1
Dengan ilmu mengentengi tubuh yang
sangat sempurna, mereka mulai mengepung
rumah besar itu dari segala penjuru. Di dalam
mua penghuninya belum tidur semua. Seseo-
rang dari pengintai itu, yang bertubuh agak
besar, mendekati seorang laki-laki berusia ti-
ga puluh tahun. Tubuhnya sedang dan wa-
jahnya selalu berkerut.
"Ketua, apakah akan kita masuki saat
ini juga?" tanyanya menunggu perintah.
Orang itu diam sejenak dan kembali memper-
hatikan rumah itu. Beberapa saat kemudian
dia mengangguk pasti. Orang bertubuh besar
itu cepat bergerak memberi komando pada
beberapa orang kawannya. Tak berapa lama
terlihat beberapa orang yang memakai baju
hitam dengan lambing tengkorak di pung-
gungnya, meloncat dari cabang-cabang pohon
serta dari balik semak-semak. Dengan men-
gendap-endap mereka melompati pagar. Lima
penjaga tersentak kaget. Seseorang memben-
tak sambil membawa obor menerangi tempat
yang dicurigainya.
"Siapa itu?!"
Tak ada sahutan. Dia coba mene-
gaskan sambil mendekati tepi pagar. Keempat
kawannya memperhatikan dari gardu mereka
dengan seksama.
"Aaaaaakh...!"
Orang yang membawa obor itu tiba-tiba
keluarkan jerit kematian. Tubuhnya limbung,
dan kemudian ambruk dengan leher hampir
putus. Melihat itu, tentu saja keempat ka-
wannya cepat bergerak dan menghunus golok
masing-masing dan bersiaga menghadapi ke-
mungkinan. Salah seorang diantara mereka
yang bertubuh besar dan bercambang bawuk,
keluarkan suara mengancam.
"Anjing-anjing geladak! Perlihatkan ce-
congor kalian ke sini biar bisa kuhadiahkan
kepalamu untuk Kanjeng Raden Nugraha Wi-
sesa, karena kalian begitu lancang memasuki
rumah kediamannya!"
"Hi… hi… hi… hi...!" Terdengar ketawa
mengikik tanpa ujud, dari kegelapan cabang
pohon yang tak jauh dari rumah ini. "Berani
betul kau mengatai kami sebagai anjing. Ju-
lukan itu lebih tepat buatmu. Bukankah ka-
lian yang menjaga di sini gunanya seperti anj-
ing-anjing kelaparan yang bisanya cuma me-
nangkap seekor maling kelas teri?! He., he.,
he...! Lebih baik kalian gorok leher sendiri se-
belum aku yang akan menggoroknya!"
"Buangsaaaat...! Apa kamu pikir si
Alap-Alap Golok Terbang keder menghadapi-
mu!" bentak orang yang bercambang bawuk
itu. "Keluarlah kau dan tunjukkan cecongor-
mu!"
"Ha... ha... ha... ha....! Jadi engkau
orang yang punya nama Alap-Alap Golok Ter-
bang?"
"Kalau sudah tahu, kenapa tak cepat-
cepat kabur?!"
"Ha... ha... ha... ha....!" Suara itu per-
dengarkan suara halus yang lebih panjang.
Selesai ketawanya, tiba melesat beberapa
bayangan yang langsung menyerang keempat
penjaga itu. Masih untung keempat orang itu
telah siap, jadi mereka bisa langsung berkelit
atau menangkis. Seorang diantara mereka
malah langsung balas menyerang.
"Ingin kulihat kemampuan si Alap-alap
Golok Terbang menghadapi murid-murid Per-
guruan Tengkorak Hitam tingkat ketiga!" lan-
jut suara itu lagi dengan suara yang meman-
dang rendah pada orang bercambang bawuk
itu. Direndahkan begitu, bukan main marah-
nya si Alap-Alap Golok Terbang yang bernama
Gondo Suramangun. Dengan cepat dicabut-
nya senjata yang berupa golok se-panjang dua
depa. Bagian atasnya nampak melebar dan
tajam mengkilat. Sepasang matanya liar dan
menatap bengis pada dua orang lawan yang
mengurungnya. Dengan teriakan keras, dia
mulai mainkan jurus Membelah Kayu Men-
congkel Akar, yang merupakan jurus terdah-
syat yang dimilikinya. Agaknya orang ini ingin
membuktikan bahwa dirinya tak bisa dipan-
dang enteng begitu saja, dengan niat menja-
tuhkan dua orang penyerang yang mengaku
sebagai murid-murid Perguruan Tengkorak
Hitam.
"Ciaaaat!"
"Trang! Trang!"
"Wuaaaaa....!"
Dengan sebat, golok di tangan Gondo
Suramangun memapaki ayunan pedang la-
wan. Terlihat bunga api di malam yang kelam
ini.
Namun alangkah kagetnya orang ber-
cambang bawuk ini saat dia baru saja jejak-
kan kaki, terdengar jerit kematian. Ketika me-
lihat, ternyata dua orang kawannya tewas
dengan leher hampir putus. Seorang lagi
nampak sedang terdesak hebat menghadapi
tiga orang pengeroyoknya. Dengan geram dan
gigi bergemeletuk, dia babatkan golok pada
lawan. Tapi dua orang pengeroyoknya itu bu-
kanlah anak kemarin sore yang baru belajar
ilmu silat. Meski mereka hanya murid-murid
tingkat tiga, tapi siapa yang tak kenal dengan
Perguruan Tengkorak Hitam? Selain ganas
dan kejam, mereka juga terkenal dengan ilmu
pedangnya yang lihai dan jarang ketemu ban-
dingnya. Sudah barang tentu hal ini sangat
menyulitkan Gondo Suramangun. Meski telah
kerahkan segenap kemampuan untuk cepat-
cepat membereskan lawan, tapi akhirnya ma-
lah dia sendiri yang pelan-pelan terdesak he-
bat.
"Kurang ajar!" makinya saat ujung pe-
dang salah seorang lawan nyaris memotes le-
hernya. Masih untung dia cepat memapaki.
Tapi tangannya kesemutan saat senjata me-
reka beradu. Dari situ saja sebenarnya dia te-
lah mengetahui bahwa tenaga dalam lawan
setingkat lebih tinggi. Bagaimana mungkin
dia bisa mengalahkan kedua orang ini? Diam-
diam orang bertubuh besar itu mengeluh di
hati. Serangan lawan dirasa semakin berat.
Satu serangan yang menusuk ke jantung ber-
hasil dielakkannya. Namun yang seorang lagi
dengan cepat membabat pinggang.
"Trang!"
"Cras! Cras!"
"Wuaaaa...!!"
Gondo Suramangun coba memapaki,
namun alangkah kagetnya orang itu saat la-
wan yang seorang lagi sabetkan pedang ke
leher. Dengan mati-matian dia berusaha
mengelak. Namun tak urung, ujung pedang
lawan berhasil merobek lehernya sedalam tiga
senti. Kontan saja orang bercambang bawuk
itu menjerit kesakitan sambil pegangi leher-
nya. Belum lagi sempat menguasai diri, lawan
telah kembali ayunkan pedang, dan... cras!
Dalam sekali tebas, kedua pergelangan tan-
gan dan batang lehernya putus seketika.
Orang itu tak sempat lagi keluarkan suara.
Tubuhnya limbung sesaat, kemudian am-
bruk tanpa bergerak lagi. Tanpa membuang
waktu, orang-orang dari Perguruan Tengkorak
Hitam itu menyerbu ke dalam setelah bersa-
maan dengan itu salah seorang kawannya si
Alap-Alap Golok Terbang yang tinggal seo-
rang, dibuat mampus dengan leher putus.
"Berhenti...!" teriak seseorang yang
berdiri di ambang pintu depan yang terkuak
pelan-pelan. Nampak seraut wajah berwibawa
dengan pakaian bagus layaknya seorang
bangsawan di jaman ini. Usianya sekitar tiga
puluh tahun. Sorot matanya tajam menatap
pada beberapa orang yang membawa-bawa
pedang di hadapannya pada jarak dua tem-
bok. Orang-orang itu tertegun untuk bebera-
pa saat. Bangsawan yang tak lain dari tuan
rumah yang bernama Nugraha Wisesa, lan-
jutkan ucapannya.
"Hemm, ternyata kalian orang-orang
Tengkorak Hitam. Ada keperluan apa malam-
malam begini menyambangi kediamanku dan
membuat onar?"
Salah seorang diantara mereka maju
dua langkah sambil hunuskan pedang. "Eng-
kaukah yang bernama Nugraha Wisesa?!" ta-
nyanya sinis.
"Betul!"
"Bagus! Serahkan Sepasang Pedang Se-
tan itu pada kami!"
"Pedang Setan?" Laki-laki berpakaian
mewah itu kernyitkan dahi begitu mendengar
permintaan mereka. "Maaf, kisanak. Mungkin
kalian salah alamat. Aku sama sekali tak ta-
hu menahu tentang pedang yang kau sebut
itu."
"Jangan berpura-pura! Kau tahu betul
tentang benda itu. Kakekmu, Tumenggung
Gandasena pernah menyimpan sepasang sen-
jata itu. Masakan kau sebagai keturunannya
tak tahu menahu... Mustahil!"
"Kisanak, aku berkata yang sesung-
guhnya. Aku sama sekali tak tahu menahu
tentang senjata yang kau sebutkan tadi," sa-
hut Raden Nugraha Wisesa masih menahan
sabar.
"Ha... ha... ha... ha...! Apa yang kau ka-
takan tak salah!" sahut satu suara diiringi
tawa yang menyeramkan. Saat itu juga me-
layang seorang bertubuh sedang dari atas se-
buah cabang pohon. Dia berdiri persis di ha-
dapan pemilik rumah itu pada jarak satu
tombak. Wajahnya menyeramkan dengan so-
rot mata tajam. Meskipun sudah tertawa, tak
terlihat sedikitpun keramahan di wajahnya
itu.
"Mungkin kau tak tahu menahu ten-
tang sepasang senjata itu," lanjut orang itu,
"Tapi di sinilah letak muslihat yang dijalan-
kan kakekmu itu. Dia sengaja memilih eng-
kau yang menyembunyikan Pedang Setan
agar orang-orang persilatan tak mencuri-
gainya. Siapa yang tak mengenal Raden Nu-
graha Wisesa sebagai orang yang lemah lem-
but dan selalu menggeluti kesusteraan? Ber-
beda betul dengan kakek atau ayahmu si Arya
Sena itu. Mereka adalah orang-orang kerajaan
yang kasar dan perkasa. Setelah mereka te-
was dalam peperangan, siapa lagi yang akan
mewarisi pedang itu kalau bukan engkau!"
"Kisanak, siapakah engkau ini? Kenapa
engkau begitu mengenal kakek dan ayahku?"
tanya Raden Nugraha Wisesa heran. Orang
itu tergelak sambil bertolak pinggang.
"Masakan engkau tak mengenal pa-
manmu sendiri? Bisa jadi si Arya Sena malu
menceritakannya. Tapi baiklah akan kute-
rangkan siapa aku sebenarnya! Namaku Su-
ryudana? Dan ibuku adalah selir kakekmu
yang paling muda. Jadi antara aku dan
ayahmu ada pertalian saudara meski cuma
saudara tiri. Dengan begitu engkau masih
terhitung keponakanku."
"Ah, maafkanlah atas kelancanganku,
paman," sahut Raden Nugraha Wisesa sambil
menjura hormat. "Memang benar. Ayah tak
pernah menceritakan tentang paman sedikit-
pun."
"Sudahlah. Aku tahu betul tentang wa-
tak ayahmu. Dia sangat membenciku. Tapi
aku tak bisa berlama-lama, Nugraha. Kau su-
dah tahu apa yang kuinginkan, bukan?"
"Apakah tentang Pedang Setan itu, pa-
man?"
"Betul!"
"Ah, sayang sekali. Aku sungguh-
sungguh tak mengetahuinya sedikitpun. Men-
gapa tak percaya juga?" sahut. Raden Nugra-
ha Wisesa dengan suara lunak. Tapi Duryu-
dana agaknya brangasan dan mulai hilang
kesabarannya. Dengan suara yang agak ke-
ras, dia kembali berkata.
"Nugraha, jangan coba-coba menyem-
bunyikan sesuatu padaku. Katakan di mana
pedang itu berada dan aku akan segera pergi
dan tak akan mengganggu di sini lagi!"
Mendengar ucapan orang itu, tentu sa-
ja Nugraha Wisesa jadi merasa kurang se-
nang. Kalaupun tadi dia mengakui begitu saja
orang ini sebagai paman tanpa selidik lebih
dulu, itu karena dia tak mau membuat masa-
lah yang lebih panjang. Dengan diakuinya
orang ini sebagai paman, siapa tahu dia mau
urungkan niat jahatnya. Namun diperlakukan
begitu, tentu saja dia tak bisa terima. Masih
dengan suara lunak, namun mengandung ke-
tegasan, dia menjawab.
"Paman, sekali lagi kutekankan pula
padamu, bahwa aku sama sekali tak tahu
menahu tentang pedang yang kau cari itu!
Maaf, aku tak bisa membantumu. Kalau kau
datang untuk bersilaturahmi, tentu aku akan
senang sekali. Tapi kalau kau datang untuk
mencari keributan, aku tak punya waktu me-
ladeninya. Lagipula hari telah terlalu malam,"
sahut Raden Nugraha.
Tentu saja diperlakukan begitu amarah
Duryudana semakin memuncak. Lebih-lebih
saat dilihatnya tuan rumah bersiap-siap putar
tubuh dan akan menutup pintu. Dengan be-
rang dan sekali tendang, daun pintu rumah
itu hancur ditendangnya. Dengus nafasnya
semakin kencang. Rahangnya bergemeletukan
menahan geram. Sepasang matanya menatap
tajam pada tuan rumah yang tersentak kaget
karena perbuatannya. Beberapa orang anak
buahnya telah siap dengan pedang terhunus
sambil mendekat pelan.
"Aku masih berlaku sabar padamu,
Nugraha. Katakan di mana pedang itu berada,
nyawa keluargamu pasti kuampuni. Tapi ka-
lau kau membandel dan pura-pura tak tahu,
kau tahu sendiri akibatnya!" kata Suryudana
sambil menjambak rambut Raden Nugraha
dan menyorongkannya ke salah satu pilar.
Dengan keras dihantamkannya batok kepala
itu hingga laki-laki bangsawan itu menjerit
kesakitan manakala darah mulai mengucur
dari batok kepalanya.
Pada saat itu, sekonyong-konyong ke-
luar seorang perempuan berusia sekitar dua
puluh lima tahun dari salah sebuah kamar.
Wajahnya cantik jelita, rambutnya ikal
mayang. Dalam pangkuannya terdapat seo-
rang bayi berusia sekitar enam bulan. Wajah-
nya terlihat pias dan jeritnya tak terbendung
manakala dilihatnya Raden Nugraha menjerit-
jerit kesakitan.
"Kangmas....!!"
Raden Nugraha menatap lesu saat pe-
rempuan itu berlari mendekatinya. Tapi dia
berusaha memperingati dengan sekuat tenaga
yang dimilikinya.
"Ratiiiih, cepat selamatkan dirimu!
Jangan dekat-dekat ke sini! Ayo, selamatkan
dirimu! Jangan hiraukan aku!!"
Belum lagi sempat perempuan itu ber-
pikir lebih lanjut, salah seorang murid Teng-
korak Hitam telah melesat dan menyambar
tubuhnya sambil terkekeh pelan. Suryudana
hanya mendengus sambil memberi isyarat
pada anak buahnya itu.
"Jaga dia baik-baik dan yang lain, gele-
dah seluruh isi rumah ini!"
"Baik, ketua!" sahut mereka. Suryuda-
na kembali mendengus sinis pada Raden Nu-
graha. "Nah, kau lihat bukan? Aku bisa ber-
buat apa saja kalau kau tak menurut. Kau
masih punya istri yang cantik dan seorang
bayi. Kalau kau sayang jiwamu dan jiwa ke-
luargamu, katakan di mana pedang itu bera-
da. Kalau tidak, kau akan melihat mereka
mati satu persatu di hadapanmu!"
"Cuih! Bedebah! Meskipun aku tahu di
mana benda itu berada, tak nanti kau akan
kuberitahu!" meludah Raden Nugraha dan te-
pat mengenai Suryudana. Bukan main kalap-
nya orang itu. Lutut kanannya segera terayun
ke perut Raden Nugraha dengan keras. Laki-
laki bangsawan itu menjerit setinggi langit.
Dari mulutnya muncrat darah segar.
Perempuan yang tak lain dari istrinya
itu kembali menjerit ketakutan dengan wajah
panik. Namun seorang murid Tengkorak Hi-
tam yang memegangnya, memperkuat cekalan
ketika perempuan itu berusaha berontak.
"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!"
maki Raden Nugraha. Suryudana tersenyum
sinis sambil melirik perempuan itu.
"Istrimu cantik juga, Nugraha..." ka-
tanya tersenyum sinis sambil mendekat dan
melepas jenggutannya di rambut laki-laki itu.
"Alangkah manisnya kalau dia ikut dengan-
ku..."
"Keparat! Hentikan niat busukmu itu!"
maki Raden Nugraha sambil menerjang ketua
Perguruan Tengkorak Hitam dengan kalap.
Tapi apalah dayanya. Laki-laki itu sama sekali
tak mengerti ilmu silat. Sekali Suryudana
mendengar desir angin serangan, dia berkelit
dengan mudah. Kaki kanannya menggaet kaki
lawan. Tak ampun lagi, Raden Nugraha ter-
sungkur dengan dagu menghantam lantai
rumahnya yang terbuat dari marmer keras.
Darah mengucur deras dari dagunya yang ro-
bek. Dia berusaha bangkit, namun kaki ka-
nan Suryudana lebih cepat lagi menginjak
punggungnya.
"Yang aku inginkan hanya sepasang
pedang itu, Nugraha. Tapi karena kau menu-
tup-nutupinya, terpaksa aku menginginkan
segalanya. Termasuk istrimu yang cantik ini!"
kata Suryudana dengan senyum sinis. Sekali
dia memberi isyarat, anak buahnya itu men-
dorong tubuh perempuan itu setelah terlebih
dulu merenggut bayi dalam momongannya.
Karuan saja, bocah yang belum lagi berusia
setahun itu menjerit keras. Istri Raden Nu-
graha berusaha menyambarnya. Tapi Suryu-
dana lebih cepat lagi bergerak memeluk pe-
rempuan itu dan mencumbuinya di depan
mata Raden Nugraha. Laki-laki itu memaki
garang. Teriakan-teriakan bayi serta istrinya
yang ketakutan, seolah memberi semangat
untuknya. Dengan menggeram buas, dia be-
rusaha bangkit.
"Bukk!"
"Aaaaakh...!"
Seorang anak buah Tengkorak Hitam
langsung menghajar dadanya dengan ujung
kaki. Laki-laki itu terjerembab sejauh satu
tombak. Ubun-ubun kepalanya membentur
tembok. Untuk sesaat Raden Nugraha tak bi-
sa berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berat
dan darah menetes dari luka akibat benturan
yang dilakukan Suryudana tadi sebelumnya.
Samar-samar dia melihat istrinya diseret den-
gan paksa ke kamar yang pintunya sengaja
dibuka hingga mampu dilihatnya. Darah laki-
laki itu semakin mendidih menahan amarah.
Dia berusaha bangkit saat pandangannya me-
lihat istrinya sedang digeluti oleh ketua Per-
guruan Tengkorak Hitam itu. Namun baru sa-
ja dia mendongakkan kepala, satu tendangan
kembali menghajar wajahnya. Laki-laki bang-
sawan itu menjerit keras menahan sakit. Tapi
lebih sakit lagi hatinya mendengar istrinya
berteriak-teriak ketakutan tanpa daya.
Tapi bagai tak merasakan sakit yang
dideritanya, Raden Nugraha terus mencoba
melawan. Akibatnya sungguh sangat parah.
Beberapa orang anggota Tengkorak Hitam
yang telah melaporkan bahwa mereka tak
menemukan apa-apa di rumah ini, bertindak
beringas kepadanya akibat kemarahan Su-
ryudana yang merasa niatnya mencari sepa-
sang Pedang Setan itu tak ketemu. Ketua
Tengkorak Hitam itu memaki-maki habis-
habisan pada anak buahnya.
"Pergi cari lagi dan biarkan laki-laki itu
merangkak-rangkak ke sini untuk menolong
istrinya!"
"Baik, ketua!" sahut mereka serentak.
Anak buahnya segera mengerti maksud ketua
mereka. Dengan sadis mereka membuat Ra-
den Nugraha tak berdaya. Kedua kakinya di-
buntungi, punggung ditendang berkali-kali
hingga beberapa tulangnya hancur. Wajahnya
dipermak habis-habisan. Setelah puas dan
merasa bahwa laki-laki bangsawan itu tak
mempunyai daya lagi, mereka meninggalkan-
nya begitu saja. Raden Nugraha berusaha
bangkit sambil merangkak-rangkak mendeka-
ti Suryudana yang masih saja menggeluti is-
trinya yang telah dibuatnya tak berdaya sete-
lah ditotok urat geraknya.
"Sekarang kau bisa merasakan akibat
kebandelanmu sendiri, Nugraha. Mestinya
aku tak memperlakukan kau begini rupa asal
kau sudi menunjukkan padaku, di mana Pe-
dang Setan itu berada. Tapi tak apalah. Hi-
tung-hitung dendamku terhadap keluarga ka-
lian akan terbalas hari ini. Betapa ayahmu
sangat menghina padaku karena ibuku hanya
seorang selir dari kakekmu. Ayahmu meman-
dang dan memperlakukanku bagai seekor
anjing. Kau dapat rasakan hal itu. Saat itu
aku tak berdaya, persis keadaanmu sekarang
ini. Kurasa kaupun tahu hal itu sebab usia
kita tak jauh berbeda. Nah, sekarang rasa-
kanlah bagaimana aku merasakannya tempo
hari!" kata Suryudana sambil tergelak-gelak
dan mencumbu perempuan itu dengan serin-
gai buas. Perempuan itu berteriak-teriak ke-
takutan sambil memaki-maki. Tapi mana mau
Suryudana melepaskan begitu saja. Apalagi
saat nafsu iblisnya mulai memuncak tatkala
pakaian perempuan itu mulai tak karuan di-
acak-acaknya. Tersingkaplah daerah-daerah
terlarang di bagian dadanya yang halus dan
montok. Darah Suryudana seolah mengalir
kencang dan tak beraturan. Dengan mengge-
ram hebat, dia melucuti seluruh pakaian pe-
rempuan itu tanpa sisa. Setelah itu, dia sen-
diri membuka pakaiannya dengan terburu-
buru.
Raden Nugraha tak kuat melihat pe-
mandangan yang berada di depan matanya
itu. Dia berusaha bangkit, tapi untuk berge-
rak pun terasa sakit luar biasa. Kepalanya
tertunduk lesu manakala telinganya menden-
gar teriakan-teriakan istrinya yang akhirnya
mulai hilang dan berganti dengan dengus na-
fas Suryudana yang memburu bagai orang
berlari. Pandangannya pun mulai mengabur.
Ingatannya melayang entah ke mana. Suara-
suara itu semakin samar di telinga, dan tiba-
tiba terasa rumahnya panas bagai dikelilingi
api yang berkobar-kobar dengan hebat.
Apa yang dirasakan oleh laki-laki itu
ternyata tak salah. Setelah puas melam-
piaskan nafsu iblisnya, rupanya dendam ke-
sumat Suryudana belum tuntas. Setelah pe-
dang yang dicarinya tak diperoleh, dia meme-
rintahkan anak buahnya untuk membakar
seluruh gedung ini berikut penghuninya.
Termasuk di dalamnya bayi yang belum beru-
sia setahun itu. Raden Nughraha tak mampu
berbuat apa-apa. Selain tubuhnya yang terlu-
ka parah, diapun pingsan saat itu. Apalagi is-
trinya yang menderita tekanan batin akibat
perbuatan Suryudana. Saat itu juga tak sa-
darkan diri. Tinggallah bayi itu yang terus
menjerit ketakutan melihat kobaran api dan
kepanasan yang amat sangat.
Suryudana tergelak puas dan tinggal-
kan tempat itu seketika sambil berkelebat ce-
pat. Tanpa sepengetahuannya, seseorang ber-
kelebat ke dalam rumah yang sedang diamuk
api tadi dan menyambar tubuh bayi yang ter-
geletak di ranjang dan membawanya kabur
entah ke mana. Tepat saat itu, terdengar de-
rak kayu dan genteng-genteng rumah yang ja-
tuh. Rumah itu roboh beberapa saat kemu-
dian dan mengubur dua orang penghuninya
saat itu juga.
2
Sesosok tubuh itu terus berlari dan
berlari dengan lincahnya sambil mengerahkan
ilmu mengentengi tubuh yang telah mencapai
tingkat sempurna. Kedua tangannya tampak
memomong seorang bocah yang berusia ku-
rang dari setahun. Kalau melihat raut wajah-
nya di kegelapan itu, agak kurang jelas. Yang
pasti dia memiliki tubuh ramping agak tinggi
dan berambut panjang dengan pengikat kepa-
la.
Tubuh itu terus berlari hingga mende-
kati kaki Gunung Sumbing. Dia berhenti se-
jenak sambil mengatur nafas. Wajahnya men-
dongak ke atas pada tebing-tebing terjal. Lalu
dengan sekali genjotkan tubuh, dia telah me-
lesat seringan kapas dan berloncat-loncatan
melalui batu-batu yang menonjol di tebing-
tebing itu. Kira-kira sepeminuman teh sam-
pailah sesosok tubuh itu pada sebuah data-
ran yang agak luas. Bertepatan dengan fajar
yang mulai tiba. Dia berlari-lari kecil mende-
kati sebuah pondok yang tak jauh dari situ
sambil berteriak-teriak memanggil seseorang
dari dalamnya.
"Eyang...! Eyang...! Cepatlah keluar dan
lihat apa yang kubawa ini!"
"Ulah apa lagi yang kau buat saat ini?
Apakah kau telah memenggal kepala penjahat
ternama?" Terdengar sahutan dari dalam
pondok tanpa orangnya keluar.
"Ayolah, Eyang...! Apakah kau tak ber-
minat melihatnya?" sahut suara itu manja.
"Ya, ya! Aku mendengar tangis bayi.
Tapi dari mana kau dapatkan anak itu?"
"Bukan mendapatkannya, malah aku
menyelamatkannya!" Tubuh itu masuk den-
gan cepat ke dalam pondok. Di dalamnya tak
terlalu luas. Dua buah kamar tidur dan ruan-
gan yang menembus ke dapur. Dindingnya
terbuat dari tepas dan beratap daun nira. Di
ruang depan terlihat seorang berusia sekitar
delapan puluh tahun sedang duduk bersila di
atas bale-bale. Kepalanya yang botak ditutupi
oleh sorban putih. Janggutnya panjang seda-
da dan telah memutih. Wajahnya masih keli-
hatan bersih meski kerut merut telah nyata di
sana sini. Wajahnya membiaskan kekerasan,
namun ada wibawa yang dipancarkan.
Sesosok tubuh itu yang kini mulai nya-
ta ditimpa cahaya obor di ruangan itu ternya-
ta seorang gadis jelita berusia sekitar duapu-
luh enam tahun. Dia segera memberi hormat
setelah meletakkan bayi itu di dekat si orang
tua.
"Roro Ningrum, dari mana saja kau se-
jak subuh dan kembali subuh pula?!" tanya
orang tua itu pelan namun mengandung kete-
gasan dan ancaman
"Ti... tidak dari mana-mana, Eyang,"
sahut gadis itu kecut. "Aku... aku hanya me-
rasa kesepian di sini terus. Apakah salah se-
sekali turun gunung untuk berbaur dengan
dunia ramai?"
Mendengar jawaban itu, si orang tua
terdiam sejenak. Suaranya berubah lunak
dengan nada membujuk.
"Roro, sudah berapa kali Eyang kata-
kan. Dunia ramai itu tak cocok untuk mu. Di
sana banyak kekejaman yang se-waktu-waktu
dapat merenggut jiwamu..."
"Eyang, duapuluh enam tahun aku be-
rada di sini, apakah itu bukan suatu bukti
bahwa aku cukup bersabar diri dalam kese-
pian? Terkadang aku butuh kawan untuk
bercerita dan bercanda. Tapi hanya dengan
burung dan angin saja aku bisa bicara dan
mengadu. Salahkah bila aku bertemu dengan
orang-orang ramai, lalu bergaul dan berbuat
sesuatu yang bisa membantu mereka? Aku
sudah cukup besar untuk menjaga diri. Se-
mua petuah Eyang rasanya tak pernah lupa
di benakku. Lalu apa lagi yang Eyang khawa-
tirkan?"
Orang tua itu hela nafas. Untuk sesaat
dia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Apa yang diucapkan gadis itu tak salah. Se-
lama ini dia terlalu khawatir bila gadis itu tu-
run gunung dan berbaur di dunia ramai. Me-
nurutnya dunia ramai itu penuh dengan tipu
muslihat dan kecurangan. Dia tak mau cicit
satu-satunya itu menjadi korban dari kelici-
kan orang-orang. Lebih-lebih saat kedua
orang tua gadis ini meninggal juga akibat dari
kelicikan, semakin membuatnya bertambah
was-was.
Karena tak mau lagi menyinggung ten-
tang hal itu, si orang tua mengalihkan pembi-
caraan pada persoalan bayi itu. Roro Ningrum
pun menceritakan persoalan yang diketa-
huinya. Orang tua itu manggut-manggut.
"Maaf, Eyang. Aku patuh pada nasehat
Eyang, tapi kadang-kadang juga ada niat un-
tuk berontak. Maka Eyang angkatlah bayi ini
kelak menjadi murid agar aku memiliki ka-
wan hingga aku tak merasa kesepian lagi,"
kata Roro Ningrum mengajukan alasan.
"Hemm, aku paham maksudmu, Roro.
Tapi mengangkat seorang murid, buatku bu-
kanlah persoalan mudah..."
"Kalau Eyang tak mau, biarlah aku
pergi saja dari tempat yang membosankan
ini!" potong gadis itu cepat sambil merajuk
dan palingkan wajah. Orang tua itu tak tahu
harus berkata apa lagi. Dia cuma bisa hela
nafas pendek.
"Baiklah! Baiklah! Aku akan turuti
permintaanmu, tapi dengan satu syarat, bah-
wa kau harus yakin bahwa bocah ini berasal
dari keluarga baik-baik, dan kau bersedia
menanggung akibat dari perbuatannya kelak
di kemudian hari!?"
"Sanggup!" sahut gadis itu cepat tanpa
pikir panjang lagi. "Bukankah aku telah kata-
kan pada Eyang bahwa bayi ini anak seorang
bangsawan?"
"Orang bangsawan tak sama dengan
orang baik-baik! Siapa nama bangsawan itu?"
"Mana kutahu!" sahut Roro sambil
angkat bahu.
"Kalau kau katakan bahwa orang tua
anak ini dibantai oleh mereka yang menjuluki
diri sebagai orang-orang Tengkorak Hitam.
Kenapa kau tak menolong kedua orang tua-
nya?"
"Mana aku tahu. Pada saat itu kawa-
nan itu telah pergi jauh dan lagi pula Eyang
berpesan bahwa aku tak boleh banyak ikut
campur dalam urusan orang-orang persilatan.
Aku turuti nasehat Eyang itu. Tapi menyela-
matkan bayi ini, tentu tak melanggar pesan
Eyang, bukan?"
"Kau memang pandai sekali bicara!"
sahut orang tua itu sambil gelengkan kepala.
Gadis itu ketawa renyah.
"Jadi bagaimana, Eyang? Apakah
Eyang mengijinkan bayi ini tinggal di sini dan
kelak Eyang angkat menjadi murid pula?!"
"Kalau kau telah berjanji begitu, buat
apa pula aku ragu?"
"Oh, terima kasih, Eyang!" jawab gadis
itu girang bukan main. "Kini aku punya te-
man dan tak kesepian lagi. Biarlah kurawat
dia bagai anakku sendiri," lanjutnya sambil
mencarikan baju-baju yang tak pantas untuk
bayi itu.
Siapakah sebenarnya orang tua yang
menghuni puncak Gunung Sumbing ini sebe-
narnya? Puluhan tahun yang lalu rimba per-
silatan pernah digemparkan oleh kemunculan
seorang pemuda perkasa yang ilmu silatnya
tinggi luar biasa. Tak seorang pun yang mam-
pu mengalahkannya. Banyak sekali tokoh-
tokoh sesat yang dibantainya dengan sepa-
sang senjatanya yang berupa dua bilah pe-
dang. Meski dia sendiri termasuk orang persi-
latan kaum lurus, namun tindakannya kejam
sekali dalam membantai musuh-musuhnya.
Semua itu tak lain karena pengaruh senjata
mustikanya itu. Lama kelamaan pemuda itu
akhirnya mulai menyadari kekeliruannya dan
melepaskan senjata itu dengan menitipkan-
nya pada seorang kawannya yang bisa diper-
caya. Dia sendiri akhirnya mengasingkan diri
di puncak Gunung Sumbing ini dan perlahan-
lahan namanya mulai dilupakan orang yang
menyangkanya telah tiada. Orang itu mem-
punyai gelar Malaikat Pedang Bertangan Seri-
bu!
3
Waktu berjalan tanpa terasa dari hari
berganti hari dan bulan berganti tahun. Kehi-
dupan terus berlangsung sebagaimana mes-
tinya. Roda jaman seakan menggilas dan
menggelar berbagai peristiwa. Tak terasa, tu-
juh belas tahun telah berlalu sejak peristiwa
itu. Di puncak Gunung Sumbing seakan tak
lewat dari hukum alam itu. Bayi perempuan
yang diselamatkan Roro Ningrum telah ber-
kembang menjadi dewasa. Seorang gadis ru-
pawan yang cantik jelita. Perempuan itu telah
menganggapnya sebagai anak sendiri. Kasih
sayangnya tercurah bagai seorang ibu pada
anak kandungnya.
Pagi ini nampak orang tua yang berge-
lar Malaikat Pedang Bertangan Seribu gelisah
sekali seperti ada yang dipikirkannya. Bela-
kangan ini bukan ulah Roro Ningrum yang
masih saja kelayapan di dunia ramai yang
dikhawatirkannya, melainkan ada sesuatu
yang lebih penting dari cerita yang dibawa ci-
citnya itu.
Sementara itu sepasang matanya tak
berkedip melihat dua orang perempuan yang
sedang berlatih ilmu silat tak jauh dari pon-
dok. Kemajuan gadis itu pesat sekali. Roro
Ningrum seolah tak jemu melatih dan menun-
jukkan kesalahannya. Lagipula tutur bahasa
gadis itu lemah lembut dan tak terlihat kesan
sebagai gadis binal. Hal ini semakin membuat
orang tua itu bertambah suka padanya.
"Eyang tak memperhatikan kami berla-
tih?" sapa Roro Ningrum yang tiba-tiba telah
berada di depan orang tua itu. Perempuan
yang kini berusia lebih empat puluh tahun itu
duduk di sebelahnya dan memperhatikan
dengan seksama. Meski usianya telah mende-
kati setengah abad, namun tak terlihat kesan-
kesan tua di wajahnya. Bahkan sepintas
orang akan melihatnya seperti gadis usia du-
apuluh tahun saja layaknya.
"Ada sesuatu yang Eyang pikirkan?"
tanya gadis yang bersama cicitnya itu dengan
lemah lembut. "Katakanlah, Eyang. Barangka-
li kami bisa membantu."
Orang tua itu menatapnya sejenak dan
tersenyum kecil. "Dewi Ambarwati, tahukah
sudah berapa lama kau bersama kami?"
"Kalau tak salah tujuh belas tahun
Eyang."
"Betul. Kurasa inilah saatnya aku ha-
rus berterus terang padamu..."
"Eyang, apakah itu perlu!" potong Roro
Ningrum dengan wajah terkejut. Dia mulai
menduga-duga bahwa Eyangnya ini akan
membeberkan rahasia gadis itu, sebab selama
ini Roro Ningrum selalu mengatakan bahwa
dia adalah ibunya dan orang tua itu adalah
kakek buyutnya. Kalaupun gadis yang ber-
nama Dewi Ambarwati itu menanyakan ten-
tang ayahnya, Roro Ningrum selalu mengata-
kan bahwa ayahnya telah tewas sejak dia ma-
sih dalam kandungan. Semua itu dilakukan-
nya karena saking sayangnya dia pada gadis
itu dan tak ingin dia mendapat beban pikiran
jika mengetahui keadaan dirinya yang sebe-
narnya.
"Tentang apakah gerangan, Eyang?"
tanya Dewi Ambarwati penasaran melihat
orang tua itu yang ragu sesaat.
"Eyang, kurasa hal itu tak perlu. Dewi
Ambarwati telah senang dan bahagia hidup
bersama kita. Kalau Eyang bermaksud men-
ceritakan hal itu, sama artinya merusak ke-
bahagiaannya," kata Roro Ningrum lebih lan-
jut.
"Eyang hanya ingin mengatakan sesua-
tu tentang berita yang kau peroleh tempo hari
di luaran sana..."
"Berita apa, Eyang?"
"Tentang Sepasang Pedang Setan!"
"Oh, apakah Eyang tertarik juga untuk
merebutnya?!"
"Tidak. Ada hal yang perlu kalian keta-
hui. Dahulu sekali saat aku masih muda,
nama Malaikat Pedang Bertangan Seribu san-
gat ditakuti orang-orang persilatan di delapan
penjuru mata angin. Dia memiliki sepasang
pedang pusaka yang sangat ampuh. Kalau te-
naga batin kita tidak kuat, maka jiwa akan
rusak dibuatnya. Sepasang pedang itu seakan
mendorong hati nurani kita untuk berbuat
kejam. Waktu itu si Malaikat Pedang Bertan-
gan Seribu belum memiliki batin yang kuat
hingga sepak terjangnya begitu meresahkan
semua orang. Masih untung karena dia berpi-
jak pada jalan lurus hingga dari sekian ba-
nyak tokoh persilatan yang menjadi korban
selalu tokoh-tokoh sesat. Tapi bukan berarti
bahwa tokoh-tokoh golongan lurus tak ada
yang menjadi korban. Semua itu karena do-
rongan dari sepasang pedang yang dimilikinya
yang sangat haus darah. Untunglah akhirnya
dia sadar dan melepaskan sepasang pedang
itu dengan menitipkannya pada seorang ka-
wan yang bisa dipercaya...."
"Lalu apa hubungannya dengan Sepa-
sang Pedang Setang itu, Eyang?!"
"Aku ingin kalian mendapatkannya dan
membawanya kemari!"
"Eyang, itu sama artinya Eyang menyu-
ruh kami untuk terjun dalam dunia ramai
dan berhadapan dengan tokoh-tokoh persila-
tan?!"
Orang tua itu mengangguk lesu. "Dulu
mungkin orang tak percaya padamu, namun
setelah sekian lama kau membuktikan bahwa
dirimu sanggup menjaga diri, aku semakin
yakin bahwa kau bisa dipercaya. Lagipula
dengan ilmu silat yang kau miliki saat ini, tak
sembarangan orang mampu menjatuhkan-
mu."
"Eyang, apakah sepasang pedang itu
begitu berarti buat Eyang?"
"Roro, sekaranglah aku berterus terang
padamu, dan juga kau Dewi Ambarwati," Sa-
hut orang tua itu pelan setelah menghela na-
fas pendek. "Kalau aku menyuruh kalian un-
tuk mengambil kembali sepasang pedang itu,
bukan berarti aku serakah. Tapi pedang itu
adalah milikku!"
"Jadi... jadi Eyangkah yang bergelar
Malaikat Pedang Bertangan Seribu?!" sahut
Roro Ningrum seolah tak percaya. Orang tua
itu mengangguk pelan.
"Kenapa Eyang merahasiakannya pada
kami?" tanya Dewi Ambarwati.
"Karena aku tahu kelakuan ibumu. Dia
sering pergi ke dunia ramai dan aku tak mau
dia mendapat celaka karena orang mengeta-
hui bahwa dia murid si Malaikat Pedang Ber-
tangan Seribu!"
Untuk sesaat ketiganya membisu, na-
mun cepat dipecahkan kembali saat orang tua
itu berkata, "Roro, sahabat yang kutitipkan
pedang itu bernama Ki Wicaksana. Tapi
orang-orang persilatan mengenalnya sebagai
Pendekar Hati Suci. Sesuai dengan gelarnya
itu, dia memang memiliki hati yang bersih
dan selalu berbuat kebenaran dengan jalan
sebaik-baiknya. Disamping itu, dia memiliki
tenaga batin yang kuat saat itu. Namun ak-
hirnya aku mendengar bahwa dia dibunuh
oleh muridnya yang bernama Parinka. Orang
itu banyak membuat keonaran dengan sepa-
sang pedang yang dimilikinya, dan orang-
orang menjulukinya sebagai si Pedang Setan.
Mendengar berita itu, aku berniat merampas
kembali dari tangannya. Namun belum sam-
pai niat itu kulaksanakan, kembali kudengar
berita bahwa si Pedang Setan berhasil dika-
lahkan dan tewas di tangan prang yang me-
namakan diri sebagai Raja Pedang Utara.
Orang itu adalah seorang pendekar asing dari
negri seberang. Entah bagaimana caranya,
saat kerajaan Puring Kencana menyerang ne-
gri itu, salah seorang tumenggung Kerajaan
bernama Gandasena berhasil membawanya
pulang. Orang itu berhati lurus dan cepat
mengetahui bahwa pedang itu selalu menun-
tut si pemegang untuk membunuh orang ser-
ta menghirup darahnya. Karena batinnya be-
lum kuat, akhirnya dia menitipkan pedang itu
pada kawan dekatnya, seorang pembuat sen-
jata-senjata tajam bernama Empu Pupulaka.
Namun sayang, orang tua itu akhirnya tewas
di tangan anaknya sendiri yang ingin mengu-
asai kedua pedang itu. Sampai saat itu, Sepa-
sang Pedang Setan itu raib entah ke mana.
Dan kini nampaknya mulai hangat kembali
beritanya. Untuk itulah kalian kutugaskan
merebutnya kembali!"
"Baiklah, Eyang. Aku mengerti seka-
rang kenapa Eyang selalu ingin menyendiri di
tempat ini. Pedang Setan itu telah membawa
bencana yang amat besar dan Eyang merasa
bersalah, bukan?"
"Itulah sebagian yang membuat hatiku
merasa tersiksa. Selama pedang itu berada di
tangan orang sesat, maka selama itu pula ke-
kacauan akan kembali timbul. Pedang itu se-
lalu berpasangan. Bila salah satu dimiliki,
cukup sudah membuat si pemiliknya menjadi
kejam dan hatinya penuh dengan niat-niat
jahat. Kalau batinnya tak kuat, maka dia
akan dikuasai pedang itu. Lalu bayangkan
pula bagaimana seandainya sepasang pedang
itu berada di tangan orang yang batinnya tak
kuat? Tentulah dunia ini akan kacau dibuat-
nya. Lebih-lebih bila orang itu sakti dan be-
rilmu tinggi."
"Lalu bagaimana kami bisa memba-
wanya jika pedang itu telah kami peroleh?
Bukankah nantinya pedang itu akan merasu-
ki batin kita yang belum kuat?" tanya Roro
Ningrum.
"Roro, kekuatan batinmu untuk saat
ini rasanya cukup. Tapi aku perlu menggo-
dokmu lebih lanjut. Untuk itulah selama se-
minggu ini kau dan Dewi Ambarwati akan
kuberikan pelajaran untuk menguatkan tena-
ga batin yang kalian miliki," sahut orang tua
itu.
"Terima kasih, Eyang. Kami akan beru-
saha sekuat tenaga untuk memperoleh pe-
dang itu kembali," sahut Roro Ningrum dan
Dewi Ambarwati hampir berbarengan. Setelah
menjura hormat, mereka mulai memper-
siapkan segala sesuatunya yang diperlukan
untuk latihan yang dimulai nanti malam.
Orang tua itu kembali menghela nafas agak
panjang. Di batinnya bergelora keyakinan
bahwa kedua cicitnya itu pasti mampu men-
gemban tugas yang diberikannya.
4
Seorang pemuda berbaju merah terli-
hat asyik duduk di bawah sebuah pohon be-
sar sambil menyandarkan diri dan menikmati
dendeng ikan lumba-lumba dengan lahap,
yang selalu disimpannya dalam periuk besar
yang dibawanya ke mana saja. Pakaiannya
terlihat dekil dan kumal, namun begitu wa-
jahnya sungguh sangat tampan, meski sedikit
agak lucu sebab dengan rambut yang dikun-
cir dan periuk besar yang selalu menyertainya
dia nampak aneh. Siapa lagi pemuda itu ka-
lau bukan Buang Sengketa, atau si Pendekar
Hina Kelana.
Sambil mengunyah makanannya den-
gan lahap, sesekali pemuda itu termenung
sambil memandang jauh ke depan pada ham-
paran rumput luas membentang. Pemandan-
gan ini sama sekali tak mirip dengan tempat
di mana dulu dia dibesarkan oleh orang tua
super sakti bergelar Bangkotan Koreng Seri-
bu. Orang tua yang telah membesarkan dan
mendidiknya, dan telah dianggapnya sebagai
orang tua sendiri. Ada kenang-kenangan in-
dah yang tiada terlupakan tentang ombak-
ombak dan debur laut serta burung-burung
camar di Pantai Karang Tanjung Api.
Dan manakala dia teringat tentang
orang tua kandungnya yang tiada pernah di-
jumpai, hatinya seolah terluka. Entah kenapa
hidup seperti ini harus menimpanya. Sejak
bayi tak mengetahui, siapa ayah ibunya, dan
setelah dewasa, barulah tahu bahwa ayahnya
adalah raja di Negri Bunian yang saat ini se-
dang menjalani hukuman karena menikahi
ibunya yang merupakan manusia biasa. Un-
tuk bertemu pun tak mudah. Ayahnya yang
sedang bertapa dalam ujud seekor Ular Piton
raksasa, entah di dasar laut mana bisa dite-
muinya.
"Ah, sungguh malang benar nasibku
lahir di dunia ini..." desah pemuda itu tanpa
sadar. "Sejak kecil tak berayah dan beribu.
Kini guruku pun entah bagaimana nasib-
nya...."
Agak lama dia termenung begitu sam-
pai telinganya yang sangat terlatih mendengar
derap langkah kuda yang sangat cepat men-
dekat ke arahnya. Cepat-cepat pemuda itu
bersembunyi di atas cabang sebuah pohon
dan mengintai para pendatang itu. Apa yang
didengarnya ternyata tak salah. Serombongan
orang berkuda memacu kudanya dengan ce-
pat. Diantara mereka terdengar jeritan-jeritan
seorang gadis yang terus mencaci-maki. Pe-
muda itu tak cepat turun tangan. Dia ingin
mengetahui lebih dulu, apa persoalan yang
sebenarnya.
"Keparat! Lepaskan aku! Le-
paskaaaan...!" teriak gadis itu. "Kalau bapak-
ku sampai tahu, kalian bisa berbuat apa pa-
danya. Dia pasti membantai kalian semua!"
"Siapa yang perduli pada bapakmu
itu!? Dia boleh datang ke sini kalau punya
keberanian," salah seorang yang berusia seki-
tar dua puluh lima tahun. Paras wajahnya
gagah dan tampan.
"Cuih! Orang-orang seperti kalian tiada
harganya di mata bapakku!" Maki si gadis
yang sedang dalam keadaan tertotok dan ikut
di atas kuda pemuda itu.
"Nona, orang-orang Tengkorak Hitam
pantang dihina. Tapi karena urusanmu me-
nyangkut perintah ketua, aku masih berbaik
hati tak turun tangan kasar padamu. Tapi ka-
lau engkau terus memaki-maki, maka terpak-
sa aku harus menyumpal mulutmu itu!" kata
si pemuda dengan nada mengancam.
"Kau kira bisa berbuat apa padaku?!
Ayo, lepaskan totokan ini dan kita bertarung
sampai seribu jurus!" tantang si gadis. "Kalau
aku kalah, kau boleh pentang bacot sesuka-
mu!"
"He... he... he....! Kalau engkau bisa
mengalahkanku, tak mungkin tadi engkau bi-
sa kena totok."
"Kalau kau tak main keroyokan, mana
mungkin kau bisa mengalahkan aku!"
"Nona, engkau memang pandai bersilat
lidah. Tapi hari ini aku sedang tak berseman-
gat untuk meladenimu. Biarlah nanti bagai-
mana ketua yang akan menentukan. Apakah
engkau pantas dihukum, ataukah engkau
perlu diberi pelajaran karena mulutmu yang
terus memaki-maki itu!"
"Puih! Kau pikir aku takut!?"
"Tentu saja tidak. Tapi kalau engkau
kutelanjangi dan kusekap tiap hari di kamar-
ku, apakah engkau berani?"
Mendengar itu si gadis langsung ter-
diam dan bergidik ngeri. Dia bisa mem-
bayangkan apa yang akan dilakukan pemuda
ini nantinya. Apalagi karena dia tahu bahwa
orang-orang Tengkorak Hitam terkenal kejam-
kejam dan suka bertindak semaunya.
"Nah, bagaimana, nona? Apakah eng-
kau masih berani juga?" Ledek pemuda itu
sambil cengengesan.
"Sebenarnya untuk apa kalian mencu-
likku?" tanya si gadis mengalihkan perhatian
dengan suara yang lebih lunak. Pemuda itu
terkekeh pelan dan bukannya tak mengerti
maksud si gadis yang mulai ketakutan den-
gan ancamannya tadi. Tapi melihat parasnya
yang jelita dan kulitnya yang halus mulus,
serta tubuhnya yang montok, diam-diam pe-
muda ini suka pula padanya. Maka dengan
nada yang ramah pula dia menyahut.
"Apakah engkau mau membantu kalau
kuberitahu?"
"Kenapa tidak?"
"Baiklah. Sekarang atau nanti, toh sa-
ma saja. Ketuaku ingin tahu apakah keluar-
gamu masih menyimpan Pedang Setan..."
"Pedang Setan....?" Suara gadis itu ter-
dengar bingung dan tak mengerti. "Pedang
apa itu? Rasanya baru sekarang aku menden-
gar namanya!"
"Ah, sudahlah, nona. Ternyata engkau
sama sekali tak bisa membantu. Tapi tentu
saja kami tak bisa melepaskan engkau begitu
saja."
Mendengar jawaban itu, lunglailah si
gadis Rasanya tiada harapan lagi dirinya un-
tuk lepas dari cengkraman mereka. Lebih-
lebih saat pemuda itu memerintahkan kawan-
kawannya untuk memacu kuda lebih kencang
lagi. Namun pada itu tiba-tiba berkelebat satu
bayangan yang membuat kuda tunggangan
mereka meringkik panjang sambil berjingkat
tinggi. Beberapa orang malah terpelanting da-
ri kudanya. Masih untung pemuda itu bisa
menguasai kuda dan merangkul gadis itu
dengan cepat. Dengan mengerahkan sedikit
tenaga dalamnya, dia mampu menjinakkan
kudanya yang tiba-tiba menjadi liar. Sepasang
matanya menyipit dan menyorot tajam mana-
kala melihat seorang pemuda berbaju merah
kumal di depan mereka pada jarak dua tom-
bak. Pemuda yang rambutnya dikuncir itu
membawa-bawa periuk besar yang membuat
penampilannya terasa aneh di mata orang.
"Kisanak, siapakah engkau? Kenapa ti-
ba-tiba menghalangi perjalanan kami?" Tanya
pemuda itu dengan nada pelan namun menu-
suk dan mengandung ancaman. Beberapa
orang kawannya nampak bergemeletukkan
rahangnya menahan amarah. Tapi karena
pemuda itu yang saat ini memegang koman-
do, mereka cuma bisa menunggu perintah sa-
ja. Padahal pada pemimpin-pemimpin rom-
bongan lain tak ada yang selemah pemuda ini
dalam bertindak pada orang yang menghalan-
gi niat mereka dalam bentuk apapun.
"Tentang aku, barangkali tak ada gu-
nanya diketahui," jawab pemuda berpakaian
kumal yang tak lain dari Buang Sengketa.
"Aku cuma seorang pengembara hina dina
dan tak berarti apa-apa. Tapi aku sama sekali
tak suka melihat orang berlaku seenaknya
pada kaum yang lemah. Dan apa yang kalian
lakukan terhadap gadis itu adalah salah satu
contoh yang kukatakan itu."
"Sobat, maaf!" sahut pemuda penung-
gang kuda yang bernama Danu Umbara,
"Meski aku mengerti apa yang engkau kata-
kan, tapi aku tak bisa menuruti kesukaanmu.
Aku hanya melaksanakan tugas dari ketua-
ku."
"Kalau engkau punya otak, tentulah bi-
sa engkau pakai dan dapat menilai, tugas
mana yang baik yang harus dikerjakan dan
mana yang buruk yang harus kau tinggalkan.
Dan apakah menurutmu menculik gadis itu
merupakan tugas yang baik?"
"Sobat, aku tak perduli apakah tugas
itu baik atau tidak, yang jelas aku hanya
menjalankan perintah. Dan engkau sebagai
orang luar, harap jangan turut campur uru-
san kami!"
"Umbara, kenapa engkau malah ba-
nyak omong segala!" teriak seseorang yang
sudah tak sabaran dan mencabut pedangnya.
"Sudah tahu bahwa dia menghalangi kita,
buat apa diperdebatkan segala?! Sudah, ayo
cincang saja orang gila ini!"
Beberapa orang kawannya segera cabut
pedang dan turun dari kudanya masing-
masing. Dan Umbara panas bukan main me-
lihat itu. Dengan garang dia membentak, "Bi-
rawa! Apakah engkau pikir engkau yang me-
mimpin rombongan ini!?"
Orang yang dipanggil Birawa itu tak
kalah garang menjawab, "Danu Umbara, eng-
kau terlalu lemah dalam bertindak, dan sama
sekali tak pantas memimpin rombongan!"
"Kurang ajar! Setelah urusan ini sele-
sai, engkau akan mempertanggung jawabkan
hal ini di depan ketua!"
"Apa engkau pikir aku takut?"
"Diam kau jangan banyak bacot!" ben-
tak Danu Umbara dengan suara menggelegar
yang aliri tenaga dalam tinggi. Beberapa orang
anak buahnya yang lain termasuk Birawa,
tersentak kaget. Sesungguhnya mereka tahu,
meski Danu Umbara berusia sangat muda di-
banding mereka, namun ilmu silatnya hampir
menyamai ketua. Dan dia sangat dipercaya
sebagai tangan kanan ketua mereka yang
memimpin rombongan untuk menghadapi tu-
gas-tugas sulit dan berbahaya. Tapi melihat
sikapnya yang agak lemah dan terlalu menga-
sihani lawan, sama sekali bertentangan den-
gan mereka yang biasa kasar dan bertindak
semaunya.
Setelah melihat bahwa semua anak
buahnya tundukkan kepala, Danu Umbara
palingkan wajah dan pada pemuda di hada-
pannya itu. "Nah, sobat. Maafkan. Engkau
sudah tahu bagaimana jawabanku, maka bi-
arkan kami pergi tanpa menimbulkan perseli-
sihan denganmu," katanya.
"Mungkin saja engkau tak apa-apakan
gadis itu, tapi tetap saja jiwanya terancam be-
rada di lingkungan orang-orang seperti ka-
wan-kawanmu itu."
"Kisanak..." sahut Danu Umbara den-
gan suara tegas, "Jangan paksa aku berlaku
kasar padamu. Sesungguhnya aku sudah ter-
lalu bersikap lunak. Tapi kalau engkau terus
memaksakan keinginan dan terlalu ikut cam-
pur dalam urusan kami, aku tak bisa menja-
min anak buahku akan bersabar terus."
Mendengar itu Buang Sengketa ketawa
kecil. "Bajingan-bajingan seperti kalian me-
mang pandai sekali bersandiwara," kata pe-
muda itu. "Segala apa yang kalian katakan
dan perbuat pun penuh dengan tipu musli-
hat. Aku sudah muak sekali melihat orang-
orang seperti kalian. Lepaskan gadis itu atau
aku musti mengambilnya dengan kekera-
san!?"
"Huh, agaknya engkau pun berminat
pada pedang itu, atau barangkali engkau ini
sebangsa laki-laki hidung belang! Tapi selagi
aku masih bernafas, jangan coba-coba men-
gambilnya dari tanganku," sahut Danu Umba-
ra mulai marah. Dengan satu isyarat, dia te-
lah perintahkan anak buahnya untuk mengu-
rung pemuda itu. Mereka yang sejak tadi tan-
gannya sudah gatal melihat kelakuan pemuda
berpakaian seperti gembel itu, dengan cepat
mengurung dan kirim satu serangan kilat
yang cepat dan kuat serta mematikan.
"Cecunguk-cecunguk busuk ingin
mampus, terimalah ini!" Dengus Buang Seng-
keta sambil berkelit cepat dan mainkan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra
sambil balas menyerang.
"Ciaaat!"
Tubuh pemuda berkuncir itu melentik
ke udara dan menukik sambil kibaskan sebe-
lah tangan ke batok kepala pengeroyoknya
yang terdekat. Keruan saja, orang itu ayun-
kan pedang. Buang Sengketa tarik mundur
tangannya dan kirim satu tendangan kilat ke
dagu lawan.
"Takk!"
Orang itu tersungkur setelah ter-
huyung-huyung beberapa tombak. Beberapa
buah giginya tanggal. Buang Sengketa tak
membuang-buang kesempatan. Tubuhnya
berputar cepat dan kibaskan tangan kiri
menghantam dada lawan yang terdekat den-
gannya. Tapi orang itupun ternyata telah ber-
siap dengan ayunan pedangnya. Seperti tadi,
kembali pemuda berkuncir itu tarik pulang
tangannya dan sorongkan kaki kiri ke ulu ha-
ti lawan.
"Bukk!"
Orang itu menjerit kesakitan sambil
mendekap ulu hatinya yang terasa pecah ke-
na tendangan pemuda itu. Dua orang kawan-
nya kalap bukan main dan ayunkan pedang
menebas pinggang murid si Bangkotan Ko-
reng Seribu itu, tapi Buang Sengketa bersalto
dua putaran ke atas sambil ayunkan kedua
tangannya ke batok kepala lawan.
"Plak! Plak!"
"Wuaaayyaaa....!"
Meski kelihatannya lemah, namun pu-
kulan itu mengandung tenaga dalam yang
cukup membuat pandangan kedua lawannya
berkunang-kunang dan berdiri sempoyongan.
"Bangsaaat! Gembel keparat! Kau ha-
dapi aku. Ciaaaat!" maki Birawa dengan ama-
rah yang meluap. Pedang di tangannya berke-
lebat ke sana sini menimbulkan suara bercui-
tan. Buang Sengketa merasakan bahwa lawan
yang seorang ini memiliki ilmu silat yang lebih
tinggi dari kawan-kawannya yang tadi. Tapi
dalam tiga jurus berselang, dia mulai dapat
membaca gerakan lawan dan berbalik mende-
sak dengan hebat. Meskipun Birawa menye-
rang dengan menggunakan jurus andalannya,
tetap saja dia tak mampu bertahan lebih lama
menghadapi pemuda yang melawannya den-
gan tangan kosong itu.
"Hiaaaaat....!"
"Plak! Plak!"
"Wuaaaaa....!"
Dengan satu teriakan nyaring, dia kib-
latkan pedang dengan ayunkan pedang den-
gan cepat ketika pemuda itu melesat ke arah-
nya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba pe-
dang di tangannya terpental dan dua pukulan
lawan menghantam dada dan pergelangan la-
wan. Tak pelak lagi. Tubuhnya yang tinggi be-
sar itu terpental sejauh dua tombak sambil
muntahkan darah segar.
"Cukup...!" teriak Danu Umbara meng-
hentikan beberapa anak buahnya yang pena-
saran dan kembali menyerang pemuda itu
dengan kalap.
"Kisanak, siapakah engkau ini sebe-
narnya? Ilmu silatmu sangat tinggi dan lihai
sekali. Pastilah engkau bukan orang semba-
rangan. Sudilah engkau memberitahu diri-
mu," lanjut Danu Umbara dengan sikap seba-
gai seorang sahabat. Mendengar itu Buang
Sengketa tersenyum kecil sambil berkata.
"Kisanak, namaku tiada berguna bagi-
mu. Tapi karena engkau terus mendesak,
baiklah kuberitahu. Aku yang hina ini berna-
ma Buang Sengketa, tapi orang-orang mena-
maiku sebagai si Hina Kelana...."
"Ah, ternyata engkaulah pendekar mu-
da yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
persilatan di delapan penjuru mata angin.
Sungguh beruntung aku bisa berhadapan
dengan pendekar terkenal sepertimu," kata
Danu Umbara kagum. "Ilmu silatmu dikha-
barkan sangat tinggi dan lihai sekali, dan ter-
nyata apa yang kusaksikan hari ini tidaklah
berlebihan. Engkau memang pantas menyan-
dang gelar itu. Tentulah engkau tak keberatan
kalau barang sejurus atau dua menunjuk-
kannya padaku."
Buang Sengketa sungkan sekali dipuji-
puji begitu. Tadinya dia tak mau berlama-
lama dan tak mau meladeni ucapan pemuda
itu yang tak lain ingin menjajalnya. Tapi keti-
ka dilihatnya pemuda itu langsung meloncat
dari pelana kuda dan kirim satu serangan ki-
lat ke arahnya, mau tak mau Buang Sengketa
merasa urusan akan lebih panjang. Tanpa
buang waktu lagi, dia me-lompat memapaki
sambil keluarkan lengkingan ilmu Pemenggal
Roh dengan seperempat tenaga dalam yang
dimilikinya.
"Heiiiiigggkkk....!"
Meski dikeluarkan dengan seperempat
tenaga dalamnya, tak urung Danu Umbara
tersentak kaget. Terasa lengkingan suara itu
mempengaruhi jalan darahnya untuk bebera-
pa saat. Tapi itu sudah cukup bagi Buang
Sengketa untuk kabur setelah menyambar
tubuh gadis yang masih berada di atas pelana
kuda. Dengan menggunakan ajian Sepi Angin,
tubuhnya melesat cepat meninggalkan mere-
ka. Tinggal Danu Umbara yang geleng-
gelengkan kepala dengan hati mangkel. Bira-
wa malah menyumpah-nyumpah tak karuan
ketika akhirnya mereka meneruskan perjala-
nan sebab tiada gunanya mengejar pemuda
itu yang tak kelihatan lagi bayangannya.
5
Perempuan berusia kira-kira enam pu-
luh tahun itu, marah bukan main saat men-
dengar laporan dari beberapa orang murid pe-
rihal hilangnya cucu kesayangannya diculik
oleh segerombolan orang. Tubuhnya yang
agak gemuk seolah bergetar hebat menahan
geram. Rambutnya yang hampir memutih di-
gulung ke atas dengan beberapa tusuk konde
menghiasinya, ikut bergoyang-goyang mana-
kala dia bangkit dari kursi. Sepasang ma-
tanya yang kecil, membelalak lebar. Di tangan
kanannya terdapat sebuah tongkat yang ter-
buat dari kayu besi. Pada pangkalnya terda-
pat patung seekor ular naga sebesar kepala
manusia dewasa. Siapakah so benarnya ne-
nek ini? Rimba persilatan mengenalnya seba-
gai Peri Kuning Tongkat Maut. Padahal nama
sebenarnya adalah Nyai Larasati
Perempuan tua ini termasuk tokoh ko-
sen yang jarang ketemu tandingan. Sepak ter-
jangnya di dunia persilatan tak pernah men-
genal kompromi dalam membantai lawan-
lawannya. Tak jarang orang memasukkannya
ke dalam jajaran tokoh-tokoh sesat tingkat
tinggi.
Sebenarnya dia tak memiliki perguruan
yang tersendiri. Perempuan tua ini hanya
memungut sebelas orang murid yang semua-
nya terdiri dari perempuan, yang saat ini ter-
lihat menundukkan kepala mendengarkan
amarah orang tua itu. Mereka menyadari,
bahwa ini kesalahan mereka sendiri yang tak
waspada hingga cucu kesayangan guru mere-
ka sendiri mampu diculik tanpa mendapat
perlawanan yang berarti.
"Goblok! Tolol! Walau aku tak pernah
menyuruh kalian untuk menjaga Endang
Purwasih secara khusus, tapi setidaknya ka-
lian punya perhatian terhadapnya. Bukankah
kalian mengetahui bahwa belakangan ini ba-
nyak pihak-pihak tertentu yang mengincar
Pedang Setan itu?! Dengan adanya berita
yang menyebar bahwa salah satu pedang itu
berada di tanganku, tentu mereka berusaha
mendapatkannya dengan cara apapun! Salah
satunya adalah Endang Purwasih yang pasti
akan dijadikan sandera!"
"Ampun, guru!" sahut salah seorang
murid tertua bernama Kusumawati. Usianya
sekitar duapuluh tahun. "Kami akan berusa-
ha mencari Adik Endang Purwasih sampai
dapat walaupun itu harus dengan tebusan
nyawa kami sendiri."
"Huh, apa kalian kira mudah menya-
troni orang-orang dari Perguruan Tengkorak
Hitam?! Tidakkah kalian mengetahui bahwa
mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu
tinggi. Apa yang bisa kalian perbuat?!" dengus
perempuan tua itu sinis.
"Ibu, bukankah engkau mengenal ke-
tuanya yang bernama Suryudana itu?" tanya
seorang perempuan berusia empat puluh ta-
hun yang duduk di sebelahnya. "Kalau ibu
mendatanginya, siapa tahu dia mau berbaik
hati dan melepaskan anakku."
"Jangan berpikiran bodoh, Banonwati!
Apa kau pikir si Suryudana itu menculik
anakmu untuk kesenangannya belaka? Dia
pun termasuk salah seorang diantara mereka
yang mengincar pedang itu. Sudah pasti dia
menggunakan anakmu untuk dijadikan san-
dera karena tak berani terus terang menda-
tangi tempat kita."
"Ibu, kalau dia tak berani berarti dia
takut pada ibu. Kenapa tidak ibu saja yang ke
sana?"
"Banonwati, ada hal yang perlu kau ke-
tahui. Bila si Suryudana telah berani mencu-
lik anakmu, berarti dia telah siap menyambut
kedatangan kita. Baik dengan tipu muslihat-
nya, ataupun dengan cara apapun. Dan bila
kita tiba-tiba datang, maka pancingannya
akan mengena. Kita belum lagi mengetahui
apa yang direncanakan orang itu," sahut Nyai
Larasati. "Tapi yang jelas sekali, setiap mu-
ridku yang lalai, pasti akan kena hukuman!"
lanjutnya dengan suara tegas berwibawa.
"Guru, aku bersedia menerima huku-
man," sahut salah seorang murid yang ber-
nama Parwati. "Aku yang bersalah tak mam-
pu menahan mereka saat menculik Adik En-
dang Purwasih."
"Bagus! Karena engkau telah mengaku
dan bersedia dihukum, aku akan meringan-
kan hukumanmu. Engkau akan dicambuk se-
ratus kali!"
Mendengar itu, jantung Parwati seolah
berhenti berdenyut. Hukuman cambuk seba-
nyak seratus kali, bukanlah main-main. Dulu
saja ada seorang murid yang melakukan ke-
salahan kecil dan dihukum cambuk sebanyak
duapuluh kali, tubuhnya di bagian punggung
tersayat sayat bagai diiris pisau tajam. Sakit
dan pedihnya bukan main. Sebulan penuh
murid itu tak bisa bangun. Bagaimana mung-
kin dia mampu bertahan dengan hukuman
cambuk sebanyak seratus kali?
"Kau telah siap, Parwati?!"
"Eh..., ng... siap, guru....!"
"Bagus!" sahut Nyai Larasati. Dia me-
mandang pada Kusumawati, dan berkata.
"Siapkan tonggak di depan beserta cambuk!"
Tanpa berani membantah, perempuan
itu menjura hormat dan dengan cepat me-
ninggalkan ruangan.
"Urusan Endang Purwasih, biar nanti
aku yang menyelesaikan dengan caraku sen-
diri. Pertemuan ini selesai dan kalian harus
melihat Parwati dihukum agar menjadi pelaja-
ran untuk kalian semua, bahwa barang siapa
yang lengah, aku tak segan-segan menghu-
kum kalian," kata Nyai Larasati selanjutnya.
Dengan langkah pelan dia beranjak dari
ruangan itu diikuti Banonwati dan murid-
murid yang lain.
Parwati telah siap di halaman depan
itu. Kedua tangannya diikat dan digantung-
kan pada bambu di atasnya. Kedua kakinya
dibuka agak lebar, dan masing-masing diikat
pada tonggak kanan dan kiri. Gadis itu mena-
tap sekilas pada Kusumawati, kemudian per-
lahan-lahan tundukkan kepala dengan wajah
lesu.
Nyai Larasati telah siap dengan cam-
buk di tangan. Pandangannya menyapu se-
mua murid yang berada tak jauh dari situ.
Beberapa orang palingkan wajah dan merasa
ngeri membayangkan apa yang bakal menim-
pa Parwati. Selain murid termuda, gadis itu-
pun paling rendah ilmunya diantara mereka
semua. Pastilah dia tak akan sanggup berta-
han sampai sepuluh kali cambukan. Apalagi
seratus kali. Tapi mereka semua tahu, bahwa
guru mereka tak pernah menarik kembali ka-
ta-katanya, dan sepertinya tak punya belas
kasihan barang sedikit pun. Meski nantinya
Parwati telah pingsan pada cambukan kese-
puluh, pasti orang tua itu tak perduli dan te-
rus melecutkan cambuknya hingga hitungan-
nya genap seratus. Entah apa jadinya tubuh
gadis itu nantinya.
Beberapa orang murid yang lain malah
tenang-tenang saja. Seolah kejadian itu bagi
mereka hal yang biasa. Lagipula mereka be-
ranggapan bahwa itu salah gadis itu sendiri.
Kenapa dia sok jago menghadapi keroyokan
orang banyak sewaktu ingin menyelamatkan
Endang Purwasih. Padahal kalau dia berteriak
memanggil, sudah pasti semua murid akan
keluar dan membantunya.
"Ctaaaaaar....!"
Nyai Larasati melecutkan cambuknya
ke udara, seakan memberi isyarat pada Par-
wati untuk bersiap. Gadis itu tarik nafas da-
lam-dalam dan pejamkan mata. Namun baru
saja orang tua itu akan lecutkan cambuk ke
tubuhnya, sekonyong-konyong terdengar satu
jeritan panjang.
"Jangaaaaan....!""
Seorang gadis berusia tujuh belas ta-
hun tergopoh-gopoh menghampiri tempat itu.
Di belakangnya terlihat seorang pemuda ber-
baju merah dan dekil. Wajahnya sangat tam-
pan. Dengan rambut dikuncir dan periuk be-
sar yang selalu dibawa-bawanya, pemuda itu
nampak aneh sekali. Siapa lagi pemuda itu
kalau bukan Buang Sengketa, atau lebih di-
kenal dengan nama Pendekar Hina Kelana.
"Endang, engkau tak apa-apa, nak?!"
teriak Banonwati sambil mengejar anak itu
dan memeluknya erat-erat. Nyai Larasati ter-
paksa undurkan hukuman itu untuk bebera-
pa saat.
"Nenek, sedang ada apakah di sini?
Kenapa kakak Parwati digantung? Apakah
nenek hendak mencambuknya?" tanya En-
dang Purwasih heran setelah melepaskan pe-
lukan dari ibunya.
"Parwati pantas mendapat hukuman
karena lalai menjagamu!"
"Nenek, kakak Parwati membelaku ma-
ti-matian, kenapa malah nenek hendak
menghukumnya? Bukankah itu tidak adil?
Sekarang juga aku mohon nenek, agar mele-
paskannya."
Perempuan tua itu terpaku sejenak
sambil menghela nafas panjang. Lebih-lebih
saat cucunya itu mulai merajuk. Dia memang
teramat menyayangi cucu satu-satunya ini.
Bukankah karena kehilangannya tadi yang
membuatnya marah dan jatuhkan hukuman
pada Parwati? Dan sekarang cucunya telah
kembali dan meminta agar muridnya itu di-
ampuni.
"Ayolah, nek. Nenek tentu mau men-
gampuni kakak Parwati, bukan?"
"Baiklah, baiklah..." sahut orang tua
itu pelan. Secepat itu pula Endang Purwasih
jejingkrakan dan mencium pipi orang tua itu.
Dia segera menyuruh beberapa orang murid
untuk melepaskan ikatan Parwati. Gadis itu
menatap cucu gurunya untuk beberapa saat
dengan pandangan berterima kasih, sebelum
akhirnya dia masuk untuk melaksanakan tu-
gasnya masing-masing sebagaimana biasa.
"Siapa pemuda itu? Apakah dia salah
satu murid Perguruan Tengkorak hitam?" lan-
jut Nyai Larasati dengan pandangan curiga.
"Oh, iya sampai lupa!" seru gadis itu.
Dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk
mendekat. "Nek, perkenalkanlah. Pemuda itu
yang menyelamatkanku dari orang-orang
Tengkorak Hitam. Namanya Buang Sengketa.
Dialah si Pendekar Hina Kelana yang sangat
terkenal itu"
Begitu mendengar ucapan cucunya, pe-
rempuan tua itu agak terkejut. "Oh, engkau-
kah yang bergelar Pendekar Hina Kelana itu,
anak muda? Sungguh beruntung hari ini aku
dapat berkenalan denganmu. Atas semua ke-
luarga di sini, aku mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu yang telah menyela-
matkan cucuku," kata Nyai Larasati dengan
sikap hormat. "Kalau tak keberatan, sudilah
engkau mampir sejenak di gubuk kami, kare-
na kami mengundangmu dengan segala ke-
hormatan."
Melihat sikap yang berlebih-lebihan itu,
Buang Sengketa agak sungkan juga. Dia su-
dah menolak dengan halus dan berbagai ma-
cam alasan, namun mereka nampaknya agak
memaksa. Lebih-lebih Endang Purwasih yang
dengan sikap kekanak-kanakannya, menarik-
narik tangan pemuda itu ke dalam. Mau tak
mau Buang Sengketa tak punya alasan lain
buat menolak. Pemuda itu dijamu sebagai-
mana layaknya tamu terhormat saja. Lebih-
lebih saat keluarga itu memintanya menginap
barang sehari dua. Pemuda itu lebih sungkan
lagi. Selain sejak tadi diperhatikannya peng-
huni keluarga ini perempuan semua, dia juga
tak betah berlama-lama di satu tempat seperti
ini. Namun mereka kembali memaksa. Dia
pun akhirnya merasa tak enak untuk meno-
lak. Apalagi alasan mereka sangat tepat, se-
bab sebentar lagi malam akan tiba. Dengan
terpaksa Buang Sengketa menerima permin-
taan mereka untuk menginap di rumah itu.
6
Malam telah semakin larut. Rumah be-
sar itu mulai terlihat sepi. Beberapa buah
kamar terlihat gelap, namun di ruangan uta-
ma Nyai Larasati beserta anaknya, Banonwati
dan cucunya, Endang Purwasih, masih terli-
hat obrolan-obrolan dengan tamu mereka,
yaitu Buang Sengketa. Lama kelamaan pe-
muda itu makin jengah saja berlama-lama di
sini. Sikap mereka terlalu berlebih-lebihan
dan penuh dengan basa basi yang memua-
kkan. Entah beberapa kali dia menguap un-
tuk memberi isyarat pada tuan rumah bahwa
dia agak jemu mendengar ocehan mereka.
Agaknya tak dimengerti oleh mereka. Lebih-
lebih Endang Purwasih yang sejak tadi terus
berada di dekatnya dengan sikap genit dan
kekanak-kanakkan.
"Kalau engkau suka, engkau boleh
tinggal di sini selamanya, Kelana," kata Nyai
Larasati. "Kami semua akan menerimamu
dengan lapang dada."
"Betul, Kelana!" sahut Endang Purwa-
sih bersemangat. "Kami akan suka sekali me-
nerimamu. Bukankah begitu, bu?"
Banonwati tersenyum kecil sambil ang-
gukan kepala. Buang Sengketa jadi risih.
"Ah, kalian terlalu baik padaku..." sa-
hut pemuda itu lirih. "Adalah suatu kehorma-
tan buatku menerima tawaran kalian ini. Tapi
aku hanyalah seorang pengembara biasa. Aku
telah terbiasa hidup beratapkan langit dan
berselimut angin. Rasanya tak pantas men-
dapat penghormatan ini."
"Engkau terlalu merendah, Kelana.
Dengan ilmu silat yang engkau miliki seperti
saat ini, siapa yang mampu menandingimu?
Engkau bisa hidup lebih layak sebenarnya.
Punya rumah, dan.... keluarga..." kata Ba-
nonwati sambil mengerling putrinya. "Eh,
maaf. Barangkali engkau memang telah ber-
keluarga."
"Tidak! Siapa gadis yang sudi dengan
orang gembel sepertiku ini."
"Kenapa musti jauh-jauh? Di sinipun
pasti banyak yang suka padamu. Bukan begi-
tu, Endang?"
"Ah, ibu bisa saja..." sahut gadis itu
tersipu malu. "Siapalah pemuda yang suka
pada wajah buruk sepertiku?"
"Siapa bilang engkau punya wajah bu-
ruk?" tanya Buang Sengketa. "Kalau iya, ba-
rangkali murid si Tengkorak Hitam itu tak
akan tergila-gila padamu," lanjutnya sambil
tersenyum kecil.
"Huh, siapa sudi pada orang seperti
itu!" dengus Endang Purwasih dengan ketus.
Ibu dan neneknya hanya tersenyum menden-
gar ocehannya. Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh sikap si orang tua yang berubah serius.
"Seseorang sedang mengintai dari atas
genting. Sebaiknya bersikap biasa saja. Ba-
rangkali utusan dari Tengkorak Hitam," kata
Nyai Larasati berbisik sambil bangkit.
Tanpa menimbulkan suara, tubuh pe-
rempuan tua itu melayang ke atas rumah
sambil kirim satu serangan kilat. Buang
Sengketa mendesah kagum. Ilmu mengenten-
gi tubuh yang dimiliki orang tua itu sudah
sangat sempurna betul.
"Biarlah aku membantu nenekmu me-
ringkus pengintai itu," kata Buang Sengketa.
Tanpa perduli jawaban kedua perempuan itu,
tubuhnya melesat ke atas wuwungan, persis
di lobang yang dibuat Nyai Larasati. Untuk
sesaat dia celingukan. Namun manakala se-
pasang matanya yang tajam menangkap dua
sosok tubuh di kejauhan, dengan cepat dia
memburu ke arah itu sambil mengerahkan
ajian Sepi Angin.
Tapi alangkah kagetnya pemuda itu
manakala melihat bahwa kedua bayangan itu
melesat dengan cepat. Padahal dia telah ke-
rahkan separuh ilmu lari cepatnya, tapi ke-
dua bayangan itu tak juga terkejar. Dengan
geram dia mengerahkan seluruh kekuatan
untuk mengempos ajian Sepi Angin. Tubuh-
nya melesat cepat bagai sliweran angin yang
berhembus kencang. Dengan mengambil jalan
memutar, dia bermaksud menjebak pengintai
itu. Setelah dirasa bahwa kedua bayangan itu
tertinggal jauh, Buang Sengketa menunggu
dari sebuah cabang pohon yang menurut per-
kiraannya pastilah dilalui kedua orang itu.
Perkiraan pemuda itu tak salah. Meski
saat itu suasana terasa gelap, namun dia da-
pat melihat seseorang berlari dengan kecepa-
tan penuh ke tempatnya berada. Begitu orang
tersebut hampir mencapai tempatnya ber-
sembunyi, dengan gerakan ringan Buang
Sengketa melayang turun.
"Berhenti, sobat!" katanya dengan sua-
ra yang agak keras. Orang itu terkejut seten-
gah mati dan hentikan langkah. Untuk sesaat
dia palingkan wajah ke belakang. Tak terlihat
pengejarnya tadi. Buang Sengketa dapat me-
lihat jelas pada jarak tiga tombak ini, bahwa
orang ini adalah seorang pemuda yang beru-
sia sekitar duapuluh tahun. Wajahnya tak
terlalu tampan. Tubuhnya pun kelihatan agak
kurus dan mengesankan seorang yang lemah.
"Ada urusan apa engkau mengintai di
rumah Nyai Larasati?"
"Apakah engkau tamunya itu yang ber-
gelar Pendekar Hina Kelana?"
"Dari mana engkau mengetahuinya?"
tanya Buang Sengketa heran.
"Aku mencuri dengar pembicaraan ka-
lian agak lama. Syukurlah orang tua itu tak
mampu mengejarku sampai ke sini...."
"Hei, jangan coba-coba mengalihkan
perhatianku. Seseorang yang mengintai di
rumah orang, pastilah bermaksud buruk. Apa
yang engkau inginkan di rumah itu?!" bentak
Buang Sengketa kesal.
"Apakah engkau juga menuduhku
bermaksud buruk? Sobat ketahuilah, bahwa
mereka bermaksud memasang jeratnya pa-
damu."
"Jerat? Jerat apa?!"
"Bukankah mereka membujukmu un-
tuk menetap di rumahnya?"
"Ya."
"Sesungguhnya mereka coba membu-
jukmu untuk berpihak pada mereka. Akhir-
akhir ini rahasia mereka terbongkar. Pedang
Setan yang sedang dicari-cari oleh orang-
orang persilatan dari berbagai penjuru salah
satunya berada di tangan Nyai Larasati. Ka-
rena mengetahui bahwa engkau berilmu ting-
gi, mereka coba menahanmu untuk tetap
tinggal di situ. Baru saja tadi aku mencuri
dengar bahwa seorang murid akan memba-
wakan arak yang telah dicampur obat pem-
bius. Semua itu tak lain dari suruhan orang
tua itu sendiri."
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya
pada kata-katamu?" tanya Buang Sengketa
curiga.
"Sebaiknya tidak kita bicarakan di sini
tapi di tempat lain. Kalau engkau curiga pa-
daku, biarlah aku berjalan lebih dulu, dan
engkau mengikuti dari belakang," sahut orang
itu. Mulanya Buang Sengketa enggan juga.
Tapi karena hatinya mulai tergelitik oleh ceri-
ta orang itu, maka diikutinya juga tanpa
mengurangi kewaspadaan. Kalaupun ada hal
lain yang membuatnya mau ikut, paling-
paling karena dia mulai jengah melihat sikap
keluarga Nyai Larasati yang terlalu berlebih-
lebihan. Dengan adanya urusan ini, bukan-
kah peluang baik baginya untuk menghindar
dari mereka?
Berpikir begitu, pemuda dari Negri Bu-
nian itu cepat genjot tubuh menyusul pemuda
yang baru dikenalnya itu yang telah melesat
lebih dulu.
7
Buang Sengketa anggukan kepala saat
orang tua berusia lanjut itu selesai mene-
rangkan segala sesuatunya. Tadinya dia agak
ragu dan mulai curiga saat pemuda ini men-
gajaknya ke suatu tempat yang sangat ter-
sembunyi di sebuah lereng gunung. Apalagi
ketika melihat sebuah pondok di dalamnya.
Namun setelah bertemu dengan guru pemuda
itu dan orang tua itu menjelaskan segala se-
suatunya, barulah dia sedikit lega. Kelegaan-
nya bisa jadi karena berpendapat, seorang ah-
li ibadah seperti Resi Abirawa ini, mana
mungkin berkata dusta. Pula wajahnya san-
gat mengesankan bahwa dia seorang yang arif
bijaksana serta luas pandangannya. Sungguh
beruntung pemuda yang bernama Tuta Rimba
ini berguru padanya. Namun manakala pe-
muda itu menceritakan riwayat hidupnya,
Buang Sengketa seolah merasakan kepedihan
yang dirasakannya.
"Masih untung pada saat itu Eyang
menyelamatkanku. Kalau tidak, aku tak tahu
apa jadinya...."
"Jadi kedua orang tuamu tewas saat
itu?"
"Aku tak pasti. Menurut Eyang, bapak-
ku masih hidup dan ditawan oleh mereka di
ruang bawah tanah. Itulah sebabnya aku te-
rus mengintai tempat kediaman mereka."
"Engkau bermaksud membebaskan ba-
pakmu?"
"Itu salah satu tugasku selain men-
gambil kembali Pedang Setan di tangan mere-
ka dan menyerahkannya pada yang berhak.
Karena jejak pemiliknya sampai saat ini tak
tentu rimbanya, maka Eyang bermaksud me-
nyimpan pedang itu dan mencari si Malaikat
Pedang Bertangan Seribu sampai ketemu."
"Ya. Aku merasa bertanggung jawab
untuk mengembalikannya pada pemiliknya
yang sah. Setelah kakak seperguruanku, yai-
tu Ki Wicaksana atau lebih dikenal sebagai
Pendekar Hati Suci, yang dititipi kedua pe-
dang itu tewas di tangan muridnya, mau tak
mau aku merasa bertanggung jawab," kata
Resi Abirawa menimpali. "Buang Sengketa,
namamu sangat terkenal di segala penjuru
mata angin sebagai pendekar muda yang be-
rilmu tinggi tiada bandingan. Gurumu pun
sangat terkenal sebagai tokoh pembela kebe-
naran yang tiada tandingan. Maukah engkau
menolong kami untuk mendapatkan pedang
itu kembali?"
"Selama itu untuk kebaikan, aku akan
selalu bersedia melakukannya sekuat daya
kemampuanku," sahut murid si Bangkotan
Koreng Seribu. "Tapi, maaf, Ki. Dengan ilmu
yang engkau miliki sekarang ini, engkau tentu
dengan gampang mendapatkan kedua senjata
itu?"
Orang tua itu tersenyum kecil. "Siapa
bilang aku mempunyai ilmu yang tinggi? Yang
kupunyai hanya ilmu agama. Kalaupun ada,
sangat tak berarti dibanding dengan yang
engkau miliki."
"Ah, Ki Birawa terlalu memuji. Aku
cuma manusia biasa saja. Begitu pula dengan
guruku."
"Dan engkau pun ternyata pandai se-
kali merendahkan diri..." timpal Tuta Rimba
tertawa kecil. "Aku sudah lihat sendiri, Eyang.
Ilmu larinya hebat luar biasa!"
"Sudahlah, Tuta! Lama kelamaan aku
jengah juga mendengar pujian-pujian itu. Se-
baiknya kita kembali pada persoalan semula,"
sahut Buang Sengketa. "Maaf, Ki. Ada sesua-
tu yang barangkali kurang jelas buatku. Dari
mana engkau mengetahui bahwa salah satu
Pedang Setan itu berada di tangan Nyai Lara-
sati? Dan kalau benar, kenapa dia tak memi-
liki kedua pedang itu?"
"Hal inilah barangkali yang tak ku
mengerti," jawab orang tua itu sambil ke-
rutkan dahi. "Empu Pupulaka tewas di tangan
anaknya sendiri yaitu Cakrangga, yang meru-
pakan ayah kandung Tuta Rimba. Sebenarnya
dia orang baik. Punya istri yang cantik dan
seorang anak yang lucu. Tapi karena Nyai La-
rasati seorang yang tamak, dia menyuruh
anak gadisnya yaitu Banonwati untuk meng-
goda, guna mendapatkan Sepasang Pedang
Setan itu. Cakrangga akhirnya mabuk ke-
payang oleh rayuan Banonwati. Hingga bagai
kerbau dicocok hidungnya, dia menurut saja
saat perempuan itu menyuruhnya untuk
mengambil pedang tersebut. Tapi Cakrangga
hanya menemukan sebuah saja. Dia mencari-
cari yang sebuah lagi, namun tak ketemu.
Empu Pupulaka sendiri mana mau memberi
tahu. Dengan kalap akhirnya dia membunuh
orang tua yang tak berdaya itu. Namun ketika
tiba di rumahnya ternyata mereka telah
membunuh istrinya. Bukan main kalapnya
dia. Tapi tak berdaya menghadapi dua orang
yang berilmu tinggi itu. Aku sebenarnya tak
pasti, apakah Cakrangga masih hidup atau
tidak. Cerita ini, hanya kudengar dari para te-
tangganya pada saat aku menyelamatkan Tu-
ta Rimba yang berada dalam puing-puing ru-
mah yang akan menimpanya akibat perbua-
tan Nyai Larasati itu"
"Jadi Endang Purwasih itu masih ter-
masuk saudara tiri Tuta Rimba?"
"Bukan! Menurut apa yang kudengar,
Banonwati telah bersuami saat dia merayu
Cakrangga. Tapi suaminya kemudian diketa-
hui tewas. Banyak orang yang mengatakan
bahwa suaminya itu pun bermaksud menda-
patkan Pedang Setan yang saat itu sedang di-
incar Nyai Larasati. Tentu saja perempuan
tua itu tak suka dan barangkali dialah yang
membunuhnya," jelas Resi Abirawa.
"Lalu kira-kira ke mana Pedang Setan
yang satu lagi, Ki?"
"Entahlah. Menurut penyelidikan yang
dilakukan Tuta Rimba, bisa jadi Suryudana
atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak
Bermuka Masam, yang menjadi ketua Pergu-
ruan Tengkorak Hitam, menyimpan yang satu
lagi."
"Ya," sahut pemuda itu. "Kalau tak ada
api, mana mungkin ada asap. Dari mana Su-
ryudana mengetahui bahwa Nyai Larasati
memiliki pedang itu. Dan karena keampuhan
Pedang Setan harus berpasangan, bisa jadi
dia pun bernafsu untuk mendapatkan pedang
itu."
"Ada satu hal lagi yang ingin kuketa-
hui, Ki," kata Buang Sengketa setelah dia
anggukkan kepala mendengar penjelasan Tu-
ta Rimba. "Apa kehebatan Sepasang Pedang
Setan itu hingga banyak diperebutkan orang?"
"Menurut apa yang kudengar, pedang
itu mampu mempengaruhi pemiliknya untuk
bertindak kejam dan melipat gandakan tenaga
dalam si pemegangnya. Kalau seseorang tak
mempunyai tenaga batin yang kuat, dia pasti
akan terpengaruh oleh daya sihir pedang itu.
Dan di samping itu, ada sesuatu yang amat
didambakan oleh orang-orang persilatan. Pa-
da kedua gagang itu, terdapat pelajaran ilmu
silat kelas tinggi yang bernama jurus-jurus
Pedang Setan. Tapi tak sembarangan orang
bisa menafsirkan karena terdapat banyak
sandi-sandi yang agak membingungkan."
Pemuda dari Negri Bunian itu angguk-
anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.
"Pedang itu benar-benar membuat banyak
malapetaka..." kata pemuda itu bergumam.
"Ya, akan banyak lagi darah yang tum-
pah kalau tak cepat diselesaikan. Maukah
engkau membantu kami, Kelana?"
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Ki,"
sahut Buang Sengketa.
Karena hari telah larut malam dan se-
saat lagi fajar menyingsing, akhirnya mereka
kembali bercakap-cakap mengenai pengala-
man masing-masing. Tak lupa orang tua itu
memberi petuah-petuah yang sangat berguna
bagi murid si Bangkotan Koreng Seribu. Ke-
mudian saat pagi tiba, Buang Sengketa dan
Tuta Rimba telah meninggalkan tempat itu
untuk mencari jejak Sepasang Pedang Setan
tersebut.
8
Kedua perempuan itu berlari-lari kecil
meninggalkan Lembah Batu Ampar. Yang seo-
rang berusia sekitar empat puluh tahun, na-
mun wajahnya masih sangat cantik dan ja-
rang terlihat kerut merut. Seorang lagi gadis
belia berusia sekitar tujuh belas tahun berpa-
ras sangat jelita. Keduanya membawa-bawa
sebilah pedang di punggung masing-masing.
Dari situ saja bisa membuktikan bahwa me-
reka bukan perempuan sembarangan. Paling
tidak mereka memiliki ilmu silat yang cukup
lumayan meski rimba persilatan belum men-
genal mereka. Tapi yang dilakukan kedua pe-
rempuan itu sangat mencurigakan. Seperti
banyak diketahui orang, lembah tersebut ada-
lah tempat kediaman seorang pandai besi
yang sering membuat pesanan senjata-
senjata. Baik dari pihak kerajaan maupun
dan mereka orang-orang persilatan. Seorang
tua renta bernama Empu Pupulaka. Siapakah
kedua perempuan itu sebenarnya? Mereka
tak lain dari Roro Ningrum dan anak angkat-
nya Dewi Ambarwati. Setelah mereka turun
gunung guna mencari Sepasang Pedang Se-
tan, jejak pertama yang mereka cari adalah
tempat kediaman pandai besi tersebut. Na-
mun di situ mereka tak menemukan siapa-
pun. Meski tempat itu merupakan sebuah
lembah, namun di situ juga terdapat perkam-
pungan penduduk. Dari beberapa orang yang
mereka tanya, didapatlah keterangan, bahwa
orang tua itu telah tewas di tangan anaknya
sendiri yang bernama Cakrangga. Setelah
mendapat kabar itu, mereka segera mencari
jejak Cakrangga yang menurut beberapa
orang itu mungkin berada di kediaman Nyai
Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut.
"Ibu, siapakah orang itu sebenarnya?"
tanya Dewi Ambarwati. "Kenapa si Cakrangga
itu bisa terlibat dengan anak perempuannya?
Bukankah orang itu sudah punya istri dan
anak?"
"Itulah kehidupan di dunia ramai, De-
wi. Terkadang godaan terlalu banyak datang
hingga melemahkan iman mereka yang tak
kuat. Hanya karena kecantikan dan bujuk
rayu, seseorang tega meninggalkan istri dan
anaknya, bahkan membunuh orang tua sen-
diri," sahut Roro Ningrum.
"Apakah ibu bermaksud mendatangi
tempat mereka?"
"Tentu saja!"
"Menurut orang-orang itu, Nyai Larasa-
ti adalah tokoh sesat yang sangat kejam...."
"Apakah engkau takut?"
"Tidak. Aku hanya tak ingin kehilangan
ibu, setelah ayah tewas, aku hanya memiliki
satu orang tua. Dan aku tak mau ibu tewas
pula...."
"Dewi, umur seseorang itu bukan di-
tentukan oleh orang lain, melainkan oleh
Yang Maha Kuasa. Lagipula kalau kita tewas
dalam menegakkan keadilan, akan sangat
mulia di mata siapapun ketimbang kita mati
secara tak berguna. Semua orang kelak akan
mati juga. Hanya tinggal menunggu waktu sa-
ja, dan waktu itu sangat singkat. Kita harus
mempergunakannya sebaik mungkin," jelas
Roro Ningrum.
"Tapi kenapa orang-orang yang sering
berbuat kebaikan harus lebih cepat mati ke-
timbang mereka yang berbuat jahat. Apakah
ini adil, bu? Bukankah seharusnya orang
yang berbuat baik diberi ganjaran yang baik
pula?"
"Kita tak bisa menentukan ukuran adil,
Dewi. Adil buat kita, belum tentu adil menu-
rut orang lain. Begitu juga di mata Yang Maha
Kuasa. Kita tiada mengetahui, apa yang di-
rencanakannya. Tapi yang pasti, bukanlah
sesuatu yang buruk," jelas Roro Ningrum
kembali. Sepanjang perjalanan, memang tak
henti-hentinya perempuan itu memberi penje-
lasan-penjelasan tentang kehidupan pada
anak angkat yang sangat disayanginya itu.
Bukan hanya saat ini saja, namun sejak gadis
itu bisa bicara pun dia telah banyak membe-
rikan gambaran-gambaran kehidupan dunia
ramai padanya. Hal inilah yang membuat ga-
dis itu cepat matang dari usia yang sebenar-
nya. Dia tumbuh menjadi seorang gadis yang
cerdas, santun, dan luas pandangan hidup-
nya.
Sementara itu dengan menggunakan
ilmu lari cepatnya, sebentar saja mereka telah
tiba di kediaman Nyai Larasati.
"Maaf, katakan kalian punya tujuan,
baru bisa kutentukan apakah guru berhak
menemui kalian atau tidak," sahut seorang
murid ketika dua orang itu menanyakan ten-
tang Nyai Larasati.
"Nisanak, apakah engkau punya kuasa
berkata begitu? Engkau pasti dihukum berat
karena berlaku begitu pada sahabat gurumu!"
bentak Roro Ningrum kesal sambil menjalan-
kan muslihatnya. Gadis penjaga gerbang itu
terpaku sesaat. Dipandanginya kedua orang
itu dengan seksama.
"Siapa nama kalian?"
"Untuk apa engkau tanya-tanya? Ayo,
lekas katakan pada Nyai Larasati bahwa ka-
wan lamanya akan berkunjung!"
Dibentak begitu, si gadis agak gugup.
"Ba... baiklah....!" katanya sambil berlalu ke
dalam. Saat itu juga Roro Ningrum dan Dewi
Ambarwati mengikuti dari belakang. Mereka
menunggu di beranda depan. Tak lama ke-
mudian Nyai Larasati atau Peri Kuning Tong-
kat Maut keluar bersama Banonwati dan be-
berapa orang muridnya. Mereka berbasa basi
sesaat, setelah itu barulah Roro Ningrum
mengemukakan maksudnya dengan baik-
baik. Sepasang alis perempuan itu berkerut.
"Maaf, nisanak. Aku sama sekali tak
pernah mendengar nama pedang yang kalian
sebutkan itu?"
"Nyai Larasati, pedang itu adalah wari-
san perguruan kami, jadi kami harus men-
gambilnya kembali. Kalaupun pada akhirnya
kami ke sini, tiada lain karena petunjuk bebe-
rapa orang yang mengatakan bahwa engkau
memiliki salah satu Pedang Setan itu. Kalau
satu atau dua orang yang berkata begitu,
mungkin aku bisa ragu. Tapi semua orang
merasa yakin bahwa engkau memiliki salah
satunya!" sahut Roro Ningrum dengan suara
pelan namun mengandung nada dakwaan.
Mendengar jawaban tamunya yang di-
rasanya sedikit memaksa, Nyai Larasati me-
rasa kurang senang. Dengan tegas dia kemba-
li berkata, "Nisanak, aku telah berkata yang
sebenarnya. Urusan kalian mau percaya atau
tidak, itu terserah kalian! Dan lagipula den-
gan niat kalian yang berpura-pura itu, mana
bisa kupercaya bahwa kalian bermaksud
baik-baik!"
"Nisanak, bagaimanapun kami telah
menunjukkan itikad baik. Bagaimana mung-
kin engkau menuduh kami sedemikian rupa?"
"Dengan cara kalian membohongi mu-
ridku untuk bisa bertemu denganku, apakah
itu maksud yang baik?!"
"Kalau kami tak membohongi murid-
mu, bagaimana mungkin engkau mau berte-
mu dengan kami secara baik-baik? Belum
apa-apa muridmu telah menaruh curiga. Se-
seorang yang berbuat salah pasti selalu was-
was dan berjaga-jaga akan segala kemungki-
nan yang terjadi. Kalau memang kalian tiada
menyimpan pedang yang kini direbutkan
orang itu, mana mungkin engkau menyuruh
setiap muridmu untuk waspada!" sahut Roro
Ningrum dengan kata-kata yang mulai sinis.
Mendengar itu amarah Nyai Larasati tak ter-
bendung lagi. Perempuan itu segera bangkit
dari kursinya dengan wajah dingin.
"Sebaiknya kalian berdua cepat ting-
galkan tempat ini sebelum kemarahanku
memuncak!"
"Terbukti bahwa salah satu pedang itu
berada di tanganmu. Kalau tidak, tak mung-
kin engkau bersikap begini rupa!"
"Nisanak, rupanya engkau ingin diper-
lakukan kasar. Karena engkau berani menya-
troni tempatku, pastilah engkau punya sedikit
nyali dan kepintaran. Ingin kulihat, sampai di
mana kemampuanmu itu!" sahut Nyai Larasa-
ti sambil melompat ke halaman depan. Tu-
buhnya melayang dengan ringan. Roro Nin-
grum sudah menganggap bahwa itu tantan-
gan. Maka tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya
pun ikut melesat mengikuti perempuan tua
itu dan jejakkan kaki pada jarak tiga tombak
di hadapannya. Dewi Ambarwati menyusul di-
ikuti oleh semua murid yang dengan cepat
mengurung tempat itu.
"Nisanak, aku tak pernah membiarkan
musuhku keluar hidup-hidup dari tempatku
ini. Bersiaplah engkau!" kata Nyai Larasati
dingin sambil gedor ujung tongkatnya ke ta-
nah sekali. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba
saja tubuhnya yang agak gemuk itu melesat
sambil kirim satu serangan kilat. Roro Nin-
grum pun tak kalah sigap. Sekali tangan ka-
nannya terayun, sebilah pedang telah berkib-
lat di tangannya memapaki serangan tongkat
lawan.
"Trang!"
"Wuuuk!"
Nyai Larasati sedikit terkejut. Bukan
saja tangannya yang agak kesemutan saat
senjata mereka beradu, namun dia tak me-
nyangka bahwa lawan mampu bergerak cepat.
Nyaris tenggorokannya terkena ujung pedang
lawan yang berkelebat bagai kilat.
Sambil kertakkan rahang menahan ge-
ram, dia keluarkan jurus handalnya yang di-
beri nama Serangga Malam Menipu Pandang.
Agaknya perempuan tua yang punya gelar Pe-
ri Kuning Tongkat Maut, ingin secepatnya
menyudahi pertarungan. Dalam gebrakan tadi
siapa pun dapat melihat bahwa dia agak kete-
ter. Sudah barang tentu hal ini membuatnya
merasa malu di hadapan murid-muridnya
sendiri. Untuk itulah dia ingin menunjukkan
pada mereka, juga pada lawannya, bahwa dia
masih patut diperhitungkan dan tak bisa di-
pandang enteng.
Roro Ningrum bukannya tak merasa-
kan serangan lawan yang mulai mendesaknya
dengan hebat, tapi perempuan tua itu juga
menggunakan serangan-serangan yang keji.
Tongkat di tangan yang pangkalnya terdapat
patung ular naga sebesar kepala manusia de-
wasa itu, berputar-putar bagai baling-baling
dan tiba-tiba mengeluarkan asap yang ber-
warna kekuning-kuningan. Belum lagi ujung-
nya yang runcing me-nyambar-nyambar ba-
gian tenggorokan, jantung, dan di bawah pe-
rut. Roro Ningrum yang pandangannya agak
samar karena terhalang asap kuning itu, mu-
lai kepayahan. Bukan hanya itu saja, namun
agaknya asap kuning itu mengandung obat
pembius yang bisa melumpuhkan urat syaraf.
Meski dia telah mainkan jurus terhebatnya
yang diberi nama Kilat Pedang Membelah
Angkara, namun kelebatan pedangnya yang
sangat menyilaukan mata siapapun yang me-
lihat, tak mampu menyentuh tubuh lawan.
"Dewi, cepat engkau lari dari sini! Ayo,
cepaaaat...!" teriak perempuan itu memberi
isyarat pada anak angkatnya itu ketika meli-
hat keadaannya yang tak menguntungkan.
Tubuhnya mulai kelihatan agak limbung dan
terhuyung-huyung sambil terbatuk-batuk.
Pandangannya pun mulai samar dan berku-
nang-kunang.
"Tidaaaak! Manusia-manusia curang
ini harus diberi pelajaran!" sahut gadis itu tak
perduli dan mulai ayunkan pedang untuk
membantu Roro Ningrum. Namun bersamaan
dengan itu, sebelas murid Nyai Larasati telah
mengurungnya dengan ketat dan kirim seran-
gan secara tiba-tiba. Mau tak mau Dewi Am-
barwati terpaksa membereskan mereka terle-
bih dahulu. Namun itu bukanlah pekerjaan
mudah. Kesebelas murid-murid Nyai Larasati
bukanlah orang sembarangan. Masing-masing
mereka memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi pa-
da saat ini mereka menyerang dengan seren-
tak. Tapi tak percuma Dewi Ambarwati seba-
gai murid Malaikat Pedang Bertangan Seribu
kalau musti keder menghadapi keroyokan.
Dengan semangat yang berapi-api dia me-
layani mereka sambil putar pedang dan
mainkan jurus Kilat Pedang Membelah Ang-
kara.
Jurus pedang itu sebenarnya sangat
handal. Selain mengandung serangan yang
cepat dan kuat, dia juga memiliki jurus-jurus
tipuan yang mampu mengecoh lawan. Kalau
saja asap kuning yang disebar Nyai Larasati
tak mempengaruhi Roro Ningrum, rasanya
perempuan tua itu tak mungkin sanggup
menghadapinya.
Kehebatan jurus itu terlihat saat Dewi
Ambarwati berhasil mematahkan senjata
tongkat pada dua orang lawan, dan membuat
luka yang cukup parah pada keduanya. Tapi
karena gadis itu kurang pengalaman dalam
menghadapi pertarungan, dan lagipula lawan
yang dihadapinya bukan orang sembarangan,
sebentar saja dia kembali didesak oleh lawan-
lawannya.
"Dewi, cepat lari dari sini! Ayo, cepat...!"
teriak Roro Ningrum kembali memperingati.
Tubuhnya melesat mendekati tempat perta-
rungan gadis itu dan menghajar dua orang
lawan yang mendesak putri angkatnya itu
dengan hebat.
"Trang! Trang!"
"Craaas!"
Perempuan separuh baya murid si Ma-
laikat Pedang Bertangan Seribu itu mengeluh
pendek saat lengan kirinya berhasil disabet
ujung tongkat Nyai Larasati yang tak mem-
biarkannya kabur begitu saja. Darah mulai
mengucur dari tempat itu. Kepalanya lebih te-
rasa nyeri, dan pandangannya semakin men-
gabur. Agaknya ujung tongkat lawan itu men-
gandung racun yang hebat. Meski begitu dia
masih sempat berteriak pada anak angkatnya
itu untuk menyelamatkan diri.
Dewi Ambarwati bingung setengah ma-
ti. Batinnya tak tega untuk menuruti perintah
ibunya itu. Apalagi saat ini dia sedang terlu-
ka. Namun akal sehatnya cepat bekerja. Ka-
lau mereka berdua tertangkap atau tewas,
siapa yang akan memberitahukan hal ini pa-
da guru? Maka setelah ibu angkatnya itu ber-
teriak sekali lagi sebelum tubuhnya ambruk,
gadis itu kertakkan rahang menahan geram.
Pedangnya berkiblat. Dengan suara melengk-
ing nyaring, tubuhnya melesat ke atas sambil
membuat putaran beberapa kali. Tiga orang
murid Nyai Larasati cepat mengejar sambil
putar tongkat bagai baling-baling dan siap
menggebuk tubuh lawan. Tapi tentu saja De-
wi Ambarwati telah memperhitungkan hal itu
sebelumnya.
"Trang! Trang! Trang!"
"Tras! Tras! Crab!"
Dengan menggunakan jurus Kilat Pe-
dang Membelah Angkara pada tingkatan ter-
tinggi, pedang di tangannya memapas ketiga
tongkat lawan dan cepat kirim dua sabetan
dan satu tusukan. Ketiga murid Nyai Larasati
atau Peri Kuning Tongkat Maut keluarkan je-
rit kesakitan. Dua orang memegang bagian
pinggang yang robek sepanjang satu jengkal,
dan seorang lagi mendekap dada kanan yang
terus mengucurkan darah. Secepat itu pula
Nyai Larasati menggeram hebat dan kirim sa-
tu pukulan jarak jauh yang mengeluarkan se-
larik sinar kuning. Namun tubuh Dewi Am-
barwati telah melesat bagai seekor walet ter-
bang dan secepatnya meninggalkan tempat
itu. Pukulan orang tua itu hanya mengenai
tempat kosong saja. Sambil menyumpah-
nyumpah, dia memerintahkan murid-
muridnya mengejar lawan yang telah kabur
itu.
9
Tubuh gadis itu terus berkelebat den-
gan cepat. Sesekali dia menoleh ke belakang
manakala melihat beberapa orang pengejar-
nya masih tertinggal pada jarak duapuluh
tombak. Dengan mengerahkan seluruh ke-
mampuan ilmu lari cepatnya, tubuhnya mele-
sat meninggalkan para pengejarnya hingga
tak terjangkau lagi jarak-nya. Gadis yang
bernama Dewi Ambarwati itu agak bernafas
lega saat melihat kenyataan itu. Perlahan dia
hentikan langkah dan mengatur nafasnya
yang semakin memburu sambil bersandar
pada sebuah batang pohon. Wajahnya men-
dongak ke atas dengan pandangan sayu. Se-
sekali dia memicingkan mata menahan kepi-
luan, namun kali lain wajahnya terlihat ge-
ram.
"Ibu, tak kusangka apa yang ku ce-
maskan ternyata kini terbukti. Entah bagai-
mana nasibmu kini..." keluhnya lirih. "Mu-
dah-mudahan engkau bisa selamat. Aku pasti
akan datang kembali dan mengadukan hal ini
pada Eyang. Bisa berbuat apa mereka terha-
dap beliau...."
Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh sua-
ra tawa panjang yang mengejeknya. Dengan
cepat .dia bersiaga dan putar pandang ke se-
keliling tempat. Namun alangkah kagetnya
dia manakala melihat bahwa tempat itu telah
dikepung rapat oleh orang-orang yang berwa-
jah seram dengan gambar tengkorak di pung-
gung baju mereka. Reflek gadis itu mencabut
pedang dan bersiap mempertahankan diri.
"Sungguh kebetulan sekali ada seorang
gadis cantik berkeliaran di tempat ini. Bisa
menjadi hiburan buat kita semua!" kata seo-
rang laki-laki berusia sekitar limapuluh ta-
hun. Wajahnya bengis. Meski pun dia ketawa,
namun tak terlihat keramahan. Sebaliknya
menyiratkan hawa kesadisan dan kekejaman.
Perlahan-lahan dia mendekati gadis itu.
"Siapa kalian?!" bentak gadis itu sambil
mundur dua langkah.
"Siapa kami, engkau tak perlu tahu,
tapi keheradaanmu di tempat ini justru san-
gat membahagiakan kami, dan itu engkau
perlu tahu!" sahut laki-laki itu sambil menye-
ringai buas. Dewi Ambarwati bergidik ngeri
melihat senyum bengis laki-laki itu.
"Jangan coba-coba mendekat kalau tak
ingin merasakan ujung pedangku!" ancam-
nya.
"Ha... ha... ha... ha....!" Seumur hidup
baru kali ini si Suryudana diancam orang,
bahkan oleh seorang gadis cantik pula!"
Orang itu bergelak agak keras sambil putar
pandang pada orang-orang di sekeliling tem-
pat itu yang ikut-ikutan tergelak-gelak seolah
menimpalinya.
"Manis..." lanjutnya dengan suara yang
direndah-rendahkan, "Seharusnya engkau
berterima kasih padaku bahwa orang-orang
yang mengejarmu itu kini sedang diringkus
oleh sebagian anak buahku."
"Siapa sudi menerima kebaikanmu!
Tanpa campur tanganmu pun aku mampu
menghajar mereka!"
"Ha... ha... ha... ha....! Engkau sungguh
membuatku senang dan bersemangat. Nah,
lebih baik menurut baik-baik. Setelah uru-
sanku selesai, engkau tentu akan kubawa ke
tempatku dan kujadikan istriku yang tercin-
ta!"
"Maaf, kisanak. Agaknya kalau tak
sinting, pastilah engkau seorang penghayal.
Aku bukan benda mati yang dengan gampang
engkau bawa dan perlakukan sesukamu.
Maafkan, aku tak bisa memenuhi keinginan-
mu itu. Lagipula saat ini aku ada urusan
yang harus diselesaikan," sahut Dewi Ambar-
wati dan coba berlalu dari tempat itu. Tapi
baru saja dia berjalan tiga langkah, dua orang
diantara pengepungnya telah loloskan pedang
dan membuat gerakan menyilang yang meng-
halangi langkahnya. Terpaksa gadis itu henti-
kan langkah dan berpaling dengan wajah kes-
al pada orang yang bernama Suryudana itu.
"Kisanak, jangan paksa aku untuk me-
lakukan kekerasan pada kalian dengan cara-
mu ini!" katanya dengan suara mengancam.
Sebaliknya Suryudana hanya tergelak-gelak
kecil mendengar kata-kata si gadis.
"Kalau engkau enggan dengan cara ke-
kerasan sebaiknya aku setuju sekali dengan
cara baik-baik. Ikutlah denganku, maka eng-
kau akan memperoleh perlakuan yang baik
pula."
Mendengar jawaban itu, mengertilah si
gadis bahwa tak ada jalan lain untuk keluar
dari kepungan ini selain mengadakan perla-
wanan. Sesungguhnya dia tak mengetahui
bahwa orang-orang ini adalah murid-murid
Perguruan Tengkorak Hitam. Niat mereka
yang sesungguhnya adalah memancing bebe-
rapa orang murid-murid Nyai Larasati untuk
keluar dari tempatnya dan menyerang dengan
tiba-tiba. Namun baru saja mereka memikir-
kan cara itu, kebetulan sekali beberapa orang
diantaranya keluar untuk mengejar gadis
yang kini mereka kepung. Maka Suryudana
yang turun langsung dalam penyerbuan ke
tempat kediaman Nyai Larasati itu, memecah
rombongan menjadi dua bagian. Sebagian
yang dipimpin oleh tangan kanannya, yaitu
pemuda yang bernama Danu Umbara untuk
menyergap beberapa orang murid Nyai Lara-
sati, dan dia sendiri mengepung gadis yang
dikejar-kejar itu. Adapun niat Suryudana
atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak
Bermuka Masam berbuat begitu adalah untuk
mematahkan perlawanan Nyai Larasati pada
saat penyerbuan yang akan mereka lakukan
nanti. Karena walau bagaimanapun dia tak
mau anggap remeh kemampuan perempuan
tua itu beserta murid-muridnya.
Sementara itu Dewi Ambarwati telah
keluarkan suara bentakan nyaring sambil pu-
tar pedang dan coba menembus barisan per-
tahanan para pengepungnya itu. Namun
alangkah kecewanya dia manakala menemu-
kan kenyataan bahwa gerakan-gerakan yang
dilakukan lawan lawannya ternyata sangat
kompak dan teratur sekali. Berkali-kali mere-
ka berhasil menghindar dari sabetan pedang-
nya dan dengan tiba-tiba balas menyerang
dengan tiba-tiba. Sudah barang tentu hal ini
membuat gadis itu gusar bukan main.
"Ciaaaat....!"
Dengan berteriak nyaring, tubuhnya
mencelat ke atas sambil membuat beberapa
kali putaran, kemudian dengan tiba-tiba me-
nukik tajam dengan pedang di tangan bergu-
lung-gulung hingga tiada terlihat lagi bentuk-
nya.
"Cras! Cras!"
Dua orang pengeroyoknya memekik
nyaring manakala ujung pedang gadis itu me-
robek dadanya. Gadis itu terus mengamuk,
tiada henti bagai serigala betina yang terluka.
Beberapa orang lagi terkena sabetan pedang-
nya. Dengan menggunakan jurus andalannya
yaitu, Kilat Pedang Membelah Angkara, la-
wan-lawan itu bukanlah tandingannya. Meski
mereka mampu berkelit, namun ujung pe-
dang gadis itu terus mengejar bagai memiliki
mata. Melihat keadaan itu, tentu saja Suryu-
dana geram bukan main. Dengan satu benta-
kan keras, para pengeroyok itu yang tak lain
dari anak buahnya sendiri, segera hentikan
penyerangan. Sepasang matanya menyipit
dan menyiratkan amarah luar biasa terhadap
gadis itu. Perlahan-lahan dia melangkah
mendekati si gadis yang telah bersiap-siap ji-
ka orang itu tiba-tiba menyerangnya.
"Ilmu silatmu boleh juga, anak manis.
Tapi jangan dulu berbangga diri. Kalau dalam
lima jurus di muka engkau bisa bertahan dari
serangan ku, bolehlah berarti engkau menang
dan kuijinkan pergi sesukamu. Tapi kalau ti-
dak, maka engkau tak akan pergi ke mana-
mana!" kata Suryudana dingin. Sekali tan-
gannya bergerak, tiba-tiba sebatang pedang
telah tergenggam. Tanpa banyak membuang
waktu lagi, laki-laki bertampang bengis ini te-
lah kiblatkan pedang. Lalu dengan satu ben-
takan nyaring, tubuhnya yang sedikit ramp-
ing, telah melesat ke arah gadis itu sambil ki-
rim satu serangan yang bertenaga sangat
kuat. Suryudana atau Raja Tengkorak Ber-
muka Masam mengetahui bahwa gadis itu
mempunyai ilmu yang cukup lumayan, tak
mau menganggap enteng. Itulah sebabnya
pada awal serangan ini dia telah keluarkan
jurus-jurus dahsyatnya yang diberi nama
Tengkorak Menakuti Angin Ribut.
Dewi Ambarwati mulai merasakan
permainan pedang lawan sungguh hebat se-
kali. Meski dia telah keluarkan seluruh ke-
mampuannya dan balas menyerang dengan
menggunakan jurus Kilat Pedang Membelah
Angkara, namun lawan tak sedikit pun terde-
sak, bahkan mampu berkelit dengan sangat
lincahnya. Sudah barang tentu hal ini mem-
buatnya sangat putus asa. Segala daya upaya
telah dikerahkannya, namun lawan seolah tak
memberikan ruang gerak padanya untuk ber-
buat sesuatu. Walhasil gadis itu hanya bisa
pasrah dan bertahan sebisanya. Kalau benar
apa yang dikatakan lawan bahwa bila dia da-
pat bertahan lima jurus dari serangannya,
maka dia akan membebaskannya. Semoga sa-
ja janjinya itu bisa dipegang. Namun ternyata
gadis itu tak banyak berharap. Meski perta-
rungan itu telah memasuki jurus ketujuh dan
dia hanya menunggu waktu saja untuk dija-
tuhkan, tapi lawan tak bermaksud menyuda-
hi. Malah semakin bernafsu untuk mengalah-
kannya secara terang-terangan.
Sebenarnya kalau saja diperhatikan se-
cara sungguh-sungguh, ilmu pedang yang
dimainkan gadis itu tak bisa dianggap ringan,
dan tidak juga berada di bawah permainan
lawan. Hanya saja gadis itu memang kalah
dalam hal tenaga dalam dan pengalaman ber-
tanding. Barangkali hanya kegesitan saja
yang membuatnya mampu bertahan sampai
tujuh jurus.
Sementara itu melihat lawan semakin
terdesak, Suryudana seolah telah melupakan
kata-katanya. Dia terus ayunkan pedang dan
menghantam manakala gadis itu sudah terde-
sak hebat. Mau tak mau Dewi Ambarwati ha-
rus mempertahankan diri dan kiblatkan pe-
dang untuk memapaki serangan lawan.
"Tang!"
Pedang di tangan gadis itu mental lima
tombak. Ujung pedang Suryudana telah ter-
hunus di tenggorokannya. Laki-laki itu terse-
nyum sambil perlihatkan seringai yang berke-
san sadis. Dewi Ambarwati bergidik ngeri me-
lihat wajah itu. Masih untung pada saat itu
tiba-tiba muncul beberapa orang kawan me-
reka yang lain. Seorang pemuda berusia seki-
tar duapuluh tahun bersama beberapa orang
anak buahnya yang masih terhitung murid-
murid Perguruan Tengkorak Hitam. Bersama
mereka nampak beberapa orang gadis dalam
keadaan tertotok dan dibopong oleh beberapa
orang diantara murid murid Tengkorak Hitam
itu.
"Guru, tugas telah kami jalankan den-
gan baik!" kata si pemuda yang agaknya me-
mimpin rombongan itu. Suryudana anggukan
kepala puas.
"Engkau lihat hasil tangkapan kami
ini?"
Pemuda itu melirik sekilas. Hatinya
terpana saat melihat wajah Dewi Ambarwati
yang cantik jelita. Untuk sesaat dia terpaku di
tempatnya.
"Danu Umbara, kalau engkau suka,
engkau akan mendapat giliran setelah aku
nanti. Tapi sekarang ini lebih baik kita urus
dulu perempuan tua bangka itu!" kata Suryu-
dana seolah mengerti apa yang sedang dipi-
kirkan pemuda itu. Tiba-tiba tangan kiri ke-
tua Perguruan Tengkorak Hitam itu bergerak
ke tubuh si gadis. Sebentar saja Dewi Ambar-
wati merasa tubuhnya kaku akibat totokan
lawan. Dia menyumpah habis-habisan. Su-
ryudana hanya tergelak-gelak saja. Tapi seca-
ra tak terduga, saat itu juga terdengar tawa
panjang yang mengiringi suaranya tanpa me-
nampakkan ujud.
"Ha... ha.., ha....! Tua bangka keparat!
Engkau masih suka juga pada daun muda.
Apakah engkau tak merasa malu?!"
"Siapa engkau?!"
"Engkau tiada punya derajat mengeta-
huiku!"
"Huh, sungguh sombong sekali engkau
ini!" dengus Suryudana sambil mengamati
tempat itu dengan tajam. Tiba-tiba dilihatnya
ada sesuatu yang bergerak pelan dari cabang
sebuah pohon bagai ditiup angin. Dengan ce-
pat tubuhnya melesat ke arah itu sambil ki-
rim satu serangan.
"Krosak! Pras! Pras!"
Pedangnya terayun dengan cepat. Tapi
alangkah kecewanya laki-laki itu menemukan
kenyataan bahwa dia terkecoh. Di situ tiada
siapa-siapa. Jelas tadi bukan akibat angin
daun-daun itu bergerak. Saat itu angin ber-
tiup dari arah kanan ke kiri, tapi daun-daun
di cabang itu bergoyang tak beraturan meski-
pun hanya pelan saja. Sudah barang tentu
dalam pikirannya, orang yang mengeluarkan
suara tawa tadi bersembunyi di tempat itu.
Semua murid-muridnya yang melihat keja-
dian itu bertambah heran saja. Bagaimana
mungkin guru mereka yang berilmu tinggi itu
dapat terkecoh oleh lawan. Lalu siapakah
orang tadi sebenarnya? Mungkinkah seorang
tokoh berilmu tinggi yang hanya ingin meng-
goda mereka saja?
Tapi Suryudana segera mendapat ja-
waban manakala dia kembali turun dan meli-
hat gadis yang dikalahkannya tadi telah le-
nyap entah ke mana. Empat orang muridnya
yang berada di dekat gadis itu roboh dalam
keadaan tertotok. Dia menyumpah-nyumpah
tak karuan melihat keadaan itu sambil berpi-
kir keras, siapa orang yang mampu berbuat
begitu hebat pastilah ilmunya sangat tinggi.
Bisa jadi guru si gadis itu, pikirnya. Kalau sa-
ja dia tadi turun tangan, belum tentu mereka
semua bisa selamat. Masih untung dia tak
mempersoalkannya. Berpikir begitu, cepat-
cepat Suryudana memerintahkan anak buah-
nya untuk lanjutkan perjalanan menuju tem-
pat kediaman Nyai Larasati.
10
Dewi Ambarwati tersentak kaget meli-
hat seorang pemuda berwajah tampan dengan
pakaian kumal berwarna merah. Belum lagi
dia sempat berpikir melihat cara berdandan
pemuda itu yang rambutnya dikuncir dan
membawa-bawa periuk besar, tiba-tiba saja
tubuhnya telah berada dalam bopongannya
dan bersamaan dengan itu empat orang mu-
rid Tengkorak Hidup ambruk tak berdaya
tanpa menimbulkan suara. Pemuda itu terus
berlari dengan sangat cepat sambil membo-
pongnya. Dia sama sekali tak merasa seperti
membawa beban. Dari situ saja si gadis su-
dah dapat menduga bahwa pemuda ini bu-
kanlah orang sembarangan. Setidaknya dari
cara dia merobohkan empat orang tadi dan
kini membawanya berlari dengan kecepatan
tinggi. Tapi bukan berarti dia tak curiga. Dia
sama sekali tak mengenal siapa pemuda ini
sebenarnya, dan punya maksud apa meno-
longnva. Lebih-lebih tak lama kemudian seo-
rang pemuda yang sebaya dengannya, berlari
dengan kecepatan tinggi mendekati. Dan ak-
hirnya mereka berdampingan sambil tertawa-
tawa kecil. Sudah barang tentu hal ini mem-
buatnya bertambah curiga saja.
"Kisanak, siapakah kalian ini sebenar-
nya? Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya
gadis itu was-was.
"Tenanglah, nona. Kami tak bermaksud
jahat padamu," sahut pemuda berkuncir yang
tak lain dari Buang Sengketa, atau si Pende-
kar Hina Kelana.
"Kalau kalian tak bermaksud jahat, to-
long lepaskan totokanku ini dan biarkan aku
pergi dari sini."
"Ah, betul! Hampir saja aku lupa!" Pe-
muda itu tepuk jidat dan hentikan larinya.
Begitu juga dengan pemuda yang berada di
sampingnya.
"Nah, nona engkau sekarang bebas!"
lanjut Buang Sengketa setelah melepas toto-
kan gadis itu. Sebaliknya Dewi Ambarwati
bingung sendiri. Kedua pemuda ini sama se-
kali tak mengesankan sebagai seorang yang
berwatak jahat. Lagi pula mereka tak menun-
tut imbalan apa-apa setelah menolongnya.
Sudah barang tentu hal ini membuatnya malu
hati dan merasa tak enak telah punya pera-
saan curiga sebelumnya. Sebagai seorang ga-
dis yang tahu sopan santun, dia tak malu un-
tuk meminta maaf.
"Maafkanlah aku, kisanak. Tadi aku te-
lah berperasangka buruk pada kalian berdua.
Kusangka kalian adalah sebangsa laki-laki
hidung belang yang punya niat sama seperti
mereka. Aku mengucapkan banyak terima
kasih atas pertolongan kalian. Kalau boleh
kutahu, siapakah kalian ini sebenarnya?"
"Ah, tak perlu merasa begitu, nona.
Menolong sesama manusia adalah sudah
menjadi kewajiban kita bersama. Aku berna-
ma Buang Sengketa dan kawanku ini berna-
ma Tuta Rimba," jawab Buang Sengketa. Ga-
dis itu anggukkan kepala mendengar itu.
Meskipun Buang Sengketa menerangkan ju-
lukannya, barangkali pun gadis itu tak mera-
sa terkejut, karena sebagai gadis yang baru
turun gunung, dia sama sekali tak pernah
mengenalnya.
"Nona, siapakah engkau sebenarnya,
dan kenapa bisa berurusan dengan orang-
orang Tengkorak Hitam?" tanya Tuta Rimba.
Si gadis yang merasa percaya bahwa kedua
pemuda itu orang baik-baik, segera menceri-
takan pengalaman yang dialaminya tadi.
Bahkan diapun menceritakan segala sesua-
tunya sejak mereka turun gunung guna men-
cari Sepasang Pedang Setan yang dipesan gu-
runya. Gadis itu sedemikian polosnya hingga
tak sedikitpun dia punya perasaan curiga ter-
hadap kedua pemuda itu. Sebaliknya Tuta
Rimba terperanjat kaget mengetahui, siapa
guru gadis itu sebenarnya.
"Astaga! Ternyata kita adalah orang
sendiri. Nona, guruku mengutusku untuk
mencari Pedang Setan itu guna mengembali-
kannya pada orang yang berhak, yaitu guru-
mu. Beliau adalah adik seperguruan Ki Wi-
caksana, sahabat gurumu yang diamanatkan
untuk menyimpan sepasang pedang itu."
"Oh, benarkah itu?!"
Tuta Rimba mengangguk pasti. Buang
Sengketa pun membenarkan hal itu.
"Sebaiknya engkau tak perlu kembali
menemui gurumu. Kalau engkau bersedia
ikut, kami bermaksud menemui Nyai Larasati
dan meminta pedang itu secara baik-baik" ka-
ta Buang Sengketa.
"Perempuan itu sangat licik. Kalian ha-
rus berhati-hati padanya!" kata Dewi Ambar-
wati memperingatkan.
"Dengan cara apapun kami akan beru-
saha mengambilnya dan sekaligus membe-
baskan gurumu."
"Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut
dengan kalian!"
Tak lama kemudian ketiganya segera
melesat dari tempat itu menuju kediaman
Nyai Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut.
Sebenarnya apa yang mereka lakukan
hingga dengan gampang bisa membawa gadis
itu dari kepungan orang-orang Tengkorak Hi-
tam? Mulanya mereka melihat keadaan gadis
itu yang terdesak hebat dan kena dijatuhkan
oleh Suryudana. Tuta Rimba ingin turun tan-
gan untuk membantu. Tapi Buang Sengketa
mempunyai rencana yang lebih baik. Menu-
rutnya kalau mereka turun tangan secara
langsung, tentu akan memakan waktu lama.
Maka dia menyuruh Tuta Rimba untuk men-
gecoh lawan pada posisi tertentu untuk me-
mancing perhatian mereka. Dengan menggu-
nakan pukulan jarak jauh, pemuda itu meng-
hantam cabang pohon yang berdaun lebat
dan agak tertutup, lalu secepatnya kabur dari
tempat itu. Pada waktu yang bersamaan,
Buang Sengketa bergerak menolong gadis itu
karena semuanya sedang memusatkan perha-
tian ke arah ketua mereka yang menerjang ke
arah dedaunan yang bergoyang-goyang akibat
dihantam pukulan Tuta Rimba tadi. Tanpa
banyak mengalami kesulitan, dia menotok
keempat orang murid Tengkorak Hitam dan
dengan cepat menyambar gadis itu dan mem-
bawanya kabur sambil mengerahkan ajian
Sepi Angin.
11
Nyai Larasati atau si Peri Kuning Tong-
kat Maut sungguh tak menyangka bahwa ke-
datangan tokoh-tokoh sakti ke tempatnya ka-
rena mendapat kabar bahwa dia memiliki sa-
lah satu Pedang Setan, sungguh cepat bere-
dar. Kini mereka telah berkumpul. Ada yang
meminta secara baik-baik dengan alasan ter-
tentu, namun ada juga yang memaksa hingga
menimbulkan perkelahian yang tak dapat di-
elakkan lagi. Kedudukan mereka memang
sangat tidak menguntungkan. Lima orang
murid-muridnya yang mengejar gadis yang lo-
los dari tempat mereka, belum juga kembali.
Jumlah tokoh-tokoh yang hadir di situ bah-
kan melebihi jumlah mereka sendiri. Dia sen-
diri tak yakin, apakah mampu mengalahkan
mereka secara jujur. Maka dengan akal bu-
lusnya dia menantang mereka beramai-ramai
dan menjanjikan akan memberikan pedang
itu bagi siapa yang bisa mengalahkannya.
Tentu saja hal ini menarik perhatian mereka
yang akalnya pendek. Namun bagi tokoh-
tokoh tertentu yang mengetahui bahwa pe-
rempuan tua itu banyak memiliki akal bulus,
tak cepat percaya. Mereka berdiam diri dan
menunggu saat yang tepat. Dugaan itu ter-
nyata tak salah. Dua orang tokoh persilatan
yang bernama Dandaka Pura dan Permana,
serta lima orang yang lebih dikenal sebagai
Lima Iblis Lembah Duka, kena diperdaya oleh
orang tua itu dan tergeletak pingsan saat Nyai
Larasati putarkan tongkat yang mengeluarkan
asap kuning yang merupakan obat pembius.
"Siapa lagi yang coba-coba mengingin-
kan pedang itu, boleh berhadapan denganku!"
kata orang tua itu dengan wajah garang. Ma-
tanya menyapu pandang pada tiga orang yang
masih tegak sambil senyum mencibir. Yang
satu seorang perempuan berusia enam puluh
tahun. Wajahnya lebar dan rambutnya yang
panjang telah memutih semua. Dia mengena-
kan pakaian yang sangat ketat di seluruh tu-
buhnya. Pada kesepuluh jari-jarinya terlihat
kuku-kuku yang sangat tajam dan panjang.
Rimba persilatan mengenalnya sebagai Betina
Penyebar Maut. Nama aslinya adalah Nyai
Tonggeng. Seorang lagi bertubuh pendek dan
gempal. Kepalanya pada bagian ubun-ubun
telah botak. Memakai baju kembang-kembang
merah dan biru dengan dasar putih. Dia di-
kenal sebagai Banteng Liar Peremuk Raga. Di-
juluki demikian karena tenaganya yang besar
dan kuat luar biasa. Namanya adalah Lembu
Sura. Dan yang ketiga bernama Puro Sekati.
Tubuhnya kurus jangkung. Rambutnya yang
telah memutih, digulung ke atas. Usianya se-
kitar tujuh puluh tahun. Meski wajahnya tak
menyeramkan, namun dia adalah tokoh yang
sangat ditakuti karena kekejamannya yang
tak kepalang tanggung. Jarang orang yang
mau berurusan dengan kakek, yang punya
gelar Setan Bertangan Delapan ini.
Sesungguhnya Nyai Larasati lebih
mengkhawatirkan mereka bertiga ini daripada
yang lain. Ilmu mereka tinggi dan sulit dijaja-
ki. Lagipula mereka cerdik dan tak mudah
terpancing oleh tipu dayanya.
"Nyai Larasati, sebaiknya engkau jan-
gan banyak pentang bacot. Lebih baik serah-
kan saja Pedang Setan itu padaku, dan kuja-
min aku tak akan mengganggumu!" kata Nyai
Tonggeng atau Betina Penyebar Maut dengan
suara dingin mengancam.
"Siapa bilang begitu?" timpal Lembu
Sura. "Apa engkau pikir hanya engkau saja
yang ingin memiliki pedang itu?"
"Ya. Engkaupun harus ingat bahwa
aku telah berada di sini," sahut Puro Sekati
tersenyum sinis. "Aku tak akan kembali sebe-
lum apa yang kuinginkan tercapai."
"Kalian sama sekali tak berhak akan
Pedang Setan itu!" sahut satu suara tiba-tiba.
Semua orang menoleh dan terlihat di tempat
itu telah terdapat sekitar tiga puluh orang
murid-murid Perguruan Tengkorak Hitam
yang dipimpin langsung oleh ketuannya, yaitu
Suryudana atau lebih dikenal sebagai Raja
Tengkorak Bermuka Masam. "Pedang itu ada-
lah kepunyaan pamanku yaitu si Pedang Se-
tan. Oleh sebab itu, akulah yang berhak me-
milikinya," lanjut suara itu yang tak lain dari
Suryudana.
"Ha... ha... ha... ha....!" Sungguh lucu.
Orang-orang memperebutkan benda yang bu-
kan miliknya dan merasa seolah-olah benda
itu adalah miliknya yang harus didapatkan
dengan cara apapun," timpal satu suara. Se-
mua orang yang berada di situ kembali dibuat
terkejut
Tiga orang berusia muda telah muncul
di situ. Dua orang pemuda dan seorang lagi
perempuan jelita berusia sekitar tujuh belas
tahun. Salah seorang pemuda yang mengelu-
arkan ucapan tadi sungguh sangat menarik
perhatian mereka. Meski wajahnya tampan,
namun dia berpakaian kumal. Rambutnya di-
kuncir serta membawa-bawa periuk besar.
Demi melihat kedatangan pemuda itu, En-
dang Purwasih yang berada di situ, dengan ti-
ba-tiba menyerbu ke arahnya dengan wajah
girang.
"Kelana...!" panggilnya. Namun lang-
kahnya tiba-tiba berhenti manakala neneknya
hadangkan tongkat. Gadis itu bingung tak
mengerti. Tapi perempuan tua itu seolah tahu
apa yang dipikirkan gadis itu, segera membe-
ritahukan alasannya.
"Tidakkah engkau lihat dia bersama
siapa? Dia bersama gadis yang lolos itu, Pasti-
lah gadis itu telah bercerita banyak padanya.
Engkau jangan berharap bahwa dia berada di
pihak kita."
"Tapi, nek...."
"Diam kataku dan tetap di tempatmu!"
bentak Nyai Larasati sambil pelototkan mata.
Gadis itu terpaksa menurut meski sorot ma-
tanya masih bertanya-tanya sambil melirik ke
arah pemuda berwajah tampan yang memba-
wa-bawa periuk besar itu.
Sementara itu Suryudana mengenali
betul siapa gadis yang bersama kedua pemu-
da itu. Hatinya penuh dengan tanda tanya.
Siapa kedua pemuda itu? Apakah mereka
yang menyelamatkan gadis itu dari tangan-
nya?
"Kelana, apa maksud perkataanmu
itu!?" tanya Nyai Larasati dengan wajah sinis.
Pemuda itu tersenyum kecil dan maju dua
langkah.
"Nyai Larasati, Pedang Setan adalah
milik si Malaikat Pedang Bertangan Seribu. Di
sini ada muridnya yang mewakili orang tua
itu untuk mengambil hak miliknya. Kenapa
malah engkau menyerakahi benda yang bu-
kan milikmu
"Siapa bilang pedang itu ada di tan-
ganku?!"
"Nyai Larasati, jangan engkau bersilat
lidah. Aku tahu betul bahwa engkau memiliki
salah satu dari Pedang Setan itu. Kalau tidak,
tak mungkin engkau kasak kusuk untuk
mencari pedang yang satunya lagi hingga per-
lu menahan si Cakrangga untuk mengorek
keterangan darinya," sahut Suryudana. "Kea-
daanmu sungguh sangat terjepit. Kalau eng-
kau mau menyerahkan pedang itu padaku,
sudah barang tentu aku akan bersekutu dan
membelamu terhadap niat-niat jahat mereka."
"Cuih! Suryudana, apa engkau pikir
aku tak mengerti akal bulusmu itu? Untuk
apa engkau sibuk-sibuk menginginkan pe-
dang yang hanya sebuah itu. Pastilah engkau
memiliki yang sebuah lagi. Aku ingat betul
saat engkau mengobrak abrik rumah kedia-
man cucu Tumenggung Gandasena yang ber-
nama Nugraha Wisesa tujuh belas tahun lalu.
Engkau pasti telah mendapatkan pedang itu,
dan kini menginginkan sebuah lagi yang eng-
kau sangka berada di tanganku!" sahut Nyai
Larasati sengit.
"Hei! Hei! Kenapa malah kalian saling
menyalahkan? Pasti ini akal bulus lagi agar
kalian tak dicurigai memiliki pedang itu?!"
sentak Tuta Rimba tak sabaran. Kedua orang
itu palingkan wajah dan sipitkan mata mena-
han geram.
"Anak muda, punya kebisaan apa eng-
kau berani berkata lancang begitu terha-
dapku?" tegur Nyai Larasati dengan nada
mengancam.
"Nenek peot, tak usah banyak bacot!
Serahkan pedang itu pada yang berhak dan
kami tak akan mengganggumu!"
"Bedebah! Kau pikir engkau ini siapa
seenaknya memerintahku?"
Tanpa dikomando lagi, beberapa orang
muridnya telah menyerang pemuda itu den-
gan ganas. Perkelahian pun tak dapat dihin-
dari lagi. Dewi Ambarwati yang sejak tadi ha-
tinya penuh dendam terhadap perempuan tua
itu, tiba-tiba saja telah cabut pedang. Tubuh-
nya melesat dengan cepat sambil kirim satu
serangan.
"Nyai Larasati, apakah engkau benar-
benar tak mau bersekutu padaku?!" teriak
Suryudana sambil ketawa mengejek. "Lima
orang muridmu berada dalam tanganku. Asal
engkau berjanji akan menyerahkan pedang
itu padaku, tentu saja aku akan melepaskan
mereka, bahkan anak muridku pun akan
membantumu menyingkirkan mereka."
Perempuan tua itu ternyata tak bodoh.
Melihat posisinya yang sedang tak mengun-
tungkan, dia segera putar otak dan dengan
cepat menyetujui usul Suryudana. Soal nanti
barangkali akan dipikirnya belakangan.
Demi mendengar jawaban itu, dengan
cepat Suryudana memerintahkan murid-
muridnya untuk meringkus tiga orang muda
yang baru datang itu. Dia sendiri telah mele-
sat membantu perempuan tua itu untuk men-
jatuhkan gadis yang menjadi lawan Nyai La-
rasati. Tapi saat itu juga tentu saja Buang
Sengketa tak mau tinggal diam. Tubuhnya se-
gera berkelebat memapaki serangan ketua
Perguruan Tengkorak Hitam.
"Ciaaaat....!"
Suryudana agak terkejut melihat se-
rangan lawan yang cepat itu. Beberapa orang
murid-muridnya yang pernah berhadapan
dengan pemuda itu sempat membisikkan ten-
tang siapa sebenarnya pemuda yang selalu
membawa-bawa periuk besar itu.
"Hemm, jadi engkaulah yang bernama
Pendekar Hina Kelana itu? Sungguh menyesal
bahwa engkau harus mati di tanganku," ejek-
nya sambil memandang rendah.
"Mati itu bukan urusanmu. Salah-
salah malah engkau sendiri yang akan men-
galaminya nanti," balas Buang Sengketa. Tapi
pemuda itu tak bisa berlama-lama berhada-
pan dengan lawannya. Puluhan murid-murid
Tengkorak Hitam telah terbagi dua. Sebagian
mengeroyok Tuta Rimba, dan sebagian lagi
membantu Nyai Larasati. Sedangkan tangan
kanan Suryudana yang bernama Danu Umba-
ra, telah melesat membantu gurunya itu. Ten-
tu saja hal itu tak bisa didiamkan saja. Buang
Sengketa merasa perlu untuk menolong ke-
dua sahabatnya itu.
Tapi untuk lolos dari dua lawannya ini
bukanlah soal mudah. Keduanya berilmu
tinggi dan memiliki serangan-serangan yang
mematikan. Karena tak ada jalan lain, terpak-
sa pemuda itu mengeluarkan jurus Si Gila
Mengamuk. Suatu jurus yang tiada beraturan
namun sangat ganas sekali menyerang lawan.
Dalam pada itu dari telapak tangannya mele-
sat selarik sinar ultra violet menghantam para
murid-murid Tengkorak Hitam. Maka tak ayal
lagi. Sebentar saja terdengar pekik kematian
akibat pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang berhawa panas itu. Beberapa orang mu-
rid Tengkorak Hitam langsung tumbang dan
tewas seketika terkena pukulan itu. Tentu sa-
ja hal ini sangat mengkhawatirkan sekali. Ka-
lau dibiarkan terus, sudah pasti murid-
muridnya akan tewas tiada bersisa. Berpikir
begitu, Suryudana putar otak. Pemuda yang
menjadi lawannya ini berilmu tinggi. Meski
dia telah keluarkan jurus-jurus andalannya
dan mengeroyoknya berdua, belum kelihatan
tanda-tanda dia akan terdesak. Bahkan kalau
dibiarkan terus, salah-salah bisa dia sendiri
yang celaka. Tiba-tiba dia menemukan akal
saat matanya melihat tiga orang tokoh sesat
yang masih mematung tak ambil bagian da-
lam pertarungan itu
"Hei, kalian bertiga?!" teriaknya me-
manggil. "Ketahuilah, bahwa pemuda ini yang
bergelar Pendekar Hina Kelana. Kalau dia
berhasil menguasai pedang itu, kalian akan
rugi sendiri. Sedang bila pedang itu kita da-
patkan, bisa dirundingkan baik-baik cara pe-
nyelesaiannya nanti. Kenapa kalian malah di-
am saja?!"
Mendengar nama si pemuda itu, tanpa
pikir panjang lagi, ketiganya segera melesat
dan langsung menyerang Buang Sengketa.
Siapa yang tak mengenal Pendekar Hina Ke-
lana? Nama itu belakangan ini menjadi mo-
mok yang membuat gemas tokoh-tokoh sesat
sehubungan dengan sepak terjangnya yang
sangat memusuhi golongan mereka.
"Ah, engkau rupanya yang punya gelar
Pendekar Hina Kelana itu?" ujar Nyai Tong-
geng sinis. "Ingin sekali kulihat permainan
Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto-
mu yang sangat menghebohkan itu."
"Kedua senjata itu bukan untuk dipa-
merkan, tapi kalau kalian memaksa, apa bo-
leh buat. Nantipun kalian akan merasakan-
nya juga," sahut pemuda itu merendah. Tapi
apa yang dikatakannya sungguh beralasan.
Dikeroyok lima orang yang berilmu tinggi itu,
mau tak mau membuat Buang Sengketa agak
repot. Dia tak bisa lagi hantamkan pukulan
Empat Anasir Kehidupan untuk membantu
kedua kawannya karena selalu dihalang-
halangi oleh gerakan-gerakan lawan yang
mengurungnya dengan ketat. Pemuda itu kini
semakin terdesak saja. Hatinya cemas bukan
main memikirkan keadaan kedua sahabatnya
itu. Dikeroyok oleh begitu banyak orang, pas-
tilah mereka tak akan bertahan lama. Sedang
dia sendiri kalau tak cepat bertindak, juga
akan dapat dijatuhkan oleh lawan-lawannya.
"Aaaakh....!"
Buang Sengketa tersentak kaget men-
dengar teriak kesakitan Dewi Ambarwati. Ba-
hu kirinya kena diserempet ujung tongkat la-
wan, dan bersamaan dengan itu ujung pedang
lawan yang lain menggores pahanya. Bebera-
pa saat kemudian, Tuta Rimba mendapat ba-
gian. Kepalanya terkena tendangan lawan
dengan telak, dan pinggangnya dengan cepat
disabet ujung pedang lawan yang lain.
"Wuaaaa....!!"
Pemuda dari negeri Bunian itu tersen-
tak kaget dan menjerit kecil saat kepalan
Lembu Sura yang bertenaga dalam kuat,
menghantam dadanya. Tak ampun lagi, tu-
buhnya mental beberapa tombak sambil mun-
tahkan darah segar. Belum lagi memperbaiki
posisi, satu sambaran kuku-kuku Nyai Tong-
geng, menghajar lehernya.
"Breet!"
Kasihan sekali pemuda itu. Hanya ka-
rena kelengahan akibat memperhatikan kese-
lamatan dua kawannya, akhirnya dia menjadi
bulan-bulanan kelima lawannya itu. Tubuh
Buang Sengketa ngusruk dengan nafas me-
gap-megap. Bukan saja luka dalam yang dipe-
rolehnya akibat pukulan lawan yang terus
menghantam berturut-turut, namun juga lu-
ka-luka akibat cakaran Nyai Tonggeng dan
sabetan pedang Suryudana dan Danu Umba-
ra. Kejadian itu begitu cepat dan singkat se-
kali. Kelimanya memandang pemuda itu sam-
bil tersenyum mengejek.
"Hi... hi... hi... hi....! Hanya sebeginikah
kemampuan pendekar yang namanya meng-
getarkan rimba persilatan itu?" ledek Nyai
Tonggeng.
"Sebaiknya coba engkau keluarkan saja
Golok Buntung-mu. Siapa tahu kami bermu-
rah hati menyambungnya kembali!" timpal
Suryudana.
"Kalian akan menyesal nantinya kalau
golok itu telah tercabut dari tempatnya...!"
sahut Buang Sengketa pelan namun mengan-
dung ancaman. Tiba-tiba saja tanpa mem-
buang waktu lagi, dengan sekali berkelebat,
tangan kanannya telah memegang suatu ben-
da yang berwarna merah menyala. Apalagi ka-
lau bukan Pusaka Golok Buntung! Hawa han-
gat segera mengalir ke tubuhnya akibat pen-
garuh golok pusaka itu, dan segera melancar-
kan jalan darahnya yang kacau. Meski tak se-
luruhnya bisa disembuhkan namun keadaan-
nya agak lebih baik.
"Hi... hi... hi....! Meskipun engkau kelu-
arkan Golok Buntung-mu itu, mana mungkin
engkau bisa bertahan lama. Racun yang be-
rada dalam kuku ini sangat kejam dan tiada
bandingannya," kata Nyai Tonggeng menje-
laskan sambil terkekeh-kekeh. Namun buat
Buang Sengketa hal itu sama sekali tiada di-
rasakannya. Seperti diketahui, pemuda dari
Negri Bunian itu kebal terhadap segala ma-
cam jenis racun.
Nyai Tonggeng atau Betina Penyebar
Maut serta yang lainnya tak sempat lagi pen-
tang bacot manakala tubuh si pemuda pe-
nyandang periuk besar itu telah berkelebat ke
arah mereka diiringi sebuah benda berwarna
merah menyala di tangannya dan menimbul-
kan suara bagai puluhan harimau terluka.
Sementara itu dari mulut pemuda itu sendiri,
tak henti-hentinya terdengar suara mendesis
bagai seekor ular Piton yang terluka. Dengan
menggunakan jurus Si Jadah Terbuang, gera-
kan pemuda itu cepat sekali dan sulit diikuti
oleh mata. Golok Buntung di tangannya me-
nyambar-nyambar ke arah lawan.
"Cras! Cras!"
Danu Umbara dan Lembu Sura tak
sempat memekik saat golok di tangan Pende-
kar Hina Kelana menyambar lehernya. Kedua
batok kepala itu menggelinding, sedang tubuh
mereka sendiri terhuyung-huyung sejenak
sambil mengucurkan darah dari pangkal leher
sebelum akhirnya ambruk tak berkutik lagi.
Bukan main marahnya Suryudana melihat
murid kesayangannya tewas. Dari mulutnya
terdengar suitan nyaring. Saat itu juga seba-
gian anak buahnya mengalihkan perhatian-
nya dan ikut mengerubuti Buang Sengketa.
Namun hal itu percuma saja. Sekali pemuda
itu bergerak, tiga orang memekik nyaring
sambil roboh terguling-guling dan nyawanya
lepas saat itu juga terkena sabetan Pusaka
Golok Buntung. Suryudana semakin ketaku-
tan saat serangan pemuda itu lebih ditujukan
padanya.
"Cras! Wuuuuut! Craaas!"
Suryudana memekik nyaring saat tan-
gannya kutung disabet golok Buang Sengketa.
Namun ketika itu juga pemuda itu merasakan
satu serangan menyambarnya. Dengan cepat
dia berkelit tanpa menoleh dan sabetkan Go-
lok Buntung. Terdengar pekikan nyaring Nyai
Tonggeng yang seketika roboh dengan ping-
gang hampir putus
Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu
ternyata tak kepalang tanggung. Kembali pe-
dang di tangannya berkelebat ke arah Suryu-
dana. Orang itu memekik nyaring saat da-
danya kena disabet golok lawan. Belum lagi
dia sempat kuasai diri, tiba-tiba saja senjata
lawan telah menyambar lehernya.
"Cras!"
Tak ampun lagi. Kepala Suryudana
terpisah dan menggelinding ke tanah... Men-
getahui itu, murid-muridnya segera melarikan
diri karena mengadakan perlawanan pun per-
cuma saja. Lagipula toh untuk siapa lagi me-
reka menempur pemuda itu. Melihat sepak
terjang Pendekar Hina Kelana yang sangat
dahsyat, tanpa malu-malu Puro Sekati ikut-
ikutan kabur setelah nyalinya ciut sejak tadi.
Buang Sengketa hanya mendiamkannya saja
dan tubuhnya melesat dengan cepat ke arah
Nyai Larasati yang pada saat itu sedang men-
desak Dewi Ambarwati.
Mengetahui serangan lawan, dengan
cepat dia berbalik dan memapaki dengan
tongkatnya.
"Tes! Crak!"
"Wuaaaaa....!"
Perempuan tua itu memekik nyaring.
Tongkat di tangannya putus menjadi dua, dan
golok di tangan Buang Sengketa terus melun-
cur ke arah batok kepalanya. Tak ayal lagi,
batok kepala perempuan tua itu terbelah. Tu-
buhnya terhuyung-huyung untuk beberapa
saat. Namun pada saat itu secara tak terduga,
satu sabetan pedang menebas lehernya. Tak
ayal lagi, batok kepala perempuan itu putus
dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya me-
regang sesaat sebelum akhirnya nyawanya le-
pas. Beberapa orang muridnya yang melihat
itu, bergidik ngeri.
Endang Purwasih pingsan seketika me-
lihat keadaan neneknya. Banonwati tak bisa
lagi bisa berbuat apa-apa selain menyerah.
Pada saat itu tiba-tiba Dewi Ambarwati me-
mekik nyaring dengan wajah gembira dan
menubruk sesosok tubuh yang tadi tiba-tiba
muncul. "Ibuuuuu....!"
Orang yang memotes leher Nyai Larasa-
ti tadi tak lain dari Roro Ningrum. Wajahnya
begitu gembira dapat berkumpul dengan anak
angkatnya yang telah dianggapnya sebagai
anak sendiri itu.
"Syukurlah ibu selamat. Aku telah
khawatir sejak tadi. Ibu tak apa-apa, bukan?"
Perempuan separuh baya itu gelengkan
kepala sambil tersenyum kecil. "Tidak, nak..."
sahutnya pelan. "Mereka hanya memenjara-
kan ibu saja di ruang-bawah tanah. Di sana
ibu bertemu dengan Cakrangga, anak Empu
Pupulaka. Setelah ibu menceritakan siapa se-
benarnya ibu, akhirnya dia minta maaf. Dia
menyesal telah membunuh ayahnya sendiri.
Syukurlah pedang yang berada di tangan Nyai
Larasati berhasil ibu peroleh setelah ibu be-
rusaha membebaskan diri. Dan juga menga-
takan bahwa pedang yang satu lagi memang
sengaja disembunyikan di Lembah Batu Am-
par."
Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba
Tuta Rimba menyela. "Apa? Engkau katakan
ayahku berada di ruang bawah tanah mere-
ka?!"
"Apakah engkau putranya Cakrang-
ga?!" tanya Roro Ningrum. Pemuda itu men-
gangguk cepat. "Sayang sekali, keadaan be-
liau sangat menyedihkan. Dia tewas setelah
memberitahukan di mana pedang satu lagi
yang disembunyikannya..." lanjut perempuan
setengah baya itu dengan wajah lesu. Men-
dengar jawaban itu, Tuta Rimba terkejut se-
kali. Tanpa membuang-buang waktu dia sege-
ra menerobos ke dalam rumah itu guna men-
cari ayahnya.
Sementara itu, Dewi Ambarwati baru
saja akan memperkenalkan pemuda tampan
dengan rambut dikuncir pada ibunya, tapi
pemuda itu telah pergi entah ke mana. Le-
nyap bagai disapu angin. Dia celingukan ke
sana sini mencari-cari, namun tak juga dite-
mui.
Sementara itu Buang Sengketa yang me-
rasa bahwa apa yang sedang dicari anak be-
ranak itu telah ditemui, diapun merasa bah-
wa tugasnya membantu mereka telah selesai.
Maka tanpa sepengetahuan mereka, dia sege-
ra menghilang dari tempat itu sambil kerah-
kan ilmu lari cepat, yaitu ajian Sepi Angin.
TAMAT
Emoticon