1
Pagi mulai menjelang. Suasana sejuk pagi
ini mewarnai sebuah desa di sekitar Gunung
Pengging. Para penduduk desa yang seharusnya
dapat menikmati indahnya pagi, namun kini ha-
nyak tewas diserang ribuan tawon ganas, lupa,
serangan dari manusia-manusia yang mengena-
kan pakaian dan topeng merah. (Baca serial Pen-
dekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja
Bulan").
Untunglah, ada seorang pendekar muda
gagah perkasa yang telah menolong. Namun
sayangnya, akibat suatu bokongan yang hebat,
pendekar muda berpakaian hijau pupus yang ber-
juluk Pendekar Slebor pun harus pingsan.
Para penduduk yang melihat Pendekar Sle-
bor dibawa pergi Manusia Pemuja Bulan dan ka-
wannya yang membokong, hanya bisa menggeram
marah. Mereka sendiri tidak menyangka kalau
pendekar berwatak konyol yang selalu menyam-
pirkan selembar kain bercorak catur di bahunya
akan mendapatkan bokongan mematikan!
Seorang pemuda yang dikenal bernama
Sawedo menggeram marah.
"Gila! Keadaan akan semakin gawat saja!"
desis Sawedo. "Kita harus segera mengikuti mere-
ka."
"Sawedo, tahan!" seru seorang laki-laki
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia
tak lain Longgom. "Jangan gegabah! Saat ini yang
terbaik adalah menyingkir dari sini. Dengan kata
lain, kita segera mengungsi."
"Maksud Paman Longgom bagaimana?"
tanya Sawedo.
Sawedo adalah anak muda berhati pana-
san, yang pernah menuduh Andika alias Pende-
kar Slebor telah melakukan serangkaian pembu-
nuhan. Namun akhirnya dia sadar kalau ternyata
semua itu bukanlah perbuatan Pendekar Slebor.
Yang diyakini saat ini, semua petaka yang terjadi
adalah perbuatan Ki Wedokmurko yang mengakui
diri sebagai Manusia Pemuja Bulan.
Longgom menghela napas panjang.
"Keadaan di sini benar-benar tidak men-
guntungkan sekarang. Ki Wedokmurko alias Ma-
nusia Pemuja Bulan, tentunya akan datang kem-
bali ke sini. Mungkin pula, dia dan kawannya te-
lah membunuh Andika. Jadi menurut hematku,
lebih baik kita segera mengungsi dari sini."
Sawedo terdiam. Begitu pula orang-orang
yang berada di sana. Apa yang dikatakan Long-
gom memang benar. Kalau saja Pendekar Slebor
dibunuh Manusia Pemuja Bulan dan kawannya,
berarti tak ada lagi pembela mereka.
"Tidak!" sentak Sawedo tiba-tiba. "Maaf,
Paman Longgom. Bukan maksudku untuk meno-
lak usulmu. Aku dan beberapa orang akan tetap
berjaga-jaga di sini."
"Jangan bodoh!" sergah Longgom. "Bisa-
bisa kau hanya akan mengorbankan nyawa bela-
ka. Sawedo!"
"Paman..., sudah kepalang basah. Semua-
nya sudah terjadi. Memang, lebih baik Paman dan
kaum wanita serta anak-anak mengungsi dari de-
sa ini. Tetapi aku akan tetap berada di sini, Pa-
man. Bahkan kalau mungkin..., aku tetap akan
mencari Andika," sahut Sawedo tegas. "Meskipun
tak memiliki kepandaian berarti, aku akan men-
cari manusia-manusia busuk itu! Aku lebih puas
mati daripada dijajah seperti ini!"
Longgom hanya menghela napas saja. Bila
menuruti kata hati, dia pun akan tetap bertahan
di sini. Namun bila melihat jumlah para pendu-
duk yang telah mati akibat keganasan Manusia
Pemuja Bulan, sudah tentu Longgom tidak meng-
hendaki lagi terjadinya pembantaian di desa ini.
"Baiklah, Sawedo.... Bila memang itu
maumu, aku setuju. Tetapi, sama sekali aku tidak
sudi menjadi pengecut. Bahkan itu pantang da-
lam falsafah hidupku. Namun sekarang, yang ter-
penting lagi adalah menyelamatkan nyawa para
penduduk yang masih tersisa. Karena, tidak mus-
tahil Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan
datang lagi ke sini," desah Longgom.
"Baiklah, Paman. Kurasa, usul Paman me-
mang benar. Baik! Sekarang juga kita kumpulkan
para penduduk."
Lalu dibantu beberapa pemuda di sana,
Sawedo dan Longgom mengumpulkan para pen-
duduk. Tidak sulit untuk meyakinkan mereka se-
karang, kalau Manusia Pemuja Bulan bukanlah
orang baik. Yang lebih utama, dia bukanlah utu-
san Dewa Bulan. Karena, tak ada Dewa Bulan
yang patut disembah. Tak ada Utusan Dewa Bu-
lan. Menurut Pendekar Slebor, pasti Ki Wedok-
murko itu mempunyai maksud tertentu, dengan
cara memanfaatkan keluguan mereka. Buktinya,
berkali-kali dia menipu para penduduk untuk
meminta sesajen seorang dara perawan suci yang
akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan.
Para penduduk pun setuju ketika Longgom
mengatakan mereka lebih baik mengungsi.
"Keadaan di sini kemungkinan besar akan
semakin parah," papar Longgom. "Akan semakin
rata dengan tanah. Ketahuilah! Manusia Pemuja
Bulan bukanlah seseorang yang patut dihormati.
Dia adalah manusia bejat yang telah mengorban-
kan dara-dara perawan milik kita untuk kepen-
tingannya sendiri. Jadi, lebih baik kita akan men-
gungsi dari sini."
Mereka bersorak setuju. Karena sesung-
guhnya mereka pun ngeri melihat musibah demi
musibah yang datang. Sangat mengerikan sekali!
"Yah! Kita memang harus pindah dari sini,
Longgom. Kau benar. Tetapi, ke manakah kita
akan mengungsi?" tanya seorang laki-laki berusia
sekitar enam puluh lima tahun.
"Ki Purwa.... Aku sudah memikirkan soal
itu masak-masak. Kita akan mengungsi ke Lem-
bah Bunga. Di sana terdapat sebuah jeram yang
memang mengalirkan air sangat deras. Akan teta-
pi, aku telah menemukan jalan menuju ke sana.
Karena, di balik air terjun itu, terdapat sebuah
gua yang cukup luas. Di sanalah kita akan men-
gungsi untuk sementara," jelas Longgom.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Purwa men-
ganggukkan kepala. Longgom menunggu, barang
kali saja ada yang hendak bertanya kembali. Te-
tapi, sampai sejauh ini tak ada yang bertanya.
Lalu Longgom pun segera memerintahkan
mereka untuk membawa barang-barang yang di-
perlukan. Yang sangat pokok, adalah bahan ma-
kanan.
*****
Tanah di sekitar Gunung Pengging sepi.
Kalau dulu, setiap malam Jumat selalu ada upa-
cara memuja bulan, tetapi kini hanya kosong be-
laka. Angin di sana berhembus begitu keras. Din-
gin menusuk tulang.
Mendadak saja, disela-sela keheningan ma-
lam dari tempat itu dua sosok tubuh berkelebat,
dan hinggap di tempat itu. Keduanya mengedar-
kan pandangan sebentar. Seolah mencari manu-
sia di sana. Setelah tak melihat seorang pun be-
rada di sana, mereka tersenyum puas. Rembulan
yang bersinar penuh, menerangi keduanya. Yang
seorang berwajah mirip seekor kera. Dia memakai
ikat kepala bergambarkan wajah kera yang buas.
Tubuh terbungkus pakaian merah.
Yang seorang lagi, bertubuh agak kurus.
Kedua tandan lebih panjang dari ukuran tangan
biasa. Dia mengenakan pakaian hitam dengan
kain bersilangan di dada. Ketika diperhatikan
dengan seksama, yang menarik adalah lelaki se-
belah kanannya. Karena yang sebelah kanan ter-
buat dari sebatang besi tajam, mulai dari deng-
kul. Sedangkan kaki yang satu lagi seperti kaki
yang sewajarnya.
"Inikah kesempatan kita untuk mencari
mayat Ki Seta, Sudongdong!" kata laki-laki berpa-
kaian hitam.
"Layan! Yakinkah kau kalau harta itu se-
benarnya ada di tubuh Ki Seta sendiri?" tanya la-
ki-laki berwajah kera yang dipanggil Sudongdong.
Laki-laki berpakaian hitam yang bernama
Layan menganggukkan kepala.
Memang sebenarnya, kedua orang ini ada-
lah dua tokoh hitam. Sudongdong berjuluk si Ke-
ra Sakti, sedang Layan berjuluk Setan Kaki Besi.
Dan bila mereka datang ke Gunung Pengging ini,
pasti ada maksud tertentu.
"Yah! Telah lama sebenarnya kuikuti kabar
tentang Ki Seta. Tak seorang pun yang tahu ten-
tang dirinya, kecuali guruku bernama Resi Ang-
gada. Karena, dia adalah adik seperguruan Ki Se-
ta di Gunung Rinjani. Konon, kakak adik seper-
guruan itu berguru pada Eyang Megatantra alias
Malaikat Hati Emas, yang kesaktiannya tak ada
duanya di dunia ini," tutur Layan.
Sebentar Layan terdiam, seperti berusaha
mengingat-ingat apa yang diketahuinya.
"Sebelum ajalnya. Eyang Megatantra mem-
berikan kepada Ki Seta dan guruku, masing-
masing sebuah benda pusaka. Resi Anggada,
mendapatkan sebuah kalung yang sangat ampuh,
karena, memiliki kekuatan gaib aneh. Kalung itu
mampu menyedot tenaga lawan tanpa terlihat dan
tanpa disadari. Saat itulah, biasanya guruku
menghabisi lawannya. Begitu mudahnya untuk
menjatuhkan lawan," lanjut Layan menjelaskan.
"Lalu apa yang diberikan Eyang Megatantra
pada Ki Seta?" tanya Sudongdong.
"Sebuah cincin bermata biru," sahut Layan.
"Itukah harta yang disimpan Ki Seta?" ce-
car Sudongdong dengan pandangan terbelalak.
"Hanya sebuah cincin? Sialan! Hanya sebuah cin-
cin saja dikatakan sebagai harta yang tak ternilai
harganya! Kau ini rupanya sangat bodoh, Layan!
Rasanya, sia-sia aku bersahabat denganmu sela-
ma ini!"
"Jangan sembarangan ngomong!" dengus
Layan mendengar kata-kata Sudongdong yang
meremehkannya. "Cincin bermata biru itu bukan-
lah sembarang cincin. Dengan cincin itu, kita tak
hanya mampu memindahkan tenaga lawan ke tu-
buh kita. Tetapi, tenaga hewan, tumbuhan, apa
saja yang dikehendaki dapat dimiliki hanya sekali
mengarahkan cincin itu pada sasaran."
"Gila!" desis Sudongdong, kagum. "Bisa-
bisa, tanpa berlatih pun, kita akan memiliki tena-
ga dalam dan kesaktian yang tinggi."
"Makanya, jangan sembarang ngomong!"
sungut Lanyan kesal. "Kau ini memang seringkali
meremehkan orang? Nah! Katakan sekarang,
apakah kau merasa aku bodoh, hah?"
Sudongdong hanya mengibaskan tangan-
nya saja.
"Lalu, di mana cincin pusaka itu berada?"
tanya lelaki berwajah kera ini.
"Menurut cerita guruku sebelum mati, dia
iri dengan keberuntungan Ki Seta. Karena, cincin
pusaka milik Ki Seta mampu mengambil dan
memindahkan tenaga dalam siapa saja yang bisa
dialirkan ke tubuhnya hingga, tenaga dalamnya
semakin kuat. Sedangkan kalung pusaka yang
didapatkan guruku, hanya mampu menguras te-
naga dalam lawan saja. Itulah yang menyerahkan
guruku menjadi iri. Karena, dia serakah!" jelas
Layan.
Sudongdong mendengus. "Kau sendiri se-
rakah!"
"Aku kan muridnya!"
"Sialan! Lalu?"
"Terjadilah perkelahian hebat antara Ki Se-
ta dengan guruku, tanpa ada yang kalah. Me-
mang, perkelahian di antara mereka sangat wajar,
karena tidak menggunakan benda-benda pusaka
itu. Mereka bertarung menggunakan ilmu-ilmu
yang diajarkan Eyang Megatantra," jelas Layan
sambil memperhatikan sinar mata Sudongdong
yang sudah memperlihatkan ketertarikannya.
"Lalu benda-benda pusaka itu?" desak Su-
dongdong.
"Dijadikan sebagai taruhan. Yang menang,
maka akan mendapatkan benda-benda pusaka
itu," jawab Layan.
"Gila! Salah seorang bisa berkhianat kalau
begitu!"
"Tetapi pertarungan itu berjalan sangat ju-
jur."
"Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Karena keduanya memiliki kesaktian sa-
ma, maka akhirnya pertarungan itu pun berjalan
berimbang. Ketika mereka melakukannya lagi, hal
yang sama tetap terjadi. Hingga akhirnya dipu-
tuskan, tak ada yang berhak memiliki benda-
benda pusaka itu. Karena...."
"Bodoh!" potong Sudongdong. "Lalu dike-
manakan benda-benda pusaka itu?"
"Mereka memang memiliki otak tidak wa-
ras. Kalau guruku termasuk orang jahat, namun
hatinya jujur. Ketika Ki Seta menginginkan kedua
benda pusaka itu ditelan oleh masing-masing pe-
miliknya, dia pun setuju. Ki Seta menelan cincin
pusaka, sedangkan guruku menelan kalung pu-
saka. Dan keanehan pun terjadi. Mendadak saja,
keduanya menjadi lumpuh. Seluruh tenaga dalam
yang mereka miliki hilang. Begitu pula kesaktian
mereka. Jangankan memikirkan soal itu, mengge-
rakkan tangan saja keduanya tidak mampu."
"Gila! Bagaimana gurumu bisa menurun-
kan ilmunya kepadamu?"
Layan tertawa. Suaranya keras, memecah
keheningan malam.
"Mudah saja, karena otakku cerdik. Meski-
pun guruku tak memiliki tenaga dalam dan ke-
saktian lagi, namun pikiranku masih waras. Selu-
ruh ilmu kesaktian yang pernah dipelajari masih
diingatnya. Meskipun, semuanya telah musnah.
Aku beruntung bertemu dengannya dua puluh
tahun yang lalu. Memang, selama ini aku men-
gabdi sekaligus merawatnya. Sehingga, akhirnya
aku mengetahui dari cerita guruku sendiri kalau
dulu memiliki kesaktian yang tiada banding. Ke-
cuali, tentunya hanya bisa ditandingi oleh kesak-
tian Ki Seta. Dengan hanya memberikan petunjuk
kepadaku melalui mulut, dia pun menurunkan
ilmunya kepadaku. Kau lihat hasilnya. Aku kini
menjadi manusia sakti sekalung!"
Sudongdong mendengus, walaupun men-
gakui kecerdikan otak Setan Kaki Besi yang ber-
hasil mendapatkan ilmu-ilmu sakti gurunya.
"Layan!" sahut Sudongdong tiba-tiba. "Dari
siapa kini mengetahui cerita tentang dua harta
pusaka itu?"
"Guruku sendiri. Kenapa?"
"Bodoh! Di mana gurumu itu? Bukankah
dia telah menelan kalung pusaka?"
"Ya."
"Bodoh! Bodoh! Kita harus mengambilnya!
Kita harus menggali kuburannya, seperti yang
akan kita lakukan pada Ki Seta!" ujar Sudong-
dong berjingkat-jingkat.
Layan mendengus jengkel.
"Kalau aku tahu di mana mayatnya, tanpa
mengusikmu aku sudah melakukannya!!"
"Di mana mayatnya?"
"Setelah menceritakan semua ini kepada-
ku, Resi Anggada melompat ke dalam jurang yang
sangat dalam, di sebelah utara Gunung Rinjani.
Nah! Apakah kau mau mencoba mengorbankan
nyawamu sendiri untuk mencari kalung pusaka
itu, hah?! Kalau aku sudah tentu tidak. Karena...,
hahaha.... Aku masih suka perempuan-
perempuan montok untuk kugeluti di kasur!"
Sudongdong mengibaskan tangannya.
"Sudahlah, jangan melecehkan aku! Hanya
sangat disayangkan, kalung pusaka itu. Padahal
benda langka itu membuat kita akan disegani
kawan maupun lawan."
"Tetapi, hanya satu yang bisa kita da-
patkan sekarang. Cincin sakti di tubuh Ki Seta."
"Bagus! Sekarang, kita cari di mana mayat
Ki Seta dikuburkan!!"
Lalu mereka segera berkelebat di tengah
kegelapan malam. Masing-masing membuka mata
lebih lebar lagi. Karena, harta yang dirahasiakan
Ki Seta adalah cincin pusaka yang seperti diceri-
takan Layan atau Setan Kaki Besi.
2
Dua sosok tubuh berkelebat menembus ke-
remangan malam. Rembulan di atas sana tak ku-
asa memancarkan sinarnya ke persada, karena
terhalang gumpalan awan hitam.
Salah satu sosok yang berkelebat, menge-
nakan jubah berwarna hitam. Dia memanggul sa-
tu sosok tubuh yang agaknya pingsan. Sementara
di sebelahnya berlari seorang lelaki bertelanjang
dada.
Kedua sosok yang ternyata dua orang lelaki
itu menghentikan larinya, ketika telah tiba bebe-
rapa tombak di depan sebuah gua yang tertutup
semak-semak dan tumbuhan merambat.
"Gembel tua! Di sinikah gua yang kau
maksudkan?" tanya lelaki berjubah hitam.
"Benar, Wedokmurko," sahut lelaki berte-
lanjang dada yang dipanggil Gembel Tua.
Tanpa banyak cakap lagi mereka memasu-
ki gua. Jika tak mengenal betul daerah ini, tak
akan ada yang mengira di sini ada sebuah gua.
Mereka terus melangkah memasuki gua
yang semakin lama semakin melebar. Ada bebe-
rapa obor dari getah pohon jarak yang menerangi
gua itu didalamnya.
Diruangan yang paling luas, lelaki berjubah
hitam yang memang Wedokmurko terbahak-
bahak sambil berputar. Sementara sosok yang
pingsan itu masih berada di bahunya.
"Hm... Tak jauh berbeda dengan gua yang
kutempati selama ini! Hhh! Gara-gara Pendekar
Busuk ini seluruh rencanaku gagal!" desis Ki We-
dokmurko yang dikenal sebagai Manusia Pemuja
Bulan sambil membanting sosok pingsan, berpa-
kaian hijau pupus.
Suara Manusia Pemuja Bulan yang keras
membangunkan satu sosok tubuh ramping be-
rambut panjang yang tidur di ruang lain. Dia ter-
kurung oleh tonggak-tonggak besi yang mem-
buatnya tak bisa keluar. Memang, sosok yang tak
lain seorang gadis itu sedang dipenjara. Dan keti-
ka mendengar suara ribut-ribut, dia mengetahui
kalau ada yang datang ke sini.
"Wedokmurko! Ini adalah kesempatan kita
untuk membunuh Pendekar Slebor. Bila dia ma-
sih hidup, maka seluruh rencana kita akan gagal"
ujar Gembel Tua.
"Kau benar. Gembel Tua! Hhh! Kita me-
mang telah sepakat sejak lama. Kalau aku men-
dapat dan mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' kau
mendapatkan cincin pusaka. Tetapi sekarang, ga-
ra-gara Pendekar Slebor, rencana kita hampir
gagal. Gembel Tua! Aku hanya membutuhkan
seorang darah perawan lagi, maka seluruh ajian
'Unggulan Dewa' yang kupelajari akan sempurna.
Kau tahu sendiri bukan, aku telah banyak menge-
luarkan tenaga untuk menghancurkan Pendekar
Slebor. Yang membuatku muak, dia ternyata tahu
kelemahanku. Karena ajian 'Unggulan Dewa' be-
lum sempurna kupelajari, sehingga bahuku sebe-
lah kanan tidak memancarkan sinar merah. Un-
tungnya, kau datang dan langsung membokong
Pendekar Slebor," papar Manusia Pemuja Bulan.
Kata-kata Manusia Pemuja Bulan mem-
buat sosok ramping yang berada dalam penjara
itu tersentak. Yah, dia tahu sekarang. Orang yang
berbicara memang Manusia Pemuja Bulan. Lalu,
apa yang dikatakannya tadi? Pendekar Slebor?
Benarkah Pendekar Slebor dalam keadaan ping-
san dan sekarang berada di dalam kekuasaan
mereka? Dan, apakah mereka bermaksud mem-
bunuhnya?
"Hanya seorang dara perawan bukanlah
suatu masalah yang sulit." kata Gembel Tua.
"Maksudmu?" tanya Ki Wedokmurko.
Gembel Tua tersenyum.
"Saat ini, aku pun memiliki seorang dara
perawan yang bisa dikorbankan untuk menyem-
purnakan ajian 'Unggulan Dewa'."
"Mana dia? Mana?" desak Ki Wedokmurko
tidak sabar.
Gembel Tua tersenyum lagi.
"Tadi kukatakan, masalah itu tidak sulit.
Yang sulit sekarang, sudahkah kau mendapatkan
di mana harta Ki Seta berada?" tukas Gembel
Tua.
Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu-
lan menggelengkan kepala.
"Sayangnya, aku tidak tahu di mana harta
Ki Seta yang berupa cincin pusaka itu," keluh
Manusia Pemuja Bulan.
Mendengar kata-kata itu. Gembel Tua bu-
kannya marah, justru tersenyum.
"Wedokmurko! Kau telah mendapatkan
ajian 'Unggulan Dewa' dari sebuah kitab yang tak
sengaja kita temukan. Kini, tibalah saatnya gili-
ranku untuk mendapatkan cincin pusaka itu,"
ujar Gembel Tua sambil tersenyum penuh arti.
"Hei? Kau sudah tahu harta Ki Seta itu?"
tanya Ki Wedokmurko.
Sementara satu sosok tubuh yang men-
dengarkan pembicaraan itu pun tersentak. Harta
Ki Seta? Cincin pusaka? Telinganya pun dibuka
lebar-lebar untuk mendengarkan pembicaraan se-
lanjutnya. Karena hal ini sangat menarik hatinya,
terlalu sayang bila dilewatkan. Gembel Tua men-
gangguk.
"Kau tahu, di mana Ki Seta dimakamkan?"
Gembel Tua malah balik bertanya.
"Ya"
"Antar aku ke sana."
"Untuk apa?"
"Karena, di perut Ki Seta-lah cincin pusaka
itu berada."
Untuk sesaat Ki Wedokmurko terdiam.
"Tololnya aku!" bentak Manusia Pemuja
Bulan sambil menepuk kepalanya. "Rupanya har-
ta itu berada di depan mataku!"
"Kau terkadang memang tolol!" sindir Gem-
bel Tua. "Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang
ini, rahasia tentang harta Ki Seta yang berupa
cincin pusaka itu telah terdengar orang-orang
rimba persilatan. Dan dugaanku, dalam waktu
singkat saja, maka akan bermunculan mereka. Di
mana mayat Ki Seta dimakamkan?"
"Di lereng Gunung Pengging sebelah ti-
mur."
"Hmm.... Wedokmurko! Kita harus sece-
patnya tiba di sana lebih dulu. Menggali makam-
nya dan membelah mayatnya," ujar Gembel Tua.
"Jangan khawatir! Kita akan mendapatkan
semua yang kita inginkan. Kini, tibalah giliranmu
untuk mendapatkan cincin pusaka itu...," sahut
Ki Wedokmurko sambil menepuk-nepuk bahu
kawannya.
"Kapan kita akan mencarinya?"
"Kalau perlu, malam ini juga. Karena, lebih
cepat lebih baik. Apalagi kau katakan tadi, orang-
orang rimba persilatan sudah mengetahui tentang
cincin pusaka yang berada di dalam tubuh Ki Se-
ta."
"Bagus! Lalu bagaimana dengan pendekar
tengil itu?"
Ki Wedokmurko terbahak-bahak "Mudah
saja. Bunuh sekarang juga!"
Gembel Tua pun ikut terbahak-bahak. Se-
mentara satu sosok yang mendengarkan tentang
rahasia harta Ki Seta, menghela napas panjang.
•k'k'k
"Bangsat! Di mana letak makam itu?" rutuk
Sudongdong, setelah sekian lama mencari tak ju-
ga menemukan makam Ki Seta. "Hei, Layan....
Yakinkah kau kalau makam itu berada di sekitar
lereng Gunung Pengging ini?"
Layan alias Setan Kaki Besi itu mengang-
guk.
"Hal itu tak diragukan lagi. Tetapi tidak
usah ribut-ribut karena sebentar lagi kita pasti
akan menemukannya!" ujar Layan.
Belum lagi Sudongdong menyahuti kata-
kata Setan Kaki Besi....
"Hik hik hik.... Rupanya sudah ada dua ke-
roco tak berguna yang menginginkan cincin pu-
saka itu!"
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh,
melengking di keremangan malam.
Keduanya tersentak dan seketika men-
gangkat kepala. Di ranting sebuah pohon besar
tampak duduk tenang satu sosok tubuh sambil
mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menjun-
tai. Sikap duduk begitu ringan sambil mengayun-
ayunkan tubuhnya di ranting sekecil itu. Dalam
sekali lihat saja, sudah bisa ditebak kalau wanita
tua dengan rambut digelung ke atas itu bukanlah
orang sembarangan.
"Camar Hitam...!" desis Ki Wedokmurko
dan Gembel tua, berbareng.
Mereka mengenal wanita itu, yaitu sebagai
Camar Hitam, seorang tokoh golongan hitam yang
merajai daerah selatan.
Tetapi bagi Sudongdong dan Layan, sama
sekali tidak merasa gentar. Bahkan mereka sudah
mengepalkan kedua tangan. Hati mereka panas
melihat sikap si Camar Hitam.
Sudongdong rupanya masih bisa menyem-
bunyikan kemarahannya.
"Tak kusangka..., rupanya orang selatan
pun hijrah ke daerah barat ini," kata Sudongdong,
sambil tertawa.
"Monyet busuk! Apakah kau pikir aku akan
berdiam diri di tempatku saja, hah?!" bentak Ca-
mar Hitam sambil terkikik.
Wajah Camar Hitam yang tirus penuh keri-
put. Pakaiannya berwarna keperakan. Di tangan
kanannya terpegang sebatang tongkat yang nam-
pak kusam.
"Lalu, untuk apa kau datang ke sini, hah?!"
tanya Sudongdong balik membentak.
"Hik hik hik.... Rupanya otakmu sama per-
sis dengan wajahmu itu, Sudongdong! Telingaku
masih tajam untuk mendengar tentang cincin pu-
saka yang diributkan orang! Hhh! Apakah keda-
tangan kalian di tempat ini untuk merebut benda
yang sama?"
Layan yang berjuluk Setan Kaki Besi, tak
bisa menguasai amarahnya.
"Camar Hitam! Selama ini, kupandang kau
sebagai tokoh hitam nomor satu di selatan! Tetapi
sekarang, malam ini sikapmu yang memuakkan
itu telah membuat kemarahanku naik!"
Mendengar bentakan yang bernada anca-
man bukannya membuat Camar Hitam jeri, justru
makin terkikik-kikik. Suaranya mirip kuntilanak
yang sedang mencari bayi!
"Hebat! Hebat sekali kata-katamu itu,
Layan! Kau memang patut dijuluki Setan Kaki
Besi! Tetapi..., hmmm. Rasanya, lebih baik mulai
malam ini juga julukanmu itu aku ganti, menjadi
Setan Tanpa Kaki!"
"Keparat!"
Layan langsung mengibaskan tangannya ke
arah Camar Hitam.
Srrrttt!
Serangkum angin keras menderu ke arah
nenek itu. Tetapi tanpa berpindah dari tempat
duduknya di ranting yang kecil, Camar Hitam
menggerakkan tangan kanannya yang memegang
tongkat.
Teb! Teb! Teb!
Tiga buah daun putus karena ayunan
tongkat Camar Hitam langsung meluncur ke arah
Layan.
Siiing! Siiing! Siiing!
Dua buah daun yang telah dialirkan tenaga
sakti, menghalau angin keras yang dilontarkan
Setan Kaki Besi. Sementara sehelai daun lagi me-
luncur deras ke arah kaki kiri Layan.
Layan menggeram sambil melenting ke
samping.
"Anjing peot!" maki laki-laki itu begitu
hinggap di tanah.
"Hikhikhik.... Lumayan, lumayan keheba-
tanmu itu, Layan. Kau memang masih pantas un-
tuk diperhitungkan. Cuma, sayang. Malam ini,
namamu akan terkubur di lereng Gunung Pengg-
ing!"
Layan sudah tidak mampu lagi menguasai
amarahnya. Namun sebelum berbuat apa-apa....
"Camar Hitam...!" sela Sudongdong. "Kehe-
batanmu memang tak perlu disangsikan lagi. Te-
tapi, bagaimana kalau kita sama-sama mencari
mayat Ki Seta dan mendapatkan cincin pusaka
itu?"
"Hmmm.... Boleh juga akal licikmu itu, Su-
dongdong. Kau memang sangat terkenal karena
kelicikanmu. Bila aku sudah menemukan di ma-
na mayat Ki Seta, lalu kau akan membokongku?
Hik hik hik.... Hebat, hebat sekali!" tukas Camar
Hitam.
"Bukan itu maksudku. Setelah menda-
patkan mayat Ki Seta, kita akan mencari cincin
pusaka itu. Karena menurutku, aku masih me-
nyangsikan kalau cincin pusaka itu berada di da-
lam tubuh Ki Seta," jelas Sudongdong sudah
mengeluarkan akal bulusnya.
Lelaki berwajah tirus itu tahu. Camar Hi-
tam adalah orang yang mudah terpengaruh
meskipun kesaktiannya teramat tinggi. Paling ti-
dak, harapan Sudongdong, bila semua itu terlak-
sana memang akan membokongnya. Wajahnya
tadi sempat memerah ketika Camar Hitam mam-
pu menebak maksudnya. Tetapi dia adalah orang
licik, yang akan menggunakan segala macam cara
untuk mendapatkan maksudnya.
"Permainan seperti itu tak patut diberikan
kepadaku. Sudongdong. Sudah tentu cincin pu-
saka itu berada di perut Ki Seta," kata Camar Hi-
tam.
Sudongdong tertawa meremehkan, me-
mancing rasa penasaran Camar Hitam.
"Tak kusangka, orang yang ditakuti di sela-
tan ternyata percaya kabar burung. Bahkan lang-
sung percaya kalau dikatakan cincin pusaka itu
berada di tubuh Ki Seta. Sayang sekali. Padahal
seharusnya, harus dibuktikan dulu. Mencari
mayat Ki Seta, sekaligus membuktikan apakah
cincin pusaka itu benar-benar berada di dalam
tubuhnya.
Camar Hitam terdiam. Sudongdong tahu
kalau nenek sakti itu telah terpengaruh kata-
katanya.
"Camar Hitam! Dalam dunia persilatan ini,
orang yang paling sakti maka dialah yang akan
menang. Nah! Apakah kau masih khawatir aku
dan Layan membokongmu bila sudah menemu-
kan cincin pusaka itu? Jelas tidak mungkin itu
kami lakukan. Karena kami tahu akan kesak-
tianmu. Kami tidak akan mampu melawanmu
meskipun berdua. Tetapi, jangan lupa. Itu pun
kalau memang cincin pusaka itu berada di perut
Ki Seta." lanjut Sudongdong.
Camar Hitam semakin terdiam, mulai ter-
makan kata-kata Sudongdong.
"Hhh! Tidak mungkin kalau cincin pusaka
itu tidak ada di perut Ki Seta! Lantas, untuk apa
kau dan Setan Kaki Besi mendatangi tempat ini,
kalau bukan untuk memburu mayat Ki Seta,
hah?!" dengus Camar Hitam.
"Karena, kami masih ingin membuktikan
berita burung itu. Apakah kau tidak malu, nama
besarmu sebagai tokoh di selatan akan ditertawa-
kan orang-orang rimba persilatan? Kau susah
payah mendatangi wilayah barat ini hanya untuk
menelan kebodohan. Karena, rupanya kabar ten-
tang cincin pusaka itu hanyalah kabar burung?
Sangat disayangkan!"
Camar Hitam sudah benar-benar terkena
ucapan si Kera Sakti. Ia benar-benar orang bo-
doh, tak mempergunakan otaknya. Segala sesua-
tunya hanya ditekankan pada kesaktiannya saja.
"Tetapi, siapakah yang berhak menda-
patkan cincin pusaka itu bila memang ternyata
benar berada di perut Ki Seta?" tanya Camar Hi-
tam.
"Ha ha ha...! Bagaimana mungkin kau bisa
langsung yakin cincin itu berada di perut Ki Seta?
Hah?! Apakah kau melihatnya dia menelan cincin
itu? Jangan bodoh, Camar Hitam!" tukas Sudong-
dong.
Kata-kata Sudongdong yang mengandung
bujukan itu kini dimakan bulat-bulat oleh Camar
Hitam. Dan tiba-tiba dia melompat dengan satu
gerakan ringan manis sekali, lalu hinggap di ta-
nah bagaikan sehelai kapas yang dipermainkan
angin dengan mata menatap nyalang.
"Aku menurut kata-katamu. Tetapi bila ka-
lian membokongku, tak akan pernah kubiarkan
hidup!" ancam Camar Hitam.
Sudongdong terbahak-bahak. Pertama, un-
tuk menutupi kekhawatirannya akan ancaman
Camar Hitam. Kedua, menertawakan kata-kata
Camar Hitam sendiri.
Kalaupun dia akan membokongnya nanti,
sudah bisa dipastikan si Camar Hitam akan men-
jadi mayat. Dan, lelaki berwajah kera itu memang
berniat melakukannya.
"Camar Hitam! Tadi pun kukatakan, apa-
kah aku dan Setan Kaki Besi akan mampu meng-
hadapi kesaktianmu?" tukas Sudongdong penuh
sanjungan. "Kami merasa kecil di hadapanmu.
Dan lagi, kami cukup gentar mendengar ancaman
itu. Sehingga, kami tidak berani mencoba-coba
melakukannya. Kami harus menggunakan otak
untuk melakukannya!"
Camar Hitam kali ini bukan hanya mene-
lan bulat-bulat kata-kata Sudongdong yang berbi-
sa, bahkan tersenyum sumringah mendengar pu-
jian itu.
"Yah, kalian memang tak ada apa-apanya
dibanding kesaktianku!" kata Camar Hitam den-
gan dagu terangkat
"Nah! Kau sendiri yakin, akan mampu
mengalahkan kami...?"
"Sudah, sudah! Sekarang jangan banyak
mulut! Kita cari di mana makam Ki Seta!"
Sudongdong tertawa puas. Layan pun ter-
tawa dalam hati, memuji kepintaran Sudongdong
untuk menghasut sekaligus membujuk Camar Hi-
tam. Karena dia pun yakin, meskipun berdua
akan menyerang Camar Hitam, belum tentu akan
mampu menaklukkannya.
3
Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas
melihat tubuh Pendekar Slebor yang telah terikat
dengan rantai besi yang besar dan kuat. Di leher
pendekar urakan itu melilit seutas tali besar, yang
sangat menyulitkan untuk meloloskan diri. Kare-
na bila Andika bergerak, maka tali yang melilit le-
hernya akan semakin mengencang.
Si Gembel Tua yang telah mengambil
seember air, segera menyiramkannya ke tubuh
Andika berkali-kali. Seketika, pemuda pewaris il-
mu Lembah Kutukan itu gelagapan dan basah
kuyup. Sebelumnya tadi, dia telah mengobati tu-
buh Andika yang dibokongnya.
Mata Pendekar Slebor mengerjap-ngerjap.
Seluruh tubuhnya terasa sakit luar bisa. Dan
alangkah terkejutnya Andika ketika merasa sulit
saat menggerakkan kedua tangan dan kakinya.
Rasa sakit pun sangat terasa, ketika lehernya
bergerak.
"Ha ha ha.... Pendekar Slebor..., selamat
bertemu kembali...," kata Manusia Pemuja Bulan.
Telinga Andika sayup-sayup mendengar
kata-kata itu. Lalu penglihatannya ditajamkan.
Dan dilihatnya dua sosok tubuh sudah menatap-
nya dengan dingin.
"Apakah kau merasa mampu melepaskan
dirimu sekarang, Pendekar Slebor?" ejek Manusia
Pemuja Bulan. "Sudah kukatakan, kau akan
mampus karena terlalu lancang mencampuri se-
gala urusanku!"
Andika tersenyum. Meskipun sekujur tu-
buhnya masih terasa lemas, namun pikirannya
sudah bekerja. Pendekar Slebor pun tak heran
melihat sosok di sebelah Manusia Pemuja Bulan
yang menatapnya dengan sinis.
"He he he...! Tridarma..., kita bertemu la-
gi...," kata Andika, kalem.
Gembel Tua yang tak lain Tridarma terse-
nyum mengejek
"Sekarang, kau tahu siapa aku, bukan?"
kata Tridarma. Sikapnya sangat pongah. Andika
nyengir.
"Dari semula juga aku tahu, kalau kau bu-
kan pelayan Eyang Ki Saptacakra. Mana ada sih,
penghuni Lembah Kutukan kurus kerempeng se-
perti itu!" cerocos Andika.
Memang, sebelumnya Andika tertipu ting-
kah laku Tridarma yang mengaku sebagai bekas
pelayan Ki Saptacakra, Pendekar Lembah Kutu-
kan beberapa puluh tahun yang lalu. Bersama
Andika, dia pun saat itu ikut mencari Manusia
Pemuja Bulan. Dan sekarang, tak tahunya laki-
laki berusia delapan puluh lima tahun yang tak
mengenakan baju itu adalah musuh dalam seli-
mut (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode :
"Manusia Pemuja Bulan").
Wajah Tridarma memerah.
"Andika... Tak pernah kusangka kalau
pendekar muda yang namanya sangat tersohor
itu dapat tertipu oleh sebuah sandiwara kecil!"
ejek Tridarma lagi.
"He he he...! Namanya juga kan manusia.
Terkadang suka lupa dan khilaf, kan?" sambut
Andika enteng. "Tetapi ya..., sebenarnya aku juga
sudah curiga. Hanya saja, aku sengaja membiar-
kanmu merasa bangga karena kau mampu meni-
pu pendekar ganteng dan hebat yang gagah ini,"
"Kau bodoh!" desis Tridarma.
"Lumayan pujian itu," kata Andika enteng.
Tridarma tersenyum mengejek. "Kau memang sle-
bor! Pantas julukan Pendekar Slebor itu untuk-
mu!"
"Lumayan buat makan nasi, sih!" sahut
Andika lagi. Tetap dengan gayanya yang urakan,
"Eh! Apakah kalian sudah yakin, dengan kekua-
tan rantai dan tali besar ini?"
Justru wajah Ki Wedokmurko alias Manu-
sia Pemuja Bulan yang memerah sekarang. Dia
merasa diejek dengan kata-kata Pendekar Slebor.
"Kau sudah tak berdaya, Pendekar Slebor!
Jangan banyak tingkah sekarang!" bentak Manu-
sia Pemuja Bulan.
"He he he....! Aku hanya tanya saja, kok.
Boleh, kan?" tukas Andika sambil memperkirakan
kekuatan rantai dan tali besar itu.
Pendekar Slebor yakin, rantai dan tali be-
sar itu sudah dialiri tenaga dalam kuat oleh Ma-
nusia Pemuja Bulan. Diam-diam hatinya menye-
sali kebodohannya, ketika Tridarma mengaku pe-
layan Ki Saptacakra. Andika baru menyadari ka-
lau Tridarma adalah musuh dalam selimut, ketika
mencari Mayang, gadis desa yang hendak dikor-
bankan untuk Dewa Bulan. Keselamatan Mayang
waktu itu dititipkan pada Tridarma. Dan ternyata,
gadis itu tidak ada di tempat semula.
Dan satu alasan lagi yang membuatnya
semakin yakin kalau Tridarma adalah kawan Ma-
nusia Pemuja Bulan, ketika penduduk yang ber-
mukim di sekitar lereng gunung Pengging diserbu
ribuan tawon. Saat itu, Tridarma mengatakan ka-
lau ribuan tawon telah menyerang desa di lereng
Gunung Pengging. Padahal pada saat yang sama
Andika pun menajamkan telinganya, namun tak
mendengar apa-apa.
Lagi-lagi Andika menyadari kebodohannya,
karena telah ditipu Tridarma. Dia yakin, sebenar-
nya Tridarma sudah tahu kalau hari itu Manusia
Pemuja Bulan akan mengeluarkan tawon-tawon
ganasnya. Dan yang terpenting lagi, ketika Andika
hendak mengorek keterangan salah seorang ma-
nusia berpakaian dan bertopeng merah yang dike-
tahui sebagai anak buah Manusia Pemuja Bulan.
Namun tahu-tahu saja Tridarma muncul dan
langsung membunuhnya (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan").
"Rupanya, Pendekar Slebor adalah orang
bodoh!" ejek Tridarma
"Kalau kau iri dengan kecerdikanku, seha-
rusnya jangan mengatakan aku bodoh, dong,"
sergah Andika. "Nah.... Biasanya memang begitu.
Orang bodoh suka mengaku pintar, dan enak saja
mengatakan orang lain yang bodoh. Seperti kalian
ini yang seharusnya.eagghhkkkhh!"
Sebuah pukulan keras telah menghantam
perut Andika.
"Jangan banyak cincong! Nyawamu sudah
di ujung Muluk!" bentak Tridarma.
Andika masih nyengir saja. "Lumayan,
memang aku sedang pegal!"
"Bangsat!"
Dengan geram Tridarma kembali melan-
carkan pukulan ke sekujur tubuh Andika. Meski-
pun Andika sudah mengeluarkan tenaga dalam-
nya, namun dalam keadaan tak berdaya seperti
itu harus merasakan sakit juga
"Mampuslah kau. Pendekar Slebor!" dengus
Tridarma sambil menendang wajah Andika.
Duk!
Wajah Pendekar Slebor langsung berbelok
ke kiri. Bukan sakit akibat tendangan, melainkan
karena ikatan tali pada lehernya. Tetapi dasar
bandel. Andika cuma tersenyum-senyum saja.
"Yah...! Lumayan tenagamu. Tridarma. Cu-
kup untuk mengocok kue apem yang banyak di
jual di pasar!"
Tridarma hendak mengayunkan tangannya
kembali, tetapi sudah ditahan Manusia Pemuja
Bulan.
"Biarkan manusia ini ngoceh terus mene-
rus sampai berbusa. Sekarang, kita tinggalkan sa-
ja dia di sini!" ujar Ki Wedokmurko.
"Tidak! Aku ingin melihat sampai di mana
kekuatannya?!" tolak Tridarma, tegas.
"Biarkan saja dia berbuat semaunya! Toh,
aku tidak bisa melawannya, bukan? Hei, jubah
hitam jelek! Apakah kau tidak ingin memukulku
juga?" sahut Pendekar Slebor, sambil tertawa.
Mendengar tantangan itu, wajah Manusia
Pemuja Bulan menjadi memerah. Dia tahu, saat
ini tenaganya telah terkuras karena bertarung
melawan Pendekar Slebor sebelumnya. Apalagi
tenaganya juga harus disimpan untuk menyem-
purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang di-
pelajarinya. Makanya dia hanya bisa menggeram.
"Tridarma! Kalau kau ingin menghabisinya
sekalian juga, lakukan! Aku menunggumu di
luar!" ujar Manusia Pemuja Bulan sambil melang-
kah keluar.
"Hei, jangan di luar! Banyak nyamuk yang
dapat menggigit tubuhmu..., eeiiggkkhh!" ujar
Pendekar Slebor, yang kemudian terputus oleh
hantaman Tridarma.
Lelaki tak berbaju itu marah sekali men-
dengar ejekan-ejekan pendekar urakan yang ko-
nyol.
Sementara di ruangan lain, di gua itu juga,
satu sosok tubuh hanya bisa menangis menden-
gar pukulan-pukulan Tridarma pada tubuh Pen-
dekar Slebor. Sosok itu lak lain adalah Mayang,
yang telah diculik Tridarma ketika Pendekar Sle-
bor menyelamatkan para penduduk dari serangan
tawon-tawon ganas.
Air mata gadis itu terus menitik.
•kJck
"Sawedo! Ke mana lagi arah yang harus ki-
ta tempuh?" tanya seorang pemuda pada Sawedo.
Memang, setelah beristirahat untuk memu-
lihkan tenaga, Sawedo segera mengajak tiga ka-
wannya untuk berangkat mencari Pendekar Sle-
bor. Meskipun ini termasuk rencana gila, akan te-
tapi Sawedo yang merasa berhutang budi terha-
dap Pendekar Slebor telah bertekad merelakan
nyawanya demi keselamatan pemuda sakti itu.
Sawedo sendiri sadar kalau dirinya bukanlah to-
koh sakti. Buktinya, Pendekar Slebor saja berha-
sil dikalahkan Manusia Pemuja Bulan dan ka-
wannya itu.
Apalagi dia? Memang, bagi Sawedo ini ada-
lah perjalanan berat yang baru pertama dilaku-
kan.
Apalagi, Sawedo pun teringat kalau sebe-
lumnya pernah menuduh Andika telah melaku-
kan pembunuhan terhadap Medi, Kang Menggolo,
dan istrinya. Inilah yang membangkitkan tekad-
nya. Dia ingin menebus kesalahannya waktu itu
dengan mencari Pendekar Slebor.
"Aku tidak tahu, Subekti. Tetapi menurut
firasatku, ia pasti dibawa ke arah timur," sahut
Sawedo pada pemuda yang bertanya padanya.
Saat ini mereka berada di sebuah hutan le-
bat. Malam sangat pekat. Di samping sinar bulan
yang malam ini tertutup awan hitam, juga sinar-
nya tak mampu menembus lebatnya dedaunan.
"Tetapi, bagaimana kita bisa menolongnya,
sementara kita tidak memiliki kemampuan berar-
ti?" tanya pemuda yang berkepala botak. Tangan
kanannya memegang sebilah parang besar.
"Itu juga yang kupikirkan, Jalu!" sahut Sa-
wedo seraya menghela napas panjang.
"Nah! Lalu, mengapa kau tetap bersikeras
untuk mencarinya. Lagi pula, kita tidak tahu
apakah dia masih hidup atau sudah mati? Kita
sendiri melihat pendekar itu terkapar ketika dibo-
kong laki-laki tua yang bertelanjang dada, lalu di-
panggul Manusia Pemuja Bulan dalam keadaan
pingsan?" tukas pemuda botak yang dipanggil Ja-
lu.
Kali ini Sawedo terdiam, lalu menghela na-
pas panjang,
"Memang, ini hanyalah kenekatan belaka.
Tetapi budi baik pendekar sakti itu harus dibalas.
Mungkin dia mengalami suatu siksaan yang me-
nyakitkan saat ini," desah Sawedo.
"Tetapi, Sawedo. Ke mana lagi kita harus
mencarinya?" tanya pemuda lain yang sejak tadi
diam saja. "Belum lagi kemungkinan besar Manu-
sia Pemuja Bulan dan kawannya akan mudah
menghancurkan kita."
"Memang pahit kenyataan ini, Giri! Tetapi
hatiku sudah mantap, meskipun tahu tenaga kita
tidak akan ada gunanya," sahut Sawedo, sejenak
Sawedo mengedarkan pandangan pada teman-
temannya. "Sekarang bagaimana? Apakah kalian
masih mau ikut bersamaku? Kalau kalian kebera-
tan, aku tidak apa-apa. Silakan kalian kembali ke
desa, atau menyusul rombongan yang dipimpin
Paman Longgom ke Lembah Bunga."
Tak ada sahutan. Mereka hanya saling
pandang saja.
"Sawedo! Jangan marah dengan kata-kata
kami tadi. Kami hanya mengungkapkan suatu
kemungkinan, kalau pencarian kita pada Pende-
kar Slebor akan sia-sia. Ini sama saja mengantar-
kan nyawa." kata Subekti.
"Kuhargai soal itu. Tetapi, aku akan tetap
mencarinya, meskipun sekali lagi kukatakan ke-
mungkinan nyawa kita yang akan melayang. Ter-
serah kalian. Meskipun terus terang, aku sangat
mengharapkan sekali kalian ikut bersamaku," sa-
hut Sawedo.
Lagi-lagi mereka saling berpandangan. Me-
rasa tak enak juga mendengar kata-kata Sawedo.
Apalagi sampai membiarkannya pergi seorang diri
dalam keadaan gawat seperti ini.
"Sudahlah, kita lupakan saja percakapan
kita barusan," kata Subekti lagi. "Kami akan tetap
ikut bersama."
Sawedo tersenyum.
"Terima kasih."
***
Rombongan yang dipimpin Longgom telah
tiba di Lembah Bunga. Mengungsi di tempat yang
jaraknya tak jauh itu memang membutuhkan ke-
beranian luar biasa. Karena, akan sangat mudah
sekali dicari lawan-lawan mereka.
Tetapi yang dikatakan Longgom tentang
sebuah gua yang luas terdapat di belakang air ter-
jun, memang benar. Setelah mereka melintasi
Lembah Bunga luas yang penuh ditumbuhi aneka
bunga, mereka pun tiba di atas sebuah air terjun
yang sangat deras. Suaranya bergemuruh dan
sangat menakutkan.
"Jalan mana yang akan kita tempuh untuk
sampai ke gua itu, Longgom?" tanya laki-laki tua
yang dikenal bernama Ki Purwa.
"Di sebelah sana. Mari semua ikut aku!"
ajak Longgom sambil menunjuk satu arah.
Dan rombongan itu pun bergerak kembali.
Jalan menurun bebatuan kini dijajaki.
"Jalan satu-satunya untuk tiba di belakang
gua itu, hanyalah lewat sini," kata Longgom, begi-
tu berhenti di tempat yang agak rendah.
"Gila!" seru Ki Purwa. "Apakah kau tidak
lihat jalannya begitu landai dan penuh batu-batu
tajam?"
"Hanya itu jalan satu-satunya," sahut
Longgom, pelan.
"Kau mengada-ada, Longgom."
"Tidak, Ki. Kita memang harus melalui ja-
lan ini untuk tiba di belakang air terjun itu. Ba-
nyak yang mengetahui jalan ini sebenarnya. Teta-
pi, semuanya tak ada yang tahu jalan tembus un-
tuk menuju ke gua di balik air terjun. Ayo, semua
berpegangan dan hati-hati."
Lalu satu persatu dengan dipimpin Long-
gom, mereka pun menuruni jalan berbatu yang
landai. Suasana terasa sangat tegang. Apalagi di-
tingkahi bunyi gemuruh air terjun, yang mampu
membuat kengerian semakin menjadi-jadi. Tetapi
berkat kesabaran dan tekad yang gigih, mereka
pun berhasil menuruni batu-batu itu.
"Lewat sini!" tunjuk Longgom sambil men-
gibaskan goloknya pada sebuah semak yang ting-
gi dan besar.
Setelah disibakkan dengan golok, terlihat-
lah sebuah jalan yang sedikit berliku. Memang,
tak seorang pun yang akan menyangka di balik
rimbunnya semak itu terdapat sebuah jalan.
Kemudian satu persatu mereka melangkah.
Longgom sendiri dengan dibantu tiga orang pe-
muda, menutupi jalan rahasia itu dengan semak-
semak pula.
Kini mereka menyusuri jalan yang berliku.
Tidak terlalu landai dan banyak batu. Bahkan te-
rasa malah mudah sekali.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di
sebuah tempat yang besar. Longgom memerin-
tahkan beberapa pemuda untuk menyalakan obor
yang dibawa, namun sejak tadi tidak dinyalakan.
Dengan bantuan cahaya penerangan dari
obor semakin terlihat gua yang besar itu. Jarang
sekali angin berhembus di situ. Sehingga, tempat
itu terasa hangat. Meskipun jarang ada angin
yang masuk ke sana, namun karena dinginnya
percikan-percikan air, suasana di sana tidak ter-
lalu pengap.
Ki Purwa mendesah kagum ketika melihat
air terjun yang ada di hadapannya dari dekat. Ki-
ni dia percaya pada Longgom.
4
Fajar mulai menyingsing. Sinar mentari
memberikan penerangan indah bagi alam. Begitu
indah, seolah mampu membuai anak manusia da-
lam rangkulan alam, dalam kenyamanan hidup
yang bisa dirasakan. Hanya sayang, seringkali
keindahan itu luluh oleh keangkara-murkaan
yang terjadi.
Sementara itu tiga sosok tubuh tampak
masih mondar-mandir disekitar Gunung Pengg-
ing. Mereka tak lain Sudongdong, Layan, dan
Camar Hitam yang sedang mencari makam Ki Se-
ta. Namun sampai mentari menampakkan ca-
hayanya, makam itu belum juga ditemukan.
Camar Hitam yang mengetuk-ngetuk setiap
jengkal tanah dengan tongkat menggeram jengkel.
"Gila! Di mana sebenarnya makam itu be-
rada?" maki perempuan sakti ini penuh kemara-
han.
Camar Hitam merasa bosan berjalan, tak
ubahnya orang buta yang setiap kali melangkah
harus menjejakkan tongkatnya ke tanah, untuk
menebak jalan mana yang lebih baik dijalani.
"Lama-lama aku bisa gila mengetuk-ngetuk
tanah seperti ini!" semburnya lagi penuh kejeng-
kelan.
"Sabar saja, nanti juga ketemu," ujar Su-
dongdong yang diam-diam juga bosan dengan ke-
giatan ini.
Tanpa sepengetahuan Camar Hitam, berka-
li-kali lelaki berwajah kera itu melirik Layan yang
hanya mengangguk dengan pasti. Agaknya, Setan
Kaki Besi itu tetap pada keyakinannya kalau
mayat Ki Seta berada di sekitar sana.
Camar Hitam menoleh. Dan ketika melihat
senyum mengejek di bibir Sudongdong, dia men-
dengus. Diam-diam hatinya membenarkan kata-
kata Sudongdong tentang kemungkinan mayat
dan cincin pusaka yang ada di tubuh Ki Seta.
"Buang senyum monyetmu itu!" dengus
Camar Hitam.
Sudongdong tertawa dalam hati. Menerta-
wakan kebodohan Camar Hitam!
"Bila kau sudah menemukan mayat Ki Seta
dan kebenaran tentang cincin pusaka itu, maka
kau akan mampus!" desis lelaki berwajah kera
itu, tetap dalam hati.
Sudongdong memang telah menemukan
suatu cara yang paling jitu daripada membokong.
Tetapi, membokong pun akan dilakukan bila ren-
cananya gagal.
Camar Hitam kembali menjejakkan tong-
katnya di setiap jengkal tanah sambil menggerutu
berkali-kali.
"Aku bukan orang buta! Aku bukan orang
buta!" maki Camar Hitam.
Setelah melakukan agak lama, tiba-tiba
tongkatnya melesak ke dalam.
"Hik hik hik.... Tak sia-sia pencarianku ini!
Hik hik hik.... Ini dia harta yang tak ternilai har-
ganya!" seru Camar Hitam.
Sudah tentu Sudongdong dan Layan segera
mendekati.
"Kau menemukan makam itu, hah?!" tanya
Sudongdong.
Bukannya gembira, Camar Hitam justru
memasang wajah sengit.
"Ya. kalian mau apa?"
"Hei?! Bukankah kau akan membuktikan
tentang cincin pusaka itu?" kata Sudongdong
sambil tersenyum.
"Phuih...!"
Camar Hitam membuang ludah melihat
tampang monyet Sudongdong tersenyum.
"Kini, tibalah saatnya bagi kalian untuk
mampus!" kata perempuan cantik itu, mengge-
ram.
Sudongdong dan Layan terkejut. Namun le-
laki bertampang kera yang memiliki otak licik itu
lagi-lagi segera tersenyum.
"Memang mudah sekali membunuh kami,
Camar Hitam. Tetapi bukankah tadi sudah kuka-
takan, apakah kau percaya kalau cincin pusaka
itu berada di perut Ki Seta?" kata Sudongdong,
enteng.
"Itu urusanku!" sentak Camar Hitam den-
gan tatapan menyalang. "Mau percaya atau tidak,
itu urusanku! Kini urusan kalian, hanya mampus
atau minggat dari sini!"
Sudongdong tertawa lagi.
"Sayang, sayang sekali. Hanya tinggal se-
langkah saja, kau masih tidak mau membuktikan
soal kebenaran itu. Kau masih dibawa pengaruh
kabar burung rupanya, Camar Hitam!" sergah
Sudongdong, kalem.
"Jangan membodohiku!"
"Ha ha ha.... Semua orang di rimba persila-
tan ini sangat mengagumi kecerdasanmu!" kata
Sudongdong. Dalam hati dia tertawa begitu meli-
hat Camar Hitam mengangkat dagunya. "Mana
mungkin kami berani membodohimu! Yang benar
saja kau ini!"
Sudongdong melihat kepala Camar Hitam
semakin terangkat. Dia kembali terlena oleh kata-
kata berbisa si Kera Sakti.
"Sudongdong benar, Camar Hitam," timpal
Layan. Dia tadi sengaja membiarkan Sudongdong
sendiri berkata-kata. Karena Layan tahu, Si Kera
Sakti lebih pandai mempergunakan lidahnya da-
ripada dirinya sendiri.
"Kami tak akan mampu menghadapi kesak-
tianmu. Dan lagi, kau adalah orang yang cerdas,"
lanjut Layan.
Dua orang telah memujinya, membuat Ca-
mar Hitam menganggukkan kepalanya. Lalu den-
gan tongkatnya dibongkarnya tanah yang tadi di-
tekan dengan tongkatnya.
Tanah itu memang membentuk kuburan.
Lalu perlahan-lahan tanah itu terlihat semakin
berkurang dan semakin dalam.
Sudongdong dan Layan berusaha menahan
dirinya untuk tidak melihat ke dalam lubang,
agar tidak terlalu kelihatan menyolok dari pan-
dangan Camar Hitam. Keduanya pun yakin, kalau
tanah yang digali adalah kuburan Ki Seta.
"Hayya! Bagus, bagus sekali! Tidak sia-sia
aku meninggalkan daerah selatan untuk mencari
cincin pusaka yang hebat ini!" seru perempuan
sakti itu sambil melirik Sudongdong dan Layan.
Si Kera Sakti dan Setan Kaki Besi beranjak
untuk melihat satu sosok tubuh yang terbujur di
tanah. Kaku. Namun yang mengherankan, tubuh
itu belum hancur. Masih nampak kuat dan
layaknya orang tidur belaka.
Namun bisa dimaklumi bila mengingat la-
tar belakang Ki Seta. Meskipun seluruh kesak-
tiannya telah punah akibat menelan cincin pusa-
ka itu, pengaruh kesaktiannya masih mampu me-
lindungi tubuhnya dari koyakan alam.
Sudongdong mendesah dalam hati. Kini dia
harus lebih bersikap hati-hati, karena yang diin-
ginkan sudah di ambang mata. Seperti yang dice-
ritakan Setan Kaki Besi, sudah tentu cincin pu-
saka itu memang berada di tubuh Ki Seta. Begitu
pula kehadiran Camar Hitam. Perempuan tua ini
tentu sudah yakin sekali kalau cincin pusaka itu
memang berada di tubuh Ki Seta.
Tetapi yang menjadi masalah sekarang, ba-
gaimana untuk mengelabui Camar Hitam kemba-
li? Paling tidak, berusaha agar cincin pusaka itu
pindah tangan!
"Camar Hitam! Kau baru bisa tertawa bila
memang sudah melihat cincin pusaka itu!" ujar
Sudongdong dengan suara melecehkan. "Kalau
kau belum melihatnya, mana mungkin bisa ter-
tawa seperti itu?"
Tiba-tiba Camar Hitam menghentikan ta-
wanya. Tatapannya tak sedap dilihat. Mata kela-
bunya melotot dengan mulut tertarik ke dalam.
Napasnya seperti tertahan.
"Diaammm! Aku tidak mau dibodohi terus
menerus, Sudongdong!" bentak perempuan tua
ini.
"Hei? Apa maksudmu?" balas Sudongdong
sambil tersenyum. "Aku berkata apa adanya. Le-
bih baik buktikan saja dulu tentang kebenaran
cincin pusaka itu."
Bukannya menjawab. Camar Hitam justru
mengibaskan tongkatnya ke arah Sudongdong.
Wuuuttt!
"Heeiiittt!"
Sudongdong telah melenting ke atas. Sam-
baran tongkat itu dirasakan amat kuat sekali.
Mampu meredam hawa panas di tubuhnya.
Begitu menarik pulang kembali tongkatnya,
Camar Hitam kembali menggerakkannya. Kali ini
ke arah Layan yang sejak tadi memang sudah
bersiaga. Dia juga menduga kalau kali ini Camar
Hitam tak bisa dibohongi lagi.
"Kau juga harus mampus, Buntung!" desis
Camar Hitam.
Layan menghindarinya dengan bersalto, la-
lu hinggap di samping Sudongdong yang sudah
bersiaga.
Camar Hitam terkikik-kikik.
"Bagus, bagus sekali! Dua pasangan yang
pas! Kini, terimalah kematian kalian!"
"Tahan!" seru Sudongdong. "Sudah lama
aku menginginkan pertarungan ini sebenarnya!"
Si Kera Sakti merasa kali ini tak ada jalan
lain lagi, kecuali bicara apa adanya. Namun, mu-
lutnya masih penuh bisa.
"Tetapi, aku paling tidak suka bila berta-
rung tanpa ada sesuatu yang dipertaruhkan," lan-
jut si Kera Sakti.
Camar Hitam menghentikan gerakannya,
menancapkan tongkatnya di sisinya.
"Apa yang akan kita pertaruhkan?" tanya
perempuan tua sakti itu.
"Cincin pusaka itu!" sahut Sudongdong,
mantap.
Layan tersenyum, memuji kecerdikan Su-
dongdong.
"Boleh, boleh saja! Tetapi, di mana cincin
itu?" tanya Camar Hitam.
"Bodoh! Bukankah kita akan membuktikan
kalau cincin itu berada di tubuh Ki Seta?" maki si
Kera Sakti.
"Oh, ya... ya. Baik, aku setuju! Tetapi, sia-
pa yang akan membedah mayat itu?"
"Bagaimana kalau kau saja?"
"Aku?" Camar Hitam terkikik. "Enak saja!
Selagi aku melakukannya, kalian akan membo-
kongku! Bagaimana kalau kau saja?"
Sudongdong terdiam sesaat, memperguna-
kan kemampuan liciknya lagi.
"Baik! Layan yang akan melakukannya,
sementara kita berdua menyaksikannya. Bagai-
mana? Kau setuju dengan usul itu, Camar Hi-
tam?"
Camar Hitam mengangguk.
"Lakukan!"
Layan alias Setan Kaki Besi segera mela-
kukan tugas itu. Kedua tangannya digerakkan.
Dan seperti ada tenaga kuat sekali, mendadak sa-
ja tubuh Ki Seta terangkat. Kalau tadi berada di
lubang kuburannya, sekarang berada di tanah
yang sejajar pijakan kaki mereka.
Layan mengambil sebatang kayu yang
ujungnya agak runcing. Kepalanya menoleh ke
Camar Hitam dan Sudongdong yang mengangguk
secara bersamaan.
Lalu tangan Layan pun segera terangkat,
siap menghujamkan kayu yang tajam ke tubuh Ki
Seta, untuk mencari di bagian mana cincin pusa-
ka yang tersembunyi.
Namun belum lagi tangan itu turun ke tu-
buh Ki Sela, serangkum angin berdesing.
Trakkk!
Kayu yang dipegang Layan patah!
•k'k'k
"Bangsat! Siapa yang berani berbuat nekat
seperti ini?" bentak Layan sambil bangkit dengan
mata nyalang.
Sementara Camar Hitam dan si Kera Sakti
pun bersiaga. Mereka tak melihat siapa-siapa di
sana, kecuali mereka bertiga. Tetapi, tiba-tiba
terdengar kikikan Camar Hitam.
"Hik hik hik.... Rupanya Penguasa Alas Ro-
ban pun sudah tiba di sini! Silakan keluar dan
masuk ke kalangan, kalau tidak ingin dikatakan
pengecut!"
"Tak kusangka! Penciumanmu ternyata
sangat tajam, Camar Hitam!" terdengar suara
bernada berat, menandakan kewibawaan penuh.
"Aku jadi malu sendiri karena masih saja nekat
untuk bersembunyi! Baiklah, aku akan keluar!"
Tak lama, satu sosok tubuh melenting dari
satu tempat. Gerakannya sangat ringan. Dan ta-
hu-tahu dia sudah hinggap di hadapan ketiganya.
Satu sosok tubuh berpakaian putih seperti seo-
rang pendeta. Wajah berkesan bijaksana. Jenggot
putihnya cukup panjang. Di tangannya terdapat
sebuah tasbih berwarna emas, yang ukurannya
lebih besar dari tasbih biasa.
"Ki Abdi Kanwa!" seru Camar Hitam. "Hik
hikhik.... Kiranya cincin pusaka itu pun terdengar
di telinga Penguasa Alas Roban, sehingga harus
repot-repot keluar dari sarang!"
Lelaki tua berpakaian putih yang dipanggil
Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Memang,
kemunculan tokoh golongan putih dari Alas Ro-
ban dikarenakan telah mendapat wangsit dari
mimpinya, kalau sebuah cincin pusaka kelak
akan menjadi sumber silang sengketa, yang akan
menjadikan bumi bertabur darah.
Sebagai orang golongan putih yang sebe-
narnya sudah menyepi di Alas Roban, Ki Abdi
Kanwa pun merasa terpanggil untuk menyelesai-
kan masalah ini. Meskipun yang paling aneh, da-
lam mimpinya ada seorang pemuda berpakaian
hijau muda dan memiliki selembar kain bercorak
catur di bahunya, yang akan mampu menyelesai-
kan masalah ini. Tetapi siapa dia? Selama me-
nyepi itu, Ki Abdi Kanwa tidak lagi menghiraukan
masalah dunia ramai. Itu sebabnya, dia tak men-
genali pemuda itu.
Karena ingin menyelamatkan cincin pusa-
ka itu, dan rasa penasarannya pada pemuda da-
lam mimpinya, Ki Abdi Kanwa terpaksa harus ke-
luar ke dunia ramai.
"Aku pun tak menyangka kalau Camar Hi-
tam pun sudah berada di sini. Itu menandakan
betapa ramainya kabar tentang cincin pusaka mi-
lik Ki Seta yang akan menjadi petaka di dunia
persilatan ini." kata Ki Abdi Kanwa bijaksana.
"Dan, apakah kehadiranmu di sini untuk
merebut cincin pusaka itu?" sindir Camar Hitam.
Ki Abdi Kanwa menggelengkan kepalanya.
"Tidak.... Aku hanya menghendaki cincin
pusaka itu dimusnahkan saja. Karena, akan me-
nimbulkan perpecahan yang semakin menjadi di
antara tokoh persilatan."
Camar Hitam terkikik.
"Ki! Apakah selama ini matamu buta dan
telingamu tuli? Secara hukum alam, di rimba per-
silatan ini pun sejak lama telah bermusuhan an-
tara golongan hitam dan golongan putih!"
"Aku mengerti! Itulah sebabnya, aku akan
menghalangi siapa saja, baik dari golongan hitam
maupun golongan putih yang menginginkan cin-
cin pusaka itu!" sahut Ki Abdi Kanwa alias Pen-
guasa Alas Roban.
Sudongdong yang merasa bisa mengambil
muka di hadapan Camar Hitam sekarang, segera
mempergunakan kesempatan.
"Hmmm.... Rupanya kaulah yang berjuluk
Penguasa Alas Roban, Ki! Tak kusangka, tokoh
putih yang bijaksana ternyata pandai memper-
mainkan lidah! Berlagak ingin memusnahkan cin-
cin pusaka itu. Padahal dalam hatinya berniat
untuk menyerakahinya sendiri," sindir si Kera
Sakti sambil melirik Camar Hitam. "Camar Hi-
tam.... Jangan sampai kau terpancing ucapan-
ucapannya yang bercabang itu. Hati-hati! Karena
dia sangat pandai berkata-kata."
"Jangan mengajari aku!" bentak Camar Hi-
tam, lalu menoleh ke arah Penguasa Alas Roban.
"Ki Abdi Kanwa..., ketahuilah! Aku berniat memi-
liki cincin pusaka itu! Bila kau pun berniat pula,
maka harus berhadapan denganku!"
Ki Abdi Kanwa mengusap jenggotnya.
"Memang.... Sepertinya pertarungan di an-
tara kita tak akan bisa dielakkan lagi. Tetapi, ada
suatu cara yang menurutku sangat menarik, se-
hingga kita tidak perlu bertarung."
"Apa?" terabas Camar Hitam
"Bagaimana bila kau dan aku tidak ada
yang memiliki cincin pusaka itu?" usul Ki Abdi
Kanwa.
"Maksudmu?" Camar Hitam mengerutkan
keningnya.
"Mudah saja. Cincin itu kita buang di satu
tempat yang tak akan mungkin bisa didapatkan
orang lain. Jadi, di antara kita tak ada yang me-
milikinya. Dan kita tidak perlu repot-repot mem-
perebutkannya. Dengan kata lain, kita akan aman
dan selamat tanpa memikirkan cincin itu," jelas
Ki Abdi Kanwa.
"Camar Hitam!" bentak Sudongdong tiba-
tiba. "Jangan mau dihasut olehnya! Itu hanya bu-
jukan belaka!"
"Diam!" dengus Camar Hitam. "Jangan
campuri urusanku ini, Sudongdong! Ingat! Kau
seharusnya sudah mati! Begitu pula kau, Layan!
Sekarang, ini urusanku dengan Ki Abdi Kanwa!
Membunuh kalian, sangat mudah sekali! Teramat
mudah!"
Lalu Camar Hitam berbalik pada Ki Abdi
Kanwa yang masih berdiri tegak dengan wajah
arif.
"Maaf, aku sangat menginginkan cincin
pusaka itu! Dengan izinmu atau tidak, aku tidak
peduli! Yang pasti, siapa yang menginginkan cin-
cin bermata biru yang sakti itu, harus melewatiku
dulu!"
Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng sambil
menghela napas masygul. Ia memang sudah me-
nebak sebelumnya, kalau semuanya ini akan
menjadi seperti ini. Paling tidak, kekacauan akan
semakin timbul karena nafsu orang-orang sera-
kah.
"Apa pun akan kulakukan untuk mem-
buang cincin sakti itu. Camar Hitam!"
Mata Camar Hitam menyipit.
"Berarti, kau memang menantangku. Abdi
Kanwa!" ujar Camar Hitam sambil memutar tong-
katnya. "Bagus! Sudah lama sebenarnya aku pun
ingin merasakan kehebatanmu, Penguasa Alas
Roban! Rupanya, pagi ini kita memang ditakdir-
kan untuk bertarung!"
"Sebenarnya, aku enggan untuk mengge-
rakkan seluruh tubuhku hanya untuk membela
diri dan menyakiti lawan," kata Ki Abdi Kanwa pe-
lan.
"Sombong! Apa kau pikir kau akan mampu
menyakitiku, hah?!" bentak Camar Hitam.
Saat itu juga tubuh Camar Hitam sudah
melenting ringan ke arah Ki Abdi Kanwa. Tong-
katnya berputar tak ubahnya baling-baling bela-
ka, menimbulkan angin menderu.
Sementara Ki Abdi Kanwa kelihatan hanya
menunggu serangan hingga dekat. Benar saja.
Begitu dekat, bukannya menghindar, dia malah
langsung menyongsong serangan Camar Hitam.
"Nekat!" desis si Kera Sakti yang mengama-
ti jalannya pertarungan.
Yah! Siapa pun yang melihat akan menga-
takan kalau Ki Abdi Kanwa sedang berada dalam
kenekatan. Karena, gerakannya hanya mampu di-
lakukan orang yang kesaktiannya sangat tinggi.
Memapak serangan yang mengandung tenaga da-
lam tinggi dari jarak dekat dengan hanya satu
lompatan saja, sudah tentu dapat menguras tena-
ga. Karena jarak yang dekat itu bisa ditahan
hanya oleh orang yang bertenaga dalam besar.
Begitulah pikiran Sudongdong.
Sementara, Layan hanya tertegun saja me-
nyaksikan kenekatan Ki Abdi Kanwa yang me-
nyongsong serangan Camar Hitam.
Tetapi yang dipikirkan Sudongdong ternya-
ta jauh sekali dari kenyataannya. Karena, Ki Abdi
Kanwa tidak bermaksud memapaki serangan Ca-
mar Hitam. Dia hanya mencoba menguras tenaga
Camar Hitam dalam sekali gebrak.
Ki Abdi Kanwa yakin sekali, kalau Camar
Hitam akan terkejut melihat dirinya yang berge-
rak bagaikan hendak menyongsong serangan.
Maka secara tidak langsung, Camar Hitam akan
berpikiran kalau gebrakan yang dilakukan lelaki
tua ini hanyalah suatu kenekatan belaka. Maka
mau tak mau dia akan menambah kekuatannya.
Maksudnya, dengan hanya sekali gebrak saja Ki
Abdi Kanwa akan tersungkur.
Namun dugaan perempuan sakti itu lain
sekali. Karena sebelum tangannya yang telah di-
tambahi tenaga dalam tinggi menyentuh sasaran,
mendadak saja sosok Ki Abdi Kanwa bagaikan le-
nyap.
Pias!
Dengan kecepatan sukar diikuti mata, tu-
buh Ki Abdi Kanwa sudah berada di belakang
Camar Hitam. Sementara, perempuan tua sakti
itu terus meluncur ke arah sebuah pohon. Penga-
ruh tenaga dalamnya yang dilipatgandakan,
membuat tubuh Camar Hitam terus meluncur.
Brakkk!
Begitu menyentuh pohon besar, bukan
hanya tumbang seketika. Begitu rebah di tanah
dengan suara debuman keras, perlahan-lahan ba-
tang pohon itu berubah menghitam.
5
Setelah puas menghajar Pendekar Slebor
hingga pingsan, Tridarma segera mengikuti Ma-
nusia Pemuja Bulan untuk langsung mencari ma-
kam Ki Seta. Karena menurutnya saat inilah yang
paling tepat. Sudah tentu Tridarma dengan se-
nang hati mengikutinya. Karena, kini tibalah gili-
rannya untuk mendapatkan sesuatu yang telah
lama dinantikannya. Cincin pusaka yang mampu
menyerap seluruh tenaga milik siapa pun!
"Kang Andika.... Kang, sadarlah...."
Seruan yang terdengar penuh isak, telah
dilakukan berkali-kali. Suaranya mengiba penuh
rasa kasihan. Tetapi Pendekar Slebor yang baru
saja menerima hantaman Tridarma yang bertubi-
tubi masih terkulai tak berdaya.
"Kang Andika..., sadarlah, Kang, sadar...,"
panggil Mayang lagi. Setelah merasa yakin kedua
tokoh sesat itu tidak ada di tempatnya.
Mayang mengusap air matanya. Gadis ini
berusaha menyadarkan Andika yang terkulai
dengan kedua tangan dan kaki terentang terikat.
Mayang memegang tonggak-tonggak besi yang
membuatnya tak bisa keluar dari sana, sehingga
hanya bisa berseru-seru memanggil Andika tanpa
bisa melihat bagaimana keadaan Pendekar Slebor
yang diyakini tentunya dalam keadaan menderita
sekali.
Mayang tahu, dirinya adalah calon korban
m
http: /ftuntddbuittisdl. blogs pot. cam
untuk Dewa Bulan yang berhasil digagalkan Pen-
dekar Slebor. Bisa jadi bila Manusia Pemuja Bu-
lan itu tahu dirinya berada di sini, maka dia pun
akan langsung menjadi korbannya. Kini Mayang
tahu, untuk apa dirinya dan gadis-gadis itu di-
korbankan.
Ternyata tumbal gadis-gadis itu bukan un-
tuk Dewa Bulan, melainkan untuk kepentingan
Manusia Pemuja Bulan sendiri, demi menyem-
purnakan ajian dahsyat yang sedang dipelaja-
rinya.
Mayang mendesah lega mengingat kalau
kini sedikit bebas, meskipun tak heran bila akan
tetap menjadi korban berikutnya. Hanya saja,
yang membuatnya sedikit heran, ternyata Tridar-
ma tidak mengatakan kalau dirinya berada di sini
kepada Manusia Pemuja Bulan. Padahal, laki-laki
berjubah hitam itu sudah mengatakan, kalau ma-
sih kurang satu gadis lagi, sebagai syarat pe-
nyempurnaan ilmunya.
Entah kenapa Tridarma tidak mengatakan
tentang dirinya pada Manusia Pemuja Bulan.
"Kang Andika.... Jangan pingsan terus,
Kang.... Jangan.... Ingat, Kang. Keselamatan kita
terancam...," ujar Mayang dengan wajah penuh
air mata, memikirkan keadaan Andika dan di-
rinya sendiri yang berada di ujung tanduk.
Tetapi sosok Andika tetap terkulai. Ru-
panya pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang
dilakukan Tridarma tadi menyebabkan Pendekar
Slebor pingsan kembali. Seharusnya Andika bisa
mengeluarkan tenaga 'inti petir'nya. Akan tetapi
ketika hendak melakukan tadi. Tridarma sudah
menotok dua urat di bagian lengan kanan dan kiri
di bawah ketiak Urat yang bisa menyebabkan se-
seorang akan merasa lumpuh dalam beberapa
waktu.
Mayang masih berusaha menyadarkannya.
Gadis ini tahu, keadaan sangat berbahaya. Sete-
lah mencuri dengar tadi, diam-diam kini Mayang
mengerti, harta apa yang sebenarnya diinginkan
Manusia Pemuja Bulan dari kakeknya. Rupanya,
ada sebuah cincin sakti di perut Ki Seta. Bahkan
Mayang pun tahu, kalau dulu kakeknya seorang
pendekar yang tangguh.
Mayang teringat bagaimana setelah diting-
gal Andika yang bermaksud menolong para pen-
duduk dari serangan ribuan tawon ganas, Tri-
darma mengajaknya pergi dari sana. Padahal se-
mula dia menolaknya. Namun alasan yang diberi-
kan Tridarma sangat masuk akal. Barangkali sa-
ja, tawon-tawon ganas itu akan menyerang mere-
ka pula.
Hingga akhirnya Mayang pun terpengaruh,
hingga langsung dibawa ke tempat ini dan dima-
sukkan ke dalam sebuah ruangan mirip penjara
secara paksa. Di sanalah dia tahu, siapa Tridarma
sebenarnya. Lelaki itu tak lain adalah sahabat
Manusia Pemuja Bulan.
Ketika Tridarma tahu kalau pemuda itu
yang berjuluk Pendekar Slebor, dia pun memain-
kan peranan barunya untuk menipu Andika.
Hati Mayang sangat sedih karena harus
terkurung di sini dan berpisah dengan Andika.
Namun sekarang, dia semakin bertambah sedih
ketika melihat Andika justru berada dalam derita
seperti itu.
"Kang.... Sadarlah, Kang.... Ini aku,
Mayang.... Bangunlah..., Kang Andika...," kata
Mayang dengan suara semakin melemah.
Tubuh gadis itu pun merosot turun dengan
kedua tangan masih berpegangan pada tonggak-
tonggak besi itu. Meskipun tidak bisa melihat,
namun bisa dibayangkan derita yang dialami pe-
muda urakan itu. Karena pukulan demi pukulan
yang dilakukan Tridarma mampu didengarnya.
"Kang Andika.... Sadarlah, Kang.... Sadar-
lah...." Tak ada sahutan. Mayang mendesah putus
asa. Bila saja bisa melihat di mana Andika bera-
da, sudah tentu akan membangunkannya dengan
melempar sesuatu. Misalnya, batu-batu kecil
yang banyak di sana. Tetapi dia hanya bisa mem-
bayangkannya saja. Dan Mayang yakin, kalau
Andika sebenarnya berada tak jauh dari tempat-
nya ditawan.
Kini Mayang sudah putus asa. Hanya pa-
srah saja. "Ah, Kang Andika.... Kenyataan ini san-
gat pahit. Sungguh! Aku tidak pernah menyangka
kalau akan mengalami kejadian seperti ini...!"
Kebodohan memang pernah dirasakannya
ketika Mayang hanya pasrah dan bersedia dijadi-
kan sesajen untuk Dewa Bulan, sebagai penebus
dosa-dosa kakeknya. Hingga ketika Medi datang
dan menggodanya, dia hanya pasrah aja. Dan itu
justru membuat Medi semakin merasa bebas. Ke-
tika hampir saja merenggut miliknya yang paling
berharga, mendadak saja Medi kelojotan dan
menjadi mayat. Saat itu, Mayang melihat satu so-
sok berpakaian dan bertopeng merah keluar den-
gan cepatnya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam
episode: "Manusia Pemuja Bulan").
Sekarang, setelah yakin dengan kata-kata
Andika bahwa Manusia Pemuja Bulan adalah to-
koh sesat, justru Mayang berada dalam gengga-
man Tridarma. Dan ternyata, Tridarma adalah
teman dari Wedokmurko, alias Manusia Pemuja
Bulan. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mu-
lut buaya.
Diam-diam, sejak kebersamaannya dengan
Andika meskipun terasa sesaat, benih-benih cinta
perlahan tumbuh di hatinya. Bahkan semakin
lama semakin subur itu kian mengembang. Yah!
Dia memang telah jatuh hati pada pemuda itu.
"Oh, Kang Andika.... Apakah kau tahu ten-
tang....Hei?!"
Mayang tiba-tiba menajamkan telinganya.
Dia mendengar suara bagai keluhan datang dari
ruang sebelah. Dengan penuh semangat gadis itu
berdiri.
"Kang Andika! Kang! Sadarkah kau, Kang?"
seru Mayang kembali.
"Ohh..., aagh...," keluhan yang jelas dari
mulut Andika terdengar lagi.
Wajah Mayang semakin gembira. Air ma-
tanya diusap.
"Kang..., Kang Andika...," panggil gadis itu
dengan suara bergetar, bercampur kegembiraan.
"Oh! Ma..., Mayang?"
Memang, Andika sudah siuman dari ping-
sannya. Dua kali dia jatuh pingsan dalam waktu
tak terlalu lama. Namun kali ini lebih menya-
kitkan, karena dipukuli tanpa bisa membalas.
"Kang Andika! Ya! Aku Mayang, Kang! Aku
Mayang!" seru Mayang gembira.
"Mayang.... Hei, di mana kau ini?!"
"Aku di sebelah ruanganmu. Kang!"
"Di balik dinding batu itu?"
"Ya!"
"Kalau begitu, ke sini saja! Aku tidak bisa
ke sana! Bukannya tidak mau, tetapi kedua kaki
dan tanganku terikat!" ujar Pendekar Slebor, sok
tahu.
"Tidak bisa. Kang...," sahut Mayang.
"Lho. kok tidak bisa? He he he..., apa kau
tidak kangen denganku yang ganteng ini.
Mayang?" kata Pendekar Slebor, seenaknya.
Mayang menundukkan kepalanya sebelum
menjawab.
"Aku kangen sekali, Kang Andika. Kangen
sekali."
Gadis ini hanya menelan semua ucapannya
dalam hati. Karena dia tahu, Andika hanya bergu-
rau saja. Jelas dari nadanya yang bercanda.
"Hei? Kenapa diam, Mayang?" tanya Andika
yang sejak tadi menunggu sahutan Mayang.
"Oh! Tidak, Kang.... Tidak.... Aku tidak bisa
ke sana, Kang..., karena aku berada di sebuah
dinding yang ditutup tonggak-tonggak besi. Aku
dipenjara. Kang!" jelas gadis itu.
Andika terdiam.
"Ya, sudah!" kata Pendekar Slebor. "Kita
hanya berdiam diri saja di balik dinding masing-
masing! Aku juga dalam keadaan terikat."
"Kang Andika...," panggil Mayang.
"Sudah, sudah! Tidak usah ngomong lagi!
Hei? Tahukah kau, di mana dua monyet belang
itu?" tanya Pendekar Slebor.
"Kedengarannya mereka keluar, Kang!"
"Ke mana?"
"Mencari harta Aki!"
"Hei! Kau tahu dari mana?"
"Mendengar percakapan mereka tadi.
Kang."
"Mayang..., di mana harta Aki itu berada?"
"Aku tidak tahu secara pasti. Tetapi aku
mendengar kata-kata Tridarma, kalau harta itu
berada di tubuh Aki."
"Di tubuh Aki? Hei! Kau yang benar saja,
Mayang! Mana mungkin perut Akimu mampu
menampung harta yang mungkin sangat banyak!
Bahkan mulutnya saja sangat kecil!" sergah Andi-
ka sambil tertawa. "Jangan-jangan, harta Akimu
itu hanya sebuah cincin saja...!"
"Kau benar, Kang Andika. Hanya sebuah
cincin."
"Hah?!"
Andika melotot sampai lehernya terangkat.
Lalu...
"Hoieek!"
"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang.
"Leherku tercekik! Sekarang tidak apa-apa,
Mayang! Benarkah harta itu hanya sebuah cin-
cin?" sahut Pendekar Slebor.
"Benar, Kang. Aku mendengar kata-kata
Tridarma, kalau cincin itu bukan sembarangan.
Kang Andika..., ternyata Aki dulunya seorang
pendekar. Dia mendapatkan cincin pusaka itu da-
ri gurunya. Dan karena suatu sebab, dia menelan
cincin itu yang justru melumpuhkan seluruh ke-
saktiannya...."
Andika terdiam. Rupanya, itulah rahasia
harta Ki Seta. Sebuah cincin pusaka! Seketika sa-
ja otak Andika yang cerdik bisa membayangkan,
bagaimana banyaknya tokoh sakti yang sudah
tentu akan memperebutkan cincin itu dalam tu-
buh Ki Seta.
Mayang sendiri terdiam. Otaknya pun
membayangkan, bagaimana kakeknya yang su-
dah meninggal masih saja dicari orang-orang sak-
ti. Bisa dibayangkan pula bagaimana tubuh ka-
keknya nanti akan dibedah oleh orang-orang itu
untuk mencari cincin pusaka yang ditelannya.
Oh, Mayang menutup wajahnya dengan kedua
tangannya. Hatinya tak kuasa membayangkan
semua itu.
Tiba-tiba saja Mayang mengangkat kepa-
lanya dengan cepat. Telinganya menangkap suara
berderak yang angat keras sekali.
"Oh, Tuhan?! Ada apa lagi ini?" desis gadis
itu ketakutan seraya melangkah mundur sampai
ke dinding.
"He he he...! Kenapa takut kau, Mayang?"
tegur satu sosok tubuh di depan tonggak-tonggak
besi.
Mayang membelalakkan matanya, lalu ber-
lari ke depan.
"Kang Andika!" seru gadis itu gembira.
Tampak wajah Andika memar. Mungkin
akibat pukulan yang dilakukan Tridarma.
"Katanya kau terikat? Bagaimana bisa me-
lepaskan diri?" tanya Mayang, bingung.
Andika mengangkat bahunya saja.
"Tidak tahu, ya? Tahu-tahu putus!" kata
Pendekar Slebor sambil mengedipkan matanya.
Mayang tersipu. Hatinya senang bukan
main melihat pemuda yang dirindukan kini berdi-
ri di hadapannya.
Apa yang diucapkan Andika tadi tentu saja
main-main. Mana mungkin rantai besar dan tali
yang sudah dialirkan tenaga dalam oleh Manusia
Pemuja Bulan putus begitu saja?
Semula Andika memang tidak mampu me-
mutuskannya, karena dalam keadaan tertotok.
Tetapi ketika tubuhnya saat bercakap-cakap den-
gan Mayang tadi dialiri tenaga dalam dengan
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', totokan
yang dilakukan Tridarma pun terlepas.
Menyadari hal itu, Andika lalu menaikkan
tenaga 'inti petir'nya tingkat kedua puluh empat.
Hingga perlahan-lahan tepat ketika menggabung-
kan ajian 'Guntur Selaksa', dia berhasil memu-
tuskan rantai di kedua tangan dan kakinya. Lalu
dengan cepat dibukanya ikatan tali pada leher-
nya.
Pendekar Slebor sangat tertarik dengan ce-
rita Mayang tadi. Makanya, dia segera mencari
Mayang. Rupanya, ada rongga yang menghu-
bungkan tempatnya ke tempat Mayang.
"Sekarang kau mundur, Mayang...," ujar
Andika.
"Mau apa kau, Kang Andika?"
"Lho? Apa kau tidak ingin kubebaskan, ya?
Wah, wah.... Rupanya kau sudah jatuh cinta pada
Tridarma, ya? Gawat. Bisa patah hati, nih!" selo-
roh pemuda urakan ini.
"Bukan, bukan itu maksudku, Kang," tu-
kas Mayang buru-buru. "Tetapi..., ah! Sudah-
lah.... Silakan, Kang...." Andika nyengir.
"Agak menjauh, Mayang."
Lalu Pendekar Slebor mengusap-usap ke-
dua tangannya perlahan-lahan. Dan semakin la-
ma terlihat kalau kedua tangan itu mengeluarkan
cahaya kemerahan. Mayang yang sudah merapat
di dinding gua hanya memperhatikan saja penuh
kekaguman.
Tampak Andika menempelkan kedua tan-
gannya pada tonggak-tonggak besi. Bersamaan
dengan itu terlihat cahaya kemerahan semakin
lama semakin terang, menjalari dua tonggak besi
yang dipegang Andika. Rupanya kekuatan tenaga
petir yang mengalir di tubuh pemuda itu telah di-
pergunakan kembali.
Lalu terlihatlah tonggak besi itu putus di
tengahnya sehingga membuat sebuah rongga
yang bisa dilolosi tubuh Mayang yang kecil.
"Cepat!" ujar Andika.
Mayang segera berlari keluar. Hatinya
gembira sekali ketika memegang tangan Andika.
Andika sendiri merasa berdesir darahnya,
ketika merasakan betapa eratnya genggaman tan-
gan gadis itu. Genggaman penuh rindu dan kasih
sayang yang tulus. Diam-diam Andika menghela
napas panjang. Pemuda ini jadi teringat Ningrum,
seorang gadis yang lebih tua darinya. Beberapa
tahun yang lalu, gadis itu pernah dicintainya se-
cara diam-diam. Cinta pertama yang dirasakan
Andika. (Untuk mengetahui tentang Ningrum, si-
lakan baca episode : "Lembah Kutukan" serta
"Dendam Dan Asmara"').
Kini Pendekar Slebor bisa merasakan suatu
getaran cinta yang terpancar melalui genggaman
Mayang. Ah, entahlah.... Apa yang bisa dilaku-
kannya tentang cinta.
"Mayang.... Kau sudah aman sekarang. Ti-
dak usah memegang lenganku terlalu erat," ujar
Andika tanpa sadar.
Dan Andika harus melihat wajah gadis itu
yang tiba-tiba menunduk, serba salah. "Oh! Mak-
sudku..., aku...."
Gadis itu tampak gugup sambil memaling-
kan wajahnya, membelakangi Andika.
Andika menghela napas panjang. Sama se-
kali pemuda ini tidak bermaksud untuk membuat
Mayang malu. Sungguh, ia sangat buta dalam
masalah cinta. Lalu, perlahan-lahan dipegangnya
kedua bahu Mayang.
"Maafkan aku, Mayang...," ucap Pendekar
Slebor, perlahan.
"Aku..., aku yang meminta maaf pada, Ka-
kang.... Tidak sepantasnya aku berbuat seperti
itu...," tukas Mayang.
Andika membalikkan tubuh gadis itu un-
tuk menghadapnya. Lalu diangkatnya dagu
Mayang untuk menatapnya. Dan bisa terlihat ge-
lepar cinta yang tak terbalas.
"Oh, Tuhan.... Seperti inikah yang kualami
dulu?" desah Andika dalam hati, mengingat ten-
tang Ningrum.
Karena tak tahan melihat sepasang mata
bening yang mengerjap-ngerjap penuh gelora cin-
ta itu, perlahan-lahan Andika menarik kepala
Mayang dan mendekapnya.
Mayang menyusupkan kepalanya. Seolah
dia menemukan apa yang telah lama dicarinya.
Kejadian itu hanya berselang beberapa
saat, dengan dua perasaan berbeda. Yang dirasa-
kan Mayang, dia semakin yakin kalau pemuda in-
ilah yang akan menjadi kekasihnya. Sementara
yang dirasakan Andika, dia berharap suatu saat
Mayang bisa menemukan jodohnya. Pemuda yang
menyayanginya setulus hati.
"Mayang,.., ini adalah kesempatan kita un-
tuk meloloskan diri, sebelum Manusia Pemuja
Bulan dan Tridarma datang," kata Pendekar Sle-
bor.
Mayang menganggukkan kepala. Padahal,
dia masih sangat menginginkan berada dalam
rangkulan Andika.
"Akan ke manakah kita, Kakang?" tanya
Mayang pelan.
Kali ini Andika bisa menangkap getaran
lain dari panggilan itu. Kalau dulu yang dirasakan
hanyalah ucapan sebagai rasa hormat belaka,
sementara kali ini terdengar nada-nada cinta ka-
sih tulus yang tercurah dari panggilan itu.
Andika menghela napas panjang, tidak ta-
hu harus berbuat apa. Sungguh mati, menghada-
pi masalah begini, Andika mati kutu!
"Kita kembali ke desamu," ajak Pendekar
Slebor kemudian. "Juga, kita akan mencari ma-
kam kakekmu. Aku yakin, kalau saat itu keadaan
sudah teramat kacau. Pasti, para tokoh sakti su-
dah bermunculan, untuk memperebutkan cincin
pusaka milik kakekmu itu...."
Mayang mengangguk.
"Kakang! Aku tidak peduli siapa yang akan
mendapatkan cincin pusaka itu. Tetapi yang tidak
kuinginkan, kalau mereka membedah dan men-
cabik-cabik tubuh Aki. Aku tidak bisa mem-
bayangkannya, Kakang...," ungkap gadis ini.
Andika mengangguk.
"Barangkali, kita masih bisa menyela-
matkannya, Mayang. Ayo kita pergi dari sini!" ajak
Pendekar Slebor lagi.
Belum lagi gadis itu menganggukkan kepa-
la, Andika sudah menariknya dan siap memba-
wanya lari. Tetapi karena keadaan gadis itu tidak
siap, justru malah terjengkang ke arahnya.
"1 lup!"
Dengan sigap Andika merangkul.
"Wah, wah.... Masih banyak orang nih!" se-
loroh Pendekar Slebor tiba-tiba sehingga mem-
buat wajah Mayang memerah.
"Kang Andika sih, main tarik saja," cibir
Mayang cemberut.
Andika terkekeh-kekeh. Lumayan, tubuh
yang empuk dan sintal itu, meskipun sejenak te-
rasa hangat di tubuhnya.
"Sudah, sudah. Sekarang apakah kau su-
dah siap kubawa lari?" tanya Pendekar Slebor.
Mayang mengangguk dengan tersipu. Da-
lam keadaan genting semacam itu, bila bersama-
sama Andika rasanya begitu menyenangkan seka-
li.
Tetapi Andika justru tertawa sambil meng-
garuk-garuk kepalanya.
"Coba kau bilang belum. Kan aku bisa me-
narikmu lagi secara tiba-tiba, sementara kau da-
lam keadaan tidak siap. Kan asyik kalau tubuh-
mu nempel lagi!" seloroh Pendekar Slebor yang
semakin membuat wajah gadis itu bersemu me-
rah dadu.
"Kang Andika menggoda terus!" sungut
Mayang merajuk. Padahal, dadanya berdebar tak
karuan.
6
Camar Hitam langsung berbalik pada Ki
Abdi Kanwa sambil menggeram marah.
"Mahligai Permata Bidadari!" dengus Camar
Hitam, menyebut jurus yang dikeluarkan Pengua-
sa Alas Roban.
Memang, jurus yang diperlihatkan Ki Abdi
Kanwa tadi adalah jurus 'Mahligai Permata Bida-
dari'. Suatu jurus menghindar yang hanya mem-
pergunakan tenaga lemah saja, namun mampu
menguras tenaga lawan. Karena lewat jurus ini,
lawan akan mudah terpancing.
"Karena aku tidak ingin bertarung den-
ganmu, Camar Hitam," kata Ki Abdi Kanwa pula.
"Sekarang ini, lebih baik kita selesaikan saja se-
cara damai. Kita lemparkan cincin sakti itu ke
kawah gunung, biar ditelan lahar panas. Dan kita
kembali ke jalan masing-masing, tanpa membawa
silang sengketa. Bukankah ini usul yang sangat
menarik daripada kita yang sudah sama-sama tua
harus adu kesaktian?"
"Hhh! Orang banyak boleh mengagumimu
karena kebijaksanaan, Ki Abdi Kanwa! Tetapi se-
karang, ternyata semua ucapan dan sikapmu
hanya omong kosong! Karena, kau tak lebih dari
seorang penipu belaka! Makan seranganku ini!"
Bukannya Camar Hitam yang menyahuti
kata-kata Ki Abdi Kanwa, justru Sudongdong
yang berteriak garang sambil menerjang.
Tubuh si Kera Sakti meluncur dengan satu
gerakan seperti monyet berayun. Gerakannya
sangat lincah. Terkadang dilakukan dengan ber-
gulingan dan melompat. Sementara tangan dan
kakinya akan mencapai sasaran yang dituju. Itu-
lah jurus 'Kera Sakti Mengurung Mangsa'. Suatu
jurus yang mengandalkan kecepatan cukup ting-
gi. Setiap serangannya mengandung ancaman
berbahaya. Bahkan mampu membuat lawan ke-
walahan.
Namun yang dihadapi si Kera Sakti adalah
Penguasa Alas Roban yang memiliki kesaktian
tinggi. Tak heran kalau dengan mudahnya, seran-
gan ganas yang dilakukan Sudongdong mampu
dihindari.
Rupanya jurus yang diperlihatkan si Kera
Sakti merupakan sebuah rangkaian gerak cepat
dan mematikan. Gerakan-gerakan sangat aneh.
Mencakari dari atas, mencabik dari bawah, me-
nampar dari samping, bahkan memukul dari be-
lakang. Benar-benar mengurung lawan.
Dan perlahan-lahan bila semula Penguasa
Alas Roban hanya menggerakkan tubuhnya tanpa
bergerak dari tempatnya berdiri, kali ini mulai
menggeser untuk menghindari serangan gencar.
Sudongdong bertindak demikian, bukan-
nya berniat untuk menjatuhkan Ki Abdi Kanwa.
Karena dia yakin, kesaktian sosok berpakaian pu-
tih itu hanya bisa ditandingi Camar Hitam. Yang
jelas dia bertindak demikian agar Camar Hitam
tidak curiga. Seolah-olah dia berpihak pada pe-
rempuan gadis itu. Maka secara tak langsung, le-
laki berwajah kera itu bisa mendompleng Camar
Hitam.
Setan Kaki Besi berpikiran sama. Dia pun
langsung meluruk menggebrak Penguasa Alas
Roban. Serangannya pun tak kalah hebatnya. Te-
rutama, setiap kali kaki kanannya yang terbuat
dari besi itu berkelebat.
Wuuut! Wuuut!
Berdesir angin kencang yang membuat Ki
Abdi Kanwa harus bekerja keras juga. Namun
sampai saat ini, setelah sekian jurus terkuras,
terlihatlah satu kenyataan. Ternyata Ki Abdi
Kanwa belum juga menyerang. Bahkan masih sa-
ja menghindari serangan-serangan yang sampai
sejauh ini belum juga mengenai sasaran.
Melihat hal itu, Sudongdong menggeram.
"Ki Abdi Kanwa! Apakah selama ini kau lu-
pa bagaimana harus menyerang?" seru si Kera
Sakti mengejek.
Ki Abdi Kanwa melompat mundur dengan
ringan menghindari sapuan kaki Sudongdong dan
sambaran kaki besi Layan.
"Aku tidak perlu melupakannya," sahut
Penguasa Alas Roban, kalem.
"Bangsat! Apakah kau hanya besar lagak
saja, padahal tidak akan mampu untuk menja-
tuhkan kami?" dengus Sudongdong lagi.
Si Kera Sakti semakin geram saja. Lebih
geram lagi ketika melihat Camar Hitam hanya
berdiri terpaku saja menyaksikan pertarungan.
Sedikit pun tak terlihat kalau berkeinginan untuk
membantu.
"Ayo, Ki Abdi Kanwa! Perlihatkan keheba-
tanmu!" teriak Sudongdong.
Lalu si Kera Sakti kembali merangsek dari
depan. Sementara Layan sudah menggebrak dari
belakang. Namun dengan cepat Ki Abdi Kanwa
melenting sekali lagi ke atas.
"Sudongdong! Aku tidak pernah lupa ilmu
yang kupelajari! Bahkan aku sangat ingat, bagai-
mana orang sepertimu dan Layan harus diajar
adat!" desis Penguasa Alas Roban.
Tiba-tiba tubuh Ki Abdi Kanwa bergerak
berputar, lalu meluruk ke arah Sudongdong.
Sudongdong yang cukup terkejut mencoba
menghindar. Sementara, Layan mencoba membo-
kong, dengan maksud agar Sudongdong tidak ter-
kena serangannya. Namun yang terjadi justru di
luar dugaannya. Karena tanpa terlihat lagi, kaki
Ki Abdi Kanwa tahu-tahu menyepak ke belakang.
Begkh!
"Ukh...!"
Layan terhuyung ke belakang dengan mu-
lut meringis kesakitan. Sementara Ki Abdi Kanwa
terus menyerang Sudongdong yang dalam kea-
daan gawat segera mempergunakan jurus 'Kera
Sakti Hindari Kabut'. Jurus itu memang jurus
andalan si Kera Sakti untuk menghindari. Dan ti-
ba-tiba saja tubuhnya melompat ke dahan pohon.
"Nguik..., nguik...!"
Si Kera Sakti bersuara mengejek, membuat
Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Namun
mendadak saja tangannya mengibas. Saat itu ju-
ga serangkum angin keras menderu ke arah Su-
dongdong.
Cepat si Kera Sakti melompat ke dahan
lain yang kontan berantakan.
"Nenek busuk! Apakah kau akan membiar-
kan tua putih itu membunuh kami?!" seru Layan
yang masih menahan sakit sambil melotot garang
pada Camar Hitam.
Camar Hitam terkikik.
"Kalaupun dia tidak mampu membunuh
kalian, akulah yang akan membunuh kalian!" sa-
hut Camar Hitam enteng.
"Bangsat! Kau melupakan janjimu!" bentak
Layan.
"Hik hik hik! Apakah kau pikir semua ma-
nusia dari golongan hitam bisa dipercaya? Dari
golongan putih saja banyak yang berdusta. Apala-
gi dari golongan hitam? Sudahlah, Layan. Kalau
kau memang ingin memiliki cincin pusaka itu, ki-
ta tentukan saja di sini sekarang! Siapa yang bisa
hidup di antara kita berempat, maka dialah yang
berhak mendapatkan cincin pusaka itu!" sahut
Camar Hitam sambil terkikik.
Layan mendengus, marah pada Ki Abdi
Kanwa. Padahal seharusnya dia dan Sudongdong
sudah berhasil menipu Camar Hitam. Namun se-
karang, keadaannya justru menjadi gawat.
Lalu dengan penuh kemarahan, Setan Kaki
Besi menyerang lagi. Kali ini bukan Ki Abdi Kan-
wa sasarannya, tapi si Camar Hitam!
Sejenak Camar Hitam terkejut menerima
serangan Layan yang mendadak. Namun nalu-
rinya yang tajam dan kesaktiannya yang tinggi,
cepat memberi perlawanan cukup berarti.
Serangan yang dilakukan Layan menderu.
Berkali-kali nyaris kaki kanannya yang terbuat
dari besi memakan bagian-bagian tubuh perem-
puan tua itu.
"Bagus! Bagus sekali!" kata Camar Hitam
sambil terkikik-kikik. "Inilah yang sangat kusukai
darimu, Layan! Kau masih berlagak hebat, pa-
dahal hanyalah sapi ompong belaka!"
"Diam kau, Nenek Peot!" maki Layan ge-
ram.
Si Setan Kaki Besi terus menyerang dengan
gencarnya. Meskipun tahu tidak bisa menandingi
kesaktian Camar Hitam, namun hatinya geram
sekali pada nenek peot itu.
"Sejak semula kita sudah sepakat untuk
bersama-sama mencari cincin sakti itu! Tetapi,
ketika aku dan Sudongdong kewalahan mengha-
dapi Ki Abdi Kanwa, kau enak-enak saja menon-
ton, hah?!" rutuk Layan.
"Bahkan aku sangat bersyukur bila kalian
mampus!" sahut Camar Hitam, santai saja sambil
mengayunkan tongkatnya. Lurus dari atas ke ba-
wah.
Layan menghindar dengan jalan bersalto ke
belakang.
Sementara itu, Sudongdong dengan jurus
"Kera Sakti Hindari Kabut" kembali menyerang Ki
Abdi Kanwa. Serangannya sangat lincah sekali,
diiringi kelincahan tubuhnya saat menghindar.
Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang
melihat kekeraskepalaan Sudongdong. Kehadi-
rannya di dunia ramai ini bukanlah untuk men-
cari silang sengketa, melainkan untuk mencoba
mendamaikan kehidupan di muka bumi ini.
Yah! Sesuai mimpi Penguasa Alas Roban,
maka bisa dipastikan kalau tanah Jawa ini akan
bersimbah darah. Hari ini saja sudah muncul tiga
orang tokoh yang cukup disegani. Terutama, Ca-
mar Hitam. Ki Abdi Kanwa menghela napas pan-
jang. Entah siapa lagi yang akan muncul.
"Hei, Kakek Busuk! Ayo, hajar aku! Aku in-
gin lihat kecepatanmu saat menandingi jurusku
ini!" tantang Sudongdong dengan sikap pongah.
Tubuhnya lantas bergerak menyambar ke sana
kemari dengan gerakan bagai seekor kera.
Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang.
Yang menjadi pikirannya bukanlah Sudongdong
dan Layan, tetapi si Camar Hitam yang dirasa-
kannya setara dengan kesaktian yang dimilikinya.
Tetapi, dia harus memberi pelajaran dulu pada
Sudongdong. Biarlah Layan dihajar oleh Camar
Hitam.
Mendadak saja Ki Abdi Kanwa memutar
tubuhnya setengah lingkaran. Gerakan itu dila-
kukan bersamaan dengan serangan Sudongdong
yang langsung luput. Masih dalam keadaan demi-
kian, tangan Penguasa Alas Roban bergerak.
Begkh!
"Ugkh...!"
Hantaman itu tepat mengenai punggung
Sudongdong yang kontan tersuruk ke depan. Lalu
seketika tubuhnya berbalik dengan tatapan nya-
lang.
"Bangsat kau, Orang Tua!" dengus si Kera
Sakti.
Ki Abdi Kanwa tersenyum.
"Sudongdong. Lebih baik urungkan niatmu
untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta! Biarkan
dia berada di perut Ki Seta selama-lamanya. Dan
biarkan mayat Ki Seta tenang sepanjang zaman
tanpa diganggu siapa pun...," ujar Ki Abdi Kanwa,
halus.
"Diam kau, Orang Tua! Jangan berkhotbah
di sini! Apakah kau pikir aku bodoh yang tidak
tahu akal bulusmu untuk menguasai cincin pu-
saka itu!" bentak Sudongdong lagi.
Ki Abdi Kanwa menggeleng-gelengkan ke-
palanya. "Tak seorang pun di antara kita yang te-
lah melihat cincin itu, bukan? Mungkin memang
benar masih berada di perut Ki Seta. Jadi, biar-
kan saja. Kalaupun sudah telanjur dibedah dan
ditemukan cincin itu, lebih baik dibuang saja ke
kawah Gunung Pengging. Dan, mayat Ki Seta kita
kuburkan kembali."
"Bangsat tua! Kau hendak mengangkangi
cincin pusaka itu seorang diri rupanya! Heaaa!"
Sudongdong sudah menyerang lagi. Kali ini
lebih ganas dan lebih cepat.
Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng. Dia be-
nar-benar sedih kalau sebentar lagi darah akan
bersimbah di sini. Apalagi Layan tampak sudah
menjadi bulan-bulanan tongkat si Camar Hitam.
Sudah jelas sekali, Setan Kaki Besi tak akan bisa
menaklukkan Camar Hitam. Untuk menandingi
saja sudah sulit bukan main!
Akan tetapi, si Setan Kaki Besi nampak gi-
gih. Tidak dipedulikan kalau berkali-kali tubuh-
nya terkena hantaman tongkat Camar Hitam yang
sudah dialirkan tenaga dalam tinggi.
Ki Abdi Kanwa sendiri segera mengelakkan
setiap serangan gencar ke arahnya. Lagi-lagi ha-
tinya merasa sedih, bila membayangkan apa yang
akan terjadi kelak. Yah! Kini, jumlah mereka saja
sudah tiga orang. Sudah pasti akan semakin ba-
nyak yang berdatangan menginginkan cincin pu-
saka itu.
Sementara itu Camar Hitam saat ini sedang
menggerakkan tongkatnya ke arah Layan yang
mencoba menghindar, namun sudah kehabisan
tenaga. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan
yang sangat mematikan.
Hingga akhirnya....
Prakkk!
"Aaakhhhggg!"
Sebuah hantaman tongkat di kepala, tak
bisa dihindari Setan Kaki Besi. Tubuhnya pun
kontan tersungkur dengan kepala pecah.
Begitu mendengar jeritan Layan sahabat-
nya yang memilukan dan telah menjadi mayat,
Sudongdong menggeram marah. Dari menyerang
Ki Abdi Kanwa, dia melompat ke arah Camar Hi-
tam dengan kekuatan penuh.
"Manusia bangsat! Kau harus membalas
nyawa Layan dengan nyawa busukmu!" bentak si
Kera Sakti.
"Hik hik hik! Bagus, bagus! Keroco macam
kalian ini memang lebih baik mati saja! Daripada
memusingkan kepala!" sambut si Camar Hitam.
Wuuut!
Tongkat perempuan sakti itu berkelebat,
menyambar kaki Sudongdong yang langsung
menghindar. Lalu dikirimkannya satu pukulan
lurus sambil memutar tubuhnya.
"Hebat!" puji Camar Hitam sungguh-
sungguh. "Sayangnya, kau pun akan menyusul
sahabatmu itu, Monyet Jelek!"
Gempuran-gempuran yang dilakukan Su-
dongdong semakin cepat dan gencar dengan tena-
ga dalam berlipat ganda. Ia sudah tidak sabar un-
tuk melihat Camar Hitam terkapar. Apalagi bila
melihat Setan Kaki Besi yang kini telah menjadi
mayat.
Sementara itu Ki Abdi Kanwa hanya ter-
diam saja, memperhatikan jalannya pertarungan.
Lalu matanya melirik mayat Ki Seta yang terbujur
kaku di atas tanah. Tubuh kaku itu tak bergem-
ing sedikit pun. Kedua matanya terpejam. Bibir-
nya tersenyum. Kedua tangannya terlipat di atas
perut.
Ki Abdi Kanwa mendesah pendek. Seorang
pendekar tangguh di masa lalunya kini telah ter-
bujur kaku, dalam keadaan menjadi mayat pun
masih diributkan. Apa arti senyuman di bibir itu?
Tanya Ki Abdi Kanwa dalam hati. Padahal, seben-
tar lagi mayat itu akan tercabik-cabik.
Tidak! Ki Abdi Kanwa mendesis dalam hati.
Tidak akan pernah mayat pendekar itu dibiar-
kannya akan dicabik-cabik manusia-manusia se-
rakah yang menginginkan cincin pusaka itu. Dia
bertekad akan mempertahankannya. Akan dibiar-
kannya saja cincin pusaka itu berada di perut Ki
Seta.
Pertarungan sengit antara Camar Hitam
lawan Sudongdong berlangsung seru. Rupanya
tanpa disangka, si Kera Sakti mampu mengim-
bangi serangan-serangan Camar Hitam. Jurus
'Kera Sakti Hindari Kabut' sangat berguna dalam
menghindari setiap serangan. Jurus itulah yang
membuatnya seolah-olah mampu mengimbangi
Camar Hitam. Sedangkan perempuan tua itu
nampak semakin geram, karena sudah lewat lima
belas jurus belum juga berhasil menangani lelaki
berwajah kera itu.
Kenyataan itu pun membuat Camar Hitam
secara mendadak memutar tongkatnya menjadi
seperti baling-baling di atas kepala. Angin yang
berdesir sangat kencang, mampu merontokkan
jantung orang yang memiliki tenaga dalam ren-
dah.
Sementara Sudongdong tersenyum mere-
mehkan.
"Apakah kau hanya bisa bermain baling-
baling seperti anak kecil, hah?" ejek si Kera Sakti
ini.
"Penutup Jalan Darah!" justru saat itu ter-
dengar seruan Ki Abdi Kanwa.
"Camar Hitam! Perlukah kau memperguna-
kan jurus yang sangat dahsyat itu hanya mem-
pertahankan mayat Ki Seta saja?" lanjut Pengua-
sa Alas Roban.
Camar Hitam terkikik. Sementara desingan
yang ditimbulkan akibat suara putaran baling-
baling sangat keras.
"Siapa pun yang menghalangiku untuk
mendapatkan mayat Ki Seta, harus mampus!"
Sudongdong malah tertawa-tawa.
"Perlihatkanlah semua jurus rahasiamu,
Nek! Aku, akan melayanimu sampai seribu jurus!"
tantang Sudongdong sambil menggaruk-garuk
kepalanya bagai gerakan seekor monyet.
Wajah Camar Hitam memerah.
"Hhh! Manusia yang mau mampus, me-
mang bersikap seperti itu! Sudongdong! Lihat se-
rangan!"
"Tahan!" seru Ki Abdi Kanwa sambil meng-
hentakkan tangannya.
Tubuh Camar Hitam berhenti bergerak, ka-
lau tidak ingin disambar angin yang menderu.
Matanya mendelik.
"Kau ada gilirannya nanti, Tua Bangka!"
dengus Camar Hitam.
"Aku menanti giliran itu! Sekarang kita
tinggal bertiga. Lebih baik kita sepakati saja, tak
ada yang mendapatkan cincin pusaka itu! Mayat
Ki Seta kita kuburkan kembali! Dengan begitu,
tak ada perpecahan dan pertarungan yang me-
nimbulkan korban di antara kita!" Ki Abdi Kanwa.
Camar Hitam terkikik-kikik.
"Pintar! Pintar sekali otakmu. Penguasa
Alas Roban! Kau mampu menuturkan kata-kata
berbisamu. Setelah aku dan monyet itu setuju
mayat Ki Seta dikuburkan kembali, kau diam-
diam tentunya akan datang kembali ke sini.
Menggalinya dan mengangkangi cincin pusaka itu
seorang diri. Hik hik hik...! Usul yang bagus, teta-
pi bodoh!"
Wajah Ki Abdi Kanwa memerah. Namun
otaknya tetap berpikir keras.
"Baiklah.... Kita bedah tubuh Ki Seta! Sete-
lah cincin itu didapatkan, kita lemparkan ke ka-
wah Gunung Pengging. Bagaimana?" lanjut Pen-
guasa Alas Roban, mengutarakan usulnya.
"Camar Hitam! Apakah kau akan mengu-
rungkan niatmu untuk menyerangku, hah?!
Tongkatmu yang berputar itu hanya membuatku
muak! Tak pantas kau memperlihatkan tenaga
dalam seperti anak kecil begitu!" bentak Sudong-
dong keras.
Wajah Camar Hitam berpaling lagi pada
Sudongdong. Matanya melotot penuh amarah.
"Hhh! Rupanya kau memang ditakdirkan
sebagai orang keseratus yang akan mampus den-
gan jurus 'Penutup Jalan Darah'ku ini! Bagus!
Bagus sekali!" sahut perempuan sakti itu,
Sudongdong mengangkat kepalanya. "Aku
merasa tersanjung! Tetapi sayangnya, justru kau-
lah yang akan menjadi orang keseratus yang akan
mati pada jurusku ini!" balas Sudongdong pon-
gah.
Tiba-tiba si Kera Sakti membuka kedua
tangannya ke muka, dengan tubuh ditarik ke be-
lakang agak condong. Kaki kanannya melangkah
satu tindak. Sedang kaki kirinya melipat ke dalam
Sepertinya jurus itu memang tak ada artinya.
"Hik hik hik.... Meskipun jurusmu penuh
tipuan, tetapi..., hanya pantas diperlihatkan oleh
anak kecil saja!" ejek si Camar Hitam sambil ter-
kikik-kikik.
Begitu pula yang dipikirkan Ki Abdi Kanwa.
Dia tidak melihat keistimewaan pada jurus yang
diperlihatkan Sudongdong. Biarpun dikatakan
penuh gerak tipu, tetapi Ki Abdi Kanwa yang bisa
menebak ke mana arah lawan menyerang, sekali
lagi tidak melihat sesuatu yang aneh.
Jurus itu biasa-biasa saja. Apakah itu
hanya pembuka pancingan saja? Ataukah, ada
maksud tertentu dari si Kera Sakti dengan mem-
buka jurus yang nampak kosong?
Sudongdong tertawa.
"Nah! Kalau kau menyangka jurusku ini
tak berarti, silakan pergunakan 'Penutup Jalan
Darah'mu untuk menyerangku!" ejek si Kera Sakti
sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Tongkat yang sejak tadi berputar di atas
kepala Camar Hitam, semakin kencang saja, me-
nimbulkan suara yang menderu-deru. Lalu tiba-
tiba saja tubuh Camar Hitam meluruk ke muka,
dengan gerakan cepat sekali
"Kau akan menyesal seumur hidup karena
berani menantangku, Sudongdong!"
Hebat! Karena dalam sekali gerak saja,
tongkat yang dipegang Camar Hitam sudah berge-
rak beberapa kali. Seolah-olah sudah tercium ja-
lan darah yang akan dimusnahkan.
Dalam perkiraan Ki Abdi Kanwa, Sudong-
dong akan hancur dalam sekali serang. Karena
sama sekali tidak terlihat keistimewaan jurus
yang diperlihatkannya. Memang, menghadapi
'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam, harus-
lah mempunyai ilmu meringankan tubuh tinggi
yang ditunjang tenaga dalam serta hawa murni.
Namun yang membuat Penguasa Alas Ro-
ban terkejut, bukan karena Sudongdong mampu
menghindari serangan Camar Hitam. Bukan pula
dia bisa membalas serangan itu. Tapi ketika tu-
buh Camar Hitam sudah mendekat. Sudongdong
melemparkan tiga buah benda ke arah perem-
puan sakti itu. Sementara dua buah meluncur ke
arah Ki Abdi Kanwa sendiri!
Tanpa banyak pikir lagi, kedua tokoh sakti
yang berbeda golongan itu, menepis benda-benda
yang dilemparkan si Kera Sakti. Tidak ada leda-
kan. Tidak ada kejutan apa-apa. Yang ada hanya-
lah asap hitam yang sangat pekat! Dan..., men-
gandung racun!
Kedua tokoh tua itu terlambat untuk me-
nutup jalan napas, karena hawa racun itu begitu
kuat menyergap.
Saat itu juga, Sudongdong langsung berge-
rak menyambar mayat Ki Seta.
"Makanlah Racun 'Ludah Kera' yang sangat
keras itu. Dalam waktu dua hari, tubuh kalian
akan diserang rasa sakit luar biasa! Tak satu pun
tenaga dalam yang akan mampu menahan rasa
sakit itu! Ha ha ha... Layan! Maafkan aku. Aku ti-
dak bisa berbuat apa-apa, karena kau sudah ma-
ti! Camar Hitam dan Ki Abdi Kanwa! Kini akulah
yang berhak memiliki cincin pusaka itu. Dan se-
bentar lagi, akan menguasai rimba persilatan ini!"
Lalu sambil terbahak-bahak, si Kera Sakti
berkelebat meninggalkan lereng Gunung Pengg-
ing, meninggalkan dua sosok tubuh yang tergolek
pingsan. Juga, meninggalkan satu sosok tubuh
yang telah menjadi mayat.
"Berhenti!"
Satu bentakan terdengar cukup keras dis-
ertai berlompatannya sepuluh orang dari balik
semak dan langsung mengurung Sawedo dan ka-
wan-kawannya. Mereka semuanya memakai pa-
kaian hitam, dengan ikat kepala putih. Di pung-
gung masing-masing terdapat sebilah pedang ti-
pis, namun jelas sangat tajam.
Sawedo dan ketiga temannya secara tidak
langsung menjadi bersiaga. Bila melihat sikap pa-
ra penghadangnya bisa dipastikan kalau mereka
bukanlah orang baik-baik. Mereka tidak me-
nyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Hu-
tan yang sekarang disinggahi sangat lebat, penuh
pepohonan besar.
"Hmmm..., ada apa sebenarnya ini? Men-
gapa kalian semua menghalangi langkah kami?"
tanya Sawedo yang mempunyai nyali cukup besar
dengan mata menyipit.
Salah seorang yang mengenakan ikat ping-
gang berwarna merah terbahak-bahak. Wajahnya
kasar, banyak ditumbuhi bulu. Hidungnya besar
dengan mulut besar pula. Usianya kira-kira em-
pat puluh lima tahun. Bila melihat ciri khas pa-
kaiannya yang lain daripada yang lain, sudah bisa
dipastikan kalau dia bertindak sebagai pemimpin.
"Anak muda.... Lancang sekali kau bicara
seperti itu terhadap Gagak Seto...," kata lelaki
berwajah kasar ini dengan suara meremehkan.
"Apakah kau sudah bosan hidup?"
Sawedo yakin, yang berdiri di hadapannya
bukan orang sembarangan. Nama Gagak Seto
memang belum pernah didengar. Namun yang bi-
sa dipastikan sekarang ini, sikap orang itu benar-
benar menjengkelkan.
"Baiklah, Kakang Gagak Seto.... Maafkan
kelancanganku," ucap Sawedo sambil memutar
otaknya yang cerdik.
Sawedo merasa harus bisa mengulur wak-
tu agar tidak terjadi bentrokan berdarah. Semen-
tara ketika matanya melirik teman-temannya, me-
reka sudah siap mencabut parang di pinggang.
"Bagus! Kau beruntung hari ini, Anak Mu-
da.... Aku tidak sedang ingin membunuh. Kau
cukup menjawab pertanyaan-pertanyaanku saja,
maka akan kuizinkan melanjutkan perjalanan.
Ingat yang kukatakan tadi. Aku sedang tidak in-
gin membunuh. Tetapi anak buahku..., ha ha
ha.... Mereka sudah tidak sabar untuk meman-
cung kalian...," kata Gagak Seto.
Sawedo mendengus dalam hati. Benar du-
gaannya, kalau mereka bukanlah orang baik-
baik. Sungguh sial sebenarnya nasib Sawedo dan
teman-temannya, karena harus berjumpa mereka.
"Hhh! Apa yang ingin kau tanyakan, Gagak
Seto?" tanya Sawedo dengan suara ditekan.
Gagak Seto tertawa meskipun sempat ter-
sentak sejenak. Karena, anak muda itu memang-
gilnya tanpa ada rasa hormat. Sedang semua ber-
nada menghormat dengan sebutan 'kakang'. Ru-
panya anak muda ini memang mempunyai nyali.
"Bagus! Bagus sekali. Aku menyukai anak
muda yang penuh keberanian. Memiliki perhitun-
gan matang dan mampu membuat siapa saja ter-
pesona oleh keyakinannya. Tetapi, masalah itu
nanti saja kita bicarakan. Hmmm..., Anak Muda!
Kenalkah kau dengan seseorang yang bernama Ki
Seta?" kata Gagak Seto.
Mendengar pertanyaan itu bukan hanya
Sawedo yang mengerutkan keningnya. Tetapi, ke-
tiga temannya pun juga. Ki Seta? Ki Seta yang
mana? Apakah Ki Seta kakeknya Mayang yang te-
lah dibunuh Manusia Pemuja Bulan?
"Maaf, Ki Seta mana yang kau maksud-
kan?" tanya Sawedo.
"Hmmm.... Kalau tidak salah dengar, dia
seorang pendekar tangguh pada masa mudanya
dulu," sahut Gagak Seto.
Sawedo mengira, kalau orang yang dimak-
sud bukan Ki Seta, kakeknya Mayang. Demikian
pula ketiga kawannya. Karena sepengetahuan
mereka, kakeknya Mayang bukanlah seorang
pendekar di masa mudanya.
"Maaf, kalau itu kami tidak tahu," kata Sa-
wedo.
"Hmm.... Ki Seta yang mana yang kalian
tahu?"
"Yang kami tahu selama ini, kami hanya
mengenal seorang yang bernama Ki Seta di lereng
Gunung Pengging"
"Bagus, bagus sekali! Ki Seta itu yang kami
maksud! Seorang laki-laki tua yang tinggal di Gu-
nung Pengging. Karena pengaruh cincin pusaka
yang ditelannya, seluruh kesaktiannya telah hi-
lang. Sehingga, dia tak ubahnya seperti orang bo-
doh. Bagus, Anak Muda. Bagus sekali...."
Kening keempat pemuda dari lereng Gu-
nung Pengging itu berkerut. Sama sekali tidak
dimengerti, apa maksud Gagak Seto. Ki Seta du-
lunya seorang pendekar sakti? Lalu karena mene-
lan cincin pusaka, maka kesaktiannya lumpuh?
Dongeng dari mana lagi ini?
"Gagak Seto.... Kau sudah mendapatkan
jawaban kami, bukan? Lebih baik izinkan kami
untuk meneruskan perjalanan," ujar Sawedo.
Enggan dia memikirkan dongeng bodoh itu.
"Tunggu! Apakah Ki Seta ada di sekitar le-
reng Gunung Pengging?" cegah Gagak Seta, ber-
tanya.
Sawedo menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Yang mana rumahnya?"
"Sebuah kuburan."
"Hei! Apa maks..., oh! Sebuah kuburan?"
"Ya! Karena, Ki Seta sudah mati."
Gagak Seto menjejak-jejakkan kakinya ke
tanah dengan sikap sebal.
"Bodoh! Gila kalau begini! Kita pasti sudah
terlambat sekarang! Sudah bisa dipastikan, ba-
nyak para tokoh sakti yang bermunculan untuk
merebut cincin pusaka yang berada di perutnya!
Hhh! Kita harus secepatnya tiba di lereng Gunung
Pengging dan mencari makamnya! Gila! Ayo, ki-
ta...."
Kata-kata Gagak Seto terputus. Dan men-
dadak saja kepalanya menoleh pada Sawedo dan
yang lainnya.
"Anak muda..., tahukah kau di mana ma-
kam Ki Seta itu?"
Sawedo yang cerdik dapat memperkirakan
apa yang diinginkan Gagak Seto. Maka kepalanya
menggeleng. "Aku tidak tahu," sahut Sawedo.
"Dusta!" sentak Gagak Seto.
"Kalau kau tidak percaya, aku tidak ada
masalah. Yang pasti, aku tidak tahu di mana dia
dimakamkan. Karena, aku bukanlah penduduk di
sekitar lereng Gunung Pengging! Mendengar nama
Ki Seta saja, hanya selentingan," sahut Sawedo,
berdusta.
Gagak Seto menyembur geram. Tangannya
yang besar dan penuh bulu mengepal-ngepal. Ra-
hangnya terkatup, seolah menahan semburan
panas yang siap terlontar.
Namun tiba-tiba saja tubuh Gagak Seto
berkelebat, menyambar Jalu yang tak menyang-
ka. Diseretnya pemuda itu dua tindak, dengan
tangan tertelingkung. Tangan Gagak Seto yang
kekar, melingkar di leher Jalu.
Kalau tadi Gagak Seto nampak menyimpan
kekesalan, sekarang justru terbahak-bahak.
"Anak muda..., apakah kau akan mungkir
dari jawabanmu terus? Ataukah, kau akan meli-
hat leher kepala temanmu ini patah?" kata Gagak
Seto, merasa menang.
"Lepaskan dia!" sengat Sawedo marah.
Sungguh Sawedo tak menyangka kalau la-
ki-laki besar penuh bulu itu akan menyambar Ja-
lu. Meminta Gagak Seto untuk melepaskan Jalu
bukanlah suatu hal yang mudah.
"Ha ha ha...! Kau lihat sendiri, betapa pu-
catnya temanmu ini karena tak bisa bernapas. Ha
ha ha.... Sebentar lagi, pasti dia akan kehabisan
napas!" ujar Gagak Seto, pongah.
"Gagak Seto! Tadi kau katakan tidak ingin
membunuh hari ini!" seru Sawedo geram.
"Benar!" sahut Gagak Seto, pendek.
"Mengapa sekarang kau mau membunuh-
nya, hah?!"
"Tidak, tidak.... Aku hanya memperkecil ja-
lan pernapasannya saja. Urusan membunuh, ha
ha ha...! Sudah tentu urusan anak buahku. Jan-
gan khawatir! Gagak Seto tak akan pernah men-
gingkari janjinya...," kata laki-laki besar itu, ter-
bahak-bahak.
"Lepaskan dia!" bentak Sawedo.
"Antarkan kami ke makam Ki Seta!" balas
Gagak Seto.
Meskipun masih tidak mengerti mengapa
tahu-tahu ada orang yang mencari makam Ki Se-
ta, Sawedo menghela napas masygul bercampur
kesal. Apalagi melihat keadaan Jalu yang megap-
megap. Wajahnya tampak semakin bertambah
pucat.
"Anak muda! Aku tidak suka banyak cin-
cong! Antarkan kami ke makam Ki Seta. Atau,
temanmu ini mampus?" ancam Gagak Seto.
Sawedo kali ini menyerah, tidak bisa ber-
buat apa-apa. Sementara Subekti dan Giri sudah
memperhitungkan semuanya. Bila saja Sawedo
nekat menyerang, maka keduanya tak mau ber-
tindak tanggung lagi. Mati bersama menjadi tu-
juan utama. Sebelumnya pun mereka telah sepa-
kat untuk terus mencari Pendekar Slebor, walau
nyawa taruhannya. Dan kini mereka juga tak
akan membiarkan begitu saja melihat Jalu yang
tampak menderita.
"Baik, kami akan mengantarmu ke makam
Ki Seta! Tetapi, mengapa kau begitu bernafsu se-
kali untuk ke sana?" kata Sawedo, yang memang
tak bisa berbuat apa-apa.
Gagak Seto terbahak-bahak. Tangannya
yang melingkar di leher Jalu berguncang. Sehing-
ga membuat pemuda itu kembali menahan rasa
sakit.
"Bodoh! Apakah kau tidak tahu kalau se-
lama hidupnya Ki Seta merahasiakan sebuah har-
ta?!" dengus Gagak Seto.
Sawedo terdiam, membiarkan Gagak Seto
berkata-kata. Ia jadi teringat ketika Manusia Pe-
muja Bulan memaksakan kehendaknya pada Ki
Seta, agar memberitahukan di mana hartanya
disimpan. Harta apa? Apakah Gagak Seto dan
sembilan anak buahnya mengetahui tentang har-
ta Ki Seta?
"Hei, Anak Muda! Kau tahu tidak?" bentak
Gagak Seto tiba-tiba.
Sawedo langsung menganggukkan kepala.
"Aku pernah mendengar tentang itu. Teta-
pi, tidak pernah tahu harta apa," sahut Sawedo.
"Ha ha ha.... Bodoh, bodoh sekali! Kau ru-
panya memang buta, kalau di tempat tinggalmu
sebenarnya ada seorang pendekar besar yang ti-
dak bisa berbuat apa-apa, karena seluruh kesak-
tiannya telah hilang. Hhh! Dulunya Ki Seta ada-
lah pendekar tangguh yang sukar dicari tandin-
gannya, kecuali adik seperguruannya sendiri. Ala,
sudahlah.... Yang pasti, di perut Ki Seta terdapat
sebuah cincin pusaka yang sangat hebat! Yang
tak ada tandingannya untuk masa-masa seka-
rang! Cincin itulah yang menyebabkannya lum-
puh bersama seluruh kesaktiannya!"
Sawedo dan yang lain mendengarkan den-
gan seksama. Tetapi, apakah yang dimaksud
orang penuh bulu ini adalah, Ki Seta kakeknya
Mayang?
Gagak Seto mengibaskan tangannya.
"Sudahlah! Ayo kita segera berangkat! Jan-
gan-jangan di sana sudah ramai para tokoh dunia
persilatan yang sedang sibuk memperebutkan
cincin pusaka itu!" ujar Gagak Seto.
"Lepaskan kawanku dulu, baru kita be-
rangkat!" seru Sawedo keras.
Gagak Seto terbalik padanya dengan tata-
pan geram.
"Jangan menjual tampang di hadapanku,
Anak Muda! Penuhi permintaanku. Atau teman-
mu ini kukepruk kepalanya sampai hancur,
hah?!" gertak Gagak Seto.
Kali ini tak ada jalan lain yang bisa dilaku-
kan Sawedo. Begitu pula Subekti dan Giri yang
diam-diam menganggukkan kepala, tanda setuju.
Gagak Seto terbahak-bahak keras begitu
melihat kepala Sawedo mengangguk. Lalu dengan
bengis, didorongnya tubuh Jalu hingga terjajar ke
depan, seraya menendang perutnya.
"Bagus! Kita berangkat sekarang!" ujar Ga-
gak Seto, begitu Jalu menyusur tanah.
Sawedo tak bisa lagi menahan geramnya.
Namun, dia harus mundur karena tiga orang
anak buah Gagak Seto sudah mencabut pedang,
siap menyabet bagian-bagian tubuh Sawedo.
Namun sebelum anak buah Gagak Seto
melangkah...
Des, des, des...!
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja tiga orang yang mengurung
Sawedo dengan pedang terhunus berpentalan dis-
ertai jeritan keras. Lalu mereka ambruk muntah
darah. Dua orang langsung melayang nyawanya.
Yang seorang lagi sekarat, siap menyusul nyawa
kedua temannya.
Gagak Seto melotot gusar.
"Manusia busuk! Keluar kau?!"
Dari balik sebuah semak, muncul satu so-
sok tubuh berpakaian hijau muda dengan kain
bercorak catur tersampir di pundak. Pemuda itu
melangkah sambil cengar-cengir seperti orang tak
punya dosa.
"Pendekar Slebor...!"
Justru Sawedo yang berseru.
Sementara sosok yang memang Andika
alias Pendekar Slebor hanya mengangkat tangan-
nya saja. Sikapnya santai sekali.
Mendengar sebuah julukan yang barusan
diteriakkan Sawedo, Gagak Seto terbahak-bahak.
Kalau tadi marah, kini menyembunyikan kemara-
hannya di balik tawanya.
"Tak kusangka, rupanya yang muncul di
hadapanku Pendekar Slebor?" sambut Gagak Se-
to, menunjukkan kepongahannya.
"Kau pikir seorang pangeran, ya? Aku me-
mang pantas jadi pangeran, bukan?" balas Andika
sambil tertawa.
"Pangeran? Ha ha ha...," ulang Gagak Seto
disertai tawa mengejek. Namun tiba-tiba tawanya
berhenti. "Pendekar Slebor! Lebih baik kau ming-
gat dari sini, sebelum merasakan kehebatan Ga-
gak Seto!"
"Apa?"
Andika memiringkan kepalanya.
"Gagak Bego? O, rupanya julukanmu Ga-
gak Bego?" ledek Andika sambil nyengir.
"Kalau begitu, namaku Gagak Pintar."
Wajah Gagak Seto memerah mendengar se-
lorohan itu. Apalagi melihat tiga anak buahnya te-
lah menjadi mayat, karena yang sekarat tadi kini
sudah menyusul kedua temannya.
"Rupanya. Pendekar Slebor memang iseng!
Kerjanya hanya mengganggu orang lain saja! Ha-
jar dia!" perintah Gagak Seto.
Serentak enam orang anak buah Gagak Se-
to mencabut pedang masing-masing. Mereka
langsung mengurung Andika dengan wajah ang-
ker.
Andika masih cengar-cengir saja.
"Kalau hanya begini saja sih, enteng! Kena-
pa tidak kau sekalian saja, Gagak Bego? Barang-
kali saja setelah bertarung denganku, kau sema-
kin sadar kalau kau memang bego...," kata Andi-
ka seenaknya.
"Bunuh dia!"
Serentak enam buah pedang menyerang
pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan itu. Enam buah mata pedang berkilat di-
timpa sinar mentari senja yang sudah menurun.
Sementara Andika masih saja meloncat ke sana
kemari dengan santainya.
Wuuut!
Srrrt!
Pedang-pedang itu terus berkelebatan me-
nyambar dengan cepat disusul seruan-seruan ke-
ras yang menambah semangat bagi para penye-
rang Andika.
Sawedo yang tak pernah menyangka kalau
Pendekar Slebor yang sedang dicarinya akan
muncul di sini, diam-diam menghela napas pan-
jang. Buru-buru didekatinya Jalu yang sedang
memegangi perutnya. Sementara Giri dan Subekti
bersiap membantu Andika, bila terdesak. Namun
keduanya kini sudah tidak menyangsikan lagi ke-
saktian Andika yang berjuluk Pendekar Slebor.
"Kakang Sawedo...."
Sawedo mengangkat kepalanya, menoleh
pada satu tempat.
"Mayang!" seru Sawedo terkejut. Mayang
yang muncul dari balik semak mendekat.
"Apa kabar, Kakang?" tanya Mayang, lang-
sung. Tetapi pertanyaannya itu tidak segera dija-
wab Sawedo. Sebenarnya dalam hati kecilnya, dia
juga hendak mencari Mayang. Karena sesung-
guhnya, dia sangat mengasihi gadis itu. Dan begi-
tu gadis ini muncul, tiba-tiba saja dirangkulnya.
Hanya sejenak, karena sejurus kemudian dile-
paskannya dengan wajah tersipu.
"Maaf..., aku terlalu gembira melihat kau
selamat," ucap Sawedo memerah wajahnya.
Mayang hanya tersenyum saja.
"Yah, berkat pertolongan Kang Andika."
Sawedo diam-diam menghela napas pendek. Lalu
Mayang pun menceritakan tentang dirinya yang
ditawan Tridarma, sampai dibebaskan oleh Pen-
dekar Slebor yang juga lolos dari tawanan.
"Syukurlah kalau begitu," desah Sawedo.
Pertarungan Pendekar Slebor melawan enam
orang berpakaian hitam yang menyerang gadis itu
pun berlangsung seru. Kalau tadi Andika sengaja
memperlambat serangannya sampai terdesak, ka-
rena ingin mempermainkan Gagak Seto yang ter-
lihat tersenyum puas.
Namun kini, Pendekar Slebor tampak tiba-
tiba saja bergerak laksana kilat.
Des! Buk! Des!
Brak!
Tiga tubuh anak buah Gagak Seto lang-
sung terpental ke belakang, muntah darah. Yang
satu menabrak pohon yang tumbuh di situ.
"He he he.... Mengapa kau tidak langsung
turun saja, Gagak Bego?" leceh Andika. "Tetapi ti-
dak heran ya, kalau orang pengecut itu hanya bi-
sa bersembunyi di balik kegarangan semua!"
"Bangsat busuk!" geram Gagak Seto.
Saat itu juga lelaki kekar ini meluruk den-
gan kedua tangan berbentuk paruh gagak.
Andika melompat menghindari serangan.
Sementara Subekti, Giri, dan Sawedo telah men-
gambil alih ketiga sisa lawan Andika tadi.
Andika terus menghindari gempuran-
gempuran hebat Gagak Seto yang menggunakan
jurus 'Gagak Membubung ke Langit'. Sebuah ju-
rus yang sangat hebat dan cepat.
Tetapi menghadapi jurus ini Andika justru
tertawa-tawa. Sambil menghindar dan membalas
mulutnya tak henti-hentinya mengoceh.
"Lumayan! Lumayan juga kau, Gagak Bego!
Tetapi, kesaktianmu hanya pantas untuk jadi tu-
kang pukul di pasar kotapraja!"
Sambil mengejek Andika bergerak cepat.
Kakinya bagai seribu, seolah sangat hafal dengan
bagian-bagian tanah yang diinjak.
Dan kali ini. Gagak Seto yang menjadi ke-
limpungan menghadapi gerakan kilat Andika. Se-
bisanya tubuhnya melenting berkali-kali ke atas.
Untuk menghindari sambaran kaki Pendekar Sle-
bor yang cepat. Belum lagi, kedua tangan Andika
yang terkadang memukul secara beruntun.
"Hei, hei! Kenapa kau tidak mengepakkan
kedua sayapmu untuk terbang?" seloroh Andika
memanas-manasi. "Mungkin keberatan dosa ya,
sehingga takut jatuh!"
Pendekar Slebor terus bergerak cepat,
membuat Gagak Seto benar-benar kelimpungan.
Diam-diam kini disadari, kalau nama besar Pen-
dekar Slebor bukan hanya omong kosong saja.
Namun pendekar muda yang bijaksana namun
urakannya tidak ketulungan itu memang sangat
santer di seluruh tanah Jawa. Sangat dikenal
baik oleh golongan sesat maupun golongan lurus.
Bahkan, namanya pun dikenal para pendekar da-
ri negeri seberang.
Namun Gagak Seto yang sudah cukup la-
ma malang melintang sebagai salah satu begun-
dal yang ditakuti, tidak mau menyerah begitu sa-
ja.
Selagi Andika menyerang dengan cara me-
matahkan setiap langkahnya, mendadak saja Ga-
gak Seto bergerak ke atas. Lalu dia hinggap di ta-
nah, bukan dengan kedua kaki. Tapi dengan ke-
dua tangannya. Sementara kedua kakinya lurus
ke atas.
"Hei? Sedang apa, sih?" seru Andika sambil
memperhatikan gerakan Gagak Seto. "Apa mata-
mu mendadak juling, sehingga melihatku mesti
pakai jungkir balik seperti itu?"
"Anak muda...! Sekarang kau akan menga-
kui kebebatan Gagak Seto!" desis Gagak Seto.
Bagai baru sadar, Pendekar Slebor men-
ganggukkan kepala.
"O..., itu sebuah jurus, toh? Boleh, boleh!
Aku juga ingin melihat seperti apa sih, jurusmu
itu!"
Tiba-tiba saja Gagak Seto bergerak. Luar
biasa! Kedua tangannya yang dijadikan sebagai
kaki bergerak begitu cepat. Bahkan mampu me-
lompat-lompat, tak ubahnya kaki.
Andika sampai terkejut bercampur kagum
melihatnya.
"Hebat!" puji Pendekar Slebor, tulus.
"Dan kau akan merasakan yang lebih hebat
lagi. Pendekar Slebor!" dengus Gagak Seto. Kedua
kakinya yang mengangkat ke atas menderu-deru,
bagaikan sebuah kepalan tangan yang mampu
mematikan langkah lawan.
Andika sendiri beberapa kali cukup terke-
jut menyaksikan serangan aneh itu.
Sementara itu, Sawedo, Giri, dan Subekti
harus mendapatkan lawan yang tangguh. Bahkan
terlihat lebih tinggi ilmunya dari mereka. Giri
sendiri berkali-kali harus bergulingan untuk me-
nyelamatkan selembar nyawanya dari sambaran
pedang.
Begitu pula Subekti. Serangannya seolah
mati saja. Berkali-kali pula tubuhnya terkena
sambaran ujung pedang yang tajam. Walau tidak
mematikan, namun membuatnya pedih. Mungkin
hanya Sawedo saja yang kelihatan bisa mengim-
bangi lawannya, meskipun tak urung harus san-
gat berhati-hati.
Jalu yang menyaksikan ketiga sahabatnya
bertarung mati-matian, hanya bisa menghela na-
pas saja. Dia tidak kuasa untuk bangun, karena
perutnya yang ditendang Gagak Seto tadi masih
sakit sekali.
"Habisi mereka semua! Kita harus cepat ke
lereng Gunung Pengging!" seru Mayang, memberi
semangat.
Kata-kata itu masuk ke telinga Andika,
yang menjadi ingat tujuan utama mereka. Me-
mang sulit untuk masuk ke dalam serangan Ga-
gak Seto yang mempergunakan ilmu anehnya.
Namun kali ini Andika tidak mau bertindak tang-
gung lagi. Tubuhnya segera melesat cepat, setelah
mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ketiga pu-
luh di kedua tangannya.
Des! Des!
Dua pukulan Pendekar Slebor berbenturan
dengan dua sepakan kaki Gagak Seto yang men-
juntai ke atas. Tak ada pengaruh apa-apa. Bah-
kan Gagak Seto terus mencecar.
"He he he.... Sudah cukup belum kau ber-
diri dengan kedua tanganmu?" ledek Andika.
Sambil bertarung, Pendekar Slebor memi-
kirkan pula kemungkinan Manusia Pemuja Bulan
dan Tridarma yang pergi ke lereng Gunung Pengg-
ing untuk mencari cincin pusaka di perut Ki Seta.
Kalau mereka sudah berhasil mendapatkannya,
maka akan sulit sekali untuk menghancurkan
dua manusia sesat itu.
Sementara Gagak Seto menyerang, tetap
dengan serangan-serangan aneh! Saat itulah An-
dika menderu maju dengan tubuh berguling. Lalu
kedua kakinya tiba-tiba menyepak kedua tangan
Gagak Seto yang dijadikan sebagai tumpuan.
Tetapi sungguh luar biasa. Gagak Seto ter-
nyata mampu mengangkat tubuhnya dengan lon-
taran kedua tangannya.
Sebenarnya, itulah yang memang diperhi-
tungkan Andika. Begitu tubuh Gagak Seto te-
rangkat, mendadak saja kaki Pendekar Slebor
menyambar.
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh Gagak Seto terhuyung, lalu ambruk.
Belum lagi dia bangkit, kaki Andika kembali
menghantam perutnya.
Desss...!
Dan seketika kaki kanan Pendekar Slebor
menyambar kepala Gagak Seto.
Prak!
"Aaa...!"
Kepala itu pecah. Tamatlah riwayat Gagak
Seto!
Andika telah berdiri berkacak pinggang.
"Cukup sudah, ya? Daripada kau capek?
Eh, Sawedo! Minggir kalian semua! Heaaat!"
Sawedo, Giri, dan Subekti langsung ming-
gir begitu mendengar teriakan Andika. Tetapi
yang sangat lucu, ketiga laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dengan pedang di tangan itu justru
menjadi kelabakan. Apalagi begitu melihat Gagak
Seto yang merupakan ketua mereka sudah men-
jadi mayat.
Lebih baik melarikan diri saja daripada ma-
ti konyol. Maka serentak ketiganya serabutan me-
larikan diri.
Andika cepat menghentikan serangannya.
Dan kedua tangannya memukul-mukul pahanya
sendiri. "Ayo! Kejar! Pegang, pegang!" Ketiga orang
itu terus ngibrit terkencing-kencing. Sikap Andika
yang kocak membuat Mayang tersenyum simpul.
"Ah, Andika.... Sikapmu yang semaunya itu
justru menjadi ciri khasmu. Orang bukannya ma-
rah bila melihat sikapmu yang sedikit tengil dan
urakan. Tapi malah akan tertawa bila tahu sifat-
mu yang doyan bercanda...," gumam gadis ini da-
lam hati.
Tetapi, lain lagi bila yang dihadapi Andika
adalah tokoh sesat. Mereka yang kegiatannya me-
rasa dihalangi, akan dibuat bertekuk lutut sam-
pai benar-benar tobat.
"Sudahlah, Kang Andika.... Kita harus pergi
menyelamatkan mayat Aki," kata Mayang kemu-
dian.
Andika berbalik. Segera disalaminya Sawe-
do, Giri, Subekti dan Jalu. Seolah, saat itulah me-
reka baru bertemu. Sawedo menceritakan para
penduduk yang mengungsi ke Lembah Bunga di
bawah pimpinan Paman Longgom.
Sawedo juga menceritakan tentang Gagak
Seto yang mengatakan kalau di tubuh Ki Seta
terdapat sebuah cincin pusaka. Dan hal itu sege-
ra ditanyakan pada Andika. Di luar dugaan Pen-
dekar Slebor mengangguk.
"Yah! Semuanya memang benar. Ki Seta,
kakeknya Mayang, dulunya seorang pendekar.
Dia telah menelan sebuah cincin sakti, sehingga
punahlah seluruh kesaktiannya. Sudahlah.... Kita
harus cepat sekarang! Karena aku yakin, sudah
banyak para tokoh sakti yang memburu cincin
pusaka itu!" ujar Pendekar Slebor.
Setelah mengobati Jalu, mereka pun segera
berangkat menuju lereng Gunung Pengging, tem-
pat mayat Ki Seta dimakamkan.
7
Malam semakin tinggi. Kesunyian mulai
menyergap alam sekitarnya. Angin dingin ber-
hembus. Terasa lain dari yang lain, seolah mengi-
syaratkan kalau akan ada suatu kejadian yang
menggiriskan.
Di malam seperti ini Sudongdong alias si
Kera Sakti telah siap dengan pekerjaannya, men-
cari cincin pusaka di dalam tubuh mayat Ki Seta.
Mayat itu sudah direbahkan di balik semak. Keti-
ka merasa sudah cukup aman, akan dilakukan-
nya pembedahan. Akan dicarinya cincin pusaka
yang akan menjadikannya sebagai orang nomor
satu di dunia persilatan.
Sejenak si Kera Sakti memperhatikan seke-
lilingnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Mungkin saat ini Ki Abdi Kanwa dan si Camar Hi-
tam dalam keadaan sekarat.
Kini Sudongdong pun memulai maksud-
nya. Diketuk-ketuknya mayat Ki Seta. Entah apa
yang dilakukan, seolah mencari di mana cincin
pusaka itu.
Tahu-tahu lelaki berwajah kera itu terse-
nyum.
"Hmmm.... Rupanya terselip di antara tu-
lang ekor," gumam si Kera Sakti puas. Lalu, diba-
liknya mayat Ki Seta.
Kini tibalah saatnya bagi Sudongdong un-
tuk memiliki apa yang diimpi-impikannya. Tan-
gannya pun terangkat, siap mengepruk tulang
ekor Ki Seta. Namun belum lagi sempat menu-
runkan tangannya, mendadak saja....
Tuk! Tuk!
"Ohhh...!"
Saat itu juga si Kera Sakti merasakan tu-
buhnya menegak kaku. Seseorang telah meno-
toknya hingga tak bisa bergerak seperti ini.
"Keparat! Keluar kau?!" bentak si Kera Sak-
ti marah.
Sudongdong tidak perlu berteriak sampai
dua kali. Karena tak lama kemudian dua sosok
tubuh berloncatan ke arahnya. Yang seorang
mengenakan jubah hitam. Sedang yang seorang
lagi berambut putih acak-acakan tanpa memakai
baju.
Mereka tak lain memang Manusia Pemuja
Bulan dan Tridarma. Setelah puas menyiksa Pen-
dekar Slebor, Tridarma pun segera mengajak Ma-
nusia Pemuja Bulan untuk mendatangi mayat Ki
Seta. Karena, kini gilirannya untuk mendapatkan
cincin pusaka itu.
Namun karena Manusia Pemuja Bulan
ngotot untuk menculik seorang dara perempuan
guna menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa',
maka perjalanan menuju Gunung Pengging jadi
terhambat.
Tridarma hanya mendengus saja ketika
Manusia Pemuja Bulan membawa seorang pera-
wan dalam keadaan pingsan, yang diculiknya ke-
tika sedang mandi. Dan malam itu juga, seluruh
ajian 'Unggulan Dewa' disempurnakannya.
Kini lengkaplah sudah Manusia Pemuja
Bulan dalam mempelajari ajian 'Unggulan Dewa'
tersebut.
Namun, rupanya keterhambatan itu mem-
bawa keuntungan. Karena selagi Manusia Pemuja
Bulan baru saja selesai menyempurnakan il-
munya, Tridarma mendengar sesuatu yang mena-
rik perhatiannya. Dia pun berkelebat cepat men-
gikuti satu sosok tubuh bertampang monyet se-
dang berlari sambil membopong satu sosok tubuh
yang lunglai.
Mata kelabu Tridarma yang awas itu bisa
melihat jelas, kalau yang dibopong manusia ber-
tampang monyet itu tak lain adalah Ki Seta.
Setelah secara singkat menceritakan pada
Manusia Pemuja Bulan, Tridarma segera menge-
jar. Tentu saja diikuti pula oleh Manusia Pemuja
Bulan.
Ketika manusia bertampang monyet itu te-
lah berhenti dan tengah menerka-nerka di mana
gerangan cincin pusaka berada. Tridarma dan
Manusia Pemuja Bulan bersembunyi. Baru ketika
Sudongdong hendak memukul tulang ekor Ki Se-
ta, barulah Manusia Pemuja Bulan yang bertin-
dak.
Dengan sebuah daun, Ki Wedokmurko me-
notok urat di bawah pangkal lengan kanan Su-
dongdong. Lalu keduanya mendekati Sudongdong
yang kaku dengan tangan kanan terangkat.
"Gembel Tua.... Rupanya nasib kita sangat
beruntung. Tidak perlu bertindak seperti maling
yang membawa-bawa lari mayat Ki Seta!" kata
Manusia Pemuja Bulan, setelah meyakini sosok
yang rebah itu memang mayat Ki Seta.
Tridarma pun tertawa.
"Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba.
Orang lain yang bersusah payah, kita yang mu-
dah mendapatkannya. Dengan ajian 'Unggulan
Dewa' yang telah sempurna kau kuasai serta cin-
cin pusaka yang akan berada di tanganku, kita
akan menjadi dua malaikat pencabut nyawa di
rimba persilatan ini!" tambah Tridarma. Keduanya
terbahak-bahak.
Sudongdong yang sejak tadi menyipitkan
matanya jadi jengkel.
"Lepaskan totokan ini! Kita akan bertarung
seribu jurus!" dengus si Kera Sakti
Manusia Pemuja Bulan berpandangan den-
gan Tridarma, lalu keduanya tertawa.
"Bagus, bagus sekali.... Aku memang ingin
mencoba kehebatan ajian 'Unggulan Dewa'. Dan
tak disangka, aku menemukan lawan yang seper-
tinya memang layak untuk menyambut ajian
'Unggulan Dewa*," kata Manusia Pemuja Bulan.
Manusia Pemuja Bulan menendang sebutir
kerikil yang langsung meluncur ke arah si Kera
Sakti.
Tuk!
Totokan yang dialami Sudongdong pun ter-
lepas. Si Kera Sakti langsung menggeram.
"Hhh! Tak akan pernah kubiarkan kalian
mendapatkan cincin pusaka itu!" geram Sudong-
dong sambil membuka jurusnya 'Kera Sakti Men-
gurung Mangsa'.
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
Sementara Tridarma menyingkir.
"Benar tidak yang kukatakan, Gembel Tua?
Dia memang pantas untuk mencoba ajian
'Unggulan Dewa' yang telah sempurna ini!" leceh
Manusia Pemuja Bulan.
Dalam kesempurnaan, ajian 'Unggulan
Dewa' yang dipelajari Manusia Pemuja Bulan se-
cara tidak langsung sudah mengikat dan menyatu
pada tubuhnya. Sehingga ketika merapatkannya,
tidak menampakkan perubahan warna pada tu-
buhnya. Kalau dulu selagi berhadapan dengan
Pendekar Slebor, seluruh tubuhnya memancar-
kan warna merah. Kecuali di salah satu bagian
bahu kanannya. Saat itu, ajian 'Unggulan Dewa'
yang dipelajarinya memang belum sempurna.
"Hhh! Aku ingin tahu kehebatan ajian ca-
cingmu itu!" tantang Sudongdong.
Saat itu juga, si Kera Sakti meluruk maju
dengan kekuatan penuh, ia ingin unjuk gigi, da-
lam sekali gebrak saja lawan akan blingsatan.
Namun, tiba-tiba tangan kanan Manusia
Pemuja Bulan telah memancarkan sinar merah.
Begitu mengibas meluncur sinar merah ke arah
Sudongdong yang kontan blingsatan.
Sudongdong yang merasa kalau ada se-
buah tenaga raksasa mengarah kepadanya, beru-
saha menghindar. Namun yang membuatnya he-
ran, tubuhnya bagai diikat oleh tenaga raksasa.
Sehingga dia tak bisa bergerak sedikit pun. Aki-
batnya.
Brak!
"Aaakh...!"
Tubuh Sudongdong kontan melayang, me-
nabrak pohon hingga tumbang. Dan dadanya te-
rasa sangat sakit.
"Edan! Ajian apa ini?!" sentak si Kera Sakti
dalam hati.
Namun Sudongdong bukanlah orang pena-
kut. Begitu bangkit dipersiapkannya bulatan hi-
tam yang mengandung racun. Begitu menyerang,
dilemparkannya lima buah sekaligus bulatan hi-
tamnya.
Akan tetapi, semuanya sia-sia saja. Karena
ketika laki-laki berjubah hitam itu kembali men-
gibaskan tangannya tanpa berpindah dari berdi-
rinya, kembali tenaga raksasa menghantamnya.
Seperti tadi, Sudongdong tidak bisa men-
gendalikan keseimbangannya. Bahkan tidak
mampu lagi menahan gempuran tenaga raksasa
yang kuat. Tubuhnya bukan hanya terlontar,
bahkan terlempar beberapa tombak. Lalu dia am-
bruk dengan hidung dan mulut mengeluarkan da-
rah, tanpa dapat bangkit lagi.
Sudongdong telah tewas hanya dalam se-
kali gebrak! Manusia Pemuja Bulan terbahak-
bahak. "Gila! Sungguh di luar dugaan! Dia ternya-
ta tidak layak untuk mencoba ajian 'Unggulan
Dewa'!" kata Manusia Pemuja Bulan penuh se-
mangat.
"Kuakui, ajian 'Unggulan Dewa' itu sangat
hebat. Bagus! Sebentar lagi, kita akan menguasai
dunia persilatan!" sahut Tridarma.
Tridarma lantas melangkah, mendekati
mayat Ki Seta. Kalau tadi Sudongdong yang men-
galami keterkejutan karena tiba-tiba tubuhnya
menjadi kaku, kali ini Tridarma. Karena, begitu
tangannya terulur siap mengangkat mayat Ki Se-
ta, mendadak saja....
Ctarrr!
Terdengar suara keras seperti suara lecu-
tan yang memekakkan telinga.
Tridarma langsung menarik pulang tan-
gannya. Segera dia bergeser dua tindak.
"Bangsat buduk! Siapa yang iseng begini,
hah?!" maki Tridarma.
Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu-
lan pun segera memasang kedua matanya penuh
waspada.
•k'k'k
"Curang! Sangat curang sekali!"
Terdengar suara halus yang disertai lang-
kah gemulai dari sosok ramping berpakaian serba
kuning.
Yang muncul memang seorang gadis manis
dengan betis mulus, karena celananya hanya se-
batas lutut. Di dadanya terdapat hiasan bergam-
bar kalajengking dengan sepasang capit terang-
kat. Wajahnya memang sangat cantik, tak ubah-
nya dewi yang baru turun dari kahyangan. Hi-
dungnya bangir menawan dengan sepasang bibir
mungil memerah. Sepasang alisnya hitam legam
bak semut beriring. Pipinya montok. Kalau saja
saat ini siang hari, jelas sekali terlihat kedua pipi
itu kemerahan. Matanya jernih dengan bulatan
indah, dihiasi bulu-bulu mata lentik. Di tangan-
nya terdapat sebuah cambuk.
Untuk sesaat Tridarma dan Manusia Pe-
muja Bulan ternganga melihat kecantikan dara
yang baru muncul. Namun hanya sesaat.
"Hhh! Seekor ayam bulat menjual lagak di
sini!" bentak Tridarma.
Dara itu tersenyum.
"Dan dua ekor kambing tua yang mau
mampus masih juga berbuat curang pada manu-
sia bertampang monyet yang sudah mampus!" ba-
las gadis ini tenang.
Manusia Pemuja Bulan masih bisa men-
gendalikan amarahnya.
"Nona manis..., siapa kau?" tegur Ki We-
dokmurko.
"Hhh!"
Dara itu mengangkat dagunya. "Apakah
kau belum mendengar tentang seorang dara jelita
yang berasal dari Ngarai Sejuta Madu?" gadis ini
malah balik bertanya.
Manusia Pemuja Bulan diam-diam men-
dengus. Rupanya gadis ini adalah Penguasa Nga-
rai Sejuta Madu yang terletak tak jauh dari Pesisir
Pantai Utara.
"Tak kusangka! Cemeti Melati Kala pun
hadir di sini," kata Manusia Pemuja Bulan kemu-
dian. "Ada perlu apa kau sebenarnya, Ranjani?"
Dara bernama Ranjani yang berjuluk Ce-
mati Melati Kala tertawa.
"Wah, wah...! Rupanya saat ini aku berte-
mu orang yang pandai bersandiwara? Perbua-
tanmu yang menipu para penduduk di sekitar le-
reng Gunung Pengging sudah kudengar. Sayang-
nya, aku terlambat menyelamatkan mereka dari
tangan sesatmu. Tetapi sekarang, hi hi hi.... Tak
kusangka di balik tanganmu yang sesat kau juga
menginginkan satu kenyataan pahit yang harus
kau dapatkan!" kata Ranjani dengan tawa terge-
lak-gelak
Wajah Manusia Pemuja Bulan memerah.
Dia tahu, Ranjani alias Cemati Melati Kala adalah
salah seorang tokoh lurus, yang menjadi Pengua-
sa Ngarai Sejuta Madu. Berarti malam ini, keingi-
nan Tridarma untuk membedah mayat Ki Seta
guna mendapatkan cincin pusaka harus terham-
bat. Karena, Manusia Pemuja Bulan yakin, gadis
ini akan menjadi penghalang. Tetapi Ki Wedok-
murko masih mencoba menggunakan otaknya.
"Kalau cuma ingin menumpasku saja, kau
tidak perlu capai-capai mencariku. Ranjani. Ka-
rena, ketahuilah. Aku sudah insyaf," ujar Manu-
sia Pemuja Bulan yang tidak mau mencari ribut
dengan Ranjani. Karena dia tahu, saat ini adalah
waktu yang paling tepat untuk membedah mayat
Ki Seta.
Ranjani tertawa.
"Hebat, hebat! Dagelan pepesan kosong
yang pernah kudengar! Baiklah, Wedokmurko!
Kau boleh pergi dari sini bersama temanmu. Te-
tapi, tinggalkan mayat Ki Seta!"
Lagi wajah Ki Wedokmurko memerah. Ru-
panya Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu pun
mengetahui tentang mayat Ki Seta yang menyim-
pan harta tak ternilai.
"Hhh! Kau hanya mencari penyakit saja,
Dara Manis!" dengus Tridarma sebelum Manusia
Pemuja Bulan buka suara.
Ranjani tersenyum.
"Atau kau yang sebenarnya mencari pe-
nyakit?" tukas Ranjani.
Tridarma menggeram marah. Lalu dengan
cepat tubuhnya menerjang Ranjani. Namun tanpa
bergeser dari tempatnya, Cemeti Melati Kala
menggerakkan tangannya yang memegang cemeti.
Ctarrr!
"Jangan sampai kau tersentuh ujung ceme-
ti itu, Tridarma! Cemetinya mengandung racun
ular bludak yang banyak hidup di Ngarai Sejuta
Madu!" ingat Ki Wedokmurko pada Tridarma.
"Ternyata kau sangat pandai, Wedokmur-
ko!" seru Ranjani. "Coba sekarang kulihat gaya
menarimu!"
Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu men-
gebutkan cemetinya ke arah Manusia Pemuja Bu-
lan.
"Bangsat!" rutuk Manusia Pemuja Bulan
seraya melenting menghindar.
"Hi hi hi...! Lumayan juga untuk menghi-
burku!"
Tridarma cepat meluruk, coba membokong.
Namun Ranjani telah berbalik seraya menge-
butkan cemetinya.
Ctar!
"Monyet!" seru Tridarma jengkel, cepat me-
nahan serangannya.
Ranjani hanya tertawa-tawa saja. "Aku su-
ka sekali. Sangat suka sekali dihibur tahan seper-
ti monyet dungu menggaruk pantat!" ejek gadis
itu.
Ki Wedokmurko menggeram marah. Lalu
segera dirangkumnya ajian 'Unggulan Dewa' yang
baru saja memakan korban.
Agaknya Tridarma mengetahui gelagat itu.
Langsung tubuhnya melenting ke belakang,
membiarkan Ki Wedokmurko melepas ajian
'Unggulan Dewa'
"Hhh! Cemeti Melati Kala! Coba lihat ju-
rusku yang satu ini!" dengus Manusia Pemuja Bu-
lan.
"Silakan, silakan!" tantang Ranjani sambil
mengibaskan kembali cemetinya.
Bersamaan dengan itu, Manusia Pemuja
Bulan mengibaskan kedua tangannya. Seketika
angin dahsyat bergulung-gulung menderu ke arah
Ranjani.
Cemeti Melati Kala terkejut melihatnya. Se-
gera tubuhnya melenting ke atas. Namun, ada
keanehan yang dirasakannya. Karena, angin yang
bergulung-gulung itu bagai mengejarnya. Maka
tubuhnya pun melenting kembali dengan kalang
kabut.
"Gila!" maki gadis itu.
"Ha ha ha...! Aku ingin melihat, sampai di
mana kesabaranmu untuk menghindar terus me-
nerus. Ranjani!" ejek Ki Wedokmurko sambil
mengibaskan terus menerus kedua tangannya.
Dan selagi Ranjani kerepotan menghindar
ke sana kemari, Manusia Pemuja Bulan menderu
maju dengan kedua tangan sudah terangkum
ajian "Unggulan Dewa 1 !
Sebisanya Ranjani mengibaskan cemetinya.
Kalau tadi hanya memecut biasa, kali ini bergerak
bagaikan ular yang meliuk-liuk mencari sasaran.
Namun Ki Wedokmurko yang sangat yakin
dengan ajian 'Unggulan Dewa'nya terus mener-
jang. Dan kini, justru Ranjani yang kali ini terke-
jut melihatnya.
Ctar!
Ujung cemeti gadis itu menyambar dada Ki
Wedokmurko. Di luar dugaan, tubuh itu tidak
bergeming sama sekali! Bahkan terus menderu ke
arahnya.
Pucatlah wajah Penguasa Ngarai Seribu
Madu. Dari sini dia yakin, ilmu yang diperli-
hatkan Manusia Pemuja Bulan sangat dahsyat.
Jalan satu-satunya memang hanya beru-
saha menghindar. Namun itu pun sudah sulit.
Karena selain angin yang bergulung-gulung itu te-
rus menderu ke arahnya, dia juga harus meng-
hindari serangan Ki Wedokmurko yang menderu
maju.
"Ha ha ha...! Rupanya nama besar Pengua-
sa Ngarai Seribu Madu ternyata hanya omong ko-
song belaka!" ejek Manusia Pemuja Bulan.
Panas sekali telinga Ranjani mendengar
ejekan itu.
Namun, dia tak berani memapak serangan
yang dirasakan semakin menjadi-jadi.
Beberapa buah pohon yang tumbuh di sa-
na pun bertumbangan terbawa angin kencang.
Pohon yang berjarak dua puluh tombak dari tem-
pat itu harus gugur dedaunannya. Ini menanda-
kan ajian 'Unggulan Dewa' milik Manusia Pemuja
Bulan begitu dahsyat dan sudah sempurna sekali.
Sementara itu, Tridarma yang mundur dari
pertarungan sudah membalikkan mayat Ki Seta.
Tangannya pun siap mengepruk pinggul Ki Seta.
Dia pun yakin, cincin pusaka itu berada di antara
tulang ekor Ki Seta.
8
"Si Kera Sakti...!"
Satu sosok berpakaian putih yang kini su-
dah dikotori debu tampak bergerak mulai siuman
dari pingsannya. Yang dipikirkannya pertama kali
ketika sadar adalah Sudongdong yang berjuluk si
Kera Sakti. Makanya ketika sadar mulutnya lang-
sung menyebut nama itu. Dengan cepat tubuhnya
diangkat dan bersiaga.
Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali mayat
Layan yang terbujur kaku dan sosok Camar Hi-
tam yang mulai bergerak, siuman pula.
Camar Hitam sendiri juga segera bersiaga
begitu sadar. Yang dilihatnya hanyalah sosok Ki
Abdi Kanwa yang nampak pucat dan sempoyon-
gan. Perempuan sakti ini sendiri merasakan tu-
buhnya bergetar. Rupanya racun yang dilempar-
kan Sudongdong tadi sudah meresap ke seluruh
tubuh mereka.
"Ki...," desis Camar Hitam parau.
Ki Abdi Kanwa memegang dadanya yang te-
rasa sakit. Jantungnya terasa berdebar lebih ce-
pat dari biasanya.
"Kita terkena racun," kata Penguasa Alas
Roban.
"Bangsat si Sudongdong itu! Hkkhhh! Dia
telah berlaku licik untuk membunuh kita!" maki
perempuan sakti itu.
"Camar Hitam...! Apakah silang sengketa di
antara kita ini harus diteruskan?" tanya Ki Abdi
Kanwa. "Manusia bertampang monyet itu sudah
melarikan diri dari sini, dengan membawa mayat
Ki Seta!"
Camar Hitam mengeluh menahan sakit
Tangannya mengibas.
"Tidak! Kita sudahi saja. Aku harus hidup
untuk membalas perbuatan Sudongdong!" sahut
Camar Hitam, tegas.
"Aku pun demikian!"
"Hhh!"
Sepasang mata Camar Hitam menyipit me-
natap Ki Abdi Kanwa.
"Namun bukan berarti berhenti sampai di
sini! Bila kau sudah sembuh dari racun keparat
ini, kita akan bertemu lagi!"
Ki Abdi Kanwa hanya mengangguk. Rasa
sakit di dadanya semakin terasa. Meskipun hawa
murninya sudah dikerahkan untuk mengusir ra-
cun itu, tetap saja masih merasakan sakit yang
menyengat.
Ketika tubuh Camar Hitam berkelebat Ki
Abdi Kanwa hanya menghela napas panjang. Ru-
panya, kehadirannya di dunia ramai kembali ha-
nyalah untuk menjemput maut. Tidak! Dia tidak
boleh mati dulu. Dia harus mengobati rasa sakit
ini.
"Huh! Di mana aku harus mencari pemuda
berpakaian hijau pupus yang menyampirkan kain
bercorak catur di lehernya?" dengus Penguasa
Alas Roban pelan.
Tetapi karena hawa racun yang memang
harus disembuhkannya. Ki Abdi Kanwa pun me-
ninggalkan tempat itu dengan penuh kesedihan.
Dia merasa gagal untuk menenteramkan dunia
ini. Semua terjadi gara-gara cincin pusaka yang
membawa petaka!
•kick
"Anjing buduk! Siapa lagi yang ingin men-
cari mampus!" geram Tridarma sekali lagi.
Hati lelaki ini benar-benar geram. Kalau
tadi gagal karena kehadiran Ranjani, kini gagal
lagi entah ulah siapa. Karena tahu-tahu, gerakan
tangannya yang hendak mengepruk Ki Seta me-
lenceng.
"He he he...! Sudah tak sabar, ya?" sahut
sebuah suara disertai munculnya satu sosok tu-
buh berpakaian hijau pupus yang cengar-cengir.
"Pendekar Slebor!" seru Tridarma terkejut.
"Nah, nah! Papan penggilesan! Apakah kau
sudah mendapat wangsit dari Ki Saptacakra un-
tuk mengepruk pinggul Ki Seta, hah?!" kata sosok
yang baru muncul.
Sosok itu tak lain dari Andika alias Pende-
kar Slebor. Pemuda inilah yang menggagalkan
rencana Tridarma dengan pukulan jarak jauhnya.
Andika memang sangat geram karena berhasil di-
kelabui Tridarma.
"Nih! Lebih baik kau makan saja dulu an-
gin dari pinggulku!" ujar Andika seraya menungg-
ing. Dan....
Duuut!
Tridarma bangkit sambil menggeram ma-
rah.
"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" de-
sis Tridarma, sambil menyerang.
Lelaki kerempeng ini tidak menyangka ka-
lau Andika yang sudah dihajar sampai pingsan
ternyata bisa meloloskan diri. Kalau pemuda ini
berhasil meloloskan diri, sudah bisa dipastikan
Mayang pun berhasil diselamatkan pula. Breng-
sek! Jelas, dia tidak punya sandera sekarang! Se-
benarnya, itulah maksud Tridarma kenapa tidak
mengatakan tentang Mayang pada Manusia Pe-
muja Bulan. Terutama di saat laki-laki berjubah
hitam itu membutuhkan darah perawan guna pe-
nyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'.
Andika melenting menghindari serangan.
Kali ini dia langsung menyerang, karena hatinya
masih kesal. Yang jelas, Tridarma diberi pelaja-
ran. Maka dalam gebrakan pertama saja, Pende-
kar Slebor sudah menggunakan tenaga 'inti petir'
tingkat delapan. Ini menandakan kalau kegera-
mannya pada Tridarma sudah demikian memun-
cak
Gebrakan pertama Pendekar Slebor sangat
menyulitkan Tridarma yang menyerang di bawah
pengaruh amarahnya. Apalagi, bila seorang tokoh
berada dalam kemarahan saat menyerang, maka
sudah bisa dipastikan tidak akan bisa memu-
satkan perhatiannya.
Makanya, Pendekar Slebor pun mampu
membuat Tridarma kalang kabut. Namun meski-
pun demikian, laki-laki bertubuh kurus itu bu-
kanlah tokoh sembarangan. Mendadak saja tu-
buhnya mampu bergerak lincah laksana seekor
kijang.
"Heeeiiittt! Boleh juga, nih!" seru Andika
sambil mempercepat gerakannya. Dan setiap kali
tangannya bergerak, terdengar suara bagai petir
menyalak.
Tridarma mendengus. Serangan itu belum
dibalasnya, karena Pendekar Slebor telah menu-
tup setiap langkahnya. Namun dia masih berusa-
ha menembus.
"Heit! Mau ke mana, Kek? Jangan jauh-
jauh! Sini, sini, biar tubuhmu itu kupatah-
patahkan menjadi tulang bakar!"
Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan itu terus menyerang dahsyat dan
cepat sekali. Dan ini membuat Tridarma harus
kelabakan.
Namun pada satu kesempatan, Tridarma
berhasil melepaskan diri dari lingkaran serangan
Andika dengan cara melemparkan pasir yang be-
rada di dekatnya. Kemudian tubuhnya membuat
lompatan ke belakang.
Andika sendiri harus menghindari pasir itu.
Dalam jeda hanya beberapa kedipan saja,
Tridarma telah menggosok kedua tangannya yang
seketika memancarkan sinar berwarna keemasan.
Ketika Pendekar Slebor menyerang, tangannya di-
kibaskan ke depan.
Sing! Sing! Siiing!
Seketika tiga buah larik sinar keemasan
meluncur ke arah Pendekar Slebor! Kalau tadi
Tridarma yang kalang kabut, kali ini Andika yang
kelihatan kewalahan menghindari serangan den-
gan berlompatan ke sana kemari.
Tridarma bisa bernapas lega.
"Ha ha ha...! Rupanya Pendekar Slebor bisa
menjadi monyet juga!"
"Kutu kupret! Monyet pitak! Awas kau, ya?"
maki Andika.
Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor
meluruk ke arah Tridarma yang sudah kembali
melontarkan sinar keemasannya.
"Heh...?!"
Tridarma terkejut, karena sinar keemasan
itu berhasil ditepis Pendekar Slebor. Bahkan kini
berbalik ke arahnya!
Tridarma cepat menjatuhkan diri, bergulin-
gan. Sehingga, sinar keemasan yang berbahaya
itu menghantam beberapa pohon yang langsung
tumbang. Rupanya, kali ini Andika tidak tang-
gung-tanggung lagi. Segera tenaga 'inti petir'nya
dikerahkan pada tingkat ketiga! Pada saat itu ju-
ga, Pendekar Slebor terus menyerang.
"Kali ini, kau harus merelakan nyawamu
pergi ke akherat, Papan Penggilesan!" desis Pen-
dekar Slebor.
Namun belum lagi maksud Andika terlak-
sana, serangkum angin besar yang bergulung-
gulung meluruk ke arahnya tanpa dapat dicegah
lagi.
Brak!
Tubuh Pendekar Slebor kontan terbawa
angin dan menabrak pohon hingga tumbang.
•kick
Rupanya, dalam saat yang gawat bagi Tri-
darma, Manusia Pemuja Bulan memberi ban-
tuannya dengan mengibaskan ajian 'Unggulan
Dewa' ke arah Pendekar Slebor.
Sementara itu lawan Manusia Pemuja Bu-
lan, Penguasa Ngarai Sejuta Madu yang sudah te-
rombang-ambing dimainkan angin besar, kini
hinggap di tanah dalam keadaan berlutut. Da-
danya terasa nyeri karena berkali-kali terhantam
angin besar. Kalau saja tenaga dalamnya tidak
tinggi, bisa dipastikan akan mengalami nasib se-
perti Sudongdong yang tenaga dalamnya berada
dua tingkat di bawahnya.
"Ha ha ha...! Kita bertemu lagi, Pendekar
Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil ter-
bahak-bahak. "Untunglah, kau tidak dibunuh
Tridarma waktu itu, sehingga bisa menyaksikan
ajian 'Unggulan Dewa'ku yang sangat dahsyat
ini!"
Andika memegang dadanya yang terasa
nyeri. Matanya sempat melirik ke arah dara jelita
yang sejak tadi bertarung dengan Manusia Pemu-
ja Bulan. Rupanya, gadis berpakaian kuning itu,
sedang bersemadi. Gila! Bersemadi di tengah-
tengah manusia kejam itu hanyalah mengundang
maut! Tetapi, memang hanya itulah yang bisa di-
lakukan, kalau tidak ingin nyawanya langsung
putus.
Andika pun berdiri dengan digagah-
gagahkan. Perhatiannya dialihkan pada Manusia
Pemuja Bulan atau Tridarma.
Andika sendiri merasa beruntung. Karena
begitu melihat pertarungan sengit antara Manusia
Pemuja Bulan dengan dara jelita itu, sementara
Tridarma sedang berusaha membedah mayat Ki
Seta, Sawedo disuruhnya untuk membawa yang
lainnya ke Lembah Bunga. Kalau tidak, sudah bi-
sa dipastikan, walaupun mereka bersembunyi,
akan terbawa angin dahsyat yang keluar dari pu-
kulan Manusia Pemuja Bulan.
Andika menatap Manusia Pemuja Bulan
sambil nyengir.
"He he he.... Lumayan, lumayan. Rupanya
itu ajian 'Monyet Nangkring' yang sedang kau pe-
lajari. Boleh juga" sahut Pendekar Slebor, enteng
sambil mengusap-usap dadanya.
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
"Jangan menyembunyikan ketakutanmu di
balik suaramu. Pendekar Slebor!" sentak Manusia
Pemuja Bulan.
"He he he.... Aku tidak takut. Ini dadaku!
Nah, mana dadamu? Kalau Papan Penggilesan itu
sih tidak usah memperlihatkan dadanya? Sudah
krempeng seperti itu, eh, masih nekat juga jual
tampang!" balas Andika, sok kuat.
"Bunuh dia, Wedokmurko!" seru Tridarma
sambil membopong mayat Ki Seta.
"Tak perlu diperintah manusia ini pun
akan kubunuh, sebagai balasan dari perbuatan-
nya yang mengacaukan seluruh rencanaku! Se-
hingga, aku menjadi lebih lama untuk menyem-
purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang kupelajari!"
desis Manusia Pemuja Bulan dengan mata nya-
lang.
"O...! Jadi..., pendekar ganteng yang mem-
buatmu mati kutu itu, aku ya?" kata Andika
sambil tertawa. "Kalau begitu, apakah kau masih
takut juga?"
"Seettaaannn!"
Manusia Pemuja Bulan mengibaskan ke-
dua tangannya kembali, ke arah Pendekar Slebor.
Seketika angin besar meluruk bergulung-gulung
ke arah Andika Hawanya sangat panas.
Andika menghindar dengan jalan melom-
pat. Namun angin itu terus mengarah deras ke-
padanya.
"Kadal buntet!" maki Pendekar Slebor sam-
bil meloloskan kain pusaka bercorak catur yang
tersampir di bahunya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja hujan
turun dengan derasnya. Benda cair bagaikan ri-
buan jarum bagaikan ditumpahkan dari atas
membasahi apa saja yang ada di bawah.
Wuuut!
Brrr!
Arah angin bergulung-gulung itu bisa dibe-
lokkan oleh Andika. Rupanya, kain pusaka wari-
san Ki Saptacakra lebih kuat dari pada ajian
'Unggulan Dewa' milik Ki Wedokmurko. Kini angin
itu menderu ke arah Tridarma yang sedang mem-
bopong mayat Ki Seta.
"Bangsat!" maki Tridarma sambil melompat
menghindar. Dan....
Blarrr...!
Terdengar suara bagai ledakan, ketika an-
gin itu menabrak sebuah pohon besar.
Melihat hal itu, Ki Wedokmurko menjadi
bertambah marah. Tidak disangka arah angin pa-
nas yang bergulung-gulung miliknya berhasil di-
belokkan oleh Pendekar Slebor. Dengan murka
kekuatan ajian 'Unggulan Dewa'nya ditambah.
Wrrr!
Wrrr!
Kembali angin panas bergulung-gulung ke
arah Andika. Dan lagi-lagi Pendekar Slebor men-
gibaskan kain pusakanya, mengarah pada Tri-
darma yang lagi-lagi harus menghindari angin ba-
lik itu.
Bertepatan dengan itu, Penguasa Ngarai
Sejuta Madu membuka matanya. Tubuhnya dira-
sakan sudah lumayan, tidak terlalu sakit seperti
tadi. Dan begitu matanya menangkap sosok Tri-
darma sedang melenting, cemetinya dikibaskan.
Ctarrr!
Tridarma terkejut. Namun dalam saat yang
gawat tubuhnya bisa bergulingan.
"Monyet!" Ranjani terkikik.
"Kau tak akan bisa membawa mayat Ki Se-
ta begitu saja!" kala Cemeti Melati Kala. "Hiaaat!"
Diiringi satu teriakan keras kembali gadis
itu mengibaskan cemetinya dengan tubuh melu-
ruk ke arah Tridarma.
Dengan sigap Tridarma melemparkan tu-
buh Ki Seta ke atas, dan nyangkut di rimbunnya
dedaunan sebuah pohon. Lalu lelaki kerempeng
ini cepat menghindari serangan dengan melompat
ke samping sambil mengayunkan kakinya.
Namun Ranjani sudah cepat berputar
sambil mengibaskan cemetinya ke arah kaki yang
terjulur itu.
"Setttan!" rutuk Tridarma, seraya cepat
menarik kakinya.
Menghadapi cemeti yang mampu menjaga
jarak itu membuat Tridarma mendengus-dengus.
Kemudian segera dilontarkannya pukulan jarak
jauh. Saat itu juga, meluruk sinar berwarna kee-
masan ke arah Ranjani.
Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu
mendapatkan perlawanan seimbang. Jarak mere-
ka semakin membentang saja. Tridarma menjaga
jarak sambil melontarkan pukulan sinar keema-
sannya. Sementara, Ranjani menjaga dengan ce-
metinya yang mengandung racun pada ujungnya
•kick
Sementara itu, pertarungan antara Pende-
kar Slebor dengan Manusia Pemuja Bulan sema-
kin dahsyat dan seru. Ki Wedokmurko sudah me-
nutup rangkaian serangan dengan cara meluruk
maju. Kali ini langsung dikerahkannya aji
'Unggulan Dewa' pada kedua tangannya yang siap
mampir di tubuh Pendekar Slebor.
Sudah tentu pemuda sakti itu tidak ingin
tubuhnya dijadikan sasaran empuk. Maka segera
dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama.
Tingkat pamungkas.
Duarrr!
Suara bagai ledakan dahsyat terdengar he-
bat begitu dua tenaga sakti berbenturan. Dan dua
tubuh tampak terlontar ke belakang. Sama-sama
telah terluka dalam, dan sama-sama ngotot.
Kembali mereka mengempos semangat se-
telah mempersiapkan diri dengan tenaga penuh.
Kemudian mereka sama-sama meluruk maju.
Blarrr...!
Kembali benturan terjadi, disertai ledakan
menggelegar.
Kembali pula dua tubuh terlontar ke bela-
kang.
Kalau tadi keduanya langsung bangkit, kali
ini hanya seorang. Dan sosok yang mengenakan
jubah berwarna hitam tampak terbahak-bahak
keras. Sementara Pendekar Slebor harus merang-
kak untuk berdiri, karena dadanya terasa panas
sekali.
"Kini, ajalmu akan tiba Andika!" desis Ki
Wedokmurko keras, karena suaranya mulai terte-
lan suara derasnya hujan.
Saat itu juga tubuh Ki Wedokmurko pun
meluncur deras ke arah Andika.
Meskipun telah terluka dalam, namun
Pendekar Slebor tidak ingin ajal menjemputnya
sekarang. Dengan cepat kain pusakanya diki-
baskan.
Ctarrr!
Tubuh Ki Wedokmurko kontan tersampok
kain pusaka dan kontan terhuyung beberapa
tombak. Sementara Andika langsung melepas
kain pusakanya, karena terasakan hawa panas
menjalar. Dan ini semakin membuat dadanya te-
rasa sakit.
Jelas sekali keunggulan ajian 'Unggulan
Dewa' milik Manusia Pemuja Bulan. Bila Ki We-
dokmurko melontarkannya dari jarak jauh, masih
mampu ditandingi kain pusaka Pendekar Slebor.
Tetapi bila dialirkan pada kedua tangannya dan
menderu maju, kain pusaka Pendekar Slebor
mampu dipatahkan! Bahkan justru mengalirkan
panas menyengat!
Sementara itu, Tridarma mencoba mem-
perpendek jarak dengan meluruk maju sambil
melepaskan pukulan sinar keemasannya bertubi-
tubi.
Ranjani pun berbuat sama. Karena bila
mundur, maka keadaannya yang akan terjepit.
Dan dengan lincah sambil menghindari pukulan
sinar keemasan yang sedang mengincar nya-
wanya, cemetinya dikibaskan.
Ctarrr!
Suara cemeti itu terdengar keras, menga-
lahkan hujan yang menderu kencang. Namun, hal
ini membuat Tridarma terkejut. Karena tahu-tahu
saja kakinya yang jadi sasaran cemeti yang lang-
sung melilit di pergelangan.
Bruk!
Tubuh lelaki tua kerempeng itu jatuh ke
bumi. Ketika Cemeti Melati Kala menarik ceme-
tinya, wajah Tridarma terkena genangan becek
akibat hujan yang terus menerus. Setengah tanah
tampak masuk ke mulutnya.
Saat itu juga, Ranjani menghabisi Tridar-
ma. Maka dengan kekuatan penuh tubuhnya me-
lenting maju, siap menjejakkan kakinya ke dada
Tridarma.
Namun semua itu harus dibayar mahal.
Karena begitu kaki Ranjani berhasil menjejak ta-
nah....
Jreggg!
"Hegkh.... Hih!"
Laki-laki tua berbadan kerempeng itu ma-
sih bisa menggerakkan tangannya.
Siiing! Crasss...!
"Aaakhhh...!"
Sinar warna keemasan yang meluncur dan
tangan Tridarma menghantam tangan kiri Ranja-
ni, yang langsung putus. Menimbulkan sakit bu-
kan kepalang. Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu
pun kontan menjerit sambil menjatuhkan diri dan
bergulingan. Dia sudah tidak malu lagi bersikap
seperti anak kecil. Memang sakitnya sungguh luar
biasa. Belum lagi terkena curahan hujan, yang
membuatnya semakin bertambah nyeri.
Sedangkan Tridarma sendiri masih melo-
totkan matanya. Mulutnya yang terbuka menga-
lirkan darah. Rupanya, injakan kaki Ranjani tadi
membuat dadanya serasa pecah. Namun tenaga
dalamnya segera dialirkan meskipun tidak ba-
nyak membawa hasil. Jalan satu-satunya bila in-
gin nyawanya masih tetap melekat, harus melari-
kan diri.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Tridarma
bangkit dan berlari agak sempoyongan. Tidak di-
pedulikannya hujan yang turun deras. Tidak di-
pedulikan lagi pertarungan antara Manusia Pe-
muja Bulan dengan Pendekar Slebor.
Tridarma bersumpah, suatu saat nanti.
Penguasa Ngarai Sejuta Madu akan mendapatkan
balasan dari perlakuannya hari ini. Begitu pula
Pendekar Slebor!
Sementara Pendekar Slebor sendiri begitu
kewalahan menghadapi serangan-serangan Ma-
nusia Pemuja Bulan yang ganas dan bertubi-tubi.
Bahkan pada satu kesempatan, Andika tak sang-
gup menghindari pukulan Manusia Pemuja Bu-
lan.
Bruk!
Tubuh pemuda ini terlontar beberapa tom-
bak ke belakang dan langsung muntah darah. Ka-
lau saja bukan Andika yang telah mewarisi tenaga
sakti Pendekar Lembah Kutukan, sudah bisa di-
pastikan dadanya akan jebol dan mampus seketi-
ka.
Tubuh Pendekar Slebor pun semakin le-
mah. Dan rasa sakit semakin menyiksanya.
"Sekarang, apakah kau akan mampu me-
nahan pukulanku lagi, hah?!" leceh Manusia Pe-
muja Bulan sambil melirik Ranjani yang masih
bergulingan sambil menahan sakit.
Bagi Ki Wedokmurko yang terpenting ada-
lah memusnahkan Pendekar Slebor lebih dulu.
Urusan Ranjani bisa dilakukan kemudian. Dia
pun tak mempedulikan kepengecutan Tridarma
yang melarikan diri.
Kini Manusia Pemuja Bulan menghimpun
kembali seluruh sisa tenaganya yang dirangkum-
nya dalam ajian 'Unggulan Dewa'. Diiringi seruan
sangat keras, tubuhnya pun berkelebat ke arah
Pendekar Slebor yang hanya berlutut menahan
rasa sakit.
"Yeaaa!"
Sebelum Manusia Pemuja Bulan menurun-
kan tangan telengasnya....
Glarrr...!
Tiba-tiba saja sebuah petir menyambar tu-
buh Andika yang langsung kelojotan, bagai disen-
gat ribuan kala berbisa secara bersamaan.
Melihat hal itu, Manusia Pemuja Bulan
menghentikan serangannya. Bibirnya tersenyum
gembira, karena Pendekar Slebor pun akhirnya
harus mampus tanpa harus bersusah payah.
"Ha ha ha.... Akhirnya kau pun mampus
juga, Pendekar Slebor!" seru Manusia Pemuja Bu-
lan sambil menyaksikan tubuh Andika yang ma-
sih kelojotan.
Sambil tersenyum kemenangan, Ki We-
dokmurko bermaksud menghampiri Ranjani yang
masih kelojotan. Namun baru saja dua tindak me-
langkah....
"Kau tak akan bisa ke mana-mana, We-
dokmurko!"
Terdengar sebuah teguran dari belakang.
Dengan sigap dan penuh keterkejutan, Manusia
Pemuja Bulan membalikkan tubuhnya. Matanya
hampir saja melompat keluar, karena di hada-
pannya berdiri Pendekar Slebor dalam keadaan
segar bugar. Sepertinya, pemuda itu tak menga-
lami keluhan apa pun.
Manusia Pemuja Bulan tidak tahu, kalau
Pendekar Slebor yang telah memakan buah 'inti
petir' mampu mengendalikan petir yang menyam-
bar di tubuhnya. Bahkan bukan hanya itu saja,
Pendekar Slebor pun dapat menyerap kekuatan
petir yang membuat kekuatan tubuhnya bertam-
bah sepuluh kali lipat. Kalau saja tadi Andika ti-
dak dalam keadaan lemah, tidak akan sampai ke-
lojotan seperti itu.
"Bingung!" ejek Andika. "Kalau bingung,
bunuh diri saja!"
Manusia Pemuja Bulan menggeram marah.
Kedua tangannya kembali terkepal.
"Nah! Pasti marah, kan? Bingung, kan? Ti-
dak usah bingung. Karena sebentar lagi kau akan
mampus," ejek Andika enteng.
Manusia Pemuja Bulan tak ingin banyak
cakap lagi. Kembali dirangkumnya ajian
'Unggulan Dewa'nya pada kedua tangannya. Lalu
diiringi teriakan keras, tubuhnya meluruk ke arah
Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor sendiri segera mengempos
tubuhnya ke arah Manusia Pemuja Bulan, me-
mapaki dengan kekuatan berlipat ganda. Dan....
Duarrr!
Terdengar lagi suara benturan bagai leda-
kan dahsyat. Kalau tadi tubuh keduanya terpen-
tal ke belakang, kali ini hanya tubuh Manusia
Pemuja Bulan saja. Sementara, Andika masih
berdiri kukuh di bawah siraman hujan. Akibat
sambaran petir tadi, di tubuhnya bergejolak ke-
kuatan berlipat ganda.
Manusia Pemuja Bulan merasakan da-
danya jadi nyeri. Bahkan dari mulutnya menyem-
bur darah agak kehitaman. Lalu dengan penasa-
ran dan penuh nafsu membunuh, dia meluruk
kembali.
Sedang Andika tetap berdiri di tempatnya
dengan mata tak berkedip. Begitu kedua tangan
Manusia Pemuja Bulan yang berkekuatan penuh
hampir menyentuh tubuhnya, mendadak sontak
Pendekar Slebor mengibaskan kedua tangannya
pula dengan tubuh sedikit condong ke depan.
Dan....
Duarrr!
Benturan kembali terjadi menimbulkan le-
dakan keras menggelegar. Tubuh Manusia Pemu-
ja Bulan kembali meluncur deras ke belakang.
Kali ini lebih jauh! Dan kepalanya langsung
menghantam sebuah pohon besar hingga pecah.
Andika menghela napas panjang. Entah
mengapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun
belum lagi beristirahat, terdengar erangan Ranja-
ni.
"Hmmm.... Gadis ini membutuhkan perto-
longan," desis Andika dan langsung berkelebat.
Pendekar Slebor mendapatkan sosok Ran-
jani telah jatuh pingsan. Diangkatnya tubuh itu
dan didudukkannya. Lalu, ditempelkannya kedua
telapak tangan ke punggung Rajani. Di bawah si-
raman hujan, Andika mengalirkan tenaga dalam-
nya.
Hujan telah berhenti. Kini di sekitar tempat
itu becek tak menentu. Andika menghela napas
panjang. Tenaganya kini benar-benar terkuras.
Dia memang telah berhasil menghentikan darah
yang keluar dari tangan kiri Ranjani yang putus.
Penguasa Ngarai Sejuta Madu sendiri su-
dah sadar. Dan dia merasakan kepedihan yang
sangat di hatinya. Kini Ranjani telah menjadi ga-
dis cacat.
"Pendekar Slebor...," panggil gadis itu sam-
bil mengangkat wajahnya.
Andika tersenyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap
Ranjani
"Lukamu telah sembuh, Ranjani...," sahut
Andika tersenyum. "Tak pernah kusangka. Pen-
guasa Ngarai Sejuta Madu masih demikian muda
dan jelita...."
Ranjani menundukkan kepalanya. Seha-
rusnya, sebagai seorang dara hatinya merasa se-
nang dipuji dengan tulus tanpa mengandung naf-
su seperti itu. Namun kini, tangan kirinya telah
buntung. Cacat!
Namun sebagai Penguasa Ngarai Sejuta
Madu. Ranjani memang tidak ingin bersikap cen-
geng. Maka perlahan-lahan kepalanya diangkat
dengan tegar.
"Pendekar Slebor.... hendak diapakankah
mayat Ki Seta yang menyimpan cincin pusaka
itu?" tanya Ranjani.
Andika tersenyum.
"Aku akan menguburkannya," sahut Andi-
ka, pelan.
"Di mana?"
Andika menggelengkan kepala sambil tetap
tersenyum.
"Maafkan aku, Ranjani.... Bukannya aku
tidak percaya denganmu. Aku akan menguburkan
mayatnya di satu tempat. Dan, tak seorang pun
yang mengetahui di mana makamnya. Tak terke-
cuali, cucunya sendiri."
"Kau benar, Andika. Mayat Ki Seta memang
harus dimakamkan di tempat aman," dukung
Ranjani.
"Kau percaya padaku?"
Ranjani mengangguk
"Yah.... Aku pun tak pernah menyangka,
Pendekar Slebor yang ramai dibicarakan orang
ternyata masih muda."
Senyum di bibir Andika mulai nakal. "Kita
sama-sama masih muda, bukan?"
Ranjani mengangkat kepalanya. "Iya. La-
lu?"
Bukannya menjawab, Andika justru men-
gedipkan sebelah matanya. Kontan Ranjani gela-
gapan melihatnya.
"Genit!" seru gadis itu dalam hati. Tetapi
entah mengapa, kok gadis ini suka melihat kedi-
pan penuh arti dari pendekar tampan itu.
Tetapi dalam keadaan seperti itu, Ranjani
tidak berani lagi memikirkan kemungkinan yang
satu itu.
"Cukup lama aku meninggalkan Ngarai Se-
juta Madu. Mungkin anak buahku sudah cemas
semuanya. Andika, sekali lagi kuucapkan terima
kasih," ucap Ranjani seraya menghela napas pan-
jang.
Andika justru mengedipkan matanya.
Ranjani jadi tersedak. Pemuda ini pasti
bercanda. Namun tak urung jantung gadis ini
dag-dig-dug juga.
"Bila kau ada waktu, mampirlah ke Ngarai
Sejuta Madu!" kata gadis itu, seraya berkelebat.
Weeettt!
Tubuh dara jelita itu pun menghilang. An-
dika berdiri.
"Ranjani...! Tunggu aku di sana! Kapan-
kapan aku akan datang ke sana!" teriak Pendekar
Slebor.
"Kutunggu kau. Pendekar Slebor!" terden-
gar sahutan Ranjani di kejauhan, bernada gembi-
ra.
Andika hanya tersenyum seorang diri. Be-
naknya membayangkan betapa cantiknya Ranja-
ni. Dan bajunya yang terkena siraman hujan itu
masih menampakkan cetakan bagian-bagian tu-
buhnya.
Andika menepuk keningnya sendiri.
"Dasar mata keranjang!"
Lalu Pendekar Slebor menghampiri sebuah
pohon tempat mayat Ki Seta tersangkut. Dihen-
takkannya pohon itu hingga bergoyang. Dan
mayat Ki Seta pun meluncur turun.
Andika cepat mengangkat mayat Ki Seta.
Dibawanya mayat itu ke desa tempat Mayang
tinggal.
Fajar sebentar lagi mulai menyingsing. Su-
ara kokok ayam jantan pun sudah terdengar.
Di belakang rumah Mayang, Pendekar Sle-
bor telah menguburkan mayat Ki Seta. Dia berpi-
kir, di situlah satu-satunya tempat aman untuk
menguburkannya. Agar tidak menimbulkan peta-
ka lagi, kuburan Ki Seta tidak berbentuk gundu-
kan. Tetapi rata dengan tanah.
Selesai dengan tugasnya, Pendekar Slebor
berkelebat menuju Lembah Bunga. Cepat saja dia
sampai di tempat itu, karena telah diberikan an-
car-ancarnya oleh Sawedo.
Sawedo sendiri yang menunggu di Lembah
Bunga segera menyambut kedatangan Pendekar
Slebor.
"Bagaimana, Andika?" tanya Sawedo.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Semuanya sudah berakhir. Sekarang, ka-
lian aman untuk kembali ke desa. Di mana yang
lain?"
"Di balik air terjun."
"Oh! Apa ada jalan menuju ke sana?"
"Paman Longgom yang menunjukkannya."
Andika mengangguk-angguk
"Sawedo. Nampaknya..., aku harus mene-
ruskan perjalananku," kata Andika.
"Oh! Mengapa demikian? Tidakkah kau in-
gin singgah dulu di balik air terjun itu?" tanya
Sawedo kaget.
Andika menggeleng. Ada satu hal. mengapa
Pendekar Slebor enggan pergi ke batik air terjun.
Dia tidak ingin melihat Mayang bersedih bila di-
tinggalnya. Andika tahu, Mayang menaruh hati
padanya. Namun, diam-diam pun Andika tahu
kalau Sawedo menaruh hati pada gadis itu.
"Tidak! Sampaikan salamku pada semua-
nya. Katakan, kalian semua sudah aman untuk
kembali ke desa. O, ya, Sawedo.... Katakan pada
Mayang, mayat kakeknya tak kurang suatu apa.
Dia telah kumakamkan disatu tempat aman. Te-
tapi, maaf. Aku tak bisa mengatakannya tentang
tempat itu," kata Andika.
Sawedo pun mengangguk penuh pengertian.
"Itu memang lebih baik, Andika. O, ya. Kini
aku tahu, siapa yang membunuh Medi, Kang
Menggolo, dan istrinya. Dia tak lain adalah Manu-
sia Pemuja Bulan sendiri. Soal Medi, Mayang te-
lah menceritakannya kepadaku. Laki-laki itu me-
mang patut mati, karena kehadirannya hanyalah
mengganggu gadis-gadis dan istri orang saja," un-
gkap Sawedo.
"Jangan menyukuri yang mati. O, ya. Satu
lagi yang perlu kukatakan padamu, sayangilah
Mayang...," ujar Andika.
"Apa? Oh!".
"Jangan berlagak!" sahut Andika sambil
mendorong kening Sawedo yang tergelak tersipu.
"Aku mohon pamit!"
Wuuusss!
Tubuh Andika cepat berkelebat. Dan tahu-
tahu dia sudah menghilang dari pandangan. Sa-
wedo menarik napas panjang. Hatinya bersyukur
pernah mengenal pemuda gagah itu. Tetapi berita
yang terpenting sekali adalah mengajak pulang
para penduduk yang mengungsi di balik air ter-
jun. Terutama, amanat dari Pendekar Slebor tadi.
Kalau dia harus menyayangi Maya. Tetapi tanpa
disuruh lagi, pemuda ini memang akan me-
nyayanginya.
SELESAI
Emoticon