan rumah masing-masing. Mereka memegang senjata apa saja yang bisa digunakan.

"Oaaah,..!" Ki Kusha menguap lebar sambil menutup mulutnya. Tidak berapa lama kemudian, Lasmi juga menguap. Namun, gadis itu mampu menahannya. Padahal, punggung tangannya sudah menggosok-gosok mata.

Rangga memperhatikannya dengan bibir menyunggingkan senyum. Dia tahu, rumah ini masih dipenuhi Ilmu Sirep yang dilepaskan Karina. Ilmu itu tidak akan berpengaruh pada Pendekar Rajawali Sakti, karena hawa murni dalam tubuhnya sudah begitu sempurna dan selalu bekerja secara langsung bila mendapat rangsangan.

"Kalian terkena ilmu Sirep. Tidurlah," ujar Rangga.

"Uh! Aku mengantuk sekali...!" keluh Ki Kusha seraya bangkit berdiri. Ki Kusha melangkah masuk ke dalam rumahnya. Pintu depan yang jebol, tidak dipedulikan lagi. Laki-laki tua itu langsung merebahkan diri di balai-balai bambu, dan tertidur seketika.

Rangga sempat melirik sebentar, kemudian menoleh menatap Lasmi yang sudah menguap beberapa kali. Gadis itu masih mencoba menahan rasa kantuk akibat pengaruh aji 'Sirep' yang masih bekerja di rumah ini. Meskipun kekuatannya tidak begitu besar lagi, namun masih mampu membuat orang ingin tidur.

"Tidurlah. Jangan paksakan diri menahan ajian itu kata Rangga seraya menepuk punggung tangan gadis itu.

"Aku masih ingin menemanimu, Kakang," sahut Lasmi sedikit lesu.

"Percuma. Kau pasti akan tidur tanpa disadari."

"Uh...!" Lasmi mengeluh. Kelopak matanya semakin terasa berat, dan rasanya tidak sanggup lagi bertahan. Lasmi beranjak bangkit, namun jadi limbung. Kalau Rangga tidak cepat-cepat menyanggah, mungkin gadis itu sudah ambruk karena tidak kuat lagi menahan kantuknya.

Rangga memapah gadis itu masuk ke dalam. Lasmi antara sadar dan tidak, mengayunkan kakinya dengan berat. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti membawanya masuk ke dalam kamar. Dengan hati-hati sekali, Rangga membaringkan Lasmi di pembaringan. Gadis itu masih mencoba bertahan untuk tidak tidur. Namun, kelopak matanya semakin berat dan selalu ingin terpejam. Rangga memandanginya dengan bibir tersungging senyuman.

"Kakang, di mana kau titipkan ibu tadi?" tanya Lasmi teringat ibunya yang terpisah ketika Rangga menyuruh mereka keluar tadi dari rumah ini.

"Ada di tempat yang aman," sahut Rangga lembut.

"Di mana?" desah Lasmi semakin lirih.

"Di rumah adiknya."

"Seharusnya aku ada di sana, Kakang. Kasihan ibu. Pasti cemas menunggu."

"Besok pasti bisa bertemu kembali," Rangga menjamin.

Sekali lagi Lasmi menguap. Diraihnya tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan digenggamnya erat-erat. Lalu dibawanya tangan pemuda itu ke dadanya, seakan-akan tidak ingin dilepaskan lagi. Rangga membiarkan saja, dan duduk di tepi pembaringan ini.

"Aku tahu kau akan pergi, Kakang. Aku tidak bisa menghalangimu. Aku sadar, hidup kita berbeda jauh...," ujar Lasmi seraya menahan kantuknya.

"Tidurlah," desah Rangga lembut.

"Hm...," Lasmi menggumam seraya tersenyum. Tangan gadis itu menjulur menggapai leher Rangga dan menariknya agar mendekat. Rangga terpaksa membungkuk, sehingga wajah mereka begitu dekat. Dengus napas mereka terasa hangat menerpa kulit wajah. Sesaat, mereka saling berpandangan dengan jarak begitu dekat.

"Peluklah aku, Kakang. Berilah aku kedamaian untuk sekali lagi," pinta Lasmi mendesah.

Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Menolak saja tidak mampu. Terlebih lagi, Lasmi sudah melingkarkan tangannya di leher Pendekar Rajawali Sakti, dari menekannya ke bawah. Sesaat kemudian, bibir mereka sudah menyatu rapat. Hanya sebentar saja Rangga merasakan balasan kecupan hangat itu. Sesaat kemudian, gadis itu benar-benar tertidur.

Rangga melepaskan pelukan Lasmi, kemudian bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya sekujur tubuh ramping yang tertidur pulas. Kemudian, diambilnya kain dan ditutupinya tubuh Lasmi sampai sebatas dada. Rangga melangkah ke luar, dan langsung menutup pintu kamar itu. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan keluar rumah Ki Kusha, dan kembali duduk di balai-balai bambu yang ada di beranda depan. 

***
ENAM
Brakkk!

Ratu Bukit Brambang menggebrak meja di depannya hingga hancur berantakan. Sepasang bola matanya yang celong ke dalam, tampak merah membara dan berkilatan seperti bola api. Di depannya, tampak Widarti duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam. Di belakang gadis itu, duduk bersimpuh sekitar tiga puluh orang gadis yang semuanya memakai baju merah menyala dengan sabuk kuning emas.

Ratu Bukit Brambang menatap tajam gadis-gadis muda di depannya. Dia begitu geram, karena malam ini tidak ada seorang pun pemuda yang diperoleh pengikutnya. Bahkan Widarti membawa laporan buruk tentang tewasnya Karina, salah seorang pengikutnya yang terbaik.

"Kalian semua bodoh! Percuma kalian kuambil sebagai murid kalau baru segitu saja tidak becus!" rungut Ratu Bukit Brambang gusar.

"Maaf, Gusti Ratu. Pemuda itu tangguh sekali. Bahkan seluruh penduduk Desa Gedangan sudah berani melawan," ujar Widarti tetap menunduk bersimpuh.

"Aku tidak peduli dengan alasanmu, Widarti! Aku lebih senang menerima kabar kematianmu daripada kau kembali dengan kegagalan!" bentak Ratu Bukit Brambang.

Widarti tidak berkata lagi, dan diam sambil tetap menekuri lantai. Sedangkan tiga puluh gadis lain di belakang Widarti juga tidak bergeming. sedikit pun. Tidak ada yang berani mengangkat kepala saat Ratu Bukit Brambang diliputi kemarahan besar begini.

"Aku tidak peduli kalian akan cari ke mana. Malam ini, kalian harus dapatkan satu pemuda untukku! Mengerti...?" keras suara Ratu Bukit Brambang.

"Mengerti, Gusti Ratu...!" sambut gadis-gadis itu serempak.

"Cepat kerjakan!"

Tiga puluh orang gadis berbaju seragam merah itu segera bangkit dan menjura memberi hormat hanya Widarti yang masih tetap duduk bersimpuh tanpa bergeming, meskipun teman-temannya sudah meninggalkan ruangan pengap menyeramkan ini. Ratu Bukit Brambang menatap tajam pada gadis itu.

"Kalau tidak berangkat juga, Widarti...?" dengus Ratu Bukit Brambang dingin.

"Ampun, Gusti Ratu. Hamba mohon diberi kesempatan sekali lagi," ujar Widarti seraya memberi hormat "Kesempatan apa lagi?"

"Membawa pemuda itu ke sini."

"Percuma! Kau tidak akan mampu menghadapinya!" dengus Ratu Bukit Brambang.

"Jika Gusti Ratu memberi hamba sepuluh orang, hamba yakin mampu membawa pemuda itu ke sini."

"Jika gagal?"

Widarti diam membisu.

"Sudahlah, Widarti. Kau satu-satunya muridku yang tertua. Aku tidak ingin lagi kehilangan murid utamaku, Biarlah Karina menjadi korban.... Hm...," Ratu Bukit Brambang memutus kata-katanya. Dan perempuan itu bergumam dengan ujung jari menggaruk-garuk pipi yang terlihat seperti tulang saja.

"Gusti Ratu punya pemikiran lain...?" Widarti berharap.

"Tidak," sahut Ratu Bukit Brambang seraya bangkit berdiri dari singgasananya.

Widarti juga ikut bangkit. Badannya segera dibungkukkan begitu wanita berjubah merah dan berwajah seperti tengkorak itu melangkah melewatinya. Widarti masih membungkuk meskipun Ratu Bukit Brambang sudah meninggalkan ruangan pengap penuh tengkorak manusia bersusun itu. Sebentar Widarti memandangi ruangan pengap itu, kemudian berjalan ke luar dengan langkah lesu. Gadis itu menarik napas dalam-dalam setelah berada di luar.

Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit wajahnya. Sejenak dia berhenti berjalan. Kepalanya lalu menengadah menatap rembulan yang menggantung penuh di langit kelam. Perlahan-lahan kakinya kembali terayun melangkah menyusuri tanah berumput halus yang dibasahi embun.

"Widarti...!"

Widarti menoleh ketika mendengar panggilan arah samping kanannya. Tampak tiga orang gadis berjalan cepat menghampirinya. Ketiga gadis itu masing-masing bernama Sitara, Tila, Andini. Mereka juga pernah bentrok dengan Rangga beberapa kali. Dan biasanya mereka selalu berempat, tapi yang seorang sudah tewas ketika Rangga mencoba menyelidiki Bukit Brambang ini.

Ketiga gadis itu berdiri di depan Widarti. Dari pandangan, tampaknya mereka seperti ingin mengatakan sesuatu. Dan Widarti paham maksudnya, meskipun ketiga temannya ini belum mengatakan apa-apa. Saat ini, nasib mereka bisa dikatakan sama. Sama-sama kehilangan seorang teman dekat yang selalu bersama-sama ke mana pun pergi dalam menjalankan tugas dari ratu mereka.

"Aku sedih dengan kematian Karina, Widarti, ucap Andini pelan.

"Dia terlalu nekat. Padahal, aku sudah menyuruhnya pergi," kata Widarti menyesal.

"Widarti, kita harus membalas. Keparat itu tidak boleh terlalu lama dibiarkan hidup. Sudah banyak teman kita tewas di tangannya!" tegas Tila.

"Hhh...!" Widarti menarik napas panjang dan berat.

"Ada apa, Widarti?" tanya Sitara melihat kemurungan menyemburat di wajah Widarti. Lagi-lagi Widarti hanya mendesah panjang. Kepalanya menggeleng beberapa kali, kemudian melangkah pergi meninggalkan ketiga temannya yang jadi bengong keheranan saling berpandangan. Mereka tidak mengerti terhadap sikap Widarti yang terasa aneh. Ketiga gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri Widarti yang terus berjalan perlahan-lahan, langsung mensejajarkan langkah di samping gadis itu.

"Aku berharap, kau masih menganggap kami teman, Widarti," kata Andini. Widarti hanya diam saja. "Kau seperti sedang mengalami kesulitan. Jika kau masih sudi menganggap kami teman, tidak ada salahnya bila mengutarakan kesulitanmu. Sekarang ini, nasib kita sama. Sama-sama kehilangan sahabat dekat," kata Andini lagi.

Widarti menghentikan langkahnya. Langsung dipandanginya ketiga temannya. Desahan panjang kembali terhembus dari sela-sela hidungnya. "Kalian memang baik, Tapi, aku tidak tahu harus mengatakan apa pada kalian. Semua ini memang salahku, sehingga banyak teman-teman jadi korban. Kalau saja aku berhasil mengalahkan si keparat itu, tidak akan begini jadinya," kata Widarti setengah mengeluh.

"Kalau hanya itu, bukan kesalahanmu, Widarti. Pemuda itu memang tangguh. Tingkat kepandaiannya jauh berada di atas kita semua. Aku rasa, semua teman kita juga tidak ada yang sanggup menghadapinya. Entah kalau Gusti Ratu sendiri," sahut Andini.

"Itulah persoalannya...," desah Widarti tanpa sadar.

"Maksudmu?" desak Andini.

Widarti tidak segera menyahuti. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Disadari betul kalau tadi sudah keterlepasan bicara. Dan ini tidak mungkin ditarik kembali. Padahal ketiga gadis temannya itu sudah mendesaknya.

"Lupakan saja. Kalian tidak akan percaya kalau aku mengatakannya," kata Widarti setengah mendesah.

"Katakan saja, Widarti," desak Andini.

"Ah sudahlah...!" desah Widarti menghindar. Widarti kembali melangkah meninggalkan keti-ga gadis temannya, dan terus berjalan tanpa menoleh-noleh lagi. Sementara ketiga gadis itu hanya saling berpandangan saja. Mereka sama-sama mengangkat bahu, dan membiarkan Widarti pergi entah ke mana. 

***

Malam masih menyelimuti sebagian permukaan mayapada. Suasana di Desa Gedangan juga belum menampakkan perubahan. Meskipun penduduknya sudah bangkit dan berani menentang Ratu Bukit Brambang, namun sebagian masih ada yang merasa takut akan ancamannya. Sedangkan Rangga sendiri tidak mungkin bisa menjamin keselamatan mereka semua.

Desa Gedangan ini cukup besar, meskipun jumlah penduduknya tidak begitu banyak. Di depan rumah Ki Kusha, tampak Rangga duduk menyendiri di balai-balai bambu yang terletak di bawah jendela depan rumah itu. Sepasang bola matanya tidak lepas merayapi sekitarnya yang sunyi sepi. Angin malam yang dingin berhembus kencang, mempermainkan rambutnya yang panjang sedikit tergelung ke atas.

"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti bergumam pelan ketika matanya menangkap sesosok tubuh berlindung dari bayang-bayang pohon besar tidak jauh dari rumah ini. Pandangan matanya seketika beralih. Pada saat itu terlihat satu bayangan merah berkelebat cepat menyelinap ke bagian belakang rumah.

Rangga langsung menggelinjang bangkit. Dan bagaikan seekor burung rajawali, tubuhnya melesat cepat ke atas. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kakinya mendarat lunak di atap. Lututnya tertekuk hampir menyentuh atap. Sebentar matanya mengawasi sekitarnya. Tiba-tiba Rangga tersentak. Dia melihat satu bayangan merah berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah.

Rangga lebih terkejut lagi, karena bayangan merah itu keluar dari jendela kamar Lasmi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagaikan kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga Pendekar Rajawali Sakti bisa melewati bayangan merah dan langsung berdiri menghadang di depan.

"Berhenti...!" bentak Rangga keras.

"Keparat!" geram bayangan merah yang ternyata Widarti. Di pundak gadis itu terpanggul sesosok tubuh ramping terbungkus kain.

"Tidak semudah itu kau menculik Lasmi, Perempuan Iblis!" Rangga langsung dapat menebak, siapa yang berada di pundak Widarti.

"Aku memang tidak butuh barang rongsokan ini. Hih...!" Tiba-tiba saja Widarti melemparkan tubuh ramping di pundaknya.

Rangga terkejut bukan main. Maka buru-buru dia melompat dan menangkap tubuh yang melayang deras ke arahnya. Dan pada saat tubuh itu berhasil ditangkapnya, Widarti sudah melompat sambil mencabut pedang.

Sret! "Hiyaaat!"

"Hup! Hyaaa...!" Begitu jari kakinya menyentuh tanah, Rangga langsung melentingkan tubuhnya kembali. Maka kibasan pedang Widarti hanya mengenai angin kosong di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian hinggap di atas atap sebuah rumah.

Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh wanita yang diyakininya adalah Lasmi di situ, kemudian cepat melesat turun. Langsung dilepaskannya dua pukulan beruntun ke arah Widarti. Namun, gadis itu sudah cepat berkelit sambil membalas menyerang dengan mengibaskan pedangnya. Pertarungan tidak dapat dihindari lagi. Dan kali ini, rupanya Rangga tidak main-main. Langsung jurus andalannya dikerahkan, sehingga menyulitkan Widarti menghadapinya.

"Akh...!" tiba-tiba Widarti memekik keras. Satu sodokan keras berhasil disarangkan Rangga pada bagian perut gadis itu. Dan selagi tubuh Widarti terdorong limbung ke belakang, Rangga cepat melompat sambil menggerakkan tangannya dengan lincah.

Widarti tidak bisa lagi menghindar, dan kembali memekik tertahan. Tubuhnya langsung ambruk ke tanah, tidak bergerak lagi. Hanya bagian leher ke atas saja yang masih bisa digerakkan, Pedangnya terlepas cukup jauh.

Rangga melangkah menghampiri gadis itu. Dia memang berhasil menotok jalan darah Widarti. Sehingga, gadis itu seperti lumpuh, tidak bisa bergerak lagi.

"Keparat! Bunuhlah aku...!" dengus Widarti geram.

"Kau terlalu enak kalau cepat dibunuh, Perempuan Iblis!" sahut Rangga dingin dan datar.

"Phuih!" Widarti menyemburkan ludahnya. Rangga tersenyum saja melihat keberangan gadis itu. Tapi mendadak, dia jadi tersentak. Pendengarannya yang setajam pisau, mendengar desiran angin yang halus di belakangnya. Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh. Dan pada saat itu, satu bayangan merah melesat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh yang ditinggalkan Rangga di atas atap.

"He...!" Rangga terkejut bukan main. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melenting, mengejar bayangan merah lain yang menyambar tubuh Lasmi. Namun begitu Rangga ada di atas atap sebuah rumah, mendadak dari arah depan melesat satu bayangan merah ke arahnya. Sesaat, Pendekar Rajawali Sakti terperangah.

"Hup...!" Cepat sekali Rangga melenting, dan bayangan merah itu lewat bagaikan kilat di bawah tubuhnya. Rangga langsung meluruk mengejar dengan menyentilkan ujung jari kakinya pada atap. Tubuhnya kembali melenting cepat bagai kilat. Tapi, bayangan merah itu tiba-tiba berbalik cepat dan mengibaskan sesuatu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Jarum beracun...!" desis Rangga tersentak. Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat tubuhnya berputar di udara, menghindari serbuan jarum-jarum beracun berwarna merah itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, bayangan merah itu sudah tidak tampak lagi. Entah pergi ke mana...?

"Sial...!" umpat Rangga kesal seraya menghentakkan kakinya ke tanah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke arah Widarti. Tampak gadis itu masih tergeletak dengan jalan darah tertotok. Namun dari bibirnya, tersungging senyuman mengejek. Bahkan tiba-tiba saja gadis itu tertawa terbahak-bahak. Rangga jadi kesal. Dihampirinya gadis itu dan diangkatnya berdiri. Widarti masih tertawa saja, meskipun Rangga mencekal pundaknya dengan keras.

"Siapa dia?!" tanya Rangga tajam.

"Kau akan terkejut kalau kuberi tahu, Pemuda Tampan," sahut Widarti sinis.

"Siapa...?!" bentak Rangga kasar.

"Ratu Bukit Brambang!" dingin jawaban Widarti.

"Hih!" Dengan kasar Rangga menyentakkan tangannya, sehingga tubuh Widarti terlempar ke belakang beberapa depa. Gadis itu memekik tertahan begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak. Totokan di tubuhnya begitu kuat, dan tidak bisa dilepaskan meskipun sudah mengerahkan hawa murni.

Pada saat itu, terlihat beberapa orang datang membawa obor dan senjata beraneka macam. Melihat itu, Widarti agak ciut juga hatinya. Sementara, Rangga sudah menghampiri lagi dengan wajah menahan geram. Ada sekitar dua puluh orang penduduk yang rata-rata sudah berusia lanjut, langsung mengepung Widarti. Gadis itu memandang berkeliling dengan wajah agak pucat.

"Rangga...! Rangga...!" Rangga menoleh. Tampak Ki Kusha berlari-lari menghampirinya. Nafasnya tersengal begitu sampai di depan Rangga. Wajahnya tampak pucat, dan tubuhnya gemetar. "Lasmi, Rangga.... Lasmi hilang...," lapor Ki Kusha, terengah-engah nafasnya.

"Tenang, Ki. Aku sudah tahu," kata Rangga seraya melirik Widarti yang masih menggeletak di tanah.

"Keparat...! kau menculik anakku...!" geram Ki Kusha begitu melihat Widarti.

"Ki...!" Rangga langsung menarik tangan Ki Kusha.

"Lepaskan! biar kubunuh perempuan iblis ini! dengus Ki Kusha memberontak. Dengan sekuat tenaga, Ki Kusha memberontak untuk melepaskan cekalan Rangga. dan begitu terlepas, langsung ditubruknya tubuh Widarti. Kedua tangannya bergerak cepat menghajar gadis berbaju merah yang sudah tidak berdaya itu. Tapi, Widarti malah tertawa terbahak-bahak.

"Hentikan, ki!" sentak Rangga sambil merenggut pundak laki-laki tua itu.

Hentakan Rangga yang begitu keras, membuat tubuh laki-laki tua itu langsung terangkat Ki Kusha menatap tajam Rangga. Wajahnya merah padam menahan kemarahan yang memuncak. Nafasnya mendengus kencang bagai kuda pacu yang sudah berlari satu harian penuh.

"Dengar, Ki. mereka tidak akan mencelakakan anakmu. Mereka hanya menginginkan diriku, percayalah. Aku akan menyelamatkannya," kata Rangga berusaha lembut.

"Aku mengerti, Rangga. Tapi Lasmi anak gadisku satu-satunya yang masih hidup. kakak laki-lakinya mereka culik dan kakak perempuannya bunuh di karena suaminya diculik juga. Sekarang mereka juga menculik anakku yang tersisa..." rintih Ki Kusha tidak bisa menahan kesedihannya.

"Percayalah, Ki. Lasmi akan selamat," Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.

"Tolong, Rangga. selamatkan anakku. Hanya dialah satu-satunya harapanku sekarang. Tolong, Rangga, selamatkan anakku...."

"Aku akan menyelamatkannya, Ki." Rangga kemudian meminta para penduduk membawa Ki Kusha ke rumahnya. kemudian, dia sendiri menghampiri Widarti. Pendekar Rajawali Sakti membebaskan totokannya, tapi tetap membiarkan kedua tangan gadis itu tetap tertotok. Rangga mengangkat tubuh gadis itu agar berdiri. Sedangkan Widarti menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Dia bisa berdiri, tapi kedua tangannya tidak lagi bisa bergerak.

"Kau harus membantuku membebaskan Lasmi," kata Rangga dingin.

"Huh! kau pikir aku akan membantumu?" sinis nada suara Widarti.

"Suka atau tidak suka, aku akan membawamu kembali ke ratumu. aku akan menukarnya dengan Lasmi!"

"Kau gila!" sentak Widarti terkejut.

"Tidak ada waktu lagi buat berdebat!"

"Hey...!" Widarti terkejut bukan main, karena tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti sudah menyambar tubuhnya dan langsung melompat cepat bagaikan kilat begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap tanpa bekas. Beberapa penduduk Desa Gedangan yang masih berada di sekitar situ jadi terperangah keheranan. 

***
TUJUH
Matahari baru saja menampakkan diri di belahan bumi Timur. Cahayanya yang hangat menyibakkan embun-embun dan kabut yang menyelimuti seluruh Bukit Brambang. Di pinggir bukit tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandang sekitar puncak bukit yang tidak begitu luas, namun tampak luas dengan hamparan rumput hijau. Di sampingnya, berdiri Widarti dengan tangan lunglai tertotok jalan darahnya.

"Urungkan saja niatmu. Kau tidak akan berhasil...," kata Widarti dengan suara pelan.

Rangga menoleh dan menatap tajam gadis di sampingnya. Sedangkan Widarti melayangkan pandangannya ke depan. Perlahan-lahan kepalanya menoleh, dan langsung bertumbukan dengan tatapan mata pemuda tampan itu. Tampak Widarti agak serba salah, namun memang pandai mengatur perasaannya. Dan gadis itu malah tersenyum tipis.

"Dengar, Widarti. Kalau terjadi apa-apa pada Lasmi, kau akan menanggung akibatnya. Aku tidak peduli siapa pun yang menculiknya. Tapi, aku hanya memandangmu yang bertanggung jawab!" ancam Rangga tegas.

Widarti menoleh kembali, menatap ke arah puncak bukit. Dia tahu, ancaman itu tidak main-main. Meskipun diyakini Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mampu menandingi Ratu Bukit Brambang, namun dalam hatinya menyayangkan kalau pemuda setampan ini akan menjadi korban ratunya. Sejak pertama kali melihat pemuda ini, Widarti memang sudah tertarik, Tapi dia tidak bisa mementingkan diri sendiri, karena harus patuh pada perintah ratunya.

"Di mana ruangan pribadi ratumu?" tanya Ranggi dingin. Widarti tidak segera menjawab. "Hm.... Mungkin aku harus menggunakan cara lain untuk membuka mulutmu," gumam Rangga.

"He! Apa yang kau lakukan...?" bentak Widarti terkejut.

Tiba-tiba saja Rangga memondong tubuh gadis itu. Tangannya cepat menjambret sulur pohon yang banyak tergantung di sini. Kemudian, tubuhnya melesat tinggi dan hinggap di atas dahan yang cukup tinggi. Widarti mencoba memberontak, tapi Rangga cepat-cepat bekerja. Diikatnya kedua kaki gadis itu hingga menyatu, kemudian ujung sulur lainnya diikatkan di dahan yang kuat. Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat turun sambil membawa tubuh gadis itu, Dan pada saat kakinya menjejak tanah, tubuh Widarti menggantung dengan kaki di atas.

"Keparat! Lepaskan aku...!" bentak Widarti berusaha memberontak.

"Aku akan menemui ratumu, sementara kau menunggu di sini. Berdoalah agar nasibmu baik tidak bertemu serigala lapar," kata Rangga kalem.

"Lepaskan aku! Lepaskan...!" jerit Widarti ketakutan juga. Widarti tahu, di sekitar lembah ini bila malam hari dipenuhi serigala liar yang kelaparan mencari makan. Jarak tubuhnya dengan tanah tidak seberapa jauh, dan mudah dicapai binatang liar. Dalam keadaan tangan tertotok dan tubuh terikat terbalik begini, tidak mungkin bisa melepaskan diri. Sementara Rangga sudah melangkah mundur menjauhi.

"Tunggu...!" seru Widarti keras.

"Kau berubah pikiran?" Rangga berhenti melangkah.

"Akan kutunjukkan, di mana Gusti Ratu berada. Lepaskan dulu ikatan ini!" kata Widarti menyerah.

"Apa itu bukan alasanmu saja untuk kabur...?"

"Sumpah! Aku tidak akan kabur. Aku tahu, di mana Gusti Ratu mengurung Lasmi. Aku juga tahu, di mana biasanya Gusti Ratu berada. Kau tidak akan bisa mencapai istana itu tanpa bantuanku!" kata Widarti langsung berubah pikiran.

"Baik. Tapi, jangan coba-coba mengkhianatiku!" ancam Rangga.

"Aku bersumpah akan membantumu!" janji Widarti.

Rangga melompat ke atas, dan tangannya langsung mengibas ke arah sulur yang menggantung Widarti. Gadis itu terpekik begitu tubuhnya melorot turun jatuh dengan keras di tanah. Mulutnya tampak meringis sedikit merasakan sakit pada tubuhnya. Rangga membuka ikatan di kaki gadis itu dan membantunya berdiri.

"Tanganku...," kata Widarti. Rangga menatap tajam.

"Aku tidak bisa membawamu ke sana dengan tangan begini. Kau tahu. Sekali saja aku ketahuan membantumu, tidak ada ampun lagi. Gusti Ratu sudah tahu kalau aku tertawan olehmu. Kalau dia melihatku masih hidup, itu tandanya aku telah berkhianat. Dia pasti akan membunuhku. Kau harus percaya padaku, Pen...."

"Rangga. Panggil saja aku Rangga," potong Rangga cepat.

"Kau bisa mempercayaiku, Rangga. Keadaanku saat ini terjepit. Aku tidak mungkin kembali ke sana dalam keadaan hidup. Sudah menjadi peraturan, siapa saja yang tertangkap harus mati bunuh diri atau terbunuh," Widarti mencoba meyakinkan.

"Kenapa tidak kau lakukan itu?" pancing Rangga.

"Bodoh! Aku masih ingin hidup, tahu!" dengus Widarti. "Kau pikir aku gila, sehingga lebih suka bunuh diri hanya karena tertangkap? Lebih baik mati dalam pertarungan, daripada mati tanpa guna!"

"Aku kagum pada pendirianmu. Tapi sayang, kau berada di jalan yang salah," ujar Rangga tulus.

"Terima kasih. Sekarang bukan saatnya untuk memuji." Rangga mengangkat bahunya, lalu kembali ke sisi bukit.

Sementara Widarti mengikuti dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, matahari semakin naik tinggi. Udara di sekitar Bukit Brambang ini terasa panas. Rangga masih tetap diam dengan mata menatap langsung ke bangunan besar dan indah bagai istana itu. 

***

Rangga sendiri tidak mengerti, suasana di sekitar Bukit Brambang ini tampak sepi dan tenang. Hampir setengah harian berada di sini, tapi tidak terlihat seorang pun. Sangat berbeda dengan kunjungannya pertama kali, yang langsung disambut gadis-gadis cantik dan serangan-serangan dahsyat mematikan. Sepertinya, puncak bukit ini sudah ditinggalkan mereka, Pendekar Rajawali Sakti menoleh menatap Widarti.

Pada saat yang bersamaan, Widarti juga menoleh ke arahnya. Sesaat mereka saling melempar pandang. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga menjulurkan tangannya hendak membebaskan totokan pada kedua lengan gadis itu. Tapi belum juga niatnya tersampaikan, mendadak dari arah belakang melesat sekitar empat orang gadis berpakaian merah menyala, langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hait..!" Tangkas sekali Rangga mendorong tubuh Widarti. Sementara, dia sendiri melenting ke samping. Serangan pedang keempat gadis itu luput dari sasaran. Tiga orang kembali menyerang tanpa mengeluarkan kata-kata, dan seorang lagi menghampiri Widarti yang jatuh ke tanah. Dibebaskannya totokan pada kedua tangan Widarti dan membantunya berdiri.

"Aku harus membawamu pada Gusti Ratu, Widarti," kata gadis itu.

Widarti tidak menyahuti. Matanya segera menatap Rangga yang tengah dikeroyok tiga orang gadis bersenjata pedang berwarna merah. Kemudian, pandangannya beralih pada gadis sebayanya yang baru membebaskan totokannya. Dia tahu, menghadap Ratu Bukit Brambang sama saja mendapat hukuman mati. Dan itu memang sudah peraturan yang ditetapkan Ratu Bukit Brambang.

"Katakan pada Gusti Ratu, aku akan datang sendiri nanti," kata Widarti.

"Tidak bisa, Widarti. Gusti Ratu menginginkan aku yang membawamu. Maaf, aku harus mengikatmu," kata gadis itu.

Widarti paham sekarang. Matanya langsung menatap tajam gadis sebayanya itu. Dan tiba-tiba saja, tangannya bergerak cepat langsung direbutnya pedang gadis itu. Sebelum gadis itu bisa menyadari apa yang terjadi, Widarti sudah mengibaskan pedang rampasannya ke perut.

"Haaait...!" "Aaa...!" gadis itu menjerit melengking tinggi. Darah langsung menyembur keluar dari perut yang sobek terbabat pedang. Jeritan melengking itu membuat ketiga gadis yang mengeroyok Rangga jadi terperanjat. Mereka berlompatan mundur, dan memandang Widarti setengah tidak percaya.

"Widarti! Apa yang kau lakukan?!" bentak salah seorang.

"Katakan pada Gusti Ratu, mulai saat ini aku tidak akan kembali lagi ke sana!" lantang kata-kata Widarti.

"Widarti...!" Ketiga gadis itu terkejut.

"Cepat pergi" bentak Widarti. Ketiga gadis itu saling berpandangan.

"Widarti! Sadarkah apa yang kau lakukan? Kau akan menerima hukuman lebih besar kalau Gusti Ratu tahu," salah seorang mencoba membujuk. "Sebaiknya, menyerah dan berserah diri saja pada Yang Mulia Gusti Ratu. Beliau pasti akan mengampunimu."

"Menyerah...? Heh! Aku tahu, apa yang akan kuterima. Dan aku belum ingin mati sekarang! Kalian dengar itu!" tetap lantang suara Widarti.

"Widarti! Semua peraturan yang berlaku sudah disetujui bersama waktu menjadi pengikut Gusti Ratu. Dan kita semua wajib mentaatinya. Beliau sudah berbuat banyak untuk kita, dan sepantasnyalah kalau...."

"Cukup!" bentak Widarti memotong cepat. "Aku tidak peduli semua peraturan. Aku masih ingin hidup!"

"Widarti...."

"Sebaiknya, kalian cepat pergi sebelum aku berubah pikiran! Kalian semua bodoh. Kalian tahu, siapa 'Ratu Bukit Brambang?! Dia hanya nenek-nenek tua yang menginginkan jadi gadis kembali. Kalian semua tidak akan diperlukan lagi kalau semua cita-citanya terlaksana. Kalian semua akan dibunuh untuk kesempurnaan terakhir ilmu setannya!" tandas Widarti.

"Widarti! Apa yang kau katakan?" sentak gadis yang berada di tengah.

"Kalian tahu, aku sempat mendengar pembicaraan Ratu Bukit Brambang dengan Cakarang. Kalian semua bodoh. Cakarang tidak bisu, dan tidak tuli. Dialah yang membantu semua maksud nenek-nenek itu. Dengar! Sebelum kalian semua dibunuh, kalian akan diserahkan pada Cakarang. Dan itu memang sudah perjanjian mereka berdua!"

"Kau pembual, Widarti! Pengkhianat..!" geram salah seorang gadis yang berada paling kanan.

"Kau pikir kami percaya bualanmu itu, heh?!" sambung gadis satunya lagi. "Kau akan menanggung akibatnya, Widarti."

Ketiga gadis itu langsung melesat pergi, menuju bangunan besar bagai istana itu dengan gerakan ringan dan cepat. Widarti menarik napas panjang dan melangkah menghampiri Rangga. Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap saja setengah tidak percaya. Sungguh sukar dipercaya kalau Widarti bisa berubah begitu cepat, dan kini berbalik berada di pihaknya.

"Aku terpaksa mengatakan semua ini di depanmu, Rangga. Sebenarnya, aku kasihan pada mereka yang tidak tahu apa-apa. Mereka akan mati semua, dan Cakarang akan menikmati mereka satu persatu," kata Widarti pelan. Rangga diam saja. "Sebenarnya sudah lama aku tahu tentang semua ini. Tapi, aku belum punya kesempatan untuk pergi. Lagi pula, aku tidak tega meninggalkan mereka yang tidak tahu apa-apa. Hanya satu yang sudah kuberi tahu, tapi sudah tewas di tanganmu. Karina memang memilih tewas dalam pertarungan daripada harus menjadi santapan Cakarang. Kasihan Karina... Padahal, aku dan dia sudah merencanakan meninggalkan tempat ini," ada sedikit keluhan pada nada suara gadis itu.

"Siapa Cakarang itu?" tanya Rangga.

"Dia seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya tinggi besar. Dan wajahnya menyeramkan seperti gorila. Selama ini, kami semua hanya tahu kalau dia pembantu setia Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas. Aku tidak tahu, berapa umurnya. Mungkin sudah seratus tahun lebih. Dia memiliki ilmu yang bisa membuat umur panjang. Dan sekarang, dia ingin menjadi muda kembali dengan bersekutu pada Cakarang yang punya ilmu awet muda. Sehingga, Ratu Bukit Brambang masih tetap kelihatan muda meskipun usianya sudah lebih dari seratus tahun," jelas Widarti.

"Kau tahu, apa perjanjiannya?" tanya Rangga jadi tertarik.

"Tentu! Nyai Pancalas menyanggupi menyediakan dua puluh lima gadis muda untuk Cakarang, asal bisa memperoleh Ilmu untuk menjadi muda kembali dan bisa hidup lebih lama lagi. Mereka juga bersekutu untuk menguasai seluruh rimba persilatan."

"Dari mana kau tahu semua itu? tanya Rangga.

"Aku menguping ketika mereka berbicara di ruangan pribadi Ratu Bukit Brambang. Aku sendiri terkejut, tapi mencoba bertahan karena ingin tahu semuanya. Mereka membicarakan semua itu, karena kau telah menewaskan banyak gadis. Cakarang khawatir kalau gadis-gadis itu akan habis dan tidak ada dua puluh lima lagi. Padahal, Nyai Pancalas sudah menyediakan lebih dari empat puluh. Hhh...! Sekarang jumlahnya sudah berkurang. Tidak ada lagi tiga puluh."

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Tubuhnya segera dihenyakkan, duduk di pohon yang tumbang. Widarti juga duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan mereka tetap tertuju ke arah puncak Bukit Brambang, di mana berdiri sebuah bangunan besar menyerupai istana. Di bangunan besar itulah Ratu Bukit Brambang tinggal bersama gadis-gadisnya. 

***

Rangga benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari Widarti. Gadis pengikut Ratu Bukit Brambang ini rupanya sudah benar-benar bertekad keluar memisahkan diri, setelah tahu maksud sebenarnya dari Nyai Pancalas atau Ratu Bukit Brambang.

"Widarti! Kenapa kau dulu ikut dengan perempuan tua itu?" tanya Rangga, ingin tahu.

"Seperti yang lain, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kedua orangtua ku tewas terbunuh ketika desa kami diserang gerombolan perampok. Aku dendam dan ingin membalas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu aku bertemu Karina yang waktu itu sudah menjadi murid Nyai Pancalas. Karina sendiri tidak tahu, siapa sebenarnya Ratu Bukit Brambang itu. Perempuan tua itu memang datang ke desa untuk mencari gadis-gadis yang ingin belajar ilmu olah kanuragan. Aku tertarik dan bersedia ikut dengannya," Widarti menceritakan kisahnya.

"Dan langsung ke tempat ini?" tebak Rangga.

"Benar. Waktu itu, hanya aku dan Karina saja yang ada. Karina sendiri belum tinggi tingkatannya. Dan aku berhasil mengejar ketinggalan, sehingga bisa melebihi Karina. Sejak saat itu kami berdua menjadi akrab dan mendapat tugas mencari gadis-gadis lainnya. Itu pun setelah Nyai Pancalas merasa kalau ilmu yang kami miliki sudah cukup untuk turun dari bukit ini."

"Kau mendapatkannya?"

"Tidak sulit mencari gadis-gadis. Di desaku banyak gadis yang kehilangan orangtua dan saudara. Mereka semua menyimpan dendam, dan berharap bisa keluar dari bukit ini setelah menamatkan pelajarannya. Ratu Bukit Brambang menyetujui dengan satu syarat. Memang, kami semua harus patuh dan taat akan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Termasuk, harus mencari pemuda-pemuda untuk kesempurnaan ilmunya. Terus terang, kami semula tidak sadar kalau selama ini hanya diperalat. Aku juga begitu sebelum mengetahui siapa sebenarnya Ratu Bukit Brambang itu."

Rangga bisa merasakan ada nada penyesalan pada suara Widarti. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menyalahkan Widarti ataupun gadis-gadis lain dalam hal ini. Dan, seharusnyalah mereka diselamatkan sebelum telanjur menjadi korban lebih jauh lagi. Rangga sadar, kalau harus menghadapi Ratu Bukit Brambang tanpa harus melukai salah seorang dari gadis-gadis itu lagi. Apalagi membunuhnya.

"Kau yang tahu seluk-beluk tempat ini, Widarti. Kita harus menyelamatkan mereka secepatnya sebelum terlambat," kata Rangga.

"Kau tidak akan mampu menandingi Ratu Bukit Brambang, Rangga. Ilmunya sangat tinggi," kata Widarti pelan.

"Setinggi apa pun ilmunya, aku harus membunuhnya," tegas Rangga.

"Percuma..." Widarti menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa yang percuma?"

"Kalaupun kau berhasil, mereka pasti akan mengeroyokmu. Kau lihat sendiri. Tiga orang sudah tidak percaya, meskipun aku sudah menjelaskan. Mereka sudah begitu patuh dan rela mati demi gurunya. Itu sudah menjadi sumpah mereka dulu, Rangga. Aku yakin, kau juga akan bersikap begitu pada gurumu."

Rangga terdiam. Kata-kata Widarti memang sukar dibantah. Setiap orang yang berguru, pasti akan membela gurunya. Entah itu benar, atau salah. Kalau mencoba membangkang, jelas dianggap murid mur-tad. Dan hukuman yang pantas adalah mati. Itu sudah menjadi satu hukum rimba persilatan. Seorang guru bisa saja membunuh muridnya yang dianggap berkhianat Tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Beberapa kali Rangga mendesah panjang. Rasanya memang sulit mencari jalan keluar, melenyapkan Ratu Bukit Brambang tanpa melukai atau membunuh salah seorang dari gadis-gadis itu. Dan rasanya hal itu mustahil bisa dilakukan. Pendekar Rajawali Sakti menatap Widarti, dan tiba-tiba saja mendapat satu pikiran yang belum terjawab.

"Widarti, kenapa kau menculik Lasmi semalam?" tanya Rangga.

"Sebenarnya untuk menghindarinya dari incaran Nyai Pancalas," sahut Widarti. "Tapi, justru dia malah diculik oleh murid Nyai Pancalas yang lain."

"Kenapa dengan cara itu? Kau kan bisa bicara denganku," Rangga menyesalkan.

"Kau tidak akan mempercayaiku, Rangga. Lagi pula, aku baru tahu tentang Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya juga belum lama ini."

"Waktu bersama temanmu, kau sudah tahu siapa ratumu itu?" selidik Rangga.

"Sudah," sahut Widarti.

"Kenapa masih juga melakukan pekerjaan itu?"

"Untuk yang terakhir kali. Ratu Bukit Brambang biasanya memberikan kebebasan pada siapa saja yang berhasil melakukan tugasnya. Pada saat itu, aku dan Karina merencanakan melarikan diri. Tapi, yaaah.... Karina memang malang. Dia tewas sebelum berhasil."

"Aku menyesal, Widarti. Seandainya tahu, mungkin waktu itu aku tidak membunuh temanmu. Bahkan dengan sukarela akan ikut kalian agar bisa bertemu Ratu Bukit Brambang. Dengan begitu, aku akan bisa cepat membereskannya. Tapi, semua sudah telanjur," sesal Rangga.

"Tidak perlu disesalkan, Rangga. Karina memang menginginkan begitu. Seharusnya, aku saja yang mati. Bukan dia."

Kembali mereka terdiam. Tampak kemurungan menyelimuti wajah gadis itu. Sementara, Rangga sendiri kembali sibuk mencari jalan keluar dari kemelut ini.

"Apa yang harus kita lakukan, Widarti?" tanya Rangga meminta pendapat.

"Entahlah. Aku tidak tahu lagi," desah Widarti.

"Kau ingin pergi?"

Widarti tidak menjawab. Ditatapnya Rangga dalam-dalam, kemudian kepalanya menggeleng perlahan beberapa kali. "Aku akan bersamamu membebaskan Lasmi dan yang lain," kata Widarti.

Rangga tersenyum dan bangkit berdiri. Kakinya melangkah lebih ke tepi lagi dari bibir bukit ini. Widarti juga ikut berdiri dan menghampirinya. Mereka sama-sama memandang ke arah bangunan besar bagai istana itu. Dan bagaikan dua ekor kijang yang berlompatan lincah mereka menuju ke sana. 

***
DELAPAN
Sementara itu di dalam ruangan depan bangunan istana di Bukit Brambang, Ratu Bukit Brambang tampak berang mendengar laporan ketiga gadisnya yang kembali. Ketiga gadis itulah yang tadi bertemu Widarti. Ratu Bukit Brambang benar-benar berang, karena Widarti jelas-jelas membangkang. Bahkan berani menguping pembicaraannya yang teramat rahasia.

Ratu Bukit Brambang berdiri, lalu menghampiri tiga gadis yang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk. Tidak ada lagi orang lain di ruangan itu selain mereka berempat, dan seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berwajah penuh brewok lebat. Laki-laki itu juga tampak berang, dan wajahnya memerah menambah keseramannya.

"Kalian memang setia padaku. Tapi, kalian sudah mengetahui siapa aku sebenarnya. Juga tentang Cakarang. Rasanya, aku tidak lagi membutuhkan kalian bertiga," kata Ratu Bukit Brambang dingin.

Ketiga gadis itu terkejut, dan langsung mengangkat kepala. Namun belum juga bisa bersuara, mendadak perempuan berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu mengibaskan pedang yang selalu tergantung di pinggang. Begitu cepat kibasannya, sehingga ketiga gadis itu tidak bisa lagi bersuara. Kepala mereka kontan menggelinding, tertebas pedang. Lantai dari batu pualam putih itu jadi merah bersimbah darah yang mengucur deras dari ketiga leher yang buntung.

Ratu Bukit Brambang menyarungkan kembali pedangnya yang berwarna merah dengan gagang berbentuk kepala tengkorak manusia. Tubuhnya berbalik dan kembali duduk di kursinya. Pandangannya tertuju langsung pada laki-laki di sampingnya. Ratu Bukit Brambang kemudian menjambak rambutnya sendiri, dan mengangkatnya. Rambut putih panjang itu terangkat dan kulit wajahnya yang menyerupai tengkorak juga terangkat. Dicampakkannya benda. itu, begitu saja ke lantai. Tampak seraut wajah yang cantik terpampang. Lelaki berwajah kasar penuh brewok itu memandanginya.

"Aku tidak perlu lagi topeng itu," ujar Ratu Bukit Brambang dingin.

"Wajahmu sudah berubah cantik kembali. Tapi, suaramu masih belum sempurna, Nyai Pancalas."

"Tinggal satu pemuda lagi, Cakarang. Dan pemuda itu berada tidak jauh dari sini," kata Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas. Suaranya masih terdengar seperti orang tua renta, meskipun wajahnya cantik seperti seorang gadis berusia delapan belas tahun.

"Pemuda itu sangat tangguh, Nyai. Kau harus ingat. Sebelum seluruhnya sempurna, kekuatanmu sedang berkurang separuh. Aku khawatir, kau tidak akan mampu menghadapinya," kata Cakarang memperingatkan.

"Kau bisa menghadapinya, Cakarang?"

"He he he...!" Cakarang terkekeh.

"Bisa saja, asal ada imbalannya."

"Setan!" rungut Nyai Pancalas.

"Bagaimana?"

"Apa imbalannya?"

"Seratus gadis lagi."

"Keparat kau, Cakarang! Dari mana aku bisa memperoleh begitu banyak...?"

"Terserah. Satu pemuda lagi kau sudah sempurna. Dan kau bisa mendapatkan seratus gadis dengan mudah. He he he.... Kita bisa menjadi pasangan serasi dan akan menguasai dunia, Nyai Pancalas. Dengan seratus gadis, aku akan bisa lebih muda lagi. Dan tentunya, lebih tampan dari seorang pangeran di dunia ini."

"Apa dua puluh lima tidak cukup?"

"Itu hanya untuk kesempurnaan ilmuku saja, Nyai. Sedangkan kau sendiri, sudah hampir mencapai seratus pemuda. Dan sekarang tinggal membutuhkan satu lagi. Setelah itu, seluruh ilmu dan tubuhmu benar-benar menjadi muda dan sempurna. Tidak ada lagi yang bisa menandingi ilmu dan kecantikanmu."

"Huh!" dengus Nyai Pancalas.

"Ingat, Nyai. Semua ini karena jasaku. Kau tidak mungkin bisa seperti ini kalau bukan karena aku. Semua itu ilmuku. Kau lihat, Aku bisa hidup lebih dari seratus tahun."

"Baiklah, aku terima syaratmu. Tapi, kau harus serahkan pemuda itu dalam keadaan hidup. Belakangan ini, aku hanya menikmati mayat. Dan sekarang aku inginkan yang masih hidup."

"He he he...," Cakarang terkekeh kesenangan.

"Dia ada di puncak bukit sebelah Utara. Kau bisa ke sana dan bawa dia ke sini," kata Nyai Pancalas lagi.

"Untuk apa repot-repot ke sana? Dia pasti datang sendiri ke sini. He he he... Tawananmu cantik sekali, Nyai. Dia pasti akan datang untuk membebaskan gadisnya."

"Dia tawananku, Cakarang. Aku tidak suka kalau kau menyentuhnya!" dengus Nyai Pancalas.

"Tentu saja tidak. Tapi, aku inginkan dia yang pertama setelah aku serahkan pemuda itu padamu."

"Terserah. Asal, kau tidak menggangguku."

"He he he...!" lagi-lagi Cakarang terkekeh.

Cakarang bangkit berdiri dan menghampiri Nyai Pancalas. Tangannya langsung diletakkan di pundak, dan segera dipeluknya wanita itu dari belakang. Dengan liar sekali, diciumi wajah dan lehernya. Nyai Pancalas menggelinjang, berusaha melepaskan pelukan itu. Dia berdiri dan berbalik, tapi Cakarang kembali memeluknya erat-erat.

Nyai Pancalas tidak bisa lagi menghindari ciuman-ciuman Cakarang yang memburu. Dia berusaha melepaskan pelukan itu, tapi Cakarang memeluknya terlalu kuat. Ciuman-ciumannya juga gencar memburu, membuat Nyai Pancalas tidak mampu lagi, membendung gairahnya. Perlahan namun pasti, dia tidak memberontak lagi. Bahkan kini malah membalasnya dengan hangat.

"Ah...!" Nyai Pancalas memekik tertahan. Tubuhnya jatuh terguling di lantai, bersamaan tubuh Cakarang. Tidak ada kesempatan lagi bagi wanita itu untuk melepaskan himpitan tubuh besar dan kekar itu. Cakarang sudah mencumbunya penuh gairah menggelegak. Tidak ada lagi kata-kata yang terdengar. Semuanya berganti erangan dan rintihan lirih, disertai dengus napas memburu. Mereka tidak lagi mempedulikan tiga mayat yang tergeletak dengan kepala buntung. 

***

"Setan...!" Nyai Pancalas menggeretak geram. Buru-buru perempuan tua yang berwajah muda itu bangkit dan merapikan pakaiannya kembali. Cakarang juga bergegas melompat sambil membetulkan pakaiannya. Di luar sana terdengar jeritan-jeritan melengking ditingkahi denting senjata beradu.

Mereka langsung saja melompat ke luar, dan kontan terkejut begitu melihat Widarti mengamuk dikeroyok beberapa orang gadis. Tidak jauh dari Widarti, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih menghadapi keroyokan gadis-gadis berbaju merah.

"Berhenti...!" bentak Nyai Pancalas keras disertai pengerahan tenaga dalam pada suaranya. Seketika pertarungan terhenti.

Tidak kurang dari dua puluh enam gadis berbaju merah berlompatan mundur. Dan tinggal Widarti serta Rangga berdiri di tengah-tengah kepungan gadis bersenjata pedang terhunus. Widarti menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Widarti, kemari!" bentak Nyai Pancalas keras.

"Huh! Kau tidak bisa seenaknya menyuruhku, Nyai Pancalas. Aku bukan lagi budakmu!" sahut Widarti sinis.

"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin memberontak, heh!" geram Nyai Pancalas.

"Aku tidak memberontak, tapi melepaskan diri dari semua rencana busukmu!"

"Setan! Kubunuh kau, Widarti! Hiyaaat..!" Nyai Pancalas tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ratu Bukit Brambang itu melompat cepat sambil cepat mencabut pedangnya. Dan bagaikan kilat, pedangnya dikibaskan ke arah leher Widarti. Sesaat Widarti terkesiap.

Tapi sebelum pedang itu memenggal lehernya, Rangga cepat bertindak. Pendekar Rajawali Sakti melompat menghadang, dan menangkap pedang itu dengan kedua telapak tangannya.

"Hih!" Nyai Pancalas berusaha menarik kembali pedangnya, tapi jepitan Rangga begitu kuat. Dan tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya kuat-kuat ke depan sambil membuka jepitannya.

"Akh!" Nyai Pancalas memekik tertahan. Tubuh wanita tua itu terdorong hebat ke belakang. Kalau saja Cakarang tidak segera menangkapnya, wanita itu sudah jatuh tersuruk. Nyai Pancalas menggeram dahsyat. Dan dia ingin menyerang lagi, tapi Cakarang cepat menahannya. Nyai Pancalas menatap laki-laki berwajah kasar itu.

"Kenapa tidak bicara saja, Cakarang. Kau tidak bisu dan tuli, bukan?" ejek Widarti sinis. Cakarang menggeram marah mendengar ejekan itu. "Buka telinga kalian lebar-lebar! Kalian akan dijadikan tumbal oleh mereka...!" lantang suara Widarti.

"Tutup mulutmu, Widarti!" bentak Nyai Pancalas gusar. "Oh... Rupanya kau takut juga kedokmu terbuka, Nyai Pancalas. Dan rupanya topeng tengkorakmu juga sudah terlepas," sinis nada suara Widarti.

Nyai Pancalas baru tersadar kalau tidak memakai topeng tengkorak lagi. Wajahnya merah padam, karena kedoknya sudah terbongkar muridnya sendiri. Dengan menggeram marah, wanita berjubah merah itu melompat menerjang Widarti. Tapi Rangga yang sudah siap sejak tadi, lebih cepat lagi menghadang. Nyai Pancalas jadi geram setengah mati. Dan matanya langsung melirik Cakarang. Tapi, laki-laki berwajah kasar itu malah diam saja.

"Cakarang, bunuh dia! Aku tidak peduli, kau serahkan dalam keadaan hidup atau sudah mati!" seru Nyai Pancalas gusar.

Pada saat ini, Nyai Pancalas sendiri sudah kewalahan menghadang gempuran Rangga yang dahsyat dan bertubi-tubi. Memang, kekuatan dan ilmunya sedang berkurang jauh. Bahkan hanya separuhnya saja. Sehingga dalam menghadapi gempuran Rangga, Ratu Bukit Brambang itu kewalahan setengah mati.

"Cakarang! Bantu aku...!" teriak Nyai Pancalas semakin terdesak.

"Maaf, Nyai. Aku tidak bisa," kata Cakarang.

"Heh...!" Nyai Pancalas terkejut.

Pada saat yang sama, Rangga menggedor dadanya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Gedoran yang cepat dan tidak terduga itu, tidak dapat dihindari lagi. Nyai Pancalas memekik keras, dan tubuhnya terlontar jauh ke belakang sampai menghantam pilar. Belum lagi wanita berjubah merah itu sanggup berdiri, Rangga sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan sekaligus.

"Modar!"

"Aaakh...!" Nyai Pancalas menjerit melengking tinggi. Kembali wanita berjubah merah itu terlontar ke belakang. Tubuhnya juga kembali menghantam tembok. Seperti juga pilar itu, tembok itu juga hancur berantakan. Nyai Pancalas berusaha bangkit berdiri, dan langsung memuntahkan darah kental. Tubuhnya limbung, meskipun bisa berdiri.

Rangga yang mengetahui kelemahan wanita berjubah merah yang berjuluk Ratu Bukit Brambang, bersiap-siap mengeluarkan ajian pamungkasnya. Dia tidak ingin lebih lama lagi bertarung. Apalagi, membiarkan manusia berhati iblis seperti ini yang akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat dengan kedua tangan menjulur ke depan. Nyai Pancalas terperangah sesaat, dan buru-buru melompat ke samping. Namun, gerakannya sudah lemah. Dan dia sudah tidak keburu lagi menghindari serangan itu. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat dan telak menggedor dadanya.

"Aaa...!" Dengan satu jeritan panjang melengking, Nyai Pancalas terjungkal dan tewas seketika. Dadanya kontan hancur. Dan dari mulutnya menyembur darah kental.

Rangga berdiri tegak, dan berbalik menghadapi Cakarang. Perlahan-lahan Rangga melangkah menghampiri laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu. Cakarang bergerak mundur dengan wajah pucat seketika. Tubuhnya yang tinggi tegap, jadi bergetar. Pendekar Rajawali Sakti juga jadi heran melihat perubahan laki-laki menyeramkan ini. Dia berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi. Sementara begitu melihat Nyai Pancalas mati, gadis-gadis itu seperti ciut nyalinya. Jangankan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti, maju setindak saja tidak mereka lakukan.

"Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku hanya ahli obat dan ramuan. Aku tidak bersalah apa-apa...," ratap Cakarang dengan suara tersendat dan bergetar.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dingin.

"Aku Cakarang, seorang tabib ahli pengobatan, Aku menemukan ramuan yang bisa membuat orang kembali muda. Terus terang, aku sendiri tidak yakin. Tapi, Nyai Pancalas mendesak terus dengan semua akibatnya. Aku sendiri belum pernah mencobanya. Sungguh. Aku tidak bisa ilmu olah kanuragan. Aku hanya seorang tabib", kata Cakarang sungguh-sungguh.

"Kenapa kau pura-pura bisu?" tanya Widarti ketus.

"Aku.... Aku..., hanya disuruh Nyai Pancalas, Katanya, untuk menutupi maksud sebenarnya."

Rangga menggeser kakinya mendekati Widarti. Pandangannya masih tetap tajam menusuk langsung ke bola mata Cakarang. Meskipun Rangga mendengar adanya nada kesungguhan, tapi masih belum mempercayai semua kata-kata laki-laki tinggi besar itu. Widarti sendiri menggeser kakinya mendekati Rangga. Dan kini mereka berdiri bersisian.

"Kau cari Lasmi, dan bawa ke sini," kata Rangga setengah berbisik.

"Baik," Widarti mengangguk. Gadis berbaju merah itu langsung melompat cepat melewati kepala beberapa orang. Dia langsung menuju bagian belakang bangunan besar bagai istana itu. Sepertinya, Widarti sudah begitu paham tempat Lasmi disekap.

Sementara, Rangga kembali menggeser kakinya lebih dekat lagi ke arah Cakarang... "Cakarang! Benar kau ingin menjadikan gadis-gadis ini sebagai tumbalmu?" tanya Rangga.

Cakarang tidak langsung menjawab. Dipandanginya gadis-gadis di sekitarnya. Sedangkan gadis-gadis itu tampak malah kebingungan, tidak mengerti kejadian semua ini.

"Jawab pertanyaanku, Cakarang!" sentak Rangga agak keras.

"Bu..., bukan tumbal. Tapi..." jawab Cakarang tergagap.

"Tapi apa?" desak Rangga.

"Hanya sebagai alat pembayaran saja. Nyai Pancalas membayar semua usahaku dengan gadis-gadis ini. Dan itu pun masih kurang," aku Cakarang terus terang.

Tampak dua puluh tujuh gadis itu terkejut mendengar pengakuan Cakarang.

"Itu syarat yang kau ajukan, Cakarang?" desak Rangga lagi.

Cakarang kembali diam tidak menjawab. Wajahnya semakin kelihatan pucat. Tapi, sebentar kemudian berubah memerah bagai seorang gadis menyembunyikan rasa malu.

"Jawab!" bentak Rangga keras.

"iy... iya."

"Setan! Keparat! Kubunuh kau...!"

Gadis-gadis itu menggerutu marah mendengar pengakuan Cakarang. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung berlompatan menyerbu dengan pedang terhunus. Cakarang jadi gugup, tapi buru-buru dia melompat. Entah bagaimana, tiba-tiba saja di tangannya sudah tergenggam seutas cambuk yang tidak begitu besar dan tipis.

Ctar!

Cakarang menghentakkan cambuknya kuat-kuat. Dan satu kali hentakan saja, sudah membuat seorang gadis menjerit keras sambil bergulingan di tanah. Tampak darah merembes keluar dari wajah, dada, dan perutnya yang sobek. Gadis itu menggelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

Kejadian ini membuat yang lain semakin marah. Mereka langsung merangsek mengeroyok dengan jurus-jurus dahsyat. Sementara, Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa memperhatikan dan menjaga kalau-kalau Cakarang bermain curang. Pada saat itu, Widarti datang menghampiri. Di sampingnya tampak berjalan tergesa-gesa seorang gadis lain. Dialah Lasmi, yang diculik semalam dari kamar tidurnya.

"Ada apa ini?" tanya Widarti begitu dekat.

"Mereka marah mendengar pengakuan Cakarang," sahut Rangga.

"Hentikan, Rangga. Cakarang punya kepandaian tinggi. Aku tidak percaya dengan pengakuannya!" sentak Widarti cemas. "Mereka bisa mati semua, Rangga!"

"Hm...," gumam Rangga tidak jelas. Rangga semakin tajam memperhatikan gerakan-gerakan Cakarang yang tengah menghadapi keroyokan lebih dari dua puluh orang gadis. Sementara, sudah empat orang gadis yang menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan tampaknya gadis-gadis itu kesulitan untuk mendesak. Gerakan Cakarang begitu lincah, dan sukar didekati.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Cakarang berteriak keras. Dan seketika itu juga, tubuh Cakarang melesat tinggi ke udara. Mendadak, tangannya cepat dikibaskan. Tampak puluhan jarum beracun berwarna merah meluncur deras bagaikan hujan ke arah gadis-gadis itu.

"Hup, hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Langsung pedangnya dicabut, maka cahaya biru kontan menyemburat. Cepat sekali Rangga berlompatan memutar pedangnya bagai baling-baling, menyampok semua jarum yang dilepaskan Cakarang. Rangga langsung mendarat begitu jarum-jarum merah terbabat habis selagi masih di udara.

Tampak Cakarang terkejut, dan langsung melangkah mundur begitu kakinya mendarat di tanah.

"Pengecut! Licik...!" umpat Rangga menggeram.

"Mereka yang memulai. Aku hanya mempertahankan diri," bela Cakarang.

"Itukah yang namanya membela diri, setelah kau tipu mereka?" sinis nada suara Rangga.

Cakarang tidak menyahuti.

"Akulah lawanmu, Cakarang! Bukan mereka!" tantang Rangga.

Cakarang tetap diam, tapi tatapan matanya sudah demikian tajam menusuk. Perlahan-lahan, kakinya bergerak menggeser ke samping. Kedua tangannya tampak memegang cambuk yang merentang di depan dada. Sesaat keheningan meliputi sekitarnya. Rangga tidak berkedip memperhatikan setiap gerak langkah kaki laki-laki tinggi besar itu.

"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Cakarang menjerit keras. Seketika tubuhnya melesat ke udara. Kuat sekali cambuknya dihentakkan begitu berada di udara. Ujung cambuk itu menjurus ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Rangga cepat mengangkat tangannya. Dan saat ujung cambuk itu berada di depan wajah, langsung ditangkapnya dengan kedua tangan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti menariknya kuat-kuat.

Cakarang kontan tersentak tertarik ke bawah, namun manis sekali memutar tubuhnya. Dipinjamnya tenaga tarikan itu untuk meluruk ke arah Rangga sambil melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.

"Hait!" Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kanan. Pada saat itu, pegangannya pada ujung cambuk dilepaskan. Lalu, dengan cepat sekali tangannya bergerak ke bawah memapak tendangan itu. Cakarang terperanjat setengah mati, dan berusaha menarik kembali kakinya. Tapi, gerakannya kalah cepat. Pukulan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam tulang keringnya.

"Aaakh...!" Cakarang menjerit keras. Tubuh besar itu jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Dia berusaha bangkit berdiri, namun limbung dan kembali ambruk ke tanah. Satu kakinya patah terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan keparat..!" umpat Cakarang sambil berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa bangkit, Widarti sudah berteriak dan melompat cepat. Dengan pedang di tangan, Widarti menghambur ke arah laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu.

Cakarang terkesiap. Buru-buru tubuhnya digelimpangkan, menghindari tebasan pedang gadis itu. Namun Widarti tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus mencecar dengan tebasan pedangnya yang bertubi-tubi. Cakarang bergelimpangan ke sana ke mari, menghindari tebasan yang begitu cepat tidak ada hentinya.

"Hiyaaat..!"

Tiba-tiba saja gadis-gadis yang tadi diam berlompatan ke arah Cakarang. Dan mereka langsung menghujani dengan tusukan pedang. Cakarang terkesiap, tidak bisa lagi menghindar. Dan...

"Aaa...!" Cakarang menjerit keras melengking. Darah langsung muncrat dari tubuh Cakarang yang terpanggang pedang. Belum lagi hilang rasa sakitnya, datang lagi tusukan beruntun, ditambah tebasan dari berbagai arah.

Cakarang tewas seketika dengan tubuh tercincang. Lima bilah pedang tertancap di tubuhnya. Dan gadis-gadis itu seperti kerasukan setan saja. Selesai mencincang Cakarang, mereka memburu mayat Nyai Pancalas. Kembali kemarahan dilampiaskan pada perempuan berjubah merah yang telah menjadi mayat itu.

Rangga tidak bisa lagi mencegah, dan hanya bisa mendesah panjang. Kini Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Lasmi yang tidak sanggup memandang semua kejadian itu. Dirangkulnya pundak Lasmi dan dibawanya melangkah pergi.

"Bagaimana dengan mereka, Kakang?" tanya Lasmi sambil melirik gadis-gadis yang tengah mengeroyok, mencincang tubuh Nyai Pancalas.

"Mereka bisa pulang ke desanya masing-masing," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Dan tiba-tiba, diangkatnya tubuh gadis itu dan dipondongnya. Lasmi terpekik kaget

"Kakang, turunkan...!"

"Biar cepat. Kalau takut, pejamkan matamu," kata Rangga.

"Ah...!" Lasmi langsung menutup matanya rapat-rapat begitu Rangga melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Pada saat itu dari kerumunan gadis-gadis, mencuat seorang gadis. Dialah Widarti yang sekilas mendengar pekikan ketakutan dari Lasmi yang dipondong dan dibawa lari cepat bagaikan angin.

"Rangga...," desis Widarti seraya memandang bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Widarti menarik napas panjang. Disadari kalau Rangga hanya mengantarkan Lasmi pulang pada orangtuanya. Karena pendekar muda macam Pendekar Rajawali Sakti untuk saat ini lebih mementingkan pengabdian daripada kesenangan pribadi. Lagi pula, Rangga seorang pendekar yang tidak pernah tinggal menetap pada satu tempat saja. Widarti tahu itu. Pendekar Rajawali Sakti pasti akan pergi mengembara kembali.

"Aku akan pergi mengembara. Mudah-mudahan bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti, " gumam Widarti, mendesah perlahan.

Widarti langsung melompat, meninggalkan puncak bukit ini. Tidak dipedulikan lagi yang lain. Gadis itu berlari cepat, berlompatan menuruni tebing Bukit Brambang yang cukup curam dan berbatu cadas rapuh. Sebentar saja, tubuhnya lenyap di bibir lembah. Dan bersamaan dengan itu, semua gadis yang ada di puncak Bukit Brambang bergerak pergi. Puncak Bukit Brambang kembali sunyi. Dan akan selamanya sunyi seperti sediakala, sebelum Ratu Bukit Brambang muncul.

TAMAT

Ikuti Petualangan Pendekar Rajawali Sakti Berikutnya dalam Episode SELENDANG SUTERA EMAS