CERITA SILAT INDONESIA
SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Karya: Teguh S.
Satu
"Oaaa..."
Lengking tangis bayi memecahkan keheningan malam sepi. Suara tangisan
itu datang dari sebuah rumah besar berpagar tembok batu yang kokoh
menyerupai benteng. Saat itu juga lampu-lampu dan obor dinyalakan oleh
beberapa orang untuk menerangi seluruh sudut benteng itu. Malam yang
semula sepi, kini berubah sama sekali bagai terjadi pesta mendadak.
Di salah satu ruangan besar rumah itu, tampak beberapa orang berdiri mengelilingi sebuah ranjang besar yang beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Seorang wanita muda dan cantik tergolek di atasnya bersama seorang bayi yang masih merah terbungkus kain sutra. Di samping wanita itu duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tampan namun memancarkan kekerasan. Laki-laki itu menjentikkan jarinya. Semua orang yang mengelilingi ranjang bergerak ke luar. Sebentar kemudian, laki-laki yang seperti bapak dari bayi itu mengecup lembut kening wanita muda yang tersenyum bahagia. "Anak kita laki-laki," bisiknya pelan. "Ya, tampan sepertimu, Kakang," sahut wanita itu lembut. Keceriaan dan kegembiraan tampak menyelimuti wajah mereka. Sedangkan bayi di sampingnya tampak pulas terselimut kain hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih bersih. Mereka sepertinya tak puas-puasnya memandangi bayi itu. "Sudah kau siapkan nama untuk anak kita, Kakang?" tanya wanita itu lembut seraya menatap wajah laki-laki di dekatnya. "Bagaimana denganmu?" laki-laki itu balik bertanya. "Belum. Tapi kalau perempuan sudah kusiapkan sejak dulu." sahutnya manis. "Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru kuberi nama." "Lebih cepat, lebih baik, Kakang." "Pasti Besok anak kita tentu sudah mempunyai nama yang bagus." Kembali mereka tersenyum dan memandangi wajah mungil di sampingnya. Sesaat lamanya mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya memandang wajah bayi tampan itu. Kemudian laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang menggantung di pinggang itu bangkit dari pembaringan. Langkahnya tegap menuju pintu kamar. "Akan ke mana?" "Menemui dukun bayi," jawabnya, lantas membuka pintu dan melangkah ke luar. Dua orang yang berdiri di samping pintu langsung membungkukkan badan memberi hormat. Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit. Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang berhubungan langsung dengan sebuah ruangan besar. Sebuah lampu kristal besar tergantung di langit-langit bagian tengah. Di ruangan itu sudah berkumpul orang-orang. Mereka serempak mrmbungkukkan badan memberi hormat. "Terima kasih," kata laki-laki itu seraya duduk di kursi kayu jati yang berukir indah.Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan dengan serentak semua orang yang ada di ruangan itu segera duduk bersila di lantai. Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka yang kelihatan cerah, tertunduk penuh rasa hormat. "Bertahun-tahun aku selalu berharap akan kehadiran seorang putra dalam hidupku, yang akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai Putih ini. Nyatanya malam ini doa dan harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin menyelenggarakan pesta besar atas rasa syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan Teratai Putih," kata laki-laki itu yang sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai Putih. Suaranya dalam dan berwibawa. Semua orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan gembira. Salah seorang yang duduk paling depan, berdiri. Dia segera menjura hormat, tangannya terkepal merapat di depan dada. "Ampun, Guru Dewa Pedang." "Ada apa, Badar?" tanya laki laki itu yang ternyata bernama Dewa Pedang. "Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul, Guru," kata Badar hormat. "Apa usulmu?" "Bagaimana kalau kita undang para ketua padepokan sahabat? Satu lagi, sebaiknya kita juga menyelenggarakan lomba ketangkasan," usul Badar "Bagaimana yang lain?" Dewa Pedang belum bisa memutuskan. Dia seperti ingin membagi rasa bahagianya dulu kepada murid-murid utamanya. "Setujuuu..." seru semua orang di ruangan itu serempak. "Baiklah Mulai sekarang kalian kupercaya untuk mempersiapkan segalanya. Aku ingin semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan. Saat itu pula akan kuumumkan nama putra pertamaku itu" kata Dewa Pedang dengan wajah cerah dan senyum terkembang lebar. Semua orang yang ada di situ segera berdiri dan menjura hormat. Tanpa diperintah lagi mereka segera berlalu meninggalkan ruangan itu. Meskipun tidak diperintah secara lisan, mereka sudah mengerti tugas masing-masing. Dewa Pedang segera bangkit berdiri, tapi tidak jadi melangkah "Badar..." panggil Dewa Pedang. Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia langsung menjura setelah tiba di depan gurunya. "Tolong panggil dukun bayi yang membantu istri ku melahirkan. Aku ingin memberinya hadiah khusus," kata Dewa Pedang. "Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan padepokan. Dia diantar enam orang murid tingkat tiga," lapor Badar. "Cepat susul, dan ajak kembali ke sini. Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan terima kasih," perintah Dewa Pedang. "Baik, Guru." Badar segera menjura hormat dan langsung berlari meninggalkan ruangan itu. Dewa Pedang bergegas melangkah kembali menuju kamar peraduannya. Rasanya, dalam masa-masa seperti ini dia ingin selalu dekat dengan putra pertamanya. Bertahun-tahun ia mengidam-idamkan mempunyai keturunan untuk menjadi ahli warisnya, dan baru malam inilah keinginannya terkabul
Di salah satu ruangan besar rumah itu, tampak beberapa orang berdiri mengelilingi sebuah ranjang besar yang beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Seorang wanita muda dan cantik tergolek di atasnya bersama seorang bayi yang masih merah terbungkus kain sutra. Di samping wanita itu duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tampan namun memancarkan kekerasan. Laki-laki itu menjentikkan jarinya. Semua orang yang mengelilingi ranjang bergerak ke luar. Sebentar kemudian, laki-laki yang seperti bapak dari bayi itu mengecup lembut kening wanita muda yang tersenyum bahagia. "Anak kita laki-laki," bisiknya pelan. "Ya, tampan sepertimu, Kakang," sahut wanita itu lembut. Keceriaan dan kegembiraan tampak menyelimuti wajah mereka. Sedangkan bayi di sampingnya tampak pulas terselimut kain hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih bersih. Mereka sepertinya tak puas-puasnya memandangi bayi itu. "Sudah kau siapkan nama untuk anak kita, Kakang?" tanya wanita itu lembut seraya menatap wajah laki-laki di dekatnya. "Bagaimana denganmu?" laki-laki itu balik bertanya. "Belum. Tapi kalau perempuan sudah kusiapkan sejak dulu." sahutnya manis. "Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru kuberi nama." "Lebih cepat, lebih baik, Kakang." "Pasti Besok anak kita tentu sudah mempunyai nama yang bagus." Kembali mereka tersenyum dan memandangi wajah mungil di sampingnya. Sesaat lamanya mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya memandang wajah bayi tampan itu. Kemudian laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang menggantung di pinggang itu bangkit dari pembaringan. Langkahnya tegap menuju pintu kamar. "Akan ke mana?" "Menemui dukun bayi," jawabnya, lantas membuka pintu dan melangkah ke luar. Dua orang yang berdiri di samping pintu langsung membungkukkan badan memberi hormat. Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit. Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang berhubungan langsung dengan sebuah ruangan besar. Sebuah lampu kristal besar tergantung di langit-langit bagian tengah. Di ruangan itu sudah berkumpul orang-orang. Mereka serempak mrmbungkukkan badan memberi hormat. "Terima kasih," kata laki-laki itu seraya duduk di kursi kayu jati yang berukir indah.Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan dengan serentak semua orang yang ada di ruangan itu segera duduk bersila di lantai. Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka yang kelihatan cerah, tertunduk penuh rasa hormat. "Bertahun-tahun aku selalu berharap akan kehadiran seorang putra dalam hidupku, yang akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai Putih ini. Nyatanya malam ini doa dan harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin menyelenggarakan pesta besar atas rasa syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan Teratai Putih," kata laki-laki itu yang sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai Putih. Suaranya dalam dan berwibawa. Semua orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan gembira. Salah seorang yang duduk paling depan, berdiri. Dia segera menjura hormat, tangannya terkepal merapat di depan dada. "Ampun, Guru Dewa Pedang." "Ada apa, Badar?" tanya laki laki itu yang ternyata bernama Dewa Pedang. "Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul, Guru," kata Badar hormat. "Apa usulmu?" "Bagaimana kalau kita undang para ketua padepokan sahabat? Satu lagi, sebaiknya kita juga menyelenggarakan lomba ketangkasan," usul Badar "Bagaimana yang lain?" Dewa Pedang belum bisa memutuskan. Dia seperti ingin membagi rasa bahagianya dulu kepada murid-murid utamanya. "Setujuuu..." seru semua orang di ruangan itu serempak. "Baiklah Mulai sekarang kalian kupercaya untuk mempersiapkan segalanya. Aku ingin semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan. Saat itu pula akan kuumumkan nama putra pertamaku itu" kata Dewa Pedang dengan wajah cerah dan senyum terkembang lebar. Semua orang yang ada di situ segera berdiri dan menjura hormat. Tanpa diperintah lagi mereka segera berlalu meninggalkan ruangan itu. Meskipun tidak diperintah secara lisan, mereka sudah mengerti tugas masing-masing. Dewa Pedang segera bangkit berdiri, tapi tidak jadi melangkah "Badar..." panggil Dewa Pedang. Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia langsung menjura setelah tiba di depan gurunya. "Tolong panggil dukun bayi yang membantu istri ku melahirkan. Aku ingin memberinya hadiah khusus," kata Dewa Pedang. "Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan padepokan. Dia diantar enam orang murid tingkat tiga," lapor Badar. "Cepat susul, dan ajak kembali ke sini. Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan terima kasih," perintah Dewa Pedang. "Baik, Guru." Badar segera menjura hormat dan langsung berlari meninggalkan ruangan itu. Dewa Pedang bergegas melangkah kembali menuju kamar peraduannya. Rasanya, dalam masa-masa seperti ini dia ingin selalu dekat dengan putra pertamanya. Bertahun-tahun ia mengidam-idamkan mempunyai keturunan untuk menjadi ahli warisnya, dan baru malam inilah keinginannya terkabul
***
Pada salah satu ruangan lain di rumah
besar Padepokan Teratai Putih, tampak duduk gelisah seorang wanita muda
dan cantik. Di depannya duduk tiga orang laki-laki yang juga masih
muda. Ketiga laki-laki itu menyandang senjata yang berlainan bentuknya.
"Apa kalian tadi tidak salah dengar?" tanya wanita muda itu sambil
memandang tajam pada wajah ketiga laki laki di depannya. "Tidak, Nyai.
Dewa Pedang bermaksud mengadakan pesta besar selama satu pekan untuk
menyambut kelahiran putra pertamanya," jawab laki-laki yang duduk paling
kanan. Wanita muda yang sinar matanya memancarkan segudang misteri itu
berdiri. Kakinya terayun pelan-pelan memutari tiga laki-laki yang tetap
duduk di kursinya. Keheningan menyelimuti ruangan yang berada paling
belakang dari rumah besar Padepokan Tetatai Putih itu. "Ganis," kata
wanita itu seraya menghentikan langkahnya tepat di depan laki-laki yang
duduk paling kanan. Di tangannya tergenggam sebuah kipas dari logam
keras. "Ya, Nyai," sahut lelaki yang dipanggil Ganis itu. "Kau tahu,
seharusnya bayi itu tidak boleh lahir Hmm... Tak kusangka kalau Nyai
Palet tidak mengindahkan peringatanku". "Nyai Rengganis ingin dukun bayi
itu mati?" tanya Ganis menebak. "Hhh" wanita yang bernama Rengganis itu
hanya tersenyum sinis. "Akan kukerjakan malam ini juga. Nyai," kata
Ganis seraya berdiri. "Bagus" sambut Rengganis. "Tunggu dulu, Kakang
Ganis" selak laki-laki yang duduk paling kiri. Di punggungnya tersandang
sebilah pedang. "Ada apa lagi, Adik Garang?" tanya Ganis.< "Dukun
bayi itu sudah pulang diantar oleh enam orang murid tingkat tiga. Kau
tidak mungkin bisa membunuhnya dengan mudah Apalagi Dewa Pedang menyuruh
Badar untuk menjemput kembali dukun itu," kata Ganang. "Kalau begitu,
sebaiknya aku ikut, Ganang," kata Nyai Rengganis. "Kami bertiga, Nyai"
selak orang yang duduk di tengah seraya berdiri. Senjatanya, sepasang
kapak yang terselip di pinggang. "Tidak, Gamar. Kau tetap di sini. Masih
ada tugas yang lebih penting untukmu," tolak Rengganis. "Tugas apa?"
tanya Gamar. "Kau harus tetap menguping semua pembicaraan Dewa Pedang.
Pada saat seperti ini, satu patah kata yang diucapkannya merupakan
perintah yang tidak bisa ditawar lagi. Dan itu sangat penting bagi
kita," kata Rengganis. "Benar, Adik Gamar. Sebaiknya kau tetap berada di
Padepokan Teratai Putih. Biar aku dan Adik Ganang yang akan membereskan
dukun bayi itu," sambung Ganis. "Baiklah. Tapi berhati-hatilah Kakang.
Aku dengar, Nyai Palet bukan orang sembarangan Tingkat kepandaiannya
cukup tinggi," kata Gamar. "Kami pergi dulu, Nyai," kata Ganis pamitan.
"Ya," sahut Rengganis membalas salam hormat kedua laki-laki itu.
Rengganis kembali duduk di kursinya setelah Ganis dan Ganang ke luar
dari ruangan ini. Sedangkan Gamar masih tetap berdiri dengan mulut
terkatup rapat. Beberapa saat mereka membisu. "Sebaiknya aku juga segera
pergi, Nyai," kata Gamar. "Untuk apa?" tanya Rengganis. "Tidak apa-apa.
Hanya...," Gamar tidak melanjutkan ucapannya. "Kau takut ada yang
melihatmu di kamarku ini? Jangan khawatir, Gamar. Semua penjaga di
sekitar kamarku sudah berpihak padaku. Mereka tidak akan melapor pada
Dewa Pedang. Apalagi sekarang ini dia tentu sedang menumpahkan
perhatiannya pada Larasati," kata Rengganis sambil tersenyum manis.
"Apakah Nyai sudah mempengaruhi muridmurid Dewa Pedang?" tanya Gamar.
"Terlalu berbahaya, Gamar. Mereka yang berpihak padaku, sebenarnya
adalah anak buahku sendiri yang menyusup masuk ke padepokan ini dan
menjadi murid Dewa Pedang. Kau paham maksudku, Gamar? "Paham, Nyai,"
sahut Gamar mengangguk. "Nah Ambilkan arak. Mereka semua sedang
bersenang-senang dan bergembira. Kita di sini pun juga harus bergembira
menyambut kehancuran Padepokan Teratai Putih," kata Rengganis. "Tapi,
Nyai...," Gamar mau menolak. "Lupakan saja tugasmu sementara, Gamar Kau
tidak ingin bersenang-senang denganku?" Gamar menelan ludahnya. Dia
tidak bisa lagi menolak saat Rengganis bangkit dan menghampirinya.
Tangan wanita itu langsung melingkar di leher Gamar. Wajah mereka begitu
dekat, sehingga desah napas Rengganis begitu hangat menyapu kulit wajah
Gamar. Mereka tidak peduli dengan keadaan dan lupa akan semua
pembicaraan yang tadi berlangsung beberapa saat. Yang jelas, kini mereka
telah berada dalam kamar, saling menyatukan kenikmatan. Hanya desahan
napas yang terdengar.
***
Dari hari ke hari kesibukan di Padepokan Teratai Putih terus
berlangsung. Seluruh sudut dihias dengan umbul-umbul yang beraneka
ragam, serta hiasan lain yang berwarna-warni. Semuanya membuat suasana
Padepokan Teratai Putih itu semakin semarak. Murid-murid padepokan itu
tidak kenal lelah. Semua kerja keras menyiapkan pesta berkenaan dengan
kelahiran pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih. Namun dari semua
keceriaan dan kesibukan persiapan pesta itu seperti tidak ternikmati
oleh Rengganis dan tiga bersaudara yang menjadi pengawal pribadinya. Di
depan Dewa Pedang maupun Larasati, Rengganis selalu menampakkan wajah
penuh ceria, seakan-akan dia juga turut gembira dengan hadirnya seorang
putra pewaris padepokan ini. "Gamar, bagaimana persiapanmu?" tanya
Rengganis saat mereka berada di kamar pribadi wanita itu. "Semua
tokoh-tokoh rimba persilatan yang memihak kita tinggal menunggu perintah
saja, Nyai," kata Gamar. "Hm..., bagus Dan kau, Ganis?" "Tidak ada
masalah, Nyai. Tepat pada hari yang telah ditentukan, seluruh anak
buahku siap bergerak," sahut Ganis. "Nyai tidak perlu khawatir Semuanya
sudah kami siapkan dengan matang," selak Ganang saat Nyai Rengganis
memandang ke arahnya. "Bagus Aku senang mendengarnya. Nah, sebaiknya
kalian ikut membantu mempersiapkan pesta. Aku tidak ingin ada yang usil
dan menaruh curiga pada gerakan kita," kata Rengganis. "Kami permisi,
Nyai," pamit tiga bersaudara itu. Nyai Rengganis hanya tersenyum dan
menganggukkan kepalanya. Bergegas ditutup pintu kamarnya setelah ketiga
bersaudara itu ke luar. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman manis.
Dari wajahnya memancar kecerahan dan keceriaan. Tapi bukan karena
kelahiran putra idaman seluruh orang di Padepokan teratai Putih ini,
melainkan sebuah rencana yang siap dimuntahkan. "Siapa...?" Nyai
Rengganis menoleh ketika mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.
Tidak ada jawaban. Tapi ketika pintu itu terbuka, muncul seorang
laki-laki berwajah tampan dan keras. Pedangnya berwarna perak
menggantung di pinggang. Dialah Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai
Putih ini. Dewa Pedang melangkah masuk, sambil menutup pintu kembali.
Rengganis menyambut disertai senyum tersungging di bibir. Rengganis
segera memeluk dan mengecup bibir Dewa Pedang. Sedangkan Ketua Padepokan
Teratai Putih itu membelai-belai pipi yang halus bagai kapas itu.
Rengganis menggelayutkan tubuhnya dengan manja di tubuh kekar Dewa
Pedang. "Kenapa mengurung diri di kamar? Keluarlah Mereka sedang
bergembira saat ini. Aku memberi kebebasan pada mereka untuk
bergembira," kata Dewa Pedang lembut. "Aku dari sana, Kakang. Aku lelah
sekali, tapi cukup senang," kata Rengganis manja. "Betul, kau tidak iri
karena Larasati yang memberiku putra?" "Jangan begitu, Kakang. Aku atau
Kak larasati sama saja. Sekarang mungkin dia. Lain waktu mungkin aku.
Sama saja, kan?" Dewa Pedang tertawa mendengar kemanjaan wanita itu. Dia
melepaskan pelukannya dan melangkah menghampiri pembaringan. Sebentar
dicopot pedangnya dan diletakkan dengan hati-hati di atas meja. Sebentar
kemudian tubuhnya telah terbaring di ranjang itu. Rengganis hanya
memperhatikan tanpa berkata sedikit pun. "Aku terlalu gembira,
Rengganis. Maaf kalau aku seperti melupakanmu. Tapi aku sudah ada di
sini," kata Dewa Pedang seraya memiringkan tubuhnya. Rengganis bisa
mengerti maksud kata-kata ketua Padepokan Teratai Putih itu. Wanita itu
bukannya menghampiri, tapi malah melangkah ke jendela kamar dan membuka
pintunya lebar-lebar. Tampak beberapa orang penjaga terlihat. Mereka
segera memberi hormat begitu melihat Rengganis di balik jendela. "Kenapa
kau buka jendela?" tanya Dewa Pedang. Nada suaranya agak kecewa.
"Panas," sahut Rengganis sekenanya. Dia berbalik dan bersandar pada
dinding. Dewa Pedang mendesah panjang, kemudian bangkit dan duduk di
tepi pembaringan, itu. Tangannya menjulur mengambil pedang, lalu
mengenakannya kembali. Rengganis hanya tersenyum saja melihat rona merah
mengandung kekecewaan pada wajah Dewa Pedang. "Mau ke mana?" tanya
Rengganis melihat Dewa Pedang akan pergi. "Lihat persiapan mereka."
sahut Dewa Pedang pelan. Rengganis tidak mencegah sedikit pun. Dibiarkan
saja Dewa Pedang melangkah ke luar tanpa menutup pintu kembali. Wanita
itu tertawa kecil melihat raut wajah ketua padepokan itu yang
menyiratkan rasa kecewa. Rengganis memang sengaja berlaku demikian.
Sudah beberapa kali dia menolak dan selalu memberi alasan macam-macam.
Hal ini memang disengaja agar Dewa Pedang kecewa dan kesal. Tapi
rupanya, Ketua Padepokan Teratai Putih itu jenis manusia yang sabar,
sedikit pun ia tidak berkata apa-apa, meskipun dari sinar matanya
menyemburat rasa kecewa. "Nikmati kebahagiaanmu yang sebentar, Dewa
Pedang," desis Rengganis dingin.
***
Dua
Keramaian menyemarak di Padepokan Teratai Pulih. Wajah-wajah cerah
terlihat dari semua orang yang datang memenuhi undangan Ketua Padepokan
Teratai Putih. Kelahiran putra pewaris tunggal padepokan disambut dengan
penuh kegembiraan. Dewa Pedang tersenyum lebar. Dengan bangga
diperkenalkan putranya pada semua undangan yang hadir. Istrinya,
Larasari tampak berdiri anggun menggendong anak tunggalnya di samping
suaminya. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum manis memikat. Ruangan
pendopo yang luas itu tampak sesak dipenuhi undangan yang datang dari
segala penjuru. Dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas kalau para
undangan dan tamu lainnya adalah orang-orang rimba persilatan yang
datang dari padepokan-padepokan lain. Namun semua kegembiraan itu sama
sekali tidak dinikmati Rengganis. Meskipun bibirnya selalu tersenyum
ramah pada setiap tamu, namun matanya sesekali melihat ke luar pendopo
ini. Rengganis bergegas ke luar begitu melihat Gamar berjalan bersama
dua orang bersenjata tombak panjang. Mereka menuju tangga masuk pendopo
Padepokan Teratai Putih ini. Wanita itu melangkah setengah berlari
menuruni anak-anak tangga pendopo. Gamar segera membungkuk memberi
hormat diikuti dua orang lainnya. "Bagaimana?" tanya Rengganis langsung.
"Semua sudah siap. Sebagian besar undangan yang hadir adalah
orang-orang kita. Mereka tinggal menunggu tanda darimu, Nyai," kata
Gamar. "Bagus Di mana dua saudaramu?" "Kakang Ganis memimpin dari
sebelah Utara, dan adik Garang dari sebelah Timur. Sedangkan dari arah
Selatan, gabungan dari beberapa partai. Dan dari dalam sendiri tinggal
menunggu perintah saja," lapor Gamar "Katakan pada saudaramu. Waktu yang
tepat adalah saat gong dipukul tanda adu ketangkasan dimulai. Tunggu
sampai gong yang ketiga," kata Rengganis. "Rencana yang bagus, Nyai,"
sambut Gamar. "Nah, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak ingin ada yang
mencurigai. Semua sudah di ambang pintu, Gamar. Kita tidak boleh
gagal," kata Rengganis. Gamar segera memberi hormat dan berlalu.
Rengganis pun juga berbalik masuk kembali ke dalam pendopo. Tapi baru
saja kakinya menaiki satu undakan, di depannya sudah berdiri Ketua
Padepokan Teratai Putih. Rengganis agak terkejut juga. Untunglah dia
dapat cepat menyembunyikan rasa kaget dengan memberikan senyuman manis.
"Apakah acara adu ketangkasan akan dimulai, Kakang?" tanya Rengganis
lebih dulu "Benar. Aku malah sengaja mencarimu. Tempat acara itu telah
kupindahkan, dan diadakan di tengah-tengah pendopo saja agar tidak
terlalu menyolok," sahut Dewa Pedang. "Kenapa begitu, Kakang? Bukankah
di alun-alun lebih leluasa?" Rengganis agak terperanjat mendengar nya.
"Aku tidak suka jika dicap sebagai ketua padepokan yang sombong,
Rengganis. Adu ketangkasan juga hanya dari murid-muridku sendiri.
Sifatnya hanya sekedar hiburan saja, bukan adu kepandaian," Dewa Pedang
berusaha menjelaskan. Rengganis hanya diam saja. Kakinya terayun
melangkah menaiki undakan menuju ke dalam pendopo. Matanya beredar ke
sekeliling. Tidak ada sebuah gong pun di ruangan luas ini. Rengganis
jadi sedikit bingung juga. Otaknya segera berputar keras mencari jalan
keluar. Masalahnya sekarang, dia belum paham benar mana orang-orang yang
berpihak padanya dan mana yang bukan. Semua sudah bercampur-baur
menjadi satu. Sulit untuk dikenali lagi. Rengganis sendiri tidak
mengenal mereka satu persatu. Memang semuanya hanya dia yang
merencanakan. Tapi yang melaksanakan adalah tiga saudara yang selalu
setia padanya. "Apa tandanya untuk memulai adu ketangkasan itu, Kakang?"
tanya Rengganis. "Hanya dari pembawa acara saja," jawab Dewa Pedang.
"Tidak pakai gong?" "Kurasa itu tidak perlu, Rengganis." Rengganis
tiba-tiba memegangi kepalanya dengan mata terpejam. Dewa Pedang agak
kaget juga. Buru-buru dipeluknya pundak wanita itu saat mulai limbung.
"Rengganis, kau kenapa?" tanya Dewa Pedang. "Kepalaku, Kakang. Rasanya
tiba-tiba saja pening," kata Rengganis lirih. "Sebaiknya kau istirahat
saja di kamar," kata Dewa Pedang. Laki-laki Ketua Padepokan Teratai
Putih itu menggapaikan tangannya. Dua orang emban setengah baya segera
mendekat tergopoh-gopoh. Mereka langsung memapah Rengganis yang
kelihatan lunglai sambil memijat-mijat kepalanya. "Bawa segera ke
kamar," perintah Dewa Pedang. Kedua emban itu segera membawa Rengganis
meninggalkan ruangan besar pendopo ini. Mereka masuk ke dalam lorong
yang menuju tempat peristirahatan keluarga Dewa Pedang. Tampak Rengganis
tersenyum besar. langkahnya sudah jauh meninggalkan ruangan pendopo
itu. Masih terdengar suara-suara riuh dan tepuk tangan para undangan
dari luar sana. Dengan satu gerakan cepat tak terduga, kedua tangan
Rengganis berkelebat ke dada kedua emban yang memapahnya. Sedikit pun
tak ada suara. Kedua emban itu langsung jatuh dengan dua bulatan kecil
berwarna hitam tertera di dada mereka. Dari sudut bibirnya mengalir
darah kental kehitaman. Sebentar Rengganis mengawasi sepanjang lorong,
lalu diseretnya dua tubuh ernban itu ke dalam sebuah kamar yang tidak
jauh dari lorong itu. Rengganis bergegas ke luar dari kamar itu dan
menutupnya. Gerakannya begitu ringan dan cepat melintasi lorong bagai
kancil menyusuri semak belukar. Tubuh yang terbungkus baju hijau dari
kain sutra halus itu pun lenyap setelah sampai di ujung lorong.
Sementara suara-suara dari ruang pendopo masih Juga terdengar riuh. Tapi
lorong itu tampak sepi tanpa seorang pun terlihat.
***
"Gamar..." Gamar tersentak kaget ketika mendengar suara panggilan dari
arah samping. Dia segera menoleh dan terkejut melihat Rengganis
berlari-lari menghampirinya. Gamar langsung berlari menghampiri.
Rengganis menghentikan larinya. Napasnya agak tersengal sedikit.
Wajahnya memerah dengan keringat menitik di kening dan leher. "Kenapa
Nyai ke sini?" tanya Gamar seraya melayangkan pandangannya ke belakang
wanita itu. "Ada perubahan, Gamar" sahut Rengganis. "Perubahan? Maksud,
Nyai?" "Adu ketangkasan tidak jadi dilaksanakan di alun-alun Juga, tidak
ada gong pembuka" "Jadi...?" "Itulah yang aku bingungkan, Gamar Tidak
mungkin menunggu tanda dari dalam lagi." Gamar diam merenung. Keningnya
berkerut dalam, pertanda tengah berpikir keras. Tidak mungkin
membatalkan rencana yang sudah disusun rapi dan dimatangkan selama
berbulan-bulan. Semua sudah siap siaga, tinggal menunggu tanda untuk
bergerak saja "Kau punya saran, Gamar?" tanya Rengganis sedikit putus
asa. "Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan Biar aku yang menghubungi
teman-teman di luar," sahut Gamar. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya
Rengganis ingin tahu. "Terpaksa. Kita harus memulai secara mendadak
tanpa tanda apa pun" kata Gamar. "Jangan, Gamar Semua harus dilakukan
serentak, tanpa ada yang saling mendahului Kekompakan harus tetap
dijaga," Rengganis tidak setuju. "Rasanya tidak ada jalan lain, Nyai."
"Aku punya cara" seru Rengganis tiba-tiba. Gamar menatap wanita cantik
itu dalam-dalam. Memang sejak semula sudah diduga kalau Rengganis pasti
banyak akalnya. Wanita itu sangat cerdik, penuh dengan tipu muslihat.
Mungkin Rengganis tadi hanya gugup saja, sehingga seperti buntu akalnya.
Tapi kini otaknya berhasil mencari jalan keluar yang terbaik. "Aku akan
kembali lagi ke dalam, dan kau hubungi yang lain secepat mungkin," kata
Rengganis serius. "Lalu?" "Kalau kau dan yang lainnya melihat ada
merpati terbang, itu adalah tanda dariku sebagai awal dari rencana kita.
Kau mengerti maksudku, Gamar?" "Mengerti, Nyai." "Cepatlah kau hubungi
yang lain Ingat, Gamar Jangan sampai gerakanmu dicurigai oleh penjaga."
"Jangan khawatir, Nyai." Rengganis tersenyum, lalu segera berbalik dan
berlari cepat menuju ke benteng padepokan sebelah Barat. Gerakannya
begitu ringan dan cepat bagaikan angin. Jelas kalau wanita itu memiliki
tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Gamar pun segera
bergerak setelah memberi beberapa pesan kepada anak buahnya. Sementara
itu Rengganis sudah melompati benteng sebelah Barat Padepokan Teratai
Putih. Matanya yang bulat menatap tajam ke sekitarnya. Dia menarik napas
lega setelah semua penjaga tampaknya terpusat pikirannya oleh suasana
gembira, sehingga sepertinya lengah dengan tugasnya. Rengganis bergegas
menuju ke pintu lorong rumah besar. Sebentar saja tubuhnya sudah lenyap
di balik pintu. Dengan langkah tenang, dia berjalan menyusuri lorong
yang di kanan dan kirinya terdapat kamar-kamar yang tertutup pintunya.
Rengganis langsung menuju ke ruang pendopo. Langkahnya tenang, dan
bibirnya terus menyunggingkan senyum. Beberapa kali harus dibalasnya
anggukan kepala para tamu yang memadati ruangan itu. Rengganis langsung
menghampiri Dewa Pedang yang duduk di kursi didampingi istrinya. Dewa
Pedang hanya memberi senyum saat Rengganis duduk di sampingnya. Sebentar
diliriknya Larasati yang menggendong putranya. Sementara beberapa
hiburan mulai ditampilkan. "Kakang...," kata Rengganis berbisik. "Ada
apa?" tanya Dewa Pedang menyorongkan kepalanya mendekati Rengganis. "Aku
ada usul, Kakang. Bagaimana kalau pada adu ketangkasan nanti dimulai
dengan pelepasan seekor merpati," kata Rengganis mengusulkan.
"Maksudmu?" "Sebagai pelambang kalau putra pewaris Padepokan Teratai
Putih akan melanglang buana menaklukkan seluruh rimba persilatan," sahut
Rengganis beralasan. "Usul yang bagus" sambut Dewa Pedang tersenyum
lebar. "Bagaimana, Laras?" "Kalau Kakang setuju, kenapa aku tidak?"
jawab Larasati sambil tersenyum. "Sebaiknya merpati kesayanganku saja,
Kak Laras," kata Rengganis. "Jangan, Adik Rengganis. Merpati itu kan
kesayanganmu." "Sebagai tanda kalau aku juga mencintai anakmu." "Terima
kasih, Adik Rengganis. Kau baik sekali," sahut Larasati terharu
Rengganis hanya tersenyum saja. Namun gerakan senyum di bibirnya terasa
getir. Sementara Dewa Pedang sudah kembali mengalihkan perhatiannya pada
acara hiburan yang ditampilkan murid-muridnya. Tampak para undangan
begitu terhibur. Banyak pula komentar dilontarkan. Semuanya selalu
memuji dan mengagumi gerakan-gerakan jurus silat yang diperlihatkan
murid-murid Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang tidak begitu bangga
hati. Dia tahu kalau semua pujian itu hanya sekedar untuk menyenangkan
hatinya saja. Rengganis menjentikkan jarinya. Seorang emban yang berada
di dekatnya segera mendekat Rengganis berbisik pada emban bertubuh gemuk
itu. Sesaat kemudian emban itu berlalu meninggalkan ruangan pendopo
ini, dan tidak lama kemudian sudah kembali dengan membawa sangkar berisi
burung merpati putih. Rengganis menerima dan meletakkannya di depan
kaki Dewa Pedang.
***
Gamar tampak gelisah. Dia berjalan mondar-mandir dengan matanya tak
lepas menatap ke arah Padepokan Teratai Putih. Sementara matahari sudah
semakin tinggi. Sinarnya yang terik membuat tubuh Gamar basah oleh
keringat yang mengucur deras. Bukan itu saja. Bahkan orang-orang yang
sudah sejak pagi tadi menunggu dengan senjata terhunus, juga kelihatan
tidak sabar lagi. Saat matahari tepat di atas kepala, terlihat seekor
merpati putih terbang tinggi dari dalam pendopo Pa depokan Teratai
Putih. Gamar langsung melompat ke depan, dan... "Serang.." teriaknya
lantang. Bersamaan dengan itu, secara serempak terdengar suara-suara
lantang dari arah Utara, Timur dan Selatan. Tidak lama kemudian menyusul
suara-suara pekikan yang membahana disertai derap ratusan manusia yang
berlari menuju Padepokan Teratai Putih dari em pat penjuru. Para penjaga
di sekitar tembok benteng padepokan itu terkejut bukan main, karena
tiba-tiba saja dari empat penjuru mata angin berlompatan orang-orang
bersenjata. Mereka melompati tembok benteng yang tinggi dan langsung
menyerang dengan ganas. Para penjaga yang tidak menduga adanya serangan
mendadak itu menjadi kalang-kabut. Jerit kematian mulai terdengar saling
susul bercampur dengan teriakan-teriakan gegap-gempita. Denting senjata
dan desir angin tenaga dalam menyemarakkan tempat yang lelah berubah
menjadi arena pertempuran. Dalam waktu yang sama, di dalam Pendopo Utama
Padepokan Teratai Putih juga terjadi kegemparan. Tiba-tiba saja
sebagian undangan mengeluarkan senjata. Mereka membuat keributan dengan
membabat habis undangan lainnya. Dewa Pedang yang cepat peka pada
keadaan, segera memerintahkan murid-muridnya untuk menghalau para
pengacau itu. Dia tidak menyadari akan bahaya yang mengancam istrinya.
Dan betapa terperanjat Dewa Pedang ketika melihat Rengganis mencabut
sebilah pisau dari balik sabuk ikat pinggangnya. Gerakan tangan
Rengganis begitu cepat mengarah tepat kedada Larasati. "Laras, awas..."
teriak Dewa Pedang cepat melompat berusaha mencegah serangan Rengganis.
Tring Secepat Rengganis mengibaskan pisaunya, secepat itu pula Dewa
Pedang mencabut senjata andalannya yang berupa pedang dari emas murni
bercampur logam keras. Begitu cepat gerakan kibasan pedangnya, sehingga
membuat Rengganis terkejut. Padahal ujung pisau Rengganis tinggal
serambut lagi membelah dada Larasati. "Ih" Rengganis segera melompat
mundur menghindari sabetan pedang Dewa Pedang yang mengarah perutnya.
Dewa Pedang memandang Rengganis setengah tidak percaya. Tapi yang
dipandang malah membalasnya dengan tajam. Dibuang pisaunya, lalu
dikeluarkan dua buah kipas dari baja putih bagaikan perak. Dewa Pedang
melangkah mundur melindungi istrinya. "Badar" teriak Dewa Pedang Badar
yang sedang bertarung melawan para undangan yang berkomplot dengan
Rengganis, segera melompat menghampiri gurunya. "Cepat bawa keluar istri
dan anakku. Selamatkan mereka" perintah Dewa Pedang. "Baik Guru," sahut
Badar. "Kakang...," suara Larasati tersekat di tenggorokan. "Cepatlah
Tidak ada waktu lagi Kau harus selamatkan anak kita," kata Dewa Pedang.
Larasati tidak membantah lagi. Segera dia berlari ke arah lorong diikuti
beberapa emban, dan dijaga sekitar dua puluh murid utama Padepokan
Teratai Putih yang dipimpin Badar. Pada saat itu Rengganis sudah
melompat menyerang Dewa Pedang dengan sepasang kipas bajanya. Wut, wut
Dewa Pedang menarik tubuhnya ke belakang sambil meliuk-liuk bagai ular,
menghindari kibasan senjata Rengganis yang cepat dan berbahaya. Dengan
cepat kaki Dewa Pedang terangkat naik, lalu menyepak ke depan. Rengganis
buru-buru mengibaskan kipasnya memapak kaki yang bergerak cepat ke arah
perutnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewa Pedang malah menarik
kakinya cepat dan memutarnya ke atas. Rengganis memekik tertahan saat
tapak kaki Dewa Pedang menghantam telak dadanya. Wanita itu terhuyung ke
belakang menabrak kursi. Saat itu juga Dewa Pedang melompat seraya
memutar pedangnya ke depan. Tapi sebelum ujung pedangnya menyentuh tubuh
Rengganis, sebuah bayangan merah berkelebat bagai kilat memapak
serangannya. Dug "Ukh" Dewa Pedang terjajar ke belakang sambil menekap
dadanya. Kedua bola matanya memerah menatap seorang laki-laki tua
berjubah merah yang sudah berdiri di depannya melindungi Rengganis.
Laki-laki tua itu menggenggam sebatang tongkat pendek yang ujungnya
terdapat lempengan logam berbentuk bulan sabit "Jantara...," desis Dewa
Pedang yang bernada tidak percaya dengan penglihatannya. Laki-laki tua
yang dipanggil Jantara itu hanya tersenyum sinis. Dia memang Jantara,
atau yang lebih dikenal dengan julukan si Tongkat Samber Nyawa. Dewa
Pedang benar-benar tidak percaya kalau Jantara ikut dalam aksi huru-hara
di padepokannya. "Sudah lama kutunggu kesempatan ini, Dewa Pedang" kata
Jantara dingin. "Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Mengapa
kau ingin menghancurkan padepokanku, Jantara?" tanya Dewa Pedang.
"Memang benar Kita memang tidak pernah punya persoalan secara pribadi.
Tapi murid-muridmu selalu malang-melintang menghalangi sepak-terjangku.
Bahkan gerakan anak buahku juga kau hambat" "Aku tidak pernah
mengajarkan untuk berlaku lunak pada orang-orang jahat, Jantara. Kalau
kau merasa terhalang, mengapa masih juga menyengsarakan orang lain?",
"Itu urusanku, Dewa Pedang" bentak Jantara keras. "Begitu pula dengan
tindakanku beserta murid-muridku Semuanya bukan urusanmu" balas Dewa
Pedang tidak kalah dinginnya. "Huh Umurmu sudah tinggal seujung pedang,
masih juga berlagak" Setelah berkata demikian, Jantara atau si Tongkat
Samber Nyawa lantas melompat menerjang diikuti Rengganis. Si Tongkat
Samber Nyawa memang tidak bisa dianggap enteng. Ilmunya cukup tinggi.
Dewa Pedang harus berhati-hati menghadapinya. Apalagi ditambah dengan
Rengganis yang juga memiliki kepandaian hampir setara dengan si Tongkat
Samber Nyawa. Tentu saja Dewa Pedang jadi kelabakan. Tapi sebagai ketua
padepokan silat, Dewa Pedang cukup cerdik. Dia bertarung sambil bertahan
mundur, mendekati tokoh-tokoh rimba persilatan yang juga bertarung
melawan murid-murid Padepokan Teratai Putih. Rengganis yang berotak
cerdas, tanggap akan kecerdikan Dewa Pedang. Tapi semuanya terlambat.
Murid-murid setia Padepokan Teratai Putih sudah merangsek menyerangnya.
Mau tidak mau Rengganis mengalihkan perhatiannya pada lawan-lawan
barunya. Sementara pertarungan masih terus berlangsung sengit. Cukup
sulit untuk membedakan antara lawan dan kawan. Korban sudah tak
terhitung lagi. Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Tampak dari
arah bangunan belakang, api melahap barak-barak murid Padepokan Teratai
Putih. Angin bertiup cukup kencang, sehingga api semakin leluasa melahap
semua yang di dekatnya. Tak seorang pun yang sempat memadamkannya,
masing-masing sibuk dengan lawannya. Kelengahan sedikit saja akan
berakibat nyawa melayang. Sedangkan pertarungan antara Dewa Pedang
dengan si Tongkat Samber Nyawa menjadi tak seimbang setelah murid-murid
utama Padepokan Teratai Putih membantu gurunya. Kelihatan kalau si
Tongkat Samber Nyawa terdesak hebat. Dia jatuh bangun menghindari setiap
serangan yang datang beruntun bagai air bah. "Sebaiknya Guru cepat
meninggalkan tempat ini Biar kami saja yang menghadapi para pengacau
keparat ini," kata salah seorang murid Dewa Pedang. "Jangan hiraukan aku
Kalian saja yang cepat pergi" sahut Dewa Pedang seraya mengibaskan
pedangnya ke kanan dan ke kiri. "Tidak Lebih baik kami mati
bersama-sama, Guru" Dewa Pedang terharu sekali mendengarnya. Betapa
besar pengabdian murid-muridnya. Kini Dewa Pedang berhadapan dengan
sekitar enam tokoh rimba persilatan yang begitu cepat menyerangnya.
Sementara itu si Tongkat Samber Nyawa kini leluasa membantai murid-murid
di Padepokan Teratai Putih yang sebenarnya bukan tandingannya. Keadaan
Dewa Pedang semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya terombang-ambing bagaikan
bola. Darah telah mengucur dari lukanya akibat tersambar senjata
lawan-lawannya. Keadaan yang sama juga dialami murid-muridnya. Mereka
tidak mampu menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan yang kepandaiannya
jauh di atas mereka. Apalagi ditambah dengan murid-murid Padepokan
Teratai Putih yang berkhianat. "Mampus kau, Dewa Pedang Hiyaaat.."
teriak Rengganis melengking tinggi. Bagaikan seekor burung elang,
Rengganis melompat tinggi dan menukik tajam dengan sepasang kipas yang
berkelebat cepat. Dewa Pedang yang sedang sibuk menghadang serangan para
pengeroyoknya, tidak sempat lagi berkelit. Sepasang kipas baja maut
Rengganis tanpa ampun lagi merobek kulitnya. Dewa Pedang melangkah
mundur. Tubuhnya limbung. Darah semakin banyak keluar dari tubuhnya.
Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pening. Tapi matanya
masih berkunang-kunang. Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas
terbuka lebar di depan dada. "Rengganis, kenapa kau ingin membunuhku?"
tanya Dewa Pedang lemah. "Karena kau telah membantai seluruh keluargaku"
sahut Rengganis dingin. "Aku.., aku tidak mengerti maksudmu...," Dewa
Pedang semakin lemah. "Kau tentu masih ingat peristiwa di Bukit Halimun.
Di sanalah kau bantai habis satu keluarta tanpa kenal beka kasihan. Kau
dan prajurit-prajuritmu tidak lebih dari binatang yang harus
dimusnahkan" Dewa Pedang terdiam. Ingatannya kembali saat menjadi
panglima perang kerajaan. Waktu itu dia memang ditugaskan untuk mengejar
satu keluarga pengkhianat kerajaan. Pengejarannya sampai ke Bukit
Halimun Tapi sama sekali dia tidak memerintahkan untuk membantai habis
keluarga pengkhianat itu. Dia dan satu pasukan prajurit pilihannya
datang terlambat. Keluarga itu sudah habis terbantai, kecuali seorang
anak perempuan kecil. "Kau putri Patih Kuraya...?" Dewa Pedang hanya
ingin memastikan. "Benar Aku berhasil lolos dengan pura-pura tewas waktu
itu. Kau memang tidak ada di sana, Dewa Pedang. Tapi
prajurit-prajuritmu melakukan itu pasti atas perintahmu. Padahal aku
yakin, Gusti Prabu tidak mungkin memerintahkan untuk membunuh habis
keluargaku. Dan akibat kesalahanmu yang fatal, kau diturunkan
pangkatnya. Tapi kau memang tak mau kehilangan muka, Dewa Pedang. Kau
mengundurkan diri dari jabatan panglima perang dan mengucilkan diri di
sini, mendirikan padepokan. Jelas maksudnya untuk mengharumkan namamu
kembali Tidak, Dewa Pedang... Namamu tetap kotor" "Ketahuilah,
Rengganis. Waktu itu aku datang terlambat. Dan lagi mereka bukanlah para
prajuritku Mereka adalah prajurit Patih Gumarang, Pamanmu sendiri.
Karena dia memang sudah lama menginginkan jabatan yang dipegang ayahmu
dan sengaja ingin menyingkirkan aku," kata Dewa Pedang berusaha
menjelaskan. "Huh Jangan membela diri" dengus Rengganis. "Memang tidak
ada gunanya aku membela diri, Rengganis. Tapi asal kau tahu saja
Pamanmulah yang membantai keluargamu di Bukit Halimun." "Setan Kau
memfitnah Pamanku" geram Rengganis gusar. "Kau harus mampus. Dewa
pedang, hiyaaa..." Rengganis melipat sepasang kipasnya. Saat dikibaskan
tangannya, dari ujung kipas itu keluar mata pisau yang tajam berkilat.
Dengan satu gerakan cepat, wanita itu melompat sambil berteriak nyaring.
Dewa Pedang yang sudah tidak berdaya lagi, hanya mampu menangkis satu
senjata Rengganis, sedangkan satu lagi amblas di dadanya. Jeritan
melengking terdengar menyayat. Rengganis belum merasa puas juga,
ditusukkan senjatanya berulang-ulang ke tubuh Dewa Pedang. Wanita itu
baru berhenti setelah Dewa Pedang menggeletak tak bernyawa lagi. Saat
itu juga murid-murid Padepokan Teratai Putih yang mengetahui gurunya
tewas, berlarian kalang-kabut menyelamatkan diri. Tapi tokoh-tokoh rimba
persilatan dan murid-murid padepokan yang berkhianat serta gabungan
dari partai-partai persilatan tidak membiarkannya. Mereka mengejar dan
membunuh orang-orang yang ada hubungannya dengan Dewa Pedang. "Habiskan
semua Jangan ada yang tersisa" perintah Rengganis keras. Rengganis
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mencari istri pertama Dewa
Pedang dan putranya. Hatinya menggeram karena orang yang paling
dibencinya berhasil menyelamatkan diri. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
dipanggilnya tiga saudara pengikut setianya dan beberapa anak buah
pilihan untuk mengejar istri Dewa Pedang dan putranya. Bahkan tidak
sedikit tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengejar. Sedangkan
sisanya membumihanguskan seluruh Padepokan Teratai Putih.
***
Tiga
"Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru," kata Badar setelah mereka cukup jauh meninggalkan Padepokan Teratai Putih.Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu mengambil tempat untuk istirahat. Sedangkan murid murid pilihan Padepokan Teratai Putih tetap berjaga-jaga. Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para emban. Sedangkan putranya tetap berada dalam pelukannya. Wajah ibu yang baru beberapa hari yang lalu habis melahirkan tampak kelelahan. Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung Tangkup. Tampak asap hitam membumbung tinggi, mengotori angkasa yang semula cerah "Badar," panggil Larasati lemah. "Ya, Nyai Guru," sahut Badar seraya mendekat. "Bagaimana nasib suamiku?" tanya Larasati. Hatinya waswas. "Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa Pedang selamat," sahut Badar, yang sebenarnya tak yakin gurunya selamat. "Tidak kusangka kalau Rengganis akan berkhianat," lirih suara Larasati. "Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai. Sebagian murid-murid berpihak padanya juga, tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang berpihak pada wanita keparat itu." sahut Badar lagi. Larasati diam merenung. Dia masih belum bisa mengerti, mengapa Rengganis punya niat buruk seperti itu. Benar-benar tidak disangga sama sekali. Rengganis yang selalu bersikap manis, ternyata di balik semua itu tersimpan hati busuk untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih Larasati memang tidak tahu persis latar belakang istri kedua Dewa Pedang itu. Yang dia tahu, ketika suaminya membawa seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya sebagai istri. Saat itu Larasati sebenarnya ingin berontak. Hatinya tidak suka dimadu. Namun dia sadar akan kodratnya sebagai seorang wanita yang hanya bisa menerima nasib saja. Akhirnya semua diterimanya dengan hati lapang. Dia memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis kepada suaminya. Larasati hanya bisa pasrah. "Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," ajak Badar. "Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim beberapa orang untuk melihat keadaan suamiku," Larasati menyarankan. "Baiklah. Nyai," sahut Badar seraya beranjak bangun. Badar menghampiri murid-murid Padepokan Teratai Putih yang ikut dalam rombongan ini. Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang untuk kembali ke padepokan. Badar segera menghampiri Larasati setelah tiga orang yang ditunjuknya telah berangkat. Saat itu Larasati sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali diikuti enam orang emban. "Mari, Nyai," kata Badar. Larasati mengangguk, lalu melangkah. Enam orang emban setianya mengiringinya dari belakang. Sedangkan murid-murid setia Dewa Pedang tinggal sembilan orang lagi yang berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya. Seakan-akan membentuk benteng kokoh. "Lampik..." panggil Badar sambil menggapaikan tangannya pada salah seorang adik seperguruannya yang berjalan di belakangnya. "Ada apa, Kakang?" Lampik segera menghampiri. "Kau jalan lebih dulu, cari desa terdekat. Beli beberapa ekor kuda," perintah Badar, orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan istri gurunya ini. "Baik, Kakang," sahut Lampik segera berlari cepat mendahului rombongan itu. "Untuk apa kau beli kuda, Badar?" tanya Larasati. "Agar perjalanan lebih cepat, Nyai," sahut Badar. Larasati tidak bertanya lagi. Sementara rombongan itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih yang kini telah hancur. Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh anak buahnya serta beberapa puluh tokoh rimba persilatan terus mengejar rombongan yang berhasil melarikan diri. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, sehingga dalam waktu singkat rombongan itu telah terlihat. "Itu mereka Kejar Bunuh mereka semua..." seru Rengganis seraya berlari cepat menggunakan ilmu peringan tubuh. "Celaka" desah Badar terkejut. Larasati pun ikut terkejut begitu melihat ke belakang. Tampak puluhan orang berlarian ke arah mereka dengan senjata terhunus. "Hadang mereka semampu kalian" perintah Badar. "Baik, Kakang" delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih langsung berbalik dan mencabut senjata masing-masing. Sedangkan Badar segera membawa Larasati dan enam orang emban menjauh dari tempat itu. Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar terhindar dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu. Sementara delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih serentak menghadang para pengejarnya. Mereka langsung bertempur tanpa mengenal rasa takut. Tingkat kepandaian mereka memang cukup lumayan, karena mereka adalah murid utama Dewa Pedang. Hal ini menjadikan pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya jadi agak terhambat. Mereka terpaksa bertarung untuk menembus benteng yang terdiri dari delapan orang itu. Ternyata delapan orang murid utama Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh. Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, mereka kewalahan juga. "Cari kesempatan keluar Biar aku hadang mereka" seru salah seorang dari delapan murid Padepokan Teratai Putih itu. Dua orang langsung melompat dan berlari cepat menyusul istri ketua Padepokan Teratai Putih yang sudah tidak terlihat lagi. Beberapa tokoh rimba persilatan ingin mengejar, tapi enam orang yang masih bertahan cepat menghalangi. Pertarungan tidak seimbang itu kian berlangsung sengit. Namun telah dapat dipastikan kalau enam orang itu benar-benar kewalahan. Bahkan tidak berapa lama berselang, satu orang terjungkal roboh mandi darah. Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang lagi dengan dada robek. "Bunuh mereka semua Yang lain ikut aku" seru Rengganis sambil melompat keluar dari kancah pertempuran begitu ada kesempatan. Salah seorang segera melompat hendak menghadang Rengganis. Tapi wanita berbaju hijau dengan senjata sepasang kipas baja itu dengan cepat mengebutkan kipasnya. Tanpa ampun lagi. orang yang menghalanginya itu tersambar dadanya hingga sobek. Rengganis tidak lagi mempedulikan. Dia segera berlari dan melompat cepat diikuti oleh yang lainnya. Sudah dapat dipastikan kalau sisa muridmurid utama Padepokan Teratai Putih itu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian di atas mereka. Satu persatu mereka roboh dan langsung tewas. Sementara Rengganis dan sebagian pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang setianya. Sedangkan tokoh tokoh lainnya segera mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai Putih, karena yang menghalangi sudah tidak tersisa lagi. Tapi pihak mereka juga tidak sedikit yang tewas. Kebanyakan dari mereka adalah yang memiliki kemampuan di bawah muridmurid Padepokan Teratai Putih.
"Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru," kata Badar setelah mereka cukup jauh meninggalkan Padepokan Teratai Putih.Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu mengambil tempat untuk istirahat. Sedangkan murid murid pilihan Padepokan Teratai Putih tetap berjaga-jaga. Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para emban. Sedangkan putranya tetap berada dalam pelukannya. Wajah ibu yang baru beberapa hari yang lalu habis melahirkan tampak kelelahan. Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung Tangkup. Tampak asap hitam membumbung tinggi, mengotori angkasa yang semula cerah "Badar," panggil Larasati lemah. "Ya, Nyai Guru," sahut Badar seraya mendekat. "Bagaimana nasib suamiku?" tanya Larasati. Hatinya waswas. "Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa Pedang selamat," sahut Badar, yang sebenarnya tak yakin gurunya selamat. "Tidak kusangka kalau Rengganis akan berkhianat," lirih suara Larasati. "Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai. Sebagian murid-murid berpihak padanya juga, tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang berpihak pada wanita keparat itu." sahut Badar lagi. Larasati diam merenung. Dia masih belum bisa mengerti, mengapa Rengganis punya niat buruk seperti itu. Benar-benar tidak disangga sama sekali. Rengganis yang selalu bersikap manis, ternyata di balik semua itu tersimpan hati busuk untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih Larasati memang tidak tahu persis latar belakang istri kedua Dewa Pedang itu. Yang dia tahu, ketika suaminya membawa seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya sebagai istri. Saat itu Larasati sebenarnya ingin berontak. Hatinya tidak suka dimadu. Namun dia sadar akan kodratnya sebagai seorang wanita yang hanya bisa menerima nasib saja. Akhirnya semua diterimanya dengan hati lapang. Dia memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis kepada suaminya. Larasati hanya bisa pasrah. "Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," ajak Badar. "Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim beberapa orang untuk melihat keadaan suamiku," Larasati menyarankan. "Baiklah. Nyai," sahut Badar seraya beranjak bangun. Badar menghampiri murid-murid Padepokan Teratai Putih yang ikut dalam rombongan ini. Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang untuk kembali ke padepokan. Badar segera menghampiri Larasati setelah tiga orang yang ditunjuknya telah berangkat. Saat itu Larasati sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali diikuti enam orang emban. "Mari, Nyai," kata Badar. Larasati mengangguk, lalu melangkah. Enam orang emban setianya mengiringinya dari belakang. Sedangkan murid-murid setia Dewa Pedang tinggal sembilan orang lagi yang berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya. Seakan-akan membentuk benteng kokoh. "Lampik..." panggil Badar sambil menggapaikan tangannya pada salah seorang adik seperguruannya yang berjalan di belakangnya. "Ada apa, Kakang?" Lampik segera menghampiri. "Kau jalan lebih dulu, cari desa terdekat. Beli beberapa ekor kuda," perintah Badar, orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan istri gurunya ini. "Baik, Kakang," sahut Lampik segera berlari cepat mendahului rombongan itu. "Untuk apa kau beli kuda, Badar?" tanya Larasati. "Agar perjalanan lebih cepat, Nyai," sahut Badar. Larasati tidak bertanya lagi. Sementara rombongan itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih yang kini telah hancur. Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh anak buahnya serta beberapa puluh tokoh rimba persilatan terus mengejar rombongan yang berhasil melarikan diri. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, sehingga dalam waktu singkat rombongan itu telah terlihat. "Itu mereka Kejar Bunuh mereka semua..." seru Rengganis seraya berlari cepat menggunakan ilmu peringan tubuh. "Celaka" desah Badar terkejut. Larasati pun ikut terkejut begitu melihat ke belakang. Tampak puluhan orang berlarian ke arah mereka dengan senjata terhunus. "Hadang mereka semampu kalian" perintah Badar. "Baik, Kakang" delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih langsung berbalik dan mencabut senjata masing-masing. Sedangkan Badar segera membawa Larasati dan enam orang emban menjauh dari tempat itu. Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar terhindar dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu. Sementara delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih serentak menghadang para pengejarnya. Mereka langsung bertempur tanpa mengenal rasa takut. Tingkat kepandaian mereka memang cukup lumayan, karena mereka adalah murid utama Dewa Pedang. Hal ini menjadikan pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya jadi agak terhambat. Mereka terpaksa bertarung untuk menembus benteng yang terdiri dari delapan orang itu. Ternyata delapan orang murid utama Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh. Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, mereka kewalahan juga. "Cari kesempatan keluar Biar aku hadang mereka" seru salah seorang dari delapan murid Padepokan Teratai Putih itu. Dua orang langsung melompat dan berlari cepat menyusul istri ketua Padepokan Teratai Putih yang sudah tidak terlihat lagi. Beberapa tokoh rimba persilatan ingin mengejar, tapi enam orang yang masih bertahan cepat menghalangi. Pertarungan tidak seimbang itu kian berlangsung sengit. Namun telah dapat dipastikan kalau enam orang itu benar-benar kewalahan. Bahkan tidak berapa lama berselang, satu orang terjungkal roboh mandi darah. Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang lagi dengan dada robek. "Bunuh mereka semua Yang lain ikut aku" seru Rengganis sambil melompat keluar dari kancah pertempuran begitu ada kesempatan. Salah seorang segera melompat hendak menghadang Rengganis. Tapi wanita berbaju hijau dengan senjata sepasang kipas baja itu dengan cepat mengebutkan kipasnya. Tanpa ampun lagi. orang yang menghalanginya itu tersambar dadanya hingga sobek. Rengganis tidak lagi mempedulikan. Dia segera berlari dan melompat cepat diikuti oleh yang lainnya. Sudah dapat dipastikan kalau sisa muridmurid utama Padepokan Teratai Putih itu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian di atas mereka. Satu persatu mereka roboh dan langsung tewas. Sementara Rengganis dan sebagian pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang setianya. Sedangkan tokoh tokoh lainnya segera mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai Putih, karena yang menghalangi sudah tidak tersisa lagi. Tapi pihak mereka juga tidak sedikit yang tewas. Kebanyakan dari mereka adalah yang memiliki kemampuan di bawah muridmurid Padepokan Teratai Putih.
***
Pada saat yang sama, Badar yang selalu mendampingi istri gurunya itu
semakin cemas. Kecemasan itu sangat beralasan, karena tidak jauh di
belakang mereka, Rengganis bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya
mengejar cepat, dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh. Badar tidak
mungkin untuk memaksakan tenaga istri gurunya itu agar berlari lebih
cepat lagi. Larasati hanya seorang wanita lemah yang sama sekali tidak
mengerti ilmu olah kanuragan "Aaakh..." Tiba-tiba saja terdengar suara
jeritan menyayat dari salah seorang emban. Sebatang tombak panjang
menembus punggungnya hingga ke jantung. Suara jeritan itu belum lagi
hilang, ketika kembali terdengar jeritan melengking dari seorang emban
yang lain. Sebatang anak panah menembus punggungnya. Emban itu
terjungkal jatuh dan tewas seketika. "Cepat lari terus. Nyai," kata
Badar melihat Larasati berhenti. "Tapi...." Larasati tidak bisa
melanjutkan kata-katanya, karena mendadak saja dua batang anak panah
meluncur cepat ke arahnya. "Hup" Badar langsung mencabut pedang di
pinggangnya. Secepat kilat, dikibaskan senjata itu untuk menghalau dua
batang anak panah yang meluncur tadi. Tangan kirinya segera mendorong
Larasati agar terus berlari. Mau tidak mau Larasati berlari sambil
memeluk erat bayinya. Dua orang murid utama Padepokan Teratai Putih yang
sudah bergabung kembali, segera menghentikan larinya. Mereka mencoba
menghadang pengejar yang berjumlah puluhan orang itu. Namun dua orang
dengan tenaga sudah terkuras, tentu bukanlah tandingan tokoh-tokoh rimba
persilatan yang sudah dirasuki nafsu membunuh itu. Tanpa dapat berbuat
banyak, kedua orang itu tewas tercincang. Sementara Badar terus membawa
lari Larasati untuk menyelamatkan diri. Emban yang tinggal empat orang,
tanpa mampu berbuat apa-apa masih menyertai mereka. Tapi.... Mereka
memang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun. "Badar. Aku tidak
kuat lagi..." keluh Larasati dengan napas tersengal. "Bertahanlah,
Nyai," Badar coba mendorong semangat wanita itu. Larasati hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya sudah menyiratkan
kepasrahan. Sementara para pengejar sudah semakin deket saja.
"Selamatkan anakku, Badar. Biarkan aku di sini," kata Larasati sambil
menyerahkan putranya pada Badar. "Nyai...," Badar ragu-ragu menerima
bayi yang baru berusia beberapa hari itu. "Jangan hiraukan aku, Badar.
Aku mempunyai firasat bahwa suamiku sudah tiada. Selamatkan saja bayi
ini," Larasati mencoba tabah. Walaupun masih ragu-ragu, Badar menerima
juga bayi itu. Sebentar ditatapnya wajah mungil di dalam dekapannya.
Tampak bayi itu tersenyum manis, seolah-olah mengungkapkan agar Badar
tetap tabah dan bersemangat. Badar mengalihkan perhatian pada para
pengejarnya yang sudah semakin dekat saja. "Mari, Nyai. Mereka sudah
semakin dekat," desak Badar. "Jangan hiraukan aku, Badar. Cepatlah kau
pergi," sahut Larasati pasrah. "Nyai...." Pada saat itu, tiba-tiba
sebatang anak panah melesat cepat ke arah Larasati. Dengan sigap Badar
mengibaskan pedangnya menghalau anak panah itu. Tapi belum lagi
pedangnya ditarik, sebuah tombak panjang melesat cepat tanpa dicegah
lagi. Satu jeritan melengking terdengar dari salah seorang emban. Badar
menggeram melihat satu persatu orang yang harus dilindungi kini tewas.
"Cepat Bad.... Akh" "Nyai..." Badar tersentak kaget begitu melihat
wanita yang sangat dihormatinya sudah tertembus anak panah di punggung.
Sedangkan saat itu dia tengah menghalau serbuan tombak yang datang bagai
hujan. Badar segera melompat mendekati tubuh Larasati yang menggeletak
dengan punggung tertembus anak panah. Sementara jeritan-jeritan
melengking saling menyusul bersamaan dengan ambruknya para emban. Tubuh
mereka tertembus tombak dan anak panah. "Nyai...," Badar tidak sanggup
lagi mengeluarkan kata-kata. "Selamatkan anakku. Badar. Besarkan dan
didiklah agar menjadi seorang pendekar. Aku akan tersenyum jika dia
berhasil membalas kematian orang tuanya," kata Larasati lemah. "Nyai. "
"Bayu.... jangan nakal ya, Nak. . Turutilah kata-kata Pamanmu," semakin
lemah suara Larasati. Tanpa mampu dicegah lagi, setitik air bening
menetes di pipi Badar. Dengan tangan gemetar, Larasati mengusap kepala
bayinya. Lalu menghembuskan napas yang terakhir "Nyai...," desis Badar
tersendat. Sebentar Badar mengusap wajah Larasati dengan tangannya.
Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh dari puluhan orang yang
sedang berlari cepat menuju ke arah Badar. Dia menoleh. Di antara
mereka, terlihat Rengganis dengan kipas baja yang terkembang di tangan.
Badar segera bangkit berdiri, den berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. "Kejar dia Bunuh..." terdengar suara seruan keras.
***
Sementara itu matahari telah condong ke Barat. Sinarnya yang kemerahan
tidak lagi menyengat. Burung-burung telah mulai kembali ke sarangnya
masing-masing. Saat itu Badar yang berlari ke arah Selatan telah
mencapai tepian pantai. Angin laut bertiup kencang di senja hari. Debur
ombak menggemuruh menghantam batu-batu karang. Badar berhenti berlari
ketika matanya menatap kedepan, ke arah laut. Tampak sebuah pulau
berwarna merah menyembul ke permukaan laut. Kelihatannya pulau itu
sangat dekat dengan tempatnya berdiri sekarang. Badar tidak menyadari
kalau sekaranq ia berada di Pesisir Pantai Selatan. Dan pulau yang
terlihat itu adalah Pulau Neraka Pulau yang sangat ditakuti oleh semua
orang. Pulau yang aneh dan menyeramkan. Seluruh tanah, batu-batuan, dan
pepohonan berwarna merah bagai terbakar. Saat Badar menoleh ke belakang,
tampak para pengejarnya juga seperti ragu-ragu. Mereka tetap bergerak,
namun tidak lagi berlari cepat. Hanya bergerak pelahan-lahan. Nama Pulau
Neraka bukanlah nama asing bagi kaum rimba persilatan. Bahkan para
nelayan di sekitar Pesisir Pantai Selatan tidak ada yang berani
mendekati pulau itu. "Badar Menyerahlah kau Serahkan bayi itu padaku"
seru Rengganis seraya mendekat pelan-pelan "Jangan harap kau bisa
menyentuh bayi ini, Rengganis" sahut Badar seraya melangkah mundur
dengan cepat. Badar menoleh ke belakang. Tampak beberapa perahu nelayan
tertambat di garis pantai. Tidak jauh dari sini, terlihat sebuah
perkampungan nelayan. Beberapa orang nelayan tampak bergerombol, namun
tidak ada yang berani mendekat. Mereka tahu kalau orang-orang yang
berada di pantai sore-sore begini adalah para tokoh rimba persilatan.
Bagi penduduk yang tidak peduli dengan dunia persilatan, hanya
menyaksikan saja tanpa mau ikut terlibat. Sementara Rengganis dan
puluhan tokoh rimba persilatan terus melangkah pelahan-lahan mendekati
Badar. Menghadapi begitu banyak tokoh yang memiliki kemampuan rata-rata
di atasnya, bagi Badar tidaklah mungkin. Sedangkan kini tidak ada jalan
lain untuk bisa lolos kecuali ke Pulau Neraka itu. Dan ini sangat
disadari Badar. Masuk ke Pulau Neraka, sama saja lolos dari mulut buaya
lalu masuk ke kandang macan. Sebentar dilihatnya perahu itu, lalu
pandangannya beralih pada orang-orang yang semakin dekat saja. "Badar...
Aku akan membebaskanmu asalkan kau serahkan bayi itu," seru Rengganis.
"Jangan coba-coba membujukku, Perempuan Liar Mulutmu sangat manis, tapi
mengandung bisa" ejek Badar sinis. Merah padam wajah Rengganis mendengar
ejekan menyakitkan telinga itu. Tanpa menghiraukan kalau daerah itu
sangat terlarang untuk pertempuran, Rengganis segera melompat tinggi ke
udara. Bagaikan seekor burung camar, dia berputar di udara beberapa kali
sebelum mendarat di depan Badar. Sepasang kipas mautnya sudah
terkembang di depan dada. "Tahan" seru seseorang dari tokoh-tokoh rimba
persilatan ketika Rengganis hampir mengibaskan senjatanya. Rengganis
menghentikan gerakan tangannya di udara. Seorang laki-laki tua dengan
rambut seluruhnya putih, melompat menghampiri. Laki-laki Itu mengenakan
jubah putih dengan tangan kanan menggenggam tongkat. Hanya dengan sekali
lompatan saja, sudah berada di sisi Rengganis. "Gagak Putih, kenapa kau
hentikan maksudku?" tanya Rengganis mendengus tanpa menoleh sedikit
pun. "Kau akan terkena kutukan seumur hidup jika membunuh di sini,
Rengganis," kata laki-laki tua itu yang ternyata berjuluk Gagak Putih.
"Aku tidak peduli Mereka harus mati Semua ke turunan dan orang-orang
Dewa Pedang harus musnah dari muka bumi Kau tahu Gagak Putih Dewa Pedang
telah membantai habis seluruh keluargaku Sudah banyak pengorbananku,
Gagak Putih. Dan aku tidak ingin arwah-arwah mereka tertawa hanya karena
takut kena kutukan penghuni Pulau Neraka itu" Rengganis sudah tidak
mampu lagi berpikir jernih. "Rengganis Kau sadar dengan ucapanmu?" Gagak
Putih kaget juga mendengarnya. "Aku sadar, Gagak Putih. Dan aku rela
mati asal seluruh dendamku terbalas," sahut Rengganis mantap. Setelah
berkata demikian, dengan cepat Rengganis menggeser kakinya ke depan
sambil mengibaskan tangan kanannya. Pada saat itu juga Badar mengangkat
pedangnya menangkis serangan kipas yang terbuka dengan cepat. Tangan
kanannya memainkan pedang, sedangkan tangan kirinya tetap menggendong
bayi. Rengganis tidak peduli lagi dengan peringatan Gagak Putih.
Diserangnya Badar dengan jurus-jurus andalan yang sangat berbahaya dan
dahsyat. Pada saat itu Badar dalam keadaan terjepit. Kakinya tidak bisa
melangkah mundur. Punggungnya sudah menyentuh dinding perahu. Hingga
pada satu serangan yang cepat, Badar tidak sempat berkelit lagi. Bret
"Akh" Badar memekik tertahan. Darah mengucur keluar dari pundak sebelah
kiri. Untung saja Badar masih sempat menggeser kakinya sedikit, sehingga
sabetan ujung kipas Rengganis tidak melebar ke dada yang mungkin dapat
mengakibatkan bayi di dalam pelukan Badar terluka. "Serahkan bayi itu,
Badar Atau kau akan mati di sini," ancam Rengganis dingin. Badar
melangkah mundur. Sementara di sekitarnya telah banyak orang dengan
senjata siap merejam tubuhnya. Punggungnya semakin merapat ke dinding
perahu. Diam-diam Badar mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong
perahu dengan punggungnya. Sedikit demi sedikit perahu itu mulai
bergerak. Seorang pun tak ada yang memperhatikannya. Mungkin mereka
tengah diliputi perasaan tegang. "Hup" Tiba-tiba saja Badar melompat
naik ke atas perahu, tapi sebatang anak panah telah lebih cepat
mendesing. Tak ayal lagi, anak panah itu menancap tepat di punggung
Badar. "Bunuh dia" perintah Rengganis berteriak. Badar meletakkan bayi
yang ada dalam pelukannya ke dasar perahu, kemudian diambilnya kayu.
Dengan sisa-sisa tenaganya. Badar mengayuh perahu itu di tengah-tengah
hujan anak panah dan tombak yang berdesingan di sekitarnya. Badar terus
mengayuh tanpa peduli lagi dengan ancaman dan keadaan tubuhnya. "Akh"
lagi-lagi Badar memekik tertahan ketika sebatang anak panah kembali
menancap di lambung belakangnya. Belum juga dapat menegakkan tubuhnya,
satu batang anak panah kembali menembus tubuh Badar bagian perut. Badar
terus mengayuh dan tidak peduli lagi dengan darah yang mengucur semakin
deras. Tekadnya adalah menyelamatkan bayi dalam gendongannya walaupun
bibirnya meringis menahan sakit yang tiada tara pada sekujur tubuhnya.
Sementara perahu terus membawanya semakin jauh meninggalkan pesisir.
Hujan anak panah dan tombak telah mulai reda, bahkan kini telah berhenti
sama sekali. Badar menoleh ke belakang. Tampak orang-orang berhati
kejam masih berdiri berjajar di sepanjang partai. "Kalian akan menerima
perinbalasannya kelak..." teriak Badar sambil mengerahkan tenaga dalam
terakhirnya Suara Badar menggema keras tersapu angin laut. Semua orang
yang masih berjajar di tepi pantai mendengar jelas ancaman itu, tapi tak
seorang pun yang mempedulikannya. Perahu terus membawa Badar dan bayi
itu ke arah Pulau Neraka. Mereka semua tahu, kecil kemungkinan untuk
selamat jika memasuki kawasan pulau itu. Kalaupun kembali, pasti hanya
mayatnya saja yang hanyut terbawa ombak. Badar menyadari betul hal itu.
Dia berusaha mengayuh perahu untuk menghindari pulau itu. Tapi seperti
ada gelombang yang amat kuat, perahu itu malah seperti tersedot dan
bergerak sendiri ke pulau itu. Badar berhenti mengayuh. Tubuhnya semakin
melemah. Pandangan mata Badar mulai berkurang-kunang. Namun murid utama
Padepokan Teratai Putih itu masih sempat merasakan kalau perahu yang
ditumpanginya terombang-ambing menuju Pulau Neraka. Badar segera
mengambil bayi yang tergeletak didasar perahu. Dengan sisa-sisa
tenaganya, dia langsung melompat ke luar sebelum perahu hancur menabrak
batu karang yang berwarna merah bagai terbakar. Badar jatuh bergulingan
di atas pasir merah dan keras, namun bayi dalam pelukannya tidak
terlepas. "Oh, Tuhan.... Jika memang harus mati di sini, aku pasrah.
Tapi janganlah kau cabut nyawa bayi ini," lirih suara Badar. Susah payah
Badar berusaha berdiri. Bibirnya selalu meringis menahan sakit jika
bergerak sedikit saja. Tiga anak panah yang menghunjam tubuhnya, terasa
seperti menyayat-nyayat. Badar berusaha melangkah menjauhi pantai Pulau
Neraka. Baru saja kakinya berjalan beberapa tindak, tubuhnya kembali
tersungkur. Akibatnya, bayi dalam pelukannya terlepas jatuh. Aneh Bayi
itu tidak menangis Dia malah tersenyum lebar menggerak-gerakkan
tangannya. Badar merayap mendekati bayi itu sambil menahan sakit yang
tiada tara di tubuhnya. "Bayu..., rasanya aku sudah tidak kuat lagi.
Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian di sini," ujar Badar
sendu. Bayi itu seperti mengerti kata-kata Badar. Dia hanya diam,
sedangkan matanya yang bening indah berputar-putar merayapi wajah Badar.
Senyumnya tidak lagi mengembang. "Kau harus hidup, Bayu Harus... Akh"
Badar meringis menahan sakit. "Tidak ada lagi yang bisa membalas
kematian orang tuamu, kecuali engkau kelak Kau harus hidup, Bayu.
Balaslah semua kekejaman ini...," suara Badar semakin lemah. Badar tidak
kuat lagi menahan tubuhnya. Dia hanya mampu tergolek di samping bayi
yang terbungkus kain sutra halus merah muda. Jangankan mengangkat tubuh,
untuk mengangkat tangan saja Badar sudah tidak mampu lagi. Sementara
batuk-batuk yang lemah mulai mengiringi ajalnya. Matanya semakin
berkunang-kunang. Pasir pantai yang direbahinya ierasa semakin panas.
Padahal, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala. "Bayu Kau harus
hidup, Nak Kau harus jadi seorang pendekar Carilah nama-nama yang
kutulis ini Merekalah yang membunuh ayah dan ibumu Mereka semua kejam
Mereka juga menghancurkan Padepokan Teratai Putih milik ayahmu. Kau
pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih, Bayu...," suara Badar semakin
lemah dan sulit didengar. Badar merobek bajunya. Dengan darahnya
sendiri, dituiislah beberapa nama. Tapi belum juga selesai, tubuhnya
telah mengejang kaku. Badar sempat meletakkan kain bertuliskan beberapa
nama di atas tubuh bayi itu sebelum maut menjemputnya. Ketika dia
menghembuskan napas yang terakhir, pecahlah tangis bayi dengan suara
yang melengking. Bayi itu seperti mengerti kalau orang yang berjuang
menyelamatkan nyawanya telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini.
Tangis bayi itu begitu keras dan melengking. Angin pun seperti tersentak
dan berhenti bertiup. Tangisan itu membuat suasana Pulau Neraka begitu
menyayat. Sementara matahari semakin tenggelam di ufuk Barat. Sinarnya
yang membias merah menambah angkernya Pulau Neraka. Dan suara tangisan
bayi itu masih terdengar diselingi dengan ombak yang menjilat pantai.
Sementara jauh dari pulau berwarna merah itu, tampak tokoh-tokoh rimba
persilatan mulai meninggalkan pesisir pantai. Sedangkan Rengganis masih
berdiri menatap ke arah pulau itu. Dari pesisir pantai ini, begitu jelas
terlihat kalau perahu yang membawa Badar dan bayi putra tunggal Dewa
Pedang hancur berkeping-keping. Rengganis tersenyum lebar. Dia yakin
betul kalau dua manusia yang berada dalam perahu telah tewas di Pulau
Neraka yang angker dan penuh misteri itu. Rengganis masih berdiri
menatap ke arah pulau ditemani tiga saudara pengikut setianya. Sementara
tokoh-tokoh rimba persilatan yang lainnya telah sejak tadi meninggalkan
tepian pantai itu. Rengganis baru menoleh dan berbalik setelah semua
orang tidak terlihat lagi. "Ayo kita pulang," ajak Rengganis seraya
melangkah. "Kemana, Nyai?" tanya Ganis. "Ke tempat tanah kelahiranku"
***
Empat
Senja telah merambat menjadi malam. Angin berhembus kencang membawa hawa dingin ke sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia masih tergolek di pasir merah di bawah siraman cahaya bulan. Yang seorang telah tewas. Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak panah. Sedangkan yang seorang lagi adalah bayi laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna merah muda. Agaknya bayi itu masih hidup. Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh dari pantai itu, berdiri sosok manusia bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang buntung sampai sebatas paha, nampaknya-cukup kokoh menopang berat badannya. Dalam keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau kedua matanya tertutup rapat. Buta. Rambutnya yang merah panjang, melampai-lambai dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang tajam, jelas sekali kalau dia tengah mengamati dua sosok manusia yang terbaring di pasir pantai. Bagai bola karet yang ditendang, tubuh orang buntung itu melentur turun dari batu karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan dua lentingan saja, dia telah sampai di tepi pantai dekat dengan tubuh yang tewas. "Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini, Kisanak Semua keluhanmu telah kudengar," suaranya berat tanpa nada sedikit pun. Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh Badar yang sudah tidak bernyawa lagi. Kepalanya menggeleng-geleng. Dilompatinya tubuh yang sudah kaku itu. Kini dia menghadapi sosok bayi merah yang diam tenang. Kembali tangannya meraba-raba. Kening laki-laki buntung itu agak berkerut ketika tangannya menyentuh kulit halus bayi yang kelihatan tidur pulas. Mungkin bayi itu terlalu lelah setelah menangis seharian. "Bayi...? Jadi, inikah keluhannya...?" gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan. Kemudian diangkatnya bayi itu. Tangannya mendekap erat tubuh bayi yang kelihatannya kedinginan. Jari-jari tangan laki-laki itu mulai merayapi tubuh bayi dalam dekapannya. Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh kain yang penuh noda darah yang membentuk tulisan. Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu dimasukkan kain itu ke balik sabuknya. Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh bayi itu. "Masih hidup, dan.... Ah Laki-laki" serunya gembira. Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya, seperti hendak memandang bulan. Sebentar kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin melihat rupa bayi dalam dekapannya. Entah mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang buruk kelihatan murung. "Dari keluhan orang yang bersamamu, kau bernama Bayu, Bocah Ah..., seandainya.... Uh Tidak Aku tidak boleh mengingatnya kembali. Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini" Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Jari-jari tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi halus bayi yang bagai sutra itu. "Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan tulang-tulangmu sangat bagus. Mari, Anak Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang tinggal di sini," katanya setengah berbisik. Kaki orang itu melangkah pelan meninggalkan jasad Badar yang sebentar-sebentar dijilat ombak. "Bayu... Ah Kau tampan mirip dengan anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara.... Ya Namamu Bayu Hanggara" bisik orang itu lagi. Sehabis berkata demikian laki-laki cacat itu melentingkan tubuhnya. Meskipun kakinya buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya begitu gesit dan sukar untuk diikuti oleh mata biasa. Dalam sekejap saja ia telah hilang di balik batu-batu karang yang tersebar di sekitar pantai Pulau Neraka ini.
Senja telah merambat menjadi malam. Angin berhembus kencang membawa hawa dingin ke sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia masih tergolek di pasir merah di bawah siraman cahaya bulan. Yang seorang telah tewas. Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak panah. Sedangkan yang seorang lagi adalah bayi laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna merah muda. Agaknya bayi itu masih hidup. Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh dari pantai itu, berdiri sosok manusia bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang buntung sampai sebatas paha, nampaknya-cukup kokoh menopang berat badannya. Dalam keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau kedua matanya tertutup rapat. Buta. Rambutnya yang merah panjang, melampai-lambai dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang tajam, jelas sekali kalau dia tengah mengamati dua sosok manusia yang terbaring di pasir pantai. Bagai bola karet yang ditendang, tubuh orang buntung itu melentur turun dari batu karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan dua lentingan saja, dia telah sampai di tepi pantai dekat dengan tubuh yang tewas. "Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini, Kisanak Semua keluhanmu telah kudengar," suaranya berat tanpa nada sedikit pun. Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh Badar yang sudah tidak bernyawa lagi. Kepalanya menggeleng-geleng. Dilompatinya tubuh yang sudah kaku itu. Kini dia menghadapi sosok bayi merah yang diam tenang. Kembali tangannya meraba-raba. Kening laki-laki buntung itu agak berkerut ketika tangannya menyentuh kulit halus bayi yang kelihatan tidur pulas. Mungkin bayi itu terlalu lelah setelah menangis seharian. "Bayi...? Jadi, inikah keluhannya...?" gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan. Kemudian diangkatnya bayi itu. Tangannya mendekap erat tubuh bayi yang kelihatannya kedinginan. Jari-jari tangan laki-laki itu mulai merayapi tubuh bayi dalam dekapannya. Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh kain yang penuh noda darah yang membentuk tulisan. Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu dimasukkan kain itu ke balik sabuknya. Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh bayi itu. "Masih hidup, dan.... Ah Laki-laki" serunya gembira. Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya, seperti hendak memandang bulan. Sebentar kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin melihat rupa bayi dalam dekapannya. Entah mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang buruk kelihatan murung. "Dari keluhan orang yang bersamamu, kau bernama Bayu, Bocah Ah..., seandainya.... Uh Tidak Aku tidak boleh mengingatnya kembali. Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini" Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Jari-jari tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi halus bayi yang bagai sutra itu. "Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan tulang-tulangmu sangat bagus. Mari, Anak Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang tinggal di sini," katanya setengah berbisik. Kaki orang itu melangkah pelan meninggalkan jasad Badar yang sebentar-sebentar dijilat ombak. "Bayu... Ah Kau tampan mirip dengan anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara.... Ya Namamu Bayu Hanggara" bisik orang itu lagi. Sehabis berkata demikian laki-laki cacat itu melentingkan tubuhnya. Meskipun kakinya buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya begitu gesit dan sukar untuk diikuti oleh mata biasa. Dalam sekejap saja ia telah hilang di balik batu-batu karang yang tersebar di sekitar pantai Pulau Neraka ini.
***
Bulan telah berlalu, dan tahun demi tahun telah teriewati. Kari terus
berpacu cepat Tanpa terasa dua puluh tahun telah dilalui oleh bayi
mungil yang bernama Bayu. Dia kini telah menjelma menjadi seorang pemuda
berwajah tampan. Kulitnya kuning bersih. Namun di balik wajah dan
tubuhnya yang tegap itu, tersirat sorot mata yang keras dan tajam.
Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap dengan ikat harimau. Tubuhnya
yang tegap dihiasi oleh otot-otot yang bersembulan. Bajunya yang terbuat
dari kulit harimau, menutupi badannya. Lengannya yang kokoh dibiarkan
telanjang, seolah-olah ingin memperlihatkan kejantanannya. Sementara
kini senja telah merayap turun. Matahari dengan sinarnya yang merah
Jingga mulai bergerak meluncur ke peraduannya. Pemuda tegap berbaju
harimau itu berdiri tegak memandang ke laut lepas di atas sebongkah batu
karang berwarna merah bagai terbakar. Tidak jauh dari situ, juga
berdiri seorang laki-laki tua bertubuh gemuk pendek bagai bola. Tubuhnya
tertopang oleh kakinya yang buntung sampai ke paha. Wajahnya juga
menghadap ke laut lepas, tapi tanpa melihat apa-apa karena sepasang
matanya memang buta. Hanya perasaannya yang tajam mampu melihat keadaan
sekelilingnya. "Rasanya telah hampir malam. Kau tidak ingin pulang,
Bayu?" kata laki-laki yang cacat itu. "Hhh..." pemuda yang bernama Bayu
itu hanya menarik napas panjang seraya menoleh kepada laki-laki tua di
dekatnya. "Seharian kau berdiri di sini, Bayu Hanggara Boleh aku tahu,
apa yang sedang kau pikirkan?" "Tidak ada, Eyang Gardika," sahut Bayu
mendesah pelan. "Aku dapat merasakan ada sesuatu pada nada suaramu,
Bayu. Katakanlah terus terang, apa yang menjadi beban pikiranmu?" desak
laki-laki tua yang dipanggil Eyang Gardika. Lagi-lagi Bayu menarik napas
panjang. Dia memang sedang memikirkan sesuatu, tapi sulit untuk
mengungkapkannya. Sejak masih bayi merah dia dirawat dan dididik oleh
laki-laki tua penuh misteri ini, di Pulau Neraka Memang terlalu banyak
yang di pikirkan Bayu, tapi hanya satu masalah yang selalu mengganjal
hatinya. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa, dari mana, dan bagaimana
orang tuanya. Juga, dia tidak tahu asal-usul laki-laki tua cacat ini.
Dua puluhh tahun tinggal bersama-sama, tapi Bayu sedikit pun tidak tahu
seluk-beluk diri Eyang Gardika. "Eyang tidak marah jika aku ingin
mengatakan suatu?" nada suara Bayu terdengar ragu-ragu. "Kau
satu-satunya cucuku, Bayu. Katakan saja semua yang ada di dalam hatimu,"
jawab Eyang Gardika. Nada suaranya lembut, namun terdengar berat.
"Eyang selalu mengatakan bahwa aku ini adalah cucu mu, itu berarti aku
mempunyai orang tua, ayah dan ibu. Eyang tahu, di mana ayah dan ibuku
sekarang berada?" Eyang Gardika tidak segera menjawab. Ingatannya
kembali pada kejadian dua puluh tahun yang silam. Saat itu dia sedang
berjalan-jalan mengelilingi Pulau Neraka ini. Tiba-tiba saja perasaannya
yang tajam mengatakan ada sebuah perahu menuju ke pulau ini. Dengan
kekuatan tenaga dalam, ditariknya perahu yang berisi dua tubuh itu.
Seorang dengan luka di badan dan telah mati, seorang lagi adalah bayi
merah. Biasanya kalau ada perahu yang mendekati Pulau Neraka, Eyang
Gardika akan menghancurkan dan membunuh penumpangnya. Tapi karena
telinganya yang tajam mendengar suara rintihan dan keluhan disertai
tangisan bayi, hatinya merasa tersentuh. Pada saat itu dia memang
teringat pada putranya sendiri yang kini entah bagaimana nasibnya. Eyang
Gardika membalikkan tubuhnya, lalu berjalan tertatih-tatih dengan
sepasang kakinya yang buntung. Raut wajahnya langsung berubah. Wajah
angker tanpa senyum sedikit pun, terlihat semakin seram. Kening Bayu
menjadi berkernyit, lalu buru-buru terbalik dan mensejajarkan langkahnya
pelan-pelan di samping laki-laki tua cacat itu. "Maaf, Eyang. Aku tidak
bermaksud membuatmu sedih," ujar Bayu menyesal. "Aku tidak sedih. Kau
memang sudah selayaknya mengetahui tentang hal itu. Hm..., berapa usiamu
sekarang?" "Aku..., aku tidak tahu, Eyang," jawab Bayu kebingungan.
"Ya. Kau memang tidak pernah tahu usiamu, Bayu...," ujar Eyang Gardika
lirih. "Kalau Eyang bersedia, tolong ceritakan tentang diriku sendiri,
Eyang," pinta Bayu penuh harap. "Aku tidak tahu persis, Bayu. Engkau
kutemukan bersama seseorang yang telah mati, tergeletak di pantai Pulau
Neraka ini. Tapi mudah-mudahan saja kisahku nanti ada hubungannya dengan
asal-usul dirimu. Dan sebaiknya kita kembali dulu ke pondok," jawab
Eyang Gardika. Bayu tidak bisa membantah. Kakinya terus melangkah
pelan-pelan mengimbangi ayunan langkah Eyang Gardika di sebelahnya. Saat
itu matahari telah menenggelamkan dirinya di belahan bumi bagian Harat.
Sinarnya yang memerah kini digantikan oleh kepekatan malam. Bulan pun
muncul bersama kelap-kelip bintang menambah indahnya malam. Namun di
Pulau Neraka itu tetap saja sunyi sepi. Sedikit pun tak terdengar
nyanyian binatang-binatang malam. Pulau itu bagaikan tidak berpenghuni
saja. Entah sudah berapa lama Bayu duduk membisu. Matanya tidak lepas
pada secarik kain penuh tulisan oleh darah yang mengering. Tulisan itu
berisi beberapa nama. Kalau saja Eyang Gardika tidak menceritakan
artinya, tentu dia tidak akan tahu maksudnya. Nama-nama yang tertulis di
kain itu adalah orang-orang yan lelah membunuh kedua orang tua Bayu
Bayu baru mengangkat kepalanya ketika pundaknya ditepuk. Pandangan
matanya langsung tertuju pada Eyang Gardika yang duduk tepat di
hadapannya. Bayu menyimpan kain bertuliskan beberapa nama itu ke balik
ikat pinggangnya. Wajahnya yang kaku keras, semakin terlihat menegang.
Garis-garis kekerasannya semakin nampak nyata. "Bayu, Aku dulu juga
seorang tokoh hitam dalam rimba persilatan. Sudah tak terhitung lagi,
berapa nyawa yang telah kucabut. Bahkan banyak gadis yang telah menjadi
korban kebuasanku. Kau tahu, Bayu. Semua yang kulakukan tidak punya arti
dan maksud yang pasti. Aku sendiri tak tahu, untuk apa kulakukan semua
itu," ungkap Eyang Gardika, pelan dan berat suaranya. "Lantas, mengapa
Eyang bisa sampai di sini?" tanya Bayu. Matanya menatap kedua kaki dan
mata Eyang Gardika secara bergantian. "Dalam pengembaraanku di sebuah
desa yang tidak begitu ramai, aku terpikat pada seorang gadis yang lugu
dan sedernana. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku begitu lemah di
hadapannya. Biasanya jika aku melihat seorang gadis dan menginginkannya,
maka segala cara akan kutempuh. Tapi yang ini lain. Sungguh lain sekali
Aku begitu mencintainya. Kau tahu, Bayu. Ternyata dia juga mencintaiku
Memang tidak ada persoalan yang berarti dalam hubunganku dengan gadis
itu. Kami menikah di desa itu juga, dan menetap di sana. Sejak itulah
kutinggalkan dunia persilatan, dan hidup damai bersama istriku," Eyang
Gardika terdiam sebentar sebelum melanjutkan ceritanya. Bayu juga diam,
menunggu dengan sabar. "Tapi, meskipun aku telah bertobat dan melupakan
semua masa laluku, ternyata dosa-dosaku tak terampuni. Sebuah malapetaka
telah menimpa keluargaku. Saat itu anak pertamaku baru saja lahir,
sedangkan aku sedang berada di ladang. Sebuah kepulan asap hitam
terlihat olehku yang nampaknya berasal dari rumahku. Perasaanku tidak
enak. Cepat-cepat aku berlari pulang. Lalu, apa yang terjadi Bayu...?
Rumahku habis terbakar, dan istriku telah terbunuh. Di sekitar rumahku
telah menunggu tidak kurang dari tiga puluh tokoh sakti rimba
persilatan. Tanpa senjata kebanggaanku, aku memang tidak berarti apa-apa
buat mereka. Namun demikian aku berhasil menewaskan mereka lebih dari
separuhnya. Akhirnya aku berhasil ditaklukkan, dan mereka membuntungi
kedua kakiku serta membutakan kedua mata ku. Saat itu yang kuinginkan
hanya satu. Kematian Tapi rupanya Yang Maha Kuasa belum mengijinkan. Aku
tetap diberi hidup. Kemudian, kutinggalkan desa itu setelah kutemukan
senjata andalanku." Eyang Gardika menunjukkan sebuah senjata berbentuk
cakra segi enam yang menempel pada pergelangan tangan kanannya. "Mengapa
mereka mengeroyokmu. Eyang?" tanya Bayu. "Sudah menjadi kehidupan
orang-orang rimba persilatan, Cucuku. Mereka sadar bahwa kehadiranku
merupakan ancaman yang harus dimusnahkan...," jawab Eyang Gardika pelan.
"Lagi pula mungkin mereka memang dendam kepadaku. Mungkin ada keluarga,
anak, istri, atau teman mereka yang tewas di tanganku." "Lalu, di mana
sekarang anakmu, Eyang?" tanya Bayu "Entahlah. Sampai saat ini aku tidak
pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih hidup, mungkin juga telah
mati terbakar bersama rumahku," lirih suara Eyang Gardika. Bayu kembali
merenung. Penderitaan yang dialami kekek angkat sekaligus gurunya ini,
ternyata lebih tragis daripada yang dialaminya. Bayu benar-benar
merasakan hal itu. Mereka memang sama-sama kehilangan orang-orang yang
dicintai. Hanya bedanya, Bayu tidak menyaksikan pembantaian orang
tuanya. "Eyang, bagaimana kau bisa sampai ke Pulau Neraka ini?" tanya
Bayu. "Desa tempat tinggalku memang tidak jauh dari Pesisir Pantai
Selatan. Saat itu aku memang tidak mempunyai tujuan yang pasti, setelah
aku berhasil meloloskan diri. Kedua kakiku buntung, dan kedua mataku
buta. Kau bisa bayangkan, bagaimana penderitaanku saat itu. Aku bisa
sampai ke Pulau Neraka ini secara kebetulan saja. Perahu yang kunaiki
entah bagaimana membawaku ke sini. Di pulau ini aku rasanya seperti
sudah mati saja. Dengan keadaan tubuh yang tidak lengkap lagi, rasanya
sulit untuk mempertahankan hidup di pulau yang tidak berpenghuni dan
ganas ini. Tapi aku berusaha untuk tetap hidup. Setelah tubuhku pulih,
aku berusaha melatih jurus-jurusku. Entah bagaimana, di hatiku malah
tumbuh rasa dendam. Dan itu memang berakibat fatal. Setiap orang yang
mencoba memasuki daerah Pulau Neraka, kubunuh tanpa ampun Tidak peduli
siapa yang datang. Bertahun-tahun kujalani hidup seperti itu. Sejak saat
itu, nama Pulau Neraka semakin ditakuti semua orang. Bukan saja
penduduk desa, tapi juga orang-orang rimba persilatan. Tidak seorang pun
yang berani datang ke pulau ini lagi." "Bagaimana kau melakukannya?"
tanya Bayu yang belum pernah melihat gurunya membunuh orang selama dia
tinggal di sini. Pada kenyataannya, memang tidak seorang pun yang berani
datang ke pulau angker ini "Dengan ketajaman telinga dan senjata
andalanku ini," jawab Eyang Gardika menunjukkan kembali senjata aneh di
tangan kanannya. Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban gurunya
memang bisa dipercaya, karena memang telah terbukti kedahsyatan senjata
itu. Dan lagi, ketajaman pendengaran Eyang Gardika memang luar biasa
Dari pondok di tengah-tengah pulau ini, dia bisa mendengar apa saja yang
terjadi di sekeliling pulau. Bahkan perahu kecil yang coba-coba
mendekat pun bisa diketahuinya dengan jelas. Entah ilmu apa yang
digunakan. Yang jelas, Bayu belum mampu mempelajarinya. "Bayu, kau ingin
mencari pembunuh orang tua mu?" tanya Eyang Gardika setelah terdiam
beberapa saat. "Benar, Eyang," jawab Bayu mantap. "Kau tahu siapa
mereka?" Bayu hanya menggelengkan kepalanya. "Yang tertulis pada secarik
kain hanya sebagian saja. Aku yakin masih banyak yang terlibat. Dan itu
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memburu mereka. Bahkan tidak
mustahil di antara mereka telah ada yang tewas. Saat itu kau masih bayi,
dan kukira usiamu baru beberapa hari. Sekarang usiamu telah dua puluh
tahun Tidak semua orang bisa berumur panjang, Bayu. Kurasa dendammu
sudah tidak ada gunanya lagi," ujar Eyang Gardika pelan. "Aku akan
berusaha mencari mereka, Eyang, tekad Bayu "Bahkan kalau bisa dendam dan
sakit hatimu akan kubalaskan." "Kau belum cukup mampu untuk terjun
dalam rimba persilatan, Bayu. Kuasailah dulu seluruh ilmu-ilmuku.
Mungkin dua atau tiga tahun lagi, kau baru mampu," kata Eyang Gardika.
Bayu terdiam. "Semua ilmu yang kuwariskan padamu, beraliran hitam. Tapi
sebaiknya kau gunakan untuk membela kebenaran. Hanya saja sifat buruk
ilmuku tidak mungkin luntur meskipun kau berhati emas. Tindakanmu tidak
akan jauh berbeda dengan orang-orang beraliran sesat Untuk itu,
pandai-pandailah membawa diri agar tidak menarik perhatian gotongan
putih yang pasti akan memburu dan melenyapkanmu." ungkap Eyang Gardika
memberi penjelasan. "Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu. "Bagus Kalau niat
hatimu telah mantap, persiapkanlah dirimu. Setelah itu, baru kau boleh
meninggalkan Pulau Neraka ini. Rimba persilatan sangat ganas dan
berlumur darah. Kau akan kuberi bekal yang harus dikuasai penuh."
"Terima kasih, Eyang."
***
Eyang Gardika tersenyum-senyum memperhatikan Bayu berlatih jurus-jurus
dengan penuh semangat. Semua ilmu yang dimilikinya sudah diturunkan pada
pemuda itu. Hebatnya, di tangan Bayu ilmu-ilmu Eyang Gardika kelihatan
lebih mantap dan sempurna. Hal ini bisa terjadi karena usia Bayu yang
masih muda lagi cerdas. Dia cepat menyerap semua yang diajarkan kakek
angkat, sekaligus guru tunggalnya. Sampai saat ini, Eyang Gardika telah
cukup puas dengan keperkasaan Bayu. Walaupun dia tidak bisa melihat,
namun hati dan pendengarannya lebih peka daripada orang biasa. Sementara
hari telah senja. Bayu baru saja selesai menyempurnakan jurus terakhir
yang diberikan Eyang Gardika. Keringat masih menetes membasahi tubuhnya.
Dia berlari-lari menghampiri laki-laki tua cacat yang duduk di atas
batu karang merah. "Awas.." tiba-tiba Eyang Gardika berteriak keras
sambil menghentakkan tangan kanannya. Bayu tersentak kaget. Cakra kuning
bersegi enam di pergelangan tangan kanan Eyang Gardika meluncur deras
ke arahnya. Cakra itu berputar melayang dengan suara mendesing
menggetarkan hati. Dengan cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping
menghindari terjangan senjata dahsyat gurunya itu. "Hup" Dengan sigap
Bayu bangkit berdiri. Namun tanpa diduga sama sekali, cakra itu
berbalik. Seperti bermata saja, cakra Eyang Gardika meluncur deras ke
arah pemuda itu. Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari
terjangan senjata itu. Beberapa helai rambut lagi, ujung-ujung runcing
cakra itu akan menyobek dadanya. "Hih" Bayu mendesis terpana merasakan
desiran angin senjata cakra itu. Tubuhnya bergidik kedinginan. Desiran
angin senjata itu tidak saja menimbulkan hawa yang sangat dingin, tapi
juga dapat menyengat bagai mengeluarkan cahaya panas membakar kulit
Benar-benar aneh senjata laki-laki cacat itu. Eyang Gardika mengangkat
tangan kanannya keatas. Maka senjata berupa lingkaran yang mempunyai
ujung runcing bengkok berjumlah enam itu pun melesat kembali ke arahnya.
Seperti bernyawa saja, senjata cakra itu menempel di pergelangan tangan
Eyang Gardika yang memakai gelang berwarna keperakan. "Eyang...," suara
Bayu tersekat di tenggorokan. "Bagus Kau mampu menghindarinya, Bayu
Sekarang, tahanlah serangan berikut" "Eyang..." . Bayu tidak sempat lagi
mencegah. Dia tidak mengerti, kenapa Eyang Gardika seperti ingin
membunuhnya. Laki-laki buntung dan buta itu sudah menghentakkan tangan
kanannya kembali. Maka, senjata cakra itu pun kembali meluncur deras ke
arah Bayu. Buru-buru pemuda itu memiringkan tubuhnya ke kiri, dan
senjata itu hanya menemui tempat kosong di depan dadanya. Belum sempat
berpikir, senjata itu telah berbalik berputar menyerang kembali dengan
cepat. "Uts" Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping dan bergulingan di
atas tanah berpasir. Kembali senjata itu hanya menembus ruang kosong.
Seperti bermata saja, senjata itu berbalik, dan dengan cepat mengejar
kembali. Bayu menjumput sebongkah batu karang di dekatnya, lalu
melemparkannya ke arah senjata itu. Matanya membeliak terkejut karena
senjata itu tidak terpengaruh sedikit pun. Batu karang yang dilemparkan
hancur berkeping-keping tanpa menghambat laju senjata itu. "Hiyaaa..."
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan senjata itu lewat di bawah
kakinya. Namun belum juga kakinya bisa menjejak tanah, senjata itu sudah
kembali menyerang. Sementara udara di sekitarnya menjadi terasa dingin.
Tapi pada kenyataannya kulit Bayu malah terasa terbakar. Benar-benar
aneh dan dahsyat senjata Eyang Gardika ini Bayu yang berada dalam posisi
tidak menguntungkan, tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat
diangkat kedua tangannya ke depan dada. Pada saat itu, senjata cakra
milik Eyang Gardika telah meluncur dan siap menghujam dadanya. Dan...
Bayu menangkap senjata itu dengan kedua telapak tangannya. Aneh Senjata
cakra yang dahsyat itu langsung berhenti bergerak. Bayu memandangi
senjata itu sejenak, lalu berbalik menghadap Eyang Gardika yang tetap
berdiri di atas kedua kakinya yang buntung. Tampak lelaki tua itu hanya
tersenyum saja "Ha ha ha..." tiba-tiba saja Eyang Gardika tertawa
terbahak-bahak tanpa sebab. "Eyang...." Bayu menghampiri. "Tidak seorang
pun yang berhasil menangkap cakra. Rupanya sudah waktunya cakra
berpindah tangan," kata Eyang Gardika setelah reda tawanya. Bayu
memandangi senjata di tangannya dan Eyang Gardika secara bergantian. Dia
masih belum mengerti kata-kata kakek angkatnya. Senjata yang bernama
'Cakra' itu sungguh luar biasa. Memang, biasanya tidak ada satu makhluk
pun yang dapat lolos dari ancaman senjata itu jika telah meluncur dari
tangan pemiliknya. "Kemarilah, Bayu," panggil Eyang Gardika. Bayu
melangkah menghampiri laki-laki tua cacat itu, lalu segera duduk bersila
di hadapan gurunya. Tangan kanannya masih menggenggam senjata cakra.
"Pakailah ini," kata Eyang Gardika seraya mencopot gelang berwarna perak
dari tangan kanannya, lalu menyerahkannya kepada pemuda itu. Sejenak
Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya diterimanya juga. Gelang itu dikenakannya
di pergelangan tangan kanan. Matanya agak menyipit Ketika gelang sudah
dikenakannya, senjata cakra itu langsung bergerak dan menempel pada
gelang itu. "Eyang, kenapa kau berikan senjatamu kepadaku?" tanya Bayu
kurang mengerti. "Kau sudah berhasil melumpuhkan senjataku, Bayu.
Artinya, Cakra telah menjadi milikmu. Hanya orang yang bisa menangkap
yang berhak menggunakannya Dan orang itu adalah kau, Bayu" jelas Eyang
Gardika. "Eyang...," Bayu segera bangkit ketika mendengar suara batuk
beruntun dari laki-laki cacat itu. Eyang Gardika mengangkat tangannya,
mencegah Bayu yang ingin mendekat. Terpaksa anak muda itu duduk kembali.
Wajah Eyang Gardika kelihatan berubah merah. Dia segera duduk. Dadanya
terlihat bergerak turun-naik. dengan cepat Dari kening dan lehernya
merembes keringat sebesar butir-butir jagung. Bayu kelihatan cemas
melihat keadaan kakek angkatnya irii. Dia tidak mengerti, kenapa
tiba-tiba saja Eyang Gardika seperti terserang demam. "Eyang.... Eyang
sakit?" tanya Bayu agak bergetar suaranya. "Tenanglah, Bayu. Jangan
cemas. Aku tidak apa-apa," kata Eyang Gardika lemah suaranya. "Eyang...,
sebaiknya segera kembali ke pondok," kata Bayu tidak bisa tenang. Eyang
Gardika hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar
batuknya beberapa kali. Bayu tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali
Bayu akan bangkit menolong, tapi sudah keburu dicegah. Eyang Gardika
merasakan adanya gerakan halus. Gerakan yang seperti mengajaknya pergi.
Pendengarannya begitu tajam. Dia dapat membedakan gerak sehalus apa pun.
"Dengarkan baik-baik, Bayu. Rasanya saatku sudah tiba...," Eyang
Gardika terbatuk lagi. "Besok, di saat fajar menyingsing, kau harus
meninggalkan Pulau Neraka ini. Saat itu kau tidak akan menemukan aku
lagi." "Eyang..." sentak Bayu terkejut. "Tidak perlu terkejut, Bayu.
Sudah saatnya aku meninggalkan dunia ini." Eyang Gardika paham kalau
Bayu belum siap mendengar kata-katanya yang mengejutkan itu."Eyang...,
kenapa begitu mendadak sekali?" tanya Bayu seperti orang tolol. "Jangan
bodoh, Bayu Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan kembali pada
pencipta-Nya. Mereka semua juga akan mati dan hancur kembali ke asalnya.
Aku tidak ingin kau kehilangan semangat hanya karena kepergianku"
bentak Eyang Gardika. "Tapi...," suara Bayu tersekat di tenggorokan.
"Bayu Seluruh hidup dan nyawaku ada pada gelang cakra itu. Aku bisa
tetap hidup karena gelang itu tidak terlepas dari tanganku. Dan sekarang
gelang itu sudah kau miliki, sudah sepatutnya kau pergi. Ingat, Baya
Jangan sekali-sekali kau lepaskan gelang itu. Sekali saja kau lepas,
berarti ajalmu sudah tiba. Seluruh hidup dan nyawamu sudah menyatu di
dalam gelang itu. Dan pelindungnya hanyalah 'Cakra'," kata Eyang Gardika
menjelaskan. Bayu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia kini mengerti,
kenapa Eyang Gardika tiba-tiba jadi berubah. Rupanya gelang berwarna
perak dan senjata Cakra ini merupakan satu kesatuan dari nyawanya. Dan
sekarang gelang keramat ini sudah berada di tangannya. Bayu sadar, kalau
nyawanya sekarang tergantung pada gelang keramat ini. Rasanya sulit
untuk mempercayai, tapi bukti dan kenyataannya sudah terjawab di depan
mata. Eyang Gardika segera merasa ajalnya sudah tiba begitu gelang
keramat dicopotnya. "Bayu...," panggil Eyang Gardika pelan. "Ya, Eyang"
sahut Bayu. "Bawa aku ke dalam goa dibelakang pondok. Biarkan
kusempurnakan atmaku di sana. Ingat Kau harus menutup mulut goa, dan
jangan kembali lagi ke pulau ini," pesan Eyang Gardika. "Baik, Eyang."
***
Lima
Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai Selatan tidak seperti biasanya. Dermaga dipenuhi kapal besar. Para kuli angkut sibuk menurunkan barang-barang dari kapal. Anak-anak kecil berlarian bersuka ria di sepanjang pantai. Burung-burung camar pun seakan-akan ikut merasakan suasana ceria itu dengan melayang-layang di atas permukaan laut sambil memperdengarkan suaranya yang nyaring. Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah yang bersandar pada dermaga. Di sekitar dermaga juga berjajar kereta yang ditarik kuda-kuda gagah dan tegap. Sepertinya pemilik kereta-kereta mewah itu adalah para saudagar kaya. Atau paling tidak pembesar kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya prajurit berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir di sekitar situ. Di atas kapal besar dan mewah itu sepertinya sedang berlangsung pesta. Suara gamelan terdengar mengalun merdu, ditimpali gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan beberapa wanita. Di atas geladak, tampak berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga orang laki-laki bertubuh tegap dan kekar. Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh tahun. Tapi, wajah dan tubuhnya masih mampu membuat mata lelaki tidak berkedip memandangnya. "Tampaknya mereka menikmati pesta ini, Nyai," kata salah seorang laki-laki tegap yang menyandang pedang di pinggang. "Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta di kapal ini untuk memperingati dua puluh lima tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih," sahut wanita itu. "Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa Nyai masih juga mengingat padepokan itu. Dan lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap tahun kalau hanya untuk mengenang saja?" kata seorang lagi yang membawa kapak. "Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai Putih milik mendiang suamiku. Entahlah Aku sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk melupakannya. Dewa Pedang begitu baik...," ungkap wanita itu yang ternyata adalah Rengganis. Sedangkan para lelaki di dekatnya adalah tiga saudara pengikut setianya. "Nyai merasa bersalah?" tebak Gamar yang membawa kapak. "Mungkin...," desah Rengganis. "Kenapa harus merasa bersalah, Nyai? Bukankah Nyai telah membalaskan kematian seluruh keluarga Nyai? Ingat, Nyai Dewa Pedang yang membantai seluruh keluargamu" kata Gamar lagi. "Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang terakhir?" Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri. "Ya, ingat," jawab tiga saudara itu serempak. "Tapi itu kan hanya akal liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai," sambung Ganis. "Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia memang ditugaskan untuk menangkap keluargaku yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi tidak untuk menbunuh. Dia benar" ungkap Rengganis. Ganis, Gamar, dan Ganang saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa Rengganis jadi berubah pikiran setelah Padepokan Teratai Putih hancur. Bukankah hal itu memang telah direncanakan? Apalagi gerakan mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba persilatan yang merasa terganggu dengan adanya Padepokan Teratai Putih. Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengobrak-abrik Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang berpesta-pora. Beberapa di antaranya malah sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak minum tuak. Mereka kebanyakan telah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. "Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti Prabu. Pada kenyataannya, beliau membenarkan kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti Prabu juga tahu kalau keluargaku bukan dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah yang membantai seluruh keluargaku Dia memang selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai pembunuh keluargaku Itulah yang kusesalkan sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik itu telah tewas di tiang gantungan." "Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu disesalkan," kata Gamar mendesah. "Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus rasa sesal dan dosaku Aku tidak punya cara lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan," Rengganis juga mendesah pelan. Sementara pesta di atas kapal terus berlangsung. Tidak ada yang mengerti, kenapa Rengganis memilih Pantai Selatan sebagai tempat pesta. Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi di Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih dulu berdiri. Semua itu hanya tersimpan di dalam hati wanita berusia empat puluh tahun ini. Hanya dialah yang tahu. "Heh" tiba-tiba Rengganis terkejut. Matanya menatap lurus ke tengah laut. Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau berwarna merah menyala bagai terbakar. "Ada apa, Nyai?" tanya tiga saudara itu serempak. Mereka langsung memandang ke arah yang sama. Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Di tengah laut itu dia melihat sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sehingga sulit untuk diikuti oleh mata biasa. "Ada apa, Nyai?" tanya Gamar yang tidak melihat apa pun di tengah laut itu. "Ah, tidak..., tidak apa-apa," jawab Rengganis segera mengalihkan pandangannya. Namun raut wajahnya kelihatan berubah. Sementara ketiga bersaudara itu tetap memandang ke arah laut Pulau Neraka memang terlihat jelas dari situ. Mereka memang tidak akan dapat menemukan apa-apa, karena yang dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang sebelum sempat disadari. "Aneh...," desis Rengganis tanpa sadar. "Apakah.... Ah Tidak Mustahil..." Rengganis bergumam sendiri. "Apa yang Nyai lihat?" tanya Ganis. "Tidak Mungkin hanya burung camar" jawab Rengganis berusaha menenangkan diri. Namun demikian, hati Rengganis tetap tak menentu. Rengganis terus menebak-nebak yang dilihatnya sekilas tadi. Dia begitu yakin ada sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Tapi sulit untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi. Sementara siang terus merayap. Matahari bergulir semakin tinggi. Namun pesta di kapal itu akan tetap berlangsung hingga keesokan harinya.
Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai Selatan tidak seperti biasanya. Dermaga dipenuhi kapal besar. Para kuli angkut sibuk menurunkan barang-barang dari kapal. Anak-anak kecil berlarian bersuka ria di sepanjang pantai. Burung-burung camar pun seakan-akan ikut merasakan suasana ceria itu dengan melayang-layang di atas permukaan laut sambil memperdengarkan suaranya yang nyaring. Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah yang bersandar pada dermaga. Di sekitar dermaga juga berjajar kereta yang ditarik kuda-kuda gagah dan tegap. Sepertinya pemilik kereta-kereta mewah itu adalah para saudagar kaya. Atau paling tidak pembesar kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya prajurit berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir di sekitar situ. Di atas kapal besar dan mewah itu sepertinya sedang berlangsung pesta. Suara gamelan terdengar mengalun merdu, ditimpali gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan beberapa wanita. Di atas geladak, tampak berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga orang laki-laki bertubuh tegap dan kekar. Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh tahun. Tapi, wajah dan tubuhnya masih mampu membuat mata lelaki tidak berkedip memandangnya. "Tampaknya mereka menikmati pesta ini, Nyai," kata salah seorang laki-laki tegap yang menyandang pedang di pinggang. "Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta di kapal ini untuk memperingati dua puluh lima tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih," sahut wanita itu. "Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa Nyai masih juga mengingat padepokan itu. Dan lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap tahun kalau hanya untuk mengenang saja?" kata seorang lagi yang membawa kapak. "Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai Putih milik mendiang suamiku. Entahlah Aku sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk melupakannya. Dewa Pedang begitu baik...," ungkap wanita itu yang ternyata adalah Rengganis. Sedangkan para lelaki di dekatnya adalah tiga saudara pengikut setianya. "Nyai merasa bersalah?" tebak Gamar yang membawa kapak. "Mungkin...," desah Rengganis. "Kenapa harus merasa bersalah, Nyai? Bukankah Nyai telah membalaskan kematian seluruh keluarga Nyai? Ingat, Nyai Dewa Pedang yang membantai seluruh keluargamu" kata Gamar lagi. "Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang terakhir?" Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri. "Ya, ingat," jawab tiga saudara itu serempak. "Tapi itu kan hanya akal liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai," sambung Ganis. "Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia memang ditugaskan untuk menangkap keluargaku yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi tidak untuk menbunuh. Dia benar" ungkap Rengganis. Ganis, Gamar, dan Ganang saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa Rengganis jadi berubah pikiran setelah Padepokan Teratai Putih hancur. Bukankah hal itu memang telah direncanakan? Apalagi gerakan mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba persilatan yang merasa terganggu dengan adanya Padepokan Teratai Putih. Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengobrak-abrik Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang berpesta-pora. Beberapa di antaranya malah sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak minum tuak. Mereka kebanyakan telah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. "Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti Prabu. Pada kenyataannya, beliau membenarkan kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti Prabu juga tahu kalau keluargaku bukan dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah yang membantai seluruh keluargaku Dia memang selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai pembunuh keluargaku Itulah yang kusesalkan sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik itu telah tewas di tiang gantungan." "Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu disesalkan," kata Gamar mendesah. "Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus rasa sesal dan dosaku Aku tidak punya cara lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan," Rengganis juga mendesah pelan. Sementara pesta di atas kapal terus berlangsung. Tidak ada yang mengerti, kenapa Rengganis memilih Pantai Selatan sebagai tempat pesta. Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi di Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih dulu berdiri. Semua itu hanya tersimpan di dalam hati wanita berusia empat puluh tahun ini. Hanya dialah yang tahu. "Heh" tiba-tiba Rengganis terkejut. Matanya menatap lurus ke tengah laut. Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau berwarna merah menyala bagai terbakar. "Ada apa, Nyai?" tanya tiga saudara itu serempak. Mereka langsung memandang ke arah yang sama. Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Di tengah laut itu dia melihat sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sehingga sulit untuk diikuti oleh mata biasa. "Ada apa, Nyai?" tanya Gamar yang tidak melihat apa pun di tengah laut itu. "Ah, tidak..., tidak apa-apa," jawab Rengganis segera mengalihkan pandangannya. Namun raut wajahnya kelihatan berubah. Sementara ketiga bersaudara itu tetap memandang ke arah laut Pulau Neraka memang terlihat jelas dari situ. Mereka memang tidak akan dapat menemukan apa-apa, karena yang dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang sebelum sempat disadari. "Aneh...," desis Rengganis tanpa sadar. "Apakah.... Ah Tidak Mustahil..." Rengganis bergumam sendiri. "Apa yang Nyai lihat?" tanya Ganis. "Tidak Mungkin hanya burung camar" jawab Rengganis berusaha menenangkan diri. Namun demikian, hati Rengganis tetap tak menentu. Rengganis terus menebak-nebak yang dilihatnya sekilas tadi. Dia begitu yakin ada sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Tapi sulit untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi. Sementara siang terus merayap. Matahari bergulir semakin tinggi. Namun pesta di kapal itu akan tetap berlangsung hingga keesokan harinya.
***
Suasana desa di pesisir pantai itu tetap ramai meskipun hari telah
malam. Lampu-lampu menyala terang di setiap rumah. Obor-obor tetap
menyala di sepanjang jalan. Kedai-kedai minum masih tetap buka dan tidak
sepi pengunjung. Hari itu memang banyak kapal yang berlabuh membongkar
muatan, sehingga menambah semaraknya pesta yang diadakan Rengganis.
Namun lain halnya dengan sebuah kedai yang tidak jauh dari dermaga.
Suasana di situ tidak begitu ramai, karena tidak banyak orang yang
berkunjung disitu. Kedai itu begitu kecil dan terpencil sehingga tidak
menarik perhatian orang banyak. Di sudut dekat jendela kedai itu, duduk
seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau. Rambutnya dibiarkan
terurai, dengan ikat kepala juga dari kulit harimau. Dia sepertinya
sengaja menyendiri dengan mata memandang ke arah dermaga. "Tambah lagi
minumnya, Tuan?" Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menoleh sedikit.
Seorang,wanita muda dengan rias wajah tebal, tahu-tahu telah berdiri di
dekatnya. Wangi tubuhnya begitu menusuk. Sedangkan baju yang
dikenakannya terlalu rendah pada bagian dada, sehingga dua bukit
kembarnya mengintip malu-malu. Kainnya juga terbelah sampai ke pangkal
paha. Sikapnya begitu menggoda. Sungguh menarik perhatian kaum lelaki.
"Terima kasih," jawab pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa senyum
sedikit pun. Dialihkan pandangannya kembali ke arah dermaga yang masih
tetap ramai. "Boleh aku duduk di sini?" mohon wanita itu. Suaranya
dibuat-buat dan terdengar manja. "Silakan," sahut pemuda itu datar.
"Namaku Karti. Tuan, siapa?" kata wanita itu seraya matanya merayapi
wajah pemuda di sampingnya. Tangannya kemudian menuangkan arak dari
pundi kecangkir perak. "Hm..." pemuda itu hanya menggumam tidak jelas.
"Kuperhatikan sejak tadi, kau selalu memandang ke arah dermaga. Ada yang
menarik di sana?" "Mungkin," jawab pemuda itu malas. "Memang menarik.
Setiap tahun memang selalu begitu. Kau lihat kapal besar dan indah di
ujung kanan dermaga? Kapal itu milik seorang saudagar wanita yang kaya
raya. Dermaga itu memang selalu dijadikan tempat bersandar jika saudagar
itu akan mengadakan pesta di atas kapalnya setiap tahun," jelas wanita
yang mengaku bernama Karti tanpa diminta. "Hm..." lagi-lagi pemuda
berbaju kulit harimau bergumam tidak jelas. "Dia sangat kaya dan
berpengaruh. Kenalannya juga orang-orang penting dan para pembesar
kerajaan. Hanya sayangnya, dia tidak punya suami. Tapi kata orang, dia
punya pengawal yang selalu setia mengikuti ke mana saja," sambung Karti
lagi. "Siapa dia?" tanya pemuda itu bernada iseng. "Kalau tidak salah,
namanya Rengganis. Ya... Nyai Rengganis," jawab Karti yakin. Pemuda itu
langsung berpaling dan menatap tajam pada wanita di dekatnya itu.
Wajahnya berubah tegang dan memerah. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Napasnya memburu bagai habis berlari jauh. Pemuda itu langsung bangkit
berdiri dan meletakkan lima keping uang perak ke mejanya. Tanpa berkata
apa-apa lagi dia melangkah ke luar dari kedai itu. "Tuan..., kembalinya"
seru wanita itu yang juga bergegas bangkit "Untukmu" sahut pemuda itu
terus melangkah cepat tanpa menoleh lagi. "Untukku...?" wanita yang
bernama Karti seperti tidak percaya. Dipandanginya lima keping uang
perak di tangannya. Wanita itu merasa seperti mimpi saja. Hanya seguci
arak murah dibayar dengan lima keping uang perak. Satu keping saja bisa
dapat sepuluh guci arak manis yang lezat. Apalagi lima keping uang
perak...? Malam ini dia seperti kejatuhan bulan saja. Bergegas
dihampirinya pemilik kedai untuk membayar minuman pemuda itu. "Karti Mau
ke mana?" seru pemilik kedai ketika melihat Karti bergegas pergi.
"Pulang" jawab Karti. "Pulang...? Tapi...." "Ya Malam ini aku sudah
cukup memperoleh penghasilan" "He..." Pemilik kedai itu memang tidak
tahu apa yang telah didapat wanita pelayan dan penghibur di kedainya
ini. Lima keping uang perak sangat berarti dan besar nilainya bagi
penduduk desa di Pesisir Pantai Selatan ini. Harga arak memang mahal.
Tapi, untuk kebutuhan sehari-hari lima keping uang perak sudah lebih
dari cukup. Karti bergegas berlari pulang dengan wajah berseri-seri.
Sementara pemilik kedai itu hanya melongo saja, tanpa mampu berbuat
apa-apa lagi. Memang liukan Karti saja yang menjadi pelayan dan
penghibur di kedai itu. Masih ada wanita lain. Pemilik kedai itu pun
tidak peduli lagi.
***Pesta di atas kapal masih terus berlangsung seperti tidak akan pernah
berhenti. Bau arak dan asap tembakau berbaur menjadi satu, membuat
napas sesak dan mata perih. Namun hal itu tidak mengurangi suasana
gembira. Tidak sedikit yang sudah kelihatan mabuk. Semakin larut malam,
suasana pesta semakin bertambah hangat. Tidak kurang dari lima puluh
orang bersenjata berjaga-jaga di sekitar kapal. Ditambah lagi, para
prajurit kerajaan yang juga masih setia menunggu para pembesar kerajaan
yang diundang ke pesta itu. Mereka semua tetap menjalankan tugas agar
pesta berlangsung tanpa gangguan. Tapi suasana seperti itu kadang-kadang
juga bisa membuat mereka lengah. Seorang pun tidak menyadari kalau
mereka tengah diawasi oleh seseorang yang memakai baju kulit harimau.
Dia berdiri tidak jauh dari situ. Tubuhnya agak tersembunyi di balik
keremangan cahaya bulan dan obor. Matanya tidak berkedip menatap ke arah
kapal itu. Wajahnya kaku dan bibirnya terkatup rapat. Pelahan-lahan
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu bergerak merogoh saku bajunya,
lalu dengan cepat dihentakkan tangannya ke depan. Secercah sinar
keperakan pun meluncur ke arah tiang utama kapal itu. Krak. Suasana
pesta yang penuh kegembiraan itu mendadak berubah kacau. Jerit dan
teriakan kengerian berbaur menjadi satu bersamaan dengan ambruknya tiang
utama utama, kapal itu. Para penjaga secara serentak berlarian dan
berdiri berjajar di tepian geladak kapal dengan senjata terhunus.
Seluruh hadirin menjadi panik kalang-kabut. Beberapa tubuh menggeletak
tertimpa tiang utama yang besar dan kuat. Di tengah kepanikan itu,
kembali terlihat cahaya keperakan meluncur deras dan menancap pada salah
seorang wanita berbaju hijau langsung melompat ke arah tiang kapal itu.
Sejenak dia tertegun pada sebuah bintang bersegi enam berwarna
keperakan yang menancap di situ. Benda itu besarnya tidak lebih dari
telapak tangan orang dewasa. Wanita berbaju hijau yang ternyata adalah
Rengganis, mencabut bintang perak bersegi enam yang menancap dalam di
tiang tadi. Sebentar benda itu di pandanginya. Sementara tiga pengiring
setianya, Ganis, Ganang, dan Gamar sudah menghampiri. Mereka juga ikut
memperhatikan bintang perak itu. Beberapa orang yang di antaranya
seorang laki-laki tua berjubah merah, juga menghampiri. Laki-laki tua
itu segera merebut bintang perak dari tangan Rengganis. "Mustahil..."
gumamnya mendesah. "Kau kenal dengan benda itu, Paman Jantara?" tanya
Rengganis. "Ya Aku tahu betul pemiliknya. Tapi.... Ah Rasanya tidak
mungkin...," ujar laki-laki berjubah merah yang bernama Jantara dan
berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu. Kepalanya menggeleng-geleng
menyatakan keheranannya. "Adik Branta Lihatlah benda ini" kata si
Tongkat Samber Nyawa lagi. Seorang laki-laki tua lainnya yang mengenakan
baju indah segera mendekat. Dia selalu dikawal dua orang berpakaian
prajurit kerajaan. Sepertinya laki-laki tua berpakaian indah itu adalah
pembesar kerajaan Setelah mengambil bintang bersegi enam dari tangan si
Tongkat Samber Nyawa, benda itu pun diperhatikannya sebentar. Kepalanya
juga menggeleng-geleng keheranan. "Rasanya tidak mungkin dia masih
hidup," gumam laki-laki yang dipanggil Branta itu. "Apa mungkin dia
punya nyawa rangkap?" celetuk salah seorang yang juga sudah tua. "Tidak
Tidak mungkin ada orang bisa hidup dengan kedua kaki buntung dan mata
buta" bantah Jantara. "Kalau bukan dia, lalu siapa?" Branta seperti
bertanya pada dirinya sendiri. Jantara tidak langsung menjawab, tapi
hanya memandangi semua orang yang berada di sekelilingnya. Mereka adalah
tokoh rimba persilatan dan para pembesar kerajaan yang memiliki
kepandaian cukup tinggi. Rata-rata mereka semua kenal akan benda
berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari perak itu Hanya mereka
yang masih muda-muda saja yang kurang paham terhadap benda itu.
Rengganis sendiri masih bingung dengan pembicaraan orang-orang tua di
sekitarnya. Teka-teki itu masih belum terjawab, tapi telah disusul deh
suara siulan nyaring yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
berkekuatan tinggi. Beberapa orang yang hanya memiliki kepandaian
pas-pasan mulai terpengaruh deh suara siulan itu. Gendang telinga mereka
terasa sakit meskipun telah menutup telinga rapat-rapat dengan kedua
tangan. Sedangkan mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi segera
mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau suara siulan itu. "Awas..."
tiba-tiba Jantara berteriak nyaring. Pada saat itu meluncur seberkas
cahaya keperak-perakan ke arah mereka. Dengan cepat Jantara mematahkan
tiang kapal dan menyampok sinar itu. Saat cahaya keperakan itu membentur
tiang sebesar tangan yang dipegangnya, Jantara tersentak dan mundur
selangkah. Tangannya terasa bergetar. Jantara bergegas melihat tiang
yang digunakan untuk menyampok serangan gelap tadi. Tampak secarik kain
merah muda menempel di situ bersama tancapan bintang perak bersegi enam.
Jantara segera mencabut bintang perak, dan mengambil kain merah muda
itu. Kain itu segera diserahkannya pada Rengganis. "Edan Apa maksudnya
ini?" dengus Rengganis. Wajahnya sedikit menegang. "Jelas dia mencarimu,
Rengganis. Kain itu bertuliskan namamu," kata Jantara pelan. "Tapi, apa
maksudnya? Kalian kenal dengan benda ini. Sedangkan aku..., sama sekali
tidak tahu" nada suara Rengganis terdengar kebingungan. Semua yang ada
di situ tak ada yang menjawab sedikit pun. Sementara suara siulan telah
berhenti sejak tadi. Beberapa penjaga dan prajurit tergeletak pingsan
akibat siulan bertenaga dalam yang cukup tinggi tadi. Dari lubang hidung
dan telinga mereka mengalir darah segar. Sedangkan yang bertahan dengan
siulan tadi segera menolong mereka. Rengganis, Jantara, Branta, dan
yang lainnya hanya terdiam. Kepala mereka berputar mencari-cari ke
sekeliling. Siapakah orang yang mengirimkan kain berwarna merah muda
bersama senjata bintang perak bersegi enam itu? Pertanyaan inilah yang
membebani benak mereka semua.
***
Enam
Malam terus merayap semakin pekat. Pesta tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana di atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika.Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang yang berjaga-jaga. Mereka adalah para penjaga dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung jawab atas junjungan mereka di atas kapal. Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut berjaga-jaga. Saat itu Rengganis terus didampingi oleh Jantara dan tiga bersaudara pengawal setianya. Wanita itu masih belum mengerti dengan kejadian yang sungguh menggemparkan itu. Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati jadi bertanya-tanya. Di atas kap ini, hampir seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ. Mereka datang dari segala penjuru. Walaupun setiap harinya bergelimang darah dan tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat itu mampu menggetarkan hati mereka juga. "Aku tidak yakin kalau orang itu adalah Gardika, Paman Jantara," kata Rengganis setengah berguma "Hanya dia satu-satunya yang memiliki senjata semacam itu, Rengganis," sahut Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang pertarungannya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan yang mengeroyok Gardika. "Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang yang sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan kedua matanya, ternyata masih hidup," sergah Rengganis. "Lagi pula, apa urusannya denganku? Aku tidak kenal dia Bahkan mungkin pada saat itu aku belum lahir. Bisa juga waktu itu aku masih kecil." Jantara tidak mampu menjawab. Memang sulit diterka, siapa orangnya yang melakukan serangan gelap itu. Tapi dari senjata yang berbentuk bintang bersegi enam, jelas kalau orang itu adalah Gardika. Jantara jadi berkerenyut juga keningnya. Sepengetahuannya, Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka. "Pasti ada orang lain yang menggunakan senjata yang sama" sentak Jantara. "Maksud, Paman...?" tanya Rengganis tidak mengerti. "Rengganis Dalam dunia ini, kita memang selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan yang sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi musuh juga. Ingat-ingatlah. Siapa di antara kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata berbentuk bintang," kata Jantara. "Rasanya tidak ada, Paman," jawab Rengganis setelah berpikir sejenak. "Ingat-ingat dulu, Rengganis," desak Jantara. Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berusaha mengingat-ingat Tapi selama berkecimpung dalam dunia persilatan dan hingga memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak pernah punya lawan ataupun kawan yang menggunakan senjata berbentuk bintang perak bersegi enam. Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat dengan yang dilihatnya siang tadi. Sesuatu yang dilihatnya sendiri saja. Sangat jelas terlihat, tapi begitu cepat sehingga sulit untuk menentukan, apakah itu manusia atau hanya berupa kilatan cahaya saja. Bisa juga itu hanya fatamorgana. Sulit untuk menghubungkan, antara yang dilihatnya siang tadi dengan kejadian di kapal barusan. Tulisan pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya. Tulisan itu hanya berupa sebuah nama. Namanya sendiri tanpa ada tulisan atau nama lain. Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa juga ancaman. "Apakah mungkin kalau orang itu adalah putra Dewa Pedang...?" gumam Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri. "Kau bicara apa, Rengganis?" tanya Jantara tidak percaya. "Paman Siang tadi aku melihat sesuatu meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak itu. Apakah itu hanya sebuah benda, ataukah manusia? Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu pasti ada hubungannya dengan kejadian di kapal ini, Paman," ungkap Rengganis pelan. "Hm..., selama ini tak ada seorang pun yang bisa selamat jika telah masuk ke Pulau Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan sampai kini tak terdengar kabar beritanya lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan putra Dewa Pedang masih hidup...," bantah Jantara. Tapi dari nada suaranya terdengar ragu-ragu. Hening. Tak ada lagi yang bersuara. Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua orang yang ada di atas kapal ini terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran yang terus berkecamuk. Sementara para pembesar yang bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal. Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada hubungannya dengan kejadian itu juga telah pergi. Mereka seperti tidak ingin ikut campur. Semakin larut malam, keadaan kapal semakin sunyi. Kesunyian itu menambah suasana menjadi semakin mencekam. "Rengganis, sebaiknya kau beristirahat saja. Biar aku dan anak buahku yang berjaga-jaga," kata Jantara setelah cukup lama berdiam diri. "Terima kasih, Paman. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur," tolak Rengganis halus. "Kalau begitu, aku pergi dulu untuk melihat keadaan," pamit Jantara. "Silakan, Paman." Laki-laki tua berjubah merah itu segera berlalu. Sementara Rengganis masih duduk di kursi, di atas geladak didampingi tiga bersaudara pengikut setianya. Ketiga bersaudara itu pun hanya bisa membisu. Mereka juga telah mendengar apa yang dibicarakan junjungannya dengan Jantara, atau yang berjuluk si Tongkat Samber Nyawa tadi. Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri geladak kapal besar dan mewah itu. Hanya tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di kapal ini. Seluruh pembesar kerajaan telah meninggalkan kapal. Kini, tidak terlihat lagi para prajurit yang berjaga-jaga di situ. Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal menuju dermaga. Beberapa anak buahnya terlihat berjaga-jaga di sekitar dermaga itu. Dengan dikawal enam orang anak buahnya, Jantara memeriksa keadaan dermaga. Tak lama kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan menuju desa yang tidak jauh dari situ. Suasana desa masih tetap ramai meskipun hari telah jauh malam. Namun keramaiannya telah sedikit berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi. Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-orang mabuk dari wanita-wanita penjaja cinta. Jantara terus melangkah diikuti oleh enam orang anak buahnya. "Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah terlalu malam. Barangkali orang itu sudah pergi dari sini," kata salah seorang yang ikut dengan Jantara. "Baiklah. Besok kita teruskan," jawab Jantara. Mereka kemudian kembali menuju dermaga di Pesisir Pantai Selatan. Mereka berjalan tanpa banyak bicara. Memang sulit mencari satu di antara sekian banyak orang yang tidak dikenal. Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang singgah di desa di sekitar Pesisir Pantai Selatan itu. Baru saja beberapa tindak mereka berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan melintas di depan mereka. Jantara terperanjat, dan langsung memerintahkan anak buahnya berhenti. Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu telah berdiri di depan Jantara dan enam orang anak buahnya. Rambutnya yang panjang dipermainkan angin malam. Tubuhnya berotot dan tertutup baju dari kulit harimau. Hanya bagian dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang bidang dan kekar. Wajahnya cukup tampan, namun memiliki sorot mata yang tajam. Rahangnya yang menonjol kekar, terkatup rapat. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. "Kau laki-laki tua, berjubah merah dan bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah kau bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?" tanya pemuda itu. Dari perawakan dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau dia adalah Bayu Hanggara. Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka, keterangan tentang pembunuh orang tuanya dan pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya. Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis adalah ibu tirinya sendiri. Tapi dia tidak mau peduli. Yang ada di benaknya adalah membalas dendam atas kematian orang tuanya dan atas kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka. "Benar Dan kau siapa? Kenapa kau hadang langkahku?" sahut Jantara seraya memasang wajah angker. "Mungkin kau mengenal benda ini," sahut pemuda itu sambil mengangkat tangan kanannya ke depan. Jantara melangkah mundur dua tindak melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi bengkok menempel pada pergelangan tangan pemuda itu. Bola matanya berputar, seolah-olah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Jagalah kepalamu, Jantara" bentak pemuda itu tiba-tiba seraya mengebutkan tangan kanannya. Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terperangah sesaat, namun dengan cepat merundukkan kepalanya. Cakra berwarna keperakan yang menempel di tangan pemuda itu meluncur deras kearahnya. Begitu cepat cakra itu, sehingga dua orang yang berada di belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar. Kedua orang itu menjerit keras. Tubuh mereka berputar sebentar sebelum ambruk dengan kepala terpisah. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya. Dengan putaran manis, senjata cakra itu berbalik dan langsung menempel kembali di pergelangan tangannya. "Anak muda Apa hubunganmu dengan Gardika si Cakra Maut?" tanya Jantara membentak. "Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah agar dosamu diampuni," sahut pemuda itu dingin. "Kurang ajar Apa yang kau andalkan hingga berani umbar bacot di hadapanku, heh?" geram Jantara sengit. "Bersiaplah untuk mati, Jantara" Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi lagi. Langsung dibukanya jurus-jurus maut. Jantara mengerutkan keningnya melihat kembangan jurus-jurus yang diperagakan pemuda itu. Dia kenal betul dengan jurus itu. Jurus 'Kelelawar Maut'. Jantara langsung bersiap-siap dengan jurus andalannya juga. Tapi, sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah bisa menandingi jurus 'Kelelawar Maut', meskipun dikerahkan oleh orang lain. "Tahan seranganku, Jantara" seru Bayu keras. Secepat kilat pemuda itu melompat sambil mengembangkan kedua tangannya. Gerakannya begitu cepat bagai kilat. Jantara bergegas membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit. Namun baru saja dapat berdiri, satu kibasan tangan yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah kepalanya. "Uts" Jantara menarik kepalanya sedikit sambil menyodokkan tangan kanannya ke arah dada. Tapi kembali Jantara terperangah karena lawan mampu berkelit dengan cepat sambil melancarkan serangan susulan. Satu tendangan keras melayang menghantam perut laki-laki tua itu. Jantara terbungkuk mengeluh tertahan. Perutnya seketika terasa mual. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali bersarang di wajahnya. "Akh" Jantara memekik tertahan. Timpa ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke belakang. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan melipat di bagian dada. Matanya yang tajam menatap langsung ke wajah Jantara. Sedangkan bibirnya agak melebar, menyunggingkan senyuman bernada sinis dan kejam. Jantara melangkah mundur dua tindak. Disemburkan ludahnya yang bercampur darah. "Setan belang Siapa kau sebenarnya, Bocah?" bentak Jantara menggeram hebat. "Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara. Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa Pedang, maka berlutut dan mohon ampunlah pada Dewa Pedang" sahut Pemuda itu. "Kau.... Kau tahu Dewa Pedang...?" Jantara jadi kebingungan. "Mampus kau, Jantara Hiyaaa..." "Hup"
Malam terus merayap semakin pekat. Pesta tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana di atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika.Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang yang berjaga-jaga. Mereka adalah para penjaga dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung jawab atas junjungan mereka di atas kapal. Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut berjaga-jaga. Saat itu Rengganis terus didampingi oleh Jantara dan tiga bersaudara pengawal setianya. Wanita itu masih belum mengerti dengan kejadian yang sungguh menggemparkan itu. Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati jadi bertanya-tanya. Di atas kap ini, hampir seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ. Mereka datang dari segala penjuru. Walaupun setiap harinya bergelimang darah dan tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat itu mampu menggetarkan hati mereka juga. "Aku tidak yakin kalau orang itu adalah Gardika, Paman Jantara," kata Rengganis setengah berguma "Hanya dia satu-satunya yang memiliki senjata semacam itu, Rengganis," sahut Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang pertarungannya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan yang mengeroyok Gardika. "Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang yang sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan kedua matanya, ternyata masih hidup," sergah Rengganis. "Lagi pula, apa urusannya denganku? Aku tidak kenal dia Bahkan mungkin pada saat itu aku belum lahir. Bisa juga waktu itu aku masih kecil." Jantara tidak mampu menjawab. Memang sulit diterka, siapa orangnya yang melakukan serangan gelap itu. Tapi dari senjata yang berbentuk bintang bersegi enam, jelas kalau orang itu adalah Gardika. Jantara jadi berkerenyut juga keningnya. Sepengetahuannya, Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka. "Pasti ada orang lain yang menggunakan senjata yang sama" sentak Jantara. "Maksud, Paman...?" tanya Rengganis tidak mengerti. "Rengganis Dalam dunia ini, kita memang selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan yang sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi musuh juga. Ingat-ingatlah. Siapa di antara kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata berbentuk bintang," kata Jantara. "Rasanya tidak ada, Paman," jawab Rengganis setelah berpikir sejenak. "Ingat-ingat dulu, Rengganis," desak Jantara. Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berusaha mengingat-ingat Tapi selama berkecimpung dalam dunia persilatan dan hingga memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak pernah punya lawan ataupun kawan yang menggunakan senjata berbentuk bintang perak bersegi enam. Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat dengan yang dilihatnya siang tadi. Sesuatu yang dilihatnya sendiri saja. Sangat jelas terlihat, tapi begitu cepat sehingga sulit untuk menentukan, apakah itu manusia atau hanya berupa kilatan cahaya saja. Bisa juga itu hanya fatamorgana. Sulit untuk menghubungkan, antara yang dilihatnya siang tadi dengan kejadian di kapal barusan. Tulisan pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya. Tulisan itu hanya berupa sebuah nama. Namanya sendiri tanpa ada tulisan atau nama lain. Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa juga ancaman. "Apakah mungkin kalau orang itu adalah putra Dewa Pedang...?" gumam Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri. "Kau bicara apa, Rengganis?" tanya Jantara tidak percaya. "Paman Siang tadi aku melihat sesuatu meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak itu. Apakah itu hanya sebuah benda, ataukah manusia? Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu pasti ada hubungannya dengan kejadian di kapal ini, Paman," ungkap Rengganis pelan. "Hm..., selama ini tak ada seorang pun yang bisa selamat jika telah masuk ke Pulau Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan sampai kini tak terdengar kabar beritanya lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan putra Dewa Pedang masih hidup...," bantah Jantara. Tapi dari nada suaranya terdengar ragu-ragu. Hening. Tak ada lagi yang bersuara. Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua orang yang ada di atas kapal ini terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran yang terus berkecamuk. Sementara para pembesar yang bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal. Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada hubungannya dengan kejadian itu juga telah pergi. Mereka seperti tidak ingin ikut campur. Semakin larut malam, keadaan kapal semakin sunyi. Kesunyian itu menambah suasana menjadi semakin mencekam. "Rengganis, sebaiknya kau beristirahat saja. Biar aku dan anak buahku yang berjaga-jaga," kata Jantara setelah cukup lama berdiam diri. "Terima kasih, Paman. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur," tolak Rengganis halus. "Kalau begitu, aku pergi dulu untuk melihat keadaan," pamit Jantara. "Silakan, Paman." Laki-laki tua berjubah merah itu segera berlalu. Sementara Rengganis masih duduk di kursi, di atas geladak didampingi tiga bersaudara pengikut setianya. Ketiga bersaudara itu pun hanya bisa membisu. Mereka juga telah mendengar apa yang dibicarakan junjungannya dengan Jantara, atau yang berjuluk si Tongkat Samber Nyawa tadi. Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri geladak kapal besar dan mewah itu. Hanya tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di kapal ini. Seluruh pembesar kerajaan telah meninggalkan kapal. Kini, tidak terlihat lagi para prajurit yang berjaga-jaga di situ. Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal menuju dermaga. Beberapa anak buahnya terlihat berjaga-jaga di sekitar dermaga itu. Dengan dikawal enam orang anak buahnya, Jantara memeriksa keadaan dermaga. Tak lama kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan menuju desa yang tidak jauh dari situ. Suasana desa masih tetap ramai meskipun hari telah jauh malam. Namun keramaiannya telah sedikit berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi. Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-orang mabuk dari wanita-wanita penjaja cinta. Jantara terus melangkah diikuti oleh enam orang anak buahnya. "Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah terlalu malam. Barangkali orang itu sudah pergi dari sini," kata salah seorang yang ikut dengan Jantara. "Baiklah. Besok kita teruskan," jawab Jantara. Mereka kemudian kembali menuju dermaga di Pesisir Pantai Selatan. Mereka berjalan tanpa banyak bicara. Memang sulit mencari satu di antara sekian banyak orang yang tidak dikenal. Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang singgah di desa di sekitar Pesisir Pantai Selatan itu. Baru saja beberapa tindak mereka berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan melintas di depan mereka. Jantara terperanjat, dan langsung memerintahkan anak buahnya berhenti. Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu telah berdiri di depan Jantara dan enam orang anak buahnya. Rambutnya yang panjang dipermainkan angin malam. Tubuhnya berotot dan tertutup baju dari kulit harimau. Hanya bagian dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang bidang dan kekar. Wajahnya cukup tampan, namun memiliki sorot mata yang tajam. Rahangnya yang menonjol kekar, terkatup rapat. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. "Kau laki-laki tua, berjubah merah dan bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah kau bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?" tanya pemuda itu. Dari perawakan dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau dia adalah Bayu Hanggara. Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka, keterangan tentang pembunuh orang tuanya dan pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya. Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis adalah ibu tirinya sendiri. Tapi dia tidak mau peduli. Yang ada di benaknya adalah membalas dendam atas kematian orang tuanya dan atas kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka. "Benar Dan kau siapa? Kenapa kau hadang langkahku?" sahut Jantara seraya memasang wajah angker. "Mungkin kau mengenal benda ini," sahut pemuda itu sambil mengangkat tangan kanannya ke depan. Jantara melangkah mundur dua tindak melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi bengkok menempel pada pergelangan tangan pemuda itu. Bola matanya berputar, seolah-olah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Jagalah kepalamu, Jantara" bentak pemuda itu tiba-tiba seraya mengebutkan tangan kanannya. Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terperangah sesaat, namun dengan cepat merundukkan kepalanya. Cakra berwarna keperakan yang menempel di tangan pemuda itu meluncur deras kearahnya. Begitu cepat cakra itu, sehingga dua orang yang berada di belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar. Kedua orang itu menjerit keras. Tubuh mereka berputar sebentar sebelum ambruk dengan kepala terpisah. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya. Dengan putaran manis, senjata cakra itu berbalik dan langsung menempel kembali di pergelangan tangannya. "Anak muda Apa hubunganmu dengan Gardika si Cakra Maut?" tanya Jantara membentak. "Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah agar dosamu diampuni," sahut pemuda itu dingin. "Kurang ajar Apa yang kau andalkan hingga berani umbar bacot di hadapanku, heh?" geram Jantara sengit. "Bersiaplah untuk mati, Jantara" Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi lagi. Langsung dibukanya jurus-jurus maut. Jantara mengerutkan keningnya melihat kembangan jurus-jurus yang diperagakan pemuda itu. Dia kenal betul dengan jurus itu. Jurus 'Kelelawar Maut'. Jantara langsung bersiap-siap dengan jurus andalannya juga. Tapi, sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah bisa menandingi jurus 'Kelelawar Maut', meskipun dikerahkan oleh orang lain. "Tahan seranganku, Jantara" seru Bayu keras. Secepat kilat pemuda itu melompat sambil mengembangkan kedua tangannya. Gerakannya begitu cepat bagai kilat. Jantara bergegas membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit. Namun baru saja dapat berdiri, satu kibasan tangan yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah kepalanya. "Uts" Jantara menarik kepalanya sedikit sambil menyodokkan tangan kanannya ke arah dada. Tapi kembali Jantara terperangah karena lawan mampu berkelit dengan cepat sambil melancarkan serangan susulan. Satu tendangan keras melayang menghantam perut laki-laki tua itu. Jantara terbungkuk mengeluh tertahan. Perutnya seketika terasa mual. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali bersarang di wajahnya. "Akh" Jantara memekik tertahan. Timpa ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke belakang. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan melipat di bagian dada. Matanya yang tajam menatap langsung ke wajah Jantara. Sedangkan bibirnya agak melebar, menyunggingkan senyuman bernada sinis dan kejam. Jantara melangkah mundur dua tindak. Disemburkan ludahnya yang bercampur darah. "Setan belang Siapa kau sebenarnya, Bocah?" bentak Jantara menggeram hebat. "Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara. Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa Pedang, maka berlutut dan mohon ampunlah pada Dewa Pedang" sahut Pemuda itu. "Kau.... Kau tahu Dewa Pedang...?" Jantara jadi kebingungan. "Mampus kau, Jantara Hiyaaa..." "Hup"
***
Jantara cepat melentingkan tubuhnya ke udara sambil mencabut senjata
andalannya berupa sepasang tongkat kecil dengan ujung-ujungnya berbentuk
bulan sabit. Dua kali dia bersalto di udara seraya tangannya bergerak
cepat mengibas. Bersamaan dengan itu, pemuda gagah berbaju kulit harimau
juga telah berada di udara. Satu ledakan keras terdengar ketika senjata
Jantara membentur pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tampak tubuh mereka terpental kebelakang, lalu jatuh ke tanah secara
bersamaan. Jantara segera limbung begitu kakinya menjejak tanah.
Sedangkan lawannya mendarat dengan manis. Tangannya kembali melipat di
depan dada Sepertinya tidak merasakan apa-apa "Phuih" Jantara membuang
satu tongkatnya yang patah menjadi dua bagian. Matanya merah menahan
geram yang amat sangat. Selama berkecimpung dalam dunia persilatan, baru
kali ini dia mendapat lawan tangguh dan sanggup memperdayai di depan
anak buahnya. Harus diakui kalau hatinya sedikit gentar melihat
ketangguhan lawannya. Memang sulit diukur tingkat kepandaian pemuda
berbaju kulit harimau itu. Jantara mundur dua tindak. Kembali
disemburkan ludahnya yang telah bercampur dengan darah kental kehitaman.
Dengan punggung tangan, diseka mulutnya yang berlumuran darah. Matanya
agak membeliak melihat darahnya yang berwarna kehitaman. "Kau.... Kau
memakai ilmu 'Pukulan Racun Hitam' Siapa kau sebenarnya?" keras suara
Jantara, namun agak tersendat. Dia juga memeriksa bagian dadanya yang
terkena pukulan ketika bentrok di udara tadi. Tampak di dadanya terdapat
gambar berbentuk telapak tangan berwarna hitam. "Rupanya kau masih
penasaran juga, Jantara. Baiklah. Agar kau tidak mati penasaran,
dengarkanlah baik-baik. Namaku, Bayu Putra tunggal Dewa Pedang. Aku
datang dari Pulau Neraka" tegas kata-kata Bayu, pemuda gagah berbaju
kulit harimau itu. Jantara tidak dapat berkata-kata lagi. Sama sekali
tidak disangka kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah putra
tunggal Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih yang dihancurkan oleh
dirinya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya. "Dan semua ilmu
yang kumiliki berasal dari Eyang Gardika, yang telah kau buntungi kedua
kakinya dan kau butakan kedua matanya. Nah, Jantara. Apakah kau sudah
puas?" "Jadi..., Gardika masih hidup?" Jantara hampir tidak percaya
mendengarnya. "Sekarang dia telah mati setelah, menurunkan semua
ilmunya kepadaku. Dan sekarang aku muncul untuk membalas sakit hatinya
mencari orang-orang sepertimu Juga, orang-orang yang menghancurkan
keluargaku" dingin suara Bayu. Setelah berkata demikian, pemuda berbaju
kulit harimau itu langsung menyerang Jantara. Pertarungan sengit tak
dapat dihindarkan lagi. Bayu benar-benar menurunkan tangan besi kepada
orang tua yang bernama Jantara itu. Serangan-serangan yang
dilancarkannya sangat berbahaya dan luar biasa dahsyatnya. Jantara
dibuat jatuh bangun tanpa mampu memberi serangan balasan. Dalam beberapa
jurus saja, kelihatan sekali Jantara telah terdesak. Melihat
pemimpinnya kewalahan, empat orang anak buahnya yang masih tersisa
langsung berlompatan menyerang Bayu. Mereka memang sudah biasa dengan
pertarungan licik dan main keroyok. Hal ini tentu saja membuat Bayu
geram. "Bagus Kalian memang anak buahku yang mengerti," gumam Jantara
dalam hati. "Inilah kesempatan buatku...."DI saat Bayu sibuk menghadapi
keroyokan itu, tanpa menunggu waktu lagi Jantara segera melesat kabur.
Namun perhatian Bayu tidak seluruhnya terpecah. Tindakan pengecut
laki-laki tua itu langsung dapat dilihatnya. "Jantara Jangan lari kau,
pengecut" geram Bayu. Secepat kilat pemuda itu mengibaskan tangan
kanannya sambil merunduk menghindari tebasan pedang lawan. Benda yang
bernama cakra itu melesat bagai kilat menuju ke arah larinya Jantara.
Begitu cepatnya sehingga yang terlihat hanyalah secercah sinar keperakan
bagai bintang jatuh dari langit. "Sial Hup" Jantara segera menjatuhkan
tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun tak urung dia
juga memekik sedikit. Punggungnya sempat tergores senjata cakra yang
dilepaskan Bayu. Jantara masih bergulingan ketika senjata berbentuk
lingkaran pipih dan bergigi bengkok berjumlah enam itu berputar kembali
ke arah pemiliknya.Tap. Dengan manis Bayu melompat dan menangkap senjata
maut andalannya itu. Sambil berputar dengan kedua tangan merentang,
empat orang pengeroyoknya segera dibabatnya habis. Gerakan Bayu memang
sulit untuk diikuti dengan mata. Akibatnya, empat orang pengeroyoknya
jungkir-balik tak tertahan lagi. Jerit melengking saling susul
terdengar, bersamaan dengan ambruknya empat tubuh dengan dada sobek
mengucurkan darah. Kesempatan yang sedikit itu, dimanfaatkan Jantara
untuk melarikan diri. Dengan cepat dia bangkit dan berlari mempergunakan
ilmu meringankan tubuh. Bayu yang melihat lawannya kabur dengan cara
licik, jadi berhenti. Jantara berlari menuju dermaga tempat kapal besar
dan mewah itu bersandar. Kapal itu kini sudah tidak memiliki tiang utama
lagi. Bayu berdiri tegak. Matanya memandang tajam ke arah Jantara yang
terus berlari cepat menuju kapal itu. "Huh Pengecut.." dengus Bayu,
tidak melanjutkan pengejarannya. Jantara langsung ambruk ketika sampai
di atas geladak kapal. Tokoh-tokoh sakti yang masih berada di atas kapal
itu terkejut dan segera menghampiri. Demikian pula dengan Rengganis dan
tiga orang pengawal setianya yang memang masih berada di geladak.
Mereka semua terperanjat melihat keadaan Jantara yang babak-belur
bersimbah darah. "Paman Jantara Apa yang terjadi?" tanya Rengganis yang
diliputi rasa kaget. "Dia.... Dia dari Pulau Neraka...," sahut Jantara
terputus-putus. "Pulau Neraka...?" Semua bergumam keheranan setengah
tidak per caya. Mereka semua tahu kalau Pulau Neraka tidak berpenghuni,
dan tidak ada seorang pun yang pernah keluar dari sana "Siapa dia,
Jantara?" tanya salah seorang yang bertubuh gemuk pendek dan berperut
gendut. "Bayu.... Dia bernama Bayu, putra Dewa Pedang," sahut Jantara
terengah dan terputus-putus suaranya. Tidak ada lagi yang bersuara.
Mereka semua tidak percaya begitu saja. Rasanya tidak mungkin seorang
bayi yang baru berumur beberapa hari, bisa hidup di pulau angker itu.
Bahkan sekarang muncul dan bisa membuat Jantara, seorang tokoh sakti,
babak-belur Mereka memang tidak akan percaya kalau Jantara tidak
melanjutkan.... "Di pulau itu Gardika masih hidup. Setelah ilmu-ilmunya
diturunkan pada Bayu, baru dia mati. Hhh... sungguh dahsyat dan sadis
Enam orang anak buahku tewas...." Kata-kata Jantara terputus ketika
terdengar suara siulan nyaring bernada aneh. Siulan itu seolah-olah
datang dari segala penjuru, dan mengandung kekuatan tenaga dalam yang
amat luar biasa. Mereka yang memiliki tingkat kepandaian rendah,
langsung menutup telinga. Sedangkan tokoh-tokoh sakti yang berjumlah
tidak kurang dari lima belas orang, segera mengimbangi dengan
mengerahkan tenaga dalam. "Siapa pun kau adanya, keluar" bentak
Rengganis keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi pula. Suara
bentakan Rengganis langsung menghentikan siulan itu. Sesaat suasana
jadi sunyi menegangkan. Semua kepala menoleh ke kanan dan ke kiri
mencari sumber siulan tadi. Sementara Jantara sudah bisa bangkit dibantu
beberapa orang. Tidak ada seorang pun yang berbicara. Semua diliputi
suasana penuh ketegangan. Rengganis melangkah keluar dari kerumunan
tokoh rimba persilatan lainnya. Dia berdiri tegak di tengah-tengah
geladak kapal. Matanya tajam memandang ke sekelilingnya. Sementara
Ganis, Ganang dan Gamar sudah bersiap-siap dengan senjata masing-masing,
tidak jauh di belakang wanita itu. "Bayu Kalau kau ingin balas dendam,
hadapilah aku Aku yang bertanggung jawab. Keluarlah Bayu" seru Rengganis
keras bergema. Tidak ada sahutan sedikit pun. Kata-kata Rengganis hanya
terbawa angin malam, dan hilang begitu saja bersama deburan ombak.
Wanita itu tetap melayangkan pandangannya ke seluruh arah dengan tajam.
Namun yang dilihat hanyalah kepekatan malam. "Rengganis Awas..."
tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras mengejutkan. Tanpa berpikir
panjang, Rengganis mencabut senjatanya berupa kipas baja putih yang
terselip di pinggang begitu matanya melihat secercah cahaya keperakan
meluncur deras ke arahnya. Tring. Rengganis tersentak ke belakang dua
tindak. Wajahnya iangsung memerah. Tangan kirinya memegangi pergelangan
tangan kanannya yang seperti tersentuh ribuan lebah berbisa Kipasnya
terpental beberapa depa. Semua orang yang berada di atas geladak kapal
terperangah melihat kipas baja putih kebanggaan Rengganis tergeletak di
lantai geladak, tertancap sebuah bintang keperakan. "Nyai Ada suratnya"
kata Gamar yang telah mengambil kipas dari lantai geladak. Rengganis
buru-buru menerima senjatanya dari tangan Gamar, dan langsung
diselipkannya ke balik pinggang. Dia juga merebut secarik kain berwarna
merah darah dengan tulisan dari tinta emas. Wajahnya langsung menegang
dan merah sampai ke telinga setelah membaca tulisan di kain merah itu.
"Apa isinya, Rengganis?" tanya Jantara yang sudah menghampiri. Rengganis
tidak menjawab. Diserahkannya kain dengan tulisan dari tinta emas itu
pada Jantara. "Kutunggu kau di Pantai Selatan Aku dari Pulau Neraka,"
Jantara membacakan tulisan yang tertera pada secarik kain merah itu.
Jantara mengangkat kepalanya memandang Rengganis. Sinar matanya penuh
dengan sejuta kata-kata, namun sulit untuk diucapkan. Jelas kalau
tantangan itu ditujukan buat Rengganis. Tapi bukannya tidak mustahil.
Mereka semua juga akan mendapatkan hal yang sama. Kini hanya tinggal
waktu saja yang menentukan. Sementara Jantara yang sudah berhadapan
dengan pemuda bernama Bayu itu jadi mencemaskan Rengganis. Memang diakui
kalau ilmu silat Rengganis lebih tinggi setingkat darinya. Tapi itu
belum menjamin dapat menandingi orang yang mengaku dari Pulau Neraka
itu. Jurus-jurus Gardika jadi lebih mantap dan sempurna di tangan Bayu.
Hal ini sudah dapat dirasakan Jantara saat bertarung dengan pemuda itu.
"Aku akan menemuinya Sebaiknya kalian semua meninggalkan kapal ini
secepat mungkin," kata Rengganis mantap. "Rengganis...," Jantara
berusaha mencegah, namun tidak melanjutkan ucapannya. "Paman. Dia
mungkin hanya menginginkan aku saja. Aku memang harus bertanggung jawab.
Semua ini memang kesalahan dan kecerobohanku," kata Rengganis memotong.
"Hati-hatilah," hanya itu yang bisa diucapkan Jantara. Rengganis hanya
tersenyum, dan melangkah meninggalkan kapal besar dan mewah itu. Tiga
orang pengikut setianya menyertai dari belakang. Tidak ada seorang pun
yang bisa mencegah. Mereka hanya memandangi saja dengan perasaan yang
sulit diungkapkan. "Aku yakin, ini akan berbuntut panjang," gumam
Jantara.
**
Tujuh
Rengganis semakin jauh meninggalkan dermaga Pesisir Pantai Selatan. Dia terus berjalan diiringi tiga orang pengawalnya menuju tempat yang telah ditentukan dalam surat tantangan itu. Sementara orang orang yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan tempat itu satu persatu. Dalam sekilas saja mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang kini tengah dihadapi. Sementara Jantara masih berada di atas kapal. Matanya tidak lepas memandangi kepergian Rengganis. Bagaimanapun juga hatinya cemas, karena orang yang akan dihadapi wanita itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar diukur "Kau Kelihatan gelisah sekali, Jantara." "Oh" Jantara tersentak kaget Buru-buru dia menoleh. Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini tiba-tiba sudah berdiri seorang pemuda gagah mengenakan baju dari kulit harimau. Rambutnya yang panjang meriap melambai-lambai dipermainkan angin. Jantara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau semua orang sudah meninggalkan kapal ini tanpa disadurinya. Jantara membeliak kaget begitu matanya melihat mayat-mayat bergelimpangan Mayat-mayat itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaga kapal ini. Benar-benar sulit dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan tanpa diketahuinya? Kenyataan ini membuat Jantara gentar hatinya. Jelas, itu menandakan kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit dinilai. "Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya," kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Suaranya terdengar lirih tanpa nada. Jantara tidak membuka suara sedikit pun. Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar mencari celah untuk bisa lari dari maut. Di depan matanya, pemuda berbaju harimau itu bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawanya Jantara langsung berbalik begitu kakinya menyentuh tangga. Dengan sisa-sisa keberaniannya, dia segera berlari cepat menuruni tangga menuju dermaga. Tapi begitu kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada di depannya. Pemuda itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. "Kesempatanmu hanya sekali, Jantara." Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau tersebut mengebutkan kedua tangannya ke depan. Secercah sinar merah melesat cepat bagai kilat memburu ke arah Jantara. Laki-laki tua itu buru buru menarik tubuhnya ke samping sambil menggeser kakinya sedikit. Cahaya merah itu meluncur di depan dadanya, dan langsung menghantam kapal besar mewah di belakangnya. Ledakan dahsyat terdengar menggelegar bersama an dengan hancurnya kapal itu. Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa. Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan. Namun dia buru-buru bangkit berdiri. Harinya terkesiap melihat kapal besar dan mewah milik Rengganis hancur berkeping-keping bersama beberapa mayat di dalamnya. "Uhg..." Mendadak saja Jantara terbatuk dan memuntahkan darah kehitaman. Dia langsung jatuh berlutut. Tangan kanannya menekan dada yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk ribuan jarum. Jantara baru sadar kalau telah terkena pukulan beracun dalam pertarungannya tadi melawan pemuda itu. Kini racun di dalam tubuhnya mulai bekerja. "Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?" tanya Jantara bernada pasrah. "Nyawamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara. Jantara bangkit pelahan-lahan. Kepalanya mulai pening, dan pandangannya berkunang-kunang. Tapi sebagai tokoh rimba persilatan yang sudah punya nama, dia tidak akan menyerah begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Racun dari jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di tubuhnya sudah bekerja. "Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu" dengus Jantara menantang. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya. Cepat atau lambat dia akan mati. Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah terkena racun dari 'Pukulan Racun Hitam'. "Bagus Rupanya kau seorang yang ksatria juga, Jantara," Bayu tersenyum sinis. "Hih" Jantara langsung mencabut senjatanya yang tinggal sebelah. "Bersiaplah untuk mati, Jantara. "Hiyaaa..." "Hup Hiyaaa..."
Rengganis semakin jauh meninggalkan dermaga Pesisir Pantai Selatan. Dia terus berjalan diiringi tiga orang pengawalnya menuju tempat yang telah ditentukan dalam surat tantangan itu. Sementara orang orang yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan tempat itu satu persatu. Dalam sekilas saja mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang kini tengah dihadapi. Sementara Jantara masih berada di atas kapal. Matanya tidak lepas memandangi kepergian Rengganis. Bagaimanapun juga hatinya cemas, karena orang yang akan dihadapi wanita itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar diukur "Kau Kelihatan gelisah sekali, Jantara." "Oh" Jantara tersentak kaget Buru-buru dia menoleh. Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini tiba-tiba sudah berdiri seorang pemuda gagah mengenakan baju dari kulit harimau. Rambutnya yang panjang meriap melambai-lambai dipermainkan angin. Jantara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau semua orang sudah meninggalkan kapal ini tanpa disadurinya. Jantara membeliak kaget begitu matanya melihat mayat-mayat bergelimpangan Mayat-mayat itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaga kapal ini. Benar-benar sulit dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan tanpa diketahuinya? Kenyataan ini membuat Jantara gentar hatinya. Jelas, itu menandakan kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit dinilai. "Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya," kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Suaranya terdengar lirih tanpa nada. Jantara tidak membuka suara sedikit pun. Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar mencari celah untuk bisa lari dari maut. Di depan matanya, pemuda berbaju harimau itu bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawanya Jantara langsung berbalik begitu kakinya menyentuh tangga. Dengan sisa-sisa keberaniannya, dia segera berlari cepat menuruni tangga menuju dermaga. Tapi begitu kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada di depannya. Pemuda itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. "Kesempatanmu hanya sekali, Jantara." Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau tersebut mengebutkan kedua tangannya ke depan. Secercah sinar merah melesat cepat bagai kilat memburu ke arah Jantara. Laki-laki tua itu buru buru menarik tubuhnya ke samping sambil menggeser kakinya sedikit. Cahaya merah itu meluncur di depan dadanya, dan langsung menghantam kapal besar mewah di belakangnya. Ledakan dahsyat terdengar menggelegar bersama an dengan hancurnya kapal itu. Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa. Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan. Namun dia buru-buru bangkit berdiri. Harinya terkesiap melihat kapal besar dan mewah milik Rengganis hancur berkeping-keping bersama beberapa mayat di dalamnya. "Uhg..." Mendadak saja Jantara terbatuk dan memuntahkan darah kehitaman. Dia langsung jatuh berlutut. Tangan kanannya menekan dada yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk ribuan jarum. Jantara baru sadar kalau telah terkena pukulan beracun dalam pertarungannya tadi melawan pemuda itu. Kini racun di dalam tubuhnya mulai bekerja. "Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?" tanya Jantara bernada pasrah. "Nyawamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara. Jantara bangkit pelahan-lahan. Kepalanya mulai pening, dan pandangannya berkunang-kunang. Tapi sebagai tokoh rimba persilatan yang sudah punya nama, dia tidak akan menyerah begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Racun dari jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di tubuhnya sudah bekerja. "Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu" dengus Jantara menantang. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya. Cepat atau lambat dia akan mati. Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah terkena racun dari 'Pukulan Racun Hitam'. "Bagus Rupanya kau seorang yang ksatria juga, Jantara," Bayu tersenyum sinis. "Hih" Jantara langsung mencabut senjatanya yang tinggal sebelah. "Bersiaplah untuk mati, Jantara. "Hiyaaa..." "Hup Hiyaaa..."
***
Pertarungan antara Jantara dan Bayu, si Pendekar dari Pulau Neraka tidak
dapat dielakkan lagi. Meskipun Jantara dalam keadaan terluka. Namun
masih mampu melayani sampai sepuluh jurus. Dan setelah lewat sepuluh
jurus, baru kelihatan kalau Jantara tidak dapat lagi menandingi pemuda
berbaju kulit harimau itu. Racun yang mengendap di dalam tubuhnya akibat
'Pukulan Racun Hitam', semakin meluas dan membuat tenaganya berkurang
jauh. Pada suatu serangan yang cepat, Jantara tidak lagi mampu
menghindar. Dia terjungkal sangat keras begitu tendangan geledek Bayu
menghantam dadanya. Belum lagi Jantara mampu berdiri, kaki Bayu sudah
menekan dadanya. "Kau yang membuntungi kaki guruku, bukan?Kau tahu,
bagaimana penderitaannya mempertahankan hidup dengan kedua kaki
buntung?" dingin dan datar suara Bayu. "Bunuh aku, Bayu" sentak Jantara
putus asa. "Terlalu nikmat kalau kau mati cepat, Jantara," sambut Bayu
tersenyum sinis. Bayu memungut tongkat lawan yang tergeletak tidak jauh
dari kakinya. Ditimang-timangnya tongkat pendek dengan ujung ujungnya
berbentuk bulan sabit. "Kau akan menyesali perbuatanmu, Jantara. Telah
kau hilangkan kedua kaki guruku. Sekarang, rasakanlah bagaimana
kehilangan kedua kaki" kata Bayu tetap dingin suaranya. Jiwa dan
sifatnya jadi terbentuk sangat sadis. Ini akibat didikan dari gurunya,
dan dendam kesumat yang selalu membakar semangatnya selama mempelajari
ilmu-ilmu kesaktian dari Eyang Gardika "Tidak..." sentak Jantara
bergetar. Tanpa banyak bicara lagi, Bayu menggerakkan tangannya yang
memegang tongkat lawannya, dan.... Cras Cras "Aaakh..." Jantara menjerit
keras. Darah langsung muncrat begitu kedua kaki laki-laki tua berjubah
merah itu terpotong buntung sampai ke paha. Jantara meringis
menggelepar-gelepar merasakan sakit yang amat sangat pada kedua kakinya.
'Bunuh-aku, Bayu Bunuh aku... Jangan kau siksa aku seperti ini..,"
keluh Jantara. "Kau merasa tersiksa, Jantara? Apa kau tidak berpikir
ketika membuntungi kaki Eyang Gardika? Apa kau tidak merasa malu
mengeroyok orang "Bayu Aku memang ikut mengeroyok Gardik Tapi bukan aku
yang membuntungi kakinya" "Sama saja Kau atau siapa saja yang berbuat,
dimataku sama saja" "Ohhh..." Jantara mengeluh lirih. Bibirnya meringis
merasakan perih dan sakit pada kedua kakinya yang buntung. "Camkan
baik-baik, Jantara. Aku tahu siapa teman-temanmu yang berbuat keji pada
guruku. Aku juga tahu siapa orang-orangnya yang telah berlaku licik dan
kejam pada keluargaku. Ingat kata-kataku, Jantara Sampai ke ujung dunia
sekalipun, mereka tidak akan aman selama aku masih hidup" "Jangan kau
lakukan itu. Bayu. Cukup aku saja yang menanggung. Bunuh saja aku, Bayu.
Bunuh aku...," keluh Jantara putus asa. "Sayang sekali, kata-kataku
tidak dapat dirubah. Dan kau terlalu enak kalau langsung mati, Jantara."
Jantara hanya bisa mengeluh lirih. "Nah Sekarang giliran matamu" dengus
Bayu dingin. "Oh, tidak..." sentak Jantara berusaha menggeliat Namun
dalam keadaan tubuh yang lemah dan kekurangan banyak darah, Jantara
benar-benar tidak punya daya sama sekali. Tanpa berkedip sedikit pun.
Bayu menusuk kedua mata Jantara dengan tongkat ditangannya. "Aaakh..."
kembali Jantara memekik keras. Ditutupi mukanya dengan tangan. Darah
merembes keluar dari sela-sela jarinya. Bayu melangkah mundur dan
membuang tongkat yang sudah berlumuran darah pemiliknya sendiri.
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis melihat laki-laki tua berjubah
merah itu menggelepar-gelepar sambil meraung kesakitan. Bayu benar-benar
terbentuk menjadi seorang pendekar yang sadis Dia sungguh ingin
melampiaskan dendam kesumat atas hancurnya keluarganya dan sakit hati
guru tunggalnya. Terlebih lagi ilmu yang dimilikinya sangat sadis dan
mengerikan. Lengkap sudah penderitaan Jantara. Racun dan jurus 'Pukulan
Racun Hitam' yang bersarang di tubuhnya sudah bekerja, dan lambat laun
akan merenggut nyawanya. Penderitaan itu semakin bertambah dengan
kehilangan kedua kaki dan sepasang matanya. Dalam ingatannya, kembali
terbayang saat mengeroyok Gardika yang dianggap sebagai tokoh jahat yang
sangat kejam dan tidak kenal ampun. Padahal dia sendiri bukanlah orang
yang berjalan lurus. Saat itu dia hanya mencari muka agar dapat nama di
rimba persilatan dengan ikut serta dalam rencana melenyapkan Gardika.
Dunia memang aneh. Dalam tokoh aliran hitam, orang-orang yang berjalan
di jalan lurus dianggap sebagai ancaman jahat yang harus dimusnahkan.
Begitu pula sebaliknya. Sampai pada hari ini, seluruh orang rimba
persilatan belum mengetahui, Gardika berdiri di dalam golongan yang
mana. Tindakannya sangat membingungkan. Kadang membantu yang lemah dan
menumpas kejahatan, kadang pula di lain waktu malah memusuhi tokoh-tokoh
rimba persilatan beraliran putih. Dalam keadaan begitu, kedudukan
seorang tokoh yang berada di tengah-tengah memang memiliki musuh
berlipat ganda. Semua orang bisa menjadi kawan, juga bisa menjadi lawan.
"Kau punya waktu tiga hari untuk hidup, Jantara Katakan pada semua
teman-temanmu kalau aku akan datang membuat perhitungan pada mereka,"
kata Bayu tetap dingin suaranya. Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.
Suara Bayu juga seperti antara terdengar dan tidak. Rasa sakit yang
begitu kuat membuatnya jatuh pingsan. Jantara tidak ingat apa-apa lagi.
Bahkan ketika Bayu pergi meninggalkannya, dia juga tidak tahu lagi. Saat
itu yang dirasakan dan diinginkan hanyalah satu, mati...
***
Lama juga Jantara tidak sadarkan diri. Sebelum matahari terbit,
laki-laki tua berjubah merah yang kedua kakinya sudah buntung itu mulai
bergerak-gerak. Suara erangan terdengar lirih dari mulutnya. Darah mulai
membeku. Tangannya menggapai-gapai sambil menyeret tubuhnya yang lemah.
"Oh, Tuhan... kenapa kau tidak cabut saja nyawaku? Kenapa kau beri aku
siksaan begitu berat...?" rintih Jantara lirih. Sambil menahan sakit dan
perih, Jantara terus merayap menggapai-gapai. Dia berhenti merayap
ketika tangannya menyentuh sebatang tongkat pendek berujung bulan sabit.
Jantara meraih senjata tongkatnya itu. Digenggamnya erat-erat tongkat
itu dengan tangan gemetaran. "Hidupku memang penuh berlumur dosa. Tapi,
aku tidak ingin hidup menderita dan terhina. Tuhan..., akhirilah
hidupku...," kembali Jantara merintih lirih. Pelahan-lahan tangannya
terangkat tinggi. Ujung tongkat berbentuk bulan sabit diarahkan ke
dadanya. Sambil mengatupkan rahang rapat-rapat, Jantata menikam dadanya
sendiri dengan senjatanya. Keluhan kecil terdengar, lalu tubuhnya
terkulai lemah dengan dada tertembus tongkat pendek senjata andalannya
sendiri. Darah kembali mengucur dengan deras dari dada yang tertembus
tongkat pendek. Pada saat itu tampak empat orang berlari-lari kecil
menuju ke arah tubuh Jantara yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka
adalah Rengganis dan tiga orang pengawal setianya. Wanita berbaju hijau
yang masih kelihatan cantik itu langsung memburu dan menubruk tubuh
jantara. "Paman... Apa yang terjadi...?" sentak Rengganis seraya
mengangkat tubuh Jantara ke atas pangkuannya. Rengganis hampir tidak
percaya melihat keadaan tubuh laki-laki tua berjubah merah itu.
Keadaannya sungguh mengenaskan Tanpa disadari, setitik air bening
menggulir di pipi yang putih kemerahan. Ya... Rengganis, wanita yang
tegar dan berilmu tinggi itu menangisi kepergian laki-laki tua yang
dipanggil paman itu. "Siapa yang melakukan ini padamu, Paman? Katakan
Siapa...?" tanya Rengganis dengan suara tersendat. Rengganis mengangkat
kepalanya. Pandangannya langsung menembus tiga orang laki-laki
bersaudara yang berdiri saja di depannya dengan wajah tertunduk. Mata
wanita itu beralih menatap kapal besar dan mewah yang sudah hancur
berkeping-keping. Api masih terlihat dari puing-puing yang berserakan
dipermainkan ombak. Tidak tahu lagi, perasaan apa yang berkecamuk di
dalam dadanya. Pelahanl-ahan ia berdiri mengangkat tubuh Jantara yang
sudah kaku itu. Sebentar Rengganis berdiri tegak membopong tubuh yang
sudah tidak utuh lagi itu. Pandangannya lurus menatap ke tengah laut
lepas Air bening masih menitik turun di pipinya yang kemerahan.
Pelahanlahan dia berbalik dan melangkah meninggalkan dermaga itu. "Nyai,
pasti ini perbuatan Pendekar Pulau Neraka itu," kata Gamar. Rengganis
hanya diam saja. Kakinya terus melangkah pelan-pelan dengan pandangan ke
depan. Dia seperti tidak mendengar kata-kata Gamar. "Benar-benar licik.
Dia sengaja memancing kita menjauhi dermaga" kata Ganang agak
menggeram. "Nyai, akan kau bawa ke mana mayat Itu" tanya Ganis.
Rengganis berhenti melangkah. Dia berbalik dan menatap tajam pada Ganis.
Kata-kata lelaki itu seperti menyentakkan hatinya. Yang ditatap hanya
menundukkan kepala saja. "Kalian siapkan kereta. Aku akan membawa
jenazahnya ke makam keluarga" perintah Rengganis tegas. "Nyai...," Ganis
ingin membantah. "Kalian tahu, Paman Jantara adalah adik sepupu ibuku.
Dia harus dimakamkan dekat keluarganya," kata Rengganis datar. Ganis,
Gamar dan Ganang hanya bisa diam. Mereka baru tahu kalau Jantara atau si
Tongkat Samber Nyawa adalah benar-benar paman sedarah junjungannya ini.
Pantas saja laki-laki berjubah merah itu selalu mengkhawatirkan
Rengganis. Dan tampaknya Rengganis juga begitu menghormatinya. Padahal
mereka semua tahu kalau tingkat kepandaian Rengganis satu tingkat di
atas si Tongkat Samber Nyawa. Rupanya mereka masih ada kaitan darah
keturunan. Ganis tidak membantah lagi. Segera dijak kedua adiknya
mempersiapkan kereta kuda yang terpancang di samping sebuah kedai tidak
jauh dari dermaga. Sedangkan Rengganis kembali melanjutkan langkahnya
pelan-pelan. Sedikit pun ia tidak mengetahui kalau dari tempat
tersembunyi sepasang mata tajam mengawasi gerak-geriknya sejak tadi.
***
Hampir satu harian Rengganis berdiri mematung di depan makam Jantara.
Pandangan matanya kosong menatap lurus kepada gundukan tanah merah di
ujung kakinya. Sementara tiga saudara yang mengawalnya, berdiri agak
jauh memperhatikan. Rengganis mendesah panjang sambil mengangkat
kepalanya. Dia menoleh dan menatap pada tiga orang laki-laki yang
menanti dengan setia di bawah pohon rindang. "Apa yang harus kami
kerjakan, Nyai?" tanya Ganis seraya mendekat diikuti kedua adiknya.
Rengganis tidak menyahut, tetapi hanya berbalik dan mengayunkan
langkahnya meninggalkan pusara Jantara. Dirinya sendiri tidak tahu lagi,
apa yang harus dikerjakan. Mereka semua belum pernah bertemu dengan
pemuda yang bernama Bayu, putra tunggal Dewa Pedang yang berjuluk
Pendekar Pulau Neraka. Yang membuat Rengganis sulit menentukan langkah
selanjutnya adalah ketidaktahuannya tentang pemuda yang muncul ingin
membalas dendam itu. Kemunculannya yang pertama sudah membawa korban
tidak sedikit. Dia dapat mengalahkan Jantara dengan mudah. Jelas tingkat
kepandaiannya tinggi sekali "Apa tidak sebaiknya kita mendahului
daripada didahului, Nyai," kata Ganis mengusulkan. "Maksudmu?" tanya
Rengganis tetap melangkah tanpa menoleh sedikit pun. "Kita harus mencari
dan menemuinya lebih dahulu," Ganis menjelaskan. "Aku rasa kita
berempat mampu menandinginya." "Tidak semudah itu, Ganis. Sampai saat
ini belum ada seorang pun yang tahu, siapa dan bagaimana rupanya," sahut
Rengganis pelan. "Rasanya tidak begitu sulit, Nyai," celetuk Gamar.
Rengganis berhenti melangkah dan memandang Gamar. "Bukankah Paman
Jantara pernah mengatakan kalau pemuda itu membawa senjata aneh
berbentuk cakra? Dan dia juga mengenakan baju dari kulit harimau. Tidak
sulit mencari orang dengan cin-ciri seperti itu, Nyai," lanjut Gamar.
"Dunia ini luas, Kakang Gamar," selak Ganang. "Ciri-cirinya memang
menyolok dan mudah dikenali. Tapi di mana kita harus mencarinya?" Tidak
ada yang menjawab. Semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Posisi
mereka saat ini tidak lebih dari binatang buruan. Maut setiap saat
datang menjemput. Sekeliling mereka sudah terselimut hawa maut. Setiap
saat Pendekar Pulau Neraka yang menyeramkan itu bisa muncul mencabut
nyawa mereka. Satu posisi yang benar-benar tidak menguntungkan sama
sekali. "Sudahlah Tidak perlu kalian ikut sibuk memikirkan orang itu.
Kita tunggu saja. Kalau dia muncul, kita sambut. Kalau dia menginginkan
main kucing-kucingan, usahakan jangan jadi tikus," kata Rengganis.
"Kalian memang sudah jadi tikus" Rengganis dan tiga orang pengikut
setianya terkejut mendengar suara yang menggema. Kata kata itu demikian
jelas terdengar, seolah-olah datang dari segala penjuru. Belum lagi
hilang gema suara itu, muncul lagi suara siulan panjang bernada tinggi
melengking. Siulan yang mengandung tenaga dalam, dan mampu membuat
gendang telinga pecah. Rengganis buru-buru mengerahkan hawa murni dan
menutup telinganya dengan menyalurkan tenaga dalam. Sementara ketiga
bersaudara itu sudah kelihatan sibuk menutup telinga dengan tangan.
Suara siulan itu semakin terdengar menyakitkan. "Salurkan hawa murni
kalian. Tutup dengan tenaga dalam," perintah Rengganis. Ketiga
bersaudara itu segera mengikuti kata-kata junjungannya. Namun ilmu
tenaga dalam mereka memang masih kalah jauh, sehingga usaha mereka
sia-sia saja. Bahkan kini keadaan jadi bertambah buruk lagi. Ganang yang
lebih muda sudah menggelepar di tanah. Dari mulut, hidung, dan
telinganya mengucur darah. Keadaan kedua kakaknya tidak kalah parahnya.
Mereka seperti kehabisan napas karena memaksakan diri mengerahkan tenaga
dalam dengan menutup gendang telinga. "Hiyaaa..." Tiba-tiba saja
Rengganis berteriak nyaring seraya mencabut kipas kembarnya. Dengan
cepat dikebut-kebutkan kipas itu ke depan dan ke atas. Saat itu juga di
sekitar mereka bertiup angin keras menderu-deru. Dan bersamaan dengan
menghilangnya suara siulan melengking tinggi, meluncur sebuah benda
berwarna keperakan ke arah wanita cantik berbaju hijau itu. Benda pipih
bagai piring itu mendesing ke arah Rengganis. "Hait..." Rengganis
melentingkan tubuhnya ke udara sambil mengipaskan kipas baja putihnya
menyampok benda pipih seperti piring itu. Namun tanpa diduga sama
sekali, benda itu bisa berputar menghindar dan berbalik arah. Buru-buru
Rengganis meluruk jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali sebelum
bangkit berdiri. "Hehhh..." hembusan napas panjang terdengar. Rengganis
berdiri tegak dengan sepasang kipas baja menyilang terbuka di depan
dada. Matanya tajam menatap seorang laki-laki muda dan gagah berbaju
kulit harimau. Di tangan kanannya menggenggam sebuah benda bulat pipih
dengan sekelilingnya bergerigi bengkok berjumlah enam buah. Sementara
tiga saudara yang tergeletak di tanah sudah mulai bangkit berdiri.
Mereka langsung bergerak seperti melindungi junjungannya. Sepertinya
mereka tidak peduli dengan kondisi tubuh yang sudah tidak prima lagi.
Siulan panjang melengking tadi benar-benar menguras tenaga dalam dan
kekuatan. Darah masih tampak mengucur dari hidung, mulut, dan telinga.
"Kau yang bernama Bayu, Pendekar Pulau Neraka itu?" tanya Rengganis
ketus. "Benar Aku datang untuk menagih hutang padamu," sahut pemuda
berbaju kulit harimau itu. "Hm... rasanya kita belum pernah bertemu
sebelumnya. Hutang apa yang harus kubayar?" "Nyawa" Rengganis
mengerutkan keningnya. Dia memang sudah mendengarnya dari Paman Jantara.
Tapi dia belum yakin kalau bayi yang baru berumur beberapa hari bisa
hidup di pulau angker yang tidak pernah terjamah manusia itu. Rengganis
ingat. Ketika bayi itu diberi nama, di dada sebelah kiri digambar
sekuntum bunga teratai sebagai keturunan Dewa Pedang, ahli waris
Padepokan Teratai Putih. Kening wanita itu kembali berkerut melihat
gambar bunga teratai tertera pada dada sebelah kiri pemuda berbaju kulit
harimau di depannya. Tidak dapat disangka lagi, pemuda itu memang benar
putra Dewa Pedang yang berhasil dibawa lari ke Pulau Neraka oleh salah
seorang murid setia Padepokan Teratai Putih. Kini pemuda itu sudah
menjelma menjadi seorang pemuda gagah dan tampan dengan membawa sejuta
dendam di hatinya. Tatapannya saja sangat sadis dan kejam. "Baiklah,
kalau kau ingin membalas kematian Ayah dan Ibumu, aku tidak akan lari
menghindar. Semua memang tanggung jawabku. Tapi perlu kau ketahui, Bayu.
Sejak peristiwa itu aku selalu dihantui perasaan bersalah. Oleh sebab
itu aku setiap tahun selalu memperingatinya. Sudah banyak orang yang aku
perintahkan mencarimu ke Pulau Neraka dengan hadiah tinggi. Tapi tidak
ada seorang pun yang menyanggupi. Aku khilaf waktu itu, Bayu. Aku
terlalu dipengaruhi hawa nafsu dan dendam. Nah, sekarang kalau kau ingin
menagih hutang, aku akan membayarnya," kata Rengganis. "Sungguh manis
kata-katamu, Rengganis. Sayang sekali, ucapanku tidak mungkin dicabut
kembali. Hutang nyawa harus dibayar nyawa," sahut Bayu dingin. "Aku
tidak akan melawan, Bayu. Aku memang harus menebusnya dengan nyawa,"
kata Rengganis yang memang menyesali tindakannya setelah tahu kalau yang
membantai keluarganya bukan Dewa Pedang, tapi malah pamannya sendiri.
"Bedebah Kau pikir aku akan mengampunimu, Perempuan Setan. Jangan harap.
Kau harus bertarung sampai di antara kita ada yang tewas" geram Bayu.
"Kau yang meminta, Bayu. Dan aku tidak bisa menolak " "Jangan banyak
omong Ayo, kita bertarung sampai mati" "Aku terima tantanganmu."
***
Delapan
Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk cakra bersegi enam dari pergelangan tangan kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan kiri pada salah satu ujungnya. Sepasang matanya menatap tajam, lurus kebola mata wanita cantik berbaju hijau di depannya. Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-laki yang sudah menghunus senjata masing-masing. "Kenapa diam? Hayo serang aku, Putra Dewa Pedang" seru Rengganis memanaskan. Bayu masih tetap diam, berdiri tegak. Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih dulu. Matanya tetap menatap tajam, namun sinarnya tidak lagi menyala seperti semula. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi kebimbangan. Dari keterangan yang telah diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya bukan Rengganis. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, namun otaknya jelas wanita itu. Wanita yang seharusnya dihormati. Karena bagaimanapun juga Rengganis adalah istri ayahnya. Itu berarti ibu titinya juga. Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali senjatanya ke pergelangan tangannya yang terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang berwarna perak. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak saja pudar. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi. Sementara tiga orang bersaudara saling pandang. Dan tanpa menunggu perintah lagi, mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing. Desiran angin yang halus membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan. Wut...Senjata cakra di pergelangan tangan langsung melesat bagai kilat. Hal ini membuat Ganis yang berada paling dekat jadi terpengaruh. Buru-buru dikibaskan senjatanya, tapi gerakannya kalah cepat. Senjata cakra yang telah meluncur itu lebih cepat lagi menghujam dadanya. "Aaakh..." Ganis memekik nyaring. Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh Ganis, senjata cakra itu kembali melesat pada pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu mengibaskan tangan kanannya. "Hiya,.." Secepat senjata cakra itu melesat kembali, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka melenting sambil menghantamkan tangannya ke dada Ganang dan Gamar. Serangan pemuda berbaju kulit harimau itu demikian cepat dan sulit diikuti oleh mata biasa. Mereka tidak sempat berkelit lagi. Dua jeritan panjang terdengar saling susul. Tidak lama kemudian, Ganang dan Gamar terjembab tak bernyawa lagi. Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang tetap berdiri menyaksikan. Namun dari sinar mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget bercampur kagum. Betapa tidak? Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang pengawal setianya roboh tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun. Mereka memang dalam keadaan terluka dalam akibat tidak mampu menahan serangan suara tenaga dalam melalui siulan yang dikeluarkan Bayu tadi. Tapi, rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat ditewaskan dalam waktu yang begitu cepat. "Kau benar-benar licik, Rengganis" ketus suara Bayu. "Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka hanya untuk melindungiku," kata Rengganis kalem. "Dengan cara membokong? Ck..., ck..., ck...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Rengganis diam saja. Memang diakui, perbuatan ketiga pengawal setianya adalah licik dan tidak ksatria. Tapi dia tidak mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu. Dia tahu, perbuatan itu dilakukan karena rasa tanggung jawab dan pengabdian mereka. Kejadian itu membuat mata Rengganis terbuka. Dia seperti baru menyadari arti kesetiaan dan pengabdian. Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu keluarganya ketika menjadi panglima perang, adalah semata-mata karena tugas dan pengabdiannya. Namun semua itu telah dikotori oleh hati busuk yang hanya mementingkan pribadi. Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia memang bisa membuat mata hari tertutup. Begitu pula dengan dendam yang juga dapat membutakan mata hati. Rengganis merasa dirinya baru saja terbangun dari mimpi panjang. Dia seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama puluhan tahun. Semua yang dimilikinya hanya digunakan untuk membunuh dan memberantas orang-orang tidak bersalah. Kini semua perbuatannya harus ditanggungnya sendiri. Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja, juga harus menanggung akibatnya. Kemunculan Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari kesadaran pribadinya. "Cabut senjatamu, Rengganis" bentak Bayu. Rengganis kembali mencabut senjata andalannya berupa sepasang kipas baja putih yang telah diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia memang tidak punya pilihan lain, dan mau tidak mau harus bertarung melawan anak tirinya sendiri. "Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis. Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di dekatnya. "Aku akan lebih merasa berdosa jika kau ampuni, Bayu," sahut Rengganis kalem dan tegas. "O..., tidak kusangka Wanita sepertimu kenal dosa juga," suara Bayu terdengar sinis. "Cukup, Bayu Aku tidak perlu ejekanmu. Ayo, kita bertarung sampai mati" sentak Rengganis. Rupanya dia tidak tahan juga mendengar ejekan bayu. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir menyunggingkan senyuman sinis. Terlihat adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari sinar mata wanita itu, meskipun ditutupi dengan kata-kata ketus dan tegas. "Ayo, Bayu Kenapa diam?" Rengganis jadi kesal juga melihat sikap Bayu. "Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin melihat penderitaanmu dulu," jawab Bayu dingin. "Mati pun tidak akan kusesali. Bayu." "Ya, karena kau sudah pasrah." "Tidak Hiyaaa..."
Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk cakra bersegi enam dari pergelangan tangan kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan kiri pada salah satu ujungnya. Sepasang matanya menatap tajam, lurus kebola mata wanita cantik berbaju hijau di depannya. Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-laki yang sudah menghunus senjata masing-masing. "Kenapa diam? Hayo serang aku, Putra Dewa Pedang" seru Rengganis memanaskan. Bayu masih tetap diam, berdiri tegak. Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih dulu. Matanya tetap menatap tajam, namun sinarnya tidak lagi menyala seperti semula. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi kebimbangan. Dari keterangan yang telah diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya bukan Rengganis. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, namun otaknya jelas wanita itu. Wanita yang seharusnya dihormati. Karena bagaimanapun juga Rengganis adalah istri ayahnya. Itu berarti ibu titinya juga. Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali senjatanya ke pergelangan tangannya yang terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang berwarna perak. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak saja pudar. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi. Sementara tiga orang bersaudara saling pandang. Dan tanpa menunggu perintah lagi, mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing. Desiran angin yang halus membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan. Wut...Senjata cakra di pergelangan tangan langsung melesat bagai kilat. Hal ini membuat Ganis yang berada paling dekat jadi terpengaruh. Buru-buru dikibaskan senjatanya, tapi gerakannya kalah cepat. Senjata cakra yang telah meluncur itu lebih cepat lagi menghujam dadanya. "Aaakh..." Ganis memekik nyaring. Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh Ganis, senjata cakra itu kembali melesat pada pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu mengibaskan tangan kanannya. "Hiya,.." Secepat senjata cakra itu melesat kembali, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka melenting sambil menghantamkan tangannya ke dada Ganang dan Gamar. Serangan pemuda berbaju kulit harimau itu demikian cepat dan sulit diikuti oleh mata biasa. Mereka tidak sempat berkelit lagi. Dua jeritan panjang terdengar saling susul. Tidak lama kemudian, Ganang dan Gamar terjembab tak bernyawa lagi. Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang tetap berdiri menyaksikan. Namun dari sinar mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget bercampur kagum. Betapa tidak? Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang pengawal setianya roboh tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun. Mereka memang dalam keadaan terluka dalam akibat tidak mampu menahan serangan suara tenaga dalam melalui siulan yang dikeluarkan Bayu tadi. Tapi, rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat ditewaskan dalam waktu yang begitu cepat. "Kau benar-benar licik, Rengganis" ketus suara Bayu. "Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka hanya untuk melindungiku," kata Rengganis kalem. "Dengan cara membokong? Ck..., ck..., ck...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Rengganis diam saja. Memang diakui, perbuatan ketiga pengawal setianya adalah licik dan tidak ksatria. Tapi dia tidak mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu. Dia tahu, perbuatan itu dilakukan karena rasa tanggung jawab dan pengabdian mereka. Kejadian itu membuat mata Rengganis terbuka. Dia seperti baru menyadari arti kesetiaan dan pengabdian. Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu keluarganya ketika menjadi panglima perang, adalah semata-mata karena tugas dan pengabdiannya. Namun semua itu telah dikotori oleh hati busuk yang hanya mementingkan pribadi. Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia memang bisa membuat mata hari tertutup. Begitu pula dengan dendam yang juga dapat membutakan mata hati. Rengganis merasa dirinya baru saja terbangun dari mimpi panjang. Dia seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama puluhan tahun. Semua yang dimilikinya hanya digunakan untuk membunuh dan memberantas orang-orang tidak bersalah. Kini semua perbuatannya harus ditanggungnya sendiri. Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja, juga harus menanggung akibatnya. Kemunculan Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari kesadaran pribadinya. "Cabut senjatamu, Rengganis" bentak Bayu. Rengganis kembali mencabut senjata andalannya berupa sepasang kipas baja putih yang telah diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia memang tidak punya pilihan lain, dan mau tidak mau harus bertarung melawan anak tirinya sendiri. "Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis. Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di dekatnya. "Aku akan lebih merasa berdosa jika kau ampuni, Bayu," sahut Rengganis kalem dan tegas. "O..., tidak kusangka Wanita sepertimu kenal dosa juga," suara Bayu terdengar sinis. "Cukup, Bayu Aku tidak perlu ejekanmu. Ayo, kita bertarung sampai mati" sentak Rengganis. Rupanya dia tidak tahan juga mendengar ejekan bayu. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir menyunggingkan senyuman sinis. Terlihat adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari sinar mata wanita itu, meskipun ditutupi dengan kata-kata ketus dan tegas. "Ayo, Bayu Kenapa diam?" Rengganis jadi kesal juga melihat sikap Bayu. "Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin melihat penderitaanmu dulu," jawab Bayu dingin. "Mati pun tidak akan kusesali. Bayu." "Ya, karena kau sudah pasrah." "Tidak Hiyaaa..."
***
Kata-kata Bayu yang membuat panas telinga membuat Rengganis semakin
tersinggung dan marah, semua perbuatannya memang telah disesali dan
diakui. Tapi dia pantang dihina dan direndahkan begitu saja. Telinganya
terasa panas mendengar kata-kata penuh sindiran dan ejekan pemuda
berbaju kulit harimau itu. Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Tapi
Bayu malah tersenyum sinis. Dalam beberapa jurus saja, sudah dapat
ditebak kalau Rengganis sengaja membuka pertahanannya. Rengganis memang
menyerang dengan ganas dan dahsyat, tapi tidak menghiraukan pertahanan.
Bahkan sengaja membuka pertahanannya lebar-lebar. "Kau hanya bunuh diri
saja, Rengganis," kata Bayu sambi berkelit menghindari serangan wanita
itu. "Jangan banyak omong Serang aku" dengus Rengganis kesal melihat
lawannya hanya menghindar saja tanpa ada keinginan untuk balas
menyerang. "Tidak Sebelum kau sungguh sungguh bertarung, Rengganis."
Merah padam muka Rengganis. Dia sungguh malu luar biasa. Ternyata lawan
telah mengetahui kalau dia bertarung tidak sungguh-sungguh. Bahkan
sengaja memberi peluang besar dengan membuka pertahanan nya. Tidak ada
yang dapat dilakukan Rengganis saat ini. Dia harus bertarung secara
sungguh-sungguh. Dalam hari dikaguminya sikap satria Bayu yang ingin
bertarung dengan lawan yang benar-benar siap. "Hup" Bayu menggeser
kakinya ke kanan ketika satu kibasan kipas di tangan kanan Rengganis
hampir membelah dadanya. Bayu mencoba menyodok iga wanita itu dengan
tangan kirinya. Namun tanpa diduga sama sekali kipas baja putih di
tangan kiri Rengganis bergerak cepat menyampok, "Uts" Buru-buru Bayu
menarik kembali tangannya, lalu melentingkan tubuh sambil berputar ke
belakang begitu sebuah kipas lainnya mengibas ke arah leher. Bayu belum
sempat mengambil posisi, datang lagi serangan beruntun dari dua penjuru.
Buru-buru ditarik mundur kepalanya sambil mengangkat tangan kanannya
memapak serangan dahsyat kipas baja putih itu. Tring..Rengganis
buru-buru menarik tangannya saat ujung senjata kipasnya membentur
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh tangannya
bergetar bagai tersengat ribuan lebah. Sedangkan Bayu sedikit pun tidak
merasakan apa-apa, bahkan langsung memberikan serangan balasan dengan
cepat "Bagus Hup, hiyaaa..." Rengganis gembira melihat lawannya sudah
mulai memberikan serangan balasan. Kini pertarungan berjalan
sungguh-sungguh dan dahsyat. Masing-masing memberikan serangan yang
mematikan. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan puluhan jurus, namun
belum ada tanda-tanda yang terdesak. Rengganis sadar kalau tenaga
dalamnya masih berada di bawah lawannya. Hal ini terbukti ketika
senjatanya beradu dengan senjata Pendekar Pulau Neraka yang menempel di
pergelangan tangan kanan. Namun dia tidak jera juga, bahkan terus
membenturkan senjatanya ke pergelangan tangan kanan lawannya. Akibatnya,
dia selalu membuka pertahanan, dan itu sangat membahayakan jiwanya
sendiri. Meskipun demikian, nampaknya Bayu tidak mau memanfaatkan
kelengahan lawan. Hal ini membuat Rengganis semakin berang. Dia merasa
seolah-olah Bayu sengaja mempermainkannya. Selama hidupnya, belum pernah
dia dipermainkan seseorang sedemikian rupa. Keberangan harinya membuat
Rengganis semakin memperhebat serangan. Tidak disadarinya kalau hal ini
justru yang diharapkan Bayu.
***
Keadaan sekitar pertarungan telah porak-poranda. Batu-batu hancur
berkeping-keping Pepohonan tumbang tak tentu arah. Sementara pertarungan
berjalan semakin sengit. Berpuluh-puluh jurus sudah dilalui, belum ada
tanda-tanda akan berakhir. Matahari pun semakin tinggi. Sinarnya yang
terik tidak dihiraukan lagi. "Huh Anak ini benar-benar alot" dengus
Rengganis dalam hati. "Tidak kusangka Wanita ini tangguh juga," gumam
Bayu dalam hati. Mereka memang sama-sama tangguh. Bayu melompat keluar
dari arena pertarungan. Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya.
Sebentar ditariknya nafas panjang, lalu dengan cepat tangan kanannya
menghentak ke depan. Saat itu juga senjata cakra yang ada di pergelangan
tangan kanannya melesat cepat bagai kilat. Rengganis mengangkat tangan
dan membuka kipas sambil memiringkan tubuh ke kiri. Dengan senjata kipas
baja putihnya ditangkis senjata cakra itu. Tring..Rengganis terkejut
dan langsung melompat mundur. Kipas di tangannya terpental saat
membentur cakra yang melesat cepat itu. Belum lagi hilang rasa kagetnya,
cakra itu berbalik berputar dan kembali menyerangnya dengan cepat. Mau
tidak mau, wanita itu membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
beberapa kali sebelum melesat bangun. Pada saat yang tepat, Bayu
melompat cepat dan menangkap senjatanya di udara. Sebelum Rengganis
benar-benar siap, Pendekar Pulau Neraka itu sudah meluruk ke arahnya
sambil mengibaskan tangannya. "Ah..." Rengganis memekik terkejut.
Buru-buru diegoskan tubuhnya ke samping menghindari terjangan bagai
kilat itu. Namun yang terjadi adalah .... "Akh" pekikan tertahan
terlontar dari mulut wanita itu. Rengganis menekan bahu kirinya yang
tergores ujung cakra di tangan Bayu. Dan di saat tubuhnya limbung, satu
pukulan keras menghantam dadanya. Tak pelak lagi, tubuh ramping berbalut
baju hijau itu terlontar ke belakang beberapa depa. "Saatmu sudah tiba,
Rengganis" seru Bayu keras. Seketika itu juga Bayu menghentakkan
tangannya, dan senjata di tangan kembali terlontar cepat dengan suaranya
yang mendesing membelah udara. Rengganis terperangah sesaat, lalu
cepat-cepat dilentingkannya tubuhnya ke atas. Namun tanpa diduga sama
sekali, Pendekar Pulau Neraka itu melesat, sambil mendorong tangan
kanannya dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Racun Hitam' Rengganis yang
sedang menghindari serangan cakra, tidak dapat lagi berkelit. Dengan
telak dadanya kembali terhantam pukulan telapak tangan lawannya.
Akibatnya deras sekali tubuh Rengganis meluncur menghunjam ke tanah.
Bayu meluruk turun setelah senjatanya menempel kembali dipergelangan
tangan kanan. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
Sementar Rengganis berusaha bangun. Dari mulut dan hidungnya mengucur
darah kental kehitaman. Pada bagian dadanya tergambar telapak tangan
berwarna hitam menghanguskan bajunya. Dua kali dia terbatuk dan
memuntahkan darah kental kehitaman. Dengan terhuyung-huyung, wanita
cantik berbaju hijau itu berdiri."Kau hebat. Bayu. Ayahmu pasti bangga
kepadamu," kata Rengganis memaksakan untuk berdiri tegap. "Terima kasih
atas pujianmu, Rengganis. Tapi sayang, ajalmu sudah dekat," sahut Bayu
sinis. "Aku akan mati tersenyum. Bayu." Bayu hanya tersenyum sinis. Dan
tanpa memicingkan mata sedikit pun, dihentakkan tangan kanannya.
Rengganis tetap berdiri tegak tak bergeming. Dia hanya menatap saja
senjata bulat pipih yang mendesing cepat ke arahnya. Tentu saja hal ini
membuat Bayu terperangah. Tidak disangka kalau wanita itu menjadi
pasrah, dan tidak melakukan perlawanan lagi. Kelihatannya nekat sekali.
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengempos tubuhnya.
Dia melesat cepat mengejar senjatanya yang sudah melayang bagaikan kilat
kearah Rengganis. Tapi tindakannya terlambat..... "Aaakh" Rengganis
menjerit menyayat. Sebentar tubuhnya masih berdiri tegak, lalu limbung,
tak lama kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dengan cakra tertanam dalam
di dadanya. Bayu langsung menubruk dan mencabut senjatanya dari dada
wanita itu. Diangkatnya tubuh Rengganis dan diletakkan di pangkuannya.
"Oh..., Bayu.. ," lemah dan lirih suara Rengganis. "Tidak... Aku..., aku
tidak bermaksud membunuhmu. Kau... Kau ibuku...," suara Bayu tersendat.
"Aku bukan ibumu. Bayu. Aku pembunuh ibu dan ayahmu. Aku memang pantas
mati di tanganmu." Bayu meletakkan tubuh Rengganis di atas rerumputan,
kemudian berdiri dan melangkah mundur beberapa tindak. Kepalanya
menggeleng-geleng. Pandangannya seperti orang yang tidak percaya dengan
perbuatannya sendiri. "Kau..., kau.... Tidak Katakan padaku Kau bukan
pembunuh orang tuaku Katakan Siapa yang membunuh orang tuaku?" sentak
Bayu seolah olah kehilangan akal. "Aku yang membunuh mereka, Bayu. Aku
yang merencanakan semuanya. Aku tidak tahu. Aku khilaf. Mata hatiku
tertutup mendengar cerita mereka yang..., ah" "Katakan Siapa mereka?"
desak Bayu "Mereka.... Ugh, ugh" Bayu kembali mendekat, dan berlutut di
samping wanita yang tengah sekarat itu. Dia memang telah memiliki banyak
keterangan tentang wanita ini. Bayu memang tidak yakin kalau perbuatan
Rengganis dalam keadaan sadar. Pasti akibat hasutan dari orang lain.
Hati pemuda itu jadi berperang sendiri. Bagaimanapun juga, Rengganis
adalah istri ayahnya, yang berarti juga ibu tirinya. "Katakan padaku,
Bibi. Siapa mereka?" desak Bayu. "Kau..., kau memanggilku Bibi, Bayu?"
wajah Rengganis langsung berubah cerah. Namun pandangan matanya seperti
tidak percaya dengan pendengarannya. "Katakan padaku, Bibi. Siapa yang
menghasutmu? Katakan, Bibi" desak Bayu. "Bayu...," desah Rengganis
bahagia mendengar dirinya dipanggil bibi oleh pemuda ini. Bayu
membiarkan saja tangannya digenggam. Juga dibiarkan saja tangannya
diciumi wanita itu. Mereka memang bermusuhan. Tapi, mereka juga tidak
bisa memungkiri tali ikatan yang ada pada diri mereka. Rasa dendam,
sakit hati, dan kebencian, seketika luntur diterjang perasaan haru yang
begitu kuat mendesak. "Bibi.." sentak Bayu saat wanita itu mengejang.
"Bayu, maafkan aku...," lirih dan tersendat suara Rengganis. Bayu
menggigit-gigit bibirnya sendiri menahan sesuatu yang hampir meledak
dari dalam dadanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca memandangi wajah
Rengganis yang semakin pucat membiru. "Bayu..., setelah kuketahui ayahmu
tidak bersalah, aku selalu dihantui perasaan berdosa yang tidak
terampuni. Mereka memang jahat dengan memanfaatkan aku untuk membalas
sakit hati dan dendam pribadi mereka, jumlah mereka banyak, Bayu. Aku
memang bodoh, aku tidak tahu kalau aku hanya dijadikan alat dan boneka
pancingan. Aku menyesal Bayu. Maafkan aku...,"semakin lemah dan lirih
suara Rengganis. "Bibi..," ujar Bayu tersentak. "Mereka semua sangat
tangguh. Aku tidak berdaya. Aku tidak mampu menandinginya. Bayu. Maukah
kau membalaskan sakit hatiku? Maukah kau menghancurkan mereka?" Bayu
mengangguk. "Terima kasih, Bayu...." "Bibi..." Rengganis tersenyum dan
pelahan-lahan matanya terpejam. "Bibi..., katakan Siapa mereka? Aku
nanti pasti akan membalas sakit hatimu. Katakan, siapa mereka. .?" Bayu
menggoyang-goyang tubuh Rengganis. Tapi wanita itu sudah tidak bergerak
lagi. Rengganis telah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan bibir
tersenyum. Bayu tidak mampu lagi menguasai diri dan perasaannya.
Dipeluknya tubuh wanita itu. Dan tanpa dapat dibendung lagi, air matanya
menitik pelahan. Kebencian dan kesadisannya hilang sejenak. Tatapannya
pun lesu
***
Seharian penuh Bayu duduk mencangkung di atas batu hitam. Tidak jauh di
depannya tampak gundukan tanah merah yang masih bani. Hanya sebuah batu
sebesar kepala yang menandakan kalau gundukan tanah merah itu adalah
sebuah makam yang masih baru. Kesanalah pandangan mata pemuda berbaju
kulit harimau itu menatap. Desahan napas panjang terdengar Dari balik
saku ikat pinggangnya dikeluarkannya secarik kain merah muda penuh
dengan tulisan darah yang telah kering. Tatapannya beralih pada secarik
kain itu "Aku harus mencari mereka. Ya..., harus" desahnya bergumam.
Pelahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri. Sebentar
matanya menatap ke arah depannya, kemudian dimasukkan kain merah muda
ke dalam ikat pinggangnya. Kembali dia mendesah panjang dan terdengar
berat. Pelahan-lahan kakinya terayun ke arah matahari terbenam. "Sayang,
Bibi Rengganis tidak memberi banyak keterangan. Biarpun jumlah mereka
banyak, aku harus mencari mereka dan membuat perhitungan yang setimpal.
Mereka pasti orang-orang yang kejam. Hmmm..., aku juga tidak akan
bermurah hati. Siapapun orang yang berbuat kejam didepanku, harus mati
Ya..., mati" gumam Bayu mendesis. Pada saat itu di atas kepalanya
melintas seekor burung. Sejenak Bayu menatap burung itu, lalu tangan
kanannya menghentak ke atas. Cakra, di pergelangan tangannya langsung
melesat cepat bagai kilat. Tak ampun lagi, burung yang tengah terbang
bebas itu meluruk jatuh begitu lehernya terpenggal. Bayu mengangkat
tangan kanannya, maka cakra itu kembali menempel di pergelangan
tangannya. Dia membungkuk dan memungut bangkai burung yang masih
mengeluarkan darah segar dan hangat. Dipandanginya leher binatang malang
itu. Leher yang sudah tidak memiliki kepala lagi. "Tunggulah kalian
Akan kubuat kalian seperti ini" seru Bayu sambil mengangkat bangkai
burung tinggi-tinggi. Tatapannya sangat sadis dan penuh dendam Bangkai
burung itu kembali melayang tinggi keudara, dilemparkan dengan
mengerahkan tenaga dalam penuh. Bayu memandanginya sampai bangkai burung
malang itu lenyap di balik lebatnya pepohonan. Sesaat kemudian kakinya
kembali terayun menuju kearah matahari terbenam. Pada saat itu sang
surya memang sedang meluncur untuk bersembunyi di balik belahan bumi
Barat. Sinarnya yang merah jingga seperti menyongsong kehadiran seorang
pendekar muda yang penuh bara dendam. Pendekar Pulau Neraka yang akan
menggegerkan rimba persilatan.
Silakan Anda tunggu kisah petualangan berikutnya. dari Pendekar Pulau Neraka yang sadis ini.
Episode selanjutnya: Pembalasan Ratu Sihir
Emoticon