Muhammad saw
sangat senang hatinya saat menerima kabar gembira tentang kelahiran putrinya,
Fatimah. “Alhamdulillah,”serunya. Wajah beliau tampak berseri-seri karena suka
citanya.
Saat itu, Umar
bin Khattab juga meerima berita tentang kelahiran putrinya.
“Lelaki atau
perempuan ?”tanya Umar tak sabar.
“Perempuan,”jawab
orang yang memberitakan itu.
“Keparat !”
umpat Umar dengan geram.
Saat itu, Umar
bin Khattab belum memeluk agama Islam. Muka Umar tampak merah padam,
perasaannya gundah karena kecewa istrinya melahirkan bayi perempuan.
“Haruskah aku
menahan malu ? Ataukah lebih baiknya anak itu kukubur hidup-hidup?”
Namun karena
kodrat dan irodat Allah swt, Umar memilih untuk mengasuh anak perempuannya dan
diberi nama Hafshah.
Lima tahun
kemudian, Muhammad saw menerima wahyu, lalu beliau mendakwahkan agama Islam
untuk mentauhidkan Allah ‘Azza Wajalla. Dan agar mereka meninggalkan
penyembahan berhala serta tradisi jahiliyah, mengajak umat kembali ke jalan
Allah. Karena dengan petunjuk Allah yang dibawa Muhammad saw akan teraturkan
segala urusan makhluk. Dan berimanlah Rasulullah orang yang beriman, dan
kafirlah orang-orang yang kafir.Firman Allah :
“Dan tidak
kami utus seorang Rasul melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia terangkan
kepada mereka. Tetapi Allah sesatkan siapa yang ia kehendaki dan ia pimpin yang
ia kehendaki, karena Dia lah (Tuhan) yang Gagah lagi Bijaksana”. (QS. Ibrahim
14).
Umar bin
Khattab adalah termasuk salah seorang yang paling keras memusuhi Islam. Dia
menentang denggagn lisan, tangan, serta kekuasaannya. Sehingga kaum mukmin
benar-benar takut kepadanya.
Tentang
perangai Umar bin Khattab sedikit demi sedikit diketahui oleh anak perempuannya
yang masih kecil, Hafshah sangat takut kepada ayahnya. Dia juga telah mendengar
dari teman-teman sebayanya tentang sebagian dakwah Rasulullah, yaitu agar
memelihara kaum wanita, memuliakan dan berlaku adil terhadap mereka.
Pada suatu
hari, Umar bin Khattab pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri, dan kemudian
bercerita kepada keluarganya bahwa dirinya telah dibai’at masuk Islam.
“Demi Allah,
yang memberi cahaya iman didadaku aku telah berbai’at kepada Rasulullah. Aku
telah masuk Islam.
Ketika sampai
masanya, seorang pemuda yang bernama Khunaits bin Hudzafah datang meminangnya.
Umar mengawinkan mereka, dan keduanya mendapat keberkahan dengan hidup tentram
dan bahagia.
Sementara itu,
tamparan orang-orang kafir Quraisy
semakin hari semakin keras dalam menteror kaum Muslimin. Hal itu sanat
mengurangi ketentraman dan kebahagiaan Hafshah dan suaminya. Seandainya mereka
bukan keluarga Al-Khattab, pasti mereka akan disakitinya seperti orang-orang
muslim lainnya.
Karena teror
dari orang-orang Quraisy terhadap kaum muslimin itu, maka Rasulullah
mengijinkan kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Disana mereka mendapat
perlindungan dan pertolongan serta jauh dari gangguan-gangguan kaum kafir
Quraisy.
Diantara kaum
muslimin yang hijrah itu, adalah Khunait dan istrinya, Hafshah. Karena
kepayahan dan perbedaan cuaca, kaum Muslimin banyak yang terserang demam dan
jatuh sakit.
Khunaits bin
Hudzafah juga tak luput dari serangan demam itu. Dan selama dua tahun kaum
Muslimin tinggal di Madinah, Hafshah selalu menjaga suaminya yang jatuh bangun,
sebentar sembuh, sebentar sakit. Sehingga waktunya banyak berada di tempat
tidur.
Pada tahun
ketiga hijriah, bertindaklah kaum Muslimin untuk menghadang kafilah Abu Sufyan
yang membawa barang dagangan dan harta orang-orang Quraisy yang datang dari
Syiria
Namun Khunaits tetap tinggal di
Madinah karena masih sakit. Begitu pula Utsman bin Affan tidak dapat ikut,
karena harus menemani istrinya, Ruqayyah, yang juga sedang sakit.\
Tindakan
kaum Muslimin itu dilakukan untuk melemahkan kekuatan kaum kafir Quraisy,
sebagai imbangan terhadap tindakan kaum Quraisy yang menghalangi kaum Muslimin
untuk melaksanakan haji ke Baitul-Haram.
Di
suatu tempat antara Makah dan Madinah, yang bernama Badar, bertemulah lasykar
Islam dengan kafir Quraisy. Pertempuran sengit terjadi, 300 lasykar muslim
melawan 1000 pasukan kafir Quraisy. Pihak muslim gugur 14 orang dan kafir
Quraisy 70 orang. Pertempuran itu termashur dengan nama “Perang Badar”.
Setelah
kaum Muslimin memperoleh kemenangan dalam perang itu, mereka kembali ke
Madinah. Akan tetapi, Raasulullah dan kaum Muslimin dikejutkan wafatnya
Ruqayyah (putri beliau), istri Utsman bin Affan dan wafatnya Khunaits, suami
Hafshah.
Hafshah
kini telah menjadi janda ketika usianya masih remaja. Sejak saat itu Umar bin
Khattab sering datang ke rumahnya untuk menghibur. Musibah itu merupakan
pukulan berat bagi Umar, airmatanya menetes menahan perasaannya yang sedih.
Padahal dia adalah orang yang keras.
Karena
sangat kasihan terhadap putrinya, pada suatu kesempatan, ketika sedang
bercakap-cakap dengan Utsman yang juga dilanda kesedihan karena ditinggal
istrinya, Umar menawarkan Hafshah untuk mengawininya. Namun jawaban Utsman…
“Maaf,
Umar. Dalam keadaan seperti ini, aku belum ada niat untuk beristri lagi.”
Kepada Abu Bakar pun Umar jaga
menawarkan Hafshah agar mengawininya.
“Oh,
jangan Umar! Bukan aku bermaksud melukai perasaanmu, saudaraku. Dan alasanku
ini aku beritahukan kepadamu di lain hari.” Jawab Abu Bakar
Umar
menjadi marah dan sakit hati, ia segera bergegas pulang dari rumah Abu Bakar
dan mengambil kudanya, pergi menjumpai Rasulullah, untuk mengadukan
kemarahannya dan kesedihannya.
“Wahai
keluargaku Umar, kejadian apakah sesungguhnya yang membuatmu demikian maarah
dan sedih seperti itu?” Dengan lemah lembut Rasulullah bertanya kepada Umar.
Umar
segera menceritakan kedua peristiwa itu kepada Rasulullah.
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala akan mengawinkan putrimu dengan orang yang lebih baik dari Utsman
dan Abu Bakar. Dan Utsman dengan seorang wanita yang lebih baik dari
putrimu.”sabda Rasulullah.
Setelah
mendengar sabda Rasulullah, dengan perasaan tenang dan lega serta memuji syukur
kepada Allah swt. Umar segera mohon diri.
Beberapa
hari kemudian Rasulullah mengetuk pintu rumah Umar dan meminang putrinya,
Hafshah. Umar bin Khattab menyambutnya dengan penuh gembira.
Setelah
pinangannya diterima, Rasulullah segera melangsungkan pernikahan dengan
memberikan mas kawin sebesar 400 dirham.
Demikian
juga dengan Utsman bin Affan, mengawini putri Rasulullah, Ummi Kulsum.
Waktu
terus berjalan. Hafshah telah hidup di bawah lindungan Rasulullah dengan penuh
kehormatan dan kemuliaan, sesuai dengan haknya sebagai istri. Dia juga
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Karena
hidayah Allah, Hafshah merupakan seorang sastrawati yang petah lidah. Banyak
menghafal hadits-hadits Rasulullah, serta banyak meriwayatkan perbuatan dan
tindakan-tindakan Rasulullah, berbicara jujur dan lemah lembut.
Hafshah
menemani Rasulullah dalam beberapa
peperangan dengan menanggung sulitnya perjalanan serta meringankan beban
orang-orang yang terluka.
Namun, ketika usia Hafshah belum
melebihi 28 tahun dia harus menjadi janda untuk yang kedua kalinya. Rasulullah
wafat. Betapa sedih dan pilu hati Hafshah dengan kewafatan Rasulullah, ia sedih
karena perpisahannya dengan beliau.
Kini
Hafshah senantiasa di rumah, menjadi sumber bagi orang ang mencari kebaikan dan
ilmu. Banyak para sahabat besar datang kepadanya menanyakan beberapa urusan,
Hafshah menjawab dengan apa yang telah dihafalnya baik-baik dari Rasulullah.
Pada
masa khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, Hafshah mendapat belanja dari
Baitul Mal secara khusus, sebagaimana Ummul Mu’minin lainnya.
Namun
sebagaian besar pemberian dari Baitul Mal itu disedekahkan lagi kepada
orang-orang fakir dan yang membutuhkannya. Dirinya menyisakan sekedar memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Hafshah
telah menjadi insan taqwa, bahkan dia telah berikrar, apa saja yang dimiliki
pada dirinya hanyalah untuk Allah Ta’ala. Karena itu dia semakin tekun dalam
beribadah.
Robbanaa atina fi dunya khasanah wa fil
akhirati khasanah wa qina adzabannar.
“Ya Tuhan, berilah
kami kebaikan hidup di dunia dan hidup di akhirat, serta jauhkanlah diri kami
dari siksa api neraka”
Emoticon