Ebook Wiro Sableng : Nina Merah

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : NINJA MERAH
                     ************
https://drive.google.com/file/d/1lmqehhQ6uZIPuktrYu2xtVivVeBhWWR6/view?usp=sharing SAAT itu telah memasuki
musim semi. Namun udara dingin masih
terasa mencucuk dimana-mana.
Salju tipis masih tampak menyapu puncak-
puncak pepohonan, juga pada kuntum-kuntum
bunga Sakura Yang pucuk-pucuknya mulai
mengembang.
Jauh di sebelah Timur Kioto terdapat sebuah
bukit kecil.
Saat itu baru taja lewat tengah malam. Dalam
gelap dan dinginnya udara tiga sosok
berpakaian dan bertutup kepala serba hitam
bergerak cepat menuju puncak bukit.
Di punggung masing-masing menyembul hulu
ninjato.
Lalu pada pinggang mereka tergantung
kusarigama.
Mereka tidak mengikuti jalan batu Yang
berliku-liku melainkan mengendap dan
berkelebat di balik semak belukar dan
pepohonan.
Puncak bukit merupakan kawasan perumahan
Perguruan Emerarudo atau Perguruan Zamrud.
Ke tempat inilah agaknya tiga orang itu tengah menuju.
Di dalam salah satu ruangan pada sebuah
bangunan di puncak bukit seorang lelaki
berusia setengah abad duduk di lantai sedang
tekun membaca sebuah kitab tebal.
Kantuknya yang tadi sempat menyerang
terpupus sirna oleh daya tarik kitab yang
tengah dibacanya.
Orang ini mengenakan kimono tebal berwarna
biru tua. Pada bagian dada kimono sebelah
kanan tersulam gambar batu permata zamrud
bewarna kuning terang, lengkap dengan garis-
garis kilauan cahaya sekeliling permata.
Orang ini adalah Noboru Kasai pimpinan
tertinggi atau Ketua Utama Perguruan
Emerarudo.
Saat itu terdengar perlahan suaranya
membaca.
Kebersihan aurat adalah sangat penting
dalam ilmu Pengobatan. Bagaimana
seseorang bisa mengobati orang lain kalau
tubuhnya tidak bersih.
akan tetapi di atas semua itu kebersihan jiwa
atau kebersihan batin adalah yang paling
utama.
Dengan batin yang bersih seseorang akan
berada dalam keadaan lebih andal untuk
menyalurkan hawa sakti yang dimilikinya ke
dalam badan orang yang akan diobatinya.
Karena itu …
Suara Noboru Kasai membaca terhenti oleh
suara pintu bergesek di belakangnya.
"Hisao … Kaukah itu? tanya Noboru Kasai
tanpa berpaling. Tak ada jawaban..
Se tttt… settt… setttt! Teppp … tepppp …
tepppp!
Malah Ketua Perguruan Emerarudo ini
mendengar suara berkelebat tiga kali berturut-
turut dibarengi oleh siuran angin halus.
Noboru Kasai letakkan kitab di pangkuannya
ke atas tatami. Lalu perlahan-lahan palingkan
kepala.
Sepasang mata sang Ketua terbuka lebar
melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.
"Shinobi…!"
Shinobi adalah panggilan asli untuk ninja.
Dan memang saat itu di dalam kamarnya
tegak tiga sosok ninja, muncul dalam
penampilan mereka yang angker.
Bertubuh tinggi kukuh dibungkus pakaian
serba hitam mulai dari ujung kaki sampai ke
kepala. Di bagian muka hanya sepasang mata
mereka yang kelihatan, memandang tak
berkesip ke arah Noboru Kasai dengan
pandangan sedingin salju di puncak gunung
Fuji.
Di belakang punggung mereka tersembul
gagang ninjato yang juga dikenal sebagai
katana pendek, pedang khas para ninja. Lalu
seuntai rantai yang salah satu ujungnya
merupakan senjata berbentuk ganco dan
ujung satu lagi diberi gandulan pemberat
kelihatan melilit di pinggang. Noboru Kasai
perhatikan tangan ke tiga ninja ini. Masing-
masing memakai shuko yaitu cakar pemanjat
yang sekaligus merupakan senjata sangat
berbahaya.
Dalam hati Noboru Kasai membatin "Pasti ke
tiganya menerobos masuk dengan memanjat
tembok. Jika tidak satu murid perguruan pun
memergoki mereka, berarti ke tiganya adalah
ninja-ninja dari tingkat sangat tinggi …"
Perlahan-lahan Noboru Kasai berdiri. Sreettt!
Sreetttt!
Dua kali terdengar suara berdesir ketika dua
orang ninja yang berdiri dekat pintu dan di
sebelah kanan Noboru Kasai mencabut ninjato
pedang pendek masing-masing.
Ninja berbadan paling tinggi di sebelah
tengah memberi isyarat dengan tangan kiri.
Dua orang temannya yang hendak mendekati
Noboru Kasai hentikan langkah. Ninja yang di
tengah maju dua langkah.
"Sahabat-sahabat tak diundang. Kalian
masuk secara tidak sopan …"
Ninja di dekat pintu mendengus. Mulut dibalik
penutup wajahnya berucap.
"Ninja tidak kenal sopan santun. Ninja hanya
kenal darah dan nyawa!"
Daun telinga kiri Noboru Kasai bergerak.
"Hemmm.. aku tidak mengenali suaranya.
Berarti dia memang ninja asli. Bukan orang
dalam .. ."
"Katakan apa maksud kalian masuk ke
tempatku!"
bentak Noboru Kasai. Sekilas matanya melirik
ke arah lantai di sebelah kiri di mana
tergeletak katana miliknya.
Ninja bertubuh paling tinggi dapat membaca
apa yang ada dalam benak Ketua Perguruan
Emerarudo itu. Dia cepat melangkah dan
menginjak katana di lantai dengan kaki
kanannya.
"Aku memberi waktu lima detik pada kalian
agar segera keluar dari tempat ini!" Noboru
Kasai beri peringatan.
Ke dua tangannya diturunkan ke sisi sedang
sepasang kaki tegak merenggang cepat.
Apa yang terjadi kemudian berlangung sangat
Ninja di sebelah tengah hunus ninjatonya.
Melihat ini dua temannya segera menggebrak
maju. Tiga pedang maut berkelebat ke arah
Noboru Kasai. Ketua Perguruan Emerarudo ini
keluarkan suara menggembor.
Dengan tangan kosong dia hadapi tiga
penyerangnya.
Noboru membuat gerakan yang disebut "dewa
tanah mengebor bumi." Tubuhnya menukik ,
jatuh ke atas lantai tatami. Tiga pedang lewat
di atasnya. Lalu dia susul dengan jurus
"penguasa langit membelah angkasa" Tangan
kanannya menghantam ke atas disusul
dengan tendangan kaki kiri kanan.
Wuuuutt! Wuuuut!
Pukulan dan tendangan kaki kiri Noboru Kasai
hanya mengenai tempat kosong. Tapi bukkkk!
Tendangan kaki kanannya mampir dengan
telak di dada salah seorang penyerang hingga
ninja satu ini mencelat ke dinding. Dinding
yang hanya terbuat dari kertas itu langsung
jebol dan ninja itu sendiri terlempar ke luar.
Untuk sesaat dia tak kuasa bangun, hanya
mengerang sambil pegangi dada.
Dua orang ninja yang ada di dalam ruangan
mendengus marah. Serangan pedang mereka
membuntal-buntal ganas. .Walau Ketua
Perguruan Emerarudo menyandang nama
besar dan berkepandaian tinggi namun para
ninja bukanlah lawan yang mudah dihadapi.
Gerakan mereka secepat setan, serangan
pedang mereka seganas iblis. Apalagi saat itu
Noboru Kasai bertangan kosong pula.
Setelah mengelak dua kali berturut-turut
Noboru melejit ke arah kanan. Maksudnya
hendak mengambil hanbo, yaitu tongkat kayu
yang biasa dipakai untuk melatih murid-
murid. Namun gerakannya berhasil di papas
oleh ninja di sebelah kiri. Selagi dia coba
menghantam penyerang ini dengan pukulan
tangan kosong mengandung hawa sakti, dari
samping ninja bertubuh tinggi kiblatkan
ninjatonya.
Breetttttl
Bahu kimono Noboru Kasai robek besar. Dia
merasakan perih pada bahu kanannya lalu
ada cairan panas mengucur. Darah! Meski
menderita sakit bukan main dan kemarahan
mendidih namun Ketua Perguruan Emerarudo
ini tampak bersikap tenang. Tapi sebaliknya
dua ninja tak mau memberi kesempatan.
Pedang pendek mereka kembali menggempur
dengan ganas hingga Noboru Kasai terdesak
ke sudut sebelah kanan.
Breeetttt!
Breetttt!
Kimono sang Ketua robek lagi. Kali ini di
bagian dada dan perut. Noboru Kasai terjajar
ke belakang. Dia berusaha berpegangan pada
sebuah rak tapi tidak terjangkau. Selagi
tubuhnya tersandar ke dinding, ninja berbadan
tinggi tusukkan pedangnya ke lambung
Noboru Kasai. Ketua Perguruan ini keluarkan
keluhan pendek lalu roboh ke lantai. Sebagian
dari badannya yaitu bagian dada ke atas
berada di luar kamar.
Ninja berbadan tinggi mendatangi dengan
cepat dan membungkuk seraya bertanya.
"Lekas katakan! Di laci nomor berapa kau
simpan surat-surat penting Perguruan!"
Dalam keadaan sekarat Nobora Kasai
membuka mulutnva. Suaranya tersendat
perlahan.
"Aku … aku seperti mengenali suaramu …
Bukan kah kau.."
"Kurang ajar!" bentak ninja bertubuh tinggi.
Pedang di tangan kanannya dihunjamkan ke
tenggorokan Noboru Kasai. Sebelum maut
menyergap Ketua Perguruan Emerarudo itu
tiba-tiba angkat tangan kanannya.
Lima jari tangannya terpentang. Tulang-
tulang jari keluarkan suara berderak.
Cleeeppp!
Pedang menembus tenggorokan Noboru Kasai.
Dalam saat yang bersamaan lima ujung jari
sang Ketua menghunjam di dada kiri ninja
yang membunuhnya.
Pakaian hitam tebal yang dikenakan ninja
tembus di lima bagian. Ninja itu sendiri
terjajar ke belakang. Dadanya serasa ditusuk
lima paku panas! Wajahnya di balik penutup
kepala sesaat jadi pucat.
"Lima jari dewa… Jadi dia memang benar-
benar memiliki ilmu kepandaian itu..!"
katanya dengan mata melotot memandang
pada Noboru Kasai yang sudah tak bernyawa
lagi. Sambil pegangi dada kirinya ninja ini
melangkah mundur. Dia memberi isyarat pada
ninja yang ada di dekatnya.
"Tolong kawanmu. Lari ke tembok sebelah
timur.
Tunggu aku di tempat pertemuan!" Sehabis
berkata begitu ninja berbadan tinggl ini
melesat ke pintu. Dia berlari cepat sepanjang
lorong pendek lalu menerobos masuk ke
dalam sebuah ruangan sangat rahasia yang
tidak sembarang orang boleh masuk ke
tempat ini. Di pintu masuk ruangan berjaga-
jaga seorang murid Perguruan dalam keadaan
terkantuk-kantuk. Pedang di tangan ninja
berkelebat menghantam pertengahan kening
murid penjaga. Murid ini tak pernah tahu apa
yang menyebabkan kematiannya. Tubuhnya
roboh mandi darah dengan kepala hampir
terbelah.
Ninja pembunuh melompat masuk ke dalam
ruangan rahasia. Sesaat dia tegak tertegun.
Di dalam ruangan itu ada dua buah lemari
besar merapat ke dinding. Di situ terdapat dua
ratus laci-laci kecil yang diberi nomor mulai
dari 1 sampai 200.
"Aku tak mungkin memeriksa semua laci
celaka itu! Aku harus bisa mengingat! Harus
bisa!" Ninja itu lalu menarik laci-laci pada
derstan angka mulai dari 150 sampai 160.
Sementara itu diluar sana ninja yang
diperintahkan menolong temannya yang
terluka bertindak cepat.
Sang teman rupanya menderita luka dalam
yang sangat parah akibat tendangan Noboru
Kasai tadi. Darah tampak mengucur dari
mulutnya. Begitu tahu kawannya tak sanggup
berdiri, dengan cepat di segera
memanggulnya.
Akan tetapi sebelum dia sempat berkelebat
pergi di sekelilingnya terdengar suara
langkah-langkah kaki.
Sesaat kemudian sekitar dua puluh orang
murid perguruan muncul mengurung tempat
itu. Di depan sekali seorang lelaki berkimono
merah darah berambut pendek berwajah
beringas. Mukanya merah. Gerakannya cepat
dan enteng tetapi langkah kakinya tidak tetap.
Sesekali tubuhnya tampak seperti terhuyung.
Bagaimanapun tinggi ilmu yang dimilikinya
tapi ninja itu segera menyadari bahwa dia tak
mungkin lolos dari sekian banyak orang yang
mengurung. Apalagi si kimono merah
berwajah merah beringas di sebelah depan
dikenalinya adalah Shigero Momochi salah
seorang dari dua Wakil Ketua Perguruan.
Begitu Shigero Momochl mendekat ninja
jatuhkan kawan yang dipanggulnya ke lantai.
Sekali menusukkan pedangnya ke dada
kawannya sendiri, ninja yang sudah terluka
parah itu langsung meregang nyawa.
"Tangkap dia hidup-hidup!" teriak Shigero
Momochi.
Tapi mana mungkin menangkap seorang ninja
hidup-hidup. Apalagi dalam keadaan
terperangkap seperti itu. Sang ninja keluarkan
suara mendegus dari balik kain hitam penutup
wajahnya. Dua tangan memegang gagang
pedang erat-erat. Begitu kelompok anak murid
Perguruan Emerarudo menyerbu dibawah
pimpinan Shigero Momochi dengan berbagai
macam senjata ninja ini cepat menyongsong
dengan ninjatonya.
Beberapa kali terdengar suara berdentrangan
beradunya senjata. Gelombang serangan anak
murid Perguruan Emerarudo tidak bisa
dibendung. Shigero Momochi yang masih
berusaha menangkap hidup-hidup ninja itu
untuk dimintai keterangan tak mampu berbuat
banyak. Setelah memukul lepas pedang
ditangan ninja dia hanya bisa menyaksikan
bagaimana puluhan anak muridnya
membantai sang ninja hingga akhirnya
menemui ajal dengan keadaan tubuh hancur
lumat mengerikan.
Shigero Momochi seperti mau muntah. Dia
palingkan kepala, memandang ke ruangan
dalam bangunan.
"Ketua Noboru Kasai …" bisiknya. Secepat
kilat dia lari masuk ke dalam rumah. Lututnya
goyah ketika dia menemukan Noboru Kasai
telah jadi mayat, tergeletak di atas tatami
dengan tubuh bergelimang darah.
"Ketua …" kata Shigero Momochi sambil
jatuhkan diri, berlutut di samping mayat
Noboru Kasai. Dia merasa seperti ingin
berteriak, tapi juga ingin menangis.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara dari
arah ujung lorong pendek di luar sana dimana
terletak ruangan rahasia. Sambil
menggenggam pedangnya Shigero Momochi
cepat berdiri. * * *
DUA Di dalam ruangan rahasia ninja
memeriksa deretan laci bernomor 150 sampai
160. Tapi dia tidak menemukan apa yang
dicarinya. Dalam hati dia memaki setengah
mati.
"Aku harus ingat! Harus ingat!" katanya
berulangulang.
Pada saat itu dia mendengar suara orang
berlari dari ujung lorong. Sebelumnya dia juga
telah mendengar suara ramai di luar ruangan
tempat Noboru Kasai terbunuh.
"Orang-orang Perguruan sudah tahu apa yang
terjadi …" desis ninja. Matanya kembali
memandang deretan laci-laci. Dia seperti
hendak memukul kepalanya sendiri ketika
tiba-tiba dia ingat.
"Laci 168 katanya setengah berseru.
Segera laci nomor 166 dibukanya. Sepasang
mata ninja membesar. Apa yang dicarinya
akhirnya ditemui juga. Dalam laci itu
kelihatan sebuah amplop besar berwarna
kuning. Secepat kilat ninja menyambar
amplop itu. Lalu melompat membobol dinding
kiri ruangan rahasia. Ternyata dinding
ruangan ini tidak terbuat dari kertas biasa
melainkan dari sejenis papan alot. Ninja
terpaksa pergunakan jotosannya untuk
menjebol. Baru saja dia hendak berkelebat
kabur lewat lobang di dinding tiba-tiba pintu
kamar rahasia terbuka.
Satu bentakan menggeledek di belakangnya.
"Jangan lari!"
Yang berteriak adalah Shigero Momochi. Wakil
Ketua Perguruan ini cepat mengejar dengan
pedang terhunus. Gerakannya mengejar
tertahan ketika di sebelah depan ninja
dilihatnya gerakkan tangan kiri. Dua buah
benda berbentuk bintang melesat ke arahnya.
Shigero memaki setengah mati.
"Shuriken!" teriaknya.
Pedangnya di putar ke depan.
Trang … trang …!
Dua senjata rahasia bintang besi beracun
yang dilepaskan ninja mental dan menancap
di dinding ruangan. Begitu Shigero
memandang ke depan sang ninja sudah
lenyap.
"Mahluk iblis! Kau kira kau bisa lolos dari
tanganku…!"
bentak Shigero Momochi lalu mengejar.
Larinya tidak tetap, agak menghuyung.
Sampai di taman gelap di belakang bangunan
besar orang yang dikejarnya tak kelihatan
lagi. Belasan murid Perguruan muncul
mendatangi.
"Percuma… Ninja keparat itu berhasil
melarikan diri!" kata Shigero Momochi sambil
menghentakkan kakinya.
"Aku bersumpah akan membalaskan kematian
Ketua. Kalian lekas mengatur hubungan
dengan para Ketua Ninja! Beri tahu apa yang
telah terjadi. Minta mereka menyelidik dan
memberi tahu siapa anggotaanggota mereka
yang terlibat kejahatan keji ini! Mereka harus
berani mengakui! Kalau tidak aku bersumpah
akan menumpas semua ninja di negeri ini!
Sejak dulu mereka hanya menimbulkan
keonaran dan bencana saja! Melakukan
kejahatan hanya untuk sejumlah uang!
Mahlukmahluk durjana! Pembunuh bayaran!"
"Wakil Ketua Momochi!" seorang murid
Perguruan berkata sambil maju mendekati
Shigero Momochi.
"Ninja bukan cuma membunuh tapi juga
mencuri surat-surat penting dari ruangan
rahasia.
"Aku sudah tahu! Kalian periksa surat apa
yang hilang! Aku akan mengurus jenazah
Ketua …" Shigero Momochi memandang
berkeliling.
"Siapa diantara kalian yang membawa
minuman….?" Tak ada satupun yang
menjawab.
"Kalau begitu satu orang dari kalian lekas
pergi kekamarku, ambil botol sake dan
antarkan padaku …"
"Tapi Wakil Ketua Momochi …" kata seorang
murid kepala.
"Dalam keadaan seperti ini tidak sepantasnya
Wakil Ketua meneguk minuman keras itu lagi
…"
"Kurang ajarl Kau memerintah aku atau
bagaimana … ?!" bentak Shigero Momochi
dengan mata membelalang.
Semua murid Perguruan yang ada di situ
unjukkan wajah tidak seneng. Satu persatu
mereka tinggalkan tempat itu. Salah seorang
dari mereka berbisik pada temannya.
"Seharusnya dia yang dibunuh ninja, bukan
Ketua Noboru Kasai … Pimpinan tak berguna,
Pemabuk, pemarah … semua yang jelek ada
padanya. Mau jadi apa Perguruan kita ini
kelak … !"
"Aku kawatir setelah Ketua tiada, dia yang
akan menjabat jadi Ketua. Celakalah kita
semua!" sahut temannya.
"Hal itu tak mungkin terjadi. Para Dewa tak
bakal merestui!" kata seorang murid
Perguruan lain yang ikut mendengar
percakapan dua temannya tadi. DALAM
dinginnya udara menjelang pagi itu sayup
sayup terdengar suara shakuhachi ditiup
dalam senandung yang menyayat hati. Tiupan
seruling bambu ini diikuti dengan petikan
shamisen yang menghiba-hiba.
Suara bebunyian ini datang dari serambi
bangunan besar Perguruan Emerarudo di
puncak bukit.
Di serambi rumah besar, di bawah penerangan
lampu minyak redup, diatas tatami duduk dua
orang perempuan. Seorang sudah agak lanjut,
satunya masih gadis. Perempuan yang lebih
tua duduk meramkan mata sambil meniup
shakuchaki. Gadis di sebelahnya memetik
shamisen. Masing-masing memainkan
bebunyian itu penuh perasaan. Sepasang
mata perempuan yang lebih tua tampak
berkaca-kaca sedang si gadis tak dapat
menahan larutnya kesedihan hingga air mata
yang tak terbendung menetes jatuh kepipinya.
Di dalam rumah besar hampir seratus anak
murid Perguruan Emerarudo tegak rangkapkan
tangan di atas dada. Sikap berdiri mereka
tampak gagah. Namun dari kepala-kepala
yang ditundukkan serta sepasang mata.
yang dipejamkan jelas seperti dua perempuan
tadi merekapun sedang tenggelam dalam rasa
duka yang mendalam.
Rasa dukacita atas tewasnya Noboru Kasai
Ketua Perguruan Emerarudo membuat puncak
bukit itu tenggelam dalam kesedihan. Gadis
pemetik shamisen tak sanggup menahan
kesedihannya akhirnya berhenti memetik
bebunyian itu lalu bersujud dan menangis
tersedu-sedu. Perempuan peniup seruling ikut
tergugah dan tiupan sakuhachinya jadi
tersendat-sendat.
Menjelang malam memasuki pagi, selagi
udara terang-terang tanah tiba-tiba terdengar
derap kaki kuda mendatangi. Tak lama
kemudian seorang lelaki separuh baya
berwajah gagah muncul menunggang kuda
putih.
Di atas punggung kuda dia memandang
seperti tidak percaya pada keadaan yang
dilihatnya. Matanya menyipit ketika dia
berpaling ke serambi dan melihat gadis
pemetik shamisen jatuhkan diri lalu menangis
keras. Orang ini melompat dari kudanya.
"Apa yang terjadi …. ?!" Dia bertanya sambil
melangkah cepat melewati berisan para murid
Perguruan.
Dadanya mendadak bergejolak, tapi sikap dan
suaranya kelihatan lembut.
Seorang murid kepala mendatangi dan
berkata.
"Wakil Ketua Hisao Matsunaga syukur kau
cepat kembali. Wakil Ketua Shigero Momochi
ada di dalam bangunan utama. Sudah lama
menunggu …."
"Tiupan shakuhachi dan petikan shamisen
tadi. .. membawakan lagu pengantar jenazah.
Katakan apa yang terjadi?!" tanya orang yang
barusan turun dari kuda. Ternyata dia adalah
salah seorang dari Wakil Ketua Perguruan.
"Saya tidak berani menerangkan. Lebih baik
Wakil Ketua menemui Wakil Ketua Shigero
Momochi saja …."
Mendengar jawab murid kepala itu, seperti
terbang Hisao Matsunaga melompat dan
masuk ke dalam rumah besar. Di dalam
ruangan dimana jenazah Noboru Kasai
dibaringkan di atas selembar kasur tipis yang
diberi alas kain wool tebal, Hisao Matsunaga
jatuhkan diri berlutut. Sesaat dia menatap
wajah Ketua Perguruan yang sudah jadi
mayat itu. Kain putih yang menutupi tubuh
jenazah tampak basah oleh darah di beberapa
bagian. Lalu ke dua matanya dipejamkan.
Ketika mata itu dibuka kembali pandangan
Hisao Matsunaga tertuju pada Shigero
Momochi. Baru disadari nya kalau saat itu di
ruangan itu terdapat juga beberapa orang
pengurus dan tua-tua perguruan. Lalu
seorang anak lelaki berusia empat belas tahun
yang duduk dengan kepala tertunduk dekat
kepala jenazah.
Wajah Hisao Matsunaga jelas menunjukkan
keperihan ketika dia memperhatikan anak ini.
Karena si anak adalah Akira Kasai, putera dan
anak tunggal mendiang Ketua Noboru Kasai.
Ibu Akira meninggal dunia pada saat anak ini
dilahirkan. Sejak itu Noboru Kasai tak
mengambil perempuan lain pengganti istrinya
ataupun memelihara gundik. Agaknya Ketua
Perguruan Emerarudo ini sengaja menjauhi
kehidupan duniawi sampai akhirnya kematian
datang menjemput.
Hisao Matsunaga berpaling kembali pada
Shigero Momochi lalu berkata dengan suara
perlahan.
"Shigero, ceritakan padaku bagaimana semua
ini terjadi!"
"Kita bicara di kamar sebelah saja.." bisik
Shigero.
Waktu bicara Hisao Matsunaga dapat
mencium nafas Shigero yang berbau minuman
keras. Perlahan-lahan dia bangkit mengikuti
Shigero menuju sebuah ruangan yang terletak
bersebelahan dengan ruangan dimana jenazah
Ketua Perguruan disemayamkan.
"Aku tidak melihat sendiri bagaimana
kejadiannya.
Ketika aku masuk ke kamar Ketua, beliau
sudah menggeletak di atas tatami dalam
keadaan berlumuran darah. Sudah tidak
bernafas lagi ….." Lalu Shigero Momochi
menuturkan apa yang diketahuinya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, kau berada di
mana Shigero? Selama ini jangankan manusia,
lalat seekorpun jika menyusup ke tempat ini
pasti kau ketahui …"
"Kau betul Hisao …" jawab Shigero Momochi
dengan wajah merah.
"Malam tadi entah mengapa nyenyak sekali
tidurku.
Sampai tidak mendengar suam apa-apa.
Bahkan para muridpun tidak sempat
mengetahui …. !"
"Aku yakin kau pasti minum banyak lagi
malam tadi. Kalau tidak, mungkin peristiwa ini
bisa dihindari….
Harap maafkan aku Shigero. Bukan maksudku
menyalahkanmu.
Kalau Dewa sudah menakdirkan hal ini akan
terjadi, pasti terjadi tanpa bisa dihalangi. Aku
sendiri merasa menyesal pergi ke Kioto walau
aku kesana ditugaskan secara pribadi oleh
Ketua untuk menemui seorang Shogun …."
"Sampai saat ini aku memang belum bisa
menghilangkan kebiasaan minum sake keras
itu .. ."
"Kudengar kini malah kau mencampurnya
dengan wiski yang dibawa pelaut-pelaut kulit
putih …" memotong Hisao Matsunaga tetap
dengan suara lembut.
"Kuharap saja kau bisa mawas diri dan
menghenti kan kebiasaan minum."
Tampang Shigero Momochi tampak jadi
beringas.
Dia hendak menyemprotkan ucapan. Tapi
dengan lembut Hisao Matsunaga berkata.
"Siapa diantara kita yang tidak suka meneguk
sake. Tapi minum secara berlebihan bisa
membawa hal-hal tak diingin bagi seseorang.
Musibah ini kiranya bisa dijadikan hikmah ….."
Wajah Shigero Momochi nampak menjadi
merah.
Sambil berdiri dia berkata. "Kalau Perguruan
menganggap hal ini terjadi karena
kesalahanku, aku bersedia menerima hukuman
dan melakukan seppuku!"
Shigero Momochi segera hendak mencabut
pedangnya.
Hisao Matsunaga cepat memegang bahu
Shigero dan berkata. "Bagi kita orang-orang
Jepang melakukan seppuku atau harakiri
adalah kematian paling terhormat.
Tapi tidak jika kita sebenarnya bisa
melakukan sesuatu yang jauh lebih terhormat
.. ."
"Katakan apa yang harus aku lakukan!" kata
Shigero beringas.
"Bukan kau, saja Shigero. Tapi kita. Semua
yang ada di Perguruan ini …"
"Ya.. ya, katakan saja apa yang harus kita
lakukan?"
"Pertama, kita harus mengurus jenazah Ketua
…."
"ltu memang menjadi kewajiban kita para
pengurus dan murid Perguruanl Lalu ….?"
"Selanjutnya .kita harus menyelidik siapa
pelaku pembunuhan ini…."
"Dan pelaku pencurian!" sambung Shigero
Momochi.
Hisao Matsunaga tampak terkejut.
"Pencurian? Apa maksudmu?'
"Ada sebuah amplop rahasia berisi surat-surat
penting lenyap dari laci di ruang rahasia …."
Paras Hisao Matsunaga jadi berubah.
"Berarti ini bukan pembunuhan biasa. Pasti
banyak kaitannya pada hal-hal lain yang
tidak terduga ….."
"Aku sudah meminta beberapa orang untuk
menghubungi para Ketua Ninja guna ikut
menyelidik.
Aku juga telah bersumpah jika mereka tidak
bisa memberikan jawaban atau tidak dapat
membuktikan bahwa kelompok masing-
masing tidak terlibat, maka aku akan
menumpas semua Ninja di negeri ini sampai
habis!"
"Kesetiaanmu untuk membela kematian Ketua
sangat aku hargakan Shigero. Tapi kita harus
hati-hati menghadapi para ninja. Jika mereka
bergabung kekuatan mereka jauh lebih besar
dari kita …"
"Kita bisa memakai tangan kelompok Oda
Nobunaga untuk membasmi mereka …"
"Betul, tapi ingat … Perguruan punya
ketentuan untuk tidak terlibat dan melibatkan
diri dengan orangorang Pemerintahan …"
"Lalu mengapa kau sendiri pergi menemui
Shogun, walau katamu itu atas perintah Ketua
….."
Hisao Matsunaga mengangguk pendek.
"Justru hal itu diperintahkannya agar aku
memberi tahu bahwa Perguruan kita
menghormati pihak angkatan perang, para
Jenderal, tapi tidak mau melibatkan diri
dalam urusan pemerintahan …"
"Kalau begitu kita harus punya cara sendiri
untuk menghajar para ninja itu …"
"Jika benar mereka yang membunuh Ketua..:"
Shigero Momochi menatap tajam dengan
matanya yang merah pada Hisao Matsunaga.
"Apa maksudmu dengan ucapan itu Hisao?
Jelas mereka muncul di sini mengenakan
seragam ninja.
Membawa senjata ninja. Bahkan ada dua
ninja yang sudah lumat di luar sana bisa kau
lihat sendiri keadaan mereka. Dan tampaknya
kau hendak meragukan bahwa kematian guru
bukan disebabkan oleh para ninja keparat
itu!"
"Tenang Saudaraku …" kata Hisao Matsunaga
dengan suara lembut.
"Sebagai perguruan besar, tidak semua orang
di luar sana suka terhadap kita. Mungkin saja
memang ada yang memakai tangan ninja
untuk menghancurkan kita.
Mungkin juga ada para tokoh silat kaki
tangan pemerintah yang melakukannya karena
tidak ingin melihat kita sebagai satu kekuatan
yang membahayakan mereka …"
"Ah, aku orang bodoh yang tidak bisa
mencerna dan berpikir sepintarmu …."
"Kau orang pandai. Otakmu cerdik. Aku tahu
hal itu. Jangan terlalu merendah Shigero.
Sekarang mari temani aku untuk memeriksa
ruangan rahasia. Surat penting apa yang
telah dicuri ninja …."
Memeriksa 200 laci di ruangan rahasia
Perguruan Emerarudo bukan pekerjaan mudah
dan memakan waktu lama. Mereka memang
menemui sebuah laci dalam keadaan kosong
yaitu laci nomor 166. Tapi baik Hisao maupun
Shigero tidak dapat memastikan surat atau
benda apa yang telah lenyap dicuri dari laci
tersebut.
Menjelang pagi ke dua pucuk pimpinan
Perguruan tersebut keluar dari ruangan
rahasia, bergabung dengan pengurus
Perguruan lainnya untuk mengatur persiapan
upacara perabuah jenarah Noboru Kasai.
Sementara itu beberapa tamu yang sudah
diberi tahu atas musibah yang menimpa
Perguruan telah mulai kelihatan berdatangan.
Kita kembali dulu pada kejadian beberapa
waktu sebelumnya setelah ninja memasuki
ruangan rahasia Perguruan Emerarudo,
mencuri sebuah amplop kuning lalu melarikan
diri setelah lebih dulu mementahkan
pengejaran yang dilakukan Shigero Momochi.
Kelihatan seorang ninja melarikan diri dan
menghilang bersama kepekatan malam boleh
dikatakan tak dapat ditandingi oleh siapapun.
Di lereng bukit sebelah Selatan ninja yang
telah membunuh Ketua Perguruan Emerarudo
itu menyelinap ke balik sebatang pohon besar.
dia tegak bersandar ke batang pohon. Tangan
kanannya mendekap dada kirinya yang terasa
mendenyut saki. Dada itulah yang sebelumnya
mendapat serangan "Lima Jari Dewa" yang
sempat dilakukan oleh Noboru Kasai. Dalam
gelap ninja membuka pakaian hitamnya.
Jantungnya berdenyut keras ketika dilihatnya
ada lima bintik hitam membekas di dada
kirinya.
"Celaka ….. ! Tanda ini tidak bisa hilang
sekalipun kulitku dikelupas!" Sesaat sang
ninja nampak masgul.
Namun bila dia ingat pada amplop kuning itu,
rasa kawatirnya segera lenyap. Dengan cepat
amplop kuning dikeluarkannya dari balik
pakaiannya. Bagian depan amplop ada tulisan
dalam huruf kanji berbunyi : "Sangat Rahasia.
Risalah Pewarisan Pimpinan Perguruan."
Amplop dibalikkan. Bagian penutup amplop di
sebelah belakang selain diikat dengan benang
juga disegel dengan lak tebal berwarna
merah.
Dengan tangan agak gemetar ninja merobek
penutup amplop. Dari dalam amplop
dikeluarkannya lembaran tebal kertas
berwarna merah.
"Hah?!"
Sang ninja berseru kaget. Sepuluh lembar
kertas merah yang barusan dikeluarkannya
dari dalam amplop dibolak-baliknya.
"Aneh! Mengapa semua kertas ini kosong?
Tak ada tulisan, tak ada apa-apanya! Jangan-
jangan aku tertipu! Siapa yang menipu? Sang
Ketua ….?" Tak mungkin …. !" Seolah-olah tak
percaya ninja memeriksa kembali kertas-
kertas merah itu, melihat ke dalam amplop
kalau-kalau ada kertas lain yang tertinggal.
Kemudian dengan kesal amplop dan kertas
merah itu diremasnya sampai lumat. Setelah
itu sambil memaki panjang pendek amplop
dan kertas merah itu dibantingkannya ke
tanah! "Kurang ajar Benar-benar sialan!" * * *
TIGA PENDEKAR 212 Wiro Sableng tarik kerah
baju tebal-nya tinggi- tinggi. Sesaat
dipandanginya air sungai kecil di hadapannya
yang dalam kegelapan malam seolah-olah
diam tidak mengalir. Barusan dengan susah
payah dia mengumpulkan beberapa potong
kayu. Dalam udara lembab dan dingin begitu
rupa hampir tak mungkin mendapatkan kayu
kering. Dia telah menghabiskan sekotak
geretan untuk membakar kayu menyalakan
api.
Namun sia-sia saja. Sesekali matanya melirik
ke arah sebuah batu di atas mana terbaring
seekor kelinci dalam keadaan terikat keempat
kakinya..
Dari saku baju tebalnya Wiro keluarkan botol
kaleng berisi sake. Setelah meneguk minuman
keras ini dua kali dia merasa tubuhnya
menjadi hangat.
"Badanku hangat tapi perutku tetap saja
keroncongan." Dia memandang lagi pada
kelinci di atas batu.
"lngin sekali aku cepat-cepat merasakan
bagaimana lezatnya daging kelinci Jepang.
Tapi api sialan tak mau hidup …" Apa aku
harus mempergunakan senjata mustika itu
hanya untuk menyalakan api?" Wiro
garukgaruk kepala.
"Kelihatannya memang tak ada jalan lain …."
Murid Sinto gendeng akhirnya keluarkan
Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik
pakaiannya. Dia juga mengeluarkan batu
hitam pasangan senjata sakti itu.
Ketika cahaya yang memancar,dari dua mata
kapak menerangi tempat itu, sepasang mata
yang sejak tadi mengintip dibalik kerapatan
serumpunan batangbatang bambu membesar
karena terkejut dan juga kagum. Dalam hati
orang yang bersembunyi itu berkata.
"Belum pernah aku melihat senjata seperti itu.
Dari sinarnya saja jelas senjata itu memiliki
hawa sakti luar biasa. Pasti inilah senjata
yang dipakainya untuk membunuh Arashi si
Nenek Badai. Pemuda dari negeri ribuan pulau
itu … Aku harus merampas senjata itu. Batu
hitamnya sekalian … !"
Di depan tumpukan kayu yang disilang-silang
di tanah Wiro gosokkan keras-keras salah
satu mata kapak dengan batu hitam di tangan
kanannya. Bersamaan dengan itu dia
kerahkan tenaga dalamnya.
Wussss!
Lidah api menyambar ke arah tumpukan kayu.
Krekkkk … Terdengar suara berkeretakan.
Kayu-kayu lembab itu berubah menjadi
merah. Sesaat kemudian apipun berkobar.
Ketika api padam, kayu-kayu yang tadinya
basah telah berubah menjadi arang merah.
Di balik batang-batang bambu, orang yang
sejak tadi mengintip berdecak dalam hati.
"Benar-benar luar biasa. Bagaimanapun aku
harus dapatkan senjata itu. Batu hitamnya
juga….." Lalu tanpa suara dia bergeser dari
balik batang-batang bambu itu.
Wiro simpan kembali kapak sakti dan batu
hitam.
Lalu dia melangkah ke arah kelinci. Binatang
ini mencicit keras seolah tahu kalau dirinya
sebentar lagi akan dipesiangi.
"Ya … ya sekarang kau boleh mencicit,
berteriak sesukamu. Asal saja jangan sudah
masuk ke perutku kau nanti masih mencicit!"
Wiro mulai membuka ikatan pada keempat
kaki binatang itu. Kalau tadi kelinci ini
mencicit keras terus menerus, kini tiba-tiba
diam.
"Eh, kenapa diam … ? ujar Wiro. Dilihatnya
sepasang mata kelinci itu memandang sayu
dan sesekali berkedip-kedip. Telinganya
bergerak-gerak, begitu juga cuping hidungnya.
Dari mulutnya yang bergigi-gigi putih kecil
terdengar suara desah halus.
Tiba-tiba saja ada perasaan tidak enak dalam
diri Pendekar 212. "Aneh, mengapa mendadak
aku jadi tidak tega membunuh binatang ini
…." Wiro perhatikan lagi kelinci itu. Masih
memandang padanya dengan mata sayu dan
berkedip.
"Semakin kupandang semakin kasihan aku
jadinya … Ah sudahlah. Biar kulepas saja …"
Wiro membungkuk, letakkan kelinci itu di
tanah lalu berkata.
"Kelinci, kau tentu punya emak, punya bapak.
Punya saudara punya teman dan hutan
belantara. Kau boleh pergi. Aku tak jadi
menyantanmu. Walau perutku keroncongan
kurasa aku masih bisa menahan lapar..Kau
bebas. Pergilah …."
Setelah dilepas, kelinci itu tidak segera lari.
Seolah-olah berterima kasih dia berpaling ke
arah Wiro, mencicit beberapa kali sambil
mengedipkan kedua matanya.
"Ya … ya.. . Pergi sana. .." kata Wiro pula.
Binatang itu mencicit lagi dan mengedip dua
kali lalu membuat lompatan tinggi. Namun
dia tak pernah masuk lagi ke dalam hutan,
bahkan setelah melompat tak sempat lagi
menginjakkan kaki-kakinya di tanah.
Sebuah benda melesat dari kegelapan,
menyambar ke kepala kelinci itu. Binatang ini
mencicit keras lalu jatuh terhempas ke tanah.
"Astaga!" Wiro berseru dan cepat melompat.
Kelinci diambilnya dari tanah. Sepasang mata
Pendekar 212 melotot besar. Sebuah besi
lancip lebih besar dari lidi . menancap tepat di
kening kelinci. Pada besi ini menempel sebuah
bendera berbentuk segi tiga berwarna merah.
Di bagian tengah bendera, ada tulisan Kanji
warna hitam berbunyi "Bendera Darah."
"Binatang malang …." desis Wiro. "Aku segaja
melepaskanmu. Sekarang ternyata ada orang
jahat membunuhmu. Kalau memang nasibmu
seperti ini kan lebih baik kau kupanggang dan
kusantap saja tadi …"
Wiro garuk-garuk kepalanya dengan tangan
kiri. Lalu diusapnya kepala kelinci itu
beberapa kali. Darah yang mengucur dari
kepala kelinci mengotori jari-jari tangannya.
Perlahan-lahan Wiro letakkan binatang itu di
tanah lalu dia tegak kembali, memandang
berkeliling.
"Orang jahat! Siapa kau yang tega-teganya
membunuh kelinciku?!" Aku tahu kau masih
berada di sekitar sini! Perlihatkan dirimu!"
Dalam keheningan dan dinginnya udara
malam tiba-tiba terdengar suara tertawa.
Suara tawa ini melengking keras tapi pendek.
"Kurang ajar …" kertak Pendekar 212. Dia jelas
mendegar suara tertawa itu. Keras dan dekat
tapi anehnya dia tidak bisa mengetahui dari
arah mana datangnya.
"Orang itu sepertinya memiliki ilmu
memindahkan suara!" pikir Wiro.
"Hemmm …. Kau tidak berani unjukkan diri
ya?!
Apa kau seorang pengecut atau mungkin
tampangmu jelek seperti donburi basi?!"
Tetap hening. Kali ini sepertinya juga tak ada
suara jawaban. Tapi tidak. Karena tiba-tiba
jawaban yang diterima Wiro adalah
melesatnya sebuah benda merah ke arah kaki
kirinya. Sang pendekar cepat melompat.
Seeettttl Cleeeppp!
Breettt!
Sebuah bendera merah menancap di tanah,
tepat di atas mana tadi kaki Wiro meminjak.
Gerakan Wiro mengelak tadi cepat sekali.
Namun sebelum menancap di tanah besi
bendera masih sempat merobek ujung kaki
celana putihnya!
"Bendera aneh itu lagi!" desis Wiro dengan
mata mendelik.
"Si pelempar jelas sengaja mencari tantaran.
Bukan cuma mau membunuh kelinci tapi juga
mau membunuh diriku!"
Sambil mundur mendekati sebuah pohon besar
Wiro memandang berkeliling. Dia sengaja
berdiri di depan pohon untuk mempersempit
ruang serang musuh yang tersembunyi.
"Pembokong gelap! Apa kau masih tidak mau
memperlihatkan diri?!" teriak Wiro.
Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba
setttt…. setttt Dua buah Bendera Darah
melesat dalam gelapnya malam den
menancap di batang pohon, hanya seujung
kuku jari dari telinga kiri kanan sang
pendekar! Walau udara dingin tapi murid Sinto
Gendeng sempat keluarkan keringat dan
tengkuknya jadi merinding.
Dia sadar kalau pun dia masih berdiri di
sekitar situ, cepat atau lambat dirinya bakal
jadi tancapan bendera aneh itu. Walau besi
bendera tidak mengandung racun tapi daya
bunuhnya tidak bisa dibuat main.
Memikir sampai di situ Wiro keluarkan seruan
keras.
Kedua kakinya menjejak tanah sambil
kerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuhnya melesat ke atas.
Settttt …. setttt …. setttt …. sefflt!
Empat Bendera Darah dengan sebat mengikuti
gerakan Wiro. Satu mengarah perut, satu
mencari sasaran di basian dada dan dua
menyambar ke arah kepala.
"Kurang ajar!" rutuk Pendekar 212.
"Si pembokong benar-benar inginkan
nyawaku!
Siapa dia … Kaki tangan orang-orang lembah
Hozu?' (Mengenai silang sengketa Pendekar
212 dengan orangorang Lembah Hozu, ikuti
serial Wiro Sableng berjudul "Pendekar
Gunung Fuji")
Masih melayang di udara Wiro membuat
gerakan jungkir balik. Ke dua tangannya
serentak lepaskan pukulan tangan kosong
yang menghamburkan angin deras.
Empat Beqaera Darah bukan saja berhasil
dihindar tap!
malah dibuat mental. Tetapi murid Sinto
Gendeng jadi tersentak kaget ketika melihat
apa yang terjadi. Empat buah Bendera Darah
yang kena hantaman pukulan tangan
kosongnya tadi tiba-tiba berbalik. Dua
diantaranya kelihatan robek. Empat bendera
merah Empat bendera merah ini berkibar
aneh. Lalu seperti didorong oleh kekuatan
hebat, empat bendera itu melesat berpencaran
dan kembali menyerang Wiro di empat
sasaran!.
"Kurang ajar! ini bukan main-main!" Wiro
Cepat melompat kebalik serumpun semak
belukar. Sambil melomat dia lepaskan pukulan
"Tameng Sakti Menerpa Hujan".
Dua buah Bendera Darah robek dan menancap
pada rerumpunan semak belukar. Satu
diantaranya malah tepat di depan hidung
Pendekar 212 hingga kembali murid Sinto
Gendeng keluarkan keringat dingin.
Yang dua lagi berhsrsil dihantam luruh ke
tanah.
Hebatnya meski jatuh namun dua bendera ini
tidak tergeletak begitu saja melainkan jatuh
dengan tetap menancap di tanah!.
Di balik kerapatan batang-batang bambu di
tepi sungai terdengar suara orang berdesah.
Sepasang telinga Wiro menangkap suara
desah itu. Tanpa Pikir panjang dia segera
menghantam ke arah Pohon bambu.
Pukulan yang dilepaskannya kali ini adalah
dalam jurus "segulung ombak menerpa
karang." Terdengar suara seperti ombak besar
bergulung di Pantai. Lalu wusss…. braaakkkk
….. ! Rumpunan batang bambu di depan sana
laksana dihantam topan, hancur rambas
berantakan.
"Kosong! Tak ada siapa-siapa di tempat itu!"
seru Wiro dengan pandangan kaget.
Baru saja dia berseru demikian dan belum
habis rasa kagetnya tiba-tiba dari atas
terdengar Suara seekor berkesiuran.
"Bendera keparat!" teriak Wiro.
Tiga buah Bendera Darah melesat dengan
kecepatan setan dari atas pohon besar.
Membuat dia lagi-lagi dipaksa jungkir balik
selamatkan diri.
Cleeppp!
Bendera Darah pertama menancap amblas ke
dalam tanah.
Kraakkkk!
Bendera Darah ke dua menghantam batu kali
dan menancap di batu itu!.
"Gila! Kalau benar benda itu bisa menancap di
batu, kekuatannya benar-benar luar biasa!
Batok kepala pasti tembus!"
Namun Wiro tidak sempat berpikir panjang.
Dia merasa lututnya goyah ketika menyadari
Bendera Darah ketiga menyusup di bahunya,
merobek baju tebalnya lalu ada rasa sakit
dikulit bahu sebelah kiri. Pertanda ada daging
bahunya yang kena ditembus besi bendera.
Rasa sakit mula-mula tidak terasa karena
saking cepatnya gerakan besi itu menembus.
Wiro ulurkan tangan kanannya ke bahu kiri
dan cabut bendera yang menancap di bahunya
itu sementara baju tebalnya kelihatan merah
oleh darah yang keluar dari luka.
Sambil menggenggam bendera merah yang
dicabutnya dari bahu kiri Wiro mendongak ke
atas. Dalam kegelapan samar-samar
dilihatnya satu sosok aneh tegak di cabang
terendah.
"Mahluk apa di atas pohon pikir Wiro.
"Sosoknya seperti manusia…. tapi tak jelas
kepala tak kelihatan mukanya …."
"Setan alas di atas pohon! Apa kau tak berani
turun ke tanah?!"
Sosok di atas pohon keluarkan tawa
melengking keras tapi pendek. Tubuhnya
kemudian tampak melesat ke atas lalu
berputar jungkir balik. Di lain kejap dia
melompat ke bawah, menukik laksana seekor
alap-alap menyambar mangsanya.
"Makan benderamu sendiri!" bentak Wiro.
Tangan kanannya yang memegang bendera
merah melempar ke atas. Bendera Darah
menderu ke arah Ubun-ubun kepala sosok
yang saat itu melayang sebat ke bawah.
"Huh!"
Orang yang melayang turun keluarkan suara
terkejut ketika melihat bendera miliknya
sendiri kini dilempar orang ke arah batok
kepalanya. Dalam kejutnya dia bertindak
tenang sekali. Sambil miringkan tubuh ke kiri
dia malah sengaja menyambut Serangan
bendera dengan dada kirinya. Cleppp! Bendera
itu menyusup dan lenyap di tubuhnya seolah
seekor burung yang melesat masuk ke
sarangnya!
Rasa heran Pendekar 212 berubah jadi
terkejut besar ketika sesaat kemudian dia
melihat sosok Yang tegak di hadapannya.
"Gila! Seumur hidup baru sekali ini aku
melihat mahluk macam begini!" * * *
EMPAT Di hadapan Wiro saat itu tegak
sesosok tubuh yang mulai dari kaki sampai ke
kepala tertutup oleh puluhan, mungkin
ratusan bendera-bendera kecil berwarna
merah. Dari wajahnya hanya sepasang
matanya saja yang kelihatan. Memandang
tajam tak berkesip pada Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Aneh, mahluk ini terbungkus bendem kaki
tangan, badan sampai kepala. Apakah dia
tidakmengenakan pakaian? Tak bisa kuterka
apa dia lelaki atau perempuan …."
Diam-diam Wiro mencium seperti ada bau
harum muncul di tempat itu bersamaan
dengan kemunculan mahluk aneh ini.
Untuk sesaat lamanya dua orang itu hanya
berdiri . tegak saling pandang tanpa bicara.
"Hemmm …" Murid Sinto Gendeng akhirnya
bergumam.
"Rupanya aku berhadapan dengan hantu
penjual bendera!"
Diejek seperti itu sepasang mata orang yang
bekujur tubuh dan mukanya tertutup bendera-
bendera merah kelihatan membesar. Walau
jelas marah namun dia tetap diam, tak
membuat gerakan apa-apa.
"Tukang bendera! Kau membunuh kelinci itu,
Kau juga menyerang dengan maksud
membunuh. Padahal antara kita tidak ada
silang sengketa. Bertemu pun baru kali ini!
Bahkan tampangmu yang tersembunyi dibalik
kain-kain popok merah itu tak pernah
kulihat!"
Dari tenggorokan orang dl hadapan Wiro
terdengar suara menggeru. Lalu dia
membentak.
"Orang asing! Lagakmu sombong!
Penghinaanmu keliwatan. Kau boleh
menghina diriku! Tapi menghina bendera-
benderaku sebagai kain popok tak dapat
kuterima! Penghinaan atas Bendera Darah
berarti mati!"
Wiro segara saja maklum kalau mahluk yang
ada dihadapannya itu tidak bicara dengan
suara aslinya tapi mempergunakan suara
perut. Dia lantas ingat Akiko Bessho, murid
mendiang Hiroto Yamazaki dari Gunung Fuji
yang juga ahli mempergunakan ilmu suara
dari perut. Wiro sendiri sempat belajar cara
bicara dengan perut itu dari Akiko walaupun
belum tuntas. Maka diapun rubah suaranya.
kerahkan tenaga dalam ke perut dan bicara
menirukan suara seperti kambing.
"Oh, jadi yang kukira kain popok itu adalah
Bendera Darah! Pantas ganas amat!" Mahluk
yang terbungkus bendera jadi marah dan juga
kaget. Marah karena lagi-lagi Wiro menghina
Bendera Darahnya.
Terkejut karena tidak menyangka pemuda
asing itu juga mampu menggunakan suara
perut malah meniru suara kambing!
"Dengar …. Sebelum kubunuh katakan dulu
dari mana kau belajar bicara dengan suara
perut itu?!"
"Eh, perlu apa kau bertanya? Aku mau belajar
dari hantu atau jin atau dari siapa saia apa
urusanmu?!"
"Hemmm begitu …… Berarti kau mempercepat
saat kematianmu!" Mahluk bendera gerakkan
kedua tangannya.
"Tunggu dulu!" seru Pendekar 212.
"Katakan mengapa kau ingin membunuhku!"
"Sekedar untuk menebus nyawa Nenek Arashi
yang kau bunuh beberapa waktu lalu …" Wiro
terkejut.
"Apa hubunganmu dengan nenek jahat itu?!"
tanya Wiro.
"Kau bisa tanyakan sendiri padanya nanti di
akhirat ltupun kalau kau bisa ketemu dia…!"
Orang itu menjawab lalu tertawa keras.
Dua tangannya bergerak. Terdengar suara
settt….
settt…. Empat kali berturut-turut. Wiro hampir
tak melihat kapan orang itu mencabut
bendera-bendera kecil di tubuhnya tahu-tahu
empat Bendera Darah melesat ke arahnya!
Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras.
Tubuhnya berkelebat lenyap. Bersamaan
dengan itu dia menghantam ke depan dengan
tangan kiri. Lepaskan pukulan "kunyuk
melempar buah." Dua buah Bendera Darah
mental dan robek lalu menancap di tanah. Dua
lainnya terus meluncur mengejar ke arah
mana perginya sasaran.
Wiro kertakkan gerahamnya ketika melihat
dua Bendera Darah secara luar biasa mampu
mengejar dan menyambar ke arah perut dan
dadanya.
Trang …. bang …. !
Terdengar dua kali suara berdentrangan. Dua
kali berturut-turut bunga api memancar
terang dalam kegelapan malam.
Lalu wusss …. wusss!
Dua Bendera Darah terbakar di udara. Begitu
punah dua batang besi kecil yang jadi tiang
bendera luruh ke tanah. Sekali ini tak mampu
menancap seperti sebelumnya!
Mahluk kendera terkesiap kaget. Dua matanya
memandang tak berkesip ke arah tangan
kanan Wiro dimana tergenggam batu hitam
empat persegi panjang pasangan Kagsak
Maut Naga Geni 212. Dengan benda inilah
rupanya tadi Wiro menangkis serangan dua
dari empat Bendera Darah. Wiro sendiri tidak
menyangka kalau batu api itu bukan saja
sanggup menangkis serangan Bendera Darah
tapi waktu bentrokan tadi sekaligus membakar
kain bendera!
"Batu itu. .. " Manusia bendera membatin.
"Lalu kapaknya tadi … Aku harus
mendapatkan nya! Musti!"
"Gaijn….Aku mungkin bisa melupakan
pembunuhan atas diri Nenek Arashi yang kau
lakukan lalu membebaskanmu dari kematian.
Asal kau menerima syarat yang bakal aku
katakan …" Wiro menyeringai.
"Setan alas ini rupanya punya rencana
tersembunyi …" katanya dalam hati. Lalu,
"Tadinya aku memang sudah siap-siap
menghadapi kematian. Sekarang kau bilang
mau membebaskan diriku. Coba katakan apa
syaratmu itu …"
"Serahkan batu hitam itu. Juga senjata
berbentuk kapak yang kau simpan di balik
pakaian…"
Wiro sesaat jadi melongo. Lalu dia tertawa
gelakgelak.
"Aku merasa tidak ada yang lucu. Mengapa
harus tertawa segala? Kau harus bersyukur
tak jadi kubunuh!" Wiro tersenyum lalu
berkata.
"Memang tidak ada yang lucu. Tadinya kau
kukira seorang penjua! bendera. Ternyata kau
adalah seorang perampok tengik yang ingin
barang orang lain!"
"Kau memutuskan untuk tidak mau
menyerahkan dua barang yang kuminta itu?"
nada suara manusia bendera mengandung
ancaman.
"Kira-kira begitu …" jawab Wiro seenaknya.
"Berarti kematian sudah diambang pintu.
Kasihan, datang dari jauh hanya untuk
mengantar nyarwa.
Mayatmu pun tak akan ada yang mengurus!"
"Kalau kau kira aku memang akan mati
ditanganmu, apakah kau hendak titip salam
buat Nenek Arashi di akhirat?!" ejek Wiro pula.
Manusia bendera berteriak marah. Tubuhnya
berkelebat.
Tangannya kiri kanan beqerak. Sepuluh
bendera yang menempel di tubuhnya
berkelebat. Wiro tak tinggal diam. Batu hlam
dibabatkan ke depan sedang tangan kiri
lepaskan dua pukulan sakit berturut-turut.
Bummmm!
Bummmm!
Manusia bendera tampak terhuyung-huyung
tapi hanya sebentar. Belasan bendera yang
menempel menutupi badannya tersibak akibat
pukulan Wiro tadi cepat-cepat dirapikannya.
Memandang ke depan empat buah Bendera
Darah dilihatnya musnah terbabakar. Dua
menancap di pohon, dua lenyap dalam
kegelapan malam tapi dua buah lagi walau
tidak tepat berhasil menancap di tubuh
lawannya!
Wiro menyeringai kesakitan. Sebuah Bendera
Darah menancap menyisi pinggiran paha
kirinya. Darah mengucur membasahi kaki
celana putih yang dikenakannya.
Bendera Darah ke dua menyambar rusuk
kanan, menyusup dekat tulang iga sebelah
luar!.
"Aku masih mau memberi kesempatan agar
kau berubah pikiranl Bagaimana?!" Mahluk
bendera berkata.
"Mahluk edan! Biar aku kembalikan dulu dua
benderamu ini!" jawab Wiro. Dengan cepat dia
cabut dua bendera yang menancap di
tubuhnya. Namun sebelum dia sempat
melemparkan senjata itu ke arah pemiliknya
tiba-tiba manusia bendera gerakkan
badannya.
Terjadilah hal yang luar biasa. Tiga puluh
Bendera Darah yang menempel di badannya
melesat.
Dengan mengeluarkan suara menderu laksana
topan menggidikkan bendera-bendera itu
menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Celaka! Aku tak punya kesempatan mengelak
atau menangkis!" Wiro terpaksa Iepaskan dua
bendera yang dipegangnya lalu pergunakan
batu api untuk menangkis sebisanya.
Gerakannya untuk mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 tidak dapat tidak tetap akan
kedahuluan oleh serangan tiga puluh Bendera
Darah yang menyerbu laksana topan itu!
"Ah, aku benar-benar mati di tangannya!" kata
Wiro.
Dia masih berusaha jatuhkan diri walau sadar
hal ini adalah sia-sia saja sementara puluhan
Bendera Darah menderu ganas.
Tiba-tiba satu teriakan keras menggema dari
arah sungai kecil.
"Yori! Jangan bunuh dia!" Mahluk bendera
tersentak kaget.
Saal itu di pertengahan sungai kelihatan
seorang gadis berkimono biru berdiri di atas
sebuah perahu kecil yang meluncur dengan
cepat. Sebelum ujung perahu menyentuh
pinggiran sungai gadis ini sudah melesat
sambil cabut sebilah katana dan siap
menyerbu kirimkan tangkisan untuk
membendung serangan puluhan Bendera
Darah walau dia maklum bahwa tidak
seluruhnya bendera-bendera maut itu bisa
diruntuhkannya.
Paling tidak sebagian besar masih akan
menancap di tubuh Wiro.
"Ah dia …!" kata mahluk bendera dalam hati.
Kedua matanya bersinar seperti mau marah.
Namun tiba-tiba saja dia menyentakkan
kepala dan melambaikan kedua tangannya ke
belakang seraya berseru. "Bendera kembali!"
Terjadilah hal yang luar biasa. Puluhan
Bendera Darah yang menyerbu ke arah Wiro
tiba-tiba tegak dan berkibar. Lalu secara aneh
bendera-bendera ini berputar. Seolah-olah
ditarik oleh kekuatan besi berani yang hebat,
semua bendera melesat berbalik dan
menyusup di antara puluhan bendera yang
menempel di tubuh manusia bendera.
Gadis yang melompat dari atas perahu
menginjakkan ke dua kakinya di tanah. Di saat
yang sama manusia bendera membungkuk
dalam-dalam sampai tiga kali lalu putar
tubuhnya.
"Yori! Tunggu!" seru si gadis berkimono biru
sambil berusaha mengejar.
Tapi si manusia bendera itu sudah lenyap di
telan kegelapan malam.
Wiro menarik nafas lega dan berpaling ke kiri.
"Sahabatku nona Akiko Bessho. Syukur kau
datang … !"
"Kau tak apa-apa?" tanya gadis kimono biru
sambil matanya meneliti sekujur tubuh
Pendekar 212.
"Ah, kau terluka di tiga tempat. Bahu, paha,
dan rusuk …." Besi bendera itu tidak beracun.
Tapi lukamu cepat harus dirawat. Lewat dari
tiga hari luka itu akan membusuk …"
"Dan aku bisa mati …?"
Si gadis menggeleng. "Mati ya tidak. Cuma
kau mungkin akan catat seumur hidup. Salah
satu tangan atau kakimu bisa-bisa lumpuh
…."
"Bendera-bendera merah kurang ajar. Kau tadi
kudengar menyebut nama mahluk aneh itu.
Dia manusia atau apa … ? Lelaki atau
perempuan ….?"
"Maafkan aku. Aku tak bisa menerangkan
siapa dirinya … !"
"Jadi kau sebenarnya kenal Siapa dia
adanya?" tanya Wiro.
"Lupakan dia, Yang jelas kau selamat Aku
senang bisa bertemu kau di sini …."
"Aku juga … Tapi aku merasa aneh. Kita
bersahabat.
Dan kau ternyata kurang percaya padaku. Tak
mau menceritakan siapa adanya manusia
aneh tadi.
Lalu kulihat dia seperti takut padamu dan
cepat-cepat berkelebat pergi … ."
"Sudahlah, lupakan saja mahluk yang kau
anggap aneh itu," kata Akiko Bessho. Lalu
dari sebuah kantong kain yang dikeluarkannya
dari balik bajunya Akiko Bessho mengambil
sebutir obat berwarna merah dan diberikannya
pada Wiro.
"Lekas telan. Lukamu pasti sembuh dalam
tempo satu hari …." Wiro memasukkan obat
itu ke dalam mulutnya. Mendadak saja dia
seperti mau muntah. Obat yang dimulutnya
hampir melompat keluar.
"Tolol! Kau seperti anak kecil saja! Jangan
dihisap. Itu bulan gula-gula! Langsung telan!"
"Obat apa ini! Sepahit tahi setan!" teriak Wiro.
"Ngacokl Apa kau sudah pernah makan
kotoran setan?!" ujar Akiko pula menahan
tawa. Wiro cepat telan obat dalam mulutnya.
Begitu obat pahit lewat ditenggorokannya dia
menarik nafas lega.
"Terima kasih Akiko," kata Wiro.
"Coba ceritakan bagaimana kau berada di
tempat ini. Bukankah kita janji bertemu bulan
purnama di muka di desa Kitano di . . kaki
gunung Mitaka? Kau sengaja mencariku.
Kangen atau bagaimana ….?" Kata-kata
Pendekar 212 itu membuat wajah Akiko
Bessho menjadi bersemu merah. Wiro tertawa
lebar dia menarik tangan Akiko mengajaknya
duduk dekat perapian.
"Aku dalam perjalanan ke Kioto. Seorang
sahabat mendiang Sensei meninggal dunia.
Kematiannya tidak wajar. Dibunuh oleh
ninja…:"
"Ninja…"desis Wiro.
"Aku tidak mengerti bagaimana ada manusia
atau kelompok manusia seperti mereka.
Melakukan apa saja demi uang! Bahkan
membunuh bayi sekalipun mereka tega!"
"Mereka memang ganas dan kejam. Lebih
kejam dari orang-orang Lembah Hozu yang
pernah kita. hadapi dulu …."
"Heran, mengapa Kaisarmu tidak menumpas
mereka"
"Sulit. Karena orang-orang atau pejabat-
pejabat tinggi sendiri banyak mempergunakan
tenaga mereka.
Para samurai tak sanggup menumpas mereka.
Selain kepandaian pendekar samurai jauh
dibawah para ninja, juga adanya pejabat-
pejabat tinggi tadi yang tetap menginginkan
adanya ninja baik untuk kepentingan usaha
dagang mereka, jabatan maupun keamanan."
"Sebetulnya akupun tadi dalam perjalanan
menuju Kioto …." kata Wiro pula.
"Kalau kau memang mau pergi sama-sama,
tentu saja aku tidak keberatan. Tapi ada
syarat! Jangan mencari perkara dan berbuat
yang aneh-aneh. Aku ke sana untuk melayat,
bukan untuk bersenang- senang …." Wiro
tersenyum. Sambil garuk kepala dia
menjawab.
"Bagiku, bisa pergi sama-sama tidak
merupakan kesenangan tersendiri..!'
"KaIau begitu ayo kita berangkat sekarang.
Kioto masih cukup jauh dan kita harus jalan
kaki …"
"Bagaimana dengan ilmu pukulan matahari.
Kau masih terus melatih diri?" tanya Wiro.
Akiko Bessho mengangguk. "Daya hantamku
jauh lebih besar. Aku berterima kasih kau
telah mengajarkan ilmu pukulan sakti itu.
Lalu bagaimana dengan ilmu bicara dari Perut
yang aku ajarkan padamu. Kau sudah bisa?
"Wah, aku harus banyak berlatih. Kadang-
kadang Yang keluar bukan suara manusia tapi
suara binatang…" jawab Wiro hingga Akiko
Bessho tertawa geli.
"Sahabat gurumu yang dibunuh ninja itu,
siapakah dia? " tanya Wiro sambil melangkah
cepat di sa Akiko.
"Namanya Noboru Kasai. Ketua Perguruan
silat Emerarudo" jawab Akiko sambil lebih
mempercepat jalannya (siapa adanya gadis
Jepang bernama Akiko Besso ini harap baca
Serial Wiro Sableng bejudul "Pendekar Gunung
Fuji"). * * *
LIMA Di dalam ruangan itu berkumpul para
pucuk pimpinan Perguruan Emerarudo. Hisao
Matsunaga duduk bersebelahan dengan
Shigero Momochi. Di hadapan mereka duduk
empat orang tua-tua Perguruan mengapit
seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Anak ini
adalah Akira, putera tunggal mendiang Ketua
Noboru Kasai.
Keheningan menggantung beberapa lamanya.
Hisao Matsunaga mengusap dadanya
beberapa kali lalu terdengar dia batuk-batuk.
"Wakil Ketua, kau agak kurang sehat rupanya
… ?
tanya seorang tua sesepuh Perguruan yang
duduk di hadapan Hisao.
"Mungkin masuk angin. Sehabis berjalan jauh
ke Kioto dua hari lalu …" jawab Hisao
Matsunaga sambil mengusap dadanya lalu
menarik nafas panjang. Dia melirik pada
Shigero Momochi yang duduk seperti
terkantukkantuk di sampingnya. "Orang ini
pasti habis meneguk minuman keras lagi …"
kata Hisao dalam hati. Lalu dia memandang
pada Akira Kasai sesaat dan berkata.
"Akira-san …Kami sengaja mengikut sertakan
kau dalam pembicaraan penting ini karena
sebagai putera mendiang Ketua Perguruan
kami menganggap kau harus tahu akan
segala pembicaraan maupun rencana
Perguruan …"
Akira Kasai membungkuk dalam dalam lalu
menjawab.
"Saya berterima kasih atas kehormatan ini!"
"Seperti kita ketahui dua hari dari sekarang
jenazah Ketua Noboru Kasai akan
diperabukan," kata Hisao meneruskan
ucapannya tadi.
"Sesuai ketentuan Perguruan, sebelum hal itu
dilakukan sudah harus ditentukan dan
diumumkan siapa pengganti beliau yang akan
menjabat sebagal Ketua Perguruan. Sejak
puluhan tahun silam sudah ada ketentuan
bahwa seorang Ketua membuat semacam
surat warisan di dalam mana dia
menyebutkan siapa penggantinya jika karena
satu dan lain hal dia tidak lagi bisa
memegang jabatan sebagal Ketua. Apapun isi
surat warisan itu atau siapapun yang ditunjuk
menjadi penggantl tidak ada seorangpun yang
boleh membantah.
Semua harus tunduk dengan isi surat warisan.
Aku dan Shigero Momochi sudah memeriksa di
semua tempat termasuk Ruangan Rahasia
Perguruan dan kamar pribadi mendiang Ketua.
Namun surat itu tak ditemukan.
Kita semua tahu, malam itu tiga orang ninja
menyerbu ke sini. Mereka bukan saja berniat
membunuh Ketua tapi dari penyelidikan
ternyata mereka juga mencurl surat penting
itu. Walau yang dua terbunuh, satu-satunya
yang melarikan dirl agaknya telah berhasil
mencuri dan melarikan surat itu. Waktu kita
hanya sedikit Kurang dari dua hari. Dalam
waktu yang sangat singkat itu kita harus
menemukan surat itu. ..!"
Shigem Momochi yang duduk seperti
terkantukkantuk dikejutkan oleh pertanyaan
Hisao Matsunaga.
"Shigero, apakah sudah ada kabar dari
orangorang kita yang kau suruh menghubungi
para Ketua Ninja ….?!" Shigero Momochi usap
mukanya.
"Maafkan, aku kurang mendengar
pertanyaanmu tadi Hisao …"
"Kau kelihatan sakit atau mengantuk Shigero?
Tanya Hisao berusaha menahan jengkelnya.
"Dalam urusan penting begini rupa bagaimana
mungkin dia tidak acuh dan malah
mengantuk?!" Seorang tua sesepuh Perguruan
membuka mulut.
"Wakil Ketua Hisao Matsunaga tadi
menanyakan apa sudah ada kabar dari orang-
orang yang disuruh untuk menghubungi para
Ketua Ninja …. ?"
"Oh itu. .." Shigero usap lagi mukanya.
"Belum ….belum" katanya sambil menggeleng.
"Mereka belum kembali. …"
Hisao Matsunaga menarik nafas dalam.
"Kalau sampai saat terakhir jenazah
diperabukan surat itu belum ditemukan dan
Perguruan belum mengangkat Ketua yang
baru, apa yang harus kita lakukan?"
Salah seorang tua yang duduk di sebelah
Akira Kasai membungkuk lalu menjawab.
"Menurut aturan, walau ini tidak pernah
terjadi sebelumnya, jabatan Ketua sementara
dipegang oleh istri atau putra mendiang
Ketua. Karena mendiang Ketua tidak punya
istri maka jabatan itu dipercayakan pada
puteranya … !" Semua mata ditujukan pada
Akira Kasai.
"Aku tidak pernah melihat aturan itu secara
tertulis," tiba-tiba Shigero Momochi membuka
mulut.
"Dan aku merasa aturan itu tidak benar.
Perguruan bukan Kerajaan dimana tahta atau
pucuk pimpinan diserahkan pada seorang
putera jika sang raja meninggal. Aku lebih
suka jika tanggung jawab Perguruan untuk
sementara berada di tangan kelompok
pimpinan …"
Sesaat keadaan di tempat itu menjadi hening.
Tiba-tiba Akira Kasai membungkuk.
"Akira-san, kau hendak mengatakan sesuatu'"
tanya Hisao Matsunaga.
"Kalau diperkenankan paman Wakil Ketua…"
jawab anak lelaki itu.
"Kedudukanmu sama dengan kami. Jadi kau
berhak bicara," kata Hisao Matsunaga sambil
senyum.
"Kau tak usah malu apalagi merasa takut.
Bicaralah …."
Setelah membungkuk sekali lagi maka anak
itupun mulai bicara.
"Maafkan saya karena baru saat ini
menyampaikan apa yang saya ketahui…. ini
menyangkut surat warisan atau surat
penunjukan siapa yang jadi pengganti
mendiang Ayah. Surat itu ada di Puri Sanzen.
Disimpan oleh seorang pendeta bernama
Komo. .."
Semua orang yang ada di situ tentu saja jadi
terkejut karena tidak menyangka akan
mendengar keterangan itu dari mulut Akira
Kasai.
"Akira san …" kata Shigero Momochi dengan
nada penasaran. "Kenapa baru sekarang kau
bilang? Padahal kau tahu kita semua sudah
kelabakan mencari surat itu!"
"Harap maafkan. Saya tak berani bicara
karena takut kesalahan dan para orang tua di
sini menganggap diri saya lancang … ."
Hampir saja Shigero Momochi hendak
mendamprat anak itu. Tapi Hisao Matsunaga
cepat berkata.
"Bagaimana ceritanya surat itu berada di
tangan pendeta Komo dan bagaimana kau
mengetahui hal itu Akira-san?"
"Sekitar satu bulan lalu Ayah sendiri yang
menyuruh saya mengantarkan surat itu ke
Puri Sanzen dan menyerahkannya pada
pendeta Komo. Agaknya Ayah seperti sudah
punya firasat ada sesuatu yang bakal terjadi
atas dirinya. Menurut pesan Ayah pada
pendeta Komo, surat itu hanya saya yang bisa
mengambil lalu menyerahkannya pada para
Wakil ketua Perguruan …" Shigero Momochi
menggelengkan kepala.
"Sepertinya mendiang Ketua tidak percaya
pada kita semua … Aku merasa malu
diperlakukan seperti itu…" Hisao Matsunaga
batuk beberapa kali sambil usap usap
dadanya. Dia berkata untuk mendinginkan
suasana.
"Aku rasa mendiang Ketua melakukan hal itu
tentu ada sebabnya. Buktinya, kalau dia tidak
berbuat begitu surat penting tersebut pasti
sudah jatuh ketangan ninja!" Walau wajahnya
masih menunjukkan ketidak senangan tapi
Shigero Momochi diam saja.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya salah seorang tua.
"Aku dan beberapa murid Perguruan akan
mengantar putera mendiang ketua ke Puri
Sanzen. Puri itu cukup jauh dari sini. Jika
berangkat malam ini dan berhenti istirahat di
beberapa tempat, baru besok petang akan
kembali. Mengingat pulera Ketua tak bisa
menunggang kuda maka delapan orang akan
bergantian menandunya. Akira-san kau lekas
bersiap-siap. Aku akan mengatur segala
sesuatunya,.."
Hisao Matsunaga segera berdiri. Sebelum
melangkah ke pintu dia berpaling pada
Shigero Momochi.
"Shigero, selama kami pergi semua hal di
perguruan menjadi tanggung jawabmu. Yang
lain-lain supaya membantu termasuk
menyambut para tamu yang datang melayat."
Shigero Momochi diam saja.
Agaknya dia tidak suka akan ucapan Hisao
tadi yang seolah-olah memerintah dan
membuat dia berada dalam kedudukan lebih
rendah.
AKlRA Kasai memandang pada tandu yang
sebentar lagi akan membawanya ke Puri
Sanzen. Saat itulah seorang anak lelaki seusia
Akira dan sama-sama mengenakan kimono
warna merah melangkah mendekati Akira dan
menegur.
"Akira, ku dengar kau mau berangkat ke Puri
Sanzen …" Akira Kasai berpaling. Dia tertawa
lebar ketika melihat siapa dihadapannya.
Keno teman sebaya dan sepermainan.
"Betul Keno, aku harus pergi …"
"Malam-malam begini? Aku kawatir …"
"Aku ditemani paman Wakil Ketua Hisao
Matsunaga. Apa yang harus dikawatirkan?
Wjar Akira pula.
"Akira, aku mimpi buruk. Kau jatuh ke dalam
jurang yang dasarnya penuh dengan batu-
batu merah membara. Aku takut akan terjadi
apa-apa dengan dirimu dalam perjalanan..!"
Akira Kasai tersenyum dan pegang bahu
temannya itu.
"Kau sahabat yang baik. Aku pergi cuma
sebentar. Besok juga sudah kembali … Doakan
saja supaya aku selamat pergi dan kembali!"
"Bagaimana kalau aku ikut bersamamu?"
tanya Keno.
"Tentu saja aku suka. Tapi paman Wakil Ketua
belum tentu mau mengizinkan," jawab Akira.
"Kalau begitu sebelum ada yang melihat biar
aku sembunyi duluan dalam tandu …"
"Heh! Kau benar-benar konyol Keno …."
"Konyol atau apapun katamu pokoknya aku
harus ikut!"
"Kalau kau memaksa terserah saja. Lekas
masuk ke dalam tandu,..!" kata Akira sambil
memandang berkeliling takut ada yang
melihat. * * *
ENAM SEBETULNYA Puri Sanzen terletak tidak
terlalu jauh dari bukit dimana Perguruan
Emerarudo berada. Hanya saja jalan menuju
ke Puri itu sangat sulit, buruk dan berbatu-
batu. Disamping itu pendakian dan penurunan
datang silih berganti hingga rombongan yang
dipimpin oleh Hisao Matsunaga tidak bisa
bergerak cepat.
Menjelang dinihari ketika rombongan bergerak
perlahan dan tertatih-tatih melewati sebuah
pendakian curam, dari puncak pendakian tiba-
tiba muncul tujuh sosok hitam.
"Shinobi!" kata Hisao Matsunaga dengan
suara bergetar.
"Ninja!" teriak beberapa orang anggota
rombongan hampir berbarengan.
"Eh, apa yang terjadi …?" ujar Akira Kasai di
dalam tandu ketika merasakan tandu yang
diusung oleh empat orang anak murid
Perguruan tiba-tiba diturunkan ke tanah. Lalu
mendadak pula terdengar suara beradunya
pedang.
Keno yang berbaring di lantai cepat berdiri
dan enyingkap tabir penutup jendela kecil di
dinding tandu.
Dia mengintai keluar. Suaranya bergetar
ketika berpaling pada Akira dan berkata.
"Rombongan kita diserang ninja, Jumlah
mereka lebih dari lima. Kelihatannya Wakil
Ketua dan anak murid Perguruan berada
dalam keadaan terdesak …"
"Apa yang harus kita bkukan ….?" tanya Akira
Kasai, Tangan kanannya meraba katana
pendek yang tersisip di pinggang. Walau
wajahnya tidak menunjukkan rasa takut tapi
getaran suaranya cukup menjadi pertanda
bahwa anak ini merasa sangat kawatir.
"Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam
itu pasti mengincar dirimu … !"
"Mengincar diriku? Mengapa? Apa salahku
… ?'
"Aku juga tidak tahu. Tapi aku merasa dirimu
dalam bahaya Akira. Lekas kau menyelinap
keluar. Segitu sampai di luar cepat lari ke Puri
Sanzen …"
"Apa maksudmu? Apa yang hendak kau
lakukan?!" tanya Akira.
"Sudah. Waktu kita tidak banyak. Lekas pergi
…" kata Keno. Lalu dipeluknya temannya itu
erat-erat!.
Akira balas memeluk sambil berkata. "Aneh
kau ini Keno. Kau memelukku seperti kita
akan berpisah dan tidak bertemu lagi … !'
"Lekas pergi …. Aku mendengar suara jeritn
wakil Ketua … Dia pasti terluka. Keadaan
benar-benar sangat berbahaya! Larilah! Ambil
jalan rahasia yang kita temukan waktu main-
main di hutan dulu. Kau ingat?!"
Akira mengangguk dengan gerakan kaku.
Keno menggeser pintu dorong tandu lalu
menarik lengan kawannya. Putera mendiang
Noboru Kasai ini mau tak mau akhirnya keluar
juga dari dalam tandu itu.
"Keno…?" ujar Akira.
Tapi Keno sudah menutup pintu dari dalam
tandu.
Akira Kasai memandang berkeliling. Tempat
dia berdiri berada dalam bayang-bayang
gelap pohon besar hingga dirinya tersamar
tidak kelihatan. Kuduknya merinding ketika
melihat bagaimana murid-murid Perguruan
Emerarudo bertahan mati-matian terhadap
serangan yang dilancarkan oleh tujuh orang
ninja.
Seorang ninja berhasil dibunuh, satunya lagi
tergeletak antara sadar dan pingsan. Namun
seluruh rombongan orang-orang Perguruan
Emerarudo sudah bergeletakan jadi mayat,
kecuali Wakil Ketua Hisao Matsunaga.Orang
ini tersungkur di tepi jalan, berusaha
merangkak mencapai tandu.
Akira memutar kepalanya ke arah tandu
dimana Keno berada. Sepasang mata anak ini
terbeliak besar.
Pintu tandu berada dalam keadaan terbuka
lebar. Dari tempat gelap dia berdiri anak ini
dapat melihat sosok tubuh Keno. Matanya
membeliak dan jantungnya seperti hendak
copot ketika melihat bagaimana tubuh Keno
tersandar di tempat duduk tandu. Sebilah
katana menancap di dadanya!
Kalau tak cepat dia menutup mulutnya sendiri
mungkin anak ini sudah berteriak karena
ngeri.
"Keno… Mimpimu …Ternyata kau yang
mendapat celaka. Seharusnya …. seharusnya
aku yang menemui ajal. Keno sahabatku …
Kini aku mengerti. Kau sengaja menyuruhku
pergi. Kau memilih tetap berada dalam tandu.
untuk menipu ninja-ninja jahat itu. Keno …."
Akira Kasai tak kuasa membendung air
matanya. Di sebelah sana dilihatnya Wakil
Ketua Perguruan Emerarudo merangkak di
tanah terbatuk-batuk dan pegangi dada
kirinya. Tiba-tiba empat orang ninja
melompat mengurungnya. Masing-masing
memegang ninjato berlumuran darah!
"Ninja-ninja itu … Mereka pasti membunuh
Paman Hisao. Apa yang harus kulakukan?
Bagaimana aku menolongnya. Paman …"
Tiba-tiba terngiang di telinga Akira ucapan
Keno.
Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu
pasti mengincar dirimu…Aku merasa dirimu
dalam bahaya Akira. Lekas menyelinap keluar.
Begitu sampai di luar cepat lari ke Puri
Sanzen..
"Ninja-ninja itu…apa mereka benar hendak
membunuhku? Mengapa?!" Akira
memperhatikan seorang ninja lagi berkelebat
mengurung Hisao Matsunaga.
"Aku merasa diriku seperti seorang pengecut!
Aku ingin menolongmu Paman Hisao. Tapi
apa dayaku.
Maafkan aku Paman …." Anak itu putar
tubuhnya.
Kraaakkk!
Tak sengaja kaki kiri Akira menginjak
sebatang kayu agak kering hingga
mengeluarkan suara. Lima ninja berpaling ke
arah kegelapan. Juga Paman Hisao
Matsunaga.
Secepat kilat Akira melompat ke balik sebuah
pohon besar lalu menghilang. Lima ninja
berkelebat ke arah tandu lalu ke jurusan
dimana tadi mereka mendengar suara
berderak disertai berkelebatnya satu
bayangan. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Hisao Matsunaga untuk bangkit dan naik ke
punggung seekor kuda lalu menggebrak
binatang ini meninggalkan tempat itu. Lima
ninja saling pandang.
Sesaat kemudian ke limanya serentak
berkelebat ke arah lenyapnya Akira. HlSAO
Matsunaga belum lama memacu kudanya
ketika tiba-tiba dalam kegelapan malam dua
penunggang kuda datang dari jurusan
berlawanan. Karena jalan sempit dan Hisao
Matsunaga agaknya tidak mau menghindar
atau menepi maka dua penunggang kuda
yang datang dari arah depan terpaksa
bersibak dan menepi.
"Orang itu menunggang kuda seperti dikejar
setan!" ujar penunggang kuda di kiri jalan.
Dia berpakai an dan berikat kepala putih serla
berambut gondrong.
Melirik ke kanan dia melihat sebuah jurang
batu dalam kegelapan.
"Gila, sempat kaki kudaku terperosok, amblas
diriku ke dalam jurang itu!"
"Wiro …"
"Ada apa Akiko? Kau kelihatannya seperti
kaget."
"Penunggang kuda yang barusan lewat. Walau
gelap tapi aku masih sempat melihat
wajahnya. Dia Hisao Matsunaga …"
"Siapa manusia bernama naga itu?' tanya
Wiro acuh saja.
"Salah satu dari dua Wakil mendiang Noboru
Kasai, Ketua Perguruan Emerarudo yang
hendak kita layati …"
"Eh, kalau benar berarti ada urusan penting
membuat dia meninggalkan perguruan …"
"Atau tengah dikejar sesuatu …" kata Akiko
pula.
"Aku …. Harap kau tunggu disini. Aku coba
mengejarnya untuk mencari tahu apa yang
terjadi."
"Terserah padamu. Tapi kau harus tahu
menunggu di tempat seperti ini tidak sama
sedapnya dengan menunggu di rumah teh,
ditemani oleh geisha …"
"Aku tak bakal lama!" jawab Akiko lalu cepat
memutar kudanya. Baru saja gadis itu lenyap
Wiro mendadak mendengar suara orang
berlari. Dia berpaling ke kiri. Tampak satu
sosok kecil dalam kegelapan.
Sosok ini menyibak serumpunan semak
belukar di kiri jalan lalu lenyap dalam celah di
antara dua buah batu besar. Pendekar 212
sesaat jadi tercengang.
"Anak kecil dalam rimba belantara malam-
malam begini. Eh, apa ada tuyul di Jepang ini
… ? Tapi kulihat kepalanya tidak botak. Atau
mungkin tuyul Jepang memang pakai rambut
tidak botak seperti di Jawa …"
Memikir sampai di situ Wiro turun dari
kudanya dan melangkah ke arah semak
belukar di mana si anak tadi dilihatnya
lenyap.
Baru saja dia sampai di depan semak belukar
tiba-tiba lima sosok hitam berkelebat. Dua
tegak mendekam di depannya di atas batu
besar di kiri kanan semak-semak tiga lainnya
langsung mengurung di samping dan
belakang.
"Ninja!"
Wiro angkat tangan kanannya sambil tertawa
lebar untuk menunjukkan sikap bersahabat.
Tapi lima ninja pentang sikap garang. Di
samping itu mereka merasa heran tidak
mengira akan menemukan seorang pemuda
asing di tempat itu. Mereka bicara cepat satu
sama lain. Lalu yang berada di atas batu
sebelah kanan membentak.
"Pemuda asing, dimana kau sembunyikan
anak itu?!"
"Anak, anak apa?balik bertanya Pendekar 212.
"Anak lelaki pakai kimono merah!" kata ninja
di samping kanan.
"Maksudmu tuyul gondrong itu … ? Lima ninja
saling berpandangan.
"Tuyul! Apa itu tuyul?!" Salah seorang dari
mereka bertanya.
"Ah, bagaimana ya aku menerangkannya," ujar
Wiro pula sambil garuk-garuk kepala
membuat lima ninja jadi tidak sabaran. Salah
seorang dari mereka berbisik pada teman
disebelahnya. Yang satu ini menyampaikan
pada temannya yang lain.
"Pemuda asing ini mencurigakan. Dari pada
jadi urusan di kemudian hari lebih baik
dibereskan saja …"
"Setuju …!" Lima ninja membuat gerakan
menyerang.
Tubuh mereka merunduk. Pedang ditukikkan
ke bawah. Yang di atas batu melayang turun.
"Eh, apa-apaan inil?!" Tadi bertanya sekarang
malah menyerang!" seru Wiro. Lima katana
mencuat ke udara. Murid Sinto gendeng
berteriak keras dan cepat berkelebat hindarkan
serangan. Tapi dua senjata lawan masih
sempat menggurat punggung dan perutnya.
Brettt!
Breettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di dua
tempat.
Dia jadi keluarkan keringat dingin. Lima ninja
putar senjata masing-masing dari bawah ke
arah pinggang.
Lalu untuk kedua kalinya mereka menyerang
secara serentak.
Traaangggg!
Cahaya terang disertai suara menggaung
merobek Kegelapan malam, dibarangi oleh
lima kali suara beradunya senjata dan
percikan bunga api. Lima ninja keluarkan
suara kaget dan mundur. Sepasang mata
mereka memandang tak berkesip pada kapak
bermata dua yang memancarkan sinar angker
di tangan Wiro.
Biasanya jika lebih dari tiga orang ninja
menghantam satu serangan mereka tak akan
pernah luput. Tapi jika kali ini berlima mereka
tidak bisa membunuh lawan dalam satu
kejapan mata saja maka ini adalah hal yang
sangat luar biasa. Mereka saling melempar
isyarat lalu mulai bergerak memutari Pendekar
212. Tiba-tiba tanpa bentakan ataupun aba-
aba ke limanya menyerbu.
Lima katana berkiblat ke arah murid Sinto
Gendeng. Wiro salurkan tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Hawa sakti ini terus mengalir
ke senjata yang dipegangnya. Dua mata kapak
memancar sinar lebih terang. Ketika senjata
itu diputarnya untuk menangkis lima serangan
maut pedang ninja sinar panas menghampar.
Suara yang keluar dari senjata mustika itu
laksana gaungan ratusan tawon. Lima ninja
berteriak keras saling memberi semangat.
Tranggg! Trangggl
Dua katana mental ke udara. Dua ninja
terjengkang ke tanah sambil pegangi
tangannya yang terasa seperti memegang
benda panas. Ninja ke tiga di samping kiri
seperti kerbau melenguh sewaktu kaki kiri
Wiro menghantam perutnya. Namun gerakan
murid Sinto Gendeng hanya sampai di situ.
Dari samping kiri ninja ke empat berhasil
menyusupkan pedangnya ke arah pinggang.
Wiro sempat melihat serangan yang bisa
merobek perutnya ini. Cepat dia lepaskan satu
pukulan tangan kosong. Ninja di samping kiri
menjerit keras.
Tubuhnya mencelat mental dan terbanting di
tanah mati, muntah darah. Namun
sebelumnya katananya masih sempat
menggores paha Wiro hingga koyak dan darah
mengucur deras.
Selagi Wiro terhuyung-huyung menahan sakit.
Dari samping kanan dan sebelah belakang dua
ninja lagi datang menyerbu. Sambil jatuhkan
diri Pendekar 212 putar Kapak Maut Naga
Geni 212 untuk lindungi diri.
Ternyata dua ninja lainnya yang tadi
dihantam Wiro hingga pedang masing-masing
mental saat itu telah bangkit berdiri dan ikut
menyerbu. Keduanya bukan mempergunakan
pedang tetapi menyerang dengan lemparan
shuriken yaitu senjata rahasia berbentuk
bintang terbuat dari besi!
Putaran kapak sakti dalam jurus "dibalik
gunung memukul halilintar' yang dilancarkan
Wiro memang berhasil membabat putus
tangan ninja di sebelah kanan namun dirinya
sendiri untuk kedua kalinya terkena serangan
lawan. Salah satu dari dua shuriken
menancap tepat di lengan kanannya demikian
kerasnya hingga Kapak Maut Naga Geni 212
terlepas dari genggaman nya. Senjata ini
jatuh di tanah berbatu-batu dengan suara
berkerontangan. Di saat itu pula serangan
baru datang dari kiri yaitu tusukan sebilah
katana.
Wiro yang terbaring di tanah cepat gulingkan
diri.
Karena tanah sekitar situ banyak batu-
batunya maka gerakannya berguling tidak
bisa cepat. Malah tanpa disadari dia
berguling ke arah ninja yang tangannya
dibikin buntung dan berleriak kesakitan
kalang kabut.
Penuh dendam dan amarah ninja ini
tendangkan kaki kanannya ke dada Wiro.
Dukkkkl
Ujung runcing sebilah katana yang seharusnya
menancap di perut Wiro mengantam batu.
Tendangan ninja buntung tadi menyelamatkan
nyawanya dari tusukan pedang itu. Namun ini
bukan berarti dia benar benar selamat karena
tendangan ninja itu membuat tubuhnya
mencelat ke arah jurang batu dan tak ampun
lagi melayang jatuh ke dasar jurang dalam
kegelapan malam Wiro berusaha berjungkir
balik dan mencari pegangan dalam gelapnya
malam. Tapi keadaan kaki dan tangannya
yang terluka membuat dia tidak mampu
mencari plan untuk selamat. Malah tubuhnya
semakin deras jatuh ke dasar jurang. Siap
disambut oleh batu batu keras yang berusia
ratusan tahun. * * *
TUJUH KETlKA Akira sampai di Puri Sanzen
rupanya sesuatu yang menggemparkan telah
terjadi di tempat itu.
Di sebuah ruangan pendeta Komo terbujur di
atas sebuah pembaringan dikelilingi oleh
belasan pendeta agama Zen. Begitu Akira
masuk diantar oleh seorang pendeta muda
semua yang ada di situ berpaling padanya.
Serta merta semua mereka tunjukkan wajah
kaget bahkan ada yang sampai keluarkan
seruan tertahan. Seorang pendeta lanjut usia,
diikuti oleh yang lain-lainnya cepat
mendatangi.
"Anak, aku mungkin saja lupa. Tapi bukankah
kau yang bernama Akira, putera Noboru Kasai
yang dikabarkan telah meninggal dunia itu…!'
"Pendeta, kau benar. Saya memang Akira …"
jawab si anak lalu membungkuk memberi
penghormatan pada pendeta yang
menyapanya dan juga pada pendeta lain yang
ada di ruangan itu.
"Jadi ternyata kau masih hidup!" ujar seorang
pendeta sambil mengusap rambut Akira.
"Seseorang memberi tahu bahwa kau ikut jadi
korban keganasan ninja."
"Satu melapetaka besar menimpa rombongan
kami. Hanya atas kekuasaan dan
perlindungan Dewa saya bisa selamat …"
"Akira, aku Pendeta Kamashaki. Menjelang
dinihari tadi tiga orang ninja menyusup ke
tempat ini dan membunuh Pendeta Komo …"
Kagetnya Akira bukan kepalang. Dia berpaling
ke arah pembaringan ditengah ruangan dan
langsung saja lari. Dari noda-noda darah
yang masih melekat di wajah dan leher
pendeta ini Akira segera maklum bahwa sang
pendeta menemui ajal memang karena
dibunuh. Disamping jenazah pendeta Komo
lama Akira menundukkan kepala dan berdoa
untuk arwahnya.
"Pendeta Kamashaki, siapa orangnya yang
mengatakan bahwa saya telah jadi korban
pembunuhan oleh ninja?' bertanya Akira Kasai
sambil berpaling pada pendeta Kamashaki.
"Hisao Matsunaga, Wakil Ketua Perguruan
Emerarudo.."
"Dewa Maha besar.." kata si anak pula.
"Saya malah mengira dirinya juga telah
dibunuh ninja. Rupanya beliau sempat
melarikan diri dan datang ke sini lebih dulu
dari saya. Dia tentu mengira saya telah jadi
korban. Kami datang ke sini untuk mengambil
surat penting yang dulu pernah saya titipkan
pada pendeta Komo …"
"Surat itu telah kami serahkan pada Hisao
Matsunaga. Setelah dia memberi tahu kau
tewas di tangan ninja, kami merasa memang
haknya untuk mengambil surat itu. Apakah
kami telah melakukan kesalahan …? tanya
pendeta Kamashaki pula.
"Sebetulnya surat itu hanya saya yang boleh
mengambilnya. Tapi pendeta sama sekali
tidak berbuat kekeliruan. Paman Hisao berhak
mengambil surat itu karena tidak tahu kalau
saya masih hidup. Kalau begitu saya minta
diri, mohon kembali ke perguruan sekarang
juga…"
"Anak, kau tentu sangat capai. Di samping itu
apa yang terjadi tentu telah membuat jiwamu
tergoncang. Kau perlu istirahat dulu di sini
beberapa waktu lamanya."
"Terima kasih pendeta. Tapi jika kau tidak
keberatan saya memilih cepat-cepat kembali
…"
"Kalau kami boleh bertanya," ujar seorang
pendeta pula.
"Apa isi surat penting dalam amplop kuning
itu?"
"Surat pernyataan siapa yang akan menjadi
pewaris jika Ayahanda berhalangan
melanjutkan jabatan sebagai Ketua Perguruan
…" Pendeta Kamashaki memegang bahu Akira.
"Anak," katanya.
"Jika kau memang memilih pulang sekarang
juga, kami tidak bisa menahan. Hanya
sebelum pergi coba kau ceritakan apa yang
telah terjadi di Perguruan "Malam kemarin
perguruan kami diserbu ninja Ayah
dibunuh..!" Akira lalu menceritakan apa yang
terjadi di Perguruan Emerarudo.
"Besok jenazah Ayahanda akan diperabukan.
Saya juga sedih sekali melihat bahwa pendeta
Komo ikut tewas di tangan ninja. Saya
menduga keras ini ada sangkut pautnya
dengan surat pewarisan itu. Dan saya merasa
bersyukur paman Hisao telah
mendapatkannya Mengenai sahabat saya
Keno, karena puri Sanzen lebih dekat dari
perguruan, apakah saya boleh minta tolong
agar jenazah sahabat saya itu diurus …?"
"Kau tak usah kawatir. Kami akan
mengurusnya dan menyerahkan sebagian
abunya padamu …" kata seorang pendeta
muda.
"Saya sangat berterima kasih," kata Akira lalu
membungkuk dalam-dalam. Pendeta
Kamashaki kemudian berkata.
"Hanya beberapa saat setelah Wakil Ketua
Hisao Matsunaga menerima surat itu, di puri
datang seorang gadis bernama Akiko Bessho.
Kau kenal padanya? "
"Saya berusia sepuluh tahun ketika Ayah
memperkenalkannya pada saya. Kalau tidak
salah dia adalah anak murid seorang pandai
yang diam di Gunung Fuji .. "
"Gadis itu melihat Wakil Ketua Perguruan di
perjalanan lalu mengikuti sampai ke puri.
Karena dia memang dalam perjalanan menuju
Perguruan untuk melayat maka Akiko Bessho
meninggalkan tempat ini bersama-sama wakil
Ketua Perguruan …"
"Pendeta Kamashaki, saya berterima kasih
kau dan para pendeta di sini telah banyak
membantu. Saya minta diri sekarang …"
"Dua orang pendeta akan mengantarkanmu.
Sekaligus sebagai wakil kami untuk melayat
dan menghadiri upacara perabuan…"
Akira Kasai membungkuk lalu dia memegang
tangan pendeta Komo yang telah dingin itu.
Setelah membungkuk sekali lagi, diantar oleh
dua orang pendeta anak ini keluar dari
ruangan itu. * * * MUNCULNYA Akira Kasai
malam itu diantar oleh dua pendeta Zen dari
puri Sanzen membuat geger tapi juga.
menggembirakan semua orang yang ada di
Perguruan Emerarudo. Betapakan tidak.
Semula, sesuai keterangan Wakil Ketua Hisao
Matsunaga anak itu ikut jadi korban
penyerangan ninja. Satu rombongan khusus
telah pula dikirim untuk mengambil
jenazahnya. Ternyata dia masih hidup.
Hisao Matsunaga sampai berkaca-kaca kedua
matanya dan memeluk erat-erat Akira Kasai.
"Dewa Maha Besar. Kami semua mengira kau
sudah tewas Akira. Aku sendiri sempat
melihat mayatmu di dalam tandu walau cuma
dari kejauhan. Lalu aku cepat-cepat menuju
Puri Sanzen, kawatir kalau- kalau ninja
menyerbu pula ke sana. Ternyata memang
betul.
Untung saja mereka tidak mendapatkan
amplop kuning berisi surat warisan itu. Tetapi
untuk itu pendeta Komo terpaksa
mengorbankan nyawanya …"
"Jadi benar rupanya mereka menginginkan
surat warisan itu. Tapi untuk apa …?" tanya
Akira dengan suara perlahan.
"Sekarang tak usah kawatir lagi. Surat itu
sudah ada di tanganku. Sebentar lagi isinya
akan dibacakan di depan semua pengurus dan
anggota perguruan serta para tamu yang
datang melayat. Sekarang kau perlu
membersihkan diri dan istirahat sebentar.
Masuklah ke kamarmu …"
Ketika Akira hendak menuju kamarnya, dua
pendeta Zen segera mengikuti. Tapi ditegur
oleh Shigero Momochi dengan nada kasar.
Salah seorang pendeta membungkuk lalu
menjawab.
"Saya ditugasi oleh pendeta Kamashaki untuk
menjaga dan mengawal anak itu …" Marahlah
Shigero Momochi mendengar kata-kata sang
pendeta. Dengan suara lantang dia berkata.
"Pendeta, kau dengar baik-baik ya! Anak itu
berada di perguruan kami, di rumah sendiril
Perlu apa dikawal dan dijaga? Ini tempat
aman! Jangan memandang rendah kami
orang-orang Emerarudo. Tempat ini bukan
Puri Sanzen dimana kalian bisa berlaku
semaunya ..!'
Paras dua pendeta Zen itu tampak menjadi
merah. Yang satu menjawab. "Kami hanya
menjalankan perintah pimpinan ..!'
"Kalau menjalankan perintah pimpinan kalian
cukup di puri kalian saja, bukan di sini! Kalian
tidak punya hak dan kekuasaan apa-apa di
tempat in?"
"Jika begitu harap maafkan kami …" Hisao
Matsunaga datang menghampiri. Sambil
batuk-batuk dan mengusap dadanya dia
berkata.
"Dua sahabat dari Puri Sanzen dan Wakil
Ketua Shigero Momochi, kita semua ini hanya
keliru prasangka belaka. Setelah apa yang
terjadi dengan rombongan kita di tengah
perjalanan menuju Puri Sanzen, lalu ditambah
dengan apa pula yang terjadi di puri sana,
para sahabat pendeta Zen rupanya ingin ikut
membantu menjaga keselamatan kita semua.
Aku mewakili perguruan mengucapkan terima
kasih. Namun dengan segala kerendahan hati
kami meminta agar para pendeta yang adalah
tamu-tamu kami terhormat, tidak perlu
mencapai kan diri ikut berjaga-jaga."
Dua pende!a Zen anggukkan kepala lalu
membungkuk dan kembali ke tempat duduk
yang disediakan.
Hisao Matsunaga berpaling pada Akira dan
memberi tanda agar anak itu melanjutkan
langkah menuju kamarnya.
Kemudian sambil memegang bahu Shigero
Momochi dia berkata.
"Dua pendeta itu memang berlaku bodoh. Tapi
kita jangan ikut-ikutan bodoh. Semua
persoalan bisa diselesaikan lebih baik kalau
ditangani dengan sabar dan sikap sopan …"
"Aku orang pemabokan jadi mana bisa sabar
dan sopan!" sahut Shigero Momochi seraya
melangkah pergi.
Hisao Matsunaga hanya bisa tersenyum lalu
menghela nafas dalam sambil usap-usap
dadanya. Menjelang tengah malam di hadapan
para pengurus dan anggota perguruan
Emerarudo serta semua tamu yang hadir,
seorang sesepuh perguruan membacakan isi
surat warisan yang diterima Hisao Matsunaga
dari pendeta Kamashaki di Puri Sanzen.
Sesuai apa yang terlulis di surat pewarisan
yang ditetapkan oleh almarhum Noboru Kasai
sebagai Ketua pewaris adalah Hisao
Matsunaga.
Pengumuman ini diterima semua orang
dengan perasaan lega dan gembira. Berarti
besok upacara perabuan jenazah Noboru
Kasai dapat dilaksanakan tanpa suatu
halangan.
Ketika pengurus tua perguruan hendak
memasuk kan surat warisan itu ke dalam
amplop kuning kembali Akira Kasai membuat
gerakan seperli hendak berdiri dari tempat
duduknya dan melangkah ke mimbar. Hisao
Matsunaga yang duduk di sebelahnya cepat
mendampingi.
"Akira-san, apakah ada sesuatu yang hendak
kau sampaikan … ?
"Paman Hisao ada sesuatu yang tidak benar
…"
"Ah, hal apakah yang tidak benar itu Akira?"
"Saya tidak dapat memastikan sebelum
melihat sendiri surat warisan yang barusan
dibacakan itu …"
"Tentu saja kau boleh melihatnya. Aku akan
meminta surat itu dari pengurus yang barusan
membacanya. Begitu maumu … ?"
"Kalau Paman Hisao tidak keberatan …"
"Tentu saja aku tidali keberatan …" jawab
Hisao Matsunaga lalu menghampiri orang tua
yang membaca kan surat warisan itu dan
mengambil suratnya. Hisao kembali pada
Akira. Surat dalam amplop dikeluarkannya
terus diserahkan pada Akira.
"Silahkan dibaca sendiri Akira. Lalu tunjukkan
padaku dimana kesalahannya …"
Akira Kasai membaca surat itu sampai dua
kali dan menelitinya depan belakang. Dalam
hati anak ini berkata. "Aku ingat betul. Waktu
ayah memasukkan surat ini ke dalam amplop
kuning, setetes dawat tertumpah di sudut kiri
surat. Tapi di surat ini sama sekali tidak ada
noda dawat itu..!' (dawat = tinta)
"Akira-san, kau sudah membaca Surat itu …?"
"Sudah Paman Hisao …"
"Kau menemukan sesuatu …?
"Maafkan saya. Saya mungkin keliru. Mungkin
bukan surat ini yang saya maksudkan …"
Hisao Matsunaga tersenyum. "Akira-san, kau
mungkin masih terlalu capai. Besok akan ada
upacara perabuan yang panjang. Sebaiknya
kau masuk ke kamar tidur dan beristirahat."
"Saya rasa memang begitu..!' kata Akira pula.
Lalu cepat-cepat anak ini meninggalkan
tempat itu, menuju ke kamarnya.
Di dekat sebuah jambangan besar Akira Kasai
hentikan langkahnya. Di situ dilihatnya tegak
seorang gadis berpakaian serba biru berwajah
cantik. Agaknya gadis ini berdiri di situ
sengaja menunggu Akira.
"Maafkan saya, bukankah saya berhadapan
dengan nona Akiko Bessho? berucap Akira
begitu sampai di hadapan si gadis. Lalu dia
membungkuk memberi
hormat.
"Adik Akira, kau rupanya masih ingat diriku.
Akuturut berduka atas meninggalnya Ayahmu
…" Akiko Bessho lalu membungkuk.
"Terima kasih..: jawab Akira. Lalu dia terdiam.
"Kau sepertl tengah memikirkan sesuatu atau
ingin mengatakan sesuatu..?"
Dalam hati Akira membatin. "Aku tidak tahu
banyak tentang gadis ini. Tapi mungkinkah
dia bisa dipercaya?" "Adik Akira,.kalau tak
ada yang hendak kau katakan aku akan
kembali ke tempat upacara …"
"Sebetulnya memang ada. Tapi di sini saya
rasa tidak aman … Temui saya setelah
pembacaan doa kesembilan di samping
gudang sebelah timur …"
"Saya akan menemuimu..!' Baru saja Akiko
hendak melangkah tiba-tiba dari empat
penjuru kawasan perguruan terdengar
dentangan lonceng.
"ltu lonceng tanda bahaya!" kata Akira. Anak
ini serta merta lari ke tempat. upacara
sembahyang. Akiko Bessho mengikuti. Di
pelataran besar di depan meja sembahyang
mereka melihat empat orang ninja tegak
dengan kaki terkembang. Masing-masing
mencekal katana. Dua orang diantara mereka
memanggul sesosok tubuh yang agaknya
sudah lama kaku alias sudah jadi mayat! * * *
DELAPAN PENDEKAR 212 Wiro Sableng
seolah merasa sudah putus nyawanya
padahal saat itu tubuhnya masih melayang di
udara dan yang pasti sesaat lagi baru akan
menghantam dasar batu jurang sedalam
hampir seratus kaki itu. Dalam kegelapan
malam tiba-tiba entah dari mana datangnya
puluhan benda berbentuk segitiga terbuat dari
kain melesat ke arah Wiro. Kain segitiga ini
tak bakal mampu melesat demikian derasnya
kalau tidak dicanteli setangkai besi lancip.
Sang pendekar tidak tahu apa yang terjadi
atas dirinya. Dia hanya mendengar suara
sett… settt banyak sekali. Lalu dalam
gelapnya malam samar-samar dia melihat
ada benda aneh berkelebat ke arah dirinya
dan tahu-tahu sekujur pakaiannya sudah
disisipi puluhan kain segitiga.
Puluhan kain-kain yang menempel
dipakaiannya itu membentang dan berkibar
deras. Bersamaan dengan itu Wiro merasakan
kecepatan jatuhnya berkurang Tubuhnya
seperti melayang! Puluhan kain segitiga yang
berkibar kencang seolah melawan arus
menahan jatuh dirinya. Ketika dia akhirnya
mencapai dasar jurang, tubuhnya memang
masih terbanting sakit namun tak ada
tulangnya yang patah, dan tak ada luka-luka
dideritanya.
Sesaat Wiro seolah tak percaya. kalau dia
masih hidup.
Perlahan-lahan dia mencoba duduk. Dua buah
benda runcing menyengat pantatnya hingga
pemuda ini tersentak kesakitan. Dirabahnya
bagian belakang tubuhnya, lalu dada dan
perut. pakaiannya. Dua buah benda yang
menempel di . pakaiannya dicabutnya. Dabm
gelapnya dasar lubang perlahan-lahan
matanya mulai mampu melihat dua benda
yang barusan dicabutnya.
"Bendera Darah!" seru Pendekar 212 hampir
tercekat. Dia memandang berkeliling. Dinding
dan dasar jurang batu kelihatan menghitam.
"Tak ada gerakan, tak ada suara. Apa
benarbenar tak ada manusia di sini?" Wiro
menggosok kedua matanya, memandang
berkeliling sekali lagi.
"Dimana mahluk itu bersembunyi? Beberapa
hari lalu dia inginkan jiwaku, sekarang
mengapa dia menyelamatkan diriku? Aku
harus keluar dari jurang celaka ini! Tapi
agaknya harus menunggu sampai pagi.
Sampai terang..!"
Satu persatu Wiro cabut bendera segi tiga
yang menyusup di sekujur pakaiannya sambil
menghitung.
"Enam puluh sembilan bendera! Gila!
Bagaimana mahluk itu bisa melemparkan
sebanyak itu dalam waktu begitu singkat?!
Luar biasa! Kalau tadi dia ingin membunuhku
pasti mudah saja baginya." Wiro garukgaruk
kepalanya.
"Walau sebelumnya dia ingin membunuhku
tapi saat ini aku harus berterima kasih
padanya!" Wiro lalu melompat ke atas sebuah
batu besar. Dari tempat ketinggian ini dia
berputar, memandang kesetiap sudut jurang.
Tetap saja dia tidak melihat apa-apa kecuali
batu-batu menghitam.
"Manusia bendera, jika kau tidak mau muncul
tak jadi apa! Aku benar-benar berterima kasih
atas pertolonganmu!" Wiro berseru. Dia jadi
merinding ketika suara teriakannya itu
menggema di dinding dan jurang batu lalu
bergaung berulang-ulang.
"Cukup sekali saja aku berteriak. Tak mau
menjawab ya sudah. Terpaksa aku menunggu
sampai pagi. Kalau tak ada jalan keluar dari
dasar jurang berarti aku akan mati perlahan-
lahan di tempat ini. Eh, janganjangan manusia
bendera itu sengaja hendak membunuhku
dengan cara begini!" Wiro garuk-garuk kepala
lagi lalu duduk di batu.
Sesaat dia memperhatikan puluhan Bendera
Darah yang bertebaran di depannya. Tiba-tiba
dia merasa ada hembusan angin halus
disampingnya. Dia berpaling. Tak ada apa-
apa. Lalu ada bau harum masok ke
penciumannya. Wiro ingat bau itu.
"Pasti dia!" katanya dalam hati. Dia berpaling
ke kiri, ke kanan. Lalu diputarnya tubuhnya ke
belakang!
Murid Shinto Gendeng ini hampir berseru
kaget – ketika di hadapannya kini dalam
kegelapan malam tegak mahluk itu. Dia
melompat bangkit dengan cepat.
Si manusia bendera! Seperti keadaannya yang
dilihat Wiro tempo hari, mahluk ini sekujur
tubuh mulai dari kaki sampai kepala tertutup
ratusan bendera merah berbentuk segi tiga.
Hanya sepasang matanya saja yang
tersembul. Berhadapan begitu dekat di atas
batu Wiro melihat sepasang mata bening
memandang sedingin salju tepat-tepat ke
arahnya.
Tanpa berani berlaku lengah Wiro tundukkan
kepala dan berkata. "Tuan penolong, aku
berterima kasih kau telah menyelamatkan
jiwaku, kalau tidak mati konyol jatuh kedasar
jurang batu ini!"
Orang yang diajak bicara tidak menjawab.
Wiro membungkuk. Puluhan bendera yang
bertebaran di batu diambilnya lalu
diserahkannya pada mahluk di hadapannya.
"Benderamu, ambillah. Sayang kalau dibuang
begitu saja..!"
Manusia bendera keluarkan tawa mengekeh.
Dua tangannya bergerak mengambil enam
puluh sembilan buah bendera. Dengan
kecepatan luar biasa, entah bagaimana
caranya semua bendera itu disisipkannya ke
pakaiannya. Diam diam otak murid Sinto
Gendeng bekerja.
"Jika mahluk ini berada di dasar jurang
berarti ada jalan keluar masuk tempat ini,"
pikirnya. Di hadapannya mahluk bendera
masih tertawa. Dengan perasaan heran dan
tidak enak Wiro bertanya.
"Kau masih tertawa terus. Ada apakah…?"
"Kau mengira aku telah menyelamatkan
nyawamu…? mahluk itu bertanya.
"Dia masih saja mempergunakan suara dari
perut.
Sengaja menyembunyikan suaranya yang asli,"
membatin Wiro. Lalu dia berkata.
"Kenyataannya memang begitu. Dengan
benderabenderamu kau membuat aku tidak
amblas jatuh ke dasar jurang ini!"
"Orang asing, aku sama sekali tidak
menyelamatkan nyawamu. Aku hanya
mengulur saat kematianmu!"
Wiro melengak kaget mendengar kata-kata
itu.
"Apa maksudmu manusia bendera?"
"Aku tidak ingin kau mati jatuh ke dalam
jurang.
Aku ingin membunuhmu dengan kedua
tanganku sendiri!
Kau dengar?!"
"Aku dengar, Kalau begitu mengapa tidak kau
bunuh saja aku saat ini?!" tanya Wiro "Aku
masih memandang seseorang …" jawab
manusia bendera sambil memandang ke
jurusan lain.
"Nona Akiko Bessho?" tanya Wiro pula.
"Kau sudah tahu. Mengapa bertanya?
"Punya hutang budi apa kau dengan gadis itu
hingga tidak segera membunuhku hanya
karena memandang dirinya?"
"Urusanku dengan orang lain apa perdulimu?"
jawab manusia bendera.
"Pada pertemuan pertama kau bilang
membunuhku karena aku membunuh nenek
Arashi. Perempuan sakti itu memang nenekmu
sungguhan?"
"Aku datang kemari bukan untuk ngobrol
denganmu.
Tapi ada satu hal yang akan kukatakan. Kau
telah
membunuh seorang ninja dan membuat
buntung tangan
ninja lainnya. Berarti kau tak bisa lari dari
kematian.
Ninja akan mengejarmu sampai akhirnya
mereka berhasil membunuhmu!"
"Kalau begitu lebih enak mati di tangan ninja
dari pada di tanganmu!"
Manusia bendera melengak dan menatap
tajam pada Wiro. Lalu kembali dia tertawa
mengekeh. Sambil mendongak manusia
bendera berkata. "Jangan harap kau bisa mati
enak di tangan ninja. Mereka akan
membunuhmu secara perlahan-lahan, sedikit
demi sedikit…"
Manusia bendera tertawa panjang. Begitu
hentikan tawanya dia berkata.
"Aku akan meninggalkan tempat ini. Kau mau
mengikutiku …?"
"Jika kau tidak menjebak dan benar-benar
ingin aku keluar dari sini tentu saja aku ikut.
Tapi kenapa kau menawarkan jasa baik lni …?"
"Bukankah kau lebih suka dan memilih mati di
tangan ninja dari pada di tanganku Hik … hik
… hik …"
Manusia bendera tertawa lagi lalu seperti
tidak acuh dia melangkah tinggalkan tempat
itu. Wio gelengkan kepala, akhirnya
melangkah mengikuti. Tapi dari mulutnya
keluar rintihan kesakitan. Dia haru sadar
kalau paha kirinya luka besar dan di lengan
kanan masih menancap senjata rahasia ninja
berbentuk bintang.
Manusia bendera berpaling. "Kau terluka?"
Wiro kertakkan rahang. Dia menotok urat
besar di lengan kanannya sebelum mencabut
shuriken yang menancap di situ. Ketika
senjata rahasia itu dicabut dia memang
merasa sakit yang bukan kepalang. Tetapi tak
ada darah yang memancur. Dalam gelap Wiro
tak dapat melihat keadaan lengannya hingga
dia tak mengetahui apakah senjata rahasia
itu beracun atau tidak.
Manusia bendera memperhatikan luka di paha
kiri Wiro. Lalu berkata. "Aku ada obat untuk
mempertautkan daging yang koyak itu. Kau
mau …?
"Kau mahluk aneh. Sebentar bicara acuh dan
kejam. Sekarang malah berbaik hati mau
mengobati diriku. Kalau kau memang rela
masakan aku mau menolak. …"
Manusia bendera cabut sebuah bendera yang
tersisip di bahu kanannya. Lalu dia
membungkuk dan dekatkan ujung lancip
bendera ke luka di paha kiri.
"Astaga! Kau hendak menusuk lukaku!" seru
Wiro sambil cepat mundur.
"Orang asing, kau terlalu curiga …"
"Siapa yang tidak curiga pada orang yang
hendak membunuhku!" jawab Wiro.
"Di dalam besi runcing ini ada rongga berisi
obat.
Ujung lancip besi ada lobangnya. Jika kutiup
pangkal besi bendera, obat akan keluar …"
"Kalau begitu lakukanlah. Tapi awas kalau
kau menipuku!" kata Wiro.
Ketika manusia bendera itu membungkuk dan
meniupkan obat dalam besi bendera, Wiro
dapat mencium bau bagian kepala orang ini
yang sangat harum.
Sementara itu obat yang keluar dari besi
bendera terasa sangat sejuk di pahanya yang
luka hingga rasa sakit serta merta hilang.
"Terima kasih. Kau menolongku untuk
kesekian kalinya. Hidup ini sungguh aneh.
Dibalik kebaikan ada hawa kematian. Di balik
kematian ada kebaikan …"
Manusia bendera tak mau bicara lagi. Dia
membalikkan badan dan siap melangkah.
"Astaga!" tiba-tiba Wiro berseru kaget.
Dirabanya bagian tubuh sekitar pinggang. Apa
yang dicarinya tidak ditemukan. Wajahnya
menjadi sangat pucat. Manusia bendera
tertawa.
"Kau mencari senjata mustika kapak bermata
dua itu… Ninja telah merampasnya sebelum
kau jatuh terjungkal ke dalam jurang ini …"
"Aku ingat. Kau betul! Tapi bagaimana kau
bisa tahu? Yang ditanya tak menyahut
melainkan melanjutkan langkahnya yang
barusan terhenti. Berjalan kira-kira dua ratus
kaki ke timur kelihatan sebuah terowongan
gelap. Manusia bendera masuk ke dalam
terowongan batu ini. Tak lama kemudian
sekeluarnya dari terowongan pendek itu Wiro
dapatkan dirinya berada dalam rimba
belantara.
"Dari sini kau bisa cari jalan sendiri …"
Manusia bendera berkata lalu siap berkelebat
pergi.
"Tunggu dulu … !" panggil Wiro.
"Ada apa?!"
"Nona Akiko Bessho memanggilmu dengan
nama Yori. Apa betul itu namamu?"
"Kau bisa tanyakan sendiri padanya kalau
bertemu nanti."
"Aku mencium bau wewangian di tubuhmu.
Hanya orang perempuan yang pakai minyak
wangi. Apakah kau….."
Manusia bendera tertawa panjang. "Jaman
sekarang kaum lelaki juga banyak yang suka
bersolek dan pakai segala macam wewangian
…!" Habis berkata begitu dia gerakkan kedua
kakinya. Sesaat kemudian mahluk aneh itu
lenyap dari hadapan Pendekar 212 Wiro
Sableng. * * *
SEMBILAN KITA kembali ke ruang besar
Perguruan Emerarudo, tempat pembicaraan
doa pengantar jenazah menjelang
diperabukan. Suara lonceng yang bertalu-talu
membuat sirap suara mereka yang berdoa.
Ketegangan berat menggantung di udara. Di
depan meja sembahyang besar dua orang
ninja yang memanggul dua sosok jenazah
tiba-tiba melemparkan jenazah-jenazah itu ke
atas lantai hingga mengeluarkan suara
bergedebukan yang membuat orang – banyak
jadi merinding.
Para pengurus dan semua anggota perguruan
yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan
keras ketika mereka mengenali bahwa jenazah
yang dibawa dan dilemparkan ninja ke lantai
ternyata adalah mayat dua orang murid
perguruan tingkat atas. Selain bekasbekas
luka bacokan, pada kening kedua orang ini
menancap sebuah shuriken. Warna biru yang
menggembung pada daging dan kulit kening
menandakan bahwa senjata rahasia itu
mengandung racun mematikan.
Enam orang pengurus perguruan secara
serentak melompat dari atas tatami yang
mereka duduki. Yang paling beringas adalah
Wakil Ketua Shigero Momochi.
Dua orang anak murid perguruan itu ada!ah
yang disuruhnya untuk menemui pimpinan
para ninja guna mencari keterangan siapa
yang telah membunuh Ketua Noboru Kasai
serta mengobrak-abrik ruangan rahasia.
Sekarang mereka di bawa kembali dalam
keadaan seperti itu oleh empat orang ninja.
Apa yang telah terjadi?
"Datang membawa mayat, melemparkan di
depan perjamuan sembahyang ketika orang
sedang berkabung!
Sungguh satu perbuatan kurang ajar dan tidak
beradab!
Apalagi kalau kalian yang telah membunuh
mereka!"
Suara Shigero Momochi terdengar keras dan
lantang.
Dia bicara sambil tangan kanannya
memegang hulu katana yang tergantung di
pinggang. Salah seorang dari empat ninja
maju satu langkah.
"Kami para ninja memang tidak mengenal
sopan santun dan peradaban. Tua-tua
perguruan mengirimkan orang untuk
menyelidik. Hal itu sama saja dengan
mencurigai dan menuduh bahwa kami terlibat
dalam pembunuhan Ketua kalian! Apakah itu
satu tindakan sopan?!"
Shigero Momochi mendengus. "Kau tahu apa
tentang kematian Ketua kami? Serombongan
ninja menyerbu kemari! Membunuh Ketua
kami dan berusaha mencuri sebuah surat
penting! Apa kami hanya berdiam diri?!"
"Shigero Momochi! Siapa yang tidak kenal
denganmu? Pengurus Perguruan Emerarudo
yang suka menenggak minuman keras. Pantat
botol! Aku tahu kaulah yang memberi perintah
pada ke dua orang itu untuk menyelidik!
Kekurang ajaranmu tidak bisa dimaafkan
hanya dengan kematian dua anak buahmu
itu!"
"Ninja jahanam! Katakan apa maumu?!" Sang
ninja ganti mendengus. "Kami datang untuk
meminta enam kepala anggota perguruan. Itu
sebagai penutup malu. Terserah apakah
kalian akan melakukan harakiri sendiri atau
kami terpaksa turun tangan mengambil enam
kepala itu!"
"Kau boleh punya nyali selangit! Kau tidak
sadar sudah masuk ke sarang macan!
Sekalipun Dewa menolong kau dan tiga
kawanmu tak bakal bisa keluar hiduphidup
dari tempat ini!" Habis berkata begitu sret!
Shigero Momochi cabut pedangnya.
Bersamaan dengan itu sepuluh orang anak
buah perguruan melompat pula dengan
katana terhunus.
"Tahan!" tiba-tibe terdengar satu seruan. Satu
bayangan berkelebat. Empat orang ninja di
depan meja sembahyang merasakan
sambaran angin keras hingga mereka cepat
mundur. Yang tegak di tengah ruangan
ternyata adalah Hisao Matsunaga, Ketua baru
Perguruan Emerarudo.
"Semua harap menahan diri. Saat ini adalah
saat duka berkabung bagi kami orang-orang
perguruan.
Bahkan doa pengantar jenazah ke perabuan
masih belum selesai dipanjatkan. Apakah
diantara kita tidak mungkin berbesar jiwa
untuk tidak berbuat onar? Para ninja, kami
merasa kalian berempat cukup berbaik hati
untuk mau mengantar jenazah murid-murid
perguruan.
Aku tidak berusaha mencari tahu siapa
pembunuh mereka. Aku tidak akan menuduh
kalian sebagai pelaku.
Aku akan melupakan segala sesuatu yang
bersilang diantara kita asalkan kalian
berempat sudi meninggalkan tempat ini. Aku
Ketua Perguruan Emerarudo memohon dengan
hormat …….."
"Mana bisa seperti itu aturannya. Enak betul!"
Yang berkata keras itu adalah Shigero
Momochi. "Ketua, jangan merendahkan derajat
kita dengan alasan kita sedang berduka!
Komplotan manusia-manusia hitam durjana
ini seharusnya sudah sejak lama dibasmi!"
"Shigero Momochi, ucapanmu selain menghina
juga terlalu takaburl Aku harap kau mau
berlutut dan minta maaf!" kata ninja yang
sejak tadi bertindak sebagai juru bicara.
"Keparat kurang ajar! Kalau tidak kubuat
menggelinding kepalamu rasanya tidak
berguna hidup ini!"
Dari dalam saku kimononya Shigero Momochi
keluarkan sebotol minuman keras. Minuman
ini ditenggaknya sampai habis. Botol kaleng
yang kosong kemudian dibantingkannya ke
lantai ruangan. Tampangnya kini kelihatan
menjadi merah beringas. Bahunya naik ke
atas. Dua tangannya menggenggam katana.
Sepuluh orang murid perguruan bergerak maju
selangkah demi selangkah. Empat ninja tak
tinggal diam. Empat bilah pedang mereka
berkilauan dibawah sorotan lampu minyak.
Di saat yang sangat menegangkan itu tiba-
tiba dua orang pendeta Zen berdiri dan
melangkah cepat ke depan meja sembahyang.
"Kami dua orang tamu yang tak ingin melihat
tuan rumah dalam saat berkabung harus
turun tangan pula untuk menyelesaikan
kericuhan. lzinkan kami mewakili tuan rumah
…." Pendeta Zen yang bicara berpaling pada
Hisao Matsunaga lalu membungkuk. Dua
pendeta ini adalah yang mengantarkan Akira
kembali malam tadi ke perguruan.
"Pendeta tidak tahu diri! Pekerjaan kalian
hanya menyangkut urusan keagamaan!
Mengapa sekarang berlagak sepelti dua jago
silat?! Kau dan kawanmu bertindak lancang!
Tapi tidak apa! Kami sudah lama
memperhatikan tindak tanduk para orang suci
agama Zen yang sering mencampuri urusan
dan kepentingan kami. Malam ini kalian
rupanya mau menjadi tumbal pendahuluan
mewakili kawan- kawan kalian!" bentak ninja
hitam.
"Dua pendeta!" seru Hisao Matsunaga dengan
cepat.
"Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi
semua ini adalah urusan perguruan. Biar kami
yang menyelesaikan secara baik-baik."
Mendengar ucapan Ketua pergunran itu, dua
pendeta Zen segera menjura, menghaturkan
permintaan maat lalu cepat kembali ke tempat
duduk masing-masing.
Ninja di sebelah depan menyeringai di balik
kain hitam penutup wajahnya. "Dua pendeta
Zen. Kalian berhutang nyawa pada Ketua
Perguruan! Kalau tidak dia yang menolak,
niscaya kalian berdua sudah terkapar jadi
bangkai tak berguna!"
Dua pendeta Zen kelihatan merah wajah
masing masing. Tapi ke duanya tak berkata
apa-apa dan mengambil sikap menundukkan
kepala.
"Mungkin ada lagi yang berbaik hati hendak
mewakili tuan rumah?!" berseru ninja paling
depan. Tiba tiba terdengar suitan keras
disertai berkelebatnya satu bayangan. Di lain
kejap satu sosok terbungkus pakaian serba
merah mulai dari kaki sampai ke kepala tegak
di tengah ruangan, menghadap ke arah empat
orang ninja.
Dari wajahnya hanya sepasang matanya yang
kelihatan, memandang tak berkesip. Sebilah
katana menyembul dari balik punggungnya.
"Ninja Merah!" seruan itu keluar dari hampir
semua mulut.
"Selama dunia terkembang baru sekali lni aku
melihat ada ninja merah!" kata seseorang
dengan mata terbelalak. Shigero Momochi
yang hendak meradang karma merasa
didahului orang juga ikut terkesima. Dia
berpaling pada Hisao Matsunaga. Ketua baru
Perguruan Emerarudo ini sendiri tampak tegak
tertegun.
"Siapa kau?!" bentak ninja hitam sementara
tiga kawannya tegak dengan sikap waspada
penuh.
"Tadi kau bertanya siapa lagi wakil tuan
rumah.
Nah aku adalah wakil yang kau tanyakan itu!
Aku sengaja capai-capai datang ke sini, jadi
jangan kecewakan diriku!"
"lni tidak masuk akal! Tak pernah ada ninja
merah! Buka penutup kepalamul Aku mau
lihat tampangmu!" Ninja merah tertawa
pendek.
"Apakah kau mau membuka penutup
kepalamu lebih dulu!"
"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mati!" bentak
ninja hitam lalu dia melompat ke arah ninja
merah sambil hantamkan ninjatonya. Tangan
ninja merah bergerak ke punggung. Sebilah
pedang berkiblat di udara, menangkis dengan
keras pedang di tangan ninja hitam.
Kalau tidak merasa malu disentak lawan
dalam satu kali gebrakan ninja hitam hampir
mengeluarkan seruan tertahan. Bentrokan
senjata dengan ninja merah bukan saja
membuat tangannya terasa pedas dan
pedangnya hampir terlepas, tetapi juga
menyebabkan kedua lututnya tertekuk. Dia
merasa seolah ada kekuatan besar menekan
tubuhnya dari atas. Kalau tidak cepat dia
melompat mundur sambil memasang
kudakuda baru, pasti dirinya jatuh terhenyak
di depan meja sembahyang.
"Mahluk merah ini memiliki tenaga luar biasa.
Jurus ilmu pedangnya aneh….." Ninja ini
seperti terpanggang ketika di depannya ninja
merah tertawa mengekeh dan mengejek.
"Ninja jelek, masih mau terus atau berlutut
saja minta ampun!"
"Mahluk takabur! Sekalipun kau punya tujuh
kepala selusin tangan ninja tak pernah tunduk
dan takut!" Pedang di tangan ninja hitam
melesat ke udara, membeset ke dada,
menusuk ke perut dan merobek lagi ke dada.
Serangan ninja sulit dikelit, hampir tak pernah
gagal. Ninja merah berseru keras. Tubuhnya
melesat ke atas, jungkir balik dan hantamkan
kaki kanan ke arah kepala ninja hitam waktu
melayang turun.
Meleset. Malah pedang ninja hitam membeset
ke arah dada membuat ninja merah berseru
kaget lalu cepat membuang diri ke samping.
Begitu kakinya menginjak lantai Satu tusukan
menyambar dengan ganas.
"Hah!" Hebat sekali. Ninja merah masih
mampu berkelit. Tapi ketika ujung pedang
mencuat dan membalik ke arah dadanya, ninja
merah terlambat mengelak. Ujung pedang
menyambar robek dada pakaiannya. Masih
untung kulit atau daging dadanya tidak ikut
tersambar.
Dengan nafas agak mengengah ninja merah
tegak sambil letakkan tangan kiri di pinggang.
Kedua kakinya terkembang.
"Aneh …." kata Hisao Matsunaga dalam hati.
"Kuda-kudanya aneh. Dia memegang katana
hanya dengan sebelah tangan. Siapa ninja
tunggal ini sebenarnya." Keanehan yang
dilihat oleh Hisao itu juga diketahui oleh
semua orang yang ada di situ. Mereka sama
bertanya-tanya dalam hati siapa adanya ninja
merah ini.
"Ninja jelek, kau merasa sudah cukup atau
masih mau terus?" Pertanyaan ninja merah
benar-benar sangat merendahkan ninja hitam.
Di dahului suara menggembor ninja hitam
menyergap dengan serangan berantai.
Katana dalam genggamannya seolah lenyap.
Berubah menjadi sinar keputihan yang
mencuat ke berbagai bagian tubuh ninja
merah. Setelah menghindar dengan sebat,
ninja merah keluarkan suara suitan keras.
Lalu tubuhnya berkelebat menyongoong
serangan lawan.
Trang …. trang …. trang!
Tiga kali dua katana bentrokan di udara. Ninja
hitam berseru kaget. Pedangnya lepas dari
tangan. Dia cepat jatuhkan diri. Ketika
bangkit sebuah kusarigama tahu-tahu sudah
tergenggam di tangannya. Rantai yang
ujungnya dicanteli senjata berbentuk ganco ini
diputar dua kali di atas kepala lalu dengan
kecepatan kilat membeset ke bawah.
"Jebol perutmu Brojol ususmul" teriak ninja
hitam.
"Perut bapakmu!" Usus Ibumu!" balas
berteriak ninja merah. Pedang di tangan
kanannya meluncur ke depan. Sengaja
disusupkan masuk ke dalam gelungan
kusarigama.
"Ha … ha …. Kau menjebak diri sendiri!" teriak
ninja hitam. Lalu dengan sekuat tenaga dia
tarik kusarigama-nya. Maksudnya hendak
membetot lepas pedang di tangan lawan. Tapi
alangkah terkejutnya ketika cepat sekali
pedang ninja merah justru melesat terus dan
tahu-tahu ujung katana itu sudah menempel
di tenggorokan-nya, membuatnya melangkah
mundur.
Wajahnya yang tersembunyi di balik kain
hitam pucat pasi. Jantungnya seperti mau
tanggal. Langkah mundurnya tertahan ketika
pinggangnya membentur meja sembahyang.
"Dasar ninja kurang ajar! Kalau mau
sembahyang jangan memantati meja! Putar
tubuhmu!" bentak ninja merah. Pedangnya
digerakkan secara aneh, mambuat tubuh ninja
hitam jadi terputar.
Dalam suasana lain mungkin semua orang
akan tertawa membahak melihat kejadian
yang lucu itu.
Namun saat itu semua dihimpit oleh rasa
tegang hingga tak ada yang bersuara ataupun
bergerak Ninja merah dekatkan kepalanya ke
wajah ninja hitam. Tanpa didengar oleh
orang-orang yang ada di situ, dengan suara
perlahan dia berkata. "Seorang teman
kehilangan senjata berbentuk kapak bermata
dua. Ada bukti senjata itu berada di tangan
komplotanmu, Lekas jawab atau kugorok
lehermu saat ini juga!"
"Ninja tidak takut mati! Kau boleh gorok
leherku!" menyahuti ninja hitam.
"Kurang ajar! Nyalimu boleh juga! Aku urung
menggorok lehermu! Kau akan kubiarkan
hidup. Tapi kedua matamu kubuat buta lebih
dulu!" Tangan ninja merah yang memegang
pedang bergerak ke atas. Ninja hitam yang
masih memegang ujung rantai besi coba
bertahan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya
sampai tubuhnya keringatan. Ternyata dia tak
mampu melawan tenaga lawan.
"Mata kananmu lebih dulu!" kata ninja merah.
Ujung pedang bergerak ke arah mata kanan
ninja merah Tiba-tiba tangan kiri ninja hitam
menyelinap ke sisi.
Sesaat kemudian sebuah belati kecil yang
tergenggam di tangan kiri itu menghunjam
deras ke perut ninja merah.
"Belati beracun!" teriak beberapa orang.
Ninja merah tampk tenang. Dia bukannya
tidak tahu apa yang dilakukan lawan. Begitu
ujung belati hampir menyentuh pakaian
merahnya dan siap menjebol perutnya, tangan
kiri ninja merah berkelebat. Ninja hitam
berteriak kesakitan ketika lengannya yang
memegang pisau dicekal lawan. Dia merasa
seperti dijepit dengan jepitan besi. Ketika dia
coba berontak terasa ada tekanan aneh pada
urat besar di pergelangan tangan Lalu
mendadak sontak sekujur tangan kirinya
menjadi kaku! Sementara itu ujung katana di
tangan ninja merah sudah rampal di depan
mata kanannya.
"Bagaimana, kau mau memberi keterangan
atau tidak?!" kertak ninja merah. Nyali ninja
hitam jadi leleh.
"Aku tidak tahu menahu soal senjata yang
kau tanyakan itu. Ada tiga komplotan besar
ninja di daerah ini …."
"Sebutkan!"
"Ninja Nara, Ninja Iga dan Ninja Okazaki…."
"Kau dari ninja mana?!"
"Nara ….:"
Ninja merah tertawa perlahan. "Manusia
kentut busuk! Kau kira aku bisa kau akali!
Setahuku ninja Nara tidak pernah memiliki
shuriken beracun seperti yang kalian
pergunakan untuk membunuh dua murid
perguruan itu!" Pedang di tangan ninja merah
bergerak ke atas.
Craasss!
Ninja hitam meraung keras. Mata kirinya
pecah. Darah muncrat.
"Kau masih punya kesempatan kurang dari
sekejapan mata! Katakan kau gembong ninja
dari mana!"
"I ….. Iga…" jawab ninja hitam.
"Dasar ninja tolol kalau tadi-tadi kau beri
tahu mata kananmu tak akan buta!" Tiba-tiba
tiga buah senjata rahasia berbentuk bintang
melesat ke arah ninja merah. Dari samping
berkelebat satu bayangan. Lalu tring … tring
…. !
Dua buah shuriken mental ke udara dan
menancap di loteng ruangan. Shuriken ke tiga
ternyata melesat sangat sebat dan siap
menembus dada ninja merah. Orang banyak
menahan nafas. Wajah ninja merah dibalik
penutup kepala menyeringai. Tangan kirinya
mencengkram bahu ninja hitam. Tangan
kanan yang masih memegang pedang dan
tergelung dalam rantai besi ditarik kesamping.
Tubuh ninja hitam bergeser keras ke kanan.
Lalu terdengar jeritnya ketika shuriken
beracun menancap amblas di punggungnya,
terus menembus paru-paru sebelah kiri Ninja
ini langsung mati berdiri!
Ninja merah memandang pada Shigero
Momochi yang berdiri di tengah ruangan
sembahyang. Dialah tadi yang telah
melompat dan menangkis dua buah senjata
rahasia yang dilemparkan oleh kawan ninja
dari lga itu.
"Terima kasih …. Aku tidak melupakan
bantuanmu tadi!" kata ninja merah pada
Shigero Momochi. Tiga ninja hitam yang ada
di tempat itu menjadi marah dan nekad
melihat kawan mereka menemui ajal
mengenas kan begitu rupa. Ketiganya
melompat dan langsung menyergap ninja
merah dengan serangan ganas. Tiga bilah
katana berkiblat di udara mengeluarkan suara
berdesing mengerikan.
"Aha, selain kurang ajar kalian juga ternyata
curang!" teriak ninja merah. Sretttl Dia cabut
pedangnya dari gelungan rantai besi
berkepala ganco. Tiga ninja yang menyerbu
mengira lawan mereka akan pergunakan
senjatanya untuk menangkis. Cepat-cepat
mereka putar arah pedang. Tiga katana itu
kini menderu ke arah tubuh sebelah bawah
lawan. Tapi mereka kecele.
Ninja merah ternyata tidak pergunakan
katananya untuk menangkis. Tapi tiba-tiba
mengangkat tubuh ninja yang sudah mati dan
memutarnya seperti titiran lalu dilempar ke
arah tiga ninja yang menyerangnya.
Craasss! Craasss! Craasss!
Tiga pedang menghantam tubuh mayat di tiga
tempat. Lantai ruangan sembahyang lagi-lagi
dikotori dengan darah! Tiga ninja hitam
terkesiap kaget tidak mengira kalau pedang
mereka akan menghantam tubuh kawan
sendiri walaupun sudah jadi mayat. Hisao
Matsunaga usap mukanya berulang kali
sementara yang lainnya tertegun menyaksikan
apa yang terjadi.
Tiga ninja hitam jadi tambah beringas.
Mereka berteriak dahsyat lalu kembali
menyerbu ninja merah.
Yang diserang siap menunggu dengan pedang
melintang di depan dada. Dan lagi-lagi dia
memegang pedang dengan satu tangan yaitu
tangan kanan tidak lazimnya cara ninja
memegang senjata, Saat itu Shigero Mamochi
tidak mau tinggal diam. Begitu tiga ninja
hendak mengeroyok lagi dia berkelebat masuk
ke dalam kalangan pertempuran. Tapi dia jadi
melongo ketika mendapatkan hanya satu
lawan yang tersisa.
Dua ninja lainnya telah lebih dulu
menggeletak di tanah dengan perut dan dada
robek. Keduanya melejang-lejang beberapa
kali lalu diam tak berkutik lagi.
"Maafkan aku hanya meninggalkan satu
korban untukmu!" kata ninja merah pula pada
Shigero Momochi.
Lalu dia keluarkan suitan keras. Di lain kejap
semua orang hanya sempat melihat orang itu
berkelebat satu kali lalu lenyap di ujung
ruangan sembahyang.
Shiaero Momochl memandang mendelik pada
satu-satunya ninja yang masih hidup. Ninja
satu ini sebenarnya sudah hampir putus
nyalinya. Namun dia sadar tak mungkin lolos
hidup hidup dari tempat itu. Belasan anak
murid perguruan dilihatnya telah mengurung
tempat itu. Dengan nekad dia lalu menyerbu
ke arah Shigero. Wakil ketua perguruan yang
suka mabok ini memang memiliki ilmu pedang
tinggi. Namun satu lawan satu menghadapi
ninja hitam itu dia sempat dibuat repot
bahkan robek lengan kimononya sebelum
akhirnya dia berhasil membacok pangkal leher
lawan sampai tewas. AKIRA Kasai menghela
natas lega. Tapi wajahnya masih gelisah. Dia
berpaling pda Akiko Bessho yang tegak di
sebelahnya.
"Ada empat ninja terbunuh di perguruan.
Keadaan semakin rumit…!" kata anak itu
dengan suara perlahan.
"Aku tahu.,." jawab Akiko.
"Kawan-kawan mereka bahkan mungkin
semua komplotan ninja dl negeri ini akan
menyerbu. Menuntut balas! Aku sahabatmu,
aku tidak akan membiarkan kalian
diperlakukan semena-mena. Aku akan
melakukan apa saja yang bisa membantu …..
Cuma saat ini aku juga punya kesulitan …… ."
"Kesulitan apa?" tanya Akira Kasai.
"Dalam perjalanan ke sini sebenarnya aku
bersama seorang kawan. Seorang pemuda
asing bernama W iro. Begitu melihat Ketua
Hisao Matsunaga memacu kuda di malam
buta, aku mengambil keputusan untuk
mengikutinya. Pemuda asing itu aku suruh
tunggu di satu tempat. Ketika aku kembalil
dari puri bersama Ketua Hisao Matsunaga
kawanku tak ada lagi di tempat penantian.
Aku bersama Ketua menyelidik tapi tak bisa
lama karena dia harus cepat-cepat kembali ke
sini.
Sebelum pergi aku menemukan sebuah
shuriken menancap di batu. Ninja …. Jangan-
jangan kawanku ltu… .?. telah dibunuh atau
diculik oleh ninja …."
"Kau salah nona Akiko. Aku ada di sini. …"
satu suara terdengar. Seorang pemuda
berpakaian dekil dan robek serta berambut
gondrong muncul dari balik sebuah tiang
bangunan. Akiko Bessho berpaling dan hampir
berteriak ketika melihat Pendekar 212 Wiro
Sableng tegak di depannya.
"Wiro! Kukira kau…." * * *
SEPULUH Murid Sinto Gendeng tersenyum.
Tapi tiba-tiba wajahnya kelihatan mengernyit.
"Eh, kau seperti kesakitan…." kata Akiko.
"Saya lihat ada luka di paha dan lengannya,"
kata Akira pula.
"Aku diserang lima orang ninja. Satu berhasil
kubunuh. Satunya lagi kubabat buntung
tangan kanannya.
Yang tiga berhasil membuatku babak belur
lalu menendangku sampai jatuh ke dalam
jurang batu …."
"Jatuh ke dalam jurang batu?! Saya tidak
percaya!
Bagaimana mungkin sekarang kau masih
hidup?!" kata Akira Kasa! pula.
"Wiro, ini Akira Kasai, putera mendiang Ketua
Noboru KasaI…." Akiko memperkenalkan.
Wiro mengangguk lalu membungkuk. Akira
Kasai balas menjura lalu menutup mulutnya
menahan tawa.
"Sobat kecil, mengapa kau tertawa ?" tanya
Wiro.
"Caramu membungkuk seperti orang menahan
buang air besar!" jawab Akira pula yang
membuat Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk
kepala.
"Wiro, apa yang dikatakan Akira benar. Jika
kau jatuh ke dalam jurang batu bagaimana
kau bisa hidup dan bisa datang ke sini walau
dalam keadaan masih terluka?"
"Kau mungkin tak percaya. Kawanmu bernama
Yori itu yang menolongku."
"Yori ….?'
"Manusia bendera …."
"Hah! Yori si Bendera Darah! Bukankah dia
sebelumnya bermaksud hendak
membunuhmu!?'
"Betul. Tapi agaknya dia begitu takut padamu
hingga menangguhkan kematianku."
"Tak bisa kupercaya."
"Dia juga yang mengobatiku dan berkata
bahwa setelah aku membunuh dan melukai
seorang ninja, nvawaku akan terancam
kemanapun aku pergi. Melihat apa yang
terjadi di tempat ini aku merasa beruntung.
Kalau saja aku datang lebih cepat pasti aku
yang jadi sasaran balas dendam ninja-ninja
itu. Walau aku lolos dari lobang jarum
kematian namun nasibku jelek Kapak Maut
Naga Geni 212 milikku dirampas kawannya
ninja!"
"Ah, senjata itu bagimu sama saja dengan
nyawamu," kata Akiko.
"Nona Akiko, jangan lupakan diriku. Bukan
kalian saja yang punya kesulitan. Saya
juga…"'
"Adik Akira maatkan aku …."
"Apakah kita bisa bicara di tempat lain
sekarang?"
"Baik, kita bicara di tempat aman. Kawanku
ini akanikut menemani …"
"Tunggu dulu. Saya tidak kenal pemuda asing
ini sebelumnya. Apa dia bisa dipercaya?"
tanya Akira Kasai.
"Kau bisa mempercayai dirinya seperti kau
mempercayai diriku …."
"Terus terang saya tidak bisa mengatakan
apakah saya mempercayaimu dan juga orang
ini. Tapi saya tidak punya orang lain yang
bisa diajak bicara…." Lalu Akira Kasai
memutar tubuhnya. Dia berjalan di depan
sekali menuju ke arah timur kawasan
perguruan yang luas. Di belakang sebuah
bangunan yang dijadikan gudang dimana
keadaan sepi dan agak gelap anak ini
berhenti.
"Di sini aman. Kita bicara di sini saja …." kata
Akira. Dia melirik pada Wiro sebentar seolah
masih meragu. Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya.
"Bocah … :'
"Bocah …. Apa itu?" tanya Akira.
"Di negeriku bocah artinya anak kecil …"
"Oh …"
"Kalau kau kurang percaya padaku, biar aku
pergi saja. Nanti aku kembali lagi," kata Wiro
pula. Lalu dia memutar tubuh hendak
meiangkah pergi.
"Tunggu, saya kira saya bisa percaya padamu
seperti saya percaya pada nona Akiko."
"Bagus, sekarang katakan apa yang hendak
kau sampaikan padaku …. ."
"Ini menyangkut surat warisan pengesahan
Ketua yang tadi dibaca oleh salah seseorang
sesepuh perguruan…"
"Ada apa dengan surat itu?' tanya Akiko. Anak
usia 14 tahun itu memandang dulu ke kiri dan
ke kanan seolah takut ada orang laln
mendengar pembicaraan.
Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
"Saya yakin surat yang dibacakan itu adalah
surat palsu."
"Tapi saya melihat sendiri pendeta Kamashaki
menyerahkannya dalam amplop kuning
tertutup pada Hisao Matsunaga di Puri
Sanzen …."
"ltu yang mengherankan," sahut Akira Kasai.
"Lalu apakah kau punya alasan atau bukti
mengatakan surat itu palsu?" bertanya
pendekar 212.
Akira Kasai mengangguk. "Saya melihat Ayah
membubuhkan tanda tangan dan cap
perguruan pada surat pengangkatan pewaris
Ketua itu. Waktu itu setetes tinta jatuh
menodai sudut kiri bawah surat. Ayah memaki
dirinya sendiri karena ketotolannya itu.
Namun saya lihat Ayah terus saja
memasukkan surat itu ke dalam amplop
kuning. Mengikatnya dengan benang, diberi
lem dan diberi lak besar. Surat itu diserahkan
pada saya dengan pesan agar saya bersama
beberapa pembantunya menyerahkan surat itu
pada pendeta Komo di Puri Sanzen …."
"Kapan hal itu tejadi?" tanya Akiko.
"Sekitar satu bulan lalu."
"Akira-san, kau banyak mengetahui kejadian
pada malam waktu Ayahmu dibunuh?'
bertanya Wiro. Ketika anak itu mengangguk
Wiro dan Akiko minta agar dia menceritakan.
Sesaat setelah mendengar cerita Akira, Wiro
lantas berkata.
"Ada kemungkinan Ayahmu karena kurang
senang dengan noda tinta di surat warisan,
lalu membuat surat baru mengganti surat
yang kau terima?"
"Saya tidak yakin. Karena surat yang bernoda
tinta itu hanya saya simpan satu malam.
Besoknya langsung dikirimkan pada pendeta
Komo."
"Melihat gelagat, Ayahmu seperti tidak
mempercayai keamanan di perguruan …" kata
Wiro.
"Saya tidak mengerti dan saya tidak tahu
mengapa Ayah berbuat begitu."
"Sekarang sudah ada Ketua perguruan yang
baru.
Apa yang masih kau risaukan?" tanya Akiko
Bessho.
"Siapa saja yang jadi Ketua saya tidak
perduli.
Tapi saya mengira telah terjadi kecurangan.
Pemalsuan surat warisan Ketua."
"Selain Hisao Matsunaga, siapa lagi pengurus
di perguruan yang berhak untuk jabatan itu?"
tanya Wiro.
"Paman Shigero Momochi. Tapi syukur Ayah
tidak mewariskan jabatan Ketua padanya …."
"Memangnya kenapa?' tanya Wiro lagi.
"Sifatnya kasar. Pemabok. Walau hatinya baik,
mana mungkin orang seperti dia bisa diangkat
jadi Ketua. Saya kira memang tepat kalau
Ayah mewariskan jabatan Ketua pada paman
Hisao Matsunaga. Hanya saja saya masih
merasakan ada sesuatu yang tidak beres …"
"Akira-san sudahlah. Hal itu tak perlu kau
pikirkan berpanjang-panjang. Perguruan
sudah punya Ketua baru. Besok jenazah
Ayahmu akan diperabukan …."
Akira terdiam. Baik Akiko maupun Wiro sama
maklum kalau si anak masih belum puas.
Agaknya belum seluruh unek-uneknya
dikeluarkan.
"Adik Akira, mungkin masih ada yang hendak
kau katakan?"Tanya Akiko.
Wiro menguap lebar-lebar. Selain letih luka di
kaki dan di lengannya terasa berdenyut sakit.
Dia lalu pergi duduk di sebuah bangku kayu
dekat dinding gudang.
"Memang ada. Mungkin ini bisa dijadikan
petunjuk siapa yang membunuh Ayah …."
"Kita semua tahu Ayahmu dibunuh oleh ninja.
Ada tiga kelompok besar ninja di negeri ini.
Tidak mudah untuk menyelidiki. Buktinya kau
saksikan sendiri bagaimana mereka berani
mendatangi tempat ini hanya karena
tersinggung …."
Si anak tidak perdulikan ucapan gadis itu. Dia
memotong. 'Waktu saya melihat jenazah Ayah
pertama kali, saya melihat ada kelainan pada
lima jari tangan kanan beliu …"
"Kelainan bagaimana?"
"Lima jarinya berada dalam keadaan seperti
habis mencengkeram. Setahu saya Ayah
memang mempunyai ilmu pukulan disebut
Lima Jari Dewa. Untuk mendapatkan ilmu itu
Ayah harus melakukan perjalanan selama
tujuh bulan ke sebuah pegunungan di Tibet.
ltupun belum sempurna betul. Menurut Ayah
dia harus kembali lagi ke sana. Siapa saja
yang terkena pukulan Lima Jari Dewa pasti
menemui ajal atau cacat bertanda seumur
hidup tubuhnya, tak bisa dihilangkan. Saya
yakin sebelum terbunuh Ayah sempat
melepaskan pukulan itu ke tubuh ninja. Kalau
tidak mengapa jari-jari tangannya berada
dalam keadaan mencengkeram. Saya mengerti
tidak mudah mencari tahu siapa ninja yang
terkena pukulan itu. Namun paling tidak kita
sudah punya petunjuk …"
"Selain Ayahmu, apa ada pengurus perguruan
lainnya memiliki ilmu Lima Jari Dewa itu?"
bertanya Akiko. Akira Kasai menggeleng.
"'Cuma Ayah satu-satunya yang menguasai
ilmu itu!" Akiko memandang pada Wiro.
"Apa yang bisa kita lakukan?"
"Semua yang diceritakan anak ini dan semua
yang terjadi adalah urusan dalam perguruan.
Kita tak bisa mencampuri dan melibatkan diri.
Aku sendiri sedang bingung karena menderita
luka dan kehilangan kapak mustika. Namun
mungkin semua yang terjadi di sini
merupakan satu jalan bagiku untuk menyelidik
ninja mana yang mencuri senjataku itu…!'"
Wiro memandang pada Akira lalu berkata.
"Sobatku kecil, aku akan melakukan apa saja
untuk membantu menyingkap siapa pembunuh
Ayahmu….."
Akira Kasai membungkuk. "Terima kasih gaijin
…" katanya perlahan lalu dia berpaling pada
Akiko.
"Ada satu hal yang tidak saya mengerti dan
ingin saya bicarakan denganmu!'
"Katakan saja …"
"lni menyangkut kejadian sewaktu rombongan
kami dicegat ninja dalam perjalanan ke Puri
Sanzen … ."
"Apa yang tidak kau mengerti Akira!"
"Ninja berlaku ganas. Mereka menumpas
hampir semua anggota rombongan. Termasuk
sahabat saya Keno. Yang selamat hanya saya
dan Paman Hisao.
Namun waktu itu saya … !" Akira Kasai tidak
meneruskan kata-katanya. Dari balik
bangunan gudang terdengar suara orang
batuk. Sesaat kemudian Hisao Matsunaga
yang sekarang menjadi Ketua Perguruan
Emerarudo muncul di tempat itu.
"Maafkan kalau kedatanganku menggangu
pembicaraan kalian. Jika memang ada urusan
penting yang perlu dibicarakan, dalam
bangunan besar ada beberapa ruangan bisa
dipergunakan …."
"Kami kebetulan bertemu dan tidak bicara
hal-hal penting," kata Akiko pula sambil
tersenyum lalu membungkuk.
Begitu juga Akira dan Wiro.
"Akira-san," Hisao menegur, "Kau butuh
istirahat lngat besok akan ada upacara
panjang sebelum Ayahmu diperabukan.
Mengapa tidak segera saja masuk kamar dan
istirahat?"
"Maafkan saya paman Hisao. Selamat malam
untuk kalian semua," jawab Akira. Sekali lagi
anak ini membungkuk lalu cepat-cepat
ditinggalkannya tempat itu.
Hisao Mastunaga perpaling pada Akiko.
"Nona Akiko, bagimu telah kusediakan sebuah
kamar untuk istirahat. Jika kau suka akan
kuantar kesana sekarang juga …."
"Terima kasih. Ketua terlalu memperhatikan
saya"
Hisao Matsunaga kini memandang pada Wiro.
Rambut gondrong, kening diikat kain putih,
pakaian robek serta luka di paha dan lengan.
"Nona Akiko siapa pengemis asing ini?" Mulut
Pendekar 212 sampai bergerak pencong
mendengar orang menyebutnya sebagai
pengemis. Dalam hati dia memaki panjang
pendek.
"Dia sahabat saya. Maafkan kalau
keadaannya morat marit. Dia barusan
dirampok orang di tengah jalan..!" dusta
Akiko.
"Hemmm …. Banyak uang atau hartamu yang
dirampas?" tanya Hisao Matsunaga pada Wiro
dengan senyum menunjukkan ketidak
percayaan.
"Sedikit. Cuma lima tail emas dan lima tail
perak,"
jawabWiro terpaksa berdusta agar karangan
Akiko cocok dengan ucapannya.
"Ck …. ck …. ck …" Hisao Matsunaga berdecak.
"ltu bukan sedikit" katanya lagi-lagi dengan
tersenyum tanda dia tidak percaya ucapan si
gondrong tadi.
"Nona Akiko, saya siap mengantarkanmu….."
"Terima kasih Ketua. Saya tak mau
merepotkan orang. Biar saya bergabung
dengan para tamu lainnya di ruang besar
upacara sembahyang …."
"Kalau begitu kemauan Nona saya tidak bisa
memaksa," kata Hisao Matsunaga pula. Lalu
dia melangkah. Namun berhenti di hadapan
Wiro dan berkata.
"Saya menghargai kehadiranmu untuk
melayat.
Tapi sesuai aturan, kau hanya diperkenankan
duduk di barisan paling belakang tempat
upacara …." Wiro tersenyum.
"Saya sudah tahu. Tempat pengemis seperti
saya memang di situ …. Lagi pula saya
kawatir duduk ramairamai di depan ….."
"Apa yang kau kawatirkan?" tanya Hisao
Matsunaga heran.
"Saya kawatir beberapa tail emas yang masih
ada dalam kantong pakaianku disambar orang
…" jawab Wiro.
"Selamat malam ketua," katanya kemudian
Sambil membungkuk. Tanpa berkata apa-apa
lagi Hisao Matsunaga tinggalkan tempat itu
dengan cepat. Begitu orang pergi Wiro
berpaling pada Akiko yang memandang
padanya sambil tertawa geli.
"Nasibku buruk amat. Disangka pengemis oleh
Ketua Perguruan…!'
"Sudahlan. Dia cuma salah menduga dan
menilai orang," menyahuti Akiko Bessho.
"Bagaimana pendapatmu mengenai Akira
Kasai…?
"Dia anak baik. Tapi aku punya firasat
keselamatannya terancam." Jawab Wiro
polos.
"Kalau begitu aku akan mengawasi dirinya
secara diam-diam."
"Malam ini biar aku saja yang berjaga-jaga.
Apa lagi tak ada gunanya aku berada di
ruangan pembacaan doa. Aku mana pandai
berdoa cara kalian …" Habis berkata begitu
Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke
arah bangunan di mana tadi dilihatnya Akira
masuk.
Dia melambaikan tangan pada Akiko Bessho
lalu berkelebat naik ke atas atap bangunan
lain di seberangnya. * * *
SEBELAS LAPAT-lapat dari ruang besar
tempat upacara doa dilangsungkan terdengar
suara orang membaca doa tak berkeputusan.
Tanpa diketahui oleh orang-orang perguruan
Emerarudo, dua sosok hitam berkelebat cepat
di kegelapan malam. Seperti cecak keduanya
merayap cepat menaiki tembok tinggi.
Ketika dua sosok hitam itu menyelinap naik ke
atas atap kamar tempat tidur Akira Kasai, di
suatu bukit kecil di dalam sebuah bangunan
berbentuk kuil seseorang menyalakan lilin di
atas sebuah meja batu berlumut. Di atas meja
terdapat aebuah bokor tembaga Di dalam
bokor ini tersimpan abu jenazah seseorang.
Nyala api lilin yang menari-nari tertiup angin
membuat bayang-bayang seram di dinding
ruangan.
Orang yang menyalakan lilin membungkuk di
hadapan meja batu sampai tiga kali lalu
perlahan-lahan jatuhkan diri berlutut. Sepuluh
jari-jari tangannya dirangkapkan satu sama
lain. Lalu diantara siliran angin malam
terdengar dia berucap.
"Nenek …. Cucu telah membuat kesalahan
besar.
Dua kali cucu berhasil menemuinya. Tapi dua
kali pula cucu gagal membunuhnya. Kali
pertama karena permintaan orang yang
pernah menyelamatkan kehormatan cucu. Kali
ke dua karena kebodohan cucu sendiri. Yaitu
cucu tidak mampu, tidak tega melakukannya.
Setiap cucu melihat wajahnya ada perasaan
aneh dalam hati cucu. Nenek Arashi Cucu
mohon maafmu. Agaknya cucu tidak akan
pernah bisa membunuhnya. Kalau ini satu
dosa besar, mulai dari sekarang hukumlah
diriku …."
Orang yang berucap di depan meja batu yang
dijadikannya meja sembahyang itu terdiam
sesaat, berusaha membendung air mata yang
hendak keluar dari kedua matanya.
Tiba-tiba suara hatinya seperti berontak dan
di telinganya seolah mengiang kata-kata.
Cucu tidak berbudi. Mana keberanian yang
kutempa selama dua belas tahun dalam
dirimu! Mana kekuatan batin yang
kutanamkan dalam tubuhmu! Mana hawa
sakti yang mengalir dalam darah dan setiap
denyut jantungmu!
Jangan perasaan menguasai pikiranmu. Aku
tahu kau tiba-tiba jatuh cinta padanya. Cinta!
ltulah kelemahan pangkal bahala yang akan
membunuhmu! Aku tidak meminta banyak
padamu. Hanya satu! Bunuh pemuda asing
itu! Atau arwahku akan membayangi selama
hidupmu!
Orang di depan meja batu katupkan jari-jari
tangannya satu sama lain hingga
mengeluarkan suara berkereketan. Di kejauhan
tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing
membuat dia tercekat. Laiu dia berdiri lurus-
lurus memandangi bokor di atas meja batu
berlumut. Setelah membungkuk tiga kali dia
berkata.
"Nenek Arashi, aku harus pergi sekarang. Lain
kesempatan aku akan menyambangimu lagi di
sini …."
Sampai di luar kuil dia tegak tertegun. Dia
tidak tahu harus pergi kemana. Akhirnya dia
menuruni bukit sepembawa kakinya Angin dan
udara malam yang dingin tidak diacuhkannya.
KEMBALI ke Perguruan Emerarudo. Suara
orang membaca doa masih terdengar wabu
kini mulai mengalun perlahan. Dua sosok
hitam di alas bangunan dengan cepat
menyelinap ke bawah cucuran atap.
Sretttt…. sretttt!
Mereka merobek dinding kertas dengan
sebuah alat berbentuk pisau kecil. Di lain
kejap tanpa ada yang mengetahui keduanya
telah menyelinap masuk ke dalam kamar tidur
Akira Kasai.
Saat itu putera mendiang bekas Ketua
Perguruan Noboru Kasai memang telah
bersiap untuk istirahat membaringkan diri di
atas selembar kasur tipis. Sebelum berbaring
dia merasa perlu memanjatkan doa terlebih
dulu bagi arwah Ayahnya. Pada saat itulah
tiba-tiba dia melihat dua sosok hitam
menerobos masuk ke dalam kamar dan tanpa
suara mereka menjejakkan kaki di atas tatami.
"Shinobi!" seru Akira Kasai dengan lidah kelu.
Wajahnya menjadi pucat. Ninja di sebelah
kanan menganggukkan kepala. Melihat tanda
ini ninja di samping kiri segera menghunus
katananya. Cahaya maut berkilau dari badan
pedang. Rasa takut yang menyelubungi diri
Akira tiba-tiba saja lenyap. Berubah dengan
dendam kebencian.
"Kalian pasti komplotan ninja yang
membunuh Ayah! Saat ini kalian pasti juga
hendak membunuhku!
Kalian kira aku takut mati?!"
Dua ninja tak menjawab.
Tiba-tiba Akira jatuhkan diri diri di lantai. Dia
berguling ke kepala kasur di mana terletak
pedang miliknya.
Namun sebelum dia mampu menyentuh
senjata itu, ninja di sebelah kanan cepat
melompat lalu menginjak lengan anak ini.
Akira Kasai menjerit keras. Dengan suara
bergetar karena amarah dan juga kesakitan
anak ini berkata.
"Aku tidak takut mati! Ayo bunuh!"
Ninja yang memegang pedang tidak tunggu
lebih lama. Senjata di tangannya di tetakkan
ke kepala Akira Kasai.
Wutttt!
Sesaat lagi kepala anak itu akan terbelah
tiba-tiba dinding kiri kamar jebol. Satu
bayangan merah berkelebat dan trang! Sebilah
katana melesat ke depan menangkis bacokan
pedang ninja.
"Ninja merah!" teriak dua ninja hitam hampir
bersamaan. Kejut keduanya bukan olah-olah.
Terutama ninja yang senjatanya kena tangkis.
Lengannya bergeletar.
Jan-jarinya terasa pedas panas. Selagi dia
masih dilanda kaget tiba-tiba satu tusukan
menderu ke dadanya. cepat ninja ini berkelit
ke samping sambil menangkis. Dari samping
kawannya ikut membantu.
Tranggg!
Tiga pedang beradu keras. Bunga api
memercik terang dalam kamar. Dua pedang di
tangan ninja menjepit pedang ke tiga hingga
tak bisa bergerak.
Namun yang punya senjata malah keluarkan
suara tertawa.
"Kau inginkan pedangku silahkan ambil!"
Pedang dilepas. Bersama dengan itu sosok
ninja merah melesat ke atas. Dua ninja hitam
memburu dengan pedang mereka. Dari atas
ninja merah melepaskan pukulan tangan
kosong. Serangkum angin dahsyat menderu.
Dua ninja hitam berseru kaget begitu senjata
mereka bergetar keras dan tak mampu ditusuk
atau dibacokkan.
"Lepaskan senjata rahasia!" teriak ninja
sebelah kanan. Serentak dia dan kawannya
gerakkan tangan kiri melepaskan senjata
rahasia berbentuk bintang. Lawan yang
diserang jatuhkan diri ke lantai sambil ulurkan
tangan menjangkau pedang yang tadi
dilepaskannya dan saat itu hampir jatuh di
atas tatami.
Gerakannya ini sungguh luar biasa cepatnya
hingga dua buah senjata rahasia yang
dilemparkan ke arahnya tak berhasil menemui
sasaran, satu menembus dinding kamar terus
melesat keluar satunya menancap di tiang
kayu.
Ninja sebelah kanan keluarkan jeritan maut
begitu pedang ninja merah menjebol perutnya.
Tubuhnya langsung roboh. Darah bergenang
cepat di atas tatami.
Ninja satunya menggembor marah. Sekali
berkelebat pedangnya menyambar ke leher
ninja merah yang masih berbaring di lantai.
Dalam keadaan menelentang ninja merah
tangkis serangan ganas itu. Dalam waktu
bersamaan kaki kanannya menendang ke
atas.
Dukkkk!
Ninja hitam meraung keras. Pedang lepas dari
tangannya Sambil terbungkuk-bungkuk dia
pegangi bagian bawah perutnya yang hancur.
Matanya membeliak terbalik-balik. Mati! Ninja
merah sarungkan pedangnya. Ketika melewati
tiang dimana menancap satu dari dua senjata
rahasia tadi ninja merah mencabut dan
memeriksanya.
"Hemmmm …. shuriken beracun …."
gumamnya.
Lalu dia . cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Ketika orang banyak memasuki kamar ltu
Akira Kasai tertunduk di alas tatami sambil
pegangi lengan kanannya yang sakit. Keringat
dingin membasahi tubuhnya.
Yang muncul di tempt itu adalah Shigero
Momochi, Akiko Bessho lalu seorang tua
pengurus perguruan, ditambah delapan orang
murid perguruan. Akiko cepat memberikan
pertolongan. Seorang ahli urut cepat
dipanggil. Atas pertanyaan Shigero Momochi,
Akira lalu menerangkan apa yang terjadi.
"Luar biasa malam ini. Ninja merah muncul
sampai dua kali untuk menolong kita," kata
orang tua yang jadi pengurus perguruan.
"Pertama waktu empat ninja muncul di ruang
pembacaan doa. Lalu di sini."
"Aku merasa malu. Kejadian di tempat ini
menunjukkan kelemahan kita. Perguruan bisa
diterobos begitu saja!" Kembali Shigero
Momochi bicara. Dia berkata sambil
memandang berkeliling. Murid-murid
perguruan tak ada yang berani melihat
wajahnya.
Ada suara batuk-batuk. Ketua Hisao
Matsunaga yang telah diberi kabar apa yang
terjadi segera datang ke tempat itu.
"Akira-san," katanya.
"Mulai saat ini kuharap kau pindah ke
bangunan tempat kediamanku. Aku minta
selusin anggota perguruan menjaga
kamarnya!
Satu hal kalian ingat. Jangan sampai orang
luar tahu apa yang terjadi di sini. Kecuali
kalau kalian semua mau dianggap orang-
orang tolol!"
Akira kemudian digendong, di bawa ke tempat
yang dikatakan Hisao Matsunaga. Yang, lain-
lain kecuali Shigero Momochi tinggalkan
tempat itu.
"Ninja merah … ." desis Shigero Momochi
sambil usap-usap dagunya.
"Siapa mahluk ini sebenarnya. Jika dia bisa
muncul dalam waktu cepat berarti dia tadi
masih berada di dekat-dekat sini …. Mungkin
seorang gagah salah satu dari para tamu……"
Sementara Shigero Momochi melangkah
menuju ruang besar tempat pembacaan doa,
Akiko Bessho juga pura-pura pergi ke ruangan
itu.
Namun di satu tempat dia berputar, bergegas
kembali.
Hanya saja kali ini dia tidak menuju
bangunan dimana kamar Akira Kasai terletak,
tapi ke bangunan di depannya dimana yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng bersembunyi di
atap.
"Aku punya dugaan. Jangan-jangan gaijin ini
yang menyaru jadi ninja merah …. !" tiba-tiba
di atas atap bangunan tampak ada sosok
tubuh bergerak.
"Huh itu dia! Menggosok-gosok mata.
Kelihatannya seperti habis bangun tidur!"
Sosok di atas atap melompat turun.
"Aku melihat kelainan pada wajahmu. Ada
apakah.?"
"Wiro, kau tadi berkata hendak mengawasi
keselamatan Akira Kasai. Pecuma saja kau
bermulut besar!"
"Eh, memangnya kenapa?" tanya Wiro.
"Dua ninja menyusup masuk hendak
membunuh anak itu. Apa kau tidak lihat ….?"
"Astaga!"
"Ninja merah muncul lagi menyelamatkan
anak itu….. ."
"Astaga!"
"Astaga! Astaga! Kau hanya bilang astaga!
Apa saja kerjamu di atas atap sana?" Akiko
Bessho jadi kesal.
"Maafkan diriku. Aku ketiduran. Aku benar-
benar latih dan luka- luka ditubuhku membuat
aku rasanya kurang enak badan …. Tapi
bagaimana bisa orang orang perguruan
kebobolan lagi ….. ?"
"Jangan salahkan mereka. Kau sendiri juga
sudah kebobolan. Masih untungan anak itu
tidak mati dibunuh Hanya cidera tangan
kanannya…:"
"Astaga Kasihan betul …."
"Astaga lagi! Sudah tidur saja kau di atas
atap sana!" saking kesalnya Akiko Bessho lalu
tinggalkan Wiro.
"Ternyata bukan dia. Lalu siapa ninja merah
itu?
Mungkin yori….? Atau Kamashaki pendeta Zen
itu? "
Selagi Akiko Bessho melangkah sambil
berpikir-pikir itu dua sosok berjubah
melangkah tanpa suara di belakangnya.
Ternyata dua orang ini tidak mengikuti si
gadis, melainkan menyelinap ke arah
bangunan dimana tadi Akira Kasai dibawa.
Di ruang besar pembacaan doa Hisao
Matsunaga membaca doa dengan khusuk.
Kedua matanya dipejamkan. Sesekali matanya
dibuka. Kali kesekian dia membuka mata dan
menyapu para hadirin yang ada di ruangan
itu, baru dia menyadari Sesuatu. Maka
perlahan sekali dia berbisik pada Shigero
Momochi yang ada di sebelahnya.
"Shigero, aku tidak melihat dua orang pendeta
Zen yang datang bersama Akira itu…."
shigero Momochi yang juga asyik membaca
doa buka kedua matanya. Lalu dipejamkan
kembali. Seperti tak acuh dia berkata.
"Mungkin mereka sudah pulang…"
Kalau betul berarti sungguh tidak sopan per-
buatan mereka. Tidak minta diri pada tuan
rumah Apalagi upacara pembacaaan doa
belum selesai. Disamping itu mereka
selayaknya menunggu sampai selesai upacara
perabuan jenazah. Jangan-jangan mereka
berkeliaran ke mana-maria..:"
"Mungkin saja mereka lelah membaca doa lalu
jalan melihat-lihat bangunan perguruan kias,"
jawab Shigero lagi.
"melihat-lihat malam-malam begini? Hatiku
merasa kurang enak." kata Hisao Matsunaga.
Kalau begitu biar aku mencari di mana mereka
berada."
Shigero hendak hangkit berdiri. Padahal
sebenarnya saat itu dia ingin kembali ke
kamarnya untuk meneguk minuman keras.
Mulutnya terasa pahit dan tenggorokannya
seolah kering.
"Biar aku saja yang pergi. Kau tetap di sini,"
kata Hisao Matsunaga lalu mendahului
berdiri.
Shigero Momochi memperhatikan kepergian
sang ketua sambil berkata-kata sendiri dalam
hati. "Anak itu membuat keadaan
menjengkelkan. tiba-tiba saja dia menjadi
sangat Penting. Mengapa ada komplotan
ninja yang menginginkan nyawanya? Ninja
bekerja hanya atas dasar bayaran. Kalau
dibayar berarti ada yang membayar. Siapa?
Mengapa …. ?"
Dua pendeta Zen mendekam di balik sebuah
pot besar Memandang ke depan mereka
melihat sekitar dua belas orang anggota
perguruan berjaga-jaga di dekat bangunan di
mana Akira Kasai berada. Di ruangan dalam
masih ada empat orang lagi melakukan
pengawalan.
Sambil memandang berkeliling salah seorang
pedeta Zen berbisik pada temannya. " Aku
sebetulnya tidak suka pekerjaan macam
begini. Kalau bukan pendeta Kamashaki yang
menyuruh aku lebih enak diam di kamarku,
berdoa sambil tidur-tiduran …"
Mendiang Ketua Noboru Kasai punya
hubungan sangat baik dengan kita. Sangat
pantas kalau pendeta Kamashaki meminta
kita menyelamatkan anak itu, Pendeta
agaknya telah punya firasat atau bisa melihat
apa Yang bakal dialami anak itu. Ini semua
berdasar pada kenyataan bahwa Ayahnya
meninggal secara tidak wajar. Seseorang telah
menyuruh membunuhnya, Lalu mungkin orang
yang sama pula yang menginginkan surat
warisan jabatan Ketua itu.."
"Kalau aku boleh menuduh dan mohon ampun
pada Dewa atas ucapan dan jalan pikiranku
ini, aku punya dugaan Wakil Ketua Shigero
Momochi lah yang jadi biang keladi dibalik
semua ini.agaknya dia maklum kalau
kelakuan dan tindak tanduknya selama ini
tidak memungkinkan dirinya diangkat jadi
Ketua. Dia berusaha mencuri surat warisan
untuk mengubah isinya. Ternyata Wakil Ketua
Hisao Matsunaga bertindak lebih cepat
mengamankan surat itu …."
Pendeta Zen yang satu lagi terdiam sesaat.
Dia memandang berkeliling sekali lagi.
"Kurasa aman. Lekas kau bertindak, jangan
ngomong saja. Kita tak punya waktu
banyak…."
Kawannya lalu mengeruk saku jubah. Dia
mengeluarkan sebuah kotak kecil yang
ujungnya berbentuk pipa rokok. Ujung ini
didekatkannya ke mulut. Penutup kotak
dibuka lalu dia meniup. Dari dalam kotak
berhembus keluar asap tipis bewarna kelabu.
Begitu terkena siliran angin asap ini terus
menyebar dan menyungkup bangunan di
depan sana cepat sekali.
Dua belas orang anak murid perguruan tiba-
tiba saja merasa mengantuk. Mereka menguap
berulang kali lalu satu demi satu jatuh
terkapar, tertidur pulas. Di dalam bangunan
empat orang pengawal lainnya menyusul
tenggelam dalam kantuk yang tidak
tertahankan lagi hingga akhirnya jatuh pulas.
Akira Kasai yang ada dalam kamar lebih
cepat tertidur. Anak ini melingkar dl atas
kasur tipis tak tahu apa-apa lagi.
"Sekarang.. " bisik pendeta Zen di sebelah
kanan.
Lalu mendahului berlari ke arah bangunan.
Kawannya berkelebat mengikuti. Akira Kasai
yang mereka temui dalam kamar segera saja
digendong. Keduanya lalu keluar dari
bangunan, sengaja melewati pintu belakang.
Begitu mereka sampai di tangga terbawah
satu suara menegur dari tempat gelap.
"Bukan main Dua pendeta Zen ternyata
penculikpenculik busuk Hendak kalian bawa
kemana anak itu.?!" * * *
DUABELAS DUA pendeta Zen tersentak kaget.
Yang berada di depan segera bergerak
melindungi temannya yang membawa Akira
Kasai.
Orang yang menegur keluar dari kegelapan.
Ternyata dia adalah Hisao Matsunaga Ketua
Perguruan Emerarudo yang baru.
"Ketua Matsunaga, harap kau jangan salah
paham.." kata pendeta Zen yang berdiri di
sebelah depan.
"Aku tak pernah salah paham. Kalian yang
salah paham! Perguruan Emerarudo selama
puluhan tahun telah menggalang tali
persaudaraan dengan Puri SanZen. Ternyata di
antara kalian ada manusia-manusia culas.
Atau mungkin pimpinan Puri yang memberi
perintah ….?"
Hisao Matsunaga bicara dengan seringai sinis
dan sebentar-sebentar tangan kanannya
mengusap dada kiri.
"Ketua Matsunaga, kami hanya menjalankan
tugas. Kami bukan menculik anak . ini, tapi
justru mau menyelamatkannya. Kau sendiri
tahu bagaimana berturut turut dia hendak
dibunuh …."
Hisao Matsunaga kembali menyeringai lalu
batukbatuk beberapa kali. "Tidak disangka
para pendeta pandai berdusta mencari dalih
…."
"Kami tidak berdusta. Kami benar-benar ingin
menyelamatkan anak ini …"
"Turunkan anak itu, letakkan di tanah!" bentak
Hisao Matsunaga. Lalu dia batuk-batuk
kembali. Tangan kanannya lagi-lagi dipakai
untuk mengusap dada.
"Kami tidak bisa melakukannya …." Marahlah
Ketua Perguruan Emerarudo itu. Sekali lompat
saja dia sudah berada di hadapan pendeta
yang menggendong Akira. Tangan kanannya
bergerak ke punggung dimana menjulur
gagang pedang.
"Cabut pedang kalian!"
"Kami para pendeta mana pernah membawa
senjata? !"
"Bagus! Kalau begitu biar kupatahkan batang
lehermu dengan tangan kosong!" Habis
berkata begitu Hisao Matsunaga langsung
menyerang pendeta di sebelah belakang. Tapi
kawannya di sebelah depan cepat memapasi
seraya berkata :
"Lekas larikan anak itu. Biar aku menghadapi
Ketua Perguruan barang sejurus dua jurus!"
"Pendeta kurang ajar!" bentak Hisao
Matsunaga lalu hantamkan tangan kanannya
ke tenggorokan sang pendeta. Perkelahian tak
dapat dihindari lagi.
Para pendeta di Puri Sanzen selain mendalami
ilmu agama juga banyak yang memiliki
ninjutsu atau kepandaian silat serta kesaktian
yang cukup tinggi. Dua diantara mereka
adalah yang kini berada di perguruan itu.
Gerakan pendeta yang langsung menghadapi
sang Ketua kelihatan lemah gemulai seperti
penari. Namun setiap gerakan yang dibuatnya
mengeluarkan hawa dingin hingga Hisao
Matsunaga berlaku hati-hati.
Berlawanan dengan sang pendeta gerakan
gerakan Hisao Matsunaga justru cepat, deras
dan ganas. Hanya dalam waktu lima jurus
pendeta itu dibuat terjengkang ke tanah
muntah darah. Satu jotosan mengandung
hawa sakti yang dihantamkan Hisao
Matsunaga dengan telak mengenai dadanya.
Berhasil merobohkan pendeta satu itu Hisao
Matsunaga segera mengejar pendeta satunya
yang membawa kabur Akira Kasai. Sadar
kalau dia tak bisa meloloskan diri pendeta ini
terpaksa turunkan anak yang di gendongnya
ke tanah lalu menghadapi Hisao Matsunaga.
Ternyata pendeta ini kepandaiannya jauh
lebih rendah dari temannya tadi. Hantaman
tepi telapak tangan Hisao Matsunaga tak
dapat dikelitnya.
Krakkk!
Lehernya patah. Nyawanya lepas sebelum
tubuhnya rubuh menyentuh tanah!
Saat itu Akira Kasai telah terjaga dari
tidurnya akibat sirapan asap aneh pendeta
Zen tadi. Sambil mengucak-ucak kedua
matanya dia memandang berkeliling dan
dapatkan dirinya terbujur di atas tanah.
"Eh, di mana diriku inl?' dia bertanya sendiri
lalu memandang berkeliling. Saat itulah dia
melihat Ketua Hisao Matsunaga tengah
mengayunkan tangan memukul patah batang
leher pendeta Zen. Dengan terkejut si anak
melompat berdiri.
"Paman Ketua ……"
Hisao Matsunaga memandang berkeliling.
Dilihatnya ada beberapa orang mendatangi
dari jurusan tempat pembacaan doa. Di depan
sekali Shigero Momochi.
"Lekas masuk ke kamarmu!" teriak Hisao
Matsunaga. Tapi untuk sesaat lamanya si
anak masih tegak tertegun. Saat itulah tiba-
tiba dari salah satu atap bangunan melayang
turun satu sosok merah. Hisao Matsunaga
terkejut sekali karena sambil melayang orang
ini lepaskan pukulan tangan kosong yang
mengeluarkan suara angin menderu, membuat
Ketua Perguruan ini terhuyung-huyung kalau
tidak lekas melompat ke samping.
"Nlnja merah!" seru Hisao Matsunaga.
Sementara itu Shigero Momochi dan bebera
orang yang mendatangi hanya tinggal belasan
langkah dari tempat itu. Di antara mereka
kelihatan pula Akiko Bessho.
"Hai!" teriak Shigero. Hisao Matsunaga juga
membentak keras ketika keduanya melihat
bagaimana nlnja merah dengan satu gerakan
kilat menyambar tubuh Akira Kasai. Ketika dia
hendak berkelebat pergi memboyong si anak
Shigero Momochi menghadang dengan
tebasan pedang.
Ninja meran melompat ke kiri. Dari jurusan ini
dia mendengar suara berdesir. Sebilah katana
menyambar ke arah punggungnya. Serta
merta ninja merah hunus pedangnya pula.
Tanpa menoleh dia sapukan senjatanya ke
belakang.
Tranggg!
Dua katana saling beradu memercikkan bunga
api. Ninja merah jatuhkan diri ke tanah.
Sambil mengepit tubuh Akira dia bergulingan.
Tiga katana datang menyambar.
Satu dari Shigero Momochi, satu dan Hisao
Matsunaga dan yang ketiga dari Akiko
Bessho. Tiga kali terdengar suara
berdentrangan. Walau dia sanggup menangkis
tiga hantaman pedang namun pedang di
tangan ninja merah tergetar keras.
"Cincang bangsat inil Selamatkan Akira-san!"
teriak Hisao Matsunaga.
"Tunggu dulu!" Yang berseru adalah Shigero
Momochi.
"Tahan semua serangan!"
"Shigero apa maksudmu?!" tanya Hisao
Matsunaga hampir berteriak dan berusaha
menahan marahnya.
"Sebelumnya ninja merah ini menolong kita
sewaktu empat ninja hitam muncul. Sekarang
dia hendak melarikan anak itu! Aku perlu
menanyai siapa dirinya sebenarnya dan
mengapa dia melakukan semua ini?!"
"Si pemabok tolol!" maki Hisao dalam hati
Hati dia berkata.
"Shigero, orang jelas-jelas hendak menculik
putera mendiang Ketua! Kau masih hendak
bicara berbaik-baik …. Sungguh aneh!" Dia
terbatuk-batuk lagi.
"Kau benar Ketua! Justru karena semua
terasa aneh aku ingin menyingkapkan tabir
keanehan ini! Dua pendeta Zen juga
melakukan keanehan! Apa kau tak. .."
"Shigero! Kau kembali saja ke ruang
pembacaan doa. Biar mahluk merah ini aku
yang membereskan!
Adalah tolol kalau dalam keadaan seperti ini
kau mau ngobrol dengan musuh!" Mendengar
kata-kata Hisao Matsunaga itu Shigero Jadi
meradang.
"Kalau itu mau Ketua terserah saja!" katanya.
Lalu dia membalikkan tubuh. Matanya
membentur Akiko Bessho. Dia mendelik pada
si gadis.
"Kau juga aneh! Kau orang luar! Mengapa ikut
campur urusan kami?!"
"Wakil Ketua Shigero. Maafkan kalau aku telah
bertindak lancang. Tapi bagiku Akira sudah
seperti adik sendiri mengingat hubungan
Ayahnya dengan mendiang guruku. Lagi pu
la…" Si gadis tidak meneruskan ucapannya.
Saat itu dalam amarah yang tak terbendung
lagi Hisao Matsunaga melompat dan
menyergap ninja merah dengan satu serangan
kilat. Untungnya yang diserang tidak berlaku
lengah. Sekali tangan kanannya bergerak
pedangnya menangkis pertengahan badan
pedang Hisao hingga tangan masing-masing
tergetar keras.
Hisao berlaku cerdik. Begitu pedang saling
menempel dengan cepat dia mendorong.
Ketua baru perguruan Emerarudo ini memang
dikenal sebagai memiliki hawa sakti yang
sanggup mengeluarkan tenaga luar biasa
kuatnya. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika
tibatiba tenaga dorongannya seolah-olah
berbalik menggempur dirinya sendiri. Semakin
dicobanya semakin terdorong dia kebelakang.
Selagi Hisao Matsunaga berusaha
mempertahankan diri dari tekanan lawan tiba-
tiba ninja merah hentakkan kaki kanannya
menghantam tanah. Ketua perguruan itu
merasakan tanah yang dipijaknya seperti
dilanda gempa. Tubuhnya terhuyung-huyung.
Dia bertahan mati-matian dengan sekuat
tenaga agar tidak jatuh.
Tapi bukan saja dia kalah tenaga malah dari
mulutnya kelihatan ada darah meleleh!
Tenaganya seolah punah. Tubuhnya
terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Saat itulah pedang di tangan ninja merah
berkelebat. Hisao Matsunaga coba menangkis
tapi meleset.
Breetttl
Dada kimono Hisao Matsunaga robek besar
mulai dari pertengahan perut sampai ke bahu
kiri. Perut dan dadanya tersingkap lebar
tubuhnya jatuh terlentang di tanah. Pedang di
tangan ninja merah menyusul berkelebat
mengikuti arah jatuhnya sedetik kemudian
ujung pedang telah menempel di tenggorokan
Hisao Matsunaga.
Saat Itu Shigero Momochi sudah tak ada lagi
di situ. Beberapa orang murid perguruan dan
juga Akiko Besso tertegun tegang. Agaknya
nyawa sang Ketua tidak tertolong lagl. Namun
rupanya ninja merah tidak bermaksud
membunuhnya. Karena dengan cepat dia
memasukkan pedangnya ke dalam sarung lalu
dengan cepat pula dia berkelebat lenyap dari
tempat itu. Akira Kasai ikut lenyap
bersamanya.
"Ninja merahl Tunggu!" seru Akiko.
Yang diteriaki sudah lenyap dari
pemandangan. Tapi si gadis dengan nekad
berusaha mengejar. * * *
TIGABELAS AKlRA Kasai merasa seperti mau
tanggal jantungnya dibawa iari sekencang itu.
"Nin …. ninja merah …. Kau mau membawa
saya kemana? Kau juga mau membunuhku..?
Untuk bertanya begitu anak ini berusaha
menindih rasa takutnya hingga suaranya
tersendat bergetar.
"Siap bilang aku mau membunuhmu. Malah
aku ingin kau selamat ..:" ninja merah
menjawab.
"Aku membawamu ke tempat aman.
"Ah, gadis itu masih saja mengikutiku!" Ninja
merah membatin.
"Anak, kau tahu tempat yang baik dimana kau
bisa tinggal sementara dengan aman!?"
"Eh, bagaimana ini? Kau bilang mau
membawa saya ke tempat aman. Mau
menyelamatkan diriku.
Sekarang mengapa malah bertanya? Dan mau
meninggalkan saya?!"
Kau lama tinggal di kawasan ini. Pasti tahu
seluk beluk daerah ini. Aku tak ingin ada
orang mendatangimu lagi dengan maksud keji
mau membunuhmu. Disamping itu ada satu
urusan besar yang harus aku selesaikan …"
"Kalau begitu kau turunkan saja saya di
tengah jalan ini!" kata Akira Kasai pula.
"Boleh saja! Tapi coba kau lihat ke belakang.
Ada seseorang mengejar. Jika kau kuturunkan
apa kau merasa pasti si pengejar itu tidak
akan memisahkan badan dan kepalamu?!"
Mendengar hal itu Akira Kasai jadi bergeming
juga.
"Saya rasa lebih baik ikut kemana kau pergi
saja," kata si anak kemudian. Ninja merah
tersenyum dan berlari terus. Makin lama
makin kencang. Akira melihat pohon-pohon
yang mereka Iewati laksana hantu-hantu
hitam berkelebat
Coba kau lihat. Apa orang yang mengejar
masih ada di belakang?" ninja meminta
bantuan anak yang dikepit di sisi kirinya itu.
"Masih. Malah sekarang ada dua," jawab Akira
Kasai.
"Hah?! Apa katamu?!" Ninja merah berpaling.
Memang benar. Di belakangnya kini ada dua
orang yang mengejarnya. Tak jelas siapa
satunya. Ninja kertakkan rahang. Kedua tumit
kakinya tidak menginjak tanah lagi.
Larinya benar-benar kilat laksana hembusan
angin hingga beberapa waktu kemudian dia
bisa lolos dari dua pengejar.
"lni kawasan Okaza. Tak Jauh dari sini ada
sungai kecil … !" tiba-tiba Akira berkata.
"Kau anak pandai," ujar ninja merah.
"Kalau kita menuju ke sana apa ada tempat
yang aman bagimu? "
"Sepanjang sisi sungai kawasan peladangan.
Biasanya ada beberapa buah gudang sayur di
sekiar situ!"
"Kita menuju ke sana! Kau tunjukkan saja
jalan nya!" Ninja merah mempercepat larinya.
Tak lama kemudian sungai yang dikatakan
Akira Kasai kelihatan memanjang dalam ke
gelapan di lamping sebuah lembah subur. Di
kiri kanan sungai merupakan daerah
peladangan.
Memang benar di situ terlihat beberapa buah
bangunan gudang tempat penimbunan sayur
sebelum diambil oleh para tengkulak. Ninja
membawa Akira ke sebuah gudang terdekat.
Keadaan di sini sunyi dan gelap.
"Kau berani kutinggal sendiri di sini?" tanya
ninja merah setelah menurunkan si anak dari
kempitannya.
Akira Kasai memandang berkeliling. Hatinya
berdebar juga.
"Ninja merah, apa sebenarnya yang hendak
kau lakukan hingga kau tega- teganya
meninggalkan diri saya sendirian di sini?"
"lni bukan soal tega atau tidak," jawab ninja
merah.
"Aku tidak bisa membawamu justru aku
kawatir jiwamu terancam!"
"Kau tidak mau mengatakan mau pergi
kemana?"
"Kalau aku katakan kau pasti tidak percaya
…."
"Bilang saja …."
"Aku mau menyerbu ke markas komplotan
ninja Nara!"
"Apa …. ? si anak terkejut dan melotot.
"Saya melihat kau merobohkan tiga ninja. Itu
hebat! Tapi kalau kau mau menyerbu markas
ninja itu adalah gila!"
"Eh, gila kenapa?"
"Kau mau bunuh diri?!" tukas si anak.
"Hanya orang gila yang mau bunuh diri!"
sahut ninja merah.
"Karena itu saya katakan kau gila. Kau tak
bakal dapat menerobos masuk markas
mereka. Kalaupun bisa, tak mungkin dapat
keluar hidup-hidup!"
"Kau mau taruhan?!" tantang ninja merah.
"Boleh saja! Kalau aku kalah akan kuserahkan
padamu katana yang tergantung di
pinggangku. Kalau kau kalah aku minta
pakaian ninja merahmu!"
"Hah?!" ninja merah berseru, tidak menyangka
si anak akan meminta pakaiannya. Setelah
berpikir sejenak dia berkata.
"Baik! Taruhan jadi!" Akira tertawa perlahan.
"Eh, kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?!"
tanya ninja merah.
"Kalau aku menang taruhan aku tak akan
pernah dapat pakaian merahmu. Karena kau
sudah tewas di markas ninja Nara …."
"Ah, kau betul juga. Kalau begitu menyusul
saja nanti ke sana …. Nah sekarang kau
kutinggal dulu!
Masuk ke dalam gudang! Jangan sekali-kali
berani keluar apapun yang terjadi. Kalau ada
petani masuk sembunyi di balik tumpukan
sayuran. Mengerti….?!"
"Hai!" jawab Akira Kasai. Ninja merah putar
tubuhnya tapi si anak memegang lengannya.
"Tunggu dulu … ."
"Apalagi? Kalau mau bicara cepatlah.
Waktuku tidak banyak. Sebentar lagi pagi
datang …."
"Ninja merah, saya tidak tahu siapa kau
sebenarnya.
Tapi apakah saya bisa mempercayaimu?"
"Anak, kenapa kau bertanya begitu?'
"Soalnya ada hal penting yang harus
kubicarakan.
Saat ini hanya ada kau …."
"Apa yang hendak kau bicarakan?"
"Banyak!"
"Waktuku sangat sedikit. Nanti saja kita
bicara …."
"lni menyangkut surat warisan dan …"
"Kalau itu bisa kau bicarakan nanti dengan
Ketua Perguruan …."
"Justru saya tidak mau bicara dengan dia …."
"Bicara dengan Wakilnya. Eh, kenapa kau
tidak mau bicara dengan Hisao Matsunaga? "
"Karena saya tidak percaya padanya. Saya
sangat curiga! Saya yakin dia yang jadi biang
keladi kematian Ayah!" Ninja merah. terkejut
mendengar kata-kata Akira Kasai itu. Dia
menarik si anak ke dekat sebuah bangku
panjang terbuat dari kayu dekat dinding
gudang.
"Duduk. Kau bicaralah. Jika kau curiga pada
orang kau harus punya bukti atau saksi."
"Saksi saya tidak punya. Tapi bukti ada!"
"ltu boleh juga …."
"Mengenai surat warisan pengangkatan
Paman Hisao Matsunaga. Saya yakin surat itu
palsu. Waktu Ayah membuatnya ada tinta
menetes di sudut kiri bawah surat. Saya
diperkenankan memeriksa surat itu. Ternyata
noda tinta itu tidak ada … ."
"Mmmmmm …." ninja merah bergumam.
"Mengapa hal itu tidak kau katakan terus
terang pada Ketua Hisao?
"Saya takut."
"Lanjutkan bicaramu."
"Saya yakin surat yang asli disembunyikan
oleh Paman Hisao. Atau sudah
dimusnahkannya. Waktu Ayah memasukkan
surat ke dalam amplop, saya sempat
membaca bahwa yang diangkat Ayah sebagai
pewaris jabatan Ketua adalah Paman Shigero
Momochi bukan Paman Hisao Matsunaga …."
"Kalau penglihatanmu betul rasanya tidak
masuk akal Ayahmu melakukan hal itu. Orang
pemabuk dan punya sifat kasar seperki
Shigero mana mungkin dijadikan Ketua?!"
"Saya juga tidak mengerti. Tapi saya yakin
Ayah punya alasan berbuat begitu. Semua
orang memang tahu Paman Shigero punya
sifat buruk. Banyak yang tidak suka. Terus
terang saja saya juga tidak suka padanya.
Tapi semua orang tahu hatinya baik …."
"Kalau kau tidak bisa mendapatkan surat
warisan yang asli, sulit untuk membuat
urusan…."
"Siapa yang jadi Ketua sekarang bagi saya
tidak soal," kata Akira Kasai.
"Tapi saja juga yakin bahwa Paman Hisao
adalah pelaku pembunuh Ayah saya …." Ninja
merah tersentak oleh rasa terkejut.
"Bagaimana kau bisa menuduh begitu?
Bukankah Ayahmu mati dibunuh oleh ninja?"
"Kelihatannya begitu. Tapi mungkin juga oleh
ninja bohongan. Karena waktu Ayah
meninggal, saya lihat kedudukan lima jari
tangannya seperki habis melancarkan ilmu
pukulan Lima Jari Dewa. Itu ilmu pukulan
paling hebat di Jepang saat ini. Siapa yang
terkena pasti akan mati, kalaupun selamat
akan cacat atau sakit-sakitan seumur
hidupnya. Agaknya Ayah masih sempat
melancarkan serangan itu pada pembunuhnya
…."
"Lalu ….?
"Sejak malam terjadinya pembunuhan itu saya
lihat Paman Hisao selalu batuk-batuk dan
sering mengusap dada kirinya … ."
"Anak, hal itu tidak bisa kau jadikan bukti
bahwa Ayahmu telah menghantamnya dengan
pukulan Lima Jari Dewa dan bahwa Hisao
Matsunaga yang membunuh Ayahmu …"
"Saya punya bukti lain. Waktu kau merobek
pakaian Paman Hisao dengan ujung pedang,
saya sempat melihat dada kirinya. Saya
menyaksikan ada lima titik besar berwarna
merah yang membengkak di dada kirinya. Itu
adalah bekas pukulan Lima Jari Dewa!"
Sepasang mata ninja merah tampak mendelik.
"Berarti Paman Hisaolah yang dipukul Ayah
dengan ilmu Lima Jari Dewa. Berarti dialah
yang menyamar jadi ninja lalu menyerbu
perguruan dan membunuh Ayah …."
"Aku ingat waktu berkelahi dengan Ketua
Perguru-an itu. Ada kejadian yang
mengherankan. Ketika dia menggembor
tenaga untuk menahan tekanan pedangku,
dari mulutnya keluar darah. Pertanda dia
memang terluka di dalam. Akibat pukulan
Ayahmu."
"Satu lagi," menyambung si anak.
"Waktu rombongan kami diserang komplotan
ninja, semua anak murid perguruan mati
dibunuh. Mengapa Paman Hisao bisa
menyelamatkan diri padahal jelas saya lihat
saat itu dia sudah dikurung oleh lima orang
ninja. Tapi dia tidak dibunuh karena ninja-
ninja itu memang orang bayarannya!"
"Akira, aku kagum dengan kecerdikanmu
berpikir…" kata ninja merah pula.
"Kagum saja tidak ada artinya. Apakah kau
juga bersedia menolong mengungkapkan
kekejian ini pada para pengurus Perguruan
Emerarudo?
"Aku berjanji!" jawab ninja merah.
"Terima kasih …." kata Akira Kasai. Anak ini
membungkuk dalam-dalam lalu menyelinap
masuk ke dalam gudang sayur. Tak lama
setelah ninja merah lenyap dalam kegelapan
malam, dari atas atap gudang sayur dua
sosok tubuh melayang turun ke tanah.
"Kita berbagi tugas," kata sosok di samping
kanan.
"Aku tetap di sini menjaga anak itu. Kau
mengikuti ninja merah." Kawannya
mengangguk.
"Hati-hatilah. Komplotan ninja atau orang-
orang dari Perguruan bisa muncul setiap saat
di tempat ini.
Sayang tadi kita tidak sempat mendengar apa
yang dibicarakan anak itu dengan ninja
merah. …" * * *
EMPATBELAS DINIHARI menjelang pagi. Di
dua tempat.
Tempat pertama adalah Perguruan Emerarudo.
Upacara pembacaan doa baru saja selesai
dan akan dilakukan lagi pada saat menjelang
perabuan jenazah. Ketua perguruan berada
dalam kamarnya. Selesai berganti pakaian dia
keluar menuju ke ruangan di mana telah
menunggu beberapa pengurus termasuk
Shigero Momochi.
"Ketua, bagaimana keadaanmu?" tanya
Shigero.
"Aku sudah minum obat. Keadaanku cukup
sehat.
Apakah dua orang yang kusuruh menguntit
kemana larinya ninja merah sudah kembali?"
tanya Hisao Matsunaga.
"Belum Ketua …"
"Kita harus menyelamatkan dan mendapatkan
anak itu kembali …" kata sang Ketua sambil
pegangi dada kirinya. Di luar tiba-tiba ada
suara derap kaki kuda.
Tak lama kemudian dua orang anak murid
perguruan yang memiliki keahlian
menunggang kuda secara luar biasa masuk.
Setelah membungkuk salah seorang dari
mereka memberi laporan.
"Ninja merah lenyap, tak berhasil kami
ketahui kemana perginya. Tapi putera
mendiang Ketua Noboru Kasai kami ketahui
bersembunyi di sebuah gudang sayur dekat
sungai Okaza. Di dekat gudang kami lihat
nona Akiko Bessho berjaga-jaga."
"Gadis murid Hiroto Yamazaki itu memang
sudah kucurigai. Kecurigaanku ternyata betul.
Dia berkomplot dengan pendeta dari Puri
Sanzen, berkomplot juga dengan ninja merah
dalam menculik Akira Kasai! Aku akan
menangani tuntas persoalan ini!" Hisao
Matsunaga masuk ke dalam kamarnya. Ketika
keluar dipinggangnya kelihatan tersisip
sebilah katana panjang yang gagangnya ada
batu-batu permatanya. Ini adalah pedang
kebesaran milik Perguruan Emerarudo yang
telah berumur lebih dari tiga ratus tahun.
"Ketua," tiba-tiba Shigero Momochi berkata
sambil melangkah.
"Kau harus tetap berada di sini. Di antara
para tamu. Upacara perabuan segera akan
dilakukan siang nanti. Biar aku dan anak-
anak yang turun tangan .. ."
"Tidak bisa Shigerol Aku mempunyai
kewajiban untuk menyelamatkan anak itu dan
menghukum Akiko Bessho. Selesai upacara
perabuan jenazah aku bersumpah untuk
mencari sendiri ninja merah sampai dapat .. ."
"Tapi kau kelihatannya masih kurang sehat
Ketua!"
"Siapa bilang aku kurang sehat" jawab Hisao
Matsunaga lalu srettt!
Pedang di pinggangnya dicabut. Sinar
menyilaukan bertaburan. Dess… dess …
dessssl Tiga buah patung yang terbuat dari
batu dan terletak di atas sebuah meja
panjang putus disambar pedang. Tiga kepala
patung jatuh ke lantai tapi bagian bawahnya
tetap berada di atas meja. llmu kendo yang
dlmiliki sang Ketua memang hebat. Namun
kehebatannya ini menjadi tanda tanya ketika
dia bisa dirobohkan oleh ninja merah
sebelumnya.
Karena tak bisa dicegah Shigero Momochi
akhirnya hanya bisa diam saja ketika Hisao
Matsunaga dengan cepat meninggalkan
perguruan lewat jalan belakang.
Mereka memacu kuda masing-masing menuju
kawasan Okaza. Hisao Matsunaga di depan
sekali. * * * Tempat kedua seperti biasanya
setiap pagi doyo besar di markas ninja Nara
selalu ramai dipergunakan untuk latihan
berbagai macam senjata. Mereka hanya
mengenakan celana panjang hitam tanpa baju
dan penutup wajah. Tubuh mereka memiliki
otot-otot kokoh.
Gerakan memainkan senjata ataupun ninjutsu
sangat gesit dan ringan. Setiap gerakan
mengeluarkan desiran angin.
Seorang lelaki berusia setengah abad dengan
inezumi bergambar naga kepala tiga di dada
kanannya berjalan seputar dojo. Sesekali dia
mendekati orangorang yang berlatih untuk
membetulkan kuda-kuda atau memberi tahu
cara yang tepat melemparkan shuriken
ataupun memainkan kusarigama dan kendo.
Orang ini adalah Shimada Kagami. Dialah
pimpinan tertinggi ninja kelompok Nara, satu
dari tiga kelompok ninja yang paling ditakuti
pada masa itu.
Di tengah ruangan tiba-tiba Shimada Kagami
hentikan langkahnya. Dia memandang
berkeliling lalu berseru.
"Hentikan latihanl Apakah kalian tidak
merasakan ada keanehan dalam ruangan ini?"
Semua ninja yang ada dalam dojo ltu
hentikan latihan mereka lalu memandang
pada pemimpin mereka. Salah seorang dari
mereka mendongak lalu berkata.
"Memang ada keanehan. Ruangan ini terasa
semakin dingin …" Ninja yang lainnya seolah
baru menyadari ikut mengiyakan. Lalu
mendadak saja tubuh mereka mulai bergetar.
Rahang menggembung dan geraham
bergemeletukan. Hawa dlngin menyerang
dengan hebat. Di tengah ruangan Shimada
Kagami coba bertahan.Tapi tidak sanggup.
"Pada musim dingin sekalipun tak pernah
kejadian sedingin ini. Apa lagi musim dingin
sudah lewat!
Lekas kenakan pakaian kalian! Kembali ke
tempat ini dalam hitungan ke tiga puluh!"
Serta merta dojo itu menjadi kosong. Shimada
Kagami juga ikut lenyap. Tak lama kemudian
dia muncul lagi dalam keadaan sudah
berpakaian serba hitam mulai dari kaki
sampai kepala.
Ninja-ninja lainnya menyusul muncul pula.
Semua lengkap dengan katana di pinggang
atau di belakang punggung. Mereka tegak
menyebar di ruangan latihan. Jari-jari tangan
dikepal membentuk tinju. Lengan diluruskan
ke depan sejajar pinggang.
"Kerahkan hawa sakti dari perut! Panaskan
aliran darah!" teriak Shimada Kagami. Semua
ninja melakukan apa yang dikatakan. Tapi
hawa dingin yang menyerang bukannya
berkurang malah semakin bertambah hingga
banyak di antara mereka tertegak diam seperti
membeku. Shimada Kagami membentak keras.
Tubuhnya melesat keatas langit- langit
ruangan. Ada bagian atap yang bergeser.
Sesaat kemudian ketika dia melayang turun
sebilah senjata yang memancarkan sinar
perak menyilaukan tergenggam di tangannya.
Hawa panas yang keluar dari senjata ini
ternyata mampu mengurangi dinginnya udara
di dalam dojo.
"Senjata luar biasal Benar-benar luar biasa!"
kata Shimada Kagami. Senjata itu diputarnya
di atas kepala.
Sinar putih berkiblat ke seluruh penjuru. Suara
menggema seperti ratusan tawon mengamuk
memenuhi ruangan dan bersamaan dengan itu
hawa panas terasa semakin santar. Pada saat
inilah atap ruangan di ujung kiri tiba-tiba
jebol. Satu sosok merah melayang ke bawah.
"Ninja merah!"
Seluruh anggota kelompok ninja Nara
termasuk pimpinannya menjadi gegerl Semua
tidak bergerak.
Hanya mata masing-masing diarahkan tak
berkesip pada ninja merah yang mereka lihat
berdiri secara aneh.
Mahluk ini tegak dengan kaki terkembang.
Dua tangan diangkat ke atas, telapak
mengembang. Sepasang lengannya tidak
berhenti membuat gerakan berputar.
Dari ke dua telapak tangan ninja merah inilah
membersit keluar angin tajam sedingin es!
Semua ninja anak buah Shimada Kagami
seolaholah telah menjadi beku tak sanggup
lagi menggerakkan tangan atau kaki ataupun
kepala mereka. Mereka tegak seperti patung
es!
Dalam marah mereka hendak membentak
namun yang keluar hanya suara erang orang
kedinginan! Hanya sang pimpinan yang masih
sanggup bertahan. Namun lama-lama diapun
tak sanggup memutar senjata yang
dipegangnya. Perlahan-lahan tangan
kanannya jatuh terkulai kesisi.
Ninja merah melangkah maju dan berhenti
kirakira lima tindak dari hadapan Shimada
Kagami.
"Aku tidak mau mendengar bantahan atau
kedustaan! Ucapan ninja adalah ucapan
kesatria!
Beberapa anak buahmu menyerang seorang
pendekar asing dekat sebuah jurang batu.
Mereka merampas senjata berbentuk kapak
milik pendekar itu yang kini kau pegang.
Serahkan senjata itu, aku akan
menyerahkannya pada sang pendekar. Lalu
aku akan pergi dari sini tanpa membuat
urusan jadi panjang! Kalau tidak kalian
semua akan aku jadikan patung es!!"
"Ninja keparat! Kau pasti mahluk jadi-jadian!
Mempergunakan ilmu sihir untuk membuat
kami tidak berdaya! Pengecut"
"Kau mau serahkan kapak sakti itu atau
tidak!"
"Kau boleh mengambil senjata ini sesudah
melangkahi mayatku!"
"Ninja sombong! Mari kita berkelahi dengan
pedang. Kalau aku kalah kau boleh bunuh
diriku. Kalau kau kalah kau harus
menyerahkan kapak bermata dua itu!" Sambil
berkata begitu ninja merah cabut katananya.
Ujung senjata ini di usapkannya ke wajah
dada dan perut Shimada Kagami. Aneh, ada
hawa panas yang mengalir dari pedang terus
masuk ke dalam tubuhnya hingga Shimada
kini merasa hangat dan terbebas dari hawa
sangat dingin yang menguasainya.
"Kau menerima perjanjian atau tidak?!" tanya
ninja merah begitu dilihatnya Shimada
Kagami mulai bisa menggerakkan badan.
Pimpinan ninja ini keluarkan suara
mendengus. Kapak di tangan kanannya di
lemparkan ke atas. Senjata ini menancap di
salah satu balok penyanggah atap ruangan
latihan. Lalu didahului dengan bentakan
garang dia cabut katananya langsung
menyerang ninja merah.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus berlalu.
Shimada Kagami yang merasa berada di atas
angin menggempur terus-terusan. Pedangnya
berubah menjadi bayang-bayang. Mendesak
ninja merah habishabisan hingga orang ini
kelihatan pontang panting menghindar atau
menangkis cari selamat.
Lima jurus lagi berlalu. Shimada Kagami jadi
penasaran. Semua anak buahnya juga jadi
heran melihat pimpinan mereka tak sanggup
mengalahkan lawan padahal perkelahian
sudah berjalan lebih dari lima belas jurus.
Padahal lagi sang lawan hanya memegang
katananya dengan satu tangan, cara
memegang pedang yang tak pernah mereka
lihat selama ini!
Shimada berleriak keras. Pedangnya menetak
deras dari atas ke bawah. Dari perutnya dia
alirkan tenaga dalam.
Tranggg!
Dua katana beradu keras. Katana di tangan
ninja merah terlepas dan mencelat ke atas.
"Saatmu menerima kematian!" teriak Shimada
Kagami. Ninja merah jatuhkan diri ke lantai
dojo begitu pedang membabat.
Bretttl
Pinggang pakaiannya robek. Pedang di tangan
Shimada menancap di lantai dojo. Selagi dia
berusaha mencabutnya ninja merah gulingkan
diri ke samping.
Kaki kanannya berkelebat.
Bukkk!
Shimada Kagami mengeluh tinggi ketika
tulang kering kaki kanannya dibabat
tendangan lawan.
Pedangnya terlepas. Tubuhnya roboh ke
lantai. Ketika dia mencoba bangun dengan
cepat, gerakannya kalah cepat dengan
gerakan ninja merah. Saat itu lawan sudah
tegak di atasnya. Kaki kanan ninja merah
menginjak anggota rahasia dibawah perutnya.
"Kalau kau tidak mengaku kalah, kuhancurkan
kemaluanmu!" mengancam ninja merah. Kaki
kanannya ditekankan sedikit hingga Shimada
Kagami mengerenyit kesakitan. Tangan
kanannya ditepukkan berkali-kali ke lantai
dojo.
"Aku mengaku kalah! Kau boleh ambil kapak
itu Setelah mengambil kapak kau boleh pergi
dengan aman!" kata Shimada Kagami.
Ninja merah lepaskan pijakannya di
selangkangan orang. Sekali lompat saja dia
melesat ke atas untuk menyambar kapak
mustika yang menancap di tiang penyanggah
atap. Seorang anak buah Shimada cepat
mendorong pintu geser, memberi jalan keluar
pada ninja merah.
Ketika dia melangkah pergi tiba-tiba ada
suara berdesir di belakangnya. Bersamaan
dengan itu terdengar suara orang berteriak
memberi ingat.
"Awas serangan pedang terbang!"
Ninja merah membalik sambil putar kapak di
tangan kanan.
Traaaanggg!
Suara berdentrangan terdengar lima kali
berturutturut.
Lima katana yang dilemparkan oleh lima anak
buah Shimada yang telah terlepas dari
pengaruh hawa dingin mencelat berpatahan di
udara.
Shimada Kagami berteriak marah pada lima
anak buahnya yang telah melakukan
kecurangan itu. Dia melompat sambil
membabatkan katananya. Namun hukuman
dari ninja merah datang lebih dulu. Tiga kali
kapak bermata dua menderu di udara. Tiga
ninja terkapar mandi darah di lantai dojo, dua
temannya menggelepar dengan leher hampir
putus!
Keheningan dan ketegangan berdarah
menggantung di tempat itu. Lalu terdengar
suara serak Shimada Kagami.
"Kau telah menjatuhkan hukuman. Aku
merelakan kematian mereka …" Lalu pimpinan
ninja kelompok Nara itu menjura dalam-
dalam sampai tiga kali. Ninja merah balas
membungkuk tiga kali lalu tinggalkan tempat
itu.
Sampai di luar bangunan dia memandang
berkeliling mencari-cari.
Apa yang dicarinya itu segera menunjukkan
diri.
Dari atas atap bangunan satu sosok merah
melayang turun.
"Mahluk Bendera Darah!" ujar ninja merah.
"Jadi kau tadi yang berteriak memberi
peringatan.
Aku berterima kasih kau telah
menyelamatkanku dari serangan maut lima
katana tadi. Aku heran bagaimana kau tahu
aku berada di markas ninja ini?"
"Aku dan Akiko menguntitmu. Aku sulit
mempercayai ilmu apa yang kau keluarkan
hingga semua ninja itu termasuk
pemimpinnya hampir kaku kedinginan?" Ninja
merah tersenyum.
"Kau menyebut Akiko. Dimana gadis itu
sekarang? "
"Di gudang di tepi sungai Okaza … Kita harus
ke sana sekarang. Aku seperti punya firasat
buruk …" Ninja merah melihat dua ekor kuda
dekat sebuah pohon. Dia memberi isyarat
pada mahluk bendera lalu berpaling ke arah
bangunan dan berteriak.
"Pimpinan ninja Nara! Kami pinjam dulu dua
ekor kudamu!" Di dalam bangunan Shimada
Kagami menjawab perlahan.
"Untung kau meminjam kudaku, kalau kau
meminjam nyawaku berarti aku akan
menghadap Dewa Kematian!" * * * LIMABELAS
KETIKA ninja merah dan manusia Bendera
Darah sampai di gudang sayur di tepi sungai
Okaza mereka terkejut mendapatkan Akiko
Bessho tengah bertempur mati-matian
melawan Hisao Matsunaga dibantu oleh enam
orang murid Perguruan Emerarudo.
Gadis ini telah terluka di beberapa bagian
tubuhnya.
Tapi seperti seekor harimau betina dia
menahan serangan lawan bahkan sesekali
balas menyerang dengan sebat. Gadis ini
berkelahi dengan membelakangi satu-satunya
pintu gudang sayur. Dia sengaja mengambil
kedudukan di pintu yang terbuka itu untuk
mencegah lawan masuk ke dalam di mana
bersembunyi Akira Kasai.
"Nona Akiko! Aku tidak segan-segan
membunuhmu kalau kau tidak segera
menyerah!" teriak Hisao Matsunaga.
"Ketua Perguruan Emerarudo! Antara kita
tidak ada silang sengketa! Kalau kau tidak
menyembunyikan sesuatu mengapa kau begitu
nekad hendak membunuh diriku! Kau juga
bertindak pengecut! Mengeroyok seorang
perempuan sampai tujuh orang!"
Hisao Matsunaga menyeringai buruk.
"Jelas-jelas kau ikut terlibat dalam penculikan
putera mendiang Ketua kami! Masih bisa
bilang tidak ada silang sengketa!"
"Kau salah sangka.."
"Diam!" hardik Hisao Matsunaga. Dia putar
pedangnya dengan sebat lalu kirimkan dua
bacokan ganas berturut-turut. Dua kali
terdengar suara berdentrangan sewaktu Akiko
berusaha menangkis serangan lawan.
Kali ke dua pedang di tangannya terpental
lepas. Gadis ini terpekik lalu melompat
mundur.
"Jangan harap aku akan mengampuni
nyawamu!"
kertak Hisao Matsunaga lalu menyergap
dengan satu tusukan.
Akiko Bessho masih sempat berkelit walau
lagilagi ujung pedang sempat melukai bahu
kirinya. Tangan gadis ini tiba-tiba terpentang
mengeluarkan cahaya perak menyilaukan.
Hisao Matsunaga dan enam anak murid
perguruan terkejut. Serentak mereka menyerbu
bersamaan. Akiko hantamkan tangan
kanannya.
Wusssl
Sinar putih berkiblat. Hawa sangat panas
menerpa para pengeroyok. Mereka cepat
melompat menjauh. Namun dua orang murid
perguruan terlambat bergerak. Tubuhnya
terpental sampal lima kaki lalu menggeletak
mati di tanah dalam keadaan hangus!
"llmu iblis apa yang kau miliki?!" teriak Hisao
Matsunaga dengan wajah berubah sementara
empat murid perguruan yang ada di situ
menjadi pucat tak berani mendekat.
Akiko Bessho tertawa tinggi.
"Kalau kau ingin tahu mendekatlah kemari!"
katanya sambil siapkan "pukulan sinar
matahari!" yang dipelajarinya dari Pendekar
212 Wiro Sableng. Sekali ini tidak tanggung-
tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
Ditantang begitu rupa Ketua Perguruan
Emerarudo menjadi kalap. Dengan pedang
terhunus dan berteriak keras dia menusukkan
senjatanya kearah dada Akiko Bessho. Si
gadis siap menyambut dengan pukulan sinar
matahari. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
mendatangi dari dua arah.
Dari selatan gudang menyusuri sungai adalah
Shigero Momochi bersama dua orang
pengurus dan tiga orang murid perguruan.
Dari sebelah timur gudang muncul ninja
merah dan mahluk Bendera Darah.
"Tahan serangan!"
"Hentikan perkelahian!"
Tapi Hisao Matsunaga tidak mau perduli.
Pedang nya terus ditusukkan. Akiko
menghantam.
"Akikol Jangan!" satu teriakan terdengar
begitu keras. Lalu satu sambaran cahaya
menerpa ke arah pedang Hisao Matsunaga.
Trang!
Katana milik Perguruan Emerarudo yang telah
berumur ratusan tahun itu mental ke udara.
Jatuh tepat ketika Shigero Momochi sampai di
tempt itu. Dengan satu gerakan cekatan dia
berhasil menangkapnya. Wakil Ketua
perguruan ini cepat melompat turun. Sesaat
dia memandang ke jurusan ninja merah yang
tadi menangkis pedang Hisao Matsunaga
dengan senjata berbentuk kapak mata dua.
Lalu dia melirik pada manusia Bendera Darah.
Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho.
"Nona Akiko!" bentak Shigero Momochi.
"Kau jelas bersalah karena telah menculik
putera mendiang Ketua kami..!" Pintu gudang
sayur tiba-tiba terbuka. Satu suara terdengar
menyahuti ucapan Shigero Momochi tadi.
"Paman Shigero, tak ada yang menculik diri
saya.
Mereka semua malah berusaha
menyelamatkan saya dari tangan berdarah
Paman Hisao Matsunaga!"
Dari dalam gudang keluarlah sosok Akira
Kasai.
Paras Hisao Matsunaga mendadak sontak
berubah.
Namun dia cepat menguasai diri.
"Akira! Syukur Dewa kau dalam keadaan
selamat!" Akira Kasai tidak perdulikan ucapan
sang Ketua. Dia melangkah ke arah Shigero
Momochi.
Sampai di hadapan orang ini si anak berkata.
"Paman Shigero, saya mau memberi tahu
bahwa Paman Hisao telah memalsukan surat
warisan.
Seharusnya kaulah yang diangkat Ayah
sebagai pewaris Ketua Perguruan..!" Beberapa
pasang mata tampak melotot.
"Akira! Kau ini bicara apa? Berani kau
memfitnah dan memberi malu Ketua kita?!
ujar Shigero.
"Dia tidak memfitnah dan tidak memberi malu
siapapun! Akira, katakan semua apa yang kau
ketahui!"
kata Akiko Bessho sambil bersandar ke
dinding gudang sayur.
Akira Kasai memandang penuh kebencian
pada Hisao Matsunaga lalu anak ini berkata
dengan suara lantang.
"Paman Hisao! Kau juga yang membunuh
Ayah!
Menyamar sebagai ninja Kau juga yang
membunuh sahabatku Keno!"
"Anak, kau jangan mengada-ada. Masakan
aku.."
Hisao Matsunaga melangkah mendekati anak
itu. Tibatiba cepat sekali tangannya
menjambak rambut Akira. Si anak
dibembengnya hingga menempel ke dadanya.
Lalu sebuah pisau beracun yang tahu-tahu
sudah ada di tangan kirinya diarahkan ke
leher Akira.
"Siapa berani mendekat kugorok leher anak
ini!"
kertak Hisao Matsunaga dengan wajah
sebengis setan.
"Paman Shigero, saya tidak takut matil Ada
bukti tanda pukulan Lima Jari Dewa yang
dilepaskan ayah di dada kirinya!" berteriak
Akira Kasai.
Shigero Momochi berteriak keras. "Hisao! Apa
benar yang dikatakan anak ini?"
"Benar atau tidak aku tak punya waktu buat
menerangkan!" jawab Hisao Matsunaga. Lalu
dia mundur ke arah seekor kuda.
"Awas jika ada yang berani menghalangiku!"
Dia mundur lagi dan hampir sampai ke kuda
yang akan dipergunakannya melarikan diri
sambil menyandera Akira Kasai.
Tapi tiba-tiba sekali ninja merah melompat ke
arahnya. Tangannya bergerak dua kali. Hisao
Matsunaga mengeluarkan suara seperti
tercekik. Mulutnya tak bisa bersuara lagil
Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya
menjadi kaku akibat dua totokkan yang
dilakukan ninja merah tadi. Semua orang
yang ada di situ kecuali Akiko Bessho jadi
terkejut. Mereka memang pernah mendengar
tentang ilmu totokan yang bisa membungkam
suara dan melumpuhkan orang tapi seumur
hidup baru sekali itu melihatnya.
Akira Kasai menggeliat. Dengan susah payah
dia melepaskan diri dari rangkulan Hisao
Matsunaga begitu turun di tanah anak ini
hunus pedangnya. Semua orang menyangka
anak ini akan menusukkan senjata itu ke
tubuh Hisao Matsunaga ternyata dia hanya
merobek kimononya di bagian dada kiri.
Bretttttt
Kimono robek besar. Dada kiri Hisao
Matsunaga tersingkap lebar Kelihatan lima
bintilan merah di dadanya. Shigero Momochi
medatangi sang Ketua dan memperhatikan
dekat-dekat dada itu.
"ini memang bekas pukulan Lima Jari
Dewa…." katanya.
"Hisao! Kau benar-benar keji!" Shigero
Momochi tampak sangat kecewa. Orang ini
putar tubuhnya membelakangi Hisao
Matsunaga seperli hendak melangkah pergi.
Tapi tiba-tiba dia membalik. Satu cahaya
putih berkiblat.
Craassss!
Katana yang diayunkan Shigero Momochi
membabat perut dan dada Hisao Matsunaga.
Darah basahi kimononya yang robek besar.
Tubuhnya huyung lalu roboh terlentang di
tanah. Tak bergerak lagi, mati dengan mata
melotot.
Dari balik robekan pakaian tersembul sebuah
benda berwarna kuning Akira Kasai tercekat.
Anak ini melompat lalu mencabut benda
kuning itu. Ternyata sebuah amplop.
Dengan tangan gemetar Akira membuka
amplop lalu mengeluarkan sehelai kertas yang
ada di dalamnya.
Anak ini tidak membaca lagi apa yang tertulis
di kertas itu tapi matanya langsung
memperhatikan bagian sudut bawah kiri. Di
situ dilihatnya noda tinta yang sangat
dikenalinya. Dengan mata berlinangan Akira
Kasai melangkah mendekati Shisero Momochi.
Surat yang dipegangnya diserahkan pada
orang ini. Shigero Momochi membaca surat
itu.
Tiba-tiba tangannya tampak ber-getar.
Mulutnya berhenti membaca. Sepasang
matanya memandang pada Akira Kasai.
Seperti tidak Percaya apa yang barusan
dilihat dan dibacanya. Sebaliknya Akira Kasai
mengusut air matanya dan memandang
padanya dengan tersenyum
" Paman Shigero, itu surat warisan asli yang
dibuat Ayah, Kaulah Pewaris jabatan Ketua
Perguruan Emerarudo yang syah." Ketika dia
hendak meluruskan tubuhnya. Shigero
Momochi Cepat merangkulnya dan berbisik.
"Aku tidak percaya. Bagaimana aku manusia
kasar dan tolol ini diberi kepercayaan begitu
besar oleh ayahmu…"
"Ayah tahu apa yang dilakukannya. Asal saja
kau jangan suka mabok lagi Paman Shigero
…"
Dua mata Shigero Momochi tampak berkata-
kaca.
"Soal minuman itu. Hisao Matsunaga yang
mengajarkan padaku. Dia mengirimkan
berbagai minuman keras ke kamarku. Setiap
hari. Sejak lima tahun yang lalu….."
"Ah, berarti dia memang sudah mengatur
jauhjauh hari. Sengaja menjadikan kau orang
jelek dimata semua orang di perguruan. Kami
semua tahu kau memang jelek rupa dan jelek
sifat. Namun hatimu Seputih Salju di puncak
Fuji dan jiwamu bersih sebersih bunga sakura
yang mulai bersemi…."
Ucapan Akira Kasai itu sangat menyentuh
perasaan Shigero Momochi hingga dia
memeluk anak itu erat-erat sementara air
mata jatuh membasahi pipinya.
"Paman Shigero, sembunyikan air matamu.
Jangan Sampai ada orang lain yang melihat.
Masakan Ketua Perguruan besar menangis
seperti anak kecil.."
Shigero Momochi mau tak mau jadi
tersenyum.
Sambil mendukung Akira dia mendatangi
ninja merah, mahluk Bendera Darah dan Akiko
Bessho.
"Kalau tidak dengan bantuan kalian bertiga,
entah apa jadinya dengan Akira dan
perguruan kami. Aku atas nama Pribadi dan
perguruan Emerarudo mengucapkan terima
kasih besar….."
Lalu Shigero Momochi membungkuk tiga kali.
Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho.
"Nona Akiko, kami harap kau suka ikut ke
perguruan untuk mengobati luka-lukamu. Kau
kelihatan pucat. Tubuhnya tentu lemas karena
banyak mengeluarkan darah .. !"
Lalu Shigero berkata pada Bendera Darah dan
ninja merah.
"Aku juga mengundang kalian berdua kembali
ke perguruan…"
Sepantasnya aku menerima undangan
kehormatan dan pengobatan itu. Hanya dua
temanku ini mungkin akan menyusul
kemudian. Ada urusan penting yang harus
mereka selesaikan.."
Habis berkata begitu Akiko Bessho naik ke
atas punggung seekor kuda dibantu oleh ninja
merah Shigero juga naik ke atas kudanya
sambil terus menggendong Akira.
"Nona Akiko.. Urusan pada maksudmu…?"
Ninja merah tiba-tiba bertanya.
"Aku tidak merasa ada urusan apa-apa
dengan mahluk aneh ini!"
Akiko Bessho tertawa lebar. Dia dekatkan
kudanya pada ninja merah lalu membungkuk
berbisik.
"Dia mencintaimu. Jangan kecewakan hatinya
…"
"Kau gila… Masakan aku.. Lelaki atau
perempuan nya pun aku tidak tahu …"
Ninja merah tak bisa meneruskan ucapannya
karena saat itu Akiko Bessho sudah
menggebrak kudanya dan tinggalkan tempat
itu.
Tiba-tiba kelihatkan kuda yang membawa
Shigero Momochi dan Akira berbalik
mendatangi.
"Ada apakah?" tanya ninja merah. Dari atas
punggung kuda Akira Kasai meluncur turun.
Dia menanggalkan katana yang tergantung di
pinggangnya lalu menyerahkan pada ninja
merah seraya berkata.
"Aku kalah taruhan. Kau boleh ambil pedang
ini..!"
"Heh,. aku tidak sungguhan….." jawab ninja
merah agak sungkan menerima senjata itu.
"Sungguhan atau tidak terimalah sebagai
tanda terima kasih saya …"
Ninja merah mau tidak mau mengambil
pedang itu. Akira Kasai membungkuk lalu
dibantu Shigero anak ini naik kembali ke atas
kuda.
Di saat hari mulai terang-terang tanah kini di
tempat itu hanya tinggal ninja merah dan
manusia Bendera Darah berdua saja yang
tegak saling berhadap-hadapan.
"Gadis itu mencintaimu …" tiba-tiba meluncur
ucapan itu dari mulut Bendera Darah.
"A … apa?!" Paras di balik penutup wajah
ninja merah jadi bersemu merah.
"Justru tadi dia bilang kau mencintaiku!" Kini
wajah yang tersembunyi dibalik bendera-
bendera merah itu yang jadi jengah
kemerahan.
"Kau ini … siapa kau sebenarnya?" tanya ninja
merah.
"Wajah dan sekujur tubuhmu tersembunyi di
balik ratusan bendera."
"Kau sendiri siapa? bukankah kau Pendekar
212 Wiro Sableng? Gaijin itu …?" balik
berucap mahluk Bendera Darah.
"Aku tak kenal orang yang kau sebutkan itu!"
"Jangan berdusta! Coba buka penutup
kepalamu!
Perlihatkan wajahnya! Jika kau memang
seorang ninja kesatria!"
"Aku tidak keberatan memperlihatkan diri,"
jawab ninja merah. Lalu dengan tangan
kanannya dibukanya kain merah yang
menutupi kepala dan wajahnya.
Melihat wajah yang kini terpampang di
depannya, mahluk Bendera Darah keluarkan
seruan tertahan.
"Bukan dia! Jadi kau memang bukan pendekar
asing bernama Wiro itu..? "
"Kau kecewa….?" tanya ninja merah.
Mahluk bendera Darah tidak menjawab.
Seolah pada dirinya sendiri terdengar dia
berkata perlahan.
"Lalu … lalu kemana perginya pemuda itu …?"
Orang di depan Bendera Darah tertawa lebar.
"Jika kau mau memperlihatkan dirimu sendiri
aku bersedia memberi tahu dimana pemuda
itu berada!"
"Aku tidak percaya …"
'Kalau begitu kau tidak ingin bertemu
dengannya?" Bendera Darah tampak meragu.
Dia menyerah.
"Baiklah, kau boleh melihat diriku …" Lalu dia
membuat gerakan cepat sekali seperti orang
membuka penutup kepala dan pakaian.
Ternyata ratusan bendera merah yang
menancap ditubuhnya itu tersisip pada
sebuah jubah tebal. Ketika jubah dibuka
kelihatanlah wajah dan tubuhnya.
Ninja merah sampai ternganga terkesiap
begitu melihat siapa yang tegak di depannya.
Seorang gadis cantik berambut coklat,
mengenakan sehelai pakaian kuning tipis
sehingga lekuk tubuhnya yang bagus
membayang.
"Namamu Yori… Benar…?" ninja merah
bertanya.
Gadis cantik di hadapan ninja merah
mengangguk.
"Sekarang tepati janjimu. Katakan dimana kau
bisa menemui gaijin bernama Wiro itu …"
"Dia ada di dekatmu," jawab ninja merah.
Ketika si gadis memandang berkeliling
mencari-cari ninja merah cepat-cepat
lepaskan topeng tipis yang menutupi kepala
dan mukanya.
"Tak ada siapa-siapa di sini. Kau berdusta!"
kata si gadis seraya balik memandang ke
depan kembali.
Lalu berubahlah parasnya. Merah terkejut tapi
disusul dengan senyum gembira.
"Kau …!" katanya dengan lidah seperti kelu.
"Jadi selama ini kau menyamar menjadi ninja
merah..!" Ninja merah garuk-garuk kepalanya.
"Aku hanya menuruti nasihatmu tempo hari.
Katamu setelah aku membunuh ninja maka
kemanapun aku akan dikejar sampai mereka
bisa membunuhku! Apakah sekarang setelah
tahu siapa diriku kau akan memberitahu
ninja? Atau mungkin kau sendiri yang hendak
membunuhku karena masih dendam atas
kematian nenek Arashi?" Si gadis geleng-
gelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Wiro," katanya,
"apakah kau akan cepat-cepat pergi ke
Perguruan Emerarudo memenuhi undangan
Shigero Momochi tadi"
"Bersamaku saat ini ada seorang gadis cantik
jelita. Adalah tolol kalau aku malah pergi
melihat orang mati….."
Yori alias gadis Bendera. Darah tertawa
cekikikan.
Wiro mengembangkan ke dua tangannya.
Tanpa ragu-ragu si gadis menjatuhkan dirinya
ke dalam pelukan pemuda itu. Ke duanya
saling peluk dan masih terus bercumbu
berangkulan walaupun hari mulai terang
tanda malam telah berganti siang.
TAMAT