Khutbah Jumat - Hati-hati dengan Waktu
إنَّ الحَمْدَ لله،
نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن
شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا
مَنْ يَهْدِه الله فَلا
مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ،
فَلا هَادِي لَهُ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ
إلا اللهُ وَحْدَهُ لا
شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ
مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ
صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ
عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ
تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوااللَّهَ وَقُولُوا
قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Islam adalah
agama kerja, artinya, sebuah din yang meletakkan kerja sebagai suatu amal yang
harus dilakukan oleh seorang yang islam dan beriman. Dalam al-Qur’an kata-kata
‘aml disebut berulang-ulang, belum lagi dengan pengungkapan lewat kiasan.
Terkadang banyak
orang secara sepihak menyimpulkan bahwa Islam tidak bersikap progresif terhadap
budaya kerja. Hal itu disebabkan karena didalam Islam ada takdir dan itu wajib
diimani.
Takdir inilah
yang sering difahami secara negatif, karena adanya pemahaman bahwa dalam Islam
kerja tidaklah penting, karena kondisi ekonomi, kaya dan miskinnya telah
ditentukan oleh Allah. Inilah bias dari teologi jabbariyah yang menganggap
bahwa manusia tidak punya faktor/ upaya penentu.[1]
Allah
menciptakan manusia supaya bekerja dan berusaha menghasilkan sesuatu yang
diperlukan bagi kehidupannya, darimana saja yang ada di segenap penjuru dunia,
agar ia dapat memperoleh manfaat baginya serta seluruh umat di muka bumi ini.
Orang-orang
saleh terdahulu dapat mencapai kejayaan yang tinggi serta keluhuran dan
keagungan yang belum pernah dicapai oleh generasi sekarang, disebabkan karena
ketekunan dan kegigihan mereka. Sementara generasi kita sekarang prestasinya
tidak pernah menanjak, masih terlalu jauh dari cita-cita yang dikehendaki.
Semua itu tiada
lain karena generasi kita malas dan bosan untuk bekerja dan melakukan sesuatu
yang bermanfaat, juga rasa pesimis untuk meraih berbagai prestasi.[2]
Ada beberapa hal yang sering manusia
lupakan, diantaranya pertanyaan: Kenapa manusia diciptakan? Apa kepentingan dan
tugas mereka dalam kehidupan ini?
Sering sekali
manusia melupakan pertanyaan-pertanyaan ini sehingga mereka hidup dalam penuh
kelalaian, hidup hanya dipergunakan untuk bersenang-senang, makan, minum, dan
kesenangan-kesenangan lain yang bersifat dunia.
Mereka sama
sekali tidak memikirkan tentang proses kejadian dirinya yang hina, sehingga
ketika ajal menjemputnya penyesalanlah yang menghinggapinya dimana saat itu
penyesalan sudah tidak berarti lagi.
Nah, dari
sinilah perlunya iman yang kuat dalam diri kita supaya kita dapat berhati-hati
dengan waktu, pandai-pandailah memanfaatkannya! Ingatlah! Hari-hari kita jangan
lewati begitu saja, sesaat demi sesaat, semua berlalu begitu cepatnya.
Begitulah. Diri
kita berpindah dari pagi ke petang, dan dari petang hingga pagi kembali. Apakah
kita pernah bermuhasabah (introspeksi) terhadap diri kita sendiri pada suatu
hari? Sehingga kita bisa melihat lembaran-lembaran hari-hari kita, dengan amal
apa kita membukanya dan dengan amal apa pula kita menutupnya?
عن ابن عباس
رضي الله عنه قال:
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: إغتنم
خمسا قبل خمس: شبابك
قبل هرمك ، وصحّتك
قبل سقامك، وغناك قبل
فقرك، وفراغك قبل شغلك،
، وحياتك قبل
موتك
Artinya: “Dari
Ibn Abbas ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda: Manfaatkanlah lima kesempatan
sebelum datang lima kesempatan yang lain: jagalah mudamu sebelum tuamu, jagalah
sehatmu sebelum sakitmu, jagalah kayamu sebelum miskinmu, jagalah sempatmu
sebelum sempitmu, dan jagalah hidupmu sebelum matimu. (HR. Hakim. Sanadnya
shahih dari Ibnu Abbas)[3].
“Time is
money”,“al-waktu ka al-saif”. Waktu adalah uang, waktu adalah pedang, waktu
adalah perjalanan yang tidak akan pernah kembali, itulah ungkapan yang sering
kita dengar untuk menghargai waktu. Waktu adalah kehidupan. Tidak ada yang
lebih berharga dalam kehidupan ini setelah iman selain “waktu”.
Waktu adalah
benda yang paling berharga dalam kehidupan seorang muslim. Ia tidak dapat
ditukar oleh apapun. Ia juga tidak dapat kembali jika sudah pergi. Sungguh
sangat merugi orang yang menyia-nyiakan waktunya.
Firman Allah:
Artinya: 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.(al-‘Ashr: 1-3).
Dalam sebuah
sya’ir dikatakan:
ألا ليت شباب
يعود يوما فأخبره بما
فعل المصيب[4
Dalam Islam,
waktu bukan hanya sekadar lebih berharga dari pada emas. Atau seperti pepatah
Inggris yang menyatakan time is money. Lebih dari itu, waktu dalam Islam adalah
“kehidupan”, al-waqtu huwa al-hayah, demikian kata as-Syahid Hasan Al-Banna[5].
Oleh karena
itu, Rasulullah saw memerintahkan umatnya agar memanfaatkan waktu yang tersisa
dengan lima hal. Sungguh telah merugi orang-orang yang tidak bisa memanfaatkannya.
Pertama, masa
muda.
Masa muda
adalah masa keemasan seorang manusia. Ia merupakan masa ideal untuk melakukan
apa saja: mengukir prestasi dan menggapai cita-cita. Bahkan, masa muda adalah
masa yang harus “dipertanggungjawabkan” di hadapan Allah.
Hal ini
dijelaskan oleh Nabi saw: “Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari
kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia
habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan
kemana ia belanjakan dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya
tersebut” (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani).
Hadirin sidang
Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT
Dalam Islam,
masa muda adalah bagian dari “umur”. Ia dianggap sebagai masa yang dinamis,
energik, cekatan dan kuat, karena ia merupakan “kekuatan” di antara dua
kelemahan: kelemahan anak-anak dan kelemahan masa tua.
Hal ini
dijelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya: Artinya: “Allah, Dia-lah yang
menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban…” (Qs. Ar-Rum [30]: 54).
Oleh karenanya,
Islam memiliki perhatian khusus kepada para pemuda. “Suatu ketika, khalifah
Umar radhiyallahu ‘anhu duduk dengan para sahabatnya. Ia berkata kepada mereka:
“Berangan-anganlah kalian!” Salah seorang dari mereka berkata: “Aku
berangan-angan, seandainya rumah ini dipenuhi oleh emas untuk aku infakkan di
jalan Allah.”
Umar lalu
berkata: “Berangan-anganlah (lagi) kalian!” Salah seorang lagi berkata: “Aku
berangan-angan sekiranya rumah ini dipenuhi dengan permata agar aku infakkan di
jalan Allah dan bersedekah dengannya.”
Lalu Umar
berkata lagi: “Berangan-anganlah (lagi) kalian!” Mereka lalu berkata: “Kami
tidak tahu lagi apa yang harus kami katakan wahai Amirul mukminin?” Umar
berkata: “Aku justru berangan-angan agar ada orang-orang seperti Abu ‘Ubaidah
bin Al-Jarrah, Mu’adz ibn Jabal dan Salim budak Abu Hudzaifah, agar aku dapat
meninggikan “kalimat Allah” dengan bantuan mereka.”
Bukankah Mu’adz
ibn Jabal seorang faqih yang diutus oleh Rasul ke Yaman? Ketika itu usianya
masih muda. Begitu juga dengan Salim: ia termasuk salah seorang perawi hadits.
Usianya juga masih muda.
Dalam sejarah
Islam juga dikenal Muhammad Al-Fatih, pembebas kota Konstantinopel. Saat itu
usianya tidak lebih dari 22 tahun. Usamah ibn Zaid pergi ke medan perang ketika
usianya masih 15 tahun. Padahal ketika usinya 14 tahun semangat jihadnya sudah
berapi-api: ia ingin cepat berada di shaf para mujahid Allah. Namun Nabi saw
melarangnya, karena masih teramat muda. Ia juga pernah menjadi pemimpin pasukan
Rasul, padahal saat itu para sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ada.
Namun Rasul saw mempercayakan kepadanya.[6]
Hadirin sidang
Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT
Adalah hal yang
ironis jika masa muda dihabiskan untuk “berfoya-foya”. Apalagi dihabiskan untuk
melakukan hal-hal yang tidak produktif. Dan, na’udzubillah, jika sampai
melakukan tindak kriminal yang tidak diridhai oleh Allah, seperti mengkonsumsi
NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif) dan hobi “mencekek leher botol” alias
mabuk-mabukan.
Ini sama
artinya menghancurkan umat. Tidak dapat dibayangkan jika para pemuda justru
tidak produktif. Apa yang akan dipersembahkan untuk Islam?
Kedua, masa
sehat.
Pepatah Arab
menyatakan:
الصحة تاجن على
رؤوس الأصِح لا ير
يها إلا المرضى
Artinya:
“Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat dan tidak ada yang
dapat melihatnya kecuali orang yang sakit”
Itulah
kesehatan. Manusia terkadang lupa akan arti dan makna kesehatan, kecuali
setelah kesehatan itu hilang darinya. Ketika “sakit” datang menggantikannya,
barulah ia sadar bahwa kesehatan itu mahal.
Masa sehat
sebaiknya digunakan untuk beramal saleh: membantu orang tua, menuntut ilmu,
mengamalkan ilmu. Kalau masa sakit sudah tiba, tidak akan pernah sempurna
melakukan apapun: ibadah terganggu, pekerjaan terbengkalai, semangat menurun,
dan sebagainya. Maka manfaatkanlah ‘masa sehat’ dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, masa
kaya.
Kekayaan adalah
“titipan Allah”. Maka, ia tidak layak untuk disombongkan dan dibanggakan.
Selagi masih ada waktu dan kesempatan, pergunakanlah kekayaan itu untuk
berbakti kepada Allah. Karena, jika sudah jatuh miskin, kesempatan untuk
beramal saleh pun sirna. Maka, segeralah nafkahkan harta yang ada, sebelum
semuanya sia-sia.
Utsman ibn
Affan adalah contoh ideal dalam berinfak. Ia membeli sumur Maimunah untuk
kepentingan kaum Muslimin. Begitu juga dengan Abdurrahman ibn ‘Auf. Ia adalah
contoh konglomerat yang dermawan: orang kaya tapi takut harta.
Lain lagi
dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq: ia meninggalkan “seonggok batu” untuk
keluarganya. Ia menyisakan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya. Beliau bahkan
berlomba dengan Umar ibn Khaththab. Akhirnya ia menang, karena Umar ibn
Khaththab menafkahkan setengah dari hartanya, sedangkan ia menafkahkan seluruh
hartanya di jalan Allah.
Keempat, masa
luang.
Waktu luang
adalah kesempatan emas untuk mengin-ventarisir kebajikan. Waktu luang ini akan
sia-sia jika tidak dikontrol. Ia akan terbuang begitu saja jika tidak langsung
dimanfaatkan. Oleh sebab itu makanya Nabi saw mengingatkan: “Ada dua nikmat
yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang
(kekosongan)” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).
Waktu luang
adalah “kekosongan”: kosong dari kegiatan yang positif. Jangan biarkan waktu
itu kosong melompong dan berlalu tanpa makna. Bukankah waktu luang bias diisi
dengan membaca Alquran, shalat Dhuha, shalat Witir, shalat Tahajjud, dan
sebagainya. Janganlah waktu luang itu dikhianati dengan “senda gurau” yang tak
bermakna. Karena jumlah waktu itu sama di mana saja, 24 jam.
Waktu 24 jam
ini seharusnya bisa dibagi, idealnya dibagi tiga, yaitu: sebagian untuk
kesehatan (istirahat, olah-raga, bercanda seperlunya), sebagian lagi untuk
jasmani (makan dan minum) dan sepertiga terakhir untuk Allah. Imam Ibnu Jarir
al-Thabari menurut al-Khathib al-Baghadadi dari al-Samsiy, setiap harinya mampu
menulis sekitar empat puluh lembar.
Jangan
berleha-leha dalam memburu kebaikan. Imporlah segala jenis kebaikan, lalu
eksporlah ia ke akhirat sana. Al-Tu’adatu fi kulli syain khairun illa fi a’mal
al-akhirah (Berlaku santai dalam setiap sesuatu itu baik, kecuali dalam amal
akhirat), kata Umar ibn Khaththab.
Imam Nawawi ra
memberikan nasehat yang sangat berharga: “Hendaklah bagi seorang penuntut ilmu
untuk mengumpulkan ilmu di waktu luang dan semangat yang menggebu-gebu, masa
muda dan ketika tubuh masih kuat, ketika keinginan masih menggunung dan
kesibukan masih sedikit sebelum tiba hal-hal yang tanpa makna”.
Kelima, hidup.
Kesempatan
hidup hanya sekali. Umur begitu singkat. Kita mengira umur itu begitu panjang.
Padahal ia hanya terdiri dari tiga helaan nafas: nafas yang lalu, yang sudah
kita hempaskan; nafas yang sedang kita hirup dan akan kita hembuskan; dan
terakhir nafas yang akan datang.[7]
Kita tidak tahu
apakah nafas yang akan datang itu nafas kita yang terakhir atau tidak.
Nafas-nafas itu begitu cepat berlalu. Maka sangat merugi kalau nafas-nafas itu
kita biarkan terhambur tanpa arti. Padahal dalam satu menit kita bisa membaca
surat Al-Fatihah dan surat Al-Ikhlas. Kita juga bisa berdzikir: mengucapkan
subhanallah, Al-hamdulillah dan Allahu Akbar, dan sebagainya.
Kita hidup di
dunia laksana seorang musafir. Tidak ada yang berharga bagi seorang musafir
selain “bekal”. Maka sejatinya, dunia ini adalah “pohon yang rindang”, tempat
berteduh sang musafir. Jika ia tertipu dengan indahnya pohon tempatnya
berteduh, ia tidak akan sampai pada tujuan.
Mau tidak mau,
kita semua akan menuju kepada pintu kematian. Maka, sebelum pergi ke sana, kita
berusaha untuk memanfaatkan hidup ini dengan sebaik-baiknya. Nilai seorang
Muslim bukan dinilai dari panjang pendeknya umur yang diberikan oleh Allah.
Tapi akan dinilai dari apa yang diperbuatnya untuk Allah, untuk Islam.
Umur yang
panjang bukan jaminan kebaikan. Bisa jadi umur yang panjang malah semakin
membuka pintu-pintu maksiat. Bisa jadi umur yang singkat, jika di-manage dengan
baik, malah menjadi sangat bermanfaat.
خير الناس من
طال عمره وحسن عمله،
وشر الناس من طال
عمره وساء عمله
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang
panjang usianya dan baik amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang umurnya
panjang namun jelek amalnya”. (HR. Ahmad dan al-Turmudzi dari Abu Bakrah).
Hadirin sidang
Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT
Kematian adalah
suatu peristiwa yang mesti terjadi pada semua makhluk hidup sebagai tanda
habisnya masa kontrak di dunia. Firman Allah surat al-Imran ayat 185.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ
الْمَوْتِ
Artinya: “ setiap
makhluk (berjiwa) pasti mengalami mati).”
Dunia ini
adalah tempat berbuat dan berbuat, tempat untuk berusaha dan bekerja, tempat
untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat. Tempat untuk
mencari bekal untuk kehidupan akhirat kelak.
Firman Allah:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Hadirin sidang
Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT
Supaya manusia
termotivasi untuk bisa memanfaatkan waktunya dengan sebaiknya, ada tiga
pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan tujuan manusia di dunia ini dan
pertanyaan itu berlaku sepanjang masa. Tiga pertanyaan tersebut akan membekas
dalam hati manusia jika ia menjawabnya dengan penuh perenungan.
Pertanyaan
pertama, darimana aku?
Adapun untuk
pertanyaan ini adalah merupakan simpul akidah, yang menurut kaum materialis
mereka tidak mempercayainya, kecuali kalau disana terdapat inderia. Mereka
menganggap bahwa dunia dan isinya ini muncul dengan sendirinya.[8] Sedangkan
bagi orang yang beriman, pertanyaan ini akan memberi atsar yang kuat baginya.
Pertanyaan ini
akan mengingatkan dia bahwa dia hanyalah makhluk yang tidak sempurna, makhluk
yang hina yang tidak pantas untuk menyombongkan diri, makhluk yang tidak mampu
apa-apa kecuali Allahlah yang menghendakinya.
Pertanyaan
kedua, untuk apa aku diciptakan?
Mengenai
pertanyaan kedua ini merupakan pertanyaan yang wajib dijawab oleh setiap orang
setelah mengetahui bahwa ia didunia ini hanyalah makhluk bagi Allah dan makhluk
yang dipelihara oleh Allah Sang Pemelihara alam ini.
Yaitu melalui
penjabaran: untuk apa manusia diciptakan? Kenapa manusia diberi keistimewaan
yang lebih dibanding makhluk yang lain? Dan apa kepentingan mereka diatas bumi
ini?[9]
Perlu
diketahui, bahwa manusia diciptakan di dunia ini dengan berbagai kelebihannya,
bukan hanya sekedar untuk memenuhi hawa nafsu belaka tapi Allah jadikan manusia
dimuka bumi ini adalah sebagai khalifah, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Hal pertama
yang harus diketahui manusia sebagai khalifah dimuka bumi adalah mengenal Allah
dengan benar dan menyembah-Nya dengan sebenar-benar penyembahan. Karena manusia
diciptakan dimuka bumi sebagai khalifah adalah untuk beribadah hanya kepada
Allah. Firman Allah:
Artinya: 56.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. 57. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. 58.Sesungguhnya Allah dialah Maha
pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.(Q.S. adz-Dzariyat
56-58)
Pertanyaan
ketiga, kemanakah tujuanku?
Pertanyaan
ketiga ini bagi kaum materialis, mereka memberikan suatu jawaban, tetapi hal
itu justru menurunkan martabat kemuliaan manusia menempati kedudukan binatang.
Mengenai tempat
kembali manusia setelah menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan sederhana
sekali mereka mengatakan: secara mutlak mereka akan hancur dan binasa, mereka
dilipat oleh bumi sebagaimana penguburan bermilyar binatang dan makhluk lainnya
di dalam perut bumi.
Jasad ini akan
kembali ke unsur-unsur penciptaannya yang pertama. Jadi mereka akan kembali
menjadi debu yang diterbangkan oleh angin. Begitulah cerita kehidupan manusia
menurut mereka.
Tiada keabadian
dan pembalasan, tiada perbedaan antara yang berbuat baik dan yang berlaku
jahat[10]. Berbeda dengan orang mukmin, tentu mereka sudah mengerti kemana
tujuan mereka pergi. Mereka menyadari bahwa dunia ini hanya sesaat.
Dari tiga
pertanyaan diatas, jika seseorang bisa merenungkannya dengan penuh penghayatan,
maka ia akan menjadi seorang yang rajin dan bisa memanfaatkan waktunya dengan
baik, sehingga tidak akan timbul penyesalan dikemudian hari.
Anjuran Islam
untuk Bekerja, lalu Allah telah menanggung rizki makhluk-Nya.
Artinya: “ dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi
rizkinya, Dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya, semua tertulis dalam kitab yang nyata.” (Q.S. Huud:6)
Akan tetapi,
Allah tidak akan mengubah suatu kaum jikalau kaum itu sendiri tidak mau
mengubahnya. Frman Allah: Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya dan tidak ada pelindung baginya. (Q.S. ar-Ra’d: 11).
Dari pernyataan
itulah, secara implisit Allah menyatakan bahwa setiap manusia harus mencari
rizkinya dengan jalan bekerja dan beraktivitas. Islam memberikan apresiasi bagi
umatnya yang gigih bekerja. Apresiasi itu ditunjukkan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut[11]:
a. Perintah
untuk giat bekerja setelah selesai ibadah.
Firman
Allah, Artinya: “Apabila shalat telah
dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”(Q.S. al-Jumu’ah: 10).
Perintah Allah
itu memberikan dua pelajaran penting, diantaranya:
Pertama: setiap
selesai ibadah haruslah bekerja untuk mencari apa yang dianugerahkan Allah.
Ibadah saja tidak cukup, berdoa meminta rizki tapi tidak berusaha dan bekerja
untuk mencarinya adalah suatu sikap yang tidak ada tuntunannnya.
Kedua: dalam
bekerja haruslah didasari dengan ibadah dan ingat kepada Allah, sehingga
banyaknya rizki dan kesibukan tidak menggoyahkan keimanan seseorang dan menjadi
seorang yang materialistis.
b. Perintah
untuk selalu beraktifitas dan dilarang menganggur.
Firman Allah:
Artinya: “ Maka apabila kamu telah selesai melakukan (suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”(Q.S. al-Insyrah: 6-7)
Dalam ayat lain
Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyuruh kaumnya beraktivitas (bekerja)
sesuai dengan keadaannya masing-masing. Firman Allah surat az-Zumar ayat 39:
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu,
akupun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui.”
c. Larangan
meminta-minta
Dalam sebuah
hadits dikatakan bahwa “tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah”.
Lebih baik bekerja meskipun pekerjaan itu dipandang oleh orang sebagai
pekerjaan kasar dibanding harus meminta-minta dari rumah ke rumah atau di
pinggir jalan.
d. Dalam
berusaha seorang muslim tidak boleh berputus asa.
Dari uraian
diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam konsep Islam, bekerja
merupakan suatu aktivitas yang bukan hanya bersifat duniawi saja, melainkan
juga ukhrawi.
Artinya, bahwa
Islam melibatkan aspek transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak
hanya bisa dilihat sebagai gejala prilaku ekonomi, tetapi juga prilaku ibadah.
Keduanya dilakukan sekaligus dalam satu waktu.
Sekali
merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Maka manfaatkanlah waktu yang ada,
supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari.
Penutup Doa
Kutbah Kedua tentang Hati-Hati dengan Waktu
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ،
كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى
آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ،
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى
آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ،
وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ
أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا
مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
Pada Khutbah
kedua ini, marilah kita menundukkan kepala untuk seganap berdoa kepada sang
Pemberi segala hal, Yang menyediakan waktu untuk manusia, yang memberikan
kesemptan kepada kita untuk selalu memperbaiki diri, memperbanyak amal hingga
memberi kita rezeki yang melimpah..
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
وَقَرَابَتِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ أَجْمَعِيْنَ
رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ
أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا
وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ
ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami) sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah :
128)
رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ ﴿الممتحنة
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً
لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَٱغْفِرْ لَنَا رَبَّنَآ ۖ
إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
”Ya Tuhan kami
hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami
bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami janganlah
Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami
ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah :4-5)
ٱللَّهُمَّ رَبَّنَآ أَنزِلْ عَلَيْنَا مَآئِدَةً
مِّنَ ٱلسَّمَآءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا
لِّأَوَّلِنَا وَءَاخِرِنَا وَءَايَةً مِّنكَ ۖ وَٱرْزُقْنَا
وَأَنتَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
”Ya Tuhan kami,
turunkanlah kiranya kepada kami suatu kehidupan dari langit (yang hari
turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama
kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau,
beri rezeki kami dan Engkaulah Pemberi rezeki yang paling utama.” (QS.
AL-Maaidah :114)
رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ
لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
”Ya Tuhan kami,
kami telah dzalimkan diri kami sendiri, Jika Engkau tidak mengampuni kami dan
Engkau rahmatkan kami, tentulah kami menjadi orang yang rugi.” (Al A’raf :
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.
فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ
أَكْبَرُ
Emoticon