1
Hari pasaran jatuh pada hari ini. Seperti telah
berlangsung selama ratusan tahun, malam pasaran di
Desa Wetan akan banyak menyedot pengunjung.
Maklum, di samping digelar panggung hiburan di
alun-alun, juga para pedagang dari berbagai penjuru
Malam seperti itu biasanya menjadi kesempatan bagi
para penduduk untuk membeli barang-barang murah.
Dari panci sampai terasi. Dari sandal bakiak sampai
pewangi ketiak. Bagaimana tidak murah, kalau setiap
pedagang bersaing mencuri minat para pembeli?
Sejak matahari terlelap dalam buaiannya di ufuk
barat, alun-alun sudah seperti satu-satunya bunga
mekar dirubungi segerombolan lebah haus madu.
Sendiri-sendiri atau bergerombol, para penduduk
sekitar Desa Wetan datang dengan harapan sama.
Tak muda. Tak tua. Tak lelaki, tak wanita. Semuanya
bersama-sama memadati tempat tersebut. Dan kalau
ada seorang kakek jompo tak ingat mati, tentu juga
ingin datang dengan senyum berseri. Biarpun tak
punya gigi!
Syukur, langit cukup ramah. Tak ada ancaman dari
gerombolan awan kelabu pekat. Tak ada. Bentangan
langit tampak polos. Namun sesekali diusap oleh
sapuan-sapuan awan halus. Sementara bulan di atas
sana, menjadi penghias utama keriangan malam
pesta rakyat itu.
Utara, selatan, barat, dan timur sisi alun-alun
menjadi ajang tarung para pedagang dalam bersilat
lidah untuk berebut pembeli. Meja-meja sesak
dagangan berjejer tak begitu teratur. Ada juga
pedagang yang tak ingin repot-repot. Cukup dengan
alas tikar pandan lebar untuk memajang dagangan.
Suara mereka tak kalah nyaring dengan pekikan
kawanan manyar laut. Belum selesai teriakan di sini,
sudah menyambung teriakan di sana. Suasana jadi
hingar-bingar. Karena terlalu bersemangatnya, se-
orang pedagang malah sempat terbatuk-batuk.
Bahkan sampai terkencing di celana, karena tersedak
suaranya sendiri. Dagangannya jadi bau pesing!
"Ayo, ayo! Jangan ragu-ragu memilih! Jangan ragu
membeli. Dagangan ini memang agak bau. Tapi, itu
karena dagangan ini berasal dari luar negeri yang
dibawa bersama ikan mentah di dalam kapal dagang
dari negeri antah berantah!" kelit pedagang itu, asal
cuap.
Dasar penipu!
Untuk menarik perhatian, seorang pedagang yang
lain pakai mencak-mencak. Kakinya menendang kiri
dan kanan. Saking semangatnya....
Bret!
Celananya kontan robek di bagian yang terlarang.
Dengan wajah merah dia langsung menutup bagian
yang robek dengan kedua tangan sambil cengar-
cengir.
Tepat di tengah kesimpangsiuran, panggung besar
dari susunan bambu kuning telah berdiri. Lampu-
lampu minyak di pinggirannya tak kalahterang di-
banding lampu-lampu milik para pedagang. Seperti-
nya, sinar terang lampu minyak panggung hendak
menyombong pada temaram cahaya purnama.
Ketika pengunjung kian membludak, ketika ke-
bisingan makin merangkak, ketika waktu terus me-
rayap mendekati pekatnya malam, acara di atas
panggung pun dimulai.
Tampak panggung dinaiki seorang penghulu desa
yang memberikan sambutan membosankan. Suara-
nya parau, tak mengundang selera siapa pun. Basa-
basinya terlalu banyak. Dengan enaknya dia meng-
obral banyak janji pada rakyat yang sering dibodohi.
Khususnya, sewaktu lelaki itu mendukung pemilihan
kepala desa tahun lalu.
"Saudara-saudara yang aku cintai, penduduk desa
yang kuhormati, betapa gembiranya hari ini karena
menyaksikan kegembiraan saudara sekalian...."
Dan seterusnya..., dan seterusnya.... Semuanya
lebih banyak bumbu pepesan kosong!
Sewaktu para pengunjung mulai menggerutu, baru-
lah acara hiburan dimulai. Hiburan pertama diisi
penyanyi-penyanyi kampung yang akrab dipanggil
'sinden', diiringi tetabuhan gamelan. Lagu-lagu ber-
irama kedaerahan dilambungkan. Rakyat ikut me-
lambung. Memang! Lantunan suara seorang sinden
pun ternyata lebih diharapkan, ketimbang gembar-
gembor sesepuh desa bermuka dua.
Penduduk bertempik-sorak pekat sekali, sewaktu
rombongan kesenian daerah turun dari panggung.
Mereka puas. Tapi belum cukup puas buat me-
ninggalkan alun-alun. Apalagi malam belum terlalu
larut, dan masih ada dua acara lagi. Satu hiburan
dagelan. Dan puncaknya, pagelaran wayang sampai
pagi!
Plok.J Plok.J Plok.J
"Suit..., suit...!"
"Dagelannya yang lucu! Kalau tak lucu, mending
jadi tukang sunat saja!" teriak para penonton.
"Ayo, Kang! Buat supaya kita lupa dengan ke-
susahan! Kalau bisa, sampean aku jodohkan sama
mbahku!"
Demikian sambutan penduduk sewaktu seorang
lelaki pendagel daerah naik ke panggung. Wajahnya
terlihat tolol sekali. Malah anak kambing tak punya
otak pun masih kalah bodoh. Dan itu saja sudah
membuat pengunjung terbahak-bahak. Apalagi se-
waktu lelaki itu menaik-naikkan kumis tanggungnya
yang kurang pupuk.
"Saudara-saudara.... Anu, maaf. Hamba mau men-
dagel. Tolong jangan ditertawakan, ya.... Anu, hamba
masih kikuk. Kalau ditertawakan, hamba nanti tak
bisa mendagel...," mulai si pendagel. Tetap dengan
tampang bloonnya yang kelewat mengenaskan.
"Hua-hua-ha!"
Penonton menyambut.
"Anu.... Mohon maaf kalau ada kata yang salah,
terus terang saja, hamba baru jadi pendagel. Hamba
hanya meneruskan kepandaian bapak hamba juga
yang jadi pendagel. Bapak hamba itu nerusin
kakeknya. Kakek saya itu sudah tua.... Eh, anu...
pendagel juga maksud saya."
"Hua-ha-ha!"
"Hua-ha-ha! Lucu juga sampean! Sialan!"
Terus dan terus pendagel bertampang tolol itu
bercuap-cuap. Setiap kali kalimatnya terhenti, tawa
gelak penduduk pecah.
Beberapa saat berselang, masuk lagi lelaki pen-
dagel lain, kira-kira berusia tiga puluh tahun. Yang
satu ini berwajah tak kalah mengenaskan dibanding
yang pertama. Hanya saja, dia mengenakan se-
macam polesan hitam arang di sekujur wajahnya itu.
Di atas mata, dibuat garis putih seperti alis yang
melengkung berkepanjangan, dan mengeriting pada
ujungnya.
Baru dua langkah dari anak tangga panggung,
lelaki celemongan itu tersandung palang lampu
minyak. Dia kontan jatuh berdebam sampai panggung
bersuara laksana beduk.
Penonton kontan terpingkal-pingkal.
Sementara si pendagel yang baru masuk melilit-lilit
di lantai panggung, karena keningnya mencium
bambu.
"Sampean siapa?" tanya pendagel pertama.
"Sampean brengsek! Masa' kawan jatuh malah
ditanya begitu?! Biar disambar geledek pelan-pelan
baru tahu rasa!" umpat pendagel yang baru saja
terjatuh. Ditepuk-tepuknya pakaian serba hitamnya
yang kedodoran. Bibirnya yang dipoles semerah bibir
janda genit meringis berkepanjangan.
"Ah! Aku tak kenal sampean? Sampean jangan
main-main. Nanti kupanggilkan keamanan, lho!"
"Lho? Wong keamanannya sudah aku sogok, kok!
Kantongnya kusisipkan uang.... Ditambah, bambu
panjang ke perutnya. He-he-he. Namanya juga
disogok!"
"Hua-ha-ha!"
Tontonan sepertinya menjadi lebih meriah.
Dagelan yang dipertontonkan makin seru. Pengunjung
tak henti tergelak-gelak. Sementara, si pendagel
pertama sesungguhnya bukanlah sedang mendagel.
Dia sungguh-sungguh waktu menanyakan rekan tak
dikenalnya. Matanya berkilat, gusar campur bingung.
Tapi, tak satu mata penonton pun yang menangkap
kejadian ini.
"Paijo! Paijo! Sampean bagaimana sih, jadi
pemimpin dagelan! Masa' ada orang naik panggung
sampean diem saja?!" seru si pendagel pertama, di
antara riuh-rendah suara penonton. Teriakannya
ditujuan pada kawannya di belakang panggung.
Tak ada jawaban. Tentu saja itu membuatnya
penasaran.
"Paijo! Aku tahu telinga sampean setengah budek!
Tapi sampean dengar teriakanku, toh?!" teriak si
pendagel berwajah tolol itu lagi, sengit.
Pendagel berwajah coreng-moreng mendekatinya.
"Ssst..., sssttt! Sampean jangan begitu.... Damai
saja, damai...."
Kegusaran si pendagel pertama memuncak sudah.
Mendadak, didorongnya lelaki itu dengan kasar. Dan
dia segera turun memanggil keamanan.
Sementara lelaki yang didorong terjatuh kembali.
Pantatnya terantuk ujung panggung, membuat
matanya mendelik sebesar mata buto ijo.
Ledakan tawa penonton terpancing kembali.
Mereka masih mengira kalau kejadian barusan
adalah satu babak dagelan. Sayang, mereka tak
menyadari sedikit pun kalau satu adegan kematian di
panggung akan segera dimulai....
"Sampean brengsek! Sampean brengsek apa tidak,
sih?!" maki pendagel berwajah coreng-moreng seraya
bangkit. "Jangan tinggal aku sendirian di panggung!
Aku bisa mati berdiri! Kalau aku mati berdiri, bagai-
mana nanti menguburnya?!"
Tiba-tiba lelaki berwajah coreng-moreng ini me-
narik pendagel berwajah tolol keras-keras. Sampai-
sampai, pendagel itu terlempar ke tengah panggung
kembali. Cara terlemparnya di mata penonton seperti
wajar-wajar saja. Bahkan kembali mengundang tawa.
Sampai pendagel berwajah coreng-moreng men-
dekati, tubuh lelaki itu belum juga bangkit.
"Sampean bagaimana, toh? Mau mendagel, apa
mau tidur? Kalau mau tidur, kenapa tak mengajak
bini sekalian?"
Dijemputnya tangan lelaki yang tergeletak itu,
masih di dalam kepungan gelak tawa penonton.
Begitu tangan tadi ditarik untuk membangunkan,
ketika itu juga gelak tawa berganti teriakan dan
pekikan kengerian!
Apa yang terjadi?
Ternyata, tubuh pendagel pertama sudah tak utuh
lagi! Bagian-bagian tubuhnya menjadi rapuh.
Buktinya, tangannya terlepas ketika ditarik
pendagel coreng-moreng....
"Wah! Sampean tak tahu terima kasih. Aku sudah
mau menolong berdiri, sampean malah ngasih
tangan. He-he-he.J" celoteh pendagel berwajah
coreng-moreng. Bibirnya memperlihatkan senyum
samar, yang berkesan begitu bengis!
"Apa-apaan ini!"
Tiba-tiba seorang keamanan desa bertubuh kekar
dan berkumis baplang melompat ke atas panggung.
Tangan kanannya sudah menghunus golok besar.
"He-he-he.... Sampean linglung? Ini kan hanya
dagelan...," kilah pendagel coreng-moreng sambil
melambai-lambaikan potongan tangan yang di-
pegangnya.
Darah dari potongan tangan itu tampak masih
menetes-netes ke permukaan panggung.
"Dia bukan anggota dagelan kami, Kang!" jerit
seorang perempuan di tengah-tengah penonton.
"Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?!" tanya
centeng tadi, lantang dengan sikap siaga penuh.
Wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan ke-
ngerian melihat bagaimana mayat di atas panggung
seperti terpotong-potong.
"Hie-he-he! Kau mau tahu siapa aku sebelum
tubuhmu pun kubuat seperti lelaki itu? Aku adalah
Pendagel Setan! Dengar aku? Pendagel Setan! Hei,
dunia persilatan! Kalian dengar aku?! Akulah
Pendagel Setan yang akan siap membuat nyali kalian
semua menciut!"
2
"Kau benar-benar manusia biadab!"
Bersama makian kalap, centeng alun-alun ber-
kumis baplang itu melabrak lelaki asing yang
menyebut dirinya Pendagel Setan. Satu sebutan yang
bukan saja aneh, tapi juga ganjil!
Golok di tangan keamanan itu menebas deras
bagian dada Pendagel Setan. Tentunya dia sudah
benar-benar mata gelap, menyadari kebiadaban
orang di depannya. Sebenarnya, centeng itu pun juga
merasa ngeri di dasar hatinya. Dari hasil tindakannya
pada korban saja, sudah bisa dilihat bagaimana
dalamnya kesaktian Pendagel Setan. Ilmu silatnya
mungkin hanya seujung jari dibanding Pendagel
Setan. Hanya karena nyalinya besar, maka dengan
nekat centeng alun-alun itu melabrak juga dengan
golok bergerak membabat.
Wuk! Srat!
"Heh?!"
Centeng alun-alun menjadi terperanjat sekaligus
gembira. Sulit dipercaya kalau golok yang diayunkan
ternyata mengenai sasaran. Matanya jelas-jelas
menyaksikan baju hitam Pendagel Setan tersayat.
Setelah terhuyung sejenak, tubuh Pendagel Setan
ambruk.
Si centeng terdiam dengan napas memburu.
Dadanya turun naik tak teratur. Sedang matanya
menatap tanpa kedip ke tubuh lawan yang ter-
telungkup.
"Benarkah aku telah berhasil merobohkannya?"
tanya hati si centeng bimbang.
Untuk memastikan, lelaki kekar ini melirik mata
goloknya. Tak ada darah! Kejap itu juga, disadarinya
permainan licik lawan.
Sayang kesadarannya terlambat. Karena....
"He-he-he..,."
Wrrr!
Tubuh yang semula tergeletak diam di depan
centeng itu tiba-tiba memperdengarkan tawa meng-
gidikkan, disusul gerakkan meluncur di atas
permukaan panggung. Bagai gerak menerjang seekor
ular lapar, tubuh Pendagel Setan tiba di dekat
sasaran. Lalu....
Crep!
Cengkeraman kilat tangan Pendagel Setan tahu-
tahu telah 'mencuri' benda berharga di selangkangan
si centeng! Untuk sebuah serangan, sasaran di
daerah itu akan menjadi serangan mematikan.
Apalagi, Pendagel Setan melakukannya dengan cara
telengas. Seketika 'benda simpanan' centeng itu
tercerabut dari tempatnya!
Crot.J
"Aaa.J"
Darah cepat membanjiri celana bagian
selangkangan centeng malang itu. Untuk beberapa
saat tubuhnya mengejang kuat dengan tangan
mendekap erat bagian terluka. Kelopak matanya
membeliak. Mulutnya membuka, seperti hendak
menggugurkan erangan kematian yang terkunci di
tenggorokan.
Setelah itu, centeng yang berani mati ini ambruk
menemani korban sebelumnya di permukaan
panggung.
Sementara, Pendagel Setan hanya terkekeh
panjang, menyaksikan hasil kerjanya. Raut wajahnya
bengis diperlihatkan berkawal kilatan kebiadaban di
kedua biji matanya.
Melihat kejadian itu, penduduk makin berubah
kalang-kabut. Jeritan dan pekik bertumbukan, saling
tindih, saling penggal. Gerombolan orang yang
sebelumnya memadat cukup teratur, kini serabutan
kian kemari seperti gerombolan semut terusik tangan
jahil.
Yang mampu lari dalam kekacauan, akan segera
mencari jalan keluar. Tak peduli apakah akan
menginjak tubuh-tubuh yang terjatuh atau tidak.
Beberapa wanita bergelimpangan pingsan. Tubuh
mereka nenjadi sasaran empuk jejakan kaki-kaki liar.
Kegemparan memuncak begitu kekacauan me-
rembet pada tempat-tempat para pedagang meng-
gelar dagangan. Lampu-lampu minyak terlanggar, lalu
membakar. Api pun lahir, membakar apa-apa yang
bisa dibakar. Temaram langit malam pun disaput
jilatan warna merah.
"Kebakaraaan!"
"Tolong! Tolong.... Jempolku hilang!"
"Copet! Copeeet! Manusia kutu kupret tidak tahu
adat! Kalau mau nyopet jangan lagi kacau begini!"
Dan serentetan kekacauan berlanjut.... Di antara
semua itu, menerabas teriakan lantang berisi
tantangan!
"Pendekar Slebor! Dengarlah tantanganku! Dunia
persilatan boleh kau buat terkagum pada kehebatan-
mu. Tapi tidak denganku. Suatu saat nanti, akan kita
buktikan siapa sesungguhnya manusia terhebat di
'panggung gila' ini!"
Pagi baru saja lahir. Dimulai sapuan cahaya merah
saganya di cakrawala belahan timur, matahari mulai
merambah naik. Satwa menyambutnya dengan suka
cita, bertolakbelakang dengan keadaan di alun-alun
Desa Wetan. Di sana, asap tipis masih mengambang
lambat menodai udara. Kebakaran semalam tinggal
sisa. Puing-puing arang berserakan masih mengepul-
kan asap tipis. Delapan mayat berserakan di sekitar
panggung yang telah porak-poranda.
Seorang wanita berkebaya merah muda terisak-
isak di tengah-tengah kehancuran itu. Dengan
selendangnya yang sudah terkena hitam arang di
sana-sini, tubuhnya bersimpuh di dekat serakan
mayat. Wajahnya sebenarnya cukup ayu. Hanya
karena kejadian semalam, membuat wajahnya agak
tak karuan.
"Ada apa, Neng?"
Terdengar sapaan halus, seramah hawa pagi.
Wanita itu menghentikan tangisnya. Kepalanya
menoleh. Tampak sosok gagah berotot berdiri di
sampingnya. Wajahnya tampan. Dari wajah itu pula
perempuan ini bisa menemukan keramahan. Terlebih
dengan sebaris senyum yang sanggup menjerat hati
banyak dara. Pakaiannya tak bisa dibilang resik.
Berwarna hijau pupus, dan terlihat tak begitu terurus.
"Kakang siapa?" tanya perempuan ini dengan
suara tersendat-sendat.
"Aku hanya seorang pengelana, Neng," jawab
pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak
catur tersampir di bahunya, menyembunyikan jati diri
sesungguhnya. "Sudikah kau menerangkan apa yang
sesungguhnya terjadi di tempat ini?"
Mendapati pertanyaan pemuda berpakaian hijau
ini, si wanita berkebaya malah menyambung tangis-
nya yang sudah kekeringan air mata. Sepertinya,
tangis sebelumnya belum dituntaskan.
"Tujuh mayat ini adalah teman-teman serom-
bonganku yang mestinya manggung semalam. Satu
orang lagi, mayat keamanan desa. Bagaimana aku
tidak sedih? Mereka itu kawan senasib se-
penanggungan. Mereka sudah seperti saudara...."
tutur wanita ini.
"Sudahlah, Neng. Relakan mereka." hibur pemuda
itu. "Kenapa mereka sebenarnya, Neng?"
Pemuda itu. bertanya lagi, karena jawaban
perempuan yang ditanya tidak cukup jelas baginya.
"Mereka dibunuh, Kang...."
"Siapa yang melakukannya?"
"Aku tidak tahu. Lelaki bajingan itu tahu-tahu saja
datang dengan menyamar menjadi satu anggota
rombongan dagelan kami. Dia mengaku sebagai
Pendagel Setan...."
"Pendagel Setan?" bisik pemuda tampan ini
mengulangi. Di telinganya nama itu begitu asing dan
aneh.
"Setelah membunuh, dia mengancam orang-orang
persilatan, Kang. Apa Kakang orang persilatan?"
lanjut perempuan itu lagi.
"Kenapa, Neng?"
"Kalau Kakang orang persilatan, sebaiknya hati-
hati terhadap orang itu."
Anggota rombongan dagelan yang tersisa itu
berhenti sejenak. Dia seperti mengingat sesuatu.
"Dan kalau Kakang bertemu..., Pendekar Slebor,
bilang pula padanya agar hati-hati," lanjut peremuan
itu lagi.
Pemuda berpakaian hijau menjadi tertarik pada
kalimat terakhir wanita di sampingnya. Terlihat jelas
dari perubahan raut wajahnya.
"Kudengar, lelaki iblis itu sempat mengancam
Pendekar Slebor. Katanya, dia akan menantang
Pendekar Slebor. Apa Kakang kenal Pendekar
Slebor?"
Pemuda ini tidak menyahut, tidak juga meng-
gerakkan kepala sebagai jawaban. Bukannya karena
tak ingin menanggapi pertanyaan perempuan anggota
rombongan dagelan itu. Tapi dalam pikirannya saat
itu hanya ada satu kecamuk yang mengusik. Sampai
semuanya dituntaskan oleh....
"Pendekar Sleeebooorrr! Oiii, apa itu kau?!"
Terdengar teriakan mengguntur dari seseorang di
kejauhan. Pemuda yang dipanggil dan tak lain
Pendekar Slebor sendiri, cepat menoleh ke asal
panggilan bernada serampangan tadi. Wajahnya
berubah asam, demi menyaksikan siapa yang sedang
berlari serabutan menuju tempatnya.
Orang itu adalah lelaki besar bertelanjang dada. Di
seluruh tubuh hingga wajahnya ditumbuhi bulu-bulu
kasar panjang. Dengan berlari sambil melompat-
lompati puing-puing, orang yang datang itu sudah
seperti biang kera dari hutan.
"Kiamat.... Kenapa orang gila seperti dia mesti
bertemu aku lagi," rutuk Pendekar Slebor.
Wanita di dekat Andika langsung memekik melihat
kehadiran lelaki seram itu. Dalam benaknya, ter-
gambar seekor gorila besar tersasar yang bisa saja
mengoyak-ngoyaknya dengan cakarnya yang setajam
mata pisau.
"Tenang, Neng. Dia tidak apa-apa. Sudah jinak,"
ujar Andika, setengah memaki lelaki yang dimaksud.
Siapa lelaki tinggi besar dipenuhi bulu di mana-
mana itu? Andika mengenalnya sebagai Lelaki
Berbulu Hitam, tokoh tua sakti yang malang
melintang lebih dahulu beberapa puluh tahun
dibanding Andika sendiri. Hanya karena awet muda
saja, lelaki itu tidak seperti tokoh-tokoh seangkatan-
nya.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh satu
ini, bacalah episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan
"Pengadilan Perut Bumi"!).
Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu tokoh
sinting jajaran atas yang berperangai kasar.
Kemarahannya mudah terpancing, seperti mudahnya
minyak terbakar api. Dunia persilatan sulit menentu-
kan dari golongan mana asalnya. Hitam tidak, putih
pun bukan. Dia hanya bertarung mengikuti ke-
marahan. Tapi kalau sudah bertemu anak muda
buyut Pendekar Lembah Kutukan, sikapnya secara
mengherankan bisa berubah sama sekali.
"Aooo, kita bertemu kembali, Tuan Penolong," seru
Lelaki Berbulu Hitam seraya menubruk Andika.
Langsung dipeluknya Andika keras-keras, lalu meng-
guncang-guncangkannya.
"Berhenti!" bentak Andika. Isi perutnya bisa keluar
semua kalau terus diurak-urak seperti ini.
Lelaki Berbulu Hitam tidak peduli. Mungkin hatinya
terlalu girang bertemu Tuan Penolong yang bisa
menolong menghilangkan sifat pemarahnya, sesuai
wangsit yang dulu didapat.
"Sudah! Sudah!" Pendekar Slebor mulai berteriak-
teriak kalap.
Bagaimana Andika tidak mengkelap? Sudah
pelukan manusia setengah serigala itu kerasnya
seperti jepitan bukit karang, baunya pun lebih
menyengat daripada seratus ekor bandot!
Karena tak juga dilepas, Andika jadi tak sabar lagi.
Daripada muntah, lebih baik diberinya teman lama-
nya yang sinting itu sedikit bogem.
Begh!
Tinju Andika yang sengaja disalurkan tenaga sakti
segera memangsa perut Lelaki Berbulu Hitam. Biji
mata lelaki itu membeliak seketika. Bibirnya meringis
lebar-lebar. Sebentar kemudian....
"Khoeeekkh!"
Isi perut Lelaki Berbulu- Hitam termuntahkan
semua.... Untung Andika cepat menghindar. Kalau
tidak, tahu sendiri.
"Tuan Penolong! Apa kau melihat seorang jelek di
sekitar tempat ini?" tanya Lelaki Berbulu Hitam
beberapa saat kemudian.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Andika.
"Orang jelek, ya jelek."
"Yang kumaksud namanya!"
"Aku tidak tahu. Hanya wajahnya saja yang kuingat.
Hitam berlumur arang. Wajah jelek itu benar-benar
membuatku sebal. Ingin kucopot wajah orang itu!"
jelas Lelaki Berbulu Hitam dengan gigi-giginya
bergemeletuk menahan geram.
"Ya dialah orangnya, Kang!" sambut wanita
anggota rombongan dagelan itu tiba-tiba. "Orang ber-
ciri-ciri seperti itulah yang telah melakukan pem-
bantaian semua ini!"
Andika tercenung. Menurut cerita wanita di dekat-
nya, namanya disebut-sebut oleh bajingan itu. Dan
jika bajingan itu masih di sekitar tempat ini, ke-
mungkinan besar dirinya sedang diawasi.
"Hebat," bisik Andika samar. "Seberapa tinggi ilmu
kesaktiannya, hingga aku tidak menyadari sedang
diawasi?"
3
Tindakan Pendagel Setan di Desa Wetan sebenarnya
merupakan kelanjutan dari sepak terjangnya yang keji
selama sepekan ini. Sejak kemunculan pertamanya,
lelaki aneh itu terus mencuri nyawa demi nyawa. Tak
peduli, apakah korbannya adalah orang persilatan
atau bukan. Bahkan tega-teganya dia menjatuhkan
tangan pada seorang bocah tak berdosa sekalipun!
Dalam sepekan saja, sudah lebih dari lima belas
orang kehilangan nyawa. Sembilan di antaranya mati
dalam keadaan serupa seperti nasib naas yang
menimpa pendagel di Desa Wetan. Tubuh mereka
menjadi amat rapuh. Sampai usikan seekor gagak
pun dapat dengan mudah mencabut bagian-bagian
tubuh mereka! Sedangkan sisanya, mati dengan cara
tak kalah aneh. Mayat mereka mengejang dengan
tangan mendekap perut. Sebenarnya, hal itu tidak
aneh. Yang aneh justru wajah-wajah mereka mem-
perlihatkan kalau saat menemui ajal mereka sedang
tertawa.
Sulit dipahami, apa mau tokoh sesat yang men-
dadak saja melambung namanya karena kebiadaban-
nya. Di samping karena belum pernah dikenal dunia
persilatan sebelumnya. Juga karena kesimpang-
siurannya dalam menelan korban.
Lalu, anggapan pun merebak. Banyak kalangan
persilatan menganggap Pendagel Setan tak lebih dari
orang sinting yang haus darah. Dia tak bisa disebut
sebagai orang golongan hitam. Apalagi, golongan
putih.
Tak sedikit tokoh hitam sendiri menjadi muak
mendengar sepak terjang Pendagel Setan. Bagi
sebagian golongan hitam, membunuh seorang bocah
tak berdaya, tak lebih dari tindakan meludahi kepala
sendiri. Harga diri mereka akan dicemooh oleh
selaksa bibir warga persilatan.
Namun, Pendagel Setan justru sebaliknya. Dengan
kesan penuh kebanggaan, sehabis membunuh,
ditinggalkannya tanda berupa boneka kayu berwajah
hitam, tepat di atas tubuh mayat si bocah yang
tertimpa kemalangan.
Waktu terus melaju menyiduk hari demi hari.
Tiga pekan setelah kejadian di Desa Wetan, terjadi
keributan antara beberapa bocah hijau di sebentang
persawahan kering. Ada empat bocah lelaki berlarian
di pematang. Anak yang terdepan membawa lari
sesuatu di tangannya. Sementara tiga yang lainnya
ngotot mengejar, hendak merebutnya.
Perebutan benda di tangan bocah di depan rupa-
nya sudah berlangsung cukup lama dan seru.
Keadaan mereka semua sudah tak karuan. Badan
mereka yang bertelanjang dada sudah dilumuri
lumpur coklat. Rambut mereka kotor dan basah.
"Oi, Pitak! Kasih boneka itu padaku! Kalau kau
terus lari, nanti akan kutambah pitakmu jadi dua
belas!" teriak salah seorang bocah terbesar, bernada
dongkol.
"Kalau mau boneka ini, tangkap aku! Dasar gede
bohong! Bisanya cuma makan!" balas anak yang
dikejar seraya melompati lubang di pematang dengan
kelincahan seekor menjangan.
Kejar-kejaran berlangsung sengit. Anak yang di-
buru rupanya jauh lebih gesit dan lincah dibanding
para pengejarnya. Padahal untuk ukuran tubuh, anak
itu jauh lebih kecil dari yang lain.
Kejar-kejaran tiba di atas desa. Kalau saja tak
menabrak seorang wanita yang menghadang larinya,
tentu anak hitam dekil si pembawa boneka itu sudah
menghilang dari para pemburunya.
"Waduh! Maaf, Kak!" ucap si bocah, merasa
bersalah karena telah menabrak.
Yang ditabrak adalah seorang wanita berpakaian
pendekar. Wajahnya tak cantik. Tapi memendarkan
kesan ayu jika diperhatikan. Tanpa pupur atau
tambalan di wajah. Pakaiannya cenderung seder-
hana. Warnanya hitam dari atas hingga ke bawah.
"Kenapa kau lari-lari tak karuan, Adik Kecil?" tanya
wanita berpakaian pendekar seraya menyibak rambut
panjangnya yang menutupi wajah.
"Itu, Kak. Ada anak-anak brengsek mau merebut
boneka yang kudapat," lapor bocah dekil ini.
Sambil berkata, kepala bocah ini terus menoleh ke
belakang. Sinar matanya sebentar-sebentar terlihat
takut. Sebentar kemudian, terlihat memelas. Tentu
saja bocah cerdik itu hendak memancing rasa
kasihan orang yang baru ditemuinya.
"Kakak seorang pendekar, bukan?" tanya bocah ini
kemudian.
Wanita berpakaian hitam mengangguk.
"Kalau begitu, tolong aku, ya?"
Wanita itu mengangguk lagi.
"Memangnya kau kenapa, Adik Kecil?"
Bibir si bocah memancung. Dengan bibir itu pula,
ditunjuknya anak-anak yang mengejarnya. Mereka
sudah tampak pula di kejauhan.
"Itu...! Mereka mau merebut bonekaku ini, Kak!"
lapor bocah pitak ini kelimpungan.
Beberapa saat, bocah ini sudah berlari mengitari
tubuh si pendekar wanita. Dari kanan ke kiri, dari kiri
ke kanan. Seolah-olah, kawanan bocah yang menge-
jarnya sudah sampai di dekatnya.
Sementara itu anak-anak yang mengejar makin
dekat. Dan ini membuat si bocah dekil kian
kelimpungan. Sampai akhirnya, dia tak bisa lagi
menahan kakinya, hendak lari kembali.
"Tunggu dulu!" cegah pendekar wanita. Dicekalnya
pergelangan tangan anak itu. Sengaja ditahannya,
karena tertarik pada boneka di tangan si bocah.
Bentuk boneka itu mengingatkannya pada desas-
desus yang belakangan terdengar santer.
"Lepaskan aku, Kak! Mereka mau menjadikan aku
perkedel!" teriak si Bocah.
"Biar kulihat boneka itu dulu," ujar pendekar
wanita berpakaian hitam ini.
Mata si bocah mendelik.
"Apa?! Jadi kakak mau boneka ini juga?!"
"Aku mesti melihatnya. Hanya melihat apa tidak
boleh. Nanti akan kukembalikan," bujuk pendekar
wanita ini.
"Nih, ambil saja sekalian!" tukas si bocah sengit.
Bocah ini segera menyodorkan boneka di tangan-
nya kasar-kasar. Setelah itu, dia buron. Apa lagi yang
mau diperbuatnya kalau kawanan anak-anak yang
mengejar sudah demikian dekat?
"Pendekar kok masih senang boneka! Pendekar
apa itu?!" maki bocah itu di kejauhan.
Sementara para bocah pengejar sudah melewat
pendekar wanita itu setelah sebelumnya berhenti
sebentar untuk melihat boneka yang diperebutkan.
Sepeninggalan anak-anak kampung tadi, si
pendekar wanita mengamati baik-baik boneka di
tangannya.
"Jelas. Ini memang boneka yang digemparkan
orang persilatan. Ini pasti milik Pendagel Setan,"
gumam wanita ini.
Sebentar kemudian, kepalanya menoleh ke arah
bocah kecil tadi menghilang, seraya menghentak
napas.
"Sayang..., aku tak sempat menanyakan di mana
boneka maut ini ditemukan," desah wanita ini,
menyesali.
Setahu wanita ini, boneka itu adalah tanda khusus
Pendagel Setan pada korban kebiadabannya.
"Tentu Pendagel Setan telah kembali bertindak keji
di sekitar sini. Manusia busuk itu!" geram pendekar
itu.
Lalu. Wanita ini pun berpikir untuk mencari tahu.
Akan diperiksanya daerah sekitar. Dia yakin, mayat
korban Pendagel Setan masih ada. Entah di mana.
Bahkan ada kemungkinan juga Pendagel Setan pun
masih berkeliaran.
"Rasanya ingin sekali aku memecahkan tempurung
kepala manusia busuk itu!"
Baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak
saja naluri kependekaran wanita ini menangkap
ketidakberesan. Tubuhnya menegang. Seluruh
kemampuan inderanya segera dikerahkan. Sekarang
perasaannya makin jelas menangkap adanya ketidak-
beresan. Telinganya menangkap desir halus dari arah
utara yang begitu cepat, berkekuatan, serta lurus
sepanjangjalan setapak menuju dirinya.
Segera pendekar wanita ini bersiaga.
Sekejap kemudian, matanya menangkap gerakan
cepat sosok seseorang. Tidak bisa dipastikan, wanita
atau lelaki. Gerakanya begitu cepat, hingga matanya
sulit memperhatikan bentuk tubuh serta wajah orang
yang baru datang.
Wanita itu sendiri sempat terkejut, menyaksikan
kecepatan yang mengagumkan di depan matanya.
Untuk ukuran dirinya, gerakan itu sudah jauh
beberapa tingkat di atasnya. Karena itu tubuhnya
makin menegang. Hatinya merasa yakin, bahaya yang
akan dihadapinya mungkin bisa membuang nyawa ke
neraka!
Sampai....
"Minggir! Minggir! Jangan halangi jalanku! Ter-
dengar teriakan mengguntur orang yang sedang
berlari deras di depan.
Wush!
Begitu sampai, si pendekar wanita sepenuh tenaga
melenting ke udara seraya berputaran tiga kali. Dan
tindakannya ternyata cukup untuk menghindari ter-
jangan sosok tadi.
Begitu menjejakkan kakinya di tanah, wanita ini
menjadi heran. Ternyata orang yang melesat tadi
tidak melakukan serangan lanjutan. Sosok ber-
kecepatan tinggi itu malah terus memaju geraknya.
Sepertinya, keberadaan si pendekar wanita cuma
dianggap kentut!
"Hei, berhenti kau!" hardik si pendekar wanita.
"Jidatmu empuk!" balas orang tadi, lebih sengit.
Meski belum yakin bisa menandingi ilmu me-
ringankan tubuh orang tadi, si pendekar wanita
memutuskan untuk mengejar. Namun belum sempat
kakinya digerakkan, sudah terdengar lagi desir yang
sama dari arah yang sama pula.
Wanita ini cepat berbalik. Dan persis seperti tadi,
tampak pula sesosok tubuh bergerak demikian cepat.
Tak kalah gesit dan tak kalah mengagumkan. Bahkan
tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi.
Sekali lagi, si pendekar wanita dipaksa terperanjat
tak alang-kepalang. Siapa lagi ini? Kenapa jalan ini
tiba-tiba disantroni orang-orang kelas atas dunia
persilatan? Tanpa bisa berpikir lebih jauh, dia harus
menyelamatkan diri dari labrakan orang brengsek ini.
Seperti cara menghindar sebelumnya, pendekar
wanita berpakaian hitam-hitam itu melenting ke
udara tinggi-tinggi. Segenap kekuatan harus dikerah-
kan, karena kecepatan yang harus dihindari begitu
dahsyat.
"Bagus! Lompat yang tinggi! Aku mau lewat!" seru
orang tadi, enteng. Suaranya seperti seorang
pemuda. Sedang gaya seruannya terlalu acuh.
"Berhenti!" teriak wanita ini, begitu mendarat.
Si pendekar wanita berusaha menahan. Tapi,
teriakannya dianggap angin lalu saja oleh orang tadi.
Siapa yang tak gusar dibegitukan? Maka, wanita ini
tak ingin membiarkan orang tak tahu adat tadi lewat
begitu saja, seperti orang sebelumnya.
Tahu kalau orang yang dikejar tak mungkin di-
bekuk dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
tanggung-tanggung, wanita ayu itu langsung meng-
empos seluruh kemampuan lari cepatnya sampai
puncak.
Beberapa saat, si pendekar wanita ini memang
masih mampu menguntit. Namun selang sekian saat
berikutnya, dia sudah keteter jauh. Buruannya lari
bagai setan kesiangan. Maka sebentar saja, buruan-
nya sudah lenyap di batas hutan kecil.
"Kunyuk dekil! Brengsek!"
Sumpah serapah terlempar dari mulut mungil
pendekar wanita ini. Siapa sebenarnya dua orang
penuh teka-teki tadi? Apa hubungannya dengan
Pendagel Setan yang dicurigai si pendekar wanita
telah menyatroni daerah itu?
4
Di pinggir sebentang sungai dangkal berair jernih dua
sosok tubuh menghentikan larinya begitu sampai di
tempat itu. Yang pertama tiba, langsung saja me-
lompat ke batu besar di tengah-tengah sungai. Belum
dua puluh tarikan napas celana buluknya sudah
dilorotkan sambil tergesa-gesa jongkok. Lalu bau tak
sedap pun mencemari udara.
Sementara yang tiba belakangan mulutnya tak
henti-hentinya menggerutu. Dengan agak terengah-
engah di tepian sungai, dikutukinya habis-habisan
orang yang kini begitu khusuk membuang limbah
perutnya!
Memang kedua orang itulah yang telah
menyerobot jalan pendekar wanita berpakaian hitam-
hitam tadi. Siapa mereka? Tak lain tak bukan,
Pendekar Slebor dan Lelaki Berbulu Hitam.
"Biar mati disambar geledek nyasar kau!" rutuk
Andika, dongkol bukan main.
Sewaktu mereka berjalan bersama tadi, tiba-tiba
saja si tua bangka awet muda itu lari kelimpungan
sepenuh tenaga. Andika tentu saja terkejut. Dikiranya,
ada bahaya yang ditangkap naluri Lelaki Berbulu
Hitam. Karena setahu Andika, si tua tak waras itu
memang memiliki naluri tajam. Bukankah dia
memang setengah serigala?
Andika pun mengejar.
Kejar-kejaran berlangsung seru, tanpa juntrungan.
Lelaki Berbulu Hitam berlari seperti hendak mampus
di tengah jalan. Andika tentu saja makin ke-
bingungan. Makanya dia tak kalah ngotot menguntit
manusia batu itu.
Untuk mengejar tokoh sekelas Lelaki Berbulu
Hitam, bukan kerja mudah buat Andika. Biarpun
dirinya telah dibekali ilmu warisan Pendekar Lembah
Kutukan yang kecepatannya begitu menghebohkan.
Asal tahu saja, Lelaki Berbulu Hitam adalah tokoh
bangkotan yang telah lebih dahulu malang melintang
di tengah dunia persilatan puluhan tahun silam. Dia
adalah salah satu dedengkot yang sulit dicari
tandingannya. Kalaupun perawakan dan wajahnya
tak menjadi keriput atau keropos, itu karena
pengaruh campuran darah serigala dan manusia
dalam dirinya. Bahkan kalau Andika bertarung
dengannya, belum tentu dapat menang.
Jika kini tokoh pemberang itu seperti kerbau
dicocok hidungnya terhadap pendekar muda dari
Lembah Kutukan, penyebabnya karena muslihat
tokoh seangkatannya, Raja Penyamar.
Raja Penyamar telah memberikan wangsit palsu
kepada Lelaki Berbulu Hitam. Dalam wangsitnya,
disebutkan bahwa hanya Pendekar Slebor yang bisa
menolong Lelaki Berbulu Hitam dalam mengenyahkan
sifat pemberangnya yang kelewatan.
(Untuk mengetahui cerita itu, bacalah episode:
Pengadilan Perut Bumi")
Bahkan Andika tak mempedulikan si pendekar
wanita yang sedang melintasi jalan tadi. Padahal,
matanya sempat berbinar-binar sewaktu menemukan
betapa ayunya gadis itu.
Lalu setelah kejar-kejaran gila itu berujung di tepi
sungai, kedongkolan Andika pun meletus. Yang
semula dikira keadaan genting, ternyata hanya
keadaan 'darurat' buat perut sial Lelaki Berbulu
Hitam.
Apa tidak keterlaluan?
Belum puas Andika menumpahkan kedongkolan-
nya, mendadak terdengar teriakan sengit seorang
wanita melabrak angkasa. Telinga pemuda dari
Lembah Kutukan mendengarnya. Sementara Lelaki
Berbulu Hitam di tengah sungai sampai menahan
kembali 'sesuatu' yang hendak keluar, karena begitu
terkejut.
Selanjutnya, ketajaman telinga Pendekar Slebor
menangkap pula suara-suara yang selama ini sudah
begitu dikenalnya. Semacam kericuhan dalam
sebuah pertarungan.
"Apa yang terjadi?" tanya Andika, pada diri sendiri.
Sementara itu, pendengarannya dipusatkan untuk
menentukan arah kericuhan barusan.
Begitu bisa ditentukan, Andika tak menunggu lama
lagi segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh-
nya digenjot.
"Hei, jangan tinggalkan aku!" teriak Lelaki Berbulu
Hitam. "Tuan Penolong! Sudikah Tuan bersabar
sebentar sampai aku menuntaskan 'kewajibanku' ini!"
"Sisakan saja buat besok!"
'k 'k 'k
Begitu sampai, Andika melihat seorang wanita
berpakaian hitam sedang bertempur dengan orang
berpakaian aneh. Wajah dipenuhi coreng-moreng.
Belakangan, nama dan sepak terjangnya meng-
gemparkan dunia persilatan. Dialah Pendagel Setan!
Wanita ini tampak begitu bernafsu menghambur-
kan serangan pada Pendagel Setan. Tampaknya
kekejian tokoh aneh yang didengar selama ini, telah
membuat hasratnya menggebu untuk mengenyah-
kannya.
Segenap jurus telah dikerahkan wanita berpakaian
berwarna hitam itu. Namun hingga saat itu, tak ada
satu pun serangannya membawa hasil. Rupanya si
pendekar wanita itu telah salah duga. Karena
memang, Pendagel Setan bukan tokoh sesat
sembarangan. Bahkan Pendekar Slebor sendiri pun
belum tentu memiliki kesempatan untuk mengalah-
kannya.
"Ciaaah!"
Satu tusukan jari berkuku panjang milik pendekar
wanita berpakaian hitam mencoba merobek teng-
gorokan Pendagel Setan lewat jurus puncaknya yang
diberi nama 'Amukan Macan Hitam Betina'. Setiap
sambaran kuku tangannya, bisa berarti kematian.
Jangankan kulit manusia. Bahkan kayu paling keras
di jagad ini pun bisa dicaciknya dengan mudah.
Menghadapi serangan liar ini, Pendagel Setan tak
tampak kelimpungan. Santai saja kepalanya me-
lengos. Sepertinya, dia tak bergerak. Tapi hasilnya
ternyata bisa mementahkan sambaran kuku ke
kerongkongannya.
Wukh!
Luputnya serangan tadi membuat pendekar wanita
yang baru saja turun ke dunia persilatan menyusuli-
nya dengan cabikan tangan yang lain. Ulu hati
Pendagel Setan hendak dikoyak dari arah samping.
Untuk serangan berikutnya, entah kenapa
Pendagel Setan tak tampak berniat menghindar. Dia
hanya menanti. Sekejap kemudian, cakar wanita itu
pun sampai.
Blep!
Terdengar suara lembut yang nyaris tersamar
dengan hempasan napas Pendagel Setan, tepat
ketika cakaran pendekar wanita itu mendarat.
Di kejauhan Andika tak mempercayai kenyataan
itu. Kalau serangan pertama yang tak kalah hebat
dapat dimentahkan begitu gampang, tak mungkin
serangan berikutnya dapat mudah sekali menemui
sasaran. Ada sesuatu yang ganjil. Begitu pikir Andika
Meski tangan kiri pendekar wanita itu tampak ter-
sangkut di perut Pendagel Setan.
Ketajaman pengamatan Pendekar Slebor memang
beralasan. Buktinya di kancah pertarungan sana,
Pendagel Setan melontarkan tawa keangkuhannya.
Wajah coreng-morengnya menengadah ke langit, se-
akan mengejek malaikat maut yang gagal men-
jemputnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Dengan kemahirannya memainkan otot, dengan
menakjubkan Pendagel Setan telah menjepit kuku
wanita itu di lipatan perutnya! Sungguh satu tindakan
yang teramat sulit, sekaligus berjudi dengan nyawa
sendiri. Bagaimana tidak sulit dan berbahaya? Sebab
kalau saja salah perhitungan dalam meredam
sambaran tenaga cakar tadi, tak ayal lagi kulit
perutnya akan terkoyak! Bahkan isinya akan ambrol
keluar.
Kalau Andika sebelumnya curiga, wanita itu justru
sebaliknya. Saat ini dia sudah yakin kalau tengah
melangkah pada satu kemenangan. Dalam per-
kiraannya, tentu cakar tangannya telah merejam
dalam-lalam ke perut lawan. Dan kini siap mem-
bedolnya.
Sewaktu hendak melakukan hentakan ke sisi perut
Pendagel Setan. Pendekar wanita ini dipaksa
menyadari perhitungannya yang luput.
"Hiii!"
Berawal lengkingan seperti erang macan betina,
pendekar wanita itu berusaha melepaskan jepitan
perut lawan.
Gagal.
Dua-tiga kali dicobanya lagi. Hasilnya, tetap nihil.
Malah jari-jari kukunya terasa seperti hendak ter-
lepas. Pedih bukan main.
Menyaksikan ketidakberdayaan lawan, Pendagel
Setan melepas tawa kembali. Ocehannya pun
mengalir. Suaranya cempreng. Menyakitkan untuk
didengar siapa pun.
"Percuma kau terus mencoba menarik kukumu.
Nanti malah yang lain keluar dari bagian belakang-
mu!" oceh Pendagel Setan. Ucapannya seperti hendak
mendagel. Sayang, yang terdengar justru nada meng-
gidikkan.
"Jangan harap kau bisa membunuh Macan Hitam
Betina?!" bentak wanita yang menyebut dirinya
Macan Hitam Betina.
Cepat sekali satu kaki wanita ini bergerak
menyapu ke atas. Gerakan yang dilakukannya benar-
benar mempesona. Kakinya menebas ke atas,
melewati tangannya yang terjepit. Bagian selang-
kangannya seperti tak memiliki tulang. Begitu lentur
bergerak. Bahkan dengan lentur, dicobanya mem-
beset kening Pendagel Setan dengan kuku jarinya.
Padahal, tubuh laki-laki itu jauh lebih tinggi darinya.
Tap!
Sewaktu Pendagel Setan menangkap kakinya
Macan Hitam Betina membuat satu gerakan lentur
kembali. Sebelah kakinya yang lain menyapu pulang
ke atas. Gerakan ini pun tak mudah dilakukan.
Karena, kaki yang digunakan untuk menyapu harus
pula dijadikan jejakan, sekaligus untuk melompat.
Usaha wanita itu kali ini berhasil membuat
Pendagel Setan agak kelimpungan. Dua serangan
kaki tak terduga, membuatnya harus membuang
tubuh ke belakang.
Sebelah tangan Macan Hitam Betina memang
terbebas. Tapi akibatnya, pendekar wanita pemberani
ini harus membayarnya dengan kehilangan empat
kuku jarinya yang telah tertarik paksa, karena kulit
perut lawan masih menjepitnya.
"Aaakh!"
Begitu merasakan sakit pada tangannya, Macan
Hitam Betina mengeluh tertahan. Darah menetes dari
keempat kuku jarinya. Perihnya sudah pasti tak
terkira. Menahan siksaan rasa sakit. Wajah ayunya
sampai menjadi memucat. Sementara, matanya me-
merah dan agak tergenang.
"Kenapa, Cah Ayu? Kau tak bisa lagi menggaruk
dengan jari kirimu?" cemooh Pendagel Setan, diiringi
seringai memuakkan di pandangan Macan Hitam
Betina.
Dan dengan gaya padat ejekan, Pendagel Setan
mengumpulkan kuku-kuku wanita ini yang masih
terjepit di kulit perutnya.
"Kau membutuhkan ini?" tanya Pendagel Setan.
"Chih! Manusia tengik!" maki wanita ini penuh
gejolak kemurkaan.
Macan Hitam Betina meludah kasar.
"Karena aku tak memerlukannya," lanjut Pendagel
Setan. "Nih, ambil kembali!"
Wush!
Pendagel Setan seketika melemparkan potongan
kuku tadi ke arah pemiliknya. Derasnya luncuran
kuku demikian sulit terukur. Sampai-sampai, mata
Macan Hitam Betina tak dapat menangkap gerakan-
nya.
Tanpa mau menanggung akibatnya, Macan Hitam
Betina mengerahkan seluruh kemampuan ilmu me-
ringankan tubuhnya untuk menghindari hujaman
kuku-kukunya sendiri. Seketika tubuh sintalnya me-
lenting ke udara seraya berputar seperti seekor
manyar yang pamer dengan gerakan lincahnya.
Namun siapa sangka wanita ini telah terkecoh?
Tak heran Macan Hitam Betina menyangka kalau
lawan ternyata sama sekali belum melempar kuku-
kuku di tangannya. Gerakan melempar tadi dibuat
Pendagel Setan hanya untuk menipu. Jadi, kalau tadi
mata Macan Hitam Betina tak menangkap gerak laju
kuku-kukunya, itu bukan karena kecepatan yang
demikian tinggi! Tapi karena Pendagel Setan belum
melepas kuku-kuku itu.
Saat diudara seperti itu, Macan Hitam Betina bisa
dibilang mati. Di lain pihak, Pendagel Setan meng-
anggapnya sebagai peluang emas. Maka dengan licik,
dilemparnya kuku-kuku yang masih ditangannya. Kali
ini memang benar-benar dilakukan!
Wush! Srrr!
Tampaknya, si pendekar wanita perkasa akan
mengalami nasib mengenaskan, terhujam kukunya
sendiri! Senjata makan tuan?
5
Mati memang selamanya tidak ditentukan manusia.
Kalaupun keadaan mungkin sudah tak memungkin-
kan seorang bisa hidup, dengan keputusan Penguasa
Semesta, hal itu tak akan terjadi.
Tak! Tak!
Pada saat-saat genting, mendadak serbuan empat
potongan kuku yang mengancam nyawa Macan Hitam
Betina tersapu sesuatu di udara. Maka laju menggila
dari kuku-kuku itu kontan terjegal. Kekuatan pem-
bunuh yang terkandung di dalamnya saat itu pula
terpedaya. Penyebabnya hanya oleh empat butir
kerikil kecil yang mendadak meluncur penuh
kekuatan, tepat memapas laju gerak semua kuku!
Seketika, kuku-kuku itu berserakan di tanah.
Jelas, ada orang yang ikut campur tangan dalam
serangan itu. Namun tak sulit untuk mengira,
perbuatan siapa itu. Ya, hasil kerajinan tangan
Pendekar Slebor!
"Bukankah tak jantan jika seorang lelaki harus
bersikap telengas pada lawan yang sudah tak
berdaya? Apalagi lawannya seorang wanita...," kata
Pendekar Slebor, sok berlagak bagai seorang
bijaksana.
Andika keluar dari persembunyian, tak jauh di
belakang calon lawannya.
Terdengar decak pemuda urakan ini kemudian.
"Kalau kau baru saja melakukan itu, aku jadi
sangsi apakah kau masih memiliki kejantanan. Ufh,
maaf! Aku tak bermaksud mengatakan kalau kau
sudah tak memiliki...."
Andika terkekeh memenggal kata-katanya
sebentar.
"Tak memiliki 'gagak' simpanan lagi!" tambah
Pendekar Slebor pedas sekali, berteriak menirukan
suara gagak.
"Akhirnya kau keluar juga dari lubang per-
sembunyianmu...," kata Pendagel Setan, tanpa
menoleh.
Andika mengangkat kening.
Bagaimana tokoh sesat ini bisa mengetahui
kehadirannya secara jelas? Hati pendekar muda itu
langsung bertanya heran. Padahal setahu dia, selama
bertarung dengan Macan Hitam Betina, tak sekalipun
Pendagel Setan memperhatikan tempat persembunyi-
annya.
"Sialan! Apa di belakang kepalanya dia memiliki biji
mata simpanan!" rutuk Andika. "Boleh juga orang
ini...."
"Dari tadi aku menunggumu untuk ambil bagian
dalam dolanan ini. Sayang sekali, sekarang seleraku
susut sudah," kata tokoh aneh ini, enteng.
Andika merasa calon lawannya hendak menyingkir.
Dugaan Pendekar Slebor terbukti. Tanpa sempat
membiarkan Andika melakukan apa-apa, bahkan
untuk satu tarikan napas pun, tangan tokoh bertabiat
ganjil itu bergerak cepat. Dikeluarkannya sesuatu dari
balik baju. Lalu....
Buhs!
Tepat ketika tangan Pendagel Setan menghempas
mengembangkan kepulan asap kelabu pekat,
menyelimuti seluruh tubuhnya beberapa saat.
Menghilangnya kabut kelabu secara perlahan, diikuti
pula oleh lenyapnya tubuh Pendagel Setan!
"Kunyuk buduk atau tengik!" maki Andika jengkel
sekali.
"Belum waktunya kita bertemu, Pendekar Slebor.
Memang aku ingin sekali menggelitiki perutmu atau
mencabuti bulu-bulumu. Tapi, aku harus bersabar.
Karena aku telah mempersiapkan tempat istimewa
untuk kencan kita. 0, ya.... Jangan lupa bawa bunga!
He-he-he!"
Tak lama berselang, telinga pemuda sakti dari
Lembah Kutukan itu menerima kiriman suara dari
kejauhan. Bisikannya begitu halus, seolah-olah
terdengar langsung dari lubang telinga Pendekar
Slebor. Hebatnya, yang mendengarnya hanya Andika.
Tentu saja itu dilakukan dengan keahlian mengirim
suara yang tinggi.
Andika mendengus. Muak sekali tantangan itu
terdengar.
Sepeninggal Pendagel Setan, Andika mendekati
Macan Hitam Betina yang masih berkutat menahan
pedih luar biasa di ujung jari-jari kirinya. Di samping
ingin tahu siapa sesungguhnya si ayu itu, anak muda
mata bongsang ini ingin juga mendekatinya. Bukan-
kah pada kesempatan sebelumnya dia hanya sempat
melewati perempuan berwajah sejuk itu? Kalau
sekarang ada kesempatan buat jadi pahlawan,
tunggu apa lagi? Begitu pikir pendekar urakan ini.
Kucing mana mau menyia-nyiakan daging empuk!
"Biar aku bantu, Nona...," kata Andika, me-
nawarkan jasa.
"Siapa kau?" Wanita ayu itu malah bertanya.
Tatapannya memendam bara kecurigaan.
"Aku? Ah, Nona cukup memanggilku Andika," sahut
Andika, lugas.
"Julukanmu! Aku ingin tahu julukanmu!" bentak
Macan Hitam Betina galak.
Andika tak menyangka wanita berwajah sejuk
seperti dia, ternyata ketusnya seperti setan
perempuan.
"Biarkan aku menolongmu dulu...."
"Tak perlu!"
Andika menggaruk-garuk jidat, menggaruk-garuk
pantat, dan menggaruk-garuk hidung. Mulutnya
cengengesan serba salah. Kalau biji matanya bisa
digaruk, tentu sudah digaruknya pula.
"Jangan cengengesan seperti itu! Kau sudah
melakukan kesalahan, tahu?!" hardik Macan Hitam
Betina. Sepasang bola matanya membesar, meng-
gemaskan.
"Aku melakukan kesalahan? Kesalahan apa?"
tukas Andika.
"Gara-gara kau, manusia busuk itu pergi! Padahal
aku sudah akan membuat remuk batok kepalanya!"
tuding Macan Hitam Betina, sengit.
"Ah! Yang kutahu, kepala kaulah yang hampir
bocor," tukas Andika.
Di samping ketus, ternyata perempuan ini juga
sedikit tinggi hati. Tapi Andika senang. Rasanya sifat
ugal-ugalannya menjadi gatal kalau bertemu makhluk
betina seperti ini.
"Bicara sekali lagi seperti itu, kepalamu akan
menjadi ganti kepala manusia busuk itu!" dengus
Macan Hitam Betina.
"Jangan," sergah Andika. "Rugilah aku kalau begitu.
Kau tahu sendiri, kepalaku jauh lebih bagus daripada
kepala si tengik tadi. Lihat! Betapa tampannya aku.
Sedangkan orang itu, ah! Monyet jelek saja mungkin
masih kalah jelek!"
Andika sengaja melantur. Biasa, sifat urakannya
yang pernah terbentuk sebagai bocah gelandangan
kotapraja dulu mulai kambuh.
"Kau memang minta dihajar, heh!"
"Salah! Yang betul, aku ingin sekali minta di...."
Andika memonyongkan bibir. Matanya dipejamkan.
Dasar buaya!
"Lelaki bajingan!"
Setumpuk kekesalan yang menggelayuti teng-
gorokan, diwujudkan Macan Hitam Betina dengan
meraih batu sekepalan tangan di dekat kakinya. Lalu
langsung dilemparnya wajah Pendekar Slebor.
Didasari rasa gemas, lemparannya pun bukan
sembarangan. Disalurkannya setengah tenaga dalam
tingkat ke sekian. Dia berharap, moncong pemuda di
depannya remuk!
Wukh!
Batu meluncur deras menuju sasaran. Arahnya
begitu tepat menuju bibir Andika yang masih saja
memancung hebat. Dan pemuda urakan itu
tampaknya seperti tak mengindahkan bahaya yang
bisa membuat bibirnya cacat. Dia masih monyong.
Matanya masih terpejam. Apa maunya pemuda
urakan satu ini? Apa dia sudah bosan memiliki wajah
tampan?
Tepat ketika batu itu sudah tinggal sejengkal lagi
dari bibirnya. Andika melengos. Walhasil, batu itu
meluncur terus ke belakang. Jauh ke belakang.
Sampai....
Bletak!
"Wiaaauuu!"
Terdengar teriakan seseorang. Suaranya meng-
gelegar seperti salakan binatang buas dari pojok
bumi. Itu pun kalau bumi ini ada pojoknya.
"Sshiaapaaa yang berani-berani membuat jidatku
bengkak seperti ini!"
Lelaki Berbulu Hitam tahu-tahu muncul di sana
dengan mendekap jidat. Bibirnya meringis-ringis
parah. Sementara matanya mendelik-delik liar,
sepertinya siap menelan siapa saja yang berada di
dekatnya!
Demi melihat wujud mengerikan orang yang baru
muncul. Macan Hitam Betina nyaris memekik. Untung
mulutnya cepat ditutup. Selama turun ke dunia
persilatan beberapa purnama lalu, belum pernah
ditemukannya manusia seseram ini. Saking terkejut-
nya, rasa pedih di ujung jari kirinya terlupakan.
Berbulu hitam. Taring di mulutnya. Tinggi besar. Kalau
bukan raja dari segala raja monyet, barangkali orang
ini setan penunggu keramat yang keluar siang bolong!
Begitu pikir si pendekar wanita.
"Siapa?" ulang Lelaki Berbulu Hitam. Suara laki-laki
ini makin menggelegar, sanggup menggetarkan nyali
siapa pun. Pendekar Slebor sendiri jadi sempat ngeri
juga. Manusia tak waras satu ini tak akan
memandang siapa-siapa, kalau sudah berang. Andika
hanya takut ubun-ubunnya digeragot!
"Oh! Rupanya ada Tuan Penolongjuga di sini."
Kalimat lelaki berdarah setengah serigala itu
berubah melunak, mendapati Pendekar Slebor. Biar-
pun tampak dipaksakan, bibirnya masih berusaha
tersenyum. Akhirnya, yang muncul malah raut wajah
orang telat buang hajat.
"Apa Tuan Penolong tahu, siapa yang telah
melempar batu sembarangan?" tanya Lelaki berbulu
Hitam.
Andika meringis.
"Memangnya akan kau apakan orang itu?" tukas
Andika.
Lelaki Berbulu Hitam memperlihatkan taringnya.
"Akan kukunyah dagingnya! Grrr!"
Melihat itu, maka tubuh Macan Hitam Betina pun
menciut.
Andika melirik. Dia senang sekali menyaksikan si
ayu itu mengkeret seperti karet terjemur. Permainan
usilnya pun diperpanjang.
"Kalau aku jadi kau, Pak Tua. Bukan saja akan
kukunyah daging orang itu! Bahkan akan kujemur
dagingnya untuk persediaan makan selama satu
bulan!" kata Andika memanas-manasi.
"Betul. Tuan Penolong! Akan kujemur dagingnya!
Grrr!"
Macan Hitam Betina makin menciut. Biarpun
menganggap dirinya sebagai pendekar, namun jiwa
kewanitaannya tetap tak bisa dilenyapkan sama
sekali. Kalau dia, berani menghadapi Pendagel Setan,
semata-mata karena kesombongannya yang kelewat.
Macan Hitam Betina menganggap ilmu yang dimiliki
sudah hebat. Padahal, dia tergolong hijau di dunia
persilatan. Masih belum kenyang makan asam
garam. Jadi, tak heran kalau sikapnya begitu.
Memang baru seumur hidup dilihatnya orang se-
mengerikan itu.
Wajah ayu Macan Hitam Betina jadi memucat.
Kalau Andika terus mengompori Lelaki Berbulu Hitam,
sebentar saja tentu wanita ini akan pingsan.
"Jadi, siapa yang telah melempar batu itu. Tuan
Penolong?" desak Lelaki Berbulu Hitam, tak sabar.
Andika melirik lagi Macan Hitam Betina.
Perempuan itu kian memucat.
"Ah! Barangkali batu itu hanya terbawa angin. Pak
Tua...," kata Pendekar Slebor kemudian, melegakan
hati si wanita ayu di dekatnya.
Lelaki Berbulu Hitam menggerutu. Sekarang ke-
berangannya tak bisa ditumpahkan pada siapa-siapa.
Pada angin pun percuma. Bagaimana bisa melabrak
angin?
Kemarahan yang tertahan itu berakibat buruk buat
diri laki-laki berdarah serigala ini. Perutnya jadi
demikian mulas melilit-lilit. Sebentar saja, dia sudah
berlari kembali ke arah kedatangannya.
"Mau ke mana, Pak Tua?!" teriak Andika.
"Sungai!"
"Dasar otak bekas! Mana ada batu sekepal tangan
terbawa angin sepoi-sepoi seperti ini." gumam Andika,
cengengesan.
6
Ada sebuah tempat rahasia yang tersembunyi dari
jangkauan orang-orang persilatan. Tempat yang bisa
dibilang kelewat mengerikan bagi siapa saja. Bahkan
untuk seorang pemberani sekali pun!
Di sana, menghampar luas sebuah padang kering.
Bahkan terlalu kering. Rumput liar yang biasa
sanggup bertahan hidup di tanah gersang, tak
mampu bertahan di tempat tersebut. Dataran yang
lowong. Gundul seperti gurun. Tanahnya berwarna
hitam, terlihat rapuh ketika diterjang angin.
Sementara beberapa batang pepohonan yang
masih berdiri hanya tinggal batang-batang kering.
Cabang dan rantingnya gundul meranggas, seperti
gapaian tangan-tangan makhluk dari alam lain. Di
atas cabang-cabangnya, berhimpun ratusan burung
pemakan bangkai yang bertengger berjajar, seperti
serdadu kematian menanti perang. Warna hitam
mereka seperti menggantikan daun.
Di atas sana, langit diselubungi mega kelam.
Bukan. Gumpalan-gumpalan yang tak beranjak itu
bukanlah awan. Itu tak lebih dari kabut beracun yang
telah mengungkung tempat ini selama ratusan tahun.
Sari pati tanah langka di bawahnya, telah mengikat
secara aneh gumpalan-gumpalan kabut beracun itu.
Dari tahun ke tahun.
Hanya burung-burung pemakan bangkai di atas
cabang-cabang kering yang tetap bertahan hidup,
seakan-akan menjadi penghuni tetap. Jumlah mereka
begitu banyak, mendirikan bulu roma. Mereka
memang telah beranak-pinak. Kadang mereka pergi
bergerombol keluar jika harus mencari mayat untuk
santapan!
Di samping mereka, ada manusia yang juga dapat
bertahan hidup. Kini, dia berdiri memandangi hasil
kerjanya, membangun panggung dari susunan ke-
rangka tulang manusia!
Orang itu tak lain dari Pendagel Setan.
Kerangka terakhir telah ditancapkan ke tanah,
sebagai bagian terakhir dari panggung ganjil meng-
gidikkan yang dibangun selama sekian pekan. Di
salah satu sudut panggung, dia berdiri berkacak
pinggang. Dipandanginya panggung hasil karyanya
dengan kepuasan pekat di mata.
"Semuanya sudah siap. Tempatku membuktikan
diri selaku penguasa rimba persilatan telah ku-
bangun! Tinggal tunggu tamu kehormatanku,
Pendekar Slebor! He-he-he, Pendekar Slebor! Dia aka
tiba di sini pada hari yang kurencanakan untuk
mengantar nyawa! Ya, mengantar nyawa!" kata
Pendagel Setan sesumbar.
Kembali Pendagel Setan memandangi bentangan
tonggak-tonggak tulang manusia berbentuk pang-
gung. Cukup lama, hingga hatinya yang keji merasa
puas.
"Padang Mega Racun! Kau akan menjadi saksi
untukku. Menjadi saksi terbunuhnya pendekar muda
besar tanah Jawa di tanganku. Pada saatnya nanti!"
pekik Pendagel Setan ke segenap penjuru dataran
kerontang di sekelilingnya.
Burung-burung pemakan bangkai di ranting-ranting
pohon kering menyambutinya dengan koakan ramai,
bersama suara kepakan sayap riuh.
Ringan, kaki Pendagel Setan menjejaki tonggak-
tonggak tulang manusia. Satu demi satu, menuju
tengah-tengah panggung ganjil yang dibangunnya.
Setibanya di sana, lelaki itu berdiri untuk beberapa
tarikan napas.
Selanjutnya, kedua tangan lelaki ini bergerak
lamban seirama setiap hembusan napasnya. Selang
berikutnya, sepasang tangan kerempengnya meng-
hasilkan suara berkecipak. Terdengar seperti per-
mukaan air yang dimainkan. Dari gerakan lamban,
tangan itu terus bergerak kian cepat. Cepat dan terus
bertambah cepat.
Pada saatnya, gerak tangan itu membentuk
bayangan sayap seekor burung raksasa. Angin besar
itu terlahir, berputar-putar liar di sekeliling arah gerak
kedua tangan tersebut.
Dua pusaran angin dengan arah berbeda ter-
bentuk sudah. Pusarannya terus meninggi, meng-
gapai kabut pekat beracun. Seperti memiliki ke-
kuatan, pusaran angin ciptaan itu menarik inti racun
dari kabut di atas sana, menuju sepasang tangan
lelaki ganjil itu. Semuanya terserap perlahan, seakan
air terhisap tanah.
Tak lama, tangan Pendagel Setan pun berubah
warna. Warnanya kini seperti kabut pekat di atas.
Kelabu dan terus makin kelabu. Lalu...
"Khhh!"
Drrrttt!
Dari kebutan sepasang tangan yang terus bergerak
itu, meluncur deras hawa kasap mata menuju satu
sasaran.
Trash! Zhhh!
Seketika kawanan burung pemakan bangkai se-
batang pohon beterbangan kacau seperti baru
digebah angin ribut. Dan memang, pohon kering
besar itu telah menjadi sasarannya. Sebentar batang
kokoh pohon tersebut bergetar seperti baru saja ada
gempa. Begitu angin melewatinya, seluruh kulit pohon
itu terkelupas bersamaan! Tak hanya itu. Serat-serat
kayu bagian dalamnya pun turut bertebaran.
"Lihatlah, kawan-kawanku!" seru Pendagel Setan
pada seluruh burung pemakan bangkai yang setia,
memperhatikan gerak-geriknya. "Dengan sempurna-
nya tenaga 'Kepak Racun Pemakan Bangkai'-ku,
tubuh Pendekar Slebor akan kubuat bernasib sama
dengan pohon itu!"
Lagi-lagi binatang-binatang menjijikkan di atas
sana menyambuti seruan Pendagel Setan dengan
koakan serta kepakan sayap yang ramai.
"Nah! Kini, tibalah kalian menjalankan tugas!"
Pendagel Setan melanjutkan seruannya pada
seluruh burung pemakan bangkai di sana.
Dari tengah-tengah panggung ganjil miliknya,
tubuh kerempeng itu melompat ringan jauh ke depan.
Lalu manis sekali dia hinggap kembali sekitar lima
belas tombak dari tempat semula. Di sana, tepat di
bawah kakinya, sudah tersedia tumpukan gulungan-
gulungan kecil tanah berwarna hitam.
Plokk!
Pendagel Setan bertepuk tangan sekali.
Tampaknya, tepukan itu amat berarti bagi
kawanan burung di atas ranting-ranting pepohonan
kering. Satu persatu binatang-binatang itu terbang
menuju ke arah Pendagel Setan. Ketika tiba, tangan
Pendagel Setan menjemput satu gulungan tanah
hitam, lalu melemparkannya kepada burung tadi.
Saat itu juga burung itu mencengkeram tanah
hitam, dan segera terbang ke angkasa, meninggalkan
Padang Mega Racun. Satu persatu begitu. Sampai
seluruhnya menghilang di balik kabut kelabu pekat.
'k 'k 'k
"Hei, jangan pergi!"
Andika mengurungkan langkahnya. Kepalanya
menoleh ke arah Macan Hitam Betina dengan
tatapan gemas.
"Tadi kau menolak niat baikku menolongmu.
Sekarang, ketika aku mau pergi, kau malah menahan-
ku! Jadi apa maumu sebenarnya heh?!" tanya Andika,
sewot.
"Aku mau kau mengatakan siapa dirimu se-
sungguhnya!" tandas Macan Hitam Betina.
Memang, sejak Andika keluar dari persembunyian
tadi, wanita itu masih saja ngotot ingin mengetahui
julukannya.
"Yang pasti, aku bukan siluman pasar burung.
Atau, tengkulak kebun singkong. Atau, monyet lupa
diri...."
"Diam!"
"Atau kecoak jompo...," kata Andika seraya me-
lanjutkan langkah santai.
"Diam!"
"Atau..., perempuan brengsek seperti kau!" Andika
berbalik lagi dengan mata melotot.
Dongkol setengah mampus dia diperlakukan
seperti anak tiri seperti itu.
"Kau benar-benar mau tahu siapa aku?!" hardik
Pendekar Slebor keras-keras, sampai otot-otot di
lehernya seperti hendak meletus.
"Katakan kalau kau tak ingin mampus di tangan-
ku!" teriak Macan Hitam Betina, tak kalah keras.
"Aku...."
"Tuan Muda!"
Mendadak seseorang menjegal niat Andika. Dari
arah tenggara, datang tergopoh-gopoh petani tua.
Tubuhnya masih berlumur lumpur sawah. Masih
basah. Besar kemungkinan, dia baru saja meninggal-
kan pekerjaannya. Menilik parasnya, orang itu
tampaknya sedang dicekam ketakutan.
"Apa Tuan Muda seorang pendekar?" susul petani
tua itu tergesa.
Tahu keadaan mendesak, Andika tak ingin ber-
lama-lama lagi. Dianggukinya pertanyaan si bapak
petani cepat.
"Ada apa, Orang Tua?" tanya Andika.
"Di desa..., di Desa Wetan...."
"Perlahan-lahan, Orang Tua. Biar aku bisa jelas
mengerti keadaannya."
"Ah! Aku sulit menjelaskannya, Tuan Muda.
Sebaiknya Tuan Muda ikut aku segera," pinta si
petani tua mendesak.
"Baik!" sahut Andika mengangguk mantap.
Petani tua ini cepat beranjak. Dan Andika meng-
ikuti dari belakang.
"Tunggu! Aku ikut!" ujar Macan Hitam Betina
belakang Andika.
'k 'k 'k
Andika, Macan Hitam Betina, dan si petani tua tiba
di pinggir desa yang dimaksud. Di pematang sawah
yang tergelar megah sepanjang tepi desa, mereka
berdiri menatap langit. Petani tua telah menunjukkan
sesuatu pada Andika clan Macan Hitam Betina.
"Ah! Bukankah itu hanya awan mendung saja.
Orang Tua?" kata Andika, menyaksikan gerombolan-
gerombolan kecil awan kelabu berarak terpisah
angkasa. "Tapi, tunggu...."
Andika langsung menajamkan pandangan.
"Memang aneh," bisik Pendekar Slebor kemudian.
"Benar, Tuan Muda. Gumpalan-gumpalan awan
kelabu itu selalu mengikuti ke mana kawanan burung-
burung pemakan bangkai melayang."
"Benar, Orang Tua," dukung Andika. "Lalu, kenapa
keanehan itu membuat kau merasa harus mem-
beritahukan aku, Orang Tua?"
"Karena sekitar lima belas tahun silam di Desa
Wetan ini terjadi hal yang sama," papar si petani tua.
"Dan apa Tuan Muda ingin tahu kejadian selanjut-
nya?"
Andika mengangguk. Sementara Macan Hitam
Betina di sisinya menampakkan wajah sungguh-
sungguh, menanti kelanjutan cerita petani tua itu.
"Puluhan warga desa mati dalam satu hari!"
"Apa sebabnya, Orang Tua?" selak Matan Hitam
Betina. Mulut ketusnya rupanya tak bisa ditahan lagi.
"Arakan-arakan awan yang mengikuti kawanan
burung pemakan bangkai itu ternyata mengandung
racun mengerikan! Begitu tiba di atas desa kami,
kabut itu menurunkan semacam embun tipis ke
segenap penjuru desa. Siapa saja yang menghirup,
akan mati di tempat. Keadaan seluruh korban begitu
menggidikkan..» Tuan-tuan Muda mau tahu, apa yang
terjadi?"
"Mau, mau!" terjang Macan Hitam Betina bernafsu.
"Mereka mati dengan tubuh menjadi rapuh! Ihhh!
Bayangkan saja, tubuh mereka bahkan dengan
mudah dipreteli kawanan burung-burung pemakan
bangkai. Sepertinya daging dan tulang mereka telah
berubah selunak lumut!" papar orang tua ini.
Andika bergidik. Terlebih perempuan di sebelah-
nya.
"Kebetulan waktu itu ada beberapa pendekar yang
singgah di desa kami. Mereka berusaha mencari
tahu, apakah semua itu hanya kejadian alam biasa.
Atau, perbuatan seseorang. Sebelum tahu apa yang
sesungguhnya tengah berlangsung, mereka semua
ditemukan tewas di tengah sawah," lanjut orang tu ini.
Lelaki berkulit gesang itu berhenti sebentar.
Tampaknya dia pun nyaris tak bisa menguasai rasa
ngeri yang melata liar dalam dirinya
"Salah seorang yang sekarat sempat member-
tahukan pada kami, bahwa kejadian itu adalah
perbuatan seorang wanita yang terusir dari desa.
Sayang, sebelum semuanya jadi jelas, ajal men-
jemputnya...."
Andika menatap kembali langit di atas sana. Laju
gumpalan-gumpalan kabut kelabu di atas sana kian
dekat ke arah Desa Wetan, bersama meluncurnya
kawanan burung pemakan bangkai tepat di bawah
gumpalan-gumpalan kabut. Matanya menyempit.
Kerutan tegang terlihat.
Kalau Andika memperhatikan keadaan para
korban dalam cerita bapak tua tadi, didapatinya ada
kemiripan dengan korban perbuatan Pendagel Setan
beberapa waktu sebelumnya. Tapi, kenapa pendekar
sekarat dalam cerita si petani tua justru mengatakan
bahwa kejadian itu didalangi seorang wanita? Lalu
apa kaitannya dengan peristiwa kini? Apa pula
kaitannya dengan Pendagel Setan? Andika belum
bisa menemukan titik terang dalam masalah ini.
Semuanya masih samar baginya.
"Begini saja, Orang Tua. Sebaiknya cepatlah pergi
ke desa. Ingatkan mereka untuk segera mengungsi
ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, aku akan
mencoba semampuku menghalangi gumpalan-
gumpalan kabut beracun itu, kalau bisa akan kucoba
menyingkirkannya...," ujar Andika mantap.
"Bagaimana denganku?" tukas pendekar wanita di
dekatnya.
"Kau? Sebaiknya cepat mencari kain gombal, lalu
sumpal mulutmu!"
Andika memang masih menyimpan kejengkelan-
nya pada Macan Hitam Betina.
7
"Koakk! Koakk!"
Angkasa dicemari teriakan-teriakan memekakkan
kawanan burung pemakan bangkai. Berjumlah
ratusan. Mereka telah tiba di atas desa yang dituju.
Desa yang lima belas tahun lalu telah menjadi
korban, kini hendak dimangsa kembali!
Seperti cerita bapak petani tua, saksi hidup
kejadian terdahulu, kawanan burung pemakan
bangkai itu akan menggiring gumpalan-gumpalan
kabut beracun menuju atas desa. Di beberapa sudut
desa, beberapa ekor burung melepaskan gulungan
tanah sehitam jelaga dari cakarnya. Gulungan tanah
sebesar kepalan tangan itu meluncur jatuh, siap
menebar bencana. Demikian pula kejadian di
beberapa sudut lain.
Sesungguhnya, bukan gulungan tanah hitam itu
yang mengancam nyawa penduduk. Melainkan, awan
pekat kelabu di atasnya. Seperti diketahui, gulungan-
gulungan tanah itu berasal dari Padang Mega Racun
yang memang jenis tanah langka. Dan tanah itu
memiliki daya tarik kuat ke bawah, terhadap
gumpalan-gumpalan kabut yang mengandung racun
tertentu.
Seperti daya pada besi sembrani yang bisa
menarik besi lain.
Maka, jika gumpalan-gumpalan tanah itu dijatuh-
kan di tempat tertentu akan ada gumpalan-gumpalan
kabut beracun di angkasa! Kabut beracun itulah yang
telah membantai puluhan bahkan ratusan warga
Desa Wetan ini, lima belas tahun silam! Dan kali ini,
gumpalan-gumpalan kabut racun itu pun siap
menebar maut.
Di atas sana, para makhluk yang telah andil meng-
giring kabut tersebut melayang-layang tiada henti.
Mereka terbang dalam gerak bergairah menebar
kematian. Bukankah mereka hanya menunggu
beberapa saat untuk mendapatkan limpahan
makanan lezat bagi mereka yang berupa bangkai-
bangkai manusia!
Benarkah mereka akan segera merayakan pesta
besar? Tidak! Sebelum mereka tiba, nyatanya pen-
duduk desa telah berhasil diungsikan secepatnya,
atas pemberitahuan petani tua tadi. Desa kini
menjadi melompong. Suasana senyap meraja. Jalan-
jalan lengang. Yang jelas, desa itu berubah menjadi
desa mati tak berpenghuni.
Senja datang perlahan. Ketika itu, bobot kabut
kelabu pekat yang menggelantung di angkasa men-
jadi lebih berat. Lambat tapi pasti, gumpalan-
gumpalan itu merayap turun dari angkasa, menjamah
hampir segenap bagian desa. Jalan-jalan menjadi
ladang kabut. Begitu juga pekarangan-pekarangan
rumah penduduk, kebun-kebun, atau petak-petak
tempat bermain para bocah.
Binatang-binatang ternak yang tak sempat dibawa
mengungsi mengalami nasib naas saat itu juga.
Mereka bergelimpangan di sana sini, dalam lautan
kabut yang menggerayang lamban namun me-
matikan.
Tak lebih dari empat tarikan, kabut beracun tadi
telah berhasil melempar keluar nyawa binatang-
binatang ternak malang dari jasadnya. Ayam,
kambing, bahkan seekor kerbau jantan kekar sekali
pun. Lalu, bagaimana bila manusia?
Kalau hanya sampai di sana, mungkin tak terlalu
menggidikkan. Namun daya kerja racun yang dibawa
kabut tadi rupanya tak berhenti sampai di situ saja.
Setelah tubuh binatang-binatang mangsanya ber-
gelimpangan, secara lambat kekenyalan daging serta
kekerasan tulangnya mulai digerogoti. Tak lama,
daging dan tulang bangkai-bangkai itu menjadi
demikian rapuh. Begitu rapuh, sampai tiupan angin
sepoi-sepoi pun mampu menerbangkan bulu-bulu
mereka. Atau lebih mengerikan lagi, dapat membuat
kulit terkelupas!
Lebih mengerikan dari itu, ternyata kejadian itu
berlangsung ketika korban sedang sekarat. Artinya,
mereka akan begitu tersiksa luar biasa, saat bagian
demi bagian tubuh terlepas dan terkelupas!
Itulah kedahsyatan racun dari Padang Mega
Racun, tempat Pendagel Setan menyempurnakan
ilmunya, sekaligus tempat nanti Pendekar Slebor
akan ditantang mengadu jiwa! Itu berarti, sebentuk
tantangan amat berat akan dihadapi pendekar muda
dari tanah Jawa itu. Sebab, di samping kesaktian
lawan yang belum lagi dapat diukur, racun di padang
tersembunyi itu pun akan menyambutnya....
Sementara itu, sesosok tubuh tak dikenal me-
masuki wilayah desa maut tadi. Langkahnya lambat.
Dan amat ringan. Bahkan gerak kabut pun masih
kalah ringan. Cahaya senja yang sekarat dan tebalnya
kabut, membuat perawakan orang itu jadi tidak begitu
jelas. Yang pasti, dia bukanlah Pendagel Setan.
Sosok itu terus berjalan lurus. Sekilas ekor jubah
panjang hitamnya melambai lamban mengikuti irama
lagkahnya. Rambutnya sepanjang bahu. Sulit untuk
menentukan, apa warnanya.
Tiba di tengah-tengah desa, sosok itu meng-
hentikan langkah. Ditatapnya bangkai-bangkai
binatang tanpa gerak. Lama dia begitu, sampai
akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkah.
Siapa orang itu?
Lalu, ke mana Andika? Bukankah anak muda itu
sebelumnya berniat akan menghadang gerak
gumpalan kabut? Ternyata, dia tak berhasil. Jadi, apa
yang telah terjadi?
Senja makin tua digerogoti waktu. Hari mulai
meredup. Matahari kian terpuruk.
"Tuan Penolong! Hoi, Tuan Penolong! Kemana
kau?!"
Lelaki Berbulu Hitam memangil-manggil Andika.
Manusia berdarah setengah serigala itu tampak
berjalan celingukan di tempat Andika dan Macan
Hitam Betina sebelumnya.
Mulas di perutnya sudah dapat dienyahkan. Di
samping karena 'persediaan'nya sudah terkuras, juga
karena keberangannya menguap. Padahal, kepalanya
masih benjut sebesar telur angsa.
"Ah! Ke mana dia? Kenapa aku ditinggal begitu
rupa!"
Taring Lelaki Berbulu Hitam menyembul. Sifat
berangasannya pasti bakal mencelat lagi, kalau
bukan Andika yang sedang dicarinya.
"Tuan Penolong! Di mana kau? Beritahu aku! Apa
kau dongkol padaku?! Aku janji tak akan buang hajat
lagi sepanjang hayat, supaya Tuan tidak dongkol lagi
padaku!"
Alis lembut Lelaki Berbulu Hitam terungkit.
Sambil memegangi pantatnya, mulutnya meringis
kecut. Laki-laki kekar berbulu ini berpikir, bila tidak
buang hajat sepanjang hayat, apa nanti tidak
sengsara?
"Eh! Maksudku bukan itu, Tuan Penolong!
Maksudku, aku janji tak akan pernah lagi buang hajat
di sungai!" ralat Lelaki Berbulu Hitam terburu-buru,
seolah takut sumpah sebelumnya jadi telanjur.
"Maaf, Kisanak!"
Mendadak terdengar teguran dari belakang. Lelaki
Berbulu Hitam menoleh. Tampak di depannya lelaki
tua telah berdiri di belakangnya. Usianya tujuh
puluhan. Berjubah hitam pudar yang tampaknya tak
kalah tua dengan pemiliknya. Tubuhnya tak terbilang
renta, jika dibanding usianya. Kumisnya putih tipis tak
terawat, seputih rambutnya yang memanjang hingga
bahu. Orang tua itulah yang tampak di desa korban
keganasan racun di Padang Mega Racun.
Tahu kalau bukan Andika yang menegurnya, acuh
saja Lelaki Berbulu Hitam meneruskan langkahnya.
"Maaf, Kisanak. Bisakah kau berhenti sejenak?
Aku ingin sedikit bertanya padamu," tegur orang tua
itu kembali.
"Aku sedang mencari seseorang!" sahut Lelaki
Berbulu Hitam, ketus dan sambil lalu.
"Tapi, bukankah tak rugi bila sedikit menolongku,
Kisanak," usik orang tua itu kembali. Nada ramah
ucapannya masih terjaga.
"Aku tak peduli," tandas Lelaki Berbulu Hitam.
Orang tua itu menyusul. Langkah Lelaki Berbulu
Hitam dijajarinya dengan ringan.
"Maaf sekali lagi, Kisanak. Aku ingin bertanya
untuk keadaan yang begitu mendesak. Ini
menyangkut keadaan genting yang bisa merenggut
korban nyawa," lanjut orang tua itu tak menyerah.
Lelaki Berbulu Hitam menggeram. Dipenggalnya
langkah kakinya. Dengan mata membesar, ditatapnya
orang tua tadi.
"Apa kau tak dengar perkataanku tadi. Aku bilang,
aku tak peduli. Yang aku peduli, aku mesti
menemukan Tuan Penolongku!" tegas Lelaki Berbulu
Hitam.
Orang tua berjubah hitam itu mengangkat tangan.
Bibirnya tersenyum ramah, sekaligus sejuk.
"Baik..., baik.... Begini saja, Kisanak. Kalau kau
sudi menjawab pertanyaanku, maka aku akan mem-
bantu mencarikan orang yang kau cari. Bagaimana?"
Lelaki menyeramkan berdarah serigala yang di-
tawari malah menatap tajam. Parasnya seperti seekor
serigala lapar hendak menelan mangsa hidup-hidup.
Memang susah berurusan dengan orang semacam
dia. Kalau maunya hitam, ya mesti hitam. Tak bisa
putih. Apalagi loreng!
"Kau pikir aku butuh pertolonganmu?! Grrr!"
Geraman Lelaki Berbulu Hitam pun meluncur.
Orang tua berjubah hitam tetap tenang. Dia hanya
mengangkat bahu.
"Baiklah. Aku akan bertanya pada orang lain saja
kalau begitu."
"Bagus, grrr...."
"Aku mohon pamit," hatur si orang tua.
"Tidak bagus!" bentak Lelaki Berbulu Hitam,
memaksa orang tua tadi mengurungkan niatnya.
"Apa maksudmu?"
"Kepalamu harus kukepruk dulu!"
Bibir keriput orang tua berjubah hitam mem-
perlihatkan senyum samar.
"Kenapa kau hendak mengeprukku? Bukankah
aku tak berbuat salah?"
"Siapa bilang?! Kau telah memancing ke-
beranganku! Kau tahu, apa artinya itu?"
Si orang tua mengangkat bahu.
"Kalau kau tak kuhajar, itu artinya bakal membuat
perutku mulas lagi."
Sekali lagi kening orang tua berjubah hitam
dipaksa berkernyit. Apa hubungannya perut mulas
dengan semua ini?
"Dan kalau perutku mulas, aku harus buang hajat
lagi," susul Lelaki Berbulu Hitam.
Si orang tua mulai merasa orang berpenampilan
seram ini sudah tak waras. Ucapannya makin ngalor
ngidul tak karuan.
"Kalau aku buang hajat lagi, berarti Tuan Penolong
akan makin dongkol padaku. Dan kalau Tua Penolong
dongkol padaku, aku tak akan diizinkan bertemu lagi
dengannya. Dan kalau tak diizinkan bertemu lagi
dengannya, aku bakal tak sembuh. Dan kalau aku tak
sembuh...."
"Baik..., baik!"
Cerocos yang tak sempat diselingi tarikan napas
itu cepat-cepat dihentikan si orang tua. Masalahnya
dia merasa jadi ikut sinting kalau terus menyimak
ucapan ngelantur yang tak dimengerti itu.
"Kalau aku punya salah, aku minta maaf," lanjut
orang tua itu.
"Grrr! Tak bisa begitu!"
Wukh!
Tahu-tahu saja, tangan setebal badan ular sanca
hutan Lelaki Berbulu Hitam ngeloyor deras ke kepala
si orang tua. Jaraknya cukup jauh. Namun, orang tua
berjubah hitam dibuat terkesiap mendapati angin
pukulan berkekuatan hebat dihasilkan gerakan
tangan Lelaki Berbulu Hitam.
Si orang tua cepat menangkis. Dia tahu, apa
akibatnya kalau pelipisnya sampai terhajar tinju besar
Lelaki Berbulu Hitam.
Plak!
Tangan mereka berbenturan. Si orang tua ter-
dorong beberapa tindak ke belakang. Sungguh tak
dikira kalau tenaga lawan jauh lebih kuat dari
perkiraannya. Pergelangan tangannya pun terasa ber-
denyut-denyut.
"Kau tak boleh menangkis! Jangan buat aku
berang!" dengus Lelaki Berbulu Hitam.
"Bagaimana aku tak menangkis kalau pelipisku
bakal remuk oleh kepalanmu?" sanggah si orang tua.
"Kalau begitu, kita berkelahi! Berkelahi!"
Memangnya tadi itu apa? Rutuk orang tua ber-
jubah hitam dalam hati.
Wesss!
Satu terjangan seekor serigala dilakukan Lelaki
Berbulu Hitam. Wajar saja gerakan itu sering dilaku-
kan tanpa sadar kalau sedang marah, mengingat dia
dibesarkan oleh sepasang serigala hutan besar. Dan
kuku panjang hitamnya pun menebas udara, menuju
dada.
Si orang tua tak mau membuat kesalahan kedua.
Dia masih belum yakin telah dapat mengukur tingkat
kekuatan lawan. Karena itu, tak dipapakinya
sambaran tangan, namun hanya menyampingkan
badan.
Sambaran yang berhasil dimentahkan makin
menyuburkan keberangan Lelaki Berbulu Hitam.
Kakinya segera membuat tendangan kasar melingkar.
Orang tua berjubah hitam memanfaatkan ruang
kosong di bawah kaki lawan. Tubuhnya cepat
merunduk. Merasa dirinya terancam, dia pun merasa
harus melakukan serangan balasan. Punggung
tangannya dikibaskan ke selangkangan Lelaki
Berbulu Hitam amat cepat.
Cletat!
"Whiaaauuu!"
Tak alang kepalang, Lelaki Berbulu Hitam me-
mekik nyaring. Dua bola rahasia di balik celananya
kontan perih berdenyut-denyut. Perutnya sampai
dibuat mual. Sikap meremehkan lawan yang tampil
renta di matanya membuatnya ceroboh.
Tubuh bongsor Lelaki Berbulu Hitam melintir-lintir
serabutan. Tangannya mendekap 'mesra-mesra' milik-
nya yang paling berharga di seantero jagi raya!
"Akan kumamah dagingmu, Jompo Keparat!" maki
Lelaki Berbulu Hitam di antara erangan dan geraman.
"Ada apa ini?!"
Suasana panas pemicu pertarungan besar men-
dadak dipadamkan oleh sebuah teguran. Lelaki bulu
Hitam mengurungkan niat hendak menerkam
tengkuk orang tua berjubah hitam dengan taringnya,
meski 'kelereng' kesayangannya masih sakit sampai
ulu hati, meski keberangannya sudah naik sampai
ubun-ubun, bahkan meski dunia sedang kiamat, dia
memang harus menghentikan serangan. Soalnya,
yang telah berdiri tidak jauh dari situ bukan orang
sembarangan baginya. Dia ternyata Andika, anak
muda yang dikira bisa mengenyahkan sifat pem-
berangnya.
"Ke mana saja kau, Pak Tua Bulu? Aku
kelimpungan mencarimu kian kemari! Apa kau tak
tahu aku membutuhkan pertolonganmu?!" sembur
Andika sewot.
Sewaktu mengatakan pada petani tua hendak
menahan gerak burung-burung penggiring kabut
beracun, Pendekar Slebor berpikir untuk meminta
bantuan Lelaki Berbulu Hitam. Sesepuh sakti seperti
dia, biarpun kurang waras, agaknya masih bisa
diandalkan bantuannya. Tapi sewaktu kembali ke
tepian sungai, Lelaki Berbulu Hitam sudah raib. Yang
menjengkelkan, Andika malah hanya menemukan
bau busuk sekawanan dedemit!
"Tuan Penolong dari mana saja?!" sambut Lelaki
Berbulu Hitam.
Semestinya wajah penuh bulu itu memperlihatkan
raut gembira. Karena suasana sedang panas.
Wajahnya malah seperti hendak memusuhi Andika.
"Sudah kubilang tadi, aku mencari-carimu, Pak Tua
Bulu. Aku butuh pertolonganmu!" sahut Andika.
"Tidak usah, Tuan Penolong...."
"Tak usah apa?!" sentak Andika, naik darah. "Ini
persoalan nyawa banyak penduduk desa!"
"Bukan itu, Tuan Penolong."
"Jadi apa?!"
"Tak usah memanggilku 'Pak Tua Bulu'.
Kedengarannya terlalu jelek. Kedengarannya mirip-
mirip 'ulat bulu', atau mirip...."
"Ah! Siapa yang peduli," gerutu Andika. "Ayo,
sebaiknya cepat ikut aku!"
"Tak usah tergesa, Andika," sapa orang tua ber-
jubah hitam. Mengherankan! Ternyata dia mengenali
pendekar muda dari Lembah Kutukan!
Andika menoleh. Sejak tiba tadi, dia kurang
memperhatikan siapa lawan Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Slebor terlalu digerecoki kedongkolan pada
manusia kelebihan bulu itu. Di samping itu, hari
memang sudah semakin senja. Kegelapan mulai
merambah.
"Apa aku tak salah lihat?" gumam Andika.
Dengan terpana, Andika menatap orang tua tadi.
Wajah itu pernah dikenalnya. Bukan hanya kenal.
Bahkan Andika pernah begitu dekat. Seperti dekatnya
seorang cucu pada sang eyang.
"Ki Patigeni?" bisik Andika tak yakin.
Orang tua yang dipanggil Ki Patigeni membuka
lebar-lebar kedua tangannya.
"Kau kira siapa? Apa aku mirip hantu salah jalan?"
gurau orang tua ini enteng.
Kontan saja Andika memburu. Didekapnya orang
tua itu padat kerinduan. Dia seperti bertemu orang
yang dianggapnya sudah tak akan pernah lagi
dijumpai. Sementara Ki Patigeni menyambutnya
dengan pelukan tak kalah hangat. Sesaat mereka
saling mengguncang-guncangkan badan seraya ter-
bahak-bahak ramai.
Ki Patigeni adalah salah seorang rekan seper-
juangan Andika. Dia yang membantu Andika dalam
kejadian beberapa tahun silam, ketika dunia per-
silatan digegerkan oleh kemunculan Ratu Racun.
(Baca kisahnya dalam episode: "Geger Ratu
Racun").
"Ceritakan tentang kabarmu, Ki!" pinta Andika
meletup-letup.
Sesaat Pendekar Slebor jadi terlupa dengan
kejadian di desa. Bagaimana dia tidak begitu? Sebab
selama ini Andika tahu kalau Ki Patigeni telah mati
terkena salah satu racun ganas Ratu Racun. Kalau
sekarang bertemu, betapa mengejutkan baginya.
"Tuan Penolong," sela Lelaki Berbulu Hitam.
Andika mengira manusia langka satu itu ingin
diperkenalkan dengan Ki Patigeni.
"O, iya, Ki. Perkenalkan ini..."
"Bukan itu, Tuan Penolong," potong Lelaki Berbulu
Hitam. "Aku hanya mau tanya, bolehkah aku pergi ke
sungai lagi?" pinta Lelaki Berbulu Hitam memelas.
Gara-gara tak jadi mengepruk batok kepala Ki
Patigeni, perutnya jadi ngadat lagi!
8
Malam tak lagi gulita. Api unggun membubung,
membentuk tarian aneh membunuh gelap di tempat
Andika bertemu Ki Patigeni. Kedua orang itu kini
sedang hangat bercakap-cakap. Sementara Lelaki
Berbulu Hitam sudah sejak lepas senja tadi
bersemadi di semak-semak.
Di balik batu besar sekitar tujuh delapan tombak
ke selatan, seorang wanita mengintip. Dia adalah
Macan Hitam Betina. Sewaktu di pinggir desa siang
tadi. Andika meninggalkannya pergi begitu saja.
Pendekar wanita ketus itu berusaha menguntit. Tapi,
jangan harap Andika bisa dikejar dengan mudah.
Tentu saja, karena di dunia persilatan ilmu meringan-
kan tubuh Pendekar Slebor masih berada dalam
jajaran atas. Sementara, Macan Hitam Betina cuma
seorang pendekar wanita tergolong bau kencur.
Di samping kedigdayaannya masih tanggung.
Pengalamannya pun masih seujung kuku.
Andai tahu siapa yang dikejarnya saat itu, tidak
akan mau Macan Hitam Betina melakukan pekerjaan
bodoh itu. Setelah kehilangan jejak dan be-putar-
putar tak menentu hingga malam hari. Pendekar
Slebor baru bisa ditemukannya lagi. Dan api unggun
telah menolongnya sampai di tempat itu.
Macan Hitam Betina segera menguping per-
cakapan Andika dan Ki Patigeni. Dua lelaki bertaut
usia itu sedang membincangkan kenangan lama
mereka, saat berurusan dengan Ratu Racun.
Mereka membicarakan segalanya. Termasuk, tipu
muslihat Ki Patigeni. Andika pernah dikecohnya
dengan berpura-pura mati. Seperti Pendekar Lembah
Kutukan buyut Andika pernah pula mengecoh anak
muda itu di Lembah Kutukan (Baca episode:
"Dendam dan Asmara") Orang tua itu melakukannya,
karena berharap Andika kian memendam tekad untuk
menumpas Ratu Racun. Tipuannya demikian
sempurna. Bahkan Andika sendiri yang mengubur-
kannya waktu itu.
"Ah! Tanpa kau berpura-pura mati pun, aku tetap
memiliki tekat sebulat telur monyet dalam menumpas
setiap kebatilan! Ha-ha-ha!" tukas Andika, bergurau
pada Ki Patigeni.
"Tapi aku jadi tak habis pikir, kenapa Pendekar
Slebor yang digembar-gemborkan berotak seencer
bubur bayi, masih bisa kutipu. Bukankah kau tahu,
aku pernah mengalahkan guru Ratu Racun? Kalau
begitu, mestinya kau berpikir aku tak akan begitu
mudah ditamatkan oleh racun muridnya?" cemooh Ki
Patigeni. Seperti dulu, dia suka mencemooh Andika
sambil bergurau.
"Apa?! Jadi kau ini Pendekar Slebor yang meng-
gemparkan itu?!"
Mendadak saja terdengar seruan kaget dari balik
batu. Ketika Pendekar Slebor dan Ki Patigeni
menoleh, tampak Macan Hitam Betina keluar dari
persembunyiannya. Sejak Andika berkumpul dengan
Ki Patigeni dan Lelaki Berbulu Hitam, dia terus
menguntit. Wanita sok tahu itu curiga dengan
mereka.
"Kau lagi...," gerutu Andika. "Kenapa tak enyah saja
jauh-jauh dari tempat ini?"
Wanita ayu itu mendekati Andika dengan sinar
mata berbinar-binar. Bertolak-belakang sekali dengan
sebelumnya. Wajahnya pun kini berhias senyum
malu-malu. Mekar seperti bunga.
"Aku rasanya harus minta maaf padamu...," kata
Macan Hitam Betina di depan Andika. Sikapnya serba
salah. Telapak tangannya terus digosok-gosokkan.
Sewaktu bicara, pandangannya tak berani bertemu
dengan pandangan Andika.
"Aku tak mengerti maksudmu?" tukas Andika.
"Maksudku, aku minta maaf. Kemarin aku telah
begitu lancang," ucap Macan Hitam Betina, menjelas-
kan.
"Siapa bilang kau lancang? Kau cuma brengsek,
ketus, angkuh, dan sok tahu!"
"Ah! Jangan begitu..., Pendekar Slebor. Kemarin
kita cuma salah paham. Kalau tahu kau ternyata
pendekar besar, tak akan aku berbicara
sembarangan..."
Andika mencibir. Jelek sekali.
'k 'k k
Siang terik.
Empat orang memasuki desa siang itu. Sepi
mengungkung. Tak seorang penduduk pun yang
berani pulang. Mereka masih cemas dengan kabut
beracun maut yang masih mengepung desa.
Tak seperti kemarin senja, kabut kelabu sudah tak
bergentayangan lagi. Panggangan panas matahari
telah menyebabkan bobot kabut menjadi ringan.
Semuanya perlahan-lahan menguap ke angkasa, ber-
kumpul kembali membentuk gumpalan-gumpalan
mirip awan mendung. Dan jika hari menjadi senja,
ancaman maut kabut tersebut siap turun kembali
mengepung setiap sudut desa.
Kemari sore, ketika Andika hendak mengajak
menyelidik desa, Ki Patigeni mencegahnya. Pada
Andika dikatakan, bahwa sampai saat itu tak ada
korban manusia. Dan pemuda ini tak perlu khawatir.
Di samping itu, Ki Patigeni punya rencana lain. Sebab
itu, mereka pun menghabiskan malam dengan mem-
buat api unggun di tempat yang sama, untuk
menunggu siang tiba.
Pendekar Slebor, Lelaki Berbulu Hitam, Ki Patigeni,
serta Macan Hitam Betina yang belakangan mengaku
bernama asli Cempaka, memutuskan untuk me-
masuki desa. Ki Patigeni yang banyak tahu tentang
racun, mengatakan bahwa pada siang terik seperti
saat itu, mereka bisa memasuki desa.
Sesuai petunjuk Ki Patigeni pula, mereka mulai
menyingkirkan seluruh gulungan-gulungan tanah
hitam sebesar kepalan tangan yang memenuhi
beberapa wilayah desa.
Tak mudah mereka melakukan pekerjaan seperti
itu. Karena, mereka harus memindahkan seluruh
benda penyebab mengambangnya kabut racun di
atas desa ke tempat yang dianggap aman. Satu-
satunya tempat sementara yang jarang diinjak
penduduk desa hanya hutan lebat di sebelah
tenggara desa. Namun jaraknya hampir seperempat
hari untuk sampai ke sana.
Dengan sedikit memutar otak encernya, Andika
mendapat jalan yang dapat mempermudah mem-
percpat pekerjaan itu. Dengan peti-peti kayu bekas
tempat telur yang didapat dari sebuah gudang milik
penduduk, mereka menghanyutkan seluruh gulungan
tanah langka itu. Kebetulan, sungai yang sempat
dicemari 'limbah' milik Lelaki Berbulu Hitam
memotong hutan sebelah tenggara. Agar tak terus
terbawa arus, Andika meminta Macan Hitam Betina
untuk menunggu seluruh peti di dalam hutan. Wanita
itu pula yang akan mengumpulkan seluruh gulungan
tanah ke tempat teraman.
Ketika sebagian demi sebagian gulungan tanah
dihanyutkan, maka sebagian demi sebagian kabut
kelabu di angkasa pun bergerak mengikuti arah arus
sungai.
Dengan disingkirkannya seluruh gulungan tanah ke
dalam hutan, maka desa pun menjadi terbebas dari
ancaman kabut racun.
'k 'k 'k
Cempaka alias si Macan Hitam Betina meng-
hempas napas keras-keras. Disapunya peluh yang
membanjiri dahi. Letih pun menggelayuti sekujur
tubuhnya. Dia pun terduduk di rerumputan hutan.
Tugas dari Andika baru saja diselesaikan. Gumpalan-
gumpalan tanah dari Padang Mega Racun telah
terkumpul di sebuah lubang bekas jebakan binatang.
Kalau dipikir-pikir, sampai semua monyet jadi
botak pun Cempaka tak akan sudi diperintah
seenaknya seperti itu. Selaku seorang yang meng-
anggap dirinya pendekar, harga dirinya seperti di-
guyur lumpur hitam. Masa' dirinya diperintah
melakukan pekerjaan kasar seperti kuli batu?
Memindahkan peti-peti dari sungai, mengangkutnya,
lalu mengumpulkannya pada lubang.
Berhubung yang memintanya Andika, anak muda
yang namanya melambung sebagai Pendekar Slebor,
Cempaka malah merasa mendapat kehormatan.
Bagi wanita itu, Pendekar Slebor seperti sosok
seorang pahlawan pujaan. Sebelum turun ke dunia
persilatan, Cempaka memang sudah banyak dengar
bagaimana sepak terjang pemuda itu. Bagaimana
kekuatan kharismanya. Termasuk, ketampanannya,
tentu. Karena begitu sering mendengar berita-berita
luar biasa tentang Pendekar Slebor, lama kelamaan
hatinya jadi kesemsem. Dia sering berkhayal bisa
bertemu pemuda sakti itu. Atau lebih keterlaluan lagi,
dia membayangkan dirinya berjalan bergandengan
mesra dengan Andika. Atau bahkan, memimpikan
menjadi kekasihnya.
Kalau sekarang seluruh impian Macan Hitam
Betina terwujud, apa itu bukan kejutan? Apa itu tidak
membuatnya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang dianggap tak pantas bagi seorang pendekar
wanita seperti dia?
Cempaka membayangkan wajah Andika. Ketam-
panan anak muda itu benar-benar menggetarkan
perasaan. Kekaguman wanita ini bertambah bila
melihat mata setajam elang milik Andika.
"Andai aku benar-benar menjadi kekasihnya...,"
bisik wanita ini lamat.
Tanpa sadar, perempuan ayu itu memainkan
ujung-ujung rambutnya. Tak bedanya tingkah gadis
desa yang sedang dilanda kasmaran. Sewaktu
matanya tertumbuk pada luka di jari-jari tangan
kirinya, dia jadi menyesal kenapa kemarin malah
menolak pertolongan pemuda tampan itu. Bukankah
sungguh membirukan perasaannya jika Andika
memegang jemarinya yangterluka, lalu mengobatinya
penuh kelembutan? Khayalan dalam benaknya makin
liar saja. Sampai....
"Kita bertemu lagi, Nona Ayu!"
Cempaka terlonjak ketika tiba-tiba terdengar
teguran kasar. Sejurus kepalanya menoleh ke arah
suara. Tampak seseorang yang telah menyebabkan
jari-jemari lentiknya menjadi rusak. Pendagel Setan!
"Kau rupanya, Manusia Keparat! Aku memang
berharap dapat bertemu kembali denganmu dan
mencopot kepala jelekmu dari badan!" desis Macan
Hitam Betina.
Sifat wanita ini memang sok hebat. Biarpun
kemarin sudah hampir mampus di tangan Pendagel
Setan, tetap saja seolah-olah bisa mengalahkan lelaki
sesat itu.
Pendagel Setan terkekeh. Lama-kelamaan dia ter-
pingkal-pingkal. Sampai kedua tangannya mendekap
perut. Tak ada yang bisa ditertawakan siapapun pada
saat itu. Tapi baginya, tetap ada sesuatu yang lucu.
"Sinting!" maki Macan Hitam Betina dengan wajah
mematang.
"Kau mengira akan bisa mengenyahkanku.
Sementara, kemarin saja kau sudah nyaris mampus
di tanganku. Untung saja Pendekar Slebor segera
menolongmu!" ejek Pendagel Setan.
"Kau ingin membuktikannya sekarang?"
"Membuktikan apa, Nona Ayu yang kehilangan
kuku?"
"Bahwa aku dapat menumpasmu! Manusia macam
kau memang semestinya cepat-cepat mati!"
Pendagel Setan terkekeh lagi. Terbahak lagi. Juga
mendekap perutnya lagi. Jelas saja sikapnya lebih
cepat memancing kegusaran Macan Hitam Betina
yang merasa dilecehkan.
"Manusia keparat! Haiii!"
Cempaka pun seketika menerjang Pendagel Setan.
Dari jarak enam tombak, dia melompat tinggi dengan
sebelah kaki siap menghantam dada Pendagel Setan
di depan.
Wukh!
Hanya angin yang menjadi sasaran tendangan
terbang Macan Hitam Betina, karena tubuh Pendagel
Setan lebih cepat berjumpalitan ke belakang.
Tangannya dijadikan tumpuan untuk membalikkan
badan kembali.
Dengan kalap, Cempaka melanjutkan serangan.
Begitu kakinya tiba kembali di tanah, punggung
tangan kanannya dibabatkan ke kepala. Seperti
serangan sebelumnya, usahanya kali ini pun penuh
tenaga. Tampaknya, perempuan itu benar-benar ber-
nafsu hendak menghabisi Pendagel Setan secepat-
nya. Mungkin baginya lebih cepat melenyapkan tokoh
aneh dari muka bumi, akan lebih baik.
Seperti sedang bermain kucing-kucingan, Pendagel
Setan sekali lagi berjumpalitan ke belakang. Tahu
kalau tokoh aneh ini butuh tempat berpijak belakang.
Macan Hitam Betina melompat lebih jauh mencoba
lebih dahulu tiba di tempat Pendagel Setan akan
berpijak. Kalau tiba lebih dahulu kesempatannya
akan lebih besar untuk bisa menyarangkan serangan
pada lawan yang belum siap. Begitu pikirnya.
Tep!
Memang, Macan Hitam Betina bisa menyusul
jumpalitan lawan. Kakinya menjejak lebih dahulu,
setelah melenting dan berputar di udara. Apakah itu
berarti pula dia bisa memanfaatkan kelemahan
lawan?
Ternyata, tidak juga, Cempaka terlalu percaya
pada kemampuan dirinya. Sementara sejauh itu, dia
tak sungguh-sungguh tahu orang macam apa yang
dihadapi.
Sewaktu Macan Hitam Betina mencoba mencabik
wajah lawan dengan jari kanan dari arah bawah,
dengan lincah Pendagel Setan membuat pijakan
cepat. Dan dengan cepat pula tubuhnya terlempar
kembali ke tempat sebelumnya.
Tindakan itu bukan sekadar untuk menyelamatkan
wajahnya dari sambaran cakar Cempaka. Namun
sekaligus juga mengirimkan tendangan dengan dua
kaki ke rusuk.
Desss.J
"Aaakh.J"
Berbareng bunyi sambaran tangannya. Cempaka
merasa uluhatinya bagai dihantam gelondongan
pohon. Mual teramat sangat. Bahkan untuk beberapa
saat, dia tak bisa menarik napas. Begitu jaringan
pernapasannya bisa menarik udara, pandangannya
langsung berkunang-kunang.
Pendagel Setan rupanya benar-benar mau bermain
kucing-kucingan dahulu. Buktinya, serangannya tak
segera dilancarkan pada saat dia bisa melakukannya.
Sengaja dibiarkan Macan Hitam Betina menikmati
rasa mualnya.
"Bagaimana? Apakah kau tadi belum sarapan?
Mestinya kau sudah memuntahkan semua isi perut.
Apa pendekar muda tampan itu terlalu kikir untuk
membelikanmu sarapan? He-he-he!" cemooh
Pendagel Setan memuakkan.
Cempaka menggoyang-goyangkan kepala be-
berapa kali. Rambutnya jadi kacau. Sebagian
menutupi wajahnya yang berkeringat. Pucat. Perutnya
masih terasa mual. Dia ingin muntah. Sewaktu men-
dengar perkataan tokoh menyebalkan ini, keinginan
itu sekuatnya ditahan.
Dengan tubuh agak membungkuk memegangi
perut, pendekar wanita beradat keras itu meludah
tanah.
"Kurasa, kau adalah lelaki yang semasa kecilnya
tak pernah mendapatkan perhatian orang lain!
Tingkahmu terlalu tengik! Kau pikir, orang akan
tertawa menyaksikan dagelan busukmu?!" desis
Cempaka.
"Setidaknya, aku bisa tertawa. Aku bisa mener-
tawai kesaktian mereka, aku bisa menertawai
hilangnya nyawa mereka!" sahut Pendagel Setan,
menggidikkan.
"Ya! Kau memang sudah tak waras!"
"Ya! Yang penting, aku bisa tertawa! Ha-ha-ha!"
"Kubunuh kau!"
Dengan gejolak semangat tarung yang semakin
payah, perempuan ayu yang menjuluki diri Macan
Hitam Betina itu menerkam Pendagel Setan.
Dorongan kemurkaan yang sejak awal menguasai
membuat gerakannya tak terarah. Kalau gerakannya
yang semula teratur saja belum tentu bisa sekadar
membuat lawan kelimpungan, apalagi dengan
keadaan begitu?
Namun apa memang wanita itu benar-benar
sedang dikuasai kemurkaannya? Ternyata, tidak
begitu. Cempaka tergolong dara berotak jernih. Dia
sering mengagumi kecerdikan Andika karena
memang memiliki kelebihan dalam hal itu. Dan salah
satu impiannya bila berjumpa Andika adalah
mengadu kecerdikan!
Dengan begitu, tentu Cempaka tahu kalau lawan
bukan tanding ilmu kedigdayaannya. Jalan satu-
satunya yang terbaik adalah meloloskan diri. Setelah
itu, memberitahukan Andika. Berhadapan dengan
pemuda itu, Pendagel Setan pasti akan ketemu
batunya.
Jadi, apa rencana yang ada di benak Macan Hitam
Betina saat itu?
Saat mendekap perut tadi, diam-diam Cempaka
mengeluarkan serbuk pupur yang digunakan untuk
merawat kulit wajah ayunya. Di depan muka Pendagel
Setan, seketika ditaburkannya serbuk pupur itu
sekuat tenaga.
Wrrr!
Saat itu juga, mata Pendagel Setan terlabrak
'senjata rahasia' si perempuan yang rupanya
senantiasa berusaha menjaga keayuannya. Perih
dirasa. Tangannya serabutan mendekap kedua mata.
Saat itulah Cempaka langsung mempergunakan
kesempatan untuk melepas tendangan putarnya.
Wuk!
Tendangan pertama berhasil dihindari Pendagel
Setan hanya dengan mendengar bunyinya. Namu
tendangan kedua yang menyusul cepat di belakang
tak bisa lagi dihindari tanpa melihat. Dan....
Begkh!
"Ugkh.J"
Sekarang uluhati Pendagel Setan bisa menikmati
rasa mual tak terkira. Paling tidak, sebagai bayaran
atas tendangannya pada perut Macan Hitam Betina
barusan.
Saat Pandagel Setan bergulingan di tanah
menahan pedih di mata serta mual di perutnya,
Macan Hitam Betina langsung menggenjot tubuh.
Ditinggalkannya tempat itu dengan senyum cukup
puas.
"Kau pun boleh memuntahkan seluruh isi perutmu
sekarang manusia busuk!" ejek Cempaka di
kejauhan.
Sesaat setelah Macan Hitam Betina pergi,
Pendagel Setan bangkit dengan segenap kemurkaan.
Tubuhnya pun digenjot pula, mengejar perempuan
tadi.
"Kau akan merasakan akibat dari perbuatanmu
tadi. Nona Ayu! Kau akan tahu nanti!" ancam lelaki
ini.
•k-k -k
9
"Ke mana Cempaka? Kenapa dia belum juga tiba?"
Andika mulai khawatir pada keadaan perempuan
itu. Hari sudah menjelang senja, namun Cempaka
belum juga tiba.
Seluruh desa telah bersih dari tanah pembawa
kabut maut. Sebetulnya, akan sangat menyulitkan
mencari gulungan-gulungan sebesar kepalan yang
tersebar di beberapa sudut desa. Untunglah ada
seseorang yang bisa diandalkan untuk itu.... Lelaki
Berbulu Hitam.
Manusia setengah serigala itu memang memiliki
kelebihan dalam penciumannya. Seperti seekor
anjing pelacak, dia dapat mengendusi tempat-tempat
jatuhnya tanah itu. Meskipun, ada di lubang tikus!
Kebetulan pula, tanah dari Padang Mega Racun itu
menghasilkan bau yang khas. Anyir seperti bangkai
binatang laut.
Sudah hampir sepertiga hari mereka menunggu
kedatangan Cempaka di balai desa. Sementara orang
yang ditunggu belum juga muncul.
"Mungkin sebentar lagi," hibur Ki Patigeni, men-
coba menenangkan Andika.
Lelaki tua itu duduk mengangkat kaki di salah satu
kursi bambu di pinggiran balai desa. Sementara
Lelaki Berbulu Hitam seperti kemarin malam, me-
lakukan semadinya di sebelah gapura.
Sebenarnya, Ki Patigeni pun khawatir terhadap
keselamatan dara itu. Yang diketahuinya dari Andika,
Cempaka belum lama memasuki keganasan dunia
persilatan. Tapi, akan lebih bijaksana jika segala
sesuatu dilakukan dengan tenang. Begitu per-
timbangan Ki Patigeni.
Andika berjalan mondar-mandir. Wajahnya ketat,
menampakkan kekhawatiran.
"Mestinya dia telah sampai dan melaporkan
semuanya pada kita," kata pemuda itu lagi.
"Ya, mestinya begitu," timpal Ki Patigeni.
Andika menghentikan langkahnya tiba-tiba. Di-
lepaskannya pandangan jauh ke atas sana, ke arah
hutan tempat pembuangan gulungan-gulungan tanah
hitam. Wajahnya berubah cepat. Sinar matanya ter-
lihat begitu tegang.
"Ada apa, Andika?" tanya Ki Patigeni.
"Cepat ikut aku, Ki!" ajak Andika.
Tanpa ingin menanyakan tujuan mereka, Ki
Patigeni mengikuti Andika. Orang tua itu percaya
penuh pada Andika, karena memang sudah kenal
baik. Seluruh pertimbangannya terkadang tak bisa
diremehkan begitu saja.
Mereka berlari cepat mengerahkan ilmu me-
ringankan tubuh. Tak begitu lama, mereka tiba di
bukit batas desa. Dari bukit itu, Andika menunjukkan
sesuatu pada Ki Patigeni.
"Lihatlah, Ki...," ujar pemuda ini seraya menunjuk
jauh-jauh ke ubun-ubun hutan sebelah tenggara.
"Tuhan...! Tampaknya kita telah salah perhitungan,
Andika," desah Ki Patigeni.
Orang tua ini melihat gumpalan-gumpalan kabut
beracun kini menggelantung di atas hutan sebelah
tenggara desa.
"Gumpalan-gumpalan kabut itu amat dikenali oleh
pemiliknya, bukan? Dan dari kejauhan itu bisa dilihat
mudah. Artinya...."
"Artinya, kecurigaan Pendagel Setan dapat ter-
pancing," sela Ki Patigeni. "Kemungkinan besar dia
akan mendatangi tempat itu. Dan...."
"Dan Cempaka pasti dalam bahaya. Dia tak akan
sanggup menghadapi kesaktian manusia laknat itu!"
rutuk Andika ikut-ikutan menyelak, "Sebaiknya kita
cepat ke sana, Ki!"
Mereka beranjak lagi. Dengan mengerahkan
seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki.
'k k 'k
Cempaka tiba di desa yang saat ini masih sepi.
Biarpun sudah cukup aman dari kabut beracun,
penduduk masih belum berani kembali. Setelah
mencari-cari beberapa lama, barulah dia menemukan
Lelaki Berbulu Hitam di balai desa.
"Mana Kang Andika, Orang Tua?" tanya wanita itu
pada Lelaki Berbulu Hitam yang masih khusuk
bersemadi.
Tak ada sahutan. Lelaki Berbulu Hitam tetap tak
bergeming. Kepalanya menopang ke tanah. Sedang-
kan kakinya menjulur lurus ke atas. Sementara,
kedua tangannya menyangga di kedua sisi untuk
menjaga keseimbangan.
"Kang Andika di mana?" ulang Cempaka, lebih
keras.
"Aku sedang bersemadi. Aku tak mendengar
ucapanmu," jawab Lelaki Berbulu Hitam, akhirnya.
Matanya tetap terpejam, tanpa merubah sikap tubuh-
nya.
"Aku tahu kau sedang bersemadi, Orang Tua. Tapi
aku harus bertemu Kang Andika secepatnya," tegas
Cempaka.
Lelaki Berbul.u Hitam tak menyahuti lagi. Keadaan-
nya seperti mayat. Tentu saja hal ini membuat Macan
Hitam Betina jadi demikian dongkol. Padahal,
keadaannya sedang dalam bahaya besar, karena
Pendagel Setan masih memburunya. Sebentar lagi,
tentu manusia sesat itu akan sampai juga. Tapi,
manusia jelek satu ini malah menganggapnya
nyamuk pengganggu semadi.
"Sialan...," maki Cempaka, menggerutu.
Sebal bukan main wanita ini. Dengan sedikit usil,
hendak didepaknya satu tangan penyanggah
keseimbangan tubuh Lelaki Berbulu Hitam.
"Hih!"
Sapuan kaki pendekar wanita yang masih hijau di
dunia persilatan itu tak menghasilkan apa-apa.
Jangankan bisa menjatuhkan tubuh terbalik si
manusia setengah serigala. Menyentuh tangannya
saja, tidak. Karena, Lelaki Berbulu Hitam cepat
mengangkat tangannya.
Cempaka makin sebal. Dia masih punya
kesempatan mengusili Lelaki Berbulu Hitam cepat
terjaga dari semadi anehnya. Satu tangan lain yang
masih menyangga tubuh Lelaki Berbulu Hitam akan
disapunya juga. Siapa tahu, kali ini berhasil.
Wukh!
Macan Hitam Betina gagal lagi. Seperti tadi, Lelaki
Berbulu Hitam lebih cepat mengangkat tangannya.
Sekarang tubuhnya terbalik tanpa topangan tangan
satu pun. Kedua tangannya sudah bersidekap di
depan dada. Hanya kepalanya saja yang jadi
penyanggah ke lantai balai desa.
Keliru kalau Macan Hitam Betina menganggap
remeh manusia satu itu. Sejauh ini, Cempaka
memang belum tahu secara jelas, siapa Lelaki
Berbulu Hitam sesungguhnya. Jangankan kedigayaan.
Usianya saja sudah bertaut terlalu jauh. Seperti
jauhnya mata kaki dengan mata kepala. Andika yang
memiliki kesaktian tangguh saja, masih berpikir
bolak-balik untuk berurusan dengan manusia
setengah serigala itu!
Dua kali gagal, menyebabkan Cempaka makin
sebal saja melihat Lelaki Berbulu Hitam. Tenaga
dalamnya cepat dikerahkan. Akan dihentaknya tubuh
terbalik itu dengan sepenuh tenaga. Biar terjengkang
sekalian. Demikian pikir Cempaka lagi.
Deb!
Begitu tenaga dorongan wanita itu meluruk deras
ke sepasang kaki, Lelaki Berbulu Hitam tiba-tiba
mencelat.
Duk! Duk! Duk!
Sinting! Manusia kurang waras itu melompat-
lompat dengan kepalanya!
"Ada apa ini! Kenapa kau berani-beraninya
mengusik semadi Lelaki Berbulu Hitam?! Apa sudah
bosan hidup?!" bentak Lelaki Berbulu Hitam meledak-
ledak, sesudah membalikkan tubuh.
"Maaf, Orang Tua. Aku terpaksa melakukannya.
Aku ingin bertanya padamu, di mana Kang Andika?"
ucap Cempaka, bergegas. Hatinya ngeri juga melihat
wajah berang menakutkan lelaki yang berdiri di
depannya.
"Siapa Andika?!"
"Siapa Andika?" gumam Cempaka terheran-heran.
Masa' kawan sendiri dia tidak tahu?
"Andika," ulang Cempaka menegaskan. Barangkali
saja laki-laki ini salah dengar.
"Aku dengar kau bilang Andika! Tapi, siapa
Andika?!" bentak Lelaki Berbulu Hitam berkoar lagi.
Cara bicaranya seperti sedang terjadi gempa bumi di
tempat itu.
"Andika.... Masa' kau tidak tahu, Orang Tua?
Pemuda yang sering kau panggil Tuan Penolong?"
"Ooo, Tuan Penolong?"
Nada bicara Lelaki Berbulu Hitam melandai. Kalau
sudah dengar nama itu, dia jadi mesti ngotot
menahan keberangannya.
"Ya, betul! Ke mana dia?!" gegas Cempaka.
Waktunya makin mendesak.
"Aku tak tahu. Aku sedang bersemadi ketika dia di
sini bersama si kerempengjelek itu."
Cempaka mendesah. Semakin tipis harapannya
untuk bisa lolos dari tangan Pendagel Setan. Dia
percaya dan yakin, hanya Andika yang bisa meng-
hadapi manusia sesat itu.
"Ah! Rupanya kau di sini, Nona Ayu!"
Kekhawatiran perempuan itu terbukti sudah.
Pendagel Setan kini benar-benar muncul di gerbang
balai desa!"
"Jangan mengira kau bisa lolos dengan mudah
dariku, Nona Ayu," kata Pendagel Setan seraya
melangkah perlahan, mendekati Macan Hitam Betina.
"Siapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam pada
Cempaka, sambil melirik Pendagel Setan.
Perempuan cerdik ini cepat memutar otaknya. Dan
secepat itu pula didapatnya.
"Dia musuh Tuan Penolong, Orang Tua!" tunjuk
Cempaka penuh keyakinan, supaya mendapat
bantuan lelaki berperawakan menyeramkan di dekat-
nya.
"Bagus! Sejak kemarin aku memang ingin sekali
meremukkan batok kepala seseorang. Tapi, selalu
gagal...," sambut Lelaki Berbulu Hitam, melegakan
Macan Hitam Betina.
"He-he-he! Kau pikir dirimu siapa, Orang Jelek?"
leceh Pendagel Setan.
Sama seperti Macan Hitam Betina, lelaki itu pun
tak begitu jelas mengenal Lelaki Berbulu Hitam.
Dalam hal ini, dia telah melakukan kesalahan besar.
Yakni telah mengusik naga tua yang lama tak mem-
buat kegemparan semenjak masa jayanya puluhan
tahun silam!
Lelaki Berbulu Hitam maju dengan langkah yang
menggetarkan balai desa. Kalau taringnya sudah
diperlihatkan, berarti siap mengepruk batok kepala
seseorang dengan kepalan sebesar kelapa!
"Sebaiknya kita menghadapi berdua, Orang Tua...,"
aju Macan Hitam Betina.
Cempaka menganggap Lelaki Berbulu Hitam
termasuk bukan tandingan Pendagel Setan. Kalau
dihadapi berdua, mungkin mereka masih punya
sedikit kesempatan untuk mengalahkan.
Lelaki Berbulu Hitam melirik dengan bola mata
mendeliki perempuan ayu itu.
"Kau hendak menghinaku anak perawan bau
kencur?!" hardik lelaki keturunan serigala ini
menggelegar. "Kau pikir aku tak sanggup mengorek
isi kepala si muka arang ini dengan tanganku
sendiri?! Grrr...."
Cempaka mengangkat bahu. Kalau maunya begitu,
mau bilang apa?
"Kau tak menyesal kalau seluruh bulumu kubuat
rontok?!" ledek Pendagel Setan, pongah.
Lelaki Berbulu Hitam sudah tak mau banyak bacot
lagi. Dia juga tak mau berkelahi seperti anak kemarin
sore. Apalagi sampai bertukar jurus segala macam.
Kalau mau menentukan siapa yang unggul, mesti
langsung adu kesaktian!
Dreg!
Tanah balai desa kembali bergemuruh manakala
Lelaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda dengan
menghentak kakinya. Kedua kakinya setengah mem-
bentang, dan agak tertekuk ke dalam. Tangannya
membuka ke depan dengan telapak mengepal kuat-
kuat. Begitu membuat gerakan ke atas seraya
memalangkan pergelangan tangan, tercipta bunyi
gemeretak tulangnya, disusul lolongan dari mulut
Lelaki Berbulu Hitam yang bagai serigala di tengah
malam buta.
Debh!
Sekelebat tangan Lelaki Berbulu Hitam meng-
hentak ke depan. Saat itu juga menderu angin
pukulan tajam berdesing, mirip suara lempengan baja
yang disabetkan ke udara.
"Swing!"
"Uts!"
Kalau saja Pendagel Setan tak cepat-cepat
membuang tubuh jauh-jauh ke atas, tak disangsikan
lagi kepalanya akan terbelah dua. Dan otaknya akan
benar-benar terkuras dari tempurungnya!
Lompatan yang disertai tenaga dalam tingkat tinggi
membuat tubuh Pendagel Setan meluncur deras.
Atap balai desa jebol seketika. Di atas wuwungan,
lelaki sesat itu kini berdiri dengan wajah pias.
Pendagel Setan benar-benar dibuat terkesiap oleh
serangan Lelaki Berbulu Hitam barusan. Belum lagi
terkena angin serangan itu. Mendengar bunyinya
saja, telinganya sudah begitu pedih.
Namun, bukan itu yang membuat Pendagel Setan
terkesiap. Masalahnya dia pernah mendengar
selentingan pukulan khas itu. Pukulan yang hanya
dimiliki satu-satunya tokoh kawakan kelas atas yang
malang melintang puluhan tahun silam. Tokoh yang
bisa dibilang salah seorang sesepuh dunia persilatan.
"Tinju Raja Serigala!" desis Pendagel Setan. Lelaki
sesat ini yakin sekali dengan dugaannya. Dari cara
Leaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda, suara
pukulannya, juga lolongan tadi, amat cocok dengan
gambaran selentingan yang didengarnya.
Mata lelaki itu menyipit ketat. Wajahnya
menegang.
"Keparat! Kalau begitu, aku telah berhadapan
dengan Lelaki Berbulu Hitam!" rutuk Pendagel Setan.
"Kenapa bangkotan itu belum mati juga? Kata Nyai
Wangkil, dia berusia tua. Tapi kenapa seperti baru
berusia empat puluhan? Apa guru salah?
Seruntun pertanyaan bergeliat di benak Pendagel
Setan.
Brask!
Tanpa sempat mendapat jawaban dari pertanyaan-
pertanyaannya, Pendagel Setan dipaksa bersiap
kembali. Lawan bertubuh tinggi besar berbulu lebat
itu telah menyusulnya menerobos atap balai desa.
Wuwungan bertebaran ke mana-mana, mengiringi
munculnya Lelaki Berbulu Hitam.
Mereka kini saling berhadapan. Lelaki Berbulu
Hitam terus menggeram-geram. Kuda-kudanya tak
berubah seperti sebelumnya.
"Menurut guruku, kau pasti Lelaki Berbulu Hitam,
tokoh tua yang menggemparkan dunia persilatan
puluhan tahun silam itu," duga Pendagel Setan.
"Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa, kah?!
Dengan kutu busuk?!"
"Bagus! Dengan begitu, aku bisa membuktikan
pada dunia persilatan bahwa akulah yang pantas
menjadi raja di raja dunia persilatan! Aku akan
mengenyahkanmu, Lelaki Berbulu Hitam! Seperti aku
akan menundukkan Pendekar Slebor! He-he-he!" kata
Pendagel Setan, sesumbar.
"Siapa Pendekar Slebor?!" bentak Lelaki Berbulu
Hitam, tak mengerti.
10
Pendekar Slebor dan Ki Patigeni tak menemukan
Cempaka di tempat yang dituju. Padahal, di tempat
inilah dara ayu itu bisa ditemukan. Tempat pem-
buangan tanah langka dan aneh itu sepi-sepi saja.
Keadaannya kacau balau. Sewaktu mereka
memeriksa, Andika menemukan bekas serbuk pupur
Cempaka.
"Sepertinya, baru saja terjadi pertarungan di
tempat ini, Ki," nilai Andika.
"Benar. Aku pun berpendapat begitu," dukung Ki
Patigeni. "Tapi, kenapa tak ada darah? Hanya terlihat
sedikit kacau di tempat ini...."
"Ya! Karena tak ada yang terluka dalam
pertarungan itu."
"Maksudmu?"
Andika menyodorkan tangannya. Di ujung jari
telunjuknya ada bekas serbuk pupur.
"Ini pupur wanita, Ki. Tertabur di sekitar tempat
itu."
Andika pun lantas menunjuk tempat Pendagel
Setan berdiri sebelumnya.
"Kalau pupur ini berhamburan tak disengaja,
kenapa hanya tersebar di sekitar situ saja?" sambur
Andika.
"Artinya?"
"Aku yakin, Cempaka berhasil melarikan diri
dengan siasat serbuk pupur ini," duga Andika yakin.
Ki Patigeni mengangguk-angguk. "Ya-ya. Aku
mengerti sekarang," gumam orang ini
Sementara itu benak Ki Patigeni memuji ke-
enceran otak si anak muda urakan ini. Sejenak dia
jadi teringat ketika bekerja sama dengan Pendekar
Slebor dalam memecahkan teka-teki Ratu Racun.
Andika pun dapat membuat dugaan yang cemerlang
seperti sekarang.
"Masalahnya sekarang, ke mana Cempaka me-
larikan diri? Lalu, apakah dia bisa meloloskan diri dari
kejaran Pendagel Setan?" tanya Andika bimbang
serta cemas.
"Apa tidak mungkin dia kembali ke desa, Andika?"
tanya Ki Patigeni.
"Kembali ke desa?"
"Mungkin dia merasa butuh pertolongan. Bukan-
kah dia tahu kalau kau adalah pendekar muda besar
itu?"
Andika meringis. Sempat-sempatnya dia begitu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke sana, Ki!"
"Kau, bukan kita," tukas Ki Patigeni.
"Maksudmu, Ki?" tanya Andika heran.
"Aku harus berusaha mencari dia di sekitar hutan
ini. Hanya untuk menjaga kemungkinan kalau gadis
itu belum kembali ke desa," tandas Ki Patigeni.
Sekarang giliran Andika memuji kecemerlangan
otak Ki Patigeni dalam hati.
'k 'k 'k
Sementara itu, sabung keunggulan antara
Pendagel Setan melawan Lelaki Berbulu Hitam me-
masuki keadaan panas. Menghadapi lelaki keturunan
serigala itu, Pendagel Setan baru kena batunya.
Tokoh bangkotan itu memang bukan sembarang
lawan buatnya. Meskipun Pendagel Setan memiliki
kehebatan menggemparkan belakangan ini, namun
masih tergolong orang baru dalam dunia persilatan.
'Tinju Raja Serigala' milik Lelaki Berbulu Hitam tak
henti-hentinya berdesing, mengepung lelaki sesat tak
berbelas itu dari segala sudut. Lesatan tenaga dalam
pukulan Lelaki Berbulu Hitam begitu cepat, membuat
Pendagel Setan benar-benar kelimpungan kian
kemari.
Memang, pada masa jayanya dulu, Lelaki Berbulu
Hitam amat kesohor dengan kecepatan geraknya
yang selincah dan segesit serigala. Tokoh-tokoh
seangkatan yang menjadi saingannya seperti
Pendengar Dungu (Pernah bertemu di episode :
"Manusia Dari Pusat Bumi") hanya memiliki kelebihan
pada tenaga dalamnya. Bukan kecepatannya.
Swing!
Masih melenting-lenting ringan dari wuwungan ke
wuwungan lain. Lelaki Berbulu Hitam terus ber-
semangat menggempur Pendagel Setan dengan
seruntun tinju jarak jauhnya. Setiap kali melesat dari
sasaran, pasti ada yang jadi korban. Kalau tidak
pepohonan terbelah menjadi dua seperti baru saja
dihantam kapak raksasa, bisa juga ubun-ubun rumah
oran lain. Untung saja, saat itu keadaan desa kosong
melompong. Kalau penduduk masih ada di sana, apa
jadinya?
Dan setiap kali Pendagel Setan berhasil mengelak
dari tinju berhawa maut, setiap kali pula kulitnya
terasa pedih. Padahal, jarak elakan yang diambilnya
sudah cukup jauh dari angin 'Tinju Raja Serigala'.
Kalau saja wajah lelaki tak berbelas itu tidak
dicorengmorengkan, tentu paras keterkejutannya
sudah nampakjelas.
Di bawah mereka, Cempaka, si pendekar wanita
sok hebat ini tertegun-tegun menyaksikan per-
tarungan di atas. Dia dipaksa berdecak berkali-kali.
Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini
menyaksikan pertarungan yang demikian memukau.
Sungguh tak disangka, manusia menyeramkan
yang nampaknya hanya punya adat besar itu ternyata
memiliki kesaktian yang sanggup membuat Pendagel
Setan kelimpungan. Dan Cempaka semakin kagum
dalam hati. Menyesal dia sudah mengusilinya. Kalau
tidak, bisa saja dia meminta orang tua bertampang
dedemit itu mengajarinya beberapa ilmu simpanan.
Deb-deb!
"Grrhhh!"
Sadar dirinya berada dalam keadaan tidak
menguntungkan kalau terus terdesak. Pendagel
Setan mulai berusaha mengimbangi serangan liar
Lelaki Berbulu Hitam. Sambil melenting indah ke atap
lain, dia lepasnya pukulan jarak jauh di udara.
Bagi Lelaki Berbulu Hitam, serangan awal
Pendagel Setan tidak berarti apa-apa. Dia mudah
sekali bisa mementahkannya. Bahkan dengan cara
memapak telak-telak dengan telapak tangan berkuku
panjangnya!
Des!
"Grhh.... Ha-ha!" Lelaki Berbulu Hitam tertawa
menyaksikannya.
Pamer kekuatan dia!
Tapi apa dengan begitu, Pendagel Setan akan
mudah dipecundangi? Benarkah?
Pertanyaan Lelaki Berbulu Hitam tak mendapatkan
jawaban memuaskan. Sebaliknya. Pendagel Setan
justru tengah mempersiapkan serangan maut ber-
bahaya. Ilmu simpanan yang telah berhasil di-
sempurnakan saat di Padang Mega Racun akan diuji
coba pada Pendekar Slebor.
Dalam beberapa tarikan napas, sepasang tanga
lelaki sesat itu membuat gerakan teratur, bertenaga
dan cepat. Setiap perubahan tangannya, me-
ninggalkan bentuk bayangan seperti kepak sayap
seekor burung raksasa.
Werrr...!
Pada saatnya, pusaran angin besar tercipta pada
ujung sepasang tangan Pendagel Setan. Angin yang
membentuk puting beliung, merangsak angkasa
membabibuta.
Sebenarnya, ilmu itu kurang sempurna jika di-
kerahkan di luar Padang Naga Racun. Inti racun yang
semestinya bisa diserap melalui angin puting beliung,
tak akan terjadi di tempat lain. Namun bukan berarti
bahaya pukulan andalan Pendagel Setan ini akan
berkurang.
Menyaksikan gerakan khas yang dilakukan
Pendagel Setan, wajah Cempaka di bawah sana
mendadak berubah. Garis-garis kekhawatiran men-
jalar cepat. Di mulutnya mendesis tak kentara di
antara gemuruh amukan puting beliung ciptaan
Pendagel Setan.
"Heaaa.J"
Manakala Pendagel Setan melontarkan segenap
kekuatan tenaga pukulan pamungkasnya, tanpa
dapat dimengerti Cempaka melenting mendekati dua
lelaki di atas wuwungan.
"Pak Tua, menyingkir!" seru Cempaka pada Lelaki
Berbulu Hitam di udara.
Lelaki Berbulu Hitam terperangah. Pada saat yang
sama, Pendagel Setan telah melepas pukulannya.
Wush!
Meskipun otak Lelaki Berbulu Hitam sering tak
sehat, tapi dalam keadaan seperti itu, nalurinya bisa
merasakan bahaya yang siap menelan bulat-bulat
Cempaka.
Tanpa memikirkan akibatnya, Lelaki Berbulu Hitam
menyergap tubuh Cempaka.
Dash!
Namun usaha itu ternyata mesti dibayar dengan
mahal. Punggung berotot Lelaki Berbulu Hitam
langsung menjadi santapan empuk pukulan
pamungkas lawan!
Cempaka selamat. Namun Lelaki Berbulu Hitam
tidak. Dia terlempar amat jauh. Begitu tiba di tanah,
tubuhnya mengejang, lalu terkulai.
Mengapa Cempaka melakukan tindakan bodoh
tadi?
'k 'k 'k
Begitu matahari tenggelam sebagian, Andika
sampai di Desa Wetan. Balai desa yang semula
ditinggalkan dalam keadaan utuh, kini sudah porak-
poranda tak karuan. Bangunan itu seolah baru saja
disapu angin puting beliung. Potongan-potongan atap
rumbia berserakan di mana-mana. Kayu-kayu dinding
bangunan pun sebagian telah luruh.
"Sialan! Dedemit buduk mana yang baru saja
mengamuk!" rutuk Andika.
Bergegas Andika berlari memasuki balai desa.
Sama seperti keadaan di luar bangunan, bagian
dalamnya pun sudah tak karuan lagi. Di dalam sana,
tubuh Lelaki Berbulu Hitam ditemukan tengah ter-
golek.
"Pak Tua Bulu! Kau tak apa-apa?!" tanya Pendekar
Slebor, tercekat.
Andika mendekat. Lelaki Berbulu Hitam dilihatnya
bergemik.
"Oh, Tuan Penolong.... Kukira siapa," sambut Lelaki
Berbulu Hitam payah.
Sudut bibir lelaki keturunan serigala ini masih
dialiri darah. Dia berusaha bangkit. Karena masih
lemah, dia terjatuh lagi. Andika pun membantu
menopangnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Andika.
"Orang bermuka arang, Tuan Penolong. Dia datang
ke sini tanpa izin. Lalu menantangku berkelahi tanpa
izin pula. Sial! Dasar manusia sial! Ukh-ukh!"
"Pendagel Setan?" gumam Andika. "Bagaimana
bisa orang itu mengalahkan Lelaki Berbulu Hitam
yang kesaktiannya masih sulit dicari tandingan hingga
sekarang?" Andika kian dibuat penasaran. Kalau
begitu, seberapa tinggi tingkat kesaktiannya?
"Kenapa orang itu bisa ke sini?"
"Orang yang mana?!" Lelaki Berbulu Hitam malah
balik bertanya.
"Yang mana lagi, Pak Tua Bulu. Bukankah kau tadi
sedang membicarakan orang bermuka arang?!" tukas
Andika, agak jengkel juga.
"O, itu. Kukira Tuan Penolong menanyakan
perempuan bau kencur itu...," tutur Lelaki Berbulu
Hitam terseok-seok.
"Siapa maksudmu?"
"Tuan Penolong ini bagaimana? Aku harus jawab
yang mana dulu? Pertanyaan pertama tadi atau yang
kedua?!" tukas Lelaki Berbulu Hitam. Biar sudah
payah, sifat berangnya masih juga tak soak.
Andika maklum.
"Ceritakan semuanya!" ujar Andika, mengambil
jalan singkat. Biar jadi tak bertele-tele lagi.
Lelaki Berbulu Hitam pun menceritakan sejelas-
jelasnya tentang kejadian belum lama. Juga tentang
kedatangan Macan Hitam Betina yang disebutnya
perawan bau kencur. Kemudian tak ketinggalan
laporan pertarungannya dengan Pendagel Setan.
"Sekarang ke mana wanita itu?" tanya Andika
cepat sebelum Lelaki Berbulu Hitam menamatkan
cerita yang seperti tak mau tamat-tamat itu.
"Wanita yang mana?"
Lagi-lagi Lelaki Berbulu Hitam bertanya tanpa
juntrungan.
"Perawan bau kencur itu," jelas Andika.
"O. Dia...."
"Ke mana dia?!" bentak Andika.
"Diboyong," jawab manusia setengah serigala itu,
singkat.
"Oleh Pendagel Setan?"
"Siapa Pendagel Setan?"
"Biang kunyuk!" maki Andika dalam hati.
Manusia berbadan bongsor satu ini sepertinya
hanya kenal orang dari sebutan yang diberikan oleh
bacotnya sendiri.
"Lelaki bermuka arang itu!" tegas Andika untuk
kesekian kali menegaskan.
"O, iya!"
"Ke mana?!"'
Lelaki Berbulu Hitam menggeleng. Andika berang.
Dihantamnya lantai balai desa. "Kalau terjadi apa-apa
pada perempuan itu, kau akan kukuliti, manusia
busuk keparat!" geram Andika digebah kemurkaan.
Betapa Andika tahu kalau Pendagel Setan tak
akan mempersoalkan siapa yang dibunuhnya, meski
seorang pendekar wanita tak punya nama sekali pun.
Lebih dari itu, dia bahkan tega membunuh bocah tak
berdosa!
"Siapa manusia busuk?!" sela Lelaki Berbulu
Hitam.
Setelah itu laki-laki ini terjeringkang kembali,
ketika Andika menotok jalan darahnya.
Mata Pendekar Slebor kini tertumbuk pada tulisan
buruk di potongan dinding balai desa. Tulisan itu
rupanya berisi tantangan dari Pendagel Setan.
Andika mendekati. Lalu dibacanya tulisan itu.
O-hooo, Pendekar Slebor!
Tentu kau terkejut mendapati kenyataan yang
baru saja kau saksikan, bukan? Jangan terkejut.
Siapa tahu kau berpenyakit jantung dan mati
karenanya. He-he-he!
O, iya. Aku pinjam dulu kawan barumu yang ayu
ini. Kau boleh mengambilnya pada akhir pekan ini.
Tempatnya di Padang Mega Racun. Kalau kau
terlambat mengambilnya, jangan salahkan kalau
perempuan itu.... He-he-he!
Kau belum tahu tempat itu, bukan? Jangan
bingung atau ragu. Kau bisa mengikuti burung-
burungku yang akan datang menjadi petunjuk
jalanmu pada hari pertemuan kita. Kuharap
pertemuan itu berlangsung dengan mesra!
Pendagel Setan
"Mesra, tai kucing!"
Andika menghajar dinding kayu yang bertuliskan
pesan yang digurat oleh tangan Pendagel Setan.
Kalau sebelumnya tantangan hanya bersifat desas-
desus mulut ke mulut, kini Andika mendapatkan
kepastian tantangan manusia sesat tak berhati itu.
"Bagus! Aku memang ingin sekali menghancurkan
wajah jelekmu itu!" geram si anak muda dari Lembah
Kutukan, sambil menghantam telapak tangan dengan
tinju sendiri.
'k 'k 'k
Padang Mega Racun terus dikepung kabut kelabu
pekat mengandung racun ganas. Di tengah-tengah
padang kering-kerontang itu, terlihat panggung ganjil
di kejauhan yang dibangun khusus untuk satu
pertarungan maut antara Pendagel Setan dengan
Pendekar Slebor.
Ancaman besar akan dihadapi si anak muda sakti,
Pendekar Slebor. Pertama, karena racun yang
menyelimuti seluruh kawasan Padang Mega Racun
telah siap merejamnya begitu Andika mulai mengirup
udara di sana. Kedua, kesaktian penantanghya
ternyata berada pada tingkat tokoh kelas atas dunia
persilatan. Sebagaimana tingginya, berum pernah
diketahui Andika. Karena selama ini Pendagel Setan
tak pernah sekali pun bertarung dengan Pendekar
Slebor.
Yang hanya diketahui Andika, Pendagel Setan
nyatanya sanggup mempecundahgi Lelaki,Berbulu
Hitam. Setidaknya, kedigdayaan sang penantang
sekelas dengan Lelaki Berbulu Hitam!
Di samping itu, Pendekar Slebor sama sekali tak
mengenal seluk-beluk Padang Mega Racun, daerah
yang bagi lawannya adalah tempat tinggal dan
tempatnya menyempurnakan kesaktian.
Namun lepas dari semua itu, Andika adalah
Andika. Kekuatan tekadnya sudah menjadi sifat yang
tak bisa dihadang. Kalau dia merasa harus datang ke
satu tempat untuk satu kewajiban, maka bagaimana
pun bahayanya, akan disatroninya juga.
Dan ketika burung-burung pemakan bangkai milik
Pendagel Setan mulai terlihat di awang-awang
sebelah utara desa, Andika pun mengikutinya. Men-
jelang perjalanan setengah hari, barulah anak muda
itu sampai di gerbang Padang Mega Racun.
Dari gapura masuk yang tersusun dari batok-batok
tengkorak manusia setinggi sepuluh kaki, Andika
merasa seperti hendak memasuki alam lain yang
begitu asing. Sepanjang mata memandang melalui
gerbang itu yang terlihat berupa kabut kelabu
bergulung-gulung, hamparan tanah hitam kering,
pepohonan kerontang merangas. burung-burung
pemakan bangkai, serta susunan tulang manusia
yang membentuk panggung kematian!
Beberapa puluh langkah dari gerbang, udara
tempat ini sudah dikuasai racun dan racun. Dan
Andika amat menyadarinya. Lalu, bagaimana dia bisa
masuk tanpa menjadi santapan racun ganas Padang
Mega Racun?
Sebelum berangkat ke tempat itu, Andika sempat
bertemu Ki Patigeni. Dari orang tua yang mengenal
banyak racun, Pendekar Slebor dibekali sebutir obat
pulung pemusnah racun kabut Padang Mega Racun.
Hanya sebuah. Itu pun hanya bertahan sepertiga hari.
Jika Andika berada lebih lama dari waktu yang
ditetapkan, maka akan mati! Sayangnya, obat pulung
itu pun tinggal satu-satunya milik Ki Patigeni setelah
dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun.
Di kejauhan sana, tepatnya di atas panggung
tulang-belulang manusia, Pendagel Setan telah berdiri
dengan sikap menantang. Bibirnya tak lekang dari
senyum pongah.
"Ayo, Pendekar Slebor! Masuklah ke tempatku!
Kudengar kau memiliki nyali yang begitu besar dalam
menghadapi setiap tantangan maut! Apa kau akan
berdiri saja di situ sampai menjadi uzur?!" tantangan
Pendagel Setan membahana.
Andika berusaha sekuat tenaga untuk tetap
tenang. Kemarahannya yang menggelegak-gelegak
dikendalikannya. Dia sudah cukup mengambil
pelajaran dalam petualangan-petualangan mautnya,
untuk tidak mengundang maut dengan bertindak
mata gelap.
Perlahan dikeluarkannya obat pulung dari Ki
Patigeni. Digenggamnya kuat-kuat sesaat, lalu
ditelannya. Kini, dia siap menghadapi Pendagel Setan
dengan taruhan nyawa.
Langkah-langkah mantap pun dibuat Andika.
Sedikit demi sedikit, jarak antara pemuda itu dengan
sang lawan kian dekat. Sampai akhirnya, Pendekar
Slebor berdiri di sisi panggung ganjil milik Pendagel
Setan calon lawan tandingnya.
"Ayo naiklah! Kenapa kau masih menunggu?!"
Andika tak ingin banyak cakap. Tubuhnya cepat
melenting ringan, lalu hinggap di salah satu tonggak
tulang.
"Kita mulai?" tanya Andika datar.
Pendagel Setan menyeringai.
"Kenapa tidak?"
Mereka pun bersiap. Sama-sama membuat kuda-
kuda. Sama-sama menyiapkan jurus pembuka.
Pada jarak sekitar tiga tombak, dua lelaki jantan
itu berhadapan penuh ketegangan. Andika tak bisa
lagi main-main dengan calon lawannya. Kalau Lelaki
Berbulu Hitam dikalahkan, berarti jurus-jurus atau
kekuatan tenaga dalam tingkat awal miliknya sudah
tidak bisa lagi diharapkan.
Itu sebabnya Pendekar Slebor langsung mengerah-
kan tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah
Kutukan pada tingkat keenam dari sembilan tingkat
yang dimilikinya.
Jurus-jurusnya pun adalah hasil ciptaannya yang
dulu pernah diandalkan untuk menyelamatkan diri
dari terjangan hujan petir di Lembah Kutukan. Jurus
yang dapat membentuk benteng cahaya putih di
sekujur tubuhnya, akibat pengerahan tenaga dalam
pada tingkat puncak.
"Hiaaa!"
Berbareng teriakan menggetarkan seluruh Padang
Mega Racun, Pendekar Slebor meluruk ke arah
Pendagel Setan. Jurus mengubak hujanan petir
memagari dirinya, sekaligus mengancam lawan dari
segenap penjuru.
Deb! Deb!
Dua tinju beruntun hendak disarangkan pendekar
muda dari tanah Jawa itu ke arah kepala dan dada
Pendagel Setan. Tinju beruntun mematikan, yang
mungkin dapat melumatkan karang paling keras yang
pernah ada di bumi!
Namun Pendagel Setan memiliki ketajaman peng-
lihatan untuk mengetahui arah pukulan Pendekar
Slebor. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah
memapakinya. Hanya saja dia harus tepat meng-
empos tenaga dalam ke sepasang tangannya. Sebab,
kesalahan pernitungan bisa berakibat maut! Apalagi
pukulan bertenaga dalam pendekar muda dari
Lembah Kutukan sudah bukan cerita kosong lagi.
Bahkan sejak buyutnya sendiri, Pendekar Lembah
Kutukan yang menjadi cerita rakyat, pukulan itu telah
begitu ditakuti.
Das! Das!
Perhitungan Pendagel Setan kali ini tak jauh
meleset. Pengerahan tenaga tangkisan di kedua
tangannya nyatanya cukup untuk menahan tinju
Pendekar Slebor agar tak meredamkan kepala serta
dadanya. Namun begitu, bukanlah berarti luput dari
akibatnya.
Deras juga tubuh Pendagel Setan terdorong ke
belakang. Runcingnya tonggak-tonggak tulang-
belulang pembentuk panggung akan merejamnya
kalau sedikit saja keseimbangannya hilang.
Beruntung, seluruh petak-petak tulang telah
disusunnya demikian rupa. Seluruh sela bangunan
ganjil itu diketahuinya betul, hingga dia pun tahu di
mana harus berpijak.
Tep!
Ringan sekali kaki Pendagel Setan menjejak ujung
paling barat tonggak tulang. Sebentar tubuhnya
limbung, selanjutnya bisa menguasai keseimbangan
lagi.
"Hebat! Hebat!" puji Pendagel Setan, nampak lebih
mirip sebagai ejekan.
Andika hanya mencibir. Jurus-jurus kembangan
'Mengubak Hujanan Petir' masih dikerahkannya.
Perlahan, tubuh kekar pemuda itu mulai diselubungi
sinar putih keperakan, seperti kabut bercahaya.
Dimulai dari sekujur tangannya yang terus bergerak
hingga membentuk bayangan ganda. Menyusul,
sepasang kakinya. Hingga akhirnya, seluruh badan
pemuda itu benar-benar diselimuti kekuatan sakti
tenaga warisan Pendekar Lembah Kutukan!
"Saatnya kau akan mampus, manusia tak berhati!"
desis Andika sarat ancaman.
"Hiaaa!"
Berikutnya, sosok pemuda sakti itu bagai
menjelma menjadi bayangan liar. Tubuh Pendekar
Slebor terus meluruk secepat kilat menuju Pendagel
Setan di ujung panggung ganjil.
Sebelumnya, Pendagel Setan pun telah mem-
persiapkan ilmu pamungkasnya yang baru saja di-
sempurnakan. Pukulan yang sanggup menyerap inti
racun dalam kabut kelabu di atas sana.
Saat sosok Pendekar Slebor berkelebat, tangan
Pendagel Setan tak kalah cepat mengepak bagai
irama sayap burung pemakan bangkai. Angin raksasa
dari kedua tangannya menyeret segenap racun
dahsyat gulungan kabut racun.
Dan....
Dash!
Terjadi benturan. Amat keras! Sehingga mampu
membuat seluruh batang pepohonan kering menjadi
retak terkena getarannya.
Seketika gerombolan burung pemakan bangkai
berhamburan ke udara. Sebagian terbang dengan
limbung penuh luka. Namun lebih banyak mati
seketika, dengan tubuh hancur berserpih!
Usai adu tenaga itu, dua sosok tergeletak tanpa
gerak. Satu tubuh Pendekar Slebor, yang lain tubuh
Pendagel Setan.
Siapa yang menemui ajal?
Sulit menentukan bila menilik keadaan mereka.
Pakaian keduanya terkoyak-koyak. Sebagian kulit pun
begitu. Darah hitam kental mengalir lamban dari
seluruh pori-pori keduanya.
Lama keadaan itu berlangsung.
Menilik keadaan Pendagel Setan, ternyata lebih
parah. Kedua tangannya hancur dengan dada
terkoyak. Sementara dada Pendekar Slebor masih
turun naik, walaupun begitu lalu Andika pingsan.
Padahal dia harus segera meninggalkan Padang
Mega Racun secepatnya. Pengaruh obat pulung
penawar yang diberikan Ki Patigeni beberapa saat
lagi akan punah.
Menjelang saat-saat segenap kekuatan racun
menerobos tubuh Pendekar Slebor yang hampir
kehilangan pemunah, mendadak sepasang tangan
halus meraih tubuhnya. Diangkatnya tubuh Andika,
lalu dipapahnya.
Orang itu adalah Cempaka.
Penuh teka-teki, perempuan yang tak terlihat
seperti baru saja menjadi tawanan itu berkata samar.
"Kakak seperguruanku itu memang lebih baik mati,
Kang Andika. Dia terlalu serakah dalam menyem-
purnakan ilmu, sehingga telah membuatnya
kehilangan akal sehat. Lupa segalanya.... Aku semula
memang sudah yakin kalau Pendagel Setan adalah
kakak seperguruanku sendiri yang tak lain Kaladewa,
walaupun wajahnya dicoreng-moreng yang membuat
aku sedikit pangling. Hm..., jadi dia memakai julukan
Pendagel Setan.,
Siapa sesungguhnya Cempaka?
Pendekar berpengamatan jeli macam Pendekar
Slebor sekalipun, akan terperangah jika tahu kalau
Cempaka ternyata adik seperguruan Pendagel Setan!
Sejak lelaki sesat itu berhasil menyempurnakan
ilmunya, otaknya jadi tak waras. Kalau sedang
dilanda kegilaan, Pendagel Setan tak bisa lagi mem-
bedakan apa-apa. Tidak kebenaran. Tak pula
kebatilan. Bahkan adik seperguruannya sendiri ter-
lupakan. Apalagi mengenali.
Cempaka waktu berusia sepuluh tahun juga murid
Nyai Wangkil selain Kaladewa yang berusia lima belas
tahun. Nyai Wangkil sendiri adalah tokoh hitam yang
lima belas tahun lain menyebar petaka di Desa
Wetan. Perbuatannya, persis dengan apa yang di-
lakukan Pendagel Setan.
Begitu tumbuh menjadi seorang gadis, agaknya
pikiran jernih Cempaka terbuka, bahwa gurunya
ternyata adalah tokoh sesat. Ini benar-benar bertolak
belakang dengan jiwanya.
Pada usia tujuh belas tahun, Cempaka melarikan
diri dari Nyai Wangkil. Gadis itu lantas berguru di
Blambangan pada seorang tokoh alirah putih. Baru
begitu menginjak dewasa, dia turun ke dunia
persilatan, sampai akhirnya tanpa diduga bertemu
Kaladewa yang berjuluk Pendagel Setan.
Dari gerak silat Kaladewa, Cempaka ingat betul itu
adalah jurus-jurus yang diturunkan Nyai Wangkil.
Sampai akhirnya Cempaka semakin yakin, setelah
melihat sepak terjang Kaladewa terhadap penduduk
Desa Wetan. Suatu tindakan yang sama persis
dengan apa yang diperbuat Nyai Wangkil lima belas
tahun yang lalu. Apalagi, kemudian Kaladewa
membawanya ke Padang Mega Racun, tempatnya
waktu kecil.
Sejak kecil, Cempaka sudah meminum semacam
ramuan yang membuatnya dengan leluasa memasuki
Padang Mega Racun. Itu sebabnya, ketika dia diculik
Pendagel Setan, keadaannya biasa-biasa saja.
Untungnya juga, Pendagel Setan lupa kalau yang
diculik adalah adik seperguruannya sendiri.
Nyai Wangkil pun pernah bercerita, kalau terlalu
banyak ilmu yang diserap, akan menyebabkan orang
jadi edan. Cempaka ingat betul. Maka dia semakin
takut berguru pada Nyai Wangkil.
Cempaka terus melangkah, keluar dari Padang
Mega Racun. Ada satu kebanggaan dalam dirinya,
bisa menyelamatkan Andika. Paling tidak pemuda
urakan ini nanti tak akan menganggap sok tahu lagi.
SELESAI
Serial PENDEKAR SLEBOR selanjutnya :
SENGKETA DI GUNUNG MERBABU
Emoticon