Ebook Wiro Sableng : Penculik Mayat Hutan Roban


WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Buku ke-24




Ketika perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain
kafan siap untuk ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak
akan dilepaskan apapun yang terjadi.
Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut mengucurkan air mata. Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon coklat berbunga hitam dan baju lurik hitam bergaris
kuning coklat, menyeruak di antara mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
https://drive.google.com/file/d/1Rd0Es5eVj3FWvxjA-LWw4On9YGy-a1VU/view?usp=sharing "Sudah bune. Cukup….. Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang di alam baka…"
Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan susah payah, akhirnya lelaki tadi—Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini langsung pingsan hingga terpaksa digotong ke kamar.

Sumo Kabelan Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung.
Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan
wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak.
"Witri…. Witri… Malang nian nasibmu.
Mengapa Gusti Allah datang menjemputmu dalam usia semuda ini…"
"Dimas Sumo…." Datang suara dari samping.
Yang bicara adalah seorang lelaki pendek gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu menerima musibah, kematian puterinya – anak tunggalnya – yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun. "Gusti Allah mengambil
Witri tentu karena Dia saying. Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya kelak akan berkumpul lagi
di akhirat…"
"Kasihan Witri… Kasihan anakku…" kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumbai rumbai benang kuning emas.
Seorang pemuda berkulit kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air mata beberapa kali merapikan kain hijau penutup
usungan. Dia adalah Jalatunda, pemuda yang seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang meninggal itu.
Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan.
Selesai disembahyangkan, sebelum
diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk berkumis tadi – kakak Sumo Kabelan
menyampaikan sambutan pendek, mengharap agar kedua orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon aga almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu
mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazah pun diusung ke pemakaman yang terletak cukup jauh. Di depan sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk melindungi
usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu gerbang pemakaman. Seorang pengemis
tua tampak duduk menjelepok dekat pintu dan menadahkan tangannya minta dikasihani.
Namun tak seorang pun mengacuhkan pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam kesedihan siapa pula yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang minta minta itu.
Ketika rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis tadi ulurkan tangan menarik pakaian seorang pengantar.
"Hai…siapakah yang meninggal?" pengemis itu bertanya. Suaranya halus hampir tak terdengar. Mungkin karena keletihan duduk di
bawah terik matahari, mungkin juga
dikarenakan usianya yang sudah lanjut.
"Ah pengemis tua, apa perlumu bertanya.
Lepaskan bajuku!" kata lelaki yang bajunya ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis.
"Bertanya saja tidak boleh…" sang pengemis tampak jengkel.
Seorang pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh mau juga menjawab.
"Yang meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa Ambarwangi…"
"Ah kasihan…kasihan. Apakah dia sudah kawin…?" pengemis tadi bertanya.
Yang menjawab adalah pengantar lainnya,
yang terpisah tiga orang di belakang pengantar yang memberi keterangan tadi.
"Pengemis tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin dikatakan gadis!"
"Ah, aku memang tolol! Kasihan gadis itu…."
Pengemis itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia pandangi rombongan pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang
kotor penuh debu. Ketika kepala rombongan sampai di liang lahat yang telah disiapkan untuk jenazah, dengan langkah terserok-serok
pengemis tadi mendatangi.
Sambil melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya melafatkan doa-doa, jenazah kemudian dikeluarkan dari
usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut jenazah.
Saat itulah, ketika jenazah hendak
diterimakan dari tangan empat orang ke tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun mengelilingi liang
lahat terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental.
"Hai! Apa-apaan ini!" teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke dalam liang lahat.
"Pengemis itu! Gila dia rupanya!"
"Usir pengemis itu!" Terdengar teriakan-teriakan.
Orang yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang tadi duduk dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik lengannya. Tapi orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang
jadi marah menarik leher pakaiannya. Tapi diapun terjengkang kena tendangan. Setelah itu orang banyak yang menjadi marah cepat mengurung malah muali mengeroyok pengemis tersebut. Namun semuanya terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum sesuatu dapat dilakukan, pengemis itu melompat ke muka langsung merangkul jenazah Suwitri di bagian pinggang lalu
menaikkan ke bahu kirinya.
"Pengemis keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!" teriak Sumo Kabelan.
Sementara kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap menghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya diberati jenazah kaki kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk hingga patah dan
pacul terlepas mental dari pegangannya.
Sumo Kabelan sendiri langsung jatuh ketika satu pukulan melabrak dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu melompat ke atas.
Di lain kejap dia sudah ke luar dari kurungan orang ramai.
"Pneculik jenazah"
"Penculik mayat!"
"Hai! Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!"
Orang ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu dengan sikap
menanang. Sambil menyeringai dia berkata
"Kalian inginkan mayat ini? Ambillah kalau
bisa!"
Jalatunda, pemuda yang tadinya adalah calon
suami Suwitri lari mengejar paling depan. Dia
sampai pertama sekali di hadapan pengemis
itu. Begitu dekat pemuda ini langsung
melayangkan tinjunya ke muka si pengemis.
Ganda tertawa penemis tua itu tangkap tinju
kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya
lalu diputar kuat-kuat. Jalatunda terpekik.
Tulang telapak tangannya remuk, pergelangan
tangannya lepas.
"Anak muda! Aku tidak heran kau membela
gadis ini walau sudah jadi mayat!
Tapi tidak kau atau siapapun boleh
merampasnya dariku…!" berkata pengemis tua
itu dengan tampang galak.
"Keparat penculik! Tinggalkan jenazah itu!" Si
pengemis tertawa.
"Kalau kau memang sangat menginginkannya
datanglah satu hari di muka ke hutan Roban
sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat
kekasihmu kembali!"
"Jahanam! Lebih baik kubunuh kau saat ini
juga!" teriak Jalatunda. Lalu melompati
pengemis itu.
Entah dai mana dapatnya, saat itu tampak
pemuda ini telah memegang di tangan kirinya
sebilah parang berkarat. Senjata ini
dibacokkannya ke pinggang pengemis. Tapi
dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan
amarah Jalatunda tusukkan ujung parang ke
dada pengemis itu. Yang diserang gerakkan
tangan kirinya, memukul badan parang dari
samping. Senjata itu patah dua dan terlepas
mental dari tangan Jalatunda. Si Pengemis
tertawa panjang.
Ketika orang banyak sampai di tempat itu,
penculik mayat itu telah lenyap.
Hanya suara tawanya yang masih tertinggal
dalam bentuk gema menggidikkan.
Satu hari dimuka, ratusan penduduk desa
Ambarwangi kelihatan berkelompok di ujung
timur hutan Roban. Penduduk desa-desa
sekitarnya, yang mendengar kejadian
dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang
pengemis aneh, ikut pula mendatangi tempat
itu. Keadaan di situ tidak bedanya seperti
orang yang sedang mengungsi. Banyak yang
mendirikan gubuk atau kemah sementara
sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Seperti kata pennculik sebelum lenyap
bersama jenazah Suwitri, jika jenazah itu
memang diinginkan kembali, maka satu hari
dimuka orang-orang itu disuruh datang ke
ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon
suami Suwitri beserta Sumo Kabelan – ayah si
gadis – lebih dulu datang ke tempat itu. Sejak
Suwitri dilarikan dan setelah penculik
mengeluarkan ucapan begitu keduanya
langsung menuju tempat yang dikatakan.
Menunggu dan bermalam di situ dengan hati
berdebar, menantikan apa yang bakal terjadi.
Bersama beberapa orang kawannya Jalatunda
coba menyelidik agak jauh ke dalam hutan
sebelah timur. Namun mereka tidak
menemukan apa-apa. Hutan Roban sejak
lama terkenal keangkerannya. Bukan saja
penduduk sekitar itu menganggap rimba
belantar itu sarang segala macam makhluk
halus, mulai dari jin sampai dedemit, mulai
dari setan pelayangan sampai hantu iblis,
tetapi deketahui pula bahwa di dalam hutan
itu bercokol beberapa kelompok rampok
ganas. Belum lagi binatang buas termasuk
ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan
kawan-kawannya tidak berani masuk terlalu
jauh ke dalam hutan.
Matahari telah jauh condong ke barat. Saat
yang dikatakan si penculik yakni satu hari
dimuka, sudah hampir mendekat. Namun tak
ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu.Orang
ramai mulai gelisah, tegang dan tampak
banyak pula yang merasa cemas. Jelatunda
melangkah mundar mandir. Sebentar-sebentar
tangannya meraba hulu golok besar yang
diikatkannya ke pinggang. Dia sudah bertekad
bulat. Jika pengemis penculik itu muncul,
pemuda ini akan menyerangnya,
membunuhnya sampai mati. Kalau perlu dia
mau mengorbankan diri asal jenazah
kekasihnya bisa didapat kembali.
Di bagian yang lain Sumo Kabelan tegak
dengan wajah gelisah, tiada lepaslepas
memandang kea rah hutan yang kini mulai
kelihatan meredup gelap karena sang surya
tidak lagi memancarkan cahayanya di bagian
ujung timur itu.
Di udara sekelompok urung gagak hitam
terbang berputar-putar sambil tidak henti-
hentinya menguik.
"Burung-burung nazar itu…." kata Sumo
Kabelan dengan paras berubah.
"Pertanda yang tidak baik…." Sambungnya
kemudian perlahan.
Burung-burung itu masih terus berputar dan
menguik. Tiba-tiba lebih keras dari kuik
binatang-binatang itu dari dalam rimba
belantara terdengar suara tawa melengking,
menggetarkan serta membuat setiap mereka
yang mendengar jadi mengkirik ketakutan.
"Orang-orang Ambarwangi!" ketika suara
tertawa lenyap berganti terdengar suara orang
berseru.
"Aku tahu kalian sudah lama menunggu!
Ambillah kembali jenazah gadis ini…!"
Sebuah benda putih melayang di udara,
melesat ke luar hutan Roban di mana ratusan
orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian
terayun membalik masuk lagi ke dalam hutan.
Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali.
Dan tali ini ditambatkan pada cabang
sebatang pohon besar. Ketika diperhatikan
benda yang terayun-ayun itu, ternyata adalah
sosok tubuh yang terbungkus kain kafan!
"Astaga! Pasti itu jenazah Suwitri!" teriak
seseorang.
"Darah!" seorang lain ikut bereriak.
Jalatunda telah lebih dahulu lari ke dalam
hutan.
Dengan tangan kiri dia menahan pocong yang
teryaun-ayun. Begitu derasnya ayunan pocong
membuat pemuda itu hampir jatuh terseret.
Namun cepat dia mencabut golok dan
menebas tali pengikat ujung kain kafan.
Jenazah yang jatuh cepat disambutnya
dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar
hutan. Orang ramai segera menyongsong.
Beramai-ramai jenazah diturunkan dari bahu
Jalatunda, dibaringkan hati-hati di tanah.
"Kenapa kain kafan berdarah! Pasti terjadi
sesuatu!" kata Sumo Kabelan. Lalu lelaki ini
membungkuk untuk memeriksa.
Jalatunda bergerak lebih dulu. Tali kain
pengikat ujung-ujung dan bagian tengah
jenazah dibukanya.
Bau busuk menyebar santar begitu kain kafan
tersingkap. Wajah Suwitri tampak utuh meski
pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi
ketika kain kafan sebelah bawah dibuka lebih
lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang
lain-lainnya terperangah mundur. Bagian
dada serta perut mayat tampak berlubang
besar. Darah membeku di mana-mana.
"Jantung dan hatinya lenyap!" teriak kakak
Sumo Kabelan.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah
anakku!" seru Sumo Kabelan.
Tubuhnya bergetar keras. Lututnya goyah. Dia
hampir roboh kalau tidak lekas ditahan.
"Sudah meninggal kenapa jenazahnya masih
dirusak…? Anakku…. Suwitri anakku….!"
Jalatunda duduk pejamkan mata tak tega
menyaksikan pemandangan yang mengerikan
serta menusuk hati itu. Namun disaat yang
sama kemarahannya juga menggelegak. Tiba-
tiba seperti orang kemasukan setan dia
berteriak keras. Melompat tegak. Kedua
matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya
membesi. Dia cabut kembali golok yang tadi
disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya
kian kemari. Dari mulutnya keluar suara
menggerung berkepanjangan disertai ludah
membusah di sela bibir.
Orang banyak serta merta mundur menjauh.
"Jalatunda kemasukan setan!" seseorang
berteriak.
"Awas! Mungkin dia mau mengamuk!"
"Menjauh!" teriak seorang yang lainnya.
"Jala, tenang…. Kuatkan hatimu!" Sumo
Kabelan mendekat sambil membujuk.
"Jala! Sarungkan golokmu kembali!" kata
Sumo Kabelan. Kali ini dengan suara keras.
"Keparat! Bangsat!" teriak Jalatunda tiba-
tiba.
"Kemanapun akan kucari! Akan kubunuh!"
Lalu pemuda ini balikkan tubuhnya, lari
masuk ke dalam hutan Roban.
"Jala! Kembali!" teriak Sumo Kabelan. Yang
lain-lain juga berseru memanggil. Namun
pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan
golok dan berteriakteriak.
Sesaat kemudian diapun lenyap dalam
kerapatan pepohonan.
Nyi Ageng Jeliteng memandang dengan kesal
pada puterinya yang sampai saat ini masih
saja menangis sambil menelungkup di atas
tempat tidur.
"Rukmi tak ada gunanya kau menangis.
Sekalipun sampai keluar air mata darah itu
tidak akan merubah pendirian ibu. Apalagi
ayahmu!"
Tejarukmi, gadis enam blas tahun yang
menangis di atas ranjang itu membalik dan
menutupi wajahnya dengan bantal besar.
Tangisnya kini malah menjadi-jadi.
"Sikap tingkahmu hanya akan memberi malu
orang tuamu Rukmi. Percayalah, kami ayah
dan ibumu ingin melihat kau bahagia…"
Tejarukmi campakkan bantal dari mukanya,
setengah duduk dia berkata dengan muka
balut "Kalau ibu ingin melihat aku bahagia,
mengapa memaksa saya harus kawin dengan
lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari
saya itu!"
Nyi Ageng Jeliteng geleng-gelengkan kepala.
"Kau masih belum mengerti nak…"
"Saya cukup mengerti iu. Lebih dari mengerti.
Yang ibu dan ayah pikirkan adalah
kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan
saya!"
"Lho, yang akan kawin itu kau, bukan kami
Rukmi. Jadi kau sendiri yang kelak akan
merasakan kebahagiaan itu…"
"Siapa orang tuanya yang bahagia kalau
dikawin paksa! Dengan tua bangka beranak
empat pula!"
Tejarukmi bantingkan kedua kakinya ke atas
tempat tidur.
"Dengar Rukmi anakku. Kami tidak memasksa
kau kawin saat ini juga. Tapi tahun depan. Di
bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai
tujuh belas tahun!"
"Saya tidak akan kawin dengan tua bangka
itu!"
"Raden Jarot bukan orang sembarangan
Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana,
keponakan Pangeran Dirjo Samekto…."
"Sekalipun dia raja diraja saya tidak suka!
Saya tidak mau kawin dengan dia!"
"Ibu tahu mengapa kau menolak!" Nyi Ageng
Jeliteng mulai tampak kesal. Ini kentara dari
nada suaranya.
Dan perempuan itu lebih jengkel lagi ketika
puterinya menukas "Kalau ibu sudah tahu
saya menolak, mengapa masih memaksa?!"
"Orang tua mana! Bangsawan mana yang
sudi anaknya bercinta dengan seorang anak
petani miskin! Jangan lupa turunan kita!
Ayahmu bengsawan kelas satu.
Orang tuaku juga turunan bangsawan
terhormat. Dan keu hendak mengotori darah
bangsawanmu dengan darah pemuda miskin
yang hanya pandai mencangkul itu….?"
"Hanya kebetulan saja kakak Wiguno seorang
anak petani miskin. Tapi apa bedanya dia
dengan kita? Sama-sama manusia….?"
Nyi Ageng Jeliteng tertawa mendengar kata-
kata puterinya itu.
"Kau sudah terlalu jatuh larut dalam dunia
cinta. Ketahuilah bahwa dunia cinta itu
adalah dunianya orang-orang gila dengan
seribu angan-angan muluk. Aku kawin dengan
ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah
kawin, apa yang kami rasakan jauh lebih
bahagia dari cinta….."
"Kalau masa muda inbu tidak mengenal cinta,
pantas saja ibu bisa berkata begitu!"
Hampir Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut
anaknya itu.
"Tak ada gunanya menasehatimu. Biar
ayahmu yang nanti bicara. Dan kau tahu.
Kalau ayahmu sempat naik pitam, tangan dan
kakinya akan melayang ke tubuhmu. Itu
rupanya yang kau kehendaki!"
"Dipukul sampai matipun saya tidak takut."
Jawab Tejarukmi.
"Anak durhaka!" kata Nyi Ageng Jeliteng
marah lalu berdiri dan tinggalkan kamar itu.
Keesokan harinya gedung besar kediaman
bangsawan Mangun Sarabean heboh ketika
seisi gedung mengetahui bahwa den ayu
Tejarukmi lenyap. Beberapa potong
pakaiannya berikut sejumlah perhiasan
miliknya yang ada dalam lemari ikut lenyap.
"Anak itu pasti meinggat!" kata Raden Mas
Mangun Sarabean sambil menggebrak meja.
Dia lalu berteriak memanggil pembantunya.
Kepada para pembantu itu diminta agar
menghubungi Raden Jarot, meminta bantuan
sejmulah pasukan untuk mencari anaknya
yang lenyap.
"Periksa ke rumah pemuda petani itu!" kata
Mangun Sarabean. "Aku yakin Tejarukmi
kabur bersama pemuda keparat itu. Anakku
harus kembali. Dan Wiguna kalau perlu dibikin
mampus saja! Dia yang jadi pangkal bahala
semua ini!"
Mangun Sarabean lalu masuk ke dalam
menemui istrinya yang menangis
menggerung-gerung.
Para pembantu yang disuruh segera
berangkat ke tempat kediaman Raden Jarot,
lelaki yang sudah dicalonkan untuk menjadi
suami Tejarukmi. Sesuai dengan permintaan
Mangun Sarabean maka Raden Jarot
menghubungi pamannya yaitu pangeran Dirjo
Samekto guna mendapatkan sejmulah
pasukan untuk mencari Tejarukmi.
Pasukan yang dikerahkan pangeran Dirjo
Samketo ternyata adalah dari kelompok yang
berpengalaman dan merupakan andalan
kerajaan. Karenanya tidak mengherankan
Tejarukmi dan Wiguna di sebuah pondok tua
di dalam lembah Gilimanuk yang terletak
sekitar setengah hari perjalanan dari desa
Ambarwangi.
Ketika ditemukan sepasang merpati yang
saling mencinta ini berusaha melarikan diri
dari kepungan.
Namun sia-sia. Wiguno, pemuda petani
miskin itu berusaha mempertahankan
Tejarukmi, tetapi apa dayanya menghadapi
puluhan prjaurit tangkas bersenjata lengkap
sedangkan dia hanya mengandalkan tangan
kosong. Dalam keadaan luka parah, atas
perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya
tewas terbunuh! Mati di hadapan mata kepala
Tejarukmi yang membuat gadis itu langsung
menjerit dan jatuh pingsan.
Selama beberapa hari Tejarukmi mengunci diri
dalam kamar. Tak mau makan, minumpun
hanya sekedar membasahi bibir. Lambat lau
tubuhnya jadi kurus lemas, parasnya semakin
pucat.
Suatu pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama
seorang pembantu membuka pintu kamar
gadis itu dengan paksa sambil membawa
makanan, mereka dapati Tejarukmi terbujur di
lantai. Dekat kepalanya terletak sebuah
mangkuk berisi warangan yang masih tersisa.
Mulutnya mengeluarkan busa. Tak ada lagi
tanda-tanda kehidupan. Gadis ini mati bunuh
diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam suasana heboh kematian Tejarukmi itu,
selagi gedung besar penuh didatangi
penduduk sedesa serta kerabat dekat, belum
lagi jenazah sempat dimandikan di tangga
depan gedung tampak seorang pengemis tua
yang anehnya muncul dengan menunggang
seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti
pandangan mata sekian banyak orang yang
terheran-heran, pengemis itu turun dari
kudanya lalu berkata "Kedatanganku
sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada
kejadian apakah di rumah besar ini hingga
orang begini banyak dan kudengar ada suara
orang meratap di dalam sana…."
"Pengemis berkuda," seseorang menjawab.
"Bukan saatnya kau datang meminta-minta.
Orang sedang ditimpa musibah. Pergilah dari
sini…."
"Musibah….ah….ah….ah. sungguh kasihan.
Rumah besar mentereng seperti ini seharusnya
siisi dengan suasana meriah ceriah. Bukan
tangisan. Musibah apakah yang datang
menimpa penghuni gedung ini….?'
Meskipun kesal melihat pengemis yang
banyak tanya ini namun orang itu kembali
menjawab "Den Ayu Tejarukmi, puteri Nyi
Ageng Jeliteng meninggal dunia."
"Aih sungguh kasihan. Masih mudakah dia?
Saktikah dia hingga sempai ajal secepat itu…."
Seorang tinggi besar yaitu pembantu
merangkap penjaga gedung kediaman Mangun
Sarabean memegang bahu pengemis itu dan
menyentakknnya ke belakang.
"Pengemis buruk! Bawa kudamu! Pergi dari
sini!"
Pembantu itu terkejut ketika sentakannya
tidak berhasil membuat pengemis tadi tertarik
ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba
tangannya kesemutan dan kaku tak bisa
digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu
kawan-kawannya ketika pengems itu
melangkah menaiki tangga depan gedung.
Maka empat orang segera menghadang si
pengemis.
"Kalian mengapa berlaku kasar padaku!" kata
si pengemis. "Aku datang bukan untuk
membuat keributan ataupun mengganggu!"
"Pengemis buruk! Tempatmu bukan di sini!
Kau sengaja memaksa masuk.
Jika kau inginkan sedekah kami akan
memberi. Tapi jika kau memaksa, kami
terpaksa menggebukmu!" salah seorang dari
empat lelaki yang menghadang berkata.
"Aku hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi.
Kudengar dia bunuh diri. Tapi apakah dia
benar-benar sudah mati? Tak bernafas lagi?
Jika aku diperbolehkan melihat, siapa tahu
aku bisa mwnolong!"
"Menolong menghidupkannya?!" ejek lelaki
tadi.
"Kau tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang
bisa menghidupkan manusia dan
mematikannya jika memang dikehendakiNya.
Yang aku ingin katakana siapa tahu gadis itu
hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin
aku bisa menolongnya"
"Pengemis ngaco! Lekas pergi. Jangan
membuat ulah yang bukan-bukan di tempat
berkabung ini!" Satu suara membentak. Keras
dan garang.
Si pengemis memalingkan kepalanya. Di
sebelah kirinya berdiri seorang bertubuh tinggi
ramping, mengenakan pakaian bagus dan
mahal, lengkap dengan topi tinggi berwarna
hitam.
Si pengemis manggut-manggut, lalu
menjawab "Aku mengerti, aku
mengerti…."katanya. "Kau pantas marah.
Bukankah kau Raden Jarot, duda anak empat
calon suami Den Ayu Tejarukmi yang gagal…?"
Orang tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana
pengemis yang tidak dia kenalnya tahu siapa
dirinya adanya?
"Kalau kau sudah tahu siapa aku, maka lekas
pergi dari sini!" kata Raden Jarot pula.
"Tapi aku ingin menolong calon istrimu itu!"
"Aku dan siapapun di sini tidak butuh
pertolonganmu!" bentak Raden Jarot.
"Kalau begitu kau tidak cinta pada gais itu.
Kau tak ingin melihat dia hidup kembali.
Padahal sebelumnya kau secara halus
memaksa kedua orang tuanya agar gadis itu
bisa kau jadikan istrimu….!
Merah paras Raden Jarot mendengar kata-
kata terakhir pengemis itu. Tentu saja dia
ingin melihat Tejarukmi hidup kembali.
Namun mana masuk akal kalau gadis yang
sudah mati itu bisa ditolong. Maka dia
memberi isyarat pada empat lelaki yang
mengurung si pengemis agar menyeret orang
tua itu. Selesai memberi isyarat maka diapun
masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya
tertahan ketika di belakangnya terdengar
suara bak-buk-bak-buk disusul keluh
kesakitan. Ketika dia menoleh kembali, empat
lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga
gedung. Ada yang memegang perut, dada dan
ada pula yang menutupi wajah dengan kedua
tangan.
Semuanya masih meringis dan mengeluh
kesakitan.
"Kurang ajar! Kau berani memukul orang-
orangku!" teriak Raden Jarot marah.
Sekali tubuhnya berkelebat, tinju kanannya
menderu ke muka pengemis tua itu.
Sebagai orang yang dekat dengan kalangan
Istana, Raden Jarot memiliki kepandaian silat
yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip
di pinggangnya diketahui adalah pemberian
seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri
Baginda.
Melihat pukulan yan dihantamkan Raen Jarot,
semua orang yang hadir di tempat itu sama
menduga si pengemis tua akan terpental
dengan kepala remuk, paling tidak bengkak
berdarah mukanya. Tetapi alangkah herannya
mereka ketika dengan acuh tak acuh
pengemis itu angkat tangan kirinya, telapak
tangan dikembangkan.
Buk!
Tinju Raden Jarot menghantam telapak
tangan yang dipakai untuk melindungi muka
dari pukulan.
Lelaki ini merasakan tangannya seperti
menghantam tembok. Jika tidak malu
pastilah dia akan menjerit kesakitan.
Tangannya tampak merah dan lecet-lecet.
Melihat kenyataan ini Raden Jarot segera
maklum, siapapun adanya pengemis tua itu,
dia adalah seorang yang memliki kepandaian
tinggi. Dan dengan memperlakukannya seperti
itu jelas dia membawa maksud yang tidak
baik. Sambil menghunus kerisnya Raden Jarot
berteriak.
"Semua lelaki yang ada di sini, Bantu aku
meringkus pengemis keparat ini!
Dia datang dengan maksud jahat!"
Lebih dari selusin lelaki segera melompat
mengurung. Dua di antaranya adalah anggota
pasukan yang sebelumnya ikut melakukan
pencarian ketika Tejarukmi minggat bersama
Wiguno.
Melihat dirinya dikurung begitu rupa,
pengemis itu berkacak pinggang dan tertawa
aneh.
"Usir kudanya! Jangan sampai pengemis tua
bangka keparat ini lolos!" teriak Raden Jarot.
Seseorang kemudian dengan cepat
menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi
ditunggangi di pengemis. Binatang ini
meringkik lalu lari kencang dan menghilang di
kejauhan.
"Aku hanya memberi nasehat pada kalian!"
katanya kemudian pada orangorang yang
mengurungnya.
"Menyingkirlah jika ingin selamat!"
"Serbu! Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh
jika perlu!" teriak Raden Jarot.
Pada saat itu tuan rumah yang sedang
berduka yakni Mangun Sarabean ke luar
ruangan dalam. Melihat seorang ttua
berpakaian kotor penuh tambalan dikurung
demikian rupa maka diapun menegur.
"Apa yang terjadi di sini?!"
Raden Jarot menerangkan dengan cepat.
Mangun Sarabean sesaat memperhatikan
tangan kanan calon mantunya yang lecet
akibat tangkisan pengemis aneh itu. Lalu
dengan suara perlahan tapi tegas dia berkata
"Berikan pakaian bekas, dua kaleng beras dan
sejumlah uang padanya. Lalu biarkan dia
pergi….!"
Habis berkata begitu Mangun Sarabean
melangkah masuk ke dalam kembali.
Tapi kata-kata si pengemis membuatnya
hentikan gerakan dan berpaling "Tuan rumah,
sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku
memang kotor penuh tambalan. Tubuhku
kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari
bukan untuk minta belas kasihan…. Apalagi
minta pakaian, uang dan beras…..!"
"Lalu apa maumu….?" Tanya Mangun
Sarabean. Ucapan si pengemis yang
memanggilnya dengan sebutan sampeyan
serta nadanya yang kasar membuat Mangun
Sarabean tersinggung. Hatinya kesal. Apalagi
dia ditimpa musibah besar kematian
puterinya.
"Aku datang untuk melihat jenazah Den Ayu
Tejarukmi," menjawab si pengemis.
"He, dia bukan sanak bukan kerabatmu.
Mengapa ingi melihat?" tanya Mangun
Sarabean. Sebelum dia membuka mulut
membentak, Raden Jarot sudah mendahului.
"Pengemis edan! Jangan kau bicara segala
macam aturan. Di sini berlaku aturan yang
dibuat tuan rumah! Tubuhmu yan gbabak
belur akan kami lempatkan ke jalan sana!"
"Kalau memang begitu, biar kau yang kugebuk
lebih dulu!"
Tubuh pengemis kurus itu berkelebat.
Raden Jarot melihat gerakan pengemis itu
begitu cepat hingga sulit mengetahui dengan
apa dan baian mana dari tubuhnya yan
gmenjadi sasaran serangan.
Untuk melindungi diri dia babat keris di
tangan kanannya lurus rata dari kiri ke kanan.
Demikian derasnya hingga badan keris
mengeluarkan suara menderu. Tidak dapat
tidak salah satu bagian tubuh lawan pasti
akan tersayat. Namun sesaat kemudian
terdengar pekik Raden Jarot. Keris di tangan
kanannya mental ke atas dan menancap di
langit-langit serambi depan. Kemudain
tubuhnya tampak terjerongkang ke belakang,
hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak
dadanya di sebelah tengah!
Mangun Sarabean kaget bukan main. Dia tahu
betul calon menantunya itu memiliki
kepandaian silat tinggi. Tapi bagaimana
pengemis tua bertubuh kecil itu dapat
menghantamnya dalam satu kali gebrakan.
Sambil menahan sakit dan megap-megap
karena nafasnya sesak Raden Jarot mencoba
berdiri lalu berteriak pada orang-orang di
sekelilingnya.
"Tunggu apa lagi?! Bunuh bangsat pengacau
itu!"
Kini lebih dari selusin orang menyerbu.
Termasuk Mangun Sarabean yang tidak dapat
lagi menahan amarahnya. ORang ini
tanggalkan ikat peinggang besat yang terbuat
dari kulit. Mangun Sarabean diketahui
bukanlah seorang yang memiliki ilmu silat
atau kesaktian. Namun ada yang
mempercayai bahwa dalam salah satu
kantong ikat pinggang kulit itu tersimpan
sebuah jimat yang konon didapat Mangun
Sarabean dari seorang empu di puncak
gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si
pengemis sama sekali tidak memandang
sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan
nyatanya demikian. Dalam beberapa kali
gerakan kilat si pengemis itu menggebrak ke
kiri dank e kanan. Terdengar pekik susul
menyusul. Empat pengeroyok tergelimpang di
lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil
pegangi perut. Lalu ada yang terhempas ke
dinding, melorot tak berkutik. Mangun
Sarabean sendiri tampak tagak terhuyung-
huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah
putus jadi dua. Yang lain-lain, termasuk
Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau
berbuat apa. Bukan saja karena merasa ragu-
ragu untuk menyerang kembali tapi lebih
banyak jadi merasa takut.
Pengemis itu tegak berkacak pinggang dan
tertawa panjang. Lalu tubuhnya lenyap,
berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat
kemudian di sebelah dalam terdengar pekik
orang-orang perempuan.
"Tolong! Penculik!"
"Jenazah den ayu diculik!"
"Jenazah anakku dilarikan! Tolong!"
Apakah yang terjadi?
Pengemis aneh itu tadi ternyata masuk ke
ruangan pembaringan jenazah.
Mayat Tejarukmi uang terbujur di atas kasur
berseperai hijau berbunga emas, yang masih
belum dimandikan atau dikafani, dan hanya
ditutup dengan sehelai kain batik dan sutera,
disambar oleh pengemis tadi dan
dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat dia
memandang berkeliling sambil menyeringai
memperhatikan orang-orang perempuan yang
menjerit-jerit.
Nyi Ageng Jeliteng berteriak sambil
melompat.
"Penculik busuk! Kembalikan anakku!"
perempuan ini lalu mendorong si pengemis
dengan tangan kiri sementara tangan
kanannya berusaha memegang pinggang
jenazah puterinya. Tapi sekali balas
mendorong pengemis itu membuat Nyi Ageng
Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum
pengemis itu berkelebat pergi bersama mayat
Tejarukmi, seorang perempuan tua yang akan
bertindak sebagai pemandi dan pengurus
jenazh berusaha menghalangi mencakar
kedua tangannya ke tubuh penculik.
Bret!
Pakaian kotor bertambal-tambal di bagian
punggung pengemis itu robek. Hal ini
membuat di pengemis marah sekali. Dengan
tumit kirinya ditendangnya perempuan tua itu
hingga terjengkang pingsan!
"Jangan coba-coba menghalangiku!" si
pengemis berteriak memberi peringatan. "Jika
kalian masih butuhkan jenazah ini, silahkan
ambil besok sore di hutan Roban sebelah
tenggara!"
Habis berkata begitu si pengemis tertawa
panjang. Seperti melaynga, tubuhnya melesat
ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap
bersama lenyapnya pengemis itu.
Rumah besar keidaman Mangun Sarabean
menjadi gempar. Beberapa orang coba
mengejar. Ada yang manunggang kuda dan
membawa senjata. Namun mau dikejar ke
mana? Pengemis itu lenyap laksana ditelan
bumi!
"Tak mungkin kita meneruskan pengejaran!"
kata Mangun Sarabean di atas punggung
kuda hitam. Tangan kirinya terkepal tanda
hatinya geram sekali.
Raden Jarot yang juga berkuda dan berada di
sebelahnya mengangguk perlahan tanda
maklum.
"Pengemis itu!" katanya. "Siapa dia
sebenarnya!"
"Dan mengapa dia menculik mayat Tejarukmi?
Kalau Wiguno masih hidup mungkin kita bisa
menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi
pemuda itu sudah mati…." Sesaat Mangun
Sarabean termangu duduk di atas punggung
kuda sementara rombongan pengejar yang
berjumlah hampir dua puluh orang itu berada
di belakang menunggu perintah selanjutnya.
"Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu
sampai terbunuh….?" Ujar Mangun Sarabean
kemudian.
Kata-kata itu membuat paras Raden Jarot
berubah.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya
Mangun Sarabean kemudian.
"Saya memutuskan pergi ke hutan Roban
sebelah tenggara! Pengemis keparat itu
menyebut tempat tersebut sebelum kabur!"
kata Raden Jarot.
"Jangan, terlalu berkhayal!" kata Mangun
Sarabean. "Kau pasti tahu hutan itu bukan
saja angker tapi penuh binatang buas dan
segala macam rampok!"
"Saya tahu betul hal itu. Karenanya saya
akan minta bantuan pasukan dari paaman
Dirjo Samekto…."
"Kalau begitu aku kembali ke Ambarwangi.
Kau meneruskan ke tempat kediaman
pamanmu itu…"
Raden Jarot memberi hormat lalu bersama
beberapa orang pengiringnya dia
meninggalkan tempat itu sedang Mangun
Sarabean kembali ke rumahnya di
Ambarwangi.
LEpas lohor hari itu tampak serombongan
pasukan berjumlah hampir tiga puluh orang,
bergerak menuju hutan Roban sebelah
tenggara. Di sebelah muka menunggang kuda
Raden Jarot didampingi seorang perwira
muda bernama Rangga Pangestu. Di dalam
jajaran pengawal Pangeran Dirjo Samekto
perwira itu memegang tampuk pimpinan dan
memiliki kepandaian yang sudah dikenal
kehebatannya di mana-mana. Di samping itu
pengalamannya juga cukup luas. Atas
perintahnya seluruh anggota pasukan
termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan
membawa perisai.
Dia tahu betul, memasuki hutan Roban berarti
menantang maut. Serangan kaum perampok
bisa terjadi secara mendadak. Dan itu bisa
berupa hujan panah atau lemparan tombak.
Karenanya perisai sangat diperlukan.
Rembang petang rombongan sampai di tepi
hutan Roban sebelah tenggara.
Mereka masuk ke dalam hutan sejauh
beberapa ratus tomabak, lalu membuat
perkemahan. Di sini Rangga Pangestu
mengatur rencana gerakan selanjutnya.
Pertama sekali harus diingat, mereka
memasuki rimba belantara itu untuk mencari
jenazah Tejarukmi, menangkap hidup-hidup
atau membunuh pengemis yang telah
menculiknya. Berarti sepanjang yang mereka
bisa lakukan ialah menghindarai bentrokan
dengan para perampok. Kecuali jika mereka
diserang, maka tak ada jalan lain mereka
harus menumpas penjahat itu.
Sore itu mereka akan menyelidik bagian hutan
di sebelah tenggara. Sebelum hari gelap
mereka harus sudak kembali ke kemah. Lalu
keesokan paginya baru penyelidikan
diteruskan. Rombongan dibagi tiga kelompok.
Masing-masing kelompok berjumlah sekitar
sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi
gelap mereka tak menemukan apa-apa.
Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda
sedikitpun tak berhasil mereka dapatkan.
Menduga si penculik asal saja menyebut
bagian tenggara hutan Roban atau sengaja
menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka
ketiga kelompok penyelidik itu sesuai
perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika
sampai di perkemahan mereka dikejutkan
mendapatkan puluhan orang berpakaian dan
berikat kepala serba hitam menduduki dan
mengurung perkemahan. Bahkan sampai di
atasatas pohon sekitar kemah tampak sosok-
sosok tubuh yang sama.
"Geromblan rampok…." Bisik Raden Jarot.
Rangga Pangestu mengangguk. Dia meneliti
keadaa kemah dengan cepat. Tak ada tanda-
tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu
tanda baik. Tanpa turun dari kudanya perwira
itu berseru.
"Tamu dari mana yang datang menyambangi
perkemahan kami?!"
Seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh
kekar maju dua langkah. Dia masih muda,
tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan
berkumis tebal.
"Kami anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin
tahu apa yang dibuat sekelompok pasukan
kerajaan di hutan Roban ini!"
"Aku perwira muda wilayah timur bernama
Rangga Pangestu. Di sebelahku ini adalah
Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo
Samekto. Mana pimpinan kalian?. Aku ingin
bicara dengannya!"
Rangga Pangestu sengaja menerangkan
dirinya dan siapa pula Raden Jarot untuk
membuat para perompok tidak berlaku
sembarangan. Dia kenal betul keganasan
perampok hutan Roban. Nyawa manusia sama
saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota perampok yang tadi bicara memang
tampak sedikit terkesiap begitu mendengar
ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya
seketika karena kemudian dengan suara
lantang dia berkata "Katakan apa maksud
kalian berada di sini!"
"Aku hanya bicara kalau pimpinanmu ada di
sini!" balas Rangga Pangestu.
Dia sudah dapat membaca situai kalau para
permpok itu tidak akan bertindak gegabah.
"Aku ada di sini perwira muda!" Satu keras
tapi serak datang dari arah pohon besar di
samping kanan.
Rangga Pangestu dan semua rombongan
mendongak ke atas. Pada sebuah cabang
besar duduk seorang lelaki berpakaian dan
berikat kepala hitam sambil menyedot sebuah
pipa berbentuk aneh. Rambutnya panjang
sebatas bahu. Mukanya tertutup kumis dan
cambang bawuk lebat. Tampangnya
menggetarkan, ditambah dengan barisan gigi-
giginya yan gbesar nyaris membentuk taring
pada kedua sudut depan, maka tampangnya
hampir menyerupai seorang raksasa.
"Sekarang apakah kau ma menerangkan
tujuan kalian berada dalam hutan
kekuasaanku?" Warok Kunto Rekso buka suara
lalu hembuskan asap pipanya ke udara.
Rangga Pangestu tahu betul di dalam hutan
Roban yang membentang dri barat sampai ke
timur itu terdapat beberapa kelompok rampok
ganas. Seluruh kelompok berada di bawah
pimpinan Kunto Rekso. Bukan saja karena
kepala rampok yang satu ini memiliki jumlah
anggota paling besar, tetapi juga karena
mempunyai kepandaian tinggi setingkat
perwira madya.
Sebenarnya baik Rangga Pangestu maupun
Raden Jarot merasa tersinggung dengan sikap
kepala rampok yang bicara duduk di atas
pohon sambil menghisap pipa seenaknya.
Tapi mereka juga menyadari, bangsa rampok
hutan seperti itu mana mengenal segala
macam peradatan. Maka perwira muda itu
membuka mulut memberi keterangan.
"Kami tengah mengejar seorang penculik!"
Kunto Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat
pada Rangga Pangestu lalu berkata "Mengejar
seorang penculik? Adalah aneh! Orang lua
mana yang berani masuk ke hutan Roban?!"
"Kami tidak tahu jelas siapa penculik itu
adanya. Dia berpakaian seperti pengemis!"
Yang bicara Raden Jarot.
"Apalagi seorang pengemis!" ujar Kunto Rekso
lalu tetawa sember. "Sulit bagiku
mempercayai keteranganmu, perwira muda!"
"Kami tidak berdusta. Seorang pengemis tua
menculik jenazah puteri bangsawan Mangun
Sarabean dari Ambarwangi…." Lalu Rangga
Pangestu memberikan keterangan singkat aas
apa yang telah terjadi.
Sesaat kepala rampok di atas pohon itu
terdiam sambil usap-usap dagunya.
Dia ingat kejadian hampir satu bulan lalu.
Ketika seorang pemuda bernama Jalatunda
memasuki hutan Roban dalam keadaan
seperti gila sambil mengacung-acungkan
golok. Pemuda itu kini berada di markasnya
menjadi pembantu juru masak.Ketika hampir
dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang
telah terjadi. Jenazah kekasihnya diculik
seorang pengemis tua. Jenazah ini kemudian
ditemukan di hutan Roban sebelah timur
tanpa jantung dan hati. Apakah penculik
jenazah puteri Mangun Sarabean itu pengemis
yang sama?
Melihat orang terdiam, Rangga Pangestu
berkata "Agaknya kau mengetahui sesuatu
Warok….!"
"Jika daerah kekuasaanku dikotori seseorang,
aku harus mencari dan membunuh orang itu.
Tapi jika kalian mempunyai maksud
terselubung, kalian tak akan keluar hidup-
hidup dari hutan ini!"
"Maksud terselubung apa?" tanya Rangga
Pangestu.
"Sebelumnya aku mengetahui telah terjadi
satu peristiwa penculikan. Bukan mustahil
kajadian itu kalian pergunakan sebagai
topeng untuk melakukan penyerbuan terhadap
kami orang-orang Roban!"
"Jangan berprasangka terlalu jauh. Jika
maksud kami hendak membasmi kalian, sudad
tadi-tadi hal itu kami lakukan!" ujar perwira
muda itu.
Warok Kunto Rekso tertawa sember.
"Malah kalau kau suka, kami ingin minta
bantuan kerja samamu!" Raden Jarot berkata.
"Bantuan maccam mana….?" Tanya si kepala
rampok acuh tak acuh.
"Ikut mencari pengemis penculik itu. Dan
menemukan kembali jenazah puteri Mangun
Sarabean.
Kembali Warok Kunto Rekso tertawa.
"Selama ini tak pernah kejadian ada kerja
sama antara kami orang-orang hutan Roban
dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian
selalu mengejar hendak membasmi kami.
Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun
lalu yaitu ketika hampir lima puluh perajurit
kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota
kami tewas.
Aku tetap menaruh syakwasangka kalian
memanfaatkan situasi untuk melakukan
sesuatu terhadap kami!"
"Jika kau berpikir seperti itu adalah salah!"
ujar Rangga Pangestu.
"Warok!" kata Raden Jarot. "Jika kau dan
orang-orangmu mau membantu kau boleh
ambil cincinku ini!" lalu Raden Jarot loloskan
cincin emas bermata jambrut besar dari jari
manis tangan kanannya.
Benda itu dilemparkannya ke atas pohon yang
segera ditangkap oleh si kepala rampok.
"Cincin bagus….!" Kata Warok Kunto Rekso
sambil memperhatikan cincin itu dalam
kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut
dimasukkannya ke jari manis tangan kirinya
sambil menyeringai tiada henti. "Kua baik hati
Raden Jarot. Terima kasih atas
pemberianmu…"
Dari mulutnya kemudian terdengar suara
suitan keras. Serentak dengan itu puluhan
anggota rampok yang berada di sekitar
perkemahan bergerak cepat dan lenyap masuk
ke dlaam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri
sudah lebih dulu melayang turun.
"Kejar kepala rampok itu!" teriak Raden Jarot
yang merasa tertipu oleh kesalahannya
sendiri.
Tapi Rangga Pangestu cepat berseru. "Semua
tetap di tempat!"
"Cincinku!" ujar Raden Jarot.
Rangga Pangetu hanya mengangkat bahu.
Benda apapun yang telah dilarikan kepala
rampok itu dan berapapun nilainya dia tak
akan mau memerintahkan orangorangnya
melakukan pengejaran. Seperti yang
ditandaskannya semula, mereka memasuki
hutan Roban yang penuh bahaya itu bukan
untuk membuat bentrokan dengan para
perampok. Tapi untuk mencari jenazah
Tejarukmi yang diculik pengemis misterius!
Keesokan harinya ketika dia bangun pagi-pagi
sekali, perwira muda Rangga Pangestu
terkejut sewaktu seorang prajurit datang
melapor bahwa Raden Jarot telah pergi.
"Pergi? Pergi ke mana?!" tanya Rangga
Pangestu.
"Masuk ke dalam hutan sebelah sana. Dia
membawa serta selusin anggota pasukan.
Katanya hendak mencari Warok Kunto Rekso
yang telah melarikan cincin jambrutnya!"
"Celaka! Manusia tolol!" ujar Rangga
Pangestu.
"Dia lebih sayangkan cincin itu dari
nyawanya. Bahkan melupakan tugas semula!
Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!"
Sisa pasukan yang ada disiapkan. Setelah
diberi beberapa petunjuk kemah dibongkar
lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan
Roban. Kini tugas yang dihadapi bertambah
satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka
bergerak dengan hati-hati tanpa memecah
rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi
sedikit itu sebenarnya ke adaan mereka jadi
sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan
rampok sulit untuk bertahan. Jika saja bukan
Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden
Rangga Pangestu memilihlebih baik keluar
dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah
dapat tambahan pasukan. Mau tidak mau
Pangeran Dirjo Samekto pasti akan
membebankan tanggung jawab padanya jika
terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang tengah hari belum kelihatan jejak
pasukan yang dibawa Raden Jarot.
Rombongan terpaksa berhenti karena tak
dapat menahan lapar. Selesai makan mereka
istirahat sebentar. Kesempatan ini
dipergunakan oleh dua orang anggota
pasukan membuang hajat ke sebuah kali
dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun niat
mereka untuk buang hajat menjadi batal.
Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk
pasukan, langsung menemui Rangga
Pangestu.
"Ada apa…. Kalian seperti dikejar setan?!"
tanya Rangga Pangestu. Diamdiam dia sudah
maklum kalau sesuatu yang hebat telah
dialami kedua anggota pasukan itu.
"Raden Jarot," kata salah seorang dari dua
prajurit. Dia manrik nafas dalam dulu baru
menyambung "Mayatnya kami temukan dekat
kali dangkal sebelah sana.
Bersama anggota pasukan yang dibawanya!"
Rangga Pangestu melompat dari batang kayu
yang didudukinya, langsung lari mendahului
dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul.
Di tepi kali dangkal berair kebiruan perwira
muda itu merasakan kedua kakinya seperti
dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur
setengah menelungkup. Ada luka besar di
pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan
kanannya hampir putus.
Dan pada jari manis tangan kanan itu tampak
cincin emas berbatu jambrut besar yang
malam tadi diberikannya pada Warok Kunto
Rekso . Rupanya kelompok pasukan yang
dipimpin Raden Jarot berhasil menemui
gerombolan rampok itu dan terjadi
pertempuran. Warok Kunto Rakso
mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi
sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot
sebagai gantinya!
Dua belas orang prajurit juga tampak
tergelimpang di sepanjang tapi kali.
Sebelas diantaranya sudah menemui ajal.
Satu yang masih hidup berada dalam keadaan
luka berat dan sekarat. Dua anggota rampok
tampak terkapar tanpa nyawa di dekat situ.
Rangga Pangestu memerintahkan orang-
orangnya mengurus mayat Raden Jarot.
Mayat yang lain dikuburkan di tepi kali itu.
Selesai penguburan jenazah Raden Jarot
segera diusung menuju Ambarwangi. Perwira
muda itu sudah dapat membayangkan apa
yang akan dilakukan Pangeran Dirjo Samekto
begitu mengetahui keponakannya menemui
ajal di tangan rampok hutan Roban.
Menjelang sore rombongan yang kembali
dengan membawa mayat Raden Jarot itu
sampai di bagian tenggara hutan, di mana
sebelumnya mereka berkemah.
Rangga Pangestu yang menunggang kuda di
sebelah depan mangangkat tangan memberi
tanda agar rombongan berhenti.
"Aku mencium bau tidak enak…." Katanya
sambil memandang berkeliling.
Dia turun dari kudanya, melangkah ke
sederetan semak belukar lebat. Entah
mengapa dadanya berdebar. Bukankah daerah
itu begian tenggara hutan Raoban, tempat
yang dikatakan oleh pengemis penculik
sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat
diambil kembali? Dan bukankah saat itu
sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si
penculik?
Semakin dekat ke semak-semak semakin
sentar bau tidak enak itu. Rangga Pangestu
menyibakkan ranting-ranting berdaun liar
dengan tangan kanannya. Begitu semak
belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat.
Di sebelah sana dilihatnya sosok tubuh
Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak
tertutup. Bagian dada kiri dan perutnya
nampak robek besar. Darah membeku di
bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah
yang menebar bau busuk!
"Gusti Allah!" sseru Rangga Pangestu.
"Manusia biadab macam mana yang tega
melakukan hal ini!" Perwira muda ini tahu
sekali kalau luka besar pada bagian dada dan
perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat
dikoyak binatang buas. Tapi diobol oleh
tangan manusia, mungkin memakai pisau
besar yang tajam dan hatinya lenyap!
"Cari kain!" kata Rangga Pangestu dengan
suara bergetar. "Tutup jenazah itu!"
Seorang kemudian menutupi tubuh Tejrukmi
dengan kain tenda kemah karena memang
hanya itulah yang ada. Lalu sebuah usungan
kayu dibuat dengan cepat.
Dengan demikian kini ada dua jenazah yang
diusung menuju Ambarwangi. Jenazah Raden
Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang.
Seperti yang sudah dibayangkan Rangga
Pangestu sebelumnya, kematian Raden Jarot
menimbulkan kemarahan besar atas diri
Pangeran Dirjo Samekto.
"Tak ada jalan lain! Rampok-rampok hutan
Roban itu harus dibasmi, dimusnahkan. Kalau
perlu hutan Roban dibumi hanguskan!
Bagaimanapun mahal tantangannya!" Begitu
kata-kata sang pangeran di hadapan para
pembantunya.
Namun sebelum keputusan itu dijalankan dia
berangakt dulu ke kotapraja guna mendapat
persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan yang
hendak ditempuhnya itu disetujui raja. Maka
lebih dari tiga ratus perajurit yang kemudian
dibagi dalam tiga kelompok besar di bawah
pimpinan tiga sampai empat perwira muda
dan perwira tingi, beberapa hari kemudian
membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat perkampungan rampok dihancur
leburkan. Seratue anggota rampok yang
mengadakan perlawanan menemui kematian,
sisanya yang masih hidup akhirnya melarikan
diri. Namun ketika mereka menyerbu ke
perkampungan yan jadi makas kelompok
Warok Kunto Rekso, perkampungan itu
ditemui dalam keadaan kosong.
Rupanya sang Warok tidak bodoh dan sudah
dapat mencium apa yang bakal terjadi setelah
kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum
balatentara datang menyerbu mereka sudah
meninggalakan perkampungan, mengungsi ke
satu tempat yang tidak diketahui.
Sejak lima bulan terakhir kawasan sekitar
hutan Roban, mulai di wilayah timur maupun
di barat, di sebelah selatan ataupun bagian
pantai utara dicekam oleh kegegeran yang
menakutkan. Terutama bagi keluarga yang
memiliki anak gadis dan berada dalam
keadaan sakit. Jika gadis sakit itu akhirnya
meninggal dunia bukan mustahil dia akan
menjadi korban penculikan manusia jahat
yang sering muncul sebagai pengemis.
Kegelisahan rakyat itu terasa juga sampai ke
dalam tembok Istana. Setelah peristiwa
penumpasan besar-besaran para perampok
hutan Roban maka pihak Istana telah
menurunkan perintah, meneliti setiap
pengemis yang ada dipelbagai pelosok dan
menahan mereka yang dicurigai. Namun
usaha itu ternyata belum menampakkan hasil.
Malah dua minggu yan gsilam ketika seorang
perawan di dukuh Jembar meninggal dunia
mati tenggelam di kali yan gsedang banjir,
mayatnya diculik sebelum sempat dibawa ke
kubur. Dua hari kemudian mayat itu
ditemukan di hutan Roban sebelah barat
dalam keadaan persisi sama seperti mayat-
mayat lainnya. Tanpa jantung dan tanpa hati!
Ini adalah korban yang ke enam. Masih
berapa korban lagi yang menunggu?!
Kita kembali dulu ke hutan Roban pada saat
sehari sebelum balatentara kerajaan
menyerbu.
Pagi itu Warok Kunto Rekso memanggil
pembantu-pembantu kepercayaannya. Dia
memerintahkan agar pagi itu juga merea
segera meninggalkan perkampungan. Dia
tidak mengatakan pengungsian itu. Sebelum
berangkat terjadi cekcok yang membuat
kepala rampok naik darah. Jalatunda, pemuda
yang danggap kurang waras karena peristiwa
penculikan Sueitri menolak untuk
meninggalkan perkampungan.
Jalatunda coba membuka mulut untuk
mengatakan sesuatu. Tapi dia tak mampu
mengeluarkan sepotong suarapun. Maka dia
hanya balas melambaikan tangan.
"Jala…" kembali terdengar suara gadis itu.
"Jika kau ingin bertemu denganku teruskan
perjalananmu menuju ke barat. Ikuti arah tiga
pohon beringin besar sampai akhirnya kau
mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit
ini ada daerah berbatubatu.
Pada sebelah bawah akan kau temui sebuah
telaga berair hijau biru. Kau akan malihatku
di situ Jala…." Suwitri melambaikan
tangannya. Tersenyum untuk terakhir kali lalu
lenyap.
Jalatunda terbangun dari tidurnya.
"Witri…."desis pemuda ini. Dia duduk
termenung dan mengingat-ingat apa yang
barusan dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini
berdiri. Dalam tubuhnya yang letih dan lapar
itu seolah-olah ada sau kekuatan baru.
Sesuai dengan petunjuk mimpi, di malam
gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu
dia berjalan menuju ke barat.
Dalam perjalanan memang dia menemukan
tiga buah pohon beringin besar seperti yang
dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu tepat di
ujung pohon beringin yang terakhir, sekitar
seratur tombak di depan sana kelihatan bukit
batu, menghitam dalam kegelapan. Batu-batu
besar yang membentuk bukit itu tertutup
lumut tebal. Licinnya luar biasa. Jalatunda
berulang kali tergelincir sebelum akhirnya
sampai di puncak bukit. Dia tak berani berdiri
di atas batu yang licin itu. Merangkak dengan
kedua lutut dan telapak tangan menjejak batu.
Memandang ke bawah si pemuda melihat
sebuah telaga berair hijau kebiruan. Telaga
itu tak seberapa besar. Di bagian tengah
terdapat sebuah batu rata hampir menyerupai
meja besar dan di atas batu ini duduklah
sesosok tubuh tanpa pakaian. Tampaknya
seprti tengah berlangir, tengah mandi.
"Gila, Siapa malam buta begini mandi di
tempat seperti ini!" pikir Jalatunda.
Meskipun orang itu berambut panjang namun
tidak dipastikan oleh Jalatunda dia seorang
perempuan atau seorang lelaki. Pada masa itu
banyak kaum lelaki yang memelihara rambut
cukup panjang menyerupai perempuan. Orang
yang duduk di atas batu rata menggosok
badannya dengan segumpal benda. Bagian
tubuh dan muka yang digosok dengan
gumpalan itu kelihatan menjadi merah.
Sekilas ketika orang tersebut memalingkan
mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian
mulutnya sangat merah. Selesai menggosoki
badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam
telaga lalu dia mengambil lagi sebuah
gumpalan merah yang sebelumnya terletak di
atas ujung batu.
"Orang yang mandi itu jelas bukan Suwitri…."
Kata Jalatunda dalam hati.
"Tapi dia mengatakan aku akan menemuinya
di telaga ini…" Si pemuda meragu apakah dia
akan berseru memanggil atau bagaimana.
Saat itu tiba-tiba orang yang sedang mandi
melihat sosok tubuh Jalatunda di ats batu
yang ketinggian.
"Bangsat keparat! Berani mengintai orang
mandi!" kutuknya marah sekali.
Dia terjun ke dalam telaga. Metika muncul di
tangan kanannya tergenggam sebuah batu
sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kea
rah Jalatunda, tepat mengenai kepala si
pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur.
Tubuh Jalatunda roboh terguling, jatuh
menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu
itu sebenarnya tidak akan membuat mati
Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya
patah dihantam batu.
Dia megap-megap sesaat lalu diam tak
berkutik lai! Mati!
Sebuah perahu kayu besar merapat di Tanjung
Karangwelang. Meskipun hanya merupakan
sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang
hingga banyak perahu dari pelbagai jurusan
lebih suka merapat di sini. Di samping itu
sarana
perhubungan berupa jalan dan jembatan
terpelihara baik hingga lalu lintas ke barat,
timur dan selatan berjalan lancar.
Kemunculan perahu besar ini menarik
perhatian banyak orang di sekitar pelabuhan.
Boleh dikatakan jarang sekali perahu besar
berlabuh di Tanjung Karangwelang. Tersiar
kabar yang bersumber dari para awak kapal
bahwa perahu besar itu adalah milik seorang
saudagar berlian di Martapura yang datang ke
situ membawa salah seorang puterinya yang
sedang sakit keras.
Setelah perahu merapat maka sebuah tandu
besar diturunkan, diusung ke darat langsung
dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik
dua ekor kuda. Saudagar
berlian itu, seorang Cina she Wong, bersama
istri dan anak lelakinya ikut naik kereta.
Beberapa orang lelaki tampaknya bertindak
sebagai pengawal mengiringi kereta tersebut.
Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib
yang tinggal di Kaliwungu.
Karena jalan yang baik maka sebelum tengah
hari rombongan itu telah sampai ke rumah
sang tabib yang juga keturunan Cina she
Chou bernama Ap Yang.
Tabib Chou memang sudah terkenal sampai
jauh ke luar tanah Jawa akan keahliannya
mengobati berbagai macam penyakit serta
kemujaraban obatnya. Setelah hampir enam
bulan mengobati penyakit puterinya keluarga
Wong memutuskan untuk membawa puteri
mereka Wong Cui Lan ke tanah Jawa, agar
dapat diobati langsung oleh tabib Chou tadi.
Mengetahui tamu datang dari jauh maka tabib
Chou memberikan sambutan yang sebaik-
baiknya. Sementara para pembantunya
menyiapkan minuman dan hidangan kecil
maka dia meminta agar si sakit langsung
dibawa masuk ke dalam kamar periksa,
dibaringkan di atas sebuah ranjang tinggi.
Wong Cui Lan tampak pucat sekali, kurus dan
tertidur pulas. Wong Tam Pie, ayah si sakit
segera menuturkan sakit anaknya yang
diderita sejak enam bulan lalu.
Berbagai obat telah diberikan. Bermacam-
macam ahli pengobatan telah dimintakan
bantuannya.
Namun sakitnya Cui Lan tidak berkurang,
malah keadaan gadis anak ketiga keluarga
Wong itu semakin parah. Setelah mendengar
kemasyuran tabib Chou maka mereka
memutuskan untuk membawa Cui Lan pada
tabib itu.
Setelah menatap sesaat wajah si sakit, tabib
Chou bertanya "Saudara Wong, para ahli
pengobatan terdahulu apakah mereka ada
mengatakan anakmu mengidap sakit apa…?"
Wong Tam Pie gelengkan kepala. "Tak ada
seorangpun yang tahu. Mereka hanya
menduga-duga. Malah ada yang bilang
anakku ini penyakitnya aneh…."
"Ada yang menduga dia diguna-guna orang,"
nyonya Wong ikut bicara.
Tabib Chou memperhatikan bibir si sakit yang
berwarna kebiru-biruan lalu berkata "Anak
kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia
menderita kelainan jantung.
Hanya saja…."
"Hanya saja bagaimana?" tanya Wong Tam
Pei ketika dilihatnya sang tabib tidak
meneruskan ucapannya.
"Hanya saja kalian datang terlambat…. Mohon
dimaafkan saudara Wong"
"Apa maksudmu saudara tabib…?"
"Puterimu sudah meninggal. Mungkin sekitar
satu jam yang lalu."
Nyonya Wong langsung menjerit dan meraung.
Wong Tam Pei dan puteranya berusaha
berlaku tenang.
"Kau… Kau belum lagi memeriksanya,
bagaimana bisa bilang puteriku sudah
meninggal?"
"Bibirnya kering dan biru. Itu tanda yang
sangat pasti. Tapi agar kau puas biarlah
kuperiksa." Maka tabib Chou lalu memegang
pergelangan tangan Cui Lan.
Dia mengambil beberapa peralatan dan
melakukan beberapa kali pemeriksaan.
Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu dan
anak itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Wong Tam Pie terduduk meneteskan air mata.
Begitu juga puteranya.
Sementara Nyonya Wong terus menangis
keras dan sambil memeluki dan menciumi
wajah anak gadisnya.
"Apa yang kami lakukan sekarang?" tanya
anak lelaki Wong.
"Kalian beristirahat saja dulu. Aku akan
memberikan obat pengawet agar jenazah
tetap utuh sampai di Martapura. Cuma kalau
aku boleh memberi nasehat, makin cepat
kalian membawa jenazah ke perahu dan
berlayar akan makin baik."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Wong Tam Pie.
Tabib Chou menarik nafas panjang. "Kalian
mungkin tak percaya….. Tapi inilah ceritanya"
Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-
peristiwa penculikan atas jenazah enam orang
gadis yang menggemparkan dan mengerikan
itu.
Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main
mendengar penuturan itu.
Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib
yang sama.
"Kami mohon petunjukmu saudara tabib.
Kurasa kedatangan kami dengan perahu layar
besar telah menarik perhatian orang. Tak
mungkin membendung rahasia.
Kalau sang penculik sampai mengetahui
kejadian ini celaka kita…."
Tabib Chou merenung sejenak. Sesaat
kemudian dia berkata. "Ada baiknya kita
menyimpan dua buah peti mati. Satu besar
dan satu lagi kecil dan ringan. Peti mati yang
besar dibawa dengan kereta terbuka hingga
semua orang dapat melihat.
Tapi jenazah puterimu tidak dimasukkan
dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati
yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak
barang, ditutupi dengan sayuran. Nah, kalau
penculik muncul, pasti dia akan melarikan
kereta yang membawa peti mati besar…"
Wong Pie segera dapat menangkap jalan
pikiran tabib Chou. Maka segera apa yang
dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera
dilaksanakan.
Udara di pelabuhan terasa sangat panas.
Angin mengandung garam bertiup gersang.
Kecuali para pekerja, kebanyakan orang lebih
suka berada dalam bangunan.
Sederetan kedai nasi dan minuman di
sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para
tamu.
Kebanyakan dari mereka duduk menikmati
makanan atau secangkir kopi sambil ngobrol
ngalor ngidul. Namun siang itu pembicaraan
semua orang hampir tidak banyak berbeda di
setiap kedai. Mereka membicarakan perahu
besar milik saudagar berlian dari Martapura.
Agaknya hampir semua orang mengetahui
kalau perahu milik saudagar Wong itu
membawa anak gadis yang sedang saki untuk
diobati oleh tabib Chou.
Dalam salah satu kedai, Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng nampak
menyantap nasi rawonnya dengan lahap.
Sesekali kedua matanya malirik pada seorang
perempuan yang juga berada di kedai itu
tengah bersantap. Kalau saja perempuan ini
tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto
Gendeng itu melirik terus menerus. Yang
dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya
diperhatikan orang, namun dia seperti tak
perduli. Dari pakaian biru ringkas yang
dikenakan perempuan itu Wiro maklum kalau
si jelita berkulit kuning langsat ini adalah
seorang dari kalangan persilatan. Maka
timbullah niatnya untuk ingin berkenalan.
Apalagi wajah perempuan muda ini
mengingatkannya pada wajah Anggini, murid
Dewa Tuak yang pernah dikenalnya beberapa
waktu yang lalu (Baca serial Wiro Sableng
"Maut Bernyanyi di Pajajaran") Namun
sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai
terdengar ada kehebohan. Banyak orang
berbondong-bondong menuju dermaga.
"Apa yang terjadi…?" tanya pemilik kedai pada
seseorang yang kebetulan lewat.
Orang itu menjawab "Puteri saudagar Cina
yang datang dari seberang itu meninggal.
Tabib Chou tak keburu menolongnya!"
"Ah kasihan….!" Terdengar desah perempuan
berbaju biru tadi. Lalu seperti tamu lainnya
dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk
melihat rombongan pembawa jenazah.
Wiropun segera tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah kereta terbuka tampak ditarik oleh dua
ekor kuda, bergerak menuju dermaga di mana
perahu besar berada. Di belakangnya ada
sebuah kereta lain ditumpangi keluarga Wong.
Wong Tam Pie duduk dengan kepala tertunfuk,
mengucurkan air mata, menangis tanpa suara.
Di sebelahnya duduk istrinya yang sepanjang
jalan menangis keras tiada henti. Lalu putera
mereka duduk di sebelah kusir kereta dengan
kepala tegak tapi mata merah.
Di kiri kanan kereta mengawal enam orang. Di
sebelah belakang sekali, jauh tertinggal dari
rombongan induk menyusul sebuah gerobak
sarat berisi sayur. Orang banyak ikut
mengiringi rombongan itu menuju tepi
dermaga. Wiro tegak di samping perempuan
cantik berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir
bagaimana cara yang baik untuk menegur
perempuan ini. Tiba-tiba si baju biru
berpaling padanya, tersenyum.
Ah pucuk dicinta ulam tiba, pikir Wiro
Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan itu
mengulurkan tangannya menyerahkan
sejumlah uang kecil.
"Sahabat, kau tentu mau menolongku."
"Tentu saja. Eh, apa ini?"
Si baju biru memasukkan uang receh itu ke
dalam genggaman Wiro seraya berkata "Aku
ada keperluan penting. Tolong berikan uang
ini pada pemilik kedai pembayar makanan
yang tadi kusantap!"
Senyum lebar penuh harapan yang tadi
menyeruak di mulut Wiro serta merta lenyap
ketika dia mengetahui apa maksud perempuan
cantik itu. Sebelum dia sempat berbuat atau
mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap
di antara orang banyak.
Dengan jengkel Wiro timang-timang uang itu
dan akhirnya melangkah menuju kedai tempat
dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum
jauh ketika mendadak dari arah dermaga
terdengar suara keributan.
Saat itu Wiro melihat kusir kereta yang
membawa peti mati mencelat mental dan
terhempas di jalanan dihantam tendangan
seorang lelaki yang pakaiannya tampak
seperti pengemis. Orang ini kemudian
menyambar tali kekang dua ekor kuda lalu
menggebarak kedua binatang itu. Sebelum
kereta mayat menghambur, dua orang tampak
berusaha menghalangi. Keduanya adalah
Wong Tam Pie dan puteranya.
Masing-masign membawa sebatang tongkat.
Enam orang berkuda ikut pula mencegat. Tapi
pengemis di atas keeta mayat hebat sekali.
Dia pergunakan cambuk kuda untuk
menghantam oran-orang itu. Tongkat di
tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat
di tangan puteranya patah daua. Lalu enam
orang pengawal dihajar dengan cambukan
hingga luka-luka melintir kesakitan.
Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Hingga
ketika Wiro Sableng sampai di tempat itu si
pengemis yang melarikan kereta mayat sudah
lenyap di tikungan jalan.
"Kejar!" teriak salah seorang pengawal.
Mukanya tampak luka bekas hantaman
cambuk.
"Tidak usah!" Wong Tam Pie mencegah yang
membuat pengawal itu serta kawan-kawannya
keheranan.
"Orang itu melarikan peti mati jenazah
puterimu seudagar Wong!" kata si pengawal.
"Biarkan dia mencuri peti dan jenazh anakku.
Semua segera naik ke atas perahu! Dahulukan
gerobak sayur itu…!"
Wogn Tam Pie, isterinya dan anak laki-lakinya
segera naik keatas perahu besar. Para awak
perahu dibantu oleh enam pengawal tadi
menaikkan gerobak sayur ke dalam perahu.
Tak lama kemudian perahu besar itu pun
mulai merenggang meninggalkan dermaga.
Di atas anjungan Wong Tam Pie nemapak
berdiri dengan wajah lega.
"Untung tabib Chou menyusun siasat jitu.
Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan sudah kena
diculik penjahat!"
"Heran…" kata puteranya sang saudagar.
"Siapa sebenarnya pencuri tadi.
Tampaknya seperti peminta-minta. Apa
perlunya mencuri mayat orang?"
"Akupun tidak mengerti. Dunia ini semakin
tua. Segala kejahatan dan keanehan bisa saja
terjadi" kata saudagar Wong lalu dia masuk
beranjak meninggalkan anjungan.
Kita kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang
dirasa aneh oleh murid Sinto Gendeng.
PErtama orang berpakaian pengemis itu
melarikan peti mati berisi jenazah puteri
saudagar Cina itu. Kedua mengapa sang
saudagar sendiri mencegah para pengawalnya
mengejar si pencuri dan memerintahkan
cepat-cepat naik keatas perahu besar. Karena
tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro
Sableng akhirnya memutuskan untuk mengejar
sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu.
Dia menyambar seekor kuda yang tertambat
tak jauh dari situ lalu membedal binatang ini
ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira beberapa ratus tombak dari tikungan
jalan Wiro menemukan kereta itu berhenti di
tepi jalan. Penutup peti mati berada dalam
keadaan terbuka. Ketika dia meneliti ke dalam
peti ternyata peti itu kosong!
"Jenazh puteri saudagar itu dilarikan…."
Membatin Wiro. Dia coba meneliti keadaan
sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat
dijadikan petunjuk kemana jenazah itu dibawa
kabur. Berarti rasa ingintahunya menemui
jalan buntu hanya sampai di situ.
Sementara itu selagi Wiro berusaha
meneylidiki kejadian itu, di pelabuhan telah
terjadi lagi kegemparan. Saat itu orang
benyak masih berkumpul di sepanjang
dermaga. Mereka membicarakan apa yang
barusan terjadi sambil memandangi perahu
besar semakin menjauh ke tengah laut. Saat
itulah seseorang terdengar berteriak.
"Hai! Orang yang melarikan kereta mayat itu
ada di sana! Lihat dia menendang pemilik
perahu pukat!"
Semua orang memalingkan kepala ke jurusan
yang ditunjuk. Benar, mereka menyaksikan
seorang pemilik perahu kecil yang biasa
dipakai untuk manangkap ikan terjatuh ke
dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian
pengemis yang tadi diketahui melarikan kereta
pembawa peti mati. Oang itu kemudian
mendayung perahu menuju ke tangah laut, kea
rah perahu besar milik saudagar Wong. Yang
luar biasanya ialah dia menggunakan kedua
tangannya sebagai pendayung.
Perahu pukat itu seperti melesat membelah air
laut, meluncur cepat di atas air menuju perahu
besar. Membuat semua orang hampir tak
mempercayai pemandangan mata meeka
sendiri!
"Tak ada manusia yang mampumendayung
perahu dengan tangan seperti itu!" kata
seseorang.
"Kalau bukan malaikat pasti dia seorang sakti
luar biasa!" kata seorang lainnya.
Lalu ada seorarng lainnya lagi yang seprti
bertanya "Eh, bukankah tadi dia melarikan
peti mati berisi jenazah puteri Cina itu!
Sekarang seperti hendak mengejar perahu
besar! Apa yang hendak dilakukannya?!"
Orang banyak semakin berjejalan di
sepanjangan dermaga. Tak lama kemudian
pukat itu berhasil menyusul perahu besar, lalu
tak selang berapa lama setelah itu tampak
asap hitam mengepul di atas perahu besar.
"Perahu besar itu terbakar!" teriak orang
banyak berbarengan.
Pada saat itulah Wiro sampai kembali ke
pelabuhan, dan ikut menyaksikan perahu besar
dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk
beberapa lamanya tidak kelihatan lagi. Namun
seseorang kemudian melihat dan berseru
ketika pukat itu tampak seperti menyeruak di
antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah
timur dan akhirya lenyap di titik batas
pemadangan.
"Apakah kalian semua di sini hanya bisa
menonton tanpa melakukan sesuatu untuk
menolong?!" Satu suara terdengar di antara
kerumunan orang banyak. Yang bicara
ternyata adalah seorang kakek mengenakan
kain dan selempang putih.
Mulutnya komat kamit. Kedua matanya yang
kelabu menatap jau ke tengah lautan, kea rah
perahu besar yang diamuk api.
"Ah, empu Tembikar tupanya…." Kata
seseorang. Orang ini seperti sadar segera
berteriak. "Yang memiliki perahu besar itu!"
Lalu dia mendahului lebih dari selusin perahu
kecil didayung cepat menuju perahu kayu
yang terbakar. Namun nyala api besar sekali.
Sebelum orang0orang itu berhasil mendekat,
perahu telah hampir musnah. Di antara isinya,
hanya dua orang awak kapal yang sempat
menyelamatkan diri, terjun ke laut lalu
berenang sambil berpegangan pada potongan
papan. Keduanya segera ditolong dan dibawa
ke darat. Sampai di darat mereka segera
dihujani pertanyaan apa yang terjadi. Kenapa
perahu itu sampai terbakar. Salah seorang
dari awak perahu memberi keterangan tak
jelas dari mana asalnya api. Ketika kebakaran
itu diketahui, kobaran api telah mengamuk
hebat. Dan ini terjadi pada tiga bagian
perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah
lalu anjungan. Persediaan air di perahu itu
ternyata tidak mencukupi karena sewaktu
berlabuh di Tanjung Karangwelang belum
sempat mengisi air.
Di dalam suasana kacau beberapa orang awak
kapal sempat melihat kemunculan tiba-tiba
pengemis yang sebelumnya diketahui telah
melarikan kereta pembawa peti jenazah Cui
Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa
bagian perahu tanpa seorangpun awak kapal
atau keluarga saudagar Wong dan para
pengawalnya dapat mencegah. Karena saat
itu masing-masing berusaha memadamkan
api bahkan lebih banyak ingin menyelamatkan
diri dalam kebingungan. Pengemis tadi
kemudian menemukan sebuha peti kayu yang
tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur
dalam gerobak. Dia langsung membukanya
dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri
Saudagar Wong. Begitu dia mendapatkan
jenazah itu pengemis tersebut segera
meninggalkan perahu besar, melompat ke
dalam perahu pukat, mengayuhnya menjauhi
perahu besar dan lenyap!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk
kepala mendengar keterangan awak perahu
itu. Sejak beberapa bulan lalu dia memang
pernah mendengar peristiwaperistiwa
menggemparkan tentang dicuri atau
diculiknya jenazah anak gadis atau
perempuan muda yang belum kawin. Apakah
artinya semua ini. Apa perlunya seseorang
menculik mayat? Dan kabarnya penculik itu
adalah seorang pengemis, seperti manusia
yang tadi disaksikannya melairkan kereta
mayat!
Di tengah laut perahu besar itu hanya tinggal
tiang-tiangnya saja yang kelihatan. Baian
lainnya sudah musnah dimakan api dan
enggelam cerai berai ke dalam air laut. Asap
hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang
saat itu ikut memandang kea rah kapal yang
hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh
sesosok tubuh yang tahu-tahu sudah tegak
tepat di depannya.
Ternyata yang berdiri di hadapannya saat itu
adalah kakek berpakaian putih yang tadi
didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu
Tembikar.
Orang tua ini memandang tak berkedip tepat
ke wajah Wiro dengan sepasang matanya
yang kelabu.
"Kau orang pandai. Tapi hanya berpangku
tangan!" Orang tua ini berkata. Suaranya
tandas seperti menghukum.
Wiro berkedip. Hendak menjawab. Tapi Empu
Tembikar sudah meninggalkannya. Penasaran
maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu.
Jauh sekali dia berjalan mengikuti hingga
akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin.
Di sini Empu Tembikar membalikkan tubuhnya
dan bertanya "Mengapa kau mengikutiku?!"
"Ingin tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang
tua?" balik bertanya murid Sinto Gendeng.
"Oh, jadi kau masih tidak tahu. Ternyata kau
tolol melompong. Aku tak suka bicara dengan
orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak
tahu kebodohannya sendiri!"
"Kebodohan apa yang telah kuperbuat?!"
tanya Wiro dengan menahan jengkel.
"Aku tahu kau mampu menolong orang-orang
di kapal yang terbakar tadi itu.
Tapi mengapa kau tidak melakukan
sesuatu….?"
Wiro garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab
"Mampu belum tentu bisa. Perahu besar itu
terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di
dermaga sudah hampir musnah.
Kulihat banyak yang mencoba turun ke laut
untuk emnolong. Nyatanya mereka tidak
dapat melakukan apa-apa. Aku sama saja
dengan manusia-manusia itu. Bukan orang
pandai atau dewa yang mempu malakukan
pertolongan ajaib….!"
Si kakek bermata kelabu tiba-tiba tertawa.
"Kau pandai bicara mencari alas an. Ketika
kereta pembawa peti mati dilarikan orang,
kaupun bertindak lalai…."
"Aku mengejar. Tapi kutemui peti mati itu
telah kosong," menerangkan Wiro.
"Itu karena kau bertindak terlambat. Apakah
gurumu tak pernah mengajarkan bahwa soal
waktu itu bisa sama harganya dengan
selembar nyawa manusia….?"
"Kau menyebut-nyebut guruku. Apakah kau
kenal dia?"
Si kakek angkat bahu lalu melangkah pergi.
Tapi Wiro cepat pegang bahunya.
"Orang tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut
aku berpangku tangan. Bodoh, pandir, lalai
dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja
yang telah kau lakukan selama kejadian-
kejadian yang menggemparkan di pelabuhan
itu. Hanya bicara….?"
Paras orang tua itu sekilas berubah.
Kemudian dia tampak tersenyum.
"Orang tua adalah tempat bertanya. Orang tua
sumber petunjuk. Sebaliknya orang muda
seperti kau adalah para pelaksana…."
"Kalau begitu alangkah enaknya jadi orang
tua. Hanya tinggal bicara lalu menyalahkan
orang muda….!"
"Terserah kalau kau berpendapat seperti itu…"
Wiro tak mengacuhkan kata-kata si mata
kelabu itu. Dia berkata "Kalau katamu orang
tua tempat bertanya, orang tua sumber
petunjuk. Lalu petunjuk apa yang dapat kau
berikan saat ini?!"
"Bagus kau bertanya begitu. Apakah kau ada
mendengar peristiwa-peristiwa buruk yang
dialami jenazah para gadis di kawasan ini?"
"Tidak," jawab Wiro sengaja berdusta. "Apa
petunjukmu selanjutnya?"
"Kejahatan itu harus dihentikan!" jawab Empu
Tembikar.
"Kenapa kau tidak menghentikan?"
"Karena ada seorang lain yang harus
menghentikannya?"
"Siapa?" tanya Wiro.
"Kau….!"
Wiro melengak kaget.
"Mengapa musti aku?"
"Aku tidak tahu!"
"Kau tahu siapa pelaku kejahatan itu?
Pendulik itu?"
"Aku tidak tahu" jawab Empu Tembikar.
"Kau mungkin tahu dimana kediamannya?"
tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu
membuang jenazah culikannya di arah timur,
tenggara atau timur lautan utan Roban."
"Kalau dia menculik kemudian membuang
jenazah begitu saja, apa perlunya dia
melakukan itu?"
"Untuk mengambil jantung dan hati gadis
yang mati itu!"
Wiro merasa tengkuknya jadi dingin.
"Apa guna jantung dan hati itu? Untuk
disantap? Ih!"
Empu Tembikar mengeluarkan segulung kertas
dari balik selempang kain putihnya.
"Seseorang memberikan kertas surat ini tiga
tahun lalu padaku. Ambil dan bacalah isinya.
Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih
lanjut…."
Habis berkata begitu Empu Tembikar
melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Wiro Sableng mencari pohon rindang dan
duduk di bawahnya, pada pematang tambak
ikan asin. Meskipun matahari sore bersinar
terik tapi tiupan angin yang sepoi-sepoi
membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini
membuka gulungan keras yang tadi diberikan
Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup
panjang, ditulis dengan huruf-huruf yang
membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai
membaca. INTI SARI KEHIDUPAN INDAH
KAUM PEREMPUAN
Sejak dunia terkembang, sejak perempuan
dilahirkan di dunia, diciptakan dari tulang
rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang
selalu menghantui kaum perempuan.
Mereka takut dimakan usia. Mereka takut
menghadapi kenyataan bahwa mereka akan
menjadi…… Belum sampai Wiro menyelesaikan
membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia
merasa ada angin yang menyambar dari
belakang kiri. Pendekar ini cepat menghantam
dengan tangan kirinya namun dia hanya
memukul tempat kosong.
Bersamaan dengan itu hidungnya mencium
bau harum. Sudut matanya menangkap
gerakan sosok tubuh di samping kanan.
Secepat kilat murid Sinto Gendeng lepaskan
pukulan kunyuk melempar buah. Satu
gelombang angin deras membuntal. Tapi lagi-
lagi pendekar ini kecele. Ternyata kembali dia
menghantam tempat kosong. Malah saat itu
satu dorongan yang luar biasa hebatnya
membuat terhuyung-huyung ke kiri.
"Setan alas keparat!" maki Wiro.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri, kertas
yang ada dalam pegangan tangan kirinya
tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali
melihat gerakan orang sangat cepat dan
berusaha menelikung dengan tangan kanann
sambil memukul denagn tangan kiri.
Pess…!!!
Terdengar suara mendesis. Wiro Sableng
masih belum sempat melihat siapa adanya
orang yang menyerang dan merampas kertas
tahu-tahu di sekelilingnya membuntal asap
hitam berbau harum aneh. Pemuda ini bukan
saja jadi tertutup pemandangannya namun
juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Untung dia cepat sadar. Sambil tutup
jalan pernafasan, tangan kanan cepat
memegang hulu Kapak Naga Geni 212. Hawa
panas segera menjalar dari hulu kapak.
Tubuhnya yang kebal racun kini samakin
terlindungi oleh hawa panas mujizat yang
keluar dari senjata mustika itu. Perlahan-
lahan kekuatannya pulih.
Asap hitam juga mulai lenyap.
Pemandangannya terang kembali. Tapi orang
yang tadi belum sempat dilihatnya dengan
jelas, jangankan mukanya, sosok tubuhnya
hampir tak terlihat, telah lenyap dari tempat
itu. Wiro Sableng memaki panjang pendek.
Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana
mungkin dia tidak bisa atau tidak punya
kesempatan melihat siapa adanya orang yang
muncul dengan tiba-tiba lalu merampas
kertas yang sedang dibacanya. Wiro diam-
diam menyadari.
Dan ini membuat tengkuknya dingin. Jika
orang tadi siapa pun adanya mau
mencelakainya atau membunuhnya, pasti
halitu dapat dilakukannya.
Wiro memandang jauh ke depan, kea rah
tambak ikan asin yang luas sementara
matahari sore semakin redup. Pendekar ini
geleng-geleng kepala.
"Guru sendiri tidak sehebat itu gerakannya.
Belum pernah kujumpai manusia yang dapat
bergerak demikina cepat seperti kilat. Heh,
apa betul dia manusia….?
Bukan setan maghrib yang kesasar? Dan bau
harum aneh itu….?"
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia
memandang berkeliling. Lalu dengan perasaan
tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat
itu.
Warok Kunto Rekso yang berjalan paling
depan memimpin hampir lima puluh orang
anak buahnya hentikan langkah, mendongak
kea rah bukit di ujung pohon beringin. Hari itu
adalah hari ketiga pengungsian yang mereka
lakukan sejak pasukan kerajaan menyerbu
hutan Roban, menghancurkan kelompok
gerombolan rampok yang ada di situ. Jika
saja dia tidak bertindak cepat pasti kelompok
yang dipimpinnya juga akan mengalami
bencana yang sama. Setelah masih jauh ke
dalam hutan Roban, berputar-putar di
pedalaman yang sebelumnya tak pernah
dijejakinya akhirnya siang itu mereka sampai
di tempat itu.
Kunto Rekso menyuruh anak buahnya
beristirahat sementara dia sendiri mulai
memanjat bukit batu untuk menyelisiki
kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba
hidungnya mencium bau busuk. Kepala
rampok yang sudah berpengalaman ini segera
mengetahui bau busuk itu adalah bau bangkai
manusia. Dia memandang berkeliling, lalu
bergerak ke jurusan kiri dari arah mana bau
busuk daang dengan santar. Kunto Rekso tak
perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu
segera ditemuinya. Terkapar melintang di
bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa
kagetnya kepala rampok ini ketika mengeahui
mayat busuk itu ternyata adalah mayat
Jalatunda, pemuda pembantu juru masak
yang dianggapnya gila dan membangkang
untuk ikut bersamanya.
"Buang mayat ini jauh-jauh dari sini," kata
Kunto Rekso pada anak buahnya.
"Aku akan menyelidiki ke atas bukit sana.
Jika keadaan di sini cukup baik, aku memilih
kita mendirikan perkampungan baru di sini."
Lalu kepala rampok ini meneruskan
maksudnya semula menyelidiki ke puncak
bukit batu. Penciumannya merasakan di atas
sana ada air. Dan betul memang. Ketika dia
sampai di puncak bukit batu, di sebelah
bawah seberang depannya dilihatnya sebuah
telaga berair hijau membiru. Di tengah telaga
tampak sebuah batu licin rat hampir
berbentuk sebuah meja.
Kunto Rekso menarik nafas dalam-dalam.
Udara di tempat itu ternyata sejuk dan segar
sekali.
"Ini tempat yang baik! Sangat cocok untuk
markas baruku!" Lalu kepala rampok ini
mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi
isyarat pada anak buahnya untuk segera naik
ke atas.
Siang itu juga Kunto Rekso memerintahkan
anak buahnya untuk mempersiapkan
pembangunan perkampungan. Beberapa
pohon besar ditebang untuk diambil kayunya.
Menjelang malam tiba baru mereka berhenti
bekerja. Besok pagi pekerjaan itu akan
diteruskan.
Akan tetapi pada pagi harinya justru terjadi
kegemparan di antara rombongan perampok
pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan
masih mengorok ketika seorang anak buahnya
membangunkan.
"Keparat jaah! Mau kupecahkan kepalamu
berani membangunkanku?!"
"Warok, ada kejadian hebat. Lima orang
anggota kita kedapatan mati!" kata anggota
rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat
melompat mundur karena takut dihantam
jotosan pemimpinnya.
"Apa katamu?!" Waro Kunto Rekso melompat
dari tidurnya. "Sipa yang mati…?!"
"Mereka dibunuh!" kata seorang anggota
lainnya.Lalu membawa Kunto Rekso ke kaki
bukit batu di ujung kanan. Di situ
tergelimpang lima anak buahnya yang telah
jadi mayat. Ketika diperiksa apa yang
dilaporkan tadi memang betul. Lima anggota
rampok itu mati dibunuh. Leher masing-
masing tampak ketakutan tampak terkulai
tanda patah!
"Keparta! Edan! Siapa yang melakukan….?!"
Sentak Kunto Rekso. Kunto Rekso berpaling di
batang pohon itu tampak tertempel sehelai
kertas yang dibubuhi tulisan. Sambil
menggereng menahan geram Kunto Rekso
renggutkan kertas itu lalu membacanya
dengan pelipis bergerak-gerak. Lima mayat
itu adalah peringatan pertama dan terakhir.
Daerah ini adalah daerah kekuasaanku.
Tak seorangpun boleh menginjakkan kaki di
sini.
Apalagi hendak membangun perkampungan.
Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera
tinggalkan tempat! "Setan alas!" kutuk Kunto
Rekso. "Siapa yang membuat surat ini
pengecut!
Tak berani memberitahu nama!" Kepala
rampok itu remas kertas itu sampai lumat.
Berkali-kali dia membuat gerakan seperti
hendak mencabut golok besar di pinggangnya.
Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan.
"Pemimpin, apa yang harus kita lakukan….?"
Seorang anak buahnya bertanya.
"Apa yang harus kita lakukan? Tolol! Tentu
saja meneruskan pembangunan
perkampungan! Di sini! Di tempat ini!"
"Tapi surat itu."
"Keparat! Apa kau harus takut pada selembar
kertas?!" Kunto Rekso bantingkan kertas yang
tadi diremasnya ke tanah. "Semua teruskan
pekerjaan! Aku akan mengawasi. Ku mau lihat
siapa manusianya yang berani membunuhi
anak buahku! Jika dia muncul kucincang
tubuhnya dari kepala sampai kaki!"
Begitulah sementara beberapa orang
mengurus maya lima anggota rampok yang
terbunuh secara aneh itu, yang lain-lainnya
meneruskan pekerjaan membangun
perumahan. Warok Kunto Rekso mengawasi
dari atas pohon. Sesekali dia turun ke bawah
dan berkeliling meneliti keadaan. Sampai sore
hari, bahkan ketika siang berganti malam tak
terjadi apa-apa. Tak ada yang muncul
mengganggu atau menghalangi. Meskipun
hanya lega sedikit namun Kunto Rekso tetap
merasa was-was.
Mengingat kematian lima anak buahnya itu,
dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang
ditemuinya sebelumnya. Bukan mustahil
Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang
sama. Tapi orang itu sendiri siapa?
Begitu malam tiba Kunto Rekso berjaga-jaga
di atas pohon sementara selusin anak
buahnya berganti-ganti melakukan penjagaan
di sebelah bawah. Tampaknya malam hari
itupun akan berlalu dengan tenang. Namun
ternyata tidak!
Belum lagi sinar matahari pagi sempat
menembus kelebatan dedaunan pepohonan di
kaki bukit batu itu, kehebohan terjadi. Lima
dari selusin anggota rampok yang melakukan
pengawalan ditemui telah menjadi mayat.
Mati dengan cara yang sama seperti lima
kawannya terdahulu. Yakni dengan leher
patah!
"Keparat anjing kurap!" teriak Kunto Rekso
menggeledek seraya cabut golok besarnya.
Senjata ini diputarnya berdesing-desing di
atas kepala. Anak buahnya menjauh
ketakutan.
"Ini sudah keterlaluan! Keparat! Manusia
pengecut! Keluar dari persembunyianmu!
Jangan hanya berani membunuh secara
membokong!"
Sesaat setelah bentakan kepala rampok itu
berakhir, mendadak terdengar suara tertawa
mwlwngking. Tak dapat diduga apakah itu
suara manusia, lelaki atau perempuan,
ataukah suara jin pelayangan!
"Lihat!" seorang anggota rampok berseru
seraya menunjuk ke atas.
Semua orang termasuk Warok Kunto Rekso
sama mendongak. Entah dari mana datangnya
saat itu tampak melayang sehelai kertas.
Sekali lompat saja kertas itu sudah di tangkap
Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ
terdapat beberapa baris tulisan. Peringatan
telah diabaikan.
Hukuman harus dijatuhkan.
Sebelah mata sudah berkecukupan.
Jika masih membangkang jantung jadi
imbalan! Bergetar sekujur tubuh kepala
rampok itu. Bukan karena dia takut membaca
surat tersebut, tetapi karena menahan amarah
yang tidak tahu hendak dilampiaskan pada
siapa. Sambil meremas kertas dengan tangan
kiri dan sepasang mata memandang
berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan
geraham bergemeletukan, Warok Kunto Rekso
tiba-tiba lemparkan golok besarnya kea rah
mana tadi datangnya suara tertawa aneh itu.
Golok besar dan berat itu melesat laksana
anak panah, menembus kerapatan daun
pepohonan dan menancap di cabang bercagak
tiga.
"Bangsat! Keparat!" maki Kunto Rekso begitu
mengetahui lemparan goloknya tidak
mengenai sasaran apa-apa.
Di saat itu justru kembali terdengar suara
tawa mwlwngking. Lalu tiba-tiba saja
meluncur sebuah benda putih berkilat
sepanjang ukuran jari kelingking. Begitu
cepatnya benda ini melesat hingga sukar
dilihat bentuknya. Yang jelas itu adalah
sebuah senjata rahasia.
Ketika melihat benda ini Warok Kunto Rekso
meskipun menggebrak marah tapi
mengenggap enteng. Kalau cuma satu senjata
rahasia yang terlihat jelas seperti itu siapa
takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan
Roban yang ditakuti ini secepat kilat
menyambar golok seorang anak buahnya.
Dengan senjata ini dia memapas ke depan
untuk menghantam senjata rahasia yang
melesat ke arah kepalanya.
Tring!
Golok dan senjata rahasia bentrokan di udara
keluarkan suara nyaring.Warok Kunto
merasakan tangannya bergetar hebat
sementara goloknya patah dua tapi dirinya
selamat dari serangan senjata rahasia itu.
Sementara itu matanya yang tajam kembali
dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di
atas pohon sebelah kiri. Secepat kilat patahan
golok yang masih digenggamnya dilemparkan
ke arah gerakan itu. Namun baru saja golok
melesar lepas mendadak dari samping kembali
melesat sebuah benda putih berkilat.
Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok
itu kali ini taak mungkin baginya untuk
menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang
anak buahnya yang berusaha membantu
dengan hantaman pedang gagal. Senjata
rahasia itu menderu dan menancap tepat di
mata kirinya, menembus sampai belakang
telinga!
Sang Warok meraung setinggi langit. Darah
muncrat membasahi mukanya.
Dia lari kian kemari, berteriak tiada henti dan
memukul apa saja yang berada di dekatnya.
Seorang anak buahnya yang berkepandaian
cukup tinggi segera menotok pelipis dan urat
leher pimpinannya ini. Meskipun darah terus
mengucur namun rasa sakit berkurang sedikit.
"Setan! Tempat ini dikuasai setan! Ada
setannya!" kata Kunto Rekso. Dia merobek
bajunya dan menggunakan potongan kain ini
untuk menutupi matanya yang bocor.
"Tinggalkan tempat ini! Semua tinggalkan
tempat ini!" perintahnya.
"Kami siap Warok. Tapi kita menuju kemana?"
bertanya seorang anggota rampok.
"Jalan saja dulu!" sahut Kunto Rekso.
"Mungkin kita menuju ke utara. Aku tak pasti.
Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!"
Maka rombongan rampok yang telah
kehilangan sepuluh anggotanya itu segera
tinggalkan tempat tersebut. Mereka kemudian
memang menuju ke utara. Di daerah pantai
mereka membangun sebuah perkampungan.
Kelak di kemudian hari Warok Kunto Rekso
merobah jalan hidupnya yang sesat, dari
rampok hutan daratan, menjadi perampok
lautan. Dia kemudian dikenal dengan julukan
Bajak Laut Mata Satu.
Sementara mereka berlalu, di kejauhan
terdengar tawa melengking, panjang dan
membuat bulu kuduk para penjahat itu
menjadi dingin. Masing-masing mempercepat
langkah. Bukan meustahil bencana yang lebih
celaka akan menimpa mereka.
Desa Wonotunggal terletak di daerah berbukit-
bukit yang sangat subur.
Hasil sayur mayurnya yang segar-segar dan
beraneka macam menyebabkan desa ini
terkenal di sepanjang pantai utara Jawa
Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman.
Dari hasil lading maupun sawah dan
peternakan, rata-rata penduduk Wonotunggal
hidup berkecukpan. Di samping itu ada hal
lain yang membuat desa ini terkenal jauh
sampai kemana-mana. Hal ini ialah tentang
para gadisnya yang rata-rata berkulit putih,
senang memelihara rambut panjang, berparas
jelita ditambah dengan raut tubuh yang elok
mempesona.
Hal yang satu ini menyebabkan banyak
pemuda-pemuda dari desa-desa lain sering
datang ke situ atau orang tua sengaja pergi
ke sana untuk meninjau menjajagi
kemungkinan bagi mereka atau putera mereka
untuk mendapatka jodoh yang diidamkan.
Umumnya para pemuda dan orang tua tidak
mengalami kekecewaan.
Mereka dating dan selalu kembali dengan
berita bagus, mendapatkan calon yang dapat
dipersunting beberapa bulan mendatang.
Memang mereka harus cepat melaksanakan
hajat baik itu, kalau tidak sang dara akan
jatuh ke tangan orang lain. Karenanya desa
Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap
bulan selalu diramaikan dengan adanya pesta
perkawinan di sertai hiburan seperti wayang
eong, wayang kulit atau ketoprak.
Dari sekian banyak bunga harum jelita desa
Wonotunggal, ada satu sekuntum yang
memiliki kelebihan dari pada dara-dara
lainnya hingga dia menjadi primadona, bunga
tercantik dari segala bunga indah. Gadis ini
anak seorang pemilik kebun tebu, berusia
menjelang delapan belas tahun. Melihat
kepada usia pada masa itu banyak para gadis
telah berumah tangga pada umur enam belas
atau tujuh belas. Bahkan terkadang di usia
lima atau empat belas. Karenanya usia dara
yang satu ini, yang menjelang delapan belas
dianggap sudah melewati batas keharusan
untuk kawin.
Namun demikian sang dara sendiri ataupun
orang tuanya tidak menganggap demikian.
Malah semakin bertambah usianya, semakin
semarak bentuk badannya, semakin jelita
parasnya dan semakin matang sikap lakunya.
Semua ini membuat semakin banyak pemuda
yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua
yang ingin agar putera mereka dapat
mempersunting sang dara. Namun Wilani,
demikian nama sang dara kabarnya masih
belum mendapatkan pemuda yang berkenan di
hatinya. Kabarnya pula sang orang tua belum
mendapatkan calon menantu yang cocok.
Akibatnya lambat laun penduduk desa
menganggap Wilani dan orang tuanya jual
mahal, ingin mencari suami yang gagah serta
kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan
segala anggap pergunjingan yang dilakukan
orang banyak membuat nama gadis itu
semakin tambah terkenal.
Memang Wilani memiliki banyak kelebihan
dari gadis-gadis Wonotunggal lainnya.
Parasnya bulat telur, kulitnya licin putih dan
mulus. Rambutnya hitam panjang sepinggang,
selalu kelihatan berkilat dan menabur bau
minyak yang harum.
Sepasang matanya bening seperti bersinar
laksana bintang timur, dihiasi oleh sepasang
alis tebal bak bulan sabit dan sebaris bulu
mata hitam lentik. Hidungnya kecil mancung.
Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang.
Bibirnya tak pernah memakai gincu tetapi
senantiasa merah oleh kesegaran yang
memancar dari dalam tubuhnya. Barisan gigi-
giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum,
cantiknya bukan main. Siapa yang melihat
pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat.
Raut tubuhnya ramping di pinggang besar di
dada dan pinggul. Kalau berjalan lenggoknya
membuat para pemuda menelan air ludah.
Banyak yang berusaha untuk mencuri
pandang pada sepasang betisnya yang
terkadang tersingkap dari balik kain panjang
yang dikenakannya.
Segala kesemarakan kecantikan dan
keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja
menjadi redup. desa Wonotunggal kini
diselimuti kesedihan. Sejak seminggu
berselang dikabarkanWilani telah jatuh sakit.
Telah berbagai macam obat diberikan namun
sakitnya tidak berkurang, malah makin
bertambah. Makanan maupun minuman sulit
melewati mulutnya. Akibatnya dikabarkan
tubuhnya yang dulu bagus itu kini menjadi
kurus. Wajahnya yang dulu cantik jelita itu
kini menjadi cekung.
Beberapa orang pandai termasuk para dukun
ahli pengobatan kabarnya telah pula
dipanggil. Tapi sampai hari kedua puluh satu
sakit sang dara masih belum dapat
dipulihkan. Banyak para pemuda yang ingin
datang menjenguk melihat si sakit.
Namun menurut orang tua Wilani, anak
mereka itu mengidap sejens penyakit menular.
Hingga semua orang yang ingin melihat
dimintakan untuk tidak masuk ke dalam
kamar di mana gadis itu terbaring. Kalau
Wilani sampai akhirnya meninggal dunia
sebelum sempat menginjak jenjang
perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis
itu.
Demikian orang sedesa berpendapat dengan
rasa haru kasihan tentunya.
Suatu malam, Ronocula, lelaki yang menjadi
kepala desa Wonotunggal datang menemui
kedua orang tua Wilani. Selama ini telah
beberapa kali dia mengunjungi mereka namun
sebegitu jauh tidaak mendapat kesempatan
untuk melihat sendiri si sakit. Diapun tidak
memaksa karena kalau memang Wilani
menderita penyakit menular, siapa mau
kebagian penyakit berbahaya itu.
"Mas Prayit…." Kata Ronocula pada ayah
Wilani. "Aku dan orang sedesa selalu
mendoakan agar puterimu yang sedang loro
itu ditolong oleh Gusti Allah dan dapat cepat
disembuhkan dari penyakitnya…."
"Terima kasih dimas Ronocula," jawab Prayit.
Ucapan seperti itu sudah berulang kali
didengarnya dari mulut sang kepala desa.
"Kami tidak mengharapkan musibah menimpa
keluargamu mas. Hanya saja, kalau puterimu
diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang
harus kita perhatikan.
Kau kita semua harus berjaga-jaga…."
"Berjaga-jaga bagaimana maksudmu dimas
Ronocula?"
Lalu kepala desa itu menerangkan tentang
kisah tujuh gadis yang menggegerkan. Ketujuh
jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh
yang selalu muncul seperti pengemis. Selang
satu dua hari kemudian mayatnya ditemukan
kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati
dan jantungnya telah lenyap dan jenazahnya
rusak mengerikan.
"Aku memang ada juga mendengar hal itu,"
kata Prayit. "Tapi kukira semua itu hanya
cerita kosong belaka…. Apa perlunya orang
menculik mayat…"
"Jangan bicara seperti itu mas Prayit. Dunia
sekarang ini semakin aneh.
Berbagai kejadian yang tak masuk akal bisa
terjadi. Kejahatan di luar batas kemanusiaan
berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia
hampir tak ada harganya.
Kau ingat penuturan kepala desa terdahulu,
tentang orang-orang yang tengah mencoba
kehebatan ilmunya? Membunuh orang lain
secara semena-mena demi untuk kepentingan
ilmunya….?"
Prayit terdiam sesaat. Lalu dengan datar
karena keletihan lelaki ini berkata "Kalau
cerita penculikan itu memang benar, kuharap
puteriku tidak akan mengalami nasib seperti
itu…"
"Itu yang kita harapkan mas. Namun berharap
tanpa melakukan sesuatu, jika nanti sudah
kejadian maka jangan sampai ada penyesalan
seumur hidup…"
"Lalu bagaimana menurutmu? Apa yang baik
yang harus kita lakukan…?'
"Kita harus membentukbarisan pengamanan.
Aku sendiri yang akan mengepalainya.
Barisan ini terdiri dari lima orang anak
buahku, ditambah dengan guru silat Bagus
Menakdari dukuh Jatiwangi…."
"Terima kasih kalau kau mau melakukan itu
dimas," kata Prayit gembira. Dia tahu sebagai
kepala desa Ronocula memiliki kepandaian
silat yang dapat diandalkan, memiliki jimat
yang kabarnya membuat dirinya kebal segala
macam senjata. Apalagi kalau guru silat
Bagus Menak bersama anak-anak muridnya
itu membantu. "Aku akan merasa aman…."
Katanya menambahkan. "Hanya saja, yang
paling baik adalah kalau puteriku dapat
disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak
perlu bersusah payah…."
"Itulah yang selalu kami doa dan harapkan,"
sahut Ronocula.
Tapi doa dan harapan orang sedesa
Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari
setelah kedatangan kepala desa tersebut,
pada suatu pagi, belum lagi sang surya
muncul, seisi desa telah mendengar kabar
duka datang dari rumah keluarga pemilik
perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka
telah meninggal dunia. Hampir seluruh
penduduk desa datang melayat dengan
harapan dapat melihat paras gadis yang
malang itu untuk terakhir kali. Namun mereka
kecewa karena ternyata jenazah telah
dimandikan dan dikafani. Menurut keluarga
hal itu perlu dilakukan dengan cepat
mengingat kekhawatiran penyakit menular
yang diderita si sakit akan menebar.
Di luar rumah, di antara puluhan pelayat
kelihatan kepala desa Ronocula duduk
berdampingan dengan seorang lelaki bertopi
merah, berpakaian serba putih.
Sehelai kain sarung tersilang di bahunya.
Orang yang bersikap pendiam tak banyak
bicara ini adalah guru silat Bagus Menak
yang telah datang bersama sembilan
muridnya. Kesembilan murid silat ini
bersama-saa lima pembantu kepala desa
senantiasa berkeliling menjaga keamanan
sesuai dengan yang direncanakan.
Karena pekuburan terletak cukup jauh di luar
desa maka setelah jenazah disembahyangkan
dan dimasukkan ke dalam usungan lalu
dinaikkan ke atas sebuah gerobak terbuka,
ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh
seorang lelaki tua berwajah kotor dan
berpakaian tebal. Agaknya kusir gerobak ini
memakai lebih dari sehelai pakaian. Namun
karena semua perhatian orang lebih tertuju
pada keluarga yang ditimpa musibah itu maka
tak seorangpun yang memperhatikan
keanehan pakaian kusir gerobak itu. Juga
tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir
gerobak tersebut bukanlah penduduk desa
Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga
tak seorangpun ingin atau merasa perlu tahu
bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-
tahu sudah ada di sana, padahal bukan kusir
dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi rombongan
pengantar jenazah bergerak menuju
pekuburan, mengikuti gerobak sapi yang
berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan,
udara yang tadi cerah tampak mendung.
Prayit memberi isyarat agar pemakaman
segera dilakukan secepatnya sebelum hujan
turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak
sapi, jenazah dikeluarkan dan segera
dimasukkan ke liang lahat. Pada saat jenazah
dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak
menanggalkan pakaiannya. Di balik pakaian
itu kelihatan pakaian lain yang penuh
tambalan, kotor dan bau!
"Pengemis penculik!" teriak Ronocula yang
entah kenapa sejak memasuki tanah
pemakaman tiba-tiba saja dia menjadi curiga
terhadap kusir gerobak itu.
Semua orang terkejut. Guru silat Bagus Menak
memberi isyarat ada sembilan anak buahnya.
Maka enam belas orang, termasuk Ronocula
segera mengurung kusir gerobak itu.
Sang kusir berdiri di atas gerobak,
menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya
lenyap ketika tiba-tiba Ronocula berteriak
"Ringkus manusia itu!"
Para pengurung serta merta menyerbu. Tak
ada satupun yan gmenggunakan senjata.
Mereka berpikir, untuk menangkap seorang
pengemis tua seperti itu, apa perlunya pakai
senjata. Tapi ketika empat orang terpental
dan terjengkang roboh kena tendangan kaki
serta hantaman pengemis itu barulah mereka
sadar. Ronocula segera cabut kerisnya, Bagus
Menak tanggalkan kain sarungnya yang
ternyata di bagian dalam diisi dengan
potongan besi lentur.
Pengemis tadi kembali tertawa. Kini dia
mendahului menyerang. Bagus Menak sambut
dengan hantaman kain sarung, Ronocula
datang dari samping dengan tusukan keris.
Enam orang lainnya menggebuk dengan
berbagai senjata, mulai dari pisau, kelewang
atau golok. Sementara itu hujan rintik-rintik
mulai turun. Prayit memperhatikan semua apa
yang terjadi dengan wajah pucat sementara
kebanyakan para pengantar berusaha
menjauhkan diri dan memperhatikan apa yang
selanjutnya terjadi dengan penuh cemas.
Hantaman kain sarung Bagus Menak
mengeluarkanangin deras. Tusukan keris
Ronocula membuat angin berdesing. Belum
lagi senjata-senjata yang lain yang datang
membabat. Tak dapat tidak kusir gerobak itu
akan tersatai dan tercincang tubuhnya.Tapi
apa yang kemudian terjadi justru
kebalikannya.
Bagus Menak, guru silat lihay berseru kaget
ketika kain sarung dibetot lawan dan dia tak
dapat mempertahankan. Cepat orang ini
gerakkan potongan besi yang terlindung di
balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian
melentur keras dan melesat kea rah perut
kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai
sasarannya pengemis di atas gerobak
lepaskan betotan pada kain sarung. Akibatnya
Bagus Menak terhuyung ke belakang oleh
daya tarik kekuatannya sendiri sedang
potongan besi melenceng ke samping
menghantam dua orang muridnya. Kedua
orang ini terpekik kesakitan.
Kepala dan wajah keduanya tampak benjut.
Ronocula yakin sekali tusukan kerisnya akan
menancap di dada kiri pengemis.
Hanya saja keyakinan ini berubah jadi
keterkejutan ketika orang yang diserangnya
tiba-tiba melompat dan dengan sekali
menggerakkan tangan kanan senjata itu
berhasil dirampasnya. Ronocula keluarkan
keringat dingin. Dia melihat empat senjata
orangorang yang ada di pihaknya masih terus
memburu lawan. Karenanya dia merasa ada
kesempatan untuk menyerbu sekalipun dengan
tangan kosong.
Pengemis di atas gerobak kembali melompat.
Dua penyerang kembali mental sambil
menjerit kesakitan.
"Makan kerismu ini!" pengemis itu tiba-tiba
berteriak dan tusukkan keris kepala desa
kepada pemiliknya sendiri. Dan sekian puluh
pasang mata menyaksikan bahwa Ronocula
sebenarnya tidak kebal senjata. Keris miliknya
sendiri menancap di dada, tepat di bawah
tenggorokannya.
Sebelum roboh kepala desa ini masih sempat
berteriak "Lindungi jenazah! Lindungi
jenazah!"
Tapi percuma saja. Sebelum ada yang sempat
bergerak untuk melindungi jenazah Wilani,
manusia berpakain pengemis itu sudah lebih
dulu berkelebat merampas jenazah lalu
dipanggulnya di bahu kiri.
Bagus Menak cepat menyerbu. Masih dengan
menggunakan kain sarung. Tapi kali ini
nasibnya jauh lebih buruk dari tadi.
Tendangan si penculik jenazah mendarat
sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk
ke kolong gerobak muntah darah lalu tak
bergerak lagi, entah pingsan entah mati.
"He….he….!" Pengemis penculik tertawa. "Jika
perlu di antara kalian yang masih merasa
memerlukan mayat gadis ini, silakan datang
ke hutan Roban sebelah timur besok malam!"
Habis berkata begitu penculik ini cepat
berkelebat. Tetapi empat orang anak murid
Bagus Menak yang menjadi kalap melihat
kematian guru mereka, meskipun sadar bahwa
penculik itu bukanlah tandingan mereka, tetap
saja menghadang dan menyerbu dengan
senjata di tangan.
"Manusia-manusia tolol!" maki pengemis
penculik. "Mencari mati dengan percuma!"
Tangan kanannya menghantam. Kakinya
sebelah kiri menyusul menendang. Dua anak
murid Bagus Menak di sebelah kanan
terpelanting muntah
darah.
"Ada lagi yang minta mampus?!" Si pengemis
menantang sambil menyeringai.
Tak ada yang berani membuka suara. Tak ada
yang bergerak. Prayit, ayah Wilani terduduk
setengah pingsan di tanah dan digotong
orang ke bawah pohon. Si penculik keluarkan
tawa melengkingnya lalu berkelebat dan cepat
sekali tubuhnya bersama jenazah Wilani
lenyap di ujung pekuburan.
Begitu keluar dari daerah pekuburan pengemis
penculik itu melarikan diri ke jurusan selatan,
memasuki hutan Roban yang angker. Dia
berlari terus tanpa berhenti, tanpa merasa
kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di
bahu kirinya. Semakin ke dalam hutan itu
semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit
menembus kelebatan daun-daun pepohonan,
udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si
pengemis dapat berlari sangat cepat. Jelas
dia tahu sekali seluk beluk belantara ini.
Di satu bagian hutan yang tidak pernah
didatangi manusia si penculik membelok
tajam ke kanan hingga akhirnya dia sampai ke
kaki sebuah bukit batu. Di sini barulah dia
menghentikan larinya, tapi hanya sesaat.
Seringai aneh tersungging di mulutnya. Dari
tenggorokannya terdengar suara suitan keras.
Lalu mulutnya berteriak.
"Pengusaha hari tua! Aku datang membawa
obat penawar usia!"
Habis berkata begitu dia melompat mendaki
bukit batu. Bukan hal yang mudah mendaki
bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat
yang dilakukan si pengemis. Ditambah pula
dengan beban berat jenazah manusia pada
bahu kirinya.
Tapi nyatanya semua itu dilakukan dengan
mudah oleh si penculik. Sampai di puncak
bukit dia memandang ke bawah. Ke arah
telaga berair hijau kebiruan. Inilah bukit batu
dan telaga yang beberapa waktu lalu hendak
dijadikan markas oleh Warok Kunto Rekso.
Sepasang mata si pengemis tampak bersinar-
sinar. Dari mulutnya kembali terdengar suara
siutan. Lalu dia melompat ke bawah,
menuruni bukit batu hingga akhirnya sampai
di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar
dia berhasil mencapai pertengahan telaga
dimana terdapat sebuah batu besar rata
berbentuk meja.
Jenazah Wilani diturunkannya lalu
dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas
tampak dia menyeringai sambil pandangi
sosok jenazah yang masih tertutup rapi oleh
kain kafan. Beberapa kali jenazah itu dibelai
dan ditepuk-tepuknya.
"Bersabarlah…..bersabarlah….." katanya. "Aku
akan ganti pakaian dulu. Aku akan berdandan
dan berhias…." Lalu pengemis ini putar
tubuhnya dan melompat ke tepi telaga
sebelah timur di mana tumbuh sekelompok
tanaman berbunga putih kecilkecil.
Di sebelah belakang terdapat lamping
bebatuan menghitam datar.
Dengan tangan kirinya pengemis itu
mendorong lampingan batu datar. Aneh, batu
itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di
bekas dudukan batu itu kini tampak sebuah
pintu dan di belakang pintu batu ini muncul
sebuah ruangan batu yang berwarna kelabu.
Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada
sebuah pembaringan yang terbuat dari batu
beralaskan kain lembut tebal hampir
menyerupai permadani.
Lalu ada dua buah kursi mengapit sebuah
meja kecil yang juga terbua dari batu. Di
sudut lain terdapat ruangan cekung pada
dinding menyerupai lemari tanpa pintu.
Dalam lemari ini kelihatan tergantung pakaian
yang kebanyakan berwarna biru.
Ternyata ruangan batu itu tidak bedanya
dengan sebuah kamar tidur! Ada asap tipis
keluar di sudut kanan yang menebar bau
harum semerbak. Pengemis tadi melangkah
masuk. Dari dalam lemari batu diturunkannya
sehelai jubah panjang berwarna biru. Dengan
jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya mulai
dari kepala sampai kaki. Pada bagian kepala
jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya
lobanglobang ini dibuat demikian rupa agar si
pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah mengenakan jubah biru, pengemis tadi
melangkah ke luar kamar.
Tanpa menutup kembali pintu batu dia
menuju ke telaga di hadapan pintu yang
terbuka. Dari sebuah celah dia mengeluarkan
beberapa potong kayu warna warni lalu
dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia
mengambil pula sebuah cawan batu berisi
minyak yang sangat harum. Tanpa
menganggalkan jubah ataupun pakaian
pengemisnya orang ini masuk ke dalam
telaga. Tampaknya dia hendak mandi.
Berlangir mungkin. Sampai matahari di luar
hutan menjadi redup dan ambang sore siap
memasuki malam si pengemis masih belum
keluar dari air telaga. Tak lama kemudian
terdenganr suara nyanyian. Suara nyanyian ini
begitu perlahan dan halus sehingga sulit
ditangkap kata-kata yang dilafalkannya.
Namun jelas suara itu adalah suara
perempuan.
Tempat itu semakin gelap. Tiba-tiba si
pengemis keluar dari dalam air. Tubuhnya
masih tertutup jubah rapat. Kini tubuh itu
mengeluarkan bau yang sangat harum.
Sekeluarnya dari dalam telaga, pengemis tadi
tidak segera menuju ke ruangan batu, tapi
dari sebuah tempat di ujung barat telaga dia
mengeluarkan hampir dua lusin potongan
bambu yang ternyata adalah obor. Ketika
obor itu dinyalakannya dan dipasang
sekeliling telaga, keadaan di tempat itu
menjadi terang, tetapi deperti
dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan
bulu roma. Sesaat pengemis berjubah
menatap ke arah batu di atas telaga di mana
masih terbaring jenazah Wilani.
Kemudian agak tergegas dia melangkah
menuju pintu batu. Membukanya, masuk ke
dalam ruangan batu dan menutupnya. Lapat-
lapat kemudian kembali terdengar suara
nyanyian itu terdengar tak putus-putusnya.
Tepat ketika malam sampai pada pertengahan
suara nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba.
Sesaat kemudian pintu batu tampak bergeser
ke samping. Di ambang pintu batu itu kini
tampak berdiri sesosok tubuh.
Orang ini tidak berpakaian pengemis ataupun
berjubah. Tetapi mengenakan pakaian biru
yang terbuat dari bahan sangat tipis. Dan
ternyata dia adalah seorang dara berparas
sangat cantik, berkulit putih mulus. Demikian
tipisnya pakaian biru yang dikenakannya
hingga nyala obor di sekeliling telaga
membuat pakaian itu menjadi tembus
pandang dan auratnya yang ramping bagus
kelihatan membayang jelas!
Dengan langkah ringan dan wajah berseri-seri
dara jelita ini melangkah ke tepi telaga. Ada
sebuah benda di tangan kanannya yang
berkilauan tertimpa api obor.
Benda ini ternyata adalah sebilah pisau besar
yang sangat tajam matanya dan runcing
ujungnya.
Waktu sampai di tepi telaga sang dara
hentikan langakh. Dia mendongak ke atas dan
pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan
begerak-gerak seperti tengah melafatkan
sesuatu. Mantera? Sesaat kemudaian kepala
itu diturunkan perlahan-lahan.
Sepasang mata dibuka kembali dan kini
memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah
jenazah di atas batu hitam. Satu suitan
nyaring seperti menembus langit di atas rimba
belantara gelap itu. Bersamaan dengan itu
sosok tubuh berpakaian biru itu melesat ke
tengah telaga, mendarat tepat di atas batu
besar.
"Penguasa hari tua!" sang dara baju biru
tiba-tiba berteriak. "Dipertengahan malam
dingin ini aku kembali datang! Obat penawar
usia sudah tersedia! Tiba saatnya untuk
melakukan hajat!"
Dara jelita angkat tinggi-tinggi pisau di
tangan kanannya ke atas. Beberapa kalai
senjata ini dibolang-balingkannya dalam
gerakan menusuk, membabat, membacok
ataupun menikam. Setiap sambaran pisau
mengeluarkan suara bersiuran disertai
kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling
telaga.
Sesaat kemudian gerakan-gerakan itu
berubah menjadi lamban. Lalu perlahanlahan
pisau besar diletakkan di atas batu, tepat di
kepala jenazah. Sang dara sesaat pejamkan
mata,kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu
kelihatan jari-jari tangannya bergerak ke
tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata
dia mulai mambuka tali kain putih pengikat
jenazah di bagian perut. Nafasnya memburu
dan panas. Dadanya turun naik tanda dia
tengah diselubungi satu gejolak yang dahsyat.
Selesai membuka tali pengikat di bagian perut,
kini jari-jari tangannya pindah ke atas siap
untuk membuka tali pengikat di atas kepala!
Ketika kain kafan di bagian kepala jenazah
tersingkap lebar, deua manusia sama-sama
tersentak kaget! Sang dara sampai tersurut
beberapa langkah. Hampir jatuh ke dalam
telaga!
"Keparat! Siapa kau?!"
"Setan alas! Kau sendiri siapa?!"
Dua bentakan menggeledek di malam buta!
Sosok jenazah di atas batu besar di tengah
telaga tiba-tiba melesat tegak.
Bret….! Bret….! Bret….! Kain kafan putih yang
membungkusnya robek-robek mulai dari ujung
kaki sampai kepala. Mengerikam! Apakah
jasad Wilani yang sudah jadi mayat itu kini
hidup kembali?! Tetapi sosok tubuh yang
kemudian tampak tegak di atas batu besar itu
bukanlah sosok tubuh Wilani. Melainkan
sosok tubuh seorang pemuda berambut
gondrong. Dia mengenakan pakaian putih
dengan baju tersingkap hingga dadanya yang
telanjang kelihatan tegap penuh otot. Di dada
kanan ada guratan biru kehitaman susunan
tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya
tersisip sebuah senjata berupa kapak bermata
dua yang berkilau-kilau tertimpa cahaya obor!
Pemuda di atas batu – Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 – menyeringai tapi penuh
waspada.
"Jadi kau rupanya!" desisnya. "Tidak disangka
gadis secantikmu ternyata penculik hutan
Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis
yang kutemui di kedai di Tanjung
Karangwelang?!"
Gadis berbaju biru tipis tak menjawab.
Sepasang matanya tampak seperti dikobari
api, memandang tak berkedip pada Wiro
Sableng. Wajahnya yang memebersitkan hawa
ganas itu justru membuatnya tambah cantik
di mata pendekar kita! Diam-diam dia ingat
bau harum yang pernah tercium olehnya
beberapa waktu yang lalu. Bau yang sama
kini berada di sekelilingnya, bersumber pada
tubuh yang bagus mulus itu.
"Kau juga orangnya yang merampas surat
yang kuterima dari Empu Tembikar! Pasti…!"
kata Wiro Sableng. Lalu dia geleng-gelengkan
kepala. "Kalau tidak turun tangan dan melihat
dengan mata kepala sendiri sulit dipercaya.
Kau yang begini cantik ternyata seorang
manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau
lahap jadi korban! Aku hampir jadi korban
yang kedelapan! Tapi….ha….ha….ha….!" Wiro
tertawa bergelak. "Kau tentu tidak doyan
jantung dan hati lelaki jelek sepertiku ini!
ha…ha…ha….! Hari ini kedokmu terbuka!
Riwayatmu tamat sudah!"
Entah mengapa sang dara masih tak
membuka mulut. Mungkin masih terkesiap
oleh rasa tak percaya atas apa yang terjadi
dan disaksikannya saat itu.
"Pemuda keparat! Penipu!" tiba-tiba meluncur
ucapan itu dari mulut sang dara.
"Menipu jauh lebih baik dari pada
pembongkar jenazah!" tukas Wiro Sableng.
"Lagi pula kalau tidak menyamar jadi mayat,
bagaimana mungkin aku bisa menjbakmu
seperti ini…!"
"Selanjutnya kau tak perlu menyamar lagi!
Kau benar-benar akan jadi mayat!"
desis gadis berbaju biru. "Sebelum mampus
katakan siapa namamu!" Wiro tersenyum.
"Namaku jelek. Tak pantas diberi tahu pada
gadis secantikmu. Hanya saja orang-orang
tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212!"
"Aku sudah menyangka! Jadi kau adalah
murid nenek keparat Sinto Gendeng dari
gunung Gede itu!"
"Hemm… Kau tahu juga asal usul guruku!"
ujar Wiro meski diam-diam merasa
heran."Tahukah kau bahwa hari ini kau harus
menebus semua kejahatanmu dengan
selembar jiwamu?!" Namun dalam hatinya
Wiro bertanya-tanya akan tegakah dia
membunuh seorang dara paling cantik yang
pernah ditemuinya ini? Di samping itu dia
merasa perlu untuk mengorek keterangan
sebanyak-banyaknya dari perempuan ini.
"Dengar, aku ada satu pertanyaan. Mengapa
kau melakukan semua kejahatan itu….?"
"Kau tidak layak bertanya! Kau hanya layak
mampus detik ini juga!"
Begitu bentakannya lenyap dara baju biru itu
langsung berkelebat. Tubuhnya lenyap dan
tahu-tahu satu hantaman angin yang luar
biasa kerasnya menerpa Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Ketika terjadi perampasan surat Empu
Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah tahu
jelas bahwa si perampas memiliki kecepatan
gerak luar biasa hingga tubuhnya sulit dilihat
dengan jelas. Saat itu dia kembali
berhadapan dengan manusia lihay tersebut.
Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas
berada di atas tingkat kepandaiannya. Kalau
sang dara juga memiliki ilmu silat dan
kesaktian di atasnya, celakanya aku pikir
Wiro.
Begitu angin datang menerpa Wiro Sableng
melompat ke atas, jungkir balik lalu balas
menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan
pukulan Kunyuk Melempar Buah. Gumpalan
angin dahsyat bergulung laksana batu besar
menggelundung.
Byarr!
Pukulan murid Sinto Gendeng hanya mengenai
air telaga hingga muncrat belasan tombak ke
atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan
biru berkelebat dan satu sodokan siku
menghantam perutnya. Meskipun dia bisa
mengelak namaun tak urung siku lawan masih
menyerempet. Perutnya terasa seperti mau
pecah. Selagi dia menahan sakit satu jotosan
menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya
terhempas jauh dari atas batu besar, masuk
ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya
sedalam pinggang Wiro. Murid Sinto Gendeng
menahan sakit sambil menyumpah. Seumur
hidup baru sekali itu dia menghadapi lawan
yang demikian hebat hingga dalam gebrakan
pertama saja dia sudah menerima dua
hantaman!
Sadar kalau lawan tak mungkin diimbangi
kecepatan gerakannya maka dari dalam
telaga Wiro lepaskan pukulan-pukulan
saktinya. Dia membuka serangan dengan
pukulan Topan Melanda Samudra. Suara
seperti angin punting beliung menderu
mengeirkan. Api obor sepanjang tepi telaga
berkelap kelip. Air telaga seperti mendidih dan
muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan
jatuh berguguran.
Gadis baju biru yang berada di ujung batu
besar merasakan tubuhnya seperti hendak
digulung ombak besar. Dia melengking keras
lalu menghantam dengan kedua tangan. Dua
larik sinar biru menggebubu, memporak
porandakan serangan Wiro, membuat
pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata
sang dara memiliki pukulan sakti yang
sanggup memusnahkan serangannya tadi!
"Celaka! Gadis gila ini memiliki pukulan sakti
luar biasa! Ah, apakah aku harus mampus di
tangannya? Gila!" rutuk Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212.
Kalau tadi dia mengandalkan setengah bagian
saja dari tenaga dalamnya maka kini dia
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya. Kedua tangannya.
Sepanjang ingatan Wiro baru sekali itu dia
mengerahkan seluruh tenaga dalam utnuk
menghadapi lawan.
Sesaat sebelum dua larik sinar biru
menghantam dada dan kepalanya Wiro
Sableng pukulkan kedua tangannya. Terdengar
suara menderu-deru susul menyusul.
Gadis baju biru tersentak kaget ketika melihat
sinar pukulannya tertahan saja. Karena
sedetik kemudian deru angin yang tidak
berhenti itu menggulung balik dua larik sinar
pukulannya, menyertnya ke belakang lalu
menghempaskannya ke arah diri sendiri.
Sang dara berteriak keras. Tubuhnya mencelat
ke udara. Gerakannya hampir tak terlihat, tapi
suaranya jelas terdengar membuat Wiro
mengetahui dimana lawan berada. Maka
pukulan sakti bernama Dinding Angin
Berhembus Tindih Menindih yang tadi telah
dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke
ats ke arah lawan.
Dengan cerdik si baju biru layangkan
tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan hendak
larikan diri Wiro berseru "Pengecut! Jangan
kabur!"
"Keparat! Aku tidak akan meninggalkan
tempat ini sebelum nyawamu lepas
meninggalkan tubuh!" teriak sang dara. Lalu
dalam satu gerakan aneh, laksana seekor
burung pemakan mayat, tubuhnya menyambar
ke bawah. Tangan kanan menusuk ke arah
mata, tangan kiri mencari sasaran di
tenggorokan Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang menahan kekuatan
tenaga dalam penuh melompat keluar dari air.
Sambut serangan lawan dengan memukulkan
kedua lengannya.
Dua pasang tangan beradu!
Wiro kembali terhempas ke dalam telaga,
hampir terjengkang ke dalam air.
Sekujur tubuhnya terasa panas. Di lain pihak
dilihatnya dara berpakaian biru terpental satu
tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi
cepat jatuhkan diri di atas batu besar.
Dari gerakannya menjatuhkan diri Wiro dapat
memastikan gadis ini menderita cidera yang
tidak enteng. Maka dia segera memburu untuk
membekuknya hidup-hidup. Tapi baru saja
bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih
berkilat menyambar ke arahnya!
"Senjata rahasia! Pengecut!" teriak Wiro.
Sang dara keluarkan tawa mengekeh. Selama
ini paling banyak dia hanya mengeluarkan
tiga buah senjaa rahasia seperti itu dalam
menghadapi lawan tangguh.
Dan tak pernah satu pun lawan yang luput
dari kematian. Kini lima senjata rahasia
berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus!
Masakan tidak akan dapat manghantam
lawan barang satupun?
Namun hari itu sang dara menyaksikan bahwa
kehebatan senjata rahasianya tidak berdaya
ketika Wiro tanpa tedeng aling-aling lepaskan
pukulan Sinar Matahari dengan tangan
kanannya. Terdengar suara menggelegar
disertai kiblatan sinar menyilaukan. Air telaga
menggejolak tinggi. Batu besar hitam
ditengah sana hancur lebur. Sang dara
berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke
kiri. Kecepatan gerakannya menyelamatkan
dirinya dari kematian. Namun tak urung bahu
pakaian birunya yang terserempet sinar
pukulan terbakar hangus. Daging bahunya ikut
terluka.
Sakitnya bukan kepalang, laksana tertempel
besi panas!
Selagi lawan kesakitan, Wiro pergunakan
kesempatan untuk menerkam. Kaki kanannya
mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar
suara pesss….! Asap hitam mendadak sontak
membuntal menutupi seantero telaga.
Ketika terjadi perampasan surat di tambak
ikan, Wiro telah mengalami hal yang sama.
Dia tak mau tertpu untuk kedua kali. Lawan
hendak melarikan diri dengan menutupi tabir
pemandangan denga asap hitam berbau
harum aneh itu. Maka murid Sinto Gendeng
cepat melesat ke udara, melompat naik ke
atas cabang sebatang pohon.
Dari sini dia dapat melihat jelas keadaan di
bawah telaga sampai jauh ke tepi sana.
Dan saat itu dilihatnya gadis berbaju biru
berkelebat ke jurusan timur. Serta merta Wiro
melayang turun, memapasi dan menghadang
sang dara! Kagetnya si gadis bukan kepalang.
Marah, penasaran tapi diam-diam juga kagm
melihat kehebatan pemuda itu, dia lepaskan
lagi senjata rahasianya. Kali ini sepuluh paku
berkilat sekaligus!
"Curang!" maki Wiro. Tangan kanannya
bergerak ke pinggang dimana tersisip Kapak
Maut Naga Geni 212. Sekali senjata itu
diputar maka berkiblatlah sinar putih
menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh,
jatuh ke tanah dan telaga dalam keadaan
luluh lantak!
Kini luluh pula nyali sang dara. Namun untuk
menyerah tak ada dalam kamus hidupnya. Dia
lebih suka mengadu jiwa dengan pemuda itu,
maka segera dia menyerbu lagi. Tetapi
sesuatu tiba-tiba dirasakannya menempel di
lehernya. Dingin menggidikkan. Memandang
ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si
pemuda tegak sambil menyeringai. Kapak
Naga Geni 212 tergenggam di tangan
kanannya.
Salah satu mata kapak menempel ke batang
tenggorokan gadis itu, mulai mengiris bagian
kulit yang halus hingga sang dara
mengerenyit kesakitan.
"Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" kata
gadis itu.
Wiro Sableng masih tegak menyeringai. Dalam
rimba persilatan, manusia iblis seperti gadis
ini tak banyak cerita lagi harus segera
dibunuh dimusnahkan. Tetapi entah mengapa
tangan yang memegang kapak itu tidak juga
mau bergerak. Kemudian Wiro melihat
sepasang mata si gadis mulai berkaca-kaca.
Susah payah dia berusaha menahan tangis.
Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja
seorang perempuan. Air mata menetes
membasahi kedua pipinya.
"Bunuhlah….. Lekas bunuh!" terdengar kata-
kata itu meluncur berulang kali dari mulutnya.
Namun kini tidak sekeras tadi, semakin
perlahan semakin memilukan.
Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya
bergerak. Mata kapak melesat tapi menjauhi
leher. Di lain kejap, bagian gagangnya yang
tumpul membalik, menusuk ke depan, menotok
tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara.
Tak ampun tubuh gadis ini melosoh jatuh, tak
bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap
terbuka tidak putus.
Sepasang matanya yang basah menatap ke
arah Wiro.
"Kenapa tidak kau bunuh? Bukankah kau
sengaja menjebakku agar dapat
membunuhku….?" Berkata sang dara.
Saat itu Wiro sudah sisipkan Kapak Maut
Naga Geni 212 kembali ke pinggangnya.
"Dosamu memang sudah lewat takaran.
Kematian memang yang paling pantas
bagimu. Namun aku perlu beberapa
keterangan…."
"Jangan mengoceh! Saat ini bukan tempatnya
untuk bertutur cakap. Cabut kapakmu
tetakkan ke kepalaku!" Wiro gelengkan kepala.
"Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu
semua? Menculik mayat para gadis.
Mengorek jantung dan hatinya….!"
"Itu bukan urusanmu!"
"Kau betul, itu bukan urusanku," ujar Wiro.
"Lalu kenapa tidak kau bunuh aku saat ini?!"
"Kau juga merampas surat yang kudapat
daari Empu Tembikar…. Mengapa….. Itu bukan
suratmu atau surat kekasihmu…..!"
"Jangan coba melucu! Demi penguasa usia,
bunuh aku detik ini juga. Sekali aku lepas aku
akan membunuhmu….!" Wiro tertawa.
"Katakan, siapa yang kau sebut penguasa
usia itu….!"
Paras sang dara berubah. Dia baru sadar
kalau telah ketelepasan bicara. Tapi dia
bungkam seribu bahasa.
"Ketika sore tadi kau sampai ke tempat ini,
kau juga berteriak menyebut nama itu. Apakah
dia sebangsa makhluk yang
menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis
itu?!"
"Dia tidak menjerumuskanku! Semua yang
terjadi adalah kemauan dan sumpahku
sendiri!"
"Aku tak ingin bicara lebih banyak. Yang aku
inginkan saat ini adalah mati!
Bunuh aku!"
"Dalam usia semuda ini, dengan paras begini
cantik, apakah kau tidak takut mati…..?"
"Aku bukan manusia kecoak pengecut yang
takut mati sepertimu!"
"Jangan bicara takabur orang cantik. Tak ada
satu manusiapun yang tidak takut pada
kematian. Termasuk kau! Jika kau mati,
bukankah apa yang kau lakukan selama ini
hanya berarti kesia-siaan belaka?!"
"Aku telah menemukan apa yang kuinginkan.
Matipun kini aku tidak takut!"
"Kalau begitu katakan apa yang telah kau
temukan itu!"
"Bangsat ini pandai bicara mengorek
keterangan!" maki si gadis dalam hati. "Lebih
baik aku mengunci mulut!" Maka diapun tidak
bicara apa-apa lagi.
Wiro pegang bahu sang dara sesaat. Kedua
mata si gadis tampak melotot.
"Jangan kau berani menyentuh tubuhku!"
sentaknya.
"Dengar, aku tak mungkin membunuh lawan
yang tidak berdaya seperti keadaanmu ini.
Kalau kau mau memberi keterangan, mungkin
aku akan mempertimbangkan utnuk
melepaskanmu….." Si gadis tertawa.
"Aku tahu jenis pemuda macammu ini.
Merayu untuk mendapatakan sesuatu.
Begitu dapat ……Cis!"
Wiro tetawa panjang, lalu berkata "Kau tak
mau bicara tak apa. Aku akan pergi dari
sini…."
"Tidak! Kau tak boleh pergi sebelum
membunuhku!"
"Aku memang akan kembali," jawab Wiro.
"Tapi kembali membawa binatang buas dan
berbisa! Biar harimau dan serigala lapar
mencabik-cabik tubuhmu! Biar ular dan laba-
laba seta kalajengking berbisa mematuki
dagingmu yang putih…" Lalu tanpa
mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng
melangkah meninggalkan sang dara.
Kedua mata sang gadis kembali tampak
melotot. Kemudian terdengar suaranya
meratap memilukan hati. Wiro berjalan terus
sampai akhirnya tiba-tiba dia mendengar
gadis itu berseru "Jangan pergi!
Kembalilah….. Aku akan terangkan apa yang
kau minta…."
Sekali lompat saja Wiro sudah berada di
hadapan gadis itu kembali.
"Nah, sekarang katakanlah riwayatmu yang
menggegerkan itu! Asal muasal sampai kau
melakukan kejahatab ganas luar biasa!"
Sesaat sang dara masih tersedu-sedu. Namun
perlahan-lahan dia kemudian mulai memberi
keterangan.
"Semua berasal dari keinginan gila…. Tidak,
tidak gila. Sebenarnya wajarwajar saja. Setiap
perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan
usia….."
"Hemm…. Aku ingat bunyi surat yang kau
rampas itu. Sama dengan keteranganmu.
Perempuan takut dimakan usia…."
"Aku sengaja merampas surat itu. Karena
kawatir dapat kau jadikan bahan untuk
menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak
tandukmu sejak di Tanjung Karangwelang….
Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah
yang kukira jenazah Wilani itu kuculik,
seharusnya aku sadar mengapa jenazah itu
begitu berat. Padahal tubuhnya pasti kurus
karena dia menderita sakit sekian lama…."
Kini aku tahu, kau yang mengatur semua itu
bukan?"
Wiro mengangguk. "Apa hubungan antara
kejahatan yang kau lakukan dengan rasa
takutmu dimakan usia….?'
"Seseorang mengatakan, jika seorang
perempuan berusia di bawah dua puluh tiga
tahun inginkan tetap awet muda sampai akhir
hayatnya maka dia harus melakukan sesuatu.
Sesuatu itu adalah…."
"Menculik anak perawan yang mati,
mengambil jantung dan hatinya lalu
memakannya!" potong Wiro.
"Aku memang menculik dan mengambil hati
serta jantung mereka. Tapi aku tidak
memakannya!" sahut sang dara.
"Lalu?"
"Hati dan jantung harus kuambil paling
sedikit tujuh kali untuk digosokkan pada muka
dan sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat
yang sanggup membuat seseorang perempuan
menjadi tetap muda seumur hidupnya…."
"Kau percaya pada kekuatan gila itu?!" Si
gadis tak menjawab.
"Siapa yang menanamkan kepercayaan itu
padamu?" tanya Wiro.
"Empu Tembikar!"
"Edan! Tapi mengapa dia memberikan padaku
surat yang bisa membuka rahasia dirimu itu!
Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika
terjadi kebakaran di atas perahu Cina itu…?"
"Mungkin….mungkin dia menyesal telah
memberitahukan hal itu padaku.
Atau mungkin dia menyadari berlangir dengan
hati dan jantung anak perawan tidak mungkin
dapat menahan ketuaan…."
"Lalu siapa penguasa usia yang beberapa kali
kau pekikkan itu?"
"Aku tidak tahu. Empu mengatakan aku harus
mengeluarkan ucapan itu setiap aku
mendapat jenazah baru…"
Wiro menarik nafas dalam. "Dunia penuh
keanehan. Terkadang keanehan itu
terselubung tangan iblis utnuk menimbulkan
bencana." Sesaat Wiro menatap paras si
gadis. "Katamu kau mendapatkan ilmu awer
muda itu dari Empu Tembikar. Apakah dia
juga yang mengajarkan ilmu silat hebat itu
padamu…?"
"Kau bunuhpun aku tak bakal memberi tahu
siapa guruku dalam ilmu silat dan kesaktian.
Beliau tidak ada sangkut pautnya dengan
kejahatan yang kuperbuat!"
"Kau murid yang baik," kata Wiro.
Si gadis tundukkan pandangannya. "Sekarang
kau sudah tahu semua riwayatku…."
"Belum semua."
"Maksudmu?"
"Aku belum tahu siapa namamu…?"
"Lebih baik kau tak perlu tahu namaku…"
"Begitu? Umur dunia masih panjang. Usia kita
memungkinkan sewaktu-waktu kita bertemu
lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu
namamu…"
"Ucapanmu seperti kau memang bena-benar
tak ingin membunuhku. Malah ingin bertemu
lagi…"
Wiro angkat tangan kirinya. Jari-jari
tangannya diluruskan. Lalu dengan gerakan
perlahan dia melepaskan totokan di dada si
gadis. Meskipun totokannya kini terlepas
namun si gadis itu tidak segera berdiri atau
melompat menjauh. Sepasang matanya
kembali tampak berkaca-kaca.
"Kau bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana
kau suka. Asal saja kau berjanji tidak akan
mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi
pengemis lalu menculik anak perawan orang….
Ha…ha…ha. Tahu-tahu yang terculik anak
jejaka!"
Sang dara tutup wajahnya dengan kedua
tangan. Wiro membantunya berdiri.
"Aku tak akan melupakan kebesaran jiwa dan
kebaikan hatimu ini," kata sang dara sambil
tundukkan kepala. "Kuharap di kemudian hari
aku bakal membalasnya."
Wiro tersenyum mendengar basa-basi kuno
itu. Dia melangkah menuju tepian telaga
dimana terletak pintu yang menuju ruangan
batu. Sebelum masuk ke dalam diambilnya
dua buah obor dan diletakkannya di sudut
ruangan, lalu pergi duduk di salah satu kursi
batu. Sesaat kemudian gadis baju biru itu
muncul di ambang pintu.
"Biar hatimu puas akan kukatakan apa yang
kau minta. Namaku Mantini.
Malam ini juga aku akan berangkat ke
Tanjung Karangwelang…."
"Ah, namamu bagus. Tak pernah kudengar
nama sebagus itu." Sang dara kelihatan
merah parasnya.
"Untuk apa kau ke Tanjung Karangwelang?"
tanya Wiro kemudian.
"Mencari Empu Tembikar. Kalau tidak karena
dia, aku tak akan melakukan kejahatan itu…."
"Tak ada gunanya. Dia hanya memberi tahu
apa yang diketahuinya. Tinggal kita si
pendengar harus mencerna dalam jalan
pikiran yang sehat…."
"Tapi walau bagaimanpun dia yang
membuatku sesat. Dia harus bertanggung
jawab!"
"Terserah padamu. Tapi malam-malam begini
pergi apa perlunya. Kau butuh istirahat dari
kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan
bukankah kau berjanji pada orang-orang dari
desa Wonotunggal untuk mengembalikan
jenazahku besok malam….?"
Untuk pertama kalinya gadis bernama Mantini
itu tersenyum. "Aku ingin pergi ke puncak
sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di
sana! Mudah-mudahan Tuahn masi mau
mengampuniku…" kata Mantini sesaat
kemudian.
"Bagus kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku lebih suka tidur di tepi telaga…"
"Jika kau suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini…" Wiro menggeleng.
"Kau takut aku membokongmu secara pengecut?" tanya Mantini.
"Justru kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!" kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
Keesokan harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar di Tanjung Karang welang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak dapat dipastikan apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang.
TAMAT