Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Rahasia Kalung Keramat
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Rahasia Kalung Keramat
SATU
SATU
Glarrr...!
Tiba-tiba saja sebongkah batu
sebesar kerbau hancur berantakan! Suaranya yang keras bergemuruh dan menggema
ke segala arah, membuat suasana pagi yang sunyi dan tenang itu menjadi ribut.
Tampak debu-debu di sekitarnya segera mengepul dan membumbung tinggi ke
angkasa. Sementara keping-keping batu yang berloncatan kesana kemari, langsung mengusir
burung-burung yang sedang berkicau menyambut pagi.
Beberapa saat kemudian, begitu
kabut debu itu mulai menipis, tampaklah seorang pemuda tampan yang berdiri
tegak sambil memandang reruntuhan batu cadas tadi. Pemuda yang mengenakan baju
warna hitam dan ketat itu segera tersenyum lebar penuh kepuasan. Dia begitu
bangga, karena apa yang telah diajarkan oleh gurunya selama ini, telah
mendapatkan hasil yang cemerlang. Sejenak ia masih tertegun memandangi
reruntuhan batu itu sambil menata kembali rambutnya yang digelung di atas
kepalanya. Tampak keringatnya bercucuran membasahi kulitnya yang putih bersih
bagaikan kulit wanita.
“Bagus..!" puji suara kecil
kering terdengar. Pemuda tampan itu segera menoleh dan berlutut di hadapan
seorang kakek berbaju putih yang berdiri di dekatnya. Laki-laki yang berambut
putih itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan senyum yang hampir
tertutup kumis dan jenggot.
"Mohon petunjuk bila ada
kekurangan, Eyang Resi Wanapati," kata pemuda itu sopan, sikapnya masih
tetap berlutut.
"Berdirilah Angger
Danupaksi," kata Eyang Resi Wanapati sambil memegang pundak pemuda itu.
Pemuda yang bernama Danupaksi itu
segera bangkit. Tubuhnya masih tetap membungkuk dengan tangan bersilang di atas
lututnya.
"Semua ilmu yang ada padaku
telah kau kuasai semua dengan baik, Angger Danupaksi," kata Eyang Resi
Wanapati. "Tadi aku lihat kau telah mempergunakan aji 'Pukulan Karang
Baja'. Sungguh dahsyat, hampir menyamai dengan apa yang aku miliki."
"Maaf, Eyang Resi. Tadi aku
hanya ingin mempraktekkan saja," kata Danupaksi merendah.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Angger. Aku sangat senang kau sudah bisa menguasai aji 'Pukulan
Karang Baja' dengan sempurna sekali. Perlu kau ketahui, bahwa tidak sembarang
orang bisa menguasai ajian tersebut. Aku sangat bangga padamu, Angger
Danupaksi."
"Terima kasih, Eyang
Resi."
********************
Resi Wanapati tampak sedang duduk
bersila dialas rerumputan tebal di bawah pohon rindang. Di bibirnya tersungging
senyuman khasnya yang selalu membawa kedamaian bagi siapa saja yang melihatnya.
Sementara di depannya tampak Danupaksi duduk dengan kepala tertunduk. Lama
mereka masih saling terdiam. Di hati Resi Wanapati masih ada keraguan untuk
mengatakan sesuatu hal yang ia rahasiakan selama ini. Sementara di benak
Danupaksi diliputi pertanyaan, ada apa gerangan Eyang Resi memanggilnya dengan
begitu resmi, hingga mereka harus berhadap-hadapan seperti sekarang ini.
"Ada sesuatu hal yang ingin
aku katakan padamu, Angger," kata Resi Wanapati menguatkan hatinya.
"Apakah ada hubungannya
dengan diriku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar," Resi Wanapati
mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Katakanlah, Eyang
Resi."
"Sebenarnya aku berat untuk
mengatakannya, Angger Danupaksi. Tapi aku sudah berjanji, bahwa aku akan
membuka semuanya setelah kau berhasil menguasai seluruh ilmu yang aku miliki.
Dan aku merasa, sekarang telah tiba saatnya yang tepat," kata Resi
Wanapati pelan.
Danupaksi segera
mengangguk-anggukkan kepalanya dan menunggu dengan sabar kelanjutannya. Dia
sama sekali tidak tahu, kalau selama ini Eyang Resi menyimpan rahasia tentang
dirinya.
"Dua puluh tahun yang lalu,
aku telah menolong seorang laki-laki yang berseragam seorang punggawa
kadipaten. Laki-laki itu dalam keadaan terluka parah, dan dia kemudian berpesan
agar aku harus menyelamatkan seorang bayi laki-laki di istana Kadipaten Karang
Setra. Tapi sesudah dia menyebutkan nama bayi laki-laki itu, dia langsung
meninggal," lanjut Eyang Resi Wanapati sendu. Tampak di wajahnya bahwa ia
masih menyimpan sesuatu rahasia yang sulit untuk diungkapkannya pada Danupaksi.
"Bayi laki-laki itu adalah
aku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar, Angger. Bayi itu
adalah kau...," Resi Wanapati mengamati Danupaksi yang kini telah menjadi
seorang pendekar muda dan tampan.
Danupaksi menggeleng-gelengkan
kepalanya seolah-olah ia tidak percaya dengan pendengarannya.
"Lalu punggawa itu siapa
namanya?" tanya Danupaksi ingin mengetahui semuanya.
"Sayang sekali, dia tidak
sempat menyebutkan namanya," jawab Resi Wanapati menyesalkan.
Danupaksi segera merenung. Dia
memang tidak tahu, siapa dirinya sebenarnya, juga siapa dan di mana orang
tuanya. Selama ini dia hanya hidup bersama seorang laki-laki tua yang bernama
Eyang Resi Wanapati. Dan dia telah menganggap bahwa laki-laki tua itu adalah
orang tuanya sendiri. Meskipun kadang-kadang selalu timbul hasrat untuk
menanyakan pada Resi Wanapati, namun selalu diurungkan. Dia tidak ingin melukai
hati orang tua yang telah mengasuhnya sejak bayi dan juga telah mendidiknya
sehingga ia kini memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Tapi kini semua telah dibuka
sendiri oleh Eyang Resi Wanapati. Dan kata-kata gurunya itu dicerna kembali
dalam benak Danupaksi. Dia kemudian mencoba untuk memahami, siapa dirinya
sebenarnya? Kalau dia masih mempunyai keluarga, dia harus mengetahui, siapa dan
di mana keluarganya berada kini?
"Satu-satunya tanda yang ada
padamu, hanya ini," kata Resi Wanapati sambil menunjukkan seuntai kalung
yang berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di tengah-tengahnya.
Danupaksi segera menerima kalung
itu. Sebuah kalung dari emas murni. Sejenak kedua matanya sedikit menyipit,
begitu melihat ada tulisan di bagian belakang kalung itu.
"Aku mendapatkan kalung itu
dari punggawa yang tidak sempat kuketahui namanya itu, Angger Danupaksi.
Sebelum ia meninggal dunia ia berpesan bahwa aku harus memberikan kalung itu
kepadamu. Setelah melihat kalung itu, aku yakin, kalau kau adalah salah seorang
putra Adipati Karang Setra, yang kini kadipaten itu telah menjadi sebuah
kerajaan," sambung Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa Raja Karang Setra
sekarang?" tanya Danupaksi sambil melingkarkan kalung itu di lehernya.
"Dari kabar yang aku dapat,
rajanya bernama Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Beliau juga pernah hilang
selama dua puluh tahun," sahut Resi Wanapati lagi.
"Kenapa bisa begitu?"
tanya Danupaksi keheranan.
"Dua puluh tahun yang lalu,
Adipati Karang Setra yang bernama Gusti Adipati Arya Permadi pergi untuk
mengunjungi mertuanya bersama keluarga dan beberapa punggawa serta dikawal satu
pasukan prajurit. Di tengah perjalanan, tepatnya di Danau Cubung dekat Lembah
Bangkai, rombongan itu mendapat musibah. Semuanya tewas, kecuali Gusti Prabu
Rangga Pati Permadi dan seorang punggawa. Aku yakin, punggawa yang menjadi
tanda tanya itu, adalah yang dulu telah kutemukan dalam keadaan terluka parah,
Angger Danupaksi," panjang lebar Resi Wanapati menceritakan.
"Tapi kenapa kalung ini
diberikan padaku melalui punggawa itu, Eyang?" tanya Danupaksi penasaran.
"Itulah yang aku tidak
mengerti. Setahuku, Gusti Arya Permadi hanya memiliki seorang putra yang
berusia lima tahun yang kini menjadi Raja Kerajaan Karang Setra. yaitu Gusti
Prabu Rangga Pati Permadi."
"Jadi, siapa aku
sebenarnya?"
"Itu yang harus kau ketahui,
Ngger." "Setelah dua puluh tahun...? Mustahil, Eyang!" suara
Danupaksi agak keras.
"Tidak ada sesuatu yang
mustahil. Semua yang terjadi di mayapada ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa.
Dan apa yang akan terjadi, juga sudah menjadi kehendakNya pula. Itulah yang
dinamakan takdir, 'Ngger. Manusia tidak bisa menolak, apa yang sudah
digariskanNya." Danupaksi hanya diam merenung. Dia sudah bisa menebak, ke
arah mana pembicaraan itu dimaksudkan. Berat rasanya jika dia harus
meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah ditinggali selama dua puluh tahun
lamanya. Dan yang paling utama sekali, dia tidak akan tega meninggalkan Eyang
Resi Wanapati seorang diri.
"Besok pagi kau harus
berangkat, 'Ngger," kata Eyang Resi Wanapati lagi.
"Eyang...," mata
Danupaksi membelalak penuh tanda tanya.
"Jangan membantah!"
sergah Resi Wanapati berwibawa.
"Baiklah," desah
Danupaksi mengangguk berat.
"Nah, sekarang istirahatlah
dulu. Aku akan menyuruh Pangkeng untuk segera menyiapkan segala keperluan
perjalananmu. Dia juga akan kusuruh untuk menyertaimu," kata Eyang
Wanapati.
"Aku tidak tahu, apa yang
harus aku katakan, Eyang," Danupaksi matanya memerah berkaca-kaca.
"Aku akan sangat senang
kalau kau berhasil menemukan keluargamu lagi. Hanya itu yang aku harapkan
sebagai balas jasamu," Eyang Resi Wanapati memberi semangat.
"Eyang...."
********************
Pagi-pagi sekali, Di saat
matahari belum menampakkan dirinya, tampak dua ekor kuda berjalan pelan
menembus kabut tebal dan menuruni tebing Gunung Puting. Penunggang kuda itu tak
lain adalah Danupaksi dan Pangkeng, seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan
kepala gundul licin dan mengenakan baju rompi dari bahan bujal kasar.
Danupaksi kelihatan makin gagah
dengan mengenakan baju putih-putih ketat, dengan ikat kepala yang berwarna
putih juga dan bersenjata pedang yang bergagang gading di punggung. Sedangkan
kuda yang ditungganginya adalah juga seekor kuda putih yang tinggi dan gagah.
"Pangkeng...," panggil
Danupaksi.
"Ya, Den," sahut
Pangkeng sambil mendekatkan kudanya ke samping kuda Danupaksi.
"Apakah nama desa yang ada
di depan itu?" tanya Danupaksi.
"Oh..., itu namanya Desa
Salapan, Den. Aku sudah sering ke desa itu kalau disuruh membeli bahan makanan
atau keperluan lain oleh Eyang Resi Wanapati," sahut Pangkeng menjelaskan.
"Apa masih ada desa lain di
sekitar Gunung Puting ini?"
"Ada, Den. Tapi jauh, harus
memutar ke arah Selatan dulu. Itu pun masih harus melewati sungai dan melintasi
padang rumput yang luas."
"Tampaknya kau hapal sekali
daerah ini, Pangkeng," puji Danupakasi.
"Iya, Den. Soalnya sering
disuruh sih. Lha, Den sendiri kenapa justru tidak tahu?"
"Aku tidak pernah ke luar
dari padepokan, Pangkeng. Baru kali ini aku pergi."
"Oh..., terus tujuan kita
sekarang ini ke mana. Den?"
"Kerajaan Karang Setra"
"Wah!" Pangkeng agak
terkejut juga.
"Kenapa, Pangkeng?"
"Kerajaan Karang Setra cukup
jauh dari sini, Den. Itu kan kerajaan yang baru berdiri, sebelumnya hanya
sebuah kadipaten kecil," Pangkeng menjelaskan.
"Rupanya kau tahu betul,
ya," puji Danupaksi untuk kesekian kalinya.
"Yaaah..., soalnya dulu kan
aku pernah tinggal di sana. Walaupun tidak lama, kira-kira tiga bulanlah,"
Pangkeng cengar-cengir.
"Hm...," Danupaksi
mengangguk-angguk.
"Dan waktu itu masih
berbentuk kadipaten. Dan Adipati yang memerintah di sana waktu itu sangat
kejam!" Pangkeng agak sendu mengingat masa lalunya.
"Kejam...?" tanya
Danupaksi langsung menoleh ke arah Pangkeng.
"Pokoknya tidak bisa
dibilang, Den. Tapi setelah berubah jadi kerajaan, barulah yang memerintah
diganti seorang raja yang sangat adil dan selalu dekat dengan rakyat. Raja itu
seorang pendekar yang berilmu tinggi, hingga kini tidak ada yang bisa menandingi
kesaktiannya."
"Apakah kau pernah bertemu
dengan raja itu?" tanya Danupaksi penasaran.
"Belum, Den. Tapi menurut
cerita orang-orang, Gusti Prabu Rangga sangat dicintai rakyatnya, meskipun
beliau sering bepergian mengembara. Maklum sifat-sifat pendekar memang begitu.
Tidak betah terus-terusan di istana," ujar Pangkeng sok tahu.
Tampak Danupaksi tersenyum saja
mendengar ucapan Pangkeng itu. Memang tidak ada ruginya pergi bersama Pangkeng.
Selain punya ilmu yang cukup tinggi, dia juga mempunyai pengetahuan yang cukup
luas. Dan Danupaksi bisa bertanya apa saja yang belum diketahuinya, terutama
tentang Kerajaan Karang Setra yang kini menjadi tujuannya.
Danupaksi sendiri sebenarnya
masih ragu dengan tujuannya itu. Dia belum yakin benar, kalau masih mempunyai keluarga
di Kerajaan Karang Setra itu. Tapi dia juga harus mengetahui tentang kalung
segitiga yang menjadi identitas keluarga Adipati Karang Setra.
"Kita istirahat sebentar di
desa itu, Pangkeng," ajak Danupaksi begitu mereka memasuki perbatasan
desa.
"lya, Den. Perut saya juga
sudah minta diisi, nih!" sambut Pangkeng gembira.
Kembali Danupaksi tersenyum
mendengar keluhan temannya yang konyol ini.
********************
Kedai yang dipilih Danupaksi
adalah sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tapi kelihatan bersih dan nyaman.
Kedai itu nampak sepi dari pengunjung, di dalamnya hanya ada empat tamu selain
mereka. Itu pun kelihatannya mereka juga pendatang yang kebetulan singgah di
desa itu. Kalau dilihat dari pakaian serta senjata yang tersandang, mereka adalah
orang-orang rimba persilatan.
Tampak mereka sedang begitu asyik
menikmati hidangan yang tersedia di hadapannya. Beberapa saat kemudian, tampak
satu orang pergi setelah selesai makan, lalu disusul dengan yang satu lagi. Dan
yang terakhir, dua orang yang masih tertinggal segera menyusul bersama.
"Siapa mereka, ya...,
tampaknya kok misterius sekali?" gumam Danupaksi seperti bertanya pada
diri sendiri.
"Mereka orang-orang rimba
persilatan, Den," celetuk laki-laki tua pemilik kedai sambil membereskan
meja bekas orang-orang itu tadi makan.
Danupaksi segera menoleh ke arah
suara yang menyahutinya tadi. Sedang Ki Sarumpit, pemilik kedai itu, segera
menghampiri tamunya yang tampak penasaran. Kemudian ia duduk di samping
Pangkeng.
"Kenapa mereka pergi
satu-satu, padahal arah tujuannya sama. Apakah ada sesuatu yang sedang terjadi
di Utara sana?" tanya Danupaksi terlanjur.
"Memang mereka mau ke Utara,
Den. Di sana ada sayembara yang diadakan oleh Padepokan Baja Hitam," sahut
Ki Sarumpit menjelaskan.
"Sayembara...?"
Danupaksi mengerutkan kening.
"Memangnya Aden ini tidak
tahu?" heran juga pemilik kedai itu, melihat tamunya yang bertampang
seorang pendekar tapi tidak tahu tentang sayembara itu.
Sedangkan Danupaksi hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ketua Padepokan Baja Hitam mengadakan
sayembara besar. Siapa saja boleh ikut, asal mempunyai ilmu olah kanuragan.
Tampaknya sayembara itu akan ramai, karena hadiahnya bikin penasaran
orang-orang berilmu tinggi dari rimba persilatan," jelas Ki Sarumpit.
"Hadiahnya apa, Ki?"
celetuk Pangkeng yang sejak tadi hanya mendengarkan saja pembicaraan itu.
"Kalau yang memenangkan
sayembara itu seorang laki-laki, maka hadiahnya adalah putri ketua Padepokan
Baja Hitam, tapi kalau perempuan yang memenangkan, akan memperoleh hadiah besar
di samping diangkat sebagai anak oleh Resi Balung Gading, ketua padepokan itu.
Dan juga masih banyak hadiah-hadiah lain yang.... Pokoknya menarik untuk
diikuti!" lanjut Ki Sarumpit.
"Siapa nama putri ketua
padepokan itu, Ki?" tanya Pangkeng lagi seolah-olah dialah yang akan
memboyong putri itu.
"Dewi Cempaka! Orangnya
cantik bagai bidadari, juga ilmu olah kanuragannya sangat tinggi dan sukar
dicari tandingannya. Konon, Dewi Cempaka menginginkan seorang calon suami yang
ilmunya lebih tinggi dari dirinya. Dia tak peduli, apakah orang itu miskin atau
kaya, jelek atau tampan, pokoknya harus bisa mengalahkannya, itu syarat
utamanya!"
"Syarat lainnya lagi?"
desak Pangkeng tambah sok jago.
Tampak Danupaksi yang duduk di samping
kanannya, kembali tersenyum melihat tingkah Pangkeng itu.
"Juga harus mengalahkan
ayahnya, Ketua Padepokan Baja Hitam," Ki Sarumpit agak kesal juga menjawab
pertanyaan yang bertubi-tubi dari Pangkeng itu.
"Edan!" dengus
Pangkeng. "Mana ada yang mampu menandingi Resi Balung Gading selain dari
Eyang Resi Wanapati? Itu pun paling-paling juga seimbang."
"Benar, Den. Semua orang
juga bilang begitu. Tapi anehnya, ada saja yang datang untuk mengadu nasib,
walaupun sudah banyak peserta yang gagal!"
"Gimana, Den...?"
Pangkeng mencolek pinggang Danupaksi.
"Malas, ah!" desah
Danupaksi.
"Wah..., Den Paksi ini
gimana sih? Itu kan kesempatan baik buat men...."
Danupaksi segera menginjak kaki
Pangkeng, sehingga laki-laki gemuk dan botak itu meringis dan tidak jadi
melanjutkan kalimatnya. Sementara itu Ki Sarumpit segera bangkit dan melangkah
masuk ke belakang. "Kalau ngomong dijaga tuh mulut!" gerutu
Danupaksi.
"Maaf, Den. Hampir
saja...," Pangkeng cengar-cengir.
"Ayo, kita jalan lagi!"
ajak Danupaksi tanpa mempedulikan Pangkeng yang masih saja cengar-cengir.
Pangkeng segera memanggil pemilik
kedai dan membayar semua yang mereka makan. Beberapa saat kemudian mereka
segera menggebah kudanya dan pergi meninggalkan kedai itu.
********************
"Sebaiknya kita ke Padepokan
Baja Hitam dulu, Den," usul Pangkeng ragu-ragu.
"Mau apa kita ke sana?"
Danupaksi malah ogah-ogahan.
"Siapa tahu nasib kita
mujur, Den. Kalau Den Paksi tidak mau sama putrinya, buat aku saja. Pasti tidak
akan kutolak," tambah Pangkeng sambil tertawa kecil.
"Gundulmu!" umpat
Danupaksi sambil tertawa.
"He he he..., jadi mau ke
sana, Den?"
Danupaksi tidak menjawab. Tapi
tanpa disadarinya, dia mengarahkan kudanya menuju ke Utara.
Pangkeng yang tahu hal itu hanya
senyum-senyum saja, bahkan dia bersiul-siul dengan irama tak beraturan.
Sedangkan Danupaksi baru menyadari kalau dia menuju ke Utara setelah sampai di
perbatasan desa bagian Utara.
Danupaksi segera menghentikan
langkah kudanya. Tampak di hadapan mereka terhampar sebuah padang rumput yang
luas dan dikelilingi oleh pohon cempaka yang tumbuh rapat. Sedangkan di
tengah-tengah padang rumput itu, tampak berdiri beberapa bangunan yang
dikelilingi oleh pagar kayu yang tinggi dan runcing-runcing ujungnya.
Pandangan Danupaksi segera
beralih ke sebuah bendera yang terpancang dan berkibar di atap rumah yang
paling besar. Bendera itu berwarna kuning gading dengan gambar lingkaran rantai
yang berwarna hitam dan di tengah-tengahnya terdapat gambar dua pedang
bersilang.
"Itu dia Padepokan Baja
Hitam, Den!" seru Pangkeng memberi tahu tanpa diminta.
"Bagaimana kau tahu?"
Danupaksi keheranan.
"Ketua Padepokan Baja Hitam
dan Eyang Resi Wanapati bersahabat karib. Tapi mereka saling merahasiakan
murid-muridnya."
"Kenapa?" Danupaksi
makin keheranan.
"Aku tidak tahu, Den.
Mungkin perjanjiannya memang sudah begitu."
"Pantas saja aku tidak
pernah tahu, kalau di lereng Gunung Puting ini masih ada padepokan lain selain
milik Eyang Resi," gumam Danupaksi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bukan Den Paksi saja, semua
murid Eyang Resi Wanapati juga tidak ada yang tahu," sahut Pangkeng.
"Aneh...," desah
Danupaksi.
"Tidak aneh, Den.
Orang-orang rimba persilatan memang kadang-kadang berbuat sesuatu yang sulit
dimengerti."
"Hm...," Danupaksi
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelahan.
"Jadi kita ke sana,
Den?" Pangkeng mulai memancing lagi.
"Baiklah, tapi kau jangan
mengatakan kalau kita murid Eyang Resi Wanapati!" Danupaksi mengajukan
syarat.
"Walaupun kita tidak bilang,
mereka juga pasti akan tahu, Den. Apalagi Ki Balung Gading, pasti dia segera
mengenali jurus-jurus Aden nanti."
"Kalau mereka tahu sendiri
sih, tidak apa-apa. Asal kau jangan ngomong dulu!"
"Beres, Den. Tapi kalau
menang, hadiahnya bagi-bagi, ya?"
"Hadiah yang mana?"
"Tentu saja bukan hadiah utamanya, he...”
"Kunyuk!"
********************
DUA
Di depan pintu gerbang Padepokan
Baja Hitam, dua orang yang bersenjata tombak panjang langsung menghadang
Danupaksi dan Pangkeng. Tidak lama kemudian, setelah pintu gerbang terbuka,
muncullah seorang pemuda berkulit sawo matang yang bersenjatakan pedang panjang
dipinggangnya. Pemuda itu berdiri di ambang pintu gerbang dan dikawal oleh dua
orang yang menggenggam tombak runcing di ujungnya.
"Ada keperluan apa Kisanak
datang ke Padepokan Baja Hitam?" tanya pemuda itu sopan.
"Ah, ah..., kami mendengar
bahwa padepokan ini mengadakan sayembara. Apa betul?" Pangkeng yang
menyahut lebih dulu.
"Benar," pemuda itu
menjawab dengan singkat dan tegas.
"Junjunganku ini ingin
mencoba mengikuti sayembara itu," kata Pangkeng lagi sambil melirik
Danupaksi yang berada di sampingnya.
Pemuda itu segera mengamati
Danupaksi sebentar, lalu menjentikkan dua ujung jarinya. Seketika itu juga, dua
orang bersenjata tombak yang menghadang tadi langsung menerjang sambil
mengibaskan tombaknya ke arah Danupaksi. Mendapat serangan yang begitu
mendadak, Danupaksi buru-buru menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanannya.
Kemudian tangannya berkelebat cepat menyambar salah satu tombak yang mengarah
ke tubuhnya.
"Tahan...!" bentak
Danupaksi ketika pemuda itu menjentikkan jarinya lagi, dan dua orang
pengawalnya melompat maju.
Mendengar bentakan itu, dua orang
yang sudah melompat maju langsung mengurungkan niatnya untuk menyerang
Danupaksi kembali.
"Kenapa kalian
menyerangku?" tanya Danupaksi keras.
"Jangan hiraukan omongan
dia, ayo serang!" sergah pemuda itu.
Danupaksi terpaksa harus melayani
empat orang yang langsung menerjangnya dengan tombak, walaupun masih berada di
atas kudanya. Tapi empat orang yang menyerangnya itu bukanlah lawannya, hingga
hanya dalam beberapa saat saja, keempat orang itu dibikin tak berkutik, bahkan tombak-tombak
mereka pun dibikin patah-patah jadi tiga bagian.
"Bagus!" seru pemuda
itu. "Namaku Parahan. Kau sudah lulus dari ujianku. Silakan masuk."
Pemuda yang mengaku bernama
Parahan itu segera menggeser tubuhnya ke samping untuk memberi jalan.
"Mari, aku antarkan Tuan
menemui Resi Balung Gading," sambut Parahan mempersilakan.
"Terima kasih," ucap
Danupaksi seraya melangkah memasuki pintu gerbang.
Danupaksi segera mengedarkan
pandangannya begitu berada di dalam lingkungan Padepokan Baja Hitam. Tampak
suasananya sepi dan lengang, tidak seperti sedang diadakan suatu sayembara
besar. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang duduk-duduk menikmati
semilirnya angin di bawah pohon rindang.
Parahan membawa tamunya ke salah
satu rumah yang cukup besar dan kokoh. Rumah itu terdiri dari kayu yang dihiasi
dengan ukir-ukiran yang halus dan indah. Setelah mencapai depan pintu, Parahan
mempersilakan tamunya untuk menunggu sebentar. Kemudian dia langsung masuk ke
dalam untuk melapor. Tak berapa lama dia sudah kembali lagi dengan didampingi
seorang laki-laki tua, namun masih kelihatan gagah.
Danupaksi langsung menjura
diikuti oleh Pangkeng. Sementara laki-laki tua yang mengenakan baju kuning
gading berhiaskan sulaman gambar rantai hitam dan dua pedang bersilang itu,
segera membalas penghormatan Danupaksi dan Pangkeng.
"Siapa namamu, Anak
Muda?" tanya laki-laki tua yang bernama Balung Gading itu. Suaranya lembut
namun terdengar penuh wibawa.
"Danupaksi, Resi. Dan ini
temanku, Pangkeng," Danupaksi memperkenalkan diri.
"Ah, saya cuma pembantunya,
Resi," celetuk Pangkeng cengar-cengir.
"Lalu, apa maksud kalian
datang ke sini?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Kami mendengar bahwa
padepokan ini mengadakan sayembara, dan temanku ini menyarankan agar aku ikut
mencobanya," sahut Danupaksi tersipu malu.
"Kau tahu apa
syaratnya?" tanya Resi Balung Gading sambil mengernyitkan keningnya.
Danupaksi hanya mengangguk saja.
"Dengar, Anak Muda. Aku
tidak bermaksud meremehkan siapa saja untuk mencoba sayembara ini. Hanya perlu
kau ketahui, sudah puluhan pendekar yang mencoba, tapi semuanya gagal. Bahkan
baru saja ada empat orang yang mengadu nasib, tapi semuanya tidak ada yang
berhasil," Resi Balung Gading memberikan keterangan.
Danupaksi tidak segera menjawab.
Dia lalu menoleh ke arah Pangkeng seolah ingin minta pertimbangan teman
seperjalanannya itu.
"Parahan, tunjukkan tempat
peristirahatan tamu kita ini," perintah Resi Balung Gading kepada Parahan
yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
"Baik, Resi," sahut
Parahan menjura hormat.
"Anak muda, aku menunggu
jawabanmu setelah kau cukup beristirahat," kata Resi Balung Gading seraya
berbalik dan melangkah masuk kembali.
"Mari," ajak Parahan
ramah.
Danupaksi dan Pangkeng segera
mengikuti ke mana Parahan akan membawanya. Tak berapa lama kemudian, Parahan
membuka pintu salah satu ruangan dan mempersilakan tamunya untuk beristirahat.
"Terima kasih," ucap
Danupaksi seraya masuk ke dalam ruangan itu.
Parahan hanya mengangguk dan
berlalu.
Danupaksi dan Pangkeng langsung
saja merebahkan dirinya di dipan.
"Sebaiknya kita urungkan
saja niat kita ini, Pangkeng," kata Danupaksi setengah bergumam.
"Sudah tanggung, Den,"
sahut Pangkeng santai.
"Bukan masalah
tanggungnya!" rungut Danupaksi.
"Lantas, apa? Syaratnya
terlalu berat?"
"Bukan itu."
"Den...."
"Dengar, Pangkeng. Aku baru
saja turun gunung, dan aku belum pernah sekali pun bertarung secara
sungguh-sungguh. Aku sama sekali tidak tahu, ilmu apa yang akan mereka gunakan
nanti. Di samping itu, aku tidak ingin mereka tahu, dari mana kita
berasal!"
"Jangan pikirkan itu, Den.
Nanti Aden juga bisa tahu sendiri, jurus mana yang akan mereka gunakan. Nah,
kalau masalah Resi Balung Gading nanti akan tahu asal kita, itu sih persoalan
kecil," Pangkeng menenangkan.
Kau selalu menganggap enteng
persoalan, Pangkeng," Danupaksi belum yakin.
"Den, ini kan kesempatan
untuk mengukur kemampuan ilmu yang Aden peroleh selama ini. Yah..., itung-itung
buat pengalaman pertamalah," enteng sekali Pangkeng berkata.
"Terserah kaulah,"
desah Danupaksi menyerah.
"Memang seharusnya begitu,
Den," sambut Pangkeng tersenyum cerah, merasa bujukannya berhasil.
"Kapan kita akan menemui
Resi Balung Gading kembali?" tanya Danupaksi.
"Sekarang sudah sore, Den.
Sebaiknya besok pagi saja," sahut Pangkeng.
Beberapa saat kemudian, tampak
kedua pemuda itu sudah memejamkan matanya. Hanya saja kalau Danupaksi tidak
tidur, tapi dia hanya beristirahat dengan cara bersemadi. Jadi kesadarannya
masih penuh total.
Danupaksi tidak menyangka sama
sekali, kalau yang mengikuti sayembara untuk hari ini bukan dia sendiri. Tampak
masih ada empat orang laki-laki dan dua orang perempuan lagi. Dan yang menarik
perhatiannya adalah seorang peserta yang mengenakan baju rompi dan bersenjata
pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung rajawali di punggungnya. Pemuda
tampan yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan tidak
menonjol, bahkan terkesan pendiam.
"Tuan-tuan dan Nona-nona
sekalian, kami persilakan siapa yang ingin tampil lebih dulu!" kata Resi
Balung Gading mempersilakan. Ketua Padepokan Baja Hitam itu duduk di kursi
dengan didampingi seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian pendekar.
Gadis itu tak lain adalah Dewi
Cempaka. Dia benar-benar tampil bagaikan seorang bidadari yang turun dari
kahyangan. Semua mata para peserta, tak terkecuali Danupaksi sendiri, sampai
tak berkedip memandang penampilan gadis cantik jelita itu. Apa lagi Pangkeng
yang berdiri di deretan para penonton.
"Aku yang tampil lebih
dulu!" seru seorang laki-laki yang kelihatan agak tua.
"Siapa nama atau julukan
Tuan?" tanya Resi Balung Gading.
"Namaku tak perlu kau
ketahui, Resi. Sedangkan julukanku adalah Jalak Putih! Aku datang kesini untuk
membawa putrimu, Resi Balung Gading!" sahut Jalak Putih pongah.
"Perlu kau ketahui, Jalak
Putih. Sebelum kau bertanding melawan putriku, kau harus bisa mengalahkan salah
satu muridku dulu. Dan apabila kau berhasil mengalahkan putriku, maka kau harus
berhadapan denganku. Itu syarat mutlak untuk memboyong putriku!" kata Resi
Balung Gading lagi.
"He he he..., siapa muridmu?
Cepat hadapkan padaku!" sahut Jalak Putih sambil memasang kuda-kuda.
"Resi, ijinkan aku mengusir
manusia yang pongah ini," kata salah seorang murid yang berdiri di samping
Resi Balung Gading.
"Silakan," sahut Resi
Balung Gading. Laki-laki berkulit hitam itu langsung melompat ke depan. Tampak
senjatanya yang berupa tongkat kecil terselip di pinggangnya.
"Siapa namamu, Anak Muda?
Kalau belum kawin kuharap kau segera mundur!" Jalak Putih setelah pemuda
itu berdiri di hadapannya.
"Aku Sarmapala. Aku ingin
mohon sedikit pelajaran darimu, Jalak Putih," sahut Sarmapala tenang.
"He he he..., ayo! Serang
aku, Bocah!" kata Jalak Putih yang menganggap enteng lawannya yang masih
muda itu.
"Tamu dipersilakan menyerang
lebih dulu."
"Hm..., kalau begitu,
baiklah. Tahanlah seranganku ini, hiyaaa...!"
Jalak Putih langsung melompat
sambil mengebutkan kedua tangannya dengan cepat secara bergantian. Sementara
Sarmapala segera mengimbanginya dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang
cepat dan lincah. Dalam waktu yang tidak berapa lama kedua orang itu sudah
terlibat dalam pertempuran yang cepat dan rapat. Begitu cepatnya pertarungan
itu berlangsung, sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menghabiskan
tidak kurang dari sepuluh jurus.
Jalak Putih tampak mendengus
kesal, karena sudah sepuluh jurus terlewati dia belum juga bisa menjatuhkan
lawan. Wajahnya sudah merah-padam menahan gemas dan malu. Sementara suara-suara
ejekan dan cemoohan sudah terdengar saling sambut dari murid-murid Padepokan
Baja Hitam lainnya.
"Setan!" dengus Jalak
Putih ketika satu pukulan telak Sarmapala berhasil bersarang di pundaknya,
hingga membuat dia terjajar ke belakang dan jatuh tersuruk di tanah.
Sorak-sorai makin riuh saja
mengejek Jalak Putih. Tapi tak berapa lama kemudian Jalak Putih segera bangkit
lagi. Sementara Sarmapala masih berdiri saja dan tidak melancarkan serangan,
dia sengaja memberi kesempatan pada lawannya untuk bersiap kembali.
"Bagaimana, Tuan? Apa bisa
dilanjutkan?" Sarmapala memberi pilihan. Sama sekali tidak ada nada
sombong dalam suaranya.
"Phuih...!" Jalak Putih
menyemburkan ludahnya.
Sret!
Tiba-tiba saja Jalak Putih
mengeluarkan senjatanya berupa sepasang trisula dari balik ikat pinggangnya.
Dengan segera dia menerjang lawannya tanpa memberi kesempatan untuk
mengeluarkan senjatanya. Tapi meskipun murid Padepokan Baja Hitam itu tidak
menggunakan senjata, dia masih bisa mengimbangi jurus-jurus Jalak Putih, bahkan
tiba-tiba satu tendangan telaknya berhasil bersarang di perut lawan yang pongah
itu.
"Ughk!" keluh Jalak
Putih pendek.
Belum lagi dia dapat menguasai
dirinya, mendadak...
"Lepas...!" bentak
Sarmapala keras.
Seketika itu juga senjata Jalak
Putih langsung terpental! Dan bagaikan seekor burung, Sarmapala segera
menangkap senjata yang masih berada di udara itu. Kemudian dia kembali menukik
dan menjejakkan kakinya tepat di depan Jalak Putih. Dan Jalak Putih makin merah
saja mukanya, karena Sarmapala menempelkan senjatanya yang terpental tadi ke
lehernya.
"Cukup!" seru Resi
Balung Gading.
Sarmapala segera melangkah mundur
dan melemparkan senjata itu ke depan kaki Jalak Putih. Pemuda itu segera
menjura hormat dan kembali ke tempatnya. Sementara Jalak Putih, dengan perasaan
malu yang amat sangat langsung memungut senjatanya dan melompat pergi tanpa
berkata apa-apa lagi. Sorak-sorai langsung terdengar menyambut kemenangan
Sarmapala.
********************
"Silakan, siapa yang
berikutnya” seru Resi Balung Gading.
"Aku...!"
Tiba-tiba seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun langsung melompat ke tengah-tengah arena.
Laki-laki itu mengenakan baju biru dan celana hitam. Sedangkan di pinggangnya
tampak tergantung sebilah pedang panjang sampai melewati lututnya. Dia berdiri
tegak dengan tatapan mata lurus ke arah Dewi Cempaka yang duduk di samping
ayahnya.
"Siapa namamu, Tuan,"
tanya Resi Balung Gading ramah.
"Orang-orang biasa
memanggilku si Pedang Maut," sahut laki-laki itu memperkenalkan diri.
"Apakah kau sudah siap?"
tanya Resi Balung Gading.
"Aku minta putrimu sendiri
yang langsung menghadapiku!" sahut laki-laki itu tak kalah pongahnya
dengan yang pertama tadi.
"Sayang sekali, kau harus
melewati tahap yang pertama dulu," tolak Resi Balung Gading tetap ramah.
"Kau merendahkan si Pedang
Maut, Resi!" serunya sinis.
"Sama sekali tidak, soalnya
itu memang sudah menjadi ketentuan sayembara ini," sahut Resi Balung
Gading tetap kalem.
"Baiklah! Suruh semua
muridmu maju!" seru si Pedang Maut dengan pongahnya.
"Resi...!" salah
seorang murid padepokan bangkit.
"Silakan, Ramapati,"
kata Resi Balung Gading mempersilakan muridnya itu untuk menghadapi si Pedang
Maut.
Laki-laki yang bernama Ramapati
itu langsung melompat ke depan setelah memberi hormat terlebih dahulu kepada
Resi Balung Gading.
"Mundurlah, Bocah. Aku tidak
sampai hati menjatuhkanmu di depan gurumu sendiri," kata si Pedang Maut
meremehkan, calon lawannya yang masih muda sekali.
"Jika Tuan berkenan, ijinkan
aku menerima sedikit pelajaran darimu," kata Ramapati sopan.
"Kau akan menyesal, Anak
Muda."
"Tidak ada yang perlu
disesalkan." jawab Ramapati masih tetap sopan.
"Baiklah, cabut
senjatamu."
Tapi Ramapati tidak akan mencabut
senjatanya sebelum lawannya menggunakan senjata terlebih dahulu. Hal itu
dianggap penghinaan oleh si Pedang Maut. Maka dengan menggeram hebat, si Pedang
Maut langsung melompat dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang dahsyat.
Tidak diduga sama sekali olehnya, kalau Ramapati sanggup mengimbanginya dengan
manis sekali. Semakin geram saja dia menghadapi anak muda yang dianggapnya
masih bau kencur itu.
"Cabut pedangmu,
Bocah!" geram si Pedang Maut tak sabar.
"Silakan Tuan lebih
dahulu," sambut Ramapati tersenyum ramah.
"Setan! Kutebas
lehermu!" geram si Pedang Maut makin menjadi-jadi.
Sret!
Tanpa mempedulikan rasa malu
lagi, si Pedang Maut langsung mencabut senjatanya. Seketika itu juga dia
langsung merangsek Ramapati dengan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan
mematikan. Sedangkan Ramapati yang tidak sempat mencabut pedangnya, hanya
melayaninya dengan tangan kosong. Tapi karena dia terus terdesak, maka pada
suatu kesempatan, dia segera mencabut senjatanya juga.
Tring!
Satu benturan keras terjadi, dan
si Pedang Maut langsung memerah wajahnya. Dia merasakan tangannya jadi
kesemutan begitu pedangnya beradu dengan pedang Ramapati. Lain halnya dengan
Ramapati, dia kelihatan tenang dan tidak terpengaruh sedikit pun, bahkan dia
membalas dengan serangan balik yang gencar dan berbahaya. Hingga beberapa kali
si Pedang Maut harus berjumpalitan jatuh bangun menghindari serangannya. Pada
suatu kesempatan...
"Hiya.... Lepas!"
bentak Ramapati tiba-tiba.
Seketika itu juga pedang Ramapati
berkelebat cepat dan langsung menyampok mata pedang lawannya. Sungguh di luar
dugaannya sama sekali, begitu dua pedang beradu, Ramapati telah menghantam
pergelangan tangan Pedang Maut dengan kakinya.
"Akh!" si Pedang Maut
memekik tertahan.
Bersamaan dengan itu senjatanya
terlontar ke udara. Melihat keadaan itu, Ramapati segera memburu dan menyambar
pedang lawannya sebelum Pedang Maut menyadarinya. Dan tiba-tiba saja Ramapati
sudah berdiri lagi dengan senjata lawan di tangan.
"Bagaimana, Tuan?"
tanya Ramapati sambil melemparkan pedang lawannya pada pemiliknya.
"Phuih!" si Pedang Maut
menyemburkan ludahnya. Jelas sekali wajahnya merah padam menahan rasa malu yang
amat sangat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, si
Pedang Maut langsung meloncat ke luar arena setelah mengambil senjatanya
kembali. Sedangkan Ramapati segera menjura hormat pada Resi Balung Gading,
sebelum kembali ke tempatnya. Sementara suara sorak-sorai masih terdengar
bergemuruh menyambut kemenangan Ramapati.
"Silakan, siapa berikutnya,"
kata Resi Balung Gading memberikan kesempatan.
Dan siang itu pun di halaman
Padepokan Baja Hitam sangat ramai oleh beberapa pertarungan, untuk memenangkan
sayembara yang berhadiah sangat menarik itu. Dan dan beberapa kali pertarungan
itu, yang berhasil lolos dari rintangan pertama hanya dua orang saja. Itu pun
mereka langsung kalah lagi setelah menghadapi rintangan kedua dengan menghadapi
Dewi Cempaka.
Sementara itu matahari terus
bergulir dan makin condong ke arah Barat. Dan para peserta sayembara kini hanya
tinggal Danupaksi dan Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan peserta
lainnya sudah meninggalkan Padepokan Baja Hitam dengan membawa sejuta malu,
tanpa memperoleh apa-apa.
Sejenak Danupaksi memandang ke
arah Rangga yang duduk tidak begitu jauh darinya. Dan pada saat yang bersamaan,
Rangga juga mengarahkan pandangannya ke arah Danupaksi. Tapi tiba-tiba tampak
Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut melihat kalung yang dipakai Danupaksi.
Dia segera bangkit dari duduknya.
Sedangkan tatapannya tetap saja pada kalung yang dipakai Danupaksi. Kemudian
seperti ada yang mengomandoi saja, kedua pemuda itu langsung melangkah
bersamaan ke tengah lapangan arena pertarungan. Sedangkan pandangan mereka
tertuju ke satu titik. Titik yang ada pada bola mata mereka masing-masing.
"Sebentar, Tuan-tuan tidak
boleh maju dengan bersamaan," kata Resi Balung Gading begitu melihat
peserta yang terakhir maju bersamaan.
Rangga dan Danupaksi langsung
menolehkan kepalanya dan menatap ke arah Resi Balung Gading.
"Salah satu dari Tuan harus
bisa bersabar," kata Resi Balung Gading sambil mengangkat tangannya.
"Aku yang mengalah."
"Aku yang belakangan."
Resi Balung Gading terkejut
mendengar kata-kata kedua pemuda di depannya serara bersamaan. Tadinya dia
mengira, bahwa mereka ingin saling mendahului. Keterkejutan itu juga
menghinggapi Rangga dan Danupaksi. Mereka langsung saling pandang kembali.
Entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi pada batin mereka
masing-masing.
"Ayah...," Dewi Cempaka
berbisik. Resi Balung Gading segera mendekatkan kepalanya pada putrinya.
"Sudah sore, Ayah. Sebaiknya sayembara ini dilanjutkan besok pagi
saja," kata Dewi Cempaka berbisik.
"Baiklah," sahut Resi
Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu dua pemuda yang
tengah menanti di arena pertarungan masih saling bertatapan dengan berbagai
perasaan yang berkecamuk didalam dada.
"Putriku meminta, agar
pertarungan ini dilanjutkan besok pagi. Untuk itu, Tuan-tuan kami persilakan
beristirahat dulu, silakan," kata Resi Balung Gading kemudian.
Lalu Resi Balung Gading segera
bangkit dan melangkah masuk diikuti Dewi Cempaka. Sedangkan Danupaksi dan
Rangga pun segera melangkah bersamaan menuju kamar yang telah disediakan untuk
beristirahat.
********************
TIGA
Sebenarnya Pendekar Rajawali
Sakti tidak tertarik sedikit pun pada sayembara itu. Dia datang ke Padepokan
Baja Hitam dalam rangka ingin mengetahui, apakah Pandan Wangi ada di padepokan
itu atau tidak? Masalahnya sayembara itu tersebar luas dan berlaku untuk siapa
saja, tak terkecuali laki-laki atau perempuan. Dan siapa tahu Pandan Wangi ada
di Padepokan Baja Hitam? Tapi ternyata harapannya sia-sia.
Malahan yang didapatkan justru
sesuatu yang membuat dirinya jadi semakin gelisah. Ya.... Kalung itu amat
dikenalnya. Sebuah kalung segitiga dengan lingkaran di dalamnya dan merupakan
perlambang bahwa pemiliknya masih keturunan Adipati Karang Setra. Sejenak
Rangga kembali memperhatikan kalung kepunyaannya.
"Miliknya benar-benar persis
dengan kalung ini. Siapa dia sebenarnya...?" Rangga bertanya-tanya dalam
hati.
Beberapa saat dia tercenung
mengamati kalung itu. Tapi tiba-tiba dia tersentak ketika matanya menangkap
kelebatan seseorang yang mengintip dari balik jendela. Buru-buru dia memasukkan
kembali kalung itu ke dalam kantung celananya. Dan dengan gerakan yang cepat,
dia langsung melompat ke luar kamar.
"Hey...!" seru Rangga
begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke arah rumah yang paling
besar.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
dia langsung mencelat dan mengejar bayangan itu. Hanya dengan dua kali lompatan
saja, dia sudah dapat melewati bayangan itu dan mencegatnya. Betapa terkejutnya
Rangga begitu mengetahui bahwa bayangan itu adalah Dewi Cempaka, putri ketua
Padepokan Baja Hitam.
"Oh, maaf. Aku tidak tahu
kalau…,’’ Rangga buru-buru meminta maaf dengan tersipu-sipu.
"Hm..., ilmu meringankan
tubuhmu hebat sekali. Belum pernah aku dikalahkan dalam ilmu meringankan tubuh,
kecuali olehmu barusan," puji Dewi Cempaka sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Ah, maaf. Kenapa Tuan Putri
tadi mengintaiku?" tanya Rangga tidak peduli dengan pujian tersebut.
"Siapa sebenarnya
kamu?" tanya Dewi Cempaka tanpa menghiraukan pertanyaan Rangga.
"Aku cuma seorang pengembara
miskin yang ingin mengadu nasib," jawab Rangga sambil menundukkan kepala.
"Sikap dan tutur katamu
mencerminkan kalau kau bukan seorang pengembara biasa," kata Dewi Cempaka
meraba-raba dengan dugaan.
Rangga hanya diam. Dalam hatinya
terbersit rasa kagum dengan wawasan gadis cantik ini, hingga dapat menilai
seseorang tanpa menyelidiki lebih dulu.
"Baiklah kalau kau tak mau
berterus terang. Tapi aku yakin, kalau kau datang ke sini bukan untuk sayembara
ini," tebak Dewi Cempaka menyempurnakan dugaannya.
"Apa sebenarnya maksudmu,
Tuan Putri?" tanya Rangga sedikit terkejut.
"Anda tidak pantas
menyebutku demikian, Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," kata Dewi Cempaka
kalem.
"Kau.... Kau tahu siapa
aku...?" Rangga semakin terkejut saja. Dia benar-benar kaget kalau Dewi
Cempaka mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Sejak pertama kau datang
kemari, aku sudah tahu siapa kau sebenarnya, meskipun kau merahasiakannya.
Maaf, kalau penyambutan kami kurang berkenan di hati Gusti Prabu," kata
Dewi Cempaka sambil menjura hormat.
"Hey...!" Rangga jadi
serba salah melihat gadis itu berlutut dengan kedua tangan merapat di depan
hidung.
Pendekar Rajawali Sakti itu
buru-buru menghampiri dan membangunkan Dewi Cempaka, namun gadis itu tetap
menunduk penuh hormat. Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin tidak enak saja
perasaannya.
"Apakah sebenarnya yang
Gusti Prabu cari di padepokan hina ini?" tanya Dewi Cempaka hormat.
"Tunggu dulu, Dewi Cempaka.
Apakah kau yakin kalau diriku seorang raja?" tanya Rangga tidak menjawab
pertanyaan Dewi Cempaka.
"Semua orang di sekitar
lereng Gunung Puting ini sudah tahu, siapa sebenarnya Gusti Prabu," jawab
Dewi Cempaka.
"Siapa yang mengatakan
begitu padamu?" tanya Rangga penasaran.
"Seorang murid Padepokan
Baja Hitam yang sering berkelana di rimba persilatan"
"Lalu, apa hubungannya
dengan pengintaianmu tadi?" tanya Rangga lagi. Ia masih penasaran dengan
tindakan gadis itu yang mengintainya malam-malam begini.
"Terus terang, hamba hanya
ingin memastikan dugaan hamba. Dan sekarang hamba sudah yakin, setelah tadi
hamba melihat Gusti Prabu sedang mengamati kalung itu. Sekali lagi hamba mohon
ampun," Dewi Cempaka menjelaskan.
Rangga terdiam beberapa saat. Dia
jadi teringat dengan Danupaksi yang juga memiliki kalung yang sama persis
dengan yang ia miliki. Kalau Dewi Cempaka mengetahui hal itu, dia tentu juga
memperhatikan kalung yang dikenakan Danupaksi.
"Kalung seperti ini juga
dimiliki oleh Danupaksi, apakah kau melihatnya juga?" tanya Rangga
penasaran.
"Benar, Gusti. Tapi ada
perbedaannya. Dan hamba yakin, kalung Gusti Prabu lah yang asli," jelas
Dewi Cempaka lagi.
"Apa maksudmu?" tanya
Rangga tidak mengerti.
"Kalung yang asli
lingkarannya dapat menyala pada malam hari, dan itu sudah hamba lihat waktu
Gusti Prabu mengeluarkannya di kamar."
"Hm..., jadi kau mengintai
setiap peserta sayembara?" Rangga menduga.
"Benar, tapi itu hamba
lakukan hanya untuk mengetahui kelemahan calon lawan hamba. Lain tidak"
"Jadi, kau sudah tahu
kelemahanku, begitu?"
"Maaf, Gusti. Hamba belum
bisa mengetahuinya."
"Ah, sudahlah. Aku mau
istirahat. Besok pagi aku harus meneruskan perjalanan," kata Rangga seraya
berbalik.
"Maaf, Gusti. Ayahanda sudah
menyiapkan kamar khusus untuk Gusti Prabu tempati malam ini," cegah Dewi
Cempaka.
Rangga sampai berhenti melangkah
mendengarnya. Belum lagi dia sempat mengatakan sesuatu, tampak beberapa murid
padepokan datang menghampiri. Ternyata mereka mengawal Resi Balung Gading.
Begitu mereka sampai di depan Rangga, serentak semuanya menjura hormat, tak
terkecuali Resi Balung Gading sendiri. Rangga jadi salah langkah. Dia juga
tidak dapat menolak lagi, ketika Resi Balung Gading mengundangnya untuk makan
malam.
********************
"Kami semua mohon maaf atas
kelancangan dan penyambutan yang tidak berkenan di hati Gusti Prabu," kata
Resi Balung Gading setelah mereka menikmati santapan malam.
"Sudahlah, tidak perlu Resi
bersikap begitu padaku," kata Rangga merendah.
"Maaf, Gusti Prabu. Ada
maksud apa sebenarnya hingga Gusti Prabu berkenan mengunjungi padepokan hamba
ini?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku cuma kebetulan
lewat," sahut Rangga kalem.
"Kalau Gusti Prabu memang
berniat mengikuti sayembara ini, hamba akan segera menutupnya, dan dengan
senang hati hamba akan menyerahkan Dewi Cempaka untuk diboyong ke istana Karang
Setra," kata Resi Balung Gading lagi.
Sementara itu Dewi Cempaka yang
duduk di samping ayahnya hanya terduduk tersipu. Tentu saja Rangga dapat
melihat paras cantik yang bersemu kemerahan itu. Dewi Cempaka memang cantik,
tapi bukan itu tujuan Rangga datang ke Padepokan Baja Hitam. Bagaimanapun juga,
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa melupakan cinta pertamanya pada Pandan
Wangi, yang kini entah berada di mana.
"Masih ada satu peserta
lagi, Resi," Rangga mengingatkan.
"Ah, hamba yakin. Kalau
Gusti pasti mampu membuatnya angkat kaki dari sini," jawab Resi Balung
Gading sopan.
"Maaf, Resi. Hamba sudah
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan besok pagi," kata Rangga.
"Oh...," Resi Balung
Gading melongo.
Sedangkan Dewi Cempaka langsung
mengangkat kepalanya. Dia seperti tidak percaya dengan pendengarannya. Gadis
itu memang sudah tertarik dengan Rangga sejak pertama kali melihat, dan dia
sudah merencanakan untuk mengalah dalam pertarungan nanti. Tapi kini rencananya
langsung lenyap setelah mendengar kata-kata Rangga barusan. Harapannya yang
telah timbul, langsung sirna seketika.
"Gusti, apakah putri hamba
terlalu hina untuk..."
Tidak, Resi," cepat-cepat
Rangga memotong. "Dewi Cempaka sangat cantik, pandai dan sangat tinggi
ilmunya. Aku senang dapat berkenalan dengan putrimu, Resi."
"Tapi..., kenapa Gusti
me...."
"Aku tidak menolak.
Sebenarnya aku datang ke sini ada maksud yang sangat pribadi sifatnya. Maaf,
mungkin aku telah mengecewakan Resi dan Dewi Cempaka."
"Oh, tidak.... Tidak, sama
sekali tidak mengecewakan. Bahkan kami merasa mendapat kehormatan dengan
kunjungan Gusti ke sini," buru-buru Resi Balung Gading menyahuti.
"Kalau begitu lanjutkan saja
sayembara ini, aku ingin melihat peserta yang sudah menunggu sejak
kemarin," kata Rangga.
"Baiklah, Gusti. Hamba akan
melanjutkan sayembara ini," sahut Resi Balung Gading.
Setelah berbasa-basi sebentar,
Rangga segera mohon diri untuk istirahat. Sedangkan Resi Balung Gading
memerintahkan pada salah seorang muridnya untuk menunjukkan kamar Rangga. Kamar
khusus yang disediakan untuk tamu kehormatan.
"Ayah...," bisik Dewi
Cempaka setelah Rangga tidak ada lagi di ruangan itu.
"Ada yang ingin kau katakan,
Anakku?" sahut Resi Balung Gading.
"Bagaimana kalau Danupaksi
yang memenangkan sayembara ini?" ada nada kekhawatiran pada suara Dewi
Cempaka.
"Siapa saja yang memenangkan
sayembara ini, pantas menjadi suamimu," jawab Resi Balung Gading tegas.
"Tapi, Ayah...."
"Danupaksi tidaklah jelek.
Dia pemuda tampan dan kelihatannya tidak sombong dan angkuh. Ayah yakin, kalau
Danupaksi seorang pendekar beraliran putih. Kita lihat saja besok."
"Kalau aku berhasil
mengalahkan Danupaksi, mau kan Ayah meminta Gusti Prabu untuk mengikuti
sayembara ini?" pinta Dewi Cempaka ragu-ragu.
"Ha ha ha..., rupanya kau
sudah...," tebak Resi Balung Gading.
"Ayah!"
"Baik, baiklah. Semoga saja
Gusti Prabu berkenan. Tapi aku juga harus menyarankanmu, jangan bersikap
mengalah. Itu bukan sikap seorang pendekar. Ayah yakin, kalau kau bersikap
mengalah, Gusti Prabu tidak akan mau menerimamu, mengerti?"
"Aku usahakan, Ayah."
"Tidurlah, kau harus
mempersiapkan diri untuk besok."
"Selamat malam, Ayah."
"Ya."
Pagi-pagi sekali, di depan rumah
besar tempat kediaman Resi Balung Gading, sudah berkumpul murid-murid Padepokan
Baja Hitam. Mereka semua menunggu dimulainya lagi sayembara yang sangat menarik
itu. Tampak di tengah-tengah arena, Danupaksi berdiri tegak dengan tatapan
lurus ke arah tempat duduk Resi Balung Gading. Sementara Pendekar Rajawali
Sakti sudah mengundurkan diri dari sayembara itu setelah penyamarannya
diketahui oleh seluruh penghuni padepokan.
"Kau adalah satu-satunya
peserta sayembara untuk hari ini, Tuan Danupaksi. Untuk itulah aku memberimu
kelonggaran. Kau bisa langsung berhadapan dengan putriku tanpa melewati
rintangan pertama dulu," kata Resi Balung Gading.
"Maaf, Resi. Sebaiknya
gunakan saja peraturan yang sudah ada," tolak Danupaksi merendah.
"Maaf, aku memang sengaja
merubah, karena sudah lelah menghadapi sayembara ini," kata Resi Balung
Gading lagi.
"Baiklah, kalau itu
keinginanmu, Resi," kata Danupaksi akhirnya.
"Nah, mulailah!"
Dewi Cempaka langsung melompat ke
tengah-tengah arena dengan gerakan yang ringan.
"Aku persilakan kau
menyerang dulu, Tuan Danupaksi," kata Dewi Cempaka datar suaranya.
"Baiklah," Danupaksi
segera memasang kuda-kuda untuk menyerang walaupun agak ragu-ragu.
"Tidak perlu sungkan, ayo
serang aku!"
Danupaksi segera melompat seraya
mengirimkan pukulan yang cepat dan beruntun.
"Hait...!"
Des.... Des!
Dua tangan langsung beradu dengan
keras beberapa kali. Sejenak Danupaksi melompat mundur tiga langkah untuk
memasang jurus berikutnya. Sedangkan Dewi Cempaka masih tetap berdiri tegak
dengan pandangan mata yang tajam. Danupaksi tak menduga sama sekali kalau
tangannya sampai bergetar begitu beradu dengan tangan Dewi Cempaka. Rupanya
kabar tentang gadis itu bukan omong kosong belaka. Terbukti dari tenaga
dalamnya cukup tinggi, bahkan hampir mencapai taraf kesempurnaan.
Danupaksi tak bisa menganggap
remeh gadis itu. Maka dia segera menyerang kembali dengan jurus-jurus tangan
kosong yang pendek dan cepat. Sedangkan Dewi Cempaka pun langsung
mengimbanginya dengan cepat dan tepat. Pertarungan terus berlangsung dengan
seru dan sengit, walau sudah tampak kecenderungan kalau Danupaksi terdesak.
Pada suatu saat yang tepat, Dewi
Cempaka berhasil menyarangkan pukulan telaknya ke dada Danupaksi.
"Ugh?!" keluh Danupaksi
pendek.
Tubuhnya langsung tersuruk ke
tanah dengan keras. Tapi tak berapa lama dia bangkit lagi seraya menyeka darah
yang ke luar dari bibirnya.
"Bagaimana, Tuan Danupaksi.
Apa masih bisa dilanjutkan?" kata Dewi Cempaka.
"Sudah, sudah cukup,"
sahut Danupaksi pelan.
"Den...!" seru Pangkeng
terkejut mendengar keputusan Danupaksi.
"Tunggu dulu!" sentak
Resi Balung Gading begitu melihat Danupaksi mau pergi.
"Maaf, Resi. Aku mengaku
kalah dan tidak berhak mendapat hadiah darimu," kata Danupaksi merendah.
"Kau belum kalah, aku tahu
kau sengaja mengalah. Kenapa?" Resi Balung Gading tidak mengerti.
"Putrimu jauh lebih tinggi
ilmunya dariku," sahut Danupaksi.
"Sungguh tidak kusangka,
seorang pendekar sepertimu begitu lemah dan kerdil jiwanya!" gumam Resi
Galung Gading.
Kata-kata yang pelan itu sangat
menusuk hati Danupaksi. Seketika mukanya merah menahan marah.
"Resi, kuakui. Aku memang
sengaja mengalah. Karena aku mempunyai persoalan yang lebih penting daripada
persoalan sepele ini!" geram Danupaksi.
Kau sudah mengikuti sayembaraku,
maka kau harus mematuhi syaratnya!" tegas kata-kata Resi Balung Gading
karena kesal melihat Danupaksi mengalah.
"Aku sudah mengikuti
syarat-syaratmu, Resi dan aku kalah. Bila kau belum puas, aku akan datang lagi
setelah urusanku selesai!"
Setelah berkata begitu, Danupaksi
segera melompat ke punggung kudanya yang tertambat di pohon. Sedangkan Pangkeng
langsung mengikuti dari belakang. Kemudian dua kuda itu langsung melesat cepat
meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Sementara Resi Balung Gading masih terhenyak
memandang kepergian anak muda itu. Dia begitu terpukul mendengar kata-katanya
tadi.
Tapi yang lebih terpukul lagi
adalah Dewi Cempaka. Kata-kata itu seperti merendahkan harga dirinya sebagai
seorang wanita. Bagaimana tidak, Danupaksi telah mengatakan bahwa dia sengaja
mengalah. Bukankah hal itu bisa diartikan bahwa dia tidak butuh hadiah pertama?
Sementara Dewi Cempaka dengan rela dijadikan hadiah pertama.
"Cempaka...!" seru Resi
Balung Gading terkejut.
Tapi Dewi Cempaka terus berlari
dan tidak menghiraukan lagi panggilan ayahnya. Mendadak saja dia jadi malu,
tidak sanggup lagi bertemu muka dengan para murid padepokan. Dia baru menyadari
bahwa sikap mereka yang begitu menghormatinya mungkin hanya di luarnya saja,
karena dirinya putri guru mereka. Pantas saja Rangga menolak mentah-mentah
tanpa memberikan alasan yang tepat. Sungguh memalukan!
********************
"Cempaka...,
Cempaka...!" panggil Resi Balung Gading seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar
putrinya.
Tidak ada sahutan dari dalam.
Pintu kamar itu tetap saja tertutup rapat. Dia kembali mengetuk dan memanggil.
Tapi tetap saja tidak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Tidak sabar dan
penasaran oleh keadaan itu, Resi Balung Gading segera mencoba membuka pintu.
Ternyata pintu itu tidak terkunci! Maka dengan pelan-pelan dia mendorongnya...,
segera tampak Dewi Cempaka menelungkupkan diri di atas pembaringan.
"Cempaka...," panggil
Resi Balung Gading berbisik.
"Untuk apa Ayah kemari! Mau
membujukku?" sentak Dewi Cempaka seraya membalikkan tubuhnya. Tampak di
kedua matanya yang merah, telah dipenuhi dengan air bening.
"Kau menangis, Anakku? Kau
menangis...?" Resi Balung Gading bagai tak percaya melihat putrinya
menangis. Entah kenapa, Dewi Cempaka segera menghentikan tangisnya begitu Resi
Balung Gading memeluk tubuhnya. Sungguh Resi Balung Gading begitu gembiranya
melihat putrinya menangis. Tidak pernah selama ini dia melihat putrinya
menangis. Begitu bahagianya dia, sampai-sampai tak menyadari kalau ada setitik air
bening yang bergulir di pipinya.
"Ayah.... Ayah
menangis...?" Dewi Cempaka terheran-heran melihat ayahnya menangis begitu
dia melepaskan pelukannya.
"Ayah begitu bahagia,
Anakku...," tersendat suara Resi Balung Gading.
"Ayah gembira melihat aku
kehilangan muka?" Dewi Cempaka makin tidak mengerti.
"Bukan..., bukan itu,
Cempaka. Ayah gembira karena kau benar-benar seorang wanita."
"Jadi, selama ini Ayah
menganggapku apa?"
"Sembilan belas tahun aku
belum pernah melihatmu menangis. Aku gembira, Anakku. Bahagia melihatmu bisa
menangis."
Betapa terharunya Dewi Cempaka.
Dia langsung memeluk ayahnya kembali.
"Kalau saja ibumu masih
hidup...," suara Resi Balung Gading masih tersendat setelah melepaskan
pelukannya.
"Ayah...," Dewi Cempaka
segera memutuskan kata-kata ayahnya.
"Kau sangat mirip dengan
ibumu, Anakku. Bedanya dia tidak memiliki kekuatan apa pun. Seandainya dia
sepertimu, mungkin nasibnya tidak akan seburuk itu. Kalau saja tidak ada
Wanapati, mungkin kau juga akan binasa di tangan mereka. Wanapati... Heh!"
tiba-tiba Resi Balung Gading tersentak.
"Ada apa, Ayah?" Dewi
Cempaka terkejut.
"Danupaksi...," gumam
Resi Balung Gading.
"Ayah...," Dewi Cempaka
makin tak mengerti.
"Ya, Danupaksi itu adalah
muridnya Wanapati. Aku kenal betul dengan jurus-jurusnya," Resi Balung
Gading tidak mengindahkan keheranan putrinya.
Dewi Cempaka geleng-geleng
kepala. Dia jadi tidak mengerti dengan sikap ayahnya itu. Dan ayahnya pun tidak
memberikan penjelasan...
Tiba-tiba dia teringat dengan
kalung segitiga yang dipakai Danupaksi. Sebuah kalung yang sama persis dengan
milik Rangga, Raja Karang Setra.
"Mustahil kalau Wanapati
mengutus muridnya untuk mengikuti sayembara. Ini tidak mungkin terjadi!"
gumam Resi Balung Gading masih belum menyadari kalau gumamannya didengar
putrinya.
"Ada apa sebenarnya,
Ayah?" Dewi Cempaka makin penasaran.
"Danupaksi..., mengapa dia
sampai ikut sayembara?"
"Ayah, bukankah itu sudah
berlalu? Danupaksi sudah pergi dan aku...."
Resi Balung Gading langsung
menatap putrinya dalam-dalam.
"Aku harus menyelidikinya,
Ayah," kata Dewi Cempaka.
"Cempaka, apa
maksudmu?" Resi Balung Gading agak kaget juga.
"Danupaksi mempunyai tanda
Kerajaan Karang Setra!"
"Tanda...!? Maksudmu?"
"Dia memiliki kalung yang
sama persis dengan milik Gusti Prabu Rangga. Bukankah Ayah pernah menceritakan
tentang keluarga Adipati Karang Setra, sebelum menjadi kerajaan?"
Resi Balung Gading
mengangguk-angguk.
"Kalung segitiga dengan
beberapa lingkaran di dalamnya hanya ada satu."
"Benar."
"Tapi mengapa Danupaksi juga
memilikinya?"
"Dewi Cempaka! Dari mana kau
tahu semua itu?" Resi Balung Gading tersentak.
"Aku melihatnya sendiri,
Danupaksi memang memakai kalung seperti itu!"
"Astaga...!!!" Resi
Balung Gading menepuk keningnya sendiri.
"Di mana Gusti Rangga
sekarang?" tanya Dewi Cempaka.
"Dia sudah pergi,"
sahut Resi Balung Gading. "Cempaka, aku akan pergi ke Gunung Puting. Kau
jangan ke mana-mana sampai aku kembali!"
"Aku ikut!"
"Jangan! Kau harus tetap di
sini sebelum aku kembali!"
Dewi Cempaka jadi diam. Dia tahu
kalau ayahnya memang terikat janji aneh dengan Resi Wanapati di Gunung Puting.
Meskipun dia tidak mengerti isinya. Kini dia hanya diam merenungkan sejuta
pertanyaan yang berkecamuk di benaknya!
********************
EMPAT
Resi Wanapati sangat terkejut
ketika melihat kedatangan Resi Balung Gading. Dengan kepala yang masih diliputi
berbagai macam pertanyaan, dia segera menyambut juga kedatangan sahabatnya itu.
Melihat sikap dan sorot mata Resi Balung Gading Gading, Resi Wanapati sudah
bisa menduga kalau ada persoalan berat di benaknya.
"Ada apa gerangan, sehingga
kau menyempatkan datang sendiri ke tempatku, Balung Gading?" tanya Resi
Wanapati ramah.
"Apakah kau telah mengirim
muridmu mengikuti sayembaraku, Wanapati?" tanya Resi. Balung Gading
langsung pada pokok persoalannya.
Tentu saja Resi Wanapati terkejut
bukan main dengan pertanyaan itu! Dia sama sekali tidak mengirimkan muridnya
seorang pun!
"Dia memang tidak
menyebutkan berasal dari mana, tapi aku sangat hapal dengan jurus-jurus yang
digunakannya," kata Resi Balung Gading lagi.
"Siapa namanya?" tanya
Resi Wanapati ingin tahu.
"Danupaksi! Dan dia datang
bersama pembantunya yang bernama Pangkeng. Apa benar ada muridmu yang bernama
Danupaksi?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Benar," sahut Resi
Wanapati pelan. Dia sangat menyesali tindakan muridnya yang dianggapnya begitu
lancang.
"Wanapati! Sudah lupakah kau
dengan perjanjian kita?" sentak Resi Balung Gading marah.
"Tenang dulu, Balung Gading.
Akan aku jelaskan dulu persoalannya," kata Resi Wanapati tidak terpancing
emosi. "Danupaksi memang muridku, bahkan lebih dari itu, dia sudah
kuanggap sebagai anakku sendiri. Dan dia baru saja turun gunung setelah
menyelesaikan pelajaran terakhir yang kuberikan. Tapi aku sama sekali tidak
pernah menyuruhnya untuk ke padepokanmu, apalagi mengikuti sayembara,"
ujar Resi Wanapati berusaha menjelaskan.
"Sebenarnya ke mana
tujuannya?" tanya Resi Balung Gading, sedikit reda amarahnya.
"Kerajaan Karang
Setra," jawab Resi Wanapati singkat.
"Sudah kuduga...,"
gumam Resi Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Balung Gading, aku terpaksa
menceritakan apa yang hanya menjadi dugaanku. Soalnya aku sendiri belum
mengetahui dengan jelas. Aku hanya mengatakan, mungkin dia berasal dari Karang
Setra dan..."
"Kau berikan kalung
itu?" Resi Balung Gading memotong cepat.
"Dia sudah berumur dua puluh
tahun. Aku rasa, kau masih ingat butir-butir perjanjian kita, Balung
Gading."
"Tapi kau terlalu cepat,
Wanapati. Huh...! Kalau saja kemarin sampai terjadi..., entah kutukan apa yang
akan menimpa kita," keluh Resi Balung Gading.
"Danupaksi berhasil
mengalahkan putrimu?" tanya Resi Wanapati.
"Dia mengalah."
"Maksudmu?"
"Aku sendiri tidak tahu.
Bahkan semula aku telah mengira, bahwa kau sengaja mengutusnya mengikuti
sayembara untuk menghinaku," kata Resi Balung Gading jujur.
"Ha ha ha..., ada-ada saja
kau ini, Balung Gading," Resi Wanapati menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maafkan aku, Wanapati. Aku
terlalu dibawa emosi," sesal Resi Balung Gading.
"Ah, sudahlah. Yang penting
semuanya sudah terhindar. Bagaimana dengan Dewi Cempaka?"
"Dia merasa terhina.
Lebih-lebih setelah Resi Balung Gading tidak melanjutkan kata-katanya.
"Boleh aku tahu?" Resi
Wanapati penasaran.
"Gusti Prabu Rangga! Dia
juga datang ke padepokanku," ujar Resi Balung Gading terus terang.
"Apakah kau tidak salah
lihat?" Resi Wanapati sedikit ragu.
"Dewi Cempaka sendiri yang
melihat tandanya," Resi Balung Gading tetap kalem.
"Maksudmu?" tanya Resi
Wanapati tak sabaran.
"Ia mengenakan kalung
segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya," jawab Resi Balung
Gading.
"Apa...?" Resi Wanapati
terlonjak dari duduknya.
"Itulah persoalannya. Aku
sendiri tidak mengerti, kenapa kalung itu bisa ada dua!"
"Apa sekarang Gusti Prabu
Rangga masih ada di padepokanmu?" tanya Resi Wanapati.
"Tidak, dia sudah
pergi."
Resi Wanapati tampak mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Apa yang selama ini mereka khawatirkan, akhirnya akan
terjadi juga. Dua puluh tahun mereka selalu mentaati janji, tidak saling
berkunjung dan tidak saling mengenalkan muridnya masing-masing. Tapi semua jadi
berantakan dengan datangnya Danupaksi ke Padepokan Baja Hitam. Dan dia tidak
menyalahkan Danupaksi secara total. Semua itu juga akibat dari ketertutupan
mereka.
"Mungkin sudah saatnya kita
saling membuka diri, Wanapati," kata Resi Balung Gading pelan.
"Ya, aku juga sedang
berpikir demikian," sahut Resi Wanapati.
"Dan kita harus membuka
rahasia ini pada Gusti Prabu Rangga dan Danupaksi."
"Juga Dewi Cempaka,"
usul Wanapati.
"Yah.... Itu memang
satu-satunya jalan. Bagaimanapun juga, akhirnya kita memang harus kehilangan
orang-orang yang kita cintai," keluh Resi Balung Gading.
"Kau menyesal?"
"Buat apa? Kehidupan kan
memang begitu!"
********************
Dewi Cempaka menggeleng-gelengkan
kepalanya beberapa kali. Dia sangat tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Bagaimana mungkin dia mau percaya? Selama ini yang dia tahu Resi Balung Gading
adalah ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal waktu dia masih bayi. Tapi
mengapa tiba-tiba justru ayahnya yang mengatakan bahwa dia sebenarnya bukan
anaknya? Bahkan kata-kata ayahnya diperkuat oleh Resi Wanapati, seorang yang
tahu betul riwayat hidupnya. Bukankah hal itu memaksa dia harus percaya, bahwa
dia memang bukan anak Resi Balung Gading? Sungguh! Dewi Cempaka benar-benar
bingung menghadapi dilema macam itu!
"Tidak...! Tidak
mungkin," Dewi Cempaka kembali menggeleng-gelengkan kepalanya untuk
kesekian kalinya.
"Aku mengatakan yang
sebenarnya.
Dewi Cempaka. Maafkan kalau
selama ini aku telah mendustaimu dengan cerita-cerita kosong tentang ibumu.
Tapi percayalah, Cempaka. Itu semua aku lakukan demi kebaikan kita semua,"
kata Resi Balung Gading bergetar suaranya.
"Tidak, Ayah. Tidak...
Katakan kalau Ayah berdusta. Katakan kalau itu tidak benar!" rintih Dewi
Cempaka.
"Dewi Cempaka, hadapilah
semua kenyataan ini dengar. hati lapang. Semua yang terjadi di dunia ini sudah
kehendak Yang Maha Kuasa," kata Resi Wanapati lembut.
"Tapi mengapa baru sekarang
menceritakannya? Kenapa?" tinggi suara Dewi Cempaka. Tangisnya tidak bisa
dibendung lagi.
Kedua laki-laki tua itu tidak
mampu menjawabnya. Mereka hanya saling pandang dan tertegun saja. Mereka
benar-benar baru menyadari, kalau tindakannya selama ini adalah salah. Tapi,
apa yang mereka alami dulu benar-benar telah memaksa mereka untuk melakukan hal
seperti itu. Kini, untuk membuktikan semuanya juga tidak mudah. Tidak ada lagi
saksi yang hidup! Semua telah tewas dalam peristiwa tersebut. Peristiwa yang
terjadi di dekat Danau Cubung.
"Siapa orang tuaku
sebenarnya, Ayah. Katakan, siapa?" desak Dewi. Cempaka masih bercucuran
air mata.
"Sebenarnya aku sendiri juga
tidak tahu," sahut Resi Balung Gading pelan. Dia ikut terbawa emosinya
dalam keharuan itu.
"Bohong! Ayah pasti tahu,
siapa orang tuaku!" makin keras saja suara tangis Dewi Cempaka.
"Benar, Cempaka. Kami
benar-benar tidak tahu, siapa sebenarnya orang tua kalian," sambung Resi
Wanapati.
"Kalian...?" Dewi
Cempaka langsung menoleh ke arah Resi Wanapati Dia benar-benar terkejut dan
ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi selama ini.
"Ya, kau dan
Danupaksi," lanjut Resi Wanapati menguatkan diri.
"Jadi...?" rasa
kebahagiaan dan kekecewaan bercampur jadi satu di dada Dewi Cempaka.
"Kami tidak tahu, apakah kau
bersaudara dengan Danupaksi atau tidak. Yang jelas, pada saat itu kami telah
menolong seorang bocah laki-laki yang ibunya telah meninggal dan seorang wanita
yang sedang hamil tua. Hal itu kami lakukan karena mendapat amanat dari seorang
laki-laki yang kemudian meninggal dunia karena luka-lukanya yang parah,"
Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa laki-laki
tersebut?" Dewi Cempaka agak susut air matanya.
"Sayang aku tidak kenal
namanya. Tapi aku kenal pakaiannya. Dia seorang punggawa dari Kadipaten Karang
Setra."
Dewi Cempaka tampak terdiam
beberapa saat.
"Aku harus menyusul
Danupaksi!" kata Dewi Cempaka tiba-tiba.
"Cempaka...!" sentak
Resi Balung Gading.
Tapi Dewi Cempaka sudah keburu
lari ke luar. Sedangkan Resi Balung Gading yang ingin mengejarnya, langsung
dicegah oleh Resi Wanapati.
"Biarkan dia pergi, Balung
Gading," bujuk Resi Wanapati.
"Tapi...."
"Ingat kesepakatan kita,
Balung Gading," Resi Wanapati mengingatkan.
Resi Balung Gading kembali
terduduk lesu.
********************
Sementara itu tampak Dewi Cempaka
sedang memacu kudanya dengan cepat meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Jiwanya
benar-benar guncang menghadapi kenyataan yang tidak pernah diimpikannya selama
ini. Dan dia harus pergi! Harus membuktikan kata-kata kedua orang tua itu!
"Hoooh...!" Dewi
Cempaka tiba-tiba menghentikan lari kudanya.
Di depannya tampak seorang pemuda
yang sudah dia kenal, walau hanya beberapa saat. Tidak jauh dari tempat duduk
pemuda itu, ada seekor kuda hitam yang tinggi dan kekar sedang merumput. Pemuda
yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu, segera menoleh begitu merasa
ada orang yang menghampirinya. Kemudian dia langsung tersenyum begitu melihat
Dewi Cempaka menghampirinya setelah turun dari kudanya.
"Kau tampak tergesa-gesa
sekali, ada apa?" sapa Rangga lebih dulu.
"Ah tidak. Apakah Gusti
Prabu melihat Danupaksi lewat sini?" Dewi Cempaka segera menjura hormat.
"Janganlah bersikap begitu,
Cempaka. Marilah kita ngobrol seperti seorang teman saja," ajak Rangga
ramah.
Dewi Cempaka hanya diam.
"Panggil saja aku dengan
sebutan kakang," saran Rangga.
"Baiklah, Kakang," Dewi
Cempaka menurut.
"Apakah yang ingin kau
tanyakan tadi?"
"Kakang tidak melihat
Danupaksi," Dewi Cempaka mengulangi pertanyaannya.
"Tidak, memangnya
kenapa?"
"Ada yang ingin aku tanyakan
padanya."
"Kalau boleh aku tahu,
tentang apa?" tanya Rangga penasaran. Tanpa ragu-ragu lagi Dewi Cempaka
segera menceritakan semuanya dengan singkat dan jelas. Sedangkan Rangga
mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sejenak dia agak kaget, setelah
mendengar cerita itu. Dia segera mengolah kata-kata yang diucapkan Dewi
Cempaka. Di benaknya segera timbul macam-macam dugaan yang selama ini juga dia
pikirkan.
"Jadi, mereka belum yakin
kalau kalian bersaudara?" tanya Rangga setelah Dewi Cempaka selesai
bercerita.
"Itulah yang ingin
kuketahui, Kakang," sahut Dewi Cempaka.
"Lalu, kenapa kau ingin
menanyakan hal itu pada Danupaksi?" tanya Rangga penasaran.
"Kata Eyang Resi Wanapati,
Danupaksi umurnya lebih tua satu tahun dariku. Siapa tahu dia bisa mengingat
sesuatu," sahut Dewi Cempaka memberikan alasan.
"Umur satu tahun belum bisa
mengingat apa-apa, Cempaka."
"Lalu, aku harus
bagaimana?" keluh Dewi Cempaka kebingungan.
Rangga pun jadi bingung untuk
menjawab. Dia hanya bisa menarik napas panjang, mendesah! Dalam hatinya dia
sudah merasakan bahwa perjalanannya bakal tertunda lagi. Dia jadi tertarik
untuk mengetahui permasalahan ini sampai tuntas dan jelas. Apalagi dia tahu,
bahwa Danupaksi juga memiliki kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di
tengahnya. Sebuah kalung yang menjadi tanda, bahwa pemiliknya masih keturunan
Adipati Arya Permadi. Dan berarti saudaranya satu ayah.
Kalung itu juga dimiliki Wira Permadi
yang sudah tewas karena tabiatnya yang kurang baik dan mementingkan diri
sendiri. Rangga menyadari, bahwa ayahnya bukannya tidak mungkin mempunyai anak
lain yang diperoleh dari selir-selirnya, dan membekali dengan satu benda
sebagai tanda persaudaraan.
"Apakah kau pernah mendengar
cerita tentang rombongan Adipati Karang Setra yang dibegal?" tanya Rangga.
"Ya, Ayahanda Resi Balung
Gading pernah menceritakan hal itu semuanya padaku," sahut Dewi Cempaka.
"Semuanya...?!" Rangga
mengerutkan keningnya.
"Iya, bahkan tentang
dirimu."
"Hm..., dari mana dia tahu
semua itu?" gumam Rangga.
"Aku juga tidak tahu.
Ayahanda Balung Gading tidak pernah menceritakan asal-usulnya."
Beberapa saat kemudian Pendekar
Rajawali Sakti itu bangkit dari duduknya.
"Kakang Rangga mau ke
mana?" tanya Dewi Cempaka begitu melihat Rangga naik ke punggung kuda
hitamnya.
"Makan. Mau ikut?"
"Boleh."
"Ayo, cepat!"
********************
LIMA
Tampak Danupaksi dan Pangkeng
sudah berada di depan pintu gerbang Kerajaan Karang Setra. Saat itu hari sudah
hampir senja, sedangkan di ufuk Barat sana, matahari sudah hampir
menenggelamkan diri di pembaringannya. Mereka langsung dihadang oleh dua orang
prajurit yang menjaga pintu gerbang kerajaan.
Tapi belum sempat dua prajurit
itu menanyakan perihalnya, mereka langsung terkejut begitu melihat kalung yang
dipakai Danupaksi. Kemudian tanpa berkata apa-apa, salah seorang prajurit itu
langsung membawa tamunya untuk menghadap pembesar kerajaan, yaitu Ki Lintuk dan
Bayan Sudira.
Danupaksi sendiri jadi keheranan,
kenapa dia dihadapkan pada pembesar kerajaan yang sangat dihormati itu. Dia
juga tidak mengerti, bahwa kalung yang dikenakannya bakal menjadi persoalan.
"Siapa namamu, Anak
Muda?" tanya Ki Lintuk.
"Hamba bernama Danupaksi,
Gusti. Dan ini teman hamba, namanya Pangkeng," Danupaksi memperkenalkan
diri dengan hormat.
"Dari mana kalian
berasal?" tanya Bayan Sudira.
"Hamba berasal dari Gunung
Puting, Gusti," jawab Danupaksi.
"Lalu apa maksud kedatangan
kalian di Karang Setra ini?" tanya Ki Lintuk lagi.
"Hamba hanya menjalankan
perintah guru hamba, Eyang Resi Wanapati. Beliau mengatakan, bahwa di Kerajaan
Karang Setra ini hamba bisa menemukan orang tua hamba, Gusti."
Ki Lintuk segera menoleh ke arah
Bayan Sudira. Sejenak mereka saling berpandangan.
"Bagaimana ceritanya,
sehingga kau ingin mencari orang tuamu di sini?" tanya Bayan Sudira.
Tanpa diminta dua kali, Danupaksi
segera menceritakan semua yang didengarnya dari Resi Wanapati.
"Ketahuilah, Danupaksi.
Bahwa kalung yang kau pakai itu merupakan tanda pengenal dari keturunan Adipati
Arya Permadi. Tapi kami belum bisa begitu saja percaya, bahwa kau masih
keturunan beliau, sebelum membuktikan dulu kebenarannya," kata Ki Lintuk.
"Maaf, Gusti. Hamba sama
sekali tidak tahu menahu tentang masalah itu. Lebih-lebih tentang kalung ini.
Hamba baru mengenakan setelah Eyang Resi Wanapati memberikannya beberapa hari
yang lalu. Dan kata beliau, bahwa kalung ini milik hamba. Hanya itu,
Gusti," kata Danupaksi.
"Kau tidak perlu khawatir,
Danupaksi. Para pembesar kerajaan di sini memang sedang berusaha mengumpulkan
kembali keluarga kerajaan yang terpisah-pisah," kata Ki Lintuk lagi.
"Bukan itu saja, Danupaksi.
Saat ini pun raja kami sedang mengembara juga untuk tujuan itu," sambung
Bayan Sudira.
"Ya, bahkan sampai sekarang
Gusti Prabu Rangga Pati Permadi belum juga kembali," Ki Lintuk menimpali.
"Rangga...?" Danupaksi
terkejut mendengar nama itu.
"Iya, kenapa?"
"Sebentar, Gusti. Apakah
beliau seorang pemuda yang mengenakan baju rompi putih dan bersenjata pedang
yang gagangnya berbentuk kepala burung? Dan bergelar Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya Danupaksi ingin memastikan.
"Benar, dari mana kau
tahu?" tanya Ki Lintuk penasaran.
"Hamba pernah bertemu dengan
beliau, Gusti."
"Di mana?" Bayan Sudira
tak sabar.
"Di Padepokan Baja
Hitam."
"Kakang, sebaiknya kita
kirimkan satu pasukan untuk menjemputnya," kata Bayan Sudira.
"Benar, Adi Bayan Sudira.
Pencarian beliau akan sia-sia," sambung Ki Lintuk. "Cepat kita
siapkan segalanya."
"Tunggu!" cegah
Danupaksi begitu melihat Bayan Sudira bangkit.
"Ada apa?"
"Sebaiknya hamba ikut,
Gusti. Kalau memang beliau saudara hamba, maka dengan senang hati hamba akan
mengabdikan diri pada Kerajaan Karang Setra," kata Danupaksi.
"Bagaimana, Kakang?"
tanya Bayan Sudira.
"Baiklah, sekalian kau
selidiki siapa sebenarnya Eyang Resi Wanapati," sahut Ki Lintuk. "Aku
curiga, jangan-jangan dia adalah punggawa yang berhasil lolos."
"Baik, Kakang. Aku akan
berangkat"
********************
Tampak Ki Lintuk sedang memacu
kudanya dengan cepat menuju ke Utara. Dia sungguh-sungguh penasaran dengan
kalung yang ada pada Danupaksi, hingga semalaman dia tidak dapat tidur lantaran
begitu gelisahnya. Bagaimana mungkin kalung seperti itu lebih dari satu?
Untunglah dia segera sadar dan ingat pada seseorang yang mungkin bisa menjawab
segala pertanyaan yang berkecamuk di dalam benaknya.
Tidak berapa lama kemudian
sampailah dia pada sebuah pondok kecil dan kumuh yang berdiri di antara
kerimbunan pohon. Sebuah pondok kecil milik Nyai Pirih! Setelah turun dari
kudanya, tampak Ki Lintuk segera mempercepat langkah kakinya menuju pintu
pondok Nyai Pirih. Tapi belum juga dia mencapai pintu pondok, seorang perempuan
tua bungkuk dan kurus sudah ke luar dari dalam pondok. Dia segera berdiri di
depan pondok dibantu tongkat yang berkeluk-keluk seperti ular.
Belum juga Ki Lintuk sampai di
pintu pondok, tampak seorang nenek tua dengan tongkat berlekuk-lekuk seperti
ular telah berdiri menyongsongnya.
"Hik hik hik... Pasti ada
persoalan penting sehingga kau sudi datang kemari, Lintuk," Nyai Pirih
terkikik. "Soal kalung itu lagi, ya?!"
"Sudah lama sekali kau tidak
datang ke sini lagi, Lintuk," kata perempuan itu sebelum Ki Lintuk sempat
permisi. Suaranya terdengar serak dan parau.
"Maaf, Nyai. Aku sibuk
sekali, lebih-lebih sekarang ini tampuk pemerintahan berada di pundakku.
Bagaimana kabarmu, Nyai Pirih?"
"Aku baik-baik saja, ayo
masuk."
"Terima kasih, Nyai. Aku
hanya ada keperluan sebentar kok."
"Kelihatannya ada sesuatu
yang penting...," gumam Nyai Pirih.
"Benar, dan ini menyangkut
keluarga Gusti Adipati Arya Permadi."
"Aaah..., ada persoalan apa
lagi?"
"Tentang kalung itu,
Nyai," Ki Lintuk langsung pada tujuannya.
"Hik hik hik... Sudah
kuduga, kalung itu pasti akan membawa persoalan baru lagi," Nyai Pirih
terkikik.
"Ini persoalan penting,
Nyai. Dan rasanya hanya kau saja yang mampu mengatasinya," kata Ki Lintuk.
"Kenapa aku?" tanya
Nyai Pirih dengan me-ngerutkan keningnya.
"Karena Nyai-lah pembuat
kalung itu," jawab Ki Lintuk tegas.
Lagi-lagi Nyai Pirih tertawa
terkikik.
"Nyai membuat kalung seperti
itu berapa?" tanya Ki Lintuk lagi tanpa mempedulikan ketawa Nyi Pirih.
"Dulu, sebenarnya Gusti Arya
Permadi memesan empat. Tapi baru tiga yang aku berikan. Dari ketiga kalung itu
hanya satu yang asli. Dan orang yang memegang yang asli-lah yang berhak atas
Karang Setra, sedangkan yang tiga lagi hanya berhak sebagai pendamping,"
jelas Nyai Pirih.
"Untuk apa beliau memesan
empat?" Ki Lintuk tidak mengerti.
"Beliau mempunyai tiga
putra, tapi yang syah hanya satu, Gusti Rangga Pati Permadi! Sedangkan yang
lainnya, yaitu putra-putra yang diperoleh dari selir-selirnya, tanpa sepengetahuan
istri beliau, Tunjung Melur."
"Hm.. jadi beliau juga
memberikan kalung yang sama kepada putra-putranya itu," gumam Ki Lintuk.
"Benar! Tapi sayang, ada
satu kalung yang belum sempat aku berikan, karena waktu itu bayi tersebut belum
lahir."
Ki Lintuk lantas termenung
beberapa saat.
"Ada apa, Lintuk? Apakah ada
yang mengenakan kalung itu selain Gusti Prabu Rangga dan si anak durhaka, Wira
Permadi?" tanya Nyai Pirih.
"Benar, Nyai. Orang itu
bernama Danupaksi," sahut Ki Lintuk.
"Tidak salah!" seru Nyai
Pirih.
"Maksud Nyai!" Ki
Lintuk heran juga.
"Dialah putra Gusti Arya
Permadi yang diperoleh dari salah seorang dayang. Bagaimana yang satunya
lagi?"
"Aku tidak tahu. Hanya
Danupaksi yang aku tahu. Dia baru saja datang ke istana," sahut Ki Lintuk.
"Hm..., apakah saat itu ada
dayang yang sedang hamil ketika terjadi perebutan kekuasaan di Istana Karang
Setra?" tanya Nyi Pirih.
"Mengenai hal itu saya tidak
tahu pasti, tapi menurut saksi mata, ada yang melihat dua orang lelaki membawa
seorang wanita hamil dan seorang bocah ke luar dari istana!"
"Hm, mungkin wanita tersebut
selirnya Gusti Arya Permadi, sedangkan bocah itu adalah anaknya dari selir yang
lain. Sekarang, kau harus mencari yang satunya lagi. Kalau sudah ketemu,
berikan kalung ini padanya," kata Nyi Pirih sambil menyerahkan seuntai
kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya.
********************
Ki Lintuk tidak langsung kembali
ke istana. Dia memacu kudanya dengan cepat menyusul Bayan Sudira dan Danupaksi
beserta satu regu pasukan pilihan yang sedang menuju Gunung Puting. Dia yakin,
kalau rombongan itu belum begitu jauh meninggalkan Karang Setra.
Dugaan Ki Lintuk memang benar.
Tak lama kemudian, dia menemukan rombongan itu sedang bermalam di sebuah hutan.
Tampak tenda-tenda untuk bermalam telah didirikan, sedangkan obor-obor pun
telah memancarkan sinarnya. Kedatangan Ki Lintuk yang mendadak itu, tentu saja
mengejutkan Bayan Sudira. Maka dengan segera dia langsung membawa Ki Lintuk
masuk ke dalam tenda yang paling besar.
"Ada apa, Kakang.
Kelihatannya kau begitu tergesa-gesa. Apa ada sesuatu yang sangat
penting," tanya Bayan Sudira agak tegang.
"Benar, Adi Bayan Sudira.
Ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kusampaikan padamu," sahut Ki
Lintuk setelah mengatur napasnya sebentar.
"Tentang apa?" Bayan
Sudira penasaran.
"Aku baru saja menemui Nyai
Pirih."
"Ya..., ya..., terus?"
"Menurut dia, dulu Gusti
Arya Permadi memesan empat buah kalung dalam bentuk dan ukuran yang sama. Tapi
hanya satu yang asli, dan yang memegangnya pertanda bahwa dia pewaris syah
Karang Setra."
"Terus?" Bayan Sudira
mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Tapi dia baru sempat
memberikan tiga kalung, karena calon putra yang ke empat belum lahir. Dan dia
minta padaku untuk memberikan kalung ini, kalau aku menemukan putra yang ke
empat Gusti Arya Permadi," Ki Lintuk memberikan kalung yang diberikan Nyai
Pirih.
Bayan Sudira segera mengamari
kalung itu. "Jadi kalau begitu, Danupaksi jelas-jelas putra Gusti Arya
Permadi yang diperoleh dari seorang dayang," gumam Bayan Sudira sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Begitulah yang dikatakan
Nyai Pirih," sahut Ki Lintuk.
"Kau harus menemukannya,
Bayan Sudira. Aku yakin, kedua resi itu adalah dua orang lelaki yang telah
menyelamatkan seorang wanita hamil dan seorang bocah dari Istana Karang Setra.
Mereka pasti mengetahui semua persoalannya."
Bayan Sudira tercenung beberapa
saat.
"Terserah kau, bagaimana
caranya memberi tahukan hal ini pada Danupaksi," kata Ki Lintuk lagi.
Bayan Sudira mendesah panjang.
"Rasanya tidak ada lagi yang
perlu aku sampaikan. Malam ini juga aku akan kembali ke istana," kata Ki
Lintuk berpamitan.
"Malam sudah terlalu larut,
Kakang. Sebaiknya menginap saja di sini dulu," cegah Bayan Sudira.
"Terima kasih, aku harus
kembali sekarang," tolak Ki Lintuk.
Bayan Sudira tidak dapat mencegah
lagi. Dia segera memerintahkan dua orang prajurit untuk mengawal Ki Lintuk.
Setelah kepergian Ki Lintuk,
tampak Bayan Sudira masih saja termenung di luar tenda. Berbagai macam pikiran
sedang berkecamuk di benaknya.
"Gusti...."
"Oh...," Bayan Sudira
langsung tersentak mendengar panggilan dari belakangnya.
"Maaf kalau hamba
mengagetkan," kata Danupaksi.
"Oh, tidak Tidak
apa-apa," sahut Bayan Sudira masih gelagapan.
"Tadi hamba lihat Gusti
Lintuk datang Ada apa?" tanya Danupaksi.
"Tidak apa-apa. Beliau hanya
menyampaikan pesan saja," sahut Bayan Sudira.
Laki-laki tua itu segera mengajak
Danupaksi untuk berjalan-jalan menghirup udara malam di sekitar perkemahan. Dan
dia bercerita perihal asal-usul kadipaten dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
hingga menjadi sebuah kerajaan seperti sekarang ini. Sedangkan Danupaksi mendengarkannya
dengan penuh perhatian. Sampai sejauh itu Bayan Sudira belum menceritakan
perihal Danupaksi sebenarnya. Dia masih menunggu saat-saat yang tepat!
********************
Pagi-pagi sekali Bayan Sudira
sudah memerintahkan pada para prajuritnya untuk membongkar tenda, dan
bersiap-siap melanjutkan perjalanannya. Tidak banyak mengalami kesukaran untuk
membongkar tenda-tenda yang jumlahnya tidak banyak tersebut. Hanya beberapa saat
saja semuanya telah beres dan sudah siap kembali untuk melanjutkan perjalanan.
"Kira-kira berapa lama kita
akan sampai di Gunung Puting?" tanya Bayan Sudira.
"Kalau tidak ada hambatan,
mungkin dua atau tiga pekan lagi baru sampai, Gusti," sahut Danupaksi.
"Ah, kau lupa lagi, jangan
panggil aku Gusti. Panggil saja Paman," pinta Bayan Sudira. Dia jadi
merasa jengah dipanggil dengan Gusti setelah mendengar penuturan Ki Lintuk
semalam.
"Kalau itu yang Gusti
inginkan, baiklah. Mulai saat ini, aku akan memanggil Gusti dengan sebutan
Paman," gumam Danupaksi.
Beberapa saat mereka hanya
terdiam. Sementara kuda-kuda yang mereka tunggangi terus berjalan cepat
melintasi hutan yang tidak begitu lebat.
"Apa tujuanmu setelah
mengetahui siapa orang tuamu?" pancing Bayan Sudira.
"Kalau aku memang berasal
dari Karang Setra, aku berjanji akan membaktikan diri pada Gusti Prabu,
Paman," sahut Danupaksi.
"Kau kan sudah tahu, kalau
pemilik kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya adalah keturunan
dari Gusti Arya Permadi. Dan itu berarti ada kemungkinan, bahwa kau adalah adik
dari Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," kata Bayan Sudira lagi.
"Ah, Paman jangan
berolok-olok. Mana mungkin aku yang hina ini adik dari Gusti Prabu,"
sergah Danupaksi tidak percaya.
"Sesuatu yang tidak mungkin,
bisa saja terjadi bila Tuhan menghendaki."
"Tapi...," Danupaksi
jadi tidak menentu perasaannya.
"Semalam kau kan lihat
sendiri, ketika Ki Lintuk datang dengan tergesa-gesa," kata Bayan Sudira.
"Ya," Danupaksi semakin
tidak menentu pe-rasaannya.
"Kau tahu? Bahwa pembuat
kalung itu hanya satu orang. Dan dia tahu betul riwayat Gusti Adipati Arya
Permadi, sampai masalah pribadinya yang tidak diketahui oleh orang lain. Dulu,
Gusti Arya Permadi telah memesan empat kalung dengan bentuk dan ukuran yang
sama. Dan kalung yang pertama dibuat, beliau berikan pada putranya yang
pertama, yaitu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Dan yang kedua diberikan pada
putranya yang dari selir, yaitu Gusti Wira Permadi yang sudah tewas karena
ingin menguasai apa yang bukan haknya. Sedangkan yang dua lagi, belum diketahui
diberikan pada siapa. Tapi kini setelah kau datang dengan membawa kalung itu,
kami semua berpendapat, bahwa kau adalah salah satu putra dari Gusti Arya Permadi
dari salah satu selirnya."
Danupaksi rasanya bagai disambar
petir di siang hari ketika mendengar penuturan itu. Dia sampai menghentikan
langkah kaki kudanya dan menoleh ke arah Bayan Sudira dengan tak berkedip.
"Tapi semua itu masih perlu
dibuktikan lagi, karena pembuat kalung itu belum sempat memberikan kalung yang
keempat. Dan satu-satunya bukti yang akan memperjelas kalau kau adalah putra
beliau adalah menemui dua orang lelaki yang telah menyelamatkan seorang wanita
hamil dan seorang bocah dari Istana Karang Setra. Itu pun kalau kedua orang
lelaki itu masih hidup. Tapi kalau sudah meninggal, harapan hanya ada pada
pembuat kalung itu, karena dialah satu-satunya saksi hidup yang akan
mengenalimu."
"Rasanya mustahil, Paman.
Eyang Resi Wanapati mengatakan, kalau kalung itu diserahkan pada beliau oleh
seorang yang terluka parah. Tapi...."
"Teruskan," pinta Bayan
Sudira.
"Katanya laki-laki itu
mengenakan seragam seorang punggawa dari Kadipaten Karang Setra," lanjut
Danupaksi pelan.
"Kalau memang benar
demikian, pastilah dia punggawa yang berhasil menyelamatkan diri dari keganasan
Iblis Lembah Tengkorak," sentak Bayan Sudira.
Danupaksi terdiam. Dia mencoba
untuk mengkait-kaitkan semua cerita dan keterangan yang diperolehnya selama
ini. Dari apa yang sudah dia dapatkan, rasanya memang ada kemungkinan kalau dia
masih bersaudara dengan Pendekar Rajawali Sakti, meskipun lain ibu. Namun dia
masih belum percaya kalau belum mendapatkan bukti yang lebih nyata lagi!
********************
ENAM
Sementara itu di lereng Gunung
Puting, tepatnya di Desa Salapan, Rangga tampak berada di sana bersama Dewi
Cempaka. Mereka sedang berusaha mencari tahu keberadaan Pandan Wangi, karena
mereka mendapat kabar bahwa di sana ada seorang anak kecil yang ahli dalam
bidang pengobatan. Dan Rangga menduga kalau anak laki-laki itu pastilah bocah
yang selalu bersama dengan Pandan Wangi. Di samping itu, Rangga juga membantu
Dewi Cempaka yang sedang bingung mengenai asal-usulnya.
Tapi yang diperoleh Rangga hanya
kekecewaan belaka, sebab ahli pengobatan itu ternyata orang tua yang tubuhnya
kecil, mirip tubuh seorang bocah.
"Bagaimana, Kakang?"
tanya Dewi Cempaka setelah meninggalkan pondok tempat tinggal tabib kerdil itu.
"Entahlah," desah
Rangga lesu.
"Apa tidak sebaiknya kalau
kita ke Karang Setra saja?" usul Dewi Cempaka. "Siapa tahu Kak Pandan
ada di sana, sekalian kita bisa menemui Danupaksi yang katanya pergi ke
sana."
"Aku juga sedang berpikir ke
sana, Cempaka. Rasanya sudah terlalu lama aku meninggalkan istana," sahut
Rangga pelan.
"Jarak dari sini ke Karang
Setra cukup jauh, dan di perjalanan nanti kita bisa meminta keterangan dari
siapa saja tentang keberadaan Kak Pandan. Aku yakin, Kak Pandan pasti sudah
mendengar tentang penobatan Kakang jadi raja di Karang Setra. Dan kalau dia
mencintai Kakang, pasti dia akan segera menyusul ke sana," Dewi Cempaka
membesarkan hati Rangga.
Rangga hanya mendesah. Dia memang
sudah menceritakan segalanya pada Dewi Cempaka, dan rupanya gadis itu mau
mengerti pada kesulitan yang sedang dihadapinya. Terlihat dari bersedianya dia
mengikuti Rangga dalam mencari kekasihnya yang hilang itu.
Tiba-tiba dari tempat mereka,
terlihat asap hitam mengepul bergulung-gulung di udara. Rangga yang melihat itu
sangat kaget, karena asap itu muncul dari arah Padepokan Baja Hitam.
"Cempaka, bukankah Padepokan
Baja Hitam ada di sana?"
"Benar," sahut Dewi
Cempaka segera mengarahkan pandangannya ke arah Padepokan Baja Hitam. Seketika
itu juga dia terkesiap!
"Ayah...!"
********************
Suara jeritan dan teriakan
terdengar saling bersahutan dengan suara senjata beradu. Tampak beberapa pondok
yang berdiri di dalam pagar Padepokan Baja Hitam sudah terbakar hebat!
Sementara mayat-mayat banyak bergelimpangan di halaman padepokan itu. Sedangkan
para murid padepokan yang masih bisa bertahan, sedang menghadapi serbuan
tokoh-tokoh rimba persilatan dan beberapa partai yang bergabung jadi satu.
Pada saat itu, Dewi Cempaka
melompat masuk dan langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Tidak lama
setelah itu, Rangga pun menyusul, dan langsung mendekati Resi Balung Gading
yang sedang menghadapi empat orang. Dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti segera menggebrak empat orang itu!
"Gusti Prabu...," Resi
Balung Gading tampak terkejut melihat kedatangan Rangga.
"Siapa mereka, Resi?"
tanya Rangga sambil tetap bertarung.
"Orang-orang yang sakit hati
padaku," sahut Resi Balung Gading. "Mereka sakit hati karena gagal
memenangkan sayembaraku."
Rangga segera tersenyum getir
mendengar penjelasan itu. Satu resiko yang harus dihadapi jika mengadakan
sayembara yang melibatkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Sangat mudah membedakan
antara lawan dan kawan. Murid-murid Padepokan Baja Hitam semuanya memakai
seragam. Sedangkan mereka yang menggempur, mengenakan pakaian macam-macam
bentuk dan warnanya.
Kedatangan Rangga dan Dewi
Cempaka langsung menumbuhkan semangat murid-murid padepokan yang semula sudah
mulai kendor. Keadaan yang semula terdesak, kini berbalik! Tampak orang-orang
rimba persilatan golongan hitam itu terus terdesak.
"Mundur...!" tiba-tiba
satu teriakan keras terdengar.
Seketika itu juga orang-orang
yang menggempur padepokan segera bergerak mundur.
"Cukup!" Resi Balung
Gading segera mencegah murid-muridnya yang mau mengejar.
"Ayah...!" Dewi Cempaka
langsung menghampiri Resi Balung Gading. "Ayah tidak apa-apa?"
"Tidak. Syukurlah kalian
datang tepat pada waktunya," sahut Resi Balung Gading bersyukur.
"Kenapa mereka menyerang
padepokan ini, Ayah?" tanya Dewi Cempaka.
"Mereka ingin merampasmu,
Anakku. Mereka sakit hati karena gagal dalam sayembara."
"Huh! Pengecut!" dengus
Dewi Cempaka menggeram.
"Itu memang sudah watak dari
orang-orang golongan hitam."
"Mereka ternyata juga
mengepung sekitar padepokan, Resi," kata Rangga memberi tahu.
"Sudah kuduga," dengus
Resi Balung Gading.
Sementara itu para murid yang
masih hidup, segera menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Sedangkan yang
lainnya berusaha memadamkan api serta menyelamatkan barang-barang yang belum
tersentuh api. Resi Balung Gading segera mengajak Rangga dan Dewi Cempaka duduk
di beranda depan bangunan utama yang belum dilalap api.
"Kekuatan mereka sangat
banyak, Resi. Bahkan ada kemungkinan bertambah lagi. Sebaiknya Resi mengutus
salah seorang untuk minta bantuan pada Resi Wanapati," Rangga mengusulkan.
"Tidak! Apa pun yang terjadi
aku tidak akan meminta bantuan kepada Wanapati," tolak Resi Balung Gading.
"Aku mengerti perasaanmu,
Resi. Cempaka telah menceritakan semuanya padaku. Rasanya kalau Resi terus
mempertahankan sikap itu, Padepokan Baja Hitam akan hancur," desak Rangga.
"Tidak ada gunanya, Gusti.
Murid-murid Wanapati tidak ada sepertiganya dari murid-muridku," sahut
Resi Balung Gading tetap tegas pendiriannya.
"Ayah...."
"Jangan memaksa, Cempaka.
Sebaiknya kau tinggalkan saja padepokan ini," potong Resi Balung Gading
cepat.
Rangga dan Dewi Cempaka makin
tidak mengerti dengan sikap Resi Balung Gading. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak akan membiarkan padepokan ini hancur begitu saja. Apa pun yang akan
terjadi, dia harus membela padepokan yang beraliran putih ini.
Saat ini Resi Balung Gading tidak
lagi memiliki murid yang patut diandalkan. Semua yang ada rata-rata baru
belajar tiga atau empat tahun. Jadi kepandaian mereka masih terlalu rendah
untuk menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan golongan hitam yang sudah
berpengalaman dalam pertempuran.
********************
Suasana pagi yang seharusnya
masih sepi dan tenang, mendadak jadi hingar-bingar oleh pekik dan teriakan
serta dentingan senjata yang berbaur jadi satu di luar pagar Padepokan Baja
Hitam.
Sementara Rangga yang sejak
semalam tidak memicingkan mata sedikit pun, langsung ke luar dan melompat ke
atas pagar. Betapa terkejutnya dia, begitu melihat orang-orang rimba persilatan
yang kemarin mengepung Padepokan Baja Hitam ini, tengah bertempur melawan satu
regu pasukan prajurit. Dia makin terkejut manakala mengetahui, bahwa pasukan
itu berasal dari Kerajaan Karang Setra.
"Ada apa, Kakang,"
tanya Dewi Cempaka yang tahu-tahu sudah berada di samping Rangga.
"Prajurit Karang
Setra...," jawab Rangga singkat.
"Hah!"
Rangga tidak sempat Iagi
menjelaskan, karena Resi Balung Gading sudah memerintahkan murid-muridnya ke
luar. Saat itu juga Rangga langsung melompat seraya mengerahkan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'. Matanya yang tajam, segera dapat melihat Bayan Sudira
sedang bertarung dengan didampingi Danupaksi dan Pangkeng. Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung meluruk mendekati pembesar Kerajaan Karang Setra itu.
"Gusti Prabu...!" seru
Bayan Sudira begitu melihat Rangga.
"Kenapa Paman ke sini?"
tanya Rangga sambil terus bertarung.
"Ada persoalan yang harus
segera saya selesaikan," jawab Bayan Sudira.
Rangga tidak sempat lagi
mendengar jawaban itu. Dia keburu sibuk menghadapi serangan yang bertubi-tubi
dan sangat berbahaya. Dia yang tidak mau mengulur-ulur waktu lagi menghadapi
orang-orang tersebut, segera mencabut pedang pusakanya Dan dengan pedang
Rajawali Sakti di tangan, Rangga langsung mengamuk bagai banteng yang terluka.
Setiap kibasan pedang yang
memancarkan warna biru itu, selalu meminta korban paling sedikit tiga nyawa.
Sementara itu para prajurit Karang Setra jadi bertambah semangatnya melihat
raja mereka bertarung bagai malaikat pencabut nyawa! Dalam waktu yang tidak
begitu lama, Rangga sudah menewaskan lebih dari separuh gerombolan lawannya.
Belum lagi matahari sampai di
atas kepala, seluruh orang-orang yang mengepung Padepokan Baja Hitam tersebut,
tewas semua tanpa terkecuali! Bau anyir darah segera menyebar dari tubuh
mayat-mayat" yang bergelimpangan saling tumpang tindih tersebut.
Beberapa saat kemudian, setelah
semuanya beres, Bayan Sudira dan para prajuritnya segera mendekati Rangga dan
memberi hormat.
"Jelaskan, kenapa Paman
sampai ke sini?" tanya Rangga.
"Ampunkan hamba, Gusti
Prabu. Hamba datang membawa persoalan yang sangat pribadi sifatnya, menyangkut
keluarga Gusti Prabu sendiri." sahut Bayan Sudira.
"Hm..., sebaiknya kita
bicarakan di dalam saja," kata Rangga bijaksana.
"Paman Bayan Sudira,"
kata Rangga penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu,"
sahut Bayan Sudira memberi hormat.
"Jelaskan maksud
kedatanganmu ke sini," kata Rangga tanpa basa-basi lagi.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba
datang ke sini karena ada suatu persoalan yang menyangkut Ananda
Danupaksi."
"Hm...," Rangga
bergumam tidak jelas. Sudut ekor matanya melirik Danupaksi yang duduk di
samping Bayan Sudira.
"Beberapa hari yang lalu,
Ananda Danupaksi datang ke Kerajaan Karang Setra dengan membawa kalung pertanda
keluarga kerajaan, Gusti. Itulah sebabnya hamba datang ke sini, tidak lain
hanya untuk mencari kepastian, karena Ananda Danupaksi mengatakan berasal dari
Gunung Puting," Bayan Sudira mencoba menjelaskan.
"Coba kulihat
kalungmu," pinta Rangga pada Danupaksi .
"Silakan, Gusti Prabu,"
kata Danupaksi seraya menyerahkan kalungnya.
Rangga segera mengamati seuntai
kalung yang sangat dikenalnya itu. Beberapa saat kemudian, dia juga
mengeluarkan kalungnya sendiri dari balik ikat pinggangnya. Pelan-pelan dia
menyatukan kedua benda tersebut. Sejenak bibirnya tersenyum, sebelum
mengembalikan kalung itu pada Danupaksi.
"Dari mana kau dapatkan
kalung itu?" tanya Rangga.
"Hamba mendapatkan kalung
ini dari Eyang Resi Wanapati, Gusti Prabu," sahut Danupaksi hormat.
"Gurumu?"
"Benar, Gusti Prabu."
"Pernahkah dia bercerita
tentang kalung itu padamu?"
Danupaksi mengangguk, kemudian
dia segera menceritakan apa yang pernah dia dengar dari Resi Wanapati. Dan apa
yang diceritakan sekarang, sama persis dengan yang diceritakannya pada Bayan
Sudira dan Ki Lintuk ketika di Kerajaan Karang Setra. Tidak dilebihkan atau
dikurangi sedikit pun!
Rangga sempat melirik sejenak
pada Dewi Cempaka yang duduk di sebelahnya. Gadis itu tampak menggigit-gigit
bibirnya sendiri. Rangga juga sempat memperhatikan Resi Balung Gading yang
menundukkan kepala dengan wajah dan leher berkeringat, padahal udara di Gunung
Puting ini sangat sejuk.
"Paman Bayan Sudira..., kau
dan Pangkeng jemput Resi Wanapati sekarang juga," perintah Rangga.
"Segala titah Gusti Prabu,
segera hamba laksanakan," sahut Bayan Sudira dan Pangkeng hampir
bersamaan. Kemudian mereka berdua segera bangkit dan memberi hormat.
Setelah kedua orang itu pergi
meninggalkan tempat itu, Rangga kembali memandangi wajah-wajah di
sekelilingnya.
"Perlu kalian ketahui, aku
sendiri tidak akan memungkiri kalau Ayahanda Arya Permadi mempunyai putra lagi
selain diriku. Dan aku akan sangat bahagia sekali, seandainya dapat berkumpul
dengan saudara-saudaraku, meskipun lain Ibu," kata Rangga penuh wibawa.
Danupaksi dan Dewi Cempaka segera
memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Danupaksi..., dan kau,
Cempaka...."
"Hamba, Gusti Prabu,"
sahut Danupaksi dan Dewi Cempaka berbarengan.
"Jika kalian terbukti adalah
saudara-saudaraku, aku berharap kalian tidak melupakan asal-usul kalian
dibesarkan. Terutama sekali pada orang yang telah membesarkan, mendidik, dan
merawat kalian sejak dari kecil."
"Hamba mengerti, Gusti
Prabu," kembali Danupaksi dan Dewi Cempaka menjawab bersamaan.
"Bagus, aku senang jika
kalian mau mengerti," sambung Rangga tersenyum.
"Mohon ampun, Gusti Prabu.
Sebaiknya Gusti Prabu istirahat dulu," usul Resi Balung Gading menyela
pembicaraan.
"Terima kasih," ucap
Rangga.
"Mari hamba antarkan, Gusti
Prabu," kata Dewi Cempaka seraya bangkit dari duduknya.
********************
TUJUH
Betapa terkejutnya Bayan Sudira
dan Pangkeng begitu sampai di padepokan yang dipimpin oleh Resi Wanapati.
Tampak padepokan itu berantakan dan hancur lebur dibakar api yang mengganas
bagai neraka. Mayat-mayat bergelimpangan tumpang-tindih tak karuan di sekitar
padepokan. Pangkeng begitu terpukul melihat mayat-mayat yang sangat dikenalnya
itu.
"Gusti...!" teriak
Pangkeng memanggil. Begitu melihat Pangkeng sedang berjongkok di samping
sesosok tubuh, Bayan Sudira langsung melompat menghampiri.
"Eyang Resi..., Gusti,"
rintih Pangkeng tidak dapat menahan tangisnya.
Bayan Sudira segera memeriksa
keadaan tubuh laki-laki tua yang ternyata Resi Wanapati. Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya begitu melihat keadaan tubuh Resi Wanapati yang
sangat menyedihkan!
"Masih hidup...," desah
Bayan Sudira.
"Oh...," Resi Wanapati
mengeluh lirih. "Eyang..., Eyang Resi," panggil Pangkeng agak
tersendat.
"Kau..., kau kembali,
Pang... keng," ucap Resi Wanapati terbata-bata. "Iya, Eyang. Bersama
Gusti Bayan Sudira," sahut Pangkeng.
"Mereka terlalu tangguh,
Pangkeng. Mereka menginginkan kalung itu," semakin lemah suara Resi
Wanapati, "Gusti...."
"Iya, Eyang," sahut
Bayan Sudira.
"Terimalah Danupaksi, dia
putra dari Gusti Arya Permadi dari Ibu Dayang Endang Witarsih. Sedangkan Dewi
Cempaka dari Ibu Dayang Kunti Sulistya. Mereka masih satu ayah dengan Gusti
Rangga..."
"Eyang...," panggil
Bayan Sudira ketika melihat Resi Wanapati terbatuk-batuk.
"Mereka... berhasil ku...
selamatkan bersama Bal..."
"Eyang...," panggil
Bayan Sudira lagi. Dia mendekatkan telinganya ke mulut Resi Wanapati, tapi
orang tua itu telah tak bernapas lagi!
Melihat itu, Pangkeng langsung
meraung-raung bagai anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Lama dia
menangis seperti itu, sedangkan Bayan Sudira mendiamkan saja. Dia memaklumi,
betapa terpukulnya jiwa Pangkeng.
Beberapa saat kemudian, Pangkeng
menghapus air mata dengan punggung tangannya, tapi isaknya yang pelan masih
tetap terdengar.
ahukah kau, siapa yang melakukan
semua ini, Pangkeng?" tanya Bayan Sudira setelah menarik napas panjang.
Belum lagi Pangkeng menjawab,
tiba-tiba...
"Tolong...," terdengar
suara rintihan lirih.
Bayan Sudira segera memburu dan
mengeluarkan sesosok tubuh dari semak-semak dengan dibantu oleh Pangkeng. Dia
terkejut melihat kedua tangan orang itu telah buntung dari pangkal lengannya.
Sedangkan di dadanya tertancap sebatang anak panah yang hampir tembus ke
punggungnya.
"Gandul...," panggil
Pangkeng yang mengenali orang itu.
"Kau..., kau,
Pangkeng...?!" lemah suara Gandul terdengar.
"Iya, ini aku. Apa yang
telah terjadi di sini?"
"Mereka..., mereka datang
lagi. Mereka ingin merebut kalung itu, Pangkeng," sahut Gandul lirih.
Bibirnya meringis menahan sakit.
"Siapa mereka?" tanya
Pangkeng.
"Partai Tengkorak.... Mereka
dibantu oleh...."
"Gandul.... Gandul...!"
Bayan Sudira segera menepuk
pundak Pangkeng, setelah yakin bahwa Gandul telah tak bernyawa lagi.
"Partai Tengkorak....
Kubunuh kalian semua!" teriak Pangkeng keras seraya bangkit.
"Pangkeng...," panggil
Bayan Sudira lembut.
"Sudah lama mereka
menginginkan kalung itu, Gusti. Partai Tengkorak harus kubasmi, Gusti.
Harus...!"
enanglah, Pangkeng. Tenangkan
dirimu, jangan menuruti hawa nafsu," Bayan Sudira mencoba menenangkan
Pangkeng.
"Gusti...," rintih
Pangkeng langsung menjatuhkan diri memeluk lutut Bayan Sudira.
"Bangunlah, Pangkeng. Tidak
patut kau berlaku seperti itu padaku. Bangunlah, tegarlah sebagai murid Eyang
Resi Wanapati!" Bayan Sudira membangkitkan semangat laki-laki gundul dan
gemuk itu.
"Maafkan hamba, Gusti.
Hamba..., hamba...," suara Pangkeng tersekat di tenggorokan.
"Sudahlah, Pangkeng.
Sebaiknya kita segera kembali ke Padepokan Baja Hitam. Kita harus melaporkan
semua ini pada Gusti Prabu Rangga."
Pangkeng menuruti kata-kata Bayan
Sudira, walaupun di hatinya dia berat meninggalkan tempat itu.
"Pangkeng...," Bayan
Sudira memanggil pelan di tengah-tengah perjalanan.
"Hamba, Gusti," sahut
Pangkeng.
"Siapa Partai Tengkorak
itu?" tanya Bayan Sudira ketika melihat Pangkeng sudah agak tenang.
"Gerombolan yang tinggal di
Rimba Tengkorak, Gusti. Mereka sangat kejam dan selalu meresahkan
masyarakat."
"Kalung apa yang mereka
inginkan?" tanya Bayan Sudira ingin tahu.
"Kalung segitiga dengan
beberapa lingkaran di tengahnya."
"Maksudmu kalung kebesaran
Kerajaan Karang Setra?" tanya Bayan Sudira terkejut.
"Benar, Gusti. Ketua partai
mereka tahu, kalau Eyang Resi menyimpan kalung itu, dan mereka juga tahu kalau
Danupaksi putra dari selir Gusti Arya Permadi."
"Untuk apa mereka
menginginkan kalung itu?"
"Ketua partai itu mempunyai
anak yang usianya sama dengan Den Danupaksi, Gusti. Dia ingin putranya menyamar
sebagai putra Gusti Arya Permadi. Hanya itu yang hamba ketahui," jelas
Pangkeng.
Bayan Sudira hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
********************
Kebahagiaan yang sudah hampir
mendatangi mereka, tiba-tiba pupus oleh berita yang dibawa Bayan Sudira dan
Pangkeng. Suasana yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini berubah jadi rasa
duka dan marah.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu.
Seharusnya hamba tidak menyampaikan berita ini sekarang," sesal Bayan
Sudira.
"Tidak apa-apa, Paman,"
sahut Rangga mendesah panjang.
"Apa yang harus kita lakukan
sekarang, Gusti Prabu? Mereka pasti sudah tahu kalau Danupaksi berada di
sini," Resi Balung Gading meminta pendapat.
Rangga tidak segera menjawab. Dia
malah bangkit dan berjalan ke luar dengan kening berkerut dalam. Semua yang ada
di ruangan utama itu memandang dengan tidak mengerti. Pangkeng yang berada di
ujung tangga samping, langsung memberi hormat begitu Rangga lewat.
"Pangkeng, sini,"
panggil Rangga.
"Ada apa, Gusti Prabu,"
Pangkeng segera mendekat.
"Kau tahu di mana Rimba
Tengkorak itu?" tanya Rangga setengah berbisik.
idak, Gusti Prabu," sahut
Pangkeng dengan suara bergetar.
"Aku hanya tanya, bukan
memintamu untuk mengantar!" Rangga langsung tahu kalau Pangkeng berbohong.
"Hamba..., hamba.... Jangan
Gusti Prabu, jangan ke sana. Terlalu berbahaya. Jangan, Gusti Prabu,"
rintih Pangkeng memohon.
"Kau tahu Rimba Tengkorak,
Pangkeng?" desak Rangga.
"Di..., di sebelah Selatan
Desa Batu Ceper, Gusti," sahut Pangkeng takut-takut.
"Hm..., bukankah itu dekat
Hutan Jati Jarak?" tanya Rangga meyakinkan ucapannya.
"Benar, Gusti. Di hutan
itulah mereka bersarang. Tepatnya di dalam Lembah Kemukus."
"Baiklah, aku akan
menyelidiki ke sana!"
"Gusti Prabu...."
Pangkeng tidak bisa mencegah
lagi. Dia langsung berlari masuk ke ruangan utama.
Laki-laki gemuk berkepala gundul
itu langsung menjatuhkan diri di depan kaki Bayan Sudira.
"Ampun, Gusti.... Ampunkan
hamba, Gusti," kata Pangkeng.
"Pangkeng, ada apa?"
tanya Bayan Sudira terkejut.
"Hamba terpaksa, Gusti.
Ampunkan hamba...," rintih Pangkeng.
"Pangkeng, katakan! Ada
apa?" sergah Danupaksi tak sabar.
"Hamba..., hamba telah
mengatakan letak Rimba Tengkorak pada Gusti Prabu. Dan.., dan...."
"Celaka! Aku harus segera
menyusul ke sana!" sentak Danupaksi langsung bangkit.
"Kakang, tunggu!"
teriak Dewi Cempaka.
"Kau di sini saja, Dinda
Cempaka. Aku akan segera kembali!" kata Danupaksi terus saja melangkah ke
luar.
"Gusti...!" Bayan
Sudira segera mengejar.
"Maaf, Paman. Tidak ada
waktu lagi, aku harus segera mencegah Kakang Prabu pergi ke sana. Mereka sangat
kejam dan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi."
Danupaksi segera melompat ke
punggung kudanya dan langsung pergi! Tiba-tiba Dewi Cempaka juga langsung
melompat ke punggung kudanya diikuti Pangkeng. Sedangkan Resi Balung Gading
tampak berdiri tertegun menyaksikan kejadian yang begitu cepat tersebut.
"Apakah Gusti Bayan Sudira
juga akan meninggalkan padepokan ini juga?" tanya Resi Balung Gading pada
Bayan Sudira.
Bayan Sudira tidak langsung
menjawab. Dia hanya mengedarkan pandangannya berkeliling. Tampak murid-murid
Padepokan Baja Hitam sudah berkurang hampir setengahnya. Bisa dibayangkan kalau
Partai Tengkorak menyerangnya pasti tidak akan bisa lagi bertahan.
"Prajurit...!" panggil
Bayan Sudira.
"Hamba, Gusti," salah
seorang prajurit menghampiri.
"Kembalilah kau ke Karang
Setra. Katakan pada Gusti Lintuk, bahwa aku membutuhkan dua regu pasukan
pilihan di sini," perintah Bayan Sudira.
"Hamba laksanakan,
Gusti," prajurit itu langsung pergi.
Sedangkan Bayan Sudira segera
berbalik lagi menghadapi Resi Balung Gading. "Aku dan para prajuritku akan
menjaga padepokan ini, Resi," kata Bayan Sudira.
"Ah, terima kasih,
Gusti."
********************
Bagaikan seekor burung, Pendekar
Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya dari cabang pohon yang satu ke cabang
pohon lainnya. Begitu ringan dan indah sekali gerakannya, sehingga pohon yang
dihinggapi, tidak sedikit pun mengeluarkan bunyi.
"Heh...! Hup!"
Tiba-tiba matanya yang setajam
mata elang melihat secercah sinar yang meluruk deras ke arahnya. Secepat kilat
dia menggenjot tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Sinar itu langsung
lewat di dalam putaran tubuhnya! Dan Rangga kemudian hinggap di pucuk pohon
yang paling tinggi.
Sejenak dia mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tidak ada gerak yang mencurigakan sedikit pun! Tapi
belum lagi dia sempat berpikir banyak, mendadak terlihat lagi secercah sinar
meluruk ke arahnya. Secepat kilat dia melenting ke atas. Dan segera terdengar
suara ledakan keras bersamaan dengan hancurnya pohon yang tadi diduduki Rangga.
Merasa terus-menerus terdesak, tiba-tiba..., "Hiya...!"
Seketika itu juga tangan Pendekar
Rajawali Sakti meluncurkan beberapa sinar merah untuk menangkis sinar-sinar
kekuningan yang mengincar tubuhnya. Suara-suara ledakan terjadi secara
beruntun!
"Hup!" Rangga segera
turun dengan manis di tanah. "Hm..., apakah mereka orang-orang dari Partai
Tengkorak?" gumamnya dalam hati.
Belum sempat dia menjawab
pertanyaannya sendiri, mendadak dari arah depan kembali meluncur secercah sinar
kekuningan ke arahnya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu meloncat ke
udara, dan pada saat yang bersamaan, dia juga melontarkan pukulan dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba sinar merah yang ke
luar dari telapak tangan Rangga menghantam semak, seketika itu juga muncul
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap tanpa pakaian atas. Dia hanya
mengenakan celana sebatas lutut saja! Tampak rantai berwarna keperakan terlilit
di tubuhnya. Sedangkan wajahnya penuh dengan cambang dan kumis.
"Grrr...!" orang itu
menggeram.
"Phuih! Ini manusia apa
gorilla...?" dengus Rangga setengah bergumam.
"Siapa kau, Monyet
Cilik?" tanya orang itu. Suaranya berat dan besar sekali.
"Kau sendiri siapa, Monyet
Besar?" Rangga balik bertanya.
"Grrr! Edan! Aku bertanya
padamu, goblok!"
"Aku juga bertanya
padamu," balas Rangga kalem.
"Nyalimu besar juga, Monyet
Cilik!"
"Mana yang lainnya? Kenapa
temanmu yang dua lagi, tidak muncul? Takut?" ejek Rangga memanasi.
Belum lagi kering kata-kata
Rangga, tiba-tiba dari kanan kirinya muncul dua orang yang sama persis dengan
yang pertama tadi.
"Monyet ini sudah melanggar
daerah kita, hukuman apa yang pantas untuknya?" kata salah seorang dari
mereka.
"Mati!" sahut yang
lainnya Bersamaan.
"Grrr.... Bagus! Monyet
kecil ini memang harus mati!"
Hampir bersamaan mereka langsung
melepaskan rantai yang melilit di tubuh mereka masing-masing. Rantai itu
panjangnya kira-kira tiga kali lipat dari panjang tubuh mereka. Tampak pada
ujungnya terdapat bandulan bola besi sebesar kepala manusia dewasa dan penuh
dengan duri-duri tajam.
"Hup...!"
Dua orang yang berada di kanan
kiri, langsung melompat dan melebar ke samping. Tidak berapa lama kemudian,
tahu-tahu mereka sudah mengurung Rangga dari tiga jurusan. Tampak Pendekar
Rajawali Sakti sedikit menyipitkan matanya, memperhatikan gerak-gerik mereka.
Wut, wut, wut!
Tiba-tiba terdengar suara angin
yang menderu-deru begitu secara bersamaan ketiga orang itu memutar-mutarkan
rantainya. Mendadak Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan udara di sekitarnya
jadi panas, dan semakin lama rasa panas itu semakin menyengat! "Hait!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung
melompat ketika salah satu rantai meluruk ke arahnya. Dan belum lagi tubuhnya
menjejak tanah, satu rantai lagi sudah menyambar ke arah kepala. Secepat kilat
Rangga menunduk, tapi satu rantai lagi segera meluruk ke arah perutnya. Posisi
Pendekar Rajawali Sakti itu benar-benar dalam keadaan yang terjepit sekali!
Tap!
Dengan nekat dia segera menangkap
rantai yang mengarah ke perut, lalu tubuhnya melenting kembali ke udara, dan
segera menangkap rantai yang satu lagi. Setelah itu Rangga segera meluruk ke
bawah dengan tiga rantai di tangan. Tentu saja gerakan tarik menarik antara
mereka terjadi dengan sengitnya.
"Graaagh...!"
Tiba-tiba saja salah seorang
melompat cepat ke udara. Kemudian disusul kedua temannya secara bergantian.
Terus-menerus mereka melakukan hal seperti itu. Sementara Rangga yang sudah
biasa menghadapi taktik semacam itu, langsung melentingkan tubuh dan berputar
beberapa kali di udara. Cepat sekali tangannya bergerak melepaskan rantai yang
berada di tangannya. Begitu cepat dan kuatnya dia menghentakkan tangannya,
sehingga ketiga orang yang berlompatan itu tersentak kaget. Dan pada saat itu
Rangga langsung mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
Des! Des! Des...!
"Aaargh...!"
********************
"Cukup!" tiba-tiba
terdengar suara yang nada-nya berat.
Rangga yang sudah akan meneruskan
serangannya, langsung berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah
datangnya suara itu. Tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang laki-laki tua
mengenakan jubah hitam yang bergambar kepala tengkorak berwarna putih di
dadanya. Laki-laki itu juga mengenakan tongkat yang pada ujung gagangnya
berbentuk kepala tengkorak. Sejenak Rangga menoleh ke arah musuh-musuhnya yang
kini tergeletak tak sadarkan diri.
"Kau telah melumpuhkan tiga
orang pembantuku, hebat...," kata laki-laki tua itu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mereka yang menyerangku
lebih dulu," sahut Rangga.
"Siapa kau, Anak Muda?"
tanya laki-laki tua itu.
"Aku Rangga. Kau sendiri,
siapa?" "Aku Tengkorak Putih. Mau apa kau datang ke tempatku?"
"Aku datang untuk mencari
Partai Tengkorak!" jawab Rangga tegas.
"Untuk apa kau mencari
partai itu?" tanya* Tengkorak Putih.
"Mereka harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya!" sahut Rangga. "Mereka telah
menghancurkan Padepokan Gunung Puting pimpinan Resi Wanapati!"
"Ha ha ha...! Rupanya si
Wanapati mengambinghitamkan Partai Tengkorak yang kupimpin! Huh! Dasar
laki-laki tak tahu diri, sudah ditolong malah berlaku licik!"
"Jangan coba-coba mencuci
tangan, Tengkorak Putih!"
"Anak muda, ada hubungan apa
sehingga kau membela si Tua Bangka licik itu?"
"Kau tidak perlu tahu!"
bentak Rangga.
"Baiklah, tapi perlu kau
ketahui, bahwa Partai Tengkorak tidak pernah menghancurkan Padepokan Gunung
Puting," kata Tengkorak Putih.
"Bisa kupercaya
kata-katamu?" tanya Rangga memastikan.
"Kau bisa menanyakan pada
sahabatnya yang aneh," ada nada sinis pada suara Tengkorak Putih.
"Maksudmu, Resi Balung
Gading?"
"Benar. Dia pasti tahu,
siapa yang telah menghancurkan padepokan itu. Hm..., tapi aku yakin, dia pun
akan menuduh Partai Tengkorak yang menghancurkannya...."
"Untuk kali ini aku bisa
mempercayaimu, Tengkorak Putih. Tapi kalau ternyata partaimu yang melakukannya,
kau akan berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti.'" kata Rangga tegas.
"Ha ha ha.... Aku akan
mempertanggungjawabkan, bila memang partaiku yang telah berbuat," sahut
Tengkorak Putih.
Sejenak Rangga memandangi tiga
orang yang tergeletak tak sadarkan diri itu.
"Sudahlah, jangan kau
hiraukan manusia-manusia goblok itu!" kata Tengkorak Putih.
"Jika kau tidak
senang...," kata Rangga tak diteruskan.
"Aku tahu, kau melakukannya
karena untuk membela diri," potong Tengkorak Putih.
"Rupanya watakmu sangat
berbeda dengan namamu serta nama partaimu," Rangga tersenyum kecut.
"He he he...,"
Tengkorak Putih hanya terkekeh.
"Maaf, aku telah melumpuhkan
mereka, tapi urusan kita belum selesai," kata Rangga.
Setelah berkata begitu, Pendekar
Rajawali Sakti segera melangkah meninggalkan tempat tersebut.
********************
DELAPAN
"Kakang...!" teriak
Danupaksi begitu melihat Rangga sedang berlari cepat di antara pohon-pohon.
Mendengar suara panggilan yang
keras tersebut, Rangga langsung menoleh dan menghentikan larinya. Agak kaget
juga dia, begitu melihat Danupaksi berlari-lari menghampirinya.
"Kenapa kau
menyusulku?" tanya Rangga.
"Aku cemas, Partai Tengkorak
sangat tangguh!" sahut Danupaksi setelah mengatur napasnya.
"Kau sendirian?"
"Iya."
Rangga segera mengedarkan
pandangannya melewati bahu Danupaksi. Memang tidak ada seorang pun yang
mengikuti. Hanya tampak seekor kuda putih yang sedang merumput di kejauhan.
"Kelihatannya kau mau
kembali, Kakang. Apa sarang mereka sudah kau temui?" tanya Danupaksi.
Rangga hanya tersenyum, kemudian
melangkah pergi.
"Kakang hendak ke
mana?" tanya Danupaksi sambil berjalan mengejar Rangga.
"Ke Padepokan Baja
Hitam," jawab Rangga singkat.
Danupaksi segera memanggil
kudanya dengan siulan. Kuda itu langsung meringkik dan menghampiri. Beberapa
saat kemudian Danupaksi telah berjalan di samping kakaknya, sedangkan kuda itu
membuntuti dari belakang.
"Kakang Rangga sudah
menemukan mereka?" tanya Danupaksi mengulang.
"Sudah," sahut Rangga
sambil terus berjalan pelan.
"Lalu?"
"Aku tidak dapat memutuskan,
apakah mereka bersalah atau tidak?"
"Kenapa begitu?"
"Mereka sendiri terkejut
mendengar padepokan milik Resi Wanapati hancur."
"Mereka menyangkal?"
"Tidak."
Danupaksi tidak mengerti. Dia
jadi bingung dengan jawaban Rangga.
"Kau murid Resi Wanapati,
pasti tahu. Ada hubungan apa antara gurumu dengan Partai Tengkorak," kata
Rangga bernada menyelidik.
"Selama di padepokan, aku
tidak diijinkan ke luar. Eyang Resi Wanapati tidak memperbolehkan muridnya ke
luar dari padepokan sebelum menamatkan pelajarannya."
"Apa Resi Wanapati tidak
pernah bercerita tentang Partai Tengkorak?"
"Tidak."
********************
Dalam perjalanan kembali ke
Padepokan Baja Hitam, Rangga dan Danupaksi bertemu dengan Dewi Cempaka serta
Pangkeng yang juga sedang menyusul Rangga. Gadis itu tidak mengerti, kenapa
Rangga tidak menjawab setiap pertanyaannya. Bahkan Rangga malah mengajukan pertanyaan
yang nadanya menyelidik.
Begitu sampai di Padepokan Baja
Hitam, Rangga langsung mencari Resi Balung Gading. Tak berapa lama kemudian dia
menemukannya di dalam kamar khusus untuk bersemadi. Rangga segera masuk dan
menemui Resi Balung Gading.
"Tundalah semedimu,
Resi," kata Rangga segera duduk bersila di depan laki-laki tua itu.
"Oh, Gusti Prabu...!"
Resi Balung Gading buru-buru menghormat.
"Sudahlah, aku tahu kalau
kau tidak bersemadi," kata Rangga datar suaranya.
Resi Balung Gading hanya menundukkan
kepalanya.
"Aku minta Resi menjawab
dengan jujur pertanyaanku," kata Rangga menatap tajam.
"Apa yang harus hamba
katakan, Gusti Prabu?"
"Siapa sebenarnya kau dan
Wanapati?" tanya Rangga langsung.
"Hamba dan Wanapati
sebenarnya bersaudara, Gusti Prabu," jawab Resi Balung Gading membuka
rahasia dirinya.
"Hm.... Kau tahu apa yang
terjadi di Danau Cubung dua puluh tahun yang lalu?" tanya Rangga lagi.
"Benar, Gusti. Hamba
menyaksikannya sendiri bersama Kakang Wanapati. Saat itu hamba dan Wanapati sedang
mencari kayu bakar. Dan hamba menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh
gerombolan perampok pada rombongan Gusti Arya Permadi. Saat itu kami belum
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi."
"Hm..., teruskan."
"Kami melihat prajurit
Kadipaten Karang Setra dibunuh. Juga Gusti Adipati dan keluarganya. Dan kami
lihat Gusti terlempar di jurang Lembah Bangkai."
"Apakah kau melihat seorang
punggawa melarikan diri?"
"Ya, Gusti Prabu. Punggawa
itu dalam keadaan terluka parah. Kemudian setelah orang-orang yang membantai
keluarga Gusti itu pergi, kami menolongnya. Tapi karena keadaan lukanya yang
parah, ia tidak dapat bertahan hidup lebih lama."
"Apakah ia sempat berbicara
kepada kalian berdua?" tanya Rangga lagi.
"Sempat, Gusti Prabu. Bahkan
dia memberikan seuntai kalung kepada Kakang Wanapati untuk kemudian harus
diberikan kepada seorang bocah yang bernama Danupaksi di Istana Kadipaten
Karang Setra. Kemudian kami berdua segera berangkat menuju ke kadipaten itu.
Tapi sesampainya di sana, kami mendapatkan kadipaten itu sedang dalam keadaan
kacau-balau, di sana sedang terjadi perebutan kekuasaan antara adik tiri Gusti
Adipati Arya Permadi dengan Ratih Komala, selir Gusti Adipati yang menginginkan
anaknya Wira Permadi kelak menjadi adipati di Karang Setra."
"Lalu apa yang kalian
lakukan?" tanya Rangga yang sudah tahu tentang perebutan kekuasaan itu.
"Kemudian kami berdua segera
menyusup ke dalam istana kadipaten dengan menyamar menjadi tukang merawat kuda.
Di sana akhirnya kami menemui anak bernama Danupaksi itu, tepat ketika ibunya
yang bernama Endang Witarsih dibunuh oleh orang-orangnya Ratih Komala. Untung
kami sempat menolong anak itu bersama seorang selir Gusti Adipati lainnya yang
sedang mengandung, namanya Kunti Sulistya."
"Hm, kemudian kalian membawa
anak itu beserta Ibu Kunti Sulistya ke Gunung Puting?" tebak Rangga.
"Benar, Gusti. Tapi dalam
perjalanan menuju ke Gunung Puting, Ibu Kunti Sulistya meninggal dunia setelah
melahirkan seorang bocah perempuan. Anak itu kemudian kami beri nama Dewi
Cempaka," ucap Resi Balung Gading dengan mimik sedih, karena ia teringat
akan nasib Dewi Cempaka yang sangat menyedihkan.
"Kemudian kalian bersepakat
untuk mendidik kedua anak itu?" tanya Rangga lagi.
"Iya, Gusti. Dan sejak saat
itulah kami berdua bersepakat untuk menjadi resi dan membangun padepokan,"
jelas Resi Balung Gading.
"Lalu kenapa, kalian sampai
mempunyai perjanjian aneh?"
"Satu bulan setelah kami
merawat anak-anak tersebut, datang gerombolan yang menamakan dirinya Partai
Tengkorak. Mereka datang untuk merebut anak yang kami asuh, Gusti Prabu. Sejak
itu kami berpisah untuk menyelamatkan kedua bocah itu. Karena kami merasa
berkewajiban untuk merawat dan membesarkan mereka."
"Teruskan," pinta
Rangga lagi.
"Demi keselamatan Gusti
Danupaksi, Kakang Wanapati mengadakan perjanjian dengan ketua Partai Tengkorak.
Isi perjanjian itu, Danupaksi harus turun gunung setelah usianya dua puluh
tahun, dan Kakang Wanapati harus menyerahkan kalung tanda kebesaran Karang
Setra. Tapi rupanya Kakang Wanapati mengingkari janjinya, dan hamba tahu maksud
dari Kakang Wanapati, dia tidak ingin Karang Setra jatuh ke tangan
mereka."
"Kau berkata sebenarnya Resi
Balung Gading?" tanya Rangga yang belum mau percaya begitu saja.
"Hamba masih menyimpan
barang-barang temuan dua puluh tahun yang lalu Gusti," Resi Balung Gading
mencoba meyakinkan Rangga.
Resi Balung Gading segera bangkit
dan menghampiri sebuah lemari yang ada di pojok kamar itu. Kemudian dia membuka
pintunya dan mengambil sebuah kotak kayu berukir. Setelah menutup pintu lemari
itu, Resi Balung Gading segera menyerahkan barang itu kepada Rangga.
Rangga langsung membuka kotak
itu. Segera tampak satu perangkat pakaian seorang punggawa dengan tanda pangkat
dan tanda-tanda jasa yang masih lengkap. Selain itu masih ada selembar kain
sutra biru muda dengan sulaman segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya.
Juga terdapat barang-barang lain yang menunjukkan semuanya berasal dari Karang
Setra dua puluh tahun yang lalu.
"Aku merasa, barang-barang
itu nantinya pasti akan ada gunanya, jadi aku menyimpannya dengan rapi. Tak ada
seorang pun yang tahu. Bahkan Dewi Cempaka sendiri pun tidak tahu tentang
ini," kata Resi Balung Gading.
"Jadi siapa sebenarnya yang
menghancurkan Padepokan Resi Wanapati?" gumam Rangga seolah bertanya pada
dirinya sendiri.
"Hamba sendiri tidak bisa
memastikan, Gusti. Kalau memang Partai Tengkorak yang melakukannya, mereka
pasti juga mencari Gusti Danupaksi untuk merebut kalung itu," sahut Resi
Balung Gading.
"Kenapa mereka menginginkan
kalung itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Mereka ingin menyusupkan
salah seorang anggotanya ke Kerajaan Karang Setra, tapi hamba cenderung
berpendapat, bahwa putra si Tengkorak Putih-lah yang akan disusupkan, karena
usianya sama dengan Gusti Danupaksi. Dan kemungkinan mereka akan menghancurkan
Kerajaan Karang Setra dari dalam."
Padepokan Baja Hitam bisa luput
dari incaran Partai Tengkorak karena mereka tahu, bahwa Resi Balung Gading
tidak memiliki kalung itu. Hal itu bisa saja terjadi, karena Dewi Cempaka tidak
mempunyai bukti kuat untuk masuk dalam keluarga Kerajaan Karang Setra.
Dan bagi Rangga, barang-barang
yang ditunjukkan oleh Resi Balung Gading sudah cukup kuat untuk mempercayai,
kalau Dewi Cempaka adalah adiknya dari lain ibu. Dalam satu sisi, Rangga begitu
bahagia karena bisa berkumpul dengan saudaranya, tapi dalam sisi lainnya, dia masih
memikirkan rencana Partai Tengkorak yang ingin menghancurkan Karang Setra.
"Resi Balung Gading, Karang
Setra masih membutuhkan seorang yang berilmu tinggi untuk memperkuat barisan
keamanan. Aku menawarkan padamu untuk pindah ke Karang Setra, dan melatih
prajurit agar lebih tangguh dalam ilmu olah kanuragan," kata Rangga saat
semuanya berkumpul di ruangan utama Padepokan Baja Hitam.
"Ah, suatu anugerah yang
begitu besar bagi hamba," desah Resi Balung Gading.
"Dan semua murid-muridmu
bisa menjadi prajurit pilihan di Karang Setra," lanjut Rangga.
Resi Balung Gading memandang Dewi
Cempaka yang duduk di samping Rangga. Gadis itu segera tersenyum manis dan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian pandangan Resi Balung Gading beralih
kepada Danupaksi, pemuda itu juga menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, hamba terima
tawaran Gusti Prabu," kata Resi Balung Gading akhirnya.
"Terima kasih, Resi,"
ucap Rangga tersenyum.
"Tapi, bagaimana dengan
padepokan ini?" tanya Resi Balung Gading.
"Tempat ini sudah tidak aman
lagi, Resi. Suatu saat Partai Tengkorak pasti mengalihkan perhatiannya ke
sini," sahut Rangga.
"Ya, mereka juga tahu
tentang diriku. Lebih-lebih tentang Gusti Ayu Dewi Cempaka," desah Resi
Balung Gading yang kini memanggil Dewi Cempaka dengan sebutan Gusti Ayu.
"Nah! Kalau begitu, besok
pagi kita bisa langsung berangkat," kata Rangga menyambung.
"Gusti Prabu...."
"Ada apa, Paman Bayan
Sudira?"
"Maaf, Gusti Prabu. Hamba
telah lancang mendahului. Hamba telah mengutus lima orang prajurit untuk
meminta bantuan ke Kerajaan Karang Setra. Tadinya hamba menilai...."
"Sudahlah, Paman Bayan
Sudira. Aku tahu apa yang menjadi keputusanmu. Kalau-lah mereka datang kemari,
nanti bisa ketemu di perjalanan," sela Rangga cepat.
"Terima kasih, Gusti.
Maafkan atas kelancangan hamba."
"Tidak apa-apa."
Beberapa saat kemudian, Rangga
beranjak ke luar. Dia melangkah pelan-pelan melintasi halaman depan padepokan.
Tampak beberapa prajurit dan juga murid-murid padepokan itu masih terlihat
berjaga-jaga secara bergiliran.
"Kakang...."
"Oh!" Rangga tersentak
ketika mendengar suara halus dari belakang.
"Kakang melamun?" tanya
Dewi Cempaka yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya.
"Tidak," sahut Rangga
seraya menghenyakkan tubuhnya di balai-balai yang terletak di bawah pohon yang
rindang.
"Kakang masih memikirkan Kak
Pandan Wangi?" tebak Dewi Cempaka.
Rangga hanya tersenyum.
"Tadinya aku cemburu ketika
Kakang menceritakan tentang Kak Pandan," kata Dewi Cempaka pelan.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Cuma merasa
kalah cantik saja," gurau Dewi Cempaka manja.
"Kau cantik, kok. Malah
tadinya aku sempat lupa," Rangga menimpali gurauan itu.
"Wah...! Kakakku mata
keranjang juga rupanya."
"Tidak juga, buktinya aku
tidak ikut sayembara itu kan?"
Dewi Cempaka tersenyum getir.
"Kakang tetap mau mencari
Kak Pandan?"
"Ya," sahut Rangga
mendesah.
"Tidak kembali dulu ke
kerajaan?"
"Mungkin tidak."
"Aku ikut, ya?"
"Jangan, kau lebih
dibutuhkan di sana "
"Tapi...."
"Cempaka..,, perjalananku
tidak menentu. Dan aku sendiri belum yakin akan bertemu dengan Pandan Wangi
lagi!" ucap Rangga ragu-ragu.
********************
Pagi-pagi sekali seluruh murid
Padepokan Baja Hitam sudah bergerak perlahan meninggalkan padepokan itu. Mereka
semua berkuda menuju Kerajaan Karang Setra. Tampak Bayan Sudira dan Resi Balung
Gading berada di jajaran paling depan. Sedangkan di belakangnya Danupaksi dan
Pangkeng membuntuti. Urutan berikutnya adalah murid-murid Padepokan Baja Hitam,
yang disusul oleh satu regu pasukan prajurit yang dipimpin oleh seorang
punggawa menengah. Sedangkan yang paling belakang sekali adalah Rangga dan Dewi
Cempaka.
"Aku sampai di sini saja,
Cempaka," kata Rangga setelah rombongan itu sudah sampai di perbatasan
Desa Salapan.
"Kenapa tidak sampai di
perbatasan Karang Setra?" tanya Dewi Cempaka.
"Tidak, aku telah mendengar
kabar, bahwa ada seorang tabib kecil bersama seorang gadis di pesisir Selatan.
Dari sini tidak terlalu jauh jaraknya," tolak Rangga.
"Kau yakin, kalau mereka
adalah Kak Pandan dan anak yang ahli pengobatan itu?"
"Entahlah."
"Kenapa tidak ke Utara saja?
Aku dengar di sana ada seorang pendekar wanita yang tengah menghadapi para
bajak sungai."
"Mungkin setelah dari
pesisir Selatan, aku langsung ke Utara. Yang jelas, seriap ada berita, aku
pasti akan ke sana."
"Tapi ingat, Kakang.
Kerajaan Karang Setra sangat membutuhkanmu, kau tidak boleh larut
terus-menerus."
"Aku tahu, Cempaka. Aku
tidak mungkin melupakan kewajiban utamaku. Aku janji, satu purnama tidak juga
berhasil, aku pasti kembali ke Karang Setra.
"Kau akan tinggalkan dunia
persilatan?"
"Tidak semuanya." Dewi
Cempaka hanya diam.
"Pergilah, sampai ketemu
lagi di Karang Setra," kata Rangga sedikit mendesah.
"Aku harap, kau berhasil
menemukan Kak Pandan," kata Dewi Cempaka.
"Kau baik sekali,
Cempaka."
"Kakang...."
"Ada apa?"
"Sebenarnya aku ingin ikut
bersamamu...." "Suatu saat nanti, aku akan mengajakmu
berkelana," janji Rangga.
"Sungguh?"
"Percayalah, Cempaka.
Tugasku sebagai pendekar belum selesai. Dan aku tidak akan meninggalkannya
sebelum dunia ini benar-benar bersih dari orang-orang yang berhati iblis!"
Sebelum Dewi Cempaka membuka
mulutnya, Rangga sudah menggebah kuda hitamnya dengan kencang. Dalam sekejap
mata saja Pendekar Rajawali Sakti itu sudah hilang di balik kerimbunan
pepohonan.
"Cempaka...!"
Dewi Cempaka tersentak! Tampak
Danupaksi melambaikan tangannya jauh di depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
gadis itu langsung menggebah kudanya dan menyusul rombongan yang sudah berada
jauh di depannya. Hanya beberapa saat, dia sudah mensejajarkan langkah kaki
kudanya dengan kuda Danupaksi. Wajahnya tampak sedikit murung, meskipun sinar
matanya bercahaya. Ada rasa haru, senang, sedih dan berbagai macam perasaan
lain berkecamuk di dalam dadanya.
"Kakang Rangga pasti segera
kembali lagi, Dinda Cempaka," kata Danupaksi seperti mengetahui jalan
pikiran Dewi Cempaka.
"Ya," desah Dewi
Cempaka.
Kemudian mereka saling berdiam
diri. Mereka terus saja berjalan bersama rombongan Padepokan Baja Hitam dan
prajurit Kerajaan Karang Setra yang telah bergabung menjadi satu. Sebenarnya
kapan Rangga akan kembali lagi? Kalau dia akan kembali lagi setelah menemukan
Pandan Wangi, lalu kapan dia akan menemukannya?
Ikutilah kisah petualangan
Pendekar Rajawali Sakti berikutnya, dalam serial PERAWAN RIMBA TENGKORAK
Emoticon